AKULTURASI BUDAYA TIONGHOA DAN DI KESULTANAN CIREBON

Disertasi Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Doktor dalam Bidang Sejarah dan Peradaban Islam

Oleh: Mukhoyyaroh (31171200000017)

Promotor: Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si

Program Studi Pengkajian Islam Konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2021 M/1442 H Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkap dan menganalisis aktivitas sosial-budaya, dan relasi sosial budaya, serta makna simbolik dan filosofis dari wujud budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan dan lapangan, sedangkan prosedur pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan pencatatan, serta dokumentasi. Sementara pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan historis, antropologis dan semiotik. Adapun sumber yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder yang terdiri dari sumber tulisan berupa buku, artikel jurnal, dan arsip, serta sumber non-tulisan berupa hasil wawancara dan bukti arkeologis. Temuan penting penelitian ini, yaitu: Pertama, kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dengan masyarakat Cirebon terjadi melalui tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan Cheng Ho dan para pasukannya; Gelombang kedua terjadi pada akhir abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan Puteri Tiongkok bernama Ong Tien Nio dengan seluruh barang bawaannya; Gelombang ketiga terjadi di abad ke-18, ditandai dengan masuknya orang-orang Tionghoa sebagai orang-orang pelarian dari Batavia. Kedua, relasi sosial-budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon yang kemudian menghasilkan akulturasi budaya. Budaya Cirebon dan budaya Tionghoa yang telah terakulturasi dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh agama Islam. Ketiga, berbagai bukti arkeologis seperti Gapura Siti Inggil, Makam Astana Gunung Jati dan Guha Sunyaragi serta Kereta Kencana Singa Barong dan Batik, semuanya mendapat pengaruh dari Hindu, Tiongkok dan Belanda, serta memiliki makna simbolik dan filosofis yang berbeda-beda. Lewat arsitektur dan simbol-simbol yang ada menunjukkan betapa Kesultanan Cirebon sarat dengan nilai-nilai ketauhidan yang ditemukan pada dua puluh tiang Mande Semirang. Kesultanan Cirebon sekalipun merupakan Kesultanan Islam, tetapi sangat inklusif terhadap dinamika masyarakat dan ragam budaya yang datang dari luar, serta berdiri di atas keberagaman budaya dan meletakkan penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan orang lain. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya akulturasi, khususnya antara kebudayaan Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon menyatu dalam bentuk akulturasi, bukan asimilasi ataupun difusi.

Kata kunci: Akulturasi, budaya Tionghoa, budaya Cirebon, Kesultanan Cirebon

ii

ملخص

رٙذف ٘زٖ اٌذساعخ إٌٝ اٌىشف ٚاٌزس١ًٍ ٌٍٕشبط االخزّبٟػ اٌثمبفٚ ،ٟاٌفىشح اٌثمبف١خ، ٚإٝؼٌّ اٌشِضٚ ٞاٌفٍغفٟ ِٓ اٌثمبفخ اٌص١ٕ١خ ٚاٌثمبفخ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ فٟ عٍطٕخ اٌزش١ش٠جْٛ. اعزخذِذ اٌجبزثخ إٌّٙح اٌى١فٚ ٟ٘زٖ اٌذساعخ ِٓ اٌذساعبد اٌّىزج١خ ا١ٌّذا١ٔخ. ثبٌٕغجخ ٌطش٠مخ خّغ اٌج١بٔبد، لبِذ اٌجبزثخ ثبٌّالزظخ، ٚاٌسٛاس، ٚاٌزغد١ً، ٚاٌزٛث١ك. ٚثبٌٕغجخ ٌٍّمبسثخ، اعزخذِذ اٌجبزثخ اٌّمبسثخ اٌزبس٠خ١خ ٚاألٔزشٚثٌٛٛخ١خ، ٚاٌغٌٛٛ١ّ١خ١خ. ثبٌٕغجخ ٌٍّصذس، ف١ٕمغُ إٌٝ اٌّصذس األعبعٟ ٚاٌثب٠ٚ ٞٛٔزىْٛ ِٓ وزت ٚدٚس٠بد ٚٚثبئك، ِٚصبدس غ١ش وزبث١خ ِثً اٌسٛاس ٚا٢ثبس اٌزبس٠خ١خ. ِٓ إٌزبئح اٌٙبِخ ٌٙزٖ اٌذساعخ ِب ٍٟ٠: أوال- إْ االرصبي االخزّبٚ ٟػاٌثمبفٟ ث١ٓ اٌص١١ٕ١ٓ ٚاٌّدزّغ اٌزش١ش٠جٟٔٛ زصً فٟ ثالس ِٛخبد، ثذأ ِٓ اٌمشْ اٌخبِظ ػشش، ثّد١ئ رش١ٕح ٚ )Cheng Ho( ٛ٘خ١شٗ. ٚاٌّٛخخ اٌثب١ٔخ ٚلؼذ فٟ اخشاٌمشْ اٌخبِظ ػشش ثّد١ئ أ١ِشح ص١ٕ١خ ادػذ أٚٔح ر١ٓ Ong Tien Nio( ٛ١ٔ( ِغ وً ِب زٍّزٙب ِٓ األش١بء. ٚاٌّٛخخ اٌثبٌثخ زصٍذ فٟ اٌمشْ اٌثبِٓ ػشش، ثّد١ئ اٌص١١ٕ١ٓ اٌالخئ١ٓ ِٓ ثبربف١ب )Batavia(. ثانيا- إْ اؼٌاللخ االخزّب١ػخ اٌثمبف١خ اٌص١ٕ١خ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ رٕزح ش١ئب ِٓ اٌزثبلف. إْ اٌثمبفخ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ ٚاٌص١ٕ١خ اٌزٟ رثبلفذ فٟ رطٛس٘ب رأثشد وث١شا ثبٌذ٠ٓ اإلعالِٟ. ثالثا- إْ اؼٌذ٠ذ ِٓ اٌجشا١٘ٓ األثش٠خ اٌزبس٠خ١خ ِثً ثٛاثخ ع١زٟ إٔد١ً )ٚ ،)Gapura Siti Inggilضش٠ر أعزبٔب خٛٔٛٔح خبرٚ ،)Makam Astana Gunung Jati( ٟخٛ٘ب ع١ٔٛبساخػٚ )Guha Sunyaragi( ٟشثخ ٍِى١خ ع١ٕدب ثبسٚٔح )ٚ ،)singa barongثبر١ه )فٓ سعّٟ رم١ٍذٍٝػ ٞ اٌمّبػ(، وٍٙب رأثشد ثب١ٌٕٙذٚع١خ، ٚاٌٛٙالٔذ٠خ، ٚاٌص١ٕ١خ، ٚفٙ١ب ؼِبٟٔ سِض٠خ فٍغف١خ ِخزٍفخ. ِٓ خالي إٌٙذعخ اؼٌّّبس٠خ ٚاٌشِٛص، ٚخذٔب اإلشبساد إٌٝ أْ عٍطٕخ اٌزش١ش٠جٌٙ ْٛب صجغخ ل١ُ اٌزٛز١ذ ل٠ٛخ، ٚخذٔب٘ب فػ ٟشش٠ٓ ّٛػدا ع١ّذ ثأػّذح ِبٔذٞ ِبالٔح ع١ّ١شأح ) Mande Malang Semirang(. إْ عٍطٕخ رش١ش٠جْٛ ثبٌشغُ ِٓ أٙٔب إعال١ِخ، إال أٙٔب ِشزشوخ فٟ اٌزغ١١شاد االخزّب١ػخ رأثشد ثّخزٍف اٌثمبفبد اٌزٟ خبءد ِٓ اٌخبسج، ٚلبِذ ٍٝػ رٕٛع اٌثمبفبد ِٕٚسذ اٌغٍطٕخ رمذ٠شا ػب١ٌب ؼٌّزمبد إٌبط. أدٜ رٌه إٌٝ اٌزثبلف، ٚثٛخٗ اٌزسذ٠ذ ث١ٓ اٌثمبفخ اٌص١ٕ١خ ٚاٌثمبفخ اٌزش١ش٠ج٠ٛخ فٟ عٍطٕخ اٌزش١ش٠جٚ .ْٛثٙزا، رمٛي ٘زٖ اٌذساعخ إْ اٌثمبفخ اٌص١ٕ١خ ٚاٌثمبفخ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ فٟ عٍطٕخ رش١ش٠جْٛ ارسذد فٟ شىً اٌزثبلف ١ٌٚظ االعزؼ١بة )ٚ ،)asimilasiال اٌزؼش٠ف )difusi(.

الكلمات المفتاحية: اٌزثبلف، اٌثمبفخ اٌص١ٕ١خ، اٌثمبفخ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ، اٌغٍطٕخ اٌزش١ش٠ج١ٔٛخ

iii

Abstract

This study aims to reveal and analyse the socio-cultural activities, cultural concepts, as well as symbolic and philosophical meanings on the forms of Tionghoa culture and Cirebon culture in the Cirebon Sultanate. The research method applied is the qualitative and belongs to the type of literature and field research, while the data collection procedure is carried out through observation, interviews, and recording, and documentation. Meanwhile, the research approaches used are historical, anthropological and semiotic approaches. The sources used are primary and secondary sources consisting of written sources in the form of books, journal articles and archives, as well as non-written sources in the form of interviews and archaeological evidence. The essential findings of this research are: First, the socio-cultural contact of the Tionghoa ethnics with the Cirebon people occurred through three waves, starting in the 15th century, which was marked by the arrival of Cheng Ho and his troops; The second wave happened in the end of the 15th century, which was marked by the arrival of a Tiongkok princess named Ong Tien Nio with all her belongings; The third wave occurred in the 18th century, marked by the entry of Tiongkok people as refugees from Batavia. Second, the socio-cultural relations of the Chinese ethnics and the Cirebon people which later resulted in cultural acculturation. Furthermore, Cirebon culture and Tionghoa culture which have been acculturated in their development are strongly influenced by Islam. Third, various archaeological evidences, such as the Siti Inggil Gate, the Tomb of Astana Gunung Jati and Guha Sunyaragi as well as the Singa Barong Golden Chariot and Batik, all of which were influenced by Hinduism, the Netherlands and Tiongkok, had different symbolic and philosophical meanings. Moreover, the architecture and symbols show how the Cirebon Sultanate is full of monotheistic values found on the twenty Mande Malang Semirang pillars. Even though the is an Islamic Sultanate, it implemented very inclusive on the dynamics of society and various cultures that came from outside, and stood on cultural diversity, as well as placed high respect on the beliefs of others. This resulted in acculturation, especially between Tionghoa culture and Cirebon culture in the Cirebon Sultanate. Thus, this study concludes that Tionghoa culture and Cirebon culture in the Cirebon Sultanate are united in the form of acculturation, instead of assimilation or diffusion.

Keywords: Acculturation, Tionghoa culture, Cirebon culture, Cirebon Sultanate

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Konsonan

ف = f ص = z ة = b

ق = q ط = s د = t

ن = sh = ػ k س = th

ي = l ص = {s ج = j

َ = m ض = {d ذ = }h

ْ = n ط = {t ش = kh

w = ٚ ظ = z د = d

ٖ = h ع = „ ر = dz

g = ؽ y = ٞ س = r

B. Vocal 1. Vocal Tunggal Tanda Nama Huruf Nama Latin Fathah a A َ Kasrah i I َ Dhammah u U ُ

2. Vocal Rangkap Tanda Nama Gabungan Nama Huruf ٞ Fathah a A ٚ Kasrah i I

Contoh: H{aul : زٛي H{usain : زغ١ٓ

C. Ta’ Marbut}ah Transliterasi ta‟ marbut}ah ditulis dengan “ha”, baik dirangkai dengan

v

(ِذسعخ) madrasah ,(ِشأح) kata sesudahnya maupun tidak, contoh Contoh: al-Madi>nah al-Munawwarah :اٌّذ٠ٕخ إٌّٛسح

D. Shadda>h Shaddah atau tashdid ditransliterasi, dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah tersebut. Contoh:

E. Kata Sandang dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya, jika ”اي“ Kata sandang diikuti huruf syamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis ”اي“ ditulis “al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya (اٌمّش) lengkap baik menghadapi al-Qamariyah contoh kata al-Qamar .(اٌشخً) maupun al-Syamsiyah seperti kata al-Rajulu Contoh: al-Qalam : اٌمٍُ al-Syams : اٌشّظ

F. Pengecualian Transliterasi Pengecualian transliterasi adalah kata-kata bahasa Arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa dan menjadi bagian dalam bahasa Asmaul Husna dan Ibn, kecuali ,هللا Indonesia, seperti lafal menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulis.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan keluarganya. Atas izin dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Akulturasi Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon”. Penulis menyadari bahwa penulisan disertasi ini masih jauh dari kata sempurna. Namun, terlepas dari semua kekurangan yang ada, penulis secara pribadi mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang turut andil memberikan dukungan, baik moril maupun materil, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan penuh hormat, penulis sampaikan kepada Rektor UIN Syarif Hidayutllah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., beserta jajarannya, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. H. Asep Saefudin Jahar, M.Phil. Begitu pula halnya kepada Dr. H. Hamka Hasan, Lc., MA selaku Wakil Direktur, Prof. Dr. H. Didin Saepudin, MA selaku Ketua Program Studi Doktor dan H. Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Prof. Dr. H. Didin Saepudin, MA dan Prof. Dr. H. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, saran dan kritik membangun secara kontinue kepada penulis sehingga penyusunan disertasi ini bisa sampai pada ujian pendahuluan. Kesediaan kedua pembimbing dalam melakukan sharing dan berdiskusi secara langsung tentang konsep yang dibahas dalam disertasi ini mempermudah penulis dalam menuangkan pikiran secara sistematis dan terarah sehingga menghasilkan tulisan ini meski masih ditemukan banyak kekurangan yang harus diperbaiki lagi. Penulis juga tidak lupa sampaikan apresiasi yang tinggi kepada seluruh Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mulai dari para dosen yang telah melakukan tranformasi ilmu kepada penulis sehingga menjadi bekal yang baik dalam memperkuat konsep keilmuan dan aplikasinya. Juga kepada seluruh Pegawai dan Staf Sekretariat dan Staf Pepustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan penuh dedikasi mereka melayani mahasiswa dengan ikhlas dalam menyiapkan berbagai kebutuhan dan fasilitas yang dibutuhkan sehingga penyelesaian disertasi ini berjalan secara berkesinambungan. Kepada orang tua penulis ayahanda H. Mahsus dan Ibunda H. Rohmah, terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan atas jasa, support dan doa yang tiada henti-hentinya, serta limpahan kasih sayangnya. Juga ucapan terima kasih kepada adik-adikku dan keluarga besar H. Amir yang telah memberikan dukungan, do‟a, dan kasih sayangnya, sehingga dapat menjadi spirit dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Kepada anak-anakku tersayang, Nadia Ashfia Zahra, Hasymi Naseem Al-Farabi, dan Atiya Azkia Zahra yang dengan tulus selalu memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayangnya

vii sehingga studi ini bisa selesai. mohon maaf sayang, bunda tidak bisa selalu mendampingi dan menemani kalian. Berkat motivasi dari merekalah, penulis dengan segala tantangan dan lika-liku hidup yang dihadapi, utamanya dalam menyusun disertasi ini, bisa terselesaikan. Semoga Allah senantiasa memberikan balasan yang setimpal kepada kita, sehingga kesuksesan selalu menyertai kita semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Kementrian Agama selaku pemberi beasiswa tahun 2017-2020, sehingga dapat mengikuti pembelajaran dan menyelesaikan program doktor di SPS UIN Jakarta. Juga kepada ketua Yayasan Sasmita Jaya Group, Rektor Universitas Pamulang beserta jajarannya, Dekan Fakultas Sastra dan Ketua Prodi Sastra Inggris atas support dan kesempatan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi program Doktor di UIN Syarif Hidayatullah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pamanda Dr. H. Masduki, Dr. Imam Syafii, Kyai Ahmad Rusydi atas support dan perhatiannya. buat teman- teman angkatan 2017 program doctor, teman-teman dosen UNPAM/STMIK Eresha, teman-teman Persada Nusantara, dan teman-teman DPW Adpisi DKI, support, perhatian, kasih sayang, persaudaraan dan kebersamaan yang selama ini terjalin menjadi energi tersendiri buat penulis. Kepada adinda Sabil Mokodenseho dan Yunus yang telah banyak membantu penulis dalam setiap kesulitan, baik kesulitan dalam bidang akademik maupun kesulitan-kesulitan lainnya, jazakumullah khoirol jaza…. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para informan; Dr. Opan, Bapak Permadi S.H., Drh. Bambang Irianto, Bapak Ajat, Bapak Hafidz, dan Bapak Jazuli, yang telah banyak membantu dan bersedia untuk meluangkan waktunya di sela-sela pekerjaan untuk membantu penulis dalam melakukan penelitian di Kesultanan Cirebon. Akhirnya, penulis sadar bahwa dalam penulisan disertasi ini masih banyak kekurangan, kekeliruan, dan kealfaan dalam berbagai aspek sehingga mengurangi kebulatan dan keutuhan isi serta kandungan disertasi ini di mata pembaca. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif untuk memperbaiki dan menyempurnakan disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu menyertai langkah amal usaha kita dengan rahmat dan hidayahnya. Amin Ya Rabbal Alamin.

Jakarta, 05 Januari 2021 Penulis,

Mukhoyyaroh

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...... i Abstrak ...... ii Pedoman Transliterasi Arab Latin ...... v Kata Pengantar ...... vii Daftar Isi ...... ix Daftar Gambar ...... xi Daftar Singkatan ...... xii......

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 .. B. Pemasalahan ...... 18 1. Identifikasi Masalah ...... 18 .. 2. Perumusan Masalah ...... 19 ... 3. Pembatasan Masalah ...... 19 . C. Tujuan Penelitian ...... 19...... D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...... 20 E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...... 20 F. Metode Penelitian ...... 27...... G. Sistematika Penulisan ...... 30 ......

BAB II INTERAKSI BUDAYA: TIONGHOA, NUSANTARA 31 DAN ISLAM ...... A. Konsep Kebudayaan: Akulturasi, Asimilasi dan 31 Difusi ...... B. Kedatangan Etnis Tionghoa: Jejak Cheng Ho dan 55 Muslim Tionghoa ...... C. Pra Kolonial: Muslim Tionghoa sebagai Budaya 61 Hibrida ...... D. Era Kolonial Belanda: Kemunduran Budaya Muslim 65 Tionghoa-Jawa ......

BAB III SEJARAH KESULTANAN CIREBON ...... 69 A. Profil dan Dialektika Kesultanan ...... 69 1. Kesultanan Cirebon ...... 69 ... 2. Dialektika Politik dan Islam ...... 75 B. Perkembangan Daerah dan Masyarakat Cirebon ...... 87 1. Daerah Cirebon ...... 87 ...... 2. Cirebon dalam Lintas Dagang ...... 93 3. Cirebon sebagai Basis Syiar Islam ...... 98...... C. Masuknya Etnis Tionghoa Ke Cirebon ...... 105......

ix

BAB IV RELASI SOSIAL-BUDAYA ETNIS TIONGHOA DAN 113 MASYARAKAT CIREBON ...... A. Mengenal Budaya Cirebon ...... 113 B. Corak Budaya Tionghoa ...... 118 .. C. Pergumulan Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon ...... 129

BAB V BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON DI KESULTANAN CIREBON: MAKNA SIMBOLIK DAN FILOSOFIS ...... 141 A. Arsitektur ...... 143 B. Kereta Kencana Singa Barong ...... 175 C. Batik Cirebon ...... 188 D. Guha Sunyaragi ...... 203......

BAB VI PENUTUP...... 2 11 A. Kesimpulan ...... 211 B. Saran dan Rekomendasi ...... 212 ..

Daftar Pustaka ...... 213 Glosarium ...... 249 Indeks ...... 253 Biografi Penulis ......

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. : Kebudayaan A dan Kebudayaan B bertemu dalam Masyarakat, sehingga menghasilkan suatu kebuadayaan baru (A+B) 50 Gambar 2. : Pembauran dua unsur sosial yang berbeda dan menghasilkan suatu unsur yang baru 50 Gambar 3. : Pembaruan dua unsur sosial yang berbeda akan menghasilkan suatu ukuran yang baru 50 Gambar 4. : Struktur Kosmologi Keraton Kasepuhan 145 Gambar 5. : Siti Inggil 146 Gambar 6. : Mande Malang Semirang 156 Gambar 7. : Mande Semar Tinandu 158 Gambar 8. : Mande Pandawa Lima 161 Gambar 9. : Mande Pelinggihan (Pengiring) 165 Gambar 10. : Mande Karesmen 168 Gambar 11. : Tangga Masuk ke Makam Sunan Gunung Jati 170 Gambar 12. : Bagian Depan Tembok Makam Sunan Gunung Jati 173 Gambar 13. : Tembok Depan Makam Astana Gunung Jati 174 Gambar 14. : Kereta Kencana Singa Barong 177 Gambar 15. : Motif Wadasan Mega Mendung 195 Gambar 16. : Motif Sulur Mega Mendung 195 Gambar 17. : Motif Balong Teratai 198 Gambar 18. : Motif Piring Selampad 199 Gambar 19. : Motif Barongsai 202 Gambar 20. : Guha Sunyaragi (Guha Peteng) 205 Gambar 21. : Guha Sunyaragi (Bahan Dasar Batu Karang) 209

xi

DAFTAR SINGKATAN

ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi PITI : Persatuan Islam Tionghoa Indonesia PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PKI Partai Kumunis SAW : Shollallahu Alaihi Wasallam SDI : Sarekat Dagang Islam SI : Sarkat Islam SWT : Subhanahu Wa Ta’ala UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945 VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Keberadaan etnis Tionghoa1 di Indonesia merupakan persoalan yang sangat menarik dan belum tuntas sampai saat ini. Suryadinata mengatakan masalah etnis Tionghoa adalah masalah yang rumit, seperti persoalan ekonomi dan politik luar negeri.2 Karena masalahnya begitu kompleks dan rentang waktunya yang cukup panjang membuat persoalan yang bersifat historis, kultural, politis dan ekonomis3 menjadi tumpang tindih. Jauh sebelum kedatangan bangsa Barat di Nusantara, etnis Tionghoa sudah melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara4 termasuk Indonesia sejak abad ke-16 dan awal abad ke-17. Mereka menukarkan barang-barang asal Tiongkok seperti sutra dan porselen, rempah-rempah, obat-obatan dan barang-barang yang langka dari kawasan Asia Tenggara.5 Fakta ini dipertegas oleh Azra bahwa hubungan antara Nusantara dan etnis Tionghoa telah ada sejak pra Islam. Hubungan itu telah meninggalkan banyak warisan penting dan jejak sejarah di negeri ini.6 Literatur yang berbicara tentang hubungan Indonesia dengan etnis Tionghoa memang sangat terbatas,7 sehingga awal kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara belum dapat dipastikan dengan jelas. Ada yang mengatakan telah terjadi kontak

1Dalam disertasi ini, sesuai Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, yang terkait dengan etnis menggunakan kata “Tionghoa”, sedangkan kata “Tiongkok” digunakan untuk menyebut nama negara. Adapun penggunaan kata “Cina” digunakan pada kutipan langsung maupun sumber kutipan. 2L. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Indonesia: Pustaka LP3S, 2002), h. 18. 3C. Setijadi, Ethnic Chinese in contemporary Indonesia: Changing Identity Politics and the Paradox of Sinification, (Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016), h. 1-11. 4X. Gong, “The Belt & Road Initiative and China‟s influence in Southeast Asia”. The Pacific Review, vol. 32, no. 4, 2019, h. 635-665.; S. N. Lestari & N. S. Wiratama, “The dark side of the Lasem maritime industry: Chinese power in opium business in the XIX century”. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 2, no. 2, 2018, h. 91- 100.; L. Y. Lim, “Southeast Asian Chinese business: Past success, recent crisis and future evolution”. Business, Government and Labor: Essays on Economic Development in Singapore and Southeast Asia, 2017, h. 313. 5B. Wiryomartono, “Urbanism and Ethnic Minority: Chinese Quarters and Society in Jakarta-Indonesia 1600–Present”. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia, (Singapore: Springer, 2020), h. 105-127.; M. S. Heidhues, “Studying the Chinese in Indonesia: A long half-century”. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 601-633. 6Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 11.; Azyumardi Azra, Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1998), h. 38-43. 7M. I. Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan Cina, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 10.

1 dengan etnis Tionghoa dari Dinasti Chou sejak 300 tahun SM. dengan bukti sejarah berupa elemen kebudayaan seperti dalam kehidupan sosial kultural orang Dayak di dan masyarakat Ngada di pulau Flores.8 Kemudian, ada temuan benda pra sejarah seperti kapak dan sepatu di Tiongkok, Siberia dan Eropa Timur.9 Berdasarkan cerita dalam Dinasti Han, pemerintahan Kaisar Wan Ming (1-6 SM) telah mengenal Nusantara dengan sebutan Huang Tse.10 Vleming menyatakan kontak antara Tionghoa-Indonesia terutama Jawa baru terjadi awal abad ke-5 M ditandai dengan datangnya seorang pendeta Buddha dari Tiongkok bernama Fa Hian. Sekitar tahun 413, Fa Hian singgah di Jawa selama lima bulan dalam perjalanannya ke . Berdasarkan catatannya, saat itu belum ada etnis Tionghoa yang menetap di Jawa.11 Kemudian sekitar tahun 671, pendeta Buddha lainnya yang bernama I-Tsing berangkat dari Canton menuju Nalanda melalui Sriwijaya, dan menetap di daerah ini selama empat belas tahun.12 Dalam tulisannya, I-Tsing bercerita tentang adat istiadat serta kejadian yang terjadi di Sriwijaya.13 Ia juga menceritakan bahwa Raja Sriwijaya menyerahkan hasil-hasil bumi kepada Maharaja Tiongkok. Bahkan, pada tahun 991, beberapa utusan Sriwijaya pergi ke Tiongkok dan menetap setahun lamanya di Canton.14 Tidak heran jika di tahun 1129, Maharaja Tiongkok memberikan gelar raja kepada penguasa Jawa tersebut. Namun, pengiriman upeti itu seharusnya tidak boleh dipandang sebagai bukti ketundukan yang satu kepada yang lain sebagaimana Cator mengatakan bahwa harus ditunjukkan secara garis besar, pengiriman upeti mungkin pada akhirnya tidak dianggap sebagai bukti konklusif dari keberadaan hubungan bawahan dalam arti politik.15 Pasca abad ke-8, banyak pedagang Tionghoa yang bertolak ke daerah-daerah bagian selatan Nusantara untuk mengunjungi pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan Melayu. Pada tahun 1082, pemerintahan Yuan-Fong, Sung-Hui-Yao mengatakan bahwa wakil kepala pengangkutan dan wakil kepala urusan dagang menerima surat dari wakil umum pedagang asing di negara-negara di laut selatan yang ditulis dalam bahasa Tiongkok. Surat itu berasal dari raja Chan-pei (Jambi), bagian dari San-Fo-

8R. Ratnawati, I. Syah, & S. Arif, “Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Dwikewarganegaraan Etnis Tionghoa pada Masa Demokrasi Liberal”. Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, vo. 1, no. 1, 2013, h. 1-8. 9R. Maulana, “Dakwah dan Etnisitas: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng Hoo”. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, vol. 19, no. 1, 2013, h. 25-39. 10M. Taneo, F. A. Ndoen & S. Y. Neolaka, “History of Arrival and Development of Chinese Ethnic in Kupang”. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, vol. 6, no. 5, 2019, h. 356-369.; B. G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media, 2008), h. 20. 11Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu), h. 39. 12Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007), h. 81-82. 13Setiono, Tionghoa dalam Pusaran..., h. 21. 14Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu…, h. 81. 15W. J. Cator, The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies, (Oxford: 1936), h. 2.

2 tsi‟i (Sriwijaya), dan dari puteri raja yang diserahi kekuasaan untuk mengawasi urusan negara San-Fo-tsi‟i. Mereka mengirimkan perhiasan, rumbia, kamfer, dan tiga belas potong pakaian.16 Pada saat Sriwijaya tampil dan memerankan kotanya sebagai kota kosmopolitan sebagai perantara dalam perdagangan Timur jauh dan Timur Tengah, menurut sumber-sumber Tiongkok, banyak duta Muslim yang dikirim oleh Sriwijaya ke Kaisar Tiongkok dari abad 10 sampai dengan abad 12 M.17 Hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Tiongkok tidak hanya dilakukan Sriwijaya, tetapi juga Kerajaan Borneo. Kerajaan di Borneo Barat mengirim beberapa utusannya yang salah satunya bernama P‟u A-Lu–Hsieh (Abu Abdullah) ke istana Sung. Duta ini sebenarnya adalah seorang pedagang Arab yang kapalnya sedang berlabuh di muara sungai Kerajaan Borneo Barat, dan diminta oleh penguasa setempat untuk memimpin delegasi duta-dutanya ke istana Sung di Tiongkok.18 Hubungan erat yang terjalin antara etnis Tionghoa dan Nusantara disebabkan oleh faktor perdagangan internasional.19 Hubungan itu didorong oleh berkembangnya tiga kerajaan besar sejak abad ke-7 M. yakni Dinasti Tang di Tiongkok, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat (Timur Tengah).20 Etnis Tionghoa membawa berbagai jenis barang dagangan seperti porselen, kapur barus, sutera, produk pabrik (kain, satin, brocade, dan pakaian berbahan katun dan sebagainya). Transaksi jual beli terjadi di sepanjang pantai utara Jawa yang dikenal sebagai bandar perdagangan.21 Pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, arus perniagaan etnis Tionghoa bergeser ke Jawa Timur tepatnya di Keling (Ho-Ling) pada abad ke-7, dan berkembang pesat pada masa Kerajaan Panjalu (Daha atau Kediri). Sebelumnya Raja Darmawangsa (991-1007) sudah meletakkan dasar-dasar dan membuka hubungan diplomatik serta hubungan dagang dengan etnis Tionghoa.22 Hubungan

16J. Leijten, “Mauro Jambi, the Capital of Srivijaya: According to the writings of I- Tsing, Chau Ju-kua and Resent”. Studies and Archaeological Findings, 2017, h. 1-44. 17S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003), h. 75. 18W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), h. 108-110. 19M. Stuart-Fox, “Southeast Asia and China: The role of history and culture in shaping future relations”. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, vol. 26, no. 1, 2004, h. 116-139. 20A. Ibrahim, “Islam in Southeast Asia”. Ar Raniry: International Journal of Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2018, h. 40-52.; S. M. Imamuddin, “Arab Mariners and (Under the Tang Dynasty 618-906 AC)”. Journal of the Pakistan Historical Society, vol. 32, no. 3, 1984, h. 155.; Y. Chang, “The Ming Empire: Patron of Islam in China and Southeast- West Asia”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 61, no. 2, 1988, h. 1-44. 21Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indoneisa, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 142-144. 22Tamar Djaja, Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-orang Besar di Tanah Air, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 21.

3 dagang antara Tionghoa dan Panjalu di abad 12 berkembang cukup pesat, dan terus berlanjut sampai masa kepemimpinan Ken Arok yang bergelar Raja Rajasa (1222 M).23 Hubungan antara Nusantara dan Tiongkok juga terjadi pada masa Kaisar Mongol Kubilai Khan. Sejak tahun 1280, Jawa menjadi salah satu daerah yang mendapat perhatiannya. Sebagaimana negeri-negeri lain, ke pulau Jawa juga dikirim utusan pertama untuk menyuruh negeri itu takluk kepadanya dan supaya Raja-raja Jawa datang ke Tiongkok untuk menyampaikan hormat mereka. Namun, Kertanegara sebagai Raja Singosari merasa dirinya besar pula dan tidak memerdulikan desakan tersebut. Lama kelamaan Kertanegara merasa dirinya jemu dengan desakan Kubilai Khan yang berkali-kali. Akhirnya, Kartanegara menyuruh untuk membuat cacat muka utusan Tiongkok itu yang bernama Meng Ki. Hal itu menimbulkan kemarahan Kubilai Khan. Akhirnya Tiongkok mengirim ekspedisi untuk menghukum Kertanegara dengan pasukan berjumlah 20.000 orang pada tahun 1293. Namun, sesampainya di Jawa, Raja Kertanegara ternyata telah dibunuh oleh Djayakatwang dari Kediri. Raden Widjaya yang tidak lain adalah menantu Kertanegara adalah pribadi yang cukup cerdik untuk menjadikan tentara Mongol sebagai sekutunya. Dengan keadaan ini mereka bersatu untuk menyerang Kediri. Setelah peperangan yang hebat, Kediri pada akhirnya dapat dikalahkan. Ketika tentara Mongol hendak pulang ke negerinya, secara tiba-tiba Raden Widjaya beserta pasukannya menyerang tentara Mongol yang mengakibatkan korban sekitar 3000 tentara Tiongkok.24 Penulis berpendapat bahwa expedisi Mongol tanpa disengaja telah membantu Raden Wijaya untuk mendirikan Majapahit. Pada masa Dinasti Ming hubungan antara Nusantara dan Tiongkok kembali membaik yang sebelumnya sempat terganggu dengan invasi tentara Mongol ke Jawa. Hal ini dibuktikan dengan diutusnya Cheng Ho untuk memimpin ekspedisi muhibbah.25 Gaya keramik peninggalan Majapahit yang ditemukan dalam sebuah penggalian membuktikan pengaruh seni Tionghoa. Menurut catatan tahunan Melayu, banyak tukang yang berasal dari Tiongkok bekerja di istana Majapahit.26 Hubungan ini menemui puncaknya pada masa Dinasti Ming. Banyak komunitas Tionghoa yang memegang peran sentral, baik dalam sektor politik maupun ekonomi, juga di antara mereka ada yang menjadi juru dakwah Islam. Sampai akhir abad ke-15, tidak kurang dari 43 duta dari Jawa di kirim ke Tiongkok, dan 41 di antaranya terjadi selama kurang lebih satu abad (1370-1465). Al Qurtuby melihat hubungan “mesra” itu tidak hanya disebabkan karena faktor ekonomi dan politik, tetapi hubungan yang dibangun berdasarkan persamaan ideologi.27 Di masa Dinasti Ming (1405-1433), Kaisar Yung-Le memerintahkan Cheng Ho untuk melakukan kunjungan persahabatan ke negara-negara di Asia Tenggara. Ekspedisi pertamanya dilakukan pada tahun 1405, ia singgah di bandar Samudera

23Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 76-77. 24H. J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 146. 25Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur…, h. 28. 26De Graaf, Cina Muslim..., h. 146. 27Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 80-81.

4

Pasai dan bertemu dengan Samudera Pasai bernama Zainal Abidin Bahian Syah untuk mengadakan hubungan politik dan dagang. Setelah adanya hubungan baik itu, maka semakin banyak pedagang Tionghoa yang datang ke Samudera Pasai dan banyak di antara mereka melakukan perkawinan dengan penduduk setempat.28 Menurut prasasti Tain Fei Ling Ying Zhi Ji29 (Catatan tentang Kemujaraban Dewi Sakti), Cheng Ho melakukan perjalanan muhibbah sebanyak tujuh kali.30 Tjandrasasmita mengatakan sebelum kedatangan Cheng Ho ke Nusantara di abad ke-15, etnis Tionghoa Muslim sudah aktif di Indonesia. Dalam menjalankan misi dari Dinasti Ming, perjalanan serta pelayaran yang dilakukannya mempunyai arti penting bagi rakyat Tiongkok. Ekspedisi pelayaran Cheng Ho membawa 63 unit kapal dengan awak kapal berjumlah sekitar 27.000. Pengaruh yang dihasilkan dari pelayarannya tidak hanya dirasakan rakyat Tiongkok saja, namun juga umat Islam Nusantara, termasuk Indonesia sekarang ini.31 Kesuksesan besar dari pencapaian Cheng Ho dalam misi pelayarannya di samping faktor kekuatan militer, juga karena didukung identitasnya sebagai seorang Muslim. Identitas keislaman mampu menjadi perekat sosial dan menciptakan solidaritas emosional dalam wilayah “jaringan Muslim” di pesisir Samudra Hindia ketika itu. Bersamaan dengan misi pelayaran, agama Islam sudah menguasai hampir di setiap pos strategis perdagangan.32 dalam Ying-yai Seng-Lan, ketika mendarat di Jawa, mendapati etnis Tionghoa Muslim. Mereka melakukan salat dan berpuasa pada bulan Ramadhan.33 Di sisi lain, kehadiran Cheng Ho mendorong semangat keislaman penduduk lokal, khususnya daerah yang baru berkenalan dengan Islam. Kehadiran armada Cheng Ho selalu disambut dengan antusias oleh penduduk setempat dan pemuka agamanya, sebagaimana yang ditunjukkan Maulana Malik Ibrahim (w. 1419), salah seorang wali yang tinggal di Gresik, menerima rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho juga tidak memaksa pengikutnya yang ingin tinggal menetap di Jawa untuk bergabung dan membaur dengan komunitas Islam lainnya guna menyebarkan Islam. Hampir setiap wilayah pesisir yang disinggahinya, Cheng Ho selalu menempatkan etnis Tionghoa Muslim di daerah-daerah seperti di Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya.34 Kedatangan Cheng Ho ke berbagai daerah di Nusantara memberikan kemajuan dalam berbagai bidang seperti bercocok tanam, alat bajak dari besi, beternak,

28Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu..., h. 83-84 29Prasasti ini dibangun oleh Cheng Ho di Changle Provinsi Fujian (Hokkian). 30Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 60-61. 31Uka Tjandrasasmita, “Laksamana Cheng Ho dan Penyebaran Islam di Asia Pasifik”, Seminar Internasional Fakultas Dakwah IAIN Jakarta, 28 Agustus 1993. 32Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 89. 33Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433). Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The University Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 93.; Lihat juga Claudine Salmon, “The Chinese Community of Surabaya, from Its Origins to the 1930s Crisis”. Chinese Southern Diaspora Studies, vol. 3, 2009, h. 23. 34Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa..., h. 91

5 perdagangan seni ukir, seni bangunan (arsitektur) dan seni budaya lainnnya. Bahkan, bangsa Indonesia hingga saat ini masih memanfaatkan produk dari hasil pengetahuan etnis Tionghoa seperti tahu, tauco, mie, bihun, kwetiaw, kecap, bakpao, bakso, bakpia, capcay, kain sutra, keramik, porselen, kembang api, mercon, dan sebagainya. Sementara itu, dari Nusantara Cheng Ho membawa tanaman kayu manis, lada, cengkeh, dan sebagainya.35 Dalam konteks kedatangan awal etnis Tionghoa di Nusantara menurut Hidayat pada umumnya mereka hanya terdiri dari laki-laki saja, dan keadaan ini berlangsung sampai berakhirnya Perang Dunia I.36 Etnis Tionghoa kemudian mengadakan perkawinan dengan perempuan lokal, baik dengan perempuan bangsawan maupun rakyat biasa. Dari perkawinan silang tersebut muncul istilah “Cina peranakan” sebagai imbangan dari “Cina totok”.37 Di era pra kolonial, tradisi ini dikenal dengan “kawin silang” antara Tionghoa-Jawa. Bahkan, banyak orang Jawa yang bangga menyatakan dirinya sebagai keturunan Tionghoa. Raynal dalam Histoire Philosophique et Politique sebagaimana dikutip Lombard menulis penduduk pulau Jawa menganggap dirinya keturunan Tionghoa, meskipun agama dan adat istiadatnya tidak lagi sama.38 Sementara Pires memberi kesaksian tentang keharmonisan etnis pribumi dan Tionghoa, bahkan Pires melihat ada penguasa Tionghoa yang memberikan anak perempuannya kepada vasal39 Jawa untuk dinikahi.40 Pasca kedatangan Belanda ke Indonesia, tradisi ini lambat laun lenyap. Belanda memisahkan pribumi Jawa dan Tionghoa yang dianggap sebagai “orang asing dari Timur”. Pemisahan ini terjadi setelah etnis Tionghoa dianggap oleh Belanda sebagai pesaing utama dalam bidang perdagangan. Puncaknya terjadi pada Oktober 1740 ketika Belanda melakukan pembantaian massal yang dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian etnis Tionghoa), dimana ribuan orang dibunuh dan ratusan rumah dibakar.41 Pada saat etnis Tionghoa yang ada di Jawa mengalami pembantaian massal oleh Belanda, Kekaisaran Tiongkok saat itu sudah beralih ke Dinasti Manchu tidak memerdulikan nasib etnis Tionghoa, bahkan mereka menganggap etnis Tionghoa rantau tidak ada hubungannya dengan etnis Tionghoa daratan. Bangsa Manchu sangat antipati terhadap Islam, bahkan mereka khawatir melihat perkembangan

35Yuanzhi, Muslim Tionghoa…, h. 20-21. 36Z. M. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1984), h. 75. 37Liem Tian Joe, Riwayat Semarang 1416-1931, (Semarang: 1933), h. 12. 38Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, (Jakarta: 1996), h. 46- 47. 39Vasal adalah seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasabiasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual protection), atau pemberian upeti, dan menerima jaminan jaminan serta imbalan tertentu sebagai gantinya. Sistem ini telah ada sebelum hingga berakhirnya feodalisme di Eropa pada abad pertengahan. Selain di Eropa, sistem ini juga ditemukan pada kekaisaran Mongolia, Jepang (Gokenin), dan lainnya. 40Tome Pires, Suma Oriental, edited & translated by Armando Cortesso, (London: 1944), h. 179. 41Wiryomartono, “Urbanism and Ethnic…, h. 105-127.

6

Tionghoa Muslim perantauan di Asia Tenggara, yang dianggap bisa mengancam eksisitensi Konfusianisme dan Taoisme sebagai agama leluhur mereka. Untuk itu mereka menarik secara besar-besaran Jung-jung yang ada di Asia Tenggara sampai ke Asia Timur dan pantai barat India untuk dibakar.42 Karena merasa punya kesamaan “visi dan misi”, Belanda mengadakan koalisi dengan pemerintah Tiongkok untuk mendatangkan etnis Tionghoa yang berhaluan Konfusius (non Islam) untuk dipekerjakan di sektor pertanian (Jawa), perkebunan (di Kalimantan), pertambangan (di Sumatera) dan lain-lain. Pengiriman gelombang imigran dari Tiongkok itu di samping menguntungkan Belanda secara ekonomi juga sejalan dengan keinginan pemerintah Tiongkok untuk memutus historisitas Tionghoa Muslim di Jawa khususnya.43 Itulah sebabnya kenapa di Jawa atau di Indoneisa pada umumnya yang tampak adalah Konfusianisme ketimbang Islamnya. Imigran Tionghoa yang datang ke Nusantara sudah pula membawa isteri dan anak-anaknya, mereka kebanyakan berasal dari suku Hokkian, Hakka dan Canton. Sampai pertengahan abad ke-19, suku Hokkian merupakan dominant group, menyebar ke seluruh wilayah Nusantara untuk bertani dan berdagang, serta sebagai tukang, buruh perkebunan dan pertambangan.44 Pada masa kolonial Belanda memerintah, mereka membuat kebijakan yang sangat rasialis dengan membagi masyarakat menjadi tiga kelas. Orang Eropa diposisikan sebagai warga kelas satu, etnis Tionghoa termasuk dalam warga Timur Asing atau warga kelas dua, dan penduduk asli (pribumi) diposisikan sebagai kelas yang paling akhir. Nugrahanto mengatakan Belanda juga menciptakan kawasan pecinan untuk etnis Tionghoa. Mereka hanya boleh tinggal di daerah pecinan dan tidak boleh tinggal berbaur dengan masyarakat pribumi.45

42A. Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 110. 43C. I. Ratnapuri, “Chinese Ethnic Perspective on the Confucius Values of Leadership in West Fuqing Organization”. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, vol. 28, 2020.; R. Theo & M. W. Leung, “China‟s Confucius Institute in Indonesia: Mobility, Frictions and Local Surprises”. Sustainability, vol. 10, no. 2, 2018, h. 530.; E. Sutrisno, “Confucius is Our Prophet: The Discourse of Prophecy and Religious Agency in Indonesian Confucianism”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 669-718. 44V. Purcel, The Chinese in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1962), h. i.; K. Ismail, “Imperialism, Colonialism and their Contribution to the Formation of Malay and Chinese Ethnicity: An Historical Analysis”. Intellectual Discourse, vol. 28, no. 1, 2020, h. 171-193.; J. Stenberg, “From the (Tang) General to the (Jakarta) Specific: Xue Rengui across Time and Space”. Asian Studies Review, 2020, h. 1-19.; H. Y. Kuo, “South Seas Chinese in Colonial”. Framing Asian Studies: Geopolitics and Institutions, 2018, h. 231. 45Widyo Nugrahanto, Bertahan di Perantauan: Wacana Cina Muslim di Nusantara Abad ke 15 dan ke 16, (Bandung: Uvula Press, 2007), h. 166-167.; Lihat juga S. Sudjarwo, & P. Pujiati, “The Shifting Tradition of Ethnic Chinese Weddings at Pecinan Village Bandar Lampung City”. Research on Humanities and Social Sciences, vol. 8, no. 12, 2018, h. 58- 65.; D. Rizaldi, “Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung”. International Journal Pedagogy of Social Studies, vol. 3, no. 2, 2018, h. 133-141.

7

Penulis melihat sebagaimana Nugrahanto di atas bahwa kebijakan pemerintah Belanda dengan membentuk kawasan pecinan dimaksudkan supaya Belanda lebih mudah mengawasi gerak-gerik mereka, juga agar hubungan baik antara etnis Tionghoa dan rakyat pribumi menjadi retak. Sebab, Belanda khawatir jika etnis Tionghoa bersatu dengan pribumi akan menjadi sebuah kekuatan baru yang bisa mengancam eksistensi mereka. Dengan tinggalnya etnis Tionghoa di kawasan pecinan membuat mereka merasa berbeda dengan pribumi. Begitupun etnis pribumi merasa berbeda dengan etnis Tionghoa. Pada akhirnya, perasaan berbeda itu tidak menciptakan perasaan kebersamaan, yakni tidak ada lagi sense of belonging dan sense of care di antara mereka. Keadaan ini membuat pemerintah Belanda dengan mudah menguasai dengan memanfaatkan kondisi yang ada. Politik Devide et Impera46 yang diciptakan Belanda berhasil memecah belah hubungan antara etnis pribumi dan Tionghoa. Sejak saat itu, sikap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terjadi, bahkan sebagian masih terjadi hingga kini.47 Dengan kebijakan politik sebagaimana disebutkan, etnis Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab dan India digolongkan sebagai golongan timur asing. Pada masa kemerdekaan, golongan timur asing dianggap sebagai warga negara Indonesia apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan setia pada negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945, Bab X, Pasal 26, Ayat 1. Namun, pada pelaksanaannya ada perlakuan yang berbeda bagi etnis Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk mayoritas masyarakat Indonesia, maka mereka dianggap “pri” (pribumi) atau bahkan “asli”, sedangkan etnis Tionghoa, karena agamanya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budhis dan Nasrani, termasuk juga etnis India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “non pri”. Dengan stigma “non pri”, kedudukan mereka yang bukan pribumi, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan, pada masa Orde Baru, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan presiden yang menekan, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi paksa, sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh mengekspresikan budayanya. Beberapa peraturan tersebut dapat dilihat dalam beberapa Keputusan Pemerintah Indonesia, seperti Pelarangan Sekolah dan Penerbitan Surat Kabar Berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama dan Kepercayaan serta Adat Istiadat Keturunan Cina; Keputusan Presiden No. 240/1967 tentang Kebijakan Pokok

46K. Saddhono & S. Supeni, “The Role of Dutch Colonialism in the Political Life of Mataram Dynasty: A Case Study of the Manuscript of Babad Tanah Jawi”. Asian Social Science, vol. 10, no. 15, 2014, h. 1-7. 47S. Lubis & R. Buana, “Stereotypes and Prejudices in Communication between Chinese Ethnic and Indigenous Moslem in Medan City, North Province– Indonesia”. Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, vol. 2, no. 2, 2020, h. 513-522.; S. Turner & P. Allen, “Chinese Indonesians in a rapidly changing nation: Pressures of ethnicity and identity”. Asia pacific viewpoint, vol. 48, no. 1, 2007, h. 112-127.; C. Y. Hoon, “Assimilation, multiculturalism, hybridity: The dilemmas of the ethnic Chinese in post-Suharto Indonesia”. Asian Ethnicity, vol. 7, no. 2, 2006, h. 149- 166.

8 menyangkut WNI Keturunan Asing; dan Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina.48 Kategorisasi pribumi dan non pribumi yang direproduksi selama masa Orde Baru membuat etnis Tionghoa semakin mengeksklusifkan diri. Akan tetapi, serangkaian usaha pembatasan ini juga diiringi dengan langkah pemerintah yang mendukung komunitas etnis Tionghoa untuk melakukan ekspansi bisnis dalam segala sektor. Komunitas etnis Tionghoa di Indonesia lebih mengedepankan hubungan kekerabatan inter-etnis daripada membangun relasi dengan masyarakat lokal tempat mereka bermukim. Dalam sudut pandang sebagian masyarakat lokal, kecenderungan etnis Tionghoa untuk mengeksklusifkan diri memperuncing segregasi, karena mayoritas etnis Tionghoa dominan dalam sektor ekonomi.49 Kebijakan asimilasi50 secara menyeluruh diterapkan selama pemerintahan Orde Baru (1966-1998). Pemerintah menegaskan bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli.51 Namun, dalam praktik seringkali asimilasi berjalan dengan kabur dan bertentangan, bahkan beberapa kebijakan Orde Baru cenderung anti-asimilasi karena pertimbangan kondisi politis. Sebagai contoh, toleransi terhadap agama- agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non pribumi cenderung malahan memilah, dan bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan orang Indonesia

48A. Dawis, “Chinese Education in Indonesia: Developments in the Post-1998 Era”. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, h. 75-96.; L. Suryadinata, “Indonesian State Policy Towards Ethnic Chinese: From Assimilation to Multiculturalism”. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculture, 2004, h. 1-16.; A. Freedman, “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia”. Asian Ethnicity, vol. 4, no. 3, 2003, h. 439-452. 49D. Susilo, “Chinese Cultural Values and its Influence on Chinese Indonesian Entrepreneurial Culture”. Asian People Journal (APJ), vol. 3, no. 1, 2020, h. 201-208.; M. Z. Tadjoeddin, “Inequality and Exclusion in Indonesia”. Journal of Southeast Asian Economies, vol. 36, no. 3, 2019, h. 284-303.; H. Liu & Y. Zhou, “New Chinese Capitalism and the ASEAN Economic Community”. In The sociology of Chinese capitalism in Southeast Asia, (Palgrave Macmillan, Singapore, 2019), h. 55-73. 50Asimilasi adalah proses perubahan kebudayaan secara total akibat membaurnya dua kebudayaan yang asli, atau kebudayaan yang lama tidak nampak lagi. Koentjaraningrat mendefinisikan pembauran sebagai suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar kebudayaannya yang berbeda. Setelah mereka bergaul secara intensif, sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran. Lihat D. Parisi, F. Cecconi, & F. Natale, “Cultural Change in Spatial Environments: the Role of cultural assimilation and internal changes in cultures. Journal of Conflict Resolution, vol. 47, no. 2, 2003, h. 163-179.; M. C. Dato-on, “Cultural Assimilation and Consumption Behaviors: A Methodological Investigation”. Journal of Managerial Issues, 2000, h. 427-445.; J. M. Yinger, “Toward a Theory of Assimilation and Dissimilation”. Ethnic and Racial Studies, vol. 4, no. 3, 1981, h. 249-264. 51G. Dwipayana dan R. K. Hadimadja, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), h. 279.

9 asli.52 Artinya, etnis Tionghoa tetap terpisah dari komunitas tuan rumah (Indonesia).53 Jadi, menurut penulis dalam prakteknya tidak terjadi pembauran. Kebijakan asimilasi yang digaungkan pemerintah Orde Baru menurut beberapa pengamat gagal karena tidak diikuti dengan produk-produk hukum yang mendukung terjadi pembauran, sehingga kebijakan asimilasi tidak membuahkan hasil yang yang maksimal. Sama hal juga dengan program yang dijalankan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencoba mengindonesiakan etnis Tionghoa adalah bukan solusi yang tepat. Pembauran menurut Kite harusnya dipusatkan pada usaha memperbaiki hubungan antar dua kelompok. Pembauran bukan berarti tanpa perbedaan; pembauran bukan berarti kehilangan kebudayaan, biarkan pembauran berjalan secara alami.54 Pasca jatuhnya Soeharto yang diawali oleh demonstrasi massif dari mahasiswa dan kerusuhan anti- Tionghoa pada Mei 1998 membuat konsep asimilasi pemerintah Indonesia mengalami perubahan secara bertahap, yang puncaknya terjadi pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur55 menetapkan konsep bangsa Indonesia yang non-rasial. Lebih lanjut Ia mengatakan Indonesia terdiri dari berbagai etnik yang membentuk kebangsaan kita. Salah satu etnik tersebut adalah etnis Tionghoa sebagai bagian terpadu dari bangsa Indonesia. Ia mengakui etnis Tionghoa dalam aspek budaya termasuk agama dan kepercayaan mereka, juga tidak melihat kontradiksi antara etnisitas Tionghoa dan konsep bangsa Indonesia. Meskipun demikian, ia menekankan arti pentingnya kesetiaan politik dan penerimaan atas nasionalisme Indonesia yang harus dimiliki oleh mereka.56 Dengan kata lain, konsep ini memberi pengakuan keberadaan budaya etnis sebagai bagian dari budaya Indonesia dengan memberikan kebebasan kepada masing-masing etnis untuk mengekspresikan budayanya.

52L. Suryadinata, “Chinese Indonesians in Post-Suharto Indonesia: Democratisation and Ethnic Minorities by Chong Wu-Ling”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 35, no. 1, 2020, h. 165-168.; H. Kurniawan, “Ethnic Chinese during the New Order: Teaching Materials Development for History Learning based on Multiculturalism”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 30, no. 1, 2020, h. 46-54.; W. Wasino, S. Putro, A. Aji, E. Kurniawan & F. A. Shintasiwi, “From Assimilation to Pluralism and Multiculturalism Policy: State Policy Towards Ethnic Chinese in Indonesia”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 29, no. 2, 2019, h. 213-223. 53D. F. Anwar, “Indonesia-China Relations: Coming Full Circle?. Southeast Asian Affairs, no. 1, 2019, h. 145-161. 54E. Kite, “Chinese Cultural Identity: Suharto's Wisdom and its Success in Achieving Complete Integration”. In ACICIS Field Report, (Malang: Muhammadiyah University, 2004), h. 1-39. 55Ketika A. Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, ia mencabut Peraturan No.14/1967 yang membatasi praktik adat istiadat dan agama etnis Tionghoa pada tingkat pribadi. Ia juga merayakan Tahun Baru etnis Tionghoa secara terbuka dengan etnis Tionghoa yang disponsori oleh perhimpunan keagamaan Konghucu Indonesia (Matakin). 56A. Wahid, “Beri Jalan Orang Cina”, dalam J. Jahja (peny.), Nonpri di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991). h. 224–228.

10

Secara legal formal konsep di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Gus Dur mengeluarkan kebijakan revitalisasi adat istiadat dan kepercayaan Tionghoa sekaligus mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Kebijakan ini selanjutnya didukung oleh Presiden Megawati dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari nasional.57 Pergeseran iklim politik tersebut mendorong etnis Tionghoa untuk berpartisipasi dalam masyarakat Indonesia. Pembauran etnis Tionghoa bisa dilihat dalam keterlibatan mereka dalam berbagai sektor kehidupan. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sebagai organisasi di internal Tionghoa Muslim melakukan upaya konsolidasi untuk beradaptasi sekaligus eksistensi. Tionghoa Muslim berbaur dengan masyarakat dan aktif di berbagai organisasi serta tidak menonjolkan sebagai etnis Tionghoa.58 PITI menggunakan strategi pendekatan kebudayaan agar efektif dalam berdakwah, mereka tetap mempertahankan identitas etnis Tionghoa dan beradaptasi dengan budaya setempat.59 Sunano mengatakan pola dakwah dengan merayakan Tahun Baru etnis Tionghoa dalam bentuk pengajian Imlek perlu dikembangkan dengan mengkaji berbagai tradisi kebudayaan Tionghoa yang tidak menjadi bagian dari ritual agama.60 Dengan melakukan demistifikasi kebudayaan Tionghoa dan diadopsi menjadi bagian kebudayaan Islam, akan memberikan pengaruh yang berbeda dalam pola dakwah Islam sekarang yang makin kering budaya dan hanya berkutat pada doktrin. Konsep sebagaimana di atas juga direalisasikan di Cirebon karena mereka memiliki hubungan erat dalam aspek sejarah. Menurut naskah Purwaka Tjaruban Nagari61 etnis Tionghoa sudah ada di Cirebon jauh sebelum Kesultanan Cirebon berdiri. Hubungan Keraton Cirebon dengan etnis Tionghoa sudah terjalin lama yang ditandai dengan keberadaan etnis Tionghoa sejak tahun 1415 M. Peristiwa monumental itu terjadi pada saat pasukan dari Tiongkok yang dinahkodai Cheng Ho mendarat di pelabuhan Cirebon dengan membawa pasukan lebih dari 23.000 dengan

57E. Kuntjara, & C. Y. Hoon, “Reassessing Chinese Indonesian stereotypes: two decades after Reformasi”. South East Asia Research, 2020, h. 1-18.; S. Suprajitno, “Reconstructing Chineseness: Chinese Media and Chinese Identity in Post-Reform Indonesia”. Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, vol. 27, no. 1, 2020.; Z. Alkatiri, A. L. Waworuntu, F. Gani & R, De Archellie, “Medan Chinese and Their Stigma: Grabbing Power in Multicultural Society. International Review of Humanities Studies, vol. 4, no. 1, 2019. 58E. Purwati & E. F. Rusydiyah, “Transformative Islamic Education of Convert Chinese Muslim”. Journal of Talent Development and Excellence, vol. 12, no. 1, 2020, h. 164-178. 59A. Rohman, “Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy”. Journal of Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24. 60Sunano, Muslim Tionghoa di Yogyakarta, (Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2017), h. 325. 61Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 31.; Lihat juga B. S. Budi, “Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon) 1972”. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, no. 4, 2005, h.1-8.

11

63 perahu. Filolog Cirebon, Raden Ahmad Rafan Safari Hasyim menjelaskan, Cheng Ho menginap di Cirebon selama tujuh hari. Dalam waktu singkat tersebut pasukan Cheng Ho ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk Cirebon. Jadi, hubungan antara Cirebon dan Tiongkok sangat erat dan sudah terjadi jauh sebelum ada Kerajaan Cirebon.62 Menurut laporan Ma Huan sebagaimana dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan, Cirebon tertulis dengan nama Che Li Wen.63 Che Li Wen adalah salah satu daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho beserta pasukannya pada tahun 1415. Kunjungan ini juga terdapat dalam kitab Purwaka Caruban Nagari yang menyebut istilah Cirebon berasal dari kata “Caruban”, kemudian “Carbon” dan akhirnya Cirebon. Caruban berarti campuran, karena tempat itu dahulunya didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa, agama, bahasa dan tulisan mereka menurut bawaannya masing- masing serta pekerjaan mereka berlainan. Sementara kata “Carbon” menurut para wali disebut “Puser Jagad” karena Cirebon terletak di tengah-tengah pulau Jawa. Penduduk setempat menyebut Cirebon dengan sebutan Nagari Gede, lama kelamaan diucapkan oleh orang kebanyakan menjadi “Garage”, dan selanjutnya menjadi “Grage”. Menurut penduduk setempat “Grage” berasal dari Glagi yaitu nama udang kering untuk bahan membuat terasi. Secara bahasa, Cirebon berasal dari Ci-rebon. “Ci” dalam bahasa Sunda artinya air, sedangkan “rebon” adalah sejenis udang kecil yang merupakan bahan untuk membuat terasi.64 Berdasarkan peta dunia yang dibuat Diego Ribeiro tahun 1529, Cirebon ketika itu disebut dengan nama Tjurban. Sementara perjalanan orang-orang Belanda pertama kali mendarat di Banten tahun 1596. Diberitakan bahwa kota Charabaon (Cirebon) itu indah dan besar, diperkokoh dengan tembok yang kuat dan terdapat sungai yang mengandung air tawar. De Haan mengatakan tembok yang mengelilingi Keraton Cirebon dibuat sekitar tahun 1590 atas prakarsa Senopati Mataram sebagai tanda perekrutan dengan Panembahan Ratu.65 Lain halnya Pires yang pernah berkunjung ke Cirebon, dimana ia bercerita tentang kondisi pelabuhan Cirebon, barang komoditi yang diperjualbelikan serta jumlah penduduk yang ada. Dari catatan Pires dapat diketahui pada masa itu Cirebon memiliki pelabuhan yang bagus dan ramai. Banyak kapal yang berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk dan beberapa lancara. Mengenai kapal, Pires hanya mencatat junk dan lancara, sebab pada masa itu berlaku tradisi menilai sebuah pelabuhan dari kemampuannya dilabuhi kapal besar yaitu junk dan lancara. Meskipun perahu-perahu kecil tidak tercatat dalam tulisan Pires, namun keberadaannya dipastikan lebih banyak. Keramaian pelabuhan Cirebon juga dapat dilihat dari jumlah penduduknya yang sudah mencapai seribu jiwa dengan lima atau enam saudagar, salah satunya Pate

62“Sejarah Warga Tionghoa di Cirebon”, dalam Radar Cirebon, 29 Januari 2017. http://www.radarcirebon.com/tag/sejarah-warga-tionghoa, (Diakses, 23 Januari, 2019). 63Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian:…, h. 23. 64Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972), h. 31.; Lihat juga A. Sobana Hardjasaputra dan Tawalimuddin Haris (ed.), Cirebon dalam Lima Zaman Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), h.19-20. 65F. de Haan, Oud Batavia, (Bandung: 1935), h. 38.

12

Quedir seorang saudagar yang cerdik, berani dan dihormati.66 Dari catatan ini juga dapat diketahui bahwa salah satu barang komoditi Cirebon adalah beras. Hubungan antara etnis Tionghoa dengan pihak keraton telah terjadi sejak Syarif Hidayatullah (1479-1568).67 Hubungan di antara mereka menjadi semakin akrab dengan dipersuntingnya putri Ong Tien sebagai salah satu istri Sunan Gunung Djati. Ong Tien adalah putri kaisar dari Dinasti Ming. Konon putri ini jatuh hati pada Sunan Gunung Jati setelah pandangan pertamanya. Walaupun kaisar tidak mengijinkan namun putri tetap bersikeras pada keinginannya, hingga kaisar mengijinkannya. Dengan membawa barang-barang berharga dari istana negeri Tiongkok seperti guci, piring, pot dan benda-benda keramik lainnya, puteri bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar Kekaisaran Tiongkok yang dikawal oleh Panglima Lie Guan Cang dan nakhoda Lie Guan Hian. Setelah sampai di Cirebon, dilangsungkan pernikahan antara Sunan Gunung Djati dengan putri Ong Tien. Putri dan para pengawalnya masuk Islam dan beralih nama dengan Ratu Mas Rara Sumanding.68 Penulis sepakat dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa dari puteri Tiongkok inilah perluasan Keraton Cirebon banyak menggunakan hiasan dinding dari porselen buatan Tiongkok. Tidak sedikit pula hiasan berbentuk guci dari Dinasti Ming yang dibawa ke Cirebon seperti yang masih tersimpan sekarang. Dalam segi pemerintahan, etnis Tionghoa juga memiliki kedudukan yang cukup penting yaitu dengan diangkatnya seorang berkebangsaan Tiongkok sebagai Sah Bandar di Cirebon. Sah Bandar ini bertanggung jawab atas pengawasan kegiatan di pelabuhan dan berperan sebagai penghubung antara pedagang asing yang akan masuk ke Cirebon dengan Sultan Cirebon. Dalam bidang yang lain, etnis Tionghoa ini juga dikenal baik dalam hal kemampuannya dalam pembuatan uang logam. Dalam kepandaian tersebut mereka telah memperoleh kepercayaan yang tinggi dari para Sultan Cirebon. Hal itu diketahui dari data sejarah yang menyatakan bahwa setelah wafatnya dua pembesar Cirebon yaitu Reksanegara dan Suradinata yang bertugas membuat uang logam, para Sultan Cirebon mengontrak etnis Tionghoa untuk membuat mata uang logam Cirebon.69 Dunia perdagangan di Cirebon ketika itu tidak hanya mengenal uang logam yang dikeluarkan oleh Kerajaan Cirebon, tetapi juga mengenal uang-uang lain dalam perdagangan. Uang-uang tersebut antara lain adalah sour dari Perancis, mata

66Pires, Suma Oriental..., h. 183. Lihat juga P. H. Djajadiningrat, “Kanttekeningen bij, Het Javaanse rijk Tjerbon in de eerste eeuwen van zijn bestaan”. (Nr. 1487). Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, vol. 113, no. 4, 1957, h. 380-392. 67A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Mertasinga, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005).; A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Kuningan, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007). 68P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 21-22. 69A. Schottenhammer, “China‟s Increasing Integration into the Indian Ocean World Until Song 宋 Times: Sea Routes, Connections, Trades”. In Early Global Interconnectivity Across the Indian Ocean World, vol. I, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019), h. 21-52.; S. Suparman, S. Sulasman, & D. Firdaus, “Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century”. Tawarikh, vol. 9, no. 1, 2017, h. 49-58.

13 uang dari Inggris, Hindia Belanda dan kepeng-kepeng Tiongkok. Di antara mata uang yang ada, uang picis buatan Cirebon merupakan alat pembayaran yang kurang bagus dan nilainya turun naik. Untuk itulah pada perkembangan selanjutnya, mata uang logam Cirebon menggunakan huruf latin dan huruf Tiongkok.70 Pemakaian huruf latin mungkin lebih disebabkan oleh faktor politik dimana kekuasaan dari pengaruh Belanda telah begitu kuat dalam pemerintahan Kesultanan Cirebon. Tentang pemakaian huruf Tiongkok kemungkinan disebabkan oleh karena pembuatnya adalah etnis Tionghoa yang dikontrak Sultan Cirebon. Selain itu, keberadaan jenis huruf Tiongkok mungkin juga dilatarbelakangi oleh penguasa, agar mata uang Cirebon dapat lebih diterima dalam perdagangan saat itu. Pada masa itu picis-picis Tiongkok memegang peranan penting dalam perdagangan di Jawa,71 hingga mampu menguasai sebagian besar pemakaian uang. Dalam konteks ini, etnis Tionghoa di Indonesia telah ikut memperkaya dan diperkaya oleh kebudayaan suku- suku Indonesia lainnya, sehingga terjadi akulturasi yang unik dan amat kaya manifestasinya pada ragam budaya Indonesia. Penulis melihat akulturasi yang intens terjadi pada masa pra kolonial terutama pada abad XV dan XVI. Clyne dan Jupp mendefinisikan akulturasi sebagai sebuah keniscayaan dan tidak bisa dihindari apalagi dengan meningkatnya pernikahan antar etnis. Menurut keduanya akulturasi berbeda dengan asimilasi, dimana dalam akulturasi kelompok atau individu tidak kehilangan identitas asalnya, sedangkan asimilasi berarti penghapusan karakteristik yang ada pada masing-masing kelompok atau individu.72 Sementara Berry berpendapat akulturasi dalam praktiknya cenderung mendorong lebih banyak perubahan di salah satu kelompok daripada yang lainnya, sedangkan asimilasi bersifat reaktif dan kreatif karena merangsang wujud-wujud budaya baru yang tidak ditemukan dalam salah satu budaya yang terjadi kontak.73 Berry dalam karyanya yang lain mengatakan asimilasi merupakan salah satu jenis akulturasi. Artinya, akulturasi juga bisa menimbulkan tumbuhnya budaya baru yang tidak ada pada kelompok-kelompok tersebut.74 Lebih jauh Berry mengatakan akulturasi tidak hanya terjadi pada budaya tetapi juga pada psikologis seseorang. Akulturasi psikologis terjadi sebagai akibat dari adanya individu yang berakulturasi. Dalam konteks ini faktor budaya mempunyai pengaruh yang signifikan pada perkembangan dan tampilan perilaku individu.75 Akulturasi psikologis dipengaruhi banyak faktor, tidak hanya faktor masyarakat asal tetapi juga oleh masyarakat permukiman baru. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah tentang imigrasi,

70Z. Masduqi, “Penggunaan Dinar-Dirham dan Fulus: Upaya Menggali Tradisi yang Hilang (Studi Kasus di Wilayah Cirebon)”. Holistik, vol. 13, no. 2, 2012. 71R. Ptak, “China and the Trade in Cloves, circa 960-1435”. Journal of the American Oriental Society, 1993, h. 1-13. 72M. Clyne & J. Jupp (ed.), “Epilogue: A Multicultural Future”. In Multiculturalism and Integration: A Harmonious Relationship, (ANU Press, 2011), h. 191-198. 73J. W. Berry, “Acculturation and Adaptation in a New Society”. International Migration, vol. 30, 1992, h. 69-69. 74J. W. Berry, “Globalisation and Acculturation”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336. 75J. W. Berry, “Cross‐cultural Psychology: A Symbiosis of Cultural and Comparative Approaches”. Asian Journal of Social Psychology, vol. 3, no. 3, 2000, h. 197-205.

14 ideologi dan sikap dominan masyarakat pendatang, serta dukungan sosial, dan yang tidak kalah pentingnya lagi adalah tingkat pribadi seseorang dalam beradaptasi ikut berkontribusi pada akulturasi psikologis.76 Ilmuwan yang menganggap sama konsep akulturasi dan asimilasi dapat ditelusuri dalam pendapat Gillin dan Gillin misalnya, memparalelkan dua konsep tersebut dengan mengatakan asimilasi dan akulturasi dapat terjadi apabila terpenuhi beberapa hal, di antaranya ada toleransi; kesempatan dalam bidang ekonomi; penghormatan terhadap orang lain dan kebudayaannya; perkawinan campur; dan adanya ancaman dari luar.77 Sementara Koentjaraningrat ikut mendefinisikan akulturasi sebagai sebuah proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Seperti telah diuraikan sebelumnya, suatu unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.78 Dari beberapa teori akulturasi di atas, penulis cenderung mengikuti pendapat Berry dan Koentjaraningrat, serta tidak sependapat dengan teorinya Gillin yang menganggap sama antara akulturasi dan asimilasi. Menurut penulis dalam akulturasi masing-masing kelompok tidak kehilangan identitas etnis. Kedua kebudayaan atau lebih itu bertemu dan membentuk kebudayaan baru tanpa keduanya kehilangan ciri khas masing-masing. Sementara di dalam asimilasi masing-masing etnis kehilangan keunikannya, lalu muncul suatu budaya baru yang tidak ada di masing-masing kelompok atau biasa disebut melting pot.79 Secara umum masyarakat di belahan dunia manapun memiliki unsur-unsur budaya yang universal berupa bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup, mata pencaharian, kesenian, dan bahkan agama. Dalam proses akulturasi budaya ini terjadi perubahan pada masing-masing unsur budaya. Perubahan tersebut tergantung pada intensitas interaksi sosial yang terjadi pada kedua budaya ini dan

76J. W. Berry, “Achieving a Global Psychology”. Canadian Psychology, vol. 54, no. 1, 2013, h. 55. 77Gillin & Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of an Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1948), h. 529-530. 78Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990). 79Melting pot (kuali peleburan) adalah metafora untuk masyarakat heterogen yang semakin homogen. Elemen yang berbeda “melebur menjadi satu” sebagai suatu kesamaan budaya yang harmonis. Teori melting pot pertama kali menjadi terkenal ketika pada 1782, J. Hector St. John de Crevecoeur, seorang imigran dari Perancis, menggambarkan homogenitas demografis Amerika Serikat sebagai terdiri dari “individu dari semua bangsa.... dicampurkan ke dalam ras manusia baru, yang pekerjaan dan keturunannya suatu hari akan menyebabkan perubahan besar dalam dunia”. Lihat A. Brons, P. Oosterveer, & S. Wertheim-Heck, “Feeding the Melting Pot: Inclusive Strategies for the Multi-ethnic City”. Agriculture and Human Values, 2020, h. 1-14.; M. Berray, “A Critical Literary Review of the Melting Pot and Salad Bowl Assimilation and Integration Theories”. Journal of Ethnic and Cultural Studies, vol. 6, no. 1, 2019, h. 142-151.; F. C. Berumen, “Resisting Assimilation to the Melting Pot”. Journal of Culture and Values in Education, vol. 2, no. 1, 2019, h. 81-95.

15 sikap penerimaan dari masyarakat pendukung kedua budaya tersebut. Begitupun masyarakat Tionghoa yang berdiam di Cirebon sejak awal telah membawa budaya dan tradisi dari tanah leluhur, namun kemudian mengalami akulturasi ketika berinteraksi dengan masyarakat Cirebon. Tylor (antropolog Inggris) dalam bukunya Primitive Culture (1871) mengatakan budaya adalah keseluruhan yang kompleks dari cakupan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan adat istiadat, termasuk kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh setiap orang sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut Tylor mengatakan bahwa budaya dipelajari sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, untuk mempelajari budaya seseorang harus menjadi bagian dari masyarakat.80 Sementara Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan dan tindakan serta hasil karya manusia dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.81 Senada dengan Koentjaraningrat, Soemardjan dan Soemardi mengatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.82 Pertemuan arus kebudayaan dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah, serta bernilai positif karena manusia merupakan makhluk sosial, politis dan ekonomis. Kebudayaan sejatinya merupakan world view83 sekaligus way of life84 dari suatu kelompok masyarakat yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada dasarnya kebudayaan merupakan identitas dari suatu masyarakat. Identitas terinternalisasi ke dalam gagasan keyakinan dan berbahasa, bahkan dalam cara berpakaian dan lainnya yang kemudian mewujud dalam keragaman etnis dan ras. Mengingat budaya yang dihasilkan setiap negara itu berbeda dan variatif, maka arus pertemuan budaya kerap menimbulkan kontestasi dan eskalasi yang melahirkan benturan antara satu

80E. B. Tylor, Primitive Culture, (New York: Harper Torch Books, 1871). 81Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981), h.181. 82Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), h. 113. 83C. Hubley, J. Hayes, M. Harvey, & S. Musto, “To the victors go the existential spoils: The mental-health benefits of cultural worldview defense for people who successfully meet cultural standards and valued goals”. Journal of Social and Clinical Psychology, vol. 39, no. 4, 2020, h. 276-314.; C. Wei, S. Dai, H. Xu, & H. Wang, “Cultural worldview and cultural experience in natural tourism sites. Journal of Hospitality and Tourism Management, vol. 43, 2020, h. 241-249. 84L. Pavlyshyn, O. Voronkova, M. Yakutina, & E. Tesleva, “Ethical Problems Concernig Dialectic Interaction of Culture and Civilization”. Journal of Social Studies Education Research, vol. 10, no. 3, 2019, h. 236-248.; J. Parks, “Defending the American Way of Life: Sport, Culture, and the Cold War ed. by Toby C. Rider”. Journal of Arizona History, vol. 60, no. 3, 2019, h. 388-390.

16 kebudayaan dengan kebudayaan lain atau antara satu peradaban dengan peradaban lainnya.85 Indonesia sebagai bangsa yang berakar pada budaya yang beragam, sudah seharusnya membuat pertemuan arus budaya antara satu sama lain bisa berdampak positif dan saling memperkaya masing-masing kebudayaan. Namun, dalam realisasinya, pertemuan antar budaya bisa juga melahirkan ketimpangan dan benturan jika suatu kelompok mayoritas mendominasi dan memaksakan adanya pembauran terhadap budaya lain yang notabene kelompok minoritas.86 Bahkan, lebih jauh pemerintah membuat seperangkat aturan yang menyudutkan kelompok minoritas. Pemerintah melarang penggunaan simbol-simbol Tionghoa dan dipaksa untuk melepaskan seluruh identitas yang berbau Tionghoa didepan publik. Kebijakan ini tidak pelak lagi menimbulkan benturan-benturan dan letupan sosial.87 Kerusuhan sosial antar etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi terjadi sejak jaman kolonial. Tahun 1740 terjadi kerusuhan besar pertama yang menewaskan 10.000 orang Tionghoa. Kemudian, perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825- 1830. Keadaan ini terus berlanjut di tahun 1965, etnis Tionghoa dianggap terlibat dalam gerakan komunisme, hingga akhirnya seluruh simbol yang bernuansa Tionghoa harus dihapuskan.88 Di masa Orde Baru, pemerintah mengambil langkah yang dianggap penting, salah satunya adalah membersihkan unsur-unsur PKI dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk Tiongkok sebagai negara dan peranakannya yang dianggap sebagai pendukung PKI. Uraian di atas menunjukan bahwa kontak budaya antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi sudah terjalin cukup lama, jauh sebelum Belanda datang ke Nusantara. Maka wajar jika terjadi kontak yang intens termasuk dalam penyebaran ajaran Islam. Kontak budaya yang intens itu melahirkan akulturasi antara kedua kebudayaan baik dalam bentuk fisik seperti arsitektur bangunan, teknologi

85R. Diprose & M. N. Azca, “Conflict Management in Indonesia‟s Post-authoritarian Democracy: Resource Contestation, Power Dynamics and Brokerage”. Conflict, Security & Development, vol. 20, no. 1, 2020, h. 191-221.; G. Gürpinar, “Foreign Policy as a Contested Front of the Cultural Wars in Turkey”. Uluslararası İlişkiler/International Relations, vol. 17, no. 65, 2020, h. 3-21.; J. Abbink, “Religion and Violence in the Horn of Africa: Trajectories of Mimetic Rivalry and Escalation between „Political Islam‟and the State”. Politics, Religion & Ideology, 2020, h. 1-22. 86J. Lee, “Promoting Majority Culture and Excluding External Ethnic Influences: China‟s Strategy for the UNESCO „intangible‟cultural heritage list. Social Identities, vol. 26, no. 1, 2020, h. 61-76.; R. Antony, “Emerging Ethnic Minority Sub-cultures: young Tamils in the Post-war Context in the Tamil-dominated Areas in Sri Lanka”. Ethnic and Racial Studies, vol. 43, no. 10, 2020, h. 1909-1928.; R. Evans, “Interpreting family struggles in West Africa across Majority-Minority world Boundaries: Tensions and Possibilities”. Gender, Place & Culture, vol. 27, no. 5, 2020, h. 717-732. 87L. Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 193-210. 88Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 19.

17 perkapalan, pertanian dan perdagangan.89 Adapun non fisiknya seperti dalam berbahasa dan pola berperilaku antara dua bangsa tersebut. Penulis melihat terjadinya akulturasi dan kontak budaya yang damai ini karena masing-masing pihak mengembangkan sikap toleran, saling menghormati dan menghargai. Hubungan antara etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi berjalan dinamis dan fluktuatif. Awalnya damai, kemudian mengalami konflik setelah kehadiran Belanda di Nusantara. Akibat kebijakan pembagian kelas oleh Belanda, citra etnis Tionghoa dalam pandangan masyarakat pribumi jadi negatif. Stereotip negatif dialamatkan kepada mereka, dan itu berkembang dari masa ke masa. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Orde Baru yang cenderung diskriminatif dan tindakan beberapa orang Tionghoa yang melakukan korupsi dengan jumlah fantastis sehingga merugikan Negara. Berbagai literatur menjelaskan bahwa ada pengaruh etnis Tionghoa di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Cirebon dalam hal ini Kesultanan Cirebon di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, Cirebon adalah kota yang sangat kosmopolitan dan merupakan central aktivitas perdagangan di masa lalu, sehingga itu nyaris tidak mungkin kalau tidak ada jejak etnis Tionghoa dalam kebudayaan Cirebon, khususnya di Kesultanan Cirebon. Indikasi ke arah itu ada beberapa catatan, tetapi sejauh ini belum menjadi perhatian para sarjana. Jadi, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bahwa ada sesuatu yang menurut hipotesis penulis, seharusnya pengaruh Tionghoa di Cirebon itu sangat kuat dan berjejak di dalam artefak-artefak. Dalam konteks itu, ada dua alasan yang bisa penulis kemukakan, yakni pertama, karena Tionghoa sangat berpengaruh di Nusantara, dan kedua karena Cirebon menjadi kota lalu lintas ketika itu. Itu sebabnya tema ini menurut penulis penting untuk ditelusuri dan dikaji lebih jauh lagi. Penelitian ini di samping mengelaborasi akulturasi budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon, juga ingin menganalisis makna simbolik dan filosofis dari hasil perwujudan budaya berupa benda-benda bersejarah di antaranya yaitu Keraton Kasepuhan, makam Astana Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong dan batik Cirebon, serta Taman Air Sunyaragi.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, secara garis besar ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi terkait akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon, di antaranya: 1) Cirebon menyimpan berbagai peninggalan arkeologis yang erat kaitannya dengan produk yang berasal dari Tiongkok, serta letak geografisnya sebagai bekas pelabuhan internasional memungkinkan terjadinya kontak sosial, budaya, dan agama antara etnis Tionghoa dan Cirebon.

89Z. Majchrzyk, “Cultural Identity and Aggression within the Acculturation Framework of the Global World”. Sveikatos, vol. 29, no. 1, 2019, h. 56.; M. Nowak, “The Funnel Beaker Culture in Western Lesser Poland: Yesterday and Today”. Archaeologia Polona, vol. 57, 2019.; D. S. Yu & K. M. A. Malik, “Cultural Islam in Northern Europe”. Baltic Region, vol. 11, no. 3, 2019.

18

2) Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara diawali motivasi ekonomi dan dakwah Islam, serta adanya hubungan antara Muslim di Nusantara dengan Muslim di Tiongkok yang dibuktikan melalui perjalanan Cheng Ho. 3) Pernikahan Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon) dengan Ong Tien putri keturunan etnis Tionghoa. 4) Budaya material dan non-material di Kesultanan Cirebon dihiasi nuansa Tiongkok, sebab sejak awal telah terbentuk hubungan dinamis antara etnis Tionghoa dan penduduk Nusantara. 5) Politik Devide et Impera oleh Belanda, salah satunya bertujuan memecah belah hubungan antara penduduk lokal dan etnis Tionghoa, serta adanya stigma negatif terhadap kaum minoritas etnis Tionghoa di Indonesia.

2. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana akulturasi budaya Tionghoa dan Cirebon pada Kesultanan Cirebon abad XV-XVIII?. Rumusan masalah tersebut diturunkan menjadi pertanyaan-pertanyaan minor sebagai berikut : a. Bagaimana aktivitas sosial-budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon? b. Bagaimana relasi budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon? c. Bagaimana makna simbolik dan filosofis dari wujud budaya Tionghoa dan Cirebon dalam Kesultanan Cirebon?

3. Pembatasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini fokus pada hal-hal yang seharusnya diteliti, maka penulis membatasinya pada beberapa hal sebagai berikut: a. Tema penelitian dibatasi pada akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. b. Objek penelitian adalah benda-benda peninggalan sebagai wujud akulturasi etnis Tionghoa dan Cirebon (arsitektur Keraton Kasepuhan, Makam Astana Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, Batik Cirebon, dan Taman Air Sunyaragi). c. Lokasi yang menjadi tempat penelitian adalah daerah Cirebon, khususnya Kesultanan Cirebon. d. Penelitian ini dibatasi pada abad XV-XVIII dengan alasan bahwa bangunan- bangunan bersejarah yang dipaparkan dibangun pada abad XV–XVIII.

C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Adapun tujuan khususnya adalah ingin mengungkap dan menganalisis beberapa hal sebagai berikut: 1. Mengungkap dan menganalisis aktivitas sosial-budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon. 2. Mengungkap dan menganalisis relasi budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon. 3. Mengungkap dan menganalisis makna simbolik dan filosofis dari wujud budaya Tionghoa dan Cirebon dalam Kesultanan Cirebon.

19

D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian Secara teoritis maupun praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai pihak, di antaranya: a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai riset terbaru tentang kesejarahan dan kebudayaan Nusantara dalam konteks Indonesia, khususnya terkait budaya Tionghoa dan budaya Cirebon. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber rujukan atau referensi bagi akademisi maupun peneliti, khususnya bagi para peneliti yang akan mengkaji budaya Tionghoa dan budaya Cirebon. c. Melalui hasil penelitian ini, informasi terkait perpaduan budaya Tionghoa dan Cirebon dalam bentuk arkeologis dapat diketahui masyarakat secara luas. d. Masyarakat luas dapat memahami makna simbolis dan filosofis dari arsitektur Keraton Kasepuhan, Makam Astana Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, batik Cirebon, dan Taman Air Sunyaragi yang ada dalam Kesultanan Cirebon. e. Perpaduan budaya Tionghoa dan Cirebon yang terjadi melalui proses akulturasi mampu menciptkan keharmonisan di antara dua budaya. Pelajaran berharga tersebut dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Cirebon dalam merawat keharmonisan di tengah keberagaman. f. Nilai-nilai dibalik perwujudan budaya dapat dijadikan sebagai bentuk akulturasi yang baik, seperti sikap saling menghormati, menghargai dan menerima perbedaan. g. Mendorong masyarakat mampu memelihara dan mengamalkan budaya yang mengandung nilai-nilai toleransi sehingga terwujud tatanan hidup yang rukun dan damai di Indonesia, khususnya di daerah Cirebon maupun di dalam Kesultanan. h. Sebagai bangsa yang majemuk pemahaman tentang akulturasi menjadi penting agar tercipta kebebasan, keadilan dan perdamaian. i. Penelitian ini diharapkan mendapat perhatian dari pihak pemerintah yang bersangkutan untuk dapat terus menjaga nilai-nilai historis yang masih tersimpan di keraton, terutama menjaga dan merawat budaya-budaya material dan non-material yang menyimpan nilai historis, selain sebagai aset di bidang pariwisata juga sebagai aset pendidikan bagi generasi mendatang.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan Budaya Tionghoa dan budaya Cirebon, maupun perpaduan di antara kedua budaya tersebut telah ikut mewarnai budaya-budaya yang ada di Nusantara termasuk Indonesia atau khususnya Cirebon. Menurut penelusuran penulis, kajian tentang budaya Nusantara di Indonesia khususnya budaya Tionghoa dan budaya Cirebon telah diteliti dan ditulis oleh banyak kalangan dari berbagai perspektif yang berbeda-beda, di antaranya:

20

De Graaf dan Pigeaud, Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16 th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon.90 De Graaf dan Pigeud memasukkan naskah yang dikenal dengan nama The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Sebuah naskah yang menarik juga penuh teka-teki. Naskah ini mengajak kita kepada kebingungan sejarah atau bahkan ke dalam fantasi sejarah. Ricklefs yang mengedit buku ini, di satu sisi mengakui upaya dari kedua penulis, tetapi di sisi lain mempertanyakan keaslian Sejarah Melayu. Bahkan, Lombard91 juga meragukan keberadaannya, dan karenanya menolak gagasan bahwa sebagian besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Meskipun demikian, Lombard dan Salmon, melalui karya mereka “Islam and Chineseness”92 tetap mengakui adanya peran Muslim Tionghoa di Jawa. Menurut mereka, Tionghoa Muslim peranakan memiliki peran penting dalam proses islamisasi di Jawa. Mereka juga menyebut bahwa banyak di antara saudagar Tionghoa Muslim yang dipekerjakan di kota-kota utama pesisir Jawa oleh penguasa setempat, bahkan juga di pelabuhan-pelabuhan luar Jawa. Pada perkembangannya banyak di antara mereka yang melakukan perkawinan dengan wanita lokal, baik wanita bangsawan maupun wanita dari keturunan biasa. Hubungan ini juga memengaruhi berbagai budaya Nusantara, seperti ukiran masjid Jepara yang punya undak 5 sepintas seperti pagoda, juga memengaruhi bidang sastra. Weng, Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di Indonesia.93 Dalam bukunya Hew menganalisis identitas budaya Tionghoa Muslim sebagai bagian dari Islam Indonesia dengan cara memaparkan tentang negosiasi identitas yang terus berlangsung di antara adat atau tradisi Islam Indonesia yang beragam. Menurutnya orang dapat menjadi islami tanpa harus menanggalkan budaya Tionghoa, begitu juga orang dapat menjadi lebih Indonesia dengan tetap mempertahankan budaya Tionghoa. Manifestasi identitas budaya Tionghoa Muslim menunjukkan bahwa perjumpaan antara religiusitas keislaman yang terus tumbuh dan keragaman budaya yang berkembang di Indonesia telah melahirkan sebuah kesalehan Islam yang tegas sekaligus inklusif. Karya penting lainnya yang membahas hubungan Tiongkok-Indonesia adalah yang ditulis Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China”.94 Tanggok berusaha mengurai kembali hubungan antara Tiongkok-Indonesia. Menurutnya, secara historis hubungan di antara keduanya telah terjadi sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum kedatangan penjajah Belanda. Hubungan yang terjalin sangat harmonis dan

90H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16 th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Edited by M. C. Ricklefs (Melbourne: Monash University, 1984). 91D. Lombard, “H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries”. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187. 92D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115- 131. 93H. W. Weng, Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2019). 94Ikhsan Tanggok, Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan China”, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010).

21 mengalami kemajuan yang luar biasa. Hubungan tersebut bukan saja secara diplomatik, tetapi juga di luar diplomatik. Karya Tanggok membawa pembaca untuk melihat sejarah hubungan Indonesia dan Tiongkok di masa lampau, maka sepatutnya masyarakat Indonesia saat ini meningkatkan kembali hubungan tersebut ke arah yang lebih baik dan dikembangkan ke berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Menurut Tanggok, jika kerja sama di antara Tiongkok-Indonesia bisa terwujud, maka dapat dikatakan sebagai upaya “Meretas Jalan Sutra Baru” yang berbeda dengan “Jalan Sutra Masa Lalu”. Hoadley, “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries”.95 Penelitian Hoadley bagi penulis cukup menarik dimana ia mencoba meninjau kembali batas etnis antara elit Jawa, Tionghoa peranakan, dan Tionghoa di Cirebon. Menurut penelitiannya, ada tiga fase yang dapat dilihat dalam pengembangan hubungan etnis di Cirebon selama periode 1680-1731. Sampai dekade pertama abad ke-18, menurut norma-norma Jawa ada dua kelompok elit: Jawa, termasuk peranakan yang baru direkrut, dan Tionghoa. Meskipun dibedakan oleh identitas yang terpisah dan fungsi sosial khusus, kelompok-kelompok tersebut pada awalnya terbuka dalam gerakan yang melintasi batas-batas etnis yang sepenuhnya dapat diterima. Kemudian fase kedua di antar oleh tindakan para pejabat Belanda, yang sejak awal pemerintahan kolonial di Cirebon telah berusaha mengidentifikasi peranakan sebagai etnis Tionghoa dengan penggunaan istilah Melayu peranakan atau, yang lebih umum, peranakan Tionghoa. Pada dekade pertama abad ke-18, Belanda giat mengambil langkah-langkah aktif untuk memisahkan mereka yang mereka identifikasi sebagai peranakan dari elit Jawa dengan melarang pekerjaan mereka sebagai menteri Cirebon dan memastikan bahwa perkebunan mereka ditangani oleh boedelmeester Tionghoa. logis dari fase perkembangan ini adalah pemindahan semua peranakan ke otoritas pejabat kompeni, Kapitan Tionghoa. Mereka berharap menciptakan situasi etnis di mana orang Jawa terpisah dari etnis Tionghoa peranakan. Fase ketiga dan terakhir terdiri dari reaksi para pangeran Cirebon selama periode 1720-1731, yang mencegah rencana Belanda menjadi kenyataan. Motivasi pangeran untuk oposisi datang dari kebutuhan mereka untuk mencegah hilangnya sumber daya tenaga kerja dan layanan dari kelompok yang telah menyediakan banyak pejabat tinggi mereka selama setengah abad. Tetapi keinginan mereka untuk mencegah Belanda dari memasukkan peranakan di bawah Kapitan Tionghoa memaksa para pangeran Cirebon untuk membuat perbatasan antara orang Jawasekarang secara khusus termasuk peranakandan Tionghoa. Pertahanan Jawa atas sumber daya manusia terhadap perambahan Belanda menghasilkan batas- batas etnis yang membatu dari jenis yang sebelumnya tidak diketahui di Cirebon. Namun, dalam analisis akhir Hoadley, tindakan para pangeran pada 1720-1731 kurang eksklusif secara etnis daripada perpecahan antara Jawa dan peranakan/ Tionghoa yang akan menghasilkan jika pengajuan Belanda di tahun 1730 telah menjadi kenyataan. Akhir dari periode 1731 merupakan setengah jalan antara situasi di Jawa kolonial dan yang di Thailand non kolonial. Hasil tindakan Kompeni Hindia

95M. C. Hoadley, “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries.” The Journal of Asian Studies, vol. 47, no. 3, 1988, h. 503-517.

22

Timur Belanda negatif dalam arti ganda. Mereka mengurangi insentif untuk integrasi dengan merongrong otoritas elit Jawa dan menghilangkan hadiah untuk integrasi dalam bentuk pos pengadilan. Hanya dalam abad-abad berikutnya, langkah-langkah yang diambil secara aktif untuk mendorong orang-orang yang berasal dari Tiongkok untuk mengidentifikasi diri dengan elit kolonial. Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims”.96 Muhaimin membahas keyakinan masyarakat Cirebon hingga apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka berperilaku. Menurutnya apa yang mereka yakini memotivasi apa yang mereka perbuat, dan apa yang mereka lakukan mencerminkan ungkapan verbal apa yang mereka yakini. Muhaimin menemukan bahwa semua tradisi yang berkembang dalam masyarakat Cirebon juga dapat ditemukan dalam tradisi Islam yang berakar pada wahyu atau mendapatkan pembenaran dalam literatur hukum Islam, baik yang bersumber dari al-Qur‟an, hadis maupun fikih para ulama. Darheni, “The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese Speakers in Losari, Cirebon Regency, : The Acculturation of Chinese with Javanese Culture”.97 Darheni mengkaji tentang akulturasi bahasa dan budaya Tionghoa di Losari, Cirebon. Penelitiannya menemukan bahwa situasi linguistik di Cirebon adalah diglossic. Di Cirebon menurut temuan Darheni sejumlah bahasa digunakanbahasa Cirebon, bahasa Sunda Cirebon, bahasa Indonesia, dan bahasa asing seperti bahasa Arab, Tionghoa, Belanda, dan Inggris. Hokkian adalah salah satu bahasa yang digunakan secara produktif oleh komunitas etnis Tionghoa di Losari, Cirebon (perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah). Akulturasi bahasa dan budaya antara kelompok etnis Tionghoa dan kelompok asli dapat dilihat dari difusi yang jelas dalam cara berpikir dan perilaku kedua kelompok etnis di wilayah tersebut. Selain itu, temuan penting Darheni menurut penulis adalah bahwa primordialisme antara kelompok etnis asliCirebon dan Tionghoa tidak terlihat jelas. Menurutnya, yang menunjukkan pembentukan komunikasi adalah dalam aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, dan kekuasaan. Akibatnya, akulturasi bahasa Mandarin dengan budaya Jawa di Cirebon Timur mencakup aspek fonologis, leksikal atau diksi (yang paling sering), morfologis (paling unik), dan sintaksis. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Indonesia Abad XV & XVI.98 Karya Al Qurtuby

96A. G. Muhaimin, “The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims”. (Unpublished PhD Thesis, The Australian National University, Canberra, 1995). Tesis Muhaimin ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa Indonesia, lihat A. G. Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002). 97N. Darheni, “The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese with Javanese Culture”. In The 1st International Seminar on Language, Literature and Education, KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686. 98S. Al Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Indonesia Abad XV & XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003).; Lihat juga S. AI Qurtuby, “The Tao of Islam: Cheng Ho and

23 berupaya menegaskan bahwa Tionghoa Muslim pada faktanya telah ikut membentuk apa yang selanjutnya disebut sebagai “Sino-Javanese Muslim Culture”, sebuah proses akulturasi antara budaya Tionghoa, Islam dan Jawa. Bentuk “Sino- Javanese Muslim Culture” itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam yang menunjukan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai seni/sastra (batik, ukir) dan unsur kebudayaan lain. Al Qurtuby menemukan bahwa dari berbagai literatur Tionghoa, Iiteratur lokal Jawa, tradisi Iisan, serta berbagai peninggalan purbakala Islam dalam kurun abad ke-15/16 mengisaratkan pengaruh Tionghoa di Jawa sangat terasa. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur Keraton Cirebon beserta Taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak, khususnya soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid sekayu di Semarang, ataupun masjid Kali Angke dan Masjid Kebun Jeruk di Jakarta, setidaknya dapat menjadi landasan asumsi tersebut. Tanpa mengesampingkan keterlibatan Tionghoa Muslim lainnya, Al Qurtuby mengatakan tokoh yang berperan bagi terjalinnya proses tersebut adalah Cheng Ho. Penting dicatat bahwa Cheng Ho ikut serta dalam menyiarkan ajaran agama Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang selanjutnya ia kombinasikan dengan beberapa prinsip ideal yang diadopsi dari ajaran lokal Tionghoa seperti Konfusiusme maupun Taoisme. Di sinilah menurut Al Qurtuby titik singgung terkait relasi antara Islam sebagai agama lokal Indonesia dengan beberapa prinsip Tao sebagai kepercayan lokal Tionghoa bisa diidentifikasi. Dyah dan Zein, “The Influence of Cultural Acculturation on Architecture Keraton Kasepuhan Cirebon”.99 Temuan penting dari penelitian Dyah dan Zein mengatakan bahwa akulturasi terbukti dalam arsitektur bangunan, yang menunjukkan pengaruh budaya asing Eropa dan Tiongkok, serta Hinduisme lokal dan budaya Jawa. Akulturasi di Keraton Kasepuhan Cirebon diterapkan pada beberapa elemen arsitektur. Elemen arsitektur struktur bangunan ditemukan pada pilar dan atap bangunan. Unsur non arsitektur dari struktur bangunan, akulturasi budaya dapat ditemukan pada lengkungan, dinding, pintu dan jendela. Sementara elemen arsitektur dekoratif bangunan, akulturasi budaya ditemukan pada hiasan dinding dan patung. Dewi dan Annisa, “Akulturasi Budaya pada Perkembangan Kasepuhan Cirebon”.100 Temuan penelitian mereka mengatakan akulturasi budaya pada Kraton Kasepuhan Cirebon terjadi karena pengaruh lokasi yang strategis dan sikap yang terbuka dari Sultan Cirebon. Hal tersebut menjadikan Cirebon sebagai pusat perdagangan, tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan budaya antar bangsa. Lebih jauh dikemukakan bahwa sikap terbuka dari Sultan Cirebon merupakan poin

the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java”. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009, h. 51-78. 99S. A. Dyah & F. K. Zein, “The Influence of Cultural Acculturation on Architecture Keraton Kasepuhan Cirebon”. In Reframing the Vernacular: Politics, Semiotics, and Representation, (Cham: Springer, 2020), h. 251-260. 100H. I. Dewi dan Anisa, “Akulturasi Budaya pada Perkembangan Keraton Kasepuhan Cirebon”. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma Depok, vol. 3, 2009.

