Quick viewing(Text Mode)

Buruh Bergerak; Semaun Dan Suryopranoto Dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926

Buruh Bergerak; Semaun Dan Suryopranoto Dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926

BURUH BERGERAK; DAN SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN GERAKAN BURUH 1900-1926

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh : Dominikus Bondan Pamungkas NIM : 054314004 NIRM

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

ii

Halaman Persembahan

Skripsi ini dipersembahkan kepada papa dan mama.

Penulisan ini juga disumbangkan bagi pergerakan buruh di ,

kemarin, kini dan esok.

iv

v

ABSTRAK

Dominikus Bondan Pamungkas Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Skripsi yang berjudul “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” berangkat dari 3 permasalahan. Pertama, faktor-faktor yang membawa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan. Kedua, peranan Semaun dan Suryopranoto dalam gerakan perburuhan di Indonesia pada saat itu. Ketiga, faktor-faktor yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh di Indonesia pada tahun 1926. Untuk mengkaji masalah-masalah tersebut, skripsi ini mempergunakan teori kelas Karl Marx, di mana dalam teori tersebut dibahas mengenai kemunculan kesadaran kelas. Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, diseimbangakan pula dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Metode ini digunakan untuk melihat perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi. Penelitian ini memperoleh hasil bahwa pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto memang terinspirasi dari kondisi ketertindasan atas nasib kaum pekerja saat itu. Dalam pergerakan buruh, Semaun terinspirasi atas gagasan Marxis yang dipelajarinya dari Sneevliet, sedangkan Suryopranoto menyadari perlunya perbaikan kesejahteraan kaum pekerja. Perjuangan mereka pada perjalanannya berhasil memberikan posisi tawar kaum buruh terhadap majikan. Namun, sifat kepemimpinan yang cenderung tunggal serta kurangnya kaderisasi serta penangkapan tokoh-tokoh gerakan buruh oleh pemerintah kolonial menjadikan gerakan ini melemah dan akhirnya ditumpas pada tahun 1926.

Kata kunci: Semaun, Suryopranoto, Pergerakan Buruh

vi

ABSTRACT

Dominikus Bondan Pamungkas Sanata Dharma University Yogyakarta

Thesis entitled “Buruh Bergerak; Semaun dan Soeryopranoto dalam Perjuangan Gerakan Buruh 1900-1926” was formulated from three problems. First, the factors that brought Semaun and Suryopranoto struggling in the labor organization. Second, the role of Semaun and Suryopranoto in the labor movement in Indonesia at that era. Third, the factors that caused labor movement in Indonesia being terminated in 1926. For reviewing these issues, this study used Karl Marx's theory of class, which discussed about the emergence of class consciousness. In the economic practices, there is a conflict happened between classes caused by a welfare imbalance between the owners of capital and its workers. In using the class theory of Karl Marx, the other two perspectives were well balanced; the perspective of conflict between the natives and colonial government, and the view of Ratu Adil as a liberating figure and creating prosperity. This method was used in order to see the perspective of the conflict between colonial powers and natives communities. The study resulted on that the labor movement performed by Semaun and Suryopranoto was inspired by the conditions of oppression over the labors at that era. In the labor movement, Semaun was inspired by the Marxism that he had learned at Sneevliet, while Suryopranoto realized the need to repair the welfare of the labors. Their struggles succeed to give the labors a better bargaining position against the employers. However, the nature of leadership which tended to be dependent on single figure, the lack of succession planning and the arrest of the labor movement’s figures by the colonial government made this movement to be weakened and finally terminated in 1926.

Keywords: Semaun, Suryopranoto, the Labor Movement

vii

Kata Pengantar

Penulisan skripsi ini terinspirasi dari sebuah diskusi dan pembelajaran bersama dengan aktivis Aliansi Buruh Jogjakarta (ABJ) yakni Ika Rubbi. Ia yang banyak membantu dan menginspirasi saya dalam menuliskan serta membedah permasalahan buruh. Hal ini tentunya berguna untuk pembelajaran bersama gerakan buruh di Indonesia.

Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada Dr. I. Praptomo Baryadi selaku

Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Penghargaan sebesar-besarnya serta ucapan terima kasih saya sampaikan pada seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu

Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery

Santosa, M. Hum, dosen sekaligus kaprodi Ilmu Sejarah; Dr. Anton Haryono, M.

Hum., dosen sekaligus pembimbing skipsi saya, Drs.Ign. Sandiwan Suharso dosen sekaligus pembimbing akademik saya, Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno,

M. Hum dan Dr. FX Baskara T. Wardaya, SJ., keduanya selaku dosen dan peneliti yang saya sukai, dan mendiang Prof. Dr. P. J. Suwarno , S. H. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas segala pendidikannya untuk mengajarkan saya.

Terima kasih juga kepada seluruh keluarga penulis ,kepada papa, mama, adik, kakak serta keponakan yang selalu mengingatkan saya. Kepada rekan-rekan saya mahasiswa prodi Ilmu Sejarah 2005 Suster Ann, S.S, Agung eko Ariestya,

Flavianus Setyawan Anggoro, Yohana, dan Haven Hafidullah. Kepada kakak- kakak saya, Agus Budi Purwanato dan Darwin Awat yang selalu setia, sabar, mengkritik, untuk mendorong penulis untuk tetap semangat dalam menuliskan skripsi ini. Terima kasih juga saya ucapkan kepada kakak sekaligus pembimbing

viii penulis yaitu Aditya Rahman dan Ika Rubbi. Terima kasih juga kepada Vonny

Permana Sari Simon yang senantiasa mendukung penulisan ini. Tidak lupa juga kepada komunitas Tarekat Djuang Muda (TADJAM) atas pendidikan serta sumbangannya dalam pola pikir penulis. Terima kasih atas kesediaan Bernadette

Steari Saraswati atas koreksi penulisan serta bantuan terjemahan bahasa Inggris kepada saya, serta segenap Kabinet Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas

Sanata Dharma 2009-2010 yang mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………ii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………iii

HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………….v

ABSTRAK………………………………………………………………….vi

ABSTRACT………………………………………………………………..vii

KATA PENGANTAR……………………………………………………...viii

DAFTAR ISI………………………………………………………………...x

DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………….xiii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……. 1

A. Latar Belakang…………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah……………………………………………… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… 8

D. Metode Penelitian……………………………………………… 9

E. Landasan Teori………………………………………………… 11

F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 15

G. Sistematika Penulisan………………………………………… 17

x

BAB II KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD XX ….……………………………………………………. 19

A. Kereta Api………………………………………………………20

B. Peralihan Fungsi Tanah...……………………………………… 22

C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta……………… 26

D. Hadirnya Modernisasi…………………………………………. 30

E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik……………………………… 39

BAB III SEMAUN DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………...………….. 41

A. Latar Belakang Semaun……………………………………….. 41

B. Awal Karir Politik……...……………………………………… 42

C. Semaun dan Pergerakan Buruh………………..……………… 44

D. Semaun dan Sikap Politiknya…………………………………. 47

E. Semaun dan PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh)…….. 51

F. Semaun dan PKI………………………………………………... 52

G .Runtuhnya Pergerakan Politik…………………………………. 56

BAB IV SURYOPRANOTO DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH……………………………………………………...…. 62

A. Latar Belakang Suryopranoto...……………………………….. 62

B. Awal Karir Pergerakan……...…………………………………. 63

1. Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo,

dan Boedi Oetoma...... 65

xi

2. Suryopranoto dan ...... 66

3. Suryopranoto dan Adidarmo (Adhidharma)...... 69

C. Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond hingga Persatuan

Pergerakan Kaum Buruh PPKB...……………..……………… 72

D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun……………………… 76

E. Melemahnya Gerakan Buruh...... ………………... 79

BAB V KESIMPULAN………………………………………………..81

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….89

xii

DAFTAR SINGKATAN

BO : Bodi Utomo

CSI : Central Sarekat Islam

HIS : Hollandsch Inlandsche Scholen

ISDV : Indische Sociaal-Democratische Vereeniging

IP : Indische Partij

PFB : Personeel Fabrieks Bond

PKI : Partai Komunis Indonesia

PPKB : Persatuan Pergerakan Kaum Buruh

PPPB : Persatuan Pergerakan Pegadaian Bumiputera

SDI : Sarekat Dagang Islam

SI : Sarekat Islam

VSTP : Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel

xiii

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Setelah cukup lama Indonesia dijajah oleh VOC dan kemudian oleh

Pemerintah Belanda, pada tahun 1870 muncul sebuah era baru. Sebelum 1870, melalui Culture Stelsel, pemerintah Hindia Belanda secara monopolistik bertindak sebagai pelaku, namun sejak 1870 dimulai sistem baru yaitu ekonomi liberal yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investasi swasta asing, khususnya swasta

Belanda. Sebagai contoh, Bila sebelum 1870 usaha perkebunan dikuasai oleh pemerintah kolonial, kini modal swasta diperbolehkan melakukan pengelolaan.

Sistem ekonomi liberal menghapuskan kerja paksa dan rodi, serta memperkenalkan sistem kerja upahan.1

Pada era ekonomi liberal, modal swasta asing antara lain melakukan usaha dalam bidang pertambangan, perkebunan, dan usaha-usaha lain. Namun, modal asing ini tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat pribumi. Para pemodal swasta oleh disebut berada dalam free fight competition to exploit Indonesian.2 Meskipun mereka tidak dapat membeli lahan untuk usaha perkebunan mereka dapat menyewanya dari pemerintah atau pribumi. Hal ini diatur

1Takashi Shiraishi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. PT Pustaka Utama Grafiti: . hlm 10.

2 Soe Hok Gie. 2005. Di Bawah Lentera Merah. Bentang: Yogyakarta. hlm 11.

1

2

dalam Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 yang sangat bermanfaat untuk membantu terlaksananya sistem ekonomi liberal.3

Penyewaan tanah seringkali dilakukan oleh pejabat desa (lurah). Sawah yang sebelumnya adalah milik desa (tanah kas desa) dan dikelola oleh petani disewakan kepada pihak swasta. Pihak swasta juga memanfaatkan sistem tradisional yang ada, termasuk di dalamnya keterikatan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.

Setelah tanah milik tuan tanah disewa oleh swasta para petani penggarap menjadi buruh dalam perusahaan tersebut. Namun, untuk para buruh tani (petani penggarap) sering sekali tidak diperhatikan kesejahteraannya untuk menekan biaya produksi perusahaan. Sewa-menyewa tanah memposisikan para lurah seolah sebagai raja-raja kecil.4

Sejak 1870 jalur kereta api sebagai sarana pengangkutan bertumbuh pesat, terutama di daerah dan Vorstenlanden. Dalam kurun waktu lima tahun jumlah barang dagangan yang dapat diangkut dengan kereta api naik hingga 270 persen. Kondisi ini menyatakan betapa tingginya pembangunan jalur transportasi guna pengangkutan barang perusahaan. Sejak tahun 1870-an pula meningkat secara

3Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 12. Tanah pribumi tidak diperjualbelikan melainkan dapat di sewa. Akibat dari harga sewa yang sangat murah dan para pemilik tanah beserta masyarakat sekelilingnya kehilangan alat produksi, secara terpaksa menjadi buruh dari industri tersebut, dengan pendapatan yang kurang dari penghasilan mereka bila mengolah lahan sebelum disewakan.

4 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 12. 3

drastis jumlah tanah di daerah vorstenlanden yang disewakan kepada pihak swasta.5

Hal ini turut mendorong pergerakan buruh kereta api dan pabrik gula dari tahun 1917 hingga tahun 1926.

Kondisi perekonomian Indonesia paska 1870 mengalami pertumbuhan sangat cepat karena masuknya investasi swasta asing secara besar-besaran. Namun hal ini juga berdampak pada kaum pribumi.

Pertumbuhan pesat lahan tebu menciptakan penderitaan baru bagi masyarakat pribumi, seiring dengan terjadinya perubahan fungsi lahan pangan menjadi lahan industri. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis bahan pangan, sehingga berdampak pada naiknya harga. Kesengsaraan pribumi semakin bertambah karena pengusaha senantiasa memegang prinsip untuk menekan upah sekecil-kecilnya guna menghasilkan keuntungan sebesar-bersarnya, yang antara lain diwujudkan dalam upah buruh yang rendah.6 Kondisi buruk atas kelangkaan serta naiknya harga bahan pangan dan upah buruh yang sedemikian rendah memicu rasa ketidaksenangan masyarakat pribumi terhadap pemilik modal.

Tahun 1870 merupakan permulaan dari kolonialisme modern di Indonesia.

Bila sebelumnya kekuasaan dilakukan dengan dominasi teritorial melalui kekuatan

5 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 11. Pada tahun 1870 tanah merupakan milik elit pribumi, dan ketika tanah tersebut disewakan pada swasta asing maka tidak hanya tanah namun juga para pekerja yang ada di dalamnya ikut tersewa.

6 Bambang Sulistyo. op. cit. hlm 12.Teori Adam Smith (1723-1790), ilmuan ekonomi asal Inggris. Teori ekonomi inilah yang kemudian secara bersama dipergunaan kelompok pemodal guna menjalankan usaha dengan prinsip-prinsipnya. Para penganut ajaranya di sebut Smithcian.

4

bersenjata serta pendudukan fisik, maka sejak 1870 sistem yang berkembang adalah eksploitasi dan penguasaan ekonomi oleh pemodal-pemodal swasta besar asing.

Selain sumber daya alam, eksploitasi pemodal Belanda juga dilakukan atas sumber daya manusia, yakni kaum pribumi Indonesia.

Kritik terhadap praktik ekonomi liberal pun muncul, dan akhirnya kemudian lahir gagasan-gagasan etis, yang salah satunya adalah pentingnya pemerintah kolonial memberikan pendidikan dan pengajaran secara luas kepada penduduk pribumi.7

Namun dalam praktiknya, hanya anak-anak dari keluarga kaum elite pribumi sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan dan pengajaran itu. Lagi pula, program Politik

Etis ini kemudian bergulir tidak pertama-tama dalam rangka menciptakan pendidikan yang layak (berkualitas) melainkan terutama menciptakan buruh modern lokal yang murah. Penyelenggaraan pendidikan berubah dari upaya mencerdaskan, menjadi kepentingan ekonomi perusahaan swasta asing untuk memenuhi standar penguasaan alat-alat produksi industri modern.

Meskipun demikian, kesempatan menempuh jalur pendidikan yang hanya sebatas pada segelintir orang ternyata mampu melahirkan tokoh pergerakan nasional dikemudian harinya, termasuk penggerak kaum buruh. Semaun8 dan Suryopranoto9 adalah contohnya. Keduanya sempat menjadi siswa sekolah Belanda, bahkan Semaun

7 Takashi Shiraishi . op. cit., hlm 35.

8 Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Semaoen, namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Semaun.

9Dalam beberapa buku penulisan nama yang digunakan adalah Soerjopranoto, namun dalam penulisan ini digunakan ejaan Suryopranoto. 5

sempat belajar di negeri Belanda, sedangkan Suryopranoto lulus hingga sekolah tinggi Belanda untuk pribumi di Hindia Belanda. Keduanya merupakan produk dari

Politik Etis, namun mereka mampu memanfaatkan pendidikan itu untuk mensiasati ketertindasan kaum pribumi, terutama buruh.

Meningkat pesatnya usaha-usaha swasta Barat di Indonesia pada tahun 1900-

1915 berdampak pada bertambah besarnya jumlah buruh pribumi. Pada masa ini mulai berkembang organisasi-organisasi maupun serikat-serikat yang berpihak pada kaum buruh, diantaranya adalah Sarekat Islam di Semarang pada saat kepemimpinan

Semaun dan Adhi Darmo yang kemudian berkembang menjadi Personeel Fabrieks

Bond yang digagas oleh Suryopranoto.10

Semaun, setelah kongres SI Semarang pada tanggal 6 Mei 1917, saat berusia

19 tahun, resmi menjadi presiden Sarekat Islam Semarang. Pada era kepemimpinannya berfokus pada situasi sosial yang relevan bagi kaum pribumi, yaitu persoalan buruh. Besarnya jumlah buruh di Semarang memberikan ruang kegiatan bagi SI Semarang antara lain berupa advokasi dan upaya-upaya pensejahteraan, baik melalui bantuan, aksi politik, pendidikan buruh, hingga mogok kerja guna menuntut perbaikan kesejahteraan buruh. Semaun dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Henk Sneevliet11, seorang penganut komunis dari Belanda. Perjumpaan dengan

10 Budiawan. 2006. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, LKiS: Yogyakarta. hlm 13.

11 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 18-20.

6

Sneevliet membawanya tertarik dengan gagasan komunisme, yang dianggapnya sesuai dengan kondisi pribumi saat itu.12

Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto merupakan anak bangswan

Yogyakarta.13 Ia berhasil menyelesaikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi hingga tingkat akhir di Jawa. Kedekatannya dengan buruh dimulai sejak ia menjadi kleine Ambtenaar, Assisten Wedono Sentono serta perjumpaan secara langsung dengan kondisi perburuhan yang tidak layak di Jawa. Ia berjuang dengan inisiatif pribadi dan pandangan ke-Jawa-an yang diajarkan ayahnya bahwa tugas para adalah membantu serta menolong sesama masyarakat yang tertindas. Hampir serupa dengan Semaun, ia juga memiliki panutan dari dunia pewayangan, yakni Bimo dan Kokrosono. Suryopranoto memimpikan dirinya dapat mendobrak masyarakat pribumi menuju kehidupan yang lebih baik.14

Semaun maupun Suryopranoto berpandangan bahwa hak atas kaum buruh tidak terpenuhi, sehingga mereka mengeluarkan sebuah sikap serta tindakan melalui pergerakan. Semaun bergerak melalui organisasi SI cabang Semarang guna membangun kesadaran buruh untuk melakukan perlawanan bilamana hak mereka tidak terpenuhi. Suryopranoto pun demikian, ia melakukan pendidikan serta membentuk lembaga-lembaga bantuan bagi kaum buruh15.

