<<

KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN: STUDI PEMIKIRAN SYÂFI’ÎYAH, HANAFIYAH, DAN PRAKTIKNYA DI

Rohmat Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung Jl. Letkol H. Endro Suratmin, Sukarame, Bandar lampung E-mail: [email protected]

Abstract: Status of Waliin : A Study of Syâfi’îyah, Hanafîyah, and the Practices in Indonesia. The existence ofIslam is to bring virtuous value and one of which is marriege. Marriege is virtuous value with emergency characteristic that is to preserve honor and descendantand the one who can protect them is the wali. have different opinion on this wali issue. Not only the opinions that are diverse but also the practises in various Muslim countries, including Indonesia. Both Ulamas share the same opinion on a wali must be an adult and mentally conscious Muslim. The diffference is Syâfi’îyah persist that a wali must be male and objective while hanafiyah ulama allows a fâsiq and women to be a wali. Keywords: wali, fuqahâ, Islamic law

Abstrak: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah, dan Praktiknya di Indonesia. hadir membawa kemaslahatan, salah satunya adalah pernikahan. Pernikahan merupakan kemaslahatan yang bersifat dharuri yakni untuk memelihara kehormatan dan keturunan. Jika kemaslahatan ini tidak terpelihara maka akan menimbulkan kerusakan. Salah satu hal yang dapat menjaga kehormatan dan keturunan adalah wali. Para ulama memiliki pemahaman berbeda mengenai wali. Bukan hanya perbedaan pendapat di masing-masing ulama, namun juga prakteknya di berbagai negara muslim, termasuk indonesia. Persamaan pendapat antara kedua ulama tersebut adalah wali harus seorang islam, dewasa dan berakal, sedangkan perbedaannya menurut ulama Syâfi’îyah wali harus laki-laki dan adil sementara ulama hanafiyah membolehkan seorang fasik dan wanita menjadi wali. Kata Kunci: wali, fuqahâ, hukum Islam

Pendahuluan memelihara kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Perkawinan merupakan sunnatullah bagi semua makhluk hidup di dunia ini. Per- Kemaslahatan yang diciptakan dari kawinan dilakukan oleh manusia, hewan, lembaga perkawinan adalah salah satu ke- bahkan oleh tumbuh-tumbuhan dalam rangka maslahatan yang bersifat dharûri, yaitu untuk untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan memelihara kehormatan dan keturunan. Jika meneruskan keturunan. Manusia sebagai kemaslahatan ini tidak terpelihara akan makhluk ciptaan Allah Swt. yang memiliki menimbulkan kerusakan dalam tatanan kemuliaan dan kelebihan dibandingkan kehidupan manusia yang pada gilirannya makhluk-makhluk lainnya, karena itu Allah tidak ada perbedaan manusia dengan hewan, Swt. dan Rasul-Nya telah menetapkan aturan- dan ini menempatkan posisi manusia aturan tentang perkawinan demi untuk dengan hewan yakni kawin semaunya.