24 penting masuknya beberapa pengaruh budaya asing, seperti budaya Tionghoa, Hindu, Buddha, Jawa, Eropa, Islam dan Arab dalam masyarakat Cirebon, terutama pada bangunan Kraton Kasepuhan. Penelitian mereka secara spesifik menyebutkan budaya Tionghoa dapat ditemukan pada bangunan Dalem Agung Pakungwati, Siti Inggil (termasuk Mande Pendawan, Mande Semar Tinandu, Mande Kresman, Mande Pengiring), Kucung Kutagara Wadasan dan pintu Buk Bacem; pengaruh Hindu pada Siti Inggil; pengaruh Buddha pada Bangsal Prabayaksa; pengaruh Jawa pada tiang-tiang Mande Semar Tinandu, Mande Pengiring, Jinem Pangrawit; pengaruh Eropa pada Pungkuran, Jinem Pangrawit, Bangsal Prabayaksa, Gajah Nguling; pengaruh Arab dapat ditemukan pada pintu Buk Bacem. Terakhir, pengaruh Islam dapat ditemukan pada Mande Malang Semirang. Beberapa karya terdahulu di atas patut diapresiasi, sebab keberadaannya membuka ruang dan jalan bagi penulis untuk melihat permasalahan yang dikaji agar lebih komprehensif. Karya de Graaf dan Pigeaud, meskipun mendapat kritikan dari Ricklefs dan Lombard karena seolah berlebihan atas gagasan mereka bahwa sebagian besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Namun, Karya de Graaf dan Pigeaud membantu penulis dalam mengidentifikasi peran Tionghoa Muslim, baik dalam konteks Cirebon maupun Indonesia pada umumnya. Sebagaimana juga karya Tanggok bahwa secara historis hubungan Tionghoa dan Indonesia telah terjadi sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum kedatangan penjajah Belanda. Hubungan yang terjalin sangat harmonis dan mengalami kemajuan yang luar biasa. Hubungan tersebut bukan saja secara diplomatik, tetapi juga di luar diplomatik. Juga yang menjadi perhatian penulis adalah karya Weng yang menganalisis identitas budaya Tionghoa Muslim sebagai bagian dari Islam Indonesia. Menurut penulis karya-karya yang disebutkan adalah karya penting untuk melihat sisi lain sejarah awal perkembangan Islam di Nusantara, termasuk dalam melihat peran Tionghoa Muslim dalam konteks Indonesia dan Cirebon, sebelum penulis mengungkapkan makna-makna simbolik dan filosofis yang luput dari karya mereka. Penulis belum menemukan satu kajian yang secara mendalam mengkaji makna simbolis dan filosofis dari wujud budaya material etnis Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon. Muhaimin misalnya, ia lebih banyak berbicara tentang budaya non material, khususnya tradisi Islam yang mencakup ibadah dan adat masyarakat. Fokus inilah yang membedakan antara penelitian Muhaimin dengan penelitian yang penulis lakukan. Disamping itu, penulis melihat kajiannya Muhaimin seolah “menampik” kontribusi dari unsur-unsur di luar Islam seperti Hindu, Buddha dan sebagainya. Padahal, kalau kita lihat berbagai benda peninggalan (budaya material), khususnya di Kesultanan Cirebon juga dapat ditemukan secara jelas adanya pengaruh dari luar Islam, seperti Hindu, Tionghoa dan sebagainya. Begitupun Darheni yang mengkaji soal ciri bahasa dan akulturasi dari penutur bahasa Tionghoa di Cirebon. Darheni lewat temuannya mengatakan bahwa primordialisme antara kelompok etnis asliCirebon dan Tionghoa tidak terlihat jelas, tetapi signifikansi yang menunjukkan pembentukan komunikasi (bahasa) adalah pada aspek sosial, ekonomi, pemerintahan dan kekuasaan. Penting dicatat bahwa selain dari aspek bahasa (budaya non material), aspek budaya material berupa benda- benda peninggalan di Kesultanan Cirebon juga penting diungkap karena di dalamnya tersimpan makna simbolis dan filosofis yang sampai sekarang tidak henti-

25 hentinya dikaji dan dibicarakan. Wujud budaya atau budaya material tersebut semacam mengajak kita untuk membahasakan apa yang dikandungnya, utamanya yang berkaitan dengan aspek sejarah masalah lalu. Dengan demikian, penelitian ini sebagai tidak lanjut atau memperkaya penelitian sebelumnya dengan menyajikan perspektif baru dalam konteks akulturasi etnis Tionghoa dan Cirebon, sehingga lebih komprehensif. Argumentasi dan komentar penulis terhadap penelitian Muhaimin dan Darhenni juga mendapat dukungan dari Al Qurtuby dengan meminjam apa yang ia sebut “Sino-Javanese Muslim Culture”itu tidak hanya tampak dalam berbagai bangunan peribadatan Islam yang menunjukan adanya unsur Jawa, Islam, Tionghoa tetapi juga berbagai seni/sastra (batik, ukir) dan unsur kebudayaan lain. Selain temuan Muhaimin dan Darheni, penelitian Hoadley di atas cukup membantu penelitian ini sebelum masuk dan menjawab bagaimana wujud budaya etnis Tionghoa dan Cirebon, utamanya dalam mengungkap makna simbolis dan filosofisnya. Penelitian Hoadley nantinya membantu penulis dalam pencarian definisi internal etnis yang valid secara lokal, sehingga mengurangi bahaya kontaminasi nilai atau determinisme historis dari pihak luar, baik itu pengamat asing kontemporer atau peneliti modern. Jika kita menerima pengamatan pejabat kolonial Belanda tanpa kritik, menurut Hoadley kita dapat dengan mudah salah memahami dasar kerja sama antara Tiongkok dan Jawa, bahkan di Cirebon, para menteri Muslim untuk para pangeran diterima karena mereka telah menjadi orang Jawa; pejabat Tionghoa, syabbandar dan Kapitan Tionghoa, tetap asing dengan sistem sosial mayoritas. Pendekatan ini juga membutuhkan perhatian terhadap perubahan seiring waktu. Dalam contoh ini, Hoadley mengatakan hanya etnis Tionghoa dan Jawa yang ada pada awalnya, tetapi asumsi kekuasaan Belanda membawa kelompok etnis ketiga, dengan batas-batas yang dapat dikenali, terbentuk setelah 1730. Kelompok ini adalah peranakan, sampai saat itu kategori deskriptif hanya digunakan oleh orang Belanda. Hoadley menggunakan seperti apa yang disarankan Skinner, konsekuensi penting dari perkembangan ini adalah bahwa hubungan etnis yang tidak harmonis di Jawa modern adalah produk, bukan hanya datum, sejarah. Dari sekian penelitian terdahulu yang penulis kemukakan di atas, ada dua penelitian yang mirip dengan penelitian ini, yang fokus pada akulturasi budaya material yang ada di Keraton Kasepuhan, yakni penelitian Dyah dan Zein, serta penelitian Dewi dan Annisa. Penelitian mereka membantu penulis dalam mengidentifikasi budaya-budaya Tionghoa yang ada di Keraton Kasepuhan, namun penulis melihat mereka kurang mengeksplorasi terkait dengan budaya Cirebon itu sendiri. Inilah salah satu pembeda dengan penelitian ini. Selain itu, karya mereka hanya sekadar menyebutkan adanya pengaruh budaya dari luar yang terakulturasi dengan Keraton Kasepuhan. Berbeda dengan penelitian ini, penulis berangkat dari menentukkan beberapa pengaruh budaya yang terakulturasi dengan budaya Cirebon, khususnya budaya dari luar yang masuk ke dalam Keraton Kasepuhan, kemudian mengungkapkan makna-makna simbolik dan filosofis secara mendalam. Di samping, sebelumnya penulis juga memerhatikan perkembangan daerah dan masyarakat Cirebon serta Kesultanan Cirebon yang menjadi bagian penting dari penelitian ini.

26

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Pedekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sementara jenis penelitiannya adalah kepustakaan dan lapangan, sebab data-datanya tidak hanya bersumber dari literatur tetapi juga data lapangan berupa pengamatan dan wawancara. Metode dan jenis penelitian tersebut digunakan sebagai suatu payung konsep meliputi beberapa format penelitian yang membantu penulis dalam memahami dan menjelaskan makna fenomena sosial dari setting alamiah101 yang ada sebagaimana Moleong mengatakan jenis penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami.102 Secara komprehensif penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan Creswell adalah suatu proses penelitian ilmiah yang dimaksudkan untuk memahami masalah- masalah manusia dalam konteks sosial. Dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks, kemudian disajikan dengan melaporkan pandangan terperinci dari sumber informasi, serta dilakukan dalam setting alamiah tanpa adanya intervensi dari peneliti.103 Sementara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis dan antropologis yaitu penelitian ilmiah yang didasarkan pada kajian sejarah yang berbasis pada kajian kepustakaan dan telaah data dengan berpegang teguh pada norma atau kaidah yang berlaku. Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan semiotik104 untuk menganalisa makna simbolik dan filosofis dari wujud relasi budaya Tionghoa dan Cirebon. Saussure mengartikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.105 Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain, dan tidak hanya berbentuk sebuah benda. Dalam kehidupan manusia, tanda selalu menyampaikan suatu informasi sehingga mempunyai sifat komunikatif.106 Artinya, satu kata dalam kajian semiotika memiliki makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna.107

101S. B. Mariam, Qualitative Research and Case Study Application in Education, (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998), h. 5. 102L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 25. 103J. W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998). 104D. Hattenhauer, “The Rhetoric of Architecture: A Semiotic Approach”. Communication Quarterly, vol. 32, no. 1, 1984, h. 71-77.; M. Gottdiener, “Hegemony and Mass Culture: A semiotic approach”. American Journal of Sociology, vol. 90, no. 5, 1985, h. 979-1001. 105F. de Saussure, “Course in General Linguistics”, In Literary Theory, An Anthology, by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004), h. 59-71. 106H. S. M. Yakin & A. Totu, “The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155, 2014, h. 4-8. 107J. Kristeva, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New York: Columbia University Press, 1980), h. 31.

27

Adapun tahapan analisis data diawali dengan pengambilan data (collecting data) yang berkaitan dengan budaya Tionghoa dan Cirebon, serta sejarah dari keduanya. Kemudian, penulis melakukan observasi dan wawancara langsung dengan para informan dengan berpedoman pada pedoman observasi dan wawancara yang telah disusun pada tahap pendahuluan untuk memperdalam data atau informasi yang diperoleh. Setelah data dikumpulkan, penulis kemudian mengklasifikasi dan menganalisa data tersebut, serta membuat kesimpulan berupa jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang menjadi inti penelitian. Terakhir adalah penyusunan hasil penelitian dan pelaporannya yang disusun dalam kerangka yang sistematis dan logis.

2. Sumber Data Sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diambil dari para narasumber (filolog, sejarawan, budayawan dan pihak Kesultanan Cirebon). Penulis memilih narasumber dari tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui agar bisa memberikan informasi sesuai data yang dibutuhkan. Sementara data sekunder, yakni telaah dari berbagai literatut seperti buku, arsip, jurnal, dan laporan penelitian yang tentu relevan dengan kajian ini.

3. Instrumen Pengumpulan Data Langkah dan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu: pertama, observasi.108 Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik karena observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga objek-objek alam yang lain. Kedua, wawancara.109 Wawancara menjadi teknik yang penting selain observasi dalam proses pengumpulan data karena ternyata masih banyak data-data yang masih berada dalam ingatan pelaku atau pegiat budaya Cirebon, termasuk tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama Ketiga, pencatatan. Pencatatan ini dilakukan pada saat wawancara berlangsung dan setelah wawancara. Pencatatan ini dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan data sesuai kebutuhan yang diperlukan peneliti. Keempat, dokumentasi.110 Semua dokumentasi, baik gambar maupun keterangan yang berkaitan dengan penelitian digunakan guna melengkapi catatan hasil observasi dan wawancara.

4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

108C. Pope & D. Allen, “Observational Methods”. Qualitative Research in Health Care, 2020, h. 67-81.; J. Rose & C. W. Johnson, “Contextualizing Reliability and Validity in Qualitative Research: Toward More Rigorous and Trustworthy Qualitative Social Science in Leisure Research”. Journal of Leisure Research, 2020, h. 1-20. 109Chien-Juh Gu, “Qualitative Interviewing in Ethnic-Chinese Contexts: Reflections From Researching Taiwanese Immigrants in the United States”. International Journal of Qualitative Methods, vol. 19, 2020. 110J. Pakkanen, A. Brysbaert, D. Turner, & Y. Boswinkel, “Efficient three-dimensional field documentation methods for labour cost studies: Case studies from archaeological and heritage contexts”. Digital Applications in Archaeology and Cultural Heritage, vol. 17, 2020, h. 1-10.

28

Seluruh data yang berhasil dikumpulkan melalui beberapa teknik pengumpulan di atas, peneliti kemudian mencatat ulang semuanya untuk dijadikan sebagai catatan lapangan. Data tersebut kemudian diolah dengan cara reduksi data melalui proses inklusi dan eksklusi. Proses inklusi adalah mengambil data yang relevan dengan penelitian, sedangkan proses eksklusi adalah membuang data yang tidak relevan. Kemudian peneliti melakukan proses coding atau pemberian kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri dengan mudah dan cepat.langkah berikutnya, catatan- catatan yang telah diberi kode tersebut diedit (editing) dengan cara dipilah-pilah, diklasifikasi, disintesiskan dan dibuat ikhtisarnya. Langkah berikutnya penulis melakukan pemaknaan terhadap data-data tersebut. Data yang diperoleh dianalisis kemudian dideskripsikan secara kualitatif. Metode kualitatif deskriptif adalah menggambarkan dan memaparkan data hasil penelitian, baik yang bersumber dari wawancara, observasi, dan dokumentasi, dengan berupa kalimat-kalimat atau paragraf-paragraf bukan berupa angka-angka statistik atau bentuk angka lainnya. Analisa kualitatif digunakan untuk menganalisis proses sosial yang berlangsung dan makna dari fakta-fakta yang tampak dipermukaan itu. Dengan demikian, maka analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta dan bukan sekedar untuk menjelaskan fakta tersebut.111 Teknik analisis deskriptif dilakukan dalam tiga siklus (reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan). Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Selama kegiatan pengumpulan data berlangsung, dilakukan analisis data. Proses analisis data meliputi: 1) menetapkan fokus penelitian. 2) menyusun temuan-temuan data yang diperoleh. 3) membuat rencana pengumpulan data berikutnya sesuai temuan-temuan dari data yang dikumpulkan sebelumnya. 4) mengembangkan pertanyaan untuk pengumpulan data berikutnya. 5) menggali sumber-sumber kepustakaan yang berhubungan dengan pemanfaatan media para profesional.112 Penulis menyajikan data tersebut dalam jenis penelitian kualitatif-deskriptif, karena data yang diteliti adalah data verbal yang tidak berbentuk angka-angka, tetapi dalam bentuk kata, kalimat, dan ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam naskah atau teks. Kemudian pada bagian akhir adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan cara deduktif, yaitu memulai analisis dari hal-hal yang bersifat umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus.

G. Sistematika Pembahasan Secara umum studi tentang akulturasi budaya Tionghoa dan Cirebon di Kesultanan Cirebon terdiri dari enam bab pembahasan. Bab I adalah bab

111H. Kyngäs, “Qualitative Research and Content Analysis” In The Application of Content Analysis in Nursing Science Research, (Cham: Springer, 2020), h. 3-11.; C. S. Barroso, A. E. Springer, C. M. Ledingham, & S. H. Kelder, “A Qualitative Analysis of the Social And Cultural Contexts that Shape Screen Time Use in Latino Families Living on the US-Mexico Border”. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well- being, vol. 15, no. 1, 2020, h. 1735766. 112M. Islam, “Data Analysis: Types, Process, Methods, Techniques and Tools”. International Journal on Data Science and Technology, vol. 6, no. 10, h. 2020.

29 pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian terdahulu yang relevan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah bab yang membahas soal interaksi budaya Tionghoa, Nusantara dan Islam. Bab ini mendiskusikan konsep budaya secara umum yang mencakup teori akulturasi, asimilasi dan difusi; kedatangan etnis Tionghoa: jejak Cheng Ho dan Muslim Tionghoa; pra kolonial: Muslim Tionghoa sebagai budaya hibrida; dan bagian terakhir bab ini membahas kemunduran budaya Muslim Tionghoa-Jawa di era Kolonial Belanda. Bab III adalah bab yang membahas sejarah Kesultanan Cirebon. Secara spesifik bab ini mengurai profil kesultanan, dialektika politik dan Islam, serta perkembangan masyarakat Cirebon mulai dari sejarah Daerah Cirebon, masuknya etnis Tionghoa ke Cirebon, Daerah Cirebon dalam lintas dagang, serta Cirebon sebagai basis syiar Islam. Bab IV adalah bab yang membahas relasi sosial- budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon yang secara spesifik mengurai beberapa poin menyangkut budaya Cirebon, corak budaya Tionghoa, serta pergumulan budaya Tionghoa dengan budaya Cirebon. Bab V adalah bab analisis tentang budaya Tionghoa dan Cirebon. Secara spesifik bab ini membahas tentang makna simbolik dan filosofis dari arsitektur Keraton Kasepuhan, Kereta Kencana Singa Barong, Batik Cirebon dan Guha Sunyaragi. Bab VI adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran, serta dilengkapi dengan daftar pustaka sebagai rujukan.

30

BAB II INTERAKSI BUDAYA: TIONGHOA, NUSANTARA DAN ISLAM

A. Konsep Kebudayaan: Akulturasi, Asimilasi dan Difusi Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayahbentuk jamak dari buddhi (budi atau akal).1 Kebudayaan secara sederhana dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Para sarjana kemudian membedakan istilah “budaya” dan “kebudayaan”. Budaya didefinisikan sebagai cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa.2 Dalam diskursus antropologi budaya, perbedaan definisi antara budaya dan kebudayaan itu ditiadakan, di mana kata “budaya” hanya dipakai sebagai suatu singkatan dari “kebudayaan”, namun keduanya memiliki arti yang sama. Sementara “kebudayaan” dalam literatur Inggris disebut culturedari kata Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan.3 Selain istilah “kebudayaan” (culture), dikenal juga istilah “peradaban” (civilization)digunakan untuk menyebut unsur kebudayaan yang halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, norma pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya.4 Istilah “peradaban” juga sering digunakan untuk menyebut kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa dan sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks.5 Dalam khazanah keislaman ada „urf atau „adah yang biasa disinonimkan dengan budaya. „Urf adalah kebiasaan dan prilaku masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang kemudian dijadikan adat-istiadat turun temurun, baik ucapan maupun perbuatan. Karena „urf merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, maka para ahli menempatkan „urf sebagai salah satu instrumen dalam

1M. Susi, D. A. Purnama, I. Nany, A. Prima & R. Krasnobaev, “Cultural Sciences”. Cultural Sciences, vol. 34, no. 3, 2019. 2D. Saleebey, “Culture, Theory, and Narrative: The Intersection of Meanings in Practice”. Social Work, vol. 39, no. 4, 1994, h. 351-359.; H. C. Triandis & D. P. S. Bhawuk, “Culture Theory and the Meaning of Relatedness”. In P. C. Earley & M. Erez (eds.), The New Lexington Press Management and Organization Sciences Series and New Lexington Press Social and Behavioral Sciences Series. New Perspectives on International Industrial/Organizational Psychology, (The New Lexington Press/Jossey-Bass Publishers, 1997), h. 13–52. 3D. P. Bhawuk, “The Role of Culture Theory in Cross-cultural Training: A Multimethod Study of Culture-specific, Culture-general, and Culture Theory-based Assimilators”. Journal of Cross-cultural Psychology, vol. 29, no. 5, 1998, h. 630-655. 4S. Mennell & J. Rundell, “Introduction: Civilization, Culture and the Human Self- image”. In Classical Readings on Culture and Civilization, (Routledge, 2017), h. 9-44.; J. P. Arnason, “Civilization, Culture and Power: Reflections on Norbert Elias' Genealogy of the West”. Thesis Eleven, vol. 24, no. 1, 1989, h. 44-70. 5Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015), h. 146.

31 merumuskan hukum. Ada salah satu kaidah ushul yang berbunyi: “al-„adah muhakkamah”  yang menunjukkan bahwa „urf itu punya posisi penting.6 Agama (Islam) dan budaya (lokal) masing-masing memiliki simbol-simbol dan nilai tersendiri. Islam adalah simbol yang melambangkan ketaatan kepada Allah. Kebudayaan (lokal) juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya dengan ciri khas kelokalannya. Agama memerlukan sistem simbol, atau dengan kata lain memerlukan kebudayaan agama, namun keduanya berbeda. Agama adalah sesuatu yang final, universal dan absolut, sedangkan kebudayaan bersifat particular, relative dan temporer. Meski demikian, dialektika di antara keduanya adalah sebuah keniscayaan. Islam memberikan warna dan spirit pada kebudayaan setempat, sedangkan kebudayaan lokal memberi kekayaan kepada Islam.7 Manusia dalam pandangan Islam diposisikan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi (QS. al-Baqarah [2]: 30). Tugas manusia sebagai khalifah disempurnakan dengan tugas „ubudiyyah-nya sebagai hamba Allah. Sebagai khalifah Allah, manusia harus berperan aktif di dunia, dan memiliki kewajiban memakmurkan bumi, mengelolanya demi kemaslahatan bersama, memelihara keharmonisan dengan lingkungan alam dan menebar kebaikan di alam semesta. Manusia harus memelihara alam dengan penuh kasih sayang, mampu menjaga keharmonisan terhadap, litosfir, atmosfir, tanah, mineral, energi serta air. Dalam menjalani perannya di muka bumi, manusia harus selalu menyadari akan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Sehingga sekalipun manusia sudah mampu mencapai kebudayaan yang tinggi, manusia tetap tidak akan semena-mena mengeksploitasi alam. Beberapa ahli berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan. Koetjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan sosial yang didapat melalui proses belajar. Koentjaraningrat lebih lanjut mengatakan kebudayaan memiliki unsur-unsur yang bersifat universalditemukan di semua kebudayaan bangsa- bangsa di duniaada bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.8 Ini berarti bahwa seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan. Hampir seluruh tindakan manusia dalam masyarakat dibiasakan melalui proses belajar

6T. M. Salisu, “„Urf/„Adah (Custom): An Ancillary Mechanism in Shari „ah”. Ilorin Journal of Religious Studies, vol. 3, no. 2, 2013, h. 133-148.; A. Shabana, “'Urf and'Adah within the Framework of Al-Shatibi's Legal Methodology”. UCLA J. Islamic & Near EL, vol. 6, 2006, h. 87.; A. Rachim, “Al Adah Muhakkamah”. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, vol. 4, 1995, h. 8-13. 7S. Bin Zayyad & B. R. Sinclair, “Culture, Context+ Environmental Design: Reconsidering Vernacular in Modern Islamic Urbanism”. Architectural Research: Addressing Societal Challenges, vol. 1, 2017, h. 535-542.; H. Al-Aoufi, N. Al-Zyoud, & N. Shahminan, “Islam and the cultural conceptualisation of disability”. International Journal of Adolescence and Youth, vol. 17, no. 4, 2012, h. 205-219.; B. Larkin, B. Meyer, & E. K. Akyeampong, “Pentecostalism, Islam & Culture”. Themes in West Africa's History, 2006, h. 286-312. 8Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi …, h. 165.

32 sebagaimana beberapa ahli antropologi seperti Wissler,9 Kluckhohn,10 Davis dan Hoebel11 mengatakan kebudayaan dan tindakan kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia melalui belajar. Hanya sedikit yang tidak perlu dibiasakan melalui belajar, yaitu beberapa tindakan naluri, beberapa tindakan refleks dan beberapa tindakan membabi buta. Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud, yaitu: 1. Wujud kebudayaan yang berupa ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya. Kebudayaan ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Letaknya didalam kepala atau alam pikiran warga masyarakat. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu aktifitas serta Tindakan berpola dari manusia itu sendiri, atau biasa juga disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, dan bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud yang kedua ini bersifat kongkrit, dapat diobservasi, difoto dan didokumentasi. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga ini disebut juga kebudayaan fisik. Benda fisik ini merupakan hasil ide-ide atau pikiran-pikiran dan Tindakan manusia.12 Geertz melangkah lebih komprehensif mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dimilki manusia sebagai makhluk sosial. Sistem gagasan itu kemudian melahirkan simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Masyarakat kemudian menggunakan model pengetahuan ini untuk berkomunikasi, bersikap dan bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan adalah sistem pemaknaan yang dimilki bersama dan kebudayaan merupakan hasil dari proses sosial dan bukan proses perorangan. Geertz kemudian menyarankan agar dalam memahami suatu kebudayaan juga harus memerhatikan maknanya, jangan hanya fokus pada tingkah laku ataupun hubungan sebab-akibat.13 Seorang ahli antropologi harus mampu menafsirkan simbol-simbol agar dapat memahami makna dari sebuah kebudayaan. Berangkat dari pendapat Geertz, Purwanto mengatakan pemahaman kebudayaan

9S. A. Freed & R. S. Freed, “Clark Wissler and the Development of Anthropology in the United States”. American Anthropologist, vol. 85, no. 4, 1983, h. 800-825. 10R. Boroch, “A Formal Concept of Culture in the Classification of Alfred L. Kroeber and Clyde Kluckhohn”. Analecta, vol. 25, no. 2, 2016. 11E. A. Hoebel, “Anthropology in Education”. Yearbook of Anthropology, 1955, h. 391-395.; Lihat juga E. A. Hoebel, “Karl Llewellyn: Anthropological Jurisprude”. Rutgers Law Review, vol. 18, 1963, h. 735.; E. A. Hoebel, Man in the Primitive World: An introduction to Anthropology, vol. 1, (New York: Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1949). 12 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…,h. 150-152. 13C. Geertz, The Interpretation Cultures, (New York: Basic Books Inc. Publisher, 1973), h. 89.

33 juga meliputi bagaimana warga masyarakat melihat, merasakan dan berfikir mengenai sesuatu di sekelilingnya.14 Pendapat para ahli sebelumnya tidak jauh berbeda dengan Tumanggor yang mengatakan kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakatikut memengaruhi perilakunya dalam menghadapai tantangan kehidupan di sekitarnya.15 Kebudayaan itu tidak dibawa dari lahir, namun diperoleh dari proses belajar sebagaimana Tumanggor lebih spesifik mengatakan kebudayaan lahir dalam kehidupan masyarakat melalui tiga perwujudan, yakni wujud kebudayaan sebagai sistem gagasan, wujud kebudayaan sebagai aktifitas sosial dan wujud kebudayaan yang melahirkan materi budaya, baik yang melekat dalam jiwa atau pikiran ataupun materi yang ada di kebendaan (artefak).16 Upaya pendefinisian konsep kebudayaan juga diutarakan Tylor bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat.17 Sejak 1950-an, ahli antropologi seperti Kroeber dan Kluckhohn mencoba merumuskan kembali kosep kebudayaan secara lebih sistematik dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952). Mereka berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola tingkah laku manusia, baik eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok- kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Dalam hal ini, struktur sosial hanya dianggap sebagai salah satu segi dari masyarakat. Kluckhohn juga mengatakan bahwa ada unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya universal dalam setiap kebudayaan manusia; meliputi sistem organisasi sosial, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem pengetahuan, kesenian dan religi. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap unsur kebudayaan pada hakikatnya mengandung tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial dan artefak. Sementara itu, pada setiap unsur-unsur kebudayaan juga menjelma wujud dari kebudayaan, baik sebagai sistem budaya, sistem sosial maupun artefak.18 Secara spesifik Yuanzhi membagi budaya dalam dua pengertian, yakni pengertian sempit dan pengertian luas. Budaya dalam pengertian sempit mengacu kepada semua hasil kegiatan dan akal budi manusia seperti sastra, seni, pendidikan, kepercayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Sementara budaya dalam pengertian

14Hari Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 58-59. 15Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141. 16Tumanggor dkk., Ilmu Sosial & Budaya…, h. 23-25. 17E. B. Taylor, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom, vol. 2, (London: John Murray, Albemarle Street, 1871), h. 401. Lihat juga T. Larsen, “EB Tylor, Religion and Anthropology”. The British Journal for the History of Science, 2013, h. 467-485.; L. Ratnapalan, “EB Tylor and the Problem of Primitive Culture”. History and Anthropology, vol. 19, no. 2, 2008, h. 131-142. 18A. L. Kroeber & C. Kluckhohn, “Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions”. Papers: Peabody Museum of Archaeology & Ethnology, Harvard University, vol. 47, no. 1, 1952, h. viii.

34 luas berarti keseluruhan pengetahuan dan kreasi manusia, baik yang bersifat materi maupun non materi.19 Artinya, sifat budaya itu saling memengaruhi, atau budaya antar bangsa itu bersifat timbal balik. Suatu bangsa memengaruhi bangsa lain sekaligus menerima pengaruh dari bangsa lain, dan itu yang terjadi pada budaya Tionghoa dan Indonesia.20 Linton membagi kebudayaan menjadi dua, yakni budaya yang nampak (overt culture) dan bagian yang tidak nampak (covert culture).21 Hoenigman sebagaimana dikutip Barzilai mengatakan wujud kebudayaan yang tidak nampak (covert culture) adalah ide atau gagasan, sesuatu yang abstrak yang berbeda dengan overt culture. Namun, overt culture juga merupakan bagian dari sistem budaya, karena sistem budaya tidak hanya gagasan-gagasan tetapi mencakup sistem nilai budaya, konsep- konsep, tema-tema pikir dan keyakinan.22 Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Budaya ada karena adanya manusia, atau dengan kata lain, pendukung kebudayaan adalah manusia itu sendiri. Budaya tidak akan mati sekalipun manusianya mati, karena kebudayaan yang ada akan diwariskan kepada keturunannya dan seterusnya. Pewarisan kebudayaan tidak selalu bersifat vertikal tetapi bisa juga horizontal, yaitu manusia yang satu belajar kebudayaan dari manusia lainnya.23 Setiap pengalaman yang dialami manusia, akan diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya oleh individu lain. Kebudayaan itu bukan sesuatu yang statis dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai dengan perubahan sosial yang ada. Suatu budaya dalam masyarakat akan terus mengalami perubahan termasuk tradisi, dan biasanya, perubahan budaya itu terjadi karena adanya kontak komunikasi atau dialog melalui bahasa. Tanpa bahasa, proses pengalihan kebudayaan tidak akan terjadi. Dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan lain hanya akan melahirkan fasisme, nativisme dan chauvinisme. Dengan dialog diharapkan ada ide baru yang

19Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2005), h. xviii. 20H. Kurniawan, “The Role of Chinese in Coming of Islam to Indonesia: Teaching Materials Development Based on Multiculturalism”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 2, 2017, h. 238-248. 21R. Linton, The Study of Man: An Introduction, (Appleton-Century, 1936). 22G. Barzilai, Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities, (University of Michigan Press, 2003), h. 109. 23D. Nettle, “Selection, Adaptation, Inheritance and Design in Human Culture: The view from the Price Equation”. Philosophical Transactions of the Royal Society, vol. 375, no. 1797, 2020, h. 20190358.; R. Wang, “Inheritance of Intangible Cultural Heritage of Oroqen Ethnic Group Based on Computer Network Culture”. In Journal of Physics: Conference Series, vol. 1574, no. 1, (IOP Publishing, 2020), h. 012003.; W. Su, “Study on the Inheritance and Cultural Creation of Manchu Qipao Culture”. In 3rd International Conference on Art Studies: Science, Experience, Education (ICASSEE 2019), (Atlantis Press, 2019).

35 bisa memperkaya kebudayaan, dan di samping untuk memperkaya kebudayaan, dialog juga bertujuan untuk mencari titik temu antar kebudayaan yang ada.24 Budaya dalam perkembangannya akan terus mengalami perubahan, tidak bersifat konstan. Perubahan budaya bisa saja terjadi karena pertemuan dua atau lebih budaya. Koentjaraningrat dalam konteks ini mengatakan perubahan kebudayaan bisa terjadi melalui lima proses, yaitu: 1) Proses belajar terhadap kebudayaan itu sendiri yang meliputi proses internalisasi, proses sosialisasi dan proses enkulturasi. Proses enkulturasi adalah proses penyesuaian pikiran, sikap terhadap adat, sistem norma dan dan peraturan yang ada dalam suatu kebudayaan. 2) Proses evolusi, yaitu perubahan budaya yang terjadi secara berulang namun dalam rentang waktu yang panjang. 3) Proses diffusi, yaitu perubahan budaya yang terjadi karena migrasi yang dilakukan oleh kelompok manusia yang membawa unsur kebudayaannya. 4) Proses inovasi, yaitu perubahan budaya yang terjadi karena adanya penemuan baru dalam kebudayaan, misal teknologi. 5) Proses akulturasi dan asimilasi yaitu perubahan sosial yang terjadi karena adanya percampuran unsur budaya asing terhadap budaya setempat.25 Kebudayaan pada dasarnya memuat beragam corak, yakni bisa bentuknya tetap atau sulit berubah, kebudayaan yang dipengaruhi unsur kebudayaan asing (covert culture)26 serta kebudayaan yang lentur dengan perkembangan jaman sehingga mudah beradaptasi dengan unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture).27 Beberapa contoh covert culture adalah keyakinan keagamaan yang dianggap suci, beberapa adat yang sudah dipelajari dan diamalkan sejak kecil, dan sistem nilai- nilai budaya. Sementara yang termasuk overt culture adalah kebudayaan fisik seperti alat teknologi dan benda-benda yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, serta gaya hidup dan ilmu pengetahuan.28 Seiring perkembangannya, kebudayaan mengalami perubahan begitu cepat, dan para antropolog tidak dapat meneliti masyarakat seperti itu tanpa mempelajari keadaaan sebelumnya. Sementara sebuah kebudayaan akan dipahami secara komprehensif jika dipahami juga konteks masa lalunya. Karena anggapan seperti itu, maka pendekatan historis diperlukan. Para ahli antropologi dari Amerika Latin banyak yang menggunakan data historis dalam penelitiannya. Data historis ini

24Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016), h. xiii. 25Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), h. 142. 26L. E. Brown, “Cold War, Culture Wars, War on Terror: the NEA and the art of public diplomacy”. Cold War History, 2020, h. 1-19.; T. Schmader, H. B. Bergsieker, & W. M. Hall, “Cracking the Culture Code”. In Applications of Social Psychology by J. Forgas, K. Fiedler & W. Crano (ed.), (New York: Routledge, 2020), h. 334-355. 27R. Busbridge, B. Moffitt & J. Thorburn, “Cultural Marxism: Far-right Conspiracy Theory in Australia‟s Culture Wars”. Social Identities, 2020, h. 1-17.; R. K. Lawrence, M. Edwards, G. W. Chan, J. A. Cox, & S. C. Goodhew, “Does Cultural Background Predict the Spatial Distribution of Attention?. Culture and Brain, 2019, h. 1-29. 28L. Qian & M. Garner, “A Literature Survey of Conceptions of the Role of Culture in Foreign Language Education in China (1980–2014)”. Intercultural Education, vol. 30, no. 2, 2019, h. 159-179.

36 dipakai jika diperlukan, bukan untuk menonjolkan permasalahannya sebagaimana juga Herskovits menggunakan data sejarah dalam penelitiannya di kalangan orang Negro.29 Boas (1858-1942) adalah salah seorang pelopor aliran historisme Amerika, bahkan akhirnya dianggap sebagai bapak antropologi Amerika. Boas berpendapat bahwa sejarah dapat dijadikan alat untuk memahami kebudayaan yang tersebar di muka bumi. Perhatian Boas terhadap analisis spesifik dari cultural history agaknya sangat dipengaruhi oleh dua tradisi ilmu pengetahuan di luar paham evolusionis yang berkembang di Amerika pada waktu itu, yaitu pendekatan geografi dan pendekatan field work. Boas berpendapat bahwa berbagai peristiwa unik dan spesifik yang pernah terjadi dalam sejarah akan dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena kebudayaan di masa sekarang. Menurutnya, kehidupan yang nampak sekarang yang terjadi pada suatu masyarakat adalah akibat dari peristiwa masa lalu. Peristiwa-peristiwa yang yang terjadi dalam kehidupan suatu bangsa juga dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar masyarakat tersebut.30 Persoalan mengenai proses perubahan kebudayaan dalam dunia antropolgi merupakan suatu persoalan pokok bahkan sejak zaman lahirnya ilmu ini. Awalnya perubahan kebudayaan dianggap sebagai akibat adanya suatu kekuatan yang terdapat di dalam inti dari tiap-tiap kebudayaan di dunia. Kekuatan yang dimaksud di dalam tiap-tiap kebudayaan adalah kekuatan evolusi. Di samping itu, timbul juga anggapan bahwa proses perubahan kebudayaan itu adalah akibat dari adanya gerak persebaran dan perpaduan kembali dari kebudayaan-kebudayaan yang ada, dikenal dengan istilah “difusi”. Penyelidikan yang mengkhususkan terhadap proses-proses yang terjadi apabila dua kebudayaan bertemu atau akulturasi terjadi pada perkembangan selanjutnya. Menurut Koentjaraningrat karangan-karangan yang bersifat teoritis sudah ada sejak tahun 1910 namun belum mempunyai dasar yang kuat. Misalnya, karangan G. Sergi (1911)31 tentang pengaruh yang berbeda-beda kekuatannya dari suatu kebudayaan asing pada berbagai adat-istiadat dalam suatu kebudayaan asli, karangan Triggs (1912)32 tentang runtuhnya kebudayaan asli yang kena pengaruh kebudayaan asing, kemudian karangan Marett (1918)33 tentang alam pikiran suatu bangsa asli yang kena pengaruh kebudayaan asing.34

29M. J. Herkovits, Acculturation: The Study of Culture Contact, (New York: Peter Smith, 1958). 30F. Boas, “History and Science in Anthropology: A Reply”. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 137-141. 31G. Sergi, L'uomo secondo le origini, l'antichità, le variazioni e la distribuzione geografica. Sistema naturale di classificazione. Con 212 figure nel testo, 107 tavole separate e una carta geografica dei generi umani, (Fratelli Bocca, 1911). 32O. L. Triggs, “The Decay of Aboriginal Races (Illustrated)”. The Open Court, no. 10, 1912. 33R. R. Marett, “Presidential Address. The Transvaluation of Culture”. Folklore, vol. 29, no. 1, 1918, h. 15-33. 34Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1958), h. 442.

37

Lembong berpendapat bahwa membangun sebuah bangsa harus dimulai dari membangun kebudayaannya, begitupun membangun Indonesia harus dimulai dari jantung kebudayaan yaitu manusianya. Selama ini semua orang hanya fokus pada pembangunan fisik dan mengabaikan “pembangunan” manusianya. Lembong melalui idenya yang dikenal dengan istilah “penyerbukan silang antarbudaya” (cross culture fertilization) berupaya membangun manusia Indonesia agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.35 Manusia Indonesia harus mampu melakukan penyerbukan silang antar budaya-budaya unggul yang ada, juga budaya- budaya unggul yang berada dari luar, atau budaya asing. Menurutnya, tiap-tiap daerah atau bangsa memiliki unsur-unsur kebaikan dan keunggulan termasuk etnis Tionghoa, yang apabila dipadukan akan menghasilkan sebuah “budaya Indonesia baru” yang unggul. Budaya Indonesia harus mampu menjadikan manusia Indonesia mampu mengambil budaya luhur yang ditemui serta kemudian mengembangkannya. Dengan jalan penyerbukan silang antar budaya, etos kerja yang bagus, yang dimiliki sebuah kelompok bisa diterapkan di kelompok lain dan melahirkan budaya baru, yakni etos kerja dalam bingkai budaya Indonesia. Jadi, dalam penyerbukan silang antarbudaya, kita tidak hanya mengakui adanya kemajemukan yang ada di Indonesia, namun juga mengakui bahwa setiap daerah atau kelompok memiliki kebaikan-kebaikan dan keunggulan yang kalau keunggulan-keunggulan itu dipadukan akan menghasilkan budaya Indonesia baru yang unggul yang mampu berdiri tegak dan bersaing kompetitif dengan semua budaya bangsa dalam bingkai peradaban dunia. Dalam konteks ini, penyerbukan silang antarbudaya adalah sebuah bentuk strategi kebudayaan baru untuk memajukan Indonesia.36

1. Akulturasi Akulturasi adalah proses di mana kontak antara kelompok budaya yang berbeda mengarah pada perolehan pola budaya baru oleh satu kelompok, atau mungkin kedua kelompok, dengan adopsi semua atau sebagian budaya yang lain. Pendefinisian tersebut sebagaimana dalam Dictionary of Sociology, dijelaskan bahwa “Acculturation is a process in which contacts between different cultural groups lead to the acquisition of new cultural patterns by one group, or perhaps both groups, with the adoption of all or parts of the others‟s culture”.37 Sementara Redfield, Linton dan Herskovits adalah yang pertama kali memberikan definisi secara sistematik tentang akulturasi. Mereka mengatakan akulturasi akan terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya berbeda bersentuhan langsung dan akan mengakibatkan perubahan dalam pola budaya asli dari salah satu atau kedua

35A. Rukmana dan E. Lembong (ed.), Penyerbukan Sialng Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Kompatindo, Jakarta, 2015). 36J. Oetama dan A. S. Maarif, Penyerbukan Silang Antar Budaya: Membangun Manusia Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2015), h. xii-xxvi. 37David Jary dan Julia Jary, HarperCollins Dictionary of Sociology, (New York: HarperPerennial, 1991), h. 3.

38 kelompok tersebut.38 Namun, definisi tersebut dalam perkembangannya mendapat banyak kritikan dari para antropolog kemudian, karena ada beberapa poin yang sulit ditafsirkan. Misalnya, perbedaan antara akulturasi dan asimilasi, akulturasi itu suatu proses ataukah menunjukkan suatu keadaan?. Sekalipun terdapat kesulitan, keduanya masuk dalam ruang lingkup studi perubahan kebudayaan. Thurnwarld mengatakan “acculturation is a process, not an isolated event”.39 Dalam konteks ini Thurnwarld lebih menekankan pada proses yang terjadi di tingkat individual karena suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru itulah yang disebut dengan akulturasi. Dalam konteks ini Koentjaraningrat mengatakan akulturasi juga bisa digunakan untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan penyesuaian individu terhadap suatu budaya baru. Contohnya dalam sejarah kebudayaan manusiabanyak yang melakukan migrasi yaitu gerak perpindahan suku bangsa dari suatu tempat ke tempat lain yang menyebabkan bertemunya antar kelompok manusia dengan kebudayaan berbeda, dan sebagai akibatnya, individu-individu itu dihadapkan pada kebudayaan asing.40 Akulturasi itu sendiri sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat merupakan proses sosial yang terjadi bila mana dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu, dipengaruhi unsur kebudayaan asing yang berbeda sifatnya. Unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan sendiri tanpa kehilangan kepribadian kebudayaan sendiri.41 Jalan yang dilalui akulturasi sebagaimana Soekanto mengatakan bisa dibedakan antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat. Meskipun ia sendiri menyatakan bahwa lembagalah yang mendapat penilaian tertinggi menjadi saluran utama.42 Jadi, akulturasi pada dasarnya merupakan fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok tersebut. Jika ada dua masyarakat atau lebih menjalin kontak sosial dalam waktu yang cukup lama, maka cepat atau lambat kebudayaan dari masing-masing pihak yang bersangkutan tentu akan saling berkenalan dan saling memengaruhi. Akibat, kontak kebudayaan tersebut menimbulkan proses akulturasi. Proses akulturasi di antaranya dapat terjadi antara aspek material dan non-material dari kebudayaan yang sederhana dengan kebudayaan yang kompleks, dan antara kebudayaan yang kompleks dengan kebudayaan yang kompleks pula.43 Sementara Saebani mengatakan akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil percampuran kebudayaan jika berbagai kelompok manusia dengan

38R. Redfield, R. Linton, & M. J. Herskovits, “Memorandum for the Study of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152. 39R. Thurnwald, “The Psychology of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 34, no. 4, 1932, h. 557-569. 40Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djembatan, 1990), h. 248. 41Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan…, h. 91. 42S. Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 367-368. 43B. A. Saebani, Pengantar Antropolog, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 191.

39 kebudayaan yang beragam bertemu mengadakan kontak secara langsung dan terus menerus, kemudian menimbulkan perubahan dalam pola-pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau pada keduanya.44 Suyono dalam Kamus Antropologi mengatakan akulturasi merupakan pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau bertemu.45 Sementara Lauer mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial yang dimulai sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu kelompok atau keduanya.46 Berbeda dengan Joyomartono yang masih bersifat “ragu-ragu” mengatakan bahwa dalam akulturasi bisa jadi hanya salah satu dari dua kebudayaan yang berubah, namun bisa juga terjadi perubahan pada kedua kebudayaan. Dari pengertian tersebut, akulturasi memiliki makna yang berbeda dengan difusi. Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa terjadinya akulturasi.47 Pendapat Koetjaraningrat di atas senada dengan Keesing mengatakan akulturasi sebagai suatu proses sosial yang timbul jika suatu kelompok manusia dengan budaya-budaya tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur budaya asing tertentu, sehingga kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tetapi tanpa menyebabkan identitas kebudayaan sendiri hilang.48 Pengertian yang sama juga dikemukakan Haviland bahwa akulturasi adalah proses sosial yang terjadi jika dua kebudayaan atau lebih bertemu dalam jangka waktu yang lama dan mengakibatkan perubahan-perubahan besar.49 Menurut Berry akulturasi merupakan proses perubahan budaya dan psikologis yang terjadi sebagai akibat pertemuan dua atau lebih budaya dan anggota masing- masing kelompok etnik. Akulturasi mengakibatkan perubahan budaya dan psikologis karena adanya kontak dengan budaya lain. Perilaku seseorang cenderung berubah setelah mengalami perjumpaan dengan budaya lain. Misalnya, ketika Inggris menduduki India dan Afrika, maka banyak di antara orang India ataupun Afrika yang terakulturasi ke dalam gaya hidup orang Inggris, juga banyak di antara mereka yang berubah perilakunya, baik dari segi bahasa, agama, pakaian dan lainnya.50 Di negara-negara Eropa yang memiliki banyak daerah jajahan atau di negeri Amerika Serikat yang di dalam wilayahnya mempunyai penduduk dari suku-suku bangsa Indianbanyak timbul perubahan masyarakat dan kebudayaan yang

44Saebani, Pengantar Antropolog... h. 189. 45A. Suyono, Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 15. 46R. H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 403. 47M. Joyomartono, Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1991), h. 41. 48F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973). 49W. A. Haviland, Cultural Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002). 50J. W. Berry, “Globalisation and Acculturation”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336.

40 merupakan perpaduan dari beberapa kebudayaan. Di Inggris, studi semacam ini disebut culture contact, sedangkan di Amerika lebih banyak digunakan istilah acculturation.51 Menurut Puspito akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.52 Senada dengan Puspito, Supatmo mengatakan akulturasi adalah perubahan budaya yang terjadi jika dua kebudayaan atau lebih bertemu, kemudian kebudayaan asing itu secara bertahap diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa mengakibatkan hilangnya karakter atau identitas budaya itu. Lebih jauh Supatmo mengatakan bahwa proses perubahan budaya yang terjadi tidak selamanya kelompok kebudayaan setempat yang bersifat pasif dan kelompok budaya asing yang aktif, tetapi bisa juga terjadi di antara mereka tindakan saling menerima dan memengaruhi.53 Haviland mengatakan akulturasi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu: 1) Substitusi. Bentuk substitusi adalah proses penggantian unsur kebudayaan lama diganti dengan unsur kebudayaan baru yang lebih memberikan nilai bagi kehidupan masyarakat. Misalnya, binatang kerbau yang digunakan untuk membajak sawah diganti dengan mesin tractor. 2) Sinkretisme. Bentuk sinkretisme adalah proses meleburnya budaya lama dengan unsur budaya baru sehingga tercipta kebudayaan baru. Misalnya, bercampurnya unsur-unsur ajaran agama Hindu-Buddha dengan ajaran Islam sehingga menghasilkan sistem kepercayaan Islam Kejawen. 3) Adisi (addition). Unsur budaya yang lama yang masih berfungsi ditambah unsur baru sehingga memberikan nilai lebih. Misalnya, beroperasinya kendaraan bermotor untuk melengkapi alat transportasi tradisional seperti dokar, becak dan lain-lain. 4) Dekulturasi (deculturation). Bentuk ini adalah proses hilangnya atau tidak berfungsinya unsur-unsur kebudayaan lama digantikan dengan unsur kebudayaan baru, sebagai contoh, mesin penggilingan padi yang sudah menggantikan penggunaan lesung dan gebugan untuk menumbuk padi. 5) Originasi. Bentuk originasi adalah proses masuknya unsur budaya baru yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali sehingga menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakat. Misal, masuknya teknologi listrik ke pedesaan telah menyebabkan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat desa. Informasi yang diterima masyarakat telah menimbulkan perubahan baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian, gaya hidup, tingkah laku dan hiburan. 6) Penolakan (rejection). Masyarakat yang tidak siap dan tidak setuju dengan proses percampuran cenderung melakukan penolakan sebagaimana kerab dijumpai masih ada di antara masyarakat

51Hari Poerwanto, “Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional”. Humaniora, vol. 11, no. 3, 1999, h. 29-37. 52Hendro Puspito, Sosiologi Semantik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 233. 53Supatmo, “Keragaman Seni Hias Bangunan Bersejarah Masjid Agung Demak”. Imajinasi, vol. 10, 2, 2016, h. 107–120.

41 yang tidak mau berobat ke dokter jika sakit dan lebih memilih berobat ke kyai atau dukun.54 Rohmanu dalam penelitiannya tentang pernikahan masyarakat etnik Jawa di Selangor, Malaysia mendapati tradisi pernikahan yang dilakukan masyarakat Jawa di Selangor masih mempertahankan tradisi-tradisi Jawa meskipun mereka sudah lama beradaptasi dengan budaya Melayu sebagai tempat kelahirannya. Menurutnya akulturasi yang terjadi mengarah pada substitusi dan sinkretisme. Substitusi dalam arti bahwa ada beberapa tradisi Jawa yang diganti dengan budaya Melayu karena dianggap memiliki substansi yang sama. Adapun yang dimaksud sinkretisme adalah bahwa dua budaya itu melebur menjadi sebuah budaya baru yang sifatnya khas.55 Akulturasi juga menunjuk pada terjadinya perubahan yang dialami oleh seseorang akibat kontak dengan budaya lainnya, sekaligus juga akibat keikutsertaan dalam proses akulturasi yang memungkinkan budaya dan kelompok etnis menyesuaikan diri dengan budaya yang lainnya. Akulturasi biasanya terjadi pada seorang pendatang yang perlu menyesuaikan diri dengan budaya yang baru ditemuinya. Perubahan budaya yang terjadi pada individu menunjuk pada sikap, nilai, dan jati diri. Dalam kondisi seperti ini, kesiapan mental dan pendidikan seseorang sangat menentukan dalam beradapatasi dengan budaya yang baru.56 Usman membagi proses akulturasi menjadi dua bentuk,57 yaitu: pertama, akulturasi damai (penetration pasifique). Akulturasi ini terjadi jika masyarakat penerima kebudayaan menerima unsur-unsur kebudayaan asing secara damai tanpa paksaan. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Kedua macam kebudayaan tersebut diterima masyarakat pribumi secara damai tanpa konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan itupun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Kedua, akulturasi ekstrim (penetration violante). Akulturasi jenis ini terjadi dengan cara merusak, memaksa lewat kekerasan, perang, dan penaklukkan. Akibatnya, masyarakat yang dikalahkan dipaksakan untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dari pihak yang menang. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat.

54W. A. Haviland, Antropologi, terj. R. G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga, 1988), h. 263. 55A. Rohmanu, “Acculturation of Javanese and Malay Islam in Wedding Tradition of Javanese Ethnic Community at Selangor, Malaysia”. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture, vol. 24, no. 1, 2016, h. 52-66. 56J. Cullum & H. C. Harton, “Cultural evolution: Interpersonal Influence, Issue Importance, and the Development of Shared Attitudes in College Residence Halls”. Personality and Social Psychology Bulletin, vol. 33, no. 10, 2007, h. 1327-1339.; J. W. Berry, U. Kim, S. Power, M. Young, & M. Bujaki, “Acculturation Attitudes in Plural Societies”. Applied Psychology, vol. 38, no. 2, 1989, h. 185-206.; T. P. Hannigan, “Traits, Attitudes, and Skills that are Related to Intercultural Effectiveness and their Implications for Cross-cultural Training: A Review of the Literature”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 14, no. 1, 1990, h. 89-111. 57A. R. Usman, Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 45-47.

42

Dari sekian perdebatan, memang para antropolog mendefinisikan akulturasi secara berbeda, tetapi semua sepakat bahwa konsep itu berkaitan dengan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaannya bertemu dengan kelompok manusia yang lain kemudian terjadi proses saling memengaruhi hingga terjadi perubahan pada kebudayaan asli suatu kelompok atau pada keduanya.58 Powell adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep akulturasi pada tahun 1883 ketika melakukan studi pada suku Numa  salah satu suku Indian yang menempati wilayah California, Arizona, Utah, Oregon dan Nevada. Sejak konsep akulturasi diperkenalkan Powell, konsep ini menjadi topik menarik dalam perbincangan para akademisi, dan banyak studi kemudian gencar dilakukakan yang dilakukan Holmes (1886), Boas (1896) dan W. McGee (1898).59 Ketiganya merupakan ilmuan dalam bidang etnologi atau antropologi budaya. Di awal 1910, para sarjana antropologi mulai memerhatikan masalah akulturasi dengan melakukan penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian (penduduk asli Amerika) yang disebabkan pengaruh kebudayaan orang “kulit putih”, dan juga berbagai suku bangsa di Afrika, Oceania, Filipina dan Indonesia, dan kemudian melukiskan berbagai perubahan yang terjadi pada kehidupan dan kebudayaan mereka.60 Pada perkembangannya akulturasi tidak hanya menjadi fokus dalam disiplin etnologi atau antropologi budaya, tetapi telah menarik perhatian para ilmuan di bidang sosiologi dan psikologi. Dalam bidang sosiologi Simon menulis “Social Assimilation”,61 sedangkan dalam bidang psikologi Thomas dan Znaniecki meneliti dan menulis tentang fenomena akulturasi di kalangan para pendatang yang berasal dari Polandia di negara Eropa dan Amerika, dan dipublikasikan pada tahun 1918 dengan judul The Polish Peasant in Europe and America; Monograph of an Immigration Group”.62 Kemudian di tahun 1936 terbit sebuah artikel “Memorandum for the Study of Acculturation”  tulisan kolaboratif Robert Redfield, Linton dan Herskovits63 dan menjadi pembuka bagi studi-studi berikutnya. Pada tahun 1951 konsep akulturasi dijadikan sebagai konsep kerja oleh International Organization for Migration untuk mengatasi masalah para imigran dan pengungsi dengan maksud untuk membantu mereka mengatasi shock culture dan kesehatan mental lainnya. Kaitannya dengan kesehatan mental, seorang pakar psikologi, Berry menulis “Immigration, Acculturation and Adaption” telah banyak mengupas soal kesehatan mental di kalangan para imigran atau pengungsi pada

58Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan…, h. 91. 59J. W. Powell, Seeing Things Whole: The Essential John Wesley Powell, (Island Press, 2004). 60R. M. Keesing & F. M. Keesing, New Perspectives in Cultural Anthropology, (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971), h. 19. 61S. E. Simons, “Social Assimilation”. American Journal of Sociology, vol. 6, no. 6, 1901, h. 790-822. 62W. I. Thomas & F. Znaniecki, The Polish peasant in Europe and America: Monograph of an immigrant group, vol. 2, (University of Chicago Press, 1918). 63Redfield, Linton, & Herskovits, “Memorandum…, h. 149-152.

43 tahun 1997.64 Kemudian di tahun 2000, fenomena akulturasi menjadi diskursus penting di kalangan para ilmuan ketika mengkaji studi perubahan budaya. Banyak karya yang bermunculan pada periode ini, dua di antaranya adalah “Acculturation, Living Successfully in Two Cultures” karya J. W. Berry pada tahun 2005,65 dan “Rethingking the Concept of Acculturation, Implication for Theory and Research” karya Schwartz, Unger, Zamboanga, dan Szapocznik tahun 2010.66 Sebenarnya, masalah akulturasi sudah lama dirumuskan oleh para pakar. Selain membahas masalah metode untuk mengobservasi, mencatat dan mendeskripsikan suatu proses akulturasi, juga ada empat masalah pokok yang berkaitan dengan diskursus akulturasi, yaitu: (1) Unsur-unsur kebudayaan asing apakah yang mudah diterima atau sukar diterima; (2) Unsur-unsur kebudayaan apakah yang mudah diganti atau diubah oleh kebudayaan asing; (3) Individu-individu manakah yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing, atau sebaliknya; (4) Ketegangan dan krisis sosial sebagai akibat terjadinya akulturasi. Menurut Purwanto unsur kebudayaan yang bersifat konkrit dan memiliki manfaat besar dalam kehidupan, biasanya cenderung mudah diterima. Sementara unsur kebudayaan yang sukar diterima biasanya yang berkaitan dengan upacara adat dan unsur kebudayaan yang sudah berakar dari kecil. Dalam proses akulturasi juga dibahas tentang individu- individu yang lambat atau cukup responsif menerima akulturasi. Dalam konteks ini Purwanto mengatakan golongan muda tidak selalu lebih cepat menerima akulturasi dari pada golongan tua. Cepat atau lambatnya seseorang dalam menerima proses akulturasi sangat berkaitan dengan latar belakang yang melingkarinya dan kepentingan apa yang terkait.67 Para ahli antropologi kemudian menaruh perhatian akan peristiwa terjadinya proses akulturasi, agar dapat mengetahui dan memahami bagaiamana proses tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan, baik perubahan sosial maupun budaya. Sebagai salah satu bentuk proses sosial, akulturasi erat kaitannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Sebagai akibat dari pertemuan tersebut, maka kedua belah pihak saling memengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka mengalami perubahan bentuk. Artinya, akulturasi hanya akan terjadi jika ada dua kebudayaan atau lebih bertemu. Selanjutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya akulturasi, di antaranya direct cultural transmissions,68 kasus-kasus mono

64J. W. Berry, “Immigration, Acculturation, and Adaption”. Applied Psychology, An International Review, vol. 46, 1997, h. 5-68. 65J. W. Berry, “Acculturation: Living successfully in Two Cultures”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 29, no. 6, 2005, h. 697-712. 66S. J. Schwartz, J. B. Unger, B. L. Zamboanga, & J. Szapocznik, “Rethinking the Concept of Acculturation: Implications for Theory and Research”. American Psychologist, vol. 65, no. 4, 2010, h. 237-251. 67Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan…, h. 186-187. 68D. Anzola & D. Rodríguez-Cárdenas, “A Model of Cultural Transmission by Direct Instruction: An Exercise on Replication and Extension”. Cognitive Systems Research, vol. 52, 2018, h. 450-465.; S. Bar-Gill & C. Fershtman, “Integration Policy: Cultural Transmission with Endogenous Fertility”. Journal of Population Economics, vol. 29, no. 1, 2016, h. 105-133.; C. Attias-Donfut, “Family transfers and cultural transmissions between three generations in France”. Global Aging and Challenges to Families, 2003, h. 214-252.

44 kultural seperti ekologis dan demografis, serta modifikasi sebagai akibat pergeseran kebudayaan, juga akulturasi bisa disebabkan oleh suatu reaksi adaptasi bentuk- bentuk kehidupan yang tradisional.69 Akulturasi sebagai sebuah proses sosial yang erat kaitannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih memerlukan sikap yang arif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi, atau dalam pengertian lain biarlah proses akulturasi tetap berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Namun, agar dalam perubahan yang terjadi tidak menyimpang dari akar budaya bangsa, maka dibutuhkan suatu pedoman yang dapat menentukan arah perkembangan kebudayaan bangsa. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 merupakan pedoman untuk menangkal lajunya proses akulturasi agar tidak melenceng dari nilai-nilai inti Pancasila sebagai konfigurasi kebudayaan bangsa. Menurut Rudmin akulturasi yang selama ini dipahami sebagai bentuk yang dapat menyatukan dua kebudayaan atau lebih, namun penomemena kontemporer mengakibatkan sebaliknya, akulturasi menjadi pemicu benturan antar etnis, benturan peradaban, bahkan tidak jarang terjadi perang antar suku (masyarakat tempatan dengan pendatang).70 Kenyataan ini seperti yang terjadi pada benturan kebudayaan di Papua atau yang sedang terjadi di Papua. Karena masyarakat Papua heterogen, maka penyelesaian konflik harus menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi budaya.71 Menurut penulis, penyelesaian dengan senjata bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah di Papua. Sebaiknya dilakukan dialog dengan semua pihak terkait untuk mendapatkan solusi terbaik bagi kemaslahatan masyarakat Papua dan semua pihak yang ada di dalamnya. Abadi dalam penelitiannya tentang pembauran di Sumenep menemukan bahwa perkawinan silang (cross marriage) menjadi salah satu lembaga penting yang mampu menghasilkan pembauran yang berkualitas dan alamiah, yang pada akhirnya menghasilkan akulturasi dan asimilasi dalam berbagai dimensi kehidupan. Berangkat dari temuannya, Abadi mengatakan pembauran yang berkualitas hanya akan terjadi jika masing-masing individu atau kelompok menjunjung tiggi martabat kemanusiaan (human dignity).72

69J. M. Waldmueller, “Agriculture, Knowledge and the „Colonial Matrix of Power‟: Approaching Sustainabilities from the Global South”. Journal of Global Ethics, vol. 11, no. 3, 2015, h. 294-302.; W. Leimgruber, “Values, Migration, and Environment: An Essay on Driving Forces Behind Human Decisions and their Consequences”. In Environmental Change and its Implications for Population Migration, (Dordrecht: Springer, 2004), 247- 266.; P. L. Van den Berghe, “Australia, Canada and the United States: Ethnic Melting Pots or Plural Societies?”. The Australian and New Zealand Journal of Sociology, vol. 19, no. 2, 1983, h. 238-252. 70F. W. Rudmin, “Debate in Science: The Case of Acculturation”, AnthroGlobe Journal, 2006, h. 72-73. 71J. O. Ondawame, “West Papua: The Discourse of Cultural Genocide and Conflict Resolution”. In Cultural Genocide and Asian State Peripheries, (New York: Palgrave Macmillan), h. 103-138. 72M. A. M. Abadi, “Cross Marriage (Sebuah Model Pembauran Budaya Antar Komunitas Cina, Arab, India, Jawa dan Madura di Sumenep Kota)”. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture, vol. 12, no. 2, 2012, h. 132-148.

45

Menurut penulis, temuan Abadi di atas membuktikan bahwa hubungan yang harmoni dan penuh toleransi akan menghasilkan pembauran yang alamiah, wajar dan berkualitas. Akulturasi meniscayakan sikap toleransi dan simpati dari semua pihak. Namun, jika ada kekuatan negara yang ikut intervensi dalam pembauran seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintah Hindia Belanda dan Orde Baru, maka pembauran yang dihasilkan akan semu, kualitasnya dangkal dan rentan dengan banyak kepentingan, atau dengan kata lain pembauran yang dipaksakan itu merendahkan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara dalam konteks Cirebon, toleransi dan keharmonisan antar komunitas etnis/ras yang terjadi pada abad XV dan XVI layak menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat Indonesia yang akhir-akhir ini sering mengalami kegamangan dan masalah-masalah yang terkait dengan isu SARA.

2. Asimilasi Konsep asimilasi telah diperdebatkan secara luas dalam ilmu sosial tentang migrasi sejak awal abad ke-20, tetapi sekarang diterima secara luas sebagai cara untuk menggambarkan cara-cara imigran dan pergantian musim semi ketika mereka melakukan kontak dengan masyarakat setempat. Dalam penggunaannya saat ini, konsep asimilasi tidak menyiratkan superioritas apapun dalam pandangan masyarakat tuan rumah atau nilai tertentu terhadap perubahan sikap dan perilaku di antara para imigran lintas generasi. Sebaliknya, asimilasi sekarang paling berguna sebagai sarana untuk menggambarkan dinamika sosial.73 Asimilasi dapat dibedakan dari akomodasi, proses kompromi yang ditandai oleh toleransi, dan dari akulturasi, atau perubahan budaya yang diprakarsai oleh gabungan dua atau lebih sistem budaya atau pemindahan individu dari masyarakat asli dan latar budaya ke lingkungan sosial budaya baru. Asimilasi harus dibedakan juga dari penggabungan, atau fusi biologis. Arti istilah seperti difusi juga sangat bervariasi dari asimilasi. Asimilasi berasal dari kata assimilare (Latin) atau assimilation (Inggris) yang berarti “menjadi sama” (Indonesia). Sinonim kata asimilasi adalah pembauran. Asimilasi merupakan proses sosial yang terjadi yang ditandai dengan adanya upaya- upaya untuk mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara masing- masing individu atau kelompok-kelompok manusia.74 A Modern Dictionary of Sosiology mendefinisikan asimilasi sebagai suatu proses yang terjadi jika seorang individu atau kelompok mengadopsi kultur atau identitas kelompok lain dan menjadikannya sebagai bagian dari kelompok tersebut. Asimilasi juga bisa dimaknai sebagai suatu proses saling serap dan bercampurnya kebudayaan yang berbeda dimana masing-masing elemen saling meleburkan diri dengan kebudayaan lainnya.75 Sementara The Cambridge Dictionary of Sociology mendefinisikan asimilasi adalah sebagai suatu proses mengidentifikasi diri atau membuat seseorang

73M. A. Lone, “Towards A Sociology of Assimilation: Concept, Theory, Debate and Practice in Cultural Anthropology”. Asian Journal of Research in Social Sciences and Humanities, vol. 3, no. 12, 2013, h. 131-166. 74Puspito, Sosiologi Semantik…, h. 233. 75S. Soemardjan, Streotip, Asimilasi, Integrasi Sosial, (Bandung: Cita Karya, 1976), h. 224-225.

46 menjadi bagian dari suatu kelompok, komunitas, atau warga negara tertentu. Kata asimilasi juga diartikan sebagai sebuah proses penerimaan kenyataan baru atau keadaan baru untuk menyesuaikan diri sebagai sebuah kesadaran yang diterima.76 Berdsarkan penjelasan di atas, asimilasi secara sederhana dalam pengertian sosiologis didefinisikan sebagai suatu proses sosial dimana dua atau lebih individu atau kelompok saling meleburkan diri sehingga identitas masing-masing menjadi hilang dan terwujud kebudayaan baru yang berbeda dengan budaya aslinya. Asimilasi mempunyai dua pengertian yang berbeda yaitu membuat seperti atau meleburkan diri pada budaya dominan, dan yang kedua adalah mengambil atau menggabungkan. Dalam pengertian pertama, seseorang atau suatu kelompok masyarakat menerima bahasa, sikap perangai dan tingkah laku kelompok lain yang dominan dan menyesuaikan dirinya dengan budaya kelompok tersebut. Adapun dalam pengertian kedua, seseorang atau kelompok saling mengambil dan bergabung sehingga terbentuk budaya baru.77 Semula memang istilah asimilasi hanya mengacu pada hubungan satu arah dan satu dimensi dimana kelompok imigran melepaskan karakteristik kebudayaan asalnya untuk kemudian meleburkan diri dengan kebudayaan dominan.78 Namun, pada perkembangannya konsep asimilasi merujuk pada relasi dua kelompok yang berbeda dengan masing-masing kebudayaannnya yang kemudian masing-masing kelompok saling memengaruhi dan dipengaruhi.79 Xie dan Greenman mendefinisikan asimilasi sebagai proses sosial yang terjadi jika ada dua atau lebih kelompok manusia dengan kebudayaaan berbeda-beda bertemu, terjadi kontak sosial yang intensif untuk waktu yang lama sehingga masing-masing kebudayaan tadi berubah karakteristiknya dan berubah wujudnya menjadi kebudayaan campuran. Proses sosial ini biasanya terjadi pada kelompok

76B. S. Turner, The Cambridge Dictionary of Sociology, (UK: Cambridge University Press, 2006). 77A. Asfari & A. Askar, “Understanding Muslim Assimilation in America: An Exploratory Assessment of First & Second-Generation Muslims Using Segmented Assimilation Theory”. Journal of Muslim Minority Affairs, 2020, h. 1-18.; S. J. Nawyn & J. Park, “Gendered segmented assimilation: earnings trajectories of African immigrant women and men”. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 2, 2019, h. 216-234.; C. Diehl, “Assimilation without groups?. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 13, 2019, h. 2297- 2301. 78R. Abramitzky, L. Boustan, & K. Eriksson, “Do Immigrants Assimilate More Slowly today than in the past?. American Economic Review: Insights, vol. 2, no. 1, 2020, h. 125-41.; F. M. Muchomba, N. Jiang, & N. Kaushal, “Culture, labor supply, and fertility across immigrant generations in the United States”. Feminist Economics, vol. 26, no. 1, 2020, h. 154-178.; C. Daniel, “Language Policies, Immigrant Assimilation, and Minority Group Advancement in the United States”. In Handbook of the Changing World Language Map, 2020, h. 2237-2259. 79J. S. Jahangir, " Experience: Assimilation of Cultures and Legacy of Islam in ”. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 3, 2020, h. 2540-2547.; B. Woo, D. D. Maglalang, S. Ko, M. Park, Y. Choi, & D. T. Takeuchi, “Racial discrimination, ethnic-racial socialization, and cultural identities among Asian American youths”. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 2020.; P. Pathak & S. Vadiya, “Role of Employee Assimilation in Controlling Job Hopping–An Empirical Study”. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 8, 2020, h. 297-307.

47 mayoritas dan minoritas. Kelompok minoritas biasanya yang meleburkan diri pada golongan mayoritas sehingga karakteristik kebudayaannya lama kelamaan akan hilang dan menyatu dengan kelompok mayoritas.80 Sementara Horton dan Hunt mendefinisikan asimilasi sebagai suatu proses sosial yang ditandai dengan usaha- usaha untuk mempersatukan tindakan, sikap dan proses-proses mental dengan mempertimbangkan kepentingan dan tujuan bersama, sekaligus usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat di antara individu atau kelompok.81 Pendapat Horton dan Hunt di atas sepertinya diperkuat oleh para ahli yang lain seperti Harsojo mengatakan asimilasi adalah suatu proses sosial yang ditandai dengan makin berkurangnya karakteristik masing-masing individu atau kelompok untuk mencapai kepentingan dan tujuan yang sama.82 Senada para ahli sebelumnya, Soekanto mengatakan asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada individu atau kelompok manusia dan memperkuat usaha-usaha untuk menyatukan langkah, sikap dan ide untuk mencapai kepentingan bersama.83 Sekalipun banyak pendapat terkait definisi asimilasi, namun semua sepakat asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila dua kelompok manusia atau lebih dengan latar belakang kebudayaaan yang berbeda saling bertemu dan berinteraksi secara intensif untuk waktu yang lama, selanjutnya kebudayaan masing-masing golongan berubah wujudnya menjadi suatu kebudayaan baru. Biasanya asimilasi ini terjadi pada kelompok mayoritas dan minoritas. Golongan minoritas menyesuaikan diri dan meleburkan diri dalam golongan mayoritas sehingga lambat laun kehilangan identitas kebudayaan dan melebur dalam kebudayaan mayoritas.84 Idi dan Huda berpendapat bahwa asimilasi akan cepat terjadi jika kelompok pendatang mau berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat, baik secara ekonomi, sosial-budaya, politik maupun aspek lainnya, serta menghilangkan prasangka dan diskriminasi terhadap penduduk asli. Dalam konteks Indonesia, jenis asimilasi sebagaimana pendapat Idi dan Huda telah terjadi di Bangka, baik di kota- kota maupun pedesaan. Di sana etnis Tionghoa relatif dapat melebur dengan masyarakat pribumi dan mendapat perlakuan yang baik.85 Contoh kasus tersebut menandakan bahwa sekalipun kontak sosial antar dua kelompok masyarakat dengan kebudayaan masing-masing berbeda dan berlangsung intensif belum tentu terjadi suatu proses asimilasi jika di antara kelompok yang berbeda itu tidak ada sikap saling toleransi dan menghargai di antara mereka. Tidak hanya terjadi di Bangka, etnis Tionghoa di Surakarta sebagaimana studi Sutirto mengatakan etnis Tionghoa

80Y. Xie & E. Greenman, “The social context of assimilation: Testing implications of segmented assimilation theory”. Social Science Research, vol, 40, no. 3, 2011, h. 965-984. 81P. B. Horton & C. L. Hunt, Sociology (New York: McGraw-Hill, 1976). 82Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1967), h. 191. 83Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 88. 84Abadi, “Cross Marriage…, h. 132-148. 85A. Idi & N. Huda, Cina-Melayu di Bangka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), h. 267-269.

48 di Surakarta sekalipun bergaul secara intensif dengan etnis Jawa, tatapi banyak juga yang belum terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa.86 Pada prakteknya istilah asimilasi dan akulturasi sering tumpang tindih, bahkan kedua istilah ini sering digunakan untuk mengartikan obyek yang sama. Para ahli sosiologi sering menggunakan istilah asimilasi,87 sedangkan ahli antropologi menggunakan istilah akulturasi.88 Cole mengatakan asimilasi merupakan proses akulturasi yang paling ekstrim, sebab ketika terjadi kontak budaya antar dua kelompok atau lebih, salah satu kelompok mengabaikan atau meninggalkan budaya asalnya untuk kemudian mengadopsi budaya baru dalam kehidupannya.89 Rokhani, Salam dan Rochani-Adi, dalam karya mereka yang mengkaji konstruksi identitas etnis Tionghoa melalui difusi budaya membuat istilah asimilasi, akulturasi dan difusi semakin bias. Mereka banyak menggunakan istilah difusi dalam menjelaskan Gambang Kromong yang menjadi fokus kajian sebagai wujud budaya hibrid yang merupakan hasil akulturasi antara budaya Tionghoa dan budaya pribumi. Penelitian mereka mengatakan kesenian Gambang Kromong merupakan hasil difusi budaya di daerah Jakarta. Kesenian ini merupakan campuran dari berbagai unsur budaya, juga merupakan proses integrasi budaya yang menggunakan strategi difusi budaya. Bentuk difusi budaya dapat dilihat dari adaptasi atas bentuk instrumen, tangga nada, lagu-lagu yang dipentaskan, maupun fungsi dari pertunjukan gambang kromong itu sendiri.90 Dari beberapa definisi di atas, maka ada beberapa indikator dalam asimilasi yaitu: (1) ada individu atau kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda; (2) Antar individu atau kelompok tersebut terjadi kontak sosial yang intensif dalam jangka waktu yang lama; (3) Masing-masing pihak saling menyesuaikan diri dan meleburkan diri; (4) Terjadinya perubahan budaya pada masing-masing individu atau kelompok; (5) Terwujudnya kebudayaan baru yang berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Beberapa konsep asimilasi dalam bentuk gambar adalah sebagai berikut:

86T. W. Sutirto, Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, (Pustaka Cakra, 2000). 87J. E. Trimble, “Introduction: Social change and acculturation”. In Acculturation: Advances in Theory, Measurement, and Applied Research, vol. 10, 2003, h. 3-13. 88M. J. Herskovits, “The Significance of the Study of Acculturation for Anthropology”. American Anthropologist, vol. 39, no. 2, 1937, h. 259-264. 89N. L. Cole, “What is the Meaning of Acculturation? Understanding Acculturation and How it Differs from Assimilation”. 2018. 90U. Rokhani, A. Salam, & I. Rochani-Adi, “Konstruksi Identitas Tionghoa melalui Difusi Budaya Gambang Kromong: Studi Kasus Film Dikumenter Anak Naga Beranak Naga”. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts), vol. 16, no. 3, 141- 152.

49

Kebudayaan A+B Kebudayaan A B

Gambar 1. Kebudayaan A dan Kebudayaan B bertemu dalam Masyarakat, sehingga menghasilkan suatu kebuadayaan baru (A+B)

Kebudayaan A Kebudayaan B

Kebudayaan AB

Gambar 2. Pembauran dua unsur sosial yang berbeda dan menghasilkan suatu unsur yang baru

+ =

Gambar 3. Pembaruan dua unsur sosial yang berbeda akan menghasilkan suatu ukuran yang baru

50

Menurut Tumanggor ada beberapa faktor penghambat dan pendukung proses asimilasi.91 Di antara faktor penghambat proses asimilasi, yaitu: 1) Pengetahuan yang kurang terhadap unsur kebudayaan yang dibawa pendatang ataupun penduduk asli. 2) Sifat takut terhadap kebudayaan yang dihadapi. 3) Perasaan ego dan superioritas terhadap kebudayaan sendiri dibanding kebudayaan lain. Adapun beberapa faktor pendukung proses asimilasi, yaitu: 1) Faktor toleransi, yaitu sikap saling menerima dan menghormati kebudayaan kelompok lain. 2) Faktor kemanfaatan timbal balik, yaitu saling memberikan manfaat kepada masing-masing pihak. 3) Faktor simpati, yaitu sikap saling menghargai dan memperlakukan secara baik kelompok lain. 4) Faktor perkawinan. Faktor yang terakhir yakni perkawinan sudah dibuktikan Abadi dalam penelitiannya bahwa perkawinan silang (cross culture) adalah lembaga yang mampu menghasilkan pembauran yang berkualitas.92

3. Difusi Difusi kebudayaan adalah persebaran budaya suatu kelompok sosial kepada kelompok yang lain. Difusi kebudayaan terjadi jika budaya-budaya atau norma- norma yang dimiliki suatu kelompok masyarakat mengalami persebaran ke wilayah atau kelompok lain.93 Melalui difusi kebudayaan, cakrawala atau wawasan seseorang diperluas dan menjadi lebih kaya secara budaya. Terjadinya pencampuran budaya dunia melalui berbagai etnis, agama, dan kebangsaan hanya meningkat dengan beberapa di antaranya; transportasi, teknologi informasi dan komunikasi yang semakin modern. Ada beberapa contoh difusi kebudayaan yang bisa penulis kemukakan dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi modern, di antaranya; kita dapat dengan mudah berkomunikasi setiap hari via media sosial seperti whatsapp, twitter, instagram, facebook dan sebagainya dengan seseorang yang tinggal jauh dari kita. Selain itu, melalui youtube kita juga bisa mengenal salah-satu jenis masakan Jepang yang terkenal yaitu susi, sekaligus bagaimana cara membuatnya. Artinya, di era globalisasi seperti saat ini, setiap orang bisa mengambil ilmu dan manfaat dari kebudayaan asing yang dilihatnya dari media sosial maupun alat komunikasi lainnya. Dalam konteks ini teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi sarana difusi kebudayaan yang ampuh. Namun, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi selain berdampak positif, juga mengandung hal-hal negatif kepada masyarakat. Pada akhirnya difusi kebudayaan dapat merubah cara atau pola hidup seseorang. Ragam persoalan kebudayaan yang muncul di era globalisasi selain yang dijelaskan di atas, misalnya adalah menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme, tergerusnya budaya asli atau budaya lokal, manusia cenderung individualis, dan beberapa gaya hidup yang kadang tidak sesuai dengan budaya lokal.94 Ngafifi mengibaratkannya seperti dua sisi mata uang, kemajuan teknologi di satu sisi

91Tumanggor dkk., Ilmu Sosial & Budaya…, h. 63. 92Abadi, “Cross Marriage…, h. 132-148. 93S. Soemardjan, Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991). 94S. Suneki, “Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah”. CIVIS, vol. 2, no. 1, 2012, h. 307-32.

51 mendatangkan banyak manfaat, namun di sisi lain juga menimbulkan kemudharatan yang tidak kalah besar dengan manfaatnya. Teknologi, selain mempermudah manusia dalam menjalani kehidupan, juga mengancam kerusakan lingkungan, dekadensi moral, global warming, dan lain sebagainya. Ada wajah ganda dalam teknologi, suatu saat bisa menjadi teman, dan di saat yang lain bisa menjadi musuh.95 Sementara kalau kita mengacu pada abad sebelum pertengahan, budaya yang dimiliki suatu kelompok biasanya dibawa oleh pedagang yang melakukan perjalanan jauh untuk menjual dagangannya.96 Pada saat terjadi migrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok manusia ke berbagai penjuru dunia, maka pada saat itu pula terjadi persebaran unsur-unsur kebudayaan. Proses demikian dalam ilmu antropologi dikenal sebagai difusi (diffusion). Menurut Koentjaraningrat proses difusi adalah proses penyebaran unsur- unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu bentuk difusi adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain dilakukan oleh kelompok manusia yang bermigrasi.97Ada beberapa proses difusi, di antaranya adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga. Pertemuan antara kelompok ini dapat berlangsung dengan berbagai cara, salah satunya adalah bentuk hubungan yang disebabkan karena perdagangan. Unsur-unsur kebudayaan asing dibawa oleh para pedagang masuk ke dalam kebudayaan penerima dengan tidak disengaja dan tanpa paksaan atau secara damai. Namun, terdapat pula pemasukan unsur-unsur budaya asing secara paksa yang biasanya disebabkan karena peperangan dan serangan penaklukan yang berakibat pada masuknya unsur-unsur kebudayaan asing dan mulailah proses akulturasi.98 Berawal dari ketertarikan untuk mengetahui mengapa di berbagai daerah sering ditemukan unsur-unsur budaya yang sama, baik dalam bentuk maupun isinya walau letak mereka berjauhan. Dalam konteks tersebut, studi difusi kebudayaan ini dimulai. Migrasi kelompok manusia yang sudah terjadi dan dilakukan sejak dulu menyebabkan unsur-unsur budaya tersebar. Pada perkembangan kemudian, ternyata persebaran budaya tidak harus diikuti dengan perpindahan manusianya. Di era sekarang, persebaran budaya bisa dilakukan melalui media komunikasi seperti buku, surat kabar, majalah dan berbagai media audiovisual. Penelitian Gilhuly menemukan adanya beberapa persamaan pada unsur-unsur kebudayaan di daerah- daerah yang berlainan sebagai akibat terjadinya persebaran budaya atau cultural diffusion. Persebaran budaya dianggap sebagai unsur yang penting dalam

95M. Ngafifi, “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya”. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, vol. 2, no. 1, 2014, h. 33- 47. 96M. Scholze, “Trading Cultures: Berbers and Tuareg as Souvenir Vendors Marko Scholze and Ingo Bartha”. In Between Resistance and Expansion: Explorations of Local Vitality in Africa, vol. 18, 2004, h. 69.; L. A. Babb, “Mirrored Warriors: On the Cultural Identity of Rajasthani Traders”. International Journal of Hindu Studies, vol. 3, no. 1, 1999, h. 1-25. 97Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 199. 98J. Al Wekhian, “Acculturation Process of Arab-Muslim Immigrants in the United States”. Asian Culture and History, vol. 8, no. 1, 2016, h. 89-99.

52 perkembangan makhluk manusia.99 Proses menyebar tersebut yang kemudian membuat bangsa-bangsa saling berhubungan dan memengaruhi. Menurut aliran difusionisme kebudayaan manusia itu sumbernya satu, dan berada di satu tempat tertentu, yaitu pada saat manusia pertama kali ada di muka bumi. Kemudian kebudayaan induk tadi berkembang, menyebar dan “pecah” karena pengaruh lingkungan atau masa yang berbeda menjadi beberapa kebudayaan baru. Kebudayaan-kebudayaan yang “pecah” tadi kemudian terus bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga bertemu dan berhubungan dengan kebudayaan lain dan terjadi proses saling memengaruhi.100 Teori heliolithic yang dipelopori oleh Smith101 dan Perry102 mengatakan bahwa sejarah kebudayaan manusia bermula dari Mesir yang kemudian bergerak ke daerah-daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, India, Indonesia, Polinesia dan ke Amerika. Mereka beralasan bahwa kebudayaan Mesir kuno yang tersebar di negara- negara itu nampak pada bangunan-bangunan batu besar atau megalith dan juga pada kompleks unsur-unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pandangan Smith yang Mesir sentris karena ia banyak melakukan penelitian terhadap kebudayaan Mesir kuno. Ia juga banyak mendapatkan persamaan unsur- unsur kebudayaan besar yang ada di daerah lain dengan yang ditemukannya di Mesir. Smith akhirnya menyimpulkan bahwa unsur-unsur kebudayaan yang tersebar itu berasal dari Mesir.103 Namun, teori ini banyak mendapat kecaman, yang salah satunya datang dari seorang antropolog Amerika bernama Lowiemenyatakan bahwa teori heliolithic merupakan teori difusi yang ekstrim, tidak sesuai dengan fakta di lapangan, baik dipandang dari sudut hasil-hasil penggalian ilmu prasejara maupun dari sudut konsep-konsep tentang proses difusi dan persebaran unsur-unsur kebudayan antara bangsa-bangsa yang telah diterima oleh kalangan ilmu antropologi waktu itu.104 Penelitian tentang difusi juga dipelopori oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Tarde dengan turut mengenalkan konsep hukum imitasi yang menyatakan bahwa seseorang belajar dengan cara meniru orang lain. Dengan demikian difusi adalah proses sosial dari sebuah jaringan komunikasi antar pribadi (interpersonal).105 Kemudian diteruskan oleh ilmuwan dari Inggris yang bernama

99K. Gilhuly, R. Ackerman, J. N. Adams, F. Ahl, J. Alvares, B. Anderson, W. S. Anderson et al., “Cultic Prostitution: A Case Study in Cultural Diffusion”. In Erotic Geographies in Ancient Greek Literature and Culture, vol. 51, no. 1/2, (New York: Center for Hellenic Studies, 2018), h. 1-10. 100F. Lissoni, “International Migration and Innovation Diffusion: An Eclectic Survey”. Regional Studies, vol. 52, no. 5, 2018, h. 702-714. 101G. E. Smith, In the Beginning: Origin of Civilisation, (New York: Morrow, 1928). 102W. J. Perry, The Children of the Sun, (London: Methuen, 1923).; Lihat juga W. J. Perry, Gods and Men. The Attainment of Immortality, (London: G. Howe ltd., 1927). 103G. E. Smith, The Influence of Ancient Egyptian Civilization in the East and in America, (America: The University Press, 1916). 104R. H. Lowie, The History of Ethnological Theory, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1937). 105G. Tarde & J. M. Baldwin, “Imitation and Creativity”. The Creativity Reader, 2019, h. 173.; Lihat juga P. Beirne, “On Gabriel Tarde, Penal Philosophy”. In Classic Writings in

53

Simmel yang memperkenalkan penelitiannya bahwa individu merupakan anggota sebuah sistem namun tidak terikat kuat pada sistem itu.106 Tradisi penelitian difusi sudah mulai ramai dilakukan pada pertengan tahun 1940. Dalam sejarahnya, disiplin ilmu sosiologi dianggap sebagai pionir dalam penelitian difusi. Ghazali dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa teman dan media berperan penting dalam proses difusi budaya transeksual di kalangan pelajar laki-laki. Penelitian ini dilakukan di empat universitas yang berbeda pada tahun 2007-2009. Globalisasi dianggap menjadi penggerak kepada berlakunya difusi budaya dalam masyarakat. Budaya transeksual sekalipun bertentangan dengan budaya dan nilai- nilai lokal, namun keberadaannya tidak bisa dihapuskan karena mendapatkan dukungan dari infrastruktur yaitu media komunikasi yang terus menerus mempertontonkan gaya hidup mereka baik lewat film dan sebagainya.107 Beberapa riset kolaboratif sebagaimana yang dilakukan Olson,108 Soete109 Benhabib dan Spiegel,110 tentang pengaruh difusi teknologi pada pola hidup manusia menyatakan secara sosiologis, salah satu aspek yang memengaruhi prilaku, aktivitas dan tindakan manusia adalah teknologi. Teknologi mampu mengubah pola relasi antar manusia. Keberadaan teknologi akan sangat memengaruhi prilaku manusia. Kemajuan teknologi mewujudkan masyarakat digital dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Munculnya berbagai alat-alat cangih di bidang informasi dan komunikasi seperti satelit, bioteknologi, di bidang pertanian, di bidang kesehatan dan rekayasa genetika menunjukkan teknologi masyarakat itu maju. Di era globalisasi saat ini, indikator kemajuan suatu negara adalah pada penguasan teknologi. Negara-negara maju menjadi adikuasa, kaya raya dan disegani karena memiliki teknologi canggih. Sebaliknya, jika negara itu terbelakang teknologinya maka akan tertinggal dan ditinggalkan. Manusia sekarang sudah benar-benar menjadi budak teknologi. Berdasarkan survey Secure Envoy (2012) terhadap 1000 orang di UK menyimpulkan bahwa mahasiswa sekarang mengalami nomophobiaperasaan cemas dan takut. 66 persen responden mengaku tidak bisa

Law and Society: Contemporary Comments and Criticisms, (London & New York: Routledge, 2017), h. 21-28. 106J. McCole, “Georg Simmel: Decentering the Self and Recovering Authentic Individuality”. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h. 151-162.; O. Lizardo, “Simmel‟s Dialectic of Form and Content in Recent Work in Cultural Sociology”. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h. 93- 100. 107S. Ghazali, J. Mapjabil, A. Nor, N. Samat, & J. Jaafar, “Difusi Ruangan Budaya Transeksualisme dan Imaginasi Geografi Pelajar Lelaki Berpenampilan Silang di Universiti Tempatan Malaysia”. E-Bangi Journal of Social Science and Humanities, vol. 7, no. 1, 2012, h. 252-266. 108K. E. Olson, M. A. O‟Brien, W. A. Rogers, & N. Charness, “Diffusion of Technology: Frequency of Use for Younger and Older Adults”. Ageing International, vol. 36, no. 1, 2011, h. 123-145.; 109L. Soete, “International Diffusion of Technology, Industrial Development and Technological Leapfrogging”. World Development, vol. 13, no. 3, 1985, h. 409-422. 110J. Benhabib & M. M. Spiegel, “Human capital and technology diffusion”. In Handbook of Economic Growth, vol. 1, 2015, h. 935-966.

54 hidup tanpa telepon selular. Jumlah ini meningkat pada responden usia 18-24 tahun yakni sebanyak 77 persen.111 Berdasarkan penelitian Wiyoso, proses difusi juga terjadi pada musik Karawitan. Proses difusi dari instrumen musik dapat dilihat dengan adanya rebab dalam Jawa. Instrumen rebab juga dapat ditemui di negara-negara lain seperti Arab, Maroko, Philipina dan Eropa. Sekalipun di setiap negara rebab itu memiliki nama yang berbeda-beda dan mungkin telah dimodifikasi, namun pada prinsipnya instrumen tersebut asal mulanya samainstrumen spike fiddle instrumen bersenar yang gagangnya melewati diametral melalui resonator dan dimainkan dengan busur. Sama seperti alat musik bonang di Indonesia yang juga memiliki nama berbeda-beda. Ada bonang di Jawa, talempong di Minang dan trompong di .112 Dalam konteks bangsa yang majemuk, komunikasi lintas budaya menjadi penting untuk meminimalisir munculnya konflik antar etnis. Dengan mempelajari komunikasi budaya, seseorang akan mampu besikap bijak dan moderat dalam menghadapi perbedaan-perbedaan, serta lebih berhati-hati dalam membangun relasi sosial.113 Komunikasi antar budaya adalah komunikasi atau dialog yang dilakukan oleh masing-masing pribadi atau kelompok yang memiliki budaya yang berbeda.114

B. Kedatangan Etnis Tionghoa: Jejak Cheng Ho dan Muslim Tionghoa Melihat beberapa peninggalan sejarah seperti artefak dan bahan sejarah, baik sumber lokal maupun tulisan dalam bahasa asing karya para sarjana, banyak mengaitkan antara kebudayaan Tionghoa di Nusantara, khususnya Indonesia yang sebelumnya Hindia-Belanda dengan jejak kunjungan Cheng Ho dan Tionghoa Muslim lainnya. Oleh karena itu, bagian ini ingin menggambarkan bahwa Cheng Ho dan Tionghoa Muslim memang berperan dalam penciptaan budaya dan peradaban Indonesia, melalui penyebaran Islam, dan dalam pengembangan kerukunan antar agama di abad 15 dan 16. Bagian ini tidak secara detail memberikan catatan tentang sejarah Cheng Ho dan kedatangannya di Nusantara (Indonesia), tetapi lebih pada perdebatan soal fakta sejarah dan cerita-cerita rakyat setempat tentang kehadirannya di Indonesia abad ke-15 dan sedikit menggambarkan bagaimana masyarakat lokal memandang sosok Cheng Ho yang luar biasa dalam penyebaran agama Islam. Sudah dikenal luas dalam masyarakat Muslim Indonesia bahwa Islam dibawa ke kepulauan terutama oleh pedagang Arab, Sufi Persia, pedagang , atau guru India. Menurut Al Qurtuby, hanya segelintir

111E. P. Yildiz, M. Çengel, & A. Alkan, “Investigation of Nomophobia Levels of Vocational School Students According to Demographic Characteristics and Intelligent Phone Use Habits”. Higher Education Studies, vol. 10, no. 1, 2020, h. 132-143.; C. Yildirim & A. P. Correia, “Exploring the dimensions of nomophobia: Development and validation of a self-reported questionnaire”. Computers in Human Behavior, vol. 49, 2015, h. 130-137. 112J. Wiyoso, “Pengaruh Difusi dalam Bidang Musik Terhadap Karawitan, Harmonia”. Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, vol. 3, no. 2, 2002. 113M. Syarifah, “Budaya dan Kearifan Dakwah”. Jurnal al-Balagh, vol. 1, no. 1, 2016, h. 23-24. 114A. Liliweri, Meaning of Culture and Intercultural Communication, (Yokyakarta: LKIS, 2003), h. 12-13.

55 cendekiawan, sejarawan, dan ilmuwan sosial yang mengakui keberadaan dan kontribusi Tionghoa Muslim dalam proses islamisasi Indonesia.115 Bagian ini, kemudian, akan mencoba untuk menyajikan tokoh-tokoh sejarah Tionghoa Muslim di bagian utara Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya selama abad ke 15 dan 16, serta sedikit mendiskusikan dampak dari kunjungan Cheng Ho dalam proses pembentukan Tionghoa-Jawa atau budaya Muslim Indonesia. Ma Huan dalam karyanya Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433), menulis bahwa di Jawa (Jawa Timur) ada tiga jenis orang, yaitu: pertama, orang-orang Muhammad, yang datang dari Barat dan telah mapan, serta pakaian dan makanan mereka bersih dan layak. Kedua, orang Tionghoa yang semua datang dari Canton, Chang-chou dan Ch‟uan-chou.116 Mereka adalah orang- orang yang melarikan diri dari tiga daerah tersebut dan menetap Jawa. Disebutkan juga apa yang mereka makan dan gunakan juga sangat baik dan banyak dari mereka telah mengadopsi agama Muhammad dan menjalankan ajarannya. Ketiga, penduduk asli (pribumi), yang sangat jelek dan tidak sopan, mereka pergi dengan kepala tanpa lengan dan kaki telanjang dan percaya pada setan. Makanan orang-orang ini sangat kotor dan buruk, misalnya ular, semut, serangga dan cacing, yang disimpan sesaat sebelum dibakar dan lalu dimakan. Kemudian mereka memelihara anjing di rumah, memakannya dan tidur bersama mereka, tanpa merasa jijik sama sekali.117 Gambaran tentang tiga jenis orang yang tinggal dan menetap di Jawa sebagaimana dalam tulisan Ma Huan, dikomentari oleh Al Qurtuby dengan mengatakan bahwa meskipun komentar dan pandangan Ma Huan tentang “penduduk asli” terlihat merendahkan masyarakat setempat, yang ia gambarkan sebagai masyarakat tidak beradab, namun kisahnya tentang keberadaan Tionghoa Muslim di Jawa layak untuk dipertimbangkan dengan cermat,118 sebab Ma Huan adalah seorang Tionghoa Muslim yang menemani Cheng Ho dalam perjalanan keempatnya di Laut Selatan (1413-1415) yang melaporkan selama perjalanan mereka melalui Jawa Timur bahwa penduduknya terdiri dari penduduk asli (Jawa), Muslim dan Tionghoa, banyak dari mereka adalah Muslim. Kemudian, sebuah teks Tionghoa kontemporer Xiyang Fanguo Zhi (Records of the Foreign Countries in the Western Ocean), sebagaimana dikutip oleh para sejarawan dan sinolog Prancis, Lombard dan Salmon,119 bahkan sampai sejauh mengatakan bahwa semua orang Tionghoa ini adalah Muslim. Namun, menurut Al Qurtuby hal tersebut sangat berlebihan untuk mengatakan bahwa semua orang Tionghoa yang tinggal di Jawa

115S. Al Qurtuby, “The Imprint of and Chinese Muslims in Indonesia‟s Past”. Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186. 116Chang-chou dan Ch‟uan-chou terletak di Fukien, tidak jauh dari Amoy. 117Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433). Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The University Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 93.; Lihat juga penjelasan yang senada dalam karya W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), h. 49. 118Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 119D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115-131.

56

Timur, terutama di daerah Surabaya, Gresik dan Tuban selama abad 15 adalah pengikut agama Muhammad atau menganut agama Islam.120 Soal pelayaran dan pendaratan armada Cheng Ho, Tingyu mengatakan bahwa telah melibatkan 62 kapal besar dan 225 kapal lainnya bersama dengan 27.550 awak kapal, pejabat, pembuat peta, astronom, dokter, pengkhotbah, ahli etnografi, tabib tradisional, dan sebagainya.121 Dari 1405 hingga 1433, Cheng Ho melakukan tujuh kali pelayaran dan mengunjungi lebih dari 37 negaradari pelabuhan Indonesia, terutama Palembang, Cirebon, Banten, Gresik, Surabaya dan Semarang, ke Ceylon, Kocin, Calikut, Ormuz, Jeddah, Magadishu dan Malindi, dari Champa ke India, dari Teluk Persia ke Laut Merah dan pantai Kenya. Selama perjalanannya, Cheng Ho ditemani Heo Shien, Ma Huan dan Fei Shien, semuanya adalah Muslim, yang melayani sebagai wakil dan sekretarisnya. Kemudian seorang juru bicara yang fasih berbahasa Arab bernama Ha San (imam masjid Sin An/Changan). Menurut Menzies Cheng Ho adalah seorang Muslim yang taat dan sosok yang kuat selain menjadi seorang prajurit yang tangguh dan penasihat terdekat Kaisar Yongle.122 Literatur mencatat bahwa Cheng Ho melakukan pelayaran sebanyak tujuh kali. Pelayaran pertama (1405-1407) adalah dari Nanjing ke Calicut, Champa, Jawa, Sriwijaya, Sumatra, dan Ceylon; pelayaran kedua (1407-1409) adalah perjalanan ke India dan untuk menginstal raja baru Calicut; pelayaran ketiga (1409-1411) adalah ke Champa, Temasek, Malaka, Sumatra (Samudra dan Tamiang), dan Ceylon; pelayaran keempat (1413-1415) adalah ke Champa, Jawa, Sumatra, Malaya, Maladewa, Ceylon, India, dan Hormuz; pelayaran kelima (1417-1419) tujuannya adalah Champa, Jawa, Palembang, Aden, Mogadishu, Brawa, dan Malindi di pantai barat Afrika; pelayaran keenam (1421-1422) adalah ke Afrika dan seluruh dunia termasuk Amerika;123 dan terakhir pelayaran ketujuh (1431-1433) adalah ke Vietnam Selatan, Surabaya, Palembang, Malaka, Samudra, Ceylon, Calicut, Afrika, dan Jeddah.124 Kemudian, menurut laporan Ma Huan, Tionghoa Muslim yang tinggal di pantai utara Jawa sebagian besar berasal dari Canton, Changzhou, Quanzhou dan tempat-tempat lain di Tiongkok selatan yang telah meninggalkan negara mereka karena berbagai alasan,125 termasuk motivasi politik dan ekonomi. Tidak sedikit juga studi yang berhubungan dengan orang Tionghoa di Batavia dan Jawa

120Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 121Z. Tingyu, “Ming shi (History of the )”. Beijing: Zhonghua shuju, vol. 285, no. 173, 1974.; Pelayaran dan pendaratan armada Cheng Ho di Nusantara juga dapat dilihat dalam beberapa karya relevan. Lihat J. L. Nio, Tiongkok Sepandjang Abad, (Djakarta: Gunung Agung, 1952).; Kong Yuanzhi, Sam Po Kong dan Indonesia, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1996). 122G. Menzies, 1421: The Year China Discovered America, (New York: Perennial. 2003), h. 21. 123Menzies, 1421: The Year China…, h. 21. 124Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000).; J. Widodo, “Admiral Zheng He and pre-Colonial Coastal Urban Development in Southeast Asia”. Inaugural Lecture organized by Friends of Zheng He Society, (Singapore: unpublis, 2003). 125Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan:…, h. 93.

57

(Indonesia), misalnya yang dilakukan Carey126 dan Blusse127 yang juga memilih Tiongkok bagian selatan (Canton dan Hakka) sebagai yang mendominasi di antara tempat asal imigran. Dalam konteks ini, jika dilihat dari beberapa sumber mengatakan bahwa Ma Huan bukan satu-satunya pengembara yang menyaksikan dan mencatat keberadaan komunitas Tionghoa Muslim pada masa pra kolonial. Lain halnya dengan yang awal seperti Tome Pires, Edmund Scott, Cornelis de Houtman dan Ibn Battutah juga mengakui keberadaan Tionghoa Muslim selama periode tersebut.128 Kedatangan Tionghoa Muslim, khususnya di Jawa awal abad ke-17, juga dikonfirmasi oleh John Jourdain yang mengunjungi Banten pada tahun 1614,129 dan Cornelis Busyero pada tahun 1617. Memang, di Jawa abad 15 dan 16, Tionghoa Muslim tidak hanya ditemukan di Jawa Timur sebagaimana catatan Ma Huan selama kunjungannya, tetapi di sepanjang pantai utara Jawa termasuk Jawa Barat. Loedewicks, yang mengunjungi Banten pada abad 16,130 juga menyaksikan kehadiran Tionghoa Muslim, yang disebut Geschoren Chineezen (orang Tionghoa yang dicukur) dalam dokumen VOC. Demikian juga Ibn Battutah, melaporkan keberadaan komunitas Tionghoa Muslim di wilayah pesisir Jawa dan Asia Tenggara.131 Selain itu, Lombard dan Salmon dalam karya mereka memberikan keterangan tentang Tionghoa Muslim selama era kolonial Belanda, khususnya yang ada di Jawa dan Sumatera, serta di beberapa wilayah lain Indonesia.132 Al Qurtuby selama dalam penelitiannya di Jawa utara, seperti Banten, Cirebon, Surabaya, Tuban, Kudus, Jepara, Demak, Jakarta, dan di tempat lain tentang peran Tionghoa Muslim dalam penyebaran Islam di Jawa (Indonesia) menemukan banyak cerita dan fakta sejarah yang mengejutkan tentang keberadaan Tionghoa Muslim, termasuk Cheng Ho.133 Al Qurtuby menemukan ada kisah tokoh sejarah karismatik Tionghoa Muslim yang terkait dengan ekspedisi Cheng Ho, juga yang berkontribusi pada penciptaan budaya Tionghoa Muslim-Indonesia/Jawa dan islamisasi. Al Qurtuby mencontohkan dalam Kesultanan Demak, ada yang dikenal dengan nama Demak Bintoro yang menurutnya patut mendapat perhatian khusus karena peran sentralnya dalam menggulingkan Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit sekitar 1478.

126P. Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825”. Indonesia, vol. 37, 1984, h. 1-47. 127Lihat Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and the Dutch in VOC Batavia, (Amsterdam: Foris Publication, 1988). 128G. E. Marrison, “The coming of Islam to the East Indies”. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 24, no. 1, 1951, h. 28-37. Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 129A. Reid, “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries”. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 11, no. 2, 1980, h. 235-250. 130A. Muzzaki, “Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it from the State”. London, UK: Crise Working Paper, no. 71, 2010, h. 1-29. 131Lihat T. Harb, Rihlah Ibn Battutah al-Musammah Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara‟ib al- Amsar wa Aja‟ib al-Asfar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002). 132Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 115-131. 133S. Al Qurtuby, “Melaka, Cheng Ho, dan Kesadaran Sejarah Kita”, Malaysia, Konferensi Internasional Bertajuk “Zheng He and Afro-Asian World”, 5 Januari 2014.

