MOTORISASI PERAHU DI TANAH BERU

KABUPATEN BULUKUMBA (1975-1985)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada

Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Disusun Oleh :

Andi Arief Munawir F811 06 021

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-NYA sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan upaya penulis untuk memenuhi salah satu syarat ujian akhir guna memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas

Hasanuddin. Ada banyak masalah yang penulis alami dalam perampungan skripsi ini, tetapi dengan ketekunan dan kerja keras,akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Meskipun demikian, tidak berarti bahwa skripsi ini sudah merupakan karya yang sempurna. Oleh sebab itu, penulis senantiasa membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sebagai upaya penyempurnaan skripsi ini. Saran dan kritik ini diharapkan juga berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepanya.

Penulis tidak hanya bersandar pada pengalaman sendiri yang amat terbatas. Karya ini bisa terselesaikan berkat bantuan petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak yang senantiasa memberi dukungan moral maupun materi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terimah kasih dan penghargaan kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikanku nikmat kesehatan sehingga saya

dapat merampungkan skripsi ini.

2. Kedua orang tuaku: Alm. Basri Padulungi dan Rosmawati yang tanpa

hentinya memberikan nasehat kepadaku, terimah kasih banyak atas semua pengorbanan yang telah kalian berikan selama ini, semoga saya jadi anak

yang dapat membanggakanmu.

3. Keluarga besarku yang berada di makassar dan di kampung yang selalu

mengarahkan dan menyemangatiku.

4. Bapak Dr. Suriadi Mappangara, M.Hum. sebagai pembimbing I dan

Bapak H. M. Bahar Akkase Teng, L.cp, M.Hum. sebagai pembimbing II

yang telah meluangkan waktunya mengarahkan dan membimbing penulis

dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Burhanuddin Arafah, M.Hum, Ph.D selaku Dekan

Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

6. Bapak dan Ibu Staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra

Universitas Hasanuddin yang selama ini dengan ikhlas membagi ilmunya

kepada penulis, selama penulis menempuh pendidikan.

7. Staf Pegawai Fakultas Sastra K’Ojie, K’Udin, K’Ilo, K’kahar dan

Dg.Nai yang selalu memberi semangat dan bantuan pengurusan di

Fakultas saya ucapkan terimah kasih.

8. Teman-teman Angkatan 2006 (Agresi 06) Kho-khom, Adnan, Accunk,

Bom2, Echa, Etty, Evhi, Fitra, Haidir, Heri, Kurnia, Marlin, Miftah,

Novhi, Nhu-nhu, Radhin, Rara, Rian, Thini, Vina,Wahyu dan Untuk

Almh. Fifi. Terimah kasih buat semua senyum, canda dan tawa dan

kenagan indah yang sempat kita lalui bersama selama kuliah.

9. Teman-teman Angkatan 2006 Fakultas Sastra (Ethnic 06) Arham,

Ahmad ,Eko, Awa, Heri, Rico, Rian, Acho, Adyatma, Ammar, Anty, Arie, Chimenk, Dedy, Dodo, Etha, Fajar, Asri, Stevie, Firman, Fitrie, Iwank,

Khalik, Nanank, Ketek, Hokmah, Patrik, Uchi,Venty, Murty, Waode, Uda

Faisal, Dan yang tak sempat saya sebutkan namanya. Terimah kasih atas

dorongan dan nasehat kalian.

10. Teman-teman Himpunan Ilmu Sejarah (Humanis) Kanda Enal, Kanda

Akmal, K’Elu, K’Alief, K’Padi, K’Erly, K’Perrek, K’Warma, K’Achil,

K’Juju, K’Nhono, K”Pahry, K’Bojes, K’Keke, K’Nanjar, dan kawand-

kawand angkatan 07,08,09,10.11.12. dan tak lupa juga buat Mama

Sawariah dan Santy yang tiada bosannya mengingatkan saya menjadi

mahasiswa yang baik. Saya ucapakan banyak terimah kasih.

11. Teman-teman KKN Gel. 82 Posko Toddang Pulu Fitriani, Adhe, Afika,

Alan, Alfred, Anggang, Biebah, Naning, Vidha, Terimah kasih atas

kebersamaan kalian sewaktu di posko.

12. Tak terkecuali seluruh orang-orang yang telah membantu penulis yang tak

bisa saya sebutkan satu-persatu namanya.

Semoga segala bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. Selain itu penulis berharap karya ini dapat diterima sebagai sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, Khususnya pada bidang Ilmu Sejarah.

Makassar, November 2013

Hormat Saya,

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ...... i

Daftar Isi ...... v

Abstrak ...... vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LatarPenelitian………………………………………...... 1 1.2. Batasan Masalah………………………...... 7 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian…….……………...... …....8 1.4. Tinjauan Pustaka...…………………………....…...... ….8 1.5. Metode Penelitian …………………………………….....10 1.6. Sistematika Penulisan...... 13

BAB II LATAR PENERIMAAN MOTORISASI

2.1. Gambaran Umum Tanah Beru………….……...... 15

2.2. Sejarah Perahu Pinisi...... …...... 18

2.3. Pengenalan Awal Motorisasi...………………...…….…..27

BAB III MOTORISASI PERAHU PINISI

3.1. Proses Penerimaan dan Perkembangan Motorisasi....…....32

3.2. Konstruksi Perahu: Yang Bertahan dan Berubah...... …38

3.3. Dukungan Pemerintah dan Masyarakat di Tanah Beru...... ………....42

BAB IV DAMPAK MOTORISASI 4.1. Pengaruh Motorisasi Dalam Bidang Ekonomi...... ………….....46

4.2. Pengaruh Motorisasi Dalam Bidang Sosial...... ……….....55

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan…………………………………………...... 60

5.2. Saran...... ………………………………...... 62

Daftar Pustaka...... 63

Daftar Informan...... 65

Lampiran...... 67

ABSTRAK

A.Arief Munawir. “Motorisasi Perahu Pinisi Di Tanah Beru Kabupaten

Bulukumba 1975-1985” dibimbing oleh Suriadi Mappangara dan Bahar

Akkase Teng.

Penelitian ini difokuskan pada motorisasi perahu pinisi dalam kurun waktu 1975 hingga 1985. Proyek motorisasi di Tanah Beru dapat dikatakan berhasil karena sebagian besar perahu pinisi yang diproduksi telah menggunakan mesin. Karena itulah saya mencoba mengkaji kembali sejarah motorisasi perahu pinisi di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba pada tahun 1975-1985.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses awal penerimaan motorisasi, bagaimana perkembanganya dan bagaimana motorisasi itu sendiri memberi dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat di Tanah Beru.

Penelitian ini menggunakan metode yaitu pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi dan penulisan.

Kata Kunci: Sejarah Maritim, sejarah sosial ekonomi dan Motorisasi.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Penelitian

“Yales Veva Jaya Mahe” (justru di lautan kita jaya), ungkapan ini mengandung makna bahwa kebesaran negara kita sebagai negara maritim ditentukan oleh kemampuan menguasai laut. Dalam realisasi pengertian yang terkandung dalam kalimat di atas diperlukan penghimpunan serta pemanfaatan dan pengembangan potensi yang ada utamanya potensi kemaritiman yang telah diwarisi dari leluhur kita sejak zaman bahari.

Wilayah Republik , separuhnya terdiri dari laut, ini suatu petunjuk bahwa cukup banyak orang Indonesia menggantungkan diri secara langsung atau pun tidak langsung pada laut. Oleh karena ada bagian yang besar dari pengalaman dan kegiatan penduduk Nusantara pada masa lampau yang luput dari pengamatan dan penelitian sejarawan bangsa kita. Menurut Lapian, melihat sejarah Indonesia dari wilayah daratan saja membawa akibat bahwa pengetahuan dan pandangan tentang masa lampau yang merupakan dasar untuk mengenal dan mengerti masa kini selalu berat sebelah. Penulisan sejarah yang beraspirasi nasional dalam arti yang sebenarnya dianggap tidak lengkap apabila yang diutamakan hanya unsur darat saja dari yang seharusnya sejarah Tanah Air.1

Hal ini menjadi lebih penting lagi, setelah Wawasan Nusantara diterima dan diakui sebagai pandangan resmi yang dianut oleh pemerintah dan bangsa

1 Adrian B. Lapian, “Orang Laut- Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX “( Jakarta: Komunitas Bambu, 2009 ), hlm. 1. Indonesia, wawasan ini tidak lagi melihat negara Republik Indonesia sebagai satu kesatuan berdasarkan prinsip pulau demi pulau, melainkan suatu negara kelautan

(Archipelago State) yang mempunyai kebulatan teritorial termasuk laut dan selat yang berada dalam garis perbatasan yang telah ditentukan. Archipelago State sebenarnya harus diartikan sebagai “Negara Laut Utama” yang ditaburi dengan pulau-pulau bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut, dengan demikian paradigma perihal negara kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya. Perhatian terhadap aspek maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan menjadi sesuatu yang wajib mendapat perioritas istimewa, dan dalam hubungan pokok perhatian studi ini merupakan suatu upaya untuk menyoroti secara khusus sebagian dari masa bahari bangsa dan negara

(dalam arti masa lampau dan maritim).2

Sejarah mencatat bahwa di kawasan timur Indonesia pernah berdiri sebuah kerajaan maritim yang cukup besar pengaruhnya yakni kerajaan kembar Gowa-

Tallo. Kekuasaanya meliputi sebagian Sulawesi Selatan dan Tenggara, serta Nusa

Tenggara (sumbawa dan sekitarnya). Salah seorang Raja Gowa yang termahsyur ialah Sultan Hasanuddin yang memerintah pada tahun 1653-1669. Karena kekuatan armada laut yang dibangun pada waktu itu Sehingga Sultan Hasanuddin sangat disegani oleh VOC dan dijuluki “Ayam Jantan Dari Timur” (De Haantjes

Van Het Oosten).

Kebesaran dan kemakmuran kerajaan kembar Gowa-Tallo pada masa itu ditunjang pula oleh kegiatan perniagaan yang cukup ramai dan menjadikan

2 Ibid. pelabuhan Somba Opu sebagai bandar yang penting dan strategis. Untuk mengatur pelayaran yang semakin ramai itu, Raja Gowa-Tallo berusaha mengatur sistem pelayaran dan perdagangan untuk dipatuhi semua pihak. Dibuatlah suatu aturan pelayaran yang dihimpun dari berbagai masukan para Matoa yang diketuai

Oleh Ammana Gappa. Aturan tersebut dinamakan “Ade’ Alloping-Loping”, ditulis dalam aksara lontarak dan pernah diterbitkan di Makassar pada tahun

1961.3

Dari uraian di atas, dapat diketahui peranan dan fungsi perahu layar sebagai armada dagang dan perang yang menjadikan kerajaan maritim di

Indonesia dapat berjaya pada masanya. Dan keberanian mengarungi lautan yang dimiliki oleh nenek moyang kita seperti yang telah digambarkan di atas, itulah yang diwarisi oleh orang Bugis-Makassar sehingga sejak beberapa abad lalu terkenal sebagai pelaut ulung.

Salah satu industri tradisional yang sudah sejak dulu mewarnai corak dan ragam kebudayaan bahari masyarakat di Sulawesi Selatan adalah industri pembuatan perahu di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba. Dengan potensi geografis Kabupaten Bulukumba pada umumnya dan Tanah Beru khususnya, merupakan salah satu faktor pendorong bagi masyarakat untuk bekerja sebagai pengrajin perahu. Pengrajin perahu adalah salah satu kelompok yang terdapat dalam masyarakat, yang dalam keseharianya turut memberikan peranan penting dalam pembangunan daerah.

3 Arief Saenong, “Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya” (Bulukumba: Dinas Perindustrian Pariwisata dan Budaya, 2007), hlm. 5. Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pulau Sulawesi dimana masyarakatnya terkenal sebagai pelaut ulung telah banyak menciptakan hasil karya berupa perahu sebagai alat transportasi laut yang tangguh mengarungi samudra. Berbagai jenis perahu dan tipe telah tercipta mulai dari bentuk tradisional sampai pada bentuk modern, pada mulanya alat transportasi air yang tercipta setelah penggunaan rakit adalah perahu yang di buat dari batang kayu besar yang dikeruk atau lesung.4

Seiring dengan perkembangan waktu dan pemenuhan akan kebutuhan, maka diperkirakan pada abad XVI barulah tercipta perahu yang lebih besar yang disusun dari kepingan papan. Perubahan dari tahun-ketahun dan perkembangan yang berlangsung dalam kurun waktu cukup lama, akhir abad XIX atau awal abad

XX mulai diciptakan model Sombala Pinisi dan kemudian berevolusi menjadi

Pinisi.5

Di Kabupaten Bulukumba, khususnya di Tanah Beru, yang tidak lain merupakan wilayah bahari, memilki perahu Pinisi sebagai ikon budaya Sulawesi

Selatan yang merupakan hasil dari kebudayaan Bugis-Makassar yang sudah lama dikenal di dalam maupun luar negeri. Pemanfaatan perahu Pinisi sebagai alat angkutan laut yang penting dan tradisional di Indonesia khususnya di Sulawesi

Selatan, memiliki ruang muat yang cukup besar, hal ini dikarenakan masih kurangnya alat-alat angkutan laut yang modern yang dimiliki oleh pihak swasta maupun pemerintah pada masa itu.

4 Muhammad Arief dan Abbas, “Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” (Bulukumba: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan), hlm. 24.

5 Ibid., hlm. 33. Sebagai akibat perkembangan di segala sektor kehidupan di Indonesia, perkembangan teknik pertukangan perahu di Tanah Beru juga mengalami perubahan mencolok terutama dalam hal pembuatan perahu Pinisi. Pembuatan perahu Pinisi mulai mengalami peningkatan dan perkembangan teknik modern dibidang pertukangan dan pelayaran, sesuai prakarsa Presiden Soeharto pada tahun 1972 yang memberikan bantuan kepada pengusaha berupa peralatan modern, seperti pemakaian motor diesel untuk tenaga penggerak dan selanjutnya menetapkan pemasangan tersebut sebagai kewajiban yang berguna dalam perlengkapan keselamatan pelayaran.6

Modernisasi adalah suatu perubahan dari hal yang statis tradisional menuju kepada perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman modern, baik dibidang teknik, sosial, politik dan kebudayaan.7 Modernisasi perahu Pinisi untuk langkah pertamanya adalah pemberian motor/mesin pada setiap perahu Pinisi baik yang sudah selesai maupun yang belum.

