<<

Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Candi 289 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran

Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin Magister Desain, Fakultas Seni Rupa & Desain, Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa No.1 Jakarta Barat 11440, Tlp. 0818922342 Magister Pendidikan Dasar, Universitas Negeri Jl. Colombo No.1 Yogyakarta 55281, Tlp. 08970647260 E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRACT

Sri Tanjung’s reliefs are displayed on the exterior wall of the second terrace of Penataran Temple, East . The community believes it narrative lifts the story of the Banyuwangi legend from Middle Javanese era. There are figures of Sri Tanjung following the signifier of trees, animals, and natural forms in decorative style. Some studies have tried to interpret relief from the other perspective. Rupabheda exists as aesthetic theory which forms the basis of the new interpretation method. Through the semiotic method, relief is assumed to be a representation of signs and symbols (consisting of signifier and signified). The analysis is done by connecting these elements with denotatum, ground, and interpretant. Rupabheda analysis manages to examine the shift in the meaning of various signs found in Hindu statues. This study found a renewal of meaning in the identification of figures. Sri Tanjung’s relief visualization has disguised the icons of Middle of Hindu statues’ relief. This study found that this relief has included a narrative of a different local story from the epic Mahabarata- in the Hindu architectural site.

Keywords: Rupabheda, Relief, Sri Tanjung, Semiotic

ABSTRAK

Relief Sri Tanjung terpampang pada dinding luar pendapa teras ke-dua Candi Panataran, , Jawa Timur. Masyarakat meyakini, narasi relief tersebut mengangkat cerita legenda Banyuwangi zaman Jawa Pertengahan. Di dalam relief terlihat adanya figur-figur dalam lakon cerita Sri Tanjung berikut penanda pepohonan, hewan, atau bentuk alam lain dalam gaya dekoratif. Beberapa penelitian telah berusaha menafsir relief dari sisi yang lain. Tetapi Rupabheda hadir sebagai teori estetika yang menjadi dasar penafsiran yang baru. Melalui metode semiotika, relief diasumsikan sebagai representasi tanda dan simbol (terdiri atas signifier dan signified). Analisis dilakukan dengan menghubungkan unsur-unsur tersebut dengan denotatum, ground, and interpretant. Analisis Rupabheda berhasil menelaah pergeseran makna dari beragam tanda yang terdapat pada arca Hindu. Penelitian ini menemukan adanya kebaruan makna dalam identifikasi tokoh-tokoh di dalam relief. Visualisasi relief ceritaSri Tanjung telah menyamarkan ikon budaya Jawa Pertengahan dalam relief arca Hindu. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa relief Sri Tanjung telah memasukkan narasi cerita lokal yang berbeda dengan epik Mahabarata – Ramayana dalam situs bangunan Hindu

Kata Kunci: Rupabheda, Relief, Sri Tanjung, Semiotik

PENDAHULUAN masehi ini, menampilkan bentuk abstraki figur Relief Sri Tanjung terpampang di dinding manusia dengan beragam tanda dan simbol. pendapa teras ke-dua Candi Penataran. Situs Terlihat visualisasi pepohonan, hewan, bersejarah yang berdiri pada tahun 1320 bangunan, dan alam. Bentuk-bentuk abstrak

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 290 dekoratif pada relief ini telah menghasilkan hlm. 4) menegaskan bahwa cerita Sri Tanjung beragam penafsiran. Narasi relief Sri Tanjung berasal dari kitab-kitab dalam kelompok bermula dari kidung ruwatan penyucian bahasa Jawa Pertengahan yang tersaji dalam diri yang kemudian berkembang menjadi bentuk puisi atau kidung, di antaranya: cerita Panji. Adegan dalam relief Sri Tanjung Dewaruci, Sudamala, Panji Anggraeni, dan Sri menceritakan kesetiaan Sri Tanjung kepada Tanjung itu sendiriiii. suaminya Sidapaksa (Susetyo, 2002, hlm 87). Menurut Rustarmadi (2014, hlm. Relief Sri Tanjung tidak hanya ada di Candi 175), di dalam relief Sri Tanjung pada Candi Penataran. Beberapa relief juga ditemukan Penataran, tokoh yang menggunakan topi di Candi Kediri, Candi tekes adalah: Sidapaksa, Sang Satyawan, dan di Probolinggo, dan Candi Bajang Ratu di Gagang Akingiv. Analisisnya juga menegaskan Mojokerto. Penelitian ini berfokus pada relief bahwa tokoh Sidapaksa berperan sebagai Sri Tanjung yang ada di Candi Penataran di tokoh utama dalam cerita Sri Tanjung. Blitar. Akan tetapi, pada analisis Kieven (2004, Kieven (2004, hlm. 4) di dalam tulisannya, hlm. 4) mengidentifikasi bahwa figur yang Simbolisme Cerita Panji dalam Relief-Relief di Candi digambarkan adalah: Kartolo dan Punakawan Zaman dan Nilainya pada Masa Kini, yang terdapat di Candi Kendalisodo, Gunung menyebutkan bahwa relief yang ada di Candi Penanggungan. Menurut Kieven, relief ini Penataran adalah figur Panji Asmarabangun penggambaran Panji Asmarabangun dengan dengan Putri Galuh Candrakirana. Terdapat Putri Galuh Candrakirana. Figur-figur adegan yang menggambarkan: a) relief pria serupa yang menjadi objek penelitian Kieven dan perempuan duduk dengan sikap tubuh juga terdapat dalam relief Candi Jabung saling bermesraan; b) perjalanan figur pria di Ponorogo, Candi Surawana di Kediri, bertopi (tekes) bersama punakawan atau dan Candi Miri Gambar di Tulung Agung. Kadeyan-Kertolo dan Jurudeh; c) sikap Selanjutnya, Kieven menanggapi: tubuh yang menggambarkan hubungan ”... terdapat alur penceritaan yang seksual; d) pertemuan dengan pertapa; dan e) sama dalam cerita Panji, yaitu perpisahan, menyeberang perairan dengan menaiki ikanii. saling mencari, dan menyatu, adalah ciri Analisis Kieven terhadap relief Sri Tanjung khas untuk semua cerita Panji. Namun merujuk pada lakon Panji Asmarabangun ada perbedaan antara medium gambar dengan Putri Galuh Candrakirana. Analisis dan medium sastra: Dalam cerita Panji ini berbeda dengan dongeng yang tersebar sebagai karya sastra sering muncul adegan di masyarakat. Relief Sri Tanjung di Candi peperangan, sedangkan dalam gambar Penataran menurut masyarakat lokal adalah relief yang saya teliti, tokoh Panji sama perwujudan dari kidung yang telah menjadi sekali tidak bertindak sebagai prajurit yang legenda Banyuwangi (Ibu kota Kerajaan berperang.” (Kieven, 2014, hlm. 4)v. Blambangan). Poerbatjaraka (Sedyawati, 2001,