58

Runtuhnya Majapahit dinilai oleh Al Qurtuby sebagai yang menandai transisi dari Hindu-Buddha ke Islam dalam sejarah sosial Jawa.134 Dengan demikian, di bawah kendali Tionghoa Muslim, Demak adalah pusat dalam menyebarkan supremasi Islam atas Banten, Cirebon, Jepara, Lasem, Tuban, Gresik dan Surabaya, yang semuanya menjadi kesultanan Islam kecil. Pendiri Demak, Raden Patah sendiri diidentifikasi sebagai seorang Tionghoa Muslim, sebagian mengatakan ia adalah seorang Tionghoa Totok, dan sebagian yang lain menganggapnya peranakan.135 Kemudian, Al Qurtuby dalam penelitian juga mencatat beberapa tokoh Tionghoa Muslim lain, di antaranya Liem Mo Han (Babah Liem)136 secara luas dikenal oleh orang Jawa tidak hanya sebagai pemimpin Tionghoa lokal selama perjuangan Demak tetapi juga sebagai arsitek dari beberapa masjid di Jawa terutama masjid terkenal Mantingan di Jepara (dekat Demak). Selain Babah Liem, para pemimpin Tionghoa Muslim terkenal berpengaruh lainnya di awal abad 16 termasuk Coa Mie An dan Gouw Eng Cu yang tinggal di Lasem, dekat Demak. Cie Gwie Wan, tangan kanan Sultan Hadlirin,137 sang suami dari ratu Jawa yang terkenal Ratu Kalinyamat, serta pendiri industri ukiran seni ukiran kayu dan patung di Jepara juga adalah tokoh Tionghoa Muslim. Tokoh Tionghoa Muslim penting lainnya dari masa pra kolonial menurut tradisi lisan, adalah Kiai Telingsing (Tan Ling Sing atau Ling Sing), yang merupakan mitra Sunan Kudus di kota Kudus, Jawa Tengah, dekat dengan Demak. Orang-orang lokal Kudus tidak hanya “menguduskan” Kiai Telingsing (disebut “Mbah Sing”) tetapi juga melanjutkan ajarannya. Salah satu ajaran Telingsing yang diadopsi masyarakat setempat adalah solat sacolo saloho dongo sampurno (salat sebagai doa sempurna).138 Menurut Opan dalam tradisi lisan Cirebon ada nama Syekh Quro alias Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Syekh Quro datang ke Cirebon bersama rombongan Cheng Ho. Ia adalah putera seorang ulama besar dari Champa yang bernama Syekh Yusuf Siddik. Pada awalnya Syekh Quro berdakwah di Cirebon, namun karena mendapat hambatan dari penguasa, akhirnya ia pergi dan melanjutkan dakwahnya di Kerawang. Di tempat baru ini Syekh Quro membangun sebuah pondok sebagai tempat dakwah dan penyiaran agama Islam. Bahkan, Nyai Subang Larangistreri Prabu Siliwangi yang juga nenek Sunan Gunung

134Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 135S. AI Qurtuby, “The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java”. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009, h. 51-78. 136Babah Liem adalah seorang Tionghoa Muslim, duta besar Tiongkok untuk Demak, dan pemimpin Nan Lung (Naga Selatan), sebuah serikat pekerja Tionghoa di luar negeri yang berbasis di Jawa yang berfungsi sebagai organisasi sosial untuk melestarikan warisan dan budaya Tionghoa. Asosiasi Tionghoa perantauan ini didirikan oleh komunitas Tionghoa lokal yang berada di Jawa setelah ekspedisi Cheng Ho. 137Sultan Hadlirin adalah seorang Tionghoa Muslim yang nama aslinya adalah Wintang (batu nisannya terletak di dekat Masjid Mantingan Jepara). Diceritakan bahwa Wintang masuk Islam oleh Sunan Kudus, salah satu orang suci Muslim Jawa yang terkenal, ditemani oleh Rakim, seorang Tionghoa Muslim lainnya. Sejak saat itu namanya berubah menjadi Hadlirin yang berarti “kedatangan”. Lihat Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang, Tanjung Sari, 1979). 138Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186.

59

Jatipernah menuntut ilmu di bawah asuhan Syekh Quro.139 Ia memiliki anak yang bernama Tan Go Hoat alias Syekh Bentong. Ialah yang pertama kali membuat bedug yang sekarang disimpan di masjid Gunung Jati.140 Selain itu, dikenal juga nama Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak buah Cheng Ho yang kemudian mendirikan pemukiman Tionghoa Muslim Hanafi di Sarindil, Talang dan Sembung. Kemudian Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdhil Hanafi alias Pangeran Adipati Wirasanjaya mengembangkan pemukiman Tionghoa Muslim tersebut. Haji Tan Eng Hoat ini kemudian membantu Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di wilayah Priangan Timur sampai ke Garut. Haji Tan Eng Hoat kemudian menjadi Raja Muda bawahan Kerajaan Cirebon yang berkedudukan di Kadipaten. Ponakannya yang bernama Tan Sam Cai (Muhammad Syafi‟I alias Tumenggung Aria Dwipa Cula juga punya peran penting dalam Kesultanan) sebagai Menteri Keuangan di Kesultanan Cirebon dan arsitek Kelenteng Talang, bahkan ada juga yang mengatakan ia merupakan arsitek Guha Sunyaragi. Selain itu juga dikenal nama Haji Kung Sem Pak alias Haji Muhammad Nurjani, keturunan Haji Kung Wu Ping, yang mendirikan mercusuar terkenal di Cirebon.141 Munculnya orang Tionghoa di Cirebon terkait dengan ekspedisi Cheng Ho bisa ditemukan di Carita Purwaka Caruban Nagari. Dalam teks ini, dinyatakan bahwa pelabuhan pertama Cirebon terletak di Pasambangan antara Gunung Sembung dan Amparan Jati. Syahbandar (kepala pelabuhan) adalah Ki Gendeng Djumadjan Djati.142 Carita Purwaka Caruban Nagari juga menyebutkan bahwa Wei Ping (Kung Wu Ping) dan Te Ho, bersama para pengikutnya, dalam perjalanan ke Majapahit, mendarat di pelabuhan dan tinggal di sana selama tujuh hari.143 Selama mereka tinggal, mereka membangun Mercusuar.144 Tjandrasasmita mengidentifikasi nama “Te Ho” sebagai Laksamana Cheng Ho yang ditemani oleh Ma Huan dan Feh Tsin (Fei Xin), mengunjungi Cirebon, berdasarkan laporan Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan.145 Tionghoa Muslim lainnya yang dikenal dalam tradisi lokal Cirebon adalah Syeikh Bentong (Babah Bantong), putrinya bernama Ratna Subanci, menikah dengan Raja Bravijaya V dari Majapahit. Dari pernikahan tersebut lahir seorang putra bernama Jin Bun yang kemudian menjadi pendiri Kesultanan Demak dengan gelar Raden Patah. Cerita itu juga dipertegas didalam Cerita Purwaka Caruban

139Atja, Cerita Purwaka…, h. 31. 140Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19 Juli 2020. 141H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Edited by M. C. Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984).; Atja, Cerita Purwaka…, h. 31. 142Atja, Cerita Purwaka…, h. 30-31. 143Menurut Permadi, data ini diperkuat oleh pernyataan Wan Ming (Direktur Riset Tiongkok) yang menyatakan bahwa di dalam Ying-yai Sheng-Ian juga ditulis bahwa Cheng Ho dan pasukannya mendarat di pantai utara pulau Jawa sebelum Semarang, yaitu Moro (Muara Jati), Sarindil dan Talang. Ketiga desa tersebut ada di Cirebon. Wawancara dengan Permadi (Tokoh masyarakat Tionghoa) pada tanggal 26 September 2019. 144Atja, Cerita Purwaka…, h. 31. 145Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2009), h. 92.

60

Nagari bahwa Raden Patah adalah putera Prabu Brawijaya Kertabumi dari seorang puteri Tiongkok. Pada waktu puteri itu hamil, ia diserahkan kepada Arya Damar, Bupati Palembang yang saat itu merupakan bawahan Majapahit. Di Palembang, puteri itu melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Jinbun. Sementara dari Arya Damar, puteri itu mempunyai anak yang diberi nama Raden Kusen. Setelah remaja, Jinbun alias Raden Patah dan Raden Kusen berangkat ke Majapahit. Raden Kusen diangkat menjadi Bupati Teterung, sedangkan Raden Patah diangkat menjadi Adipati Bintoro di Demak. Raden patah dengan dukungan para wali dan penguasa kota-kota pantai utara dan beberapa kota seberang laut, akhirnya berhasil meruntuhkan Majapahit, dan karena itu ia dinobatkan menjadi Sultan Demak yang pertama dengan gelar Sultan Akbar al-Pathah.146 Dalam konteks Cirebon, salah satu yang paling terkenal di kalangan Tionghoa Muslim Cirebon adalah Putri Ong Tien147 (istri Sunan Gunung Jati). Putri Ong Tien telah menjadi simbol budaya penduduk lokal, baik Tionghoa maupun non Tionghoa, dan berfungsi sebagai figur pemersatu antara kedua kelompok di Cirebon. Salah satu yang dapat dilihat dari makam Putri Ong Tien, yakni hingga saat ini banyak dikunjungi orang dari berbagai latar belakang etnis dan agama di seluruh Indonesia, bahkan manca negara. Dengan demikian, menurut penulis penting untuk mengetahui bahwa keberadaan Tionghoa Muslim dalam fase awal islamisasi Jawa tidak hanya diungkapkan oleh kisah dan laporan para penjelajah asing dan sumber-sumber Tiongkok, tetapi juga dalam kronik, sejarah, dan tradisi lisan Jawa lokal. Sejumlah artefak Islam, peninggalan arkeologis, dan warisan budaya yang menunjukkan pengaruh orang Tionghoa juga membuktikannya. Karena itu, kita dapat mengasumsikan pengembangan semacam budaya Tionghoa-Jawa atau Muslim sebagai hasil penggabungan budaya Tionghoa-Islam-Jawa.

C. Pra Kolonial: Muslim Tionghoa sebagai Budaya Hibrida Penulis dalam bagian ini ingin memulai dengan mengatakan bahwa Tionghoa Muslim bukanlah orang baru di Indonesia. Ada beberapa bukti keberadaan Tionghoa Muslim di Jawa sejak abad ke-15 dan keterlibatan mereka dalam dakwah Islam sejak saat itu.148 Lombard dan Salmon mengatakan interaksi budaya Tionghoa dan lokal pada waktu itu tercermin dalam arsitektur masjid. Disebut sebagai sub kultur Muslim peranakan, mereka melihat interaksi seperti itu sebagai bentuk “persatuan suci” kosmopolitan, yang menggabungkan kontribusi positif dari ideologi Islam dan teknik Tiongkok.149

146Atja, Cerita Purwaka…, h. 93-94. 147Atja, Cerita Purwaka…, h. 40-41. 148S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003).; M. Ali, “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia”. Explorations, vol. 7, no. 2, 2007, h. 1-22. 149D. Lombard & C. Salmon, “Islam and Chineseness”. In A. Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, (Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute, 2001), h. 181-208.

61

Ada beberapa teks sejarah yang menyebutkan keberadaan Tionghoa Muslim di Indonesia sebelum masa kolonial Belanda. Seorang Tionghoa Muslim, Ma Huan, yang menemani Laksamana Cheng Ho dalam serangkaian ekspedisinya ke Laut Selatan (1405-1433), melaporkan dalam bukunya Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433),150 bahwa sudah ada etnis Tionghoa di Jawa pada waktu itu dan beberapa dari mereka adalah Muslim. Memang laporan tersebut tidak menyebutkan tentang pemberitaan Islam oleh Cheng Ho pada waktu itu. Namun, dengan menggunakan sejarah lokal dan sumber-sumber lain, di antaranya karya Yuanzhi,151 Sen,152 dan Budiman,153 mereka berpendapat bahwa Cheng Ho dan para pengikutnya telah menyebarkan Islam secara langsung atau tidak langsung di Jawa. Selain beberapa sumber lokal di atas, ada juga diketemukan karya kontroversial, The Malay Annals of Semarang and Cerbon, sering dikutip untuk mendukung peran Tionghoa Muslim menyebarkan Islam di Jawa. Ini bukan merupakan teks lontar awal, tetapi ditemukan pertama kali dalam karya Parlindungan154 sebagai lampiran dari bukunya yang berbahasa Melayu tentang legenda di Sumatera, berjudul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.155 Lampiran buku tersebut membahas peranan etnis Tionghoa Muslim bermazhab Hanafi dalam perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, 1411-1564. Teks tersebut kemudian direproduksi, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikomentari dalam sebuah buku oleh Graaf dan Pigeaud.156 Ricklefs yang mengedit buku tersebut, meskipun mengakui upaya dari kedua penulis, mempertanyakan keaslian Sejarah Melayu.

150Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‟eng Chun, (Cambridge: The University Press for the Hakluyt Society, 1970). 151Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 60-61. 152T. T. Sen, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009). 153A. Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979). 154Menurut Parlindungan, ia menerima teks yang disebut Sejarah Melayu Semarang dan Cerbon dari seorang administrator Belanda bernama Poortman, yang meninggal di Voorburg, Belanda tahun 1951. Poortman mengatakan bahwa catatan sejarah itu ditemukan di kuil-kuil di Semarang dan Cirebon. Begitulah klaim Parlindungan. Namun, upaya serius dari para sarjana Belanda untuk mengidentifikasi orang ini, tidak menghasilkan apa-apa, Oleh karena itu, Ricklefs bertanya-tanya apakah Poortman ini mungkin bukan hanya makhluk atau imajinasi Parlindungan, atau mungkin imajinasi yang rumit. 155M. O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Djakarta: Tandjung Pengharapan, 1964). Lihat M. O. Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816- 1833, (Yogyakarta: LKiS, 2007). 156H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries. Edited by M. C. Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984).

62

Bahkan, Lombard157 juga meragukan keberadaannya, dan karenanya menolak gagasan bahwa sebagian besar Wali adalah Tionghoa peranakan. Sementara Berg mengatakan sebagian besar Wali adalah keturunan Arab Hadrami.158 Terlepas dari perdebatan di atas, menurut penulis, beberapa teks sejarah tersebut masih dapat digunakan sepanjang dalam usaha mendapatkan beberapa pandangan terkait dengan konteks pembahasan. Jika ditelusuri lagi, bukan hanya itu tatapi teks-teks sejarah lokal lainnya seperti Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, Muljana, dalam bukunya yang kontroversial berjudul Runtuhnya Negara Hindu- Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara159 mengatakan bahwa Tionghoa Muslim berperan penting dalam pendirian kerajaan Islam di Jawa, dan beberapa orang Muslim yang taat beragama di Jawa yakni Wali Songoberasal dari Tiongkok.160 Teks Jawa kontroversial lainnya, disebut Serat Dermagandul, juga menganggap beberapa Wali Songo berasal dari Tiongkok.161 Meskipun keabsahan catatan-catatan lokal ini harus diteliti lebih jauh lagi, namun, menurut penulis, catatan-catatan tersebut tidak boleh diabaikan karena merupakan bagian dari ingatan kolektif masyarakat, yang penting dalam memberikan petunjuk tentang hubungan antara Tionghoa dan Muslim di masa lalu. Beberapa hal terkait dengan Tionghoa Muslim di Nusantara atau lebih sepsifik Indonesia juga banyak dikaji oleh Al Qurtuby dalam beberapa karyanya, Arus Cina- Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI,162 “The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java”;163 “The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‟s Past”;164 “Islam di Tiongkok dan Cina Muslim di Jawa pada Masa Pra-Kolonial Belanda”,165 telah berusaha mengumpulkan lebih banyak sumber untuk mendukung kasus kontribusi Tionghoa Muslim dalam lslamisasi. Menurutnya, keberadaan Tionghoa Muslim dalam penyebaran awal Islam tidak hanya dibuktikan oleh para sarjana Barat, sumber-sumber Tionghoa, teks-teks Jawa lokal dan tradisi lisan seperti dibahas di atas, tetapi juga oleh

157D. Lombard, “H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries”. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187. 158L. W. C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS, 1989). 159Buku ini adalah salah satu buku yang kontroversial dari Slamet Muljana, diterbitkan pada tahun 1968, dan ditarik dari peredaran pada tahun 1971 oleh pihak berwenang Indonesia, tetapi baru-baru ini diterbitkan ulang di Yogyakarta oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial pada tahun 2005. 160S. Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005). 161Ali, “Chinese Muslims…, h. 1-22. 162S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003). 163AI Qurtuby, “The Tao of Islam…, h. 51-78. 164Al Qurtuby, “The Imprint…, h. 171-186. 165S. Al Qurtuby, “Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra- Kolonial Belanda”. Konfrontasi, vol. 1, no. 2, 2012, h. 69-90.

63 pengaruh Tionghoa pada desain arsitektur masjid dan makam tua di Jawa, seperti makam Sunan Giri di Gresik, desain istana Cirebon dan arsitektur masjid Demak di Jawa Tengah. Dua contoh terkait di Jakarta adalah mesjid Angke dan masjid Kebon Jeruk. Masjid Angke memiliki beberapa ornamen Tionghoa di gerbang dan tali seperti yang ada di kuil Tionghoa; sementara ada batu nisan Muslim di Masjid Kebon Jeruk yang memiliki aksara Tiongkok dan Arab. Berangkat dari beberapa sumber sejarah dan situs keagamaan tersebut, Al Qurtuby berpendapat bahwa ada budaya Tionghoa Muslim-Jawa di seluruh Jawa, sebagai hasil dari interaksi antara Cheng Ho dan Tionghoa Muslim lainnya dengan orang lokal Jawa. Selain Al Qurtuby, Yuanzhi telah mencatat bahwa beberapa situs keagamaan Tionghoa mungkin memiliki hubungan dengan Laksamana Cheng Ho, seperti Kuil Ancol di Jakarta dan Sam Po Kong (Kuil Cheng Ho, juga dikenal sebagai Gedung Batu) di Semarang. Merujuk karya Tanggok bahwa beberapa orang bahkan mengatakan kuil seperti itu pernah berfungsi sebagai masjid.166 Selain itu, kontak budaya antara Tionghoa dan Indonesia, serta perkembangan Islam di Tiongkok selama abad 13 dan 15 digambarkan oleh Sen untuk mendukung klaimnya tentang hubungan dekat antara ekspedisi Cheng Ho dan Islam di Asia Tenggara.167 Penulis melihat semua sumber yang ada mecoba meyakinkan kita semua bahwa ada interaksi antara Tionghoa dan Islam di Indonesia, khususnya Jawa di masa lalu sekalipun sumber-sumber tersebut tidak secara eksplisit menjelaskan peranan Tionghoa Muslim dalam penyebaran Islam di Nusantara. Dengan kata lain, semua literatur tersebut, sampai batas tertentu, mungkin telah melebih-lebihkan pengaruh Tionghoa terhadap perkembangan Islam di Jawa, atau memang seperti itu adanya. Sebelum kedatangan Belanda, ada banyak juga orang Tionghoa yang masuk Islam. Hal tersebut menurut Giap dilakukan sebagai cara mengintegrasikan diri mereka ke dalam masyarakat Jawa, dengan menikahi penduduk setempat dan mengadopsi nama-nama Jawa sehingga dapat meningkatkan derajat sosial dan politik mereka, juga tidak biasa bagi mereka untuk berasimilasi dengan kelompok mayoritas lokal. Namun, dengan perkembangan politik yang menyertai kolonialisme Belanda, bentuk interaksi budaya antara Tionghoa dan Muslim ini menurun. Oleh karena itu, generasi Tionghoa Muslim di masa yang akan datang sulit dilacak karena sebagian besar dari mereka akhirnya berasimilasi, dan ada kehancuran budaya Tionghoa Muslim-Jawa. Keadaan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, termasuk meningkatnya kekuatan rezim kolonial Belanda, perubahan politik di Tiongkok, pergantian Islam yang lebih ortodoks, dan meningkatnya kedatangan perempuan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme Tionghoa. Hancurnya budaya Tionghoa Muslim-Jawa berarti bahwa etnis Tionghoa pada waktu itu sebagian besar non Muslim dan dianggap oleh beberapa orang Indonesia

166M. I. Tanggok, “The Role of Chinese Communities lo the Spread of Islam in Indonesia”. Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, vol. 7, no. 3, 2006, h. 249-262. 167T. T. Sen, Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009).

64 asli sebagai “orang lain” yang signifikan dan “orang asing” yang tidak berasimilasi.168

D. Era Kolonial Belanda: Kemunduran Budaya Muslim Tionghoa-Jawa Kebijakan pemisahan dari pemerintahan Belanda menyebabkan penarikan batas yang lebih ketat antara orang Tionghoa dan pribumi (Indonesia), serta mengurangi jumlah konversi etnis Tionghoa ke Islam. Benedict Anderson sebagaimana dikutip Ang berpendapat bahwa itu adalah kebijakan kolonial Belanda yang secara artifisial menciptakan “minoritas Tionghoa” di Hindia Belanda saat itu.169 Dalam status sipil, Belanda menciptakan tiga kategori rasial, masing-masing dengan hak dan hak hukum yang berbedaorang Eropa berada di level paling atas, orang-orang asingterutama Tionghoa, juga orang Arab dan India berada di level menengah, sedangkan penduduk pribumi (Indonesia) menempati posisi paling bawah. Status istimewa ini memberi kesan pada etnis Tionghoa bahwa status sosial orang pribumi Indonesia lebih rendah. Karena Islam umumnya dikaitkan dengan orang pribumi Indonesia, banyak etnis Tionghoa yang dianggap masuk Islam akan menurunkan status sosial mereka.170 Pada saat yang sama, kebijakan Belanda lebih suka menjaga etnis Tionghoa agar tidak berbaur dengan penduduk pribumi dan masuk Islam. Sebagai hasil dari kebijakan ini, etnis Tionghoa menjadi kelas perantara yang terutama terlibat dalam kegiatan ekonomi dan tinggal di distrik- distrik tertentu. Pada saat yang sama, orang pribumi Indonesia semakin memegang persepsi negatif terhadap orang Tionghoa Indonesia, seperti menjadi eksklusif dari mayoritas orang Indonesia dan mengeksploitasi sumber daya masyarakat pribumi. Namun, terlepas dari kebijakan kolonial Belanda, masih ada beberapa etnis Tionghoa yang masuk Islam, terutama untuk pertimbangan keamanan dan ekonomi. Setelah pembunuhan massal etnis Tionghoa oleh pasukan Belanda dan tentara lokal di Jakarta pada 1740, banyak yang masuk Islam untuk menghindari menjadi korban. Sementara yang lainnya dikonversi karena alasan ekonomi, sehingga mereka akan dianggap “pribumi” dan karenanya dikenakan pajak yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan Belanda mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah konversi agama etnis Tionghoa, karena telah menghasilkan kerugian besar bagi pemerintah kolonial.171 Lombard dan Salmon mencontohkan bahwa pada tahun 1745, orang Tionghoa yang pindah agama dilarang berasimilasi dengan Muslim setempat dan wajib membayar pajak yang lebih tinggi. Kolonial Belanda juga khawatir bahwa interaksi yang erat antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat dapat

168T. S. Giap, “Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia”. In Chinese Beliefs and Practices in Southeast Asia, (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1993), h. 59- 100. 169I. Ang, “Trapped in Ambivalence Chinese Indonesians, victimhood and the Debris of History”. In M. Morris & B. de Bary (eds.), „Race‟ Panic and the Memory of Migration, (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2001), h. 21-47. 170W. G. Skinner, “Creolized Chinese Societies in Southeast Asia”. In A. Reid (ed.), Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, (Sydney: Allen and Unwin, 1996), h. 50-93. 171Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 181-208.

65 mengganggu kestabilan kekuasaan mereka. Untuk memisahkan para mualaf dari Muslim lokal, Belanda menunjuk kapitan khusus untuk memimpin Tionghoa Muslim dan membangun sebuah masjid, yakni mesjid Krukut khusus untuk mualaf.172 Hew dalam penelitiannya menemukan bahwa banyak pemimpin Tionghoa Muslim menyalahkan pemerintahan kolonial Belanda karena lebih sedikit Tionghoa yang masuk Islam. Beberapa dari mereka melihat era kolonial Belanda sebagai periode paling gelap dalam sejarah orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan Tionghoa Muslim pada khususnya.173 Oleh karena itu, bagi para pemimpin Tionghoa, penting untuk menekankan sejarah Tionghoa Muslim sebelum kedatangan Belanda sebagai cara memosisikan diri di Indonesia kontemporer dan mengajarkan Islam ke etnis Tionghoa. Dalam konteks ini, penelitian Hew secara lebih rinci melihat bagaimana etnis Tionghoa Muslim mengutarakan kembali ingatan bersejarah mereka. Penting juga dicatat bahwa alasan lain yang berkontribusi terhadap penurunan konversi etnis Tionghoa ke Islam, seperti meningkatnya ortodoksi Islam dan kebangkitan nasionalisme Tionghoa pasca abad ke-19.174 Tumbuhnya bentuk Islam yang tegas yang menuntut umat Islam untuk mengamalkan agama mereka dengan lebih kaku, seperti tidak makan daging babi dan meninggalkan penyembahan dewa mungkin telah lebih jauh mengecilkan hati orang Tionghoa Indonesia dari menjadi Muslim.175 Hubungan antara etnis Tionghoa dan Muslim lokal juga memburuk setelah Perang Jawa (1825-1830) dan serangan Sarekat Islam (1912). Selama puncak Perang Jawa, Diponegoro, seorang pemimpin Jawa mengambil sikap tanpa kompromi terhadap etnis Tionghoa. Ia dikatakan telah mengeluarkan dekrit yang memerintahkan Tionghoa di distrik-distrik tertentu untuk mengkonversi atau menghadapi hukuman mati176 Dia juga mensyaratkan sunat segera bagi “mereka” yang menyatakan sebagai Muslim. Sementara pada tahun 1905, Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan oleh beberapa pengusaha Muslim asli untuk melindungi kepentingan bisnis mereka dari pedagang Tionghoa yang lebih mapan. Pada tahun 1912, SDI direorganisasi dengan nama Sarekat Islam (SI). Pada tahun yang sama, ia meluncurkan boikot terhadap pedagang Tionghoa yang berubah menjadi kerusuhan terhadap Tionghoa dalam beberapa hari kemudian, di sekitar Surakarta dan Jawa Tengah.177

172Lombard & Salmon, “Islam and Chineseness”, h. 181-208. 173W. W. Hew, “Negotiating Ethnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in Post-new Order Indonesia”, (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Department of Political and Social Change School of International, Political and Strategic Studies College of Asia and the Pacific of The Australian National University, 2011), h. 62. 174M. Jacobsen, “Islam and Processes of Minorisation among Ethnic Chinese in Indonesia: Oscillating between Faith and Political Economic Expediency”. Asian Ethnicity, vol. 6, no. 2, 2005, h. 71-87. 175Hew, “Negotiating Ethnicity…, h. 62. 176Lombard & Salmon “Islam and Chineseness”, h. 115-131. 177Azyumardi Azra “The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An account of the Anti- Chinese Riots in Colonial Indonesia”. Studia lslamika, vol. 1, no. 1, 1994, h. 25-54.; T.

66

Terlepas dari ketegangan di atas, Ali mengatakan bahwa ada cukup banyak Tionghoa Muslim yang terlibat dalam perang anti-kolonial lokal dan gerakan nasionalis, termasuk Johan Muhammad Chai, seorang Tionghoa Muslim yang menandatangani Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dalam membahas religiusitas beberapa Tionghoa Muslim, Ali juga mengatakan bahwa pada awal abad ke-20, terdapat berbagai orientasi keagamaan di antara mereka, mulai dari sinkretik, ortodoks hingga Islam politik. Seperti itu keberagaman dalam religiusitas menunjukkan bahwa Tionghoa Muslim telah berintegrasi ke dalam budaya lokal dengan berbagai cara.178 Dari berbagai peristiwa di atas memperkuat stereotip negatif di antara orang pribumi Indonesia. Ditambah lagi banyak kasus-kasus korupsi dengan nilai yang sangat besar banyak dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Untuk itu, penulis berpendapat bahwa untuk mengubah stereotif tersebut, maka memori kolektif tentang konstruksi orang Tionghoa sebagai “orang luar” perlu ditata ulang guna menghindari konflik yang berulang antara orang Tionghoa dan warga asli. Persepsi masyarakat asli terhadap etnis Tionghoa dapat diubah melalui penulisan Kembali sejarah mereka secara proporsional dan sesuai konteks. Mudah-mudahan dengan memahami sejarah secara benar, akan dapat merekatkan Kembali hubungan “mesra” yang dulu sempat terbina.

Shiraishi, An Age in Motion. Popular Radicalism in Java 1912-1926, (Ithaca: Cornell University Press, 1990). 178Ali, “Chinese Muslims…, h. 1-22.

67

68

BAB III SEJARAH KESULTANAN CIREBON

Pada bab III ini penulis akan membahas tentang sejarah Kesultanan Cirebon. Bagian ini secara husus akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya Kesultanan Cirebon, dialektika politik di Kesultanan Cirebon dan sejarah kedatangan etnis Tionghoa di Cirebon. Pembahasan ini menjadi penting disajikan agar kita mendapat gambaran yang komprehensif tentang Kesultanan Cirebon dan kedatangan etnis Tionghoa di Cirebon sebelum pembahasan tentang relasi sosial budaya antara etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon di bab selanjutnya.

A. Profil dan Dialektika Kesultanan 1. Kesultanan Cirebon Proses islamisasi di Nusantara dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mendirikan sebuah pusat kekuataan Islam yang dilembagakan, yakni kesultanan. Kesultanan didirikan sebagai manifestasi sosial dan politik yang dilakukan untuk mendukung komunitas Islam yang ada di Nusantara. Dalam konteks tersebut, sekurangnya ada beberapa fungsi kesultanan itu didirikan, di antaranya sebagai pusat kekuatan di masa lalu, pusat kebudayaan, pusat keilmuan dan pusat keagamaan.1 Salah satu kesultanan yang berdiri di Nusantara adalah Kesultanan Cirebon. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1482 M. dan menandai sebuah era baru yang ada di wilayah Jawa Barat. Hal ini dikarenakan Cirebon sebelum itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pendirian Kesultanan Cirebon bukan merupakan awal dari gerakan islamisasi, tetapi pendirian institusi politik yang dimanifestasikan sebagai Kesultanan Cirebonadalah merupakan kelanjutan dari proses islamisasi yang sudah berlangsung dan dilakukan oleh para pendakwah sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati.2 Sebelum Cirebon menjadi kesultanan, daerah ini merupakan sebuah pedukuhan kecil yang terletak di bibir atau pesisir teluk Cirebon, orang-orang menyebutnya dengan nama Lemah Wungkuk atau disebut juga Dukuh Tegal Alang-Alang, sebab pedukuhan ini dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Sikap ramah dari pribadi Ki Gedeng Alang-Alang menjadi salah satu faktor pendorong atau menarik perhatian para pendatang dari berbagai suku, agama, budaya dan bahasa yang berbeda. Semuanya bisa datang, bahkan untuk menetap sekalipun. Hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Purwaka Caruban Nagari, yaitu: “Wis mandeg ta sira teguh alang-alang dukuh kang mangko sinebut Caruban tumuli, mapan janmapada

1J. Burhanudin, “Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the Dynamics of Islamization in Pre-Colonial Archipelago”. Studia Islamika, vol. 25, no. 2, 2018, h. 247-278.; S. F. Alatas, “Notes on various theories regarding the Islamization of the Malay archipelago”. Alatas, SF (1985). Notes on Various Theories Regarding the Islamization of the Malay Archipelago. The Muslim World, vol. 75, 1985, h. 162-175. 2T. Tendi, D. Marihandono, & A. Abdurakhman, “Between the Influence of Customary, Dutch, and Islamic Law: Jaksa Pepitu and Their Place in Cirebon Sultanate History”. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, vol. 57, no. 1, 2019, h. 117-142.

69 sukheng pesambangan desa keh mara ngkene pantaraning pra dol tinuku” (akhirnya berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kelak menjadi Caruban. Banyak orang dari Dukuh Pesambangan yang datang ke daerah tersebut, salah satunya mereka yang berprofesi sebagai pedagang).3 Sosok pangeran Cakrabuana (Ki Somadullah/Pangeran Walangsungsang) yang mendirikan wilayah Lemah Wungkuk atas titah gurunya Syekh Nurjati, seorang muballig yang pernah singgah di Pelabuhan Muara Jati. Adapun tujuan pendirian wilayah ini adalah untuk memperluas penyebaran Islam di pesisir utara pantai Jawa dan daerah sekitarnya.4 Ki Somadullah membangun Lemah Wungkuk atas titah gurunya dan mengundang penduduk yang tadinya tinggal di Amparan Jati yang merupakan salah satu jalur perdagangan internasional dan pelabuhan penting saat itu. Dalam proyek pendirian wilayah itu tercatat ada 52 orang yang berasal dari berbagai suku bangsa ikut membantu dan bergabung. Mereka bekerja sama dan bahu membahu membersihkan hutan belukar. Lemah Wungkuk berkembang pesat dan menarik banyak orang untuk kemudian datang dan menetap. Jumlah penduduk meningkat tajam dari 52 menjadi 346 dalam waktu singkat, dengan rincian 196 orang berasal dari suku Sunda, 106 orang suku Jawa, 16 orang dari Sumatera, 4 orang dari suku Melayu, 2 orang dari India, 2 orang dari Persia, 3 orang dari Syam/Syiria, 11 orang dari Arab dan 6 orang dari Tiongkok. Kemajemukan etnik dan asal-usul penduduk menunjukkan betapa pesatnya perkembangan wilayah ini, baik dari segi demografis maupun ekonomis.5 Ki Somadullah berhasil mengembangkan wilayah Lemah Wungkuk sehingga mampu mengungguli wilayah Amparan Jati dimana Muara Jati menjadi pusat pelabuhan internasional, bahkan pada perkembangannya, Amparan Jati kemudian menjadi bagian dari wilayah Lemah Wungkuk dan pelabuhan internasional beralih ke Lemah Wungkuk. Wilayah Lemah Wungkuk semakin hari bertambah luas menjadikan wilayah ini berubah nama menjadi Caruban atau Cerbon atau Cirebon yang berarti campuran.6 Jadi perubahan nama dari Lemah Wungkuk menjadi Caruban terjadi pada masa Ki Somadullah karena penduduk yang mendiami tempat itu berasal dari berbagai bangsa, agama dan bahasa, serta pekerjaan yang berbeda. Cirebon tumbuh menjadi kota yang ramai, dan pantainya berkembang menjadi pelabuhan yang ramai dengan kegiatan perdagangan melalui laut. Cirebon berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir utara pulau Jawa. Ada empat faktor yang memengaruhi Cirebon menjadi pelabuhan penting. Pertama, letak geografisnya yang strategis. Pelabuhan Cirebon berada pada lokasi berbentuk teluk

3N. H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, (Bandung: Alqaprint, 2000), h. 45. 4Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 33.; D. N. Rosyidin dan A. Syafaah, Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat Entitas Budaya Cirebon, (Cirebon: Elsi Pro, 2016), h. 25. 5D. N. Rosyidin, Ulama Paska Sunan Gunung Jati, Studi atas Sejarah dan Jaringan Intelektual Cirebon Pada Abad ke 16 Hingga Abad ke 18, (Laporan penelitian, IAIN Syekh Nurjati, 2014), h. 36-37. 6Rosyidin dan Syafaah, Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25-26.

70 sehingga terlindung dari gelombang pasang air laut. Kedua, pelabuhan Cirebon berada di bagian tengah pesisir utara pulau Jawa, dan cukup jauh dari pelabuhan lain, seperti Jepara, Tuban dan Surabaya di timur pulau Jawa dan Sunda Kelapa serta Banten di sebelah barat pulau Jawa. Ketiga, pelabuhan Cirebon mudah didatangi dengan perahu, bahkan dapat dimasuki oleh kapal-kapal berukuran besar. Keempat, hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman berlangsung lancer, baik melalui sungai atau darat.7 Dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menetap di wilayah sebagaimana disebutkan di atas, maka status pedukuhan Tegal Alang-Alang ditingkatkan menjadi desa dengan nama pakuwon (akuwuhan), hal itu sudah sesuai dengan struktur pemerintahan yang diatur oleh Kerajaan Pajajaran. Perubahan status dari pedukuhan menjadi pakuwon pada akhirnya berimplikasi pada perubahan struktur kekuasaan lokal. Atas dasar itu, maka Ki Gedeng Alang-Alang yang sebelumnya menjadi pemimpin pedukuhan, kemudian berubah statusnya menjadi seorang kuwu (kepala desa). Dengan bergantinya status pedukuhan menjadi pakuwon, maka secara otomatis nama Tegal Alang-Alang berubah menjadi Caruban Larang.8 Ki Somadullah bukanlah tokoh pertama yang mendiami Lemah Wungkuk. Ia justru mewarisi wilayah ini dari mertuanya, Ki Danusela yang bergelar Ki Gedheng Alang-Alang. Ki Gedeng Alang-Alang dalam konteks ini adalah sebagai kuwu pertama dari Pakuwon Caruban Larang. Untuk mendamping kuwu yang sudah sepuh tersebut, maka Prabu Siliwangi9 mengutus putranya dari Nyi Rara Subang Larang yakni Pangeran Cakrabuana untuk menjadi wakil kuwu dengan gelar Ki Cakrabuana karena ia menjabat sebagai pangraksabumi atau wakil kuwu yang diberikan tugas khusus dalam mengurusi masalah pertanian dan pengairan.10 Sepeninggal mertuanya, Ki Somadullah resmi menjadi Kuwu.11 Pada masanya, Lemah Wungkuk berubah nama menjadi Caruban, Cerbon atau Cirebon. Wilayahnya semakin luas dengan masuknya wilayah Cirebon pedalaman yang dikenal dengan Cirebon Girang. Dengan demikian, Ki Somadullah berhasil

7A. S. Hardjasaputra dan T. Haris, (ed.), Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke-20), (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), h. 27. 8Di tahun 1389, saat Cirebon masih dikenal dengan Caruban Larang, wilayahnya terdiri atas dua daerah, yaitu Caruban Girang dan Caruban Pantai. Wilayah Caruban pantai yang kemudian berkembang menjadi pusat negeri Cirebon, dengan Pangeran Cakrabuana sebagai adipatinya. Lihat P. R. Abdurrahman, Cerbon, (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia dan Penerbit Sinar Harapan, 1982), h. 29. 9Prabu Siliwangi menikah dengan seorang putri beragama Islam yaitu Rara Subang Larang, anak dari Mangkubumi Singapura/Mertasinga Caruban. Dari pernikahan tersebut, Prabu Siliwangi memiliki tiga orang anak, yakni Pangeran Walangsungsang, Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang. Lihat P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 16. 10A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad Ke-15 hingga Pertengahan Abad Ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, 2012), h. 23. 11Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35.

71 menggabungkan wilayah Cirebon Girang dan Cirebon Larang yang tadinya terpisah. Dengan adanya perluasan wilayah tersebut, wilayah Cirebon meliputi sungai Cipamali di bagian Timur, Cigugur (termasuk wilayah Kuningan) di bagian Selatan, pegunungan Kromong di bagian Barat dan Junti di sebelah Utara.12 Dalam rangka perluasan wilayah atau ekspansi kekuasannya, Pangeran Cakrabuana mengutus anaknya Pangeran Carbon untuk mengembangkan pemukiman kakeknya di Caruban Girang. Upaya yang dilakukan oleh Pangeran Arya Carbon berhasil ketika Caruban Girang meningkat statusnya menjadi Pakuwan Caruban Girang. Karena prestasinya, maka Pangeran Carbon diangkat sebagai kuwu pertama di Caruban Girang. Selain itu, Pangeran Cakrabuana mengajak para pendatang yang bermukim di daerah lain dari wilayah Caruban Larang untuk sama-sama membangun serta berpartisipasi untuk mengembangkan wilayahnya menjadi pemukiman yang ramai.13 Dengan semakin luasnya wilayah Cirebon secara otomatis juga berimplikasi terhadap semakin beragamnya penduduk, termasuk budaya dan tradisinya. Inilah yang kemudian menjadi landasan sejarah yang kokoh bagi berkembangnya budaya yang heteregon di wilayah yang nantinya bernama Caruban Nagari, yaitu negeri dimana beragam suku bangsa dan budaya serta agama hadir. Cirebon kemudian menjadi salah satu pusat transmisi ilmu pengetahuan dan pusat perdagangan dengan semakin ramai dan strategisnya pelabuhan Cirebon dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional dan regional. Banyaknya artefak yang ditemukan menunjukkan kompleksitas kebudayaan dan peradaban yang pernah singgah dan berkembang di Cirebon.14 Pangeran Cakrabuana kemudian mengajarkan banyak hal kepada masyarakat setempat, sebagaimana masyarakat Junjang yang pada dasarnya belum memahami teknologi pertanian. Dalam konteks ini Pangeran Cakrabuana mengajarkan mereka cara-cara bertani, sehingga hasil panen dapat berlipat ganda. Begitu juga dengan masyarakat Juntinyuat dan Indramyu, mereka diajarkan bagaimana cara bertenun yang baik sehingga dapat menghasilkan tenunan serat gebong yang bagus. Inisiatif Pangeran Cakrabuana dalam mengajarkan masyarakat selain agar masyarakat setempat dapat memberdayakan diri dan semua potensi yang mereka miliki, juga sebagai bagian dari misi syiar Islam yakni dalam rangka meyakinkan masyarakat lokal untuk memeluk agama Islam.15 Pangeran Cakrabuana juga merupakan orang yang pertama kali mengajarkan sistem pemilihan lokal secara langsung di Cirebon. Sistem pemilihan ini diberlakukan pada setiap level pemerintahan, termasuk pada tingkatan paling bawah

12Supratikno Rahardjo (ed), Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998), h. 49.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35. 13D. N. Rosyidin, dkk, Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektor Khazanah Keagamaan Balitbang Kementrian Agama RI, 2013), h. VI. 14Rahardjo (ed), Kota Dagang Cirebon…, h. 51.; Rosyidin dan Syafaah, Keragaman Budaya Cirebon…, h. 26. 15Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 29.

72 yakni dalam hal memilih kuwu16 (Kepala Desa). Sistem pemilihan ini dikenal dengan nama uwi-uwian. Sistem pemilihan ini juga yang dilakukan oleh masyarakat penduduk pesisir Cirebon untuk memilih Pangearn Cakrabuana yang saat itu menjabat sebagai wakil kuwu menjadi kuwu Cirebon kedua setalah Ki Gedeng Alang-Alang wafat pada 1447 M. Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu selama 32 tahun (1447-1479 M).17 Seiring berjalannya waktu, Cirebon mengalami perkembangan yang begitu pesat, dan atas prestasi yang dicapai Pangeran Cakrabuana, ia kemudian diangkat oleh Raja Pakuan Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Raja Pakuan Pajajaran akhirnya mengutus Tumenggung Jayabaya untuk memberikan petandha kaprabon. Sehingga tidak heran jika Pangeran Cakrabuana sangat loyal kepada Raja Pakuan Pajajaran ketika menjadi vasal dan selalu mengirimkan bulu bekti (upeti) berupa garam dan terasi.18 Pada tahun 1479 Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan kepada ponakannya yaitu Syarif Hidayatullah. Namun, sejak tahun 1482 Syarif Hidayatullah tidak mau lagi mengirimkan upeti kepada Pajajaran sebagaimana yang dilakukan pamannya. Maka, sejak saat itu Cirebon menjadi kerajaan yang berdaulat penuh dan tidak lagi menjadi bawahan Pajajaran. Jadi dalam pendirian Kesultanan Cirebon, Wali Songo mempunyai andil yang besar, yakni dengan tampilnya Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Awalnya Syekh Syarif Hidayatullah berperan sebagai juru dakwah yang mempunyai tugas untuk menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat. Namun, seiring berjalannya waktu, dan statusnya sebagai salah satu keponakan dari peguasa Cirebon yakni Pangeran Cakrabuana sekaligus juga sebagai cucu Prabu Siliwangi, Syekh Syarif Hidayatullah akhirnya diberikan amanah untuk memegang pemerintahan dari pamannya.19 Ia bergelar Ingkang Sinuhun Sunan Jati Purba Wisesa Panetep Panataagama Awliyah Khalifatur Rasullah Shallallahu „Aliahi Wasalam”.20 Sunan Gunung Jati dilantik

16Para kuwu biasanya dibantu oleh beberapa pejabat dalam struktur pemerintahan seperti, Ki Buyut (Penasehat Kuwu), Ki Kliwon (Wakil Ki Kuwu), Ki Carik/Juru Tulis (Penanggung Jawab Administrasi), Ki Raksabumi (Penanggung Jawab Pertanian dan Perairan), Ki Juragan Pulisi (Penanggung Jawab Keamanan dan Ketertiban), Ki Mayor (Pembantu Raksabumi), Ki Bahu (Pembantu Umum), Ki Capgawe (Pembantu Juragan Pulisi), Ki Bekel (Penanggung Jawab Blok), Ki Kemit (Penjaga Desa atau Pesuruh). 17Proses pemilihan yang dilakukan secara uwi-uwian dilakukan dengan cara menghadirkan gegeden/gegedug (calon yang akan dipilih) dari setiap Kabuyutan. Para gegeden ini akan berdiri di depan Bale Desa, kemudian rakyat memilih langsung dengan cara berjongkok di depan calon pemimpinnya. Gegeden yang memiliki pemilih paling banyak itulah yang berhak untuk menjadi kuwu di desa atau dukuh tersebut. Lihat Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 47. 18E. S. Ekajati, Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah sampai Terbentuknya Kabupaten, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003), h. 13. 19Atja, Carita Purwaka Caruban …, h. 37. 20A. O. Safari, “Perta Naskah Cirebon”, Makalah Disampaikan dalam Forum Diskusi Bulanan, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Jurusan Adab STAIN Cirebon, 7 Maret 2009.

73 oleh Raden Ali Rokhmatullah dan juga merupakan Ketua Dewan Wali Sango. Pada masanya, Cirebon sebagai sebuah kekuatan politik mencapai puncaknya. Demi memperlancar kegiatan pemerintahan, Kesultanan Cirebon membangun Keraton Pakungwati.21 Dalam perkembangannya, keraton ini mengalami beberapa perubahan, yakni pada tahap pertama tahun 1452, di keraton hanya terdapat bangunan Dalem Agung Pakungwati. Bangunan ini mempunyai kesamaan struktur, mengunakan susunan bata merah dengan ornamen wadasan setiap sisinya. Pada bagian tengah merupakan bangunan yang terbuka, berdiri beberapa tiang tanpa menggunakan dinding, dan di setiap tiangnya memiliki pondasi berbentuk lesung tanpa adanya ornamen. Tiang penyanggah terbuat dari kayu dengan pondasi umpak, sedangkan pada pangkalnya ada ukiran dan motif. Sementara di bagian atap bangunan berbentuk atap bertipe malang semirang dengan genteng sebagai penutupnya.22 Kemudian, pada tahap kedua tahun 1489 mulai didirikan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.23 Diikuti dengan beberapa pembangunan lainnya seperti Siti Inggil, museum benda kuno, kuncung dan kutagara wadasan, pengukuran, dan pintu buk bacem. Pembangunan Keraton Cirebon tahap kedua juga diikuti dengan perbaikan pada bagian lainnya seperti bangunan Siti Inggil dikelilingi dengan tembok merah dengan adanya pasangan piring keramik yang mengadopsi budaya dari Tiongkok dan pintu masuk berupa candi Bentar. Siti Inggil juga terdiri dari lima buah bangunan beratapkan sirap yang berderet dari barat ke timur. Selain itu juga Mande Malang Semirang (Mande Jajar) mempunyai tiang enam buah melambangkan rukun iman dan seluruhnya ada 20 tiang melambangkan sifat ketuhanan.24 Tiang- tiangnya memiliki banyak ornamen seperti pada bagian bawah pondasi berbentuk lesung dengan ukiran flora yang berupa motif keliangan dan kangkungan dari ragam hias Jawa Barat. Pada bangunan museum kuno terdapat beberapa karakteristik yang berbeda dengan bangunan yang ada pada Siti Inggil. Pada bangunan ini digunakan tembok bata yang tertutup sampai ke atap, sedangkan ornamen-ornamen yang digunakan tidak banyak, hanya berupa list yang terdapat pada pintu masuk dan bawahnya berukir wadasan yang melambangkan manusia harus hidup mempunyai pondasi yang kuat. Sementara pada pintu buk bacem digunakan bingkai gapura seperti tampak mengadopsi kebudayaan Gujarat yaitu berupa lengkungan, juga terdapat

21Keraton Pakungwati sejak awal telah dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. Terhitung setelah kematian kakeknya, yaitu Mertasinga, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukannya sebagai raja. seluruh harta warisan yang diperolehnya digunakan untuk membangun Keraton Pakungwati. Lihat H. A. Dasuki (ed.), Sejarah Indramayu, (Indramayu: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu,1978), h. 24. 22Dini Rosmalia, “Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”. Prosiding Semarnusa IPLBI ITS Surabaya, 2018, h. 074-082.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35.; Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 50-51. 23P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon, (1984), h. 56-57.; Mudhofar Muffid, dkk, “Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon”. Modul , vol. 14, no. 2, 2014, h. 65-70. 24Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 65-66.

74 tempelan piring keramik dari kebudayaan Tionghoa untuk memperindah tampilan pintu buk bacem. Pada tahap ketiga, ada beberapa perkembangan tahun 1529 ditambahkan beberapa panambahan bangunan seperti Bale Kambang, Bangsal Agung, Dalem Arum Kedalem, Bangunan Kaputren beserta Paseban Kaputren, Bangsal Pringgadani, dan Jinem Pangrawitserta, juga Taman Bunderan Dewandaru dan seterusnya.25

2. Dialektika Politik dan Islam Rintisan pendirian Kesultanan Cirebon sudah dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana. Ia mulai merintis dari mulai kuwu sampai menjadi Tumenggung. Perintisan diawali ketika ia menggantikan Ki Gedeng Alang-Alang yang wafat. Maka, dilakukanlah proses uwi-uwian sehingga Pangeran Cakrabuana terpilih menjadi kuwu di Caruban Nagari. Banyak proses yang dilalui dan prestasi yang dicapai Pangeran Cakrabuana untuk menjadi Tumenggung seperti pengukuhan kuwu-kuwu yang ada di bawah kekuasaan Caruban Larang dan membuka wilayah- wilayah baru serta meletakkan konsep pemerintahan sehingga dapat berjalan dengan baik.26 Pada lain kesempatan, Pangeran Walangsungsang akan berguru kepada Syekh Maulana Maghribi, akan tetapi ia menolak dan menyarankan untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi (Syekh Maulana Idhofi). Syekh Maghribi mengatakan bahwa ketika Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang menunaikan ibadah haji maka ia akan dinikahi oleh Sultan Mesir kemudian dari hasil pernikahan akan lahir pemimpin para wali di Pulau Jawa.27 Akhirnya, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang28 mengikuti anjuran Syekh Maulana Maghribi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi pada tahun 1442 M. Ketika kedatangan mereka, Syekh Datuk Kahfi merasa senang. Keduanya diperkenankan untuk tinggal di sekitar Gunung Jati dan melarang mereka untuk pulang ke Kerajaan Pajajaran. Syekh Datuk Kahfi juga mengatakan bahwa Nyi Mas Ratu Rara Santang akan dipersunting oleh sultan dari Bani Israil, dan dari perkawinan tersebut akan lahir sosok anak yang dapat mengislamkan Pulau Jawa. Maka, tidak lama kemudian mereka berdua diperintahkan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.29

25Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 67. 26Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 35. 27Ki Kampah, Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil, (Cirebon: Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, 2013), h. 223-224. 28Sejak awal, setelah Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rara Santang dewasa, mereka berniat masuk agama Islam, akan tetapi niat itu tidak disetujui, dan pangeran Walangsungsang beserta istrinya Indhang Ayu serta Nyi Mas Ratu Rara Santang pergi keluar istana untuk belajar dan mendalami Islam. Mereka berguru pada Syekh Datuk Kahfi di Amparan Jati. Selanjutnya, atas saran gurunya mereka membuka dusun baru di kebon pesisir yang terletak dekat tepi laut di selatan Amparan Jati. Lihat Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, h. 18. 29Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 46-47.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33.

75

Setelah pulang haji dari tanah suci Mekah, Nyi Mas Ratu Rara Santang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim, dan Pangeran Walangsungsang menjadi Haji Abdullah Iman. Pada saat melakukan ibadah haji itulah Nyi Mas Ratu Rara Santang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah) yang memerintah kota Ismailiyah, Palestina. Ia baru saja ditinggal mati oleh istrinya dan bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rara Santang. Maka, dilamarlah Nyi Mas Ratu Rara Santang oleh Syarif Abdullah.30 Pada akhirnya, Nyi Mas Ratu Rara Santang menikah dengan Sultan Syarif Abdullah. Pernikahan tersebut kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Syarif Hidayat yang merupakan salah satu Wali Songo yang berjasa menyebarkan Islam khususnya di daerah Sunda.31 Para keturunannya kelak menjadi pemimpin agama di Pulau Jawa. Sementara Syekh Datuk Kahfi,32 Syekh Quro,33 dan Syekh Maulana Maghribi34 merupakan utusan-utusan dakwah dari berbagai daerah, untuk menyebarkan ajaran agama Islam di luar Jazirah Arab termasuk di Pulau Jawa. Pada tahun 1448, ketika sedang melakukan ibadah haji, Syarifah Mudaim melahirkan Syarif Hidayatullah di Mekah. Syarif Hidayatullah kemudian dibesarkan di Mesir, di tempat ayahnya berada. Syarif Hidayatullah tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang tangguh dan cerdas serta taat menjalankan perintah agama Islam, bahkan ia bercita-cita untuk menyebarkan ajaran agama Islam.35 Syarif Hidayatullah mempunyai semangat yang membara untuk belajar agama Islam, hal itu disampaikan kepada ibunya, bahkan ia berkeinginan besar untuk berguru kepada Nabi Muhammad SAW., namun ibunya memberikan pengertian bahwa Nabi Muhmamad SAW sudah wafat. Maka, Syarif Hidayatullah berangkat ke Mekah dan berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri. Ia belajar tentang adab guru, zikir, dan silsilah serta beberapa ilmu agama Islam lainnya seperti ilmu

30Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda…, h. 17-19.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33. 31Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33-34. 32Syekh Datuk Kahfi atau disebut juga Syekh Nurjati merupakan utusan dari Persia. 33Syekh Quro adalah seorang ulama dari Campa. Ayahnya bernama Syekh Yusuf Siddik, seorang ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dari Syekh Jamaludin dan Syekh Jalaludin (ulama besar Mekah). Literatur lain bahkan mengatakan bahwa Syekh Quro masih memiliki garis keturunan yang sampai pada Sayidina Husein bin Sayidina Ali r.a dan Siti Fatimah. Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari (Putri Ki Gedeng Karawang). Dari pernikahannya lahir Syekh Ahmad (Penghulu pertama di Karawang). Cucu Syekh Ahmad dari putrinya yang bernama Nyi Mas Kedaton yakni Musanudin yang kelak menjadi Lebe Cirebon dan memimpin Tajug Sang Cipta Rasa pada masa Sunan Gunung Jati. Lihat Syamsurizal, dkk., Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Quratul‟ain, (Karawang: Mahdita, 2009), h. 10. 34Syekh Maulana Maghribi (w. 12 Rabiul Awwal 822 H/8 April 1419) merupakan utusan dari Maroko. Lihat M. Fauzan, “Selubung Historiografi Syekh Maulana Maghribi, Wonobodro”. Jurnal Penelitian, vol. 12, no. 2, 2015, h. 261-281. 35Musyrifah Sunanto, “Syarif Hidayatullah Seorang Wali Penyebar Islam di Jawa Barat”, (Disertasi PPS. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 33.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 34.

76 tarekat, hakekat dan makrifat. Pasca belajar di Mekah, ia kemudian pulang ke negara ayahnya. Ketika ia pulang, ayahnya meninggal dunia, dan ia diminta untuk menggantikan posisi ayahnya, akan tetapi Syarif Hidayatullah memilih untuk pulang ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam bersama Pangeran Cakrabuana. Dalam perjalanannya ke Pulau Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di beberapa daerah, di antaranya Gujarat (selama tiga bulan), singgah di pondok saudaranya yang berada di daerah Pasai (selama dua tahun), dan daerah Banten yang diketahui sudah banyak masyarakatnya memeluk Islam.36 Setiba di Cirebon, ia membuka pondok berkat bantuan uwanya yaitu Haji Abdullah Iman yang merupakan Kuwu Caruban dan mendapat tugas untuk berdakwah di Gunung Sembung, dan menjadi guru agama Islam. Dengan datangnya Syarif Hidayatullah ke Cirebon, Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman kemudian menikahkan anaknya yang bernama Nyai Pakungwati dengan Syarfi Hidayatullah sekaligus mengangkat Syarif Hidayatullah sebagai penggantinya untuk memimpin Caruban dan bergelar Susuhunan Jati, Sunan Jati, atau Sinuhun Caruban/Cerbon.37 Upacara penobatan Syekh Syarif Hidayatullah dilakukan pada tanggal 12 bagian terang bulan carita 1404 Saka (Maret/April 1479 M). Penobatan itu didukung penuh oleh kalangan Wali Songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel dan melantik Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin Cirebon yang baru. Penobatan itu juga ditandai dengan pemberian gelar kepada Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purbawisesa Penataagama Aulia Allah Ta‟ala Kutubil Jaman, Kholifatu rasulillahi Sholulolhu Alaihi Wassalam”. Berdasarkan gelar itu Syekh Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang mempunyai otoritas sebagai pemimpin agama di Tatar Sunda.38 Dengan penobatan ini Syarif Hidayatullah tidak hanya sebagai seorang pemimpin secara politis, tetapi juga pemimpin agama Islam di wilayah Sunda sebagai pengganti Syekh Nurjati yang sudah wafat. Langkah awal yang dilakukan Sunan Gunung Jati adalah dihentikannya pengiriman upeti garam dan terasi pada tahun 1482 yang seharusnya tiap tahun dikirimkan ke Ibu kota Pakuan Pajajaran sebagai salah satu persembahan kerajaan vasal kepada kerajaan induk. Sejak saat itu Cirebon bukan lagi sebagai negara vasal dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sementara untuk mempertahankan dan mengantisipasi dari serangan Kerajaan Pakuan Pajajaran karena tidak mengirimkan upeti seperti tahun-tahun sebelumnya, maka dibentuklah pasukan keamanan yang disebut Pasukan Jagabaya. Pasukan ini dipimpin oleh seorang komandan yang disebut Tumenggung, sedangkan untuk jumlah serta kualitasnya sangat memadai

36Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 36.; Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda…, h. 28-30. 37Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 55.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 37. 38P. S. Sulendraningrat (ed.), Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah, (Cirebon: Sekretariat Sementara Keprabonan, 1984), h. 35.

77 dan ditempatkan di pusat kerajaan, pelabuhan serta tempat-tempat yang dikuasai oleh Kesultanan Cirebon.39 Dalam rangka memperbaiki sistem pemerintahan, Sunan Gunung Jati berusaha menata pemerintahan dari tingkat pusat sampai di tingkatan paling bawah selaras dan sesuai dengan kondisi sosial budaya dan kebutuhan masyarakat. Selain system pemerintahan, ia juga menata gelar dan jabatan para pejabat pemerintahan. Untuk kepala persekutuan masyarakat terkecil yang jumlah penduduknya 20 orang dipimpin oleh Ki Buyut, beberapa unit kebuyutan disebut dengan nama dukuh/desa yang dipimpin oleh seorang kuwu, kumpulan beberapa dukuh/desa dipimpin oleh sorang Ki Gede serta kumpulan beberapa Gede dipimpin oleh seorang Adipati/Tumenggung atau sekarang lebih dikenal dengan Bupati. Setiap pejabat pemerintahan seperti Adipati, Tumenggung dan Bupati diwajibkan untuk hadir di ibu kota negara dalam agenda menghadiri rapat bulanan yang disebut dengan istilah Seba Keliwonan. Rapat ini biasanya dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.40 Kesultanan Cirebon sebagai kekuatan politik di bagian barat pulau Jawa mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, putera Nyi Mas Rara Santang, adik Pangeran Cakrabuanakeduanya merupakan anak Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subang Larang. Sunan Gunung Jati berhasil menggantikan kedudukan pamannya sebagai penguasa Cirebon dengan memperluas wilayah Cirebon mencakup seluruh wilayah pesisir utara, pedalaman, wilayah selatan hingga ujung barat pulau Jawa yaitu wilayah Banten. Melalui beberapa penaklukan, wilayah-wilayah yang dulunya dikuasai oleh Kerajaan Pajajaran berhasil dikuasai oleh Sunan Gunung Jati. Lama kelamaan, pengaruh Pajajaran semakin berkurang dan akhirnya benar-benar jatuh pada tahun 1579. Singkatnya, di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan melemahnya pengaruh Kerajaan Pajajaran, pada abad 16 Cirebon telah berhasil tampil sebagai penguasa tunggal di wilayah bagian barat pulau Jawa.41 Kesultanan Cirebon dalam kepemimpinan Sunan Gunung Jati telah berlangsung selama 66 tahun. Dalam Purwaka Tjaruban Nagari yang disalin Sulendraningrat dan Babad Tjerbon yang ditulis Ki Murtasiah edisi Brandes menyebutkan bahwa istri Sunan Gunung Jati yang pertama adalah Nyi Mas Babadan. Penjelasannya adalah di tahun 1471 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Babadan di Babadan Cirebon. Pada tahun 1477 Nyi Babadan wafat tanpa putra. Dua tahun sebelum wafatnya Nyi Babadan, Syarif Hidayatullah bedakwah ke Banten dan menikah dengan Nyi Kawunganten di tahun 1475. Kemudian di tahun

39Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 37.; Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 56. 40Pada tahun 1530 wilayah Kesulatanan Cirebon sudah meliputi separuh Propinsi Jawa Barat yang sekarang. Namun, sebagian penduduk masih beragama non Islam. Ini menjadi sebuah tantangan kepada setiap pemimpin daerah untuk menyebarkan agama Islam di wilayahnya masing-masing. Lihat U. Sunardjo, Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon: Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan, t.th.), h. 38. 41D. N. Rosyidin, dan A. Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat Entitas Budaya Cirebon, (Cirebon: Elsi Pro, 2016), h. 26-27.

78

1478 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Pakungwati. Tiga tahun selisih pernikahannya dengan Nyi Pakungwati, Syarif Hidayatullah menikahi Ong Tien (putri Tionghoa) di tahun 1481. Pada tahun 1486 menikah dengan Syarifah Baghdad. Pada tahun 1485 putri Tionghoa wafat, Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyi Tepasari. Sekalipun Syarif Hidayatullah melakukan pernikahan yang berulang-ulang, namun tidak pernah memiliki istri lebih dari empat. Keempat isterinya itu masing-masing menetap di Kawunganten Banten, Pakungwati Cirebon, Syarifah Baghdad di Pesambangan dan Nyi Tepasari dari Majapahit.42 Pada masa pemerintahannya, sebelum lengser, Sunan Gunung Jati menetapkan pengganti kepemimpinan Cirebon. Berdasarkan pertimbangan kemampuan dan kapasitas yang mumpuni, maka pada tahun 1511, ditetapkan Pangeran Bratakelana yang masih berusia 23 tahun. Dalam menetapkan penggantinya Sunan Gunung Jati tidak berdasarkan asas senioritas ataupun yang diambil dari permaisuri.43 Namun, setelah setahun dari pengangkatannya, dan sekembalinya dari Demak pasca menikah dengan Nyi Mas Ratu Nyawa, Pangeran Bratakelana gugur dihadang dan diserang oleh bajak laut di perairan pada tahun 1512. Sunan Gunung Jati nampaknya lebih tertarik pada kegiatan penyebaran Islam daripada urusan pemerintahan, sehingga mulai tahun 1528 pemerintahan diserahkan kepada Pangeran Pasarean -puteranya dengan Nyai Tepasari dari Majapahitsetelah gugurnya Pangeran Bratakelana.44 Pada masa pemerintahan Pangeran Pasarean, ia mendapat pengawasan langsung dari Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1529, Pangeran Pasarean melengkapi bangunan keraton seperti Bale Kambang Dalem Arum Kedalem, Bangsal Agung, Bangunan Kaputren, Bangsal Pringadani, Jinem Pangrawit, Taman Bunderan dan Dewandaru. Dapat dikatakan bahwa masa Pangeran Pasarean memerintah cukup singkat yaitu sekitar 18 tahun.45 Sunan Gunung Jati akhirnya menikahkan Pangeran Pasarean dengan janda kakaknya, yaitu Nyi Mas Ratu Nyawa. Sementara kakak Pangeran Pasarean yang bernama Ratu Ayu dinikahkan dengan Fatahillah. Akan tetapi, Pangeran Pasarean dibunuh oleh Arya Panangsang pada 1546, sehingga untuk mengisi kekosongan tersebut, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sunan Cirebon dan Dipati Swarga. Pada akhirnya Pangeran Swarga menikah dengan Putri Fatahillah yaitu Nyi Mas Wanawati Raras yang dikemudian hari akan menurunkan Panembahan Cirebon. Pada tahun 1552, Dipati Swarga menderita sakit sehingga tidak dapat menjalankan

42Sunanto, “Syarif Hidayatullah Seorang…,” h. 73-75. 43Pernikahan pertama Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas Babadan tidak dikarunai keturunan dan di usia pernikahannya yang keempat tahun, Nyi Mas Babadan meninggal. Begitu juga pernikahannya dengan Putri Ong Tin Nio dan Nyi Mas Pakungwati juga tidak dikarunai keturunan. Sunan Gunung Jati baru dikaruniai keturunan ketika menikah dengan Nyi Mas Kawunganten pada 1475, yakni Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingkin (Pangeran Hasanudin). Kemudian, pernikahannya dengan Syarifah Baghdad pada 1485, Sunan Gunung Jati dikarunai dua orang putra bernama Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. 44Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 68. 45U. Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon, 1479-1809, (Bandung: Tarsito, 1983), h. 67.

79 roda pemerintahan Kesultanan Cirebon, sehingga Fatahillah46 yang juga merupakan mertuanya menggantikan posisinya dalam menjalankan kekuasaan.47 Pada tahun 1568, Kesultanan Cirebon berduka karena Sunan Gunung Jati yang merupakan salah satu raja dan Wali Songo meninggal dunia. Ia dimakamkan di Astana Gunung Sembung atau lebih dikenal dengan nama Astana Gunung Jati. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam Purwaka Caruban Nagari bahwa Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M dan meninggal pada tahun 1568 M dengan usia 120 tahun. Sepeninggal wafat Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon kehilangan salah satu sosok raja yang bijaksana sekaligus juga tokoh penyebar agama Islam.48 Pasca kepemimpinan Sunan Gunung Jati, tidak ada keturunan langsung yang dapat menggantikannya sebagai raja Cirebon. Karena ketiga anak Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana, dan Pangeran Bratakelana telah terlebih dahulu meninggal. Putra yang masih hidup adalah Pangeran Sebakinkin (Pangeran Hasanudin), namun ia sudah menjadi salah satu penguasa Banten. Maka, berdasarkan kesepakatan sesepuh Cirebon, ditunjuklah Fatahillah untuk memimpin Kesultanan Cirebon, tetapi masa kepemimpinannya terbilang cukup singkat, yakni sekitar tahun 1568 M-1570 M.49 Berdasarkan penelusuran penulis, sedikit informasi yang menyebutkan sepak terjang dan kepemimpinan Fatahillah saat memimpin Kesultanan Cirebon. Pasca Fatahillah wafat, tambuk kepemimpinan diserahkan kepada Pangeran Emas yaitu putra tertua Pangeran Dipati Carbon. Ia mendapatkan gelar sebagai Panembahan Ratu atau Panembahan Ratu I. Pada awal pemerintahannya, Cirebon sudah mencapai kemajuan yang signifikan dan berkembang pesat, hal itu dapat dilihat dengan ramainya pelabuhan Cirebon karena terbukanya aktivitas perdagangan, dan struktur pemerintahan ketika itu sudah tersusun rapih karena kepala-kepala wilayah atau yang bergelar Ki Gedeng sudah banyak dan tunduk kepada Raja Cirebon. Di samping itu, perekonomian daerah ini juga sudah semakin maju dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Ketersediaan tranportasi sungai yang menghubungkan antara sungai-sungai kecil dengan pelabuhan Cirebon, sampai ke daerah pedalaman turut mempercepat perkembangan ekonomi di daerah setempat. Produksi di sekitar pelabuhan seperti ikan asin, garam dan terasi sangat diminati oleh masyarakat pedalaman, dan masyarakat pedalaman menyiapkan ketersediaan beras, hasil bumi dan kayu-kayuan yang cukup melimpah. Sehingga

46Fatahillah ditunjuk sebagai salah satu pemegang tertinggi kekuasaan di Kesultanan Cirebon. Ia merupakan salah satu panglima perang Cirebon, tangan kanan serta penasehat terpercaya Sunan Gung Jati. Selain itu, sebelum menjadi menantu, Fatahillah telah ikut berjasa dalam mengalahkan aramada Portugis dan berhasil merebut Sunda Kelapa menjadi wilayah kekuasaan Islam. 47Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 68-69.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h.41. 48Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 68. 49Dapat terlihat dari pengangkatan Fatahillah sebagai salah satu pemimpin Cirebon, walaupun berstatus sebagai menantu, Sunan Gunung Jati melihat calon pemimpin berdasarkan kapasitas dan cakapnya memimpin. Lihat Z. Masduqi, Cirebon dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011), h. 45.

80 dengan dibangunnya sarana dan prasana itu membuat perekonomian mengalami peningkatan yang cukup signifikan.50 Selain yang disebutkan di atas, pembangunan di wilayah keraton juga diperbanyak oleh Panembahan Ratu I. Pada tahun 1596, Panembahan Ratu I membangun pagar tembok yang mengelilingi kota dengan tinggi dua meter dan mempunyai beberapa pintu gerbang. Pagar tembok ini merupakan salah satu persembahan Panembahan Senopati dari Mataram kepada Panembahan Ratu I yang sudah dianggap sebagai gurunya. Pembangunan tembok tersebut bertujuan untuk memperkuat pertahahan Cirebon, mengingat daerah ini merupakan basis pertahanan Mataram di bagian Barat. Selain itu, fungsi pembangunan tembok merupakan taktik Mataram untuk menanamkan pengaruhnya di Kerajaan Cirebon, hal ini dikarenakan penguasa Banten ingin menguasai Cirebon.51 Panembahan Ratu lebih memfokuskan perhatiannya pada penguatan kehidupan keagamaan seperti yang dijalankan oleh Syarif Hidayatullah. Ia lebih banyak memerankan diri sebagai seorang ulama dari pada seorang umaro. Kedudukannya sebagai seorang ulama membuatnya lebih banyak perhatian kepada masalah keagamaan daripada masalah politik dan ekonomi dalam menjalankan pemerintahannya. Kedudukannya ini pula yang menyebabkan Sultan Mataram segan memasukkan Cirebon sebagai daerah bawahannya. Dalam rangka mempererat hubungan dengan Mataram akhirnya dilakukan perkawinan politis antara Panembahan Ratu dan Nyai Mas Ratu Lampok Angrorosputeri Sultan Pajang pada tahun 1571 M. Perkawinan politis juga dilakukan oleh cucu kedua belah pihak, yaitu Panembahan Girilaya dengan puteri Sunan Amangkurat 1.52 Pada tahun 1649, Panembahan Ratu I meninggal dunia. Kursi kepemimpinan selanjutnya dipercayakan kepada cucunya yakni Pangeran Girilaya (Pangeran Karim/Pangeran Rasmi). Pangeran Girilaya kemudian mendapatkan gelar sebagai Panembahan Ratu II. Pada masa pemerintahannya, Cirebon mendapatkan tekanan dari Mataram di bawah kepemimpinan Sunan Amangkurat I. Hal ini disebabkan karena Panembahan Ratu II merupakan menantu dari Sunan Amangkurat I Mataram, sehingga ketika ia dilantik membuat Amangkurat I berambisi untuk menguasai Cirebon.53 Ketika Panembahan Girilaya yang tidak lain adalah merupakan menantu Sultan Amangkurat I dari Kerajaan Mataram menjadi penguasa Cirebon, keadaan mengalami perubahan. Cirebon menjadi rebutan pengaruh dua kekuatan politik Islam yaitu Mataram dan Banten. Karena Cirebon merupakan pelabuhan penting, maka Cirebon dijadikan buffer power-nya Mataram. Sebagai pelabuhan penting, Cirebon dianggap memiliki kemampuan untuk mengembangkan perdagangan baik lokal maupun internasional. Secara ekonomi, Cirebon memiliki kemandirian karena tidak hanya menggantungkan ekonominya pada produk-produk agraris tetapi juga

50Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 120. 51Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 70. 52Yani, A. “Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196. 53H. Erwantoro, “Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon”. Patanjala, vol. 4, no. 1, 2012, h. 166-179.

81 pada perdagangan yang bersumber dari eksternal.54 Kekuatan Cirebon tersebutlah yang menurut penulis digunakan Mataram untuk melihat Cirebon sebagai wilayah strategis dalam kerangka operasi militer Mataram ke Batavia yang sudah sejak awal abad ke-17 dikuasai VOC. Masa pemerintahan Panembahan Ratu II merupakan masa yang yang cukup berat dan sulit bagi Cirebon, sebab Sunan Amangkurat I menganggap bahwa kedaulatan, kewibawaan dan kemerdekaan Cirebon sebagai sebuah Kerajaan Islam sudah berakhir, bahkan Sunan Amangkurat I berhasil mengambil Ciamis sebagai wilayahnya, sehingga wilayah Cirebon tinggal meliputi Cirebon, Majalengka, Indramayu dan Kuningan. Campur tangan Mataram didasari dengan keinginan menjadi negara super power di Nusantara serta dapat mengusir VOC dari Pulau Jawa. Salah satu starteginya adalah dengan menguasai Cirebon, karena Cirebon memiliki pelabuhan yang strategis untuk jalur perdagangan internasional. Selain itu, Cirebon dianggap bisa dijadikan benteng untuk menahan laju VOC yang berpusat di Batavia, sehingga membuat Mataram bisa melakukan ekspansi ke daerah timur.55 Pada masa Amangkurat I, Mataram lebih mudah memasukan pengaruhnya bagi Cirebon, karena Panembahan Ratu II adalah menantunya sendiri. Ia mengawasi sendiri aktivitas pemerintahan Cirebon, sehingga satu waktu ia beranggapan bahwa Cirebon sedang merintis kekuatan dengan Kesultanan Banten untuk melakukan pemberontakan terhadap Mataram. Pada tahap ini Amangkurat I bersekutu dengan VOC dan berambisi untuk menguasai Cirebon. Hal ini karena, ia mendapat pengaruh dan bujukan dari VOC untuk menguasai Cirebon termasuk pelabuhan Cirebon.56 Pada tahun 1650, Amangkurat I mengundang Panembahan Ratu II untuk berkunjung ke Mataram dengan alasan untuk memberikan penghormatan sebagai Raja Cirebon. Undangan tersebut diamini oleh Panembahan Ratu II dengan berangkat ke Mataram bersama kedua anaknya yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, namun sesampainya di Mataram, mereka dijadikan tahanan oleh Amangkurat I, dan dilarang untuk kembali ke Cirebon. Hal ini merupakan taktik Amangkurat I untuk melemahkan Kesultanan Cirebon. Masih dalam posisi sebagai tahanan pada tahun 1662, Panembahan Ratu II meninggal di Mataram dan dimakamkan di Imogiri Yogyakarta. Hal ini terjadi ketika ia menjadi tahanan rumah bersama kedua putranya. Pasca meninggalnya Panembahan Ratu II, Cirebon terjadi kekosongan kepemimpinan, namun tidak membuat dan menyebabkan kelumpuhan dan kehancuran.57

54H. M. Ambary, “Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran Islam”, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 47-48. 55F. T. Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”. Tamaddun, vol. 4, no. 1, 2016, h. 123-146.; H. Djajadiningrat, Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-abad Pertama Berdirinya, (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 69-71.; Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 87-88. 56Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 140. 57Lasmiyati, “Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya)”. Patanjala, vol. 5, no. 1, 2013, h. 131-146.; Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 73.; H. R.

82

Pada saat terjadi kekosongan kepemimpinnan, Kesultanan Banten mulai melakukan campur tangan. Hal ini dilakukan ketika Panembahan Ratu II dan kedua anaknya menjadi tahanan oleh Mataram. Dengan wafatnya Panembahan Ratu II, melalui perdebatan yang sengit dan mendalam, para pejabat Cirebon akhirnya meminta bantuan dan perlindungan dari Kesultanan Banten. Permintaan itu direspon positif oleh Sultan Ageng Tirtayasa selaku penguasa Banten, dan diputuskan bahwa pengganti Kesultanan Cirebon adalah Pangeran Wangsakerta, yang tidak lain adalah merupakan putra Panembahan Ratu II dari selir sebagai Raja Cirebon. Pengangkatan Pangeran Wangsakerta sebagai Raja Cirebon terjadi karena dengan pertimbangan bahwa kedua anak Panembahan Ratu II yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya masih menjadi tahanan Mataram. Dengan ditetapkannya Pangeran Wangsakerta sebagai penguasa Cirebon menandakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai kekuatan besar untuk melindungi Cirebon dari kendali politik Mataram yang dimainkan Amangkurat I.58 Pasca meninggalnya Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya), pada tahun 1677 terjadi perpecahan di dalam Kesultanan Cirebon. Pecahnya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari campur tangan dan pengaruh Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Kedua kekuatan tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama ingin menguasai Cirebon. Setelah dua putera Panembahan Ratu II, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya berhasil dibebaskan oleh Trunojoyo dari cengkeraman kakeknya (Sunan Amangkurat I), keduanya kemudian dibawa ke Kediri untuk selanjutnya dibawa ke Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Keduanya disambut dengan upacara penghormatan, dan yang hadir pada saat itu adalah adiknya yakni Pangeran Wangsakertayang mengambil alih kepemimpinan selama kedua kakaknya menjadi tawanan Mataram. Pada saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa membagi tiga kekuasaan atas Kesultanan Cirebon. Ketiga Pangeran Cirebon mendapat gelar sultan dari Sultan Banten dan dilantik menjadi penguasa Cirebon. Gelar Sultan Muhammad Syamsuddin diberikan kepada Pangeran Martawijaya sekaligus menjadi Sultan Kasepuhan, gelar Sultan Muhammad Badrudin diberikan kepada Pangeran Kartawijaya sekaligus menjadi Sultan Kanoman, dan Pangeran Wangsakerta dilantik menjadi Panembahan Cirebon,59 namun ia tidak membangun kesultanan seperti kedua saudaranya. Dengan pecahnya menjadi dua kasultanan, ini kemudian menimbulkan sebuah masalah baru dan titik balik dalam hal campur tangan dari pihak lain seperti VOC. Dalam tahap ini, membuat eksistensi Cirebon semakin menurun.60 Keterlibatan VOC dalam pemerintahan Kesultanan Cirebon terjadi ketika Sultan Sepuh I meminta bantuan VOC untuk membereskan perpecahan yang terjadi dalam kekuasaan Cirebon. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, perpecahan itu justru dimanfaatkan oleh VOC untuk merebut dan menjadikan Cirebon sebagai

B. Irianto dan K. T. Sutarahardja, Sejarah Cirebon: Naskah Keraton Kacirebonan, (Yogyakarta: Deepublish, 2013), h. 92-93. 58Erwantoro, “Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon”, h. 170-183. 59Hardjasaputra dan Haris, Cirebon dalam Lima…, h. 99.; Atja , Purwaka Caruban Nagari…, h. 73-74. 60Atja, Purwaka Caruban Nagari…, h. 46.

83 negara bawahan (vassal state). Konflik yang berkepanjangan membuat VOC mudah untuk melakukan adu domba masing-masing sultan. Pada tahun 1681, VOC mengadakan perjanjian persahabatan di antara para sultan untuk mengatasi konflik, dan VOC bertindak sebagai penegahnya. Perjanjian itu berlangsung di Keraton kasepuhan pada tanggal 7 Januari 1681, dan yang melakukan perjaanjian adalah Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, Panembahan Cirebon, Raksanegara, Anggaderaksa, Purbanegara, Anggadeprana, Anggaraksa, Nayapati, Jacob van Dyck dan Jochem Michielse.61 Ada beberapa hasil kesepakatan yang merugikan dalam perjanjian itu, yakni Cirebon diperintah oleh Sultan Sepuh I, Sultan Anom I, dan Panembahan Cirebon. Akan tetapi, mengenai batas kekuasaan belum ditentukan. Secara politik ada beberapa poin dalam perjanjian ini yaitu Cirebon merupakan salah satu daerah protektorat VOC sehingga membuat sultan tidak lagi mendapat atau berhak penuh untuk memimpin Cirebon, atau dengan kata lain, adanya pembatasan akan wewenag sultan untuk memimpin Cirebon. Selain itu, antara kedua belah pihak yakni Cirebon dan VOC harus selalu menjalin persahabatan dan saling percaya dan Sultan Cirebon tidak boleh membuat basis pertahanan di daerah perbatasan dan wilayah panjang tanpa ada izin dari VOC. Kemudian, VOC boleh membangun benteng di Cirebon.62 Padahal, pertahanan dari kesultanan yang kuat diperlukan untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya. Kehadiran VOC di Cirebon terutama setelah adanya perjanjian pada 7 Januari 1681 telah membawa perubahan pada segala sendi kehidupan masyarakat Cirebon, ditambah lagi bahwa VOC berusaha mengambil peran, dan melakukan intervensi pada politik Kesultanan Cirebon. Keterlibatan VOC dalam urusan pemerintahan telah mengakibatkan terjadinya pergeseran peran seorang sultan. Sultan tidak lagi punya otoritas kekuasaan politik karena peran itu sudah diambil alih oleh VOC. Hal itu juga dapat dilihat ketika VOC mengeluarkan peraturan pergantian sultan pada tahun 1752. Sultan hanya mengurusi urusan keagamaan dan kebudayaan. Eksistensi sultan menjadi lemah dan tidak lagi memiliki kekuatan karena otoritas politik berada ditangan VOC.63 Perjanjian 18 Januari 1752 sebagaimana yang disebutkan di atas, VOC mengeluarkan peraturan mengenai pergantian sultan dan sultan-sultan Cirebon kehilangan kekuasaan politiknya. Ada dua garis besar dalam peraturan tersebut yaitu pergantian tahta harus didasarkan pada warisan ayah kepada anak, dan jika sultan meninggal dan tidak mempunyai keturunan langsung maka kekayaan beserta peranan dalam sebuah pemerintahan harus dibagikan kepada para sultan yang lain. Contohnya, ketika Panembahan Cirebon meninggal dunia, ia tidak meninggalkan keturunan maka kekayaan dan daerah kekuasaanya oleh VOC dibagikan kepada

61Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146. 62Masduqi, Cirebon dari Kota…, h. 70. 63Tendi, “Surat Perjanjian 7 Januari 1681: Edisi Diplomatik Naskah.”. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 8, no. 1, 2020, h. 39-58.; Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146.

84

Kasepuhan dan Kanoman. Di samping itu, VOC mengatur tentang gelar sultan, dimana gelar sultan ini hanya diberikan kepada dua penguasa saja, dan pemimpin kesultanan selanjutnya hanya boleh bergelar pangeran. Setiap terjadi pergantian kepemimpinan di kasultanan, VOC mempunyai peran yang besar, seperti ketika Sultan Anom IV wafat yang seharusnya menjadi penggantinya adalah puteranya yaitu Pangeran Surianegara, namun VOC mengangkat adik seayahnya yaitu Pangeran Surantaka. Dengan begitu kuatnya peran VOC, sampai bisa mengusir beberapa pangeran yaitu Pangeran Surianegara, Pangeran Lautan untuk keluar dari keraton.64 Pengaruh VOC di Cirebon semakin berkuasa setelah membangun loji atau benteng di kawasan Pelabuhan Cirebon. VOC mempunyai hak untuk membangun benteng pertahanan di Cirebon, namun sebaliknya, pihak kesultanan tidak diizinkan membentuk sebuah pertahanan di sekitar keraton. Pembangunan benteng pertama dilakukan setelah penghancuran tembok keliling Cirebon, yang juga merupakan persembahan dari Pangeran Senopati. Dari material inilah benteng pertama di Cirebon dibangun di sekitar Pelabuhan Cirebon. Benteng tersebut diberi nama De Fortrese de Bescherming (Benteng Perlindungan). Lokasi benteng di sekitar pelabuhan menandakan bahwa VOC ingin menguasai dan mengontrol aktivitas perdagangan Cirebon karena pelabuhan ini merupakan salah satu pusat perekonomian internasional.65 Dengan pengaruh kuatnya sebagaimana penulis sebutkan di awal, VOC merampas kekuasaan politik sultan. Semua keputusan sultan yang ditandatangani harus atas perintah dan persetujuan VOC. Sultan dalam kondisi ini kehilangan kekuasaan politiknya. Karir dan gelarnya hanya sebatas simbol, karena sebenarnya yang menjalankan pemerintahan adalah VOC. Contohnya dalam perjanjian 8 September 1688 pasal 22 yang menyatakan bahwa gelar sultan dan panembahan hanya digunakan dalam surat dan naskah dari kompeni, sedangkan di luar itu disebut dengan raja atau bahkan Pangeran Cirebon dan nama asli seperti Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta.66 Dalam penelusuran penulis, setidaknya ada beberapa perjanjian yang dilakukan untuk menengahi konflik antar Sultan yaitu perjanjian persahabatan antara sultan dengan dimediasi VOC, pada tanggal 7 Januari 1681, dilanjutkan perjanjian pada 4 Desember 1685, perjanjian 5 Desember 1688, Perjanjian 4 Agustus 1699, perjanjian 17 Januari 1708, dan perjanjian 18 Januari 1752. Semua perjanjian yang digelar pada sebenarnya tidak menguntungkan Cirebon, malah membuatnya rugi, akan tetapi para sultan tidak mengajukan keberatan atau gugatan terhadap hasil-hasil perjanjian karena mereka sudah terikat dengan kontrak perjanjian.67

64M. S. Bochari & Wiwi Kuswiyah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), h. 45. 65Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 68. 66Tim Peneliti, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Pemda TK. I, 1991), h. 252. 67Perjanjian 7 Janauri 1681 berdampak besar bagi Kesultanan Cirebon, terutama di sosial, ekonomi dan politik. Implikasinya adalah dengan melemahnya kekuasaan politik di Kesultanan Cirebon dengan banyaknya campur tangan VOC dalam pemerintahan kesultanan

85

Isi perjanjian tanggal 7 Januari 1681 antara Cirebon dan VOC sangat memengaruhi perjalanan Cirebon sebagai kota dagang. VOC mendapatkan hak monopoli impor dan ekspor dengan bebas bea impor yang sebelumnya pernah dikenakan keraton sebesar dua persen dari nilai barang. Perjanjian itu juga merugikan penduduk lokal yang harus mendapat lisensi dari VOC yang ingin melakukan pelayaran. Kapal-kapal tidak boleh sembarangan masuk pelabuhan kecuali atas ijin VOC. Tanaman lada yang ditanam di Cirebon diatur oleh VOC dan VOC pula yang menentukan harganya.68 Dengan perjanjian tersebut, secara politis Cirebon berada di bawah kendali langsung VOC. Dalam rangka menyebarkan paham adu domba, VOC mengutus Francois Tack untuk melakukan pendekatan dengan para sultan, hal ini bertujuan supaya para sultan berselisih paham. Hubungan yang dekat antara Francois Tack dan Sultan Anom I, membuat Sultan Sepuh I dan Panembahan Cirebon iri dan merasa curiga, ditambah lagi batas-batas kekuasaan Cirebon belum ditentukan, bahkan dengan semakin intensnya kedua orang itu mengakibatkan konflik dan membuat sebuah perjanjian. Dalam perjanjian yang digelar pada 8 September 1688, terdapat 26 pasal dan naskah perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pihak Cirebon diwakili oleh Sultan Sepuh I beserta putra pertamanya Sultan Dipati Anom, Sultan Anom I beserta putra tertuanya Pangeran Ratu, dan Panembahan Cirebon beserta 12 orang mantri, sedangkan pihak VOC dipimpin oleh Johanes de Hartog.69 Setelah VOC bubar pada 1799, kekuasaan politik Cirebon diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Cirebon masuk dalam wilayah keresidenan sekaligus sebagai ibu kota distrik dengan Gubernur Jenderalnya H. W. Daendels. Status sultan diberhentikan dan dijadikan sebagai bupati yang diberi gaji, sehingga sultan mendapat pensiunan.70 Gubernur Jenderal Daendels kemudian menerapkan sistem pemerintahan sentralistik yakni memerintah rakyat secara langsung tanpa adanya perantara sultan atau bupati. Ia menurunkan kedudukan sultan dan bupati, dan menjadikan mereka sebagai pegawai tinggi pemerintah kolonial serta mendapatkan gaji. Oleh karena itu Daendels, membuat kedudukan seorang sultan dan bupati tidak berlaku lagi termasuk di Cirebon. Pada tanggal 2 Februari 1809, Daendels mengeluarkan peraturan Reglement op het Beheer van Cheribonsche Landen71 (Peraturan tentang dengan cara mempersempit kekuasaan sultan. Lihat “Naskah Perjanjian 7 Janauri 1681”, dengan Sumber Arsip Cirebon No. 38.3 Arsip Nasional Republik Indonesia. Lihat juga Deviani, “Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)”, h. 123-146. 68S. T. Sulistiyono, Dari Lemah Wungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 85. 69Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 112. 70Lisa Susanti, “Pengaruh Kolonial Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon Tahun 1752-1830”. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, vol. 3, no. 3, 2018, h. 274-288.; Sulistiyono, Dari Lemah Wungkuk…, h. 87. 71Peraturan sebagaimana di atas terdiri atas: Ketentuan Umum (6 pasal); Bagian Pertama, tentang Prefek (32 pasal); Bagian Kedua, Para Sultan, Bupati, dan Pemerintahan Daerah Lebih Lanjut (31 pasal); Bagian Ketiga, soal Pajak, Kerja Pengabdian dan

86

Penguasaan atau Pemerintah Daerah Cirebon) yang menyatakan bahwa pemerintahan Cirebon ditetapkan sebagai prefecture atau identik dengan sistem karesidenan. Dengan adanya keputusan tersebut, membuat para sultan menjadi pegawai pemerintahan kolonial Belanda serta kepala pemerintahan diganti oleh seorang bupati yang diangkat langsung oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Merujuk pada catatan John Crawfurd, Boulger mengatakan bahwa hingga masa jabatan Daendels dan Janssens, penduduk Cirebon dikenakan delapan jenis pungutan.72 Pertama, kontingen, sebesar lima belas persen dari total padi hasil panen, tetapi pada kenyataannya diterapkan secara seenaknya. Kedua, pajak per kepala (poll-tax) atau pajak atas keluarga, sebagian dipungut atas nama pemerintah, sebagian lagi atas nama kepala setempat. Ketiga, pajak pasar atau tol. Pajak ini dipungut untuk setiap barang atau komoditas yang dihasilkan dari pertanian, manufaktur, dan hasil kerajinan tangan. Keempat, pajak pemotongan sapi. Pajak ini berdampak pada harga makanan dan pembatasan terhadap upaya pembiakan hewan serbaguna sebagaimana dimaksud. Kelima, pajak penginapan dan makanan bagi pengembara, pengangkutan, bagasi, dan penyimpanan semua barang. Keenam, kewajiban untuk membangun dan memperbaiki jembatan, jalan, dan bangunan publik di sepanjang negeri (Cirebon). Ketujuh, kewajiban untuk menanam dan menyetor dalam jumlah yang memadaiberbagai produk demi kepentingan ekspor, terutama kopi. Kedelapan, pajak persepuluhan. Pada sebenarnya 1/20 dari total padi hasil panen, dialokasikan untuk tujuan keagamaan dan pembayaran opsional, tetapi jarang sekali ditangguhkan.

B. Perkembangan Daerah dan Masyarakat Cirebon 1. Daerah Cirebon Wilayah Cirebon adalah wilayah pesisir utara paling timur di provinsi Jawa Barat. Perbatasan timur dan tenggara adalah provinsi Jawa Tengah, perbatasan selatan adalah Kabupaten Ciamis, perbatasan barat adalah Kabupaten Sumedang dan Subang, sedangkan perbatasan utara adalah laut Jawa. Secara administrasi, wilayah ini terdiri dari empat kabupaten (Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka), dan wilayah Cirebon dikategorikan sebagai wilayah padat penduduk di Indonesia. Menurut Abdurrahman yang dinamakan daerah Cirebon dewasa ini adalah wilayah bekas Keresidenan Cirebon, yang terdiri dari Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu dan Kotamadya Cirebon. Sementara yang dikenal sebagai Cirebon dalam sejarah kuno ialah daerah yang terletak di sebelah utara ujung paling timur Pulau Jawa bagian barat.73

Kewajiban-kewajiban Lain Penduduk Pribumi (16 pasal); Bagian Keempat, terkait Pengadilan Negeri (11 pasal); Bagian Kelima, Perihal Polisi, Pembuatan Jalan, dan Layanan Pos (31 pasal). Lihat J. A. van der Chijs, Nederlansch-Indisch Plakaatboek 1602-1811. Vijftiende Deel (1808-1809). (Batavia/'s Hage: Landsdrukkerij/M. Nijhoff, 1896), h. 474- 513. 72Demetrius C. Boulger, The Life of Sir Stamford Raffles, (London: Horace Marshal & Son, 1897), h. 115. 73Abdurrahman, Cerbon, h. 11.

87

Cirebon daerahnya seluas 6790 km2, dan pada akhir tahun 1905 berpenduduk 1.700.000 jiwa. Daerah ini dihuni oleh orang kulit putih, berjumlah 1.200 orang, Tionghoa 23.000 orang dan Arab 2.900 orang, serta orang-orang asing timur lainnya. Di bagian selatan berbahasa sunda, di bagian utara campuran bahasa Jawa dengan tiga macam logat, antara lain di daerah Indramayu, di bagian utara Cirebon dengan logat Cirebon, sedangkan di ujung timur distrik Losari dengan logat Tegal. Tentang asal mula penduduk Cirebon oleh Kern dikatakan berasal dari Jawa, sebab Cirebon merupakan tempat pemberhentian pedagang-pedagang Jawa di daerah Sunda.74 Menurut data BPS Kabupaten Cirebon jumlah penduduk Cirebon tahun 2019 berjumlah 322.322 jiwa. Sebenarnya, Cirebon sudah dikenal sejak awal abad ke-15. Merujuk Purwaka Tjaruban Nagari,75 nama Cirebon dahulunya adalah Tegal Alang-Alang yang kemudian disebut Lemah Wungkuk. Pada masa Raden Walangsungsang berubah lagi namanya menjadi Caruban. Purwaka Tjaruban Nagari juga menjelaskan bahwa Cirebon berasal dari kata “Caruban”“Carbon” “Cerbon”“Cirebon”, berarti campuran. Pada saat itu, Cirebon sudah didiami oleh penduduk dari berbagai bangsa dan juga agama yang majemuk. Pekerjaan penduduknya juga bervariatif. Sementara dalam definisi lain, Cirebon secara etimologis berasal dari dua kata bahasa Sunda”Ci” yang berarti air, dan “Rebon” adalah sejenis udang kecil-kecil yang merupakan bahan baku untuk membuat terasi.76 Terdapat banyak pelafalan dan cara penulisan kata Cirebon. Pires misalnya, menyebut Cirebon dengan kata “Choroban”.77 Berbeda dengan Pires, orang-orang Belanda78 pada masa awal kehadirannya di Nusantara menyebut Cirebon dengan kata “Charaboan”, yang selanjutnya pada masa akhir menjadi “Tjerbon dan Cheribon”. Masyarakat setempat menyebutnya “Nageri Gede” (Negara Agung/Besar). Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berubah lagi menjadi “Grage”. Grage berasal dari kata “glagi” yang berarti udang kecil yang telah kering. Negeri Cirebon juga sering disebut sebagai “puser bumi” atau “puser jagad” oleh para Wali Sango karena letaknya yang berada di tengah Pulau Jawamenjadi pusat penyiaran Islam untuk wilayah tanah Sunda.79 Wilayah yang sekarang dikenal Cirebon sebenarnya berasal dari wilayah kecil di pesisir pantai utara pulau Jawa, yang bernama Tegal Alang-Alang atau Lemah Wungkuk. Orang yang membangun wilayah ini adalah Pangeran Cakrabuana alias Ki Somadullah. Namun demikian, ia bukan orang pertama yang berada di wilayah

74R. A. Kern & H. Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara, 1974), h. 9. 75Naskah ini ditulis oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720 M. 76Atja, Purwaka Caruban Nagari…, h. 28. 77A. Cortesao, The Summa Oriental of Tome Pires, (London: Hakluyt Society 1994), h. 67. 78Dalam tulisan-tulisan Belanda, misalnya, Dagh Register, mencatat nama “Cirebon” sekurang-kurangnya ditulis dan dieja dalam 25 cara. Kemudian dari cara penulisan yang banyak itu, pada abad ke-18 terwujud cara penulisan “Cheribon”. Lihat Kern & Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan..., h. 13. 79Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 28-29.

88 ini karena sebelumnya sudah ada Ki Danusela yang bergelar Ki Gedheng Alang- Alang yang kelak menjadi Kuwu pertama dan menjadi mertuanya. Usaha Ki Somadullah ini tidak terlepas dari perintah gurunya Syekh Nurjati, seorang muballig Islam yang pernah singgah di Pelabuhan Muara Jati.80 Menurut sumber tradisional, semula di daerah pesisir Cirebon terdapat tiga pelabuhan yaitu Muara Jati, Japura dan Singapura. Pada awalnya, ketiga pelabuhan tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Wilayah Amparan Jati dengan Muara Jatinya merupakan pelabuhan internasaional pada saat itu. Dalam perkembangannya, wilayah Amparan Jati merupakan bagian dari Lemah Wungkuk. Selanjutnya pelabuhan internasional juga berpindak ke Lemah Wungkuk. Wilayah Lemah Wungkuk semakin lama semakin luas dan akhirnya berubah nama menjadi Caruban atau Cerbon atau Cirebon pada masa Ki Somadullah alias Pangeran Cakrabuana. Setelah Cirebon berkembang, pelabuhannya menjadi ramai dengan kegiatan perdagangan, dan termasuk menjadi salah satu pusat pelabuhan di pantai utara Jawa. Ada empat faktor yang memengaruhi perkembangan Cirebon sebagai pelabuhan penting. Pertama, letak geografisnya yang strategis, pelabuhan Cirebon berada pada lokasi berbentuk teluk, sehingga kondisi pelabuhan terlindungi dari gelombang air pasang laut. Kedua, pelabuhan Cirebon terletak di bagian tengah pesisir utara Pulau Jawa, dan cukup jauh dari pelabuhan lain seperti Jepara, Tuban, Surabaya yang berada di sebelah timur Pulau Jawa dan Sunda Kelapa serta Banten di sebelah barat Pulau Jawa. Ketiga, pantai Cirebon mudah didatangi oleh perahu, bahkan dapat dimasuki oleh kapal berukuran besar. Keempat, hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman berlangsung lancar, baik melalui sungai maupun darat. Sungai-sungai itu di antaranya Sungai Krian, Sungai Cimanuk, dan Sungai Cilosari.81 Secara historis, status Cirebon yang dikenal sekarang sebelum dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana, sekitar abad ke 14 dan awal abad ke 15 adalah wilayah yang terpecah-pecah dan terbagi ke dalam beberapa nagari. Nagari-nagari tersebut meliputi Surantaka,82 Singapura,83 Japura, Wanagiri Rajagaluh, dan Talaga. Secara politik, nagari-nagari tersebut dipimpin atau dikuasai oleh penguasa yang dikenal dengan sebutan Ki Gedeng. Misalnya, Wanagiri yang nantinya menjadi Ibu kota Cirebon Girang di pegang oleh Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedhnag Kasih memegang Surantaka dan Amparan Jati, Ki Gedeng Surawijaya Sakti memegang Singapura yang dikemudian hari diserahkan kepada Ki Gedeng Jumajan Jati atau Ki

80Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), h. 21; Rosyidin, dan A. Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25. 81Rosyidin, dan A. Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon…, h. 25-26. 82Wilayah ini letaknya berada di sebelah utara 4 Km dari Amparan Jati (Makam Sunan gunung Jati) 83Singapura berada kurang lebih 4 km. dari sebelah utara Giri Aparan Jati, sebalah utara berbatasan dengan Nagari Surantaka, sebelah barat berbatasan dengan Nagari Wanagiri, sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Japura, dan sebalah timur berbatasan dengan laut Jawa (teluk Cirebon). Pusat pemerintahanya terletak di Desa Sirnabaya sekarang. Lihat Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1998), h. 48.

