<<

Menyuarakan Kaum yang Terabaikan LITERASI Heru S.P. Saputra

Volume 1 No. 1, Juni 2011 Halaman 135 - 140

MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN

Heru S.P. Saputra Fakultas Sastra Universitas Jember Pos-el: [email protected]

Judul buku : Sastra Awal: Kontribusi Orang Tionghoa Penulis : Claudine Salmon Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, , Desember 2010 Jumlah : 562 halaman

Dalam rentang historis, pembicara- adat yang mengharuskan kesetaraan an tentang karya sastra, khususnya status sosial dalam perkawinan itu men- dalam konteks sastra Indonesia, bisa jadi tonggak eksistensi sastra Indonesia. diidentikkan dengan pembicaraan karya- Terbitnya (1920) karya yang terbit sejak tahun 1920-an, kemudian disusul oleh tiga novel yang mulai munculnya Azab dan Sengsara karya terbit bersamaan, yakni Sitti Nurbaya Merari Siregar. Novel yang mengisahkan (1922) karya Marah Rusli, Muda Teruna kegagalan sepasang remaja —Aminuddin (1922) karya Muhammad Kasim, dan Apa dan Mariamin— di Sipirok (Tapanuli Dayaku karena Aku Perempuan (1922) karya Selatan, Utara) untuk berumah Nursinah Iskandar (nama lain dari Nur tangga dengan bahagia karena hambatan Sutan Iskandar).

135 Vol. 1, No. 1, Juni 2011

Eksistensi sastra Indonesia teriring tertentu, kedua buku itu mengulas karya- oleh eksistensi , 1917, yang karya klasik —seperti sastra Jawa, Sunda, juga dikenal sebagai Kantor Bacaan Bali— dan karya-karya bernuansa resisten, Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur), yang yang notabene tidak mendapat rekomendasi sebelumnya bernama Komisi Bacaan untuk diterbitkan Balai Pustaka. Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School Dalam konteks itu, karya sastra en Volkslectuur), 1908. Meskipun sebelum yang dihasilkan oleh penulis Peranakan Azab dan Sengsara terdapat beberapa karya Tionghoa seakan termarginalkan, atau yang berkualitas dan menarik, misalnya paling tidak telah terabaikan. Padahal dari karya-karya Mas unsur intrinsik, karya mereka tidak kalah dan , Balai Pustaka tidak me- estetis dibanding karya lain, sedangkan dari nerbitkannya. Terbitan Balai Pustaka unsur ekstrinsik, karya mereka juga tidak adalah karya yang bebas dari potensi berseberangan dengan politik kekuasaan, untuk membangkitkan resistensi pembaca dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda terhadap kekuasaan pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka. Pada posisi yang Belanda. Dengan prinsip itu, karya-karya demikianlah, studi eksploratif yang di- Mas Marco (Mata Gelap, Student Hijo, Syair lakukan Claudine Salmon, peneliti dari Rempah-rempah, dan Rasa Merdeka) dan Perancis yang telah 40 tahun meneliti karya Semaun (Hikayat Kadiroen) tidak Tionghoa di Indonesia ini, menjadi begitu dapat diterbitkan oleh Balai Pustaka karena berarti. Hasil studinya tentang sastra isinya bernuansa kritik sosial sekaligus Melayu-Tionghoa dapat dimaknai sebagai memiliki atmosfer untuk menginspirasi upaya menyuarakan kaum yang terabaikan. masyarakat bersikap resisten terhadap Karya kaum Peranakan Tionghoa tidak kekuasaan. Sebaliknya, karya-karya yang pernah dilarang, tetapi juga tidak pernah di tulis oleh pengarang keturunan Tionghoa, diperhitungkan. Salmon sebenarnya tidak yang notabene bersifat menghibur, tanpa hanya memfokuskan studinya pada sastra ada hasutan dan kritik sosial, ternyata Melayu-Tionghoa, tetapi justru pada juga tidak pernah dilirik oleh Balai Tionghoanya secara keseluruhan, sehingga Pustaka. Padahal produktivitas pengarang persoalan sosial, politik, dan budaya yang Peranakan Tionghoa cukup menjanjikan. berimplikasi dengan Tionghoa di Indonesia Nasib yang tidak mujur semacam itu, juga menjadi bidang kajiannya. dikarenakan penggunaan bahasa Melayu Buku yang ditulis oleh istri Denys Rendah (atau juga dikenal sebagai Melayu- Lombard (pakar Perancis dengan minat Tionghoa atau Melayu-Cina) yang mereka kajian Asia Timur dan Tenggara, dan telah manfaatkan dalam mengekspresikan ide- menulis Nusa Jawa Silang Budaya dalam 3 de kreatifnya kurang diminati oleh Balai jilid) ini merupakan kelanjutan dari buku Pustaka. Padahal Sutan Takdir Alisyahbana sebelumnya, Sastra Cina Peranakan dalam pernah menegaskan bahwa tidak ada Bahasa Melayu. Dalam buku tersebut, signifikansi yang perlu diperuncing antara Salmon membagi arus utama sastra bahasa Melayu Rendah Melayu Tinggi Melayu-Tionghoa menjadi empat periode, dalam konteks karya imajinatif. Buku- yakni (1) dari awal—1911, (2) tahun 1911— buku sejarah sastra Indonesia, di antaranya 1923, (3) tahun 1923—1942, dan (4) tahun tulisan Rosidi (1986), Ikhtisar Sejarah Sastra 1945—awal tahun 1960-an. Sementara itu, Indonesia, dan tulisan Yudiono K.S. (2007), dalam buku ini, Salmon ingin menunjukkan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, juga tidak refleksi sosial kesusastraan dalam bahasa menyinggung sama sekali tentang wacana Melayu atau Melayu-Tionghoa sebagai karya-karya Tionghoa tersebut. Karya- cara pandang para pendatang Tionghoa karya tersebut seakan tidak disentuh dan yang telah mengalami pergeseran hingga tidak dipedulikan. Sebaliknya, dalam batas masuk ke area budaya Nusantara. Atas

