KABUPATEN KARTI PRAJA SEBAGAI PELAKSANA PEMBANGUNAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII (1916-1944)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

BUDI DARMAWAN C0505015

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010

i

KABUPATEN KARTI PRAJA SEBAGAI PELAKSANA PEMBANGUNAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII (1916-1944)

Disusun oleh

BUDI DARMAWAN C0505015

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M.Hum NIP. 197306132000032002

Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 195402231986012001

ii

KABUPATEN KARTI PRAJA SEBAGAI PELAKSANA PEMBANGUNAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII

Disusun oleh

BUDI DARMAWAN C05005015

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal......

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Penguji Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum (………………) NIP 195402231986012001 Sekretaris Penguji Insiwi Febriary Setiasih, S.S, MA (………………) NIP 198002272005012001 Penguji I Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M. Hum (………………) NIP 197306132000032002 Penguji II Drs. Soedarmono, SU (………………) NIP 194908131980031001

Mengetahui, Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Drs. Sudarno, MA NIP. 195303141985061001

iii

PERNYATAAN

Nama : Budi Darmawan NIM : C0505015

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kabupaten Karti Praja Sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII ( 1916-1944 ) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juni 2010

Yang membuat pernyataan

Budi Darmawan C0505015

iv

MOTTO

Kenyataan bahwa Sejarah terus ditulis orang di semua Peradaban dan di sepanjang waktu,

sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa Sejarah itu perlu.

(Prof. Dr. Kuntowijoyo)

Lakukanlah yang kita bisa. (Penulis)

Sesungguhnya dalam Sejarah itu terdapat pesan-pesan penuh perlambang bagi orang-orang

yang dapat memahaminya.

(Q.S. Yusuf:112)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibunda tercinta

2. Kakak-Adikku tersayang

3. Lisa Retnaningsih

vi

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Kasih Karunia- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada pelaksanaannya, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan fasilitas, bimbingan maupun kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan

Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M.Hum, selaku Pembimbing skripsi, yang memberikan

banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi

ini.

4. Ibu Umi Yuliati, S.S., M.Hum selaku pembimbing Akademik yang telah memberikan

bimbingan selama penulis menjalani masa perkuliahan.

5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana

pengetahuan.

6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra

dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Fakutas Ilmu Budaya UGM, dan Perpustakaan Pasca

Sarjana UGM.

7. Ibu Koestrini Soemardi (alm), Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan

Reksopustoko yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis

dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

vii

8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas

serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

9. Lisa Retnaningsih yang telah memberikan dukungan, semangat, serta keceriaan di dalam

menyelesaikan skripsi dan dalam kehidupan penulis.

10. Teman-temanku angkatan 2005: Cahyo, Arie, Khanivan, Yuni, Metha, Wanto, dan

teman-teman yang lain tetap kompak dan tetap semangat.

11. Teman-teman angkatan 2004: Daryadi, Auditya, Desca, Sapto, semua kakak tingkat baik

yang telah menyandang gelar maupun yang masih berjuang, terimakasih atas

persahabatannya.

12. Sahabat-sahabatku Jarot, Anggar, Cahyu, Anto’, Zupy, Nita, Wahyu Lempok, Andri

Emont, Eka Bandeng, Afif Zuhdi, Arif, Eko, Aris, yang telah mendorong penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini dan terima kasih untuk suka duka persahabatan yang indah

selama ini dan semoga persahabatan kita tetap abadi.

13. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan skripsi ini,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... i HALAMAN PERSETUJUAN...... ii HALAMAN PENGESAHAN...... iii HALAMAN PERNYATAAN...... iv HALAMAN MOTTO...... v HALAMAN PERSEMBAHAN...... vi KATA PENGANTAR...... vii DAFTAR ISI...... ix DAFTAR TABEL...... xii DAFTAR LAMPIRAN...... xiii DAFTAR BAGAN...... xiv DAFTAR ISTILAH...... xv ABSTRAK...... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Perumusan Masalah...... 9 C. Tujuan Penelitian...... 9 D. Manfaat Penelitian...... 10 E. Tinjauan Pustaka...... 10 F. Metode Penelitian...... 14 1. Teknik Pengumpulan Data...... 15 2. Teknik Analisa Data...... 17 G. Sistematika...... 17

BAB II GAMBARAN UMUM PRAJA MANGKUNEGARAN

A. Sejarah Praja Mangkunegaran...... 19 B. Kondisi Geografis Praja Mangkunegaran...... 29 1. Wilayah Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII...... 29 2. Struktur Penduduk di Praja Mangkunegaran Pada Masa 33 Mangkunegara VII......

ix

C. Lingkungan Fisik Istana Mangkunegaran...... 37

BAB III KABUPATEN KARTI PRAJA MASA MANGKUNEGARA VII

A. Riwayat Hidup Mangkunegara VII...... 40 1. Masa Kanak-kanak hingga Dewasa...... 40 2. Sekilas Masa Pemerintahan Mangkunegara VII...... 43 B. Perkembangan Kabupaten Karti Praja...... 47 1. Struktur Jabatan dalam Pemerintahan Praja Mangkunegaran...... 48 a. Birokrasi berdasarkan Pangkat...... 48 b. Birokrasi Berdasarkan Jabatan (lembaga)...... 51 2. Struktur Organisasi Kabupaten Karti Praja...... 54 a. Pendirian...... 54 b. Peralihan Organisasi Kabupaten Karti Praja...... 55 c. Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja……………. 57

BAB IV PERANAN KABUPATEN KARTI PRAJA BAGI PERKEMBANGAN PRAJA MANGKUNEGARAN A. Pembangunan Bidang Infrastruktur...... 63 1. Pembangunan Jalan dan Jembatan...... 63 2. Pembangunan Irigasi...... 68 a. Pembangunan Waduk...... 68 b. Pembangunan Saluran Pembuangan Air...... 72 B. Pembangunan Bidang Sosial...... 74 1. Pembangunan Taman Kota...... 74 a. Taman Tirtonadi...... 74 b. Partimah Park...... 74 c. Kusumawardhani Plein...... 75 d. Partini Tuin dan partinah Bosch...... 75 2. Pembangunan Gedung-Gedung...... 76 a. Gedung Soos (Societeit)...... 76 b. Gedung Kelurahan / Bale Kampung...... 77 c. Gedung-Gedung Sekolah...... 78

x

C. Pembangunan Bidang Kesehatan...... 80 1. Pembangunan Kakus Umum / WC Umum...... 80 2. Pembangunan Pancuran Umum...... 81 3. Pembangunan Rumah Sakit dan Poliklinik...... 82 4. Perbaikan Rumah Kumuh...... 83 D. Pembangunan Bidang Ekonomi (Pasar)...... 85

BAB V KESIMPULAN...... 88

DAFTAR PUSTAKA...... 90

LAMPIRAN...... 94

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Desa Babok Mangkunegaran dalam Perjanjian Salatiga 1757...... 22

Tabel 2 Perbandingan luas Swapraja ...... 29

Tabel 3 Sensus penduduk wilayah Mangkunegaran (Kota Mangkunegaran, Wonogiri,

Ngawen) tahun 1930………………………………………………………....34

Tabel 4 Anggaran Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran tahun 1916-1933………67

Tabel 5 Waduk-waduk di Mangkunegaran…………………………………………...69

Tabel 6 Anggaran Irigasi Praja Mangkunegaran tahun 1916-1933…………………..71

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Foto K.G.P.A.A Mangkunegara VII ...... 94

Lampiran 2 Gambar-Gambar Hasil Pembangunan di Mangkunegaran...... 95

Lampiran 3 Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 37...... 104

Lampiran 4 Surat tentang Pengairan di Mangkunegaran Selama 3 Minggu ...... 106

Lampiran 5 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum...... 110

Lampiran 6 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air...... 114

Lampiran 7 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan...... 116

Lampiran 8 Acara Peresmian Kamar Mandi Umum Ngebrusan, tertera dalam

Acara Mangkunegara VII tertanggal 1 Januari 1939...... 121

Lampiran 9 Autorisatie Begrooting van Kosten 1941 ……………………………….. 122

xiii

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan I Struktur Birokrasi berdasarkan Pangkat…………………………………… 48

Bagan II Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja………………………………...... 58

Bagan III Struktur Pegawai Kantor Kabupaten Sindupraja daerah Wonogiri……….. 60

xiv

DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN DAN UKURAN

Acte Van Verband : surat atau dasar pengangkatan raja Assainering : bagian perbaikan Balekambang : rumah yang mengapung Barter : tukar menukar barang Bekel : orang yang mengurus apanage, pemungut pajak, kepala desa, petani penghubung antara pemilik desa/penguasa desa dengan penggarap tanah Budaya : hasil cipta, rasa dan karsa manusia Chef : kepala yang bertugas mengurusi bidang pengairan Cultuurstelsel : sistem tanam paksa Demang : seseorang yang diberi tugas untuk memegang dan menjalankan segala pekerjaan di pedesaan diatas bekel Edukasi : pendidikan Enclave : tanah yang terkurung oleh wilayah lain Epidemi pest : wabah penyakit pes Gerobak : alat angkutan tradisonal Hygienitas : segi kebersihan Jumbleng : tempat pembuangan hajat tradisional Kapedhak : gedung pertemuan yang terletak di sebelah Dalem Ageng Pura Mangkunegaran Kavaleri : pasukan berkuda Kopschool : sekolah gadis tingkat dasar Legiun : pasukan bala tentara Lurah : kepala kalurahan Mandor : Orang yang mengepalai beberapa orang atau kelompok dan bertugas mengawasi pekerjaan mereka Mantri : Juru; nama pangkat atau jabatan tertentu untuk melaksanakan suatu tugas atau keahlian khusus Narapraja : birokrat kerajaan

xv

Onderregentscap : se-tingkat kabupaten Opperhoutvester : kepala hutan Pamedan : halaman luar Pura Mangkunegaran, dahulunya digunakan untuk tempat latihan Legiun Mangkunegaran Panewu : kepala rendahan yang membawahi 1000 cacah Rangga : Kepala desa yang berasal dari priyayi Rijksblaad : undang-undang kerajaan Rijkswaterstaat : dinas irigasi kerajaan Societeit : kepanjangan dari Soos yang merupakan pusat pertemuan yang bersifat informal dan eksklusif bagi kalangan elite Eropa atau elite pribumi Swapraja : kekuasaan pemerintah kerajaan Tosan : besi Vaccin otten : vaksin untuk penderita penyakit pes Villa park : pemukiman orang-orang Eropa Volksschool : sekolah desa Vorstenlanden : Kerajaan Jawa Wedana : kepala distrik Zieken zorg : rumah sakit pusat 1. Singkatan B.R.M : Bendara Raden Mas H.I.S : Hollands Inlandshe School K.G.P.A.A : Kangjeng Gusti Pangeran Ario Adipati N.I.S : Nederlandsch Indische Spoorweg R.M : Raden Mas R.Tg : Raden Tumenggung SS : Staats Spoorwegen 2. Ukuran 1 karya : 1 cacah 1 cacah : 1 bahu 1 bahu : 7000 m2 1 jung : 4 bahu 4 bahu : 2,8 ha

xvi

ABSTRAK

Budi Darmawan. C0505015. 2010. Kabupaten Karti Praja Sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944). Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul Kabupaten Karti Praja Sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) Gambaran umum Praja Mangkunegaran masa pemerintahan Mangkunegara VII, (2) Kegiatan yang dilaksanakan Kabupaten Karti Praja dalam pembangunan di Praja Mangkunegaran, (3) Peranan Kabupaten Karti Praja bagi perkembangan Praja Mangkunegaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, dimulai dengan tahap heuristik yaitu teknik pengumpulan data. Data yang diperoleh selanjutnya dikritik secara intern dan ekstern dengan dipadukan studi pustaka sehingga menghasilkan fakta-fakta historis. Fakta ini lalu dianalisis dan disusun dalam sebuah historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan masa pemerintahan Mangkunegara VII mengalami perkembangan dan kemajuan kearah modernisasi. Jika dilihat dari pemerintahan masa sebelumnya pelaksanaaan pembangunan di Praja Mangkunegaran kurang intensif dilakukan. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII pembangunan dan pembaharuan di segala bidang semakin ditingkatkan dengan tujuan untuk menyejahterakan penduduknya. Pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh Mangkunegara VII diserahkan kepada Kabupaten Karti Praja. Kabupaten Karti Praja merupakan dinas yang mengurusi segala kegiatan pembangunan di wilayah Praja Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan dinas ini antara lain: pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan waduk- waduk, pembangunan saluran pembuangan air, pembangunan taman kota, pembangunan gedung-gedung penting yang meliputi pembangunan gedung pertemuan (Soos), pembangunan bale kampung, serta pembangunan gedung sekolah. Selain itu, juga dilaksanakan pembangunan WC/kakus umum, pembangunan pancuran umum, pembangunan rumah sakit dan poliklinik, pembangunan pasar, serta perbaikan rumah-rumah kumuh. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa adanya pembangunan di Praja Mangkunegaran menimbulkan beberapa dampak bagi masyarakat. Seluruh masyarakat dapat menikmati hasil modernisasi di daerahnya dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas umum tersebut, sehingga masyarakat dapat hidup dengan nyaman, bersih, sehat dan teratur, serta dapat dengan mudah melakukan aktivitas dan mampu meningkatkan taraf hidupnya.

xvii

ABSTRACT

Budi Darmawan. C0505015. 2010. Kabupaten Karti Praja Sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944). Thesis: History Department. Faculty of Letters and Fine Art. Sebelas Maret University. Surakarta

The title of this research is Kabupaten Karti Praja Sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944) (Karti Praja Department as Development Executor During the Reign of Mangkunegara VII (1916-1944) ). The objectives of this research are to fine out (1) the general view of Mangkunegaran territory of jurisdiction during the reignof Mangkunegara VII, (2) Karti Praja Department activities in developing Mangkunegaran territory of jurisdiction, (3) the role of Karti Praja Department for development of Mangkunegaran territory of jurisdiction. This research used a history research which was started with heuristic steps including the technique of collecting the data. The data which were obtained were then criticized both internally and were combined with the literature review. Thus the data pointed out historical facts. Those facts hence were analyzed and arranged in a histography. The research points out that the development during the reign of Mangkunegara VII was improved to the direction of modernization regarding the development of the previous reign in Mangkunegaran territory of jurisdiction was not that intensive. The development during the reign of Mangkunegara VII was improved in order to make the society wealthy. Karti Praja Department was given an authority to execute all activities related to the development. The development which was made by the regency included: the development of streets and bridges, the development of reservoirs, sanitations, city parks, significant buildings such as the building for meeting (Soos), public hall and schools. In addition, there were also the development of public toilets, public showers, hospitals and policlinics, markets and the improvement for vile houses. It is finally concluded that the development in Mangkunegaran territory of jurisdiction brought about positive effects. The society could enjoy the modernization built in their regency. Since the public facilities were built, the society could live comfortably, cleanly, healthily and regularly. Thy hence cuold do their activities easly and they could be wealthy.

xviii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan merupakan salah satu ciri dari perkembangan suatu wilayah.

Pembangunan membutuhkan suatu perencanaan, pengembangan secara khusus tentang apa saja yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan tersebut.

Proses pembangunan juga melanda di daerah-daerah Swapraja. Pada era abad XX dari dua kerajaan Swapraja, Kasunanan dan Mangkunegaran mulai tumbuh budaya perkotaan. Sekalipun merupakan wilayah dari Hindia Belanda, tetapi daerah ini memiliki status yang khusus yaitu mempunyai status otonomi dalam mengatur rakyat dan wilayahnya sendiri dengan persetujuan dari Residen atau

Gubernur.1 Praja Mangkunegaran menjadi salah satu wilayah di Swapraja yang proses pembangunannya dilaksanakan oleh pendiri sekaligus penguasa yang pertama yaitu K.G.P.A.A. Mangkunegara I yang kemudian pembangunan itu terus dilakukan oleh para calon putra mahkota ataupun penggantinya. Proses pembangunan Praja Mangkunegaran dilaksanakan sesuai dengan kebijakan raja pada masanya. Pembangunan tersebut merupakan pola dasar dan kerangka acuan bagi perkembangan wilayah yang berada jauh diluar istana. Pembangunan mempunyai tujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang lebih maju dan sejahtera.

1 Sejak bulan Mei 1927, ketika Residen Van Der Jagt menjadi Residen di Surakarta, pejabat tertinggi yang ditetapkan di Surakarta adalah Gubernur. Hal itu berlanjut sampai dengan masa akhir pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Lihat juga, Wasino, 1996. “Politik Etis, Pembangunan Sarana Irigasi dan Perkembangan Produksi Beras di Karesidenan Surakarta (1900 - 1942)”. Laporan penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang. halaman 15.

1 2

Praja Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said sebagai hasil perjuangannya melawan kompeni Belanda. R.M Said mulai tidak senang kepada Belanda berawal dari peristiwa pembuangan ayahnya ke Srilangka yang disebabkan oleh fitnah Paku Buwono II dan Patih Danurejo yang mempunyai hubungan yang baik dengan Belanda.2 Raden Mas Said naik tahta sebagai Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara I.

Beliau seorang Adipati yang mengepalai wilayah Kadipaten atau Praja. Pada masa pemerintahannya (1757 – 1795) diusahakannya perbaikan dan peningkatan kembali kehidupan rakyat. Perbaikan-perbaikan dilakukan salah satunya dalam sektor pembangunan. Mangkunegara I mengusahakan pembuatan bendungan- bendungan sehingga air sungai dapat mengairi sawah. Selain itu pembuatan selokan di sepanjang tepi jalan untuk menampung air hujan yang menggenangi jalan-jalan. Selain itu, juga dibangun beberapa tempat-tempat beribadah dan rumah-rumah untuk tempat tinggal. Pembangunan rumah-rumah mewah untuk putra putri Mangkunegaran dilakukan di Pasar Legi, Pasar Pon, dan beberapa rumah kantor untuk para Punggawa di sekitar Pura Mangkunegaran.3 Proses pembangunan sarana dan prasarana masa Mangkunegara I belum begitu nampak, hal ini dikarenakan Mangkunegara I lebih cenderung mempunyai keahlian dalam bidang seni karawitan, seni pertunjukan, dan pengembangan kesenian Jawa.

Masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegara II (1796 – 1835).

Pemerintahan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yaitu

2 Ismu Sadiyah, 1998. “Keraton Mangkunegaran Sebagai Objek Yang Menarik di Jawa Tengah.” Karya Tulis Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yayasan Pariwisata-ABA Bandung. halaman 14. 3 Krisnina Maharani A. Tandjung. 2007. 250 tahun Pura Mangkunegaran. Jakarta: Yayasan warna warni Indonesia. halaman 47.

3

Mangkunegara I. K.G.P.A.A. Mangkunegara II hanya menginginkan perbaikan ekonomi rakyat Mangkunegaran yang hancur akibat peperangan pada masa

Mangkunegara I. Pembangunan Praja masa Mangkunegara II tidak berjalan dengan baik, akan tetapi sejak Mangkunegara II memegang pemerintahan, wilayah Mangkunegaran semakin luas. Adanya hubungan dengan kompeni yang semakin erat, ia diminta untuk membantu memadamkan pemberontakan- pemberontakan seperti di Cirebon (1808), Dermayu (1812), Palembang (1812), dan pemberontakan Diponegoro (1826) di .4 Untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya Mangkunegara II rela menyewakan wilayah Praja kepada pemerintah Belanda sehingga uang sewa dapat disumbangkan untuk rakyat. Jika Mangkunegara I bisa disebut sebagai pendiri dari Praja

Mangkunegaran, maka Mangkunegara II merupakan tokoh yang memperluas wilayah Praja Mangkunegaran.