165 166| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

Suatu perkawinan dianggap sah atau Hukum Islam yang masuk ke Indonesia mempunyai kekuatan hukum jika pe- merupakan hasil para ulama dan dari laksanaan perkawinan itu dilakukan sesuai sekian banyak ijtihad ulama, ijtihad Ulama dengan ketentuan atau peraturan yang telah Syâfi’îyah yang banyak diikuti. Dengan kata ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum yaitu lain mazhab Syafi’i merupakan mazhab Allah Swt. dan Rasul-Nya. Ketentuan- yang di anut oleh mayoritas umat Islam ketentuan perkawinan dalam hukum Islam di Indonesia. sudah diatur dalm Alquran dan Hadis. Mengingat terjadi perbedaan pendapat Namun demikian ayat-ayat Alquran ada tentang kedudukan wali dalam perkawinan yang qath‘î al-dilâlah (penunjukan lafaz Islam, maka dalam tulisan ini akan dibahas atas maknanya pasti) dan ada yang dzannî perbedaan dari sekian banyak pendapat al-dilâlah (penunjukan lafaz atas maknanya me ngenai masalah wali dalam perkawin- tidak pasti). Begitu pula dengan hadis, an yaitu pendapat Ulama Syâfi’îyah dan ada yang qath‘î al-wurud (pasti datangnya Ulama Hanafiyah, serta kenyataannya di dari Rasull Saw.) dan ada yang dzanni al- Indonesia. Hal ini karena pada umum- wurud (masih dugaan keras berasal dari nya umat Islam di Indonesia menganut Rasul Saw.) mazhab Syâfi’îyah. Dalam suatu perkawinan dianggap sah Berdasarkan latar belakang tersebut di apabila telah memenuhi syarat dan rukun atas maka tulisan ini memuat materi masalah perkawinan yang telah ditentukan dalam kedudukan hukum wali dalam perkawinan hukum Islam. Adapun yang menjadi rukun yang dikemukakan oleh ulama Syâfi’îyah dan yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu: ulama Hanafiyah serta dalam prakteknya Ada calon mempelai laki-laki, ada calon bagi umat Islam di Indonesia. mempelai perempuan, ada wali dari pihak perempuan, ada dua orang saksi, dan ada akad (ijab dan qabul). Pengertian Wali dalam Islam Fukaha (ahli ilmu fikih) berbeda pen- Sebelum penulis membicarakan masalah dapat dalam masalah kedudukan wali dalam wali dalam perkawinan perlu dikemukakan perkawinan. Sebagian ulama menyatakan pengertian perwalian. Adapun pengertian wali sebagai rukun perkawinan (ulama perwalian dalam istilah fiqih ialah penguasaan Syâfi’îyah) dan sebagaian lagi menyatakan penuh yang diberikan oleh agama kepada wali sebagai syarat tetapi tidak mutlak, karena seseorang untuk menguasai dan melindungi 1 dalam hal tertentu wali tidak dibutuhkan. orang atau barang. Mengenai perwalian ini Perbedaan ini disebabkan karena dalil-dalil mayoritas ulama membagi wali menjadi tiga yang mereka pergunakan sebagai alasan, baik macam, perwalian atas barang, perwalian yang me wajibkan maupun yang menidakan atas orang, dan perwalian atas barang dan 2 wali dalam perkawinan bersifat dzannî al- orang secara bersama-sama. dhalaâlah (masih mengandung beberapa Dari uraian-uraian tersebut di atas kemungkinan). Selain itu Hadis-Hadis yang dapat disimpulkan bahwa orang yang diberi mereka pergunakan masih diperselisihkan kekuasaan atas sesuatu disebut wali. Dari tentang keabsahannya (dzannî al-wurûd). tiga macam perwalian di atas yang akan Penduduk Indonesia sebagian besar adalah umat Islam, karena itu hukum 1 Kamal Muchtar, Azas-Azas Hukum Islam Tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia harus Perkawinan, (Yogyakarta: Tiga A, 1974), h. 89. tidak bertentangan dengan hukum Islam. 2 Abû Zahrah, Al-Ahwal al-Syahsiyah, (Bayrût: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1957), h. 122. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |167 dibicarakan di sini adalah perwalian atas 1. Syarat-syarat wali; orang yakni perwalian dalam perkawinan. 2. Macam-macam wali dan urutannya; Jadi yang disebut dengan wali nikah adalah 3. Kedudukan wali dalam perkawinan. seseorang yang diberi kekuasaan untuk mengawinkan seseorang perempuan yang dibawah kekuasaannya, dengan perkataan 1. Syarat-syarat Wali lain wali itu dari pihak perempuan. Seseorang dapat bertindak menjadi wali Wali dalam perkawinan adalah me- apabila memenuhi syarat-syarat yang telah rupakan hal yang penting dan menentukan, ditentukan dalam hukum Islam, dan para menurut pendapat ulama Syâfi’îyah tidak sah ulama ada yang sepakat dan ada yang perkawinan tanpa adanya wali bagi pihak berbeda pendapat dalam masalah syarat- perempuan, sedang bagi laki-laki tidak di- syarat yang harus dipenuhi seorang wali. perlukan wali. Menurut ulama Hanafiyah Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bahwa perkawinan tanpa wali dianggap sah menurut ulama Syâfi’îyah ada enam, yaitu bahkan seoarang wanita dapat mengawinkan sebagai berikut: dirinya sendiri. Apabila diperhatikan dari dua pendapat a. Beragama Islam tersebut di atas akan timbul masalah apakah wali itu merupakan syarat sahnya perkawinan Ulama Syâfi’îyah dan ulama Hanafiyah tidak atau tidak. berbeda pendapat mengenai persyaratan pertama ini. Antara wali dan orang yang Adapun yang menyebabkan perbedaan dibawah perwaliannya disyaratkan harus ialah: sama-sama beragama Islam, apabila yang 1. Tidak ada ketegasan di dalam Alquran akan nikah beragama Islam (muslim) di- sah atau tidaknya perkawinan tanpa wali syaratkan walinya juga seorang muslim dan 2. Tidak ada satu hadis mutawatir yang tidah boleh orang menjadi walinya,4 mengandung dilâlah qath’îah sah tidak- hal ini berdasarkan firman Allah Swt.: nya perkawinan tanpa wali, demikian juga tidak ada hadis ahad yang disepakati kesahihannya.3 3. Di samping itu juga nas-nas baik Alquran maupun hadis yang mereka perguna- kan, baik yang mengharuskan masih Janganlah orang-orang mukmin mengambil mengandung beberapa kemungkinan, orang-orang kafir menjadi wali dengan mungkin memakai wali, mungkin tidak meninggalkan orang-orang mukmin. barang memakai wali. siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) Kedudukan Wali dalam Pernikahan memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti Menurut Ulama Syâfi’îyah. dari mereka, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Dalam pembahasan masalah wali yang Allah kembali (mu).5 merupakan salah satu rukun atau syarat perkawinan dibicarakan tiga hal yaitu:

3 Ibrahim Husen, Perbandingan dalam Masalah 4 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islami wa Adillahtuh, Nikah Talak dan Rujuk, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2004), h. 6700. 1971), h. 112. 5 Depag RI, Alquran dan terjemahnya, (2010), h. 66-67. 168| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

itu karena masih kecil atau gila itu tidak terbebani hukum. Karena itu seorang wali disyaratkan harus berakal sehat.9

