Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta Di Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VII

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta Di Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VII Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110 Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran Masa Pemerintahan Mangkunegara VII Sriyadi,* R. M. Pramutomo Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta Jl. Ki Hadjar Dewantara Jebres, Surakarta - Indonesia *Alamat korespondensi: [email protected] DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v5i1.26657 Diterima/Received: 21 November 2019; Direvisi/Revised : 26 Maret 2020; Disetujui/Accepted: 7 April 2020 Abstract The history of dance in Mangkunegaran is basically using the Surakarta style. During the reign of Mangkunegara VII there was the dance called Bedhaya Bedhah Madiun dance with Yogyakarta style. This study tries to describe the factors of Yogyakarta dance style in Pura Mangkunegaran by choosing a specific dance called Bedhaya Bedhah Madiun. It is ethnochoreological research using the historical approach. The existence of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Pura Mangkunegaran is mostly influenced by the social and political demands of Mangkunegaran. As the top of the social and political hierarchy in Mangkunegaran, Mangkunegara VII' has policy impacts on the budgetary of the Bedhaya Bedhah Madiun dance in Mangkunegaran. The most challenging policy is the political nuance which is carried out with the Yogyakarta Sultanate Palace. Mangkunegara VII's marriage to Gusti Timur was blessed with a daughter, who is confirmed by her ability in dancing bedhaya and srimpi. Around 1934 Gusti Nurul was permitted to be sent to Krida Beksa Wirama to study the Yogyakarta style of bedhaya and srimpi dance. One of the learning materials is the Bedhaya Bedhah Madiun dance, which is then presented at Pura Mangkunegaran. Keywords: History of Dance; Absorption; Bedhaya Bedhah Madiun; Mangkunegaran. Abstrak Tari yang berkembang di Mangkunegaran pada dasarnya menggunakan gaya Surakarta. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII terdapat tari Bedhaya Bedhah Madiun dengan gaya Yogyakarta. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan faktor keberadaan tari gaya Yogyakarta di Mangkunegaran, dengan memilih studi kasus pada tari Bedhaya Bedhah Madiun. Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah etnokoreologi dengan metode penelitian sejarah. Keberadaan tari Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keadaan sosial politik yang dihadapi Mangkunegaran sangat memengaruhinya. Sebagai puncak hierarki strata sosial di Mangkunegaran, kebijakan Mangkunegara VII berdampak pada kemunculan tari Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap hal itu adalah pelaksanaan politik pernikahan dengan Kasultanan Yogyakarta. Pernikahan Mangkunegara VII dengan Gusti Timur dikaruniai seorang putri yaitu G.R.Aj. Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardani yang memiliki kemampuan menari bedhaya dan srimpi. Penegasan kedudukan tidak lepas dari peranan Gusti Timur, sebagai ibu dan permaisuri. Sekitar tahun 1934 Gusti Nurul disertai beberapa kerabat disekolahkan ke Kridha Beksa Wirama untuk belajar tari bedhaya dan srimpi gaya Yogyakarta. Salah satu materi pembelajarannya adalah tari Bedhaya Bedhah Madiun, yang kemudian disajikan di Mangkunegaran. Kata Kunci: Sejarah Tari; Absorpsi; Bedhaya Bedhah Madiun; Mangkunegaran. Pendahuluan adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara, yang lahir pada 7 April 1726. Kadipaten Mangkunegaran Pura Mangkunegaran yang berada di Kota berdiri berkat perjuangan R.M. Said melawan Surakarta dahulu merupakan sebuah pusat Belanda, Susuhunan Paku Buwana II, dan pemerintahan kadipaten yang