Raden Mas Sarengat sebagai penerus penguasa Praja Mangkunegaran menggantikan kedudukan K.G.P.A.A Mangkunegara II. Mas Sarengat dinobatkan dari Pangeran Harya Prangwedana menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati

Arya Mangkunegara III pada usia 40 tahun. K.G.P.A.A. Mangkunegara III di dalam pemerintahannya sangat memperhatikan pada kesehatan dan keselamatan keluarga Mangkunegaran. Mangkunegara III disamping berpangkat Adipati yang mengelola ketataprajaan, juga berpangkat Kolonel Komandan Legiun

Mangkunegaran. Untuk kepentingan itu dibangun pesanggrahan di Wonogiri yang terletak di antara hutan Selokethu dengan Jurang Gempol.5

4 Ibid. halaman 43.

5 Suwaji Bustomi, 1997. Karya-Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I – VIII. IKIP Semarang. halaman 51. 4

Pembangunan itu dilakukan dengan tujuan untuk pembinaan mental dan fisik para prajurit. Perhatian Mangkunegara III tepusat pada penertiban organisasi ketataprajaan dan peningkatan kegiatan bekerja di kalangan masyarakat.6 Pada masa pemerintahan Mangkunegara I sampai Mangkunegara III ini disebut sebagai masa strukturisasi pemerintahan Praja Mangkunegaran.

K.G.P.A.A. Mangkunegara IV sebagai penerus kekuasaan dari

Mangkunegara III. Beliau sangat rajin dalam usaha perbaikan ekonomi dan hasilnya mengangkat Praja Mangkunegaran menjadi sejahtera. Kekayaan

Mangkunegaran berlimpah ruah meliputi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

K.G.P.A.A. Mangkunegara IV mendapat keuntungan besar pada saat dirinya mendirikan dua pabrik gula yaitu pabrik gula Colomadu dan pabrik gula

Tasikmadu. Selain itu keuntungan juga diperoleh dari penjualan hasil di sektor perkebunan. Dari hasil keuntungan itu salah satunya dimanfaatkan untuk memperindah dan memperbesar Pendopo Agung dan untuk membangun gedung- gedung di sekitar Pura Mangkunegaran termasuk membangun bangsal tosan

(besi) yang dipesannya dari negeri Jerman pada tahun 1875.7

Raden Mas Sunito sebagai pengganti K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, pada usia 16 tahun mendapat gelar dengan sebutan Pangeran Adipati Arya

Prangwedana. K.G.P.A.A. Mangkunegara V hidup sangat sederhana dan banyak berbuat baik bahkan sistem ketataprajaan masih mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV.8 Pada awal pemerintahan

6 ibid. halaman 52.

7 ibid. halaman 65.

8 ibid. halaman 70.

5

Mangkunegara V, penghasilan Praja masih cukup baik. Akan tetapi, terbawa usia yang masih sangat muda K.G.P.A.A. Mangkunegara V banyak mengikuti kehendak pribadinya sehingga penghasilan itu kurang dimanfaatkan secara sungguh-sungguh. Adapun konsekuensinya, Praja Mangkunegaran mengalami kerugian karena timbul persaingan bisnis antara pengusaha asing dengan Praja

Mangkunegaran. Akibatnya hasil perkebunan menjadi merosot bahkan banyak perkebunan yang gulung tikar. Pada masa K.G.P.A.A. Mangkunegara V Praja

Mangkunegaran mengalami kemiskinan.

Pembangunan yang dilakukan K.G.P.A.A. Mangkunegara V berupa dua buah gedung yang terletak di sebelah timur gedung Prangwadana yang dinamakan gedung Pantipurna dan gedung Pantiwarna. Selain itu juga dibangun gedung

Balewarni, gedung Pracimasana, dan gedung Kapedhak (gedung pertemuan) yang terletak di sebelah gedung induk (dalem Ageng). Semua bangunan gedung tersebut didirikan atas saran kakak dari K.G.P.A.A. Mangkunegara V yaitu

Pangeran Harya Gandasewaya yang ahli dalam bidang bangunan gedung.9

Setelah K.G.P.A.A. Mangkunegara V wafat, digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Mas Suyitno atau Pangeran Harya Dayaningrat diangkat dengan sebutan Pangeran Adipati Arya Prangwedana. Pada tahun 1896 mendapat gelar

K.G.P.A.A. Mangkunegara VI. Beliau mempunyai sifat hemat dan sederhana.

Dengan sifatnya tersebut K.G.P.A.A. Mangkunegara VI mengelola Praja dengan sangat berhati-hati dan dirinya melakukan penghematan dalam bidang apa saja untuk memperbaiki perekonomian Praja Mangkunegaran. Pada pemerintahan masa Mangkunegara VI, dengan penghematan pembangunan fisik dilakukan tidak

9 Krisnina Maharani A. Tandjung. Op.cit. halaman 72. 6

hanya di dalam Pura Mangkunegaran melainkan juga sampai di daerah-daerah.

Pembangunan jalan umum mendapat perhatian penuh. Semua jalan-jalan dilebarkan dengan sepanjang jalan diterangi lampu listrik dan selalu dijaga kebersihannya.10 Jalan dan jembatan dibangun sebagai sarana dasar yang digunakan untuk menghubungkan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain.

Jalan merupakan prasarana yang sangat penting dan berpengaruh dan jalan mempunyai fungsi sebagai penunjang kelancaran pembangunan. Selain itu, sejalan dengan dikeluarkannya politik kolonial baru yaitu politik Etis dengan slogan Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi. Mangkunegara VI melakukan terobosan besar dalam pembangunan sarana pendidikan (edukasi). Salah satu usahanya adalah mendirikan sekolah ”Siswo” bagi kaum kerabat dan hamba di lingkungan

Praja Mangkunegaran. Pada perkembangannya sekolah tersebut tidak hanya terbatas bagi kaum kerabat dan hamba tetapi juga terbuka untuk masyarakat umum dengan memenuhi persyararatan yang sudah ada.

Setelah Mangkunegara VI turun tahta pada tahun 1916, penggantinya

Mangkunegara VII melanjutkan roda pemerintahan dari penguasa sebelumnya.

Adapun langkah kebijakan Mangkunegara VII adalah memisahkan antara keuangan keluarga dengan keuangan Praja, dan memisahkan keuangan Praja dengan keuangan perusahaan-perusahaan Praja. Kebijakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghindari percampuran urusan masalah keuangan demi kelancaran pembangunan didalam ataupun diluar Praja. Pembangunan- pembangunan yang diadakan di Praja Mangkunegaran ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Langkah awal kebijakan Mangkunegara VII yaitu

10 ibid. halaman 88. 7

menambah sarana perhubungan dengan menambah jumlah jalan. Jalan-jalan yang melintasi sungai sekaligus dibuatkan jembatan sehingga pembangunan jalan juga bertambah banyak. Terbukti periode tahun 1916-1931, sekitar 24% dari semua pengeluaran Praja digunakan untuk pembangunan jalan-jalan. Pembuatan jalan besar dikerjakan oleh Praja dan pembuatan jalan kecil-kecil, baik jalan atau jembatan dibangun oleh desa-desa dengan subsidi dari Praja. Pada tahun 1931 di

Praja Mangkunegaran telah ada 530 km jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor.11

Pembangunan jalan dan jembatan selain untuk kepentingan istana juga ditujukan untuk menembus daerah-daerah yang terisolasi. Dari sejumlah daerah di

Mangkunegaran, daerah Wonogiri yang mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan jalan dan jembatan. Hal itu disebabkan daerah-daerah ini masih banyak yang terisolir dengan dunia luar. Pemerintah Praja juga mengadakan pembangunan jalan-jalan yang menuju jalan kereta api NIS. Jalan ini diperlukan untuk mempermudah pengangkutan barang dari pedalaman ke stasiun kereta api.

Usaha-usaha pembangunan jalan dan jembatan di Mangkunegaran telah membawa hasil yang memuaskan.12 Kondisi keuangan Praja yang semakin membaik, maka dilakukan pembaharuan atau pembangunan yang meliputi pembangunan bidang infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, dan sarana-sarana lainnya). Selain itu juga pembangunan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan,

11 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 68-69.

12 Daryadi, 2009, “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 63.

8

sosial, kesehatan, ekonomi, serta pembangunan pertanian dan pembangunan kehutanan.

Dari pembangunan-pembangunan di bidang infrastruktur itulah Praja

Mangkunegaran menyerahkan segala pembangunan jalan, jembatan dan sarana umum lainnya kepada Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum). Dinas ini sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan Mangkunegara IV yang dulu disebut

Kawedanan Karti Praja dengan pimpinan seorang Wedana. Kawedanan ini membawahi sebuah kemantren, yakni Kemantren Kartipura, yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam kota dan di luar kota. Kemantren ini juga bertugas sebagai pemadam kebakaran dan untuk mempermudah pengawasan dan pekerjaan terhadap keadaan kota, dibantu oleh beberapa pekerja, antara lain: bramataka (petugas pemadam kebakaran), tukang batu (pegawai bangunan), juru taman (pegawai taman), undagi (tukang kayu), pande besi

(pegawai pembuat besi), pengangsu (pegawai urusan air), jagapiyara (pegawai urusan ternak), narajomba, serta pekerja tidak tetap seperti jagahastana (penjaga makam raja) dan wiratana.13

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII terjadi sedikit perubahan di

Dinas Pekerjaan Umum, yakni jabatan dari Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja. Kabupaten ini dipimpin oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yang berpangkat direktur. Pada masa Mangkunegoro VII tugas dari Dinas Pekerjaan Umum masih sama seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.14 Dinas ini mempunyai tugas melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan sarana-sarana umum untuk kemajuan pembangunan di Praja

13 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37

14 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No. 10. 9

Mangkunegaran dan secara tidak langsung menjadi Praja yang semakin diakui keberadaannya di masyarakat luas.

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas digunakan judul

“Kabupaten Karti Praja sebagai Pelaksana Pembangunan Pada Masa

Pemerintahan Mangkunegara VII ”, karena pada masa tersebut banyak dilakukan kegiatan pembangunan-pembangunan penting yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Praja Mangkunegaran.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum Praja Mangkunegaran masa pemerintahan

Mangkunegara VII?

2. Apa saja kegiatan yang dilaksanakan Kabupaten Karti Praja dalam

pembangunan di Praja Mangkunegaran?

3. Bagaimana peranan Kabupaten Karti Praja bagi perkembangan Praja

Mangkunegaran?

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan permasalahan diharapakan kajian tentang pembangunan sarana dan prasarana di Praja Mangkunegaran mampu memberikan jawaban atas beberapa permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran umum Praja Mangkunegaran masa

pemerintahan Mangkunegara VII. 10

2. Untuk mengetahui kegiatan yang dilaksanakan Kabupaten Karti Praja

dalam pembangunan di Praja Mangkunegaran.

3. Untuk mengetahui peranan Kabupaten Karti Praja bagi perkembangan

Praja Mangkunegaran.

C. Manfaat penelitian

Penulian ini mempunyai dua manfaat yang ingin dicapai, yaitu:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan baru yang bermanfaat bagi perkembangan pembangunan secara historis maupun kebudayaan yang dihasilkan Praja Mangkunegaran.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini juga diharapkan mampu menjawab masalah dan memberikan manfaat yang berhubungan dengan masalah perkembangan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan oleh Mangkunegara VII.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan dijadikan bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur yang digunakan antara lain:

Mengenang BRM. Soerya Soeparto merupakan buku yang ditulis oleh

Bernardial Hilmiyah M.D, (1985). Buku ini membahas mengenai kehidupan

Soerya Soeparto sampai menjadi Mangkunegoro VII. Buku ini juga menceritakan 11

bahwa ketika naik tahta, Mangkunegara VII dihadapkan pada banyak kesulitan, sebab dalam lingkungan masyarakatnya telah muncul kelompok baru yang bercita-cita memperjuangkan nasib serta penghidupan rakyat. Oleh karena itu tugas Mangkunegoro VII adalah membawa kemajuan duniawi dan kemajuan spiritual rakyatnya. Namun demikian, buku ini sebagian besar sumber acuannya berasal dari sumber sekunder. Buku ini memberikan relevansi terhadap skripsi ini bahwa tulisan Bernardial Hilmiyah sangat berguna sekali untuk mendapatkan beberapa informasi awal tentang modernisasi di Praja Mangkunegaran.

Buku berjudul Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa yang ditulis oleh Th. M. Metz, dan telah diterjemahkan oleh RTg. Muhammad Husodo

Pringgokusumo, (1987). Buku ini berisi mengenai Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII. Buku ini membahas mengenai perkembangan dan kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran di bidang ekonomi yang terdiri dari masalah agraria, irigasi, perusahaan-perusahaan dana milik, pekerjaan umum, kehutanan, kredit rakyat, pasar, penyediaan pangan pada masa paceklik, kebudayaan dan kesenian, dan keuangan Mangkunegaran. Buku ini menyajikan sejumlah data tentang Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro

VII. Data-data itu sangat berguna untuk merekonstruksikan modernisasi, khususnya bagi pembangunan insfrastruktur yang dilakukan Kabupaten Karti

Praja di Praja Mangkunegaran.

Buku berjudul 250 Tahun Pura Mangkunegaran, karangan Krisnina

Maharani A. Tandjung, (2007). Buku ini memberikan penjelasan dan informasi secara garis besar berdasarkan latar belakang berdirinya Pura Mangkunegaran dengan melihat silsilah raja-raja Mataram. Buku ini menceritakan bahwa Mataram 12

merupakan cikal bakal dari berdirinya Kerajaan Mangkunegaran. Adanya perjanjian Salatiga tahun 1757 mengawali berdirinya Praja Mangkunegaran, juga membahas mengenai masa pemerintahan dan hasil pembangunan, peninggalan budaya dari raja pertama yakni Mangkunegara I sampai Mangkunegara IX. Buku ini memberikan relevansi terhadap skripsi ini yaitu menyajikan dan menjelaskan sejarah berdirinya Praja Mangkunagaran.

Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX – Pertengahan Abad XX), (1994) merupakan tesis dari Wasino. Karya ilmiah ini membahas mengenai pembaharuan pemerintahan di Praja

Mangkunegaran di masa pemerintahan Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini membahas pembaharuan di bidang keuangan dan perekonomian serta pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini memang menarik karena banyak menampilkan peranan-peranan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dan Mangkunegoro VII bagi kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran. Karya ilmiah ini juga menggunakan sumber- sumber primer yang berupa arsip dari Mangkunegaran, surat kabar, dan majalah.

Karya ilmiah ini membantu untuk mengetahui hal-hal apa yang telah dilakukan oleh Mangkunegoro VII salah satunya terhadap perkembangan di Praja

Mangkunegaran. Buku yang berjudul Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan

Masyarakat Mangkunegaran, (2008) pada halaman 263-264 Wasino menjelaskan pembangunan dan pengembangan jalan di sekitar wilayah Praja Mangkunegaran menjadi pusat perhatian penuh, hal ini dikarenakan semenjak kebangkrutan ekonomi pada akhir abad XIX kondisi jalan di wilayah Mangkunegaran mengalami banyak kerusakan. Kondisi jalan yang seperti inilah muncul keluhan- 13

keluhan diantaranya dari Residen Surakarta Sollewijn Gelpke, dengan perintahnya mengharuskan pabrik gula Mangkunegaran menyediakan dana pada awal musim giling kepada kas Praja Mangkunegaran dengan tujuan untuk pemeliharaan jalan- jalan tersebut. Pada pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), pembangunan dan perawatan jalan menjadi meningkat dan berkembang.

Skripsi karya Daryadi, (2009) yang berjudul “Pembangunan

Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara

VII”. Karya ilmiah ini menjelaskan pembangunan-pembangunan yang dilakukan

Mangkunegara VII, yang meliputi pembangunan perkampungan baru dengan tujuan mengurangi lingkungan dan rumah-rumah kumuh serta tidak teraturnya pola perkampungan di kota Mangkunegaran. Karya ilmiah ini juga menjelaskan proses pembangunan sarana dan prasarana baru dengan tujuan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Praja Mangkunegaran.

“Kebijakan Mangkunegara VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di Praja

Mangkunegaran Tahun 1916-1944”, skripsi (2006) karya Nina Astiningrum.

Skripsi ini menjelaskan bahwa pembaharuan dalam segala bidang khususnya pembangunan sarana perkotaan bagi Mangkunegara VII menjadi kebutuhan penting sebab perkembangan dunia menuntut masyarakat untuk mengikuti perkembangan zaman. Karya ilmiah ini membahas Mangkunegara VII dengan konsep Tri Dharma menjadi dasar dalam pembangunan perkembangan kota.

Karya ilmiah ini memfokuskan dan membantu memberikan informasi pada pelaksanakan kebijakan-kebijakan yang dilakukan Mangkunegara VII dalam pembangunan sarana umum dan sarana perkotaan.

14

E. Metode penelitian

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan yang dicapai tergantung dari metode yang digunakan. Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode historis.

Memahami peristiwa-peristiwa pada masa lampau sebagai fakta sejarah yang masih memerlukan tahapan proses. Penelitian sejarah dalam studi ini menggunakan pandangan yang didasarkan pada metode historis. Metode historis merupakan metode kegiatan mungumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian diadakan rekonstruksi dari data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi (penulisan sejarah).

Metode sejarah mempunyai empat tahapan proses penelitian, yang pertama adalah Heuristik yang menjadi langkah awal dalam penelitiaan sejarah. Langkah heuristik yang diambil adalah mencari dan menemukan sumber-sumber atau data- data. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen seperti arsip-arsip seperti anggaran pembangunan wc umum dan pancuran umum kode L. 436, berkas Anggaran pembiayaan bangunan-bangunan urusan Pekerjaan Umum kode

K.121, K.326, K.130. Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H.

204, Rijksblad Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, dan Berkas

Anggaran untuk pembangunan (jalan, jembatan, rumah dan lain-lain) kode K.77,

H.155 yang semuanya tersimpan di perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran.

Perpustakaan ini terdapat banyak sumber-sumber primer yang membantu dan mempermudah dalam penelitian ini. 15

Tahap kedua adalah Kritik sumber, dalam langkah ini bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern.15 Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data. Dari melihat dan membaca arsip-arsip dapat disimpulkan bahwa semua kalimat didalamnya sudah membuktikan validitas atau keaslian sumber. Kritik ekstern bertujuan untuk mencari keabsahan arsip dan keaslian sumber. Hal ini meliputi materiil yang digunakan seperti dokumen asli dengan bahasa kuno atau Belanda, kondisi data dengan jenis kertas yang sudah rusak dan sangat tua, tinta yang luntur, semuanya dipilah dan dipilih untuk dijadikan sumber karena tidak semua arsip dapat dijadikan data. Penelitian ini mencari data-data yang berhubungan dengan Kabupaten Karti

Praja dalam pembangunan sarana dan prasarana di sekitar Praja Mangkunegaran.

Tahap ketiga adalah Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh.16

Tahap keempat adalah Historiografi, merupakan penulisan sejarah dengan mengkaitkan fakta-fakta yang telah dicari dan ditemukan dalam arsip-arsip yang semuanya disusun menjadi kisah sejarah menurut teknik penulisan sejarah.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber berupa

studi dokumen dan studi pustaka.

15 Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, halaman 58.

16 ibid, halaman 64.

16

a. Studi Dokumen

Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi

gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat

pengertian historis tentang fenomena yang unik.17 Dokumen yang

berhasil penulis kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: Arsip-arsip

dari Kabupaten Karti Praja: Anggaran pembangunan wc umum dan

pancuran umum kode L. 436, Berkas Anggaran pembiayaan bangunan-

bangunan urusan Pekerjaan Umum kode K.121, K.326, K.30.

Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H. 204,

Rijksblad Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, Berkas

Anggaran untuk pembangunan (jalan, jembatan, rumah dan lain-lain)

kode K.77, H.155 dan sebagainya.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah

penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah

pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian.

Sumber pustaka yang digunakan antara lain: buku, majalah, surat

kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang

tema yang diteliti. Studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan di

perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, Perpustakaan

Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni

Rupa, Perpustakaan Fakutas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Pasca

Sarjana UGM, dan Perpustakaan Sono Pustoko Kasunanan.

