Nahdlatul Ulama Dan Problematika Relasi Agama-Negara Di Awal Kemerdekaan RI
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara di Awal Kemerdekaan RI Muhamad Hisyam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta [email protected] The Sixth Congress of Nahdlatul Ulama (NU) 1936 in Banjarmasin decided that the region of Dutch East Indies is dar ul Islam. This decision according to Abdurahman Wahid is the ideological basis for NU in terms of religion-state relations. This article explores the extent to which ideology is implemented in NU fighting after Indonesia's independence until 1955. The NU fighting in the context of religion-state relations showed a genuin form. Three of the most important theme in this period that take NU attention were theme about the homeland, the basis of the state and the of authority president. all theme that seems to NU always bases itself on religious views. Religiousity is always used to measure, assess and participation to the state Keywords: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah. Kongres Nahdlatul Ulama (NU) yang ke XI tahun 1936 di Banjarmasin memutuskan bahwa negera Hindia Belanda adalah darul Islam. Keputusan ini menurut KH. Abdurrahman Wahid merupakan landasan ideologis gerak NU selanjutnya dalam kaitan hubungan agama-negara. Artikel ini menelusuri sejauh mana ideologi ini terimplementasi dalam gerak juang NU setelah Indonesia merdeka hingga 1955. Gerak juang NU dalam konteks hubungan agama-negara memperlihatkan watak genuisitasnya pada periode ini. Tiga momentum yang paling penting dalam periode ini adalah pendirian NU tentang tanah air, tentang dasar negara dan tentang otoritas presiden. Dalam ketiga tema itu tampaknya NU selalu mendasarkan diri pada pandangan agama. Agama senantiasa dipakai untuk mengukur dan menilai kekuasaan dan negara dan partisipasi atasnya. Kata kunci: Darul Islam, Fatwa bughot, Pancasila, Waliyul Amri Dhoruri bis-Saukah. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184 Pendahuluan Ketika kedudukan Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid diguncang lawan-lawan politiknya, baik di DPR maupun di luar parlemen, sebagian ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan fatwa bug±t terhadap para penentang presiden. Bug±t adalah konsep fiqh politik, menggambarkan orang atau golongan yang menentang kepala negara yang syah dan atas mereka wajib diperangi. Bahwa kaum NU (Nahdliyyin) mendukung Presiden Abdurrahman Wahid tidaklah mengherankan, karena presiden ini bukan saja pemimpin NU, malahan termasuk dalam katergori ber-“darah biru” dalam arti ia keturunan langsung (cucu) pendiri organisasi Islam terbesar ini, K.H. Hasyim Asy’ari. Yang menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam negara Pancasila --terhadap mana NU sendiri masuk di jajaran penyokong paling depan ketika dasar negara ini harus dijadikan asas bagi semua organisasi masyarakat-- konsep bughot yang datangnya dari fiqh ini dipakai untuk menghadapi para penentangnya. Dari fatwa bug±t ini lahir pula “Pasukan Berani Mati” untuk “memerangi” mereka yang menentang presiden. Fatwa bug±t t ini bukan satu-satunya fenomena, di mana agama dipakai untuk “menghukumi” politik negara. Dalam perjalanan sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat ditemukan banyak fakta tentang ini. Sekali lagi, hal ini juga tidak mengherankan. Secara garis besar barang kali dapat dikemukakan bahwa campur tangan agama (Islam) dalam perkara pengaturan negara merupakan konsekuensi logis dari prinsip-prinsip agama ini tentang im±mah.1 Agama Islam sering dikatakan, baik oleh ulama Islam sendiri maupun orientalis sebagai sistem yang komprehensif, meliputi pengaturan kehidupan sosial, politik, dunia dan akhirat. Karena itu Islam disebut d³n wa daulah, agama dan negara. Konsep im±mah secara harfiah bermakna “kepemimpinan”, tetapi dalam ilmu-ilmu Islam, baik fiqh, kalam maupun tasawwuf 1 Campur tangan agama dengan negara sebenarnya bukan monopoli Islam. Semua agama sebenarnya mempunyai prinsip ajaran yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat keduniaan. Dalam kenyataan sejarah, hampir semua agama-agama dunia menjadi besar karena berhutang budi pada negara. 