ALASAN MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT KONFLIK ROHINGYA PERIODE 2015-2017

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.SOS)

Oleh:

Achmad Zulfani

11151130000048

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2019 M

I

II

ABSTRAK

III

Skripsi ini menganalisis alasan dari sikap terbuka Myanmar kepada Indonesia dalam bentuk penerimaan diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Terkait dengan konflik Rohingya yang mengalami eskalasi pada 2015 Myanmar bersikap cenderung tertutup kepada dunia dengan cara salah satunya menolak bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal tersebut didasari oleh respons dunia internasional seperti PBB dan Malaysia yang merespons dengan menggunakan megaphone diplomacy dan pandangan Myanmar bahwa konflik Rohingya merupakan konflik internal sehingga tidak ada negara yang berhak untuk mencampuri urusan internal Myanmar. Indonesia juga merespons konflik Rohingya dengan menggunakan diplomasi yang inklusif dan konstruktif, yaitu non-megaphone dan diplomasi publik yang intensif pada 2015-2017 dan menjadi negara yang diizinkan oleh Myanmar untuk ikut membantu konflik Rohingya. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan deskriptif serta teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka beserta wawancara dengan pihak- pihak terkait. Untuk menganalisis, skripsi ini menggunakan kerangka teoritis konstruktivisme dan konsep diplomasi publik, kedua hal tersebut berkaitan untuk menjelaskan alasan Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Berdasarkan hasil analisis dari teori konstruktivisme dan konsep diplomasi dapat disimpulkan alasan Myanmar menerima diplomasi Indonesia. Pertama, faktor diplomasi Indonesia, yaitu menggunakan non-megaphone diplomacy dan diplomasi publik yang menimbulkan kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia. Kedua, faktor identitas Myanmar yang sedang membangun identitas sebagai negara demokrasi dan Indonesia merupakan salah satu sahabat yang membantu demokratisasi Myanmar. Ketiga, adalah faktor keamanan dan kedaulatan Myanmar yang sedang bergejolak, tidak hanya persoalan Konflik Rohingya, tetapi juga dengan kelompok-kelompok etnis di Myanmar.

Kata kunci: Konflik Rohingya, Indonesia, non-megaphone diplomacy, megaphone diplomacy, konstruktivisme, diplomasi publik.

IV

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa juga menuturkan sholawat kepada Nabi

Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat yang telah membawa umat manusia kepada zaman yang terang benderang.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini terdapat pihak- pihak yang telah membantu penulis karena telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karena kehendak-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Keluarga penulis, Ayahanda (alm.) Abu Bakar Azhari, Ibunda Masripah,

Kak Atiyyah, Bang Ali Pasya, Ka Riri Arisyia, Bang Faiz Fadhilah, Adinda

Dini Hanifa, Ka Dio, Ka Yeti, dan Bang Luthfi.

3. Dosen pembimbing penulis, Bapak Dr. Badrus Sholeh, MA yang telah

meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan sabar beserta

memberikan saran-saran dalam proses penyelesaian skripsi.

4. Segenap jajaran staff dan dosen program studi Ilmu Hubungan Internasional

UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu kepada penulis.

V

5. Bapak Ali Yusuf dan Ibu Dewi Lestari atas kebesaran hatinya yang telah

bersedia menjadi narasumber penulis guna mencari data terkait sehingga

dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis

sampai menyelesaikan masa studi, yaitu kepada Helma Liyani, Adinda Nur

Layla, Vivien Sevira, Ismi Azizah, Ruella Salsabila, Syahnaz Risfa, Farah

Azizah, Ka Zahra Yusuf, Aulia Effriyanti, Halida Maulidia, Muthia Aljufri,

Nurul Fazriah Ramadhan, Nabil Rahdiga, Gebryan Dwivandrio, Mas Bimo

Arfino, Fahmi Fahrizal, Chivalry A. Moraza, Fadhly Nurman, Randy, Panji

Setia, Fadli Husnurrahman, Fathi Rizki, Anugerah Madjid Harahap,

Andhito Susanto, Farid Ramadhan, Akmal Sofiyandi, Ridwan Dicky,

Farhan Fawwaz, Adib Fardhan, Zulfikar Fadel, Utomo WP, Ario Budi,

Trian Febriansyah, Nurfadhilah Arini, Tiwi, dan Neng Sindy.

7. Keluarga besar Revolutioner Class, EED dan Pejantan Sehat sebagai kelas

Hubungan Internasional.

8. Keluarga besar HMI KOMFISIP yang telah memberikan penulis ilmu dan

pengalaman yang sangat berharga di luar kelas.

9. Keluarga besar KKN 32 Kebanggaan dan HIMAHI UIN Jakarta periode

2015 beserta seluruh kawan perjuangan HI UIN Jakarta angkatan 2015.

Penulis berharap segala dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis diberikan imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran akan sangat membantu penulis untuk menjadi bahan perbaikan penulisan skripsi ini.

VI

Harapan penulis adalah semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan sumbangsih terhadap studi Ilmu Hubungan Internasional.

Jakarta, 8 Agustus 2019

Achmad Zulfani

VII

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI...... II ABSTRAK...... III KATA PENGANTAR...... V DAFTAR ISI...... VIII DAFTAR GAMBAR...... X DAFTAR LAMPIRAN...... XI DAFTAR SINGKATAN...... XII BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Pernyataan Masalah...... 1 B. Pertanyaan Penelitian ...... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 D. Tinjauan Pustaka ...... 10 E. Kerangka Teori ...... 15 1. Konstruktivisme………………………………………………………………. 15 2. Konsep Diplomasi Publik…………………………………………………….. 21 F. Metode Penelitian...... 24 G. Sistematika Penulisan ...... 26 BAB II MYANMAR DAN DINAMIKA KAWASAN TERKAIT KONFLIK ROHINGYA...... 29 A. Profil Myanmar ...... 30 B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di Myanmar...... 31 C. Awal Konflik Rohingya ...... 36 D. Konflik Rohingya 2012-2017 ...... 38 E. Hubungan Bilateral dan Regional dengan Myanmar terkait Konflik Rohingya.... 43 1. Hubungan Bilateral Myanmar dan Bangladesh…………………………………. 44 2. Hubungan Myanmar dengan ASEAN………………………………………….. 46 BAB III HUBUNGAN INDONESIA DAN MYANMAR TERKAIT KONFLIK ROHINGYA...... 50 A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia dan Myanmar ...... 50 B. Hubungan Indonesia dan Myanmar dalam Aspek Ekonomi, Sosial dan Politik ... 51

VIII

1. Hubungan Ekonomi dan Sosial Indonesia dan Myanmar……………………….. 51 2. Hubungan Politik Indonesia dan Myanmar………………………………………54 C. Hubungan Myanmar dan Indonesia terkait Konflik Rohingya ...... 58 BAB IV ALASAN MYANMAR MENERIMA DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT KONFLIK ROHINGYA PERIODE 2015-2017...... 66 A. Diplomasi Publik ...... 67 B. Ideational Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia ...... 73 C. Material Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia...... 81 BAB V PENUTUP...... 86 A. KESIMPULAN ...... 86 B. Saran ...... 90 DAFTAR PUSTAKA...... XCI Buku ...... xci Berita ...... xcviii Basis Data Online ...... cvii LAMPIRAN-LAMPIRAN...... CVIII

IX

DAFTAR GAMBAR

Gambar III.1 Peta Persebaran Pengungsi Rohingya ……………………. 58

X

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I: Wawancara dengan Ali Yusuf ...... CVIII Lampiran II: Wawancara dengan Dewi Lestari ...... CXII

XI

DAFTAR SINGKATAN

AKIM Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar

AFPFL Anti-Facist People Freedom League

AS Amerika Serikat

ASEAN Association of South East Asia Nation

AIPA ASEAN Inter-Parliamentary Assembly

AICHR ASEAN Intergovermental Commision on Human Rights

ARSA Arakan Rohingya Salvation Army

BUMN Badan Usaha Milik Negara

BDF Bali Democracy Forum

BIA Burma Independence Army

BNA Burma National Army

DK Dewan Keamanan

HAM Hak Asasi Manusia

HI Hubungan Internasional

KADIN Kamar Dagang dan Industri

KEMLU Kementerian Luar Negeri

KBRI Kedutaan Besar Republik Indonesia

KIO Kachin Independence Organisation

KNU Karen National Union

KTT Konferensi Tingkat Tinggi

KTM Konferensi Tingkat Menteri

XII

SOLIDER Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya

LCS Laut China Selatan

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Menlu Menteri Luar Negeri

NUP National Unity Party

NLD National League for Democracy

OBOR One Belt One Road

Ormas Organisasi Masyarakat

OKI Organisasi Kerja sama Islam

OI Organisasi Internasional

PM Perdana Menteri

PMI Palang Merah Indonesia

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

Pemilu Pemilihan Umum

SDA Sumber Daya Alam

SBY Susilo Bambang Yudhoyono

AHA Centre The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management

TPF Tim Independen Pencari Fakta

UU Undang-undang

UNHCR United Nations High Comission of Refugees

USDP Union Solidarity and Development Party

XIII

YMCA Young Men’s Christian Association

YMBA Young Men’s Buddhist Association

XIV

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang majemuk, hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya etnis yang tinggal di Myanmar, bahkan

“Burma” yang sebelumnya merupakan nama negara sebelum Myanmar diambil dari salah satu etnis mayoritas di sana. Tercatat Myanmar memiliki hampir 135 etnis yang tercatat oleh undang-undang (UU) yang berisi tentang etnis yang diakui oleh pemerintah, di antara lain adalah: Burmanese, Kachin, Karen, Karenni, Chin,

Mon, Arakan, Shan, dan sebagainya.1

Dari etnis-etnis yang berada di Myanmar, terdapat etnis Rohingya yang merupakan etnis yang berbeda dari kebanyakan etnis di Myanmar dikarenakan etnis

Rohingya beragama Islam, penampilan fisik cenderung mirip dengan penduduk

Asia Selatan sedangkan etnis lain di Myanmar beragama Buddha. Selama ini pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai warga ilegal yang bertempat tinggal di Arakan (sekarang Rakhine). Hal tersebut sesuai dengan UU kewarganegaraan 1982 di Myanmar, di dalam UU tersebut disebutkan bahwa etnis yang diakui oleh negara adalah etnis yang telah lama berada di Myanmar sebelum pendudukan kolonial Inggris pada 1824 dan etnis Burmese Chinese, Panthay,

Burmese Indians, Anglo-Burmese, , dan Rohingya tidak diakui.2

1 Susetyo Heru dan Heri Aryanto, Rohingya:Suara Etnis yang Tak Boleh Bersuara, (Indonesia: Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013), 9. 2 Heru dan Aryanto, Rohingya: Suara Etnis, 9.

1

Konflik Rohingya bersifat multidimensi yang dimulai sejak awal kemerdekaan Myanmar dan berlanjut pada 1978 di masa Junta Militer Myanmar, akibatnya 200.000 orang mengungsi ke perbatasan Bangladesh. Hal tersebut juga berlanjut pada 1991 dan menyebabkan 250.000 etnis Rohingya mengungsi ke

Bangladesh.3 Intimidasi dan diskriminasi tidak hanya berasal dari pemerintah

Myanmar, namun juga dari kelompok anti Islam dari kalangan masyarakat Budha ekstremis. Etnis Rohingya sebagai etnis yang berbeda, beragama Islam, dan tidak diakui kerap mengalami diskriminasi, dan mengalami kekerasan. Oleh karena itu, etnis Rohingya mendapatkan predikat dari PBB sebagai the most persecuted minority dan mendapatkan label sebagai the Gypsies of Asia.4

Konflik Rohingya kembali mencuat pada 2012 dan 2015 ketika etnis

Rohingya mulai pergi dari Myanmar karena diskriminasi yang terjadi di Myanmar.

Khususnya pada Maret 2015, Myanmar mencabut kartu identitas penduduk yang disebut “kartu putih” bagi orang yang tinggal di Myanmar, namun tanpa mendapatkan status sebagai warga negara Myanmar atau warga negara asing, hal ini yang membuat etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar.5

Eskalasi konflik terjadi pada 2016 ketika Arakan Rohingya Salvation Army

(ARSA) menyerang pos polisi dan menewaskan 9 orang. Sejak itu tentara Myanmar

3 Human Rights Watch, All You Can Do is Pray: Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [buku on-line] (AS: HRW, 2013), 14; tersedia di https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-humanity-and-ethnic-cleansing- rohingya-muslims;Intenert; diunduh pada 28 Oktober 2018. 4 Bilveer Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), 12. 5 Simela Victor Muhamad, “Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia, dan ASEAN”, Mei 2015 [laporan on-line], tersedia di http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI- Mei-2015-7.pdf; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018.

2

melakukan tindakan represif terhadap “teroris Rohingya”. Semenjak itu, terjadi bentrokan antara militer Myanmar dengan etnis Rohingya hingga menimbulkan korban jiwa. Pemerintah Myanmar melaporkan bahwa korban dari bentrokan militer dan etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine telah mencapai 86 orang terdiri dari 17 tentara dan 69 etnis Rohingya. Namun menurut kelompok Rohingya sendiri, bentrokan itu sudah menelan lebih dari 400 nyawa.6

Banyaknya korban jiwa yang tercatat oleh TPF PBB mencapai 10.000 dan pengungsi yang mencapai 1 juta orang yang di antaranya 741.014 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh7 Hal tersebut membuat konflik Rohingya menjadi perhatian dunia yang ditandai dengan berbagai respons dari aktor internasional yang meliputi negara dan organisasi internasional seperti Malaysia dan PBB.

Malaysia dan PBB menggunakan megaphone diplomacy atau diplomasi pengeras suara terkait konflik Rohingya.

Megaphone diplomacy Megaphone diplomacy merupakan cara berdialog dan juga mengirimkan pesan melalui media kepada pihak yang terkait dengan konflik. Hal ini dilakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk membentuk negosiasi atau pun dialog secara formal.8 Menurut Sir Ivor Roberts, megaphone diplomacy tidak hanya berbicara di media saja, tetapi lebih spesifik

6 Riva Dessthania Suastha, “Dubes Myanmar: Konflik Militer dan Rohingya Mereda” 1 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106- 176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-mereda; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. 7 UNHCR, “Refugee Response in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4; Internet; diakses pada 10 April 2019. 8 Kirsten Sparre, “Megaphone Diplomacy in the Northern Peace Process: Squaring the Circle by Talking to Terrorists through Journalists”, Jurnal Press/Politics, Vol.6, No.1, Januari:2001, L: 88-104; tersedia di https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006; Internet; diunduh pada 10 Juli 2019.

3

merupakan hal yang berasal dari politik domestik dan juga syarat akan kepentingan politik domestiknya dengan berkata-kata yang tegas dan cenderung kasar.9

Megaphone diplomacy dilakukan oleh Perdana Menteri (PM) Najib Razak pada 4 Desember 2016 ketika mengikuti demonstrasi terkait konflik Rohingya dan mengatakan: “We want to tell Aung San Suu Kyi, enough is enough. We must and we will defend Muslims and Islam and UN please do something. The world cannot sit by and watch genocide taking place”10. Merespons pernyataan dari PM Najib

Razak, Myanmar menyatakan keberatannya dalam pertemuan resmi dengan Duta

Besar Malaysia untuk Myanmar dan mengeluarkan kebijakan pemberhentian pengiriman tenaga kerja ke Malaysia.11

Di sisi lain, PBB melalui laporan yang telah dikeluarkan Tim Pencari Fakta

(TPF) PBB pada September 2018 mengatakan bahwa jumlah korban tewas mencapai 10.000 dan terdapat indikasi genosida yang dilakukan oleh militer

Myanmar.12 PBB dan Malaysia pada dasarnya melakukan megaphone diplomacy karena menyatakan tuduhan-tuduhan kepada Myanmar melalui media.

9 Sir Ivor Roberts KCMG, “The Development of Modern Diplomacy”, [laporan on-line]; tersedia di https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdf; Internet; diakses pada 29 September 2019. 10 Associated Press, “PM Najib leads Malaysian protest against ‘genocide’ of Rohingya Muslims in Myanmar” 4 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.scmp.com/news/asia/southeast- asia/article/2051572/pm-najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingya; Internet; diakses pada 22 Agustus 2019. 11 Ye Mon, “Govt cuts flow of migrant workers to Malaysia amid diplomatic spat”, 7 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of-migrant- workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.html; Internet; diakses pada 22 Agustus 2019. 12 OHCHR, “Statement by Mr. Marzuki Darusman”, 18 September 2018, tersedia di https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E; Internet; diakses pada 10 April 2019.

4

Terkait konflik Rohingya, Myanmar bersikap tertutup, hal tersebut tergambar dari tindakan Myanmar yang menutup akses kemanusiaan ke Rakhine, tidak memberikan izin TPF PBB untuk masuk ke Rakhine dan mencoba membuat konflik Rohingya sebagai konflik internal Myanmar sekaligus merespons megaphone diplomacy dari PBB seperti yang dikatakan oleh Jenderal Min Aung

Hlaing “UN had no right to interfere in and make decisions over the sovereignty of a country and talks to meddle in internal affairs [cause] misunderstanding”.13

Sikap tertutup Myanmar seperti menolak bantuan dan menutup akses ke

Rakhine tidak dialami oleh Indonesia. Indonesia di bawah pemerintahan Presiden

Joko Widodo mengambil peran dalam upayanya meredam konflik di Rakhine.

Peran Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dapat dilihat pada 20 Mei 2015 di

Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Malaysia, dan Thailand mengadakan pertemuan untuk membahas solusi bersama dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan kesepakatan langkah- langkah yang diambil berupa fokus kepada membantu pengungsi, merekatkan kerja sama patroli laut, dan meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan United

Nations High Comission of Refugees (UNHCR).14

Indonesia merespons dengan menggunakan strategi non-megaphone diplomacy, yaitu merupakan diplomasi yang inklusif dengan mengedepankan

13Thompson Chau, “Senior General Min Aung Hlaing slams UN Report”, 25 September 2018 [berita on-line] tersedia di https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung- hlaing-slams-un-report.html; Internet; diakses pada 23 Agustus 2019. 14KEMLU, “Masyarakat ASEAN: Aman dan Stabil, Keniscayaan bagi ASEAN”, 8 Juni 2015 [laporan on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%20Edisi8-All.pdf; Internet; diunduh pada 9 November 2018.

5

pendekatan konstruktif serta berusaha menjadi teman bagi Myanmar yang terus- menerus ditekan oleh banyak pihak.15 Diplomasi inklusif dan konstruktif Indonesia juga dilakukan melalui diplomasi publik yang merupakan proses komunikasi yang ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga masyarakatnya yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya, kepentingan nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya.16 Ada pun tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan mutu komunikasi antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk mendapatkan kepentingan nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing melalui informasi- informasi yang tersedia.17

Peran Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Terdapat dorongan dari masyarakat Indonesia yang merasa khawatir dan menunjukkan solidaritasnya terhadap etnis Rohingya melalui Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Solidaritas Rohingya (SOLIDER). Mereka menggelar demo pada 24

November 2016 menuntut Presiden Joko Widodo untuk melakukan serangkaian kegiatan yang bisa meredam konflik di Rakhine. Selain itu, tuntutan juga datang dari salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam besar di Indonesia,

Muhammadiyah. Muhammadiyah menuntut PBB, OKI, Indonesia, dan Myanmar

15 Chidzoie Felix, dkk. “Nigeria’s Megaphone Diplomacy and South Africa’s Quiet Diplomacy: A Tale of Two Eras”, Covenant University, Jornal of Politics and Internasional Affairs (CUJPIA), Vol.1, No.2, TB:2013, L:235-255 [jurnal on-line]; tersedia di http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00; Internet; diunduh pada 9 November 2018. 16 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116 17 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media,2011), 157.

6

untuk segera menghentikan konflik di Rakhine dan menghentikan penyiksaan serta penderitaan bagi Muslim Rohingya.18

Selain adanya faktor internal Indonesia, terdapat juga adanya faktor eksternal yang membuat Indonesia melakukan upaya terus menerus untuk meredam konflik Rohingya. Faktor eksternal tersebut antara lain merupakan kegagalan

ASEAN dalam menghasilkan konsensus terkait konflik Rohingya dikarenakan adanya prinsip non-intervensi yang dianut. Hal ini terlihat dalam forum ASEAN

Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-39 ketika delegasi Myanmar menolak untuk membahas konflik Rohingya dengan alasan isu tersebut merupakan isu domestik yang tidak bisa dicampuri negara lain.19

Peran Indonesia dalam konflik Rohingya telah diakui oleh dunia, setidaknya oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres yang dipaparkannya pada pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB yang telah memuji karena Indonesia berhasil membujuk Myanmar membuka jalur bantuan kemanusiaan.20 Hal ini menunjukkan sikap Myanmar kepada Indonesia berbeda,

Indonesia dipercaya menjadi satu-satunya negara ASEAN yang diizinkan untuk memasuki Rakhine guna melihat langsung kondisi di Rakhine, diterimanya bantuan

18 Oki Budhi, “Unjuk Rasa Solidaritas Rohingya di Bandung dan Jakarta”, 26 November 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925; Internet; diakses pada 9 November 2018. 19Rachmat Hidayat, “Myanmar Tolak Resolusi Rohingya”, 6 September 2018 [berita on-line] tersedia di http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar-tolar-reslousi-rohingya- indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipa; Internet; diakses pada 9 November 2018. 20 Edigius Patnisik, “Sekjen PBB Puji Peran Penting Indonesia di Myanmar”, 30 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-puji- peran-penting-indonesia-di-myamar; Internet; diakses pada 13 Oktober 2018.

7

dari Indonesia serta pertemuan dengan Aung San Suu Kyi.21 Selain itu, Menlu

Indonesia juga memberikan formula 4+1 yang diterima baik oleh Aung San Suu

Kyi pada 2017 serta membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar

(AKIM).22

Jika dilihat kembali bagaimana sikap Myanmar yang tertutup terkait konflik

Rohingya, seharusnya Myanmar tidak menerima diplomasi Indonesia. Namun,

Myanmar bersikap sebaliknya kepada Indonesia dengan menerima diplomasi.

Penerimaan diplomasi Indonesia tersebut terdiri dari beberapa indikator, yaitu terjadinya dialog formal antara Myanmar dan Indonesia, penerimaan bantuan kemanusiaan oleh Myanmar dari Indonesia, dan Myanmar menerima baik saran- saran yang diberikan oleh Indonesia meskipun belum dapat mengimplementasikan seluruhnya. Berangkat dari pemikiran tersebut maka peneliti berasumsi bahwa

Myanmar memiliki alasan terkait penerimaan diplomasi Indonesia pada periode

2015-2017 yang merupakan periode yang menjadi fokus penelitian ini dikarenakan intensitas dari konflik Rohingya mulai meningkat kembali, selain itu pada periode tersebut merupakan periode intensif diplomasi Indonesia dan Myanmar. Oleh karena itu peneliti ingin melihat alasan-alasan yang menjadi pertimbangan bagi

Myanmar untuk menerima diplomasi Indonesia periode 2015-2017.

21 KEMLU, “Bantuan Kemanusiaan Indonesia untuk Rohingya/Rakhine State”, 29 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia-untuk- rohingya.aspx; Internet; diakses pada 10 Oktober 2018. 22 KEMLU, ”Menlu RI Serahkan Usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada State Counsellor Myanmar”, 4 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI- Serahkan-usulan-Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx; Internet; diakses pada 4 Desember 2018.

8

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah yang telah dijelaskan serta agar tidak terlalu luas dari permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian berupa Mengapa Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait Konflik Rohingya Periode 2015-2017?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi berjudul Alasan

Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait Konflik Rohingya Periode

2015-2017 adalah:

1. Menganalisis alasan Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait

konflik Rohingya periode 2015-2017.

2. Mengaplikasikan teori serta konsep dalam studi ilmu Hubungan

Internasional sebagai alat analisis terhadap pertanyaan penelitian di skripsi

ini.

Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat berupa:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

perkembangan studi ilmu Hubungan Internasional, khususnya terkait

konflik di Rohingya.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan analisis terkait konflik di

Rohingya, khususnya terkait kepentingan nasional Myanmar menerima

diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017.

9

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang komprehensif bagi

penelitian yang relevan.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka yang pertama, Penulis akan mengulas skripsi yang ditulis oleh Andry Febriansyah yang berjudul “Kebijakan Thailand Terhadap

Pengungsi Rohingya Periode 2013-2015” yang diperuntukkan sebagai tugas akhir untuk mendapat gelar sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta yang dipublikasikan pada 2017. Skripsi yang dibahas oleh Febriansyah menggambarkan secara garis besar kebijakan Thailand terhadap pengungsi

Rohingya dari 2013 sampai 2015.

Konflik Rohingya merupakan konflik yang berkelanjutan, terutama mencuat semenjak 2012. Dalam skripsi tersebut dijelaskan dinamika yang terjadi ketika terjadinya konflik Rohingya dan tibanya pengungsi Rohingya di Thailand.

Febriyansyah menggunakan teori kebijakan luar negeri dalam menganalisis kebijakan luar negeri Thailand dalam menghadapi pengungsi Rohingya.

Dalam skripsinya, Febriyansyah berfokus kepada kebijakan luar negeri

Thailand dalam menghadapi pengungsi yang berasal dari Rohingya. Kebijakan tersebut mengarah kepada bantuan-bantuan terhadap pengungsi etnis Rohingya serta mekanisme dalam penanganan pengungsi. Oleh karena itu, Penulis berpendapat skripsi ini relevan topik penelitian yang akan dikaji, namun masih banyak yang dapat dikembangkan kembali terkait krisis konflik Rohingya dari berbagai aspek yang tidak hanya mengenai pengungsi saja melainkan juga strategi-

10

strategi yang digunakan negara-negara dalam membantu penyelesaian konflik di

Rohingya.

Selanjutnya adalah tinjauan pustaka yang ditulis oleh F.A Arya Ardani dengan jurnal yang berjudul “Kebijakan Indonesia dalam Membantu

Penyelesaian Konflik Antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar

(Studi Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono)”. Dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa konflik Rohingya merupakan konflik yang berimbas kepada Indonesia. Jurnal tersebut berfokus kepada kebijakan luar negeri Indonesia dalam meredakan konflik antara etnis Rohigya dan Rakhine pada era Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY). Terlebih lagi, jurnal tersebut menekankan kepada karakter idiosinkratik SBY dalam pengaruhnya di dalam kebijakan luar negeri

Indonesia terkait perannya dalam penyelesaian konflik di Rakhine.

Dalam jurnal tersebut, pembahasan ditekankan kepada faktor idiosinkratik

SBY, menurut Ardani, SBY merupakan pemimpin yang sering menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti, namun sisi positifnya adalah SBY mampu membuat alternatif kebijakan. SBY merupakan pemimpin yang bersifat halus dan mengedepankan soft power dalam kebijakannya. Terdapat adagium yang terkenal dari SBY yaitu thousand friend zero enemy yang menjadi arah kebijakan luar negeri

Indonesia saat itu di samping politik bebas aktif. Dari idiosinkratik SBY tersebut, dalam konflik Rohingya mempercayai bahwa pemerintah Myanmar terdapat menyelesaikan konflik internal tersebut dengan baik sehingga disimpulkan bahwa

11

SBY merupakan pemimpin yang berkarakter konsiliatif yang membuat Indonesia lebih aktif dan responsif dalam hubungan internasional.