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 291 Analisis Kieven mengenai cerita Panji, dan tepat sasaran, yaitu Rupabheda. menunjukkan sastra Panji adalah salah satu Penelitian interpretatif terhadap relief contoh khas dari kreativitas pada zaman Sri Tanjung di Candi Penataran dengan pertengahan Jawa Timur. Baik naskah maupun metode analisis Rupabheda perlu dilakukan versi lisannya diciptakan pada waktu itu tidak untuk menjawab permasalahan: 1) Bagaimana didasarkan pada sastra Indiavi. Kemiripan kaidah estetika Hindu diterapkan pada cerita inilah yang kemudian menghasilkan relief Candi pada zaman Jawa Pertengahan penafsiran terhadap relief Sri Tanjung. (abad 11-15 M)?; 2) Bagaimanakah proses Sementara itu bentuk visual relief-relief Sri peralihan estetik budaya Hindu ke budaya Tanjung mengarah ke bentuk abstrak dekoratif Jawa Pertengahan?. Melalui penelitian ini, yang menyulitkan pengamat untuk membaca diperoleh pemaknaan baru terhadap relief setiap adegannya. Terlebih lagi, analisis Kieven Sri Tanjung di Candi Penataran. Gambar relief mengenai relief Sri Tanjung sebagai Panji yang berkarakter naratif-dekoratif di sana Asmarabangun berlawanan dengan pendapat dapat mengidentifikasi perbedaan pengodean para ahli lainnya, walaupun pada dasarnya ia tanda. mengungkapkan penghargaannya terhadap kemandirian sastra Jawa di zaman Majapahit, berupa kidung Sri Tanjung yang menggunakan METODE bahasa Jawa Pertengahan (Sedyawati, 2001, Metode penelitian menggunakan hlm 4). Perbedaan penafsiran ini membuka metode semiotika, di mana relief dipandang peluang untuk dilakukan penafsiran ulang sebagai sesuatu yang mempresentasikan terhadap relief Sri Tanjung menggunakan tanda dan simbol. Tanda atau simbol yang pendekatan yang berbeda. dipresentasikan, menurut Saussure, terdiri Metode interpretasi yang dilakukan atas penanda (signifier atau artikulasi suara oleh peneliti terhadap suatu relief ada atau bentuk visual) dan petanda (signified kemungkinan berbeda dengan konsep atau makna). Lebih lanjut, simbol akan yang digagas pencipta. Pematung pada berfungsi apabila unsur-unsur tanda saling proses kreatifnya melakukan ritual prosesi berhubungan, antara: a) objek (denotatum) untuk menyatukan diri dengan calon suatu keadaan yang ditampilkan melalui ciptaannya (Harto, 2014, hlm. 28; Istanto & tanda; b) latar belakang (ground) yang dimiliki Syafii, 2017, hlm. 20; Wirjosuparto, 1956, hlm. oleh penafsir tanda; dan c) subjek (interpretant) 7). Di dalam kitab Manasara, Uku mengenai vii. Subjek yang ditafsirkan terhadap objek dan tata arsitektur, menyebutkan motif relief yang latar belakang akan memunculkan pengertian tepat. Hanya disebutkan bahwa situs candi tanda pada benak orang yang menggunakan dapat dihiasi dengan pahatan (Jordaan, 2009, tanda, sehingga tanda yang orisinal dapat hlm. 121). Kesenjangan ini perlu dijembatani berkembang menjadi tanda baru. Dalam oleh sebuah pisau analisis yang lebih tajam analisis Barthes, dikatakan sebagai tataran

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 292 denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tanda membangun makna transendental. Hadirnya yang sebenar-benarnya dan memperoleh Lhawa dalam suatu karya seni, menurut pengakuan sosial. Sedangkan makna Sumardjo (2000, hlm. 26), akan menimbulkan konotasi merupakan petanda yang memiliki kesan yang mendalam pada penikmat, bahkan keterbukaan makna secara implisit. Artinya, bisa memengaruhi batinnya. Sedangkan tidak langsung dan tidak pasti, sehingga Rupabheda artinya pembedaan bentuk atau terbuka atau membuka kemungkinan untuk karakter. Maksudnya, bentuk-bentuk yang penafsiran-penafsiran baruviii. Melalui metode digambarkan harus dapat segera dikenali oleh ini, akan ditemukan makna-makna baru orang yang melihatnya (Sedyawati: 1981, hlm. dalam suatu simbol atau tanda. Sebagaimana 48). Inilah ciri ikonografi yang khas dan paling halnya dalam penelitian Supriatna (2014, hlm, menonjol dalam suatu karya seni berbentuk 280) yang berhasil menemukan makna-makna relief (Munandar, 2018, hlm. 45-53) interpretatif dalam suatu karya seni, bahwa Berbeda dengan teknik interpretasi suatu aksesoris atau ornamen yang melekat ikonografi Panofsky (1971) yang digunakan pada karya seni tidak saja bersifat estetis, oleh Adnyana, et. al (2017) dan Adnyana, et. melainkan menjadi bagian dari narasi karya al (2018) untuk mengungkap multinarasi seni itu sendiri. Demikian pula penemun yang dalam pada relief Yeh Pulu, perspektif makna baru dalam ukiran Gorga oleh Sianipar, Rupabheda lebih tepat dipakai untuk meneliti et. al (2015). peralihan dari Hindu ke Jawa Pertengahan, dikarenakan Rupabheda menampilkan variasi yang mendalam dan terperinci dalam seluruh HASIL DAN PEMBAHASAN keragaman. Misalnya manusia dan tipe Kajian Rupabheda dalam Pembacaan Gambar penjelmaannya sebagai dewa, dewi, raja, ratu, Dalam kaidah estetika Hindu, terdapat rakyat jelata, dan binatang (Sharma, 2016, 6 (enam) kriteria untuk menciptakan relief hlm. 35). Terlebih lagi menurut penelitian sebagai bentuk karya seni (Istanto, 2018, hlm. Mustaqin (2017, hlm. 374), suatu relief atau 158; Jamharil, 2010, hlm. 141). Keenamnya ukiran bisa saja mempunyai beberapa dimensi adalah: Sadrsya, Pramana, Warnikabhangga, yang diselesaikan dengan teknik simplifikasi Bhawa, Lhawa, dan Rupabheda (Gandhi, 2010, dan deformasi. Salah satu contohnya adalah hlm. 57; Sedyawati, 1981, hlm. 14). Meski patung Liong di kuil Tay Kak Sie, di Semarang, demikian, hanya ada 3 (tiga) kaidah yang yang merupakan bentuk imitatif dari binatang mendasari analisis terhadap ciri khas setiap mitologi Cina. Penelitian Mustaqin (2017, 378) tokoh dalam relief Sri Tanjung, antara lain: juga mengungkapkan, bahwa ornamen dalam Pramana, Lhawa, dan Rupabheda. Pramana patung Liong tersebut menggambarkan artinya kesesuaian ukuran dalam figur- amarah, ambisi, dan ketegasan. Lebih lanjut, figur yang berusaha diwujudkan. Lhawa ia juga menegaskan bahwa penggambaran berarti daya pesona sebagai ekspresi yang patung beserta ornamennya tersebut lebih