12 Soewarsono. 2000. Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 5. 13 Budiawan. op. cit., Hlm 17.

14 Ibid., hlm 45.

15 Ibid., hlm 78-97. 7

Melalui penelitian ini, hendak dicoba dilakukan sebuah kajian perbandingan antara pemikiran Semaun dan Suryopranoto. Keduanya adalah tokoh gerakan buruh sejaman tetapi dengan ideologi yang berbeda, meskipun latarbelakang kondisi sosial dan ekonomi yang dihadapi sama, masing-masing memiliki metode dan pemikiran tentang gerakan buruh yang berbeda. Semaun yang berhaluan Marxis menyatakan sebuah pergerakan massa secara politis revolusioner (bahkan dengan kekerasan sekalipun), sedangkan Suryopranoto yang berangkat dari realitas dan pemikiran ke-

Jawa-an memilih pendidikan dan aksi massa tanpa perlu dengan tujuan politis.16

Hipotesis awal dari penelitian ini adalah belum terbangunnya kesadaran masyarakat atas posisi dan alat produksinya17. Hal ini menyebabkan tidak terbangunnya kesadaran kelas yang digagas oleh kaum Marxis Eropa, yang cita- citanya menjadi dasar pedoman Semaun dan juga Suryopranoto. Kondisi ini menciptakan pergerakan yang amat tergantung pada tokoh. Setelah sang tokoh atau organisasi pergerakan diberhentikan, maka gerakan buruh pun akan terhenti.

16Ibid., hlm 102.

17Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2001. hlm 113. Dalam hal ini buruh hidup dari upah, kaum pemiliki modal hidup dari laba (modal), dan tuan tanah hidup dari rente tanah. Alat produksi dalam pengertiannya adalah media yang mampu menciptakan sebuah produk yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Dalam konteks kolonial di Indonesia alat produksi yang di maksud merupakan sawah ataupun lahan (semula di miliki petani pribumi namun terpaksa di sewakan akibat tekanan-tekanan tertentu) serta mesin industri. Tidak dimiliki dan dirampasnya alat produksi masyarakat pribumi pada tahun 1900-an menyebabakan terjadinya ketergantungan ekonomi yakni buruh dengan pemilik alat industri ataupun pemilik modal. 8

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan beberapa permasalahan yang akan di bahas antara lain:

1. Mengapa Semaun dan Suryopranoto berjuang dalam organisasi perburuhan?

2. Bagaimana Semaun dan Suryopranoto berperan dalam gerakan perburuhan di

Indonesia pada saat itu ?

3. Apa yang menjadi sebab terhentinya pergerakan buruh yang dilakukan oleh

Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan akademis dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis munculnya pergerakan perburuhan yang

dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis metode yang dilakukan oleh Semaun dan

Suryopranoto dalam pergerakan buruh.

3. Menganalisis faktor penyebab terhentinya pergerakan buruh yang dipimpin

oleh Semaun dan Suryopranoto di Indonesia pada 1926.

Sementara itu tujuan praktisnya adalah melihat sebuah sistem pergerakan buruh yang dilakukan oleh Semaun dan Suryopranoto sehingga mampu mempengaruhi massa buruh pada 1915-1926. 9

Manfaat dari penulisan ini, yaitu:

1. Diketahuinya metodologi Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh

di Indonesia yang sesungguhnya berbeda dengan negara Eropa.

2. Tersedianya refrensi metodologis organisasi pergerakan buruh, serta

menjadikanya sebuah referensi bagi pergerakan buruh bagi pergerakan buruh

saat ini.

D. Metode Penelitian

Melakukan sebuah rekonstruksi sejarah bukan pekerjaan mudah karena peristiwa masa lalu tidak terekam secara utuh dan objektif. Dalam penulisan sejarah tidak dapat dipungkiri adanya faktor subjektif seorang penulis dalam melihat peristiwa melalui cara pandangnya secara pribadi. Cara pandang setiap orang berbeda-beda, dan dari perbedaan pandangan ini diharapkan muncul gagasan yang maksimal dalam membedah peristiwa tersebut.18

Dalam penulisan sejarah dikenal adanya langkah-langkah metodis, yang merupakan tahapan umum penyusunan historiografi. Secara berurutan sebagai berikut: pemilihan topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, analisa, dan yang

18 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia., hlm 27-28.

10

terakhir adalah penulisan atau historiografi.19 Berdasarkan sistematisasi tersebut, penelitian ini menentukan topik perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto tentang pergerakan buruh. Setelah topik ditentukan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan sumber sejarah (heuristik), baik yang bersifat primer maupun sekunder. Sumber primer adalah sumber-sumber yang berasal dari pelaku langsung atau berupa dokumen (surat, karya tulis dan sejenisnya) dari situasi tersebut.20

Sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari seseorang yang tidak terlibat dari peristiwa itu namun mampu menjelaskan serta mendokumentasikan data sumber primer. Penelitian ini berupa kajian pustaka yang didapatkan dari karya tulis, catatan dokumentasi maupun laporan penelitian dari, Semaun dan Suryopranoto dalam hal pergerakan buruh.

Setelah data-data tersebut terkumpul dilakukanlah kritik sumber baik secara eksternal maupun internal. Pemilihan sumber didasarkan pada kesesuaiannya dengan topik penulisan. Langkah berikutnya adalah analisis terhadap sumber yang telah teruji dan melalui analisis inilah kemudian ditentukan gagasan-gagasan yang terangkum.

Tahap terakhir adalah penulisan.

Beberapa contoh sumber primer yang digunakan adalah:

1. Karya tulis, artikel di media massa, dan surat Suryopranoto yang dirangkum

dalam buku Anak Bangsawan Bertukar jalan karya Budiawan.

19 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya., hlm 91. 20 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 35-37. 11

2. Hasil wawancara antara Soe Hok Gie dengan Semaun yang terangkum dalam

buku Lentera Merah

3. Kumpulan tulisan, artikel di media massa, dan surat Semaun dalam buku

Bebareng Bergerak karya Soewarsono.

4. Kumpulan data-data baik luas peralihan tanah dari petani kepada penguasaha

swasta di beberapa tempat di Jawa Tengah, panjang rel serta jumlah beban

angkutan kereta api di Semarang, jumlah produksi gula di Yogyakarta dan

jumlah sekolah beserta muridnya dari tahun 1862-1920 dalam buku Zaman

Bergerak karya Takashi Shiraishi.

Beberapa contoh sumber sekunder yang digunakan adalah:

1. Surat dan foto semaun di Belanda yang sudah diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia dan ejaan modern dalam buku Di Negeri Penjajah karya Harry A.

Poeze.

2. Hasil penelitian Soe Hok Gie mengenai Semaun dan SI.

3. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Semaun karya

Soewarsono.

4. Hasil penelitian dan sumber-sumber kajian mengenai Suryopranoto karya

Budiawan.

E. Landasan Teori

Sebuah kajian sejarah yang bersifat analitis membutuhkan alat analisis berupa teori dan konsep yang dipinjam dari ilmu sosial. Penggunaan teori dan konsep ilmu 12

sosial dalam penelitian tentang perbandingan gagasan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh berguna untuk menguji ataupun mengklarifikasi atas kondisi dari peristiwa yang diteliti.21

Dalam pembahasan mengenai perbandingan gagasan Semaun dan

Suryopranoto dalam pergerakan buruh, dipergunakan teori yang mempengaruhi kedua tokoh tersebut, yaitu: teori kelas Karl Marx. Dalam teori ini diungkapkan terjadinya perbedaan kelas antara pemilik modal dengan tenaga kerja. Dalam pemahamannya, Marx menyatakan tentang klaim negara bahwa ia mewujudkan kepentingan umum padahal ia tidak lebih dari sekedar melayani kepentingan kelas berkuasa.22 Adanya sebuah pertentangan di balik saling keterlibatan antara buruh dan majikan. Buruh memiliki kemampuan tenaga kerja namun tidak memiliki alat produksi sehingga tidak berkuasa atas produknya. Sedangkan di sisi lain kaum pemodal yang merupakan pemilik alat produksi memerlukan buruh untuk menjalankan mesin dengan keahlian tertentu untuk mendapatkan produk dan menghasilkan keuntungan. Namun, dalam pelaksanaannya tidak terjadi sebuah hubungan yang baik antara buruh dengan majikan, di mana majikan menekan upah buruh agar biaya produksi sedikit dan keuntungan banyak, di sisi lain buruh merasa

21 Louis Gottschalk. op. cit., hlm 183.

22 Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 110.

13

tertindas dengan upah yang minim sedangkan mereka telah bekerja keras dan memberikan keuntungan bagi pemilik modal.23

Dalam praktik ekonomi terjadi pertentangan kelas. Ketidak-berimbangan kesejahteraan antara apa yang dinikmati oleh pemilik modal dan buruh adalah faktor utamanya. Pada satu sisi buruh tetap ingin bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya, namun pada sisi lain mereka tidak mendapatkan upah yang cukup. Sementara itu perusahaan (pemilik modal) amat diuntungkan karena hasil produksi mereka.

Kesenjangan yang terjadi inilah yang melahirkan pemahaman bahwa peranan buruh sangat vital dalam perindustrian, sehingga para tokoh buruh memanfaatkan pemikiran

Marx untuk diaplikasikan guna melakukan pembacaan terhadap kolonialisasi ekonomi dan penghisapan di tingkat buruh.24

Menurut Marx, kondisi para buruh yang buruk dan tereksploitasi telah menciptakan sebuah kesadaran, yang kemudian dikenal dengan kesadaran kelas.25

Buruh memiliki keyakinan akan kebenaran dan vitalnya posisi mereka dalam industri.

Namun, pemahaman terhadap gagasan Marxis ini baru muncul setelah gerakan buruh di Indonesia mengenal Sneevliet serta pemikirannya. Selain itu, pemahaman akan

Marxisme di era gerakan buruh tidak dipahami secara utuh, dan hanya menjadi inspirasi saja. Dalam pengertiannya, Marx menyatakan bahwa kelas hanya akan muncul ketika ada sebuah kesadaran akan alat produksi, meningkatnya kesadaran

23 Ibid., hlm 112-115. 24 Linda Smith dan William Raeper. 2000. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang. Yogyakarta: Kanisius. hlm116-120.

25 Franz Magnis. op. cit., hlm 120-121. 14

akan alat produksi akan melahirkan kesadaran kelas, dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan kelas di Eropa.

Dalam mempergunakan teori kelas Karl Marx, akan dicoba menyeimbangkan dengan dua perspektif lain, yakni perspektif konflik antara kolonial dengan pribumi dan pandangan tentang Ratu Adil26. Dalam perspektif konflik antara kekuatan kolonial dengan masyarakat pribumi, pemerintah kolonial dianggap sebagai institusi yang bertanggung jawab atas terampasnya alat produksi masyarakat pribumi.

Munculnya pemilik modal swasta Barat merupakan sebuah gagasan mengenai konflik kolonialisme. Masyarakat pribumi memandang tidak ada perbedaan antara pemerintah kolonial dan swasta Belanda dalam hal penindasan dan eksploitasi.

Gagasan yang kemudian muncul di masyarakat mengenai nasib buruh yang sengsara, adalah bahwa kesengsaraan itu disebabkan oleh para pemilik modal adalah kaum kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung

26 Dalam konsepnya gagasan Ratu Adil lahir dari sebuah tekanan sosial masyarakat, di mana terjadi sebuah kolonialisme dan tidak adanya peranan dari elit pribumi untuk melindungi masyarakat. Terjadi sebuah transformasi ekonomi, di mana sebelumnya penguasaan ada di tangan elit pribumi, kini berada pada swasta asing. serta terlepasnya perlindungan dari kelompok elit pribumi atas rakyatnya meyebabkan sebuah konflik struktural antara masyarakat dan kolonial. Terjadinya pemungutan pajak, penyewaan tanah dan kondisi perburuhan yang memprihatinkan. Pada kondisi tersebut hadir harapan pembebasan yang didorong oleh sosok Semaun dan Suryopranoto mengajak masyarakat bergerak untuk bebas serta melawan penindasan kolonial dan swasta asing.

15

pergerakan buruh menjadi pergerakan nasionalistis yang menentang penindasan kaum

Belanda terhadap rakyat pribumi.27

Selain pandangan tentang konflik antara pemerintah kolonial dengan pribumi, muncul juga pandangan mengenai ratu adil sebagai tokoh yang membebaskan dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Banyak tokoh buruh di kalangan buruh sendiri dianggap sebagai ratu adil, kemudian setelah tokoh tersebut berjuang ternyata keadilan tidak pernah terwujud sempurna sesuai harapan. Namun harapan akan terciptanya sebuah kesejahteraan dan keadilan bagi buruh tetap melekat hingga saat itu. Hal ini menginspirasikan kaum buruh, bahwa ratu adil yang diharapkan bukanlah sosok jasmani tetapi sebuah gagasan tentang kesejahteraan buruh. Konsepsi ini juga diungkapkan oleh Emmanuel Subangun dalam perpektifnya tentang Ratu Adil, yang dipahaminya sebagai cita-cita. Ketika fisik, pikiran, dan tindakan sudah tidak lagi mampu menandingi pihak kolonial serta penjajahan senantiasa berlangsung, maka ratu adil bukan lagi cita-cita melainkan sebuah harapan belaka yang senantiasa dinantikan.28

F. Tinjauan Pustaka

Buku yang membahas tentang pergerakan buruh yang dilakukan oleh

Semaun dan Suryopranoto, antara lain Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa

27 Aloliliweri, M.S. 2005. Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS. hlm 270-271. 28 Emmanuel Subangun, "Tidak Ada Messias dalam Pandangan Hidup Jawa" dalam Prisma No. 1 Januari 1977 Tahun VI., 1977

16

1912-1926, karya Takashi Shiraishi29. Posisi penting buku ini adalah mampu memberikan data-data mengenai luas lahan yang disewakan, gaji buruh, serta tingkat pembakaran lahan perusahaan yang dilakukan oleh para buruh saat berunjukrasa serta beberapa data lainnya. Hampir serupa dengan Zaman Bergerak, buku Pemogokan

Buruh Sebuah Kajian Sejarah karya Bambang Sulistyo30, memberikan data-data mengenai jumlah hasil gula serta peranan Semaun dan Suryopranoto dalam pergerakan buruh. Di Bawah Lentera Merah, karya Soe Hok Gie31 juga memuat data- data tentang luas tanah, biaya sewa dan perseteruan pergerakan buruh dengan pemerintah Belanda maupun antar gerakan (Semaun dan Suryopranoto).

Buku lainnya bersifat biografis dan pemikiran Semaun yakni Bebareng

Bergerak karya Soewarsono, penerbit LkiS Yogyakarta. Dalam buku ini digambarkan latar belakang, biografi, pemikiran serta perjuangan Semaun dalam membela hak buruh. Buku ini juga disertai surat, artikel dan catatan-catatan Semaun saat berjuang bersama SI, Suryopranoto dan PKI. Buku lainnya merupakan biografi dan pemikiran

Suryopranoto, yakni Anak Bangsawan Bertukar Jalan, karya Budiawan. Buku ini berisi mengenai perjalanan hidup Raden Mas Suryopranoto, pergerakan dalam organisasi-organisasi yang mendukung kesejahteraan buruh, dan perseteruan

Suryopranoto dengan Semaun. Dalam buku ini juga tertulis catatan pribadi, surat, dan tulisan Suryopranto di berbagai artikel.

29 Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 10-147.

30 Bambang Sulistiyo. op. cit.,hlm 9-159.

31 Soe Hok Gie. op. cit., hlm 19-51. 17

Untuk melihat kondisi perburuhan pra Semaun dan Suryopranoto secara umum digunakan beragam buku pembantu seperti buku Di Negeri Penjajah karya

Harry A. Poeze32 yang memuat catatan dan artikel asli dari Semaun saat berada di negeri Belanda.

Berdasarkan buku-buku tersebut, penelitian yang memperbandingkan gagasan

Semaun dan Suryopranoto ini diharapkan dapat memberikan pandangan serta gagasan mengenai gerakan buruh yang terjadi. Secara umum belum ada upaya ilmiah yang dengan tegas memperbandingkan pemikiran Semaun dan Suryopranoto, bukan untuk melihat siapa yang unggul melainkan melihat metode yang mereka gunakan. Studi perbandingan ini penting mengingat Semaun dan Suryopranoto berada pada waktu yang sama dan pernah berjuang bersama. Menarik untuk disimak mengapa keduanya kemudian saling bertentangan ketika kekuatan massa buruh sedang dalam masa matang, dan setelah 1926 keduanya saling tersingkir dari pergerakan perburuhannya sendiri.

G. Sistematika penulisan

Hasil dari penelitian ini dituangkan dalam tulisan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisiskan latar belakang dan hal-hal yang mendorong penelitian ini.

32 Harry A. Poeze, Cees van Djik, Van der Meulen. Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. hlm 184-188.

18

Bab II berisiskan latar belakang yang mempengaruhi Semaun dan

Suryopranoto untuk melakukan pergerakan buruh.

Bab III berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Semaun.

Bab IV berisikan biografi, pemikiran, peranan, serta perjumpaan dan konflik dalam pergerakan buruh yang dialami oleh Suryopranoto.

Bab V merupakan sebuah kesimpulan dan pernyataan dari penulis mengenai kekuatan, kelemahan, ancaman serta peluang dari gerakan buruh yang diprakarsai oleh Semaun dan Suryopranoto.

BAB II

KONDISI PERBURUHAN DI JAWA AKHIR ABAD XIX DAN AWAL ABAD

XX

Banyak hal yang memicu lahirnya pergerakan buruh. Dalam konteks ini adalah munculnya ekonomi liberal. Setelah ekonomi liberal dimunculkan pada tahun

1870, terjadi perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat Semarang dan

Yogyakarta pada khususnya. Hal ini membawa dampak pada sektor industri, tanah dan tentunya buruh.

Hindia Belanda berubah menuju arah modernitas secara sistematis. Hal ini ditunjukkan dengan diperkenalkannya sistem gaji pada pribumi. Proses produksi yang sebelumnya dikuasai oleh negara kini dipercayakan kepada pihak swasta. Selain itu diatur pula alat produksi yaitu tanah dengan munculnya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang memuat aturan penyewaan tanah dan Undang-Undang Pajak Kepala

1882 yang kemudian menjadi pendorong lahirnya pasar tenaga kerja bebas (wage labourer), sampai sistem mengenai hasil produksi swasta yang setiap tahunnya meningkat hingga eksport ke Eropa, perbaikan infrastruktur berupa pelabuhan dan jalan.1

Perubahan menuju modernitas juga terlihat dari watak kolonial yang mulai memperhatikan permasalahan penyesuaian penduduk pribumi dalam sistem modern

1Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta. hlm 10-11.