136 Menyuarakan Kaum yang Terabaikan Heru S.P. Saputra dasar tujuan tersebut, paparan dalam buku Thjit Liap Seng yang terinspirasi oleh novel —yang dilengkapi dengan tulisan huruf Perancis (Les Tribulations d’un Chinois en Cina (kanji) dalam setiap menyebut nama/ Chine karya Jules Verne) dan novel Belanda idiom Cina- ini bukan saja membahas (Klaasje Zevenster karya J. van Lennep) yang dinamika estetika yang diekspresikan dibacanya. Dalam ulasan terhadap karya penulis Peranakan Tionghoa sejak awal LKH, Salmon menjustifikasi bahwa novel ke munculannya hingga tahun 1980- tersebut merupakan tonggak atau asal-usul an, melainkan juga sikap sosial mereka novel Melayu modern, yang bisa dimaknai terhadap akulturasi yang tercermin dalam sebagai awal eksisnya sastra Indonesia. karya-karya mereka. Bab ketiga, bangkitnya masyarakat Buku yang ber-cover ilustrasi seekor Tionghoa peranakan di Jawa pada klin atau binatang mitis dari Tiongkok ini permulaan abad ke-20, mewartakan berisi 20 tulisan yang terangkum dalam kelahiran gerakan nasionalis di kalangan empat bab. Bab pertama, kebudayaan Peranakan Tionghoa sebagai akibat leluhur dan terjemahan karya-karya politik kolonial yang semakin menekan Tionghoa, memaparkan betapa lekatnya “orang-orang Timur asing”. Wacana budaya asal yang dibawa para emigran gerakan tersebut tersirat dari syair-syair hingga terbentuknya akulturasi budaya dan roman sejarah yang diulas. Meskipun di wilayah migrasi. Selain itu, dipaparkan tidak banyak karya yang dihasilkan pada juga populisnya terjemahan karya-karya masa itu, tetapi ia menjadi representasi Tionghoa, bukan saja dalam genre novel, bangkitnya pergerakan, di antaranya demi melainkan juga syair dan pantun. Meskipun pengembangan pendidikan Tionghoa demikian, distribusi karya-karya tersebut modern. terbatas, khususnya hanya berkutat pada Bab keempat, kesusastraan periode komunitas Tionghoa. Sementara itu, 1920—1980-an sebagai cermin sosial, institusi formal —dalam konteks penerbitan mengungkap beragam fenomena sosial dan pendidikan— belum menyentuhnya. politik yang berkembang di Nusantara Bab kedua, keterlibatan saudagar- pada masa itu, dengan perspektif saudagar terpelajar dalam masyarakat Peranakan Tionghoa. Rentang waktu yang Nusantara pada akhir abad ke-19, relatif panjang tersebut mampu memotret menekankan pada pembahasan sikap dinamika sosial dan intensitas akulturasi sosial kultural para penulis Peranakan budaya, sehingga yang dinarasikan oleh Tionghoa. Predikat saudagar terpelajar penulis Peranakan Tionghoa bukan lagi dapat diinterpretasikan sebagai sosok persoalan individu, atau kooptasi tematik pedagang yang bukan saja berbicara tentang leluhur dari Tiongkok, melainkan tentang ekonomi, melainkan juga persoalan sudah masuk ke ranah kelompok sosial sikap intelektual dalam menyikapi realitas atau kelompok etnik, termasuk di sosial di negeri orang dengan sikap kreatif- dalamnya kelompok etnik Jawa, Sumatra, imajinatif. Dalam bab ini, dibahas lima dan Bali. Dalam rentang tersebut juga telah penulis peranakan, empat berasal dari terdeteksi adanya wacana feminisme yang wilayah Jawa (Lie Kim Hok, Boen Sing diperjuangkan oleh penulis perempuan. Hoo, Tan Teng Kie, Tan Hoe Lo) dan satu Memang pada masa itu belum banyak berasal dari wilayah Sumatra (Na Tian penulis perempuan, tetapi suara tentang Piet). Dari kelima pembahasan tersebut, emansipasi telah didengungkan, paparan terhadap Lie Kim Hok paling setidaknya dilakukan oleh Tan Tjeng Nio menarik karena berpotensi memunculkan dan Lioe Gwat Kiauw Nio. kontroversi, khususnya dalam konteks Sebagaimana telah disinggung, sejarah sastra. Lie Kim Hok (populer buku yang mendapat dukungan dari dengan singkatan LKH) menulis novel Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI)