d. Merdeka Ulama Syâfi’îyah mensyaratkan seorang wali Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan harus orang yang merdeka, sebab orang perempuan, sebahagian mereka (adalah) men- yang berada di bawah kekuasaan orang lain jadi penolong bagi sebahagian yang lain. (budak) itu tidak mimiliki kebebasan untuk mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, melakukan akad buat dirinya apalagi buat mencegah dari yang munkar, mendirikan orang lain, karena itu seorang budak tidak shalat, menunaikan zakat dan mereka taat 10 pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan boleh menjadi wali dalam perkawinan. diberi rahmat oleh Allah: Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.6 e. Laki-laki Syarat wali yang keempat adalah laki-laki,11 b. syarat ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh jumhur ulama yakni ulama Safi’iyah, Baligh (orang mukallaf), karena orang yang mukallaf itu adalah orang yang dibebankan Malikiyah, dan Hanabilah. Mengenai syarat hukum dan dapat mempertanggung jawabkan laki-laki ulama Syâfi’îyah berpendapat wanita perbuatannya. Karena itu baligh merupakan tidak boleh menjadi wali bagi orang lain dan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh tidak boleh wanita mengawinkan dirinya seorang wali, dan ulama Syâfi’îyah dan ulama sendiri. Alasannya hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, al-Dâr al-Quthnî dan al- Hanafiyah sepakat tentang hal ini. Wali tidak 12 boleh seorang yang masih kecil.7 Dasarnya Baihaqî: adalah hadis Nabi:

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Rasulullah saw, bersabda: wanita itu tidak syah me- Diangkat hukum itu dari tiga (3) perkara: nikahkan wanita lain dan tidak sah pula dari orang yang tidur hingga bangun, dari menikahkan dirinya sendiri. (H.r. Abu Dawud) anak-anak hingga bermimpi (dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh”. (Abi Jadi hadis di atas melarang wanita meng- 8 Dawud). ucapkan sighah al-ijâb dalam akad nikah, larangan adalah menujukkan batalnya pe- c. Berakal sehat kerjaan yang dilarang yaitu larangan wanita menikahkan wanita lain dan wanita yang Hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat dibebani hukum dan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatannya, karena 9 Abi Ishak al-Syairazi, Al-Muhaddzab fi Fiqh Imâm al- orang yang akalnya tidak sempurna baik Syafi’î, (Semarang: Thaha Putra t.t.), h. 32. 10 Abi Ishak al-Syairazi, Al-Muhaddzab fî Fiqh Imâm Al- Syâfi’i,h. 32. 6 Depag RI, Alquran dan terjemahnya, h. 266. 11 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuh, (Bayrût: 7 Al-Syairazi, tt, h. 32. Dâr al-Fikr, 2004), h. 6701. 8 Abi Dawud, Sunan Abi Daud, Juz XI, h. 481. 12 Abû Dawud, Sunan Abi Dâwud, Juz. II: 2003, h. 199. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |169 menikahkan dirinya. Jika perbuatan ini di- Pernikahan seorang perempuan tidak sah larang terhadap wanita maka wanita yang kecuali dinikahkan oleh wali aqrab (dekat), menikahkan orang lain atu menikahkan dan apabila tidak ada oleh wali ab’ad (jauh), dirinya perkawinannya tidak sah. Tegasnya dan jika tidak ada maka dinikahkan oleh akad nikah yang walinya wanita itu hukum- penguasa (wali ), dan urutan wali nya tidak sah dan begitu pula wanita yang sebagai berikut: menikahkan dirinya juga hukumnya tidak a. Ayah; sah. b. Kakek; c. Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung); f. Adil (beragama dengan baik). d. Saudara laki-laki seayah; Mengenai syarat adil atau cerdas ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa wali harus e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se- seorang yang adil dan cerdas. Alasannya kandung; ialah hadis dari Ibn Abbas:13 f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. g. Paman sekandung; h. Paman seayah; i. Anak laki-laki dari paman sekandung; Dari Ibn Abbas, ia berkata bersabda Rasulullah j. Anak laki-laki dari paman seayah; Saw.: tidak (sah) pernikahan kecuali dengan k. Hakim.16 wali yang cerdas. Ini merupakan urutan wali yang ber- Menurut ulama Syâfi’îyah yang di- hak menjadi wali dalam pernikahan, jika maksud dengan cerdas dalam hadis tersebut seseorang menjadi wali pernikahan se- di atas adalah adil. Maksud adil disini mentara hadir wali yang lebih dekat maka adalah seseorang yang selalu memelihara pernikahannya tidak sah, karena menurut agama dengan jalan melaksanakan segala ulama Syâfi’îyah hak wali merupakan hak yang di wajibkan dan memelihara diri dari ‘ashabah sebagaimana menyerupai hak waris. perbuatan dosa besar serta memelihara dari selalu berbuat dosa kecil.14 Seorang wali Dari segi kekuasaan wali atas orang harus adil karena dengan sifat adil seseorang yang berada di bawah perwaliannya dalam dapat berhati-hati dan dapat sungguh- perkawinan dapat dikelompokan pada dua sungguh untuk memelihara perkawinan dan kelompok, yaitu: memelihara keturunan.15 a. Wali Mujbir 2. Urutan Wali Wali mujbir adalah wali yang memiliki Jumhur ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa hak untuk menikahkan seseorang di- wali dalam pernikahan adalah saudara bawah perwaliannya dengan tidak dekat yang termasuk pada ashhab, bukan perlu memintan izin atau kerelaan saudara seibu atau dzaw al-arham lainnya. yang bersangkutan. Para ulama berbeda pendapat tentang kekuasaan wali mujbir, menurut ulama Syafi’iyah wali mujbir 13 Syafi’i,al-Umm, Juz II, (Mesir: Maktabah al- berlaku bagi wanita yang masih gadis Halabi, tt.), h. 448. baik ia masih kecil maupun sudah 14 Wahbah Zuhaylî, Al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2004), h. 6701. 15 Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatu al-Ahyar fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, (Indonesia: Dâr al-Ihya, tt.), h. 51 16 Taqiyuddin al-Husaini, Kiâayatu al-Ahyar, h. 51-52. 170| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

