STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI DAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh: Nuriah Miftahul Jannah NIM. 1112011000024

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M

ABSTRAK Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), “Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter” Kata kunci: Komparasi, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Pemikiran Hamka, Pendidikan Karakter Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang konsep pendidikan karakter, serta mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan karakter dari kedua tokoh tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat analisis deskriptif, dengan metode komparasi dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/library research, yaitu pengumpulan data yang bersifat kepustakaan Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa mempelajari dan mengidentifikasikan data-data melalui berbagai literatur bersumber pada buku primer dan buku sekunder yang berkaitan dengan kedua tokoh yang dibahas. Adapun data primer bersumber dari personal dokumen dari KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. Dan data sekunder diperoleh dari publikasi ilmiah berupa buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, yang mengkaji tentang pemikiran kedua tokoh tersebut terkait pendidikan karakter. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pendidikan karakter perspektif KH. Hasyim Asy’ari adalah adanya usaha yang mendorong terbentuknya karakter yang positif dalam berperilaku adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh pada ketauhidan. Segala kondisi yang terjadi, para pelaku pendidikan senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah. Sedangkan pendidikan karakter dalam perspektif Hamka adalah usaha bersama dari orang tua, guru dan masyarakat untuk membangun budi pekerti. Pendidikan orang tua, pengetahuan dasar agama, dan keteladanan guru sebagai pelengkap terbentuknya kesempurnaan jiwa yang berdasarkan pada nilai-nilai budi pekerti luhur.

i

ABSTRACT Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), "The Comparative Study of Thought KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about Character Education" Keyword: The Comparative, The Thought of KH. Hasyim Asy’ari, The Thought of Hamka, Character Education This study aims to determine the thought of KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about the concept of character education, and to know the similarities and differences in educational character the both of tought. This study used a qualitative approach that is both descriptive analysis, the comparison method and the type of study is a literature / library research, namely the collection of data literaturely. Using the techniques of data collection in the form of studying and identifies data related to both personage discussed ideas through various literature sourced in the primer and sekunder about thought of personage both in the researched. The primary data sourced from personal documents of KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. And secondary data sourced from scientific publication (books, journals, articles, thesis and mini thesis, etc) about tought of personage both which especially character education. The results obtained from this study that the character education in the perspective of KH. Hasyim Asy’ari is there are efforts that encourage the formation of a positive character in the act is to live up to the noble values and sticking to monotheism. All conditions that occur, the perpetrators of education always responds with kindness and morality al-karimah. While character education in the perspective of Hamka was a joint effort of parents, teachers and the community to build character. Parent education, basic knowledge of religion, and exemplary of teachers as a complement to the formation of the perfection of soul based on the values of noble character.

ii

KATA PENGANTAR

. .  

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat sehat dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia dan sosok yang penuh rahmat bagi alam semesta

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit menghadapi rintangan dan hambatan. Maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

iii

5. Dr. Akhmad Shodiq, M.A, Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 6. Drs. Achmad Gholib, M.Ag, Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama studi. 7. Ayahanda tercinta Mahlil Mochsen (almarhum) dan Ibunda tersayang Fatmah Ibrahim yang selalu jadi inspirasi dan doa yang tak terhingga, (semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka). 8. My lovely brothers Ndoa, Boya, Iki, Bamal yang selalu ada buat penulis yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. My sisters in law Mbak Dwi, Mbak Tin, Mbak Ni, dan Mbak Yuli yang senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis. 9. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan sabar memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menempuh studi. 10. Ibu Sabngati Istinganah, Staf administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah UIN Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan. 12. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan. 13. Terima kasih buat sahabat sejati, sahabat seperjuangan yang menginspirasi Arruum Arinda, Farisha, Hanny Puspitasari, Syifa Alawiyah, Bahiyatul Musfaidah yang selalu bersama baik suka maupun duka.

iv

14. Terima kasih buat sahabat terbaik yang pertama kali bersama menempuh studi Evia Fajriati Kusmana, Annisa Khanza Fauziah, Mutia Anggraini dan Masturah Yasmin Hafidzoh yang selalu membantu dan peduli dari awal hingga sekarang. 15. Teman-teman PAI angkatan 2012 yang tidak bisa penulis sebut satu per satu yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu, memotivasi dalam proses belajar di kampus UIN Jakarta.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, bagi mereka semua yang telah membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan skripsi ini tiada kata yang paling indah selain ucapan terima kasih dan syukur, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka semua dan penulis berharap mudah- mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 31 Oktober 2016

Penulis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ...... i KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 12 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...... 12 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 13 BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan ...... 14 2. Tujuan Pendidikan ...... 18 3. Pendidik ...... 21 4. Peserta Didik ...... 23 B. Konsep Karakter 1. Pengertian Karakter ...... 25 2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter...... 28 C. Konsep Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter ...... 33

vi

2. Tujuan Pendidikan Karakter ...... 34 3. Fungsi Pendidikan Karakter ...... 37 4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam ...... 38 D. Hasil Penelitian yang Relevan ...... 40 BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Objek dan Waktu Penelitian...... 43 B. Metode Penelitian...... 43 C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...... 45 D. Analisis Data ...... 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KH. Hasyim Asy’ari...... 47 1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari ...... 47 2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari ...... 48 3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari...... 50 4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari ...... 52 a. Pendidikan ...... 53 b. Tujuan Pendidikan ...... 54 c. Pendidik ...... 55 d. Peserta didik ...... 57 e. Pendidikan Karakter ...... 58 B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) ...... 60 1. Riwayat Hidup Hamka ...... 60 2. Latar Belakang Pendidikan Hamka ...... 61 3. Karya-karya Hamka ...... 64 4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka ...... 66 a. Pendidikan ...... 66 b. Tujuan Pendidikan ...... 68 c. Pendidik ...... 69 d. Peserta didik ...... 71

vii

e. Pendidikan Karakter ...... 72 C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter ...... 74 D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka ...... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 83 B. Implikasi ...... 84 C. Saran ...... 85 DAFTAR PUSTAKA ...... 86 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 92

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ...... 30

Tabel 4.1 Konsep pendidikan karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka ...... 78

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Problematika masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya kontrol diri pada materi ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia pendidikan juga turut merasakan dampak dari kemodernan. Semua penemuan teknologi canggih saat ini mempunyai efek yang tidak terduga. Perkembangan peradaban yang semakin maju membawa pengaruh yang signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa. Dampak globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.1 Pupuh Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah mencatat bahwa suatu negara dan bangsa bisa hancur bukan karena ekonomi, bukan karena militernya lemah, bukan karena tsunami alam yang menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan negara akan hancur karena akhlak dan moral bangsanya telah rusak”.2 Adapun kasus datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) yang tega melukai

1 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1 2 Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.2

1 2

leher dan menebas tangan dosennya sendiri hingga tewas. Kejadian ini sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi.3 Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu semakin baik akhlaknya. Data yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, pada Oktober hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan terorganisir juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan mengenai kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di peringkat 109 dunia. 4 Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa adanya masalah dalam dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga menjadi potret buruk pendidikan Indonesia. Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan, kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya tinggi. 5 Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal

3 Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45 a.m (http://www.kompas.com) 4 Ika Akbarwati, Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com) 5 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (: Diva Press, 2013), h. 22

3

pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena telah kehilangan karakter itu sendiri.6 Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai al-Qur‟an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan. Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan al-Qur‟an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal.7 Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu, ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.8 Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi pendidikan Islam dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak terpisah dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk membentuk karakter anak didik selaku generasi muda yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan bangsa,

6Ibid., h. 2 7 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 55 8 Sumedi, Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012, h. 185

4

secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata.9 Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa.10 Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.11

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.12

BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

9 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 1 10 Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779 11 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 123 12 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 4

5

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.13 Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini, khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam implementasinya.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru harus dirubah.

Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.14 Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.15

13 Ibid.., h. 7 14 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5 15 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30

6

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.16 Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.17

Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur‟an pengertian akhlak (khuluq) adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan.18 Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”.19

Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :

             

    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.20

16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1 17 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4 18 Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11 19 Mahjuddin, op. cit, h. 3 20 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII h. 638

7

Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda: ِ ِ ِ ِ إِنََّماِبُعثْ ُتِألتَِّم َمَِم َكاِرَمِاألَ ْخالَقِ ”Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (H.R. Imam Baihaqi).21

Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna. Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya dengan personalitas (kepribadian) seseorang. 22 Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang lain.23 Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.24 Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.25

21 Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 ), h. 472 22 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52 23 Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116 24 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), h. 24 25 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012), h. 165

8

Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan”.26 Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan budaya.27 Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.

26 Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217 27 Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, (Bandung: Ihsan Press, 2015), h.18

9

Diantara tokoh-tokoh intelektual muslim di Indonesia yang memiliki perhatian besar dan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah KH.. Hasyim Asy‟ari dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Keduanya adalah ulama yang memiliki integritas dan keteguhan dalam ilmu agama serta banyak melahirkan karya. Kedua tokoh ini merupakan ulama pejuang dan pejuang yang ulama dalam perlawanannya terhadap kolonial Belanda. “Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”. Ini pernyataan KH. Hasyim Asy‟ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya dengan membuka pengajian dan membangun pesantren. 28 KH. Hasyim Asy‟ari membawa perubahan baru sepulangnya dari Makkah, dengan mendirikan pesantren Tebu Ireng yang terkenal di Jombang sampai sekarang. Tebu Ireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan perkembangan ilmu pengetahuan umum. Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh agama, yang semenjak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren Nggedang dimana ia belajar agama langsung dari ayahnya yang seorang ulama yang sangat mendukung kemajuan ilmu agama. Karena merasa haus akan ilmu, Hasyim Asya‟ari kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa. Karakteristik dari Kiai Hasyim adalah kekonsistenannya dalam memegang tradisi. Dengan pandangan tradisionalisme yang dipertahankannya KH. Hasyim Asy‟ari banyak mengadopsi tradisi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan normativitas.29 KH. Hasyim Asy‟ari adalah ulama sekaligus penulis yang banyak melahirkan karya. Sebagaimana nampak dalam karya-karyanya yang meliputi bidang pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya.

28 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 19 29 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 82

10

Keinginan yang sangat kuat untuk mempertahankan bangunan tradisi tersebut, maka bersamaan dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy‟ari mendirikan Nahdatul Ulama atau kebangkitan ulama (NU). Organisiasi Islam terbesar di tanah air.30 Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas beliau sebagai pendiri NU, melainkan karena beliau juga termasuk pemikir dan pembaharu pendidikan Islam yang dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang.31 Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy‟ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, melalui tangan beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing.32 Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka adalah seorang ulama dan tokoh Islam yang sangat toleran dalam kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut akidah. 33 Ia adalah putra dari seorang tokoh dan ulama berdarah minang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang sangat menginginkan anaknya kelak menjadi seorang ulama. Selain belajar dari ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak.34 Menurut Sutan Mansyur, dari kecil dalam diri Abdul Malik Karim Amrullah memang sudah ada tanda-tanda ia akan menjadi orang besar. Kata dan pikirannya selalu didengar oleh teman-teman sebayanya, menjadikan dia selalu menonjol dalam pergaulan. 35 Hamka menurut

30 Ibid., h. 83 31 Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi Kepustakaan dalam kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3 32 Ibid., h. 6 33 Irfan Hamka, Ayah, (Republika: Jakarta, 2014), Pengantar Penerbit Republika dalam Novel Ayah, h. viii 34 Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h. 109 35 Shalahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: Intimedia, 2003), h. 63

11

Abdurrahman Wahid adalah seorang intelektual yang mempunyai pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum.36 Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya bahwa semua orang pada dasarnya baik dan punya kemungkinan untuk menjadi lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, buya bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap tegas dalam mempertahankan prinsip terbukti saat ia mundur dari ketua MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama bagi umat Islam.37 Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang pemikirannya banyak dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, dan teori-teori beliau cetuskan dalam bukunya banyak digunakan untuk memecahkan masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun, pendidikan. Selain itu, beliau juga melahirkan karya fenomenal berupa tafsir Al-Azhar yang banyak digunakan masyarakat dalam memahami al- Qur‟an.38 KH. Hasyim Asy‟ari dan Buya Hamka adalah sosok yang tidak diragukan lagi, selain menonjol dalam hal- hal yang telah disebutkan di atas, keduanya dikenal cukup concern dan sangat peduli dengan nasib pendidikan umat serta berwawasan jauh ke depan. Dilihat dari sikap dan karakter mereka yang mempengaruhi pemikiran terhadap sesuatu. Dalam hal pendidikan, keduanya memfokuskan pentingnya pendidikan akhlak atau budi pekerti dalam proses pendidikan. Beranjak dari apa yang dipaparkan di atas, dipahami bahwa karakter atau budi pekerti adalah perilaku manusia menuju sifat-sifat baik yang berdampak postif untuk lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut, peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul:

36 Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224 37 Ibid., h. 66 38 Laeli Nafilah, “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka (Telaah buku “Lembaga Hidup” Karya Hamka)” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta: 2011, tidak dipublikasikan, h.4

12

“Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter”.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa masalah mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia 2. Paradigma guru yang belum mengetahui pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter 3. Media pertelevisian yang kurang memperioritaskan pendidikan 4. Minimnya pengetahuan dasar agama, pendidikan dari orang tua serta pengawasan kepada anak dalam menghadapi arus globalisasi 5. Pola hidup bangsa Indonesia yang cendrung westernisasi akibat perkembangan zaman.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar, maka dalam pembahasannya penulis membatasi dan merumuskan permasalahan pada hal-hal ini sebagai berikut : 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk lebih terarahnya penelitian ini dibatasi pada pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terhadap pendidikan karakter. 2. Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yang akan dikaji, yaitu: a. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter? b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter?

