BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah seluruh gagasan manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat,1987: 9). Menurut Imam Sutardjo kebudayaan merupakan peradaban batin, kehalusan budi, keluhuran batiniah, ketinggian perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian (2008: 10). Lebih lanjut menurut Alo Liliweri kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat (2011: 107). Bangunan merupakan hasil dari kebudayaan dan kreativitas seni yang menggambarkan totalitas dari cipta, rasa, dan karsa pemiliknya (Sunarmi, Guntur, Utomo Tri Prasetyo, 2007: 139). Manusia dengan menggunakan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual mampu melahirkan berbagai karya seni dan budaya termasuk seni bangunan atau arsitekturnya. Bangunan adalah representasi kearifan lokal dan kecerdasan lokal yang tidak hanya sebagai media bertahan hidup akan tetapi sebagai pemicu dan pemacu gairah hidup (Sunarmi, Guntur, Utomo Tri Prasetyo, 2007: 5). Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran merupakan hasil dari kebudayaan yang memiliki keindahan struktur, tata ruang, tata letak dan tata estetikanya. Pura Mangkunegaran terdiri dari bangunan-bangunan yang tidak hanya mengagumkan secara fisik semata, namun dalam pembangunannya telah melalui proses pemikiran yang commitmendalam to user sehingga setiap elemen bangunan 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id2 mengandung makna simbolis dalam rangka untuk memperoleh ketenteraman dan keselamatan. Oleh karena itu, bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran tidak dibangun dengan sederhana. Bangunan-bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran menggambarkan bahwa untuk menuju pada kesempurnaan hidup harus melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan berliku. Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 di tengah-tengah kota Surakarta, menghadap ke arah selatan. Tepatnya berada di wilayah Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Luas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran adalah 93.396 m² atau 302,50m x 308,25m. Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran tidak tampak jika dilihat dari luar karena dikelilingi dinding tembok yang tebal dan tinggi, ada bagian tembok yang tingginya mencapai 5m. Pura Mangkunegaran berbatasan dengan Jalan Ronggowarsito pada bagian selatan atau bagian depan. Pada bagian barat berbatasan dengan Jalan Kartini. Bagian belakang atau bagian utara berbatasan dengan Jalan RM. Said. Sedangkan bagian timur Pura Mangkunegaran berbatasan dengan Jalan Teuku Umar (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 41). Pura Mangkunegaran didirikan oleh Raden Mas Said yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa atau Sultan Adiprakoso Senapati Ingalaga Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat. Kemudian Raden Mas Said bertahta sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (KGPAA) Mangkunegara I yang memerintah pada tahun 1757-1759. KGPAA Mangkunegara I membangun Pura Mangkunegaran dengan bentuk sederhana, belum sebesar dan sekompleks sekarang (Roswitha Pamoentjak Singgih, 1896: 1). Pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dilakukan secara bertahap dari masa pemerintahan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id3 Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan Mangkunegara IX, yang sedang berkuasa pada saat ini. Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara II yaitu pada tahun 1796-1835, mulai dilakukan pengembangan ketataprajaan dengan meningkatkan kesejahteraan narapraja, punggawa, dan masyarakat. KGPAA Mangkunegara II mulai melanjutkan pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun pendhapa ageng pada tahun 1815. KGPAA Mangkunegara III yang memerintah pada tahun 1835-1853 kemudian melanjutkan pembangunan dengan membangun prangwedanan, pracima sana, purwa sana, bale peni, bale warni, bale kencur, bangsal tosan, mandra sana, langen praja, reksa wahana, reksa pradipta (Moh. Dalyana, 1939: 5). KGPAA Mangkunegara IV yang memerintah pada tahun 1853-1881, memperluas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun pagar tembok. Pagar tembok yang tebal dan tinggi dibangun mengelililingi kompleks Pura Mangkunegaran, selain itu Mangkunegara IV juga menambahkan perabotan pada bangunan-bangunan yang sudah ada sebelumnya. Pada tahap selanjutnya, pembangunan dilakukan oleh KGPAA Mangkunegara V. KGPAA Mangkunegara V yang memerintah pada tahun 1881-1896 membangun taman- taman seperti ujung puri dan pracima yasa. Sedangkan KGPAA Mangkunegara VI yang memerintah pada tahun 1896-1916 membangun panti pamarasan serta menambah taman-taman seperti nguntarayasa dan pracimayasa (Moch Dalyana, 1939: 5). Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII yaitu pada tahun 1916-1944, sudah tidak membuat bangunan baru. KGPAA Mangkunegara VII commit to user melakukan perbaikan pada bangunan-bangunan yang rusak dan menambah hiasan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id4 pada langit-langit pendhapa ageng. Mangkunegara VII memiliki keinginan untuk memadukan karya seni dan filsafat atau ajaran-ajaran yang terkandung di dalam serat-serat piwulang. Keinginan mangkunegara VII kemudian dituangkan dalam bentuk hiasan singup pendhapa ageng yang disebut dengan kumudawati. Kumudawati disalin oleh abdi dalem Kraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei Atmasupama. Kumudawati yang semula dilukis di kertas kemudian disalin pada kain putih, lalu diletakkan di langit-langit pendhapa ageng. Kumudawati memiliki lima motif yaitu motif lidah api atau modhang, atribut dewa mata angin, simbol watak hari, simbol watak tahun, dan warna-warna magis. Kelima motif dalam batik kumudawati berisi nilai-nilai filosofis yang diambil dari karya-karya sastra semasa pemerintahan mangkunegara IV (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 65). KGPAA Mangkunegara VIII dan IX sudah tidak melakukan pembangunan, akan tetapi mengadakan pemeliharaan dan perbaikan seperti mengecat ulang, mengganti lantai, menambah hiasan dan perabotan pada bangunan-bangunan yang sudah ada. Bangunan-bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dibangun melalui proses yang sangat panjang yaitu dari masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan Mangkunegara IX atau pada saat ini. Akan tetapi pada saat ini beberapa bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran telah mengalami kerusakan dan ada yang sudah dibongkar. Bangunan-bangunan inti di kompleks Pura Mangkunegaran yang pada saat ini masih utuh yaitu Bale kencur, Bale peni, Bale warni, Dalem ageng, Gedhong wireng, Karti pura, Kasatriyan, Langen praja, Mandra pura, Pacaosan, commit to user Pakretan, Pamedan, Panti putra, Panti putri, Pendhapa ageng, Petanen, Pracima perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id5 sana, Prangwedanan, Pringgitan, Purwa sana, Reksa busana, Reksa hastana, Reksa pradipta, Reksa pura, Reksa pustaka, Reksa sunggata, Reksa wahana, Reksa warastra, Reksa wilapa, dan Senthong. Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran memiliki makna filosofis yang sangat menarik untuk diteliti agar nilai-nilai yang terkandung dalam istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dapat diajarkan kepada generasi penerus bangsa. Bangunan- bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Eropa, akan tetapi struktur tata bangunan dan penggunaan istilah-istilah nama bangunannya tetap mempertahankan kebudayaan Jawa. Berikut adalah beberapa contoh istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang dianalisis berdasarkan bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural. 1. Pringgitan [priŋgitan] Pada data (1) terdapat kata pringgitan yang berbentuk polimorfemis yang berasal dari kata dasar ringgit yang mendapat konfiks pa-/-an. Makna leksikal dari ringgit menurut Prawiroatmojo (1981: 145) adalah wayang. Makna gramatikal dari pringgitan adalah bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran yang terletak di antara pendhapa ageng dan dalem ageng yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertunjukkan wayang kulit dan untuk menerima tamu resmi kenegaraan. Adapun makna kultural dari pringgitan adalah manusia harus bisa membedakan kebaikan dan keburukan sehingga manusia dapat memilih jalan yang benar di dalam hidupnya. Seperti dalam ungkapan “Becik ketitik ala ketara”. Ungkapan tersebut berarti commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id6 kebenaran pasti suatu saat akan terlihat dan keburukan yang disembunyikan sekalipun suatu saat juga pasti akan ketahuan. 2. Dalem ageng [daləm agəŋ] Pada data (2) di atas terdapat satuan lingual dalem ageng yang berbentuk frasa nomina karena intinya yaitu kata dalem termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata ageng yang termasuk dalam kategori adjektif. Makna leksikal dari dalem menurut Prawiroatmojo (1993: 88) adalah (1) dalam, (2) rumah, sedangkan ageng adalah besar (Prawiroatmojo, 1993: 4). Makna gramatikal dari dalem ageng adalah bangunan utama di kompleks Pura Mangkunegaran yang berbentuk limasan yang sangat luas dan terletak di belakang pringgitan. Makna kultural dari dalem ageng adalah seorang raja atau seseorang yang memiliki kekuasaan besar hendaknya dapat mengayomi masyarakat agar makmur dan sejahtera. Seseorang di dalam menjalani kehidupan harus senantiasa menjalankan kewajibannya dengan baik karena pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Penggunaan istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berlaku di Pura Mangkunegaran. Budaya yang
