Download This PDF File

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Download This PDF File GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA EXPOSITORY DOCUMENTARY OF THE INSTITUTIONALIZATION OF BEDHAYA DANCE IN KERATON NGAYOGYAKARTA Kinanti Putri Widiasih, Nunuk Parwati Sekolah Tinggi Multi Media E-mail: [email protected] Abstract : Bedhaya dance is a dance that is sacred by the Keraton Yogyakarta (Yogyakarta Palace) and can only be performed in the Keraton environment. The dance is the legacy of the Sultan Agung era that can be enjoyed until now. During the reign of Sultan Hamengkubuwono VIII, Bedhaya dance started to become more varied. Now the varied Bedhaya dance is not only performed at the Palace. The shift of the times makes the heritage dance developed, and it makes the public know the culture and traditions in Indonesia. In this documentary, the producer takes this phenomenon by applying the documentary expository style in accordance with the theories of Fachruddin and Nichols. Documentary is realized by prioritizing narration as a single narrator so that the documentary program is easily understood by the audience. The author takes the topic of the Bedhaya dance which has many philosophies of life to its preservation. Data collection was carried out through direct observation and interviews with competent speakers in the field of dance Bedhaya. In accordance with the Standard Operating Procedure, this work has been produced by applying an expository style so that it becomes an informative and educative documentary. Keywords: Bedhaya Dance, documentary expository style, television documentary Abstrak : Tari Bedhaya merupakan tarian yang disakralkan oleh Keraton Yogyakarta dan hanya bisa ditampilkan di lingkungan Keraton. Tarian tersebut warisan zaman Sultan Agung yang dapat dinikmati hingga saat ini. Pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII, tari Bedhaya mulai berkembang menjadi semakin variatif. Kini tari Bedhaya yang variatif tidak hanya ditampilkan di Keraton. Pergeseran zaman menjadikan berkembangnya tari pusaka yang membuat khalayak mengetahui budaya dan tradisi di Indonesia. Dalam karya dokumenter ini, produser mengangkat fenomena tersebut dengan menerapkan gaya expository documentary sesuai dengan teori Fachruddin dan Nichols. Dokumenter diwujudkan dengan mengutamakan narasi sebagai penutur tunggal agar karya tersebut mudah dipahami penonton. Penulis mengambil topik tari Bedhaya yang memiliki banyak filosofi kehidupan hingga pelestariannya. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara langsung dengan narasumber yang kompeten di bidang seni tari Bedhaya. Sesuai dengan Standard Operating Procedure, karya ini telah diproduksi dengan menerapkan gaya expository sehingga menjadi dokumenter yang informatif dan edukatif. Kata kunci: Tari Bedhaya, gaya expository documentary, dokumenter televisi. 48 Jurnal Ilmiah Produksi Siaran | Volume 5 Nomor 1 April 2019 GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA PENDAHULUAN menyeluruh yang merupakan sebuah simbol yang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah berkaitan dengan konteks kehidupan budayanya. satu provinsi yang dikenal dengan kebudayaan Pesan dalam Bedhaya yang disampaikan K.R.T yang adiluhung, namun tidak berarti luput dari Pujaningsih pada dasarnya adalah mengenai derasnya arus modernisasi. Modernisasi ber- hubungan Panembahan Senopati dengan pengua- dampak pada perubahan masyarakat antara lain sa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul. dalam aspek sosial dan budaya. Dalam konteks K.R.T Pujaningsih menjelaskan bahwa masa kebudayaan, penulis mengacu pada definisi periode Hamengku Buwono I hingga Hamengku Geertz (2002: 1), kebudayaan adalah pola dari Buwono VII merupakan periode pertumbuhan pengertian-pengertian atau makna-makna yang dalam perkembangan tari Bedhaya gaya terjalin secara menyeluruh dalam simbol-sim- Yogyakarta, pada pemerintahan Sultan Hamengku bol dan ditransmisikan secara histori, juga Buwono VIII merupakan masa awal pembakuan merupakan sistem mengenai konsepsi berko- tari Badhaya gaya Yogyakarta. Periode ini munikasi, melestarikan, dan mengembangkan merupakan sebuah masa yang cukup berarti bagi pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. perkembangan tari gaya Yogyakarta, kemudian Selain itu, menurut C. Daymon dan I. Holloway