Menyuarakan Kaum Yang Terabaikan LITERASI Heru S.P

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Menyuarakan Kaum Yang Terabaikan LITERASI Heru S.P Menyuarakan Kaum yang Terabaikan LITERASI Heru S.P. Saputra Volume 1 No. 1, Juni 2011 Halaman 135 - 140 MENYUARAKAN KAUM YANG TERABAIKAN Heru S.P. Saputra Fakultas Sastra Universitas Jember Pos-el: [email protected] Judul buku : Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa Penulis : Claudine Salmon Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, Desember 2010 Jumlah : 562 halaman Dalam rentang historis, pembicara- adat yang mengharuskan kesetaraan an tentang karya sastra, khususnya status sosial dalam perkawinan itu men- dalam konteks sastra Indonesia, bisa jadi tonggak eksistensi sastra Indonesia. diidentikkan dengan pembicaraan karya- Terbitnya Azab dan Sengsara (1920) karya yang terbit sejak tahun 1920-an, kemudian disusul oleh tiga novel yang mulai munculnya Azab dan Sengsara karya terbit bersamaan, yakni Sitti Nurbaya Merari Siregar. Novel yang mengisahkan (1922) karya Marah Rusli, Muda Teruna kegagalan sepasang remaja —Aminuddin (1922) karya Muhammad Kasim, dan Apa dan Mariamin— di Sipirok (Tapanuli Dayaku karena Aku Perempuan (1922) karya Selatan, Sumatra Utara) untuk berumah Nursinah Iskandar (nama lain dari Nur tangga dengan bahagia karena hambatan Sutan Iskandar). 135 Vol. 1, No. 1, Juni 2011 Eksistensi sastra Indonesia teriring tertentu, kedua buku itu mengulas karya- oleh eksistensi Balai Pustaka, 1917, yang karya klasik —seperti sastra Jawa, Sunda, juga dikenal sebagai Kantor Bacaan Bali— dan karya-karya bernuansa resisten, Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur), yang yang notabene tidak mendapat rekomendasi sebelumnya bernama Komisi Bacaan untuk diterbitkan Balai Pustaka. Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School Dalam konteks itu, karya sastra en Volkslectuur), 1908. Meskipun sebelum yang dihasilkan oleh penulis Peranakan Azab dan Sengsara terdapat beberapa karya Tionghoa seakan termarginalkan, atau yang berkualitas dan menarik, misalnya paling tidak telah terabaikan. Padahal dari karya-karya Mas Marco Kartodikromo unsur intrinsik, karya mereka tidak kalah dan Semaun, Balai Pustaka tidak me- estetis dibanding karya lain, sedangkan dari nerbitkannya. Terbitan Balai Pustaka unsur ekstrinsik, karya mereka juga tidak adalah karya yang bebas dari potensi berseberangan dengan politik kekuasaan, untuk membangkitkan resistensi pembaca dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda terhadap kekuasaan pemerintah kolonial melalui Balai Pustaka. Pada posisi yang Belanda. Dengan prinsip itu, karya-karya demikianlah, studi eksploratif yang di- Mas Marco (Mata Gelap, Student Hijo, Syair lakukan Claudine Salmon, peneliti dari Rempah-rempah, dan Rasa Merdeka) dan Perancis yang telah 40 tahun meneliti karya Semaun (Hikayat Kadiroen) tidak Tionghoa di Indonesia ini, menjadi begitu dapat diterbitkan oleh Balai Pustaka karena berarti. Hasil studinya tentang sastra isinya bernuansa kritik sosial sekaligus Melayu-Tionghoa dapat dimaknai sebagai memiliki atmosfer untuk menginspirasi upaya menyuarakan kaum yang terabaikan. masyarakat bersikap resisten terhadap Karya kaum Peranakan Tionghoa tidak kekuasaan. Sebaliknya, karya-karya yang pernah dilarang, tetapi juga tidak pernah di tulis oleh pengarang keturunan Tionghoa, diperhitungkan. Salmon sebenarnya tidak yang notabene bersifat menghibur, tanpa hanya memfokuskan studinya pada sastra ada