13

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter

2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah : a. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terkait pendidikan karakter. Dan sebagai salah satu syarat menempuh jenjang strata satu. b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter. c. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan bacaan, sehingga masyarakat bisa mengambil pelajaran positif dari pemikiran kedua tokoh ini.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau “peadgogos” yang berarti pembimbing anak, atau seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya ke arah kemandirian dan sikap tanggung jawab.1 Pendidikan berasal dari kata “didik” yang artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.2 Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses membimbing, mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memelihara dan menumbuhkembangkan kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang baik dalam pertumbuhan ke arah kedewasaan. Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga (تربية) ”istilah, yaitu al-tarbiyah, al-ta‟lim, dan al-ta‟dib. Istilah “tarbiyah

dari kata ( ) mengandung arti mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan ر بّ menumbuh kembangkan dengan penuh kasih sayang. Pengertian “ta‟lim”

1 Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 326

14

15

yang berarti pengajaran, pengarahan, dan (عل م) dari kata kerja (تعليم)

,yang berarti pendidikan (أدب) dari kata (تعدب) ”pendidikan. Dan “ta‟dib

kepatuhan, sopan santun.3 Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi manusia yang terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut terdapat unsur pendidik, peserta didik, dan unsur caranya.4 Kata al-ta‟lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya diartikan dengan pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengartikan kata yu‟allimu dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali hanya mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisik. Kata al-ta‟lim ini termasuk yang paling popular dan banyak digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti pada kegiatan majelis ta‟lim. Sedangkan kata al-ta‟dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai sarana tranformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan.5 Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya yang dilakukan pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi

3 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), h. 8-14 4 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 19 5 Ibid., h. 20

16

peserta didik baik jasmani maupun rohani melalui serangkaian proses bimbingan dan arahan agar pesera didik menjadi individu yang lebih baik. Islam sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada kegiatan pendidikan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah perintah untuk membaca (iqra‟) yang terdapat dalam Q.S. al-„Alaq (ayat 1-5).6 Dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang setinggi- tingginya karena menguasai ilmu. Bagi mereka yang berilmu dan menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah akan mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Allah.

ّ ّ.ّّ ّّّّّّ

ّّّّّّّّ ّّّّّّّ

 ّّّّّّ “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapang- lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscahaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Mujadilah : 11)7 Selanjutnya pengertian pendidikan menurut Drikarya yang mengungkapkan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia

6 Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430, h.79 7 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h. 22

17

muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8 Pendidikan menurut merupakan menuntun segala kodrat yang terdapat dalam diri anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.9 Pengertian ketiganya mengenai pendidikan lebih ditekankan pada proses bimbingan individu menuju pada pembentukan karakter atau kepribadian menjadi manusia yang seutuhnya. Pendidikan yang dirumuskan dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berkarakter mulia. Bahwa dalam hal ini, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.10 Dalam buku Higher Education for American Democracy, Education is an institution of civilized society, but the purpose of education are not the same in all societies. Pendidikan merupakan suatu lembaga dalam tiap- tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat.11 Oleh karenanya, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan secara sadar berupa pembinaan, pengajaran pikiran dan jasmani anak didik

8 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.3 9 Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 3 10 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3 11 Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 21

18

berlangsung sepanjang hayat untuk meningkatkan kepribadiannya, agar dapat menjalankan peranan dalam lingkungan masyarakat secara tepat sesuai dengan kondisinya. Pendidikan pada umumnya menghasilkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah dapat dikategorikan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan yang merupakan proses mendidik, dalam hal ini tidak hanya pada ranah kognitif (mentransfer pengetahuan), akan tetapi mendidik berarti mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul lahir batin yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai luhur kehidupan sehingga menjalankan peran manusia sebagaimana mestinya.12 Jadi, upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka pengajaran, bimbingan, pelatihan, dan penanaman nilai-nilai luhur pada diri anak dengan tujuan mempersiapkan mereka sebagai sumber daya manusia unggul untuk dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik di masa sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang dinamakan dengan pendidikan.

2. Tujuan Pendidikan Tujuan merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan, peranan tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses pendidikan. Tidak ada tujuan di luar proses pendidikan yang memberi makna bahwa pendidikan adalah sepanjang hayat.13 John Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan sebagai anggota masyarakat melalui

12 Tafsir Al-Qur‟an Tematik Jilid 8, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur‟an, 2014), h. 3 13 Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 7

19

penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif.14 Maksudnya dengan pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik bertujuan untuk menjalankan perannya sebagai individual dan anggota masyarakat sesuai yang diharapkan. Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan kemana arah perkembangan murid-murid akan diarahkan. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan.15 Tujuan pendidikan pada umumnya adalah membentuk kepribadian yang utama sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidup suatu bangsa. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.16 Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian anak didik yang kuat jasmani, rohani dan nafsaninya (jiwa) yakni kepribadian muslim yang dewasa.17 Sesuai dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju kedewasaan.

14Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 14 15 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), h.47 16 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h.4 17 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Media Grup, 2014), h. 167

20

Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada penguasaan kompetensi yang bersifat kognitif, tetapi yang lebih penting adalah pencapaian pada aspek afektif. Hasil dari pendidikan Islam adalah sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-hari yang sejalan dengan ajaran Islam.18 Abdurrahman Saleh Abdullah dalam buku Educational Theory A Qur‟anic Outlook, sebagaimana yang dikutip oleh Heri Gunawan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus meliputi empat aspek, yang meliputi : a. Tujuan jasmani (ahdaf al-jismiyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah fi al-ardh, melalui keterampilan fisik. b. Tujuan rohani dan agama (ahdaf al-ruhaniyah wa ahdaf al- diniyah). Bahwa proses pendidikan ditujukkan dalam rangka meningkatkan pribadi manusia dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan akhlak qurani yang diteladani oleh Nabi Saw sebagai perwujudan perilaku keagamaan. c. Tujuan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelektual manusia untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan menelaah ayat-ayat-Nya yang membawa kepada perasaan keimanan kepada Allah. d. Tujuan sosial (ahdaf al-ijtimayyah). Proses pendidikan ditujukan dalam rangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi yang tercermin sebagai al-nas yang hidup pada masyarakat plural.19

18 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 13 19 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 11

21

Terkait dengan keempat aspek yang harus diperhatikan dalam menyusun tujuan pendidikan sebagaimana disebut di atas, memiliki artian bahwa pendidikan tidak saja mengarahkan pada pengembangan potensi intelektual, tetapi lebih dari itu perlu keseimbangan antara terpenuhinya kebutuhan jasmani, kerohaniaan, dan sosial peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan harus mengacu pada ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.

3. Pendidik Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah.20 Dalam hal ini, pendidik sebagai pelaksana pendidikan dengan sasarannya adalah peserta didik. Mempunyai peran dan tanggung jawab dan pada umumnya ditujukan untuk orang tua, guru, dan pelatih.21 Dari uraian di atas, bahwa pendidik adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, baik jasmani dan rohaninya dalam memberikan bimbingan menuju kedewasaannya. Abuddin Nata menyebutkan pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.22 Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik ialah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan, pendidik diantaranya adalah orang tua, dan orang dewasa lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.23

20 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 65 21 Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25 22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.62 23 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 81

22

Menurut Langeveld, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak. Yang disebut pendidik karena adanya peranan dan tanggung jawab dalam mendidik seorang anak.24 Dari pengertian ketiga ahli tersebut, dipahami bahwa pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya. Oleh karena itu, pendidik bukan saja guru yang bertugas di sekolah, melainkan semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak kecil sampai ia dewasa terutama orang tua. Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi penting dalam proses pendidikan. Dialah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan perkembangannya agar tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang diharapkan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.25 Pendidik menurut Islam bukanlah sekedar pembimbing melainkan juga figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu, pendidik muslim haruslah aktif dari dua arah. Secara eksternal dengan jalan mengarahkan atau membimbing peserta didik dan secara internal dengan jalan menginternalisasikan karakteristik akhlak mulia.26 Mendidik yang merupakan peran dari seorang guru mempunyai tugas dan fungsi yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

24 Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 10 25 Abuddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 205 26Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 112

23

Nomor.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah jalur formal.27 Sejalan dengan tugas yang harus diemban oleh pendidik yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut, maka yang dinamakan pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik baik dalam kegiatan pendidikan, pengajaran dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur atau karakter mulia dari pendidikan anak usia dini hingga menengah melalui jalur formal maupun informal.

4. Peserta Didik Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun informal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.28 Peserta didik berstatus sebagai subjek didik karena ia pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya, yang ingin mengembangkan diri secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.29 Dari keterangan tersebut, peserta didik selain sebagai anggota masyarakat juga merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain secara berkesinambungan dalam proses pengembangan potensi diri yang dimiliki, baik pada jalur pendidikan formal maupun informal.

27 Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2 28 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 5 29 Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25

24

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun keseimbangan pada bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.30 Melalui paradigma di atas, jelas bahwa aktivitas pendidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dengan demikian, untuk mengarahkan tujuan pendidikan dan merancang kurikulum keadaan mereka harus menjadi perhatian utama. Selanjutnya, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Isnawati, bahwa tugas dan kewajiban peserta didik ialah : a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya e. Peserta didik hendaknya belajar dengan sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.31

Berdasarkan hal tersebut unsur yang paling penting pada diri peserta didik ialah harus meluruskan niat terlebih dahulu, karenanya menuntut

30 Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 47 31 Isnawati. skripsi, Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Tentang Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h.20

25

ilmu adalah sebuah ibadah yang memerlukan hati yang bersih. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi diri dan mencari pengetahuan dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya.

B. Konsep Karakter 1. Pengertian Karakter Istilah karakter berasal dari charaassein bahasa Latin yang berarti “dipahat atau diukir”.32 Membentuk karakter diibaratkan mengukir di atas permukaan besi yang keras. Dalam kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.33 Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang dengan yang lain.34 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi character yang berarti, tabiat, budi pekerti, watak.35 Secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri.36 Dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang baik yang terpatri dalam diri manusia dan diimplementasikan dalam perilaku keseharian. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter tidak diwariskan,

32 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Inrenalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 27 33 Ibid., h.28 34 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h, 623 35 Jhon M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.107 36 Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: , Ar-Ruzz Media, 2012), h. 20

26

tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan,37 Character is the sum of all the qualities that make you who you are. It‟s your values, your thoughts, your words, and your action” (Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataaan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang). Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.38 Terkait pengertian karakter ada beberapa ahli yang memiliki berbagai pemahaman. Mereka memberikan pemaknaan karakter sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh ahli tersebut. Sudewo menyatakan bahwa karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembangkan amanah dan tanggung jawab.39 Adiwimarta mengartikan karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainnya.40 Dalam hal ini Sudewo lebih menekankan pengertian karakter pada perwujudan perilaku baik manusia yang bersumber dari kesadaran menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan. Simon Philips mengungkapkan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.

