2014 Mei 07 Yapi Taum Diskursus Batjaan

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

2014 Mei 07 Yapi Taum Diskursus Batjaan DISKURSUS BATJAAN LIAR: KAJIAN TERHADAP DUA SASTRAWAN LIAR DALAM PERIODE 1900-1933 Yoseph Yapi Taum Dosen Program Studi Satra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Alamat korespondensi: Jl. Affandi Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRACT Batjaan Liar or devil literature (my translation, YYT) is a term using by Dutch colonial officers to stigmatize works on journalism and literature produced by people of nationalist movement. Those works judged as devil literature because of the power to threatening Dutch colonial status quo. However, in Indonesian canon literary history, those who perceived as devil writers, such as Tirto Adhi Suryo and Mas Marco Kartodikromo, never mentioned. This research aims at exploring the discourse of devil literature to get better understanding on devil writer’s position and to promote appreciation into their works in the light of new Indonesian literary history. This research also aims at discussing reasons why devil literature discourse could not be changed in changing regime. The main objective of this reseacrh is to compose a new discourse on rethinking and rewriting of Indonesian new literary history. Key words:batjaan liar, diskursus, kaum pergerakan, komunis, sejarah sastra. 1. PENDAHULUAN orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain” (Taum, 2011: 191). Dalam sejarah sastra Indonesia formal, kurun Kaum penguasa kolonial menyebut tulisan waktu tahun 1900 – 1933 dikenal sebagai periode atau mereka sebagai ‘bacaan liar’. Mereka biasanya angkatan Balai Pustaka. Angkatan Balai Pustaka merupakan orang-orang pergerakan. Orang-orang merupakan sekelompok sastrawan, penyair dan pergerakan ini jelas-jelas menjadikan media sastra penulis prosa yang menerbitkan karyanya melalui Balai sebagai sarana perjuangan politiknya, yaitu untuk Pustaka. Balai Pustaka adalah sebuah lembaga resmi mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia (Razif, yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 2010). Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan 1908 yang bernama ‘Comissie voor de Volkslectuur’ makna untuk “bacaan liar” sebagai bacaan yang atau Komisi Bacaan Rakyat. Lembaga ini dibangun mengagitasi rakyat untuk melakukan “pemberontakan,” sebagai konsekuensi politik etis yang mendirikan sehingga penulisnya pun diberi cap dan mendapat sekolah bagi kaum Bumi Putera. stigma sebagai “pengarang liar.” Di luar angkatan resmi yang didirikan dan Setelah bangsa ini merdeka, diskursus tentang dibina oleh pemerintahan kolonial itu, sesungguhnya batjaan dan pengarang liar tetap bertahan terhadap terdapat sekelompok sastrawan yang sangat aktif perubahan. Para penulis sejarah sastra Indonesia pula menulis karya-karya sastra. Mereka tidak modern seperti H. B. Jassin (1953), Nugroho mempublikasikan karya-karyanya melalui penerbit Notosusanto (1963), Ajib Rosidi (1973), Rachmat Balai Pustaka. Tahun 1924, organisasi PKI mendirikan Djoko Pradopo (1995), Jacob Sumardjo (1992), dan Comissie Batjaan Hoofdbestuur yang menerbitkan dan Yudiono KS (2007) tidak menyinggung kehadiran menyebarluaskan “literatuur socialisme”—sebuah “Pengarang dan Batjaan Liar” pada periode 1900-1933. istilah yang pertama kali digunakan oleh Semaoen. Studi ini bermaksud mengidentifikasi, Dalam artikelnya,”Klub Kominis!”, Semaoen menginventarisasi, dan melakukan kajian terhadap menjelaskan bahwa “socialisme jalah ilmoe mengatoer pengarang dan batjaan liar. Studi ini akan terfokus pada pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep itoe dokumentasi hasil-hasil karya sastra, prosa maupun 130 Yoseph Yapi Taum, Diskursus Batjaan Liar: Kajian terhadap Dua Sastrawan Liar dalam .... puisi seniman Batjaan Liar, identifikasi sastrawan “dibaca” oleh Foucault antara lain wacana ‘kegilaan’, Batjaan Liar beserta biodatanya, analisis karya-karya ‘penjara dan hukuman’, dan homoseksualitas. Tujuan sastranya, dan kajian mengenai kedudukan Batjaan Liar dia membaca wacana-wacana tersebut adalah dalam Sejarah Sastra Indonesia. Mengingat menemukan episteme sebuah zaman. keterbatasan tempat, tulisan ini hanya akan membahas Diskursus adalah sekelompok pernyataan yang dua pengarang, yaitu Tirto Adhi Suryo dan Mas Marco merumuskan kondisi sebuah persoalan. Kejadian- Kartodikromo. kejadian historis ataupun arsip (archive) tentang Ada dua alasan perlu dipersoalkannya Batjaan pernyataan-pernyataan historis juga merupakan Liar dalam konteks sejarah sastra Indonesia. Pertama, diskursus. Yang dimaksudkan dengan ‘archive’ adalah kemajuan dalam ilmu sastra dengan diterimanya teori- sebuah sistem yang mengatur penampilan pernyataan- teori cultural studies, menekankan perlunya kalangan pernyataan sebagai kejadian-kejadian historis ilmuwan humaniora menghargai semua hasil (Foucault, 1972: 86). kesusastraan, termasuk sastra tinggi maupun sastra Tampil atau tersembunyikannya sebuah rendah. Dalam proses kanonisasi sejarah sastra ‘archive’ sangat tergantung pada formasi diskursif Indonesia, terlihat dengan jelas bahwa beberapa yang berlaku pada periode tertentu. Formasi diskursif, kelompok sastrawan yang dipandang sebagai ‘seniman menurut Foucault, adalah praktik penciptaan kiri’ dan ‘seniman di luar main stream’ tidak pernyataan (statement, énoncé), dalam wilayah dimasukkan sebagai kelompok sastrawan Indonesia. diskursus dan relasi-relasi yang mungkin terdapat Akibatnya kita gagal menangkap kekayaan dan antara pernyataan-pernyataan tersebut (Foucault, keragaman sastra Indonesia. Kedua, pembagian (1972: 215-238). Jadi, formasi diskursif adalah sejarah sastra selama ini belum memberikan kelompok-kelompok pernyataan yang mungkin penjelasan-penjelasan yang memuaskan tentang memiliki urutan, korelasi, posisi, atau fungsi sejarah sastra kaum kiri, termasuk ‘batjaan liar’ dan sebagaimana ditentukan oleh perpecahan (disunity). ‘sastra Lekra’ dan tempatnya dalam sejarah estetika. Sebuah formasi diskursif, dengan demikian, merupakan suatu sistem keterserakan (dispersion). Deskripsi mengenai formasi-formasi diskursif 2. TEORI DAN METODE itulah yang disebut arkeologi (archeology). Tujuan deskripsi arkeologis terhadap formasi-formasi Perkembangan pemikiran-pemikiran modern, diskursif bukanlah untuk menafsirkan maknanya khususnya bidang cultural studies (Barker, 2000) melainkan menemukan aturan-aturan yang menjelaskan mempersoalkan dan mempertanyakan kecenderungan spesifikasinya (Foucault, 1972: 97-98). Deskripsi ‘idealisasi’ kesusastraaan seperti yang terjadi di dalam arkeologis juga tidak mencoba mendeskripsikan penulisan sejarah sastra kanon. Sejarah kini tidak lagi proses seorang individu merumuskan sebuah gagasan dipandang sebagai sebuah kontinuitas yang padu. ataupun motivasi dan tujuannya mendiskursuskan Sejarah justru sebuah diskontinuitas, yang penuh sebuah subjek. Tujuan deskripsi arkeologis adalah dengan keterputusan, interupsi, dan ketidakkompakan. merumuskan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang Karena itulah, karya-karya sastra di luar mainstream mungkin spesifik untuk formasi-formasi diskursif itu. perlu dikaji ulang. Tulisan ini akan memanfaatkan Foucault meragukan adanya kesatuan-kesatuan perspektif cultural studies, khususnya yang dan kontinuitas dari berbagai formasi diskursif diperkenalkan Foucault. tertentu, seperti politik, ekonomi, biologi, atau Michel Foucault sebenarnya bukan seorang psikopatologi. Foucault membantah hipotesis bahwa pakar yang bergelut khusus di bidang kritik sastra formasi-formasi diskursif tersebut berbeda-beda dalam tetapi karya-karyanya banyak menyoroti peran dan sebuah pengelompokan retrospektif yang merujuk fungsi karya