OTENTISITAS DAN KOMODIFIKASI BUDAYA DI PURI ANYAR KERAMBITAN SEBAGAI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA KERAJAAN

Oleh :

Hery Sigit Cahyadi NIM. 180130110057

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti Seminar Usulan Penelitian pada Program Studi Ilmu Sastra Konsentrasi Kajian Budaya (Pariwisata)

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS PADJADJARAN 2013 KATA PENGANTAR

Kebudayaan merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia yang terus berkembang selama manusia masih ada di muka bumi ini dan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena memberikan ciri khas dan karakteristrik tertentu terhadap sebuah kehidupan sosial masyarakat di sebuah tempat.

Dalam abad modern saat ini peran kebudayaan saat ini tidak hanya menjadi penanda sebuah kehidupan masyarakat tetapi sudah mulai terjadi pergeseran tujuan dan fungsinya menjadi sebuah tontonan yang ditawarkan untuk kegiatan hiburan dan ilmu pengetahuan. Berkembangnya pariwisata semakin mendorong terjadinya perubahan-perubahan budaya karena munculnya sifat kompromi terhadap keinginan wisatawan yang datang menyaksikan budaya- budaya tersebut. Kondisi tersebut kemudian memunculkan adanya pandangan bahwa budaya-budaya yang dijadikan objek pariwisata kehilangan otentisitasnya dan merusak keaslian budaya yang sudah mengakar selama ratusan tahun.

Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi dan menemukenali kembali konseptualisasi otentisitas terhadap komodifikasi budaya yang dijadikan sebagai daya tarik pariwisata terutama yang berkaitan dengan pengembangan puri/keraton sebagai sebuah destinasi wisata serta memberikan batasan sejauh mana sebuah perubahan dapat memtahankan sebuah otentisitas sehingga memunculkan sebuah model pengembangan wisata keraton yang tetap mempertahankan keaslian budayanya.

i Besar harapan peneliti bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap konseptualisasi otentisitas untuk pengembangan pariwisata budaya terutama di puri/keraton yang banyak tersebar di wilayah nusantara ini melalui indikator-indikator yang ditemukan selama penelitian sehingga isu-isu yang berkaitan dengan otentisitas karena komodifikasi terhadap budaya yang selama ini terjadi dapat dijawab.

Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan hasil penelitian ini dengan harapan hasil penelitian dapat memberikan manfaat terhadap ilmu pengetahuan.

Bandung, Mei 2014

Peneliti

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Manifestation of Culture at Different Levels of Depth ……. 25

Gambar 2 Typologi of Cultural Tourist ………………………………. 64

Gambar 3 The Place of Cultural Tourists in the Complete Cultural Flow ……………………………………………………….. 65

Gambar 4 Kerangka Pemikiran …….…………………………………. 86

Gambar 5 Diagram Proses Komoditisasi – Transformasi Identitas Budaya Menjadi Profil Budaya ……………………………. 91

iv DAFTAR TABEL

Tabel 1 Matriks Penelitian Terdahulu………………………………. 21

Tabel 2 Kerangka Pikir Teoritis ……………………………………. 60

v

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah Negara yang kaya akan budaya karena memiliki 1.128 suku bangsa (BPS, 2010:3) dengan berbagai macam adat istiadat, bahasa, kesenian dan unsur-unsur budaya lainnya dengan keunikannya masing- masing yang memiliki potensi dalam pengembangan pariwisata budaya. Menurut

UNWTO, pariwisata budaya terdiri dari 40 persen dari jumlah perjalanan pariwisata international dan hal tersebut tumbuh dengan konstan sebesar 15% setiap tahunnya. Pariwisata budaya merupakan sector pariwisata yang memiliki pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan jenis pariwisata lainnya

(Richards, 2002:1048).

Ketergantungan destinasi wisata akan budaya terus meningkat sebagai sebuah faktor pembeda, terutama dalam menghadapi ketertarikan wisatawan yang semakin tinggi dalam pariwisata budaya dan pusaka (Gelbman and Ron,

2009:127. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata tidak dapat dipisahkan dari budaya (UNESCO, 2007:8). Budaya sudah menjadi mitra alami bagi pariwisata. Bagi Negara-negara berkembang, seperti , keanekaragaman sumber daya budaya yang dimilikinya merupakan berkah dalam menarik kedatangan wisatawan. Negara-negara berkembang mencoba untuk membasiskan pariwisatanya pada kekayaan budaya dan mempromosikan pemanfaatan elemen- elemen budaya yang disebut sebagai pemanfaatan budaya yang sangat klasik (Berriane, 1999:2). Kelemahan dari promosi klasik tersebut

1 2

adalah pendeknya lama tinggal dan adanya resiko kejenuhan dari wisatawan yang datang berulang kali ke tempat yang sama, menipisnya nilai-nilai tradisional dan konsumerisme gaya hidup (Berriane, 1999:2).

WTO (2005:48) mencatat pariwisata budaya sebagai salah satu segmen pariwisata global yang memiliki pertumbuhan paling besar dan paling cepat.

Peranan penting pariwisata dan budaya dalam proses penciptaan citra dan membentuk lingkungan dalam memenuhi kebutuhan konsumen tidak dapat dipungkiri. Pertumbuhan konsumsi budaya (seni, makanan, feysen, musik, pariwisata) dan industri yang terlibat merangsang “ekonomi simbolik” wilayah yang diartikan sebagai “ekonomi budaya”. Terdapat tiga sumber di belakang ide sebuah ekonomi budaya: perubahan masyarakat dan munculnya kapitamisme konsumen, perubahan struktur ekonomi dan kebijakan-kebijakan pengembangan, dan meningkatnya kepentingan wilayah sebagai sebuah fenomena global. Budaya sudah menjadi sebuah sumber daya yang penting dalam pengetahuan ekonomi post- industrialisasi, sebagai refleksi dalam pemanfaatan warisan budaya dalam strategi pengembangan. Budaya terus meningkat penggunaannya oleh kota-kota dan wilayah-wilayah dengan tujuan untuk melestarikan identitas budaya mereka dan mengembangkan s e m a n g a t - s e m a n g a t sosio-ekonomi (Ray,1998:3-

20). Permintaan terhadap pengalaman-pengalaman yang otentik termasuk ketertarikan dalam warisan pusaka, budaya asli dan pengalaman-pengalaman berbasiskan alam dipandang sebagai pengembangan terkini dalam pasar wisata

(Poon, 2003:58).

Salah satu kekayaan budaya yang banyak terdapat di Indonesia adalah keberadaan kerajaan-kerajaan yang dulunya menguasai daerah-daerah tertentu. 3

Saat ini terdapat 32 kerajaan yang masih tersisa walaupun secara hukum sudah tidak memiliki kewenangan apapun dalam pemerintahan tetapi sebagian besar masih berfungsi sebagai pusat budaya bagi beberapa daerah yang memiliki kerajaan tersebut. Kerajaan-kerajaan yang masih tersisa tersebut pada umumnya beralih fungsi sebagai museum dan ada juga yang memanfaatkannya sebagai tempat untuk mengadakan event-event tertentu yang berbasiskan warisan budaya istana tersebut.

Untuk memasarkan produk-produk wisata budaya yang dimiliki oleh sebuah kerajaan tentu saja bukan hal yang mudah, apalagi jika yang dipasarkan adalah budaya yang bersifat “living culture”. Diperlukan adanya penyesuaian- penyesuaian terhadap budaya tersebut agar sesuai dengan selera pasar.

