Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran 2013 Kata Pengantar
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
OTENTISITAS DAN KOMODIFIKASI BUDAYA DI PURI ANYAR KERAMBITAN SEBAGAI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA KERAJAAN Oleh : Hery Sigit Cahyadi NIM. 180130110057 DISERTASI Diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti Seminar Usulan Penelitian pada Program Studi Ilmu Sastra Konsentrasi Kajian Budaya (Pariwisata) PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2013 KATA PENGANTAR Kebudayaan merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia yang terus berkembang selama manusia masih ada di muka bumi ini dan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena memberikan ciri khas dan karakteristrik tertentu terhadap sebuah kehidupan sosial masyarakat di sebuah tempat. Dalam abad modern saat ini peran kebudayaan saat ini tidak hanya menjadi penanda sebuah kehidupan masyarakat tetapi sudah mulai terjadi pergeseran tujuan dan fungsinya menjadi sebuah tontonan yang ditawarkan untuk kegiatan hiburan dan ilmu pengetahuan. Berkembangnya pariwisata semakin mendorong terjadinya perubahan-perubahan budaya karena munculnya sifat kompromi terhadap keinginan wisatawan yang datang menyaksikan budaya- budaya tersebut. Kondisi tersebut kemudian memunculkan adanya pandangan bahwa budaya-budaya yang dijadikan objek pariwisata kehilangan otentisitasnya dan merusak keaslian budaya yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi dan menemukenali kembali konseptualisasi otentisitas terhadap komodifikasi budaya yang dijadikan sebagai daya tarik pariwisata terutama yang berkaitan dengan pengembangan puri/keraton sebagai sebuah destinasi wisata serta memberikan batasan sejauh mana sebuah perubahan dapat memtahankan sebuah otentisitas sehingga memunculkan sebuah model pengembangan wisata keraton yang tetap mempertahankan keaslian budayanya. i Besar harapan peneliti bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap konseptualisasi otentisitas untuk pengembangan pariwisata budaya terutama di puri/keraton yang banyak tersebar di wilayah nusantara ini melalui indikator-indikator yang ditemukan selama penelitian sehingga isu-isu yang berkaitan dengan otentisitas karena komodifikasi terhadap budaya yang selama ini terjadi dapat dijawab. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan hasil penelitian ini dengan harapan hasil penelitian dapat memberikan manfaat terhadap ilmu pengetahuan. Bandung, Mei 2014 Peneliti ii DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Manifestation of Culture at Different Levels of Depth ……. 25 Gambar 2 Typologi of Cultural Tourist ………………………………. 64 Gambar 3 The Place of Cultural Tourists in the Complete Cultural Flow ……………………………………………………….. 65 Gambar 4 Kerangka Pemikiran …….…………………………………. 86 Gambar 5 Diagram Proses Komoditisasi – Transformasi Identitas Budaya Menjadi Profil Budaya ……………………………. 91 iv DAFTAR TABEL Tabel 1 Matriks Penelitian Terdahulu………………………………. 21 Tabel 2 Kerangka Pikir Teoritis ……………………………………. 60 v BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah Negara yang kaya akan budaya karena memiliki 1.128 suku bangsa (BPS, 2010:3) dengan berbagai macam adat istiadat, bahasa, kesenian dan unsur-unsur budaya lainnya dengan keunikannya masing- masing yang memiliki potensi dalam pengembangan pariwisata budaya. Menurut UNWTO, pariwisata budaya terdiri dari 40 persen dari jumlah perjalanan pariwisata international dan hal tersebut tumbuh dengan konstan sebesar 15% setiap tahunnya. Pariwisata budaya merupakan sector pariwisata yang memiliki pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan jenis pariwisata lainnya (Richards, 2002:1048). Ketergantungan destinasi wisata akan budaya terus meningkat sebagai sebuah faktor pembeda, terutama dalam menghadapi ketertarikan wisatawan yang semakin tinggi dalam pariwisata budaya dan pusaka (Gelbman and Ron, 2009:127. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata tidak dapat dipisahkan dari budaya (UNESCO, 2007:8). Budaya sudah menjadi mitra alami bagi pariwisata. Bagi Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, keanekaragaman sumber daya budaya yang dimilikinya merupakan berkah dalam menarik kedatangan wisatawan. Negara-negara berkembang mencoba untuk membasiskan pariwisatanya pada kekayaan budaya dan mempromosikan pemanfaatan elemen- elemen budaya yang disebut sebagai pemanfaatan budaya yang sangat klasik (Berriane, 1999:2). Kelemahan dari promosi klasik tersebut 1 2 adalah pendeknya lama tinggal dan adanya resiko kejenuhan dari wisatawan yang datang berulang kali ke tempat yang sama, menipisnya nilai-nilai tradisional dan konsumerisme gaya hidup (Berriane, 1999:2). WTO (2005:48) mencatat pariwisata budaya sebagai salah satu segmen pariwisata global yang memiliki pertumbuhan paling besar dan paling cepat. Peranan penting pariwisata