sastra dalam kerangka historisitas. pada satu objek yang jelas. Hal ini dibuktikannya Foucault terkenal sebagai seorang pemikir yang melalui penjelasan tentang kegilaan (madness). Tak mengajukan metode pembacaan diskursif yang ada objek yang pasti dan konstan yang benar-benar dibedakannya menjadi metode arkeologis dan metode menunjukkan hakikat, muatan tersembunyi, rahasia genealogis. Metode pembacaan ini digunakan untuk dan kebenaran dalam kegilaan. Tak ada satu diskursus membaca diskursus yang berkaitan erat dengan regim yang valid tentang kegilaan (Foucault, 1972: 32). Yang kekuasaan. Diskursus (discourse) yang pernah terjadi adalah dispersi (keragaman, keterpecahan) 131 Jurnal Penelitian. Volume 17, No. 2, Mei 2014, hlm. 130-139 objek-objek. Oleh karena itu, menjadi penting sebagai Perintis Pers Indonesia (melalui Keppres RI persoalan interpretasi tentang relasi di antara no 85/TK/2006). Pada tahun 2007 kembali ditegaskan diskursus-diskursus itu untuk menemukan sebuah Tirto sebagai pahlawan nasional. sistem formasi konseptual. Menurut Foucault (1972: 33), untuk dapat menggambarkan hubungan antara berbagai pernyataan 3.1.1 Riwayat Hidup diskursif, perlu dicermati bahwa pernyataan diskursif Sama seperti Pramoedya Ananta Toer (1925- itu memiliki sifat diskontinuitas, yakni patahan (break), 2006), Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) pun berasal dari ambang (threshold), atau keterbatasan (limit). Kita Blora, Jawa Tengah. Nama Tirto Adhi Soerjo (sering tidak mungkin mengkaji pernyataan diskursif dengan disingkat TAT) dikenal dalam dunia sastra Indonesia semestinya jika kita telah memiliki asumsi tentang melalui karya-karya fenomenal Pramoedya Anata kontinuitas masing-masing diskursus. Formasi-formasi Toer, yaitu tetratologi Pulau Buru (Bumi Manusia, diskursif, menurut Foucault, adalah kelompok- Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). kelompok pernyataan yang memiliki aturan, korelasi, Kisah hidup Tirto Adhi Soerjo pertama-tama ditulis posisi, atau fungsi sebagai penentu keragaman. Sebuah Pram dalam biografi
Recommended publications
  • Student Hijo
    STUDENT HIJO Student Hidjo Oleh Marco Kartodikromo (1918) Diambil dari : militanindonesia.org Student Hijo karya Marco Kartodikromo, terbit pertama kali tahun 1918 melalui Harian Sinar Hindia, dan muncul sebagai buku tahun 1919. Merupakan salah satu perintis lahirnya sastra perlawanan, sebuah fenomena dalam sastra Indonesia sebelum perang. Novel ini mencoba berkisah tentang awal mula kelahiran para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Belanda dan Hindia Belanda. I. KONINGKLIJKE SCHOUWBURG DI ‘SRAVENHAGE [DEN HAAG] Sudah dua bulan lamanya Hidjo tinggal di Negeri Belanda dan menjadi pelajar di Delf. Selama itu pula Hidjo belum merasa kerasan tinggal di Nederland karena pikiran dan sikap Hidjo tidak sebagaimana anak muda kebanyakan. Yaitu suka melihat aneka pertunjukan yang bagus-bagus dan bermain-main dengan perempuan yang pertama kali Hidjo masuk di Koninklijke Schouwburg bersama dengan famili direktur yang ditumpangi rumahnya untuk melihat opera Faust. Sebuah pertunjukan yang sangat digemari oleh orang-orang Belanda. Dalam Faust itu, terdapat cerita dari seorang yang sangat gemar belajar mencari ilmu, sampai dia (Faust) itu tidak lagi mempunyai waktu untuk merasakan kesenangan dunia. Faust seorang yang berharta, tetapi dia tidak senang memelihara perempuan sebagaimana dilakukan orang kebanyakan. Juga plesiran dan lain-lainnya, dia tidak suka. Jadi Faust itu telah merasa bisa hidup dengan senang dengan beberapa ratus buku yang disukainya. Sejak ia masih muda sampai rambut Faust itu berganti warna putih, dia tidak pernah buang-buang waktu barang satu jam pun selain untuk belajar. Sudah barang tentu, semakin lama dia bertambah besar kekayaan. Begitu juga Faust selalu memikirkan hari kematiannya yang musti datang.