terbentuk pada Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku 1757. Kadipaten Mangkunegaran didirikan oleh Buwana I). Perlawanan itu berlanjut ketika R.M. Said atau Pangeran Sambernyawa. R.M. Said Surakarta di bawah pemerintahan Susuhunan Paku 28 Sriyadi dan R.M. Pramutomo (Absorpsi Tari Bedhaya Bedhah Madiun Gaya Yogyakarta di Mangkunegaran) Buwana III. Perlawanan berakhir setelah perjanjian bagian beksan dibagi menjadi dua yaitu beksan Salatiga yang menetapkan R.M. Said sebagai pokok I dengan Gendhing Gandakusuma, Adipati dengan gelar K.G.P.A.A. Mangkunegara I Gending Gambuh, dan Ladrang Gurisa (Pakempalan Pengarang Serat ing Mangkunagaran Mengkreng, serta bagian beksan pokok II dengan dan Kamajaya, 1993:248–49). Gendhing Ketawang Widharingtyas. Gendhing Kadipaten Mangkunegaran adalah salah satu dalam tari Bedhaya Bedhah Madiun menggunakan wilayah Kasunanan Surakarta, sehingga dalam Laras Pelog Pathet Nem. sistem pemerintahan berada di bawah kekuasaan Pola gerak yang digunakan dalam tari Kasunanan yang merupakan kerajaan (Sunarmi, Bedhaya Bedhah Madiun di Mangkunegaran 2005:35). Bentuk gaya tari yang digunakan di menyerupai pola gerak gaya Yogyakarta. Pola gerak Mangkunegaran adalah tari gaya Surakarta, karena tersebut adalah kapang-kapang, sembahan kekuasaannya berada di bawah Kasunanan nglayang, nggrudha, nggenceng, gidrah, Surakarta. Pada masa pemerintahan K.G.P.A.A. pendhapan, gudawa, nduduk wuluh, atrap Mangkunegara VII terdapat karya tari yang nama sumping, ulap-ulap, atur-atur, kipat gajahan, dan bentuk geraknya menyerupai tari gaya lampah sekar, lembehan sirig, tinting, dan Kasultanan Yogyakarta. Karya tari tersebut adalah sebagainya. Perbedaan dari pola gerak tari Bedhaya tari Bedhaya Bedhah Madiun, tari Srimpi Muncar, Bedhah Madiun di Mangkunegaran dan tari Srimpi Pandhelori, tari Golek Montro, tari Kasultanan Yogyakarta adalah pada teknik Golek Lambangsari, dan tari Golek Clunthang. pelaksanaannya. Di Mangkunegaran aksentuasi Pada dasarnya tari gaya Yogyakarta yang dari pola gerak lebih sedikit dan terkesan lentur, berkembang di Mangkunegaran adalah tari putri, sedangkan di Yogyakarta terkesan patah-patah. sedangkan tari putra menggunakan tari gaya Berdasar informasi di atas timbul pertanyaan Surakarta (Koentjaraningrat, 1984:297). mengenai alasan Mangkunegaran memiliki tari Tari Bedhaya Bedhah Madiun di Bedhaya Bedhah Madiun gaya Yogyakarta. Mangkunegaran adalah salah satu karya tari Mangkunegaran yang merupakan bagian dari dengan nama, gendhing, dan bentuk gerak yang Kasunanan Surakarta, berdasar pada tradisi menyerupai karya tari di Kasultanan Yogyakarta. menggunakan tari gaya Surakarta. Pada masa Tari Bedhaya Bedhah Madiun berdasar nama pemerintahan Mangkunegara VII di gendhing pokok yang digunakan disebut tari Mangkunegaran terdapat tari Bedhaya Bedhah Bedhaya Gandakusuma. Tari Bedhaya Bedhah Madiun dengan gaya Yogyakarta. Dari pertanyaan Madiun menceritakan peperangan Panembahan yang diajukan, kajian ini bertujuan mendeskrip- Senapati melawan Retna Dumilah. Panembahan sikan faktor keberadaan tari gaya Yogyakarta di Senapati adalah raja Mataram Islam yang pertama. Mangkunegaran, dengan memilih studi kasus pada Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan tari Bedhaya Bedhah Madiun. Panembahan Senapati melakukan ekspansi dengan Analisis masalah menggunakan konsep menaklukan beberapa kadipaten, salah satunya penyebaran unsur-unsur kebudayaan oleh adalah Kadipaten Madiun. Kerajaan Mataram Koentjaraningrat. Penyebaran unsur-unsur memenangkan pertempuran. Rangga Jumena, kebudayaan dapat didasarkan atas pertemuan- Adipati Madiun kemudian melarikan diri dan pertemuan antara individu dalam suatu kelompok mengutus putrinya, Retna Dumilah untuk manusia dengan individu kelompok tetangga. melawan Panembahan Senapati. Panembahan Pertemuan antara berbagai