17 Kartodirdjo. 1983. Metode Penggunaan Bahan Dokumen dalam “Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. halaman 47. 17

2. Teknik Analisa Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis.

Deskripsi analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-

cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta

yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi

kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan,

dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji

kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan

sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.18

G. Sistematika Skripsi

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab.

Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun

Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II, dalam bab ini menguraikan gambaran umum Praja Mangkunegaran yang mencakup sejarah, kondisi geografis yang meliputi wilayah, penduduk, dan lingkungan fisik dari Praja Mangkunegaran.

Bab III, dalam bab ini membahas mengenai Kabupaten Karti Praja masa

Mangkunegara VII yang mencakup riwayat hidup Mangkunegara VII, dan

18 Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Indayu. halaman 36. 18

perkembangan struktur organisasi Kabupaten Karti Praja meliputi stuktur jabatan dalam pemerintahan Praja (mencakup birokrasi berdasarkan pangkat dan birokrasi berdasarkan lembaga), struktur organisasi Kabupaten Kartipraja (pendirian, peralihan organisasi, dan struktur pegawai Kabupaten Sindupraja).

Bab IV, dalam bab ini membahas mengenai peranan Kabupaten Karti

Praja bagi perkembangan Praja Mangkunegaran yang mencakup pembangunan bidang infrastruktur, sosial, kesehatan, ekonomi yang berupa pembangunan jalan, jembatan, sarana irigasi, taman kota, gedung-gedung, rumah sakit/poliklinik, pasar, pancuran dan wc/kakus umum.

Bab V, dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan.

BAB II

GAMBARAN UMUM PRAJA MANGKUNEGARAN

A. Sejarah Mangkunegaran

Kekacauan politik yang melanda kerajaan Mataram pada pertengahan abad

18 menimbulkan banyak pemberontakan dan peperangan yang terjadi di pusat- pusat pemerintahan ataupun di daerah-daerah. Persaingan politik antar kerabat kerajaan dan adanya dominasi kekuatan asing (VOC) menjadi penyebab keruntuhan Mataram dan munculnya kerajaan-kerajaan baru yang saling memperebutkan hak waris Mataram.1

Perlawanan R.M Said merupakan perlawanan terbesar dan penyebab lahirnya kerajaan Mangkunegaran. Perlawanannya ini merupakan wujud dari rasa kecewa dalam dirinya karena merasa diberlakukan tidak adil sebagai putra tertua dari seorang Pangeran yang seharusnya dapat menggantikan kedudukan ayahnya.

Perlawananya tidak dapat diatasi oleh Kasunanan, Kasultanan, maupun pihak kompeni. Pada tanggal 17 Maret 1757 membuahkan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Salatiga. Perjanjian ini mengatur pembentukan wilayah otonom baru yang bernama Mangkunegaran. Adapun isi perjanjian tersebut adalah:

1. R.M Said diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Haryo

Mangkunegaran yang kedudukannya dibawah Sunan Paku Buwono III

di Surakarta.

1 G. Moedjanto, 1987. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius, halaman 28.

19 20

2. Kangjeng Pangeran Adipati Haryo Mangkunegaran berkedudukan

setingkat dibawah Putra Mahkota dan berhak mengadakan upacara

maupun pengenaan atribut kebesaran yang lebih mewah dibanding

prajurit lainnya.

3. Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkunegara berhak atas wilayah

sebesar 4000 karya yang meliputi Nglaroh, Keduwang, Matesih, dan

Gunung Kidul.

4. Kangjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkunegara berkedudukan di

Surakarta.2

R.M Said diangkat menjadi Pangeran Miji (terpilih) dengan gelar

Pangeran Adipati Mangkunegara dengan hak-hak istimewa yang kedudukannya dekat dengan raja dan sedikit lebih rendah dari putra mahkota. Mangkunegaran merupakan wilayah otonom yang pengakuannya berada dibawah kekuasaan

Kasunanan. Kasunanan tidak dapat mencampuri urusan dalam Praja

Mangkunegaran dan Kasunanan hanya berwenang ketika Mangkunegaran mempunyai hubungan atau kepentingan di wilayah Kasunanan dan Kasunananlah yang berhak menentukan keputusan dalam hubungannya dengan Mangkunegaran.

Hubungan Mangkunegaran terhadap Sunan sebagai Pangeran Miji sementara hubungan Mangkunegaran dengan kompeni sebagai Pangeran

Amardika yang berarti terlepas dari urusan campur tangan Belanda. Untuk memperkokoh kedudukan R.M Said, Susuhunan menyerahkan kompleks bangunan milik bekas patih dan memberikan wilayah kekuasaan yang sebagian besar merupakan daerah rampasan R.M Said pada masa perjuangannya.

2 Krisnina Maharani A. Tandjung. 2007. 250 tahun Pura Mangkunegaran. Jakarta: Yayasan Warna warni Indonesia. halaman 21. 21

Praja Mangkunegaran merupakan salah satu bagian dari empat swapraja yang ada di Jawa Tengah. Wilayah Mangkunegaran terletak dibagian timur dan utara Surakarta, juga sebagian terletak di wilayah Kasunanan dan Kasultanan.

Wilayah Mangkunegaran disebut sebagai desa Babok. Desa Babok merupakan tanah-tanah atau wilayah permulaan dari Praja Mangkunegaran. 3 Luas wilayah

Mangkunegaran ketika berdiri sebesar 4000 cacah yang terdiri dari 2000 cacah di

Keduwang dan 2000 cacah lainya terletak di Nglaroh (Wonogiri), Matesih, dan

Gunung Kidul.4 Wilayah Praja Mangkunegaran terus mengalami perubahan dan perkembangan sejak berdirinya kerajaan itu. Dengan berdirinya Mangkunegaran dan diberikannya tanah Kasunanan kepada Pangeran Mangkunegara, maka dapat dikatakan bahwa politik memecah belah yang dilakukan oleh Belanda cukup mempersempit kekuasaan kerajaan. Politik ini mempersulit perorganisasian kekuatan kerajaan-kerajaan di Swapraja, politik ini menguntungkan Belanda karena kekuatan kerajaan di Swapraja dapat dikendaliakan.

3 Sutrisno Adiwardoyo, 1974. ”Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi IKIP Surakarta. halaman 28.

4 G.P. Rouffaer Vorstenlanden. Terjemahan: R.Tg. Muhammad Pringgokusumo. 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 6 22

Tabel I. Desa Babok Mangkunegaran dalam Perjanjian Salatiga 1757 Nama Daerah Jumlah (Jung)

Keduwang 141 Laroh 115,5 Matesih 218 Wiraka 60,5 Haribaya 82,5 Hanggabayan 25 Sembuyan 133 Gunung Kidul 71,5 Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta-Kartosura) 58,5 Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta-Kartosura) 64,5 Mataram (pertengahan Yogyakarta) 1 Kedu 8,5 Jumlah 975,5 Sumber: Pringgodigdo, op.cit. hal 10 dan Rouffaer, op.cit. halaman 6.

Menurut Wasino, wilayah dan batas-batas Praja Mangkunegaran yang didasarkan perjanjian Salatiga (tabel I) di atas itu memang kurang jelas. Hal ini dikarenakan, surat perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat ditemukan. Jadi, data-data mengenai wilayah Mangkunegaran yang dikemukakan oleh Rouffaer dan Pringgadigdo di atas hanyalah perkiraan saja.5

Hubungan kerjasama dengan kekuatan asing memberikan keuntungan lebih bagi Mangkunegaran. Daerah Mangkunegaran diperluas dan Pangeran

Mangkunegara memperoleh kebebasan lebih. Bertambahnya wilayah

5 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. halaman 51. 23

Mangkunegaran pada tahun 1813 atas usaha dan dukungannya terhadap kekuasaan asing dalam perang melawan Kasultanan di bawah Hamengkubuwono

II dan Perang Diponegoro memberikan wilayah tambahan sebesar 1000 cacah dan untuk mengatasi persekutuan antara Sunan dan Sultan melawan kekuasaan asing

(Inggris)6 didirikanlah kerajaan pada 7 Maret 1813 dengan mengambil tanah dari Kasultanan dengan menunjuk Yogyakarta sebagai tempat istananya sebagaimana kerajaan Mangkunegaran di Surakarta.7 Tahun 1830 mendapat tambahan 500 cacah, itu juga mengambil wilayah Yogyakarta, karena

Mangkunegara II pada waktu perang Diponegoro telah menduduki daerah

Sukowati yang masuk daerah Kasultanan.8 Wilayah Mangkunegaran seluruhnya

5500 cacah dalam hal ini mendekati luas wilayah Kasunanan dan Kasultanan dan terlaksananya rencana pemerintah kolonial dalam mencegah terjadinya konflik besar di Jawa yang hampir seluruhnya disebabkan oleh keterlibatan para bangsawan Jawa.9 Pada tahun 1830 itu pula ditetapkannya batas-batas dari keempat kerajaan itu. Wilayah Mangkunegaran pada tahun 1900 mengalami perubahan yaitu penukaran tanah Mangkunegaran dengan tanah Kasunanan, dengan tujuan untuk menghindari adanya enclave.10

6 Kekuasaan Inggris dari tahun 1811 – 1816.

7 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 1.

8 G.P. Rouffaer, Op.cit. halaman 9.

9 Vincent J. Houben. Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta 1830 – 1870. Terjemahan: E. Setyowati Alkhatab. 2002. Yogyakarta: Bentang Budaya. halaman 184 .

10 Enclave adalah tanah yang terkurung oleh wilayah lain. Lihat juga Th. M. Metz, Op.cit. halaman 2.

24

Berakhirnya perang Diponegoro memberikan masa damai yang panjang dan meluasnya pengaruh kapitalisasi pertanian di wilayah kerajaan yang memberi pengaruh yang mendalam dalam kelanjutan politik Mangkunegaran. Kekuatan modal swasta dan sistem sewa di tanah kerajaan sangat mempengaruhi kehidupan kaum bangsawan di wilayah kerajaan.

Para penguasa Mangkunegaran berhasil mendirikan kerajaan yang kuat karena kemampuannya dengan dibuktikan adanya penerus-penerus kekuasaan yang mampu melanjutkan eksistensi pemerintahan kerajaan Mangkunegaran.

Adapun raja-raja yang ikut andil dalam pembentukan pemerintahan

Mangkunegaran:

1. Masa Strukturisasi Praja Mangkunegaran

Strukturisasi berasal dari kata dasar struktur. Istilah struktur berasal dari bahasa Latin struere yang berarti mendirikan atau membangun. Oleh karena itu, masa strukturisasi Praja Mangkunegaran merupakan proses pembentukan Praja

Mangkunegaran dari urusan berdirinya Praja, pembangunan sampai penataan struktur-struktur intern di kerajaan. Adapun penguasa yang kedudukannya sangat penting pada masa ini adalah Mangkunegara I sebagai penguasa pertama sekaligus pendiri dari Praja Mangkunegaran sebagai hasil dari perjuangannya selama 16 tahun. Mangkunegara I sebelum dinobatkan bernama Raden Mas Said.

Ia merupakan cucu dari Sunan Amangkurat IV dari Mataram. Acte Van Verband merupakan dasar pengangkatan raja yang didalamnya berisi hak-hak yang diberikan oleh Sunan Pakubuwono III kepada Mangkunegara I. Sebelum

Mangkunegara I wafat, dirinya meninggalkan pesan bahwa calon penggantinya harus berasal dari keturunannya. 25

Mangkunegara II (1796-1835), menjadi penguasa dengan gelar Kangjeng

Gusti Pangeran Adipati Haryo Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I.

Pada masa pemerintahannya, disamping mengelola di bidang ketataprajaan, beliau menjalin hubungan erat dengan kekuasaan asing yang dibuktikan adanya kerjasama Mangkunegara II dalam memadamkan pemberontakan-pemberontakan di daerah ataupun diluar daerah. Hasilnya wilayah kerajaan Mangkunegaran diperluas lagi yang semula luasnya 4000 cacah menjadi 5500 cacah.11

Mangkunegara III ( 1835-1853) adalah seorang putera dari seorang puteri

Mangkunegara II, dengan gelar jabatan Pangeran Adipati Ario Prangwedana dan tahun 1842 memperoleh gelar Mangkunegara. Acte Van Verband pada penobatannya tidak disebutkan lagi adanya upacara tertentu hanya memuat bahwa penobatannya diberikan atas kebaikan dari pemerintah Hindia Belanda dan hanya sepengetahuan Sunan. Mangkunegara III diangkat dan dinobatkan sebagai pengganti Mangkunegara II dan mendapatkan hak untuk menguasai wilayah seluas 5500 cacah dan siap melayani pemerintah Hindia Belanda.12 Pemerintahan masa Mangkunegara III tepusat pada penertiban organisasi ketataprajaan dan peningkatan kegiatan bekerja di kalangan masyarakat.

2. Masa Modernisasi Praja Mangkunegaran

Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Jadi masa modernisasi Praja

Mangkunegaran merupakan suatu proses perubahan sosial dimana seluruh

11 G.P. Rouffaer, Op.cit. halaman 28.

12 Th. M. Metz, Op.cit. halaman 5.

26

masyarakat Praja yang sedang memperbaharui identitasnya dengan berusaha mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat modern dengan tujuan mewujudkan masyarakat Praja yang maju atau modern sesuai dengan situasi dan kondisi.

Modernisasi sebenarnya identik dengan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Hal ini dibuktikan oleh penguasa selanjutnya, yakni

Mangkunegara IV (1853-1881), putera dari Mangkunegara II yang lebih muda.

Mangkunegara IV membuat terobosan yang mengindikasikan adanya kemajuan

Praja. Usaha yang dilakukannya adalah pendirian pabrik Gula Tasikmadu dan

Colomadu serta usaha pengadaan usaha mendirikan perkebunan-perkebunan di

Praja Mangkunegaran. Mangkunegara IV melakukan terobosan modern dengan tujuan ingin memperkuat ekonomi Praja dan mengharapkan suatu acuan baru untuk perusahaan yang didirikannya.13 Kebijakannya ini sebagai tindak lanjut atas kebijakan dari pemerintah dan sebagai pandangan ekonomis sekaligus cikal bakal kerajaan bisnis Pura Mangkunegaran, hal ini sehubungan dengan adanya kebijakan politik dari pemerintah Kolonial tentang Cultuurstelsel dan penanaman perkebunan tebu yang ada di Jawa. Kesempatan peluang bisnis inipun tidak disia- siakan Mangkunegara IV.

Kegemilangan Praja Mangkunegaran dalam pertumbuhan ekonomi tersendat oleh kematian Mangkunegara IV. Mangkunegara V (1881-1896), sebagai pengganti penguasa wilayah Praja merupakan putra dari Mangkunegara

IV. Mangkunegara V merupakan pemimpin yang kurang cakap sehingga nyaris membawa Praja Mangkunegaran jatuh dalam kebangkrutan dan menyebabkan

13 G. P. Rouffaer, Op. Cit, halaman 29. 27

intervensi keuangan oleh kolonial. Hal itu membuat kondisi keuangan Praja sangat menderita dan adanya krisis ekonomi (1875-1890) yang diikuti dengan penurunan harga-harga hasil perkebunan menambah semakin terpuruknya Praja

Mangkunegaran pada saat itu.14 Usaha untuk mengatasi kondisi tersebut

Mangkunegara V terpaksa menggadaikan tanah tambak Terbaya dan persil

Pindrikan, di Semarang.15 Hasil penggadaian tanah-tanah itu pun juga belum dapat merubah keadaan para pegawai ataupun keluarga Mangkunegaran. Usaha lain adalah dilakukannya pengurangan jumlah pegawai, dengan harapan untuk meringankan beban penggajian para pegawai lainnya.

Ketika awal tahun 1888 Gubernur Jenderal Mr. Cornelius Peinekar

Herdeik berkunjung ke Mangkunegaran, beliau mengetahui benar kerusakan Praja

Mangkunegaran dan selanjutnya memerintahkan Asisten Residen di Surakarta yang bernama Lange beserta Sekretaris bernama Rosenayer dengan surat keputusan tanggal 4 Maret 1888 untuk membenahi perekonomian Praja

Mangkunegaran. Selain itu, pemerintah Belanda memberikan pinjaman uang sebesar dua juta rupiah yang digunakan untuk gaji para keluarga

Mangkunegaran.16

Mangkunegara VI (1896-1916) sebagai penguasa pengganti merupakan saudara dari Mangkunegara V. Pada masa pemerintahannya, Praja

Mangkunegaran sudah berdiri lepas dari Kraton dan Susuhunan Surakarta dan hilang pula kewajiban Pangeran untuk mengabdi kepada keraton yang dimuat di

14 Ibid. halaman 6.

15 Suwaji Bustomi, 1997. Karya-Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I – VIII. IKIP Semarang. halaman. 72

16 Ibid. halaman 72-73. 28

dalam Acte van Verband. Usaha Mangkunegara VI di dalam perbaikan ekonomi

Praja Mangkunegaran mengalami keberhasilan. Beliau dengan sifat hemat dan hidup sederhananya mampu mebereskan keuangan Praja dan mampu mengembalikan pinjaman kepada pemerintah Belanda. Keuangan Praja mengalami kemajuan sehingga penghasilan bisa dinaikkan. Mangkunegara VI lebih memilih segala macam kelebihan uang dikembalikan ke Kas Praja dan pada tahun 1916 raja turun tahta atas kemauannya sendiri.17

Raden Mas Soeparto putera ketiga Raja Mangkunegara V, melanjutkan masa pemerintahan yang ditinggalkan. Raden Mas Soeparto lahir tahun 1885 naik tahta sebagai Pangeran Adipati Ario Prabu Prangwedana dan tahun 1924 dinobatkan dengan gelar Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII. Pada saat acara penobatan Mangkunegara VII, Residen Nieuwenhuys selaku wakil pemerintahan pada waktu itu, menekankan dengan penobatan itu ingin membuktikan betapa baiknya pemerintahan Mangkunegara VII. Seorang Adipati yang harus menjadi teladan baik bagi rakyatnya.18 Mangkunegara VII memusatkan perhatian pada kehidupan dan kesejahteraan rakyat kecil. Adanya perubahan tradisi membuktikan modernitas kepemimpinan Praja Mangkunegaran yang berlanjut dan memasuki masa keemasan oleh kepemimpinan Mangkunegara

VII dengan masa pemerintahannya yang spektakuler.

17 Th. M. Metz, Op.cit. halaman 7.

18 Ibid. hal 8. lihat juga Suwaji Bustomi, Op.cit. halaman 93.

29

B. Kondisi Geografis Praja Mangkunegaran

1. Wilayah Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII

Wilayah Mangkunegaran terletak di tanah Swapraja, yang dahulu merupakan bagian dari kerajaan Mataram bersama-sama dengan Kasunanan

Surakarta, Kasultanan dan Pakualaman Yogyakarta.19 Mangkunegaran merupakan sebuah kerajaan kecil yang terletak di Karesidenan Surakarta.Praja

Mangkunegaran menempati wilayah bagian utara dan timur Karesidenan

Surakarta. Secara keseluruhan luas wilayah Mangkunegaran adalah kurang lebih

2.815,14 km². Perbandingan luas wilayah dari keempat Swapraja di Jawa Tengah itu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel II.

Perbandingan Luas Wilayah Swapraja

No Nama Swapraja Luas Wilayah

1 Kasunanan Surakarta 3.237.50 Km²

2 Kasultanan Yogyakarta 3.049.81 Km²

3 Pura Mangkunegaran 2.815.14 Km²

4 Pura Paku Alaman 122.50 Km²

Sumber: T.H. M. Metz, 1939. “Mangkoe-nagaran: Analyse van een Javaanasch Vorstendom”.Terjemahan: R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. “Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa”. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 15.

