Buku Politik Penyiaran Lokal-1.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Politik Penyiaran Lokal i Politik Penyiaran Lokal “Reposisi KPI-KPID - Konstelasi Konten - Mutasi Analog-Digital” Edisi Pertama Cetakan ke-1, Agustus 2020 Penulis Dr. H. Mahi M. Hikmat, M.Si. Editor Yadi Mardiansyah, S.S.,M.Ag. Desain Sampul dan Penata Letak Sumarno Surahman Copyright@ 2020 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISNB 978-602-50653-4-7 Penerbit YAYASAN JARINGAN MASYARAKAT PEDULI DEMOKRASI Kompleks Permai I No. 12 Cipadung, Bandung, Jawa Barat 40614 ii Politik Penyiaran Lokal Kata Pengantar Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. uji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena hanya dengan ijin-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul: Politik Penyiaran Lokal: Reposisi KPI-KPID; Konstelasi Konten; PMutasi Analog-Digital. Buku ini berkisah hal yang sederhana, terkait dengan realitas dunia penyiaran, khususnya di Indonesia, khususnya lagi di wilayah Provinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu provinsi terbesar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebesaran Jawa Barat, tidak hanya karena wilayahnya yang seluas 3.710.061,32 hektar atau jumlah penduduknya yang mencapai lebih dari 49 juta orang atau sekitar sepertlima dari jumlah penduduk Indonesia, tetapi kesempatan berusaha dalam industri penyiaran pun sangat luas. Secara keseluruhan jumlah lembaga penyiaran sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah lembaga penyiaran di provinsi lain, baik jumlah Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang di daerah muncul LPPL (Lembaga Penyiaran Publik Lokal), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, Jawa Barat merupakan wilayah sangat potensial dan strategis untuk tumbuh suburnya jasa penyiaran, baik lembaga penyiaran radio maupun lembaga penyiaran televisi. Kendati pengaturan tentang Rencana Induk (master plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High Frequency (UHF) diubah lagi dengan keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 31 Tahun 2014 tentang Rencana Induk (master plan) Frekuensi Radio Politik Penyiaran Lokal iii Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High Frequency (UHF) perubahan dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 memberikan jumlah kanal televisi di Jawa Barat sedikitnya terdapat 77 Saluran Frekuensi Radio UHF yang dibagi dalam 10 wilayah layanan dengan Frekuensi yang digunakan oleh televisi pada kisaran 478 s.d. 806 MHz UHF. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM-15 Tahun 2003 & Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12/Per/M.Kominfo/02/2009 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Frekuensi Khusus untuk Keperluan Radio Siaran FM (Frequency Modulation) memberikan jumlah kanal terbanyak di Jawa Barat se-Indonesia. Sedikitnya terdapat 311 Kanal Frekuensi Radio FM bagi wilayah layanan Jawa Barat dengan 83 wilayah layanan. Hal tersebut ditambah lagi dengan keluarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23/Per/M. Kominfo/11/2011 Tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial pada Pita Frekuensi Radio 478 – 694 Mhz. Band IV Ada 36 Kanal (22-37) Dan Band V Ada 11 Kanal (38-48). Di Jawa Barat : 11 Layanan Dengan 48 Chanal : (Majalengka-Kuningan SFM Cirebon-Indramayu)- (Kuningan SFM (Garut-Tasik). Oleh karena itu, hingga akhir tahun 2019, terdapat 79 televisi lokal yang sudah berijin di Jawa Barat, ditambah 1 Televisi Publik, 4 TV Komunitas, ditambah 15 TV berlangganan. Jumlah Radio Swasta FM ada 212, Radio Swasta AM 11, Radio Publik Lokal 8, plus Radio Komunitas yang berijin 29. Angka tersebut bertambah dengan munculnya TV Digital 48. Kendati pada satu sisi fakta banyaknya lembaga penyiaran di wilayah layanan Jawa Barat menunjukkan potensi yang besar bagi perkembangan industri penyiaran, tetapi di sisi lain juga dapat memicu permasalahan yang besar bagi masyarakat Jawa Barat. Berbagai tesis dari berbagai teori Komunikasi Massa mengajarkan masifnya pengaruh konten media massa, termasuk di antaranya konten siaran yang disajikan lembaga penyiaran, dapat membolak-balikkan perasaan, pemikiran, dan perilaku manusia. iv Politik Penyiaran Lokal Oleh karena itu, jika konten siaran tidak dikendalikan; diarahkan on the track menuju jalan yang benar, maka perasaan, pemikiran, dan perilaku masyarakat Jawa Barat dalam ancaman. Anugerah sumber daya frekuensi yang banyak sebagaimana master plan yang dibuat Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia bagi wilayah layanan Jawa Barat dapat juga memicu persaingan yang tidak sehat dan mendorong