89

Gedeng Tapa. Meski secara sekilas wilayah-wilayah ini terpisah namun nagari tersebut pada dasarnya tunduk dan patuh pada Kerajaan Sunda/Galuh, sebab semua Ki Gedeng secara genealogis memliki ikatan darah dan kekerabatan.84 Sungai-sungai di Cirebon ketika itu digunakan sebagai sarana lalu lintas untuk perahu dan kapal yang cukup besar. Hal ini seperti disaksikan oleh Tome Pires pada tahun 1513. Dalam catatan perjalannya, ia menyebutkan bahwa Cirebon adalah kota pelabuhan yang ramai oleh kegiatan perdagangan. Pelabuhan Cirebon merupakan salah satu pelabuhan ramai di Pulau Jawa yang sering didatangi oleh para pedagang dari berbagai negara, seperti Arab, India dan Tiongkok. Dengan semakin ramainya pelabuhan Cirebon, ada sejumlah pedagang pribumi dan asing yang tinggal di sekitar pelabuhan, salah satunya adalah saudagar Asing Pate Quedir, yang semula tinggal di Malaka. Pelabuhan Cirebon menjadi salah satu tempat untuk mengeskpor berbagai hasil komoditi hasil bumi seperti terasi, ikan, daging, padi, beras, sayur dan buah-buahan, serta tarum dan kayu yang baik untuk pembauatan kapal.85 Cirebon adalah salah satu kota pantai yang terletak di ujung timur pantai utara Tatar Sunda yang menjadi lalu lintas perdagangan internasional pada masanya. Pada awalnya Cirebon ini merupakan sebuah pemukiman nelayan yang tidak berarti. Kemudian berkembang menjadi pedukuhan atau desa yang bernama Dukuh Tegal Alang-Alang berada kurang lebih 5 km di sebalah utara Kota Cirebon sekarang. Berkembangnya Cirebon sebagai pelabuhan yang ramai didukung oleh beberapa faktor kondusif yang dibutuhkan oleh pelabuhan-pelabuhan besar pada waktu itu. Pertama, Cirebon dapat bertindak sebagai pangkalan tempat para pelaut membeli bekalair tawar, beras dan sayur untuk persediaan dalam perjalanan. Kedua, Cirebon menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar yang bertindak sebagai pemilik modal, sedangkan bandar Cirebon dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang perdagangan.86 Dengan demikian, harus diakui Cirebon merupakan pangkalan penting, dan memiliki akses perdagangan dan pelayaran antarbangsa. Lokasinya berada di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, turut menjadikannya sebagai jembatan antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga terciptanya suatu kebudayaan yang khas. Di samping itu, Cirebon menyimpan beberapa warisan budayatradisi dan kesenian, serta warisan fisik sebagai hasil perpaduan antara kebudayaan lokal dan asingArab, India, Tiongkok dan Eropa. Dalam bidang pemerintahan Cirebon merupakan salah satu dari Kerajaan Islam yang ada di Nusantara. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kesultanan Cirebon. Raja pertama Kesultanan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Dalam pemerintahannya, ia menerapkan sistem pemerintahan yang tertata rapih sehingga para penerusnya dapat meneruskan dan menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Beberapa sultan setelah Sunan Gunung Jati adalah, Pangeran Pasarean, Panembahan Ratu, Sultan Sepuh dan Sultan Anom.

84N. H. Lubis, A. Sulaeman, Y. Munaf, & M. R. Razman, “Islamization of the Sunda Kingdom”. International Information Institute (Tokyo), Information, vol. 21, no. 4, 2018, h. 1349-1357.; Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 48. 85Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27. 86Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27.

90

Pada tahap selanjutnya, Cirebon mengalami beberapa perubahan dengan terpecahnya menjadi empat kesultanan dengan masing-masing keraton, yaitu: 1) Keraton Kasepuhan. 2) Keraton Kanoman. Keraton ini didirikan oleh Pangeran Muhammad Badruddin/Pangeran Kertawijaya (Sultan Anom 1) sekitar tahun 1678. 3) Keraton Kacirebonan adalah pecahan dari Keraton Kanoman yang luasnya sekitar 2.5 hektar, dan Sultan Carbon adalah sebagai Amirul Mukminin. 4) Keraton Keprabonan, berdiri tahun 1696 dan dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Keprabon.87 Di abad ke-18, keadaan masyarakat Cirebon semakin memburuk ketika berada di bawah pemerintahan kolonial. Masalah yang dihadapi cukup banyak, utamanya dalam bidang sosial dan ekonomi. Penjualan diri untuk menjadi budak meningkat tajam, wabah penyakit dan kelaparan menyerang masyarakat Cirebon pada tahun 1719, 1721, 1729, 1756, 1757, 1773, 1775, 1776, 1792 dan 1812. Tindakan kompeni yang semena-mena terhadap rakyat dan kesengsaraan yang dialami menyebabkan timbulnya pemberontakan, kekacauan terjadi di mana-mana selama bertahun-tahun. Puncak amarah rakyat Cirebon terjadi pada tahun 1802 berupa gerakan perlawanan rakyat menentang Belanda beserta kaki tangannya, yaitu etnis Tionghoa. Akibat perlawanan rakyat Cirebon, banyak etnis Tionghoa yang terbunuh dan diusir dari daerah Cirebon dan sekitarnya.88 Secara historis, sampai awal abad ke-20 pemerintah Belanda melakukan eksploitasi dengan mengadakan pembukaan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik gula di wilayah Karesidenan Cirebon. Hak kepemilikan tanah masyarakat tentunya semakin terampas dan masyarakat berada dalam kemiskinan. Namun, pada perjalanannya eksploitasi terhadap berbagai daerah di Nusantara berkurang seiring dengan munculnya politik etis akibat desakan dan kritikan dari partai liberal Belanda bersamaan dengan pernyataan keprihatinan dari pihak pemerintahan Belanda terhadap kesejahteraan rakyat pribumi (Indonesia).89 Sejak Cirebon dijadikan Kota Praja (Gemeente) atau Ibu kota Karesidenan Cirebon pada 1 April 1906. J. H. J. Sigal sebagai Asisten Residen di Cirebon mengajak seluruh warga Kota Cirebon dan sekitarnya untuk sama-sama memajukan pemerintahan kota, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, meningkatkan bidang kesenian dan ilmu pengetahuan, dan menyediakan fasilitas umum yang mudah dan cepat. Pemerintah Hindia Belanda memandang Kota Cirebon sebagai daerah penting dan strategis untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan daerah industri di Jawa Barat bagian timur. Sejalan dengan itu, perkembangan perekonomian dan industri gula semakin berkembang. Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status Kota Cirebon menjadi Stadgemeente yaitu kota yang memiliki otonomi luas dalam pengembangan wilayahnya dan dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Sejak itu Cirebon mengalami proses

87D. R. Indika, “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”, dalam Pembangunan dengan Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai Pusat Kebudayaan dan Ekonomi Cirebon, ISEI Economic Review, vol II, no. 1, 2018, h. 1-7. 88Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288. 89Imas Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas Menengah Muslim di Cirebon: Dinamika Industri Batik Trusmi 1900-1980”. Al-Turas, vol. XXIII, no. 2, 2017, h. 211-230.

91 modernisasi dan industrialisasi sebagai pusat pengembangan perekonomian perkebunan, khususnya tebu. Dengan demikian, Cirebon banyak mengalami perubahan, baik dari segi fisik perkotaan maupun pola perekonomian masyarakat.90 Perkembangan masyarakat Cirebon dari sisi sosial-ekonomi tidak dapat dipisahkan dari sarana dan prasarana, termasuk transportasi. Keberadaan Cirebon yang dilintasi sugai-sungai kecilmengalir ke laut mengakibatkan transportasi air menjadi sangat dibutuhkan. Ada beberapa sungai yang saling terhubungsungai Krian, sungai Cimanuk dan sungai Cilosarisemuanya dapat dilalui oleh perahu dan kapal kecilmenjadi penghubung antara daerah pedalaman dan daerah pesisir, baik yang berkaitan dengan aktivitas sosial maupun ekonomi. Pires dalam catatannya menyebutkan bahwa beberapa sungai di Cirebon dapat dilalui oleh perahu atau junk sejauh kira-kira 3 mil. dari pesisir ke arah hulu sungai. Transportasi laut membantu para petani untuk mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan yang laku dijual di pasaran yang berada di pesisir. Dengan demikian, moda transportasi laut ketika itu mendorong mobilitas sosial, baik di wilayah pusat kerajaan maupun dari dan ke wilayah pedalaman.91 Meningkatnya pertanian, khususnya padi di daerah pedalaman menjadikan Cirebon sejak abad ke-15 hingga abad ke-17 sebagai produsen utama beras di Pulau Jawa, di samping Rembang, Mataram, dan Banten. Hasil tani masyarakat pedalaman menjadi potensi ekonomi dalam menunjang kegiatan ekonomi di Cirebon. Tidak heran, pedalaman Cirebon sebagai penghasil beras diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam sumber Belanda diberitakan bahwa awal abad ke-1, Cirebon menghasilkan beras berkualitas baik, minyak kelapa, kacang- kacangan, bawang putih, dan lain-lain. Bahkan, ketika penjajah Belanda di Batavia kekurangan beras (Agustus 1617), para kompeni mendatangkan beras dari Cirebon. Pada pertengahan tahun 1619 hampir tiap hari banyak kapal dari Cirebon datang ke pelabuhan Sunda Kalapa dengan berbagai macam muatan.92 Hingga saat ini, Cirebon adalah sebuah kota yang memiliki daya tarik tersendiri dibanding kota lainnya. Secara geografis Cirebon merupakan daerah pesisir yang dijuluki sebagai kota warisan kesultanan dan warisan Wali Songo. Banyak budaya yang hadir di tengah masyarakat Cirebon merupakan warisan kesultanan dan warisan para wali. Pernyataan ini dipandang objektif berdasarkan bukti-bukti dan data sejarah yang ada,93 yakni Cirebon memiliki wisata budaya berupa keraton-keraton yang bersejarah, wisata ziarah, kesenian tari topeng, musik tarling dan batik Trusmi. Keraton dan tinggalan budaya lainnya seyogyanya menjadi landmark yang dapat menjadi ikon daerah yang jika dikembangkan menjadi potensi ekonomi tidak hanya buat masyarakat sekitar tetapi juga pemerintah daerah setempat. Tinggalan-tinggalan budaya tersebut perlu dikelola

90Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas…, h. 211-230. 91S. Zuhdi, Hubungan Pelabuhan Cirebon dengan Daerah Pedalaman: Suatu Kajian dalam Kerangka Perbandingan dengan Pelabuhan Cilacap 1880-1940, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 119. 92Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288. 93Emalia, “Geliat Ekonomi Kelas…, h. 211-230.

92 dengan manajemen yang baik dan profesional sehingga menjadi wahana yang dapat menjadi kebanggan baik dalam skala lokal, regional maupun internasional. Perekonomian sebuah daerah akan dipengaruhi oleh letak geografis yang strategis dan sumber daya alam yang dimilikinya. Perekonomian di Cirebon didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, restoran, sektor pengangkutan, komunikasi dan sektor jasa. Kota Cirebon termasuk kota yang cepat bertransformasi dari tatanan ekonomi tradisional yang bertumpu pada sektor yang mengandalkan sumber daya manusia seperti industri pengolahan, perdagangan dan jasa. Sektor industri dan perdagangan sedang mengalami perkembangan yang pesat dibanding sektor lainnya. Pertumbuhan jumlah perusahaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan hal ini berimplikasi pada pertambahan lapangan kerja bagi masyarakatnya.94 Namun, di tengah kemodernan dan arus globalisasi, pembangunan Kota Cirebon dilakukan dengan tetap berbasiskan budaya dan kearifan lokal “ingsun titip tajug lan fakir miskin” untuk dapat mengembalikan Cirebon sebagai kota historis dan demi kemandirian kesultanan di masa yang akan datang.95

2. Cirebon dalam Lintas Dagang Cirebon sebagai bandar niaga berperan dalam perdagangan internasional, kedatangan kapal-kapal asing di Cirebon memperjelas keterkaitan Cirebon dalam jaringan internasional. Dalam beberapa catatan dari sumber Portugis, yakni Tome Pires menyebutkan bahwa Cirebon adalah sebuah pelabuhan yang indah dan selalu ada empat sampai lima kapal yang berlabuh. Hasil bumi yang dihasilkan selain beras adalah bahan makanan lainnya. Pires juga mencatat adanya kegiatan perdagangan di wilayah Jawa Barat, sedangkan beberapa pelabuhan di antaranya dikuasai oleh Kerajaan Sunda yakni Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Calap dan Cimanuk. Selain itu, ia menyebutkan ada beberapa pelabuhan di wilayah Jawa yaitu Cirebon, Japura, Tegal Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Giri dan Surabaya. Dalam catatan Pires, mata uang yang digunakan dalam transaksi perdagangan atau jual beli adalah mata uang Tiongkok. Bentuk mata uang tersebut yakni berlubang di bagian tengah, dan di sampingnya terdapat jenis mata uang lainnya.96 Setelah dibangun oleh Pangeran Walangsungsang, pelabuhan Cirebon semkin ramai dan baik untuk akses perhubungan laut antara Persia, Mesir, Arab, Tiongkok, dan Campa serta menghubungkan dengan beberapa pelabuhan lain. Perkembangan pelabuhan Cirebon juga didukung dengan ekspansi Kerajaan Islam Cirebon untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan di wilayah Pajajaran. Setelah Banten dikuasai (tahun 1526) dan Sunda kelapa (1527), maka seluruh pesisir pantai utara Jawa Barat dalam kekuasaan Kerajaan Islam. Akibat politik ini, jaringan perdagangan

94Indika, “Ingsun Titip Tajug…, h. 1-7. 95Indika, “Ingsun Titip Tajug…, h. 1-7. 96Tome Pires, Summa Oriental, terj. Sri Margana, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 237.; I. M. Johan, Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitamya Antara Abad XV-XIX: Tinjauan Bibliografi, dalam Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, 1996), h. 10.

93 internasional yang sedang tumbuh dan berkembang terbentang dari Demak, Cirebon hingga Banten.97 Kota-kota pelabuhan mempunyai peran sebagai pusat ekonomi di setiap wilayahnya. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai jalur ekspor dan impor hasil- hasil bumi dari daerah pedalaman yang terpencil yang dihubungkan dengan jalan sungai maupun darat, sehingga dimungkinkan membutuhkan adanya kebutuhan jasa angkutan. Sudjana mengatakan setidaknya ada tiga indikator dasar suatu pelabuhan yang harus berlangsung dan berlanjut, yaitu: (1) adanya hubungan antara pasar dunia dengan pasar domestik; (2) adanya hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman sehingga terbentuknya jalur atau akses transportasi, serta terbentuknya pusat-pusat pengumpulan barang dagangan; dan (3) hubungan antara kegiatan pelabuhan dengan pembentukan kota pelabuhan itu sendiri.98 Tiga indikator tersebut dapat dilihat di Cirebon, sebagai kota pelabuhan telah menjadi tempat untuk menghubungkan dua dunia yaitu daratan dan lautan. Sementara dari segi ekonomi, pelabuhan Cirebon juga berfungsi sebagai tempat menampung atau gudang barang dagangan dari wilayah pedalaman untuk didistribusikan dan dijual ke tempat-tempat lain yang membutuhkan. Selain itu, pelabuhan Cirebon berfungsi sebagai tempat penampungan barang-barang dari tempat lain yang tidak dihasilkan dari wilayah pedalaman yang sangat dibutuhkan seperti produk-produk kerajinan (keramik, kain dan sebagainya). Oleh karena itu, dengan adanya kebutuhan yang timbal balik membuat pelabuhan dan pedalaman menjadi posisi yang saling membutuhkan dan antara satu dengan lainnya saling menopang. Dalam konteks ini sarana dan prasarana transportasi dibangun untuk memudahkan arus perdagangan barang, baik dari pelabuhan maupun menuju pelabuhan. Ekajati mengatakan bahwa hubungan ke daerah pedalaman terjalin melalui sungai dan jalan darat. Sungai di Cirebon berperan sebagai jalan atau lalu lintas yang dapat dilayari perahu atau kapal ke arah pedalaman, disaksikan Pires di tahun 1513. Mungkin sungai yang dimaksud adalah sungai Krian (sekarang) yang dapat dilayari sampai Cirebon Girang, Sungai Cimanuk di sebelah utara dan Sungai Cilosari di daerah pedalaman wilayah Cirebon.99 Dengan bertambahnya para pedaganag dari mancaegara yang masuk ke pelabuhan Cirebon ikut membuat barang-barang yang berasal dari mancanegara masuk ke wilayah Cirebon. Barang-barang itu dibutuhkan masyarakat pedalaman dikarenakan mereka tidak memproduksi barang-barang seperti logam besi, emas dan perak serta tekstil halus (sutera dan keramik). Di samping barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah pelabuhan seperti garam, terasi dan ikan

97Uka Tjandrasasmita, Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 13. 98T. D. Sudjana, Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 14. 99E. S. Ekajati, dkk, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Universitas Padjajaran, 1991), h. 45.

94 asin.100 Mengenai situasi perdagangan barang yang diperjual belikan di pelabuhan Cirebon dapat dilihat pada catatan Pires, yaitu: “The land of Cherimon is next to Sundai its lard is called Labe Uca. He is vassal of Pate Rodim, lard of Demak. This Cherimon has a good port and there must be three or four junks there. It has a deal of rice and many foodstuffs: it must have as many as ten small lancaras, they say that it has not so many now. This place cherimon must have up to a thousand inhabitats. Pate Quedir the one who revolted in upeh lives in this place cherimon. There must be five or six merchants in cherimon as great as Pate Quedir, but they all and the lord of cherimon do honour to Pate Quedir, because they hold him to be a bold merchant and a knight.101 Dari catatan Pires di atas, dapat diketahui bahwa ketika Pires datang ke Cirebon, daerah ini memiliki pelabuhan yang bagus dan dan ramai dikunjungi oleh para pedagang. Kapal-kapal yang berlabuh di sana antara lain 3 atau 4 junk. Pires mencatat junk dan lancara sebab pada waktu itu berlaku tradisi menilai sebuah pelabuhan dari kemampuan pelabuhan tersebut dilabuhi kapal besar (junk) dan lancara. Sementara kapal-kapal ukuran kecil yang berlabuh tidak dicatat Pires, tetapi dengan menganalisis situasi perdagangan ketika itu, menurut penulis kapal- kapal tersebut dimungkinkan lebih banyak. Ramainya aktivitas perdagangan di pelabuhan Cirebon juga dapat dilihat dari jumlah penduduknya mencapai 1000 jiwa dengan lima atau enam saudagar, salah satunya yaitu Pate Quedir salah seorang saudagar yang cerdik, berani dan dihormati oleh masyarakat. Di samping itu, dapat diketahui bahwa komoditi Cirebon adalah berupa beras dan bahan makanan lainnya, namun Pires tidak menyebutkan nama-nama komoditas lainnya. Barang-barang lain yang tidak disebutkan adalah barang hasil jual beli dari negeri-negeri lain ke wilayah Cirebon. Padahal setiap harinya banyak perahu yang masuk ke Pelabuhan Muara Jati dari Jawa Timur, Madura dan Palembang.102 Hal tersebutlah yang kemudian membuat pelabuahn Cirebon ramai dikunjungi oleh para pedagang. Pelabuhan Muara Jati mengalami perubahan dan perbaikan serta penyempurnaan bangunan-bangunan yang dipergunakan sebagai fasilitas pelayaran seperti Mercusuar yang dahaulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa yang dibantu oleh etnis Tionghoa. Selain itu, dibagun pula bengkel sebagai tempat untuk memperbaiki perahu yang rusak dengan memanfaatkan etnis Tionghoa ahli pembuat junk yang dahulu dibawa oleh Cheng Ho. Sementara dalam rangka merealisasikan Cirebon sebagai kota pelabuhan, Sunan Gunung Jati melakukan pembangunan pangkalan perahu yang terletak di sebelah tenggara Keraton Cirebon tepatnya di tepi sungai Kriyan. Pangkalan perahu ini dilengkapi dengan gapura yang disebut Lawang Sanga, bengkel perahu, istal kuda kerajaan dan beberapa pos pengamanan.103 Untuk menunjang sarana transportasi dibangunlah sarana transportasi sebagai penunjang pelabuhan, baik akses transportasi darat maupun laut. Pembangunan

100Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 54. 101Cortesao, The Summa Oriental…, h. 27. 102Dartano, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya antara Tahun 1470- 1570 M, (Universitas Indonesia, 1991), h. 18 103Susanti, “Pengaruh Kolonial…,” h. 274-288.

95 akses jalan darat dimulai dari alun-alun Keraton Pakungwati ke arah pelabuhan Muara Jati. Pembangunan akses jalan ini bertujuam agar para pedagang asing atau para utusan dari kerajaan lain dapat dengan mudah masuk ke pelabuhan Muara Jati, atau memudahkan bagi siapa saja yang ingin bertemu dengan Sunan Gung Jati, khususnya dalam urusan pemerintahan. Selain itu, dibentuk juga pasukan untuk menjaga dan memlihara keamanan yang diberi nama Pasukan Jagabaya dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Pasukan ini ditempatkan di pusat kerajaan dan tempat-tempat yang masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Terkait komoditi barang yang diekspor dari Cirebon, naskah Negara Kertabumi menggambarkan dan membantu menjelaskan jenis barang-barang tersebut. Dalam naskah itu disebutkan bahwa: “Pada tahun 1337 Saka (1415M), Muhara Jati kedatangan armada Cina yang dipimpin oleh Cenhuwa (laksamana), Mah-wan (juru tulis), Ong Keng-Hong (juru mudi), Kung Way-Ping (panglima), dan Pey-Sin (juru tulis). Mereka semua adalah utusan Maharaja Cina Yuwang-Lo (Yung-Lo) dari wangsa Ming. Dalam gerombolan itu terdapat beberapa orang pembesar kerajaan Wilwatika yang menjadi duta di Swarnabhumi. Di Muhara Jati armada itu berhenti mendapatkan perbekalan, atas persetujuan kedua belah pihak, di Muhara Jati didirikan sebuah menara sebagai imbalan, pihak Cina mendapatkan perbekalan yang diperlukan berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati”.104 Barang-barang komoditas yang didatangkan ke Cirebon dapat diketahui dari keterangan yang terdapat dalam cerita Purwaka Caruban Nagari seperti logam besi, perak, emas, sutra, dan keramik halus.105 Barang-barang yang diperjualbelikan di pelabuhan Cirebon pasti sama dengan barang-barang yang diperjualbelikan di pelabuhan Kerajaan Sunda mengingat pelabuhan Cirebon sezaman. Mengenai barang-barang komoditi yang ada di pelabuhan Kerajaan Sunda, Cortesao menulis pernyataan Pires bahwa komoditi Kerajaan Sunda yang terpenting adalah beras (mencapai 10 junk setahun), lada (1000 bahar setahun), dan kain tenun yang diekspor ke Malaka. Sementara sebagai barang import bagi Kerajaan Sunda adalah tekstil halus dari Cambay, dan kuda dari Pariaman sebanyak 4.000 ekor pertahun yang diperguankan untuk angkatan perang dan berburu.106 Dalam hal alat tukar menukar yang dipergunakan, pedagang Tionghoa mempunyai peran dominan sebagaimana ditunjukkan bahwa dipergunakannya mata uang Tiongkok sebagai alat tukar menukar utama di Jawa.107 Uang Tiongkok didatangkan langsung dari Tiongkok, bahkan impor mata uang Tiongkok terus berlangsung sampai masa VOC.108 Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa uang Tiongkok dipergunakan adalah terdapatnya keramik Tiongkok, kain sutera,

104Atja, Nagarakretabumi, (Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986), h. 37. 105Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 56. 106Cortesao, The Summa Oriental…, h. 169. 107Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung…, h. 45. 108Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 67.

96 kelenteng dan vihara di setiap pelabuhan yang ada di Jawa. Selain mata uang Tiongkok, alat tukar menukar yang digunakan untuk jalinan perdagangan di Pulau Jawa adalah uang Portugis yang dikenal dengan nama crusados, uang malaka disebut calais dan uang lokal Jawa yang diberi nama tumdaya atau tail.109 Nilai mata uang yang dipergunakan oleh para penduduk Cirebon tidak jelas mata uang mana yang dijadikan standar. Ada beberapa perbandingan nilai dalam mata uang itu, misalnya mata uang Tiongkok yang memilki nilai kecil diberi lubang di tengahnya, sehingga mata uang tersebut dapat diikat mencapai seratus buah. Setiap ikatan memuat 100 keping uang logam yang setara nilainya dengan lima calais Malaka. Sementara mata uang dengan nilai besar terdapat nilai mata uang emas yantg nilainya sama dengan 3000 calais atau 9 crusados.110 Akan tetapi sebelum itu, di Nusantara telah dikenal bentuk uang berupa koin emas dan koin perak pada masa Hindu. Demikian juga pada masa awal Islam, terutama di daearah- daerah pantai yang menjadi jalur perdagangan dikenal beberapa jenis uang seperti di Banten dikenal jenis uang berupa koin tembaga dan perak, Sumenep berupa bahan celup yang dioleskan pada kain yang sudah dipakai, Cirebon dikenal dengan uang yang terbuat dari takaran kecil timah yang disebut picis dan sebagainya.111 Mengenai kondisi obyektif pelabuhan Cirebon yang menjadikannya sebagai kerajaan maritim dan pelabuhan besar yang ramai dapat dilihat sebagaimana dalam catatan Pires bahwa pada tahun 1514 Cirebon merupakan pelabuhan yang baik, setiap waktu ada 3 atau 4 junk (sejenis perahu besar) yang berlabuh di sana, sedangkan lancara (sejenis perahu yang laju jalannya) hanya berlabuh. Junk adalah alat transfortasi yang trekenal di mana-mana, dan hanya dapat menyusuri sungai yang mengalir sejauh 9 mil.112 Junk juga dijadikan sebagai ukuran untuk menetukan besar kecilnya sebuah pelabuhan, selain itu dipakai sebagai alat pengukur kekuatan suatu kerajaan. Semakin banyak junk yang dimiliki oleh sebuah kerajaan, maka kerajaan itu dinilai sebagai kerajaan besar. Sumber lain mengatakan bahwa pada masa itu junk para saudagar Tionghoa sangat terkenal. Tjiptoatmojo mengutip pendapat Eduard Sebberg mengatakan bahwa junk Tiongkok menarik perhatian, tinggi haluan dan buritannya tidak sama, sedangkan bagian tengahnya rendah. Nampak di atas buritan terdapat sejumlah rumah-rumah kecil dan cukup mencolok juga umbul-umbul yang berwarna coreng moreng, kedua layarnya lebar dan tebal terbuat dari sebangsa daun rumput yang diayam.113 Adapun soal perahu lancara termasuk ke dalam jenis perahu muatan barang yang berukuran besar. Pires mencatat mengenai perdagangan Kerajaan Sunda dan Malaka, barang-brang

109Cortesao, The Summa Oriental…, h. 70. 110Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 58. 111Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon…, h. 59. 112E. S. Ekajati, (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984), h. 90. 113F. A S. Tjiptoatmojo, “Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XIX sampai Medio Abad XIX”. (Disertasi Doktoral Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, 1983), h. 91.

97 komoditas Sunda diangkut dengan lancara, yaitu sejenis kapal yang berkapasitas sampai 150 ton.114 Dengan posisinya sebagai kerajaan maritim, Cirebon menjadikan perahu tidak hanya sebagai sarana transportasi dagang tetapi digunakan juga sebagai armada perang. Armada perang Cirebon pernah dikirim ke Demak untuk membantu dalam upaya menumpas armada Prabu Rangga Premana (Ratu Supiturung). Pada saat itu pasukan Cirebon bergabung dengan pasukan Banten, Sunda Kelapa dan Demak yang semuanya berjumlah 3007 armada perahu.115 Karena semakin ramainya pelabuhan Cirebon, masyarakat sekitar pelabuhan mempunyai pekerjaan baru sebagai pengrajin atau pembuat perahu. Sebenarnya teknologi pembuatan perahu sudah dikembangkan oleh para penduduk di sekitar pesisir pantai dan di daerah yang ada sungainya. Perahu selain digunakan sebagai alat transportasi juga mempunyai fungsi dan peranan sosial yang penting, baik sebagai sarana untuk mata pencaharian maupun sebagai sarana kekuatan politik dalam bentuk armada perang. Mata pencaharian sebagai nelayan atau pelaut merupakan salah satu sumber daya yang dimiliki masyarakat Cirebon. Para nelayan ketika itu memiliki arti penting bagi Kerajaan Cirebon, selain sebagai tenaga dalam perolehan hasil laut dan perdagangan di laut, juga berperan sebagai penjaga perairan pantaiberpatroli di selat dan menjaga keamanan para pedagang yang akan singgah di pelabuhan dan berkunjung ke Kerajaan Cirebon. Dengan bertambahnya wilayah kekuasaan Cirebon yang mencakup beberapa daerah pedalaman, ikut mengubah corak kehidupaan kerajaan dari yang semula bercorak kerajaan maritim berubah menjadi kerajaam maritim agraris. Kehidupan bercorak maritim ditunjukan oleh masyarakat nelayan dengan meningkatnya kegiatan perdagangan di wilayah kawasan pelabuhan. Sementara perkembangan kehidupan agraris ditandai dengan meningkatnya kegiatan pertanian yang banyak menghasilkan komoditas hasil bumi.

3. Cirebon sebagai Basis Syiar Islam Gerakan islamisasi adalah bagian dari sejarah Nusantara yang fenomenal. Kedatangan Islam di Nusantara yang kemudian diikuti dengan gerakan islamisasi pada abad ke-13 berperan penting dalam merubah sejarah Indonesia, sekaligus menandai awal era modern di negeri ini.116 Walaupun sejarah kedatangan Islam masih misterius atau dengan kata lain masih diperdebatkan oleh para sarjana, tetapi kenyataannya Islam berhasil menjadi agama yang dianut oleh masyoritas penduduk Nusantara. Tidak hanya itu, dengan jumlah penduduk yang besar, Islam di Indonesia menjadi komunitas Muslim terbesar di dunia dibandingkan dengan jumlah umat Muslim di tempat dimana Islam pertama kali diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sejarah pembentukan Cirebon tidak dapat dipisahkan dari peran penting Islam di masa silam. Islam masuk ke daerah Cirebon secara bertahap mulai abad ke-15. Namun, sebelum berdirinya Kerajaan Islam Cirebon, daerah ini belum merupakan

114Cortesao, The Summa Oriental…, h. 167. 115Ekajati, Sejarah Kuningan…, h. 34. 116M. C. Ricklefs, The History of Modern Indonesia Since c. 1200, vol. 3, (Great Britain: Palgrave Macmillan, 2001), h. 23.

98 pusat penyebaran agama Islam. Titik tolak Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam khususnya di tatar Sunda adalah sejak berdirinya Kerajaan Islam Cirebon. Jika Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran Islam di daerah Jawa Timur, maka Kerajaan Cirebon adalah titik central penyebaran agama Islam di Jawa Barat, terutama sejak Sunan Gunung Jati menjadi memimpin Cirebon.117 Beberapa literatur menyebutkan bahwa proses islamisasi di Cirebon melalui jalur yang sama dengan wilayah lainnya di Nusantara, yakni melalui maritim. Islam pada mulanya datang ke wilayah pesisir Cirebon tepatnya di pelabuhan Muara Jati, wilayah Pesambangan yang menjadi bagian dari wilayah Singapura. Maka, tidak heran komunitas Muslim yang pertama kali muncul di daerah pesisir seperti dalam cerita tiga komunitas Tionghoa Muslim yang berasal dari rombongan Cheng Ho dan Syekh Nurjati yang mendirikan lembaga pendidikan di bukit Amparan Jati, Pesambangan. Para pelaku islamisasi pun baik yang berasal dari kalangan pribumi seperti Haji Purwa maupun di luar wilayah Cirebon datang dengan status sebagai pedaganag yang banyak bergerak di dunia perdagangan.118 Ada beberapa tokoh yang erat kaitannya dengan proses islamisasi di wilayah Cirebon dan sekitarnya, selain penduduk pribumi, juga Syekh Nurjati, Syekh Bayanullah dan Syekh Maulana Maghribi. Kedua pendakwah awal merupakan kakak beradik, putra Syekh Datuk Ahmad Malaka yang menurut penjelasan sejarah memiliki ikatan dengan Syekh Hasanuddin. Syekh Nurjati datang ke pelabuhan Muara Jati lebih lambat, yakni tiga sampai lima tahun setelah kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro ke tempat yang sama. Sementara itu, Syekh Bayanullah datang ke wilayah Cirebon paling akhir dibandingkan dengan para pendakwah lainnya, dan ia sendiri memusatkan gerakan islamisasinya di wilayah Kuningan.119 Dalam konteks di atas, Syekh Nurjati lebih memilih untuk datang ke pelabuhan Muara Jati yang saat itu menjadi entre port ke wilayah Cirebon. Sama seperti apa yang dilakukan Syekh Hasanudin, Syekh Nurjati membangun pesantren yang berlokasi dekat dengan pelabuhan, yaitu di Bukit Amparan Jati, Pesambangan. Lembaga pendidikan Islam inilah yang tercatat sebagai tempat belajar para penguasa Kerajaan Islam Cirebon seperti Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati. Syekh Nurjati tidak melakukan expansi dalam menyebarkan dakwah Islam dan tidak terlibat dalam proses pembentukan Kerajaan Cirebon. Ia tampil sebagai guru spiritual dan penasehat, serta mengajarkan para calon penguasa Kerajaan Islam Cirebon. Sementara peran politik lebih menonjol dan terlihat pada Syekh Abdurrahman (Pangeran Panjunan), Syekh Abdurrahim (Pangeran Kejaksaan), dan Syarifah Baghdad.120 Tahap awal penyebaran agama Islam berlangsung melalui pesantren dalam lingkungan terbatas. Di pesantren, santri dididik menjadi kader-kader penyebar agama Islam. Setelah mereka memiliki atau menguasai ajaran Islam, mereka

117H. M. Ambary, Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997), h. 46-47. 118Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon…, h. 18-19. 119Ekajati, Sejarah Kuningan…, h. 54. 120Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 35.

99 kembali ke daerah masing-masing untuk menyebarkan agama Islam, juga untuk membantu tokoh-tokoh penyebar agama di daerah tersebut. Penyebaran dan pengajaran ajaran Islam di Cirebon dilakukan menggunakan metode dakwah. Sunan Gunung Jati melakukan dakwah Islam dengan berkeliling ke berbagai penjuruh daerah yakni dari satu tempat ke tempat lain di Jawa Barat, hingga mencapai daerah Pagedingan (wilayah barat dan selatan Sumedang Larang), daerah Ukur Cibaliung (sekarang wilayah Bandung), daerah Batulayang, dan daerah Timbanganten (sekarang daerah Garut).121 Dakwah dengan cara berkeliling pada umumnya berlangsung secara efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena didukung oleh dua faktor, yaitu: pertama, dakwah dilaksanakan melalui pendekatan sosial budaya dengan pola akomodatif. Dalam berdakwah, Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang unsur-unsur legenda dan mitos. Kedua, kesalehan dan sikap keteladanan (uswatun hasanah) para penyebar agama Islam. Setelah diajarkan tentang ajaran agama Islam, para mualaf juga diberikan contoh kesalehan sosial dengan memberi teladan bagaimana ajaran agama Islam itu dilaksanakan atau dipraktekkan.122 Dalam melaksanakan dakwah Islam, para penyebar agama Islam memadukan ajaran agama Islam dengan tradisi dan unsur-unsur budaya termasuk kesenian seperti gamelan, wayang, tari topeng, sintren dan lain-lain, yang di kalangan masyarakat dijadikan obyek dakwah. Misalnya, gamelan dimainkan menjelang waktu salat Jumat dengan maksud menarik warga masyarakat untuk berkumpul dan mendengarkan dakwah. Dengan demikian, mereka dapat dengan mudah diajak untuk melaksanakan salat Jumat. Sama halnya di Demak, gamelan dijadikan media dakwah Islam sebagaimana di masa pemerintahan Raden Fattah. Selain itu, pertunjukkan wayang kulit juga digunakan sebagai media dakwah Islam, karena wayang kulit pada dasarnya adalah mitologi orang Jawa. Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga misalnya, mereka menggunakan kesenian wayang dan tari topeng sebagai media dakwah Islam. Dalam pertunjukan wayang kulit, penonton hanya dapat melihat bayang-bayang wayang yang bersifat abstrak. Gambaran abstrak seperti itu mirip dengan syraiat, ilmu kalam dan ilmu fikih. Dalam dakwah dengan menggunakan media wayang, masyarakat ditekankan untuk mengambil pelajaran dari cerita lakon wayang yang berisi sikap dan perilaku, termasuk soal bagaimana tindakan yang harus diambil ketika menghadapi persoalan hidup dan juga cara penyelesaiannya.123 Sedari awal Kesultanan Cirebon sudah menjadi basis bagi pengembangan Islam yang toleran, inklusif, dan moderat. Kesultanan Cirebon menjadikan budaya sebagai alat untuk dakwah. Ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia yang majemuk dan kaya budaya dibutuhkan sikap “tengahan” dalam berbudaya dan beragama. Secara tidak langsung Kesultanan Cirebon telah turut berkontribusi

121Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 36. 122W. Hernawan & Ading Kusdiana Biografi Sunan Gunung Djati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda, (LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020). 123Fahrur Razi, “NU dan Kontinuitas Dakwah Kultural”. Jurnal Komunikasi Islam, vol. 01, no. 02, 2011, h. 161-172.; Anif Arifani, “Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal”, Jurnal Ilmu Dakwah, vol. 4, no. 15, 2010, h. 849-878.

100 dalam peradaban Islam yaitu dengan sikap „tengahan”nya sehingga terbentuk muslim-muslim yang berpaham keagamaan moderat, akomodatif dan inklusif. Ada beberapa jalur penyebaran agama Islam ke daerah Jawa Barat dari Cirebon yaitu pertama: Cirebon, Kuningan, Talaga dan Galuh. Kedua: Cirebon, Kadipaten, Majalengka, Darmaraja dan Garur. Ketiga: Cirebon, Sumedang, dan Bandung. Keempat: Cirebon, Talaga, Sagalaherang dan Cianjur. Sementara daerah lain yang menjadi sasaran penyebaran agama Islam adalah Indramyu dan Tasikmalaya. Jalur dakwah Islam tersebut menunjukkan bahwa islamisasi di sebagian wilayah Jawa Barat berasal dari Cirebon. Penduduk yang mendapatkan dakwah Islam menerima ajaran Islam dengan senang hati karena para penyebar dakwah pandai dan bijaksana dalam melakukan pendekatan dengan penduduk setempat. Dengan demikian, penyebaran agama Islam di beberapa daerah sebagaimana disebutkan berlangsung secara damai.124 Sebelum Islam berkembang di Cirebon, wilayah ini tidak banyak dikenal. Ketika pengaruh Islam di Cirebon begitu kuat, maka barulah Cirebon mulai dikenali dan semakin kuat. Beberapa sumber tradisi sebagaimana dalam naskah Babad Cerbon dan Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa Cirebon pada mulanya merupakan sebuah desa nelayan yang tidak berarti, bernama Dukuh Tegal Alang- Alang atau Lemah Wungkuk. Dahulu wilayah tersebut bernama Lemah wungkuk yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Ia merupakan salah satu kuwu yang diangkat oleh penguasa Pajajaran sebagi kepala pemukiman.125 Kekuasaan Cirebon saat itu meliputi batas Sungai Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah selatan, pegunungan sebelah barat dan junti (Indramayu) di sebalah utara. Penyebaran Islam di wilayah-wilayah luar Pesambangan lebih didominasi oleh peran Pangeran Cakrabuana dengan membangun wilayah Cirebon Larang dan Sunan Gunung Jati yang mendirikan Kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya Pangeran Cakrabuana didukung oleh 52 pengikutnya. Dukungan juga diberikan oleh Ki Danusela yang nantinya bergelar Ki Gedeng Alang-Alang ketika diangkat menjadi kuwu pertama Cirebon Larang. Sementara Raden Walangsungsang bertugas untuk mengurus persoalan sumber daya alam yang ada di wilayah Cirebon Larang.126 Raden Walangsungsang memiliki beberapa gelar seperti Pangeran Cakrabuana, Ki Somadullah yang artinya tempat berlindungnya agama Allah dan Haji Abdullah Iman ketia ia belajar dari Syekh Nurjati dan sudah menunaikan ibadah haji. Pemberian gelar sudah menjadi sebuah tradisi budaya politik di Nusantara untuk melegitimasi kekuasaan atas dasar agama. Oleh karena itu, pangeran Cakrabuana dipandang sebagai penguasa dan pemilik wilayah dan rakyat serta representasi kekuasaan tuhan dimuka bumi yang akan melindungi ajaran Islam dan kaum Muslim. Hal ini juga relevan ketika Cirebon digambarkan sebagai pusat alam semesta (puser bumi). Sementara Sunan Gung Jati sebagai penerus Pangeran Cakrabuana bergelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosullullah Shallollahu Alahi

124Rosyidin, Kerajaan Cirebon, h. 67. 125Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 33. 126Kertawibawa, Pangeran Cakrabuana…, h. 148-149.

101

Wassalam”. Gelar tersebut memiliki banyak makna, baik secara politik ataupun keagamaan. Gelar itu juga menggambarkan tingginya peran dan status serta kekuasaan dan kewenangan di Kerajaan Islam Cirebon. Ia tidak hanya berperan sebagai raja, tetapi juga menjadi referensi ajaran agama Islam bagi masyarakat Muslim.127 Gerakan Islamisasi secara masif baru dilakukan pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati, yang statusnya juga sebagai salah satu anggota Wali Songo. Di awal penulis telah menjelaskan bahwa bahwa tugas utamanya Sunan Gunung Jati adalah mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam seluas-luasnya. Hanya saja, peran Sunan Gunung Jati berbeda denga para wali lainnya, Sunan Gunung Jati mempunyai kekuasaan penuh dengan status sebagai raja. Maka itu, gerakan dakwah Islam tidak hanya dilakukan sebagaimana Sunan Bonang dan Sunan Giri yang mendirikan pusat pendidikan Islam, tetapi juga menggunakan bala tentara Kerajaan Islam Cirebon. Hal inilah yang mungkin membenarkan pendapat Ricklefs yang mengatakan meskipun secara umum dakwah Islam di Nusantara dilakukan secara damai, tetapi bukan berarti tidak ada yang menggunakan pedang atau dengan cara perang.128 Hal ini dapat dilihat saat Sunan Gunung Jati mengislamkan Luragung, ia menggerakan pasukan untuk menaklukan Kerajaan Hindu Luragung.129 Begitupun, ketika ia mengirim anaknya Maulana Hasanudin (Pangeran Sabakinkin) untuk mengislamkan masyarakat yang ada di wilayah Banten dan Sumatera bagian selatan. Dengan demikian, di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Cirebon menjadi salah satu basis syiar dan kejayaan Islam. Pada masa itu, terjadi beberapa penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah seperti Indrmayu, Karawang, Bekasi, Tanggerang dan Serang Banten, termasuk takluknya beberapa kerajaan seperti Kerajaan Galuh (1528) dan Kerajaan Talaga (1530). Selain itu, bukti kejayaan Cirebon dapat dilihat pada bangunan fisik seperti Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan), Pelabuhan Muara Jati, Mesjid Agung Sang Ciptarasa dan sebagainya. Sejak Syarif Hidayatullah tinggal di Keraton Pakungwati, tempat ini menjadi awal mula dari semua kegiatan perkembangan Islam secara luas dan masif. Dalam sistem pemerintahan diterapkan nilai-nilai Islam untuk mengelola Kerajaan Islam Cirebon. Sebagai seorang pimpinan politik dan agama, struktur kenegaraan yang didasarkan pada paham kekuasaan religius. Sang pemimpin bukan hanya sebagai manusia biasa, namun memiliki kekuatan supranatural. Raja menjadi medium untuk menghubungkan manusia dengan alam gaib. Dengan demikian, misi pemerintahan Sunan Gunung Jati merupakan perpaduan antara sistem pengelolaan negara dengan dakwah agama Islam sehingga aspek-aspek yang ada di pemerintahan, pengendalian masyarakat dan pengembangan agama menjadi satu yang tidak dapat terpisahkan.

127Z. Masduqi, dkk., Islamisasi, Suksesi Kepemimpinan, dan Awal Munculnya Kerajaan Islam Cirebon: Kajian dan Penulisan Sejarah Kesultanan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektur & Khazanah Keagamaan Balitbang Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 126. 128Ricklefs, The History…, h. 17. 129Adeng, dkk., Kota Dagang Cirebon…, h. 29.

102

Pada tahun 1483, Keraton Pakungwati yang dahulu dibangun oleh pangeran Cakrabuana diperluas dan ditambah dengan bangunan-bangunan pelengkap, dan dikelilingi tembok setinggi 2,5 meter dengan ketebalan 80 cm pada areal tanah seluas 20 hektar. Sementara, untuk menjaga keamanan keraton, dibangun tembok setinggi 2 meter mengelilingi Ibu kota seluas 50 hektar. Tembok keliling keraton dilengkapi dengan pintu gerbang.130 Selain itu, upacara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Cirebon mulai diadakan dan dilaksanakan dengan meriah dan secara besar-besaran ketika Sunan Gung Jati diangkat sebagai Wali Kutub pada tahun 1470 M. Perayaan keagamaan tersebut oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Panjang Jimat,131 sekaligus menandai bahwa Sunan Gunung Jati dan keturunannya menempati struktur sosial yang tinggi dan sebagai penata agama.132 Di samping itu, salah satu tempat yang menjadi pusat kegiatan agama Islam di Kesultanan Cirebon adalah Mesjid Agung Sang Ciptarasa. Sunan Gung Jati menjadi raja di Kesultanan Cirebon sekaligus sebagai anggota Wali Songo. Dengan demikian, segala aktivitasnya tidak terlepas dari upaya untuk mendakwahkan ajaran agama Islam. Itu sebabnya, pada 1480 Sunan Gunung Jati mendirikan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di samping kiri keraton dan di sebelah barat alun-alun. Dalam pembangunan Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, Sunan Gunung jati dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Sementara yang menjadi arsitek dalam pembangunan mesjid tersebut adalah Raden Sepat (arsitek Kerajaan Majapahit).133 Adapun dengan informasi mengenai pendirian Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dapat ditelusuri dalam Naskah Kuningan, dijelaskan bahwa: “...Sejarah tanah Sunda menjadi mukmin semua lalu dibangun mushola, Mesjid Agung di Carbon. Para wali diundang, dan kesembilannya sudah hadir yaitu, Sunan Bonang, Pangeran Majagung, Sunan Jati sebagai tuan rumah, Sunan Kalijaga, Syekh Bentong, Syekh Maulana Maghribi, Syekh Lemah Abang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Semua sepakat untuk melaksanakan pembangunan Mesjid Agung di Carbon. Tiga buah amal sudah diselesaikan, yakni pertama membangun negara yaitu negaranya orang shaleh, kedua membangun sabilullah, yaitu memerangi orang kufur dan menjadikannya beragama Islam dengan seizin Allah, dan ketiga membnagun mesjid tempat utuk orang shalat dan seterusnya...”.134 Selain yang dijelaskan dalam naskah di atas, informasi terkait Mesjid Agung Sang Cipta Rasa juga dapat ditelusuri dalam sumber yang menjelaskan bahwa Mesjid Agung Sang Cipta Rasa yang juga Mesjid Agung Pakungwati adalah

130H. Erwantoro, Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon, (Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012), h. 175. 131Lubis, Sejarah Kota-kota, h. 184-185. 132S. Siddique, “Relics of the Past: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java”, (Ph.D. Dissertation, Bielefeld, 1977), h. 91. 133Lubis, Sejarah Kota-kota, h. 45. 134A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Kuningan, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007).

103 sebagai masjid Kerajaan Cirebon. Misalnya dalam Naskah Mertasinga, dijelaskan bahwa: “...setelah penobatan ini Sinuhun Sunan Gunung Jati berkehendak untuk membangun Mesjid Agung Pakungwati yang kelak akan menjadi pusaka di Carbon. Uwaknya diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan untuk membangun mesjid itu. Dari seluruh pelosok negeri telah dikumpulkan kayu yang baik untuk dipakai sebagai tiang. Sunan Rangga sudah mengerti akan keinginan putranya itu. Dengan segera sudah terkumpul banyak kayu-kayu yang diperlukan. Tukangnya berjumlah seratus orang, sebanyak bahan yang ada, atap sirap sudah dipilih, paku dan batu bata sudah terkumpul di Pakungwati. Kemudian Sinuhun Jati berkata kepada Syekh Datuk Kahfi: “Kakanda Datuk Khapi tolong tuliskan surat untuk dikirimkan ke negara Bani Israil, sampaikan kepada Adinda Nurullah agar mengupayakan kayu jati. Mintalah utamanya, yang panjang untuk dijadikannya sakagurunya hanya empat buah saja yang dibutuhkan, satu tiang satu saka dari Mesir sebagai sumbangannya Babu Dampul. Satu dari Bani Israil sebagai sumbangannya Adinda Nurullah, dan satu lagi dari Surandil sumbangannya dari Syekh Bentong. Segera Datuk Kahfi menulis surat tersebut dan mengirimkannya, sementara itu, yang membangun terus bekerja, sambil menunggu datangnya kiriman ke empat kayu sakaguru dari negara Arab...”.135

“... setibanya Sinuhun Jati di Dalem Agung, beliau berkehendak untuk segera mendirikan mesjid yang patakannya sudah didirikan. Semua wali sangat bersemangat dalam membantu pembnagunan mesjid ini. Mereka telah mendirikan rangkanya bersama-sama. Ketika keesokan harinya terjadi perselisihan lagi mengenai arah kiblat. Sebagian mengatakan kurang ke selatan, lainnya mengatakan kurang ke utara, dan lainnya mengatakan sudah tepat arah kiblat. Sehingga kerangka mesjid itu diangkat berpindah-pindah berubah arah setiap kali terdengar pendapat baru. Demikian berlangsung tak habis-habisnya. Sunan Kalijaga memberikan penyelesainnya seperti yang dilakukannya waktu di Demak. Setelah selesai pembangunan Mesjid Agung Carbon semua wali memanjatkan puji syukur dan para wali melakukan shalat subuh. Waktu itu usia Sinuhun Jati 113 tahun, kemudian para wali memberikan sumbangannya untuk mesjid ini. Sunan Bonang menyumbangkan satu tikar yang digelarkan di utara, Syekh Bentong menyumbang satu tikar yang berasal dari Madinah dan digelar di paimaman dan di sebelah utara, Sunan Jati menyumbang satu tikar yang berasal dari Pulau Majeti dan dipasang di tengah paimaman. Sunan Kalijaga menyumbang satu tikar yang digelar di sebelah utara tikar Sunan Purba. Pada waktu itu, semua wali bergantian menjadi imam shalat Jum‟at di Mesjid Agung. Pangeran Makhdum yang menjadi juru qomat shalat Jum‟at. Pangeran Datuk Kahpi yang memegang waman ah sanun-nya (yang mengatur mesjid dalam hal jadwal, shaf shalat), Tuan Jopak dan Tuan Bumi yang melayani, Sunan Panggung,

135A. N. Wahyu, Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Mertasinga, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005), h. 68-99.

104

Pangeran Kajoran, bersama Pangeran Drajat tanggung jawab memeganag hukum-hukum, semuanya diatur dengan persetujuan para wali.136 Mesjid Agung Sang Cipta Rasa menjadi salah satu pusat kegiatan keagaman di wilayah Kesultanan Cirebon. Pembangunan mesjid ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari pusat pemerintahan Kesultanan Islam masa lalu. Keraton, mesjid, alun-alun dan pasar merupakan kesatuan yang membentuk ini kota kuno Kerajaan Islam. Mesjid Agung Sang Cipta Rasa memperlihatkan gaya bangunan tradisional yakni memiliki pintu masuk berbentuk Gapura Bentar, dan denahnya dua tumpang berjumlah ganjil.

C. Masuknya Etnis Tionghoa ke Cirebon Dalam pembentukan komunitas Muslim di Nusantara, Reid sebagaimana dikutip Hidayat berpendapat bahwa adanya hibridisasi di mana pada awalanya label-label etnik seperti Jawa-Melayu yang merupakan keturunan hasil perkawinan campur antara lelaki etnis Tionghoa dengan perempuan lokal yang sudah berlangsung berabad-abad. Telah disebutkan bahwa sejak awal penduduk Cirebon terdiri dari campuran beberapa etnis. Berbagai literatur menyebutkan bahwa sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Cirebon, orang-orang Arab dan Tionghoa sudah ada dan menetap di daerah ini. Diduga kuat beberapa saudagar Arab menetap di pesisir Cirebon sejalan dengan Cirebon menjadi kota pelabuhan, dan bersamaan dengan masuknya agama Islam. Mengenai kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon, pengamat sejarah Jeremy Wijaya mengatakan etnis Tionghoa pertama kali masuk ke Cirebon diperkirakan sejak abad ke-8 yang ditandai dengan pendirian Klenteng Kak Tiao Kak Sie dekat pelabuhan Cirebon sekarang.137 Dengan berdirinya klenteng tersebut, penulis berspekulasi bahwa sebagian besar etnis Tionghoa yang menetap di Cirebon menganut agama leluhurnya, Konghucu. Ketika Cirebon berubah status menjadi Kerajaan Islam, masyarakat Cirebon secara garis besar terdiri dari tiga golongan sosial. Pertama, golongan bagsawan tingkat atasraja atau sultan beserta keluarganya, serta para pejabat tinggi kerajaanelit birokrasi dan agama. Kedua, golongan bangsawan tingkat menengahpegawai kerajaan tingkat menengahkesatria, demang, tokoh agama, saudagarTionghoa dan Arab. Ketiga, rakyat biasa (wong cilik)terdiri dari kelaurga petani, nelayan dan pedagang kecil. Ada juga pendapat yang mengatakan kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon terjadi pada awal abad ke-15, ditandai dengan berdirinya kampung pecinan yang dibangun tahun 1415 oleh anak buah Cheng Ho sewaktu singgah di pelabuhan Muara Jati. Berbagai literatur mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang dibawa Cheng Ho ke Pulau Jawa menetap di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Surabaya, dan Bangil. Sementara kehidupan sehari-hari dari etnis Tionghoa dan Arab yang menetap di Cirebon bercampur dengan penduduk pribumi, bahkan terjadi perkawinan silanglaki-laki Tionghoa dan Arab menikah dengan perempuan pribumi. Kedua etnis asing tersebut masing-masing tinggal secara

136Wahyu, Sejarah Wali…, h. 68-99. 137S. M. Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1977).

105 berkelompokdisebut pecinan (kampung Cina) dan kampung Arab. Dengan demikian, terjadi sebuah akulturasi budaya, termasuk bahasa.138 Eksistensi etnis Tionghoa di Nusantara sebenarnya sudah ada sejak zaman purba. Hal itu didasarkan pada hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar kuno di Jawa, Lampung dan Bantanghari serta Kalimantan yang disimpan di keraton. Selain itu, ditemukan kapak batu yang sedikit dipoles dari zaman neolitikum yang mempunyai persamaan dengan kapak batu giok atau zamrud yang ditemukan di Tiongkok, dan berasal dari zaman yang sama.139 Namun di Nusantara, kedatangan etnis Tionghoa lebih dikenal pada abad ke-15 tepatnya di masa Dinasti Ming sedang berkuasa. Etnis Tionghoa dari Yunan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam terutama di Pulau Jawa. Dengan dipimpin Cheng Ho, armada dan etnis Tionghoa berdatangan ke Nusantara dan mendarat di pantai Simongan Semarang.140 Pelayaran Cheng Ho di Nusantara mempunyai beberapa latar belakang. Pertama, Cheng Ho didukung oleh Dinasti Ming yang mempunyai kekuatan amat kuat. Usaha pertanian serta produk-produk bermutu dan maju seperti kain sutra, porselen, alat besi, dan sebagainya dimiliki oleh mereka. Dalam konteks ini Cheng Ho mendapatkan bantuan material yang cukup dan baik dari Dinasti Ming. Kedua, sejak lama sudah terjalin hubungan erat antara etnis Tionghoa dengan negara- negara Asia-Afrika. Dengan hubungan yang baik itu membuat perniagaan antara Tionghoa dengan negara-negara Asia semakin banyak, utamanya antara pemerintah dan pedagang. Hal ini membuat terbukanya lapangan pekerjaan sebagai awak kapal yang sudah berpengalaman, terlatih dan handal. Ketiga, teknologi mereka dalam membuat kapal sudah semakin maju. Kapal terdiri dari 50-60 kabin dan mampu membawa lebih dari 1.000 penumpang dalam pelayaran jauh. Jangkar perahu begitu besar dan memerlukan 200-300 orang jika hendak mengangkatnya. Badan kapal merupakan sususnan ruang-ruang yang terpisah satu sama lainnya. Meskipun terbentur kencang dan sebagainya, kapal tidak akan mudah tenggelam bila hanya sebagian saja yang rusak.141 Pengiriman armada yang dipimpin Cheng Ho bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara.142 Mengingat lokasi ini banyak diganggu oleh bajak laut. Selain itu, Dinasti Ming ingin mempromosikan kejayaan dinastinya, serta mengembangkan pengaruh politik dan militernya kepada negara-negara Asia. Ketika memimpin pelayaran, Cheng Ho membawa pasukan yang banyak, tiap armada terdiri dari 62 buah kapal yang disebut bao chuan (kapal harta). Kapal besar yang dibawanya berukuran: panjang 132 meter dan lebar 54 meter. Kapal ini

138H. J. de Graaf, dkk., Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1998). 139B. G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2008), h. 25. 140A. Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (The Chinese Muslim Community in Indonesia), (Semarang: Tanjung Sari, 1979), h. 57. 141K. Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), h. 12. 142Hidayat, Masyarakat dan Kebudayaan…, h. 76.

106 mampu membawa 27.800 pasukan dan sejumlah barang-barang, di antaranya emas, porselen, tembikar, karya seni yang indah, dan kain sutra. Barang barang ini kemudian ditukarkan dengan gading gajah, cula badak, kulit penyu, obat-obatan, rempah-rempah, mutiara dan batu-batu permata. Selain kapal penumpang, pasukan armada ini membawa beberapa kapal di antaranya: kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri, kapal tempur, dan kapal patroli cepat yang punya banyak dayung. Kapal-kapal yang dibawa Cheng Ho menimbulkan rasa hormat bercampur kagum, takjum dan takut. Armada-armada ini dipandang sebagai pasukan yang gagah dan unik. Ketika armada kembali ke Tiongkok mereka membawa pulang berbagai macam hadiah dan upeti dari negara-negara yang dikunjunginya. Kedatangan etnis Tionghoa di Nusantara selain adanya pelayaran dari Cheng Ho, juga disebabkan karena bencana alam dan peperangan yang tidak ada henti- hentinya membuat etnis Tionghoa secara nekat meninggalkan negeri mereka dan mencoba nasib baru di negeri orang dengan hanya berbekal buntalan pakaian. Ribuan etnis Tionghoa menyebar ke berbagai penjuru dunia, utamanya di Asia Tenggara. Kondisi tersebut menandakan bagian penting migrasi Tionghoa secara besar-besaran ke seluruh dunia, dan mencapai puncaknya pada abad ke-15.143 Kontak sosial antara etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon menurut penulis terjadi dalam tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad 15, yang ditandai dengan kedatangan Cheng Ho dan para pasukannya. Dalam perjalanannya, rombongan etnis Tionghoa melakukan persinggahan ke beberapa pelabuhan yang ada di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa, termasuk pelabuhan Muara Jati, Pesambangan yang pada saat itu menjadi salah satu bagian wilayah Singapura. Dalam rombongan tersebut, turut serta beberapa tokoh seperti Haji Kung Wu Ping, Ma Huan144 dan Feh Sin. Bahkan Cheng Ho dan pasukannya mendirikan Mercusuar.145 Namun menurut Permadi sebelum kedatangan Cheng Ho dan pasukannya, para utusannya (Tilik Sandi) sudah datang terlebih dahulu ke Cirebon. Para utusan inilah yang memberi kabar tentang kondisi Cirebon yang memiliki air bersih dari gunung Ciremai dan kayu jati. Permadi juga mengatakan bahwa Mercusuar itu sudah dibangun oleh para utusan Cheng Ho sebelum Cheng Ho datang ke Cirebon. Jadi, Cheng Ho datang ke Cirebon memang sudah direncanakan.146 Mengenai kedatangan rombongan Cheng Ho ke pelabuhan Muara Jati, Tim Peneliti Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia merujuk kepada pandangan Mills bahwa kunjungan terjadi pada tahun 1415. Kunjungan ini merupakan rangkaian perjalanan pulang dari kunjungan ke Surabaya menuju

143Graaf, Cina Muslim…, h. 56. 144Menurut Purwaka Caruban Nagari, Ma Huang adalah sekretaris Cheng Ho. Ia datang ke Cirebon bersama rombongan Tionghoa. Di Cirebon ia dikenal dengan nama Muhammad Hasan. Setelah tingal di Cirebon Ma Huang dinikahkan kepada saudara Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng jumajan Jati yang bernama Nyai Rara Rudra. Setelah menikah ia bergelar Ki Dampu Awang. Lihat B. B. Kertawibawa, Pangeran Cakrabuana Sang Perintis Kerajaan Cirebon, vol. 1 (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2007). 145Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 31. 146Wawancara dengan Permadi (Tokoh Mayarakat Tionghoa) pada tanggal 26 September 2019

107

Palembang dan sempat singgah di beberapa pelabuhan di Pulau Jawa, salah satunya Cirebon. Ketika rombongan Muhibah Cheng Ho datang ke Palabuhan Muara Jati, para rombongan disambut oleh penguasa lokal saat itu, yaitu Ki Gedeg Jumajan Jati. Pada perkembangan selanjutnya, Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak buah Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa muslim Hanafi di tiga tempat yaitu di Sarindil, Sembung dan Talang. Masing-masing komunitas itu kemudian diberi tugas. Komunitas pertama ditugaskan untuk mencari kayu jati dan menghasilkan kayu jati untuk memperbaiki kapal, sedangkan komunitas kedua ditugaskan untuk memelihara mercusuar yang sudah dibangun. Sementara komunitas ketiga ditugaskan menjaga dan merawat pelabuhan. Dengan menetapnya kaum Tionghoa Muslim merupakan salah satu cikal bakal lahirnya komunitas Muslim di Cirebon, hingga pada akhirnya mereka mendirikan mesjid sebagai tempat ibadah.147 Namun, dari beberapa wilayah yang ditempati oleh ketiga komunitas Tionghoa sebagaimana di atas, hanya ada satu tempat yang berkembang Islamnya dan masih memegang teguh keimanannya yakni di Sembung. Adapun komunitas Tionghoa Muslim di Sarindil dan Talang banyak yang murtad. Mereka yang tinggal di dua wilayah seperti Sarindil dan Nagari Japura menjadi sepi, bahkan menjadi sebuah tempat untuk pertapaan. Sementara Talang di Singapura yang didominasi etnis Tionghoa pemeluk Konghucumerubah mesjid yang ada di sana menjadi Klenteng.148 Menurut penulis kemunduran itu bisa jadi karena berhentinya muhibbah Laksamana Cheng Ho ke Jawa. Kemudian Haji Tan Eng Hoat (Maulana Ifdhil Hanafi/Pangeran Adipati Wirasanjaya) mengembangkan pemukiman Tionghoa Muslim. Haji Tan Eng Hoat inilah yang kemudian membantu Sunan Gunug Jati menyebarkan dan mengembangkan Islam ke Priangan timur sampai ke Garut, juga ikut membantu Sunan Gunung Jati melawan Kerajaan Galuh. Ponakannya yang bernama Tan Sam Cai alias Muhammad Syafei alias Tumenggung Aria Dwipa Cula juga punya peran penting dalam Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai pernah menjabat sebagai bendahara kesultanan, bahkan ia juga merupakan arsitektur Guha Sunyaragi. Selain sebagai administrator yang baik. Tan Sam Cai berjasa dalam memperkuat Kesultanan Cirebon dengan keuangannya.149 Ia dipercaya oleh Sunan Gunung Jati menjadi bendahara yang cakap dan terpercaya pada masa Panembahan Ratu.150 Tan Sam Cai tidak banyak disebut dalam catatan tertulis sejarah kepurbakalaan Cirebon, akan tetapi perannya secara lisan cukup dikenal di kalangan masyarakat khususnya etnis Tionghoa yang meyakini bahwa Tan Sam Cai berperan dalam Kesultanan Cirebon, tepatnya di masa Sunan Gunung Jati memimpin, bahkan ia sering dikaitkan dengan pembangunan Guha Sunyaragi, selain sebagai salah satu bendara ulung Kesultanan Cirebon. Meski demikian, asal usul Tam Sam Cai masih

147Graaf, Cina Muslim…, h. 34-35. 148Graaf, Cina Muslim…, h. 36. 149Graaf, Cina Muslim…, h. 42-44. 150Rusyanti, “Peranan Tan Sam Cai Kong dalam Sejarah Cirebon”. Purbawidya, vol. 2, no. 1, 2013, h. 105-117.

108 belum jelas sebagaimana De Graaf dalam bukunya mengungkapkan bahwa Tan Sam Cai merupakan sepupu Tan Eng Hoat (Maulana Ifdil Hanafi/Adipatai Wirya Sanjaya).151 Pada saat ia menjadi Menteri Keuangan Cirebon pada tahun 1569-1585, Tam Sam Cai membuka beberapa potensi ekonomi seperti membuka pasar tradisional, melakukan pencetakan mata uang yang berupa emas dan perak baik itu dinar atau dirham. Pada masanya, Cirebon pernah mempunyai percetakan uang receh yang berupa koin mirip Tiongkok kuno. Menurut Iwan Satibi, ketika wafat, Tan Sam Cai sudah keluar dari Islam, sehingga jasadnya di tolak untuk dimakamkan di komplek makan Astana Gunung Jati, namun karena jasa dan kemampuanya sebagai salah satu Menteri Keuangan pada masa Kesultanan Islam, dan lain sebagainya, ia diberi keistemewaan dengan diberikan tanah khusus untuk dijadikan tempat pemakamannya, di daerah Sukalila Utara sekarang.152 Tan Sam Cai diduga kuat berperan penting dalam pembangunan Guha Sunyaragi atau Taman Air Sunyaragi. Salmon berpendapat bahwa pembangunan Gua Sunyaragi adalah salah satu hasil menggeliatnya orang-orang Tionghoa di Cirebon. Walaupun tidak secara langsung meyebut asiteknya adalah orang Tionghoa. Namun, ia menyebut pengaruh orang- orang Tionghoa. Menurut tradisi lokal bahwa sebelah barat guha di bagian sisi terlihat menyerupai muka barongsai dan adanya replika makam Putri Ong Tien yang kemudian menjadi alasan bahwa arsiteknya adalah Tan Sam Cai.153 Selain itu, bukti eksistensi etnis Tionghoa di Cirebon adalah dengan didirikannya Mesjid Talang. Mesjid ini menurut Neor, pada awalnya ketika orang Tionghoa sampai di Cirebon, mereka mendirikan sebuah mesjid yang dinamakan Mesjid Talang untuk tempat beribadahnya Tionghoa Muslim pada masa kedatanagan Laksamana Cheng Ho. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, mesjid ini beralih fungsi menjadi Klenteng.154 Gelombang kedua terjadi pada akhir abad 15 yang ditandai dengan kedatangan puteri Tiongkok yang bernama Ong Tien Nio bersama para pengawalnya dan seluruh barang bawaannya.155 Rombongan orang-orang Tionghoa tersebut sampai di Muara Jati dan bertemu dengan orang-orang keling. Menurut mereka, Sunan Gunung Jati sedang berdakwah di daerah sekitar Gunung Ciremai yaitu Luragung. Akhirnya, rombongan tersebut menyusul ke tempat dakwah Sunan Gunung Jati. Maka bertemulah rombongan Tionghoa dengan Syekh Syarif, Pangeran Cakrabuana beserta para muridnya. Patih Tionghoa kemudian mengutarakan maksudanya untuk

151Tan Eng Hoat menjadi Raja Muda bawahan Kesultanan Cirebon dan berkedudukan di Kadipaten serta menyebarkan mazhab Syafii. Ia meninggal ketika sedang merebut Galuh dan dimakamkan di sekitar Garut dan Ciamis. 152Penolakan pemakaman Tan Cai dilakukan oleh Haji Kung Sem Pak di Gunung Sembung dan berdasarkan permintaan istrinya yaitu Nurleila binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong, akhirnya Tan Sai Cai dimakamkan di sekitar rumahnya. Lihat de Graaf, Cina Muslim…, h. 40-45. 153Mengenai pengaruh orang-orang Cina dalam pembangunan jasa tekhnik bangunan. Lihat Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 23.; dan N. M. Noer, Menusa Cirebon, (Cirebon: Dinas Pemuda dan Pariwisata Kota Cirebon, 2009), h. 298. 154Noer, Menusa Cirebon, h. 300. 155Atja, Carita Purwaka Caruban…, h. 40-41.

109 mengobati Putri Ong Tien dan siap berbakti untuk Syekh Syarif. Kemudian ia menyampaikan lamarannya, dan sebagai bentuk lamarannya, ia menyerahkan 150 pengikut Puteri Ong Tin kepada Sunan Gunung Jati.156 Dengan persetujuan Pangeran Cakrabuana, serta beberapa pertimbangan seperti penyebaran Islam, dakwah dan mempererat hubungan antar negara, maka lamaran Putri Ong Tien diterima oleh Sunan Gung Jati. Pernikahan mereka pun dilangsungkan pada 1481 M, akan tetapi dari pernikahan ini tidak dikarunai keturunan. Pernikahan antara Sunan Gung Jati dan Putri Ong Tin membawa dampak sosial budaya di Cirebon. Banyak pengaruh budaya Tionghoa yang akhirnya menjadi local wisdom.157 Datangnya orang-orang Tionghoa ke Cirebon adalah sekitar abad ke-18, mereka datang sebagai orang-orang pelarian dari Batavia. Kemudian terjadi kerusuhan antara etnis Tionghoa dengan pemerintah Hindia Belanda, yaitu ketika VOC mengalami defisit keuangan yang berakibat kesejahteraan pegawai kolonial Belanda terganggu. VOC kemudian mengeluarkan peraturan kepada etnis Tionghoa agar membayar sebanyak dua ringgit sebagai tanda atau surat izin dalam berdagang. Maka terjadilah kerusuhan yang puncaknya pada 19 Oktober 1740 M.158 Peristiwa itu dikenal dengan Geger Pecinan atau Chinezemoord atau peristiwa Angke. Kejadian ini terjadi ketika para pribumi bersama VOC melakukan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa. Mereka menjarah rumah, gudang logistik, dan menjarah aset-aset yang dimiliki di Batavia. Diperkirakan bahwa 10.000 manusia menjadi korban dalam tragedi ini. Setelah terjadi tragedi Chinezemoord, orang- orang Tionghoa memutuskan untuk menjauhi politik dan hanya berkonsentrasi untuk kegiatan ekonomi. Bahkan mereka menerima dengan sabar kebijakan- kebijakan yang dibebankan kepada mereka yang salah satunya dengan mengisolasi mereka ke dalam perkampungan khusus yang disebut dengan pecinan. Kebijakan ini diambil sebagai upaya untuk membendung kemungkinan bersatunya orang-orang Tionghoa dengan pribumi untuk melawan kolonial Belanda.159 Pada masa pemerintahan Belanda, orang-orang Tionghoa Muslim mengalami kesulitan berkembang karena adanya tekanan dari pihak kolonial. Bahkan, orang- orang Tionghoa Muslim berpindah agama mengikuti orang-orang kolonial yang beragama Kristen. Hal ini disebabkan adanya sebuah sikap permusuhan kepada orang-orang Tionghoa yang menciptakan ketegangan sehingga keamanan menjadi sebuah yang berharga. Dengan memeluk agama yang sama dengan penguasa kolonial. Orang-orang Tionghoa beranggapan akan selamat dan mendapatkan perlindungan serta rasa aman.160

156D. K. Laksmiwati, Putri Ong Tien Mengarungi Samudra Asmara Meraih Cinta Sejati Susuhunan Jati Romantika Caruban Nagarai, cet 2, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h. 12. 157A. Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Depok: Penerbit Kepik, 2012), h. 7. 158Priyanto Wibowo, “The 1740 Racial Tragedy and loss off Batavia Sugarcane Industries”. Paramita, vol. 23, no. 2, 2013, h. 127-136. 159Afif, Identitas Tionghoa Muslim…, h. 53. 160L. Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, (Jakarta: PT. Grafiti Press, 2005), h. 89.

110

Pada abad ke 18, orang-orang Tionghoa berupaya untuk memulihkan citra positif mereka sebagai salah satu rekan kerja strategis yang dapat menjaga kestabilan aktivitas perdagangan. Akan tetapi, pemerintah kolonial memanfaatkan situasi itu dengan memperalat orang-orang Tionghoa sebagai sumber pendapatan untuk membiayai pekerjaan kolonial seperti pembuatan jalan, rumah gadai dan beberapa pembangunan lainnya. Di samping itu, orang Tionghoa menyambut kesempatan itu untuk memperkaya mereka dan menjalankan roda perekonomian serta menjaga hubungan baik dan berusaha memeprtahankan hubungan dengan pihak kolonial.161 Dengan datangnya orang Tionghoa ke Cirebon, mereka melakukan pembauran dengan masyarakat sekitar. Pembauran orang-orang Tionghoa membuat terjadinya akulturasi dan asimilasi di masyarakat. Mereka membawa tradisi, tata kehidupan, serta norma-norma yang berlaku. Mereka tetap teguh dan mempunyai sikap fanatisme terhadap kepercayaan leluhur. Tionghoa Muslim melakukan aktivitas ritual keagamaan dan tardisi adatnya masih dipegang kuat. Hal ini merupakan bukti bahwa mereka masih melakukan penghormatan kepada leluhurnya sekaligus sebagai momen untuk menjaga keharmonisan sesama keluarga walaupun berbeda keyakinan. Aktivitas budaya orang Tionghoa dapat dilihat dari Barongsai, perayaan Imlek dan Cheng Beng, ataupun seperti Tionghoa Muslim yang memperingati perayaan Idul Adha dan Idul Fitri. Walaupun sebagai warga pendatang, etnis Tionghoa mempunyai keahlian di bidang ekonomi dari pada orang-orang pribumi. Mereka kebanyakan mempunyai sifat ulet, rajin, hemat dan dapat dipercaya ketika berdagang. Mereka sebagian berprofesi sebagai pedagang di berbagai pusat perdagangan. Meskipun sudah memeluk Islam, kepercayaan Tri Dharma yang sudah melekat dan sejalan dengan nilai-nilai Islam tetap dilestarikan yaitu sifat dapat dipercaya sehingga mereka dapat dipercaya dalam bidang perdagangan.162

161P. Wibowo, “Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas”. In Proceeding of The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity, and Future”, vol. 13, 2012. 162P. S. Sopiah, “Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim Tionghoa Cirebon”. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 5, no. 2, 2017, h. 152-173.

111

112

BAB IV RELASI SOSIAL-BUDAYA ETNIS TIONGHOA DAN MASYARAKAT CIREBON

Pembahasan tentang relasi sosial-budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon erat kaitannya dengan bab-bab sebelumnya, dan mengantarkan kajian ini pada bab inti pembahasan. Bagian ini secara khusus menjelaskan bagaimana budaya Cirebon dan corak budaya Tionghoa serta pergumulan antara kedua budaya tersebut. Pembahasan ini penting disajikan agar kita mendapat gambaran tentang setting sosial yang terjadi pada saat itu, dan juga corak budayanya, sehingga penggunaan ornamen-ornamen Tionghoa yang begitu kuat melekat pada beberapa budaya material di Cirebon dapat dianalisis secara komprehensif.

A. Mengenal Budaya Cirebon Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.1 Mengacu pada definisi tersebut, budaya Cirebon merupakan produk dari cipta, karsa dan rasa manusia Cirebon. Budaya akan terus berkembang karena akan mengakomodir semua hal yang berkembang dan hidup di daerah tersebut dan juga budaya yang datang. Budaya Cirebon dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh agama Islam. Berbagai praktek ritual dari adat Cirebon diwarisi turun temurun dan dilestarikan sampai sekarang oleh masyarakat Cirebon. Di antara adat yang masih dilestarikan dan bisa disaksikan adalah Suroan, Saparan, Mauludan,2 Rajaban, Ruwahan, Syawalan,3 Slametan,4 Khitanan dan lain sebagainya. Beberpa tradisi tersebut dianggap oleh masyarakat Cirebon sebagai bagian dari ritual tambahan yakni ritual agama Islam. Ritual tambahan sebagaimana di atas, bukan termasuk ibadah dalam makna yang sempit. Yani mengatakan simbol-simbol budaya itu hanya dimengerti oleh masyarakat yang bersangkutan, karena pada dasarnya kebudayaaan itu merupakan reaksi manusia terhadap lingkungannya dan masalah yang dihadapinya. Setiap daerah atau negara memiliki budaya masing-masing yang mungkin berbeda atau sama dengan daerah lainnya. Sebagai contoh pemeluk agama yang sama, namun

1Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981), h. 180-181. 2E. Wijayanto & S. R. Soekarba, ―The Cultural Evolution of Local Islamic Values on the Muludan Tradition in Cirebon: A Memetics Perspective‖. International Review of Humanities Studies, vol. 4, no. 2, 2019.; M. Yusuf, ―When Culture Meets Religion: The Muludan Tradition in the Kanoman Sultanate, Cirebon, West Java‖. Al Albab-Borneo Journal of Religious Studies (BJRS), vol. 2, no. 1, 2013. 3A. Afghoni, ―Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan di Makam Gunung Jati Cirebon)‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 13, no. 1, 2017, h. 48-64. 4B. Busro & H. Qodim, ―Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di Cirebon, Indonesia‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 14, no. 2, 2018, h. 127-147.

113 dalam melaksanakan ajaran agamanyabukan ibadah mahdhahberbeda-beda karena pengaruh budaya lokal masing-masing daerah.5 Cirebon secara semiotik berasal dari kata Caruban. Di dalam naskah Purwaka Tjaruban Nagari kata Caruban tertulis secara eksplisit yang artinya campuran. Cirebon dari sejak awal sudah didesain sebagai salah satu pusat masyarakat dan kebudayaan Islam. Itu dilakukan Ki Somadullah atau lebih populer sebagai Pangeran Cakrabuana yang mewarisi jabatan Kuwu dari mertuanya atas instruksi dan perintah dari gurunya Syekh Nurjati. Dengan demikian di bawah bimbingan Syekh Nurjati, para penguasa Cirebon sudah sejak awal membangun struktur masyarakat berbasis ajaran Islam, menerapkan hukum Islam meski dengan segala keterbatasan, membangun basis politik Islam, dan membangun kebudayaan lokal yang telah mengalami banyak penyesuaian dengan prinsip dan ajaran Islam. Budaya Cirebon adalah merupakan produk dari cipta, karsa dan rasa masyarakat Cirebon. Budaya Cirebon khas dan unik, berbeda dengan budaya lainnya meskipun dari sumber mungkin hampir atau bahkan sama. Sebagai bagian dari produk sejarah, tentunya harus disadari dalam transmisi mengalami proses negosiasi dan adaptasi dari waktu ke waktu. Sebagaimana dalam banyak literatur, budaya Cirebon adalah hasil akulturasi budaya Jawa, Sunda, Tionghoa dan Islam secara harmonis dan menawan. Kehidupan masyarakat Cirebon berjalan dengan damai dan tertib berlandaskan prinsip toleransi dan harmonisasi yang divisualisasikan dalam berbagai wujud budaya material maupun non material. Cirebon sebagai pelabuhan internasional bisa dikatakan sebagai melting pot berbagai kebudayaan negara yang pernah berlabuh. Ragam suku, etnis, agama dan budaya yang berkembang sejak awal munculnya di Nusantara khususnya Cirebon berimplikasi bagi lahirnya ragam budaya dan produknya sebagaimana tergambar pada budaya kesenian, tradisi keagamaan, hingga kuliner. Selain itu, hubungan antara etnis Tionghoa dan Kesultanan Cirebon mengakibatkan terjadinya pembauran budaya yang dipresentasikan dalam benda-benda bersejarah yang sarat dengan ornamen Tionghoa. Sebagai Kesultanan Islam, pada perkembangannya nilai-nilai Islam sangat mewarnai budaya Cirebon. Islam merupakan elemen utama dalam proses pembentukan identitas budaya Cirebon dan perkembangannya. Ambary mengatakan bahwa tamaddun Islam memberikan kontribusi penting terhadap penampakan dan kenampakan keragaman dan keunikan budaya Cirebon.6 Berbeda jika dibandingkan peran Islam dalam konteks kebudayaan lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Islam berperan sangat kecil dalam proses pembentukan dan pengembangan budaya lokal. Hal itu terjadi karena sebelum Islam hadir di kedua tempat itu, sudah ada budaya dan tradisi lokal yang sangat dominan dan berpengaruh pada masyarakat setempat. Artinya, nilai- nilai dan prinsip lokal sudah lebih dulu mengakar kuat sebelum datangnya agama-

5A. Yani, ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196. 6H. M. Ambary, ―Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran Islam‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 44.

114 agama, termasuk Islam. Agama-agama yang datang tidak menghilangkan nilai dan prinsip-prinsip kejawaan mereka. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Islam berperan penting dalam proses pembentukan budaya Cirebon. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Islam yang ditampilkan adalah Islam yang terbuka, fleksibel, dan menerima adat istiadat lokal. Di sini prinsip Islam dibahasakan dengan bahasa dan cara pandang lokal, tetapi tidak kehilangan nilai dan prinsipnya. Hal itu terlihat pada wayang, tari, gamelan7 dan sebagainya yang banyak dipengaruhi oleh wacana keislaman.8 Peta politik Cirebon ikut berperan dalam menentukan warna dan wajah budaya Cirebon. pada masa Sunan Gunung Jati hingga Panembahan Ratu, kedudukan dan wibawa Cirebon sangat dihormati oleh banyak daerah, teutama Banten dan Mataram.9 Pasca Sunan Gunung Jati, telah terjadi banyak perubahan disebabkan konflik internal maupun intervensi eksternal. Pada masa Panembahan Ratu tidak berbeda jauh dengan masa Sunan Gunung Jati, meski dapat ditemui perbedaan dalam beberapa aspek. Panembahan Ratu digambarkan sebagai sosok yang soleh, mencintai kehidupan sufistik dan berwatak Waliyullah. Untuk itu ia tetap mempertahankan kehidupan agama yang ―asli‖ sebagaimana yang diamalkan buyutnya, seperti mempertahankan kebiasaan untuk tetap salat Jumat dan salat Idul Fitri di Masjid Agung Cipta Rasa, serta salat Idul Adha di Masjid Astana di kompleks pemakaman Gunung Jati.10 Pasca pecahnya Kesultanan Cirebon pada 1677, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai memanfaatkan kondisi tersebut dan menanamkan pengaruhnya. VOC dengan mudah memengaruhi para sultan yang terus berseteru, sehingga para sultan meminta VOC untuk menjadi mediator dalam menyelesaikan konflik internal mereka. Situasi semakin memburuk dengan berhasilnya VOC memaksakan perjanjian dengan semua kekuatan politik di Cirebon untuk menjadi penguasa pelabuhan sekaligus memonopoli perdagangan. Bahkan, setelah berhasil memperkuat monopoli dan basis ekonominya, VOC juga memperkuat intervensi politik dengan cara mengambil peran dalam menentukan jabatan-jabatan strategis dalam kesultanan termasuk tentang posisi sultan. Para sultan tidak lagi memiliki otoritas politik, melainkan tidak lebih sebagai simbol budaya dan agama. VOC menempati status sosial yang sejajar dengan sultan dan keluarganya, bahkan pejabat VOC merasa kedudukannya lebih tinggi dibanding sultan dengan status mereka yang mulai melemah.11

7H. J. Spiller, ―Basic Gamelan Concepts in the Music of Cirebon‖. In Focus: Gamelan Music of Indonesia, (Routledge, 2010), h. 59-86. 8D. N. Rosyidin dkk., Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2013), h. 197. 9Ambary, ―Peranan Cirebon…, h. 39. 10D. N. Rosyidin, ―Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18‖. Jurnal Sosiologi Walisongo (JSW), vol. 1, no. 2, 2017, h. 77-194. 11F. T. Deviani, ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖. Tamaddun, vol. 4, no. 1, 2016, h. 123-146.

115

Pengaruh VOC yang demikian kuat pada Kesultanan Cirebon berdampak besar pada eksistensi sultan, serta memengaruhi semua aktivitas masyarakat Cirebon termasuk kondisi sosial dan budaya. Masyarakat Cirebon yang mayoritasnya beragama Islam dan mempunyai budaya keraton yang kental, mengalami sedikit banyak perubahan ketika VOC menguasai wilayah Cirebon. Perubahan itu tidak hanya terjadi di lingkungan keraton, tetapi juga masyarakat umum baik yang tinggal di pedalaman maupun pesisir mengalami perubahan sosial dan budaya. Budaya keraton tidak lagi pure berasal dari tradisi masa lalu, tetapi sudah banyak dipengaruhi oleh budaya Eropa yg diperkenalkan oleh VOC. Sultan Kasepuhan dan Kanoman secara sengaja banyak mengadopsi budaya Barat seperti pola perilaku, tata cara dan model infrastruktur ala Eropa kedalam lingkungan keraton. Akibatnya, terjadi gap budaya antara budaya keraton yang sudah ―diwarnai‖ Eropa dan budaya masyarakat umum yang masih sederhana dan cenderung egaliter. Dalam konteks itu, menurut analisa penulis wibawa keraton menjadi menurun, sekaligus salah satu penyebab Pangeran Kusumajaya melakukan pemberontakan sebagai bentuk kritik kepada para sultan. Cirebon yang bercorak Kesultanan Islam dan memiliki penduduk yang mayoritas Islam mengalami beberapa perubahan, terutama budaya Cirebon ketika berada di bawah dominasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Perubahan budaya tersebut terjadi di hampir seluruh aspek kebudayaan Cirebon, yang ditandai dengan adanya pengaruh budaya asing Eropa di berbagai peninggalan keraton (infrakstruktur), di samping budaya non fisik yang melekat pada kekuasaan sultan dalam hal pola perilaku dan pengambilan keputuasan. Kalau kita mengacu pada teori kebudayaan Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem pengetahuan, organisasi politik, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.12 Maka, penulis melihat beberapa unsur budaya tersebut, juga ikut mengalami perubahan. Pertama, perubahan dalam budaya organisasi politik. Sebelum kesultanan terbagi menjadi dua, struktur pemerintahan dipegang oleh seorang sultan sebagai penguasa tertinggi yang memiliki tugas pokok menjalankan roda pemerintahan. Sultan biasa dibantu oleh para petinggi kesultanan yang notabene adalah keluarga atau memiliki garis keturunan dari keluarga Sultan. Namun, ketika VOC menguasai Cirebon, struktur pemerintahan mengalami perubahan. Aktivitas sultan diawasi oleh mantri bentukan VOC. Kedudukan sultan sejajar dengan VOC, bahkan secara de facto kedudukannya di bawah pejabat VOC. Segala kebijakan dan keputusan sultan harus sepengetahuan dan seijin VOC. Begitu juga sultan dan seluruh masyarakat Cirebon harus siap menaati setiap aturan dan kebijakan yang sudah ditetapkan VOC.13 Kedua, perubahan dalam bidang teknologi dan peralatan hidup. VOC memperkenalkan saluran air, tempat pembuangan sampah dan limbah kotoran, pembuatan WC dan pemandian umum. Sehingga Cirebon menjadi lebih bersih dan

12Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 203-204. 13Deviani, ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖, h. 123-146.

116 sehat lingkungannya.14 Menurut Hardjasaputra, awalnya VOC menyediakan air bersih itu untuk kapal-kapal yang datang ke Cirebon. Penyediaan air bersih itu diwujudkan pada tahun 1809-1815 dengan dibuatnya saluran air dari sungai Cipager ke sisi barat Cirebon dan ditampung di bendungan di daerah pasar Balong dan dialirkan ke pelabuhan. Di samping itu, bahan material yang digunakan untuk membuat rumah juga mengalami perubahan. Masyarakat Cirebon awalnya menggunakan bambu kemudian bergeser menggunakan batu dan kayu untuk membangun temboknya.15 Ketiga, perubahan sistem mata pencaharian. Sebagai kota pelabuhan, banyak masyarakat Cirebon yang bekerja sebagai nelayan. Mereka menangkap udang untuk dijadikan terasi dan petis sebagai olahan khas Cirebon. Selain itu, mereka juga menagkap ikan dan membuat garam.16 Namun, ketika VOC berkuasa dan menerapkan sistem tanam paksa, maka banyak dari masyarakat yang beralih menjadi petani. Masyarakat dipaksa untuk menanam hasil pertanian yang laku di pasaran untuk dijual kembali. VOC lebih menekankan perdagangan dari pada hasil laut. 17 Keempat, perubahan dalam bidang keagamaan. Kegiatan dakwah dan syiar Islam mengalami penurunan drastis karena VOC melarang para kyai untuk melakukan syiar Islam. Aktivitas mubalig di bawah pengawasan VOC, akibatnya mereka tidak bisa secara leluasa melakukan dakwahnya. Kegiatan dakwah mengalami penurunan, akibatnya syiar Islam ke wilayah pedalaman mengalami kendala yang sangat berarti pada saat itu.18 Kelima, perubahan dalam bidang kesenian. Misalnya dalam motif batik Cirebon. Motif khas batik Cirebon adalah mega mendung yaitu corak berbentuk dan degradasi warna yang menarik. Kehadiran VOC di Cirebon membuat motif batik menjadi lebih berwarna. Kalau sebelumnya hanya ada motif mega mendung dan motif Tionghoa, mulai muncul motif kompeni. Adapun ciri motif kompeni biasanya bergambar tentara kompeni membawa senjata laras panjang atau senapan, ada juga tentang kehidupan petani dan pedagang.19 Namun, hasil

14S. T. Sulistiyono, ―Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996), h. 139. 15A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, 2011), h. 122. 16Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima…, h. 76. 17E. P. Hendro, ―Perkembangan Morfologi Kota Cirebon dari Masa Kerajaan Hingga Akhir Masa Kolonial‖. Paramita, vol. 24, no. 1, 2014, h. 17-30.; Wahyu Iryana, ―Perjuangan Rakyat Cirebon-Indramayu Melawan Imperialisme‖. At-Tsaqafah, vol. 17, no. 2, 2020, h. 373-381. 18A. S. Hardjasaputra dan T. Haris, (ed.), Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15 Hingga Pertengahan Abad ke-20), (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011), h. 124-125. 19A. Nursalim, T. R. Rohidi, T. Triyanto, & S. Iswidiarti, ―Batik Wadasan Motif, Past and Present‖. In Proceeding of International Conference on Art, Language, and Culture, 2017. h. 215-225.; A. S. Patria, ―Dutch Batik Motifs: The Role of The Ruler and The Dutch Bussinesman‖. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, vol. 16, no. 2, 2016, h.

117 penelitian Yani menjelaskan bahwa dalam produk budaya-budaya yang ada di keraton-keraton Cirebon, pengaruh Islam begitu kuat dan terlihat dalam wujud budaya fisik maupun pada teks-teks yang tertulis. Teks-teks yang tertulis pada benda-benda fisik tersebut pada umumnya merupakan penggalan-penggalan ayat al- Quran seperti yang terlihat dalam bendera kebesaran Cirebon dan piring besar yang senantiasa dipanggul pada acara panjang jimat.20 Hasil perilaku dan adaptasi manusia umumnya tergambar pada sisa-sisa bangunan yang ditinggalkan. Adaptasi ialah suatu proses, dan melalui proses itu hubungan-hubungan yang saling menguntungkan antara suatu organisme dan lingkungannya dibangun dan dipertahankan.21 Sisa-sisa bangunan di Kesultanan Cirebon menggambarkan adanya pengaruh unsur-unsur dari suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain. Hal ini memberikan gambaran kemungkinan adanya kontak budaya antara budaya Tionghoa dan budaya Cirebon. Keadaan ini diperkuat dengan informasi yang tertulis di dalam Purwaka Caruban Nagari yang menjelaskan bahwa pada tahun 1415 Cheng Ho dan pasukannya mendarat di pelabuhan Cirebon.22 Budaya Cirebon yang begitu kaya merupakan hasil proses difusi, akulturasi dan asimilasi yang berlangsung sangat lama dan intens dari berbagai kebudayaan yang berasal dari berbagai etnis dan bangsa yang mendiami kota bersejarah ini. Interaksi antar komunitas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menghasilkan proses pembauran yang berkualitas dan alamiah, pembauran yang meliputi berbagai dimensi kehidupan. Pembauran yang lama dan terus menerus menghasilkan suatu masyarakat multikultural. Dengan demikian, penulis melihat budaya Cirebon muncul dengan karakteristik yang unik.

B. Corak Budaya Tionghoa Sebelum penulis menjelaskan tentang budaya Tionghoa, penulis terlebih dahulu akan menguraikan tentang sejarah sebutan Tionghoa. Eddy Lembong menjelaskan bahwa berdasarkan teks pidato Prof. Dr. A.M. Cecilia Hermina Sutami pada tanggal 15 oktober 2008 menjelaskan bahwa kata ―Cina‖ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ―Daerah yang sangat jauh‖. Cecillia juga mengatakan bahwa kata ―China‖ sudah ada dalam buku Mahabharata sekitar tahun 1400 SM.

125-132.; T. Borshalina, ―Development of Entrepreneurship and Sustainable Innovation in Indonesian Small and Medium Enterprises (Study on Trusmi Batik SMEs in Cirebon, West Java, Indonesia)‖. The 11th Asian Academy of Management International Conference 2015, (Universiti Sains Malaysia, APEX, Asian Academy of Management, Majelis Profesor Negara, Yayasan Pahang, 2015). 20O. I. Hariyanto, ―The Meaning of Offering Local Wisdom in Ritual Panjang Jimat‖. International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 6, no. 6, 2017. 21D. L. Hardesty, ―The Use of General Ecological Principles in Archaeology‖. In Advances in Archaeological Method and Theory, vol. 3, (New York: Academic Press, 1980), h. 157-187. 22Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972).; Lihat juga Ma Huan, Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‘eng Chun, (Cambridge: The University Press for the Hakluyt Society, 1970), h. 23.

118

Lebih lanjut Eddy Lembong juga mengatakan bahwa dalam sebuah konferensi yang diikutinya, Prof. Wang Gungwu menegaskan bahwa orang-orang Cina sendiri tidak pernah menggunakan istilah ―Cina/China‖. Istilah Cina/China mulai diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Barat di Nusantara sejak awal abad ke-17. Pada awalnya istilah Cina/China tidak berkonotasi buruk, namun dengan kebijakan penerapan politik Devide Et Impera yang dicanagkan oleh Belanda, akhirnya istilah itu mengalami pergeseran makna dan memiliki konotasi yang buruk. Pada awal abad ke-20, Koran Sin Po yang mewakili orang-orang Cina mengadakan gentleman agreement dengan para pemuka pergerakan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina/China dan menggantinya dengan istilah Tionghoa. Itulah sebabnya semua dokumen historis seperti UUD 1945 dan sebagainya, menggunakan istilah Tionghoa dan bukan Cina/China. Namun, pasca peristiwa G30SPKI, terbit Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, maka istilah Cina/China resmi digunakan kembali.23 Peristiwa G30SPKI 1965 berimbas pada eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia. Sejak peristiwa itu pemerintah menutup seluruh surat kabar dan sekolah yang berbahasa Mandarin. Seperangkat aturan yang cenderung rasispun dikeluarkan pemerintah di masa Orde Baru, antara lain diharuskannya orang-orang Tionghoa untuk mengganti nama mereka menjadi lebih Indonesia, serta dilarang merayakan hari raya orang Tionghoa termasuk juga agama orang-orang Tionghoa. Jadi, pada masa Orde Baru tidak ada lagi perayaan besar-besaran ketika hari raya Tionghoa tiba. Akibatnya, generasi muda Tionghoa tidak lagi mengetahui tradisi kebudayaan leluhur mereka. Kalau diperhatikan lampiran foto dalam buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang karya N. J. Lan, menurut penulis sebenarnya Lan ingin menjelaskan bahwa sebelum masa Orde Baru, etnis Tionghoa dapat melaksanakan penutupan Tahun Baru Imlek dengan sangat meriah. Uraian Nio tentang kuil-kuil Tionghoa yang usianya ratusan tahun secara implisit menggambarkan bahwa sebelum masa Orde Baru, etnis Tionghoa dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarkat sekitar tanpa masalah.24 Namun, berbagai kebijakan diskriminatif pemerintah di tahun 1966-1967 terhadap etnis Tionghoa membuat hampir semua bentuk kebudayaan Tionghoa lumpuh, walaupun secara ekonomi tampak dimanjakan, namun dalam hal kebudayaan mereka dipasung.25 Barulah, sejak ditandatangani Kepres Nomor 12 tanggal 14 Maret 2014, maka surat edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 resmi dicabut dan tidak berlaku. Dengan berlakunya Kepres Nomor 12 tahun 2014, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang

23Diambil dari: http://www.nabilfoundation.org/artikel/9/istilah-cina-china-dan- tionghoa . (Diakses pada 30 November, 2020). 24Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), h. 204. 25M. Herwiratno, ―Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia‖. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h. 78-86.

119 atau komunitas Cina. Sementara untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.26 Kebudayaan Tionghoa mempunyai tiga pilar utama, yaitu pers berbahasa Tionghoa, sekolah-sekolah menengah Tionghoa dan organisasi-organisasi etnis Tionghoa. Tiga pilar utama itu pada masa Soeharto dihapuskan dengan kebijakan asimilasinya. Kebijakan Soeharto ini juga membuat orang Tionghoa secara kebudayaan menjadi ―kurang Tionghoa‖. Kebijakan asimilasi itu berjalan kabur, dan bahkan kadang-kadang kebijakan politik Soeharto malah cenderung anti asimilasi. Contohnya adalah pembedaan antara pribumi dan non pribumimembuat jarak dan sekat itu semakin terlihat, yang justru bertentangan dengan kebijakan asimilasi yang digalakkan. Ketika rezim pemerintah berganti, dan BJ Habibi menggantikan Presiden Soeharto, pintu demokrasi semakin terbuka lebar. Tidak hanya itu, Habibi juga sangat mengapresiasi bangsa Tiongkok sebagaimana dalam republika.co.id, Habibi menyatakan bahwa ―hadiah terbesar bangsa Cina (Tiongkok) ke Indonesia adalah agama Islam‖.27 Bahkan Gus Dur mengatakan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras (Melayu, Austro-Melanesia dan China), sehingga tidak ada keturunan masyarakat asli. Ketiga ras tersebut yang membentuk kebangsaan Indonesia, bahkan Gus Dur sendiri adalah keturunan sebagian China dan sebagian Arab.28 Dengan terbukanya pintu demokrasi di masa Habibi, kebijakan asimilasi Soeharto perlahan- lahan mulai ditinggalkan dan kebijakan yang lebih pluralis mulai diterapkan terhadap etnis Tionghoa. Sehingga pada akhirnya, tiga pilar budaya Tionghoa sebagaimana penulis sebutkan di atas mulai diizinkan kembali sekalipun belum sepenuhnya.29 Kebudayaan Tionghoa adalah salah satu peradaban tertua di bumi.30 Kebudayaan ini dikenal sejak awal peradaban dunia. Kebudayaan Tionghoa adalah seluruh hasil cipta, karya serta produk budaya yang dilahirkan masyarakat Tionghoa, baik masyarakat Tionghoa asli maupun peranakan yang sudah menetap beberapa generasi di negara lain. Adapun kebudayaan Tionghoa Indonesia adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang hidup dan berkembang serta dipraktekkan oleh etnis Tionghoa di Indonesia melalui proses penyesuaian dengan budaya lokal setempat. Ada tiga ajaran yang banyak dipengaruhi oleh kebudyaan Tionghoa, yaitu

26Kemenkumham, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China Tentang Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and the People’s Republic of China on Extradition), (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016). 27―Hadiah Terbesar Bangsa Tiongkok ke Indonesia adalah Agama Islam‖. Didapatkan dari: https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/13/09/27/mtrx43-habibie- hadiah-terbesar-bangsa-cina-ke-indonesia-adalah-islam. (Diakses tanggal 17 Agustus 2020). 28Ali Mustajab, ―Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap China Tionghoa di Indonesia‖. IN RIGHT, vol. 5, no. 1, 2015, h. 153-193. 29L. Suryadinata, ―Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi Ke Multikulturalisme ?‖. Antropologi Indonesia, no. 71, 2003, h. 1-12. 30C. Gan, ―Archaeological Finds and Origins of Chinese Civilization‖. In A Concise Reader of Chinese Culture, (Singapore: Springer, 2019), h. 1-19.

120 ajaran Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.31 Ketiga ajaran tersebut dijadikan masyarakat Tionghoa sebagai landasan dan pedoman dalam berperilaku dan mengatur tata kehidupan mereka sehari-hari.32

1. Taoisme Masyarakat Tionghoa meyakini Taoisme sebagai ajaran yang bisa mendatangkan keberkahan dalam kehidupan manusia. Mereka mengamalkan ajaran Tao dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menjadikan ajaran Lao Tze sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara, serta dalam hal memimpin dan manajemen. Dalam manajemen Tao misalkan, manusia diajarkan agar kreatif, dan kreativitas itu menjadi salah satu budaya Tionghoa yang masih bisa disaksikan sampai sekarang.33 Secara historis, Taoisme merupakan ajaran yang berkembang sejak 300 SM. dibawa oleh Lao Tzu. Melalui ajaran ini Lao Tzu mengatakan seluruh jagad alam raya dan isinya merupakan manifestasi dan refleksi dari Tao yang sempurna. Semua aksi yang dijalankan manusia merupakan pemberian Tao. Dengan kata lain, Tao adalah segala-galanya dalam kehidupan. Lao Tzu menulis sebuah buku Tao te Ching, sebuah buku hikmat yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Tionghoa. Buku tersebut terdiri atas tiga topik, yaitu: 1) Hukum alam, berisi penjelasan tentang bagaimana segalanya terjadi. 2) Cara hidup, memuat penjelasan tentang bagaimana caranya hidup dalam keharmonisan yang disadari dengan hukum alam. 3) Metode kepemimpinan, berisi penjelasan tentang bagaimana caranya memerintah atau mendidik orang lain menurut hukum alam.34 Pada dasarnya, ajaran Taoisme sebagaimana yang diamalkan etnis Tionghoa sangat menekankan keselarasan perkembangan unsur-unsur fisik, sosial dan spiritual serta kesadaran diri dalam kehidupan sehari-hari.35 Manusia diajarkan

31Q. H. Vuong, Q. K. Bui, V. P. La, T. T. Vuong, V. H. T. Nguyen, M. T., Ho,... & M. T. Ho, ―Cultural Additivity: Behavioural Insights from the Interaction of Confucianism, Buddhism and Taoism in Folktales‖. Palgrave Communications, vol. 4, no. 1, 2018, h. 1- 15.; H. Liang, ―Jung and Chinese Religions: Buddhism and Taoism‖. Pastoral Psychology, vol. 61, no. 5-6, 2012, h. 747-758.; L. Silong, ―Threes Types of Confluence among Confucianism, Buddhism and Taoism‖. Journal of Peking University (Philosophy & Social Sciences), vol. 2, 2011. 32L. Hao, ―Goodness: The Ultimate Integration of Confucianism, Buddhism and Taoism in China‖. In Proceedings of the XXIII World Congress of Philosophy, vol. 12, 2018, h. 143-147. 33Y. U. A. N. Ming-ze, ―A Survey on the Relationship History between Buddhism and Taoism in Southeast Guangxi‖. Journal of Yulin Normal University, no. 1, 2016, h. 5. 34F. Yang, ―Taoist wisdom on individualized teaching and learning—Reinterpretation through the perspective of Tao Te Ching‖. Educational Philosophy and Theory, vol. 51, no. 1, 2019, h. 117-127.; M. Daoshan, ―The Distribution and Feature Checking of Interrogative Sentences in Tao Te Ching‖. Linguistics, vol. 4, no. 6, 2016, h. 230-236.; Y. Tang, ―On the Dao De Jing (Tao Te Ching)‖. In Confucianism, Buddhism, Daoism, Christianity and Chinese Culture, (Berlin, Heidelberg: Springer, 2015), h. 153-157. 35Y. Guoqing, ―History of Taoism‖. Rituals and Practices in World Religions: Cross- Cultural Scholarship to Inform Research and Clinical Contexts, vol. 5, 2019, h. 99-112.; N.