tari Bedhaya mulai ditampilkan diluar Keraton. (2008: 203), kebudayaan didefinisikan sebagai Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Sultan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan makna Hamengku Buwono VIII mulai dikembangkan yang diyakini oleh sebuah kelompok, organisa- Bedhaya. Adapun Bedhaya yang digarap bukan si, atau komunitas, meliputi “cara hidup” mere- lagi Bedhaya Semang, namun Bedhaya yang baru ka yang khas. Pengekspresian budaya biasanya pada saat itu dengan durasi yang lebih pendek melalui perilaku seperti bahasa maupun jar- sekitar satu jam, pola lantai yang lebih variatif, gon-jargon, tata aturan dan norma, ritual dan dan gendhing pengiring yang lebih ringan. kebiasaan, cara berinteraksi ataupun berkomu- Walaupun variatif, tari Bedhaya merupakan nikasi dengan orang lain, harapan dalam berma- tari klasik yang sangat tua usianya. Bedhaya di- syarakat, dan penggunaan barang dan jasa. Tari tunjukkan dengan penggunaan penari yang pada Bedhaya merupakan salah satu tarian paling umumnya berjumlah sembilan dan mempergu- tinggi tingkat kesakralannya ketimbang tarian nakan rias busana yang serba kembar. Adapun yang lain di kalangan Keraton Ngayogyakarta. Bedhaya yang berjumlah sembilan orang penari Bedhaya awal mulanya adalah warisan dari merupakan lambang angka yang besar. Menurut Sultan Agung yang memimpin Kerajaan Schimmel (1993: 164) yang membahas konsep Mataram dengan sebutan Bedhaya Semang. angka dalam lintas budaya lintas agama, angka Menurut statement K.R.T Pujaningsih, pe- tersebut melambangkan sesuatu yang kudus atau san tarian Bedhaya disampaikan lewat keselu- suci. ruhan mitos, sehingga bahasa tari sebagai Di satu sisi, menurut statement K.P.H. komunikasi itu pun tidak dapat diketahui bila Brongtodiningrat dalam pembahasannya tentang hanya dengan melihat bentuk teksnya atau struk- konsep budaya Jawa khususnya falsafah Bedhaya tur pola geraknya saja. Demikian pesan dari dan Srimpi, angka Sembilan berkaitan dengan sebuah komposisi tari atau koreografi seperti konsep babahan nawa (hawa) sanga. Babahan Bedhaya ini harus dibaca dari bentuknya secara Jurnal Ilmiah Produksi Siaran | Volume 5 Nomor 1 April 2019 49 GAYA EXPOSITORY DOCUMENTARY TRADISI PELEMBAGAAN TARI BEDHAYA DI KERATON NGAYOGYAKARTA yang berarti lubang atau liang, hawa berarti hawa masa lalu hingga berkembang masa sekarang. atau udara dalam arti yang lain adalah maksud Dokumenter sejarah menurut Fachruddin (2012: hati yang tidak baik serta nafsu, dan juga hasrat 326) sangat kental aspek referential meaning-nya kuat. Hal itu diartikan untuk menghilangkan rasa (makna yang sa ngat tergantung pada referensi hawa dengan menutupi sembilan lubang yang peristiwa). Adapun tiga hal yang penting dalam biasanya berfungsi sebagai sumber hawa nafsu. dokumenter sejarah adalah waktu peristiwa, loka- Satu lubang mulut sebagai jalan makan, dua mata si sejarah, dan tokoh pelaku sejarah tersebut. sebagai jalan melihat, dua telinga sebagai jalan Salah satu acuan penulis sebagai produser mendengar, dua lubang hidung jalan mencium, mendasarkan pada pendapat Morissan (2008: satu dubur jalan membuang kotoran hajat besar, 8) “produser televisi adalah orang yang ber- dan satu lubang kelamin jalan untuk hubungan tanggung jawab mengubah ide/gagasan kreatif asmara dan hajat kecil. Dengan menutup sembi- kedalam konsep yang praktis dan dapat dijual. lan lubang dalam tubuh manusia, menuntun un- Produser terkadang ikut terlibat secara langsung tuk memusatkan diri kepada Tuhan Yang Maha dalam proses pengambilan keputusan setiap hari- Esa. nya”. Produksi dokumenter ini dikemas dengan Selain filosofi sembilan orang penari, Bedhaya menggunakan gaya expository documentary atau juga harus laku hening yang berarti meneng, gaya eksposisi. Menurut Fachruddin (2012: 322) madhep, mantep, yaitu konsentrasi yang tidak “dokumenter eksposisi merupakan format do- tergoyahkan, kemudian hening yaitu pikiran yang kumenter televisi sebagai ciri khasnya menggu- jernih dan jauh dari pikiran negatif, akhirnya nakan narator sebagai penutur tunggal atau isti- heling yaitu ingat dengan Tuhan yang memberi lahnya voice of god untuk naratornya sehingga hidup. K.P.H Brongtodiningrat menyatakan tari narator mengetahui segala hal mengenai topik Bedhaya memiliki muatan makna simbolik dan tersebut”. Narator dalam dokumenter eksposisi filosofi yang tinggi, sehingga