2014 Mei 07 Yapi Taum Diskursus Batjaan
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
DISKURSUS BATJAAN LIAR: KAJIAN TERHADAP DUA SASTRAWAN LIAR DALAM PERIODE 1900-1933 Yoseph Yapi Taum Dosen Program Studi Satra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Alamat korespondensi: Jl. Affandi Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta Email: [email protected] ABSTRACT Batjaan Liar or devil literature (my translation, YYT) is a term using by Dutch colonial officers to stigmatize works on journalism and literature produced by people of nationalist movement. Those works judged as devil literature because of the power to threatening Dutch colonial status quo. However, in Indonesian canon literary history, those who perceived as devil writers, such as Tirto Adhi Suryo and Mas Marco Kartodikromo, never mentioned. This research aims at exploring the discourse of devil literature to get better understanding on devil writer’s position and to promote appreciation into their works in the light of new Indonesian literary history. This research also aims at discussing reasons why devil literature discourse could not be changed in changing regime. The main objective of this reseacrh is to compose a new discourse on rethinking and rewriting of Indonesian new literary history. Key words:batjaan liar, diskursus, kaum pergerakan, komunis, sejarah sastra. 1. PENDAHULUAN orang-orangnja djangan ada jang memeres satoe sama lain” (Taum, 2011: 191). Dalam sejarah sastra Indonesia formal, kurun Kaum penguasa kolonial menyebut tulisan waktu tahun 1900 – 1933 dikenal sebagai periode atau mereka sebagai ‘bacaan liar’. Mereka biasanya angkatan Balai Pustaka. Angkatan Balai Pustaka merupakan orang-orang pergerakan. Orang-orang merupakan sekelompok sastrawan, penyair dan pergerakan ini jelas-jelas menjadikan media sastra penulis prosa yang menerbitkan karyanya melalui Balai sebagai sarana perjuangan politiknya, yaitu untuk Pustaka. Balai Pustaka adalah sebuah lembaga resmi mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia (Razif, yang dibangun pemerintah kolonial Belanda tahun 2010). Kekuasaan kolonial memberi pandangan dan 1908 yang bernama ‘Comissie voor de Volkslectuur’ makna untuk “bacaan liar” sebagai bacaan yang atau Komisi Bacaan Rakyat. Lembaga ini dibangun mengagitasi rakyat untuk melakukan “pemberontakan,” sebagai konsekuensi politik etis yang mendirikan sehingga penulisnya pun diberi cap dan mendapat sekolah bagi kaum Bumi Putera. stigma sebagai “pengarang liar.” Di luar angkatan resmi yang didirikan dan Setelah bangsa ini merdeka, diskursus tentang dibina oleh pemerintahan kolonial itu, sesungguhnya batjaan dan pengarang liar tetap bertahan terhadap terdapat sekelompok sastrawan yang sangat aktif perubahan. Para penulis sejarah sastra Indonesia pula menulis karya-karya sastra. Mereka tidak modern seperti H. B. Jassin (1953), Nugroho mempublikasikan karya-karyanya melalui penerbit Notosusanto (1963), Ajib Rosidi (1973), Rachmat Balai Pustaka. Tahun 1924, organisasi PKI mendirikan Djoko Pradopo (1995), Jacob Sumardjo (1992), dan Comissie Batjaan Hoofdbestuur yang menerbitkan dan Yudiono KS (2007) tidak menyinggung kehadiran menyebarluaskan “literatuur socialisme”—sebuah “Pengarang dan Batjaan Liar” pada periode 1900-1933. istilah yang pertama kali digunakan oleh Semaoen. Studi ini bermaksud mengidentifikasi, Dalam artikelnya,”Klub Kominis!”, Semaoen menginventarisasi, dan melakukan kajian terhadap menjelaskan bahwa “socialisme jalah ilmoe mengatoer pengarang dan batjaan liar. Studi ini akan terfokus pada pergaoelan idoep, soepaja dalem pergaoelan idoep itoe dokumentasi hasil-hasil karya sastra, prosa maupun 130 Yoseph Yapi Taum, Diskursus Batjaan Liar: Kajian terhadap Dua Sastrawan Liar dalam .... puisi seniman Batjaan Liar, identifikasi sastrawan “dibaca” oleh Foucault antara lain wacana ‘kegilaan’, Batjaan Liar beserta biodatanya, analisis karya-karya ‘penjara dan hukuman’, dan homoseksualitas. Tujuan sastranya, dan kajian mengenai kedudukan Batjaan Liar dia membaca wacana-wacana tersebut adalah dalam Sejarah Sastra Indonesia. Mengingat menemukan episteme sebuah zaman. keterbatasan tempat, tulisan ini hanya akan membahas Diskursus adalah sekelompok pernyataan yang dua pengarang, yaitu Tirto Adhi Suryo dan Mas Marco merumuskan kondisi sebuah persoalan. Kejadian- Kartodikromo. kejadian historis ataupun arsip (archive) tentang Ada dua alasan perlu dipersoalkannya Batjaan pernyataan-pernyataan historis juga merupakan Liar dalam konteks sejarah sastra Indonesia. Pertama, diskursus. Yang dimaksudkan dengan ‘archive’ adalah kemajuan dalam ilmu sastra dengan diterimanya teori- sebuah sistem yang mengatur penampilan pernyataan- teori cultural studies, menekankan perlunya kalangan pernyataan sebagai kejadian-kejadian historis ilmuwan humaniora menghargai semua hasil (Foucault, 1972: 86). kesusastraan, termasuk