    [Show full text]
  • INDO 94 0 1349469264 57 84.Pdf (672.6Kb)
    From Foe to Partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia, 1943-1945 Harry A. Poeze The Netherlands East Indies, the vast Dutch colony, was invaded by the Japanese and occupied with relative ease. The Indies government surrendered on March 8,1942. In the days leading up to the surrender, on orders of the Dutch Governor General, a number of government officials left for Australia. The Dutch government in exile in London—Germany occupied the Netherlands from May 1940—authorized the formation of an Indies government in exile in Australia, named the Netherlands Indies Commission. The commission was inaugurated on April 8, 1942, and was headed by H. J. van Mook. Starting in April 1944, the Raad van Departementshoofden (Commission of Departmental Heads) acted as Van Mook's cabinet. It consisted of six members, with Loekman Djajadiningrat as the sole Indonesian among them. Matters regarding the Dutch and Indonesians in Australia were supervised by Ch. O. van der Plas, who held the rank of Chief Commissioner for Australia and New Zealand and who was undoubtedly the most influential member of the Raad. The Indonesians stranded in Australia beginning in March 1942—mostly seamen and soldiers—cost Van der Plas a lot of time and caused him much worry. Moreover, Indonesia 94 (October 2012) 58 Harry Poeze he was also responsible for the almost forgotten community of political prisoners, interned in Boven Digoel, in the Southeast New Guinea jungle. That part of the Netherlands Indies was all that was left of the Dutch realm.
    [Show full text]
  • Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1
    Keio Communication Review No.36, 2014 The Dynamics of Contentious Politics in The Indies: Inlandsche Journalisten Bond and Persatoean Djoernalis Indonesia1 By YAMAMOTO Nobuto* In the last three decades of Dutch colonialism, the vernacular press in the Netherlands Indies flourished. Journalists played a significant role in mounting various nationalistic and social movements by circulating and articulating both news and political messages. Such a honeymoon relationship between the press and mobilizational politics saw the high days of political radicalism in the 1910s and 1920s Java. Not a small number of the vernacular press functioned as organs of political parties and associations, and being conduits of their propagandas. After the crash of the so-called communist uprisings in 1926 and 1927, however, the colonial authorities suppressed mobilizational politics.2 Despite of the fact that newspapers now recoiled from doing propaganda works or politics altogether, they were actually able to attract more readerships than ever before throughout the 1930s. Dutch colonial authorities did not allow freedom of the press in the Indies and exercised censorship against the emergent periodical markets. Persdelict (press offense) as penal code was introduced in 1914, while persbreidel (press curbing) as an administrative measure was introduced in 1931 and became the dominant tool to curtail press freedom in the 1930s. The former targeted individual journalists including editors and associates, whereas the latter had power to shut down the publisher and the printer of a particular newspaper for a certain period of time. Under these two censorship regimes, journalists were always put under pressure of severe legal punishments and sometimes even being expelled from the Indies.
    [Show full text]
  • Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia
    International Journal of Communication 11(2017), 1357–1377 1932–8036/20170005 Enlightenment and the Revolutionary Press in Colonial Indonesia RIANNE SUBIJANTO1 Baruch College, City University of New York, USA In the historiography of Indonesian nationalism and the press, much has been made of the vernacular press and its role in the emergence of national consciousness. However, this work has not typically distinguished between the vernacular press and the self- identified “revolutionary press,” which emerged during the early communist movement of 1920–1926. This article recovers the tradition of the revolutionary press and situates it in the history of Indonesian national struggles by examining the production and development of the revolutionary newspaper Sinar Hindia. An investigation of the paper’s content, production, and distribution practices reveals how Sinar Hindia not only embodied the anticolonial national struggle but also became a voice for a project of enlightenment in the colony. By uncovering this “revolutionary” paper’s own discourses of enlightenment and revolutionary struggle, this study sheds light on the role of the press in the production of enlightenment ideas and practices in colonial Indonesia. Keywords: revolutionary press, enlightenment project, Indonesia, communism, social movements, communication history The growth of the native vernacular press and political organizations in the first two decades of the 20th century provided the conditions for an important period in Indonesian press history that saw the rise and fall of the “revolutionary press.” This self-identified revolutionary press (or pers revolutionair) was an outgrowth of the earlier vernacular press, which itself, along with political parties and unions, had become a voice of the colonized people throughout the Dutch East Indies (now Indonesia).