menjadi contoh yang merupakan komponen penting dalam menyam- paling tepat bagi cara penerapan konsep alus- paikan pesan seperti pendapat Fachruddin (2012: kasar dalam tari. Identitas budaya merupakan 322) tentang narasi yang merupakan alur cerita persoalan krusial dalam mempertimbangkan atas pendalaman informasi satu dengan informa- produksi makna sosial itu sendiri. si lainnya. Narasi merupakan komponen penting Menurut Fachruddin (2012: 318) karya do- pada dokumenter bergaya eksposisi yang sebagai kumenter merupakan film yang menceritakan ciri khasnya menggunakan narator. sebuah kejadian nyata dengan kekuatan ide Penulis menggunakan gaya dokumenter arti- kreatornya dalam merangkai gambar-gambar nya narasi menjadi bagian utama untuk memu- menarik menjadi istimewa secara keseluruhan. dahkan penonton dalam menerima pesan sehi- Maka dengan penyajian fakta yang nantinya di- ngga penulis mengaplikasikan narasi sebagai harapkan menjadi inspirasi bagi khalayak.
Recommended publications
  • Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok
    Cross-Gender Attempts by Indonesian Female Impersonator Dancer Didik Nini Thowok Madoka Fukuoka Graduate School of Human Sciences, Osaka University, Japan [email protected] ABSTRACT This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia. In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on his use of costumes and masks, and analysing two significant works: Dwimuka Jepindo as an example of comedic cross-gender expression and Dewi Sarak Jodag as an example of serious cross-gender expression. The findings indicate three overall approaches to crossing gender boundaries: (1) surpassing femininity naturally expressed by female dancers; (2) mastering and presenting female characters by female impersonators and cross-gender dancers; and (3) breaking down the framework of gender itself. Keywords: Didik Nini Thowok, cross-gender, dance, Java, Indonesia © Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2014 58 Wacana Seni Journal of Arts Discourse. Jil./Vol.13. 2014 INTRODUCTION This article examines the creative stages of Didik Nini Thowok (1954‒), a female impersonator and cross-gender dancer based in Java, Indonesia.1 In addition, it discusses his endeavours of crossing gender boundaries by focusing on the human body's role and Didik's concept of cross-gender dance, which he has advocated since his intensive study of the subject in 2000. For the female impersonator dancer, the term "cross-gender" represents males who primarily perform female roles and explore the expression of stereotypical femininity. Through his artistic activity and unique approach, Didik has continued to express various types of femininity to deviate from stereotypical gender imagery.
    [Show full text]
  • Masyarakat Kesenian Di Indonesia
    MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin Torang Naiborhu Arifni Netriroza Heristina Dewi Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara 2008 1 Cetakan pertama, Juni 2008 MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved Dilarang memperbanyak buku ini Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara ISSN1412-8586 Dicetak di Medan, Indonesia 2 KATA PENGANTAR Terlebih dahulu kami tim penulis buku Masyarakat Kesenian di Indonesia, mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku ini pada tahun 2008. Adapun cita-cita menulis buku ini, telah lama kami canangkan, sekitar tahun 2005 yang lalu. Namun karena sulitnya mengumpulkan materi-materi yang akan diajangkau, yakni begitu ekstensif dan luasnya bahan yang mesti dicapai, juga materi yang dikaji di bidang kesenian meliputi seni-seni: musik, tari, teater baik yang tradisional. Sementara latar belakang keilmuan kami pun, baik di strata satu dan dua, umumnya adalah terkonsentasi di bidang etnomusikologi dan kajian seni pertunjukan yang juga dengan minat utama musik etnik. Hanya seorang saja yang berlatar belakang akademik antropologi tari. Selain itu, tim kami ini ada dua orang yang berlatar belakang pendidikan strata dua antropologi dan sosiologi. Oleh karenanya latar belakang keilmuan ini, sangat mewarnai apa yang kami tulis dalam buku ini. Adapun materi dalam buku ini memuat tentang konsep apa itu masyarakat, kesenian, dan Indonesia—serta terminologi-terminologi yang berkaitan dengannya seperti: kebudayaan, pranata sosial, dan kelompok sosial.
