POLITIK & GERAKAN KEBANGSAAN PEMUDA MUSLIM (Studi Terhadap
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
POLITIK & GERAKAN KEBANGSAAN PEMUDA MUSLIM (Studi Terhadap Kiprah GP Ansor Pada Masa Kelahiran hingga Masa Demokrasi Parlementer) Abdillah Halim Institut Agama Islam Ngawi Abstract This paper examines the politics and national movements of the Ansor Youth Movement during its birth to the period of parliamentary democracy. Politics and national movements are politics and movements that are initiated in order to maintain the pillars of nationality, namely the state and legal government, the constitution, social stability, and the preservation of the teachings of Islam ahlussunah waljamaah. The Ansor Youth Movement appears to be consistent with politics and this nationalist movement from the time of its birth to the time of parliamentary democracy, and also to the present. This is strongly influenced by the ideology of the movement and politics of NU as a mentor of the Ansor Youth Movement, which has national, social and religious characteristics at the same time. This also became an important character of the Ansor Youth Movement which eschewed political pragmatism which was only oriented towards power. The Ansor Youth Movement has become an important copy of the political-religious movement of Ahlussunah Waljamaah which emphasizes socio- political stability in order to realize the benefit of the community based on religious or religious values. Keywords: Politics and the National Movement, Nahdlatul Ulama, Ansor Youth Movement Abstrak Tulisan ini menelaah politik dan gerakan kebangsaan Gerakan Pemuda Ansor pada masa kelahiran hingga masa demokrasi parlementer. Politik dan gerakan kebangsaan adalah politik dan gerakan yang dicetuskan dalam rangka mempertahankan pilar- pilar kebangsaan, yaitu negara dan pemerintahan yang sah, konstitusi, stabilitas sosial, dan kelestarian ajaran Islam ahlussunah waljamaah. Gerakan Pemuda Ansor tampak konsisten dengan politik dan gerakan kebangsaan ini sejak masa kelahiran hingga masa demokrasi parlementer, dan juga hingga masa sekarang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ideologi gerakan dan politik NU sebagai mentor Gerakan Pemuda Ansor, yang bercorak kebangsaan, kemasyarakatan, dan keagamaan sekaligus. Abdillah Halim Ini pula yang kemudian menjadi karakter penting Gerakan Pemuda Ansor yang menjauhi pragmatisme politik yang hanya berorientasi kepada kekuasaan semata. Gerakan Pemuda Ansor menjadi eksemplar penting gerkan politik-keagamaan ahlussunah waljamaah yang mementingkan stabilitas sosial politik dalam rangka mewujudkan kemaslahatan masayarakat yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan atau relijiusitas. Kata kunci: Politik dan Gerakan Kebangsaan, Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor A. PENDAHULUAN Kebangsaan atau nasionalisme adalah pandangan yang menegaskan bahwa individu atau penduduk harus meletakkan kesetiaan tertinggi mereka kepada negara kebangsaan dan bukan pada ikatan primordial yang lain seperti suku dan agama. Di dalam kebangsaan unit organisasi politik yang paling sah adalah negara kebangsaan. Negara Kebangsaan, meskipun sebagian dibentuk oleh faktor-faktor obyektif seperti kesamaan tumpah darah, suku, bahasa, dan yang lain, namun terutama ia dibentuk oleh kemauan bersama untuk hidup dan mengabdi kepada satu ikatan negara kebangsaan tertentu. Negara Kebangsaan tersebut selanjutnya harus menjadi cita politik paling penting dari seluruh individu, menjadi spirit utama yang mampu mengilhami dan menggerakkan seluruh individu.89 Paham kebangsaan atau nasionalisme adalah perasaan subyektif sekelompok besar penduduk di mana mereka merasa bahwa cita-cita mereka sebagai individu maupun kelompok akan lebih mudah tercapai jika mereka melebur menjadi satu dalam satu negara kebangsaan.90 Politik kebangsaan dalam konteks ini dipahami sebagai segenap regulasi dan kebijakan yang diupayakan oleh negara untuk menjamin kokohnya sendi-sendi negara bangsa, melindungi eksistensinya dari konflik primordial dan disintegrasi. Akan tetapi, agar pilar negara bangsa tetap kokoh, kelompok-kelompok primordial yang ada dalam negara bangsa juga harus diakomodasi kepentingan dan aspirasinya. Di sini, politik kebangsaan akan terus bergulat pada dua tegangan sekaligus, yakni antara kepentingan untuk menjaga integrasi bangsa dan keharusan memberi otonomi kepada kelompok primordial dan daerah.91 Ketika pendulum politik lebih bergerak kencang ke arah proyek integrasi nasional maka otonomi kepada ikatan primordial dan daerah akan lebih menyempit. Demikian sebalikanya. Yang musti dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara politik integrasi dan politik otonomi. Jika otonomi diabaikan, maka intergrasi juga akan dirongrong oleh potensi disintegrasi, lantaran akumulasi ketidakpuasan kelompok dan daerah kepada negara. Gerakan Pemuda Muslim kontemporer dalam kasus Indonesia tampak pada berkembangkanya Hizbut Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan gerakan-gerakan Islam transnasional yang lain. Mereka begitu ideologis dan memiliki perhatian besar terhadap politik dan isu-isu kebangsaan termasuk isu-isu sosial tentu saja. Perkembangan mereka sering dikaitkan dengan perngaruh dari perubahan tata dunia dan kondisi global, di samping tentu kegigihan mereka dalam mendakwahkan paham dan merekrut anggota. Syamsu Rijal, di antaranya, dengan baik menjelaskan bagaimana kader HTI merekrut 89 Hans Kohn, Nasionalisme; Arti dan Sejarahnya, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: PT Pembangunan dan Penerbit Erlangga, 1984), 11-12. 