Dalam pelaksanaan motorisasi perahu Pinisi di Sulawesi Selatan yang mendapat kepercayaan sebagai daerah pelaksanaan Pilot Project, lokasinya dipusatkan pada 3 daerah yang memiliki keahlian tradisional dalam pelayaran yang turun temurun, yaitu:

a) Kabupaten Jeneponto

b) Kabupaten Bulukumba

c) Kabupaten Bone

6 Darmawan Salman, “Jagad Maritim” (Makassar: Inninawa, 2006), hlm. 46.

7 Nur Azman, “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia” (Bandung: Penabur Ilmu, 2001 ), hlm. 298. Dalam pelaksanaan tahap pertama ini menggunakan tiga buah perahu

Pinisi dengan mesin berkekuatan (50) hp putaran rendah dengan maksimum

(900) rpm, tipe ini dipersiapakan untuk perahu pengangkut barang. 8 Dengan pelaksanaan motorisasi perahu layar ini yang sudah selesai dilaksanakan tahap pertama untuk tipe Pinisi, yang masing masing diberi nama sesuai dengan motto yang terdapat pada lambang daerah Sulawesi Selatan, ”Toddopuli” yang berarti

Teguh Dalam Keyakinan, toddopuli itu terbagi atas: Toddopuli I di Bajo’E

Kabupaten Bone, Toddopuli II di Terang-terang Kabupaten Bulukumba,

Toddopuli III di Pallengu Kabupaten Jeneponto.

Sejak penggunaan sistem motorisasi pada perahu Pinisi di Tanah Beru peningkatan intensitas pengiriman barang antar pulau mengalami kemajuan signifikan, oleh karena itu juga pendapatan yang diperoleh para pemilik perahu atau pemodal bertambah, dan membawa perubahan dalam pelayaran dimana para awak kapal jadi lebih mudah menangani tugas mereka, selain itu dengan penggunaan motorisasi juga taraf hidup para pekerja khususnya para tukang pembuat perahu juga ikut mengalami perbaikan,

Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang motorisasi perahu Pinisi, sebab sejak digunakanya motorisasi pada perahu Pinisi sangat mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat setempat khususnya dalam bidang ekonomi, serta dimensi sosial masyarakat sejak digunakanya motorisasi pada perahu.

8 Muh. Basri Padulungi, “Perahu Pinisi Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan Bugis Makassar “ (Ujung Pandang: Skripsi Pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1973), hlm. 79. 1.2 Rumusan Masalah

Di dalam suatu penulisan, rumusan masalah sangat penting sebab akan memudahkan penulis di dalam pengarahan pengumpulan data dalam rangka untuk memperoleh data yang relevan. Adapun rumusan masalah antara lain :

1. Mengapa masyarakat Tanah Beru menerima motorisasi?

2. Bagaimana perkembangan motorisasi perahu Pinisi di Tanah Beru?

3. Bagaimana pengaruh motorisasi terhadap kehidupan masyarakat di Tanah

Beru?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penulisan sejarah diperlukan batasan-batasan yang sangat penting artinya. Batasan yang dimaksud disini adalah batasan spasial dan batasan temporal. Batasan spasial dari penelitian ini adalah di Tanah Beru Kabupaten

Bulukumba sebagai sentra pembuatan perahu Pinisi. Sedangkan batasan temporal dalam penelitian ini, yaitu dimulai pada tahun 1975 yang merupakan pengenalan motorisasi perahu Pinisi pada pengrajin perahu di Tanah Beru. Perkembangan ini terus berlanjut hingga tahun 1985 karena pada tahun tersebut pembuatan perahu

Pinisi tradisional (klasik) mengalami penurunan drastis, sebaliknya motorisasi berkembang pesat di Tanah Beru. Hal inilah yang disimpulkan penulis untuk mengakhiri batasan temporer dari karya ilmiah ini pada tahun 1985.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

a) Menjelaskan sebab diterimanya motorisasi oleh masyarakat di Tanah

Beru.

b) Menjelaskan perkembangan motorisasi Pinisi di Tanah Beru.

c) Menjelaskan pengaruh motorisasi dalam kehidupan masyarakat di

Tanah Beru.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a) Secara Teori: untuk menambah pengetahuan tentang aspek

kemaritiman masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di Tanah

Beru.

b) Secara Praktis: sebagai referensi bagi Pemerintah Kabupaten

Bulukumba dalam menyusun kebijakan-kebijkan kemaritiman untuk

kemajuan sektor pelayaran niaga terhadap masyarakat di Tanah Beru.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam hal ini, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan :

M. Basri Padulungi (1973), Perahu Pinisi sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan

Bugis-Makassar. Yang Membahas tentang pembuatan perahu Pinisi dan Ara sebagai tempat asal mula para pekerja (Panrita Lopi) Pinisi, serta melihat bagaimana perkembangan perahu Pinisi dalam menghadapi tantangan teknik modern di bidang pertukangan dan pelayaran, sedangkan pada penelitian ini, penulis memusatkan perhatian pada perkembangan motorisasinya dan melihat bagaimana motorisasi itu mempengaruhi bidang ekonomi, serta ingin mengkaji dimensi sosial masyarakat di Tanah Beru sejak diterapkanya motorisasi.

Syahrul Amar (1994), Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tanah

Lemo Kabupaten Bulukumba 1950-1988. Dalam tulisanya, pembuatan perahu

Pinisi yang ada di Tana Lemo mempunyai kesamaan dengan pembuatan perahu yang terdapat didaerah lain di Bulukumba. Kemampuan membuat perahu merupakan keahlian yang diwariskan turun-temurun, keahlian itu terdiri atas keahlian magis dan keahlian teknik. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, keahlian itu bertahan karena diperkenalkanya motorisasi sebagai alat penggerak.

M. Yamin Jinca (2002), Transportasi Laut Kapal Layar Motor Pinisi.

Menjelaskan tentang bagaimana gejala perkembangan teknologi armada pelayaran rakyat yang nampak pada masyarakat kemaritiman yang berkaitan dengan pengembangan usaha industri perkapalan dan jasa transportasi pelayaran rakyat adalah penguasaan dan penggunaan Iptek masih rendah, informasi tertulis tentang keunggulan dan kelemahan teknologinya belum ditemukan didalam literatur- literatur ilmiah, karena hampir sebagian besar pembangunanya masih menggunakan cara tradisional, kelemahan yang tampak paling menonjol adalah pada teknik konstruksi akibat motorisasi, alat navigasi dan keselamatan, sistem permodalan, sistem penggerak dan alat bongkar muat, sistem manuver dikawasan pelabuhan, serta pengolahan usaha lebih banyak menggunakan manajemen kekeluargaan.

Darmawan Salman (2006), Jagad Maritim. Menjelaskan tentang bagaimana serbuan investasi, teknologi dan manajemen mendorong perubahan di 3 komunitas, yaitu pembuat perahu di Tanah Beru, penangkap ikan di Tanah Jaya, dan penghuni pantai wisata di Bira. Bagaiamana 2 proses modernisasi utama: diferensiasi pada asas struktural dan rasionalisasi tindakan pada poros kultural kemudian ikut bergerak. Disisi lain ikatan Patron-Klien yang kuat, manifestasi si’ri, gelar haji, dan status sosial telah menjadi sumber motivasi pencapaian warganya, terutama dikomunitas pembuat perahu di Tanah Beru dan penangkap ikan di Tanah Jaya. Tetapi tidak semua aktor bisa naik ke lapisan yang setaraf, dengan demikian pengaruh 3 motif itu tidaklah sama.

Nurhana (2009) “Perkembangan Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru

1985-1995”, yang Membahas tentang perkembangan pembuatan perahu Pinisi di

Tana Beru Kabupaten Bulukumba. Yang merupakan peralihan dari 3 daerah sebelumnya yakni: Ara, bira dan Lemo-lemo. Dan melihat bagaimana produksi perahu Pinisi setelah modernisasi berkembang serta bagaimana orientasi pemasaran perahu Pinisi kedepanya berkaitan dengan di tetapkanya Tanjung Bira sebagai objek wisata, sedangkan pada penelitian ini, penulis memusatkan perhatian pada perkembangan motorisasinya dan melihat bagaimana motorisasi itu mempengaruhi bidang ekonomi, serta ingin mengkaji dimensi sosial masyarakat di Tanah Beru sejak diterapkanya motorisasi.

1.5 Metode Penelitian

Berbicara mengenai sejarah berarti menyangkut segala kejadian dan peristiwa yang telah terjadi. Dalam hal ini, sejarah sebagai peristiwa yang tidak mungkin untuk diamati atau disaksikan lagi sebagaimana wujudnya. Hal ini merupakan tugas seorang sejarawan untuk melakukan rekonstruksi terhadap suatu peristiwa atau kejadian tersebut.

Dalam merekonstruksi suatu peristiwa, seorang sejarawan hanyalah melihat jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu itu. Tersedianya sumber- sumber yang berkaitan dengan peristiwa tersebut baik itu berupa sumber lisan, sumber tulisan maupun sumber benda yang kesemuanya merupakan salah satu bagian dari sumber primer ataupun sumber sekunder, sangatlah mendukung sejarawan dalam upaya mengungkapkan suatu peristiwa yang menjadi fokus kajiannya. Olehnya itu diperlukan suatu metode atau cara untuk merekonstruksi masa lalu tersebut sehingga bisa dihadirkan kembali dalam bentuk karya sejarah sebagai sebuah kisah yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap ilmu mempunyai metode begitu pula halnya dengan ilmu sejarah.

Metode tersebut dipergunakan oleh sejarawan dalam merekonstruksi suatu peristiwa di masa lalu yang menjadi objek kajiannya. 9 Metode-metode itu tersusun secara sistematis yang merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh seorang sejarawan untuk menghasilkan suatu karya sejarah yang ilmiah.

Dalam penulisan karya ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan

9 M. Saleh Madjid dan Abd. Rahman Hamid, “Pengantar Ilmu Sejarah” (Makassar: Rayhan Intermedia, 2008), hlm. 45. metode penelitian kepustakaan (library research). Selanjutnya untuk menghasilkan suatu karya sejarah yang ilmiah, penulis menggunakan metode sebagaimana yang dipergunakan dalam penulisan karya-karya sejarah. Adapun tahapan-tahapan dalam metode tersebut meliputi :

1. Heuristik, yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang

berhubungan langsung dengan masalah atau objek penelitian. Dalam

penulisan karya ilmiah ini, penulis mengumpulkan data dengan

mengunjungi perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

begitu pula perpustakaan umum Universitas Hasanuddin yang juga

menyediakan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah, ada beberapa

buku dan tulisan yang membahas objek kajian penulis yaitu: Karya

(Skripsi) M. Basri Padulungi “Perahu Pinisi Sebagai Salah Satu Unsur

Kebudayaan Bugis Makassar (1973)”, Karya (Skripsi) Syahrul Amar

“Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tanah Lemo Kabupaten

Bulukumba (1994)” dan Karya (Skripsi) Nurhana “Perkembangan Perahu

Pinisi di Tanah Beru (2009)”, Buku Darmawan Salman “Jagad Maritim”,

M. Yamin Jinca “Transportasi Laut Kapal Layar Motor Pinisi”, Tulisan

Horst H. Liebner “Tradisi Kebaharian di Sulawesi Selatan”, Tulisan Muh.

Arief Saenong “Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya” penulis juga

melakukan pengumpulan data di Badan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi

Selatan dan Badan Arsip Daerah Kabupaten Bulukumba. Selain itu penulis

melakukan wawancara dengan pemilik perahu, pengrajin perahu (Panrita Lopi) dan anak buah kapal (Sawi), dan mengunjungi lokasi tempat

pembuatan perahu Pinisi.

2. Kritik sumber, dilakukan setelah mendapatkan data-data yang diperlukan.

Terlebih dahulu, penulis menggunakan kritik ekstern untuk mengetahui

apakah sumber tersebut merupakan sumber asli atau sumber yang ditulis

kemudian. Selanjutnya penulis melakukan kritik terhadap isi atau materi

yang dibicarakan pada sumber tersebut dengan mengajukan pertanyaan,

apakah materi yang dibicarakan dalam sumber tersebut memang benar

adanya. Untuk itu, penulis menggunakan berbagai sumber sebagai

pembanding untuk memperoleh keobjektifitasan data.

3. Interpretasi, pada tahapan ini, data yang telah dikritik kemudian

disintesiskan berdasarkan pada apa yang menjadi pokok kajian penulis.

Data yang telah diperoleh dari berbagai sumber kemudian dihubungkan

satu sama lain untuk mendapatkan suatu pemaknaan yang utuh mengenai

masalah yang menjadi fokus kajian dalam penulisan karya ini. Pada

tahapan ini, data-data yang dianggap tidak relevan maka akan dipisahkan

agar tidak mengganggu dalam penyusunan data selanjutnya.

4. Historiografi, tahapan ini merupakan tahap akhir yang ditempuh setelah

melakukan tahapan-tahapan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Pada tahapan ini, penulis kemudian memulai untuk menuliskan data-data

yang telah diperoleh dalam bentuk kisah sejarah yang disusun secara

kronologis berdasarkan data dan fakta yang ada. 1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri atas 5 bab yang dilengkapi dengan beberapa lampiran, dalam tiap-tiap bab akan diuraikan mengenai hal-hal sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. dalam bab ini diuraikan mengenai latar penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, begitu pula dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan objek kajian dan juga metode yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini. Pada intinya, bab ini menguraikan alasan-alasan yang menjadikan pentingnya tema ini untuk dikaji sebagai suatu karya ilmiah.

Bab II, Latar Muculnya Motorisasi dalam bab ini akan diuraikan mengenai

Gambaran umum tanah beru ,Sejarah perahu pinisi, pengenalan awal motorisasi.

Bab III, Motorisasi Perahu Pinisi . dalam bab ini akan diuraikan mengenai Proses penerimaan dan perkembangan motorisasi, konstruksi perahu: yang bertahan dan berubah, dukungan pemerintah dan masyarakat di tanah beru.