dewasa dan yang berhak menjadi wali mujbir adalah ayah dan kakek.17 b. Wali ghayr mujbir adalah seseorang yang mempunyai hak menjadi wali Dan janganlah kamu menikahi wanita- atas seseorang yang berada di bawah wanita musyrik, sebelum mereka beriman. perwaliannya, akan tetapi tidak mem- Sesungguhnya wanita budak yang mukmin punyai hak untuk memaksa. Wali lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ghair mujbir ini dalam melakukan dia menarik hatimu. dan janganlah akad perkawinan harus seizing atau kamu menikahkan orang-orang musyrik atas kerelaan orang yang di bawah (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum perwaliannya. Adapun yang menjadi mereka beriman. Sesungguhnya budak wali ghair mujbir adalah wali selain ayah yang mukmin lebih baik dari orang dan kakek. musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan 3. Kedudukan wali dan alasan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat- Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada perkawinan tanpa wali tidak sah atau dapat manusia supaya mereka mengambil dikatakan bahwa wali adalah merupakan pelajaran. syarat sahnya perkawinan, bahkan wali Kemudian ayat kedua tersebut di- merupakan rukun perkawinan. Alasannya tunjukkan kepada wali, mereka diminta antara lain yaitu: untuk menikahkan orang-orang yang a. Q.s. al-Nur [24]: 32, sebagai berikut: tidak ber suami dan orang-orang yang tidak beristri di satu pihak, dan melarang wali itu untuk menikahkan laki-laki muslimdengan wanita non-muslim, se baliknya wanita dilarang menikah Dan kawinkanlah orang-orang yang dengan laki-laki non-muslim sebelum sedirian diantara kamu, dan orang- mereka beriman. Andai kata wanita orang yang layak (berkawin) dari hamba- itu berhak secara langsung menikahkan hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- dirinya dengan seseorang laki-laki tanpa hamba sahayamu yang perempuan. Jika wali, semestinya ditunjukkan kepada mereka miskin Allah akan memampukan wanita itu, karena urusan perkawinan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah itu urusan wali maka perintah dan Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha larangan untuk menikahkan wanita itu Mengetahui.18 ditunjukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita atau b. Q.s. al-Baqarah [2]: 221, sebagai berikut: wanita menikahkan dirinya sendiri hukumnya . Jelasnya dalam Q.s. al-Nûr [24]: 32 menujukkan bahwa urusan perkawinan urusan wali. Demikian juga dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 221 ditunjukan kepada wali, supaya mereka tidak mengawinkan wanita Islam

17 Al-Hamdani. Nikah, terj. Agus Salim, (Jakarta: dengan orang-orang musyrik (non Pustaka Amani, 1989), h. 4. Islam), dari ayat ini jelaslah bahwa 18 Depag RI, Alquran dan terjemahnya, h. 494. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |171

urusan wali merupakan sesuatu yang wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentu harus dipenuhi dalam pernikahan. larangan dalam ayat tersebut tidak ada Maka larangan tersebut ditujukkan artinya (gunanya). kepada wali bukan kepada wanita. d. Hadis Ayat ini mengandung khitab larangan mengawinkan orang-orang musyrik (non Di samping ayat-ayat Alquran di atas Islam) tidak dapat dikatakan bahwa ayat ulama Syafi’îyah beralasan dengan ini ditunjukan kepada seluruh kaum hadis Ikrimah dan Ibn Abbas yang muslimin, karena bertentangan dengan diriwayatkan oleh Imam Ahmâd al- 20 syarat taklîf, yaitu perbuatan yang di- Tirmidzi, Ibn Majah, dan Abi Dawud. taklîf-kan itu (baru pelarangan) untuk menikah orang-orang musyrik hendaklah yang dapat dikerjakan. Pastilah tidak mungkin seseorang mencegah wanita yang bukan dalam kekuasaannya yang Nabi saw berkata “Tidak sah nikah me- hendak menikah dengan orang musyrik lainkan dengan wali” dan dalam hadis (non Islam). dari Aisyah ra bahwa sultan merupakan wali bagi seseorang yang tidak memiliki c. Q.s. al-Baqarah [2]: 232, sebagai berikut: wali. (Ibn Majah). Hadis Ibn Abbas ini pada zhahir-nya (meniadakan) akad nikah yang ber- langsung tanpa wali, Imam al-Syafi’i mengartikan hadis di atas tidak sah nikah tanpa wali. Jadi beliau mengartikan (la ashahha) meniadakan hukum sah Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, nikah tanpa wali bukan meniadakan 21 lalu habis masa idahnya, Maka janganlah kesempurnannya menikah tanpa wali. kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‘ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Dari Aisyah berkata, berkata Rasulullah Allah dan hari kemudian, itu lebih baik saw: Siapa saja perempuan yang menikah bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, tanpa seiizin walinya maka per nikahannya sedang kamu tidak Mengetahui.19 batal (tiga kali). (H.r. Abi Dawud). Dalam ayat tersebut terdapat bunyi: Menurut ulama syâfi’îyah hadis ini me- nunjukan dengan jelas bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya dan Maka janganlah kamu (para wali) meng- menjadi wali nikah bagi orang lain halangi mereka kawin lagi dengan bekas karena wanita sendiri membutuhkan suaminya.... wali dalam pernikahannya.22 Pendapat ulama Syâfi’îyah inilah satu- satunya ayat yang menujukan kekuatan 20 Ibn Majah, Juz. V, h. 487. 21 Abû Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz V, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 2003), h. 477. 22 Imam Syafi’i,al-Umm, Juz V, (Mesir: Maktabah al- 19 Depag RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 46-47. Halabi, tt.), h. 16-17. 172| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011 e. Perjanjian dalam perkawinan merupakan Janganlah orang-orang mukmin meng ambil perjanjian untuk menghalalkan seseorang orang-orang kafir menjadi wali dengan berhubungan badan dengan orang lain, meninggalkan orang-orang mukmin. barang karena itu tidak bisa bisa disamakan siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia (qiyaskan) dengan perjanjian (akad) jual dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) beli atau transaksi lainnya atas barang. memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti Dan wanita tidak boleh menjadi wali dari mereka, dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada karena sifat wanita dianggap tidak aman Allah kembali (mu).26 untuk melakukan akad pernikahan yang disebabkan lebih terbawa oleh perasaannya dibandingkan pengguanaan akal sehatnya.23