19

20

kolonial, meskipun sesungguhnya pengenalan sistem modern tersebut adalah upaya menciptakan buruh yang mampu menjalankan dan memperkenalkan mesin-mesin modern. Berdasarkan laporan Mindere Welvaart Commissie, terjadi penurunan tingkat kemakmuran pribumi pada akhir abad XIX, sehingga memberikan solusi agar pemerintah kolonial membangun sistem modern ini yang kemudian dikenal dengan

Politik Etis.2

Modernitas juga tampak dari lahirnya kelompok kelas menegah (middle class) pribumi yang jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Kelompok ini merupakan masyarakat prakapitalis yang menyandarkan penghidupannya dari gaji. Meski demikian, fungsi awal dari kelompok ini adalah pengisi pasar tenaga kerja yang memiliki keahlian. Namun kemudian, masyarakat kelas menengah yang sebagian besar adalah kaum terpelajar ini yang mengawali perubahan sosial dengan dilakukannya pergerakan.3

A. Kereta Api

Perubahan sosial dalam masyarakat pribumi salah satu penyebabnya adalah munculnya kereta api. Pesatnya pertumbuhan kereta api menjadi salah satu acuan modernisasi di Hindia Belanda terutama di pulau Jawa. Media transportasi merupakan sarana pendukung pertumbuhan ekonomi pengusaha lokal maupun

Belanda. Pertumbuhan industri kereta api jalur Semarang-Vorstenlanden merupakan

2Ibid., hlm 11.

3Ibid. 21

contohnya. Semakin luas jarak tempuh dan meningkatnya jumlah angkutan membuat industri kereta api semakin membutuhkan banyak pekerja.

Fungsi lain dari hadirnya angkutan kereta api adalah sebagai sarana penunjang ekonomi dalam mengangkut barang. Dengan peningkatan jumlah barang maupun hasil bumi, maka diperlukan pula jalur kereta api yang memadai.

Tabel berikut ini adalah data untuk melihat perkembangan luas areal kereta api dan peningkatan jumlah angkutan baik manusia maupun barang. Data-data diperoleh dari Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916.4

Tabel II.1 Peningkatan Jumlah Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Kereta Api

Tahun Kilometer Penumpang Penghasilan dari

Penumpang Barang

(dalam ribu gulden) (dalam ribu gulden)

1895 1.319 5.759.000 3.054 6.588

1900 1.609 9.738.000 4.022 9.743

1905 1.704 13.361.000 4.979 10.216

1910 2.174 28.420.000 8.825 15.738

1915 2.448 42.579.000 13.685 22.194

Sumber: Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916

4Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta. hlm 11. Data diperoleh dari buku Zaman Bergerak yang mempergunakan sumber Kolonial Verslag tahun 1896, 1901, 1906, dan 1916. 22

B. Peralihan Fungsi Tanah

Pada tahun 1880-1915, produk terpenting dalam pertanian pribumi adalah beras atau padi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat lokal mengkonsumsi nasi yang berasal dari padi. Selain itu, kondisi geografis serta iklim mendukung tanaman ini, sehingga para petani pribumi memilih padi sebagai tanaman pokok.

Ketertarikan pemodal swasta untuk menanam tebu di Hindia Belanda guna mendapatkan keuntungan besar dalam pasar Eropa didukung oleh pemerintah kolonial. Pada awal tahun 1910-an pemerintah kolonial memunculkan kebijakan berupa ketentuan harga maksimal pembelian padi dari petani dan ketentuan jumlah maksimal padi yang disimpan. Tentunya kondisi ini sangat menyudutkan petani, baik dari segi penghasilan maupun pemenuhan kebutuhan.5 Kebijakan lainnya adalah dilakukannya monopoli pembelian dan penjualan padi sehingga mempersempit peluang pribumi kelas menengah untuk membangun pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan adanya sebuah upaya mencabut secara tidak langsung hak pribumi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Di lain pihak kebijakan ekonomi kolonial semakin menguntungkan pengusaha gula swasta. Dilakukannya perluasan lahan tebu mempersempit lahan pertanian padi.

Kondisi ini menciptakan kesulitan baru bagi masyarakat pribumi. Harga beras yang rendah, membuat para pengusaha swasta melirik tebu sebagai solusi. Kondisi berbeda

5 Ibid.

23

dirasakan masyarakat pribumi yang kebutuhan hidup secara ekonomi ditempuh dengan menanam padi secara terpaksa lahannya disewakan sehingga terjadi kelangkaan padi yang berdampak pada naiknya harga beras. Para petani padi yang awalnya mengelola padi tetapi kemudian beralih menjadi buruh tebu, ternyata mendapatkan upah yang tidak mampu mencukupi pemenuhan atas naiknya harga beras di pasar. Di lain pihak, kurangnya bahan makanan berupa beras, tidak mempengaruhi kehidupan bangsa Barat di Indonesia kala itu. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah kolonial tidak merasa perlu untuk mempertahankan ataupun memperluas areal tanaman padi. 6

Kehidupan petani pada masa ini tidak lebih daripada saat mengelola lahan pertaniannya sendiri. Areal perkebunan swasta yang makin lama semakin meluas mengakibatkan penderitaan bagi petani pribumi, dari rendahnya penghasilan hingga krisis pangan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kehidupan petani semakin terpuruk.7

Peralihan fungsi lahan padi menjadi lahan tebu menjadikan harga beras naik.

Para petani padi yang bekerja pada kelas menengah lokal beralih menjadi buruh di perkebuan tebu dengan gaji yang rendah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan untuk membeli beras yang semakin langka dan harganya terus melonjak. Pada tahun

6 Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm 61.

7 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. Bentang. Yogyakarta., hlm 12.

24

1918, akibat kelangkaan dan harga beras yang tinggi, di banyak tempat di Jawa muncul keadaan di mana masyarakat harus antri saat membeli beras. Di Pekalongan antrian terjadi sepanjang kira-kira satu kilometer, tidak jarang pula terjadi perkelahian dalam antrian karena berebut tempat untuk lebih dahulu mendapatkan beras.8

Kondisi tersebut juga menyebabkan terjadinya kematian semakin meluas pada tahun 1919. Sulitnya mendapatkan beras dan makanan layak mengakibatkan masyarakat terpaksa mengkonsumsi palawija, sayur-mayur dan bahkan ada yang memakan bonggol pisang. Secara umum, karena kesulitan ekonomi, buruh dan petani kecil banyak yang hanya makan satu kali sehari.9

Di samping kematian, hal lainnya adalah terjadinya penyakit akibat kekurangan gizi seperti beri-beri, TBC, dan influenza. Kondisi terburuk terjadi di

Vorstenlanden terutama Yogyakarta,yang pada tahun 1919 angka kematiannya mencapai 25.956 jiwa. Pada tahun tersebut penduduk Yogyakarta berjumlah

1.313.486 orang. Untuk melihat angka kematian penduduk Yogyakarta pada kuartal pertama tahun 1919 bisa diliihat pada tabel berikut ini . 10

8 Bambang Sulistyo, op. cit., hlm 62.

9 Ibid., hlm 62. Data dan informasi diambil dari surat kabar 8 November tahun 1919. Media ini merupakan Organ dari Sarekat Islam Cabang Jakarta. Weltevvreden.

10 Ibid. Data diperoleh dari buku Bambang Sulistyo didapatkan dari surat kabar Sri Mataram tahun Yogyakarta 4 September 1919.

25

Tabel II. 2 Jumlah Kematian Penduduk

Afdeeling Jumlah Penduduk Angka Kematian

Yogyakarta 755.472 10.623

Kulonprogo 281.216 5.436

Gunungkidul 276.798 9.897

Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Pada tabel II.2, meningkatnya angka kematian di Yogyakarta disebabkan karena kekurangan gizi yang disebabkan kurangnya jumlah beras dan munculnya wabah penyakit seperti beri-beri, TBC, dan influensa.

Pada kuartal kedua tahun 1919 terjadi penurunan jumlah kematian, hal ini desbabkan karena wabah penyakit telah mereda. Data selanjutnya adalah hasil penelitian kuartal kedua tahun 1919 berupa perbandingan antara jumlah angka kelahiran dan kematian di daerah yang sama, seperti pada tabel berikut:11

Tabel II.3 Jumlah Kelahiran dan Kematian Penduduk

Afdeeling Angka kematian Angka Kelahiran

Yogyakarta 7.238 4.759

Kulonprogo 2.241 1.255

Gunungkidul 3.089 1.680

11 Ibid.

26

Sumber: surat kabar Sri Mataram Yogyakarta 4 September 1919

Melalui data mengenai jumlah angka kelahiran dan kematian pada tabel II.2 dan II.3 dapat memperlihatkan terjadinya peningkatan jumlah kematian masyarakat pribumi. Surat kabar Sri Mataram Yogyakarta pada 4 September 1919 melampirkan data tabel Tabel II. 2 berdasarkan penelitian pada kuartal pertama tahun 1919, sedangkan Tabel II.3 berdasarkan penelitian pada kuartal kedua tahun 1919.

Meningkatnya kematian penduduk disebabkan karena daerah potensial penghasil pangan yakni Jogjakarta mulai beralih menjadi lahan perkebunan. Kulonprogo dan

Gunungkidul merupakan daerah yang bergantung pada pasokan hasil pangan dari

Yogyakarta. Namun, karena terjadi peralihan fungsi lahan di Yogyakarta dari lahan persawahan menjadi gula maka terjadi penurunan hasil pangan sehingga Kulonprogo dan Gunungkidul terkena dampak yakni krisis pangan.

Tentunya meningkatnya jumlah kematian masyarakat pribumi ini tidak dapat dilepaskan dari permasalahan kelangkaan bahan pangan dan kondisi kesejahteraan yang tidak layak. Krisis pangan yang terjadi menyebabkan gizi buruk dan masyarakat mudah terjangkit penyakit, yang paling mengenaskan adalah kondisi pada kuartal pertama tahun 1919 karena krisis pangan yang bersamaan dengan datangnya wabah penyakit.

C. Transisi Lahan Pribumi Menjadi Lahan Swasta

Fenomena kemunculan pabrik gula di Hindia Belanda dipengaruhi oleh kondisi di Eropa. Setelah konvensi Brussels tahun 1902 Eropa mulai membuka 27

pasaran dunia bagi tebu.`12 Hal ini membuat para pengusaha swasta Belanda tertarik dengan keuntungan dari potensi Hindia Belanda yang mampu menghasilkan tebu dengan kualitas baik.

Terbukanya pasar gula di Eropa menyebabkan pertumbuhan perkebunan tebu di Hindia Belanda meningkat secara signifikan. Banyak pengusaha swasta Belanda mengalihkan lahan perkebunan mereka dari non tebu menjadi tebu. Pertumbuhan ini pun kemudian menggusur lahan-lahan pertanian padi, sehingga berdampak pada kurangnya hasil padi guna kebutuhan pangan masyarakat pribumi. Berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911 terjadi peningkatan jumlah produksi gula di karesidenan , Boyolali, Klaten, Sragen, Mangkunegaran dan Wonogiri. 13 Tabel berikut ini menunjukkan adanya peningkatan produksi gula secara bertahap.

Tabel II.4

Peningkatan Jumlah Produksi Gula

Tahun Kota / Gula (dalam ribuan pikul)

Surakarta Boyolali Klaten Sragen Wonogiri Mangkunegaran

1890 - 103 203 26 - 48

1900 66 41 520 98 - 102

12Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 15.

13Ibid., hlm 16. Satu pikul sebanding dengan 61,76 kilogram. Data yang diambil dari Takashi Shiraisi bersumber dari Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911.

28

1910 91 112 829 183 - 195

Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1891, 1901, dan 1911

Kondisi pertumbuhan perkebunan tebu juga berdampak pada perluasan lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan tebu. Data berikut ini bersumber dari angka-angka sejak tahun 1862 hingga 1864 yang diambil dari Rossenschon, “De

Westerse op ,” halaman 450. Angka-angka dari tahun 1875 dan seterusnya berasal dari Koloniaal Verslag 1876, 1881, 1891, 1901, 1911, 1916 dan 1921. 14

Tabel II.5 Jumlah Tanah Yang Disewakan di Yogyakarta

Tahun Dalam bau

1880 88.000

1890 93.000

1895 93.000

1900 89.000

1905 85.000

1910 95.000

1915 97.000

1920 102.000

Pada data tersebut diperlihatkan sebuah kenaikan jumlah tanah yang disewakan secara signifikan. Bila melihat dari tahun 1880 sampai 1890 terjadi

14Ibid., hlm 14. 29

kenaikan penyewaan lahan sejumlah 5000 bau. Meskipun jumlah ini tetap hingga tahun 1895 dan turun sejumlah 4000 bau pada tahun 1900 dan kembali turun kembali sejumlah 4000 bau pada 1905. Namun pada tahun 1905 sampai tahun 1910 terjadi kenaikan sejumlah 10.000 bau bahkan pada tahun 1920 terjadi kenaikan hingga 7000 bau.

Berdasarkan data jumlah tanah yang disewakan oleh masyarakat pribumi

(yang secara umum difasilitasi oleh lurah) diketahui bahwa luas tanah milik pribumi yang dikelola secara subsisten guna kebutuhan pribumi sendiri semakin kecil.

Berdasarkan data tersebut juga diketahui bahwa pertumbuhan swasta asing semakin meningkat.15

Salah satu faktor yang menyebabkan meningkat dan mudahnya penyewaan lahan pertanian kepada pihak swasta Belanda menjadi perkebunan tebu adalah melalui peranan lurah. Dengan cara menyuap para lurah dengan uang 2,50 gulden untuk setiap baunya terjadi kemudahan untuk mendapatkan lahan. Karena “suap” inilah di desa-desa banyak terjadi pemaksaan penyewaan tanah.16

Dalam masyarakat agraris tradisional, tanah sering dikonsepsikan sebagai milik raja. Tanah bukan semata-mata sebagai sumber nafkah namun juga sumber

15Soe Hok Gie, op. cit., hlm 12. Dalam buku Di Bawah Lentera Merah terdapat pernyataan bahwa pada tahun 1919, para pengusaha perkebunan memberikan premi 2,50 Gulden untuk setiap bau kepada lurah yang dapat menyewakan tanah pertanian.

16Ibid., hlm 13. Dalam pernyataannya Soe Hok Gie juga menambahkan bahwa untuk mendapatkan kajian lengkap mengenai peran “suap” yang dilakkan lurah dapat dilihat di Human Bondage in Southeast Asia (Chapel Hill, 1950) karya Bruno Lasker.

30

kekuasaan bagi pegawai raja (priyayi).17 Berdasarkan pengertian tersebut, Belanda yang datang dan melakukan kolonialisme mempergunakan sistem tersebut untuk menguasai tanah, yakni menguasai para raja dan secara sistematis tanah yang berada di bawah kekuasaan raja akan dikuasai oleh Belanda.

Namun, dari data atas tingkat kematian, jumlah produksi gula hingga luas lahan yang beralih fungsi menunjukkan sejumlah besar tanah milik masyarakat adat sepenuhnya telah disewa oleh pihak swasta. Luas tanah pertanian pangan yang semakin sempit, dan luas perkebunan tebu yang semakin membengkak berakibat pada terjadinya kelangkaan pangan (krisis pangan) dan meningkatnya jumlah kematian penduduk pribumi.18

D. Hadirnya Modernisasi

Bersamaan dengan dimulainya abad ke XX, hadir sebuah zaman baru di

Hindia Belanda, yakni zaman etis. Dalam periode ini muncul kata-kata “kemajuan”, seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan), ontwikkeling (perkembangan), dan opvoedening (pendidikan).

Pada awal bulan Agustus 1899 Conrad Theodor van Deventer menulis sebuah artikel berjudul “Een Eereschlud” (“Hutang Budi”). Artikel ini diterbitkan oleh

17Anton Haryono, “Dari Rakyat Legitimasi Dibangun, Kepada Rakyat Eksploitasi Diarahkan: Indonesia Pra-Kolonial, Kolonial, dabn Pasca-Kolonial”. Dalam Silverio R.L. Aji Sampurno dkk. 2003. Indonesia lternatif, Rakyat Sebagai Pemegang Kedaulatan ekonomi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. hlm 6.

18 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah. op. cit., hlm 17.

31

majalah De Gids. Melalui artikel tersebut dinyatakan bahwa bangsa Belanda telah memperoleh keuntungan dari bangsa Indonesia (Jawa) sejak 1867 hingga 1899 kira- kira sejumlah 200 juta gulden. Bagi van Deventer hal ini merupakan sebuah hutang kehormatan, sebuah hutang harus dibayarkan. Menurut van Deventer hutang tersebut dapat dibayarkan melalui cara memperbaiki kehidupan ekonomi dan memperhatikan nasib rakyat Hindia Belanda. berdasarkan pengamatannya, sejak 1885 penduduk bumiputera mengalami proses pemiskinan yang kian mendalam. Usulan van

Deventer dalam artikel tersebut adalah mengembalikan utang melalui program pendidikan dan pembangunan ekonomi bumiputera.19.

Kritik van Deventer hanyalah salah satu dari sekian kritik bagi pemerintah

Belanda kala itu. Hal ini kemudian direspon oleh parlemen Belanda dengan memutuskan sikap melalui program Politik Etis. Hadirnya zaman etis ditandai dengan bermunculannya sekolah-sekolah. Kritik yang melahirkan Politik Etis ini awalnya berasal dari internal negeri Belanda, sebagai bentuk keprihatinan terhadap ketidaklayakan sikap pemerintah kolonial atas penduduk pribumi. Berdasarkan kritik tersebut, parlemen Belanda memutuskan untuk membentuk sebuah program balas budi. Namun, seiring berjalannya waktu, langkah kolonial ternyata tidak sebatas pada upaya balas budi yang beritikad baik, tetapi memanfaatkan program etis sebagai media pemenuhan tenaga kerja murah .20 Lagi pula, kelompok yang dapat

19Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. op. cit., hlm 36. 20Takashi Shiraishi. op. cit., hlm 35-39. 32

mengenyam pendidikan praktis terbatas pada kaum menengah yang umumnya memiliki cukup uang.

Awal pelaksanaan Politik Etis dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah sekolah bagi masyarakat pribumi. Merebaknya sekolah secara tidak langsung juga dimanfaatkan oleh pihak swasta Belanda untuk mendapatkan buruh-buruh perindustrian yang dapat mengoperasikan teknologi modern. Pada 1893 pemerintah membentuk dua jenis sekolah dasar untuk bumiputera, Eerste Klass Inladsche

Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priyayi , dan Tweede

Klass Inlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Dua) untuk anak-anak pribumi dari kelas sosial yang lebih rendah.21

Meluasnya sekolah bagi pribumi juga meningkatkan jumlah murid pribumi di dalamnya. Sekolah bagi kaum pribumi yang awalnya dibentuk guna menghasilkan tenaga kerja murah ini kemudian secara bertahap melahirkan kaum terdidik yang kritis terhadap kebijakan kolonial dan bersedia melakukan usaha-usaha pembangunan kesadaran pada masyarakat pribumi. Jumlah kaum terdidik yang bersekolah pada sekolah Belanda setiap tahun jumlahnya semakin meningkat.

