Majalah Parahyangan, Edisi 2016 Kuartal IV
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Edisi 2016 Kuartal IV/Oktober-Desember Vol. III No. 4 Majalah PARAHYANGAN Humanum - Integral - Transformatif www.unpar.ac.id/majalah-parahyangan/ dalam Pendidikan Tinggi ISSN 2356-1335 9 772356 133121 Para pembaca yang budiman. Sebagian besar masyarakat masih menganggap gender identik dengan jenis kelamin. Namun sesungguhnya, gender dan jenis kelamin merupakan dua hal yang berbeda. Tak hanya dalam kehidupan sosial pada umumnya, pembiasan gender juga acap kali terjadi dalam dunia pendidikan. Pembiasan itu mungkin terjadi secara tak disadari, atau mungkin justru dilakukan secara sadar demi kepentingan tertentu. Sementara itu, program Pendidikan untuk Semua terus dicanangkan.Tulisan mengenai Gender dalam Pendidikan Tinggi dari sudut pandang akademik, pengalaman pribadi, dan kondisi faktual disajikan pada rubrik Utama. Selain itu, penelitian mengenai pemberdayaan perempuan turut dihadirkan. Edisi ini juga menghadirkan rubrik baru, yakni rubrik Penelitian dan Pont of View. Sementara itu, Kabar Alumni menyajikan Parahyangan Golf Club, sebuah komunitas pecinta golf bagi para alumni. Sosok alumni kali ini mengangkat Bapak Kurnia Chaerudin, alumni Fakultas Ekonomi yang kini menduduki posisi penting di salah satu bank ternama Indonesia. Dari dunia kemahasiswaan, beragam prestasi, kegiatan, dan buah pemikiran dihadirkan pada edisi kali ini, ditambah dengan sosok Yessy Venesia, Srikandi Unpar di kancah Olimpiade Rio 2016. Selamat membaca, Redaksi Majalah Parahyangan. MAJALAH PARAHYANGAN Pengarah Rektor Hermeneutika Wakil Rektor Bidang Akademik Wakil Rektor Bidang Organisasi dan Sumber Daya dan Penafsiran Hukum (13) Wakil Rektor Bidang Modal Insani dan Kemahasiswaan Wakil Rektor Bidang Penelitian,Pengabdian kepada ...................................Masyarakat, dan Kerja Sama Penasihat Ketua Umum Ikatan Alumni Unpar Profil Alumni Penerbit Unpar Press Pengelola Satuan Pelayanan Pendukung Pemimpin Redaksi L. Bobby Suryo K. Yessy Venesia (66) Penyelaras Halal Bihalal (29) Melania Atzmarnani Redaktur Pelaksana Who’s Got the Last Laugh Cheppy Parlindungan in Indonesia (16) Administrasi Merici Dhevi Pivita Apolonius S. Sendratari (41) Alamat Redaksi Jl. Ciumbuleuit 100 Bandung Inovasi Telp 022-2035137 email : [email protected] Parahyangan dalam Sistem Pendidikan [email protected] Golf Club (45) di Indonesia (56) Kontributor Niken Savitri | Indraswari | Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat | Frank Landsman | Fransiskus Borgias | Bartolomeus Samho | E. B. Handoko | Richard Sianturi | Angela Teressia | Meutia Wulansatiti | Lembaga Kepresidenan Mahasiswa | Kontributor Tetap Stephanus Djunatan | Hadrianus Tedjoworo | Dewiyani Djayaprabha | P. Krismastono Redaksi menerima tulisan, berita, foto, maupun artikel terkait dengan kegiatan-kegiatan civitas academica Unpar, buah pemikiran, atau kisah para Alumni. Tulisan, berita, foto, maupun artikel tersebut dapat dikirimkan ke [email protected] dengan subjek: Artikel Majalah Parahyangan paling lambat tanggal 1 Desember 2016. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi Redaksi Majalah Parahyangan Utama Gender, Hukum, dan Pendidikan Niken Savitri ender adalah konstruksi sosial maupun kultural yang bersekolah tinggi‐tinggi. dilekatkan oleh masyarakat kepada kelompok laki‐ Asumsi masyarakat tersebut di Glaki dan perempuan. Budaya adalah faktor yang atas sangat tidak suportif sangat berpengaruh dalam konstruksi gender. Indonesia t e r h a d a p p e n i n g k a t a n adalah negara dengan keunikan suku bangsa dan budaya yang k e i l m u a n b a g i a n a k menyebabkan pemahaman terhadap gender pun beragam. perempuan. Selain itu, tidak Perbedaan pemahaman tersebut merupakan konsekuensi ada pengaturan terpusat yang logis atas gender sebagai konstruksi budaya dan persepsi mewajibkan siswa perempuan masyarakat terhadap laki‐laki dan perempuan. Artinya, ya n g h a m i l u nt u k teta p masyarakat ‐ pada satu tempat dengan tempat lain, antara mendapatkan pendidikan, zaman dulu dan sekarang ‐ memiliki perbedaan dan sehingga siswa yang hamil mengalami perubahan termasuk pemahaman mereka atas (dengan alasan apapun) (status, posisi, apa yang pantas dan tidak pantas, layak dan akhirnya harus berakhir pada tidak layak pada) laki‐laki dan perempuan; sehingga tidak pernikahan dan hanya memiliki bekal pengetahuan yang heran bilamana masyarakat memiliki beragam persepsi rendah. mengenai konsep dan pengertian gender dan bias gender. Ketidaksetaraan gender yang diuraikan tersebut di atas Pembedaan gender ini kemudian diperkuat pula dengan berkaitan erat dengan diskriminasi, baik diskriminasi de jure mitos, stereotype dan pembagian kerja seksual yang berlaku maupun de facto. Dalam konteks pendidikan, diskriminasi de bagi masing‐masing jenis kelamin.