Menurut Ulama Hanâfiyah 1. Syarat-syarat Wali Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan Seseorang dapat bertindak menjadi wali perempuan, sebahagian mereka (adalah) men- apabila memenuhi syarat-syarat yang telah jadi penolong bagi sebahagian yang lain. ditentukan, dan para ulama berbeda pen- mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, dapat dalam masalah syarat-syarat yang harus mencegah dari yang munkar, mendirikan dipenuhi seorang wali. Adapun syarat-syarat shalat, menunaikan zakat dan mereka taat yang harus dipenuhi seorang wali menurut pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan ulama Hanafiyah itu ada empat,24 yaitu diberi rahmat oleh Allah: Sesungguhnya Allah sebagai berikut: Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. a. Beragama Islam b. Baligh Ulama Hanafiyah tidak berbeda pendapat Baligh (orang mukallaf), karena orang yang dengan ulama Syâfi’îyah mengenai per- mukallaf itu adalah orang yang dibebankan syaratan pertama ini. Antara wali dan orang hukum dan dapat mempertanggungjawab kan yang dibawah perwaliannya di syaratkan perbuatannya. Karena itu baligh merupakan harus sama-sama beragama Islam, apabila salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh yang akan nikah beragama Islam (Muslim) seorang wali, dan ulama Hanafiyah sepakat disyaratkan walinya juga seorang Muslim dan dengan ulama Syâfi’îyah tentang hal ini. 25 tidak boleh orang kafir menjadi walinya. Dasarnya adalah Hadis Nabi: Hal ini berdasarkan firman Allah:

