POLITIK & GERAKAN KEBANGSAAN PEMUDA MUSLIM (Studi Terhadap Kiprah GP Ansor Pada Masa Kelahiran hingga Masa Demokrasi Parlementer)

Abdillah Halim Institut Agama Ngawi

Abstract This paper examines the politics and national movements of the Ansor Youth Movement during its birth to the period of parliamentary democracy. Politics and national movements are politics and movements that are initiated in order to maintain the pillars of nationality, namely the state and legal government, the constitution, social stability, and the preservation of the teachings of Islam ahlussunah waljamaah. The Ansor Youth Movement appears to be consistent with politics and this nationalist movement from the time of its birth to the time of parliamentary democracy, and also to the present. This is strongly influenced by the ideology of the movement and politics of NU as a mentor of the Ansor Youth Movement, which has national, social and religious characteristics at the same time. This also became an important character of the Ansor Youth Movement which eschewed political pragmatism which was only oriented towards power. The Ansor Youth Movement has become an important copy of the political-religious movement of Ahlussunah Waljamaah which emphasizes socio- political stability in order to realize the benefit of the community based on religious or religious values.

Keywords: Politics and the National Movement, , Ansor Youth Movement

Abstrak

Tulisan ini menelaah politik dan gerakan kebangsaan Gerakan Pemuda Ansor pada masa kelahiran hingga masa demokrasi parlementer. Politik dan gerakan kebangsaan adalah politik dan gerakan yang dicetuskan dalam rangka mempertahankan pilar- pilar kebangsaan, yaitu negara dan pemerintahan yang sah, konstitusi, stabilitas sosial, dan kelestarian ajaran Islam ahlussunah waljamaah. Gerakan Pemuda Ansor tampak konsisten dengan politik dan gerakan kebangsaan ini sejak masa kelahiran hingga masa demokrasi parlementer, dan juga hingga masa sekarang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ideologi gerakan dan politik NU sebagai mentor Gerakan Pemuda Ansor, yang bercorak kebangsaan, kemasyarakatan, dan keagamaan sekaligus. Abdillah Halim

Ini pula yang kemudian menjadi karakter penting Gerakan Pemuda Ansor yang menjauhi pragmatisme politik yang hanya berorientasi kepada kekuasaan semata. Gerakan Pemuda Ansor menjadi eksemplar penting gerkan politik-keagamaan ahlussunah waljamaah yang mementingkan stabilitas sosial politik dalam rangka mewujudkan kemaslahatan masayarakat yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan atau relijiusitas.

Kata kunci: Politik dan Gerakan Kebangsaan, Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ansor

A. PENDAHULUAN Kebangsaan atau nasionalisme adalah pandangan yang menegaskan bahwa individu atau penduduk harus meletakkan kesetiaan tertinggi mereka kepada negara kebangsaan dan bukan pada ikatan primordial yang lain seperti suku dan agama. Di dalam kebangsaan unit organisasi politik yang paling sah adalah negara kebangsaan. Negara Kebangsaan, meskipun sebagian dibentuk oleh faktor-faktor obyektif seperti kesamaan tumpah darah, suku, bahasa, dan yang lain, namun terutama ia dibentuk oleh kemauan bersama untuk hidup dan mengabdi kepada satu ikatan negara kebangsaan tertentu. Negara Kebangsaan tersebut selanjutnya harus menjadi cita politik paling penting dari seluruh individu, menjadi spirit utama yang mampu mengilhami dan menggerakkan seluruh individu.89 Paham kebangsaan atau nasionalisme adalah perasaan subyektif sekelompok besar penduduk di mana mereka merasa bahwa cita-cita mereka sebagai individu maupun kelompok akan lebih mudah tercapai jika mereka melebur menjadi satu dalam satu negara kebangsaan.90 Politik kebangsaan dalam konteks ini dipahami sebagai segenap regulasi dan kebijakan yang diupayakan oleh negara untuk menjamin kokohnya sendi-sendi negara bangsa, melindungi eksistensinya dari konflik primordial dan disintegrasi. Akan tetapi, agar pilar negara bangsa tetap kokoh, kelompok-kelompok primordial yang ada dalam negara bangsa juga harus diakomodasi kepentingan dan aspirasinya. Di sini, politik kebangsaan akan terus bergulat pada dua tegangan sekaligus, yakni antara kepentingan untuk menjaga integrasi bangsa dan keharusan memberi otonomi kepada kelompok primordial dan daerah.91 Ketika pendulum politik lebih bergerak kencang ke arah proyek integrasi nasional maka otonomi kepada ikatan primordial dan daerah akan lebih menyempit. Demikian sebalikanya. Yang musti dilakukan adalah menjaga keseimbangan antara politik integrasi dan politik otonomi. Jika otonomi diabaikan, maka intergrasi juga akan dirongrong oleh potensi disintegrasi, lantaran akumulasi ketidakpuasan kelompok dan daerah kepada negara. Gerakan Pemuda Muslim kontemporer dalam kasus tampak pada berkembangkanya Hizbut Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, dan gerakan-gerakan Islam transnasional yang lain. Mereka begitu ideologis dan memiliki perhatian besar terhadap politik dan isu-isu kebangsaan termasuk isu-isu sosial tentu saja. Perkembangan mereka sering dikaitkan dengan perngaruh dari perubahan tata dunia dan kondisi global, di samping tentu kegigihan mereka dalam mendakwahkan paham dan merekrut anggota. Syamsu Rijal, di antaranya, dengan baik menjelaskan bagaimana kader HTI merekrut 89 Hans Kohn, Nasionalisme; Arti dan Sejarahnya, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: PT Pembangunan dan Penerbit Erlangga, 1984), 11-12. 90 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 53. 91 Moh. Mahfud MD, “Perkembangan Politik Kebangsaan dan Produk Hukum Otonomi Daerah”, dalam Eko Prasetyo, dkk. (ed.), Nasionalisme; Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 62, 74-75.