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 293 banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, (Sharma, 2016, hlm. 35). termasuk seniman pembuatnya, budaya yang Oleh karena itu, penelitian ini khusus dianut, pengaruh atas asal usulnya dari dinasti menganalisis relief Sri Tanjung di Candi Ming, lokasi kelenteng, dan kepercayaan. Penataran menggunakan teori estetika Temuan-temuan semacam inilah Rupabheda. Pada tahap selanjutnya, relief Sri yang perlu diperhatikan sebagai alasan Tanjung dianalisis menggunakan teori Geertz penggunakan Rupabheda untuk pembacaan (2000, hlm. 3) mengenai thick description gambar relief candi Penataran. Sebab, rupabheda terhadap kebudayaan. Pendekatan tersebut pada dasarnya adalah pengetahuan tentang diaplikasikan melalui penafsiran simbol penampilan (Sherma, 2016, hlm. 35). Objek makna kultural secara mendalam dan dari suatu subjek diklasifikasikan sebagai jiwa menyeluruh dari perspektif para pelaku yang berarti hidup, dan ajiwa yang berarti tidak kebudayaan itu sendiri. Sebab, kebudayaan hidup. Untuk kategori hidup, terbagi menjadi adalah sesuatu yang semiotik dan bersifat tiga: Uttam (kategori semua karakter unggul, semiotis, di mana hal-hal yang berhubungan seperti: dewa, dewi, raja); Madhyam (kategori dengan simbol diberlakukan oleh masyarakat permaisuri); dan Adham (kategori setan dan yang bersangkutan (Geertz, 2000, hlm. 3). semua yang menjijikkan atau tampak jelek). Kajian analisis Rupabheda digunakan Sedangkan yang tidak hidup adalah seluruh dalam penafasiran relief Sri Tanjung, dengan latar belakang dan benda-benda pendukung, dua pertimbangan berikut. Pertama, relief seperti: gunung, awan, batu, dan lain-lain. sebagai bentuk ilustrasi abstrak dekoratif Rupa berarti bentuk (baik visual maupun kurang terlihat secara jelas. Menurut kidung mental) dan bheda berarti diferensiasi atau Sri Tanjung, sebagaimana disampaikan juga karakterisasi, seperti perbedaan antara bentuk oleh Atmodjo (1978, hlm. 4) dan Endraswara insting kehidupan dan keindahan. Demikian (2013, hlm. 151), tokoh bernama Sri Tanjung juga bentuk-bentuk yang tidak memiliki adalah sosok wanita ideal bagi masyarakat keindahan dan tidak memiliki kehidupan. Jawa. Ia jelita, tinggi semampai, luwes, dan Rupabheda terdiri dari pengetahuan memesona. Tokoh Sidapaksa merupakan tentang karakteristik khusus benda-benda ksatria yang tampan, perkasa, santun, rendah (alami atau buatan manusia). Misalnya, hati, dan berbudi luhur. perbedaan penampilan antara banyak jenis pria, Adapun tokoh Raja Sulakrama memiliki wanita atau benda alami sekaligus sifat-sifat karakter pribadi yang rakus, serakah, yang menyertainya. Praktis, mempergunakan sombong, dan berwatak dengki. Sedangkan Rupabheda dalam suatu aktivitas ilmiah akan tokoh Begawan Tambapetra ialah orang yang memungkinkan seseorang untuk dapat sabar dan menjunjung tinggi moralitas. Ciri- melihat dan menggambarkan segala sesuatu ciri karakter tersebut hampir tidak nampak sebagaimana adanya dan sebagaimana jika dilihat dari bentuk visual relief Sri Tanjung. mereka tampak secara visual maupun mental

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 294 Hirarki Keruangan di Candi Penataran Candi Penataran ditemukan pada 1815 oleh Sir Thomas (1781-1826), Letnan Gubernur Jendral kolonial Inggris yang berkuasa di pada 1811-1816. Raffles bersama dengan Dr. Horsfield telah membukukan penemuan ini dalam bukunya The History of Java (1817). Nama Penataran, merujuk pada pustaka Kidung Margasmara, dalam Kakawin Nagarakertagama tahun 1380

Gambar 1. Sungkem sebagai penghormatan kepada Saka atau 1458 Masehi, yang disebut Palah yang dituakan atau orang tua (Nagarakertagama pupuh XVII, pupuh LXI: (Sumber: wikiwand.com) 02, pupuh LXXVIII: 02)xi. Kedua, terjadi beragam penafsiran Bangunan menempati areal tanah seluas terhadap beberapa adegan pada relief Sri 12.946 persegixii, yang terdiri atas beberapa Tanjung. Sebagai contoh, gambaran seorang situs, sehingga lebih tepat disebut sebagai perempuan bersandar di dada laki-laki komplek Candi. Lokasi bangunan terletak (Gambar 1). Kieven (2004, hlm. 4) menafsirkan di lereng barat daya Gunung pada gambaran itu sebagai adegan laki-laki dan ketinggian 450 meter di atas permukaan perempuan dalam sikap tubuh berhubungan laut, di desa yang juga bernama Penataran, seksualix. Sedangkan Pratiwi (2016, hlm. 63) Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa menafsirkan adegan tersebut sebagai posisi Timur. sungkem (menyembah dengan rasa hormat), Halaman komplek Candi dibagi menjadi yang telah menjadi kebiasaan yang dilakukan tiga bagian: halaman pertama, halaman masyarakat Jawa. Umumnya dilakukan kedua, dan halaman ketiga. Pembagian sebagai simbol penghormatan dan kepatuhan halaman komplek Candi berpedoman pada oleh istri kepada suami atau oleh anak atau kepercayaan Hindu yang disebut Tri , yang lebih muda kepada orang tuax. Fungsi yaitu pembagian lokasi berdasarkan letak, inilah yang oleh Sunaryo (2009, hlm. 4) fungsi, dan tingkat kesuciannya, yang disebut disebut sebagai fungsi simbolis. Interpretasi nista, madya, dan utama. Konsepsi Tri Mandala atas relief ini menegaskan bahwa telah terjadi sesuai dengan konsepsi bangunan Candi peralihan dari budaya Hindu ke budaya Jawa Hindu, Tri yaitu: Bhur Loka (dunia Pertengahan. Di mana perempuan Jawa dalam bawah), Bwah Loka (dunia tengah), dan Swah periode Klasik Tua mempunyai kedudukan Loka (dunia atas), yang sejalan juga dengan yang sama dengan pria (Indradjaja, 2017, hlm. konsepsi tahapan relief Candi 106). yaitu: Kamadhatu, Ruphadatu, dan Aruphadatu. Namun demikian, pembagian tiga lokasi ini