Diangkat hukum itu dari tiga (3) perkara: Dari orang yang tidur hingga bangun, dari anak-anak hingga bermimpi (dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh. (H.r. Bukhâri Muslim). 23 Abi Ishak al-Syairazi, al-Muhaddzab fi Fiqh Imam al- Syafi’i,(Semarang: Thaha Putra t.t.), h. 35. 24 Muhyiddin, al-Ahwalu al-Shahshiyyah, (Bayrût: Maktabah Alamiyah, 2007), h. 81. 25 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami aa Adillatuh, 26 Depag RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: Lajnah (Syiria: Dâr al-Fikr, 2004), h. 6700. Pentashih Alquran, 2010), h. 66-67. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |173 c. Berakal sehat sendiri.28 Alasannya hadis nabi dari dari 29 Berakal sehat, hanya orang yang berakal Ibn Abbas ra. sehat yang dapat dibebani hukum, dan mempertanggungjawabkan perbuatan- perbuatannya, karena itu seorang wali disyarat kan harus berakal sehat. Ulama Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh Hanafiyah sepakat dengan ulama Syâfi’îyah lebih berhak atas (perkawinan). Dirinya tentang syarat ini, sesuai dengan hadis di dan gadis itu dimintakan perintah agar ia atas. dikawinkan kepadanya dan tanpa izinnya ialah diamnya. (H.r. Bukhari dan Muslim). d. Merdeka Ulama Hanâfiyah tidak mensyaratkan Ulama Hanafiyah mensyaratkan seorang wali seorang wali itu adil, karena beliau ber- harus orang yang merdeka, sebab orang pendapat bahwa hadis Ibn Abbas di atas yang berada di bawah kekuasaan orang lain adalah hadis dha’if. Seseorang yang fasik (budak) itu tidak mimiliki kebebasan untuk dapat menjadi wali karena dengan kefasikan melakukan akad, karena itu seorang budak seseorang tidak akan mengurangi rasa kasih tidak boleh menjadi wali dalam perkawinan. sayang dan menjaga kemaslahatan bagi kerabatnya.30 Dari pernyataan-pernyataan di atas jelaslah bahwa mengenai syarat-syarat wali beragama Islam merdeka, baligh, dan berakal 2. Wali dan Urutannya sehat antara pendapat ulama Syâfi’îyah dan Menurut ulama Hanafiyah urutan wali se- ulama Hanafiyah sama, akan tetapi mengenai bagaimana yang dikemukakan ulama Syâfi’îyah laki-laki dan adil berbeda antara keduanya, yaitu keluarga dekat yang termasuk ashabah, ulama Hanafiyah membolehkan perempuan ulama hanafiyah tidak membatasi wali pada dan orang fasik (muslim yang tidak taat keluarga dekat yang termasuk ashabah saja menjalankan ajaran-ajaran agama) bertindak tetapi keluarga dekat yang termasuk dzaw menjadi wali. al-arham juga mempunyai hak menjadi wali Menurut Abû Hanifah bagi wali yang seperti paman dari pihak ibu atau saudara penting bukanlah laki-laki dan ketaatannya laki-laki seibu.31 menjalankan perintah-perintah dan menjauhi Ulama Hanafiyah memberikan alasan larangan agama, akan tetapi kepandaiannya mengapa wali dalam perkawinan adalah memilihkan jodoh yang tepat bagi perempuan mereka yang dekat hubungannya dengan yang di bawah perwaliannya. Mengetahui perempuan, yang terdekat kemudian dan 27 akan kemaslahatan dan tidak quratel. seterusnya karena keluarga yang dekat akan Menurut ulama Hanafiyah seorang adanya rasa malu apabila perempuan itu perempuan yang dewasa dan berakal boleh kawin dengan laki-laki yang tidak pantas menjadi wali, bahkan bagi dirinya atau orang untuk menjadi suaminya. Adanya perasaan lain. Menurut ulama Hanafiyah sah suatu malu ini tidak terbatas pada ‘ashabah saja perkawinan yamg walinya seorang wanita juga terdapat pada dzawi al-shiham dan dan bahkan masyhur dikalangan Hanafiyah seorang wanita yang menikahkan dirinya 28 Muhammad Muhyiddin, al-Ahwal al-Shakhshiyyah (Bayrût: Maktabah Alamiyah, 2007), h. 79. 29 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Semarang: Thaha Putra, tt.), Juz VII, h. 242. 30 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 6700. 27 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam 31 Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta: (Jogjakarta: Fak. Hukum UII, 1977), h. 37. Pustaka Amani, 1989), h. 84. 174| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011 dzaw al-arham. Karena itu tidak ada alas an kemaslahat pendidikan anak.34 membatasi hak perwalian pada pernikahan Ada beberapa alasannya yang dikemuka- 32 hanya pada golongan ‘ashhabah saja. kan ulama Hanafiyah yaitu: Sementara masalah wali mujbir menurut a. Q.s. al-Baqarah [2]: 230, sebagai berikut: ulama Hanafiyah wali itu hanya ada wali mujbir saja dan wali ghair mujbir itu tidak ada. Wali mujbir ini berkuasa terhadap perempuan yang masih kecil atau sudah dewasa tapi gila atau dungu dan yang berhak menjadi wali adalah ayah, kakek, dan saudara dekat yang termasuk ashabah dan saudara Kemudian jika si suami mentalaknya dekat yang termasuk dzawi al-arham. (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi baginya 3. Kedudukan wali hingga dia kawin dengan suami yang Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan lain. Kemudian jika suami yang lain itu tidak mutlak harus memakai wali, sebab menceraikannya, Maka tidak ada dosa wali nikah hanya dibutuhkan bagi wanita bagi keduanya (bekas suami pertama dan yang masih kecil atau sudah dewasa tetapi isteri) untuk kawin kembali jika keduanya akalnya tidak sempurna (dungu atau gila). berpendapat akan dapat menjalankan Wanita yang merdeka dan sudah dewasa hukum-hukum Allah. Itulah hukum- tidak membutuhkan wali nikah bahkan hukum Allah, diterangkan-Nya kepada 35 wanita yang sudah dewasa bisa menikahkan kaum yang (mau) Mengetahui. dirinya. Dengan kata lain perkawinan yang b. Q.s. al-Baqarah [2]: 232, sebagai berikut: diucapkan oleh wanita yang dewasa dan berakal adalah secara mutlak adalah sah.33 Seorang perempuan yang bertindak se- bagai wali pernikahan atas dirinya sementara ia masih memiliki wali nasab disyaratkan harus kafa’ah dan pemberian maharnya tidak kurang dari mahar mitsl. Jika pernikahan itu tidak sekufu maka walinya memiliki hak untuk menolak perkawinan itu itu atau Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, mengajukan permohonan fasakh kepada lalu habis masa idahnya, Maka jangan lah hakim. kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Hak penolakan perkawinan atau fasakh Telah terdapat kerelaan di antara mereka bagi wali ini berlaku jika wali mengetahui dengan cara yang ma›ruf. Itulah yang tidak kafa’ah itu sebelum terjadinya kehamilan dinasehatkan kepada orang-orang yang atau melahirkan. Jika mengetahuinya setelah beriman di antara kamu kepada Allah terjadinya kehamilan atau melahirkan, maka dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu hak fasakh atau menolak perkawinan itu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang menjadi gugur dengan pertimbangan untuk kamu tidak Mengetahui.36