48 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim

calon kader dengan pendekatan personal intensif, “teman merekrut temannya-angota keluarga merekrut anggota keluarga yang lain-tetangga merekut tetangga”, lewat beberapa tahapan poses: cognitive opening (mengintroduksi krisis atau tensi tertentu sehingga calon kader terbuka pikirannya kepada pandangan alternatif), religiuos seeking (pencarian paham dan pandangan baru yang dianggap lebih memuaskan), frame alignmnent (pengenalan terhadap “kebenaran” perspektif tertentu), dan terakhir, sosialisasi (proses di mana calon kader diikat dalam persaudaraan tertentu agar terjadi interaksi intensif sehingga dakwah dan kaderisasi berjalan lempang dan paripurna).92 HTI masih kukuh untuk tidak ikut bermain dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia dan tetap keras menuntut pendirian kekhalifahan Islam internasional sebagai pengganti negara bangsa yang mereka anggap tidak memiliki legitimasi keagamaan. Berbeda dengan Ikhwanul Muslimin Indonesia atau dikenal sebagai gerakan tarbiyah. Ia sudah memiliki partai politik yakni PKS. PKS dalam politik sudah sedemikian menjadi pemain penting dalam rangka mewujudkan cita citanya “mengislamkan masyarakat Indonesia” lewat jalur stuktur politik negara. PKS dalam pada itu memiliki organ-organ lain yang secara simultan memainkan dakwah di level masyarakat. Dakwah di bawah itu mendukung penuh politiknya di level atas, menyediakan kader dan partisipan. Dakwah tersebut dikemas dalam bentuk halqah, daurah, pengajian, liqa’, rihlah, mabit, dan sebagainya. Kaum muda tetap menjadi target utama mereka. Unit Kerohanian Islam dan Kepengurusan OSIS di SMA, Lembaga Dakwah Kampus dan BEM di Universitas, banyak didominasi oleh kader-kader tarbiyah. PKS tampak memaikan gerakannya dengan meramu antara dakwah, politik, dan layanan sosial. Kaderisasi dan Penarikan simpati masa itupun berlangsung intens di lembaga-lembaga gerakan tarbiyah: Lembaga Pendidikan Islam Al-Hikmah, Lembaga Dakwah Khoiru Ummah, Jaringan Sekolah Islam Terpadu, Bimbingan Belajar Nurul Fikri, Rumah Zakat, Pos Keadilan Peduli Ummah, Bulan Sabit Merah Indonesia, dan Pandu Keadilan.93 Hadirnya HTI dan PKS dalam negara bangsa Indonesia membawa persoalan pelik. Mereka berkembang seiring dengan dibukanya keran demokrasi, Namun ketika sudah berkembang dan besar ternyata mereka mulai mendesakkan platform politik keagamaan tertentu yang sedikit banyak mengancam substansi demokrasi dan eksistensi negara bangsa, yakni mengentalnya politik identitas dalam platform mereka. Tantangan yang dihadapi semakin berat, tatkala kesadaran keagamaan sebagian masyarakat Indonesia menunjukkan tensi menaik akibat keterbukaan informasi global yang dalam banyak kontennya diisi oleh sentimen primordial yang dikampanyekan oleh gerakan Islam transnasional. Dari level masyarakat, pemerintah dituntut untuk mengakomodasi aspirasi keagamaan dalam negara bangsa, aspirasi keagamaan tersebut cenderung sektarian. Sementara dari level atas, semakin menguat saja kekuatan politik nasional yang juga mendesakkan aspirasi yang sama. Menghadapi gelombang politik keagamaan radikal, pemerintahan sekuler di negara muslim menghadapi dilema yang sama, yakni terkait dampak dan konsekwensi yang tidak diduga (unintended consequences) dari kebijakan yang dijalankan dan formula

92 Konsep-konsep tersebut dipinjam oleh Syamsul Rijal dari John Lofland dan Rodney Stark saat menjelaskan fenomena Konversi para pengikut Sun Myung Moon serta Quintan Wiktorowicz ketika menganalisa dakwah kelompok Muslim radikal Inggris Al-Muhajirun, dan kemudia dia pakai untuk menggambarkan model dakwah dan rekrutmen kader HTI di Makasar, Sulawesi Selatan. Lihat Syamsu Rijal, “CRAFTING HIZBIYIN IN CONTEMPORARY INDONESIA: Da’wah and Recruitment of Hizbut Tahrir Indonesia in South Sulawesi”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, Number 01, Juni 2011, p. 130-152. 93 Noorhaidi Hasan, “ISLAMIST PARTY, ELECTORAL POLITICS AND DA’WAH MOBILIZATION AMONG YOUTH: The ProsperouPus Justice Party (PKS) in Indonesia”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 06, Number 01, Juni 2012, p. 17-47.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 49 Abdillah Halim

untuk mengendalikan mayoritas penduduk.94 Ada kebutuhan untuk menjalankan aspirasi sekuler dan juga kebutuhan untuk mempertahankan suara mayoritas muslim. Ketika dalam keadaan krisis, aspirasi Islam dapat dipakai sebagai alat untuk mengendalikan penduduk. Namun aspirasi Islam juga dapat menjadi kekuatan yang mengancam eksistensi negara jika negara mendukung aspirasi Islam yang bersifat sektarian dan radikal. Ketika negara sekuler tampak gagal mengatasi krisis, maka mayoritas muslim akan berpaling ke Ideologi politik yang menurut mereka memiliki legitimasi di masa lampau.95 Tulisan ini hendak menelaah politik dan gerakan kebangsaan Gerakan Pemuda Ansor pada masa kelahiran hingga pada masa demokrasi parlementer. Masa tersebut sengaja dipilih lantaran dapat menggambarkan masa pembentukan karakter politik dan gerakan Gerakan Pemuda Ansor yang kemudian menjadi natur politik dan gerakannya di masa-masa selanjutnya hingga masa kini