hasutan dan kritik sosial, ternyata Melayu-Tionghoa, tetapi justru pada juga tidak pernah dilirik oleh Balai Tionghoanya secara keseluruhan, sehingga Pustaka. Padahal produktivitas pengarang persoalan sosial, politik, dan budaya yang Peranakan Tionghoa cukup menjanjikan. berimplikasi dengan Tionghoa di Indonesia Nasib yang tidak mujur semacam itu, juga menjadi bidang kajiannya. dikarenakan penggunaan bahasa Melayu Buku yang ditulis oleh istri Denys Rendah (atau juga dikenal sebagai Melayu- Lombard (pakar Perancis dengan minat Tionghoa atau Melayu-Cina) yang mereka kajian Asia Timur dan Tenggara, dan telah manfaatkan dalam mengekspresikan ide- menulis Nusa Jawa Silang Budaya dalam 3 de kreatifnya kurang diminati oleh Balai jilid) ini merupakan kelanjutan dari buku Pustaka. Padahal Sutan Takdir Alisyahbana sebelumnya, Sastra Cina Peranakan dalam pernah menegaskan bahwa tidak ada Bahasa Melayu. Dalam buku tersebut, signifikansi yang perlu diperuncing antara Salmon membagi arus utama sastra bahasa Melayu Rendah Melayu Tinggi Melayu-Tionghoa menjadi empat periode, dalam konteks karya imajinatif. Buku- yakni (1) dari awal—1911, (2) tahun 1911— buku sejarah sastra Indonesia, di antaranya 1923, (3) tahun 1923—1942, dan (4) tahun tulisan Rosidi (1986), Ikhtisar Sejarah Sastra 1945—awal tahun 1960-an. Sementara itu, Indonesia, dan tulisan Yudiono K.S. (2007), dalam buku ini, Salmon ingin menunjukkan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, juga tidak refleksi sosial kesusastraan dalam bahasa menyinggung sama sekali tentang wacana Melayu atau Melayu-Tionghoa sebagai karya-karya Tionghoa tersebut. Karya- cara pandang para pendatang Tionghoa karya tersebut seakan tidak disentuh dan yang telah mengalami pergeseran hingga tidak dipedulikan. Sebaliknya, dalam batas masuk ke area budaya Nusantara. Atas 136 Menyuarakan Kaum yang Terabaikan Heru S.P. Saputra dasar tujuan tersebut, paparan dalam buku Thjit Liap Seng yang terinspirasi oleh novel —yang dilengkapi dengan tulisan huruf Perancis (Les Tribulations d’un Chinois en Cina (kanji) dalam setiap menyebut nama/ Chine karya Jules Verne) dan novel Belanda idiom Cina- ini bukan saja membahas (Klaasje Zevenster karya J. van Lennep) yang dinamika estetika yang diekspresikan dibacanya. Dalam ulasan terhadap karya penulis Peranakan Tionghoa sejak awal LKH, Salmon menjustifikasi bahwa novel ke munculannya hingga tahun 1980- tersebut merupakan tonggak atau asal-usul an, melainkan juga sikap sosial mereka novel Melayu modern, yang bisa dimaknai terhadap akulturasi yang tercermin dalam sebagai awal eksisnya sastra Indonesia. karya-karya mereka. Bab ketiga, bangkitnya masyarakat Buku yang ber-cover ilustrasi seekor Tionghoa peranakan di Jawa pada klin atau binatang mitis dari Tiongkok ini permulaan abad ke-20, mewartakan berisi 20 tulisan yang terangkum dalam kelahiran gerakan nasionalis di kalangan empat bab. Bab pertama, kebudayaan Peranakan Tionghoa sebagai akibat leluhur dan terjemahan karya-karya politik kolonial yang semakin menekan Tionghoa, memaparkan betapa lekatnya “orang-orang Timur asing”. Wacana budaya asal yang dibawa para emigran gerakan tersebut tersirat dari syair-syair hingga terbentuknya akulturasi budaya dan roman sejarah yang diulas. Meskipun di wilayah migrasi. Selain itu, dipaparkan tidak banyak karya yang dihasilkan pada juga populisnya terjemahan karya-karya masa itu, tetapi ia menjadi representasi Tionghoa, bukan saja dalam genre novel, bangkitnya pergerakan, di antaranya demi melainkan