Berdasarkan tabel II di atas, ibukota Mangkunegaran tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan Kasunanan Surakarta. Ibukota Mangkunegaran hanya

19 Darsiti Soeratman,1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa. halaman. 1.

30

seperlima dari Karesidenan Surakarta, sedangkan empat perlimanya merupakan ibukota Kasunanan Surakarta.20 Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar wilayahnya milik Kasultanan Yogyakarta hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat daya dan sebuah enclave disekitar istananya merupakan wilayah Paku Alaman.21 Jika dibandingkan dengan wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari kesuburan tanahnya, Praja

Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang buruk.

Wilayah Mangkunegaran meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu, dan meluas sampai daerah hulu Sungai Bengawan Solo menuju Gunung Kidul.

Bagian selatan dari wilayah Mangkunegaran ini membentang pada bagian timur

Gunung Lawu yang tandus hingga Samudra Hindia.22 Di sebelah barat laut wilayah Praja Mangkunegaran membentang dari dataran rendah Bengawan Solo sampai pada ujung kaki gunung Merapi dan Merbabu yang keduanya memiliki tanah yang sangat subur.

Istana atau Pura Mangkunegaran dikelilingi oleh bangunan tembok seluas

± 10.000 m², terletak di sebelah barat laut Keraton Surakarta. Di dalamnya terdapat halaman untuk tempat latihan Legiun (pamedan) dan sebuah kompleks yang terdiri dari bangunan yang menarik dan terpelihara dengan baik berupa kantor, pendopo untuk pertemuan umum, dan tempat kediaman Pangeran beserta

20 Darsiti Soeratman, Op.cit., halaman 2.

21 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. halaman 1.

22 Wasino,1996. “Politik Etis dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran (1900- 1945)”. Laporan Penelitian Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang. halaman 30.

31

keluarganya. Di luar kompleks adalah perkampungan dan rumah-rumah pegawai termasuk anggota Legiun.23

Letak antara keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah Residen, dan kepatihan tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berdekatan dengan keraton dan rumah Residen. Jarak antara Keraton dan Istana Mangkunegaran tidak berjauhan keduanya hanya dibatasi dengan jalan raya Slamet Riyadi (sekarang) dan jalan kereta api pada waktu itu. Praja Mangkunegaran terletak di sebelah utara jalan kereta api dan Kasunanan Surakarta terletak di sebelah selatannya.24

Perkembangan suatu wilayah biasanya mencakup unsur-unsur seperti keluasan, kepadatan, heterogenitas, sosial, pasar, fungsi administratif, sumber kehidupan, dan unsur budaya yang membedakan kelompok sosial yang lain. Karakteristik wilayah dapat dilihat dari komunikasi yang cepat, transportasi yang efisien, persedian fasilitas sanitasi yang memadai, juga tingkat pendidikan dan aktivitas ekonomi yang berjalan baik dan lancar.

Wilayah administrasi merupakan wilayah yang menjadi pusat kegiatan dalam mengatur pemerintahan. Pembagian wilayah administrasi Praja

Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan, hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada tahun 1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu: Wonogiri (meliputi Laroh,

Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi Sukawati, Matesih, dan

23 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. halaman 10.

24 Darsiti Soeratman, Op.cit. halaman 3. 32

Haribaya), dan Malangjiwan.25 Di tahun 1875, perubahan kembali dilakukan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan penghapusan Onderregentschap

Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregentschap Baturetno yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga wilayah admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno.26

Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa pemerintahan Mangkunegoro V. Onderregentschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan Onderregentschap Wonogiri.27 Pada tahun 1903 di bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat kalinya, yaitu dibentuk Onderregentschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan ditambah Enclave

Ngawen.28

Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi

Praja Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan.

Hal itu dilakukan oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak- dampak krisis ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai

25 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. halaman 30

26 Daryadi, 2009, “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 25.

27 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 54 28 Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917 No. 331. 33

dirasakan oleh Praja Mangkunegaran. Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi Kabupaten Kota

Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi daerah

Kabupaten Kota Mangkunegaran.29

Pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran menjadi dua wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan Kota

Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan,

Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri,

Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).

Istana Mangkunegaran sebagai pusat bagi berkembangnya Praja. Daerah yang berada diluar istana dalam perkembangannya secara konsentris harus mengikuti seperti yang ada di pusat yaitu istana. Jadi Praja Mangkunegaran merupakan pola dasar dan kerangka acuan bagi wilayah yang berada jauh di luar istana.

2. Struktur Penduduk di Praja Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII

Raffles dalam pemerintahannya (1811-1816), memperhitungkan bahwa penduduk pulau Jawa sebanyak 4,5 juta jiwa. Menurut sensus penduduk sekitar tahun 1930 pertambahan penduduk pulau Jawa telah berjumlah 40 juta jiwa.30

Pertumbuhan penduduk tidak semata-mata tergantung pada masalah ekologis dan

29 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. halaman 31.

30 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. halaman 97. 34

alamiah serta perkembangan teknologi saja, terlibat pula faktor-faktor sosial- ekonomi lainnya seperti kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Semua ini tentunya terpusat pada masalah perbandingan antara kematian dan kelahiran.

Tabel III. Sensus penduduk wilayah Mangkunegaran (Kota

Mangkunegaran, Wonogiri, Ngawen) tahun 1930

No. Golongan / Etnik Jumlah Penduduk (laki-laki dan perempuan)

1. Golongan Bumi Putera 902.780 jiwa

2. Golongan Eropa 1.270 jiwa

3. Golongan Asia 4.268 jiwa

Jumlah 908.318 jiwa

Sumber: T.H. M. Metz, 1939. “Mangkoe-nagaran: Analyse van een Javaanasch Vorstendom”. Terjemahan: R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 15.

Pertumbuhan penduduk juga terjadi di daerah Mangkunegaran salah satu daerah Swapraja yang wilayahnya tergolong cukup luas diantara daerah Swapraja lainnya. Berdasarkan sensus tahun 1930 (tabel III), menjelaskan jumlah penduduk

Mangkunegaran secara keseluruhan adalah 908.318 jiwa.31 Jumlah penduduk tersebut tersebar di seluruh wilayah Praja Mangkunegaran. Awal abad XX, tercatat Praja Mangkunegaran mempunyai wilayah dari arah utara ke selatan.

Bagian tengah merupakan kota lama yang didiami oleh beberapa etnik yang tinggal di wilayah tersebut antara lain etnik Jawa, Arab, Cina, dan Eropa yang semuanya menempati daerah secara terpisah.32

31 Wasino.1996. op.cit. halaman 31.

32 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Op.cit.halaman 25. 35

Perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah Residen, kantor- kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko dan benteng Vastenburg berkedudukan sebagai pusatnya. Perkampungan orang Eropa atau Belanda di sekitar benteng terletak di daerah Loji Wetan, dengan ditandai bangunan yang berbentuk Loji dan menggunakan batu bata. Istana Mangkunegara terletak di sebelah selatan Kali Pepe. Perkampungan orang-orang Eropa atau

Belanda di kota Mangkunegaran didaerah sebelah utara Pamedan dinamakan

Villapark. Villapark merupakan kampung Belanda yang didalamnya memiliki perencanaan infrastruktur yang baik, sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduknya.

Perkampungan antar etnik lain dipisahkan berdasarkan diskriminasi ras.

Namun pada perkembangan berikutnya kota tidak lagi membagi berdasarkan ras

(etnis). Dengan adanya pembangunan perumahan, perbaikan ekonomi, mobilitas sosial masyarakat pribumi, telah menjurus pada pemisahan pemukiman berdasarkan kelas sosial. Daerah etnik diurus oleh orang yang di ambil dari ras yang sama. Penunjukan kampung Pecinan untuk orang-orang Cina yang terletak di sekitar Pasar Gedhe. Demikian pula halnya dengan orang-orang Arab, mereka diberi wilayah di sekitar Pasar Kliwon dengan pengurus seorang Arab dengan pangkat Kapten. Perkampungan untuk penduduk pribumi berpencar diseluruh kota. Selama pemerintahan Kolonial Belanda struktur sosial dari orang-orang

Eropa (terutama orang Belanda) merupakan status teratas dalam masyarakat.

Orang-orang Indo dan Timur Asing menduduki status menengah, dan orang-orang

Pribumi (bangsawan maupun rakyat kebanyakan) merupakan kelas terbawah. 36

Stuktur sosial ini juga berlaku di seluruh daerah kekuasaan Kolonial Belanda, termasuk daerah Praja Mangkunegaran.

Penduduk Praja Mangkunegaran seperti halnya dengan penduduk Jawa

Tengah dan sebagian besar Jawa Timur mayoritas berasal dari suku Jawa, dan beragama Islam hal ini sesuai dengan corak kerajaan yang ada di Jawa yaitu kerajaan Islam. Stratifikasi sosial masyarakat Surakarta secara hierarki terbagi dalam tiga kelompok sosial yaitu:

1. Sentana Dalem, meliputi raja dan keluarga raja.

2. Abdi Dalem, meliputi pegawai dan pejabat kerajaan.

3. Kawula Dalem, meliputi rakyat biasa.33

Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok sosial tertentu diperlukan dua kriteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seseorang yang mempunyai kriteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elit. Mereka yang diluar golongan itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan.34 Struktur penduduk di wilayah kota Mangkunegaran di bagi menjadi empat golongan dan memiliki peranan masing-masing, yakni: (1) Golongan

Bangsawan (Kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar Mangkunegoro, serta Sentana Dalem, (2) Golongan Pegawai Sipil

(Narapraja) terdiri dari Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan, (3)

Golongan Militer (Wirapraja) berdasarkan atas tingkat kepangkatan seseorang

33 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. Op.Cit. halaman 28.

34 Ibid.

37

yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah, dan (4)

Rakyat (Kawula) terdiri dari tukang-tukang, buruh industri perkebunan, tukang cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani .35 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di Praja Mangkunegaran.

C. Lingkungan Fisik Istana Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran dibangun pada masa Mangkunegara I, sebagai wujud hasil perjuangannya melawan pemerintah Kompeni Belanda. Pendirian keraton Mangkunegaran merupakan konsep mengenai pusat kekuatan kosmis yang dikelilingi oleh kekuatan makhluk hidup dan unsur alam semesta. Keraton didirikan berdasarkan “pangolahing budi”, yaitu pakarti lahiriyah dan pakarti batiniyah. Pakarti lahiriyah mengandung tuntunan bahwa manusia hidup dalam tingkah laku serta ucapan yang tidak menyimpang dari budi luhur. Pakarti batiniyah yakni dengan cara semedi, meditasi, atau bertapa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Hasil dari pangolahing budi disebut dengan budaya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa budaya keraton merupakan tuntunan hidup berdasarkan pangolahing budi.36 Filsafat politik Jawa menjelaskan bahwa negara paling padat di pusat ibukota dan kekuatan raja memancar sampai ke desa-desa.

Kekuatan itu ada karena seluruh kekuatan menjaga keraton dan kekuatan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan pada para penghuninya.

35 Th. M. Metz, op.cit. halaman 17.

36 Daryadi, Op.Cit. halaman 65, lihat juga, Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata. halaman 2. 38

Pura Mangkunegaran memiliki dua bangunan, yaitu bangunan utama berupa joglo atau limasan dan bangunan disekelilingnya didirikan berdasarkan arsitektur Belanda. Bangunan kedua digunakan sebagai asrama tentara kavaleri.

Bangunan yang ada di Pura Mangkunegaran, antara lain:

1. Pamedan yaitu halaman luas yang berfungsi sebagi tempat latihan militer

legiun Mangkunegaran.

2. Reksa Wahana yaitu sebagai tempat menyimpan kereta-kereta dan

memelihara kuda, terletak di sebelah kanan pamedan.

3. Pendopo Ageng yang terletak di tengah-tengah bangunan utama dan

merupakan tempat pertunjukan kesenian, menyimpan gamelan, dan

terutama sebagai tempat jamuan dan upacara-upacara resmi.

4. Pringgitan yang disebut juga sebagai beranda dalem, yang letaknya lebih

tinggi dari pendopo. Pringgitan ini berbentuk kutuk ngambang dan sering

dipakai untuk pertunjukan wayang, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat

menerima tamu.

5. Panetan merupakan jalan bagi kereta tamu dan terletak diantara pendopo

dengan pringgitan.

6. Dalem Ageng yaitu bangunan yang terletak di sebelah dalam pringgitan,

merupakan tempat diadakannya upacara-upacara resmi.

7. Dimpil merupakan tempat pemujaan nenek moyang dan menyimpan

pusaka.

8. Bale Warni merupakan tempat tinggal permaisuri dan putri-putrinya.

9. Pracimasana merupakan tempat untuk menerima tamu sehari-hari dan

tempat tinggal keluarga Pura Mangkunegaran. 39

10. Bale Peni merupakan tempat tinggal Mangkunegoro dan menerima tamu

laki-laki.

11. Purwosana yang terletak diseputar bale warni dan bale peni merupakan

tempat tinggal para wanita yang mempunyai hubungan keluarga dengan

Mangkunegoro yang sudah memerintah.

12. Panti Putra yaitu tempat tinggal putra-putra yang masih ada hubungan

keluarga dengan Mangkunegoro.

13. Prangwedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota calon pengganti

Mangkunegoro yang sedang memerintah. Letaknya diantara perkantoran

mandrapura dan panti putra.

14. Mandrapura merupakan perkantoran dimana semua pekerjaan yang

berhubungan dengan penataan dan pengaturan administrasi. Letaknya

diantara timur dan barat pendopo.

15. Reksa Pustaka yaitu perpustakaan yang terletak di sebelah timur pendopo.

BAB III

KABUPATEN KARTI PRAJA MASA MANGKUNEGARA VII

A. Riwayat Hidup Mangkunegara VII

1. Masa Kanak-kanak hingga Dewasa

Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara VII yang pada masa kecilnya bernama Bendara Raden Mas (B.R.M) Soeryo Soeparto adalah anak yang ketujuh dan putra yang ketiga dari Mangkunegara V. BRM

Soeryo Soeparto dilahirkan dari rahim seorang garwa ampil yang bernama R.R

Poernamaningrum pada tanggal 12 November 1885.1 Ia dilahirkan didalam lingkungan bangunan Istana Mangkunegaran yang besar dan megah.

Sewaktu kecil perlu diketahui bahwa ketika B.R.M Soeryo Soeparto statusnya sudah diberikan kepada pamannya yaitu adik dari Mangkunegara V yang bernama R.M. Soenito.2 RM Soenito ini kemudian menggantikan kedudukan kakaknya menjadi Mangkunegara VI. Pada masa ini Praja Mangkunegaran dapat dikembangkan mengikuti gaya dan cara yang baru serta pribadi Mangkunegara VI yang tidak meninggalkan pola hidup yang lama. Masa ini pula keadaan Praja mengalami kecerahan sehingga Mangkunegaran tidak hanya dikenal oleh kerabat

Mangkunegaran saja melainkan juga banyak dikenal dikalangan masyarakat luas.

1 Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Mengenang BRM. Soerya Soeparto. Surakarta: Rekso Pustoko. halaman 5.

2 Theresia Suharti, 1990. ”Tari di Mangkunegaran ( Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dimensi kultural 1910-1988)”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta, halaman 35.

40 41

Soeparto dibawah asuhan pamannya tumbuh menjadi orang yang rajin, tidak pernah manja, bahkan menunjukan sifat yang mandiri. Hal ini tampak pada penampilannya serta pola hidup sehari-hari yang senantiasa bersahaja dan tidak pernah menunjukkan kesombongan, lebih-lebih yang berkaitan dengan status dirinya sebagai putra seorang Pangeran atau penguasa sebuah pemerintahan.

Sepeninggal ayahnya sendiri yaitu Mangkunegara V, muncul keprihatinan dalam dirinya untuk lebih mendorng semangat belajar, sehingga dalam usia 15 tahun studi Europe Lagere School berhasil dijalani dengan hasil yang menggembirakan.3

Dengan keberhasilannya itu Soeparto kemudian mengajukan permohonan kepada pamannya, meminta izin untuk melanjutkan belajar akan tetapi permohonannya tidak dipenuhi pamannya dengan anggapan bahwa seorang Pangeran tidak perlu berbuat seperti itu.4 Hal inilah yang menjadi dasar bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai modal kesiapan dalam menghadapi perjuangan hidup. Suatu masa depan yang yang lebih baik sangat didambakannya daripada suatu kehidupan kehidupan santai dan tak bermakna.

Permohonan Soeparto yang tidak dipenuhi pamannya membuat Soeparto meninggalkan kehidupan Istana dengan maksud untuk mencari pengalaman.

Tindakan itu dilakukannya atas rasa tanggung jawab untuk menentukan sendiri jalan hidupnya. Bermula dari sebagai pegawai magang, kemudian dalam waktu yang tidak begitu lama Soeparto bisa menjadi mantri di Kabupaten Demak5,

3 Ibid. halaman 35.

4 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 9.

5 Ringkesan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A Mangkunegoro VII, 2007. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 1.

42

dengan usahanya yang keras Soeparto mendapat kesempatan memperdalam ilmu pengetahuan yang ditekuninya secara sungguh-sungguh. Merasakan penderitaan dan pengalaman hidup diluar istana menimbulkan kepekaan terhadap lingkungan sosial yang tentu saja akan mempengaruhi pandangan hidup dan sikapnya dikemudian hari.

Pengalaman bekerja Soeparto berkelanjutan ketika dirinya menjadi pembantu Residen Surakarta, yang pada saat itu sebagai penterjemah dari bahasa

Jawa ke dalam bahasa Belanda.6 Pekerjaan itu nampaknya memberikan harapan akan kehidupan masa depan yang lebih baik serta lebih banyak mengetahui dan mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi pada bangsanya. Soeparto adalah orang yang tak dapat berpangku tangan, ia masih sempat memberi perhatian terhadap kesadaran rakyat yaitu dengan jalan membantu dan mendukung Boedi Oetomo cabang Solo (Jawa Tengah) dalam wujud propaganda yang dituangkannya dalam harian berbahasa Jawa Darma Kandha, bahkan

Soeparto pernah menjadi ketua pengurus Boedi Oetomo pusat sehingga ia dikenal sebagai propagandis yang rajin, bermutu dan patut dipuji.7

Berkat ketekunannya, Soeparto bisa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kesempatan pendidikan ke Universitas Leiden di negeri Belanda dengan maksud untuk menambah pengalaman serta memperluas pandangan- pandangan dengan mengikuti kuliah bidang Sastra Timur. Soeparto juga mengikuti latihan kemiliteran sebagai pasukan cadangan. Ketekunannya dalam melaksanakan tugas serta menunjukkan kerajinan selama pendidikan maka dalam

6 Theresia Suharti, op. cit., halaman 37.

7 Bernardial Hilmiyah M.D, op. cit., halaman 20.

43

waktu beberapa bulan saja Soeryo Soeparto sudah mendapatkan pangkat Letnan

Dua.8 Sekembalinya dari negeri Belanda, Soeparto tidak lagi bekerja sebagai penterjemah pribumi, melainkan diberi kedudukan yang mempunyai nilai tanggung jawab tinggi yaitu sebagai ajudan kontelir untuk urusan agraria dibawah naungan Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918).9 Soeparto tetap selalu menunjukkan sifat kesederhanaan dalam hidupnya. Kehidupannya memberi kesan bersahaja dan menunjukkan kemauan yang keras dalam bekerja. Beliau bersungguh-sungguh memikirkan pekerjaan demi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kehidupan seperti ini sangat berbeda sekali dengan kehidupan didalam istana yang bersifat mewah, enak, santai, dan sebagainya.