    [Show full text]
  • Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta
    Asia Society Presents Music and Dance of Yogyakarta Sunday, November 11, 2018 7:00 P.M. Asia Society 725 Park Avenue at 70th Street New York City This program is approximately ninety minutes with no intermission In conjunction with a visit from Hamengkubuwono X, the Sultan of Yogyakarta in Indonesia, Asia Society hosts a performance by the court dancers and musicians of Yogyakarta. The Palace of Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat is the cultural heart of the city. From generation to generation, the Sultans of Yogyakarta are the traditional governors of the city and responsible for passing on art and culture heritage. The entire royal family is involved in preserving these art forms, and the troupe must perform with a member of the royal family present. The dances from Yogyakarta will be accompanied by gamelan music native to Java. Program Golek Menak Umarmaya Umarmadi Dance Masked Dance Fragment (Wayang Wong) “Klana Sewandana Gandrung” Bedhaya Sang Amurwabhumi About the forms: Golek Menak The golek menak is a contemporary example of the seminal influence exerted by the puppet theater on other Javanese performing arts. This dance was inspired by the stick–puppet theater (wayang golek), popular in the rural area of Yogyakarta. Using the three dimensional rod-puppets, it portrays episodes from a series of stories known as menak. Unlike the high-art wayang kulit (shadow puppets), it is a village entertainment, and it did not flourish at the court. As a dance drama, golek menak focuses on imitating this rod-puppet theater with amazing faithfulness. Human dancers realistically imitate the smallest details of puppet movement, right down to the stylized breathing of the puppets.
    [Show full text]
  • The Value of Yogyakarta Palace Dances : Relevance to the Nation Character Nurturing
    The Value ofYogyakarta Palace Dances... 377 THE VALUE OF YOGYAKARTA PALACE DANCES : RELEVANCE TO THE NATION CHARACTER NURTURING Sunaryadi Institut Seni Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tan Keraton Yogyakarta bukan sekedar tontonan tetapi adalah sebuah media yang mengandung tuntunan. Bukan hanya bagi semuayang terlibat dalam pementasan tari, tetapi juga tuntunan bagi yang menonton Patokan bak.u dalam tari keraton yang hersumber pada nilai tata krama keraton merupakan etika moralitas, sebagai sarana penanaman karakter. Nilai-nilai tersebut terumuskan dalam empat prinsip yang wajib dimiliki penari yaitu sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkub (falsafah Joged Mataram). D ikaji dari aspek aksiologis, tari keraton mengandung ajaran yang menempatkan \rasa sebagai rub’ dan 'pengendalian diri sebagai in ti’. Aspek rasa sertapengendalian diri ini labyang memiliki relev ansi bagi pembangunan karakter bangsa saat ini. .wjELlujI j 6J_aLi*u> ^ (jjSjLivXI .lr>a 9 lSengguh t g reg et^ sawiji 05&J ^.iEs <xjjI J (^jjl j^ai y * Joged mingkuh (Ijjlj L i us LftjLltlj ii i II ,k> t*b _j •S^JU ftJLa aju& ^ Keywords, tari keraton, Joged Mataram, penanaman karakter. 378 Millah Vol. XU, No. 2, Februari 2013 A. Introduction Indonesian society now days has many colored multiple conflicts, demonstrations, religious conflict, the position seizure, and the seizure of property rights indigenous territories. Regrettably, all of them tend to be wild and brutal. Violence happens everywhere, attitudes of tepa slira are scarce, sincere attitude has been hard to find. Many cultural roots reflected in Pancasila has been abandoned, as if the nation has lost the identity and lost the spirit of the cultural life of the nation adhesive.