137 Vol. 1, No. 1, Juni 2011 ini, mengeksplorasi karya-karya yang kurang masyarakat Tionghoa, dengan pengarang, mendapat perhatian dari berbagai pihak, tema cerita, dan audiens yang tidak dapat termasuk kritikus sastra. Jika dikaitkan dilepaskan dari genetis Tionghoa. Narasi dengan konsep yang dipaparkan Faruk, besar yang dikonstruksi dalam karya- karya-karya yang notabene merepresentasi- karya tersebut menjadi potret subjek kan suara-suara kultur peranakan tersebut kolektif Tionghoa. Dalam implikasinya dapat diklasifikasikan sebagai tradisi non- dengan hal itu, dengan mengutip Lan, Balai Pustaka, atau menurut konsep Ariel Faruk menegaskan bahwa salah satu Heryanto, sebagai karya yang disingkirkan/ materi penting dari sastra Peranakan diabaikan/diremehkan. Tionghoa adalah peristiwa-peristiwa Sebagaimana diketahui, dalam kon- yang nyata terjadi yang ditunjukkan baik teks historis, ranah penerbitan karya sastra dengan menyebut secara jelas nama orang memunculkan pemahaman terhadap dan peristiwa yang bersangkutan maupun tradisi Balai Pustaka dan non-Balai dengan menggantikan nama orang dan Pustaka. Tradisi Balai Pustaka, dalam peristiwa itu dengan sesuatu yang fiktif. pandangan Faruk (2002), direpresentasikan Di sisi lain, karya-karya yang menjadi oleh karya-karya terbitan Balai Pustaka potret pandangan dunia (worldview) yang berorientasi pada pencerahan orang Tionghoa tersebut, menurut konsep seiring dengan perkembangan tingkat Ariel Heryanto, dapat dikategorikan keberaksaraan atau literasi masyarakat sebagai genre sastra yang diremehkan. Indonesia, dengan standar bahasa Melayu Sebagaimana diketahui, dalam konteks Tinggi. Pilihan ragam bahasa tersebut perspektif hegemoni, Ariel Heryanto (1988) terkait dengan sikap orientalis Melayu mengklasifikasi sastra Indonesia (termasuk pada zaman kolonial Belanda, yang di dalamnya sastra Melayu) menjadi cenderung bersikap normatif, mengikatkan sastra yang hegemonik (diresmikan/ pada gagasan tentang invariabilitas, diabsahkan) dan subordinat. Klasifikasi bahasa Melayu standar yang digunakan subordinat sendiri dapat dipilah menjadi teks-teks sastra yang telah tersebar luas terlarang, diremehkan, dan dipisahkan. selama berabad-abad. Sementara itu, Dalam konteks itu, karya-karya Peranakan tradisi non-Balai Pustaka relatif heterogen. Tionghoa masuk kategori diremehkan. Faruk membagi tradisi non-Balai Pustaka Artinya, secara substantif, karya mereka menjadi tiga golongan, yakni tradisi sastra bukan termasuk “yang diresmikan”, karena Peranakan Eropa, tradisi sastra Peranakan dianggap tidak cukup bernilai, tetapi juga Tionghoa, dan tradisi sastra pribumi. bukan termasuk “yang dilarang”, karena Ketiganya memiliki orientasi yang beragam, tidak dianggap berbahaya. Sementara itu, termasuk produsen, audiens, bahasa, dan secara sosiologis, karya mereka dibiarkan ciri internal yang relatif berbeda. Benang tumbuh di “bawah”, “pinggir”, atau merah yang menjadi frame tradisi non- “luar” forum kesusastraan resmi, dan Balai Pustaka di antaranya penggunaan eksistensinya tidak dipedulikan oleh elite bahasa, yakni bahasa Melayu Rendah atau kesusastraan resmi. Melayu Pasar, di samping tematik dan Dari pembacaan dan pemetaan materi cerita yang cenderung memungut semacam itu, dapat dipahami bahwa dari realitas keseharian. terbitnya buku Claudine Salmon Dalam konteks itu, narasi yang menjadi yang memberi suara pada kaum yang objek studi Salmon dapat dikategorikan terbungkam, menjadi paradoks historis sebagai tradisi non-Balai Pustaka, bagi perjalanan sastra Indonesia. Artinya, khususnya tradisi sastra Peranakan Sastra Indonesia Awal yang menjadi Tionghoa. Karya-karya yang diteliti “label” buku ini, seakan mendekonstruksi Salmon merepresentasikan suara-suara kemapanan sejarah sastra Indonesia.