37 Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 41 38 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 120 39 Husaini, Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1 Januari-Juni 2014, h.77 40 Jafar Anwar, Op. cit, h. 21

27

Berbeda dengan Doni Kusuma yang mengartikan karakter adalah kepribadian yang dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari berbagai bentukan yang diterima dari lingkungan. Misalnya, lingkungan keluarga.41 Adapun istilah karakter dalam pandangan Islam menurut Quraish Shihab dinamai rusyd. Ia bukan hanya nalar, tetapi gabungan antara nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa. Ia terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Karakter dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman tersebut. Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena ia erat kaitannya dengan kalbu.42 Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas, tetap, dan bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.43 Pada dasarnya karakter tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instan) semuanya harus melewati proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai dewasa.44 Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul

41 M. Najib, Novan Ardhy Wiyani, Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Gava Media,2016), h. 59 42 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 714 43 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 61 44 Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ( Bandung: PT.Remaja RosdaKarya, 2011), h. 108

28

dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya.45 Ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed menjelaskan terdapat empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yang meliputi, tahap pembiasaan, sebagai awal perkembangan karakter anak. tahap pemahaman dan penalaran terhadadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari- hari. Dan selanjutnya tahap pemaknaan, yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan manfaatnya dalam kehidupan.46 Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas moral atau budi pekerti individu yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan lainnya dan menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu yang bernilai baik yang diperoleh dari lingkungannya. Seseorang bisa dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai-nilai luhur yang dikehendaki masyarakat yang dapat digunakan sebagai kekuatan dalam kehidupannya.

2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter Nilai adalah suatu keyakinan, misi, atau filosofi yang penuh makna. Nilai dapat bergerak dari sesuatu yang umum dan mengandung arti, tujuan dan manfaat yang seimbang.47 Adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, antara lain : a. Empat karakter utama Rasulullah saw, yaitu:

45 Nur Zaini, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014, h.12 46 Abdul Majid, Op.cit., h. 109 47 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 97

29

1) Shiddiq / Honesty (kejujuran) memupuk nilai pembentukan karakter untuk tidak berbohong atau tidak berdusta kepada diri sendiri dan orang lain 2) Amanah / Trustable (bertanggung jawab) memupuk nilai pembentuk karakter keadilan dan kepemimpinan yang baik, integritas, disiplin dan tanggung jawab yang tinggi terhadap kepercayaan yang diberikan 3) Tabligh / Reliable (menyampaikan) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter pecaya diri, bijaksana, toleransi, cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain 4) Fathonah / smart (cerdas) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter keberanian, mandiri, kreatif, arif, dan rendah hati.48 b. Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang bersumber dari agama, pancasila dan tujuan pendidikan nasional. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama, yaitu kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli), dan kecerdasan (cerdas).49

Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa sekaligus, tetapi harus bertahap. Keempat nilai utama tersebut menggambarkan peserta didik sangat ditentukan oleh perangainya dari

48 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), h.7 49 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 44

30

olah hati (jujur), olah pikir (cerdas), dan olah raga (tangguh) serta olah rasa dan karsa (peduli).

Kemendiknas kemudian mencanangkan 18 nilai-nilai pembentukan karakter yang dijabarkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

No. Nilai Deskripsi 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain 2. Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya 4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan 5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

31

berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas 8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain 9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar 10. Semangat kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya 11. Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan kesetiaan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa 12. Menghargai prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk mengasilkan sesuatu yang berguna bagi masyaraat, dan

32

mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain 13. Bersahabat/komunikatif Tindakan yang mmeperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain 14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya 15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya 16. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi 17. Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan 18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa

33

C. Konsep Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha sadar untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperhatikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.50 Menurut Elkind dan Freddy Sweet sebagaimana dikutip oleh Pupuh Faturahman bahwa “Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values”(Pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan inti nilai etika).51 Sudrajat mengartikan pendidikan karakter sebagai proses pembelajaran penguasaan dan pemilikan nilai-nilai karakter, atau nilai- nilai keimanan kepada Allah SWT yang dilakukan dengan membiasakan kebenaran dan menanamkan nilai akhlak mulia di dalam hati dan dilaksanakan oleh panca indera.52 Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter adalah hal-hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru yang berpengaruh pada karakter anak yang diajarnya. Pendidikan karakter dapat didekati dengan menumbuhkan dan menanamkan keyakinan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam diri anak. Metodenya antara lain dengan penyampaian kisah-kisah tentang

50 Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2011), h.5 51 Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.15 52 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 38

34

figur-figur yang kokoh kepribadiannya, membiasakannya, dan menerapkan reward and punishment.53 Terdapat tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dengan sifat-sifat baik yang diberdayakan melalui proses yang panjang. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku tentang sifat- sifat baik. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan penting yang mencakup perkembangan sosial individu.54 Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter tidak hanya terjadi pada lingkungan sekolah, akan tetapi setiap elemen dalam kehidupan mulai dari lingkungan rumah, tempat bermain, dan bermasyarakat perlu melakukan usaha bersama dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter mulia pada diri individu. Sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. 2. Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu

53 Salman Harun, Tafsir Tarbawi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h.30 54 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h. 18

35

pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.55 Pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang berakhlakul karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab.56 Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat juga pernah ditegaskan oleh Martin Luther King, “Intelligence plus character, that is goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).57 Islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan pendidikan. Untuk mewujudkan pembentukan akhlak pada anak, Al-Ghazali menawarkan sebuah konsep pendidikan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan.58 Hal tersebut menjadi fokus bahwa akhlak atau pembentukan karakter adalah tujuan utama pendidikan dalam Islam. Tujuan utama pendidikan karakter dalam Islam adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.59

55 Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), h. 44 56 Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 22 57 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 29 58 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h.32

59 Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h. 98

36

Menurut Mulyasa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.60 Kemudian ia menambahkan bahwa pendidikan karakter sebagai proses yang berkelanjutan tanpa akhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan (countinous quality improvement), ditunjukkan pada terwujudnya sosok manusia berkualitas dan memiliki daya saing. Menurut Kemendiknas, tujuan pendidikan karakter antara lain : a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan bangsa b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.61 Pendidikan karakter idealnya harus diimplementasikan secara utuh agar dapat membantu siswa dalam hal mengidentifikasi nilai-nilai positif

60 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 34 61 Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 24

37

bagi diri sendiri serta orang lain, mampu berkomuniaksi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, dan mampu berpikir rasional dan memiliki kesadaran emosional terhadap pola tingkah laku diri sendiri. Dalam hal ini tujuan pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya.62 3. Fungsi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter berfungsi, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. Selanjutnya dilakukan perbaikan terhadap perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.63 Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, diantaranya ialah: a. Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai yang mencerminkan falsafah pancasila dan karakter bangsa. b. Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan bermartabat. c. Fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai

62 Jafar Anwar, Op. Cit, h. 34-35 63 Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), h. 45

38

dengan nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat.64

Ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui pengukuhan pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma agama konstitusional UUD 1945, penguatan komitmen bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, serta penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.65

4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam Pendidikan Islam, khususnya pendidikan agama Islam (PAI) mempunyai posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi materi yang wajib diajarkan pada setiap sekolah. Pendidikan agama Islam pada prinsipnya memberikan pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai spiritualitas pada peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak, beretika serta berbudaya sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional.66 Akhlak merupakan pilar utama dalam pendidikan Islam, hal ini sesuai dengan latar belakang perlunya diterapkan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana tujuan pendidikan nasional untuk menciptakan generasi bangsa yang bermutu dimulai dengan pembangunan karakter.

64 Binti Maunah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1, April 2015, h.92 65 Yopi Fajar Suryadi, skripsi, Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin Fananie Dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 21 66 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30

39

Akhlak Islam menyuguhkan banyak nilai tentang karakter manusia, baik yang bernilai baik maupun yang bernilai buruk. Pendidikan karakter Islam tetap harus berpijak kepada konsep dan praktik-praktik berkarakter yang dicontohkan oleh Nabi Saw melalui sikap dan perilaku sehari-hari yang merupakan cerminan dari akhlak al-Qur‟an.67 Pendidikan karakter secara implementatif telah tertuang secara eksplisit yang merupakan nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam yang diinternalisasikan pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sehingga terbentuklah kepribadian yang Islami. Sebagaimana diungkapkan M. Arifin, bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kehidupannya.68 Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter mulia, secara umum, pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yaitu menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan al- Qur‟an dan hadis Nabi Saw yang pada akhirnya akan terwujud manusia paripurna (insan kamil). Dalam al-Qur‟an penjelasan tentang pendidikan karakter mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua karakter yang berlawanan.

ّ ّ ّّّّ ّ ّ ّ ّ ّ ّ ّ ّ ّ ّ

ّ “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa

67 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 38 68 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Isam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h.10

40

itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S Asy- Syam: 8-10)69

Berdasarkan ayat tersebut, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi dalam tabiatnya, potensi-potensi yang telah tercipta sebelumnya dan melekat menjadi tabiat yang dalam kecendrungan arahnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan memiliki kadar yang sama akhirnya dijadikan acuan dasar pendidikan karakter. Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, sebagai wujud keimanannya kepada Allah SWT dan wujud kepatuhannya kepada syariat Islam. Pendidikan Islam mengutamakan penanaman budi pekerti dan akhlak mulia dalam semua komponen kurikulumnya. Melalui pembiasaan dan pemaknaan setiap nilai-nilai kebaikan, maka pendidikan karakter akan menjadi kokoh dalam pelaksanaan pendidikan Islam dan menjadi pondasi berbangsa dan bernegara.

D. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Khoiruddin, dengan judul “Pendidikan Karakter Menurut KH. Hasyim Asy‟ari (Studi Kepustakaan dalam Kitab Adab al „Alim wa al-Muta‟allim)”. Skripsi ini memfokuskkan pada persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT, faktor pendukung dan penghambat pendidik dan tenaga kependidikan dalam pendidikan, serta penelitian ini cendrung memaparkan sistem nilai yang dibangun KH. Hasyim Asy‟ari dalam teori maupun praktik pendidikan.70

69 Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h.676 70 Khoiruddin, tesis, Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy‟ari (Studi Kepustakaan dalam kitab Adab al-Alim Wal Muta‟allim), (Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h.17

41

2. Penelitian yang dilakukan oleh Roudhatul Jannah, dengan judul “Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti”. Skripsi ini membahasakan budi pekerti sangat luas, tetapi sebenarnya kalau dispesifikan yang dimaksud nilai pendidikan budi pekerti terhadap Allah tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan tasawuf, nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan sosial.71 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman Zuhdi dengan judul, “Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari (Studi: Analisis dan Komparatif)”. Skripsi ini lebih menekankan studi komparatif mengenai konsep pendidikan akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari dilihat dari persamaan dan perbedaan antar kedua tokoh yang sama-sama memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat dalam kurung waktu yang bersamaan.72 4. Penelitian yang dilakukan oleh Sudin, dengan judul Pemikiran Hamka tentang Moral. Penelitian ini berkaitan dengan keseluruhan pemikiran Hamka, tidak terkecuali dalam bidang filsafat moral, dibangun di atas sendi-sendi agama. Ia sangat menekankan pentingnya memperkuat tauhid. Tauhid bagi Hamka, selain sebagai sumber moral juga sebagai sumber kekuatan diri untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Baik buruknya perbuatan menurut Hamka ditentukan oleh sejauh

71 Roudathul Jannah, skripsi, Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti. Salatiga: STAIN, 2015), h.10 72 Rahman Zuhdi, Skripsi, Studi: Analisis dan Komparatif Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari (Yogyakarta: UIN , 2013), h. 9

42

mana seseorang berpegang teguh pada keimanannya kepada Tuhan, yang tidak lain adalah tauhid itu sendiri.73

Dengan demikian, kajian ini berbeda dari sisi substansi dan signifikansinya, karena lebih menegaskan perbandingan pendidikan karakter dari KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka dilihat dari konsep pendidikan secara keseluruhan yang akan memberikan implikasi baik dari aspek teoritis maupun praktis pendidikannya. Adapun penelitan yang mengkaji tentang perbandingan pendidikan karakter perspektif dari kedua tokoh tersebut belum ditemukan.