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 295

Gambar 2. Pendapa Teras atau Batur Pendopo. (Sumber: Kirno. 2019) didasarkan pada dikotomi atas-bawah atau Gambar 3. Adegan ke-1 depan-belakang untuk menunjukkan urutan (Sumber: koleksi pribadi) tingkat kesucian (Degroot, 2015, hlm. 35). Berdasarkan tiga konsepsi tersebut, bisa diartikan bahwa lokasi pertama sebagai alam keinginan duniawi, lokasi kedua sebagai alam perbaikan, dan lokasi ketiga sebagai alam ketiadaan yang sucixiii. Menurut ikonografi bangunan Hindu, halaman depan berarti alam kemanusiaan yang dipenuhi hawa nafsu. Gambar 4. Adegan ke-2 (Sumber: koleksi pribadi) Sedangkan Candi induk, umumnya terletak paling belakang sebagai bangunan suci, yang Analisis Narasi dan Suasana Relief Sri secara filosofis menempati strata tertinggi. Tanjung Relief Sri Tanjung yang dimaksud dalam Relief Sri Tanjung di pendapa teras ke- penelitian ini, terletak di pendapa teras kedua dua memiliki kelengkapan gambaran cerita halaman depan komplek Candi Penataran Sri Tanjung sebagaimana bisa dilihat dalam (Gambar 2.). Akan tetapi, kandungan isi analisis gambar 3. Dalam adegan ke-1, Patih relief Sri Tanjung menyerupai kandungan isi Sidapaksa hendak berangkat ke Swargaloka relief Kamadhatu di balustrade lantai dasar untuk menyampaikan surat Raja Sulakrama­ Candi Borobudur, yang kini terpendam tanah. kepada Dewa. Sidapaksa duduk ber­sila Relief Sri Tanjung lebih bersifat arsitektural dengan tangan kanan me­nyangga kepala. (Munandar, 1999, hlm. 51) dan merupakan Seba­gai patih kerajaan, Sidakpaksa­ tidak mau relief naratif sekaligus dekoratif, karena mengkhianati kepercayaan­ yang dibebankan­ berfungsi sebagai ornamen dan berusaha kepadanya. Sedangkan dalam adegan kedua, menyampaikan suatu cerita (Holt, 2000, hlm. Sidapaksa tampak berpamitan kepada Sri 46; Jordaan, 2009, hlm. 121). Tanjung. Dalam adegan ke-2, Sidapaksa dan Sri Tanjung berjalan beriringan. Sidapaksa berpamitan dengan posisi berdiri dan Sri

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 296 Tanjung duduk memberikan selendang. peribadatan. Adapun perwujudan ruh nenek Selendang ini merupakan selendang moyang dimanifestasikan dalam bentuk pemberian ibunya (bidadari) dengan tujuan distorsi manusia maupun binatang yang agar Sidapaksa bisa terbang ke Swargaloka. disakralkan dan digunakan sebagai penjaga Hasil analisis terhadap relief-relief di atas rumah, seperti: kadal, ular, burung, harimau, menunjukkan bahwa, penggambaran tokoh di kerbau, dan lain sebagainya (Degroot, candi-candi Jawa Timur tidak lagi naturalis, 2006, hlm. 68). Dalam beberapa literatur, terlihat kaku, dengan posisi tokoh menghadap hewan yang dijadikan simbol disesuaikan ke samping (en-profile). Hal ini merupakan dengan kesamaan antara sifat hewan dengan bentuk relief rendah (bas-relief) dan adanya kesan atau sikap dari wujud manusia yang horror vacui yaitu ketakutan terhadap bidang didistorsikan (Totton, 2003, hlm. 6). Oleh kosong sehingga jarak pada relief diisi penuh karena itu, simbol hewan juga kerap ditemui (Munandar, 1999, hlm. 50). Perubahan ini dalam bangunan candi (Totton, 2011, hlm. 7). terjadi sejak masa pemerintahan Raja Srengga, Dalam relief Sri Tanjung yang terakhir, di mana karya-karya seni rupa pada candi- nampak Sidapaksa dan Sri Tanjung duduk candi di Jawa Timur (termasuk juga Candi berpangkuan. Representasi ini menunjukkan Penataran) mulai menampakkan budaya suatu bentuk metafor visual tercapainya Jawa yang asli. Paham Hinduisme mulai ketentraman dan keharmonisan dalam hidup. berakulturasi dengan budaya kejawen, sebagai Manusia yang telah mencapai kesucian hati kepercayaan asli orang Jawa. Demikianlah dan pikirannya, maka ia akan mencapai menurut Iswati (2016, hlm. 15), bahwa produk kesempurnaan. Menurut paham Hindu kesenian bercorak -Hindu tidak bisa yang melatarbelakangi penyusunan relief lepas dari aspek kontekstualitasnya, serta Sri Tanjung, kesempurnaan diartikan sebagai aspek religius dan kultus raja (Prawira, 2001, tingkatan kualitas tertinggi penyatunya jiwa hlm. 61). manusia dengan Sang Pencipta atau Atman, . Bentuk-bentuk distorsi tersebut Hal tersebut berkesinambungan merupakan proses pembentukan, yang dengan konsep budaya Jawa (kejawen), yang menurut Soedarso dipengaruhi oleh adanya menyebutkan bahwa manusia yang sempurna bentuk , yang terlahir sebagai adalah manusia yang telah menyatu dengan kebudayaan Jawa asli, jauh sebelum budaya Tuhannya, atau yang disebut Manunggal. Hinduisme datang dan berkembang di tanah Manunggal berarti Tuhan berada di dalam Jawa (Soedarso: 1978, hlm. 46). Bentuk-bentuk diri manusia, menjadi isi hati yang tidak wayang sebagai distorsi dari bentuk manusia bisa dipisahkan (Manunggal artinya menjadi dalam perwujudannya mengacu kepada tunggal atau menyatu). Oleh karena itu, konsepsi kebudayaan seni rupa prasejarah, konsep Manunggaling Kawula Gusti lazim yang menjadi perlambang di rumah- disebut insan kamil, yaitu manusia yang rumah tinggal sekaligus dalam acara ritual sempurna dari wujud dan pengetahuannya.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 297 Kesempurnaan dari segi wujud ialah karena Ia merupakan manifestasi sempurna, yang Tabel 1. Unsur Alam sebagai Referensi dalam Penanda Relief Cerita Sri pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tanjung Tuhan secara utuh, sedangkan kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena ia Referensi Penanda telah mencapai tingkatan tertinggi melalui kesadaran atas kesatuan esensinya dengan Tuhan. Tabel 1 merupakan analisis denotasi- konotasi suasana yang terbangun dalam relief Adanya penanda tanaman pandan laut Sri Tanjung Candi Penatara. Berdasarkan menunjukkan bahwa adegan demi adegan analisis pada tabel 1, dapat ditegaskan bahwa dalam relief Sri Tanjung berlokasi di tepi pantai. ke-Rupabheda-an penanda dapat dimaknai Di mana pusat kebudayaan Jawa secara berbeda. Telah terjadi pergeseran Pertengahan pada masa itu berada di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa pemaknaan yang awalnya secara filosofis dari cerita epik Mahabarata-Ramayana menuju pemaknaan secara filosofis dari budaya Jawa Pertengahan. Pemaknaan yang baru tersebut bersumber pada kondisi alam dan mitos kejawen. Oleh karenanya, wajar apabila terjadi perbedaan penafsiran di antara para ahli yang Pohon kepel sebagai penanda yang memiliki meneliti relief candi-candi di Jawa Timur, kemiripan dengan gunungan wayang, termasuk relief Sri Tanjung. diyakini sebagai pohon dan buah yang Cara membaca relief tidak seperti cara ditanam oleh kalangan priyayi. Di mana ada pohon kepel, maka di sana ada keraton membaca foto atau gambar hasil pemotretan, atau pusat pemerintahan. Gunungan adalah tetapi seperti cara membaca film atau kartun bentuk sebagai penanda awal dan akhir cerita yang berseri. Prasetya (2016, hlm. 301) lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa relief Ramayana pada Candi merupakan relief naratif yang dari relief ini kemudian dapat dibaca ciri-ciri elemen visual yang mengarah pada budaya agama Hindu. Teknik pahatan relief Sri Tanjung dan Bangunan mirip pendapa beratap limas atau relief-relief lain yang terdapat pada dinding joglo. Rumah khas Jawa ini yang berbentuk teras Pendapa Candi Penataran termasuk ke penanda segitiga diyakini sebagai miniatur gunung Meru. dalam gaya pahatan rendah, di mana dimensi kebentukan proporsi tubuh manusia, binatang,