juga syair dan pantun. Meskipun pengembangan pendidikan Tionghoa demikian, distribusi karya-karya tersebut modern. terbatas, khususnya hanya berkutat pada Bab keempat, kesusastraan periode komunitas Tionghoa. Sementara itu, 1920—1980-an sebagai cermin sosial, institusi formal —dalam konteks penerbitan mengungkap beragam fenomena sosial dan pendidikan— belum menyentuhnya. politik yang berkembang di Nusantara Bab kedua, keterlibatan saudagar- pada masa itu, dengan perspektif saudagar terpelajar dalam masyarakat Peranakan Tionghoa. Rentang waktu yang Nusantara pada akhir abad ke-19, relatif panjang tersebut mampu memotret menekankan pada pembahasan sikap dinamika sosial dan intensitas akulturasi sosial kultural para penulis Peranakan budaya, sehingga yang dinarasikan oleh Tionghoa. Predikat saudagar terpelajar penulis Peranakan Tionghoa bukan lagi dapat diinterpretasikan sebagai sosok persoalan individu, atau kooptasi tematik pedagang yang bukan saja berbicara tentang leluhur dari Tiongkok, melainkan tentang ekonomi, melainkan juga persoalan sudah masuk ke ranah kelompok sosial sikap intelektual dalam menyikapi realitas atau kelompok etnik, termasuk di sosial di negeri orang dengan sikap kreatif- dalamnya kelompok etnik Jawa, Sumatra, imajinatif. Dalam bab ini, dibahas lima dan Bali. Dalam rentang tersebut juga telah penulis peranakan, empat berasal dari terdeteksi adanya wacana feminisme yang wilayah Jawa (Lie Kim Hok, Boen Sing diperjuangkan oleh penulis perempuan. Hoo, Tan Teng Kie, Tan Hoe Lo) dan satu Memang pada masa itu belum banyak berasal dari wilayah Sumatra (Na Tian penulis perempuan, tetapi suara tentang Piet). Dari kelima pembahasan tersebut, emansipasi telah didengungkan, paparan terhadap Lie Kim Hok paling setidaknya dilakukan oleh Tan Tjeng Nio menarik karena berpotensi memunculkan dan Lioe Gwat Kiauw Nio. kontroversi, khususnya dalam konteks Sebagaimana telah disinggung, sejarah sastra. Lie Kim Hok (populer buku yang mendapat dukungan dari dengan singkatan LKH) menulis novel Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) 137 Vol. 1, No. 1, Juni 2011 ini, mengeksplorasi karya-karya yang kurang masyarakat Tionghoa, dengan pengarang, mendapat perhatian dari berbagai pihak, tema cerita, dan audiens yang tidak dapat termasuk kritikus sastra. Jika dikaitkan dilepaskan dari genetis Tionghoa. Narasi dengan konsep yang dipaparkan Faruk, besar yang dikonstruksi dalam karya- karya-karya yang notabene merepresentasi- karya tersebut menjadi potret subjek kan suara-suara kultur peranakan tersebut kolektif Tionghoa. Dalam implikasinya dapat diklasifikasikan sebagai tradisi non- dengan hal itu, dengan mengutip Lan, Balai Pustaka, atau menurut konsep Ariel Faruk menegaskan bahwa salah satu Heryanto, sebagai karya yang disingkirkan/ materi penting dari sastra Peranakan diabaikan/diremehkan.
Recommended publications
  • Novel ATHEIS-Dewikz
    Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Karya : Achdijat Karta Mihardja Atheis Sumber DJVU : BBSC Ebook oleh : Dewi KZ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/ http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/ http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/ Tiraikasih website http://kangzusi.com/ Riwayat Hidup Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi). Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switserland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma. Tahun 1952 berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep.
