Karya Seni : Indonesia Dan Prancis Apakah Saling Mempengaruhi ? Edisi Ke-5 Acara Dua Tahunan Sepuluh Jam Untuk Kesusastraan Indonesia
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
NOTULA EDISI KE-5 BIENNALE 10 JAM UNTUK KESUSASTERAAN INDONESIA Ditulis oleh Élise Bas KARYA seni : Indonesia dan Prancis apakah saling mempengaruhi ? EDISI KE-5 ACARA DUA TAHUNAN SEPULUH JAM UNTUK KESUSASTRAAN INDONESIA UNESCO, RUANGAN IV 7, PLACE DE FONTENOY, PARIS VIIE JUMAT, 9 NoveMBER 2012 Asosiasi PASAR MALAM, untuk kekerabatan masyarakat prancis dan indonesia 14 rue du Cardinal Lemoine - 75005 Paris, téléphone 01 56 24 94 53 [email protected] http://pasarmalam.free.fr L’Ambassade d’Indonésie Délégation Permanente de la République d’Indonésie auprès de l’UNESCO ISBN 979-10-91125-05-5 NOTULA EDISI KE-5 BIENNALE 10 JAM UNTUK KESUSASTERAAN INDONESIA 9 NoveMBER 2012, UNESCO, 125 Avenue DE SUFFREN, PARIS KARYA seni : Indonesia dan Prancis apakah keduanya saling memberi inspirasi ? Semuanya menyimak dengan penuh perhatian... JADWAL ACARA 10.00 – Pintu ruangan dibuka 16.30 – Pemutaran film video: Jangan Terbangun 10.15 – Acara Pembukaan Sebelum Mimpi Berakhir 10.30 – Para penulis Prancis di Jawa : Berbagai 17.00 – Pada siapa dan mengapa mengajarkan Perjalanan dan Kesaksian, konferensi bahasa Prancis di Indonesia ? 11.45 – Métro B, tari kontemporer Indonesia 17.30 – Batik, chic ! Memakai kain batik di 12.30 – Makan siang Prancis. Peragaan dan presentasi aneka kain 14.00– Diskusi: Bagaimana meletakkan terindah dari Jawa. pengaruh seni dan sastra Indonesia di Prancis 18.00 – Pameran Buku dan sebaliknya, dari Prancis di Indonesia? 20.00 – Penutupan 15.30 – Rehat, suguhan jajanan Indonesia 16.00 – Pembacaan puisi Di UNESCO… Reva Januarty dan Hélène Koloway Yuyu Hagenbücher, pemandu acara BABAK I – PAGI HARI ACARA PEMBUKAAN Edisi ke-5 biennale Sepuluh Jam untuk terima kasihnya yang sedalam-dalamnya pada Kesusateraan Indonesia dibuka oleh: Kedutaan Besar Indonesia dan perwakilan tetap Arifi SAIMAN, Kepala/koordinator Bidang Prancis untuk UNESCO. Penerangan Sosial Budaya Kedutaan Besar Bapak Arifi SAIMAN, Kepala/koordinator Republik Indonesia untuk Prancis dan Bidang Penerangan Sosial dan Budaya Kedutaan Kepangeranan Andorre dan Monaco. Besar Republik Indonesia di Prancis, untuk Daniel RONDEAU, Duta Besar, delegasi tetap Kepangeranan Andorre dan Monaco, selanjutnya Republik Prancis untuk UNESCO. pada kesempatan ini juga mengucapkan, atas Yuyu HAGENBÜCHER, pembawa acara. nama Kedutaan Indonesia selamat datang pada seluruh peserta. Beliau menggarisbawahi Atas nama Asosiasi Pasar Malam, Yuyu bahwa betapa pertemuan para penulis, pelaku HAGENBÜCHER pertama-tama mengucapkan seni, penyair, para penerbit, seniman Prancis selamat datang pada semua peserta, dan dan Indonesia dalam acara Sepuluh Jam ini memperkenalkan buku puisi karya Saut mewakili sebuah kesempatan unik dalam wajah SITUMORANG, yang telah diterjemahkan oleh kebudayaan Prancis. « Asam di gunung, garam François-René DAILLIE, yang dicetak khusus di laut / bertemu dalam satu belanga… ». Selain untuk acara Sepuluh Jam untuk Kesusasteraan itu, penyelenggaraan acara ini secara kebetulan Indonesia tanggal 9 November 2012. Sebuah bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di buku yang