Puri Anyar Kerambitan sebagai salah satu destinasi wisata kerajaan yang terletak di Kabupaten Tabanan merupakan salah satu daerah tujuan wisata budaya yang cukup terkenal. Puri tersebut memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan dan upacara-upacara adat yang dimilikinya untuk menarik wisatawan. Terdapat tiga produk wisata utama yang menjadi daya tarik Puri Anyar Kerambitan, yaitu

Royal Wedding (Pernikahan ala kerajaan), Royal Dinner (makan malam ala kerajaan), dan Royal (pertunjukan tari kerajaan). Sebagai sebuah kerajaan yang berbasiskan kepada Agama Hindu tentu saja daya tarik wisata yang dipasarkan tersebut menganut pada kepercayaan Agama Hindu, sehingga diperlukan adanya komoditisasi terhadap sumber daya budaya tersebut agar dapat menyesuaikan dengan pasar yang berasal dari berbagaimacam segmen, sama seperti yang banyak terjadi dibanyak destinasi wisata, pariwisata membutuhkan komoditisasi budaya agar dapat menawarkan sebuah produk yang 4

relevan dengan konsumsi wisatawan pada pasar yang kompetitif (Govers and

Go, 2004:165). Komodifikasi budaya sering dipandang sebagai perusak keaslian budaya tetapi tuntutan pasar wisata terhadap otentisitas tidak selalu harus sama dengan budaya yang “benar-benar asli” yang dibuat pada saat pertama kali karena walaupun Otentisitas penting baik bagi pengunjung maupun bagi pengusaha daya tarik wisata budaya. Pengertian otentisitas atau apa yang dipandang sebagai otentik berbeda-beda dari kelompok ke kelompok atau dari individu ke individu (Mehmetoglu & Olsen 2003:137).

Banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan pengembangan wisata puri/keraton di Puri Anyar Kerambitan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan apakah budaya-budaya yang dijadikan daya tarik dan dijual untuk kesenangan wisatawan tersebut masih dapat dianggap sebagai sesuatu yang otentik? Dari beberapa wujud budaya yang dijual sebagai komoditas pariwisata adalah royal wedding (pernikahan keraton) yang merupakan sebuah upacara pernikahan yang pada awalnya hanya diperuntukkan kepada keluarga keraton, namun seiring dengan perkembangan jaman dan masuknya pariwisata ke Bali terjadi perubahan peruntukan terhadap upacara pernikahan tersebut. Upacara pernikahan tersebut saat ini sudah menjadi konsumsi umum dimana setiap orang dapat melakukan upacara pernikahan ala Puri Anyar Kerambitan dengan membayar sejumlah uang tertentu dan bahkan sudah menjadi sebuah paket wisata yang dijual oleh biro-biro perjalanan wisata. Upacara pernikahan tersebut sudah tidak mengenal lagi tingkatan-tingkatan dalam masyarakat, perbedaan agama dan ras. Semua orang bisa melakukan pernikahan disana asal sanggup membayar. Kondisi tersebut di atas pada akhirnya memunculkan 5

pertanyaan-pertanyaan terhadap nilai-nilai otentitas upacara pernikahan tersebut.

Wujud lainnya adalah Tarian Calon Arang yang ditampilkan pada saat wisatawan mengunjungi Puri Anyar Kerambitan. Tarian Calon Arang merupakan tarian yang pada awalnya tidak pernah ada atau bahkan bukan merupakan produk budaya asli Puri Anyar Kerambitan, dan dibawa dari luar lingkungan puri yang kemudian diciptakan menjadi sebuah tarian dengan memanfaatkan seorang Kurator. Cerita Calon Arang sendiri merupakan sebuah cerita yang berasal dari Jawa Timur yang diambil dari Kitab Negara Kertagama yang berasal dari masa Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Dalam perwujudannya sebagai sebuah produk wisata budaya yang ditampilkan di Puri

Anyar Kerambitan banyak sekali terdapat sentuhan perubahan-perubahan dan penambahan-penambahan yang diberikan oleh kurator untuk menambah daya tarik baik dengan penggunaan teknologi maupun menggabungkannya dengan seni dan budaya setempat.

Berdasarkan kedua contoh di atas, maka perlu dipahami bahwa proses komodifikasi merupakan sebuah proses globalisasi yang tidak dapat dihindari dan penilaian mengenai keotentikannya sangat tergantung dari persepsi setiap orang yang melihat dan merasakannya. Perubahan budaya sendiri merupakan sesuatu yang pasti terjadi karena sifat kebudayaan yang sangat dinamis yang selalu mengikuti perubahan jaman. Keotentikan budaya sangat bersifat subjektif, dapat dinegosiasikan dan konstruktif. Tetapi sebagai sebuah puri yang sudah berusia ratusan tahun dan menghasilkan budaya-budaya yang 6

menjadi panutan dan rujukan bagi masyarakatnya. Originalitas budaya yang dimilikinya akan menjadi penentu keberlanjutan puri itu sendiri.

Oleh karena itu inventarisasi budaya-budaya yang terdapat di Puri

Anyar Kerambitan menjadi sangat penting untuk mengintegrasikan keseluruhan budaya yang dimilikinya dan kemudian menentukan indicator-indikator seperti apa saja yang dapat menentukan keotentikan budaya tersebut. Sangat penting untuk memahami ukuran-ukuran otentisitas dari sudut pandang pengelola dan wisatawan agar daya tarik wisata budaya yang dijadikan tontonan wisata tidak kehilangan roh akar budayanya.

2. Rumusan Masalah

Isu-isu mengenai otentisitas terkait dengan pengembangan pariwisata budaya merupakan isu-isu yang terus menjadi bahan perdebatan dikalangan para ahli budaya dan pariwisata yang menganggap bahwa komodifikasi terhadap budaya lokal menyebabkan budaya-budaya tersebut kehilangan keasliannya karena adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap permintaan pasar baik dari segi bentuk, waktu dan tampilan.

Wisatawan menginginkan sebuah pengalaman yang otentik pada saat menikmati daya tarik wisata budaya. Budaya yang berbeda dari yang mereka dapatkan di tempat asal mereka dapat mempengaruhi sudut pandang otentisitas mereka walaupun pada dasarnya budaya tersebut sudah mengalami perubahan dari bentuk asalnya. Tetapi bagaimanapun juga Puri Anyar Kerambitan harus dapat terus mempertahankan akar otentisitasnya untuk dapat terus mempertahankan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Diperlukan adanya 7

inventarisasi yang jelas terhadap budaya-budaya yang dimiliki oleh Puri Anyar

Kerambitan untuk menentukan bagaimana komodifikasi yang sesuai untuk

kepentingan komersial, khususnya bagi kegiatan pariwisata. Inventarisasi ini

tidak hanya meliputi hal-hal yang tangible tetapi juga yang intangible sehingga

dapat diketahui dengan jelas apa saja yang menjadi elemen-elemen otentisitas

dari budaya tersebut yang kemudian dijadikan dasar untuk menentukan indikator-

indikator otentisitas budaya yang terdapat di Puri Anyar Kerambita. Perubahan-

perubahan yang dilakukan pada saat terjadinya komodifikasi budaya akan terus

mengacu pada indikator-indikator tersebut sehingga seberapa besarpun

perubahan atau penambahan yang dilakukan, indikator-indikator tersebut akan

tetap tampak dan otentisitasnya dapat terus dilihat dan dirasakan.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh Puri Anyar Kerambitan dalam

mengembangkan pariwisata budayanya adalah terjadinya perubahan-perubahan

dalam peruntukan budaya yang dimilikinya menjadi komoditas pariwisata yang

dipertontonkan kepada wisatawan. Perubahan bentuk, fungsi dan penciptaan hal-

hal baru menimbulkan pertanyaan apakah budaya yang dipertontonkan untuk

kepentingan pariwisata tersebut dapat dianggap masih otentik atau tidak.