    [Show full text]
  • Perbandingan Gaya Bahasa Dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dan Novel Telegram Karya Putu Wijaya: Tinjauan Stilistika
    1 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Disusun oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 2 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA TESIS Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi Bahasa Indonesia Disusun dan diajukan oleh A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 3 PERBANDINGAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARDJA DAN NOVEL TELEGRAM KARYA PUTU WIJAYA: TINJAUAN STILISTIKA THE COMPARISON OF LANGUAGE STYLE IN NOVEL ATHEIS BY ACHDIAT KARTA MIHARDJA AND NOVEL TELEGRAM BY PUTU WIJAYA: A STYLISTIC APPROACH TESIS A. ARYANA P1200215002 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 4 5 PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : A. Aryana Nomor Pokok : P1200215002 Program Studi : Bahasa Indonesia Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini merupakan hasil karya sendiri, bukan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 4 Januari 2018 Yang menyatakan, A. Aryana 6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Akhirnya tesis ini dapat dirampungkan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis guna memeroleh gelar Magister Humaniora (M.Hum.) pada Program Studi Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin.
    [Show full text]
  • A Portrait of a Mother As an Agent of Change in Some Selected Fiction
    PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI A Portrait of a Mother as an Agent of Change in Some Selected Fiction A THESIS Presented as a Partial Fulfilment of the Requirements to Obtain the Magister Humaniora (M. Hum.) Degree in English Language Studies by Deta Maria Sri Darta Student Number: 096332012 THE GRADUATE PROGRAM IN ENGLISH LANGUAGE STUDIES SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2011 PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI PLAGIATPLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI ACKNOWLEDGEMENTS One cannot achieve her goals without lending hands from others, and neither can I. This thesis is a result of my never ending interaction with many magnificent people, including those whose names I do not know. Starting from the must-be-done routine, commuting from Salatiga to Yogyakarta on public buses, to the process of knitting the words into a bundle of thesis, I realize that I could not survive without them. I know that I cannot return their kindness except through my deepest gratitude and prayers for them. It is my pleasure to express my gratitude to my 2009 friends, especially from the Literature class. I thank them for the loving togetherness of the last two significant years in my life. Their contribution through making the room for sharing and discussion have helped me much to make this thesis come true. Let’s hope that all memories will be the sweetest ones to remember.
    [Show full text]
  • Susan Rodgers Sire Gar in a Gathering of Batak Village Grandmothers In
    A BATAK LITERATURE OF MODERNIZATION* Susan Rodgers Sire gar In a gathering of Batak village grandmothers in my house in 1976 to tape record some traditional ritual speech, one old ompu* 1 took the time to survey the changes in Batak kinship she had witnessed in her lifetime. Like many of her contemporar­ ies, she spoke warmly of the "more orderly" kinship world of her childhood, when people "still married who they should." She contrasted this halcyon age to present- day conditions: young people were marrying against the grain of the adat, house­ holds were ignoring their adat obligations to lend labor assistance to relatives in favor of concentrating on their own fields and farmwork, and her neighbors were beginning to forget some of the courtly eulogistic terms once used in addressing kinsmen. Fixing me with a stare and breaking out of her customary Angkola Batak2 into Indonesian, she delivered a final withering epithet on modern-day Batak family life: just one quality characterized it, "Merdeka di segala-gala--Freedom in every­ thing! " Change in the Angkola Batak kinship system in the last seventy to eighty years has indeed been considerable. Many of these changes have been reflected in Batak literature, which, in turn, has influenced the process. In fact, Batak oral and written literature has served the Batak as a medium for reformulating their kinship system in a time of rapid educational improvements, migration out of the ethnic homelands, and increasing contact with other ethnic societies and Indonesian nation­ al culture. In this paper I would like to investigate the relationship between Angkola Batak kinship and its locally authored literature as the society has modernized, fo­ cusing in particular on the subjects of courtship and marriage.
    [Show full text]
  • Student Hijo
    STUDENT HIJO Student Hidjo Oleh Marco Kartodikromo (1918) Diambil dari : militanindonesia.org Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. I. KONINGKLIJKE SCHOUWBURG DI ‘SRAVENHAGE [DEN HAAG] Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda. Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang.