73 Sudin. Pemikiran Hamka Tentang Moral, Jurnal Esensia, Vol. XII, No. 2 ,Juli 2011

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian Penelitian yang berjudul Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter ini dilakukan dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2016, waktu tersebut digunakan untuk mengumpulkan data mengenai berbagai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari referensi yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian terutama yang berkaitan dengan konsep pendidikan karakter dari kedua tokoh yang diteliti sebagai penguat dalam penulisan skripsi ini. Data yang diperoleh kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan.

B. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah dalam bidang pendidikan.1 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka melainkan tetap dalam bentuk kualitatif,

1 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendeketan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 6

43 44

sifatnya menganalisa dan memberi pemaparan mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif.2 Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan/library research yakni mengumpulkan, menelaah dan mengkaji data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan3 Penguraian dari seluruh konsep yang dikemukakan oleh tokoh yang akan diteliti menggambarkan penelitian ini menggunakan metode komparasi, yakni membandingkan secara objektif dari pemikiran dua tokoh mengenai substansi yang akan dikaji dalam tulisan ini. Dalam metode komparasi menggunakan pendekatan historis dan filosofis dalam mengungkapkan persamaan dan perbedaan serta kemudian membandingkan pemikiran dari dua tokoh tersebut. Adapun pendekatan yang dimaksud adalah : a. Pendekatan Historis Pendekatan historis merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengkaji, menjelaskan biografi (riwayat hidup) KH. Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka yang diperoleh dari berbagai literatur khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter. b. Pendekatan Filosofis Pendekatan filosofis adalah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka secara kritis, evaluative, dan reflektif yang berkaitan dengan pendidikan karakter. 2. Sumber Data Penelitian

2S.Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.39 3 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h.60-61

45

Untuk mendapatkan data yang valid, maka diperlukan sumber data penelitian yang valid pula. Dilihat dari sumber datanya, maka penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti. Dalam hal ini, karya-karya KH. Hasyim Asy’ari dan Buya Hamka berupa buku-buku, cuplikan dan naskah. Adapun karya monumental dari KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi masterpiece dalam bidang pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih yang banyak dikaji isinya mengenai pendidikan karakter, yang menjelaskan karakter bagi para pelajar dan pendidik. Kemudian karya Buya Hamka yang meliputi Lembaga Budi, Lembaga Hidup, Falsafah Hidup turut menjadi sumber rujukan. Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang mendukung data primer, yaitu buku-buku atau literatur yang relevan dengan penelitian ini. Data sekunder yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah buku- buku, jurnal, skripsi, tesis, yang mengkaji pemikiran kedua tokoh tersebut yang berhubungan dengan pendidikan karakter.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Prosedur pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumenter, yaitu studi yang dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji informasi dari sumber data yang telah terkumpul, kemudian dijadikan dokumen. Dokumen lalu dibaca dan dipahami secara keseluruhan. Dalam proses ini, data-data yang menjadi

46

fokus penelitian dikelompokan secara sistematis selanjutnya dilakukan analisis komparatif. b. Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan penelusuran pustaka dengan membaca dan mencatat literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas melalui riset kepustakaan untuk memperoleh data dari bahan bacaan seperti buku, artikel, jurnal, ensiklopedi, biografi, dan sebagainya. 2. Pengolahan Data Setelah data terkumpul secara lengkap, selanjutnya yang penulis lakukan adalah membaca, meneliti, menyeleksi, mempelajari dan mengklasifikasi data-data yang relevan yang mendukung pokok bahasan untuk selanjutnya penulis analisis dan dideksripsikan dalam satu pembahasan yang utuh.

D. Analisis Data Dalam menganalisis data, metode yang digunakan adalah analisis deskriptif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai objek penelitian disertai argumen-argumen. Kemudian menguraikan data yang dibahas dengan mendeksripsikan secara sistematis dan diformulasikan sedemikian rupa hingga pada suatu kesimpulan yang komprehensif.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. KH. Hasyim Asy’ari 1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang, desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari 1871 M. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama (1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.1 KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 H dalam usia 79 tahun. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mengajarkan ilmu-ilmu al- Qur’an dan beberapa literatur keagamaaan. Sejak kecil kiai Hasyim sudah dikenal kegemarannya dalam membaca. Boleh jadi inilah yang menurun pada cucunya KH. Abdurrahman Wahid yang menjadi kutu buku. Ketokohannya tidak sekedar dalam bidang sosial, pendidikan dan keagamaan melainkan juga dalam bidang kenegaraan. Kehadirannya di ranah politik memberikan sumbangsih besar bagi tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, berdasarkan keputusan

1 Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebu Ireng, (Jombang: Pustaka TebuIreng, 2011), h. 38

47 48

Presiden No. 29/1964 kiai Hasyim Asy’ari yang bergelar Hadrat Asy- Syaikh diakui sebagai pahlawan nasional.2

2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Terutama pendidikan keagamaan. Ia mula-mula belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena kecerdasannya, maka dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri senior. Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti pesantren Wonokoyo, Siwalan Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan Sidoarjo. Selama di pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa sangat tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim Asy’ari dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun KH. Hasyim Asy’ari menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub.3 Setelah menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istri segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua KH. Hasyim menganjurkannya untuk menuntut ilmu di Makkah. Karena didorong oleh keinginan pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya apabila belum belajar di Makkah selama bertahun-tahun.

2Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam Nusantara, 2016), pengantar xxiii 3 Salahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: Intimedia, 2003), h. 2

49

Pasca menikah, kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika tepatnya tujuh bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal ini tidak mematahkan semangatnya dalam menuntut ilmu.4 Dalam perjalanan menuntut ilmu di Makkah, ia bertemu dengan beberapa tokoh terkenal dan dijadikannya sebagai guru. Diantaranya adalah Syeikh Mahfudz al-Tarmisi seorang putra KH. Abdullah bin Abdul Manan pemimpin pesantren Tremas yang sama-sama pernah belajar di pesantren Darat Semarang. Syeikh Mahfudz lebih terkenal sabagai ahli hadits Bukhari. Dari gurunya ini, KH. Hasyim Asy’ari memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari. Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan penguasa Makkah, serta berguru kepada Syeikh al-Allamah Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syuaib al-Maghribi. Dan masih banyak lagi lainnya. Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Makkah antara lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain). Selama kurang lebih tujuh tahun menuntut ilmu di Makkah, membuat KH. Hasyim Asyari memiliki kecakapan tersendiri, terutama dalam pengetahuan agama. Ia memutuskan pulang ke tanah air, dengan membawa bekal keteguhan iman dan kematangan jiwa untuk berjuang

4 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.16-17

50

menegakkan agama. Setelah kembalinya ke kampung halaman, ia mula- mula mengajar di pesantren milik kakeknya kiai Usman, tetapi tidak lama kemudian ia mulai merintis pendirian pesantren sendiri yang diberi nama Tebu Ireng di Jombang.5 Dalam pendidikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari membawa perubahan dan pembaruan dengan mengenalkan sistem belajar madrasah dan memasukan kurikulum pendidikan umum, di samping pendidikan keagamaan. Sebelumnya, Tebu Ireng hanya menggunakan sistem pengajian sorogan dan bandongan atau dikenal dengan sistem halaqah. Patut diketahui bahwa sistem madrasah merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pesantren pada saat itu.6

3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan jawaban atas berbagai problematika kehidupan masyarakat. Beliau merupakan penulis yang produktif disamping aktif mengajar, berdakwah dan berjuang. Adapun karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya : a. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa al- Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial. b. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an yang berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.

5 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 9 6 Ibid, h.20

51

c. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid. d. Mawaidz. Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al- Qur’an dan hadis, dan lain sebagainya. e. Arbain Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’. f. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, menaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad Saw. g. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. h. Risalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as- Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. i. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al- Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasin. Dan di dalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang berbahasa Jawa.

52

j. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i, hukum-hukum, syarat, rukun dan hak-hak dalam perkawinan. k. Ad-durrah al-Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisikan kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya jawab sebanyak 19 masalah. l. Al-Risalah fi al-‘Aqaid. Berbahasa Jawa, berisikan kitab kajian tauhid. Jawaban atas berbagai problematika masyarakat yang belum paham persoalan tauhid atau aqidah. m. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tasawuf, penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan hakikat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab Al-Risalah fi al-‘Aqaid n. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik.7

4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari Pemikiran pendidikan berkembang sejak masa awal Islam hingga sekarang. Ciri khas sebuah pemikiran dipengaruhi oleh konstruk sosial politik dan keagamaan, sehingga sebuah pemikiran atau literatur dengan keadaan sosial ketika itu memiliki korelasi yang signifikan. Artinya, lingkungan sosial masyarakat dan pengalaman pribadi akan mempengaruhi pola pikirnya. Situasi pendidikan pada masa KH. Hasyim Asy’ari mengalami perubahan dan perkembangan pesat dari kebiasaan lama (tradisional) ke

7 Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam Nusantara, 2016), h.672-675

53

dalam bentuk pendidikan yang semakin modern, hal ini dipengaruhi oleh sistem pendidikan imperialis Belanda yang semakin kuat di Indonesia.8 Berikut ini, akan dijelaskan lebih mendalam mengenai pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang konsep pendidikan karakter yang terdiri dari makna dan tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, dan paradigma pendidikan karakter. a. Pendidikan Karakter pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat digolongkan ke dalam garis mazhab Syafi’iyyah. Sebagai buktinya adalah ia sering kali mengutip tokoh-tokoh Syafi’iyyah, termasuk Imam al-Syafi’i sendiri. Hal ini dimungkinkan oleh faktor bahwa pengalaman pendidikan, terutama pengajaran di beberapa pesantren Jawa didominasi oleh kitab-kitab menurut mazhab Syafi’i.9 Adapun hal lain yang menjadi kecendrungan pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai- nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Oleh karenanya pandangan tentang pendidikan selalu berorientasi pada landasan Islam yang bersumber pada wahyu dan pendekatan diri melalui cara sufi. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengartikan bahwa yang menjadi sentral pendidikan adalah hati. Signifikansi pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah upaya memanusiakan manusia secara utuh, sehingga manusia bisa taqwa (takut) kepada Allah SWT, dengan benar-benar mengamalkan segala perintah-Nya mampu menegakan keadilan di muka bumi, beramal saleh dan maslahat, pantas menyandang

8 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.25 9 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h. 60

54

predikat sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih tinggi derajatnya dari segala jenis makhluk Allah lainnya.10 KH. Hasyim Asy’ari berpendapat fitrah manusia dan lingkungan sama-sama saling mempengaruhi dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini dinilai bahwa pendidikan banyak memberikan andil dalam rangka memperbaiki, menyempurnakan dan mendidik moral manusia. Oleh karenanya, kiai memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti.11 b. Tujuan Pendidikan Tujuan merupakan penentuan sasaran yang ingin dicapai. Dalam pendidikan tujuan menjadi hal yang sangat mendasar, sebab peranan tujuan paling penting yang harus dirumuskan dalam menentukan arah proses pendidikan. Tujuan utama ilmu pengetahuan yang sesungguhnya menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah mengamalkan ilmu dalam tingkat lebih praktis, yakni dengan memanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Perbuatan-perbuatan yang didasarkan atas ilmu pengetahuan akan memberi kemanfaatan tersendiri yang menjadi bekal dalam kehidupan di akhirat.12 Ada tiga dimensi yang hendak dicapai dalam konsep pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, diantaranya dimensi keilmuan, pengamalan dan religius. Dimensi keilmuan, berarti peserta didik diarahkan untuk selalu mengembangkan keilmuannya, tidak saja keilmuan agama melainkan pengetahuan umum. Peserta didik dituntut bersikap kritis dan peka terhadap lingkungan.