21Ibid., hlm 37. 33

Jumlah sekolah Bumiputera Angka Dua dan jumlah murid, berdasarkan data dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-

1940 (: J.B. Wolters, 1963) dinyatakan sebagai berikut.22

Tabel II.6 Jumlah Sekolah dan Jumlah Murid di Sekolah Negara dan Swasta

Jumlah Sekolah Jumlah Murid

Tahun Negara Swasta Total Negara Swasta Total

1900 551 836 1.387 64.742 36.431 98.173

1905 674 1.286 1.942 95.075 66.741 161.816

1910 1.021 2.106 3.127 133.425 99.204 232.629

1915 1.202 2.198 3.400 186.300 134.644 320.974

1920 1.845 2.368 4.213 241.414 116.556 357.970

Sumber: Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B.

Wolters, 1963).

Sedangkan berdasarkan data dari Koloniaal Verslag tahun 1896, 18906,

18911, dan 1916. Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura sebagai berikut.23

22Ibid. Data yang dipergunakan oleh Takashi Shiraishi berasal dari data dari S. L. van der Wal, ed, Het Onderwijsbeleid in Nederlandsch-Indie, tahun 1900-1940 (Groningen: J.B. Wolters, 1963).

23Ibid. data yang diperoleh Takashi Shiraishi berasal dari Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916.

34

Tabel II.7 Jumlah Sekolah Dasar Bumiputera di Jawa dan Madura

Tahun Jawa/Madura Surakarta Yogyakarta

1895 391 15 13

1905 722 19 40

1910 1.088 41 111

1915 1.237 61 109

Sumber: Koloniaal Verslag tahun 1896, 1906, 1911, dan 1916

Pada tahun 1900, Hoofden Scholeen yang mendidik para calon pegawai priyayi pribumi disempurnakan menjadi Opleiding School Voor Inladsche

Ambtenaren (OSVIA). Pada waktu yang bersamaan, sekolah untuk dokter Jawa yakni

Indische Arsten dikembangkan menjadi Opleiding van Indische Arsten atau STOVIA.

Pada 1902, di Bogor didirikan sekolah pertanian menegah untuk pribumi bernama

Inlandsche Lanbouw School. Pada 1907, jumlah sekolah dasar dengan sistem pendidikan Barat berjumlah 675 sekolah, namun karena desakan kaum priyayi pribumi maka pemerintah kolonial menyatakan akan membangun lagi 700 sekolah.

Pada tahun 1907, Sekolah Angka Satu atau Eerste Klasse School dikembangkan menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS) dengan lama pendidikan 7 tahun.24

23Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39.

35

Jumlah sekolah dengan pendidikan tradisional tanpa pelajaran bahasa Belanda yang tercatat pada tahun 1912 sejumlah 2.500 buah.25

Program pokok Politik Etis adalah Irigasi, Transmigrasi dan Edukasi. Dalam konsepnya ketiga program tersebut merupakan upaya untuk peningkatan ekonomi, mendistribusikan kepadatan penduduk, dan penerapan pendidikan. Meskipun demikian, ternyata program-program tersebut juga hanya menjadi perpanjangan tangan perusahaan swasta. Program irigasi dalam implementasinya hanya menguntungkan perkebunan swasta bukan pribumi, transmigrasi (umumnya dari

Jawa ke dan Kalimatan) cenderung sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja buruh perusahaan swasta daripada upaya distribusi kepadatan penduduk, dan edukasi secara umum dipandang sebagai usaha untuk mengenalkan teknologi industri kepada calon buruh. Namun, dari ketiga program itu, edukasi nampak mengalami kemajuan yang cepat.26

Meningkatnya jumlah sekolah dan terbukanya pendidikan bagi masyarakat pribumi, meskipun masih sebatas kaum golongan atas dan menengah saja, memberikan harapan baru bagi masyarakat. Dampak program pendidikan tidak sebatas pada masyarakat bisa membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga munculnya menjadi pegawai-pegawai administrasi kolonial dari kalangan pribumi

25Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia. Terjemahan. hlm 50- 99.

26Bambang Sulistyo., op. cit., hlm 39 36

baik di pemerintahan maupun perusahaan swasta. Program etis juga memunculkan kesadaran baru bagi masyarakat pribumi.

Pendidikan bagi publik memperkenalkan sebuah pandangan baru. Orang- orang pribumi mulai sadar dan peka apa yang disebut kolonialisme. Mereka semakin menyadari bahwa cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Hindia

Belanda sesungguhnya merupakan bentuk penindasan, yang oleh masyarakat Eropa sendiripun kolonalisme pada masa itu ditolak. Melalui pendidikan yang semakin meluas inilah kemudian masyarakat pribumi menemukan cara baru dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.27

Dengan menjamurnya sekolah dan makin bertambahnya kaum terdidik, maka kesadaran masyarakat pun meningkat. Berdasarkan catatan yang diperoleh dari perkebunan tebu, terjadi penurunan angka protes dengan cara membakar lahan tebu menjadi protes melalui jalur keorganisasian, menjemur diri dan mogok kerja sebagai ungkapan perlawanan buruh terhadap majikan. pada tahun 1907, di luar daerah

Vorstenlanden aksi pembakaran tercatat 2.300 kali, dengan areal yang dibakar seluas

4.700 bau lebih. Pada 1912 aksi serupa tercatat 2.700 kali dengan areal yang dirugikan sejumlah 6.650 bau. Setelah lahirnya organisasi serikat pekerja, aksi pembakaran mengalami penurunan. Pada 1913 jumlah aksi pembakaran turun menjadi 1.900 kali pada areal seluas 5.300 bau, kemudian pada 1914 turun lagi

27Bambang Sulistyo., Ibid., hlm 40.

37

menjadi 1.500 kali aksi dengan luas areal 4.100 bau. Jumlah ini terus menurun hingga pada 1917 hanya terjadi 886 kali pada areal seluas 1.925 bau.28

Dalam catatan perusahaan gula dinyatakan bahwa sejak hadirnya SI terjadi penurunan aksi. Lahirnya organisasi serupa bernama Boedi Utomo, dan sejenisnya

(termasuk SI) menanamkan sikap baru dalam menyampaikan aksi. Mereka umumnya mengawali dengan menggunakan negosiasi. Bila hal yang diinginkan tidak terwujud, maka barulah aksi massa dikerahkan. Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan awal ini merupakan embrio bagi lahirnya gerakan nasionalisme.

Dengan hadirnya era modernisasi inilah muncul kelompok menengah pribumi, melalui cara mendidik para calon tenaga kerja yang terlatih.29 Meskipun telah hadir sarana transportasi, pendidikan, dan organisasi massa bagi kaum pribumi, namun usaha dalam bidang ekonomi masih sulit. Kondisi ini disebabkan oleh kuatnya monopoli dan penguasaan modal oleh pihak Belanda.

Politik Etis dapat dikatakan gagal, sebagai akibat dari munculnya kerjasama kolonial antara kekuatan ekonomi dan pemerintahan. Ekspansi dan konsentrasi kekuatan dipegang oleh beberapa pihak saja, sehingga pengaruh pemilik modal

28Ibid.,hlm 40. Data yang dikaji oleh Bamabang Sulistyo berdasarakan Verslag van Algemeen Syndicaat van Suikerfabriekanten in Ned-Indie overhet 27e Jaar,1921, hlm 60-63.

29 Anton Haryono. op. cit., hlm 26.

38

terhadap pemegang kekuasaan cukup besar . Menjadi hal yang wajar ketika banyak kebijakan bersifat politis namun menguntungkan kaum pemodal.30

Mendekati akhir abad XIX, yaitu pada tahun 1897, mulai bermunculan organisasi perburuhan. Pada awalnya organisasi perburuhan ini sebagian besar diprakarsai oleh para buruh Belanda yang bekerja di Hindia Belanda. Beberapa organisasi tersebut adalah Cultuurbond, Handelsbond dan Zuikerbond. kemunculan mereka disebabkan karena para pegawai Belanda di negara asalnya memiliki hak atas pekerjaan, sehingga mereka bebas membentuk organisasi. Pada awalnya organisasi pekerja yang dibuat oleh pegawai tinggi Belanda bersifat ekslusif. Namun kondisi mulai berubah setelah tahun 1900-an. Pada awalnya pekerja Eropa mendominasi serikat pekerja. Namun, semakin bertambah banyaknya jumlah pekerja pribumi dan semakin sedikitnya jumlah pekerja dari negeri Belanda berpengaruh terhadap organisasi serikat pekerja. Para pegawai Belanda mengangap perlunya sebuah kesatuan yang sama serta memperkuat jumlah massa buruh dalam organisasi, sehingga dilibatkanlah buruh-buruh pribumi di dalamnya. Kondisi ini yang kemudian menjadi embrio bagi pergerakan buruh pribumi di Hindia Belanda.31

Pada periode 1900-1926 pergerakan buruh yang muncul umumnya menuntut perbaikan nasib (kesejahteraan) bagi para pekerjanya. Pada awal era Politik Etis muncul Semaun dan Suryopranoto dalam organisasi pergerakan pribumi yang

30Ibid., hlm 27-28 .

31Sandra. Pergerakan Buruh Indonesia. hlm 7-8.

39

kemudian dalam perjalanannya melakukan transformasi organisasi yang bersifat memperjuangkan nasib kaum pekerja pribumi secara politis maupun secara organisasi massa.

E. Awal Pergerakan Kaum Terdidik

Bila pada tahun 1900 hanya kelompok priyayi yang menjadi administrator, maka pada tahun 1914 kelompok elit baru bertambah dengan sejumlah pegawai pemerintah, teknisi dan cendekiawan. Hadirnya kaum elit baru ini sesungguhnya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah kolonial akan penambahan jumlah tenaga kerja terdidik dalam setiap bidang pekerjaan.

Lahirnya kaum terdidik menciptakan perubahan baru. Tirto Adi Suryo seorang keturunan bangsawan yang merupakan lulusan STOVIA, tercatat sebagai pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar.32 Ia menerbitkan , sebuah jurnal yang berisikan berita harian tentang kehidupan masyarakat. Namun kemudian, karena tergerak melihat situasi sosial yang kian buruk bagi masyarakat pribumi, ia menuliskannya dalam surat kabar tersebut. Dengan tulisan-tulisannya yang dimuat di Medan Prijaji banyak kaum intelektual pribumi lainnya tergerak untuk ikut dalam pergerakan. Melalui surat kabar ini, pergerakan nasional dimulai.33

32Dalam Skripsi ini digunakan ejaan Tirto Adi Suryo, sedangkan dalam buku lain dituliskan dalam ejaan Tirto Adi Soerjo.

33Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908- 1918. KITLV. hlm 128.

40

Tirto sendiri kemudian bergerak lebih dalam dengan membentuk Serikat

Dagang Islam di Bogor pada 1911. Pergerakan Tirto dilakukan bersama dengan rekannya asal yaitu H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berdua mendirikan SDI

(Sarekat Dagang Islam) yang kemudian berkembang pesat sebagai organisasi awal di

Indonesia.34

Selain SDI, hadir pula organisasi priyayi Jawa bernama Budi Utomo (BO) di

Jogjakarta pada 10 Oktober 1908. Organisasi ini masih bersifat kedaerahaan, namun merupakan organisasi yang memiliki struktur yang sesuai dengan organisasi modern.

Organisasi ini terdiri dari mahasiswa asal Jawa yang berkumpul dan membicarakan masa depan masyarakat Jawa.35

Secara umum, organisasi BO dan SDI menjadi pemicu bagi lahirnya organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Termasuk

Suryopranoto yang terlahir dari BO, dan Semaun yang terlahir dari SDI yang kemudian berubah menjadi SI. Suryopranoto dan Semaun adalah dua tokoh pergerakan yang memfokuskan pada kajian perburuhan pribumi.

34 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 2005. hlm 251-252.

35 Akira Nagazumi. op. cit., hlm 95-100. BAB III

SEMAUN,

DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH

Tahun 1900 hingga 1919 merupakan awal pergerakan buruh di Indonesia.

Kondisi ekonomi dan politik yang semakin menekan masyarakat pribumi pada masa tersebut menjadikan rasa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda semakin menguat. Pada era 1900-an ini hadir pula tokoh-tokoh pergerakan buruh.

Satu diantaranya adalah Semaun.

A. Latar Belakang Semaun

Semaun dalam beberapa catatan sejarah mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai presiden Sarikat Islam (SI) Semarang pada tanggal 6 Mei 1917. Semaun lahir di kota kecil Tjurah Malang, Mojokerto, Jawa Timur sekitar tahun 1899.1

Semaun merupakan anak dari seorang pegawai rendahan bernama

Prawiroatmodjo. Ayah Semaun merupakan pegawai rendah di jawatan kereta api, tepatnya seorang tukang batu. Semaun sempat bersekolah Tweede Klas (sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan mengikuti semacam kursus sore hari. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kondisi

1 Soewarsono, Bebareng Bergerak. LKiS. Yogyakarta., hlm 40.

41

42

tersebut mendorongnya untuk bekerja di Staatspoor (SS) Surabaya sebagai juru tulis (klerk) kecil. 2

B. Awal Karir Politik

Bermula dari usia 15 tahun, Semaun muda memulai karir politiknya.

Tepatnya pada tahun 1914, Semaun mulai bergabung dalam organisasi Sarekat

Islam (SI) cabang Surabaya dan segera menjadi sekretaris cabang tersebut.3

Dalam organisasi ini Semaun kemudian menjadi aktif dalam serikat buruh kereta api. Aktivitas Semaun sebagai penggerak organisasi buruh kereta api membuatnya tertarik pada upaya kaum revolusioner Eropa atas nama kaum buruh Indonesia yang digerakan oleh Sneevliet. Perjumpaan Semaun diawali ketika Sneevliet menjabat di VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel. Melalui perjumpaan tersebut ia kemudian bergabung dalam Indische Sociaal-

Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya yang didirikan Sneevliet dan Vereeniging voor Spoor-en

Tramwegpersoneel, serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) cabang Surabaya pada tahun 1915. Satu tahun kemudian (1916), Semaun menjabat sebagai wakil ketua cabang ISDV Surabaya, saat itu usianya 17 tahun.

Dalam catatan Arnold C. Brackman dalam buku Indonesian dinyatakan bahwa ada hal lain yang sesungguhnya terjadi, yakni sebuah kesulitan yang dihadapi oleh Sneevliet dalam melancarkan propaganda terhadap kaum

2 Ibid .

3 Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu. Jakarta. 2010. Hlm 32. 43

pribumi, adanya kendala bahasa, agama dan ras. Sneevliet merasa perlu agar paham Marxisme mampu menembus organisasi SI. Dengan demikian, Sneevliet mencoba melakukan metode baru ,“bloc within” yakni keanggotaan ganda, baik dalam ISDV maupun SI.4 Kondisi ini terbantu dengan hadirnya Semaun di

Semarang pada 1916.

Tahun 1916, Semaun meninggalkan pekerjaannya di Staatspoor. Hal ini disebabkan karena Semaun diangkat menjadi propagandis di VSTP Semarang.

Dengan kemampuan bahasa Belanda yang baik, Semaun berhasil memperluas hubungan dan pergaulannya melalui media massa. Kedekatan Semaun dengan

Sneevliet juga menjadikan faktor yang menyebabkan dirinya menempati posisi penting pada organisasi tersebut.5 Kemampuan dan kepandaian Semaun dalam berbicara tentang organisasinya mendapatkan simpati luas dari banyak kalangan, terutama buruh. Pada saat yang bersamaan juga mulai bermunculan anggota muda

SI yang bersimpati pada Semaun, karena selain anggota ISDV dan VSTP ia juga merupakan anggota SI Semarang. Dengan kemampuan bicaranya serta propaganda media massa milik organisasi SI, anggota SI bertambah jumlahnya.

Pada 1916 jumlah anggota SI 1.700 orang dan pada 1917 berlipat hingga 20.000 orang.6

4 Soewarsono, op. cit.,hlm 2. Soewarsono mengutip catatan Arnold C. Brackman dalam bukunya Indonesian Comunism : A History, New York: Fredrick A. Praeger, 1963, hlm 7.

5 Ibid.

6 Ruth McVey. op. cit., hlm 32-33. 44

Saat berada di Semarang, Semaun menjadi redaktur majalah VSTP berbahasa Melayu. Selain itu ia juga menjadi redaktur di berbagai media massa lainnya seperti Sinar Djawa dan Sinar Hindia (keduanya Koran Sarekat Islam

Semarang). Posisinya sebagai propagandis menjadikannya ahli dalam bidang pengorganisasian masyarakat melalui media massa. Kejelian dan kecerdasannya dalam melakukan kritik dan intrik serta keberaniannya berkomentar atas kebijakan-kebijakan kolonial membuatnya semakin dikenal.7

Pada tahun 1918, Semaun menjabat sebagai dewan pimpinan di Sarekat

Islam. Kondisi perburuhan di Semarang yang umumnya sama dengan kondisi perburuhan lainnya di pulau Jawa menjadi perhatian khusus. Keprihatinan atas ketertindasan yang terjadi di dalam tubuh masyarakat buruh menjadikan Semaun berupaya melakukan advokasi serta menggerakkan pemogokan buruh.

Pemogokan terbesar dan cukup berhasil dilaksanakan pada awal tahun 1918.

Peristiwa tersebut dihadiri oleh 300 pekerja industri furnitur. Pada tahun 1920, pemogokan besar-besaran di kalangan buruh kembali terjadi, kali ini oleh para buruh industri cetak yang melibatkan SI Semarang, yang berhasil memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.8

C. Semaun dan Pergerakan Buruh

Semaun, seorang pemuda yang sempat bekerja sebagai pegawai di perusahaan kereta Api Surabaya, sebuah perusahaan yang membawanya

7 Soewarsono. op. cit., hlm 7.

8 ibid., hlm 64. 45

bergabung dalam serikat pekerja. Bermula sebagai juru tulis (klerk), Semaun mulai mengikuti organisasi pekerja. Perhatiannya pada kaum pekerja awalnya tampak biasa-biasa saja, namun seiring dengan perjalanan waktu, di mana ia makin dewasa dan semakin kritis terhadap persoalan-persoalan kaum pekerja,

Semaun terus bergerak aktif menyuarakan kondisi ketertindasan buruh. Semaun dari usia 14 tahun hingga 27 tahun, secara konsisten mengabdikan dirinya guna memperjuangkan nasib kaum buruh.9

Berdasarkan catatan Mas dalam tulisan “ Korban

Pergerakan Rakyat” pada surat kabar Hidoep tahun 1924 diketahui bahwa, penampilan Semaun dalam berbicara politik adalah pada tahun 1915 di

Vergadering dari perhimpunan VSTP Logegebouw Semarang.10

Nama besar Semaun dimulai sejak masih muda. Pada 6 Mei 1917 ketika masih berusia 19 tahun, ia telah terpilih menjadi Presiden Sarekat Islam

Semarang. Salah satu hal yang membuat Semaun terpilih sebagai ketua SI

Semarang bermula dari permohonannya, sebagai propagandis, agar pengurus SI

Semarang mengadakan debat terbuka mengenai posisi SI Semarang terhadap penahanan Mas Marco karena tulisan “sama rata sama rasa”. Dalam acara debat yang dilangsungkan pada 14 Maret 1917, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Mohammad Joesoef selaku ketua SI Semarang di hadapan para anggota

SI. Akhir dari perdebatan bukan hanya menghasilkan sebuah sikap bahwa SI

Semarang akan mendukung Mas Marco melalui Commite voor de

9 27 tahun terhitung dengan peristiwa prambanan 1926.