    [Show full text]
  • An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century
    SAIR NONA FIENTJE DE FENIKS An Example of Popular Indonesian Fiction in the First Quarter of the Century CYRIL WILLIAM WATSON If one reads any of · the standard accounts of the development o{ modern Indonesian literature, whether those written by foreign scholars or by Indonesians themselves/ one is liable to get an exceptionally distorted picture of what reading material was available and what the readership of this material was, particularly for the period before the Second World War. The reason for this is that standard accoupts have concentrated almost exclusively on works published by the official colonial publisher Balai Pustaka or produced by B. P. staff and, at least as far as prose is concerned, have ignored other' publications. There are various reasons far this, but perhaps the most important is the influence exerted by Professor A. Teeuw, the pioneer2 in the field of modern Indonesian literary studies. Since his early work V ooltooid V oorspel ( 1950) which was the outcome of a course of lectures on modern Indonesian literature duri:qg which, as he himself admits, he was reading the literature for the first time and simply keeping himself a little way in front of his students, Professor Teeuw has delimited the field of research and his example has been followed without much questioning by subsequent writers such as H. B. J assin and Professor A. Johns. Professor Teeuw can hardly be blamed for what has occurred since he painstakingly dealt with all the ma- terial that was at hand to him. I don't think he himself realised when he came to write what is often taken to be the.
    [Show full text]
  • INDO 94 0 1349469264 57 84.Pdf (672.6Kb)
    From Foe to Partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia, 1943-1945 Harry A. Poeze The Netherlands East Indies, the vast Dutch colony, was invaded by the Japanese and occupied with relative ease. The Indies government surrendered on March 8,1942. In the days leading up to the surrender, on orders of the Dutch Governor General, a number of government officials left for Australia. The Dutch government in exile in London—Germany occupied the Netherlands from May 1940—authorized the formation of an Indies government in exile in Australia, named the Netherlands Indies Commission. The commission was inaugurated on April 8, 1942, and was headed by H. J. van Mook. Starting in April 1944, the Raad van Departementshoofden (Commission of Departmental Heads) acted as Van Mook's cabinet. It consisted of six members, with Loekman Djajadiningrat as the sole Indonesian among them. Matters regarding the Dutch and Indonesians in Australia were supervised by Ch. O. van der Plas, who held the rank of Chief Commissioner for Australia and New Zealand and who was undoubtedly the most influential member of the Raad. The Indonesians stranded in Australia beginning in March 1942—mostly seamen and soldiers—cost Van der Plas a lot of time and caused him much worry. Moreover, Indonesia 94 (October 2012) 58 Harry Poeze he was also responsible for the almost forgotten community of political prisoners, interned in Boven Digoel, in the Southeast New Guinea jungle. That part of the Netherlands Indies was all that was left of the Dutch realm.
    [Show full text]
  • Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1
    Keio Communication Review No.36, 2014 The Dynamics of Contentious Politics in The Indies: Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1 By YAMAMOTO Nobuto* In the last three decades of Dutch colonialism, the vernacular press in the Netherlands Indies flourished. Journalists played a significant role in mounting various nationalistic and social movements by circulating and articulating both news and political messages. Such a honeymoon relationship between the press and mobilizational politics saw the high days of political radicalism in the 1910s and 1920s Java. Not a small number of the vernacular press functioned as organs of political parties and associations, and being conduits of their propagandas. After the crash of the so-called communist uprisings in 1926 and 1927, however, the colonial authorities suppressed mobilizational politics.2 Despite of the fact that newspapers now recoiled from doing propaganda works or politics altogether, they were actually able to attract more readerships than ever before throughout the 1930s. Dutch colonial authorities did not allow freedom of the press in the Indies and exercised censorship against the emergent periodical markets. Persdelict (press offense) as penal code was introduced in 1914, while persbreidel (press curbing) as an administrative measure was introduced in 1931 and became the dominant tool to curtail press freedom in the 1930s. The former targeted individual journalists including editors and associates, whereas the latter had power to shut down the publisher and the printer of a particular newspaper for a certain period of time. Under these two censorship regimes, journalists were always put under pressure of severe legal punishments and sometimes even being expelled from the Indies.