150 Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam im±mah diartikan lebih luas, yakni pengaturan kekuasaan politik yang dengannya otomatis menjadi bersinggungan dengan soal pemerintahan dan negara. Dalam suatu definisi singkat tetapi komprehensif, Imam Al-Mawardi menyebut bahwa im±mah adalah penerus fungsi kenabian, yaitu menghidupkan agama dan mengatur politik dunia.2 Dari ini berkembang suatu logika yang mengatakan bahwa tujuan syari’ah Islam adalah tercapainya ketertiban agama, dan untuk mencapai ini disyaratkan adanya ketertiban dunia. Oleh karena itu, dapat difahami jika ada “adagium” yang menyatakan bahwa membangun im±mah adalah sebuah keniscayaan. Prinsip-prinsip seperti ini tampaknya telah berjalan sejak terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda yang kafir. Bahkan dalam kekuasaan kolonial, di wilayah-wilayah yang otonom di bawah kekuasaan kesultanan, seperti Yogyakarta dan Surakarta, masih dapat dikatakan bahwa penegakan sistem im±mah tetap berjalan. Apakah di bawah kekuasaan orang kafir tidak lagi terdapat ruang untuk menegakkan im±mah ? Mungkin benar bahwa im±mah telah lenyap, karena yang berkuasa adalah orang kafir, tetapi di sana terdapat pula elemen syari’ah yang pelaksanaannya mensyaratkan adanya pengakuan negara atasnya, sehingga selama masyarakat Islam masih ada, maka hubungan antara agama dan negara tidak dapat dilenyapkan. Yang dimaksud dengan ini adalah elemen syari’ah dalam soal penegakan hukum sipil. Syari’ah yang terkait dengan kehidupan individual seperti shalat, puasa, dzikir dan sebagainya dapat dijalankan tanpa campur tangan negara, tetapi dalam soal hukum perkawinan dan peradilan sipil (qa«±) diperlukan tauliyah (pendelegasian wewenang) resmi dari kepala pemerintahan negara.3 Dalam masyarakat Muslim, qa«± adalah 2 Al-Mawardi, Al-A¥k±m as-Sul¯±niyah, Beirut, h. 4. 3 Di tahun 1919 Sarekat Islam menentang kedudukan penghulu sebagai qadi karena diangkat oleh Belanda.Mereka membuat pengadilan agama sendiri yang mereka sebut Raad Ulama, tetapi akhirnya batal, karena tersandung soal tauliyah, dengan mana kedudukan seorang qadi syah adanya apa bila diberi wewenang secara syah pula oleh pemerintah yang nyata-nyata berkuasa. Lihat Muhamad 151 Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, 2014: 149 - 184 sebuah kewajiban yang tak dapat diabaikan. Di masa kolonial memang timbul persoalan keabsahan tauliyah karena penguasa negara bukan Muslim, tetapi wacana fikih sendiri memungkinkan sahnya tauliyah oleh penguasa bukan Muslim.4 Di hampir semua negara Muslim (mayoritas penduduknya beragama Islam) yang menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa, lembaga qa«± merupakan pertahanan terakhir eksistensi Islam. Menghapuskan institusi ini dapat mengakibatkan perlawanan fisik (perang), seperti yang pernah terjadi di Nigeria, antara orang Islam melawan penguasa jajahan Inggris. Dalam sejarah Indonesia, usaha untuk menegakkan im±mah di zaman penjajahan Belanda tidak pernah berhenti. Perang-perang besar seperti perang Paderi, perang Aceh dan perang Dipnegoro tidak dapat dipisahkan dari upaya mengembalikan im±mah yang hilang karena penjajahan. Ketika perlawanan berubah pendekatan yang dimulai pada awal abad 20, usaha-usaha inipun disampaikan melalui saluran-saluran modern, seperti mosi kongres. Kongres Central Sarekat Islam (CSI) pertama di Bandung tahun 1916 dan kongres CSI kedua di Jakarta tahun 19175 telah mengeluarkan mosi kepada pemerintah agar ummat Islam boleh mengatur urusannya sendiri, terutama di bidang qa«±, menunjukkan bahwa perkara ini mempunyai nilai sentral dalam upaya menegakkan im±mah di masa Hisyam, Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942, Seri INIS, No.37, Jakarta-Leiden, 2001, h. 158-160. 4 Sayyid Othman, seorang penasehat honorer pemerintah kolonial memandang perlu menulis edisi kedua kitab karangannya berjudul Al-Qaw±n³n al-Syariyyah li Ahli al-Maj±lis al-¦ukmiyyah, untuk menegaskan bahwa tautliyah penguasa yang kafir itu syah adanya. Edisi pertama terbit tahun 1881, sebelum lembaga qadla pribumi yang disebut pengulon di jadikan bagian dari administrasi kolonial, di mana tauliyah diberikan oleh sultan. Tahun 1882, pengulon dijadikan bagian dari administrasi kolonial, dan timbul masalah tauliyah oleh penguasa kafir, karena pengangkatan penghulu setelah ini berpindah dari tangah sultan ke tangan residen. Edisi kedua Al-Qaw±n³n terbit di tahun 1312 H. atau 1894 M, dua belas tahun setelah inkorporasi lembaga pengulon ke dalam administrasi kolonial. 5 Lihat Verslag CSI Congres, laporan tentang kongres CSI 1916 dan 1917, dokumen Kntoor voor Inlandsche Zaken. 152 Nahdlatul Ulama dan Problematika Relasi Agama-Negara — Muhammad Hisyam kekuasaan Belanda yang kafir. Demikian pula partisipasi Muhammadiyah dalam “Komisi Perbaikan Raad Agama” di tahun 1922, dan keterlibatan Nahdlatul Ulama dalam sidang Kantoor voor Inlandsche Zaken di tahun 1929 dalam upaya penataan hukum dalam urusan sipil orang pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menginginkan agar tertib sipil (burgerlijke stand) orang Islam tidak lagi ditangani oleh penghulu (Raad Agama), melainkan oleh kantor catatan sipil, berdasarkan ordonansi perkawinan sekuler yang mereka susun sendiri. Reaksi-reaksi yang keras dari seluruh organisasi Islam terhadap pemindahan wewenang pengadilan perkara waris ummat Islam dari kantor penghulu ke pengadilan landraad di tahun 1937 juga merupakan bagian dari concern Islam terhadap politik im±mah. Di antara tiga organisasi