M. Kamal Buku ini menjelaskan mengenai Islam, Demokrasi dan Transisi Otonomi Khusus (Politik dan Dinamika Identitas Lokal di , Indonesia). Ada dua tujuan dari penelitian ini. Pertama, menganalisis penyebab dari munculnya kembali Islam masuk di panggung politik Arifin Aceh setelah MoU Helsinki. Kedua, menganalisis pengaruh Islam di panggung politik Aceh pasca MoU Helsinki. Metode Penelitian yang digunakan ialah Metode Kualitatif. Kemudian, data primer bersandar pada wawancara dengan anggota partai politik lokal. Berikutnya, Tesis ini menggunakan pendekatan Ilmu Politik dan kerangka teori Institusi ISLAM, Politik dan Ideologi Politik. (Politik Dan Dinamika Identitas Lokal Di Selanjutnya, ada beberapa temuan penelitian dari Tesis ini. Pertama, GAM tidak memiliki keinginan untuk membuat Aceh sebagai negara Islam. Oleh sebab itu, Islam tidak menjadi ideologi dari GAM. DEMOKRASI D Hal ini berdasar pada penelitian dokumen resmi yang dimiliki GAM, baik pernyataan proklamasinya maupun MoU Helsinki. Kedua, Islam AN kembali masuk ke panggung politik Aceh pasca MoU Helsinki disebabkan pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat. DEMOKRASI D Pengaturan politik itu mengharuskan GAM untuk membuat kebijakan ISLAM, publik mengenai Syariat Islam. Ketiga, pengaruh Islam di panggung AN TONOMI Aceh,KHUSUS Indonesia) politik Aceh pasca MoU Helsinki direalisasikan oleh Gubernur Aceh

TRANSISI O TRANSISI O dan mayoritas anggota DPRA yang berasal dari GAM, dengan membuat beberapa kebijakan publik yang berkaitan dengan Syariat (Politik Dan Dinamika Identitas Lokal Di Islam. Selain itu, persamaan penelitian penulis dengan peneliti lainnya ialah mengkaji ideologi dari GAM. Kemudian, perbedaan penelitian Arifin

T M. Kamal ONOMI KHUSUS penulis dengan peneliti lainnya ialah penulis melakukan penelitian Aceh, Indonesia) ideologi GAM mulai dari pendiriannya pada tahun 1976 hingga tahun 2018 atau pasca MoU Helsinki sedangkan peneliti sebelumnya melakukan penelitian ideologi GAM mulai dari pendiriannya hingga sebelum MoU Helsinki. Sementara itu, pada satu sisi, peneliti yang bernama Edward Aspinall (2009) dengan bersandar pada dokumen yang dimiliki GAM pada tahun 1992 menyatakan bahwa Islam menjadi

ideologi dari GAM. Di sisi lain, peneliti yang bernama Kirsten E. Schulze (2004) dengan bersandar pada dokumen yang dimiliki GAM pada tahun 1976 menyatakan bahwa Islam tidak menjadi ideologi dari GAM. ISBN 978 602 5576 63 8

9 7 8 6 0 2 5 5 7 6 6 3 8 ISLAM, DEMOKRASI DAN TRANSISI OTONOMI KHUSUS (POLITIK DAN DINAMIKA IDENTITAS LOKAL DI ACEH, INDONESIA)

M. Kamal Arifin

Penerbit YPM 2020

i

Judul buku ISLAM, DEMOKRASI DAN TRANSISI OTONOMI KHUSUS (POLITIK DAN DINAMIKA IDENTITAS LOKAL DI ACEH, INDONESIA)

Penulis M. Kamal Arifin

Layout Juna

ISBN 978-602-5576-63-8 x + 214 hlm .; ukuran buku 20,5 x 14,5 cm

© M. Kamal Arifin, Agustus 2020 Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim. Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

Young Progressive Muslim Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir Pamulang Rt.05 Rw.01 Tangerang Selatan 15418 ii Kata Pengantar

Puji dan Syukur kepada Allah Subhanawataa’la, yang memberikan penulis kesehatan dan kesempatan untuk belajar di Sekolah Pascasarjana UIN . Ada beberapa nama dan pihak, yang memberikan bantuan kepada penulis selama kuliah di UIN Jakarta. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, penulis perlu menyampaikan terimakasih. Pertama, penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua, Ibu Hj. Zuarni dan Bapak Drs. H. Umar Arifin, MM, yang selalu memberikan nasehat dan bantuan keuangan kepada penulis selama belajar di UIN Jakarta. Kedua, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak Pascasarjana UIN Jakarta, yang memfasilitasi proses belajar pada periode 2016-2020. Ketiga, penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing tesis, Prof. Dr. Ali Munhanif, MA, yang telah memperluas perspektif penulis mengenai Pengkajian Islam, khususnya Islam dan Demokrasi. Di samping itu, penulis juga mendapat informasi yang berharga melalui jurnal-jurnal baik yang membahas mengenai Islam, Aceh, maupun Otonomi Khusus. Sementara itu, otonomi yang berlaku di Canadian Province of Quebec menjadi salah satu bacaan yang dapat penulis gunakan sebagai comparative Politics. Keempat, penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Prof. Dr. Jamhari dan Prof. Dr. Asep Saepudin Jahar, sebagai Direktur Pascasarjana, dalam kurun waktu 2016- 2020. Kelima, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. JM. Muslimin, MA, baik sebagai ketua Prodi Magister, maupun sebagai salah satu penguji pada saat penulis mengikuti Ujian Proposal Tesis. Keenam, penulis mengucapkan terimakasih kepada Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D, baik sebagai ketua Prodi Magister, maupun sebagai salah satu penguji pada saat penulis mengikuti ujian WIP 1, Ujian Komprehensif, WIP 2, dan Ujian Pendahuluan Tesis. Ketujuh, penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, sebagai salah satu penguji pada saat

iii penulis mengikuti Ujian Komprehensif, WIP 2, dan Ujian Pendahuluan Tesis. Kedelapan, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Hamka Hasan, MA sebagai salah satu penguji pada saat penulis mengikuti Ujian Pendahuluan Tesis. Kesembilan, penulis mengucapkan terimakasih kepada setiap pihak dari partai politik lokal, yang memberikan informasi untuk penulisan tesis ini. Kesepuluh, penulis mengucapkan terimakasih kepada dua kakak penulis, Mina Hidayah, MA dan Milda Hanim, MA, yang juga ikut memberikan bantuan keuangan selama penulis belajar di Pascasarjana. Kesebelas, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman penulis di Pascasarjana, yang telah berdiskusi baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Hanya ini yang dapat saya kemukakan

Jakarta, Agustus 2020

M. Kamal Arifin

iv PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. A. Konsonan ﻑ = F ﺯ = Z ﺏ = B ﻕ = Q ﺱ = S ﺕ = T ﻙ = K ﺵ = Sh ﺙ = Th ﻝ = L ﺹ = Ṣ ﺝ = J ﻡ = M ﺽ = Ḍ ﺡ = Ḥ ﻥ = N ﻁ = Ṭ ﺥ = Kh ﻫ = H ﻅ = Ẓ ﺩ = D ﻮ = W ﻉ = ‘ ﺫ = Dh ﻱ = Y ﻍ = Gh ﺭ = R

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama fatḥaḥ dan alif A A ٲ kashrah dan ya I I ٳ ḍammah U U ٱ

2. Vokal Rangkap Tanda Nama Gabungan Huruf Nama fatḥaḥ dan ya Ay a dan y ..ﻯ fatḥaḥ dan wau Aw a dan w ..ﻮ

Contoh: Husayn : ُح َسين

v

C. Maddah Tanda Nama Huruf Nama Latin Fathah dan alif Ā a dan garis di atas ﺑﺄ Kashrah dan ya Ῑ i dan garis di atas ﻲِ Dammah dan wau Ū u dan garis di atas ﺑﻮ

(ﺓ) D. Ta’marbutah Transliterasi ta’marbutah ditulis dengan ‚h‛ baik dirangkai dengan kata sesudahnya maupun tidak. Contoh: al-Madĩnah al-Munawwarah : المدﻳنة المنﻮﺭة

E. Shaddah Shaddah/tashdĩd ditransliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu. Contoh: rabbanā : َﺭﺑَّنَا

F. Kata Sandang ,dilambangkan berdasar huruf yang mengikutinya ‛اﻠ‚ Kata sandang jika diikuti dengan huruf syamsiah maka ditulis dengan huruf yang bersangkutan dan ditulis ‚al‛ jika diikuti dengan huruf qamariyah. ditulis lengkap baik menghadapi al-Qamariyah اﻠ Selanjutnya maupun al-Shamsiyah. Contoh: al-Syams : الشمس G. Pengecualian Transliterasi Adalah kata-kata bahasa arab yang telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, al-asma’ al-husna dan ibn, kecuali menghadirkannya ,ﷲ seperti lafal dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

vi

Daftar Isi

Halaman Judul ...... i Kata Pengantar ...... iii Pedoman Transliterasi ...... v Daftar Isi ...... vii

BAB I Pendahuluan ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ...... 22 C. Perumusan Masalah...... 23 D. Tujuan Penelitian...... 23 E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...... 23 F. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ...... 24 G. Metodologi Penelitian ...... 30 H. Sistematika Penulisan ...... 32

BAB II Ideologi, Islam, dan Institusi Politik...... 33 A. Islam dan GAM Ditinjau dari beberapa Perspektif 34 B. Institusi Politik sebagai Pengatur dari Suatu Kebijakan ...... 36 C. Ideologi Politik sebagai Pengarah dari Suatu Organisasi ...... 39 D. Islam dan Demokrasi di Indonesia ...... 46 E. Identitas Politik sebagai Suatu Keistimewaan ...... 62 F. Dinamika Otonomi Khusus Aceh ...... 64

vii BAB III Perkembangan Politik di Aceh Pasca MoU Helsinki .... 73 A. Evolusi Kekuatan Politik Menuju Kontestasi di Aceh ...... 73 a. Transisi GAM dari Pemberontak ke Organisasi Politik ...... 73 b. Profil Peserta Pilkada Aceh Pada Tahun 2006 ...... 75 B. Profil Partai Politik Lokal di Aceh pada pemilu 2009 ...... 78 C. Profil Peserta Pilkada Aceh pada tahun 2012 ...... 82 D. Profil Partai Politik Lokal pada pemilu 2014 ...... 83 E. Profil Peserta Pilkada Aceh pada tahun 2017 ...... 85

BAB IV Islam dan Pengaturan Politik di Aceh ...... 89 A. Islam Masuk di Panggung Politik Aceh pasca MoU ...... 89 a. Proses Menuju MoU Helsinki ...... 89 b. Islam, Kebijakan Pemerintah Pusat dan MoU Helsinki ...... 92

BAB V Islam, GAM dan Dampak dari Kebijakan Pemerintah Pusat ...... 137 A. Pengaruh Islam di Panggung Politik pasca MoU ...... 137 a. Visi dan misi dari calon gubernur Aceh tahun 2006 ...... 137 B. Islam di Panggung Politik Aceh periode 2007-2012 .. 144 a. Ideologi dan Partai Politik lokal pada pemilu 2009 ...... 148 b. Visi dan misi dari calon gubernur Aceh tahun 2012 ...... 158 c. Ideologi dan Partai Politik lokal pada pemilu 2014 ...... 163

viii C. Islam di Panggung Politik Aceh periode 2012-2017 .. 167 a. Visi dan misi dari calon gubernur Aceh tahun 2017 ...... 172 b. Islam di Panggung Politik Aceh pada tahun 2018 . 179

BAB VI Penutup ...... 185 A. Kesimpulan ...... 185 B. Saran ...... 186

Daftar Pustaka...... 187 Glosarium ...... 205 Indeks ...... 209 Biodata ...... 214

ix

x BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 di Aceh, memunculkan kebijakan baru dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan permasalahan daerah ini, melalui dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dialog tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui keterlibatan lembaga Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Kemudian, pertemuan itu menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan GAM, yang disahkan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.1 Isi dari MoU tersebut terdiri dari enam topik yang disertai dengan penjelasan rincinya. Satu, Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Topik ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: pembentukan lembaga Wali Nanggroe, symbol wilayah, nama Aceh, wewenang lembaga eksekutif dan legislative Aceh, partai politik lokal dan lainnya. Dua, Hak Asasi Manusia (HAM). Topik ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: pembentukan Pengadilan HAM, pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lainnya. Tiga, Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Topic ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: pembebasan dari penjara terhadap individu-individu yang terlibat GAM dan konflik, Pemerintah Aceh akan membuat suatu badan reintegrasi yang bertujuan untuk memberikan bantuan ekonomi akibat konflik

1Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin mewakili Pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud mewakili GAM dalam penandatanganan persetujuan itu. Lihat, Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia And The , http:// www.acehpeaceprocess.net/pdf/mou-final.pdf (diakses 26 Januari 2018)., Lihat juga, Terjemahan resmi Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, http:// www.conflictrecovery.org/bin/peace-process-cmi-agreement-bhs.pdf (diakses 26 Januari 2018). 1 terhadap masyarakat dan seluruh individu yang bergabung dengan GAM, dan lainnya. Empat, Pengaturan Keamanan. Topic ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: polisi dan tentara non organic akan dipindahkan dari Aceh, pada 31 Desember 2005 menjadi batas waktu terakhir perpindahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) non organic dari Aceh, dan lainnya. Lima, Pembentukan Misi Monitoring Aceh. Topic ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: pengawasan realisasi perjanjian ini dilakukan European Union (EU) dan Association Southeast Asian Nations (ASEAN) dengan membentuk Aceh Monitoring Mission (AMM), seluruh kalangan yang ikutserta dalam AMM dijamin keamanannya oleh Pemerintah Indonesia, dan lainnya. Enam, Penyelesaian Perselisihan. Topic ini terdiri dari beberapa pasal, antara lain: pada tahap pertama bila terdapat masalah dalam implementasi perjanjian ini maka pengambilan keputusan yang harus diikuti semua pihak dilakukan oleh Kepala Misi Monitoring berdasarkan data yang diberikan setiap pihak. Kemudian, pada tahap kedua, keputusan yang harus diterima oleh semua pihak dibuat oleh Kepala Misi Monitoring berdasarkan data yang diberikan wakil senior dari setiap pihak, dan lainnya.2 Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian ini memerlukan jangka waktu tertentu. Selanjutnya, isi dari MoU yang berkaitan dengan pemberian amnesti dan abolisi bagi setiap individu yang terlibat dalam kegiatan GAM, menjadi implementasi ke satu dari pelaksanaan MoU, yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Di samping itu, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dijadikan sebagai dasar untuk membuat kebijakan ini. Sementara itu, pengaruh dari keputusan ini ialah baik hak politik dan hak lainnya, dapat diperoleh dari setiap individu itu. Selanjutnya, pemberlakuan atas kebijakan ini dimulai

2Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia And The Free Aceh Movement, http:// www.acehpeaceprocess.net/pdf/mou-final.pdf (diakses 26 Januari 2018)., Lihat juga, Terjemahan resmi Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, http:// www.conflictrecovery.org/bin/peace-process-cmi-agreement-bhs.pdf (diakses 26 Januari 2018). 2 pada tanggal 30 Agustus 2005.3 Hal ini menunjukkan satu pencapaian dari tuntutan GAM dalam MoU. Implementasi ke dua dari MoU dilakukan Pemerintah Pusat pada bulan September 2005. Hal ini terkait AMM resmi dibentuk dengan melibatkan perwakilan dari EU dan ASEAN. Jangka waktu delapan belas bulan diberikan kepada AMM untuk mengawasi realisasi dari beberapa bagian dari isi MoU. Penjabaran dari pembubaran militer GAM, penghancuran seluruh persenjataan GAM, pemindahan TNI dan POLRI non-organik dari Aceh, proses legislatif, reintegrasi anggota GAM, pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2006, dan memantau perkembangan HAM di Aceh, berhasil dilakukan oleh AMM.4 Hal ini menunjukkan dua pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Kemudian, Pemerintah Pusat melakukan implementasi ke tiga dari MoU melalui kebijakan yang termuat dalam Instruksi Presiden

3Tuntutan GAM dalam MoU ialah paling lama lima belas hari setelah penandatangan kesepakatan itu, Pemerintah Indonesia akan membuat Keputusan mengenai amnesti dan abolisi ini. kemudian, keputusan tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah sesuai dengan isi MoU itu. Lihat, Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka,. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2005/kp22-2005.pdf. (diakses 25 Agustus 2019). 4Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018).. Sementara itu, salah satu cara yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mempermudah kerja AMM, dilakukan dengan membuat kerjasama dengan kementerian luar negeri dan kementerian terkait lainnya. Lihat, Instruksi Presiden No. 15 tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/7/21/60.bpkp (diakses 29 Juli 2019).. Kemudian, Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka,i http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2005/kp22-2005.pdf. (diakses 25 Agustus 2019). 3 (InPres) No. 15 tahun 2005. Isinya menerangkan tentang reintegrasi seluruh individu yang bergabung dengan GAM ke dalam masyarakat, yang dimulai dengan penerimaan hingga penyediaan pekerjaan. Hal ini menurut InPres tersebut dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selanjutnya, pada 11 Februari 2006, Gubernur NAD meneruskan pelaksanaan InPres tersebut, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 330/032/2006. Isinya membahas tentang pembentukan Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA). Di samping itu, perbaikan dari isi SK itu dilakukan kembali oleh Gubernur NAD dengan mengeluarkan SK baru nomor 330/106/2006, yang diresmikan tanggal 13 April 2006.5 Penjelasan itu menunjukkan tiga pencapaian yang diraih GAM dari MoU. Selanjutnya, Pemerintah Pusat melaksanakan implementasi ke empat dari MoU yang berkaitan dengan keterlibatan GAM dalam Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD yang dibentuk pasca tsunami tahun 2004. Pekerjaan yang tersedia dalam BRR terdiri dari berbagai bidang. Posisi yang tidak memerlukan keahlian khusus, seperti : anggota satuan pengamanan dan tim pemantau lapangan, diisi oleh para mantan anggota GAM yang memiliki pendidikan dasar hingga menengah. Di samping itu, posisi penting dalam pengelolaan administrasi BRR diisi oleh mantan pemimpin GAM. Dalam segi lainnya, lembaga pemerintah lainnya juga memberikan tambahan uang bagi mantan pemimpin GAM terkait dengan kegiatan realisasi MoU. Di sisi lain, keikutsertaan

5Gubernur NAD, ‚(PPT) badan reintegrasi-damai aceh (bra),‛ BRA, 26 April, 2006, iatdr.Unsyiah.ac.id:8080/jspul/…/1/20060426_BRA_Badan_Reintegrasi_A ceh_In.ppt, (diakses 12 Maret 2019). Lihat juga, Instruksi Presiden No. 15 tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/7/21/60.bpkp. (diakses 29 Juli 2019). Kemudian, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Sekretariat Koordinasi Pelaksanaan Reintegrasi Bekas Anggota GAM dan Pemberdayaannya ke dalam Masyarakat di Aceh, http://jdih.tegalkota.go.id/jdihtegal/proses/produkhukum/file/969INMEN_ NO_6_2005_PENERBIT.PDF. (diakses 25 Agustus 2019). 4 pengerjaan proyek BRR menjadi dana penting bagi keuangan mantan anggota GAM. Sementara itu, anggota BRR yang berasal dari mantan anggota GAM berjumlah lima ratus orang. Dalam segi lainnya, gaji yang diperoleh mantan pemimpin GAM dalam BRR mencapai Rp 35 juta rupiah per bulan.6 Hal ini menjadi empat pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Kemudian, bupati atau walikota memperoleh wewenang dari Gubernur NAD untuk menunjuk anggota BRA di setiap kantor cabang BRA tingkat kabupaten atau kota. Penunjukkan anggota BRA tersebut, umumnya, tidak berdasar pada keahlian. Kemudian, pertanggungjawaban kinerja dari BRA di tingkat kabupaten atau kota itu juga hanya kepada bupati atau walikota tanpa ketentuan yang memenuhi syarat laporan keuangan. Hal ini membuat penyelewengan dana bantuan terjadi dalam skala besar di tingkat kabupaten atau kota. Di samping itu, penyelewengan dana bantuan dalam skala kecil juga terjadi di BRA Propinsi NAD. Hal itu terjadi pada tahun 2006.7 Hal ini menunjukkan satu kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Pada tahap implementasi MoU yang ke lima, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, berhasil membuat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UU TPA). Isinya berkaitan dengan Peraturan Pemerintah (PP) akan dibuat untuk mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dan Aceh mengenai kawasan khusus. Sementara itu, peraturan perundang-undangan (ppu) akan menerangkan terkait syarat yang harus dipenuhi kawasan khusus. Kemudian, aturan hukum akan dibuat untuk merinci tentang pelabuhan bebas dan perdagangan bebas. Sementara itu, nomenklatur legislative Aceh berdasarkan UU TPA ini, menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Di samping itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang

6Edward, Aspinall, ‚Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh,‛ Indonesia 87 (2009), 1-34, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed April 18, 2018). 7Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018). 5 bekerja di Aceh dinamai dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Selanjutnya, PP juga akan dibuat terkait dengan partai politik lokal, pengelolaan sumber daya Alam Minyak dan Gas Bumi, nama propinsi dan gelar pejabat, kantor yang memiliki kewenangan pertanahan di Aceh. Sementara itu, ppu menjadi dasar bagi Kejaksaan, Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang anggotanya bekerja di Aceh. Dalam segi terkait lainnya, ppu menjadi sumber utama terhadap hukuman yang diberikan kepada anggota TNI yang melakukan pelanggaran. Kemudian, ppu menjadi dasar hukum bagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam melaksanakan tugas di Aceh. Di samping itu, ppu juga menjadi dasar hukum terhadap kebijakan mengenai Bendera daerah Aceh, perdagangan dan investasi dalam skala nasional dan internasional yang diaktualkan oleh rakyat Aceh. 8 Hal ini menjadi bukti realisasi dari tuntutan GAM dalam topic pertama, kedua, dan beberapa bagian topic ketiga dari MoU. Namun, penyelesaian UU TPA ini pada bulan Agustus 2006 sedangkan GAM menuntut dalam MoU, agar diselesaikan di bulan Maret 2006, menunjukkan dua kegagalan bagi GAM dalam merealisasikan MoU. Selanjutnya, Peraturan Presiden (PerPres) akan dikeluarkan untuk mengatur pola pertimbangan dan konsultasi antara Pemerintah Pusat beserta DPR RI dan Gubernur Aceh beserta DPRA mengenai persetujuan Internasional atau UU yang dibuat terkait dengan Pemerintahan Aceh. PerPres juga akan dikeluarkan Pemerintah Pusat mengenai persyaratan kerjasama lembaga dari luar

8Sementara itu, pemilu tahun 2006 di Aceh, boleh diikuti oleh calon independen. Dalam bidang lainnya, Pemerintah Pusat juga akan membuat ketentuan tertentu mengenai pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, kabupaten/kota juga ikut terlibat dalam mengatur pelabuhan dan Bandar udara yang sebelum dikeluarkan UU ini dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, dengan ketentuan harus melakukan kerjasama dengan Pemerintah Aceh. Kemudian, peraturan daerah yang digunakan di Aceh dinamai dengan Qanun. Sementara itu, UU ini dibuat pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lihat, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011-%202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 6 negeri dengan Pemerintahan Aceh. Sementara itu, kegiatan olahraga dan lainnya dikancah internasional dapat diikuti oleh Pemerintah Aceh. Kemudian, teks tertulis dalam kerjasama antara Pemerintah Aceh dan lembaga luar negeri harus menggunakan ‚frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)‛.9 Keterangan ini menunjukkan ketegasan Pemerintah Pusat dalam suatu kebijakan terhadap Aceh. Selain itu, realisasi MoU juga memiliki kaitan dengan UUD 1945 yang menjelaskan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi. Oleh sebab itu, kosa kata asli dari MoU secara menyeluruh tidak bisa diikuti oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI dalam isi UU TPA, karena UUD 1945 tidak membolehkan penggunaan salah satu kosa kata aslinya. Hal ini terlihat dari salah satu isi dari UU TPA, yang menjelaskan bahwa konsultasi dan pertimbangan dari DPRA atau Gubernur Aceh dilakukan dan digunakan oleh DPR RI atau Pemerintah Pusat terkait dengan kebijakan strategis yang dibuat berkaitan dengan Aceh. Kata pertimbangan tersebut mendapat perhatian dari GAM, disebabkan

9Ketetapan aturan yang berlaku nasional menjadi dasar bagi Pemerintah Aceh dalam pengelolaan bandara dan pelabuhan. Hal ini juga menjadi salah satu pencapaian GAM dalam MoU Helsinki. Di samping itu, ketetapan aturan dalam skala nasional juga menjadi dasar bagi pemerintah Aceh dalam melakukan Investasi, Perdagangan, Tenaga Kerja, Dana Perimbangan, penelitian oleh auditor, dan pertanahan. Kemudian, persetujuan internasional yang berpengaruh terhadap kabupaten/kota juga mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK).Selain itu, anggaran pada tahun 2008 menjadi tahun pertama dana tambahan dari hasil pembagian minyak dan gas. Kemudian, anggaran tahun 2008 juga menjadi tahun pertama dari dana otonomi khusus yang dijelaskan dalam UU TPA ini. Di samping itu, pada tahun 2007 akan dibentuk Pengadilan HAM dan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh. Dalam segi lainnya, pada tahun 2008, Aceh akan menerima wewenang terkait dengan Pelabuhan dan Bandar udara dari Pemerintah Pusat. Selanjutnya, selama 2 tahun pasca pengesahan UU ini, Pemerintah Pusat akan membuat ketentuan terkait implementasinya. Lihat, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011-%202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 7 salah satu kata dari isi MoU menyebut konsultasi dan persetujuan. UU TPA itu bagi mereka telah mengganti kosa kata aslinya sehingga maknanya pun berbeda.10 Hal ini menerangkan tiga kegagalan bagi GAM dalam merealisasikan MoU. Selanjutnya, kondisi Aceh pasca tsunami 2004 membawa masalah terhadap penyelenggaraan pilkada tahun 2006. Hal ini terkait dengan proses yang lama dibutuhkan dalam pembuatan daftar calon tetap pemilih disebabkan banyak penduduk yang masih mengungsi dan penyediaan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan politik tersebut. Namun, Pemerintah Pusat berupaya untuk menyelesaikan masalah Pilkada itu, disebabkan hal ini berkaitan dengan implementasi yang ke enam dari isi MoU. Oleh sebab itu, pelaksanaan Pilkada dapat dilaksanakan pada 11 Desember 2006 dengan mengikutsertakan calon yang didukung oleh partai politik dan calon independen. Keterlibatan calon independen ini membawa sejarah baru dalam politik Indonesia disebabkan pada masa sebelumnya, calon independen tidak dibolehkan ikut dalam pilkada.11 Sementara itu, tuntutan GAM dalam MoU bahwa Pilkada dilaksanakan pada bulan April 2006, sedangkan kenyataannya dilaksanakan pada bulan Desember 2006, menunjukkan empat kegagalan bagi GAM dalam merealisasikan MoU. Selanjutnya, hasil pilkada tersebut menunjukkan mantan individu dari GAM, yang bernama , memperoleh jumlah suara tertinggi sehingga terpilih menjadi Gubernur NAD. Kemenangan tersebut memiliki kaitan dengan kemampuan menjaga

10Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018). 11International Crisis Group, ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh,‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia-how-gam-won-in- aceh.pdf (diakses 20 April 2019). Sementara itu, Gubernur Aceh terpilih, akan menjabat selama lima tahun. Lihat, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011-%202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 8 jaringan dari pendukungnya. Kemudian, salah satu factor untuk mempertahankan massanya, sangat terkait dengan penggunaan dana yang dimiliki seluruh mantan individu yang bergabung dengan GAM.12 Hal ini menunjukkan lima pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Di samping itu, calon Gubernur NAD, Humam Hamid dan calon Wakil Gubernur NAD, Hasbi Abdullah, didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu, Hasbi Abdullah merupakan mantan individu yang bergabung dengan GAM.13 Penjelasan ini menunjukkan bahwa ada 2 calon yang berasal dari GAM. Oleh sebab itu, GAM gagal menyatukan dukungan politik pada pilkada tersebut. Kemudian, Pemerintah Pusat mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal Di Aceh, pada tanggal 16 Maret 2007. Kebijakan ini menjadi realisasi ke tujuh dari MoU Helsinki dan kelanjutan dari penjabaran UU Nomor 11 tahun 2006. Isinya mencakup syarat pembentukan partai politik lokal, pendanaan, penyelesaian masalah dalam partai, pengawasan, keanggotaan, kepengurusan, dan lainnya. Di samping itu, pemberlakuan surut yang dimulai sejak 15 Februari 2007 terhadap PP ini menunjukkan aturan itu diperlukan pada masa tersebut.14 Sementara itu, tuntutan GAM dalam MoU mengenai aturan yang dibuat Pemerintah Indonesia terkait pembentukan partai politik lokal memiliki jangka waktu delapan belas bulan. Berdasarkan penjelasan di atas, PP tersebut diterapkan sejak 15 Februari 2007, yang bertepatan delapan belas bulan pasca MoU. Hal ini menunjukkan enam pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU.

12 Edward, Aspinall, ‚Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh,‛ Indonesia 87 (2009), 1-34, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed April 18, 2018). 13International Crisis Group, ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh,‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia-how-gam-won-in- aceh.pdf (diakses 20 April 2019). 14Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal Di Aceh, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2007/pp20-2007.pdf (diakses 21 Februari 2018). 9 Berikutnya, implementasi ke delapan MoU dilakukan Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan PP Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah. Salah satu isinya menjelaskan bahwa bendera bulan sabit dan logo GAM tidak boleh digunakan sebagai lambang daerah.15 Selain itu, Irwandi sebagai Gubernur Aceh, berusaha memperbaiki sistem kinerja dari BRA dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur (KepGub) NAD Nomor 330/145/2007 Tentang Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh. Salah satu isinya menjelaskan bahwa BRA di kabupaten/kota harus diperbaiki sistemnya.16 Meskipun begitu, pengelolaan keuangan BRA tahun 2007 masih sangat buruk di tingkat kabupaten/kota. Hal ini juga terjadi dalam ukuran kecil di propinsi. Anggota BRA yang ditunjuk oleh bupati/walikota tanpa memiliki keahlian menjadi sumber masalah itu.17 Hal ini menerangkan lima kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Di sisi lain, pada tahun 2007, Irwandi Yusuf sebagai Gubernur NAD dan DPRA mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah Provinsi NAD. Isinya pada bagian pertama menempatkan Dinas Syariat Islam beserta strukturnya.18 Kemudian, implementasi ke sembilan dari MoU dilakukan Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan PerPres Nomor 75 Tahun 2008. Isinya menjelaskan rincian mengenai konsultasi dan pertimbangan yang diberikan oleh DPRA dan Gubernur Aceh, sesuai

15Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah, https://www.bphn.go.id/data/documents/07pp077.pdf (diakses 18 April 2018). 16Keputusan Gubernur NAD Nomor 330/145/2007 Tentang Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh, http: Acdsee ProPrintJob (diakses 7 April 2019). 17Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018). 18Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah Provinsi NAD, https://ppid.acehprov.go.id/v2/dip/view/675 (diakses 28 Maret 2019). 10 dengan isi dari UU TPA.19 Hal ini berkaitan dengan kegagalan bagi GAM, sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Selain itu, BRA mengalami perubahan lagi pada sistemnya melalui KepGub no. 330/438/2008. Sementara itu, koordinasi dalam setiap unit kerja tidak dimiliki oleh sistem ini, menjadi kelemahan utamanya. Di samping itu, bidang kerja yang diperluas dan penggabungan pegawai dalam satu administrasi juga membawa pengaruh yang buruk dari sistem tersebut. Di sisi lain, United States Agency For International Development (USAID) menjadi salah satu penyumbang dana bagi lembaga yang memiliki lima puluh pegawai ini, pada tahun 2008.20 Kemudian, manajemen keuangan BRA yang buruk dalam ukuran besar di tingkat kabupaten/kota dan ukuran kecil di tingkat propinsi, terjadi lagi pada tahun 2008. Anggota BRA yang ditunjuk bupati/walikota dengan tidak bersandar pada kemampuan masih menjadi penyebab masalah tersebut.21 Hal ini menunjukkan enam kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Di sisi lain, Irwandi Yusuf sebagai Gubernur NAD bersama DPRA pada tahun 2008 mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Penggunaan dana zakat secara maksimal sebagai salah satu upaya pelaksanaan Syariat Islam menjadi asal usul kemunculan Qanun ini.22 Selain itu, keterlibatan

19Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi Dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, Dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh, http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_75_2008.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). 20Leena Avonius, ‚Reintegration BRA’s roles in the past and Its future visions,‛ Crisis Management Initiative, October 15, 2011,, http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/avonius.pdf (diakses 8 April 2019). 21 Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018). 2218 Januari 2008 mulai diberlakukan isi dari Qanun itu. Lihat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-10-Tahun-2007-Tentang-Baitul-Mal.pdf (diakses 28 Maret 2019). 11 United Nations Development Programme (UNDP) sebagai salah satu penyalur dana dan menyediakan konsultan dalam BRA, melatarbelakangi kemunculan ide mengenai koordianasi dengan BRA di kabupaten/kota yang dikelola oleh suatu deputi BRA Propinsi Aceh. Di samping itu, penyederhanaan sistem kerja dalam BRA Propinsi Aceh juga direncanakan dengan menghilangkan bagian struktur yang memperlambatnya. Selanjutnya, hal itu diaktualisasikan dengan KepGub Nomor 330/320/2009. Kebijakan yang dibuat pada Juni 2009 ini membawa perubahan lebih baik bagi BRA.23 Hal ini menunjukkan tujuh pencapaian bagi GAM dalam merealisasikan MoU. Kemudian, Irwandi sebagai Gubernur Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 46 Tahun 2009 tentang penggunaan sebutan Penggunaan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh. Salah satu penjelasan yang termuat dalam pergub itu menyebutkan bahwa nomenklatur Aceh digunakan sebagai pengganti dari nomenklatur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).24 Namun, pergub tersebut masih bersifat sementara karena UU Nomor 11 Tahun 2006, menegaskan dalam pasal 251, bahwa lembaga legislative yang anggotanya diisi dari hasil pemilu tahun 2009, bersama Pemerintah Aceh, akan menetapkan secara resmi nomenklatur yang digunakan oleh propinsi ini. namun, seluruh anggota lembaga legislative tahun 2009 tersebut dan Gubernur Aceh tidak berhasil membuat keputusan bersama mengenai nomenklatur tersebut.25 Hal ini menunjukkan tujuh kegagalan bagi GAM dalam

23 Sementara itu, hal ini menunjukkan bahwa sebelum kebijakan itu muncul pada bulan Juni 2009, terjadi manajemen yang tidak baik dari BRA kabupaten/kota dan BRA Propinsi Aceh. Lihat, Leena Avonius, ‚Reintegration BRA’s roles in the past and Its future visions,‛ Crisis Management Initiative, October 15, 2011, http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/avonius.pdf (diakses 8 April 2019). 24Pemerintah Aceh, ‚Sejarah Provinsi Aceh,‚,, https://www.acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi- aceh.html, (diakses 8 April 2019). 25Sementara itu, pergub itu masih digunakan hingga tahun 2018. Di samping itu, PP mengenai hal tersebut juga belum ada. Lihat, 12 melaksanakan MoU. Di sisi lain, Irwandi selaku Gubernur Aceh bersama DPRA pada tahun 2009 mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Pelaksanaan Syariat Islam menjadi latarbelakang dari kumunculan aturan tersebut.26 Sementara itu, implementasi ke sepuluh dari MoU Helsinki dilakukan Pemerintah Pusat dengan memberikan izin kepada partai politik lokal untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu) legislative 2009. Kemudian, ada enam partai politik lokal yang ikut pemilu tersebut. Pertama, Partai Daulat Aceh (PDA). Kedua, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Ketiga, Partai Bersatu Aceh (PBA). Keempat, Partai Rakyat Aceh (PRA). Kelima, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Keenam, Partai Aceh (PA).27 Hal ini menunjukkan delapan pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Sementara itu, perolehan suara mencapai 46,91 persen berhasil diraih PA dari pemilu legislative 2009 tersebut, sehingga mengungguli perolehan suara partai politik lainnya.28 Di sisi lain, syarat 5 persen perolehan suara untuk menjadi peserta pada pemilu

Pemerintah Aceh, ‚Sejarah Provinsi Aceh,‚, https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi- aceh.html (diakses 28 April 2019). 2628 Mei 2009 mulai diberlakukan Qanun ini. lihat, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-2-Tahun-2009-Tentang-Majelis-Permusyawaratan-Ulama.pdf (diakses 28 Maret 2019). 27Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 28Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 13 berikutnya, gagal dicapai oleh partai politik lokal lainnya.29 Berikutnya, implementasi MoU yang ke sebelas dilakukan Pemerintah Pusat, pada tahun 2010, dengan mengeluarkan PP yang mengatur masalah pelabuhan dan perdagangan Bebas Sabang.30 Hal ini menunjukkan sembilan pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Kemudian, implementasi MoU yang ke dua belas dilakukan Pemerintah Pusat juga pada tahun 2010, dengan mengatur mengenai pinjaman uang atau hal lainnya dari pihak luar negeri kepada Pemerintah Aceh. Hal ini dipaparkan dalam PerPres Nomor 11 tahun 2010.31 Hal ini menunjukkan sepuluh pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Selain itu, Kepgub Aceh no. 8 Tahun 2010 membuat perubahan lagi untuk BRA. Perubahan ini membawa penambahan anggota di BRA Propinsi Aceh dan BRA kabupaten/kota. Sementara itu, penggantian pimpinan BRA telah dilakukan Gubernur Aceh sebelum dikeluarkan kepgub itu pada April 2010. Hal tersebut direalisasikan akibat tekanan politik yang dilakukan oleh DPRA. Di sisi lain, keseluruhan jumlah anggota BRA yang tidak ditulis dalam kepgub itu menunjukkan upaya jaminan anggaran dari DPRA kepada BRA melalui Departemen Sosial. Hal ini dikaitkan dengan penjelasan rinci mengenai anggota yang selalu

29Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). 30Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang, https://otda.kemendagri.go.id/wp-content/uploads/2019/03/PPNomor-83- Tahun-2010.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). 31Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2010 Tentang Kerjasama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga Atau Badan Di luar Negeri, http://jdih2.acehprov.go.id/uu-berkaitan-dengan- aceh/PERPRES_No._11__tahun_2010_-_Kerjasama_LN.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). 14 ditulis dalam Kepgub yang dikeluarkan sebelumnya.32 Hal ini menunjukkan kegagalan kedelapan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Kemudian, anggaran BRA yang tersedia untuk tahun 2011 hingga tahun 2012, tidak mencukupi untuk menjalankan programnya disebabkan DPRA yang didominasi PA tidak menyetujui program yang dirancang Gubernur Aceh dalam lembaga tersebut.33 Hal tersebut menunjukkan sembilan kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Implementasi MoU yang ke tiga belas dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dengan memberikan wewenang kepada KIP untuk menyelenggarakan Pilkada tahun 2012. kemudian, Hasil pilkada itu menunjukkan bahwa perolehan suara pasangan calon Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Aceh, . mengungguli pasangan calon lainnya. Oleh sebab itu, pasangan ini berhak menduduki posisi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Di sisi lain, Irwandi Yusuf juga ikut sebagai salah satu calon gubernur dalam Pilkada tersebut.34 Sementara itu, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf berasal dari GAM. Pasangan ini dicalonkan oleh PA.35 Hal ini menunjukkan sebelas pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Di sisi lain, Irwandi Yusuf juga berasal dari GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ada dua calon Gubernur Aceh yang berasal dari GAM. Oleh sebab itu, GAM gagal dalam menyatukan kekuatan untuk memberikan dukungan politik pada Pilkada ini.