34 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 32 Al-Hamdani. Risalah Nikah, h. 85. 6698. 33 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 35 Depag RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 46. 6699. 36 Depag RI, Alquran dan Terjemahnya, 46-47. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |175

sedangkan izinnya diamnya”. (H.r. Muslim).37 Dalam Hadis tersebut terdapat kata menrutut ulama Hanafiyah adalah perempuan yang tidak memiliki suami Orang-orang yang meninggal dunia di baik itu masih gadis atau sudah janda. antaramu dengan meninggalkan isteri- Wanita yang sudah dewasa diberikan hak isteri (hendaklah para isteri itu) me- sepenuhnya mengenai dirinya dengan nangguh kan dirinya (ber’idah) empat meniadakan campur tangan orang lain bulan sepuluh hari. Kemudian apabila (wali) dalam urusan perkawinan. Dengan Telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa demikian seorang perempuan yang sudah bagimu (para wali) membiarkan mereka dewasa tidak membutuhkan wali dalam berbuat terhadap diri mereka menurut melaksanakan akad perkawinan karena yang patut. Allah mengetahui apa yang dirinya berhak untuk menikahkan kamu perbuat. dirinya sendiri.38 Ayat 230 dan juga ayat 232 ter- d. Wanita yang sudah dewasa memiliki hak dapat kata-kata tankihna dan yankihna untuk melakukan transaksi (ahliyah al-ada’) yang terjemahannya menikah, di sini dalam semua taransaksi (akad) kebendaan. pelakunya adalah wanita bekas istri Ulama hanafiyah mengqiyaskan hak ber- itu tadi. Secara makna hakiki (asli) transaksi dalam bidang perkawinan pada perkerjaan itu semestinya dikerja- masalah kebendaan, karena itu wanita kan langsung oleh pelaku aslinya, yang sudah dewasa dapat melakukakan jelas tidak dikerjaklan oleh orang lain transaksi (akad) dalam perkawinan.39 (wali) sebagaimana halnya pada makna majazi (kiasan). Demikian juga dapat Praktik Wali dalam Perkawinan di dilihat dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 234 Indonesia terdapat kata kerja “fa’alna” yang artinya mengerjakan perbuatan pelakunya (fa’il- Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 nya) adalah wanita-wanita yang kematian tentang perkawinan pasal 6 ayat 2 disebutkan suaminya. untuk melangsungkan perkawinan seorang Alquran surah al-Baqarah [2]: 234 yang belum mencapai umur 21 (dua puluh bahwa nikah yang dilakakan oleh wanita satu) tahun harus mendapat izin kedua orang segala sesatu yang dikerjakan tanpa meng- tuanya. Dari pasal ini, izin orang tua untuk gantungkannya kepada wali atau izinnya melangsungkan perkawinan diperlukan bagi wali. Jadi wanita mempunyai hak penuh seseorang yang belum mencapai umur 21 terhadap urusan dirinya termasuk menikah tahun, sementara bagi yang sudah lebih dari tanpa bantuan wali. 20 tahun maka izin dari orang tua tidak dibutuhkan lagi. c. Hadis Rasul Jika diperhatikan Undang-undang yang menyangkut wali dalam perkawinan tidak jelas, namun dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi

Perempuan janda lebih berhak terhadap 37 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Semarang: Thaha Putra, tt.), h. 594. dirinya dari pada wali dan anak gadis 38 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami, h. 6699. diminta izinnya mengenai dirinya, 39 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islami, h. 6699. 176| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan adalah hukum yang tidak tertulis dan ter- menurut hukum masing-masing agamanya sebar dalam kitab-kitab fikih dan dalam dan kepercayaannya itu”. Dengan adanya rangka membuat satu rujukan hukum Islam pasal ini bagi umat Islam dianggap sah suatu yang tertulis sebagai pemberlakuan pasal perkawinan jika dilaksanakan sesuai dengan 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974, maka hukum Islam. melalui instrumen hukum Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Hukum Islam merupakan kumpulan penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam hukum syariah yang bersifat amaliyah yang umat Islam mempunyai rujukan hukum diambil dari Alquran dan Hadis yang di- walaupun hanya dalam masalah perkawinan, istinbath kan oleh para ulama mujtahid, waris, dan wakaf.41 dengan demikian hasil ijtihad para ulama terkadang berbeda antara yang satu dengan Dalam KHI pada pasal 14 jelas bahwa yang lainnya. Dan inilah yang terjadi pada wali nikah adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi dari lima unsur dalam masalah kedudukan wali dalam hukum per- melakukan perkawinan. Bahkan dalam pasal kawinan Islam. Setidaknya ada dua pen dapat 19 KHI menyatakan “Wali nikah dalam mengenai kedudukan wali dalam hukum perkawinan merupakan rukun yang harus perkawinan Islam yaitu wali sebagai rukun dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang perkawinan sebagaimana yang di kemukakan bertindak untuk menikahkannya.” Pada ulama Syâfi’îyah dan yang tidak menjadi- pasal 20 ayat 1 menegaskan bahwa “yang kan sebagai rukun tetapi syarat juga tidak bertindak sebagai wali nikah ialah seorang mutlak sebagaimana yang dikemukakan laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam ulama Hanafiyah. yakni muslim dan akil baligh”.42 Umat Islam di Indonesia sebagian besar pengikut mazhab Syâfi’i, karena itu Analisis dalam praktik pernikahan wali mempunyai Kekurangan pendapat imam Abû Hanifah, kedudukan yang penting dalam hukum yaitu: jika nikah tidak diharuskan dengan per kawinan Islam, yakni sebagi rukun adanya wali, maka akan banyak orang- perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam orang yang menikah seenaknya tanpa izin Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun wali yang bersangkutan. Kelebihannya: 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang pendapat Imam Abû Hanifah tentang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan wanita boleh menikahkan dirinya sendiri dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). mengangkat derajat wanita kepada derajat Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 yang lebih terhormat, di mana wanita pada tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- pergeseran zaman dan keadaan mengalami undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkembangan sehingga wanita berada pada perkawinan dalam pasal 11 ayat 2 menegas- posisi yang sama dengan laki-laki. kan bahwa akta nikah bagi orang Islam Kekurangan pendapat Jumhur ulama itu harus ditanda tangani oleh wali nikah (imam Syafi’i, dan ) yaitu: atau yang mewakilinya. Jadi jelas dalam adanya diskriminasi terhadap perempuan di praktiknya bagi umat Islam, wali nikah mana ia tidak boleh melakukan transaksi itu dibutuhkan bagi seorang wanita yang hendak melangsungkan pernikahan.40

