Peran Tni Dalam Melikuidasi Negara Pasundan Sebagai
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Peran tni dalam melikuidasi negara pasundan sebagai negara bagian ris 1947-1950 (suatu tinjauan historis tentang peranan militer dalam membubarkan tatanan federal diIndonesia) Disusun oleh : Erik Andang Kurnia C.0501003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi negara merdeka. Kemerdekaan Indonesia ini tidak diakui keabsahannya oleh Belanda. Oleh karena itu pemerintah Belanda pun ikut ambil bagian dalam proses penyelesaian atas Indonesia, dan dunia internasional mengikuti sikap Belanda tersebut. Berbagai jalur diplomasipun ditempuh untuk memecahkan masalah antara Belanda dengan Indonesia. Perundingan- perundingan diplomatik secara formal dimulai sejak tahun 1946 yaitu Konferensi Hoge Veluwe dengan perantaraan Inggris. Dalam perundingan tersebut tidak 2 menghasilkan kesepakatan hanya dicapai beberapa prinsip, yaitu pengakuan de facto atas Republik Indonesia (Pulau Jawa saja). 1 Gagalnya Hoge Veluwe disebabkan oleh penentangan - penentangan yang kuat di Belanda dan Indonesia. Penentangan yang kuat di negeri Belanda adalah dari kelompok orang Katolik Protestan dan Liberal. Sementara Partai Buruh di negeri Belanda tetap mendukung azas berunding yang mengakibatkan pertengkaran dengan Partai Katolik 2 , sedangkan pihak-pihak tertentu di Indonesia yang tidak kurang kuatnya menginginkan kemerdekaan Indonesia langsung atau "Merdeka 100 persen" adalah dari kelompok Tan Malaka. Ia bersama dengan beberapa pemuda yaitu Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik tidak sependapat dengan apa yang dicita-citakan Syahrir dan Amir Syarifuddin. Mereka menjadi kelompok oposan kabinet Syahrir. Tan Malaka mengusulkan "Minimum Program" sebagai dasar perjuangan yang menekankan kemerdekaan sepenuhnya, kerakyatan dan nasionalisasi milik penjajah. 3 Jatuhnya kabinet Syahrir akibat penentangan dan propaganda kelompok Tan Malaka, memaksa Syahrir untuk meminta kepada presiden Soekarno pemberhentian kabinetnya pada tanggal 23 Pebruari 1946. Pada tanggal 28 Pebruari keputusan Syahrir diumumkan kepada sidang KNIP. Presiden Soekarno menunjuk Tan Malaka untuk menyusun kabinet baru, akan tetapi Tan Malaka tidak berhasil. Oleh karena demikian Soekarno pada 2 Maret 1946 menunjuk 1 R.Z. Leirissa, Jalur Linggarjati , dalam A.B. Lapian & P.J. Drooglever, 1992, Menelusuri Jalur Linggarjati, Jakarta : Grafiti, halaman 2-3. 2 J. J. P. de Jong, Mitra dalam Perundingan Sutan Syahrir dan H. J. van Mook, Dalam A.B. Lapian & P.J. Drooglever, 1992, Menelusuri Jalur Linggarjati, Jakarta : Grafiti, halaman 73. 3 Suhartono W. Pranoto, 2001, Revolusi Agustus Nasionalisme Terpasung dan diplomasi Internasional,Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, halaman 142. 3 Syahrir untuk menyusun kabinet baru. Akibat bantuan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta untuk mendukung "diplomasi”-nya dan berhasilnya partai Masyumi dan PNI duduk di dalam kabinet yang baru, maka berhasillah Syahrir untuk membentuk kabinetnya yang kedua pada tanggal 12 Maret 1946. Syahrir menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, sedangkan Amir Syarifuddin ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan. Pembentukan Kabinet Syahrir kedua ini melestarikan politik "diplomasi" yang dianut oleh Syahrir sebagai dapat dilihat di dalam program kabinetnya yang antara lain berbunyi: "menjalankan perundingan-perundingan (dengan pihak Belanda) berdasarkan atas pengakuan sepenuhnya terhadap Republik Indonesia". Kedudukan Syahrir dengan ini menjadi kuat setelah dia dapat menyampingkan pengaruh-pengaruh radikal dari Persatuan Perjuangan (PP) di bawah Tan Malaka sehingga dengan penuh kepercayaan dia menghadapi perundingan-perundingan dengan Van Mook yang akan diadakan di dalam bulan Maret dan seterusnya berdasarkan usul Belanda tanggal 10 Pebruari 1946. 4 Pada tanggal 7 Oktober 1946 delegasi Belanda dan delegasi Indonesia mulai berunding lagi dengan tekad mencapai suatu persetujuan. Perundingan- perundingan itu diadakan dengan perantaraan Lord Killearn dari Inggris. Delegasi Belanda, yaitu Commissie General dipimpin Profesor W. Schermerhorn dan delegasi Republik dipimpin Sutan Syahrir yang berhasil membentuk kabinet lagi. Perundingan diadakan di Jakarta dan Linggarjati, Kabupaten Kuningan. Akhirnya pada tanggal 25 Maret 1947 antara kedua belah pihak menandatangani perjanjian tersebut. Hasilnya terjadi perbedaan pemahaman tentang bentuk yang diinginkan 4 Ide Anak Agung Gde Agung, 1985, Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, halaman 22. 4 kedua belah pihak. Belanda menginginkan terbentuknya Negara Serikat sedangkan Indonesia sesuai dengan UUD 1945 berbentuk Negara Kesatuan. Berdasarkan perjanjian Linggarjati Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto atas Jawa dan Sumatra dan RI akan menjadi Negara Serikat Indonesia. 