121 bagaimana bisa hidup secara harmonis dengan manusia lain dan alam. Menurut ajarannya, manusia baru dapat mengelola alam setelah dia dapat hidup bersahabat dengan alam. Jika dilihat dari perspektif Islam, maka ini berkaitan dengan tugas manusia sebagai khalifah (wakil Allah di bumi)36 sebagaimana dalam al-Qur‘an surat Al-A‘raf [7] ayat 56. Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai khalifah, manusia diberi tugas untuk membangun, mengelola dan memakmurkan alam sesuai dengan kehendak Allah. Jadi, dalam menjalankan fungsinya manusia harus bisa bersahabat dengan alam dan tidak merusaknya.

2. Konfusianisme Ajaran kedua setelah Taoisme adalah Konfusianisme. Ajaran ini dibawa oleh Konghucu, serta lahir dan berkembang di Tiongkok.37 Banyak orang Tionghoa, baik yang berada di Tiongkok maupun perantauan mengikuti ajaran Konghucu. Ajaran ini sangat popular dan banyak mendapat pengikut dibanding ajaran lainnya. Ajaran Konghucu dan budaya Tionghoa sempat ―dibekukan‖ selama masa Orde Baru.38 Namun, pasca reformasi, ajaran ini dihidupkan kembali untuk dianut oleh masyarakat, bahkan budaya Tionghoa boleh ditampilkan kembali di depan umum. Dalam praktiknya, ajaran Konfusius mengatur moral kehidupan manusia, baik hubungan manusia dengan sesamanya seperti hubungan keluarga, suami-istri, anak- anak, juga mengatur hubungan antara negara dan masyarakat. Salah satu di antara ajaran Konghucu adalah yang berkaitan dengan etika, mereka menyebutnya Sang Kang (tiga hubungan tata krama), yaitu hubungan seorang raja dengan menterinya atau hubungan atasan dan bawahan, hubungan ayah dengan anak, serta hubungan suami dan istri.39 Ajaran Konghucu sangat menekankan prinsip kemanusiaan. Manusia harus kembali pada sifat kemanusiaannya yang sejati agar sejahtera lahir batin dan beradab. Sama halnya dengan ajaran moral Konfusius yang juga mengajarkan keharmonisan dengan sesama manusia, terutama antara anak dan orang tua. Seorang anak harus hormat dan tunduk pada orang tua bagaimanapun kondisi orang tua. Jati diri seorang anak dibuktikan dari kepatuhannya pada orang tua. Begitu pula hubungan atasan dan bawahan, raja dan rakyatnya diatur dalam Konghucu.40 Di

K. Okoro, ―Oriental Traditions [Taoism]: A Critical Option for Peace Building Initiative in the Contemporary Society‖. Journal of Social Research, vol. 1, no. 4. 2017. 36C. Kersten, ―The Caliphate‖. In Oxford Research Encyclopedia of Religion, 2019.; A. Alajmi, ―‗Ulama and Caliphs New Understanding of the ―God's Caliph‖ term‖. Journal of Islamic Law and Culture, vol. 13, no. 1, 2011, h. 102-112. 37T. A. Wilson, ―Culture, Society, Politics, and the Cult of Confucius‖. On Sacred Grounds: Culture, Society, Politics, and the Formation of the Cult of Confucius, 2020, h. 7. 38T. E. Muas, ―Restoring Trusts without Losing Face: An Episode in the History of China–Indonesia Relationship‖. Tawarikh, vol. 6, no. 2, 2015.; M. S. Heidhues, ―Studying the Chinese in Indonesia: A long half-century‖. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 601-633. 39X. I. E. Yuhan, & G. E. Chen, ―Confucius‘ Thoughts on Moral Education in China‖. Cross-Cultural Communication, vol. 9, no. 4, 2013, h. 45-49. 40L. Bi, J. Ehrich, & L. C. Ehrich, ―Confucius as Transformational Leader: Lessons for ESL Leadership‖. International Journal of Educational Management, vol 26, no. 4, 2012,

122 samping prinsip etika,41 Konghucu juga mengajarkan lima sifat mulia yang biasa disebut Wu Chang yang harus dimiliki manusia, yaitu: 1) Ren/Jen; cinta kasih, rasa kebenaran, kebajikan, tahu diri, halus budi pekerti, rasa tepo seliro dan dapat menyelami perasaan orang lain. 2) I/Gi; rasa solidaritras, senasib sepenanggungan dan membela kebenaran. 3) Li/Lee; sopan santun, tata krama dan budi pekerti. 4) Ce/Ti; bijaksana atau kebijaksanaan, pengertian dan kearifan. 5) Sin; kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain, serta dapat memegang janji dan menepati janji.42

3. Buddhisme Agama Buddha (Buddhism) adalah sebuah ajaran yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa di negeri mereka, juga di perantauan. Secara historis, agama Buddha merupakan warisan peradaban kuno dari India. Ajaran agama ini mengajarkan agar menjunjung tinggi dan menghargai hak asasi wanita sekaligus menghilangkan kasta-kasta yang ada pada masa itu. Di samping itu, ajaran Buddha juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Ajaran Buddha menekankan kefanaan pada semua benda. Khayalan, ketidak- kekalan, dan sifat tidak sejati dari keakuan, serta persamaan dan persaudaraan semua makhluk. Menurut ajaran ini, jalan untuk sampai pada Sang Buddha itu tidak mudah, butuh perjuangan dan kerja keras, serta disiplin, yakni melalui meditasi dan perenungan yang tinggi sekaligus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menjaga hubungan yang baik dan mengembangkan cinta kasih di antara sesama manusia agar terwujud hubungan yang harmonis.43 Ajaran Buddha juga sangat menekankan kebebasan berfikir yang implikasinya adalah sangat menghargai dan menghormati semua ajaran agama yang ada. Sikap menghormati ini merupakan manifestasi dari spiritual yang tinggi.44 Pengaruh Buddhisme pada masyarakat Tionghoa dapat dilihat dalam praktik meditasi, hidup disiplin, dan hubungan baik sesama manusia, terutama dengan sesama etnis Tionghoa. Demikian juga kasih sayang sesama keluarga dan saling membantu antara teman merupakan perwujudan dari pengaruh Buddhisme dan

391-402.; S. S. Wah, ―Confucianism and Chinese Leadership‖. Chinese Management Studies, vol. 4, no. 3, 2010, h. 280-285. 41X. Ke, ―Person-making and Citizen-Making in Confucianism and their Implications on Contemporary Moral Education in China‖. Re-envisioning Chinese Education: The Meaning of Person-making in a New Age, (London: Routledge, 2015), h. 116-129. 42D. N. Anna, ―Konghucu di Korea Kontemporer dan Sumbangannya Terhadap Kerukunan Umat Beragama di Indonesia‖. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol. 12, no. 2, 2016, h. 239-254. 43S. Y. Wang, Y. J. Wong, & K. H. Yeh, ―Relationship Harmony, Dialectical Coping, and Nonattachment: Chinese Indigenous Well-being and Mental Health‖. The Counseling Psychologist, vol. 44, no. 1, 2016, h. 78-108.; G. Xing, ―Conflict and Harmony between Buddhism and Chinese Culture‖. International Journal of Buddhist Thought and Culture, vol. 25, 2015, h. 83-105. 44F. Hassan, ―A Comparative Approach to Common Ground between Buddhism and Islam‖. European Journal of Scientific Research, vol. 71, no. 4, 2012, h. 514-519.

123

Konfusianisme.45 Ketiga ajaran yakni Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme sangat mewarnai kehidupan etnis Tionghoa, baik di negeri mereka maupun perantauan. Hingga kini, ketiga ajaran tersebut telah melekat dalam kehidupan orang Tionghoa. Kebudayaan dan peradaban Tiongkok dimulai dari sungai kuning. Bangsa Tiongkok selama berabad-abad bergaul dan berinteraksi dengan suku lainnnya di Tiongkok, sehingga terbentuk kebudayaan Tionghoa. Ada 56 etnis berbeda di Tiongkok, mereka saling berinteraksi, berintegrasi dan beradaptasi sehingga membentuk kebudayaan Tionghoa.46 Mereka disebut bangsa Han. Selain bangsa Han, di Tiongkok juga ada bangsa lain seperti bangsa Tibet, Bai, Mongol, Kazakh dan Uighur. Kazakh dan Uighur pada umumnya beragama Islam. Mereka hidup berdampingan dan membentuk bangsa yang besar dan kebudayaan serta peradaban yang tinggi.47 Masyarakat Tionghoa juga terdiri atas banyak marga, kemudian membentuk satu kesatuan yang akrab. Marga merupakan salah satu keunikan sekaligus kebanggan bagi mereka. Bagi masyarakat Tionghoa primitif, yaitu pada masa awal kebudayaan Tionghoa, anak-anak mengikuti marga ibunya yang disebut Xing karena mereka tidak mengetahui siapa ayahnya. Dalam konteks ini, sang ibu merupakan figure central dalam keluarga yang dapat membentuk karakter anak, sebab ibu yang merawat dan mendidik anaknya. Jadi dalam masyarakat Tionghoa primitif, mereka menganut paham matriarkhal.48 Pada perkembangan berikutnya setelah kebudayaan semakin maju dan laki-laki menjadi pekerja utama, maka terjadi alih peran, yakni posisi ibu digantikan oleh ayahnya. Simbol kebanggan dan kekuatan dalam keluarga adalah ayah, karena ayah yang mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Masyarakat Tionghoa mengambil marga dari garis ayahnya atau umum disebut Patriarkhal. Penciptaan marga dalam masyarakat Tionghoa berbeda-beda. Ada yang menggunakan totem, nama wilayah, gelar kebangsaan, maupun nama negara.49 Kebudayaan Tionghoa adalah sebuah kebudayaan yang banyak menyimpan khazanah tentang simbol yang penting dan bermakna bagi kehidupan mereka. Dalam peradaban Tiongkok, simbol-simbol itu sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu dan bertahan sampai saat ini. Sehingga itu, tidak heran jika simbol merupakan karakteristik peradaban Tiongkok yang memiliki banyak makna. Bagi etnis Tionghoa, di mana dan kapan saja, simbol merupakan harapan dan berkah dari kehidupan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Tionghoa juga tidak bisa lepas dari simbol sebagai sebuah anugerah dan motivasi dalam beraktivitas sehari-

45M. D. Coogan, Eastern Religions: Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism, Shinto, (Duncan Baird Publishers, 2005), h. 552. 46R. Hayhoe, ―Encountering Chinese Culture Over Changing Times‖. Education Journal, vol. 47, no. 2, 2019, h. 1-22. 47J. P. Dorian, B. Wigdortz, & D. Gladney, ―Central Asia and Xinjiang, China: Emerging Energy, Economic and Ethnic Relations‖. Central Asian Survey, vol. 16, no. 4, 1997, h. 461-486. 48L. Xiaoxiang, Origins Chinese People and Customs, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003), h. 32. 49Xiaoxiang, Origins Chinese…, h. 34.

124 hari. Simbol-simbol kuno dalam kebudayaan tidak hanya sekedar motif-motif hiasan belaka, bukan sekedar ―seni untuk seni‖, tetapi motif mengandung makna yang dalam dan merupakan motif magis religious.50 Ternyata bagi orang Tionghoa, selain sebagai seni dan hiasan dinding, simbol bisa menjadi motif yang dapat mencerahkan kehidupan mereka sekaligus menjadi harapan bagi kelangsungan hidup bangsa Tiongkok. Lebih jauh lagi, simbol bagi masyarakat Tionghoa ternyata menjadi pandangan hidup, baik dalam aspek politik, ekonomi dan sosial, serta dalam keagamaan mereka. Kebudayaan Tionghoa menyimpan kekayaan simbol-simbol yang telah diamalkan oleh masyarakat Tionghoa sejak ribuan tahun yang lalu. Simbolisme merupakan ciri khas yang akan terus melekat pada etnis Tionghoa dimanapun berada dan sampai kapanpun. Simbol itu bisa mengungkapkan perasaan maupun makna tertentu bagi kehidupan sehari-hari orang Tionghoa. Masyarakat Tionghoa juga percaya kalau simbol bisa membawa berkah bagi kehidupan mereka. Simbol- simbol itu bisa berupa gambar, alam, manusia maupun binatang.51 Di antara simbol- simbol itu, simbol hewan mendapat prioritas dalam kehidupan tradisional masyarakat Tionghoa. Simbolisme hewan mendapat perhatian utama dan memiliki makna yang penting bagi keberlangsungan hidup mereka. Hewan-hewan yang banyak mereka jadikan simbol adalah singa, kuda, ular, dan naga. Dalam kepercayaan mereka, kebudayaan yang disimbolkan dengan hewan-hewan dapat meramalkan masa depan, harapan maupun tantangan. Berdasarkan hal di atas, Konfusius pernah mengemukakan sebagaimana dikutip Herwiratno bahwa kata-kata tidak bisa mengungkapkan kedalaman bahasa, dan bahasa tidak mampu mengungkapkan kedalaman arti. Maka, tidak heran jika bangsa Tiongkok banyak mengungkapkan sesuatu dengan simbol. Simbol-simbol yang sarat makna banyak ditemukan di Klenteng. Di depan, kanan dan kiri Klenteng biasanya ada sepasang arca singa yang bermakna penolak mara bahaya. Patung sepasang naga biasanya ditemukan di atap Klenteng yang melambangkan perlindungan, kekuasaan dan keberuntungan. Naga ikan atau Long Yu bermakna ketekunan dan kerja keras dalam meraih keberhasilan. Burung Phoenix (Hong) sering dipasangkan dengan naga yang bermakna keserasian dan keseimbangan Yin Yang. Hewan Qilin sebagai lambang kebajikan sempurna, umur panjang, kebesaran, kepatuhan, keturunan yang cemerlang dan pemerintahan yang bijak. Kura-kura perlambang umur panjang dan bermartabat. Simbol itu tidak hanya ada di hewan, tetapi juga beberapa tumbuhan dan buah-buahan memiliki makna. Misalnya teratai lambang kesucian, buah apel lambang keselamatan, jeruk simbol rejeki keberuntungan dan pohon pisang sebagai lambang harapan akan banyaknya keturunan.52 Bicara tentang identitas dan budaya Tionghoa akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, adat istiadat, bahasa, geografi, dan karakteristik etniknya dari mana identitas budaya itu berasal termasuk juga politik dan kekuasaan yang sedang

50Ong Hean Tatt, Simbolisme Hewan Cina, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1996), h.1. 51D. Zhang, ―Cultural Symbols in Chinese Architecture‖. Architecture and Design Review, vol. 1, 2018, h. 1-19. 52Herwiratno, ―Kelenteng: Benteng Terakhir…, h. 78-86.

125 berkuasa. Dialek bahasa Tionghoa yang diucapkan oleh sekelompok orang juga menunjukkan perbedaan kebudayaan mereka. Perbedaan budaya itu terutama kelihatan sekali dalam budaya material, budaya makan, adat istiadat, budaya pemakaman yang semuanya itu menunjukkan perbedaan pandangan kelompok tersebut dengan kelompok lainnya. Wang Gungwu dalam Christian mengatakan budaya Tionghoa mudah beradaptasi dengan bahasa, budaya dan agama Barat.53 Sementara Hall mengatakan identitas budaya itu tidak tetap, semuanya tergantung bagaimana memosisikan (positioning) dan diposisikan, dan menjadi subyek sejarah, budaya, serta kekuasaan yang terus berlangsung. Identitas budaya merupakan suatu proses yang tidak akan pernah selesaiselalu dalam proses identifikasi dalam konteks sejarah dan budaya.54 Di dunia yang semakin maju dimana mobilitas masyarakat semakin tinggi, Joseph mengatakan saling ketergantungan ekonomi antar negara tidak dapat dielakkan, perubahan pola imigrasi dan politik yang begitu dinamis membutuhkan pemahaman atas kultur yang berbeda-beda. Dengan kata lain, komunikasi antar budaya menjadi penting.55 Senada dengan Joseph, Liliweri mengatakan bahwa dalam hidup bermasyarakat menuntut seseorang untuk mau berkomunikasi, baik dengan anggota kelompoknya maupun dengan orang diluar kelompoknya. Dalam komunikasi antar kelompok sesungguhnya terdapat proses interaksi dan komunikasi antar budaya, serta antar masing-masing individu yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.56 Pemerintah Indonesia ingin membentuk masyarakat yang memiliki sense of belonging terhadap bangsanya, apapun etnisnya di tengah kemajemukan yang ada, sebuah bangsa yang memiliki kepemilikan bersama, yakni satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan kebijakannya itu adalah dengan mengasimilasikan dan meleburkan etnis Tionghoa ke dalam penduduk pribumi Indonesia. Suryadinata menilai upaya asimilasi tersebut menghadapi kendala karena begitu besar populasi Tionghoa ke Asia Tenggara termasuk Indonesia setelah paruh abad ke-19.57 Namun, sepanjang kebijakan pemerintah terhadap etnis Tionghoa tidak diskriminatif, penulis optimis etnis Tionghoa akan lebih berorientasi terhadap negara dimana mereka tinggal walau kebangkitan kembali ke Tiongkok menguat. Identifikasi budaya mereka dengan Tionghoa akan menipis dan mereka akan terus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Peranan orang Tionghoa dalam penulisan sejarah Indonesia dalam berbagai aspek kurang ditonjolkan, sekalipun bukti sejarah menunjukkan mereka memiliki

53S. A. Christian, ―Identitas Budaya Orang Tionghoa di Indonesia‖. Cakrawala Mandarin, vol. 1, no. 1, 2017, h. 12-14. 54Stuart Hall, ―Cultural Identity and Diaspora‖, dalam Jonathan Rutherford, (eds.), Identity: Community, Culture, Difference, (London: Lawrence and Wishartm, 1990), h. 225. 55A. D. Joseph, Komunikasi Antar Manusia, (Jakarta: Professional Books, 1997), h. 482. 56A. Liliweri, ―Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Etnik di Kupang‖. Dalam A. Liliweri (ed.), Perspektif pembangunan: Dinamika dan tantangan pembangunan Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru, 1994), h. 56. 57Suryadinata, ―Kebijakan Negara Indonesia…, h. 1-12.

126 sumbangsih dan peran serta bagi perkembangan Indonesia, baik dalam bidang keagamaan, kesusasteraan, kesenian, bahasa, olahraga, bangunan, kuliner maupun kedokteran. Sebaliknya, gambaran umum atau stigma yang berlaku di tengah masyarakat pribumi adalah stigma negatif, bahkan mereka dianggap sebagai economic animal yang bersifat oportunis, nasionalismenya diragukan, mereka dianggap egois, dan loyalitas politiknya diragukan.58 Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia menurut Hanggara terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok yang ingin tetap menjaga ikatan politik dan budaya dengan Tiongkok; kelompok yang hanya ingin memelihara ikatan budaya; dan kelompok yang melepaskan diri dari ikatan budaya maupun politik dengan Tiongkok.59 Kelompok atau etnis Tionghoa Indonesia bahkan turut memberikan solusi untuk mengatasi problem sosial agar hubungan antara masyarakat Indonesia dan etnis Tionghoa tidak ada gap dan stigma negatif, serta terwujud hubungan yang harmonis dan rukun. Berbagai usulan yang diberikan untuk mengatasi masalah- masalah ini begitu beragam; ada yang mengusulkan integrasi politik; ada juga yang menyarankan pembauran total sebagai solusi; dan ada juga yang mengusulkan masuk Islam. Peran orang-orang Tionghoa dalam kedatangan Islam di Indonesia telah memicu perdebatan di kalangan akademisi. Secara umum pendapat yang populer adalah dunia Arab berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia, bukan Tionghoa. Pedagang Arab dan Persia yang pertama kali memperkenalkan Islam ke Nusantara, mendirikan komunitas pedagang Muslim asing di kota-kota pelabuhan di seluruh Nusantara. Pendapat populer ini ditentang oleh beberapa sarjana yang berpendapat bahwa Tionghoa juga berperan penting dalam penyebaran Islam di Indonesia, terutama pada abad XV dan XVI melalui perdagangan. Kelompok ini diwakili oleh Parlindungan, Slamet Muljana dan Al Qurtuby. Namun, pandangan Al Qurtuby selangkah lebih maju dengan mengidentifikasi Laksamana Cheng Ho sebagai tokoh kunci. Menurutnya, banyak Muslim dari Canton, Chang-chou dan Ch‘uan-chou yang mengikuti ekspedisi Cheng Ho ke Jawa dan bermukim di kota- kota pesisir utara Jawa seperti Gresik, Tuban, Surabaya, Semarang, Cirebon, Jakarta dan Banten.60 Al Qurtuby juga memperkuat argumennya dengan menggunakan empat sumber sejarah: Pernyataan dari petualang asing;61 catatan-catatan Tionghoa; teks tertulis dan tradisi lisan Jawa; bangunan-bangunan bersejarah dan monumen yang ditemukan di Jawa. Beberapa historiografi Jawa seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandaning Ringgit Purwa, Carita Lasem, Babad Cirebon dan Hikayat

58Khong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok-Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005). 59A. Hanggara, ―Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia‖. Jurnal Equilibrium, vol. 14, no. 02, 2016, h. 71. 60S. Al Qurtuby, ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s Past‖. Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186. 61S. Al Qurtuby menggunakan kesaksian Ma Huan dari Cina, Loedewicks dari Belanda dan Ibnu Batutah dari Magribi.

127

Hasanuddin juga dikutip Al Qurtuby untuk memperkuat peran orang Tionghoa dalam islamisasi di tanah Jawa.62 Pengaruh Tionghoa dapat dilihat di beberapa masjid di Jawa, masjid Cheng Ho misalnya. Muzzaki63 mengatakan bahwa masjid seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun juga berfungsi sosial. Rohman mengatakan bahwa itulah yang dilakukan oleh masjid Cheng Ho, yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat salat sehari-hari orang Islam, namun juga membangun hubungan sosial, persatuan umat dan juga bisa sebagai tempat mempromosikan proses asimilasi dan harmoni antar umat beragama di Indonesia.64 Masjid Cheng Ho juga merupakan sebuah wadah bagi Tionghoa Muslim untuk mengekspresikan identitas budaya dan sosial politik, sekaligus membantu mereka untuk membangun perekonomian dengan aman tanpa adanya intimidasi dari manapun. Dari masjid ini pula, etnis Tionghoa Muslim bisa menjalin hubungan yang baik dengan organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah yang membuat mereka semakin merasa aman secara sosial politik. Menurut Mahfud masjid Cheng Ho juga harus berperan aktif untuk merekatkan harmoni antara orang-orang Tionghoa khususnya, dan etnis Tionghoa Muslim pada umumnya dengan penduduk pribumi.65 Sementara Muzakki mengatakan bahwa konflik yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia karena kaum minoritas ini kurang mampu bernegosiasi dengan budaya lokal.66 Dan ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Ketimpangan ekonomi dan sosial dan persaingann politik menjadi lahan subur untuk timbulnya konflik sosial antara komunitas Tionghoa dan penduduk lokal. Bernegosiasi dengan budaya lokal bukan berarti kehilangan identitas budanya. Komunitas Tionghoa bisa tetap memperkuat identitas budayanya di masjid Cheng Ho.67 Kebudayaan itu sifatnya dinamis dan akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Budaya tidak hanya mencakup produk, namun meliputi suatu proses yang tumbuh kembang bersama rasionalitas lain. Pertemuan antar budaya yang berbeda akan menghasilkan hibriditas kebudayaan yang sulit sekali dikenali batas- batasnya. Boleh jadi juga akan melahirkan kebudayaan baru yang akan lebih cenderung kepada budaya mainstream, atau bisa juga lebih condong kepada budaya marginal. Hibriditas budaya itu bisa disaksikan dalam kehidupan sosial masyarakat

62S. Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003), h. 39-41. 63Muzzaki, ―Cheng Hoo Mosque…, h. 1-29. 64A. Rohman, ―Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy‖. Journal of Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24. 65C. Mahfud, ―The Role of Cheng Ho Mosque: The New Silk Road, Indonesia-China Relations in Islamic Cultural Identity‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 8, no. 1, 2014, h. 23-38. 66A. Muzakki, ―Ethnic Chinese Muslims in Indonesia: An Unfinished Anti- Discrimination Project‖. Journal of Muslim Minority Affairs, vol. 30, no. 1, 2010, h. 81-96. 67R. Rahmawati, K. Yahiji, C. Mahfud, J. Alfin, & M. Koiri, ―Chinese Ways of Being Good Muslim: Fom the Cheng Hoo Mosque to Islamic Education and Media Literacy‖. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 8, no. 2, 2018, h. 225- 252.

128 seperti bahasa, ritual keagamaan, dan pandangan hidup. Proses hibriditas itu bisa terjadi melalui hubungan sosial dan perkawinan silang budaya. Hubungan yang terakhir ini menurut Humaedi adalah yang paling efektif. Perkawinan silang budaya akan menghasilkan pembauran dalam berbagai aspek. Aspek bahasa misalnya, akan ada bahasa yang unik di dalam keluarga disebabkan karena pernikahan. Bisa jadi keluarga tersebut memilih bahasa kebudayaan mainstream ataupun tidak memilih bahasa kedua pasangan, namun memilih bahasa Indonesia.68 Beberapa pemimpin Tionghoa Muslim telah membentuk identitas yang khas melalui hubungan trans nasional dengan Muslim di Tiongkok dan mengonfigurasinya kembali dalam konteks Indonesia. Imajinasi trans-nasional ini bukan bentuk keinginan untuk kembali atau terikat dengan negeri Tiongkok, tetapi lebih merupakan upaya untuk mendefinisikan kembali posisi sosial Tionghoa Muslim di Indonesia. Penulis melihat upaya tersebut sangat wajar, sebab sejak dahulu Tionghoa memiliki hubungan yang erat dengan penduduk pribumi Nusantara yang dalam konteks ini Indonesia. Setiono mengatakan bahwa sejak abad 1-6 SM. yakni pada masa pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang, etnis Tionghoa telah mengenal Nusantara dengan nama Huang-Tse. Jarak tempuh Tiongkok-Nusantara yang jauh memerlukan waktu tempuh satu tahun lamanya, hal itu disebabkan karena pengaruh musim, mereka menggunakan angin muson yang berubah setiap enam bulan sekali untuk berlayar. Menyebabkan banyak orang Tionghoa yang menetap dan kemudian menikahi penduduk Nusantara hingga memiliki keturunan yang kemudian disebut oleh sebagian orang sebagai Tionghoa Peranakan.69

C. Pergumulan Budaya Tionghoa dan Budaya Cirebon Pada bagian ini akan dijelaskan pembauran budaya Tionghoa dan budaya Cirebon. Sejak awal kedatangan etnis Tionghoa ke Cirebon, mereka sudah membaur dengan masyarakat setempat dalam berbagai aspek kehidupan. Hasilnya dapat dilihat dari adanya pembauran alami dalam kehidupan mereka. Etnis Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran, salah satunya melalui pernikahan. Oleh sebab itu, sebagian besar penduduknya sudah menjadi penduduk peranakan, lahir dan menetep di Indonesia, khususnya Cirebon.70 Berbagai kesenian dan upacara tradisi terus dijaga dan dilestarikan masyarakat atau etnis Tionghoa di Cirebon, salah satu contohnya adalah upacara Imlek untuk menyambut datangnya tahun baru dengan dimeriahkan oleh beberapa jenis kesenian atau pertunjukkan seperti Barongsai, Liong dan sebagainya. Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia khususnya Cirebon harus diakui membawa tradisi, tata kehidupan dan norma-norma sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat asal mereka, serta sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhur. Hari S. Gani sebagaimana dikutip Sopiah mengatakan bahwa dalam

68M. A. Humaedi, ―Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon‖. Humaniora, vol. 25, no. 3, 2013, h. 281-285. 69Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 18. 70Diambil dari: https://www.radarcirebon.com/2018/03/23/cirebon-tionghoa- perkawinan-budaya-yang-melekat/ . (Diakses pada 30 November, 2020).

129 melakukan aktivitas budayanya, ada beberapa orang Tionghoa non Muslim dan etnis Tionghoa Muslim yang masih ikut mengelola secara bersama-sama setiap ritual keagamaan, begitu juga dalam menjalankan tradisi dan adat istiadat.71 Dalam konteks di atas, penulis melihat di satu sisi, meskipun sebagian masyarakat sudah menjadi Muslim, namun di sisi lain, aktivitas keagamaan dan budaya tersebut masih dipegang kuat oleh mereka. Di samping kondisi tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap siapa leluhurnya sekaligus dijadikan sebagai momen penting untuk tetap menjaga keharmonisan dan kerukunan bersaudara di tengah karakter keluarga yang pada kenyataannya memiliki keyakinan yang berbeda. Kenyataan tersebut juga menurut penulis memperlihatkan bahwa aktivitas budaya dan ritual keagamaan bisa menjadi wadah interaksi sosial di antara masyarakat yang menganut agama berbeda, juga etnis. Mereka bersikap saling menghormati dan mendukung dalam melakukan tradisi yang terdapat persamaan nilai-nilainya. Aktivitas budaya tersebut dapat ditemukan di Cirebon, baik dalam tradisi orang Tionghoa seperti perayaan Imlek, Barongsai, Ceng Beng,72 maupun sebaliknya yakni pada saat masyarakat Tionghoa Muslim merayakan Idul Fitri, ziarah kubur dan sebagainya. Perlu digarisbawahi, meskipun etnis Tionghoa dianggap sebagi warga pendatang tetapi etnis Tionghoa lebih berhasil dalam bidang ekonomi dibanding masyarakat pribumi pada umumnya. Dalam konteks Cirebon, keberhasilan Tionghoa dalam bidang ekonomi turut memengaruhi stabilitas perdagangan maupun ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah setempat.73 Di samping Cirebon juga masuk dalam salah satu tujuan pariwisata lokal maupun manca negara karena daerah ini menyimpan segenap peninggalan historis masa silam seperti Istana Kasepuhan dan Kanoman, makam Sunan Gunung Jati, Gua Sunyaragi, serta warisan karya batik yang megah seperti batik khas Cirebon yang memiliki motif Mega Mendung dan sebagainya. Sebagian dari apa yang disebutkan adalah merupakan hasil atau produk dari perpaduan budaya etnis Tionghoa dan Cirebon di masa silam, juga mengandung unsur-unsur dan nilai-nilai Islam,74 yang kemudian menarik tujuan wisatawan dan peziarah saat ini. Dengan demikian hal tersebut ikut memengaruhi kehidupan masyarakat Cirebon dalam aspek ekonomi, juga menjadi

71P. S. Sopiah, ―Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim Tionghoa Cirebon‖. Tamaddun, vol. 5, no. 2, 2017, h. 152-173. 72Ceng BengGrave-sweeping day adalah tradisi/festival bagi etnis Tionghoa sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka dengan mengunjungi makam atau kuburan untuk berdoa yang dalam Islam dikenal dengan ziarah kubur. Lihat W. W. Hew, ―Negotiating ethnicity and religiosity: Chinese Muslim identities in post-new order Indonesia‖, (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Department of Political and Social Change School of International, Political and Strategic Studies College of Asia and the Pacific of The Australian National University, 2011), h. 9 & 205. 73A. Jaelani, ―Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme and Creative Economy‖. Journal of Economics and Political Economy (JEPE), vol. 3, no. 2, 2016, h. 264-283. 74Hassan, ―Islamic tourism: The Concept and the Reality‖. Islamic Tourism, vol. 14, no. 2, 2004, h. 35-45.; W. Ritter, ―Recreation and tourism in the Islamic countries‖. Ekistics, 1975, h. 56-59.

130 salah satu sumber pendapatan bagi daerah Cirebon sebagai akibat dari banyaknya para wisatawan yang masuk di daerah ini. Sebagai salah satu daerah di pantai utara Jawa, Cirebon termasuk daerah yang berkembang pesat dalam perkembangan Islam. Ini didukung pula oleh pelabuhan menjadi pertemuan strategis para pedagang dan komunitas lain dengan tujuan berbeda. Secara ekonomi, Cirebon adalah pusat kota sekaligus kerajaan maritim agraria yang lebih fokus pada kehidupan ekonomi perdagangan dan pertanian. Adapun pertumbuhan dan perkembangan kota-kota kerajaan karena beberapa faktor di antaranya faktor geografis, ekonomi, politik, kosmologi dan magis-religius.75 Penulis melihat sebagaimana pandangan umum penduduk pribumi, khususnya bagi masyarakat Cirebon bahwa model awal yang telah melekat dari sifat etnis Tionghoa yaitu rajin, ulet, hemat dan dapat dipercaya di dalam berdagang. Sehingga tidak heran jika sebagian besar di antara mereka adalah termasuk kelompok Hokkian. Usaha-usaha tersebut dapat dijumpai di pusat-pusat perdagangan dan perbelanjaan di daerah Cirebon. Secara umum jenis pencaharian atau pekerjaan yang ditekuni etnis Tionghoa baik Muslim maupun non Muslim adalah pedagang dan pengusaha. Dengan demikian, hal tersebut juga memperlihatkan kepada kita bahwa meskipun sebagian dari etnis Tionghoa telah memeluk Islam sebagai agama yang diyakini, tetapi mereka tetap mengakui ajaran Tri Dharma yang telah memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan etnis Tionghoa, khususnya yang ada di Cirebon. Misalnya, sifat dapat dipercaya membuat keberadaan mereka dalam persaingan ekonomi, khususnya perdagangan selalu maju dan berkembang. Cirebon, sebagai wilayah yang dihuni oleh komunitas budaya Cirebon, memiliki karakteristik unik karena akulturasi antara Hindu, Hindu-Islam, etnis Jawa-Sunda, etnis Arab- Tionghoa, kerajaan Mataram-Galuh Pakuan/Padjajaran, dan Jawa Barat/Jawa Tengah. Selain itu, Cirebon juga merupakan wilayah lintas antar pesisir daerah dan daerah pegunungan/dataran tinggi. Sehingga itu, perlu juga untuk dikemukakan situasi linguistik di Cirebon dalam hal berkomunikasi. Di Cirebon, sejumlah bahasa digunakan, yaitu bahasa Cirebon, bahasa Sunda Cirebon, bahasa Indonesia, dan bahasa asing seperti bahasa Arab, Belanda dan Inggris, serta bahasa Hokkien atau Hokkian.76 Bahasa Hokkian adalah salah satu bahasa yang digunakan secara produktif oleh etnis Tionghoa di Losari, Cirebon (perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah). Akulturasi bahasa dan budaya antara kelompok etnis Tionghoa dan kelompok asli dapat dilihat dari difusi yang jelas dalam cara berpikir dan perilaku kedua kelompok etnis di wilayah tersebut. Penelitian Darheni mengatakan primordialisme antara kelompok etnis asli dan Tionghoa tidak terlihat jelas, yang menunjukkan pembentukan komunikasi dalam

75M. D. Pusponegoro dan N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991). 76Bahasa Hokkien atau Hokkian (sederhana: 闽南语, tradisional: 閩南語) adalah salah satu dari cabang bahasa Minnan (Min Selatan) yang merupakan bagian dari bahasa Han (Tionghoa). Bahasa Hokkien juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan.

131 aspek sosial, ekonomi, pemerintahan, dan kekuasaan.77 Dengan demikian, bahasa dan budaya Jawa (bahasa Cirebon-Jawa) adalah bagian dari budaya Indonesia (termasuk dalam kategori bahasa Melayu), dan juga membuat kontribusinya sendiri terhadap pengembangan adat, upaya untuk memelihara dan meningkatkan nilai kemanusiaan, dan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Menurut Ayatrohaedi bahasa yang digunakan oleh masyarakat adalah bahasa Jawa dengan dialek Cirebon, bahasa Cirebon, bahasa Indonesia (sebanyak yang dibutuhkan), dan bahasa lain seperti bahasa Arab, Tionghoa, dan Bugis. Misalnya, di wilayah Cirebon, baik kota maupun pedesaan, ada daerah dengan penutur bahasa Cirebon-Sunda.78 Sementara Darheni yang melakukan penelitian tentang penggunaa bahasa di Losari, Cirebon mengatakan penggunaan bahasa di Losari, Cirebon memiliki karakteristik yang unik, variasi bahasa Cirebon telah dicampur dengan bahasa Hokkian. Ia menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa lokalbahasa Cirebon-Jawa di Losari sangat memengaruhi perkembangan linguistik di daerah itu, sehingga penutur bahasa Hokkian setempat memiliki karakteristik bahasa mereka sendiri. Sementara itu, kosa kata bahasa Hokkian memengaruhi perkembangan bahasa lokal, tetapi ini terbatas pada salam/panggilan dan angka.79 Setiap kelompok atau masyarakat suku bangsa yang tinggal dan menetap di lingkunggan tertentu memiliki kebudayaannya masing-masing dengan simbol- simbol yang mungkin hanya bisa dimengerti secara tepat oleh masyarakat dalam lingkungannya sendiri, karena pada dasarnya kebudayaan merupakan respon manusia terhadap lingkungan dan persoalan yang dihadapi. Dengan demikian setiap etnis pasti memiliki budaya masing-masing yang mungkin berbeda atau sama dengan etnis lainnya. Misalnya suku Minang80 dan suku Sunda81 yang mayoritas Islam atau suku Minahasa82 dan suku Batak,83 sekalipun memiliki agama dan

77N. Darheni, ―The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese with Javanese Culture‖. KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686. 78Ayatrohaedi, Dialektologi sebuah pengantar (An introduction to dialectology), (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979). 79Darheni, ―The Language Characteristic…, h. 663-686. 80L. K. Alfirdaus, E. Hiariej, & F. Adeney-Risakotta, ―The Position of Minang-Chinese Relationship in the History of Inter-ethnic Groups Relations in Padang, West Sumatra‖. Jurnal Humaniora, vol. 28, no. 1, 2016, h. 79-96.; A. Widyanti, L. Susanti, I. Z. Sutalaksana, & K. Muslim, ―Ethnic differences in Indonesian Anthropometry Data: Evidence from Three Different Largest Ethnics‖. International Journal of Industrial Ergonomics, vol. 47, 2015, h. 72-78. 81D. S. Anshori, ―The Construction of Sundanese Culture in the News Discourse Published by Local Mass Media of West Java‖. Lingua Cultura, vol. 12, no. 1, 2018, h. 31- 38.; A. Hasanah, N. Gustini, & D. Rohaniawati, ―Cultivating Character Education Based on Sundanese Culture Local Wisdom‖. Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2, 2016, h. 231- 253. 82E. Lobja, A. Umaternate, T. Pangalila, H. Karwur, & Y. Burdam, ―The Reconstruction of Cultural Values and Local Wisdom of the Tombulu Sub-Ethnic of Minahasa Community in the Walian Village of Tomohon City‖. In International Conference

132 kepercayaan yang sama, namun kenyataannya masing-masing di antara mereka memiliki tradisi dan tata cara pelaksanaannya yang berbeda. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh dari kearifan lokal (local wisdom)84 masing-masing suku. Selain beberapa suku yang disebutkan di atas, hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Cirebon. Tradisi-tradisi yang berkembang di dalam keraton Cirebon adalah merupakan warisan budaya yang berlangsung turun temurun dari para pendahulu keraton,85 yaitu dari Pangeran Cakrabuana,86 Sunan Gunung Jati terus kepada keturunannya. Kesultanan Cirebon menjadi sebuah kerajaan yang berdaulat adalah pada masa Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan upeti kepada Prabu Siliwangi yang notabene juga adalah kakeknya. Setidaknya ada dua peran yang melekat pada sosok Sunan Gunung Jati, yakni selain sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Kesultanan Cirebon, ia juga merupakan seorang Waliyullah. Sehingga wajar jika terjadi dialektika yang terus- menerus antara institusi keagamaan dan simbol kekuasaan. Dialektika itu terlihat dengan banyak digunakannya simbol Islam dalam upacara atau tradisi kekratonan dan dalam kehidupan masyarakat Cirebon seperti upacara Mauludan berdialektika dengan tradisi Islam yang dikenal sampai sekarang dengan pembacaan Barzanji, marhaban dan sholawat. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa perjumpaan Islam dan budaya dengan komunitas masyarakat Cirebon telah melahirkan budaya masyarakat Cirebon yang religius, tetapi khas dan unik sebagai wujud harmoni dari ritus keagamaan yang berasal dari nilai-nilai Islam dan tradisi setempat.87 Beberapa kajian ilmiah tentang kehidupan orang-orang Tionghoa telah dilakukan. Pada umumnya, kajian-kajian tersebut lebih menekankan pada aspek on Social Science 2019 (ICSS 2019), (Atlantis Press, 2019).; N. Kaliki, ―The Symbol of Traditional Cloths of Kabasaran Dance‖. Linguistic Journal, vol. 6, no. 1, 2018, h. 30-40. 83H. P. Manalu, ―Adat Batak Ditinjau dari Perspektif Iman Kristen‖. Haggadah, vol. 1, no. 1, 2020, h. 32-41. 84H. Habibi, ―Protecting National Identity Based on the Value of Nation Local Wisdom‖. International Journal of Malay-Nusantara Studies, vol. 1, no. 2, 2018, h. 24-40.; R. Sinaga, F. Tanjung, & Y. Nasution, ―Local Wisdom and National Integration in Indonesia: A Case Study of Inter-Religious Harmony amid Social and Political Upheaval in Bunga Bondar, South Tapanuli‖. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 3, no. 1, 2019, h. 30-35. 85―Java, Boordevol Cultuur‖, dalam Algemeen Dagblad, Rotterdam, 18-05-1993, h. 25. 86Selain tradisi-tradisi di dalam keraton, transformasi sosial dan politik dari Hinduisme Pajajaran menjadi Cirebon Islam telah dimulai setelah Pangeran Cakrabumi (juga dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana) mendeklarasikan kemerdekaan Cirebon dari Pajajaran. Ia tidak hanya mendirikan pusat pemerintahan yang independen di Pakungwati, tetapi juga secara aktif menyebarkan ajaran Islam di tanah Cirebon. Salah satu warisannya adalah mesjid kecil yang disebut ―Tajug Jalagrahan‖. Lihat D. Hamdani, ―Cultural System of Cirebonese People: Tradition of Muludan in the Kanoman Kraton Indonesian‖. Journal of Social Sciences, vol. 4, no. 1, 2012 11-22.; D. Wildan, Sunan Gunung Jati: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural (Antara Fiksi dan Fakta), (Bandung, Humaniora Utama Press, 2002), h. 272-273. 87A. Yani, ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon‖. Holistik, vol. 12, no. 01, 2011, h. 181-196.

133 ekonomi dan politik. Gambaran serupa dapat ditemukan pada Babat Tanah Jawi atau Babat Melayu. Meski demikian, kajian-kajian ilmiah tersebut kurang menaruh perhatian pada aspek budaya etnis Tionghoa dalam konteks Cirebon yang pada sebenarnya memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukti arkeologis dan antroplogis menunjukkan bahwa kontak budaya antara etnis Tionghoa, atau Tionghoa dengan penduduk Nusantara atau Indonesia saat ini sudah berlangsung berabad-abad. Beberapa bukti tersebut tampak dari ukiran padas dalam arsitektur keraton dan Taman Air Sunyaragi (Guha Sunyaragi) di Cirebon; ukiran cadas di masjid kuno Mantingan, Jepara;88 menara masjid di Pecinan Banten;89 konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik;90 konstruksi masjid Demak (soko tatal dan lambang kura-kura);91 atau kaitan masjid Kali Angke dengan Gouw Tjay dan masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.92 Dalam banyak segi, fakta ini menunjukkan posisi sosial Tionghoa Muslim dalam struktur komunitas Muslim Indonesia.93 Beberapa di antara mereka menempati posisi sehingga memainkan peran yang strategis dalam pengembangan syiar dan perkembangan Islam di Nusantara, Indonesia saat in, termasuk Cirebon. Internalisasi ajaran Islam awal yang dilakukan oleh Tionghoa Muslim tidak dapat ditentukan secara pasti. Tetapi paling tidak, secara umum dapat dikatakan bahwa proses tersebut telah berlangsung sejak pertama kali mereka datang ke Indonesia. Karena alasan sosial budaya, keberagamaan Tionghoa Muslim erat dengan konteks sosial ekonomi mereka, khususnya sebagai pedagang di perkotaan. Berbeda dengan keberagamaan etnis lain sebagaimana dari Gujarat, jika yang terakhir melakukan mobilitas hingga ke pedalaman, maka Tionghoa Muslim cenderung mengembangkan kehidupan keagamaan mereka di pesisir,94 yang pada waktu itu merupakan pusat perkotaan Muslim.

88S. Al Qurtuby, ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s Past‖. Zheng He and the Afro-Asian World, Chapter 8, h. 171-186.; F. B. Buseri, ―The Role of Chinese Ethnic in Spread of Islam in Indonesia‖. In Proceeding of The International Seminar and Conference on Global Issues, vol. 1, no. 1, 2015, h. 48-54. 89T. E. Darmayanti & A. Bahauddin, ―The Influence of Foreign and Local Cultures on Traditional Mosques in Indonesia‖. In Islamic Perspectives Relating to Business, Arts, Culture and Communication, (Singapore: Springer, 2015), h. 175-183. 90A. Muzzaki, ―Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it from the State‖. CRISE: Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity Working Paper, no. 70, 2010, h. 1-29. 91B. Wiryomartono, ―Patrimonial Figure and Historic Sites in Banda Aceh and Demak‖. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia, (Singapore: Springer, 2020), h. 265-282.; M. N. Rokhman & L. Yuliana, ―History Learning at Secondary School about Demak Kingdom‖. Journal of Social Studies (JSS), vol. 14, no. 1, 2018. 92D. Lombard & C. Salmon, ―Islam and Chineseness‖. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115- 131. 93W. Zhuang, ―Photography and Chineseness: Reflections on Chinese Muslims in Indonesia‖. Inter-Asia Cultural Studies, vol. 20, no. 1, 2019, h. 107-130.; S. Y. Chiou, ―Search of New Social and Spiritual Space: Heritage, Conversion, and Identity of Chinese- Indonesian Muslims‖, (Doctoral Dissertation, Utrecht University, 2012). 94Y. Z. Abidin, ―Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim‖. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, vol. 11, no. 2, 2017, h. 357-368.

134

Cirebon sebagai garis sutra menjadi pusat pelabuhan yang sibuk serta pusat tamaddun Islam yang memiliki beberapa karakter, antara lain, yaitu: pertama, pertumbuhan Islam menghembuskan kehidupan kota dengan pola masyarakat dan persiapan hirarki sosial yang kompleks. Kedua, perkembangan arsitektur baik sakral dan profan, misalnya, Masjid Agung Cirebon, istana Kasepuhan, Kanoman, Kacerbonan dan Kaprabonan, bangunan Siti Inggil mengadaptasi desain dan ornamen lokal termasuk Tionghoa dan Islam. Ketiga, tumbuhnya seni lukis kaca dan patung yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam sangat khas Cirebon, yang antara lain juga menunjukkan adanya unsur-unsur antropomorfik yang tidak lazim dalam seni Islam. Keempat, tumbuhnya dan perkembangan seni seperti tari, batik, musik dan berbagai seni pertunjukan tradisional bernafaskan Islam, ornamen khas awan Cirebon, dan lainnya. Kelima, Cirebon masuk ke jaringan penyiaran Islamis yang dipimpin oleh Wali Songo yang terkenal di pulau Jawa. Keenam, tumbuhnya penulisan teks-teks agama dan pemikiran keagamaan bahwa fisik tetap tersimpan di istana dan tempat lain di Jawa Barat, yang masih membutuhkan peninjauan mendalam. Ketujuh, tumbuhnya proliferasi jemaah syariah di Cirebon yang kemudian melahirkan karya sastra berupa mistik berserat yang mengandung ajaran tujuh wujudiyah atau martabat. Tradisi serat mistisisme kemudian sangat berpengaruh pada penulisan tradisi sastra. Delapan, berkembangnya institusi pendidikan Islam dalam bentuk sekolah agama di Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka dan Kuningan.95 Agama Islam masuk ke Cirebon pada permulaan abad ke-15 bersamaan dengan terjadinya kontak pertama antara orang-orang Arab dan Tionghoa dengan pribumi. Islam pun dikenal oleh masyarakat Cirebon sebagai agama pendatang yang dibawa oleh para pedagang Arab dan Tionghoa. Namun, karena saat itu belum terjadi kontak budaya yang signifikan, penyebaran Islam pun baru terjadi secara masif pada masa Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon. Ketika pertama datang orang- orang Arab dan Tionghoa menempati wilayah pesisir Cirebon. Sebagai pedagang, mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di sana, maka tidak heran jika hanya wilayah pesisir saja yang sejak awal telah mengenal Islam. Secara historis Hubungan orang-orang Tionghoa dengan masyarakat Cirebon dimulai sejak kedatangan Cheng Ho dan pasukannya yang berjumlah kurang lebih 27.000 orang di Pelabuhan Muara Jati pada tahun 1415 M. Menurut Ibnu Bathutah, di setiap Pelabuhan dan tempat yang disinggahi Cheng Ho selalu menempatkan perwakilan dagang, konsul politik dan Gudang-gudang Tiongkok. Namun karena saat itu belum berdiri kerajaan Cirebon dan Pelabuhan Muara Jati hanya sebuah Pelabuhan kecil, Cheng Ho hanya menempatkan orang-orangnya yang mau tinggal di Cirebon. Dalam buku ―Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, De Graaf menceritakan bahwa Haji Kung Wu Ping yang merupakan anak buah Cheng Ho membangun komunitas Tionghoa muslim Hanafi di Sembung, Sarindil dan Talang. Kemudian Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdhil Hanafi alias Pangeran Adipati

95A. B. Lapian & E. Sedyawati, ―Kajian Cirebon dalam Kajian Jalur Sutra‖. Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), (Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan RI, 1997).

135

Wirasanjaya mengembangkan pemukiman Tionghoa muslim.96 Haji Tan Eng Hoat membantu Sunan Gunug Jati menyebarkan dan mengembangkan Islam ke Priangan Timur sampai ke Garut juga ikut membantu Sunan Gunung Jati melawan kerajaan Galuh. Maulana Ifdhil Hanafi alias Haji Tan Eng Hoat menjadi raja muda bawahan Kesultanan Cirebon dan berkedudukan di Kadipaten. Ponakannya yang bernama Tan Sam Cai alias Muhammad Syafei alias Tumenggung Aria Dwipa Cula juga punya peran penting dalam Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai pernah menjabat sebagai bendahara kerajaan, bahkan ada juga yang mengatakan dia merupakan arsitektur Guha Sunyaragi. Tan Sam Cai digambarkan sebagai administrator yang baik. Tan Sam Cai sangat berjasa dalam memperkuat Kesultanan Cirebon dengan keuangannya. Juru kunci makam keluarga Kesultanan di Sembung juga dipegang oleh Haji Kung Sem Pak alias Haji Nurjani.97 Para pedagang asing itu banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menetap di Cirebon. Mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan pribumi. Beberapa orang Tionghoa berperan penting di Kesultanan Cirebon pada periode awal. Keberadaan mereka berdampak pada perkembangan kebudayaan di masyarakat sebagaimana terlihat pada bangunan, kesenian, hingga benda-benda pusaka. Pengaruh tradisi Tionghoa pun cukup kental terasa di Cirebon. Beberapa masjid kuno di sana menggunakan keramik dari Tiongkok untuk hiasan dindingnya. Jumlahnya tidak sedikit dan motifnya pun sangat beragam. Keramik-keramik itu didatangkan langsung dari Tiongkok. Sebagian besar dibawa oleh para pedagang, sementara sisanya didapat dari utusan raja. Namun, ada juga yang dibuat oleh etnis Tionghoa yang sudah menetap di Cirebon. Tidak hanya di masjid, keramik-keramik Tiongkok juga menghiasi bangunan publik lainnya, bahkan di makam Sunan Gunung Jati pun tersebar hiasan-hiasan keramik Tiongkok. Hal itu diperkuat dengan keberadaan istri Sunan Gunung Jati yang berdarah Tionghoa, yakni Ong Tien Nio. Selain itu, nuansa Tionghoa juga terlihat pada salah satu motif batik Cirebon, yakni mega mendung. Sementara Hardjasaputra menyebut bahwa gambaran naga pada kereta pusaka Kesultanan Cirebon sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Tionghoa. Namun, Hardjasaputra mengatakan selain menyerap budaya luar yang bersifat positif, diduga sebagian warga masyarakat Cirebon juga menyerap budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya adalah arak.98 Pendapat Hardjasaputra didasarkan pada keberadaan pabrik arak di Cirebon yang dikelola oleh etnis Tionghoa. Dalam ―Eenige Offciele Stukken met Betrekking tot Tjirebon‖, laporan resmi pemerintah Belanda yang ditulis Brandes menyebut

96 H.J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV Dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos,(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 19..),h. 34-36. 97 97 H.J. de Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa…, h. 42-44. 98A. S. Hardjasaputra, Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Penerbit Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, 2011).

136 kebiasaan minum minuman keras telah menjadi budaya di pelabuhan-pelabuhan Cirebon yang dibawa oleh para pedagang dari mancanegara.99 Setidaknya ada tiga tahapan kedatangan etnis Tionghoa di Cirebon yang dimulai dari tahun yang paling awal, yaitu: Pertama, sekitar tahun 1415 M, dengan adanya rombongan Laksamana Ceng Ho yang datang ke Cirebon bersama armada angkatan lautnya dengan membawa 63 Perahu yang memuat 27.800 orang yang terdiri dari perwira, prajurit, tabib, para ahli perbintangan, dan para penerjemah.100 Kedatangan Laksamana Ceng Ho mungkin juga meninggalkan masyarakat Tionghoa pertama di Cirebon. Menurut Huang dalam bukunya Budaya Etnis Tionghoa Cirebon mengatakan bahwa ketika Laksamana Ceng Ho beserta rombongannya termasuk Ma Huan, dalam perjalannanya ke Majapahit dan mampir ke Cirebon selama 7 hari 7 malam mereka meninggalkan beberapa rombongannya di daerah ini, bahkan dikatakan juga, Ma Huan telah menikahi seorang wanita yang masih punya tali persaudaraan dengan Ki Gedeng Tapa (Penguasa Pelabuhan Cirebon) yang bernama Nyai Rara Rudra.101 Kedua, sekitar akhir abad 15, Cirebon didatangi oleh Putri Ong Tien yang memiliki tujuan untuk mencari Sunan Gunung dan menikahinya.102 Tujuan Putri Ong Tien mencari Sunan Gunung Jati karena untuk menyembuhkan perutnya yang kelihatan hamil. Yang awal ceritanya ketika itu sunan Gunung Jati pergi ke negeri Tiongkok untuk berdakwah. Di sana Sunan Gunung Jati terkenal sakti dan kerap menyembuhkan orang sakit yang pada akhirnya Raja Tiongkok mencoba kesaktian Sunan Gunung Jati dengan cara menebak isi perut putrinya yang ketika itu terlihat membuncit karena adanya buntelan kain yang sengaja di pasang oleh putri itu dengan perintah raja. Ketika Sunan Gunung Jati menjawab bahwa perut itu membuncit karena hamil, Raja Tiongkok itu langsung ketawa dan langsung memerintahkan Sunan Gunung Jati pergi dari negeri Tiongkok. Pasca Sunan Gunung Jati pergi, ternyata Putri Tiongkok menjadi benar-benar hamil. Raja Tiongkok pun langsung menyuruh prajuritnya untuk menyusul Sunan Gunung yang telah diusirnya, Sunan Gunung Jati tidak bisa ditemukan karena mungkin sudah pergi dari negara Tiongkok yang pada akhirnya putri tersebut mencari sendiri sampai ke daerah Cirebon.103 Ketiga, pada abad 18-an saat banyak pelarian etnis Tionghoa dari wilayah Batavia yang datang ke wilayah Cirebon. Hadinoto dalam karya Mahdun menyebut bahwa etnis Tionghoa yang ada di Cirebon sudah ada sebelum bangsa Eropa masuk dalam wilayah tersebut. Dibuktikan dengan adanya

99J. L. A. Brandes, ―Eenige Officiele Stukken met Betrekking tot Tjirebon‖. TBG, vol. 37, 1894, h. 449-488. 100D. K. Laksmiwati, Putri Ong Tin Mengarungi Samudra Asmara Merahi Cinta Sejati Sesuhunan Jati Romantika Caruban Nagari, ed. 1, cet. 2, (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h. 12. 101Huang, Budaya Etnis Tionghoa…, h. 18. 102Raden S. Hidayat, Sejarah Caruban Kawedar, (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008), h. 65. 103Hidayat, Sejarah Caruban Kawedar, h. 66.

137 pemukiman orang Tionghoa sebelum benteng ―de Bescherming‖ milik VOC yang didirikan di Kota Cirebon.104 Berdasarkan pemaparan di atas, pergumulan budaya etnis Tionghoa dan masyarakat Cirebon di Kesultanan Cirebon telah menghasilkan akulturasi budaya yang bisa ditemukan di Keraton Kasepuhan dan artefak-artefak bersejarah lainnya. Penulis menemukan bahwa bangunan bersejarah seperti Keraton Kasepuhan dan berbagai artefak memiliki keistimewaan tersendiri, unik dan karakteristiknya berbeda dengan keraton-keraton maupun artefak-artefak lainnya. Keraton Kasepuhan dan beberapa peninggalannya begitu kental dengan ornamen dari luar, terutama ornamen-ornamen Tionghoa. Ornamen Tionghoa yang begitu kuat tidak dapat dilepaskan dari peran etnis Tionghoa yang hadir, utamanya putri Tiongkok bernama Ong Tien Nio, yang tidak hanya fisik tetapi juga jiwanya. Ong Tien Nio adalah sosok yang sangat berarti bagi sang penguasa Sunan Gunung Jati sebab ia adalah salah satu istrinya. Lebih jauh penulis ingin mengatakan bahwa jika tidak ada fisik dari Tiongkok yang hadir di Kesultanan Cirebon ketika itu, maka tidak mungkin ruangan sultan yang begitu private seperti Astana Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, masjid Astana Gunung Jati, Guha Sunyaragi, Batik Mega Mendung, dan sebagainya dipenuhi ornamen-ornamen Tionghoa. Semua itu menjadi bukti betapa berperannya seorang perempuan dalam ruang dan makna, sehingga turut mewarnai suasana di dalam Kesultanan Cirebon. Sebagai seorang putri Tiongkok, Ong Tien Nio sebagaimana di atas otomatis hadir dengan filosofi agamanya yaitu Tao dengan konsep Yin Yang (keseimbangan). Keseimbangan dalam konteks penelitian ini dimaknai bahwa raja dan ratu itu tidak berhadapan, juga tidak atas dan bawah tetapi saling melengkapi laksana orang yang berangkulan. Merujuk dalam falsafah Tiongkok, simbol Yin dan Yang mengandung beberapa makna dan tafsiran, yakni dalam Yin terdapat Yang (dalam gelap ada terang), begitu juga sebaliknya. Yin dan Yang merupakan lambang ajaran falsafah Taoisme.105 Konsep Yin Yang menggambarkan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta mempunyai aspek yang berlawanan: ada putih dan ada yang hitam; ada baik dan buruk; sejuk dan panas; siang dan malam; musim kemarau dan musim hujan; surga dan neraka. Lebih jauh, konsep Yin Yang digunakan untuk menggambarkan bahwa sesuatu yang saling bertentangan dan saling bergantung itu sebuah keniscayaan.106 Yin dan Yang digambarkan seperti telur, yang bagian kuning dan putihnya terpisah. Yang melambangkan surga, laki-laki, matahari, terang,

104Hadinoto, ―Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial‖, dalam Mahdun, ―Konflik Cina-Pribumi dan Dampaknya Bagi Pertumbuhan Industri Batik di Trusmi 1948‖. Jurnal Tamaddun, vol. 5, no. 2, 2017, h. 76-93. 105Tony Fang, ―Yin Yang: A new perspective on culture‖. Management and organization Review, vol. 8, no. 1, 2012, h. 25-50.; Xinyan Jiang, ―Chinese dialectical thinking—the yin yang model‖. Philosophy Compass, vol. 8, no. 5, 2013, h. 438-446. 106Mondo Secter, ―The yin-yang system of ancient china: The -book of changes as a pragmatic metaphor for change theory‖. Journal for Interdisciplinary and Cross- Cultural Studies, vol. 1, no. 1, 1998, h. 85-106.; Stefan Jaeger, ―A geomedical approach to chinese medicine: the origin of the Yin-Yang symbol‖. Recent Advances in Theories and Practice of Chinese Medicine, 2012, h. 29-44.

138 kekuatan, dan hal positif lainnya. Sementara Yin melambangkan tanah, bulan, kegelapan, wanita, dingin, lembut, mati, angka ganjil, dan sesuatu yang negatif. Konsep Yin Yang walaupun bertentangan antara satu sama lain, namun keduanya bersikap saling melengkapi seperti laki-laki dan perempuan, meskipun berbeda, namun perlu bersama-sama untuk mewujudkan generasi baru. Konsep Yin Yang juga diterangkan dalam al-Qur‘an surat Yasin [36] ayat 36-37. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT telah menetapkan segala sesuatu secara tawazun atau seimbang, yaitu dengan diciptakannya setiap sesuatu secara berpasangan. Dalam konteks ini, tawazun (seimbang) dalam Islam sejalan dengan konsep Yin Yang dalam falsafah Tiongkok, yang juga menekankan pada keseimbangan. Sehingga menurut penulis, konsep Yin Yang juga sejalan dengan nilai-nilai Islam, dimana Islam sebagai sebuah agama mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa bersikap seimbang dalam berbagai aspek kehidupan. Dunia-akhirat adalah seimbang, kita tidak bisa mengabaikan urusan akhirat hanya untuk urusan dunia, begitupun sebaliknya.

139

140

BAB V BUDAYA TIONGHOA DAN CIREBON DI KESULTANAN CIREBON: MAKNA SIMBOLIK DAN FILOSOFIS

Mengacu pada pendapat Koentjaraningrat yang membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, maka pada bab inti ini penulis akan focus pada kebudayaan fisik yang merupakan hasil ide atau pikiran-pikiran dan Tindakan manusia. Bagian ini adalah lanjutan dari pembahasan sebelumnya, dan merupakan bab inti penelitian yang menguraikan beberapa beberapa wujud budaya sebagai hasil akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Dari sejumlah wujud budaya yang terakulturasi, penulis lebih banyak menghadirkan dan menganalisis wujud budaya seperti yang terdapat dalam arsitektur bangunan Keraton Kasepuhanmulai dari Gapura Siti Inggil, lima bangunan tanpa dinding dan beratap sirap (Mande Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima, Mande Pelinggihan/Pengiring, dan Mande Karesmen), Makam Astana Gunung Jati dan Guha Sunyaragi/Taman Air Sunyaragi. Selain itu, diuraikan dan dianalisis pula beberapa peninggalan seperti Kereta Kencana Singa Barong dan batik. Penulis kemudian memunculkan makna-makna simbolik dan filosofis yang ada dibalik semua wujud budaya tersebut, kemudian menganalisisnya menggunakan beberapa teori akulturasi yang digagas oleh para sarjana dan pendukungnya, yang mengatakan bahwa jika dua kelompok individu yang memiliki budaya berbeda bersentuhan langsung atau bertemu, maka akan mengakibatkan perubahan dalam pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok tersebut. Namun tidak kehilangan identitas atau karakteristik budaya masing-masing.1 Suatu budaya diciptakan selalu tanpa terlepas dari sebuah makna. Umumnya makna budaya tersebut diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol sebagaimana juga simbol-simbol yang ada di Keraton Kasepuhan. Dilihat dari pengertian simbol secara umum mencakup berbagai aspek yang luas. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap daerah memiliki simbol budaya yang berbeda-beda, yang membedakan ciri khas masing-masing. Berbicara mengenai simbol, otomatis juga akan berbicara mengenai semiotika. Piliang mengatakan semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna.2 Tanda dalam kehidupan manusia selalu menyampaikan suatu informasi sehingga mempunyai sifat komunikatif. Mengutip teori Peirce dalam Queiroz dan Stjernfelt bahwa tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke

1R. Redfield, R. Linton, & M. J. Herskovits, “Memorandum for the Study of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152.; R. Thurnwald, “The Psychology of Acculturation”. American Anthropologist, vol. 34, no. 4, 1932, h. 557- 569.; F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973).; Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), h. 142.; W. A. Haviland, Cultural Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002).; J. W. Berry, “Globalisation and Acculturation”. International Journal of Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328- 336. 2Y. A. Piliang, “Semiotik Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks”. Jurnal Komunikasi, vol. 5, no. 2, 2004, h.189-198.

141 dalam ikon, indeks, dan simbol.3 Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Indeks merupakan tanda yang memilik hubungan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Pemahaman terhadap simbol dapat diidentifikasi sebagai kata benda, kata kerja dan kata sifat. Simbol sebagai kata benda dapat berupa barang, obyek, tindakan dan hal-hal kongkrit lain. Simbol sebagai kata kerja dapat berfungsi sebagai menggambarkan, menyelubungi, mengartikan, menunjukkan, memanipulasi, dan menandai. Simbol sebagai kata sifat berarti sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna, lebih bernilai, sebuah kepercayaan, dan prestasi. Fungsi simbol digunakan untuk menjembatani obyek atau hal-hal yang nyata dengan hal-hal yang abstrak yang maknanya melebihi dari makna hal yang tampak. Mengacu pada teori simbol Elias, Bucholc mengatakan simbol adalah kreasi manusia untuk mengejawantahkan ekspresi dan gejala-gejala alam dengan bentuk-bentuk bermakna, yang artinya dapat dimengerti dan disepakati oleh masyarakat tertentu.4 Adapun filsafat atau filosofis menurut KBBI adalah pengetahuan dan penyelidikan mengenai hakikat segala sesuatu, sebab, asal dan hukumnya dengan menggunakan akal pikiran. Jadi yang dimaksud makna filosofis adalah sebuah usaha atau ikhtiar untuk mengungkap hakikat yang sebenarnya dari suatu wujud budaya. Begitupun dengan budaya-budaya material yang ada di Kesultanan Cirebon sebagai hasil akulturasi berbagai budaya tidak lepas dari makna simbolik dan filosofis. Berger dan Luckmann mengatakan simbol adalah usaha yang dilakukan oleh manusia dalam melembagakan pandangan atau pengetahuan mereka tentang masyarakat. Manusia membangun dunia simbolik yang universal yag dinamakan pandangan hidup atau ideologi dengan memandang masyarakat sebagai proses yang dinamis. Dengan demikian kenyataan sosial yang ada merupakan suatu konstruksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan menuju masa yang akan datang.5 Sementara Turner mengatakan bahwa dengan mengkaji simbol maka akan diketahui siapa pemilik kebudayaan dan siapa pewarisnya di masa yang akan datang. Simbol merupakan sesuatu yang sangat dikenal dan dipahami oleh masyarakat karena ia hadir dalam keseharian mereka.6 Dalam konteks penelitian ini, mempelajari dan memahami simbol dapat membawa kita mengetahui kondisi sosial ketika sejumlah benda peninggalan atau wujud

3J. Queiroz & F. Stjernfelt, “Introduction: Peirce‟s Extended Theory and Classifications of Signs”. Semiotica, vol. 2019, no. 228, 2019, h. 1-2. 4M. Bucholc, “Schengen and the Rosary” Historical Social Research/Historische Sozialforschung, vol. 45, no. 171, 2020, h. 153-181. 5P. L. Berger dan T. Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. XIII-XIV. 6V. Turner, “Symbolic Studies”. Annual Review of Anthropology, vol. 4, 1, 1975, h. 145-161. Lihat juga V. Turner, “Process, System, and Symbol: A New Anthropological Synthesis”. Daedalus, 1977, h. 61-80.

142 budaya material yang ada di Keraton Kasepuhan itu dibentuk, bahkan keadaan sosial sebelum benda-benda peninggalan itu digagas. Sifat multikultural seni diharapkan dapat dijadikan dasar pemersatu bangsa dengan mengembangkan kemampuan manusia untuk saling menghargai akan adanya perbedaan. Pemahaman terhadap keanekaragaman budaya yang dimiliki merupakan sebuah landasan yang kuat dalam mempersatukan perbedaan menjadi kesatuan yang utuh. Akan tetapi, ketidakpahaman terhadap keanekaragaman yang dimiliki merupakan akar perpecahan dan permusuhan. Dengan demikian, seni dengan berbagai sifat yang ada memiliki arti dan peran penting dalam pendidikan. Seni merupakan media dalam menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung misi pendidikan. Seni juga merupakan sarana yang tepat dalam rangka transformasi ilmu pengetahuan pada diri seseorang. Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai serta norma-norma yang mengikat di dalammya, memiliki aturan tersendiri bagi umatnya yang apabila umat mau dan patuh melaksanakannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam upaya inilah seni diperlukan dalam proses transformasi ilmu serta nilai-nilai luhur pendidikan Islam.7

A. Arsitektur Keraton Kesepuhan Salah satu bagunan di Kesultanan Cirebon adalan Keraton Kasepuhan. Kasepuhan berasal dari kata bahasa Sunda yaitu “Sepuh” yang berarti “Tua”. Pada awalnya di Kesultanan atau Kerajaan Cirebon hanya ada satu keraton, yakni Keraton Pakungwati. Namun di abad ke-17, bersamaan dengan dibaginya kesultanan menjadi tiga kekuasaan., maka dibangun pula Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Ketiga keraton tersebut masing-masing berasal dari satu keturunan anggota Wali Songo,8 yaitu Sunan Gunung Jati. Kesultanan Cirebon resmi dibagi menjadi Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman dan satu

7R. Kurnianto & N. Lestarini, “Integration of Local Wisdom in Education”. In International Seminar on Education, 2020, h. 557-563.; N. Hariyati, “Islamic Education in the Prespective of Islamic Nusantara”. In International Conference on Language, Education, Economic and Social Science, vol. 1, no. 1, 2019, h. 125-134.; T. Narawati, “Arts and Design Education for Character Building”. In International Conference on Arts and Design Education (ICADE 2018), (Atlantis Press, 2019). 8Wali Songo (Wali Sembilan) adalah kelompok wali atau orang suci yang mendakwahkan Islam di Pulau Jawa. Menurut literature, umumnya menyatakan bahwa Wali Songo terdiri dari sembilan orang, di antaranya Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Lihat Pierre Fournié, “Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New Destination for International Pilgrimage”. International Journal of Religious Tourism and Pilgrimage, 7, no. 4, 2019, h. 77-86.; Abdurrohman Kasdi, “The Role of Walisongo in Developing the Islam Nusantara Civilization”. Addin, vol. 11, no. 1, 2017, h. 1-26.; E. Soenarto, “From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in Contemporary Indonesia's Popular Genres”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 2005, h. 33-82.

143

Peguron pada tahun 1679 oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten untuk menghindari perpecahan keluarga Kesultanan Cirebon.9 Keraton Kasepuhan dulunya adalah keraton Pakungwati. Namun karena ditempati oleh Sultan Sepuh maka Namanya berubah menjadi Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan memiliki luas wilayah 18,5 hektare. Keraton dibatasi oleh tembok yang membentang dari utara ke selatan. Untuk memasuki halaman pertama terdapat jembatan Pangrawit dan pintunya hanya merupakan pemotongan tembok keliling. Sebelum memasuki halaman pertama terdapat bangunan Pancaratna di sisi barat dan Pancaniti di sisi timur jalan masuk. Pada halaman pertama di sisi timur terdapat kompleks Siti Inggil dan pintu Penggada. Untuk memasuki halaman ke dua terdapat Langgar Dalem di sisi barat, melalui dua Gapura . Selanjutnya adalah zona semi privasi, tempat Sultan bekerja dan menerima tamu. Area ini bisa dimasuki melalui pintu Gledegan. Terakhir adalah area privat Sultan dan keluarganya. Di area ini Sultan dan keluarganya tinggal sehingga tidak sembarang orang bisa masuk. Area ini bisa dimasuki melalui pintu Buk Bacem.10 Berdasarkan penelusuran dan observasi penulis, ruang Keraton Kasepuhan mengadopsi seni bangunan yang berkembang pada masa Majapahit. Di samping itu, masih adanya kepercayaan alam pikiran pada masa pra Islam tentang kesejajaran antara alam semesta dan alam manusia. Kosmo magis yang berasal dari ajaran kosmologis Hindu-Buddha. Gambaran atau cerminan alam semesta menurut kepercayaan itu adalah bahwa keraton dan semua isi di dalamnya dianggap sebagai replika atau tiruan alam semesta. Misalnya, seorang raja yang sedang bersemayam di dalam keraton disamakan dengan dewa yang bersemayam di puncak Mahameru. Salah satu pengejawantahan kepercayaan peniruan kosmos Mahameru melalui seni bangunan yang sangat menonjol adalah bangunan candi.11 Dengan demikian, penggambaran gunung merupakan suatu motif yang mewisesa dalam seni bangunan Jawa-Hindu. Dalam konteks di atas, salah satu ciri penting lainnya yang juga dianggap sebagai kesinambungan alam pikiran Jawa-Hindu yang mengilhami atau berpengaruh pada perkembangan seni bangunan Keraton Kasepuhan adalah pembuatan gunung atau bukit dan kolam buatan dengan suatu gugusan bangunan yang terletak di tangannya. Dua buah gunung buatan di dalam Keraton Kasepuhan disebut gunung Semar dan gunung Indrakila, sedangkan bagian dalam bangunan kolam buatan dengan gugusan bangunan di tengahnya disebut Balong Klangenan. Sementara bangunan kayu di tengahnya disebut Bale Kembang.12 Aspek lainnya

9Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986), h. 74. 10 Dini Rosmalia, “Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon”, Seminar Heritage IPLBI, 2018, h. B 074-082. 11 Dini Rosmalia &L. Edhi Prasetya, “ Kosmologi Elemen Lanskap Budaya Cirebon”, Seminar Heritage IPLBI, 2017, h. B 073-082. 12I. H. Agustina, A. Djunaedi, S. Sudaryono, & D. Suryo, “The Perspective of Sustainable in Relation Space at Region of Kasultanan Kasepuhan Cirebon”, Makalah dipresentasikan dalam International Conference ICABE di IIUM, Kuala Lumpur, 7th–8th November, 2013. Lihat juga I. H. Agustina, A. Djunaedi, S. Sudaryono, & D. Suryo, “Gerak Ruang Kawasan Keraton Kasepuhan”. Jurnal Perencanaan Wilayah dan

144 adalah tata letak bangunan kompleks Keraton Kasepuhan dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Kontur permukaan dan pelataran kompleks keraton dibuat semakin meninggi ke belakang, yang menunjukan derajat kesucian dan merupakan bagian paling suci, karena bagian ini merupakan tempat bersemayam raja beserta seluruh keluarganya. Struktur kosmologi Keraton Kasepuhan digambarkan Agustina, Hindersah dan Asiyawati13 sebagai berikut:

Gambar 4. Struktur Kosmologi Keraton Kasepuhan Sumber: Agustina, Hindersah, & Asiyawati, 2017:167-174

Ketika memasuki kawasan Keraton Kasepuhan,14 kita akan melihat sebuah gerbang yang terbuat dari batu bata merah bertingkat. Bagian paling depan keraton disebut Siti Inggil atau tanah tinggi, yang kedudukannya menghadap langsung ke arah lapangan tempat pasukan keraton ketika itu berkumpul setelah melewati Siti Inggil yang berbentuk gerbang dan pagar panjang. Di bagian depan Siti Inggil juga terdapat meja dan bangku yang terbuat dari batu. Benda tersebut berasal dari Gujarat dan merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles15 di tahun 1811 M. Bangunan Siti Inggil merupakan perpaduan dari Islam, Hindu, dan Tiongkok. Di bagian tembok Siti Inggil terdapat banyak tempelan keramik Tiongkok, di samping juga terdapat keramik Belanda. Gapura Siti Inggil mendapat pengaruh Hindu karena jika diperhatikan bentuk bangunannya sama seperti Gapura Candi Bentar.

Kota, vol. 13, no. 1, 2013, h. 8-13. 13I. H. Agustina, H. Hindersah, & Y. Asiyawati, “Identifikasi Simbol-Simbol Heritage Keraton Kasepuhan”. ETHOS: Jurnal Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, vol. 5, no. 2, 2017, h. 167-174. 14Keraton Kasepuhan dibangun pada tahun 1430 M. 15Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) pernah menjadi Gubernur Jenderal van Java (1813-1818). Lihat S. Raffles, Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, (New York: Cambridge University Press, 2013).; C. H. Wake, “Raffles and the rajas: the founding of Singapore in Malayan and British colonial history. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 48 (227), 1975, h. 47-73.

145

Gambar 5. Siti Inggil Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Siti Inggil sebagaimana gambar di atas dikelilingi tembok bata merah dengan tempelan piring keramik dan pintu masuk berupa Candi Bentar. Dilihat dari bentuk dan ornamen yang menghiasi bangunan Siti Inggilmengadopsi budaya dari Hindu berupa Candi Bentar dan budaya dari Tiongkok berupa tempelan piring keramik. Strukturnya berupa tumpukan bata merah yang saling ditempelkan antara satu dan lainnya. Pemasangan piring keramik dari Tiongkok dalam banyak tempelan pada bangunan Keraton Kasepuhan, termasuk pada bangunan Siti Inggil dalam berbagai literatur erat kaitannya dengan kebudayaan Islam.16 Berthold Laufer (1874-1934), seorang antropolog yang bekerja di Filipina, adalah orang pertama yang memberikan perhatian khusus pada serpihan keramik Tiongkok untuk studi pertukaran komersial dan budaya.17 Memang, pada awal abad ke-20, perdagangan antara Tiongkok dan Asia Tenggara, serta antara Tiongkok dan dunia Muslim, sedang mengalami kemajuan.18 Laufer kemudian mengusulkan untuk memasukkan keramik Tiongkok di antara bahan historis untuk mempelajari pola perdagangan. Laufer mengatakan selain dari referensi kronologis yang secara khusus menarik minat para arkeolog, studi tentang keramik Tiongkok berkaitan dengan dua tingkat sejarah, yakni menyangkut distribusi spesial artefak, serta periuk19 dan porselen yang lebih awet daripada kebanyakan jenis barang lainnya. Kemunculannya di seluruh situs arkeologi di Samudra Hindia menawarkan serangkaian data geografis yang tepat untuk menciptakan kembali lintasan perdagangan maritim. Dengan

16J. G. Tylor, “The Chinese and the Early Centuries of Conversion to Islam in Indonesia”. In Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, T. Lindsey & H. Pausacker (ed.), (Singapore & Australia: ISEAS Publication & Monash University Press, 2005), h. 148-164. 17B. Laufer, “Post Scriptum”. In F. C. Cole, Chinese Pottery in the Philippines, Field Museum of Natural History, Anthropological Series, vol. XII, no. 1, 1912. 18 Danar Widiyanta, “Keberadaan Etnis Cina Dan Pengaruhnya Dalam Perekonomian Di Asia Tenggara”, Mozaik, Vol. V, No. 1, 2010, h. 84-95. 19Periuk adalah peralatan dapur yang sampai saat ini masih dapat ditemukan di daerah perkampungan. Para penduduk masih menggunakannya karena selain bentuknya indah, periuk dibuat dari bahan tembaga yang dipercaya lebih tahan lama ketimbang bahan yang terbuat dari logam dan sejenisnya. Penelitian terkait jenis periuk bisa dilihat dalam karyanya B. Zhao, “Chinese-style ceramics in East Africa from the 9th to 16th century: A case of changing value and symbols in the multi-partner global trade”. Afriques. Débats, Méthodes et Terrains D‟histoire, no. 06, 2015.

146 menggunakan pendekatan ini, para sarjana Jepang dan Eropa seperti Mikami20 dan Pirazzoli-t‟Serstevens21 menggunakan istilah “Jalan Keramik” untuk menunjuk rute perdagangan maritime. Karena produksi periuk cukup signifikan di semenanjung Asia Tenggara terkait erat dengan tradisi Tionghoa, hal ini membuat beberapa sarjana telah mengusulkan untuk memberi label ulang kaitannya dengan penggunaan istilah “keramik gaya Tiongkok”.22 Sebagaimana penelitian Zhao, memilih untuk menggunakan istilah umum “keramik gaya Tiongkok” sebab produksi keramik di Asia Timur adalah transnasional dan global dan didasarkan pada konteks perdagangan yang kompleks. Pertama, selama periode dari abad ke-11 hingga ke-16, hubungan antara kekaisaran Tiongkok, negara-negara tetangga di Asia Tenggara, dan perbatasan mereka berkembang secara signifikan. Kedua, provinsi-provinsi Tiongkok di Guangxi, Yunnan, dan Guangdong dan negara-negara di semenanjung Asia Tenggara diuntungkan oleh kondisi iklim yang serupa, di mana produksi keramik sangat bergantung. Fleisher dan Laviolette mengatakan sejak akhir abad ke-13 dan seterusnya, kehadiran keramik gaya Tiongkok di bagian utama masjid telah diperhatikan oleh para arkeolog di beberapa lokasi. Para ahli berpendapat untuk penggunaan paralel gaya keramik Tiongkok dalam konteks agama dan domestik adalah bahwa keduanya mungkin terkait erat dengan Islam.23 Kaitannya dengan konteks penelitian ini, keramik-keramik gaya Tiongkok dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan sekaligus menjadi saksi hubungan antara orang-orang keraton dengan etnis Tionghoa, misalnya guci-guci atau tempelan-tempelan keramik yang ada di bangunan keraton, Astana Gunung Jati, Masjid Gunung Jati dan Guha Sunyaragi. Selain itu, banyak cara untuk melihat fungsi keramik Tiongkok membuktikan daya tarik material yang tidak terbantahkan. Penulis mencontohkan, banyak artefak Tiongkok memiliki lubang paku keling di dalamnya untuk mengakomodasi kabel logam yang bergabung kembali dengan pecahan. Lubang tersebut umumnya menurut Pirazzoli-T‟Serstevens ditafsirkan sebagai indikasi bahwa benda-benda ini sangat berharga.24 Piringan keramik Tiongkok yang dipangkas dengan serpihan keramik Tiongkok dan Islam juga telah digali, beberapa di antaranya dilubangi di

20Ts. Mikami, Tôji no michi – tôzai bunmei no setten o tazunete [Jalan Keramik: Bukti Materiel dari Kontak Budaya Timur dan Barat], (Tokyo: Iwnami Shoten, 1969). 21M. Pirazzoli-t‟Serstevens, “La route de la céramique”, Le grand Atlas de l‟archéologie, (Paris: Encyclopaedia Universalis, 1985), h. 284-285. 22M. F. Dupoizat, N. H, Wibisono, C. Guillot, Catalogue of the Chinese-Style Ceramics of Majapahit: Tentative Inventory, (Paris & France: Association Archipel, 2007). 23J. Fleisher, A. Laviolette, “The Changing Power of Swahili Houses, Fourteenth to Nineteenth Centuries AD”. In R. A. Beck (ed.), The durable house: House Society Models in Archaeology, Center for Archaeological Investigations Occasional Paper, no. 35, (Carbondale, Southern Illinois University, 2007), h. 175-197. 24M. Pirazzoli-T‟serstevens, “Une Denrée Recherchée: la Céramique Chinoise Importée dans le Golfe Arabo-persique, IXe–XIVe Siècles”. Mirabilia Asiatica, vol. 2, 2005, h. 69-88.

147 tengahnya.25 Tampaknya benda-benda tersebut digunakan sebagian untuk menghiasi tubuh dan pakaian, seperti liontin, anting-anting, dan kancing. Sangat menarik untuk memerhatikan bahwa pecahan artefak yang dipilih untuk penggunaan sekunder ini umumnya didekorasi dengan glasir berkilauan yang berwarna-warni.26 Adapun pecahan keramik dapat diubah menjadi alat (weights, spindle whorls, dan sebagainya). Dalam konteks itu mereka membuktikan bahwa periuk dan porselen sangat dihargai. Studi terbaru tentang konteks arsitektur non-batu ditambah dengan survei pedesaan membuktikan bahwa periuk dan serpihan porselen juga digunakan untuk menghias dinding rumah dari tanah liat.27 Bagi Li Min, fenomena ini merupakan contoh konkrit dari akulturasi, menggambarkan bagaimana keramik Tiongkok telah mengalami transformasi fungsional dan kadang-kadang bahkan gaya ketika mereka disesuaikan kembali dengan budaya material lokal.28 Dengan demikian, jelas bahwa bukti arkeologis yang tersedia mengungkapkan difusi keramik gaya Tiongkok ke daerah Cirebon, khusunya Keraton Kasepuhan tampaknya terkait dengan penetrasi Islam, karena ditemukan keramik-keramik gaya Tiongkok di Keraton Kasepuhan yang merupakan kesultanan Islam. Keramik- keramik dapat dilihat pada bangunan keraton, Astana Gunung Jati, Masjid Gunung Jati dan guha Sunyaragi. Selain itu penulis melihat ada peran yang sama dengan simbol sosial, karena impor ini ditemukan dalam konsentrasi tinggi di makam elit yang terlibat dalam perdagangan maritim. Barang-barang eksotis ini juga berfungsi sebagai simbol dan perwujudan kekuatan dagang. Berbagai bukti arkeologis sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, juga memperlihatkan bahwa di dalam Keraton Kasepuhan terdapat berbagai budaya yang ikut mewarnainya. Makna filosofisnya adalah bahwa sekalipun Cirebon merupakan Kesultanan Islam, tetapi sangat terbuka terhadap dinamika masyarakat, dan bersikap inklusif terhadap berbagai budaya dan keberagamaan orang lain. Kesultanan ini ingin berdiri di atas keberagaman budaya, dan meletakkan penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan orang lain. Sebagai contoh, salah satu bangunan paling depan Keraton Kasepuhan, yakni tembok Siti Inggil. Di tembok Siti Inggil ada

25S. Pradines, Fortifications et Urbanisation en Afrique Orientale, (Oxford: Archaeopress, 2004). 26Untuk cakram berlubang yang dibuat dengan periuk hijau Longquan dengan pola naga ditemukan di situs Kilwa-Kisiwani, lihat N. Chittick, Kilwa: An Islamic Trading City on the East African Coast, vol. II, (Nairobi/London: British Institute of African Studies, 1974), h. 428. 27L. W. Donley-Reid, “The power of Swahili Porcelain, Beads and Pottery”. In S. M. Nelson, A.B. Kehoe (eds.), Powers of Observation: Alternative Views in Archaeology, Archaeological Papers of the American Anthropological Association 2, (Washington: American Anthropological Association, 1990), h. 47-59. 28Li Min, “The Trans-Pacific Extension of Porcelain Trade in the Early Modern Era: Cultural Transformations Across Pacific Space”. In P. K. Cheng (ed.), Proceeding of the International Symposium: Chinese Export Ceramics in the 16th and 17th Centuries and the Spread of Material Civilisation, (Hong Kong: The City University, 2012), h. 219-234.

148

Gapura Candi Bentar, tempelan keramik Tiongkok dan keramik Belanda.29 Ornamen-ornamen tersebut diletakkan di bagian paling depan dari Keraton Kasepuhan sehingga dapat disaksikan oleh semua orang. Candi Bentar sebagaimana di Siti Inggil (Keraton Kaespuhan) yang mengadopsi budaya dari Hindu banyak ditemukan di beberapa tempat di Indonesia dengan pemaknaan yang berbeda-beda, misalnya Yusuf dalam penelitiannya mengatakan bahwa Candi Bentar dalam konsep Bali merupakan simbol mulut yang tenganga. Simbol mulut yang tenganga ini menjadikan Candi Bentar sebagai pintu masuk. Yusuf mencontohkan Candi Bentar pada kompleks gereja Kristen Pniel Blimbingsari, Bali. Candi Bentar pada gereja ini memiliki ornamen salib sebagai simbol agama Kristen.30 Sementara Zarifa dalam penelitiannya tentang “Masjid dan Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi”, mengatakan bahwa terdapat 4 Candi Bentar pada kompleks masjid dan makam Sendang Duwur. Candi Bentar dikenal pada zaman Indonesia–Hindu, seperti terdapat pada bekas kompleks Keraton Majapahit (Gapura Waringin Lawang). Bangunan kuno (Candi) relief seperti itu terdapat pada relief Candi Jawi, Candi Jago, dan Candi Tigawangi. Zarifa bahkan mengatakan bahwa Candi Bentar yang tertua berada di Pura Prasada Bali.31 Perpaduan budaya Islam dan Hindu menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi yang diwujudkan dalam bentuk bangunan yang dalam konteks Keraton Kasepuhan, salah satunya adalah Siti Inggil. Sebagaiman juga penelitian Fitri terkait Gapura Bentar, Gapura Paduraksa, masjid dan makam di Sendang Duwur,32 Lamongan, Jawa Timur. Fitri dalam penelitiannya mengatakan bahwa di bangunan paduraksa terdapat ornamen dan motif yang memiliki makna simbolik dalam kaitannya dengan Islam, misalnya hiasan motif pohon kalpataru yang dalam kepercayaan Hindu menyebutnya sebagai pohon hayat, sedangkan dalam Islam disebut pohon syajarotul khuldi yang berada di sidrotul muntaha. Pohon tersebut mempunyai makna bahwa pohon yang dapat memberikan segala keinginan.33 Dalam konteks Kesultanan Cirebon, Gapura Candi Bentar yang mendapat pengaruh Hindu bermakna bahwa Kesultanan Cirebon sekalipun merupakan kesultanan Islam tetapi sangat menghormati dan menghargai leluhurnya dengan tetap mengakomodir unsur-unsur budaya Hindu. Sehingga orang Hindu yang

29Pembahasan tentang tempelan keramik Belanda dalam kajian ini tidak dijelaskan secara spesifik sebab keramik ini dipasang belakangan setelah kehadiran Belanda di Cirebon. 30S. A. Yusuf, “Aspects of Architecture Infrastructures Acculturation Function, form and the Meaning of the Christian Church building Pniel Blimbingsari in Bali. Arteks: Jurnal Teknik Arsitektur, vol. 1, no. 1, 2016, h. 15-30. 31A. P. Zarifa, “Masjid dan Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi”. In Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 2017, h. 381-384. 32Sendang Duwur diambil dari salah satu nama tokoh yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, yakni Sunan Sendang Duwur. Nama asli dari Sunan Sendang Duwur adalah Raden Noer Rahmanputra dari Abdul Kohar bin Malik bin Sultan Abu Yazid dari Baghdad. Gelar Sunan Sendang Duwur didapat dari pemberian Sunan Drajad. 33R. F. R. Fitri, “Simbol Bangunan pada Komplek Gapura, Masjid dan Makam Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur”. Jurnal Penelitian, Universitas Airlangga, 2018, h. 1-10.

149 melihat Gapura Candi Bentar merasakan keterwakilannya, begitupun etnis Tionghoa ketika melihat ornamen-ornamen Tionghoa. Lebih jauh kesultanan ini menginginkan adanya kerukunan hidup beragama dan kerukunan hidup berbudaya dalam kehidupan bernegara. Ini menandakan bahwa sejak awal Kesultanan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati menjadi basis bagi pengembangan Islam yang toleran, inklusif,34 atau dalam bahasa yang sedang booming sekarang ini, yakni Islam Wasathiyyah atau Islam moderat. Kaitannya dengan konsep Islam Wasathiyyah sebagaimana di atas, cendekiawan Muslim Azyumardi Azra membuat sebuah penegasan dengan mengatakan bahwa Islam Wasathiyyah atau Islam moderat secara substansi merupakan tradisi lama, baik secara keagamaan atau kebudayaan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Islam Wasathiyyah sudah diperkenalkan oleh para ulama terdahulu, terhitung sejak kehadirannya di Nusantara. Wasathiyyah Islam bertemu dengan ragam budaya dan suku bangsa, yang menekankan pada sikap “tengahan” melahirkan umat Islam Indonesia yang wasathiyyah, akomodatif dan inklusif. Sebagai contoh budaya masyarakat Jawa yang tepo seliro, guyub adalah budaya yang menekankan pada kebersamaan, tidak “menang-menangan”, tidak egois dan tidak menang sendiri. Islam Wasathiyyah atau Islam moderat yang berkembang di Indonesia memiliki beberapa karakteristik yaitu tawassuth, tawazun, dan muwathonah.35 Istilah wasathiyyah merupakan terminologi yang sangat dinamis dan kontekstual. Artinya, terminologi tersebut tidak hanya berkaitan dengan satu aspek saja, tetapi melibatkan keseimbangan antara pikiran dan wahyu, materi dan spirit, hak dan kewajiban, individualisme dan kolektivisme, teks (al-Qur‟an dan hadis) dan ijtihad, ideal dan realita, yang permanen dan sementara,36 yang kesemuanya terjalin secara terpadu. Dengan demikian, sebenarnya konsep Islam Wasathiyyah atau Islam moderat meminta umat Islam untuk mengamalkan ajaran Islam secara seimbang, tidak berlebihan dan komprehensif dalam berbagai hal dengan memusatkan perhatiannya pada peningkatan kualitas kehidupan manusia yang terkait dengan pengembangan pengetahuan, pembangunan manusia, sistem ekonomi dan keuangan, sistem politik, sistem pendidikan, kebangsaan, pertahanan, persatuan, persamaan antar ras dan lainnya.37 Pada akhirnya, Islam Wasathiyyah harus menjadi

34Toleran dan inklusifnya Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari sosok pemimpinnya, yaitu Sunan Gunung Jati. Sikap Sunan Gunung Jati yang toleran dan inklusif menurut Irianto erat kaitannya dengan wawasannya yang luas dan bersifat internasional, ilmunya “dalam”, sudah mengunjungi banyak negara, serta sahabatnya lintas agama dan negara. Itulah yang membentuk kepribadian Sunan Gunung Jati. Wawancara dengan Bambang Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli 2020. 35Azyumardi Azra, disampaikan dalam Webinar yang diselenggarakan PPIM Jakarta, 19 Juni 2020. 36Yusuf Qardhawi, Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq, (Cairo: Dar al- Shuruq, 2000), h. 30. 37Mohd Shukri Hanapi, “The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia”. In International Journal of Humanities and Social Science, vol. 4, no. 9, 2014, h. 51-62.

150 arus utama keislaman di Indonesia, karena dianggap menjadi solusi untuk menjawab berbagai problematika keagamaan dan peradaban global.38 Kajian Islam dalam konteks Islam Indonesia yang moderat juga erat kaitannya dengan konsep moderasi. Hilmy mengatakan konsep moderasi memiliki beberapa karakteristik di antaranya: Menyebarkan Islam tidak menggunakan kekerasan, tetapi lebih mengutamakan jalan damai; Mengadopsi cara hidup yang moderat dalam semua aspek, termasuk sains dan teknologi, demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejenisnya; Cara berfikirnya rasional; Dalam memahami Islam sangat kontekstual, tidak tekstual; dan, menggunakan ijtihad jika tidak ditemukan justifikasi eksplisit dari al-Qur‟an dan hadis. Beberapa karakteristik tersebut bisa diperluas dengan beberapa karakteristik lain seperti toleransi, harmoni dan kerja sama antar kelompok agama.39 Sekalipun istilah Islam moderat atau Islam Wasathiyyah baru populer belakangan ini dan mendapat momentumnya pada masa Lukman Saefuddin (Menteri Agama RI 2014-2019), namun dalam konteks kajian ini penulis melihat “ruh”nya sudah ada sejak Kesultanan Cirebon didirikan. Corak Islam yang inklusif, akomodatif dan toleran terhadap keberagaman agama dan budaya yang diwariskan oleh para pendiri Kesultanan Cirebon masih bisa kita saksikan bersama dalam beberapa tempat bersejarah di Cirebon. Jika Kesultanan Cirebon itu ekslusif tentu kita tidak akan menemukan budaya-budaya dari luar yang notabene budaya non- Islam ada dan berakulturasi dengan budaya Islam, bahkan menempel di bangunan- bangunan yang dimuliakan dan disakralkan oleh warga masyarakat setempat. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, di tembok bangunan utama Keraton Kasepuhan yaitu Siti Inggil, terdapat Gapura Candi Bentar yang mendapat pengaruh dari Hindu, dan keramik-keramik yang berasal dari Tiongkok. Berdasarkan posisinya, kedua wujud budaya tersebut diletakkan di bagian depan, serta Gapura Candi bentar dan pengaruh Hindu lainnya diletakkan di atas atau lebih tinggi. Secara sombolik hal tersebut erat kaitannya dengan waktu kedatangan Hindu yang sudah lebih dulu dibanding Islam. Adapun keberadaan tempelan-tempelan keramik Tiongkok yang dipasang di tembok bagian depan keraton bermakna bahwa Keramik Tiongkok itu merupakan budaya dari luar, bukan budaya lokal. Oleh karena budaya tersebut datang dari luar, maka tempelan keramik diletakkan di tembok bagian depan Kesultanan Cirebon dan diletakkan di luar. Sedangkan keberadaan keramik- keramik Tiongkok di bagian dalam Keraton Kasepuhan memperlihatkan eksistensi etnis Tionghoa yang kemudian menjadi isteri Sultan Gunung Jati, yakni putri Ong Tien. Oleh karena itu, tidak heran jika sampai sekarang pengaruh budaya Tionghoa tidak hanya ada di luar, namun juga di dalam keraton. Hal tersebut bermakna bahwa budaya Tionghoa telah menjadi bagian penting dan integral dari Kesultanan Cirebon yaitu dengan terjadinya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dan Puteri

38Sauqi Futaqi, “Konstruksi Moderasi Islam (Wasathiyyah) dalam Kurikulum Pendidikan Islam”. In 2nd Proceedings; Annual Conference for Muslim Scholars, UIN Sunan Ampel Surabaya, 21-22 April 2018, h. 521-530. 39Masdar Hilmy, “Whither Indonesia‟s Islamic Moderatism? A reexamination on the moderate vision of Muhammadiyah and NU”. Journal of Indonesian Islam, vol. 7, no. 1, 2013, h. 24-48.

151

Ong Tien. Sebagaimana dikatakan oleh Opan bahwa akulturasi yang paling tinggi adalah melalui perkawinan.40 Hal ini juga diamini oleh Gillin. Menurutnya perkawinan campur adalah kondisi yang paling menguntungkan untuk proses akulturasi.41 Seandainya sultan tidak beristerikan orang Tionghoa, boleh jadi budaya-budaya Tionghoa itu tidak akan mewarnai Keraton Kasepuhan. Lebih lanjut Opan juga mengatakan bahwa pada saat itu barang atau produk-produk dari Tiongkok terutama keramik dikenal sangat bagus baik motif maupun kualitasnya. Semua orang-dari sultan sampai rakyat- menyukai motif atau ornamen yang ada di keramik atau sutera yang dibawa Ong Tien. Kemudian dalam perkembangannya ornamen-ornamen itu ikut mewarnai dan memengaruhi budaya-budaya yang berkembang di Cirebon. Pendapat ini juga diperkuat oleh pernyataan P.R. A Arief Natadiningrat bahwa kebudayaan Tiongkok mulai berpengaruh secara signifikan terhadap kebudayaan Cirebon sejak kedatangan puteri Ong Tien.42 Dengan demikian, Candi Bentar yang merupakan pengaruh dari Hindu di Indonesia telah terakulturasi dengan kebudayaan Islam, khususnya di Gapura Siti Inggil kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon dan di tempat-tempat lain, seperti makam dan masjid Sendang Duwur sebagaimana penelitian Zarifah serta Candi Bentar pada gereja di Bali yang memiliki ornamen salib. Bangunan Siti Inggil tidak hanya mendapat pengaruh Hindu tapi juga budaya Tionghoa. Budaya Tionghoa kaya akan makna dan simbol, khususnya yang berkaitan dengan hewan. Budaya Tionghoa juga dipengaruhi oleh agama Budha, Tao dan Khong Hucu sebagai agama mayoritas masyarakat Tionghoa. Dalam kitab Tripitaka seperti yang ditulis Mulyono dan Diana menjelaskan bahwa Sang Buddha sangat menghargai nyawa makhluk hidup, tidak terkecuali binatang. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa menjadikan hewan sebagai komponen-komponen simbolik dan sering mengkaitkan sifat-sifat hewan dengan nilai-nilai kehidupan manusia. Hewan dianggap memiliki keterkaitan yang erat dengan nilai-nilai hidup yang ingin digapai oleh manusia, yakni kesehatan, panjang umur, kekuatan, kemakmuran, dan perlindungan dari segala bahaya.43 Begitupun dengan gambar- gambar yang menghiasi keramik-keramik yang menempel di tembok Siti Inggil kaya akan simbolisasi yang dikaitkan dengan budaya Tionghoa. Adapun gambar- gambar yang menempel di keramik adalah naga (lung), phoenix (feng huang), dan ikan. Naga dalam zodiak Tiongkok adalah makhluk luar biasa yang melambangkan kemakmuran dan keperkasaan. Naga juga merupakan simbol dari Kaisar Tiongkok, di mana mereka selalu mengenakan jubah yang penuh dengan ornamen naga. Sementara dalam tradisi Tionghoa, naga identik dengan sesuatu yang besar dan

40Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19 Juli 2020. 41 Gillin&Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of Introduction to Sociology, (New York: The Mac Millan Company, 1948), h. 530. 42 N. Sofiyawati, Kajian Gaya Hias Singa Barong dan Paksi Naga Liman Dalam Estetika Hibriditas Kereta Kesultanan Cirebon, Sosioteknologi, Vol. 16, No. 3, 2017, h. 304-324 43Grace Mulyono dan Diana Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban”. Dimensi Interior, vol. 6, no. 1, 2008, h. 1-8.