Bab IV, Dampak Motorisasi. dalam bab ini akan diuraikan mengenai Pengaruh motorisasi terhadap masyarakat di Tanah Beru yang meliputi aspek kehidupan masyarakat setempat khususnya dalam bidang ekonomi, serta dimensi sosial masyarakat sejak digunakanya motorisasi pada perahu pinisi.

Bab V, Kesimpulan. Bab ini merupakan penutup dan sekaligus jawaban dari hal- hal yang menjadi inti permasalahan dalam karya tulis ini.

BAB II

LATAR PENERIMAAN MOTORISASI

2.1 Gambaran Umum Tanah Beru

Tanah Beru terletak di wilayah Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba yang juga merupakan ibu kota kecamatan terletak pada 5,35° Lintang Selatan dan 12,24°

Bujur Timur, berada di bagian Selatan Ibu Kota Kabupaten Bulukumba. Menurut letak administrasinya, Tanah Beru memiliki luas wilayah sebesar 108,605 km² atau 9,4 % luas daerah Kabupaten Bulukumba. 10 Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara adalah kecamatan Bontotiro dan kecamatan Ujung Bulu, sebelah selatan adalah Laut

Flores, sebelah barat adalah Kecamatan Ujung Bulu dan Laut Flores dan sebelah Timur adalah Desa Ara dan Desa Bira.11

Untuk mencapai daerah Tanah Beru dari Kota Makassar harus menempuh jarak

176 km, sedang dari pusat Ibu Kota Kabupaten Bulukumba menempuh jarak kurang lebih

24 km. Wilayah Tanah Beru merupakan pintu gerbang bagi daerah-daerah lain yang ada di sekitarnya, bahkan pintu gerbang bagi pulau lain seperti pulau Selayar dll. Hal ini menyebabkan Tanah Beru dalam Keseharianya sangat ramai baik itu yang singgah maupun yang lewat.

Tanah Beru berada sekitar 8 meter di atas permukaan laut. Dari letak yang demikian itu, sangat potensial untuk industri kerajinan perahu, tempat pembuatan perahu dilakukan tepat pada bagian tepi pantai yang tidak terkena air pasang guna memudahkan penurunan perahu kelaut. Keadaan perairan di sekitar daerah ini cukup baik untuk

10 Monografi Kelurahan Tanah Beru: 1990, hlm 6.

11 Ibid., hlm. 17. perikanan dan strategis untuk pelayaran rakyat dan Nusantara, karena di bagian selatan yakni Laut Flores berada pada tingkat kedalaman 500 meter, sedang di bagian timur yakni

Teluk Bone yang memiliki kedalaman kurang lebih 1500 meter.

Keadaan ikim di Tanah Beru di pengaruhi oleh angin lokal yakni angin darat yang bertiup pada dini hari ke laut dan angin laut yang bertiup pada malam hari ke darat. Di samping itu daerah ini sangat dipengaruhi oleh dua musim yakni musim barat laut pada bulan November sampai bulan Februari tahun berikutnya dan musim timur laut terjadi pada bulan Juli sampai bulan September. Pada musim barat biasanya disertai dengan hujan keras dan angin kencang, yang mengakibatkan nelayan di pesisir pantai barat dan timur tidak berani beroprasi kerena besarnya ombak. Curah hujan di Tanah Beru rata-rata 2500 mm pertahun dengan suhu udara rata-rata 20°-30°. Hal ini di sebabkan pengaruh keadaan air laut, sehingga pada malam hari udara masih terasa panas.

Penduduk di Tanah Beru berasal dari berbagai daerah, seperti Selayar, Bantaeng,

Jeneponto dan Bone. Selain menyerap migran dari luar, Tanah Beru juga memiliki penduduk yang migratif. Sekitar 17% penduduknya kini berimigrasi ke dan daerah lain di Indonesia. Hukum Revenstein Berlaku di sini, Bahwa turunya jumlah penduduk perdesaan akibat dari migrasi dan akan diganti secara bertahap oleh migran dari daerah lain.12 Dan mayoritas penduduk pada umumnya adalah suku Makassar yang dalam keseharianya masyarakat memakai bahasa Makassar dengan dialek “Konjo” (Salah satu dilalek dalam bahasa Makassar). Mayoritas penduduknya beragama Islam, mereka yang bukan pemeluk Agama Islam adalah pendatang dari daerah lain yang kebetulan bertugas di

Tanah Beru.

12 Ahmad Kadir, “Agama dan Kehidupan Pengrajin Perahu di Tanah Beru” (Ujung Pandang: Balai Penelitian Lektur Keagamaan, 1990), hlm. 71. Kondisi tanah di Tanah Beru kurang cocok untuk dijadikan lahan pertanian kerena terdiri atas deretan pantai yang landai, sangat jauh berbeda dengan kondisi alam beberapa daerah lain yang terdapat di sebelah barat dan utara Bulukumba yang sangat subur.

Sehingga kecil kemungkinan bagi masyarakat untuk mengorientasikan diri pada sektor pertanian.13

Keadaan geografis tersebut menjadikan mayoritas penduduk daerah ini memilih pekerjaan bertukang perahu dan bekerja sebagai pelaut, sebagai jawaban atas tantangan alam yang dihadapi. Dengan sendirinya kegiatan ekonomi yang berkembang di daerah ini adalah usaha kebaharian.

Kepiawaian dan tradisi masyarakat Tanah Beru dalam pembuatan perahu telah diwariskan dari generasi -ke generasi hingga pada saat sekarang. Perpaduan antara teknik pembuatan yang terhitung unik, karena dalam proses pembuatanya dinding terlebih dahulu dibuat lalu kemudian membuat rangkanya, penjagaan tradisi yang ada dan perkembangan teknik pembuatan perahu yang diadopsi dari luar. Telah melahirkan kekaguman dunia terhadap bangsa Indonesia pada umumnya dan Bulukumba pada khusunya.

Perkembangan pembuatan perahu di Tanah Beru juga tidak lepas dari peranan tiga daerah yang berada di Kecamatan Bontobahari (Ara,Bira, dan Tanah Lemo) yang terletak di bagian selatan Tanah Beru dan merupakan cikal bakal pembuatan perahu Pinisi di daerah ini. Pada awalnya pembuatan perahu berkembang di tiga daerah tersebut, namun dengan seiring perkembangan waktu dan kebutuhan akan berbagai hal pada tahun 1980-an pusat pembuatan perahu di pindahkan dan berkembang di Tanah Beru.

13 Arief Saenong, “Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya” (Bulukumba: Dinas Perindustrian Pariwisata dan Budaya, 2007), hlm. 32. Pada awal pemindahan pusat pembuatan perahu Pinisi telah terdapat ratusan pengrajin Ara yang mengerjakan perahu pesanan konsumen, ikut berpindah lokasi pembuatan di Tanah Beru.14 Mereka mengerjakan perahu pesanan konsumen dari berbagai daerah dengan berbagai macam tipe dan ukuran. Bahkan banyak diantara mereka yang tinggal dan menetap di Tanah Beru karena telah menikah dengan penduduk setempat.

Kepandaian para ahli membuat perahu Pinisi dari ketiga tempat tersebut telah diwarisi oleh penduduk setempat yang pada awalnya bekerja sebagai tukang bawahan, banyak diantara mereka yang kemudian mulai merintis karirnya dengan memulai dari pembuatan perahu yang berukuran kecil sampai pada perahu berukuran besar. Kepandaian membuat perahu Pinisi yang dimiliki oleh orang-orang Tanah Beru melalui proses yang panjang, bahkan sampai pada tahun 1987 masih sangat bergantung pada para ahli yang berasal dari Ara, Bira dan Tanah Lemo. Karena pada saat itu hanya mereka yang dianggap ahli dalam membuat perahu, terutama ahli dari Ara.

2.2 Sejarah Perahu Pinisi

Sulawesi Selatan sebagai bagian dari pulau Sulawesi dimana masyarakatnya terkenal sebagai pelaut ulung yang telah banyak menciptakan hasil karya berupa perahu sebagai alat transportasi laut yang tangguh mengarungi samudra. Berbagai jenis perahu dan tipe telah tercipta mulai dari bentuk tradisional sampai pada bentuk modern, pada mulanya bentuk alat transportasi air yang tercipta setelah penggunaan rakit adalah perahu yang dibuat dari batang kayu besar yang dikeruk dan biasa disebut perahu lesung.

14 Ibid., hlm. 17. Seiring dengan perkembangan waktu dan pemenuhan akan kebutuhan maka diperkirakan pada abad XVI barulah tercipta perahu yang lebih besar yang disusun dari kepingan-kepingan papan. Perubahan dari tahun-ketahun dan perkembangan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, akhir abad XIX atau awal abad XX mulai diciptakan model salompong ukuran besar berkapasitas 30 ton, oleh karena badan perahu salompong yan demikian besar itu, maka layarnya yang semula berupa sombala dig anti dengan dua tiang dan tujuh helai layar yang sebut sombala Pinisi.

Pada perkembangan selanjutnya, perahu salompoang yang memakai undakan pada bagian depan dianggap tidak efektif lagi dalam pelayaran, sebab mudah terhalang ombak dan dapat berbahaya bagi keselamatan pelayaran. Oleh sebab itu sekitar tahun 1920 salompoang dimodifikasi kembali, pada ujung papan yang terdapat pada haluan diratakan dan haluan jadi lancip sehingga kecepatan perahu bertambah. Tipe baru ini disebut perahu ukuranya kurang dari 30 ton memakai layar seperti layar lambok (dua helai) dan perahu palari ukuran besar (30 ton ke atas) memakai dua tiang dan tujuh helai layar.

Perahu palari yang berukuran 30 ton ke atas ini yang kemudian dinamakan perahu palari

Pinisi dan akhirnya disebut perahu Pinisi saja.15

Seiring dengan peningkatan daya angkut perahu pada tahun 1950 ada pula perahu yang dibuat dalam ukuran besar (40-60 ton). Karena ukuranya yang besar itu harus memakai dua tiang dan tujuh helai layar pula, maka pada waktu itu dikenal pula lambo

Pinisi, yaitu perahu model lambo tetapi bentuk dan layarnya seperti Pinisi.

15 Muhammad Arief dan Abbas, “Phinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” (Bulukumba: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan), hlm. 34. Pengertian dan makna perkataan Pinisi baik ditinjau dari segi asal katanya maupun dari segi latar belakang sejarah penamaan tersebut tidak ada keterangan yang menjelaskan secara pasti mengenai asal mula nama Pinisi. Dalam hal ini ada beberapa pendapat diantaranya:

1. Menurut Edward Poelinggomang nama Pinisi berasal dari jenis kapal layar

Inggris yang disebut Phinis, jenis layar ini adalah perubahan dari jenis

Schooner yang diberi mesin kecil agar tetap dapat berlayar apabila

mendapatkan angin sakal. Jenis kapal layar bermesin kecil ini dikalangan

pelaut Belanda disebut , dan pelaut Prancis menyebut Phinasche.

Karena dalam bahasa sehari-hari penduduk Sulawesi Selatan tidak

mengenal konsonan pada kahir kata, maka kata Phinis berubah bunyi

menjadi Pinisi. Phinis dalam dunia perdagangan maritim baru disebut

Pinisi pada tahun 1869.

2. Menurut Basri Padulungi (1973) nama Pinisi berasal dari kata Venecia.

Sebuah kota pelabuhan di Italia, diduga dari kata Vinecia berubah sebutan

menurut dialek Konjo menjadi “Penisi” yang selanjunya mengalami

proses fonemik menjadi Pinisi. Kemungkinan penamaan tersebut berdasar

pada kebiasaan orang Bugis-Makassar mengabadikan nama tempat

terkenal atau mempunyai keistimewaan kepada benda kesayanganya,

termasuk perahunya.

3. Sumber lain berpendapat bahwa, nama Pinisi diduga berasal dari kata

“Panisi”. Kata Panisi (Bugis artinya sisip; Mappanisi artinya menyisip).

Mappanisi (menyisip) artinya menyumbat semua batasan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak tembus air. Dugaan

tersebut berdasar pada pendapat yang menyatakan bahwa orang Bugis

yang pertama menggunakan perahu Pinisi. Lopi di Panisi (Bugis) artinya

perahu yang disisip. Diduga dari kata Panisi mengalami proses fonemik

menjadi Pinisi.

Belum ada kepastian secara jelas mengenai sejarah penamaan Pinisi itu sendiri.

Namun dari beberapa pendapat diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa penamaan

Pinisi berasal dari suatu peristiwa bersejarah yang telah tertanam pada diri pembuatnya yang kemudian diabadikan dalam nama Pinisi.

Sebelum kehadiran perahu Pinisi, Ada beberapa jenis perahu yang sudah ada di

Sulawesi Selatan antara lain.16

1.

Perahu jenis ini dibuat dari batang kayu besar yang dikeruk.

Bagian depan dan belakang dibuat dengan bentuk lancip untuk

mempercepat laju perahu, orang Makassar dan Mandar sering

menyebutnya perahu -lepa. Perahu ini kebanyakan dipergunakan

untuk memancing atau keperluan lain yang sesuai. Daya angkutnya hanya

beberapa orang saja kadang-kadang perahu jenis ini diberi cadik untuk

alat keseimbanagan. Untuk menggunakanya digunakan dayung atau galah.

Lepa-lepa juga berfungsi sebagai sekoci pada perahu besar seperti Phinisi,

lambo dan palari.

16 Nurhana, “Perkembangan Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba 1985-1995” (Makassar: Skripsi Pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 2009), hlm. 33.

2. Soppe

Soppe adalah sampan yang bobotnya lebih besar, sehingga dapat

mengangkut beberapa kuintal barang. Untuk menjaga keseimbangan , pada

bagian kiri dan kanan diberi cadik yang terbuat dari bambu atau kayu

ringan, perahu soppe memakai layar yang berbentuk segi tiga.