5 Akibat perbedaan tafsiran tentang isi Persetujuan Linggarjati pada tanggal 20 Juli 1947, tengah malam pihak Belanda melancarkan Agresi Militer mereka yang pertama. Pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten) 6 , Karena berdasarkan perjanjian Linggarjati Indonesia hanya berdaulat secara de facto . Belanda menuntut supaya angkatan perang Indonesia dibubarkan dan diganti dengan tentara Belanda. Tetapi ditolak sehingga situasi ini menjadi genting. Belanda kemudian menyerang RI dan berhasil menduduki Madura, sebagian Jawa Timur, sebagian Jawa Tengah, Jawa Barat kecuali Banten, beberapa daerah di Palembang dan Sumatera Timur. Penyerangan Belanda kepada Indonesia ini mempunyai gema internasional, sehingga akhirnya PBB memerlukan turun tangan mendamaikan kedua belah fihak. Dan tercapailah persetujuan Renville berkat usaha Komisi Tiga Negara (KTN) yaitu Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Politik Amir Sjarifuddin yang menghasilkan Persetujuan Renville itu menimbulkan reaksi kontra yang luar biasa besarnya, baik dari kalangan partai-partai maupun militer, bahkan banyak fihak-fihak tentara yang tidak sudi melaksanakan hasil Renville. 5 R.Z. Leirissa, op.cit., halaman 4. 6 M.C. Ricklefs, 1992, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, halaman 338. 5 Nasution antara lain mengatakan dalam bukunya mengenai Renville itu sebagai berikut : "Untuk kesekian kalinya dikorbankan posisi militer kita untuk membuka jalan bagi diplomasi". 7 Akibat persetujuan Renville terjadilah suatu kerugian bagi militer Indonesia, dalam kaitan ini Kolonel A. H. Nasution memimpin 22.000 prajurit Siliwangi keluar wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda, menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI. Peristiwa ini dikenal dengan istilah "Siliwangi Hijrah". Dengan demikian di Jawa Barat di atas kertas telah dikosongkan dari unsur-unsur kekuatan Republik Indonesia sebagai konsekuensi dari persetujuan Renville. Di tengah-tengah semakin meningkatnya ketegangan politik ini, pada tanggal 29 Januari 1948, diumumkanlah Kabinet Presidentil dengan Wakil Presiden, Drs. Mohammad Hatta, sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Dengan mempunyai program kabinet antara lain : Menyelenggarakan hasil persetujuan Renville; Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Mengadakan reorganisasi dan rasionalisasi Angkatan Perang; dan Pembangunan. 8 Dalam rangka itu, Pemerintah Hatta menyerukan agar pasukan Militer RI yang masih bertahan di daerah-daerah RI tetapi telah dimasukan ke daerah pendudukan Belanda oleh Persetujuan Renville (yaitu terkenal dengan daerah "Kantong") segera kembali ke daerah yang de jure masuk wilayah RI. Tetapi seruan Pemerintah Hatta mengenai hal itu rupanya mengakibatkan perpecahan 7 Yahya A. Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966 , Yogyakarta : Gadjah Mada University, halaman 48. 8 George Mc Turnan Kahin, 1995, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia , Surakarta dan Jakarta : UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, halaman 234. 6 Militer Indonesia, sebab Tentara Indonesia radikal yang berada di kantong- kantong di Jawa Barat menolak politik pemerintah dan mereka tidak mau memenuhi seruan Hatta. Unit-unit Tentara Indonesia tersebut mengganggap pemerintah telah berkolaborasi dengan kolonialis Belanda. Mereka bertekad untuk terus berjuang di daerah yang ditinggalkan pasukan TNI yang ber-"hijrah". Pada akhirnya kelompok kekuatan bersenjata yang tetap tidak mau mematuhi isi Renville membentuk organisasi yang kemudian terkenal dengan sebutan "Darul Islam" dengan pimpinan Kartosuwiryo. 9 Untuk yang kedua kalinya, Belanda mengingkari persetujuan Renville dan dilancarkannyalah Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Belanda berhasil menguasai Ibukota RI Yogyakarta dan para pimpinannya ditangkap dan ditahan oleh Belanda. Namun tidak serta merta RI jatuh, karena sebelumnya telah dibentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi sebagai antisipasi. Sementara itu sebelum meningggalkan Yogayakarta, Jenderal Sudirman sempat mengeluarkan sebuah perintah harian yang ditujukan ke segenap prajurit TNI, yaitu agar menjalankan tugas sesuai dengan yang telah direncanakan sehubungan telah diserangnya Yogyakarta yang merupakan pelanggaran gencatan senjata oleh Belanda. Panglima Besar membentuk dua Komando Daerah Pertahanan yang langsung berada di bawah komandonya, yaitu : 1. Komando Daerah Pertahanan Djawa di bawah Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD) dengan markasnya di Yogyakarta, yang disebut Markas Besar Komando Djawa (MBKD), 2. Komando Daerah 9 G. Moedjanto, 1988, Indonesia