Hukum Islam yang berada di Indonesia 41 Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 62. 42 Abdul Gani Abdullah, Pengantar KHI dalam Tata 40 Al-Hamdani. Risalah Nikah, h. 298. Hukum Indonesia, h. 62. Rohmat: Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syâfi’îyah, Hanafiyah... |177 untuk dirinya, serta menganggap wanita dewasa tetapi akalnya tidak sempurna maka berada pada derajat yang lebih rendah dari perkawinan harus oleh wali. pada kaum pria. Kelebihannya yaitu adanya Dalam Undang-undang nomor 1 tahun rasa aman yang timbul sebab adanya izin dari 1974 tentang perkawinan kedudukan wali wali, sebab pernikahan merupakan sebuah tidak diatur dengan jelas, tetapi dalam pilihan hidup yang akan dijalani seseorang, Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun maka wanita dengan pilihan hidupnya harus 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang berdasarkan pengetahuan wali. Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Kedudukan wali dalam pelaksanaan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), wali perkawinan di Indonesia bagi umat Islam merupakan salah satu rukun perkawinan itu sama dengan pendapat ulama Syâfi’îyah, yang harus dipenuhi bagi umat Islam di yaitu menjadikan wali dari pihak perempuan Indonesia, dan wali cukup seorang me- sebagai rukun perkawinan dan wali harus nyatakan beragama Islam, dewasa, laki-laki laki-laki Muslim yang akil baligh, sedangkan dan berakal sehat. Jika wali tidak dapat pihak laki-laki tidak ada wali. Apabila melaksankan sendiri, boleh mewakilkan wali tidak hadir pada waktu pelaksanaan kepada pihak lain atau hakim. perkawinaan, maka dapat diwakilkan kepada orang lain. Pustaka Acuan Keadaan di Indonesia syarat adil (taat Abdullah, Abdul Gani, Pengantar KHI dalam beragama Islam) tidak mendapat penekanan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema dan ini sama dengan pendapat ulama Insani Pres, 1994. Hanafiyah yang tidak menjadikan adil sebagai syarat seorang wali, asal seseorang menyatakan Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan beragama Islam disamping adanya syarat- Islam, Jogjakarta: Fak. Hukum UII, 1977 syarat baligh, berakal sehat dan laki-laki sudah Dawud, Abu, Sunan Abi Dawud, Bairut: dipandang cakap bertindak sebagai wali. Dar al-Fiqr, 2003. Hamdani, al-, Risalah Nikah, terjemah: Agus Penutup Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989 Ada persamaan pendapat Ulama Syâfi’îyah Husayn, al-, Taqiy al-Din, Kifayah al-Ahyar dengan Ulama Hanafiyah mengenai wali Fi Hilli Ghayatu al-Ikhtishar, Indonesia: ialah bahwa wali harus seorang Islam, Darul Ihya, tt. dewasa dan berakal, Sedangkan perbedaannya Husen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam menurut Ulama Syâfi’îyah wali harus laki- Masalah Nikah Thalak dan Rujuk, laki dan adil. Sedangkan Ulama Hanafiyah Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971 wali boleh seorang dan wanita boleh menjadi wali. Muchtar, Kamal, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jogjakarta: Tiga Menurut Ulama Syâfi’îyah kedudukan A, 1974. wali dalam perkawinan adalah syarat sahnya atau rukun perkawinan. Menurut Ulama Muhy al-Dîn, Muhammad, al-Ahwal al- Hanafiyah ke dudukan wali dalam perkawinan Shahshiyyah, Bayrut: Maktabah Alamiyah, adalah syarat yang tidak mutlak, perkawinan 2007. tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa Muslim, Imam, Shahih Muslim, Semarang: diperbolehkan (sah) tapi wali memiliki hak Thaha Putra, tt. fasakh jika perkawinan itu tidak kafa’ah. Namun jika wanita itu masih kecil atau sudah Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- 178| AL-‘ADALAH Vol. X, No. 2 Juli 2011

undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Syairazi, al-, Abi Ishak, al-Muhaddzab Fi perkawinan Fiqhi Imam Al-Syafi’I, Semarang: Thaha Ramulyo, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Putra t.t. tentang Undang-Undang Nomor 1 tahun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 1974 tentang Perkawinan, Jakarta: Indo Tentang Perkawinan. Hilco, 1986 Zahrah, Abû, al-Ahwal al-Syahshiyah, Bairut: Shan’ani, al-, Subul al-Salam, Bandung: Darul Fikri al-Arabi, 1957. Dahlan, tt. Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Syafi’i, Imam, al-Umm, Mesir: Maktabah ‘Adillatuhu, Syiria: Dar al-Fikr, 2004. al-Halabi, tt.