B. SEJARAH DAN GARIS PERJUANGAN GERAKAN PEMUDA ANSOR PADA MASA KELAHIRAN HINGGA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER Embrio GP Ansor adalah organisasi pemuda bernama Nahdlatusy Syubban yang berdiri pada tahun 1930, hasil fusi dari tiga organisasi pemuda yang telah berdiri sebelumnya: Syubbanul Wathon, Ahlul Wathon, dan Da’watusy Syubban. Ketiga organisasi tersebut lahir dari situasi krisis akibat kolonialisme Belanda dan memiliki misi yang sama yaitu mencoba mengorganisasi pemuda, membangkitkan kembali kecintaan mereka akan tanah air, dan membangun kesadaran mereka akan pentingnya kemerdekaan dari penjajahan. Ketiganya memiliki dan tidak putus-putusnya mengumandangkan lagu (mars) perjuang yang sama, Ya Lal Wathon atau Syubbanul Wathon, lagu berbahasa Arab tentang pentingnya nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme.96 Nahdlatusy Syubban kemudian berganti nama menjadi Persatuan Pemuda NU (PPNU) pada tahun 1931. Pada 1934 PPNU berubah nama menjadi Ansor Nahdlatul Ulama. Nama Ansor adalah saran dan pemberian dari KH. Abdul Wahab Chasbullah, Sang Guru dari para pemuda NU ketika itu, sebagai bentuk tabarukan dan tafa’ulan kepada sosok dan kiprah kelompok Hawariyun pada masa Nabi Isa AS dan Sahabat Ansor pada masa Hijrah Nabi SAW sebagai penyokong dan penerus misi kerasulan dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia. Harapannya adalah agar Ansor Nahdlatul Ulama (ANU) dapat menjadi kader dan penopang perjuangan NU untuk mengembangkan dakwah Islam ahlussunah waljaamaah di wilayah Nusantra dan memerdekan bangsa dari penindasan bangsa lain. Pada masa-masa awal ini, ANU berusaha memperkokoh eksistensinya sebagai lembaga kepemudaan di bawah NU dan pembenahan di internal organisasi. Peran kebangsaannya mulai tercetus lagi ketika masa pendudukan Jepang dan kehadiran Sekutu. Pada masa Jepang para anggota ANU di berbagai daerah bergabung ke organisasi laskar Hizbullah dan di dalamnya memperoleh latihan kemiliteran dari Jepang. Hizbullah inilah yang kemudian secara masif menyambut seruan Jihad dari Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari untuk menghadang sekutu. Pertempuran sengit antara Hizbullah dan Sekutu ini kemudian menjadi tonggak penting perjuangan ANU dalam mempertahankan eksistensi NKRI, dan menjadi penanda bahwa komitmen ANU pada

94 Stephen Vertigans, “Islam and The Cronstruction of Modern Nationalism: The Unintended Consequences of State Sponsored Socialisation”, dalam Gregory H. Franco dan Scott L. Cervantes (ed.), Islam in the 21st Century, (New York: Nova Science Publisher, 2010), 23. 95 Ibid. 96 Choirul Anam, Gerak Langkah Pemuda Ansor, Seputar Sejarah Kelahiran, (Jakarta: PT Duta Aksara Mulia, 2010), 3-24.

50 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim ke-Pemuda-an, Ke-Indonesia-an, dan ke-Agama-an adalah nyata dan mendasar.97 Pada tanggal 14 Desember 1949 di kantor PB ANU Jalan Bubutan VI/2 diadakan pertemuan para mantan tokoh ANU, dihadiri juga oleh mantan anggota ANU dan para pemuda dari Angkatan Ahlussunah Waljamaah, yang pada akhirnya menyepakati pembentukan kembali ANU dengan nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, serta penunjukan Chamid Widjaya sebagai ketua umum pertamanya, dengan dua tujuan penting membentengi perjuangan umat Islam dan mempersiapkan kader penerus perjuangan NU. Segera setelah itu, PB GP Ansor mengeluarkan pernyataan sikap politik mendesak pemerintah untuk menghapus keberadaan Negara Djawa Timur bikinan Belanda dan menyatakan bahwa Jawa Timur adalah bagian dari kekuasaan Pemerintahan RI. Pada era ini, GP Ansor menghidupkan kembali Kepengurusan GP Ansor di Tingkat Wilayah dan Cabang di seluruh Indonesia serta menerbitan majalah bulanan GP Ansor dengan nama Bintang Sembilan atau biasa disingat Be-Es. Terkait dengan peminggiran peran dan posisi politik NU di dalam Masyumi oleh tokoh-tokoh “modernis” terutama sejak penetapan keputusan Muktamar Masyumi ke-4 di Yogyakarta pada 15-19 Desember, GP Ansor adalah satu-satunya faksi di NU yang paling kritis dan vokal menyuarakan aspirasinya agar NU mulai meninjau ulang keikutsertaannya di dalam Masyumi. Ini antara lain tercermin dari pidato Chamid Widjaya pada Konferwil Jawa Timur 8 Juni 1950, dengan poin-poin sebagai berikut: 1. Dalam berpolitik, Ansor memakai pedoman yang sama sebagaimana dalam beragama, yaitu selalu dinamis, menitikberatkan pada pemecahan masalah untuk kepentingan masyarakat, sesui dengan perkembangan masyarakat, dan sesuai dengan nilai Islam. 2. Ansor mengambil pelajaran dari para ulama NU yang selalu menjadi korban dari niat baiknya sendiri, mereka melakukan kebaikan yang tidal terbalas dalam Partai Masyumi akibat pengabaian kelompok lain. Oleh karena itu, sejak semula Ansor memilih untuk merdeka dan bebas dari pengaruh siapapun dalam segala tindaknnya. 3. Ansor percaya akan politiknya sendiri, meskipun pada soal hukum agama tetap mengikuti madzab dan fatwa ulama. 4. Ansor tetap menganggap NU sebagai organisasi para ulama dan sebagai bapak dan pemimpin yang akan selalu diikuti langkahnya, terutama dalam soal-soal keagamaan. 5. Hubungan Ansor dan NU adalah ibarat hubungan kaki dan kepala yang tidak dapat saling melepaskan diri. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan Masyumi (politik), Ansor mempunyai prinsip dan taktik sendiri. Bagi Ansor, prinsip tidak dapat berubah, sedangkan taktik dan siasat untuk menjalankannya dapat diubah sesuai dengan perubahan masyarakat. 6. Siasat Ansor untuk menjadi organisasi yang bebas dan mandiri dikarenakan saat ini NU sebagai organisasi besar masih membonceng Masyumi dalam perjuangan politiknya. Sehingga terkadang NU terpaksa menjalankan konsepsi politik Masyumi yang tidak selamanya sejalan dengan prinsip politik NU. 7. Meskipun demikian, Ansor memahami bahwa seandainya NU keluar dari Masyumi, maka NU akan mendapat celaan dan makian dari masyarakat, karena dituduh memecah belah persatuan dan kekuatan Islam. 8. Atas dasar pertimbangan di atas, menyikapi perseteruan NU dan Masyumi, Ansor bersikap netral, berada di luar pagar permainan politik Masyumi dan NU. Ansor memilih berdiri di luar semua organisasi, partai, atau gabungan manapun. Namun yang harus diingat: pertama, bahwa niat baik NU untuk memelihara persatuan hanya akan menyebabkan kerugian bagi NU semata-mata. Kedua, bahwa kenyataan yang 97 Ibid., 25-65.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 51 Abdillah Halim