Ardani juga memaparkan beberapa kebijakan-kebijakan Indonesia di era

SBY terkait konflik Rohingya yang mana lebih berperan di ASEAN. Namun, hal tersebut Penulis berpendapat masih kurang karena data yang dipaparkan tidak terlalu memadai dan tidak menghasilkan hasil yang signifikan. Oleh karena itu,

Penulis berpendapat masih banyak yang dapat dikembangkan kembali dalam kaitannya peran Indonesia, terlebih ketika konflik Rohingya kembali mencuri perhatian dunia pada akhir 2015 dan menganalisis peranan Indonesia dalam konflik

Rohingya pada era kepemimpinan Jokowi Dodo ketika Konflik Rohingya.

Tinjauan pustaka berikutnya merupakan jurnal yang ditulis oleh Irawan Jati dengan judul “Comparative Study of the Role of ASEAN and the Organization of Islamic Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”. Dalam jurnal tersebut Irawan memberikan gambaran terkait respons yang diberikan oleh ASEAN dan OKI terkait konflik Rohingya. Irawan menegaskan bahwa ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara memberikan respons yang kurang efektif. Hal tersebut terlihat dari peran AICHR yang sangat minim dan juga ASEAN itu sendiri yang terkendala prinsip non-intervensi.

Setelah menjelaskan respons ASEAN, Irawan membandingkan dengan respons OKI yang menurutnya lebih responsif terhadap konflik Rohingya. Hal tersebut terlihat dari negara-negara anggota OKI yang memberikan bantuan dan membicarakan konflik Rohingya di forum-forum OKI. Perbedaan mendasar antara

12

OKI dan ASEAN adalah bagaimana mekanisme keputusan diambil. Dalam

ASEAN, prinsip non-intervensi sangat dijaga sehingga sangat mempengaruhi pengambilan keputusan, sedangkan di dalam OKI hanya membutuhkan suara mayoritas untuk mengambil kebijakan.

Tinjauan pustaka selanjutnya merupakan laporan penelitian yang ditulis oleh Anna Yulia Hartati yang berjudul “Konflik Etnis Myanmar (Studi

Eksistensi Etnis Rohingya Ditengah Tekanan Pemerintah)” yang diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kenaikan jenjang fungsional akademik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Wahid

Hasyim Semarang. Pada laporan penelitian ini mendeskripsikan sejarah konflik etnis di Myanmar beserta dampak dari konflik tersebut, khususnya konflik antara etnis Rohingya dan etnis Buddha Rakhine.

Secara gamblang dideskripsikan bahwa konflik tersebut menyebabkan ribuan orang berupaya melarikan diri setiap tahunnya ke negara-negara sekitar

Myanmar. Penelitian ini menganalisis konflik pada level sistemik, domestik, dan level persepsi yang menjadi asal muasal konflik. Menurut Hartati, pada level sistemik adalah adanya konspirasi dengan pihak asing; di level domestik dikarenakan kondisi pemerintahan Myanmar yang dipimpin oleh Junta Militer, dan level persepsi yang menyatakan bahwa etnis Rohingya mirip dengan orang Bengali atau Bangladesh.

Dalam laporan penelitian ini diperlihatkan dengan jelas dari akar konflik, dampak konflik, dan tingkat analisis di tiga level yang berbeda. Penulis berpendapat

13

data-data yang terdapat dalam penelitian tersebut cukup valid dikarenakan diambil dari dokumentasi-dokumentasi yang menggunakan teknik pengambilan data

Library research yang mengumpulkan dokumen-dokumen akademik terkait isu

Rohingya. Penulis berpendapat, teknik analisis yang dilakukan cukup baik dengan melihat kepada tiga level yang berarti terdapat perspektif yang luas terkait asal- muasal konflik serta dilengkapi dengan peran pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan konflik serta dampak internal dan eksternal dari konflik Rohingya.

Tinjauan Pustaka berikutnya ditulis oleh Arry Bainus yang berjudul

“Debating “National Interest” Vis-a-Vis Refugees: Indonesia’s Rohingya

Case” merupakan sebuah artikel jurnal yang ditulis dalam konferensi internasional terkait tantangan sosial politik yang dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta. Jurnal ini membahas kepentingan nasional Indonesia terkait konflik

Rohingya.

Dalam jurnal tersebut, Arry menjelaskan bahwa kepentingan nasional

Indonesia sebagai negara dengan identitas muslim terkait konflik Rohingya kurang terlihat. Meskipun, respons masyarakat Indonesia terkait konflik Rohingya diwarnai sentimen agama. Hal tersebut dikarenakan dalam praktik diplomasi kepada Myanmar, Indonesia tidak pernah membawa embel-embel Islam dengan tujuan menjaga stabilitas dan menggantinya dengan kemanusiaan sebagai jalan untuk membantu konflik Rohingya.

Penulis berpendapat jurnal yang ditulis oleh Arry relevan dengan topik penelitian yang akan dikaji. Namun, karena hanya terfokus kepada perdebatan

14

kepentingan nasional Indonesia yang berdasarkan kepada identitas sehingga tidak ada perbandingan bagaimana konflik Rohingya menjadi kepentingan nasional

Indonesia dalam aspek lain seperti pencitraan kepada dunia karena pada masa 2015 di bawah pemerintahan Jokowi Dodo, Indonesia mengincar posisi sebagai DK tidak tetap PBB.

Tinjauan pustaka tersebut merupakan referensi yang relevan terkait dengan judul yang akan penulis bahas dikarenakan memberikan gambaran mengenai konflik Rohingya secara komprehensif dan memberikan gambaran yang berbeda mengenai pemerintahan Myanmar, namun pada penelitian tersebut sebagian besar hanya berfokus kepada internal Myanmar saja seperti penyelesaian konflik dan perjanjian damai di Rakhine yang sudah tidak relevan lagi karena sampai saat ini konflik masih terus berlanjut.

Penulis telah menelusuri beberapa literatur dengan tema yang terkait dengan

Rohingya, tetapi belum terdapat literatur yang memfokuskan kepada kepentingan nasional Myanmar menerima diplomasi suatu negara, khususnya Indonesia terkait konflik Rohingya. Oleh karena itu, Penulis berpendapat penelitian ini akan menjadi berarti dengan berkontribusi dalam melengkapi penelitian-penelitian dengan tema terkait yang lebih dahulu ada.

E. Kerangka Teori

1. Konstruktivisme

Perkembangan teori ilmu Hubungan Internasional (HI) pada 1980-an memasuki fase great debate ke IV. Perdebatan tersebut terjadi antara teori-teori

15

rasionalis HI seperti realisme, liberalisme, marxisme, neorealisme, dan sebagainya dengan teori-teori yang mencoba memperluas kajian dalam HI seperti posmodernisme, postrukturalis, feminisme, green theory. Perdebatan tersebut juga sering disebut sebagai positivisme vs pos-positivisme. Namun, menurut Christian

Reus-smit setelah berakhirnya perang dingin pada 1989 arah perdebatan bergeser ke arah konstruktivisme dan teori-teori rasionalis dikarenakan neorealisme dan neoliberalisme gagal untuk menjelaskan terkait runtuhnya Uni Soviet.23

Hadirnya konstruktivisme dalam great debates ke-IV dalam HI untuk mencoba memberikan perspektif baru dan menantang asumsi-asumsi dasar dari teori-teori mainstream HI khususnya neoliberalisme dan neorealisme.

Konstruktivisme bukan merupakan teori murni yang berasal dari HI, namun merupakan teori yang berasal dari sosiologi. Teori ini diadopsi ke dalam HI oleh

Nicholas Onuf dan Alexander Wendt karena memiliki asumsi-asumsi yang dapat menjelaskan fenomena dalam HI seperti perilaku negara yang tidak hanya melihat kepada untung rugi saja, tetapi juga aspek-aspek yang melekat seperti budaya, norma, pengetahuan, dan sebagainya.24

Asumsi-asumsi tersebut dapat terlihat dalam perdebatan konstruktivisme yang menantang asumsi-asumsi dari neorealisme dan neoliberalisme mengenai struktur internasional yang anarki. Konstruktivisme menolak cara analisis dari

23 Scott Burchil, Theories of Internasional Relations 3rd ed, (New York: Palgrave Macmillan, 2005) [buku on-line], 188; tersedia di lib.jnu.ac.in/sites/default/files/RefrenceFile/Theories-of-IR.pdf; Internet; diunduh pada 7 Agustus 2016. 24 Alexander Wendt, Social Theory of Internasional Politics [buku on-line] (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 52; tersedia di https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017.

16

neorealisme yang menggunakan struktur internasional dalam melihat perilaku suatu negara. Namun, konstruktivisme juga mengakui adanya struktur internasional anarki tetapi hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang given (diberikan).25

Konstruktivisme bukan merupakan teori yang dapat memprediksi seperti neorealisme dan neoliberalisme, namun terbatas hanya menjelaskan fenomena yang terjadi. Dalam proses analisisnya berkaitan dengan struktur yang dijelaskan dalam konstruktivisme yang terbagi menjadi dua, yaitu struktur material dan ideasional.

Adanya dua struktur tersebut menjelaskan bahwa konstruktivisme dalam menjelaskan sebuah fenomena menekankan kepada peran-peran yang terkait dengan ide, norma, budaya, dan pengetahuan, akan tetapi tidak menyampingkan pentingnya bentuk material.26

Konstruktivisme menolak asumsi dari neorealisme dan neoliberalisme bahwa struktur internasional menjadi satu-satunya hal yang mempengaruhi perilaku suatu negara. Konstruktivisme menjelaskan bahwa struktur dan agen saling mempengaruhi satu sama lain. Unit analisis dari konstruktivisme tidak ditekankan kepada struktur internasional saja, tetapi juga mengakui peran dari individu atau elite di suatu negara yang disebut dengan istilah agen. Hal ini berarti konstruktivisme mengakui bahwa agen dapat menghasilkan sebuah wacana yang

25 Alexander Wendt, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics”, Jurnal Internasional Organization, Vol.46, No.2, TB:1992, L:391-425 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.1017/S0020818300027764; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017. 26 Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1.

17

mengalami proses sehingga pada akhirnya membentuk struktur dan juga struktur tersebut dapat mempengaruhi perilaku agen.27

Peristiwa runtuhnya Uni Soviet merupakan salah satu kejadian penting yang menjelaskan mengapa konstruktivisme menekankan kepada struktur ideasional dan material.28 Berawal dari terpilihnya Mikhail Gorbachev sebagai Presiden Uni

Soviet sekaligus sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Uni Soviet pada 1985-1991. Pada umumnya, pergantian kepemimpinan tidak terlalu memiliki pengaruh kepada perubahan kebijakan. Namun, Gorbachev merupakan seorang pemimpin yang menginginkan perubahan bagi Uni Soviet yang mengalami stagnasi berkepanjangan sejak masa Brezhnev.

Gorbachev mengajukan gagasan bernama perestroika yang mencangkup reformasi atau akselerasi kebijakan di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Dalam perestroika terkandung konsep glasnost (keterbukaan) dan demokratiya

(demokrasi). Dalam implikasinya, Gorbachev di bidang ekonomi melakukan percepatan pembangunan ekonomi atau uskorenie dan melakukan kerja sama dengan Barat serta di bidang ketatanegaraan, Gorbachev mengubah sistem partai tunggal menjadi sistem multipartai dan menghapuskan monopoli kekuasaan partai

Komunis Uni Soviet.29

27 Wendt, Social Theory of Internasional Politics,1. 28 Stephen M. Walt, “Internasional Relations: One World, Many Theories”, Jurnal Foreign Policy, TV, No.110, TB:1998, L: 29-46; tersedia di DOI: 10.2307/1149275; Internet; diunduh pada 7 Juli 2017. 29 Zeffry Alkatiri, Transisi Demokrasi di Eropa Timur: Baltik, Jerman Timur, Rumania & Balkan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2016), 5-6.

18

Pada dasarnya, kebijakan perestroika menurut Gorbachev merupakan sebuah upaya untuk membenahi keadaan Uni Soviet yang stagnan dan juga sebagai bentuk pemurnian kembali sosialisme sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, dengan adanya keterbukaan membuat hal-hal negatif dapat dikonsumsi oleh masyarakat dan menggerus kepercayaan terhadap kepemimpinan pemerintah dan partai komunis sehingga pada akhirnya terjadi keruntuhan Uni Soviet.30

Keruntuhan Uni Soviet berimplikasi luas kepada negara-negara lain, khususnya Eropa Timur yang juga dipimpin oleh rezim sosialis komunis seperti

Polandia, Hungaria, Chekoslovakia, dan sebagainya untuk meruntuhkan rezim sosialis komunis dan berganti kepada demokrasi.31 Selain itu, pada tataran internasional, keruntuhan Uni Soviet juga berarti berakhirnya perang dingin dan menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia

(unipolar).

Tidak seperti neorealisme dan neoliberalisme yang tidak dapat menjelaskan runtuhnya Uni Soviet, konstruktivisme dapat menjelaskan fenomena ini dikarenakan unit analisisnya berada pada elite, yaitu Gorbachev yang membuat kebijakan perestroika yang dipengaruhi oleh struktur ideasional akan glasnost dan struktur material, yaitu perekonomian Uni Soviet yang stagnan dan akhirnya berdampak pada runtuhnya Uni Soviet dan kebijakan luar negeri Uni Soviet di

30 Alkatiri, Transisi Demokrasi, 7-8. 31 Alkatiri, Transisi Demokrasi, 8-13.

19

bawah kepemimpinan Gorbachev yang mendekat ke Barat untuk melakukan kerja sama ekonomi.

Konstruktivisme telah memberikan cara pandang baru dalam fenomena HI yang menekankan kepada struktur ideasional, struktur material, serta peran agen di dalamnya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa struktur dan peran agen memiliki sifat resiprokal dan terdapat proses yang menjadikan sebuah gagasan terbentuk menjadi struktur ideasional. Proses ini sering disebut dengan share ideas yang berawal dari ide-ide yang dimiliki oleh agen dan diperlukan adanya intersubjective meaning atau pemahaman bersama.32

Dalam proses terbentuknya shared ideas juga terdapat faktor yang mempengaruhi, yaitu identitas. Wendt menjelaskan bahwa identitas merupakan pemahaman subjektif terkait pandangan negara memahami dirinya dan bagaimana negara lain memahaminya. Sebagai contoh adalah pasca kejadian runtuhnya gedung World Trade Center atau 9/11, George W. Bush melakukan share idea mengenai terorisme adalah musuh bersama sehingga mendeklarasikan perang terhadap terorisme dan diterima oleh negara-negara lain. Dalam konteks War on

Terrorism, AS dengan identitas sebagai negara adidaya adalah faktor yang menentukan keberhasilan share ideas.33

Seperti identitas teman dan musuh merupakan hal yang mempengaruhi perilaku negara menurut konstruktivisme, hal ini terlihat dengan kekhawatiran AS

32 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 24. 33 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 25-26.

20

terhadap nuklir Korea Utara dibandingkan dengan nuklir yang dimiliki oleh

Perancis dan Inggris dikarenakan AS menganggap Perancis dan Inggris adalah teman yang berarti tidak menimbulkan ancaman. Sehingga hal ini mempengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Korea Utara, seperti yang dikatakan oleh Wendt bahwa identitas merupakan dasar dari kepentingan.34

Dalam penelitian ini, struktur material dan struktur ideasional merupakan hal yang mempengaruhi perilaku Myanmar. Konflik Rohingya merupakan konflik yang menjadi masalah bagi Myanmar sehingga mendapat tekanan dari negara- negara lain. Hal ini membuat Myanmar menutup diri dari dunia internasional terkait dengan konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine. Namun, Myanmar tidak bersikap demikian kepada Indonesia. Oleh karena itu, konstruktivisme menjadi pendekatan yang menganalisis bagaimana struktur material dan struktur ideasional mempengaruhi kepentingan nasional Myanmar dalam menerima diplomasi

Indonesia terkait Konflik Rohingya.

2. Konsep Diplomasi Publik

Kata “Diplomasi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu diploum yang berarti melipat. Diplomasi dan HI berkaitan sangat erat. Diplomasi bagaikan mesin bagi

HI karena merupakan salah satu cara untuk mencapai kepentingan nasional negara- negara. Menurut Adam Watson, diplomasi merupakan hal alami yang harus dilakukan oleh negara-negara. Hal ini mengingat bentuk negara bangsa yang terpisah-pisah. Setiap negara memiliki kepentingan dan kebutuhannya masing-

34 Wendt, “Anarchy”, 391-425.

21

masing, karena hal tersebut setiap negara pasti melakukan diplomasi karena keterbatasan yang masing-masing dimiliki.35

Diplomasi sebagai salah satu hal penting dalam HI mengalami perkembangan dan terbagi menjadi dua era, yaitu era tradisional dan era baru.

Diplomasi tradisional berkaitan erat dengan banyaknya keganjilan seperti diplomasi diam-diam. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Woodrow Wilson dalam salah satu pasal dari 14 pasal perdamaian, yaitu tidak ada lagi diplomasi rahasia.

Sedangkan, dalam diplomasi baru yang juga berbanding lurus dengan perkembangan teknologi informasi telah membuang sifat rahasia dan memasukkan kepentingan umum di dalamnya.36

Diplomasi pada perkembangannya telah menciptakan istilah (terms) atau jenis-jenis terhadap diplomasi itu sendiri, seperti diplomasi budaya, diplomasi ekonomi, diplomasi publik dan sebagainya. Istilah tersebut mengandung tujuan dan cara yang berbeda namun tetap mengandung mekanisme yang sama, yaitu dialog.

Adanya istilah-istilah tersebut mengartikan bahwa diplomasi digunakan sesuai dengan kepentingan nasional suatu negara.37

Adapun diplomasi publik menurut Rasmussen merupakan hal baru dan masih jarang dilakukan. Hal ini berkaitan dengan anggapan bahwa negara-negara

35 Adam Watson, Diplomacy: The Dialogue between States [buku on-line], (Prancis: Routledge, 2005), 1; tersedia di https://doi.org/10.1177/004711788200700408; Internet; diunduh pada 10 Mei 2019. 36 Dr. Ayoeb Muchsin, Diplomasi: Teori dan Praktek serta Kasus-kasus, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013), 33. 37 Muchsin, Diplomasi, 36.

22

yang melakukan diplomasi publik merupakan negara-negara dunia pertama.38

Selain itu, merujuk kepada pengertian diplomasi publik menurut Joseph Nye yang mengatakan bahwa diplomasi publik sangat berkaitan dengan power. Dalam hal ini power yang dikatakan oleh Nye adalah soft power yang juga pertama kalinya istilah ini digunakan.39

Nye mengatakan negara-negara seperti AS harus meningkatkan investasinya di dalam soft power. Menurutnya, soft power lebih efektif digunakan setelah berakhirnya perang dingin di samping biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan dengan hard power yang berkaitan dengan persenjataan, militer, dan perang.40 Pendapat Nye mengenai soft power telah banyak mempengaruhi negara- negara besar untuk mengurangi konsentrasi dalam hard power dan menjadi alternatif yang lebih “murah” bagi negara-negara untuk tetap mencapai kepentingan nasionalnya.

Menurut Iva Rachmawati, diplomasi publik adalah proses komunikasi yang ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga masyarakatnya yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya, kepentingan nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya.41 Ada pun tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan mutu komunikasi antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk mendapatkan kepentingan

38 Iva Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian Diplomasi Publik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Vol.5, No.2, (TB:2017), 113. 39 Nancy Snow, Routledge Handbook of Public Diplomacy,[buku on-line] (Inggris: Routledge,2009), 3; tersedia di https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.ch3; Internet; diunduh pada 12 Mei 2019. 40 Snow, Public Diplomacy, 1. 41 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116

23

nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing melalui informasi- informasi yang tersedia.42

Indonesia melakukan non-megaphone diplomacy terkait konflik Rohingya.

Dalam praktiknya, non-megaphone diplomacy yang berkaitan dengan diplomasi publik. Indonesia tidak hanya melakukan diplomasi kepada pemerintah Myanmar, tetapi juga kepada masyarakat melalui AKIM dalam implementasi program- program dan penyebaran nilai-nilai seperti toleransi, HAM, dan demokrasi

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode kualitatif.

Penelitian kualitatif pada dasarnya berfokus kepada penjelasan dalam kata-kata.

John Creswell mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada gambaran holistik terkait isu yang spesifik dan dibentuk dengan kata-kata dalam sebuah latar ilmiah.43

Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan deskriptif yang bertujuan untuk memberi gambaran proses dari waktu ke waktu dan menafsirkan serta menganalisis data yang berkaitan dengan isu terkait.44 Dalam penelitian ini akan mencoba menjelaskan alasan Myanmar menerima diplomasi

42 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media,2011), 157. 43 John Creswell, Qualitative and Quantitative Approaches,[buku on-line] (London:Sage Publications,2014), 232; tersedia di DOI: 10.13140/RG.2.1.1262.4886; Internet; diunduh pada 14 Juni 2017. 44 Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, (Solo: Chakra Books, 2014), 96.

24

Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017 dengan menjelaskan faktor- faktor yang berkaitan.

Salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif menurut Craswell adalah memiliki sumber data yang banyak yang berupa primer dan sekunder.45 Data primer merupakan data yang didapatkan dengan wawancara narasumber yang relevan dengan isu yang sedang diteliti, sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat melalui studi pustaka (library research) yang berasal dari buku, jurnal terakreditasi, dan laporan penelitian dengan pembahasan yang relevan.46

Untuk mendapatkan data primer, penelitian ini tidak menggunakan metode observasi dikarenakan adanya kendala berupa jarak antara negara penulis

(Indonesia) dengan negara tempat terjadinya konflik (Myanmar). Oleh karena itu, untuk mendapatkan data primer akan menggunakan metode wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu:

1. Muhammad Ali Yusuf sebagai ketua AKIM

2. Dewi Lestari sebagai wakil direktur Direktorat Kementerian Luar

Negeri RI.

Data primer yang didapatkan dari hasil wawancara akan dianalisis serta menjadi tambahan data bagi penulis untuk memperkuat analisis terkait topik penelitian sehingga mendapatkan data-data yang konkret untuk dianalisis dengan teori konstruktivisme.

45 Creswell, Qualitative and Quantitative, 234. 46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009), 137.

25

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulis berupa penjelasan mengenai alur pembahasan dalam penelitian ini, sehingga dapat dipahami dengan mudah. Dalam penelitian ini, sistematika penulisan terdiri dari lima bab, yang mana akan dijelaskan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini, Penulis membahas mengenai latar belakang yang menjelaskan Myanmar menerima diplomasi Indonesia. Diawali dengan mendeskripsikan masalah yang dibahas secara umum ke khusus dalam pernyataan masalah. Terdapat juga bagian-bagian lain seperti: pertama, pertanyaan penelitian yang berisikan pertanyaan penelitian yang akan dibahas serta dianalisis pada bab empat. Kedua, tujuan dan manfaat penelitian yang diharapkan berkontribusi dalam ilmu Hubungan Internasional dan memberikan manfaat kepada pembaca yang memiliki konsentrasi dalam kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, adalah tinjauan pustaka yang berupa referensi ilmiah yang terlebih dahulu membahas terkait isu yang relevan dan diperuntukkan untuk menjadi referensi, selain itu Penulis juga menjabarkan perbedaan dengan penelitian yang

Penulis lakukan. Keempat, dijelaskan mengenai kerangka pemikiran yang terdiri dari teori dan konsep-konsep yang akan digunakan untuk menganalisis topik penelitian. Kelima adalah sistematika penulisan yang berupa penjabaran alur dalam penelitian ini.

26

BAB II Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya

Pada bab ini akan dibahas mengenai profil Myanmar, dimulai dari deskriptif mengenai wilayah dan kultur beserta sejarahnya. Selain itu, berawal dari sifat yang umum menuju yang lebih khusus kepada konflik Rohingya di mana akan dibahas mengenai sejarah dan kompleksitas etnis di Myanmar yang sejatinya tidak hanya terjadi antara etnis Rohingya dan etnis Buddha di Rakhine, tetapi akan lebih khusus untuk meliput masalah konflik di negara bagian Rakhine yang berkaitan dengan etnis Rohingya, selain itu juga dibahas mengenai respons internasional terhadap

Myanmar terkait konflik Rohingya dan sebaliknya beserta hubungan Myanmar dengan Bangladesh dan ASEAN.

BAB III Hubungan Indonesia dan Myanmar Terkait Konflik Rohingya

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai hubungan Indonesia dengan

Myanmar dalam konteks bilateral. Hubungan yang dimaksud tidak hanya mencangkup mengenai penyelesaian konflik, tetapi juga mencangkup kepada kerja sama ekonomi, sosial dan politik. Bab ini bertujuan untuk mencari asal muasal dan titik terang bagaimana Myanmar melihat Indonesia sehingga memiliki peran besar dalam konflik Rohingya di antara negara-negara Asia Tenggara lain.

BAB IV Alasan Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait

konflik Rohingya periode 2015-2017

Pada bab ini akan dilakukan analisis terkait dari bab II dan bab III.

Lanjutnya, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana Indonesia melakukan

27

diplomasi dan sudut pandang Myanmar terhadap diplomasi Indonesia serta akan mengelaborasi terkait dengan struktur ideasional dan material dari teori konstruktivisme.

BAB V Penutup

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil dari penelitian atau kesimpulan yang menjawab atas pertanyaan penelitian berdasarkan pendekatan pada kerangka pemikiran dan metode penelitian yang digunakan. Dalam bab ini juga tersedia ringkasan dari materi-materi yang berada di bab-bab sebelumnya.

28

BAB II

Myanmar dan Dinamika Kawasan Terkait Konflik Rohingya

Pada bab ini akan menggambarkan kondisi Myanmar yang terkait dengan konflik Rohingya. Pada sub bab pertama akan dibahas kolonialisme yang menimpa

Myanmar dan dampaknya pada perpecahan etnis. Sub bab ini akan memberikan penjabaran terkait sejarah kondisi Myanmar pada masa kolonialisme untuk memahami sejarah etnis Myanmar dan dampaknya terhadap konflik etnis di

Myanmar.

Sub bab kedua akan membahas mengenai awal konflik Rohingya terjadi.

Sub bab ini terkait dengan sub bab pertama yang menjelaskan dampak kolonialisme dalam perpecahan etnis di Myanmar, namun spesifik membahas konflik etnis

Rohingya sebelum tahun 1980-an. Sub bab ketiga akan membahas mengenai

Konflik Rohingya dari 2012-2017, hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran konflik Rohingya di bawah Junta Militer Myanmar dan kepemimpinan Aung San

Suu Kyi.