Dari permasalahan utama tersebut selanjutnya dirumuskan dalam

pertanyaan-pertanyaan berikut :

2. Bagaimana potensi Puri Anyar Kerambitan sebagai aset wisata kerajaan?

3. Mengapa komodifikasi budaya di Puri Anyar Kerambitan mempertahankan

nilai-nilai otentisitasnya?

4. Bagaimana model otentisitas dan komodifikasi budaya untuk

pengembangan wisata keraton di Puri Anyar Kerambitan? 8

3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Menginventarisasi daya tarik wisata keraton yang dapat dikembangkan

sebagai daya tarik wisata keraton di Puri Anyar Kerambitan.

b. Menetapkan indikator-indikator otentisitas di Puri Anyar Kerambitan

yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengembangan wisata

keraton di Indonesia.

c. Menemukenali bagaimana di Puri Anyar Kerambitan mempertahankan

otentisitasnya.

d. Merancang model pengembangan wisata keraton sebagai daya tarik

wisata budaya melalui proses komodifikasi yang tetap mempertahankan

otentisitasnya

4. Metode Penelitian

4.1. Analisis Data

Dari observasi dan wawancara yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka, hasilnya kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk menetapkan indicator-indikator otentisitas serta proses komodifikasi seperti apa yang cocok untuk dikembangkan di Puri Anyar Kerambitan yang kemudian disimpulkan sebagai sebuah model otentisitas dan komodifikasi wisata keraton.

Analisis data kualitatif digunakan dengan menggunakan data-data empiris yang bersifat kualitatif. Menurut Silalahi (2006:26) kegiatan analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau klarifikasi. Dalam proses reduksi data ini dilakukan proses pemilihan, penyederhanaan, 9

pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis yang ada di lapangan. Reduksi data ini merupakan bentuk analisis yang digunakan untuk menajamkan, menggolongkan dan membuang data-data yang tidak diperlukan serta mengorganisasikan data sehingga nantinya kesimpulan dapat ditarik secara tepat dan didiversifikasi.

Selanjutnya adalah menyajikan data sebagai kumpulan informasi yang tersusun untuk memberikan kemungkinan akan penarikan .kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan, sehingga kemudian peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi dan kemudian dapat menentukan apakah penarikan kesimpulan yang dilakukan sudah benar atau harus terus melakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan yang valid. Alur kegiatan berikutnya adalah menarik kesimpulan dan verifikasi yang dilakukan melalui data-data yang terkumpul dan kemudian simpulan tersebut akan diverifikasi atau diuji kebenaran dan validitasnya.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara dan pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca dan dipelajari dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.

10

4.2. Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data primer maupun sekunder, data harus dikumpulkan sendiri dengan menggunakan alat bantu yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan menggunakan observasi atau pengamatan, wawancara atau interview, penyebaran kuesioner dan studi pustaka dengan alat kumpul data berupa daftar periksa, kuesioner, dan pedoman wawancara.

4.2.1. Observasi

Observasi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data mengenai kondisi aktual, terutama kondisi permasalahan yang terdapat di Puri Anyar

Kerambitan dilakukan langsung pada lokasi penelitian dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan alat kumpul data berupa daftar periksa atau checklist.

Metode observasi merupakan metode pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Supardi, 2006:48). Observasi dilakukan menurut prosedur dan aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti dan hasil observasi memberikan kemungkinan untuk ditafsirkan secara ilmiah.

4.2.2. Wawancara

Metode wawancara adalah “proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan”

(Supardi, 2006:49). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa “wawancara 11

adalah percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu wawancara yang akan mengajukan pertanyaan dan orang yang akan diwawancarai yang akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang akan diajukan” (Moleong, 2001:36)

4.2.3. Studi Pustaka

Kegiatan studi pustaka ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang bersifat teoritis yang nantinya akan digunakan sebagai landasan teori yang menjadi alat bantu dalam menganalisa permasalahan dengan cara membandingkan kondisi aktual di lapangan terhadap konsep dan teori untuk menghasilkan analisis akhir serta rekomendasi.

Menurut Sugiyono (2008:33) studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode obsevasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Bahkan kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini akan semakin tinggi jika melibatkan/menggunakan studi dokumen ini dalam metode penelitian kualitatifnya hal senada diungkapkan Bogdan (seperti dikutip Sugiyono)

“Sebagian besar kebiasaan penelitian kualitatif, prase dokumen personal digunakan secara luas yang merujuk pada beberapa narasi orang pertama yang dihasilkan oleh individu yang menggambarkan tindakan-tindakan, pengalaman dan kepercayaan dirinya”.

4.2.4. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Puri Anyar Kerambitan ini menggunakan pendekatan Penelitian sosial, yaitu penyelidikan tentang suatu gejala social maupun hubungan antara dua atau lebih gejala sosial melalui aplikasi sistematis 12

dari metode ilmiah. Melalui penelitian social ini peneliti dapat menjawab pertanyaan tentang berbagai aspek perihal fenomena sosial dan masyarakat yang kemudian dapat membantu memahami fenomena sosial dan masyarakat (Silalahi,

2009:3)

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Menentukan masalah yang akan diteliti.

2. Studi pendahuluan mencari informasi agar masalahnya lebih jelas untuk

dijajaki dalam penelitian tersebut.

3. Merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana

harus pergi, dan sarana apa yang harus digunakan.

4. Anggapan dasar adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti

yang berfungsi sebagai tempat berpijak dalam melaksanakan

penelitiannya.

5. Memilih pendekatan atau metode penelitian. 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. PenelitianTerdahulu

Penelitian mengenai Istana sebagai sebuah daya tarik wisata dilakukan oleh Julia Parker (1991:324) yang meneliti di Hampton Court dengan topik Reinvention and Continuity in the Making of an Historic Visitor Attraction:

Control, Access and Display at Hampton Court Palace,1838-1938. Dalam penelitian tersebut dia mengatakan bahwa penekanan dalam pengembangan pariwisata disebuah kerajaan terdapat pada sejarahnya yang kemudian bertransisi yang kemudian didominasi oleh seni. Walaupun keberadaan kerajaan saat ini hanya merupakan peninggalan sejarah tapi peranan kurator sangat penting terhadap terjadinya perubahan.

Sebagai sebuah daya tarik, menyediakan sebuah skema interpretasi tertulis yang sangat komprehensif terhadap tampilannya kepada pengunjung melalui pemberian label tertulis yang jelas, penyediaan audio guide dan guidebook. Pendekatan sirkulasi terhadap display istana dipusatkan pada satu tempat yang menarik perhatian pengunjung. Selain itu story telling yang dilakukan sangat terkait erat dengan istana dan tampilan sentral. Pendekatan yang inovatif dilakukan untuk melakukan perubahan-perubahan atau memberikan daya tarik yang benar-benar baru agar istana dapat dinikmati oleh pengunjung.