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 298

Ikan laut, dalam tafsiran Lydia Kieven, sejenis makhluk penolong seperti ikan Gambar 5. Relief Ramayana pada Candi Prambanan lumba-lumba sebagai penanda. Dalam versi (Sumber: wayangku.id) kidung, sebagai kendaraan Dewa Baruna. Diilustrasikan perpaduan antara tubuh ikan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dari doktrin berkepala udang. seni budaya India. Temuan ini sejalan dengan dan tumbuhan tidak mengejar kemiripan hasil penelitian Royo-iyer (1991, hlm. 13) dengan figur manusia sesungguhnya. Akan terhadap relief Candi di Jawa, bahwa tidak tetapi ada satu hal yang bisa dijadikan ada kemiripan yang spesifik dengan bentuk pegangan guna menafsirkan adegan demi model pahatan di India. adegan dalam relief tersebut, yaitu tanda- tanda yang menjadi perlengkapan setiap Analisis Figur Tokoh-tokoh dalam Relief Sri tokoh. Meskipun relief itu bisa jadi merupakan Tanjung bentuk pengabdian dan penghormatan Dalam menganalisis Rupabheda relief terhadap seorang pembesar (Syafii & Rohidi, Sri Tanjung pada Tabel 2 dan Tabel 3, penulis 1987, hlm. 3), namun tanda-tanda itulah yang memaparkan setiap tanda yang menjadi ciri berfungsi sebagai penanda Rupabheda. khas identitas setiap tokohnya. Ada enam Melalui analisis Rupabheda, penulis tokoh yang berperan dalam relief Sri Tanjung, membaca tanda-tanda yang masih nampak antara lain: Sri Tanjung, Raden Sidapaksa, pada setiap tokoh relief Sri Tanjung, antara Raja Sulakrama, Begawan Tambapetra, dan lain topi tekes, mahkota, subang, hara, keyura, Punakawan. Relief dilengkapi dengan adanya upawita, pohon palem, pohon kepel, pandan hewan, tetumbuhan, dan bangunan rumah, laut, dan lain sebagainya. Tanda-tanda itu yang menjadi ciri latar belakang penceritaan kendati masih menggunakan nama-nama dari dalam relief Sri Tanjung. Berikut ini analisis India, tetapi secara bentuk sudah sangat jauh denotasi-konotasi karakter tokoh Sri Tanjung kemiripannya dari aturan silpasastra seni arca dalam relief Sri Tanjung Candi Penataran: India. Tanda-tanda itu sengaja diwujudkan Berdasarkan penanda atau Rupabheda oleh pemahatnya untuk keperluan menata relief Sri Tanjung, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh cerita semata, supaya tidak memang terdapat pergeseran pemaknaan arti tertukar antara tokoh yang satu dengan yang feminisme dari filosofis Hindu ke mitologi lainnya. Di samping itu, tanda-tanda itu Jawa Pertengahan. Pada masa itu, karya seni sengaja dipahat sedemikian rupa juga untuk idealnya dikaitkan dengan mitos dan tata menyampaikan pesan akan kemandirian aturan keagamaan ( & Pramono, 2008, hlm. 76).

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 299

Tabel 2. Unsur Alam sebagai Referensi dalam Penanda Relief Cerita Sri Tanjung Mengenakan hara, Analisis Makna sebutan untuk kalung Penanda Denotatif atau guna menutup bagian Relief Panel 1 Konotatif Panel 1 payudara. Ciri fisik dipakainya kain (Jw: Jarik) sebagai identitas perempuan Sri Tanjung mengenakan Jawa. subang, dimaknai menunjukkan identitas Terlihat identitas dada sebagai perempuan. sosok perempuan yang membedakan identitas dengan figur priaxiv Sri Tanjung, sosok Bukti yang tergambar adalah adanya wanita jelita, semampai, kemben sebagai tatacara berpakaian luwes dan memesona sebagai makna orang Jawa dan ornamen hias , konotatif. sebagaimana terlihat dalam relief ini. Berdasarkan penanda atau Rupabheda Tabel 3. Analisis Rupabheda Relief Sri Tanjung pada Panel 1 relief Sidapaksa di Tabel 4, tampak adanya Penanda Analisis Makna pergeseran pemaknaan maskulinitas dari Relief Panel 2 Denotatif atau Konotatif Panel 2 filosofis Hindu ke mitos Jawa Pertengahan. Sri Tanjung terlihat Hal ini utamanya terlihat dari gestur wajah kembali cirikhas ke- Jawa-annya memakai yang tertunduk, menandakan sikap rendah kemben. Pakaian hati. Demikian juga dengan mahkota yang wanita berupa kain dikenakan sudah terbuat dari kain dengan panjang dengan garis- garis bukaan di depan, ornamen batik yang mengidentifikasikan dilengkapi dengan busana Jawa. Sampai pada interpretasi ini, selendangxv. sedikitnya telah ditemukan tiga pergeseran Sri Tanjung dari yang semula bercorak Hindu menjadi mengenakan sabuk tepat di dadaguna bercorak budaya Jawa Pertengahan. Pertama, mengikat kemben. adalah pemaknaan unsur alam di dalam relief candi Penataran yang mengalami pergeseran Sri Tanjung rambutnya makna filosofis dari epos Mahabarata – terurai, menunjukkan kefinimanxvi. Ramayana menuju makna filosofis dari budaya Jawa Pertengahan. Kedua, adalah Mengenakan keyura, pemaknaan arti feminisme dalam relief Sri gelang atas dekat bahu, memiliki makna sebagai Tanjung, dari filosofis Hindu menuju arti kerabat atau feminisme menurut budaya masyarkat pada kerajaanxvii. Jawa Pertengahan. Ketiga, adalah pemaknaan arti maskulinitas dalam relief Sidapaksa, dari