Sub bab keempat akan membahas terkait hubungan bilateral Myanmar dengan Bangladesh sebagai negara tujuan pengungsi Rohingya terbanyak beserta

ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara. Hal ini ditujukan untuk menggambarkan upaya atau pun sikap Myanmar dan pihak-pihak tersebut terkait konflik Rohingya.

29

A. Profil Myanmar

Myanmar atau yang dahulu dikenal sebagai Burma merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang termasuk sebagai jajahan Inggris dan merdeka pada tahun 1948.47 Selain itu, Myanmar juga termasuk negara yang majemuk bersamaan dengan Indonesia dan Malaysia. Nama “Burma” sendiri diambil dari salah satu etnis mayoritas di Myanmar, yaitu Burman (Bamar). Namun, nama Burma sendiri diganti oleh rezim militer Myanmar pada 1989 untuk mengurangi permasalahan etnis.48

Myanmar adalah negara yang memiliki banyak etnis, tercatat terdapat 135 etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintahan Myanmar. Etnis di Myanmar terdiri dari 69% etnis Bamar, 8.9% etnis Shan, 6.6% etnis Karen, 4.4% etnis

Arakan, dan 12.1% adalah gabungan dari etnis-etnis lain.49 Etnis mayoritas di

Myanmar menganut agama Buddha, diperkirakan mencapai 75%, selain itu juga terdapat minoritas Muslim dan Kristen yang diperkirakan mencapai angka 20% dan sisanya menganut agama animisme.50

Myanmar pada saat ini sedang berada di fase menuju demokrasi. Awalnya, pada pemerintahan PM U Nu, Myanmar telah mencoba menjalankan demokrasi namun hal tersebut gagal karena beberapa hal, seperti: kegagalan pemerintah

47 David I.Steinberg, Burma/Myanmar: What Everyone needs to Know, [buku on-line] (Inggris: Oxford University Press, 2010), 40; tersedia di http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E313E67FED6A; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 48 Steinberg, Burma/Myanmar, xxi. 49 Bertil Lintner, Ethnicity in Asia, [buku on-line] (USA: Routledge Zurzon, 2003), 188; tersedia di https://doi.org/10.4324/9780203380468; Internet; diunduh pada 3 April 2019. 50 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, xvii.

30

menciptakan stabilitas domestik, adanya pemberontakan dari beberapa etnis seperti

Kachin, Karen, Shan, dan etnis-etnis minoritas lainnya serta adanya Junta Militer yang berhasil menggulingkan pemerintahan U Nu.51

Semenjak Junta Militer berhasil, pemerintahan dikuasai oleh Jenderal Ne

Win dan membawa doktrin Burmese Way to Socialism. Dampaknya adalah

Myanmar menjadi negara sosialis di bawah pemerintahan militer.52 Namun, pada

2015 partai yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi National League for Democracy

(NLD) memenangi pemilu. Meskipun, Aung San Suu Kyi hanya dapat menjadi pemimpin de facto Myanmar dan militer masih memiliki peran penting di sektor kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan, tetapi Myanmar telah mencoba untuk mengubah sistem sosialisme menjadi demokrasi dengan cara-cara seperti mengikuti Bali Democracy Forum (BDF).

B. Kolonialisme dan Dampaknya terhadap Perpecahan Etnis di Myanmar

Permasalahan etnis di Myanmar sudah mulai terasa semenjak zaman penjajahan oleh Inggris. Hal itu dikarenakan Inggris menjadikan Myanmar di bawah pemerintahan India yang mengakibatkan banyaknya warga negara India yang dipindahkan ke Myanmar. Posisi Myanmar yang di bawah administrasi India berlangsung sampai 1937, hal tersebut dikarenakan Inggris melihat timbulnya

51 Ita M. Dewi, “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”, Jurnal ISTORIA, Vol.1, No.1, TB:2005, L:1-17, [jurnal on-line]; tersedia di staffnew.uny.ac.id/upload/132306803/penelitian/burma-istoria.pdf; Internet; diunduh pada 5 April 2019. 52 David Brenner, “Inside the Karen Insurgency: Explaining Conflict and Conciliation in Myanmar’s Changing Borderlands”, Jurnal Asian Security, Vol.14, No.2, TB:2018, L: 83-99 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.1080/14799855.2017.1293657; Internet; diunduh pada 5 April 2019.

31

konflik horizontal yang terjadi antara pribumi Myanmar dengan India di Myanmar karena perbedaan budaya.53

Tingginya sifat etnonasionalisme di Myanmar yang menyebabkan timbulnya konflik antar etnis. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme

Inggris pada saat masa penjajahan. Selain dari pengaruh Myanmar yang berada di bawah administrasi India, Inggris juga menerapkan politik divide et impera atau pecah belah. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan keuntungan kepada etnis- etnis minoritas seperti Shan, Mon, dan Arakan sehingga etnis-etnis tersebut relatif puas dengan pemerintahan Inggris dengan cara membiarkan etnis setempat mendapatkan posisi strategis di pemerintahan daerah.54

Penerapan politik pecah belah oleh Inggris menjadi warisan yang dirasakan pada saat ini. Namun, pada saat zaman perjuangan kemerdekaan Myanmar, konflik etnis tidak begitu terasa dikarenakan adanya rasa nasionalisme yang timbul. Awal rasa nasionalisme timbul oleh pemuka agama Buddha yang memiliki kesempatan untuk mendirikan organisasi keagamaan dikarenakan organisasi-organisasi politik dilarang oleh Inggris.55

Perjuangan kemerdekaan Myanmar dimulai ketika para biksu-biksu berusaha menolak kristenisasi yang dilakukan oleh Inggris. Gold, Glory, Gospel merupakan slogan yang dimiliki oleh para penjajah dari Eropa, tidak hanya untuk

53Steinberg, Burma/Myanmar, 28. 54 Lauren Durand, Conflicts in Myanmar: A systemic approach to conflict analysis and transformation, [buku on-line] (Swedia: Lund University, 2013), 26; tersedia di https://lup.lub.lu.se/student- papers/search/publication/3809452; Internet; diunduh pada 5 April 2019. 55 Steinberg, Burma/Myanmar, 34-35.

32

mencari kekayaan dan juga kejayaan, tetapi juga turut menyebarkan kepercayaan.

Para misionaris di Myanmar membentuk Young Men’s Christian Association

(YMCA). Untuk mencegah penyebaran kristenisasi tersebut, para biksu Buddha juga membentuk Young Men’s Buddhist Association (YMBA) pada 1906 yang dipimpin oleh U May Oung dan berubah menjadi General Council of Buddhist

(Burmese) pada 1920 yang memiliki tujuan politis.56

Selain perjuangan kemerdekaan dari biksu-biksu, terdapat juga perjuangan dari tokoh-tokoh nasional seperti U Aung San, DR Ba Maw, U Ba Pe, Thankin Nu.

Titik perjuangan kemerdekaan Myanmar sampai pada ketika Aung San mendatangi

Jepang pada 1939 dan bekerja sama untuk menyingkirikan Inggris dari Myanmar dengan membentuk Burma Independence Army (BIA). Pada 1942, Myanmar dan

Jepang berhasil mengusir Inggris dari Myanmar yang kemudian menjadikan Jepang berkuasa di Myanmar.57

Myanmar yang tertipu oleh niat baik Jepang harus mengalami kemerdekaan yang palsu setelah kalahnya Inggris oleh Myanmar dan Jepang. Menyadari akan tertipunya Myanmar oleh Jepang, maka tokoh-tokoh di Myanmar membentuk Anti-

Facist People Freedom League (AFPFL) yang merupakan sebuah organisasi perlawanan yang menentang kekuasaan Jepang pada 1945.58 Pada tahun yang sama,

Jepang mengalami kekalahan perang dunia kedua setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika Serikat. Hal ini membuat Jepang harus

56 Aye Saung, Catatan dari Bawah Tanah, (Jakarta: LP3ES,1991), 87. 57 Dewi, “Pengalaman Militer”, 3. 58 Myrna Anggraini, Perjuangan anti Kolonialisme Birma (Jakarta: UI, 2008), 30.

33

menyerahkan seluruh tanah jajahannya, termasuk Myanmar kepada sekutu. Dengan kesempatan tersebut, Inggris berupaya untuk mengambil kembali Myanmar dengan juga bekerja sama dengan Burma National Army (BNA) yang sebelumnya merupakan BIA.59

Akhirnya pada 2 Mei 1945, Inggris kembali berkuasa di Myanmar karena kalahnya Jepang pada perang dunia ke-dua. Sebelum terusirnya Jepang dari

Myanmar, Jepang menghadiahkan “kemerdekaan” bagi Myanmar yang dibungkus dengan kemerdekaan di dalam Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang berasal dari slogan Jepang, yaitu “Jepang, pelindung, pemimpin, dan cahaya Asia”.

Oleh karena itu, sebenarnya Myanmar telah memiliki pemerintahan bentukan

Jepang ketika Inggris kembali berkuasa.60

Kembalinya Inggris berkuasa di Myanmar tidak berlangsung lama, pada

1948 akhirnya Myanmar benar-benar mendapatkan kemerdekaannya. Selama kembalinya Inggris berkuasa, Inggris tetap menerapkan politik pecah belah untuk melemahkan perjuangan Myanmar. Salah satunya adalah Inggris menjanjikan kemerdekaan kepada etnis-etnis minoritas seperti etnis Karen dan Rohingya.

Namun, Aung San pada 1947 di Konferensi Panglong kedua berhasil menekan

Inggris untuk tidak memisahkan daerah-daerah minoritas dari negara Burma.61

59 Mandy Sadan, “Ethnic Armies and Ethnic Conflict in Burma: Reconsidering the history of colonial militarization in the Kachin Region of Burma during the Second World War”, South East Asia Research, Vol.21, No.4, Oktober,2018, L:601-624 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173; Internet; diunduh pada 10 April 2019. 60 Anggraini, Perjuangan anti Kolonialisme Birma, 46. 61 Steinberg, Burma/Myanmar, 41.

34

Inggris menjanjikan wilayah di Arakan Barat Laut (Rakhine) untuk etnis

Rohingya pada 1945 dikarenakan loyalitas yang ditunjukkan oleh etnis Rohingya, namun hal tersebut tidak dapat direalisasikan. Faktor kegagalan janji tersebut selain dikarenakan terdesaknya Inggris, terdapat juga kematian Aung San karena janji dari

Aung San kepada etnis minoritas di Myanmar jika dalam kurun waktu 10 tahun tidak mendapatkan keuntungan bergabung dengan Myanmar maka diizinkan untuk memiliki kedaulatan wilayah, hal tersebut secara khusus dijanjikan sebagai janji politiknya dan di perjanjian Panglong disebutkan bahwa etnis-etnis di daerahnya dapat memiliki otonominya sendiri.62

Faktor janji Aung San yang mengizinkan kemerdekaan setelah 10 tahun bagi etnis minoritas yang merasa tidak mendapatkan keuntungan dalam bergabung dengan Myanmar dan Inggris yang memberikan janji-janji politik untuk mendapatkan simpati dari etnis-etnis minoritas di Myanmar dikarenakan Inggris terpojok dengan Aung San dan BNA, salah satu bentuk untuk mendapatkan simpati adalah dengan menjanjikan kemerdekaan dan memiliki wilayah tersendiri bagi etnis minoritas tidak terkecuali etnis Rohingya, tetapi janji Aung San tidak dapat terealisasikan karena dirinya yang dibunuh oleh U Saw yang merupakan musuh politiknya pada 19 Juli 1947.63

Perpecahan etnis di Myanmar menjadi konflik yang berkepanjangan.

Diperbolehkannya etnis resmi untuk memiliki tentara sendiri menjadi salah satu

62 Kyaw Yin Hlaing, Myanmar/Burma: Inside Challenges, Outside Interest, [buku on-line] (Washington DC: Brooking Institution Press, 2010), 43-44; tersedia di 10.1355/cs34-2f; Internet; diunduh pada 3 Januari 2018. 63 Robert H. Taylor, Myanmar: State, Society, and Ethnicity [buku on-line] (Singapura: ISEAS Publishing, 2007), 78; tersedia di DOI: 10.1355/sj33-3o; Internet; diunduh pada 11 Januari 2019.

35

faktor di samping ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Myanmar untuk melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah etnis Kachin yang memiliki tantara Kachin Independence Organisation (KIO) yang telah melakukan pemberontakan semenjak 1961 namun pada 1994 antara KIO dan pemerintah

Myanmar telah menyepakati gencatan senjata sampai pada 2011 konflik kembali terjadi dan terus berlanjut sampai saat ini.64

Selain etnis Kachin, juga terdapat konflik antara pemerintah Myanmar dengan etnis Karen. Etnis Karen melalui Karen National Union (KNU) menginginkan kemerdekaan dari Myanmar semenjak 1949. Namun, pada prosesnya antara KNU dan pemerintah Myanmar telah melakukan gencatan senjata pada 2012.65 Etnis Karen dan Kachin adalah contoh dari konflik etnis di Myanmar, meskipun kedua etnis tersebut merupakan etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintah Myanmar, tidak seperti etnis Rohingya.

C. Awal Konflik Rohingya

Semenjak kemerdekaan Myanmar, telah terjadi pemberontakan di Rakhine yang dilakukan oleh para Mujahidin Rohingya. Hal ini dikarenakan adanya diskriminasi dan juga kurangnya perwakilan politik Muslim pada 1940 sampai

1950-an. Pemerintahan AFPFL di bawah U Nu pada akhirnya berhasil melakukan negosiasi dan gencatan senjata dengan para Mujahidin Rohingya dengan cara membuat Wilayah Perbatasan Mayu pada 1960 yang masih di dalam negara bagian

64 Durand, Conflicts in Myanmar, 33. 65 Brenner, “Inside the Karen Insurgency”, 93.

36

Rakhine, hal ini dianggap oleh etnis Rohingya sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan status sebagai negara bagian dan meminimalisasi diskriminasi.66

Namun, setelah terjadinya kudeta militer pada 1962 dan kekuasan Myanmar direbut oleh Jenderal pada 1978 dilakukan Na-ga-min Sit-sin-yae atau

Operasi Raja, yaitu operasi sensus penduduk yang berakhir dengan kerusuhan.67

Hal ini akhirnya terjadinya bentrokan antara militer dan Mujahidin Rohingya yang menurut data Amnesti Internasional tahun 1991-1992 menyebabkan pengungsi sebanyak 250.000 dan di antaranya 30.000 orang mengungsi di Bangladesh menurut UNHCR.68

Keadaan etnis Rohingya di bawah kepemimpinan Junta Militer semakin memburuk. Pada 1982 Myanmar membentuk UU tentang kewarganegaraan yang mana pemerintah menyertakan 135 etnis yang resmi (taingyintha) diakui di

Myanmar. Dalam 135 etnis tersebut, etnis Rohingya tidak ikut serta di dalamnya yang berakibat etnis Rohingya memiliki status stateless sehingga diskriminasi terhadap etnis Rohingya seperti dalam bidang ekonomi dan politik memiliki legal standing.69

Pertimbangan pemerintah dalam UU tersebut untuk mendapatkan status etnis yang diakui secara resmi adalah telah berada setidaknya semenjak tahun 1824,

66 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 30. 67 Steinberg, Burma/Myanmar, 22. 68 Fasha Nabila Yasyid, “Dampak Pengusiran Etnis Rohingya oleh Myanmar Terhadap Keamanan Bangladesh”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 4, TB:2017, L:1-14 [jurnal on-line]; tersedia di https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486; Internet; diunduh pada 11 April 2019. 69 Heru dan Aryanto, Rohingya: Suara Etnis, 9.

37

ketika Inggris pertama kali menginjakkan kaki di Myanmar.70 Menurut sejarah, etnis Rohingya telah menetap di Arakan sejak zaman kerajaan Buddha, Mrauk U.

Kerajaan Mrauk U mendapatkan bantuan dari Sultan Bengal dan membawa orang- orang Bengali ke Arakan sehingga terhitung semenjak dibawanya orang-orang

Bengali, etnis Rohingya telah menetap di Arakan.71

D. Konflik Rohingya 2012-2017

Pada 2012, konflik etnis di Rakhine kembali terjadi antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine. Hal ini disebabkan adanya pemerkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan dari etnis Rakhine yang disangka dilakukan oleh laki-laki dari etnis Rohingya. Atas kejadian ini akibatnya adalah meningkatnya tensi dari kedua etnis sehingga menimbulkan kekacauan.72

Kekacauan yang ditimbulkan karena tingginya tensi di antara dua etnis ini menimbulkan peperangan di antara dua belah pihak serta etnis Rakhine beranggapan perlunya untuk memberikan balasan kepada etnis Rohingya atas kejadian yang telah menimpa salah satu dari etnisnya. Dalam kurun waktu dari Juni

70 Burmese Rohingya Organisation UK, “Myanmar’s 1982 Citizenship Law and Rohingya”, A Briefing, Desember 2014, tersedia di https://burmacampaign.org.uk/media/Myanmar%E2%80%99s-1982- Citizenship-Law-and-Rohingya.pdf; Internet; diunduh pada 8 April 2019. 71 Jacques Leider, Rohingya: “The History of a Muslim Identity in Myanmar”, Jurnal Asian History: L 1-35, Agustus 2019 [jurnal on-line] tersedia di 10.1093/acrefore/9780190277727.013.115; Internet; diunduh pada 9 April 2019. 72 Lisa Brooten dan Yola Verbruggen, “Producing the News: Reporting on Myanmar’s Rohingya Crisis”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 47, No. 3, TB: 2017, L: 106-125 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.4324/9781315146263-6; Internet; diunduh pada 22 April 2019.

38

2012 sampai Agustus 2013 tercatat 200 orang meninggal dan 140.000 harus mengungsi.73

Dalam negara bagian Rakhine yang merupakan daerah termiskin kedua di

Myanmar74, terdapat dua etnis besar yang memiliki agama yang berbeda. Etnis

Rohingya merupakan etnis minoritas dengan populasi sekitar 30% yang beragama

Islam sedangkan etnis Rakhine adalah etnis mayoritas dengan populasi sekitar 60% yang beragama Buddha. Oleh karena itu, konflik Rohingya tidak hanya dikaitkan dengan konflik etnis, melainkan juga konflik agama.75

Konflik etnis yang menjadi konflik agama terlihat setelah adanya aktor- aktor yang melakukan kekerasan dengan membawa nama agama dan mengincar rumah-rumah peribadahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perusakan masjid- masjid dan madrasah yang dilakukan oleh komunitas Buddha. Tensi agama yang semakin meningkat menyebabkan timbulnya sentimen anti-muslim di Myanmar.76

Akibat dari hal di atas adalah penyerangan yang dilakukan oleh etnis

Rakhine dengan menghadang bis yang berisi 10 penumpang Muslim. Sekitar 300 orang dari etnis Rakhine membajak bis tersebut dan membunuh seluruh Muslim yang ada di dalam bis tersebut. Padahal, Muslim yang berada di bis tersebut

73 Sandy Nur Ikfal Raharjo, “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine Myanmar tahun 2012- 2013”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.6, No.1, Juni: 2015, L:35-51; tersedia di DOI: http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68; Internet; diunduh pada 23 April 2019. 74 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019 75 Brooten dan Verbruggen, “Pruducing the News: Rohingya Crisis”, 446. 76 Singh, Tantangan Orang Rohingya Myanmar, 1.

39

bukanlah berasal dari etnis Rohingya. Kejahatan ini dilakukan dengan motif balas dendam kepada Muslim, terlepas dari etnisnya.77

Peran agama semakin meningkat dalam konflik ini ketika pada 18 Oktober

2012 para biksu Arakan menggelar konferensi solidaritas dan menyebut etnis

Rohingya dan pendukungnya sebagai pengkhianat bangsa. Selain itu, pada 14 Juni

2013 digelar Konferensi Pemimpin Buddha di yang mengusulkan pelarangan pernikahan perempuan Buddha dengan laki-laki Muslim, serta diperlukannya izin dari pemerintah bagi Muslim yang ingin berpindah agama menjadi Buddha.78

Pada Juli 2013, status darurat dicabut oleh Presiden Thein Sein, namun konflik antara etnis Rakhine dan Rohingya tidak selesai. Pada 25 Agustus 2013, kelompok Buddha melakukan perusakan di pemukiman Muslim dan menjarah toko-toko yang dimiliki oleh Muslim di Kanbalu, Sagaing. Konflik ini telah mereda namun tidak hilang karena meskipun intensitas kekerasan tidak lagi tinggi, etnis

Rohingya tetap merasakan diskriminasi seperti tidak dapat melakukan sholat idul fitri pada 8 Agustus 2013.79

Konflik Rohingya terjadi kembali pada 2015, yang menjadi penyebab secara umumnya adalah diskriminasi dengan penarikan “kartu putih” oleh pemerintah Myanmar karena terdapat tekanan dari masyarakat Myanmar terkait

77 Francis Wade, Myanmar’s Enemy Within: Buddhist Violence and the Making of a Muslim ‘Other’ [buku on-line] (London: Zed BOOKS Ltd, 2017), 12; tersedia di https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1868103419845583; Internet; diunduh pada 29 April 2019. 78 Raharjo, “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine”, 41. 79 Raharjo, “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine”, 41.

40

kartu tersebut. Hal tersebut yang membuat etnis Rohingya melarikan diri dari

Myanmar.80 Semenjak itu, eskalasi konflik terus terjadi dan klimaks terjadi pada

2016 ketika ARSA menyerang pos polisi dan menewaskan 9 orang. Sejak itu tentara

Myanmar melakukan tindakan represif terhadap “teroris Rohingya”. Semenjak itu, terjadi bentrokan antara militer Myanmar dengan etnis Rohingya hingga menimbulkan korban jiwa. Pemerintah Myanmar melaporkan bahwa korban dari bentrokan militer dan etnis Rohingya di Maungdaw, Rakhine telah mencapai 86 orang terdiri dari 17 tentara dan 69 etnis Rohingya. Namun menurut kelompok

Rohingya sendiri, bentrokan itu sudah menelan lebih dari 400 nyawa.81

Peran militer dalam konflik Rohingya masih terbilang kental meskipun pada

November 2015, Myanmar telah memiliki era baru dalam demokrasi dengan menangnya partai NLD karena militer masih memiliki 25% hak dalam parlemen sesuai konstitusi dan terjegalnya Aung Saan Suu Kyi sebagai Presiden karena konstitusi Myanmar yang pada akhirnya digantikan oleh Win Myint mengakibatkan tidak banyaknya perubahan dalam konflik Rohingya.82 Pemerintah Myanmar masih tidak dapat mengubah keadaan konflik di Rakhine tersebut dikarenakan posisi

Aung San Suu Kyi yang hanya sebatas pemimpin de facto, permasalah etnik yang kompleks, serta masih kuatnya peran militer di Myanmar.

80 Simela Victor Muhamad, “Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia, dan ASEAN”, Mei 2015 [laporan on-line], tersedia di http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10-II-P3DI- Mei-2015-7.pdf; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. 81 Riva Dessthania Suastha, “Dubes Myanmar: Konflik Militer dan Rohingya Mereda” 1 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106- 176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-mereda; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. 82 Myanmar, “Constitution of the Republic of the Union of Myanmar (2008)” [dokumen on-line] tersedia di http://www.burmalibrary.org/docs5/Myanmar_Constitution-2008-en.pdf; Internet; diunduh pada 9 April 2019.

41

UNHCR mencatat sampai dengan 25 Agustus 2017 bahwa sekitar 741.014 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh83 dan terdapat laporan yang berasal dari Ketua Tim Independen Pencari Fakta (TPF) PBB mengenai Rohingya, Marzuki

Darusman mengatakan bahwa setidaknya konflik ini telah menyebabkan 10.000 orang tewas.84 TPF menggunakan metode wawancara dengan narasumber, saksi, dan melakukan riset dan menganalisis data yang ditemukan salah satunya dari satelit.85 Dikarenakan banyaknya masalah yang timbul dari konflik Rohingya ini pada akhirnya memicu respons dari dunia internasional.

Kejahatan HAM seperti genosida dan pembersihan etnis yang dituduhkan oleh dunia internasional ditepis oleh Aung San Suu Kyi dalam kesempatan wawancara dengan BBC. Menurut Suu Kyi, tuduhan tersebut merupakan tuduhan yang salah. Konflik Rohingya menurutnya bukan karena agama atau pun etnis, melainkan pihak-pihak yang tidak memiliki kesepahaman dan hal tersebut yang sedang diusahakan oleh Myanmar untuk membuat pihak-pihak tersebut rukun.86

Banyaknya respons negatif yang diberikan oleh dunia internasional kepada

Myanmar, membuat Myanmar menutup diri dan teguh pendirian bahwa persoalan etnis Rohingya merupakan masalah internal dan terkait dengan kedaulatan negara

83 UNHCR, “Refugee Response in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4; Internet; diakses pada 10 April 2019. 84 OHCHR, “Statement by Mr. Marzuki Darusman”, 18 September 2018, tersedia di https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?NewsID=23580&LangID=E; Internet; diakses pada 10 April 2019. 85 OHCHR, “Myanmar: UN Fact-Finding Mission Releases its full account of massive violations by military in Rakhine, Kachin, and Shan States”, 18 September 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=23575; Internet; diakses pada 21 Agustus 2019. 86 BBC, “Myanmar: Aung San Suu Kyi exclusive Interview, 5 April 2017 [berita on-line] tersedia di https://www.bbc.com/news/av/world-asia-39510271/myanmar-aung-san-suu-kyi-exclusive- interview;Internet; diakses pada 7 Juli 2019.

42

sehingga intervensi asing tidak boleh ikut campur. Bahkan, untuk bantuan kemanusiaan pun Myanmar bersikap tertutup sehingga Indonesia harus membujuk

Myanmar agar membuka izin untuk bantuan kemanusiaan.87

Sikap tertutup Myanmar adalah salah satu upaya membawa konflik

Rohingya sebagai konflik domestik. Selain dengan menolak diplomasi dan masuknya beberapa negara ke Rakhine, hal ini juga dapat terlihat dari tanggapan jenderal senior Min Aung Hlaing terkait dengan laporan TPF PBB terkait kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Rakhine.88

E. Hubungan Bilateral dan Regional dengan Myanmar terkait Konflik

Rohingya

Konflik Rohingya yang telah berlarut-larut dan mendapatkan respons dari negara-negara lain membuat Myanmar harus menjalin kerja sama dengan negara- negara terkait yang terkena dampak konflik ini, dikhususkan kepada Bangladesh dan ASEAN. Dalam sub-bab ini akan dibahas mengenai hubungan bilateral

Myanmar dengan Bangladesh beserta hubungan regional, khususnya ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara.

87 Ira Astiana, “Indonesia akan minta Myanmar perbanyak izin akses bantuan buat warga Rohingya”, 20 April 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.merdeka.com/dunia/indonesia-akan-minta-myanmar- perbanyak-izin-akses-bantuan-buat-warga-rohingya.html; Internet; diakses pada 11 April 2019. 88 Thu Thu Aung, “ chief says 'no right to interfere' as U.N. weighs Rohingya crisis”, 24 September 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.reuters.com/article/us-myanmar- rohingya/myanmar-army-chief-says-no-right-to-interfere-as-u-n-weighs-rohingya-crisis-idUSKCN1M41K5; Internet; diakses pada 27 Juli 2019.