10 Rohinah, Op.cit, h. 18 11 Ibid., h.30 12 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h. 44

55

Dimensi pengamalan peserta didik bisa mengaktualisasikan keilmuannya untuk kebaikan bersama dan bertanggung jawab terhadap anugrah keilmuan dari Allah. Adapun dimensi religius, adalah hubungan antara Tuhannya tidak sekedar ritual keagamaan melainkan menyandarkan segalanya untuk mencari Ridha Allah.13 Dalam menetapkan tujuan pendidikan, sesunggguhnya KH. Hasyim Asy’ari tidak lepas dari konsep Islam yang menjadi sandaran berfikirnya yang mengharuskan pendidikan mencapai dua hal. Pertama, mendorong manusia untuk mengenal Tuhannya sehingga sadar dengan penuh keyakinan untuk menyembah-Nya. Kedua, mendorong manusia untuk memahami sunnah Allah di alam semesta yang bertugas sebagai khalifah fil ardh.14 Sehingga, bila dicermati bahwa tujuan pendidikan menurut KH. Hasyim Asy’ari adalah menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan, insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan. c. Pendidik Menurut KH. Hasyim Asy’ari pendidik adalah ulama. Bahwa ulama sebagai simbol manusia secara umum dijadikan tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyyah), sehingga derajatnya setingkat lebih rendah di bawah nabi.15 KH. Hasyim Asy’ari melihat ulama sebagai makhluk yang memiliki kedekatan kepada Tuhan dan

13 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h.104 14 Rohinah, Op.,cit, h. 18 15Suwendi, Op.,cit, h.65

56

senantiasa mengembangkan pikirannya sebagai potensi yang luar biasa dan adanya kesungguhan mencari ilmu harus diarahkan. Pendidik sebagai orang yang mempunyai kapasitas keilmuan patut diprioritaskan daripada peserta didik, mengingat kedudukan pendidik sebagai ulama atau ahl al-ilm sangat dekat (taqwa) dan derajatnya lebih tinggi dibanding ahli ibadah. Dalam hal ini, kiai Hasyim berkeyakinan bahwa orang yang mampu menunjukkan integritas ketuhanan dalam berperilaku sosial adalah makhluk Tuhan yang terbaik. Sehingga, segala usaha keras dalam pencapaian keilmuan dan sosial harus mencerminkan nilai-nilai yang luhur dan segalanya disandarkan kepada Allah SWT. KH. Hasyim Asy’ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat penting dalam pendidikan. Baginya, pendidik adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuannya di samping pembentuk sikap dan etika peserta didik.16 Dilihat dari peran seorang pendidik menjadi sangat penting dalam memperhatikan nilai-nilai moral dan etis, KH. Hasyim Asy’ari tampak berusaha untuk menekankan bahwa pendidik merasa berkewajiban untuk memberikan arahan-arahan dan nasihat yang berarti bagi peserta didik untuk membiasakan sikap hidup yang berlandaskan akhlakhul karimah dan membimbing peserta didik menuju jalan yang diridhai Allah.17 Menurut KH. Hasyim Asy’ari seorang guru atau ulama yang mengajarkan ilmu hendaknya mempunyai niat yang tulus, tidak mengharapkan materi semata. Di samping itu, guru hendaknya mampu menyesuaikan antara perkataan yang diucapkan di hadapan

16 Rijaluddin, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam UHAMKA, 2008), h.183 17 Ibid.,h.35

57

peserta didik dengan tindakan perilaku yang diperbuat, sehingga tidak sekedar hanya menyampaikan belaka. Kriteria pendidik dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari adalah, menjaga akhlak dalam pendidikan. Tidak hanya peserta didik yang dituntut berkarakter baik, apalah artinya etika hanya diterapkan pada peserta didik, jika guru yang mendidiknya tidak mempunyai akhlak mulia. Oleh karena itu, kiai Hasyim juga menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, antara lain senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, tidak menggunakan ilmunya untuk meraih keduaniawian semata, karena akan merendahkan keagungan ilmu, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu pengetahuan, tidak menggunakan ilmu dengan cara menyombongkannya.18 d. Peserta didik KH. Hasyim Asy’ari mengharuskan peserta didik untuk patuh dan tunduk pada anjuran dan perintah pendidik. Bahkan, meskipun pendidik itu salah maka tetap harus diikuti. Kepatuhan peserta didik dalam segala hal, merupakan kemestian. Sebab, kesalahan yang ada pada pendidik lebih baik daripada kebenaran yang dimiliki peserta didik. Selain itu, peserta didik tidak dibenarkan mempunyai gagasan yang berlawanan dengan pendidik.19 Bagi peserta didik untuk tekun dan giat belajar dalam proses mengoptimalkan potensi akal sebagai pemberian Tuhan yang sangat istimewa. KH. Hasyim Asy’ari menganggap ilmu adalah

18 Sururin, Etika Pendidik dan Peserta didik menurut KH. Hasyim Asy’ari, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. III, No. 1, Januari 2009, h.50 19 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.79

58

sebuah anugrah yang sangat agung dan mencarinya merupakan ibadah, karenanya peserta didik hendaknya membersihkan dirinya dari segala perbuatan dan sifat tercela, ilmu yang suci juga didekatkan oleh orang yang suci hatinya sehingga bermakna. Niat bagi para penuntut ilmu hendaknya didasari oleh motivasi semata-mata demi kepentingan Allah, tidak bertujuan duniawi atau untuk kepentingan pribadi, mengamalkan ilmu, menghidupkan syari’at, menerangi hati, menghias nurani, meluaskan daya berpikir intelektual dan menjaga kesucian jiwa untuk mencapai ridho Allah. Peserta didik dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar secara efektif. Waktu tersebut digunakan untuk mempertajam pengetahuan. Pemanfaatan waktu lebih jelas diperinci oleh KH. Hasyim Asy’ari antara lain waktu sahur untuk menghafal, pagi untuk membahas dan diskusi, tengah siang untuk menulis, dan malam untuk diskusi dan mengkaji ulang.20 e. Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari meyakini bahwa dalam meluruskan karakter dan mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti adalah sebuah keniscayaan. Bahkan lebih lanjut dijelaskan operasional pendidikan pada hakikatnya adalah proses saling mempengaruhi antara fitrah dengan lingkungan. Dengan demikian, peran pendidikan di samping berfungsi dalam mengembangkan kreatifitas dan produktifitas, juga berperan besar dalam upaya mengembangkan nilai-nilai, baik nilai-nilai insani maupun nilai- nilai ilahi.21

20 Ibid, h. 90 21 Rijaluddin, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam UHAMKA, 2008), h.27

59

Dalam proses belajar mengajar, agar mencapai tujuan yang diharapkan, dengan cara mengaplikasikan perilaku-perilaku yang luhur. Segala kondisi yang terjadi, peserta didik senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah. Pembiasaan ini menjadi keharusan tersendiri bagi peserta didik untuk mencapai tujuan belajarnya. Sehingga, pada akhirnya kegiatan belajar memiliki makna dan mempunyai nilai mulia yang mampu mengantarkan pelajar pada derajat yang lebih tinggi.22 Pendidikan karakter mempengaruhi fitrah manusia dengan lingkungannya. Berada di tengah lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat akan membentuk integritas kepribadian anak, dan anak itu sendiri harus mampu menyaring nilai-nilai karakter yang nantinya akan dipergunakan untuk kehidupannya. Dalam hal ini, bagi peserta didik dan pendidik hendaknya meluruskan niat dan memperhatikan etika (adab) yang mencerminkan budi pekerti luhur dan segalanya disandarkan kepada Allah SWT. Dengan demikian, dalam proses mencari dan menyebarluaskan ilmu dilihat dari tujuan utamanya adalah mengharapkan ridho Allah semata. Sehingga pentingnya usaha yang mendorong terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia adalah menghayati nilai-nilai luhur yang dianggap baik dan berpegang teguh pada ketauhidan. Sebelum pemerintah mencanangkan pendidikan karakter, jauh sebelum itu KH. Hasyim Asy’ari telah terlebih dahulu menerapkan nilai-nilai karakter pada kegiatan pendidikan di pesantren. Tahap awal pendirian pesantren Tebu Ireng yang bersifat mandiri adalah salah satu dari sekian banyak nilai-nilai yang dikembangkan

22 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.22

60

pesantren. Kemudian pada saat perjuangan mengusir penjajah peran KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama pejuang turut berkontribusi dalam menanamkan rasa cinta tanah air kepada para santri guna untuk menegakan jihad dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia. Pesantren dalam hal ini sebagai lembaga pendidikan dipandang berhasil membentuk karakter positif para santri, karena menerapkan pendidikan yang holistik, berupa tarbiyah (pembelajaran) yang meliputi ta’lim (pengajaran) dan ta’dib (pembentukan karakter atau kedisiplinan).23

B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) 1. Riwayat Hidup Hamka Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di desa Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Danau Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 atau bertepatan dengan 14 Muharram 1326 H dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria. Hamka dibesarkan dari sebuah keluarga yang taat beragama. Ayahnya sering disebut Haji Rasul pernah belajar agama di Makkah yang merupakan seorang ulama besar dan pembawa paham pembaharuan Islam di Minangkabau, pelopor kebangkitan kaum muda dan tokoh Muhammadiyah yang sangat berpengaruh. Ia hidup dan berkembang dalam struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrineal.24 Hamka begitu ia disapa dikenal sebagai pribadi lembut namun berkarakter, sosok halus tapi berprinsip, dan tokoh modernis yang

23 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h.10 24 Abdul Rouf, Dimensi Tasawuf HAMKA, (Selangor: Piagam Intan SDN.BHD, 2013), h.18-19

61

kharismatik. Dakwahnya sejuk menyirami dahaga spiritual. Karya- karyanya hidup mengurai berbagai problematika masyarakat, dapat memberi solusi bagi kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, merekat sekat-sekat dan jurang pemisah dalam tatanan sosial, bahkan mengkompromikan kesenjangan hubungan yang sering terjadi antara pemerintah dan rakyat tanpa harus kehilangan jati diri.25 Ia wafat pada hari Jum’at 24 Juli 1981, pukul 10 lewat 37 menit di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir.26

2. Latar Belakang Pendidikan Hamka Masa kanak-kanak Hamka tidak jauh berbeda dengan anak seusianya yaitu ingin bermain bebas dan mencari jati dirinya, tapi hal ini terkadang dikekang oleh sifat oteriter sang ayah yang menginginkan Hamka menjadi ulama besar sepertinya, sehingga membuat Hamka merasa tidak menyenangkan. Sejak kecil, Hamka telah diajarkan langsung dasar-dasar agama oleh ayahnya. Pada usia enam tahun ia dibawa ayahnya pindah ke Padang Panjang. Sewaktu berusia tujuh tahun ia dimasukkan ke sekolah desa di pagi hari dan malam harinya ia belajar mengaji al-Qur’an dengan ayahnya sampai khatam.27 Dua tahun kemudian Hamka meneruskan belajar agama di sekolah Diniyah Padang Panjang yang didirikan oleh Zainudin Labay el Yunuisi, dan dilanjutkan pada malam harinya belajar mengaji di surau di samping itu juga belajar pada ayahnya.28 Setelah itu, ayahnya memasukan Hamka

25 Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430. h.82 26 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika, 2014), h. 279 27 Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), h. 261 28 Abdul Rouf., Op.cit, h.36

62

ke pondok pesantren Sumatra Thawalib di Parabek. Alasannya, karena intitusi tersebut dianggap sebagai tempat pendidikan terbaik dan modern pada saat itu dan ayahnya merupakan salah satu guru di intitusi tersebut. Meskipun dikatakan modern, kurikulum dan bahan pelajaran masih menggunakan cara lama, dengan keharusan menghafal merupakan ciri utama sekolah ini. Hal ini membuat Hamka cepat bosan dan merasa pusing kepala. Oleh karena itu, ia tidak menyelesaikan sekolahnya secara tuntas, ia hanya mengikuti pendidikan tersebut selama empat tahun dari masa pendidikan yang seharusnya tujuh tahun.29 Akhirnya Hamka banyak menghabiskan waktu untuk belajar otodidak di perpustakaan milik gurunya, Zainuddin Labay. Hamka banyak membaca berbagai literatur yang ada di perpustakaan tersebut, mulai dari buku-buku agama, filsafat, sampai sastra. Dengan membaca buku-buku, cakrawala pemikiran Hamka semakin luas sehingga timbul motivasi kegairahannya terhadap ilmu. Dengan membaca buku-buku tersebut, membuat Hamka semakin kurang puas dengan pelaksanaan pendidikan yang ada. Kegelisahan intelektual yang dialaminya telah menyebabkan ia berkeinginan untuk merantau guna menambah wawasannya. Ia memutuskan untuk ke Yogyakarta, tinggal bersama pamannya, Ja’far Amrullah. Kemudian Hamka mulai berkenalan dengan organisasi Muhammadiyah dan Serikat Islam. sehingga ia bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Suryopranoto, H. Fachruddim, dengan HOS. Tjokroaminoto, Mirza Wali Ahmad Baig, A. Hasan Bandung, Muhammad Natsir dan AR. Sutan Mansur yang dijadikannya mereka guru.30 Ide-ide gerakan ini banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran Hamka tentang Islam sebagai