138 Menyuarakan Kaum yang Terabaikan Heru S.P. Saputra Jika sejenak kita menengok ke kesastraan Melayu-Tionghoa. Terbukti, belakang, sebenarnya karya-karya pada 1930-an Ni Joe Lan telah menyerukan Peranakan Tionghoa telah diekspresikan pentingnya peranan kesastraan tersebut, jauh sebelum eksisnya sastra Indonesia dengan menyebutnya sebagai kesastraan modern. Artinya, sebelum tahun 1920-an “Indo-Tionghoa”, yang berkembang di luar (tepatnya sebelum tahun 1918), banyak lembaga resmi. Setelah Indonesia merdeka, karya sastra yang diciptakan Peranakan Pramoedya Ananta Toer berkali-kali Tionghoa, termasuk di dalamnya yang menyebut masa perkembangan kesastraan memiliki ragam modern. Sastra Peranakan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, Tionghoa muncul pada tahun 1870-an, masa transisi dari kesastraan lama ke bersamaan dengan berdirinya percetakan kesastraan baru. Pada 1971, C.W. Watson milik Tionghoa. Dua karya yang mengawali menyebutnya “Pendahulu Kesastraan masa itu, adalah Lo Fen Koei karya Gouw Indonesia Modern”, sedangkan pada 1977, Peng Liang, dan Tjerita Oey See karya John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Thio Tjin Boen. Nama-nama pengarang Auckland dengan menggunakan sebutan lain yang cukup populer pada masa itu di “Kesastraan Melayu Tionghoa”. antaranya Nio Joe Lan, Kwee Tek Hoay, Seakan ingin menyingkirkan label Tan Hong Boen, Nyoo Cheong Seng, Tan remeh pada karya-karya Peranakan Boen Kim, Tio Ie Soei, Boen Sing Hoo, Tiongoa, pada akhir tulisan yang berjudul Na Tian Piet, Tan Teng Kie, Tan Hoe Lo, “Asal-usul Novel Melayu Modern”, Koh Wat, Tiong Hoa Hwe Kwan, Tjoa Boe Salmon menegaskan bahwa Tjhit Liap Sing, Njoo Chrong Seng, dan Gao Yangtai. Seng merupakan “novel modern yang Sastra Peranakan Tionghoa mencapai pertama dalam bahasa Melayu”, yang zenitnya pada 1920-an dan 1930-an, era lahir di perbatasan tiga dunia budaya, nasionalisme Tionghoa yang hangat di yakni Melayu, Tionghoa, dan Prancis- Jawa, pada waktu sekolah, organisasi, dan Belanda. Seiring dengan genderang itu, di surat kabar Tionghoa juga maju (Saputra, cover belakang buku ini diserukan bahwa 2011). novel Indonesia pertama bukanlah Azab Selain implikasi waktu (awal dan Sengsara, melainkan Tjhit Liap Seng kemunculan), juga menyangkut persoalan (Bintang Tujuh); bukan terbit awal 1920-an, produktivitas. Dalam catatan Claudine melainkan 35 tahun sebelumnya; bukan Salmon, disebutkan bahwa selama hampir karya orang bernama Merari Siregar, 100 tahun (1870—1960), kesastraan Melayu- melainkan karya orang Tionghoa dari Tionghoa melibatkan 806 penulis yang bernama Lie Kim Hok. Orientasi hilirnya, menghasilkan 3005 karya. Sementara itu, Salmon berharap agar studinya tentang berdasarkan catatan pakar sastra dari sastra Peranakan Tionghoa dapat memberi Belanda, A. Teeuw, disebutkan bahwa kontribusi pada pengembangan gagasan selama hampir 50 tahun (1918—1967), yang diprakarsai oleh A Teeuw, khususnya kesastraan modern Indonesia hanya tentang Translation, Transformation, and melibatkan 175 penulis yang menghasilkan Indonesian History. Di sisi lain, Salmon 400 karya sastra; sedangkan jika dihitung secara khusus mendedikasikan buku ini sampai 1979, melibatkan 284 penulis dan sebagai kenangan terhadap dua tokoh menghasilkan 770 karya. Perbandingan sastra Melayu-Tionghoa, Nio Joe Lan dan tersebut menunjukkan bahwa pengarang- Tio Ie Soei. pengarang Peranakan Tionghoa lebih Sebagai bentuk apresiasi terhadap produktif. karya-karya Peranakan Tionghoa, bela- Sebagaimana ditegaskan Marcus dan kangan ini ada upaya untuk menyeleksi Benendato (2001), sebenarnya bukan tidak dan mendokumentasi ulang karya-karya ada suara yang mengakui kepeloporan tersebut. Kini telah dipilih 150 karya, baik