dan budaya dalam proses penciptaan citra dan membentuk lingkungan dalam memenuhi kebutuhan konsumen tidak dapat dipungkiri. Pertumbuhan konsumsi budaya (seni, makanan, feysen, musik, pariwisata) dan industri yang terlibat merangsang “ekonomi simbolik” wilayah yang diartikan sebagai “ekonomi budaya”. Terdapat tiga sumber di belakang ide sebuah ekonomi budaya: perubahan masyarakat dan munculnya kapitamisme konsumen, perubahan struktur ekonomi dan kebijakan-kebijakan pengembangan, dan meningkatnya kepentingan wilayah sebagai sebuah fenomena global. Budaya sudah menjadi sebuah sumber daya yang penting dalam pengetahuan ekonomi post- industrialisasi, sebagai refleksi dalam pemanfaatan warisan budaya dalam strategi pengembangan. Budaya terus meningkat penggunaannya oleh kota-kota dan wilayah-wilayah dengan tujuan untuk melestarikan identitas budaya mereka dan mengembangkan s e m a n g a t - s e m a n g a t sosio-ekonomi (Ray,1998:3- 20). Permintaan terhadap pengalaman-pengalaman yang otentik termasuk ketertarikan dalam warisan pusaka, budaya asli dan pengalaman-pengalaman berbasiskan alam dipandang sebagai pengembangan terkini dalam pasar wisata (Poon, 2003:58). Salah satu kekayaan budaya yang banyak terdapat di Indonesia adalah keberadaan kerajaan-kerajaan yang dulunya menguasai daerah-daerah tertentu. 3 Saat ini terdapat 32 kerajaan yang masih tersisa walaupun secara hukum sudah tidak memiliki kewenangan apapun dalam pemerintahan tetapi sebagian besar masih berfungsi sebagai pusat budaya bagi beberapa daerah yang memiliki kerajaan tersebut. Kerajaan-kerajaan yang masih tersisa tersebut pada umumnya beralih fungsi sebagai museum dan ada juga yang memanfaatkannya sebagai tempat untuk mengadakan event-event tertentu yang berbasiskan warisan budaya istana tersebut. Untuk memasarkan produk-produk wisata budaya yang dimiliki oleh sebuah kerajaan tentu saja bukan hal yang mudah, apalagi jika yang dipasarkan adalah budaya yang bersifat “living culture”. Diperlukan adanya penyesuaian- penyesuaian terhadap budaya tersebut agar sesuai dengan selera pasar. Puri Anyar Kerambitan sebagai salah satu destinasi wisata kerajaan yang terletak di Kabupaten Tabanan Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata budaya yang cukup terkenal. Puri tersebut memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan dan upacara-upacara adat yang dimilikinya untuk menarik wisatawan. Terdapat tiga produk wisata utama yang menjadi daya tarik Puri Anyar Kerambitan, yaitu Royal Wedding (Pernikahan ala kerajaan), Royal Dinner (makan malam ala kerajaan), dan Royal Dance (pertunjukan tari kerajaan). Sebagai sebuah kerajaan yang berbasiskan kepada Agama Hindu tentu saja daya tarik wisata yang dipasarkan tersebut menganut pada kepercayaan Agama Hindu, sehingga diperlukan adanya komoditisasi terhadap sumber daya budaya tersebut agar dapat menyesuaikan dengan pasar yang berasal dari berbagaimacam segmen, sama seperti yang banyak terjadi dibanyak destinasi wisata, pariwisata membutuhkan komoditisasi budaya agar dapat menawarkan sebuah produk yang 4 relevan dengan konsumsi wisatawan pada pasar yang kompetitif (Govers and Go, 2004:165). Komodifikasi budaya sering dipandang sebagai perusak keaslian budaya tetapi tuntutan pasar wisata terhadap otentisitas tidak selalu harus sama dengan budaya yang “benar-benar asli” yang dibuat pada saat pertama kali karena walaupun Otentisitas penting baik bagi pengunjung maupun bagi pengusaha daya tarik wisata budaya. Pengertian otentisitas atau apa yang dipandang sebagai otentik berbeda-beda dari kelompok ke kelompok atau dari individu ke individu (Mehmetoglu & Olsen 2003:137). Banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan pengembangan wisata puri/keraton di Puri Anyar Kerambitan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan apakah budaya-budaya yang dijadikan daya tarik dan dijual untuk kesenangan wisatawan tersebut masih dapat dianggap sebagai sesuatu yang otentik? Dari beberapa wujud budaya yang dijual sebagai komoditas pariwisata adalah royal wedding (pernikahan keraton) yang merupakan sebuah upacara pernikahan yang pada awalnya hanya diperuntukkan kepada keluarga keraton, namun seiring dengan perkembangan jaman dan masuknya pariwisata ke Bali terjadi perubahan peruntukan terhadap upacara pernikahan tersebut. Upacara pernikahan tersebut saat ini sudah menjadi konsumsi umum dimana setiap orang dapat melakukan upacara pernikahan ala Puri Anyar Kerambitan dengan membayar sejumlah uang tertentu dan bahkan sudah menjadi sebuah paket wisata yang dijual oleh biro-biro perjalanan wisata. Upacara pernikahan tersebut sudah tidak mengenal lagi tingkatan-tingkatan dalam masyarakat, perbedaan agama dan ras. Semua orang bisa melakukan pernikahan disana asal sanggup membayar. Kondisi tersebut di atas pada akhirnya memunculkan 5 pertanyaan-pertanyaan terhadap nilai-nilai otentitas upacara