29 Ibid., h.38-39 30 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 101

63

sesuatu yang hidup dan dinamis yang ia lihat terdapat perbedaan di Minangkabau yang bersifat statis dan tradisional. Kemudian Hamka melanjutkan perjalanan ke Pekalongan, belajar bersama iparnya, AR. Sutan Mansur tentang filsafat Islam dan juga politik. Ia mulai mengenal paham Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, yang berupaya mendobrak kebekuan umat. Segala kemajuan dalam hidup Hamka ia menyadari bahwa gurunya AR. Sutan mansyur adalah yang banyak memberikan tuntunan dan sangat berpengaruh.31 Setelah setahun berkelana di pulau Jawa, ia kembali pulang ke Maninjau dengan membawa semangat baru tentang Islam. Pada usia 17 tahun telah tampak dalam jiwa Hamka semangat dan kesadaran untuk mengenalkan wawasan Islam yang modernis. Lalu ia membuka kursus pidato untuk teman-temanya di surau Jembatan Besi. Hasil kumpulan naskah pidato ia cetak menjadi sebuah buku dengan judul Khatib al- Ummah.32 Berawal dari sinilah kemampuan menulisnya mulai dikembangkan. Ia banyak menulis pada majalah seruan Islam, menjadi koresponden di harian Pelita Andalas. Ia juga diminta untuk membantu pada harian Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah Yogyakarta. Berkat kepiawaiannya dalam menulis, Hamka diangkat sebagai pemimpin majalah kemajuan Zaman.33 Di samping kegiatan menulisnya, Hamka sering diajak oleh ayahnya untuk memberi tausiyah di setiap acara yang dihadiri oleh masyarakat Padang Panjang. Namun, beliau mendapat celaan dan kritikan yang cukup mengecewakan dari masyarakat hanya karena penggunaan bahasa Arabnya tidak mengenal Nahwu dan Shorof. Mereka menilai bahwa

31 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), Pengantar Prof. Dr. Hamka, h. xiiii 32 Susanto, Op.cit, h.102 33 Ibid, h. 102

64

Hamka hanya pandai berpidato saja. Untuk itu, Hamka merasa tidak dibutuhkan lagi di Padang Panjang, ia memutuskan untuk mantap ke Makkah, menimba ilmu agama lebih dalam.34 Setelah bermukim di Makkah selama kurang lebih tujuh bulan, Hamka pulang ke tanah air dengan menyandang gelar haji. Karena pengalaman hidup yang telah membentuk jiwa Hamka, ia mulai mengarang kisah- kisah perjalanan hidupnya. Dan dengan kemampuan bahasa Arab yang semakin lancar beliau terus menyebarkan ajaran Islam. Jalan dakwah Islam menjadikan Hamka sebagai seorang ulama dan sastrawan yang cukup dikenal baik di dalam negeri maupun di luar.

3. Karya-karya Hamka Hamka bukan hanya memiliki kemajuan berpikir dalam hal ceramah agama melalui berbagai mimbar, tetapi beliau juga merefleksikan kebebasan berpikir yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Tidak heran orientasi pemikirannya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarah Islam, fiqh, sastra, tafsir dan otobiografi. Sebagai penulis yang produktif Hamka menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 118 karya tulisan yang telah dipublikasikan. Adapun beberapa karya-karya Hamka diantaranya : a. Khatibul Ummah, diterbitkan tahun 1927 di Padang Panjang. Buku ini berisi tentang kumpulan pidato pada lembaga pendidikan yang ia dirikan di Padang Panjang. b. Lembaga Hidup, Lembaga Budi berbicara tentang dunia pendidikan. c. Tasawuf Modern dan Filsafat Hidup, berisi tentang kaidah-kaidah dalam pergaulan hidup.

34 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), h. 234-235

65

d. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck¸ buku roman yang pertama kali ditulis Hamka, yang berisi tentang konflik adat dan agama e. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Novel yang berisi sindiran kepada masyarakat modern yang terpengaruh kehidupan materialistik. f. Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Haji Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. g. Kenang-kenanan Hidup, jilid I-IV. h. Sejarah Ummat Islam, buku yang berisi tentang keadaan dan sejarah tanah Arab sampai pengaruh ajaran Muhammad datang. i. Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniaannya, buku yang mengulas berbagai hal tentang tasawuf. j. Pelajaran Agama Islam, buku tentang pendidikan dan pelajaran agama dan filsafat. k. Tafsir Al- Azhar, satu karya yang monumental tafsir al-Qur’an yang terdiri dari 30 Juz. Ditulis pada tahun 1966, saat beliau berada dalam tahanan pada masa pemerintahan Soekarno. l. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, dan lain-lain.35

Pada tahun 1961 Hamka mendapatkan berbagai gelar kehormatan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir. Dalam sejarah Al-Azhar di Kairo, ayah dan anak mendapatkan gelar tersebut barulah Indonesia, Hamka dan ayahnya H. Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926. Gelar yang sama diperoleh Hamka dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Dr. Beragama. Setelah meninggal dunia, Hamka mendapat Bintang Mahaputra

35 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 106-107

66

Madya dari pemerintahan RI di tahun 1986. Dan terakhir, di tahun 2011, Hamka mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.36

4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka Pandangan Hamka tentang pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai sarana yang dapat menunjang dan menimbulkan serta menjadi dasar bagi kemajuan dan kejayaan hidup manusia dalam berbagai keilmuan.37 Melalui pendidikan, eksistensi fitrah manusia dapat dikembangkan sehingga tercapai tujuan budi. a. Pendidikan Ditinjau dari segi istilah, Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurutnya, pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.38 Hamka menilai bahwa proses pengajaran tidak akan berarti bila tidak dibarengi dengan proses pendidikan, begitu juga sebaliknya. Tujuan pendidikan akan tercapai melalui proses pengajaran. Dengan terjalinnya kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Pendidikan menurut Hamka bukan hanya soal materi, karena yang demikian tidaklah membawa pada kepuasaan batin. Pendidikan harus didasarkan kepada kepercayaan, bahwa di atas

36 Hamka, Irfan, Ayah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), h. 290 37 Susanto, Op.cit, h.99 38 Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), h. 266

67

dari kuasa manusia ada lagi kekuasaan Maha Besar, yaitu Tuhan. Sebab pendidikan modern tidak bisa meninggalkan agama begitu saja. Kecerdasan otak tidaklah menjamin keselamatan kalau nilai rohani keagamaan tidak dijadikan dasarnya.39 Pendidikan juga menanamkan rasa bahwa individu ialah bagian anggota masyarakat dan tak dapat melepaskan diri dari kehidupan masyarakat. Pendidikan yang sejati ialah membentuk anak-anak berkhidmat kepada akal dan ilmunya. Bukan kepada hawa dan nafsunya, bukan kepada orang yang menggagahi dia.40 Hamka berpandangan bahwa melalui akalnya, manusia dapat menciptakan peradaban yang lebih baik. Potensi akal yang demikian dipengaruhi oleh kebebasan berpikir dinamis, sehingga akan sampai pada perubahan dan kemajuan pendidikan. Dalam hal ini, potensi akal adalah sebagai alat untuk mencapai terbentuknya kesempurnaan jiwa. Dengan demikian, orintasi pendidikan Hamka tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas berpikir tetapi pembentukan akhlaq al-karimah dan akal budi peserta didik. Dan melalui pendidikan manusia mampu menciptakan peradaban dan mengenal eksistensi dirinya. b. Tujuan Pendidikan Segala sesuatu yang dapat dijadikan standar, arahan, dan keberhasilan atas apa yang dilakukan diartikan tujuan. Tujuan mempunyai peran penting dalam pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Hamka memiliki dua dimensi, yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugas dengan baik, yaitu beribadah.

39 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 304 40 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h.241

68

Oleh karena itu, segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menjadikan peserta didik sebagai hamba Allah. Sehingga tujuan pendidikan dalam Islam sama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah.41 Pentignya manusia mencari ilmu menurut Hamka adalah untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, membangun budi pekerti dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.42 Hanya dengan pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh kebahagiaan (hikmat) dalam hidupnya. Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan adalah mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti yang luhur agar terciptanya akhlak mulia serta mempersiapkan peserta didik dalam pengembangan kehidupan secara layak dan berguna di tengah lingkungan sosialnya. Tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, tidak terlepas dari ilmu, amal dan akhlak, serta keadilan. Menurut Hamka ilmu yang dimiliki seseorang memberi pengaruh keimanan sebab ilmu tanpa didasari iman, maka akan rusak hidupnya dan membahayakan orang lain, oleh karena itu manusia semakin berilmu semakin bertambah ketakwaannya kepada Allah. Salah Ilmu yang dibarengi iman tidaklah cukup, namun harus dibarengi dengan amal, kerja dan usaha. Hubungan antara iman dan amal sama halnya hubungan antara budi dan perangai, sehingga berbudi dan bergaul yang baik juga termasuk amal.

41 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 107 42 Hamka., Op.cit, h. 283

69

Persamaan hak dalam hidup mendefinisikan adanya keadilan yang diantaranya terkandung unsur keadilan dan kepemilikan. Untuk itu eksistensi pendidikan merupakan hajat hidup manusia.43 Dengan demikian, tujuan pendidikan menurut Hamka sejalan dengan tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah, karena sejatinya pendidikan adalah menciptakan manusia sebagai hamba Allah, sehingga dengan ilmu yang dimiliki dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah yang utama ialah beribadah kepada Allah. Adapun ilmu yang diperoleh tidak saja dengan iman, namun harus ada amal, kerja dan usaha sungguh-sungguh untuk mencapainya. c. Pendidik Pendidik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan. Pendidik menurut Hamka adalah seseorang yang memiliki pengorbanan, kejujuran serta kelapangan hati untuk mempengaruhi, melatih, membimbing peserta didik agar berguna untuk kehidupan masyarakat.44 Dalam pandangan Hamka tugas pendidik pada umumnya adalah membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang luas.45 Pendidik dituntut terlebih dahulu mengetahui tugas dan tanggung jawabnya yaitu, berupaya membantu dalam rangka membimbing peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan menguasai keterampilan yang bermanfaat, baik bagi dirinya maupun masyarakat. Pendidik dalam

43 Susanto., Op.cit, h. 108 44 Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 294 45Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. h. 135

70

hal ini guru tidak hanya mencukupkan ilmu dari sekolah guru, akan tetapi diperluas pergaulan dan bacaannya, menjalin hubungan baik dengan wali murid, membuka diri dengan kemajuan modern. Pendidik menurut Hamka berfungsi sebagai lembaga yang berupaya mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri peserta didik secara maksimal, sesuai dengan irama perkembangannya, baik jasmaniah maupun mental spiritual.46 Hamka memberikan posisi yang sangat tinggi terhadap pendidik karena ia bekerja untuk mengisi rohani manusia. Maka selayaknya pendidik harus memiliki sifat-sifat terpuji yang dapat menjadi teladan oleh muridnya. Namun, Hamka tidak suka kepada sikap guru yang otoriter dan melarang membangun sikap murid yang terlalu mengkultuskan guru. Karena hal ini, akan mengakibatkan pada sikap fanatik dan kemujudan berpikir pada diri anak.47 Sebagaimana pandangan Hamka terkait pendidik sangatlah besar upayanya dalam mewujudkan peserta didik yang mampu mengoptimalkan akalnya, meraih cita-citanya, dan mengarahkan cita-cita tersebut pada nilai-nilai yang dinamis dan religius. Seorang pendidik dikatakan berhasil apabila peserta didik mencapai kemajuannya. d. Peserta Didik Pandangan Hamka tentang peserta didik berangkat dari konsep tentang manusia. Setiap manusia yang lahir membawa gharizah/fitrah yang dilengkapi dengan akal, hati, dan panca