3. Jarangka

Perahu jarangka hampir sama dengan soppe, hanya saja ukuranya

lebih besar. Untuk menambah daya angkut biasanya dinding kiri dan

kanan dibuat lebih tinggi dengan atap nipa, tetapi ada pula yang

menambahnya dengan papan. Selain itu juga diberi tempat berteduh yang

dibuat dari daun rumbia. Dibagian kiri dan kanan juga diberi tempat

duduk, daya angkut jenis perahu ini sekitar tiga ton. Model layarnya ada

dua macam yaitu sombala yang berbentuk segi empat dan ada pula

memakai dua layar model lambo.

4.

Perahu sande’ adalah perahu khas Mandar. Secara umum

bentuknya mirip soppe, tetapi lambungnya agak ramping sehingga

gerakannya agak cepat dan lincah. Pada bagian kanan dan kiri diberi cadik

yang panjang dan pada haluan dan buritan ujungnya ke atas. Model layar

berbentuk segi tiga yang sedikit berbeda dengan jenis perahu lainya. Dan

merupakan ciri khas perahu ini.

5. Pa’dewakang

Ada dugaan bahwa perahu pa’dewakkang adalah perahu kuno yang

pertama tercipta yang memakai lunas dan dindingnya terdiri dari

kepingan-kepingan papan. Bentuknya sedikit mirip dengan perahu pajalla

dan layarnya berbentuk segi empat serta dibagian depan terdapat layar

kecil berbentuk segi tiga. Menurut beberapa sumber dahulu perahu ini

dipergunakan nelayan untuk pergi ke pulau dewakang (salah satu pulau

dalam gugusan kepulauan spermonde Pangkajene Sulawesi Selatan). Daya

angkutnya kurang dari 10 ton. Pada abad XVIII perahu pa’dewakkang

telah dipergunakan orang Bugis ke Australia Utara untuk menangkap

teripang.

6. Lambo’

Perahu lambo’ merupakan perahu khas Mandar dan Buton.

Bentuknya mirip sekoci kapal, sehingga ada yang menduga bahwa nama

lambo’ berasal dari “Large Boat” buritanya bulat dan disebut “Panta”

(pantat) sedangkan haluanya agak lurus dan condong kedepan. Daya

angkut perahu lambo’ berkisar antara 15-60 ton.

7. Pajalla Dan

Antara perahu pajalla dan patorani hampir tidak ada perbedaan,

kecuali ukuranya. Perahu patorani sedikit lebih besar dan dipergunakan

untuk menangkap ikan torani (ikan terbang). Daya angkut perahu pajalla

hanya sekitar empat ton. Perahu pajalla menggunakan layar segi empat

yang disebut “Sombala tanja” – Makassar “ Sompe tanja” –Bugis. 8. Salompong

Sekitar penghujung abad XIX perahu pajalla ditingkatkan daya

angkutnya. Peningkatan daya angkut tersebut disesuaikan dengan

perkembangan kebutuhan sarana angkutan. Untuk meningkatkan daya

angkut, perahu pajalla ditambah daya angkut dan tingginya dengan papan

lamma (papan lemah) beberapa susun. Penambahan papan lamma

diperpanjang kebelakang sebagai buritan perahu sedang pada bagian

depan penambahannya tidak langsung pada bagian sotting (Sambungan

lunas). Oleh karena itu pada bagian tersebut terjadi undakan dan disebut

“Salompong Tanja” perkembangan selanjutnya (awal abad XX) perahu

salompong ditambahkan lagi daya angkutnya menjadi 30 ton. Perahu

salompong ukuran 30-40 ton memakai dua tiang dan tujuh helai layar.

9. Palari

Perahu palari adalah bentuk modifikasi dari perahu salompong.

Undakan bagian depan dirubah dan diratakan sedangkan papan lamma

sudah langsung berhubungan dengan sotting depan, dengan demikian

bagian lantai satu (dek) sudah rata kebagian haluan, perubahan bentuk

salompoang menjadi jonggalan dimulai sekitar 1920-an.

Adanya perubahan bentuk ini menjadikan laju perahu lebih cepat.

Sehingga perahu jenis ini dinamakan perahu palari, dari perubahan

perahu tersebut menciptakan dua tipe perahu. Perahu jonggalan berukuran

kecil (kurang dari 30 ton) yang hanya memakai satu tiang dan dua buah layar dan tetap dinamai palari. Perahu palari ukuran besar (30 ton ke atas)

memakai dua tiang dan tujuh buah layar, perahu jenis ini disebut Pinisi.

Oleh karena banyaknya terjadi perubahan (modifikasi) pada perahu

Pinisi, maka penampilanya banyak yang berubah bentuk sehingga pada

beberapa kalangan awam sulit untuk mengidentifikasikan mana Pinisi

yang asli dan mana yang bukan Pinisi. Bahkan belakangan ini terjadi

kerancuan dalam penggunaan nama Pinisi.

Adapun jenis-jenis perahu Pinisi dapat dikelompokkan sebagai

berikut.17

1. Pinisi asli (type satu)

Yaitu perahu yang tampil dengan ciri utama dengan

memakai 2 (dua) buah tiang dan 7 (tujuh) layar. Haluan

memakai anjong dan pada buritan memakai rembasang.

Modifikasi hanya terjadi dalam ruang lambung sehingga

penampilan relatif sama dengan Pinisi klasik yang anggun dan

mempesona. Sebagai contoh ialah Pinisi Nusantara, Ammana

gappa, Monalisa, Silolona.

2. Pinisi Lambok/Lambok Pinisi (type kedua)

Ciri khas perahu ini adalah 2 (dua) tiang dan 7 (tujuh) layar,

haluan memakai anjong akan tetapi buritanya model

panta’/lambok. Type ini merupakan paduan antara Pinisi dan

lambok, modifikasi/kamarnya sangat tinggi dan menonjol

17 Arief Saenong., op.cit, hlm. 123. diatas geladak maka penampilanya tidak seangguan lagi

dengan Pinisi asli. Beberapa contoh perahu jenis ini adalah:

Pinisi kembang matahari, ombak putih, citra pelangi dan

chatarina.

3. Pinisi type ketiga

Perahu dengan dua tiang, haluan memakai anjong serta

buritan dengan model panta’. Terjadi modifikasi model pada

layar yang sangat berbeda dengan layar perahu Pinisi. Pada

type ini tidak ditemukan ciri utama Pinisi (model dan jumlah

layar) seperti telah di uraikan sebelumnya, sehingga perahu ini

merupakan jenis baru.

4. Pinisi type ke empat

Prototype yang banyak ditemukan di sejumlah pelabuhan

ialah perahu yang bentuknya tidak lagi terdapat ciri utama

Pinisi, tiangnya hanya satu dan layarnya hanya tiga atau empat

buah, walaupun pada haluan tetap memakai anjong yang agak

pendek dan buritanya model panta’.

Pada awal terciptanya sekitar tahun 1980-an oarang

menamainya PLM, namun setelah maraknya pemesanan Pinsi,

perahu jenis ini turut pula dinamai Pinisi. Perahu jenis inilah

yang mendominasi pelayaran di nusantara, yang digunakan

pada pengusaha angkutan barang dan jasa.

2.3 Pengenalan Awal Motorisasi

Hadirnya suatu teknologi merupakan jawaban untuk melengkapi

kebutuhan dan tantangan hidup. Artinya teknologi telah banyak memungkinkan

persoalan yang dihadapi manusia dapat terselesaikan. Teknologi diserap karena

diharapkan dapat meningkatkan pendapatan suatu masyarakat, yang pada giliranya

mampu meningkatkan standar hidup. Pengembangan teknologi dipandang sebagai

suatu kekuatan yang mampu menaikkan standar hidup manusia dalam berbagai

bidang.

Akan tetapi, selain teknlogi dapat membuat hasil tambah dalam suatu

kehidupan, juga terkadang dapat menjadi bumerang. Oleh karena itu sampai dimana

penghayatan dan kemampuan daya serap masyarakat terhadap kehadiran teknologi

sebagai suatu perangkat yang dapat menaikkan kualitas hidup dalam sebuah

masyarakat.

Perubahan penting dalam bidang ekonomi Indonesia pada 1960-an ialah

penerapan teknologi baru pada sektor perekonomian rakyat, termasuk dalam dunia

maritime.18 Pelayaran perahu yang sebelumnya hanya mengandalkan tenaga angin

diupayakan untuk menggunakan mesin motor sebagai tenaga penggerak perahu.

Pada dekade 1960-an, jumlah perahu yang dilengkapi motor sudah cukup besar,

tetapi umumnya dimilki oleh pengusaha non pribumi dari kalangan etnik Cina.19

18 Anne Booth dan Peter McCewley, “Perekonomian Indonesia Sejak Pertengahan Tahun Enampuluhan” dalam, Abdul. Rahman Hamid, “Spirit Bahari Orang Buton” (Makassar: Rayhan Intermedia, 2010), hlm. 274.

19 David Hughes, “The Indonesian Cargo Sailing Vessels and the Problem of Technology Country: A Study of the Consequence of Perahu Motorization Policy in the Contextof the Economic Regulation of Inter-Island Shipping” dalam, Abdul Rahman Hamid, ibid., hlm. 275.

Berkat dukungan dan bantuan modal dari pemerintah , pengusaha non pribumi mampu meningkatkan jumlah armadanya terus-menerus, sehingga jaringan dan jangkauan pelayaranya makin luas. Perkembangan ini melahirkan polarisasi dan kompetisi pelayaran antara armada pribumi dan non pribumi. Sudah barang tentu yang dominan dalam kompetisi ini ialah pengusaha non pribumi yang mempunyai perahu layar motor. Dengan demikian, pelayaran rakyat yang hanya mengandalkan tenaga angin tidak berdaya dan menjadi marginal dalam pelayaran dan perebutan pangsa pasar, bahkan hampir tereleminasi dalam ruang usaha kemaritiman.20

Untuk mengatasi perkembangan kompetisi armada pelayaran rakyat yang makin terdesak dari armada perahu motor non pribumi, maka pemerintah

Kabupaten Bulukumba menerapkan motorisasi secara lebih luas pada sektor pelayaran rakyat. Mengingat perananya sangat penting dalam memacu laju perekonomian khususnya di daerah kepulauan, maka upaya pengembangan sektor ini menjadi sangat penting dan strategis bagi pembangunan ekonomi masyarakat.

Proyek bantuan khusus pemerintah dalam hal ini sangat membantu masyarakat untuk mengembangakan usaha pelayaran terutama pemilikan dan pengguanaan mesin. Pemilikan mesin motor dipermudah dengan jalan pembayaran angsuran atau kredit dalam jangka 5 tahun.21

Modifikasi perahu tardisional menjadi kapal layar motor adalah sebagai langkah awal bagi pemerintah untuk merubah pola pikir tradisional menjadi lebih

20 Ibid.

21 Kantor Koperasi industri kerajinan kapal rakyat (Kopinkra) unit Tanah Lemo, 1985. maju, yang diharapkan dapat mendorong para pengrajin menyerap alih teknologi rekayasa perkapalan.22

Perubahan itu tampak berkolerasi dengan kebijakan pemerintah pada saat itu yang giat menggalakkan kebijakan motorisasi perahu layar. Teknik berlayar yang sebelumnya hanya mengandalkan tenaga angin (muson) bergeser kepada penggunaan mesin motor, namun demikian, motorisasi tidak menimbulkan perubahan total pada sistem navigasi, layar masih tetap difungsikan. Penggunaan mesin yang menandai sentuhan modernisasi dalam pelayaran digunakan bersamaan dengan layar. Layar tetap menjadi kekuatan utama dan mesin sebagai kekuatan penunjang. Pola adaptasi demikian menghasilkan sistem navigasi yang disebut

Perahu Layar Motor (PLM) dan dalam perkembanganya, layar justru bukan lagi penggerak utama. Peran utama layar digeser oleh mesin sebagai penggerak utama, sistem navigasi ini disebut Perahu Motor Layar (PML).

Periode awal motorisasi di Tanah Beru terdapat kecendrungan dikalangan komunitas pelayar masih ragu menggunakan mesin. Motorisasi dalam konteks ini berada pada tahap pengenalan, pengalaman berlayar dengan memanfaatkan angin secara gratis dibanding menggunakan mesin yang harus punya modal untuk membeli mesin dan minyak dianggap “mahal” dan merepotkan sewaktu berlayar.

Merepotkan karena mesin harus dikontrol tiap saat, awak perahu pun harus selalu siap sedia di dalam kamar mesin untuk mengontrolnya. Berbeda halnya dengan menggunakan tenaga angin, para awak tidak perlu harus selalu berada di dalam perahu. Para awak bebas berkeliaran diatas perahu, kecuali pada saat arah angin

22 Syahrul Amar, “Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tanah Lemo Kabupaten Bulukumba 1950-1988” (Ujung Pandang: Skripsi Pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 1994), hlm. 80. berubah-ubah dan tingkat kecepatanya sangat tinggi maka mereka harus selalu siap untuk mengendalikan gerak layar dan haluan perahu..

Di Tanah Beru, pekerja pembuat perahu tidak kehilangan lapangan pekerjaan, hal ini disebabkan karena semakin banyaknya para pemilik modal yang dapat mempekerjakan para sawi di unit kerjanya. Bahkan jumlah pekerja dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi tidak menghambat perluasan lapangan kerja, sehingga peningkatan perekonomian di daerah perdesaan semakin terlihat.