32Leena Avonius, ‚Reintegration BRA’s roles in the past and Its future visions,‛ Crisis Management Initiative, October 15, 2011, http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/avonius.pdf (diakses 8 April 2019). 33Leena Avonius, ‚Reintegration BRA’s roles in the past and Its future visions,‛ Crisis Management Initiative, October 15, 2011, http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/avonius.pdf (diakses 8 April 2019). 34Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Di Tingkat Provinsi Aceh. https://kip.acehprov.go.id/model-dc-1/ (diakses 12 Februari 2018). 35International Crisis Group, ‚Indonesia: GAM VS GAM in the Aceh Elections,‛ Update Briefing, June 15, 2011, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b123-indonesia-gam-vs-gam-in-the- aceh-elections.pdf (diakses 30 April 2019). 15 Selanjutnya, implementasi MoU yang ke empat belas dilakukan Pemerintah Pusat, pada tahun 2012, dengan mengeluarkan PP yang mengatur mengenai keuangan dari pelabuhan dan perdagangan bebas sabang.36 Hal ini menunjukkan dua belas pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Kemudian, implementasi MoU yang ketigabelas dilakukan oleh Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh dan DPRA, dengan menetapkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe.37 Kemudian, Gubernur Aceh dan DPRA membuat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe. Hal ini dilakukan untuk memberikan aturan dan fungsi yang lebih jelas dari lembaga itu.38 Keterangan ini menunjukkan tiga belas pencapaian yang diperoleh GAM dalam melaksanakan MoU. Selain itu, implementasi MoU yang ke lima belas dilakukan oleh DPRA bersama Gubernur Aceh, dengan mengeluarkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Namun,Qanun tersebut tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat disebabkan beberapa isinya bertentangan dengan aturan nasional. Salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007

36Peraturan Pemerintah Republic Indonesia Nomor 105 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Keuangan Pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang,. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2012/105TAHUN2012PP.HTM. (diakses 25 Agustus 2019). 37implementasi MoU yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dilakukan dengan membuat UU, PP, dan PerPres. Sementara itu, implementasi MoU yang menjadi wewenang Pemerintah Aceh, dilakukan dengan membuat Qanun. Selain itu, 19 Nopember 2012 mulai diberlakukan qanun ini. lihat, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe, http://simeuluekab.go.id/uploads/Qanun_Aceh_Nomor_8_Tahun_2012_- _Lembaga_Wali_Nanggroe.pdf (diakses 2 Mei 2019). 38Sementara itu, 13 Desember 2013 mulai diberlakukan qanun ini, lihat, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe, https://ppid.acehprov.go.id/v2/dip/view/514 (diakses 2 Mei 2019). 16 Tentang Lambang Daerah.39 Hal ini menunjukkan sepuluh kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Di sisi lain, Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh dan DPRA pada tahun 2013, mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. Penjelasan rinci mengenai Hukum Acara Jinayat dibutuhkan dalam pelaksanaan Syariat Islam. Di samping itu, penjelasan yang tidak komprehensif dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terkait dengan Hukum Acara Jinayat juga menjadi alasan kemunculan dari Qanun tersebut.40 Kemudian, implementasi MoU yang ke enam belas, dilakukan Pemerintah Pusat dengan memberi wewenang kepada KIP untuk menyelenggarakan pemilu legislative 2014. Pemilu legislative 2014 diikuti oleh beberapa partai politik lokal, yakni : PA, Partai Damai Aceh (PDA), dan Partai Nasional Aceh (PNA).41 Hasil pemilu ini menunjukkan bahwa PA mengungguli partai politik lainnya dalam perolehan suara.42 Hal ini menunjukkan empat belas pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Di sisi lain, Gubernur Aceh dan DPRA pada tahun 2014, mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Pelaksanaan Syariat Islam, menjadi dasar pembentukan qanun ini.43

39Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh dan klarifikasi Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh,i http://www.acehkita.com/wp- content/uploads/2013/04/Klarifikasi-Mendagri.pdf, (diakses 18 April 2018). 4013 Desember 2013 mulai diberlakukan isi dari Qanun ini. Lihat, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-7-Tahun-2013-Tentang-Hukum-Acara-Jinayat.pdf (diakses 28 Maret 2019). 41Tribunnews,‛Tiga Partai Lokal Aceh Resmi Jadi Peserta Pemilu,‛i www.tribunnews.com>Regional>Sumatera, (diakses 21 Februari 2018). 42Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014, https://kip.acehprov.go.id/hasil- pemilihan-anggota-dpra-2014/ (diakses 12 Februari 2018). 4323 Oktober 2014 diundangkan dan mulai diimplementasikan sejak 23 Oktober 2015. Lihat, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang 17 Selain itu, implementasi MoU yang ke tujuh belas dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan merinci kekuasaannya untuk membuat kebijakan public terhadap Aceh. Hal ini dituangkan dalam PP Nomor 3 tahun 2015. Sementara itu, Pemerintah Pusat memiliki kekuasaan utama yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, fiscal dan moneter, yustisi dan agama. Di samping itu, kekuasaan untuk mengatur hal lainnya di luar kekuasaan utama tersebut juga diatur dalam PP ini. salah satunya mengenai pertanahan.44 Di sisi lain, isi MoU menjelaskan bahwa kekuasaan utama Pemerintah Pusat tidak boleh dilaksanakan oleh Aceh, sedangkan di luar kekuasaan tersebut boleh dilaksanakan oleh Aceh. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat diminta oleh GAM, untuk mengubah PP tersebut agar sesuai dengan MoU.45 Hal ini menunjukkan sebelas kegagalan yang diperoleh GAM dari MoU. Selanjutnya, implementasi MoU yang ke delapan belas dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan membuat penjelasan yang rinci mengenai pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini dituangkan dalam PP Nomor 23 Tahun 2015. Sementara itu, PP ini merinci bahwa Pemerintah Pusat memperoleh 70 % dari bagi hasil minyak dan gas bumi, sedangkan Pemerintah Aceh memperoleh 30 %.46 Di sisi lain, isi MoU menjelaskan bahwa Aceh memperoleh 70

Hukum Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-6-Tahun-2014-Tentang- Hukum-Jinayat.pdf (diakses 13 Juli 2018). 44Sementara itu, 12 Februari 2015 mulai diberlakukan PP tersebut. Lihat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2015 Tentang kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional Di Aceh, https://www.bphn.go.id/data/documents/15pp003.pdf (diakses 14 April 2019). 45RadarAceh, ‚Wali Nanggroe Tagih Janji MoU Helsinki ke Wapres,‛ https://www.radaraceh.com/2018/03/wali-nanggroe-tagih-janji- mou-helsinki.html (diakses 8 Januari 2019). 46sementara itu, 5 Mei 2015 mulai diberlakukan PP tersebut. Lihat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi Di Aceh, http://eiti.ekon.go.id/v2/wp-content/uploads/2017/07/PP-23- Tahun-2015-tentang-Migas-di-Aceh.pdf (diakses 14 April 2019). 18 % dari hasil pengelolaan kekayaan alam yang dimilikinya. Oleh sebab itu, GAM meminta kepada Pemerintah Pusat untuk mengubah PP tersebut agar sesuai dengan isi MoU.47 Hal tersebut menunjukkan dua belas kegagalan yang diperoleh GAM dari MoU. Selain itu, permasalahan akibat pengelolaan yang buruk terhadap bantuan keuangan sebesar 650 miliar dari Pemerintah Pusat kepada BRA, belum dapat diselesaikan hingga tahun 2015.48 Hal ini juga menunjukkan kegagalan tiga belas bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Di sisi lain, pada tahun 2016, Gubernur Aceh dan DPRA menetapkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah. Dasar diterbitkan qanun ini memiliki kaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam.49 Selanjutnya, Gubernur Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 25 Tahun 2017-Tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah. Latarbelakang dibuat Pergub ini memiliki kaitan dengan Syariat Islam. Di samping itu, peraturan negara bagi pasangan yang menikah harus dicatat dalam dokumen resmi negara. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan oleh golongan masyarakat yang mengalami konflik dan tsunami juga ikut menjadi salah satu pendorong diterbitkan pergub ini.50 kemudian, implementasi MoU

47RadarAceh, ‚Wali Nanggroe Tagih Janji MoU Helsinki ke Wapres,‛ https://www.radaraceh.com/2018/03/wali-nanggroe-tagih-janji- mou-helsinki.html (diakses 8 Januari 2019). 48Yusra Habib Abdul Gani, ‚Partai Lokal yang Kesunyian Ideologi,‛ Serambinews, 7 Mei, 2018, http://aceh.tribunnews.com/2018/05/07/partai-lokal-yang-kesunyian- ideologi?page=all (diakses 22 November 2018). 498 Januari 2016 mulai berlaku Qanun ini. lihat, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-8-Tahun-2015-Tentang-Pembinaan-dan-Perlindungan-Aqidah.pdf (diakses 27 April 2019). 50Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2017-Tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah. Sementara itu, 12 Juni 2017 mulai berlaku pergub ini. lihat. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2017-Tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/11/PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NOMOR- 19 yang ke sembilan belas dilakukan Pemerintah Pusat dengan memberikan wewenang kepada KIP untuk menyelenggarakan pilkada tahun 2017. Hasil pilkada ini menunjukkan bahwa calon Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mengungguli calon lainnya dalam perolehan suara. Oleh sebab itu, Irwandi berhak untuk menduduki posisi sebagai Gubernur Aceh.51 Hal ini menunjukkan lima belas pencapaian yang diperoleh GAM dari MoU. Sementara itu, Zaini Abdullah, Muzakir Manaf dan Zakaria Saman juga maju sebagai calon gubernur pada Pilkada tersebut.52 Kemudian, salah satu individu yang berasal dari GAM yang ikut dalam Pilkada ini ialah Zakaria Saman.53 Di samping itu, baik Zaini dan Muzakir berasal dari GAM, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ada empat calon Gubernur Aceh yang berasal dari GAM. Oleh sebab itu, GAM gagal dalam menyatukan kekuatan untuk memberikan dukungan politik pada Pilkada tersebut. Selain itu, salah satu isi dari MoU yang berkaitan dengan pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dengan bersandar pada UU TPA, maka hal tersebut harus dibentuk pada tahun 2007. Sementara itu, UU Nomor 11 tahun 2006 menjelaskan bahwa pelanggaran HAM yang diproses oleh Pengadilan HAM di Aceh, fokus pada peristiwa yang terjadi

25-TAHUN-2017-TENTANG-PELAKSANAAN-ITSBAT-NIKAH.pdf (diakses 6 Mei 2019) 51Berita Acara Nomor : 38/BA-KIP Aceh/IV/2017 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/category/informasi-publik/page/2/ (diakses 16 April 2019). 52Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 15/kpts/KIP Aceh/Tahun 2017 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/04/SK-PENETAPAN-PASANGAN-CALON- GUBERNUR-TERPILIH-DARI-KIP-ACEH.pdf (diakses 16 April 2019). 53Visi & Misi Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022. https://kip.acehprov.go.id/2-zakaria-saman- alaidinsyah/ (diakses 16 April 2019). 20 sejak 1 Agustus 2006 hingga masa selanjutnya.54 kemudian, kenyataan dari implementasi MoU sejak tahun 2005 hingga tahun 2018, menunjukkan bahwa Pengadilan HAM belum terbentuk di Aceh. Di samping itu, KKR dibentuk oleh Pemerintahan Aceh pada tahun 2017, tanpa melibatkan Pemerintah Pusat. Sementara itu, peristiwa yang terjadi pada tahun 1976 hingga tahun 2005 menjadi fokus pelanggaran dari KKR yang dibentuk di Aceh.55 Penjelasan tersebut menunjukkan perbedaan fokus peristiwa pelanggaran HAM antara UU Nomor 11 tahun 2006 yang disahkan Pemerintah Pusat dan KKR dari Pemerintah Aceh. Hal ini menunjukkan empat belas kegagalan bagi GAM dalam melaksanakan MoU. Di sisi lain, pada tahun 2018, Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh mengeluarkan PerGub Aceh Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Realisasi dari qanun yang berkaitan dengan Hukum Acara Jinayat, membutuhkan aturan yang lebih rinci. Hal itu menjadi dasar pembentukan aturan ini.56 Kemudian, penjabaran isi dari MoU Helsinki sejak 2005 hingga tahun 2018, terkait dengan kompensasi konflik berupa pembagian lahan kepada mantan anggota GAM, korban konflik dan tahanan politik belum dapat dituntaskan oleh BRA Propinsi Aceh.57 Penjelasan ini menunjukkan lima belas kegagalan GAM dalam melaksanakan MoU Helsinki. Selain itu, Islam tidak dicantumkan

54Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 55Badan Reintegrasi Aceh, ‚BRA dan KKR Rumuskan Kebijakan Damai Aceh,‛ https://bra.acehprov.go.id/bra-dan-kkr-rumuskan-kebijakan- damai-aceh/ (diakses 8 Maret 2019). 56 1 Maret 2018 mulai diberlakukan Pergub ini. Lihat, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2018/05/1.- PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NO-5-TAHUN-2018-TENTANG- HUKUM-ACARA-JINAYAT.pdf (diakses 28 Maret 2019). 57Badan Reintegrasi Aceh, ‚Percepat Penyediaan Lahan Bagi Mantan Kombatan, BRA Koordinasi dengan Bupati Pijay,‛ https://bra.acehprov.go.id/percepat-penyediaan-lahan-bagi-mantan- kombatan-bra-koordinasi-dengan-bupati-pijay/ (diakses 7 April 2019). 21 dalam MoU Helsinki menunjukkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam tidak menjadi sesuatu yang diharapkan oleh GAM.58 Sementara itu, MoU Helsinki menjadi das sollen. Di sisi lain, kenyataan yang terjadi pasca MoU Helsinki, menunjukkan bahwa GAM membuat kebijakan untuk pelaksanaan Syariat Islam.59 Sementara itu, kebijakan mengenai Syariat Islam yang dibuat GAM menjadi das sein. Kemudian, penjelasan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas menunjukkan bahwa Gubernur Aceh yang berasal dari GAM dan DPRA yang anggotanya juga banyak berasal dari GAM, memperoleh lima belas pencapaian dan lima belas kegagalan dalam melaksanakan MoU Helsinki. Kemudian, Gubernur Aceh dan DPRA berusaha menutupi kegagalan tersebut dengan membuat Qanun atau Peraturan Gubernur, yang berkaitan dengan Syariat Islam. Padahal, Islam tidak menjadi ideology bagi GAM sesuai dengan perdebatan akademik di atas. Oleh sebab itu, teka teki harus dibuka agar dapat memahami permasalahan tersebut. Penjelasan itu membuat penulis ingin mengetahui Islam, Demokrasi dan Transisi Otonomi Khusus (Politik Dan Dinamika Identitas Lokal Di Aceh, Indonesia).60

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam politik Aceh setelah MoU Helsinki Periode 2005-2018. 2. Islam tidak dijelaskan dalam MoU Helsinki. 3. Gubernur Aceh periode 2007-2011, yang berasal dari GAM, memperoleh beberapa pencapaian dalam mengimplementasikan MoU Helsinki.

58Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), 126-129. 59Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions,‛ Studia Islamika 23 (2016), 1- 29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 60Periode 2005-2018 menjadi fokus penelitian penulis dalam tesis ini. 22 4. Gubernur Aceh periode 2007-2011, yang berasal dari GAM, memperoleh beberapa kegagalan dalam mengimplementasikan MoU Helsinki. 5. Gubernur Aceh periode 2012-2017 dan 2017-2018, yang berasal dari GAM, memperoleh beberapa pencapaian dalam mengimplementasikan MoU Helsinki. 6. Gubernur Aceh periode 2012-2017 dan 2017-2018, yang berasal dari GAM, memperoleh beberapa kegagalan dalam mengimplementasikan MoU Helsinki. 7. GAM mengalami kegagalan dalam menyatukan dukungan politik pada pilkada Aceh pasca MoU.

C. Perumusan Masalah Tesis ini secara umum ingin memberikan penjelasan tentang Islam, Demokrasi Dan Transisi Otonomi Khusus (Politik dan Dinamika Identitas Lokal di Aceh, Indonesia). Penulis fokus untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa penyebab dari munculnya kembali Islam masuk di panggung politik Aceh setelah MoU Helsinki ? 2. Bagaimana pengaruh Islam di panggung politik Aceh setelah MoU Helsinki?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan dari penelitian Tesis ini diharapkan : a. Menganalisis penyebab dari munculnya kembali Islam masuk di panggung politik Aceh setelah MoU Helsinki. b. Menganalisis pengaruh Islam di panggung politik Aceh pasca MoU Helsinki.

E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 1. Signifikansi penelitian adalah untuk mengembangkan pengetahuan di bidang Islam dan Demokrasi. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis 1) untuk memberikan kontribusi literatur keilmuan dan menjadikan penelitian ini sebagai literatur di bidang Ilmu Politik.

23 b. Manfaat Praktis 1) Mengembangkan Ilmu Politik khususnya mengenai Islam dan Demokrasi di Aceh. 2) Penelitian ini diharapkan menambah informasi bagi penelitian Tesis yang berkaitan dengan topik tersebut di waktu yang akan datang.

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan Pertama, penelitian yang dilakukan Ben Hillman dengan judul : Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh. Tulisan ini menjelaskan bahwa pelaksanaan pemilu dapat dijadikan ukuran keberhasilan atau kegagalan dari perubahan situasi golongan politik yang terlibat dengan konflik menuju situasi yang damai pasca konflik. Penelitian kualitatif digunakan dalam pembahasan tulisan ini. kemudian, teori yang digunakan penelitian ini terkait dengan fungsi partai politik di daerah pasca konflik. Pada satu sisi, pembelahan sosial dapat terjadi dengan kemunculan partai politik di bekas wilayah konflik. Di sisi lain, konsolidasi perdamaian dapat diperkuat dengan kerjasama antara golongan-golongan masyarakat dengan partai politik. Berdasarkan teori tersebut, Ben Hillman mengambil kesimpulan bahwa teori yang pertama lebih tepat digunakan untuk memahami keadaan Aceh pasca konflik.61 Selain itu, berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa fokus penelitian tersebut ialah etnik, sedangkan fokus penelitian penulis ialah Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Kedua, penelitian yang dilakukan Craig Thornburn dengan judul : Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009. Tulisan ini menjelaskan bahwa penyelesaian perdamaian Aceh masih membutuhkan waktu dalam ukuran tertentu. Namun, pencapaian yang telah dilalui memberikan

61Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 24 pengaruh yang baik bagi masyarakat. Contohnya: pemusnahan seluruh alat militer yang dimiliki GAM dan pemberian bantuan terhadap golongan yang terlibat konflik berdampak terhadap pemulihan keamanan. Hal ini membuat masyarakat mau untuk berpartisipasi dalam politik dan ekonomi. Penelitian kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam pembahasan tulisan ini. kemudian, teori yang dipakai dalam pembahasan tulisan ini terkait dengan ekonomi dan politik. Pada satu aspek, keadaan ekonomi dapat mempengaruhi sikap individu terhadap politik. Pada aspek lainnya, keadaan politik dapat mempengaruhi sikap individu terhadap ekonomi. Berdasarkan teori tersebut Craig mengambil kesimpulan bahwa teori yang pertama lebih tepat dipakai dalam mempelajari masalah Aceh pasca perdamaian tahun 2005.62 Selain itu, berdasarkan keterangan itu menunjukkan bahwa fokus penelitian tersebut ialah perdamaian, sedangkan fokus penelitian penulis ialah Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Ketiga, penelitian yang dilakukan Shane Joshua Barter dengan judul The Free Aceh Elections? The 2009 Legislative Contest in Aceh. Tulisan ini menjelaskan bahwa pemilu legislative 2009 di Aceh menjadi salah satu ukuran dari demokratisasi daerah bekas konflik dan ujian bagi perdamaian. Hal ini didasari dengan masih adanya beberapa tahap yang harus dilalui Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan pemilu legislative ketiga pasca Orde Baru. Contohnya : penyelesaian teknis pemilu. Penelitian kualitatif digunakan dalam tulisan ini. Teori yang dipakai berkaitan dengan studi konflik. Pada satu sisi, Pemerintah Pusat dapat menghilangkan gerakan separatis dengan memberikan otonomi kepada daerah yang pernah mengalami konflik. Di sisi lain, Pemerintah Pusat tidak dapat menghilangkan gerakan separatis dengan memberikan otonomi kepada daerah yang pernah mengalami konflik. Berdasarkan teori tersebut, Shane mengambil kesimpulan bahwa teori yang pertama lebih tepat digunakan untuk memahami masalah

62Craig, Thorburn, ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012), 83-122,, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018). 25 Aceh.63 Selain itu, berdasarkan pembahasan ini menunjukkan bahwa fokus penelitian itu ialah pemilu legislatif 2009, sedangkan fokus penelitian penulis ialah Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Keempat, penelitian yang dilakukan Edward Aspinall, dengan judul : Combatants to Contractors : The Political Economy of Peace in Aceh. Tulisan ini menjelaskan bahwa proses pasca perdamaian di bidang ekonomi dan politik banyak menguntungkan golongan dari bekas GAM. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan golongan tersebut dalam mengerjakan proyek-proyek dari Pemerintah dan mereka juga ikut menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Penelitian kualitatif dipakai dalam pembahasan tulisan ini. Sementara itu, teori yang digunakan berkaitan dengan ekonomi dan politik. Pada satu sisi, para peneliti yang mempelajari politik dan ekonomi Indonesia menilai bahwa proyek pemerintah menjadi sarana yang paling mudah memunculkan korupsi. Di sisi lain, para peneliti menilai seluruh proyek yang berasal dari pemerintah maupun swasta cenderung memunculkan korupsi. Berdasarkan teori tersebut, Aspinall mengambil kesimpulan bahwa teori pertama lebih tepat digunakan dalam melakukan analisa terhadap masalah Aceh.64 Selain itu, berdasarkan keterangan itu menunjukkan bahwa fokus penelitian itu ialah ekonomi politik, sedangkan fokus penelitian penulis ialah Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Kelima, penelitian yang dilakukan Gyda Mara Syndre dengan judul : in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor. Tulisan ini menjelaskan bahwa partai politik yang berasal dari bekas organisasi pemberontak memiliki hubungan keanggotaan yang berbeda antara pimpinan partai dengan anggota yang berasal dari organisasi pemberontak dan anggota lainnya yang bukan berasal dari

63Shane, Joshua Barter, ‚The Free Aceh Elections? The 2009 Legislative Contest In Aceh, Indonesia 91 (2011), 113-130, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed March 17, 2018). 64 Edward, Aspinall, ‚Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh,‛ Indonesia 87 (2009), 1-34, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed April 18, 2018). 26 organisasi pemberontak. Penelitian kualitatif dipakai dalam tulisan ini. Teori mengenai keanggotaan partai politik digunakan dalam pembahasan tulisan ini. Pada satu sisi, pengelolaan keutuhan internal dapat dilakukan saat berubah menjadi partai politik bila transisi dari organisasi pemberontak menjadi organisasi politik tetap di control oleh para pemimpin organisasi itu dan para pemimpin dapat mengakomodasi semua kepentingan golongan yang terlibat dalam organisasi tersebut. Di sisi lain, partai politik yang berasal dari organisasi pemberontak dapat mengalami perpecahan bila tuntutan dari golongan-golongan yang terlibat dalam organisasi pemberontak tidak mampu diakomodasi seluruh kepentingannya oleh para pemimpin organisasi itu. Berdasarkan teori tersebut, Gyda mengambil kesimpulan bahwa teori yang kedua lebih tepat digunakan untuk memahami masalah Timor Timur dan teori yang pertama lebih tepat digunakan untuk memahami masalah Aceh.65 Selain itu, penjelasan ini menunjukkan bahwa fokus penelitian tersebut ialah mobilisasi partai politik, sedangkan fokus penelitian penulis ialah Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Keenam, penelitian yang dilakukan Ben Hilman dengan judul : Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia. Tulisan ini menjelaskan bahwa sistem politik Indonesia melarang partai politik lokal disebabkan memperjuangkan kepentingan dalam skala kecil di forum nasional. Hal ini dapat menganggu kestabilan politik nasional bila kepentingan skala kecil itu tidak dapat dicapai. Namun, Pemerintah Indonesia memberikan kekhususan untuk Aceh sebagai upaya penyelesaian konflik dengan memberikan izin pembentukan partai politik lokal. Penelitian kualitatif dipakai dalam pembahasan tulisan ini. Teori mengenai keterkaitan etnik dengan partai politik digunakan dalam penelitian ini. Pada satu sisi, bekas gerakan separatis akan kuat dengan menggunakan partai politik yang bersandar pada etnik. Di sisi lainnya, partai politik yang bersandar

65Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 27 pada etnik dapat memberikan arahan kepada bekas gerakan separatis untuk mengikuti aturan hukum. Berdasarkan teori tersebut, Ben Hillman mengambil kesimpulan bahwa teori yang pertama lebih tepat digunakan dalam menganalisa masalah Aceh.66 Selain itu, berdasarkan seluruh penjelasan yang dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa fokus dari penelitian tersebut tidak meneliti mengenai Islam, sedangkan fokus penelitian penulis meneliti mengenai Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Hal itu menjadi perbedaan antara penulis dan peneliti lainnya. Ketujuh, penelitian yang dilakukan Ali Munhanif dengan judul : Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions. Tulisan ini menjelaskan tentang mobilisasi politik yang digunakan oleh pemberontak Aceh pada tahun 1950-an atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh. Sementara itu, penelitian kualitatif digunakan dalam pembahasan tulisan ini. Selain itu, ada dua teori yang digunakan untuk memahami mobilisasi politik DI/TII Aceh. Pada satu sisi, mobilisasi politik dalam suatu organisasi pemberontak dapat bersandar pada etnis. Di sisi lain, mobilisasi politik dalam suatu organisasi pemberontak dapat berdasar pada agama dan etnis. Berdasarkan dua teori tersebut, Ali Munhanif mengambil kesimpulan bahwa mobilisasi politik yang digunakan oleh DI/TII Aceh bersandar pada agama dan etnis.67 Selain itu, berdasarkan seluruh penjelasan yang dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa fokus dari penelitian tersebut ialah mobilisasi politik dari DI/TII Aceh, sedangkan fokus penelitian penulis meneliti mengenai Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Hal itu menjadi perbedaan antara penulis dan peneliti lainnya. Kedelapan, penelitian yang dilakukan oleh Gyda M. Sindre dengan judul: From Secessionism to Regionalism : Intra-

66Ben, Hillman, ‚Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia,‛ Asian Ethnicity 13 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080//4631369.2012.710078 (accessed July 20, 2018). 67Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions,‛ Studia Islamika 23 (2016), 1- 29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 28 organizational Change and Ideological Moderation within Armed Secessionist Movements. Tulisan ini menjelaskan penyebab suatu organisasi bersenjata atau GAM, yang bertujuan untuk memisahkan suatu wilayah dalam suatu negara, untuk menjadi suatu negara yang merdeka, mengubah ideologinya dari yang awalnya berkeinginan untuk merdeka menjadi berkeinginan untuk menerima otonomi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Sementara itu, penelitian kualitatif digunakan dalam tulisan ini. Selain itu, ada dua teori yang digunakan untuk memahami perubahan dari suatu ideologi organisasi bersenjata yang bertujuan merdeka itu. Pada satu sisi, otonomi yang menunjukkan suatu keistimewaan sering dijadikan sebagai tawaran oleh fasilitator perdamaian, dalam penyelesaian tuntutan suatu organisasi bersenjata yang bertujuan memerdekakan suatu wilayah dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain, keadaan yang nyata di wilayah yang diperjuangkan untuk merdeka dan keuntungan yang diperoleh oleh organisasi bersenjata yang bertujuan merdeka itu bila ikut dalam perundingan dengan Pemerintah Pusat. Berdasarkan dua teori tersebut, Gyda M. Sindre mengambil kesimpulan bahwa perubahan ideologi GAM disebabkan oleh keadaan yang nyata di wilayah yang diperjuangkan untuk merdeka dan keuntungan yang diperoleh oleh organisasi bersenjata tersebut.68 Selain itu, berdasarkan seluruh penjelasan yang dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa fokus dari penelitian tersebut ialah perubahan ideologi GAM dari merdeka menjadi menerima otonomi, sedangkan fokus penelitian penulis meneliti mengenai Islam masuk di panggung politik Aceh pasca MoU. Hal itu menjadi perbedaan antara penulis dan peneliti lainnya.

68 Gyda M. Sindre, ‚From Secessionism to Regionalism : Intra- organizational Change and Ideological Moderation within Armed Secessionist Movements,‛ Political Geography 64 (2018) 23-32, http: www.elsevier.com/locate/polgeo (accessed July 29, 2019). 29 G. Metodologi Penelitian Lexy. J. Moleong, mengutip Kirk dan Miller, menjelaskan bahwa penelitian kualitatif ialah pemahaman terhadap segala aspek yang melekat pada manusia dalam kehidupan sosial dengan menggunakan cara yang terstruktur.69 Sementara itu, untuk mengetahui kenyataan dalam penelitian, peneliti menjadi ‚alat pengumpul data utama‛.70 1. Pendekatan Studi dan Jenis Penelitian Pendekatan Studi yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan Ilmu Politik. Sementara itu, pendekatan Ilmu Politik ialah penggunaan ilmu politik dalam menganalisis suatu tema penelitian yang berkaitan dengan studi Islam. Kemudian, Jenis Penelitian dalam Tesis ini ialah penelitian kualitatif. 2. Sumber Data 1) Data Primer Penulis melakukan wawancara dengan anggota dari beberapa partai politik lokal yang ada di Aceh. Pertama, Partai Aceh (PA). Penulis melakukan wawancara dengan Furqan Ibrahim, sebagai salah satu pengurus PA, pada 8 September 2017 di Aceh. Kemudian, penulis juga melakukan wawancara dengan Zainal, sebagai salah satu pengurus dari PA, pada 21 Juli 2018 di Aceh. Kedua, Partai Daulat Aceh (PDA). Penulis melakukan wawancara dengan Wahab sebagai salah satu pengurus dari PDA, pada 8 Agustus 2018 di Aceh. Ketiga, Partai Nasional Aceh (PNA). Penulis melakukan wawancara dengan Muhammad Yusuf sebagai salah satu pengurus dari PNA, pada 1 Agustus 2018, di Aceh.

2) Data Sekunder Buku, jurnal dan data elektronik berasal dari internet yang memiliki kaitan dengan fokus penelitian.

69Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000), 3. 70Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000), 4-5.

30 3. Metode Pengumpulan Data a. Dokumentasi Dokumentasi ialah penggunaan sumber penelitian tanpa melalui data utama.71 Sementara itu, penulisan suatu informasi dari individu yang terlibat didalamnya merupakan definisi dokumen primer. Kemudian, penulisan suatu informasi oleh individu berdasarkan keterangan dari individu lain merupakan definisi dari dokumen sekunder.72 b. Wawancara Wawancara ialah pengajuan pertanyaan kepada responden oleh seseorang, disertai merekam jawabannya, untuk memperoleh data.73 Informasi rinci dari responden harus mendapat perhatian pewawancara sehingga tidak ada data yang meragukan.74

4. Analisis Data Dalam analisis ini digunakan teori mengenai partai politik. Selain itu, Lexy J. Moleong mengutip Patton menjelaskan bahwa Analisis data ialah ‚proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar‛.75

71Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 70. 72Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 70-71. 73Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 67-68. 74Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), 87. 75Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000), 103. 31 H. Sistematika Penulisan Bab I berisi Pendahuluan dengan penjelasan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan masalah dan perumusan, tujuan penelitian, signifikansi dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi Kerangka Teori, antara lain: Islam dan GAM, Institusi Politik dan Ideologi Politik, Islam dan Demokrasi, dan lainnya. Bab III menjelaskan mengenai beberapa hal, antara lain: transisi GAM , profil partai politik lokal tahun 2009, dan lainnya. Bab IV menjelaskan beberapa hal, antara lain: Islam masuk di panggung politik Aceh dan lainnya. Bab V menjelaskan beberapa hal, antara lain: visi dan misi calon gubernur Aceh periode 2007-2012 dan lainnya. Bab VI berisi kesimpulan.

32 BAB II Ideologi, Islam, dan Institusi Politik

Penjelasan ideal mengenai suatu masyarakat dengan berdasar pada keyakinan-keyakinan atau ide-ide, yang diperjuangkan oleh suatu organisasi dapat didefinisikan sebagai ideology politik. Kemudian, organisasi tersebut memiliki metode untuk melaksanakan ide-ide itu baik dengan cara melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dalam suatu negara atau melakukan tindakan politik yang sah dalam suatu negara. Tujuan pelaksanaan dari keyakinan-keyakinan tersebut ialah penguasaan terhadap seluruh keputusan untuk membuat kebijakan public yang dapat diimplementasikan kepada suatu masyarakat.1 Sementara itu, aturan-aturan kehidupan yang dimiliki oleh Islam dapat diperjuangkan oleh suatu organisasi dan diterapkan dalam suatu negara. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Islam dapat didefinisikan sebagai ideology.2 Selain itu, salah satu pengaturan yang terdapat pada sistem pemerintahan dalam suatu negara dapat didefinisikan sebagai institusi politik. Dengan kata lain, setiap bentuk sumber daya yang dimiliki suatu pemerintahan secara terstruktur juga dapat diartikan sebagai institusi politik. Sementara itu, actor utama dari suatu organisasi pemberontak menggunakan pemahamannya terhadap keadaan lingkungan sebagai efek dari institusi politik dari suatu negara untuk dijadikan dasar dalam membentuk ideology. Kemudian, identitas politik dari suatu organisasi pemberontak memiliki kaitan yang erat dengan hasil implementasi ideologinya. Selain itu, institusi politik yang berubah dalam suatu negara juga memberikan efek terhadap perkembangan ideology dari suatu

1M. Freeden, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Stanford: Elsevier, 2001), 7171-7177, https://www.sciencedirect.com/topics/psychology/political-ideology (diakses 28 Juli 2019). 2 Anies, Rasyid Baswedan, ‚Political Islam in Indonesia : Present and Future Trajectory,‛ Asian Survey 5 (2004), 669-690, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (accessed March 29, 2018). 33 organisasi pemberontak.3 Sementara itu, pembahasan berikutnya berkaitan dengan tiga konsep tersebut.

A. Islam dan GAM Ditinjau dari beberapa Perspektif Pada tahun 1976, Hasan di Tiro, menggunakan nama National Liberation Front of Acheh, , (ASNLF), untuk organisasi yang didirikannya. Berikut ini salah satu isi dokumen resmi tertulis yang dibaca oleh Hasan di Tiro, saat pembentukan organisasi itu :

‚We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of .‛4

Teks tertulis di atas tersebut menjadi salah satu bahan kajian penting untuk mengetahui ideology dari GAM. Berikut ini dipaparkan pendapat dari para peneliti mengenai ideology dari organisasi tersebut. Menurut pendapat yang pertama, Islam menjadi ideologi bagi GAM disebabkan teks tertulis pada tahun 1970-an menerangkan bahwa Negara Islam Aceh-Sumatra diperjuangkan pembentukannya oleh organisasi tersebut. Di samping itu, keikutsertaan mantan anggota Darul Islam (DI) dalam periode awal GAM, menunjukkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam yang menjadi harapan dari DI, juga diinginkan oleh GAM.5 Hal ini menunjukkan

3Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Studia Islamika 23 (2016), 1-29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 4Hasan Di Tiro, Acheh-Sumatra National liberation Front (Atjeh Meurdehka) (Atjeh: ASNLF, 1976), http://www.asnlf.org/index.php/asnlf- website-english/news/declaration-of-independence/ (diakses 10 Desember 2018). 5Aspinall menggunakan data tahun 1992 yang bersumber dari Suara Acheh Merdeka dan ditulis oleh Luth Ari Linge. Selain itu, DI ialah organisasi pemberontakan pertama di Aceh, yang dibentuk pada tahun 34 bahwa hubungan antara suatu organisasi Islam dengan individunya tidak dapat dipisahkan. Sementara itu, menurut pendapat kedua, Islam tidak menjadi ideology dari GAM disebabkan dokumen resmi yang menjelaskan tentang Islam tidak pernah ditemukan. Di samping itu, Islam bukan ideologi dari GAM dapat dihubungkan dengan pernyataan proklamasinya. Organisasi ini berdasarkan proklamasinya memiliki tujuan utama agar Aceh yang berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dapat memperoleh kemerdekaan.6 Selanjutnya, Islam tidak menjadi ideologi bagi GAM juga diperoleh melalui keterangan Daud Beureueh yang melakukan dialog dengan Hasan Di Tiro pada tahun 1975 di Aceh. Kunjungan yang dilakukan Hasan Di Tiro ke rumah Daud Beureueh bertujuan untuk memperoleh persetujuan Daud Beureuh bagi organisasi pemberontak yang didirikannya. Dalam percakapan tersebut, kemerdekaan bagi Aceh menurut akan membawa kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini menjadi tujuan dari pemberontakannya. Namun, penjelasan dari Hasan Di Tiro itu tidak mendapat persetujuan dari Daud Beureueh disebabkan ‚Aceh, kata Daud, butuh menjadi Islam, bukan merdeka‛.7 Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberontakan ini telah direncanakan. Sementara itu, argumentasi yang sesuai dengan pendapat yang kedua, menerangkan bahwa pemimpin GAM tidak bersandar pada Islam dalam ideology yang dibuatnya. Hal tersebut terkait dengan asal usul pemimpinnya yang bukan berasal dari golongan ulama berpengaruh di masyarakat sehingga tidak mampu membuat program mengenai Islam untuk menarik massa. Sementara itu, Islam menjadi ideology dari organisasi pemberontak DI, yang sebelumnya

1950-an. Lihat, Edward Aspinall, Islam and Nation Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia (California: Stanford University Press, 2009), 19, 199 dan 270. 6Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), 125-126. 7Informasi ini diperoleh melalui penjelasan dari Nazaruddin Sjamsuddin. Lihat, Nugroho Dewanto, Seri Buku Tempo Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (Jakarta: Tempo, 2011), 55-56. 35 timbul di Aceh. Keterangan itu menunjukkan perbedaan orientasi antara GAM dan DI.8 Penjelasan itu membuktikan bahwa tidak mudah mengikutsertakan pengaruh agama dalam masyarakat di bidang politik tanpa keahlian. Selain itu, pendapat ketiga menyebutkan bahwa Nasionalisme dan Islam melekat dalam ideology pembebasan nasional yang digunakan oleh GAM. Nasionalisme yang berdasarkan pada etnik menjadi pemicu kemunculan kesamaan dalam membentuk pemahaman mengenai kesatuan Aceh. Kemudian, Islam yang membahas mengenai politik bukan menjadi tujuan dari GAM, tetapi budaya dan identitas Islam yang dimiliki rakyat Aceh, yang dipahami GAM dalam ideologinya. Selain itu, sejarah politik dan agama di Aceh Sumatera, yang berbeda dengan pusat kekuasaan di pulau Jawa, membuat pemimpin GAM menggunakan kosa kata bangsa untuk memperoleh dukungan dan mempertegas ketidaksamaan itu.9

B. Institusi Politik sebagai Pengatur dari Suatu Kebijakan Negara memiliki sejumlah institusi yang didalamnya memproses berbagai kebijakan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan melalui beberapa tahapan yang telah ditentukan cara pembuatannya. Penelitian mengenai institusi-institusi menjadi bagian-bagian

8Sementara itu, Ali Munhanif mengutip pendapat 2 peneliti, yang karyanya diterbitkan oleh Cornell University, yakni : Eric Eugene Morris, 1985. Aceh: Social Revolution and the Islamic Vision. In The Dinamics of Indonesia Revolution dan Tim Kell. 1995. The roots of Acehnese Rebelions 1989-1992, untuk menjelaskan bahwa Islam tidak menjadi ideology dari GAM. Lihat, Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Studia Islamika 23 (2016), 1-29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 9Kirsten E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization (Washington: the East-West Center Washington, 2004), 6-8, https://www.researchgate.net/publication/29738456_The_Free_Aceh_Mov ement_GAM_Anatomy_of_a_Separatist_Organization (diakses 25 November 2018). 36 fondasi dari Ilmu Politik. Kemunculan penelitian mengenai hal ini kembali berkembang disebabkan ketidakpuasan para peneliti di Amerika Serikat pada tahun 1980-an untuk menjelaskan berbagai fenomena politik dengan menggunakan tingkah laku dan pilihan rasional dari individu sebagai pusat penelitian. Oleh sebab itu, para peneliti yang mempelajari institusi-institusi politik memiliki perspektif bahwa keputusan yang dibuat oleh suatu institusi dapat menjelaskan dinamika politik yang lebih luas dibandingkan dengan penelitian yang berlandaskan pada alasan berdasarkan psikologi atau keuntungan materi, yang mendorong seseorang untuk berpolitik. Meskipun begitu, metode analisis yang digunakan dalam mempelajari tingkah laku dan pilihan rasional juga dipakai dalam mengembangkan penelitian terhadap institusi. Oleh sebab itu, hal ini disebut sebagai paham institusi baru. Sementara itu, penelitian terhadap institusi yang pernah berkembang hingga tahun 1945 di negara itu, tidak menggunakan metode analisis yang mengkaji tentang tingkah laku dan pilihan rasional. Oleh sebab itu, hal ini disebut sebagai paham institusi lama. Paham institusi lama dan institusi baru dalam memahami suatu kasus, contohnya, perspektif tentang sistem presidensial dan sistem parlementer memiliki persamaan dan perbedaan. Pada satu sisi, paham institusi lama menjelaskan bahwa pengaturan dan struktur sistem presidensial memiliki kekhususan yang tidak sama dengan sistem parlementer. Di sisi lain, paham institusi baru menjelaskan bahwa paham institusi lama tetap dipertahankan, namun dilengkapi dengan tambahan analisis tentang apa yang mempercepat dan memperlambat setiap sistem itu bekerja dan apa perbedaan dari kecepatan dan kelambatan dari setiap sistem tersebut.10 Hal ini menunjukkan bahwa paham institusi baru lebih rinci dalam memberikan jawaban dalam suatu masalah dibandingkan paham institusi lama. Sementara itu, kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah memiliki kaitan yang erat dengan struktur dalam suatu sistem

10B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science the 'New Institutionalism' (London: Biddles, 1999), 2, https://epdf.pub/institutional- theory-in-political-science-the-new-institutionalism.html (diakses 25 Juni 2019). 37 politik. Oleh sebab itu, paham institusi baru membahas mengenai kepemimpinan dan karakteristik-karakteristik struktur. Hal ini menjadi kebaruan cara pandang dari paham institusi baru yang diperoleh melalui penelitian yang berdasarkan metode aslinya atau penggunaan metode dari pendekatan lainnya. Meskipun begitu, perkembangan teori dalam paham institusi baru lebih banyak menggunakan metode aslinya dibandingkan penggunaan metode lainnya disebabkan ilmuwan dari paham institusi baru memiliki perspektif yang baku dalam memahami suatu persoalan. Namun, perspektif itu akan lebih lengkap dengan memberikan penjelasan tambahan. Berdasarkan hal ini, kelengkapan dari penjelasan itu diambil dari hasil penelitian yang menggunakan metode lainnya.11 Selain itu, institusi politik memiliki beberapa fungsi yang sangat penting dalam suatu masyarakat. Pertama, pembentukan negara baik yang berbentuk negara kesatuan atau negara federal menggunakan institusi yang telah terbentuk sebelumnya. Sebagai contoh, apabila negara itu dibentuk dari bekas wilayah jajahan dari suatu negara maka institusi politik yang didirikan oleh negara yang menjajah itu digunakan sebagai institusi dari negara yang baru merdeka ini. Oleh sebab itu, struktur dalam institusi politik yang diisi oleh golongan politik ini, memiliki dampak untuk membentuk identitas nasional. Kedua, kerjasama yang dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di suatu propinsi pada periode awal kemerdekaan juga menggunakan institusi politik yang diwariskan oleh negara penjajah, sehingga golongan politik yang mengisi struktur dari institusi politik baik pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki peran dalam membentuk pola hubungan antara pusat dan daerah. Ketiga, institusi politik yang kuat baik pada pusat dan daerah yang tidak menemukan titik temu pada suatu persoalan akan memunculkan control yang kuat dari

11B. Guy Peters, Institutional Theory in Political Science the 'New Institutionalism' (London: Biddles, 1999), 2, https://epdf.pub/institutional- theory-in-political-science-the-new-institutionalism.html (diakses 25 Juni 2019). 38 institusi pusat kepada institusi daerah dan institusi daerah berusaha mempertahankan otoritasnya.12

C. Ideologi Politik sebagai Pengarah dari Suatu Organisasi Tuntutan-tuntutan dari golongan-golongan politik dalam suatu negara dapat terlihat dari ideology yang digunakan oleh negara tersebut. Kemudian, suatu ideology yang diperjuangkan oleh suatu golongan politik selalu memuat tujuan khusus dari golongan tersebut pada penjelasan rincinya. Meskipun begitu, suatu golongan politik selalu menampilkan gagasan yang terbaik dan bersifat umum, dalam ideology yang digunakannya, dengan tujuan untuk menyelesaikan seluruh persoalan dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, tujuan khusus dari suatu ideology yang diperjuangkan oleh golongan politik memiliki perbedaan dengan suatu ideology yang diperjuangkan oleh golongan politik lainnya. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tingkat pemahaman dari suatu golongan politik dengan berdasar baik pada agama, pendidikan dan lainnya, dalam membangun suatu ideology.13 Penjelasan ini menunjukkan bahwa kesepakatan menjadi sesuatu yang paling penting dalam ideology, yang dapat mengakomodasi banyak pihak. Sementara itu, ada empat perspektif yang dapat digunakan dalam memahami ideology politik. Pertama, kehidupan politik masyarakat dibentuk berdasarkan pada symbol-simbol budaya yang mengarah pada kemajuan mereka baik dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Kedua, metode untuk mengubah perilaku masyarakat hanya dapat dilakukan melalui kekuasaan politik empiris dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Ketiga, ketiadaan bukti empiris dalam melaksanakan suatu ide untuk mengubah masyarakat yang dilakukan oleh suatu organisasi. Keempat, pengelolaan ketertiban suatu masyarakat dapat dilakukan melalui kekuasaan politik dengan cara mendistribusikan sumber

12Hudson, Meadwell, ‚The Politics of Nationalism in Quebec, ‚ World Politics 45 (1993), 203-241, https://www.jstor.org/stable/2950658 (accessed January 16, 2019). 13Yahya Muhaimin and others, eds. Masalah-Masalah Pembangunan Politik (: Gadjah Mada University Press, 1982), 88. 39 daya ekonomi yang terencana dan terarah kepada mereka. Selain itu, penafsiran-penafsiran mengenai ketidaksesuaian kondisi dari suatu masyarakat menjadi dasar pembentukan konsep ideology.14 Keterkaitan antara Institusi Politik dan Ideologi Politik Ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk memahami perubahan ideology dalam suatu organisasi pemberontak yang ingin memperoleh kemerdekaan dari suatu negara. Pertama, kesepakatan perdamaian antara suatu organisasi pemberontak dan pemerintah yang sah, menjadi sarana bagi organisasi pemberontak untuk memperoleh dukungan dari pihak internasional dan pihak dalam negeri untuk memperkuat organisasi tersebut sebagai strategi jangka waktu tertentu, yang bertujuan akhir merdeka. Namun, tujuan akhir itu dapat dicapai dengan ideology yang bertujuan untuk merdeka diganti dengan ideology yang bertujuan tidak mendapatkan merdeka sebagai salah satu bagian dari strategi jangka waktu tertentu tersebut. Kedua, kesepakatan perdamaian antara suatu organisasi pemberontak dan pemerintah yang sah, dalam suatu sistem demokrasi, mengharuskan transformasi organisasi pemberontak itu menjadi suatu partai politik. kemudian, sistem demokrasi yang diikuti partai politik ini membawa pengaruh keterbukaannya untuk memperoleh dukungan baik dari golongan pendukung organisasi pemberontak maupun golongan lainnya dalam suatu masyarakat.15 Penjelasan ini menerangkan bahwa organisasi pemberontak yang berdamai dengan pemerintah harus melakukan penyesuaian menjadi organisasi sipil. Selain itu, pengaturan secara kelembagaan dalam suatu negara, baik berbentuk negara federal maupun negara kesatuan, yang dibuat oleh golongan politik, memiliki kemampuan untuk merancang, membuat dan memaksakan kebijakannya ke seluruh

14M. Freeden, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Stanford: Elsevier, 2001), 7171-7177, https://www.sciencedirect.com/topics/psychology/political-ideology (diakses 28 Juli 2019). 15 Gyda, M. Sindre, ‚From Secessionism to Regionalism: Intra- Organizational Change and ideological Moderation within Armed secessionist Movements,‛ Political Geography 64, (2018), 23-32, http//www.elsevier.com/locate/polgeo (accessed July 18, 2019). 40 wilayahnya. Namun, tuntutan dari golongan politik di suatu wilayah atau propinsi mengenai keadilan ekonomi atau lainnya, yang tidak dapat diakomodasi oleh pemerintah pusat atau lainnya, sebagai salah satu pembuat kebijakan yang berlaku secara nasional di suatu negara, akan memunculkan suatu organisasi pemberontakan yang bertujuan memisahkan wilayah tersebut dari negara itu. Sementara itu, organisasi pemberontak dan ideology dari organisasi pemberontak diarahkan oleh ‚institutions like legislatures, courts, and executives‛.16 Penjelasan ini menerangkan bahwa Pemerintah dapat mengatur suatu organisasi pemberontak.

Organisasi Pemberontak Kemunculan suatu organisasi pemberontak dalam suatu propinsi di suatu negara memiliki kaitan yang erat dengan gangguan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh golongan politik di propinsi tersebut. Oleh sebab itu, pembentukan organisasi pemberontak bertujuan agar kekuasaan yang mereka miliki tetap dapat dipertahankan. Di samping itu, agama atau hal lainnya yang unik bagi rakyat di wilayah itu juga dijaga keberlanjutannya. Sementara itu, negara berbentuk kesatuan yang memiliki sejumlah propinsi membutuhkan integrasi nasional untuk mempermudah koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi. Namun, golongan politik di suatu propinsi mengganggap kebijakan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan integrasi nasional membawa dampak terhadap penyingkiran mereka dari kekuasaan politik. Hal ini menjadi salah satu perspektif dalam memahami organisasi pemberontak di suatu negara.17 Sementara itu, perspektif kedua yang diberikan oleh peneliti yang mengkaji organisasi pemberontak, menyebutkan bahwa

16Lawrence, M. Anderson, ‚Institusional Basis of Seccesionist Politics : Federalism and Secession in the United States,‛ Publius 34, (2004), 1-18, https: //www.jstor.org/stable/3331204 (accessed January 16, 2019). 17Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Studia Islamika 23 (2016), 1-29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 41 beberapa factor yang dipahami oleh elit dari golongan politik dari suatu propinsi yang berada dalam suatu negara baik berupa keinginan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan atau hal lainnya, yang tidak dapat dicapai, menjadi pendorong kemunculan organisasi pemberontak. Oleh sebab itu, suatu factor tunggal tidak dapat digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh tentang organisasi tersebut. Selanjutnya, perspektif ketiga yang dijelaskan peneliti, menyebutkan bahwa organisasi pemberontak muncul disebabkan golongan politik di suatu propinsi dalam suatu negara memperoleh keuntungan ekonomi yang sangat kecil dibandingkan dengan kontribusi keuangan yang diberikan dari propinsi itu kepada pemerintah pusat. Oleh sebab itu, masalah pembagian keuangan tersebut menjadi factor tunggal dalam menjelaskan hal ini.18 Penjelasan itu menegaskan bahwa suatu organisasi pemberontak muncul disebabkan oleh keputusan yang dibuat oleh Pemerintah. Selain itu, keinginan golongan politik dalam suatu wilayah atau propinsi dalam suatu negara, untuk mengubah wilayah atau propinsi tersebut menjadi suatu negara yang merdeka, didefinisikan sebagai factor psikologi. Factor psikologi atau pertama tersebut dijadikan sebagai fondasi utama yang dibutuhkan oleh golongan politik, sebelum memunculkan suatu organisasi pemberontakan. Kemudian, factor ekonomi. Hal ini memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan penduduk dari suatu wilayah atau propinsi yang diharapkan oleh golongan politiknya tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah pusat. Selanjutnya, factor geografi. Hal ini berhubungan dengan letak pemerintah pusat dan suatu wilayah atau propinsi yang jauh, membuat golongan politik dari propinsi tersebut memiliki perencanaan untuk melakukan mobilisasi politik untuk memperoleh dukungan dari penduduk wilayah itu, sebelum membentuk suatu organisasi pemberontak. Kemudian, factor politik. Otoritas yang dimiliki pemerintah pusat terhadap suatu propinsi, semakin berkurang kekuatannya atau memudar, dalam penilaian dari

18Ali, Munhanif, ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions, Studia Islamika 23 (2016), 1-29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika (accessed April 22, 2018). 42 golongan politik propinsi tersebut. Terakhir, factor sosial. Agama atau etnik dapat menjadi fondasi dari solidaritas kelompok, yang dibutuhkan oleh golongan politik di suatu propinsi sebelum membentuk suatu organisasi pemberontakan.19 Selain itu, kemunculan dari suatu organisasi pemberontak di suatu negara juga dapat didorong oleh kebudayaan, politik dan ekonomi. Ketiga factor tersebut dapat terkait bila golongan politik dari suatu propinsi kecewa terhadap kebijakan pembagian ekonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada mereka, baik yang berdasarkan eksploitasi ekonomi di wilayah itu atau lainnya. Oleh sebab itu, factor kebudayaan dan politik yang memiliki kesamaan dalam propinsi tersebut digunakan oleh golongan politik yang kecewa akibat dampak dari kebijakan ekonomi ini, untuk membentuk kesatuan, sebelum mendirikan suatu organisasi pemberontak.20 Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa komponen yang melekat dalam organisasi tersebut.