2. Sekilas Masa Pemerintahan Mangkunegara VII

Pada tahun 1916 ketika Soeryo Soeparto berusia 31 tahun diangkat sebagai

Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwedana VII di Istana Mangkunegaran

Surakarta. Jabatan Prangwedana merupakan jabatan sebagai calon pemimpin pemerintahan istana Mangkunegaran yang biasa dipakai sebelum menggunakan sebutan Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara VII karena usia untuk memegang jabatan itu beliau harus berusia 40 tahun.10 Sejak

Mangkunegara VII bertahta yang perlu diperhatikan diperhatkan bahwa pada waktu itu penguasa sebelumnya, Mangkunegara VI belum wafat. Hal ini perlu

8 Ibid, halaman 19.

9 G.D. Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. halaman 92.

10 G.P. Rouffaer, Vorstenlanden. Terjemahan R. Tg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. halaman 24

44

diketahui bahwa oleh karena suatu alasan yang tidak pasti Mangkunegara VI mengundurkan diri dari kursi tahta penguasa dan beliau menjalani masa tua yang tentram di Surabaya.11

Naiknya tahta menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Harya

Mangkunegara VII tampaknya menjadi suatu kenyataan dari harapan teman- teman dekatnya waktu beliau masih menyandang nama Soeryo Soeparto. Salah satu bukti dari kenyataan itu adalah bahwa dirinya banyak disebut sebagai raja

Jawa yang modern, demokratis, berpendirian kuat, serta suka berbuat untuk rakyat. Pendirian yang kuat pada kenyataannya memang sudah dilatihnya melalui beberapa pengalaman dalam perjalanan hidupnya sehingga bisa membentuk kepribadian yang kuat. Mangkunegara VII selama hidupnya dan selama menjadi raja senantiasa bertindak sesuai dengan semboyan mengabdi, sehingga menjadi contoh yang nyata bagi seluruh rakyatnya dan bagi siapa saja yang mengenalnya.

Setelah penobatannya, wakil pemerintah Belanda menekankan kepada

Mangkunegara VII untuk memperhatikan dan memperbaiki nasib petani atau rakyat kecil, hal ini karena keadaan kehidupan rakyat kecil pada zamannya sangat memprihatinkan.12 Mangkunegara VII dengan kecermelangan pemikirannya maupun kebesaran hatinya diharapkan mampu melakukan tindakan-tindakan yang bijaksana. Mangkunegara VII tidak saja memperhatikan nasib orang kecil tetapi juga kemakmuran rakyat pada umumnya yang merupakan dasar yang nyata untuk dapat membuat hidup senang bersama-sama dengan golongan-golongan rakyat yang lebih tinggi tingkatannya.

11 Bernardial Hilmiyah M.D, op. cit., halaman 28.

12 A.K. Pringgodigdo, 1987, Sejarah Perusahaan-perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Surakarta: Reksa Poestaka Mangkunegaran. halaman 286.

45

Pada tanggal 6 September 1920, Mangkunegoro VII menikah dengan putri Hamengkubuwono VII, yang bernama Gusti Kangjeng Ratu Timur.13

Perkawinan ini dilakukan sebagai gagasan untuk memulihkan keretakan historis dan membawa dampak positif serta memperkuat stabilitas politik antara kedua

Swapraja yang dimulai sejak perselisihan antara Mangkubumi (Kasultanan

Yogyakarta) dan R.M Said (Pura Mangkunegaran).

Selama pemerintahan Mangkunegara VII selalu menunjukkan hal-hal yang positif dan melakukan kewajiban dengan penuh dedikasi. Dalam memerintah

Praja, dianggapnya sebagai tugas yang luhur dengan harus mengerahkan semua pengetahuan dan ketrampilan. Soeryo Soeparto mempunyai pandangan mensejahterakan Praja merupakan tugas suci karena tidak saja menyangkut kesejahteraan jasmani melainkan juga kesejahteraan rohani serta kesejahteraan moral. Beliau merasa pemerintahannya harus dapat dipertanggungjawabkan pada

Tuhan Yang Maha Esa. Ketika di masa pemerintahnnya terjadi adanya perubahan sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda bahkan di Praja

Mangkunegaran, beliau bertindak dan selalu berfikir secara bijak terhadap apa yang akan dilakukannya. Perubahan sosial politik menyangkut kebijaksanaan negeri Belanda terhadap daerah jajahan, munculnya organisasi-organisasi kebangsaan dan sikap Sunan terhadap keberadaan Mangkunegaran. Selain itu, perubahan sosial budaya ditandai dengan semakin meresapnya faham dan gagasan-gagasan barat dalam masyarakat Jawa.14

13 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, op.cit. halaman 4.

14 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 95.

46

Hubungan Mangkunegara VII dengan pemerintah Hindia Belanda bersifat kooperatif, dengan hubungan yang baik itulah dapat membantu dan mempermudah pelaksanaan pembaharuan-pembaharuan di dalam Praja dengan tujuan mensejahterakan rakyatnya. Tampak jelas bahwa di dalam dirinya berjiwa kerakyatan dan terbukti Mangkunegara VII telah mempelajari, merasakan kehidupan rakyat jelata dalam masa pengembaraannya.

Kesejahteraan penduduk Praja Mangkunegaran mendapat perhatian penuh dari Mangkunegara VII yaitu dengan cara memajukan negara, meningkatkan derajat bangsa, dan meningkatkan taraf hidup rakyat kecil. Pada masa pemerintahnnya diadakan pengeluaran untuk pembaharuan membangun jembatan, jalan, bangunan irigasi, memberantas penyakit pes, mendirikan rumah pegawai, mengadakan perbaikan peternakan, pembangunan proyek air minum untuk ibukota, pendirian sekolah-sekolah dan penyelenggaraan kursus pertanian, perluasan perpustakaan kerajaan dan sebagainya. Setiap tahun pada hari peringatan pelantikannya beliau mengumpulkan anggota keluarganya, pegawai, perwira, dan tamu dari kalangan rakyat dan memberikan wejangan kepada mereka sambil menguraikan rencana kerja untuk mengadakan perbaikan lanjutan pada tahun selanjutnya.15 Mangkunegara VII lebih memusatkan perhatian pada beberapa hal seperi pembangunan jalan-jalan baru dan jembatan, membuka tanah dan daerah-daerah yang masih terpencil agar ikut serta dalam lalu lintas ekonomi.

Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan keuangan Praja. Pemerintah Praja menyerahkan segala pembaharuan

15 G.D. Larson, op.cit., halaman 102.

47

dalam bidang pembangunan jalan, jembatan dan sarana umum lainnya kepada

Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum), meskipun dalam perkembangannya dinas ini pada tahun 1934 dilakukan penggabungan dengan dinas lainnya (dinas irigasi atau kabupaten Sindumarta) dengan tujuan penghematan anggaran akibat dari terjadinya krisis ekonomi dunia. Pada masa pemerintahannya, Mangkunegara VII melakukan pembaharuan meliputi segala bidang dan tidak lupa dirinya juga melakukan pembaharuan di bidang Birokrasi

Pemerintahan. Pembaharuan-pembaharuan ini dilakukannya hanya karena

Mangkunegara VII menginginkan seluruh rakyat Praja Mangkunegaran bisa menikmati modernisasi yang dilakukan.

B. Perkembangan Kabupaten Karti Praja

Struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk mengatur jalannya pemerintahan dengan salah satu ciri adanya hierarki jabatan antara atasan dan bawahan yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan struktur organisasi atau birokrasi merupakan sistem untuk melaksanakan keputusan dan kebijakan.

Struktur birokrasi di Praja Mangkunegaran terdiri atas birokrasi yang berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan birokrasi yang bedasarkan jabatan (lembaga). Bentuk birokrasi tersebut mempunyai unsur-unsur yang berakar pada budaya politik kejawen yang diwarnai dengan sifat-sifat yang masih tradisional. Hubungan atasan dan bawahan bersifat paternalistik yang dikenal dengan patron dan klien, hubungan antara pejabat dengan rakyat yang dipimpinnya. Patron adalah gusti dan klien adalah kawula. Penggolongan tersebut didasarkan dari segi pertuanan dan penghambaan dari kawula terhadap gusti dan tidak didasarkan pada segi ekonomis

48

atau keunggulan kelahiran. Adanya konsep golongan ini hak dan kewajiban antar kedudukan telah ditakdirkan.

1. Struktur Jabatan dalam Pemerintahan Praja Mangkunegaran

a. Birokrasi berdasarkan Pangkat (Kekuasaan)16

Birokrasi di Praja Mangkunegaran berdasar pangkat atau kekuasaan merupakan susunan kepangkatan mulai pangkat tertinggi sampai terendah dari kekuasaan yang dipegangnya.

Bagan I. Struktur Birokrasi Berdasarkan Pangkat

Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran)

Bupati Patih

Bupati

Wedana

Kaliwon

Panewu

Mantri

Lurah

Bekel

Jajar

16 Serat Wewatoning Para Abdi dalem ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa tahun, Surakarta: Reksa Puataka Mangkunegaran. Lihat juga, Hari Nur Prasinta, 2009, “Kabupaten Martanimpoena Di Praja Mangkunegaran Tahun 1942-1947”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, halaman 41.

49

1). Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran)

Jabatan ini merupakan jabatan penguasa Praja dan menduduki

puncak hierarki dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya

(K.G.P.A.A).

2). Bupati Patih

Jabatan Patih di Mangkunegaran dipegang oleh seorang Bupati yang

langsung dibawah dan diangkat oleh Adipati Mangkunegaran. Bupati

Patih merupakan pelaksana pertama perintah dari penguasa atau Adipati.

3). Bupati

Bupati adalah jabatan yang menguasai Kadipaten. Kedudukannya di

bawah kontrol penguasa Bupati Patih Mangkunegaran.

4). Wedana

Wedana bertugas melaksanakan perintah dari Bupati secara

operasional. Kawedanan merupakan wilayah kekuasaannya.

5). Kaliwon

Kaliwon mempunyai tugas meneruskan perintah dari wedana kepada

pejabat dibawahnya. Kedudukan Kaliwon dibawah wedana dan diangkat

langsung oleh bupati.

6). Panewu

Panewu adalah jabatan dibawah kaliwon dan harus bertanggung

jawab kepada jabatan diatasnya. Wilayahnya disebut Kapanewon.

7). Mantri

Mantri mempunyai tugas menyampaikan perintah dari Panewu

kepada pejabat dibawahnya.

50

8). Lurah

Lurah bertugas menerima perintah dari Kadipaten yang diterima dari

mantri untuk diteruskan kepada pejabat dibawahnya. Di Praja

Mangkunegaran pangkat lurah dijabat oleh Demang dan Rangga.

Demang mempunyai tugas mengurusi pekerjaan di tingkat desa

bawahannya. Rangga mempunyai tanggung jawab pada baik buruknya

wilayah bawahannya.

9). Bekel

Bekel bertugas sebagai penerus perintah dari Lurah kepada pejabat di

bawahnya dan bekel bertanggung jawab pada pelaksanaan tugas-tugas di

desa.

10). Jajar

Jajar adalah jabatan paling rendah dalam birokrasi dan pelaksana

perintah dari jabatan di atasnya yaitu dari Bekel.

Para pegawai tersebut ada yang bertempat di dalam kota Mangkunegaran dan pegawai lainnya ada yang berada di daerah atau desa. Adipati dan Bupati patih bertempat di dalam istana. Bupati ditempatkan di Kabupaten, sedangkan yang lainnya seperti Wedana, Kaliwon, Mantri, Lurah, Bekel, dan Jajar berada di daerah-daerah atau kelurahan, mereka merupakan pegawai yang tugasnya berdekatan dengan rakyat.

51

b. Birokrasi Berdasarkan Jabatan (lembaga)17

Birokrasi berdasarkan jabatan (lembaga) adalah susunan jabatan dalam pemerintahan Praja Mangkunegaran dan susunan dinas-dinas perkantoran di Praja

Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegara VII dilakukan pembaharuan- pembaharuan dalam organisasi pemerintahan yang dimuat dalam Rijksblad no.37 tahun 1917 kemudian disusul dengan Rijksblad no.10 tahun 1923. Di dalam

Rijksblad dengan kedua Pranatan itu telah terjadi perubahan dalam struktur birokrasi dan jabatan-jabatan yang ada di dalamnya. Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh jero pada struktur birokrasi dari masa pemerintahan Mangkunegoro IV dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah menjadi Kabupaten

Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten Mandrapura,

Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja, Kawedanan

Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat

I menjadi penewu, dan seterusnya.18

Ketiga, adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti dengan jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus

17 Honggopati Tjitrohoepojo, 1930, Serat Najakatama, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, halaman 58-61 dan Wasino, op.cit. hal 11

18 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1923 No. 10.

52

yakni: Reksa Praja, Reksa Wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana.

Keempat, jabatan-jabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja

Mangunegaran yang telah mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna,

Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti,

Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun.19

Adapun struktur birokrasi berdasarkan jabatan di Praja Mangkunegaran dan tugas-tugasnya yang telah mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan

Mangkunegoro VII adalah sebagai berikut:

1). Kabupaten Hamong Praja (Pemerintahan Pusat)

Dinas ini dibawah pejabat Bupati Patih. Kedudukan dinas ini sebagai pemerintah pusat yang mengawasi segala kegiatan praja.

2). Kabupaten Pangreh Praja (Pemerintah Dalam Negeri)

Dinas ini dibawah pejabat Bupati pangreh Praja yang mengurusi kepangreh-prajaan dan kepolisian.

3). Kabupaten Mandrapura (Dinas Istana)

Dibawah pejabat Kaliwon, yang berugas menangani segala masalah didalam istana.

4). Kabupaten Parimpoena (Dinas Pasar)

19 Wasino, op.cit. halaman 113-114.

53

Dinas ini di bawah pejabat seorang Kaliwon, yang tugasnya menangani masalah pasar. Didirikan tahun 1917, dinas ini pembentukannya berada dibawah

Kabupaten Marta Praja sejajar dengan Kabupaten Martanimpoena.

5). Kabupaten Karti Praja (Dinas Pekerjaan Umum)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat Direktur, dengan tugasnya mengurusi bidang pekerjaan umum atau sebagai pelaksana pembangunan di Praja Mangkunegaran.

6). Kabupaten Sindumarta (Dinas Irigasi Mangkunegaran)

Dinas ini dipimpin seorang inspektur dengan pangkat chef yang tugasnya mengurusi bidang pengairan di Praja Mangkunegaran

7). Kabupaten Wanamarta (Dinas Kehutanan Mangkunegaran)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat Opperhoutvester

(kepala hutan) yang tugasnya mengurusi masalah hutan dan seorang pegawai yang bertugas sebagai pengawas (controleur).

8). Kabupaten Jogiswara (Keagamaan)

Dinas ini dikepalai seorang Wedana (pegulu), yang tugasnya mengurusi bidang keagamaan.

9). Kabupaten Kartahusada (Perusahaan Mangkunegaran)

Dinas ini dikepalai oleh orang Belanda berpangkat superintendent yang mempunyai tugas mengurusi perusahaan milik Praja Mangkunegaran.

10). Kabupaten Sinatriya

Dinas ini dibawahi seorang Wedana yang bertugas mengurusi putra sentana.

11). Pemerintahan Bidang pertanahan

54

Dikepalai seorang Kaliwon yang tugasnya mengatur masalah tanah.

12). Pemerintahan Kedokteran

Dikepalai seorang Dokter dengan sebutan Arts, yang bertugas menjaga kesehatan bagi para putra maupun para narapraja.

13). Pemerintah Martanimpoena

Dinas ini dikepalai serang Kaliwon yang bertugas memeriksa dan meningkatkan pemasukan uang Praja.

14). Pemerintah Legiun

Dinas ini dikepalai seirang Letnan Kolonel kebangsaaan Belanda yang bertugas mengurusi bidang keprajuritan.

15). Paprentahan Pasinaoan Dusun

Dikepalai seorang pejabat utusan Gupremen sebagai pengawas sekolah yang tugasnya mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.

2. Struktur Organisasi Kabupaten Karti Praja

a. Pendirian

Praja Mangkunegaran sebagai daerah swapraja yang mempunyai kewenangan untuk mengurus sendiri administrasi pemerintahannya diluar bidang hukum dan kepolisian maka di daerah ini tidak terdapat Departemen Pekerjaan

Umum pemerintah Hindia Belanda ( Departemen van Burgerlijke Openbare

Werken/BOW ) sebagai departemen teknis pemerintah bagian pengairan dan sipil pekerjaan umum.

Pemerintah Praja Mangkunegaran mempunyai departemen atau dinas pekerjaan umum Karti Praja. Karti berarti pekerjaan, Praja berarti negara. Dinas

55

pekerjaan umum Karti Praja mempunyai tugas untuk mengelola dan membangun proyek pekerjaan berkaitan dengan sarana irigasi, jembatan, jalan, bangunan pasar, dan taman di seluruh wilayah Praja terutama di negara atau ibukota

Mangkunegaran dan daerah-daerah sekitarnya. Dinas Pekerjaan Umum

Mangkunegaran sudah ada sejak masa pemerintahan Mangkunegara IV, yang pada mulanya bernama Kawedanan Karti Praja yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan di dalam kota dan di luar kota. Akan tetapi, Kawedanan ini terjadi perubahan nama menjadi Kabupaten Karti Praja. Hal ini berkaitan dengan perubahan pada tahun 1917 yaitu status kawedanan-kawedanan yang merupakan lembaga-lembaga pemerintahan yang penting milik Mangkunegaran menjadi bentuk kabupaten atau dinas. Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran yang disebut Kabupaten ini khusus menangani dan melakukan pekerjaan dibidang sarana-sarana umum di Praja Mangkunegaran.

b. Peralihan Organisasi Kabupaten Karti Praja

Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran atau Kabupaten Karti Praja telah melakukan berbagai pembangunan yang digunakan untuk kepentingan umum.

Pada masa Mangkunegoro VII, dinas ini telah banyak mengerjakan beberapa fasilitas-fasilitas umum yang bermanfaat bagi rakyat Mangkunegaran. Menurut perkembangannya, mulai tahun 1934 terjadi penggabungan antara Dinas Irigasi

(Kabupaten Sindumarta) dengan Dinas Pekerjaan Umum (Kabupaten Karti

Praja) menjadi sebuah lembaga pemerintahan baru yang disebut Kabupaten

Sindupraja (Rijkswaterstaat).20 Penggabungan ini ada kaitanya dengan makin

20 Muzaini, 1996. “Pembangunan Irigasi Di Praja Mangkunegaran (1916-1942)” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 65.

56

menipisnya keuangan Praja sebagai akibat krisis ekonomi dunia yang sangat memukul dari sektor perkebunan pada fluktuasi harga komoditi di pasar dunia dan mempengaruhi sumber pendapatan Praja yang pada waktu sebelumnya merupakan keuntungan dari operasi perkebunan milik Praja Mangkunegaran.

Pemerintah Praja Mangkunegaran lebih bersikap realistis terhadap kondisi yang seperti itu, dengan mengurangi pembangunan-pembangunan yang berskala besar sehingga pemerintah Praja mampu melakukan penghematan anggaran dari penggabungan kedua dinas tersebut. Mulai saat itu Praja Mangkunegaran lebih banyak melakukan kegiatan pemeliharaan dan pemanfaatan jika dibandingkan dengan mengadakan proyek pembangunan baru.

Kabupaten Sindupraja mempunyai beberapa tugas yang berkaitan dengan urusan pekerjaan umum dan irigasi. Tugas-tugas itu sebagai berikut:

1. Pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan dan pelurusan jalan, jembatan, dan pembelian material yang digunakan.

2. Assainering atau perbaikan di bidang kesehatan umum, baik di ibukota atau di daerah-daerah lainnya.

3. Irigasi (pengairan) yang meliputi sawah-sawah dan pengeringan tanah dalam arti urusan pembuangan airnya dan penanggulangan banjir, terutama di kota Mangkunegaran.

4. Pembangunan dan pemeliharaan gedung-gedung pemerintah.

5. Pemadam kebakaran.

6. Penerangan untuk jalan-jalan di kota dan perkampungan.

7. Pemasangan air leiding atau air minum di Wonogiri, Jatisrono, dan

Tawangmangu.