10 Soewarsono. Ibid., hlm 43.

46

Drukpersvrijheid, namun juga menjadi faktor penting yang menghantarkan

Semaun sebagai ketua SI Semarang.11

Di bawah pimpinan Semaun banyak anggota SI yang berasal dari kaum buruh dan rakyat kecil. Pergantian kepengurusan SI ini merupakan bagian pertama dari pergerakan Sarekat Islam Semarang, dari pergerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Hal ini menjadi penting, karena awal dari perubahan tersebutlah yang akan membawa Indonesia menuju arah gerakan

Marxisme untuk pertama kalinya.12

Meningkatnya sifat revolusioner Sarekat Islam Semarang tidak saja dipengaruhi oleh pergantian kepengurusan saja, namun juga oleh kondisi sosial kemasyarakatan yang ada di Hindia Belanda kala itu. Sejak masuknya modal swasta asing ke tanah Hindia Belanda, maka mulai bermunculan perusahaan, pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik asing yang menyewa tanah pribumi dan menjadikan masyarakat di sekelilingnya menjadi buruh. Namun, hadirnya usaha-usaha swasta Barat tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi masyarakat yang bekerja sebagai buruh. Terjadinya transformasi lahan pertanian pangan menjadi lahan bahan baku industri telah menciptakan kelangkaan sumber pangan bagi pribumi. Kondisi memprihatinkan ini merupakan akibat dari sistem kebijakan yang menerapkan free fight competition to exploit Indonesian yang juga merupakan bagian dari liberalisme ekonomi. Kebijakan tersebut telah menjadikan

11 Ibid., hlm 45-46. Data diperloeh dari Soewarsono yang mempergunakan sumber dari majalah Hidoep dengan judul Marco, ”Korban Pergerakan”, halaman 17-21 tahun 1917.

12 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, Bentang, Yogyakarta 2005. hlm 10. 47

Indonesia sebagai sumber bahan baku utama yang berharga dan menghasilkan keuntungan besar. Sementara para buruh pribumi terus dipaksa bekerja demi tuntutan produksi dan keuntungan bagi majikan-majikan Belanda. Kondisi buruk ini mendorong Semaun dan organisasinya bertindak kritis, dan melalui berbagai cara berusaha mensikapi ketertindasan masyarakat pribumi dan kebijakan tidak adil pemerintah kolonial. Sikap ini ditunjukkan melalui aksi-aksi massa maupun melalui tulisan-tulisan di media massa.13

Sejak 19 November 1917 Semaun mengambil alih kepemimpinan SI

Semarang dan pengelolaan redaksional Sinar Djawa yang dijadikannya sebagai media propaganda. Pada 1 Mei 1918, nama Sinar Djawa diubah menjadi Sinar

Hindia. Pengambil-alihan pengelolaan redaksional media massa dilakukan untuk memperluas gagasan, mengkritisi situasi dan mengajak bertindak melalui organisasi SI Semarang. Hal ini bisa dikatakan berhasil. Perluasan dan penambahan jumlah anggota SI Semarang melonjak drastis. Bila pada tahun 1916 jumlah anggota baru 1.700 orang, maka pada 1917 berlipat ganda menjadi 20.000 orang.14

D. Semaun dan Sikap Politiknya

Sikap politik Semaun yang “keras” dan kepeduliannya yang tinggi terhadap kondisi ketertindasan masyarakat, membuatnya geram dengan perwakilan penduduk pribumi di Volksraad. Hal ini semakin menguat ketika perwakilan pribumi dalam tubuh Volksraad yang disebut Indie Weerbaar

13 Soewarsono. op. cit., hlm 46.

14Ibid . 48

hanyalah seperti “wayang” yang dikendalikan oleh Belanda. Ungkapan yang menyatakan bahwa Indie Weerbaar seperti “wayang”, berkaitan dengan sikap perwakilan pribumi dalam Indie Weerbaar tidak mampu memberikan perlawanan dan memperjuangkan nasib masyarakat Hindia Belanda dalam Volksraad.15

Peranan Semaun juga tampak dalam pertemuan Central Sarekat Islam.

Dalam setiap kongres CSI, Semaun mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam kongres ke II CSI di Jakarta pada 20-27 Oktober 1917, ia menyampaikan gagasan-gagasannya tentang Marxisme. Dalam forum tersebut Semaun bersama dengan SI Semarang merekomendasikan perjuangan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar.16

Perjumpaan Semaun dengan para tokoh SI lainnya pun tidak selamanya baik. Salah satu perdebatan besar pernah terjadi pada Kongres Nasional Central

Sarekat Islam ke-2 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Semaun dengan pandangan

Marxisnya berdebat dengan Abdul Moeis yang merupakan utusan Indie Weerbaar tentang masa depan SI. Pada akhir kongres disepakati bahwa Sidang Kongres CSI ke-2 mengambil jalan tengah yaitu menentang kapitalisme jahat. Dalam hal ini berarti ada kapitalisme baik. Namun demikian dalam aturan anggaran dasar yang disusun kongres, jelas tampak adanya pengaruh sosialisme yang merupakan desakan dari kelompok Semaun. Hasil dari kongres CSI ke-2 berupa upaya perlawanan terhadap kolonialisme Belanda melalui hubungan antara agama,

15 Soe Hok Gie, op. cit., hlm 32.

16 Ibid., hlm 38. 49

kekuasaan, dan kapitalisme.17 Dalam hal ini pemikiran Semaun tetang Marxisme telah cukup matang . Hal ini terbukti dalam banyak perjumpaan ia mampu mempertahankan ideologinya.

Pada kongres CSI ke-3 disepakati keputusan mengenai sikap menentang kapitalisme dengan cara mengorganisasikan kaum buruh, yang disambut baik oleh

SI Semarang. Sikap ini muncul karena SI dari daerah-daerah telah membentuk kesatuan gerakan buruh masing-masing. Kondisi ini juga memicu pertumbuhan akar perjuangan gagasan sosialis revolusioner hingga tahun 1926.18 Dalam kongres, Semaun mengusulkan didirikannya organisasi pusat serikat buruh

(vakcentral), tujuannya adalah mempersatukan gerakan buruh di lingkungan serikat pekerja dinas pemerintah dan serikat pekerja Eropa.19

Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di

Surabaya, terjadi perdebatan antara Semaun dengan Suryopranoto. Dalam perdebatan, Semaun menyatakan perlunya memberikan nama dengan tertulis

“Revolutionnair”, sebagai lambang keseriusan gerakan buruh yang bersatu untuk mewujudkan perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah kolonial

Belanda. Namun hal tersebut ditolak oleh Suryopranoto, yang menurutnya gagasan Semaun akan memicu reaksi keras Belanda dan membahayakan organisasi. Suryopranoto menyarankan untuk mengubah nama menjadi lebih umum namun dalam kerjanya tetap harus berpihak secara utuh terhadap buruh.

17 Ibid., hlm 37.

18Ibid., hlm 49.

19 Soewarsono. op. cit., hlm 71. 50

Pembentukan Vakcentral yang diusulkan oleh Semaun baru dapat direalisasikan pada pertemuan di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Setelah diadakan banyak pertimbangan yang dianalisa tidak hanya dari sudut pandang pergerakan namun juga dampak politis yang dapat mempengaruhi organisasi, maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem

Boereoeh).20

Pada kongres CSI ke-4 bulan Maret 1921 di Jogjakarta, pembicaraan terfokus pada permasalahan internal. Salah satu pembicaraan yang cukup penting adalah mengenai pertikaian antara Semaun dan Suryopranoto dalam tubuh gerakan buruh.21 Konflik ini terjadi karena haluan Semaun yang menganggap diri seorang revolusioner berani secara politis menentang kebijakan kolonial, sedangkan Suryopranoto lebih terfokus pada pengembangan internal gerakan buruh dalam rangka membangun kesadaran bersama. Namun, hingga acara selesai, upaya untuk mempersatukan keduanya gagal. Akhirnya dalam pertemuan informal PPKB terpecah menjadi Revolutionaire Vakcentraale (RV) dan PPKB.

Mensikapi perpecahan di atas CSI dalam kongres ke-4, pada bulan

Oktober 1921 di Jogjakarta, setelah melalui perdebatan sengit, melahirkan rekomendasi penting, yakni perlunya disiplin partai (partij disiplince) dalam kepengurusan CSI. Keputusan itu berbunyi, pengurus CSI tidak dapat merangkap menjadi anggota organisasi lain.22

20 Ibid., hlm 74.

21 Ibid., hlm 84.

22 Ibid., hlm 87. 51

E. Semaun dan PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem Buruh)

Pada kongres CSI ke-3 yang berlangsung pada bulan Oktober 1918 di

Surabaya, terjadi sebuah perdebatan antara Semaun dan Suryopranoto. Mereka berdua memperdebatkan mengenai perlunya sebuah kesatuan organisasi buruh.

Dalam perumsannya di Jogjakarta pada 25-26 Desember 1919. Terjadi perdebatan mengenai gagasan dan nama organisasi buruh yang akan di bangun tersebut.

Seamun mengusulkan untuk menggunakan nama Vakcentral. Namun hal ini sisanggah oleh Suryopranoto karena dirasa politis dan memiliki potensi konflik.

Maka pada akhirnya disepakatilah nama PPKB (Persatoean Pergerakan Kaoem

Boereoeh) yang dirasa cukup mengakomodasi kepentingan buruh dan tidak politis.

Aksi massa PPKB yang cukup besar terjadi pada tanggal 23 Februari

1920. Dalam aksi ini PPKB berhasil mengajak sekitar 819 pekerja percetakan.

Aksi mereka dapat dikatakan berhasil karena dampak dari kejadian tersebut adalah perusahaan percetakan satu demi satu mengabulkan kenaikan gaji buruh sebesar 10%.23

Pada Agustus 1920 dalam kongres I PPKB di Semarang, Semaun terpilih menjadi ketua dan Suryoranoto sebagai wakil ketua. Keduanya dianggap mampu melaksanakan mandat karena pengalaman dan keahliannya dalam gerakan buruh.

Semaun memang menjadi rekomendasi kuat mengingat ia memiliki pendukung

23 Ibid., hlm 68. 52

besar dari SI Semarang maupun gerakan-gerakan buruh yang pernah dipimpinnya melalui pemogokan-pemogokan massa.24

John Ingelson dalam buku In Search of Justice: Workers and Unions in

Colonial Java berpandangan bahwa metodologi pergerakan Semaun dalam PPKB adalah melakukan pengorgansasian pekerja dengan isu penaikan gaji atas peranan buruh yang besar bagi perusahaan. Isu permintaan kenaikan gaji buruh terhadap sejumlah perusahaan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak kaum pekerja.

Tujuan bersama yang diumumkan PPKB oleh Semaun adalah ”Economic

Struggle” (perjuangan Ekonomi).25

Ada dua strategi bagi keberhasilan advokasi Semaun dalam PPKB.

Pertama, kepandaiannya melakukan propaganda dan pengorganisasian buruh.

Kedua, posisi tawar kaum buruh terhadap pengusaha dan pemerintah kolonial, yang pada saat itu dipegang oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.26

F. Semaun dan PKI

Sejak revolusi Rusia 1917, ISDV telah menjadi badan berpaham komunis di Hindia Belanda dan konsisten menyebarkan paham tersebut guna membangun masyarakat sosialis. Menguatnya gerakan buruh yang banyak terjadi akibat propaganda ISDV, membuat orang-orang Belanda yang menjadi pimpinan organisasi ini dipulangkan, termasuk Sneevliet. Dengan hilangnya para pemimpin

24 Ibid., hlm 75.

25 Ibid.

26 Ibid., hlm 69. 53

berkebangsaan Belanda, maka naiklah para pengurus dari kaum pribumi pada jabatan-jabatan penting organisasi tersebut, sehingga mempercepat ISDV mendapatkan basis massanya.27

Setelah kepergian Sneevliet, partai diambil alih oleh Semaun dan .

Pada bulan Mei 1920 berubah nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Partai ini merupakan organisasi politik pertama yang secara legal didirikan oleh orang Indonesia.28

Kerjasama PKI melalui Semaun dengan SI yang diwakili oleh Semaun sendiri serta Suryopranoto dalam PPKB mengalami perpecahan. Munculnya dualisme ideologi menciptakan organisasi tersebut terpecah. Semaun kemudian mempergunakan 22 serikat pekerja dan 72.000 orang yang berpihak padanya membentuk Revolutionaire Vakcentraale.

Setelah kongres CSI ke-4 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1920, dengan keputusan bahwa dalam tubuh SI diberlakukan disiplin partai, yakni keanggotaan tunggal (kecuali anggota Muhammadiyah), maka anggota-anggota PKI dikeluarkan dari SI. Perpecahan ini juga berdampak pada cabang-cabang SI yang berpandangan sama dengan Semaun. Perpecahan pada tubuh SI ini kemudian dikenal dengan pemilahan ”SI Merah” dan ”SI Putih”.

27 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern.Gadjah Mada University Press. Jogjakarta. 2005. hlm 264.

28Ibid., hlm 265. 54

Semenjak keluar dari SI, PKI memulai membangun basis massanya sendiri. Meskipun berpandangan sosialis, mereka merasa berbeda dengan pergerakan dari Komunis Internasional (Komintern). Menurut Semaun, gagasan yang ada di Rusia tidak sepenuhnya tepat untuk dilaksanakan di Hindia Belanda, sehingga perlu adanya sebuah modifikasi pola pergerakan PKI di Indonesia. PKI berbeda dengan doktrin Marx dan Lenin. PKI bersifat Indonesia, sehingga perlu dibuat sebuah strategi yang cukup inovatif guna membangun basis massa yang sesuai dengan tujuan PKI.29

PKI dalam gerakannya lebih banyak berbicara dan mempermasalahkan hal-hal yang secara umum dipahami oleh masyarakat pribumi. Masyarakat tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali Majapahit yang diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat sebelum datangnya bangsa

Belanda, yang juga berarti sebelum Islam. Dalam propagandanya disebutkan bahwa pahlawan-pahlawan PKI adalah Dipanegara, Kyai Maja, dan Sentot dari

Perang Jawa.30

Pada musim gugur 1921 Semaun berangkat ke Rusia, posisi ketua PKI digantikan oleh . Pada Mei 1922 Semaun kembali ke Indonesia guna memperbaiki kinerja PKI dalam bertindak, namun dalam aksi mogok buruh kereta api pada 1923, ia kembali diasingkan ke Belanda. Pada 20 September 1923

Semaun tiba di Amsterdam. Kedatangan Semaun merupakan sebuah kesempatan bagi Communistche Partij Nederland (CPH) untuk membangun sebuah komite bersama untuk Hindia Belanda. Bergsma yang merupakan seorang anggota PKI

29 Ibid., hlm 265. 30Ibid. 55

yang berada di Belanda bersama Sneevliet mengusulkan dibentuknya sebuah komite yang dari Partai Komunis Belanda akan memberikan masukan atas kinerja

PKI. Namun, Semaun menolak usulan-usulan tersebut. Baginya CPH harus membatasi diri dalam memberikan bantuan bagi PKI.31

Di Belanda, Semaun bersama Bergsma dan Sneevliet membuat majalah

”Pandoe Merah”. Majalah ini terbit dalam dua bahasa, Melayu dan Belanda.

Namun, setelah majalah jilid pertama masuk ke Indonesia, terjadi kesulitan karena dilarang oleh pemerintah kolonial. Semaun kemudian memanfaatkan para pelaut

Indonesia di Belanda guna menjadi kurir, dan kedekatan ini menghasilkan sebuah organisasi baru bernama Sarekat Pegawai Laoet Indonesia (SPLI) tahun 1924.

Melalui SPLI inilah artikel dan pesan Semaun dihantarkan dari Belanda ke

Indonesia.32

Di Belanda, pada tahun 1923, Bergsma dan Sneevliet mengusulkan kepada

Semaun untuk kembali bersatu dengan Partai Sarekat Islam untuk memperkuat gerakan pribumi. Namun, sikap Semaun lebih suka mendekati kaum nasionalis radikal di Belanda yang diwakili oleh Perhimpunan Hindia (PH). Pada tahun ini juga, Moskow mengangkat Semaun sebagai Komite Eksekutif Komintern.33

Selain kepada SPLI, Semaun juga memberikan perhatiannya kepada para mahasiswa pribumi di Belanda yang radikal. Pada tahun 1924 Semaun tercatat

31 Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda tahun 1600-1950. KITLV. Jakarta. 2008. Hlm 184-185. 32 Ibid., hlm 186.

33 Ibid.

56

sebagai anggota PH. Dalam PH, Semaun menyebarkan gagasan Marxist, yang digabungkan dengan gagasan anti imperialisme. Aksi Semaun ini didukung oleh

Komintern. Dalam perjuangannya di Belanda, Semaun banyak di bantu oleh CPH, karena hanya CPH yang peduli dan mendukung Indonesia merdeka.34

G. Runtuhnya Pergerakan Politik

Pada tahun 1921, Semaun meninggalkan Indonesia menuju Rusia, sedangkan tokoh SI yang juga sempat berpihak pada gagasan sosialisme yakni

Tjokroaminoto ditangkap pemerintah kolonial. Penangkapan Tjokroaminoto berdasarkan tuduhan kolonial akibat sumpah palsu atas peristiwa penembakan yang terjadi di Garut (Jawa Barat) yang melibatkan anggota SI pada bulan Juni

1919.35 Pada 1921 setelah kepergian Semaun ke Rusia dan Tjokroaminoto ke penjara, maka kursi pimpinan PKI kosong dan program kerja organisasi komunis menjadi tidak terkontrol dengan baik. Namun dalam kondisi tersebut hadir Tan

Malaka menggantikan posisi Semaun sebagai ketua PKI. Ia mencoba mendamaikan PKI dengan SI, yang menurutnya perpecahan selama ini hanya menguntungkan pihak Belanda dan bukan bagi kaum pribumi. Namun upaya mendamaikan PKI dengan SI gagal.36

34 Ibid., hlm 187. 35M.C. Ricklefs. op. cit., hlm 266.

36 Ibid.

57

Pada tahun 1922, terjadi pemogokan besar-besaran pertama di dalam serikat buruh pegadaian yang dipimpin oleh Abdul Muis37 dari CSI. PKI merasa wajib memberikan dukungan. Aksi mogok ini kemudian ”dipatahkan” oleh pemerintah kolonial dengan cara memecat para pegawai yang terlibat aksi mogok dan serta Tan Malaka diasingkan keluar Hindia Belanda.