terjadi di Masyumi adalah pertentangan abadi (at-tanazu’ al-baqa’) antara dua pihak yang saling memaksakan pikiran dan pendirian masing-masing. 9. Saat ini Ansor lebih mengutamakan perbaikan organisasi secara internal sebagai persiapan tindakan politik yang lebih luas dan bebas.98 Memang pada masa itu posisi politik NU dalam Masyumi seperti tidak dianggap signifikan oleh tokoh-tokoh Masyumi dari kalangan Islam modernis, sehingga aspirasi dari tokoh-tokoh NU sering mereka abaikan. Posisi menteri agama pun, sebagai simbol otoritas keagamaan dan pertaruhan terakhir NU, diberikan kepada tokoh . Ketidakadilan inilah yang mendorong ANU menyokong penuh upaya NU untuk keluar dari Masyumi, hingga akhirnya NU secara resmi keluar dari Masyumi pad 31 Juli 1952 dan membentuk partai sendiri. Bagi Ansor, politik toleran untuk sementara harus dihindari demi mewujudkan keadilan dan untuk mengahadapi kelompok atau partai lain yang curang dan tidak jujur, NU sah menggunakan tipu muslihat untuk mengimbangi mereka, yang dalam hal ini perilaku tersebut dibenarkan berdasarkan maksud firman Allah dalam QS Al-Baqarah 194.99 Setelah menjadi partia sendiri, Partai NU, ANU mendukung koalisi Partai NU dan PNI dalam kabinet Ali Sastroamidjoyo yang dilantik pada 31 Juli 1953. Sejarah kemudian mencatat ini sebagai koalisi pertama antara Islam dan nasionalis tanpa melibatkan Masyumi. Koalisi ini diserang oleh Masyumi dan Partai-partai Islam yang lain. Menghadapi serangan tersebut, ANU menyatakan pembelaannya terhadap pilihn politi NU, sebagaimana dapat dibaca dalam tulisan redaksi Suara Ansor, sebagai berikut: Dalam program perjuangan Partai NU pasal 2 dikemukakan dengan tegas bahwa NU menghendaki terwujudnya suatu Negara Nasional yang berdasarkan Islam. Dengan ini mungkin lawan politik NU telah mendapatkan bahan baru untuk memukul NU dengan mengemukakan kata-kata Nasional sebagai senjata propaganda yang memberi nterpretasi atau tafsiran lain daripada definisi yang sebenarnya. Mungkin pula mereka yang tak rela melihat NU maju ke depan ikut memegang tampuk pemerintahan lalu memberi pengertian kepada khalayak ramai bahwa tujuan dan cita-cita perjuangan NU sekarang sudah berbelok haluan dari prinsip aslinya. Kemudian mereka menyamakan ideologi yang dicita-citakan NU sama dengan ideologi partai nasionalis seperti PNI, PIR, PRN, dll. Kata nasional yang dimaksudkan oleh NU adalah perjuangan suatu negara dan bangsa yang di dalamnya mempunyai bahasa sendiri, bendera sendiri, tentara sendiri, Presiden sendiri, Parlemen sendiri, dan UUD sendiri. Itulah negara nasional yang dimaksudkan oleh NU dan yang akan diisi di dalamnya dengan dasar-dasar hukum Islam. Jadi dengan penjelasan di atas menjadi teranglah bahwa Negara yang dicita- citakan NU tidaklah bertentangan dengan cita-cita umat Islam. Apalagi dalam program perjuangan NU tersebut jelas dikemukakan bahwa negara yang dicita-citakan oleh yaitu Negara Nasional yang berdasarkan Islam.”100

98 Risalah Ansor, No. 2, 1950, 5-13, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950- 2010),(Bogor: Kekal Press, 2012), 46-48. 99 Risalah Ansor, No. 2, 1950, 13-15, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950- 2010),(Bogor: Kekal Press, 2012), 52.. 100 Soara Ansor, Th. I No. 5/6, September-Oktober 1954, Departemen Pendidikan GP Ansor Cabang Surabaya, halaman 1, mikrofilm koleksi Arsip Nasional RI, bundel 66, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950-2010),(Bogor: Kekal Press, 2012), 58-59.

52 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim

Masa tahun 1952 hingga 1955 adalah masa-masa kerjasama yang solid antara Ansor dan NU. Ansor pada rapat Pleno tanggal 15 Maret 1955 mengeluarkan keputusan untuk membentuk Korps Mubaligh untuk ditugaskan sebagai juru kampanye Partai NU ke daerah-daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Sulawesi. Di dalam kampanyenya, antara lain, Ansor menghimbau umat Islam untuk tidak salah memilih partai, dengan menekankan perbedaan Partai NU dengan Masyumi yang pernah terlibat dalam pemberontakan DI/TII, dan juga dengan PKI yang pernah terlibat pemberontakan pada peristiwa Madiun 1948. Pemilu 29 September 1955 menghasilkan peningkatan jumlah kursi NU di parlemen yang cukup signifikan, dari 7 kursi menjadi 45 kursi. NU menempati pemenang ketiga dalam pemilu tsb, setelah PNI dan Masyumi. Selain itu, Pada Kongres Ansor ke-3 bulan Desember 1954, Ansor mengeluarkan keputusan yang di antara isinya, adalah mendukung upaya pemerintah untuk merebut kembali Irian Barat dari Belanda dan mendukung upaya-upaya ishlah antara pemerintan Mesir dan gerakan Ikhwanul Muslimin yang mulai terlibat pertentangan yang keras. Masih terkait dengan politik luar negeri, pada Kongres ke-4 pada 29 Oktober mengeluarkan himbauan agar umat Islam berkonsolidasi untuk membantu Mesir yang diserang Israel dan mendesak pemerintah Indonesia untuk memutuskan huungan diplomatiknya dengan dua negara yang telah menyebu Terusan Suez dan Al-Jazair, yaitu Inggris dan Prancis.101 Pada masa Demorasi Terpimpin terjadi krisis serius di pemerintahan, adanya ketidakstabilan politik yang menganggu. Terjadi pepecahan di kabinet, konflik di Angkatan Darat, ketidakpercayaan daerah terhadap pemerintahan pusat, pemberontakan di berbagai daerah, dan mulai menguatnya politik PKI yang seolah ingin mendominasi dan memengaruhi semua kebijakan pemerintah. Akan tetapi Ansor tetap setia pada prinsip politik NU, meskipun dengan taktik dan strategi yang berubah-ubah. Prinsip politik NU-Ansor yang tidak pernah berubah dapat digambarkan dalam empat poin: Pertama, bahwa NKRI sebagai konsensus bersama harus dipertahankan. Kedua, semua anasir yang hendak memberontak kepada pemerintahan yang sah harus dilawan, baik itu dari anasir Islam, komunis, kapitalis, maupun yang lain. Ketiga, bahwa terhadap keburukan yang dilakukan pemerintah harus diupayakan kritik dan perbaikan yang dilakukan secara ma’ruf. Keempat, bahwa politik yang dilakukan NU adalah dalam kerangka menjaga NKRI, melindungi ajaran Islam ahlussunah waljamaah, dan mencapai kemakmuran lahir batin semua masyarakat lepas dari suku, agama, dan golongannya. Maka pada masa ini, politik yang dilakukan Ansor pun, digerakkan oleh prinsip-prinsip tersebut. Ketika Masyumi dan PSI menarik diri dari kabinet Ali Sastroamidjoyo sebagai kesepakatan bersama, dan mendukung Kabinet Hatta, Ansor berkirim surat kepada seluruh pengurus cabangnya yang isinya berupa warning akan adanya pihak-pihak yang akan menghancurkan demokrasi dengan menciderai konsensus, dan tidak menghendaki kemajuan yang dicapai NU dalam politik kenegaraan, dan mengimbau para ulama NU untuk melakukan kosolidasi para mantan pejuang dari Hizbullah dan Sabillah guna persiapan menghadapi kelompok yang mengancam demokrasi tersebut. Upaya penarikan dukungan PSI dan Masyumi dari kabinet Ali, dalam analisa PNI dan NU dianggap siasat saja dari dua partai tersebut untuk meningkatkan pengaruh politik mereka setelah kegagalan mereka dalam Pemilu 1955. Akan tetapi, terhadap rencana Soekarno membentuk kabinet gotong royong yang melibatkan PKI, Ansor dengan tegas menolak rencana tersebut. Ketika situasi berubah tatkala Soekarno menyetujui saran Angkatan Darat untuk mengatasi gejolak politik dengan meberlakukukan negara dalam keadaan darurat