    [Show full text]
  • The Legitimacy of Classical Dance Gagrag Ngayogyakarta
    The Legitimacy of Classical Dance Gagrag Ngayogyakarta Y. Sumandiyo Hadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Jalan Parangtritis Km 6,5, Sewon, Bantul Yogyakarta ABSTRACT The aim of this article is to reveal the existence of classical dance style of Yogyakarta, since the government of Sultan Hamengku Buwono I, which began in 1756 until now in the era the government of Sultan Hamengku Buwono X. The legitimation of classical dance is considered as “Gagrag Ngayogyakarta”. Furthermore, the dance is not only preserved in the palace, but living and growing outside the palace, and possible to be examined by the general public. The dance was fi rst considered as a source of classical dance “Gagrag Ngayogyakarta”, created by Sultan Hamengku Buwono I, i.e. Beksan Lawung Gagah, or Beksan Trunajaya, Wayang Wong or dance drama, and Bedaya dance. The three dances can be categorized as a sacred dance, in which the performances strongly related to traditional ceremonies or rituals. Three types of dance later was developed into other types of classical dance “Gagrag Ngayogyakarta”, which is categorized as a secular dance for entertainment performance. Keywords: Sultan Hamengku Buwono, classical dance, “gagrag”, Yogyakarta style, legitimacy, sacred, ritual dance, secular dance INTRODUCTION value because it is produced by qualifi ed Yogyakarta as one of the regions in the artists from the upper-middle-class society, archipelago, which has various designa- and not from the proletarians or low class. tions, including a student city, a tourism The term of tradition is a genre from the city, and a cultural city. As a cultural city, past, which is hereditary from one gene- there are diff erent types of artwork.
    [Show full text]
  • Indo 37 0 1107019139 119
    Nyai Bei Mardusari, a Wife of Mangkunegara VII and a famous Surakarta Dancer and Pesindhdn (1936) Singer-dancers ( talgdhek) with small gamelan at roadside warung (1955) Photographs by Claire Holt WHO IS TH E PESINDHEN? NOTES ON THE FEMALE SINGING TRADITION IN JAVA R. Anderson Sutton* Those who have attended performances of gamelan music in Central Java can be in no doubt that the solo female singer (pesindhen) is accorded a role of special prominence. Usually situated conspicuously in front of the gamelan, she is set off from the male instrumentalists for all to see. Amplifiers often blast her voice at peak volume over the full gamelan ensemble. In the performance of many pieces she is given solo passages (andhegan), which draw all attention exclusively to her. One of my teachers in Java, Suhardi, used to tell me that there was no sense in playing gamelan if there were no pesindhen. Although for some pieces he would adopt the "loud-playing" style, with no vocal or soft-sounding instruments of any kind, he was like most Javanese performers and listeners in his fondness for the "soft-playing" style— in which a pesindhen is an essential component. Commercial cassette recordings of gamelan music, almost without exception, feature the vocal line of the pesindhen at a much higher dynamic level than that of any instrumental part. On the covers of cassettes appear the names and often the photographs of the pesindhen (usually several)* 1 who sang in the recorded perform­ ance. The names of these singers are generally well known, and buyers often choose a particular cassette because it features one of their favorite pesindhen.
    [Show full text]
  • Indo 91 0 1302899078 77 1
    The M usic of Bedhaya Anduk: A Lost Treasure Rediscovered Noriko Ishida1 Bedhaya is a genre of traditional Javanese court dances performed by nine female dancers accompanied by a gamelan ensemble, the main component of which is a vocal chorus, in a style of gamelan music called bedhayan. The court of the Kasunanan in Surakarta, or Solo, Central Java, has long been famous for its bedhaya. More than thirty bedhaya titles are found in manuscripts of song texts produced in the eighteenth and nineteenth centuries, but of the thirty-odd bedhaya for which we have the lyrics, those which have been performed until now are only three: Bedhaya Ketawang, Bedhaya Duradasih, and Bedhaya Pangkur. As for the rest, we have lost either the choreography or the accompanying music, or both, and therefore they cannot be performed properly any more. Bedhaya Anduk, also called Bedhaya Gadhungmlathi, is one of those bedhaya that contemporary musicians have been unable to perform because both its choreography and the accompanying music were lost, but I recently discovered the notation of what seems to be the melody and musical accompaniment of Bedhaya Anduk in one of the notebooks written in 1907 by a Solonese court musician. Alas, I have not yet been able to find any other, independent source to corroborate my conclusion that this is the music of Bedhaya Anduk, but judging from the high artistic status of the musician who notated the piece, and from the lyrics and the melody itself, all of which will be discussed below, it seems safe to say that the notation in question is genuine.