Atas prakarsa Presiden Soeharto, pada tahun 1972 perahu Pinisi mulai dimotorisasi dan hal ini merupakan langkah awal penggunaan mesin pada perahu

Pinisi. Sebenarnya tahun 1962 PT. Duta Pare (Pare-Pare Sulsel) pernah memesan sebuah Pinisi yang berukuran 30 ton yang diberi mesin, namun motoriasi Pinisi yang diprakarsai Presiden tersebut merupakan bantuan pemerintah untuk meningkatkan mobilitas perahu yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen yang mengiginkan kecepatan arus perdagangan dan transportasi.23

Pemasangan motor pada perahu layar, semula hanya untuk mengatasi kesulitan perahu layar yang akan memasuki dan keluar dari pelabuhan. Proyek motorisasi perahu layar ini, menarik perhatian presiden Soeharto, yang pada tahun

1977 memberikan bantuan presiden (Banpres) sebesar 500 juta rupiah kepada

Bupati Bulukumba A. Bakri Tandaramang (1966-1978) untuk dikelola oleh Dirjen perhubungan laut, dalam membantu pengusaha pelayaran rakyat meningkatkan

23 Arief Saenong., op.cit, hlm. 117. perahu layar menjadi perahu layar motor (PLM).24 Kebijakan tersebut terbukti dari akumulatif berikut ini:

TAHUN SWADAYA BANPRES JUMLAH

1977 488 100 588

1978 576 100 676

1979 591 100 691

1980 682 118 800

1981 899 133 1032

Sumber: Syahrul Amar, Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tanah Lemo

Kabupaten Bulukumba 1950-1988 (Ujung Pandang: Skripsi Pada Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 1994)

24 Syahrul Amar., op.cit, hlm. 59. BAB III

MOTORISASI PERAHU PINISI

3.1 Proses Penerimaan dan Perkembangan Motorisasi

Kehadiran motorisasi bagi perahu layar merupakan era baru dari perkembangan pelayaran rakyat. Usaha motorisasi ini merupakan jawaban atas desakan penggunaan jasa angkutan laut, yang tidak seluruhnya dapat dilayari oleh sistem pelayaran nusantara. Membaiknya mutu armada dari perahu layar menjadi perahu bermotor membawa akses baru pada perjalanan pelayaran rakyat.

Jangkauan pemasaran produksi perahu semakin luas, mencakup seluruh Tanah

Air bahkan promosinya telah sampai ke luar negeri.25 Jumlah pesanan perahu semakin meningkat, seiring dengan kebutuhan akan sarana transportasi laut yang semakin pesat dan membutuhkan sarana yang cepat, sehingga motor pada perahu layar merupakan tuntutan zaman yang harus diterima.

Pada tahap awal pengoprasian teknologi modern banyak mengalami hambatan, terutama dari para pekerja (sawi) dan punggawa, dengan adanya motorisasi membawa ancaman bagi punggawa. Yang selama ini memegang peranan penting dalam penyediaan alat-alat, merasa khawatir posisinya diambil alih oleh orang yang memiliki modal lebih besar seperti orang non pribumi

(Cina), pedagang besar yang akan menggantikan posisi mereka nantinya.

Selain itu para pekerja (sawi) pembuat perahu mereka khawatir dengan adanya sistem teknologi yang lebih baru dan maju, akan terjadi pengurangan

25 Wawancara, dengan Natsir S.pd tanggal 16 Maret 2013 di Tanah Beru. tenaga kerja dalam proses pembuatan perahu sehingga sebagian pekerja kehilangan mata pencaharian. Namun mengingat bahwa meningkatnya jumlah pesanan dan untuk percepatan produksi, teknologi adalah salah satu jalan dalam mengatasi hal tersebut

Meskipun pada awalnya, penggunaan peralatan modern mengalami penolakan oleh beberapa pengrajin dan pertimbangan bahwa pengunaan mesin mengakibatkan guncangan yang keras pada papan bagian bawah perahu dan juga akan berdampak pada bentuk asli perahu, serta adanya ketakutan akan hilangnya tradisi yang dipercayai telah diwariskan dari nenek moyang mereka. Namun penggunaan mesin mengalami peningkatan yang drastis dan disertai dengan perubahan pada model perahu tapi tidak meninggalkan ciri khas dan tradisi yang ada.

Potensi perahu layar di Kabupaten Bulukumba yang cukup besar membuat pemerintah memberikan perhatian serius dalam rangka peningkatan program motorisasi. Hal itu sudah menjadi program umum pemerintah indonesia pada tahun 1974 untuk memperluas motorisasi perahu layar, karena itu untuk menyukseskan program ini, digalakkan penyuluhan-penyuluhan tentang metode dan manfaat penggunaan mesin.

Di Tanah Beru kabupaten Bulukumba yang hidup sebagai pengrajin perahu, mengenal motorisasi perahu layar pada tahun 1975. 26 Sehubungan dengan itu pula, pemakaian alat-alat pembuatan perahu yang lebih moderen mulai dikenal dan dioprasikan. Namun peralatan tradisional yang sudah lama dipakai

26 Wawancara, dengan Natsir S.pd tanggal 10 April 2013 di Tanah Beru. oleh masyarakat pengrajin, seperti kampak, parang, pahat, gergaji tangan masih tetap digunakan.

Motorisasi di Tanah Beru diperkenalkan pertama kali oleh pihak swasta yang pengoprasiannya masih terbatas hanya beberapa orang saja. Dan orang yang pertama menggunakan mesin pada perahu Pinisi adalah milik H. Damang pada tahun 1976 yang pengadaan mesinya melakukan kongsi dengan pengusaha Cina

Tionghoa yang didatangkan dari Surabaya.27 Baru pada tahun 1977 penggunaan mesin telah meluas dan merata dan didukung dengan Banpress sebesar 500 juta rupiah.28 Animo komunitas pelayar dan pengrajin perahu Pinisi di Tanah Beru dalam merespon motorisasi berkembang begitu pesat. Mereka tidak hanya mengharapkan bantuan kredit dari pemerintah, tetapi lebih dari itu mereka megupayakan sendiri untuk memilikinya. 29 Jenis mesin yang pertama kali digunakan yakni Yanmar (150 pk) yang menurut pengakuan narasumber, mesin jenis ini Tahan terhadap panas dan pengoprasiannya yang mudah.30

Peralihan dari penggunaan layar ke mesin berlangsung dengan cepat, sehingga tidak terasa masyarakat di Tanah Beru semakin banyak yang memakainya. Meskipun pada awalnya orang-orang menyangsikan tetapi segera tahu bahwa mesin membuat perahu mereka berlari lebih cepat dan lebih bisa di andalkan, dan dengan demikian dapat menarik dan mengantarkan lebih banyak muatan dengan kecepatan tinggi.

27 Wawancara, dengan H. Damang tanggal 17 Juni di Tanah Beru.

28 Wawancara, dengan H. Sakka tanggal 27 Juni 2013 di Tanah Beru.

29 Wawancara, dengan A. Ahmad Samanna tanggal 10 Mei 2013 di Tanah Beru.

30 Wawancara, dengan Bahtiar tanggal 20 Mei 2013 di Tanah Beru. Kecendrungan ini terus berlanjut dengan semakin ramainya pemakaian mesin dikalangan pengrajin dan pelayar di Tanah Beru. Ini berkaitan dengan kemajuan teknik pelayaran yang efektif dan dan dapat “memperpendek” jarak serta mempersingkat waktu pelayaran. Penggunaan mesin hampir tidak lagi membuat komunitas pelayar membuat jadwal pelayaran seperti pada saat menggunakan angin muson yang hanya dapat digunakan 2-3 kali dalam setahun.

Waktu pelayaran mudah diperkirakan menurut jarak dan kondisi arus dan gelombang laut yang ditempuh.

Motorisasi dalam perkembanganya juga ikut memajukan pelayaran rakyat.

Pelayaran rakyat dalam kegiatan operasionalnya merupakan salah satu sub-sistem dari angkutan laut nasional, umumnya dikelola oleh golongan ekonomi kebawah, di usahakan oleh pengusaha pribumi yang berasal dari suku Bugis-Makassar,

Mandar dan Buton melalui pemupukan modal perorangan atau kekeluargaan dalam jumlah yang relatif kecil di banding usaha pelayaran lainya. Dan melayani perangkutan antar pelabuhan dengan perahu layar motor (PLM), kapal layar motor

(KLM) dengan ciri menggunakan kapal atau perahu dari kayu dengan menggunakan layar sebagai penggeraknya.

Namun di satu sisi, setelah akhir tahun 1970-an sampai pertengahan 1980- an saudagar pelayaran lokal mengalami kemunduran, pengusaha keturunan

Tionghoa dari Makassar dan Surabaya muncul sebagai penggantinya.31 Hal ini diawali dengan keluarnya peraturan pemerintah tentang motorisasi pelayaran pada tahun 1972 yang mewajibkan Pinisi dipasangi mesin dan perlengkapan

31 Darmawan Salman, “Jagad Maritim” (Makassar: Inninawa, 2006), hlm. 47. keselamatan. Dengan harga mesin yang mahal saudagar pelayaran di Tanah Beru tidak mampu lagi berinvestasi, sebagian dari mereka berkongsi dengan pengusaha keturunan Tionghoa dan sebagianya lagi bangkrut sama sekali.

Kebijakan pemerintah ternyata dapat menyebabkan perubahan komposisi penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat. Motorisasi pelayaran tersebut sebenarnya adalah kebijakan kapitalisasi, dan saudagar pelayaran niaga sebagai pelaku ekonomi rakyat, tidak memiliki kapasitas modal untuk motorisasi dimaksud sehingga membuka peluang bagi pemodal keturunan Tionghoa.32

Kebijakan motorisasi memang merupakan tuntutan modernisasi pelayaran pada saat itu, tetapi bila melihat akibat langsungnya pada komunitas pelayaran niaga di Tanah Beru, ia identik dengan penggusuran komunitas mereka dari aktivitas yang telah mereka geluti lebih dari setengah abad. Saat pengusaha keturunan Tionghoa berinvestasi dalam industri pembuatan perahu membuat lokasi pembuatan perahu tidak lagi berpusat di Bontobahari (Tanah Beru).

Pengusaha Keturunan Tionghoa memilih di pulau yang kayunya tersedia dan mengharuskan pembuat perahu dari Ara dan Tanah Beru bermigrasi mengikuti lokasi pembuatan perahu tersebut. Pada periode ini investasi teknologi dalam pembuatan perahu berlangsung signifikan.

Investasi teknologi mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan.

Kehadiran pengusaha keturunan Tionghoa yang bermodal besar memungkinkan peningkatan skala produksi, ia tidak hanya mengondisikan motorisasi pelayaran niaga, tetapi membawa pembaruan dalam komunitas pembuat perahu. Pembaruan

32 Ibid. tersebut tidak berlansung selama pelayaran niaga berada di tangan saudagar lokal

Bontobahari (Tanah Beru). Dengan demikian, di satu sisi kehadiran pengusaha keturunan Tionghoa menggusur komunitas saudagar pelayaran di Bontobahari, tetapi di sisi lain menciptakan kemajuan dalam komunitas pembuat Perahu.33

Pada akhir 1980-an pembeli luar negeri hadir di Bontobahari (Tanah

Beru). Munculnya pembeli luar negeri terkait dengan menyebarnya informasi tentang perahu Pinisi ketika pelayaran dilakukan dari Indonesia ke Kanada dalam rangka Expo 1986 di Vancouver. Dalam pameran itu, beberapa peminat perahu tradisional tertarik pada Pinisi. Perahu yang dipemerkan tersebut dibangun oleh pembuat perahu di Tanah Beru dan dalam pelayarannya juga melibatkan beberapa pelayar dari Bira.

Bagaimana komunitas pembuat perahu mempertahankan eksistensinya di tengah peralihan teknologi? Mereka telah menjalankan adaptasi teknologi dan organisasi produksi dalam merespon tuntutan perubahan yang dikehendaki pasar.

Penguasaan atas konstruksi perahu yang memungkinkan dipasangi mesin, lambung perahu yang dilengkapi ruang makan dan tidur serta sound syestem demi kesenangan pemesan, dan penggunaan alat dan bahan kerja yang makin canggih dan kompleks, mereka pelajari secara otodidak dan mengadaptasinya sesuai keinginan konsumen. Pembagian kerja dalam komunitas demi tercapainya efisiensi dan efektifitas.

33 Ibid., hlm. 48. 3.2 Konstruksi Perahu: Yang Bertahan dan Berubah

Setelah tahun 1980-an semakin banyak perahu yang dilengkapi dengan mesin penggerak, maka dengan itu baik lambung perahu maupun layarnya dirubah. Untuk dipasangi dengan sebuah mesin jenis lambung tradisional terbukti tidak cocok, sehingga lambung tipe lambo menjadi alternatifnya. Hampir semua perahu kini mengguanakan lambung jenis lambo oleh karena layarnya sekarang hanya berfungsi sebagai pembantu, maka di atas perahu tipe PLM ini biasanya hanya terdapat satu tiang saja. Perahu-perahu yang berukuran besar tetap memakai layar bak Pinisi satu tiang, sedangkan perahu berukuran sedang dilengkapi dengan layar nade.34

Adapun perubahan yang dialami perahu Pinisi dari segi bentuk luar, dari segi keindahannya hampir tak mengalami perubahan hanya saja konstruksi bagian dalam sedikit mengalami perubahan sebagai akibat pemasangan mesin atau motorisasi. Perubahan atau penambahan konstruksi bagian dalam ini khususnya pada body perahu antara lain.35

1. Pengurangan ruang palka untuk menjadi ruang mesin.

2. Pembuatan jendela untuk penerangan kamar mesin, pipa udara dan

ventilasi.

3. Penambahan/penguatan pada irisan lobang palka digeladak yakni

penambahan balok yang melintang dan membujur dilubang palka.

34 Horst H. Liebner, “Pelayaran dan perdagangan Masyarakat Sulawesi Selatan: Tinjauan Sejarah Perkapalan dan Pelayaran” dalam, Dias Pradadimara & Muslimin A.R. Effedy, Editor, “Kontinuitas & Perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan”(Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 110. 35 Muh. Basri Padulungi, “Perahu Pinisi Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan Bugis Makassar” (Ujung Pandang: Skripsi Pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1973), hlm. 80. 4. Penambahan moor/baut, sekrup pada ikatan kulit dan gading serta dengan

balok geladak.

5. Penguatan pada sambungan balok geladak dan gading.

6. Penguatan/pemasangan sepatu lunas dari plat baja panjang, sepanjang

lunas.

7. Bila perlu penguatan pada hubungan dek dengan tiang layar.

Kemudian akibat pemasangan mesin perlu dipasang:

1. Fondasi mesin termasuk gading khusus sebagai tambahan ruang serta

balok-balok membujur.

2. Pemasangan dek mesin.

3. Penerobosan lubang poros pada lunas dan pemasangan sarung poros serta

dudukanya.

4. Pembuatan dan pemasangan balok geladak dan gading-gading peralatanya.

5. Pemasangan balok-balok pengisi.

6. Pemasangan tangki bahan bakar, minyak lintir dan air tawar.

7. Pemasangan pipa-pipa pompa 3 buah.

8. Pemasangan sink stuk.

9. Pemasangan alat pemadam kebakaran.

10. Untuk mengurangi getaran mesin pada body perahu, diperlukan mesin

dengan putaran rendah.