101 Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950-2010),(Bogor: Kekal Press, 2012), 68-77.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 53 Abdillah Halim

perang, Ansor melunakkan diri dan bergabung dalam konstelasi itu. Meskipun menyadari bahwa Demokrasi Terpimpin, yang berakibat pada menguatnya peran AD dan Soekarno serta nainya pengaruh politik PKI adalah bentuk penyelesaian ad hoc dan berbahaya dalam jangka panjang dan menengah, Ansor memilih berada dalam sistem tersebut dalam rangka penyeimbang dan bentuk antisipasi terhadap menguatnya kelompok kiri.102 Pada tahun-tahun selanjutnya di masa Demokrasi terpimpin tampak bahwa Ansor mendukung penuh sikap NU yang melakukan politik kompromi dan akomadasi terhadap beragama kebijakan pemerintah. Para pengamat ada yang menilai sikap NU ini sebagai bentuk oportunisme politik yang berkonotasi peyoratif, ada pula yang menilai bahwa ini merupakan bentuk fragmatisme politik NU yang bersifat positif. NU dianggap bisa secara elastik menempatkan diri pada posisi politik yang cenderung represif. Akomadasi NU berhasil menyelematkan diri dan posisinya sebagai satu-satunya wakil kelompok agama (Islam) sehingga dapat menjadi penyeimbang dari kekuatan nasionalis dan terutama kekuatan PKI yang semakin menaik tajam. Berbeda dengan Masyumi yang telah lemah dan tidak punya posisi tawar lantaran sikap politiknya yang terlampau idelistik. NU tampaknya dapat menyelamatkan sisi-sisi kemaslahatan lain dengan tetap berkompromi dengan pemerintah kala itu. Namun dalam akomadasi tersebut NU dan Ansor tetap melakukan warning dan konsolidasi ke dalam terutama untuk membendung pengaruh PKI. Seperti tampak pada pernyataan sikap GP Ansor yang dikeluarkan dalam momentum peringatan sebelas tahun pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, sebagai berikut: 1. Pemberontakan Komunis 1948 ditujukan untuk merebut kekuasaan dengan mengunakan kekerasan. Selanjutnya dengan kekuasaan tersebut mereka akan menghancurkan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Negara 2. GP Ansor mengajak seluruh umat Islam dan umat yang bertuhan agar mempertebal patriotisme dan mempertajam kewaspadaan terhadap unsur-unsur perusak keselamatan agama, bangsa, dan negara.103 Pada 1963 Ansor mengeluarkan pernyataan sikap menolak tuntutan CGM (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) kepada Presiden agar memecat Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Prof. Dr. Ir. Tojib Hadiwijaya, membatalkan kewajiban pengajaran mata kuliah agama di Kampus Negeri, dan menolak kehadiran Korps Perdamaian AS. Ansor dengan tegas mendukung Menteri PTIP untuk segera mencanangkan kewajiban adanya mata kuliah agama di kampus umum karena hal tersebut sejalan dengan Pancasila dn Piagam Jakarta yang menjiwai UUD ’45. Selain itu, misi kedatangan korps perdamaian AS, menurut Ansor, telah sejalan dengan kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia.104 Perkembangan selanjutnya adalah menguatnya posisi politik PKI baik dalam kabinet NASAKOM maupun di tingkat akar rumput. PKI memeroleh simpati yang luar biasa dari kalangan rakyat bawah. Jika di Kabinet, NU menjadi kekuatan penyeimbang PKI, maka para aktivis PKI di bawah menggerakkan aksi massa di berbagai daerah untuk menyerobot secara sepihak tanah dari para kelompok yang dianggap sebagai sumber kesengsaraan rakyat banyak, yaitu kelompok yang mereka sebut sebagai setan desa dan setan kota. Aksi masa PKI pun tak jarang berupa penyerobotan tanah wakaf milik yayasan pendidikan NU. Maka NU dengan Ansor sebagai kekuatan utama bangkit melawan aksi PKI ini, jargon PKI “serobot dulu, urusan belakangan” dilawan oleh jargon 102 Ibid., 80-92. 103 Duta Masyarakat, 18 September 1959, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah, 104. 104 Duta Masyarakat, 27 Maret 1963, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah, 123.