Penelitian yang dilakukan oleh Julia Parker (1991:324) menekankan bahwa sangat diperlukan adanya inovasi dalam pengembangan sebuah daya tarik kerajaan agar dapat memberikan pemahaman dan kenyamanan. Ketersediaan

13 14

fasilitas dan pelayanan interpretasi sangat penting dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Keberadaan interpretasi memberikan informasi dan cerita yang jelas terhadap sejarah serta alur cerita pertunjukan seni budaya yang terdapat di sebuah kerajaan. Disamping itu dia juga mengatakan mengenai pentingnya peranan seorang kurator untuk memberikan perubahan terhadap sumber daya budaya yang ada untuk dipertunjukan kepada wisatawan.

Puri Anyar Kerambitan sebagai sebuah daya tarik wisata budaya keraton belum menerapkan teknik interpretasi dalam menampilkan sumber daya budayanya kepada wisatawan. Pemahaman cerita terhadap pertunjukan seni tari dan lingkungan keraton hanya diinformasikan melalui sinopsis di secarik kertas yang tidak memberikan penjelasan secara rinci. Sedangkan pemahaman sejarah puri hanya disampaikan oleh pemandu lokal dengan bahasa inggris yang terbatas, sedangkan segmen pasar yang datang berasal dari mancanegara. Hal tersebut sangat menyulitkan pemahaman mereka terhadap otentisitas puri tersebut.

Glenn R. Carroll (2009:273) dalam penelitiannya yang berjudul“The organizational construction of authenticity: An examination of contemporary food and dining in the U.S.”. mencoba untuk memperkuat hubungan teoritikal antara studi-studi otentisitas budaya interpretative dan studi-studi organisasional.

Mengadopsi pendekatan kualitatif yang tidak terstruktur, dia menggunakan domain makanan dan hidangan kontemporer untuk menilai otentisitasnya. Dia memulai dengan menemukenali dua interpretasi simbolik klasik otentisitas yang sangat berbeda: (1) jenis otentisitas, dimana pertanyaannya meliputi apakah sebuah entitas benar terhadap jenis terkaitnya (atau kategori atau genre); dan (2) moral otentisitas, dimana isu pertimbangan apakah keputusan di belakang

15

pembuatan dan pelaksanaan sebuah entitas menggambarkan pilihan yang sebenarnya daripada respon tertulis secara sosial. Dia berikutnya menyarankan bahwa dalam merespon perubahan sosial, kedua interpretasi tersebut masing- masing memunculkan sebuah keunikan tetapi terkait dengan perbedaan arti otentisitas. Dari jenis otentisitas yang ada yang disebut dengan craftauthenticity, yang meliputi apakah sesuatu dibuat menggunakan teknik-teknik dan ramuan- ramuan yang sesuai.

Idiosyncratic authenticity berasal dari moral authenticity; disini pertanyaannya adalah apakah terdapat sebuah pengenalan secara umum (biasanya historikal) sebuah perilaku aneh terhadap produk atau tempat. Analisisnya kemudian berlanjut pada pengembangan yang dinamakan sebuah dugaan umum dimana komunikasi dan dampak terhadap otentisitas muncul melalui pemaksaan.

Ketika dibangun secara organisasional, erat dan tampak terintegrasi ke dalam struktur organisasi. Tergantung pada empat pemahaman otentisitas yang operatif, rincian konstruksi organisasi akan berbeda.

Salah satu daya tarik wisata di Puri Anyar Kerambitan adalah Royal

Dinner (makan malam ala puri/keraton) yang menyajikan hidangan dan tata cara makan yang biasa dilakukan oleh keluarga keraton atau pada saat menyambut tamu-tamu keraton. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Caroll (2009:273) menyatakan bahwa otentisitas makanan dapat disajikan utuh sesuai dengan aslinya tetapi juga dapat dikembangkan melalui “pemaksaan” terhadap keasliannya dengan merubah beberapa bentuk makanan dan penyajiannya tanpa merubah akar budayanya, yaitu budaya keraton. Hal tersebut juga dilakukan oleh

Puri Anyar Kerambitan dengan menyesuaikan jenis makanan yang disajikan

16

dengan agama dan kepercayaan wisatawan yang datang berkunjug, sebagai contoh jika wisatawan yang datang mayoritas beragama Islam, maka hidangan yang biasanya banyak mengandung babi maka akan diganti dengan makanan yang mengandung kambing. Hal tersebut juga terjadi pada produk wisata royal wedding dimana sebagai sebuah keraton yang menganut agama dan kepercayaan

Hindu, upacara perkawinan yang dilakukan aslinya menggunakan tata cara

Agama Hindu. Tetapi dengan semakin luasnya pangsa pasar yang ada maka tata cara perkawinan secara Hindu tidak selalu diterapkan kepada mereka yang ingin melakukan upacara pernikahan di Puri Anyar Kerambitan tetapi dilakukan penyesuaian karakteristik wisatawan yang membeli produk wisata pernikahan yang ditawarkan.

Berdasarkan kedua penelitian terdahulu di atas, produk-produk wisata budaya yang dijual untuk kepentingan pariwisata tidak harus seratus persen mempertahankan keaslian produknya karena produk-produk wisata yang dijual tersebut dapat melakukan perubahan-perubahan atau penambahan-penambahan unsur-unsur terbarukan seperti penggunaan teknologi atau menggabungkan seni budaya lainnya melalui keberadaan seorang kurator atau dapat juga melalui

“pemaksaan-pemaksaan” tertentu tanpa mengurangi nilai-nilai otentisitas atau akar budaya yang dimilikinya.

Sarah Tetley (1998:390) dalam penelitiannya yang berjudul “Visitor

Attitudes to Authenticity at a Literary Tourist Destination” mengatakan bahwa bacaan yang berbeda dari setiap wisatawan akan memberikan perbedaan yang luas. Apa yang diinterpretasikan otentik oleh seorang wisatawan dapat menjadi tidak otentik oleh wisatawan.

17

Walaupun pelayanan yang diberikan oleh industry pariwisata seragam, wisatawan-wisatawan yang datang cenderung mengkonsumsi produk-produk tersebut dengan cara yang berbeda.

Penelitian yang dia lakukan menunjukkan bahwa setengah dari pengunjung yang diinterview di luar Bronte Parsonage Museum mengatakan bahwa sesuai dengan harapan pra-kunjungan mereka. Bagi pemasar museum hal tersebut menunjukkan bahwa secara signifikan terdapat pengunjung yang tidak peduli dengan konten, layout atau sifat dari museum. Kepuasan pengunjung dapat dilihat sebagai konsekuensi dari perbedaan antara pengalaman yang diharapkan dan persepsi. Kebijakan pengelola yang berusaha keras untuk mengurangi perbedaan tersebut sangat penting dan strategi pemasaran merupakan elemen penting dari kebijakan tersebut. Harapan-harapan dapat dihasilkan melalui banyak saluran, salah satunya adalah place-marketing yangmenghasilkan citra sebuah destinasi atau daya tarik wisata. Bagaimanapun juga, citra tersebut mungkin tidak akan ditemui dikenyataannya, dan perbedaan tersebut akan menghasilkan ketidakpuasan pengunjung. Strategi placemarketing yang akurat merupakan elemen penting untuk mendapatkan kepuasan pengunjung.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengunjung yang bervariasi dalam aspek-aspek destinasi menimbulkan sebuah pengalaman yang otentik dan pengalaman yang tidak otentik. Oleh karena itu sangat penting bagi sebuah destinasi literatur untuk mengidentifikasi elemen-elemen lokasi yang merupakan bagian paling penting bagi kualitas pengalaman dan kepuasan pengunjung yang beraneka ragam.