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 300 filosofis Hindu menuju budaya masyarakat Tabel 4. Analisis Rupabheda Relief Sidapaksa pada Jawa Pertengahan. Penanda Analisis Makna Temuan penelitian ini dalam poin di Relief Panel 3 Denotatif atau atas sekaligus mengkonfirmasi penelitian Konotatif Panel 3 Mustaqin (2017, hlm. 372) tentang makna Sidapaksa mengenakan suatu ornamen patung, dan mendiskonfirmasi kain dari pinggang temuan penelitian Julianto, Jodog, & Santosa sampai atas mata kaki. (2016, hlm. 24) tentang nilai interaksi simbol Sidapaksa sebagai tradisi. Menurut penelitian Julianto, Jodog, ksatria yang tampan, & Santosa (2016, hlm 24), fungsi esensi dari tegap, perkasa, santun, rendah hati dan berbudi suatu simbol dalam pelinggih tidak berubah. luhur sebagai makna Perubahan yang terjadi hanya sebatas aspek konotatif. sosiologis di mana masyarakat menerima perubahan sebagai suatu fenonema kultural. Prinsip-prinsip ritual dalam pelinggih pinggang Sidapaksa salah satu ujungnya tetap dipertahankan, sedangkan konsep menjuntai di sisi depan perwujudan pelinggih mengalami pembaruan tepat di antara kaki. akibat penyatuan nilai estetis, seni, spiritual, dan modernisasi dalam konteks kehidupan duniawi. Visualisasi simbol dalam upaya Mengenakan mahkota mengkomunikasikan pesan mengandung sebagai simbol pemimpin sebuah unsur akulturasi sistem budaya masyarakat kerajaan. pada masa tertentu untuk berinteraksi. Berbeda dengan penelitian Julianto, Jodog, & Santosa (2016, hlm. 31-32), yang Tabel 5. Analisis Rupabheda Relief Tubuh Raja Sulakrama menemukan bahwa pergeseran makna simbol Penanda Analisis Makna hanya sebatas ranah praktis, penelitian Relief Panel 4 Denotatif atau ini menujukkan bahwa pergeseran telah Konotatif Panel 4 melingkupi ranah substansi. Pergeseran Raja Sulakrama menggunakan kain dari ini tampak jelas utamanya sebagaimana pinggang sampai atas ditemukan dalam relief Sri Tanjung dan relief mata kaki. Terdapat wiru, yaitu lipatan kain Sidapaksa. di sebelah kiri. Sedangkan berdasarkan penanda atau Dari mimik wajah dan gesture tubuh, Rupabheda relief Raja Sulakrama pada Tabel 5, terlihat Raja Sulakrama, terlihat dalam penggambaran relief ekspresi berwatak rakus, serakah, sombong dan wajah Raja Sulakrama ialah pemarah dan/atau dengki sebagai makna cemberut. Sedangkan kain wiru adalah konotatif.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 301

Tabel 6. Analisis Rupabheda Relief Detail Begawan Tambapetra Rambut ditutup lipatan Penanda Analisis Makna kain yang berulang- Relief Panel 5 Denotatif atau ulang disebut dengan Konotatif Panel 5 Sorban. Mengenakan kain yang berlapis-lapis seperti jubah. Disambung kain bawahan dari pinggang sampai mata kaki. Tokoh Begawan Mengenakan hara atau Tambapetra yang kalung. sabar, bijaksana dan menjunjung tinggi moralitas sebagai makna konotatif.

Sabuk tidak tampak, tertutup kain yang Mengenakan keyura menyerupai jubah. atau gelang atas.

Rambut dikuncir di bagian atasnyaxix.

Mengenakan Upawita atau tali kasta, dari Tabel 7. Analisis Rupabheda Relief mbok emban bahu kiri melintang di depan dada hingga ke Penanda Analisis Makna Denotatif pinggangxviii. Relief Panel 6 atau Konotatif Panel 6 Salah satu dari pelayan Sri Tanjung yang setia, mene- mani dalam suka dan duka. Sabuk dipakai untuk Pelayan wanita hanya men- mengikat kain pada genakan kain dari ping- pinggang. gang sampai ke mata kaki. permainan tata cara berbusana kain Jawa Bagian dada tidak ditutup kembenxxi. yang dilipat-lipat pada bagian tengah kain membujur ke atas. Apabila tersibak akan Sabuk digunakan untuk terlihat seperti bentuk kipas, identik dengan mengikat kain di pinggang gaya pakaian di Keraton Jawa. Gaya busana semacam ini, menurut Ciptandi, Sachari, & Haldani (2016, hlm. 269), adalah bukti adanya

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 302 Sedangkan relief Punakawan pada Tabel 8. Analisis Rupabheda Relief Punakawan Tabel 7 dan Tabel 8, lebih menggambarkan Analisis Makna Penanda Denotatif atau kedudukannya sebagai pelayan yang setia. Relief Panel 7 Konotatif Panel 7 Interpretasi ini didasarkan pada kenampakkan Salah satu dari dua gerak tubuh yang memberi karakter suka punakawan Sidapaksa yang setia, jujur dan dagelan (bercanda). Ciri khas tersebut juga rela berkorban untuk sebagai bentuk ekspresi kesetiaan pelayan majikannya. yang menikmati kesehariannya dalam bekerja. Kepolosan dan keluguan karakter Kepolosan wajah yang tidak suka berdandan menjadi makna juga menunjukkan kebersahajaan hidup konotatif. pekerja Jawa rendahan. Bagaimana korelasi cerita Panji Pelayan Sidapaksa dengan cerita Sri Tanjung? Dari penelitian memakai kain sarung ini diketemukan bahwa banyak ciri yang yang hanya dibelitkan di pinggang, dan diikat menandai bahwa Kisah Panji sebenarnya dengan sabuk. adalah narasi khas Jawa zaman Majapahit. Berarti bahwa cerita tersebut bukan saduran atau petikan dari epos-epos India yang telah Sabuk digunakan dikenal sebelumnya. Apabila diuraikan satu mengikat kain di persatu, butir penanda karya kejawaan pada pinggang. cerita Panji antara lain: a.Tokoh-tokoh merupakan ciptaan baru, Pelayan yang selalu bukan kisah para ksatria dari epos India. dekat Sri Tanjung umumnya dengan Tokoh-tokoh ksatria itu bukannya ksatria- rambut digelungxx. ksatria India yang bergerak di alam Jawa, melainkan ksatria dari keraton-keraton penyesuaian (akulturasi) dan representasi Jawa sendiri yang berperanan dalam kisah pemahaman masyarakat kala itu terhadap Panji. Adapun di dalam cerita Sri Tanjung, konsep kosmologi dan estetika. tokoh-tokohnya menggunakan nama lokal, Berdasarkan penanda atau Rupabheda yaitu: Sidapaksa, Sri Tanjung, Sulakrama, relief Begawan Tambapetra pada Tabel 6, dan Tambapetra. tampak gestur ibu jari tangan yang keluar, dan b.Biasanya cerita Panji memiliki alur khas, keempat jari tangan yang dilipat menunjukkan yaitu diawali dengan kisah romantika tata cara budaya Jawa dalam berkomunikasi. sepasang kekasih, yang kemudian Ini adalah posisi memberi wejangan ke orang dipisahkan oleh suatu perkara, hingga lain tanpa harus menunjuk-nunjukkan tangan kemudian dipertemukan kembali dan ke tubuh (apalagi wajah) orang lain. berakhir dengan hidup bahagia. Berbeda