pengutamaan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan publik. Padahal, sumber daya alam Indonesia, termasuk frekuensi yang terbatas harus sebesar-besarnya ditujukan untuk kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menegaskan hal itu melalui lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menggantikan Undang-Undang No. 24 Tahun 1997. Kelahiran UU No. 32 Tahun 2002 memperbaiki banyak hal, termasuk di dalamnya “berbagi kewenangan” antara Pemerintah dengan lembaga independen yang merupakan perwujudan peran serta masyarakat dalam penyiaran, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan juga Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang berkedudukan di ibukota provinsi. Namun, realitas itu pun belum dapat memenuhi harapan masyarakat, tidak semua amanah Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 yang berprinsip diversity of contents dan diversity of ownership dapat terpenuhi. Eksistensi KPI dan KPID pun acapkali menjadi persoalan di antara “ambisi” industriawan penyiaran dan kontroversi di antara peraturan perundang-undangan, seperti lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mendorong KPID harus reposisi dan kontradiksi dengan Undang- Undang No. 32 Tahun 2002. Oleh karena itu, sejak lama banyak pihak, terutama stakeholder penyiaran berharap Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 pun segera direvisi. Sayangnya, revisi undang-undang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain perdebatan konsepsi yang panjang di antara stakeholder penyiaran, pasca lahirnya RUU pun masuk program legislasi nasional (Prolegnas), hingga lebih sepuluh tahun DPR RI tidak kunjung ketuk palu. Keberadaan RUU Penyiaran hingga tahun 2020 masih mengambang tidak menentu. Padahal tidak hanya aspek internal yang mendesak RUU itu segera disyahkan. Realitas eksternal dalam bentuk perkembangan teknologi Politik Penyiaran Lokal v digital terus melesat memaksa industri penyiaran untuk beradaptasi, di antara regulasi yang masih abu-abu. Negara-negara Barat, bahkan negara- negara tetangga di Asia Tenggara sudah beranjak untuk digitalisasi, tetapi masyarakat penyiaran Indonesia masih bertempur dalam simpang siur pendapat. Digitalisasi pada 2020 hangat dalam berbagai perbincangan, tetapi sepi langkah realistis karena ada sebagian industri penyiaran yang menempatkan digitasasi sebagai peluang, tetapi tidak sedikit juga yang menganggapnya ancaman. Apapun realitas yang menyergah dunia penyiaran Indonesia yang banyak akan, bahkan sudah menjadi korban adalah lembaga penyiaran lokal. Apalagi, persepsi UU No. 32 Tahun 2002 sudah “menghilangkan” lembaga penyiaran nasional. Yang ada Stasiun Siaran Jaringan (SSJ) dan Stasiun Penyiaran Lokal (SPL). Kini makin banyak SPL yang hidup segan mati pun tak mau; bahkan eksistensi SSJ pun mulai surut seiring makin melorotnya kepedulian terhadap konten lokal dan kearifan lokal. Konten makin mengglobal disertai dengan munculnya pesaing baru yang lebih handal karena menggunakan teknologi jaringan internet yang sangat digandrungi kalangan muda milenial seiring dengan surutnya generasi baby boomers dan bergesernya generasi Y dan generasi Z. Realitas itu pun diimbangi dengan upaya “penyelamatan” dan obat yang mujarab adalah regulasi melek teknologi dalam bentuk kebijakan- kebijakan strategis yang berpihak, tidak hanya dari Pemerintah Pusat, tetapi Pemerintah Daerah bersama DPRD-nya memiliki peran penting dalam ikut menyelamatkan kondisi industri penyiaran lokal sekaligus menyelamatkan masyarakat daerah dari “membabibutanya” konten siaran yang masif mencari keuntungan semata dan persaingan yang makin terbuka. Semua realitas tersebut dipotret oleh penulis dalam kacamata sederhana sebuah buku berjudul Politik Penyiaran Lokal dengan frame yang sederhana dalam perjalanan pengabdian penulis pada periode pertama menjadi Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Provinsi Jawa Barat 2015-2020. Dengan frame yang sederhana inilah yang penulis sangat sadari bahwa karya buku ini bukan sesuatu yang fenomenal, apalagi besar, tetapi mudah-mudahan menjadi warna tambahan bagi catatan sejarah penyiaran di Tanah Air, khususnya di Jawa Barat. Penulis pun sangat menyadari bahwa buku ini banyak sekali kekurangan, sehingga penulis vi Politik Penyiaran Lokal mohon maaf dan berharap atas inisiasi dan inspirasi pembaca dapat memperbaiki, melengkapi, dan menyempurnakan dengan tinta ketulusan untuk membangun penyiaran nasional dan penyiaran lokal yang lebih baik dan memberikan manfaat besar pada publik. Hal itu bisa terjadi melalui karya lain yang disajikan pembaca atau melalui tangan penulis yang insya Allah tetap menjaga konsistensi untuk