Recommended publications
  • POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY
    POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY. Agus Murdiyastomo ABSTRAK Pusat budaya di Yogyakarta selama ini yang lebih banyak diketahui oleh masyarakat adalah Kraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi sesungguhnya selain Kraton Kasutanan masih terdapat pusat budaya yang lain yaitu Pura Paku Alaman. Di Kadipaten telah terlahir tokoh-tokoh yang sangat memperhatikan kelestarian budaya Jawa khususnya seni tari tradisi. Salah satunya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IV, yang pada masa ia berkuasa, budaya Barat yang dibawa oleh kaum kolonialis melanda daerah jajahan. Hadirnya budaya asing tentu sulit untuk ditolak. Namun demikian denga piawainya KGPAA Paku Alam IV, justru mengadopsi budaya Barat, tetapi ditampilkan dengan rasa dan estetika Jawa, dalam bentuk tari klasik. Sehingga pada masanya lahir repertoar tari baru yang memperkaya seni tari tradisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perkembangan seni tari di Pura Pakualaman pada masa pemerintahan KGPAA Paku Alam IV, dan hal-hal apa yang melatarbelakangi penciptaannya. Dalam rangka mewujudkan rekonstruksi ini dilakukan dengan metode sejarah kritis, yang tahapannya meliputi Pertama, Heuristik, atau pencarian dan pengumpulan sumber data sejarah, yang dalam hal ini dilakukan di BPAD DIY, dan di Perpustakaan Pura Pakualaman. Di kedua lembaga tersebut tersimpan arsip tentang Paku Alaman, dan juga naskah- naskah yang berkaitan dengan penciptaan tari. Kedua, Kritik, atau pengujian terhadap sumber-sumber yang terkumpul, sumber yang telah terkumpul diuji dari segi fisik untuk memperoleh otentisitas, kemudian membandingkan informasi yang termuat dengan informasi dari sumber yang berbeda, untuk memperoleh keterpercayaan atau kredibilitas. Ketiga, Interpretasi yaitu informasi yang ada dikaji untuk diangkat fakta-fakta sejarahnya, yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kisah sejarah.
    [Show full text]
  • ISLAMIC NARRATIVE and AUTHORITY in SOUTHEAST ASIA 1403979839Ts01.Qxd 10-3-07 06:34 PM Page Ii
    1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page i ISLAMIC NARRATIVE AND AUTHORITY IN SOUTHEAST ASIA 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page ii CONTEMPORARY ANTHROPOLOGY OF RELIGION A series published with the Society for the Anthropology of Religion Robert Hefner, Series Editor Boston University Published by Palgrave Macmillan Body / Meaning / Healing By Thomas J. Csordas The Weight of the Past: Living with History in Mahajanga, Madagascar By Michael Lambek After the Rescue: Jewish Identity and Community in Contemporary Denmark By Andrew Buckser Empowering the Past, Confronting the Future By Andrew Strathern and Pamela J. Stewart Islam Obscured: The Rhetoric of Anthropological Representation By Daniel Martin Varisco Islam, Memory, and Morality in Yemen: Ruling Families in Transition By Gabrielle Vom Bruck A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java By Ronald Lukens-Bull The Road to Clarity: Seventh-Day Adventism in Madagascar By Eva Keller Yoruba in Diaspora: An African Church in London By Hermione Harris Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st Century By Thomas Gibson 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page iii Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia From the 16th to the 21st Century Thomas Gibson 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page iv ISLAMIC NARRATIVE AND AUTHORITY IN SOUTHEAST ASIA © Thomas Gibson, 2007. All rights reserved. No part of this book may be used or reproduced in any manner whatsoever without written permission except in the case of brief quotations embodied in critical articles or reviews. First published in 2007 by PALGRAVE MACMILLAN™ 175 Fifth Avenue, New York, N.Y.