Pada bulan Mei 1922, Semaun kembali ke Hindia Belanda, kemudian ia segera membangkitkan kembali serikat pekerja dalam tubuh PKI. Semaun juga mulai membangun pengaruh PKI dalam cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI.38

Perpecahan kembali terjadi setelah Tjokroaminoto bebas pada bulan Mei 1922.

Tjokroaminoto dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 mendirikan Partai

Sarekat Islam. Dalam gagasan Tjokroaminoto, partai ini akan berdiri di setiap cabang ”SI Merah”, ungkapan ini melambangkan sikap ketidaksukaannya pada

PKI. Pada tahun yang sama, cabang-cabang ”Si Merah” berganti nama menjadi

Sarekat Rakyat.

Pada 1923, Semaun kembali dibuang ke Belanda setelah ia mengkoordinasikan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh serikat buruh kereta api dan trem (VSTP). Dengan perginya Semaun, Darsono mengambil alih jabatan sebagai ketua PKI.

Di sisi lain, CSI yang berada di bawah pimpinan menarik seluruh anggotanya yang berada dalam Volksraad. Kebijakan organisasi CSI kini menjadi nonkooperatif. Aksi-aksi CSI kini makin menjauh dari dinamika politik.

37 Dalam beberapa buku nama Abdul Muis di tulis dengan ejaan lama yakni Abdul Moeis.

38M.C. Ricklefs., op. cit., hlm 266. 58

Melihat kesempatan tersebut, PKI segera mengambil tindakan, untuk menjaga semangat rakyat agar tidak padam setelah sejak 1917-1923 terus terjadi peningkatan kesadaran atas penindasan serta kesadaran akan perlawanan terhadap kolonial melalui aksi massa.

Persaingan antara SI dengan PKI berlangsung untuk merebut simpati rakyat. Sosrokardono (yang terlibat aksi penembakan di Jawa Barat pada 1923) keluar dari tahanan, dan ia memutuskan hubungan antara SI dengan PKI pada

1924. Dua rekan Sosrokardono yang sempat ditahan atas kasus serupa, setelah keluar dari tahanan memilih ikut dalam PKI, mereka adalah Prawirodirdjo dan . Setelah lama tidak bergerak, Suryopranoto juga condong pada pihak komunis, meskipun ia berpandangan bahwa gerakan buruh tetaplah penting guna membangun kesadaran dari ketertindasan.39

Pada bulan Desember 1924 direncanakan sebuah pemberontakan terhadap kolonial Belanda oleh PKI. Upaya ini diketahui oleh Komintern, Semaun, dan Tan

Malaka, yang semuanya tidak setuju dengan aksi itu. Menurut Semaun dan Tan

Malaka langkah tersebut hanya akan membawa malapetaka. Upaya-upaya pemberotakan didengar oleh polisi rahasia Belanda yang kemudian menangkap oknum-oknum yang terlibat dalam persiapan pemberontakan. Dalam peristiwa tersebut Darsono ditangkap. Ia diperbolehkan pergi ke Rusia dengan biaya sendiri oleh pemerintah kolonial Belanda.40

39 Ibid,. hlm 269-271. 40 Ibid., hlm 271.

59

Pada 1 September 1925, terjadi sebuah aksi pemogokan perusahaan percetakan di Surabaya. Pemogokan ini segera meluas, dan pada 5 Oktober 1925 aksi serupa juga dilakukan oleh operator mesin. Pada 21 Desember para buruh galangan kapal juga melakukan mogok kerja. Hal ini tejadi gara-gara permintaan perbaikan nasib pekerja tidak diperhatikan. Melihat kondisi ini, gubernur jenderal berbeda pandangan dengan Bupati Surabaya yang berniat mendiskusikan perbaikan nasib buruh tersebut. Gubernur jenderal mengerahkan polisi, polisi memerintahkan para pekerja kembali bertugas dan menangkap pimpinan buruh yang mogok dan anggota PKI yang diduga menjadi penyulut permasalahan.41

Berangkat dari sikap represif pada Desember 1925, maka seluruh organisasi serikat buruh, VSTP dan PKI mengadakan rapat rahasia di Prambanan pada 25 Desember 1925. Dalam rencananya, akan dilangsungkan upaya pergerakan bersenjata seperti di Cina, dengan cara mempersenjatai petani dan perlawanan bersenjata secara serempak di daerah-daerah cabang PKI.42

Setelah Darsono diasingkan, PKI bertambah pesat di Jawa dan Sumatra.

Perkembangannya kurang terkontrol dengan baik. Bulan Desember 1925 para pemimpin yang tersisa merencanakan sebuah pemberontakan. Pemeritah kolonial yang mengetahui rencana ini melakukan upaya penangkapan pada Januari 1926, namun para pemimpin PKI berhasil melarikan diri. Satu-satunya pimpinan PKI yang masih berpengaruh adalah Musso, namun ia menyelamatkan diri ke

Singapura. Dipenjarakannya tokoh-tokoh penting, menyebabkan terjadinya pertikaian internal organisasi di antara para anggota PKI. Kondisi ini

41 Ruth McVey. op. cit., hlm 533. 42Ibid., hlm 543-535. 60

mempermudah polisi kolonial masuk dan mendapatkan informasi tentang pemberontakan pada November 1926. Sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI berhasil ditangkap.

Sebelum aksi pemberontakan menjadi semakin meluas, Tan Malaka yang berada di Filipina untuk menghindari kejaran polisi kolonial, memberikan tesis bahwa perlu dilakukan pembacaan situasi dengan teliti dalam melakukan sebuah aksi pemberontakan. Pesan ini ia sampaikan kepada Alimin di Singapura. Namun, pesan yang pada awalnya akan disampaikan kepada Alimin, ditolak dengan alasan

Alimin akan berangkat ke Moskow. Saat Tan Malaka ke Singapura, ia tidak menjumpai Alimin dan Musso, karena mereka telah pergi ke Kanton, Cina dan

Moskow, Rusia. Di Singapura Tan Malaka baru mengetahui bahwa surat pertamanya tidak disampaikan Alimin, karena Alimin telah disingkirkan oleh faksi Prambanan. Untuk menghindari hal terburuk, Tan Malaka bertemu dengan

Subakat (anggota PKI yang tidak pernah sepakat dengan faksi Prambanan) dan mereka menyurati pemimpin eksekutif partai di Jawa guna menginformasikan tesis Tan Malaka dan diadakannya konsultasi atas upaya pemberontakan. Para pemimpin eksekutif mengirimkan Suprodjo untuk berbicara dengan Tan Malaka.

Kemudian Tan Malaka, Subakat, dan Suprodjo menyusun dan menandatangani tesis baru. Bulan Juni 1926, Suprodjo dengan membawa tesis itu menginformasikan agar ditunda pemberontakan, dan hal ini disampaikan pada faksi Prambanan. Namun, tesis tersebut ditolak.43

43Ibid., hlm 548-549.

61

Aksi pemberontakan PKI tidak hanya direncanakan di satu tempat, tetapi di banyak tempat. Pemberontakan PKI meletus di , Jakarta, dan Priangan pada malam hari 12 November 1926. Di Jakarta, pemberontakan dapat dihentikan oleh pemerintah kolonial esok harinya, sedangkan di Banten dan Priangan pada bulan Desember 1926. Pemberontakan juga terjadi di Sumatra pada 1 Januari

1927. Pertempuran di Sumatra lebih berat dari di Jawa, dan peristiwa ini baru dipadamkan pada 4 Januari 1927 dengan korban tewas seorang Eropa. Pada peristiwa pemberontakan tersebut total 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak. Kira-kira 4.500 orang dimasukan dalam penjara, dan 1.308 di kirim ke

Boven Digul, Irian, yang khusus dibuat pada 1927 untuk mengurung mereka.44

Hingga akhir Perang Dunia II rakyat pribumi yang bergerak langsung seperti pada masa SI dan PKI, tidak pernah lagi memainkan peran aktif dalam pergerakan politik. Pihak Belanda pun tidak pernah lagi bersifat toleran terhadap gerakan-gerakan yang menentang kolonialisme.45

44M.C. Ricklefs. Op. cit., hlm 271. 45 Ibid. BAB IV

SURYOPRANOTO, DALAM PERJUANGAN PERGERAKAN BURUH

Selain Semaun, dalam pergerakan buruh di Indonesia juga hadir sosok

Suryopranoto. Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto masih merupakan keluarga bangsawan. Keluarganya berlatar belakang bangsawan Pakualaman. Dalam pergerakan di Indonesia, Suryopranoto cukup banyak berpengaruh dalam pergerakan buruh.

A. Latar Belakang Suryopranoto

Tidak banyak orang mengenal Suryopranoto dalam kajian sejarah bangsa

Indonesia. Suryopranoto adalah seorang muslim dan nasionalis yang memiliki visi kerakyatan. Ia lahir pada tahun 1871 dengan nama kecil Iskandar. Masa kecilnya berada di dalam istana Pakulaman. Ia adalah putra sulung K.P.A. Suryaningrat yang gagal menjadi Paku Alam IV karena penyakit mata. Jiwa nasionalis

Suryopranoto terbentuk oleh lingkungan keluarganya yang anti kolonialisme

Belanda. Perjumpaan dan perselisihannya dengan anak Belanda sejak kecil menciptakan dirinya menjadi tidak berpihak pada Belanda.1

Perjalanan hidup Suryopranoto menentukan arah perkembangan pemikirannya tentang pergerakan nasional. Ia pernah bekerja di kantor controleur di Tuban. Di kota ini ia bersahabat dengan Tjokoroaminoto. Setelah pulang ke

Yogyakarta ia menjabat sebagai wedana sentana di istana Pakualaman. Ia

1 Budiawan, Anak Bangsawan bertukar Jalan.LKIS. Yogyakata. 2006. Hlm 26.

60

61

memimpin gerakan ekonomi Mardi Kaskaya. Suryopranoto pun pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal untuk belajar di Middelbare landbow School di Bogor, dan di kota ini ia bersahabat dengan van Kol, van Deventer, dan Douwes Dekker.

Bersama dengan pelajar STOVIA Suryopranoto mendirikan Pirukunan Jawi.

Selanjutnya Suryopranoto menjabat sebagai kepala dinas pertanian di Wonosobo, dan di tempat inilah ia melihat secara langsung bagaimana buruh pribumi diperlakukan. Keprihatinannya mendorong sebuah inisiatif untuk membentuk gerakan buruh dan tani melawan ekonomi kapitalis kolonial dengan mendirikan

Adidarmo.2

B. Awal Karir Pergerakan

Awal karir pergerakan Suryopranoto bermula ketika ia bekerja di

Controleurs Kantoor Tuban. Ia sesungguhnya terpaksa masuk menjadi ambtenar, yang menurutnya sikap dari ambtenar sangat kooperatif dan hal ini bertentangan dengannya. Posisi yang ia dapatkan berasal dari rekomendasi asisten residen.

Sikapnya yang kritis membuat pejabat kolonial memindahkannya dengan pengalihan lokasi kerja ke Tuban. Di sini Suryopranoto berjumpa dengan Oemar

Said Tjokroaminoto.3

Pada 4 Agustus 1915 Suryopranoto bersama dengan Joyodiwiryo,

Sastrowiyono, dan Muso menerbitkan majalah Medan Budiman. Empat pemuda

2 Bambang Sulistiyo. 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT Tiara Wacana Yogyakarta, hlm 45-46.

3Ibid.,hlm 48. 62

yang merupakan keturunan bangsawan ini menyebut kelompok mereka sebagai

Tentara Buruh Adidarma, yang berkedudukan di Jogjakarta.

Perjumpaannya dengan Tjokroaminoto memunculkan banyak pemikiran baru bagi Suryopranoto. Informasi dari Tjokroaminoto mengenai perlakuan diskriminatif terhadap pedagang kecil bumiputera cukup menjadi sorotan. Dalam pekerjaannya ia sering menjumpai pegawai bumiputera dimarahi oleh kaum kolonial dengan sebutan pemalas dan inlander. Pengalaman kerjanya hanya berlangsung selama enam bulan namun cukup membuka pandangannya tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada kaum bumiputera.4

Suryopranoto tidak lama bekerja menjadi Ambtenar. Pada awal 1915 saat dirinya telah berorganisasi dalam SI, ada sebuah pristiwa di mana dalam lingkungan kerjanya seorang pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial dipecat karena ketahuan sebagai anggota SI. Melihat peristiwa itu Suryopranoto langsung marah kepada pejabat Belanda yang juga atasannya, ia kemudian merobek-robek ijasah MLS nya dan menyatakan berhenti sebagai kepala Dinas

Pertanian dan Kepala Sekolah Pertanian. Tidak sampai disitu saja, Suryopranoto juga bersumpah untuk tidak akan bekerja lagi pada pemerintah kolonial Hindia

Belanda untuk selama-lamanya.5

4 Ibid., hlm 52.

5 Ibid., hlm 81-82. 63

1. Suryopranoto dalam Mardi Kaskaya, Societeit Sutohardjo, dan Boedi

Oetoma

Setelah kembali dari Tuban, Suryopranoto diangkat menjadi Wedono

Sentono di Praja Pakulaman.6 Di sini Suryopranoto memiliki harapan untuk membentuk organisasi bernama Mardi Kaskaya. Impiannya terwujud dan Mardi

Kaskaya berdiri tahun pada 1900. Organisasi ini menyerupai koperasi simpan pinjam. Tujuan dasarnya adalah membantu anggotanya yang terdiri dari para abdi dalem istana Pakualaman terlepas dari rentenir. Dalam berorganisasi, ia memiliki metode pembuatan strategi perjuangan dan sistematika dasar.7

Selain Mardi Kaskaya, organisasi yang dibentuk oleh Suryopranoto adalah

Societeit Sutohardjo. Melalui organisasi ini ia memfasilitasi media bacaan, baik berupa koran, buku, surat kabar, dan majalah. Tujuan dari didirikannya klub tersebut adalah untuk mendidik pekerja di Pakulaman mengenai wacana baru baik tentang Eropa maupun hal lainnya.8

Suryopranoto juga sempat bergabung dalam organisasi BO. Ia merasakan pentingnya kesatuan dan sebuah pergerakan organisasi modern, maka dari itu BO ia pilih. Dalam kongresnya yang I di Jogjakarta tanggal 3-5 Oktober 1908

Suryopranoto terpilih menjadi Secretaris Hoofdbestuur. Meskipun ia sudah

6 Ibid., hlm 51. Jabatan ini memiliki pangkat Panji.jabatan Wedono Sentono sama dengan kepala bagian administrasi istana.

7 Ibid., hlm 53.

8 Ibid., hlm 54.

64

menjabat namun ia tidak merasa sejalan dengan BO. Gerakan BO yang cenderung berhati-hati dan lambat ia kritik.9

2. Suryopranoto dan Sarekat Islam

Berbeda dengan BO yang pola perjuangannya berbasiskan pendidikan guna mengangkat martabat hidup, SI menyatakan hal tersebut sebagai penentuan nasib sendiri dalam politik. Sikapnya yang anti kapitalisme dan dalam pandangan

SI, kaum priyayi tinggi atau bangsawan digambarkan sosok yang malas dan suka bersenang-senang. Menguatnya peran Suryopranoto dalam tubuh SI juga disebabkan faktor dukungan dari organisasi Adidarmo.

Gagasan SI membuat Suryopranoto tertarik, karena memiliki keberpihakan pada kaum pribumi. Meskipun pada saat yang bersamaan Suryopranoto masih menjadi Hoofdbestuur dalam BO. Dalam kongres CSI ke I di Jogjakarta pada

1914 Suryopranoto terpilih menjadi anggota komisaris. Setelah peristiwa tahun

1915 di mana ia berhenti bekerja dari pemerintah kolonial ia kemudian mencurahkan hidupnya guna pergerakan buruh.

Pada tahun 1918 Adidarmo melancarkan tuduhan bahwa ketua SI cabang

Jogjakarta (saat itu dipegang oleh Tjokroaminoto) tidak mewakili rakyatnya.

Ketua SI dipandang tidak mengerti keadaan dan penderitaan rakyat karena bukan putera asli daerah. Kritik tersebut baru berakhir ketika Suryopranoto mengambil alih pimpinan SI cabang Jogjakarta. Dengan demikian perkembangan baru yang muncul dalam tubuh SI adalah hadirnya Adidarmo sebagai salah satu organisasi yang juga mendukung pergerakan terhadap rakyat pribumi.

9 Ibid., hlm 67-75. 65

Keanggotaan Suryopranoto yang juga terlibat aktif dalam PFB serta

Adidarmo, membawanya dalam upaya pemersatuan gerakan buruh dalam tubuh

SI. Dalam kongres di pada bulan Mei tahun 1919, para pemimpin buruh dari ISDV dan SI yakni Sosrokardono, Alimin, Semaun dan Bergsma menyusun rencana membangun serikat pekerja dalam satu front. Mereka memimpikan federasi serikat buruh sosialis revolusioner yang akan menjadi majelis tinggi

”Volksraad yang sesungguhnya”. Sedangkan majelis rendahnya adalah organisasi politik Indonesia. Menurut Sosrokardono, bila hal ini dilaksanakan maka akan tercapai sendiri suatu pemerintah untuk rakyat Indonesia dan dapat mengubah masyarakat kapitalis menjadi sosialis. Dengan keputusan bulat maka mereka memutuskan membentuk panitia persiapan perwakilan serikat pekerja yang dipimpin oleh Suryopranoto guna mempersiapkan federasi dan menunjuk Semaun untuk menyusun penjelasan serta konstitusi.10

Pada 1919 gelombang pemogokan buruh semakin banyak terjadi. ISDV,

PFB maupun Adidarmo cukup banyak melakukan bantuan terhadap kaum pekerja pribumi di bawah satu kesatuan CSI.