sangat bermakna mengingat Indonesia 10 November. Setelah mengingatkan sulitnya mendapatkan buku-buku Indonesia di peran yang tak ternilai harganya para penulis toko-toko buku Prancis. Ibu HAGENBÜCHER besar yang sekaligus pejuang kemerdekaan mewakili Asosiasi Pasar Malam menyatakan Indonesia, Bapak SAIMAN mengakhiri pidatonya dengan mengucapkan terima kasihnya yang bagi Bapak Daniel RONDEAU adalah sebuah sebesar-besarnya pada Pasar Malam. pencerahan. Sebagaimana telah beliau garis Bapak Daniel RONDEAU, Duta Besar, wakil tetap bawahi sendiri, kesusasteraan Indonesia saat ini Republik Prancis untuk UNESCO, kemudian jelas modern, para wanita (Ayu UTAMI, Saman) mendapat giliran untuk menggarisbawahi mempunyai reputasi di tingkat internasional. betapa jarangnya sekarang ini menyediakan Yayasan Lontar dan proyeknya « Dunia, Sebuah sepuluh jam –dan bukan 5 menit- pada Syair Raksasa» diluncurkan bekerjasama dengan kesusasteraan pada umumnya, dan khususnya seorang antropolog Spanyol, juga memainkan pada kesusasteraan Indonesia. Di depan para sebuah peran primordial dalam penyebarannya. hadirin, dalam beberapa patah kata beliau Yang Mulia Bapak Daniel Rondeau, menyatakan menceritakan pengalaman pribadinya ketika mendapat kehormatan bisa menyambut mengenal kesusasteraan Indonesia. Memang penyelenggaraan acara seperti ini di gedung bagi beliau sekian lama kepulauan Indonesia UNESCO, akhirnya menyampaikan ucapan selalu diasosiasikan dengan suatu tempat, terima kasihnya pada Asosiasi Pasar Malam. yaitu Borobudur, yang terungkap begitu puitis Dalam edisi ke-5 biennale ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan Roger VAILLANT, di penyesalan yang dalam atas ketidakhadiran dua mana misteri «anggrek beraroma kambing » tokoh penting yaitu François-René DAILLIE dan berpadu dengan para penari yang gemulai, A. Umar SAID, yang masing-masing adalah pantai yang berpasir putih dan makam di penulis/penerjemah dan pejuang kemerdekaan, puncak bukit. Borobudur, juga merupakan dan anggota Pasar Malam, yang belum lama ini tempat magis di mana raja Mataram terakhir meninggal. dimakamkan, terkurung dalam istananya Indonesia dan Prancis, apakah keduanya saling dengan 10.000 istrinya… Lebih dekat lagi memberi inspirasi satu sama lain? Itulah dengan kita, puisi Saut SITUMORANG, yang pertanyaan yang harus dijawab dalam edisi ke-5 mendapat kehormatan dalam penyelenggaraan biennale ini. 10 Jam untuk Kesusasteraan Indonesia kali ini, PARA PENULIS PRANCIS DI JAWA : BERBAGAI PERJALANAN DAN KESAKSIAN, PRESENTASI DARI PHILIPPE GRANGE, DIREKTUR INSTITUT ASIA-PASIFIK, LA ROCHELLE. Tidak banyak penulis Prancis yang tertarik hanya tertuju pada rakyat Jawa tapi tetap juga pada pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. pada cara memerintah orang-orang Belanda Karya-karya tulis yang mereka hasilkan tentang dan negeri-negeri jajahan mereka. Dalam perjalanan itu lebih benilai sosiologi dan presentasinya, Bapak GRANGE memfokuskan ilmu pengetahuan daripada bernilai sastra. diri pada abad ke-19 dan ke-20. Sebelum abad ke-19, tulisan-tulisan seperti itu jarang, tulisan-tulisan yang ada berasal Sekedar untuk mengingatkan, beberapa nama dari para nahkoda yang melaporkan kesulitan- penulis yang disebutkan oleh Bapak GRANGE kesulitan yang mereka temui