    [Show full text]
  • Buruh Bergerak; Semaun Dan Suryopranoto Dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926
    BURUH BERGERAK; SEMAUN DAN SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah Oleh : Dominikus Bondan Pamungkas NIM : 054314004 NIRM PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010 ii Halaman Persembahan Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama. Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di Indonesia, kemarin, kini dan esok. iv v ABSTRAK Dominikus Bondan Pamungkas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926. Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi. Penelitian ini memperoleh
    [Show full text]
  • A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950S
    The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s Stephen Miller A thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences, UNSW@ADFA, Canberra, Australia August 2015 2 Acknowledgements This dissertation would not have been possible without the enthusiasm, good humour, intelligence and patience of my primary supervisor, Paul Tickell. I cannot thank him enough for his continuing support and faith. He was well supported by my co-supervisors, Emeritus Professor Barbara Hatley and Dr. Edwin Jurriens. I want to especially thank Barbara for her patience in reading drafts in the final throes of thesis production. Dorothy Meyer saw the project through from the beginning of candidature until submission, providing companionship, coding advice, proof reading, and general editing support. Her enthusiasm and passion for my work were central to the thesis reaching the point of submission. The keen grammar sense of my mother, June Miller, helped improve the readability of many sections of the writing. Dr. Kaz Ross also deserves to be mentioned for a late reading of a complete draft and pushing me to submit. It is great to have good colleagues in your corner. I would also like to thank the administrative staff at UNSW at ADFA, especially Bernadette McDermott, who has always been flexible and helpful when dealing with a candidature that lasted far too long. During the prolonged revision process Rifka Sibarani’s support, enthusiasm, and affection was much appreciated, as it continues to be post-thesis. So many other people have also helped me out at various times—students, colleagues, friends, family, comrades.
    [Show full text]
  • The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo's
    Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema Umi Lestari Southeast of Now: Directions in Contemporary and Modern Art in Asia, Volume 4, Number 2, October 2020, pp. 313-345 (Article) Published by NUS Press Pte Ltd DOI: https://doi.org/10.1353/sen.2020.0014 For additional information about this article https://muse.jhu.edu/article/770704 [ Access provided at 25 Sep 2021 00:27 GMT with no institutional affiliation ] This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Basuki Resobowo as a Jack of All Trades: The Intersectionality of Arts and Film in Perfini Films and Resobowo’s Legacy in Indonesian Cinema UMI LESTARI Abstract Basuki Resobowo (1916–99) is known primarily as a painter, activist and head of Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, Institute for People’s Culture). He was affil- iated with left-wing politics during Sukarno’s Old Order (1945–65) and first entered the film industry in the 1940s when he played the role of Basuki in Jo An Djan’s film Kedok Ketawa (1940). During the Japanese Occupation (1942–45), Resobowo was part of Keimin Bunka Shidoso (Culture Centre). Literature on Resobowo’s artistic practice has mostly referred to his background in painting. However, in the 1950s, he joined Perusahaan Film Negara Indonesia (Perfini) as an art director and scriptwriter, making seven films, includingDarah dan Doa (Blood and Prayer) in 1950, which is regarded as the firstfilm nasional (national film). This article, while devoting some space to Resobowo’s overall career, chiefly endeavours to revisit the early Perfini films and examine the influence of Reso- bowo’s ideas about art and theatre on cinematographic mise-en-scene.