    [Show full text]
  • Javanese Local Wisdom in Wedhatama
    i ii JAVANESE LOCAL WISDOM IN WEDHATAMA PART I iii Laws of the republic of Indonesia No.19 of 2002 concerning Copyright Copyright Scope 1. Copyright is an exclusive right for an Author or a Copyright Holder to announce or reproduce his Work, which arises automatically after a work is born without reducing restrictions in accor- dance with applicable laws and regulations. Criminal Provisions 1. Anyone who intentionally or without the right to commit acts as referred to in Article 2 para- graph (1) or Article 49 paragraph (1) and paragraph (2) shall be sentenced to a minimum impris- onment of 1 (one) month each and / or a minimum fine Rp. 1,000,000.00 (one million rupiah), or a maximum imprisonment of 7 (seven) years and / or a maximum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah). 2. Anyone who intentionally broadcasts, exhibits or sells to the public a Work or goods resulting from infringement of Copyright or Related Rights as referred to in paragraph (1) shall be sen- tenced to a maximum of 5 years and / or a maximum fine of Rp. 5.00,000,000.00 (five hundred million rupiah). iv JAVANESE LOCAL WISDOM IN WEDHATAMA PART I DR. ESTI ISMAWATI, M.PD DR. WARSITO, M.PD TRANSLATOR: DRA. SRI HARYANTI, M.HUM v First published 2021 by Gambang Buku Budaya Perum Mutiara Palagan B5 Sleman-Yogyakarta 55581 Phone: +62 856-4303-9249 All rights reserved. No part of this book may be reprinted or reproduced or utilised in any form or by any electronic, mechanical, or other means, now known or hereafter invented, including photocopying and recording, or in any information storage or retrieval system, without permission inwriting from the publishers.
    [Show full text]
  • Memaknai Bentuk Rupa Lambang Keraton Mangkunegaran
    MEMAKNAI BENTUK RUPA LAMBANG KERATON MANGKUNEGARAN Herliyana Rosalinda1, Umi Kholisya2 Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. [email protected], [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Makna Simbolis Lambang Keraton Mangkunegaran Surakarta. Pmbahasannya digolongkan sebagai penelitian deskriptif kualitatif menggunakan metode historis, untuk menafsirkan makna simbol yang ada pada lambang keraton Mangunegaran digunakan pendekatan hermeunitika. Objeknya Keraton Mangkunegaran Surakarta sedangkan subjek penelitian ini adalah Makna Simbolis Lambang Keraton. Penelitian juga difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan Mangkunegaran Surakarta, selain itu pemaknaan lambang sebagai identitas legitimasi suatu pemerintahan dalam kerangka budaya juga menjadi kajian yang penting, terutama dari bentuk visual, rupa, maksud atau makna simbolik yang ada pada lambang kerajaan Mangkunegaran Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan: pada setiap periodesasi pemerintahan Mangkunegara, lambang Mangkunegaran memiliki bentuk rupa dan makna simbol yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pemikiran, pemerintahan, maupun filosofis dari dalam diri raja Mangkunegaran yang sedang memerintah. Umumnya unsur gambar yang ada pada lambang Mangkunegaran berisi gambar mahkota, padi dan kapas, surya, dan logotype MN. Sedangkan untuk perbedaannya ddilihat dari perbedaan tampilan bentuk ataupun jumlah masing-masing jenis gambar tersebut. Kata Kunci : Bentuk rupa, Simbol, Lambang, Mangkunegaran INTERPRET SHAPE OF EMBLEM ON MANGKUNEGARAN PALACE Abstract This study aimed to describe the Meaning of Mangkunegaran Surakarta Symbol. The explanation of this study classed as a qualitative descriptive using historical methods, and then to interpret the meaning of the symbol on the emblem used Mangunegaran palace hermeunitika approach. The object is Kraton Mangkunegaran while the subject of this study was the Meaning of Symbol palace.