kelompok-kelompok Senapati dan Retna Dumilah akhirnya jatuh cinta semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai dan menikah (Sajid, 1985:1–3). cara (Koentjaraningrat, 2015:199). Salah satu cara Struktur sajian tari Bedhaya Bedhah Madiun pertemuan adalah melalui sebuah pernikahan. terbagi menjadi tiga, yaitu maju beksan, beksan, Berdasar pada studi Brandon (1989: 28) dan Holt dan mundur beksan. Gendhing yang digunakan (2000: 31), dapat diketahui bahwa melalui dalam bagian maju beksan dan mundur beksan pernikahan antara orang India dengan pemimpin adalah gendhing Lagon dan gendhing Ladrang lokal unsur-unsur kebudayaan India mulai masuk Langenbranta dengan garap irama tanggung. Pada ke Indonesia. Menurut R.M. Soedarsono (1979: 29 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 28-43 | E-ISSN: 2443-0110 87), tari Jawa memengaruhi tari Bali pada masa Metode Hindu-Jawa Timur sejak adanya perkawinan antara putri Kerajaan Kahuripan dengan Raja Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan Udayana. Kajian Kusmayati (1988: 81) dan pendekatan etnokoreologi yang menekankan Soemaryatmi (1998: 62) menerangkan, bahwa peng-kajian terhadap budaya tari etnik non-Barat pernikahan Sri Paku Alam VII dengan putri Sri berdasar teks kebudayaan yang melahirkan budaya Susuhunan Paku Buwana X merupakan titik tolak tari tersebut (Suharti, 2015:30). Artinya, kehadiran keberadaan tari bedhaya gaya Surakarta di Paku tari tidak lepas dari sebuah konteks, karena tari Alaman. Dari beberapa pendapat tersebut peneliti merupakan teks budaya masyarakat setempat. berasumsi bahwa Mangkunegaran memiliki tari Pendekatan etnokoreologi dibentuk dari landasan Bedhaya Bedhah Madiun karena pernikahan pemikiran yang dipinjam dari berbagai disiplin. K.G.P.A.A. Mangkunegara VII dengan putri Sri Pendekatan ini mengandalkan data kualitatif yang Sultan Hamengku Buwana VII. didominasi oleh studi pustaka dan etnografi tari Studi tari Bedhaya Bedhah Madiun sudah (Pramutomo, Joko, dan Mulyana, 2016:17–18). banyak dilakukan, namun yang secara spesifik Studi pustaka dan studi arsip digunakan menganalisis faktor keberadaan tari Bedhaya untuk mendeskripsikan faktor keberadaan tari Bedhah
Recommended publications
  • Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok
    Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok Madoka Fukuoka Graduate School of Human Sciences, Osaka University, Japan [email protected] ABSTRACT This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia. In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on his use of costumes and masks, and analysing two significant works: Dwimuka Jepindo as an example of comedic cross-gender expression and Dewi Sarak Jodag as an example of serious cross-gender expression. The findings indicate three overall approaches to crossing gender boundaries: (1) surpassing femininity naturally expressed by female dancers; (2) mastering and presenting female characters by female impersonators and cross-gender dancers; and (3) breaking down the framework of gender itself. Keywords: Didik Nini Thowok, cross-gender, dance, Java, Indonesia © Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2014 58 Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.13. 2014 INTRODUCTION This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia.1 In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on the human body's role and Didik's concept of cross-gender dance, which he has advocated since his intensive study of the subject in 2000. For the female impersonator dancer, the term "cross-gender" represents males who primarily perform female roles and explore the expression of stereotypical femininity. Through his artistic activity and unique approach, Didik has continued to express various types of femininity to deviate from stereotypical gender imagery.