Penyelesaian Masalah Organisasi Pemberontak Konflik yang terjadi antara golongan politik yang sah dan golongan politik yang tidak sah dalam suatu negara menyebabkan banyak kerugian bagi wilayah yang dijadikan basis perjuangan oleh golongan politik yang tidak sah tersebut. Sebagai contoh, tindakan yang tidak sesuai dengan aturan hukum dan kemiskinan dapat terjadi pada seluruh elemen dari warga yang tinggal di wilayah basis itu. Sementara itu, pada satu aspek, kebijakan dari suatu pemerintahan yang diisi oleh golongan politik yang sah terhadap golongan politik yang tidak sah dapat berubah dengan bencana alam yang terjadi di wilayah konflik ini. Pada aspek lainnya, kebijakan dari suatu organisasi pemberontak atau golongan politik yang tidak

19 Lawrence, M. Anderson, ‚Institusional Basis of Seccesionist Politics : Federalism and Secession in the United States,‛ Publius 34, (2004), 1-18, https: //www.jstor.org/stable/3331204 (accessed January 16, 2019). 20Lawrence, M. Anderson, ‚Institusional Basis of Seccesionist Politics : Federalism and Secession in the United States,‛ Publius 34, (2004), 1-18, https: //www.jstor.org/stable/3331204 (accessed January 16, 2019). 43 sah juga dapat berubah dengan bencana alam yang terjadi di wilayah konflik tersebut. Kemudian, pada satu sisi, penggunaan pasukan bersenjata oleh Pemerintah Pusat untuk menumpas pemberontak atau golongan politik tidak sah dapat diganti dengan diplomasi antara pihak Pemerintah Pusat dan pihak pemberontak, sebagai akibat dari bencana alam, sehingga dapat menyelesaikan konflik. Pada sisi lain, penggunaan pasukan bersenjata oleh Pemerintah Pusat untuk menumpas pemberontak dapat terus berlanjut disebabkan kegagalan dari diplomasi tersebut.21 Sementara itu, kepentingan dari Pemerintah Pusat sebagai otoritas puncak di suatu negara dan golongan pemberontak di suatu propinsi, yang berubah, untuk menjaga kestabilan sosial bagi masyarakat, menjadi factor kunci penyelesaian permasalahan secara damai. Selain itu, bencana tidak menjadi factor kunci dari transformasi politik baik bagi pemerintah pusat dan bagi golongan pemberontak. Namun, sistem politik yang digunakan oleh suatu negara baik berdasarkan pada otoriter atau demokrasi yang disertai dengan kecenderungannya untuk penyelesaian suatu masalah dan keadaan ekonomi baik berdasarkan pada pendapatan setiap kepala keluarga atau kemajuan ekspor, pada masa sebelum bencana, menjadi factor kunci dari transformasi politik baik bagi pemerintah pusat dan bagi golongan pemberontak. Di samping itu, menurut perspektif ini sistem politik otoriter dan distribusi pendapatan yang adil dalam masyarakat luas lebih menjamin kestabilan keamanan di wilayah yang mengalami bencana dibandingkan sistem politik demokrasi yang tidak berlandaskan pada keadilan ekonomi.22 Penjelasan ini menunjukkan bahwa kemakmuran dan ketertiban tidak dapat dipisahkan.

21Philippe, Le Billon and Arno Waizenegger, ‚Peace in the Wake of Disaster? Seccesionist Conflict and the 2004 Indian Ocean Tsunami, ‚ Transaction of the Institute of British Geographers 32, (2007), 411-427, http://www.jstor.org/stable/4626258 (accessed March 17, 2018). 22 Philippe, Le Billon and Arno Waizenegger, ‚Peace in the Wake of Disaster? Secessionist Conflicts and the 2004 Indian Ocean Tsunami, ‚ Transactions of the Institute of British Geographers 32 (2007), 411-427, http://www.jstor.org/stable/4626258 (accessed March 17, 2018). 44

Transformasi Organisasi Pemberontak ke Partai Politik Perubahan organisasi pemberontak menjadi partai politik dapat dikaji dengan menggunakan dua perspektif berikut ini. Pertama, partai politik yang memiliki kemampuan untuk menyalurkan seluruh kepentingan kelompok yang memberikan dukungan padanya, baik yang berasal dari organisasi awal sebelum kemunculan partai maupun yang berasal dari pendukung di luar organisasi itu saat menjadi partai politik. Partai politik model ini memiliki potensi untuk terus bertahan dalam sistem demokrasi. Sementara itu, golongan petempur dari bekas organisasi pemberontak biasanya membentuk organisasi baru sebagai aktualisasi transformasi mereka ke dalam masyarakat. Kemudian, arah dari mobilisasi mereka yang dapat dilakukan secara terorganisir sangat tergantung dengan keuntungan yang diperoleh dari partai politik yang didukung. Kedua, partai politik yang tidak mampu melakukan akomodasi dari golongan internal sebagai organisasi pendiri maupun golongan lainnya memiliki potensi mengalami kemunduran dalam sistem politik disebabkan gangguan dari golongan internal mempersulit kemajuan terhadap partai politik itu.23 Selain itu, sifat disiplin dan kesetiaan dari pihak yang terlibat dari organisasi pemberontak menjadi salah satu pendorong bagi mereka untuk bertahan dalam proses perubahan menuju suatu organisasi baru atau partai politik yang sah di masyarakat pasca perdamaian. Kemudian, factor paling penting di era transisi tersebut bagi keberlanjutan bekas organisasi pemberontak ialah pemimpinnya harus memiliki kemampuan untuk menjaga keutuhan organisasi dengan cara mengakomodasi seluruh golongan yang terlibat didalamnya. Di samping itu, proses penghapusan sayap militer dari organisasi pemberontak dan keterlibatan dari pihak

23 Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 45 internasional untuk memberikan bantuan pasca konflik juga memiliki dampak terhadap kesuksesan transformasi mereka. Argumentasi ini dikemukakan oleh para peneliti terbaru yang mempelajari mengenai hal tersebut.24 Di sisi lain, keberhasilan bekas organisasi pemberontak dalam perubahan ke suatu partai politik ditentukan oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah untuk penyesuaian bagi mereka dalam mengikuti sistem politik yang tersedia dengan melibatkan partai politik yang mereka bentuk. Kemudian, factor penting lainnya dalam kesuksesan transformasi itu juga berkaitan dengan pembentukan lembaga-lembaga konstitusional dan lingkungan yang mengarah pada ketertiban. Argumentasi ini disampaikan oleh para peneliti lainnya yang melakukan studi tentang hal ini. Selain itu, partai politik yang dibentuk dari organisasi pemberontak juga mengalami perkembangan yang sesuai dengan dukungan yang diperolehnya pada masa konflik ketika ikutserta dalam pelaksanaan pemilu yang pertama. Pendapat ini berasal temuan yang didapat seorang peneliti dalam mengkaji partai politik di benua Amerika.25 Hal ini berarti keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi pemberontak tersebut dapat dinilai melalui pemilu.

D. Islam dan Demokrasi di Indonesia Usaha yang dilakukan oleh golongan-golongan politik baik melalui partai politik atau organisasi lainnya untuk merealisasikan ajaran Islam pada konstitusi atau kebijakan public melalui sarana yang disediakan oleh sistem demokrasi, dapat digunakan sebagai salah satu definisi dari Islam politik. Sementara itu. golongan-

24Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 25Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 46 modernis dan golongan tradisionalis dijadikan sebagai penyebutan nama khusus bagi mereka yang memperjuangkan cita-cita politik Islam di Indonesia melalui sistem demokrasi sebagaimana definisi yang disebut di atas. Selanjutnya, pemahaman golongan modernis dalam memahami ijtihad sebagai salah satu bagian dari hukum Islam, memiliki perbedaan dengan golongan tradisionalis. Pada satu sisi, hasil ijtihad para ulama terdahulu, yang berdasar pada mazhab- mazhab tertentu, tidak harus diikuti, sehingga ijtihad mengenai masalah yang dihadapi oleh para ulama tersebut, masih boleh dilakukan. Pendapat ini berasal dari golongan modernis. Di sisi lain, pemahaman golongan tradisionalis mengenai ijtihad, selalu bersandar pada hasil ijtihad para ulama terdahulu, yang berdasar pada mazhab Syafi’i.26 penjelasan itu menegaskan bahwa ijtihad dapat dipahami dengan berbagai perspektif. Selain itu, penganut Agama Islam di Pulau Jawa berjumlah lebih dari 90 persen. Namun, praktik keagamaannya dilakukan dengan berbagai bentuk. Kemudian, pengaruh unsur-unsur dari ajaran Islam, Hindu dan Animisme terhadap masyarakat Jawa, memunculkan tiga golongan dalam struktur masyarakatnya. Pertama, golongan masyarakat Jawa baik petani, pedagang atau lainnya yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur dari ajaran Islam dan salah satu dari ajaran baik Hindu atau Animisme masih memengaruhi mereka dalam ukuran sangat sedikit, disebut sebagai Santri. Kemudian, pelaksanaan sholat dan rukun Islam lainnya selalu dikerjakan oleh golongan ini. Kedua, golongan masyarakat Jawa yang berasal dari birokrat atau keturunan bangsawan dalam pemerintahan, sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur ajaran Hindu, disebut sebagai Prijaji. Kalangan elit ini mempraktikkan ilmu kebatinan dan menjaga tradisi baik drama, kesenian dan lainnya, dari masa kerajaan, atau sebelum kedatangan penjajah Belanda. Ketiga, golongan masyarakat Jawa baik petani atau lainnya, yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur dari ajaran Animisme, disebut

26Anies, Rasyid Baswedan, ‚Political Islam in Indonesia : Present and Future Trajectory,‛ Asian Survey 5 (2004), 669-690, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (accessed March 29, 2018). 47 sebagai Abangan. Kalangan ini mempraktikkan sihir dan mengakui kekuatan yang dimiliki roh melalui upacara keagamaan. Penggolongan tersebut berasal dari hasil penelitian, yang dilakukan oleh Clifford Geertz.27 Kemudian, pada sisi pertama, Nahdalatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Masjumi, sebagai partai politik yang menggunakan ideology Islam, memperoleh dukungan yang besar dari golongan Santri.28 Berikutnya, pada sisi kedua, Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai yang menggunakan ideologi Nasionalis, memperoleh dukungan yang besar dari golongan Prijaji.29 Selanjutnya, pada sisi ketiga, Persatuan Rakjat Marhaen Indonesia (Permai), sebagai partai politik yang menggunakan ideology Komunis, memperoleh dukungan yang besar dari golongan Abangan.30 Sementara itu, penggolongan dari Geertz tersebut, dapat digunakan untuk menerangkan masyarakat muslim di Indonesia.31 Hal tersebut menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan di suatu wilayah dapat digunakan untuk memahami keadaan yang lebih luas. Kemudian, budaya politik sebagaimana dijelaskan oleh Donald K. Emmerson ialah hasil dari realisasi politik yang dilakukan oleh warga negara dengan berdasar pada latarbelakang

27 suatu wilayah di Jawa Timur, yang dijadikan tempat penelitian ini, dijelaskan dalam suatu artikel yang diterbitkan pada tahun 1956. Lihat, Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1976), 1-7. 28Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1976), 162. 29Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1976),236. 30Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University Of Chicago Press, 1976), 112-113. 31artikel ini menggunakan penggolongan masyarakat muslim dari Clifford Geertz, untuk mengkaji perkembangan politik Islam di Indonesia, pasca tahun 2000. Lihat, Anies, Rasyid Baswedan, ‚Political Islam in Indonesia : Present and Future Trajectory.‛ Asian Survey 5 (2004), 669- 690, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (accessed March 29, 2018). 48 yang dimilikinya sehingga memunculkan bentuk pemberian dukungan yang berbeda. Pada satu sisi, asal usul pemimpin Indonesia dari budaya Jawa mengakibatkan pergeseran tradisi Jawa ke wilayah politik tak dapat dihindarkan. Di sisi lain, golongan abangan dan santri bersaing untuk memperjuangkan keinginannya dalam politik, meskipun adanya kesamaan latarbelakangnya, yakni : masyarakat Jawa.32 Hal tersebut menunjukkan bahwa kuatnya factor identitas dalam setiap individu. Selanjutnya, Karl D. Jackson mengemukakan teori patron- klien yang dapat digunakan untuk mempelajari politik di Indonesia. Hubungan antara pemimpin dengan masyarakat menjadi bahasan utama untuk menganalisa dukungan yang diperoleh partai politik. Oleh sebab itu, partai politik pada masa lalu, seperti : PNI, dipimpin oleh para kalangan priyayi atau elit penting dalam struktur masyarakat sehingga dapat meyakinkan masyarakat untuk memberikan dukungan kepada mereka. Contoh lainnya, Partai Golkar pada masa Orde Baru, yang memperoleh dukungan masyarakat melalui hubungan dengan pegawai negeri sipil. Di samping itu, kesejahteraan di suatu daerah juga dapat dikaitkan dengan patron klien dalam memberikan dukungan terhadap suatu partai politik. Hal tersebut dijelaskan oleh Wertheim. Sementara itu, masyarakat Jawa menurut Basuki Gunawan diklasifikasi ke dalam beberapa kategori. Pertama, golongan nasionalis, ekonominya bersumber dari elit birokratik. Kedua, golongan Islam, ekonominya bersumber dari pedagang.33 Selain itu, demos yang memiliki arti rakyat dan kratos/kratein yang memiliki arti kekuasaan/berkuasa, menjadi asal usul dari istilah demokrasi. 2 kosa kata tersebut berasal dari Bahasa Yunani. Oleh sebab itu, rakyat berkuasa menjadi definisi dari konsep tersebut. Kemudian, setiap negara yang menggunakan demokrasi dalam sistem politiknya, memberikan beberapa model dalam penamaannya. Misalnya, demokrasi parlementer, demokrasi

32M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), 13. 33M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), 15-16. 49 nasional, dan demokrasi rakyat.34 Hal tersebut menunjukkan bahwa konsep tersebut mengalami perkembangan sesuai dengan pemahaman dari golongan politik yang menjalankan suatu pemerintahan. Kemudian, pemerintah yang harus mengikuti aturan hukum atau Rule of Law dan dibatasi kekuasaannya, menjadi salah satu definisi dari demokrasi konstitusional. Di sisi lain, pemerintah yang tidak harus mengikuti aturan hukum dan kekuasaannya tidak terbatas, menjadi salah satu definisi dari demokrasi Marxisme- Leninisme. Salah satu dari dua bentuk pemikiran ini digunakan oleh setiap negara yang menerapkan sistem politiknya berdasarkan demokrasi. Sementara itu, kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, menunjukkan bahwa demokrasi digunakan sebagai sistem politik Indonesia. Selanjutnya, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), sebagai salah satu penjelasan dari UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara, menunjukkan bahwa demokrasi konstitusional yang digunakan oleh Negara Indonesia.35

Islam dan Syariat Islam Syariat Islam menjadi salah satu dari ajaran Islam yang mendapat perhatian khusus dari para ulama. Oleh sebab itu, buku yang ditulis oleh para ulama dalam menjelaskan ajaran Islam secara menyeluruh selalu berdasar pada Aqidah, Syariah dan Akhlak. Aqidah menjelaskan mengenai rukun Islam dan rukun Iman. Sementara itu, golongan yang memahami ajaran Islam sesuai yang dijelaskan Rasulullah atau Ahlussunnah wa-l Jama’ah, terdiri dari beberapa golongan. Pertama, Golongan Salaf. Kedua, Golongan Muktazilah. Ketiga, Golongan Asy’ariyah. Keempat, Golongan Maturidiah. Golongan-golongan ini menjelaskan Aqidah dengan berdasar pada Al-Quran dan Hadis. Selanjutnya, pada aspek Syariah

34Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 105. 35 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 105-107. 50 muncul beberapa golongan. Pertama, Hanafiyah. Kedua, Malikiyah. Ketiga, Syafi’iyah. Keempat, Hanbaliyah. Keempat golongan tersebut memiliki metode untuk melakukan ijtihad. Kemudian, pada aspek akhlak berdasar pada pencapaian dari pelaksanaan mengenai Aqidah dan Syariah yang dilakukan oleh setiap individu.36 Hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam dapat dipahami melalui golongan tersebut. Selain itu, pada satu sisi, Pemerintah Pusat yang diisi oleh golongan politik Indonesia berusaha mengontrol kekuasaannya terhadap Propinsi Aceh dengan membuat kebijakan mengenai pelaksanaan Syariat Islam. Di samping itu, harapan untuk mendapat dukungan yang lebih luas dari golongan-golongan politik di wilayah ini, kepada Pemerintah Pusat, juga dapat diperoleh melalui kebijakan tersebut. Pada sisi kedua, Pemerintah Pusat yang diisi golongan politik Indonesia membuat kebijakan mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Aceh, untuk menghilangkan pengaruh buruk dari kehidupan modern yang bersandar pada globalisasi. Oleh sebab itu, Aceh akan dijadikan contoh kajian untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Pada sisi ketiga, Pemerintah Pusat yang diisi golongan politik Indonesia membuat kebijakan mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Aceh sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial jangka panjang yang maju bagi masyarakat. Kemudian, pelaksanaan Syariat Islam terus berkembang pasca tsunami yang menimpa Aceh pada tahun 2004. Selain itu, upaya untuk menghancurkan organisasi pemberontakan yang muncul di Aceh, dilakukan Pemerintah Pusat dengan membuat kebijakan mengenai Syariat Islam tersebut.37 Selain itu, Syariat Islam yang dipahami golongan-golongan Islam di suatu negara, dapat dijelaskan melalui tiga perspektif.

36Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), 9-19. 37R., Michael Feener, ‚Social Engineering through Shari’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh,‛ Islamic Law and Society 19 (2012), 275-311, http://www.jstor.org/stable/41723252 (accessed March 17, 2018). 51 Pertama, perspektif mazhab. Golongan Islam yang mendukung pendapat ini menganggap bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para ulama mengenai hukum Islam yang berdasarkan pada mazhab Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Hanbali sudah lengkap sehingga tidak diperlukan lagi ijtihad mengenai hal ini. Oleh sebab itu, Syariat Islam yang direalisasikan harus sesuai dengan mazhab-mazhab tersebut. Kedua, perspektif salaf. Golongan Islam yang mendukung pendapat ini menganggap bahwa hukum Islam yang berlaku pada masa sahabat Nabi Muhammad di Madinah harus direalisasikan pada masa kontemporer. Oleh sebab itu, golongan ini menolak ijtihad yang dilakukan para ulama sesudah masa sahabat itu. Ketiga, perspektif tajdid. Golongan Islam yang mendukung pendapat ini menganggap bahwa hukum Islam yang berlaku pada masa sahabat nabi dan pada masa selanjutnya, yang bersandar dari hasil ijtihad tetap dapat digunakan. Namun, golongan ini berpendapat bahwa ijtihad masih dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.38 Penjelasan itu menunjukkan bahwa implementasi Syariat Islam dapat berbeda-beda.

Pemikiran Politik Islam di Indonesia Pertama, Formalistik. Islam harus dijadikan sebagai aturan kehidupan dalam masyarakat Indonesia secara resmi, ke dalam lembaga-lembaga formal dalam negara. Pemikiran ini menekankan pentingnya pelaksanaan ajaran Islam yang diimplementasikan oleh pemerintah dengan menggunakan penamaan yang tegas di institusi-institusinya. Hal tersebut dikaitkan dengan kenyataan bahwa Islam dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Oleh sebab itu, penerapan Syariat Islam yang terlembaga menjadi tujuan utama dari pemikiran formalistik ini.39 Keterangan tersebut menunjukkan bahwa negara dan agama memiliki keterkaitan yang erat.

38Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), 198-199. 39M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), 151-153.

52 Kedua, Substantivistik Kehidupan politik Indonesia harus memuat nilai-nilai Islam sehingga tidak diperlukan institusi-institusi formal, menjadi pusat perhatian dan perjuangan dari golongan ini. Oleh sebab itu, mereka menganggap pentingnya melakukan penguatan budaya yang dapat menjadi penggerak utama dalam proses Islamisasi. Hal tersebut disandarkan dengan kenyataan bahwa Islam memiliki pengaruh penting dalam budaya masyarakat yang dapat ditinjau melalui perjalanan sejarah. Dalam segi lainnya, gerakan budaya dapat membuat Islam lebih berpengaruh lagi bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selanjutnya, sejak tahun 1971 Muhammadiyah memutuskan untuk tidak terlibat dalam politik praktis dan pada tahun 1984, NU juga menyatakan sikap yang serupa. Kemudian, organisasi-organisasi tersebut menggunakan gagasan substantivistik untuk mencapai tujuan mereka sehingga fokus utama perjuangan terletak pada kegiatan budaya, pendidikan dan lainnya.40 Penjelasan ini menegaskan bahwa politik bukan tujuan utama dari golongan itu.

Islam dan Modernisasi Usaha yang dilakukan suatu pemerintahan untuk memajukan masyarakat dan mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, dapat dijadikan sebagai salah satu definisi dari modernisasi. Sementara itu, pendapat dari para ahli ilmu politik itu menekankan salah satu aspek yang dipahaminya dari modernisasi sehingga memiliki perbedaan dengan para ahli sosiologi yang mendefinisikan modernisasi sebagai proses yang terjadi dalam suatu masyarakat untuk membuat spesialisasi pada setiap pekerjaan. Sementara itu, para ahli ekonomi memberikan definisi modernisasi sebagai upaya yang dilakukan suatu masyarakat untuk mendapatkan hasil materi yang optimal dengan menggunakan teknologi.

40 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), 155-156. 53 Berdasarkan penjelasan itu menunjukkan bahwa modernisasi dapat dipahami dengan berbagai perspektif.41 Selain itu, Islam merupakan agama yang memerintahkan pemeluknya untuk mencari dan memahami ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Kemudian, Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam hanya dapat dipahami dengan melakukan studi berbagai cabang ilmu yang berkaitan dengannya. Selanjutnya, kosa kata dari Bahasa Arab yang disebut ulama, memiliki arti orang- orang yang berpengetahuan. Sementara itu, ulama dalam pandangan masyarakat Indonesia ialah orang-orang yang memahami sumber utama hukum Islam tersebut.42 Kemudian, dayah dan meunasah merupakan dua lembaga pendidikan ulama di Aceh yang memiliki kajian dalam berbagai cabang ilmu. Seorang murid dapat diterima di dayah bila telah melewati pendidikan di meunasah. Institusi yang disebut terakhir ini membahas cara membaca Al-Quran dan memahami kitab berbahasa melayu yang menjelaskan mengenai Aqidah, hukum Islam dan lainnya, dengan pengarahan dari ulama yang kemampuan akses literatur klasik Islam masih minim atau disebut sebagai teugku imum. Contoh kitab yang digunakan ialah Majmu’, Sabilah Muhtadin, dan Bidayah. Di sisi lain, ulama yang memiliki keahlian mengakses literatur klasik Islam dengan baik atau disebut teugku dayah, membagi ilmunya kepada murid di dayah, menggunakan kitab berbahasa arab. Hal tersebut membuat para murid harus meluangkan waktunya untuk mengetahui tata Bahasa Arab dan menghafal kosa katanya selama proses belajar. Sementara itu, masyarakat melakukan penilaian terhadap kepatuhan seseorang terhadap agama beserta ilmunya dalam jangka panjang, untuk disebut ulama bagi individu tersebut.43

41Yahya Muhaimin and others, eds. Masalah-Masalah Pembangunan Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), 21. 42Taufik Abdullah and others, eds. Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), 3-4. 43Taufik Abdullah and others, eds. Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), 18-19. 54 Selain itu, ada dua kekuatan utama yang berpengaruh dan memiliki visi perubahan sosial yang berbeda, dalam menggerakan modernisasi di Aceh pasca pemberontakan DI atau periode 1970-an. Pertama, golongan ulama. Visi dasar yang diajukan berlandaskan pada pembangunan manusia unggul, sehingga dapat memahami dan merealisasikan ajaran Islam, sesuai dengan Al-Quran dan Hadis. Di samping itu, perbaikan sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat muslim untuk beribadah baik sholat atau lainnya, juga menjadi visinya. Sementara itu, perubahan sosial ke arah sekuler atau mengutamakan materi dan ilmu pengetahuan umum daripada ajaran agama, sebagai salah satu aspek dari model modernisasi, yang ditujukan pada masyarakat, tidak disetujui oleh golongan ulama. Kedua, golongan teknokrat atau golongan pemerintahan yang memiliki keahlian pada suatu bidang. Visi dasar yang diajukan berdasar pada pencapaian kemajuan materi atau ekonomi dan ilmu pengetahuan umum bagi setiap individu dengan difasilitasi oleh suatu sistem pemerintahan yang efektif. Sementara itu, golongan teknokrat menjadi salah satu pelaksana dari kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai modernisasi.44 Penjelasan ini menunjukkan bahwa identitas seseorang akan berpengaruh terhadap perspektifnya. Selanjutnya, kebijakan Pemerintah Indonesia untuk membuka ruang yang lebih lebar bagi golongan muslim dalam sistem pemerintahan pada akhir 1970-an, membawa perubahan baik teknokrat di pemerintah pusat maupun teknokrat di pemerintah daerah. Pada masa tersebut, teknokrat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, teknokrat saleh. Golongan ini memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam melakukan modernisasi. Di samping itu, mereka juga dikenal sebagai golongan Islam yang berpengaruh di Partai Golkar. Kedua, teknokrat sekuler atau golongan yang muncul pada awal 1970-an. Sementara itu, masyarakat Aceh dapat menerima argumentasi yang lebih baik mengenai perubahan sosial yang dikemukakan oleh teknokrat saleh melalui aktivitas keagamaan. Di

44R., Michael Feener, ‚Social Engineering through Shari’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh,‛ Islamic Law and Society 19 (2012), 275-311, http://www.jstor.org/stable/41723252 (accessed March 17, 2018). 55 sisi lain, posisi teknokrat sekuler semakin memudar pengaruhnya di masyarakat daerah tersebut.45

Partai Politik Ada dua faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi suatu partai politik yang ideologinya tidak berdasar pada Islam tetapi bila memenuhi salah satu dari 2 hal di bawah ini, maka dapat dikategorikan sebagai partai politik yang mengakomodasi aspirasi muslim. Pertama, kepemimpinan dan perekrutan anggota. Pada bagian ini terkait dengan pimpinan suatu partai politik memiliki latarbelakang dari suatu organisasi yang berdasar pada Islam. Oleh sebab itu, upaya untuk memperjuangkan cita-cita muslim dilakukan dengan menambah keanggotaan dari suatu organisasi tersebut dalam partai politik ini dan mempertahankan kelompok itu dalam kepengurusan puncak partai politik tersebut. Kedua, sejarah perkembangan partai politik. Pada bagian ini terkait dengan arah kebijakan dari pimpinan utama partai politik yang tidak memperjuangkan aspirasi muslim berubah, dengan memperjuangkan cita-cita muslim. Kebijakan ini dibuat untuk memperoleh dukungan dari golongan muslim.46 Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam dan model partai politik tertentu tidak dapat dipisahkan. 1. Fungsi-Fungsi Partai Politik Suatu sistem politik dapat bekerja dengan baik bila golongan birokrasi dan golongan politik sebagai wakil dari partai politik, bekerjasama dalam melaksanakan setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah. Oleh sebab itu, golongan politik yang ditunjuk oleh partai politik untuk menduduki posisi-posisi penting di lembaga eksekutif harus memiliki keahlian untuk bekerjasama dengan golongan birokrasi. Selain itu, penguasaan untuk melaksanakan

45R., Michael Feener, ‚Social Engineering through Shari’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh,‛ Islamic Law and Society 19 (2012), 275-311, http://www.jstor.org/stable/41723252 (accessed March 17, 2018). 46Anies, Rasyid Baswedan, ‚Political Islam in Indonesia : Present and Future Trajectory,‛ Asian Survey 5 (2004), 669-690, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (accessed March 29, 2018). 56 kebijakan public hanya dapat dilakukan oleh partai politik jika memenangkan pemilu. Berdasarkan hal itu maka para calon pejabat public yang diajukan dalam pemilu untuk menduduki posisi paling strategis baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif, harus mempunyai kemampuan untuk memimpin dan memperoleh dukungan dari masyarakat. Hal ini dinamai sebagai fungsi pelaksana dari suatu pemerintah. Selanjutnya, para pemilih partai politik di suatu negara dapat memberikan suaranya dalam pelaksanaan pemilu. Namun, usaha yang dilakukan partai politik untuk memengaruhi para pemilih untuk ikut pemilu baik melalui pemberian informasi secara ringkas mengenai program suatu partai politik di media massa maupun dengan cara lainnya, dapat meningkatkan jumlah para pemilih yang ikut pemilu. Hal ini dinamai sebagai fungsi mobilisasi. Kemudian, para calon pemimpin yang diajukan untuk menduduki kepengurusan partai politik atau pejabat publik, dirancang melalui proses perekrutan hingga proses pembinaan dalam jangka waktu tertentu. Mereka mempunyai kemampuan untuk memahami seluruh kebijakan partai politik dan dapat menjelaskannya kepada masyarakat baik melalui penyelenggaraan rapat, kunjungan ke rumah warga maupun kampanye. Hal ini dinamai fungsi sosialisasi.47 Selanjutnya, ada beberapa golongan masyarakat yang ikut terlibat dalam mendirikan suatu partai politik. golongan masyarakat tersebut dapat diidentifikasi melalui etnis, profesi dan lainnya. Oleh sebab itu, suatu partai politik dapat menjadi pemenang dalam pemilu bila partai tersebut memiliki kemampuan untuk mempertahankan dukungan dari pendirinya dan memperluas dukungan dari golongan-golongan masyarakat lainnya. Kemudian, salah satu cara untuk menambah dukungan massa partai ialah kemampuan mengakomodasi kepentingan berbagai golongan. Hal ini dinamai fungsi akomodasi. Kemudian, kebijakan public yang dibuat oleh Pemerintah dapat diketahui dengan cepat oleh golongan- golongan masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan partai politik. Selain itu, tuntutan-tuntutan dari berbagai golongan

47Abdul Rashid Moten and Syed Serajul Islam, Introduction to Political Science (: Thomson Learning, 2005), 316-318. 57 masyarakat juga dapat diketahui dengan cepat oleh Pemerintah melalui partai politik. Oleh sebab itu, kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat dapat efektif melalui jembatan yang dimiliki oleh partai politik. Hal ini dinamai dengan fungsi penghubung.48 Penjelasan itu menunjukkan bahwa masyarakat dan partai politik tidak dapat dipisahkan. 2. Institusi Partai Politik Selain itu, institusi internal dari partai politik yang tidak berasal dari organisasi pemberontak memiliki kekuatan yang lebih lemah dibandingkan dengan institusi internal dari partai politik yang berasal dari organisasi pemberontak. Ada beberapa alasan yang mendukung pendapat tersebut. Pertama, warisan dari organisasi pemberontak yang memiliki struktur organisasi sipil dan militer memudahkan bekas pemimpinnya yang secara otomatis memegang otoritas puncak partai politik untuk mengendalikan seluruh komponennya. Kedua, hasil transformasi organisasi militer dapat digunakan sebagai mesin partai yang utama dalam menjaga kesatuan disebabkan kepatuhan antara komandan dan prajurit lebih baik dibandingkan dengan kalangan lainnya. Ketiga, kesetiaan yang diperoleh pimpinan partai dari seluruh bawahannya lebih baik disebabkan ketergantungan pada masa konflik dahulu. Keempat, ideology yang dibentuk semakin memperkuat kerjasama seluruh pihak disebabkan kemudahan pimpinan untuk memberikan arahan. Selain itu, otonomi yang dimiliki oleh bekas golongan militer dalam organisasi pemberontak untuk membuat keputusan yang tidak strategis tetap dipertahankan dalam transformasi mereka ke dalam partai politik. Hal ini dibuat agar kepentingan golongan itu tetap dijaga dalam pengambilan keputusan internal partai politik. Di samping itu, upaya mobilisasi yang dirancang oleh pimpinan untuk memperoleh dukungan dan menjaga hubungan dengan kalangan pendukung lainnya selalu melibatkan golongan ini.49

48Abdul Rashid Moten and Syed Serajul Islam, Introduction to Political Science (Singapore: Thomson Learning, 2005), 316-318. 49Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, 58 Harapan memperoleh keuntungan ekonomi dan kedudukan strategis bagi golongan petempur dari bekas organisasi pemberontak pada partai politik sebagai hasil dari transformasi disebabkan kesepakatan perdamaian yang dicapai sehingga memberikan akses untuk pendirian partai dan lainnya, melibatkan perjuangan yang dilakukan oleh mereka. Di samping itu, kepentingan pihak di luar bekas organisasi pemberontak yang bergabung dengan partai politik tersebut diusahakan oleh golongan ini tidak menjadi prioritas utama bagi kebijakan partai. Penguatan organisasi dan mobilisasi yang diputuskan oleh golongan ini memiliki kaitan dengan tuntutan itu. Hal ini dikemukakan para peneliti yang melakukan pengkajian terhadap partai politik yang berasal dari organisasi pemberontak.50

Partai Politik lokal di Aceh Salah satu tuntutan yang paling sulit dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia dalam perundingan dengan GAM di Helsinki ialah tuntutan mengenai pendirian partai politik lokal bagi rakyat Aceh. Wakil dari GAM menyatakan bahwa penyelesaian konflik melalui kesepakatan tidak akan tercapai bila tidak ada izin tentang pembentukan partai politik lokal. Sementara itu, wakil dari Pemerintah Indonesia juga memberikan argumentasi yang jelas tentang penolakan pemberian izin mengenai partai politik lokal tersebut. Kemudian, Marthi Ahtisaari sebagai pihak penengah, berusaha mencari titik temu antara dua pihak untuk menyelesaikan permasalahan itu.51 Penjelasan ini menegaskan bahwa kesamaan perspektif sulit untuk dicapai. http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 50Gyda, Maras Sindre, ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor,‛ Civil Wars 18 (2016), 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). 51Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, 59 Sementara itu, GAM mempunyai dukungan khusus dari pihak Internasional mengenai tuntutan yang diajukan dalam perundingan tersebut. Hal ini memiliki keterkaitan yang erat dengan musibah tsunami yang menimpa Aceh. Oleh sebab itu, meskipun penolakan mengenai partai politik lokal itu sangat kuat dikemukakan oleh berbagai golongan politik Indonesia, tidak membuat perubahan terhadap tuntutan itu di meja perundingan. Di sisi lain, golongan politik yang menolak permintaan itu memiliki pendapat bahwa pembentukan partai politik lokal bagi GAM justru memunculkan kecurigaan tentang kelanjutan ideologinya dalam sistem demokrasi Indonesia. Di samping itu, kekuatan GAM di Aceh mengalami banyak kemunduran setelah kekuatan militer digunakan oleh Pemerintah Indonesia pada masa sebelumnya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka keputusan yang dibuat oleh wakil pemerintah dalam melakukan perundingan itu harus diikuti oleh mereka.52 Mobilisasi Politik Pada sisi pertama, para sarjana yang mempelajari mobilisasi yang diperoleh partai politik atau organisasi pemberontak di suatu propinsi, untuk mendapatkan kemerdekaan dari pemerintah pusat di suatu negara, dapat dipahami dengan menggunakan factor penggunaan bahasa dari mayoritas masyarakat di propinsi itu, yang diperjuangkan oleh partai atau organisasi tersebut. Hal ini terjadi karena bahasa nasional yang berlaku di propinsi ini ingin diganti dengan bahasa yang digunakan oleh mayoritas penduduk dari wilayah tersebut. Pada sisi kedua, mobilisasi yang diperoleh partai politik atau organisasi pemberontak di suatu propinsi, untuk mendapatkan kemerdekaan dari pemerintah pusat di suatu negara, dapat dipahami dengan menggunakan factor identitas nasional kedaerahan yang dibentuk oleh partai atau organisasi tersebut http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 52Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 60 kepada masyarakat di suatu propinsi. Pada sisi ketiga, mobilisasi yang diperoleh partai politik atau organisasi pemberontak di suatu propinsi, untuk mendapatkan kemerdekaan dari pemerintah pusat di suatu negara, dapat dipahami dengan menggunakan factor keuntungan ekonomi yang diperoleh seluruh masyarakat bila propinsi ini berhasil mendapat kemerdekaan. Hal ini menjadi fondasi yang diperjuangkan oleh partai atau organisasi tersebut kepada masyarakat. Sementara itu, identitas politik dibentuk berdasarkan pada kesadaran dan tidak bersandar pada materi sehingga baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, dinilai stabil oleh para peneliti yang mendukung pendapat pada sisi pertama dan ketiga. Oleh sebab itu, hal tersebut tidak dapat menjelaskan dinamika mobilisasi yang berubah-ubah dari partai atau organisasi ini. Selanjutnya, factor penggunaan bahasa dan keuntungan ekonomi dianggap oleh peneliti tersebut lebih tepat digunakan untuk mempelajari dinamika mobilisasi dari partai atau organisasi ini disebabkan bujukan yang dilakukan partai atau organisasi baik yang bersandar pada penggunaan bahasa atau keuntungan ekonomi yang berkaitan dengan materi dapat menghasilkan mobilisasi yang berubah-ubah.53 Penjelasan ini menunjukkan hubungan yang erat antara partai dan programnya. Selain itu, untuk memahami mobilisasi politik yang dilakukan para pemimpin dari organisasi nasionalis atau pemberontak, dengan bersandar pada ideology atau lainnya di suatu propinsi, dapat menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan pilihan rasional, yang menekankan pada aspek keuntungan baik yang berhubungan dengan ekonomi, politik dan model bentuk harapan lainnya, yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga dapat memperoleh dukungan dari mereka. Kedua, pendekatan kebudayaan, yang menekankan pada aspek nilai-nilai yang dibutuhkan

53Paul, Howe, ‚Rationality and Soveregnty Support in Quebec,‛ Canadian Journal of Political Science 31 (1998), 31-59, https://www.jstor.org/stable/3232805 (accessed January 16, 2019). 61 masyarakat tetapi belum dapat diaktualkan, ditawarkan kepada masyarakat, sehingga dapat memperoleh dukungan dari mereka.54

E. Identitas Politik sebagai Suatu Keistimewaan Individu dapat bertindak untuk melawan suatu kritikan atau hal lainnya, dari organisasi tertentu, yang ditimpakan kepada organisasi, yang melibatkan dirinya. Dorongan bertindak tersebut tersebut didasarkan pada kesadarannya bahwa ia menjadi bagian dari organisasi itu. Hal tersebut menjadi salah satu temuan dari para sarjana dari psikologi politik, yang membahas mengenai identitas politik. Sementara itu, suatu organisasi yang berpotensi untuk memengaruhi kebijakan public baik berdasar pada agama, etnik, partai politik dan lainnya, yang keanggotaan dari salah satu organisasi tersebut melekat atau tidak dapat dipisahkan antara individu itu dengan organisasinya, dapat dijadikan sebagai salah satu definisi dari identias politik.55 Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa perasaan menjadi sumber dari identitas.