43

1. Hubungan Bilateral Myanmar dan Bangladesh

Hubungan bilateral Myanmar dan Bangladesh tergolong cukup baik jika dilihat dari segi perdagangan. Perdagangan bilateral antara Myanmar dan

Bangladesh mencapai US$ 100 juta pada 2012 dan diperkirakan akan mencapai

US$ 1 miliar pada 2013. Namun, hubungan bilateral antar kedua negara tersebut sering juga mengalami pasang surut dikarenakan konflik Rohingya.89

Konflik Rohingya menyebabkan banyaknya pengungsi yang berdatangan ke

Bangladesh. Pada umumnya hal ini menyebabkan isu keamanan dan politik di

Bangladesh karena banyaknya pengungsi yang datang. Bukan tanpa alasan hubungan kedua negara ini mengalami gejolak karena konflik Rohingya yang tidak kunjung selesai membuat Bangladesh yang terkena dampaknya.

Terkait bantuan dari Bangladesh kepada etnis Rohingya, Myanmar merespons agar Bangladesh tidak lagi memberikan bantuan kepada etnis Rohingya.

Meskipun begitu, Bangladesh tidak merespons tuntutan Myanmar untuk menghentikan bantuan dengan alasan kemanusiaan.90 Walaupun Bangladesh tetap memberikan bantuan kepada etnis Rohingya, tetapi pemerintahan Bangladesh menyatakan bahwa etnis Rohingya tidak bisa menetap permanen di Bangladesh.

89 Syeda Naushin Parnini, “The Crisis of the Rohingya as a Muslim Minority in Myanmar and Bilateral Relations with Bangladesh”, Journal of Muslim Minority Affairs, Vol.33, No.2, Oktober:2013, L:281-297; tersedia di DOI: 10.1080/13602004.2013.826453; Internet; diunduh pada 1 Mei 2019. 90 Agni Vidya Perdana, “Myanmar desak Bangladesh Berhenti Bantu Rohingya di Perbatasan”, 12 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://internasional.kompas.com/read/2018/08/12/23300051/myanmar-desak-bangladesh-berhenti-bantu- rohingya-di-perbatasan; Internet; diakses pada 13 April 2019.

44

Berdasarkan kebijakan tersebut, Bangladesh dan Myanmar membuat kesepakatan repatriasi atau pemulangan kembali pengungsi Rohingya ke Myanmar semenjak 1992 dan dilakukan kembali pada 2017 dan 2013 ketika konflik ini memanas di awal 2012.91 Menurut Ali Yusuf, “proses repatriasi Myanmar tidak pernah berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, jumlah pengungsi Rohingya di

Bangladesh mencapai 1 juta pengungsi”.92 Perjanjian repatriasi antara Myanmar dengan Bangladesh baru terbentuk 2017 yang akan dilaksanakan pada 15

November 2018 yang berdasarkan perjanjian 2.260 orang Rohingya akan dikembalikan ke Myanmar.93

Pada Juli 2019, Myanmar mengirim 10 tim yang diketuai oleh Myinth Thu,

Sekretaris Kemenlu Myanmar untuk mengungsi pengungsi Rohingya di Cox’s

Bazar, Bangladesh. Dalam pertemuan tersebut, Myinth Thu berbicara dengan pengungsi Rohingya dan menyatakan bahwa etnis Rohingya tidak bisa mendapatkan status kewarganegaraan seperti yang diinginkan etnis Rohingya. Oleh karena itu, etnis Rohingya sendiri masih tidak ingin meninggalkan Bangladesh. Ada pun upaya dari Bangladesh adalah membuat daftar potensial yang berisi 25.000 nama pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar.94

91 Parnini, The Crisis of the Rohingya”, 288-289. 92 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019 93 Nyan Lynn Aung, “ASEAN team visits Rakhine to assess repatriation needs”, 29 November 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.mmtimes.com/news/asean-team-visits-rakhine-assess-repatriation- needs.html; Internet; diakses pada 14 Mei 2019. 94 RFA,” Bangladesh Gives Myanmar 25,000 Rohingya Names for Potential Repatriation”, 29 Juli 2019 [berita on-line], tersedia di https://www.rfa.org/english/news/myanmar/bangladesh-refugees- 07292019172753.html; Internet; diakses pada 31 Juli 2019.

45

2. Hubungan Myanmar dengan ASEAN

ASEAN merupakan organisasi regional di Asia Tenggara yang didirikan pada 8 Agustus 1967. Myanmar pun baru bergabung menjadi anggota ASEAN pada

23 Juli 1997 bersamaan dengan Laos. Seiring dengan keanggotaan Myanmar, hal- hal domestik yang menyangkut anggota ASEAN sering kali menjadi perhatian bersama. ASEAN sebagai salah satu organisasi regional juga memiliki perhatian kepada HAM. ASEAN mendirikan ASEAN Intergovermental Commision on

Human Rights (AICHR). AICHR merupakan badan yang memiliki wewenang untuk membentuk kerja sama yang berkaitan tentang HAM dengan internal

ASEAN dan pihak eksternal yang dibentuk pada 2009.95

AICHR sebagai organisasi di bawah ASEAN untuk menyelesaikan HAM telah ikut campur untuk mencoba membantu Myanmar terkait penyelesaian konflik

Rohingya. Upaya-upaya tersebut berupa dialog dengan stakeholders dan mempromosikan HAM di Myanmar, namun tidak berdampak langsung kepada proses perdamaian konflik Rohingya.96 Kurang tegasnya ASEAN dalam penyelesaian konflik internal membuat ASEAN terkenal dengan slogan “sweeping under the carpet” yang berarti menyembunyikan masalah-masalah yang terdapat di negara-negara anggotanya. Hal ini dikarenakan adanya prinsip non-intervensi

95 SEKNAS ASEAN-INDONESIA, “Latar Belakang AICHR”, [berita on-line], tersedia di http://setnas-asean.id/asean-intergovernmental-commission-on-human-rights-aichr, diakses pada 20 Juni 2019. 96 Oddie Bagus Saputra, “Peran Asean Intergovernmental Commission On Human Rights Sebagai Institusi Ham Asean: Kasus Rohingya Di Myanmar 2012-2016”, Journal of International Relations, Vol. 5, No.1, (2019), L: 946-957 [jurnal on-line]; tersedia di https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/download/22689/20750; Internet; diunduh pada 20 Juni 2019.

46

yang terdapat di piagam ASEAN. Prinsip ini bersifat resiprokal dan bertujuan untuk saling menjaga kedaulatan negara anggota ASEAN sehingga penyelesaian konflik yang mencangkup konflik internal sering kali terkendala.97

Prinsip tersebut menjadi hambatan internal bagi ASEAN untuk menegakkan

HAM di Rakhine, selain adanya hambatan internal terdapat juga hambatan eksternal berupa sikap Myanmar yang bersikukuh menegaskan bahwa konflik

Rohingya merupakan konflik internal sehingga tidak dapat diintervensi oleh

ASEAN sekali pun. Intervensi anggota-anggota ASEAN boleh dilakukan atas seizin pemerintah Myanmar. Hal ini dinyatakan oleh Aung San Suu Kyi dalam

Special Summit ASEAN-Australia di Sydney pada 2018. Aung San Suu Kyi meminta bantuan kepada pemimpin ASEAN terkait konflik Rohingya hanya berupa saran-saran dan bantuan kemanusiaan.98 Dalam resolusi pertemuan tersebut, disepakati untuk menyelesaikan dan melindungi HAM etnis Rohingya meski tidak disebutkan secara khusus.99

Menurut Badrus Sholeh, peran ASEAN terkait konflik Rohingya masih sangat minim secara umum dan juga secara khususnya terkait dengan pengungsi

Rohingya. Hal tersebut terlihat jelas bagaimana konflik Rohingya telah berlangsung sejak lama dan ASEAN masih belum memiliki keberanian untuk menegakkan

97 Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem, (London: Routledge, 2014) [buku on-line], 184; tersedia di DOI: 10.4324/9780203939239; Internet; diunduh pada 21 Juni 2019. 98 Aditya Mardiastuti, “Suu Kyi Jelaskan Krisis Rohingya, Minta Bantuan Pemimpin ASEAN”, 19 Maret 2018 [berita on-line], tersedia di https://news.detik.com/berita/3923434/suu-kyi-jelaskan-krisis- rohingya-minta-bantuan-pemimpin-asean; Internet; diakses pada 13 April 2019. 99 Pemerintah Australia, “Joint Statement of the ASEAN-Australia Special Summit: The Sydney Declaration”, 18 Maret 2018 [berita on-line], tersedia di https://aseanaustralia.pmc.gov.au/Declaration.html; Internet; diakses pada 14 April 2019.

47

hukuman bagi pelanggaran HAM mengingat HAM tidak bersifat parsial melainkan universal dan posisi ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara yang seharusnya menjadi aktor utama dalam membantu konflik Rohingya.100

Perkembangan terakhir pada 2019, ASEAN melalui The ASEAN

Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA

Centre) membantu proses repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya dari

Bangladesh ke Myanmar yang diputuskan dalam KTT ASEAN ke-33 pada 2018 di

Singapura. Namun, pada saat ini proses repatriasi masih belum dapat terlaksana karena beberapa kendala seperti: pemerintah Myanmar mengidentifikasi terdapat pengungsi yang dianggap sebagai teroris Rohingya serta pengungsi Rohingya sendiri tidak menginginkan kembali ke Myanmar karena belum adanya jaminan keamanan.101

Secara umum konflik Rohingya disebabkan kejahatan yang dilakukan oleh etnis Rohingya terhadap korban yang berasal dari etnis Rakhine pada 2012 dan pada kepolisian di tahun 2015. Namun, menurut Erika Harris, terdapat dua faktor besar yang menyebabkan terjadinya konflik ethno-religious, yaitu etnisitas dan wilayah.

Namun, Leni menambahkan bahwa konflik ethno-religious yang terjadi tidak hanya karena etnisitas dan wilayah, melainkan juga identitas.102

100 Badrus Sholeh, “Indonesia and ASEAN Responses on Rohingya Refugees” dalam The Palgrave Handbook of Ethnicity, (Singapura: Palgrave Macmillian,2019), 12. 101 Nyan Lynn Aung, “ASEAN team visits Rakhine to assess repatriation needs”, 29 November 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.mmtimes.com/news/asean-team-visits-rakhine-assess- repatriation-needs.html; Internet; diakses pada 27 Juli 2019. 102 Leni Winarni, “The Rohingya Muslim in the Land of Pagoda”, Journal of ASEAN Studies, vol.5, No.1 TB: 2017, L: 37-50 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.21512/jas.v5i1.1812; Internet; diunduh pada 2 April 2019.

48

Rakhine merupakan negara bagian Myanmar yang memiliki banyak energi, di antaranya terdapat minyak dan gas. Dalam perspektif (point of view) pemerintah

Myanmar harus mengamankan Rakhine dari teroris Rohingya yang menginginkan kemerdekaan. Selain itu juga, terdapat kepentingan ekonomi yang berkaitan dengan kepentingan nasional Tiongkok terkait OBOR.103 Konflik Rohingya tidak bisa dianggap hanya sebagai konflik etnis. Konflik Rohingya tidak hanya konflik horizontal yang melibatkan etnis Rohingya dengan etnis Rakhine. Melainkan juga termasuk konflik vertikal karena terdapat peran pemerintah Myanmar dalam konflik tersebut. Konflik ini juga tidak juga dapat dianggap sekedar konflik etnis saja, tetapi dimensi-dimensi lain seperti konflik agama, isu separatisme, dan juga terdapat konflik kepentingan Sumber Daya Alam (SDA) dan ekonomi.

Karena perihal di atas, konflik Rohingya menjadi konflik yang berkepanjangan dikarenakan juga sulitnya negara-negara maupun Organisasi

Internasional (OI) untuk membantu Myanmar dalam menyelesaikan konflik

Rohingya dikarenakan sikap tertutup dari Myanmar dengan berkukuh bahwa konflik Rohingya merupakan konflik internal dan tidak bisa diintervensi oleh negara lain.

103 Stefan Bepler, “The Rohingya Conflict: Genesis, current situation and geopolitical asets”, Scientific Paper Pasific Geographics, tersedia di 10.23791/500410, diunduh pada 11 April 2019.

49

BAB III

Hubungan Indonesia dan Myanmar terkait Konflik Rohingya

Pada bab ini akan digambarkan hubungan bilateral antara Indonesia dan

Myanmar. Berawal dari gambaran umum pada masa kemerdekaan dan dinamika yang terjadi antara dua negara yang berbanding lurus dengan adanya perihal-perihal domestik di masing-masing negara seperti pergantian rezim.

Sub bab berikutnya akan lebih spesifik membahas hubungan bilateral

Indonesia dan Myanmar dalam aspek ekonomi dan politik. Kedua hal tersebut menarik untuk dibahas karena menjadi dasar yang kuat bagi hubungan kedua negara. Sub bab terakhir akan fokus kepada hubungan bilateral yang terkait kepada konflik Rohingya yang bertujuan memberikan gambaran mengenai peran

Indonesia.

A. Sejarah Hubungan Diplomatik Indonesia dan Myanmar

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara. Secara demografis, Indonesia merupakan negara yang mirip dengan Myanmar dengan banyaknya suku, etnis, dan bahasa yang terdapat di dalamnya. Hubungan bilateral kedua negara telah berjalin dengan baik semenjak era kolonialisme. Myanmar merupakan salah satu negara yang mengakui dan mendukung kemerdekaan

Indonesia dari Belanda.

Begitu pula juga dengan Indonesia yang mengakui dan mendukung kemerdekaan Myanmar dari Inggris. Hubungan baik kedua negara yang terjalin secara resmi semenjak 1949 berjalan dengan baik, Presiden Soekarno memiliki

50

hubungan yang baik dengan PM U Nu yang juga ikut memprakarsai Konferensi

Asia-Afrika (KAA) pada 1955 di Bandung.104

Selain dalam bidang diplomatik, hubungan kedua negara juga terjalin dengan baik di sektor perdagangan. Pada masa awal kemerdekaan terjadi barter antara Myanmar dengan Indonesia yang menukarkan rempah-rempah dengan beras dari Myanmar. Hubungan kedua negara mengalami dinamika, namun tidak pernah mengalami pemutusan diplomatik meskipun terdapat konflik-konflik internal yang terjadi di dalam Indonesia maupun Myanmar.105

B. Hubungan Indonesia dan Myanmar dalam Aspek Ekonomi, Sosial dan

Politik

Pada sub-bab ini akan dijelaskan mengenai hubungan bilateral Indonesia dan Myanmar dalam berbagai aspek seperti: ekonomi dan politik yang termasuk juga promosi demokrasi Myanmar melalui BDF. Kedua aspek tersebut merupakan dua aspek yang sangat menentukan hubungan bilateral Indonesia dan Myanmar.

1. Hubungan Ekonomi dan Sosial Indonesia dan Myanmar

Semenjak zaman kemerdekaan, hubungan ekonomi kedua negara telah terjalin. Mulai dari pertukaran beras dengan rempah-rempah antar kedua negara sampai dilanjutkan kepada bidang-bidang ekonomi lainnya yang lebih serius.

104 Windy Dermawan, “Maritime Diplomacy Sebagai Strategi Pembangunan Keamanan Maritim Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, vol.1, No.2, Oktober:2016, L: 166-174 [jurnal on-line]; tersedia di jurnal.unpad.ac.id/wacanapolitik/article/download/11058/pdf; Internet; diunduh pada 15 April 2019. 105 KEMLU, “Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar”, 2018 [berita on-line], tersedia di https://kemlu.go.id/yangon/id/read/hubungan-bilateral-indonesia-myanmar/1743/etc-menu; Internet; diakses pada 23 April 2019.

51

Hubungan ekonomi kedua negara tetap terjalin, namun dari kedua sisi baik

Indonesia atau pun Myanmar bukan mitra dagang utama.

Mitra dagang utama Indonesia adalah AS, Tiongkok, Jepang, dan India106 sedangkan bagi Myanmar mitra dagang utamanya adalah Tiongkok dengan nilai ekspor mencapai US$ 4,46 Triliun, Thailand US$ 2,66 Triliun, dan Jepang US$

1,19 Triliun.107 Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai perdagangan antara Indonesia dan Myanmar rata-rata mengalami peningkatan, pada 2010 total nilai perdagangan mencapai US$ 316 Juta dan pada 2014 mencapai US$ 689 juta lalu berlanjut mengalami peningkatan sampai pada tahun 2018 menyentuh US$ 1 miliar.108

Dari segi nilai investasi, Indonesia merupakan negara peringkat ke-13 bagi

Myanmar. Pada 2016, investasi Indonesia mencapai US$ 700 juta109 dan sebaliknya menurut catatan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, investasi

Myanmar hanya US$ 0,6 juta di Indonesia.110 Presiden Jokowi menganggap nilai perdagangan maupun investasi Indonesia di Myanmar masih memiliki peluang

106 Yuliyanna Fauzi, “Perdagangan Indonesia-Myanmar Tak Terpengaruh Krisis Rohingya”, 4 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/bisnis/20170904143816-92- 239326/perdagangan-indonesia-myanmar-tak-terpengaruh-krisis-rohingya; Internet; diakses pada 24 April 2019. 107 OEC, “Burma”, [berita on-line], tersedia di https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/mmr/; Internet; diakses pada 24 April 2019. 108 Kemendag RI, “Neraca Perdagangan Indonesia dengan Myanmar Periode: 2014-2019”, 2019 [berita on-line], tersedia di http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/balance- of-trade-with-trade-partner-country?negara=125; Internet; diakses pada 24 April 2019. 109 Elza Astari, “Dikunjungi MPR, Myanmar Berharap Investasi Indonesia Capai 1 M USD”, 25 Agustus 2016 [berita on-line], tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3283792/dikunjungi-mpr-myanmar- berharap-investasi-indonesia-capai-1-m-usd; Internet; diakses pada 24 April 2019. 110 Suara Pembaruan, “Kadin Indonesia dan Myanmar Jajaki Kerja Sama Perdagangan”, 9 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/kadin-indonesia-dan-myanmar- jajaki-kerja-sama-perdagangan/125324; Internet; diakses pada 24 April 2019.

52

untuk ditingkatkan, dengan begitu Jokowi mendorong BUMN untuk meningkatkan investasi di sektor pertambangan, infrastruktur, dan telekomunikasi.111

Pada 2017, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon telah mengadakan Indonesia-Myanmar Business Matching and Indonesian Products,

Tourism & Culture Exhibition (IPTC) Wonderful Indonesia 2017 di Yangon.

Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk meningkatkan kerja sama

Myanmar dan Indonesia di bidang bisnis dan juga pariwisata. Acara ini dihadiri oleh 38 perusahaan Indonesia dan 24 perusahaan Myanmar.112

Sedangkan di bidang sosial, KBRI Yangon memiliki program Rencana

Strategis 2015-2019 dengan tujuan meningkatkan kerja sama bilateral di bidang penerangan dan sosial budaya. Untuk melaksanakan hal tersebut, dirumuskan beberapa strategi, yaitu: pertama, meningkatkan promosi potensi pariwisata, seni dan budaya Indonesia di Myanmar; kedua, meningkatkan citra Indonesia di

Myanmar dan dunia Internasional melalui kegiatan Joint Cultural Show Indonesia-

Myanmar. Selain itu, Indonesia memiliki sekolah internasional yang berada di

Yangon dengan peserta didik Warga Negara Indonesia (WNI) sebanyak 46 dan 448 non-WNI.113

111 Ananda Teresia, “Jokowi: Indonesia Investasi 3 Sektor di Myanmar”, 12 November 2014 [berita on-line], tersedia di https://dunia.tempo.co/read/621420/jokowi-indonesia-investasi-3-sektor-di- myanmar/full&view=ok; Internet; diakses pada 24 April 2019. 112 KEMLU, “Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar”, [berita on-line], tersedia di https://kemlu.go.id/yangon/id/read/hubungan-bilateral-indonesia-myanmar/1743/etc-menu; Internet; diakses pada 28 April 2019. 113 KEMLU, “Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar”, [berita on-line].

53

2. Hubungan Politik Indonesia dan Myanmar

Hubungan diplomatik yang secara resmi dibuka semenjak 1949, meskipun sebelum Myanmar merdeka pada 1948, setahun sebelumnya telah dibuka kantor perwakilan Republik Indonesia di Yangon. Hubungan dari segi politik sudah terlihat semenjak Myanmar mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia dan sebaliknya. Sejarah mencatat bahwa Myanmar merupakan salah satu negara yang mengikuti Asian Relation Conference dan mendukung Indonesia melawan agresi militer Belanda.114

Semenjak kemerdekaan kedua negara terus menjalin hubungan baik, walaupun terdapat persoalan internal Myanmar salah satunya adalah pergantian rezim militer di bawah Jenderal Ne Win dan berubahnya ideologi Myanmar menjadi sosialis, hubungan bilateral Indonesia dan Myanmar tetap berjalin dengan baik. Presiden Soeharto mengunjungi Myanmar pada 1974 dan disambut dengan baik oleh Jenderal Ne Win115

Kunjungan Presiden Soeharto ke Myanmar merupakan balasan kunjungan dari Jenderal Ne Win yang terlebih dahulu mengunjungi Indonesia pada 1973.

Dalam pidato yang diberikan oleh kedua pemimpin negara tersebut ditekankan bahwa hubungan persahabatan Indonesia telah terjalin semenjak awal kemerdekaan

114 Arifin Suryo Nugroho, “Soekarno dan Diplomasi Indonesia”, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol.10, no.2, Desember:2016, L:125-131 [jurnal on-line]; tersedia di dx.doi.org/10.17977/um020v10i22016p125; Internet; diunduh pada 18 April 2019. 115 Tim Dokumentasi Presiden RI, Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta,2003), 149-150

54

yang dilandasi dengan prinsip-prinsip yang kuat, bukan karena pertimbangan materialistis.116

Hubungan Myanmar dan Indonesia pada zaman Soeharto tidak hanya sekedar hubungan diplomatik biasa. Pada saat itu, baik Myanmar maupun Indonesia dipimpin oleh rezim militer. Pada kesempatan kunjungan Menlu Myanmar pada

1993, U Ohn Gyaw berbincang dengan Menlu Ali Alatas, dalam perbincangan tersebut dikatakan oleh Ali Alatas bahwa Myanmar ingin meniru dwi fungsi angkatan bersenjata di Indonesia.117

Indonesia juga berperan penting dalam prosesnya Myanmar menjadi anggota ASEAN. Menurut Yusril Ihza Mahendra saat menjabat menjadi Menteri

Sekretaris Negara era Soeharto menjabarkan peran Soeharto yang mencoba mengubah sikap Myanmar yang menutup diri kurang lebih selama 30 tahun. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Soeharto mencoba meyakinkan negara-negara ASEAN untuk menerima Myanmar menjadi anggota ASEAN, pada akhirnya Myanmar bergabung menjadi anggota ASEAN pada 1997.118

Pada saat proses bergabungnya Myanmar menjadi anggota ASEAN, terdapat keraguan dari negara-negara anggota dikarenakan beberapa pertimbangan.

Pertimbangan tersebut berdasarkan geopolitik, ekonomi, dan juga pengaruh

Tiongkok. Dalam pertimbangan geopolitik, proses bergabungnya Myanmar ke

116 Tim Dokumentasi Presiden RI, Jejak Langkah Pak Harto, 28. 117 Menlu Alatas, “Myanmar Ingin Belajar Soal Dwifungsi ABRI”, KOMPAS diterbitkan pada 23 Desember 1993, tersedia di https://chirpstory.com/li/367990; Internet; diakses pada 23 April 2019. 118 M. Anwar, “Yusril Ceritakan Upaya Soeharto Bantu Myanmar Masuk ASEAN”, 5 September 2017 [berita on-line], tersedia di http://www.teropongsenayan.com/70235-yusril-ceritakan-upaya-soeharto- bantu-myanmar-masuk-asean; Internet; diakses pada 23 April 2019.

55

dalam ASEAN menuai respons negatif dari negara-negara Barat seperti Menteri

Sekretaris Negara AS menuliskan surat yang ditujukan kepada pemimpin negara- negara ASEAN untuk menunda proses bergabungnya Myanmar.119

Faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan bagi ASEAN dalam menerima

Myanmar menjadi anggota. Pada 1993, ASEAN telah merencanakan ASEAN Free

Trade Area (AFTA) yang akan berjalan pada 2003. Melihat kondisi Myanmar yang dibandingkan dengan negara-negara pendiri ASEAN masih terdapat ketimpangan yang cukup jauh sehingga ditakutkan akan menghambat proses integrasi ekonomi

ASEAN. Namun, ASEAN juga mempertimbangkan SDA milik Myanmar yang dapat menjadi pasar yang potensial bagi negara-negara ASEAN.120

Selain faktor geopolitik dan ekonomi, terdapat faktor pengaruh dari

Tiongkok. Salah satu isu yang menjadi perhatian ASEAN adalah sengketa di Laut

China Selatan (LCS), meskipun Myanmar tidak ikut serta langsung dalam konflik

LCS, namun kedekatan Myanmar dengan Tiongkok membuat kekhawatiran negara-negara ASEAN. Gabungnya Myanmar di dalam ASEAN dikhawatirkan menimbulkan power Tiongkok di ASEAN.121

Setelah bergabung menjadi anggota, keraguan terhadap Myanmar tidak begitu saja hilang. Hal ini terbukti pada saat Myanmar berkesempatan untuk menjadi ketua ASEAN pada 2014. Anggota ASEAN meragukan Myanmar untuk memimpin ASEAN dikarenakan masih banyaknya permasalahan politik domestik

119 Robert Cribb, “Burma’s Entry Into ASEAN: Background and Implications”, Jurnal Asian Perspective, Vol.22, No.3, TB:1998, L: 49-62; tersedia di https://books.openedition.org/irasec/515#ftn31; Internet; diunduh pada 23 April 2019. 120 Cribb, “Burma’s Entry Into ASEAN”, 56. 121 Cribb, “Burma’s Entry Into ASEAN”, 55

56

terkait HAM, ekonomi, dan juga politik. Negara-negara seperti AS juga meragukan

Myanmar untuk memimpin ASEAN karena pemerintahan negara yang masih dipimpin oleh Junta Militer.

Ada pun peran Indonesia melalui Menlu Marty Natalegawa yang juga utusan dari ASEAN mengunjungi Myanmar dan berbicara dengan tokoh-tokoh

Myanmar termasuk Aung San Suu Kyi dan mendapatkan respons positif, terlebih lagi menurut Marty, Myanmar telah melakukan progres dalam masalah politik dan

HAM dengan membebaskan 200 tahanan politik. Hasil dari pertemuan tersebut dipaparkan oleh Marty pada KTT ASEAN ke-23 di Brunei Darussalam.122

Hubungan politik Indonesia dan Myanmar dimulai pada babak baru ketika pada 2008 Indonesia menyelenggarakan BDF. Meskipun forum ini bertemakan demokrasi, BDF tidak menutup kemungkinan bagi negara-negara non-demokrasi atau pun negara yang sedang mengembangkan demokrasi untuk ikut serta. Adalah

Myanmar salah satu contoh negara yang sedang memperkuat demokrasi di dalam negaranya.