46 Ibid., h.148-149 47 Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h.115

71

indera yang dapat dijadikan sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan.48 Sehingga melalui proses pendidikan dapat memadukan berbagai potensi fitrah manusia akal pikiran, perasaan, dan sifat-sifat kemanusiaannya secara seimbang dan serasi. Dengan keluasan ilmu dan kehalusan akhlak yang dimiliki, peserta didik dapat mengendalikan diri, membersihkan hati, memiliki wawasan yang luas, meraih kesempurnaan. Melalui ilmu yang dimilikinya, peserta didik dapat mengenal Khaliknya dan menambah keimanannya. Cara menuntut ilmu yang terbaik ialah pada guru yang banyak pengalaman, luas pengetahuan, bijaksana dan pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran, tidak lekas bosan lantaran pelajaran itu sulit dimengerti. Dan hendaknya peserta didik rindu dan cinta pada ilmu, percaya pada keutamannya dan yakin pada manfaatnya.49 Terlepas dari kriteria memilih seseorang yang akan dijadikan guru, dalam hal ini Hamka menegaskan bahwa hendaknya peserta didik memiliki sikap kritis, tidak mengkultuskan gurunya. Tidak langsung menerima dan mengikuti walaupun salah, dan taqlid buta. Meski guru memiliki posisi yang terhormat, mengkramatkan guru adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. 50 e. Pendidikan Karakter Menurut Hamka, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi kepada Khaliqnya. Jika ada manusia yang tidak berbuat kebajikan, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrahnya tersebut. Hamka menambahkan, pada diri manusia terdapat tiga

48 Ibid., h.115 49 Hamka. Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 283 50 Ibid, h.287

72

unsur utama yang menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh maupun ‘abd Allah. Ketiga unsur tersebut antara lain akal, hati, pancaindra.51 Agar fitrah dalam diri manusia berkembang secara optimal, maka adanya kerja sama antara guru di sekolah, orang tua di rumah serta peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam mengintegrasikan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam terciptanya kepribadian yang berkarakter mulia.52 Dalam membentuk kepribadian anak, tidak terlepas dari pendidikan orang tuanya. Salahlah pendidikan orang tua yang ingin membuat anaknya seperti dia pula. Orang tuanya telah membentuk anak-anaknya menurut pembentukan pada masanya terdahulu. Orang tua seharusnya membentuk anaknya mengikuti masa anaknya.53 Oleh karena itu, kepandaian dan pendidikan orang tua dalam mendidik anaknya akan sangat membantu pekerjaan guru. Penanaman adab dan budi pekerti dalam diri anak hendaknya dilakukan sedini mungkin. Upaya ini dilakukan dengan cara menanamkan kebiasaan hidup yang baik. Pertama kali yang mesti ditanamkan adalah nilai-nilai ilahiah. Pentingnya pendidikan agama yang akan berpengaruh pada pola kepribadian seorang anak. Menurut Hamka, pendidikan tersebut dimulai sejak anak dilahirkan dianjurkan untuk mengazankan dan iqamah. Hal ini, diharapkan agar jiwa anak akan tepatri oleh nilai-nilai ketundukan kepada Khaliqnya.54

51 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 106 52 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. h. 156 53 Hamka. Lembaga Hidup, ( Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h.264 54 Samsul Nizar,Op.Cit, h. 140

73

Pembentukan karakter yang sederhana dapat diperolah dari akal orang yang bijaksana, maka hubungannya dengan pendidikan sangat berpengaruh. Maksud dari pendidikan ialah membentuk anak supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna dalam pergaulan hidup. Hal ini yang dimaksudkan Hamka dari pendidikan karakter ialah membiasakan berkata terus terang (jujur). Berani karena benar, sabar atas rintangan dan bantahan, tahan kena kritik, dan kuat serta teguh. Perlu adanya pengorbanan yang ditempuh walaupun tidak sedikit akan melewati berbagai rintangan.55 Dengan demikian, pendidikan bukan saja sebagai proses pengembangan intelektual dan kepribadian anak, akan tetapi juga proses sosialisasi anak dengan lingkungan dimana ia berada. Dalam membentuk kepribadian anak, orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan dasar-dasar agama, sebab dengan iman yang kuat, maka anak akan mempunyai pegangan hidup yang benar. Sama halnya dengan guru yang memberikan keteladanan di sekolah dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur serta dukungan masyarakat sebagai kontrol sosial. Dalam hal pendidikan karakter, Buya Hamka adalah sosok yang paling ideal untuk dijadikan panutan dalam toleransi. Buya Hamka bersahabat baik dengan KH. Abdullah Syafi’i pendiri dan pemimpin perguruan Asy-Syafi’iyah. Suatu ketika KH. Abdullah Syafi’i mengunjungi Buya Hamka di masjid al-Azhar Jakarta Selatan. Bertepatan dengan hari jumat, menurut jadwal seharusnya Buya Hamka yang menjadi Khatib. Untuk menghargai sahabatnya ia meminta KH. Abdullah Syafi’i naik mimbar untuk menjadi

55 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Republika Penerbit, 2015), h. 372

74

khatib jumat. Dan adzan dikumandangkan dua kali, padahal biasanya sekali saja. Rupanya Buya Hamka menghormati pendapat ulama betawi mengenai ketentuan adzan sholat jumat.56

C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter Seperti yang dideskripsikan sebelumnya bahwa KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka adalah ulama sekaligus pengajar yang memfokuskan pada pentingnya karakter/akhlak dalam proses pendidikan. Keduanya memilki latar belakang dan pendekatan yang berbeda dalam pemikiran pendidikan. KH. Hasyim Asy’ari yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan kental dengan kehidupan agama yang bergelut dengan kitab kuning dan pandangan mazhab Syafi’iyyah. Semasa hidupnya, kiai Hasyim mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an dan beberapa penguasaan literatur keagamaan. Namun, rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat kiai Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu. Mulai menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa sampai berguru langsung ke ulama di Masjid al- Haram, Makkah. Di Makkah, kiai Hasyim bermukim selama kurang lebih tujuh tahun, ia mendapatkan ijazah sebagai pengajar hadis Shahih Bukhari, langsung dari gurunya Syekh Mahfudz al-Tarmisi. Sedangkan Hamka, yang diharapkan oleh ayahnya menjadi seorang ulama, sejak kecil Hamka disibukan dengan rutinitas sekolah dan mengaji pada ayahnya sampai khatam. Sikap otoriter sang ayah membuat Hamka tidak menyenangi belajar, dan merasa bosan dengan pendidikan saat itu. Ia kemudian memilih belajar otodidak dengan membaca berbagai tulisan.

56 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h.105

75

Sampai pada akhirnya ia merantau ke Jawa dan memperoleh pembaharuan pemikiran yang dinamis dan modernis dari tokoh pembaharuan Islam di Yogyakarta. Dan menurut Hamka kebebasan intelektualitas berpikir merupakan pangkal kemajuan dunia. Pada bagian ini, akan dibahas mengenai bagaimana persamaan dan perbedaan pendidikan karakter antara KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang berbeda latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui, akan tetapi memiliki misi yang sama pada jalan dakwah untuk membina umat di masanya masing-masing. Persamaan pemikiran pendidikan karakter antara KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka, sebagai berikut : 1. Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka memiliki pandangan yang sama terkait pendidikan yang menekankan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah dan yang bermanfaat bagi manusia. Pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari adalah memanusiakan manusia secara utuh yang memiliki akhlak mulia dan menjadikan manusia bertaqwa (takut) kepada Allah SWT.57 Menurut Hamka pelaksanaan pendidikan diharapkan akan membantu peserta didik memiliki kepribadian akhlaq al-karimah dan mewujudkan tujuan hidupnya, baik hubungan antar manusia (khalifah fi al-ardh), maupun hubungan kepada sang Khaliq (‘abd Allah). 2. Tujuan Pendidikan Perlunya pengamalan ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan kesamaan pandangan antara KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. KH. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa tujuan utama ilmu

57 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h.18

76

pengetahuan yang sesungguhnya adalah mengamalkan ilmu dalam tingkat yang lebih praktis, yakni dengan memanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Sama halnya dengan Hamka yang berpendapat bahwa ilmu yang tidak diikuti dengan amal perbuatan tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan, bukan hanya untuk dipelajari saja.58 3. Pendidik Dalam menanamkan akhlak mulia, pendidik hendaknya memperbaiki sikap dan menjadi teladan bagi peserta didik. Menurut KH. Hasyim Asy’ari pendidik adalah sosok yang mampu mentransmisikan ilmu pengetahuannya di samping pembentuk sikap dan etika peserta didik. Bagi Hamka, pendidik harus memiliki sifat- sifat terpuji yang dapat menjadi teladan oleh muridnya, oleh karena ia bekerja mengisi rohani manusia. Berkaitan dengan ini, keduanya memposisikan kedudukan yang tinggi dan terhormat kepada pendidik, karena selain mentrasfer ilmu, pendidik juga membentuk dan menanamkan nilai-nilai luhur dan karakter mulia kepada peserta didik. Oleh karenanya, pendidik seharusnya memiliki perilaku terpuji dan menjauhi dari segala perbuatan dan sifat-sifat tercela yang mengurangi derajat keilmuannya. 4. Peserta Didik Mengenai peserta didik KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka mengasumsikan dalam pengembangan potensi akal sebagai pemberian yang sangat istimewa dari Allah SWT. Maka menurut KH. Hasyim Asy’ari bagi peserta didik untuk tekun dan betul-betul giat dalam proses pencerdasan akal serta memiliki waktu tertentu untuk

58 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h.99

77

pengembangan daya inteleknya. Menurut Hamka, untuk mengembangkan potensi akal, maka harus memberikan kebebasan berpikir dinamis bagi peserta didik untuk mendorong daya kreatif dalam rangka pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. 5. Pendidikan Karakter Menurut KH. Hasyim Asy’ari pendidikan karakter mempengaruhi fitrah manusia dengan lingkungannya. Berada di tengah lingkungan rumah, sekolah maupun masyarakat akan membentuk integritas kepribadian anak, dan anak itu sendiri harus mampu menyaring nilai-nilai karakter yang nantinya akan dipergunakan untuk kehidupannya. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Hamka fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi kepada Khaliqnya. Untuk mengoptimalkan fitrah manusia, maka adanya kerja sama antara guru di sekolah, orang tua di rumah serta peran masyarakat sebagai kontrol sosial dalam mengintegrasikan nilai-nilai budi pekerti luhur dalam terciptanya kepribadian yang berkarakter mulia.

Untuk lebih jelasnya perbandingan pemikiran pendidikan karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka dalam berbagai aspek pendidikan, berikut ini penulis sajikan dalam bentuk tabel untuk mempermudah memahami perbandingan kedua tokoh tersebut :

Tabel 4.1

Konsep Pendidikan Karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka

No. Aspek KH. Hasyim Asy’ari Hamka 1. Pendidikan . Berorientasi pada wahyu . Pendekatan dan pendekatan diri pendidikan melalui melalui cara sufi cara berpikir yang

78

. Hati menjadi sentral dinamis dan prinsip pendidikan pendidikan yang ketauhidan . Akal (alat/sarana) dalam pengembangan intelektualitas dan kemajuan peradaban 2. Tujuan Pendidikan . Mencapai Ridho Allah . Beriman kepada Allah dan meraih kebahagiaan dan membentuk anak- dunia dan akhirat anak berkhidmat . Dimensi keilmuan, kepada akal dan ilmu pengamalan, dan religius . Dimensi ilmu, amal (akhlak), dan keadilan 3. Pendidik . Pendidik adalah makhluk . Menjadi teladan bagi terbaik/ulama (pewaris siswanya nabi) . Menyesuaikan . Pendidik tidak pernah perkembangan salah jasmaniah dan mental . Menjaga akhlak dalam spiritual siswa pendidikan 4. Peserta Didik . Tidak ada alasan untuk . Bersikap kritis kepada berlawanan dengan guru guru (tidak taqlid . Mensucikan diri/hati buta) terlebih dahulu . Rindu dan cinta kepada ilmu 5. Paradigma . Segala kondisi yang . Fitrah setiap manusia Pendidikan Karakter terjadi meresponnya pada dasarnya berbuat dengan kebaikan budi dan kebajikan dan tunduk

79

akhlaq al-karimah. kepada Khaliqnya. . Dipengaruhi oleh . Pengaruh pendidikan lingkungan keluarga, orang tua dan agama sekolah dan masyarakat