Pembentukan Identitas Politik Suatu negara yang terdiri dari beberapa wilayah atau propinsi memiliki dua identitas. Pertama, identitas nasional. Hal ini mengikat warga negara dari seluruh propinsi untuk mengikuti aturan yang dibuat oleh suatu pemerintahan baik berbentuk negara kesatuan atau berbentuk lainnya. Kedua, identitas kelompok. Hal itu memiliki kaitan dengan etnik atau lainnya yang berada dalam suatu propinsi. Identitas kelompok memiliki potensi untuk memperkuat atau memperlemah identitas nasional disebabkan oleh dua alasan. Alasan pertama, dukungan penuh yang diperoleh suatu

54Hudson, Meadwell, ‚Cultural and Instrumental Approaches to Ethnic Nationalism,‛ Ethnic and Racial Studies 12 (1989), 309-328, http: Routledge 1989 0141-589/1203-309 (Accessed January 7, 2019). 55Christian Staerkle, International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Orlando : Elsevier, 2015), 427-433, https://www.sciencedirect.com/topics/computer-science/political-identity. (diakses 21 Agustus 2019). 62 pemerintahan dari seluruh golongan-golongan politik dalam suatu propinsi mempermudah pelaksanaan kebijakan public terhadap propinsi itu. Alasan kedua, golongan politik dalam suatu propinsi biasanya menggunakan identitas kelompok untuk memperoleh kemerdekaan dari suatu negara. Identitas kelompok itu juga dapat ditransformasi dalam suatu gerakan separatis atau partai politik. hal ini tentu saja sangat mengganggu penguatan identitas nasional. Di samping itu, permintaan desentralisasi yang luas dari golongan- golongan politik dalam suatu propinsi juga memiliki keterkaitan yang erat dengan identitas kelompok tersebut.56 Sementara itu, identitas kelompok memiliki potensi untuk mengalami penguatan dan pelemahan. Pada satu sisi, penguatan terjadi bila golongan-golongan politik dalam suatu propinsi mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari suatu pemerintahan. Di sisi lain, pelemahan terjadi bila golongan- golongan politik dari suatu propinsi mendapat perlakuan yang baik dari suatu pemerintahan. Selanjutnya, keefektifan dari institusi yang dibentuk dari suatu pemerintahan kepada suatu propinsi, akan memiliki dampak terhadap pembentukan kesadaran golongan- golongan politik mengenai identitas nasional. Kemudian, pelemahan juga terjadi dengan kesejahteraan yang diperoleh seluruh golongan- golongan politik dalam suatu propinsi pada masa lalu hingga masa kini sejak penggabungan propinsi itu ke dalam suatu negara.57 Selain itu, pola hubungan antara pusat dan daerah dalam jangka pendek hingga panjang juga sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah pusat dengan menggunakan institusi politiknya untuk melakukan perubahan lebih maju atau modernisasi

56Hudson, Meadwell, ‚The Politics of Nationalism in Quebec, ‚ World Politics 45 (1993), 203-241, https://www.jstor.org/stable/2950658 (accessed January 16, 2019). 57Hudson, Meadwell, ‚The Politics of Nationalism in Quebec, ‚ World Politics 45 (1993), 203-241, https://www.jstor.org/stable/2950658 (accessed January 16, 2019). 63 dalam suatu negara yang dilaksanakan pasca pembentukannya. Pada satu sisi, upaya modernisasi yang dilakukan pemerintah pusat melalui institusi politiknya terhadap institusi politik yang dimiliki daerah secara sepihak atau tanpa akomodasi akan memunculkan penguatan identitas kelompok bagi golongan politik pada suatu daerah. Di sisi lain, upaya modernisasi yang dilakukan pemerintah pusat melalui institusi politiknya terhadap institusi politik yang dimiliki daerah dengan cara melakukan kerjasama yang saling menguntungkan akan memunculkan penguatan identitas nasional.58

F. Dinamika Otonomi Khusus Aceh Pemerintah daerah memiliki beberapa wewenang yang diatur dalam pasal delapan belas dari UUD 1945. Penjelasan pasal tersebut mencakup wewenang untuk membuat peraturan-peraturan oleh pemerintahan daerah, wewenang pemerintahan pusat tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, otonomi dan tugas pembantuan dilaksanakan oleh pemerintahan daerah propinsi, kabupaten atau kota sebagai bagian dari NKRI, UU akan menjelaskan secara rinci mengenai pelaksanaan pemerintahan daerah, pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ditingkat propinsi, kabupaten atau kota.59 Hal tersebut menunjukkan bahwa UUD 1945 menjadi pedoman bagi pemerintah daerah. Selanjutnya, Pemerintah Pusat dengan berdasar dengan pasal delapan belas dan seluruh pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan pemerintah daerah dalam UUD 1945, membuat UU Nomor 22 tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai

58Hudson, Meadwell, ‚The Politics of Nationalism in Quebec, ‚ World Politics 45 (1993), 203-241, https://www.jstor.org/stable/2950658 (accessed January 16, 2019). 59UUD Negara RI Tahun 1945, http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 64 Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Otonomi daerah didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan daerah secara mandiri dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Aturannya berkaitan dengan wewenang penuh yang dimiliki pemerintah daerah dan wewenang tidak penuh yang dimiliki pemerintah daerah melalui pemberian pelaksanaan wewenang yang dimiliki Pemerintah Pusat. Wewenang penuh tersebut berkaitan dengan kebijakan yang dibuat Pemerintah Daerah untuk membuat dan merencanakan program yang diperlukannya untuk mensejahterakan masyarakat. Kemudian, pengelolaan industry strategis yang dibutuhkan masyarakat seluruh wilayah Indonesia, dilakukan Pemerintah Pusat, berdasar pada pasal 33 UUD 1945. Oleh sebab itu, wewenang Pemerintah Pusat tersebut tidak dapat diberikan kepada Pemerintah Daerah. Namun, pengembangan industry strategis itu di daerah memerlukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah, sehingga Pemerintah Pusat memberikan beberapa pelaksanaan dari wewenang yang dimilikinya kepada Pemerintah Daerah. Contohnya: Perusahaan Kereta Api yang dikelola Pemerintah Pusat dapat berkembang maju di daerah melalui kebijakan Pemerintah Daerah untuk membuat jalan yang mudah dilalui masyarakat menuju stasiun. Hal ini yang dimaksud dengan wewenang tidak penuh tersebut. Selain itu, pemerintah daerah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, pemerintah daerah propinsi istimewa. Kedua, pemerintah daerah propinsi.60

60UU ini dibuat pada masa Presiden Soekarno. Sementara itu, hanya bagian-bagian penting dari otonomi daerah saja, yang penulis uraikan. Lihat, UU Nomor 22 tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan- Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, http://www.bphn.go.id/data/documents/48uu022.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 65 Kemudian, DPR RI dan Presiden RI memperbaiki lagi UU tahun 1948 itu dengan membuat UU RI Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Salah satu terobosan baru dari UU ini ialah pengawasan pelaksanaan otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Mekanisme pengawasan tersebut dimulai dari pemerintah propinsi yang diawasi oleh Menteri Dalam Negeri, pemerintah kabupaten/kota diawasi oleh pemerintah propinsi, pemerintah desa diawasi oleh pemerintah kabupaten/kota. Di samping itu, keputusan yang dibuat oleh pemerintah daerah tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa, dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri bila bertentangan dengan aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian, tata tertib mengenai implementasi otonomi daerah baik yang berkaitan dengan keuangan maupun lainnya dalam UU ini lebih lengkap, dibandingkan UU sebelumnya.61 Penjelasan ini menerangkan bahwa ada fokus utama dari suatu aturan. Berikutnya, Presiden dan DPR RI membuat UU RI Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Ada beberapa terobosan baru didalamnya yang terkait dengan otonomi daerah. Pertama, Daerah Istimewa Aceh, Daerah Ibukota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki kekhususan dalam pelaksanaan pemerintahannya, sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kedua, pemerintah daerah di Indonesia dibagi menjadi tingkat propinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan. Ketiga, keuangan pemerintah daerah berasal dari bantuan Pemerintah Pusat dan usaha yang dilakukan oleh perusahaan daerah atau penarikan pajak atau lainnya yang diatur

61UU tersebut dibuat pada masa Presiden Soekarno. Selain itu, hanya bagian-bagian tertentu dari otonomi daerah yang penulis bahas. Lihat, UU RI Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1957/uu1-1957.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 66 oleh Pemerintah Pusat. Keempat, pengawasan keuangan pada pemerintah daerah propinsi dilakukan dengan penunjukkan pejabat pada Bank Sentral oleh Pemerintah Pusat. Kemudian, pengawasan keuangan pada pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh pemerintah daerah propinsi, sedangkan pengawasan keuangan pemerintah kecamatan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Keempat, Gubernur atau kepala daerah tingkat 1 memiliki wewenang untuk melaksanakan ketertiban umum sebagai wakil Pemerintah Pusat. Kelima, Gubernur menerima laporan kinerja dari DPRD propinsi. Kemudian, aturan-aturan mengenai pemerintah daerah yang membawa kemajuan baik yang berdasarkan UU tahun 1948 dan UU tahun 1957, masih tetap digunakan. Meskipun begitu, penjelasan mengenai pemerintah daerah dalam UU ini lebih rinci daripada UU sebelumnya.62 Kemudian, Presiden bersama DPR RI menetapkan UU Negara RI Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Ada beberapa penjelasan baru dari UU ini. Pertama, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Kemudian, untuk membantu kelancaran tugas dalam melaksanakan otonomi maka dibentuk secretariat dan dinas-dinas. Kedua, pemerintah daerah dibagi dalam dua tingkatan. Tingkat pertama, pemerintah daerah propinsi. Tingkat kedua, pemerintah kabupaten. Di samping itu, otonomi daerah difokuskan pada daerah tingkat II. Ketiga, pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan prinsip NKRI, harus mengikuti satu garis ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Kemudian, Menteri Dalam Negeri membuat pola aturan yang harus diikuti pemerintah daerah, yang bertujuan untuk mengikuti

62UU tersebut dibuat pada masa Presiden Soekarno. Selain itu, hanya segi-segi penting dari otonomi daerah, yang penulis jelaskan. Lihat, UU RI Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, https://www.bphn.go.id/data/documents/65uu018.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 67 dan mencapai kebijakan Pemerintah Pusat yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan kestabilan politik. Kemudian, Pemerintah juga akan membuat aturan yang rinci mengenai pemerintahan desa. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Ibukota Jakarta dijelaskan mengenai pola pelaksanaan kekhususannya, menunjukkan bahwa UU mengenai Pokok-Pokok Pemerintah Daerah tahun 1965 dijadikan sebagai salah satu sumber dari pembuatan UU ini. Namun, Daerah Istimewa Aceh yang dijelaskan dalam UU tahun 1965 tersebut, tidak dijelaskan pelaksanaan kekhususannya dalam UU ini.63 Penjelasan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang yang sangat kecil. Selanjutnya, Presiden dan DPR RI membuat UU tahun 1999. Ada beberapa terobosan yang baru mengenai otonomi daerah. Pertama, keuangan daerah berasal dari dana bantuan Pemerintah Pusat dan dana yang diperoleh dari sumber pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah itu baik berupa pajak atau lainnya yang sesuai dengan peraturan pemerintah dan pembagian dari hasil pengelolaan sumber daya alam di daerah tersebut. Kedua, pelaksanaan otonomi khusus mengenai ajaran agama, adat, pendidikan dan peranan ulama dalam membuat kebijakan public, diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh. Ketiga, DPRD menerima laporan kinerja baik dari gubernur atau bupati/walikota. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan salah satu bentuk implementasi dari demokrasi di daerah. Keempat, pemerintahan desa yang menurut UU sebelumnya harus mengikuti ketentuan yang sangat rinci dari Pemerintah Pusat, diubah dengan hanya memberikan

63UU ini dibuat pada masa Presiden Soeharto. Selain itu, penulis hanya membahas aspek-aspek tertentu dari otonomi daerah. Lihat, UU Negara RI Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/26617952389- uu_5_1974_pokok_pokok_pemerintahan_di_daerah_2.pdf (diakses 8 Agustus 2019). 68 ketentuan yang bersifat umum. Oleh sebab itu, pemerintahan desa dapat mengembangkan kekhasannya, sesuai dengan penjelasan dalam UUD 1945. Kelima, pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam melaksanakan otonomi daerah, yang tidak bisa diintervensi secara langsung oleh pemerintah daerah propinsi. Meskipun begitu, pengawasan mengenai pelaksanaan otonomi daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan pejabat negara lainnya. Keenam, pemerintah daerah diberikan wewenang untuk membuat kebijakan mengenai implementasi otonomi daerah, baik pada pengembangan usaha kecil menengah, perikanan, pertanian dan lainnya, secara mandiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah paradigma UU sebelumnya, yang menekankan pada aturan yang sangat rinci dari Pemerintah Pusat, dalam menjalankan otonomi daerah.64 Penjelasan ini menunjukkan bahwa ada peningkatan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Kemudian, perbaikan mengenai implementasi otonomi daerah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan membuat UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Ada beberapa Penjelasan baru tentang otonomi daerah. Pertama, pelaksanaan demokrasi di tingkat propinsi, kabupaten/kota. Kemudian, untuk melancarkan demokrasi itu maka Pemerintah Pusat memberikan rincian terkait mekanisme pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di setiap propinsi, kabupaten/kota. Di samping itu diatur pula mengenai syarat untuk pelaksanaan pemilu yang demokratis melalui pembentukan lembaga pengawas dan lainnya. Kemudian, rincian tentang syarat yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi atau

64UU ini dibuat pada masa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Selain itu, hanya segi-segi tertentu dari otonomi daerah yang penulis bahas. Lihat, UU RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan daerah,. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_22.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 69 pemilihan langsung kepala daerah diatur oleh Pemerintah Pusat. Kedua, pengaturan keuangan daerah harus mengikuti beberapa ketetapan dari Pemerintah Pusat. Ketetapan itu berkaitan dengan pembukuan keuangan, keefektifan keuangan dan keefisienan keuangan. Ketiga, seluruh Daerah Istimewa atau Khusus yang tidak memiliki penjelasan rinci dalam UU terkait Daerah Istimewa atau Khusus tersebut, maka UU ini berlaku juga kepada seluruh daerah itu. Sementara itu, Provinsi NAD menggunakan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.65 Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dapat terlibat lebih aktif dalam sistem politik. Selain itu, Quebec merupakan salah satu propinsi di Kanada yang memperoleh otonomi khusus dari pemerintah pusat. Pemberian otonomi ini berkaitan dengan usaha yang dilakukan pemerintah pusat Kanada untuk menghilangkan tuntutan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh partai politik bernama Parti Quebecois di Quebec. Sementara itu, pemberian otonomi khusus dan demokrasi dari pemerintah pusat untuk menghilangkan tuntutan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh partai politik atau organisasi politik lainnya di suatu propinsi, memunculkan beberapa pendapat dari para peneliti. Pada satu sisi, tuntutan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh partai politik atau organisasi politik lainnya di suatu propinsi dapat dihilangkan dengan otonomi khusus dan demokrasi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Contohnya, Propinsi Crimea di Ukraina, Propinsi Galicia di Spanyol, Propinsi Nagaland di India dan Quebec. Di samping itu, 28,3 % suara yang diraih Parti Quebecois pada pemilu tahun 2007 menunjukkan kegagalannya

65UU ini dibuat pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Selain itu, penulis hanya menjelaskan bagian-bagian penting yang berkaitan dengan otonomi daerah. Lihat, UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/33.pdf (diakses 8 Agustus 2019). 70 untuk mempertahankan pendukung. Hal ini dihubungkan dengan hasil perolehan suara partai ini yang mencapai hampir 50 % pada pemilu tahun 1981.66 Kemudian, hasil pemilu tahun 2007 menunjukkan bahwa partai separatis Skotlandia berhasil memperoleh dukungan mayoritas dari masyarakat di propinsi yang menjadi basisnya, dengan menggunakan kesepakatan yang dibuat antara pemerintah pusat dan partai separatis ini, pada tahun 1998. Kesepakatan itu berisi tentang otonomi khusus dan demokrasi yang luas bagi propinsi yang diperjuangkan kemerdekaannya oleh partai tersebut. Berdasarkan hal ini maka pada sisi kedua, para peneliti berargumentasi bahwa otonomi khusus dan demokrasi yang luas akan memperkuat partai politik atau organisasi lainnya yang memperjuangkan kemerdekaan di suatu propinsi. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan sumber daya dari otonomi khusus itu melalui kedudukan golongan politik ini di pemerintahan untuk memperluas basisnya dengan bersandar pada demokrasi. Di samping itu, keterlibatan dalam pemerintahan membuat golongan politik ini dapat merancang pemerintahan yang direncanakan pada masa depan, dalam suatu negara yang merdeka.67 Selain itu, pada satu sisi, pemerintah pusat dari suatu negara yang memiliki sistem politik demokrasi maju, memberikan solusi terhadap golongan pemberontak yang muncul di suatu propinsi, dengan otonomi khusus sebagai upaya untuk melemahkan atau menghilangkan golongan itu. Namun, penyelesaian masalah melalui hal ini di negara tersebut justru memperkuat golongan pemberontak di propinsi itu. Di samping itu, dana yang besar untuk pembiayaan

66Marcus Mietzner, ‚Local Elections and Autonomy in and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?,‛ Indonesia 84 (2007), 1-39, http://www.jstor.org/stable/40376428 (accessed March 17, 2018). 67Marcus Mietzner, ‚Local Elections and Autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?,‛ Indonesia 84 (2007), 1-39, http://www.jstor.org/stable/40376428 (accessed March 17, 2018). 71 bagi pihak keamanan juga harus diberikan oleh pemerintah pusat agar memperoleh kestabilan politik di wilayah tersebut. Di sisi lain, pemerintah pusat dari suatu negara yang memiliki sistem politik demokrasi tidak maju, berhasil melemahkan atau menghilangkan golongan pemberontak dari suatu propinsi dengan cara memberikan otonomi khusus.68 Keterangan ini menunjukkan bahwa sistem politik berdampak pada hasil dari otonomi.

68Marcus Mietzner, Local Election Marcus Mietzner, ‚Local Elections and Autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?,‛ Indonesia 84 (2007), 1-39, http://www.jstor.org/stable/40376428 (accessed March 17, 2018). 72 BAB III Perkembangan Politik di Aceh Pasca MoU Helsinki

A. Evolusi Kekuatan Politik Menuju Kontestasi di Aceh a. Transisi GAM dari Pemberontak ke Organisasi Politik Pada penjelasan bab ini, penulis menekankan bahwa ada dua kelompok penting dalam politik di Aceh. Pada satu sisi, PA sebagai partai politik lokal yang berasal dari GAM selalu memperjuangkan kepentingannya atau tuntutannya dalam MoU Helsinki kepada Jakarta atau Pemerintah Pusat. Di sisi lain, partai politik nasional dan partai politik lokal lainnya selalu berupaya untuk menguatkan keputusan atau kebijakan publik yang dibuat Jakarta atau Pemerintah Pusat. Tulisan di bawah ini akan membahas mengenai dinamika partai politik lokal dan partai politik nasional tersebut. Golongan pemimpin GAM yang menetap di Swedia mengeluarkan kebijakan untuk membuat lembaga baru sebagai otoritas politik puncak dengan nama Majelis Nasional. Pembentukan lembaga ini pada Oktober 2005 bertujuan untuk memperkuat organisasi dalam proses perubahan dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik sebagai pelaksanaan dari MoU Helsinki. Beberapa pemimpin GAM dengan basis Swedia juga akan kembali ke Aceh untuk penguatan organisasi. Kemudian, reintegrasi dan demobilisasi pasukan bersenjata GAM, dilakukan dengan membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) pada Desember 2005.1 Penjelasan ini menegaskan bahwa ada golongan bersenjata dan golongan sipil dalam organisasi tersebut. Selanjutnya, Malaysia merupakan negara yang menjadi salah satu tempat bermukim para individu yang tergabung dalam GAM.

1International Crisis Group, ‚Aceh’s Local Election: The Role of The Free Aceh movement (GAM),‛Update Briefing, November 29, 2006, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b57-aceh-s-local-elections-the-role- of-the-free-aceh-movement-gam.pdf (diakses 20 April 2019). 73 Institusi organisasi ini untuk membantu pasukan bersenjata di Aceh dan melakukan koordinasi dengan seluruh individu yang tergabung dengannya di luar negeri berada di negara tersebut. Institusi tersebut dinamai dengan Majelis. Kemudian, mantan perdana menteri GAM, Malik Mahmud, di Swedia, membuat kebijakan untuk mengadakan pertemuan yang diwakili seluruh komponen dalam organisasi itu di Aceh. Ada beberapa keputusan yang dihasilkan dari pertemuan itu. Pertama, penyatuan seluruh individu dalam organisasi ini yang terkait dengan politik dan militer melalui suatu institusi yang dinamai Majelis Baru. Kedua, institusi Majelis yang berbasis di Malaysia dihapus. Ketiga, mantan menteri keuangan GAM, yang bernama Muhammad Usman Lampoh Awe, menduduki posisi sebagai ketua umum Majelis Baru. Keempat, mantan menteri pertahanan GAM yang bernama Zakaria Saman menduduki posisi sebagai kepala politik Majelis Baru. Kelima, mantan panglima militer atau pasukan bersenjata GAM yang bernama Muzakir Manaf menduduki posisi sebagai kepala keamanan Majelis Baru. Sementara itu, seluruh posisi strategis itu dipilih oleh para wakil dari seluruh individu yang terlibat GAM. Di samping itu, kesetiaan terhadap Hasan Tiro yang berbasis di Swedia menjadi factor utama pencalonan dan pemilihan Muhammad Usman dan Zakaria Saman dalam institusi tersebut. Kemudian, salah satu yang menonjol dari keputusan itu ialah supremasi sipil atas militer.2 Hal ini menunjukkan bahwa keutuhan organisasi dapat dipertahankan oleh para pemimpinnya. Seluruh urusan yang terkait dengan implementasi MoU diberikan kepada Majelis Baru. Oleh sebab itu, institusi ini merencanakan beberapa program jangka pendek, menengah dan

2International Crisis Group, ‚Aceh’s Local Election: The Role of The Free Aceh movement (GAM),‛Update Briefing, November 29, 2006, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b57-aceh-s-local-elections-the-role- of-the-free-aceh-movement-gam.pdf (diakses 20 April 2019). 74 panjang. Sementara itu, program jangka pendek berkaitan dengan kerjasama GAM dengan AMM. Kemudian, program jangka menengah berkaitan dengan pembagian dana bantuan bagi mantan individu yang terlibat GAM. Selanjutnya, program jangka panjang berkaitan dengan kebijakan GAM dalam politik di Aceh.3 Selain itu, tulisan di bawah ini akan menguraikan secara singkat mengenai evolusi kekuatan politik di Aceh pasca MoU. Selanjutnya, profil dari para peserta yang mengikuti kontestasi politik akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini. Sementara itu, ada lima kontestasi politik pasca MoU di Aceh. Pertama, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada tahun 2006. Kedua, Pemilu Legislatif Aceh pada tahun 2009. Ketiga, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada tahun 2012. Keempat, Pemilu Legislatif Aceh pada tahun 2014. Kelima, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada tahun 2017. b. Profil Peserta Pilkada Aceh pada tahun 2006 Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi NAD menetapkan delapan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang ikut dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NAD Tahun 2006. Pasangan pertama, Ir. H. Iskandar Husein, MH dan Drs. H. M. Saleh Manaf. Pasangan ini didukung oleh Partai Bulan Bintang (PBB), PDK, PP Pancasila, PNI Marhaenisme, PPD, PBSD, dan PKPB. Pasangan kedua, H. Tamlicha Ali dan Drs.Tgk. Harmen Nuriqmar. Pasangan ini didukung oleh Partai Bintang Reformasi (PBR), PPNUI dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pasangan ketiga, Drs.H.A.Malik Raden, MM dan H. Sayed Fuad Zakaria, SE.

3Hubungan komunikasi antara GAM di Swedia dan di Aceh, difasilitasi oleh institusi tersebut. lihat, International Crisis Group, ‚Aceh’s Local Election: The Role of The Free Aceh movement (GAM),‛Update Briefing, November 29, 2006, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b57-aceh-s-local-elections-the-role- of-the-free-aceh-movement-gam.pdf (diakses 20 April 2019). 75 Pasangan ini didukung oleh Partai Golongan Karya (Golkar).4 Sementara itu, pasangan ini juga didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan PKPI.5 Pasangan keempat, Dr.H. Ahmad Humam Hamid, MA dan Drs. Hasbi Abdullah, MSi. Pasangan ini didukung oleh PPP. Sementara itu, Hasbi merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pasangan kelima, H. Muhammad Djali Yusuf dan H.R.A. Syauqas Rahmatillah, MA. Pasangan ini didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen. Pasangan keenam, Drh.Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag. didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen. Sementara itu, Irwandi merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pasangan ketujuh, Ir.H.Azwar Abubakar dan M. Nasir Djamil didukung oleh PAN dan PKS. Pasangan kedelapan, Ghazali Abbas Adan dan Shalahuddin Alfata. Didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen.6 Tabel di bawah ini merangkum data tersebut.

4International Crisis Group, ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh,‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia-how-gam-won-in- aceh.pdf (diakses 20 April 2019). 5Data Fakta Pilkada Aceh 2006 dan 2012. https://kip.acehprov.go.id/data-fakta-pilkada-aceh-2006-dan-2012/ (diakses 22 Januari 2020). 6International Crisis Group, ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh,‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia-how-gam-won-in- aceh.pdf (diakses 20 April 2019). 76 Tabel 1. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2006 Nama Partai Politik atau Golongan Politik Ir. H. Iskandar Husein, MH PBB, PDK, PP Pancasila, dan Drs. H. M. Saleh Manaf. PNI Marhaenisme, PPD, PBSD, dan PKPB. H. Tamlicha Ali dan Drs.Tgk. PBR, PPNUI dan PKB. Harmen Nuriqmar. Drs.H.A.Malik Raden, MM Partai Golkar, PDIP dan dan H. Sayed Fuad Zakaria, PKPI. SE. Dr.H. Ahmad Humam Hamid, PPP dan mantan GAM MA dan Drs. Hasbi Abdullah, MSi. H. Muhammad Djali Yusuf calon independen dan H.R.A. Syauqas Rahmatillah, MA. Drh.Irwandi Yusuf, M.Sc dan calon independen (mantan Muhammad Nazar, S.Ag. GAM) Ir.H.Azwar Abubakar,MM dan PAN dan PKS M. Nasir Djamil S.Ag. Drs.H. Ghazali Abbas Adan calon independen. dan H. Shalahuddin Alfata.

Berdasarkan penjelasan tabel 1 tersebut menunjukkan ada dua golongan politik yang mengemuka pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh tahun 2006. Pada satu sisi, mantan GAM yang ikut dalam kontestasi politik ini memperjuangkan tuntutan GAM dalam MoU. Di sisi lain, partai politik nasional yang ikut dalam kontestasi politik tersebut memperjuangkan penguatan kebijakan publik yang dibuat Pemerintah Pusat.

77 B. Profil Partai Politik Lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009 1. Partai Aceh (PA) Pada tahun 2007, salah satu mantan golongan politik Aceh yang berhimpun dalam GAM, membentuk partai politik lokal, yang dinamai dengan PA.7 Sebelumnya, simbol yang memiliki kemiripan dengan symbol GAM digunakan oleh partai ini. Di samping itu, nama partai ini ialah Partai GAM (Gerakan Aceh Mandiri). Kemudian, symbol tersebut tidak digunakan dan nama partai ini diganti oleh pimpinan partai menjadi PA. Sementara itu, penyebab utama penggantian symbol dan nama itu berkaitan dengan tekanan yang dikemukakan golongan politik dari Pemerintah Pusat. Ada dua pendapat yang mengemuka dari golongan politik tersebut. Pertama, kemerdekaan akan diperjuangkan GAM dengan menjadi partai paling dominan dengan menggunakan symbol dan nama itu untuk mempengaruhi masyarakat. Kedua, isi dari MoU Helsinki telah dilanggar oleh GAM.8 2. Partai Rakyat Aceh (PRA) Pada tahun 2006, salah satu golongan politik Aceh, yang berasal dari mahasiswa generasi 1998, membentuk partai politik lokal, yang dinamai dengan PRA.9 Sementara itu, sumber dukungan utama dari partai ini ialah golongan terpelajar yang tinggal di wilayah yang memiliki institusi-institusi pendidikan. Di samping itu, golongan politik yang tinggal di wilayah yang tidak memiliki

7Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2007). 8 Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 9Partai Rakyat Aceh (PRA). https://news.detik.com/parpol/d- 1059311/partai-rakyat-aceh-38 (diakses 3 Januari 2020). 78 institusi-institusi pendidikan juga dilibatkan dalam pembentukan partai ini. Hal tersebut dilakukan untuk menambah jumlah pendukung dari PRA.10 3. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) Pada tahun 2007, salah satu golongan politik Aceh, yang terdiri dari para ulama, mendirikan partai politik lokal yang dinamai dengan PAAS.11 Sementara itu, kebudayaan dari masyarakat Aceh yang berdasar pada ajaran agama Islam dapat mendorong kemajuan propinsi ini. Oleh sebab itu, kebudayaan tersebut menjadi salah satu tema yang digunakan para pemimpin partai ini untuk memengaruhi para pemilih.12 Sementara itu, mantan politisi PPP yang bernama Ghazali Abas Adan, menjadi salah satu pendiri dari partai politik ini.13 4. Partai Bersatu Aceh (PBA) Pada tahun 2008, salah satu golongan politik Aceh, yang di dalamnya, antara lain: mantan anggota DPR RI dari Partai Amanat

10 Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113 dan 191, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). 11Partai Aceh Aman Sejahtera. https://news.detik.com/parpol/1059316/partai-aman-aceh-sejahtera-35. (diakses 3 januari 2020). 12Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113 dan 191, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). 13Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 79 Nasional (PAN), yang mewakili daerah Aceh, yakni: Ahmad Farhan Hamid, menjadi salah satu pendiri dari partai politik lokal, yang dinamai dengan PBA.14 Sementara itu, golongan politik yang membentuk partai ini merupakan mantan kalangan yang aktif di pemerintahan. Oleh sebab itu, dukungan yang diharapkan partai ini berasal dari setiap individunya, yang memiliki jaringan pemerintahan baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi, yang pernah diduduki oleh setiap individu itu.15 5. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Pada tahun 2007, salah satu mantan golongan politik Aceh yang berhimpun dalam Sentral Informasi dan Referendum Aceh (SIRA), mendirikan partai politik lokal yang dinamai dengan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Sementara itu, Wakil Gubernur Aceh tahun 2007, yang bernama Muhamad Nazar, menjadi salah satu pendiri dari partai politik ini. Selain itu, golongan-golongan masyarakat memiliki informasi yang memadai mengenai partai ini disebabkan asal usulnya berasal dari SIRA, yang dibentuk pada masa konflik Aceh oleh para aktivis, yang ingin memberikan kontribusi untuk penyelesaian masalah Aceh. Salah satu yang menonjol didalamnya ialah Nazar.16 6. Partai Daulat Aceh (PDA) Pada tahun 2007, salah satu golongan ulama Aceh membentuk partai politik lokal, yang dinamai dengan PDA. Salah

14Partai Bersatu Aceh. https://news.detik.com/parpol/d-1059307/- partai-bersatu-aceh-40. (diakses 3 Januari 2020). 15Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113 dan 191, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). 16Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37). https://news.detik.com/parpol/d-1059314/partai-suara-independen-rakyat- aceh-37. (diakses 3 Januari 2020). 80 satu tujuan dari PDA ialah memperkuat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Oleh sebab itu, golongan ulama yang bergabung dengan PDA ingin terlibat aktif dalam kegiatan politik baik di lembaga eksekutif maupun legislative untuk melaksanakan tujuannya tersebut. Kemudian, pernyataan adat ngon hukom lage zat ngon sifeut atau adat dengan hukum seperti zat dengan sifat, yang berasal dari Bahasa Aceh ini, menjadi salah satu inspirasi dari PDA untuk mengembangkan adat Aceh dengan berdasar pada Islam.17 Sementara itu, golongan ulama yang membentuk partai politik ini memperoleh dukungan dari santri yang berasal dari dayah.18 Hal ini menunjukkan bahwa golongan ulama ingin lebih aktif terlibat dalam penegakkan Syariat Islam. Selanjutnya, tabel di bawah ini menunjukkan profil seluruh partai politik lokal tersebut. Tabel 2. Profil Partai Politik Lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009 Nama Asal Usulnya Partai Aceh Mantan GAM Partai Rakyat Aceh Golongan mahasiswa pada 1998 Partai Aceh Aman Mantan golongan politik dari Sejahtera PPP Partai Bersatu Aceh Mantan golongan politik dari PAN Partai Suara Independen Mantan SIRA Rakyat Aceh Partai Daulat Aceh Golongan ulama

17Partai Daerah Aceh. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Banda Aceh: PDA, 2017). 18Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 81 Berdasarkan penjelasan tabel 2 tersebut menunjukkan ada enam golongan politik yang berhasil membentuk partai politik lokal. Sementara itu, seluruh partai politik lokal itu akan bersaing dengan partai politik nasional untuk memperoleh dukungan suara dari seluruh pemilih yang ada di Aceh.

C. Profil Peserta Pilkada Aceh pada tahun 2012 Ada lima pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang ikut dalam pemilihan gubernur tahun 2012. Hal tersebut berdasar pada keputusan dari KIP Aceh. Pertama, pasangan Tgk Ahmad Tajuddin dan Teuku Suriansyah. Pasangan ini didukung oleh golongan politik sebagai calon independen. Kedua, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan. Pasangan ini didukung oleh golongan politik sebagai calon independen. Sementara itu, Irwandi merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Ketiga, pasangan Darni M Daud dan Ahmad Fauzi. Pasangan ini didukung oleh golongan politik sebagai calon independen. Keempat, pasangan Muhammad Nazar dan Nova Iriansyah. Pasangan ini didukung oleh Partai Demokrat, PPP, dan Partai SIRA. Kelima, pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Pasangan ini didukung oleh Partai Aceh (PA).19 Sementara itu, baik Zaini dan Muzakir merupakan mantan GAM. Selanjutnya, tabel di bawah ini menunjukkan seluruh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu.

19Data Fakta Pilkada Aceh 2006 dan 2012. https://kip.acehprov.go.id/data-fakta-pilkada-aceh-2006-dan-2012/ (diakses 22 Januari 2020). 82 Tabel 3. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh tahun 2012 Nama Partai Politik atau Golongan Politik Tgk Ahmad Tajuddin dan Teuku calon independen Suriansyah Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan calon independen (mantan GAM) Darni M Daud dan Ahmad Fauzi calon independen Muhammad Nazar dan Nova Partai Demokrat, PPP, dan Partai Iriansyah SIRA Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf Partai Aceh (mantan GAM)

Berdasarkan penjelasan tabel 3 menunjukkan bahwa ada dua golongan politik yang mengemuka dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2012. Pada satu sisi, mantan GAM baik yang dicalonkan oleh partai politik lokal dan yang maju melalui calon independen, memperjuangkan tuntutan mereka dalam MoU Helsinki. Di sisi lain, pasangan yang dicalonkan oleh partai politik nasional memperjuangkan penguatan kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

D. Profil Partai Politik Lokal pada Pemilu Legislatif tahun 2014 di Aceh 1. Partai Aceh (PA) Salah satu isi dalam UU TPA menjelaskan mengenai dua ketentuan sebagai peserta pemilu selanjutnya, yang harus dimiliki oleh setiap partai politik lokal. Pertama, perolehan suara minimal sebesar 5 % di DPRK/DPRD di setengah dari seluruh kabupaten/kota. Kedua, perolehan suara minimal sebesar 5 % di DPRA.20 Kemudian, isi yang dijelaskan dalam UU TPA itu mengenai perolehan suara minimal 5 % tersebut tidak berhasil

20Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 83 dicapai oleh lima partai politik peserta pemilu legislatif 2009. Oleh sebab itu, lima partai politik lokal tersebut tidak dapat mengikuti pemilu legislatif 2014. Sementara itu, perolehan minimal 5 % suara untuk mengikuti pemilu berikutnya itu hanya dapat dipenuhi oleh PA. Oleh sebab itu, pemilu legislative 2014 dapat diikuti kembali oleh partai ini.21 2. Partai Damai Aceh (PDA) Salah satu ulama Aceh yang bernama Tgk. Muhibbusabri A. Wahab, mengadakan pertemuan dengan Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), yang bernama Tgk. Ibrahim Bardan, pada tahun 2011. Latarbelakang pertemuan itu memiliki keterkaitan yang erat dengan pembentukan kendaraan politik baru untuk golongan ulama Aceh ini. Hal ini diperlukan karena Partai Daulat Aceh (PDA) sebagai kendaraan politik lama golongan ini tidak dapat lagi mengikuti kontestasi politik di Aceh. Hasil pertemuan itu mendorong kemunculan dari Partai Damai Aceh (PDA) sebagai kendaraan politik baru bagi golongan ulama Aceh tersebut. Meskipun begitu, Partai Damai Aceh menjadi kelanjutan dari Partai Daulat Aceh tersebut.22

3. Partai Nasional Aceh (PNA) Salah satu golongan politik Aceh membentuk partai politik baru yang dinamai dengan PNA.23 Mantan golongan politik Aceh

21Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). 22 Partai Daerah Aceh. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Banda Aceh: PDA, 2017). 23Pada tahun 2018, Partai Nasional Aceh (PNA) berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh (PNA). Lihat, Partai Nasional Aceh. 84 yang berhimpun dalam GAM dan beberapa golongan politik Aceh lainnya, bersatu dalam pembentukan PNA pada tahun 2011. Selain itu, pernyataan dari golongan politik Aceh tertentu bahwa MoU Helsinki hanya diperjuangkan oleh mereka, tidak disetujui oleh PNA. Hal tersebut disebabkan salah satu golongan dari para pendiri PNA juga terlibat dalam memperjuangkan MoU ini.24 Selanjutnya, tabel di bawah ini menunjukkan profil seluruh partai politik itu. Tabel 4. Profil Partai Politik Lokal pada Pemilu Legislatif 2014 di Aceh Nama Asal Usulnya Partai Aceh Mantan GAM Partai Damai Aceh Golongan ulama Partai Nasional Aceh Mantan GAM

Berdasarkan penjelasan tabel 4 menunjukkan bahwa ada dua golongan politik yang mengemuka dalam pemilu legislatif 2014. Pada satu sisi, mantan GAM baik yang bergabung dalam PA maupun yang bergabung dalam PNA. Di sisi lain, golongan ulama yang bergabung dengan PDA.

E. Profil Seluruh Peserta pada Pilkada Aceh tahun 2017 Ada enam pasangan calon Gubernur Aceh dan Wakil Gubernur Aceh yang ikut dalam pemilihan gubernur tahun 2017. Hal tersebut berdasar pada keputusan KIP Aceh. Kemudian, Pasangan pertama, Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah. Pasangan ini didukung oleh Partai Demokrat, Partai Nasional Aceh (PNA)25,

https://www.tribunnews.com/regional/2018/07/06/siapkan-bantuan-hukum- pna-yakin-irwandi-yusuf-tak-bersalah (diakses 12 Januari 2020). 24Komisi Independen Pemilihan. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Nanggroe Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2011). 25Partai Nasional Aceh (PNA) berganti nama menjadi Partai Nanggroe Aceh (PNA), sebagaimana telah disinggung sebelumnya. 85 Partai Damai Aceh (PDA)26, PKB dan PDIP.27 Sementara itu, Irwandi merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pasangan kedua, Muzakir Manaf dan T.A. Khalid. Pasangan ini didukung oleh Partai Aceh, Partai Gerindra, PKS dan PBB.28 Sementara itu, Muzakir merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pasangan ketiga, Tarmizi A. Karim dan T. Machsalmina. Pasangan ini didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen.29 Keempat, Pasangan Zaini Abdullah dan Nasaruddin. Pasangan ini didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen.30 Sementara itu, Zaini merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kelima, Pasangan Zakaria Saman dan Alaidinsyah. Pasangan ini didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon

Sementara itu, ideologi partai ini ialah Sosial-Demokrat-Religius. Lihat, Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Nanggroe Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2011). 26Pada tahun 2018, Partai Daerah Aceh (PDA) menjadi kelanjutan dari Partai Damai Aceh (PDA). Lihat, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Daerah Aceh (PDA). Sementara itu, Sementara itu, ideologi dari partai ini ialah Islam dengan ‘itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, ‘itiqadan Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i dalam amalan. Lihat, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Daerah Aceh (PDA). 27Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/6-irwandi-yusuf-nova-iriansyah/ (diakses 16 April 2019). 28Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/5-muzakir-ta-khalid/ (diakses 16 April 2019). 29Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/1-tarmizi-a-karim-machsalmina/ (diakses 16 April 2019). 30Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/4-zaini-abdullah-nasaruddin/ (diakses 16 April 2019). 86 independen.31 Sementara itu, Zakaria merupakan mantan GAM sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Keenam, Pasangan Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa Usab. Pasangan ini didukung oleh golongan masyarakat sebagai calon independen.32 Selanjutnya, tabel di bawah ini menunjukkan seluruh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tersebut.

Tabel 5. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017 Nama Partai Politik atau Golongan Politik Irwandi Yusuf dan Nova Partai Demokrat, Partai Iriansyah Nasional Aceh, Partai Damai Aceh, PKB dan PDIP. (mantan GAM) Muzakir Manaf dan T.A. Partai Aceh, Partai Gerindra, Khalid PKS dan PBB. (mantan GAM) Tarmizi A. Karim dan T. calon independen Machsalmina Zaini Abdullah dan calon independen (mantan Nasaruddin GAM) Zakaria Saman dan calon independen (mantan Alaidinsyah GAM) Abdullah Puteh dan Sayed calon independen Mustafa Usab

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa ada dua golongan politik yang mengemuka dalam pemilihan gubernur dan wakil

31Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/2-zakaria-saman-alaidinsyah/ (diakses 16 April 2019). 32Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/3-abdullah-puteh-sayed-mustafa/ (diakses 16 April 2019). 87 gubernur Aceh tahun 2017. Pada satu sisi, mantan GAM baik yang dicalonkan oleh partai politik lokal dan yang maju melalui calon independen memperjuangkan tuntutan mereka dalam MoU. Di sisi lain, partai politik nasional memperjuangkan penguatan kebijakan publik yang dibuat Pemerintah Pusat.

88 BAB IV Islam dan Pengaturan Politik di Aceh

A. Islam Masuk di Panggung Politik Aceh pasca MoU Helsinki periode 2005-2018 a. Proses Menuju MoU Helsinki Pemerintah Pusat telah melakukan upaya untuk menyelesaikan tuntutan dari golongan politik Aceh pada masa sebelum penandatanganan MoU Helsinki. Usaha untuk menyelesaikan tuntutan GAM melalui meja perundingan telah dilakukan baik pada masa Presiden Abdurahman Wahid dan pada masa Presiden Megawati. Penyedia fasilitas dari perundingan- perundingan tersebut ialah suatu lembaga yang bernama Henry Dunant Center (HDC). Lembaga yang berpusat di Negara Swiss ini bekerja untuk menyelesaikan konflik antara dua pihak yang berselisih. Namun, titik temu antara dua pihak tersebut tidak dapat dicapai disebabkan oleh dua perbedaan berikut ini. Pada satu sisi, Aceh sebagai salah satu propinsi dan memperoleh hak-hak khususnya selalu diperjuangkan Pemerintah Indonesia di meja perundingan. Pada sisi lain, kemerdekaan bagi Aceh selalu diperjuangkan oleh GAM di meja perundingan. Selanjutnya, penguatan keamanan dilakukan di Aceh oleh Pemerintah Pusat pada tahun 2003. Hal ini sebagai salah satu dampak dari kegagalan perundingan tersebut.33 Penjelasan itu menunjukkan bahwa perspektif yang sama diperlukan dalam perundingan.

33Kirsten E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization (Washington: the East-West Center Washington, 2004), 44-46. https://www.researchgate.net/publication/29738456_The_Free_Aceh_Mov ement_GAM_Anatomy_of_a_Separatist_Organization (diakses 25 November 2018). 89 Sementara itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI membuat dan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Salah satu isi dari ketetapan MPR itu menegaskan tentang keharusan dari Pemerintah Pusat dan DPR RI untuk membuat UU mengenai otonomi khusus Aceh. Alasan yang melatarbelakangi pembuatan dari UU tersebut ialah upaya dari MPR untuk menyelesaikan permasalahan disintegrasi yang sangat mengganggu keutuhan NKRI. Kemudian, ketetapan MPR ini menyebutkan bahwa kemunculan salah satu golongan politik Aceh yang menginginkan agar Aceh berpisah dari Indonesia disebabkan kebijakan politik yang dibuat Pemerintah Pusat tidak mengakomodasi seluruh golongan politik yang ada di Aceh. Kemudian, Ketetapan MPR ini juga menegaskan bahwa Pemerintah Pusat harus menyelesaikan seluruh permasalahan Aceh yang berkaitan dengan implementasi kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM), baik pada masa saat diimplementasikan kebijakan itu maupun pada masa sesudah diimplementasikan kebijakan tersebut. Sementara itu, ketetapan MPR juga menegaskan bahwa UU mengenai otonomi khusus Aceh harus dapat diterima oleh seluruh golongan politik di daerah itu.34 Kemudian, MPR membuat dan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga- Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000. Salah satu isi dari ketetapan MPR itu menegaskan bahwa DPR RI harus membentuk panitia khusus dalam merancang UU otonomi khusus bagi DI Aceh. Berikutnya, usaha untuk menyelesaikan gerakan separatis Aceh harus dilakukan Pemerintah Pusat dengan beberapa tahap. Pertama, penguatan keamanan. Kedua, perbaikan

34Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. https://www.tatanusa.co.id/tapmpr/99TAPMPR-IV.pdf , (diakses 5 November 2019). 90 ekonomi yang ditujukan kepada golongan politik Aceh. Ketiga, Kemanusiaan. Bagian ini digunakan sebagai dorongan utama untuk berdialog dengan gerakan separatis tersebut untuk menyelesaikan masalah Aceh secara damai. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa baik Presiden Abdurahman Wahid maupun Presiden Megawati berupaya untuk melaksanakan Ketetapan MPR Tahun 1999 dan Ketetapan MPR Tahun 2000 tersebut.35 Kemudian, musibah gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004, membuat pihak internasional baik negara- negara maupun organisasi-organisasi, ingin memberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi daerah ini pasca tsunami tersebut. Oleh sebab itu, pihak internasional mendesak Pemerintah Indonesia dan GAM untuk menyelesaikan permasalahan Aceh secara damai. Selanjutnya, proses perundingan yang dipimpin oleh Marthi Ahtisaari itu memunculkan kemajuan yang lebih baik dibandingkan proses perundingan sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan pernyataan kemerdekaan untuk Aceh tidak diperjuangkan lagi baik di meja perundingan maupun di masa depan dikemukakan oleh pihak GAM. Sementara itu, proses perundingan sebelumnya selalu memperoleh kegagalan disebabkan keinginan GAM untuk memerdekakan Aceh itu selalu dikemukakan di meja perundingan.36 Kemudian, izin untuk pembentukan partai politik lokal di Aceh menjadi salah satu tuntutan GAM kepada Pemerintah Indonesia di meja perundingan. Namun, tuntutan tersebut sangat sulit diakomodasi oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu alasannya ada penolakan dari beberapa golongan politik Indonesia mengenai

35Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000., http://hukum.unsrat.ac.id/etc/putusan_mpr_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 36Ben Hillman, ‚Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia.‛ Asian Ethnicity 13 (2012): 419-440, http://dx.doi.org/10.1080//4631369.2012.710078 (accessed July 20, 2018). 91 tuntutan GAM ini. Sementara itu, izin mengenai pembentukan partai politik lokal itu juga pernah dikemukakan oleh pihak GAM pada perundingan sebelumnya yang selalu mengalami kegagalan. Selanjutnya, bantuan keuangan yang bernilai miliaran dolar Amerika Serikat (AS) dari pihak internasional untuk memperbaiki keadaan Aceh pasca tsunami hanya dapat disalurkan bila ada jaminan keamanan di daerah tersebut. Oleh sebab itu, pihak internasional melakukan intervensi baik kepada Pemerintah Indonesia maupun kepada GAM untuk segera menyelesaikan proses perundingan itu melalui suatu kesepakatan. Berikutnya, salah satu tuntutan GAM mengenai partai politik lokal ini dapat disetujui oleh Pemerintah Indonesia.37 Kemudian, GAM dapat menerima baik bentuk otonomi khusus maupun kebijakan politik lainnya yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia. Di sisi lain, seluruh tuntutan GAM lainnya juga dapat disetujui oleh Pemerintah Indonesia. Kesepakatan antara dua pihak tersebut dituangkan dalam MoU Helsinki, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kemudian, hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian suatu masalah dapat dipercepat melalui keikutsertaan pihak internasional. b. Islam, Kebijakan Pemerintah Pusat dan MoU Helsinki Salah satu tuntutan GAM dalam MoU Helsinki ialah Pemerintah Pusat akan membuat UU baru mengenai Propinsi Aceh. Kemudian, UU baru itu dapat mengakomodasi seluruh tuntutan GAM dalam MoU. Selanjutnya, Pemerintah Pusat berhasil membuat UU baru tersebut, yang dinamai dengan UU Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (TPA). Sementara itu, MoU Helsinki tidak menjelaskan mengenai Islam, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, isi dari UU TPA tidak hanya mengakomodasi

37Ben Hillman, ‚Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia.‛ Asian Ethnicity 13 (2012): 419-440, http://dx.doi.org/10.1080//4631369.2012.710078 (accessed July 20, 2018). 92 seluruh tuntutan GAM dalam MoU tetapi juga menampung seluruh pengaturan-pengaturan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian, salah satu dari pengaturan politik tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Berikutnya, penjelasan dari pasal 18 dan pasal-pasal lainnya dari UUD 1945, mengenai daerah istimewa atau khusus, menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat, untuk membuat pengaturan politik baik berhubungan dengan Syariat Islam dan hal-hal lainnya, dalam UU TPA tersebut.38 Kemudian, UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara, menjadi salah satu pengaturan politik yang menjadi landasan dari UU Tahun 2006 TPA tersebut. Isi dari UU Nomor 24 tahun 1956, menjelaskan beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama. Keputusan Pemerintah Pusat untuk membentuk Propinsi Aceh telah dilakukan pada tahun 1949, melalui Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No.8/Des/WKPM. Namun, pada tahun 1950, Pemerintah Pusat membuat kebijakan untuk membubarkan Propinsi Aceh tersebut. Kemudian, Aceh menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Kedua, tuntutan untuk membentuk kembali Propinsi Aceh sangat kuat dikemukakan oleh golongan politik dari wilayah ini. Oleh sebab itu, pembentukan Propinsi Aceh dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui UU ini sebagai jawaban dari permintaan golongan politik tersebut.39 Sementara itu, MPR RI membuat dan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

38Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 39UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. , http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1148.pdf, (diakses 5 Februari 2020). 93 Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu dasar dari pembuatan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu isi dari ketetapan MPR tersebut menjelaskan bahwa ada beberapa pengaturan yang harus dibuat oleh Pemerintah Pusat untuk memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, alokasi anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah harus lebih baik daripada masa sebelumnya. Sementara itu, alokasi anggaran itu dapat berasal dari hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam di daerah itu atau bantuan keuangan yang diberikan Pemerintah Pusat. Kedua, pengembangan demokrasi harus dilakukan dalam UU yang mengatur otonomi daerah. Ketiga, pemerintah daerah harus bertanggungjawab atas wewenang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat terkait dengan pengelolaan keuangan, administrasi dan hal lainnya.40 Berikutnya, Pemerintah Pusat dan DPR RI membuat dan mengesahkan UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sementara itu, salah satu dasar dari

40Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe94f64b75a/node/657/tap -mpr-no-xv_mpr_1998-tahun-1998-penyelenggaraan-otonomi-daerah,- pengaturan,-pembagian,-dan-pemanfaatan-sumber-daya-nasional-yang- berkeadilan,-serta-perimbangan-keuangan-pusat-dan-daerah-dalam- kerangka-negara-kesatuan-republik-indonesia (diakses 4 Maret 2020). 94 pembuatan UU Nomor 44 Tahun 1999 ini bersandar pada UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tersebut.41 Kemudian, UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, sebagai pengaturan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat pada masa sebelumnya, juga menjadi landasan dalam UU TPA ini.42 Sementara itu, kerangka politik bagi Provinsi Daerah Istimewa (DI) Aceh berawal dari pengesahan UU Nomor 44 tahun 1999 mengenai keistimewaan Aceh. Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai keistimewaan Aceh tahun 1999 tersebut, digagas oleh beberapa anggota DPR RI asal Aceh. Salah satu pencetus ide itu, bernama, M. Kaoy Syah. Sementara itu, kemunculan RUU itu memiliki kaitan dengan tidak ada izin untuk implementasi Syariat Islam di Aceh, sebagaimana dikemukakan dalam pidato Presiden BJ Habibie di Masjid Raya Baiturrahman. Salah satu isi pidato tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah Pusat akan memajukan Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh untuk menyelesaikan permasalahan di daerah ini. Selain itu, kemunculan GAM membuat Pemerintah Pusat membuat kebijakan untuk menghancurkannya dengan pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) di Provinsi DI Aceh. Kemudian, pada tahun 1999, media massa mulai memberikan informasi mengenai tindakan-tindakan tidak sesuai dengan hukum, yang terjadi dalam masyarakat selama kebijakan itu diimplementasikan. Berdasar pada penguatan GAM dalam masyarakat akibat perbuatan yang tidak sesuai prosedur itu, membuat kemunculan keputusan baru dari Pemerintah Pusat untuk memberikan solusi terhadap

41UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45380 (diakses 17 Februari 2020). 42Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 95 masalah Aceh.43 Selain itu, pelaksanaan Syariat Islam harus memiliki rencana yang komprehensif baik dalam jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka jauh. Gagasan mengenai rencana yang komprehensif itu sangat dibutuhkan bagi masyarakat Aceh untuk meningkatkan pengetahuan baik ajaran agama Islam maupun lainnya. Pemikiran ini berkaitan dengan kemunduran berbagai sektor yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat akibat dari masalah yang menimpa Aceh. Salah satu sektor tersebut ialah pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh dalam usaha melaksanakan Syariat Islam.44 Hal tersebut menunjukkan usaha golongan politik Aceh untuk pelaksanaan Syariat Islam. Salah satu isi dari UU Nomor 44 tahun 1999 ialah Aceh memiliki otoritas yang istimewa untuk membuat kebijakan dalam beberapa bidang. Pertama, kebijakan mengenai penyelenggaraan kehidupan beragama. Pada bidang ini, Pemerintah DI Aceh dapat membuat peraturan daerah (perda) tentang Syariat Islam. Kedua, penyelenggaraan kehidupan adat. Pada bidang ini, Pemerintah DI Aceh dapat membentuk lembaga adat. Ketiga, penyelenggaraan pendidikan. Pada bidang ini, pengajaran pelajaran agama di lembaga pendidikan yang ada di Aceh, dapat ditingkatkan alokasi waktu pengajarannya oleh Pemerintah DI Aceh. keempat, peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Pada bidang ini, lembaga ulama yang independen dapat dibentuk oleh Pemerintah DI Aceh sebagai salah satu institusi yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan

43Salah satu anggota Tim Penasehat Presiden BJ Habibie, mengenai Aceh, yang ditunjuk pasca pidatonya, ialah Al Yasa Abubakar, yang sebelumnya, memberikan komentar tajam terhadap Isi pidato tersebut. Lihat, Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 13-15. 44Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 96 berbagai kebijakan daerah. Oleh sebab itu, lembaga ini memiliki posisi setingkat baik dengan lembaga eksekutif maupun dengan lembaga legislatif. Sementara itu, ajaran Islam yang diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan didefinisikan sebagai Syariat Islam. Selain itu, salah satu pernyataan yang menunjukkan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Aceh ialah ‚Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana, yang artinya Hukum Adat di tangan Pemerintah dan Hukum Syariat ada di tangan Ulama‛.45 Sementara itu, salah satu penjelasan dalam UU Nomor 44 tahun 1999 ini menyebutkan bahwa hanya ada satu kebaruan yang dibuat dalam UU tersebut sebagai upaya perbaikan kebijakan Pemerintah Pusat untuk Aceh. Kebaruannya ialah membentuk suatu lembaga yang diisi dari golongan ulama untuk memberikan nasehat kepada Pemerintah DI Aceh. Di samping itu, UU ini menjelaskan juga bahwa Pemerintah Pusat pada masa sebelumnya, mengeluarkan kebijakan untuk mengatur seluruh propinsi di Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kemudian, salah satu dampak dari penerapan UU Nomor 5 Tahun 1974 itu ialah keistimewaan Aceh di bidang agama, peradatan dan pendidikan tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah DI Aceh. Padahal, Pemerintah Pusat di era sebelumnya, membuat kebijakan mengenai keistimewaan tersebut melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. Kebijakan ini dibuat sebagai upaya akomodasi dari tuntutan golongan politik di daerah ini. Selanjutnya, kestabilan politik mulai diperoleh propinsi ini pasca kebijakan yang dibuat Pemerintah Pusat

45UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45380 (diakses 17 Februari 2020). 97 tersebut. Oleh sebab itu, UU Nomor 44 tahun 1999 menggunakan kembali keputusan yang dibuat Pemerintah Pusat mengenai keistimewaan Aceh tersebut.46 Kemudian, Pemerintah DI Aceh bersama DPRD Aceh dengan bersandar pada UU Nomor 44 Tahun 1999, membuat Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. Perda tersebut menjadi kebijakan pertama untuk implementasi mengenai keistimewaan Aceh yang berkaitan dengan Syariat Islam sesuai dengan UU itu. Kemudian, isi dari perda tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Pertama, ketentuan umum. Salah satu hal yang dijelaskan dalam bagian ini ialah definisi dari minuman beralkohol, memproduksi dan memperdagangkan minuman beralkohol. Kedua, larangan. Bagian penting dalam hal ini ialah tidak ada izin untuk minum, memproduksi dan menjual minuman beralkohol. Ketiga, pengawasan. Bagian penting dalam hal ini ialah Gubernur DI Aceh membuat surat keputusan pembentukan tim pengawasan khusus untuk pelaksanaan perda ini. Keempat, ketentuan pidana. Hal penting dalam bagian ini ialah kurungan pidana penjara maksimal selama satu tahun dapat diberikan kepada setiap individu yang minum, memproduksi dan menjual minuman beralkohol. Kemudian, hukuman kurungan penjara tambahan selama empat bulan dijatuhkan kepada narapidana yang dihukum akibat pelanggaran perda ini, bila pelanggaran terhadap perda tersebut dilakukan selama ia masih menjalani hukuman. Selanjutnya, sanksi adat juga dijatuhkan bagi pelanggar perda tersebut. Meskipun begitu, tidak

46UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45380 (diakses 17 Februari 2020). 98 ada pengurangan hukuman pidana dengan penerapan sanksi adat itu.47 Sementara itu, ketentuan hukum pidana penjara maksimal dalam setiap perda yang dibuat oleh setiap pemerintah daerah di Indonesia ialah enam bulan penjara. Hal ini berdasar pada UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah.48 Selanjutnya, ada salah satu yang menonjol dari Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol. Hal tersebut berkaitan dengan hukuman maksimal satu tahun pidana penjara yang ditetapkan dalam perda itu terhadap pelanggar isi dari aturan daerah tersebut. Ketentuan pidana satu tahun tersebut menunjukkan perda ini berbeda dengan perda dari seluruh daerah lainnya di Indonesia. Hal tersebut disebabkan ketentuan hukum maksimal pidana penjara dalam perda ini tidak bersandar pada UU Nomor 22 Tahun 1999 itu.49 Kemudian, salah satu ketentuan perda yang ditetapkan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 yang perlu dikemukakan dalam menganalisa isi dari Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol, ialah salah satu hukuman dari dua hukuman yang ditetapkan dalam suatu perda, akan diberikan kepada

47Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 48UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45380 (diakses 17 Februari 2020). 49Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 99 pelanggar dari suatu perda tersebut.50 Sementara itu, isi dalam Perda nomor 4 tahun 1999 tersebut menyatakan beberapa hal yang berkaitan dengan ketentuan perda di atas tersebut. Pertama, hukuman pidana dan denda diberikan secara bersamaan kepada pelanggar perda ini. kedua, hukuman adat dan hukuman pidana diberikan secara bersamaan kepada pelanggar dari perda ini. Ketiga, hukuman tambahan selama empat bulan diberikan kepada pelanggar perda ini bila pelanggar tersebut mengulangi kembali perbuatan pelanggaran terhadap perda itu dalam jangka waktu belum satu tahun pasca ketetapan hukuman pelanggaran perda yang diberikan kepada pelanggar tersebut. Selain itu, gubernur atau bupati/walikota akan membentuk suatu organisasi khusus untuk mengawasi pelaksanaan perda ini.51 Sementara itu, pengawasan dari realisasi perda harus dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP). Hal ini berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, bagian ini dapat disebut sebagai keistimewaan Aceh di bidang perda.52 Selain itu, golongan ulama Aceh sangat mendukung keputusan golongan politik Aceh untuk membuat Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol. Hal ini menjadi bukti

50UU RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan daerah,. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_22.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). 51Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 52Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 23-26. 100 nyata yang dilakukan Pemerintah Daerah Aceh untuk mencegah kerusakan akhlak manusia yang berada di Aceh.53 Kemudian, Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol yang telah diselesaikan dan disetujui oleh Gubernur dan DPRD DI Aceh pada 19 April 1999 tersebut, disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 20 April 2000. Selanjutnya, implementasi dari perda ini tidak dapat dilaksanakan karena Pemerintah Pusat tidak menyetujui salah satu isi dari Pasal 6 dari perda tersebut yang menyatakan bahwa pelanggar dari perda ini dapat dihukum pidana penjara maksimal selama satu tahun. Alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah Pusat ialah hukuman pidana penjara dalam suatu perda maksimal selama enam bulan. Argumentasi tersebut berdasar pada UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.54 Selanjutnya, Gubernur dan DPRD DI Aceh, merespon keputusan dari Pemerintah Pusat tersebut, dengan membuat Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. Kemudian, salah satu isi yang dijelaskan dalam qanun ini ialah ketetapan hukuman maksimal pidana selama satu tahun dalam perda nomor 4 tahun 1999 tersebut diubah menjadi enam bulan. Hal ini dilakukan untuk mengikuti keputusan mengenai aturan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Sementara itu, perda ini menjadi kebijakan kedua yang dibuat di bidang Syariat Islam. Selanjutnya, pemberlakuan mengenai perda ini dapat dilakukan oleh PemProv DI Aceh. Selain itu, pada masa

53Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 54Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 101 sebelumnya, Gubernur dan DPRD DI Aceh membuat dua perda di bidang Syariat Islam yang berkaitan dengan minuman beralkohol, dengan berdasar pada UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Pertama, Peraturan Daerah Propinsi DI Aceh Nomor 1 Tahun 1962 tentang Syiar Agama Islam. Kedua,Peraturan Daerah Propinsi DI Aceh Nomor 6 Tahun 1966 tentang Larangan Membuat, memasukkan, Memperdagangkan, Menyimpan dan Menimbun Minuman keras. Sementara itu, dua qanun tersebut juga menjadi dasar yang digunakan dalam qanun ini.55 Kemudian, Pemerintah DI Aceh bersama DPRD DI Aceh membuat kebijakan ketiga sebagai upaya implementasi keistimewaan Aceh di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh. Kebijakan ketiga tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) DI Aceh. Ada beberapa topik penting yang ditulis dalam perda itu. Pada topik pertama, MPU akan diisi oleh golongan ulama baik dari dayah maupun dari pesantren. Pada topik kedua, Pemerintahan Propinsi DI Aceh baik lembaga eksekutif maupun legislatif akan menerima nasehat dari MPU mengenai Syariat Islam untuk setiap pembuatan kebijakan publik. Di samping itu, golongan masyarakat umum juga akan menerima nasehat dari MPU di bidang Syariat Islam. Pada topik ketiga, fatwa hukum yang dikeluarkan oleh MPU dalam urusan

55Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 102 pemerintahan, ekonomi dan hal lainnya akan dijadikan sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik.56 Pada topik keempat, seluruh pendapat ulama DI Aceh mengenai suatu masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik harus dapat diakomodasi oleh MPU, sebelum dijadikan sebagai fatwa hukum. Pada topik kelima, APBD DI Aceh akan menanggung seluruh kebutuhan yang diperlukan oleh MPU. Selain itu, pada masa sebelumnya, Gubernur dan DPRD DI Aceh membuat satu perda di bidang Syariat Islam, yang berkaitan dengan organisasi ulama, dengan berdasar pada UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara. Aturan tersebut ialah Peraturan Daerah DI Aceh Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Pedoman Dasar Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi DI Aceh.57 Kemudian, Pemerintah DI Aceh bersama DPRD DI Aceh membuat kebijakan keempat sebagai upaya implementasi keistimewaan Aceh di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh. Kebijakan keempat tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Salah satu isinya menjelaskan mengenai seluruh aspek keistimewaan Aceh di bidang agama. Pertama, Aqidah. Kedua, Ibadah. Ketiga, Muamalah. Keempat, Akhlak. Kelima, Pendidikan dan Dakwah Islamiyah/amar

56Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_03_tahun_2000.pdf (diakses 30 Oktober 2019). 57Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_03_tahun_2000.pdf (diakses 30 Oktober 2019). 103 ma’ruf nahi munkar. Keenam, Baitul Mal. Ketujuh, kemasyarakatan. Kedelapan, Syariat Islam. Kesembilan, Pembelaan Islam. Kesepuluh, Qadha. Kesebelas, Jinayat. Keduabelas, Munakahat. Ketigabelas, Mawaris. Kemudian, untuk melancarkan pelaksanaan dari Syariat Islam di Aceh, Pemerintah DI Aceh memiliki mekanisme untuk mengatur melalui peraturan model lainnya baik peraturan gubernur atau instruksi gubernur, terhadap aspek tertentu dari Syariat Islam. Di samping itu, pelanggaran terhadap salah satu dari aspek Syariat Islam memiliki hukuman bagi pelanggarnya. Hal ini memiliki aturan khusus dengan mengikuti ketentuan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat melalui UU Mengenai Keistimewaan Aceh tahun 1999.58 Selanjutnya, Pemerintah DI Aceh bersama DPRD DI Aceh membuat kebijakan kelima sebagai upaya implementasi keistimewaan Aceh di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh. kebijakan keempat tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Ada beberapa topik penting yang dikemukakan dalam perda ini. Pada topik pertama, adat istiadat didefinisikan sebagai aturan yang berdasar pada Syariat Islam. Pada topik kedua, imum meunasah didefinisikan sebagai pemimpin di bidang Agama Islam dan pelaksanaan Syariat Islam, dalam aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Pada topik ketiga, golongan ulama akan menjadi salah satu bagian dalam memberikan nasehat kepada pemerintahan desa melalui keterlibatannya dalam institusi gampong yang bernama Tuha Peut. Pada topik keempat, penyelesaian sengketa yang tidak berkaitan dengan ketentuan hukum yang berlaku secara nasional,

58Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam.. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tahun_2000.pdf (diakses 30 Oktober 2019). 104 dapat dilakukan oleh lembaga adat. Pada topik kelima, institusi pendidikan dasar dan menengah akan memberikan pengajaran khusus mengenai adat istiadat kepada peserta didiknya.59 Sementara itu, ada beberapa kelemahan dalam implementasi Syariat Islam, yang berdasar pada UU tahun 1999 tersebut. Satu. Syariat Islam memiliki penjelasan mengenai pidana. Kemudian, rincian tentang pidana tersebut dapat diklasifikasi dengan hukuman cambuk, hukuman penjara, dan hukuman kompensasi. Namun, UU tahun 1999 tersebut, menyatakan bahwa pelaksanaan Syariat Islam harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu, Syariat Islam yang direalisasikan melalui peraturan daerah (perda), sesuai dengan UU tersebut, dapat dilaksanakan dengan hanya bersandar pada hukuman penjara. Seterusnya, maksimal hukuman penjara tersebut juga ditetapkan hanya enam bulan. Di sisi lain, hukuman penjara yang lebih dari enam bulan juga dijelaskan dalam Syariat Islam. Di samping itu, perda tidak dapat memberikan solusi bagi pelaksanaan dua hukuman lainnya. Dua. Pelaksanaan Syariat Islam oleh PemProv Aceh membutuhkan pembiayaan. Namun, pembiayaan tersebut tidak dijelaskan secara rinci oleh Pemerintah Pusat. Tiga, tidak ada aturan rinci untuk implementasi Syariat Islam yang dapat direalisasikan melalui perda. Empat, pelaksanaan Syariat Islam dalam jangka pendek pasca pengesahan UU ini, sulit direalisasikan karena ketiadaan penjelasan yang detil.60 Selain itu, golongan ulama Aceh mengharapkan Pemerintah Pusat dapat membuat peraturan hukum yang lebih komprehensif mengenai Syariat Islam sehingga dampak dari

59Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.https://www1media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_07_t ahun_2000.pdf (diakses 5 November 2019). 60Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 13-30. 105 implementasinya dapat sesegera mungkin diperoleh oleh rakyat Aceh.61 Hal ini menunjukkan keterbatasan UU 1999 dalam merealisasikan Syariat Islam. Sementara itu, pengumuman implementasi Syariat Islam di luar ketentuan UU tahun 1999 baik untuk memperkuat pelaksanaannya maupun menambah wewenang pelaksanaannya, tanpa menggunakan PP atau ketentuan hukum lainnya, dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dalam pidatonya di Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 2000. Namun, kebijakan yang menjadi dasar hukum bagi kelanjutan dari isi pidato tersebut tidak disebutkan, membuat golongan politik Aceh tidak dapat merealisasikan pernyataan tersebut. Sementara itu, konflik bersenjata antara TNI dan GAM semakin sering terjadi pada tahun 2000. Hal tersebut membuat keamanan Aceh semakin buruk, yang ditandai dengan meluasnya pengrusakan terhadap fasilitas publik dan pembunuhan.62 Penjelasan ini menunjukkan bahwa kebijakan dan aturan hukum tidak dapat dipisahkan. Selain itu, MPR membuat dan mengesahkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Selanjutnya, Ketetapan MPR itu menegaskan bahwa UU mengenai otonomi khusus Aceh harus dapat diselesaikan oleh Pemerintah Pusat atau Presiden Indonesia dan DPR RI paling lambat batas waktunya ialah pada 1 Mei 2001. Kemudian, otonomi yang dijelaskan dalam Ketetapan MPR tersebut harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat sehingga salah satu tuntutan dari golongan politik di daerah tersebut untuk berpisah dengan Indonesia dapat diselesaikan. Di samping itu, pengembangan

61Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 62Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 21-22. 106 demokrasi dalam otonomi dan akomodasi terhadap tuntutan dari golongan-golongan politik di daerah ini perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan yang ditulis dalam UUD 1945. Kemudian, Ketetapan MPR ini menyebutkan bahwa kegagalan otonomi daerah yang dilaksanakan pada masa sebelumnya disebabkan bentuk otonomi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada daerah tidak bersandar pada UUD 1945.63 Selanjutnya, Pemerintah Pusat dan DPR RI berhasil membuat UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Isi dari latarbelakang UU ini menjelaskan mengenai kebijakan baru Pemerintah Pusat kepada Aceh dengan memberikan otonomi khusus. Otonomi khusus tersebut dijabarkan dalam berbagai aspek yang dapat dilaksanakan oleh Aceh. salah satu bentuknya ialah pemberian dana yang lebih besar dibandingkan UU sebelumnya. Sementara itu, UU ini juga menjelaskan kekurangan dari UU sebelumnya, salah satunya mengenai anggaran dalam merealisasikan keistimewaan Aceh, menjadi dorongan tambahan untuk membuat UU ini. kemudian, ada beberapa kebaruan penting yang ditulis dalam ketentuan umum UU ini. Pertama, Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD. Kedua, Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe. Ketiga, Qanun Provinsi NAD. Keempat, lambang daerah.64

63Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. http://hukum.unsrat.ac.id/etc/putusan_mpr_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). 64UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 107 Kemudian, Qanun Provinsi NAD akan menjelaskan mengenai penggunaan nama kabupaten/kota, kecamatan, gampong yang akan dipakai penamaannya. Hal ini disebabkan UU ini mengizinkan penggunaan nama lain untuk penamaannya. Sementara itu, peraturan daerah yang bermaksud untuk pelaksanaan undang- undang mengenai otonomi khusus, didefinisikan sebagai Qanun Provinsi NAD.65 Kemudian, berdasarkan penjelasan ini maka UU itu menempatkan Qanun Provinsi NAD berada secara hirarki langsung di bawahnya sehingga kedudukan Qanun tersebut setingkat dengan PP atau peraturan hukum setingkat lainnya. Oleh sebab itu, PP atau peraturan hukum setingkat lainnya tidak dapat digunakan untuk membatalkan pelaksanaan isi dari Qanun Provinsi NAD tersebut.66 Sementara itu, upaya Pemerintah Pusat untuk memperbaiki pelaksanaan Syariat Islam di Aceh agar lebih baik dibandingkan pelaksanaannya pada masa sebelumnya dengan membuat UU Nomor 18 Tahun 2001 itu, menunjukkan Syariat Islam yang diharapkan oleh masyarakat Aceh baik golongan ulama maupun golongan lainnya, secara bertahap dapat direalisasikan.67 Selain itu, UU Nomor 18 Tahun 2001 ini juga menjadi salah satu dasar yang digunakan dalam membuat UU TPA Tahun 2006, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, pada bagian lambang daerah, UU ini menegaskan bahwa keistimewaan atau kekhususan Aceh dapat diaktualisasikan melalui proses pemilihan dan pengesahan lambang

65UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 66Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 32-34. 67Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 108 daerah yang ditulis dalam perda oleh lembaga eksekutif dan legislatif Provinsi NAD. Sementara itu, bendera sebagai salah satu bentuk dari lambang daerah tidak menjadi simbol dari kedaulatan. Kemudian, pada bagian keuangan, isi dari UU ini menegaskan bahwa sejak tahun 2001 hingga tahun 2008, Aceh akan memperoleh dana otonomi khusus melalui sumber daya alam yang ada di daerah ini. rincian bersihnya setelah dipotong oleh pajak di bidang sumber daya alam ialah 55 % untuk pertambangan minyak bumi dan 40 % untuk pertambangan gas alam. Di samping itu, Aceh juga tetap menerima pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Kemudian, pada tahun 2009, rincian bersih dana otonomi khusus Aceh di bidang sumber daya alam, setelah dipotong pajak ialah 35 % untuk pertambangan minyak bumi dan 20 % untuk pertambangan gas alam. Berikutnya, Qanun Provinsi NAD harus dibuat untuk pembagian keuangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, Pemerintah Pusat memberikan wewenang khusus kepada Aceh dalam pelaksanaan otonomi khusus.68 Sementara itu, alokasi anggaran paling sedikit 30 % dari dana otonomi khusus melalui sumber daya alam tersebut harus diberikan pada bidang pendidikan. Kemudian, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola sumber daya alam di kabupaten/kota yang ada di Provinsi NAD akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota itu, dengan memberikan sebagian keuntungannya, sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Selain itu, salah satu kebaruan UU ini pada bagian keuangan ialah zakat menjadi salah satu sumber dari

68UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 109 Pendapatan Asli Daerah (PAD).69 Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa perbaikan pendapatan ekonomi dan pendidikan sangat ditekankan oleh UU ini. Selanjutnya, pada bagian Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe, UU ini menyebutkan bahwa lembaga tersebut tidak menjadi bagian dari struktur Provinsi NAD baik pada bidang politik maupun pemerintahan. Kemudian, tugas untuk penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat dilakukan oleh Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe itu. Berikutnya, penjabaran mengenai tugas lembaga ini dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif Provinsi NAD. Selain itu, pada bagian lembaga legislatif, jumlah kursi secara keseluruhan DPRD mencapai 125 % dari undang- undang yang sah, diberikan kepada DPRD Propinsi NAD. Kemudian, lembaga eksekutif dan lembaga legislatif Provinsi NAD akan menjabarkan jumlah rincian dari 125 % tersebut melalui Qanun Provinsi NAD. Berikutnya, Qanun Provinsi NAD akan dibuat untuk mengatur lembaga eksekutf yang melaksanakan UU ini.70 Sementara itu, kebijakan ini membuat DPRD Provinsi NAD memiliki jumlah anggota yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah keseluruhan anggota DPRD propinsi lainnya.71 Di samping itu, golongan ulama Aceh memiliki peluang untuk menyalurkan aspirasi mereka

69UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 70UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 71Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 32-34. 110 mengenai Syariat Islam kepada partai politik yang memiliki anggota di DPRD Aceh.72 Selain itu, pada bagian mengenai Kejaksaan Provinsi NAD, UU ini menyebutkan bahwa Gubernur Provinsi NAD memberikan persetujuan untuk penugasan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi NAD yang dipilih dan dilantik oleh Jaksa Agung. Berikutnya, pada bagian mengenai Kepolisian Daerah Provinsi NAD, UU ini menjelaskan bahwa Gubernur Provinsi NAD memberikan persetujuan untuk penugasan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi NAD yang dipilih dan dilantik oleh Kepala Kepolisian Negara RI. Di samping itu, kurikulum muatan lokal akan menjadi salah satu bagian dari pengajaran di bidang pendidikan kepada seluruh golongan bintara dan tamtama kepolisian yang bertugas di Provinsi NAD. Kemudian, aturan hukum mengenai tugas kepolisian di bidang ketertiban yang memiliki kaitan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi NAD, dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif yang ada di provinsi ini melalui Qanun.73 Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada bagian dari implementasi otonomi khusus yang melibatkan institusi kepolisian. Selanjutnya, pada penjelasan mengenai Mahkamah Syar’iyah, UU ini menyebutkan bahwa salah satu bagian dari sistem peradilan nasional yang diimplementasikan di Provinsi NAD ialah Peradilan Syariat Islam. kemudian, seluruh tugas dan hal lainnya dari peradilan tersebut dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah. Kemudian, syariat Islam dalam sistem hukum nasional akan menjadi pedoman untuk kewenangan dari Mahkamah Syar’iyah. Selanjutnya, Qanun

72Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 73UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 111 Provinsi NAD akan menjelaskan secara rinci mengenai syariat Islam dalam sistem hukum nasional tersebut. Di samping itu, Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan mengenai penyelesaian seluruh masalah hukum yang dimiliki oleh umat Islam.74 Penjelasan ini menunjukkan bahwa izin untuk mendirikan peradilan yang sah model baru diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada provinsi tersebut. Kemudian, ada tiga tingkatan dari Mahkamah Syar’iyah. Pertama, pengadilan tingkat kasasi. Seluruh tugas dan hal lainnya dari institusi ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung RI. Kedua, pengadilan tingkat banding. Seluruh tugas dan hal lainnya dari institusi ini dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi yang berpusat di ibu kota Provinsi NAD. Kedua, pengadilan tingkat pertama. Seluruh tugas dan hal lainnya dari institusi ini dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota. Selain itu, Ketua Mahkamah Agung dan Gubernur Provinsi NAD memberikan pertimbangan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan nama calon dari Hakim Mahkamah Syar’iyah. Kemudian, calon dari hakim tersebut ditetapkan dan dilantik sebagai Hakim Mahkamah Syar’iyah oleh Presiden RI. Selain itu, Mahkamah Agung menjadi institusi yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan seluruh perkara hukum baik pada tingkat pertama maupun tingkat terakhir, bila Sengketa-wewenang terjadi antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain.75 Penjelasan ini

74UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 75UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 112 menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat dapat mengontrol seluruh pejabat yang memiliki otoritas di lembaga tersebut. Selanjutnya, perintah dari Pemerintah Pusat untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah kepada Pemerintah Provinsi (PemProv) NAD dengan berdasar pada UU tahun 2001 ini masih sangat umum penjelasan yang terkait dengan hal tersebut. Di samping itu, tidak ada PP atau peraturan hukum lainnya dalam UU tahun 2001 itu, yang dapat dijadikan sebagai pedoman mengenai pembentukan Mahkamah Syar’iyah tersebut.76 Oleh sebab itu, pendirian Mahkamah Syar’iyah memunculkan berbagai perspektif dalam implementasinya. Kemudian, PemProv NAD dan DPRD NAD mengadakan kunjungan kerja ke Jakarta untuk bertemu dengan pejabat dari Pemerintah Pusat, yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Di samping itu, diskusi yang melibatkan berbagai golongan dalam masyarakat untuk mencari solusi dari masalah itu juga diselenggarakan oleh PemProv NAD dan DPRD NAD. Sementara itu, ada beberapa topik yang mengemuka mengenai UU tahun 2001 tersebut. Pada topik pertama, tidak ada penjelasan rinci dalam sistem peradilan nasional, mengenai peradilan Syariat Islam yang akan diimplementasikan di Aceh. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat harus menjelaskan secara menyeluruh tentang hal tersebut. Pada topik kedua, Pengadilan Negeri (PN) menjadi penentu dari penyelesaian masalah pidana, dengan melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam memproses penyelesaian masalah pidana tersebut. Namun, aturan khusus mengenai pola

https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 76UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18.pdf (diakses 17 Februari 2020). 113 kerjasama kejaksaan dan Mahkamah Syar’iyah, untuk menyelesaikan masalah pidana belum ada penjelasannya.77 Pada topik ketiga, hukuman cambuk atau hukuman bentuk lainnya yang bersandar pada Syariat Islam belum dapat diimplementasikan karena tidak ada izin untuk merealisasikannya dalam Qanun atau bentuk aturan hukum lainnya. Pada topik keempat, Pemerintah Pusat tidak menjelaskan lembaga yang berwenang membentuk Mahkamah Syar’iyah, sehingga muncul dua pendapat mengenai hal itu. Pada satu sisi, pendapat yang mengemuka ialah hanya lembaga eksekutif dan lembaga legislatif tingkat nasional yang memiliki otoritas untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah. Di sisi lain, pendapat yang mengemuka ialah Mahkamah Syar’iyah dapat dibentuk oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif tingkat propinsi. Pada topik kelima, lingkungan Peradilan Agama sangat berpotensi untuk menjadi tempat pusat administrasi dari Mahkamah Syariah. Namun, pada satu sisi, hanya masalah perdata yang dapat diselesaikan oleh lingkungan Peradilan Agama. Kemudian, di sisi lainnya, Mahkamah Syar’iyah dapat menyelesaikan masalah baik pidana maupun perdata.78 Sementara itu, UUD 1945 menjelaskan bahwa ada empat lingkungan peradilan. Pertama, lingkungan peradilan agama. Kedua, lingkungan peradilan umum. Ketiga, lingkungan peradilan tata usaha negara. Keempat, lingkungan peradilan militer.79 Oleh sebab itu, ketiadaan aturan khusus yang dibuat Pemerintah Pusat mengenai lingkungan dari Mahkamah Syar’iyah memunculkan

77Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 37-42. 78Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 37-42. 79UUD RI 1945. http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf (diakses 10 Maret 2020). 114 kesulitan untuk menempatkan pusat administrasinya. Kemudian, seluruh lembaga pengadilan di Indonesia harus mengikuti aturan administrasi dari salah satu lingkungan peradilan tersebut. Pada topik keenam, pada satu sisi, pengubahan salah satu lembaga pengadilan di Aceh untuk merealisasikan pengadilan Mahkamah Syar’iyah, dikemukakan oleh sebagian golongan politik Aceh dalam pertemuan resmi dengan seluruh jajaran pejabat Pemprov Aceh dan DPRD Aceh. Kemudian, di sisi lain, pembuatan lembaga baru untuk merealisasikan pengadilan Mahkamah Syar’iyah, juga dikemukakan oleh sebagian dari golongan politik Aceh dalam pertemuan resmi tersebut.80 Keterangan ini menunjukkan bahwa salah satu bagian dari isi UU tahun 2001 dapat dipahami dengan berbagai pemikiran. Kemudian, Gubernur dan DPRD NAD membuat Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam sebagai kebijakan pertama di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2001. Ada beberapa aspek penting yang dikemukakan dalam penjelasan dari qanun ini. Pada aspek pertama, Syariat Islam telah menjadi bagian dari sejarah Aceh pada masa kerajaan. Namun, pelaksanaan Syariat Islam tersebut tidak dapat dilakukan lagi akibat dari penjajahan Belanda. Kemudian, Aceh menjadi salah satu bagian dari Negara Indonesia yang merdeka pada tahun 1945. Berikutnya, golongan ulama sebagai salah satu golongan yang mewakili masyarakat Aceh berusaha melaksanakan kembali Syariat Islam dengan menyampaikan aspirasinya tersebut kepada Pemerintah Pusat. Kemudian, Pemerintah Pusat berupaya mengakomodasi tuntutan tersebut dengan mengeluarkan PP Nomor 29 Tahun 1957 Tentang Pengadilan Agama Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh. Berikutnya, PP ini diganti dengan PP Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Selanjutnya, wewenang

80Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 37-42. 115 yang diberikan PP tersebut kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah hanya pada bidang hukum kekeluargaan (al Ahwal al Syakhshiyah). Sementara itu, golongan ulama tersebut meminta kepada Pemerintah Pusat, agar pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah dapat diimplementasikan di Aceh. Kemudian, penggunaan nama Mahkamah Syar’iyah di daerah Aceh itu diganti dengan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan berdasar pada UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.81 Pada aspek kedua, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang ada di Provinsi NAD tersebut diubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Kemudian, pembentukan dua lembaga tersebut sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2001. Sementara itu, kebijakan ini diambil untuk menghindari kemunculan otoritas baru yang akan mempersulit penyelesaian suatu masalah. Kemudian, wewenang dari Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi akan mengikuti ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2001, dengan berdasar pada pengembangan dari kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama itu mengenai beberapa hal yang berhubungan dengan Syariat Islam. Berikutnya, berdasarkan penjelasan qanun ini dapat diketahui bahwa lembaga eksekutif dan lembaga legislatif tingkat provinsi yang memiliki otoritas untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.82 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan dari qanun ini dibandingkan qanun terkait lainnya

81Qanun Provinsi Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Propinsi-Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-10-Tahun-2002-Tentang- Peradilan-Syariat-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). 82Qanun Provinsi Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Propinsi-Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-10-Tahun-2002-Tentang- Peradilan-Syariat-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). 116 yang pernah dibuat sebelumnya ialah pengubahan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama itu menjadi Mahkamah Syar’iyah. Hal tersebut menunjukkan bahwa institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat ikut terlibat dalam pelaksanaan Syariat Islam. Pada aspek ketiga, Gubernur dan DPRD NAD akan membuat qanun baru lainnya yang mengatur seluruh hal yang dibutuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah di setiap tingkat tersebut, untuk pelaksanaan Syariat Islam. Sementara itu, peraturan perundang-undangan yang masih berlaku mengenai Syariat Islam akan digunakan sebagai pedoman umum Mahkamah Syar’iyah itu. Selanjutnya, Syariat Islam yang berlaku di Aceh dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001 itu, tidak hanya menjelaskan mengenai hukum privat tetapi juga hukum publik. Berdasarkan hal ini maka qanun tentang dua hal tersebut baik yang berkaitan dengan bidang kekeluargaan, bidang muamalah maupun bidang jinayat, juga akan dibuat oleh Gubernur dan DPRD NAD. Berikutnya, pengaturan mengenai pelaksana dari tata tertib administrasi yang tidak strategis di Mahkamah Syar’iyah ini dapat dilakukan melalui ketetapan dari SK gubernur. Selain itu, Mahkamah Syar’iyah tersebut menjadi salah satu bagian dari lingkungan peradilan agama. Selanjutnya, Mahkamah Agung RI memiliki otoritas untuk mengawasi seluruh hakim di Mahkamah Syar’iyah ini.83 Selanjutnya, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan kedua mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001 itu dengan mengesahkan Qanun Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Ada beberapa bagian penting dari isi qanun

83Qanun Provinsi Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Propinsi-Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-10-Tahun-2002-Tentang- Peradilan-Syariat-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). 117 itu. Pada bagian pertama, Ajaran dasar Islam baik yang berkaitan dengan rukun Islam dan rukun iman, yang berdasar pada Ahlussunnah wal Jamaah didefinisikan sebagai Aqidah. Pada bagian kedua, pengagungan ajaran Islam dengan mengerjakan seluruh perintah agama baik dilakukan secara pribadi maupun secara bersama dengan individu lainnya didefinisikan sebagai Syiar Islam. pada bagian ketiga, shalat dan puasa Ramadhan didefinisikan sebagai Ibadah. Pada bagian keempat, pengawasan dari implementasi Syariat Islam dilakukan oleh suatu institusi yang bernamaWilayatul Hisbah.84 Kemudian, dua qanun ini baik yang berkaitan dengan Mahkamah Syar’iyah dan yang berkaitan dengan bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam itu, direspon oleh Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD. Ada beberapa bagian penting dari isi KepPres itu. Pada bagian pertama, pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi dengan cara mengubah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, sebagaimana telah dijelaskan dalam qanun NAD sebelumnya, disetujui oleh keputusan ini. Pada bagian kedua, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Kementerian Agama akan menanggung seluruh beban biaya dari Mahkamah Syar’iyah. Di samping itu, seluruh wewenang yang dimiliki baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi tersebut. Berdasarkan hal ini maka Pemerintah Pusat menyetujui tentang lingkungan peradilan

84Qanun Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Propinsi- Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-11-Tahun-2002-Tentang-Pelaksanaan- Syariat-Islam-Bidang-Aqidah-Ibadah-dan-Syiar-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). 118 agama menjadi bagian dari Mahkamah Syar’iyah. Pada bagian ketiga, qanun Aceh akan dibuat untuk mengatur kewenangan tambahan yang diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah di bidang ibadah dan syiar Islam. Di samping itu, kemampuan dari para pengambil keputusan di bidang hukum yang berhubungan dengan Mahkamah Syar’iyah sebagai salah satu bagian dari sistem peradilan nasional, menjadi faktor kunci dari implementasi kewenangan tambahan tersebut.85 Selanjutnya, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan ketiga di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001. Hal tersebut direalisasikan dengan mengesahkan Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Ada beberapa bagian penting yang dijelaskan dalam qanun ini. Pada topik pertama, seluruh jenis minuman yang dapat memabukkan didefinisikan sebagai khamar. Pada topik kedua, wewenang khusus dalam pelaksanaan Syariat Islam yang terkait dengan implementasi aturan mengenai larangan minuman khamar dalam qanun ini diberikan kepada Kejaksaan NAD. Sementara itu, wewenang khusus tersebut berhubungan dengan proses suatu perkara hukum yang melibatkan Mahkamah Syar’iyah, untuk menetapkan suatu hukuman kepada pelanggar qanun ini. Pada topik ketiga, wewenang khusus dalam pelaksanaan Syariat Islam yang terkait dengan implementasi aturan mengenai larangan minuman khamar dalam qanun ini diberikan kepada Kepolisian NAD. Sementara itu, wewenang khusus tersebut berhubungan dengan proses suatu perkara hukum yang melibatkan Mahkamah Syar’iyah, untuk menetapkan suatu hukuman kepada pelanggar qanun ini. Pada topik keempat, tindak pidana yang diatur secara rinci baik di dalam

85Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD.. http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppres_11_2003.pdf (diakses 1 Maret 2020). 119 Al-Qur’an maupun di dalam Hadis mengenai hukuman yang ditetapkan kepada pelanggarnya disebut sebagai Jarimah hudud dan Jarimah qishash-diat, dalam qanun ini.86 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan qanun ini dibandingkan qanun terkait lainnya yang pernah dibuat sebelumnya ialah Kejaksaan sebagai salah satu institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat ikut terlibat dalam pelaksanaan qanun ini. Pada topik kelima, tindak pidana yang tidak diatur secara rinci baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Hadis mengenai hukuman yang ditetapkan kepada pelanggarnya disebut sebagai Jarimah ta’zir, dalam qanun ini. Pada topik keenam, proses suatu perkara pelanggaran di bidang Syariat Islam, sebagaimana dijelaskan dalam qanun ini, akan melibatkan Wilayatul Hisbah. Pada topik ketujuh, proses penyidikan terhadap suatu perkara pelanggaran dalam qanun ini, akan melibatkan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (POM). Pada topik kedelapan, hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar qanun ini disebut sebagai ‘Uqubat. Ada beberapa bentuk hukuman atau ‘uqubat yang dijelaskan dalam qanun ini. Pertama, bentuk hukuman 40 (empat puluh) kali cambuk. Kedua, bentuk hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun. Ketiga, bentuk hukuman denda berupa uang paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta rupiah). Di samping itu, Baitul Mal akan menerima bentuk hukuman denda berupa uang tersebut.87 Selanjutnya, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan keempat di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor

86Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. http://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Provinsi-Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-12-Tahun-2003-Tentang- Minuman-dan-Khamar-dan-Sejenisnya.pdf, (diakses 26 Februari 2020). 87Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, http://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Provinsi-Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-12-Tahun-2003-Tentang- Minuman-dan-Khamar-dan-Sejenisnya.pdf, (diakses 26 Februari 2020). 120 18 Tahun 2001. Hal tersebut direalisasikan dengan mengesahkan Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian). Ada beberapa topik penting yang diterangkan dalam qanun ini. Pada topik pertama, keuntungan yang diperoleh dari salah satu pihak dengan cara melakukan taruhan dengan pihak lainnya didefinisikan sebagai Maisir (perjudian). Pada topik kedua, pihak kejaksaan memperoleh wewenang khusus dalam pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut berkaitan dengan proses penegakkan hukum terhadap pelanggar isi dari qanun ini di dalam Mahkamah Syar’iyah. Pada topik ketiga, pihak kepolisian memperoleh wewenang khusus dalam pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut berkaitan dengan proses penegakkan hukum terhadap pelanggar isi dari qanun ini, di Mahkamah Syar’iyah. Pada topik keempat, pengawasan dari pelaksanaan isi dari qanun ini dilakukan oleh Wilayatul Hisbah. Pada topik kelima, ada beberapa bentuk hukuman yang dijelaskan dalam qanun ini. Bentuk hukuman pertama ialah hukuman cambuk dengan jumlah paling maksimal 12 (dua belas) kali, yang diperlihatkan kepada publik. Bentuk hukuman kedua ialah hukuman denda dengan jumlah paling maksimal Rp.35.000.000. (tiga puluh lima juta rupiah). Di samping itu, Baitul Mal akan menerima dana dari hukuman denda berupa uang tersebut.88 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan dari qanun ini dibandingkan dengan qanun terkait lainnya yang pernah dibuat ialah kejaksaan dan Mahkamah Syar’iyah sebagai dua institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat diikutsertakan dalam implementasi qanun ini. Kemudian, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan kelima di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001. Hal tersebut direalisasikan dengan mengesahkan

88Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian)., http://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Provinsi- Nanggroe-Aceh-Darussalam-Nomor-13-Tahun-2003-Tentang-Maisir- Perjudian.pdf, (diakses 27 Februari 2020). 121 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Ada beberapa hal penting yang dijelaskan dalam qanun ini. Pada topik pertama, tindakan yang mengarah pada perzinaan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang perempuan yang bukan muhrim didefinisikan sebagai Khalwat (Mesum). Pada topik kedua, pihak kejaksaan memperoleh wewenang khusus dalam pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut berkaitan dengan proses penegakkan hukum terhadap pelanggar isi dari qanun ini di dalam Mahkamah Syar’iyah. Pada topik ketiga, pihak kepolisian memperoleh wewenang khusus dalam pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut berkaitan dengan proses penegakkan hukum terhadap pelanggar isi dari qanun ini, di Mahkamah Syar’iyah. Pada topik keempat, pengawasan dari pelaksanaan isi dari qanun ini dilakukan oleh Wilayatul Hisbah. Pada topik kelima, ada beberapa bentuk hukuman yang dijelaskan dalam qanun ini. Bentuk hukuman pertama ialah hukuman cambuk dengan jumlah paling maksimal 9 (sembilan) kali. Bentuk hukuman kedua ialah hukuman denda dengan jumlah paling maksimal Rp.10.000.000. (sepuluh juta rupiah). Bentuk hukuman ketiga ialah hukuman penjara paling maksimal selama 6 (enam) bulan. Di samping itu, Baitul Mal akan menerima dana dari hukuman denda berupa uang tersebut.89 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan dalam qanun ini dibandingkan qanun terkait lainnya yang pernah dibuat ialah Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat ikut terlibat dalam pelaksanaan qanun ini. Sementara itu, hukuman terhadap pembunuhan yang tidak direncanakan ialah memberikan diyat senilai 100 ekor anak sapi kepada keluarga korban. Hal ini menjadi dasar hukum pemberian denda sebagai salah satu bentuk hukuman dalam Qanun Aceh

89Qanun Provinsi Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2003/aceh14- 2003.pdf, (diakses 27 Februari 2020). 122 Nomor 11 tahun 2003. Kemudian, para penyusun Qanun Aceh tersebut menyetujui untuk melakukan konversi 100 ekor anak sapi tersebut menjadi nilai uang sebesar Rp. 100.000.000. Selanjutnya, salah satu bentuk hukuman denda berupa uang senilai Rp. 500.000. dalam Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2003, didasari dari nilai uang Rp. 100.000.000 itu. Berikutnya, hukuman pidana berbentuk hukuman penjara selama 20 tahun sebagai hukuman paling berat dalam KUHP, menjadi dasar bagi penyusun Qanun Aceh dalam menentukan hukuman pidana berbentuk penjara selama 200 bulan sebagai hukuman paling berat dalam pelaksanaan Syariat Islam. Kemudian, berdasar hukuman pidana itu maka hukuman penjara menjadi bentuk hukuman lainnya bagi pelanggar Qanun Aceh tersebut. Di samping itu, hukuman penjara dua bulan disetujui oleh para penyusun kebijakan ini sebagai hukuman terendah. Kemudian, penjelasan dalam Al-Quran bahwa hukuman cambuk sebagai salah satu bentuk dari hukuman pidana, membuat golongan-golongan politik Aceh menuntut agar hukuman cambuk dapat dimplementasikan. Oleh sebab itu, para perancang Qanun Aceh menetapkan hukuman cambuk sebagai salah satu bentuk hukuman dalam Qanun Aceh tersebut. Selanjutnya, hukuman cambuk sebanyak 100 kali sebagai hukuman terberat yang dijelaskan dalam Al-Quran, menjadi dasar untuk penetapan hukuman dan penentuan bagi hukuman paling ringan.90 Selain itu, persoalan yang berkaitan dengan khalwat, maisir dan khamar menjadi pusat perhatian dari berbagai golongan masyarakat Aceh pasca disahkannya UU tahun 1999. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa pelaku dari pelanggaran yang bersandar pada tiga masalah itu, ditangani secara langsung oleh golongan masyarakat. Kemudian, aturan untuk menyelesaikan setiap

90Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 69-70. 123 persoalan itu juga menjadi salah satu bagian yang dijelaskan dalam Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 1999 tersebut. Oleh sebab itu, kemunculan tiga qanun Provinsi NAD, mengenai khalwat, maisir dan khamar, memiliki hubungan dengan keseluruhan pernyataan di atas tersebut.91 Berikutnya, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan keenam di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001. Hal tersebut direalisasikan dengan mengesahkan Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. Ada beberapa hal penting dalam penjelasan qanun ini. Pada topik pertama, setiap individu yang beragama Islam atau suatu institusi yang dimiliki oleh seorang muslim yang mempunyai harta baik dalam bentuk barang tambang, uang, maupun dalam bentuk hasil pertanian, dengan kriteria tertentu berdasar Syariat Islam, harus memberikan sejumlah hartanya tersebut kepada Baitul Mal untuk dialokasikan kepada golongan-golongan yang berhak menerima sejumlah harta tersebu didefinisikan sebagai zakat. Pada topik kedua, Baitul Mal menjadi institusi resmi yang tidak hanya mengelola zakat tetapi juga seluruh harta kekayaan umat Islam baik berbentuk wakaf maupun lainnya. Pada topik ketiga, Mahkamah Syar’iyah akan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan dari qanun ini.92 Pada topik keempat, pihak kejaksaan akan turut serta dalam proses penyelesaian hukum mengenai pelaksanaan qanun ini di dalam Mahkamah Syar’iyah. Pada topik kelima, pengawasan terhadap kinerja Baitul Mal dilakukan oleh Dewan Syariah yang anggotanya disetujui oleh MPU dan dilantik oleh gubernur. Pada

91Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 66. 92Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. http://jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_7_2004.pdf (diakses 27 Februari 2020). 124 topik keenam, pihak kepolisian ikut melaksanakan isi dari qanun ini. Hal itu berkaitan dengan proses hukum terhadap pelanggaran dari qanun tersebut. Pada topik ketujuh, ada beberapa bentuk hukuman yang diberikan kepada pelanggar qanun ini. Pertama, bentuk hukuman cambuk dengan jumlah maksimal 4 (empat) kali diberikan kepada pelanggar yang berasal dari Baitul Mal. Kedua, bentuk hukuman cambuk dengan jumlah maksimal 3 (tiga) kali diberikan kepada pelanggar dari masyarakat. Ketiga, bentuk hukuman denda dengan jumlah maksimal 2 (dua) kali dari jumlah uang yang diselewengkan dikenakan kepada pelanggar dari pihak Baitul mal. Keempat, bentuk hukuman denda dengan jumlah maksimal 2 (dua) kali dari jumlah zakat, dikenakan kepada pelanggar dari masyarakat.93 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan dari qanun ini dibandingkan dengan qanun terkait lainnya yang pernah dibuat ialah kejaksaan dan Mahkamah Syar’iyah sebagai dua institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat ikut dilibatkan dalam pelaksanaan qanun ini. Selanjutnya, Gubernur dan DPRD NAD membuat kebijakan ketujuh di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Nomor 18 Tahun 2001. Hal tersebut direalisasikan dengan mengesahkan Qanun Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah NAD. Ada beberapa hal penting yang dijelaskan dalam qanun ini. Pada topik pertama, penyidikan mengenai pelanggaran Syariat Islam yang ditulis dalam setiap qanun yang disahkan oleh Gubernur dan DPRD NAD, dilakukan oleh kepolisian. Pada topik kedua, MPU akan memberikan nasehat kepada kepolisian dalam pelaksanaan setiap qanun mengenai Syariat Islam yang berlaku di NAD. Pada topik ketiga, Wilayatul Hisbah memiliki wewenang untuk bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam pelaksanaan

93Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.. http://jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_7_2004.pdf (diakses 27 Februari 2020). 125 setiap qanun yang berlaku di NAD. Pada topik keempat, Gubernur NAD akan melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian dalam pelaksanaan wewenang yang berkaitan dengan Syariat Islam. Pada topik kelima, APBN dan APBD NAD akan menanggung seluruh biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Syariat Islam. Pada topik keenam, unit khusus mengenai pelaksanaan Syariat Islam dapat dibentuk oleh pihak kepolisian. Pada topik ketujuh, PemProv NAD akan melakukan pembinaan khusus bagi setiap anggota kepolisian yang diberi wewenang dalam pelaksanaan Syariat Islam.94 Sementara itu, pembuatan qanun ini menjadi salah satu upaya dari Gubernur dan DPRD NAD untuk memperjelas dan merinci aturan yang dibuat Pemerintah Pusat di bidang Syariat Islam. Kemudian, salah satu yang menarik atau kebaruan dalam qanun ini dibandingkan dengan qanun terkait yang pernah dibuat sebelumnya ialah kepolisian sebagai salah satu institusi yang dikontrol oleh Pemerintah Pusat, dilibatkan oleh Gubernur dan DPRD NAD dalam melaksanakan qanun ini. Selain itu, tiga tabel di bawah ini merinci beberapa kebijakan yang berkaitan dengan Syariat Islam di Aceh.

94Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah NAD. http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2004.pdf (diakses 1 Maret 2020). 126

Tabel 6. Kebijakan tentang Syariat Islam Periode 1949-1973 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No.8/Des/WKPM.1949. Kedua, UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. Ketiga, Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. Respon Aceh Pertama, Peraturan Daerah Propinsi DI Aceh Nomor 1 Tahun 1962 tentang Syiar Agama Islam. Kedua, Peraturan Daerah Propinsi DI Aceh Nomor 6 Tahun 1966 tentang Larangan Membuat, memasukkan, Memperdagangkan, Menyimpan dan Menimbun Minuman keras. Ketiga, Peraturan Daerah DI Aceh Nomor 1 Tahun 1966 Tentang Pedoman Dasar Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi DI Aceh.

Berdasarkan penjelasan tabel 6 menunjukkan bahwa ada tiga kebijakan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat pada periode 1949-1973 sebagai dasar untuk mengatur Aceh di bidang Syariat Islam. Kemudian, ada tiga peraturan daerah yang dibuat Aceh sebagai respon dari kebijakan Pemerintah Pusat tersebut. Sementara itu, tiga kebijakan politik itu dibuat pada masa Presiden Soekarno.

127

Tabel 7. Kebijakan tentang Syariat Islam periode 1974-2000 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kedua, UU RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Ketiga, UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Respon Aceh Pertama, Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. Kedua, Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh

Ketiga, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) DI Aceh. Keempat, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Kelima, Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.

Berdasarkan penjelasan tabel 7 menunjukkan bahwa ada tiga kebijakan politik yang dibuat Pemerintah Pusat pada periode 1974- 2000 sebagai dasar untuk mengatur Aceh di bidang Syariat Islam. Kemudian, ada lima peraturan daerah yang dibuat Aceh sebagai respon dari kebijakan politik yang dibuat Pemerintah Pusat tersebut. Sementara itu, bersandar pada tabel itu dapat diketahui bahwa dasar untuk membuat peraturan daerah mengenai Syariat Islam di Aceh, tidak dibuat pada masa Presiden Soeharto. Selanjutnya, dasar untuk

128 membuat peraturan daerah mengenai Syariat Islam di Aceh, dibuat pada masa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Tabel 8. Kebijakan tentang Syariat Islam periode 2001-2005 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Respon Aceh Pertama, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam Kedua, Qanun Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Ketiga, Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya.

Keempat, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian). Kelima, Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Keenam, Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. Ketujuh, Qanun Nomor 11 Tahun 2004 Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah NAD.

Berdasarkan penjelasan tabel 8 menunjukkan bahwa ada satu kebijakan politik yang dibuat Pemerintah Pusat sebagai dasar untuk mengatur Aceh. Kemudian, ada tujuh peraturan daerah yang dibuat Aceh sebagai respon dari kebijakan politik yang dibuat Pemerintah Pusat tersebut. Sementara itu, bersandar pada tabel itu dapat diketahui bahwa dasar untuk membuat peraturan daerah di bidang Syariat Islam di Aceh, dibuat pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

129 Kemudian, ada beberapa penjelasan mengenai Syariat Islam yang dikemukakan dalam UU Tahun 2006 TPA. Pada penjelasan pertama, BAB XVII Mengenai Syariat Islam dan Pelaksanaannya. Ada beberapa topik penting dalam bab itu. Pada topik pertama, isinya menekankan mengenai Aqidah, Syar’iyah dan Akhlak sebagai fokus utama dari implementasi Syariat Islam di Aceh. Pada topik kedua, Qanun Aceh akan merinci aturan mengenai ibadah, ahwal al syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadda’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Pada topik ketiga, pelaksanaan Syariat Islam dilakukan oleh Pemerintahan Aceh. Pada topik keempat, anggaran untuk pelaksanaan Syariat Islam akan diperoleh dari dana yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Aceh. Pada topik kelima, seluruh penduduk Aceh yang beragama Islam harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh yang berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam. Di samping itu, seluruh penduduk Aceh yang tidak beragama Islam harus menghormati pelaksanaan Syariat Islam.95 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan yang dijelaskan dari BAB XVII dalam UU TPA Tahun 2006 ini dibandingkan dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah pedoman mengenai pembuatan qanun yang berkaitan dengan jinayah (hukum pidana) diterangkan secara lebih komprehensif. Pada penjelasan kedua, BAB XVIII Mengenai Mahkamah Syar’iyah. Ada beberapa topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, seluruh penduduk Aceh yang beragama Islam akan mendapat keputusan hukum dalam suatu perkara baik di bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), bidang muamalah (hukum perdata) dan bidang jinayah (hukum pidana) oleh Mahkamah

95Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 130 Syar’iyah. Pada topik kedua, Qanun Aceh akan merinci penjelasan mengenai hukum keluarga, hukum perdata dan hukum pidana itu dengan berdasar pada Syariat Islam. Pada topik ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku kepada setiap penduduk Aceh yang melakukan perbuatan dengan ancaman hukuman pidana di provinsi lain. Pada topik keempat, hukum jinayah akan berlaku untuk setiap penduduk Aceh yang tidak beragama Islam, apabila perbuatan dengan ancaman hukuman pidana yang ia lakukan, tidak diatur atau dijelaskan bentuk hukumannya baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun dalam ketentuan hukum lainnya yang berlaku secara nasional. Pada topik kelima, ketentuan yang ada dalam hukum jinayah dapat dipilih oleh setiap penduduk Aceh yang tidak beragama Islam, apabila ia melakukan perbuatan dengan ancaman hukuman pidana, bersama dengan penduduk Aceh lainnya yang beragama Islam.96 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan dari BAB XVIII dari UU TPA tahun 2006 ini dibandingkan dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah pemberlakuan hukum jinayah (pidana) baik kepada setiap individu yang beragama Islam maupun setiap individu yang beragama lainnya. Pada penjelasan ketiga, BAB XIX Mengenai Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Ada beberapa topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, Qanun Aceh akan mengatur rincian tentang kepengurusan dari MPU. Pada topik kedua, MPU akan diisi kepengurusannya dari perwakilan dari golongan-golongan ulama baik pria maupun perempuan. Pada topik ketiga, fatwa mengenai jawaban tentang suatu persoalan keagamaan di masyarakat atau suatu rekomendasi di bidang pemerintahan secara umum dapat dibuat oleh MPU. Pada penjelasan keempat, BAB V Mengenai

96Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 131 Urusan Pemerintahan. Ada beberapa topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, penambahan muatan lokal di bidang pendidikan mengenai Syariat Islam akan difasilitasi oleh Pemerintah Aceh. Pada topik kedua, pelaksanaan aturan tentang adat Aceh yang bersandar pada Syariat Islam dilakukan oleh Pemerintah Aceh.97 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan BAB V dari UU TPA Tahun 2006 dibandingkan dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah penjelasan mengenai Syariat Islam akan menjadi salah satu bagian dari kurikulum pendidikan di Aceh. Pada penjelasan keempat, BAB XXXV Mengenai Qanun. Pada topik pertama, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Satuan Polisi Pamong Praja (SatPol PP) sebagai institusi dari pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota, dapat diangkat menjadi penyidik untuk menangani pelanggar dari setiap qanun yang telah disahkan. Pada topik kedua, Satpol PP dapat membentuk unit Wilayatul Hisbah (WH) sebagai institusi khusus yang menegakan atau melaksanakan setiap qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam. Pada topik ketiga, setiap qanun yang disahkan harus diinformasikan kepada masyarakat oleh Pemerintah Aceh. Pada topik keempat, Pemerintah Pusat mengizinkan pengaturan khusus mengenai Qanun Jinayah yang berlaku di Aceh. Pada topik kelima, bentuk hukuman denda sejumlah uang paling maksimal dalam qanun Aceh lainnya ialah Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Di samping itu, bentuk hukuman kurungan penjara paling maksimal dalam qanun Aceh lainnya ialah 6 (enam) bulan. Pada topik keenam, penyebarluasan informasi mengenai rancangan qanun kepada masyarakat dapat dilakukan oleh Pemerintahan Aceh. Pada topik ketujuh, DPRA dan Gubernur Aceh dapat menjadi pengusul dari rancangan suatu qanun. Pada topik kedelapan, asas keadilan

97Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 132 harus selalu ada dalam isi setiap qanun yang disahkan di Aceh.98 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan BAB XXXV dari UU TPA Tahun 2006 dibandingkan dengan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah Qanun Jinayah akan disusun secara istimewa atau berbeda dengan qanun lainnya yang berkaitan dengan syariat Islam. Pada topik kesembilan, peraturan perundang-undangan akan menjadi pengarah bagi setiap qanun yang dibuat dan disahkan di Aceh. Pada topik kesepuluh, hanya Mahkamah Agung yang dapat membatalkan setiap qanun Aceh yang berkaitan dengan Syariat Islam melalui uji materi. Pada topik kesebelas, qanun Aceh lainnya yang bertentangan dengan kepentingan umum dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Pada topik keduabelas, peraturan perundang- undangan menjadi dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan pengawasan bagi setiap qanun Aceh lainnya. Pada topik ketigabelas, setiap qanun Aceh yang telah 30 (tigapuluh) hari disetujui oleh Gubernur dan DPRA, namun belum disahkan, maka qanun itu akan menjadi sah dan berlaku setelah ditempatkan di lembaran daerah Aceh. Pada topik keempatbelas, persetujuan DPRA mengenai suatu qanun dapat disahkan secara langsung oleh gubernur melalui lembaran daerah Aceh.99 Pada penjelasan kelima, BAB XXXI Mengenai Kebudayaan. Salah satu isinya menegaskan bahwa kebudayaan Aceh yang berlandaskan pada nilai Islam harus dijaga dan dikembangkan oleh Pemerintah Aceh. Pada penjelasan keenam, BAB XXX Mengenai Pendidikan. Ada beberapa topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, kurikulum pada pendidikan yang dikelola oleh Pemerintahan Aceh dan swasta (termasuk dayah) dibuat dan

98Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 99Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 133 ditetapkan berdasar pada standar nasional oleh Pemerintah Aceh. Pada topik kedua, pendidikan yang islami dapat diperoleh oleh setiap orang Aceh dengan mengikuti aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Pada penjelasan ketujuh, BAB XXVII Mengenai Kejaksaan. Ada beberapa topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, pemahaman mengenai Syariat Islam menjadi salah satu faktor penting untuk penempatan setiap jaksa di Aceh. Pada topik kedua, jangka waktu 14 hari diberikan oleh Jaksa Agung kepada Gubernur Aceh untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Aceh. Pada topik ketiga, pelaksanaan Syariat Islam menjadi salah satu tugas dari kejaksaan yang bertugas di Aceh. Pada penjelasan kedelapan, BAB XXVI Mengenai Kepolisian. Salah satu isi yang penting dalam bab ini ialah pemahaman mengenai Syariat Islam menjadi salah satu faktor penting dalam penugasan setiap anggota kepolisian di Aceh.100 Sementara itu, kebaruan BAB XXVI dan XXVII dari UU TPA Tahun 2006 dibandingkan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah pengetahuan setiap polisi dan setiap jaksa tentang Syariat Islam menjadi dasar pertimbangan penempatannya di Aceh. Pada penjelasan kesembilan, topik mengenai Zakat. Ada beberapa topik penting dari bab ini. Pada topik pertama, pajak penghasilan yang harus dibayar oleh seseorang, dapat dikurangi dengan zakat. Pada topik kedua, zakat dan hal lainnya yang terkait dikelola oleh Baitul Mal. Pada penjelasan kesepuluh, BAB XXIV Mengenai Keuangan. Salah satu isi yang penting dari bab ini ialah selama 20 tahun ke depan, Aceh akan menerima dana otonomi khusus, yang difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur. Pada penjelasan kesepuluh, BAB XX Mengenai Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang. Salah satu isi yang

100Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 134 penting dari bab ini ialah nilai-nilai Islam menjadi salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan.101 Sementara itu, salah satu yang menarik atau kebaruan BAB XXIV dari UU TPA Tahun 2006 dibandingkan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah Pemerintah Pusat akan memberikan dana otonomi khusus kepada Aceh dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada penjelasan kesebelas, BAB XIII Mengenai Lembaga Adat. Ada beberapa topik penting dari bab ini. Pada topik pertama, qanun Aceh akan mengatur lembaga adat. Pada topik kedua, Wali Nanggroe akan menjaga dan mengembangkan adat Aceh dengan bersandar pada nilai-nilai Syariat Islam. Pada penjelasan keduabelas, BAB XI Mengenai Partai Politik Lokal. Ada dua topik penting dalam bab ini. Pada topik pertama, kekhususan dan keistimewaan Aceh dapat menjadi salah satu cita-cita yang diperjuangkan oleh Partai Politik Lokal. Pada topik kedua, aspek khusus agama dan filosofi dari masyarakat Aceh dapat dilekatkan pada partai politik lokal. Pada penjelasan ketigabelas, BAB VI Mengenai Asas Serta Bentuk Dan Susunan Penyelenggara Pemerintahan. Salah satu isi dari bab ini yang penting ialah asas ke-Islaman menjadi salah satu asas dari pelaksanaan Pemerintahan Aceh. Pada penjelasan keempatbelas, BAB V Mengenai Urusan Pemerintahan. Salah satu isi dari bab ini yang penting ialah implementasi mengenai Syariat Islam menjadi salah satu urusan wajib di bidang keistimewaan yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Aceh.102 Sementara itu, salah satu kebaruan dari BAB XIII dari UU TPA Tahun 2006 dibandingkan UU RI Nomor 18 Tahun 2001 ialah Syariat Islam akan dilanjutkan penguatan pelaksanaannya oleh Wali Nanggroe.

101Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 102Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011- %202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). 135

136 BAB V Islam, GAM dan Dampak dari Kebijakan Pemerintah Pusat

A. Pengaruh Islam di panggung politik Aceh pasca MoU Helsinki a. Visi dan Misi dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2006 Pasangan pertama, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memiliki visi untuk menyelesaikan permasalahan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Kemudian, misi untuk melaksanakan tiga hal tersebut dilakukan dengan cara membuat kebijakan dalam pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi pelaksanaannya. Sementara itu, pasangan ini tidak memberikan penjelasan khusus mengenai bentuk dari pelaksanaan Syariat Islam dengan berdasar UU TPA tahun 2006.103 Kemudian, pengesahan UU TPA tahun 2006 akan memudahkan realisasi dari visi pasangan ini mengenai kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Hal ini berkaitan dengan anggaran dan struktur politik yang dimiliki Aceh lebih baik dibandingkan pada masa sebelumnya. Namun, persoalan korupsi yang masih sangat kuat di Aceh akan menjadi penghambat dalam merealisasikan visi dan misi pasangan ini. Oleh sebab itu, pemerintahan yang bebas dari korupsi sangat ditekankan oleh pasangan ini untuk mencapai keberhasilan dari visi dan misinya. Di samping itu, upaya untuk menjaga perdamaian Aceh dengan merealisasikan MoU Helsinki dan meningkatkan pendapatan seluruh

103Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 137 masyarakat yang tinggal di desa juga sangat ditekankan dalam visi dan misi dari pasangan ini.104 Pasangan kedua, Azwar Abubakar dan M. Nasir Djamil. Pasangan ini memiliki visi untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya, misi untuk melaksanakan tiga hal tersebut dilakukan melalui pembuatan kebijakan publik yang melibatkan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di Aceh. Sementara itu, pasangan ini tidak memberikan penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan bersandar pada UU TPA tahun 2006.105 Selanjutnya, pasangan ini menekankan bahwa kehidupan para nelayan dan para petani yang masih tergolong miskin perlu ditingkatkan pendapatannya dengan membuka akses keuangan baik berupa bantuan maupun pinjaman yang memungkinkan mereka untuk memiliki modal yang lebih baik. Hal ini akan membuat mereka lebih baik pendapatannya disebabkan uang yang mereka gunakan untuk usaha mereka lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya.106 Pasangan ketiga, Ghazali Abbas Adan dan Shalahuddin Alfata. Pasangan ini memiliki visi mengenai pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan. Kemudian, misi pasangan ini ialah membuat kebijakan public yang fokus pada tiga hal utama itu. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006 tidak

104Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur. (diakses 10 Februari 2020). 105Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 106Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur. (diakses 10 Februari 2020). 138 dikemukakan oleh pasangan tersebut.107 Kemudian, pasangan ini menekankan pada pembentukan pemerintahan yang jujur dengan menyelesaikan masalah kekerasan dan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang dilakukan oleh suatu golongan politik kepada golongan politik lainnya. Berikutnya, keberhasilan penuntasan masalah tersebut akan membawa perubahan yang besar dalam tata kelola pemerintahan sehingga keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah NAD dan DPRD NAD tentang kesejahteraan dan pendidikan akan dicapai dengan mudah.108 Pasangan keempat, Iskandar Husein dan M. Saleh Manaf. Pasangan ini memiliki visi mengenai kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari pelaksanaan Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006 tidak disampaikan oleh pasangan ini.109 Sementara itu, ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, program mengenai peningkatan pendapatan setiap warga Aceh akan dirancang dan dibuat dari tingkat pedesaan hingga tingkat provinsi. Kemudian, potensi ekonomi yang ada di desa baik komoditas pertanian maupun hal lainnya, akan dikembangkan jaringan pemasaran produk-produk tersebut ke kota. Kedua, perluasan sarana kesehatan akan dirancang dan dibuat dari tingkat pedesaan hingga tingkat provinsi. Di samping itu, perbaikan institusi kesehatan juga akan dirancang dan dibuat dari tingkat desa hingga provinsi. Ketiga, program mengenai perluasan akses pendidikan akan dirancang dan dibuat dari tingkat

107Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 108Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur. (diakses 10 Februari 2020). 109Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 139 desa hingga tingkat provinsi. Di samping itu, perbaikan institusi pendidikan akan dirancang dan dibuat dari tingkat desa hingga tingkat provinsi.110 Pasangan kelima, Tamlicha Ali dan Harmen Nuriqmar. Pasangan ini memiliki visi mengenai kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006, tidak dikemukakan oleh pasangan tersebut.111 Kemudian, ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan akan dilakukan dari tingkat desa hingga tingkat provinsi. Di samping itu, layanan kesehatan akan diperbaiki dan ditambah dari tingkat desa hingga tingkat provinsi. Kedua, pengembangan sumber daya manusia di bidang pendidikan akan dilakukan di setiap lembaga pendidikan. Di samping itu, sarana pendidikan akan diperbaiki dan ditambah dari tingkat desa hingga tingkat provinsi. Ketiga, pendapatan setiap warga akan ditingkatkan melalui pengembangan usaha yang dikerjakannya baik di bidang pertanian maupun di bidang lainnya di tingkat desa hingga di tingkat provinsi.112 Pasangan keenam, A. Malik Raden dan Sayed Fuad Zakaria. Pasangan ini memiliki visi mengenai pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun

110Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur. (diakses 10 Februari 2020). 111Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 112Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur. (diakses 10 Februari 2020). 140 2006 tidak dikemukakan oleh pasangan tersebut.113 Sementara itu, ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, pelatihan dan penambahan tenaga pengajar di setiap lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di samping itu, penambahan institusi pendidikan baru dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi di seluruh wilayah NAD. Kedua, bantuan ekonomi akan diberikan kepada setiap penduduk yang tergolong miskin. Di samping itu, perluasan lapangan kerja baik di sektor pangan maupun di sektor lainnya, akan dibuat untuk menambah penghasilan setiap penduduk. Ketiga, pelatihan keahlian dan penambahan tenaga medis baik dokter, perawat maupun lainnya yang terkait di setiap lembaga kesehatan. Di samping itu, perbaikan dan penambahan fasilitas kesehatan baru di tingkat desa hingga di tingkat provinsi.114 Pasangan ketujuh, Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah. Pasangan ini memiliki visi mengenai kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006, tidak disampaikan oleh pasangan tersebut.115 Sementara itu, ada beberapa misi dari calon ini. Pertama, kualitas pelayanan kesehatan akan ditingkatkan melalui pembinaan tenaga medis yang terstruktur dan berjenjang yang dilakukan di setiap lembaga kesehatan. Berikutnya, infrastruktur fisik dari lembaga kesehatan akan direnovasi dan pembangunan lembaga kesehatan baru di wilayah yang belum memilikinya. Kedua, kualitas tenaga pengajar akan

113Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 114Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur (diakses 10 Februari 2020). 115Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 141 dikembangkan melalui pelatihan yang terstruktur dan berjenjang di setiap lembaga pendidikan. Kemudian, renovasi dari setiap lembaga pendidikan akan dilakukan dan infrastruktur fisik baru dari lembaga pendidikan akan dibangun di daerah yang belum memilikinya. Ketiga, penguatan keahlian melalui pelatihan akan dilakukan terhadap seluruh tenaga kerja baik di bidang pertanian, jasa maupun lainnya. Di samping itu, pengentasan kemiskinan akan dilakukan melalui bantuan keuangan.116 Pasangan kedelapan, Muhammad Djali Yusuf dan R.A. Syauqas Rahmatillah. Pasangan ini memiliki visi mengenai kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari pelaksanaan Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006, tidak dikemukakan oleh pasangan tersebut.117 Sementara itu, ada beberapa misi dari calon ini. Pertama, golongan dari masyarakat NAD yang dikategorikan miskin akan mendapat keterampilan khusus dan bantuan sosial, sehingga mereka dapat bekerja pada institusi formal atau membuka usaha secara mandiri. Kemudian, pendapatan ekonomi setiap warga Aceh akan ditingkatkan melalui pelatihan di setiap bidang kegiatan pekerjaaannya dan pembukaan lapangan kerja baru. Kedua, pengembangan sumber daya manusia di bidang medis baik dokter atau lainnya akan dilakukan melalui pemberian beasiswa. Berikutnya, institusi kesehatan yang ada akan diperbaiki sesuai dengan standar nasional dan institusi kesehatan baru akan didirikan secara proporsional. Ketiga, kualitas tenaga pengajar akan dikembangkan melalui pemberian beasiswa di setiap jenjang lembaga pendidikan. Berikutnya, tenaga pengajar akan ditugaskan

116Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur (diakses 10 Februari 2020). 117Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye-pilkada-mulai- digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). 142 di seluruh wilayah secara proporsional. Di samping itu, lembaga pendidikan yang ada dan lembaga pendidikan baru yang akan didirikan di wilayah yang belum memilikinya akan dirancang dan dibuat mengikuti standar nasional.118 Selanjutnya, setiap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NAD itu berusaha memengaruhi seluruh pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) NAD Tahun 2006. Hasil usaha mereka dapat diketahui melalui perolehan suara yang didapat pada pilkada tersebut. Berikut ini penjelasan lengkapnya. Pasangan pertama, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, memperoleh 768.745 suara. Pasangan kedua, Azwar Abubakar dan M. Nasir Djamil, memperoleh 213.566 suara. Pasangan ketiga, Ghazali Abbas Adan dan Shalahuddin Alfata, memperoleh 156.978 suara. Pasangan keempat, Iskandar Husein dan M. Saleh Manaf, memperoleh 111.553 suara. Pasangan kelima, Tamlicha Ali dan Harmen Nuriqmar, memperoleh 80.327 suara. Pasangan keenam, A. Malik Raden dan Sayed Fuad Zakaria, memperoleh 281.174 suara. Pasangan ketujuh, Ahmad Humam Hamid dan Hasbi Abdullah, memperoleh 334.484 suara. Pasangan kedelapan, Muhammad Djali Yusuf dan R.A. Syauqas Rahmatillah, memperoleh 65.543 suara. Berdasarkan data itu menunjukan bahwa pasangan pertama, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, memperoleh suara yang lebih banyak dibandingkan perolehan sura pasangan lainnya, sehingga pasangan ini terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NAD periode 2007-2012.119

118Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon-gubernur (diakses 10 Februari 2020). 119International Crisis Group, ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh,‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia-how-gam-won-in- aceh.pdf (diakses 20 April 2019). 143 B. Islam di panggung politik Aceh periode 2007-2012 Syariat Islam menjadi salah satu kebijakan yang dibuat Pemerintah Pusat untuk Provinsi Aceh melalui UU TPA tahun 2006. Oleh sebab itu, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan pertama mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU TPA tahun 2006 tersebut. Hal ini diimplementasikan melalui Qanun Aceh Nomor 5 tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi NAD. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, pembentukan struktur Dinas Syariat Islam. Kedua, pembentukan struktur Wilayatul Hisbah. Ketiga, pembentukan struktur MPU. Sementara itu, struktur tiga institusi itu dibuat baru sebagai pelaksana dari keistimewaan NAD dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA.120 Kemudian, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan kedua mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA. Hal itu direalisasikan dengan membuat Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, dana zakat Aceh yang dikelola pada masa sebelum pembentukan Baitul Mal dengan berdasar qanun ini, belum dilakukan secara professional. Kedua, dana zakat Aceh akan dikelola dengan menggunakan standar nasional baik aspek keuangan, aspek pembukuan dan lainnya. Ketiga, hukuman denda paling maksimal Rp. 3.000.000. (tiga juta rupiah) kepada pelanggar qanun ini di bidang administrasi dan ditambah dengan mengganti kerugian senilai dari uang yang disalahgunakan. Keempat, hukuman maksimal 6 (enam) bulan penjara bagi pelanggar qanun ini. Kelima,

120Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah Provinsi NAD, https://ppid.acehprov.go.id/v2/dip/view/675 (diakses 28 Maret 2019). 144 hukuman maksimal 3 (tiga) kali cambuk diberikan kepada pelanggar qanun ini.121 Selain itu, salah satu pasal dalam UU tahun 2006 TPA, menjelaskan mengenai zakat sebagai pengurang dari pembayaran pajak terhutang. Kemudian, Direktur Jenderal (DirJen) Pajak sebagai wakil dari Pemerintah Pusat disurati oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2007, untuk memberikan penjelasan yang rinci mengenai hal tersebut. Namun, jawaban surat dari DirJen Pajak menjelaskan bahwa tidak dapat memenuhi permintaan Pemerintah Aceh tentang hal itu, disebabkan UUD 1945 dan UU lainnya yang mengatur tentang pajak, mengharuskan suatu UU khusus untuk menjelaskan mengenai pajak yang ditanya oleh Pemerintah Aceh tersebut. Oleh sebab itu, zakat yang dibahas dalam Qanun Aceh, belum memiliki aturan yang rinci dalam aspek tertentu, yang berkaitan erat dengan UU tahun 2006 TPA itu.122 Selanjutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan ketiga mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini diimplementasikan dengan membuat Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, nilai-nilai dari Syariat Islam menjadi pedoman bagi adat Aceh. Kedua, pengawasan adat dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Ketiga, permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat yang tidak berdasar pada aturan hukum yang berlaku secara nasional, dapat diselesaikan melalui adat istiadat yang berlaku di Aceh. keempat, hukuman yang berdasar pada adat dari suatu wilayah menjadi salah satu bentuk hukuman dari pelanggar dari qanun ini. Kelima, bahasa-bahasa yang ada di

121Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-10-Tahun-2007-Tentang-Baitul-Mal.pdf (diakses 28 Maret 2019). 122Al Yasa Abubakar, Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), 92-93. 145 Aceh akan dibina dan menjadi salah satu bentuk pelestarian adat istiadat oleh Pemerintah Aceh. Keenam, Adat istiadat Aceh harus dipahami oleh setiap pejabat publik yang bekerja di daerah ini. Ketujuh, pengembangan adat istiadat dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Kedelapan, lingkungan pendidikan dan lingkungan keluarga menjadi sarana penguatan adat.123 Kemudian, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan keempat mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini direalisasikan dengan membuat Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, tata cara pengaturan adat dilakukan oleh Wali Nanggroe. Kedua, bantuan keuangan untuk pelaksanaan kegiatan adat diberikan oleh Pemerintah Aceh. Ketiga, Wali Nanggroe akan mengawasi kinerja Majelis Adat Aceh sebagai salah satu lembaga Pembina lembaga adat. Keempat, penyelesaian masalah sosial dapat melibatkan lembaga adat. Kelima, kepengurusan lembaga adat di tingkat desa hingga di tingkat kecamatan akan bekerja sama dengan institusi pemerintahan Aceh di bidang pertanian, kelautan dan lainnya, untuk melestarikan dan mengembangkan adat Aceh. Keenam, pelaksanaan Syariat Islam di tingkat rukun tetangga dikoordinasi oleh imuem meunasah. Ketujuh, pelaksanaan Syariat Islam di tingkat kecamatan dikoordinasi oleh imuem chik.124 Berikutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan kelima mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA.

123Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/qanun_aceh_no_9_tahun_2008.PDF (diakses 28 Maret 2019). 124Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/qanun_aceh_no_10_tahun_2008.PDF (diakses 28 Maret 2019). 146 Hal itu dilaksanakan melalui Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, pengawasan mengenai setiap kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Aceh dan DPRA dilakukan oleh MPU. Kedua, setiap anggota MPU akan diberikan gaji yang dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya oleh Pemerintah Aceh. Ketiga, MPU akan dilibatkan dalam setiap acara resmi yang dibuat oleh Pemerintah Aceh. Keempat, kebijakan mengenai Syariat Islam yang dibuat oleh Gubernur dan DPRA akan melibatkan MPU sebagai pemberi pertimbangan. Kelima, pendidikan untuk memunculkan ulama akan dilakukan oleh MPU. Keenam, pengembangan pemahaman mengenai Syariat Islam baik melalui penerbitan buku maupun hal lainnya yang terkait dilakukan oleh MPU. Ketujuh, dana yang dibutuhkan MPU dalam melaksanakan kegiatannya diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.125 Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut menunjukan bahwa ada lima qanun di bidang Syariat Islam yang dibuat pada periode ini. Sementara itu, Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh membuat lima kebijakan di bidang Syariat Islam itu disebabkan mengikuti pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat melalui UU Tahun 2006 TPA. Hal ini dapat diketahui melalui visi dan misi dari Irwandi Yusuf saat maju sebagai calon gubernur, yang tidak memiliki agenda khusus untuk membuat lima kebijakan tersebut.

125Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-2-Tahun-2009-Tentang- Majelis-Permusyawaratan-Ulama.pdf (diakses 28 Maret 2019). 147 a. Ideologi dan Partai Politik Lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009 1. Partai Aceh (PA) Perjuangan untuk memajukan bangsa, agama dan negara menjadi salah satu tujuan dari pembentukan partai politik ini. Kemudian, ideologi dari partai ini ialah Islam, Pancasila, UUD 1945 dan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Sementara itu, salah satu dampak atau pengaruh dari pengaturan partai politik lokal yang dibuat dalam UU tahun 2006 TPA terhadap PA ialah penggunaan Qanun Meukuta AlamAl-Asyi itu. Qanun Meukuta tersebut menjadi identitas khusus dari partai ini dengan berdasar pada aturan-aturan yang ada pada sejarah masa lalu Aceh. Selanjutnya, usaha untuk memperkuat kehidupan spiritual yang bersandar pada penguatan ekonomi juga menjadi tujuannya. Di samping itu, isi dari MoU Helsinki yang harus diimplementasikan juga menjadi perjuangannya.126 Sementara itu, Al-Qur’an, Al Hadis, Ijma’ Ulama dan Qias menjadi pedoman dari Qanun Meukuta Alam Al-Asyi atau Undang- Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. Selanjutnya, ada empat kekuasaan dalam Qanun itu, yakni: kekuasaan adat (eksekutif), kekuasaan kanun (legislatif), kekuasaan reusam (hukum darurat), dan kekuasaan hukum (yudikatif). Sementara itu, Qanun itu menjelaskan bahwa Raja dan Ulama tidak dapat dipisahkan dari empat kekuasaan tersebut disebabkan bila salah satunya tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dalam pemerintahan akan memunculkan kebijakan yang tidak efektif.127

126Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2007). 127A. Hasjimi and others. 50 Tahun Aceh Membangun (: Percetakan , 1995), 22-23. 148 Selain itu, Qanun Meukuta Alam Al-Asyi juga menjelaskan mengenai hal-hal pokok yang dibutuhkan oleh Kerajaan Aceh. Pertama, Rukun Kerajaan, yaitu: Ilmu Pengetahuan bagi pemimpin dalam melaksanakan tugas, Bahasa Resmi Kerajaan, Undang- Undang Kerajaan dan Keadilan. Kedua, Negara Syura, yaitu: pembentukan institusi-institusi perwakilan rakyat dalam Kerajaan Aceh agar pengambilan keputusan dalam Kerajaan dapat dilakukan dengan musyawarah. Hal tersebut dikaitkan dengan penjabaran dari dua ayat Al-Qur’an, sebagaimana yang ada dalam Surah Asy Syura dan Ali Imran. Ketiga, Lembaga-Lembaga Kerajaan, yaitu: penyelenggara dari perumusan, pembuatan hingga realisasi dari kebijakan pemerintahan yang terdiri dari 12 lembaga. Keempat, Struktur Kerajaan, yaitu: 5 susunan vertikal kekuasaan dalam pemerintahan, yang terdiri dari Kerajaan, Sagou atau gabungan dari sejumlah nanggrou, Nanggrou atau kecamatan, Mukim atau gabungan dari gampong-gampong dan gampong atau kelurahan. Kelima, Negara Hukum, yaitu: seluruh aturan yang dibuat dalam Kerajaan Aceh harus berdasarkan pada Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ Ulama dan Qias.128 Selain itu, partai politik ini tidak memiliki model kebijakan baru mengenai pelaksanaan Syariat Islam. Kemudian, PA menekankan mengenai asal usulnya yang berasal dari GAM untuk memperoleh dukungan dari masyarakat Aceh. Selanjutnya, seluruh keinginan dari GAM yang ditulis di MoU Helsinki juga dikemukakan kepada masyarakat bahwa partai politik ini mempunyai sumbangan yang nyata untuk perdamaian dan kesejahteraan masyarakat daerah ini. Berdasar pada asal usulnya dan

128A. Hasjimi and others. 50 Tahun Aceh Membangun (Medan: Percetakan Bali, 1995), 24-33. 149 MoU tersebut, dukungan yang besar dari golongan-golongan politik masyarakat Aceh akan diraih oleh partai politik ini.129 Sementara itu, penerapan Syariat Islam di Aceh, sudah mengikuti peraturan-peraturan yang ditulis dalam UU tahun 2006 TPA. Oleh sebab itu, UU Tahun 2006 TPA tersebut harus diikuti oleh PA sebagai partai politik yang memiliki wakil baik di lembaga legislative maupun di lembaga eksekutif. PA tidak memiliki rancangan kebijakan public mengenai Syariat Islam di luar peraturan-peraturan dalam UU TPA. Namun, PA ikut memberikan kontribusi untuk memperkuat penerapan Syariat Islam dengan membentuk Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA). Organisasi ini dibentuk pada tahun 2006, sebagai organisasi untuk golongan ulama yang memberikan dukungan kepada GAM pada masa konflik dan PA pada masa setelah MoU. Kemudian, PA berusaha memperjuangkan agar MUNA ikut terlibat memberikan pendapat dalam setiap pembuatan kebijakan publik yang dibuat oleh Gubernur dan DPRA mengenai Syariat Islam. Selain itu, kebijakan di bidang Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh diharapkan PA dapat sesuai dengan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi.130 Sementara itu, MoU Helsinki dijadikan sebagai dasar oleh PA untuk membentuk visinya. Isi dari visinya ialah membangun kesadaran golongan dari masyarakat Aceh yang sebelumnya tidak aktif dalam berpolitik baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional menjadi aktif dalam politik di dua tingkat tersebut. Kemudian, ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia baik mengenai partai politik maupun hal

129Hal ini dikemukakan Adnan Beuransyah, jurubicara Partai Aceh,lihat Heyder Affan, Persaingan partai politik di Aceh, BBC, 18 Maret, 2009., http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/printable/090318_pa rtai7.shtml (diakses 9 Februari 2020). 130Wawancara dengan Furqan Ibrahim, sebagai salah satu pengurus PA, pada 8 September 2017 di Aceh. 150 lainnya, juga harus dipatuhi oleh golongan masyarakat Aceh yang sebelumnya tidak aktif berpolitik tersebut.131 Hal ini memberi indikasi bahwa golongan politik baru muncul melalui kesepakatan perdamaian. 2. Partai Rakyat Aceh (PRA) Visi PRA ialah memperkuat demokrasi, meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui pendidikan dan membantu masyarakat dalam pengembangan ekonominya. Selanjutnya, misi dari PRA ialah memperluas partisipasi langsung masyarakat dalam sistem politik, mempermudah akses pendidikan ke seluruh masyarakat baik dengan jalur formal maupun informal dan sistem ekonomi nasional yang bersandar pada kerakyatan menjadi fondasi utama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, rakyat harus diberikan pengetahuan tentang kebutuhan dasarnya, yang terdiri dari pangan, sandang dan papan. Hal ini menjadi salah satu ide yang dikemukakan PRA dalam pengembangan organisasi dan kampanyenya.132 Kemudian, ideologi partai ini ialah Sosialisme.133 Sementara itu, pengaturan mengenai partai politik lokal dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA, yang mengizinkan

131Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2007). 132Partai Rakyat Aceh (PRA), https://news.detik.com/parpol/d- 1059311/partai-rakyat-aceh-38, (diakses 3 Januari 2020). 133Cameron Noble and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh (Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009): 113 dan 191, http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259763959/pdf/556 030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.pdf (diakses 8 April 2019). Lihat juga, Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering In Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 151 partai politik lokal menggunakan identitas khusus, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak digunakan oleh partai politik ini. Selain itu, partai politik ini tidak memiliki kebijakan baru mengenai model implementasi Syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh. Partai ini tidak melihat adanya masalah dalam penerapan Syariat Islam. Namun, masalah yang dipahami partai politik ini terhadap Aceh ialah kemiskinan yang dialami warga Aceh. Oleh sebab itu, PRA berkonsentrasi untuk menyelesaikan masalah kemiskinan tersebut dengan cara berupaya menempatkan wakilnya di lembaga legislatif Aceh, sehingga partai ini dapat ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan publik mengenai hal itu.134 3. Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) Visi dari PAAS ialah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengembangkan demokrasi. Selanjutnya, misi dari PAAS ialah mendidik para calon pemimpin yang didukungnya untuk mengisi jabatan publik dengan bersandar pada kejujuran dan amanah. Selain itu, penolakan terhadap praktik politik uang menjadi ide yang menonjol dalam kampanye partai ini. Di samping itu, Ghazali Abas Adan sebagai mantan anggota MPR RI ikut terlibat sebagai salah satu penggagas dari ide-ide yang dikemukakan partai ini. Kemudian, ideologi partai ini ialah Islam.135 Sementara itu, izin mengenai penggunaan identitas khusus untuk partai politik lokal dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak digunakan oleh partai politik ini. Selain itu, partai politik ini memiliki kebijakan model baru dalam implementasi Syariat Islam. kebijakan ini muncul disebabkan

