Download This PDF File
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA EXPOSITORY DOCUMENTARY OF THE INSTITUTIONALIZATION OF BEDHAYA DANCE IN KERATON NGAYOGYAKARTA Kinanti Putri Widiasih, Nunuk Parwati Sekolah Tinggi Multi Media E-mail: [email protected] Abstract : Bedhaya dance is a dance that is sacred by the Keraton Yogyakarta (Yogyakarta Palace) and can only be performed in the Keraton environment. The dance is the legacy of the Sultan Agung era that can be enjoyed until now. During the reign of Sultan Hamengkubuwono VIII, Bedhaya dance started to become more varied. Now the varied Bedhaya dance is not only performed at the Palace. The shift of the times makes the heritage dance developed, and it makes the public know the culture and traditions in Indonesia. In this documentary, the producer takes this phenomenon by applying the documentary expository style in accordance with the theories of Fachruddin and Nichols. Documentary is realized by prioritizing narration as a single narrator so that the documentary program is easily understood by the audience. The author takes the topic of the Bedhaya dance which has many philosophies of life to its preservation. Data collection was carried out through direct observation and interviews with competent speakers in the field of dance Bedhaya. In accordance with the Standard Operating Procedure, this work has been produced by applying an expository style so that it becomes an informative and educative documentary. Keywords: Bedhaya Dance, documentary expository style, television documentary Abstrak : Tari Bedhaya merupakan tarian yang disakralkan oleh Keraton Yogyakarta dan hanya bisa ditampilkan di lingkungan Keraton. Tarian tersebut warisan zaman Sultan Agung yang dapat dinikmati hingga saat ini. Pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII, tari Bedhaya mulai berkembang menjadi semakin variatif. Kini tari Bedhaya yang variatif tidak hanya ditampilkan di Keraton. Pergeseran zaman menjadikan berkembangnya tari pusaka yang membuat khalayak mengetahui budaya dan tradisi di Indonesia. Dalam karya dokumenter ini, produser mengangkat fenomena tersebut dengan menerapkan gaya expository documentary sesuai dengan teori Fachruddin dan Nichols. Dokumenter diwujudkan dengan mengutamakan narasi sebagai penutur tunggal agar karya tersebut mudah dipahami penonton. Penulis mengambil topik tari Bedhaya yang memiliki banyak filosofi kehidupan hingga pelestariannya. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara langsung dengan narasumber yang kompeten di bidang seni tari Bedhaya. Sesuai dengan Standard Operating Procedure, karya ini telah diproduksi dengan menerapkan gaya expository sehingga menjadi dokumenter yang informatif dan edukatif. Kata kunci: Tari Bedhaya, gaya expository documentary, dokumenter televisi. 48 Jurnal Ilmiah Produksi Siaran | Volume 5 Nomor 1 April 2019 GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA PENDAHULUAN menyeluruh yang merupakan sebuah simbol yang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah berkaitan dengan konteks kehidupan budayanya. satu provinsi yang dikenal dengan kebudayaan Pesan dalam Bedhaya yang disampaikan K.R.T yang adiluhung, namun tidak berarti luput dari Pujaningsih pada dasarnya adalah mengenai derasnya arus modernisasi. Modernisasi ber- hubungan Panembahan Senopati dengan pengua- dampak pada perubahan masyarakat antara lain sa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul. dalam aspek sosial dan budaya. Dalam konteks K.R.T Pujaningsih menjelaskan bahwa masa kebudayaan, penulis mengacu pada definisi periode Hamengku Buwono I hingga Hamengku Geertz (2002: 1), kebudayaan adalah pola dari Buwono VII merupakan periode pertumbuhan pengertian-pengertian atau makna-makna yang dalam perkembangan tari Bedhaya gaya terjalin secara menyeluruh dalam simbol-sim- Yogyakarta, pada pemerintahan Sultan Hamengku bol dan ditransmisikan secara histori, juga Buwono VIII merupakan masa awal pembakuan merupakan sistem mengenai konsepsi berko- tari Badhaya gaya Yogyakarta. Periode ini munikasi, melestarikan, dan mengembangkan merupakan sebuah masa yang cukup berarti bagi pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. perkembangan tari gaya Yogyakarta, kemudian Selain itu, menurut C. Daymon dan I. Holloway tari Bedhaya mulai ditampilkan diluar Keraton. (2008: 203), kebudayaan didefinisikan sebagai Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Sultan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan makna Hamengku Buwono VIII mulai dikembangkan yang diyakini oleh sebuah kelompok, organisa- Bedhaya. Adapun Bedhaya yang digarap bukan si, atau komunitas, meliputi “cara hidup” mere- lagi Bedhaya Semang, namun Bedhaya yang baru ka yang khas. Pengekspresian budaya biasanya pada saat itu dengan durasi