Pada tahun 1919-1920, tendensi golongan sosialis dalam tubuh SI menguat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan sikap pemerintah kolonial terhadap organisasi SI. Kelompok sosialis mengacu pada SI Semarang, sedangkan

SI ”kanan” berada pada pihak SI Jogjakarta. SI yang berhaluan sosialis dikenal dengan sebutan SI Merah yang bersifat ”kiri”, dengan sosok pimpinan Semaun,

10 Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu. Jakarta. 2010. hlm 72-73.

66

dan SI Jogjakarta dengan sebutan SI Putih dengan sosok pimpinan

Suryopranoto.11

Pada tahun 1918-1920 bila Semaun berhasil membawa ISDV dan VSTP dalam kesatuan SI, begitu pula Suryopranoto dengan PFB dan Adidarmo berhasil berada dalam kesatuan SI, sehingga massa terbesar SI adalah kaum buruh.

Namun, Tjokroaminoto yang pada 1919 menyatakan bahwa pergerakan SI tidaklah politis menuai kritik dari Semaun dan Suryopranoto, mengingat posisi buruh selalu ditekan secara sistemik oleh pemerintah, sehingga diperlukan sikap tegas atas kondisi buruh.

Pada tahun 1920, hadirnya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dipelopori oleh kader SI yakni Semaun, turut memperkeruh keadaan. Sikap antipati terhadap sosialisme mulai hadir dalam tubuh SI. Meski demikian tetap tujuan bersama menuju kesejahteraan buruh tetap dilakukan. Hal ini ditempuh dengan dibentuknya Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang merupakan peleburan elemen buruh SI dan PKI. Namun, perbedaan ideologi dan tata gerak organisasi buruh menjadi awal pertengkaran para pemimpinnya (Semaun dan

Suryopranoto). Sikap patron dalam tubuh organisasi membuat Suryopranoto menekankan pada arah pendidikan buruh, sehingga usulan Semaun guna menciptakan buruh secara revolusioner yang dalam artiannya bersikap politis pada pemerintah, perlu ditunda, karena hal ini cenderung membahayakan organisasi.12

11 Ibid., hlm 146. 12 Ibid., hlm 152. 67

3. Suryopranoto dan Adidarmo (Adidharma)13

Terbentuknya Adidarmo merupakan awal bagi kebangkitan nasionalisme

Jawa. Kelahiran Adidarmo dimaksudkan sebagai sebuah kewajiban untuk melakukan pendampingan terhadap kaum bumiputera dengan cara memberi pengajaran serta upaya untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain. Tujuan utama dari Adidarmo adalah berbuat kebaikan berdasar pada ketentuan luhur serta membela penduduk bumiputera dari kesewenang-wenangan.

Sistem keanggotaan Adidarmo adalah sekelompok orang terpelajar, yang membangun koperasi serta sekolah-sekolah bagi anak-anak bumiputera.

Adidarmo di bawah pimpinan Suryopranoto menempatkan diri seolah seperti bangsawan Jawa. Sebagaimana bangsawan berkewajiban melindungi rakyatnya sesuai dengan hukum yang berlaku, Suryopranoto dengan bangga selalu menyebut dirinya sebagai tentara buruh Adidarmo. Hal ini disebabkan posisi buruh yang rendah, ia adalah strata terendah dari kaum kapitalis kolonial. Karena hal tersebutlah Adidarmo berkewajiban mengangkat derajat pribumi, terutama buruh pabrik gula yang merupakan golongan paling menderita akibat dari eksploitasi kapitalis kolonial.14

Adidarmo cukup berbeda dengan organisasi sejamannya. Adidarmo memiliki ”balatentara” yang terdiri dari para pemuda dengan kepandaian mencari

13 Adidarmo atau Adi Dharma dalam penulisannya terjadi perbedaan ejaan. Dalam buku Budiawan, Anak Bangsawan bertukar Jalan.LKIS. Yogyakata. 2006. Ditulis dengan ejaan Adi Dharma sedangkan Bambang Sulistiyo . 1995. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. PT Tiara Wacana Yogyakarta dengan ejaan Adi Darmo.

14 Bambang Sulistyo. op. cit.,hlm 46. 68

dan menyediakan sejumlah dana, baik dengan cara berdagang, berjualan, memproduksi kerajinan maupun menerbitkan surat kabar. Selain itu organisasi ini juga memiliki lembaga bantuan hukum. Pemasok anggaran dana terbesar adidarmo adalah lembaga bantuan hukum yang mereka namakan Rechkundig

Buereau. Lembaga sosial ini juga memberikan bantuan tanpa pungutan uang kepada seluruh warga pribumi yang tidak mampu.15

Adidarmo dalam melakukan kegiatannya cukup menarik minat masyarakat pribumi, salah satunya adalah dengan membentuk lembaga pendidikan. Kegiatan rutin dalam bidang pendidikan yang dilakukan oleh Adidharmo berupa kursus pemberantasan buta huruf, kursus kerajinan, serta ceramah dan diskusi untuk membangun kesadaran politik dan sosial. Perkembangan dari forum diskusi sosial dan politik cukup signifikan, dan hal ini terbukti dengan berkembangnya forum tersebut manjadi Jong Islamienten Bond (JIB).16

Dalam kepemimpinan Suryopranoto, nampak bahwa Adidharmo diajak menuju pada arah pembangunan kesadaran terhadap kondisi sosial yang terjadi.

Melalui biro bantuan hukum, Adidarmo juga membantu para buruh yang bermasalah.

Adidarmo juga kritis dalam mensikapi kondisi organisasi yang ada pada saat itu, terutama SI. Dalam pandangan Adidarmo tahun 1918, kinerja ketua SI

Jogjakarta dipandang terlalu kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini menyebabkan Adidarmo merasa perlu terjadinya sebuah perubahan sikap yang

15Ibid., hlm 47-48.

16 Budiawan. op. cit.,hlm 84. 69

tegas dalam tubuh organisasi-organisasi pribumi. Kritik atas SI Jogjakarta ini mereda ketika Suryopranoto mengambil alih pimpinan.17

Pada tahun 1918 Adidarmo menjadi bagian dari Sarekat Islam. Di bawah pimpinan Suryopranoto, Adidarmo maju pesat. Keanggotaan organisasi tersebut berasal dari beragam profesi seperti guru, advokat, pegawai pegadaian dan juga saudagar. Keberagaman profesi tersebut menunjang kebaradaan Adidarmo sebagai sebuah organisasi.

Pada Oktober 1918, dalam kongres CSI di Surabaya, Adidarmo hendak mengerahkan buruh pabrik gula untuk menentang kaum kapitalis. Namun niat ini ditertawakan oleh para pimpinan SI cabang Semarang. Semaun kemudian menyatakan bahwa, kemenangan atas kaum kapitalis dapat diperoleh bila kondisi sudah matang, yaitu ketika industrialisasi sudah meluas dan buruh telah sadar serta bersatu di dalam kelasnya. Sehingga usul dari pertemuan itu adalah, pergerakan buruh dimulai dari kota-kota yang merupakan pusat industri.18

Adidarmo dalam usaha meningkatkan derajat kaum pribumi turut pula membentuk sekolah sebagai wahana pendidikan. Ia mendirikan sekolah dengan beragam tingkatan dan jurusan agar dapat mengembangkan kemampuan seorang murid secara maksimal. Selain menjabat sebagai anggota komisaris CSI, ia juga menjadi pengurus SI cabang Yogyakarta. Sekolah Adidarmo ini pun seringkali disebut sebagai sekolah SI.

17 Bambang Sulistyo. op. cit., hlm 51.

18 Ibid., hlm 54. 70

Dalam perkembangnnya jumlah anggota Adidarmo makin meningkat. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian yang semakin memburuk.

Keterpurukan akan kondisi pangan terlihat jelas dengan perluasan areal perkebunan gula serta minimnya areal persawahan sehingga harga pangan melambung tinggi dan kelangkaan beras mulai terjadi.

Pada bulan oktober 1918, dalam kongres ke-4 CSI di Surabaya, Adidarmo hendak menggerakan buruh pabrik gula menentang kaum kapitalis Belanda yang menguasai gula. Namun aksi ini sempat ditanggapi oleh Semaun. Semaun menyatakaan bahwa kemenangan buruh atas kaum kapitalis hanya dapat terjadi bilamana industrialisasi sudah meluas dan kesadaran buruh akan posisi kelas muncul. Namun Suryopranoto menjelaskan bahwa kondisi buruh dan tani di

Yogyakarta sudah menyedihkan.19 Dalam perdebatan ini, tidak ditemukan kesepakatan akan bersikap seperti apa selama kaum buruh secara pribadi belum sadar secara sepenuhnya akan posisi mereka, sehingga para pimpinan organisasi buruh harap tidak terburu-buru dalam bersikap.

C. Suryopranoto dari Personeel Fabriek Bond hingga Persatuan Pergerakan

Kaum Buruh

Personeel Fabriek Bond (PFB) dibentuk pada tahun 1918 sebagai bagian dari Adidarmo oleh R.M. Suryopranoto di Yogyakarta. Jumlah anggota organisasi ini pada awalnya 700 orang. PFB terdiri dari para buruh pabrik gula Yogyakarta, buruh pabrik gula Wonosari, dan para buruh perkebunan tembakau di Klaten.

Pada kongres tahun 1919, jumlah anggota PFB meningkat menjadi 6.000 orang

19 Ibid. 71

dan jumlah calon anggotanya 2.000 orang. Peningkatan jumlah anggota PFB tidak hanya disebabkan karena kecakapan bicara Suryopranoto namun juga karena masyarakat melihat sosok Suryopranoto sebagai anggota keluarga bangsawan.

Suryopranoto dikenal tidak hanya sekedar sebagai seorang organisator buruh, namun juga sebagai penjaga tradisi masyarakatnya.20

Tujuan dari PFB adalah memperjuangkan kepentingan dari para pekerja perkebunan dan pabrik yang mengelola hasil perkebunan. Pada akhir tahun 1919 anggotanya bertambah di sebagian besar daerah penghasil gula. PFB menyalurkan konflik menjadi gerakan perundingan untuk memperbaiki sistem kerja dan gaji.

Beberapa kali PFB menggelar aksi pemogokan karena manajer pabrik menolak berunding bersama.

Karena melihat sikap dari para manajer pabrik yang tidak bersedia bersikap kooperatif, CSI dan PFB mempersiapkan pemogokan umum se-Jawa.

PFB berhasil menghimpun para buruh musiman di berbagai daerah sekitar perkebunan tebu dalam Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO); dan menghimpun petani pemilik tanah yang disewa oleh para pengusaha pabrik gula dalam Perserikatan Kaoem Tani (PKT). Kedua perserikatan tersebut berada langsung di bawah koordinasi Suryopranoto yang juga menjadi ketua umum pengurus pusat PFB.

Suryopranoto sebagai pemimpin organisasi PFB mampu memberikan peranan yang berarti bagi para buruh pabrik gula pada tahun 1919-1920. Pada

Maret 1920 serikat buruh memberikan memorandum kepada Sindikat Pabrik Gula

20 Ruth McVey. op. cit., hlm 72.

72

(Suikersyndikaat) tentang tututan kenaikan gaji serta pengakuan organisasi PFB sebagai perwakilan para buruh pabrik gula. Sikap PFB ini ditanggapi oleh para pemilik perusahaan dengan ancaman pemecatan. Pada kondisi ini, pemerintah mengambil tindakan dengan cara meyakinkan para pemilik pabrik agar tidak memberikan toleransi pada aksi pemogokan yang bersifat politis, namun memberikan ruang bagi PFB untuk melakukan negosiasi hal-hal yang berkaitan dengan perburuhan guna meredam gejolak sosial kaum pribumi yang berujung pada tindakan politis.21

Kemenangan memang tercapai, namun PFB meyakini, bahwa hal itu bukanlah akhir dari perjuangan buruh. Meskipun pemerintah menjanjikan peranan

PFB dalam negosiasi antara buruh dengan pengusaha, namun PFB sendiri belum mendapat pengakuan sebagai lembaga perwakilan buruh. Hal ini kemudian disiasati oleh Suryopranoto guna pengakuan terhadap PFB sebagai perwakilan kaum buruh.

Pada Juni 1920, sebelum masa panen (waktu di mana perkebunan membutuhkan banyak tenaga kerja) Suryopranoto mengumumkan pemogokan umum para buruh pabrik gula. Namun dalam negosiasinya dinyatakan bahwa gerakan mogok akan dibatalkan bila pengusaha dan pemerintah mau mengakui

PFB sebagai perwakilan buruh. Aksi mogok didukung oleh Tjokoroaminoto dan

Haji Agus Salim sebagai upaya memperlihatkan peranan gerakan buruh

Jogjakarta. Namun, pihak Semarang tidak menanggapi hal ini.

21 Ibid., hlm 152-153. 73

Melihat sikap dari pihak Semarang, pada 1 Agustus 1920 terjadi perdebatan antara Semaun dan Suryopranoto di Semarang. Dalam perdebatan itu, peranan PPKB sebagai kesatuan gerakan buruh dipertanyakan. Tjokroaminoto, tampil menengahi perdebatan, ia menyatakan bahwa dirinya tidak sepenuhnya sosialis dan tidak pula sepenuhnya berpihak pada pemerintah dan menghasilkan keputusan bahwa pusat pimpinan PPKB berada di tangan Semaun dan pusat kegiatan organisasi dipindahkan ke Jogjakarta dengan pengawasan

Tjokroaminoto.22

Setelah Kongres berakhir, perdebatan terhadap sikap Semaun dan

Suryopranoto atas PPKB untuk mendukung aksi PFB berlanjut. Suryopranoto menyatakan bahwa, ia mengharapkan dukungan dari VSTP melakukan mogok atas pengangkutan hasil gula, hal ini untuk mendukung aksi PFB, ini disebabkan karena musim panen telah lewat. Pihak komunis akhirnya menyetujuinya, meskipun dengan penuh kehati-hatian, karena Bergsma dan Semaun sedang melakukan negosiasi kenaikan upah bagi para anggota VSTP, yang dikhawatirkan akan gagal bila terjadi pemogokan.

Keputusan dari Sindikat Pabrik Gula akhirnya keluar, mereka menolak melakukan negosiasi dengan PFB untuk alasan apapun. Salah satu hal yang menurunkan posisi tawar adalah aksi yang dilakukan oleh PFB dalam mogok kerja pegawai gula baru berjumlah 3 kali dari 36 aksi pemogokan yang terjadi.

Rasa kekecewaan atas sikap Sindikat Pabrik Gula, menurut Suryopranoto disebabkan tidak adanya peran aktif dari pihak Semarang untuk mendukung

22Ibid., hlm 155-156. 74

gerakan kaum buruh. Hal ini menciptakan awal dari perselisihan yang berakhir dengan pemisahan diri SI dengan para anggoa SI yang juga PKI dengan disahkannya disiplin partai.23

D. Pertentangan Suryopranoto dan Semaun

Dalam Kongres CSI ke-4 di Surabaya, Suryopranoto dengan tegas mengatakan bahwa ”kemenangan perjuangan dan usaha menjadikan alat-alat produksi sebagai milik umum tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin (moral), protes, perundingan di muka umum, dan jika perlu dengan pemogokan”.24

Dalam pidatonya, Suryopranoto nampak fasih mempergunakan istilah

Marxisme, yaitu “perjuangan kelas” dan “alat-alat produksi menjadi milik umum”. Namun demikian, perjuangan untuk mencapai tujuan tersebut tidak ia anjurkan mempergunakan cara-cara kekerasan berupa perlawanan bersenjata.

Melihat hal ini Semaun menyatakan bahwa Suryopranoto adalah seorang yang radikal namun tidak “revolusioner”. Suryopranoto percaya akan cita-cita Marx, tetapi ia berbeda dalam memandang cara pencapaiannya. Gagasannya tersebut disambut baik oleh kelompok revolusioner maupun nonrevoluisoner. Melalui peristiwa inilah kemudian berkembang upaya mempersatukan gerakan buruh.

Pada bulan Desember 1919 CSI mengadakan kongres di Yogyakarta untuk mendirikan Vak Centrale Perserikatan Pergerakan Kaoem Boereoh yang disebut dengan PPKB atau Vak Centrale. PPKB merupakan kesatuan dari 44 organisasi

23 Ibid.

24 Budiawan. op. cit., hlm 95. 75

buruh, PFB sebagai organisasi terbesar. Dalam peristiwa ini Semaun terpilih sebagai ketua dan Suryopranoto sebagai wakil ketua.

Dalam pengertian Suryopranoto, sebuah aksi pemogokan merupakan

“pisau bermata dua”, di mana bisa dipergunakan untuk menyerang dan juga dapat berbahaya bagi diri sendiri. Pertama, aksi itu bisa menguntungkan kaum buruh, akan tetapi di sisi lain bisa merugikan diri sendiri, dan menguntungkan majikan.

Kedua, pemogokan dapat terjadi bilamana permintaan akan hasil produksi tengah merosot dan perusahaan cenderung mengurangi hasil produksinya. Dalam keadaan yang demikian, apabila buruh melakukan aksi mogok, pihak majikan justru beruntung. Perusahaan merasa tidak perlu menggaji buruh, dan hal ini merupakan tindakan penghematan ongkos produksi. Selain momentum, faktor penting lainnya adalah persatuan di antara sesama buruh sendiri.

Pada Oktober 1918 terjadi perdebatan dalam kongres di Surabaya tentang watak dan orientasi gerakan. Kelompok Semaun yang minoritas dalam SI, kembali menghendaki munculnya gagasan perjuangan revolusioner dan politis.

Maksudnya adalah memandang aksi pemogokan tidak hanya semata-mata menuntut perbaikan nasib melainkan juga sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan. Sementara itu pihak Suryopranoto tetap menghendaki aksi pemogokan

(untuk sementara) terbatas pada upaya menuntut perbaikan nasib buruh. Alasan

Suryopranoto, jika pemogokan masih sebatas tututan ekonomi, maka pemerintah akan mengambil sikap netral. Bila pemogokan berhaluan politis, maka pemerintah 76

kemungkinan besar akan mengambil tindakan keras untuk membendung gerakan- gerakan pemogokan.25

Perbedaan pandangan di atas kemudian memecah gerakan buruh Semaun dan Suryopranoto. Semaun dalam salah satu pidatonya dalam perumusan nama pesatuan organisasi buruh Revolutionnair Socialistische Vak-centrale menyampaikan gagasan perlunya penegasan sikap “revolusioner” dalam mensikapi permasalahan dan memberikan penjelasan mengenai haluan program kerja organisasi buruh. Ia mengutarakan gagasannya tentang gerakan revolusioner menuju kemerdekaan dan pentingnya rakyat di Hindia Belanda untuk bersatu demi menentukan kehidupannya sendiri. Gagasan ini ditolak oleh Suryopranoto dan pengurus pusat SI lainnya. Akhirnya organisasi ini dinamakan PPKB

(Perserikatan Pergerakan Kaum Buruh Hindia Belanda). Memang dalam hal ini

VSTP (Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel) dan Semaun cenderung berhaluan sosialis demokrat yang cenderung radikal (kiri), sementara PFB dan

Suryopranoto berhaluan sosial demokrat yang berhaluan moderat dan kompromis

(kanan).