    [Show full text]
  • Nancy K. Florida
    Badhaya Katawang dancers in full ceremonial dress. T h e B a d h a y a K a t a w a n g : A T r a n s l a t io n o f t h e S o n g o f K a n g je n g R a t u K id u l Nancy K. Florida Twenty-five years ago, Nusjirwan Tirtaamidjaja published the Badhaya Katawang litany in Javanese as an appendix to his article, "A Bedaja Ketawang Dance Performance at the Court of Surakarta."1 Preceding the litany was a call for its translation; the present article ventures a translation of this difficult and complicated lyric as a belated response to that call. To the English-language reader this translation serves as a needed supplement to Tirta- amidjaja's article, an article in which he wrote that "although the dance itself has no plot or story to tell, the litany sung by the female choir conveys the essential meaning of the whole ritual."2 The dance, music, and litany of the Badhaya Katawang belong to Kangjeng Ratu Kidul, the spirit "Queen of the Southern Ocean," and to her serial consorts, the dynasts of Mata- ram. This queen, whose official court title is Kangjeng Ratu Kencanasari,3 rules over the Javanese spirit world from her marvelous palace in the depths of the Indian Ocean off Java's southern coast. She is popularly called "Nyai Rara Kidul" or "Venerable Maiden of the South." A wondrous character of terrible and marvelous powers, this Queen of the Southern Sea is still venerated and feared by many Javanese.4 Tales concerning the origins, antecedents, and early personal history of Ratu Kidul are many and varied.5 One of the better known and more widely repeated versions of her past I am deeply grateful to G.R.
    [Show full text]
  • Sunan Kali Jaga
    Sunan Kali Jaga Sunan Kali Jaga is one of the Wali Sanga,1 and remains an important figure for ​ ​ Muslims in Java because of his work in spreading Islam and integrating its teachings into the Javanese tradition. Throughout his time proselytizing, he used art forms that, at the time, were both amenable to and treasured by the people of Java. Sunan Kali Jaga is thought to have been born in 1455, with the name Raden Syahid (Raden Sahid) or Raden Abdurrahman. He was the son of Aria Wilatikta, an official in Tuban,2 East Java, who was descended from Ranggalawe, an official of the Majapahit Kingdom during the time of Queen Tri Buwana Tungga Dewi and King Hayam Wuruk. Sunan Kali Jaga’s childhood coincided with the collapse of the Majapahit Kingdom recorded in the sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bhumi,”3 referring to the year 1400 Caka4 ​ ​ ​ ​ ​ (1478). Seeing the desperate situation of the people of Majapahit, Raden Syahid decided to become a bandit who would rob the kingdom’s stores of crops and the rich people of Majapahit, and give his plunder to the poor. He became well known as Brandal5 Lokajaya. One day when Raden Syahid was in the forest, he accosted an old man with a cane, which he stole, thinking it was made from gold. He said that he would sell the cane and give the money to the poor. The old man was Sunan Bonang,6 and he did not approve of Raden Syahid’s actions. Sunan Bonang advised Raden Syahid that God would not accept such bad deeds; even though his intentions were good, his actions were wrong.
    [Show full text]
  • BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia Sebagai
    1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki wilayah yang luas, terbentang dari Aceh sampai sampai ke Papua. Ada 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan republik Indonesia (Nuraeni dan Alfan 2012:19). Indonesia di kenal juga masyarakat majemuk. Masyarakat Indonesia yang majemukdapat di pandang secara horizontal dan vertikal.Pemahaman secara horizontal di dasarkan pada fakta yang menunjukkan adanya satuan-satuan yang keragamannya dicirikan berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat atau tradisi, dan perbedaan unsur-unsur kedaerahan.Kemudian, dipandang secara vertikal artinya ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antar lapisan sosial (Ali, 2007:271).Kemajemukan masyarakat Indonesia disatu sisi merupakan anugerah yang tidak ternilai, hal ini karena masyarakat yang majemuk tersebut tersimpan berbagai potensi budaya merupakan aset yang tidak ternilai harganya, sehingga tetap untuk dipertahankan dan terus dilestarikan. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009:144). Di samping istilah kebudayaan, ada pula istilah peradaban.Istilah tersebut biasa di pakai untuk menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah, misalnya kesenian. 2 Istilah “peradaban” sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai seni bangunan dan seni rupa (Koentjaraningrat, 2009:146). Kebudayaan tidak bisa dipisahkan
    [Show full text]
  • Reinventing Tradition: New Dance in Indonesia 1 by Sal Murgiyanto
    Reinventing Tradition: New Dance in Indonesia 1 by Sal Murgiyanto Introduction I would like to begin this lecture by expressing my sincerest respect and deepest sorrow for the thousands of people who died as victims of the dreadful earthquake and deadly tsunami in Sri Lanka, India, Thailand, and Aceh, Indonesia. Still, in the midst of the disturbing pictures and reports published in newspapers, and eerie scenes broadcast on television in December 2004, miracles were also told. A two month-old baby girl was sucked into an undertow and thrown back by a tidal wave alive into her mother’s lap. Early in the morning after Christmas, a ten-year-old girl sat beside her father enjoying the beauty of Phuket’s beach in Thailand. Upon seeing the water on the beach receding drastically and, from afar, white tidal waves surging one after the other, Kelly told her dad, “A tsunami is coming in twenty or thirty minutes and there will be disaster!” She had learned this fact in a class prior to her vacation. The wise father told the story to a coastguard who ordered everybody to leave the beach immediately and head back to the hotel. This speedy action saved more than 400 human lives; thirty minutes after the announcement the tsunami destroyed everything standing on the beach. Saving the lives of many, Kelly was called the “Angel of [the] Beach.” 2 There is still one more miracle to relate. Forty kilometers from the epicenter of the December 2004 earthquake sits Simeulue, a small island in the Indian Ocean 150 kilometers off the west coast of the province of Aceh, on the island of Sumatra in Indonesia.
    [Show full text]
  • Tari Anoman Cakil Susunan Didik Bambang Wahyudi
    TARI ANOMAN CAKIL SUSUNAN DIDIK BAMBANG WAHYUDI SKRIPSI KARYA ILMIAH Nur Aini 12134138 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2020 TARI ANOMAN CAKIL SUSUNAN DIDIK BAMBANG WAHYUDI SKRIPSI KARYA ILMIAH Untuk memenuhi sebagai pesyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Seni Tari Jurusan Tari Oleh Nur Aini 12134138 FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2020 MOTTO “Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan." (Tom Bodett) III ABSTRAK Tari Anoman Cakil tercipta pada tahun 1986 atas permintaan Jurusan Tari ASKI. Faktor eksternal merupakan faktor utama terciptanya tari Anoman Cakil yang didukung oleh faktor internal. Skripsi dengan judul tari Anoman Cakil susunan Didik Bambang Wahyudi ini mefokuskan pada kajian garap tari dan analisis struktural sajian tari Anoman Cakil. Persoalan yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana garap tari Anoman Cakil oleh Didik Bambang Wahyudi (2) Bagaimana sajian Struktur tari Anoman Cakil. Skripsi ini mengunakan metode penelitian kualitatif, data diperoleh melalui studi pustaka, wawancara dan observasi. Hasil pengolahan data selanjutnya dipaparkan secara deskriptif. Untuk menjawab persoalan tersebut penelitian ini mengunakan konsep garap sebagai pisau analisis yaitu konsep garap milik Rahayu Supanggah. Analisis struktural milik Sumandiyo Hadi digunakan sebagai teori untuk mengkaji masalah struktur sajian tari Anoman Cakil. Unsur unsur garap berupa materi garap, penggarap, sarana garap, perabot garap dan penentu garap. Pengapliksian garap dalam tari berupa latar belakang terciptanya tari, Didik Bambang wahyudi sebagai penggarap dan Tari Anoman cakil sebagai materi dan sarana garap. Tari Anoman Cakil termasuk tari bergenre wireng pethilan dengan cerita bersumber pada Epos Ramayana, disajikan dua penari secara berpasangan, dengan tokoh Anoman dan Cakil.
    [Show full text]