134Heyder Affan, Persaingan partai politik di Aceh, BBC, 18 Maret, 2009. http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/printable/090318_pa rtai7.shtml (diakses 9 Februari 2020). 135Partai Aceh Aman Sejahtera, https://news.detik.com/parpol/1059316/partai-aman-aceh-sejahtera-35. (diakses 3 januari 2020). 152 Syariat Islam di Aceh belum fokus pada penyelesaian masalah korupsi. Oleh sebab itu, partai ini berjuang untuk menerapkan hukuman yang berat terhadap para pelaku korupsi sebagai salah satu bentuk hukuman yang sesuai dengan Syariat Islam. Kemudian, salah satu cara untuk menghilangkan korupsi ialah menegakkan hukum negara dan ditambah dengan hukuman yang berdasar pada Syariat Islam.136 Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syariat Islam yang berlaku di Aceh, belum sesuai dengan harapan partai politik ini. 4. Partai Bersatu Aceh (PBA) Visi partai ini ialah peningkatan kesejahteraan dan penguatan demokrasi. Sementara itu, misi partai ini ialah memajukan partisipasi politik dengan melibatkan golongan-golongan masyarakat dalam pengambilan keputusan di bidang politik, kemudian, merancang dan memperluas akses pendidikan dan mengembangkan ekonomi masyarakat berdasar pada sistem ekonomi kerakyatan.137 Selanjutnya, ideologi partai ini ialah Islam.138 Sementara itu, PBA tidak menggunakan identitas khusus yang ditulis dalam UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, partai politik ini memiliki kebijakan publik model baru dalam pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Kebijakan publik model baru itu ialah Pemerintah Aceh harus mensejahterakan seluruh rakyat Aceh dengan bersandar pada ajaran Islam yang paling

136Hal ini dikemukakan oleh Nusri Hamid sebagai salah satu pengurus dari PAAS. Lihat, Heyder Affan, Persaingan partai politik di Aceh, BBC, 18 Maret, 2009, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/printable/090318_pa rtai7.shtml (diakses 13 Oktober 2019). 137Partai Bersatu Aceh, https://news.detik.com/parpol/d-1059307/- partai-bersatu-aceh-40. (diakses 3 Januari 2020). 138Edwin Yustian Driyartana, Kedudukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam Ditinjau dari asas demokrasi, https://core.ac.uk/download/pdf/12350454.pdf. (diakses 3 Januari 2020). 153 dasar. Ajaran Islam tersebut berkaitan dengan beberapa aspek. Aspek pertama, pengajaran pemahaman aqidah yang berkaitan dengan rukun iman dan rukun Islam. Kedua, pengajaran mengenai akhlak. Pada bidang ini, baik lembaga pendidikan maupun organisasi model lainnya mengajarkan mengenai akhlak yang sangat berguna untuk kebaikan setiap individu. Ketiga, implementasi mengenai zakat atau model kebijakan publik lainnya untuk perbaikan ekonomi masyarakat harus dibuat oleh Pemerintah Aceh. Keempat, apabila keadaan masyarakat Aceh telah memperoleh kesejahteraan maka Pemerintah Aceh dapat melaksanakan Syariat Islam yang berkaitan dengan hukum cambuk atau hal lainnya.139 Oleh sebab itu, PBA menegaskan bahwa penegakan Syariat Islam yang berkaitan dengan realisasi dari hukum cambuk yang berlaku di Aceh, seharusnya tidak menjadi bagian yang menonjol dari beberapa kebijakan yang mengatur pelaksanaan Syariat Islam. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian atau kesejahteraan masyarakat Aceh belum dapat dicapai sesuai dengan harapan. Kemudian, pemberlakuan hukum cambuk atau hal lainnya yang terkait dengan pelaksanaan Syariat Islam dapat diberlakukan oleh Pemerintah Aceh, bila gagasan-gagasan yang dikemukakan PBA baik yang terkait dengan pemahaman individu tentang rukun Islam maupun kesejahteraan dapat direalisasikan di masyarakat. Di samping itu, PBA dapat memperjuangkan aspirasi penduduk Aceh baik yang beragama Islam maupun yang beragama lainnya.140

139 Hal ini dikemukakan oleh Ahmad Farhan Hamid sebagai salah satu mantan anggota DPR RI dari PAN dan juga ketua umum dari partai politik ini. lihat, Heyder Affan,Persaingan partai politik di Aceh, BBC, 18 Maret, 2009, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/printable/090318_pa rtai7.shtml (diakses 13 Oktober 2019). 140 Hal ini dikemukakan oleh Ahmad Farhan Hamid sebagai salah satu mantan anggota DPR RI dari PAN dan juga ketua umum dari partai politik ini. lihat, Heyder Affan,Persaingan partai politik di Aceh, BBC, 18 154 Pernyataan di atas ini menunjukkan bahwa Syariat Islam yang berlaku di Aceh, belum sesuai dengan harapan partai politik ini. 5. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) Visi dari partai ini ialah merealisasikan kesejahteraan dan implementasi mengenai HAM dan demokrasi. Kemudian, misi dari partai ini ialah aktif dalam pemerintahan untuk membuat kebijakan yang direncanakannya.141 Selanjutnya, partai ini berusaha untuk memperjuangkan persaudaraan, kerakyatan, ke-Aceh-an dan Keadilan Sosial. Kemudian, ideologi dari partai ini ialah Islam yang berdasar pada al-Qur-an dan as-Sunnah.142 Sementara itu, izin mengenai penggunaan identitas khusus yang ditulis dalam UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, digunakan oleh partai ini melalui penekanan pada identitas ke-Aceh-an tersebut. Selain itu, partai ini tidak memiliki kebijakan model baru mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Hal ini disebabkan tidak ada permasalahan dalam implementasi Syariat Islam dan pelaksanaannya telah efektif dan sesuai dengan harapan partai ini. Meskipun begitu, adat istiadat Aceh yang berkaitan dengan moral sangat ditekankan partai ini untuk dibuat dalam bentuk qanun, sehingga dapat disosialisasikan kepada seluruh masyarakat.143

Maret, 2009, http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/printable/090318_pa rtai7.shtml (diakses 13 Oktober 2019). 141Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37), https://news.detik.com/parpol/d-1059314/partai-suara-independen-rakyat- aceh-37. (diakses 3 januari 2020). 142Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai SIRA (Langsa: Komisi Independen Pemilihan). 143Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai SIRA (Langsa: Komisi Independen Pemilihan). 155 6. Partai Daulat Aceh (PDA) Ideologi dari partai ini ialah Islam dengan ‘itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, ‘itiqadan Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i dalam amalan. Selanjutnya, visi partai ini ialah memperjuangkan kesejahteraan dan ketertiban dengan menggunakan ideologi tersebut. Sementara itu, misi partai ini ialah membuat kebijakan publik di dalam pemerintahan baik di bidang hukum Islam, ekonomi dan hal lainnya, dengan berdasar pada Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Di samping itu, hasil ijtihad mengenai hukum Islam yang diikuti oleh partai, bersandar pada mazhab Imam Syafii.144 Sementara itu, identitas khusus partai ini ialah penekanan pada penggunaan ijtihad hukum Islam yang sesuai dengan mazhab Imam syafi’I dan keacehan. Hal ini berdasar pada UU Tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Selain itu, partai politik ini tidak memiliki kebijakan baru mengenai model implementasi Syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh. Namun, partai ini ingin pelaksanaan Syariat Islam tersebut semakin terstruktur dalam proses pembuatan qanun dan realisasi dari qanun tersebut. Di samping itu, hasil ijtihad yang sesuai dengan mazhab Syafi’i diharapkan oleh partai ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam pembuatan setiap qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam. Kemudian, nilai- nilai dari adat istiadat Aceh diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi dalam pembuatan qanun yang berkaitan dengan akhlak. Selanjutnya, aqidah yang sesuai dengan Ahlussunnah wal Jama’ah harus disosialisasi kepada masyarakat melalui pembuatan qanun dan implementasi pengajarannya. Sementara itu, salah satu tantangan yang dimiliki PDA dalam memengaruhi pemilih di Aceh ialah masih ada pemilih yang mau

144 Partai Daerah Aceh. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Banda Aceh: PDA, 2017) 156 ikutserta dalam pemilu dengan bersandar pada uang.145 Selain itu, tabel di bawah ini merinci beberapa hal penting dari partai politik lokal.

Tabel 9. Nama dan Ideologi dari Partai Politik Lokal tahun 2009 di Aceh Nama Partai Ideologi Partai Aceh Islam, Pancasila, UUD 1945 dan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi Partai Rakyat Aceh Sosialisme Partai Aceh Aman Sejahtera Islam Partai Bersatu Aceh Islam Partai Suara Independen Islam Rakyat Aceh Partai Daulat Aceh Islam

Selanjutnya, setiap partai politik lokal tersebut berusaha untuk memengaruhi seluruh pemilih yang mengikuti pemilu legislatif tahun 2009 untuk memberikan dukungan mereka kepada setiap partai politik lokal itu, dengan memberikan penjelasan baik mengenai mengenai ideologi atau hal lainnya. Kemudian, hasil usaha dari setiap partai politik lokal tersebut dapat dilihat dari perolehan suara yang didapatnya pada pemilu legislatif tahun 2009. Berikut ini rincian lengkapnya. PA memperoleh 1.007.173 suara. Kedua, PDA memperoleh 39.706 suara. Ketiga, Partai SIRA memperoleh 38.157 suara. Keempat, PRA memperoleh 36.574 suara. Kelima, PBA memperoleh 16.602 suara. Keenam, PAAS memperoleh 11.117 suara.146 Kemudian, berikut ini ialah data

145Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu pengurus dari pda, pada 8 Agustus 2018 di Aceh. 146Saddam Rassanjani, Adu Kuat Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019. https://dialeksis.com/analisis/adu-kuat- 157 mengenai partai politik lokal yang memperoleh kursi di DPRA periode 2009-2014. Pertama, PA memperoleh 33 Kursi. Kedua, PDA memperoleh 1 kursi. Sementara itu, empat partai politik lainnya tidak berhasil memperoleh kursi di lembaga legislatif tersebut.147 b. Visi dan Misi dari Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2012 1. Teungku Ahmad Tajuddin AB-Teuku Suriansyah (Independen) Visi pasangan ini ialah memberikan jalan untuk menambah pengetahuan mengenai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kepada seluruh rakyat Aceh. Sementara itu, ada beberapa misi dari calon gubernur dan wakil gubernur ini. Pertama, program pembangunan akan berlandaskan pada ajaran agama Islam dan budaya daerah. Kedua, menghapus segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan. Kemudian, seluruh jabatan yang tersedia dalam pemerintahan akan diisi oleh setiap individu yang memiliki kemampuan paling optimal. Ketiga, seluruh pusat ekonomi yang berbasis di desa akan dikembangkan dengan menghubungkannya ke kota. Kemudian, Pemerintah Aceh akan memfasilitasi pengembangan produk yang menggunakan sumber daya lokal.148 Hal ini bertujuan agar harga jual dari produk lokal itu lebih baik dibandingkan harga jual sebelumnya. Keempat, Pemerintah Aceh akan mengontrol seluruh tata kelola pembangunan. Kemudian,

partai-politik-lokal-peserta-pemilu-legislatif-tahun-2019/ (diakses 5 September 2019). 147Ben, Hillman, ‚Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh,‛ Conflict, Security & Development 12 (2012), 419-440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). 148Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017., https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). 158 Pemerintah Aceh akan melarang segala aktifitas ekonomi yang mengarah pada pengrusakan lingkungan. Kelima, masalah kemiskinan akan diselesaikan dengan memberikan bantuan yang akan berdasar pada pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, Pemerintah Aceh akan berupaya mensejahterakan seluruh warganya dengan memberikan akses pada pengembangan ekonomi warganya. Keenam, seluruh infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat akan dirancang dan dikerjakan sesuai dengan waktu yang direncanakan oleh Pemerintah Aceh.149 Sementara itu, penjelasan khusus mengenai Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA, tidak dikemukakan oleh pasangan tersebut. 2. Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan (Independen) Visi pasangan ini ialah keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Aceh. Sementara itu, ada beberapa misi dari calon gubernur dan wakil gubernur itu. Pertama, Hak Asasi Manusia dan demokrasi akan diperjuangkan sesuai dengan yang ditulis dalam MoU Helsinki. Kedua, seluruh posisi jabatan dalam pemerintah Aceh akan diisi oleh golongan professional. Ketiga, salah satu modal dari pengembangan ekonomi Aceh akan bertumpu pada penggunaan sumber daya alam secara proporsional. Keempat, kesinambungan untuk pengembangan ekonomi berbasis masyarakat. Kelima, adat Aceh akan menjadi salah satu dasar bagi pengembangan sumber daya manusia. Keenam, kebutuhan dasar dan hal lainnya yang dibutuhkan masyarakat akan dijamin melalui penyediaan lahan produksi pertanian, infrastrukur fisik, dan lainnya, yang dikelola oleh Pemerintah Aceh.150 Selain itu, pasangan tersebut tidak memiliki penjelasan khusus mengenai bentuk implementasi

149Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017,, https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017 (diakses 10 Februari 2020). 150Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017., https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). 159 Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. 3. Darni M Daud-Ahmad Fauzi (Independen) Visi pasangan ini ialah meningkatkan ketaqwaan masyarakat dan kesejahteraan. Kemudian, ada beberapa misi dari calon gubernur dan wakil gubernur itu. Pertama, pengelolaan keuangan Pemerintah Aceh akan dilakukan secara profesional mengikuti standar terbaik yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Di samping itu, kualitas pelayanan kepada masyarakat akan mengikuti standar terbaik nasional. Kedua, pembangunan ekonomi masyarakat melalui pemeliharaan dan pembuatan infrastruktur fisik yang menghubungkan desa ke kota. Kemudian, pengembangan pemetaan mengenai lingkungan seluruh wilayah Aceh, yang bertujuan untuk mempersiapkan sarana yang dibutuhkan bila bencana alam terjadi. Ketiga, pengembangan ekonomi masyarakat melalui pelatihan keterampilan dan bantuan keuangan kepada setiap penduduk yang membutuhkan. Di samping itu, penggunaan sumber daya alam sebagai salah satu penopang dari pertumbuhan ekonomi. Keempat, kualitas dari pelayanan kesehatan dan pendidikan akan diperbarui di seluruh wilayah. Kelima, pemahaman mengenai agama secara umum atau Syariat Islam secara khusus akan dioptimalkan pengajaran dan sosialisasinya kepada seluruh masyarakat.151 Selain itu, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tidak disampaikan oleh pasangan itu. 4. Muhammad Nazar-Nova Iriansyah (Partai Demokrat, PPP, Partai SIRA) Visi pasangan ini ialah penambahan pengetahuan agama, keadilan dan kesejahteraan. Sementara itu, ada beberapa misi dari

151Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017, https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). 160 pasangan ini. Pertama, menjaga kelanjutan perdamaian dengan membangun kehidupan politik dan hukum yang tertib. Di samping itu, korupsi, kolusi dan nepotisme akan dihapus dalam seluruh jajaran Pemerintah Aceh. Kedua, UU Tahun 2006 TPA akan dijadikan sebagai dasar untuk membangun kualitas yang baik untuk pelayanan administrasi yang dimiliki Pemerintah Aceh. Kemudian, akses masyarakat ke Pemerintah Aceh dalam setiap urusan yang berhubungan dengan kepentingan publik akan lebih cepat dan efektif, dibandingkan pada masa sebelumnya. Ketiga, pembukaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan setiap warga akan dilakukan melalui pembinaan oleh Pemerintah Aceh. Di samping itu, kebutuhan dasar masyarakat baik pangan maupun hal lainnya akan dijamin ketersediaannya melalui penyediaan lahan, pembangunan infrastruktur, pengawasan perdagangan dan lainnya. Keempat, penguatan nilai-nilai akhlak dalam masyarakat melalui peningkatan pengajaran pendidikan agama baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu, pasangan ini tidak memiliki penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam yang bersandar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.152 5. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf (Partai Aceh) Visi pasangan ini ialah pelaksanaan isi MoU Helsinki sesuai yang ditulis dalam UU tahun 2006 TPA. Ada beberapa misi dari calon gubernur dan wakil gubernur tersebut. Pertama, merancang program pembangunan Aceh baik jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kemudian, kontrol terhadap pembangunan Aceh di seluruh wilayah baik desa, kecamatan, kabupaten maupun kota, dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Kedua, penggunaan sumber daya alam sebagai salah satu modal untuk pertumbuhan ekonomi.

152Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017, https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). 161 Selanjutnya, pelatihan untuk menambah kemampuan bagi setiap warga yang menghasilkan produk yang dapat dijual baik pangan maupun lainnya. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia melalui jalur pendidikan di bidang ekonomi yang bertujuan untuk mengisi kebutuhan yang diperlukan oleh suatu institusi atau membuka usaha baru. Keempat, ajaran Islam dan adat istiadat Aceh akan diimplementasikan di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kelima, menjaga perdamaian Aceh melalui penyelesaian realisasi dari UU tahun 2006 TPA. Hal ini sangat diperlukan oleh Pemerintah Aceh untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya.153 Selain itu, pasangan ini tidak menerangkan secara khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam yang berdasar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Selanjutnya, setiap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu berusaha untuk memengaruhi seluruh pemilih pada Pilkada Aceh tahun 2012. Hasil usaha tersebut dapat diketahui melalui perolehan suara yang didapat setiap pasangan calon itu. Berikut ini rincian lengkap hasilnya. Pertama, pasangan Teungku Ahmad Tajuddin AB-Teuku Suriansyah memperoleh 79.330 suara. Kedua, pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan memperoleh 694.515 suara. Ketiga, pasangan Darni M Daud-Ahmad Fauzi memperoleh 96.767 suara. Keempat, pasangan Muhammad Nazar- Nova Iriansyah memperoleh 182.079 suara. Kelima, pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf memperoleh 1.327.695 suara. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pasangan kelima, Zaini- Muzakir memperoleh suara lebih banyak dibandingkan pasangan lainnya. Oleh sebab itu, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf ditetapkan

153Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017, https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/inilah-visi-misi- lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). 162 oleh KIP Aceh menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017.154 c. Ideologi dan Partai Politik Lokal di Aceh pada pemilu legislatif 2014 1. Partai Aceh (PA) Perolehan suara PA mencapai lebih dari 5 %, sehingga partai politik ini berhasil memenuhi ketentuan syarat perolehan suara yang ditulis dalam UU Tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Oleh sebab itu, PA dapat ikut kembali dalam pemilu legislatif tahun 2014. Sementara itu, ideologi dari partai ini ialah Islam, Pancasila, UUD 1945 dan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi. Selanjutnya, usaha untuk memperkuat kehidupan spiritual yang bersandar pada penguatan ekonomi juga menjadi tujuannya. Di samping itu, isi dari MoU Helsinki yang harus diimplementasikan juga menjadi perjuangannya. Berdasarkan penjelasan ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan mengenai ideologi dari PA. Kemudian, visi dan misi partai ini juga tetap sama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.155 Selanjutnya, PA tidak memiliki penjelasan khusus mengenai Syariat Islam yang berdasar pada UU Tahun 2006 TPA. Namun, PA tetap memperjuangkan implementasi hal tersebut sebagai salah satu pengaturan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Meskipun begitu, salah satu kontribusi PA dalam penguatan Syariat Islam ialah membentuk MUNA. Organisasi ulama ini ikut memberikan sumbangan pemikiran mengenai Syariat Islam sejak tahun 2009. Pemikiran itu dikemukakan oleh MUNA dalam setiap undangan

154KIP Aceh, Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Tingkat Provinsi Aceh, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). 155Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2007). 163 pertemuan dari MPU Aceh. Pertemuan ini diselenggarakan MPU untuk menerima pendapat dari berbagai ulama mengenai rancangan pembuatan setiap qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam. Meskipun begitu, konsep mengenai suatu qanun di bidang Syariat Islam secara utuh belum pernah diajukan MUNA kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Hal tersebut disebabkan hanya MPU yang memiliki otoritas untuk terlibat secara langsung dalam setiap pembahasan pembuatan rancangan qanun di bidang Syariat Islam, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh dan DPRA. Selain itu, MUNA memiliki keinginan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dapat sesuai dengan keadaan pada masa lalu Aceh, yang mencerminkan kesejahteraan dan keadilan, sebagaimana ditulis dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi.156 2. Partai Nasional Aceh (PNA) Partai ini berhasil memenuhi seluruh ketentuan dalam UU Tahun 2006 TPA mengenai syarat pembentukan partai politik lokal. Oleh sebab itu, PNA menjadi salah satu partai politik lokal baru yang mengikuti pemilu legislatif tahun 2014. Sementara itu, ideologi dari partai ini ialah Sosial-Demokrat-Religius. Kemudian, PNA berusaha untuk memperjuangkan nilai-nilai keislaman, demokrasi, keadilan sosial dan hak asasi manusia. Selain itu, Pernyataan dari golongan politik Aceh tertentu bahwa MoU Helsinki hanya diperjuangkan oleh mereka, tidak disetujui oleh PNA. Hal tersebut disebabkan salah satu golongan dari para pendiri PNA juga terlibat dalam memperjuangkan MoU ini. Oleh sebab itu, implementasi dari MoU Helsinki menjadi salah satu program penting yang akan diusahakan pelaksanaannya oleh PNA, dengan harapan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh.157

156Wawancara dengan Zainal, sebagai salah satu pengurus dari PA, pada 21 Juli 2018 di Aceh. 157Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PNA (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2011). 164 Sementara itu, golongan ulama termasuk salah satu golongan pendiri dari PNA. Selanjutnya, golongan ulama ini memiliki kontribusi untuk membuat rancangan mengenai program partai yang berkaitan dengan Islam. Meskipun begitu, program tentang Islam yang dipaparkan partai ini bersifat umum sehingga dapat direalisasikan dengan mudah melalui program partai lainnya, bila partai ini dapat memperoleh suara yang mengantarkannya sebagai salah satu partai di DPRA. Sementara itu, PNA tidak memiliki penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA. Oleh sebab itu, Syariat Islam yang diperjuangkan oleh PNA berdasar pada ketentuan yang dibuat Pemerintah Pusat melalui UU tersebut. Selain itu, PNA berupaya untuk mengakomodasi berbagai aspirasi dari golongan ulama dalam merancang atau membuat suatu qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam.158 3. Partai Damai Aceh (PDA) Ketentuan mengenai seluruh syarat pendirian partai politik lokal dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, juga dapat dipenuhi oleh PDA sebagai partai politik lokal baru lainnya yang ikut dalam kontestasi politik dalam pemilu legislative tahun 2014. Sementara itu, ideologi dari partai ini ialah Islam dengan ‘itiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, ‘itiqadan Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i dalam amalan. Selanjutnya, partai ini dalam memperjuangkan kebijakan publik yang berkaitan dengan bidang di luar hukum Islam menggunakan ideologi tersebut. Sementara itu, kebijakan public di bidang hukum Islam, yang diperjuangkan PDA, berdasar pada Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Di samping itu, hasil ijtihad mengenai hukum

158Wawancara dengan Muhammad Yusuf sebagai salah satu pengurus dari PNA, pada 1 Agustus 2018, di Aceh. 165 Islam yang diikuti oleh partai, bersandar pada mazhab Imam Syafi’i.159 Selanjutnya, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan bersandar pada UU Tahun 2006 TPA, tidak dimiliki oleh partai ini. Oleh sebab itu, seluruh ketentuan di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA menjadi pedoman bagi PDA dalam membuat setiap program mengenai Syariat Islam. Kemudian, seluruh program yang berkaitan dengan Syariat Islam menjadi salah satu program utama partai yang ditekankan dan disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh dukungan suara. Berikutnya, seluruh program tersebut juga akan diperjuangkan dalam DPRA bila PDA berhasil menempatkan wakilnya dalam lembaga legislatif itu. Sementara itu, perbedaan program PDA dengan partai politik lokal lainnya di bidang Syariat Islam ialah penekanan pada penggunaan Mazhab Syafi’i dalam ijtihad hukum Islam. Hal ini diusahakan partai itu agar dapat direalisasikan dalam setiap qanun yang berkaitan dengan hal tersebut di bidang Syariat Islam. Selain itu, hambatan PDA menjadi partai politik yang memiliki banyak pendukung ialah masih ada pemilih yang mau ikut pemilu dengan tidak berdasar pada program.160 Tabel 10. Nama dan Ideologi dari Partai Politik Lokal tahun 2014 di Aceh Nama Ideologi Partai Aceh Islam, Pancasila, UUD 1945 dan Qanun Meukuta Alam Al-Asyi Partai Nasional Aceh Sosial-Demokrat-Religius Partai Damai Aceh Islam

159Partai Daerah Aceh, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Banda Aceh: PDA, 2017). 160Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu anggota PDA, pada 7 Agustus 2018, di Aceh. 166 Selanjutnya, setiap partai politik lokal tersebut berusaha untuk memengaruhi seluruh pemilih yang mengikuti pemilu legislatif tahun 2014 untuk memberikan dukungan mereka kepada setiap partai politik lokal itu, dengan memberikan penjelasan baik mengenai mengenai ideologi atau hal lainnya. Kemudian, hasil usaha dari setiap partai politik lokal tersebut dapat dilihat dari perolehan suara yang didapatnya pada pemilu legislatif tahun 2014. Berikut ini rincian lengkapnya. Pertama, PA memperoleh 847.956 suara. Kedua, PNA memperoleh 113.452 suara. Ketiga, PDA memperoleh 72.721 suara.161 Selanjutnya, berikut ini ialah ketetapan KIP Aceh mengenai rincian perolehan kursi di DPRA periode 2014-2019 dari setiap partai politik lokal tersebut. Pertama, PA menempatkan 29 anggotanya. Kedua, PNA menempatkan 3 anggotanya. Ketiga, PDA menempatkan 1 anggotanya.162

C. Islam di panggung politik Aceh periode 2012-2017 Syariat Islam menjadi salah satu kebijakan yang dibuat Pemerintah Pusat kepada Aceh melalui UU tahun 2006 TPA. Oleh sebab itu, pembuatan qanun mengenai Syariat Islam dalam berbagai aspeknya harus dilakukan oleh Pemerintahan Aceh. Sementara itu, beberapa qanun mengenai Syariat Islam telah dibuat pada masa pemerintahan yang telah berakhir masa tugasnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan pertama di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini diimplementasikan melalui Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, pihak kepolisian,

161 KIP Aceh, Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). 162KIP Aceh, Rekapitulasi Perolehan Kursi Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). 167 kejaksaan, dan Mahkamah Syar’iyah memiliki berbagai permasalahan dalam pelaksanaan jinayat disebabkan tata cara mengenai penyelidikan dan hal lainnya yang diperlukan belum tersedia. Oleh sebab itu, qanun ini berusaha menjawab permasalahan tersebut. Kedua, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjadi salah satu landasan dalam pengaturan khusus mengenai hukum acara jinayat yang berlaku di Aceh.163 Berikutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan kedua di bidang Syariat Islam, dengan bersandar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini dilaksanakan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, Wali Nanggroe akan melakukan koordinasi dengan pihak dari pemerintahan yang memiliki otoritas, dalam implementasi Syariat Islam. Kedua, penjelasan umum mengenai Sistem Jaminan Halal, Mawaris, Pernikahan, Baitul Mal Aceh, Jinayat, Qadha’, Syiar Islam, Siyasah Syar’iyyah, Dakwah Islamiyah, Tarbiyah, Muamalah, Ahwal al- syakhshiyah, Ibadah, Akhlak, dan Aqidah.164 Sementara itu, keseluruhan isi qanun ini mengenai Syariat Islam lebih rinci dan lebih luas dibandingkan qanun serupa pada masa pemerintahan yang lalu. Di samping itu, hanya kewenangan adat yang dimiliki Wali Nanggroe, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Kemudian, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan ketiga di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini direalisasikan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 6

163Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun- Aceh-Nomor-7-Tahun-2013-Tentang-Hukum-Acara-Jinayat.pdf (diakses 28 Maret 2019). 164Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-8-Tahun-2014-Tentang- Pokok-Pokok-Syariat-Islam.pdf (diakses 13 Juli 2018). 168 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, hukum jinayat berlaku pada masalah qadzhaf, pemerkosaan, musahaqah, liwath, pelecahan seksual, zina, ikhtilath, maisir, khalwat, dan khamar. Kedua, bentuk hukuman hudud atau ta’zir, ditetapkan kepada setiap pelaku yang terlibat dalam setiap permasalahan tersebut.165 Sementara itu, qanun ini menguraikan lebih banyak persoalan yang diselesaikan melalui hukum jinayat, dibandingkan dengan beberapa qanun yang dibuat oleh pemerintahan periode yang lalu. Hal tersebut disebabkan salah satu dari beberapa qanun itu hanya membahas mengenai maisir, khalwat dan khamar, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Berikutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan keempat di bidang Syariat Islam, dengan bersandar pada UU tahun 2006 TPA. Hal ini dilaksanakan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan Kabupaten/Kota. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, Qanun mengenai Syariat Islam yang berkaitan dengan Aqidah, Syariah dan Akhlak hanya dapat dirancang dan dibuat oleh Pemerintahan Aceh. Kedua, pelaksanaan hukuman terhadap setiap pelanggar dari qanun Aceh yang terjadi di kabupaten/kota dapat diimplementasikan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagai bagian dari pemberian wewenang khusus dari Pemerintahan Aceh. Ketiga, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan Syariat Islam di kabupaten/kota dilakukan oleh Pemerintah Aceh.166

165Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh- Nomor-6-Tahun-2014-Tentang-Hukum-Jinayat.pdf (diakses 13 Juli 2018). 166Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan Kabupaten/Kota. https://dsi.acehprov.go.id/wpcontent/uploads/2017/03/Qanun_Aceh_Nomo r_7_Tahun_2015.pdf (diakses 28 Maret 2019). 169 Selanjutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan kelima di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA. Hal ini direalisasikan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan Dan Perlindungan Aqidah. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, pengawasan terhadap potensi kemunculan aliran sesat dari seseorang atau salah satu golongan dari masyarakat dilakukan oleh Pemerintah Aceh, dengan melibatkan MPU. Kedua, mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam, menjadi salah satu kriteria dari paham atau aliran keagamaan seseorang atau suatu golongan disebut sesat. Ketiga, fatwa MPU akan dikeluarkan untuk menentukan bahwa suatu paham atau aliran keagamaan yang dinilai telah mengganggu keserasian dalam suatu masyarakat sebagai paham yang sesat atau tidak sesat. Keempat, dana untuk implementasi qanun ini sebagai salah satu dasar paling penting dalam pelaksanaan Syariat Islam, berasal dari Pemerintah Aceh.167 Kemudian, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan keenam di bidang Syariat Islam, dengan bersandar pada UU Tahun 2006 TPA. Hal itu diimplementasikan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, pengajuan permohonan secara tertulis mengenai pendirian tempat ibadah oleh suatu golongan masyarakat menjadi salah satu syarat dari izin yang diterbitkan Pemerintah Aceh tentang pendirian tempat ibadah. Kedua, Forum Kerukunan Umat Beragama akan dibantu pembentukannya oleh Pemerintah Aceh. Kemudian, keanggotaan organisasi itu berasal dari setiap pemimpin agama baik Islam dan lainnya yang ada di

167Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan Dan Perlindungan Aqidah. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-8-Tahun-2015-Tentang- Pembinaan-dan-Perlindungan-Aqidah.pdf (diakses 28 Maret 2019). 170 Aceh. Ketiga, peraturan perundang-undangan menjadi pedoman untuk setiap bantuan keuangan dari luar negeri yang berhubungan dengan urusan agama. Keempat, pengawasan terhadap pelaksanaan qanun ini dilakukan oleh Pemerintah Aceh, dengan mengikutsertakan Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Aceh.168 Selanjutnya, Gubernur dan DPRA membuat kebijakan ketujuh di bidang Syariat Islam, dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA. Hal ini direalisasikan dengan mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Ada beberapa topik penting dalam qanun ini. Pertama, setiap produk makanan, minuman dan lainnya yang dikonsumsi atau digunakan oleh setiap penduduk Aceh harus mendapat izin dalam pembentukan usahanya dari Pemerintah Aceh. Kedua, Pemerintah Aceh memberikan otoritasnya kepada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat- obatan dan Kosmetika (LPPOM) MPU Aceh untuk mengeluarkan sertifikat halal terhadap setiap produk yang beredar di Aceh. ketiga, kriteria mengenai suatu produk yang halal ditetapkan oleh LPPOM. Keempat, suatu perusahaan yang mengeluarkan suatu produk akan diawasi oleh LPPOM. Kelima, institusi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh baik kepolisian, dinas kesehatan, dinas perindustrian, dinas perdagangan dan lainnya, bekerjasama dengan LPPOM dalam melaksanakan setiap tugasnya.169

168Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/03/Qanun_Aceh_Nomor_4_Tahun_2016.pdf (diakses 28 Maret 2019). 169Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. https://dsi.acehprov.go.id/wpcontent/uploads/2017/03/Qanun_Aceh_Nomo r_8_Tahun_2016.pdf (diakses 28 Maret 2019). 171 Berdasarkan penjelasan itu menunjukkan bahwa tujuh kebijakan di bidang Syariat Islam tersebut dibuat oleh Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh periode 2012-2017, karena mengikuti perintah dari Pemerintah Pusat melalui UU Tahun 2006 TPA. Hal ini dapat diketahui melalui penjabaran visi dan misi dari Zaini Abdullah saat maju sebagai calon gubernur dari PA, yang tidak memiliki rencana khusus untuk membuat tujuh kebijakan itu. Sementara itu, jumlah anggota DPRA yang berasal dari PA baik pada periode 2009-2014 maupun pada periode 2014-2019, lebih banyak dibandingkan dengan anggota dari partai politik lainnya. Kemudian, seluruh anggota DPRA dari PA pada dua periode itu, ikut merencanakan dan mengesahkan seluruh qanun yang berkaitan dengan Syariat Islam pada dua periode tersebut, sebagai realisasi dari UU Tahun 2006 TPA, yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Hal ini dapat diketahui melalui visi dan misi PA baik pada pemilu legislatif 2009 maupun pada pemilu legislatif 2014, yang tidak memiliki agenda khusus untuk membuat seluruh kebijakan di bidang Syariat Islam tersebut. a. Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Pada Pilkada Tahun 2017 Pertama, visi pasangan Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah ialah keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Aceh. Ada beberapa misi dari kandidat ini. Pertama, memelihara dan mengembangkan akses ekonomi seluruh masyarakat melalui pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur. Kedua, masyarakat miskin akan mendapat bantuan untuk pembangunan rumah. Ketiga, pembangunan Aceh akan mengikuti standar pemeliharaan alam dan lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Keempat, pembinaan olahraga di Aceh melalui penyediaan dan perbaikan dari sarananya. Kelima, nilai-nilai keIslaman akan disosialisasikan melalui pengembangan institusi pendidikan dan adat. Keenam,

172 penyelesaian realisasi dari UU tahun 2006 TPA sebagai kelanjutan dari pelaksanaan MoU. Ketujuh, uji kepatutan akan menjadi syarat bagi penempatan pejabat di Aceh. Kedelapan, akses modal kepada pengusaha baru akan dipermudah oleh Pemerintah Aceh. Kesembilan, setiap produk lokal akan dibantu perkembangan pemasarannya.170 Kesepuluh, akses dari seluruh kebutuhan petani yang terkait dengan pangan akan dipermudah. Kesebelas, produk perikanan, peternakan dan pertanian akan difasilitasi pengembangan usaha dan pasarnya. Keduabelas, pembangunan sumber penghasil energy baru dengan melibatkan kerjasama dengan pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketigabelas, beasiswa pendidikan akan diberikan kepada setiap peserta didik yang memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Aceh, baik di lembaga pendidikan umum, dayah dan lainnya. Keempatbelas, pengembangan sistem informasi secara terpusat. Kelimabelas, seluruh masyarakat akan memperoleh pelayanan di bidang kesehatan tanpa dipungut biaya. Keenambelas,nilai-nilai keIslaman, budaya Aceh dan pelaksanaan Syariat Islam akan dilaksanakan secara lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Di samping itu, mazhab Syafi’i sebagai salah satu mazhab dari hukum Islam dan Aqidah yang berdasar Al-Quran dan Hadis, sesuai dengan Ahlussunnah wal Jamaah, akan diperjuangkan implementasinya melalui qanun oleh Pemerintah Aceh.171 Sementara itu, bentuk khusus mengenai implementasi Syariat Islam berdasar pada UU tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tidak dikemukakan oleh kandidat ini.

170Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/6-irwandi-yusuf-nova-iriansyah/ (diakses 16 April 2019). 171Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/6-irwandi-yusuf-nova-iriansyah/ (diakses 16 April 2019). 173 Kedua, visi Muzakir Manaf dan T.A. Khalid ialah realisasi MoU Helsinki dan UU Tahun 2006 TPA untuk kesejahteraan. Ada beberapa misi dari kandidat ini. Pertama, penguatan identitas Aceh dalam berbagai sektor yang dikendalikan oleh Pemerintah Aceh. Kedua, pengelolaan sumber daya alam berbasis pemeliharaan lingkungan. Ketiga, nilai-nilai Islami akan menjadi acuan dalam pengembangan sumber daya manusia. Keempat, pelayanan kesehatan akan diperbaiki mengikuti standar terbaik nasional. Kelima, para investor akan diundang dan diberikan kemudahan izin untuk membuka usahanya di Aceh. Keenam, nilai-nilai Islam akan menjadi pedoman bagi pengembangan sektor ekonomi baik di bidang pariwisata maupun lainnya. Ketujuh, pengelolaan sumber daya alam di kawasan maritim berdasar pada pemeliharaan lingkungan. Kedelapan, Ahlussunnah Wal Jamaah akan menjadi dasar bagi pengembangan sosialisasi mengenai ajaran Islam. Di samping itu, mazhab Syafi’i sebagai salah satu mazhab dalam hukum Islam akan diperjuangkan implementasinya dalam qanun Aceh. memperkuat penambahan lapangan pekerjaan di bidang pertanian. Kesembilan, pengembangan kebutuhan dasar di bidang energi baik listrik dan lainnya. Kesepuluh, pengelolaan keuangan, administrasi dan lainnya yang wewenangnya dimiliki oleh Pemerintah Aceh akan mengikuti standar terbaik nasional. Kesebelas, memperkuat penambahan lapangan pekerjaan di bidang pertanian.172 Sementara itu, penjelasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, tidak dikemukakan oleh pasangan tersebut. Ketiga, visi Tarmizi A. Karim dan T. Machsalmina ialah Islam, Kesejahteraan, dan Kebudayaan untuk seluruh rakyat Aceh. Ada beberapa misi pasangan ini. Pertama, implementasi Syariat

172Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/5-muzakir-ta-khalid/ (diakses 16 April 2019). 174 Islam dengan salah satu upayanya melalui sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran setiap warga. Kedua, lingkungan hidup baik yang berkaitan dengan kehutanan, kelautan dan lainnya akan dijaga dan dilestarikan. Ketiga, implementasi UU Tahun 2006 TPA sebagai upaya menjaga perdamaian. Keempat, membuat lapangan kerja baru dengan berdasar pada pembukaan investasi baru di berbagai sektor perekonomian. Kelima, pelayanan kesehatan akan dibuat mengikuti standar terbaik dari Pemerintah Pusat. Keenam, nilai-nilai Islam dan kebudayaan Aceh akan menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan di Aceh. Ketujuh, pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi setiap warga, sehingga seluruh kebutuhan dasar dan lainnya dapat dipenuhi. Kedelapan, pengelolaan keuangan, administrasi internal, pelayanan publik dan lainnya yang melekat dalam Pemerintahan Aceh akan dilakukan secara professional.173 Sementara itu, pembahasan khusus mengenai bentuk dari implementasi Syariat Islam dengan bersandar pada UU Tahun 2006 TPA, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak disampaikan oleh pasangan ini. Keempat, visi Zaini Abdullah dan Nasaruddin ialah kejujuran dan pembangunan yang maju. Ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, perbaikan pelayanan transportasi kemaritiman di seluruh wilayah Aceh baik untuk rute nasional maupun untuk rute internasional. Kedua, perbaikan pelayanan transportasi udara di seluruh wilayah Aceh baik untuk rute nasional maupun untuk rute internasional. Ketiga, perbaikan pelayanan transportasi darat di seluruh wilayah Aceh. Keempat, perbaikan jaringan jalan untuk mempermudah pengembangan ekonomi. Kelima, pemeliharaan dan perluasan lapangan pekerjaan di bidang perikanan, persawahan, dan peternakan. Keenam, akses seluruh rakyat Aceh terhadap air bersih

173Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/1-tarmizi-a-karim-machsalmina/ (diakses 16 April 2019). 175 akan diperbaiki. Ketujuh, pengembangan penyediaan sumber energy baik untuk listrik yang dibutuhkan masyarakat atau untuk keperluan lainnya. Kedelapan, pembaharuan bagi seluruh sistem informasi dan teknologi komunikasi di Aceh.174 Kesembilan, perbaikan seluruh lembaga pendidikan, tempat ibadah, dan rumah sakit yang ada di Aceh. Di samping itu, seluruh pelayanan publik akan dibuat mengikuti standar terbaik nasional. Kesepuluh, pengembangan ekonomi syariah dengan basis bank dan pengembangan wilayah industri dan sumber bahan bakunya. Di samping itu, lembaga keuangan lainnya tetap didorong untuk terus berkontribusi pada pengembangan ekonomi masyarakat. Kesebelas, seluruh sistem ekonomi Aceh akan berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Keduabelas, seluruh organisasi yang melibatkan peran penting dari Pemerintah Aceh, baik keagamaan, olahraga, sosial dan lainnya akan ditata kembali mengikuti standar terbaik nasional. Ketigabelas, seluruh manajemen Pemerintah Aceh akan berdasar pada nilai-nilai Islam. Di samping itu, implementasi UU tahun 2006 TPA sebagai bagian dari realisasi MoU Helsinki akan terus dilakukan.175 Sementara itu, penjelasan khusus mengenai model dari penerapan Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tidak dikemukakan oleh pasangan ini. Kelima, visi Zakaria Saman dan Alaidinsyah ialah kesejahteraan dan kemajuan untuk seluruh rakyat Aceh. Ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, penyelesaian masalah kemiskinan dengan memberikan bantuan keuangan dan pelatihan kerja. Kedua, penyelesaian masalah penyakit sosial baik

174Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/4-zaini-abdullah-nasaruddin/ (diakses 16 April 2019). 175Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/4-zaini-abdullah-nasaruddin/ (diakses 16 April 2019). 176 penyalahgunaan narkoba atau lainnya melalui sosialisasi tentang efek buruk dari seluruh hal itu. ketiga, memperkuat implementasi mengenai ajaran Islam di masyarakat melalui pendidikan. Keempat, melestarikan adat istiadat Aceh melalui pendidikan. Kelima, seluruh organisasi masyarakat akan dibina pengelolaannya. Keenam, memperbaiki akhlak masyarakat melalui pembinaan setiap keluarga sebagai unit dari masyarakat. Ketujuh, nilai-nilai Islam akan menjadi dasar bagi pengembangan ekonomi di bidang pariwisata. Kedelapan, mempersiapkan sarana untuk memperkecil dampak dari suatu bencana. Kesembilan, pengelolaan sumber daya alam sebagai pendorong bagi kemajuan ekonomi untuk seluruh masyarakat dilakukan dengan berdasar pada pemeliharaan lingkungan. Kesepuluh, penyelesaian implementasi mengenai UU Tahun 2006 TPA sebagai bagian dari realisasi MoU Helsinki.176 Sementara itu, pembahasan khusus mengenai bentuk dari realisasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak disampaikan oleh pasangan ini. Keenam, visi Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa Usab ialah Islam, keadilan dan kesejahteraan untuk Aceh. Ada beberapa misi dari pasangan ini. Pertama, penyelesaian implementasi UU Tahun 2006 TPA. Kedua, memperbaiki sistem birokrasi Pemerintah Aceh. Ketiga, menempatkan pejabat yang professional dalam Pemerintah Aceh. Keempat, mengembangkan setiap potensi ekonomi yang dimiliki oleh kabupaten/kota yang ada di Aceh. Kelima, membuka lapangan kerja baru di bidang pertanian. Keenam, membuka lapangan kerja baru di bidang perkebunan. Ketujuh, memperbaiki sistem pengolahan pertanian. Kedelapan, membuka lapangan kerja baru di bidang pariwisata. Kedelapan, membuka lapangan kerja baru di bidang perikanan. Kesembilan, membuka lapangan kerja baru di

176Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/2-zakaria-saman-alaidinsyah/ (diakses 16 April 2019). 177 bidang peternakan. Kesepuluh, memelihara dan mengembangkan seluruh sektor ekonomi yang menopang pertumbuhan pendapatan seluruh masyarakat baik di bidang energi, perminyakan dan lainnya. Kesebelas, mendorong kemajuan para pengusaha melalui kemudahan izin dan lainnya. Keduabelas, menyediakan seluruh kebutuhan para petani baik pupuk dan lainnya, dengan cara menjaga dan memperbaiki sistem pendistribusiannya. Ketiga, membuat qanun-qanun baru di bidang Syariat Islam sebagai salah satu upaya untuk memperkuat implementasinya.177 Sementara itu, penjelasan khusus mengenai bentuk dari realisasi Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tidak dikemukakan oleh pasangan ini. Kemudian, seluruh pasangan dari calon gubernur dan wakil gubernur tersebut berusaha untuk memengaruhi seluruh pemilih pada Pilkada Aceh Tahun 2017 itu. Hasil dari usaha setiap pasangan calon ini dapat diketahui melalui perolehan suara mereka. Berikut ini rincian mengenai perolehan suara dari setiap pasangan calon tersebut. Pertama, Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah memperoleh 898.710 suara. Kedua, Muzakir Manaf dan T.A. Khalid memperoleh 766.427 suara. Ketiga, Tarmizi A. Karim dan T. Machsalmina memperoleh 406.865 suara. Keempat, Zaini Abdullah dan Nasaruddin memperoleh 167.910 suara. Kelima, Zakaria Saman dan Alaidinsyah memperoleh 132.981 suara. Keenam, Abdullah Puteh dan Sayed Mustafa Usab memperoleh 41.908 suara. Berdasarkan penjelasan ini menunjukkan bahwa pasangan pertama memperoleh suara yang lebih banyak dibandingkan dengan perolehan suara pasangan lainnya. Oleh sebab itu, pasangan pertama, Irwandi Yusuf

177Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/3-abdullah-puteh-sayed-mustafa/ (diakses 16 April 2019). 178 dan Nova Iriansyah ditetapkan oleh KIP Aceh sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2017-2022.178 Selain itu, kebijakan yang dibuat Pemerintah Pusat untuk memberikan otonomi khusus kepada Aceh berpengaruh pada penurunan perolehan suara dari PA sebagai partai politik yang berasal dari bekas organisasi pemberontak yang bernama GAM. Hal ini dapat dibuktikan dengan perolehan suara PA pada pemilu legislatif 2014 yang lebih sedikit jumlah suaranya dibandingkan dengan perolehan suara PA pada pemilu legislatif 2009. Kemudian, bukti lainnya ialah jumlah perolehan suara dari calon gubernur dan wakil gubernur yang dicalonkan oleh PA pada Pilkada Aceh Tahun 2017 lebih sedikit jumlah suaranya dibandingkan dengan jumlah perolehan suara dari calon gubernur dan wakil gubernur yang dicalonkan PA pada Pilkada Aceh Tahun 2012. b. Islam di panggung politik Aceh pada tahun 2018 Selanjutnya, implementasi Syariat Islam sesuai dengan UU Tahun 2006 TPA, mencakup banyak aspek, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sehingga masih memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Oleh sebab itu, Gubernur Aceh membuat kebijakan pertama di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA tersebut. Hal ini direalisasikan dengan membuat Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Ada beberapa topik penting dalam peraturan ini. Pertama, aturan teknis secara rinci mengenai pelaksanaan hukuman cambuk yang berdasar pada qanun sebelumnya yang terkait. Kedua, Wilayatul Hisbah diberikan

178KIP Aceh, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 16 April 2019). 179 wewenang untuk melakukan eksekusi dalam bentuk hukuman cambuk kepada pelanggar dari qanun Aceh yang telah disahkan.179 Kemudian, Gubernur Aceh membuat kebijakan kedua di bidang Syariat Islam dengan berdasar pada UU Tahun 2006 TPA. Hal ini diimplementasikan dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelola Masjid Raya Baiturrahman pada Dinas Syariat Islam Aceh. Ada beberapa topik penting dalam peraturan ini. Pertama, kegiatan dari setiap individu di bidang ekonomi, sosial, dan lainnya, sangat berkaitan dengan masjid sebagai tempat beribadah. Di samping itu, khutbah atau ceramah agama yang disampaikan penceramah memiliki pengaruh terhadap pengetahuan agama dari setiap muslim yang mengikutinya. Oleh sebab itu, peningkatan dari kualitas sumber daya manusia yang mengelola masjid sebagai salah satu bagian dari Dinas Syariat Islam Aceh harus dilakukan. Kedua, perencanaan dan pelaksanaan perbaikan fasilitas yang dimiliki masjid untuk kenyamanan setiap individu dalam melaksanakan setiap kegiatan ibadah sehari-hari.180 Berikutnya, Gubernur Aceh membuat kebijakan ketiga di bidang Syariat Islam dengan bersandar pada UU Tahun 2006 TPA. Hal ini direalisasikan dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan

179Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/05/1.-PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NO-5- TAHUN-2018-TENTANG-HUKUM-ACARA-JINAYAT.pdf (diakses 28 Maret 2019). 180Peraturan Gubernur Aceh Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelola Masjid Raya Baiturrahman pada Dinas Syariat Islam Aceh. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/09/PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NOMOR- 26-TAHUN-2018.pdf (diakses 28 Maret 2019). 180 Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan dan Pemahaman Al-Qur’an Pada Dinas Syariat Islam Aceh. Ada beberapa topik penting dalam peraturan itu. Pertama, Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh memerlukan unit khusus dalam suatu institusi pemerintah untuk melakukan sosialisasi, pengajaran, pembinaan dan hal lainnya yang terkait, kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pembentukan unit khusus di Dinas Syariat Islam dibutuhkan untuk mengerjakan seluruh tugas di atas tersebut. Sementara itu, salah satu tugas penting yang diberikan kepada unit khusus itu ialah memperluas pengetahuan masyarakat mengenai Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi setiap orang Islam untuk memperoleh kebahagiaan. Kedua, pengaturan kembali Dinas Syariat Islam baik manajemen maupun hal lainnya diharuskan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kinerjanya.181 Berdasarkan penjelasan itu menunjukkan bahwa Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022 harus membuat tiga kebijakan di bidang Syariat Islam tersebut sebagai salah satu pengaturan politik dari Pemerintah Pusat yang ditulis dalam UU Tahun 2006 TPA. Hal ini dapat diketahui melalui penjelasan visi dan misi dari Irwandi Yusuf saat maju sebagai calon gubernur, yang tidak memiliki agenda khusus untuk membuat tiga kebijakan itu. Selain itu, tabel di bawah ini merinci beberapa hal penting mengenai kebijakan di bidang Syariat Islam di Aceh.