Sebagai tambahan, penting bahwa destinasi wisata literatur membuat

18

lingkungan terbangun sebagai sebuah elemen kunci yang digunakan oleh pengunjung sebagai penanda pengalaman-pengalaman otentik. Bangunan dipandang sebagai bentuk yang paling berpengaruh dalam memberikan nuansa faktual. Suasana umum dan bentuk-bentuk interpretasional dari sebuah tempat juga memberikan penekanan lebih pada saat mendiskusikan penanda dunia nyata.

Studi ini juga menunjukkan masyarakat literatur membantu mendukung mitos tempat tersebut dengan mengarang cerita fiksi mereka dan juga mendukung otentisitas tempat mereka. Bagi banyak pengunjung, keberadaan museum dan perkumpulan yang ada meningkatkan otentisitas literatur yang berhubungan dengan destinasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarah Tetley (1998:390) tersebut menunjukkan bahwa persepsi pengunjung akan sangat tergantung dari bacaan yang mereka baca dan kondisi lingkungan terbangun yang dikembangkan ditempat tersebut yang didukung oleh place marketing dan interpretasi yang sesuai dengan jenis-jenis pengunjung yang datang.

Penelitian mengenai komodifikasi lainnya dilakukan oleh Inge Maria

Daniels (2001:458) yang berjudul “The Fame of Miyajima: Spirituality,

Commodification and Tourist Trade of Souvenirs in Japan”. Dia mengatakan bahwa argument mengenai spiritual dan material secara dialektika memiliki keterkaitan. Dia mengatakan bahwa lembaga keagamaan memiliki pengaruh terhadap perekonomian masyarakat local dan bagaimana hubungannya antara kunjungan keagamaan dengan pariwisata melalui penjualan souvenir-suvenir yang diproduksi massal, murah dan mobil yang memberikan peluang kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan keagamaannya sehari-hari.

19

Komoditas terhadap benda-benda spiritual benda-benda yang ada di biara memberikan keyakinan kepada penggunanya akan nasib baik. Agar benda-benda tersebut memiliki nilai-nilai otentik, material menggunakan bahan-bahan kayu yang hanya terdapat di pulau dimana biara tersebut berada dan diberikan stempel yang menunjukkan keotentikan barang-barang tersebut. Walaupun barang-barang berupa souvenir tersebut kemudian dibawa dan dijual di luar tempat asalnya, barang-barang tersebut tetap dianggap otentik karena diyakini tetap membawa aura dari biara tersebut. Disamping itu masyarakatnya juga membuat bentuk- bentuk souvenir yang menjadi ciri khas mereka yang tidak terdapat ditempat lain sehingga setiap orang yang membeli, membawa dan menggunakannya selalu mengasosiasikannya dengan miyajima.

Berdasarkan penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nilai- nilai otentisitas dapat dibentuk melalui keyakinan orang-orang terhadap tempat yang mereka kunjungi terutama yang berkaitan dengan tempat-tempat spiritual dan walaupun barang-barang souvenir yang dibuat dan dijual secara massal akan tetap dianggap otentik jika menggunakan material dan identitas yang dihasilkan dari tempat tersebut.

James A. Fitchett (1997:214) dalam penelitiannya yang berjudul

“Consumption and Cultural Commodification: The Case of the Museum as

Commodity” mengatakan bahwa konsumsi terhadap sebuah museum dapat secara akurat dideskripsikan sebagai sebuah proses singularisasi atau penyesuaian; sebuah perilaku yang menghasilkan kembali dimana individu secara aktif berhubungan dengan material. Secara semiotic menghasilkan kembali tidak hanya pemahaman akan masa lalu dan lainnya tetapi juga pemahaman terhadap diri

20

seseorang. Konsumsi terhadap museum berhubungan dengan dimensi semiotik, dimana aktivitas konsumsi terdiri dari penggunaan dan pertukaran tanda-tanda.

Tetapi studi yang dilakukan juga menunjukkan, konsumsi museum memerlukan lebih dari sekedar tanda. Pengunjung museum tidak hanya peduli dengan pengalaman semiotik tetapi dengan pengalaman „nyata‟ berupa kenyataan, benda- benda aktual. Temuan tersebut menghasilkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tertentu mengenai sifat dari realitas dan bagaimana seseorang membuat penilaian mengenai apa yang nyata dan apa yang tidak nyata. Penilaian pengunjung terhadap realitas berhubungan dengan definisi fisik dari kenyataan. Pengunjung memandang pengalaman di museum menjadi nyata karena mereka secara aktif terlibat dalam pengalaman tersebut. Kedekatan kontak fisik dengan objek-objek material yang dapat (hampir) disentuh memberi pengunjung rasa akan realitas yang tidak ditemui di televisi atau gambar. Sehingga tindakan konsumsi tidak hanya melibatkan manipulasi tanda, tidak hanya berhubungan dengan citra dan simbolik tetapi dengan benda-benda fisik aktual. Bahkan dalam situasi konsumsi dimana „benda-benda‟ tersebut, komoditas-komoditas tersebut; tidak dapat dibeli, pertukaran diperlukan atau digunakan, konsumen masih menilai kehadiran benda tersebut. Konsumsi museum bernilai karena menjadikannya ada disana dan tidak hanya melihat disana. Tidak peduli seberapa artifisial atau dirancang, display museum berasal dari pandangan seorang kurator atau antropologi, bagi pengunjung pengalaman berasal dari kontak dengan artefak merupakan sensasi nyata dan sah.

21

2.1.1. Matriks Penelitian Terdahulu

Tabel 1

Matriks Penelitian Terdahulu

Nama Tema/Judul Sinopsis Lokasi Kebaruan Peneliti Julia Parker Reinvention and diperlukan adanya inovasi dalam pengembangan Hampton  Dominasi wisata Continuity in the Making sebuah daya tarik kerajaan agar dapat Court keraton oleh seni of an Historic Visitor memberikan pemahaman dan kenyamanan. Palace  Pentingnya peranan Attraction: Control, Ketersediaan fasilitas dan pelayanan interpretasi kurator Access and Display at sangat penting dengan memanfaatkan teknologi  Penggunaan sarana Hampton Court yang ada. Keberadaan interpretasi memberikan interpretasi Palace,1838-1938 informasi dan cerita yang jelas terhadap sejarah serta alur cerita pertunjukan seni budaya yang terdapat di sebuah kerajaan. Disamping itu dia juga mengatakan mengenai pentingnya peranan seorang kurator untuk memberikan perubahan terhadap sumber daya budaya yang ada untuk dipertunjukan kepada wisatawan. Glenn R. The organizational memperkuat hubungan teoritikal antara studi- United  Produk wisata budaya Carroll construction of studi otentisitas budaya interpretatif dan studi- States yang dijual tidak harus authenticity: An studi organisasional. Mengadopsi pendekatan 100% mempertahankan examination of kualitatif yang tidak terstruktur, dia keasliannya contemporary food and menggunakan domain makanan dan hidangan  Perubahan dapat dining in the U.S. kontemporer untuk menilai otentisitasnya. Dia dilakukan dengan memulai dengan menemukenali dua interpretasi “pemaksaan” tanpa

22

simbolik klasik otentisitas yang sangat berbeda: mengurangi nilai-nilai (1) jenis otentisitas, dimana pertanyaannya otentisitas meliputi apakah sebuah entitas benar terhadap jenis terkaitnya (atau kategori atau genre); dan (2) moral otentisitas, dimana isu pertimbangan apakah keputusan di belakang pembuatan dan pelaksanaan sebuah entitas menggambarkan pilihan yang sebenarnya daripada respon tertulis secara sosial. Dia berikutnya menyarankan bahwa dalam merespon perubahan sosial, kedua interpretasi tersebut masing-masing memunculkan sebuah keunikan tetapi terkait dengan perbedaan arti otentisitas. Dari jenis otentisitas yang ada yang disebut dengan craftauthenticity, yang meliputi apakah sesuatu dibuat menggunakan teknik-teknik dan ramuan- ramuan yang sesuai.