54 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim

Ansor “Sikat dulu, urusan belakangan”. Dalam pandangan Ansor, PKI dengan perolehan jumlah masa yang semakin banyak, adalan kekuatan yang berbahaya bagi NKRI karena mengadopsi secara ketat ideologi marxisme-komunisme untuk diwujudkan dengan cara- ara yang jauh dari etika politik, seperti agitasi dan propaganda kasar hingga ke tingkat desa sehingga mengancam ideologi Pancasila dan kohesi sosial. Aksi sepihak PKI membuka lagi permusuhan lama PKI dan NU pada Peristiwa Madiun. Pada masa ini, keterlibatan Ansor terbagi dalam dua babak: Pertama, keterlibatan dalam perselisihan fisik dengan PKI pada tahun 1963- 1965 di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur; Kedua, keikutsertaan Ansor dalam operasi militer menumpas PKI dan sisa sisa gerakannya di berbagai daerah di Jawa Timur pada masa seusai tahun 1965.105

C. POLITIK DAN GERAKAN KEBANGSAAN Teori mobilisasi sumber Daya digunakan untuk menelaah gerakan sosial dan menegaskan bahwa keberhasilan gerakan sosial bergantung pada sumber daya (waktu, uang, ketrampilan, dan sebagainya). Teori ini muncul dan menyedot perhatian para pengamat gerakan sosial karena ia fokus pada faktor faktor yang lebih bersifat sosial ketimbang psikologis. Dalam pada itu, untuk pertama kalinya, pengaruh-pengaruh dari luar gerakan sosial, semisal dukungan dari berbagai organisasi dan lembaga, mulai mendapat perhatian yang memadai. Teori mobilisasi sumber Daya adalah teori penting dalam studi gerakan sosial yang muncul di tahun 1970-an. Ia memusatkan perhatian pada kemampuan pelaku gerakan sosial meraih dan menggunakan sumberdaya serta memobilisai orang untuk mewujudkan tujuan gerakan. Jika teori perilaku kolektif memandang gerakan sosial sebagai gerakan yang menyimpang dan tidak rasional, maka teori mobilisasi sumber daya memandang gerakan sosial sebagai lembaga yang rasional, yang ditumbuhkembangkangkan oleh aktor masyarakat dalam rangka mencetuskan sebuah aksi politik. Dalam gerakan sosial, para aktor perubahan sosial berupaya memanfaatkan uang, pendukung, media, aliansi dengan pemilik kekuasaan, dan memperbaiki struktur organisasi demi mencapai tujuan mereka. Teori ini memandang pula bahwa mereka yang terlibat dalam gerakan sosial memperhitungkan dengan cermat segala resiko, manfaat, dan mudarat yang akan mereka dapat ketika bergabung dalam gerakan tersebut. Teori Mobilisasi Sumber Daya, secara lebih detil, memiliki asumsi sebagai berikut: Pertama, gerakan sosial bersifat rasional, respons adaptif terhadap keuntungan dan kerugian yang diderita akibat krisis tertentu; Kedua, tujuan gerakan ditentukan oleh konflik kepentingan yang timbul dari relasi kuasa tertentu; ketiga, kekecewaan yang timbul akibat konflik kepentingan hampir merata, akan tetapi bentuk dan mobilisasi gerakan tergantung pada pengerahan dalam sum berdaya, pengorganisasian kelompok, dan peluang politik untuk melakukan aksi kolektif; keempat, struktur organisasi gerakan yang terpimpin lebih efektif dalam mobilasi sumberdaya dan melancarkan aksi ketimbang yang tidak terpimpin; dan kelima, keberhasilan gerakan sangat ditentukan oleh faktor taktik dan strategi serta proses politik.106 Terkait dengan Gerakan Pemuda Ansor, politik dan gerakannya bersifat rasional dan merupakan respons terhadap situasi kebangsaan dan keumatan yang terjadi ketika itu. Namun tidak hanya itu, respons tersebut juga didorong oleh keyakinan dan pemahaman tertentu terhadap ajaran Islam, yakni ajaran Islam ahlussunah waljamaah, terutama terkait dengan politik kebangsaan dan kerakyatan. Selanjutnya, konflik kepentingan antara kelompok NU, Nasionalis, dan kelompok kiri,

105 Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah, 126-131. 106 J. Craig Jenkins, “RESOURCE MOBILIZATION THEORY AND THE STUDY OF SOCIAL MOVEMENTS”, Ann. Rev. Social. 1983., 528.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 55 Abdillah Halim

juga melahirkan respons yang khas dari Gerakan Pemuda Ansor. Respons khas tersebut berupa upaya untuk mengimbangi kekuatan-kekuatan yang ada sehingga tidak ada dominasi dan hegemoni oleh kelompok tertentu di dalam lanskap kekuatan politik. Terkait ketidakpuasan Gerakan Pemuda Ansor terhadap pemerintah, ketidakpuasan tersebut tidak selalu diwujudkan dengan aktiviisme yang bersifat konfrontatif kepada penguasa atau pemerintah. Namun diwujudkan dengan upaya untuk mengadakan audiensi/pertemuan dan sebagainya di mana saran-saran dari Gerakan Pemuda Ansor disampaikan secara baik-baik kepada pemerintah. Inilah yang menjadi kekhasan gerakan politik kelompok ahlussunah waljamaah, di mana mereka menempuh jalur reformasi secara damai ketimbang reformasi yang jelas memakan ongkos sosial politik yang cukup tinggi. Kelompok muslim aswaja berpandadangan bahwa pemerintah yang sah harus dibela dan dihormati, dan jika pemerintah tersebut melakukan kesalahan maka upaya perbaikannya harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan konstitusional. Di samping itu aksi kolektif Gerakan Pemuda Ansor juga lebih sebagai upaya politik kebangsaan, yakni dalam rangka menjaga NKRI dari rongrongan kekuatan lain, menjaga konstitusi, mempertahankan stabilitas sosial, dan mengukuhkan karakter masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang relijius. Teori mobilisasi sumber Daya menyataan bahwa aksi kolektif adalah aksi yang rasional, terorganisir, dan bertujuan, yang bertumpu pada upaya-upaya terencana dan terukur dalam mengolah isu, menentukan kesepakatan dan tujuan bersama, menciptakan solidaritas, dan menggerakkan masa demi tujuan-tujuan yang telah disepakati tersebut. Di dalam mobilasasi sumber daya, ada tiga elemen penting yang dapat dijelaskan dan menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah geraka, yaitu kesempatan dan peluang politik (political opportunity), pembingkaian (framing), dan struktur mobilisasi (mobilizing structure). Kesempatan atau peluang politik adalah kondisi politk yang memberi ruang bagi munculnya inisiasi pergerakan di level masyarakat, keadaan yang memungkinkan aktor aktor tertentu mengorganisasi masyarakat dan memobilisai kekuatan mereka demi memperjuangkan aspirasi tertentu. Peluang tersebut biasanya muncul dari perubahan- bahan penting dalam sistem dan struktur politik sebuah negara atau rezim. Pembingkaian adalah kiat dan siasat dari para aktor menyampaikan pesan ke dalam kode dan simbol khusus dalm bingkai besar tertentu (master frame) agar terjadi pesan tersebut menjadi gema besar (frame resonance) yang dapat memengaruhi dan menggerakkan sebaganya mungkin masa yang menjadi sasarannnya. Struktur mobilisasi adalah bentuk bentuk jaringan dan kegiatan yang dipakai untuk merekrut dan memobilasai anggota. Dalam jaringan dan kegiatan itulah para anggota saling mengasah dan menajamkankan visi, motivasi, dan aspirasi bersama demi tercetusnya sebuah gerakan dengan target tentu. Jaringang-jarinagn terbut biasanya adalah ikatan-ikatan solidaritas tertentu yang telah ada dan terbangun sebelumnya di tengah-tengah masyarakat.107 Aktivisme Islam adalah fokus baru dalam studi terhadap gerakan keagamaan, setelah sebelumnya terlampau teirikat pada pendekatan sistem maupun pilihan rasional. Ia fokus pada fenomena gerakan islam sebagai peristiwa mobilasasi masa, di mana banyak orang dari latar belakang yang berbeda dapat disatukan dalam sebuah solidaritas bayangan untuk kemudian dapat digerakkan bersama. Untuk itu, aktivisme islam lebih menekankan unit analisisnya pada kelompok. Di dalam kelompok, pilihan rasional seorang individu tidak dapat lepas dari keterikatan emosial dan kepentinganya sebagai anggota kelompok. Solidararitas bayangan muncul dalam sebuah kelompok ketika secara spontan para