152 hebat.44 Menurut Bambang Irianto Naga itu khusus untuk pemimpin. Untuk pemimpin nomor satu biasanya naganya menghadap kedepan. Jadi, seorang Patih, Tumenggung atau Bupati sekalipun tidak akan berani menggunakan jubah atau baju dengan ornamen naga yang menghadap kedepan. Biasanya selain raja atau sultan, ornamen naganya menghadap kesamping. Hal itu bisa disaksikan pada Kereta Kencana Singa Barong yang banyak terdapat patung naga, yang semuanya menghadap kedepan.45 Artinya Kereta kencana Singa Barong adalah kendaraan yang khusus diperuntukkan untuk Sultan. Makanya, tempat duduknya hanya untuk satu orang. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, naga merupakan penggabungan dari sembilan macam hewan yang dikomposisikan sedemikian rupa, yaitu; 1) kepala menyerupai unta, dengan jenggot panjang dan lidah mematikan; 2) tanduk unta; 3), mata kelinci; 4) telinga sapi yang tidak dapat mendengar; 5) leher ular; 6) perut katak; 7) sisik ikan pada tubuh; 8) sayap elang; dan 9) tapak kaki harimau.46 Naga memiliki arti yang sangat berharga bagi masyarakat Tionghoa. Simbol naga melambangkan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi. Pada intinya, naga adalah simbol kebesaran, keagungan dan kehebatan; simbol kemakmuran akan air, baik melalui hujan ataupun danau; simbol dari kekuatan yang menjaga dan mengawasi manusia serta jagad raya.47 Sementara menurut Tanomi, naga dianggap sebagai Dewa Laut dan Dewa yang bisa mendatangkan hujan oleh orang Tiongkok Kuno. Mereka sangat menghormati naga, apalagi mereka sangat tergantung pada hasil pertanian. Lebih lanjut mereka menganggap naga sebagai lambang keberuntungan, kemakmuran, kekuasaan, keberanian, kepercayan dan kepahlawanan. Pertunjukan Liong pada saat Cap Go Meh adalah salah satu wujud tradisi untuk berdoa meminta perlindungan dari sang naga.48 Dalam konteks Keraton Kasepuhan, naga dijumpai pada tembok Siti Inggil sebagai bangunan utama dan paling depan, yang secara filosofis bermakna bahwa Kesultanan Cirebon merupakan kesultanan yang berdiri sendiri bukan kerajaan

44Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban”, h. 1-8. 45Wawancara dengan Bambang Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli 2020. 46Li Xiaoxiang, Origins of Chinese People and Customs, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2003), h. 22-25.; Lihat juga Polniwati Salim, “Memaknai Pengaplikasian Ornamen pada Atap Bangunan Klenteng sebagai Ciri Khas Budaya Tionghoa”. Aksen, vol 1, no. 2, 2016, h. 50-65.; Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban”, h. 1-8.; Sugiri Kustedja, dkk., “Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa”. Jurnal Sosioteknologi, ed. 30, thn. 12, 2013, h. 526-539. 47De Jeny Gex, Asian Style Source Book, (Singapura: MQ Publication Ltd., 2000), h. 44-45. 48Erna Tanomi dan Elisa Christiana, “Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Pertunjukan Liong Batik dan Wacinwa di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta tahun 2015”. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Cultur, vol. 2, no. 1, 2014, h. 108- 122.

153 bawahan Pajajaran seperti Ketika masih dibawah kepemimpinan Cakrabuana. Sejak Syarif Hidayatullah memimpin Cirebon sudah melepaskan diri dari Pajajaran dan menjadi negara yang berdaulat penuh.49 Naga yang berada di tembok Siti Inggil juga bermakna sebagai sebuah doa kepada Kekuatan yang transenden agar senantiasa menjaga dan melindungi penghuni keraton khususnya keluarga sultan dan masyarakat Cirebon pada umumnya dari segala macam bahaya, wabah, musuh dan kemudharatan lainnya. Makna implisitnya adalah bahwa seorang raja atau pemimpin harus mampu mengayomi dan melindungi warganya dari segala macam bahaya, baik bahaya musuh, kelaparan, penyakit, kebodohan maupun kemudharatan. Seorang pemimpin harus mampu memberikan rasa aman, kedamaian dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Selain gambar naga, di tembok Siti Inggil juga terdapat gambar phoenixsalah satu simbol penting dalam tradisi masyarakat Tionghoa. Makhluk ini digambarkan sebagai burung yang indah dengan perpaduan beberapa warna. Makhluk ini dianggap dapat membawa nasib baik dan melambangkan kaisar wanita, kedamaian dan kemakmuran. Phoenix juga melambangkan matahari dan kehangatan yang menyelimuti daerah selatan karena memang makhluk ini merupakan simbol dari daerah selatan. Menurut Tatt ada beberapa nilai dan makna dari phoenix, yaitu: penanda lahirnya “orang besar”, phoenix hanya akan singgah ke sesuatu yang berharga, membawa kemakmuran, kedamaian dan kenyamanan, juga mampu melawan kejahatan. Dalam upacara perkawinan masyarakat Tionghoa, gambar phoenix selalu disandingkan dengan naga. Phoenix melambangkan pengantin wanita, sedangkan naga melambangkan pengantin pria.50 Adapun gambar phoenix yang ditempel di dinding tembok Siti Inggil bermakna sebuah doa dan harapan agar kedamaian, ketenangan dan kemakmuran selalu mewarnai kehidupan masyarakat Cirebon. Masyarakat Cirebon dijauhkan dari segala konflik, pertikaian dan peperangan. Ketika keadaan negara damai, maka pembangunan di segala bidang akan berjalan baik, ekonomi juga akan tumbuh cepat, yang pada akhirnya akan menghantarkan masyarakat Cirebon pada keadaan makmur dan sejahtera. Gambar yang yang terakhir adalah gambar ikan. Dalam tradisi Tionghoa, ikan bermakna kegelapan. Hewan ini biasa dihidangkan pada acara Imlek. Maknanya adalah segala hal yang tidak baik dan kehidupan yang penuh kegelapan atau nasib buruk di masa lalu harus dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang baik dan penuh keberuntungan.51 Ikan juga merupakan simbol “berlebih-lebihan” (kemewahan). Jadi tempelan ornamen ikan di keramik yang ditempel di dinding Siti Inggil dapat juga diartikan sebagai sebuah doa dan harapan agar masyarakat

49Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari…, h. 95. 50Ong Hean Tatt, Chinese Animal Symbolisms, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publications, 1993), h. 40-55. 51Ni Wayan Sartini, “Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek”. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, vol. 19, no. 2, 2006, h. 47-62.

154

Cirebon senantiasa berada dalam keadaan yang berkecukupan dalam aspek material dan spiritualnya.52 Sementara dalam bahasa Mandarin ikan sama pelafalannya dengan keberuntungan.53 Ikan adalah salah satu hewan yang disenangi. Setiap orang yang melihat ikan hatinya senang dan damai. Makanya dalam kehidupan nyata sering kita saksikan ada orang-orang yang melarikan “kegalauannya” dengan memancing. Makna implisit dari gambar ikan adalah bahwa etnis Tionghoa yang datang ke Cirebon membawa pesan perdamaian dan ingin hidup damai dengan penduduk setempat, bukan permusuhan atau peperangan. Penulis melihat hal itu sejalan dengan misi yang dibawa Chengho ketika berkunjung ke Cirebon. Sekalipun saat itu pasukan yang dibawanya berjumlah, kurang lebih 27.000 pasukan, lebih banyak dari jumlah penduduk Amparan Jati, namun Cheng Ho tidak melakukan penaklukan atau kolonialisasi. Cheng Ho hanya membawa misi persahabatan. Makanya di daerah atau negara manapun ia singgah, diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Itu yang membedakan kedatangan Cheng Ho dan Barat. Begitupun ketika Ong Tien datang dengan pasukannya ke Cirebon, membawa misi perdamaian, bahkan kemudian terjadi perkawinan. Selain ornamen-ornamen fauna, di keramik-keramik yang ditempel di Siti Inggil juga ada ornamen flora seperti bunga. Tumbuhan dianggap sebagai lambang yang memiliki kekuatan alami, dan tahan terhadap berbagai perubahan cuaca atau iklim. Tumbuhan/bunga yang sering digunakan sebagai ornamen, salah satunya adalah teratai. Bagi masyarakat Tionghoa terutama pengikut Buddha, teratai memiliki tempat yang istimewa di hati mereka. Dalam agama Buddha, teratai dipercaya sebagai tempat duduk Sang Buddha yang melambangkan keagungan. Teratai dalam budaya Tionghoa melambangkan kesucian dan kesempurnaan, serta senantiasa tumbuh bersih dan menarik walaupun dalam lumpur atau rawa-rawa.54 Dalam kaitannya dengan Islam, Opan melihat bahwa tiap-tiap orang Muslim di manapun ia berada, harus mampu menjaga fitrah ketauhidannya, jangan sampai luntur dan terkontaminasi dengan lingkungan yang membuatnya semakin jauh dari Dzat Yang Maha Suci. Dengan kata lain, mau berteman dengan siapa saja dan di mana saja, nilai-nilai Ketuhanan harus selalu dipegang kuat. Manusia harus mampu beradaptasi dengan lingkungan di manapun berada dan sebisa mungkin bermanfaat bagi sesama.55 Penulis melihat, dengan adanya berbagai budaya dari luar yang ikut mewarnai dan melekat dalam arsitektur Keraton Kasepuhan, menandakan bahwa telah terjadi akulturasi budaya dalam Kesultanan Cirebon. Pandangan penulis sejalan dengan teorinya Keesing bahwa akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul jika suatu

52Jeremy Huang, Mengungkap Keberadaan dan Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, (Cirebon: Katalog Online Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati, 2006), h. 53. 53David Lievander, Olivia, dan Kuo Chun-I, “Ritual Perayaan Imlek Etnis Tionghoa Di Kota Toli-toli”. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture, vol. 5, no. 1, 2017, h. 10-17. 54Salim, “Memaknai Pengaplikasian Ornamen…,”, h. 50-65 55Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19 Juli 2020.

155 kelompok manusia dengan budaya-budaya tertentu bertemu dengan unsur-unsur budaya asing tertentu, sehingga kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan identitas kebudayaan masing-masing hilang.56 Dari bangunan Keraton Kasepuhan, penulis melihat beberapa hal. Pertama, Bangunan mencerminkan bahwa Kesultanan Cirebon berbasiskan ajaran Islam. Kedua, bangunannya mencerminkan terjadinya proses akulturasi yang baik, dibuktikan dengan bangunan-bangunan yang ada di Keraton Kasepuhan maupun di tempat bersejarah lainnya. Perwujudan budaya-budaya dari berbagai negara ada disini, dan diposisikan di tempat-tempat tertentu. Dengan demikian, budaya Cirebon memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan Islam sebagai agama utama dan mayoritas dipeluk masyarakat Cirebon. Ini terlihat dari makna-makna filosofis dari bangunan-bangunan yang ada dalam Siti Inggil. Bangunan Siti Inggil dibangun pada tahun 1529 pada masa Syarif Hidayatullah. Secara keseluruhan, di bagian dalam Siti Inggil terdapat lima bangunan tanpa dinding, dan beratap sirap. Deretan depan dari barat ke timur, di antaranya adalah bangunan Mande Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima, Mande Pelinggihan (Pengiring), dan Mande Karesmen.

1. Mande Malang Semirang

Gambar 6. Mande Malang Semirang Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Bangunan Mande Malang Semirang merupakan bangunan utama yang berada di bagian tengah Siti Inggil. Fungsi bangunan ini dikhususkan sebagai tempat duduk Sultan Cirebon beserta para keluarga, utamanya dalam berbagai kegiatan seperti upacara pelatihan dan pelaksanaan pengadilan di Alun-alun Sangkalabuana tepatnya di sebelah utara Keraton Cirebon. Mande Malang Semirang ditopang oleh enam tiang utama yang melambangkan rukun iman, dan jika dihitung keseluruhan tiangnya berjumlah dua puluh yang melambangkan dua puluh sifat Allah. Pelambangan rukun iman sebagaimana yang ada pada enam tiang utama Mande Malang Semirang dalam kaitannya dengan Islam mengarah pada masalah akidah. Sementara dalam Islam pembahasan mengenai akidah, salah satunya ialah rukun iman yang enam, sebagaimana hadis Rasulullah SAW berikut ini:

56F. M. Keesing, Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological Sources to 1952, (New York: Stanford University Press, 1953), h. 1.

156

Dari Umar RA berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW bahwa: “...Maka terangkanlah kepadaku tentang iman jawab Nabi, hendaklah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab kitab-Nya, kepada utusan utusan-Nya, kepada hari kiamat, dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan yang buruk...”(HR. Muslim). Kesadaran terhadap akidah (kepercayaan) artinya mempercayai sepenuh hati terhadap keberadaan yang gaib merupakan suatu sikap jiwa yang diperoleh karena pengetahuan yang berproses demikian rupa sehingga membentuk taat nilai atau norma maupun prilaku seseorang.57 Sementara itu, dua puluh tiang penyanggah yang melambangkan dua puluh sifat Allah. Menurut al-Asya'iroh, pembagian sifat terbagi menjadi tiga, di yaitu: Pertama, Sifat Wajib adalah sifat-sifat yang pasti dimiliki oleh Allah SWT yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sifat wajib ini ada dua puluh yang terbagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) Sifat nafsiyah (sifat yang menetapkan adanya Allah SWT). Sifat ini hanya ada satu, yaitu sifat wujud (ada). Dalil bahwa Allah SWT memiliki sifat wujud disebutkan dalam al-Qur‟an, yang artinya “Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya” (QS. Al-Furqan 25:61). (2) Sifat salbiyah adalah sifat yang menolak segala sifat yang tidak layak dan tidak patut bagi Allah SWT, sebab dzat dan sifat Allah SWT Maha Sempurna dan tidak memiliki kekurangan. Adapun yang termasuk dalam sifat salbiyah ada 5 yaitu: qidam (terdahulu), baqa (kekal), mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan yang baharu/makhluk), qiyamuhu binafsiihi (berdiri sendiri), wahdaniyah (Maha Esa). (3) Sifat ma'ani adalah sifat yang tetap ada pada dzat Allah yang menjelaskan keaktifan dzat Allah. Yang termasuk ke dalam sifat ma'ani yaitu: hayyun (Maha Hidup), qudrah (Maha Kuasa), iradah (Maha Berkehendak), ilmun (Maha Mengetahui), Kalam (Maha Berfirman), Sama' (Maha Mendengar), bashar (Maha Melihat). (4) Sifat ma'nawiyah yaitu sifat yang disandingkan dengan sifat ma'ani atau sifat yang menjelaskan tentang sifat ma'ani. Jumlahnya ada 7 yaitu : kaunuhu hayyan (dzat yang selalu berkeadaan Maha Hidup), kaunuhu qadiran (dzat yang selalu berkeadaan Maha Kuasa), kaunuhu muridan (dzat yang selalu berkedaan Maha Berkehendak), kaunuhu aliman (dzat yang selalu berkeadaan Maha Mengetahui), kaunuhu sami'an (dzat yang selalu berkeadaan Maha Mendengar), kaunuhu bashiran (dzat yang selalu berkeadaan Maha Melihat). Kedua, sifat mustahil (sifat yang tidak mungkin dimiliki oleh Allah SWT yang menunjukkan kekurangan-Nya). Sifat mustahil merupakan kebalikan dari sifat wajib. Jumlahnya ada dua puluh, yaitu adam (tidak ada), huduts (baru), fana (rusak/binasa), mumatsali lil hawaditsi (serupa dengan makhluknya), qiyamuhu bighairihi (berdiri dengan yang lain), ta‟addud (lebih dari satu), ajzun (lemah), karahah (tidak berkemauan), jahlun (bodoh), al maut (mati), as shamam (tuli), al umyu (buta), al bukmu (bisu), kaunuhu ajzan (keadaan-Nya yang lemah), kaunuhu mukrahan (keadaan-Nya terpaksa), kaunuh jahilan (keadaan-Nya yang bodoh), kaunuhu mayyitan (keadaan-Nya yang mati), kaunuhu ashamman (kedaan-Nya

57Ahmad Munawar Ismail, “Aqidah as a Basic Of Social Toleranca: The Malaysian Experience”. International Journal of Islamic Thought, vol. 1, 2012, h. 1-7.

157 yang tuli), kaunuhu a'maa (keadaan-Nya yang buta), kaunuhu abkam (keadaan-Nya yang bisu). Ketiga, sifat jaiz adalah sifat yang mungkin boleh dimiliki dan boleh tidak dimiliki oleh Allah SWT. Bahwa Allah SWT berbuat apa yang dikehendaki. Sifat jaiz hanya ada satu yaitu fi'lu kulli mumkinin au tarkuhu (Allah berwenang untuk menciptakan dan berbuat sesuatu atau tidak sesuai dengan kehendak-Nya). Sebagaimana firman Allah yang artinya“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya…”(QS. Al-Qashas 28: 68). Sifat wajib bagi Allah sebagaiman di atas, sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang Islam. Kaitannya dengan Kesultanan Cirebon, memahami hal tersebut adalah wajar sebab Kesultanan Cirebon merupakan salah salah Kerajaan Islam yang pernah jaya di masanya. Tentu doktrin keagamaan juga diterapkan oleh pihak kesultanan kepada masyarakatnya. Tidak hanya itu, semua bangunan yang ada di dalam Keraton Kasepuhan Cirebon juga memiliki makna simbolik dan filosofis dalam kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu sosok pemimpin Kerajaan Islam Cirebon, yakni Sunan Gunung Jati, ia tidak hanya sebagai pemimpin kerajaan tetapi juga sebagai orang yang mendakwahkan Islam pada masyarakatnya. Masyarakat Cirebon, merupakan komunitas masyarakat yang mewarisi nilai- nilai luhur dari tokoh agama Islam di tanah Jawa, yakni Syarif Hidayatullah (1448- 1568) yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Peradaban Islam yang disebarkan oleh Sunan Gunung Jati memberi kontribusi pada pembentukan cara pandang dunia yang menekankan aspek teosentrikberkisar sekitar Tuhan, daripada konsep peradaban Barat yang lebih menekankan pada aspek antroposentrikberkisar pada manusia. Semuanya itu berasal dari warisan kearifan lokal Sunan Gunung Jati yang terus dilestarikan di kalangan masyarakat Cirebon hingga saat ini. Melalui bangunan Mande Malang Semirang, penulis melihat bahwa Susuhunan Jati sebenarnya ingin menegaskan bahwa Kesultanan Cirebon dibangun di atas fondasi iman atau tauhid, dan khusus dua puluh tiang penyanggah bangunan Mande Malang Semirang menyimbolkan sifat wajib bagi Allah. Dengan demikian, melalui simbol tiang-tiang menunjukkan betapa Kesultanan Cirebon sarat dengan simbol- simbol ketauhidan.

2. Mande Semar Tinandu

Gambar 7. Mande Semar Tinandu Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

158

Bangunan Mande Semar Tinandu sebagaimana pada gambar di atas biasa digunakan atau berfungsi sebagai tempat duduk penasehat kesultanan, penghulu keraton dan kepala kaum Masjid Sang Cipta Rasa. Bangunan yang terletak di sebelah barat laut dari Siti Inggil ini ditopang oleh dua tiang penyanggah yang melambangkan dua kalimat syahadat. Tidak hanya sebatas lambang, tetapi setiap tahunnya pihak keraton melangsungkan sebuah tradisi keagamaan yang dikenal dengan nama panjang jimatdalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, yang dalam tradisi masyarakat Jawa di Yogyakarta disebut sekaten. Jimat (kang siji kang kudu dirumat)dalam konteks ini adalah syahadat. Sementara dalam Islam, syahadat dapat diartikan sebagai pernyataan janji setia. Syahadat berasal dari kata syahada yasyhadusyahādatan atau syuhūdan yang berarti menghadiri, menyaksikan, mengetahui, memberikan kesaksian, bersumpah, mengakui, dan mendatangkan. Oleh karena syahadat juga bisa berarti sumpah, maka harus dipenuhi dan tidak bisa dilupakan, sebab salah satu syarat seseorang dianggap Muslim adalah dengan membaca dua kalimat syahadat, yakni pernyataan atau pengakuan bahwa Allah adalah Tuhannya dan Muhammad adalah utusan Allah.58 Keraton Kasepuhan sebagai Kesultanan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan aturan Islam juga memiliki pandangan yang demikian. Karena syahadat adalah sumpah yang tidak boleh dilupakan, maka syahadat harus tetap diingat dengan jalan terus mengikrarkannya. Peristiwa ini telah diabadikan di dalam al-Qur‟an surat Al A‟raaf [7] ayat 172-173. Dua ayat ini mengungkap secara jelas bahwa terjadi pengambilan sumpah atau bai‟at syahadat langsung di hadapan Allah. Sumpah setia tersebut membawa manusia lahir dalam keadaan suci bagi keyakinan Muslim. Abd al-Raḥmān dalam Durūs al-Fiqhiyyah menyebut bahwa istilah syahadat adalah memantapkan hati (ber-iqtiqod), sesungguhnya Allah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah rasul dan utusan Allah.59 Sementara Muhammad Nawawī Al-Jāwy menerangkan bahwa syahadat adalah tiang Islam, atau fondasi agama Islam. Terkait dengan beberapa rukun Islam setelahnya, dikatakan Al-Jawī adalah sebagai pelengkap dari bangunan Islam. Dengan demikian, syahadat adalah syarat sah diterimanya amal seorang Muslim, atau dengan kata lain, jika seseorang itu belum bersyahadat, rukun-rukun Islam setelahnya itu akan sia-sia.60 Dengan demikian, setelah seseorang mengikrarkan syahadat, maka ia telah sah untuk mengamalkan hukum Islam. Bagi setiap orang yang ingin masuk ke agama Islam, maka harus memenuhi lima rukun syahadat sebagaimana yang telah disebutkan. Sementara bagi keturunan Muslim, tidak memerlukan ikrar syahadat seperti muallaf, meskipun seumur hidupnya tidak pernah mengikrarkan syahadat, ia sudah menjadi mukallaf. Dalam konteks ini, syahadat seperti roh bagi tubuh, ia

58Fakhruddin, “Eksistensi Syahadat dan Shalawat dalam Prespektif Tarekat Asy- Syahadatain”. Jurnal Yaqzhan: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan, vol. 4, no. 2, 2018, h. 242-267. 59Abd al-Raḥmān, Durūs al-Fiqhiyyah, (T.tp.: Maktabah Syekh Salim, t.th.), h. 3. 60Muḥammad Nawawī Al-Jāwy, Riyāḍ al-Badī‟ah, (Semarang: Pustaka al-„Alawiyah, t.th.), h. 3.

159 merupakan kehidupan bagi semua elemen Islam. Karena begitu pentingnya syahadat dalam kepercayaan Islam, Said Hawwa mengatakan bahwa amal kebaikan yang dilakukan seseorang tidak ada artinya tanpa syahadat.61 Syahadat yang dilafalkan adalah syahadat tauhid lā ilāha illa Allah dan syahadat Rasul Muḥammad rasūl Allah. Kedua kalimat ini dinamakan dua kalimat syahadat (syahadatain), dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam konteks masyarakat Cirebon, khususnya di Keraton Kasepuhan, untuk menjaga agar dua kalimat syahadat ini tetap terpelihara di dalam masyarakat Muslim, maka ada tradisi yang dikenal dengan panjang jimat. Prosesi adat atau tradisi panjang jimat adalah refleksi dari sebuah proses kelahiran Nabi Muhammad SAW dan merupakan acara puncak dari serangkaian kegiatan Maulud Nabi Muhamad di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Panjang” berarti sederetan iring-iringan berbagai benda pusaka, dan “jimat” berarti siji kang kang kudu dirumat (satu yang dihormati yaitu kalimat syahadat “lā ilāha illa Allah”). Jika digabungan dua kata tersebut memiliki arti sederetan persiapan menyambut kelahiran nabi yang teguh mengumandangkan kalimat syahadat kepada umat di dunia. Umumnya, tiap-tiap upacara terdiri atas kombinasi beberapa macam unsur upacara seperti berkorban, berdo‟a, bersaji makan bersama, berprosesi, semadi, dan sebagainya. Urutannya telah ditentukan sebagai hasil kreasi para pendahulunya yang telah menjadi tradisi di dalam masyarakat Cirebon.62 Oleh karena panjang jimat telah menjadi tradisi secara turun-temurun, maka sepanjang hayat dalam pandangan masyarakat Cirebon, setiap orang Muslim harus menjaga dan merawat jimat-nya yaitu syahadat. Artinya, akidah seorang Muslim harus tetap dijaga dan jangan sampai lepas. Kalau diperhatikan ritual-ritual yang berlangsug di dalam tradisi panjang jimat hampir mirip dengan upacara yang lainnya, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil. Maka pada saat itu tampaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan raja kehadapan rakyatnya). Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan untuk mendengarkan keabsahan keraton. Pada saat yang sama, seorang raja menyampaikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya.63 Secara serentak, upacara tradis panjang jimat di Cirebon dilangsungkan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Syarif Hidayatullah, yakni di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan kompleks makam Syarif Hidayatullah pendiri Kasultanan Cirebon atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati. Dengan demikian, dua tiang penyanggah bangunan Mande Semar Tinandu adalah simbol dua kalimat syahadat yang makna filosofisnya adalah bahwa Kesultanan Cirebon sejak awal pendiriannya adalah kesultanan yang berlandaskan pada Ketuhanan, dan memegang akidah islamiyyah. Karena kesultanan ini berbasiskan pada ajaran-ajaran Islam, maka secara otomatis semua hal yang

61Said Hawwa, Al-Islam, terj. Badul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 33-34. 62A.B. Usman, dkk., Upacara Sekaten dalam Pendekatan Teologis: Merumuskan Kembali Interkasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004), h. 205. 63Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam”, dalam Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 20-21.

160 berkaitan dengan kehidupan bernegara disandarkan pada ajaran Islam. Kemudian secara teologis, dua tiang penyanggah Mande Semar Tinandu menekankan pada keesaan Allah, dan keesaan Allah itu kemudian dijabarkan pemaknaannya lewat sifat wajib bagi Allah.

3. Mande Pandawa Lima

Gambar 8. Mande Pandawa Lima Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Mande Pandawa Lima adalah bagunan yang difungsikan sebagai tempat duduk para panglima dan pengawal pribadi Sultan Cirebon. Bangunan ini berada tepat di sebelah kiri bangunan utama dengan ditopang oleh lima buah tiang penyangga yang melambangkan rukun Islam. Keimanan seseorang akan terlihat dari pengamalan rukun Islam. Iman atau akidah seseorang itu letaknya di hati. Kuat dan lemahnya iman seseorang akan terlihat dari seberapa ia mampu mengamalkan rukun Islam tersebut. Rukun Islam merupakan sendi-sendi agama Islam, serta merupakan tonggak yang harus didirikan setiap orang Muslim agar bisa selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Banyak nilai dan makna yang dikandung rukun Islam yang bisa diamalkan sehingga manusia benar-benar bisa menjadi wakil Allah di muka bumi sebagaimana yang Dia kehendaki, yakni manusia yang memiliki fitrah penghambaan kepada- Nya dalam semua aspek.64 Ada beberapa hadis yang memuat adanya rukun Islam sebagai pondasi agama Islam, salah satu di antaranya adalah hadis yang dimuat dalam kitab Sahīh Bukhari. Rasulullah SAW. bersabda: “Islam itu ditegakkan atas lima, persaksian tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Syahadatain), mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan Ibadah Haji ke Baitullah dan puasa pada bulan Ramadhon” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis di atas menjelaskan kepada kita semua bahwa Islam ditegakkan atas lima perkara. Sebagai makhluk yang memiliki fitrah (potensi beragama), kelima perkara atau rukun tersebut harus dijalankan. Nilai dan makna yang terkandung di dalamnya harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana juga yang

64Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

161 ditekankan pada masyarakat Cirebon, khususnya di Keraton Kasepuhan, sejak kesultanan Islam ini dipimpin oleh Sultan Sunan Gunung Jati. Upaya menerapkan nilai-nilai dan makna yang dikandung rukun Islam dalam menjalankan kehidupan yang penuh dengan masalah ini merupakan bagian dari strategi bimbingan Sunan Gunung Jati sebagai yang mendakwahkan Islam untuk membantu manusia, khususnya bagi keluarga Keraton Kasepuhan, dan masyarakat Cirebon secara umum untuk menemukan fitrahnya kembali sebagai khalifah dan hamba Allah di muka bumi. Rukun Islam merupakan tonggak agama yang mulia, sebagaimana Imam al- Qurthubi mengatakan bahwa yang dimaksudkan, lima rukun (rukun Islam) merupakan dasar-dasar agama Islam dan kaidah-kaidahnya, yang agama Islam dibangun di atasnya, dan dengannya Islam tegak.65 Sementara Imam an-Nawawi juga ikut mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan bahwa sesungguhnya hadis ini merupakan pokok yang besar di dalam mengenal Islam, dan agama Islam bersandar di atas hadis ini, dan hadis ini mengumpulkan rukun-rukunnya.66 Selain dua ulama tersebut, Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa al-Bukhari memasukkan hadis ini ke dalam kitab al-Iman, untuk menandaskan bahwasanya Islam adalah nama bagi pekerjaan dan bahwasanya Islam dan iman itu, terkadang adalah satu maknanya.67 Bangunan Mande Pandawa Lima yang dilengkapi dengan lima tiang penyanggah, selain menyimbolkan rukun Islam, juga memuat makna filosofis dan urgensi yang dapat ditelusuri dari penjelasan masing-masing rukun yang ada dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, haji. Pertama, syahadat. Syahadatain berisi syahadat tauhid dan syahadat rasul, keduanya wajib diucapkan dengan sungguh-sungguh, dengan segenap jiwa dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Sementara dalam Syarah Hadits Arba‟in an-Nawawi dijelaskan bahwa meninggalkan syahadatain hukumnya kafir secara ijma‟, dan syahadat seorang Muslim tidaklah sah sehingga terkumpul padanya tiga hal, yakni keyakinan hati, ucapan lisan dan menyampaikan kepada orang lain.68 Inilah nilai akhlak yang terkandung dalam syahadatain, yaitu pengikraran dengan segenap jiwa (rohani), dengan memahami isi kandungannya. Dengan demikian, syahadatain dapat bermakna: 1) kunci sahnya keempat rukun Islam;69 2) cerminan dari komitmen terhadap enam prinsip rukun iman, mengandung unsur keyakinan (nilai akidah), sebuah kekuatan visi, yaitu memulai

65Ibn Daqiq al-„Id, Syarah al-Arba‟in Hadisan al-Nawawiyah, (Kairo: Maktabah Turos al-Islami, t.th.), h. 20. 66Imam an-Nawawi, Hadits Arbain al-Nawawiyah, edisi terjemahan, (Surabaya: AW Publisher, 2005). 67M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadis, cet. V, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 19780), h. 99. 68Imam an-Nawawi, Syarah Hadits Arba‟in Imam Nawawi Penjelasan 40 Hadits Inti Ajaran Islam, terj. Ibn Daqiq al-„Id, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2013). 69Hafizh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.), h. 54.

162 dengan tujuan akhir, dan membulatkan tekad diri;70 3) salah satu pilar, sehingga jika satu pilar roboh, yang lain ikut roboh;71 4) mengandung kalimat tauhid (mengesakan Allah), dan meyakini kebenaran utusan Allah, yakni Rasulullah SAW. Kedua, shalat. Shalat mengandung makna meningkatkan keharmonisan dalam berhubungan dengan sesama manusia dan alam semesta, di samping meningkatkan keyakinan hubungan dengan Allah. Shalat wajib ditekankan supaya dilaksanakan secara berjamaah. Selain dilipatkan pahalanya sampai 27 derajat, shalat berjamaah sebagaimana dikatakan Agus dapat menghilangkan diskriminasi antar sesama manusia, membina persatuan, menampakkan rasa persamaan, kuatnya satu barisan, kesatuan kalimat, dan berlatih taat kepada Allah dalam masalah-masalah yang bersifat umum atau masalah sosial.72 Shalat adalah konsentrasi akal pikiran dan jiwa yang diorientasikan kepada Allah semata, juga menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman batin bagi pelakunya sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-Ma‟arij [70] ayat 19-23. Selain dalam ayat tersebut, shalat juga merupakan pelatihan mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani dan rohani dari sifat-sifat dan perilaku tercela serta perbuatan keji dan mungkar sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ankabut [29] ayat 45. Shalat juga dapat memperkokoh jiwa untuk bersosialisasi dan meningkatkan hubungan yang kuat antara sesama umat Islam, seperti solidaritas sosial, kesatuan pemikiran dan kelompok.73 Selain itu, urgensi dari shalat adalah bangunan Islam yang paling agung di antara kelima bangunannya sesudah dua kalimat syahadat. Posisi dalam agama seperti tempat kepala terhadap tubuh. Maka sebagaimana orang yang tidak berkepala tidak bisa hidup, demikian halnya seorang yang tidak mengerjakan shalat, berarti tidak beragama,74 sebab shalat merupakan kewajiban yang pertama dalam Islam.75 Ketiga, zakat. Dari segi definisi zakat berarti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda bagi pelaku zakat, sedangkan secara istilah zakat berarti kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu76 sebagaimana juga yang dikatakan Al Asqalani bahwa yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah mengeluarkan sebagian dari harta dengan ketentuan tertentu.77 Sementara di dalam al-Qur‟an, Allah telah

70A. G. Agustian, Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ; Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga Wijaya, 2001), h. 262. 71Ahmad al-Hambali Ibn Rajab, Jami‟ul-„Ulum wal Hikam, (Beirut: Darul Ma‟rifah, 1987). 72Bustanuddin Agus, Al-Islam, Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 106. 73Ahmad bin Salim Badwailan, Dahsyatnya Terapi Shalat, terj. Ubaidillah S. Akhyar, (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007), h. 24-25. 74Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Nasehat-nasehat Agama dan Wasiat-wasiat Keimanan, terj. Zaid H. Al-Hamid, cet. I, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2002), h. 96. 75Abdul Aziz Salim Basyarahil, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 11. 76Agus, Al-Islam…, h. 111. 77Al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.)

163 menggabungkan antara shalat dan zakat sebagaimana dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 110. Kalau dicermati lebih jauh, kewajiban zakat dalam al-Qur‟an selalu digambarkan dengan kata “ātu”suatu kata yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung lebih dari satu makna, antara lain istiqamah bersikap jujur dan konsekuen, cepat, memudahkan jalan, dan pelaksanaan secara sempurna, serta mengantar kepada seorang agung lagi bijaksana.78 Secara sederhana, makna-makna tersebut dapat dijelaskan bahwa zakat dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak terjadi kecurangan, baik dalam pemilihan, pembagian, dan perhitungannya; bergegas dalam pengeluarannya atau tidak menunda-nunda sampai waktunya berlalu; mempermudah jalan penerimaannya; dan bagi mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk ini adalah seorang yang agung lagi bijaksana. Sehingga dalam konteks ini, kesucian jiwa dapat melahirkan ketenangan batin, bukan hanya bagi penerima zakat, tetapi juga bagi pemberinya. Karena kedengkian dan iri hati dapat tumbuh pada saat seseorang yang berkecukupan, namun enggan mengulurkan bantuan. Kedengkian ini menurut Shihab dapat melahirkan keresahan bagi kedua belah pihak.79 Dari penjelasan di atas, maka makna yang dikandung zakat berdampak pada manusia (pemberi zakat) itu sendiri sebagai bagian dari pengembangan dan peningkatan, serta fitrah beragama. Hal ini dikarenakan dengan mengeluarkan zakat, jiwa dan harta dari pemberi zakat akan menjadi suci (fitrah) dan berkembang. Iman menjadi meningkat, jiwa menjadi tenang, dan harta menjadi bertambah. Keempat, puasa. Puasa dari segi bahasa berarti menahan, yakni menahan diri dari yang membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam matahari, sedangkan yang membatalkannya ialah makan, minum, bersetubuh, dan sengaja mengeluarkan mani atau muntah dan sebagainya.80 Dalam Islam, puasa dikenal dengan beberapa jenis, yakni puasa wajib, sunat dan haram. Puasa wajib adalah pada bulan Ramadlan dan puasa nażar. Apabila seseorang berhalangan puasa karena sakit, dalam perjalanan, haid, dan nifas, wajib dibayar pada hari lain sebanyak hari yang tidak dapat dipuasakannya. Puasa sunat ialah puasa di luar bulan Ramadlan yang dianjurkan oleh al-Qur‟an dan hadis, seperti puasa enam hari bulan Syawal, puasa Arafah (9 Zhulhijjah) bagi yang tidak sedang menunaikan ibadah haji, puasa hari Asyura‟ (10 Muharram), memperbanyak puasa pada bulan Sya‟ban, puasa hari Senin dan Kamis, dan puasa pada pertengahan bulan Qamariyah. Tetapi haram berpuasa pada dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, serta pada hari tasyrîq, yaitu tanggal 11, 12, 13 Zhulhijjah. Salah satu nilai yang dikandung dalam ibadah puasa adalah nilai akhlak, yakni melatih kesabaran, sebab dengan sabar menahan hawa nafsu dari apa segala yang membatalkannya, kita diharapkan menjadi insan yang bertakwa (muttaqīn),81

78M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XXX, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), h. 192. 79Shihab, Lentera Hati…, h. 193. 80Agus, Al-Islam…, h. 114. 81Ridwan Malik, Puasa Ulat: Merenungi Jejak Tuhan, Bercermin pada Nurani, (Cibubur: PT. Variapop Group, 2006), h. 56.

164 sebagaimana Allah SWT dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 183. Menjadi insan bertakwa (muttaqīn), tergantung pada bagaimana kualitas puasa itu sendiri. Maka tidak salah jika al-Ghazali sebagaimana dikutip Malik membagi tiga tingkatan atau kualitas puasa, yaitu puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa super khusus (khawas al khawas). Semakin tinggi tingkat puasa kita, semakin besar pengaruh puasa dalam merubah kualitas diri manusia yang menjalaninya menjadi lebih baik dari sebelumnya.82 Merujuk pada konteks di atas, puasa termasuk syariat Islam yang dilaksanakan berdasarkan keikhlasan, menjadi rahasia antara hamba dengan Tuhan dan tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah SWT. Oleh sebab itu, puasa memilliki pahala yang agung dan balasan yang besar, karena ia adalah ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Dengan demikian, melalui bangunan Mande Pandawa Lima yang merupakan simbol rukun Islam, sultan ingin menegaskan bahwa kesultanan ini memadukan akidah dan Syariah yang bersumber dari ajaran Islam. Kelima, Haji. Haji merupakan rukun Islam yang kelima dan merupakan ibadah pokok yang keempat yang disyariatkan setelah ketiga pokok ibadah sebelumnya, yakni: sholat, puasa Ramadhan dan zakat. Ibadah haji merupakan salah satu sarana komunikasi antara seorang hamba dengan Khaliknya. Ibadah ini pertama kali disyariatkan pada tahun keenam hijrah, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran [3] ayat 96-97. Haji sebagai ibadah fisik dan ibadah rohani bertujuan agar manusia memusatkan segala yang dimiliki hanya untuk Allah. Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah maka para tamu Allah harus menanggalkan atribut-atribut “kebesaran” dengan mengenakan pakaian ihram yang sama dengan yang lainnya. Pada saat itu semua manusia dari golongan manapun semuanya sama. Salah satu pelajaran berharga yang harus dipetik bahwa manusia tidak layak sombong dengan pangkat, keilmuan dan harta yang dimilikinya, karena di hadapan Allah semua sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya.

4. Mande Pelinggihan (Pengiring)

Gambar 9. Mande Pelinggihan (Pengiring) Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

82Malik, Puasa Ulat: Merenungi…, h. 56.

165

Mande Pelinggihan (Pengiring) digunakan sebagai tempat duduk pengiring atau pejabat kesultanan, termasuk para hakim dan jaksa ketika ada persidangan yang dilakukan oleh pengadilan kesultanan. Bangunan ini ditopang oleh delapan tiang, yakni empat tiang di bagian tengah dan empat tiang di masing-masing pojok bangunan. Delapan tiang penyanggah tersebut, selain dijadikan sebagai tempat duduk para pejabat kesultanan, juga memiliki makna simbolik dan makna filosofis. Bangunan Mande Pelinggihan diperkuat oleh empat tiang penyanggah di bagian tengahmenyimbolkan empat anasir penting yang ada di alam: tanah, air, udara dan api. Tanah merupakan unsur utama dan penting dari ekosistem. Tanah merupakan hasil bumi dan nikmat Allah SWT yang harus kita pelihara keberadaannya dengan sebaik-baiknya sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al A‟raaf [7] ayat 58 dan surat Al Mu‟min [40] ayat 67. Dengan demikian, melalui simbol tanah, ada pesan agama yang ingin disampaikan bahwa manusia itu diciptakan dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Jadi, berhati hatilah dalam menjalani kehidupan di dunia karena setiap perilaku manusia akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Manusia harus sadar bahwa hidupnya di dunia untuk mencari pahala, amal kebaikan untuk bekal di akhirat. Komponen lingkungan lainnya yang sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup adalah air. Manusia baru bisa merasakan betapa pentingnya air ketika kebutuhan akan air sulit dipenuhi, atau ketika air menimbulkan masalah. Di sisi lain, air sangat bermanfaat bagi kehidupan manusiamulai dari keperluan air minum, memasak, mencuci, irigasi, industri sampai pada penyediaan energi dan rekreasi. Seluruh aktivitas manusia tidak bisa dilepaskan dari air, atau dengan kata lain, makhluk hidup sangat tergantung pada ketersediaan air. Di dalam Islam air sangat penting sebagai sarana ibadah. Ketika seorang Muslim akan berwudhu untuk sholat dan mandi junub untuk mensucikan diri, maka air dibutuhkan untuk bersuci. Hal tersebut sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al- Maidah [5] ayat 6, yang menjelaskan posisi strategis air, serta fungsinya dalam tata kehidupan alam, manusia dan lingkungannya. Misalnya tentang asal dan penopang kehidupan, daur hidrologi, sarana transportasi, dan sebagainya, bahkan Allah melukiskan surga sebagai kebun yang dialiri sungai-sungai di bawahnya. Allah SWT juga pernah mengadzab umat-umat terdahulu yang ingkar dan melampaui batas seperti umat nabi Nuh, Firaun, kaum Saba dan umat-umat lainnya, dengan air. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa air merupakan sesuatu yang vital dan diperlukan, tetapi juga bisa menjadi sumber masalah dan bencana.83 Begitu pentingnya air bagi kehidupan manusia, maka telah menjadi kewajiban kita bersama untuk merawatnya. Selain komponen tanah dan air, udara juga merupakan salah satu unsur penting dimana seluruh isi alam semesta yang ada bergantung padanya. Udara memberikan manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Udara terbentuk dari beberapa gas yaitu: Helium (He), Nitrogen (N), Oksigen (O2) dan Karbon Dioksida (CO2). Semua makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk bernafas. Gas oksigen juga dibutuhkan

83Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Badan Litbang & Diklat Kementrian Agama RI dengan LIPI, Air dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2011), h. 1-3.

166 untuk pembakaran makanan dalam tubuh makhluk hidup. Dari pembakaran tersebut menghasilkan energi, yang mana energi itu dibutuhkan untuk melakukan segala aktivitas manusia. Selain O2, CO2 juga berperan dalam proses pernapasan manusia. Kebutuhan manusia akan oksigen per jam rata-rata berjumlah 53 liter. Sementara oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dedaunan (tanaman) agar dapat memproduksi kebutuhan 53 liter oksigen harus dihasilkan oleh minimal 3000 lembar daun atau sekitar 4 tanaman yang masing-masing minimal memiliki 750 helai daun. Namun, fakta yang ada saat ini, manusia mulai malas menanam pohon. Semua halamannya dibeton, dan sebagai akibatnya, disamping tidak ada resapan air, juga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, sehingga kualitas udara semakin buruk, bahkan yang lebih memprihatinkan lagi banyak hutan yang dibabat habis. Dengan demikian, ada pesan dibalik empat tiang penyanggah di bagian tengah bangunan Mande Pelinggihan yang ingin disampaikan kepada manusia bahwa sebagai makhluk beragama, manusia wajib bersyukur atas nikmat udara yang Allah berikan, serta bersama-sama menjaga keseimbangan alam dan tidak merusaknya. Dan ini terkait dengan tugas utama manusia sebagai khalifah yaitu merawat, memakmurkan dan memanfaatkan alam ini untuk kemaslahatan bersama. Penebangan hutan secara liar, membuang limbah ke sungai, dan membakar hutan hanya akan merusak alam dan membuat keseimbangan yang ada menjadi timpang. Menjaga keseimbangan alam adalah tugas manusia sebab manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Itulah sebabnya manusia memiliki kedudukan yang sederajat dan setara dengan alam, dan semua makhluk di alam ini. Kenyataan ini harus mampu membangkitkan perasaan solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain. Sebagai khalifah juga manusia mempunyai tanggungjawab moral terhadap alam semesta, baik terhadap keberadaan ataupun kelestariannya. Adapun simbol empat tiang yang lain di masing-masing pojok bangunan Mande Pelinggihan melambangkan empat penjuruh atau arah mata angin, yakni utara, selatan, barat dan timur. Makna filosofisnya adalah kemanapun manusia menghadapkan pandangannya, sesungguhnya sedang menghadap Allahpemilik Kerajaan timur dan barat, serta semua arah mata angin. Allah pemilik arah terbitnya matahari dan tenggelamnya matahari, serta apa yang ada di antara keduanya sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2] ayat 115. Ayat ini memberikan pengertian kepada manusia bahwa seluruh penjuru adalah milik Allah, dan Allah tidak memiliki tempat khusus. Milik Allah timur dan barat, serta arah terbitnya cahaya dan segala apa yang berkaitan dengan yang terdapat di sana, juga arah terbenamnya cahaya. Oleh karena itu, kemanapun manusia menghadap selama dalam rangka melaksanakan apa yang diperintahkan, maka disitulah akan menemukan wajah Allah.84 Melalui empat tiang tersebut, ada pesan yang ingin disampaikan, yakni setiap Muslim di manapun berada harus selalu mengingat Allah serta melaksanakan kewajibannya untuk sholat lima waktu dan lain sebagainya. Selain itu, penulis melihat makna lain dari empat arah mata angin adalah bahwa sejak awal Kesultanan Cirebon terbuka kepada siapapun dan dari manapun arah datangnya untuk menjadi pejabat kesultanan. Artinya, sultan tidak selalu

84M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 289.

167 mengedepankan nepotisme untuk menentukan orang-orang untuk menjadi pejabat kesultanan, melainkan ia mencari orang-orang yang cocok, dan yang datang dari mana saja selama orang-orang tersebut memiliki kompetensi dan setia kepada kesultananmereka yang difungsikan. Hal tersebut diperkuat dengan hadirnya orang-orang atau para pejabat kesultanan yang datang dari luar daerah Cirebon, terutama mereka yang diketahui adalah etnis Tionghoa.

5. Mande Karesmen

Gambar 10. Mande Karesmen Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Bangunan Mande Karesmen jumlah tiang penyanggahnya sama dengan Mande Pelinggihan, hanya saja, fungsinya dijadikan sebagai tempat menaruh peralatan kesenian seperti alat musik gamelan. Di Kesultanan Cirebon, tradisi menabuh gamelan sekaten (gong sekati)85 dilakukan dua kali dalam setahun, khususnya pada peringatan atau acara-acara keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan juga biasa dipertunjukkan di alun-alun, yang disaksikan oleh sultan dan keluarganya. Sekalipun arsitektur bangunan Mande Karesmen sebagaimana dalam gambar nampak seperti bangunan Hindu, tetapi sesungguhnya bangunan ini sarat dengan nilai-nilai Islam. Sebagaima disebutkan di atas, jumlah tiang bangunan Mande Karesmen sama dengan Mande Pelinggihan. Empat tiang di bagian tengah merupakan simbol empar anasir penting dalam kehidupan yaitu tanah, air, udara dan api. Sementara empat tiang bagian luar merupakan simbol arah mata angin dengan makna filosofis agar mnusia dimanapun berada selalu mengingat Allah SWT. Allah pemilik segala arah, tidak ada tempat yang lepas dari monitor Allah. Jadi, manusia harus mawas diri dan menjaga perilakunya dimanapun berada karena Allah senantiasa mengawasi dan inilah makna ihsan“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu…”. Ihsan juga adalah melakukan ibadah dengan khusyu‟, ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memerhatikan apa yang diperbuatnya. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah: Dari Umar r.a. dia berkata: Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah SAW suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya.

85Gamelan Sekaten (Gong Sekati) adalah alat kesenian buatan abad ke-15.

168

Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah SAW) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”, kemudian dia berkata: “anda benar”. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahu aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk”, kemudian dia berkata: “anda benar”. Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang ihsan”. Lalu beliau bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan- akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau”. Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya”. Dia berkata: “Beritahu aku tentang tanda-tandanya”, beliau bersabda: “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya”, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim). Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam dan ihsan. Oleh karenanya, hendaknya seorang Muslim memandang ihsan sebagai bagian dari akidah keislaman, dan tidak memandang ihsan sebatas akhlak yang utama saja. Ihsan yang dipahami dengan benar akan mampu membentuk manusia-manusia Muslim yang tidak hanya soleh secara individual tetapi juga sosial. Aktualisasi ihsan akan membuat para pelaku bisnis tidak hanya semakin dekat kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia.86 Mande Karesmen adalah bangunan tempat alat musik gamelan. Maknanya adalah bahwa budaya Cirebon merupakan budaya yang disenangi, disukai dan dinikmati oleh siapa saja. Budaya Cirebon menembus segala arah mata angin. Setiap orang dari manapun asalnya bisa ikut menikmati alunan gamelan yang sedang dimainkan. Musik gamelan ini disamping sebagai media hiburan, juga bisa mengurangi kecemasan dan depresi. Dari hasil penelitian Yusli dan Nurullya Rachma menemukan bahwa gamelan bisa menjadi alternatif perawatan atau terapi untuk lansia yang menghadapi masalah kecemasan.87

86M. Djakfar, “Corporate Social Responsibilty: Aktualisasi Ajaran Ihsan dalam Bisnis”. Ulul Albab, vol 11, no. 1, 2010, h. 111-130. 87Utami Dwi Yusli dan Nurullya Rachma, “Pengaruh Pemberian Terapi Musik Gamelan Jawa Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia”. Jurnal Perawat Indonesia, vol. 3, no 1, 2019, h. 72-78.; Lihat juga Rita Hadi W, “Pengaruh Intervensi Musik Gamelan Terhadap

169

Penulis melihat bahwa akulturasi budaya pada Keraton Kasepuhan Cirebon terjadi karena dua hal. Pertama, lokasinya yang strategis menjadikan Cirebon sebagai pusat perdagangan, tempat bertemunya berbagai suku, budaya dan agama antar bangsa. Kedua, sikap terbuka dari Sultan Cirebon merupakan faktor terpenting yang mengakibatkan masuknya berbagai pengaruh budaya pada bangunan dan masyarakat, khususnya pada bangunan Kraton Kasepuhan Cirebon. Akulturasi budaya pada bangunan Keraton Kasepuhan yaitu berasal dari Tiongkok, Hindu, Budha, Jawa, Eropa, Islam dan Arab. Budaya Tionghoa dapat ditemukan pada bangunan Dalem Agung Pakungwati, bangunan Siti Inggil termasuk bangunan Mande Malang Semirang, Mande Semar Tinandu, Mande Pandawa Lima, Mande Pelinggihan (Pengiring), dan Mande Karesmen, serta Kucung Kutagara Wadasan, Pintu Buk Bacem.

6. Makam Astana Gunung Jati Cirebon adalah salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak situs peziarahan Islam, salah satu yang sangat terkenal adalah makam Sunan Gunung Jati. Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah berusia lebih dari enam abad itu terdiri dari sembilan tingkat pintu utama, yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai di puncak kesembilan. Para peziarah hanya dibolehkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, depan pintu Lawang Gedhe, pada tingkatan pintu keempat. Sementara pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, dan hanya sesekali dibuka khusus bagi anggota keluarga Keraton Cirebon, atau orang yang mendapat izin khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada acara-acara tertentu seperti Gerebeg Idul Fitri dan Idul Adha, Maulud Nabi, dan pada malam Jumat Kliwon.

Gambar 11. Tangga Masuk ke Makam Sunan Gunung Jati Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Depresi Pada Lansia di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang”. Home, vol. 1, no. 2, 2013, h. 135-140.

170

Untuk sampai ke makam Sunan Gunung Jati, setiap peziarah harus melewati sembilan pintu. Sembilan pintu tersebut merupakan simbol dari sembilan wali. Selain sebagai simbol dari sembilan wali, sembilan pintu untuk sampai ke makam Sunan Gunung Jati juga merupakan simbol dari sembilan lubang pada tubuh manusia yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud dengan sembilan lubang pada tubuh manusia, yakni dua lubang mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu lubang mulut, satu lubang alat kelamin dan satu lubang anus, yang jika dihitung keseluruhannya, berjumlah sembilan lubang. Kaitannya dengan panca indera, sebenarnya telah disinggung dalam al-Qur‟an surat Al-Insan [76] ayat 2. Ayat al-Qur‟ān di atas sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa panca indera manusia merupakan pemberian dari Allah SWT. yang harus dijaga dan difungsikan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana pula kemampuan manusia dalam menggunakannya. Karena itulah, dalam konteks ini panca indera manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hari akhir nanti, sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al-Isra‟ [17] ayat 36. Afirmasi ayat ini terkait dengan indera eksternal dan internal88 manusia turut terlintas eksplisit, terbukti, muncul pula terma yang terkait dengan fungsi indera, yakni kesaksian (syahadah/witnessing) akan adanya Allah SWT, malaikat dan hari akhir yang berdimensi imani. Yang berkaitan dengan perjanjian awal (mitsāq) manusia pada masa pra wujud, yang berupa kesaksian bahwa Allah adalah Tuhan (…alastu birabbikum…), yang mana pada saat itu, ruh manusia mampu bersaksi setelah mengenali Allah sebagai Tuhan melalui indera internalnya.89 Selain beberapa ayat yang telah disebutkan, ada juga ayat al-Qur‟an yang berisi peringatan bagi manusia agar menjaga pandangan, pendengaran, lisan, maupun kemaluannya. Hal ini secara tegas diabadikan Allah dalam al-Qur‟an surat Fushshilat [41] ayat 22. Menurut Thabataba‟I sebagaimana dikutip Shihab bahwa ayat tersebut mengisyaratkan pengawasan Allah terhadap manusia pada setiap waktu dan tempat. Di manapun dan kemanapun manusia, Allah senantiasa bersamanya. Dalam segala kegiatannya, manusia senantiasa berada di bawah teropong yang mengawasi dan menyaksikannya.90 Sementara dalam ayat yang lain Allah secara khusus memperingatkan manusia agar menjaga lisannya dengan menjauhi ghibahmembicarakan orang lain yang tidak ada di depan kita tentang sesuatu yang tidak disenangi dari orang yang dibicrakan. Sekalipun keburukan itu benar disandang atau terjadi pada orang yang sedang dibicarakan, hal tersebut tetap terlarang. Apalagi jika keburukan yang dibicarakan itu tidak disandang oleh objek ghibah, maka perbuatan tersebut termasuk buhtan (kebohongan besar) sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al- Hujuraat [49] ayat 12.

88Muhammad Taqiyuddin, “Panca Indera dalam Epistemologi Islam”. Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4, no. 1, 2020, h. 113-138. 89S. M. N. Al-Attas, Islam, Secularism and The Philosophy of the Future, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1985), h. 45-46.; Lihat juga S. M. N. Al-Attas, The Intuition of Existence, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990), h. 193-194. 90M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mișbah, vol. 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 398- 401.

171

Ayat di atas menggambarkan betapa buruknya menggunjing, bahkan Thabathaba‟I dalam Shihab menjelaskan bahwa ghibah adalah bagian dari hal yang merusak masyarakat. Dampak positif yang diharapkan dari terwujudnya masyarakat bisa gagal dan berantakan karena ghibah. Masyarakat yang harmonis antar anggotanya, yang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai sulit terwujud hanya karena ghibah. Ghibah juga dapat melemahkan hubungan kemasyarakatan seperti rayap yang menggerogoti anggota badan yang digunjing, sedikit demi sedikit hingga berakhir pada kematian.91 Dengan kata lain, keselamatan seseorang tergantung pada usahanya dalam menjaga lisannya. Tidak sedikit orang yang tergelincir dan celaka hidupnya karena ulah lisannya sendiri. Perkataan yang baik akan membawa keselamatan, dan sebaliknya perkataan yang buruk akan mencelakakan dan menghancurkan. Oleh karena itu, manusia harus hati-hati menggunakan lisannya, sebab perkataan yang tidak baik akan mendatangkan murka Allah dan menghapus segala kebaikan yang ada pada pelaku ghibah. Selain beberapa ayat al-Qur‟an di atas, hadis nabi memberikan kabar gembira bagi mereka yang mampu menjaga lisan dan kemaluannya. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari). Hadis ini menginformasikan kepada kita bahwa akan datang bencana besar untuk menimpa seseorang yang tidak mampu menjaga apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya (lisan dan kemaluan). Sebaliknya, barang siapa mampu menjaga keduanya, berarti ia telah mencegah terjadinya bencana besar dan menjauhkan diri dari berbagai macam perbuatan maksiat, dan akan membuat seseorang selalu dalam naungan, rahmat dan karunia Allah SWT. Lebih lanjut, Setiani mengatakan bahwa dorongan syahwat yang tidak disalurkan melalui lembaga pernikahan, hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam lembah kehinaan.92 Penulis melihat bahwa makna dibalik simbol-simbol yang digunakan di dalam Kesultanan Cirebon sebagai kesultanan Islam, khususnya pada makam Sunan Gunung Jati yang terkait dengan panca indera erat kaitannya dengan makna yang terdapat dalam Islam. Tidak heran, sejak dahulu hingga saat ini, secara turun temurun dalam kepercayaan orang-orang Keraton Kasepuhan, sembilan lubang yang ada pada manusia yang menurut analisa penulis erat kaitannya dengan panca indera, harus dijaga kebersihannya karena semua itu merupakan pemberian dari Allah SWT. Dengan demikian, sembilan tangga yang juga merupakan simbol sembilan lubang mengandung nilai-nilai religious. Sembilan lubang ini harus dijaga dan dikendalikan untuk menjadi manusia ideal atau insan kamil yang beretika baik, berhati bersih dan baik, serta dekat dengan sang Pencipta. Untuk sampai pada ma‟rifat, manusia harus dapat memfungsikan sembilan lubang itu sebagaimana petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW. Manusia harus mampu mengendalikan,

91M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mișbah, vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 256- 257. 92Riris Eka Setiani, “Pendidikan Seks Bagi Anak : Perspektif Al-Qur‟an”. Yinyang, vol. 12, no. 1, 2017, h. 57-84.

172 menjaga, dan memfungsikan sembilan lubang yang melekat dalam jasmani secara benar dan konsekuen, sehingga tidak melanggar aturan agama, norma dan etika pergaulan93 dalam bermasyarakat. Sementara untuk naik atau masuk ke makam Sunan Gunung Jati ada aturanya yang sudah menjadi ketetapan keraton. Masyarakat biasa hanya bisa sampai pada pintu makam yang telah ditentukan. Ketetapan tersebut tidak hanya berlaku bagi masyarakat biasa ketika berziarah, tetapi para pihak dari Kesultanan Cirebon pun berziarah ke makam Sunan Gunung Jati, umumnya hanya dalam acara misalnya, grebeg Syawal, seminggu setelah hari raya Idul Fitri, yang dipimpin langsung oleh sultan keraton. Sementara yang membedakan dengan masyarakat umum, mereka hanya boleh di pintu pasujudan, dimana tempat ini rutin diadakan tahlilan yakni pada setiap malam Senin, malam Kamis dan malam Jumat. Menurut Hafid ada dua alasan tidak diperkenankannya para peziarah atau masyarakat umum masuk hingga ke makam Sunan Gunung Jati, yaitu: (1) Karena masyarakat umum bukan bukan trah-nya Kanjeng Sunan Gunung Jati. (2) Dengan pertimbangan bahwa di kompleks makam Sunan Gunung Jati telah tersimpan banyak benda berharga, yang apabila semua masyarakat umum masuk, dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan pada benda-benda berharga didalamnya dan lain sebagainya.94 Meskipun, setiap manusia di mata Allah sama kedudukannya, sehingga tidak ada pembatasan antara masyarakat biasa dangan sultan, apalagi terhadap orang yang sudah meninggal. Namun, keturunannyalah yang berhak untuk ziarah, di samping itu memang setiap raja sudah ada pekemnya masing-masing, yang diatur oleh kesultanan secara turun temurun.

Gambar 12. Bagian Depan Tembok Makam Sunan Gunung Jati Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Hasan (juru kunci makam Sunan Gunung Jati) sebagaimana dalam Jaelani, Setyawan dan Nursyamsudin menjelaskan bahwa yang menarik dari para peziarah selain warga Muslim, banyak juga etnis Tionghoa yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di makam mereka berdoa, membakar hio, dan memberi santunan uang kepada para pengemis di sekitar makam. Hal ini dapat dimaklumi karena salah satu istri dari Sunan Gunung Djati yang bernama Ong Tien Nio adalah putri salah satu Kaisar Dinasti Ming dari Tiongkok. Jadi, kedatangan etnis Tionghoa ke makam

93Zaenuddin Bukhari, “Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung”. (Disertasi IAIN Walisongo, 2012), h. 10. 94Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon), pada tanggal 17 Juli 2020.

173 tersebut adalah untuk menziarahi leluhur mereka juga. Para peziarah Tionghoa berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu, sedangkan peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe.95 Bagi masyarakat Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah simbol religiusitas. Sunan adalah wali Allah, yang merupakan status spiritual tertinggi umat manusia biasa, kedua setelah para nabi. Mereka juga percaya bahwa wali Allah sempurna dan memiliki hak istimewa dari Tuhan.96 Dengan posisi ini, orang Cirebon percaya bahwa sunan adalah perantara antara para peziarah dan Tuhan. Keyakinan ini berakar pada tradisi Islam yang menekankan bahwa wali Allah adalah yang terpilih, perwakilan Allah di dunia material, dan memiliki pengetahuan yang langsung berasal dari Tuhan.

Gambar 13. Tembok Depan Makam Astana Gunung Jati Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Selain itu, di Makam Astana Gunung Jati sebagaimana di Keraton Kasepuhan dan keraton lainnya juga terdapat banyak ornamen-ornamen Tionghoa dalam bentuk tempelan-tempelan keramik dan guci-guci dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Bahkan, di Makam Astana Gunung Jati ada sebuah bangunan yang disebut Gedung Kong yang di dalamnya berisi keramik-keramik dari Dinasti Ming yang dibawa oleh Puteri Ong Tien Nio ketika datang ke Cirebon, dan itu diamini oleh Prof. Wan Ming ketika mengadakan kunjungan ke Makam Astana Gunung Jati sebagai bagian dari acara Seminar Internasional Cheng Ho yang diadakan di Hotel Aston Cirebon.97 Gambar-gambar yang ada di keramik juga sama dengan gambar-gambar yang ada di Keraton Kasepuhan di antaranya; gambar naga, ikan, bunga dan phoenix. Gambar naga misalnya, bagi masyarakat Tionghoa merupakan simbol harapan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kebaikan, kemakmuran, keberuntungan, kejayaan dan kebahagiaan. Naga juga merupakan

95A. Jaelani, E. Setyawan dan Nursyamsudin, “Religi, Budaya Dan Ekonomi Kreatif: Prospek dan Pengembangan Pariwisata Halal di Cirebon”. Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 2, no. 2, 2017, h. 101-122. 96B. Sanusi, “Jum‟atan in the Graveyard: An Anthropological Study of Pilgrims in the Grave of Sunan Gunung Jati Cirebon, West Java”. Journal of Indonesian Islam, vol. 4, no. 2, 2010, h. 317-340. 97Penulis ikut serta dalam rombongan Prof. Wan Ming dalam kunjungannya ke Makam Astana Gunung Jati pada tanggal 25 November 2018.

174 lambang kaisar yang dianggap sebagai “Putera Langit”. Maka, tidak heran jika gambar naga melekat dengan simbol-simbol kekaisaran; pakaian, bangunan, dan semua perlengkapan yang digunakannya. Sementara dalam kosmologi tradisional, naga merupakan lambang hewan penjaga langit di bagian timur, mengatur hujan dan musim semi. Secara keseluruhan lambang tersebut mengandung makna kebaikan, kemuliaan, kebesaran, kemakmuran, kebahagiaan, kedamaian, kehangatan, kelembutan, kehidupan dan hal-hal positif lainnya.98 Adapun gambar phoenix99 di Makam Astana Gunung Jati diduga kuat mendapat pengaruh dari budaya Tionghoa di masa lalu. Berdasarkan wawancara dengan Ajat,100 phoenix dalam mitologi Tiongkok merupakan simbol dari kekuasaan, keindahan dan kemakmuran, sedangkan mitologi sendiri menurut Xinyu dan Al-Muhsin dapat dimaknai sebagai kesatuan kesadaran primitif, yang mengintegrasikan pemikiran, sains, sejarah, dan literatur orang primitif.101 Dalam konteks itu, Connorton (ahli mitologi Amerika) percaya bahwa kebijaksanaan orang primitif dan orang kuno tercermin dalam mitologi. Tetapi orang-orang modern tidak tahu barangnya, secara membabi buta meninggalkan mitos-mitos ini. Jika mitos ini bisa dipahami dengan benar, maka orang-orang modern dapat dibebaskan dari tekanan spiritual.102 Sementara, Wickley (antropolog) percaya bahwa mitologi penting untuk konsolidasi dan peningkatan budaya tradisional.103

B. Kereta Kencana Singa Barong Kehidupan di Keraton Kasepuhan penuh dengan simbol-simbol yang memiliki makna mistis, yang diberlakukan oleh raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan, baik itu dalam arsitektur ataupun pranata yang lain.104 Simuh menjelaskan bahwa kehidupan di keraton sarat dengan unsur-unsur mistis simbolik. Unsur-unsur mistis

98Kustedja, “Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa”, h. 526-539. 99Phoenix adalah makhluk mitologi yang disakralkan oleh masyarakat Tiongkok. Motif phoenix ini hanya boleh digunakan sebagai motif hias permaisuri raja. Baik dalam pakaiannya, penghias rambutnya, tusuk kondenya dan hiasan mewah lainnya. Binatang ini digambarkan memiliki kepala seperti burung Pelikan, berleher seperti ular, berekor sisik ikan, bermahkota burung merak, bertulang punggung mirip naga dan berkulit sekeras kura- kura. Lihat Z. Tian, S. Ye, & H. Qian, “The Flying Dragon and the Dancing Phoenix: Chinese Totem Myths”. In Myths of the Creation of Chinese, (Singapore: Springer, 2020), h. 43-74.; L. Xing, J. Zhang, H. Klein, A. Mayor, Y. Chen, H. Dai,... & S. Dong, “Dinosaur Tracks, Myths and Buildings: The Jin Ji (Golden Chicken) Stones from Zizhou Area, Northern Shaanxi, China”. Ichnos, vol. 22, no. 3-4, 2015, h. 227-234. 100Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi). 101Y. Xinyu & M. A. Al-Muhsin, “Comparative Study on Myth Between Chinese and Arabic: Phoenix as An Example”. International Journal of Humanities, Philosophy and Language, vol. 3, no. 10, 2020, h. 12-17. 102Paul Connorton, How Does Society Remember, Nazi Biligo (translation), (Shanghai: People's Publishing House, 2000). 103John Wickley, Myths and Literature, Pan Guoqing, et al. (translation), (Shanghai: Shanghai Literature and Art Publishing House, 1995). 104Bukhari, “Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung”, h. 19-20.

175 simbolik itu bisa dilihat antara lain pada arsitektur bangunan, letak bangsal, ukiran dan hiasan serta warna gedungnya yang semuanya memiliki nilai mistis.105 Salah satu peninggalan budaya Kesultanan Cirebon dalam bentuk fisik adalah Kereta Kencana Singa Barong. Kereta kencana ini adalah kendaraan yang biasa digunakan oleh raja dalam menjalankan tugas kenegaraan atau aktivitas sehari- harinya. Kereta tersebut hingga saat ini menarik perhatian banyak pihak di samping karena bernilai sejarah, juga bentuknya yang unik. Singa Barong adalah makhluk hibriditas,106 yang merupakan hasil akulturasi budaya yang menghiasi perkembangan kebudayaan dan seni hias di Cirebon. Lain halnya Kereta Kencana Paksi Naga Liman yang dibuat pada tahun 1428 M oleh Pangeran Cakrabuana dan Panembahan Losari, Kereta Kencana Singa Barong dibuat pada tahun 1649 M107 sebagai kereta Sunan Gunung Jati yang saat ini tidak lagi dipergunakan, dan hanya dikeluarkan setiap 1 Syawal untuk dimandikan. Benda-benda yang sekarang tersimpan di dalam keraton biasanya tidak hanya memperlihatkan nilai artistik dan fungsional sebagai suatu produk seni-budaya, tetapi di dalamnya juga mengandung apa yang disebut sebagai nilai-nilai simbolik religio-magis.108 Munro mengatakan setiap bentuk erat kaitannya dan bahkan tidak bisa dipisahkan dari konten yang ada di dalamnyamemuat isi material, gagasan, spirit, makna dan pesan serta aspek psikologis individu atau masyarakat yang menghasilkan dan memakainya.109 Bentuk dan konten pada akhirnya menjadi ciri khas atau karakteristik sebuah objek seni, dan yang membedakannya dengan objek seni lain. Konon di dalam Singa Barong terdapat tiga makhluk mitologi, yaitu naga, gajah dan buraqmenyatu dan menjelma menjadi sebuah makhluk. Masing-masing simbol tersebut mengandung banyak makna. Ornamen yang berasal dari berbagai kepercayaan, dan negara menunjukkan bahwa Kereta Kencana Singa Barong merupakan wujud akulturasi budaya dalam bentuk ornamen serta merupakan

105Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 121. 106P. A. Hardwick, “Horsing around Melayu: Kuda kepang, Islamic piety, and identity politics at play in Singapore‟s Malay community”. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 87, no. 306, 2014, h. 1-19. 107Dewi Fatimah, Metode Dakwah: Syiar Islam Ala Masyarakat Nusantara Abad 9-15 M, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 5, No. 1, 2020, h. 97-118.

108A. Odewale, “An Archaeology of Struggle: Material Remnants of a Double Consciousness in the American South and Danish Caribbean Communities”. Transforming Anthropology, vol. 27, no. 2, 2019, h. 114-132.; E. Kurniadi, “Structuralism Approach: Symbolism of Traditional Batik Pattern of Javanese Traditional Clothes In Surakarta”. In 3rd International Conference on Creative Media, Design and Technology (REKA 2018), (Atlantis Press, 2018), h. 75-79.; J. E. Made, “Sacrifice in African Traditional Religion: Differential Faith Issues in Religions”. Journal of Religion and Human Relations, vol. 8, no. 1, 2016, h. 20-35. 109T. Munro, Form and Style in the Arts: An Introduction to Aesthetic Morphology, Cleveland: Press of Case Western Reserve University, 1970), h. v-vii.

176 manifestasi dari toleransi beragama dan wujud persahabatan antar negara.110 Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan salah seorang pemandu keraton, Iman Sugiman bahwa Kereta Kencana Singa Barong merupakan lambang persahabatan Kesultanan Cirebon dengan tiga negara (Mesir, India dan Tiongkok).111 Penulis melihat bahwa hal tersebut masih dapat diterima, sebab sejak dahulu, Cirebon menjadi salah satu pelabuhan internasional, sehingga wajar jika masyarakat Cirebon menjalin hubungan sosial dan perdagangan dengan para pedagang asing.

Gambar 14. Kereta Kencana Singa Barong Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Kereta Kencana Singa Barong di Keraton Kesepuhan merupakan lambang penyatuan kekuatan yang dilambangkan dengan hewan-hewan (burung adalah lambang dari dunia Islam Arab, naga adalah lambang keuletan, lincah dari Tiongkok, gajah atau liman yang berasal dari India, yakni lambang kekuatan). Yani dalam risetnya mengatakan Kereta Kencana Singa Barong sama maknanya dengan Kereta Paksi Naga Liman yang berada di Keraton Kanoman yang mengandung makna simbolik sebelum Islam, Hindu, Buddha. Menganut prinsip Tribuana di dalam keserasian, yakni keserasian di antara dunia bawah (ular), dunia tengah (gajah), dunia atas (burung). Jika tiga buana itu dikuasai akan diperoleh kekuasaan, dan kekuasaan itu untuk dikendalikan dari keadaan yang kurang baik menuju kepada yang lebih baik.112 Wujud Singa Barong sebagaimana pendapat lain mengatakan adalah konstruksi kebudayaan Cirebon di masa silam yang terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Tionghoa, India dan Mesir. Sementara Sumino mengatakan ukiran naga, Mega Mendung dan warna merah keemasan pada Kereta Kencana Singa Barong merupakan ukiran-ukiran gaya Tiongkok, dan menunjukkan peran masyarakat Tionghoa di Cirebon pada waktu itu, sedangkan belalai gajah yang melilit senjata Trisula menunjukkan peran penting orang-orang Hindu-India. Adapun dengan lambang buraq menunjukkan peran penting Islam dari Arab.113

110W. Suardana & I. Fikriyyati, “Naga Liman Pencana Kencana Train Caruban Nagari's Multicultural Symbols: Inculturalization of Nusantara Art in Cultural Arts Education”. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, vol. 24, no. 2, 2020. 111Wawancara dengan Iman Sugiman (Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon) pada tanggal 09 Juli 2020. 112Yani, “Pengaruh Islam Terhada…, h. 181-196. 113Sumino, “Kereta Singa Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon”. Corak: Jurnal Seni Kriya, vol. 1, no. 1, 2012, h. 78-90.

177

Dengan demikian, pengaruh Hindu-Buddha, Tiongkok dan Islam menyatu dan membentuk struktur budaya yang khas dan unik.114 Penulis melihat pengaruh dominan dalam ragam hias Singa Barong adalah seni hias Tiongkok. Pembentukan ragam motif yang melekat pada Singa Barong sangat dipengaruhi spirit maupun trend yang kemudian melahirkan motivasi pembentukan ragam hias dalam periode tertentu. Lain halnya Kereta Kencana Paksi Naga Liman yang banyak dipengaruhi spirit Hindu-Buddha, karena memang saat itu masa peralihan dari Hindu-Buddha ke Islam. Meskipun harus diakui juga bahwa pada masa pembuatan Kereta Kencana Singa Barong, pengaruh seni hias Hindu-Buddha masih terasa, tetapi pengaruh seni hias Tiongkok meningkat tajam melalui penerapan warna dan ornamen yang menjadi karakteristik seni hias Tiongkok. Pengaruh seni hias Tiongkok begitu mendominasi dan mengalahkan seni-seni hias lainnya termasuk seni hias Hindu-Buddha yang begitu kental mewarnai Kereta Kencana Paksi Naga Liman. Hal itu disebabkan karena semua masyarakat Cirebon, mulai dari raja sampai rakyatnya sangat terinspirasi oleh motif-motif unik yang menempel di kain sutera, keramik dan benda-benda lainnya yang dibawa oleh Putri Ong Tien.115 Kedatangan Puteri Ong Tien dari Tiongkok dengan barang-barang yang dibawanya berupa keramik dan sutera yang dihiasi dengan berbagai macam motif indah khas Tiongkok memberi pengaruh besar pada seni hias benda-benda yang dihasilkan keraton. Contohnya adalah kereta di Kesultanan Cirebon, yaitu Kereta Kencana Paksi Naga Liman dan Kereta Kencana Singa Barong.116 Kereta Kencana Singa Barong juga merupakan simbol perjalanan spiritual manusia sebagaimana diketahui bahwa buraq merupakan kendaraan spiritual yang dipercaya umat Islam digunakan Rasulullah ketika melakukan Isra Mi‟ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian naik ke langit ketujuh (Sidratal Muntaha) untuk menghadap Allah.117 Naga juga bagi etnis Tionghoa merupakan simbol Kaisar yang dipercaya sebagai “Putera Langit”.118 Dalam mitologi Tiongkok, naga merupakan binatang yang nafasnya menyerupai angin karena bisa bergerak cepat, bahkan dianggap sebagai Dewa Langit. Sementara gajah, bagi orang Hindu dianggap binatang yang disakralkan. Gajah tidak hanya dianggap sebagai kendaraan Dewa Indra (Airavata), tetapi juga sebagai simbol kekuatan, kejantanan,

114M. S. Andawari, S. Prabowo, & I. C. Angge, “Makna Simbolik Ornamen Gandhik dan Wadidang Keris Saidi”. Jurnal Pendidikan Seni Rupa, vol. 3, no. 1, 2015, h. 113-118.; G. Hodgson, “Keris Types and Terms”. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 29, no. 4. 176, 1965, h. 68-90. 115 Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias…, h. 304-324. 116“Sultanskoets nooit meer als nieuw”, Nieuwsblad van het Noorden, Groningen, 29- 12-1993, h. 3. 117Himatul Istiqomah dan Muhammad Ihsan Sholeh, “The Concept of Buraq in The Events of Isra Mi‟raj: Literature and Physics Perspective”. AJIS: Academic Journal of Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2020, h. 53-67.; Rizal Sapari, “Interaksi Simbolik dalam Tiga Lukisan Kaca Karya Haryadi Suadi”. Jurnal Itenas Rekarupa, vol. 5, no. 2, 2019, h. 107- 114. 118Kustedja, “Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa”, h. 526-539.

178 dan kebijaksanaan, serta simbol status sosial dan kesuburan. Gajah dipercaya bisa mendatangkan hujan, sehingga dianggap sebagai Dewa Kesuburan yang dikenal dengan sebutan Shri-Gaja.119 Motif Liman atau gajah pada Singa Barong terlihat pada bagian hidung atau belalai. Motif Liman ini dipengaruhi oleh seni hias Hindu Buddha yang berasal dari India. Liman adalah representasi dari sosok Ganesha. Dalam tradisi Hindu sosok Ganesha dipercaya sebagai Dewa Keselamatan, Dewa Penolak Bala, juga Dewa Penghalau Rintangan. Sosoknya sering dikaitkan dengan sosok pemimpin yang gagah berani, ulet, dan mampu mematahkan barisan musuh namun berbudi luhur. Dalam konsep kepemimpinan, motif Liman ini cenderung menekankan pada kategori sosok pemimpin raja atau punggawa.120 Adapun Trisula yang ada dalam Singa Barong pada prinsipnya banyak dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu. Dalam tradisi Hindu, Trisula merupakan senjata Dewa Siwa. Senjata ini mempunyai tiga mata tombak yang berfungsi sebagai senjata penyerangan, dan untuk pertahanan. Trisula adalah tombak yang berbilah tiga. Jadi ada tombak yang berbilah tunggal, berbilah dua, berbilah tiga, berbilah empat dan berbilah lima yang disebut Pancasula. Tombak merupakan salah satu jenis senjata yang familiar dalam kehidupan manusia dimanapun berada. Semua suku di Indonesia juga mengenal tombak. Awalnya tombak digunakan sebagai alat berburu, kemudian digunakan sebagai senjata, sebagai benda upacara serta menjadi pusaka yang turun temurun. Bentuk tombak juga mengalami perkembangan dari masa ke masa, dari bentuk awal yang sederhana untuk berburu kemudian digunakan sebagai senjata dalam berperang selain keris dan pedang.121 Senjata-senjata di atas merepresentasikan tiga sifat Dewa Siwa yaitu sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur. Kalau dikaitkan dalam kepemimpinan ketiga sifat tersebut bermakna bahwa sosok pemimpin atau sultan harus memiliki cipta, rasa dan karsa yang tajam. Bentuk Trisula ini juga bermakna bahwa seorang pemimpin di samping memiliki sifat-sifat dalam kategori raja/punggawa juga harus memiliki sifat resi.122 Dalam konsep Hindu, Trisula juga mengandung falsafah bahwa masyarakat hendaknya terus mengolah batin spiritualnya untuk mencapai tajamnya alam pikiran manusia dengan cara menghidupkan daya cipta, rasa dan karsa.123 Bagian badan dari Singa Barong biasa disebut umat Islam sebagai buraq binatang sejenis kuda yang bersayap, dan berwajah cantik. Buraq dipercaya oleh umat Islam sebagai kendaraan Rasulullah SAW ketika Isra Mi‟raj, bahkan ada yang meyakini bahwa buraq juga yang membawa ruh Husain, cucu Rasulullah ke sisi Allah setelah terbunuh di Padang Karbala. Di kalangan umat Islam mitologi buraq selalu dikaitkan dengan pristiwa perjalanan Nabi menuju ke langit ketujuh pada saat

119Prima Yustana, “Gajah dalam Terakota Majapahit”. Jurnal Dewa Ruci, vol. 7, no. 1, 2011, h. 102-114. 120Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 121D. R. Indika, “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”, dalam “Pembangunan dengan Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai Pusat Kebudayaan dan Ekonomi Cirebon”. ISEI Economic Review, vol. 2, no. 1, 2018, h. 1-7. 122Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 123Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90.

179

Isra Mi‟raj. Peristiwa ini sulit diterima oleh akal biasa, peristiwa ini hanya bisa dipahami dengan keimanan, dan rukun iman yang keempat adalah beriman kepada para Nabi. Personifikasi kereta Singa Barong dengan buraq-nya mempunyai peran dalam pembinaan dan pendidikan untuk membangun dan membentuk masyarakat Cirebon yang religius. Karena buraq dipercaya oleh masyarakat Cirebon sebagai kendaraan yang digunakan oleh Rasulullah dalam Isra Mi‟raj. Kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun bahkan oleh masyarakat muslim di daerah lainnya. Kepercayaan ini menurut penulis perlu dilestarikan untuk memotivasi masyarakat Cirebon agar terus membenahi dirinya agar menjadi manusia-manusia sholeh dan terus meningkatkan keimanannya agar dapat bertemu dengan Tuhannya. Perjumpaan antara hamba dan Tuhannya diisyaratkan dalam al-Qur‟an surat Al- Ankabut [29] ayat 5. Berjumpa dengan Tuhan tidak harus dipahami secara tekstual bahwa manusia berjumpa dan bertemu dengan Tuhan. Berjumpa dengan Tuhan adalah suasana batin seorang hamba yang merasa begitu dekat dengan Tuhannya, sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dengan Tuhannya. Dengan kata lain, manusia benar-benar merasakan kehadiran Tuhannya. Perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya tidak bisa dibayangkan dalam bentuk fisik, tetapi perjumpaan secara rohani. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “An ta‟budallaha ka annaka tarohu, fa inlam takun tarohu fainnahu yaroka” (Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu).124 Wujud perjumpaan seorang hamba dengan Tuhannya sangat personal, setiap orang punya pengalaman spiritual yang berbeda-beda. Kalau diperhatikan ornamen yang ada pada sayap Singa Barong adalah sayap garuda. Garuda dalam keyakinan Hindu-Buddha dianggap sebagai sumber kehidupan yang utama. Simbol garuda bermakna bahwa seorang pemimpin hendaknya menjadi sosok yang dapat menerangi rakyat dan mensejahterakan rakyatnya. Karena pada dasarnya rakyat sangat merindukan sosok pemimpin yang bijaksana, adil, dan mengerti betul tentang aspirasi rakyatnya. Dalam konteks ini garuda merupakan simbol keperkasaan dan perlindungan sekaligus juga kebijaksaaan.125 Penulis melihat, ada beberapa motif asing, termasuk motif khas Tiongkok yang ikut mewarnai ataupun mempergagah Kereta Kencana Singa Barong, di antaranya: 1. Motif Singa Singa merupakan salah satu binatang yang banyak kita temui menghiasi klenteng. Motif singa ini biasanya ditemukan di pintu masuk klenteng karena dipercaya dapat menjaga, melindungi dan menjauhkan bangunan dan penghuni di dalamnya dari segala marabahaya dan hal-hal yang buruk. Singa juga merupakan simbol keagungan, kemuliaan, keberanian, dan kekuatan. Dalam kepercayaan Tionghoa, singa juga dipercaya sebagai Dewa pelindung anak-anak. Para orang tua percaya bahwa singa dapat melindungi anak-anak dari roh jahat dan hal-hal buruk

124Imam Bukhari, Ṣahīḥ Bukhōrī Kitāb Tafsīr al-Qur‟ān Bab Surat Luqman Ayat 34, vol. 6, (Beirūt: Dār Ibn Tuq al-Najāḥ, 1422 H.), h. 115. 125Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

180 lainnya. Mereka juga berharap anak-anak akan tumbuh sekuat singa. Jadi roh singa dipercaya dapat memberikan perlindungan dari roh-roh jahat. Jika ditemukan ada singa yang memangsa manusia, mereka percaya manusia yang dimangsa adalah manusia yang berdosa dan patut dihukum.126 Digunakannya motif singa pada Kereta Kencana Singa Barong merupakan representasi dari singa yang dikenal dalam masyarakat Tionghoa. Bagi masyarakat Tionghoa, singa merupakan simbol penolak bala yang pada masa kini menjelma menjadi seni pertunjukan Barongsai yang biasa dihadirkan pada hari-hari besar etnis Tionghoa dan dipercaya mampu mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan.127 Motif singa tersebut memperkuat persepsi adanya pengaruh gaya seni Tiongkok dalam Kereta Kencana Singa Barong. Pendapat penulis dilandasi oleh pemikiran bahwa secara historis, sejak kehadiran Puteri Ong Tien, corak seni hias Tiongkok yang tergambar di hampir semua bangunan Keraton Kasepuhan, termasuk jenis kain sutera mulai banyak diminati dan ditiru. Di samping itu, argumentasi lain yang dikemukakan adalah bahwa pada Singa Barong dilengkapi atribut kalung yang mirip dengan kalung yang dipakai Singa Tiongkok. Kalung ini menandakan bahwa binatang tersebut dipelihara oleh manusia sehingga sekalipun buas tetapi dapat dikendalikan. Dalam konteks itu, singa diidentikkan dengan simbol keberanian, kekuatan, kewibawaan, kekuasaan dan kebangsawanan.

2. Motif Naga Naga adalah makhluk mitologi yang dihormati dan disakralkan oleh masyarakat Tionghoa. Sehingga tidak heran gambar naga mereka jadikan sebagai salah satu simbol kebudayaan, dan sebagai sebuah bentuk penghormatan, mereka menerapkannya di pakaian, bangunan, properti rumah tanggga, keramik dan sebagainya. Naga sering digambarkan sebagai binatang mitologi yang memiliki kepala singa, bergigi runcing seperti serigala dan bertanduk rusa. Tubuhnya panjang seperti ular bersisik ikan, tetapi memiliki cakar mirip elang.128 Naga dalam pandangan masyarakat Tionghoa dipahami sebagai lambang kesuburan atau binatang pembawa berkah.129 Masyarakat Tionghoa dimanapun berada sangat memegang teguh kepercayaan ini, sehingga bisa kita temukan beberapa lokasi atau wilayah yang sekalipun banjir dan mahal tetap diminati oleh masyarakat Tionghoa

126Mulyono dan Thamrin, “Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban”, h. 1-8. 127M. Li, “Performing Chineseness: The Lion Dance in Newfoundland”. Asian Ethnology, vol. 76, no. 2, 2017, h. 289-317.; C. McGuire, “The Rhythm of Combat: Understanding the Role of Music in Performances of Traditional Chinese Martial Arts and Lion Dance”. MUSICultures, vol. 42, no. 1, 2015, h. 2-23.; J. R. Chen & T. Y. Li, “Rhythmic Character Animation: Interactive Chinese Lion Dance”. In SIGGRAPH Sketches, 2005, h. 72. 128N. Aubrey, “A Dwelling Place for Dragons: Wild Places in Mythology and Folklore”. In The Psychology of Religion and Place, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019), h. 145-166.; S. Z. Sheikh, “Persian Allegory of Chinoiserie Motifs-Dragon and Phoenix or Simurgh”. International Journal of Multidisciplinary and Current Research, vol. 5, 2017. 129Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90.

181 untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat usaha karena diangggap wilayahnya berlokasi di kepala naga. Di Keraton Kasepuhan Cirebon, naga memiliki dua versi, yakni bentuk naga yang memakai mahkotamendapat pengaruh seni hias Hindu. Naga ini sering disebut dengan naga Jawa, sedangkan naga Liong merupakan pengaruh seni hias Tiongkok. Naga Tiongkok memiliki moncong seperti buaya dan tidak bermahkota. Simbol naga Liong merupakan lambang kekuasaan, keagungan, kekuatan, kegagahan dan keberuntungan. Simbol ini juga membawa pesan bahwa seorang penguasa harus perduli terhadap rakyatnya dan orang-orang yang berada di bawahnya. Perupaan naga pada Singa Barong tidak terlalu menunjukkan “sifat penguasa” karena tidak banyak menggunakan atribut-atribut kekuasaan. Walau dari segi rupa terlihat menyeramkan, namun pemaknaan penulis atas sosok naga pada Singa Barong terlihat semacam ada pembauran, bisa jadi pembauran dalam arti antara seorang raja dengan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan posisi Singa Barong yang tunduk tengadah seperti hewan peliharaan yang akan jinak kepada majikannya. Namun, dalam kondisi yang membahayakan, ia bisa menunjukkan sosok angkara murkanya. Oleh karena itu, naga pada Singa Barong menunjukkan sosok kategori Rama, yang dipercaya merupakan sosok pemimpin yang lebih banyak berhubungan atau terlibat langsung dalam melayani dan menangani masyarakat.130 Jenis naga pada Kereta Kencana Singa Barong sebagaimana disebutkan di atas, terdiri dari naga kecil dan naga besar. Di bagian penutup atas kereta terdapat empat naga kecil yang merupakan simbol empat penjuru mata angin, sedangkan dua naga kecil di bagian depan melambangkan keseimbangan. Sementara naga besar yang ada di kepala merupakan simbol seorang raja yang bermakna bahwa seorang pemimpin harus mampu mengendalikan nafsu yang ada dalam raganya. Seorang pemimpin tidak boleh memperturutkan hawa nafsunya ketika mengambil sebuah keputusan, hendaknya menggunakan akal dan hati nuraninya dengan tetap berpegang teguh pada al-Qur‟an dan hadis, sehingga setiap keputusan yang diambil mendatangkan maslahat buat umat.131 Selain itu, seorang pemimpin juga harus bisa bersikap adil dalam berbagai aspek kehidupan, tanpa pandang bulu. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat An-Nisaa‟ [4] ayat 58. Selain naga besar pada Kereta Kencana Singa Barong yang melambangkan sosok seorang raja yang bijaksana, adil serta mampu mengendalikan hawa nafsunya, juga terdapat empat naga kecil yang mengandung makna bahwa Allah ada dimana-dimana. Allah pemilik kerajaan Timur dan Barat. Di manapun seorang

130Pada zaman Kerajaan Sunda dahulu berlaku sistem pemerintahan yang unik, yakni dikenal dengan sebutan Tri-Tangtu. System pemerintahan ini terdiri dari raja/punggawa, rama dan resi. Dengan demikian, dalam pemerintahan Sunda Kuno ada tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan namun ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Lihat W. Widyonugrahanto, N. H. Lubis, D. Mahzuni, K. Sofianto, R. M. Mulyadi, & U. A. Darsa, “The Politics of the Sundanese Kingdom Administration in Kawali- Galuh”. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 1, 2017, h. 028-033. 131Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon), pada tanggal 17 Juli 2020.

182 pemimpin berada, selalu dalam pengawasan Allah. Jadi seorang pemimpin harus selalu menjaga sikap dan prilaku jangan sampai melakukan tindakan-tindakan yang dilarang Allah karena kepemimpinannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.132 Jika setiap pemimpin merasa diawasi Allah, tentu tidak ada pemimpin yang berani melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam konteks Indonesia sekarang ini, praktek-praktek tersebut sangat miris dengan banyaknya pejabat negara yang tertangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena kasus korupsi. Ini pentingnya iman, Islam dan ihsan harus dipahami dengan benar dan diperkuat. Adapun dua Naga kecil di bagian depan menurut Hafidz bermakna keseimbangan yang juga dapat ditemui dalam Islam. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa Islam adalah wasatiyyah, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap seimbang antara kehidupan material dan spiritual.133 Ini artinya sebagai seorang Muslim harus dapat menyeimbangkan antara dua kutub kehidupan yaitu kehidupan material yang bersifat duniawi dan kehidupan spiritual yang bersifat ukhrawi. Hal tersebut sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Al Qashash [28] ayat 77. Ayat ini menjelaskan bahwa menjaga keseimbangan dalam hidup adalah sebuah kewajiban. Menanggapi hal tersebut Ya‟qub mengatakan ada golongan yang berwawasan keduniaan belaka dan menganggap akhirat tidak penting, ini penganut faham materialisme dan sekulerisme, mereka tidak mau tahu tentang Tuhan dan agama serta tidak percaya adanya hari pembalasan di hari kiamat.134 Dengan demikian, manusia harus mulai mengumpulkan bekal sedemikian sebanyak untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam pandangan masyarakat Cirebon, naga dianggap perwakilan lambang dari dunia bawah. Naga kerap diidentikan dengan sifat yang rakus. Lewat simbol naga ini manusia diingatkan untuk menghindari sifat-sifat rakus dan mengendalikan hawa nafsu. Simbol naga ini bila dikaitkan dengan sosok seorang raja bermakna bahwa masyarakat merindukan seorang raja yang mampu menahan dirinya dari sifat-sifat rakus, tamak dan sebagainya. Seorang raja hendaknya menjadi pelindung, teladan dan penganyom bagi rakyatnya.135 Seorang raja hendaknya selalu memerhatikan dan mendengarkan keluhan rakyatnya. Seorang pemimpin juga harus dapat mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dilarang bersikap otoriter kepada rakyatnya. Jika ada suatu masalah, hendaknya dimusyarahkan untuk memperoleh kebaikan demi kepentingan bersama . Nabi Muhammad SAW telah mempraktikkan prinsip musayawarah ini bersama para sahabatnya setiap mengambil keputusan yang bersifat publik, walau Nabi selalu dalam kontrol Allah. Bahkan tidak jarang Nabi mengambil keputusan berdasarkan suara terbanyak, misalnya dalam peristiwa perang Uhud, ketika menghadapi serbuan kaum musyrikin. Dengan demikian, salah satu kriteria pemimpin yang baik dalam Islam adalah yang mampu mengakomodir pendapat

132Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon), pada tanggal 17 Juli 2020. 133Yusuf Qordhawi, Karakteristik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 12. 134Hamzah Ya'qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 62. 135Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

183 bawahannya (rakyat) alias tidak otoriter, sekalipun dalam kondisi tertentu seorang pemimpin harus membuat keputusan secara mandiri136 sebagaimana dalam al- Qur‟an surat Ali Imran [3] ayat 159. Dalam Islam, fitrah manusia memiliki tiga komponen pokok yaitu kalbu, akal dan nafs yang saling berinteraksi dan terwujud dalam bentuk kepribadian. Nafs ini memiliki beberapa pengertian, yaitu nafs dalam arti luas berarti diri atau individu dengan segala totalitasnya yang mencakup aspek jasmani dan rohan, sedangkan dalam arti sempit berarti jiwa. Sementara nafs dalam arti bagian dari aspek kejiwaan berupa nafsu yaitu keinginan atau kecenderungan dan hawa nafsu.137 Dilihat dari kecenderungannya, ada tiga macam nafs manusia dalam al-Qur‟an, yaitu nafsu ammarah (QS. Yusuf: 53), nafsu lawwamah (QS. al-Qiyamah: 2) dan nafsu muthmainnah (QS. ar-Ro‟du: 28). Di dalam rongga dadanya, manusia memiliki dua hati tetapi yang berfungsi hanya satu yakni hati nuranihati yang mendapat cahaya dari Allah dan hati sanubarihawa nafsu yang gelap gulita dan inginnya menyimpang dari ajaran Allah.138 Hawa nafsu atau nafsu amarah yaitu jiwa yang selalu mendorong manusia untuk membangkang pada perintah Allah, manusia selalu mengarah kepada keburukan, senang dan condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah, serta senang mengikuti bujuk rayu setan. Sekalipun manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan, namun sesungguhnya pada awalnya manusia berat dalam melaksakannya, karena pada dasarnya, secara fitrah manusia itu cenderung beriman dan tunduk pada Allah sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Ar-Rum [30] ayat 30. Sejak lahir manusia itu bersih, suci dan condong kepada hal-hal yang positif. Kecenderungan manusia kepada hal-hal positif karena memang sejak di alam ruh, manusia sudah mengakui ke-Esaan Allah dan tunduk kepada-Nya. Sehingga bisa dikatakan bahwa kecenderungan manusia kepada hal-hal positif merupakan aktualisasi fitra imannya yang sudah ada sejak lahir.139 Oleh karena pada dasarnya fitrah manusia itu beriman, maka manusia akan selalu merindukan Tuhan, taat, khusyu, tawakal dan tidak ingkar terutama jika sedang mengalami kegelisahan, kesedihan dan kesulitan hidup. Allah menciptakan manusia terdiri dari dua unsur, yakni unsur jasmani dan unsur rohani (ruh ilahi). Unsur jasmani dan unsur rohani merupakan dua kutub yang saling berlawanan. Maksudnya, bahwa unsur jasmani adalah bersifat fisik, statis, akan mati dan letaknya di bawah, sedangkan unsur ruh ilahi (spirit of God) bersifat

136Muhammad Harfin Zuhdi, “Konsep Kepemimpinan dalam Islam”. Akademika, vol. 19, no. 1, 2014, h. 35-57. 137Anwar Sutoyo, Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 120-122. 138Munawar Rahmat, “Manusia Menurut Alquran”. Ta‟lim, vol. 10, no. 2, 2012, h. 105- 122. 139G. I. Serour, “Islamic Perspectives in Human Reproduction”. Reproductive Biomedicine Online, vol. 17, 2008, h. 34-38.

184 metafisik, dinamis, menghidupkan dan letaknya di atas.140 Menurut Shihab unsur ruh ilahi ini tidak akan ditemukan pada iblis, jin dan hewan.141 Secara implisit kutub-kutub tersebut menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada dua kemungkinan, yakni di satu sisi manusia dapat meraih derajat setinggi-tingginya dengan mengarahkan dirinya menuju tingkat ruhani yang tinggi, dan di sisi yang lain manusia dapat terjerumus pada derajat yang lebih rendah dengan dorongan nafsu jasmaninya. Menurut penulis ada dua kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan buruk yakni karena ingin menutupi kesalahannya agar tidak diketahui orang lain dan manusia yang bersangkutan tidak ingin ada cahaya yang menerangi perbuatannya. Quthub mengatakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain adalah ruh, sebab sejak awal keberadaannya, ruh yang membuat manusia menjadi unggul dibanding makhluk lain. Ruh inilah yang kemudian dapat menghubungkan dan membuat manusia mampu berkomunikasi dengan Tuhannya, serta mengangkat manusia dari alam materi yang interaksinya menggunakan panca indera ke alam materi yang interaksinya menggunakan hati dan akal. Selain itu, dengan ruh manusia mampu mengetahui rahasia yang tersembunyi dari sesuatu yang tampak.142 Manusia adalah makhluk Allah yang sempurna karena ia mempunyai jasad yang indah dan dilengkapi dengan ruh atau jiwa. Namun, label sebagai makhluk utama dan ciptaan terbaik Allah itu akan turun derajatnya menjadi hewan, jika manusia tidak menggunakan akal secara baik dan benar berbagai potensi pemberian Allah yang sangat tinggi seperti pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta panca indera. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Al A‟Raaf [7] ayat 179. Quthub lebih lanjut menjelaskan bahwa fitrah setiap manusia senang dengan lawan jenis, anak-anak, harta yang banyak (emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah/ladang). Semua merupakan sifat bawaan manusia yang tidak dapat diingkari dan “dibunuh” karena menjadi bagian kebutuhan vital manusia agar kehidupan menjadi kokoh, berkembang dan normal. Islam tidak mematikan semua potensi itu, tetapi mengatur pemenuhannya atau penyalurannya dengan syariat agama agar lebih terarah dan tidak menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan.143 Motif-motif naga juga bisa ditemukan di bagian depan Kereta Kencana Singa Barong berjumlah dua ekor dan empat ekor lainnya menjadi penopang singgasana kereta. Namun naga-naga kecil ini merupakan naga Jawa. Simbol naga-naga kecil itu bermakna bahwa harus ada sosok yang siap sedia untuk mengawasi dan mengayomi rakyatnya.144

140Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadiam Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 2006), h. 69. 141M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Juz I- XXX, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 179. 142Sayyid Quthub, Tafsir fi Zilali Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 137. 143Quthub, Tafsir fi Zilali Qur‟an…, h. 41-43. 144Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324.