Sarah Tetley Visitor Attitudes to bacaan yang berbeda dari setiap wisatawan akan literary  Nilai otentisitas sangat Authenticity at a Literary memberikan perbedaan yang luas. Apa yang tourism area tergantung dari Tourist Destination diinterpretasikan otentik oleh seorang wisatawan of Haworth, pengetahuan yang dapat menjadi tidak otentik oleh wisatawan. West didapatkan sebelum Walaupun pelayanan yang diberikan oleh Yorkshire, mereka berkunjung industry pariwisata seragam, wisatawan- England wisatawan yang datang cenderung mengkonsumsi produk-produk tersebut dengan cara yang berbeda. Inge Maria The Fame of Miyajima: nilai-nilai otentisitas dapat dibentuk melalui Miyajima,  Material lokal sebagai

23

Daniels Spirituality, keyakinan orang-orang terhadap tempat yang Japan pembentuk otentisitas Commodification and mereka kunjungi terutama yang berkaitan dengan  Spiritual dan material Tourist Trade of tempat-tempat spiritual dan walaupun barang- memiliki keterkaitan Souvenirs in Japan barang souvenir yang dibuat dan dijual secara  Komunitas dapat massal akan tetap dianggap otentik jika mendukung terciptanya menggunakan material dan identitas yang otentisitas dihasilkan dari tempat tersebut.  Identitas lokal sebagai penanda otentisitas James A. Consumption and dalam situasi konsumsi dimana „benda-benda‟ Kelvingrove  Konsumsi terhadap Fitchett Cultural tersebut, komoditas-komoditas tersebut; tidak Art Gallery budaya sangat Commodification: The dapat dibeli, pertukaran diperlukan atau and dipengaruhi oleh Case of the Museum as digunakan, konsumen masih menilai kehadiran Museum, keberadaan benda- Commodity benda tersebut. Konsumsi museum bernilai Glasgow benda budaya secara karena menjadikannya ada disana dan tidak nyata. hanya melihat disana. Tidak peduli seberapa  Nilai benda-benda artifisial atau dirancang, display museum berasal budaya diakui karena dari pandangan seorang kurator atau antropologi, dia ada disana bagi pengunjung pengalaman berasal dari kontak dengan artefak merupakan sensasi nyata dan sah.

24

2.2. Kebudayaan

Studi yang pernah dilakukan mengenai kebiasaan mengkonsumsi budaya oleh orang-orang eropa (European Commission, 2002:7) menunjukkan bahwa orang-orang mengunjungi museum-museum dan galeri-galeri di luar negeri sesering seperti yang mereka lakukan di rumah. Hal tersebut menunjukkan pertumbuhan penting mengenai pariwisata budaya sebagai sumber konsumsi budaya. Generalisasi konsumsi budaya pada liburan menunjuk pada salah satu permasalahan utama dalam mendefinisikan pariwisata budaya. Apa yang membedakan antara kunjungan budaya pada liburan (pariwisata budaya) dan kunjungan budaya yang dilakukan selama waktu luang di rumah? Banyak penelitian yang dilakukan oleh Association for Leisure and Tourism Education

(ATLAS, 2009:12) terhadap pasar pariwisata budaya internasional memiliki kenyataan yang menunjukkan tingkat keberlanjutan yang tinggi antara konsumsi di rumah dan pada saat liburan.

2.2.1. Pengertian Kebudayaan

Untuk mendefiniskan pariwisata budaya, pertama-tama kita harus

menetapkan pengertian mengenai budaya itu sendiri sebagai titik awal

dalam meneliti pariwisata budaya. Menurut Tylor (1871:491) budaya

adalah “kompleksitas yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,

moral, hokum, adat dan beberapa kemampuan lainnya dan kebiasaan-

kebiasaan yang dibutuhkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Sedangkan menurut the Webster’s New Encyclopaedic Dictionary

mendefinisikan budaya sebagai “bentuk-bentuk karakteristik dari sebuah

25

peradaban yang meliputi kepercayaan, seni dan material produknya serta lembaga-lembaga sosialnya.” (2013:244)

Hofstede (1997:279) mengatakan bahwa “Budaya merujuk pada kumulasi pengetahuan, pengalaman, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, perilaku, arti, hirarki, agama, rentang waktu, peranan, hubungan spasial, konsep alam semesta dan objek-objek material dan segala sesuatu yang dimilikinya yang dibutuhkan oleh sekelompok orang dalam perjalanan generasi melalui usaha individu atau kelompok.

Masih menurut Hofstede (1997:279) inti dari budaya dibentuk oleh nilai-nilai dimana istilah pariwisata akan menjadi dasar bagi daya tarik dari sebuah destinasi.

Gambar 1

Manifestation of Culture at Different Levels of Depth

SYMBOLS

HEROES

RITUALS

VALUES PRACTICES

Sumber : Hofstede (1997:279)

26

Perbedaan tingkatan budaya merupakan ritual, pahlawan dan symbol dari budaya yang ada yang sekali lagi menjadi dasar bagi tujuan melakukan perjalanan wisata. Roshan Cultural Heritage Institute mengatakan bahwa budaya merujuk pada cara-cara hidup sebagai berikut tetapi tidak terbatas pada :

 Bahasa: pranata manusia yang paling tua dan ekspresi yang paling

menarik.

 Seni dan Ilmu Pengetahuan : Bentuk-bentuk paling maju dan halus

dari ekspresi manusia.

 Pemikiran : Cara-cara bagaimana orang-orang memandang,

menginterpretasikan dan memahami dunia disekitarnya.

 Spiritualitas : Sistem nilai-nilai yang diturunkan ke setiap generapi

untuk kesejahteraan jiwa manusia yang diekspresikan melalui bahasa

dan tindakan.

 Aktivitas sosial : pencarian pengalaman dalam sebuah komunitas

budaya, ditunjukan dalam berbagaimacam pesta dan perayaan even-

even kehidupan.

 Interaksi : aspek-aspek sosial dari hubungan manusia, termasuk

memberi dan menerima sosialisasi, negosiasi, protokol dan konsvensi.

(http://www.roshaninstitute.org/474552)

Berdasarkan pada hal-hal yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa budaya adalah bagian dari cara hidup yang melibatkan banyak orang. Kesamaan-kesamaan dalam bahasa lisan dan tulisan, perilaku, cara hidup, kebiasaan, sejarah, ideologi dan bahkan teknologi menghubungkan

27

individu ke kelompok dalam sebuah budaya tertentu.