    [Show full text]
  • Resensi Buku Geger Sepoy: Sejarah Kelam Perseteruan Inggris
    NABIL BAHAR RIZKY AND MOSES GLORINO RUMAMBO PANDIN UNIVERSITAS AIRLANGGA Jalan Airlangga No. 4-6, Airlangga, Kec. Gubeng, Kota Surabaya, Jawa Timur 60115 [email protected] and [email protected] RESENSI BUKU GEGER SEPOY: SEJARAH KELAM PERSETERUAN INGGRIS DAN KERATON YOGYAKARTA (1812-1815) (BOOK REVIEW “GEGER SEPOY: A DARK HISTORY OF THE FEW ENGLISH AND THE YOGYAKARTA PALACE (1812-1815)”) LILIK SUHARMAJI; YOGYAKARTA; 2020; 978-623-7537-58-8; 304 PAGES INTRODUCTION The book “Geger Sepoy: Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dan Keraton Yogyakarta (1812-1815)” was written against the background of the lack of in-depth study of geger sepoy. Some book sources that tell the events of the commotion are not written systematically, specifically, and chronologically. The writing of this is expected to add insight and detailed historical sources, chronology, and sharp analysis of the history of Yogyakarta, especially the commotion incident. The writing of this book is intended for the general public, especially for the millennial generation. This can refer to an effort to provide knowledge and lessons about the great history that has occurred in the "Keraton Ngayogyakarta" environment. In addition, this is can improve understanding for observers of the history of the land of Java and especially for observers of the history of the palaces in Java. This book contains objective information, although the sources studied are subjective. This can be seen from the content and discussion in the book that deliberately presented the history of the establishment of the Yogyakarta Palace and the history of the perpetrators of the commotion, including Sultan Sepuh, Sunan Pakubuwono IV, Sultan Hamengku Buwono III, Pangeran Prangwedono, Pangeran Notokusumo, Chinese Chief Tan Jin.
    [Show full text]
  • Notes and References
    Notes and References Chapter 1: The Coming of Islam The contemporaneous evidence for Islamisation is described in Damais, 'L'epigraphie musulmane dans le Sud-Est Asiatique', with references to previous literature; see also Damais, 'Etudes javanaises, I: Les tombes musulmanes datees de Tr~l~j~'. Chinese records are translated in Rockhill, 'Notes on the relations and trade of China with the eastern archipelago'; and in Groenveldt, 'Notes on the Malay Archipelago and Malacca'. On Marco Polo's account see Jack-Hinton, 'Marco Polo in South-East Asia'. Cortesao, Suma Oriental, contains the crucial text of Tome Pires in Portuguese and English translation. The Indonesian chronicles described above are found in the following: Hill, 'Hikayat Raja-raja Pasai'; Brown, Sejarah Melayu; Olthof, Babad Tanah Djawi; Djajadiningrat, Sadjarah Banten. Other legends are described in R. Jones, 'Ten conversion myths'. The two sixteenth-century Javanese Islamic books have both been edited and translated by Drewes: ]avaanse primbon and Admonitions of Seh Bari. A survey of some of the controversies surrounding Islamisation, with special attention to the sources of Indonesian Islam, is in Drewes, 'New Light'. On the Sufi argument see Johns, 'Sufism as a category'. See also Ricklefs, 'Six centuries of Islamisation '. Some materials on Islam in the areas outside of Indonesia which are mentioned in this chapter can be found in Hardy, 'Modern European and Muslim explanations of conversion to Islam in South Asia'; and in Majul, Muslims in the Philippines. Chapter 2: General Aspects of Pre-Colonial States and Major Empires, c. 1300- 1500 The general principles which underlay Indonesian states have been investigated in Moertono, State and statecraft in old java; Schrieke, Indonesian sociological studies (see especially vol.
    [Show full text]
  • Serat Wedatama and Character Education
    IJSS.Vol.13, No.1, September 2017 SERAT WEDATAMA AND CHARACTER EDUCATION HY. Agus Murdiyastomo 6 Abstract Many people understand that a character education is only related to politeness. This understanding is certainly too narrow because character in Javanese culture has broader meaning than just being polite. The ideas regarding character education have been presented by Mangkunegara IV through his work of Serat Wedatama. Problems arise when the work is written in the form of symbolic traditional songs, namely Pangkur, Sinom, Pocung, and gambuh. This paper aims at investigating the kinds of character messages presented in the first section of Serat Wedatama which was composed in the form of pangkur traditional songs. The method employed in this research is a historical research method, whose stages include heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Considering the object of the study is a manuscript, content analysis and semantic approaches are utilized. The approach was chosen merely to obtain the clarity of the meaning which are implicitly expressed in the form a traditional song of pangkur. The results are traditional songs describes the atmosphere, circumstances, or will to be achieved. The first section of pangkur traditional song, in general, contains a message about the guidance to achieve the perfection of which can be attained by abandoning worldly things. Among the 14 traditional songs of Pangkur, their first section presents some basic thoughts namely Angkara, Ngelmu, Atining Tatakrama, Lumuh asor kudu unggul, puruhita, and manembah Keywords: Character, Education, Wedatama. 6 Faculty of Social Sciences, Yogyakarta State University. Email: [email protected] 63 HY. Agus Murdiyastomo: Serat Wedatama...