    [Show full text]
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta
    Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta Sunday, November 11, 2018 7:00 P.M. Asia Society 725 Park Avenue at 70th Street New York City This program is approximately ninety minutes with no intermission In conjunction with a visit from Hamengkubuwono X, the Sultan of Yogyakarta in Indonesia, Asia Society hosts a performance by the court dancers and musicians of Yogyakarta. The Palace of Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat is the cultural heart of the city. From generation to generation, the Sultans of Yogyakarta are the traditional governors of the city and responsible for passing on art and culture heritage. The entire royal family is involved in preserving these art forms, and the troupe must perform with a member of the royal family present. The dances from Yogyakarta will be accompanied by gamelan music native to Java. Program Golek Menak Umarmaya Umarmadi Dance Masked Dance Fragment (Wayang Wong) “Klana Sewandana Gandrung” Bedhaya Sang Amurwabhumi About the forms: Golek Menak The golek menak is a contemporary example of the seminal influence exerted by the puppet theater on other Javanese performing arts. This dance was inspired by the stick–puppet theater (wayang golek), popular in the rural area of Yogyakarta. Using the three dimensional rod-puppets, it portrays episodes from a series of stories known as menak. Unlike the high-art wayang kulit (shadow puppets), it is a village entertainment, and it did not flourish at the court. As a dance drama, golek menak focuses on imitating this rod-puppet theater with amazing faithfulness. Human dancers realistically imitate the smallest details of puppet movement, right down to the stylized breathing of the puppets.
    [Show full text]
  • The Value of Yogyakarta Palace Dances : Relevance to the Nation Character Nurturing
    The Value ofYogyakarta Palace Dances... 377 THE VALUE OF YOGYAKARTA PALACE DANCES : RELEVANCE TO THE NATION CHARACTER NURTURING Sunaryadi Institut Seni Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tan Keraton Yogyakarta bukan sekedar tontonan tetapi adalah sebuah media yang mengandung tuntunan. Bukan hanya bagi semuayang terlibat dalam pementasan tari, tetapi juga tuntunan bagi yang menonton Patokan bak.u dalam tari keraton yang hersumber pada nilai tata krama keraton merupakan etika moralitas, sebagai sarana penanaman karakter. Nilai-nilai tersebut terumuskan dalam empat prinsip yang wajib dimiliki penari yaitu sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkub (falsafah Joged Mataram). D ikaji dari aspek aksiologis, tari keraton mengandung ajaran yang menempatkan \rasa sebagai rub’ dan 'pengendalian diri sebagai in ti’. Aspek rasa sertapengendalian diri ini labyang memiliki relev ansi bagi pembangunan karakter bangsa saat ini. .wjELlujI j 6J_aLi*u> ^ (jjSjLivXI .lr>a 9 lSengguh t g reg et^ sawiji 05&J ^.iEs <xjjI J (^jjl j^ai y * Joged mingkuh (Ijjlj L i us LftjLltlj ii i II ,k> t*b _j •S^JU ftJLa aju& ^ Keywords, tari keraton, Joged Mataram, penanaman karakter. 378 Millah Vol. XU, No. 2, Februari 2013 A. Introduction Indonesian society now days has many colored multiple conflicts, demonstrations, religious conflict, the position seizure, and the seizure of property rights indigenous territories. Regrettably, all of them tend to be wild and brutal. Violence happens everywhere, attitudes of tepa slira are scarce, sincere attitude has been hard to find. Many cultural roots reflected in Pancasila has been abandoned, as if the nation has lost the identity and lost the spirit of the cultural life of the nation adhesive.
    [Show full text]
  • POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY
    POLITIK KOLONIAL DAN PERKEMBANGAN SENI TARI DI PURO PAKUALAMAN PADA MASA PEMERINTAHAN PAKU ALAM IV (1864-1878) Oleh : HY. Agus Murdiyastomo ABSTRAK Pusat budaya di Yogyakarta selama ini yang lebih banyak diketahui oleh masyarakat adalah Kraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi sesungguhnya selain Kraton Kasutanan masih terdapat pusat budaya yang lain yaitu Pura Paku Alaman. Di Kadipaten telah terlahir tokoh-tokoh yang sangat memperhatikan kelestarian budaya Jawa khususnya seni tari tradisi. Salah satunya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam IV, yang pada masa ia berkuasa, budaya Barat yang dibawa oleh kaum kolonialis melanda daerah jajahan. Hadirnya budaya asing tentu sulit untuk ditolak. Namun demikian denga piawainya KGPAA Paku Alam IV, justru mengadopsi budaya Barat, tetapi ditampilkan dengan rasa dan estetika Jawa, dalam bentuk tari klasik. Sehingga pada masanya lahir repertoar tari baru yang memperkaya seni tari tradisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perkembangan seni tari di Pura Pakualaman pada masa pemerintahan KGPAA Paku Alam IV, dan hal-hal apa yang melatarbelakangi penciptaannya. Dalam rangka mewujudkan rekonstruksi ini dilakukan dengan metode sejarah kritis, yang tahapannya meliputi Pertama, Heuristik, atau pencarian dan pengumpulan sumber data sejarah, yang dalam hal ini dilakukan di BPAD DIY, dan di Perpustakaan Pura Pakualaman. Di kedua lembaga tersebut tersimpan arsip tentang Paku Alaman, dan juga naskah- naskah yang berkaitan dengan penciptaan tari. Kedua, Kritik, atau pengujian terhadap sumber-sumber yang terkumpul, sumber yang telah terkumpul diuji dari segi fisik untuk memperoleh otentisitas, kemudian membandingkan informasi yang termuat dengan informasi dari sumber yang berbeda, untuk memperoleh keterpercayaan atau kredibilitas. Ketiga, Interpretasi yaitu informasi yang ada dikaji untuk diangkat fakta-fakta sejarahnya, yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kisah sejarah.
    [Show full text]
  • ISLAMIC NARRATIVE and AUTHORITY in SOUTHEAST ASIA 1403979839Ts01.Qxd 10-3-07 06:34 PM Page Ii
    1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page i ISLAMIC NARRATIVE AND AUTHORITY IN SOUTHEAST ASIA 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page ii CONTEMPORARY ANTHROPOLOGY OF RELIGION A series published with the Society for the Anthropology of Religion Robert Hefner, Series Editor Boston University Published by Palgrave Macmillan Body / Meaning / Healing By Thomas J. Csordas The Weight of the Past: Living with History in Mahajanga, Madagascar By Michael Lambek After the Rescue: Jewish Identity and Community in Contemporary Denmark By Andrew Buckser Empowering the Past, Confronting the Future By Andrew Strathern and Pamela J. Stewart Islam Obscured: The Rhetoric of Anthropological Representation By Daniel Martin Varisco Islam, Memory, and Morality in Yemen: Ruling Families in Transition By Gabrielle Vom Bruck A Peaceful Jihad: Negotiating Identity and Modernity in Muslim Java By Ronald Lukens-Bull The Road to Clarity: Seventh-Day Adventism in Madagascar By Eva Keller Yoruba in Diaspora: An African Church in London By Hermione Harris Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia: From the 16th to the 21st Century By Thomas Gibson 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page iii Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia From the 16th to the 21st Century Thomas Gibson 1403979839ts01.qxd 10-3-07 06:34 PM Page iv ISLAMIC NARRATIVE AND AUTHORITY IN SOUTHEAST ASIA © Thomas Gibson, 2007. All rights reserved. No part of this book may be used or reproduced in any manner whatsoever without written permission except in the case of brief quotations embodied in critical articles or reviews. First published in 2007 by PALGRAVE MACMILLAN™ 175 Fifth Avenue, New York, N.Y.
    [Show full text]
  • Javanese Local Wisdom in Wedhatama
    i ii JAVANESE LOCAL WISDOM IN WEDHATAMA PART I iii Laws of the republic of Indonesia No.19 of 2002 concerning Copyright Copyright Scope 1. Copyright is an exclusive right for an Author or a Copyright Holder to announce or reproduce his Work, which arises automatically after a work is born without reducing restrictions in accor- dance with applicable laws and regulations. Criminal Provisions 1. Anyone who intentionally or without the right to commit acts as referred to in Article 2 para- graph (1) or Article 49 paragraph (1) and paragraph (2) shall be sentenced to a minimum impris- onment of 1 (one) month each and / or a minimum fine Rp. 1,000,000.00 (one million rupiah), or a maximum imprisonment of 7 (seven) years and / or a maximum fine of Rp. 5,000,000,000.00 (five billion rupiah). 2. Anyone who intentionally broadcasts, exhibits or sells to the public a Work or goods resulting from infringement of Copyright or Related Rights as referred to in paragraph (1) shall be sen- tenced to a maximum of 5 years and / or a maximum fine of Rp. 5.00,000,000.00 (five hundred million rupiah). iv JAVANESE LOCAL WISDOM IN WEDHATAMA PART I DR. ESTI ISMAWATI, M.PD DR. WARSITO, M.PD TRANSLATOR: DRA. SRI HARYANTI, M.HUM v First published 2021 by Gambang Buku Budaya Perum Mutiara Palagan B5 Sleman-Yogyakarta 55581 Phone: +62 856-4303-9249 All rights reserved. No part of this book may be reprinted or reproduced or utilised in any form or by any electronic, mechanical, or other means, now known or hereafter invented, including photocopying and recording, or in any information storage or retrieval system, without permission inwriting from the publishers.