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 303 dengan cerita Sri Tanjung, yang diawali Di samping itu, berdasarkan isi cerita dengan pertemuan Sri Tanjung dengan dapat disimpulkan bahwa cerita Sri Tanjung Sidapaksa, kemudian terjadi konflik dan berasal dari mantra Jawa. Hal tersebut bisa berpisah. Pada akhir dari cerita tersebut, dijadikan indikator, bahwa situasi sosial Sidapaksa dipertemukan kembali dengan budaya pada masa kerajaan Kediri hingga Sri Tanjung. Majapahit akhir, kendati masih dibayang- Dari isi cerita dan gaya pengekspresian bayangi seni budaya India, tetapi lebih wujud tokoh-tokohnya, pada relief Sri terbuka untuk mengedepankan budaya Tanjung, terdapat berbagai simbol yang lokal Jawa Pertengahan. Visualisasi relief memperlihatkan pembebasan karakter dari cerita Sri Tanjung telah menyamarkan ikon paham Ramayana dan . Sri budaya Jawa Pertengahan ke dalam relief arca Tanjung memiliki makna yang menyiratkan Hindu. Relief ini juga secara sekaligus telah kesetiaan Sri Tanjung terhadap suaminya, memasukan narasi cerita lokal yang berbeda sebagai wujud bakti kaum perempuan dengan cerita Mahabharata-Ramayana. Sri Jawa. Sidapaksa sebagai pekerja rendahan Tanjung merupakan ekspresi keinginan keluar yang rendah hati dan bertanggungjawab dari pakem simbol-simbol seni India yang pada tugasnya, tetapi ketika dikhianati Ia realistik-naturalis ke dalam relief abstrak tanpa kompromi memutus kedengkian yang dekoratif. mengusik ketentraman hidupnya.

* * * PENUTUP Visualisasi tokoh dalam cerita Sri Tanjung, menunjukkan bahwa penanda Daftar Pustaka aksesoris yang dikenakan merupakan ikon Adnyana, I. W., Negara, I. N. S., Sari, D. I. D., budaya yang berasal dari Jawa Pertengahan. & Udayana, A. B. (2017). Exploring Yeh Pulu Relief (An iconography Identitas batik, cara berpakaian kemben, kain approach). Mudra: Jurnal Seni Budaya, yang di-wiru, dan ekpresi permainan jempol 32(3), 277–282. Adnyana, I. W., Remawa, A. A. R., & Sari, N. tangan menunjukkan karakter kearifan lokal L. D. I. D. (2018). Multinarasi Relief budaya Jawa. Aspek feminis, maskulin, tamak, Yeh Pulu Basis Penciptaan Seni Lukis dan suka banyolan berhasil diungkap dalam Kontemporer. Mudra: Jurnal Seni Budaya, 33(2), 249–255. hasil analisis Rupabheda relief. Meskipun figur Atmodjo, M. M. S. K. (1978). Wanita relief dibuat pipih dan terdistorsi mendekati Padmanagara. Majalah Arkeologi, 2(2), 3–15. bentuk abstrak dekoratif wayang kulit, namun Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: tetap terbaca artikulasi visual penanda dan Gramedia Pustaka Utama. tetap bisa ditafsirkan maknanya lebih lanjut. Ciptandi, F., Sachari, A., & Haldani, A. (2016). Fungsi dan nilai pada kain batik tulis