90 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 53. 91 Moh. Mahfud MD, “Perkembangan Politik Kebangsaan dan Produk Hukum Otonomi Daerah”, dalam Eko Prasetyo, dkk. (ed.), Nasionalisme; Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 62, 74-75. 48 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim calon kader dengan pendekatan personal intensif, “teman merekrut temannya-angota keluarga merekrut anggota keluarga yang lain-tetangga merekut tetangga”, lewat beberapa tahapan poses: cognitive opening (mengintroduksi krisis atau tensi tertentu sehingga calon kader terbuka pikirannya kepada pandangan alternatif), religiuos seeking (pencarian paham dan pandangan baru yang dianggap lebih memuaskan), frame alignmnent (pengenalan terhadap “kebenaran” perspektif tertentu), dan terakhir, sosialisasi (proses di mana calon kader diikat dalam persaudaraan tertentu agar terjadi interaksi intensif sehingga dakwah dan kaderisasi berjalan lempang dan paripurna).92 HTI masih kukuh untuk tidak ikut bermain dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia dan tetap keras menuntut pendirian kekhalifahan Islam internasional sebagai pengganti negara bangsa yang mereka anggap tidak memiliki legitimasi keagamaan. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin Indonesia atau dikenal sebagai gerakan tarbiyah. Ia sudah memiliki partai politik yakni PKS. PKS dalam politik sudah sedemikian menjadi pemain penting dalam rangka mewujudkan cita citanya “mengislamkan masyarakat Indonesia” lewat jalur stuktur politik negara. PKS dalam pada itu memiliki organ-organ lain yang secara simultan memainkan dakwah di level masyarakat. Dakwah di bawah itu mendukung penuh politiknya di level atas, menyediakan kader dan partisipan. Dakwah tersebut dikemas dalam bentuk halqah, daurah, pengajian, liqa’, rihlah, mabit, dan sebagainya. Kaum muda tetap menjadi target utama mereka. Unit Kerohanian Islam dan Kepengurusan OSIS di SMA, Lembaga Dakwah Kampus dan BEM di Universitas, banyak didominasi oleh kader-kader tarbiyah. PKS tampak memaikan gerakannya dengan meramu antara dakwah, politik, dan layanan sosial. Kaderisasi dan Penarikan simpati masa itupun berlangsung intens di lembaga-lembaga gerakan tarbiyah: Lembaga Pendidikan Islam Al-Hikmah, Lembaga Dakwah Khoiru Ummah, Jaringan Sekolah Islam Terpadu, Bimbingan Belajar Nurul Fikri, Rumah Zakat, Pos Keadilan Peduli Ummah, Bulan Sabit Merah Indonesia, dan Pandu Keadilan.93 Hadirnya HTI dan PKS dalam negara bangsa Indonesia membawa persoalan pelik. Mereka berkembang seiring dengan dibukanya keran demokrasi, Namun ketika sudah berkembang dan besar ternyata mereka mulai mendesakkan platform politik keagamaan tertentu yang sedikit banyak mengancam substansi demokrasi dan eksistensi negara bangsa, yakni mengentalnya politik identitas dalam platform mereka. Tantangan yang dihadapi semakin berat, tatkala kesadaran keagamaan sebagian masyarakat Indonesia menunjukkan tensi menaik akibat keterbukaan informasi global yang dalam banyak kontennya diisi oleh sentimen primordial yang dikampanyekan oleh gerakan Islam transnasional. Dari level masyarakat, pemerintah dituntut untuk mengakomodasi aspirasi keagamaan dalam negara bangsa, aspirasi keagamaan tersebut cenderung sektarian. Sementara dari level atas, semakin menguat saja kekuatan politik nasional yang juga mendesakkan aspirasi yang sama. Menghadapi gelombang politik keagamaan radikal, pemerintahan sekuler di negara muslim menghadapi dilema yang sama, yakni terkait dampak dan konsekwensi yang tidak diduga (unintended consequences) dari kebijakan yang dijalankan dan formula 92 Konsep-konsep tersebut dipinjam oleh Syamsul Rijal dari John Lofland dan Rodney Stark saat menjelaskan fenomena Konversi para pengikut Sun Myung Moon serta Quintan Wiktorowicz ketika menganalisa dakwah kelompok Muslim radikal Inggris Al-Muhajirun, dan kemudia dia pakai untuk menggambarkan model dakwah dan rekrutmen kader HTI di Makasar, Sulawesi Selatan. Lihat Syamsu Rijal, “CRAFTING HIZBIYIN IN CONTEMPORARY INDONESIA: Da’wah and Recruitment of Hizbut Tahrir Indonesia in South Sulawesi”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, Number 01, Juni 2011,