¹ Seperti kelompok laki‐laki jure berkaitan erat dengan aturan yang membedakan kaum diberikan peranan dan status serta pembagian kerja yang perempuan dan laki‐laki dalam memasuki bidang‐bidang berbeda dengan kelompok perempuan. tertentu dalam pendidikan―secara de jure tidak ada Kesetaraan gender bicara mengenai relasi yang sejajar di diskriminasi gender dalam pendidikan karena setiap warga antara laki‐laki dan perempuan, khususnya dalam konteks negara berhak atas pendidikan, sebagaimana diatur di dalam persamaan perlakuan, akses, dan kesempatan di pelbagai Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun bidang kehidupan. Perdebatan banyak muncul berkaitan 1945. Namun, secara de facto, masyarakat memiliki persepsi dengan belum adanya kesetaraan gender dan adanya bahwa perempuan dan laki‐laki berbeda sehingga ada pembatasan untuk memasuki bidang‐bidang tertentu baik bidang‐bidang tertentu yang hanya cocok untuk perempuan bagi perempuan maupun laki‐laki. Dalam dunia profesional, dan bidang lain untuk laki‐laki. Misalnya perempuan lebih tidak jarang kita menyipitkan mata pada laki‐laki yang cocok di bidang Sastra atau Sosial, dan laki‐laki di bidang bergelut di bidang tataboga atau mode atau memandang Teknik atau Eksakta. Hal ini juga sering terefleksikan dalam 'aneh' pada perempuan yang tertarik pada bidang otomotif keluarga ‐ yang terbatas secara finansial ‐ dengan atau pertambangan. Kita merasa aneh dengan laki‐laki yang mengutamakan anak laki‐laki daripada anak perempuannya menekuni bidang‐bidang (yang dianggap) kewanitaan, dan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena sebaliknya pada perempuan yang menekuni bidang yang laki‐laki dianggap akan bertanggung jawab atas keluarganya banyak digeluti oleh laki‐laki. Dalam bidang pendidikan, sehingga perlu pendidikan lebih tinggi. Meninjau pada penelitian menunjukkan adanya kecenderungan drop out asumsi‐asumsi tersebut, dapat dikatakan bahwa sekolah yang tinggi pada siswa perempuan dibandingkan ketidaksetaraan gender berasal dari budaya (pola pikir), dengan siswa laki‐laki. Hal ini antara lain disebabkan karena khususnya di masyarakat yang patriarki. Dengan demikian, 'harga jual' laki‐laki di pasar tenaga kerja lebih tinggi dan upaya merekonstruksi pola pikir maupun sudut pandang asumsi bahwa anak perempuan sebaiknya tidak perlu terhadap isu gender agar masyarakat dapat berperspektif gender yang baik harus dilakukan, salah satunya melalui jalur pendidikan. Hukum terkristalisasi dari tuntutan dan harapan masyarakat akan suatu nilai yang dianggap benar atau salah dalam suatu komunitas tertentu. Dengan demikian, hukum dalam suatu komunitas merupakan cermin dari keyakinan masyarakat tersebut akan nilai suatu perbuatan. Bila masyarakat memiliki pola berpikir tertentu, maka hampir dapat dipastikan hukum yang berlaku di masyarakat tersebut akan mencerminkan pola pikir tersebut. Hal ini tampak dari pelbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan perempuan dan gender² di ec.europa.eu Indonesia. Tidak sedikit peraturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, yang tentunya merupakan cerminan 2 | MAJALAH PARAHYANGAN | Vol. III No. 4 menitikberatkan pada kejahatan yang dilakukan di area publik “... setiap kebijakan program, (seperti yang pengaturannya yang ada di dalam KUHP), perencanaan, maupun evaluasi sehingga KDRT tidak dapat tercakup di dalamnya. Sementara kejahatan seksual harus dipersepsikan lebih luas, yaitu harus memuat adanya sebagai gender‐based violence atau kejahatan yang didasarkan karena korban berjenis kelamin perempuan. pengarusutamaan gender ...” Untuk pengertian yang terakhir ini, penanggulangan dan perlindungannya akan sangat bernuansa sosiologis, dengan budaya dan pola berpikir masyarakat Indonesia, yang tanpa tidak cukup dari sudut pandang yuridis semata. Hukum positif disadari berdampak pada adanya diskriminasi dan Indonesia melalui KUHP (Kitab Undang‐undang Hukum marjinalisasi perempuan di Indonesia. Namun sebaliknya dari Pidana) hanya mengatur kekerasan yang berakibat perlukaan uraian di atas, hukumpun dapat bertindak pro‐aktif dengan secara fisik saja, baik yang ditujukan kepada perempuan atau melakukan pengaturan sedemikian rupa sehingga dapat laki‐laki sebagai korbannya. Dengan demikian tidak diberikan mengubah pola pikir masyarakat yang ada sehingga hukum penekanan khusus apabila korbannya adalah seorang lebih berfungsi membudayakan dan mengubah persepsi perempuan yang secara sosiologis tersubordinat oleh masyarakat akan sesuatu hal tertentu yang dianggap lebih pelakunya. Begitu pula tidak diberikan pengaturan kepada baik. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia baik melalui kekerasan yang berakibat tidak kepada perlukaan fisik, inisiatifnya maupun atas usulan sekelompok masyarakat yang misalnya pelecehan, celaan ataupun kekerasan verbal yang peduli dapat melakukan pengubahan