Menurut Taylor (1871:491) kebudayaan adalah kompleks yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat

istiadat dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan-kebiasaan

yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan

Soemardjan dan Soemardi (1964:8) merumuskan kebudayaan sebagai

semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan budaya kebendaan atau kebudayaan

jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk

menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan

untuk keperluan masyarakat. Rasa meliputi jiwa manusia yang

mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk

mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas.

Didalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua

unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai

anggota masyarakat. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental,

kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara

lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.

2.2.2. Wujud Kebudayaan Puri/Keraton

Puri/keraton sebagai salah satu perwujudan sebuah kelompok

masyarakat tidak terlepas dari wujud-wujud kebudayaan yang terbentuk

melalui proses yang sangat panjang. Wujud-wujud kebudayaan tersebut

kemudian akan menjadi ciri khas atau penanda sebuah kelompok

28

masyarakat yang kemudian menjadi penanda otentisitas kelompok tersebut. Puri Anyar Kerambitan sebagai salah satu kelompok budaya juga memiliki wujud-wujud budayanya tersendiri yang menjadikannya berbeda dengan puri-puri atau keratin-keraton lainnya.

Selain unsur kebudayaan, masalah lain yang juga penting dalam kebudayaan adalah wujudnya. Pendapat umum mengatakan bahwa terdapat dua wujud kebudayaan. Pertama, kebudayaan badaniah (material) yang memiliki ciri dapat dilihat, diraba dan dirasa. Sehingga lebih konkret atau mudah dipahami. Kedua, kebudayaan rohaniah (spiritual) yang memiliki ciri dapat dirasa saja. Oleh karena itu kebudayaan rohaniah bersifat lebih abstrak dan lebih sulit dipahami. Koentjaraningrat dalam karyanya kebudayaan, mentaliter dan pembangunan menyebutkan bahwa paling sedikit terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu :

1. sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, peraturan, dan sebagainya.

2. Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam

masyarakat.

3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia

(Koentjaraningrat, 1974:15)

Wujud pertama adalah wujud ideal kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba dan difoto. Letaknya dalam alam pikiran manusia. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia ini banyak yang hidup dalam masyarakat dan memberi jiwa kepada masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak terlepas satu sama lain melainkan saling berkaitan menjadi suatu sistem yang

29

disebut dengan sistem budaya atau culture system, yang dalam Bahasa

Indonesia disebut adat istiadat.

Wujud kedua adalah yang disebut dengan sistem sosial, yaitu mengenaitindakan berpola manusiaitu sendiri. Sistem sosial ini bersifat konkrit sehingga bisa diobservasi, difoto dan didokumentir.

Wujud ketiga adalah yang disebut dengan kebudayaan fisik, yaitu seluruh hasil fisik karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkrit berupa benda-benda yang bisa diraba, difoto dan dilihat.

Ketiga wujud kebudayaan di atas dalam kehidupan masyarakattidak terpisah satu dengan yang lainnya.

Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai. Menurut

Kluckhohn (1961:38), sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan yang ada di dunia sebenarnya berkisar pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu :

1. Hakikat dari hidup manusia (manusia dan hidup).

2. Hakikat dari karya manusia (manusia dan karya).

3. Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu (manusia dan waktu).

4. Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (manusia dan manusia).

Terdapat tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat

(1979:186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat

30

dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan tersebut selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kata „adat‟ dalam

Bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979:187). Wujud kebudayaan yang keduadisebut dengan sistem sosial (Koentjaraningkat,

1979:187). Sistem sosial dijelaskan sebagai keseluruhan aktivitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktivitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial. Sistem sosial berbentuk konkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indera penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (1979:189). Wujud kebudayaan ini bersifat konkrit karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas atau perbuatan manusia dalam masyarakat.

Koentjaraningrat (1979:203-204) juga mengemukakan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan, yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, system teknologi, sistem mata pencarian, organisasi sosial dan ilmu pengetahuan. Ketujuh unsur kebudayaan disebut sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Ketujuh

31

unsur kebudayaan tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan. Sebagai contoh Koentjaraningrat

(1979:205) menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan. Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh- roh halus, surga dan neraka, reinkarnasi dan sebagainya. Kemudian, sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga memiliki pola-pola aktivitas atau tindakan seperti upacara atau ritual, baik yang diadakan musiman maupun setiap hari. Kemudian sistem religi juga memiliki benda-benda yang dianggap suci, sakral atau religious sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.

Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan, sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep serta adat istiadat. Jenis kebudayaan dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Kebudayaan material, yaitu hasil cipta, karsa yang berwujud benda,

barang, alat pengolahan alam.

2. Kebudayaan non-material, yaitu cara, kebiasaan, kesusilaan, adat

istiadat, hukum dan mode.

Sedangkan menurut Hoenigman dalam Koentjaraningrat

(1979:203-204) , wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :

32

1. Gagasan, yaitu kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang

sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan

ini terletak dalam alam pikiran warga masyarakat. Jika masyarakat

tersebut mengatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan maka

lokasi dari kebudayaan ideal tersebut berada dalam karangan dan

buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

2. Aktivitas, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan yang

berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula

disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial tersebut terdiri atas

aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan

kontak serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola

tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan, sifatnya konkrit, terjadi

dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat dinikmati dan

didokumentasikan.

3. Artefak, yaitu wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil aktivitas,

perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat yang berupa

benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, didokumentasikan.

Artefak sifatnya paling konkrit diantara ketiga wujud kebudayaan.

2.2.3. Unsur Kebudayaan

Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti

bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis

tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan disini lebih

33

mengandung makna totalitas daripada sekedar penjumlahan unsur-unsur

yang terdapat didalamnya. Menurut Kluckhohn (1961:38), terdapat tujuh

unsur dalam kebudayaan universal, yaitu system religi dan upacara

keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem

mata pencarian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta

kesenian.

Perlu dimengerti bahwa unsur-unsur kebudayaan yang

membentuk struktur kebudayaan tersebut tidak berdiri lepas dengan

lainnya. Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan jumlah dari unsur-

unsurnya saja, melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur

tersebut yang saling berkaitan erat, yang membentuk kesatuan yang

harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbal balik.

Apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan

perubahan pada unsur yang lainnya.

2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jalannya Proses Kebudayaan

Kebudayaan merupakan sesuatu yang sangat dinamis dan selalu

mengalami perubahan disetiap generasinya. Menurut Soekanto (1990:35)

terdapat beberapa factor yang menyebabkan terjadinya perubahan-

perubahan tersebut, yaitu :

1. Kontak dengan kebudayaan lain. Salah satu proses yang menyangkut

hal ini adalah diffusion, yaitu proses penyebaran unsur-unsur

kebudayaan dari individu kepada individu lain dan dari satu

masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses tersebut masyarakat

34

mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah dihasilkan. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan disebarkan kepada masyarakat luas sampai umat manusia dapat menikmati kegunaannya.