Sejak awal pendiriannya, ada perbedaan politik yang tajam antara

Suryopranoto dan Semaun dalam tubuh PPKB. Tjokroaminoto selaku ketua

Sarekat Islam dan priyayi Jawa yang paling berpengaruh pada masa itu, berusaha menengahi. Namun, perselisihan di antara mereka tidak dapat diselesaikan, sehingga PPKB tidak berhasil menjalankan program-programnya. Hasilnya

25 Ibid.., hlm 102. 77

PPKB hanya bertahan selama 2 tahun, ini disebabkan karena warna dari politik organisasi-organisasi di dalamnya tidak dapat dilepaskan.

E. Melemahnya Gerakan Buruh

Paska pecahnya PPKB serta ketidakharmonisan hubungan antara Semaun dan Suryopranoto, masing-masing kelompok dalam melancarkan aksi cenderung sepihak. Beberapa pihak buruh kubu Suryopranoto berpindah pada kubu Semaun, sehubungan dengan propaganda-propaganda mengenai sebuah gerakan yang

“revolusioner”. terbius oleh propaganda tersebut, banyak gerakan buruh merasa bahwa jalan yang ditempuh oleh Suryopranoto cenderung “lamban” dan jalan

Semaun lebih “cepat”.

Hal penting setelah terpecahnya PKI dengan SI adalah diberlakukannya disiplin organisasi. Setiap anggota tidak boleh berkeanggotaan ganda. Dampak lainnya adalah hadirnya rasa sakit hati para pemimpin SI di Jogjakarta. Mereka memunculkan tiga serangan terhadap PKI. Pertama, Suryopranoto menyatakan bahwa PKI tidaklah memiliki cukup keberanian dalam menentang pemerintah kolonial, yang terbukti dengan surat dan telegram dari Semaun yang selalu berhati-hati dalam bertindak. Kedua adalah tesis Lenin dari komintern yang diterbitkan PKI bahwa gagasan komunis adalah menolak Islam, meskipun hal ini dibantah oleh pihak Semarang, bahwa Islam yang dimaksud ketika agama dijadikan alat pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Ketiga adalah sikap 78

dari PFB dan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB) menolak bergabung dengan PKI dan segala kegiatannya. 26

Keadaan tersebut di atas tidak hanya memecah SI Semarang dan

Jogjakarta, namun juga semua cabang SI di daerah. Akibatnya, kekuatan SI dan

PKI menurun, antara lain disebabkan oleh tidak terjadinya lagi kerjasama dalam aksi-aksi massa. Kondisi ini turut memecah gerakan buruh, pada pihak

Suryopranoto (jogjakarta) hanya bergabung PPPB dan PFB, sedangkan banyak organisasi buruh lainnya berpindah ke Semaun (Semarang) yang berhaluan PKI.

Seiring dengan keberhasilan-keberhasilan atas kinerja PKI dalam melancarkan aksi. 27

26 Ruth McVey.op. cit., hlm 159-162.

27 Ruth McVey. op. cit., hlm 167. Data yang digunakan oleh Ruth McVey adalah surat kabar Neratja, 23 Juni 1921. BAB V

KESIMPULAN

Pada abad ke XXI ini, banyak masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai buruh. Buruh identik dengan pekerja kasar dan berstrata rendah dalam sebuah perusahaan. Profesi ini memang dijalani oleh banyak orang karena sekarang perusahaan-perusahaan baik asing maupun lokal telah membanjiri Indonesia.

Perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan khusus dan diharapkan berbiaya rendah. Tidak jarang para buruh mengalami nasib yang kurang layak, seperti terlihat dari upah yang mereka dapatkan tidak mampu memenuhi kebutuhan harian secara wajar. Untuk dapat bersuara memperjuangkan hak, guna mendapatkan penghidupan layak (pemenuhan kebutuhan hidup secara wajar), mereka membangun organisasi serikat buruh. Melalui organisasi ini para buruh bersatu memperjuangkan kepentingan mereka dan memberikan posisi tawar yang menyatakan bahwa buruh memiliki hak yang patut dipenuhi oleh perusahaan.

Perjuangan buruh melalui pergerakan massa dan organisasi telah muncul sejak 1914 (VSTP). Awal pergerakan buruh dimulai oleh para pegawai berkebangsaan Belanda di Indonesia. Para pegawai Belanda memiliki hak untuk berorganisasi, kondisi ini terjadi karena di negeri asalnya mereka mendapatkan hak untuk bebas menyatakan pendapat. Namun, pada perjalanannya pegawai pribumi pun semakin banyak yang bergabung dalam kesatuan organisasi pekerja tersebut. Di sisi

81

82

lain, pegawai Belanda menyadari perlunya massa pegawai yang besar untuk mendukung dan merepresentasikan kaum pekerja secara keseluruhan, dan tidak sebatas pada pegawai Belanda saja, dengan demikian regenerasi pun dilakukan.

Banyak pegawai pribumi yang kemudian menjadi pengurus organisasi, salah satunya adalah Semaun yang pada tahun 1916 menjabat sebagai propagandis VSTP.

Semaun yang merupakan anak dari pegawai rendahan memulai perjumpaannya dengan buruh setelah tamat sekolah. Ia bekerja sebagai juru tulis pada perusahaan kereta api. Kemudian ia tergabung dengan VSTP, ISDV dan SI. Dalam organisasi-organisasi tersebut, terutama ISDV dan VSTP, Semaun dihadapkan dengan kenyataan akan nasib buruh sesungguhnya. Sneevliet memperkenalkan kepada Semaun ajaran Marxisme, yang kemudian memberikan pandangan baru tentang buruh, kapitalisme, dan paham sosialisme. Gagasan-gagasan tersebut ia sikapi untuk memperjuangkan nasib buruh pribumi dengan melakukan advokasi buruh dengan media organisasi-organisasi yang diikutinya. Pergerakan Semaun semakin berkembang hingga ia terpilih menjadi presiden SI Semarang. Dalam kepemimpinannya, fokus pergerakan organisasi ini adalah advokasi para pekerja pribumi. Program advokasi ini berhasil dan menghasilkan anggota hingga ribuan orang jumlahnya pada tahun 1917. Pada tahun 1917-1920 SI, VSTP dan ISDV berhasil memberikan sedikit posisi tawar bagi kaum pekerja pribumi terhadap perusahaan swasta. 83

Faktor yang mempengaruhi lahirnya organisasi serikat pekerja adalah Politik

Etis. Melalui Politik Etis lahir pandangan-pandangan yang relevan mengenai modernisasi dan dampak sosial dari hadirnya perusahaan. Satu dari banyak orang yang dilahirkan oleh Politik Etis adalah Suryopranoto. Meskipun Suryopranoto berlatar belakang keluarga bangsawan, ia memiliki kepedulian sosial yang tinggi, yang mulai tampak pada tahun 1915 ketika ia bekerja pada perusahaan Belanda.

Suryopranoto yang melihat adanya ketimpangan hak antara pekerja pribumi dengan pekerja Belanda merasa perlu membangun sebuah perkumpulan yang mampu melakukan advokasi atas kebutuhan serta menangani permasalahan pekerja pribumi.

Dengan cita-cita meningkatkan kesejahteraan buruh pribumi, Suryopranoto yang sempat tergabung dalam Budi Utomo membangun koperasi buruh (Mardi Kaskaya).

Tidak berhenti pada koperasi, Suryopranoto merasa perlu memiliki sebuah media wacana bagi para buruh, sehingga ia kemudian membentuk Societeit Sutohardjo.

Kepeduliannya terhadap kaum buruh semakin terfasilitasi ketika Suryopranoto menjadi ketua SI Jogjakarta.

Semaun dan Suryopranoto, dengan dasar kepedulian yang sama, merasa perlu untuk bertindak ketika hak para buruh pribumi diacuhkan. Pandangan Semaun dan

Suryopranoto saling bertemu dalam sebuah organisasi buruh bernama PPKB. Dalam

PPKB bersatulah kedua pandangan, Pertama pandangan Semaun akan buruh yang revolusioner (berani mengambil jalan non kooperatif) dan politis. Kedua pandangan 84

Suryopranoto yang menyatakan perlunya buruh pribumi yang terdidik dan sadar untuk bertindak ketika hak mereka tidak terpenuhi.

Semaun dalam upaya membangun simpati kaum buruh melancarkan dua isu yang menarik. Ada dua strategi bagi keberhasilan advokasi Semaun dalam PPKB.

Pertama, kepandaiannya melakukan propaganda dan pengorganisasian buruh. Kedua, posisi tawar kaum buruh terhadap pengusaha dan pemerintah kolonial. Kedua hal tersebut terbukti efektif dalam mempengaruhi kaum buruh. Tindakan Semaun dalam aksinya yang tegas dan berani mengambil resiko tercermin dari keberaniannya memprovokasi para pekerja melalui media massa Sinar Hindia. Lahirnya media massa lokal tersebut mempermudah penyebaran gagasan dan semangat untuk menuntut kesejahteraan bagi pekerja pribumi di Hindia Belanda.

Semaun banyak mengawali pemikiran Marxis melalui Sneevliet. Dalam perkembangannya, Semaun berpandangan lain dalam hal penerapan ide sosialisme, bahkan hingga terbentuknya PKI. Cara Semaun dalam menyebarkan gagasan PKI adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh lokal seperti tokoh perang Jawa (Dipanegara dan Sentot). Hal ini bertujuan untuk mendekatkan ide sosialisme kepada rakyat Jawa.

Semaun mencoba mendekatkan pandangan para buruh yang umumnya masyarakat

Jawa dengan tokoh perang Jawa yang lebih mudah dikenal dan diteladani keberaniannya melawan kolonialisme Belanda. Semaun mengubah pandangan bahwa kolonialisme Belanda sebatas penguasaan fisik dengan senjata, namun ia menggambarkan kehidupan buruh juga berada dalam kolonialisme para penguasa 85

swasta Belanda. Hal ini yang kemudian membuat penjelasan mengenai konflik kelas lebih mudah dipahami. Dengan pandangan tersebut juga lahir perspektif bahwa pengusaha Belanda adalah penindas dalam kongres CSI ke-3.

Berbeda dengan Semaun, Suryopranoto secara bertahap dan konsisten membangun diri sebagai pendidik kaum buruh, hal ini terlihat dari Mardi Kaskaya,

Societet Sutohardjo, Adidarmo, dan Personeel Fabriek Bond yang kemudian melambungkan namanya dengan sebutan ”Raja Mogok”. Selain kemampuan bicaranya dalam forum-forum perkumpulan buruh, Suryopranoto juga dipandang kharismatik dan terhormat karena ia merupakan keluarga Pakualaman.

Dalam metode perlawanannya Suryopranoto lebih menggunakan pendekatan diplomatis dan cendenderung kooperatif, selama hasil dari keputusan tersebut tidak merugikan kaum buruh yang dibelanya. Namun, Suryopranoto juga tidak sungkan untuk melakukan aksi mogok kerja, sebagai metode penolakan atas kebijakan perusahaan yang tidak mensejahterakan nasib buruh.

Semaun yang berpandangan non kooperatif dan Suryopranoto yang cenderung kooperatif dalam perjalanannya terjadi sebuah konflik dalam upaya memperbesar gerakan buruh melalui PPKB. Konflik yang ditimbulkan akibat sikap kooperatif

Suryopranoto dalam masalah Suikersyndikaat, yakni upaya pengakuan PFB dan upaya tuntutan kenaikan gaji. Meskipun pada akhirnya perusahaan memenuhi permohonan gaji, namun demikian Suikersyndikaat tidak mengakui PFB sebagai perwakilan buruh. Melihat sikap ini PFB mengancam pabrik gula akan 86

diberlakukannya mogok kerja. Namun sikap mogok kerja tidak didukung oleh PKI.

Menurut Semaun sikap PFB ini membahayakan PKI yang sedang melakukan negosiasi kenaikan upah buruh yang juga sedang berlangsung. Ketidakharmonisan dalam melakukan sebuah aksi bersama menciptakan terputusnya koordinasi yang berdampak pada pertikaian internal PPKB.

Suryopranoto yang merasa tidak dibantu oleh Semaun berdampak pemisahan kerjasama aksi buruh SI dengan PKI. Perpecahan terjadi dengan hilangnya koordinasi kedua belah pihak. Hal yang patut disayangkan dalam metodologi aksi kedua tokoh gerakan buruh ini adalah perselisihan yang kemudian terjadi antara PKI dan SI yang saling berebut simpati rakyat, khususnya buruh dalam menggagas perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Dalam melihat kronologi keruntuhan pergerakan buruh di atas, ada tiga hal menjadi faktor penyebabnya. Pertama, runtuhnya kesatuan aksi. Perpecahan antara kedua tokoh buruh ini berdampak pada melemah dan terpecahnya aksi buruh. Pihak

SI menolak bergabung dengan PKI, begitu pula sebaliknya, sedangkan permasalahan utama yang dihadapi adalah kolonialisme Belanda. Perpecahan ini tentu menguntungkan pihak Belanda.

Kedua, ketokohan, analisa pergerakan dan kurangnya kekompakan organisasi.

Keruntuhan organisasi PKI khususnya, disebabkan kepemimpinan yang hanya ada pada beberapa tokoh saja. Ketokohan Semaun, yang kemudian ditangkap serta kurangnya pendidikan untuk membaca situasi politik dan sosial, mengakibatkan 87

pergerakan PKI salah langkah. Hal ini terlihat jelas dengan terjadinya peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI pada akhir tahun 1926 hingga awal tahun 1927.

Tidak kuatnya koordinasi antar daerah yang akan melakukan aksi pemberontakan serta kebocoran informasi mengenai rapat-rapat PKI oleh pemerintah kolonial

Belanda, mengakibatkan kegagalan pemberontakan ini.

Ketiga, pendidikan, solidaritas dan kaderiasi. Belum terdidiknya kaum buruh baik dari pihak Semaun maupun Suryopranoto adalah ketika gaji mereka dinaikkan, maka perlawanan berakhir. Kondisi atas capaian ini memadamkan upaya membangun posisi tawar pergerakan buruh. Pendidikan atas ideologisasi organisasi nampaknya cukup dibutuhkan untuk mencapai posisi tawar tersebut. Solidaritas menjadi penting untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya gerakan buruh. Hal ini tercermin pada tahun 1922, di mana para buruh yang melakukan mogok kerja dipecat oleh perusahaan. Bila pemecatan ini kemudian disikapi dengan aksi mogok para buruh yang tidak dipecat tentunya akan terjadi kekosongan pekerja serta memberikan buruh posisi tawar di hadapan perusahaan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pergerakan buruh menuntut pemenuhan hak antara tahun 1915 hingga 1927 tidaklah sebatas pada kesejahteraan buruh. Aksi ini menciptakan gelombang kesadaran baru, yakni kesadaran anti kolonialisme dalam bentuk apapun. Entah disadari atau tidak, pergerakan buruh menjadi embrio lahirnya pergerakan nasional. Semaun, yang berada di Belanda dan berjumpa dengan Indische 88

Partij, menularkan banyak gagasan serta pengalaman akan perjuangan rakyat

Indonesia terhadap kolonialisme Belanda.

Meskipun saat ini Indonesia telah merdeka dari penjajahan fisik Belanda maupun Jepang, tetapi perjuangan buruh dalam rangka mendapatkan hak atas kesejahteraan dirinya masih terus terjadi. Sikap pengusaha yang tidak mensejahterakan buruh masih saja terjadi. Meskipun kondisi yang terjadi saat ini telah mengalami transformasi sistem ekonomi yang jauh berbeda dengan sistem ekonomi dan politik kolonial 1926, namun secara laten, masih terjadi kolonialisasi dalam ekonomi Indonesia hari ini.

Perjuangan Semaun dan Suryopranoto dalam membangun kesadaran buruh perlu ditindaklanjuti hingga saat ini. Meskipun, sistem yang digunakan tentunya akan berubah, mengingat sistem ekonomi dan politik yang mempengaruhi buruh telah berubah pula. Kedua tokoh buruh di atas secara sistematis telah melakukan pergerakan, tidak sebatas pada pemenuhan kebutuhan akan upah, namun juga kemerdekaan buruh atas kesejahteraan dirinya.

89

DAFTAR PUSTAKA

Anton Haryono, “ Dari Rakyat Legitimasi Dibangun, Kepada Rakyat Eksploitasi Diarahkan: Indonesia Pra-Kolonial, Kolonial, dabn Pasca-Kolonial”. Dalam Silverio R.L. Aji Sampurno dkk. Indonesia lternatif, Rakyat Sebagai Pemegang Kedaulatan ekonomi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2003.

Aloliliweri, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS, 2005.

Bambang Sulistyo. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.

Budiawan. Anak Bangsawan Bertukar Jalan, Yogyakarta : LKiS, 2006.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001.

Magnis Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

McVey, Ruth. Kemunculan Komunisme Indonesia. Terjemahan. Jakarta : Komunitas Bambu, 2010.

Nagazumi, Akira. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1989.

Niel, Robert van. Munculnya Elite Modern Indonesia. Terjemahan. Bandung : Pustaka Jaya, 1984.

Poeze, Harry A., Cees van Djik, Van der Meulen. Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta : Populer Gramedia (KPG), 2008.

Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2005.

Sandra, Sedjarah, Pergerakan Buruh Indonesia. Djakarta : PT Pustaka Rakjat, 1961.

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2005.

90

Smith, Linda dan William Raeper. Ide-Ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang. Yogyakarta : Kanisius, 2000.

Soe Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta : Bentang, 2005.

Soewarsono. Bebareng Bergerak. Yogyakarta : LkiS, 2000.

Subangun, Emanuel. "Tidak Ada Messias dalam Pandangan Hidup Jawa" dalam Majalah Prisma No. 1 Januari 1977 Tahun VI. Jakarta, 1977