    [Show full text]
  • Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta Di Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VII
    Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110 Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VII Sriyadi,* R. M. Pramutomo Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta Jl. Ki Hadjar Dewantara Jebres, Surakarta - Indonesia *Alamat korespondensi: [email protected] DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v5i1.26657 Diterima/Received: 21 November 2019; Direvisi/Revised : 26 Maret 2020; Disetujui/Accepted: 7 April 2020 Abstract The history of dance in Mangkunegaran is basically using the Surakarta style. During the reign of Mangkunegara VII there was the dance called Bedhaya Bedhah Madiun dance with Yogyakarta style. This study tries to describe the factors of Yogyakarta dance style in Pura Mangkunegaran by choosing a specific dance called Bedhaya Bedhah Madiun. It is ethnochoreological research using the historical approach. The existence of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Pura Mangkunegaran is mostly influenced by the social and political demands of Mangkunegaran. As the top of the social and political hierarchy in Mangkunegaran, Mangkunegara VII' has policy impacts on the budgetary of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Mangkunegaran. The most challenging policy is the political nuance which is carried out with the Yogyakarta Sultanate Palace. Mangkunegara VII's marriage to Gusti Timur was blessed with a daughter, who is confirmed by her ability in dancing bedhaya and srimpi. Around 1934 Gusti Nurul was permitted to be sent to Krida Beksa Wirama to study the Yogyakarta style of bedhaya and srimpi dance. One of the learning materials is the Bedhaya Bedhah Madiun dance, which is then presented at Pura Mangkunegaran.
    [Show full text]
  • Shared Authority
    Shared Authority Local cooperation in the construction of colonial governance on Java in the early 1830s Maarten Manse Universiteit Leiden 1 Shared authority: Local cooperation in the construction of colonial governance on Java in the early 1830s. Thesis submitted for the degree Research Masters in Colonial and Global History, Department of History, Leiden University Maarten Manse s0950912 [email protected] Supervisor: Mw. Dr. A.F. Schrikker 24-11-2014 1 …gij zult daarenboven leeren inzien, dat insgelijks de Javaan, sedert wij hem naar billijke wetten regeeren, sedert zijn persoonlijke rechten, zijn eigendom werden gewaarborgd, veel gelukkiger en meer welvarend is dan vroeger; en dit vooral omdat men hem wijselijk het genot blijft schenken: de bevelen rechtstreeks van zijn eigen hoofden te ontvangen. F.W. Junghuhn, Licht- en schaduwbeelden uit de binnenlanden van Java (Amsterdam: F. Günst, 1867): 324-5. 3 Table of Contents List Maps and of Illustrations .................................................................................................................. 5 Preface ..................................................................................................................................................... 6 Introduction ............................................................................................................................................. 7 1. From Company to state ..................................................................................................................... 16
    [Show full text]
  • From Royal Family-Based Ownership to State Business Management: Mangkunegara's Sugar Industry in Java from the Middle of the 19Th to Early 20Th Century
    Management & Organizational History ISSN: 1744-9359 (Print) 1744-9367 (Online) Journal homepage: https://www.tandfonline.com/loi/rmor20 From royal family-based ownership to state business management: Mangkunegara's sugar industry in Java from the middle of the 19th to early 20th century Wasino, Endah Sri Hartatik & Nawiyanto To cite this article: Wasino, Endah Sri Hartatik & Nawiyanto (2019): From royal family- based ownership to state business management: Mangkunegara's sugar industry in Java from the middle of the 19th to early 20th century, Management & Organizational History, DOI: 10.1080/17449359.2019.1614462 To link to this article: https://doi.org/10.1080/17449359.2019.1614462 Published online: 22 May 2019. Submit your article to this journal View Crossmark data Full Terms & Conditions of access and use can be found at https://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=rmor20 MANAGEMENT & ORGANIZATIONAL HISTORY https://doi.org/10.1080/17449359.2019.1614462 From royal family-based ownership to state business management: Mangkunegara's sugar industry in Java from the middle of the 19th to early 20th century Wasinoa, Endah Sri Hartatikb and Nawiyantoc aHistory Department, Social Science Faculty, Semarang State University, Semarang, Indonesia; bHistory Department. Faculty of Humanities, Diponegoro University, Semarang, Indonesia; cHistory Department, Faculty of Humanities, Jember University ABSTRACT KEYWORDS This article discusses the dynamics of the sugar industry owned by an Sugar industry; indigenous ruler of the Mangkunegaran principality of Surakarta management change; Dutch from the mid-19th to early 20th century in Java, Indonesia. It draws colonial; state management; mainly upon source materials from the Mangkunegara`s collection in sugar production Indonesia and colonial archives in the Hague, Netherlands.