    [Show full text]
  • The Position of Low Malay Short Stories in the History of Indonesian Literature
    HUMANIORA VOLUME 28 No. 1 Februari 2016 Halaman 97-105 THE POSITION OF LOW MALAY SHORT STORIES IN THE HISTORY OF INDONESIAN LITERATURE Pujiharto1, Sudibyo1 1 Indonesian Department, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] ABSTRACT This article tries to determine the factors causing the Low Malay short stories became unaccounted, especially those that were collected in Miss Koelit Koetjing (2005), in the constellation of the history of modern Indonesian literature. To answer these problems, this paper explores the criteria applied by the author of the history of Indonesian literature, comparing it with the Low Malay short stories, and relates them to their cultural historical context. The results showed the reason that Low Malay short stories collected inMiss Koelit Koetjing were not accounted, are caused by the following factors. First, most of the short stories still retain the traditional genres, such as hikayat (saga) and fairy tales, which show the strength of the cultural orientation of the past. Second, the authors of short stories are not natives; the author is not in the sense of the creator, the creator, but a storyteller, just to recount a story that has been there before. Third, short stories were published in newspapers and not in the book form. Fourth, the world of their stories came from diverse cultures and not from the world of the Indonesian archipelago. With a similar reality, it can be concluded that the short stories collected in Miss Koelit Koetjing, in the broad realm of Low Malay literature, is a literary tradition of its own in the constelation history of Indonesian literature.
    [Show full text]
  • Reactions to Persdelict
    Chapter 5 Reactions to Persdelict The 1919 novel Student Hidjo begins with an introduction that reads: This story has already been published in the newspaper under my man- agement, the daily Sinar Hindia, in the year 1918. Essentially, this composition is the product of my pen when I was serv- ing a sentence due to a persdelict case, in the civil and military prison in Weltevreden, for the period of one year. Although I could not write for the newspaper while in prison, I could produce books like Sair Rempah- Rempah, Student Hidjo, Matahariah, etc. Hopefully this book can be of use to all its readers. - Marco Kartodikromo, Semarang, 26 March 19191 In those few lines, the author provides a representative picture of indigenous political activism in the second decade of the twentieth century in the Indies. The author, Marco Kartodikromo (1890–1932)—commonly referred to as Mas Marco—was a star journalist and well-known political activist. He was the editor-in-chief of Doenia Bergerak (World in Motion) and founder of the In- landsche Journalisten Bond (Union of Native Journalists) in Soerakarta. Here journalists played the role of movement (pergerakan) leaders without a well- defined organizational base.2 Mas Marco was known for his frequent organiza- tion of political rallies for Sarekat Islam, and for his rousing speeches. In the introduction of Student Hidjo, Marco remarks that he was imprisoned for a year because of persdelict, and yet he managed to produce books that contin- ued to communicate his thoughts for his audience. In effect, the imprisonment provided him with the opportunity to gather his thoughts and ideas, which he otherwise might not have been able to do had he continued to focus on orga- nizing rallies all over Java.
    [Show full text]
  • DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016.Pdf
    SKRIPSI PANDANGAN BARAT TENTANG TIMUR PADA NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO (KAJIAN ORIENTALISME EDWARD SAID) WESTERN VIEW OF THE EAST IN THE STUDENT HIDJO NOVEL BY MAS MARCO KARTODIKROMO ((STUDY OF EDWARD SAID’S ORIENTALISM) DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020 SKRIPSI PANDANGAN BARAT TENTANG TIMUR PADA NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MAS MARCO KARTODIKROMO (KAJIAN ORIENTALISME EDWARD SAID) WESTERN VIEW OF THE EAST IN THE STUDENT HIDJO NOVEL BY MAS MARCO KARTODIKROMO (STUDY OF EDWARD SAID’S ORIENTALISM) Diajukan kepada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Sastra untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana DIAN HEZEDILA SHARON 1651140016 PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020 i ii iii MOTO Berproses dengan iman yang teguh, pengharapan yang tiada akhir, dan kasih yang selalu dinyatakan kepada sesama. iv PERSEMBAHAN Karya ini dipersembahkan untuk semua orang yang menyayangi dan yang disayangi sebagai wujud terima kasih untuk doa dan dukungan sampai saat ini. v ABSTRACT Sharon, Dian Hezedila. 2020 Western View of the East in The Student Hidjo Novel by Mas Marco Kartodikromo (Study of Edward Said’s Orientalism. Skripsi. Indonesian Language and Literature Department. Language and Literature Faculty. State University of Makassar (guided by Anshari dan Juanda). This research is a study of text in a Student Hidjo novel by using the post-colonial study of Edward Said's orientalism as the tool. The data in this research used data analysis techniques with identification, classification, analysis and interpretation of data.