Semenjak dilakukannya BDF pada 2008, Myanmar terus ikut serta. Hal ini dirasakan penting oleh Myanmar untuk mempelajari nilai-nilai demokrasi.

Indonesia sendiri yang mengundang Myanmar untuk ikut serta dalam BDF, meskipun menuai kritik dari berbagai negara karena latar belakang Myanmar.

122 Mohammad Anthoni, “Jalan panjang Myanmar menuju kursi ketua ASEAN”, 15 November 2011 [berita on-line], tersedia di https://www.antaranews.com/berita/284693/jalan-panjang-myanmar- menuju-kursi-ketua-asean; Internet; diakses pada 14 Mei 2019.

57

Myanmar menganggap BDF sebagai forum yang membantu penguatan demokrasi

Myanmar dari sisi regionalisme.123

C. Hubungan Myanmar dan Indonesia terkait Konflik Rohingya

Hubungan bilateral Myanmar dan Indonesia dapat dikatakan baik sepanjang terjalin secara resmi, namun hubungan kedua negara juga bersifat dinamis dikarenakan masalah internal, salah satunya adalah konflik Rohingya. Indonesia sudah ikut berperan aktif semenjak zaman pemerintahan SBY terkait konflik

Rohingya. Indonesia bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Aksi

Cepat Tanggap (ACT), Dompet Dhuafa, NU, Muhammadiyah, dan PMI memberikan bantuan kemanusiaan di Rakhine.

Gambar III.1 Peta Persebaran Pengungsi Rohingya

124

(Sumber: Aljazeera)

123 Michael Halans dan Danitsja Nassy, Indonesia’s Rise and Democracy Promotion in Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond, [buku on-line] (Netherland Institute of IR: The Hague 28 Oktober, 2013), 7; tersedia di https://www.clingendael.org/sites/default/files/pdfs/Bali%20Democracy%20Forum%20and%20Beyond%20- %20Expert%20seminar%20report.pdf; Internet; diunduh pada 2 Agustus 2019. 124 Aljazeera, “Persecution path: Following Myanmar's fleeing Rohingya”, 6 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2017/03/persecution-path- myanmar-fleeing-rohingya-170314125333337.html; Internet; diakses pada 23 April 2019.

58

Seperti yang tertera di gambar 3.1 bahwa Konflik Rohingya telah menjadi isu internasional, salah satunya diakibatkan oleh pengungsi yang diterima oleh negara-negara sekitar Myanmar. Diperkirakan 1.000.000 orang etnis Rohingya telah mengungsi ke beberapa negara dari 1970 sampai 2017. Indonesia termasuk salah satu negara yang menerima pengungsi Rohingya dengan perkiraan angka mencapai 1.000 pada 2017.

Indonesia mencoba mendiskusikan terkait pengungsi Rohingya dengan beberapa negara seperti Malaysia dan Thailand pada 2015. Ketiga pihak menyepakati bahwa pengungsi Rohingya diperbolehkan menetap di masing-masing wilayah yang telah ditentukan selama satu tahun.125 Setelah pertemuan trilateral tersebut, Indonesia diwakili oleh Menlu Retno mengunjungi Myanmar untuk membahas hasil pertemuan dan Myanmar memiliki komitmen untuk menghambat arus pengungsi.126

Peran Indonesia terkait konflik Rohingya tidak hanya sebatas pada pengungsi saja, melainkan juga turut ikut andil dalam penyelesaian konflik. Hal tersebut telah dilakukan semenjak zaman SBY. Ketika konflik etnis Rohingya mencuat pada 2012, Indonesia berperan aktif untuk membantu menyelesaikan

125 Irawan Jati, “Comparative Study of the Roles of ASEAN and the Organization of Islamic Cooperation in Responsding to the Rohingya Crisis”, Jurnal IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies, Vol.1, No.1, Juli,2017, L:17-32 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.22146/ikat.v1i1.27466; Internet; diunduh pada 23 Apirl 2019. 126 Eky Wahyudi, “Menlu Retno ke Myanmar, Bahas Isu Rohingya”, 21 Mei 2015 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150521150639-106-54809/menlu-retno-ke- myanmar-bahas-isu-rohingya; Internet; diakses pada 23 April 2019.

59

konflik tersebut. Indonesia mengutus Jusuf Kalla yang pada waktu itu menjabat sebagai wakil Presiden untuk bertemu Presiden Then Sein.127

Selain itu Indonesia juga mendorong OKI untuk berperan aktif dalam konflik Rohingya, memprakarsai pembahasan konflik Rohingya di KTT ASEAN hingga memberikan bantuan secara teknis seperti menunjuk PMI untuk mengatur bantuan dari Indonesia, memberikan bantuan US $1 juta dolar untuk bantuan kemanusiaan dan mengirimkan BUMN Indonesia untuk berinvestasi di

Myanmar.128

Indonesia juga mengirimkan usulan melalui Menlu Marty Natalegawa untuk meredam konflik etnis yang terjadi di Rakhine. Indonesia menawarkan dua solusi yang harus dikembangkan oleh pemerintah Myanmar. Usulan Indonesia bersifat top-down, yaitu Myanmar harus berupaya untuk menciptakan iklim yang sejuk di antara etnis-etnis di Myanmar sehingga dapat terciptanya rasa saling percaya. Usulan kedua, di samping menumbuhkan rasa kepercayaan dalam masyarakat juga harus diseimbangkan dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sehingga masyarakat dapat menikmati hidup yang lebih berkualitas.129

Konflik Rohingya kembali berlanjut pada 2015 dan Indonesia sedang di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Pada awal terjadinya konflik, diperkirakan

127 Ardani, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu Penyelesaian Konflik”, 20. 128 Ardani, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu Penyelesaian Konflik”, 22-23. 129 Arry Bainus, “Debating National interest Vis-à-vis Refugees: Indonesia’s Rohingya Case”, dalam buku The Challenges of Social Sciences in A Changing World, [buku on-line] (Jogjakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,2016), 674; tersedia di http://hi.umy.ac.id/wp- content/uploads/2014/02/Jurnal_HI_UMY_Vol_5_No_2_Edisi_Oktober_2012.pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019.

60

1.000 pengungsi Rohingya telah mendarat di Aceh. Pemerintah Indonesia melalui

Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengatakan bahwa pengungsi Rohingya tidak diterima di Indonesia, namun berbeda dengan respons masyarakat di Aceh yang justru membantu dan menerima pengungsi Rohingya.130

Merespons adanya konflik Rohingya, Jokowi memberikan pidato di Istana

Merdeka, Jakarta. Pernyataan sikap Indonesia disampaikan oleh Jokowi bahwa

Indonesia mendorong Myanmar untuk menghentikan aksi kekerasan yang terjadi,

Indonesia juga terus berkomitmen untuk mengatasi masalah kemanusiaan di

Rakhine dengan bersinergi dengan pihak-pihak domestik maupun internasional serta menerima pengungsi Rohingya.131

Pada 20 Mei 2015 di Kuala Lumpur, Indonesia, Malaysia, dan Thailand mengadakan pertemuan untuk membahas solusi bersama dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Pertemuan ini akhirnya menghasilkan kesepakatan langkah- langkah yang diambil berupa fokus kepada membantu pengungsi, merekatkan kerja sama patroli laut, dan meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan UNHCR serta memberikan akomodasi dalam jangka waktu satu tahun.132

130 Bainus, “Debating National Interest”, 675. 131 Humas Sekretariat Kabinet Indonesia, “Sesalkan Kekerasan, Presiden Jokowi: Pemerintah Berkomitmen Bantu Atasi Krisis Kemanusiaan di Myanmar”, 3 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://setkab.go.id/sesalkan-kekerasan-Presiden-jokowi-pemerintah-berkomitmen-bantu-atasi-krisis- kemanusiaan-di-myanmar/; Internet; diakses pada 28 April 2019. 132KEMLU, “Masyarakat ASEAN: Aman dan Stabil, Keniscayaan bagi ASEAN”, 8 Juni 2015 [laporan on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%20Edisi8-All.pdf; Internet; diunduh pada 9 November 2018.

61

Selain bekerja sama dengan negara-negara ASEAN, Indonesia juga mendorong ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara untuk berperan lebih aktif dalam menangani permasalahan kemanusiaan pada konflik Rohingya di

KTT ke-31 di Filipina. ASEAN sendiri memiliki prinsip non-intervensi yang menghambat negara-negara untuk membahas permasalahan domestik sehingga pada draf resmi dari hasil KTT ke-31 kata “Rohingya” tidak ada, namun diganti dengan “komunitas yang terkena dampak konflik di Rakhine Utara”133

Indonesia juga menggunakan identitas yang sama sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak untuk mencari bantuan kepada OKI. Dalam

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI pada 2017 di Filipina, Indonesia mendorong OKI untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik Rohingya.134

Selain itu, sebelumnya pada 2015 Indonesia juga mencari bantuan dana kepada negara-negara Timur Tengah dan dijanjikan sekitar US$ 50 juta dolar yang akan digunakan untuk membantu menangani pengungsi Rohingya.135

Diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia kepada negara-negara atau pun organisasi yang diminta untuk membantu konflik Rohingya bertujuan untuk mendorong pihak-pihak lain untuk berperan aktif baik dari segi bantuan kemanusiaan atau pun pernyataan-pernyataan untuk meminta Myanmar

133 Riva Dessthania, “KTT ASEAN Hindari Kata Rohingya dalam Pernyataan Bersama”, 13 November 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171113204116- 106-255408/ktt-asean-hindari-kata-rohingya-dalam-pernyataan-bersama”; Internet; diakses pada 28 April 2019. 134 Riva Dessthania, “Menlu RI Dorong OKI Selesaikan Konflik Rohingya dan Marawi”, 12 Juli 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170712095824-106- 227281/menlu-ri-dorong-oki-selesaikan-konflik-rohingya-dan-marawi; Internet; diakses pada 28 April 2019. 135 Bainus, “Debating National Interest”, 675.

62

menghentikan konflik Rohingya. Indonesia sendiri telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar pada 29 Desember 2016 berupa pakaian dan makanan.136

Indonesia juga mendirikan lembaga yang berkaitan dengan bantuan kemanusiaan yang saat ini berfokus pada konflik Rohingya, AKIM diresmikan oleh

Retno Marsudi pada 31 Agustus 2017. AKIM terdiri dari 11 LSM dan memiliki program bantuan yang difokuskan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan dasar. Pembentukan AKIM adalah tindak lanjut dari diplomasi Indonesia untuk mencoba membantu menyelesaikan konflik Rohingya.137

AKIM sendiri merupakan gabungan dari LSM di Indonesia. Langkah ini merupakan yang pertama dilakukan. Tujuan Indonesia membentuk AKIM adalah memaksimalkan segala cara untuk membantu konflik Rohingya. Setelah Indonesia berhasil melakukan diplomasi Government to Government (G2G), AKIM merupakan salah satu cara bagi Indonesia untuk langsung berinteraksi dengan masyarakat atau pun LSM yang berasal dari Myanmar, hal tersebut untuk mempermudah akses pemberian bantaun kepada masyarakat secara langsung.138

Bantuan kemanusiaan Indonesia kepada Myanmar merupakan rencana tindak lanjut dari pertemuan Menlu Retno Marsudi dengan pemimpin de facto

136 KOMPAS, “Indonesia Sampaikan 10 Kontainer Bantuan untuk Warga Rohingya”, 21 Januari 2017 [berita on-line], tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2017/01/21/17135941/indonesia.sampaikan.10.kontainer.bantuan.untuk.wa rga.rohingya; Internet; diakses pada 29 April 2019. 137 Victor Maulana, “Menlu Retno Luncurkan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar”, 31 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di https://international.sindonews.com/read/1235597/40/menlu-retno- luncurkan-aliansi-kemanusiaan-indonesia-untuk-myanmar-1504167196; Internet; diakses pada 29 April 2019. 138 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019

63

Myanmar, Aung San Suu Kyi. Selain bantuan kemanusiaan, Retno Marsudi memiliki misi dalam kedatangannya di Myanmar, yaitu pembahasan mengenai penyelesaian konflik Rohingya. Dalam pertemuan tersebut, Retno Marsudi memberikan saran berupa formula 4+1.139

Formula 4+1 tersebut didasarkan kepada 4 prinsip yang berkaitan pada:

1. Pengembalian stabilitas dan keamanan

Stabilitas dan keamanan harus ditingkatkan agar terjadi suasana yang

damai. Poin usulan ini berkaitan dengan usulan pada zaman SBY yang

juga menginginkan Myanmar untuk menciptakan kondisi yang stabil

demi terciptanya trust antar etnis.

2. Menahan diri untuk tidak menggunakan hard power

Indonesia menghimbau bahwa konflik di Rohingya harus segera

diselesaikan dengan jalur dialog. Untuk itu, seluruh pihak yang terlibat

harus menghindari kontak senjata agar tidak timbul lagi korban jiwa.

3. Perlindungan tanpa diskriminasi

Pemerintah Myanmar sebagai otoritas tertinggi negara diharuskan untuk

tetap menjunjung tinggi HAM serta melakukan perlindungan terhadap

seluruh pihak yang terkait dengan konflik tanpa memandang etnis atau

pun agama.

4. Membuka akses bantuan kemanusiaan secepatnya

139 Priyambudi Sulistiyanto, “Indonesia in 2017: Jokowi’s Supremacy and His Next Political Battles”, dalam Southeast Asian Affairs 2018, [buku on-line] (Singapura: Yusof Ishak Institute: 2018), 163; tersedia di https://bookshop.iseas.edu.sg/account/downloads/get/19872; Internet; diunduh pada 30 April 2019.

64

Dalam konflik Rohingya, Myanmar menerima berbagai macam tekanan

dari dunia internasional sehingga Myanmar menunjukkan sikap tertutup

terkait konflik ini, termasuk dalam hal bantuan kemanusiaan. Karena hal

tersebut, Indonesia meminta Myanmar untuk memberikan akses bagi

negara-negara yang ingin memberikan bantuan kemanusiaan.140

Selain menyampaikan 4 prinsip di atas, Retno juga menghimbau Myanmar untuk mengimplementasikan rekomendasi yang dibuat oleh Laporan Komisi

Penasehat untuk Negara Bagian Rakhine yang diketuai oleh mantan sekretaris jenderal PBB, Kofi Annan. Rekomendasi dari lembaga tersebut berkaitan dengan berbagai macam aspek seperti HAM, ekonomi, sosial, pendidikan, status kewarganegaraan, isu perbatasan Myanmar-Bangladesh, akses bantuan kemanusiaan, keterbukaan informasi, dll.141

140 Humas Sekretariat Kabinet, “Selesaikan Krisis di Rakhine State, Menlu Retno Sampaikan Usulan Formula 4+1 Kepada Suu Kyi”, 4 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://setkab.go.id/selesaikan-krisis-di-rakhine-state-menlu-retno-sampaikan-usulan-formula-41-kepada-suu- kyi/; Internet; diakses pada 29 April 2019. 141 Advisory Commission on Rakhine State, “TOWARDS A PEACEFUL,FAIR AND PROSPEROUS FUTURE FOR THE PEOPLEOF RAKHINE: Final Report of the Advisory Commission on Rakhine State”, [laporan on-line]; Internet; tersedia di http://www.rakhinecommission.org/the-final-report/; Internet; diakses pada 29 April 2019.

65

BAB IV

Alasan Myanmar Menerima Diplomasi Indonesia terkait Konflik

Rohingya Periode 2015-2017

Pada Bab IV ini akan dibahas terkait faktor-faktor apa saja yang dapat dijadikan alasan bagi Myanmar dalam menerima diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Penerimaan diplomasi Indonesia di sini menjadi poin penting ketika sikap Myanmar cenderung tertutup pada periode 2015-

2017 terkait konflik Rohingya dengan negara lain bahkan OI serta merupakan periode intens diplomasi Indonesia kepada Myanmar.

Sub bab pertama akan membahas mengenai diplomasi publik yang dilakukan Indonesia. Dalam hal ini juga dijelaskan bagaimana diplomasi yang digunakan oleh Indonesia dengan menggunakan istilah non-megaphone diplomacy membentuk kepercayaan Myanmar. Sub bab kedua adalah struktur ideasional terkait penerimaan diplomasi Indonesia oleh Myanmar. Hal tersebut berkaitan dengan identitas Myanmar beserta dinamika politiknya yang membentuk kepentingan nasional Myanmar.

Sub bab ketiga membahas mengenai struktur material terkait penerimaan diplomasi Indonesia oleh Myanmar. Dalam hal ini akan menitikberatkan kepada faktor keamanan Myanmar yang dilatarbelakangi oleh banyaknya konflik etnis yang terjadi di Myanmar, hal tersebut dikarenakan konsolidasi internal yang diupayakan semenjak kemerdekaan masih juga belum selesai.

66

A. Diplomasi Publik

Diplomasi publik dalam praktiknya melibatkan negara dan juga masyarakat.

Hal ini yang dilakukan oleh Indonesia kepada Myanmar terkait konflik Rohingya.

Indonesia dengan menggunakan non-megaphone diplomacy dan diplomasi publik sebagai bentuk dari diplomasi yang konstruktif dan inklusif telah membuat

Myanmar mendengar saran-saran dari Indonesia terkait langkah-langkah yang harus diambil dalam rangka de-eskalasi konflik seperti formula 4W + 1H yang diberikan oleh Indonesia. Diplomasi Indonesia diakui oleh Antonio Gutteres yang merupakan Sekjen PBB karena telah berhasil membujuk Myanmar membuka akses bantuan kemanusiaan.142

Wakil Direktur Direktorat Asia Tenggara Kemlu RI, Dewi Lestari menjelaskan mengapa Indonesia menerapkan non-megaphone diplomacy dalam merespons konflik Rohingya.

Non-megaphone diplomacy merupakan cara yang tepat diterapkan kepada Myanmar jika dibandingkan dengan megaphone diplomacy, karena hal tersebut sesuai dengan budaya negara-negara ASEAN dan isu terkait sangat sensitif. Indonesia menerapkan non-megaphone diplomacy karena hal tersebut lebih efektif untuk membantu konflik Rohingya dibandingkan dengan berbicara banyak di media. non-megaphone diplomacy tersebut sudah merupakan budaya diplomasi Indonesia dan dilanjutkan dengan membantu masyarakat dengan membangun fasilitasi dan menyebarkan nilai- nilai HAM, demokrasi, dan toleransi atau implementasinya dalam diplomasi publik.143

142 Setkab RI,” UN Secretary-General Appreciates Indonesia’s Role in Rakhine Crisis”, 14 November 2017 [berita on-line], tersedia di https://setkab.go.id/en/un-secretary-general-appreciates- indonesias-role-in-rakhine-crisis/; Internet; diakses pada 30 Juli 2019. 143 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019.

67

Di samping melakukan diplomasi dengan negara, Indonesia melalui AKIM juga membangun rumah sakit dan sekolah di negara bagian Rakhine, Myaung Bwe pada 2017. Hal ini sesuai dengan definisi dan tujuan diplomasi publik sebagai proses komunikasi yang ditujukan kepada pemerintahan negara yang dituju dan juga masyarakatnya yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, budaya, kepentingan nasional, beserta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya.144 Ada pun tujuan yang dimiliki oleh diplomasi publik adalah meningkatkan mutu komunikasi antar negara dan masyarakat serta salah satu cara untuk mendapatkan kepentingan nasional suatu negara dengan mempengaruhi masyarakat asing melalui informasi-informasi yang tersedia.145

Implementasi diplomasi publik Indonesia dijelaskan oleh Ali Yusuf sebagai ketua AKIM. Dalam diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia membawa nilai-nilai

HAM, toleransi, dan demokrasi.

Dalam proses implementasi program AKIM harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah daerah Rakhine. Dikarenakan adanya sentimen bahwa Indonesia merupakan negara muslim dan hanya membela etnis Rohingya, pembangunan RS dan sekolah tidak mendapatkan izin pada awalnya. Pada akhirnya, AKIM mendapatkan izin setelah menjelaskan bahwa Indonesia juga memiliki banyak etnis dan agama, namun hidup dalam kerukunan dan memiliki kedudukan yang sama serta menjelaskan bahwa pembangunan yang dilakukan ditujukan tanpa memandang identitas.146

Diplomasi Indonesia berhasil meyakinkan Myanmar untuk menerima

Indonesia terkait konflik Rohingya juga menekankan kepada norma kemanusiaan

144 Rachmawati, “Pendekatan Konstruktivis”, 116. 145 Mohammad Shoelhi, Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional, (Bandung:Simbiosa Rekatama Media,2011),157. 146 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019

68

sebagai ide diplomasi. Hubungan antara HAM dan HI dapat dilihat dalam deklarasi universal HAM PBB mengenai hak-hak manusia. Dijelaskan bahwa HAM diperlukan bagi terciptanya dunia yang damai di mana seluruh hak-hak manusia dipenuhi tanpa terkecuali atas dasar kelahiran seseorang dengan harkat martabat yang sama. Hal tersebut berarti syarat untuk mendapatkan HAM hanya menjadi manusia terlepas dari perbedaan warna kulit, ras, agama, jenis kelamin, dan sebagainya. Hak-hak yang dimaksud meliputi hak-hak fundamental seperti hak untuk hidup, merdeka, hak untuk memilih, hak yang sama di depan hukum, dan sebagainya.147

Diplomasi Indonesia dan Myanmar dalam konstruktivisme merupakan bentuk interaksi antar dua negara. Interaksi tersebut dilandaskan oleh kepercayaan dan pandangan terhadap satu sama lain.148 Myanmar mempercayai Indonesia tidak memiliki agenda terselubung dalam membantu konflik Rohingya beserta citra

Indonesia yang baik dalam menangani konflik dan merupakan negara yang damai meskipun memiliki karakter sebagai negara yang multikultural. Dalam wawancara dengan Dewi Lestari, Indonesia menekankan kepada Myanmar bahwa bantuan

Indonesia bersifat tulus demi membantu negara sahabat, tidak ada agenda terselubung.149

Berbeda dengan negara-negara lain yang juga bertujuan untuk membuat

Myanmar menghentikan konflik dengan memberikan saran kepada Myanmar,

147 PBB. “Universal Declaration of Human Rights” [dokumen on-line] tersedia di https://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/; Internet; diakses pada 22 Juli 2019. 148 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 148 149 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019

69

namun diikuti dengan kecaman dan tuduhan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh

Malaysia, ketika mantan PM Najib Razak melihat konflik Rohingya dalam sentimen agama. Hal ini membuat pemerintah Myanmar merasakan Malaysia telah mencampuri urusan domestik negaranya beserta hal-hal yang dilakukan oleh

Malaysia merupakan langkah untuk mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakatnya yang pada saat itu mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah Malaysia karena kasus korupsi.150

Tidak hanya Malaysia, PBB juga menerapkan megaphone diplomacy.

Megaphone diplomacy merupakan cara berdialog dan juga mengirimkan pesan melalui media kepada pihak yang terkait dengan konflik. Hal ini dilakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk membentuk negosiasi atau pun dialog secara formal.151 Menurut Sir Ivor Roberts, megaphone diplomacy tidak hanya berbicara di media saja, tetapi lebih spesifik merupakan hal yang berasal dari politik domestik dan juga syarat akan kepentingan politik domestiknya dengan berkata- kata yang tegas dan cenderung kasar.152

Malaysia dan PBB memberikan pesan-pesan kepada Myanmar berupa kecaman, tuduhan, dan juga kutukan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan.

Menurut Dewi Lestari, hal ini tidak dapat diterima oleh Myanmar dikarenakan

150 Fajar Pratama, “Dubes RI untuk Myanmar Buka-bukaan soal Latar Belakang Krisis Rohingya” 8 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3633773/dubes-ri-untuk- myanmar-buka-bukaan-soal-latar-belakang-krisis-rohingya;Internet;diakses pada 28 juli 2019. 151 Kirsten Sparre, “Megaphone Diplomacy in the Northern Peace Process: Squaring the Circle by Talking to Terrorists through Journalists”, Jurnal Press/Politics, Vol.6, No.1, Januari:2001, L: 88-104; tersedia di https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006; Internet; diunduh pada 10 Juli 2019. 152 Sir Ivor Roberts KCMG, “The Development of Modern Diplomacy”, [laporan on-line]; tersedia di https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdf; Internet; diakses pada 29 September 2019.

70

dianggap telah mencampuri urusan domestik Myanmar sebagai negara yang berdaulat dan tidak sesuai dengan budaya negara-negara ASEAN. 153 Sah-sah saja melakukan aktor internasional melakukan megaphone diplomacy mengingat

Myanmar juga bersikap tertutup sehingga tidak dapat melakukan pertemuan secara formal dan fokus isunya berkaitan dengan kemanusiaan, tetapi mengingat budaya negara-negara ASEAN yang menjadikan megaphone diplomacy tidak sesuai diterapkan dalam konflik Rohingya.

Senada dengan pendapat Dewi Lestari mengenai megaphone diplomacy,

Juru Bicara Kemlu Myanmar, Aye Aye Soe juga mengomentari megaphone diplomacy yang dilakukan terkait konflik Rohingya:

Half the time the things the international community are yelling are not exactly productive, or problem-solving focused, it’s more about self- interest. It’s purely our domestic issue that we have to solve in our own way. Because these are our people and we are the only ones who know the situation on the ground.154

Oleh karena itu, Myanmar bersikap tertutup terhadap konflik Rohingya.

Bukan hanya kepada Malaysia saja, namun kepada PBB yang juga menggunakan megaphone diplomacy pun bersikap demikian. Myanmar melarang tim pencari fakta PBB untuk memasuki Rohingya. Pada akhirnya PBB melalui TPF merilis hasil laporan terkait konflik Rohingya yang menyatakan bahwa terdapat niatan dari militer Myanmar untuk melakukan genosida. TPF menggunakan metode wawancara dengan narasumber, saksi, dan melakukan riset dan menganalisis data

153 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019. 154 Paul Vrieze, “Myanmar Shrugs Off International Pressure Over Rohingya Crackdown”, 26 Januari 2017 [berita on-line]. Tersedia di https://www.voanews.com/east-asia- pacific/myanmar-shrugs-international-pressure-over-rohingya-crackdown; Internet; diakses pada 20 Agustus 2019.