yang lebih pendek melalui perilaku seperti bahasa maupun jar- sekitar satu jam, pola lantai yang lebih variatif, gon-jargon, tata aturan dan norma, ritual dan dan gendhing pengiring yang lebih ringan. kebiasaan, cara berinteraksi ataupun berkomu- Walaupun variatif, tari Bedhaya merupakan nikasi dengan orang lain, harapan dalam berma- tari klasik yang sangat tua usianya. Bedhaya di- syarakat, dan penggunaan barang dan jasa. Tari tunjukkan dengan penggunaan penari yang pada Bedhaya merupakan salah satu tarian paling umumnya berjumlah sembilan dan mempergu- tinggi tingkat kesakralannya ketimbang tarian nakan rias busana yang serba kembar. Adapun yang lain di kalangan Keraton Ngayogyakarta. Bedhaya yang berjumlah sembilan orang penari Bedhaya awal mulanya adalah warisan dari merupakan lambang angka yang besar. Menurut Sultan Agung yang memimpin Kerajaan Schimmel (1993: 164) yang membahas konsep Mataram dengan sebutan Bedhaya Semang. angka dalam lintas budaya lintas agama, angka Menurut statement K.R.T Pujaningsih, pe- tersebut melambangkan sesuatu yang kudus atau san tarian Bedhaya disampaikan lewat keselu- suci. ruhan mitos, sehingga bahasa tari sebagai Di satu sisi, menurut statement K.P.H. komunikasi itu pun tidak dapat diketahui bila Brongtodiningrat dalam pembahasannya tentang hanya dengan melihat bentuk teksnya atau struk- konsep budaya Jawa khususnya falsafah Bedhaya tur pola geraknya saja. Demikian pesan dari dan Srimpi, angka Sembilan berkaitan dengan sebuah komposisi tari atau koreografi seperti konsep babahan nawa (hawa) sanga. Babahan Bedhaya ini harus dibaca dari bentuknya secara Jurnal Ilmiah Produksi Siaran | Volume 5 Nomor 1 April 2019 49 GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA yang berarti lubang atau liang, hawa berarti hawa masa lalu hingga berkembang masa sekarang. atau udara dalam arti yang lain adalah maksud Dokumenter sejarah menurut Fachruddin (2012: hati yang tidak baik serta nafsu, dan juga hasrat 326) sangat kental aspek referential meaning-nya kuat. Hal itu diartikan untuk menghilangkan rasa (makna yang sa ngat tergantung pada referensi hawa dengan menutupi sembilan lubang yang peristiwa). Adapun tiga hal yang penting dalam biasanya berfungsi sebagai sumber hawa nafsu. dokumenter sejarah adalah waktu peristiwa, loka- Satu lubang mulut sebagai jalan makan, dua mata si sejarah, dan tokoh pelaku sejarah tersebut. sebagai jalan melihat, dua telinga sebagai jalan Salah satu acuan penulis sebagai produser mendengar, dua lubang hidung jalan mencium, mendasarkan pada pendapat Morissan (2008: satu dubur jalan membuang kotoran hajat besar, 8) “produser televisi adalah orang yang ber- dan satu lubang kelamin jalan untuk hubungan tanggung jawab mengubah ide/gagasan kreatif asmara dan hajat kecil. Dengan menutup sembi- kedalam konsep yang praktis dan dapat dijual. lan lubang dalam tubuh manusia, menuntun un- Produser terkadang ikut terlibat secara langsung tuk memusatkan diri kepada Tuhan Yang Maha dalam proses pengambilan keputusan setiap hari- Esa. nya”. Produksi dokumenter ini dikemas dengan Selain filosofi sembilan orang penari, Bedhaya menggunakan gaya expository documentary atau juga harus laku hening yang berarti meneng, gaya eksposisi. Menurut Fachruddin (2012: 322) madhep, mantep, yaitu konsentrasi yang tidak “dokumenter eksposisi merupakan format do- tergoyahkan, kemudian hening yaitu pikiran yang kumenter televisi sebagai ciri khasnya menggu- jernih dan jauh dari pikiran negatif, akhirnya nakan narator sebagai penutur tunggal atau isti- heling yaitu ingat dengan Tuhan yang memberi lahnya voice of god untuk naratornya sehingga hidup. K.P.H Brongtodiningrat menyatakan tari narator mengetahui segala hal mengenai topik Bedhaya memiliki muatan makna simbolik dan tersebut”. Narator dalam dokumenter eksposisi filosofi yang tinggi, sehingga menjadi contoh yang merupakan komponen penting dalam menyam- paling tepat bagi cara penerapan konsep alus- paikan pesan seperti pendapat Fachruddin (2012: kasar dalam tari. Identitas budaya merupakan 322) tentang narasi yang merupakan alur cerita persoalan krusial dalam mempertimbangkan atas pendalaman informasi satu dengan informa- produksi makna sosial itu sendiri. si lainnya. Narasi merupakan komponen penting Menurut Fachruddin (2012: 318) karya do- pada dokumenter bergaya eksposisi yang sebagai kumenter merupakan film yang menceritakan ciri khasnya menggunakan narator. sebuah kejadian nyata dengan kekuatan ide Penulis menggunakan gaya dokumenter arti- kreatornya dalam merangkai gambar-gambar nya narasi menjadi bagian utama untuk memu- menarik menjadi istimewa secara keseluruhan. dahkan penonton dalam menerima pesan sehi- Maka dengan penyajian fakta yang nantinya di- ngga penulis mengaplikasikan narasi sebagai harapkan menjadi inspirasi bagi khalayak.