    [Show full text]
  • The Legitimacy of Classical Dance Gagrag Ngayogyakarta
    The Legitimacy of Classical Dance Gagrag Ngayogyakarta Y. Sumandiyo Hadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Jalan Parangtritis Km 6,5, Sewon, Bantul Yogyakarta ABSTRACT The aim of this article is to reveal the existence of classical dance style of Yogyakarta, since the government of Sultan Hamengku Buwono I, which began in 1756 until now in the era the government of Sultan Hamengku Buwono X. The legitimation of classical dance is considered as “Gagrag Ngayogyakarta”. Furthermore, the dance is not only preserved in the palace, but living and growing outside the palace, and possible to be examined by the general public. The dance was fi rst considered as a source of classical dance “Gagrag Ngayogyakarta”, created by Sultan Hamengku Buwono I, i.e. Beksan Lawung Gagah, or Beksan Trunajaya, Wayang Wong or dance drama, and Bedaya dance. The three dances can be categorized as a sacred dance, in which the performances strongly related to traditional ceremonies or rituals. Three types of dance later was developed into other types of classical dance “Gagrag Ngayogyakarta”, which is categorized as a secular dance for entertainment performance. Keywords: Sultan Hamengku Buwono, classical dance, “gagrag”, Yogyakarta style, legitimacy, sacred, ritual dance, secular dance INTRODUCTION value because it is produced by qualifi ed Yogyakarta as one of the regions in the artists from the upper-middle-class society, archipelago, which has various designa- and not from the proletarians or low class. tions, including a student city, a tourism The term of tradition is a genre from the city, and a cultural city. As a cultural city, past, which is hereditary from one gene- there are diff erent types of artwork.
    [Show full text]
  • Memaknai Bentuk Rupa Lambang Keraton Mangkunegaran
    MEMAKNAI BENTUK RUPA LAMBANG KERATON MANGKUNEGARAN Herliyana Rosalinda1, Umi Kholisya2 Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. [email protected], [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Makna Simbolis Lambang Keraton Mangkunegaran Surakarta. Pmbahasannya digolongkan sebagai penelitian deskriptif kualitatif menggunakan metode historis, untuk menafsirkan makna simbol yang ada pada lambang keraton Mangunegaran digunakan pendekatan hermeunitika. Objeknya Keraton Mangkunegaran Surakarta sedangkan subjek penelitian ini adalah Makna Simbolis Lambang Keraton. Penelitian juga difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan Mangkunegaran Surakarta, selain itu pemaknaan lambang sebagai identitas legitimasi suatu pemerintahan dalam kerangka budaya juga menjadi kajian yang penting, terutama dari bentuk visual, rupa, maksud atau makna simbolik yang ada pada lambang kerajaan Mangkunegaran Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan: pada setiap periodesasi pemerintahan Mangkunegara, lambang Mangkunegaran memiliki bentuk rupa dan makna simbol yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pemikiran, pemerintahan, maupun filosofis dari dalam diri raja Mangkunegaran yang sedang memerintah. Umumnya unsur gambar yang ada pada lambang Mangkunegaran berisi gambar mahkota, padi dan kapas, surya, dan logotype MN. Sedangkan untuk perbedaannya ddilihat dari perbedaan tampilan bentuk ataupun jumlah masing-masing jenis gambar tersebut. Kata Kunci : Bentuk rupa, Simbol, Lambang, Mangkunegaran INTERPRET SHAPE OF EMBLEM ON MANGKUNEGARAN PALACE Abstract This study aimed to describe the Meaning of Mangkunegaran Surakarta Symbol. The explanation of this study classed as a qualitative descriptive using historical methods, and then to interpret the meaning of the symbol on the emblem used Mangunegaran palace hermeunitika approach. The object is Kraton Mangkunegaran while the subject of this study was the Meaning of Symbol palace.