71

yang ditemukan salah satunya dari satelit.155 Hal ini direspons oleh Zaw Htay yang merupakan juru bicara pemerintah Myanmar bahwa data yang dimiliki oleh TPF

PBB tidak valid karena pemerintah Myanmar tidak pernah mengizinkan TPF PBB untuk masuk ke Myanmar.156

Penolakan-penolakan yang dilakukan oleh Myanmar terhadap negara- negara atau pun OI tidak dialami oleh Indonesia. Pada 21 Mei 2015, Indonesia diwakili oleh Menlu Retno Marsudi berkunjung ke Myanmar untuk menyampaikan hasil pertemuan trilateral antara Indonesia, Malaysia, dan Thailand terkait ketersediaan penanggungan pengungsi Rohingya.157 Pertemuan awal tersebut disinyalir sebagai awal dari diplomasi publik Indonesia semenjak konflik Rohingya mengalami eskalasi pada 2015. Pertemuan-pertemuan selanjutnya terjadi pada 2017 ketika Menlu Retno bertemu dengan Aung Saan Suu Kyi untuk membahas kelanjutan konflik Rohingya. Dalam kesempatan itu, Menlu Retno menyampaikan formula 4+1 yang berkaitan dengan prinsip-prinsip untuk meredakan konflik

Rohingya. Formula tersebut diterima baik oleh Aung Saan Suu Kyi, namun dalam penerapannya masih dalam proses bertahap.

155 OHCHR, “Myanmar: UN Fact-Finding Mission Releases its full account of massive violations by military in Rakhine, Kachin, and Shan States”, 18 September 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=23575; Internet; diakses pada 21 Agustus 2019. 156 Riva Dessthania Suastha, “Myanmar Tolak Laporan Tim Pencari Fakta PBB Soal Rohingya”, 29 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180829102520-106- 325738/myanmar-tolak-laporan-tim-pencari-fakta-pbb-soal-rohingya; Internet; diakses pada 7 Juli 2019. 157 Eky Wahyudi, “Menlu Retno ke Myanmar, Bahas Isu Rohingya”, 21 Mei 2015 [berita on-line] , tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150521150639-106-54809/menlu-retno-ke- myanmar-bahas-isu-rohingya; Internet; diakses pada 7 Juli 2019.

72

B. Ideational Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia

Pada bagian ini akan menekankan kepada perihal-perihal yang membuat

Myanmar memiliki kepercayaan kepada Indonesia. Kepercayaan menjadi faktor penting dalam menganalisis Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya. Hal tersebut dilandasi pada sikap tertutup Myanmar dalam menerima pihak-pihak yang diperbolehkan terlibat dalam konflik Rohingya.

Penerimaan diplomasi Indonesia oleh Myanmar dapat dijelaskan oleh

Konstruktivisme. Konstruktivisme melihat penerimaan diplomasi Indonesia oleh

Myanmar sebagai bentuk interaksi antar negara. Untuk menjelaskan mengapa suatu negara menginginkan berinteraksi dengan negara lainnya, menurut Alexander

Wendt “interaction is structured by the configuration of desires, beliefs, strategies, and capabalitites (faktor-faktor yang menyebabkan negara saling ingin berinteraksi adalah kepercayaan, kepentingan, strategi dan kapabilitas negara)”.158

Kepercayaan, di samping dengan ide dan nilai termasuk ke dalam struktur ideasional (ideational structure) yang merupakan struktur yang memberikan kesepahaman mengenai ide, nilai, dan kepercayaan. Wendt menyebutkan bahwa perilaku negara dapat berasal dari pandangan yang berupa kepercayaan dan ekspektasi terhadap satu sama lainnya. Struktur ideasional memiliki peran penting dalam menganalisis perilaku negara, namun juga terdapat andil dari struktur material (material structure).159

158 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 148. 159 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 141.

73

Faktor-faktor yang menimbulkan struktur ideasional berupa kepercayaan bagi Myanmar merupakan diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dan hubungan baik kedua negara yang telah dijelaskan pada BAB III. Selain karena kepercayaan, faktor ideasional lainnya yang menjadi alasan Myanmar menerima diplomasi

Indonesia berkaitan dengan identitas Myanmar yang sedang dibangun, yaitu demokrasi.

Alexander Wendt mengatakan “without ideas there are no interests (ide menciptakan kepentingan nasional suatu negara).”160 Finnemore menjelaskan lebih lanjut bahwa ide juga dapat membentuk identitas yang bisa menjadi alasan atas tindakan suatu negara, namun konstruktivisme sendiri pada dasarnya belum memiliki kesepakatan yang rigid mengenai identitas. Hal ini dikarenakan identitas membantu menjelaskan tindakan suatu negara, namun identitas tidak dapat digunakan untuk menjelaskan seluruh tindakan negara atau pun kepentingan negara.161

Selain karena identitas tidak dapat menjadi satu-satunya faktor yang menjelaskan perilaku atau pun kepentingan nasional negara, terdapat berbagai macam definisi-definisi terkait dengan identitas. Salah satunya adalah Alexander

Wendt yang menjelaskan jenis-jenis dari identitas, yaitu type dan role identities.

Type identities merupakan label yang terkonstruk terhadap negara lain yang terbentuk dari hal-hal yang bersifat domestik, contohnya negara Islam, negara

160 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 139. 161 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics”, Jurnal Political Science, Vol.4, No.1, Juni:2001,L: 391- 416; tersedia di DOI: 10.1146/annurev.polisci.4.1.391; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019.

74

demokrasi, negara komunis, dan negara kapitalis. Sementara itu, role identities merupakan hasil dari relasi antar negara, seperti teman, musuh, aliansi, atau rival.162

Myanmar memiliki type identity sebagai negara otoriter dan secara historis pernah menganut sosialisme. Meskipun pada awal kemerdekaan di masa pemerintahan PM U Nu Myanmar pernah menerapkan sistem demokrasi, namun gagal dikarenakan beberapa hal, seperti: kegagalan pemerintah menciptakan stabilitas domestik, adanya pemberontakan dari beberapa etnis seperti Kachin,

Karen, Shan, dan etnis-etnis minoritas lainnya serta adanya Junta Militer yang berhasil menggulingkan pemerintahan U Nu.163

Sedangkan role identity Myanmar memiliki relasi yang beragam dengan berbagai negara. AS merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan kurang baik dengan Myanmar. Hal tersebut terlihat dari sanksi-sanksi yang diberikan AS seperti sanksi ekonomi dan perdagangan yang bertujuan untuk melemahkan rezim militer dan mendukung demokrasi Myanmar164. Namun, berbeda dengan Tiongkok yang menjadi aliansi Myanmar semenjak Junta Militer memimpin Myanmar yang berimplikasi kepada kerja sama dan investasi-investasi antara dua negara.

Saat ini, keadaan politik domestik Myanmar telah berubah yang mendorong perubahan type identity Myanmar. Semenjak 1990, Pemilihan Umum (pemilu) telah dilaksanakan meski terdapat kecurangan dan dominasi yang kuat dari militer.

Menurut Acharya, saat ini Myanmar sedang menganut demokrasi prosedural yang

162 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 225-226. 163 Dewi, “Pengalaman Militer”, 4. 164 Guo, Towards Resolution, 12.

75

artinya demokrasi dan segala elemennya seperti pemilu hanya bersifat prosedural.

Sedangkan untuk demokrasi substantif belum terlaksana karena masih banyak hal- hal seperti HAM dan kebebasan untuk berpendapat, berserikat, dan partisipasi politik yang belum terjamin.165

Upaya Myanmar dalam menganut demokrasi tidak hanya prosedural saja, namun upaya juga dilakukan demi terciptanya demokrasi substansial. Upaya tersebut jika dilihat dari politik domestik Myanmar pada 8 Agustus 1988, terjadi aksi protes besar-besaran yang dikenal dengan “the 888 uprising”. Demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa dan juga para biksu untuk menggulingkan Jenderal Ne

Win dari kekuasaan. Demonstrasi tersebut berhasil menggulingkan Jenderal Ne

Win, namun untuk penggantinya Ne Win menunjuk Jenderal Saw Maung yang merupakan panglima militer.166

Akar dari demonstrasi ini adalah ketidakpuasan rakyat terkait permasalahan ekonomi dan politik. Pada 1974, Junta Militer Myanmar membuat konstitusi baru yang di dalamnya lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif digabung menjadi satu dengan nama People’s Assembly. Masyarakat sipil melihat hal ini sebagai penyalahgunaan wewenang dari militer dan menghapus kesempatan sipil untuk

165 Amitav Acharya, Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power, [buku on-line] (Singapura: World Scientific Publishing, 2015), 13; tersedia di DOI: 10.1142/9298; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019. 166 Aweni Irawati, “Myanmar dan Matinya Penegakan Demokrasi”, Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol.4, No.1, Januari:2007, L:5-17 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.14203/jpp.v4i1.430; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019.

76

berperan di dalam pemerintahan. Selain dari segi politik, masyarakat juga menuntut adanya reformasi ekonomi terkait ekonomi Myanmar yang semakin memburuk.167

Adanya tekanan dari masyarakat pro-demokrasi, Junta Militer Myanmar mencoba beberapa hal untuk mengambil simpati masyarakat, yaitu: dengan mengganti nama menjadi Burma dengan tujuan untuk memberikan kesan kepada dunia bahwa Myanmar ingin memulai kehidupan bernegara yang baru. Selain itu, di bawah pemerintahan Jenderal Than Shwe, Aung San Suu Kyi dibebaskan dari status tahanan rumah. Hal berikutnya adalah pemilu pada 1990 yang merupakan strategi dari Junta Militer untuk mengetahui sikap rakyat terhadap pemimpinnya.

Hasil pemilu tersebut menghasilkan 392 kursi bagi NLD dan partai Junta Militer, yaitu National Unity Party (NUP) hanya memperoleh 10 kursi saja di parlemen.168

Hasil dari demonstrasi 1988, tidak memiliki dampak yang besar bagi

Myanmar dari segi ekonomi dan juga politik. Pada 2007, terjadi demonstrasi serupa yang dikenal sebagai “Saffrone Revolution” (Revolusi Saffrone). Antara revolusi saffrone dan demonstrasi 1988 memiliki pola yang sama, yaitu terkait dengan ekonomi dan juga politik. Andrew Selth membagi revolusi saffron menjadi tiga fase: fase pertama, dimulai semenjak 15 Agustus yang dilakukan oleh aktivis pro- demokrasi menentang dan meminta pertanggung jawaban pemerintah terkait tingginya harga pangan, gas, dan minyak; fase kedua, terjadi pada 5 September yang masih memprotes tingginya harga kebutuhan masyarakat, namun pada fase

167 Marco Bunte, “Burma’s Transition to ‘Disciplined Democracy’: Abdication or Institutionalization of Military Rule”, SSRN Electronic Journal, TV, No.177, Agustus:2011, L:1-32 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.2139/ssrn.1924279; Internet; diunduh pada 27 Juli 2019. 168 Irawati, “Myanmar dan Matinya Penegakan Demokrasi”,12

77

kedua selain dilakukan oleh aktivis pro-demokrasi, tetapi juga diikuti oleh biksu- biksu yang mengajak Aliansi Biksu Burma untuk ikut melakukan demonstrasi. 169

Fase ketiga, setelah bergabungnya aktivis pro-demokrasi dan Aliansi Biksu

Myanmar, protes yang lebih besar terjadi pada 24 September 2007. Sekitar 50.000 orang diperkirakan ikut melakukan demonstrasi. Bagi pemerintah Myanmar, dengan bergabungnya Aliansi Biksu Myanmar memperkuat gelombang demokrasi dan memperbesar ancaman. Aliansi Biksu Myanmar sendiri tidak hanya menuntut terjadinya reformasi di bidang politik dan ekonomi, namun juga mengancam Junta

Militer akan memboikot keabsahan dari rezim tersebut.170

Hasil dari demonstrasi yang dilakukan pada 1988 dan 2007 mulai dapat terlihat pada saat kepimpinan Presiden Then Sein. Terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh Presiden Then Sein dalam bidang ekonomi, politik, dan HAM. Di bidang ekonomi dilakukan beberapa langkah seperti liberalisasi ekonomi di bidang telekomunikasi, energi, dan industri serta menarik investasi asing dengan menjamin hukum yang diatur dalam UU The Foreign Investmen Law tahun 2012.171 Berkaitan dengan investasi asing juga bersamaan dengan momentum AS mencabut sanksi ekonomi untuk Myanmar.172

169 Andrew Selth, “Burma’s Saffron Revolution’ and the limits of International Influence”, Australian Journal of International Affairs, Vol.62, No.3, September: 2008 , L: 281-297, [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.1080/10357710802286742; Internet; diunduh pada 30 Juli 2019. 170 Selth, “Burma’s Saffron”, 283. 171 Devi Apriyanti, “Reformasi Politik dan Ekonomi di Myanmar Pada Masa Pemerintahan Presiden U Thein Sein (2011-2013), Jurnal Fisip, Vol.1, No.2, Juli:2014, L: 1181-1193; tersedia di https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/article/download/2567/2522; Internet; diunduh pada 1 Agustus 2019. 172 TheGuardian, “US to Ease Economic Sanction on Burma in Response to Reforms”, 27 September 2012 [berita on-line], tersedia di https://www.theguardian.com/world/2012/sep/27/us-eases- burma-sanctions-clinton-sein; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019.

78

Reformasi ekonomi dilakukan berbanding lurus dengan reformasi politik.

Reformasi politik dilakukan oleh Presiden Thein Sein berefek kepada melemahnya peran militer dalam pemerintahan. Hal tersebut terlihat dengan perombakan kabinet di mana dalam kabinet barunya memasukkan perempuan untuk menjadi Menteri serta melemahkan peran militer di pemerintahan dengan hanya 3 posisi di dalam kabinet yang diisi oleh militer, yaitu Menteri pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri dan juga melakukan rekonsiliasi dengan partai NLD serta melakukan gencatan senjata dengan KNU.173

Selain itu, Presiden Thein Sein juga membebaskan tahanan politik sebanyak

1.252 sepanjang 2 tahun semenjak mendapatkan kewenangan sebagai Presiden.

Dari segi HAM, terdapat jaminan kebebasan berpendapat dan berserikat yang diatur dalam UU tahun 2012, yaitu The Settlement of Labour Dispute Law. Di samping itu, juga Presiden Thein Sein melonggarkan sensor media, ketika di bawah kepemimpinan Junta Militer Pola informasi tersendat karena adanya sensor-sensor sesuai keinginan Junta Militer terhadap berita. Pelonggaran yang dilakukan

Presiden Thein Sein dimulai dari berita-berita yang bersifat religius dan naskah- naskah politik.174

Pada 2015, demokrasi di Myanmar menjajaki era baru. Di bawah kekuasaan

NLD, Aung San Suu Kyi menyebutkan rencana pembangunan berkelanjutan

Myanmar yang salah satunya berkaitan dengan mewujudkan perdamaian,

173 Bunte, “Burma’s Transition to ‘Disciplined Democracy’, 5-8. 174 Bunte, “Burma’s Transition to ‘Disciplined Democracy’, 8-10.

79

rekonsiliasi nasional, keamanan serta liberalisasi ekonomi.175 Upaya tersebut terlihat pada 2016 dan 2017, Myanmar mengirimkan delegasi sebanyak 14 orang untuk berkunjung ke Indonesia untuk mempelajari terkait dengan hubungan sipil dan militer serta tantangan dan hambatan dalam proses transisi demokrasi yang pernah dialami Indonesia.176

Di bawah Junta Militer Myanmar merupakan negara yang memiliki type identity sebagai negara sebagai negara sosialis dan militer, namun dengan adanya gejolak politik domestik mulai dari 888 uprising dan revolusi saffron mempengaruhi Myanmar untuk menjadi negara demokrasi. Alexander Wendt mengemukakan titik berat terbentuknya identitas suatu negara berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor-faktor yang terdapat di dalam domestik suatu negara seperti ideologi atau pun budaya. Namun, identitas juga terkonstruk oleh faktor eksternal yang meliputi pandangan dari negara lain terhadap negara tersebut.177

Dari penjelasan di atas, Myanmar saat ini sedang mengkonstruk identitasnya sebagai negara demokrasi yang ideal, tidak hanya bersifat prosedural tetapi juga substansial. Namun, adanya megaphone diplomacy yang dilakukan oleh

175 ISEAS Yusof Ishak Institute, “The 43rd Singapore Lecutre by H.E Daw Aung San Suu Kyi, State Counsellor of The Republic Union of Myanmar. Myanmar ‘s Democratic Transition: Challenges and Way Forward”, 21 Agustus 2018 [berita on-line] , tersedia di https://www.iseas.edu.sg/events/singapore- lecture/item/8148-the-43rd-singapore-lecture-by-he-daw-aung-san-suu-kyi-state-counsellor-of-the-republic- of-the-union-of-myanmar-myanmars-democratic-transition-challenges-and-way-forward; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019. 176 Boy Anugrah, “Jalan Terjal Demokrasi Myanmar.”, 7 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://rmol.co/amp/2017/09/07/306098/Jalan-Terjal-Demokrasi-Myanmar- ; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019. 177 Finnemore dan Sikkink, “Taking Stock”, 399.

80

Malaysia dan PBB terkait konflik Rohingya menghambat terbentuknya identitas

Myanmar sebagai negara demokrasi.178 Terhambatnya terbentuknya identitas

Myanmar sebagai negara demokrasi juga diakui oleh Juru Bicara Presiden

Myanmar U Zaw Htay:

The issue that affects our transition is Rakhine State, as we have to aim for stability in Rakhine State, there has been criticism and pressure from the international community. Compared with other countries transitioning to democracy, problem such as armed ethnic gropus and Rakhine put the government in a difficult position179

Diterimanya diplomasi Indonesia oleh Myanmar terkait konflik Rohingya, selain dikarenakan kepercayaan yang dimiliki Myanmar, melainkan juga terkait dengan identitasnya. Finnemore menjelaskan bahwa identitas bisa menjadi alasan atas tindakan suatu negara.180 Upaya Myanmar menerima diplomasi Indonesia merupakan upaya untuk memperkuat identitas demokrasinya. Hubungan Indonesia dan Myanmar dalam konteks demokrasi sudah terbentuk semenjak Myanmar mengikuti BDF pada 2008.181 Selain dalam forum BDF, Indonesia juga membantu demokrasi Myanmar melalui penguatan lembaga-lembaga terkait seperti Komisi

Pemilihan Umum (KPU) Myanmar.182

C. Material Structure Myanmar terkait Penerimaan Diplomasi Indonesia

Diterimanya diplomasi Indonesia oleh Myanmar terkait konflik Rohingya tidak hanya dipengaruhi oleh struktur ideasional, melainkan juga dipengaruhi oleh

178 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 84. 179 Myat Thura, “Rakhine issue affects democratic transition, Senior official says”, 5 Agustus 2019 [berita on-line], tersedia di https://www.mmtimes.com/news/rakhine-issue-affects-democratic-transition- senior-official-says.html; Internet; diakses pada 20 Agustus 2019. 180 Finnemore dan Sikkink, “Taking Stock”, 399. 181 Halans dan Nassy, Indonesia’s Rise and Democracy Promotion in Asia, 3. 182 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019.

81

struktur material. Struktur material digambarkan sebagai struktur yang terkait dengan realitas seperti kepentingan nasional yang termasuk di dalamnya seperti ekonomi, keamanan, dan kekuatan. Tetapi, struktur material juga termasuk kepada hal-hal yang tidak dapat dilihat atau dinamakan fakta-fakta sosial (social facts) seperti kedaulatan dan hak-hak asasi dikarenakan negara-negara mempercayai hal tersebut dan bertindak demikian.183

Struktur material yang mempengaruhi Myanmar menerima diplomasi

Indonesia terkait konflik Rohingya bukan persoalan ekonomi, melainkan keamanan dan kedaulatan. Hal tersebut terlihat dari segi nilai investasi, Indonesia merupakan negara peringkat ke-13 bagi Myanmar. Pada 2016, investasi Indonesia mencapai

US$ 700 juta184 dan sebaliknya menurut catatan KADIN Indonesia, investasi

Myanmar hanya US$ 0,6 juta di Indonesia.185 Presiden Jokowi menganggap nilai perdagangan maupun investasi Indonesia di Myanmar masih memiliki peluang untuk ditingkatkan, dengan begitu Jokowi mendorong BUMN untuk meningkatkan investasi di sektor pertambangan, infrastruktur, dan telekomunikasi.186

Faktor keamanan menjadi penting mengingat upaya kemerdekaan Myanmar pada 1948 menempuh jalan yang sangat panjang. Aung San sebagai tokoh nasional saat itu berusaha melawan kolonialisme Inggris dan mengupayakan konsolidasi nasional melalui perjanjian Pangalong. Namun, konsolidasi internal Myanmar

183 Finnemore dan Sikkink, “Taking Stock”, 393. 184 Elza Astari, “Dikunjungi MPR, Myanmar Berharap Investasi Indonesia Capai 1 M USD”, 25 Agustus 2016 [berita on-line], tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3283792/dikunjungi-mpr-myanmar- berharap-investasi-indonesia-capai-1-m-usd; Internet; diakses pada 24 April 2019. 185 Elza Astari, “Dikunjungi MPR, Myanmar Berharap Investasi Indonesia Capai 1 M USD” 186 Ananda Teresia, “Jokowi: Indonesia Investasi 3 Sektor di Myanmar”, 12 November 2014 [berita on-line], tersedia di https://dunia.tempo.co/read/621420/jokowi-indonesia-investasi-3-sektor-di- myanmar/full&view=ok; Internet; diakses pada 24 April 2019.

82

nampaknya masih belum terkonsolidasi dengan baik. Hal tersebut dilihat dari berbagai konflik etnis yang masih ada di Myanmar, termasuk konflik Rohingya,

Konflik Katchin, dan Konflik Karen.

Perpecahan etnis di Myanmar menjadi konflik yang berkepanjangan.

Diperbolehkannya etnis resmi untuk memiliki tentara sendiri menjadi salah satu faktor di samping ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Myanmar untuk melakukan pemberontakan. Salah satunya adalah etnis Kachin yang memiliki tentara KIO yang telah melakukan pemberontakan semenjak 1961 namun pada

1994 antara KIO dan pemerintah Myanmar telah menyepakati gencatan senjata sampai pada 2011, namun gencatan senjata tersebut gagal dan berakibat konflik kembali terjadi dan terus berlanjut sampai saat ini.187

Selain etnis Kachin, juga terdapat konflik antara pemerintah Myanmar dengan etnis Karen. Etnis Karen melalui KNU menginginkan kemerdekaan dari

Myanmar semenjak 1949. Namun, pada prosesnya antara KNU dan pemerintah

Myanmar telah melakukan gencatan senjata pada 2012.188 Etnis Karen dan Kachin adalah contoh dari konflik etnis di Myanmar, meskipun kedua etnis tersebut merupakan etnis yang diakui secara resmi oleh pemerintah Myanmar, tidak seperti etnis Rohingya.

Menurut Ali Yusuf, “di negara bagian Rakhine konflik yang terjadi tidak hanya antara pemerintah dan etnis Rohingya, namun juga dengan etnis Rakhine

187 Durand, Conflicts in Myanmar,33 188 Brenner, “Inside the Karen Insurgency”,93

83

atau Arakan”.189 Konflik-konflik etnis yang terjadi di Myanmar menandakan lemahnya konsolidasi internal, hal tersebut sangat rentan bagi keamanan nasional

Myanmar. Oleh karena itu, Myanmar bersikap tertutup kepada dunia pada umumnya dan khusus terkait konflik Rohingya. Myanmar memilih-milih negara untuk dapat terlibat secara langsung dalam konflik Rohingya, seperti Indonesia.

Diterimanya diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya tidak hanya berdasarkan karena diplomasi Indonesia saja, melainkan kepercayaan dari

Myanmar terhadap Indonesia yang tidak akan mengganggu stabilitas keamanan

Myanmar. Indonesia selain karena dipercayai oleh Myanmar tidak memiliki agenda terselubung dalam membantu konflik Rohingya seperti yang dijelaskan oleh Dewi

Lestari, melainkan juga memiliki alasan lain. Seperti yang telah diketahui bahwa pendekatan Myanmar terkait konflik Rohingya merupakan pendekatan kedaulatan sehingga tidak ada negara yang berhak untuk mengintervensi, Indonesia di satu sisi dibutuhkan oleh Myanmar untuk menyampaikan bahwa untuk membantu konflik

Rohingya tidak dengan cara-cara yang mempengaruhi keamanan Myanmar.190

Peran Indonesia dalam menyampaikan posisi Myanmar dijelaskan oleh

Dewi Lestari:

Indonesia mencoba untuk memberikan pemahaman yang berimbang terkait konflik Rohingya atas dasar permintaan dari Myanmar yang pada umumnya wajar saja ketika suatu negara sedang menghadapi masalah meminta bantuan kepada negara-negara sahabatnya. Indonesia melakukan hal tersebut di dalam forum-forum OKI dikarenakan Myanmar tidak dapat menyampaikan posisinya

189 Wawancara dengan Ali Yusuf pada 11 Juli 2019 190 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019.

84

berhubung dengan Myanmar bukan anggota OKI.191

Seperti yang dikatakan oleh Menlu Retno dalam KTM Luar Biasa OKI tahun 2017 di Malaysia, “Hanya dengan mengambil langkah konstruktif dan inklusif, OKI dapat berkontribusi dalam membuat situasi di Rakhine State lebih baik”192 Dalam pernyataan Menlu Retno tersebut, Indonesia mengajak OKI untuk menghindari megaphone diplomacy dikarenakan hal tersebut tidak efektif yang terbukti dari megaphone diplomacy yang dilakukan oleh PBB dan Malaysia dikarenakan Myanmar melihat megaphone diplomacy sebagai intervensi yang mengurusi urusan domestiknya.

191 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019. 192 Inggried Dwi Wedhaswary, “Indonesia Siap Jembatani OKI Perbaiki Situasi di Rakhine” 20 Januari 2017 [berita on-line], tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2017/01/20/13223711/indonesia.siap.jembatani.oki.perbaiki.situasi.di.rakhi ne.?page=all; Internet; diakses pada 24 Agustus 2019.

85

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Konflik Rohingya merupakan konflik yang bersifat multidimensi. Akar permasalahan konflik Rohingya mencangkup sejarah, diskriminasi, ekonomi, identitas, dan pemberontakan. Pada 2015, konflik Rohingya kembali menjadi perhatian dunia saat terjadi beberapa pengungsi Rohingya tiba di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Konflik terus berlanjut, pada 2016 ketika

ARSA menyerang pos polisi dan menewaskan 9 orang, semenjak itu militer

Myanmar mengambil tindakan represif terhadap etnis Rohingya.

Akibat dari konflik tersebut, UNHCR mencatat sampai dengan 25 Agustus

2017 bahwa sekitar 741.014 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.193

Banyak aktor internasional yang merespons konflik Rohingya, seperti Malaysia dan

PBB.dengan megaphone diplomacy. Megaphone diplomacy merupakan cara berdialog dan juga mengirimkan pesan melalui media kepada pihak yang terkait dengan konflik. Hal ini dilakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk membentuk negosiasi atau pun dialog secara formal.

Terkait dengan konflik Rohingya, Myanmar bersikap tertutup kepada dunia dan hanya memberikan akses bagi negara-negara yang dipercayai untuk terlibat

193 UNHCR, “Refugee Response in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4; Internet; diakses pada 10 April 2019.

86

dalam konflik Rohingya seperti Indonesia yang ditandai dengan diterimanya diplomasi Indonesia.