139 Vol. 1, No. 1, Juni 2011 prosa (novel, novelet, cerpen) maupun an Indonesia Mutakhir,” Prisma, drama, yang mencakup 15.000 halaman, Nomor. 8, Tahun XVII, Jakarta: dan diperkirakan akan terbit dalam 25 jilid LP3ES. —hingga 2011 ini, setahu saya, telah terbit Marcus A.S. dan Pax Benedanto. 2001. 8 jilid, dan masing-masing jilid rata-rata Kesastraan Melayu Tionghoa dan dengan ketebalan di atas 500 halaman, Kebangsaan Indonesia (Jilid 2). Jakarta: dengan berisi beberapa karya— yang Kepustakaan Populer Gramedia terkumpul dalam judul Kesastraan Melayu (KPG). Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Akhirnya, dengan buku Salmon Indonesia. : Binacipta. ini, sastra Peranakan Tionghoa telah Saputra, Heru S.P. 2011. “Menelisik tersuarakan. Meskipun lirih, mudah- Sastra Berwarna Lokal Tionghoa, mudahan suara itu tetap didengar oleh Mengeluh-kesahkan Spirit Multi berbagai kalangan, sehingga kontribusinya kulturalisme,” dalam Novi terhadap khazanah sastra Indonesia bisa Anoegrajekti, Nawiyanto, dan mulai diperhitungkan. Semoga! Bambang Aris Kartika (ed.), Retro speksi: Mengangan-Ulang Ke- indonesiaan dalam Perspektif Sejarah, Daftar Pustaka Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Faruk. 2002. Novel-novel Indoensia: Tradisi Kepel Press. Balai Pustaka 1920–1942. Yogyakarta: Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Gama Media. Indonesia. Jakarta: Grasindo. Heryanto, Ariel. 1988. “Masihkah Politik Jadi Panglima: Politik Kesusastra-

140