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 304 Gedhog khas masyarakat di Kecamatan Ditinjau Berdasarkan Kaidah Kesenian Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Sad-Angga. Universitas Indonesia. Panggung, 26(3), 261-271. Jordaan, R. E. (2006). Why The Sailendras were Degroot, V. (2006). The Archaeological Not A Javanese Dynasty. Indonesia Remains Of : From Sri Lankan And The Malay World, 34(98), 3–22. to . Indonesia and Jordaan, R. E. (2009). Memuji Prambanan. the Malay World, 34(98), 55–74. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Degroot, V. (2015). Following The Cap-Figure Julianto, I. N. L., Jodog, I. M., & Santosa, I. In Majapahit Temple Reliefs: A New (2016). Nilai interaksi simbol tradisi Look at The Religious Function of East dalam wujud pelinggih pada ruang Javanese Temples, 14 and 15 Centuries. publik. Panggung, 26(1), 24-34. Asian Studies Review, 39(3), 534–535. Kieven, Lidya. 2014. “Simbolisme Cerita Panji https://doi.org/10.1080/10357823.2015.1 dalam Relief-relief di Candi Zaman 006309 Majapahit dan Nilainya pada Masa Endraswara, S. (2013). Seksologi Jawa. Jakarta: Kini”. Seminar Naskah Panji. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Perpustakaan Nasional Republik Gandhi, I. (2010). Understanding Indian art Indonesia. forms: Introduction to Visual Arts Munandar, A. (2018). Antrala Arkeologi (2nd ed.). New Delhi: Indira Gandhi Hindu-Budha. Jakarta: Wedatama National Open University. Widya Sastra. Geertz, C. (2000). The interpretation of Munandar, A. A. (1999). Berbagai Bentuk cultures: Selecterd essays. New York: Ragam Hias pada Bangunan Hindu- Basic Books. Budha dan Awal Masuknya Islam di Harto, D. B. (2014). Analisis Bahasa Rupa Relief Jawa. Wacana, 1(1), 49–69. Jataka Candi Borobudur. In Diversity Mustaqin, K. (2017). The contribution of of Tradition as Cultural Heritage (pp. cultural art in creating Liong ornament 25–42). Jakarta: Universitas Trisakti. on the roof Tay Kak Sie temple in Holt, Claire Holt. Diterjemahkan oleh R. M. Semarang . Panggung, Soedarsono. 2000. Seni di Indonesia: 27(4), 372-379. Kontinyuitas dan Perubahan. Nawiroh, Vera. 2014. Semiotika dalam Riset Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Holt, C. (2000). Melacak Jejak Perkembangan Panofsky, E. (1971). Studies in Iconology. Seni Di Indonesia. Bandung: arti.line. Colorado: Icon. Indradjaja, A. (2017). Penggambaran Ideal Poerbatjaraka dalam Sedyawati, Edi. 2001. Perempuan Jawa pada Masa Hindu- Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. Buddha: Refleksi pada Arca-Arca Jakarta: Balai Pustaka. Perempuan. Purbawidya: Jurnal Prasetya, H. B. (2016). sebagai penjaga Penelitian Dan Pengembangan kehidupan dalam relief ramayana Arkeologi, 6(7), 105–116. Prambanan. Kawistara, 3(22), 225-324. Istanto, R. (2018). Estetika Hindu pada Prawira, N. G. (2001). Penemuan Jatidiri Perwujudan Ornamen Candi di Jawa. dan Perkembangan Seni Imaji, 16(2), 155–161. Rupa Indonesia-Lama pada Zaman Istanto, R., & Syafii. (2017). Ragam Hias Pohon Singhasari dan Majapahit di Jawa Hayat Prambanan. Imaji, 11(1), 19–28. Timur. Wacana Seni Rupa, 3(6). Iswati. (2016). Kajian Estetika dan Makna Raffles, T. S. (1817). The history of Java (Vol. Simbolik Ornamen Di Komplek Makam 1). London: John Murray. Sunan Sendang Desa Sendangduwur, Royo-iyer, A. L. Y. (1991). Dance Images of Paciran, Lamongan. Universitas Negeri Ancient Indonesian Temples (Hindu/ Semarang. Buddhist Period): The Dance Reliefs Jamharil. (2010). Penggambaran Relief of Borobudur. Indonesia Circle. Sudhamala di Candi Tegawangi School of Oriental & African Studies.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Kajian Rupabheda: Tokoh-tokoh Sri Tanjung pada Relief Candi Penataran 305 Newsletter, 20(56), 3–23. https://doi. https://doi.org/10.1080/13639811.2011.5 org/10.1080/03062849108729768 47727 Rustarmadi. 2014. “Ragam Hias pada Wirjosuparto, S. (1956). Sedjarah Seni Artja Pendapa Teras Candi Penataran di India. Jakarta: Kalimosodo. Blitar”. Seminar Naskah Panji. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Website/laman Indonesia. Anyaman Pandan, retrieved August 10, 2019, Santiko, Hariani. 2014. “Candi Penataran: from: https://gandsakri.wordpress. Candi Kerajaan Masa Majapahit”. com/2010/06/16/anyaman-pandan/ Seminar Naskah Panji. Jakarta: Mode Kain Pria, retrieved August 10, 2019, Perpustakaan Nasional Republik from: https://luk.staff.ugm.ac.id/itd/ Indonesia. Pers/02.html Sari, S. M., & Pramono, R. S. (2008). Kajian Sensualitas Wanita Jawa abad ke 18, Ikonografis Ornamen pada Interior retrieved August 10, 2019, from: Klenteng Sanggar Agung Surabaya. https://www.kaskus.co.id/ Jurnal Seni Dimensi Interior, 6(2), 73– thread/53e3193f96bde6d5058b456f/ 84. sensualitas-wanita-jawa-abad-ke-18/ Sedyawati, E. (1981). Pertumbuhan Seni Model Kain Pria: Pangerang Madura, Pertunjukkan. Jakarta: Sinar Harapan. retrieved August 10, 2019, from: Sediawati, Edi Sedyawati. 2000. Pertumbuhan https://commons.wikimedia.org/wiki/ Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_ Harapan. Cetakan kedua. Pangerang_(prins)_van_Madura_ Sharma, R. K. (2016). Shadanga-The Limbs TMnr_3728-224.jpg of Art. International Journal of All Buah Kepel: Taman Sari Jogja: Wahana Air Research Education and Scientific Keraton Dengan Nuansa Magis, Methods, 4(5), 34–38. retrieved August 10, 2019, from: Sianipar, K., Gunardi, G., Widyonugrahanto., https://dwijayantiw.wordpress. & Rustiyanti, S. (2015). Makna seni com/2015/07/10/taman-sari-jogja/ ukiran Gorga pada batak. Ilustrasi Prajurit Keraton Kasultanan Panggung, 25(3), 227-235. Yogyakarta (1864), retrieved August Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: 10, 2019, from: http://tempodoeloe. ITB. suarajogja.net/ Sunaryo. (2009). Ornamen Nusantara: Kajian Stilasi Mahameru Rumah Jawa, retrieved Khusus tentang Ornamen Indonesia. August 10, 2019, from: https:// Semarang: Dahara Prize. id.pinterest.com/sigitpriwibowo/ned- Supriatna. (2014). Komunikasi visual pada indie/ acuk kuda renggong. Panggung, 24(3), Dewa Baruna () dewa Laut dan Air, 275-284. retrieved August 10, 2019, from: http:// Susetyo, S. (2002). Pandangan Masyarakat www.mantrahindu.com/dewa-baruna- Jawa tentang Perkawinan pada Jawa varuna-dewa-laut-dan-air/ Kuna Hingga Kini (Berdasarkan karya satra dan relief). Amerta, 22, 84–98. Syafii, & Rohidi, T. R. (1987). Ornamen Ukir. Catatan Belakang Semarang: IKIP Semarang Press. i. Istilah abstraksi atau dalam bahasa Inggris Totton, M. (2003). Narrating Animals on The abstraction bisa diartikan memisahkan Screen of The World. The Art Bulletin, sebagian dari suatu keseluruhan. 85(1), 6–24. https://doi.org/10.1080/000 Abstraksi merupakan suatu proses yang 43079.2003.10787059 ditempuh pikiran untuk sampai pada Totton, M. (2011). The Pangolin: A Multivalent konsep yang bersifat universal. Proses ini Memento in . Indonesia berangkat dari pengetahuan mengenai And The Malay World, 39(113), 7–28. objek individual yang bersifat spasio

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020 Wegig Murwonugroho, Miftakhuddin 306 temporal (ruang dan waktu). Pikiran melepas sifat individual dari objek dan membentuk konsep universal. Loren Bagus, 2005, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, p. 6-7. ii. Lidya Kieven, 2014, “Simbolisme Cerita Panji dalam Relief-relief di Candi Zaman Majapahit dan Nilainya pada Masa Kini”, Seminar Naskah Panji, Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, p. 4. iii. Porbatjaraka dalam Edi Sedyawati, 2001, Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, Jakarta: Balai Pustaka, p. 4. iv. Rustarmadi, 2014, “Ragam Hias Pada Pendapa Teras Candi Penataran Di Blitar”, Seminar Naskah Panji, Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, p.175. v. Lidya Kieven, Loc. Cit. vi. Ibid. p. 7. vii. Rustarmadi, Loc. Cit. viii. Vera, Nawiroh, 2014, Semiotika dalam Riset Komunikasi, Bogor: Ghalia Indonesia, p. 28. ix. Lidya Kieven, Loc. Cit. x. Prihani Pratiwi, Op. Cit., p. 63. xi. Ibid. xii. Hariani Santiko, 2014, “Candi Penataran: Candi Kerajaan Masa Majapahit”, Seminar Naskah Panji, Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, p. 21. xiii. Claire Holt, Diterjemahkan oleh R. M. Soedarsono, 2000, Seni di Indonesia: Kontinyuitas dan Perubahan, Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, p. 46. xiv. Prihani Pratiwi, Op. Cit., p. 75. xv. Rustarmadi, Op.Cit., p. 175. xvi. Ibid. xvii. https://id.wikipedia.org/wiki/Kelat_bahu xviii. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Upawita xix. Rustarmadi. Loc. Cit. xx. Ibid. xxi. Ibid.

Jurnal Panggung V30/N2/06/2020