    [Show full text]
  • Indo 37 0 1107019139 119
    Nyai Bei Mardusari, a Wife of Mangkunegara VII and a famous Surakarta Dancer and Pesindhdn (1936) Singer-dancers ( talgdhek) with small gamelan at roadside warung (1955) Photographs by Claire Holt WHO IS TH E PESINDHEN? NOTES ON THE FEMALE SINGING TRADITION IN JAVA R. Anderson Sutton* Those who have attended performances of gamelan music in Central Java can be in no doubt that the solo female singer (pesindhen) is accorded a role of special prominence. Usually situated conspicuously in front of the gamelan, she is set off from the male instrumentalists for all to see. Amplifiers often blast her voice at peak volume over the full gamelan ensemble. In the performance of many pieces she is given solo passages (andhegan), which draw all attention exclusively to her. One of my teachers in Java, Suhardi, used to tell me that there was no sense in playing gamelan if there were no pesindhen. Although for some pieces he would adopt the "loud-playing" style, with no vocal or soft-sounding instruments of any kind, he was like most Javanese performers and listeners in his fondness for the "soft-playing" style— in which a pesindhen is an essential component. Commercial cassette recordings of gamelan music, almost without exception, feature the vocal line of the pesindhen at a much higher dynamic level than that of any instrumental part. On the covers of cassettes appear the names and often the photographs of the pesindhen (usually several)* 1 who sang in the recorded perform­ ance. The names of these singers are generally well known, and buyers often choose a particular cassette because it features one of their favorite pesindhen.
    [Show full text]
  • Indo 91 0 1302899078 77 1
    The M usic of Bedhaya Anduk: A Lost Treasure Rediscovered Noriko Ishida1 Bedhaya is a genre of traditional Javanese court dances performed by nine female dancers accompanied by a gamelan ensemble, the main component of which is a vocal chorus, in a style of gamelan music called bedhayan. The court of the Kasunanan in Surakarta, or Solo, Central Java, has long been famous for its bedhaya. More than thirty bedhaya titles are found in manuscripts of song texts produced in the eighteenth and nineteenth centuries, but of the thirty-odd bedhaya for which we have the lyrics, those which have been performed until now are only three: Bedhaya Ketawang, Bedhaya Duradasih, and Bedhaya Pangkur. As for the rest, we have lost either the choreography or the accompanying music, or both, and therefore they cannot be performed properly any more. Bedhaya Anduk, also called Bedhaya Gadhungmlathi, is one of those bedhaya that contemporary musicians have been unable to perform because both its choreography and the accompanying music were lost, but I recently discovered the notation of what seems to be the melody and musical accompaniment of Bedhaya Anduk in one of the notebooks written in 1907 by a Solonese court musician. Alas, I have not yet been able to find any other, independent source to corroborate my conclusion that this is the music of Bedhaya Anduk, but judging from the high artistic status of the musician who notated the piece, and from the lyrics and the melody itself, all of which will be discussed below, it seems safe to say that the notation in question is genuine.
    [Show full text]
  • Nancy K. Florida
    Badhaya Katawang dancers in full ceremonial dress. T h e B a d h a y a K a t a w a n g : A T r a n s l a t io n o f t h e S o n g o f K a n g je n g R a t u K id u l Nancy K. Florida Twenty-five years ago, Nusjirwan Tirtaamidjaja published the Badhaya Katawang litany in Javanese as an appendix to his article, "A Bedaja Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta."1 Preceding the litany was a call for its translation; the present article ventures a translation of this difficult and complicated lyric as a belated response to that call. To the English-language reader this translation serves as a needed supplement to Tirta- amidjaja's article, an article in which he wrote that "although the dance itself has no plot or story to tell, the litany sung by the female choir conveys the essential meaning of the whole ritual."2 The dance, music, and litany of the Badhaya Katawang belong to Kangjeng Ratu Kidul, the spirit "Queen of the Southern Ocean," and to her serial consorts, the dynasts of Mata- ram. This queen, whose official court title is Kangjeng Ratu Kencanasari,3 rules over the Javanese spirit world from her marvelous palace in the depths of the Indian Ocean off Java's southern coast. She is popularly called "Nyai Rara Kidul" or "Venerable Maiden of the South." A wondrous character of terrible and marvelous powers, this Queen of the Southern Sea is still venerated and feared by many Javanese.4 Tales concerning the origins, antecedents, and early personal history of Ratu Kidul are many and varied.5 One of the better known and more widely repeated versions of her past I am deeply grateful to G.R.
    [Show full text]