Dari gambaran diatas, nampak bahwa perahu Pinisi yang sudah dimotorisasi mengalami perubahan-perubahan dari segi konstruksinya dalam hubunganya dengan pemasangan mesin, walaupun dalam prinsip pembuatanya secara teknik tradisional di usahakan penyesuaian dengan teknik modern dibidang pertukangan dan pelayaran.

Pemasangan mesin pada perahu menghasilkan perubahan pada teknik konstruksi dan style perahu, namun perubahanya tidak terjadi pada semua konstruksi perahu. Dalam hal ini, ada yang masih dipertahankan dan ada pula yang mengalami perubahan. Perubahan itu merupakan bentuk pengadaptasian pengguanaan teknologi modern dalam pelayaran.

Sotting/linggi belakang pada Pinisi klasik yang bentuknya agak melengkung dan bersambung langsung dengan lunas, dengan pemakaian mesin lebih kurang 1 meter dari ujung belakang dipasangi balok tegak lurus (tiang bos) sebagai landasan (as) baling-baling dan pada ketinggian tertentu barulah dipasang sotting/linggi belakang. Bentuk linggi belakang pun ada 2 macam, ada yang lurus dan ada yang agak melengkung, hal tersebut bergantung dari model buritan perahu yang akan dibuat. Apabila buritan perahu model “panta” (model lambo) seperti yang dibuat kebanyakan, maka digunakan balok lurus. Tetapi bila pemesan menginginkan model perahu Pinisi asli yang memiliki buritan model rembasang, maka linggi belakang yang digunakan yang agak melengkung.36

Pada awalnya linggi tegak lurus (tiang bos) ini hanya terdiri dari satu balok, namun belakangan ini ada yang menggunakan 2 tiang bos berdampingan.

Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa dengan mempergunakan 2 balok sebagai landasan baling-baling, pengaruh getaran akibat putaran baling-

36 Arief Saenong, “Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya” (Bulukumba: Dinas Perindustrian Pariwisata dan Budaya, 2007), hlm. 119. baling dapat dikurangi dan diharapkan akan berdampak positif pada ketahanan perahu.

Penggunaan mesin disesuaikan dengan konstruksi perahu, penempatan baling-baling mesin berimplikasi pada pembuatan saluran khusus tempat pemasangan besi (as) mesin. Saluran itu dibuat di bagian belakang yakni di samping kiri atau kanan dari lunas perahu. Penambahan panjang dan agak ramping, bentuknya yang ramping membuat perahu lebih lincah bermanuver di ruang samudra karena sebagian besar badan perahu tidak terendam di dalam laut.

Hal itu mempengaruhi ruang perahu yang digunakan menampung barang makin sempit dan sedikit jumlahnya. Untuk mengantisipasi daya muatnya, perahu dibuat lebih panjang, walaupun sebenarnya konstruksi ini membuat lambat gerakanya diatas ombak. Untuk memicu kecepatan gerak perahu, disamping mesin juga digunakan layar sebagai tenaga tambahan.37

Adapun kelebihan dan kelemahan perahu Pinisi yaitu, seperti ukuran

(scantling) beberapa elemen konstruksi. Bila dibandingkan dengan peraturan konstruksi kapal kayu menurut klasifikasi modern, sebagian kurang memenuhi persyaratan. Dilain pihak, kelebihan tebal papan kulit dan papan geladak (deck) serta kerapatan tulang (frame spaang) lebih kuat.

Kekuatan konstruksi memanjang dan melintang bagi perahu Pinisi cukup untuk mengatasi tegangan yang terjadi karena tekanan ombak, baik dalam posisi toging maupun sagging. Demikian pula stabilitasnya lebih dari cukup, karena

37 Abdul Rahman Hamid, “Spirit Bahari Orang Buton” (Makassar: Rayhan Intermedia, 2010), hlm. 302. memiliki tinggi metasentra lebih dari dua meter dan sudut karam lebih dari 70 derajat.38

Kelemahan pada konstruksi Pinisi, terletak pada sistem sambungan. Baik antara papan-papan maupun antara bagian konstruksi. Tidak memiliki dinding sekat pembagi ruang perahu guna mempertinggi daya apung bila terjadi kebocoran. Kelemahan lainya terdapat pada lubang palka dan lubang pintu agak rendah, sehingga mudah dimasuki air apabila ombak naik di atas dek. Inilah kelemahan Pinisi secara umum.

3.3 Dukungan Pemerintah dan Masyarakat di Tanah Beru

Keberhasilan suatu daerah dalam mencapai sebuah prestasi gemilang tentu saja tidak terlepas dari peran dan dukungan pemerintah setempat. Hal ini juga yang jelas terlihat di kelurahan Tanah Beru Kabupaten Bulukukmba yang menjadi sentra pusat pembuatan dan kerajinan perahu Pinisi sampai sekarang.

Peranan pemerintah yang sebelumnya telah terlihat jelas sejak pertengahan tahun 1967 dimana Pinisi dinyatakan mengalami masa suram dan nyaris punah.

Sebuah tindakan tepat yang diprakarsai Presiden Soeharto pada tahun 1972, telah merubah pola pikir masyarakat pantai Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut dan pengusaha perahu dengan memperkenalkan motorisasi dan alat modern lainya untuk meningkatkan mobilitas perahu yang sesuai dengan keinginan konsumen dan sekaligus meningkatkan kecepatan arus perdagangan dan transportasi.

Selanjutnya pada tahun 1992 dilakukan pengkajian standarisasi dan modernisasi

38 Wawancara, dengan H. Sakka tanggal 20 Juni 2013 di Tanah Beru. oleh Dirjen Perhubungan laut berkerja sama dengan Universitas Hasanuddin

Ujung Pandang dan ITS Surabaya. Untuk merumuskan buku pedoman desain, konstruksi yang ditindak lanjuti dengan prototipe KPM tipe Pinisi dengan ukuran

255 GRT dengan masing-masing galangan kapal di Bulukumba dan Batu licin.39

Pemerintah setempat juga bekerja sama dengan dengan Departemen

Perindustrian melakukan pembinaan dan petunjuk tentang motorisasi perahu tradisional agar penggunaanya lebih efisien dan efektif. Mereka berupaya untuk memberikan bantuan peralatan teknis operasional berupa bor, ketam listrik, chainsaw dsb. Kemudian menyerahkan kepada mereka kelunakan untuk mendapatkan kredit motorisasi, namun muncul masalah karena mereka beranggapan bahwa sistem kredit tersebut adalah riba.

Departemen Perindustrian Sulawesi Selatan juga telah menyusun program yakni : “Program pembinaan perahu/kapal rakyat diarahkan kepada usaha peningkatan kemampuan di bidang perluasan pasar, peningkatan teknologi, peningkatan manajemen usaha, dan peningkatan keterampilan pengrajin/pengusaha”. Berdasar hal diatas, maka usaha yang perlu dilakukan adalah.40

1. Penerapan teknologi pembuatan perahu/kapal rakyat dengan suatu metode

yang disesuaikan dengan kondisi dan keterampilan yang sudah dimiliki

oleh para pengusaha atau para pengrajin perahu/kapal rakyat di Sul-Sel.

39 Yamin Jinca, “Transportasi Laut Kapal Layar Motor Pinisi” (Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 2002), hlm. 23. 40 Balai Pembinaan dan Pengembangan Industri, Kanwil Departemen Perindustrian Sul- Sel. “Diskusi Teknis Pengembangan Kapal Rakyat Sul-Sel” (Ujung Pandang, 1985). 2. Mengusahakan adanya keterkaiatan antara sesama industri, maupun

dengan sektor lainya.

3. Peningkatan keterampilan para pengusaha dan pengrajin dalam hal

keterampilan teknis dan pengelolaan usahanya.

4. Perluasan pasar dengan memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan umum dan

pembelian pemerintah.

Usaha diatas menunjukkan bahwa pembinaan Departemen Perindustrian sangat diharapkan dapat mendorong para pengrajin untuk meningkatkan usahanya, dan tidak dapat dipungkiri pula timbul sebuah pertanyaan, mampukah teknologi tradisional berpacu dengan teknologi modern? Jawabanya ditentukan oleh pengrajin itu sendiri, yang harus mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi dan perkembangan teknologi. Hal itu juga merupakan tugas Pemerintah untuk melakukan pembinaan lebih lanjut, guna pengembangan industri pembuatan perahu di Tanah Beru yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi tanpa mengurangi nilai-nilai tradisional yang merupakan warisan budaya dari nenek moyang mereka, sehingga budaya tersebut tetap lestari. Dengan demikian tercipta perpaduan antara kedua jenis teknologi tersebut.

Teknis operasional pembuatan perahu tidak begitu dicampuri, sebab para pengrajin masih mengandalkan sistem teknologi warisan leluhurnya. Karena itu, pembinaan hanya terfokus pada teknis modifikasi perahu tradisional menjadi kapal layar bermotor yang jarang dilakukan, sebab terbentur biaya yang terbatas, kecuali ada permintaan pesanan dari luar negeri. Selain itu kantor Departemen

Perindustrian telah mengikut sertakan 10 orang pengrajin dalam program pendidikan dan latihan, dengan materi pokok membaca gambar dan praktikum pengembangan kapal rakyat pada tahun 1988.41

Upaya pemerintah tidak hanya pada pengenalan motorisasi saja, usaha memperkenalkan perahu Pinisi terutama kepada wisatawan mancanegara dan domestik terus berlanjut. Mempromosikannya kepada setiap pendatang dan membuka kesempatan bagi mereka yang ingin melihat secara langung pembuatan perahu Pinisi. Peran pemerintah ini tidak lepas dari visi dan misi Kabupaten

Bulukumba yang bertujuan Mewujudkan masyarakat sejahtera. Kesejahteraan masyarakat akan ditingkatkan dengan mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang ada dengan mewujudkan atau membangun daerah agroindustri, agro bisnis, daerah wisata bahari, peningkatan ekonomi kerakyatan, dan pelayanan jasa.42

Usaha untuk memperkenalkan dan menjadikan Tanah Beru sebagai daerah penghasil perahu Pinisi dan tempat wisata bahari tidak hanya dilakukan pihak pemerintah saja, tetapi juga terlihat dari apresiasi dan peranan masyrakat setempat dengan sikap yang ramah tamah menerima tamu mancanegara serta domestik dan memperbolehkan melihat langsung proses pembuatan Pinisi, selain itu masyarakat juga membuat souvenir Pinisi yang berbagai ukuran dan harga yang bervariasi pula seperti yang ditekuni oleh H. Arifin Nur 70 tahun yang selama puluhan tahun telah menjalankan usahanya.

41 Syahrul Amar, “Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tanah Lemo Kabupaten Bulukumba 1950-1988” (Ujung Pandang: Skripsi Pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 1994), hlm. 81. 42 Muhammad Akbar, “Budaya Bahari Bulukumba” (Bulukumba: Dinas Perindustrian Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bulukumba Propinsi Sulawesi Selatan, 2005), hlm. 7. BAB IV

DAMPAK MOTORISASI

4.1 Pengaruh Motorisasi Dalam Bidang Ekonomi

Demikian luas dan kayanya laut Indonesia, sehingga orang banyak

menduga bahwa di masa depan laut menjadi salah satu alternatif yang

potensial sebagai daya dukung terhadap kehidupan dan penghidupan

manusia. Setelah semakin sempitnya daratan dan terjadinya penyusutan

sumber daya alam di darat yang semakin tidak seimbang dengan laju

pertumbuhan penduduk. Kondisi geografis yang sebagian besar terdiri dari

laut, memungkinkan berkembangnya sektor industri perahu, perikanan,

pariwisata, perhubungan laut, pertambangan minyak dan sebagainya. Sektor-

sektor ini menjanjikan harapan untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi

yang sangat penting, akan tetapi persoalannya terletak pada masalah sumber

daya manusia.

Kebutuhan perahu Pinisi yang semakin meningkat yang nampak jelas

sejak pengguanaan peralatan modern mulai berkembang pesat pada tahun

1985.43 Telah membuka peluang yang besar bagi masyarakat setempat untuk

menjadikan usaha pembuatan kapal dan pertukangan menjadi mata

43 Wawancara, dengan H. Abdullah tanggal 27 April 2013 di Tanah Beru.

pencaharian pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. 44 Dengan

demikian profesi bertukang banyak menyerap tenaga kerja.

Pada sentra pembuatan perahu Pinisi di Tanah Beru ada sekitar 200

orang tukang perahu yang didominasi tukang-tukang setempat yang

mengerjakan perahu berbagai type dan ukuran baik pesanan domestik

maupun pesanan dari mancanegara.45 Penghasilan seorang tukang (sawi) rata-

rata perhari sekitar Rp.3000,-4.500, sedangkan kepala tukang lebih banyak

lagi sekitar Rp. 7.5000/hari. Jika tukang tersebut mengerjakan perahu diluar

Sul-Sel, maka upah borongan akan lebih tinggi sebab semua urusan logistik

menjadi tanggungan pemilik perahu.

Dari penghasilan sebagai tukang perahu ini, para tukang dapat

menghidupi keluarganya dengan berkecukupan sebagai warga desa. Mereka

juga memperhatikan pendidikan anak-anaknya, sebab mereka dapat

menyekolahkan anaknya sampai SLTA dan bahkan lanjut sampai

keperguruan tinggi. Selain mereka memanfaatkan penghasilan bertukang

untuk pendidikan anak-anaknya, dari penghasilan bertukang itu juga mereka

mampu membuat rumah yang baik untuk ukuran desa. Bagi warga desa pada

umumnya, rumah disamping sebagai tempat tinggal juga merupakan simbol

kehormatan dan prestasi tersendiri. Hal itu dapat terwujud karena keluarga

yang ditinggalkan suami memanfaatkan waktunya untuk berwira usaha

seperti menjahit/menyulam, berdagang dan berbagai usaha produktif lainya.