57

8. Perikanan.

9. Urusan lain-lain.21

c. Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja

Struktur kepegawaian Kabupaten Sindupraja disesuaikan dengan tugas- tugas yang harus dilaksanakan. Proses pengangkatan dan penggajian, para pegawai diangkat dan diberhentikan oleh pihak pemerintah Praja. Para pegawai dan petugas di dalam kantor dinas pemerintahan ini dikelompokkan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Mereka ditempatkan berada di kantor pusat yaitu Kota

Mangkunegaran dan ada yang bertugas di kantor daerah yaitu di wilayah

Wonogiri dan Karanganyar.

Bagan II. Struktur Pegawai Kabupaten Sindupraja

21 Th. M. Metz, 1939. op.cit., halaman 56.

58

Direktur Sindupraja

Teknisi Pegawai Urusan Pembukunan

Pengawas Dinas Umum Urusan Pembukuan Pusat Urusan Pembukuan Daerah 1 Orang Pembantu Pengawas Pekerjaan 1 Orang Pegawai Pembukuan 2 Orang Juru Tulis

1 Orang Mantri Juru Borong

1 Orang Mantri Pembukuan 3 Orang Pembantu Juru Tulis

2 Orang Juru Borong-Juru Gambar 2 Orang Juru Ketik

2 Orang Juru Borong 4 Orang Juru Tulis

Petugas Keamanan

Penjaga Malam

Sumber: Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 246-248. Lihat juga Muzaini, 1996. “Pembangunan Irigasi di Praja Mangkunegaran (1916-1942)” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 66-68.

Berdasarkan bagan I di atas, di kantor pusat terdapat Direktur Sindupraja atau Rijkswaterstats. Pegawai ini mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam urusan pekerjaan umum dan irigasi. Dibawah Direktur Sindupraja terdapat pegawai dan beberapa petugas antara lain: (1) Para Teknisi yang bertugas

59

melakukan perencanaan dan pembangunan proyek-proyek pekerjaan umum dan irigasi. Selain juga juga terdapat pegawai yaitu seorang Pengawas Dinas Umum, seorang Pembantu Pengawas Pekerjaan, seorang Mantri Juru Borong, 2 orang

Juru Borong-Juru Gambar, dan 2 orang Juru Borong. Para pegawai ini banyak melakukan persiapan-persiapan pembangunan proyek-proyek pekerjaan umum dan pada tahun-tahun itu persiapan untuk proyek-proyek irigasi hanya sedikit sekali jumlahnya.

(2) Para pegawai dan petugas urusan pembukuan, dibagi dua kelompok kerja yaitu urusan pembukuan pusat dan urusan pembukuan daerah. Petugas di kantor pusat terdapat seorang Pegawai Pembukuan, sorang Mantri Pembukuan, 2 orang Juru

Ketik, dan 4 orang Juru Tulis. Di samping itu, di kantor pusat terdapat seorang

Petugas Keamanan dan seorang Penjaga Malam. Adapun para pegawai dan petugas urusan pembukuan di kantor daerah adalah 2 orang Juru Tulis, dan 3 orang Pembantu Juru Tulis.

Bagan III. Struktur Pegawai kantor Kabupaten Sindupraja Daerah Wonogiri

60

Kepala Bagian Kepala Seksi Pengawas Pengawas Wonogiri 3 Orang Pembantu Pengawas

1 Orang Juru Borong-Juru Urusan Pembukuan Gambar Daerah

1 Orang Mantri Pengairan

5 Orang Mandor Kepala Urusan Pengelolaan dan Pemeliharaan

23 Orang Mandor

Sumber: Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka, halaman 246-248. Lihat juga Muzaini, 1996. “Pembangunan Irigasi di Praja Mangkunegaran (1916-1942)” Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 66-68.

Para pegawai Kabupaten Sindupraja dikelompokkan sesuai dengan tugas di kantornya. Kantor daerah Wonogiri juga terdapat para pegawai dan petugas untuk Kabupaten Sindupraja yang mengurusi pekerjaan umum dan irigasi.

Berbeda dengan yang terdapat di Kota Mangkunegaran atau pusat para pegawai dan petugas hanya menangani urusan pekerjaan umum. Berdasarkan bagan II, susunan pegawai daerah Wonogiri terdapat seorang Kepala Bagian Pegawas

Wonogiri, dan Kepala Seksi Pengawas Wonogiri. Pegawai tersebut bertugas melakukan koordinasi dalam urusan pekerjaan umum dan irigasi. Pegawai kepala

61

ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu beberapa teknisi yaitu 3 orang

Pembantu Pengawas, dan seorang Juru Borong-Juru Gambar, yang bertugas melaksanakan perencanaan dan pembangunan proyek-proyek pekerjaan umum dan irigasi, dibantu oleh para pegawai dan petugas dalam urusan pembukuan daerah. Selain itu juga terdapat pegawai dan tenaga yang menangani pengelolaan dan pemeliharaan irigasi didaerah khusus Wonogiri yaitu terdapat seorang Mantri

Pengairan, 5 orang Mandor Kepala, dan 23 orang Mandor.

BAB IV

PERANAN KABUPATEN KARTI PRAJA BAGI

PERKEMBANGAN PRAJA MANGKUNEGARAN

Setelah Mangkunegara VII berhasil menduduki kursi penguasa dan berhasil melakukan pembenahan birokrasi pemerintahan dan pengelolaan keuangan Praja, kondisi pemerintahan Praja menjadi lebih baik. Kondisi yang demikian membuat pemerintah Praja Mangkunegaran berusaha untuk melakukan pembangunan-pembangunan dalam bidang lainnya di luar sektor pemerintahan.

Adapun pembangunan-pembangunan itu dilaksanakan antara lain pembangunan dalam bidang infrastruktur, pembangunan bidang sosial, pembangunan bidang kesehatan, dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Pelaksanaan pembangunan dibeberapa bidang tersebut pelaksanaannya diatur oleh Dinas Pekerjaan Umum

Mangkunegaran.

Praja Mangkunegaran telah berusaha sendiri dalam mengadakan pembaharuan dan pembangunan di wilayahnya, namun para penguasa

Mangkunegaran masih terikat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sehubungan hal itu, banyak pembangunan yang dilaksanakan di Praja Mangkunegaran masih mendapat bantuan atau bimbingan dari Pemerintah Kolonial. Hal semacam ini sejalan dengan strategi politik dari pengageng Mangkunegaran yang memilih jalan menganut politik dekat dengan Belanda yang tujuannya untuk kelangsungan kerajaannya. Terbukti dengan strategi itu Praja Mangkunegaran mampu bertahan sampai runtuhnya Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

62 63

A. Pembangunan Bidang Infrastruktur

1. Pembangunan Jalan dan Jembatan

Pembangunan sarana dan infrastruktur menjadi langkah awal

Mangkunegara VII melaksanakan kebijakan pembangunan dengan menambah sarana perhubungan yang berupa pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunan ini dilakukan karena Praja Mangkunegaran jika ditinjau dari segi teknik lalu lintas terletak pada kondisi yang kurang baik dengan ibukotanya menjadi salah satu titik persilangan jalur-jalur kereta api terpenting di pulau Jawa. Jalur kereta api SS

( Staats Spoorwegen ) dari Jakarta, Bandung ke Surabaya lewat Yogyakarta dan

Surakarta, dan NIS ( Nederlandsch Indische Spoorweg ) dari Semarang ke

Yogyakarta melalui Surakarta.1 Keadaan lalu lintas yang kurang menguntungkan, mengharuskan Praja untuk memusatkan perhatiannya pada pembaharuan jaringan jalan raya dengan maksud membuka daerah demi kelancaran lalu lintas, karena dengan lalu lintas yang lancar membawa proses pembangunan di Praja

Mangkunegaran menjadi lebih cepat. Pelaksanaan pembangunan jalan dan jembatan oleh pemerintahan Praja diserahkan seluruhnya kepada Kabupaten Karti

Praja (Dinas Pekerjaan Umum Kerajaan).

Pada tradisi pemerintahan sebelum masa Mangkunegara VII, raja kurang memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan umum seperti pembangunan jalan.

Jalan-jalan dibuat dan dikerjakan hanya ala kadarnya dengan pemanfaatan tenaga kerja rodi. Masa Mangkunegara IV sekalipun kondisi ekonomi Praja mengalami surplus, kebijakan raja lebih mengalokasikannya untuk kepentingan istana.

1 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. halaman 68.

64

Bersamaan dengan munculnya Politik Etis pada awal abad XX mengharuskan pemerintah Praja Mangkunegaran memperhatikan kepentingan rakyatnya. Pada tahun 1912 pemeliharaan jalan dari Nambangan-Wonogiri-Kakap sampai perbatasan Pacitan yang semula pengerjaannya menggunakan tenaga rodi diganti dengan tenaga bayaran. Setelah Praja Mangkunegaran mempunyai dana yang cukup, kemudian melakukan perbaikan dan pemeliharaan jalan dari Palur-

Karanganyar-Karangpandan. Jalan-jalan tersebut diperbaiki karena dipergunakan untuk lalu lintas pengangkutan menuju Pabrik Gula Tasik Madu.2

Pembangunan jalan dan jembatan semakin intensif dilakukan ketika

Mangkunegara VII berkuasa. Pembangunan jalan dan jembatan yang dilaksanakan di daerah Wonogiri, mendapat perhatian penuh jika dibandingkan dengan daerah- daerah lain. Hal itu disebabkan di daerah Wonogiri masih banyak daerah yang terisolir dengan dunia luar. Pembangunan jalan yang terpenting adalah jalan dari

Wonogiri ke Jatisrono kemudian ke perbatasan Praja Mangkunegaran dengan

Madiun.3

Di daerah Karanganyar, jalan yang melewati Jumapolo dan jalan dari

Mojogedang ke Batujamus lewat Kemuning diperbaiki. Pembangunan jalan baru ke Tawangmangu juga dilakukan sehingga daerah ini menjadi sangat populer dengan pariwisatanya.4 Pada tahun 1922-1924 dibangun jalan dari Jurug-Palur dan tahun 1924-1927 dilakukan proyek pengaspalan jalan kota. Selain itu, perbaikan jalan dilaksanakan di daerah-daerah yang meliputi jalan di sepanjang

2 Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 208. 3 Wasino, ibid.,halaman 209.

4 Th. M. Metz, op.cit., halaman 70. 65

ibukota distrik Simo menuju Salam-Karanggede dengan membangun jembatan melalui Kali Butak dan Kali Cemoro. Perbaikan jalan kemudian dilanjutkan dari

Karanggagede melalui Wonosegoro sampai distrik Telawah (distrik Juwangi) dan pembangunan jembatan besar melalui Kali Serang.5

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan jalan dan jembatan tidak hanya di jalan-jalan utama (protokol) dan jembatan-jembatan besar saja, tetapi juga dilakukan daerah-daerah perkampungan, seperti mengadakan pelebaran jalan dan pengerasan jalan serta pembangunan jembatan yang menghubungkan antara kampung satu dengan kampung yang lainnya.6 Jalan perkampungan yang diperbaiki antara lain jalan di kampung Nayu, Bibis, dan

Gilingan. Perbaikan jembatan dilakukan di kampong Gondang dan Pringgading.

Pembangunan jalan dan jembatan merupakan hasil inspeksi berkuda

Mangkunegoro VII beserta perwira dan keluarga serta abdi dalem yang dilakukan secar teratur, sehingga ia mengetahui bagaimana keadaan jalan dan jembatan yang ada di kampung-kampung di kota Mangkunegaran.7

Usaha-usaha Mangkunegara VII dalam pembangunan jalan dan jembatan telah membawa hasil yang memuaskan. Sebelum tahun 1916 daerah

Mangkunegaran terdapat 433 km jalan kuda yang diperlebar, 60 km jalan yang tidak dikeraskan, dan 7 km jalan makadam (masih berbatu terjal). Kondisi ini

5 Nina Astiningrum, 2006. “Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret.halaman 89.

6 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka. Halaman 294.

7 Pernyataan R.M. Gondosubariyo, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Halaman 56.

66

mengalami perubahan ketika tahun 1931, terdapat 530 km jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor.8 Pada tahun 1931, Mangkunegara VII merencanakan pembangunan jalan aspal sepanjang 70 km, sehingga Praja untuk 20 tahun yang akan datang tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk pemeliharaan jalan tersebut. Akan tetapi karena waktu itu terjadi krisis, Praja melakukan penghematan anggaran keuangan sehingga pelaksanaan pembangunan itu menjadi terlambat. Pada tahun 1940, ketika situasi menjadi panas menjelang PD II, pembangunan jalan yang berskala besar sudah tidak dilakukan lagi di Praja

Mangkunegaran. Pembangunan jalan dan jembatan yang dilaksanakan oleh

Kabupaten Karti Praja pada pemerintahan Mangkunegara VII sangat besar pengaruhnya bagi kepentingan dan kemajuan Praja. Pembangunan infrastruktur ini ditujukan untuk menciptakan transportasi yang lancar dan untuk mempermudah masyarakat untuk bisa saling berinteraksi.

Pembangunan infrastruktur di Praja Mangkunegaran telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar yang semuanya disediakan untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur baru dimulai tahun 1918 (lihat tabel IV di bawah) dan terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan banyak sedikitnya pembangunan yang dilakukan.

8 Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, halaman 264 67

Tabel IV. Anggaran Pekerjaan Umum Praja Mangkunegaran 1916 – 1933 Anggaran Pekerjaan Umum Tahun Seluruh Anggaran Rutin Prosen Luar Biasa Prosen (f) (f) (%) (f) (%)

1916 4.251.573 - - - - 1917 5.558.264 - - - - 1918 2.917.022 462.056 15,84 662.820 15,59 1919 1.718.053 327.977 19,09 87.964 5,12 1920 2.275.889 417.853 18,36 117.208 5,15 1921 2.665.154 733.717 27,53 0 0 1922 2.419.294 389.990 16,12 151.931 6,28 1923 2.518.046 431.845 17,15 359.577 14,28 1924 2.514.353 458.115 18,22 275.070 10,94 1925 2.334.864 490.259 19,28 180.485 7,73 1926 2.542.837 489.242 19,24 171.896 6,76 1927 2.458.313 511.329 20,80 199.123 8,10 1928 3.745.767 550.628 14,70 179.797 4,8 1929 3.422.700 540.787 15,8 184.826 5,4 1930 2.910.000 723.350 18,5 336.260 8,6 1931 2.506.083 519.511 20,73 125.304 5,0 1932 2.218.446 435.481 19,63 59.454 2,68 1933 1.914.634 367.993 19,22 4.404 0,23

Sumber: Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis Jurusan Humaniora Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 213.

Berdasarkan tabel IV dapat dilihat bahwa anggaran luar biasa dari pekerjaan umum yang paling besar pada tahun 1918 yaitu sebesar 662.820 gulden, kemudian tahun 1923 dengan 359.577 gulden, dan tahun 1924 sebesar 275.070 gulden. Pada tahun-tahun itu anggaran luar biasa menjadi sangat besar dikarenakan tahun tersebut Praja Mangkunegaran sedang dilakukan pembangunan-pembangunan proyek besar yang berupa bangunan irigasi.

Anggaran mengalami penurunan sangat drastis setelah tahun 1932, hal ini sebagai 68

akibat terjadinya depresi ekonomi tahun 1933 yang memaksa pemerintahan Praja untuk melakukan penghematan penggunaan anggaran.

2. Pembangunan Irigasi

a. Pembangunan Waduk

Sejak pertengahan abad 19, di wilayah Praja Mangkunegaran mempunyai bangunan irigasi dalam hal ini adalah waduk. Pembangunan sarana irigasi ini hanya untuk kepentingan pengairan sawah-sawah di daerah perkebunan tebu untuk bahan dasar bagi pengolahan di pabrik Gula Colomadu dan pabrik Gula

Tasikmadu. Tujuan pembangunan waduk semata-mata untuk kepentingan pabrik gula dan sedikit bermanfaat bagi keperluan rakyat Mangkunegaran. Setelah

Mangkunegara VII memegang pemerintahan, pembangunan irigasi menjadi perhatian penuh dan merupakan kebutuhan yang penting bagi rakyatnya. Pada tahun pertama memegang jabatan, Mangkunegara VII mengemukakan bahwa pembangunan sarana irigasi menjadi prioritas utama yang akan dilaksanakan didalam pemerintahannya.9

Pembangunan-pembangunan irigasi ini memaksa Praja Mangkunegaran untuk mengeluarkan sejumlah uang yang dibiayai melalui anggaran Praja maupun bantuan langsung dari pabrik gula. Sejak tahun 1916 hingga tahun 1939 dikeluarkan sejumlah f .2.222.228,71 dan berhasil mengairi 20.446 ha. sawah, yakni 10.447 ha sawah di Kabupaten Wonogiri, 4.800 ha sawah di Kabupaten

Karang Anyar, dan 5.619 ha di areal Pabrik Gula Mangkunegaran.10 Pada Masa

9 Wasino, op.cit., halaman 199.

10 ibid., halaman 203.

69

Mangkunegoro VII telah dibangun lima buah waduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara lain:

Tabel V. Waduk-Waduk di Mangkunegaran

Nama Isi Luas Dalam Areal Keterangan Waduk (m³) (ha) (m) yang diairi (ha) Kedung 712.500 15,40 9,70 800 Dibangun th. 1917 Uling selesai th. 1918 Biaya pembangunan: f.142.650 Biaya Perbaikan: f.169.430 Plumbon 1.200.000 12,5 15 815 Dibangun th. (1918 – 1919), (1924 – 1929) Biaya Pembangunan: f. 93.500 + f. 271.500 = f. 365.000 Tirto 4.000.000 56,50 16 12.700 Dibangun 1920 – Marto 1924, biaya: f. 64.400 Cengklik 11.000.000 301,20 9 950 Dibangun 1930 – 1932, biaya f. 425.600 Jombor 400.000 16 4,50 2.300 Dibangun 1925 – 1926, biaya: f. 116.000 Sumber : R.M. Notodhiningrat, 1939. Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu. dalam Supplement Triwindoe GedenkboekMangkunegara VII. Surakarta; Rekso Pustaka.halaman 226.

Berdasarkan tabel V di atas dapat dilihat bahwa waduk-waduk dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918 dengan biaya pembangunan sebesar f 142.650, kemudian diperbaiki pada masa selanjutnya dengan biaya f 169.430. Waduk ini mempunyai luas 15,40 hektar dengan kedalaman rata-rata 9,70 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 hektar sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun 70

dalam dua tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929. Waduk ini mempunyai luas 12,50 hektar dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000 m³ air yang dapat mengairi 815 hektar sawah dengan biaya keseluruhan f 365.000.

(3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun 1920-1924 dengan biaya f 64.400.

Waduk ini luasnya 56,50 hektar dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi

4.000.000 m³ air yang dapat mengairi 12.700 hektar sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun pada tahun 1930-1932 dengan biaya f 425.600. Waduk ini luasnya 301,

20 hektar dengan kedalaman rata-rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 hektar sawah. (5) Waduk Jombor dibangun pada tahun 1925-1926 dengan biaya f 116.000. Waduk ini luasnya hanya 16 hektar dengan kedalaman

4,50 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,300 hektar sawah.

Mangkunegara VII menunjuk F.E. Wolf, seorang arsitek berkebangsaan

Belanda yang sebelumnya telah banyak merencanakan pembangunan bangunan- bangunan irigasi di Begelen untuk menata irigasi di wilayah Praja.11 Wolf melalui penyelidikannya berhasil memulai pembangunan-pembangunan proyek besar di

Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Kota Mangkunegaran dan Karanganyar.

Pada tahun 1926 Wolf berhenti dari jabatannya sebagai Pimpinan Dinas Irigasi

Kerajaan (Rijkswaterstaat) digantikan Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo. Ir. Sarsito lebih banyak menyelesaikan bangunan-bangunan lama, karena setelah krisis tahun

1930-an pendapatan Praja mengalami penurunan sehingga sudah tidak ada lagi pembangunan bendungan baru.