dalam pembelian sepanjang presentasinya adalah De Molins dan perdagangan rempah-rempah, catatan- (1858-1864), De Beauvoir (1866), Rimbaud catatan dari para penjelajah, pejabat yang ingin (1876 – yang terdaftar dalam pasukan kolonial memahami «gaya Belanda » – yang dianggap Belanda, yang kemudian melarikan diri, sebagai sebuah keberhasilan–, supaya bisa tinggal di pulau Jawa kurang lebih 3 bulan, mengadopsinya dengan lebih baik. Pada jaman tapi sayangnya tidak menuliskan apa-apa…), itu, pandangan para wartawan dan penulis tidak Pina, Leclercq, Cabaton (1910), Angoulvant Konferensi "Para penulis Prancis di Jawa : berbagai perjalanan dan kesaksiannya" (1924), Robequain, Roger Vaillant (ditugaskan oleh oleh keluarga-keluarga bangsawan Prancis, pada tahun 1951 untuk hariannya), lalu Clara misalnya tulisan dari Comte Ludovic de Beauvoir Malraux, Jack Thieuloy dan Bernard Dorléans. (1846-1929), yang saat itu berusia 20 tahun, dan ditugaskan oleh keluarganya mencatat semua Membedakan dalam tiga periode, beliau yang terjadi selama perjalanannya ke Siam, menyusun paparannya dalam tiga masa, yaitu Jawa dan Canton. Karyanya itu, dipublikasikan pada pertengahan abad ke-19, pandangan- 1868, meraih sukses besar di berbagai toko pandangan bangsawan yang terheran-heran, buku, sebagian karena kualitas dan eksotisme kadang-kadang tampak jelas merendahkan, dari ilustrasi-ilustrasi yang ditampilkan. Dari dan tidak bebas dari berbagai kritik terkait tulisan-tulisan Beauvoir dan Molins, muncul dengan kekasaran exploitasi kolonial, di mana khususnya kepatuhan para petani Jawa pada tulisan-tulisan ini pertama-tama cenderung aristokrat kulit putih, yang secara mengherankan simpatik terhadap orang-orang Jawa (1). terkait dengan larangan pemerintah Belanda Namun pandangan ini seiring dengan waktu menyekolahkan anak-anak Jawa, karena takut makin mengeras, dan terlihat kekaguman orang akan menebarkan benih hasrat untuk merdeka. Prancis terhadap gaya penjajahan Belanda yang Akhir abad ke-19 ditandai dengan berbagai « efisien », secara progresif kita sampai pada kekaguman terhadap gaya penjajahan Belanda. tulisan-tulisan yang diwarnai rasisme, yang Hampir sepertiga pendapatan APBN Belanda mana pada akhir abad ke-19, penjajahan sering berasal dari eksploitasi tanah jajahannya di dibenarkan oleh berbagai pertimbangan seolah- Hindia Belanda melalui sistem tanam paksa olah-ilmiah yang menegaskan kesuperioritasan (Cultuurstelsel), benar-benar « perbudakan orang-orang Eropa atas orang-orang Jawa (2). fiskal » yang terjadi antara sekitar tahun 1830 Akhirnya, pada abad ke-20, pandangan pasca- dan 1900. Dalam sistem ini, sebagian dari tanah kolonial menemukan kembali nada simpatinya pertanian harus ditanami dengan tanaman yang terhadap rakyat Indonesia (3). telah ditentukan oleh pemerintah, 2/5 dari panen harus dikirim ke gudang pemerintah. Periode pertama: Rasa simpati terhadap Penyalahgunaan kekuasaan sering terjadi, dan orang-orang Jawa dan kekaguman pada konsekuensi dari sistem ini kadang-kadang gaya penjajahan Belanda (abad ke-19) mengerikan, yaitu terjadinya wabah kelaparan, dan para petani Jawa secara kolektif sering Pada abad ke-19, tulisan-tulisan, yang mana tercekik hutang akibat sistem ini. Sistem ini yang kita miliki saat ini sebagian besar terkait