107 Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer (Konsep, Genealogi, dan Teori), (Yogyakarta: Suka Press, 2012), 126-136.

56 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim

anggotanya merasa disatukan dalam satu langkah, nasib, dan cita-cita luhur bersama yang dijunjung tinggi. Kerangka teoritik mobilasai sumber daya dan aktivisme Islam layak digunakan salah satunya demi memberi pendasaran dan penjelasan yang lebih rasional terhadap sejumlah fenomena gerakan sosial keislaman.108 Charles Tilly mengatakan bahwa tidak satu teori padu yang dapat menjelaskan gerakan sosial. Untuk itu beragam konsep tentang gerakan sosial di atas seperti peluang politik (political opportunity), pembingkaian (framing), dan struktur mobilisasi (mobilizing structure) memandu dan memudahkan para pengkaji politik perseteruan dalam dua aspek. Pertama, mereka dapat menjadi basis untuk menjelaskan dan membandingkan tahap demi tahap pertentangan. Kedua, mereka dapat menjadi semacam daftar pertanyaan guna mengatur penjelasan beragam episode dari pertentangan tersebut. Seperti semacam apa respons apar aktor terhadap peluang politik yang ada, jenis pembingkaian seperti apa yang dibentuk, serta sarana mobilasasi yang mana yang digunakan. Konsep-konsep terebut digunakan secara ketat demi menghindari simplifikasi penjelasan bahwa aktivisme islam adalah semata-mata bersumber dari pandangan hidup aktor-aktornya dan untuk secara detil mengetahui dinamika hubungan di internal aktivis maupun hubungan mereka dengan rezim dan organiasai lain. 109 Quintan menjelaskan pengertian aktivisme Islam sebagai penggerakan pertentangan demi meraih kepentingan dan tujuan komunitas muslim tertentu, di dalamnya mencakup gerakan dakwah, gerakan politik, gerakan spiritualitas, dan gerakan-gerakan lain yang menjadi Islam sebagai simbol, identitas, dan inspirasi. Sebagai contoh, Quintan mencatat bahwa fenomena demonstrasi/penentangan di berbagai ibu kota negara (Nairobi, Jakarta, dan Kuala Lumpur) terhadap serangan balasan Amerika Ke Afghanistan pada Oktober 2001 pasca tragedi peledakan menara kembar WTC menunjukkan setidaknya empat hal umum yang menggambarkan aktivisme islam. Empat hal itu adalah sebagai berikut. Pertama, Demonstrasi berlangsung susai pelaksanaan khutbah dan sholat Jumat di Masjid. Kedua, sebagian muslim yang bukan anggota seringkali bergabung dalam gerakan besar yang diorganisasi organisasi-organisasi Islam tertentu seperti Ikhwanul Muslmimin, Hizbut Tahrir, PKS, Majelis Mujahidin Indonesia, dsb. Ketiga, dalam demonstrasi tersebut mereka serempak mengecam AS dan para sekutunya serta kebijakannya yang dianggap berstandar ganda dan dikerankai sebagai perwujudan dari terorisme yang asli. Keempat, tampak adanya langgam atau alur penentangan yang tetap dan kontinyu dengan memakai sejumlah alat seperti poster, penyampaian petisi dalam banyak bahasa, pembakaran bendera, dan happening art. Keempat hal itu menunjukkan secara gamblang bahwa dinamika, proses, dan organiasai aktivisme Islam, dalam banyak aspek, dapat ditemui dalam gerakan-gerakan sosial secara umum, dan karenanya, memungkinkan penggunaan konsep-konsep dalam teori gerakan sosial yang telah mapan dan dikenal di kalangan ilmuwan, sehingga lebih bisa bersifat komparatif dan teoritis. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa aktivisme Islam sesungguhnya adalah penelitian multidispliner yang lebih bersifat sosiologis-rasional ketimbang bidang kajian fragmentaris yang bercorak psikologis-fungsional. 110

108 Ibid., 136-141. 109 Charles Tilly, “Sekapur Sirih”, dalam Quintan Wictorowics (ed.), Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, terj. Tim Penerjemah Paramadina, (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), 28-29. 110 Quintan Wiktorowics, “Pendahuluan: Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial”, dalam Quintan Wictorowics (ed.), Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, terj. Tim Penerjemah Paramadina, (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012), 23-42.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 57 Abdillah Halim