181Peraturan Gubernur Aceh Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan dan Pemahaman Al-Qur’an Pada Dinas Syariat Islam Aceh. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/11/PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NOMOR- 27-TAHUN-2018-TENTANG-KEDUDUKAN-SUSUNAN- ORGANISASI-TUGAS-FUNGSI-DAN-TATA-KERJA-UNIT- PELAKSANA-TEKNIS-DAERAH-PPQ.pdf (diakses 28 Maret 2019). 181 Tabel 11. Kebijakan tentang Syariat Islam periode 2005-2012 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, UU TPA tahun 2006 Respon Aceh Pertama, Qanun Aceh Nomor 5 tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, Dan Lembaga Daerah Provinsi NAD. Kedua, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal. Ketiga, Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Keempat, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Kelima,Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)

Berdasarkan informasi dari tabel 11 menunjukkan bahwa ada satu pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat pada periode 2005-2012 atau pasca MoU Helsinki. Kemudian, ada lima qanun yang dibuat Aceh di bidang Syariat Islam pada periode 2005-2012 atau pasca MoU Helsinki. Sementara itu, bersandar pada tabel itu dapat diketahui bahwa UU TPA tahun 2006 dibuat pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

182 Tabel 12. Kebijakan tentang Syariat Islam periode 2012-2017 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, UU TPA tahun 2006 Respon Aceh Pertama, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. Kedua, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok- Pokok Syariat Islam. Ketiga, Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Keempat, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan Kabupaten/Kota. Kelima, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan Dan Perlindungan Aqidah. Keenam, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Ketujuh, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal.

Berdasarkan informasi dari tabel 12 menunjukkan bahwa ada satu pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat pada periode 2012-2017 atau pasca MoU Helsinki. Kemudian, ada tujuh qanun yang dibuat Aceh di bidang Syariat Islam pada periode 2012-2017 atau pasca MoU Helsinki.

183 Tabel 13. Kebijakan tentang Syariat Islam pada tahun 2018 di Aceh Kebijakan Politik dari Pemerintah Pusat Pertama, UU TPA tahun 2006 Respon Aceh Pertama, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Kedua, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelola Masjid Raya Baiturrahman pada Dinas Syariat Islam Aceh. Ketiga, Peraturan Gubernur Aceh Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan dan Pemahaman Al-Qur’an Pada Dinas Syariat Islam Aceh.

Berdasarkan informasi dari tabel 13 menunjukkan bahwa ada satu pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat pada tahun 2018 atau pasca MoU Helsinki. Kemudian, ada tiga peraturan gubernur yang dibuat Aceh di bidang Syariat Islam pada tahun 2018 atau pasca MoU Helsinki.

184 BAB VI Penutup A. Kesimpulan Salah satu tuntutan GAM dalam MoU Helsinki ialah Pemerintah Pusat akan membuat UU baru mengenai Propinsi Aceh. Kemudian, UU baru itu dapat mengakomodasi seluruh tuntutan GAM dalam MoU. Selanjutnya, Pemerintah Pusat berhasil membuat UU baru tersebut, yang dinamai dengan UU Tentang Pemerintahan Aceh (TPA) Tahun 2006. Sementara itu, MoU Helsinki sebagai das sollen (sesuatu yang diharapkan) oleh GAM, tidak menjelaskan mengenai Islam, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, isi dari UU TPA tidak hanya mengakomodasi seluruh tuntutan GAM dalam MoU tetapi juga menampung seluruh pengaturan- pengaturan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian, salah satu dari pengaturan politik tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Oleh sebab itu, pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat menjadi penyebab Islam masuk kembali di panggung politik Aceh pasca MoU Helsinki. Berikutnya, penjelasan dari pasal 18 dan pasal-pasal lainnya dari UUD 1945, mengenai daerah istimewa atau khusus, menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat, untuk membuat pengaturan politik baik berhubungan dengan Syariat Islam dan hal-hal lainnya, dalam UU TPA tersebut. Hal ini menjadi salah satu kebaruan (novelty) dari hasil penelitian penulis dibandingkan dengan penelitian lainnya. Kemudian, Gubernur Aceh periode 2007-2018, baik Irwandi Yusuf dan Zaini Abdullah yang berasal dari GAM membuat beberapa kebijakan atau das sein (kenyataan yang terjadi) di bidang Syariat Islam, disebabkan mengikuti pengaturan politik yang dibuat Pemerintah Pusat melalui UU TPA Tahun 2006. Sementara itu, beberapa kebijakan itu menjadi bukti dari pengaruh pengaturan politik mengenai Islam yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Hal ini dapat diketahui melalui visi dan misi dari Irwandi Yusuf dan Zaini

185 Abdullah, saat maju sebagai calon gubernur, tidak memiliki agenda khusus untuk membuat beberapa kebijakan tersebut. Di samping itu, PA sebagai partai politik lokal yang memiliki jumlah anggota paling banyak dibandingkan partai politik lainnya di DPRA pada periode 2009-2014 dan 2014-2019, juga mengikuti pengaturan politik yang dibuat oleh Pemerintah Pusat melalui UU TPA tahun 2006, di bidang Syariat Islam. Hal ini dapat diketahui melalui visi dan misi dari Partai Aceh (PA) sebagai partai politik yang berasal dari GAM, pada pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014, yang tidak memiliki rencana khusus untuk membuat kebijakan publik yang berkaitan dengan Syariat Islam. B. Saran Pemerintah Aceh dan DPRA harus mengimplementasikan Syariat Islam sesuai dengan yang dibuat Pemerintah Pusat melalui UU tahun 2006 TPA, melalui pengkajian dari kenyataan realisasi dari setiap qanun yang telah disahkan dan berlaku di masyarakat. Kenyataan dari realisasi setiap qanun itu dapat dilakukan setiap tahun melalui evaluasi pelanggaran yang dilakukan oleh setiap individu yang ada di Aceh. Kemudian, sosialisasi dari setiap qanun itu perlu ditingkatkan di masyarakat baik melalui pendidikan maupun lainnya yang dapat mendorong setiap individu untuk memahami lebih baik dari isi setiap qanun itu dan mematuhinya. Selanjutnya, Syariat Islam yang berlaku di Aceh tersebut harus memiliki dampak untuk masyarakat baik perbaikan akhlak maupun lainnya yang dapat menopang kemajuan sumber daya manusia yang ada di Aceh.

186 Daftar Pustaka Buku Abdullah, Taufik and others, eds. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983. Abubakar, Al Yasa’. Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005. Abubakar, Al Yasa. Penerapan Syariat Islam Di Aceh Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa. Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Aspinall, Edward. Islam and Nation Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia. California: Stanford University Press, 2009. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009. Dewanto, Nugroho. Seri Buku Tempo Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak. Jakarta: Tempo, 2011. Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: The University Of Chicago Press, 1976. Hasjimi A. and others. 50 Tahun Aceh Membangun. Medan: Percetakan Bali, 1995. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2000. Muhaimin, Yahya and others, eds. Masalah-Masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982. Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001.

Buku dari Internet Freeden, M.. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Stanford: Elsevier, 2001. https://www.sciencedirect.com/topics/psychology/political -ideology (diakses 28 Juli 2019).

187 Noble, Cameron and others, eds. Multi-StakeHolder Review of Post Conflict Programming In Aceh Identifying the Foundations For Sustainable Peace and Development In Aceh. Aceh: Inter-Agency Cooperation, 2009. http://documents.worldbank.org/curated/en/716601468259 763959/pdf/556030WP0v20Bo1l0Report0MSR0English.p df (diakses 8 April 2019). Peters, B. Guy. Institutional Theory in Political Science the 'New Institutionalism'. London: Biddles, 1999. https://epdf.pub/institutional-theory-in-political-science- the-new-institutionalism.html (diakses 25 Juni 2019). Schulze, Kirsten E.. The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. Washington: the East-West Center Washington, 2004. https://www.researchgate.net/publication/29738456_The_ Free_Aceh_Movement_GAM_Anatomy_of_a_Separatist_ Organization (diakses 25 November 2018). Staerkle, Christian. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Orlando : Elsevier, 2015. https://www.sciencedirect.com/topics/computer- science/political-identity. (diakses 21 Agustus 2019).

Jurnal Anderson, Lawrence M.. ‚Institusional Basis of Seccesionist Politics : Federalism and Secession in the United States.‛ Publius 34 (2004): 1-18, https: //www.jstor.org/stable/3331204 (accessed January 16, 2019). Aspinall, Edward. ‚Combatants to Contractors: The Political Economy of Peace in Aceh.‛ Indonesia 87 (2009): 1-34, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed April 18, 2018). Barter, Shane Joshua. ‚The Free Aceh Elections? The 2009 Legislative Contest in Aceh.‛ Indonesia 91 (2011): 113- 130, http://www.jstor.org/stable/40376474 (accessed March 17, 2018).

188 Baswedan, Anies Rasyid. ‚Political Islam in Indonesia : Present and Future Trajectory.‛ Asian Survey 5 (2004): 669-690, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (accessed March 29, 2018). Billon, Philippe Le and Arno Waizenegger. ‚Peace in the Wake of Disaster? Seccesionist Conflict and the 2004 Indian Ocean Tsunami.‛ Transaction of the Institute of British Geographers 32 (2007): 411-427, http://www.jstor.org/stable/4626258 (accessed March 17, 2018). Feener, R. Michael. ‚Social Engineering through Shari’a: Islamic Law and State-Directed Da’wa in Contemporary Aceh.‛ Islamic Law and Society 19 (2012): 275-311, http://www.jstor.org/stable/41723252 (accessed March 17, 2018). Hillman, Ben. ‚Power-Sharing and Political Party Engineering in Conflict-Prone Societies: the Indonesian Experiment in Aceh.‛ Conflict, Security & Development 12 (2012): 419- 440, http://dx.doi.org/10.1080/14678802.2012.688291 (accessed April 22, 2018). Hillman, Ben. ‚Ethnic Politics and Local Political Parties in Indonesia.‛ Asian Ethnicity 13 (2012): 419-440, http://dx.doi.org/10.1080//4631369.2012.710078 (accessed July 20, 2018). Howe, Paul. ‚Rationality and Soveregnty Support in Quebec.‛ Canadian Journal of Political Science 31 (1998): 31-59, https://www.jstor.org/stable/3232805 (accessed January 16, 2019). Meadwell, Hudson. ‚The Politics of Nationalism in Quebec.‛ World Politics 45 (1993): 203-241, https://www.jstor.org/stable/2950658 (accessed January 16, 2019). Meadwell, Hudson. ‚Cultural and Instrumental Approaches to Ethnic Nationalism.‛ Ethnic and Racial Studies 12 (1989): 309-328, http: Routledge 1989 0141-589/1203-309 (Accessed January 7, 2019).

189 Mietzner, Marcus. ‚Local Elections and Autonomy in Papua and Aceh: Mitigating or Fueling Secessionism?.‛ Indonesia 84 (2007): 1-39, http://www.jstor.org/stable/40376428 (accessed March 17, 2018). Munhanif, Ali. ‚Islam, Ethnicity and Secession: Forms of Cultural Mobilization in Aceh Rebellions.‛ Studia Islamika 23 (2016): 1-29, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia- islamika (accessed April 22, 2018). Sindre, Gyda Maras. ‚in whose interests? Former rebel parties and ex-combatant interest group mobilization in Aceh and East Timor.‛ Civil Wars 18 (2016): 192-213, http://dx.doi.org/10.1080/13698249.2016.1205564 (accessed April 23, 2019). Sindre, Gyda M. ‚From Secessionism to Regionalism: Intra- Organizational Change and Ideological Moderation within Armed secessionist Movements.‛ Political Geography 64 (2018): 23-32, http//www.elsevier.com/locate/polgeo (accessed July 18, 2019). Thorburn, Craig. ‚Building Blocks and Stumbling Blocks: Peacebuilding in Aceh, 2005-2009,‛ Indonesia 93 (2012): 83-122, http://www.jstor.org/stable/10.5728/indonesia.93.0083 (accessed March 17, 2018).

Dokumen Partai Daerah Aceh. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) (Banda Aceh: PDA, 2017). Komisi Independen Pemilihan. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Nanggroe Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2011). Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Aceh (Langsa: Komisi Independen Pemilihan, 2007). Komisi Independen Pemilihan, Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Partai SIRA (Langsa: Komisi Independen Pemilihan).

190 Dokumen Elektronik Dari Internet Berita Acara Nomor : 38/BA-KIP Aceh/IV/2017 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/category/informasi- publik/page/2/ (diakses 16 April 2019). Data Fakta Pilkada Aceh 2006 dan 2012. https://kip.acehprov.go.id/data-fakta-pilkada-aceh-2006- dan-2012/ (diakses 22 Januari 2020). Instruksi Presiden No. 15 tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, www.bpkp.go.id/uu/filedownload/7/21/60.bpkp (diakses 29 Juli 2019). Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Sekretariat Koordinasi Pelaksanaan Reintegrasi Bekas Anggota GAM dan Pemberdayaannya ke dalam Masyarakat di Aceh, http://jdih.tegalkota.go.id/jdihtegal/proses/produkhukum/fi le/969INMEN_NO_6_2005_PENERBIT.PDF. (diakses 25 Agustus 2019). Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka,i http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2005/kp22- 2005.pdf (diakses 29 Juli 2019). Keputusan Presiden Nomor 22 tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka,. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2005/kp22- 2005.pdf. (diakses 25 Agustus 2019). Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi NAD.. http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppres_11_2003.pdf (diakses 1 Maret 2020).

191 Keputusan Gubernur NAD Nomor 330/145/2007 Tentang Pembentukan Badan Reintegrasi-Damai Aceh, http: Acdsee ProPrintJob (diakses 7 April 2019). Keputusan Komisi Independen Pemilihan Aceh Nomor 15/kpts/KIP Aceh/Tahun 2017 Tentang Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/04/SK-PENETAPAN-PASANGAN- CALON-GUBERNUR-TERPILIH-DARI-KIP-ACEH.pdf (diakses 16 April 2019). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. https://www.tatanusa.co.id/tapmpr/99TAPMPR-IV.pdf , (diakses 5 November 2019). Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000., http://hukum.unsrat.ac.id/etc/putusan_mpr_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe94f64b7 5a/node/657/tap-mpr-no-xv_mpr_1998-tahun-1998- penyelenggaraan-otonomi-daerah,-pengaturan,- pembagian,-dan-pemanfaatan-sumber-daya-nasional-yang- berkeadilan,-serta-perimbangan-keuangan-pusat-dan- daerah-dalam-kerangka-negara-kesatuan-republik- indonesia (diakses 4 Maret 2020). Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. http://hukum.unsrat.ac.id/etc/putusan_mpr_2000.pdf, (diakses 5 November 2019).

192 KIP Aceh, Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Tingkat Provinsi Aceh, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). KIP Aceh, Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). KIP Aceh, Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Tahun 2017, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 16 April 2019). KIP Aceh, Rekapitulasi Perolehan Kursi Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014, https://kip.acehprov.go.id/ (diakses 12 Februari 2018). Memorandum of Understanding Between The Government of The Republic of Indonesia And The Free Aceh Movement, http:// www.acehpeaceprocess.net/pdf/mou-final.pdf (diakses 26 Januari 2018). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Politik Lokal Di Aceh, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/2007/pp20- 2007.pdf (diakses 21 Februari 2018). Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah, https://www.bphn.go.id/data/documents/07pp077.pdf (diakses 18 April 2018). Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah kepada Dewan Kawasan Sabang, https://otda.kemendagri.go.id/wp- content/uploads/2019/03/PPNomor-83-Tahun-2010.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). Peraturan Pemerintah Republic Indonesia Nomor 105 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Keuangan Pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang,. https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2012/105TAHUN201 2PP.HTM. (diakses 25 Agustus 2019). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2015 Tentang kewenangan Pemerintah Yang Bersifat Nasional

193 Di Aceh, https://www.bphn.go.id/data/documents/15pp003.pdf (diakses 14 April 2019). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi Di Aceh, http://eiti.ekon.go.id/v2/wp- content/uploads/2017/07/PP-23-Tahun-2015-tentang- Migas-di-Aceh.pdf (diakses 14 April 2019). Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi Dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang- Undang, Dan Kebijakan Administratif Yang Berkaitan Langsung Dengan Pemerintahan Aceh, http://hukum.unsrat.ac.id/pres/perpres_75_2008.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 2010 Tentang Kerjasama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga Atau Badan Di luar Negeri, http://jdih2.acehprov.go.id/uu-berkaitan-dengan- aceh/PERPRES_No._11__tahun_2010_- _Kerjasama_LN.pdf. (diakses 26 Agustus 2019). Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tah un_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2000 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tah un_2000.pdf, (diakses 5 November 2019). Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) DI Aceh. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_03_tah un_2000.pdf (diakses 30 Oktober 2019). Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam.. https://www1-

194 media.acehprov.go.id/uploads/perda_prov_nad_no_04_tah un_2000.pdf (diakses 30 Oktober 2019). Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.https://www1media.acehprov.go.id/uploads/perda_pr ov_nad_no_07_tahun_2000.pdf (diakses 5 November 2019). Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2017-Tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/11/PERATURAN-GUBERNUR- ACEH-NOMOR-25-TAHUN-2017-TENTANG- PELAKSANAAN-ITSBAT-NIKAH.pdf (diakses 6 Mei 2019). Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp-content/uploads/2018/05/1.- PERATURAN-GUBERNUR-ACEH-NO-5-TAHUN- 2018-TENTANG-HUKUM-ACARA-JINAYAT.pdf (diakses 28 Maret 2019). Peraturan Gubernur Aceh Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelola Masjid Raya Baiturrahman pada Dinas Syariat Islam Aceh. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/09/PERATURAN-GUBERNUR- ACEH-NOMOR-26-TAHUN-2018.pdf (diakses 28 Maret 2019). Peraturan Gubernur Aceh Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengembangan dan Pemahaman Al-Qur’an Pada Dinas Syariat Islam Aceh. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2018/11/PERATURAN-GUBERNUR- ACEH-NOMOR-27-TAHUN-2018-TENTANG- KEDUDUKAN-SUSUNAN-ORGANISASI-TUGAS- FUNGSI-DAN-TATA-KERJA-UNIT-PELAKSANA- TEKNIS-DAERAH-PPQ.pdf (diakses 28 Maret 2019).

195 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Susunan Organisasi dan Tata kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah Provinsi NAD, https://ppid.acehprov.go.id/v2/dip/view/675 (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-10-Tahun- 2007-Tentang-Baitul-Mal.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/qanun_aceh_no_9_tahun_20 08.PDF (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. https://www1- media.acehprov.go.id/uploads/qanun_aceh_no_10_tahun_2 008.PDF (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-2-Tahun- 2009-Tentang-Majelis-Permusyawaratan-Ulama.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe, http://simeuluekab.go.id/uploads/Qanun_Aceh_Nomor_8_ Tahun_2012_-_Lembaga_Wali_Nanggroe.pdf (diakses 2 Mei 2019). Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe, https://ppid.acehprov.go.id/v2/dip/view/514 (diakses 2 Mei 2019). Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh dan klarifikasi Qanun Nomor 3 tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh,i http://www.acehkita.com/wp- content/uploads/2013/04/Klarifikasi-Mendagri.pdf, (diakses 18 April 2018).

196 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-7-Tahun- 2013-Tentang-Hukum-Acara-Jinayat.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-6-Tahun- 2014-Tentang-Hukum-Jinayat.pdf (diakses 13 Juli 2018). Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-8-Tahun- 2014-Tentang-Pokok-Pokok-Syariat-Islam.pdf (diakses 13 Juli 2018). Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan Kabupaten/Kota. https://dsi.acehprov.go.id/wpcontent/uploads/2017/03/Qan un_Aceh_Nomor_7_Tahun_2015.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pembinaan dan Perlindungan Aqidah, https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Aceh-Nomor-8-Tahun- 2015-Tentang-Pembinaan-dan-Perlindungan-Aqidah.pdf (diakses 27 April 2019). Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/03/Qanun_Aceh_Nomor_4_Tahun_ 2016.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal. https://dsi.acehprov.go.id/wpcontent/uploads/2017/03/Qan un_Aceh_Nomor_8_Tahun_2016.pdf (diakses 28 Maret 2019). Qanun Provinsi Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp-

197 content/uploads/2017/02/Qanun-Propinsi-Nanggroe-Aceh- Darussalam-Nomor-10-Tahun-2002-Tentang-Peradilan- Syariat-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). Qanun Provinsi NAD Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. https://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Propinsi-Nanggroe-Aceh- Darussalam-Nomor-11-Tahun-2002-Tentang-Pelaksanaan- Syariat-Islam-Bidang-Aqidah-Ibadah-dan-Syiar-Islam.pdf (diakses 23 Februari 2020). Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. http://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Provinsi-Nanggroe-Aceh- Darussalam-Nomor-12-Tahun-2003-Tentang-Minuman- dan-Khamar-dan-Sejenisnya.pdf, (diakses 26 Februari 2020). Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian)., http://dsi.acehprov.go.id/wp- content/uploads/2017/02/Qanun-Provinsi-Nanggroe-Aceh- Darussalam-Nomor-13-Tahun-2003-Tentang-Maisir- Perjudian.pdf, (diakses 27 Februari 2020). Qanun Provinsi Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2003/aceh14- 2003.pdf, (diakses 27 Februari 2020). Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat. http://jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_7_2004. pdf (diakses 27 Februari 2020). Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah NAD. http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_1 1_2004.pdf (diakses 1 Maret 2020). Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Di Tingkat Provinsi Aceh. https://kip.acehprov.go.id/model-dc-1/ (diakses 12 Februari 2018). Rekapitulasi Jumlah Perolehan Suara Sah Partai Politik Dalam Pemilu Anggota DPR Aceh Tahun 2014,

198 https://kip.acehprov.go.id/hasil-pemilihan-anggota-dpra- 2014/ (diakses 12 Februari 2018). UUD Negara RI Tahun 1945, http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, https://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011-%202006.pdf (diakses 21 Februari 2018). UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. , http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/1148.pdf, (diakses 5 Februari 2020). UU Nomor 22 tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, http://www.bphn.go.id/data/documents/48uu022.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). UU RI Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1957/uu1- 1957.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). UU RI Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, https://www.bphn.go.id/data/documents/65uu018.pdf. (diakses 8 Agustus 2019). UU Negara RI Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/26617952 389- uu_5_1974_pokok_pokok_pemerintahan_di_daerah_2.pdf (diakses 8 Agustus 2019). UU RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan daerah,. http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_22.p df. (diakses 8 Agustus 2019).

199 UU RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/33.pdf (diakses 8 Agustus 2019). UU RI Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45380 (diakses 17 Februari 2020). UU RI Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2001_18. pdf (diakses 17 Februari 2020). Visi & Misi Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022. https://kip.acehprov.go.id/2-zakaria- saman-alaidinsyah/ (diakses 16 April 2019). Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/6-irwandi-yusuf-nova-iriansyah/ (diakses 16 April 2019). Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/5-muzakir-ta-khalid/ (diakses 16 April 2019). Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/1-tarmizi-a-karim-machsalmina/ (diakses 16 April 2019). Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/4-zaini-abdullah-nasaruddin/ (diakses 16 April 2019). Visi dan Misi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. https://kip.acehprov.go.id/3-abdullah-puteh-sayed- mustafa/ (diakses 16 April 2019).

Artikel dan sumber informasi lainnya dari internet Affan, Heyder. ‚Persaingan partai politik di Aceh,‛ BBC, 18 Maret, 2009., http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/03/print able/090318_partai7.shtml (diakses 9 Februari 2020).

200 Avonius, Leena. ‚Reintegration BRA’s roles in the past and Its future visions.‛ Crisis Management Initiative, October 15, 2011, http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/avonius.pdf (diakses 8 April 2019). Badan Reintegrasi Aceh. ‚BRA dan KKR Rumuskan Kebijakan Damai Aceh.‛ https://bra.acehprov.go.id/bra-dan-kkr- rumuskan-kebijakan-damai-aceh/ (diakses 8 Maret 2019). Badan Reintegrasi Aceh. ‚Percepat Penyediaan Lahan Bagi Mantan Kombatan, BRA Koordinasi dengan Bupati Pijay.‛ https://bra.acehprov.go.id/percepat-penyediaan-lahan-bagi- mantan-kombatan-bra-koordinasi-dengan-bupati-pijay/ (diakses 7 April 2019). Calon Gubernur. https://www.liputan6.com/news/read/133087/calon- gubernur. (diakses 10 Februari 2020). Di Tiro, Hasan. Acheh-Sumatra National liberation Front (Atjeh Meurdehka). Atjeh: ASNLF, 1976. http://www.asnlf.org/index.php/asnlf-website- english/news/declaration-of-independence/ (diakses 10 Desember 2018). Gubernur NAD. ‚(PPT) badan reintegrasi-damai aceh (bra).‛ BRA, 26 April, 2006, iatdr.Unsyiah.ac.id:8080/jspul/…/1/20060426_BRA_Bada n_Reintegrasi_Aceh_In.ppt, (diakses 12 Maret 2019). International Crisis Group. ‚Indonesia: How GAM Won In Aceh.‛ Update Briefing, March 22, 2007, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b61-indonesia- how-gam-won-in-aceh.pdf (diakses 20 April 2019). International Crisis Group. ‚Aceh’s Local Election: The Role of The Free Aceh movement (GAM).‛Update Briefing, November 29, 2006, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b57-aceh- s-local-elections-the-role-of-the-free-aceh-movement- gam.pdf (diakses 20 April 2019). International Crisis Group. ‚Indonesia: GAM VS GAM in the Aceh Elections.‛ Update Briefing, June 15, 2011, https://d2071andvip0wj.cloudfront.net/b123-indonesia-

201 gam-vs-gam-in-the-aceh-elections.pdf (diakses 30 April 2019). Inilah Visi & Misi Lima Calon Gubernur Aceh 2012-2017., https://news.okezone.com/read/2012/03/22/340/598306/ini lah-visi-misi-lima-calon-gubernur-aceh-2012-2017. (diakses 10 Februari 2020). Gani, Yusra Habib Abdul. ‚Partai Lokal yang Kesunyian Ideologi,‛ Serambinews, 7 Mei, 2018, http://aceh.tribunnews.com/2018/05/07/partai-lokal-yang- kesunyian-ideologi?page=all (diakses 22 November 2018). Kampanye Pilkada Mulai digelar di NAD. https://www.liputan6.com/news/read/133069/kampanye- pilkada-mulai-digelar-di-nad. (diakses 26 Februari 2020). Pemerintah Aceh. ‚Sejarah Provinsi Aceh.‛ https://www.acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sej arah-provinsi-aceh.html, (diakses 8 April 2019). Partai Rakyat Aceh (PRA). https://news.detik.com/parpol/d- 1059311/partai-rakyat-aceh-38 (diakses 3 Januari 2020). Partai Aceh Aman Sejahtera. https://news.detik.com/parpol/1059316/partai-aman-aceh- sejahtera-35. (diakses 3 januari 2020). Partai Bersatu Aceh. https://news.detik.com/parpol/d-1059307/- partai-bersatu-aceh-40. (diakses 3 Januari 2020). Partai Suara Independen Rakyat Aceh (37). https://news.detik.com/parpol/d-1059314/partai-suara- independen-rakyat-aceh-37. (diakses 3 Januari 2020). Partai Nasional Aceh. https://www.tribunnews.com/regional/2018/07/06/siapkan- bantuan-hukum-pna-yakin-irwandi-yusuf-tak-bersalah (diakses 12 Januari 2020). RadarAceh. ‚Wali Nanggroe Tagih Janji MoU Helsinki ke Wapres.‛ https://www.radaraceh.com/2018/03/wali-nanggroe-tagih- janji-mou-helsinki.html (diakses 8 Januari 2019). Rassanjani, Saddam. ‚Adu Kuat Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Legislatif Tahun 2019.‛ https://dialeksis.com/analisis/adu- kuat-partai-politik-lokal-peserta-pemilu-legislatif-tahun- 2019/ (diakses 5 September 2019).

202 Tribunnews.‛Tiga Partai Lokal Aceh Resmi Jadi Peserta Pemilu.‛ www.tribunnews.com>Regional>Sumatera, (diakses 21 Februari 2018). Yustian Driyartana, Edwin. ‚Kedudukan Partai Politik Lokal di Nanggroe Aceh Darussalam Ditinjau dari asas demokrasi,‛ https://core.ac.uk/download/pdf/12350454.pdf. (diakses 3 Januari 2020).

Wawancara Wawancara dengan Furqan Ibrahim, sebagai salah satu pengurus PA, pada 8 September 2017 di Aceh. Wawancara dengan Wahab sebagai salah satu pengurus dari PDA, pada 8 Agustus 2018 di Aceh. Wawancara dengan Zainal, sebagai salah satu pengurus dari PA, pada 21 Juli 2018 di Aceh. Wawancara dengan Muhammad Yusuf sebagai salah satu pengurus dari PNA, pada 1 Agustus 2018, di Aceh.

203

204 GLOSSARIUM

AMM Aceh Monitoring Mission, pembentukan tim ini berkaitan dengan pelaksanaan MoU Helsinki. ASEAN Association Southeast Asian Nations, organisasi ini ikutserta dalam implementasi MoU Helsinki. ASNLF National Liberation Front of Acheh, Sumatra, nama resmi organisasi yang dibentuk Hasan Di Tiro pada tahun 1976. BRA Badan Reitegrasi Damai Aceh, lembaga ini dibentuk berdasar pada implementasi MoU Helsinki. BRR Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi, lembaga ini dibentuk pasca tsunami yang terjadi pada tahun 2004 di Aceh. CMI Crisis Management Initiative, organisasi ini dipimpin oleh Martti Ahtisaari, dan bekerja untuk penyelesaian konflik. DI Darul Islam, nama organisasi pemberontak Aceh, pada tahun 1950-an. DPR Dewan Perwakilan Rakyat DPRA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, penamaan tersebut berdasar pada Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh. EU European Union, organisasi ini ikutserta dalam implementasi MoU. HAM Hak Asasi Manusia InPres Instruksi Presiden GAM Gerakan Aceh Merdeka, penamaan berdasar pada Bahasa Indonesia dari organisasi yang dibentuk oleh Hasan Di Tiro pada tahun 1976. KepGub Keputusan Gubernur KIP Komisi Independen Pemilihan, penamaan tersebut didasarkan pada Undang-Undang

205 Tentang Pemerintahan Aceh. KKR Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, lembaga ini dibentuk berdasarkan pada implementasi dari MoU. KPU Komisi Pemilihan Umum

KUHAP Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. MoU Memorandum of Understanding MPU Majelis Permusyawaratan Ulama NAD Nanggroe Aceh Darussalam NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia NU Nahdalatul Ulama, partai politik pada tahun 1950-an. PA Partai Aceh, partai politik peserta pemilu legislative 2009 dan 2014. PBA Partai Bersatu Aceh, partai politik peserta pemilu legislative 2009 PAAS Partai Aceh Aman Sejahtera, partai politik peserta pemilu legislative 2009 PDA Partai Damai Aceh, partai politik peserta pemilu legislative 2014 PDA Partai Daulat Aceh, partai politik peserta pemilu legislative 2009 PerGub Peraturan Gubernur Permai Persatuan Rakjat Marhaen Indonesia PerPres Peraturan Presiden Pilkada pemilihan kepala daerah PNA Partai Nasional Aceh, partai politik peserta pemilu legislative 2014. PNI Partai Nasional Indonesia, partai politik pada tahun 1950-an. POLRI Polisi Republik Indonesia PP Peraturan Pemerintah PPP Partai Persatuan Pembangunan Ppu peraturan perundang-undangan PRA Partai Rakyat Aceh

206 PSII Partai Sarekat Islam Indonesia, partai politik pada tahun 1950-an. SK Surat Keputusan UNDP United Nations Development Programme, organisasi ini ikut memberikan bantuan kepada Aceh. USAID United States Agency For International Development, organisasi ini ikut memberikan bantuan kepada Aceh. UUD Undang-Undang Dasar UU TPA Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh, pengesahannya dilakukan pada tahun 2006. TNI Tentara Nasional Indonesia

207

208 INDEKS

A B Abangan, 47, 48 Basuki Gunawan, 49 Aceh, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, Ben Hilman, 27 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, BRA, 4, 5, 10, 11, 12, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 19, 21, 22 24, 25, 26, 27, 28, 30, 32, BRR, 4 34, 35, 36, 41, 42, 45, 46, Bupati, 22 51, 52, 54, 55, 58, 59, 60, 64, 66, 67, 68, 70, 71, 72, C 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, Clifford Geertz, 47, 48 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87, CMI, 1 89,90, 91, 92, 93, 94, 95, Craig Thornburn, 25 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, D 112, 113, 114, 115, 116, Daud Beureueh, 35 117, 118, 119, 120, 121, Demokrasi, 22, 23, 24, 32, 46, 123, 124, 126, 127, 128, 76 129, 130, 131, 132, 133, DI, 28, 34, 35, 54, 90, 95, 96, 134, 135, 137, 138, 139, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 142, 143, 144, 145, 146, 103, 104, 127 147, 148, 149, 150, 151, Dinas Syariat Islam, 10, 96, 152, 153, 154, 155, 156, 100, 105, 106, 108, 110, 157, 158, 159, 160, 161, 114, 115, 123, 124, 144, 162, 163, 164, 165, 166, 145, 180, 181, 183 167, 168, 169, 170, 171, Dokumentasi, 31 172, 173, 174, 175, 176, Donald K. Emmerson, 48 177, 178, 179, 180, 181, DPR, 5, 6, 7, 17, 65, 66, 67, 182, 183, 184, 185, 186 68, 79, 90, 94, 95, 106, 107, AMM, 2, 3, 75 154, 167 Amnesti, 1, 3 DPRA, 6, 7, 10, 11, 13, 14, Animisme, 47 16, 17, 19, 22, 83, 132, 133, ASEAN, 2, 3 144, 145, 146, 150, 158, ASNLF, 34

209 164, 165, 166, 167, 168, Helsinki, 1, 7, 9, 13, 18, 19, 169, 170, 171, 172, 186 21, 22, 23, 59, 73, 78, 83, 84, 89, 92, 137, 148, 149, E 150, 159, 161, 163, 164, Edward Aspinall, 26, 34 174, 176, 177, 182, 183, EU, 2, 3 185 Hindu, 47 F Humam Hamid, 9, 76, 77, Formalistik, 52 141, 143

G I GAM, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, Identitas, 22, 23, 61, 62 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, Ideologi Politik, 32, 39, 40 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, InPres, 4 25, 26, 29, 32, 34, 35, 36, Institusi Politik, 32, 33, 36, 59, 73, 74, 75, 76, 77, 81, 40 82, 83, 84, 85, 87, 89, 91, Irwandi Yusuf, 8, 10, 11, 15, 92, 95, 106, 137, 143, 149, 20, 21, 76, 77, 82, 85, 87, 150, 179, 185 137, 143, 147, 159, 162, Gubernur Aceh, 6, 7, 8, 10, 172, 178, 181, 185 11, 12, 14, 15, 16, 17, 19, Islam, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 20, 21, 22, 23, 75, 76, 77, 28, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 80, 82, 83, 85, 86, 87, 132, 41, 42, 46, 47, 48, 49, 50, 133, 137, 147, 158, 159, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 160, 161, 162, 163, 172, 79, 81, 85, 89, 92, 96, 97, 173, 174, 175, 176, 177, 102, 103, 104, 105, 108, 178, 179, 180, 181, 183, 111, 115, 116, 117, 118, 185 119, 124, 125, 127, 128, Gubernur NAD, 4, 5, 9, 10, 129, 130, 131, 132, 133, 11, 75, 126, 143 134, 135, 137, 144, 145, Gyda Mara Syndre, 27 146, 147, 148, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, H 158, 160, 162, 163, 165, HAM, 1, 3, 7, 21, 155 166, 167, 168, 169, 170, Hasan Di Tiro, 34, 35 171, 172, 173, 174, 176, Hasbi Abdullah, 9, 76, 77, 177, 179, 180, 181, 185, 141, 143 186

210 109, 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119, K 120, 121, 124, 125, 126, Karl D. Jackson, 49 128, 129, 137, 138, 139, KepGub, 10, 11, 12 140, 141, 142, 143, 144, KIP, 6, 15, 17, 20, 75, 82, 85, 182 163, 167, 179 Nasionalisme, 36 KKR, 1, 6, 21 NKRI, 7, 35, 64, 67, 90 KPU, 6, 69 NU, 48, 53 KUHAP, 17 O L Orde Baru, 25, 49, 52, 53 Legislatif, 75, 77, 81, 83, 85, Organisasi Pemberontak, 41, 148, 157 43, 44 Lexy. J. Moleong, 30 Otonomi Khusus, 22, 23, 64, 70, 107, 108, 109, 110, 111, M 112, 113, 128 Martti Ahtisaari, 1 Masjumi, 48 P Mobilisasi Politik, 60 PA, 13, 15, 17, 20, 30, 73, 77, MoU, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 82, 83, 85, 148, 149, 150, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 157, 163, 164, 167, 172, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 179, 186 27, 28, 29, 30, 73, 74, 77, PAAS, 13, 79, 152, 153, 157 78, 83, 84, 87, 89, 92, 137, Partai Golkar, 49, 55, 77 148, 149, 150, 159, 161, Partai Politik, 9, 17, 44, 56, 163, 164, 173, 174, 176, 58, 59, 76, 77, 81, 82, 83, 177, 182, 183, 185 85, 87, 134, 148, 153, 157, MPU, 13, 102, 103, 124, 125, 163, 166, 167 127, 131, 144, 147, 163, partai politik lokal, 1, 6, 9, 170, 171, 182 13, 14, 17, 27, 30, 32, 59, Muzakir Manaf, 15, 20, 74, 60, 73, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 86, 87, 162, 174, 178 83, 87, 91, 135, 148, 151, 152, 157, 164, 165, 166, N 167, 186 NAD, 4, 5, 9, 10, 12, 22, 35, PBA, 13, 79, 153, 154, 157 51, 52, 69, 75, 107, 108,

211 PDA, 13, 17, 30, 80, 81, 84, PP, 5, 9, 10, 13, 14, 16, 18, 85, 96, 101, 106, 108, 111, 19, 75, 76, 100, 106, 108, 156, 157, 165, 166, 167 113, 115, 131 Pemerintah Indonesia, 1, 2, 3, PPP, 9, 76, 77, 79, 81, 82, 160 9, 25, 28, 55, 59, 60, 69, 89, PRA, 13, 78, 151, 152, 157 91, 150 Presiden, 1, 3, 4, 5, 6, 11, 14, Pemerintah Pusat, 1, 3, 4, 5, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 89, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 91, 95, 96, 106, 112, 118, 17, 18, 20, 21, 26, 29, 41, 119, 127, 128, 129, 182 43, 44, 51, 64, 65, 66, 67, Prijaji, 47, 48 68, 69, 70, 73, 77, 78, 83, PSII, 48 87, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 97, 101, 104, 105, 106, 107, Q 108, 109, 112, 113, 114, Qanun Aceh, 10, 11, 12, 13, 115, 117, 118, 120, 121, 16, 17, 18, 19, 122, 129, 122, 125, 126, 127,128, 130, 131, 144, 145, 146, 129, 132, 133, 134, 137, 147, 167, 168, 169, 170, 144, 145, 147, 160, 163, 171, 182, 183 165, 167, 171, 172, 175, 179, 181, 182, 183, 185, R 186 Reintegrasi, 4, 10, 21, 22 Penelitian Kualitatif, 30, 31 PerGub, 21 S Permai, 48 Santri, 47, 48 PerPres, 6, 10, 14, 16 Shane Joshua Barter, 25 Pilkada, 8, 15, 20, 75, 76, 82, SIRA, 13, 80, 81, 82, 155, 85, 137, 138, 139, 140, 141, 157, 160 142, 143, 158, 162, 172, Substantivistik, 52 178, 179 Syariat Islam, 11, 13, 17, 18, PNI, 48, 49, 75, 76 19, 22, 34, 50, 51, 52, 80, Politik, 22, 23, 24, 30, 36, 39, 93, 95, 96, 98, 100, 101, 49, 50, 52, 53, 61, 62, 73, 102, 103, 104, 105, 106, 76, 82, 87, 89, 126, 127, 108, 110, 111, 113, 114, 128, 135, 182, 183 115, 116, 117, 118, 119, POLRI, 2, 3 120, 121, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 137,

212 138, 139, 140, 141, 142, 144, 145,146, 147, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 159, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 182, 183, 184, 185, 186

T TNI, 2, 3, 6, 106

U UU TPA, 5, 7, 11, 21, 83, 92, 95, 108, 130, 131, 132, 134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 150, 182, 183, 185 UUD, 2, 7, 50, 64, 68, 93, 107, 114, 145, 148, 157, 163, 166, 185

W Wali Nanggroe, 1, 16, 18, 19, 107, 110, 134, 146, 168 Wawancara, 31, 96, 101, 106, 108, 111, 150, 157, 164, 165, 166

Z Zaini Abdullah, 15, 16, 17, 20, 82, 86, 87, 161, 162, 172, 175, 178, 185 Zakaria Saman, 20, 74, 86, 87, 176, 178

213

BIODATA PENULIS

M. Kamal Arifin, S.Sos, M.A, lahir di Langsa pada 7 April 1992. Penulis menyelesaikan pendidikan Strata I jurusan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015. Kemudian melanjutkan pendidikan Magister jurusan Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selesai pada tahun 2020.

214