44 Nurhana, “Perkembangan Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba 1985-1995” (Makassar: Skripsi Pada Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, 2009), hlm. 56. 45 Arief Saenong, “Pinisi Panduan Teknologi dan Budaya” (Bulukumba: Dinas Perindustrian Pariwisata dan Budaya, 2007), hlm. 128. Sampai saat ini industri pembuatan perahu di Tanah Beru masih cukup ramai melayani pesanan membuat perahu. Dengan tetap berkembangnya industri pembuatan perahu, maka muncul pula pengusaha pembuat perahu. pengusaha itulah yang menerima order/pesanan dari konsumen baik dari perorangan maupun instansi. Besarnya harga sebuah perahu tergantung dari kesepakatan antara konsumen dan pengusaha yang bersangkutan. Hal itu sangat tergantung dari tonase perahu yang di inginkan, jenis kayu yang akan digunakan serta bobot/volume pekerjaan yang dikehendaki.

Masyarakat setempat yang pada awalnya hanya bekerja sebagai pelaut dan nelayan biasa, mulai merintis karir dan selanjutnya mengembangkan usaha dengan cara berkongsi dengan para pengusaha keturunan Tionghoa.

Begitu pun dengan masyrakat yang berada di peratauan banyak yang kembali karena lapangan pekerjaan sudah ada di daerah sendiri.

Kehadiran motorisasi secara langsung memberikan kemajuan ekonomi pada masyarakat di Tanah Beru. Meningkatnya jangkauan pemasaran produksi perahu, jumlah pesanan perahu, membuka kesempatan kerja dan berusaha pada sub sektor perhubungan laut. Pengguanaan tenaga kerja yang semakin bertambah dan pengusaha kayu yang menyediakan kayu sebagai bahan baku perahu juga semakin bertambah jumlahnya.

Lama pelayaran dengan bantuan mesin adalah satu setengah kali dibanding hanya mengandalkan layar. Selanjutnya, jumlah pelayaran pertahun telah berlipat ganda dengan bantuan mesin waktu pelayaran antar pelabuhan lebih cepat dan musim lebih panjang untuk berlayar. Walau terjadi penambahan ongkos untuk mesin, perahu ini tetap memberikan keuntungan lebih besar kepada kapten, pemilik dan awak sendiri. Selain itu faktor yang penting adalah meningkatnya ketersediaan muatan titipan dari agen pengapalan dengan pertimbangan meningkatnya kecepatan dan kehandalan perahu-perahu bermotor.

Bagaimana persisnya motorisasi memberi dampak pada hidup para pelaut dan jenis muatan yang mereka kapalkan? hal ini bisa kita lihat dari sebuah ilustrasi, yaitu catatan tentang pelayaran satu tahun pada tahun 1980 dengan menggunakan Pinisi tipe lambo, perahu yang berkapasitas 60 ton dengan daun kemudi dan kemudi samping, layar belacu, dan tali layar berbahan sabut kelapa. Masih tanpa mesin, perahu ini diawaki sembilan orang. Dua juru mudi diperlukan siang hari dan dua untuk malam hari. Empat awak dibutuhkan untuk menaikkan dan menurunkan layar, enam orang untuk mendayung ketika angin berhenti, dan lima untuk menarik perahu di sepanjang pantai dengan sampan dan jangkar ketika dibutuhkan. Dalam kondisi demikian, pada akhir musim barat, sembilan hari dihabiskan untuk melewati 180 mil atau sekitarnya dari Bira ke Buton. Tepatnya di tahun

1981, masing-masing awak hanya menerima Rp. 20.000. dengan begitu banyak awak yang bekerja keras dengan upah yang amat sedikit, tak heran bila pemilik segera beralih ke motorisasi, dan para awak hanya mencari perahu yang sudah dipasangi mesin.46

46 Wawancara, dengan H. Sakka tanggal 17 Juli 2013 di Ara. Berikutnya, contoh kedua memperlihatkan perubahan yang agak grafis keuntungan dari motorisasi adalah pengapalan bawang merah dari Bima ke

Makassar, Bulukumba, Buton dan pelabuhan lainya. Bawang merah juga merupakan muatan penting bagi pedagang setempat. Bawang merah juga komoditas yang mudah rusak. Karena barang ini akan lama di masa transit, bawang ini akan dikeringkan dulu selama 40 hari agar muatan itu tidak rusak sebelum meninggalkan Bima. Meski demikian, cara ini mengurangi beratnya dan dengan begitu keuntungan juga berkurang. Dengan bantuan mesin, kini bisa membawa bawang merah dengan komisi (tanpa harus dibeli) dan mendapatkan lebih banyak kentungan. Contohnya, pelayaran dari Bira ke

Buton, ketika berlayar dengan angin timur yang konstan akan memakan waktu sepuluh hari sebelum penggunaan mesin, dan selama itu bawang merah akan membusuk. Kini hanya memerlukan waktu lima hari dengan batuan mesin, dan agen pengapalan sering menambahkan bonus bila perahu tiba dalam empat hari. Maka sebuah perahu 40 ton dapat membawa 600 keranjang bawang merah dengan komisi, setelah menghitung pengeluaran, adalah Rp 3000 per keranjang, atau Rp 1.500.000, dan bisa jadi ditambahkan

Rp 100.000 jika tiba dalam empat hari. Dibagi menjadi 10 bagian, masing- masing awak akan mendapatkan hasil yang lumayan besar, Rp 160.000 untuk pekerjaan kurang dari seminggu.47

Singkatnya terjadi peningkatan kemampuan mendapatkan keuntungan secara umum, yang merupakan dampak dari perubahan teknologi. Hasil

47 Wawancara, dengan H. Mahmuddin tanggal 11 Juli 2013 di Tanah Beru. bersihnya adalah berkurangnya jumlah awak per perahu bersamaan dengan meningkatnya jumlah dan ukuran perahu bermesin serta jumlah pelayaran per tahun.

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu komponen yang utama dalam menjalankan kegitan pelayaran dan penangkapan ikan. BBM, khususnya solar mempengaruhi biaya usaha sekitar 25% hingga 45% dari total biaya usaha pelayaran dan penangkapan ikan untuk pembelian solar.48

Pada sektor pelayaran, motorisasi pada perahu yaitu perubahan penggunaan tenaga layar menjadi mesin sebagai tenaga penggerak utama kapal membawa dampak efisiensi terhadap waktu, tenaga dan luas jangkauan pelayaran.

Semakin meningkatnya motorisasi pada kegiatan pelayaran dan penangkapan ikan, ketergantungan solar sebagai bahan bakar kapal mutlak diperlakukan dan jumlahnya semakin bertambah.

Pola konsumsi solar dipengaruhi oleh jumlah dan jenis kapal yang secara aktif melakukan pelayaran dan penangkapan ikan. Untuk mendapatkan hasil muat dan tangkapan yang memiliki nilai ekonomi tinggi tergantung pada proses penanganan muatan di atas kapal. Kapal motor yang biasanya memiliki lama perjalanan 30 hari dilengkapi dengan ruangan pendingin

(freezing room) yang harus tetap dinyalakan terus menerus yang berdampak pada pemakaian solar yang semakin banyak karena mesin kapal harus dihidupkan tanpa berhenti.

48 Wawancara, dengan H. Abdullah tanggal 13 Juli 2013 di Tanah Beru. Suplai solar untuk kebutuhan kapal di sekitar Tanah beru pasokanya terbatas, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Bulukumba yang hanya satu unit harus melayani kapal dan kendaraan bermotor sehingga terkadang para pelaut harus antri untuk mendapatkan solar. Mekanisme penyaluran BBM untuk para pelayar dan nelayan yang menggunakan kapal motor dan perahu motor sangat berbeda. Para pelayar yang menggunakan kapal motor dapat melakukan pembelian solar secara langsung dari SPBU. Para pelayar sebelum membeli BBM solar harus mendaftarkan terlebih dahulu kapalnya kepada syahbandar dengan cara mencatatkan nama kapal, pemilik kapal, ukuran kapal, kekuatan mesin dan lama pelayaran.

Setelah mendapatkan persetujuan dari petugas syahbandar, pelayar kapal motor di ijinkan untuk membeli BBM solar di SPBU dengan syarat menunjukkan surat pemohonan pembelian minyak solar kepada petugas

SPBU. Sedangkan para nelayan yang menggunakan perahu motor tempel dapat melakukan pembelian solar melalui pengecer yang harga jualnya jauh lebih mahal dibandingkan harga jual di SPBU. Keadaan ini sangat mempengaruhi beban biaya operasional kegiatan penangkapan ikan para nelayan yang menggunakan perahu motor tempel.

Ukuran dan kekuatan mesin kapal merupakan faktor yang menentukan besarnya biaya investasi dan bahan bakar yang dgunakan. Besar kecilnya kekuatan mesin akan mempengaruhi harga mesin itu sendiri, karena semakin besar kekuatan mesin, maka harga mesin juga semakin mahal. Kekuatan mesin kapal akan menentukan besarnya konsumsi bahan bakar harian yang dibutuhkan kapal.

Tabel 4.1 Ukuran Kapal (GT) dan Kekuatan Mesin (PK) Pelayar/Nelayan Kapal Motor dan Perahu Motor Tempel, tahun 1985 Kapal Motor Perahu Motor Tempel No Karakteristik Kapal Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran

1 Ukuran Kapal (GT) 30 25 – 80 11 5 – 20

2 Kekuatan Mesin (PK) 100 60 – 150 17 10 – 30

Sumber : Data Primer.49

Pada tabel di atas terlihat bahwa ukuran kapal motor yang dinyatakan dalam satuan Gross Tonage (GT) berkisar antara 25-80 GT, sedangkan untuk perahu motor tempel berkisar antara 5-20 GT, sementara kekuatan mesin kapal motor dinyatakan dalam satuan Paardekracht (PK) adalah 100 PK dengan ukuran kapal paling besar 150 PK dan yang paling kecil 60 PK. Rata- rata kekuatan mesin perahu motor tempel 17 PK dengan kekuatan mesin perahu paling besar 30 PK dan yang paling kecil 10 PK.

Ukuran kapal (GT) yang lebih besar memungkinkan kapal dilengkapi palka hasil tangkapan dan ruang dek yang luas untuk membawa air bersih, makanan, es, solar, oli. Serta lebih leluasa melakukan pekerjaan di atas kapal.

Lama perjalanan melalui per trip yang dilakukan pelaut responden kapal motor cenderung lebih lama dibandingkan nelayan perahu motor

49 Wawancara, H. Sakka tanggal 10 Juni 2013 di Tanah Beru. tempel. Rata-rata lama perjalanan kapal motor adalah 28 hari, sementara perahu motor tempel hanya 3 hari. Waktu tersingkat perjalanan kapal motor adalah 2 minggu dan terlama dapat mencapai 3 bulan. Sedangkan lama perjalanan perahu motor tempel yang tersingkat adalah 1 hari dan terlama mencapai 2 minggu dan terlama dapat mencapai 3 bulan. Sedangkan lama perjalanan perahu motor tempel yang teringkat adalah 1 hari dan terlama mencapai 2 minggu.

Lama Perjalanan (Hari) dan Pendapatan (Rp/Trip) Pelayar dan Nelayan kapal motor dan perahu motor tempel, Tahun 1985.

Kapal Motor Perahu Motor Tempel No Peubah Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran

1 Lama Perjalana (Hari) 28 14- 90 3 1-15

150.000- 45.383- 2 Pendapatan (Rp/Trip) 100.000 25.000 250.000 65.450

Sumber: Data Primer.50

Pendapatan yang diperoleh pelayar kapal motor mencapai Rp 100.000/ trip pada tahun 1985, sementara nelayan perahu tempel hanya Rp 25.000.

Besarnya pendapatan pelayar kapal motor yang paling tinggi adalah Rp

250.000 sedangkan nelayan perahu tempel hanya Rp 65.450.

50 Wawancara, H. Sakka tanggal 13 Juni 2013 di Tanah Beru. 4.2 Pengaruh Motorisasi Dalam Bidang Sosial

Motorisasi perahu Pinisi mengakibatkan perubahan besar dalam

struktur sosial pekerja Pinisi (sawi). Pembagian kerja merupakan wujud

adanya bentuk stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat. Pembagian

kerja pada komunitas industri pembuatan perahu setelah motorisasi

mengalami perubahan. Sebelum pertengahan 1970-an, pembagian kerja

didasarkan pada status dalam organisasi produksi. Acuanya adalah

keterampilan dalam menyelesaikan pekerjaan pada tingkat kesulitan tertentu.

Penilaian tingkat kemampuan merupakan wewenang punggawa yang

memutuskan di posisi mana keterampilan seorang sawi tergolong.

Jenjang status mencakup, 1). sawi sikasusu yaitu sawi dengan

keterampilan seperempat, 2). sawi sipolong sawi dengan keterampilan

setengah, 3). sawi tallung kasusu yaitu sawi dengan keterampilan seperempat,

4). sawi kabusu yaitu sawi dengan keterampilan penuh, 5). Sawi sambarang

yaitu sawi dengan keterampilan bisa melakukan semua pekerjaan.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa spesialisasi pekerjaan

sebenarnya belum terwujud. Pembagian kerja lebih identik dengan distribusi

status yang di ikuti dengan tugas khusus, distribusi status ini terutama terkait

dengan keterampilan dan cara memperoleh keterampilan.

Perubahan pembagian kerja terjadi ketika organisasi produksi semakin

besar. Sejak akhir tahun 1970-an status sawi seperempat, setengah, tiga

seperempat, dan penuh tidak dikenal lagi. Sawi hanya dibedakan atas sawi

anak-anak dan sawi dewasa. Sawi anak-anak mengerjakan tugas sawi seperempat, setengah, dan tiga perempat. Sawi dewasa mengerjakan tugas sawi penuh dan sawi sembarang, punggawa mengamati cara kerja sawi. Dari sanalah ia tahu sawi yang terampil yang kelak ditunjuk menyelesaikan pekerjaan yang sulit dan dalam bagi hasil mereka memperoleh porsi yang besar.

Diferensiasi sosial pada komunitas industri pembuatan perahu di

Tanah Beru dapat di lihat dalam terspesialisasinya sejumlah fungsi yang sebelumnya bertumpu pada punggawa kesejumlah lembaga baru. Diferensiasi sosial yang dimaksud juga terkait dengan fenomena tuntutan fungsi baru yang belum terwujud dan dimensi vertikal diferensiasi sosial yakni stratifikasi sosial. Diferensiasi pertama adalah bergesernya fungsi pemasaran dari punggawa ke pengelola produksi dan pengusaha perahu. fungsi pengelola produksi ini muncul karena pembeli dari kalangan keturunan Tionghoa tidak bisa berhubungan langsung dengan pembuat perahu, perantara dibutuhkan untuk mencari pembuat perahu, mengelola ketersediaan bahan baku, dan mengawasi proses produksi. Mereka adalah bekas nahkoda yang pernah melayarkan perahu milik pengusaha keturunan tionghoa atau punggawa yang telah menyelesaikan pembuatan perahu lalu dipercaya mengelola pembuatan perahu berikutnya.

Pengusaha perahu muncul ketika pembuat perahu berhubungan dengan pembeli dari luar negeri. Pengusaha perahu berhubungan dengan pembeli tersebut, membicarakan mengenai harga dan desain perahu, menyediakan modal awal, merekrut tukang pembuat perahu, serta mengelola ketersediaan kayu dan bahan lain sampai perahu selesai. Dengan demikian, kehadiran pengusaha perahu pada awalnya untuk merespon tuntutan kebutuhan yang muncul karena kehadiran pembeli luar negeri.

Kemunculan pengusaha perahu merupakan indikasi bagi lahirnya wiraswasta dalam komunitas industri pembuatan perahu. sejak awal 1980-an terjadi spesialisasi fungsi dalam pengelolaan ketersediaan kayu dan bahan penunjang. Pengusaha perahu berkonsentrasi pada pengelolaan modal dan koordinasi teknis, pekerjaan manejerial produksi diserahkan kepada pengelola produksi, lalu pengelola produksi melembaga dalam komunitas.

Diferensiasi kedua adalah bergesernya fungsi penyiapan kayu dari punggawa ke pengusaha kayu. Pengelola produksi untuk pembeli warga

Tionghoa dan luar negeri, berhubungan dengan pengusaha kayu dalam penyediaan kayu. Pengusaha kayu memodali tukang gergaji pada pusat eksploitasi kayu di Kepulauan Maluku, Sulawesi Tengah dan Sulawesi

Tenggara, kemudian melayarkan kayu tersebut ke Tanah Beru. golongan seperti ini biasanya muncul sebagai kelompok yang terselip dilapisan bawah dan kemudian muncul dilapisan menengah.

Diferensiasi ketiga adalah bergesernya fungsi penyediaan bahan penunjang dari komunitas pembuat perahu di Tanah Beru ke pasar kota. Saat motorisasi dikenal pengusaha perahu mereka menggunakan bahan sintetis yang fungsi penyediaanya dipegang oleh pasar kota. Bentuk diferensiasi ini adalah penggantian lembaga lamaoleh lembaga baru. Fenomena diferensiasi keempat adalah munculnya tuntutan fungsi baru tetapi lembaganya belum terbentuk. Tercakup di dalamnya adalah tuntutan lembaga khusus untuk peluncuran perahu, pengecetan perahu, dan perlibatan penasehat hukum juga terasa sejak intensifnya konflik pengusaha perahu dengan pembeli luar negeri karena banayaknya masalah yang biasa terjadi berhubungan dengan kontrak.

Realitas di atas menunjukkan bahwa pengkompleksan berlangsung cukup intensif, sehingga tuntutan fungsi baru tidak dapat direspon oleh kehadiran lembaga baru. Meskipun fungsi punggawa telah direduksi melalui kehadiran pengelola produksi dan pengusaha perahu, keduanya belum efektif sehingga menuntut spesialisasi lebih lanju, tetapi kapasitas komunitas untuk munculnya lembaga dimaksud tidak cukup.

Diferensiasi sosial juga dapat dilihat pada fenomena stratifikasi sosial.

Ini adalah dimensi vertikal dari diferensiasi sosial. Berdasarkan kekayaan dan status sosial, stratifikasi sosial terbagi atas tiga strata. Strata atas adalah pemilik modal yakni pengusaha perahu dan pengusaha kayu, strata tengah adalah pengelola produksi dan kepala tukang, strata bawah adalah sawi pembuat perahu. pengusaha perahu sebagian besar berstatus haji, dan dilihat dari asal usulnya memang keturunan pemilik perahu niaga dan keturunan punggawa pembuat perahu. strata tengah yakni pengelola produksi dan kepala tukang, mengandalkan kemampuan manajerial dan keterampilan, belum ada berstatus haji. Sawi menempati strata terbawah dengan tingkat penghasilan masih rawan dalam penghidupan. Staratifikasi sosial ini merupakan hasil dari proses penggandaan stratifikasi yang mengiringi diferensiasi sosial. Sebelum pengelola produksi dan kepala tukang hadir, strata masyarakat hanya terbagi atas strata punggawa dan sawi. Setelah itu, pengelola produksi dan kepala tukang tampil sebagai strata tengah. Hal inilah yang disebut sebagai proses dimana diferensiasi sosial secara horizontal (diferensiasi fungsi) mendorong berlangsungnya diferensiasi sosial secara vertikal (penggandaan stratifikasi sosial).

Keseluruhan uraian menujukkan bahwa pengkompleksan berlangsung signifikan. Pengkompleksan ini terkait diferensiasi sosial yang terjadi, sebagai refleksi industri pembuatan perahu telah memunculkan fungsi dan lembaga baru.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penggunaan mesin (motorisasi) yang mengalami peningkatan drastis dan disertai dengan perubahan pada model perahu tapi tidak meninggalkan ciri khas dan tradisi yang ada. Peralihan dari penggunaan layar kemesin berlangsung dengan cepat, sehingga tidak terasa masyarakat di Tanah Beru semakin banyak yang memakainya. Meskipun pada awalnya orang-orang menyangsikan tapi segera tahu bahwa mesin membuat perahu berlari dengan cepat dan lebih bisa diandalkan. Dengan demikian dapat menarik dan mengantarkan lebih banyak muatan dengan kecepatan tinggi.

Kecendrungan ini terus berlanjut dengan semakin ramainya pemakaian mesin (motorisasi) dikalangan pengrajin dan pelayar di Tanah Beru, ini berkaitan dengan kemajuan teknik pelayaran yang efektif dan dapat memperpendek jarak serta mempersingkat waktu pelayaran.

Potensi perahu layar di Kabupaten Bulukumba yang cukup besar membuat

Pemerintah memberikan perhatian serius dalam rangka peningkatan program motorisasi. Hal itu sudah menjadi program umum Pemerintah Indonesia pada tahun 1974 untuk memperluas motorisasi perahu layar, karena itu untuk menyukseskan program ini digalakkan penyuluhan-penyuluhan tentang metode dan manfaat penggunaan mesin . Di Tanah Beru motorisasi mulai dikenal pada tahun 1975, sehubungan dengan itu pula pemakaian alat-alat pembuatan perahu yang lebih modern mulai dikenal dan dioprasikan.

Motorisasi diperkenalkan pertama kali oleh pihak swasta yang dalam pengoprasianya masih sangat terbatas hanya beberapa orang saja. Dan orang yang pertama kali mengguanakan mesin pada perahu Pinisi adalah milik H. Damang pada tahun 1976 yang pengadaan mesinya melakukan kongsi dengan pengusaha

Cina Tionghoa yang didatangkan dari Surabaya. Baru pada tahun 1977 penggunaan mesin (motorisasi) telah meluas dan merata dan didukung dengan

Banpress sebesar 500 juta. Animo komunitas pelayar dan pengrajin perahu Pinisi dalam merespon motorisasi berkembang begitu pesat. Mereka tidak hanya mengharapakan bantuan kredit dari Pemerintah, tetapi lebih dari itu mereka mengupayakan sendiri untuk memilikinya.

Kehadiran motorisasi secara langsung memberikan kemajuan ekonomi pada masyarakat di Tanah Beru. Meningkatnya jangkauan pemasaran produksi perahu, jumlah pesanan perahu, membuka kesempatan kerja dan berusaha pada sub sektor perhubungan laut. Pengguanaan tenaga kerja yang semakin bertambah dan pengusaha kayu yang menyediakan kayu sebagai bahan baku perahu juga semakin bertambah jumlahnya.

Motorisasi perahu Pinisi mengakibatkan perubahan besar dalam struktur sosial pekerja Pinisi (sawi). Pembagian kerja merupakan wujud adanya bentuk stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat. Pembagian kerja pada komunitas industri pembuatan perahu setelah motorisasi mengalami perubahan. Sebelum pertengahan 1970-an, pembagian kerja didasarkan pada status dalam organisasi produksi.

5.2 Saran-Saran

Untuk menambah koleksi perpustakaan dan bukti kejadian sejarah tentang transformasi teknologi pembuatan perahu di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba.

Karya ilmiah tentang perahu Pinisi perlu dilanjutkan pada masa yang akan datang.

Sehingga kekurangan koleksi sedikit-demi sedikit akan teratasi. Penulisan karya ilmiah ini selain sebagai informasi juga dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan, sehingga usaha untuk menjadikan perpustakaan sebagai tempat belajar dapat ditingkatkan.

Pembuatan perahu Pinisi mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Oleh karena itu perhatian dari pemerintah dan masyarakat setempat sangat diperlukan agar keahlian yang dimiliki penduduk setempat tidak hanya menjadi sejarah yang tenggelam oleh zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Amarell, Gene. “Navigasi Bugis”, Makassar: Hasanuddin University Press, 2004.

Azman, Nur. “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Bandung: Penabur Ilmu, 2001.

Amar, Syahrul. “Kehidupan Nelayan Pembuat Perahu di Tana Lemo Kabupaten Bulukumba 1950-1988”, Makassar: Universitas Hasanuddin, 1994.

Arief, Muhammad. “Pinisi Perahu Khas Sul.Sel”, Sulawesi Selatan: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sul.Sel, 2001.

Kadir, Ahmad “Agama dan Kehidupan Pengrajin Perahu di Tanah Beru”, Ujung Pandang: Balai Penelitian Lektur Keagamaan, 1990.

Lapian, B. Adrian. “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut”, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Liebner, Horst. “Tradisi Kebaharian di Sulawesi Selatan”, Dias Pradadimara dan Muslimin A. R. Effendy (Penyunting) Kontuinitas & perubahan Dalam Sejarah Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Ombak, 2004.

Monografi Kelurahan Tanah Beru: 1990.

Madjid, M. Saleh. Dan Abd. Rahman Hamid. “Pengantar Ilmu Sejarah”, Makassar : Rayhan Intermedia, 2008.

Nurhana. “Perkembangan Pembuatan Perahu Phinisi di Tana Beru”, Makassar: UNHAS, 2009.

Padulungi, M. Basri. “Perahu Phinisi Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan Bugis-Makassar”, Ujung Pandang: IKIP, 1973.

Pelly, Usman. “Ara Dengan Perahu Bugisnya” Ujung Pandang: CV. Usmah Akademis, 1977.

Rahman Hamid, Abdul. “Spirit Bahari Orang Buton”, Makassar: Rayhan Intermedia, 2010.

Salman, Darmawan. “Jagad Maritim”, Makassar: Inninawa, 2006.

Saenong, Arief. “Pinisi Panduan Budaya dan Teknologi”, Bulukumba: Dinas Perindustrian dan Pariwisata dan Budaya, 2007.

Syahrir, Husain. “Indivikasi Teknis Perahu Sulawesi Selatan” Makassar: Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin, 1984.

Suwarno, Hadi. “Penelitian Tentang Konstruksi Perahu Layar Tradisional (dalam rangka meningkatkan keselamatan pelayaran)” Makassar: Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 1985.

Yamin Jinca, Muhammad. “Transportasi Laut Kapal Layar Motor Phinisi”, Makassar: LEPHAS, 2002.

Daftar Informan

1. Nama : H. Adullah Umur : 63 Tahun Pekerjaan : Pemilik Usaha Alamat : Tanah Beru, Kec. Bonto Bahari

2. Nama : H. Damang Umur : 69 Tahun Pekerjaan : Mantan Pemilik Usaha Alamat : Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari

3. Nama : H. Sakka Umur : 50 Tahun Pekerjaan : Kepala Tukang Senior Alamat : Desa Ara, Kelurahan Tanah Beru

4. Nama : H. Mahmuddin Umur : 55 Tahun Pekerjaan : Pemilik Usaha Alamat : Tanah Beru, Kecamatan Bonto Bahari

5. Nama : A. Ahamad Samanna Umur : 45 Tahun Pekerjaan : Pembuat Perahu Alamat : Desa Ara, Kelurahan Tanah Beru

6. Nama : Natsir Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Tukang Pembuat Perahu Alamat : Tanah Beru

7. Nama : H. Muhammad Nur Umur : 57 Tahun Pekerjaan : Pemilik Usaha Alamat : Tanah Beru

8. Nama : Bahtiar Umur : 50 Tahun Pekerjaan : Kepala Tukang Senior Alamat : Tanah Beru 9. Nama : Sudding Umur : 47 Tahun Pekerjaan : Tukang Pembuat Perahu Alamat : Tanah Beru

10. Nama : Carebba Umur : 45 Tahun Pekerjaan : Tukang Pembuat Perahu Alamat : Tanah Beru

Dokumentasi Hasil Penelitian

Wawancara dengan salah satu pengusaha kapal di Tanah Beru (H. Damang)

Wawancara dengan pengrajin perahu H. Sakka dan Dg.Naba di Ara

Salah satu pekerja perahu di Tanah Beru (Dg.Rammang)

Dua Pekerja Perahu sedang mengerjakan dek perahu (Dg.Ramli dan Jufri)

Salah satu pekerja perahu (Dg. Ramli) yang sedang mengerjakan lambung luar perahu

Salah satu bagian lunas perahu

Salah seorang pekerja (Dg. Rahman) sedang mengerjakan lunas perahu

Salah satu bagian dari pantat perahu

Tampak belakang buritan perahu

Tampak depan anjungan perahu yang sedang dikerja

Bagian belakang perahu tempat dimana dipasangi baling-baling

Salah satu proses pemasangan As baling-baling oleh pekerja

Mesin perahu

Sambungan antara mesin dan baling-baling (As)

Upacara peluncuran perahu ke laut