Penerimaan diplomasi Indonesia oleh Myanmar terkait konflik Rohingya periode 2015-2017 tidak hanya dipengaruhi oleh faktor diplomasi saja, melainkan juga menurut konstruktivisme dipengaruhi oleh struktur ideasional dan material. struktur ideasional (ideational structure) yang merupakan struktur yang memberikan kesepahaman mengenai ide, nilai, dan kepercayaan. Wendt menyebutkan bahwa perilaku negara dapat berasal dari pandangan yang berupa kepercayaan dan ekspektasi terhadap satu sama lainnya. Struktur ideasional memiliki peran penting dalam menganalisis perilaku negara, namun juga terdapat andil dari struktur material (material structure).194

Myanmar memiliki kepercayaan terhadap Indonesia terkait konlik

Rohingya dikarenakan hubungan bilateral yang baik dan diplomasi Indonesia.

Selain itu, kepercayaan Myanmar juga berkaitan dengan identitas yang sedang dibangun oleh Myanmar, yaitu negara demokrasi. Menurut Alexander Wendt, identitas dibagi menjadi dua, yaitu type identities dan role identities. Type identities merupakan label yang terkonstruk terhadap negara lain yang terbentuk dari hal-hal yang bersifat domestik, contohnya negara Islam, negara demokrasi, negara komunis, dan negara kapitalis. Sementara itu, role identities merupakan hasil dari relasi antar negara, seperti teman, musuh, aliansi, atau rival.195

194 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 141. 195 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 225-226.

87

Type identity Myanmar saat ini sedang membangun identitas sebagai negara demokrasi. pada 1990 telah melaksanakan pemilu, namun Menurut Acharya, saat ini Myanmar sedang menganut demokrasi prosedural yang artinya demokrasi dan segala elemennya seperti pemilu hanya bersifat prosedural. Sedangkan untuk demokrasi substantif belum terlaksana karena masih banyak hal-hal seperti HAM dan kebebasan untuk berpendapat, berserikat, dan partisipasi politik yang belum terjamin. Pada 2015, terpilihnya NLD sebagai partai pemenang pemilu merupakan salah satu faktor babak baru bagi demokrasi Myanmar.

Sedangkan role identity Myanmar memiliki relasi yang beragam dengan berbagai negara. AS merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan kurang baik dengan Myanmar. Hal tersebut terlihat dari sanksi-sanksi yang diberikan AS seperti sanksi ekonomi dan perdagangan yang bertujuan untuk melemahkan rezim militer dan mendukung demokrasi Myanmar. Alexander Wendt menjelaskan, bahwa identitas terbentuk dari faktor domestik seperti ideologi dan budaya, tetapi juga terbentuk berdasarkan perspektif negara lain terhadap negara tersebut.196 Oleh karena itu, upaya Myanmar yang sedang membentuk identitas sebagai negara demokrasi yang ideal terhambat karena megaphone diplomacy yang dilakukan oleh

Malaysia dan PBB.

Selain dari struktur ideasional, struktur material juga mempengaruhi

Myanmar dalam menerima diplomasi Indonesia. Struktur material digambarkan sebagai struktur yang terkait dengan realitas seperti kepentingan nasional yang

196 Wendt, Social Theory of Internasional Politics, 84.

88

termasuk di dalamnya seperti ekonomi, keamanan,dan kekuatan. Struktur material yang mempengaruhi Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait konflik

Rohingya bukan persoalan ekonomi, melainkan keamanan dan kedaulatan.

Kalahnya Union Solidarity and Development Party (USDP) dalam pemilu

Myanmar menyisakan banyak permasalahan salah satunya adalah masalah keamanan. Keamanan Myanmar saat ini terancam dikarenakan banyaknya konflik etnis dengan pemerintah mau pun sesame etnis lainnya seperti konflik Rohingya,

Konflik Rakhine, Konflik Kachin, dan Konflik Karen. Hal tersebut menjadikan keamanan sebagai faktor penting bagi Myanmar terlihat dengan memilih negara- negara yang diizinkan terlibat terkait konflik Rohingya seperti Indonesia.

Menurut Dewi Lestari, Indonesia menegaskan bahwa tidak memiliki agenda terselubung dalam membantu konflik Rohingya sehingga Myanmar mempercayai tidak akan mengganggu keamanan Myanmar dan menerima diplomasi Indonesia197.

Sedangkan dari segi kedaulatan, upaya Myanmar dalam mengkonstruk konflik

Rohingya sebagai konflik domestik juga dilakukan oleh Indonesia dengan meminta negara-negara untuk mengambil pendekatan yang konstruktif dan inklusif, dan menghindari penggunaan megaphone diplomacy seperti yang dikatakan oleh Menlu

Retno di KTM OKI pada 2017 dikarenakan Myanmar melihat megaphone diplomacy sebagai intervensi yang mengurusi urusan domestiknya.198.

197 Wawancara dengan Dewi Lestari pada 8 Agustus 2019. 198 Inggried Dwi Wedhaswary, “Indonesia Siap Jembatani OKI Perbaiki Situasi di Rakhine” 20 Januari 2017 [berita on-line], tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2017/01/20/13223711/indonesia.siap.jembatani.oki.perbaiki.situasi.di.rakhi ne.?page=all; Internet; diakses pada 24 Agustus 2019.

89

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui alasan mengapa Myanmar menerima diplomasi Indonesia dikarenakan adanya faktor diplomasi, kepercayaan, identitas, dan juga keamanan beserta kedaulatan.

B. Saran

Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor Myanmar menerima diplomasi Indonesia terkait konflik Rohingya periode 2015-2017. Penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan bahan rujukan bagi peneliti berikutnya yang ingin membahas isu terkait konflik Rohingya dan diplomasi Indonesia. Kemudian, penelitian selanjutnya dapat membahas terkait dengan peristiwa ini adalah diperlukannya penelitian lebih lanjut terkait dengan pengaruh Tiongkok terkait identitas Myanmar: konflik Rohingya.

90

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Acharya, Amitav. Indonesia Matters: Asia’s Emerging Democratic Power. [buku on-line] Singapura: World Scientific Publishing, 2015; tersedia di DOI: 10.1142/9298; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019.

Acharya, Amitav. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem London: Routledge, 2014 [buku on-line]; tersedia di DOI: 10.4324/9780203939239; Internet; diunduh pada 21 Juni 2019.

Alkatiri, Zeffry. Transisi Demokrasi di Eropa Timur: Baltik, Jerman Timur, Rumania & Balkan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Anggraini, Myrna. Perjuangan anti Kolonialisme Birma. Jakarta: UI, 2008.

Burchil, Scott. Theories of Internasional Relations 3rd ed. New York: Palgrave Macmillan, 2005 [buku on-line]; tersedia di lib.jnu.ac.in/sites/default/files/RefrenceFile/Theories-of-IR.pdf; Internet; diunduh pada 7 Agustus 2016

Creswell, John. Qualitative and Quantitative Approaches,[buku on-line] London:Sage Publications,2014; tersedia di DOI: 10.13140/RG.2.1.1262.4886; Internet; diunduh pada 14 Juni 2017

Durand, Lauren. Conflicts in Myanmar: A systemic approach to conflict analysis and transformation, [buku on-line] Swedia: Lund University, 2013; tersedia di https://lup.lub.lu.se/student- papers/search/publication/3809452; Internet; diunduh pada 5 April 2019.

Guo, Xiaolin. Towards Resolution: China in Myanmar Issue [buku on-line] USA: The central Asia-Caucaus Institute,2007; tersedia di http://isdp.eu/content/uploads/images/stories/isdp-main- pdf/2007_guo_towards-resolution.pdf; Internet; diunduh pada 3 Mei 2019.

Hlaing, Kyaw Yin. Myanmar/Burma: Inside Challenges, Outside Interest, [buku

XCI

on-line] Washington DC: Brooking Institution Press, 2010; tersedia di 10.1355/cs34-2f; Internet; diunduh pada 3 Januari 2018.

Heru, Susetyo, dan Heri Aryanto, Rohingya:Suara Etnis yang Tak Boleh Bersuara. Indonesia: Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013.

H. Taylor, Robert. Myanmar: State, Society, and Ethnicity [buku on-line] Singapura: ISEAS Publishing, 2007; tersedia di DOI: 10.1355/sj33-3o; Internet; diunduh pada 11 Januari 2019

Halans, Michael, dan Danitsja Nassy, Indonesia’s Rise and Democracy Promotion in Asia: The Bali Democracy Forum and Beyond, [buku on-line] Netherland Institute of IR: The Hague 28 Oktober, 2013; tersedia di https://www.clingendael.org/sites/default/files/pdfs/Bali%20Democracy %20Forum%20and%20Beyond%20- %20Expert%20seminar%20report.pdf; Internet; diunduh pada 2 Agustus 2019.

I.Steinberg, David. Burma/Myanmar: What Everyone needs to Know, [buku on- line] Inggris: Oxford University Press, 2010; tersedia di http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=BF26BB221C4682544DD1E3 13E67FED6A; Internet; diunduh pada 1 April 2019.

Lintner, Bertil. Ethnicity in Asia, [buku on-line] USA: Routledge Zurzon, 2003; tersedia di https://doi.org/10.4324/9780203380468; Internet; diunduh pada 3 April 2019.

Muchsin, Ayoeb. Diplomasi: Teori dan Praktek serta Kasus-kasus. Jakarta: UIN Jakarta, 2013.

Nugrahani, Farida. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa. Solo: Chakra Books, 2014.

RI, Tim Dokumentasi Presiden. Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978. Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta, 2003.

XCII

Saung, Myrna. Catatan dari Bawah Tanah. Jakarta: LP3ES,1991.

Shoelhi, Mohammad. Diplomasi Praktik Komunikasi Internasional. Bandung:Simbiosa Rekatama Media, 2011.

Sholeh, Badrus. “Indonesia and ASEAN Responses on Rohingya Refugees” dalam The Palgrave Handbook of Ethnicity. Singapura: Palgrave Macmillian. 2019.

Singh, Bilveer. Tantangan Orang Rohingya Myanmar. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2014.

Snow, Nancy. Routledge Handbook of Public Diplomacy [buku on-line] Inggris: Routledge,2009; tersedia di https://www.routledgehandbooks.com/pdf/doi/10.4324/9780203891520.c h3; Internet; diunduh pada 12 Mei 2019.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009.

Sulistiyanto, Priyambudi. “Indonesia in 2017: Jokowi’s Supremacy and His Next Political Battles”, dalam Southeast Asian Affairs 2018, [buku on-line] Singapura: Yusof Ishak Institute: 2018; tersedia di https://bookshop.iseas.edu.sg/account/downloads/get/19872; Internet; diunduh pada 30 April 2019.

Wade, Francis. Myanmar’s Enemy Within: Buddhist Violence and the Making of a Muslim ‘Other’ [buku on-line] London: Zed BOOKS Ltd, 2017; tersedia di https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1868103419845583; Internet; diunduh pada 29 April 2019.

Watson, Adam. Diplomacy: The Dialogue between States [buku on-line] Prancis: Routledge, 2005; tersedia di https://doi.org/10.1177/004711788200700408; Internet; diunduh pada 10 Mei 2019.

XCIII

Watch, Human Rights. All You Can Do is Pray: Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [buku on- line] AS: HRW, 2013; tersedia di https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes- against-humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims;Intenert; diunduh pada 28 Oktober 2018.

Wendt, Alexander. Social Theory of Internasional Politics [buku on-line] Cambridge: Cambridge University Press, 1999; tersedia di https://doi.org/10.1017/CBO9780511612183; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017.

Jurnal

Apriyanti, Devi, “Reformasi Politik dan Ekonomi di Myanmar Pada Masa Pemerintahan Presiden U Thein Sein (2011-2013), Jurnal Fisip, Vol.1, No.2, Juli:2014, L: 1181-1193; tersedia di https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/article/download/2567/2522; Internet; diunduh pada 1 Agustus 2019

Ardani, Fatma Arya, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu Penyelesaian Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar: Studi Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono, Journal of Internasional Relations, Vol.1, No.2, TB, 2015, L: 22-28, [jurnal on-line]; tersedia di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jihi; Internet; diunduh pada 5 November 2018.

Bainus, Arry, “Debating National interest Vis-à-vis Refugees: Indonesia’s Rohingya Case”, dalam buku The Challenges of Social Sciences in A Changing World, [buku on-line] (Jogjakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,2016), 674; tersedia di http://hi.umy.ac.id/wp- content/uploads/2014/02/Jurnal_HI_UMY_Vol_5_No_2_Edisi_Oktober _2012.pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019.

Bepler, Stefan, “The Rohingya Conflict: Genesis, current situation and geopolitical

XCIV

asets”, Scientific Paper Pasific Geographics, tersedia di 10.23791/500410, diunduh pada 11 April 2019.

Bunte, Marco, “Burma’s Transition to ‘Disciplined Democracy’: Abdication or Institutionalization of Military Rule”, SSRN Electronic Journal, TV, No.177, Agustus:2011, L:1-32 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.2139/ssrn.1924279; Internet; diunduh pada 27 Juli 2019.

Brenner, David “Inside the Karen Insurgency: Explaining Conflict and Conciliation in Myanmar’s Changing Borderlands”, Jurnal Asian Security, Vol.14, No.2, TB:2018, L: 83-99 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.1080/14799855.2017.1293657; Internet; diunduh pada 5 April 2019. Brooten, Lisa dan Yola Verbruggen, “Producing the News: Reporting on Myanmar’s Rohingya Crisis”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 47, No. 3, TB: 2017, L: 106-125 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.4324/9781315146263-6; Internet; diunduh pada 22 April 2019.

Cribb, Robert, “Burma’s Entry Into ASEAN: Background and Implications”, Jurnal Asian Perspective, Vol.22, No.3, TB:1998, L: 49-62; tersedia di https://books.openedition.org/irasec/515#ftn31; Internet; diunduh pada 23 April 2019.

Dermawan, Windy, “Maritime Diplomacy Sebagai Strategi Pembangunan Keamanan Maritim Indonesia”, Jurnal Wacana Politik, vol.1, No.2, Oktober:2016, L: 166-174 [jurnal on-line]; tersedia di jurnal.unpad.ac.id/wacanapolitik/article/download/11058/pdf; Internet; diunduh pada 15 April 2019.

Dewi, Ita M. “Pengalaman Militer Burma: Sebuah Analisis Historis-Politis”, Jurnal ISTORIA, Vol.1, No.1, TB:2005, L:1-17, [jurnal on-line]; tersedia di staffnew.uny.ac.id/upload/132306803/penelitian/burma-istoria.pdf; Internet; diunduh pada 5 April 2019.

Felix, Chidzoie, “Nigeria’s Megaphone Diplomacy and South Africa’s Quiet Diplomacy: A Tale of Two Eras”, Covenant University, Jornal of Politics

XCV

and Internasional Affairs (CUJPIA), Vol.1, No.2, TB:2013, L:235-255 [jurnal on-line]; tersedia di http://eprints.covenantuniversity.edu.ng/3827/#.XUfTyOgza00; Internet; diunduh pada 9 November 2018.

Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink, “Taking Stock: The Constructivist Research Program in International Relations and Comparative Politics”, Jurnal Political Science, Vol.4, No.1, Juni:2001, L: 391-416; tersedia di DOI: 10.1146/annurev.polisci.4.1.391; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019.

Irawati, Aweni, “Myanmar dan Matinya Penegakan Demokrasi”, Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol.4, No.1, Januari:2007, L:5-17 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.14203/jpp.v4i1.430; Internet; diunduh pada 26 Juli 2019.

Karim, Mohd Aminul dan Faria Islam, “Bangladesh-China-India-Myanmar (BCIM) Economic Coridor: Challenges and Prospects”, The Korean Journal of Defense Analysis, Vol.30, No.2, TB:2018, L:283-302 [jurnal on- line]; tersedia di https://www.risingpowersinitiative.org/resource_database- post/karim-mohd-aminul-and-faria-islam/; Internet; diunduh pada 13 April 2019. Jati, Irawan, “Comparative Study of the Roles of ASEAN and the Organization of Islamic Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”, Jurnal IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies, Vol.1, No.1, Juli,2017, L:17-32 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.22146/ikat.v1i1.27466; Internet; diunduh pada 23 Aprill 2019.

Leider, Jacques . Rohingya: “The History of a Muslim Identity in Myanmar”, Jurnal Asian History: L 1-35, Agustus 2019 [jurnal on-line] tersedia di 10.1093/acrefore/9780190277727.013.115; Internet; diunduh pada 9 April 2019.

XCVI

Naushin Parnini, Syeda, “The Crisis of the Rohingya as a Muslim Minority in Myanmar and Bilateral Relations with Bangladesh”, Journal of Muslim Minority Affairs, Vol.33, No.2, Oktober:2013, L:281-297; tersedia di DOI: 10.1080/13602004.2013.826453; Internet; diunduh pada 1 Mei 2019. Nugroho, Arifin Suryo, “Soekarno dan Diplomasi Indonesia”, Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol.10, no.2, Desember:2016, L:125-131 [jurnal on-line]; tersedia di dx.doi.org/10.17977/um020v10i22016p125; Internet; diunduh pada 18 April 2019.

Rachmawati, Iva. “Pendekatan Konstruktivis dalam Kajian Diplomasi Publik Indonesia”, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Vol.5, No.2, TB:2017

Raharjo, Sandy Nur Ikfal, “Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine Myanmar tahun 2012-2013”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol.6, No.1, Juni: 2015, L:35-51; tersedia di DOI: http://dx.doi.org/10.14203/jkw.v6i1.68; Internet; diunduh pada 23 April 2019.

Sadan, Mandy, “Ethnic Armies and Ethnic Conflict in Burma: Reconsidering the history of colonial militarization in the Kachin Region of Burma during the Second World War”, South East Asia Research, Vol.21, No.4, Oktober,2018, L:601-624 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.5367/sear.2013.0173; Internet; diunduh pada 10 April 2019.

Saputra, Oddie Bagus, “Peran Asean Intergovernmental Commission On Human Rights Sebagai Institusi Ham Asean: Kasus Rohingya Di Myanmar 2012- 2016”, Journal of International Relations, Vol. 5, No.1, (2019), L: 946- 957 [jurnal on-line]; tersedia di https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/download/22689/2075 0; Internet; diunduh pada 20 Juni 2019.

Selth, Andrew, “Burma’s Saffron Revolution’ and the limits of International Influence”, Australian Journal of International Affairs, Vol.62, No.3, September: 2008, L: 281-297, [jurnal on-line]; tersedia di DOI:

XCVII

10.1080/10357710802286742; Internet; diunduh pada 30 Juli 2019.

Sparre, Kirsten, “Megaphone Diplomacy in the Northern Peace Process: Squaring the Circle by Talking to Terrorists through Journalists”, Jurnal Press/Politics, Vol.6, No.1, Januari:2001, L: 88-104; tersedia di https://doi.org/10.1177/1081180X01006001006; Internet; diunduh pada 10 Juli 2019

Walt, Stephen M. “Internasional Relations: One World, Many Theories”, Jurnal Foreign Policy, TV, No.110, TB:1998, L: 29-46; tersedia di DOI: 10.2307/1149275; Internet; diunduh pada 7 Juli 2017.

Wendt, Alexander, “Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics”, Jurnal Internasional Organization, Vol.46, No.2, TB:1992, L:391-425 [jurnal on-line]; tersedia di DOI: 10.1017/S0020818300027764; Internet; diunduh pada 8 Mei 2017.

Winarni, Leni, “The Rohingya Muslim in the Land of Pagoda”, Journal of ASEAN Studies, vol.5, No.1 TB: 2017, L: 37-50 [jurnal on-line]; tersedia di https://doi.org/10.21512/jas.v5i1.1812; Internet; diunduh pada 2 April 2019.

Yasyid, Fasha Nabila, “Dampak Pengusiran Etnis Rohingya oleh Myanmar Terhadap Keamanan Bangladesh”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 4, TB:2017, L:1-14 [jurnal on-line]; tersedia di https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2486; Internet; diunduh pada 11 April 2019.

Berita

Alatas, Menlu. “Myanmar Ingin Belajar Soal Dwifungsi ABRI”, KOMPAS diterbitkan pada 23 Desember 1993, tersedia di https://chirpstory.com/li/367990; Internet; diakses pada 23 April 2019.

Aljazeera. “Persecution path: Following Myanmar's fleeing Rohingya”, 6 September 2017 [berita on-line], tersedia di

XCVIII

https://www.aljazeera.com/indepth/interactive/2017/03/persecution-path- myanmar-fleeing-rohingya-170314125333337.html; Internet; diakses pada 23 April 2019.

Anugrah, Boy. “Jalan Terjal Demokrasi Myanmar.”, 7 September 2017 [berita on- line], tersedia di https://rmol.co/amp/2017/09/07/306098/Jalan-Terjal- Demokrasi-Myanmar- ; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019.

Anthoni, Mohammad. “Jalan panjang Myanmar menuju kursi ketua ASEAN”, 15 November 2011 [berita on-line], tersedia di https://www.antaranews.com/berita/284693/jalan-panjang-myanmar- menuju-kursi-ketua-asean; Internet; diakses pada 14 Mei 2019.

Anwar, M. “Yusril Ceritakan Upaya Soeharto Bantu Myanmar Masuk ASEAN”, 5 September 2017 [berita on-line], tersedia di http://www.teropongsenayan.com/70235-yusril-ceritakan-upaya-soeharto- bantu-myanmar-masuk-asean; Internet; diakses pada 23 April 2019.

ASEAN-INDONESIA, SEKNAS. “Latar Belakang AICHR”, [berita on-line], tersedia di http://setnas-asean.id/asean-intergovernmental-commission-on- human-rights-aichr, diakses pada 20 Juni 2019.

Astiana, Ira. “Indonesia akan minta Myanmar perbanyak izin akses bantuan buat warga Rohingya”, 20 April 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.merdeka.com/dunia/indonesia-akan-minta-myanmar- perbanyak-izin-akses-bantuan-buat-warga-rohingya.html; Internet; diakses pada 11 April 2019.

Astari, Elza. “Dikunjungi MPR, Myanmar Berharap Investasi Indonesia Capai 1 M USD”, 25 Agustus 2016 [berita on-line], tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3283792/dikunjungi-mpr-myanmar- berharap-investasi-indonesia-capai-1-m-usd; Internet; diakses pada 24 April 2019.

XCIX

Aung, Nyan Lynn. “ASEAN team visits Rakhine to assess repatriation needs”, 29 November 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.mmtimes.com/news/asean-team-visits-rakhine-assess- repatriation-needs.html; Internet; diakses pada 27 Juli 2019.

Aung, Thu Thu. “Myanmar army chief says 'no right to interfere' as U.N. weighs Rohingya crisis”, 24 September 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.reuters.com/article/us-myanmar-rohingya/myanmar-army- chief-says-no-right-to-interfere-as-u-n-weighs-rohingya-crisis- idUSKCN1M41K5; Internet; diakses pada 27 Juli 2019.

Australia, Pemerintah. “Joint Statement of the ASEAN-Australia Special Summit: The Sydney Declaration”, 18 Maret 2018 [berita on-line], tersedia di https://aseanaustralia.pmc.gov.au/Declaration.html; Internet; diakses pada 14 April 2019.

BBC, “Myanmar: Aung San Suu Kyi exclusive Interview, 5 April 2017 [berita on- line] tersedia di https://www.bbc.com/news/av/world-asia- 39510271/myanmar-aung-san-suu-kyi-exclusive-interview;Internet; diakses pada 7 Juli 2019.

Budhi, Oki. “Unjuk Rasa Solidaritas Rohingya di Bandung dan Jakarta”, 26 November 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38088925; Internet; diakses pada 9 November 2018.

Bonasir, Rohmatin. “Ikut demonstrasi Rohingya, PM Malaysia Najib Razak dikecam”, 4 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/dunia-38202191;Internet; diakses pada 9 November 2018 pukul 12.48 WIB

Chau, Thompson. “Senior General Min Aung Hlaing slams UN Report”, 25 September 2018 [berita on-line] tersedia di

C

https://www.mmtimes.com/news/senior-general-min-aung-hlaing-slams- un-report.html; Internet; diakses pada 23 Agustus 2019.

Dessthania, Riva. “Menlu RI Dorong OKI Selesaikan Konflik Rohingya dan Marawi”, 12 Juli 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20170712095824-106- 227281/menlu-ri-dorong-oki-selesaikan-konflik-rohingya-dan-marawi; Internet; diakses pada 28 April 2019 Dessthania, Riva. “KTT ASEAN Hindari Kata Rohingya dalam Pernyataan Bersama”, 13 November 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20171113204116-106- 255408/ktt-asean-hindari-kata-rohingya-dalam-pernyataan-bersama”; Internet; diakses pada 28 April 2019. Economist, The .“The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index”, [berita on- line], tersedia di https://infographics.economist.com/2018/DemocracyIndex/; Internet; diakses pada 30 Juli 2019. Fauzi, Yuliyanna. “Perdagangan Indonesia-Myanmar Tak Terpengaruh Krisis Rohingya”, 4 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/bisnis/20170904143816-92- 239326/perdagangan-indonesia-myanmar-tak-terpengaruh-krisis-rohingya; Internet; diakses pada 24 April 2019. Guardian, The. “US to Ease Economic Sanction on Burma in Response to Reforms”, 27 September 2012 [berita on-line], tersedia di https://www.theguardian.com/world/2012/sep/27/us-eases-burma- sanctions-clinton-sein; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019. Hidayat, Rachmat. “Myanmar Tolak Resolusi Rohingya”, 6 September 2018 [berita on-line] tersedia di http://www.tribunnews.com/internasional/2018/09/06/fadli-zon-myanmar- tolar-reslousi-rohingya-indonesia-dukung-cabut-resolusi-politi-aipa; Internet; diakses pada 9 November 2018.