185

3. Motif Mega Mendung Di Kereta Kencana Singa Barong juga ada motif Mega Mendungterletak di bagian belakang maupun samping tempat duduk. Motif Mega Mendung merupakan hasil adopsi dari seni Tiongkok. Mega Mendung adalah simbol awan dan mendung. Bagi masyarakat Cirebon motif Mega Mendung bermakna harapan akan datangnya hujan yang menyimbolkan kesuburan tanah pertanian bagi kehidupan masyarakat. Datangnya hujan dianggap sebagai nikmat dan berkah tersendiri dari Allah SWT yang Maha Pengasih kepada semua makhluk-Nya dan Maha Rahim kepada makhluknya yang bertakwa. Motif Mega Mendung juga mengandung makna filosofis bahwa seorang pemimpin harus sabar dan tidak cepat tersulut amarahnya dalam menghadapi masyarakat. Seorang pemimpin hendaknya mampu mengontrol amarahnya dan tidak gampang murka, juga harus mampu memberikan keteladanan kepada rakyatnya. Dengan demikian, Mega Mendung secara filosofis bisa bermakna harapan masyarakat akan hadirnya sosok pemimpin yang loyal, adil, bijaksana dan mau terjun ke masyarakat untuk melihat dan mendengarkan langsung aspirasi rakyatnya.145 Motif Mega Mendung juga bermakna bahwa setiap manusia hendaknya tidak memperturutkan amarahnya dan harus mampu mengendalikan emosinya dalam situasi dan kondisi apapun. Manusia harus tetap tenang dan damai hatinya sekalipun dalam keadaan marah. Seperti awan yang muncul saat cuaca mendung, namun tetap mampu mendinginkan keadaan sekitarnya. Selain itu, motif Mega Mendung juga memiliki warna yang melambangkan sosok pemimpin. Awan biru merupakan lambang atau melambangkan seorang pemimpin harus mampu melindungi komunitas yang dipimpinnya. Di dalam motif asli Mega Mendung memuat tujuh gradasi warna yang bermakna “langit memiliki tujuh lapisan, bumi tersusun dari tujuh lapisan tanah, dan jumlah hari dalam seminggu (tujuh hari).146 Ragam hias Mega Mendung juga menggambarkan adanya mega-mega atau awan-awan yang mengandung air menjelang turunnya hujanmerupakan simbol dari harapan turunnya rahmat Allah berupa air hujan yang di dalamnya juga ada tanda-tanda kehebatan Allah yang digambarkan dengan lidah petir atau kilat yang terjadinya hanya sekejap mata (setralapan). Peristiwa lidah petir ini bermakna bahwa hidup di dunia hanya sekejap atau sementara saja.147 Oleh karena itu, manusia jangan terlena dengan keindahan dunia sehingga melupakan akhirat. Karena kehidupan akhirat itu kekal, sementara kehidupan di dunia sifatnya sementara.

4. Motif Wadasan Kereta Kencana Singa Barong jika diperhatikan mengandung motif wadasan yang mendapat pengaruh dari seni hias Tiongkok. Wadas berarti batu cadas atau karangmengelilingi bagian belakang Singa Barong. Motif wadasan ini perwujudannya menyerupai Mega Mendung yang berputar secara vertikal sehingga

145Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 146M. Nurhidayat & Y. Herlambang, “Visual Analysis of Ornament Kereta Paksi Naga Liman Cirebon”. Bandung Creative Movement Journal, vol. 4, no. 2, 2018. 147Yani, “Pengaruh Islam Terhada…, h. 181-196.

186 seperti gunungan wadas. Sekalipun motif wadasan sekilas mirip dengan motif Mega Mendung, namun sesungguhnya keduanya memiliki perbedaan. Menurut pengamatan penulis, Mega Mendung berada di wilayah atas, sedangkan wadasan berada di wilayah bawah. Di samping itu, pada wadasan biasanya ada tanaman yang tumbuh menjalar. Wadasan ini bisa dijumpai di Guha Sunyaragi atau Taman Air Sunyaragi,148 dan kompleks Tamansari Keraton Kasepuhan. Karena keindahannya, motif wadasan menjadi salah satu ciri khas atau ikon Cirebon. Motif wadasan juga mencerminkan adanya penempatan eksistensi raja sebagai penguasa jagad kecil dan sebagai wakil Tuhan di dunia. Karena perannya yang begitu mulia, maka seorang raja dituntut untuk terus meningkatkan kualitas spiritualnya agar mendapat keberkahan dan bimbingan yang terus menerus dari Allah dalam memimpin rakyatnya, sehingga kebijakannya akan selalu sesuai dengan aturan agama yang ditentukan Tuhan bagi manusia. . Yani mengatakan motif wadasan melambangkan kristalisasi keimanan seseorang.149 Seorang Muslim harus bertekad untuk terus menjaga keimanannya agar tetap kuat dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perkara mengerjakan amal kebaikan telah disinggung dalam al-Qur‟an surat An-Nahl [16] ayat 97. Ayat ini menegaskan bahwa dengan keimanan, seorang mukmin akan memperoleh kebahagiaan, kenikmatan ketenangan dan kemantapan hati dan jiwa, baik di dunia maupun akhirat. Dengan keimanan juga seorang Muslim akan diselamatkan dari azab neraka dan kelak akan berjumpa dan memandang wajah Allah SWT, dan inilak nikmat yang terbesar. Oleh karena itu, wajib bagi seorang mukmin untuk memegang teguh keimanan, menjaga dan merawatnya hingga kematian menjemputnya.

5. Motif Bunga Teratai Dalam seni hias etnis Tionghoa, teratai melambangkan kesucian dan kesempurnaan. Teratai tetap tumbuh bersih dan menawan hati walau tumbuh dalam lumpur atau rawa-rawa. Bagi etnis Tionghoa terutama pengikut Buddha, teratai memiliki tempat khusus di hati mereka. Selain bermakna kesucian dan keberhasilan, teratai juga dipercaya merupakan tempat duduk Sang Buddha yang melambangkan keagungan. Tempat ini digunakan sebagai penyembahan kepada Tuhan. Dengan cara membakar hio hingga asapnya membumbung tinggi ke langit. Asap tersebut diharapkan dapat membawa segala doa dan pengharapan yang dipanjatkan.150 Beberapa sumber menyebutkan bahwa motif bunga teratai mendapat pengaruh dari gaya seni Tiongkok. Bagi masyarakat Tionghoa Cirebon, makna teratai juga berkaitan dengan prinsip hukum sebab-akibat, atau dengan kata lain, apa yang dipikirkan dan diperbuat oleh manusia, perkara baik maupun buruk pasti akan mendapatkan balasannya di masa yang akan datang. Sementara kalau kita lihat dalam Islam, konsep sebab-akibat terdapat dalam al-Qur‟an surat Al-Zalzalah [99] ayat 7-8. Pada dasarnya setiap orang akan memetik apa yang ditanamnya. Sementara dalam bahasa Mandarin, teratai disebut dengan he lian yang bermakna perdamaian dan keberlanjutan. Teratai adalah bunga yang dapat hidup di air yang

148D. Lombard, “Jardins à Java”. Arts Asiatiques, vol. 20, 1969, h. 135-183. 149Yani, “Pengaruh Islam Terhadap…, h. 181-196. 150Salim, “Memaknai Pengaplikasian Ornamen…, h. 50-65.

187 kotor tetapi bisa melindungi dirinya agar tetap bersih.151 Makna filosofisnya adalah bahwa siapapun yang terus meningkatkan kualitas spiritualnya, maka akan mencapai pencerahan spiritual dan tidak mudah terpengaruh pada kondisi lingkungan yang tidak baik sebagaimana teratai yang tetap bersih dan tidak terpengaruh dengan keadaan air kotor di sekelilingnya. Sementara bagi masyarakat Cirebon, motif bunga teratai merupakan lambang kebesaran dalam ketatanegaraan, juga merupakan lambang ruh atau spiritualitas yang ada dalam diri manusia yang harus terus dijaga dan dirawat agar hidupnya terus seimbang sebagaimana bunga teratai tidak akan bisa hidup tanpa adanya air di bawahnya. Sementara dalam agama Hindu dan Buddha, bunga teratai merupakan bunga yang dianggap suci dan bermakna religius. Simbol teratai ini bermakna bahwa manusia harus terus mengembangkan sisi spiritualitasnya dan tidak terpengaruh pada kesenangan duniawi.152 Singa Barong merupakan representasi dari perilaku sosial manusia yang selanjutnya akan memengaruhi tatanan sosial berikutnya. Digagasnya Singa Barong tentu tidak lepas dari jaringan sosial yang dibentuk manusia. Karena dalam memproduksi objek atau budaya material, manusia tidak hanya bertujuan untuk memuaskan diri sendiri atau orang lain, akan tetapi juga karena ingin mewujudkan kebebasan dan kesadaran untuk berkarya dan mencipta sekaligus menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang produktif, baik secara individu maupun kelompok.153

C. Batik Cirebon Kajian tentang batik utamanya soal makna simbolik dan filosofis yang terkandung di dalamnya perlu untuk digali lagi sebab rata-rata batik, khususnya di Indonesia merupakan bagian dari warisan budaya yang tentu mempunyai nilai-nilai tersendiri. Mengingat dalam konteks sekarang ini, batik telah menjadi bisnis di kalangan pengusaha, dan karena pengaruh persaingan bisnis dalam industri batik mereka tidak lagi mempertimbangkan nilai-nilai filosofis batik, kearifan lokal dan budaya tradisional sebagai esensi utama dari seni batik Indonesia. Sehingga itu, nilai-nilai filosofis dan unsur budaya lokal dalam batik cenderung menghilang. Dengan kata lain, batik telah kehilangan jiwanya sebagai warisan budaya Indonesia yang unik dan bernilai tinggi, bahkan menurut Budiono dan Vincent beberapa pengusaha batik tulis telah mencampurkan batik mereka menjadi batik printing. Beberapa produk batik printing yang diproduksi telah dilakukan secara asal-asalan hanya demi memenuhi permintaan pasar.154 Sejak teknologi pencetakan ditemukan pada tahun 1970, cetakan batik banyak tersedia di pasaran, namun memiliki harga yang sangat murah dibandingkan dengan batik tulis. Penelitian ini sebenarnya bukan membahas bagaimana batik ketika masuk dalam dunia industri yang kemudian diperdagangkan, tetapi lebih kepada makna

151Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 152Sofiyawati, “Kajian Gaya Hias.., h. 304-324. 153Sumino, “Kereta Singa Barong…, h. 78-90. 154G. Budiono & A. Vincent, “Batik Industry of Indonesia: The Rise, Fall and Prospects”. Studies in Business & Economics, vol. 5, no. 3, 2010, h. 156-170.

188 simbolik dan folosofis dari batik itu sendiri. Contoh di atas, sengaja penulis kemukakan di awal untuk menandai bahwa sesunggunya esensi batikkhususnya makna simbolik dan filosofis di dalamnya, seiring berjalannya waktu mengalami pergeseran. Sementara dalam konteks Indonesia, motif batik sesungguhnya merupakan warisan budaya istana kerajaan atau kombinasi seni dan budaya lainnya yang bernilai tinggi dan kerap menggambarkan makna simbolik dan filosofis dibalik peristiwa yang terjadi di masa lampau, di samping batik juga sangat potensial untuk diekspor hingga ke mancanegara. Dalam konteks Indonesia, batik memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur budaya yang sejatinya sudah ada sejak dahulu, salah satunya adalah batik di daerah Sunda, Jawa Barat. Dilihat dari letak geografis, keberadaan batik di daerah Sunda (yang dimaksud daerah Sunda berdasarkan wilayah administratif, adalah Jawa Barat) dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni di sebelah utara Jawa Barat seperti Cirebon, Indramayu, dan Kuningan, kemudian di sebelah selatan Jawa Barat, yakni Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, dan Garut. Sehingga, batik di daerah Sunda (Jawa Barat) terdiri dari batik dengan pengaruh batik pesisiran dan batik dengan pengaruh batik priangan atau pedalaman.155 Batik pesisiran mengandung motif yang banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing (Tiongkok, Eropa, India, Persia, dan Arab), yang memiliki warna-warna yang cerah, seperti motif Mega Mendung dari Cirebon. Sementara pada batik priangan didominasi warna-warna lembut, gelap, seperti hitam dan coklat, dengan komposisi warna terdiri dari sogan indigo (biru), hitam, dan putih. Batik sebagai salah satu warisan budaya bangsa Indonesia perlu untuk terus dilestarikan di tengah globalisasi yang tentu saja bisa memengaruhi eksistensi batik itu sendiri, terutama di tengah generasi muda yang cenderung senang dengan hal- hal baru dari luar. Kalau batik ini tidak dilestarikan, maka suatu saat batik bisa punah atau justru diklaim oleh negara lain. Pada 2 Oktober 2009, UNESCO telah mengukuhkan bahwa batik adalah Warisan Budaya Dunia Tak Benda yang berasal dari Indonesia.156 Disebut demikian karena yang diwariskan adalah bukan benda batiknya, namun prosesnya. Batik merupakan warisan kebudayaan tradisional atau peninggalan nenek moyang, dan merupakan karya bangsa yang merefleksikan sebuah produk seni serta memiliki nilai estetika bahkan filosofis yang tinggi. Pada jaman dahulu para pengrajin batik dalam membatik tidak hanya menciptakan sesuatu yang indah dipandang mata, tetapi juga mereka memberi arti atau makna yang erat hubungannya dengan falsafah hidup yang diyakini. Ada

155A. Joedawinata, “Unsur-unsur Pemandu dan Kontribusinya dalam Peristiwa Perwujudan Sosok Artefak Tradisional dengan Indikasiindikasi Lokal yang Dikandung dan Dipancarkannya (Studi dalam Konteks Keilmuan Seni Rupa, Kriya dan Desain dengan Cirebon dan Artefak Kriya Anyaman Wadah-wadahan Sebagai Kasus)”. ITB, 2005. 156I. Widiaty, L. S. Riza, & A. G. Abdullah, “A Preliminary Study on Augmented Reality for Learning Local Wisdom of Indonesian Batik in Cocational Schools”. In 2015 International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education, (Atlantis Press, 2015), h. 32-35.; A. Rahma, J. Jaenudin & A. Marifatullah, “Living a Multicultural Lifestyle with Batik: Identity, Representation, Significance”. In International Conference on Culture and Language in Southeast Asia (ICCLAS 2017), vol. 154, (Atlantis Press, 2017), h. 203-205

189 pesan-pesan dan harapan-harapan yang ingin disampaikan melalui motif-motif batik yang diciptakan, agar membawa kebaikan dan kebahagiaan, khususnya bagi pengguna batik. Motif batik yang diciptakan sangat dipengaruhi adat-istiadat, kebudayaan dan agama.157 Misalnya pengaruh Islam terlihat pada tidak adanya motif binatang dan lebih banyak motif tumbuh-tumbuhan dan unsur kaligrafi.158 Pengaruh adat terlihat pada batik Irian Jaya dengan ragam hias suku Asmat,159 dan pengaruh Tionghoa dengan motif Mega Mendung pada batik Cirebon.160 Setiap batik memiliki latarbelakang, arti perlambangan atau makna simbolis yang menjadi dasar penciptaan atau pembuatan, sehingga tatanan warna, pola maupun motif pada batik tidak bisa sembarangan diubah, bahkan suatu budaya diciptakan selalu tidak terlepas dari makna. Umumnya makna budaya tersebut diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Para sarjana yang banyak mengkaji semiotika seperti Saussure,161 Kristeva,162 Yakin dan Totu,163 menyatakan semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda tidak hanya berbentuk sebuah benda, misalnya, dalam kehidupan manusia, tanda selalu menyampaikan suatu informasi sehingga mempunyai sifat komunikatif. Merujuk teori Pierce sebagaimana dalam karya-karya

157K. Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”. Jurnal Filsafat, vol. 1, no. 1, 1995, h. 28-35. 158Salah satu unsur kaligrafi bisa ditemukan dalam Lukisan Kaca Kusdono Cirebon, yang diberi nama “Kaligrafi Semar” dan menggunakan kaligrafi Arab. Penggunaan Semar sebagai objek karena Semar dalam wayang dikenal sebagai orang yang selalu berbuat baik, menjaga kebenaran dan selalu taat pada ajaran Tuhan. Seni lukis “Kaligrafi Semar” merupakan perpaduan kekuatan moral dan teologis yaitu pencitraan visual dalam bentuk wayang dan kaligrafi sebagai ekspresi estetika non figuratif. Lukisan kaca Cirebon “Kaligrafi Semar” disebut kaligrafi figural karena memadukan motif figural dengan elemen kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Lukisan Kaca Kusdono Cirebon menggunakan motif Mega Mendung dan wadasan yang dikenal dengan motif batik Cirebon yang warnanya menggunakan warna pantai karena letak geografis Cirebon yang dekat dengan pantai. Lihat Y. Rukiah, “Visual Elements of Semar Calligraphy” on Cirebon Glass Painting of Kusdono‟s Work”. In International and Interdisciplinary Conference on Arts Creation and Studies, vol. 1, 2019, h. 43-47. 159M. C. Howard, “Dress and ethnic identity in Irian Jaya”. Journal of Social Issues in Southeast Asia, 2000, h. 1-29.; A. K. Hermkens, “Gendered Objects: Embodiments of Colonial Collecting in Dutch New Guinea”. The Journal of Pacific History, vol. 42, no. 1, 2007, h. 1-20. 160M. T. Riyanti & M. Rouselyn, “The Influence of Art Motif Batik Mega Mendung Cirebon to Fesyen in Jakarta”. International Journal of Research of Granthaalayah, vol. 6, no. 3, 2018, h. 107-125.; B. Sudardi, “The Reflection of Socio-Cultural Change in Batik Motifs”. In 2018 3rd International Conference on Education, Sports, Arts and Management Engineering (ICESAME 2018), vol. 231, (Atlantis Press, 2018), h. 150-152. 161F. de Saussure, “Course in General Linguistics”. In Literary Theory, An Anthology, by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004), h. 59-71. 162J. Kristeva, Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New York: Columbia University Press, 1980), h. 31. 163H. S. M. Yakin & A. Totu, “The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study”. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155, 2014, h. 4-8.

190 para sarjana seperti Dewey,164 Zeman,165 dan Houser166 bahwa tanda-tanda dalam gambar dapat digolongkan ke dalam ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya, atau tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Sementara indeks merupakan tanda yang memilik hubungan sebab-akibat (kausalitas) dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Adapun yang dimaksud dengan simbol adalah tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Makna simbolis yang terkandung dalam tiap motif batik di berbagai daerah biasanya diartikan secara kultural menurut keyakinan, kebiasaan atau tradisi, serta cara hidup dari masyarakatnya yang sampai sekarang tetap bertahan. Dalam membuat sebuah motif batik, pengrajin akan menggunakan dasar-dasar yang diyakini masyarakat untuk dijadikan sebuah makna. Dengan kata lain, masing- masing motif batik ditafsirkan sesuai dengan makna yang ada di masyarakat. Pemahaman terhadap simbol dapat diidentifikasi sebagai kata benda, kata kerja dan kata sifat. Simbol sebagai kata benda dapat berupa barang, obyek, tindakan dan hal- hal konkrit lain. Simbol sebagai kata kerja dapat berfungsi untuk menggambarkan, menyelubungi, mengartikan, meperlihatkan atau menunjukan, memanipulasi, dan menandai. Sementara simbol sebagai kata sifat berarti sesuatu yang lebih besar, lebih bermakna, lebih bernilai, sebuah kepercayaan, dan prestasi. Adapun fungsi simbol digunakan untuk menjembatani obyek nyata dengan hal-hal abstrak yang maknanya melebihi dari makna hal yang tampak. Dalam konteks ini, Smiraglia berpendapat bahwa simbol adalah kreasi manusia untuk mengejawantahkan ekspresi dan gejala-gejala alam dengan bentuk-bentuk bermakna.167 Artinya, simbol dapat dipahami dan disetujui oleh masyarakat tertentu. Bagi orang Jawa, busana itu memiliki makna yang dalam “ajining diri gumantung ono ing lati, ajining jiwo gumantung ono ing busano” (harga diri terletak dari kualitas bicara seseorang demikian juga penampilan dan cara berbusana akan memberi nilai terhadap kualitas jiwa seseorang). Busana adalah cermin identitas seseorang, watak, kondisi sosial ekonomi pemakainya, juga menunjukkan moral dan budaya suatu bangsa.168 Begitu juga bagi masyarakat Cirebon, mereka memahami busana selain sebagai alat untuk melindungi diri juga bernilai keindahan dan kesopanan. Batik Cirebon sampai sekarang masih diproduksi dan dikembangkan oleh para pengusaha Muslim dan para santri di Desa Trusmi, tidak heran jika masyarakat

164J. Dewey, “Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning”. The Journal of Philosophy, vol. 43, no. 4, 1964, h. 85-95. 165J. Zeman, “Peirce‟s Theory of Signs”. A Perfusion of Signs, 1977, h. 22-39. 166N. Houser, “Toward a Peircean Semiotic Theory of Learning”. The American Journal of Semiotics, vol. 5 no. 2, 2008, h. 251-274. 167R. P. Smiraglia, “Works as Signs, Symbols, and Canons: The Epistemology of the Work”. Ko Knowledge Organization, vol. 28, no. 4, 2001, h. 192-202. 168A. Nursalim & H. Sulastianto “Dekonstruksi Motif Batik Keraton Cirebon: Pengaruh Ragam Hias Keraton pada Motif Batik Cirebon”. Jurnal Penelitian Pendidikan, vol. 15, no. 1, 2016, h. 27-40.

191 umum lebih mengenal batik Cirebon ini dengan batik Trusmi. Ornamen batik Cirebon memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan ornamen batik dari daerah lainnya. Ornamen batik Cirebon dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yaitu adanya budaya-budaya yang mengelilinganya. Ornamen sangat berpengaruh pada maju mundurnya batik, artinya ornamen yang bagus dan unik tentu akan lebih diminati dan dipakai oleh masyarakat. Ornamen memberi hiasan pada bidang kosong menjadi berisi hiasan.169 Nenek moyang bangsa Indonesia sejak lama sudah memiliki keahlian membuat ornamen. Hal ini bisa dibuktikan pada pecahan gerabah dari zaman neolitikum berupa goresan sederhana berbentuk geometris. Pada masa pra sejarah, ornamen berfungsi sebagai media untuk melampiaskan hasrat, pengabdian, persembahan, penghormatan dan kebaktian terhadap nenek moyang atau Dewa yang dihormati. Dengan kata lain, ornamen memiliki fungsi ganda yaitu fungsi hias dan simbolik.170 Ornamen adalah hiasan yang dibuat dengan digambarkan, dipahat, maupun dicetak untuk meningkatkan kualitas dan nilai suatu benda atau karya seni. Ornamen sering dihubungkan dengan corak dan ragam hias yang ada. Sementara simbol atau lambang adalah tanda yang menyatakan sesuatu itu mengandung maksud tertentu.171 Di Jawa Barat sebenarnya ada empat tempat sentra batik, yakni daerah Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, dan Garut. Namun, di antara keempat sentra batik tersebut, Cirebon tergolong sebagai sentra batik tertua dan banyak memberikan pengaruh pada perkembangan batik di daerah lain, terutama daerah- daerah berdekatan di Jawa Barat, dan daerah Jawa pada umumnya. Dalam konteks ini, Cirebon yang dahulunya sebagai kota pelabuhan merupakan tempat akulturasi budaya dari berbagai suku dan bangsa. Misalnya, motif wadasan dan Mega Mendung yang merupakan ikon batik Cirebon merupakan hasil akulturasi dengan budaya Tiongkok. Gambar awan pada Mega Mendung merupakan pengaruh oriental yang biasa ada di keramik-keramik asal Tiongkok, begitu pula dengan warna cerahnya yang membedakannya dari batik Yogya, batik Solo172 dan sebagainya.

169S. Hedges, “Interior Decoration to Exterior Surface: The Beleaguered Relief”. Interiority, vol. 2, no. 1, 2019, h. 79-93.; E. M. Kavaler, “Ornament and Systems of Ordering in the Sixteenth-Century Netherlands”. Renaissance Quarterly, vol. 72, no. 4, 2019, h. 1269-1325. 170A. Iliopoulos, “Early body ornamentation as Ego-culture: Tracing the co-evolution of aesthetic ideals and cultural identity”. Semiotica, no. 232, 2020, h. 187-233.; S. Supatmo, “The Manifestation of Cultural Tolerance Value of Traditional Ornament: Study on Ornaments of Sendang Duwur Mosque-Graveyard, Lamongan, East Java”. In 2nd International Conference on Arts and Culture (ICONARC 2018), vol. 276, (Atlantis Press, 2019), h. 105-109. 171R. P. G. Tolentino, “Archaeology of Sacred Symbols: The Lost Meaning and Interpretations”. International Journal of Recent Innovations in Academic Research, vol. 3, no. 10, 2019, h. 66-71.; A. Foltarz, “Symbols, Signs, Messages in Ergonomics of Social Space”. Human-Centered Computing: Cognitive, Social, and Ergonomic Aspects, vol. 3, 2019, h. 200. 172Batik Yogja dan batik Solo sesuai tempat asalnya, Yogya dan Solo memiliki dimensi fraktal yang mirip dengan batik dari Madura dan Garut, tetapi batik Madura dan batik Garut

192

Motif batik Cirebon yang sangat kaya dan unik di yakini merupakan hasil desain dari keluarga keraton, yang sebagian terinspirasi dari motif-motif asing, termasuk Tiongkok, Arab, dan Eropa. Oleh karena hasil desain dari keluarga keraton, maka motif batik Cirebon banyak menggambarkan lingkungan istana seperti Kereta Kencana Paksi Naga Liman, Kereta Kencana Singa Barong, Taman Guha Air Sunyaragi, keramik Tiongkok, Siti Inggil, Patran Kangkung atau bentuk Kangkungan,173 termasuk bangunan keraton dan sebagainya. Namun, di antara motif hias batik Cirebon, yang sangat khas adalah bentuk wadasan dan Mega Mendung. Lombard mengatakan bahwa batik Cirebon itu desainnya figuratif, seperti pagar wesi, wadasan, dan Taman Arum. Temanya banyak terinspirasi langsung oleh dekorasi keraton, termasuk Taman Air Guha Sunyaragi.174 Selain itu, motif batik Cirebon juga banyak berlatar belakang singgasana sultan yang digambarkan dengan bentuk binatang (ular naga dan gajah) yang memiliki sayap burung dan bercahaya seperti “halilintar”.175 Binatang ini digunakan sebagai kendaraan sultan dan dinamakan Kereta Kencana Paksi Naga Liman atau dalam istilah Lombard disebut dragon-bird-elephant, termasuk juga Kereta Kencana Singa Barong yang biasa digunakan Sunan Gunung Jati.176 Beberapa motif inilah yang menjadi ikon batik Cirebon, sekaligus membedakannya dengan motif batik di daerah lain. Batik Cirebon memang banyak mendapat pengaruh dari motif-motif khas budaya asing. Karena sejak awal Cirebon sebagai kota pelabuhan tentu banyak dikunjungi oleh para pedagang dari luar seperti Persia, India, Arab dan Tiongkok. Hubungan dagang yang terjalin dengan para pedagang itu juga memengaruhi perkembangan ornamen Batik Cirebon. Hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa motif yang sering digunakan yakni motif batik Paksi Naga Liman yang mendapat pengaruh dari Persia, motif buraq mendapat pengaruh dari Arab, dan motif batik pangkaan177soko Tiongkok mendapat pengaruh dari Tiongkok, termasuk pewarnaan batik yang terang.178 Kalau kita telusuri dalam sejarahnya, batik keraton sebagaimana dijelaskan di atas awalnya hanya digunakan oleh kalangan keraton dan memiliki makna sakral. sendiri memiliki dimensi fraktal yang berbeda. Lihat penelitian Y. Hariadi, M. Lukman, & A. Haldani, “Batik Fractal: From Traditional Art to Modern Complexity”. In Proceeding Generative Art X Milan Italia, 2007, h. 1-10. 173Patran Kangkungan memiliki makna persembahan pada Yang Maha Agung. Dalam arti kata bahwa hidup ini hanya untuk mengabdi kepada Tuhan yang Maha Agung. Biasanya batik ini dipakai pada upacara ritual. Lihat I. Tambrin, “Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen Batik Trusmi Cirebon”, Jurnal Seni Rupa dan Desain, vol. 2, no. 4. 2002, h. 1-13. 174D. Lombard, Garden in Java, (Jakarta: EFEO, 2010), h. 71-73. 175A. Haake, “The Role of Symmetry in Javanese Batik Patterns”. Computers & Mathematics with Applications, vol. 17, no. 4-6, 1989, h. 815-826. 176Lombard, Garden in Java, h. 11. 177Pangkaan (pangka=setangkai daun dan bunga), yang terdiri dari Pangkaan dengan satu jenis pohon atau bunga, di antaranya Pring Sedapur, Pangkaan Anggrek, Klapa Setundun, Soko Cino, dan Kembang Suru. Lihat T. Soegiarty, “Ornamen Batik Pesisiran Daerah Sunda”. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain, vol. 13, no. 1, 2016, h. 23-38. 178Tambrin, “Batik Cirebon…, h.1-13.

193

Namun, pada perkembangannya, termasuk di era sekarang ini, motif-motif tersebut kemudian digunakan oleh kalangan rakyat biasa, atau umumnya disebut batik pesisiran. Motif ini baru kembali muncul di pasaran atau perbatikan Cirebon pada tahun 1970-an. Umumnya masyarakat menggunakan motif keraton untuk menunjukkan kecintaannya pada sultan dan keluarganya. Batik pesisiran yang dikembangkan masyarakat nampak pada hiasan batik yang dikembangkannya karena permintaan pasar, dan sudah menjadi barang dagangan dan sumber ekonomi masyarakat. Lombard menjelaskan bahwa pekerjaan membatik dan batik itu sendiri sebagai hasil karya penduduk lokal. Merujuk pada naskah Sunda tertua bertanggal 1440 Saka/1518 M yang ditemukan di Cirebon Selatan, Lombard179 mengatakan kata “batik” dalam naskah Sunda disebut dengan kata “tulis” yang lazimnya ketika itu digunakan untuk menyatakan pembubuhan “malam” ke atas kain. Di samping penjelasan tentang sembilan motif dalam melakukan “tulis” di atas kain. Berdasarkan konfirmasi Lombard pada sumber Eropa Daghregister di Batavia yang tertanggal 8 April 1641, bahwa kata “tulis” dalam naskah Sunda merujuk pada „batik‟ yang sering digunakan dalam Daghregister ketika memberikan pakaian Sultan Agung (1622). Misalnya, kalimat “…dilukis biru putih menurut cara negerinya”. Lombard menyimpulkan bahwa melalui pelabuhan-pelabuhan pesisir, teknik membatik ini dengan cepat masuk ke daerah Mataram, dan memberikan kekayaan lokal, yang terus berkembang baik di Cirebon dan Pekalongan di satu sisi dan di Yogya dan Solo di sisi lain. Batik keraton umumnya bergaya klasik, memiliki patokan ukuran yang baku, sangat religius dan memiliki nilai simbolik. Motif batik keraton sangat khas bentuknya, atau yang popular disebut motif wadasan dan motif Mega Mendung, sedangkan pada batik pesisiran sangat dominan bentuk geometris dan stilasi tumbuhan berbentuk pankaan/pangkaan.180 Motif batik yang paling populer dan menjadi ikon batik Cirebon adalah motif wadasan dan Mega Mendung, bahkan hingga mancanegara. Keduanya merupakan ornamen batik Cirebon yang banyak mengadopsi ornamen-ornamen yang terdapat pada benda-benda karya seni dari Tiongkok. Ada yang beranggapan bahwa motif- motif adaptasi ini awalnya merupakan pesanan dari para saudagar asing yang kemudian diminati juga oleh pihak keraton. Ssebagai bentuk apresiasi, ornamen- ornamen resapan tersebut kemudian dipakai sebagai bagian dari batik keraton. Akulturasi budaya ini diperkuat dengan pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Puteri Ong Tien yang berasal dari Tiongkok. Selain motif Mega Mendung dan wadasan, batik Cirebon juga berkaitan erat dengan simbol-simbil kosmologi, misalnya, motif Taman Arum Sunyaragi, Wadas Singa, Patran Kangkung, Wadas

179D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, jilid 2, (Jakarta: Gramedia- EFEO, 2005), h. 193-194. 180Pankaan adalah jenis motif batik yang yang berpola pada lukisan pohon atau rangkaian bungan, dan sering dilengkapi dengan burung-burung atau kupu-kupu di dalamnya. Bentuk pankaan termasuk ke dalam kategori motif Batik Semarangan yaitu motif Piring Selampad dan Kembang Kantil.

194

Mantingan, Ayam Alas, Supit Udang, dan sebagainya. Pada dasarnya motif batik Cirebon memiliki makna simbolik dan filosofis yang mengandung pesan moral.181

1. Motif Wadasan Mega Mendung

Gambar 15. Motif Wadasan Mega Mendung Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Wadasan (karang) adalah salah satu materi terkuat di bumi, tidak lekang karena cuaca dan tahan terhadap abrasi dan erosi. Tidak heran jika wadasan dijadikan simbol iman, dan diharapkan iman seseorang itu bisa kuat seperti wadas. Gambar wadasan yang vertikal yang nampak pada batik bermakna bahwa manusia dalam beribadah dan beramal sholeh harus selalu bersandar pada keridhoan Allah. Dengan begitu, iman seseorang harus dijaga dengan banyak ibadah dan beramal sholeh. Motif wadasan terbentuk dari material karang yang kuat dan kokoh bermakna kekuatan fondasi keimanan. Adapun bentuk karang yang vertikal menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Makna ini sudah menjadi ajaran yang secara turun temurun diajarkan dari mulai masa Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah. Sementara motif Mega Mendung bentuknya terlihat seperti gumpalan-gumpalan awan putih yang mengumpul, yang bermakna kehidupan dunia atas atau bisa juga dimaknai kebebasan. Motif Mega Mendung sering disandingkan dengan motif wadasan yang menyimbolkan makna kekuatan dan keteguhan.

2. Motif Sulur Mega Mendung

Gambar 16. Motif Sulur Mega Mendung Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

181Nursalim & Sulastianto, “Dekonstruksi Motif Batik…, h. 27-40.

195

Motif Mega Mendung dijadikan alat ungkapan untuk mengungkapkan jenis tumbuhan Sulur (tumbuhan yang merambat). Makna simbolik dan filosofis dalam kaitannya dengan Islam, yakni amal yang berkesinambungan, istiqomah dalam beribadah, dan menjaga tali silaturahmi. Amal yang berkesinambungan yang dimaksudkan disini adalah istiqamah dalam ibadah. Istiqamah berasal dari kata qawama yang berarti tegak lurus. Kata ini biasa dipahami sebagai suatu sikap teguh dalam pendirian, konsekuen, tidak condong atau menyeleweng ke kiri atau ke kanan dan tetap berada pada garis lurus yang sudah diyakini kebenarannya.182 Istiqamah juga sering dipahami sebagai sikap teguh hati atau konsisten. Istiqomah adalah berusaha tetap pada jalan Allah dengan tetap menjalankan kebenaran dan menunaikan janji, yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, sikap dan niat. Dengan kata lain, istiqamah adalah upaya menenpuh jalan yang lurus dengan tidak menyimpang dari ajaran Allah SWT. Istiqamah adalah konsistensi, ketabahan, kemenangan, keperwiraan dan kejayaan di antara ketaatan, hawa nafsu dan keinginan. Sikap istiqamah seseorang akan terlihat ketika menghadapi perubahan dan godaan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, agama memberi penghormatan kepada mereka yang sudah beristiqamah sebagaimana183ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Al-Fussilat ayat 30. Istiqamah merupakan sebuah kata yang mudah diucapkan dan diingat, namun tidak semua orang bisa mengamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Sikap istiqamah memerlukan kesungguhan yang senantiasa diiringi dengan kejernihan hati dan keikhlasan. Kejernihan hati dan keikhlasan akan berpengaruh pada keimanan dan ketakwaan orang agar stabil dan tidak melemah. Keimanan seseorang yang sudah stabil akan mendorongnya untuk mengamalkan agama secara utuh. Totalitas dalam beramal sangat diperlukan karena merupakan bagian dari upaya agar amal atau ibadah tetap istiqamah. Bagi hamba Allah yang sudah istiqamah dalam beribadah maka balasannya adalah surga yang sudah disiapkan Allah, yang kenikmatannya belum pernah kita lihat, kita dengar maupun kita rasakan. Intinya adalah barang siapa yang menginginkan kebahagiaan dan keberuntungan selalu mengiringi hidupnya, maka jalan yang harus ditempuh adalah bersikap istiqamah dalam beramal. Karena hanya orang-orang yang terpilih yang mampu mempertahankan sikap istiqamah dalam hidupnya.184 yang artinya hubungan atau صلة Silaturrahmi berasal dari kata berarti rahim atau االرحام jamaknya الرحن atau الرحين menghubungkan. Adapun kata peranakan perempuan atau kerabat. Asal katanya dari ar-rahmah (kasih sayang). Kata ini digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena dengan adanya hubungan rahim atau kekerabatan itu, orang-orang berkasih sayang.185 Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial pada dasarnya tidak mampu hidup

182Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997), h. 284. 183Muhammad Harfin Zuhdi, “Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim”. Religia, vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128. 184Mulyono, “Keistimewaan Istiqomah dalam Perspektif Al-Quran”. Imtiyaz, vol. 4, no. 01, 2020, h. 1-15. 185M. Habibillah, Raih Berkah Harta dengan Sedekah dan Silaturrahmi, cet. I, (Jogjakarta: Sabil, 2013), h. 123.

196 sendiri di dalam dunia ini, mereka harus berinteraksi antara satu dengan yang lain, temasuk masyarakat yang ada di Cirebon. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial yang merupakan hubungan sosial dalam suatu masyarakat mendapat perhatian dalam ajaran Islam. Interaksi sosial tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah silaturrahmi. Pokok atau inti dari kata silaturrahmi adalah rahmat dan kasih sayang. Menyambung kasih sayang dan menyambung persaudaraan, bisa juga diartikan sebagai menyambung tali kekerabatan dan menyambung sanak. Hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama untuk keamanan dan ketentraman dalam pergaulan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.186 Dalam konteks Islam, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa orang yang menyambung bukanlah orang yang membalas kebaikan orang akan tetapi ia adalah orang yang apabila hubungan kekerabatannya diputuskan maka ia menyambungnya.187 Ini menandakan bahwa silaturrahmi merupakan interaksi sosial yang mempunyai banyak manfaat bagi manusia demi untuk mewujudkan kebahagian di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya silaturrahmi dan larangan memutuskannya, sebab, memutuskan hubungan silaturrahmi dapat menimbulkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Rasulullah bersabda: “Tidak ada suatu dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia oleh Allah kepada pelakunya di samping (azab) yang disimpan baginya di akhirat daripada zina dan memutus silaturrahmi”. Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya memutuskan hubungan silaturrahmi termasu dosa. Karena memutuskan silaturrahmi berarti membuat kerusakan di muka bumi, bahkan Allah SWT mengutuk orang yang memutuskan hubungan silaturrahmi sebagaimana dalam al-Qur‟an surat Muhammad [47] ayat 22-23. Dalam ajaran Islam, hubungan antar sesama khususnya antar sesama anggota keluarga harus dijaga dengan baik karena keretakan keluarga bisa berakibat sangat buruk. Ini juga yang diterapkan dalam Kesultanan Cirebon sebagai kesultanan Islam sangat menjunjung tinggi tali persaudaraan. Hal itu tergambar dari sosok Sunan Gunung Jati yang bukan hanya sebagai raja tetapi penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sunan Gunung Jati sebagai seorang raja adalah contoh bagi keluarganya, bawahannya dan juga masyarakat Cirebon secara umum. Di samping bertindak sebagai raja, ia juga adalah Waliyullah yang tentu dengan kapasitasnya mengajak seluruh keluarga dan masyarakat di Kesultanan Cirebon untuk bagaimana menjaga silaturrahmi di antara sesama, sebab ini adalah bagian dari perintah agama, yakni agama Islam. Praktek inilah yang kemudian tersirat dalam banyak peninggalan seni dan budaya Cirebon, salah satunya adalah dalam seni batik. Batik dengan motif

186R. Syafe‟i, Al-Hadis: Akidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 21. 187Muhammad bin Isma‟il bin Ibrahim al-Mugirah al-Bukhari, Al-Adab al-Mufrad, juz I, cet. I, (Beirūt: Dār al-Basyair al-Islamiyah, 1409 H/1989M), h. 37.

197 sulur Mega Mendung dipercaya oleh masyarakat memuat makna simbolik dan filosofis sebagaimana dijelaskan, untuk tetap dipertahankan dari masa ke masa.

3. Motif Balong Teratai

Gambar 17. Motif Balong Teratai Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Kalau kita perhatikan di dalam motif Balong Teratai terdapat gambar di bagian kanan dan kiri yang simetris. Arti filosofisnya adalah bahwa orang akan menemukan kebahagiaan jika sudah ada keseimbangan atau keselarasan dalam hidup baik keselarasan antara manusia dan alam, maupun spiritual dan material. Masyarakat Jawa pada umumnya, termasuk masyarakat Cirebon memiliki nilai filosofis yang tinggi. Nilai filosofisnya selalu diukur dengan keseimbangan dan keselarasan. Filosofi Jawa terkait erat dengan budi-etika-sosial-alam, yakni budi terkait dengan rasa, etika terkait dengan pergaulan, sosial terkait dengan masyarakat, dan alam terkait dengan semesta. Semua komponen ini akan dipertimbangkan untuk mencapai keseimbangan, semata-mata untuk meraih keluhuran dan ketentraman hidup. Semua itu tercermin dalam ungkapan eling lan waspada.188 Nilai filosofis masyarakat Jawa yang mencerminkan kehati-hatian dan keseimbangan dengan alam, antara lain: “Sura dira Jayaningrat, lebur dening pangastuti” (segala sifat keras hati, angkara murka hanya bisa dileburkan dengan sikap lemah lembut dan kesabaran). “Memayu hayuning bawana ambrasta dur hangkara” (hidup di dunia mengutamakan keselamatan, kebahagian, kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak). “Urip iku urup” (hidup harus dapat memberi manfaat bagi orang lain). Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman (tidak mudah heran, tidak mudah menyesal, tidak mudah terkejut, dan tidak manja). “Ngluruk tanpabala menang tanpa ngasorake sekti tanpa aji-aji lan sugih tanpa banda” (berjuang tanpa bala, menang tanpa merendahkan orang lain, berwibawa tanpa kekuasaan, dan kaya tanpa harta).189 Gambar di bagian kanan dan kiri yang simetris pada Balong Teratai juga bermakna keseimbangan spiritual dan material. Islam mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terlalu ke kanan, juga tidak terlalu ke kiri, atau dengan pemaknaan yang lain, dunia dan akhirat harus seimbang. Manusia tidak

188M. Suryadi, “Nilai Filosofis Peralatan Tradisional Terhadap Karakter Perempuan Jawa dalam Pandangan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah”. NUSA, vol. 13, no. 4, 2018, h. 567-578. 189Suryadi, “Nilai Filosofis Peralatan…, h. 567-578.

198 boleh hanya mengejar dunia saja, juga tidak boleh hanya mengejar akhirat. Rasulullah bersabda “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan berbuat untuk akhiratmu seolah-olah akan mati besok”. Hal tersebut dipertegas lagi oleh Allah dalam al-Qur‟an surat Al-Qashas ayat 77. Selain dua hal di atas, penulis juga melihat bahwa makna keseimbangan atau keselarasan juga bisa dikaitkan dengan sifat manusia satu dengan manusia yang lain. Sebagai contoh pasangan suami istri, terutama yang baru menikah. Biasanya sifat egoisme dalam hubungan rumah tangga bisa membuat laki-laki dan perempuan dalam perkawinan tidak bisa bersatu. Oleh karena bertahan pada ego pribadi, maka masing-masing dari mereka akan menuruti kehendaknya sendiri tanpa mempertimbangkan sebelah pihak lain. Padahal, pada hakikatnya konsep perkawinan adalah penyatuan dari dua pribadi yang pada mulanya berbeda. Ketidak keselarasan ego antara laki-laki dan perempuan dalam pekawinan bisa berujung pada tidak adanya kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. Akibatnya konflik- konflik rumah tangga akan senantiasa muncul dan menjadikan keluarga tidak harmonis. Dalam tradisi etnis Tionghoa, simbol teratai sendiri dimaknai sebagai lambang kesucian. Sementara konsep keselarasan bisa ditemukan pada beberapa jenis hewan. Dalam tradisi Tionghoa, misalnya ketika burung phoenix (Hong) dipasangkan dengan naga, bisa bermakna keserasian atau keseimbangan Yin Yang.190 Sehingga pada dasarnya, baik dalam tradisi masyarakat Jawa, bangsa Tiongkok maupun dalam ajaran Islam, konsep keselarasan dan keseimbangan itu bisa ditemukan, meskipun dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tetapi, dalam konteks ini penulis melihat makna filosofi dari gambar simetris pada motif Balong Teratai adalah bagian dari kerangka pikir manusia secara kritis untuk memperoleh penyelesaian sebuah persoalan secara imbang. Semua yang dipikirkan berangkat dari prinsip kebijakan atau kepatutan. Hasil yang diperoleh tidak ada yang dirugikan serta memiliki nilai dan manfaat yang cukup tinggi. Kemanfaatan yang diperoleh pun selalu memiliki keselarasan, baik keselarasan antara manusia dengan alam, manusia satu dengan manusia yang lain, maupun spiritual dan material.

4. Motif Piring Selampad

Gambar 18. Motif Piring Selampad Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

190M. Herwiratno, “Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h. 78-86.

199

Motif batik Piring Selampad termasuk dalam motif batik pesisiran dari Cirebon. Ide awalnya berasal dari susunan piring porselen Tiongkok yang dipakai sebagai hiasan dinding Astana Gunung Jati dan Keraton Kasepuhan. Batik pesisiran mendapat banyak masukkan pengaruh budaya dari luar mengingat pada abad ke-16, Cirebon merupakan pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari Timur Tengah dan Tiongkok. Jika dirunut, Piring Selampad telah hadir sejak ratusan tahun lalu, namun di zaman sekarang, keberadaan batik ini semakin hilang termakan zaman. Bagi kolektor dan pencinta batik, Agnes Pinnar dalam acara “Metamorfosa Piring Selampad” di Galeri Alun-Alun Grand Indonesia, mengatakan Piring Selampad memiliki filosofi yang sangat mendalam, sebagaimana halnya seniman, pembatik pun dalam setiap karyanya terdapat passion. Pinnar mengatakan Piring Selampad adalah perjalanan atau ziarah batin, di mana Piring Selampad adalah sumber kehidupan yang selalu ingin dibagikan kepada teman. Seperti piring yang menjadi tempat makan, makanan adalah sumber kehidupan. Piring selampad, lanjut Pinnar, merupakan alas makan untuk meletakkan makanan terbaik di atasnya.191 Karena itu, ketika kaisar-kaisar Tiongkok memberikan piring porselan sebagai hadiah kepada Sultan Cirebon, itu bukanlah piring sembarangan. Batik pada zaman dahulu juga dijadikan sebagai penanda peristiwa. Begitu pula dengan piring selampad. Pinnar mengatakan, ketika kaisar-kaisar Tiongkok datang ke Kesultanan Cirebon, para pembatik lokal memberikan tanda atau bentuk khas dari tamu yang datang. Adanya fenomena pedagang dan Kaisar Tiongkok datang serta membawa hadiah kemudian mereka melukis Piring Selampad dalam batik, bukan hanya menjadi sebuah pertanda, sebagaimana yang dikatakan Pinnar di atas bahwa makna filosofi Piring Selampad bukan sekadar penanda peristiwa, tetapi juga perjalanan atau ziarah batin bagi pembuatnya karena menurut penulis di dalamnya ada interaksi antara pembatik dengan Piring Selampad. Ragam hias pada motif batik Piring Selampad yang kemudian dipindahkan ke media kain telah berlangsung ratusan tahun yang lalu, namun tidak sepopuler motif Mega Mendung yang kita kenal saat ini. Seperti namanya, Piring Selampad adalah motif batik yang terinspirasi dari piring-piring porselen yang terpampang di dinding Astana Gunung Jati, Cirebon. Pada zaman dahulu, ketika banyak pedagang dan pejabat Tiongkok datang ke tanah Cirebon, mereka memberi hadiah piring-piring porselen kepada raja di sana, tentu ini bukanlah hal yang biasa sebab benda-benda tersebut banyak diabadikan di dalam keraton. Di samping desainnya sangat spesial dan sejarahnya juga cukup dalam, penulis melihat motif batik ini bukan hanya sekedar motif batik biasa, namun ada sejarah di baliknya. Selain motif dan warna- warna batik yang memikat, ada unsur lain yang justru membuat motif Piring Selampad menjadi berbeda dengan motif batik lainnya. Penulis melihat, karena ceritanya, orang-orang tertarik sebab ada cerita dibalik motif batik, juga tentu motifnya indah dan cara pembuatan yang unik dan complicated (rumit), tetapi di luar semua itu, tetap cerita yang membuat batik itu menjadi spesial.

191Jujuk Ernawati & Adinda Permatasari, “Sejarah Piring Selampad, Motif Batik Langka dari Cirebon”. Di ambil dari: https://www.viva.co.id/gaya-hidup/gaya/886954- sejarah-piring-selampad-motif-batik-langka-dari-cirebon. (Diakses pada 24 Februari, 2017).

200

Motif Piring Selampad yang diambil dari susunan tempelan dinding Astana Gunung Jati terinspirasi dari kegiatan merayakan yang dilakukan oleh masyarakat. Selampad yang di ambil dari kata lampadan bermakna menyajikan hidangan untuk merayakan atau kegiatan selamatan yang dilakukan oleh masyarakat. Sederhananya Piring Selampad berarti piring yang menyajikan satu menu makanan untuk selamatan. Motif Piring Selampad memiliki pola ceplok-ceplok, sedangkan karakteristik motif utamanya disusun secara jarang dan kadang berselang-seling untuk membuat irama. Sementara isinya (isen; Jawa) yang digunakan adalah bentuk geometris seperti limaran coret, limaran doktoran dan limaran tembokan.192 Motif Piring Selampad di Kesultanan Cirebon diambil dari keramik yang ditempel di tembok istana. Maknanya sing eling lampat ing badan yang berarti manusia harus selalu ingat dan waspada atas perbuatannya. Setiap manusia akan memetik apa yang sudah diperbuatnya, jadi hati-hati setiap mau melangkah. Pertimbangkan matang-matang akibat yang akan muncul di kemudian hari. Hal ini juga dapat ditemui dalam al-Qur‟an surat Ar-Rahman [55] ayat 60. Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa tidak ada pahala bagi orang yang berbuat baik dengan mentaati Tuhannya, kecuali Allah SWT membalasnya dengan pahala yang baik. Sebaliknya, dalam surat An-Nisaa‟ [4] ayat 123, Allah menegaskan bahwa barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu pula. Beberapa ayat di atas sesungguhnya ingin menjelaskan balasan terhadap orang- orang yang beriman dan bertakwa. Allah SWT akan membalas setiap perbuatan manusia dengan penuh keadilan. Balasan yang didapat seseorang sesuai dengan apa yang sudah mereka usahakan. Setiap manusia yang melakukan kejahatan akan mendapat balasan setimpal, dan masuk neraka. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan kehidupan yang baik jika melakukan perbuatan baik pula, dan pada akhirnya akan masuk surganya Allah. Dan surga digambarkan di nash sebagai tempat yang indah. Ada taman-taman, sungai-sungai susu, khamar dan madu yang mengalir, buah-buahan yang beraneka macam dan tidak pernah berhenti berbuah, minuman yang tidak memabukkan, bidadari-bidadari, pelayan-pelayan yang setia, pakaian dari sutera, fasilitas lain yang terbuat dari emas, berlian dan permata.193

192Aditya A. Putri HK & Desi Wulandari, “Analisis Makna Motif Batik Ciwaringin Cirebon”. Seminar Nasional Seni dan Desain: Reinvensi Budaya Visual Nusantara, Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 2019, h. 35-40.; Aditya A. Putri HK & Zakarias S. Soetejab, “Analysis of the Meaning of Ciwaringin Batik Motifs Cirebon”. The International Seminar QUOVADIS of Traditional Arts XIII “Diversity in Culture”, 2017, h. 1-8. 193Ilyas Daud, “Surga di dalam Hadis”. Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, vol. 18. no. 2, 2018, h. 1-13.

201

5. Motif Barongsai

Gambar 19. Motif Barongsai Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Barongsai merupakan salah satu kesenian tradisional etnis Tionghoa yang berasal dari Tiongkok. Seni tersebut masih ada dan berkembang sampai sekarang ini. Kesenian Barongsai bagi masyarakat Tionghoa adalah berfungsi sebagai media hiburan, ritual dan politik. Barongsai bagi masyarakat Tionghoa memiliki makna simbolik dan makna strategi. Barongsai adalah lambang keberuntungan, sehingga bagi masyarakat Tionghoa khususnya yang ada di Cirebon, dan Jawa pada umumnya percaya jika memberikan angpao kepada Barongsai kelak akan mendapatkan limpahan rejeki dan keberuntungan dari dewa. Oleh karena itu, pada saat Imlek atau Cap Go Meh, masyarakat Tionghoa berebut untuk memasukkan angpao ke mulut Barongsai. Adapun makna strategis Barongsai adalah sebagai sarana interaksi sosial antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Lewat kesenian ini diharapkan mampu mendekatkan dan merekatkan hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat pribumi sehingga jarak di antara keduanya bisa diminimalisir.194 Pentingnya pemaknaan di atas sebab kehidupan modern saat ini telah mengarah pada masalah identitas. Keterasingan tidak hanya terjadi dalam dimensi individu, tetapi juga mereka merasakan keterasingan dalam hubungannya dengan alam semesta, dan dengan sesamanya (keterasingan sosial). Penulis melihat jika dalam artikel yang ditulis Putra bahwa kesenian Barongsai bisa menjadi alat untuk merekatkan dan membina hubungan harmonis antar sesama, maka Yulianto dalam karyanya “Tasawuf Transformative…” yang digagas oleh Muhammad Zuhri tidak hanya aktual, tetapi juga relevan untuk “membebaskan” manusia modern dari berbagai masalah yang mereka hadapi. Memang semangat tasawuf yang dibawa oleh Zuhri tampak sarat dengan tindakan sosial dan aspek komunal. Tasawuf transformatf menurut pemikiran Zuhri lebih pada solusi implementatif atas krisis yang terjadi pada masyarakat modern. Tasawuf transformatif hadir sebagai penyeimbang atas ketimpangan antara sisi rasionalitas-materialitas dengan sisi nativisme-spiritual yang memungkinkan seseorang menjadi asketis (zuhud)

194Bintang Hanggoro Putra, “Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang”. Harmonia, vol. IX, no. 1, 2009, h. 1-11.

202 sekaligus berdampak sosial.195 Hal tersebut juga telah disinggung Allah dalam al- Qur‟an surat Al-Hujuraat [49] ayat 13. Dari ayat di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama berkeadilan dengan prinsip keadilan Allah yang merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Di hadapan Allah semua manusia sama, tidak membedakan suku, bangsa, bahasa, warna kulit. Karena yang membedakan hanya ketakwaannya, sedangkan nilai iman dan ketakwaan hanya Tuhan yang mengetahui. Keadilan sosial Islam merupakan dasar penting bagi tegaknya syariat. Keadilan sosial Islam sifatnya mengikat sebagai sesuatu yang wajib ditaati oleh pemeluknya. Allah memerintahkan dalam banyak ayat, yang pesan-Nya memotivasi sekaligus mengingatkan supaya tidak meninggalkan-Nya, terutama dalam hal menetapkan hukum dan menegakkan keadilan.196 Kemudian, kalau diperhatikan di bawah gambar Barongsai juga ada motif Mega Mendung yang horisontal, bermakna hablum minan-nas. Manusia dimanapun berada harus mengembangkan sikap inklusif. Mau bergaul dengan siapa saja dan dari mana saja, yang penting nilai-nilai Ketuhanan harus selalu dipegang kuat. Pada dasarnya, riwayat pembentukan bangsa Indonesia, termasuk Cirebon atau Kesultanan Cirebon ketika itu adalah kisah panjang tentang sebuah komunitas yang inklusif. Bangsa yang terbuka menerima segala pengaruh apa pun “yang baik” yang datang dari manapun, tanpa mesti meninggalkan apa yang sudah menjadi miliknya, ia baik-baik saja menerima dan menyikapi segala pengaruh luar yang menyelinap. Tidak ada resistensi ketika pengaruh luar itu datang dengan semangat menyebarkan persaudaraan, tanpa paksaan atau peperangan. Sikap seperti itulah sebenarnya yang menciptakan tali persatuan pada keberagaman penduduk di wilayah Nusantara ini, termasuk di Kesultanan Cirebon. Sejak awal, daerah Cirebon terbuka (inklusif), daerah ini senantiasa menjadi tuan rumah yang baik, kepada siapa pun well come, dan prasangkanya baik. Dengan karakteristik yang demikian, bangsa ini secara umum dan Cirebon khususnya, tanpa disadarinya telah berkembang menjadi sebuah komunitas yang terbentuk lewat proses hibridisasi yang besar, salah satunya adalah peninggalan budaya Nusantara atau Indonesia saat ini, yakni batik Cirebon. Maka tidak heran ketika bangsa Eropa kemudian menyebut wilayah Nusantara sebagai Mooi Indië,197 kepulauan Hindia yang indah. Tidak hanya itu, inklusivisme penduduk Nusantara juga menjadi pertimbangan bangsa-bangsa asing untuk datang ke Nusantara, termasuk Cirebon.

D. Guha Sunyaragi Guha Sunyaragi atau Taman Air Sunyaragi adalah salah satu situs unik yang terletak di Desa Sunyaragi, Kecamatan Kesambi, Cirebon, dan menempati lahan

195Rahmad Yulianto, “Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri”. Teosofi, vol. 4, no. 1, 2014, h. 56-87. 196Qurratul Ainiyah, “Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Pernikahan Islam Sebagai Bukti Agama Berkeadilan”. Prosiding Seminar Nasional Islam Moderat, 13 Juli 2018, h. 132-145. 197D. Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 43.

203 seluas 15.000 meter persegi.198 Pada awal pembuatannya, Guha Sunyaragi jauh dari pemukiman masyarakat,199 dan berfungsi sebagai cara atau sekedar mencari ketenangan pikiran di setiap lorong-lorong gua, sebab suasana di guha itu sepi dan jauh dari rumah masyarakat. Beberapa literatur menyebut bahwa Guha Sunyaragi berawal dari danau Segara Amparan Jati yang dikelilingi oleh hutan jati, kemudian dijadikan sebagai Taman Kelangenan (taman kesenangan), yang fungsi utamanya adalah untuk ber-khalawatan (menyendiri).200 Ada juga yang menyebut Guha Sunyaragi dengan nama Taman Kaputren (tempat bermain keluarga sultan), dan tempat penyepi ing ragatempat bertapa/bersemedi sebagaimana juga dalam kepercayaan agama Hindu.201 Falah mengatakan bertapa berkaitan dengan kegiatan keagaman, mendekatkan diri pada Tuhan dan menjauhkan diri dari keramian. Sunyaragi atau kosong jasmani adalah suatu kondisi yang didapatkan pada saat bertapa atau menyepi.202 Pada intinya, semuanya mengarah pada maksud yang sama. Adapun yang dimaksud dengan tempat penyepi ing raga dalam konteks ini adalah tempat keluarga sultan ber- tawassulialah aktivitas mengambil sarana atau wasilah agar doa atau ibadahnya dapat diterima oleh Allah. Bagi sultan, tawassul adalah salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ketaatan, beribadah, dan mengikuti petunjuk rasul-Nya serta mengamalkan seluruh amalan yang dicintai dan diridhai- Nya.203 Kalau kita lihat dalam beberapa literatur, nama Guha Sunyaragi ditulis dengan nama Goa Sunyaragi, yang menurut penulis meskipun penulisan nama “Goa” dan “Guha”, perbedaannya hanya dari segi penulisan saja, tetapi menurut Ajat keduanya memiliki makna yang berbeda.204 Lebih lanjut ia mengatakan “Guha” berarti Goa buatan manusia dan sengaja dibangun, sedangkan “Goa” bermakna Goa alam, yang alami dan hasil bentukan alam sendiri, tanpa bantuan manusia.205 Mengacu pada

198N. Nurudin & F. Nurfalah, Communication Marketing of Youth and Sport Department of Culture and Tourism in the Water Park Cave Sunyaragi Cirebon City, West Java, Indonesia. In International Symposium on Social Sciences, Education, and Humanities (ISSEH 2018), vol. 306, (Atlantis Press, 2019), h. 31-34. 199Kondisi di masa itu berbeda dengan di masa sekarang, bangunan Guha Sunyaragi kini telah berubah fungsinya, dan sudah banyak bangunan rumah di sekitar wilayah Guha Sunyaragi. 200Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34. 201Shirley Firth, “End-of-life: a Hindu view”. The Lancet, vol. 366, no. 9486, 2005, h. 682-686. 202W. A. Falah, “Tinjauan Konsepsi Seni Bangunan Istana Peninggalan Masa Islam di Kesultanan Cirebon dalam Konteks Kesinambungan Budaya”. Dalam Susanto Zuhdi (ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), h. 68. 203Abdul Aziz, dkk., “Pengelolaan Taman Wisata Goa Sunyaragi”. Al-Musthofa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 3, no. 1, 2018, h. 134-152. 204Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020. 205Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020.

204 catatan sejarah yang ditulis Pangeran Sulendraningrat, Guha Sunyaragi dibangun pada masa Pangeran Aria Cirebon atau Pangeran Adipati Aria Karangrangen sekitar tahun 1703. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tahun itu adalah masa perbaikan dan penyempurnaan yang pertama kali di kawasan Guha Sunyaragi. Jadi Guha itu sebenarnya dibangun pada masa PRA Zaenal Arifin (Pangeran Mas) yang merupakan Sultan Cirebon pertama. PRA Zaenal Arifin adalah putera Syarif Hidayatullah dari isteri bernama Nyi Mas Tepasari yang asal dari Demak.

Gambar 20. Guha Sunyaragi (Guha Peteng) Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Guha Sunyaragi dibangun atas prakarsa Pangeran Kertasari untuk mengganti Taman Kaputren Nur Giri Sapta Arga (Giri Septa Rengga) yang sudah berubah fungsi sebagai pasarean atau makam, dimana makam Sunan Gunung Jati dan keluarganya dimakamkan. Pada saat itu, Raden Sepat dari Demak ditunjuk untuk mengepalai proyek pembangunan Guha Sunyaragi dengan dibantu oleh para arsitek dari Tionghoa206 yang sudah lama tinggal di Cirebon. Kebenaran berita ini bisa dibuktikan dengan adanya monumen Tiongkok. Monumen itu sekilas mirip bong pai (makam), namun sebenarnya adalah prasasti untuk mengenang bahwa pembangunan Guha Sunyaragi juga dibantu oleh ahli-ahli seni dari Tiongkok yang sudah lama tinggal di Cirebon. Maka tidak heran, kalau kemudian bangunan Guha Sunyaragi banyak dipengaruhi oleh unsur budaya Tionghoa, dan salah satunya adalah Guha Peteng yang ada di area Guha Sunyaragi mirip dengan bangunan yang ada di Forbidden City. Hal ini juga dipertegas oleh Duta Besar Tiongkok ketika mengunjungi situs Guha Sunyaragi. Guha Sunyaragi secara fisik memang banyak dipengaruhi oleh budaya Tionghoa dan Hindu. Tetapi menurut analisa penulis, selain dipengaruhi oleh budaya Tionghoa dan Hindu, juga ada pengaruh Islam, sebab Kesultanan Cirebon adalah kesultanan Islam. Pengaruh Islam yang penulis maksudkan, tidak melekat pada bentuk fisik daripada bangunan Guha Sunyaragi, termasuk semua Guha-Guha kecil yang ada didalamnya, tetapi lebih kepada fungsi dan makna filosofis dari

206Setelah diteliti ternyata 300 meter dari area Guha Sunyaragi ditemukan banyak makam etnis Tionghoa dengan huruf Kanji yang tidak bisa dipahami oleh orang Tionghoa generasi sekarang. Dalam sejarah dikatakan bahwa pengawal Ong Tien ada yang ikut pergi ke Kuningan, tetapi ada juga yang menetap di Cirebon. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa merekaetnis Tionghoa yang menetap di Cirebon, ketika meninggal, semua dikuburkan di dekat Guha Sunyaragi.

205 bangunan-bangunan tersebut. Hal tersebut sebagaimana juga yang dijelaskan Ajat bahwa Guha Sunyaragi secara keseluruhan merupakan gambaran perjalanan hidup manusia.207 Guha Sunyaragi sebagaimana maknanya adalah tempat penghilangan diri atau raga guna mencapai kesempurnaan spiritual. Di samping itu, Taman Sunyaragi juga dijadikan sebagai tempat tinggal (istirahat), juga tempat melatih ilmu kanuragan dan mental para prajurit.208 Pembangunan Guha Sunyaragi pada dasarnya mengandung nilai-nilai religious yang ada dalam ajaran Islam, khususnya tasawuf. Sebagaimana disebutkan di awal bahwa salah satu fungsi Guha Sunyaragi adalah sebagai tempat berkhalwat para sultan untuk mendapatkan ketenangan batin dan kesempurnaan spiritual dengan cara berzikir kepada Allah sebagaimana dahulu Rasulullah SAW melakukan tahannuts di Gua Hiro. Fungsi guha/gua adalah sebagai tempat berkhalwat sangat bersesuaian dengan salah satu ajaran tasawuf yang menekankan pendekatan keruhanian melalui khalwat, atau semedi dalam bahasa Jawa. Penganut tasawuf biasanya melakukan zikir dan bertafakur serta membersihkan batin dari pikiran tercela dengan cara berkhalwat. Pengertian tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Allah dalam al-Qur‟an surat Ar Ra‟d [13] ayat 28, bahwa hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Berdasarkan ayat di atas, sebenarnya banyak cara yang dianjurkan agama untuk dapat membersihkan hatinya. Salah satunya dengan berdzikir dan salawat kepada Allah. Dzikir adalah salah satu cara yang ditempuh manusia untuk merelaksasikan pikiran dan hatinya dari berbagai hal. Hati yang bersih akan menjadi gerbang bagi kebaikan-kebaikan yang lain, bahkan berdasarkan penelitian Olivia menemukan bahwa zikir bisa menjadi terapi untuk menenangkan jiwa para lansia yang mengalami hipertesi.209 Oleh karenanya, zikir juga berpengaruh positif dalam menurunkan kecemasan pasien gagal ginjal kronis (GGK) yang menjalani hemodialisasi.210 Semua urutan bagunan yang ada di dalam Guha Sunyaragi sebagaimana yang disebutkan di atas, memiliki fungsi dan makna yang berbeda-beda, yang berorientasi pada perjalanan hidup manusia, yaitu: pertama, setelah masuk alun- alun, ada dua buah kolam teratai yang melambangkan bahwa ketika manusia akan terlahir ke dunia, didahului darah dan air ketuban.

207Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020. 208Franseno Pujianto, Desain Lansekap : Objek Studi Goa Sunyaragi Cirebon, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas katolik Parahyangan, 2012), h. 19.; Lihat juga Firda Rasyidian, dkk., “Spatial Principles and Ornamentsation on Water Garden Relics of Kesultanan Cirebon: Case Student Witana Water Garden, Pakungwati Water Garden, and Sunyaragi Water Garden”. Jurnal Risa, vol. 03, no. 04, 2019, h. 363-380. 209Olivia Dwi Kumala, dkk., “Efektifitas Pelatihan Dzikir dalam Meningkatkan Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi”. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. 4, no. 1, Juni 2017, h. 55-66. 210Iin Patimah, dkk., “Pengaruh Relaksasi Dzikir Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa”. Jurnal Keperawatan Padjajaran, vol. 3, no. 1, 2015, h. 18-24.

206

Kedua, Guha Pengawal. Guha adalah tempat istirahat pengawal sultan dan keluarganya ketika berkunjung ke Guha Sunyaragi. Orang tua biasanya rewel ketika anak perempuannya hamil. Anaknya disuruh bawa gunting, lidi dan lain-lain kemanapun pergi untuk jaga-jaga. Ketiga, Bangsal Jinem. Bangunan berbentuk podium di sepanjang tribun ini adalah tempat dimana sultan dan keluarganya duduk sambil menyaksikan para prajurit yang sedang berlatih ilmu kanuragan, juga pada saat menyaksikan pertunjukan tarian tradisional dalam acara-acara yang dilangsungkan oleh Kesultanan Cirebon seperti tarian pegas topeng khas Cirebon.211 Kata jinem sendiri terdiri dari dua kata yaitu ji sama artinya dengan siji (satu), sedangkan nem sama artinya dengan nenem (enam). Dalam Islam ada rukun iman yang jumlahnya enam, dan iman sesorang harus selalu dijaga agar tetap kuat. Puncak dari iman adalah iman kepada Allah yang Esa. Dengan demikian, jika iman setiap orang Muslim terjaga, maka hidupnya akan senantiasa di jalan Allah. Keempat, Mande Beling. Secara harfiah Mande Beling dapat diartikan sebagai tempat yang bening. Karena dahulu tempat ini terbuat dari marmer, bening seperti kaca. Mande Beling dahulunya difungsikan sebagai tempat sultan memberikan wejangan, petuah atau nasehat kepada masyarakat atau tamu yang berkunjung ke Guha Sunyaragi. Makna filosofis dari Mande Beling adalah manusia yang sering mendengar nasehat agama, hatinya akan tenang dan pikirannya jernih. Kelima, Kolam Kaputren. Kolam ini adalah merupakan tempat bermain air para putera dan puteri sultan ketika berada di area Guha Sunyaragi. Dahulu sekeliling kolam dihiasi ornamen piring dari Tiongkok. Tatapi berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, tempelan ornamen-ornamen Tiongkok tersebut sudah hilang, sehingga yang tertinggal hanya bekas tempelannya saja. Itulah sebabnya Nurudin dan Nurfalah menilai kondisi Guha Sunyaragi saat ini sangat memprihatinkan, karena ada beberapa fasilitas yang tidak terpelihara dengan baik,212 termasuk tempelan ornamen piring dari Tiongkok, yang sebenarnya benda- benda tersebut harus dijaga karena merupakan bagian dari peninggalan budaya masala lalu. Kolam Kaputren bermakna bahwa setiap anak yang baru lahir harus dialiri air, dimandikan dan dibersihkan. Di samping itu, setiap anak yang lahir dalam tradisi Kesultanan Cirebon harus diperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri, supaya “padang atinya” yang dilambangkan dengan Guha Padang Ati. Kolam Kaputren letaknya persis di belakang Guha Peteng yang mirip dengan bangunan di Forbidden City, maknanya manusia lahir dalam kegelapan, makanya harus diadzani dan diiqomati supaya padang atinya. Di atas Guha Peteng ada cungkup Guha Punyit maknanya manusia ketika kecil senyum-senyum sendiri, tertawa sendiri sambil diawasi sedulur papat. Kata orang tua manusia bangga ono sedulur papat, kelima pancer yang ngawasi. Manusia itu lahir ke alam dunia tidak sendiri. Karena sedulur papat itu di antaranya adalah roh dan darah. Artinya, sempurnakan dirimu sebagaimana kamu lahir untuk kamu kembali. Setelah dewasa berada dalam kebimbangan untuk menentukan pilihan yang dilambangkan dengan

211Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34. 212Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34.

207

Bale Kambang. Setelah lolos dari kebimbangan, akan menjadi Arga Jumudyaitu orang yang diambil petuahnya, ilmunya dan dituruti sarannya. Ketika hidup carilah amal ibadah yang dilambangkan Pelataran Pande Kemasan. Para ahli kemasan itu bikin cinderamata. Buat apa kemasan (amal ibadah)? Buat bekal kita menuju alam kelanggengan yang dilambangkan dengan Guha Kelanggengan. Guha Kelanggengan pintu keluarnya dibelakang kereta gajah . maknanya adalah setelah dapat bekal banyak, kita tinggal menuju alam kelanggengan ditarik pakai Buraq menuju Sidratul Muntaha. Itu tujuan amal ibadah umat Islam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, Guha Sunyaragi termasuk bangunan guha-guha kecil di dalamnya nampak sempit dan rendah. Arsitektur bangunan yang seperti itu memiliki makna filosofis tersendiri dalam Kesultanan Cirebon. Ajat mengatakan, gaya arsitektur dari bangunan Guha Sunyaragi yang sempit dan rendah semuanya mengandung makna filosofis, yakni manusia sehebat apapun harus mengamalkan “ilmu padi” (semakin berisi semakin merunduk). Desain arsitektur dari guha-guha yang rata-rata pendek membuat manusia yang mampu memasukinya harus merunduk. Ini menandakan juga bahwa menjadi manusia tidak boleh sombong, sebab dalam sejarah, perilaku sombong adalah yang pertama kali dilakukan oleh iblis. Iblis merasa dirinya mulia sehingga ketika Allah perintahkan bersujud kepada Adam, iblis enggan melakukannya. Karena sifat sombongnya, maka iblis terusir dari surga dengan cara yang amat hina. Allah melarang dan membenci hamba-hambanya yang sombong karena sifat ini sangat tidak baik dan akan mendatangkan kemudharatan kepada pelakunya. Kesombongan dapat merusak hubungan persaudaraan, pertemanan dan dapat menumbuhkan benih-benih kebencian. Sifat sombong bisa membuat seseorang hilang rasa sayang dan empati kepada orang lain. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam al-Qur‟an surat Luqman [31] ayat 18. Ketidaksukaan Allah terhadap sikap sombong ini telah diabadikan dalam berbagai ayat, termasuk kisah-kisah kesombongan orang-orang terdahulu seperti Firaun yang menolak seruan Musa untuk beriman kepada Allah, dan kisah ‟an (putera nabi Nuh) yang tidak mau mengikuti ajakan ayahnya untuk menaiki perahunya. Peristiwa tersebut diabadikan dalam al-Qur‟an surat Hud ayat 40-48.213 Kaitannya dengan konteks penelitian ini adalah bahwa lewat makna bangunan guha-guha kecil yang ada di Guha Sunyaragi memuat pesan positif, yakni agar manusia menjauhi sifat sombong, dan agar manusia tidak dihinggapi sifat ini, maka selalu menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah dengan banyak zikir, sebab zikir yang dilakukan secara istiqomah akan mampu membersihkan diri dari segala penyakit hati, termasuk sifat sombong. Adapun dengan ruangan yang sempit bermakna bahwa kelak di akhirat, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya sendiri-sendiri. Kalau manusia bisa lolos dari kesempitan itu, maka di dalamnya akan terasa legah dan lapang.214 Dengan demikian, pada dasarnya semua bangunan di dalam Guha Sunyaragi menggambarkan perjalanan hidup manusia.

213Hasiah, “Mengintip Prilaku Sombong dalam Al-Quran”. Jurnal El-Qanuny, vol. 4, no. 2, 2018, h. 185-200. 214Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020.

208

Gambar 21. Guha Sunyaragi (Bahan Dasar: Batu Karang) Sumber: Dokumentasi Mukhoyyaroh, 2020

Makna lain yang ada didalam bangunan Guha Sunyaragi terletak pada bahan dasar pembuatan guha itu sendiri, yakni batu karang, yang meskipun sejenis batu tetapi pada dasarnya masih bisa dengan mudah dihancurkan atau mudah retak. Batu karang melambangkan bahwa memang kehidupan itu keras, namun di alam aslinya karang itu seperti rumput, mudah lentur. Sederhananya, keras tidaknya kehidupan yang dialami dan dijalani oleh manusia, tergantung seberapa besar usaha dan seberapa mampukah manusia menaklukan kerasnya hidup, termasuk masalah utama manusia yakni melawan hawa nafsu, sebagaimana Ajat mengatakan bahwa yang dimaksud masalah disini adalah masalah utama yang dihadapi manusia yakni melawan hawa nafsu, sebab tidak mudah bagi manusia untuk mampu menundukkan hawa nafsu.215 Seorang Muslim yang memiliki tingkat keimanan yang baik kepada Allah, niscaya akan istiqomah untuk tidak meninggalkan prinsip yang dipegang sekalipun harus berhadapan dengan berbagai resiko maupun tantangan besar dalam hidup. Lebih jauh, seorang Muslim yang sudah istiqomah dengan keimanannya akan dapat mengontrol dirinya dan mengendalikan hawa nafsunya dengan baik. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa perkara menundukkan hawa nafsu butuh perjuangan yang sungguh-sungguh, sebab musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya. Orang sudah konsisten dengan keimanannya akan selalu berpikiran positif, dan membuatnya dapat menjalani kehidupan ini dengan penuh kedamaian dan kemudahan.216 Terkait dengan perkara menjaga keimanan, Rasulullah bersabda: “Dari Hisyam bin „Urwah dari bapaknya, dari Sufyan bin Abdullah al- Tsaqafi r.a berkata: “aku berkata: “Wahai Rasulullah! Katakanlah satu perkataan padaku tentang Islam yang aku tidak perlu menanyakannya kepada orang lain. “Sabda Rasulullah SAW: “Ucapkanlah aku beriman dengan Allah kemudian beristiqomahlah kamu” (HR. Muslim). Rasulullah SAW melalui hadis di atas, mengajak umat Islam agar selalu menjaga keimanannya dan menyuruh beristiqamah untuk tetap berpegang pada aturan-aturan Allah sehingga pada akhirnya mendapat predikat muttaqin. Kaitannya dengan penelitian ini, sekalipun dari segi arsitektur pengaruh Hindu dan Tionghoa

215Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020. 216Muhammad Harfin Zuhdi, “Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim”. Religia, vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128.

209 begitu kental mewarnai Guha Sunyaragi, namun sarat dengan nilai-nilai Islam. Selain arsitektur dasarnya adalah batu karang, bangunan Guha Sunyaragi juga dikelilingi air. Maka dari itu, untuk sampai ke Guha Sunyaragi, setiap orang harus menggunakan getek atau rakit. Pada dasarnya air merupakan sumber kehidupan makhluk hidup, sehingga itu harus dihormati dan hargai. Air juga berfungsi sebagai pengaman dan kenyaman sultan dan keluarga serta pendingin dan penyejuk ruangan Guha Sunyaragi. Di samping, air juga memudahkan orang berwudhu bagi yang akan melakukan semedi dan ibadah-ibadah lainnya di kompleks Guha Sunyaragi. Dengan demikian, tidak heran jika semua ruangan guha dialiri air. Dalam budaya Tiongkok, angin dan air dipercaya merupakan komponen penting untuk membentuk perilaku dan sifat alam (semua makhluk) di bumi dalam mengisi peradaban manusia. Penataan dan penempatan energi angin dan air yang tepat dapat melimpahkan keberuntungan bagi kehidupan. Air juga melambangkan spiritualitas, kedamaian, mistis, kontemplasi, kesabaran, kepercayaan, stabilitas dan melankolis.217 Masyarakat Tionghoa sangat mempercayai Feng Shui. Feng Shui merupakan worldview yang dipercaya masyarakat Tionghoa sebagai bagian dari budaya terapan yang terkait dengan kehidupan keseharian. Feng Shui merupakan media transformasi konsep pemikiran falsafah alam semesta yang rumit dan beragam lalu digabungkan secara harmonis agar dapat diterapkan pada bentuk yang terukur dan terjangkau oleh panca indera manusia dalam bentuk bangunan.218 Feng Shui terdiri dari dua suku kata, yaitu Feng/Hong yang berarti angin dan Shui yang berarti air. Dalam Feng Shui dipercaya bahwa manusia, surga (astronomi), dan bumi (geografi) hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki hidup dengan menerima Qi (energi) positif.219 Guha Sunyaragi adalah bangunan paling unik di ASEAN yang diciptakan oleh manusia seperti berbentuk laut dan gunung bebatuan. Konstruksi dan komposisi situs bangunan adalah taman air. Dari sisa-sisa yang ada, terlihat kecanggihan dan hasil keunikan budaya manusia pada zamannya. Guha Sunyaragi adalah peninggalan budaya kuno, yang merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan. Meskipun fungsi berubah sesuai dengan kehendak para penguasa pada zamannya, tetapi garis besar Guha Sunyaragi adalah tempat dimana para pangeran atau prajurit istana dipenjara karena kekuatan ilmu kanuragan. Guha Sunyaragi sebagai guha terbesar di Keraton Kasepuhan sekurangnya telah mengalami beberapa kali direstorasi, baik pada masa Sultan Sepuh IX, di era kolonial dan sekarang. Tercatat pada saat ini dipulihkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selama delapan periode (sejak tahun anggaran 1977/1978 hingga tahun anggaran 1984/1985 yang lalu, ditambah dengan perbaikan pagar-pagarnya pada tahun 1989/1990 dan 1990/1991).220 Kemudian, revitalisasi Guha Sunyaragi selanjutnya pada tahun 2014 adalah paket dengan revitalisasi Keraton Kasepuhan.

217Monica, “Feng Shui dalam Mendesain Logo”. Humaniora, vol. 2, no. 1, 2011, h. 132-138. Lihat juga Sugiri Kustedja, dkk, “Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional”. Melintas, vol 28, no. 1. 2012, h. 61-89. 218Kustedja, “Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional”, h. 61-89. 219Monica, “Feng Shui dalam Mendesain Logo”, h. 132-138. 220Nurudin & Nurfalah, “Communication Marketing…, h. 31-34.

210

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dengan masyarakat Cirebon terjadi melalui tiga gelombang, yaitu dimulai sejak abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan Cheng Ho dan para pasukannya; Gelombang kedua terjadi pada akhir abad ke-15, yang ditandai dengan kedatangan Puteri Tiongkok bernama Ong Tien Nio dengan seluruh barang bawaannya; Gelombang ketiga terjadi di abad ke-18, ditandai dengan masuknya orang-orang Tionghoa sebagai orang- orang pelarian dari Batavia. Kontak sosial-budaya etnis Tionghoa dan Cirebon dalam perkembangannya turut membuat kedua kebudayaan terakulturasi, dan menemui puncaknya pada akhir abad ke-15 melalui pernikahan Sunan Gunung Jati dengan seorang puteri Tionghoa bernama Ong Tien Nio. Seandainya Sultan tidak beristerikan orang Tionghoa boleh jadi budaya-budaya Tionghoa itu tidak akan mewarnai Keraton Kasepuhan dan budaya fisik lainnya di Kesultanan Cirebon. Ini menjadi bukti bahwa Lembaga perkawinan mampu menghasilkan pembauran yang berkulitas dan alamiah berupa akulturasi. Ornament Tionghoa yang begitu kuat tidak dapat dilepaskan dari peran etnis Tionghoa yang hadir, utamanya puteri Ong Tien Nio, yang tidak hanya fisik tapi juga jiwanya. Ong Tien adalah sosok yang sangat berarti bagi Sunan Gunung jati. Ini juga menjadi bukti betapa berperannya seorang perempuan dalam ruang dan makna, sehingga turut mewarnai ruangan- ruangan kesultanan yang begitu private seperti keraton Kasepuhan, Astana Gunung Jati, Kereta Kencana Singa Barong, batik Mega Mendung, Guha Sunyaragi, dan sebagainya. Berbagai bukti arkeologis memperlihatkan bahwa di dalam keraton Kasepuhan dan beberapa wujud budaya fisik lainnya terdapat berbagai budaya yang ikut mewarnai. Makna filosofisnya adalah bahwa sekalipun Cirebon merupakan Kesultanan Islam, tapi sangat terbuka terhadap dinamika masyarakat dan bersikap inklusif terhadap berbagai budaya dan keberagamaan orang lain. Kesultanan ini ingin berdiri diatas keberagaman budaya dan meletakkan penghormatan yang tinggi terhadap keyakinan orang lain. Kesultanan Cirebon sangat menghormati dan menghargai leluhurnya, dengan tetap mengakomodir unsur-unsur Hindu, yang secara filosofis bermakna penghormatan terhadap yang lebih tua sebab Hindu sudah lebih dulu ada dibanding Islam. Orang Hindu yang melihat Gapura Candi Bentar merasakan keterwakilannya, begitupun dengan etnis Tionghoa melihat ornamen-ornamen Tionghoa yang begitu kental. Dari berbagai simbol yang ada memperlihatkan bahwa Kesultanan Cirebon sarat dengan nilai-nilai ketauhidan dan menginginkan adanya kerukunan hidup beragama dan berbudaya dalam kehidupan bernegara.

213

B. Saran dan Rekomendasi Secara historis dan geografis, Cirebon merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang sejak awal menjadi tempat perjumpaan berbagai kalangan mengingat daerah ini selain menjadi tempat berdirinya kesultanan Islam, juga menjadi pusat perdagangan di masa lalu karena dilengkapi fasilitas berupa pelabuhan internasional. Sebagai kota yang sejak awal menjadi tempat perjumpaan orang- orang dari berbagai manca negara, tentu tidak dapat dipungkiri terjadi sebuah akulturasi budaya, baik budaya material maupun non material, yang hingga saat ini masih bisa kita temukan di Kesultanan Cirebon. Sementara penelitian ini penulis fokuskan atau lebih banyak membahas mengenai budaya material berupa benda-benda peninggalan, baik budaya Cirebon maupun budaya material yang mendapat pengaruh dari Tionghoa dimulai sejak etnis ini memasuki daerah Cirebon. Sehingga itu, tema penelitian ini penulis fokuskan pada akulturasi budaya Tionghoa dan budaya Cirebon di Kesultanan Cirebon. Tentu masih banyak yang perlu dikaji mengenai kebudayaan yang ada di Cirebon, yang hal- hal tersebut luput dari kajian ini. Bagi para akademisi dan peneliti selanjutnya, penulis menyarankan sekaligus merekomendasikan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai fokus kajian selanjutnya dalam kaitannya dengan kebudayaan di Kesultanan Cirebon. Pertama, budaya Cirebon yang mendapat pengaruh dari luar, selain budaya yang mendapat pengaruh Tionghoa. Kedua, budaya non material Tionghoa yang terakulturasi dengan budaya Cirebon. Ketiga, perlu ditelusuri lebih jauh soal benda-benda peninggalan lain, yang luput dari penelitian ini. Untuk mengkaji hal-hal tersebut, tentu membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak sedikit, utamannya menyangkut pelacakan arsip-arsip yang sampai sekarang sebagian besar belum ditemukan. Selain bagi para akademisi dan peneliti, penulis juga merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah setempat. Pertama, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota Cirebon diharapkan dapat memberikan perhatian ekstra terhadap benda-benda bersejarah yang ada di Cirebon, sehingga tetap terpelihara dengan baik. Kedua, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota Cirebon serta dinas terkait dapat bersinergi membuat kebijakan-kebijakan: (1) memasukkan materi kebudayaan Cirebon dalam Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) di sekolah- sekolah jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas; (2) Mengagendakan kegiatan studi sejarah rutin di tempat- tempat bersejarah peninggalan Kesultanan Cirebon. Sehingga, para siswa dapat mengenal sejarah kota Cirebon, termasuk seluruh benda peninggalannya. Ketiga, Pemerintah Daerah Cirebon dan dinas terkait di kota Cirebon, budayawan, dan penggiat budaya, serta masyarakat Cirebon hendaknya ikut berperan aktif dalam pementasan-pementasan budaya, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

214

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, P. R. Cerbon, (Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia dan Penerbit Sinar Harapan, 1982). Adeng, dkk. Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998). Afif, A. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Depok: Penerbit Kepik, 2012). Agus, Bustanuddin. Al-Islam, Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993). Agustian, A. G. Rahasia Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ; Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga Wijaya, 2001). al-Haddad, Habib Abdullah bin Alwi. Nasehat-nasehat Agama dan Wasiat-wasiat Keimanan, terj. Zaid H. Al-Hamid, cet. I, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2002). Alim, Muhammad. Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadiam Muslim, (Bandung: Rosda Karya, 2006). al-Jāwy, Muḥammad Nawawī. Riyāḍ al-Badī‟ah, (Semarang: Pustaka al-‗Alawiyah, t.th.). Ambary, H. M. ―Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran Islam‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996). Ambary, H. M. Peranan Cirebon sebagai pusat perkembangan dan penyebaran Islam, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997). Ang, I. ―Trapped in Ambivalence Chinese Indonesians, victimhood and the Debris of History‖. In Morris, M. & de Bary, B. (eds.), „Race‟ Panic and the Memory of Migration, (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2001). Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Mutiara Hadis, cet. V, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 19780). al-Asqalani, Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.) al-Asqalani, Hafizh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Hajar. Fatḥul-Bari Syarh Sahih Bukhari, jilid 1. (Kairo: Dar al-Hadis, t.th.). al-Attas, S. M. N. Islam, Secularism and The Philosophy of the Future, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1985). al-Attas, S. M. N. The Intuition of Existence, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990). Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pemuseuman Jawa Barat, 1986). Atja, Nagarakretabumi, (Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Atja, Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, (Jakarta: Ikatan Karyawan Museum, 1972). Aubrey, N. ―A Dwelling Place for Dragons: Wild Places in Mythology and Folklore‖. In The Psychology of Religion and Place, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019).

215

Ayatrohaedi. Dialektologi sebuah pengantar (An introduction to dialectology), (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979). Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994). Azra, Azyumardi. Jaringan UlamaTimur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1998). Badwailan, Ahmad bin Salim. Dahsyatnya Terapi Shalat, terj. Ubaidillah S. Akhyar, (Jakarta: Nakhlah Pustaka, 2007). Barzilai, G. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities, (University of Michigan Press, 2003). Basyarahil, Abdul Aziz Salim. Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Beirne, P. ―On Gabriel Tarde, Penal Philosophy‖. In Classic Writings in Law and Society: Contemporary Comments and Criticisms, (London & New York: Routledge, 2017). Berger, P. L. dan Luckmann, T. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990). Blusse, Leonard. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women, and the Dutch in VOC Batavia, (Amsterdam: Foris Publication, 1988). Bochari, M. S. & Kuswiyah, Wiwi. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001). Borshalina, T. ―Development of Entrepreneurship and Sustainable Innovation in Indonesian Small and Medium Enterprises (Study on Trusmi Batik SMEs in Cirebon, West Java, Indonesia)‖. The 11th Asian Academy of Management International Conference 2015, (Universiti Sains Malaysia, APEX, Asian Academy of Management, Majelis Profesor Negara, Yayasan Pahang, 2015). Boulger, Demetrius C. The Life of Sir Stamford Raffles, (London: Horace Marshal & Son, 1897). Budiman, A. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (The Chinese Muslim Community in Indonesia), (Semarang: Tanjung Sari, 1979). Budiman, Amen. Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang, Tanjung Sari, 1979). al-Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). al-Bukhari, Imam. Ṣahīḥ Bukhōrī Kitāb Tafsīr al-Qur‘ān Bab Surat Luqman Ayat 34, vol. 6, (Beirūt: Dār Ibn Tuq al-Najāḥ, 1422 H.). al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il bin Ibrahim al-Mugirah. Al-Adab al-Mufrad, juz I, cet. I, (Beirūt: Dār al-Basyair al-Islamiyah, 1409 H/1989 M). Cator, W. J. The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies, (Oxford: 1936). Chittick, N. Kilwa: An Islamic Trading City on the East African Coast, vol. II, (Nairobi/London: British Institute of African Studies, 1974). Clyne, M. & Jupp, J. (ed.), ―Epilogue: A Multicultural Future‖. In Multiculturalism and Integration: A Harmonious Relationship, (ANU Press, 2011).

216

Connorton, Paul. How Does Society Remember, Nazi Biligo (translation), (Shanghai: People's Publishing House, 2000). Coogan, M. D. Eastern Religions: Hinduism, Buddhism, Taoism, Confucianism, Shinto, (Duncan Baird Publishers, 2005). Cortesao, A. The Summa Oriental of Tome Pires, (London: Hakluyt Society 1994). Creswell, J. W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998). Darmayanti, T. E. & Bahauddin, A. ―The Influence of Foreign and Local Cultures on Traditional Mosques in Indonesia‖. In Islamic Perspectives Relating to Business, Arts, Culture and Communication, (Singapore: Springer, 2015). Dartano, Penyebaran Agama Islam di Cirebon dan Sekitarnya antara Tahun 1470- 1570 M, (Universitas Indonesia, 1991). Dasuki, H. A. (ed.), Sejarah Indramayu, (Indramayu: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu,1978). Dasuki, H. A. Purwaka Caruban Nagari, (Indramayu: Pustaka Nasional, 1978). de Graaf, H. J. & Pigeaud, Th. G. Th. Chinese Muslim in Java in The 15 th And 16 th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon. Edited by M. C. Ricklefs, (Melbourne: Monash University, 1984). de Graaf, H. J. dkk. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998). de Haan, F. Oud Batavia, (Bandung: 1935). de Saussure, F. ―Course in General Linguistics‖, In Literary Theory, An Anthology, by J. Rivkin & M. Ryan (eds.), (UK: Blackwell Publishing Ltd., 2004). Djaja, Tamar. Pusaka Indonesia: Riwayat Hidup Orang-orang Besar di Tanah Air, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965). Djajadiningrat, H. Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad- abad Pertama Berdirinya, (Jakarta: Bhratara, 1973). Donley-Reid, L. W. ―The power of Swahili Porcelain, Beads and Pottery‖. In S. M. Nelson, A.B. Kehoe (eds.), Powers of Observation: Alternative Views in Archaeology, Archaeological Papers of the American Anthropological Association 2, (Washington: American Anthropological Association, 1990). Dupoizat, M. F., Wibisono, N. H, & Guillot, C. Catalogue of the Chinese-Style Ceramics of Majapahit: Tentative Inventory, (Paris & France: Association Archipel, 2007). Dwipayana, G. dan Hadimadja, R. K. Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989). Dyah, S. A. & Zein, F. K. ―The Influence of Cultural Acculturation on Architecture Keraton Kasepuhan Cirebon‖. In Reframing the Vernacular: Politics, Semiotics, and Representation, (Cham: Springer, 2020). Ekajati, E. S. (ed.), Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984). Ekajati, E. S. dkk, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Kerjasama Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dan Universitas Padjajaran, 1991). Ekajati, E. S. Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah sampai Terbentuknya Kabupaten, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003).

217

Erwantoro, H. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon, (Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2012). Falah, W. A. ―Tinjauan Konsepsi Seni Bangunan Istana Peninggalan Masa Islam di Kesultanan Cirebon dalam Konteks Kesinambungan Budaya‖. Dalam Susanto Zuhdi (ed.), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra. Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996). Fleisher, J. & Laviolette, A. ―The Changing Power of Swahili Houses, Fourteenth to Nineteenth Centuries AD‖. In R. A. Beck (ed.), The durable house: House Society Models in Archaeology, Center for Archaeological Investigations Occasional Paper, no. 35, (Carbondale, Southern Illinois University, 2007). Gan, C. ―Archaeological Finds and Origins of Chinese Civilization‖. In A Concise Reader of Chinese Culture, (Singapore: Springer, 2019). Geertz, C. The Interpretation Cultures, (New York: Basic Books Inc. Publisher, 1973). Gex, De Jeny. Asian Style Source Book, (Singapura: MQ Publication Ltd., 2000). Giap, T. S. ―Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia‖. In Chinese Beliefs and Practices in Southeast Asia, (Petaling Jaya: Pelanduk Publications, 1993). Gilhuly, K., Ackerman, R., Adams, J. N., Ahl, F., Alvares, J., Anderson, B., Anderson, W. S. et al. ―Cultic Prostitution: A Case Study in Cultural Diffusion‖. In Erotic Geographies in Ancient Greek Literature and Culture, vol. 51, no. 1/2, (New York: Center for Hellenic Studies, 2018). Gillin & Gillin, Cultural Sociology: A Revision and of an Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1954). Groeneveldt, W. P. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960). Habibillah, M. Raih Berkah Harta dengan Sedekah dan Silaturrahmi, cet. I (Jogjakarta: Sabil, 2013). Hall, Stuart. ―Cultural Identity and Diaspora‖, dalam Jonathan Rutherford, (eds.), Identity: Community, Culture, Difference, (London: Lawrence and Wishartm, 1990). Harb, T. Rihlah Ibn Battutah al-Musammah Tuhfah al-Nuzzar fi Ghara‟ib al-Amsar wa Aja‟ib al-Asfar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002). Hardesty, D. L. ―The Use of General Ecological Principles in Archaeology‖. In Advances in Archaeological Method and Theory, vol. 3, (New York: Academic Press, 1980). Hardjasaputra, A. S. Cirebon dalam Lima Zaman: Abad Ke-15 hingga Pertengahan Abad Ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Budaya Provinsi Jawa Barat, 2012). Hardjasaputra, A. S. dan Haris, T. (ed.). Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, (Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011). Harsojo, Pengantar Antropologi, (Bandung: Binacipta, 1967). Haviland, W. A. Antropologi, terj. Soekadijo, R. G. (Jakarta: Erlangga, 1988). Haviland, W. A. Cultural Anthropology, (Wadsworth Publishing Company, 2002).

218

Hawwa, Said. Al-Islam, terj. Badul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004). Herkovits, M. J. Acculturation: The Study of Culture Contact, (New York: Peter Smith, 1958). Hernawan, W. & Kusdiana, Ading. Biografi Sunan Gunung Djati: Sang Penata Agama di Tanah Sunda, (LP2M UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020). Hidayat, Raden S. Sejarah Caruban Kawedar, (Cirebon: Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cirebon, 2008). Hidayat, Z. M. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, (Bandung: Tarsito, 1984). Hoebel, E. A. Man in the Primitive World: An introduction to Anthropology, vol. 1, (New York: Toronto: McGraw-Hill Book Company, 1949). Horton, P. B. & Hunt, C. L. Sociology (New York: McGraw-Hill, 1976). Huan, Ma. Ying-yai Sheng-Ian: The Overall Survey of the Ocean's Shores (1433).Translated by J. V. G. Mills. Edited by Feng Ch‘eng Chun, (Cambridge: The University Press for the Hakluyt Society, 1970). Huang, J. Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, (Cirebon, 2006). Huang, Jeremy. Mengungkap Keberadaan dan Budaya Etnis Tionghoa Cirebon, (Cirebon: Katalog Online Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati, 2006). Ibn Rajab, Ahmad al-Hambali. Jami‟ul-„Ulum wal Hikam, (Beirut: Darul Ma‘rifah, 1987). al-‗Id, Ibn Daqiq. Syarah al-Arba‟in Hadisan al-Nawawiyah, (Kairo: Maktabah Turos al-Islami, t.th.). Idi, A. & Huda, N. Cina-Melayu di Bangka, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009). Irianto, H. R. B. dan Sutarahardja, K. T. Sejarah Cirebon: Naskah Keraton Kacirebonan, (Yogyakarta: Deepublish, 2013). Ismawati, ―Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam‖, dalam Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000). Jary, David dan Jary, Julia. HarperCollins Dictionary of Sociology, (New York: HarperPerennial, 1991). Joe, Liem Tian. Riwayat Semarang 1416-1931, (Semarang: 1933). Johan, I. M. Penelitian Sejarah Kebudayaan Cirebon dan Sekitamya Antara Abad XV-XIX: Tinjauan Bibliografi, dalam Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, 1996). Joseph, A. D. Komunikasi Antar Manusia, (Jakarta: Professional Books, 1997). Joyomartono, M. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1991). K. Yuanzi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007). Kampah, Ki. Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil, (Cirebon: Rumah Budaya Nusantara Pesambangan Jati Cirebon, 2013). Ke, X. ―Person-making and Citizen-Making in Confucianism and their Implications on Contemporary Moral Education in China‖. Re-envisioning Chinese Education: The Meaning of Person-making in a New Age, (London: Routledge, 2015).

219

Keesing, F. M. Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological Sources to 1952, (New York: Stanford University Press, 1953). Keesing, F. M. Culture Change: An Analysis and Bibliography of Anthropological Sources to 1952, no. 1. (New York: Octagon Books, 1973). Keesing, R. M. & Keesing, F. M. New Perspectives in Cultural Anthropology, (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971). Kemenkumham, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pengesahan Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China Tentang Ekstradisi (Treaty Between The Republic of Indonesia and the People‟s Republic of China on Extradition), (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2016). Kementrian Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Solo: Fatwa, 2016 M/ 1437 H). Kern, R. A. & Djajadiningrat, H. Masa Awal Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Bhratara, 1974). Kersten, C. ―The Caliphate‖. In Oxford Research Encyclopedia of Religion, 2019. Kertawibawa, B. B., Pangeran Cakrabuana Sang Perintis Kerajaan Cirebon, vol. 1 (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, 2007). Kite, E. ―Chinese Cultural Identity: Suharto's Wisdom and its Success in Achieving Complete Integration‖. In ACICIS Field Report, (Malang: Muhammadiyah University, 2004). Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977). Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djembatan, 1990). Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1958). Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Yogyakarta: 1981). Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990). Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015). Kong, Yuanzhi. Muslim Tionghoa Cheng Ho, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000). Kong, Yuanzhi. Sam Po Kong dan Indonesia, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1996). Kristeva, J. Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art, (New York: Columbia University Press, 1980). Kyngäs, H. ―Qualitative Research and Content Analysis‖ In The Application of Content Analysis in Nursing Science Research, (Cham: Springer, 2020). Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang & Diklat Kementrian Agama RI dengan LIPI, Air dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, 2011). Laksmiwati, D. K. Putri Ong Tien Mengarungi Samudra Asmara Meraih Cinta Sejati Susuhunan Jati Romantika Caruban Nagarai, cet 2, (Yogyakarta: Deepublish, 2014). Lan, Nio Joe. Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013).