Teori mobilisasi sumber daya menjelaskan bahwa gerakan sosial bukanlah respon sesaat spontan terhadap tekanan situasi dengan tujuan yang tidak jelas, akan tetapi merupakan aksi rasional, terorganisasi, dengan maksud yang terukur. Di dalamnya ada upaya mobilasi sumber daya dengan pembagian kerja di antara para aktivitis dalam rangka merekrut anggota, memperkuat solidaritas, dan merencakanan aksi dan tindakan dengan perhitungan yang matang. Aktivisme merupakan kerja profesional para pengelola gerakan untuk merubah ketidakpuasan individual mendadi tuntutan kolektif dengan amplitudo dan magnitude seluas mungkin. Di dalam aktivisme Islam, struktur mobilisasi yang biasa digunakan adalah masjid berikut pranata dan jejaring yang melekat padanya, LSM-LSM Islam (termasuk rumah sakit, yayasan sosial, lembaga pendidikan, dan sebagainya, yang menyediakan patronase sebagai sumber solidaritas), perkumpulan profesi dan mahasiswa, partai politik, dan asosiasi informal organik lain (keluarga, kelompok arisan, persaudaran haji, dan sel-sel rahasia).111 Aktivisme sangat terkait dengn konsteks politik yang mengitarinya. Peluang dan hambatan politik menentukan pilihan, taktik, dan tindakan yang diambil para aktor. Keberhasilan para aktor sebagian ditentukan oleh faktor eksternal ini, yakni berupa seberapa besar akses formal dan informal mereka terhadap lembaga dan pembuatan keputusan politik, taraf akomodasi sistem politik terhadap kelompok lawan, keberadaa kawan dan lawan, stabilitas koalisi rezim, tingkat represivitas rezim, dan kondisi lembaga-lembaga politik. Seberapun besar pengaruh peluang politik ini, tetap saja aktivisme yang tercetus tergantung pada respons dan penafsiran para aktor terhadap hambatan dan peluang yang ada. Quintan mencontohkan ini dengan sikap Hamas yang di suatu saat mengeras dan di saat yang lain melunak lantaran situasi dan konteks politik yang berbeda.112 Pembingkaian adalah proses produksi dan penyebaran makna. Ia terkait dengan peristiwa proyeksi sang individu sebagai kolektivitas, di mana individu dipersuasi untuk bergerak, di mana makna dihasilkan, dikemas, dan disebarkan oleh para pengelola gerakan melalau proses interaksi diskursif. Ada tiga fungsi pembingkain dalam aktivisme, yakni: untuk menelaah problem, menyarankan preskripsi, dan memberi alasan-alasan rasional bagi individu untuk bergerak dan menginisiasi tindakan bersama. Kemampuan kerangka untuk menggerakkan mobilisasi tergantung pada pendasaran kerangka pada narasi dan budaya lokal-primordial, reputasi para aktor yang melakukan pembingkaian, akomadasi kerangaka terhadap kepentingan individual para anggota, dan koherensi dan korespondensi kerangka dengan realitas sehari-hari. Beberapa aktivisme Islam, misalnya, menyerbarkan makna bahwa kehidupan berbangsa bernegara yang ideal diukur dari kesesuainya dengan panduan syariah. Kerangka ini pun diarahkan untuk menganalisa bahwa kemerosotan hidup adalah akibat belaka dari menjamurnya praktik budaya Barat di masyarakat muslim, menegaskan bahwa obat mujarab dari patologi tersebut adalah penegakan aturan-aturan Islam, dan terakhir menunjukkan bahwa tuntutan tentang penegakkan syariat adalah jalan keluar yang masuk akal. Perselisihan di internal gerakan muncul ketika masing- masing aktor memiliki framing yang berbeda-beda dan saling berebut hegemoni. Framing gerakan pun juga mengalami kontestasi tertentu dengan framing resmi yang ditegaskan oleh negara untuk menghalau framing sebuah aktivisme Islam.113

111 Ibid., 49-56. 112 Ibid., 56-58. 113 Ibid., 59-66.

58 Vol. 15, No. 1, Maret 2021 Politik & Gerakan Kebangsaan Pemuda Muslim

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Choirul. Gerak Langkah Pemuda Ansor, Seputar Sejarah Kelahiran. Jakarta: PT Duta Aksara Mulia, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Hasan, Noorhaidi. “Islamist Party, Electoral Politics And Da’wah Mobilization Among Youth: The ProsperouPus Justice Party (PKS) in Indonesia”,Journal of Indonesian Islam, Vol. 06, Number 01, Juni 2012.

Hasan, Noorhaidi. Islam Politik di Dunia Kontemporer (Konsep, Genealogi, dan Teori). Yogyakarta: Suka Press, 2012.

Jenkins, J. Craig. “Resource Mobilization Theory And The Study Of Social Movements”, Ann. Rev. Social. 1983.

Kohn, Hans. Nasionalisme; Arti dan Sejarahnya, terj. Sumantri Mertodipuro. Jakarta: PT Pembangunan dan Penerbit Erlangga, 1984.

Kusuma, Erwien. Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950-2010). Bogor: Kekal Press, 2012.

Mahfud MD, Moh. “Perkembangan Politik Kebangsaan dan Produk Hukum Otonomi Daerah”, dalam Eko Prasetyo, dkk. (ed.), Nasionalisme; Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Rijal, Syamsu. “Crafting Hizbiyin In Contemporary Indonesia: Da’wah and Recruitment of Hizbut Tahrir Indonesia in South Sulawesi”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 05, Number 01, Juni 2011.

Risalah Ansor, No. 2, 1950, 13-15, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950-2010). Bogor: Kekal Press, 2012.

Risalah Ansor, No. 2, 1950, 5-13, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950-2010). Bogor: Kekal Press, 2012.

Soara Ansor, Th. I No. 5/6, September-Oktober 1954, Departemen Pendidikan GP Ansor Cabang Surabaya, halaman 1, mikrofilm koleksi Arsip Nasional RI, bundel 66, sebagaimana dikutip dalam Erwien Kusuma, Yang Muda Yang Berkiprah (Gerakan Pemuda Ansor dan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal hingga Reformasi (1950- 2010). Bogor: Kekal Press, 2012.

Vol. 15, No. 1, Maret 2021 59 Abdillah Halim

Tilly, Charles. “Sekapur Sirih”, dalam Quintan Wictorowics (ed.), Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, terj. Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012.

Vertigans, Stephen. “Islam and The Cronstruction of Modern Nationalism: The Unintended Consequences of State Sponsored Socialisation”, dalam Gregory H. Franco dan Scott L. Cervantes (ed.), Islam in the 21st Century. New York: Nova Science Publisher, 2010.

Wiktorowics, Quintan. “Pendahuluan: Aktivisme Islam dan Teori Gerakan Sosial”, dalam Quintan Wictorowics (ed.), Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus, terj. Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina, 2012.

60 Vol. 15, No. 1, Maret 2021