    [Show full text]
  • Press Freedom, Law and Politics in Indonesia Def.Indd
    Cover Page The handle http://hdl.handle.net/1887/30106 holds various files of this Leiden University dissertation. Author: Wiratraman, Herlambang Perdana Title: Press freedom, law and politics in Indonesia : a socio-legal study Issue Date: 2014-12-11 Press Freedom, Law and Politics in Indonesia “Try not to become a man of success but rather to become a man of value” [Albert Einstein, 1879-1955] For those who continue the struggle for freedom and human rights in Indonesia Press Freedom, Law and Politics in Indonesia A Socio-Legal Study PROEFSCHRIFT ter verkrijging van de graad van Doctor aan de Universiteit Leiden, op gezag van Rector Magnificus prof. mr. C.J.J.M. Stolker, volgens besluit van het College voor Promoties te verdedigen op donderdag 11 december 2014 klokke 10.00 uur door Herlambang Perdana Wiratraman geboren te Jember, Indonesië in 1976 Promotiecommissie: Promotor: Prof. dr. J.M. Otto Copromotor: Dr. A.W. Bedner Overige leden: Prof. dr. A.W. Hins Prof. dr. N.J.H. Huls Prof. dr. D.T. Hill (Murdoch University, Perth, Australia) Mr. A. Astraatmadja (Dr. Soetomo Press Institute, Jakarta, Indonesia Lay-out: AlphaZet prepress, Waddinxveen ISBN 978-94-6203-733-5 © 2014 H. Wiratraman Behoudens de in of krachtens de Auteurswet van 1912 gestelde uitzonderingen mag niets uit deze uitgave worden verveelvoudigd, opgeslagen in een geautomatiseerd gegevensbestand of openbaar gemaakt, in enige vorm of op enige wijze, hetzij elektronisch, mechanisch, door fotokopieen, opna- men of enige andere manier, zonder voorafgaande schriftelijke toestemming van de uitgever. Het reprorecht wordt niet uitgeoefend. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, made available or com- municated to the public, in any form or by any means, without the prior permission in writing of the publisher, unless this is expressly permitted by law.
    [Show full text]
  • Kamus Sejarah Indonesia Nation Formation Jilid I
    KAMUS SEJARAH INDONESIA NATION FORMATION JILID I KAMUS SEJARAH INDONOESIA NATION FORMATION JILID I KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 2017 KAMUS SEJARAH INDONOESIA JILID I NATION FORMATION PENGARAH Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan) Triana Wulandari (Direktur Sejarah) NARASUMBER Suharja, Amurwani Dwi Lestariningsih, Abdurahman, Didik Pradjoko EDITOR Susanto Zuhdi, Nursam PEMBACA UTAMA Taufik Abdullah PENULIS Dian Andika Winda, Dirga Fawakih, Ghamal Satya Mohammad, Saleh As’ad Djamhari, Teuku Reza Fadeli, Tirmizi TATA LETAK DAN GRAFIS M. Abduh, Kurniawan SEKRETARIAT DAN PRODUKSI Tirmizi, Isak Purba, Bariyo, Haryanto, Maemunah, Dwi Artiningsih Budi Harjo Sayoga, Esti Warastika, Martina Safitry, Dirga Fawakih PENERBIT Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270 Tlp/Fax: 021-5725042017 ISBN 978-602-1289-76-1 KATA PENGANTAR DIREKTUR SEJARAH Kesulitan yang seringkali ditemukan guru sejarah dalam proses pembelajaran adalah munculnya istilah-istilah kesejarahan yang sulit dan tidak ditemukan penjelasannya dalam buku teks pelajaran sejarah. Ketiadaan penjelasan atau penjelasan yang tidak komprehensif dalam buku teks menjadi salah satu penghambat bagi guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, diperlukan buku kamus yang memuat daftar informasi kesejarahan yang dapat memudahkan guru khususnya dan umumnya masyarakat luas dalam mencari istilah-istilah sulit yang kerap ditemukan dalam pembelajaran sejarah. Berangkat dari
    [Show full text]