    [Show full text]
  • Perpustakaan Rekso Pustoko Sebagai Sumber Penulisan Skripsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Fkip Uns
    PERPUSTAKAAN REKSO PUSTOKO SEBAGAI SUMBER PENULISAN SKRIPSI MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FKIP UNS TESIS Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Disusun oleh: I MADE RATIH ROSANAWATI NIM S 860908007 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, oleh karena itu pendidikan memiliki tanggung jawab mencerdaskan bangsa dan menjadi tumpuan harapan bangsa, dan diharapkan pendidikan akan melahirkan manusia – manusia yang berkualitas. Perwujudan masyarakat berkualitas adalah masyarakat yang mempunyai daya saing serta menjadi subyek yang tangguh, kreatif, dan mandiri serta profesional pada bidangnya. Dalam Undang – undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Jenjang pendidikan Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan yang mempersiapkan sumber daya manusia yang handal karena mahasiswa dididik untuk lebih mandiri dibandingkan jenjang pendidikan sebelumnya. Tujuan pembelajaran di Perguruan Tinggi mengisyaratkan agar dalam proses pembelajaran mahasiswa mampu memiliki pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap yang disertai
    [Show full text]
  • Bab Ii Gambaran Umum Perempuan Mangkunegaran
    BAB II GAMBARAN UMUM PEREMPUAN MANGKUNEGARAN PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL A. Praja Mangkunegaran Berdirinya Praja Mangkunegaran ditandai dengan dilaksanakannya perjanjian Salatiga antara Raden Mas Said, Belanda, dan Sunan Paku Buwono III tahun 1757. Perjanjian tersebut menyepakati beberapa hal yang meliputi: 1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, yang berkedudukan di bawah Sunan. Raden Mas Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara. 2. Raden Mas Said mendapatkan tanah sebesar 4000 karya,1 yang terletak di Keduwang, Laroh, Matesih dan Gunung Kidul. 3. Raden Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, dan Belanda. Raden Mas Said juga harus tunduk kepada perintah raja. Ia juga harus tinggal dan berkedudukan di ibukota Surakarta.2 Berdasarkan perjanjian Salatiga tersebut disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat tanah lungguh (apanage) seluas 4000 karya . Tanah apanage yang diberikan kepada Raden Mas Said merupakan tanah yang pernah dikuasai oleh Raden Mas Said. Wilayah awal Praja Mangkunegaran disebut sebagai desa Babok (desa inti atau desa induk). Luas dan nama-nama wilayah yang ada di bawah Pemerintahan Praja 1 Luas satu karya sekitar 7.096,5 meter atau sama dengan satu bau (3/4 hektar). Lihat Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. 2 A.K.Pringgodigdo, Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran, Surakarta: Rekso Pustaka,1938, hlm 8. 19 20 Mangkunegaran pada tahun 1757 dapat dijelaskan melalui tabel berikut ini: Tabel 1 Nama dan Luas Wilayah Desa Babok Mangkunegaran Tahun 1757 NO. NAMA WILAYAH LUAS LUAS (JUNG) (KARYA) 1 Keduang 141 564 2 Laroh 115,5 462 3 Matesih 218 872 4 Wiraka 60,5 242 5 Haribaya 82,5 330 6 Hanggabayan 25 100 7 Sembuyan 133 532 8 Gunung Kidul 71,5 286 9 Pajang (Sebelah selatan Jalan Surakarta- 58,8 235,2 Kartasura) 10 Pajang (sebelah utara Jalan Surakarta- 64,5 258 Kartasura) 11 Mataram (Pertengahan Yogyakarta) 64,5 258 12 Kedu 8,5 34 JUMLAH 975,5 3.918 (Sumber: Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT.
    [Show full text]