D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka Tujuan pendidikan karakter pada intinya membentuk kepribadian seseorang yang dijiwai oleh iman dan takwa sehingga melahirkan perilaku- perilaku terpuji. Kebutuhan pendidikan karakter dalam proses pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dan berarti. Hal demikian sejalan dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang memfokuskan pentingnya pendidikan karakter dalam proses pendidikan. Menurut KH. Hasyim Asy’ari bahwa pada dasarnya pendidikan harus mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan dengan perbuatan, tapi lebih dari itu perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang luhur secara integratif.59 Dalam pandangan Hamka ekspresi fitrah manusia akan terpancar dalam tabiat kemanusiannya. Eksistensi fitrah hendaknya senantiasa disempurnakan dan diperhalus supaya tercapai tujuan budi. Proses ini akan terwujud secara efektif melalui pendidikan. 60 Pemikiran pendidikan karakter menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka sangat relevan untuk pendidikan saat ini, mengingat beberapa komponen pendidikan karakter di Indonesia meliputi makna dan tujuan pendidikan, makna dan landasan filosofis karakter, serta paradigma pendidikan karakter memiliki keterkaitan yang signifikan. Terkait dengan pendidikan karakter

59 Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.77 60 Ramayulis & Nizar, Syamsul, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005), h. 264

80

pendidik dan peserta didik dapat dikatakan sebagai insan kamil, maka harus berpegang teguh kepada tauhid dan moral. Merujuk pada ide-ide pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka yang paling mendasar ialah tentang konsep pendidikan karakter cukup relevan dengan tujuan pendidikan nasional yang dicetuskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.61 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengangkat pendidikan karakter menjadi program prioritas pendidikan dan kebudayaan. Kebijakan tersebut ditetapkan sebagai upaya mempersiapkan generasi muda yang tangguh dan berkarakter kuat dalam menghadapi perkembangan zaman. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, Kemendikbud menetapkan Program Penguatan Karakter (PPK) dengan menambahkan durasi waktu anak didik di sekolah ataupun di luar sekolah dalam tanggung jawab sekolah sebagai rumah kedua. Implementasi PPK akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas satuan pendidikan. Dengan tahapan pelaksanaannya melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler para siswa diluar jam belajar merupakan jam pelajaran tambahan dalam rangka penguatan karakter, yang dilakuakan di sekolah, dan/atau di luar sekolah dalam tanggungjawab sekolah.62 Adapun manfaat dari implikasi program PPK diantaranya adalah penguatan karakter siswa dalam mempersiapkan daya saing siswa dengan

61 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h.4 62 sumber: Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: 8 September 2016, (http://www.kemendikbud.go.id)

81

kompetensi abad 21, yaitu berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karakter yang baik, unggul dan mulia. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari yang tidak baik menjadi baik.63 Implementasi pendidikan karakter dikembangkan dalam proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan (habitual). Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan formal dan nonformal, keluarga, dan masyarakat. Lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan formal dan nonformal sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.64 Pendidikan karakter sangatlah penting untuk dikembangkan, karena di dalam pendidikan karakter terdapat pembelajaran hidup untuk untuk mempertahankan eksistensi diri dalam bekerja sama sebagai anggota keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga membantu dalam pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, perkembangan dan pembentukan karakter memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, pembentukan karakter dapat diperoleh dari

63 Direktorat Pendidikan Nasional, Kerangka Acuan Pendidikan Karakter Tahun Anggaran 2010, h. 4 64 Ibid, h.24

82

keteladanan tokoh, guru, orang tua dengan menjadikan mereka sebagai role model dalam kehidupan keseharian.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan mengenai “Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter” maka, penulis menyimpulkan bahwa : 1. Pemikiran Pendidikan Karakter a. KH. Hasyim Asy‟ari Pemikiran pendidikan karakter KH. Hasyim Asy‟ari memiliki kecendrungan mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik dengan memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak yaitu melalui pendidikan karakter. Proses mencari dan menyebarluaskan ilmu hanya bertujuan untuk mengharapkan ridho Allah semata. Pendidik dan peserta didik dituntut untuk menjaga akhlak dalam pendidikan, segala kondisi yang terjadi senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah., dan pentingnya usaha yang mendorong terbentuknya karakter positif dalam berperilaku adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh pada ketauhidan. b. Hamka Pemikiran pendidikan karakter Hamka berangkat dari konsep tentang manusia yang memiliki fitrah untuk senantiasa berbuat kebajikan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah fi al- ardh dan hamba Allah hendaknya mengoptimalkan akal, hati, dan pancaindera. Pendidikan menurut Hamka tidak hanya mengoptimalkan kecerdasan intelektual, tetapi lebih dari itu dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, membangun budi pekerti dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Pendidikan orang

83

84

tua di rumah dan keteladanan guru di sekolah dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur serta dukungan masyarakat sebagai kontrol sosial yang bertanggung jawab dalam pengembangan pendidikan karakter. 2. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Pendidikan Karakter Persamaan pemikiran pendidikan karakter KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan perhatian khusus dalam mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti. Tujuan pendidikan adalah mengamalkan ilmu pengetahuan dan meraih Ridho Allah, pendidik mampu menjadi teladan bagi muridnya. Pendidikan karakter mempengaruhi fitrah manusia dengan lingkungannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada Hamka menegaskan bahwa hendaknya peserta didik memiliki sikap kritis, tidak mengkultuskan gurunya, tidak taqlid buta dan selalu membenarkan apa yang disampaikan guru. Adapun KH. Hasyim Asy‟ari memiliki pendekatan yang cendrung sufistik serta pusat pendidikan terletak pada hati. Berbeda dengan Hamka yang mengoptimalkan potensi akal, panca indera dan hati dalam proses pendidikan.

B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengemukakan implikasi dari pemikiran kedua tokoh tersebut bahwa: 1. Pendidikan hendaknya bukan pada ranah kognitif tapi lebih kepada penanaman nilai dan makna sehingga melahirkan peserta didik yang tidak hanya cerdas akal pengetahuan tetapi memiliki karakter yang baik. 2. Pendidikan orang tua, keteladanan guru di sekolah dan kontrol sosial dari masyarakat merupakan tri pusat pendidikan yang

85

bertanggung jawab untuk bekerja sama dalam pengembangan pendidikan karakter. 3. Guru memberikan pengetahuan tentang kebaikan, setelah siswa menjadi paham, kemudian dilatih dan dibiasakan, mampu merasakan sehingga siswa senantiasa berbuat baik (mencintai kebaikan), dan mau melakukan kebaikan.

C. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi Pendidik Mengenai konsep pendidikan karakter yang diusung oleh KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka, sebagai pelaksana dan penanggung jawab pendidikan, selain untuk meningkatkan profesional dan kompetensi, pendidik diharapkan senantiasa memperbaiki sikap dan tingkah laku karena apa yang kita lakukan akan menjadi cerminan keteladanan bagi peserta didik. 2. Bagi Orang Tua Anak merupakan anugrah dan investasi akhirat bagi orang tua, didiklah mereka dengan pengetahuan agama, penuhilah segala kebutuhan jasmani dan spiritualnya, orang tua tidak harus menuntut anaknya untuk pintar, tapi lahirlah anak yang berkarakter baik dan takut kepada Khaliqnya. 3. Bagi Masyarakat Masyarakat sebagai unsur pendidikan menjadi kontrol sosial dalam berkontribusi pada pengembangan karakter seseorang. Karena masyarakat adalah bagian dari lingkungan pendidikan dimana anak tumbuh dan berkembang. 4. Bagi Pemerintah Diharapkan untuk berkomitmen dalam mengembangkan kebijakan pendidikan yang fokus pada pendidikan karakter sehingga terwujudnya anak bangsa yang cerdas intelektualnya dan berkarakter mulia.

86

DAFTAR PUSTAKA

Ainiyah, Nur. Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al- Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013

Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al- Kubra, Juz 51 BAB Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301, Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994

Akbarwati, Ika. Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)

Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta: Lentera Abadi, 2010

Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Anwar, Muhammad Jafar. Membumikan Pendidikan Karakter, Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015

Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara , 2009

Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011

Asmani, Jamal Ma‟mur. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Diva Press, 2013

Burhanudin, Tamyiz. Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001

Chairul, Mahfud. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Daryanto & Darmiatun, Suryatri. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Gava Media, 2013

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012

Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006

Faturrohman, Pupuh. Pengembangan Pendidikan Karakter, Bandung: Refika Aditama, 2013

Fitri, Agus Zainul. Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012

87

Gunawan, Heri. Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014

Hamid, Shalahuddin & Ahza, Iskandar. 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2003

Hamka. Lembaga Hidup, Jakarta: Republika Penerbit, 2015

------. Falsafah Hidup, Jakarta: Republika Penerbit 2015

Hamka, Irfan. Ayah, Jakarta: Republika, 2014

Harun, Salman. Tafsir Tarbawi, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013

Hasan, Sholeh. “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016

Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Husaini. Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1 Januari-Juni 2014

Isnawati. “Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Ahmad Dahlan Tentang Konsep Pendidikan Islam”. Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2015. tidak dipublikasikan

Jannah, Roudathul. “Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti”. Skripsi pada jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga: 2015. tidak dipublikasikan

Kesuma, Dharma. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2011

Koesoema, Doni. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015

Khon, Abdul Majid. Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Media Grup, 2014

Khoiruddin. “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi Kepustakaan dalam kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan

88

Leandha, Mei. Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45 a.m (http://regional.kompas.com)

M. Noor, Rohinah. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010

MN, Aguk Irawan. Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Kalam Nusantara, 2016

Margono, S. Metodelogi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007

Marzuki. Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015

Mahjuddin. Akhlak Tasawuf , Jakarta: Kalam Mulia, 2009

Majid, Abdul & Andayani, Dian. Pendidikan Karakter Prespektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011

Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2008

Maunah, Binti. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1, April 2015

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005

Musli. Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217

Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara, 2015

Najib, Muhammad & Wiyani, Novan Ardhy. Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini, Yogyakarta: Gava Media,2016

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2012

------. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012

------. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2010

------. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012

89

------. Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005

------. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001

Nafilah, Laeli. “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka (Telaah buku “Lembaga Hidup” Karya Hamka)” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan KaliJaga Yogyakarta: 2011, tidak dipublikasikan

Octavia, Lanny, dkk. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014

Purwanto, Nanang. Pengantar Pendidikan, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014

Ramayulis & Nizar, Syamsul. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005

Rijaluddin. Bunga Rampai Pendidikan Islam, Jakarta: Pusat Kajian Islam UHAMKA, 2008

Rouf, Abdul. Dimensi Tasawuf HAMKA, Selangor: Piagam Intan SDN.BHD, 2013

Sabri, Alisuf. Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998

Saliman. Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Sagala, Syaiful. Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2012

Samani, Muchlas & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011

Shobahussurur. Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430

Shidiq, Sapiudin. Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008

Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Jakarta: Lentera Hati, 2010

Sudin. Pemikiran Hamka Tentang Moral, Jurnal Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendeketan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2013

Sukardjo & Komarudin, Ukim. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Press, 2012

90

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007 Sumedi. Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012

Sururin. Etika Pendidik dan Peserta didik menurut KH. Hasyim Asy’ari, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. III, No. 1, Januari 2009

Susanto. Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010

Suwendi. Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, Ciputat: LekDis, 2005

Syah, Darwyn. Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007

Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997

Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Yasin, Mubarok & Karyadi, Fathurrahman. Profil Pesantren Tebu Ireng, Jombang: Pustaka TebuIreng, 2011

Yaumi, Muhammad. Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014

Yopi Fajar Suryadi. Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin Fananie Dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam,Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2013. tidak dipublikasikan

Zaini, Nur. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014

Ziaulhaq, Mochamad. Sekolah Berbasis Nilai, Bandung: Ihsan Press, 2015

Zuhdi, Rahman. “Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari (Studi: Analisis dan Komparatif). Skripsi pada jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2013. tidak dipublikasikan

BIODATA PENULIS

Nuriah Miftahul Jannah, kelahiran Ende, 13 Februari 1995. Semenjak menjadi mahasiswa, penulis berdomisili di Kosan Darwin, Jalan Kertamukti Gg H. Nipan, No.74 RT.001/008, perumahan Griya Nipah, Pisangan, Ciputat Timur-Tangerang Selatan. Ketika menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), HMJ PAI (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Pernah menjadi pengurus Asrama Putri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Penulis pernah menjadi admin/staff di kantor jurusan PAI. Anggota di Lentera Muda Ciputat. Selain itu, penulis adalah tim dalam akreditasi jurusan PAI tingkat ASEAN (AUN-QA).