220

Lapian, A. B. & Sedyawati, E. ―Kajian Cirebon dalam Kajian Jalur Sutra‖. Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah), (Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan RI, 1997). Lauer, R. H. Perspektif tentang Perubahan Sosial, terj., (Jakarta: Rineka Cipta, 1993). Leimgruber, W. ―Values, Migration, and Environment: An Essay on Driving Forces Behind Human Decisions and their Consequences‖. In Environmental Change and its Implications for Population Migration, (Dordrecht: Springer, 2004). Liliweri, A. ―Prasangka Sosial dan Efektivitas Komunikasi Antar Etnik di Kupang‖. Dalam A. Liliweri (ed.), Perspektif pembangunan: Dinamika dan tantangan pembangunan Nusa Tenggara Timur, (Kupang: Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru, 1994). Liliweri, A. Meaning of Culture and Intercultural Communication, (Yokyakarta: LKIS, 2003). Liu, H. & Zhou, Y. ―New Chinese Capitalism and the ASEAN Economic Community‖. In The sociology of Chinese capitalism in Southeast Asia, (Palgrave Macmillan, Singapore, 2019). Lombard, D. & Salmon, C. ―Islam and Chineseness‖. In A. Gordon (ed.), The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, (Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute, 2001). Lombard, D. Garden in Java, (Jakarta: EFEO, 2010). Lombard, D. Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia, jilid 2, (Jakarta: Gramedia- EFEO, 2005). Lombard, Dennys Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, (Jakarta: 1996). Lowie, R. H. The History of Ethnological Theory, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1937). Lubis, N. H. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, (Bandung: Alqaprint, 2000). Lukito, Ratno, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001). Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2016). Malik, Ridwan. Puasa Ulat: Merenungi Jejak Tuhan, Bercermin pada Nurani, (Cibubur: PT. Variapop Group, 2006). Mariam, S. B. Qualitative Research and Case Study Application in Education, (San Fransisco: Jossey-Bass Publisher, 1998). Masduqi, Z. Cirebon dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial, (Cirebon: Nurjati Press, 2011). Masduqi, Z., dkk. Islamisasi, Suksesi Kepemimpinan, dan Awal Munculnya Kerajaan Islam Cirebon: Kajian dan Penulisan Sejarah Kesultanan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektur & Khazanah Keagamaan Balitbang Diklat Kementrian Agama RI, 2012). Menzies, G. 1421: The Year China Discovered America, (New York: Perennial. 2003). Mikami, Ts. Tôji no michi – tôzai bunmei no setten o tazunete [Jalan Keramik: Bukti Materiel dari Kontak Budaya Timur dan Barat], (Tokyo: Iwnami Shoten, 1969). Moleong, L. J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1995).

221

Muhaimin, A. G. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002). Muljana, S. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005). Mulyana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2007). Munro, T., Form and Style in the Arts: An Introduction to Aesthetic Morphology, Cleveland: Press of Case Western Reserve University, 1970). an-Nawawi, Imam. Hadits Arbain al-Nawawiyah, edisi terjemahan, (Surabaya: AW Publisher, 2005). an-Nawawi, Imam. Syarah Hadits Arba‟in Imam Nawawi Penjelasan 40 Hadits Inti Ajaran Islam, terj. Ibn Daqiq al-‗Id, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2013). Nio, J. L. Tiongkok Sepandjang Abad, (Djakarta: Gunung Agung, 1952). Noer, N. M. Menusa Cirebon, (Cirebon: Dinas Pemuda dan Pariwisata Kota Cirebon, 2009). Nugrahanto, Widyo. Bertahan di Perantauan: Wacana Cina Muslim di Nusantara Abad ke 15 dan ke 16, (Bandung: Uvula Press, 2007). Oetama, J. dan Maarif, A. S. Penyerbukan Silang Antar Budaya: Membangun Manusia Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2015). Ondawame, J. O. ―West Papua: The Discourse of Cultural Genocide and Conflict Resolution‖. In Cultural Genocide and Asian State Peripheries, (New York: Palgrave Macmillan). Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Cina: Sejarah Etnis Cina Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). Parlindungan, M. O. Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Djakarta: Tandjung Pengharapan, 1964). Parlindungan, M. O. Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833, (Yogyakarta: LKiS, 2007). Perry, W. J. The Children of the Sun, (London: Methuen, 1923). Perry, W. J. Gods and Men. The Attainment of Immortality, (London: G. Howe ltd., 1927). Pirazzoli-T‘Serstevens, M. ―La route de la céramique‖, Le grand Atlas de l‟archéologie, (Paris: Encyclopaedia Universalis, 1985). Pires, Tome. Suma Oriental, edited & translated by Armando Cortesso, (London: 1944). Pires, Tome. Summa Oriental, terj. Sri Margana, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014). Powell, J. W. Seeing Things Whole: The Essential John Wesley Powell, (Island Press, 2004). Pradines, S. Fortifications et Urbanisation en Afrique Orientale, (Oxford: Archaeopress, 2004). Pujianto, Franseno. Desain Lansekap Taman Sari: Objek Studi Goa Sunyaragi Cirebon, (Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas katolik Parahyangan, 2012).

222

Purcel, V. The Chinese in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1962). Purwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Puspito, Hendro. Sosiologi Semantik, (Yogyakarta: Kanisius, 1989). Pusponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991). Qardhawi, Yusuf. Thaqafatuna Bayna Al-Infitah Wa Al-Inghilaq, (Cairo: Dar al- Shuruq, 2000). Qordhawi, Yusuf. Karakteristik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996). Quthub, . Tafsir fi Zilali Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2001). al Qurtuby, S. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV&XVI, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsya Karya Press, 2003). Raffles, S. Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, (New York: Cambridge University Press, 2013). Rahardjo, Supratikno (ed). Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998). al-Raḥmān, Abd. Durūs al-Fiqhiyyah, (T.tp.: Maktabah Syekh Salim, t.th.). Ricklefs, M. C. The History of Modern Indonesia Since c. 1200, vol. 3, (Great Britain: Palgrave Macmillan, 2001). Rosyidin, D. N. dkk, Kerajaan Cirebon, (Jakarta: Puslitbang Lektor Khazanah Keagamaan Balitbang Kementrian Agama RI, 2013). Rosyidin, D. N. dan Syafaah, A. Keragaman Budaya Cirebon: Survey atas Empat Entitas Budaya Cirebon, (Cirebon: Elsi Pro, 2016). Rosyidin, D. N. Ulama Paska Sunan Gunung Jati, Studi atas Sejarah dan Jaringan Intelektual Cirebon Pada Abad ke 16 Hingga Abad ke 18, (Laporan penelitian, IAIN Syekh Nurjati, 2014). Rukmana, A. dan Lembong, E. (ed.). Penyerbukan Sialng Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Kompatindo, Jakarta, 2015). Rusmin Tumanggor dkk, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010) Saebani, B. A. Pengantar Antropolog, (Bandung: Pustaka Setia, 2012). Schmader, T., Bergsieker, H. B. & Hall, W. M. ―Cracking the Culture Code‖. In Applications of Social Psychology by J. Forgas, K. Fiedler & W. Crano (ed.), (New York: Routledge, 2020). Schottenhammer, A. ―China‘s Increasing Integration into the Indian Ocean World Until Song 宋 Times: Sea Routes, Connections, Trades‖. In Early Global Interconnectivity Across the Indian Ocean World, vol. I, (Cham: Palgrave Macmillan, 2019). Sen, T. T. Cheng Ho and Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2009). Sergi, G. L'uomo secondo le origini, l'antichità, le variazioni e la distribuzione geografica. Sistema naturale di classificazione. Con 212 figure nel testo, 107

223

tavole separate e una carta geografica dei generi umani, (Fratelli Bocca, 1911). Setijadi, C. Ethnic Chinese in contemporary Indonesia: Changing Identity Politics and the Paradox of Sinification, (Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute, 2016). Setiono, B. G. Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media, 2008). Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1997). Shihab, M. Quraish. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, cet. XXX, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006). Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, vol. 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mișbah, vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Juz I-XXX, (Jakarta: Lentera Hati, 2002). Shiraishi, T. An Age in Motion. Popular Radicalism in Java 1912-1926, (Ithaca: Cornell University Press, 1990). Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999). Sirry, M. A., Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996). Skinner, W. G. ―Creolized Chinese Societies in Southeast Asia‖. In A. Reid (ed.), Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese, (Sydney: Allen and Unwin, 1996). Smith, G. E. In the Beginning: Origin of Civilisation, (New York: Morrow, 1928). Smith, G. E. The Influence of Ancient Egyptian Civilization in the East and in America, (America: The University Press, 1916). Soekanto, S. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, (Jakarta: Rajawali Press, 1990). Soemardjan, S. dan Soemardi, S. Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964). Soemardjan, S. Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991). Soemardjan, S. Streotip, Asimilasi, Integrasi Sosial, (Bandung: Cita Karya, 1976). Sudjana, T. D. Pelabuhan Cirebon Dahulu dan Sekarang, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Sulendraningrat, P. S. (ed.). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah, (Cirebon: Sekretariat Sementara Keprabonan, 1984). Sulendraningrat, P. S. Babad Tanah Sunda/Babad Cirebon, (1984). Sulendraningrat, P. S. Sejarah Cirebon, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985). Sulistiyono, S. T. ―Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX‖, dalam S. Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI, 1996). Sulistiyono, S. T. Dari Lemahwungkuk hingga Cheribon: Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon sampai Awal Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1997). Sunano, Muslim Tionghoa di Yogyakarta, (Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2017).

224

Sunardjo, U. Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon: Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan, (Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan, t.th.). Sunardjo, U. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon, 1479-1809, (Bandung: Tarsito, 1983). Suryadinata, L. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2010). Suryadinata, L. Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, (Indonesia: Pustaka LP3S, 2002). Suryadinata, L. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa 1900-2002, (Jakarta: PT. Grafiti Press, 2005). Sutirto, T. W. Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang, (Pustaka Cakra, 2000). Sutoyo, Anwar. Manusia dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). Suyono, A. Kamus Antropologi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985). Syafe‘i, R. Al-Hadis: Akidah, Akhlak, Sosial dan Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2000). Syamsurizal, dkk., Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Quratul‟ain, (Karawang: Mahdita, 2009). Tang, Y. ―On the Dao De Jing (Tao Te Ching)‖. In Confucianism, Buddhism, Daoism, Christianity and Chinese Culture, (Berlin, Heidelberg: Springer, 2015). Tanggok, M. I. Menghidupkan Kembali Jalur Sutra Baru: Format Baru Hubungan Islam Indonesia dan Cina, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010). Tatt, Ong Hean. Chinese Animal Symbolisms, (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publications, 1993). Tatt, Ong Hean. Simbolisme Hewan Cina, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1996). Taylor, E. B. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom, vol. 2, (London: John Murray, Albemarle Street, 1871). Thomas, W. I. & Znaniecki, F. The Polish peasant in Europe and America: Monograph of an immigrant group, vol. 2, (University of Chicago Press, 1918). Tian, Z., Ye, S. & Qian, H. ―The Flying Dragon and the Dancing Phoenix: Chinese Totem Myths‖. In Myths of the Creation of Chinese, (Singapore: Springer, 2020). Tim Peneliti, Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas, (Bandung: Pemda TK. I, 1991). Tim Penulis, Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1998). Tjandasasmita, Uka. Bandar Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Tjandrasasmita, Uka Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2009). Tjandrasasmita, Uka Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indoneisa, (Kudus: Menara Kudus, 2000).

225

Triandis, H. C. & Bhawuk, D. P. S. ―Culture Theory and the Meaning of Relatedness‖. In P. C. Earley & M. Erez (eds.), The New Lexington Press Management and Organization Sciences Series and New Lexington Press Social and Behavioral Sciences Series. New Perspectives on International Industrial/Organizational Psychology, (The New Lexington Press/Jossey-Bass Publishers, 1997). Turner, B. S. The Cambridge Dictionary of Sociology, (UK: Cambridge University Press, 2006). Tylor, E. B. Primitive Culture, (New York: Harper Torch Books, 1871). Tylor, J. G. ―The Chinese and the Early Centuries of Conversion to Islam in Indonesia‖. In Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, T. Lindsey & H. Pausacker (ed.), (Singapore & Australia: ISEAS Publication & Monash University Press, 2005). Usman, A. B. dkk. Upacara Sekaten dalam Pendekatan Teologis: Merumuskan Kembali Interkasi Islam-Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004). Usman, A. R. Etnis Cina Perantauan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009). van den Berg, L. W. C. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, (Jakarta: INIS, 1989). van der Chijs, J. A. Nederlansch-Indisch Plakaatboek 1602-1811. Vijftiende Deel (1808-1809). (Batavia/'s Hage: Landsdrukkerij/M. Nijhoff, 1896). Wahid, A. ―Beri Jalan Orang Cina‖, dalam J. Jahja (peny.), Nonpri di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1991). Wahid, A. Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999). Wahyu, A. N. Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Kuningan, alih aksara dan bahasa A. N. Wahju, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2007). Wahyu, A. N. Sajarah Wali Syeikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati: Naskah Mertasinga, alih aksara dan bahasa A. N. Wahju, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2005). Weng, H. W. Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiusitas di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2019). Wickley, John. Myths and Literature, Pan Guoqing, et al. (translation), (Shanghai: Shanghai Literature and Art Publishing House, 1995). Wiryomartono, B. ―Patrimonial Figure and Historic Sites in Banda Aceh and Demak‖. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia, (Singapore: Springer, 2020). Wiryomartono, B. ―Urbanism and Ethnic Minority: Chinese Quarters and Society in Jakarta-Indonesia 1600 – Present‖. In Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia, (Singapore: Springer, 2020). Xiaoxiang, L. Origins Chinese People and Customs, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2003). Ya'qub, Hamzah. Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992). Yuanzhi, Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007).

226

Yuanzhi, Kong. Silang Budaya Tiongkok Indonesia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2005). Zuhdi, S. Hubungan Pelabuhan Cirebon dengan Daerah Pedalaman: Suatu Kajian dalam Kerangka Perbandingan dengan Pelabuhan Cilacap 1880-1940, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997).

Jurnal, Prosiding, dan Makalah

Abadi, M. A. M. ―Cross Marriage (Sebuah Model Pembauran Budaya Antar Komunitas Cina, Arab, India, Jawa dan Madura di Sumenep Kota)‖. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture, vol. 12, no. 2, 2012, h. 132-148. Abbink, J. ―Religion and Violence in the Horn of Africa: Trajectories of Mimetic Rivalry and Escalation between ‗Political Islam‘and the State‖. Politics, Religion & Ideology, 2020, h. 1-22. Abidin, Y. Z. ―Keberagamaan dan Dakwah Tionghoa Muslim‖. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, vol. 11, no. 2, 2017, h. 357-368. Abramitzky, R., Boustan, L. & Eriksson, K. ―Do Immigrants Assimilate More Slowly today than in the past?. American Economic Review: Insights, vol. 2, no. 1, 2020, h. 125-41. Afghoni, A. ―Makna Filosofis Tradisi Syawalan (Penelitian Pada Tradisi Syawalan di Makam Gunung Jati Cirebon)‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 13, no. 1, 2017, h. 48-64. Agustina, I. H., Djunaedi, A., Sudaryono, S. & Suryo, D. ―Gerak Ruang Kawasan Keraton Kasepuhan‖. Jurnal Perencanaan Wilayah dan nKota, vol. 13, no. 1, 2013, h. 8-13. Agustina, I. H., Djunaedi, A., Sudaryono, S. & Suryo, D., ―The Perspective of Sustainable in Relation Space at Region of Kasultanan Kasepuhan Cirebon‖, Makalah dipresentasikan dalam International Conference ICABE di IIUM, Kuala Lumpur, 7th–8th November, 2013. Agustina, I. H., Hindersah, H. & Asiyawati, Y. ―Identifikasi Simbol-Simbol Heritage Keraton Kasepuhan‖. ETHOS: Jurnal Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, vol. 5, no. 2, 2017, h. 167-174. Ainiyah, Qurratul. ―Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Pernikahan Islam Sebagai Bukti Agama Berkeadilan‖. Prosiding Seminar Nasional Islam Moderat, 13 Juli 2018, h. 132-145. al-Aoufi, H., Al-Zyoud, N. & Shahminan, N. ―Islam and the cultural conceptualisation of disability‖. International Journal of Adolescence and Youth, vol. 17, no. 4, 2012, h. 205-219. Alajmi, A. ―‗Ulama and Caliphs New Understanding of the ―God's Caliph‖ term‖. Journal of Islamic Law and Culture, vol. 13, no. 1, 2011, h. 102-112. Alatas, S. F. ―Notes on various theories regarding the Islamization of the Malay archipelago‖. Alatas, SF (1985). Notes on Various Theories Regarding the Islamization of the Malay Archipelago. The Muslim World, vol. 75, 1985, h. 162-175.

227

Alfirdaus, L. K., Hiariej, E. & Adeney-Risakotta, F. ―The Position of Minang- Chinese Relationship in the History of Inter-ethnic Groups Relations in Padang, West Sumatra‖. Jurnal Humaniora, vol. 28, no. 1, 2016, h. 79-96. Ali, M. ―Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia‖. Explorations, vol. 7, no. 2, 2007, h. 1-22. Alkatiri, Z., Waworuntu, A. L., Gani, F. & De Archellie, R. ―Medan Chinese and Their Stigma: Grabbing Power in Multicultural Society. International Review of Humanities Studies, vol. 4, no. 1, 2019. Andawari, M. S., Prabowo, S. & Angge, I. C. ―Makna Simbolik Ornamen Gandhik dan Wadidang Keris Saidi‖. Jurnal Pendidikan Seni Rupa, vol. 3, no. 1, 2015, h. 113-118. Anna, D. N. ―Konghucu di Korea Kontemporer dan Sumbangannya Terhadap Kerukunan Umat Beragama di Indonesia‖. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol. 12, no. 2, 2016, h. 239-254. Anshori, D. S. ―The Construction of Sundanese Culture in the News Discourse Published by Local Mass Media of West Java‖. Lingua Cultura, vol. 12, no. 1, 2018, h. 31-38. Antony, R. ―Emerging Ethnic Minority Sub-cultures: young Tamils in the Post-war Context in the Tamil-dominated Areas in Sri Lanka‖. Ethnic and Racial Studies, vol. 43, no. 10, 2020, h. 1909-1928. Anwar, D. F. ―Indonesia-China Relations: Coming Full Circle?. Southeast Asian Affairs, no. 1, 2019, h. 145-161. Anzola, D. & Rodríguez-Cárdenas, D. ―A Model of Cultural Transmission by Direct Instruction: An Exercise on Replication and Extension‖. Cognitive Systems Research, vol. 52, 2018, h. 450-465. Arifani, Anif. ―Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal‖, Jurnal Ilmu Dakwah, vol. 4, no. 15, 2010, h. 849-878. Arnason, J. P. ―Civilization, Culture and Power: Reflections on Norbert Elias' Genealogy of the West‖. Thesis Eleven, vol. 24, no. 1, 1989, h. 44-70. Asfari, A. & Askar, A. ―Understanding Muslim Assimilation in America: An Exploratory Assessment of First & Second-Generation Muslims Using Segmented Assimilation Theory‖. Journal of Muslim Minority Affairs, 2020, h. 1-18. Attias-Donfut, C. ―Family transfers and cultural transmissions between three generations in France‖. Global Aging and Challenges to Families, 2003, h. 214-252. Aziz, Abdul, dkk. ―Pengelolaan Taman Wisata Goa Sunyaragi‖. Al-Musthofa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 3, no. 1, 2018, h. 134-152. Azra, Azyumardi, disampaikan dalam Webinar yang diselenggarakan PPIM Jakarta, 19 Juni 2020. Azra, Azyumardi. ―The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An account of the Anti-Chinese Riots in Colonial Indonesia‖. Studia lslamika, vol. 1, no. 1, 1994, h. 25-54. Babb, L. A. ―Mirrored Warriors: On the Cultural Identity of Rajasthani Traders‖. International Journal of Hindu Studies, vol. 3, no. 1, 1999, h. 1-25.

228

Bar-Gill, S. & Fershtman, C. ―Integration Policy: Cultural Transmission with Endogenous Fertility‖. Journal of Population Economics, vol. 29, no. 1, 2016, h. 105-133. Barroso, C. S., Springer, A. E., Ledingham, C. M. & Kelder, S. H. ―A Qualitative Analysis of the Social And Cultural Contexts that Shape Screen Time Use in Latino Families Living on the US-Mexico Border‖. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being, vol. 15, no. 1, 2020, h. 1735766. Benhabib, J. & Spiegel, M. M. ―Human capital and technology diffusion‖. In Handbook of Economic Growth, vol. 1, 2015, h. 935-966. Berray, M. ―A Critical Literary Review of the Melting Pot and Salad Bowl Assimilation and Integration Theories‖. Journal of Ethnic and Cultural Studies, vol. 6, no. 1, 2019, h. 142-151. Berry, J. W. ―Acculturation and Adaptation in a New Society‖. International Migration, vol. 30, 1992, h. 69-69. Berry, J. W. ―Acculturation: Living successfully in Two Cultures‖. International Journal of Intercultural Relations, vol. 29, no. 6, 2005, h. 697-712. Berry, J. W. ―Achieving a Global Psychology‖. Canadian Psychology, vol. 54, no. 1, 2013, h. 55. Berry, J. W. ―Cross‐cultural Psychology: A Symbiosis of Cultural and Comparative Approaches‖. Asian Journal of Social Psychology, vol. 3, no. 3, 2000, h. 197- 205. Berry, J. W. ―Globalisation and Acculturation‖. International Journal of Intercultural Relations, vol. 32, no. 4, 2008, h. 328-336. Berry, J. W. ―Immigration, Acculturation, and Adaption‖. Applied Psychology, An International Review, vol. 46, 1997, h. 5-68. Berry, J. W., Kim, U., Power, S., Young, M. & Bujaki, M. ―Acculturation Attitudes in Plural Societies‖. Applied Psychology, vol. 38, no. 2, 1989, h. 185-206. Berumen, F. C. ―Resisting Assimilation to the Melting Pot‖. Journal of Culture and Values in Education, vol. 2, no. 1, 2019, h. 81-95. Bhawuk, D. P. ―The Role of Culture Theory in Cross-cultural Training: A Multimethod Study of Culture-specific, Culture-general, and Culture Theory- based Assimilators‖. Journal of Cross-cultural Psychology, vol. 29, no. 5, 1998, h. 630-655. Bi, L., Ehrich, J. & Ehrich, L. C. ―Confucius as Transformational Leader: Lessons for ESL Leadership‖. International Journal of Educational Management, vol 26, no. 4, 2012, 391-402. Boas, F. ―History and Science in Anthropology: A Reply‖. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 137-141. Boroch, R. ―A Formal Concept of Culture in the Classification of Alfred L. Kroeber and Clyde Kluckhohn‖. Analecta, vol. 25, no. 2, 2016. Brandes, J. L. A. ―Eenige Officiele Stukken met Betrekking tot Tjirebon‖. TBG, vol. 37, 1894, h. 449-488. Brons, A., Oosterveer, P., & Wertheim-Heck, S. ―Feeding the Melting Pot: Inclusive Strategies for the Multi-ethnic City‖. Agriculture and Human Values, 2020, h. 1-14.

229

Brown, L. E. ―Cold War, Culture Wars, War on Terror: the NEA and the art of public diplomacy‖. Cold War History, 2020, h. 1-19. Bucholc, M. ―Schengen and the Rosary‖ Historical Social Research/Historische Sozialforschung, vol. 45, no. 171, 2020, h. 153-181. Budi, B. S. ―Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Tjirebon) 1972‖. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, no. 4, 2005, h.1-8. Budiono, G. & Vincent, A. ―Batik Industry of Indonesia: The Rise, Fall and Prospects‖. Studies in Business & Economics, vol. 5, no. 3, 2010, h. 156-170. Burhanudin, J. ―Converting Belief, Connecting People: The Kingdoms and the Dynamics of Islamization in Pre-Colonial Archipelago‖. Studia Islamika, vol. 25, no. 2, 2018, h. 247-278. Busbridge, R., Moffitt, B. & Thorburn, J. ―Cultural Marxism: Far-right Conspiracy Theory in Australia‘s Culture Wars‖. Social Identities, 2020, h. 1-17. Buseri, F. B. ―The Role of Chinese Ethnic in Spread of Islam in Indonesia‖. In Proceeding of The International Seminar and Conference on Global Issues, vol. 1, no. 1, 2015, h. 48-54. Busro, B. & Qodim, H. ―Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di Cirebon, Indonesia‖. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, vol. 14, no. 2, 2018, h. 127-147. Carey, P. ―Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825‖. Indonesia, vol. 37, 1984, h. 1-47. Chang, Y. ―The Ming Empire: Patron of Islam in China and Southeast-West Asia‖. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 61, no. 2, 1988, h. 1-44. Chen, J. R. & Li, T. Y. ―Rhythmic Character Animation: Interactive Chinese Lion Dance‖. In SIGGRAPH Sketches, 2005, h. 72. Cole, N. L. ―What is the Meaning of Acculturation? Understanding Acculturation and How it Differs from Assimilation‖. 2018. Cullum, J. & Harton, H. C. ―Cultural evolution: Interpersonal Influence, Issue Importance, and the Development of Shared Attitudes in College Residence Halls‖. Personality and Social Psychology Bulletin, vol. 33, no. 10, 2007, h. 1327-1339. D. Hamdani, ―Cultural System of Cirebonese People: Tradition of Muludan in the Kanoman Kraton Indonesian‖. Journal of Social Sciences, vol. 4, no. 1, 2012 11-22. Daniel, C. ―Language Policies, Immigrant Assimilation, and Minority Group Advancement in the United States‖. In Handbook of the Changing World Language Map, 2020, h. 2237-2259. Daoshan, M. ―The Distribution and Feature Checking of Interrogative Sentences in Tao Te Ching‖. Linguistics, vol. 4, no. 6, 2016, h. 230-236. Darheni, N. ―The Language Characteristic and Its Acculturation from Chinese Speakers in Losari, Cirebon Regency, West Java: The Acculturation of Chinese with Javanese Culture‖. In The 1st International Seminar on Language, Literature and Education, KnE Social Sciences, 2018, h. 663-686.

230

Dato-on, M. C. ―Cultural Assimilation and Consumption Behaviors: A Methodological Investigation‖. Journal of Managerial Issues, 2000, h. 427- 445. Daud, Ilyas. ―Surga di dalam Hadis‖. Farabi: Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah, vol. 18. no. 2, 2018, h. 1-13. Dawis, A. ―Chinese Education in Indonesia: Developments in the Post-1998 Era‖. Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, 2008, h. 75-96. Deviani, F. T. ―Perjanjian 7 Januari 1681 dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M-1755 M)‖. Tamaddun, vol. 4, no. 1, 2016, h. 123-146. Dewey, J. ―Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning‖. The Journal of Philosophy, vol. 43, no. 4, 1964, h. 85-95. Dewi, H. I. dan Anisa, ―Akulturasi Budaya pada Perkembangan Kraton Kasepuhan Cirebon‖. Proceeding PESAT Universitas Gunadarma Depok, vol. 3, 2009. Diehl, C. ―Assimilation without groups?. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 13, 2019, h. 2297-2301. Diprose, R. & Azca, M. N. ―Conflict Management in Indonesia‘s Post-authoritarian Democracy: Resource Contestation, Power Dynamics and Brokerage‖. Conflict, Security & Development, vol. 20, no. 1, 2020, h. 191- 221. Djajadiningrat, P. H. ―Kanttekeningen bij, Het Javaanse rijk Tjerbon in de eerste eeuwen van zijn bestaan‖. (Nr. 1487). Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, vol. 113, no. 4, 1957, h. 380-392. Djakfar, M. ―Corporate Social Responsibilty: Aktualisasi Ajaran Ihsan dalam Bisnis‖. Ulul Albab, vol 11, no. 1, 2010, h. 111-130. Dorian, J. P., Wigdortz, B. & Gladney, D. ―Central Asia and Xinjiang, China: Emerging Energy, Economic and Ethnic Relations‖. Central Asian Survey, vol. 16, no. 4, 1997, h. 461-486. Emalia, Imas. ―Geliat Ekonomi Kelas Menengah Muslim di Cirebon: Dinamika Industri Batik Trusmi 1900-1980‖. Al-Turas, vol. XXIII, no. 2, 2017, h. 211- 230. Erwantoro, H. ―Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon‖. Patanjala, vol. 4, no. 1, 2012, h. 166-179. Evans, R. ―Interpreting family struggles in West Africa across Majority-Minority world Boundaries: Tensions and Possibilities‖. Gender, Place & Culture, vol. 27, no. 5, 2020, h. 717-732. Fakhruddin, ―Eksistensi Syahadat dan Shalawat dalam Prespektif Tarekat Asy- Syahadatain‖. Jurnal Yaqzhan: Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan, vol. 4, no. 2, 2018, h. 242-267. Fang, Tony. ―Yin Yang: A new perspective on culture‖. Management and organization Review, vol. 8, no. 1, 2012, h. 25-50. Fauzan, M. ―Selubung Historiografi Syekh Maulana Maghribi, Wonobodro‖. Jurnal Penelitian, vol. 12, no. 2, 2015, h. 261-281. Firth, Shirley. ―End-of-life: a Hindu view‖. The Lancet, vol. 366, no. 9486, 2005, h. 682-686.

231

Fitri, R. F. R. ―Simbol Bangunan pada Komplek Gapura, Masjid dan Makam Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur‖. Jurnal Penelitian, Universitas Airlangga, 2018, h. 1-10. Foltarz, A. ―Symbols, Signs, Messages in Ergonomics of Social Space‖. Human- Centered Computing: Cognitive, Social, and Ergonomic Aspects, vol. 3, 2019, h. 200. Fournié, Pierre. ―Rediscovering the Walisongo, Indonesia: A Potential New Destination for International Pilgrimage‖. International Journal of Religious Tourism and Pilgrimage, 7, no. 4, 2019, h. 77-86. Freed, S. A. & Freed, R. S. ―Clark Wissler and the Development of Anthropology in the United States‖. American Anthropologist, vol. 85, no. 4, 1983, h. 800- 825. Freedman, A. ―Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia‖. Asian Ethnicity, vol. 4, no. 3, 2003, h. 439-452. Futaqi, Sauqi. ―Konstruksi Moderasi Islam (Wasathiyyah) dalam Kurikulum Pendidikan Islam‖. In 2nd Proceedings; Annual Conference for Muslim Scholars, UIN Sunan Ampel Surabaya, 21-22 April 2018, h. 521-530. Ghazali, S., Mapjabil, J., Nor, A., Samat, N. & Jaafar, J. ―Difusi Ruangan Budaya Transeksualisme dan Imaginasi Geografi Pelajar Lelaki Berpenampilan Silang di Universiti Tempatan Malaysia‖. E-Bangi Journal of Social Science and Humanities, vol. 7, no. 1, 2012, h. 252-266. Gong, X. ―The Belt & Road Initiative and China‘s influence in Southeast Asia‖. The Pacific Review, vol. 32, no. 4, 2019, h. 635-665. Gottdiener, M. ―Hegemony and Mass Culture: A semiotic approach‖. American Journal of Sociology, vol. 90, no. 5, 1985, h. 979-1001. Gu, Chien-Juh. ―Qualitative Interviewing in Ethnic-Chinese Contexts: Reflections From Researching Taiwanese Immigrants in the United States‖. International Journal of Qualitative Methods, vol. 19, 2020. Guoqing, Y. ―History of Taoism‖. Rituals and Practices in World Religions: Cross- Cultural Scholarship to Inform Research and Clinical Contexts, vol. 5, 2019, h. 99-112. Gürpinar, G. ―Foreign Policy as a Contested Front of the Cultural Wars in Turkey‖. Uluslararası İlişkiler/International Relations, vol. 17, no. 65, 2020, h. 3-21. Haake, A. ―The Role of Symmetry in Javanese Batik Patterns‖. Computers & Mathematics with Applications, vol. 17, no. 4-6, 1989, h. 815-826. Habibi, H. ―Protecting National Identity Based on the Value of Nation Local Wisdom‖. International Journal of Malay-Nusantara Studies, vol. 1, no. 2, 2018, h. 24-40. Hadinoto, ―Lingkungan Pecinan dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial‖, dalam Mahdun, ―Konflik Cina-Pribumi dan Dampaknya Bagi Pertumbuhan Industri Batik di Trusmi 1948‖. Jurnal Tamaddun, vol. 5, no. 2, 2017, h. 76-93. Hanapi, Mohd Shukri. ―The Wasatiyyah (Moderation) Concept in Islamic Epistemology: A Case Study of its Implementation in Malaysia‖. In

232

International Journal of Humanities and Social Science, vol. 4, no. 9, 2014, h. 51-62. Hanggara, A. ―Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia‖. Jurnal Equilibrium, vol. 14, no. 02, 2016, h. 71. Hannigan, T. P. ―Traits, Attitudes, and Skills that are Related to Intercultural Effectiveness and their Implications for Cross-cultural Training: A Review of the Literature‖. International Journal of Intercultural Relations, vol. 14, no. 1, 1990, h. 89-111. Hao, L. ―Goodness: The Ultimate Integration of Confucianism, Buddhism and Taoism in China‖. In Proceedings of the XXIII World Congress of Philosophy, vol. 12, 2018, h. 143-147. Hardwick, P. A. ―Horsing around Melayu: Kuda kepang, Islamic piety, and identity politics at play in Singapore‘s Malay community‖. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 87, no. 306, 2014, h. 1-19. Hariadi, Y., Lukman, M. & Haldani, A. ―Batik Fractal: From Traditional Art to Modern Complexity‖. In Proceeding Generative Art X Milan Italia, 2007, h. 1- 10. Hariyanto, O. I. ―The Meaning of Offering Local Wisdom in Ritual Panjang Jimat‖. International Journal of Scientific & Technology Research, vol. 6, no. 6, 2017. Hariyati, N. ―Islamic Education in the Prespective of Islamic Nusantara‖. In International Conference on Language, Education, Economic and Social Science, vol. 1, no. 1, 2019, h. 125-134. Hasanah, A., Gustini, N. & Rohaniawati, D. ―Cultivating Character Education Based on Sundanese Culture Local Wisdom‖. Jurnal Pendidikan Islam, vol. 2, no. 2, 2016, h. 231-253. Hasiah, ―Mengintip Prilaku Sombong dalam Al-Quran‖. Jurnal El-Qanuny, vol. 4, no. 2, 2018, h. 185-200. Hassan, ―Islamic tourism: The Concept and the Reality‖. Islamic Tourism, vol. 14, no. 2, 2004, h. 35-45. Hassan, F. ―A Comparative Approach to Common Ground between Buddhism and Islam‖. European Journal of Scientific Research, vol. 71, no. 4, 2012, h. 514- 519. Hattenhauer, D. ―The Rhetoric of Architecture: A Semiotic Approach‖. Communication Quarterly, vol. 32, no. 1, 1984, h. 71-77. Hayhoe, R. ―Encountering Chinese Culture Over Changing Times‖. Education Journal, vol. 47, no. 2, 2019, h. 1-22. Hedges, S. ―Interior Decoration to Exterior Surface: The Beleaguered Relief‖. Interiority, vol. 2, no. 1, 2019, h. 79-93. Heidhues, M. S. ―Studying the Chinese in Indonesia: A long half- century‖. SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 601-633. Hendro, E. P. ―Perkembangan Morfologi Kota Cirebon dari Masa Kerajaan Hingga Akhir Masa Kolonial‖. Paramita, vol. 24, no. 1, 2014, h. 17-30. Hermkens, A. K. ―Gendered Objects: Embodiments of Colonial Collecting in Dutch New Guinea‖. The Journal of Pacific History, vol. 42, no. 1, 2007, h. 1-20.

233

Herskovits, M. J. ―The Significance of the Study of Acculturation for Anthropology‖. American Anthropologist, vol. 39, no. 2, 1937, h. 259-264. Herwiratno, M. ―Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia‖. Lingua Cultura, vol. 1, no. 1, 2007, h. 78-86. Hilmy, Masdar. ―Whither Indonesia‘s Islamic Moderatism? A reexamination on the moderate vision of Muhammadiyah and NU‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 7, no. 1, 2013, h. 24-48. Himatul Istiqomah dan Muhammad Ihsan Sholeh, ―The Concept of Buraq in The Events of Isra Mi‘raj: Literature and Physics Perspective‖. AJIS: Academic Journal of Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2020, h. 53-67. HK, Aditya A. Putri & Soetejab, Zakarias S. ―Analysis of the Meaning of Ciwaringin Batik Motifs Cirebon‖. The International Seminar QUOVADIS of Traditional Arts XIII “Diversity in Culture”, 2017, h. 1-8. HK, Aditya A. Putri & Wulandari, Desi. ―Analisis Makna Motif Batik Ciwaringin Cirebon‖. Seminar Nasional Seni dan Desain: Reinvensi Budaya Visual Nusantara, Jurusan Seni Rupa dan Jurusan Desain Universitas Negeri Surabaya, 2019, h. 35-40. Hoadley, M. C. ―Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries.‖ The Journal of Asian Studies, vol. 47, no. 3, 1988, h. 503- 517. Hodgson, G. ―Keris Types and Terms‖. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 29, no. 4. 176, 1965, h. 68-90. Hoebel, E. A. ―Anthropology in Education‖. Yearbook of Anthropology, 1955, h. 391-395. Hoebel, E. A. ―Karl Llewellyn: Anthropological Jurisprude‖. Rutgers Law Review, vol. 18, 1963, h. 735. Hoon, C. Y. ―Assimilation, multiculturalism, hybridity: The dilemmas of the ethnic Chinese in post-Suharto Indonesia‖. Asian Ethnicity, vol. 7, no. 2, 2006, h. 149-166. Houser, N. ―Toward a Peircean Semiotic Theory of Learning‖. The American Journal of Semiotics, vol. 5 no. 2, 2008, h. 251-274. Howard, M. C., ―Dress and ethnic identity in Irian Jaya‖. Journal of Social Issues in Southeast Asia, 2000, h. 1-29. Hubley, C., Hayes, J., Harvey, M., & Musto, S. ―To the victors go the existential spoils: The mental-health benefits of cultural worldview defense for people who successfully meet cultural standards and valued goals‖. Journal of Social and Clinical Psychology, vol. 39, no. 4, 2020, h. 276-314. Humaedi, M. A. ―Budaya Hibrida Masyarakat Cirebon‖. Humaniora, vol. 25, no. 3, 2013, h. 281-285. Ibrahim, A. ―Islam in Southeast Asia‖. Ar Raniry: International Journal of Islamic Studies, vol. 5, no. 1, 2018, h. 40-52. Iliopoulos, A. ―Early body ornamentation as Ego-culture: Tracing the co-evolution of aesthetic ideals and cultural identity‖. Semiotica, no. 232, 2020, h. 187-233.

234

Imamuddin, S. M. ―Arab Mariners and Islam in China (Under the Tang Dynasty 618-906 AC)‖. Journal of the Pakistan Historical Society, vol. 32, no. 3, 1984, h. 155. Indika, D. R. ―Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin‖, dalam Pembangunan dengan Berbasiskan Budaya dan Kearifan (Pengembalian Citra Keraton sebagai Pusat Kebudayaan dan Ekonomi Cirebon, ISEI Economic Review, vol II, no. 1, 2018, h. 1-7. Iryana, Wahyu. ―Perjuangan Rakyat Cirebon-Indramayu Melawan Imperialisme‖. At-Tsaqafah, vol. 17, no. 2, 2020, h. 373-381. Islam, M. ―Data Analysis: Types, Process, Methods, Techniques and Tools‖. International Journal on Data Science and Technology, vol. 6, no. 10, h. 2020. Ismail, Ahmad Munawar. ―Aqidah as a Basic Of Social Toleranca: The Malaysian Experience‖. International Journal of Islamic Thought, vol. 1, 2012, h. 1-7. Ismail, K. ―Imperialism, Colonialism and their Contribution to the Formation of Malay and Chinese Ethnicity: An Historical Analysis‖. Intellectual Discourse, vol. 28, no. 1, 2020, h. 171-193. Jacobsen, M. ―Islam and Processes of Minorisation among Ethnic Chinese in Indonesia: Oscillating between Faith and Political Economic Expediency‖. Asian Ethnicity, vol. 6, no. 2, 2005, h. 71-87. Jaeger, Stefan. ―A geomedical approach to chinese medicine: the origin of the Yin- Yang symbol‖. Recent Advances in Theories and Practice of Chinese Medicine, 2012, h. 29-44. Jaelani, A. ―Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme and Creative Economy‖. Journal of Economics and Political Economy (JEPE), vol. 3, no. 2, 2016, h. 264-283. Jaelani, A., Setyawan, E. dan Nursyamsudin, ―Religi, Budaya Dan Ekonomi Kreatif: Prospek dan Pengembangan Pariwisata Halal di Cirebon‖. Al- Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, vol. 2, no. 2, 2017, h. 101-122. Jahangir, J. S., ―Mappila Experience: Assimilation of Cultures and Legacy of Islam in Kerala‖. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 3, 2020, h. 2540-2547. Jiang, Xinyan. ―Chinese dialectical thinking—the yin yang model‖. Philosophy Compass, vol. 8, no. 5, 2013, h. 438-446. Joedawinata, A. ―Unsur-unsur Pemandu dan Kontribusinya dalam Peristiwa Perwujudan Sosok Artefak Tradisional dengan Indikasiindikasi Lokal yang Dikandung dan Dipancarkannya (Studi dalam Konteks Keilmuan Seni Rupa, Kriya dan Desain dengan Cirebon dan Artefak Kriya Anyaman Wadah- wadahan Sebagai Kasus)‖. ITB, 2005. Kaliki, N. ―The Symbol of Traditional Cloths of Kabasaran Dance‖. Linguistic Journal, vol. 6, no. 1, 2018, h. 30-40. Kasdi, Abdurrohman. ―The Role of Walisongo in Developing the Islam Nusantara Civilization‖. Addin, vol. 11, no. 1, 2017, h. 1-26. Kavaler, E. M. ―Ornament and Systems of Ordering in the Sixteenth-Century Netherlands‖. Renaissance Quarterly, vol. 72, no. 4, 2019, h. 1269-1325.

235

Khisni, A. & Handayani, I. G. A. K. R. ―The Transformation of Islamic Law Into the National Legislation‖. Journal of Talent Development and Excellence, vol. 12, no. 2s, 2020, h. 1275-1281. Kroeber, A. L. & Kluckhohn, C. ―Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions‖. Papers: Peabody Museum of Archaeology & Ethnology, Harvard University, vol. 47, no. 1, 1952, h. viii. Kumala, Olivia Dwi, dkk. ―Efektifitas Pelatihan Dzikir dalam Meningkatkan Ketenangan Jiwa pada Lansia Penderita Hipertensi‖. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, vol. 4, no. 1, Juni 2017, h. 55-66. Kuntjara, E. & Hoon, C. Y. ―Reassessing Chinese Indonesian stereotypes: two decades after Reformasi‖. South East Asia Research, 2020, h. 1-18. Kuo, H. Y. ―South Seas Chinese in Colonial‖. Framing Asian Studies: Geopolitics and Institutions, 2018, h. 231. Kurniadi, E. ―Structuralism Approach: Symbolism of Traditional Batik Pattern of Javanese Traditional Clothes In Surakarta‖. In 3rd International Conference on Creative Media, Design and Technology (REKA 2018), (Atlantis Press, 2018). Kurnianto R. & Lestarini, N. ―Integration of Local Wisdom in Education‖. In International Seminar on Education, 2020, h. 557-563. Kurniawan, H. ―Ethnic Chinese during the New Order: Teaching Materials Development for History Learning based on Multiculturalism‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 30, no. 1, 2020, h. 46-54. Kurniawan, H. ―The Role of Chinese in Coming of Islam to Indonesia: Teaching Materials Development Based on Multiculturalism‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 2, 2017, h. 238-248. Kustedja, Sugiri, dkk. ―Feng-Shui: Elemen Budaya Tionghoa Tradisional‖. Melintas, vol 28, no. 1. 2012, h. 61-89. Kustedja, Sugiri, dkk. ―Makna Ikon Naga, Long, Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa‖. Jurnal Sosioteknologi, ed. 30, thn. 12, 2013, h. 526- 539. Larkin, B., Meyer, B. & Akyeampong, E. K. ―Pentecostalism, Islam & Culture‖. Themes in West Africa's History, 2006, h. 286-312. Larsen, T. ―EB Tylor, Religion and Anthropology‖. The British Journal for the History of Science, 2013, h. 467-485. Lasmiyati, ―Keraton Kanoman di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya)‖. Patanjala, vol. 5, no. 1, 2013, h. 131-146. Laufer, B. ―Post Scriptum‖. In F. C. Cole, Chinese Pottery in the Philippines, Field Museum of Natural History, Anthropological Series, vol. XII, no. 1, 1912. Lawrence, R. K., Edwards, M., Chan, G. W., Cox, J. A. & Goodhew, S. C. ―Does Cultural Background Predict the Spatial Distribution of Attention?. Culture and Brain, 2019, h. 1-29. Lee, J. ―Promoting Majority Culture and Excluding External Ethnic Influences: China‘s Strategy for the UNESCO ‗intangible‘cultural heritage list. Social Identities, vol. 26, no. 1, 2020, h. 61-76. Leijten, J. ―Mauro Jambi, the Capital of Srivijaya: According to the writings of I- Tsing, Chau Ju-kua and Resent‖. Studies and Archaeological Findings, 2017, h. 1-44.

236

Lestari, S. N. & Wiratama, N. S. ―The dark side of the Lasem maritime industry: Chinese power in opium business in the XIX century‖. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 2, no. 2, 2018, h. 91-100. Li, M. ―Performing Chineseness: The Lion Dance in Newfoundland‖. Asian Ethnology, vol. 76, no. 2, 2017, h. 289-317. Liang, H. ―Jung and Chinese Religions: Buddhism and Taoism‖. Pastoral Psychology, vol. 61, no. 5-6, 2012, h. 747-758. Lievander, David., Olivia, dan Chun-I, Kuo. ―Ritual Perayaan Imlek Etnis Tionghoa Di Kota Toli-toli‖. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Culture, vol. 5, no. 1, 2017, h. 10-17. Lim, L. Y. ―Southeast Asian Chinese business: Past success, recent crisis and future evolution‖. Business, Government and Labor: Essays on Economic Development in Singapore and Southeast Asia, 2017, h. 313. Linton, R. The Study of Man: An Introduction, (Appleton-Century, 1936). Lissoni, F. ―International Migration and Innovation Diffusion: An Eclectic Survey‖. Regional Studies, vol. 52, no. 5, 2018, h. 702-714. Lizardo, O. ―Simmel‘s Dialectic of Form and Content in Recent Work in Cultural Sociology‖. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h. 93-100. Lobja, E., Umaternate, A., Pangalila, T., Karwur, H. & Burdam, Y. ―The Reconstruction of Cultural Values and Local Wisdom of the Tombulu Sub- Ethnic of Minahasa Community in the Walian Village of Tomohon City‖. In International Conference on Social Science 2019 (ICSS 2019), (Atlantis Press, 2019). Lombard, D. & Salmon, C. ―Islam and Chineseness‖. Indonesia, no. 57, 1993, h. 115-131. Lombard, D. ―H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud, Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries‖. Archipel, vol. 32, no. 1, 1986, h. 186-187. Lombard, D. ―Jardins à Java‖. Arts Asiatiques, vol. 20, 1969, h. 135-183. Lone, M. A. ―Towards A Sociology of Assimilation: Concept, Theory, Debate and Practice in Cultural Anthropology‖. Asian Journal of Research in Social Sciences and Humanities, vol. 3, no. 12, 2013, h. 131-166. Lubis, N. H., Sulaeman, A., Munaf, Y. & M. R. Razman, ―Islamization of the Sunda Kingdom‖. International Information Institute (Tokyo), Information, vol. 21, no. 4, 2018, h. 1349-1357. Lubis, S. & Buana, R. ―Stereotypes and Prejudices in Communication between Chinese Ethnic and Indigenous Moslem in Medan City, North Sumatra Province–Indonesia‖. Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, vol. 2, no. 2, 2020, h. 513-522. Made, J. E. ―Sacrifice in African Traditional Religion: Differential Faith Issues in Religions‖. Journal of Religion and Human Relations, vol. 8, no. 1, 2016, h. 20-35. Mahfud, C. ―The Role of Cheng Ho Mosque: The New Silk Road, Indonesia-China Relations in Islamic Cultural Identity‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 8, no. 1, 2014, h. 23-38.

237

Majchrzyk, Z. ―Cultural Identity and Aggression within the Acculturation Framework of the Global World‖. Sveikatos, vol. 29, no. 1, 2019, h. 56. Manalu, H. P. ―Adat Batak Ditinjau dari Perspektif Iman Kristen‖. Haggadah, vol. 1, no. 1, 2020, h. 32-41. Marett, R. R. ―Presidential Address. The Transvaluation of Culture‖. Folklore, vol. 29, no. 1, 1918, h. 15-33. Marrison, G. E. ―The coming of Islam to the East Indies‖. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 24, no. 1, 1951, h. 28-37. Masduqi, Z. ―Penggunaan Dinar-Dirham dan Fulus: Upaya Menggali Tradisi yang Hilang (Studi Kasus di Wilayah Cirebon)‖. Holistik, vol. 13, no. 2, 2012. Maulana, R. ―Dakwah dan Etnisitas: Negosiasi Identitas pada Majalah Cheng Hoo‖. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, vol. 19, no. 1, 2013, h. 25-39. McCole, J. ―Georg Simmel: Decentering the Self and Recovering Authentic Individuality‖. The Germanic Review: Literature, Culture, Theory, vol. 94, no. 2, 2019, h. 151-162. McGuire, C. ―The Rhythm of Combat: Understanding the Role of Music in Performances of Traditional Chinese Martial Arts and Lion Dance‖. MUSICultures, vol. 42, no. 1, 2015, h. 2-23. Mennell, S. & Rundell, J. ―Introduction: Civilization, Culture and the Human Self- image‖. In Classical Readings on Culture and Civilization, (Routledge, 2017). Min, Li. ―The Trans-Pacific Extension of Porcelain Trade in the Early Modern Era: Cultural Transformations Across Pacific Space‖. In P. K. Cheng (ed.), Proceeding of the International Symposium: Chinese Export Ceramics in the 16th and 17th Centuries and the Spread of Material Civilisation, (Hong Kong: The City University, 2012). Ming-ze, Y. U. A. N. ―A Survey on the Relationship History between Buddhism and Taoism in Southeast Guangxi‖. Journal of Yulin Normal University, no. 1, 2016, h. 5. Monica, ―Feng Shui dalam Mendesain Logo‖. Humaniora, vol. 2, no. 1, 2011, h. 132-138. Muas, T. E. ―Restoring Trusts without Losing Face: An Episode in the History of China–Indonesia Relationship‖. Tawarikh, vol. 6, no. 2, 2015. Muchomba, F. M., Jiang, N. & Kaushal, N. ―Culture, labor supply, and fertility across immigrant generations in the United States‖. Feminist Economics, vol. 26, no. 1, 2020, h. 154-178. Muffid, Mudhofar, dkk. ―Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon‖. Modul , vol. 14, no. 2, 2014, h. 65-70. Mulyono, ―Keistimewaan Istiqomah dalam Perspektif Al-Quran‖. Imtiyaz, vol. 4, no. 01, 2020, h. 1-15. Mulyono, Grace dan Thamrin, Diana. ―Makna Ragam Hias Binatang pada Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban‖. Dimensi Interior, vol. 6, no. 1, 2008, h. 1-8. Mustajab, Ali. ―Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap China Tionghoa di Indonesia‖. IN RIGHT, vol. 5, no. 1, 2015, h. 153-193. Muzakki, A. ―Ethnic Chinese Muslims in Indonesia: An Unfinished Anti- Discrimination Project‖. Journal of Muslim Minority Affairs, vol. 30, no. 1, 2010, h. 81-96.

238

Muzzaki, A. ―Cheng Hoo Mosque: Assimilating Chinese Culture, Distancing it from the State‖. London, UK: Crise Working Paper, no. 71, 2010, h. 1-29. Narawati, T. ―Arts and Design Education for Character Building‖. In International Conference on Arts and Design Education (ICADE 2018), (Atlantis Press, 2019). Nawyn, S. J. & Park, J. ―Gendered segmented assimilation: earnings trajectories of African immigrant women and men‖. Ethnic and Racial Studies, vol. 42, no. 2, 2019, h. 216-234. Nettle, D. ―Selection, Adaptation, Inheritance and Design in Human Culture: The view from the Price Equation‖. Philosophical Transactions of the Royal Society, vol. 375, no. 1797, 2020, h. 20190358. Ngafifi, M. ―Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya‖. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, vol. 2, no. 1, 2014, h. 33-47. Nowak, M. ―The Funnel Beaker Culture in Western Lesser Poland: Yesterday and Today‖. Archaeologia Polona, vol. 57, 2019. Nurhidayat, M. & Herlambang, Y. ―Visual Analysis of Ornament Kereta Paksi Naga Liman Cirebon‖. Bandung Creative Movement Journal, vol. 4, no. 2, 2018. Nursalim, A. & Sulastianto, H. ―Dekonstruksi Motif Batik Keraton Cirebon: Pengaruh Ragam Hias Keraton pada Motif Batik Cirebon‖. Jurnal Penelitian Pendidikan, vol. 15, no. 1, 2016, h. 27-40. Nursalim, A. T., Rohidi, R., Triyanto, T. & Iswidiarti, S. ―Batik Wadasan Motif, Past and Present‖. In Proceeding of International Conference on Art, Language, and Culture, 2017. h. 215-225. Nurudin, N. & Nurfalah, F. Communication Marketing of Youth and Sport Department of Culture and Tourism in the Water Park Cave Sunyaragi Cirebon City, West Java, Indonesia. In International Symposium on Social Sciences, Education, and Humanities (ISSEH 2018), vol. 306, (Atlantis Press, 2019), h. 31-34. Odewale, A. ―An Archaeology of Struggle: Material Remnants of a Double Consciousness in the American South and Danish Caribbean Communities‖. Transforming Anthropology, vol. 27, no. 2, 2019, h. 114-132. Okoro, N. K. ―Oriental Traditions [Taoism]: A Critical Option for Peace Building Initiative in the Contemporary Society‖. Journal of Social Research, vol. 1, no. 4. 2017. Olson, K. E., O‘Brien, M. A., Rogers, W. A. & Charness, N. ―Diffusion of Technology: Frequency of Use for Younger and Older Adults‖. Ageing International, vol. 36, no. 1, 2011, h. 123-145. Pakkanen, J., Brysbaert, A., Turner, D. & Boswinkel, Y. ―Efficient three- dimensional field documentation methods for labour cost studies: Case studies from archaeological and heritage contexts‖. Digital Applications in Archaeology and Cultural Heritage, vol. 17, 2020, h. 1-10. Parisi, D., Cecconi, F. & Natale, F. ―Cultural Change in Spatial Environments: the Role of cultural assimilation and internal changes in cultures. Journal of Conflict Resolution, vol. 47, no. 2, 2003, h. 163-179.

239

Parks, J. ―Defending the American Way of Life: Sport, Culture, and the Cold War ed. by Toby C. Rider‖. Journal of Arizona History, vol. 60, no. 3, 2019, h. 388- 390. Parmono, K. ―Simbolisme Batik Tradisional‖. Jurnal Filsafat, vol. 1, no. 1, 1995, h. 28-35. Pathak, P. & Vadiya, S. ―Role of Employee Assimilation in Controlling Job Hopping–An Empirical Study‖. Studies in Indian Place Names, vol. 40, no. 8, 2020, h. 297-307. Patimah, Iin, dkk. ―Pengaruh Relaksasi Dzikir Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa‖. Jurnal Keperawatan Padjajaran, vol. 3, no. 1, 2015, h. 18-24. Patria, A. S. ―Dutch Batik Motifs: The Role of The Ruler and The Dutch Bussinesman‖. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, vol. 16, no. 2, 2016, h. 125-132. Pavlyshyn, L., Voronkova, O., Yakutina, M. & Tesleva, E. ―Ethical Problems Concernig Dialectic Interaction of Culture and Civilization‖. Journal of Social Studies Education Research, vol. 10, no. 3, 2019, h. 236-248. Piliang, Y. A. ―Semiotik Teks: Sebuah Pendekatan Analisis Teks‖. Jurnal Komunikasi, vol. 5, no. 2, 2004, h.189-198. Pirazzoli-T‘Serstevens, M. ―Une Denrée Recherchée: la Céramique Chinoise Importée dans le Golfe Arabo-persique, IXe–XIVe Siècles‖. Mirabilia Asiatica, vol. 2, 2005, h. 69-88. Poerwanto, Hari. ―Asimilasi, Akulturasi, dan Integrasi Nasional‖. Humaniora, vol. 11, no. 3, 1999, h. 29-37. Poerwanto, Hari. Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu). Pope, C. & Allen, D. ―Observational Methods‖. Qualitative Research in Health Care, 2020, h. 67-81. Prima Yustana, ―Gajah dalam Terakota Majapahit‖. Jurnal Dewa Ruci, vol. 7, no. 1, 2011, h. 102-114. Ptak, R. ―China and the Trade in Cloves, circa 960-1435‖. Journal of the American Oriental Society, 1993, h. 1-13. Purwati, E. & Rusydiyah, E. F. ―Transformative Islamic Education of Convert Chinese Muslim‖. Journal of Talent Development and Excellence, vol. 12, no. 1, 2020, h. 164-178. Putra, Bintang Hanggoro. ―Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang‖. Harmonia, vol. IX, no. 1, 2009, h. 1-11. Qian, L. & Garner, M. ―A Literature Survey of Conceptions of the Role of Culture in Foreign Language Education in China (1980–2014)‖. Intercultural Education, vol. 30, no. 2, 2019, h. 159-179. Queiroz, J. & Stjernfelt, F. ―Introduction: Peirce‘s Extended Theory and Classifications of Signs‖. Semiotica, vol. 2019, no. 228, 2019, h. 1-2. al Qurtuby, S. ―The Tao of Islam: Cheng Ho and the Legacy of Chinese Muslims in Pre-Modern Java‖. Studia Islamika, vol. 15, no. 1, 2009, h. 51-78. al Qurtuby, S. ―Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra- Kolonial Belanda‖. Konfrontasi, vol. 1, no. 2, 2012, h. 69-90.

240 al Qurtuby, S. ―Melaka, Cheng Ho, dan Kesadaran Sejarah Kita‖, Malaysia, Konferensi Internasional Bertajuk “Zheng He and Afro-Asian World”, 5 Januari 2014. al Qurtuby, S. ―The Imprint of Zheng He and Chinese Muslims in Indonesia‘s Past‖. Zheng He and the Afro-Asian World, h. 171-186. Rachim, A. ―Al Adah Muhakkamah‖. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, vol. 4, 1995, h. 8-13. Rahma, A., Jaenudin, J. & Marifatullah, A. ―Living a Multicultural Lifestyle with Batik: Identity, Representation, Significance‖. In International Conference on Culture and Language in Southeast Asia (ICCLAS 2017), vol. 154, (Atlantis Press, 2017). Rahmat, Munawar. ―Manusia Menurut Alquran‖. Ta‟lim, vol. 10, no. 2, 2012, h. 105-122. Rahmawati, R., Yahiji, K., Mahfud, C., Alfin, J. & Koiri, M. ―Chinese Ways of Being Good Muslim: Fom the Cheng Hoo Mosque to Islamic Education and Media Literacy‖. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 8, no. 2, 2018, h. 225-252. Rasyidian, Firda, dkk. ―Spatial Principles and Ornamentsation on Water Garden Relics of Kesultanan Cirebon: Case Student Witana Water Garden, Pakungwati Water Garden, and Sunyaragi Water Garden‖. Jurnal Risa, vol. 03, no. 04, 2019, h. 363-380. Ratnapalan, L. ―EB Tylor and the Problem of Primitive Culture‖. History and Anthropology, vol. 19, no. 2, 2008, h. 131-142. Ratnapuri, C. I. ―Chinese Ethnic Perspective on the Confucius Values of Leadership in West Java Fuqing Organization‖. Pertanika Journal of Social Sciences & Humanities, vol. 28, 2020. Ratnawati, R., Syah, I. & Arif, S. ―Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang Dwikewarganegaraan Etnis Tionghoa pada Masa Demokrasi Liberal‖. Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, vo. 1, no. 1, 2013, h. 1-8. Razi, Fahrur. ―NU dan Kontinuitas Dakwah Kultural‖. Jurnal Komunikasi Islam, vol. 01, no. 02, 2011, h. 161-172. Redfield, R., Linton, R. & Herskovits, M. J. ―Memorandum for the Study of Acculturation‖. American Anthropologist, vol. 38, no. 1, 1936, h. 149-152. Reid, A. ―The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries‖. Journal of Southeast Asian Studies, vol. 11, no. 2, 1980, h. 235- 250. Ritter, W. ―Recreation and tourism in the Islamic countries‖. Ekistics, 1975, h. 56- 59. Riyanti, M. T. & Rouselyn, M. ―The Influence of Art Motif Batik Mega Mendung Cirebon to Fesyen in Jakarta‖. International Journal of Research of Granthaalayah, vol. 6, no. 3, 2018, h. 107-125. Rizaldi, D. ―Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung‖. International Journal Pedagogy of Social Studies, vol. 3, no. 2, 2018, h. 133-141. Rohman, A. ―Chinese–Indonesian Cultural and Religious Diplomacy‖. Journal of Integrative International Relations, vol. 4, no. 1, 2019, h. 1-24.

241

Rohmanu, A. ―Acculturation of Javanese and Malay Islam in Wedding Tradition of Javanese Ethnic Community at Selangor, Malaysia‖. KARSA: Journal of Social and Islamic Culture, vol. 24, no. 1, 2016, h. 52-66. Rokhani, U., Salam, A. & Rochani-Adi, I. ―Konstruksi Identitas Tionghoa melalui Difusi Budaya Gambang Kromong: Studi Kasus Film Dikumenter Anak Naga Beranak Naga‖. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts), vol. 16, no. 3, 141-152. Rokhman, M. N. & Yuliana, L. ―History Learning at Secondary School about Demak Kingdom‖. Journal of Social Studies (JSS), vol. 14, no. 1, 2018. Rose, J. & Johnson, C. W. ―Contextualizing Reliability and Validity in Qualitative Research: Toward More Rigorous and Trustworthy Qualitative Social Science in Leisure Research‖. Journal of Leisure Research, 2020, h. 1-20. Rosmalia, Dini. ―Pola Ruang Lanskap Keraton Kasepuhan Cirebon‖. Prosiding Semarnusa IPLBI ITS Surabaya, 2018, h. 074-082. Rosyidin, D. N. ―Ulama Pasca Sunan Gunung Jati: Jaringan Intelektual Islam Cirebon Abad ke-16 sampai dengan Abad ke-18‖. Jurnal Sosiologi Walisongo (JSW), vol. 1, no. 2, 2017, h. 77-194. Rudmin, F. W. ―Debate in Science: The Case of Acculturation‖, AnthroGlobe Journal, 2006, h. 72-73. Rukiah, Y. ―Visual Elements of Semar Calligraphy‖ on Cirebon Glass Painting of Kusdono‘s Work‖. In International and Interdisciplinary Conference on Arts Creation and Studies, vol. 1, 2019, h. 43-47. Rusyanti, ―Peranan Tan Sam Cai Kong dalam Sejarah Cirebon‖. Purbawidya, vol. 2, no. 1, 2013, h. 105-117. Rusyanti, The Role of Tan Sam Cai Kong in Cirebon History‖. Purbawidya, vol. 2, no. 1, 2013, h. 105-117. Saddhono, K. & Supeni, S. ―The Role of Dutch Colonialism in the Political Life of Mataram Dynasty: A Case Study of the Manuscript of Babad Tanah Jawi‖. Asian Social Science, vol. 10, no. 15, 2014, h. 1-7. Safari, A. O. ―Perta Naskah Cirebon‖, Makalah Disampaikan dalam Forum Diskusi Bulanan, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya (PKSB) Jurusan Adab STAIN Cirebon, 7 Maret 2009. Saleebey, D. ―Culture, Theory, and Narrative: The Intersection of Meanings in Practice‖. Social Work, vol. 39, no. 4, 1994, h. 351-359. Salim, Polniwati. ―Memaknai Pengaplikasian Ornamen pada Atap Bangunan Klenteng sebagai Ciri Khas Budaya Tionghoa‖. Aksen, vol 1, no. 2, 2016, h. 50-65. Salisu, T. M. ―‗Urf/‗Adah (Custom): An Ancillary Mechanism in Shari ‗ah‖. Ilorin Journal of Religious Studies, vol. 3, no. 2, 2013, h. 133-148. Salmon, Claudine. ―The Chinese Community of Surabaya, from Its Origins to the 1930s Crisis‖. Chinese Southern Diaspora Studies, vol. 3, 2009, h. 23. Sanusi, B. ―Jum‘atan in the Graveyard: An Anthropological Study of Pilgrims in the Grave of Sunan Gunung Jati Cirebon, West Java‖. Journal of Indonesian Islam, vol. 4, no. 2, 2010, h. 317-340. Sapari, Rizal. ―Interaksi Simbolik dalam Tiga Lukisan Kaca Karya Haryadi Suadi‖. Jurnal Itenas Rekarupa, vol. 5, no. 2, 2019, h. 107-114.

242

Sartini, Ni Wayan. ―Konsep dan Nilai Kehidupan Masyarakat Tionghoa: Analisis Wacana Ritual Tahun Baru Imlek‖. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, vol. 19, no. 2, 2006, h. 47-62. Scholze, M. ―Trading Cultures: Berbers and Tuareg as Souvenir Vendors Marko Scholze and Ingo Bartha‖. In Between Resistance and Expansion: Explorations of Local Vitality in Africa, vol. 18, 2004, h. 69. Schwartz, S. J., Unger, J. B., Zamboanga, B. L. & Szapocznik, J. ―Rethinking the Concept of Acculturation: Implications for Theory and Research‖. American Psychologist, vol. 65, no. 4, 2010, h. 237-251. Secter, Mondo. ―The yin-yang system of ancient china: The yijing-book of changes as a pragmatic metaphor for change theory‖. Journal for Interdisciplinary and Cross-Cultural Studies, vol. 1, no. 1, 1998, h. 85-106. Serour, G. I. ―Islamic Perspectives in Human Reproduction‖. Reproductive Biomedicine Online, vol. 17, 2008, h. 34-38. Setiani, Riris Eka. ―Pendidikan Seks Bagi Anak : Perspektif Al-Qur‘an”. Yinyang, vol. 12, no. 1, 2017, h. 57-84. Shabana, A. ―'Urf and'Adah within the Framework of Al-Shatibi's Legal Methodology‖. UCLA J. Islamic & Near EL, vol. 6, 2006, h. 87. Sheikh, S. Z. ―Persian Allegory of Chinoiserie Motifs-Dragon and Phoenix or Simurgh‖. International Journal of Multidisciplinary and Current Research, vol. 5, 2017. Silong, L. ―Threes Types of Confluence among Confucianism, Buddhism and Taoism‖. Journal of Peking University (Philosophy & Social Sciences), vol. 2, 2011. Simons, S. E. ―Social Assimilation‖. American Journal of Sociology, vol. 6, no. 6, 1901, h. 790-822. Sinaga, R., Tanjung, F. & Nasution, Y. ―Local Wisdom and National Integration in Indonesia: A Case Study of Inter-Religious Harmony amid Social and Political Upheaval in Bunga Bondar, South Tapanuli‖. Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 3, no. 1, 2019, h. 30-35. Smiraglia, R. P. ―Works as Signs, Symbols, and Canons: The Epistemology of the Work‖. Ko Knowledge Organization, vol. 28, no. 4, 2001, h. 192-202. Soegiarty, T. ―Ornamen Batik Pesisiran Daerah Sunda‖. Jurnal Dimensi Seni Rupa dan Desain, vol. 13, no. 1, 2016, h. 23-38. Soenarto, E. ―From Saints to Superheroes: The Wali Songo Myth in Contemporary Indonesia's Popular Genres‖. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 2005, h. 33-82. Soete, L. ―International Diffusion of Technology, Industrial Development and Technological Leapfrogging‖. World Development, vol. 13, no. 3, 1985, h. 409-422. Sofiyawati, N. ―Kajian Gaya Hias Singa Barong dan Paksi Naga Liman dalam Estetila Hibriditas Kereta Kesultanan Cirebon‖. Jurnal Sosioteknologi, vol. 16, no. 3, 2017, h. 304-324. Sopiah, P. S. ―Inpres No 14 Tahun 1967 dan Implikasinya Terhadap Identitas Muslim Tionghoa Cirebon‖. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 5, no. 2, 2017, h. 152-173.

243

Spiller, H. J. ―Basic Gamelan Concepts in the Music of Cirebon‖. In Focus: Gamelan Music of Indonesia, (Routledge, 2010). Stenberg, J. ―From the (Tang) General to the (Jakarta) Specific: Xue Rengui across Time and Space‖. Asian Studies Review, 2020, h. 1-19. Stuart-Fox, M. ―Southeast Asia and China: The role of history and culture in shaping future relations‖. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, vol. 26, no. 1, 2004, h. 116-139. Su, W. ―Study on the Inheritance and Cultural Creation of Manchu Qipao Culture‖. In 3rd International Conference on Art Studies: Science, Experience, Education (ICASSEE 2019), (Atlantis Press, 2019). Suardana, W. & Fikriyyati, I. ―Naga Liman Pencana Kencana Train Caruban Nagari's Multicultural Symbols: Inculturalization of Nusantara Art in Cultural Arts Education‖. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, vol. 24, no. 2, 2020. Sudardi, B. ―The Reflection of Socio-Cultural Change in Batik Motifs‖. In 2018 3rd International Conference on Education, Sports, Arts and Management Engineering (ICESAME 2018), vol. 231, (Atlantis Press, 2018). Sudjarwo, S. & Pujiati, P. ―The Shifting Tradition of Ethnic Chinese Weddings at Pecinan Village Bandar Lampung City‖. Research on Humanities and Social Sciences, vol. 8, no. 12, 2018, h. 58-65. Sumino, ―Kereta Singa Barong di Keraton Kasepuhan Cirebon‖. Corak: Jurnal Seni Kriya, vol. 1, no. 1, 2012, h. 78-90. Suneki, S. ―Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah‖. CIVIS, vol. 2, no. 1, 2012, h. 307-32. Suparman, S., Sulasman, S. & Firdaus, D. ―Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century‖. Tawarikh, vol. 9, no. 1, 2017, h. 49-58. Supatmo, ―Keragaman Seni Hias Bangunan Bersejarah Masjid Agung Demak‖. Imajinasi, vol. 10, 2, 2016, h. 107–120. Supatmo, S. ―The Manifestation of Cultural Tolerance Value of Traditional Ornament: Study on Ornaments of Sendang Duwur Mosque-Graveyard, Lamongan, East Java‖. In 2nd International Conference on Arts and Culture (ICONARC 2018), vol. 276, (Atlantis Press, 2019). Suprajitno, S. ―Reconstructing Chineseness: Chinese Media and Chinese Identity in Post-Reform Indonesia‖. Kemanusiaan: The Asian Journal of Humanities, vol. 27, no. 1, 2020. Suryadi, M. ―Nilai Filosofis Peralatan Tradisional Terhadap Karakter Perempuan Jawa dalam Pandangan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah‖. NUSA, vol. 13, no. 4, 2018, h. 567-578. Suryadinata, L. ―Chinese Indonesians in Post-Suharto Indonesia: Democratisation and Ethnic Minorities by Chong Wu-Ling‖. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 35, no. 1, 2020, h. 165-168. Suryadinata, L. ―Indonesian State Policy Towards Ethnic Chinese: From Assimilation to Multiculturalism‖. Chinese Indonesians: State Policy, Monoculture and Multiculture, 2004, h. 1-16.

244

Suryadinata, L. ―Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi Ke Multikulturalisme ?‖. Antropologi Indonesia, no. 71, 2003, h. 1- 12. Susanti, Lisa. ―Pengaruh Kolonial Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon Tahun 1752-1830‖. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, vol. 3, no. 3, 2018, h. 274-288. Susi, M., Purnama, D. A., Nany, I., Prima, A., & Krasnobaev, R. ―Cultural Sciences‖. Cultural Sciences, vol. 34, no. 3, 2019. Susilo, D., ―Chinese Cultural Values and its Influence on Chinese Indonesian Entrepreneurial Culture‖. Asian People Journal (APJ), vol. 3, no. 1, 2020, h. 201-208. Sutrisno, E. ―Confucius is Our Prophet: The Discourse of Prophecy and Religious Agency in Indonesian Confucianism‖. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 32, no. 3, 2017, h. 669-718. Syarifah, M. ―Budaya dan Kearifan Dakwah‖. Jurnal al-Balagh, vol. 1, no. 1, 2016, h. 23-24. Tadjoeddin, M. Z. ―Inequality and Exclusion in Indonesia‖. Journal of Southeast Asian Economies, vol. 36, no. 3, 2019, h. 284-303. Tambrin, I. ―Batik Cirebon: Tinjauan Ornamen Batik Trusmi Cirebon‖, Jurnal Seni Rupa dan Desain, vol. 2, no. 4. 2002, h. 1-13. Taneo, M., Ndoen, F. A. & Neolaka, S. Y. ―History of Arrival and Development of Chinese Ethnic in Kupang‖. International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, vol. 6, no. 5, 2019, h. 356-369. Tanggok, M. I. ―The Role of Chinese Communities lo the Spread of Islam in Indonesia”. Refleksi: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, vol. 7, no. 3, 2006, h. 249-262. Tanomi, Erna dan Christiana, Elisa. ―Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Pertunjukan Liong Batik dan Wacinwa di Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta tahun 2015‖. Century: Journal of Chinese Language, Literature and Cultur, vol. 2, no. 1, 2014, h. 108-122. Taqiyuddin, Muhammad. ―Panca Indera dalam Epistemologi Islam‖. Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4, no. 1, 2020, h. 113-138. Tarde, G. & Baldwin, J. M. ―Imitation and Creativity‖. The Creativity Reader, 2019, h. 173. Tendi, ―Surat Perjanjian 7 Januari 1681: Edisi Diplomatik Naskah‖. Jurnal Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 8, no. 1, 2020, h. 39- 58. Tendi, T., Marihandono, D. & Abdurakhman, A. ―Between the Influence of Customary, Dutch, and Islamic Law: Jaksa Pepitu and Their Place in Cirebon Sultanate History‖. Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, vol. 57, no. 1, 2019, h. 117-142. Theo, R. & Leung, M. W. ―China‘s Confucius Institute in Indonesia: Mobility, Frictions and Local Surprises‖. Sustainability, vol. 10, no. 2, 2018, h. 530. Thurnwald, R. ―The Psychology of Acculturation‖. American Anthropologist, vol. 34, no. 4, 1932, h. 557-569. Tingyu, Z. ―Ming shi (History of the Ming Dynasty)‖. Beijing: Zhonghua shuju, vol. 285, no. 173, 1974.

245

Tjandrasasmita, Uka. ―Laksamana Cheng Ho dan Penyebaran Islam di Asia Pasifik‖, Seminar Internasional Fakultas Dakwah IAIN Jakarta, 28 Agustus 1993. Tolentino, R. P. G. ―Archaeology of Sacred Symbols: The Lost Meaning and Interpretations‖. International Journal of Recent Innovations in Academic Research, vol. 3, no. 10, 2019, h. 66-71. Triggs, O. L. ―The Decay of Aboriginal Races (Illustrated)‖. The Open Court, no. 10, 1912. Trimble, J. E. ―Introduction: Social change and acculturation‖. In Acculturation: Advances in Theory, Measurement, and Applied Research, vol. 10, 2003, h. 3- 13. Turner, S. & Allen, P. ―Chinese Indonesians in a rapidly changing nation: Pressures of ethnicity and identity‖. Asia pacific viewpoint, vol. 48, no. 1, 2007, h. 112- 127. Turner, V. ―Process, System, and Symbol: A New Anthropological Synthesis‖. Daedalus, 1977, h. 61-80. Turner, V. ―Symbolic Studies‖. Annual Review of Anthropology, vol. 4, 1, 1975, h. 145-161. van den Berghe, P. L. ―Australia, Canada and the United States: Ethnic Melting Pots or Plural Societies?‖. The Australian and New Zealand Journal of Sociology, vol. 19, no. 2, 1983, h. 238-252. Vuong, Q. H., Bui, Q. K., La, V. P., Vuong, T. T., Nguyen, V. H. T. & M. T. Ho, ―Cultural Additivity: Behavioural Insights from the Interaction of Confucianism, Buddhism and Taoism in Folktales‖. Palgrave Communications, vol. 4, no. 1, 2018, h. 1-15. W, Rita Hadi. ―Pengaruh Intervensi Musik Gamelan Terhadap Depresi Pada Lansia di Panti Wreda Harapan Ibu Semarang‖. Home, vol. 1, no. 2, 2013, h. 135-140. Wah, S. S. ―Confucianism and Chinese Leadership‖. Chinese Management Studies, vol. 4, no. 3, 2010, h. 280-285. Wake, C. H. ―Raffles and the rajas: the founding of Singapore in Malayan and British colonial history. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, vol. 48 (227), 1975, h. 47-73. Waldmueller, J. M. ―Agriculture, Knowledge and the ‗Colonial Matrix of Power‘: Approaching Sustainabilities from the Global South‖. Journal of Global Ethics, vol. 11, no. 3, 2015, h. 294-302. Wang, R. ―Inheritance of Intangible Cultural Heritage of Oroqen Ethnic Group Based on Computer Network Culture‖. In Journal of Physics: Conference Series, vol. 1574, no. 1, (IOP Publishing, 2020), h. 012003. Wang, S. Y., Wong, Y. J. & Yeh, K. H. ―Relationship Harmony, Dialectical Coping, and Nonattachment: Chinese Indigenous Well-being and Mental Health‖. The Counseling Psychologist, vol. 44, no. 1, 2016, h. 78-108. Wasino, W., Putro, S., Aji, A., Kurniawan, E. & Shintasiwi, F. A. ―From Assimilation to Pluralism and Multiculturalism Policy: State Policy Towards Ethnic Chinese in Indonesia‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 29, no. 2, 2019, h. 213-223.

246

Wei, C., Dai, S., Xu, H. & Wang, H. ―Cultural worldview and cultural experience in natural tourism sites. Journal of Hospitality and Tourism Management, vol. 43, 2020, h. 241-249. al Wekhian, J. ―Acculturation Process of Arab-Muslim Immigrants in the United States‖. Asian Culture and History, vol. 8, no. 1, 2016, h. 89-99. Wibowo, P. ―Tionghoa dalam Keberagaman Indonesia: Sebuah Perspektif Historis tentang Posisi dan Identitas‖. In Proceeding of The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity, and Future”, vol. 13, 2012. Wibowo, Priyanto. ―The 1740 Racial Tragedy and loss off Batavia Sugarcane Industries‖. Paramita, vol. 23, no. 2, 2013, h. 127-136. Widiaty, I., Riza, L. S. & Abdullah, A. G. ―A Preliminary Study on Augmented Reality for Learning Local Wisdom of Indonesian Batik in Cocational Schools‖. In 2015 International Conference on Innovation in Engineering and Vocational Education, (Atlantis Press, 2015). Widodo, J. ―Admiral Zheng He and pre-Colonial Coastal Urban Development in Southeast Asia‖. Inaugural Lecture organized by Friends of Zheng He Society, (Singapore: Unpublis, 2003). Widyanti, A., Susanti, L., Sutalaksana, I. Z. & Muslim, K. ―Ethnic differences in Indonesian Anthropometry Data: Evidence from Three Different Largest Ethnics‖. International Journal of Industrial Ergonomics, vol. 47, 2015, h. 72- 78. Widyonugrahanto, W., Lubis, N. H., Mahzuni, D., Sofianto, K., Mulyadi, R. M. & Darsa, U. A. ―The Politics of the Sundanese Kingdom Administration in Kawali-Galuh‖. Paramita: Historical Studies Journal, vol. 27, no. 1, 2017, h. 028-033. Wijayanto, E. & Soekarba, S. R. ―The Cultural Evolution of Local Islamic Values on the Muludan Tradition in Cirebon: A Memetics Perspective‖. International Review of Humanities Studies, vol. 4, no. 2, 2019. Wildan, D. Sunan Gunung Jati: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural (Antara Fiksi dan Fakta), (Bandung, Humaniora Utama Press, 2002), h. 272-273. Wilson, T. A. ―Culture, Society, Politics, and the Cult of Confucius‖. On Sacred Grounds: Culture, Society, Politics, and the Formation of the Cult of Confucius, 2020, h. 7. Wiyoso, J. ―Pengaruh Difusi dalam Bidang Musik Terhadap Karawitan, Harmonia‖. Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, vol. 3, no. 2, 2002. Woo, B. D., Maglalang, D., Ko, S., Park, M., Choi, Y. & Takeuchi, D. T. ―Racial discrimination, ethnic-racial socialization, and cultural identities among Asian American youths‖. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 2020. Xie, Y. & Greenman, E. ―The social context of assimilation: Testing implications of segmented assimilation theory‖. Social Science Research, vol, 40, no. 3, 2011, h. 965-984. Xing, G. ―Conflict and Harmony between Buddhism and Chinese Culture‖. International Journal of Buddhist Thought and Culture, vol. 25, 2015, h. 83-105.

247

Xing, L., Zhang, J., Klein, H., Mayor, A., Chen, Y., Dai, H.... & Dong, S. ―Dinosaur Tracks, Myths and Buildings: The Jin Ji (Golden Chicken) Stones from Zizhou Area, Northern Shaanxi, China‖. Ichnos, vol. 22, no. 3-4, 2015, h. 227-234. Xinyu, Y. & Al-Muhsin, M. A. ―Comparative Study on Myth Between Chinese and Arabic: Phoenix as An Example‖. International Journal of Humanities, Philosophy and Language, vol. 3, no. 10, 2020, h. 12-17. Yakin, H. S. M. & Totu, A. ―The Semiotic Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study‖. Procedia-Social and Behavioral Sciences, vol. 155, 2014, h. 4-8. Yang, F. ―Taoist wisdom on individualized teaching and learning—Reinterpretation through the perspective of Tao Te Ching‖. Educational Philosophy and Theory, vol. 51, no. 1, 2019, h. 117-127. Yani, A. ―Pengaruh Islam Terhadap Makna Simbolik Budaya Keraton-Keraton Cirebon. Holistik, vol. 12, no. 1, 2011, h. 181-196. Yildirim, C. & Correia, A. P. ―Exploring the dimensions of nomophobia: Development and validation of a self-reported questionnaire‖. Computers in Human Behavior, vol. 49, 2015, h. 130-137. Yildiz, E. P., Çengel, M. & Alkan, A. ―Investigation of Nomophobia Levels of Vocational School Students According to Demographic Characteristics and Intelligent Phone Use Habits‖. Higher Education Studies, vol. 10, no. 1, 2020, h. 132-143. Yinger, J. M. ―Toward a Theory of Assimilation and Dissimilation‖. Ethnic and Racial Studies, vol. 4, no. 3, 1981, h. 249-264. Yu, D. S. & Malik, K. M. A. ―Cultural Islam in Northern Europe‖. Baltic Region, vol. 11, no. 3, 2019. Yuhan, X. I. E. & Chen, G. E. ―Confucius‘ Thoughts on Moral Education in China‖. Cross-Cultural Communication, vol. 9, no. 4, 2013, h. 45-49. Yulianto, Rahmad. ―Tasawuf Transformatif sebagai Solusi Problematika Manusia Modern dalam Perspektif Pemikiran Tasawuf Muhammad Zuhri‖. Teosofi, vol. 4, no. 1, 2014, h. 56-87. Yusli, Utami Dwi dan Rachma, Nurullya. ―Pengaruh Pemberian Terapi Musik Gamelan Jawa Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia‖. Jurnal Perawat Indonesia, vol. 3, no 1, 2019, h. 72-78. Yusuf, M. ―When Culture Meets Religion: The Muludan Tradition in the Kanoman Sultanate, Cirebon, West Java‖. Al Albab-Borneo Journal of Religious Studies (BJRS), vol. 2, no. 1, 2013. Yusuf, S. A. ―Aspects of Architecture Infrastructures Acculturation Function, form and the Meaning of the Christian Church building Pniel Blimbingsari in Bali. Arteks: Jurnal Teknik Arsitektur, vol. 1, no. 1, 2016, h. 15-30. Zarifa, A. P. ―Masjid dan Makam Sendang Duwur: Perwujudan Akulturasi‖. In Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 2017, h. 381-384. Zayyad, S. B. & Sinclair, B. R. ―Culture, Context+ Environmental Design: Reconsidering Vernacular in Modern Islamic Urbanism‖. Architectural Research: Addressing Societal Challenges, vol. 1, 2017, h. 535-542. Zeman, J. ―Peirce‘s Theory of Signs‖. A Perfusion of Signs, 1977, h. 22-39.

248

Zhang, D. ―Cultural Symbols in Chinese Architecture‖. Architecture and Design Review, vol. 1, 2018, h. 1-19. Zhao, B. ―Chinese-style ceramics in East Africa from the 9th to 16th century: A case of changing value and symbols in the multi-partner global trade‖. Afriques. Débats, Méthodes et Terrains D‟histoire, no. 06, 2015. Zhuang, W. ―Photography and Chineseness: Reflections on Chinese Muslims in Indonesia‖. Inter-Asia Cultural Studies, vol. 20, no. 1, 2019, h. 107-130. Zuhdi, Muhammad Harfin. ―Istiqomah dan Konsep Diri Seorang Muslim‖. Religia, vol. 14, no. 1, 2011, h. 111-128. Zuhdi, Muhammad Harfin. ―Konsep Kepemimpinan dalam Islam‖. Akademika, vol. 19, no. 1, 2014, h. 35-57. ―Java, Boordevol Cultuur‖, dalam Algemeen Dagblad, Rotterdam, 18-05-1993, h. 25. ―Sultanskoets nooit meer als nieuw‖, Nieuwsblad van het Noorden, Groningen, 29- 12-1993, h. 3.

Tesis dan Disertasi

Bukhari, Zaenuddin. Mistisisme Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung, (Disertasi IAIN Walisongo, 2012). Chiou, S. Y. Search of New Social and Spiritual Space: Heritage, Conversion, and Identity of Chinese-Indonesian Muslims, (Doctoral Dissertation, Utrecht University, 2012). Hew, W. W. Negotiating Ethnicity and Religiosity: Chinese Muslim Identities in Post-new Order Indonesia, (A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy Department of Political and Social Change School of International, Political and Strategic Studies College of Asia and the Pacific of The Australian National University, 2011). Muhaimin, A. G. The Islamic Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims, (Unpublished PhD Thesis, The Australian National University, Canberra, 1995). Siddique, S. Relics of the Past: A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java, (Ph.D. Dissertation, Bielefeld, 1977). Sunanto, Musyrifah. Syarif Hidayatullah Seorang Wali Penyebar Islam di Jawa Barat, (Disertasi PPS. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999). Tjiptoatmojo, F. A S. Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad XIX sampai Medio Abad XIX, (Disertasi Doktoral Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM Yogyakarta, 1983). Triawan, D. W. Analisis Motif Ragam Hias pada Alat Transportasi Tradisional Keraton Cirebon, (Tesis S2 Program Studi Pendidikan Seni, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, 2017).

Wawancara Pribadi

Wawancara dengan Ajat (Budayawan dan Pemandu Taman Air Sunyaragi) pada tanggal 16 Juli 2020.

249

Wawancara dengan Bambang Irianto (Budayawan Cirebon) pada tanggal 08 Juli 2020. Wawancara dengan Hafidz (Budayawan dan Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon) pada tanggal 17 Juli 2020. Wawancara dengan Iman Sugiman (Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon) pada tanggal 09 Juli 2020. Wawancara dengan Opan Safari (Filolog dan Budayawan Cirebon) pada tanggal 19 Juli 2020. Wawancara dengan Permadi (Tokoh Mayarakat Tionghoa) pada tanggal 26 September 2019

Sumber Internet

―Hadiah Terbesar Bangsa Cina ke Indonesia adalah Agama Islam‖. Diambil dari: https://republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/13/09/27/mtrx43- habibie-hadiah-terbesar-bangsa-cina-ke-indonesia-adalah-islam. (Diakses pada 17 Agustus, 2020). Ernawati, Jujuk & Permatasari, Adinda. ―Sejarah Piring Selampad, Motif Batik Langka dari Cirebon‖. Diambil dari: https://www.viva.co.id/gaya- hidup/gaya/886954-sejarah-piring-selampad-motif-batik-langka-dari-cirebon. (Diakses pada 24 Februari, 2017). Diambil dari: https://www.radarcirebon.com/2018/03/23/cirebon-tionghoa- perkawinan-budaya-yang-melekat/ . (Diakses pada 30 November, 2020). Diambil dari: http://www.nabilfoundation.org/artikel/9/istilah-cina-china-dan- tionghoa . (Diakses pada 30 November, 2020). Radar Cirebon, ―Sejarah Warga Tionghoa di Cirebon‖. Diambil dari: http://www.radarcirebon.com/tag/sejarah-warga-tionghoa (Diakses pada 23 Januari, 2019).

250

GLOSARIUM

Adat : Gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai- nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat. Kristen : Kristen adalah agama Abrahamik monoteistik berasaskan riwayat hidup dan ajaran Yesus Kristus, yang merupakan inti sari agama. Akulturasi : Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Asimilasi : Asimilasi adalah pembauran satu kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Budaya : Budaya adalah suatu gaya hidup yang berkembang dalam suatu kelompok atau masyarakat dan diwariskan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Buddhisme : Buddhisme adalah ajaran agama yang mengajarkan agar menjunjung tinggi dan menghargai hak asasi wanita sekaligus menghilangkan kasta-kasta. Di samping itu, ajaran ini juga sangat menjunjung tinggi nilai- nilai demokrasi. Chauvinisme : Chauvinisme adalah sikap cinta tanah air yang berlebihan sehingga menganggap bangsannya adalah bangsa terbaik dan menganggap bangsa lain rendah. Cina Peranakan : Cina Peranakan adalah istilah yang digunakan oleh para keturunan imigran Tionghoa yang sejak akhir abad ke-15 dan abad ke-16 telah berdomisili di kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia), termasuk Malaya Britania (sekarang Malaysia Barat dan Singapura). Di beberapa wilayah di Nusantara sebutan lain juga digunakan untuk menyebut orang Tionghoa Peranakan, seperti “Tionghoa Benteng” (khusus Tionghoa-Manchu di Tangerang) dan “Kiau-Seng” (di era kolonial Hindia Belanda). Difusi : Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur- unsur kebudayaan ke seluruh dunia. Salah satu

249

bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang terjadi karena dibawa oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain di dunia. Ekspansi : Aktivitas memperbesar atau memperluas usaha yang ditandai dengan penciptaan pasar baru, perluasan fasilitas dan sebagainya. Eksploitasi : Politik pemanfaatan yang dilakukan sewenang- wenang (berlebihan) terhadap subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangkan rasa kepatutan, keadilan dan kompensasi kesejahteraan. Fasisme : Fasisme adalah paham yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara. Gemeente : Kota Praja Imigrasi : Imigrasi adalah perpindahan orang dari suatu negara-bangsa (nation-state) ke negara lain, di mana ia bukan merupakan warga negara. Imigrasi merujuk pada perpindahan untuk menetap permanen yang dilakukan oleh imigran, sedangkan turis dan pendatang untuk jangka waktu pendek tidak dianggap imigran. Irigasi : Usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian yang meliputi irigasi air permukaan, air bawah tanah, pompa dan rawa Islamis : Orang yang memiliki ideologi atau keyakinan bahwa Islam adalah pedoman bagi segala segi kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, serta kehidupan pribadi. Islamisasi : Proses konversi masyarakat menjadi Islam Komunisme : Komunisme adalah ideologi yang berkenaan dengan filosofi, politik, sosial, dan ekonomi yang tujuan utamanya terciptanya masyarakat komunis dengan aturan sosial ekonomi berdasarkan kepemilikan bersama alat produksi dan tidak adanya kelas sosial, uang, dan negara. Konfusianisme : Konfusianisme adalah inti ajaran filsafat Cina yang mengajarkan peningkatan moral dan etika manusia. Masyarakat Pribumi : Orang/penduduk asli. Monopoli : Suatu kondisi bisnis di mana ada satu

250

perusahaan yang memiliki layanan yang dibutuhkan oleh banyak orang. Mauludan : Muludan adalah salah tradisi masyarakat Muslim-Sunda terkait dengan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Sebagian orang Sunda Muslim menyebutnya Muludan atau Maulidan merujuk pada Maulid (hari kelahiran) Nabi Muhammad saw. Kelahiran Muhammad saw. sediri diyakini tepat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal pada kalender Hijriyah. Namun orang Sunda-Muslim menyebut bulan ini dengan sebutan bulan Mulud, karena terkait dengan kelahiran Nabi. Nasionalisme : Paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negaranya sendiri. Nativisme : Nativisme adalah pandangan bahwa keterampilan-keterampilan atau kemampuan- kemampuan tertentu bersifat alamiah atau sudah tertanam dalam otak sejak lahir. Panjang Jimat Panjang Jimat adalah tradisi Maulid Nabi di Cirebon. Sebagai peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulid Nabi kerap di istimewakan. Tujuannya, tidak lain untuk mengenang dan selalu meneladani nabi Muhammad SAW. Pedukuhan : Desa Rajaban : Rajaban adalah sebutan bagi perayaan hari Isra' Mi'raj bagi umat Islam yang jatuh pada bulan Rajab. Ruwahan : Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia, seperti oran tua, kakek, nenek, tokoh pendiri kampung, wali, dan lainnya. Saparan : Saparan adalah tradisi Jawa yang dilaksanakan saat bulan Safar pada kalender Jawa. Segregasi : Pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa; Bentuk pelembagaan diskriminasi yang diterapkan dalam struktur sosial. Slametan : Selametan adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selametan juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dan Madura. Selametan adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk. Suroan : Suroan adalah tradisi yang turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat jawa sampai

251

sekarang. suroan dilakukan setiap tanggal satu Suro atau tanggal satu muharam. Tradisi malam satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Syawalan : Syawalan merupakan tradisi di kalangan masyarakat Jawa setelah berlebaran (hari raya Idul Fitri). Taoisme : Taoisme adalah ajaran yang menganjurkan hidup dalam harmoni dengan tao/dao (alam semesta). Vasal : Vasal adalah seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa— biasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual protection), atau pemberian upeti, dan menerima jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya.

252

INDEKS D Diego Ribeiro : 12 A Dinasti Chou : 2 Asia Tenggara : 1, 3, 4, 7, 58, 64, 105, Dinasti Ming : 4, 5, 13, 105, 133, 169 106, 124, 142, 143 Dinasti Tang : 3 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) : 10, 11, 123 E Arab : 3, 8, 23, 25, 55, 57, 63, 64, 65, Eropa : 2, 6, 7, 25, 40, 43, 55, 65, 89, 69, 75, 87, 89, 92, 103, 104, 105, 113, 114, 135, 142, 165, 185, 188, 123, 125, 129, 133, 142, 165, 173, 190 185, 188, 189 F B Fa Hian : 2 Batavia : 57, 81, 91, 109, 135, 190, 207 Belanda : 6, 7, 8, 12, 14, 17, 18, 19, 22, G 23, 25, 26, 30, 45, 55, 58, 61, 63, Garut : 60, 99, 107, 108, 133, 185, 188 64, 65, 66, 85, 86, 87, 90, 91, 109, Gujarat : 55, 73,76, 132, 141 122, 129, 134, 141, 144, 207, 208 BJ. Habibi : 123 I Islamisasi : 21, 55, 58, 61, 68, 97, 98, C 100, 101 Che Li Wen : 12 I-Tsing : 2 Cheng Ho : 4, 5, 6, 11, 12, 19, 24, 30, India : 2, 7, 8, 40, 42, 43, 53, 55, 57, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 69, 89, 119, 172, 173, 174, 185, 94, 95, 104, 105, 106, 107, 108, 189 116, 125, 126, 133, 150, 170, 207 Islam : 1, 5, 6, 7, 11, 13, 17, 18, 19, 21, Ciamis : 81, 86, 108, 133 22, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 41, Cirebon : 5, 11, 12, 13, 14, 16, 18, 19, 42, 55, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 76, 30, 46, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 78, 79, 80, 81, 87, 88, 89, 92, 93, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 77, 78, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 104, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 113, 115, 117, 125, 128, 129, 131, 98, 99, 100, 101, 102, 104, 106, 132, 133, 134, 136, 139, 140, 141, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 151, 114, 115,116, 125, 127, 128, 129, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 160, 131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 161, 164, 165, 168, 173, 175, 178, 139, 144, 145, 147, 149, 150, 151, 179, 181, 183, 192, 193, 194, 195, 152, 153, 154, 156, 157, 163, 165, 199, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 207, 208, 209 175, 177, 179, 181, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 192, 193, J 94, 196, 197, 198, 199, 201, 203, Jakarta : 49, 58, 63, 64, 65, 125 204, 207, 208, 209, 210 Jawa Timur : 3, 56, 58, 94, 98, 112, 145

253

Jawa Tengah : 24, 59, 63, 66, 86, 89, Lie Guan Hian : 13, 207 112, 129 J. H. J. Sigal : 90 M Jawa Barat : 3, 24, 58, 68, 73, 84, 89, Ma Huan : 5, 12, 56, 57, 58, 60, 61, 90, 92, 98, 99, 100, 125, 132, 184, 106, 134 185, 188, 209, 210 Majalengka : 81, 86, 99 Jawa : 2, 3, 4, 5, 6, 7, 12, 17, 18, 21, Majapahit : 4, 58, 60, 61, 78, 102, 134, 22, 23, 24, 25, 26, 30, 41, 48, 55, 140, 145 56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65, Makam Astana Gunung Jati : 19, 26, 66, 69, 74, 75, 76, 77, 81, 87, 88, 137, 165, 170 89, 91, 95, 96, 99, 104, 105, 106, Malaka : 57, 89, 95, 96 107, 125, 128, 129, 140, 146, 154, Mekah : 74, 75 156, 165, 177, 188, 193, 194, 195, 197, 198, 202 N Nabi Muhmamad SAW : 75, 97, 102, K 152, 154, 155, 157, 164, 169, 175, Kaisar Mongol : 4 179 Kaisar Tiongkok : 3, 6, 13, 143, 148, Nusantara : 1, 2, 4, 5, 6, 7, 17, 18, 19, 196, 207 20, 21, 25, 30, 31, 55, 63, 64, 68, Kaisar Wan Ming : 2 81, 87, 89, 90, 96, 97, 98, 100, 101, Kaisar Yung-Le : 4 104, 105, 106, 122, 125, 126, 127, Kalimantan : 2, 7, 105 131, 132, 146, 199 Kediri : 3, 4, 82 Ken Arok : 4 O Kerajaan Borneo : 3 Ong Tien Nio : 13, 19, 61, 78, 108, Kerajaan Panjalu : 3, 4 109, 133, 134, 135, 147, 150, 169, Kerajaan Tarumanegara : 3 170, 174, 177, 190, 201, 207 Keraton Kacirebonan : 90, 139, 156 Orde Baru : 8, 9, 10, 17, 18, 45, 67, Keraton Kanoman : 90, 156, 173 118, 122 Keraton Kasepuhan : 19, 20, 24, 25, 27, 30, 83, 90, 135, 137, 138, 139, P 140,141, 142, 143, 144, 145, 147, Palembang : 57, 60, 94 149, 151, 153, 154, 155, 156, 157, Pate Quedir : 13, 89, 94 165, 168, 170, 171, 177, 182, 196, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia 206, 209 (PITI) : 11 Keraton Keprabonan : 90 Persia : 55, 57, 69, 75, 92, 125, 142, Keresidenan Cirebon : 86 185, 189 Kertanegara : 4 Politik Etis : 90 Konfusianisme : 7, 116, 117, 119, 208 Kubilai Khan : 4 R Kuningan : 71, 81, 86, 98, 99, 100, 102, Raja Singosari : 4 133, 185, 201 S L Samudera Pasai : 5 Lie Guan Cang : 13, 207 Sarekat Islam (SI) : 66

254

Soeharto : 10, 123 Sriwijaya : 2, 3, 57 Sumanto Al Qurtuby : 4, 24, 26, 55, 56, 58, 59, 63, 64, 125 Sumatera : 7, 58, 62, 69, 101 Sunan Gunung Jati : 13, 19, 59, 60, 61, 68, 72, 76, 77, 78, 79, 89, 90, 94, 98, 99, 100, 101, 102, 107, 108, 109, 112, 128, 130, 131, 133, 134, 135, 139, 145, 153, 154, 157, 166, 168, 169, 172, 189, 190, 193, 201, 207 Surabaya : 5, 56, 57, 58, 69, 88, 92, 104, 106, 125 Susilo Bambang Yudhoyono : 10 Syarif Hidayatullah : 13, 72, 75, 76, 77, 78, 80, 101, 149, 151, 153, 156, 191, 201

T Tiongkok : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 12, 13, 14, 17, 19, 22, 23, 35, 26, 57, 59, 60, 61, 63, 64, 69, 73, 89, 92, 95, 96, 105, 106, 108, 117, 118, 119, 120, 121, 123, 124, 126, 129, 133, 134, 135, 136, 141, 142, 143, 144, 147, 148, 165, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177, 181, 182, 183, 185, 188, 189, 190, 195, 196, 198, 201, 203, 206, 207 Tan Eng Hoat : 60, 107, 108, 133, 207 Taoisme : 7, 24, 116, 117, 119, 136, 208 Tome Pires : 6, 12, 58, 87, 89, 91, 92, 93, 94, 95, 96

V Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) : 113, 58, 81, 82, 83, 84, 85, 95, 109, 113, 114, 115, 135, 207 Z Zainal Abidin Bahian Syah : 5

255