CI

Institute, ISEAS Yusof Ishak. “The 43rd Singapore Lecutre by H.E Daw Aung San Suu Kyi, State Counsellor of The Republic Union of Myanmar. Myanmar ‘s Democratic Transition: Challenges and Way Forward”, 21 Agustus 2018 [berita on-line] , tersedia di https://www.iseas.edu.sg/events/singapore- lecture/item/8148-the-43rd-singapore-lecture-by-he-daw-aung-san-suu- kyi-state-counsellor-of-the-republic-of-the-union-of-myanmar-myanmars- democratic-transition-challenges-and-way-forward; Internet; diakses pada 1 Agustus 2019. KOMPAS. “Indonesia Sampaikan 10 Kontainer Bantuan untuk Warga Rohingya”, 21 Januari 2017 [berita on-line], tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2017/01/21/17135941/indonesia.sampai kan.10.kontainer.bantuan.untuk.warga.rohingya; Internet; diakses pada 29 April 2019. KEMLU, “Bantuan Kemanusiaan Indonesia untuk Rohingya/Rakhine State”, 29 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/bantuan-kemanusiaan-indonesia- untuk-rohingya.aspx; Internet; diakses pada 10 Oktober 2018. KEMLU, ”Menlu RI Serahkan Usulan Formula 4+1 untuk Rakhine State kepada State Counsellor Myanmar”, 4 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Menlu-RI-Serahkan-usulan- Formula-41-untuk-Rakhine-State-kepada-State-Counsellor-Myanmar.aspx KEMLU, “Hubungan Bilateral Indonesia-Myanmar”, 2018 [berita on-line], tersedia di https://kemlu.go.id/yangon/id/read/hubungan-bilateral- indonesia-myanmar/1743/etc-menu; Internet; diakses pada 23 April 2019. Lederer, Edith M. “UN Meeting on Myanmar Spotlights Security Council Divisions”, 29 September 2017 berita on-line], tersedia di https://www.usnews.com/news/world/articles/2017-09-28/un-says- number-of-rohingyas-fleeing-myanmar-now-over-500-000; diakses pada 14 April 2019. Maulana, Victor. “Menlu Retno Luncurkan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar”, 31 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di

CII

https://international.sindonews.com/read/1235597/40/menlu-retno- luncurkan-aliansi-kemanusiaan-indonesia-untuk-myanmar-1504167196; Internet; diakses pada 29 April 2019. Mardiastuti, Aditya. “Suu Kyi Jelaskan Krisis Rohingya, Minta Bantuan Pemimpin ASEAN”, 19 Maret 2018 [berita on-line], tersedia di https://news.detik.com/berita/3923434/suu-kyi-jelaskan-krisis-rohingya- minta-bantuan-pemimpin-asean; Internet; diakses pada 13 April 2019. Mon, Ye. “Govt cuts flow of migrant workers to Malaysia amid diplomatic spat”, 7 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.mmtimes.com/national-news/24084-govt-cuts-flow-of- migrant-workers-to-malaysia-amid-diplomatic-spat.html; Internet; diakses pada 22 Agustus 2019 Nichols, Michelle .“China fails to stop U.N. Security Council Myanmar briefing”, 25 November 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.reuters.com/article/us-myanmar-rohingya-un/china-fails-to- stop-un-security-council-myanmar-briefing-idUSKCN1MY2QU; Internet; diakses pada 27 Juli 2019. OEC, “Burma”, [berita on-line], tersedia di https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/mmr/; Internet; diakses pada 24 April 2019. OHCHR, “Statement by Mr. Marzuki Darusman”, 18 September 2018, tersedia di https://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/NewsDetail.aspx?News ID=23580&LangID=E; Internet; diakses pada 10 April 2019. OHCHR, “Myanmar: UN Fact-Finding Mission Releases its full account of massive violations by military in Rakhine, Kachin, and Shan States”, 18 September 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID =23575; Internet; diakses pada 21 Agustus 2019. Patnisik, Edigius. “Sekjen PBB Puji Peran Penting Indonesia di Myanmar”, 30 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://internasional.kompas.com/read/2017/09/30/10345051/sekjen-pbb-

CIII

puji-peran-penting-indonesia-di-myamar; Internet; diakses pada 13 Oktober 2018. Perdana, Agni Vidya. “Myanmar desak Bangladesh Berhenti Bantu Rohingya di Perbatasan”, 12 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://internasional.kompas.com/read/2018/08/12/23300051/myanmar- desak-bangladesh-berhenti-bantu-rohingya-di-perbatasan; Internet; diakses pada 13 April 2019.

Pembaruan, Suara. “Kadin Indonesia dan Myanmar Jajaki Kerja Sama Perdagangan”, 9 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/kadin-indonesia-dan- myanmar-jajaki-kerja-sama-perdagangan/125324; Internet; diakses pada 24 April 2019. Press, Associated, “PM Najib leads Malaysian protest against ‘genocide’ of Rohingya Muslims in Myanmar” 4 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/2051572/pm- najib-leads-malaysian-protest-against-genocide-rohingya; Internet; diakses pada 22 Agustus 2019. Pratama, Fajar. “Dubes RI untuk Myanmar Buka-bukaan soal Latar Belakang Krisis Rohingya” 8 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3633773/dubes-ri-untuk-myanmar-buka- bukaan-soal-latar-belakang-krisis-rohingya;Internet;diakses pada 7 juli 2019. RFA,” Bangladesh Gives Myanmar 25,000 Rohingya Names for Potential Repatriation”, 29 Juli 2019 [berita on-line], tersedia di https://www.rfa.org/english/news/myanmar/bangladesh-refugees- 07292019172753.html; Internet; diakses pada 31 Juli 2019.

RI, Sekretariat Kabinet.” UN Secretary-General Appreciates Indonesia’s Role in Rakhine Crisis”, 14 November 2017 [berita on-line], tersedia di

CIV

https://setkab.go.id/en/un-secretary-general-appreciates-indonesias-role-in- rakhine-crisis/; Internet; diakses pada 30 Juli 2019.

RI, Kemendag. “Neraca Perdagangan Indonesia dengan Myanmar Periode: 2014- 2019”, 2019 [berita on-line], tersedia di http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export- import/balance-of-trade-with-trade-partner-country?negara=125; Internet; diakses pada 24 April 2019. Sekretariat Kabinet Indonesia, Humas. “Sesalkan Kekerasan, Presiden Jokowi: Pemerintah Berkomitmen Bantu Atasi Krisis Kemanusiaan di Myanmar”, 3 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://setkab.go.id/sesalkan- kekerasan-Presiden-jokowi-pemerintah-berkomitmen-bantu-atasi-krisis- kemanusiaan-di-myanmar/; Internet; diakses pada 28 April 2019. Sekretariat Kabinet, Humas. “Selesaikan Krisis di Rakhine State, Menlu Retno Sampaikan Usulan Formula 4+1 Kepada Suu Kyi”, 4 September 2017 [berita on-line], tersedia di https://setkab.go.id/selesaikan-krisis-di-rakhine- state-menlu-retno-sampaikan-usulan-formula-41-kepada-suu-kyi/; Internet; diakses pada 29 April 2019. Suastha, Riva Dessthania. “Myanmar Tolak Laporan Tim Pencari Fakta PBB Soal Rohingya”, 29 Agustus 2018 [berita on-line], tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180829102520-106- 325738/myanmar-tolak-laporan-tim-pencari-fakta-pbb-soal-rohingya; Internet; diakses pada 7 Juli 2019. Suastha, Riva Dessthania, “Dubes Myanmar: Konflik Militer dan Rohingya Mereda” 1 Desember 2016 [berita on-line] tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161201142739-106- 176613/dubes-myanmar-konflik-militer-dan-rohingya-sudah-mereda; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. Taufiqurrahman, Muhammad. “Kecuali dari Indonesia, Myanmar Tolak Bantuan untuk Etnis Rohingnya”, 19 September 2017 [berita on-line] tersedia di https://news.detik.com/berita/d-3649373/kecuali-dari-indonesia-myanmar-

CV

tolak-bantuan-untuk-etnis-rohingnya;Internet; diakses pada 4 Desember 2018. Teresia, Ananda .“Jokowi: Indonesia Investasi 3 Sektor di Myanmar”, 12 November 2014 [berita on-line], tersedia di https://dunia.tempo.co/read/621420/jokowi-indonesia-investasi-3-sektor- di-myanmar/full&view=ok; Internet; diakses pada 24 April 2019. Tiongkok, KEMLU. “China's Initiation of the Five Principles of Peaceful Co- Existence”, 21 Desember 2014 [berita on-line], tersedia di https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/ziliao_665539/3602_665543/3604_66 5547/t18053.html; Internet; diakses pada 13 April 2019. Thura, Myat, “Rakhine issue affects democratic transition, Senior official says”, 5 Agustus 2019 [berita on-line], tersedia di https://www.mmtimes.com/news/rakhine-issue-affects-democratic- transition-senior-official-says.html; Internet; diakses pada 20 Agustus 2019. UNHCR, “Refugee Response in Bangladesh”, 25 Agustus 2017 [berita on-line], tersedia di https://data2.unhcr.org/en/situations/myanmar_refugees#category-4; Internet; diakses pada 10 April 2019. Vrieze, Paul “Myanmar Shrugs Off International Pressure Over Rohingya Crackdown”, 26 Januari 2017 [berita on-line]. Tersedia di https://www.voanews.com/east-asia-pacific/myanmar-shrugs- international-pressure-over-rohingya-crackdown; Internet; diakses pada 20 Agustus 2019. Wahyudi, Eky. “Menlu Retno ke Myanmar, Bahas Isu Rohingya”, 21 Mei 2015 [berita on-line] , tersedia di https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150521150639-106- 54809/menlu-retno-ke-myanmar-bahas-isu-rohingya; Internet; diakses pada 7 Juli 2019. Wedhaswary, Inggried Dwi, “Indonesia Siap Jembatani OKI Perbaiki Situasi di Rakhine” 20 Januari 2017 [berita on-line], tersedia di https://nasional.kompas.com/read/2017/01/20/13223711/indonesia.siap.je

CVI

mbatani.oki.perbaiki.situasi.di.rakhine.?page=all; Internet; diakses pada 24 Agustus 2019. Basis Data Online

Advisory Commission on Rakhine State, “TOWARDS A PEACEFUL,FAIR AND PROSPEROUS FUTURE FOR THE PEOPLEOF RAKHINE: Final Report of the Advisory Commission on Rakhine State”, [laporan on-line], tersedia di http://www.rakhinecommission.org/the-final-report/; Internet; diakses pada 29 April 2019. Ivor, Sir Roberts KCMG, “The Development of Modern Diplomacy”, [laporan on- line]; tersedia di https://www.files.ethz.ch/isn/109227/15066_231009roberts.pdf; Internet; diakses pada 29 September 2019. KEMLU, “Masyarakat ASEAN: Aman dan Stabil, Keniscayaan bagi ASEAN”, 8 Juni 2015 [laporan on-line] tersedia di https://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%20Edisi8-All.pdf; Internet; diunduh pada 9 November 2018. Muhamad, Simela Victor, “Masalah Pengungsi Rohingya, Indonesia, dan ASEAN”, Mei 2015 [laporan on-line], tersedia di http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VII-10- II-P3DI-Mei-2015-7.pdf; Internet; diakses pada 28 Oktober 2018. Myanmar, “Constitution of the Republic of the Union of Myanmar (2008)” [dokumen on-line] tersedia di http://www.burmalibrary.org/docs5/Myanmar_Constitution-2008-en.pdf; Internet; diunduh pada 9 April 2019. PBB. “Universal Declaration of Human Rights” [dokumen on-line] tersedia di https://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/; Internet; diakses pada 22 Juli 2019. USIP Senior Study Group Report, “China’s Role in Myanmar’s Internal Conflicts” [laporan on-line]; Internet; tersedia di https://www.usip.org/sites/default/files/2018-09/ssg-report-chinas-role-in- myanmars-internal-conflicts.pdf, diunduh pada 21 Agustus 2019.

CVII

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I : Wawancara dengan Ali Yusuf

Hasil Wawancara

Wawancara dengan Bapak Ali Yusuf sebagai ketua AKIM yang telah turun langsung ke Rakhine untuk membantu masyarakat yang terkena dampak konflik. Wawancara tersebut dilakukan di kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama pada 11 Juli 2019, pukul 14.00 WIB.

1. Apakah Bapak pernah mengunjungi wilayah Rakhine? Ya, sering kira-kira pernah 10 kali. 2. Di Indonesia pada umumnya masyarakat terbawa sentimen agama Sampai-sampai menginginkan Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar, lantas bagaimana pendapat Bapak ketika menggambarkan konflik ini?

Konflik di Myanmar harus dilihat komprehensif, awal dari konflik adalah disintegrasi. Berawal dari Burma yang berasal dari nama etnis mayoritas, artinya adalah terdapat hal yang belum selesai antara komponen masyarakat atau etnis di Myanmar. Suku di Myanmar banyak, ada ratusan suku tetapi suku besarnya dapat dihitung, kemungkinan ada 13 atau 14 dan masing-masing dari mereka terkotak- kotak. Rakhine state sendiri berbeda sekali dengan provinsi-provinsi yang ada di Myanmar dari segi apapun dikarenakan wilayah Rakhine merupakan provinsi termiskin kedua di Myanmar.

Lalu dalam perkembangannya, Myanmar mengalami junta militer yang memiliki tujuan untuk menyatunya Myanmar, namun dengan cara yang salah. Cara militer diterapkan seperti tegas, linear, dan sebagainya. Hal tersebut juga menyebabkan perpecahan. Awalnya tidak ada suku agama, di Rakhine sendiri bukan hanya etnis Rohingya, tetapi juga ada orang hindu yang dulu berasal dari

CVIII

India. Rakhine sendiri tidak memiliki tantara yang kuat ditambah lagi inklusi sosial yang rendah.

Militer merasa orang Rohingya ini paling berbahaya dikarenakan jumlahnya yang terus bertambah sekiranya hampir 2 juta saat ini meskipun 1 juta sudah keluar dari Myanmar dan menjadi pengungsi dan merasa orang Rohingya yang paling mudah untuk ditaklukkan. Selain itu juga orang Rohingya terkenal survival mas, bisa mengerjakan apa saja, nah makanya itu sering terjadi konflik horizontal. Lanjut yang militer tadi itu, karena untuk menaklukan satu daerah kan butuh pintu masuknya, militer rasa orang Rohingya ini menjadi pintu masuk menaklukkan Rakhine ini. Rohingya ini paling mudah untuk dilawan karena dari segi fisik ini paling berbeda, hitam seperti orang Bangladesh dan berbeda sekali dengan orang Rakhine yang seperti orang Vietnam atau Indonesia.

Rakhine sendiri walaupun miskin tetapi Sumber Daya Alam (SDA)nya sangat banyak. Tanahnya juga sangat subur, dan di sisi lain pemerintah tidak bisa membangun karena dari awal terbentuknya Burma, Rakhine meminta otonomi khusus seperti layaknya Papua atau Aceh di Indonesia. Isu agama sendiri merupakan dikotomi yang dibentuk oleh militer untuk memisahkan Rohingya dengan Rakhine.

Karena konflik ini merupakan konflik yang berlarut-larut, maka hal tersebut memicu perpecahan yang ada dan menyangkut hal-hal yang ada di masyarakat seperti agama dan etnis. Urutannya sendiri pada waktu itu lebih dahulu etnis baru pada saat ini agama masuk ke dalamnya. Sekarang lebih carut-marut karena adanya eksploitasi alam yang saat ini dimenangkan oleh Tiongkok dan juga India.

3. Menurut Bapak apa yang membuat Myanmar menolak bantuan- bantuan dari negara-negara?

Perlu diketahui juga bahwa orang Myanmar seperti orang Korea Utara, tetapi tidak setertutup Korea Utara. Walaupun diembargo dan ditekan serta terbiasa miskin namun hal tersebut tidak sebanding dengan harga dirinya. Negara- negara Barat itu kan caranya vulgar, Myanmar itu kan orang Asia yang kamu salah,

CIX

kamu ngawur, nah itu tidak bisa seperti itu. Nah, Indonesia sebagai tokoh utama ASEAN saat ini atau motor ASEAN saat ini menggunakan cara-cara ASIA seperti ngajak ngobrol atau ngajak ngopi, ditanya ada masalah apa begitu kira-kira.

4. Indonesia meresmikan AKIM pada 31 Agustus 2017, mengapa Indonesia merasa perlu untuk membentuk AKIM?

Jadi AKIM itu sendiri berisi dari lembaga-lembaga yang telah memberikan bantuan semenjak 2012 ketika banyak orang belum mengetahui tentanga isu ini. Karena lembaga-lembaga ini jalan sendiri-sendiri, menggunakan kepentingan masing-masing dan takutnya overlapping gitu mas. Nah, dari situ lembaga- lembaga pada 2016 bertemu untuk mendiskusikan bagaimana membantu Myanmar secara maksimal. Selain itu, kita juga ingin membantu pemerintah Indonesia untuk memajukan humanitarian diplomacy tetapi antara AKIM dan pemerintah Indonesia tidak ada struktur, hanya sekedar koordinasi dan juga dapat mempermudah akses kami nantinya.

5. Pada saat AKIM berdiri, bagaimana mekanisme yang harus dilalui untuk melakukan kegiatan?

Dalam mekanisme pemberian bantuan kita bekerja sama dengan lembaga lokal seperti PADI dan MLF. Hal itu dikarenakan kita ingin menerapkan prinsip lokalisasi, yaitu memberdayakan lembaga-lembaga lokal untuk membantu kegiatan kemanusiaan. Kita hanya melakukan penilaian tempat-tempat mana yang ingin kita lakukan kegiatan dan melakukan izin kepada pemerintah daerah lalu teknisnya kita serahkan kepada lembaga lokal.

6. AKIM memiliki fokus pada bidang-bidang Pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan bantuan dasar. Apakah implementasi tersebut berjalan dengan lancar? Adakah hambatan-hambatan yang dialami oleh AKIM?

AKIM ingin membangun 13 sekolah di daerah yang tidak terkena konflik. Namun, pada keesokan harinya kira-kira begitu berubah menjadi daerah konflik. Karena yang berkonflik di Rakhine itu bukan etnis Rohingya saja mas, tetapi orang-orang Rakhine dari Arakan Army juga berkonflik dengan militer Myanmar.

CX

Selain itu juga karena kita orang Indonesia, sering kali stigmanya hanya ingin menolong orang Rohingya saja, itu juga mempersulit mas. Kalo di sana itu kan walaupun kita dari lembaga-lembaga yang berbeda tetap saja dilihatnya orang Indonesia, ada sentiment agama juga untuk sholat aja kita ga boleh di tempat yang kelihatan orang mas. Tetapi, dari awal bu Menteri telah menekankan bahwa bantuan dari Indonesia bersifat umum bagi siapa saja yang membutuhkan.

7. Adakah organisasi seperti AKIM dari negara lain?

Indonesia merupakan yang pertama, saya dengar-dengar Inggris mau mengikuti kaya kita.

8. Apa benar Myanmar tidak mengizinkan masuk negara tertentu ke Rakhine?

Ya kira-kira begitu mas, banyak negara yang nggak bisa masuk. Kalau yang sudah masuk itu kaya Tiongkok dan Indonesia. Nah, Turki itu sedang mengusahakan.

9. Apakah AKIM hanya berfokus kepada etnis Rohingya di Myanmar?

Kita juga bertugas dulu mas di Bangladesh, karena banyaknya pengungsi sampe 1 juta. Kira-kira Oktober 2017 sampai 2018 kita bertugas di sana namun sekarang tidak lagi, karena ada masalah visa dari Bangladesh yang sering berubah- berubah kaya SKCK luar negeri yang cuma bisa diterbitkan oleh Polda Metro, bayangkan saja mas kalau volunteer dari Surabaya bagaimana itu.

10. Apakah AKIM membantu proses repatriasi?

Narasumber : Nggak mas, karena kan kita ga bisa akses di Bangladeshnya, tetapi sekarang ini pemerintah Indonesia sedang mengusahakan lewat jalur ASEAN itu dengan AHA Centre. Pengungsi yang 1 juta itu mas dari 2012, itu dulu kan sudah ada 200 ribu-an nah sekarang nambah lagi sampe totalnya 1 juta.

CXI

Lampiran II : Wawancara dengan Dewi Lestari

Hasil Wawancara

Wawancara dengan Ibu Dewi Lestari. Beliau merupakan Wakil Direktur di Direkorat Asia Tenggara Kemlu RI. Wawancara dilakukan di Direktorat Asia Tenggara Kemlu RI pada 8 Agustus 2019, pukul 15.30 WIB

1. Konflik Rohingya telah berlangsung lama dan sikap Myanmar cenderung tertutup kepada dunia terkait konflik Rohingya, apa yang mendasari sikap Myanmar tersebut?

Saya pikir itu hal yang alami ya, Myanmar melihat bahwa posisi dasarnya Myanmar bahwa konflik di negara bagian Rakhine merupakan konflik domestiknya Myanmar, jadi persoalan tersebut berkaitan dengan kedaulatan dan wilayah, istilahnya memang konflik internal antara Myanmar dengan etnis yang ada di Rakhine. Jadi kalau melihat dunia luar itu, bukan dalam konteks menyelesaikan tetapi ikut membantu penyelesaiannya oleh Myanmar. Indonesia sendiri mengedepankan pendekatan konstruktif, bahwa inisiatif yang kita lakukan itu selalu sesuai dengan fokus yang sedang dilakukan oleh Myanmar.

2. Mengapa Indonesia menggunakan non-megaphone diplomacy, apakah hal tersebut yang menjadi faktor penting diterimanya diplomasi Indonesia oleh Myanmar?

Saya pikir itu adalah memang gaya alami Indonesia dalam berdiplomasi, kita tidak pernah menggunakan megaphone diplomacy seperti koar-koar begitu ya. Selanjutnya, kita melihat Myanmar sebagai tetangga yang juga turut berjasa kepada Indonesia karena telah mendukung kemerdekaan kita, artinya ketika teman, sahabat, dan tetangga kita sedang ada masalah sudah seharusnya kita tidak berkoar- koar meramaikan di media, tetapi bagaimana kita melakukan pendekatan menyelesaikan permasalahan. Dalam hal ini juga terkait dengan media, kita sangat menjaga apa yang kita publikasikan untuk membantu Myanmar. Saya rasa itu merupakan budaya diplomasi Indonesia dan budaya ketimuran kita. Indonesia biasanya melakukan pendekatan, mengasih saran-saran kepada Myanmar di forum

CXII

bilateral dan di masyarakatnya kita juga membantu membangun fasilitas, memberikan nilai-nilai toleransi, HAM, dan demokrasi atau implementasinya dalam diplomasi publik. Di forum internasional kita mencoba untuk menekankan kepada dunia perspektif terkait Myanmar juga harus berimbang, berarti tidak hanya tuduhan-tuduhan seperti yang dilakukan Barat, tetapi juga harus melihat apa yang telah Myanmar lakukan.

3. Hal tersebut juga dilakukan oleh Duta Besar Tiongkok yang berbicara di forum DK PBB untuk melihat apa yang telah dilakukan Myanmar, apakah hal tersebut merupakan permintaan dari Myanmar?

Hal tersebut sudah biasa ya menurut saya, ketika suatu negara mengalami tekanan internasional, maka negara tersebut akan berdiplomasi dengan negara sahabat-sahabat untuk membantu negara tersebut untuk menyampaikan hal yang sesuai dengan posisinya.

4. Apakah non-megaphone diplomacy adalah strategi yang digunakan Indonesia di dalam banyak kasus konflik?

Saya pikir ya itu memang budaya diplomasinya Indonesia seperti itu. Indonesia juga melihat bahwa non-megaphone diplomacy itu lebih produktif dibandingkan dengan megaphone diplomacy karena tidak terlalu berkontribusi terhadap apa yang kita perjuangkan. Jika dibilang strategi, ya bisa juga karena kita melihat hal itu lebih efektif, terutama dalam konteks konflik yang sangat sensitf dan harus dilihat dengan sangat hati-hati.

5. Mengapa Indonesia turut mengajak OKI untuk membantu konflik Rohingya? Bukankah identitas merupakan hal yang sangat sensitif bagi Myanmar? Karena mau tidak mau, OKI pasti akan bereaksi dan diangkat isunya di OKI. Karena kita tidak bisa menutup mata juga, bahwa salah satu korban di konflik Rohingya adalah Muslim dan hal tersebut mengaktifkan solidaritas internasional terhadap isu ini. Seperti yang saya bilang tadi, Indonesia sebagai sesama negara

CXIII

ASEAN dan karena Myanmar tidak bisa menyampaikan posisinya karena bukan anggota OKI, Indonesia mencoba menyeimbangkan perspektif di OKI. 6. Sampai saat ini negara atau aktor internasional mana saja yang diizinkan oleh Myanmar untuk terlibat dalam membantu konflik Rohingya? Perkembangan terkahir adalah pembukaan akses terhadap ASEAN, pada KTT ke-33 ASEAN, Myanmar membuka diri untuk keterlibatan ASEAN dalam proses repatriasi melalui AHA Centre. 7. Adakah kepentingan ekonomi Indonesia dalam membantu konflik Rohingya? Sejauh ini, Indonesia belum memiliki kepentingan ekonomi atau proyek yang dilakukan di Rakhine. Ada aspek kepentingan yang lebih besar, yaitu stabilitas kawasan yang mana nantinya juga akan mempercepat roda perekonomian kawasan. 8. Myanmar saat ini sedang membangun identitasnya sebagai negara demokrasi, apakah hal tersebut juga menjadi faktor diterimanya diplomasi Indonesia? Saya pikir iya, karena hal tersebut menimbulkan sentimen positif dari pemerintah Myanmar karena sejak proses reformasi peralihan dari Junta Militer ke pemerintahan sipil Indonesia turut membantu Myanmar dalam demokratisasi. Oleh karena itu, Indonesia memiliki citra positif dan hubungan bilateral yang bersahabat, Indonesia sendiri menekankan kepada Myanmar tidak memiliki hidden agenda (agenda terselubung) dalam membantu konflik Rohingya. 9. Upaya apa saja yang telah dilakukan Indonesia terkait pengembangan demokrasi Myanmar selain BDF dan sebaliknya apakah Myanmar juga pernah mempelajari demokrasi di Indonesia selain dari BDF? Program-program bantuan kita terkait demokratisasi tidak hanya di BDF saja, tetapi kita juga membantu dalam membangun kapabilitas lembaga-lembaga demokrasinya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar, selain itu juga ada akademisi-akademisi dari Indonesia yang membantu. 10. Bagaimana peran Tiongkok dalam konflik Rohingya dan juga terkait dengan perkembangan demokrasi di Myanmar?

CXIV

Myanmar merasa Tiongkok sebagai pelindungnya dalam konflik Rohingya dan juga sanksi-sanksi internasional, karena adanya dukungan dari Tiongkok tekanan-tekanan internasional tersebut saya rasa tidak terlalu efektif. Dalam konteks demokrasi pengaruh langsung terhadap demokrasi harus dicek kembali, karena Indonesia hanya mengamati saja. 11. Apakah terdapat perbedaan terkait konflik Rohingya setelah pemilu di Myanmar dimenangkan oleh NLD?

Bedanya dulu, tekanan-tekanan internasional langsung mengarah ke militer Myanmar, tetapi sekarang karena sudah dikuasai oleh NLD, maka tekanan langsung dirasakan kepada pemerintah Myanmar, artinya militer masih bisa berlindung di bawah pemerintah Myanmar seolah-olah apa yang dilakukan oleh militer merupakan kebijakan pemerintah Myanmar.

12. Adakah perbedaan dalam konteks penyelesaian konflik Rohingya setelah NLD menang pemilu Myanmar?

Tidak ada, saya rasa pendekatannya masih sama. Myanmar masih mengedepankan kedaulatan dan keamanan.

13. Apa yang menjadi sebab lambatnya proses repatriasi pengungsi Rohingya?

Masalah repatriasi tidak hanya mengembalikan pengungsi ke Rohingya saja, tetapi juga dipikirkan kedepannya bagaimana. Pengungsi Rohingya sendiri tidak mau kembali ke Myanmar jika belum diakui sebagai etnis resmi di Myanmar, dalam hal tersebut Myanmar saat ini sedang mencoba untuk mengamandemen konstitusinya.

CXV

CXVI