Untuk menopang biaya pembangunan irigasi dan sarana-sarana pendukungnya, telah dianggarkan dalam anggaran Praja Mangkunegaran setiap

11 Ibid., halaman 201. 71

tahunnya semenjak Mangkunegara VII memegang pemerintahan. Anggaran yang digunakan dalam pengelolaan urusan irigasi antara tahun 1916 - 1933 dapat dilihat pada tabel VI.

Tabel VI. Anggaran Irigasi Praja Mangkunegaran 1916 – 1933

Anggaran Irigasi Tahun Seluruh Anggaran Rutin Prosen Luar Biasa Prosen (f) (f) (%) (f) (%)

1916 4.251.573 580.764 13,66 0 0,00 1917 5.558.264 779.824 14,03 52.804 0,95 1918 2.917.022 83.426 2,86 322.331 11,05 1919 1.718.053 80.748 4,70 87.964 5,12 1920 2.275.889 86.938 3,82 153.623 6,75 1921 2.665.154 493.053 18,5 0 0,00 1922 2.419.294 123.626 5,11 291.767 12,06 1923 2.518.046 128.924 5,12 218.497 8,69 1924 2.514.353 139.547 5,55 210.703 8,38 1925 2.334.864 120.712 5,17 100.866 4,32 1926 2.542.837 139.602 5,49 133.499 5,25 1927 2.458.313 117.999 4,80 73.749 3,00 1928 3.745.767 142.339 3,80 52.441 1,40 1929 3.422.700 123.937 3,60 61.609 1,80 1930 2.910.000 142.590 4,90 61.110 2,10 1931 2.506.083 148.861 5,94 20.800 0,83 1932 2.218.446 154.182 6,95 21.741 0,98 1933 1.914.634 104.922 5,48 1.149 0,06

Sumber: Wasino, 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis Jurusan Humaniora Universitas Gajah Mada Yogyakarta. halaman 205.

Berdasarkan tabel VI dapat dilihat bahwa selain anggaran biasa atau anggaran rutin dari Dinas Irigasi Mangkunegaran, juga terdapat anggaran luar biasa atau anggaran pembangunan dan perbaikan. Anggaran luar biasa baru diadakan pada tahun 1917. Anggran luar biasa dibuat berdasarkan kemampuan keuangan Praja dan ada tidaknya pembangunan-pembangunan sarana irigasi di wilayah Praja Mangkunegaran. Ketika ada pembangunan irigasi dengan biaya 72

besar, maka anggaran luar biasa juga menjadi besar dan ketika ada pembangunan yang berskala kecil, anggaran luar biasa juga bernilai kecil. Pada tahun 1918 anggaran luar biasa menunjukkan nilai yang sangat besar sekali karena pada tahun itu sedang diadakan pembanguan Waduk Kedung Uling dan Waduk Plumbon.

Pada tahun 1921 anggaran luar biasa menunjukkan nilai terkecil karena di tahun tersebut tidak dilaksanakan pembangunan dalam bidang irigasi.

Anggaran luar biasa mengalami fluktuasi pada tahun 1922 sampai dengan

1926, dalam tahun-tahun tersebut dilaksanakan pembangunan waduk-waduk seperti Jombor, Plumbon, dan Tirtomarto. Anggaran luar biasa mengalami penurunan tahun 1931, dan akibatnya banyak rencana pembangunan sarana-sarana irigasi yang baru dimulai tidak dapat dilaksanakan. Penurunan ini sebagai dampak terjadinya depresi ekonomi tahun 1930 yang mempengaruhi kondisi keuangan

Praja Mangkunegaran. Pembangunan waduk-waduk dilaksanakan pemerintah dengan tujuan menyimpan air dan mengalirkannya untuk kepentingan pertanian basah. Irigasi ini sekaligus berguna sebagai pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang subur. Hal semacam ini membawa pengaruh kepada semakin meningkatnya hasil dibidang pertanian.

b. Pembangunan Saluran Pembuangan Air

Wilayah Surakarta secara geografis merupakan wilayah yang rawan dari bencana banjir. Mangkunegara VII menyadari bahwa saluran pembuangan air di

Praja Mangkunegaran perlu adanya perbaikan. Saluran pembuangan air merupakan salah satu komponen infrastruktur yang sangat penting karena kemajuan sebuah kota dinilai dari kondisi sistem pembuangan airnya. Adanya limbah cair rumah tangga baik dari hasil cucian ataupun cairan limbah yang 73

dimasukkan ke satu saluran menyebabkan kondisi pada musim kemarau terjadi penumpukkan sampah dan menyebabkan menyumbatnya aliran air. Akibat saluran tersumbat, limbah ini berbau busuk dan menyengat sehingga menimbulkan sarang penyakit.

Mengingat kondisi yang seperti itu, langkah Mangkunegara VII yaitu melakukan pembangunan saluran-saluran khusus untuk mengatur pembuangan limbah di sekeliling Pura Mangkunegaran. Saluran air ini digunakan untuk menyerap air kotor agar tidak mengenang di daerah permukiman perkampungan di kota Mangkunegaran. Pemerintah Praja kemudian membangun saluran pembuangan air dari Pura Mangkunegaran yang dialirkan ke sungai Toklo yang dibuka pukul 8.30 pagi sampai 6.30 sore. Pembangunan saluran dilanjutkan di daerah Gilingan yang setiap musim penghujan sering digenangi air. Selain itu, dibangun saluran induk dengan pintu-pintu air yang sewaktu-waktu bisa dibuka dan ditutup. Pembuatan saluran air hujan juga dilakukan di kampung Stabelan yang menghabiskan dana sekitar f 8000.12 Saluran air tersebut dibuat untuk menghindari luapan serta genangan air hujan dan limbah rumah tangga, sehingga air kotor dapat mengalir dengan lancar dan tidak menyebabkan munculnya bibit penyakit sehingga menciptakan kondisi masyarakat yang bersih dan sehat.13

12 “Anggaran Pembuatan Saluran Air”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 204.

74

B. Pembangunan Bidang Sosial

1. Pembangunan Taman Kota

a. Taman Tirtonadi

Taman yang dibangun pada masa Mangkunegara VII dengan latar belakang pembangunannya untuk memanfaatkan air kali Pepe yang terjun melalui pintu air Kali Anyar atau banjir kanal. Taman Tirtonadi dibuat dengan menggunakan konsep taman air (water castle) dengan memanfaatkan air dari banjir kanal. Pemanfaatan air ini dilakukan karena sebelum tanggul dibangun, pada musim hujan air dari kali Pepe sering meluap sehingga menyebabkan banjir.

Untuk mengatasi banjir tersebut, pada tahun 1903 diadakan proyek pembangunan banjir kanal dengan rute pengerjaan langsung mengarah ke Bengawan Solo.

Bersamaan dengan proyek tersebut juga dibangun sebuah tanggul dari utara

Balekambang menuju daerah Kandangsapi. Pembangunan-pembangunan tersebut diselesaikan pada tahun 1911.14 Selain terdapat taman air, Taman Tirtonadi juga tersedia obyek wisata lainnya yaitu Partimah Park dan telaga yang diberi nama

Minopadi.15

b. Partimah Park

Partimah Park dibangun pada zaman Mangkunegara VII yang merupakan taman rekreasi untuk anak-anak dan terletak satu komplek dengan Taman

Tirtonadi. Pemberian nama ini disesuaikan dengan nama puteri bungsu dari

Mangkunegara VII yaitu B.R.A. Partimah. Partimah Park terdapat sarana

14 Suryadu. 1983. “Kota Solo Masa Silam “Tirtonadi dan Minopadi” Obyek Wisata Yang Kian Merana”, dalam Suara Merdeka edisi Sabtu 19 Maret 1983, halaman III.

15 Minopadi merupakan telaga buatan di komplek Taman Tirtonadi yang fungsinya sebagai sarana bersampan dan memancing ikan.

75

permainan yang berupa kolam renang, jungkat-jungkit/timbangan, ayunan dan lapangan terbuka sebagai tempat anak-anak bermain. 16 Selain itu, kawasan ini semakin lengkap dengan didirikanya restaurant yang pembangunannya menghabiskan biaya sekitar f. 500.17 Hal yang semacam ini dimaksudkan agar kawasan Partimah Park bisa lebih dinikmati oleh masyarakat Praja

Mangkunegaran.

c. Kusumawardhani Plein

Kusumawardhani Plein merupakan sebuah lapangan yang dibangun

Mangkunegara VII untuk memperingati kelahiran putrinya, yaitu B.R.A. Siti

Nurul Kamaril Ngarasati Retno Kusumawardhani atau disebut Gusti Nurul.

Lapangan ini berfungsi sebagai sarana olahraga bagi anggota Legiun

Mangkunegaran.

d. Partini Tuin dan Partinah Bosch

Partini Tuin atau taman Partini dibangun Mangkunegara VII sebagai hadiah untuk putrinya, B.R.A. Partini ketika menikah dengan Prof. Husein

Joyoningrat.18 B.R.A. Partini adalah putri tertua Kangjeng Gusti Adipati

Mangkunegara VII. Taman Partini adalah area taman dengan koleksi bermacam tanaman langka dan juga merupakan sarana rekreasi yang dilengkapi dengan lapangan olahraga dan pemandian. Tempat ini sekarang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Bale Kambang (rumah yang mengapung di tengah telaga buatan) dan telah selesai direnovasi dan semakin menjadi lebih menarik.

16 Nina Astiningrum, op.cit., halaman 86.

17 Autorisatie begrooting van kosten 1941. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

18 Nina Astiningrum, loc. Cit. 76

Partinah Bosch atau Taman Air Partinah, dibangun sesuai dengan nama puterinya B.R.A. Partinah. Partinah Bosch merupakan hutan kecil yang terdiri dari berbagai macam pepohonan. Hutan ini memiliki keistimewaan tersendiri jika dilihat dari fungsinya, yaitu setiap nama-nama ilmiah pohon yang ditanam di taman Partinah dapat dijadikan sebagai media pengenalan dan pendidikan bagi anak-anak dengan tujuan merangsang pertumbuhan kecerdasan anak. Tempat ini masih tetap ada dan berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air hujan.

Konsep pembangunan taman kota oleh Mangkunegara VII difungsikan sebagai sarana public space sekaligus sebagai jantung kota yang pengaruhnya dapat langsung dinikmati oleh masyarakat umum. Selain itu, pembangunan taman-taman ini juga bertujuan untuk memperindah wajah kota Mangkunegaran.

2. Pembangunan Gedung-Gedung

a. Pembangunan Gedung SOOS (Societed)

Perkembangan politik di Hindia Belanda mendorong perubahan dalam berbagai bidang di kehidupan masyarakat. Perubahan ditandai dengan munculnya organisasi modern, para priyayi yang tergabung dalam organisasi-organisasi yang sering berkumpul di suatu tempat pertemuan tertentu. Tempat pertemuan ini oleh orang Belanda lebih dikenal dengan nama Soos, kata yang diambil dari Societeit yang berarti tempat pertemuan bagi bangsa Belanda yang bersifat eksklusif. Soos selain dipakai untuk kepentingan rapat, juga digunakan sebagai tempat pertemuan publik seperti keperluan pesta, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Selain itu, bangunan Soos menjadi sangat penting bagi perkembangan budaya, karena di tempat inilah timbul kontak antara kebudayaan orang pribumi dengan kebudayaan orang Belanda. 77

Bangunan Soos merupakan pencerminan dari kebutuhan ruang yang mendukung bagi kegiatan yang dilakukan oleh para pendukung kebudayaan.

Dengan keadaaan yang seperti itu, mengharuskan Mangkunegara VII membangun sebuah gedung Soos (societeit) di wilayah Mangkunegaran. Pada tahun 1918, pembangunan gedung Soos mulai diadakan, pertama dibangun gedung Soos

Mangkunegaran (sekarang gedung Monumen Pers), pembangunan gedung ini diserahkan pada arsitek pribumi bernama Aboekasan Atmodirono yang berasal dari Semarang.19 Soos Mangkunegaran digunakan untuk pertemuan para pegawai sipil selain itu, juga dibangun gedung Soos Militer (sekarang menjadi kantor

Pramuka Surakarta) yang digunakan untuk petemuan bagi para bintara.

Pembangunan gedung Soos oleh Mangkunegara VII dimaksudkan sebagai perwujudan kebutuhan tempat untuk berbagai macam kegiatan dan aktifitas pertemuan di wilayah Mangkunegaran. Selain itu, pembangunan Soos membawa dampak pada peralihan gaya hidup dari tradisional menjadi modern mengikuti budaya Eropa sejalan dengan lahirnya budaya perkotaan di Surakarta.

b. Pembangunan Bale Kampung/Gedung Kelurahan

Bale Kampung adalah kantor dinas dari Lurah dan para Punggawa

Kampung. Bale kampung digunakan sebagai tempat untuk mengurusi masalah intern yang ada dikampung, seperti: masalah administrasi, perpajakan, pengadilan, dan lain sebagainya. Pada masa Mangkunegoro VII melakukakan pembangunan bale kampung yang dianggap tidak layak sebagai tempat kerja. Pada pemerintahan

Mangkunegoro VII telah dibangun tiga buah bale kampung, yang antara lain: Bale

19 Monument Pers Nasional Ing Sala, dalam Harian Jayabaya, halaman 9, edisi 8 Februari 1987. halaman 9. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode MN 872.

78

Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan.20 Tanah beserta bangunan yang digunakan untuk pembangunan bale kampung adalah tanah milik rakyat, yang telah mendapatkan ganti rugi yang berupa komisi dari pemerintah Praja

Mangkunegaran. Pembangunan bale kampung ini berpengaruh terhadap kehidupan rakyat yaitu semakin intensifnya pelayanan dalam mengurusi masalah- masalah intern di masyarakat.

c. Pembangunan Gedung-Gedung Sekolah

Pembaharuan dalam bidang pendidikan oleh penguasa Mangkunegaran terutama Mangkunegara VII dipandang sebagai kebutuhan yang penting karena, perkembangan dunia menuntut masyarakat mengikuti perkembangan zaman.

Dalam hal ini pembangunan dalam bidang pendidikan sangat diperlukan jika didukung dengan adanya pemberian motivasi untuk bersekolah dan penyediaan sarana dan prasarana sekolah. Mangkunegara VII sangat memperhatikan kwalitas pendidikan rakyatnya dengan membangun tiga gedung sekolah yang besar yaitu gedung sekolah HIS Siswo (sekarang telah menjadi SMP Negeri 5 Surakarta), gedung sekolah HIS Sisworini (sekarang tidak digunakan lagi dan tempatnya berada di sebelah timur Akademi Seni Mangkunegaran) dan sebuah gedung sekolah gadis tingkat SD (kopschool)21. Selain sekolah untuk kalangan elite tersebut, pemerintah Praja juga mendirikan sekolah untuk rakyat atau Sekolah

Desa (Volksschool) yang mana penyelenggaraan sekolah ini ditanggung sepenuhnya oleh Praja Mangkunegaran.

20 “Pembangunan Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 159, P. 2607, dan P. 258

21 Th. M. Metz, op.cit., halaman 71.

79

Berkat perhatian Mangkunegara VII terhadap pendidikan, secara kwantitatif jumlah sekolah di Praja Mangkunegaran mengalami peningkatan.

Pendirian sekolah desa dimulai dari tahun 1918 dengan jumlah sekolah 19 buah, pada tahun 1927 jumlahnya meningkat menjadi 53 buah dan pada tahun 1930 jumlahnya menjadi 79 buah naik empat kali lipat dari pendirian awalnya. Setahun kemudian jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 81 sekolah, 30 sekolah berada di kota Mangkunegaran dan sisanya berada di daerah Wonogiri. Pada masa depresi ekonomi dunia tahun 1930 pembangunan sekolah desa mengalami goncangan akan tetapi sekolah desa tersebut bisa bertahan dan pada tahun 1935 jumlah sekolah desa milik Mangkunegaran menjadi 103 buah, 81 sekolahan milik

Praja Mangkunegaran dan 22 lainnya merupakan pelimpahan dari sekolah-sekolah

Gubermen.22

Mangkunegara VII melaksanakan modernisasi pendidikan dengan memperjuangkan bangsa dan rakyatnya agar menjadi pandai dan mempunyai keahlian sebagai modal persiapan di kemudian hari. Modernisasi pendidikan yang dilakukan Mangkunegara VII sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan terciptanya pendidikan maju di Mangkunegaran. Hal yang semacam ini sekaligus dijadikan wujud strategi dalam perjuangan bangsa dengan tersedianya sumber daya manusia yang handal bagi Praja Mangkunegaran dan juga memungkinkan rakyatnya mampu melakukan mobilitasi dalam jenjang sosial diseluruh Hindia

Belanda.

22 Wasino, 1996. “Politik Etis Dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran 1900- 1945” Laporan Penelitian Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang. Halaman 43-44.

80

C. Pembangunan Bidang Kesehatan

1. Pembangunan Kakus Umum/WC Umum

Pembangunan sarana umum ini salah satu kebijakan di masa

Mangkunegara VII yang ditujukan kepada penduduk di perkampungan agar tidak membuang hajat disembarang tempat yang dapat menggangu kesehatan maupun kebersihan lingkungan. Pembangunan juga dimaksudkan untuk menghilangkan jumbleng.23 Pembangunan kakus umum diletakkan di tempat-tempat yang strategis dan bersifat umum.

Lahan yang digunakan untuk membangun kakus umum ini merupakan lahan milik rakyat tanpa diberikan ganti rugi, kemudian dibuatkan kakus pribadi untuk rakyat. Pembangunan sarana umum ini dikerjakan dengan biaya f. 3000, dilakukan di kampung-kampung di Kota Mangkunegaran, seperti: kampung

Ngebrusan, Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo.24 Sebagai contoh proyek penanganan dari pembangunan kakus umum di kampung

Ngebrusan dipercayaakan Mangkunegara VII kepada Ir. Thomas Karsten.

Bangunan kakus umum ini dibuat sangat indah dengan bahan bangunan pilihan dan perencanaan kerja yang matang.25 Model dari bangunannya sendiri bergaya tradisional, yang terinspirasi dari bentuk miniatur candi sementara dengan kontruksi bangunan yang kokoh dan tegas menggunakan kontruksi beton. Selain

23 Jumbleng yaitu tempat pembuangan hajat tradisional dengan menggali tanah dan telah dipakai secara turun-temurun.

24 “Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode L. 436

25 Lantai dan dindingnya terbuat dari beton sehingga keadaannya masih utuh sampai sekarang. Instalasi listrik juga dialirkan untuk tempat ini serta pembagian kamar mandi berdasarkan jenis kelamin (ada di dua sisi belakang kanan dan kiri). Arsip kode H. 257, namun tempat ini sekarang kurang terawat sehingga kondisinya sangat memprihatinkan. 81

itu, pembangunan tetap mengadaptasi gagasan-gagasan modern untuk segi hygienitas dan privasi. Peresmian terhadap berdirinya bangunan ini terjadi pada tanggal 1 Januari 1939 bersamaan dengan peresmian Rukun Kampung Manahan dan pemasangan batu pertama Pasar Legi.26 Pembangunan kakus umum ini berdampak pada perubahan pola hidup masyarakat Mangkunegaran yang rapi, sehat dan bersih.

2. Pembangunan Pancuran Umum

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sehari-harinya, baik sebagai air minum maupun untuk kepentingan lainnya, yakni mandi dan mencuci.

Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting diperlukan dan harus dipenuhi secara mutlak. Pemenuhan kebutuhan air bersih oleh pemerintah Praja

Mangkunegaran membagun pancuran umum disetiap kalurahan yang ada di Kota

Mangkunegaran. Pembangunan pancuran ini dilaksanakan di kampung Cinderejo,

Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari.27

Pembangunan pancuran umum ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Usaha ini agak mengalami hambatan karena penduduk diperkampungan kurang membutuhkan air pancuran, hal ini dikarenakan mereka telah memiliki sumur sendiri.28 Pemenuhan air bersih di Surakarta semakin intensif bersamaan dengan didirikannya perusahaan air minum pada tahun 1931,

26 Acara Mangkunegara VII tertanggal 1 Januari 1939, Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, Arsip Mangkunegara VII kode P. 2589.

27 Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Op. cit. Kode L. 436

28 Daryadi, 2009, “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII”, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 73.

82

yang merupakan inisiatif dari Residen Surakarta. Perusahaan air minum ini diberi nama N.V. Hoodgruk Water Leiding Hoofdplaats Surakarta en Omstreken (PT Air

Minum Bertekanan Tinggi di Ibukota Surakarta dan Sekitarnya). Sumber air bersih yang digunakan oleh perusahaan air minum ini berasal dari daerah

Cakratulung.29 Pembangunan perusahaan minum ini berpengaruh pada masyarakat Mangkunegaran yang telah diperkenalkan pada penggunaan air minum yang hiegenis dan menciptakan kesadaran akan kesehatan.

3. Pembangunan Rumah Sakit Dan Poliklinik

Untuk keperluan kesehatan masyarakat dibangun beberapa rumah sakit.

Pada tahun 1921 dibangun rumah sakit pusat Ziekenzorg di Mangkubumen, merupakan rumah sakit yang pertama di Surakarta. Rumah sakit yang pembangunannya mendapat subsidi dari Pemerintah Swapraja dan mendapat subsidi setiap tahunnya sebesar f. 5.000. Rumah sakit ini yang pada awalnya dipimpin oleh tiga orang dokter, mantri, pembantu mantra, bidan, dan juru rawat.30 Selain itu, pada tahun 1924 juga dibangun poliklinik sebanyak 8 buah dan tahun 1939 pembangunan poliklinik bertambah menjadi 19 buah.31

Peningkatan kualitas tenaga medis merupakan salah satu syarat berhasilnya pembangunan kesehatan. Untuk meningkatkan kualitas dokter maka

Bupati Anom Dokter Mangkunegaran menetapkan kunjungan dokter setiap seminggu sekali ke poliklinik daerah. Kunjungan ini mampu memantau baik buruknya kesehatan rakyat di Praja Mangkunegaran. Selain itu ahli-ahli medis

29 Heri Dwiyanto, 1995. “Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII”. Skripsi Jurusan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. halaman 79. 30 Ibid.

31 Wasino, op.cit., halaman 212

83

terutama dokter pada masa Mangkunegoro VII, merupakan sesuatu yang langka dan sulit untuk mencukupi kebutuhan dokter di Mangkunegaran sampai pada tahun 1938 di Praja Mangkunegaran telah ada enam dokter yaitu: dr. R.M.

Marmohoesadha, dr. RM. Tjakrahoesadha, dr. RM. Martohoesadha, dr. R.P.

Soejoedhana, dr. RM. Soekasno dan dr R. Soewarso.32

Pemerintah Praja juga berusaha memperbanyak jumlah perawat, bidan maupun penyuluh kesehatan di setiap poliklinik paling sedikit dua orang perawat.

Begitu juga dengan penyuluh kesehatan, di setiap kawedanan ditugaskan seorang penyuluh kesehatan yang bertugas memberi penyuluhan di desa-desa.33 Adanya peningkatan jumlah pembangunan rumah sakit dan tenaga medis ini dimaksudkan agar masyarakat di seluruh daerah Mangkunegaran dapat menikmati pelayanan kesehatan.

4. Perbaikan Rumah Kumuh

Adanya wabah pest yang melanda di seluruh Jawa Tengah ternyata juga sampai menyebar ke daerah Praja Mangkunegaran. Penyakit pest yang disebabkan oleh kutu yang dibawa oleh tikus dan kemudian menyerang manusia lewat baju atau barang yang ada di dalam rumah, dimana kondisi kebersihannya masih sangat memprihatinkan. Rumah-rumah yang rata-rata terbuat dari alang-alang dan kayu sederhana serta berlantai tanah sangat mendukung untuk berkembangnya penyakit yang dibawa oleh binatang tersebut. Melalui Dinas Kesehatan

Mangkunegaran, pemerintah menganjurkan kepada rakyatnya untuk menciptakan perumahan yang sehat sesuai dengan kriteria rumah sehat antara lain kondisi

32 Heri Dwiyanto, 1995, op.cit. halaman. 83.

33 Ibid. halaman 84. 84

lantai yang kering, pintu dan jendela, ventilasi, di sekitar rumah tidak ada air yang mengenang, sumur dibuat penghalang di setiap pinggirnya agar tidak tercemari air kotor, dan bagi masyarakat yang mampu dianjurkan untuk membuat kakus di setiap rumahnya.34

Pemerintah Praja juga memberikan bantuan berupa pinjaman uang bagi rakyat yang ingin memperbaiki rumahnya. Dalam anggaran belanja praja tahun

1918, disediakan dana sebesar f. 66.000 untuk perbaikan rumah rakyat dan f.

25.000 untuk biaya pembangunan kampung-kampung.35 Selain memberikan bantuan berupa pinjaman uang untuk perbaikan rumah dan kampung, pemerintah juga memberikan vaccin otten yang telah ditemukan pada tahun 1935, untuk penderita penyakit pes dan juga melakukan penyemprotan obat serta pembasmian tikus.36 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII tersebut sangat berpengaruh dalam membantu program pemberantasan penyakit menular, khususnya penyakit pes di Praja Mangkunegaran. Program itu juga diharapkan menciptakan masyarakat yang sehat. Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak menginginkan rakyatnya menderita akibat adanya penyakit menular yang mengancam jiwa mereka.

Mangkunegoro VII juga menyadari bahwa keselamatan dan kelangsungan hidup rakyat menjadi tanggung jawabnya.

34 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11. Bab 24. Surakarta: Reksa Pustaka

35 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No.3. Bab 55,56. Surakarta: Reksa Pustaka.

36 Ratih Widayati, 1998. “Yatna Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret. halaman 87. 85

D. Pembangunan Bidang Ekonomi (Pasar)

Pasar merupakan suatu simbol yang menandai kemajuan perekonomian masyarakat pada daerah tertentu. Munculnya pasar karena bersamaan dengan adanya kegiatan dan kebutuhan yang dilakukan manusia. Dengan demikian, pasar merupakan tempat untuk melakukan kegiatan tukar menukar barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan bagi masyarakat yang lebih dikenal dengan sistem jual-beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Sebelum pasar terbentuk, kegiatan tukar menukar sudah lama dilakukan masyarakat yang lebih dikenal dengan barter. Kegiatan ini dilakukan karena adanya rasa saling membutuhkan barang atau jasa antara anggota masyarakat. Naik turunnya pendapatan pasar ditentukan oleh jumlah pelaku transaksi di pasar. Banyaknya transaksi dipengaruhi oleh daya beli masyarakat sedangkan daya beli dipengaruhi oleh tingkat pendapatan setiap orang. Seiring dengan bertambahnya kebutuhan mareka maka diperlukan suatu tempat tertentu untuk bertemu antara penjual dan pembeli barang mereka, maka kemudian terjadilah suatu pasar.37

Wilayah Mangkunegaran terdapat beberapa pasar tradisional. Pasar tersebut antara lain Pasar Legi, Pasar Pon, dan Pasar Triwindu.

1. Pasar Legi

Pasar Legi merupakan pasar tradisional hasil gagasan pemerintahan

Mangkunegara. Sesuai dengan namanya, pasar ini ramai pada hari pasaran Legi.

Banyak pedagang berdatangan dari desa-desa. Pada tahun 1930 pasar legi masih merupakan pasar dengan wujud los sederhana dengan komoditi yang beragam dan pasar ini juga diibaratkan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan duniawi dalam

37 Soetardjo Kartohadikusumo, 1965, Desa, Jakarta: PN. Sumur Bandung, halaman 6. 86

hal ini pasar Legi mampu mendukung mobilisasi kehidupan di masyarakat. Pasar ini memiliki pendapatan besar di antara pasar-pasar yang ada di Praja

Mangkunegaran. Pada tahun 1936 Mangkunegaran VII merenovasi pasar secara modern sehingga pasar menjadi lebih rapi, indah dan tertib.

2. Pasar Pon

Pasar Pon juga berada di wilayah Mangkunegaran. Sesuai dengan namanya, pasar ini ramai pengunjung setiap pasaran Pon. Untuk menuju ke Pasar

Pon, kebanyakan para pedagang yang berasal dari dalamkota menggunakan alat transportasi tradisional berupa Gerobak atau Andong. Bagi pedagang yang berasal dari luardesa atau luarkota, mereka bisa menggunakan Kereta Api Kluthuk turun di depan Pasar Pon, karena Kereta Api Kluthuk jurusan Boyolali - Wonogiri melewati depan Pasar Pon. Barang-barang yang diperdagangkan di Pasar Pon adalah berbagai macam kebutuhan sehari-hari, seperti: sayuran, buah-buahan, bumbon dan lain-lain.

Sejak tahun 1929, keadaaan pasar berubah menjadi pertokoan dan kios- kios kecil yang berjualan kelontong (barang-barang rumah tangga) dan terletak di tepi jalan depan Pura Mangkunegaran. Para pedagang pasar ini kebanyakan adalah pengusaha dari Etnis Thionghoa.

3. Pasar Triwindu

Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegaran.

Menurut namanya Tri berarti tiga dan Windu berarti delapan. Triwindu berarti dua puluh empat. Jadi, pasar ini dibangun untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahta

Mangkunegoro VII dan pasar ini diresmikan pada tahun 1939. Barang yang 87

diperdagangkan di pasar ini hanya barang yang terbuat dari logam, antara lain: besi, tembaga, emas, dan perak.38 Pasar ini sekarang masih berdiri dan telah selesai direnovasi dan berganti nama menjadi Pasar Windu Jenar.

Di kota Mangkunegara selain pasar-pasar yang disebutkan di atas masih ada beberapa pasar kecil yang tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar

Ngapeman, Pasar Nongko, Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar

Ngemplak.

Pasar yang berada di wilayah Mangkunegaran merupakan salah satu perusahaan milik Praja Mangkunegaran, Praja membangun gedung-gedungnya dan menyewakan petak-petaknya.39 Munculnya pasar-pasar di Praja

Mangkunegaran berpengaruh pada terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Mereka memperoleh pekerjaan dari pasar sebagai pedagang, pembantu pedagang (membantu melayani pembeli), dan kuli atau buruh gendong.

Pasar-pasar yang ada di Praja Mangkunegaran sangat memungkinkan menjadi media alternatif penurunan angka pengangguran dan keberadaan pasar tradisional berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi yang memberikan lapangan pekerjaan yang layak serta mampu meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat Praja

Mangkunegaran.

38 Nina Astiningrum, Op.Cit. halaman. 101.

39 Th. M. Metz, 1939. Op.cit. halaman 80. BAB V

KESIMPULAN

Mangkunegoro VII menggantikan kedudukan Mangkunegoro VI pada tahun 1916. Keberhasilan yang diraih Mangkunegoro VI salah satunya adalah mampu memperbaiki kondisi keuangan Praja yang kembali menjadi baik setelah adanya kemunduran kondisi keuangan pada masa Mangkunegara V.

Mangkunegara VII menjadi penguasa pada tahun 1916, ternyata memiliki keunggulan dalam memerintah jika dibandingkan dengan para pendahulunya.

Segala keunggulannya dimanfaatkan untuk mengantarkan Praja Mangkunegaran menuju masa depan. Keunggulan itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peranan para pendahulunya yang memerintah sesuai dengan zamannya.

Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pembangunan yang dilakukan oleh

Mangkunegara VII memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Praja

Mangkunegaran. Berkat inovasi dan kreativitasnya, Mangkunegara VII mampu membuat kondisi keuangan Praja mengalami surplus sehingga melakukan pembaharuan adalah kunci untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

Keberadaan Kabupaten Karti Praja sebagai dinas pelaksana pembangunan di Praja Mangkunegaran mempunyai peranan besar terhadap masyarakat

Mangkunegaran. Beberapa peranannya dalam pembangunan antara lain pembangunan bidang sarana dan infrastruktur yang ditandai dengan adanya pembangunan jalan dan jembatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat untuk saling berinteraksi. Selain itu, juga dilaksanakan pembangunan irigasi serta

88 89

pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang semuanya dilakukan untuk mendukung kemajuan pembangunan demi kemakmuran rakyat dan perkembangan

Praja Mangkunegara. Segala pembaharuan-pembaharuan dilakukan hanya karena

Mangkunegara VII menginginkan seluruh rakyat di Praja Mangkunegaran bisa menikmati modernisasi yang dilakukannya. Mangkunegara VII selama hidupnya dan selama menjadi raja senantiasa bertindak sesuai dengan semboyan mengabdi sehingga menjadi contoh yang nyata bagi seluruh rakyatnya dan bagi siapa saja yang mengenalnya.

90

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsip-Arsip

Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran Umum Di Mangkunegaran.

Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Anggaran Pembuatan Saluran Air. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Anggaran Pembangunan Bale Kampung Punggawan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Pembukaan Bale Kampung Manahan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Perumahan Yang Akan Dibuat Bale Kampung Kestalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka..

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 23 (Bab Mengenai Pasar) dan No. 331 (Bab Mengenai Perubahan wilayah Administrasi Mangkunegaran).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37 (Bab Mengenai Perubahan Pangkat dan Perubahan Kawedanan menjadi Kabupaten).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No. 2 (Bab Mengenai Dana Untuk Perbaikan Rumah dan Kampung).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No 10 (Bab Mengenai Perubahan Struktur Birokrasi Mangkunegaran).

Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11 (Bab Mengenai Kriteria Rumah Sehat).

2. Buku-Buku

Bernardinal Hilmiyah M.D. 1985. Mengenang Soerya Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka.

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830 – 1939. Yogyakarta: Taman Siswa.

Dudung Abdurrrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

91

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

Gondosubariyo R.M. 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka

Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Honggopati Tjitrohoepojo. 1930. Serat Najakatama, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran

Houben, V.J.H. 2002. Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Krisnina Maharani A. Tandjung. 2007. 250 Tahun Pura Mangkunegaran. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia.

Larson G.D. 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.

Metz Th.M. 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh dan Van Ditmar.

Moedjanto G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram . Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Muhammad Husodo Pringgokusumo. 1987. Pidato Gubernur Surakarta M.J.J. Treur Pada Pesta Peringatan Penobatan Sri Paduka pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Muhlenfeld A. 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka.

Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: yayasan Indayu.

Pringgodigdo. 1987. Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran. Surakarta: Reksopustaka, Mangkunegaran. Ringkasan Riwayat Dalen Suwarga Sampeyan Dalen K.G.P.A.A Mangkunegoro ke VII, 2007. Surakarta: Reksa Pustaka

Rouffer G.P. Vorstenlanden. Terjemahan: R.Tg. Muhammad Pringgokusumo. 1979. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka.

92

Sartono Kartodirjo. 1983. Metode Penggunaan Bahan Dokumen dalam “Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, Jakarta: PT. Gramedia.

Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A Prabu Prangwedana VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka.

Soetardjo Kartohadikusumo. 1965. Desa, Jakarta: PN. Sumur Bandung.

Suwaji Bustomi, 1997. Karya-Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I – VIII. IKIP Semarang.

Uitgewerkte en Toelichtende Staat der Begrooting van Uitgaven en Ontvangsten van het Mangkoenagorosche Rijk voor het Dienstjaar. 1934. Mangkunegaran: Reksa Pustaka.

Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Yosodipuro. 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata

3. Karya-Karya Ilmiah

Daryadi. 2009. “Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Hari Nur Prasinta. 2009. “Kabupaten Martanimpoena Di Praja Mangkunegaran Tahun 1942-1947”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Heri Dwiyanto. 1995. “Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Himawan Prasetyo. 2001. “Wajah Kauman Surakarta 1910-1930”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Ismu Sadiyah. 1998. ”Keraton Mangkunegaran Sebagai Obyek Wisata Yang Menarik di Jawa Tengah”. Karya Tulis. Bandung: ABA Bandung.

Muzaini. 1996. “Pembangunan Irigasi Di Praja mangkunegaran (1916-1942)”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

93

Nina Astiningrum. 2006. “Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Ratih Widayati. 1998. “Yatma Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953”. Skripsi. Jurusan Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS.

Sutrisno Adiwardoyo. 1974. ”Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi. Surakarta: IKIP Surakarta.

Theresia Suharti. 1990.”Tari di Mangkunegaran ( Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dimensi kultural 1910-1988)”. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Wasino. 1994. “Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

. 1996. “Politik Etis dan Modernisasi Pendidikan di Mangkunegaran (1900- 1945)”. Laporan Penelitian. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang.

.1996. “Politik Etis, Pembangunan Sarana Irigasi dan Perkembangan Produksi Beras di Karesidenan Surakarta (1900-1942)”. Laporan penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang.

4. Majalah dan Artikel

“Monumen Pers Nasional Ing Sala”, dalam Harian Jayabaya, halaman 9, edisi 8 Februari 1987.

Notodhiningrat. 1939. “Pengairan Di Mangkunegaran Selama Tiga Windu” Supllement Triwindoe Gedenkboek Mangkunegara VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Suryadu. 1983. “Kota Solo Masa Silam “Tirtonadi dan Minopadi” Obyek Wisata Yang Kian Merana”, dalam Suara Merdeka edisi Sabtu 19 Maret 1983.

94

LAMPIRAN 1 Foto K.G.P.A.A Mangkunegoro VII Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

95

LAMPIRAN 2 Gambar-Gambar Hasil Pembangunan di Mangkunegaran Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 1 WC Umum dan Pemandian Umum, di kampung Ngebrusan. Sekarang di kenal dengan nama Monumen Jamban Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 2 Pancuran di daerah Villa Park (sekarang telah berubah menjadi Monumen 45 Banjarsari) 96

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 3 Bale Kampung Manahan Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

Gambar 4 Pembangunan Jalan di Gilingan Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

97

Gambar 5 Perkampungan Sebelum Adanya Pembangunan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 6 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

98

Gambar 7 Pasar Legi Pada Tahun 1930 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 8 Pasar Legi 1935 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

99

Gambar 9 Gedung Pertemuan (SOOS) Tahun 1920 (sekarang Gedung Monumen Pers)

Gambar 10 Pasar Pon 1935 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

100

Gambar 11 Gedung sekolah HIS Sisworini (sekarang tidak digunakan lagi) Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 12 Gedung sekolah HIS Siswo (sekarang SMP Negeri 5 Surakarta) Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

101

Gambar 13 Jalan Tawangmangu – Karangpandan Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 14 102

Jembatan Penghubung Antara Kampung Gondang dan Kampung Gumunggung Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 15 Kawasan Kusumawrdhani Plein Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 16 Kawasan Partini Tuin 103

(sekarang Pemandian Balekambang) Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 17 Poliklinik di Kota Mangkunegaran Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 18 Peresmian Waduk Tirtomarto Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

104

LAMPIRAN 3 Rijksblad Mangkunegaran tahun 1917 No. 37 Sumber: Reksa Pustaka Mangkunegaran

105

106

LAMPIRAN 4 Surat tentang Pengairan di Mangkunegaran Selama 3 Minggu Sumber: Reksa Pustaka Mangkunegaran

107

108

109

110

LAMPIRAN 5 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran kode L. 436

111

112

113

114

LAMPIRAN 6 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran Kode H. 204

115

116

LAMPIRAN 7 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran kode P. 2607

117

118

119

120

121

LAMPIRAN 8 Acara Peresmian Kamar Mandi Umum Ngebrusan, tertera dalam Acara Mangkunegara VII tertanggal 1 Januari 1939, Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, Arsip Mangkunegara VII kode P. 2589

122

LAMPIRAN 9 Autorisatie Begrooting van Kosten 1941 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran