perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan adalah seluruh gagasan manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat,1987: 9). Menurut Imam Sutardjo kebudayaan merupakan peradaban batin, kehalusan budi, keluhuran batiniah, ketinggian perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian (2008: 10). Lebih lanjut menurut Alo Liliweri kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat (2011: 107). Bangunan merupakan hasil dari kebudayaan dan kreativitas seni yang menggambarkan totalitas dari cipta, rasa, dan karsa pemiliknya (Sunarmi, Guntur, Utomo Tri Prasetyo, 2007: 139). Manusia dengan menggunakan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual mampu melahirkan berbagai karya seni dan budaya termasuk seni bangunan atau arsitekturnya. Bangunan adalah representasi kearifan lokal dan kecerdasan lokal yang tidak hanya sebagai media bertahan hidup akan tetapi sebagai pemicu dan pemacu gairah hidup (Sunarmi, Guntur, Utomo Tri Prasetyo, 2007: 5). Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran merupakan hasil dari kebudayaan yang memiliki keindahan struktur, tata ruang, tata letak dan tata estetikanya. Pura Mangkunegaran terdiri dari bangunan-bangunan yang tidak hanya mengagumkan secara fisik semata, namun dalam pembangunannya telah melalui proses pemikiran yang commitmendalam to user sehingga setiap elemen bangunan 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id2 mengandung makna simbolis dalam rangka untuk memperoleh ketenteraman dan keselamatan. Oleh karena itu, bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran tidak dibangun dengan sederhana. Bangunan-bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran menggambarkan bahwa untuk menuju pada kesempurnaan hidup harus melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan berliku. Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 di tengah-tengah kota Surakarta, menghadap ke arah selatan. Tepatnya berada di wilayah Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Luas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran adalah 93.396 m² atau 302,50m x 308,25m. Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran tidak tampak jika dilihat dari luar karena dikelilingi dinding tembok yang tebal dan tinggi, ada bagian tembok yang tingginya mencapai 5m. Pura Mangkunegaran berbatasan dengan Jalan Ronggowarsito pada bagian selatan atau bagian depan. Pada bagian barat berbatasan dengan Jalan Kartini. Bagian belakang atau bagian utara berbatasan dengan Jalan RM. Said. Sedangkan bagian timur Pura Mangkunegaran berbatasan dengan Jalan Teuku Umar (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 41). Pura Mangkunegaran didirikan oleh Raden Mas Said yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa atau Sultan Adiprakoso Senapati Ingalaga Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat. Kemudian Raden Mas Said bertahta sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (KGPAA) Mangkunegara I yang memerintah pada tahun 1757-1759. KGPAA Mangkunegara I membangun Pura Mangkunegaran dengan bentuk sederhana, belum sebesar dan sekompleks sekarang (Roswitha Pamoentjak Singgih, 1896: 1). Pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dilakukan secara bertahap dari masa pemerintahan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id3 Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan Mangkunegara IX, yang sedang berkuasa pada saat ini. Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara II yaitu pada tahun 1796-1835, mulai dilakukan pengembangan ketataprajaan dengan meningkatkan kesejahteraan narapraja, punggawa, dan masyarakat. KGPAA Mangkunegara II mulai melanjutkan pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun pendhapa ageng pada tahun 1815. KGPAA Mangkunegara III yang memerintah pada tahun 1835-1853 kemudian melanjutkan pembangunan dengan membangun prangwedanan, pracima sana, purwa sana, bale peni, bale warni, bale kencur, bangsal tosan, mandra sana, langen praja, reksa wahana, reksa pradipta (Moh. Dalyana, 1939: 5). KGPAA Mangkunegara IV yang memerintah pada tahun 1853-1881, memperluas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun pagar tembok. Pagar tembok yang tebal dan tinggi dibangun mengelililingi kompleks Pura Mangkunegaran, selain itu Mangkunegara IV juga menambahkan perabotan pada bangunan-bangunan yang sudah ada sebelumnya. Pada tahap selanjutnya, pembangunan dilakukan oleh KGPAA Mangkunegara V. KGPAA Mangkunegara V yang memerintah pada tahun 1881-1896 membangun taman- taman seperti ujung puri dan pracima yasa. Sedangkan KGPAA Mangkunegara VI yang memerintah pada tahun 1896-1916 membangun panti pamarasan serta menambah taman-taman seperti nguntarayasa dan pracimayasa (Moch Dalyana, 1939: 5). Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII yaitu pada tahun 1916-1944, sudah tidak membuat bangunan baru. KGPAA Mangkunegara VII commit to user melakukan perbaikan pada bangunan-bangunan yang rusak dan menambah hiasan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id4 pada langit-langit pendhapa ageng. Mangkunegara VII memiliki keinginan untuk memadukan karya seni dan filsafat atau ajaran-ajaran yang terkandung di dalam serat-serat piwulang. Keinginan mangkunegara VII kemudian dituangkan dalam bentuk hiasan singup pendhapa ageng yang disebut dengan kumudawati. Kumudawati disalin oleh abdi dalem Kraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei Atmasupama. Kumudawati yang semula dilukis di kertas kemudian disalin pada kain putih, lalu diletakkan di langit-langit pendhapa ageng. Kumudawati memiliki lima motif yaitu motif lidah api atau modhang, atribut dewa mata angin, simbol watak hari, simbol watak tahun, dan warna-warna magis. Kelima motif dalam batik kumudawati berisi nilai-nilai filosofis yang diambil dari karya-karya sastra semasa pemerintahan mangkunegara IV (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 65). KGPAA Mangkunegara VIII dan IX sudah tidak melakukan pembangunan, akan tetapi mengadakan pemeliharaan dan perbaikan seperti mengecat ulang, mengganti lantai, menambah hiasan dan perabotan pada bangunan-bangunan yang sudah ada. Bangunan-bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dibangun melalui proses yang sangat panjang yaitu dari masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan Mangkunegara IX atau pada saat ini. Akan tetapi pada saat ini beberapa bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran telah mengalami kerusakan dan ada yang sudah dibongkar. Bangunan-bangunan inti di kompleks Pura Mangkunegaran yang pada saat ini masih utuh yaitu Bale kencur, Bale peni, Bale warni, Dalem ageng, Gedhong wireng, Karti pura, Kasatriyan, Langen praja, Mandra pura, Pacaosan, commit to user Pakretan, Pamedan, Panti putra, Panti putri, Pendhapa ageng, Petanen, Pracima perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id5 sana, Prangwedanan, Pringgitan, Purwa sana, Reksa busana, Reksa hastana, Reksa pradipta, Reksa pura, Reksa pustaka, Reksa sunggata, Reksa wahana, Reksa warastra, Reksa wilapa, dan Senthong. Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran memiliki makna filosofis yang sangat menarik untuk diteliti agar nilai-nilai yang terkandung dalam istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dapat diajarkan kepada generasi penerus bangsa. Bangunan- bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Eropa, akan tetapi struktur tata bangunan dan penggunaan istilah-istilah nama bangunannya tetap mempertahankan kebudayaan Jawa. Berikut adalah beberapa contoh istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang dianalisis berdasarkan bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural. 1. Pringgitan [priŋgitan] Pada data (1) terdapat kata pringgitan yang berbentuk polimorfemis yang berasal dari kata dasar ringgit yang mendapat konfiks pa-/-an. Makna leksikal dari ringgit menurut Prawiroatmojo (1981: 145) adalah wayang. Makna gramatikal dari pringgitan adalah bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran yang terletak di antara pendhapa ageng dan dalem ageng yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertunjukkan wayang kulit dan untuk menerima tamu resmi kenegaraan. Adapun makna kultural dari pringgitan adalah manusia harus bisa membedakan kebaikan dan keburukan sehingga manusia dapat memilih jalan yang benar di dalam hidupnya. Seperti dalam ungkapan “Becik ketitik ala ketara”. Ungkapan tersebut berarti commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id6 kebenaran pasti suatu saat akan terlihat dan keburukan yang disembunyikan sekalipun suatu saat juga pasti akan ketahuan. 2. Dalem ageng [daləm agəŋ] Pada data (2) di atas terdapat satuan lingual dalem ageng yang berbentuk frasa nomina karena intinya yaitu kata dalem termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata ageng yang termasuk dalam kategori adjektif. Makna leksikal dari dalem menurut Prawiroatmojo (1993: 88) adalah (1) dalam, (2) rumah, sedangkan ageng adalah besar (Prawiroatmojo, 1993: 4). Makna gramatikal dari dalem ageng adalah bangunan utama di kompleks Pura Mangkunegaran yang berbentuk limasan yang sangat luas dan terletak di belakang pringgitan. Makna kultural dari dalem ageng adalah seorang raja atau seseorang yang memiliki kekuasaan besar hendaknya dapat mengayomi masyarakat agar makmur dan sejahtera. Seseorang di dalam menjalani kehidupan harus senantiasa menjalankan kewajibannya dengan baik karena pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Penggunaan istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berlaku di Pura Mangkunegaran. Budaya yang
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages39 Page
-
File Size-