sastra tinggi maupun sastra Tampil atau tersembunyikannya sebuah rendah. Dalam proses kanonisasi sejarah sastra ‘archive’ sangat tergantung pada formasi diskursif Indonesia, terlihat dengan jelas bahwa beberapa yang berlaku pada periode tertentu. Formasi diskursif, kelompok sastrawan yang dipandang sebagai ‘seniman menurut Foucault, adalah praktik penciptaan kiri’ dan ‘seniman di luar main stream’ tidak pernyataan (statement, énoncé), dalam wilayah dimasukkan sebagai kelompok sastrawan Indonesia. diskursus dan relasi-relasi yang mungkin terdapat Akibatnya kita gagal menangkap kekayaan dan antara pernyataan-pernyataan tersebut (Foucault, keragaman sastra Indonesia. Kedua, pembagian (1972: 215-238). Jadi, formasi diskursif adalah sejarah sastra selama ini belum memberikan kelompok-kelompok pernyataan yang mungkin penjelasan-penjelasan yang memuaskan tentang memiliki urutan, korelasi, posisi, atau fungsi sejarah sastra kaum kiri, termasuk ‘batjaan liar’ dan sebagaimana ditentukan oleh perpecahan (disunity). ‘sastra Lekra’ dan tempatnya dalam sejarah estetika. Sebuah formasi diskursif, dengan demikian, merupakan suatu sistem keterserakan (dispersion). Deskripsi mengenai formasi-formasi diskursif 2. TEORI DAN METODE itulah yang disebut arkeologi (archeology). Tujuan deskripsi arkeologis terhadap formasi-formasi Perkembangan pemikiran-pemikiran modern, diskursif bukanlah untuk menafsirkan maknanya khususnya bidang cultural studies (Barker, 2000) melainkan menemukan aturan-aturan yang menjelaskan mempersoalkan dan mempertanyakan kecenderungan spesifikasinya (Foucault, 1972: 97-98). Deskripsi ‘idealisasi’ kesusastraaan seperti yang terjadi di dalam arkeologis juga tidak mencoba mendeskripsikan penulisan sejarah sastra kanon. Sejarah kini tidak lagi proses seorang individu merumuskan sebuah gagasan dipandang sebagai sebuah kontinuitas yang padu. ataupun motivasi dan tujuannya mendiskursuskan Sejarah justru sebuah diskontinuitas, yang penuh sebuah subjek. Tujuan deskripsi arkeologis adalah dengan keterputusan, interupsi, dan ketidakkompakan. merumuskan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang Karena itulah, karya-karya sastra di luar mainstream mungkin spesifik untuk formasi-formasi diskursif itu. perlu dikaji ulang. Tulisan ini akan memanfaatkan Foucault meragukan adanya kesatuan-kesatuan perspektif cultural studies, khususnya yang dan kontinuitas dari berbagai formasi diskursif diperkenalkan Foucault. tertentu, seperti politik, ekonomi, biologi, atau Michel Foucault sebenarnya bukan seorang psikopatologi. Foucault membantah hipotesis bahwa pakar yang bergelut khusus di bidang kritik sastra formasi-formasi diskursif tersebut berbeda-beda dalam tetapi karya-karyanya banyak menyoroti peran dan sebuah pengelompokan retrospektif yang merujuk fungsi karya sastra dalam kerangka historisitas. pada satu objek yang jelas. Hal ini dibuktikannya Foucault terkenal sebagai seorang pemikir yang melalui penjelasan tentang kegilaan (madness). Tak mengajukan metode pembacaan diskursif yang ada objek yang pasti dan konstan yang benar-benar dibedakannya menjadi metode arkeologis dan metode menunjukkan hakikat, muatan tersembunyi, rahasia genealogis. Metode pembacaan ini digunakan untuk dan kebenaran dalam kegilaan. Tak ada satu diskursus membaca diskursus yang berkaitan erat dengan regim yang valid tentang kegilaan (Foucault, 1972: 32). Yang kekuasaan. Diskursus (discourse) yang pernah terjadi adalah dispersi (keragaman, keterpecahan) 131 Jurnal Penelitian. Volume 17, No. 2, Mei 2014, hlm. 130-139 objek-objek. Oleh karena itu, menjadi penting sebagai Perintis Pers Indonesia (melalui Keppres RI persoalan interpretasi tentang relasi di antara no 85/TK/2006). Pada tahun 2007 kembali ditegaskan diskursus-diskursus itu untuk menemukan sebuah Tirto sebagai pahlawan nasional. sistem formasi konseptual. Menurut Foucault (1972: 33), untuk dapat menggambarkan hubungan antara berbagai pernyataan 3.1.1 Riwayat Hidup diskursif, perlu dicermati bahwa pernyataan diskursif Sama seperti Pramoedya Ananta Toer (1925- itu memiliki sifat diskontinuitas, yakni patahan (break), 2006), Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) pun berasal dari ambang (threshold), atau keterbatasan (limit). Kita Blora, Jawa Tengah. Nama Tirto Adhi Soerjo (sering tidak mungkin mengkaji pernyataan diskursif dengan disingkat TAT) dikenal dalam dunia sastra Indonesia semestinya jika kita telah memiliki asumsi tentang melalui karya-karya fenomenal Pramoedya Anata kontinuitas masing-masing diskursus. Formasi-formasi Toer, yaitu tetratologi Pulau Buru (Bumi Manusia, diskursif, menurut Foucault, adalah kelompok- Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). kelompok pernyataan yang memiliki aturan, korelasi, Kisah hidup Tirto Adhi Soerjo pertama-tama ditulis posisi, atau fungsi sebagai penentu keragaman. Sebuah Pram dalam biografi