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • Unsur Postkolonial Dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
    UNSUR POSTKOLONIAL DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT K. MIHARDJA Oleh: Vivi Yunita1, Yasnur Asri2, Afnita3 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Padang email: [email protected] ABSTRACT The purpose of this study was to describe postcolonial component which was hegemony and mimicry that was experienced by characters in Atheis novel from Achdiat K. Mihardja. Data of study were characters utterance, display of narrator and acting of the characters in the novel. The primary source of data was texts from Atheis novel by Achdiat K. Mihardja. Data were collected by using qualitative decriptive which was read and written into inventaritation data from and analyzing data based on postcolonial theory. The fiding of the study showed postcolonial component in the novel, they were hegemony and mimicry. Five ideologies that were showed hegemony, languange mimicry and culture that was exeperienced by the characters in Atheis novel from Achdiat K. Mihardja. Kata kunci: postcolonial; hegemoni; mimikri; atheis A. Pendahuluan Perkembangan kesusastraan di Hindia Belanda sampai pada periode awal kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan Kolonial Belanda. Hal ini dapat diketahui dari pendirian Balai Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:582) mengartikan kolonialisme sebagai penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Sebagai lembaga penerbitan milik pemerintah kolonial, Balai Pustaka berusaha mempromosikan pengguasaan bahasa melayu tinggi yang dipelopori oleh Ch. Van Ophuysen Balai Pustaka sebelum sumpah pemuda pada tahun 1928, tidak memberi ruang bagi karya yang tidak menggunakan bahasa yang telah dibakukan oleh ahli bahasa pada masa itu. Balai Pustaka tidak mau menerbitkan karya-karya yang berunsur agama, juga karya-karya yang berpandangan politik yang bersebrangan dengan pemerintah kolonial.
    [Show full text]
  • Feminist Education in Indonesian Novels Under the Domination of Patriarchy
    International Journal of Gender and Women’s Studies December 2018, Vol. 6, No. 2, pp. 42-51 ISSN: 2333-6021 (Print), 2333-603X (Online) Copyright © The Author(s). All Rights Reserved. Published by American Research Institute for Policy Development DOI: 10.15640/ijgws.v6n2p5 URL: https://doi.org/10.15640/ijgws.v6n2p5 Feminist Education in Indonesian Novels Under the Domination of Patriarchy Wiyatmi1 Abstract This article is aimed at studying the representation of feminist education in Indonesian novels. This objective is inspired by the fact that, since the beginning of its development, Indonesian novels have raised the issues of women education which, in the tradition of feminism studies, is known as feminist research. Research shows that, although there emerges awareness of the importance of education for women, they are still positioned within the domestic arena. After pursuing their education, mostly in elementary and secondary schools, they must return to home, getting married, playing the role as wife and mother expected to be capable of taking care of the home well, and serving their husband. This points out to the dominance of the patriarcical ideology that places women in the domestic arena and men in the public arena. Such awareness truly is not always followed by permitting and giving women these educated women to make use of their knowledge to take part in the public sector; not even to merely exercise their autonomy in their own home. This is shown in the novels Azab dan Sengsara by Armijn Pane, Sitti Nurbaya by Marah Rusli, Kehilangan Mestika by Hamidah, Widyawati by Arti Purbani, and Para Priyayi by Umar Kayam.
    [Show full text]
  • The Construction of the Role of Women in Indonesia Novels in the 1920S
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 263 International Conference on Language, Literature, and Education (ICLLE 2018) The Construction of The Role of Women in Indonesia Novels in the 1920s Ade Putra, Yasnur Asri, Yenni Hayati Universitas Negeri Padang [email protected] Abstract--This study aimed to describe the construction of the role of women in the novels of Indonesia in the 1920s. The data in study were figure of speeches, speeches of the narrator, description of the behavior of character. Issue in this study is about the construction role of women contained in the novels of Indonesia in the 1920s. This study used four novels as the sources; Sitti Nurbaya by Marah Rusli, Azab dan Sengsara by Merari Siregar, Kehilangan Mestika by Hamidah, and Manusia Bebas by Suwarsih Djojopuspito. This study used a qualitative content analysis techniques. Data validation was done by triangulation techniques, which checks the validity of data that take advantage of something else outside of the data. Based on the results, we can conclude the role of women in the novels Indonesia in the 1920s is divided into two parts. First, the domestic role of women in the world that includes the role as a child, the role of wife and motherhood. Second, the role of the public world that includes the role of education and role in the public organization. Keywords--gender construction; Indonesian women; and 1920s novels I. INTRODUCTION The position of women in the social environment has been constructed for long ago. This construction as a friend put women behind men whose lives revolve around the issue only wells, mattresses and kitchen.
    [Show full text]