Proses tersebut merupakan pendorong pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan masyarakat. Terdapat dua jenis difusi, pertama difusi intra-masyarakat dan kedua difusi antar- masyarakat. Difusi intra-masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a. Suatu pengakuan bahwa unsur yang baru tersebut memiliki

kegunaan b. Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhi

diterimanya atau tidak diterimanya unsur-unsur yang baru. c. Unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur lama,

kemungkinan besar tidak akan diterima. d. Kedudukan dan peranan sosial dari individu yang menemukan

sesuatu yang baru tadi akan mempengaruhi apakah hasil

penemuannya itu dengan mudah diterima atau tidak. e. Pemerintah dapat membatas proses difusis tersebut.

Sedangkan difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang antara lain : a. Adanya kontak antara masyarakat-masyarakat tersebut. b. Kemampuan untuk mendemonstrasikan kemanfaatan penemuan

baru tersebut.

35

c. Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut.

d. Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyaingi unsur-

unsur penemuan baru tersebut.

e. Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan baru di dunia

ini.

f. Paksaan dapat dipergunakan untuk menerima suatu penemuan

baru.

2. Sistem pendidikan formal yang maju

Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan.

Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama

dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga

bagaimana cara berpikir secara alamiah. Pendidikan mengajarkan

manusia untuk berpikir secara objektif yang akan memberikan

kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jaman atau tidak.

3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan

untuk maju. Apabila sikap ini melembaga dalam masyarakat, maka

masyarakat merupakan pendorong bagi usaha-usaha penemuan baru.

4. Toleransi terhadap perubahan-perubahan yang menyimpang yang

bukan merupakan delik.

5. System terbuka lapisan masyarakat. Sistem terbuka memungkinkan

adanya gerakan sosial vertikal yang luas atau berarti memberikan

kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar kemampuan

sendiri.

36

6. Penduduka yang heterogen. Masyarakat yang terdiri dari kelompok-

kelompok sosial yang memiliki latar belakang kebudayaan yang

berbeda, ras yang berbeda, ideologi yang berbeda dan sebagainya

mempermudah terjadinya pertentangan-pertentangan yang

mengundang kegoncangan-kegoncangan. Keadaan demikian menjadi

pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.

7. Ketidakpuasan masyarakat dalam bidang-bidang kehidupan tertentu.

Ketidakpuasan yang berlangsung terlalu lama dalam sebuah

masyarakat berkemungkinan besar akan mendatangkan revolusi.

8. Orientasi ke masa depan

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki

kehidupannya.

2.3. Pariwisata Budaya

2.3.1. Definisi Pariwisata Budaya

Diskusi mengenai pertumbuhan pariwisata budaya bermula dari

pendekatan-pendekatan teoritis yang tinggi sampai dengan pendekatan-

pendekatan praktis yang ekstrem.

Secara teoritis, hubungan antara pariwisata dan budaya

menggambarkan bahwa pasar pariwisata budaya saat ini mewakili tahapan

terkini dalam sebuah proses penyatuan yang panjang antara budaya dan

pariwisata. Di masa lalu, budaya dan pariwisata dilihat secara terpisah

dalam praktek sosial, dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial tertentu

pada waktu-waktu tertentu. Seperti yang dikatakan oleh John Urry

37

(1995:67) bahwa penghalang antara budaya pariwisata dapat dihilangkan berdasarkan pada dua proses paralel, yaitu :

1. Kulturisasi masyarakat

Kehidupan sehari-hari dicirikan oleh semakin meningkatnya

kesamaan ruang sosial dan budaya, melalui munculnya tanda-tanda

ekonomi, kesamaan „high’ dan „low’ culture, „art’ dan „life’. Objek-

objek dan orang-orang menjadi bergerak terus, dan batasan antara

perbedaan budaya sebelumnya menjadi hilang.

2. Kulturisasi kegiatan wisatawan

Pariwisata sudah menjadi bagian dari muatan budaya, dan yang paling

dipahami adalah melalui pertumbuhan pariwisata budaya, tetapi juga

meningkatnya arti tanda-tanda dalam produksi situs-situs wisata.

Tidak hanya karena wisatawan mengkonsumsi arti-arti secara luas

selama mereka berlibur, tetapi juga arti yang melekat pada perjalanan

diproduksi dan disirkulasikan oleh industri-industri budaya.

Definisi pariwisata budaya dapat dibedakan menjadi definisi

konseptual dan definisi teknis :

1. Definisi Konseptual

“pergerakan orang-orang ke daya tarik budaya jauh dari tempat

tinggal mereka, dengan maksud untuk mengumpulkan informasi

dan pengalaman-pengalaman baru untuk memuaskan kebutuhan

budaya mereka”.

2. Definisi Teknis

“semua pergerakan orang-orang ke daya tarik-daya tarik budaya

38

tertentu, seperti situs-situs sejarah, manifestasi budaya dan

artistic, seni dan drama di luar tempat tinggal normal mereka”.

(ATLAS, 2009:17)

pada saat mempertimbangkan definisi pariwisata budaya kita juga mengacu pada pendekatan yang dilakukan oleh UNWTO. The

United Nations World Tourism Organisation (1997:33) memberikan dua perspektif definisi, yaitu pendekatan secara luas dan sempit :

1. Definisi secara luas : “semua pergerakan orang-orang termasuk

dalam definisi karena memuaskan kebutuhan manusia terhadap

perbedaan, cenderung untuk meningkatkan level kebudayaan

individu dan menambah pengetahuan, pengalaman dan teman

baru.

2. Definisi secara sempit : Pergerakan orang-orang yang memiliki

motivasi budaya seperti study tours, pertunjukan seni, festival dan

event-event budaya lainnya, mengunjungi situs-situs dan

monument”.

Pendekatan luas dapat ditangani dari sudut pandang pengembangan produk dan aspek-aspek pengelolaan produk karena hamper semua perjalanan rekreasi mencakup pariwisata budaya berdasarkan pengalaman-pengalaman baru yang didapatkan oleh wisatwan dari hasil pengamatan dan pengetahuan (Michalkó & Rátz,

2011:20).

Jika kita mempertimbangkan dari sudut pandang sempit dari pengertian UNWTO, program, event dand sightseeing yang disebut

39

sebagai high atau elite culture merupakan basis daya tarik untuk pariwisata budaya. Dalam hal ini, monument dan situs-situs sejarah sites, festival pariwisata, pameran-pameran dan musem-museum, mengunjungi teater dan konser dan kunjungan keagamaan atau karya wisata adalah produk dasar pariwisata budaya (Michalkó & Rátz,

2011:20). Menurut Michalkó & Rátz (2011:20) agar memiliki persepsi yang sama, budaya popular juga harus dipertimbangkan ketika meneliti pariwisata budaya.

Berdasarkan pengertian yang disebutkan di atas mengenai pariwisata budaya: “Pariwisata budaya sebagai sebuah produk pariwisata adalah dimana motivasi wisatawannya adalah diperkenalkan dengan budaya-budaya baru, partisipasi dalam event- event budaya dan mengunjungi daya tarik budaya dan elemen inti sisi permintaannya khas, budaya unik destinasi yang dikunjungi”.

(Michalkó & Rátz , 2011:20).

Laporan dari European Travel Commission on City Tourism and

Culture (2005:11) membedakan antara lingkaran luar dan lingkaran dalam pariwisata budaya :

1. Lingkaran dalam mewakili elemen-elemen utama pariwisata

budaya yang dapat dibagi ke dalam dua bagian yang disebut

wisata pusaka (heritage tourism  berkaitan dengan artefak dan

masa lalu) dan seni (berkaitan dengan produksi budaya

kontemporer seperti seni pertunjukan dan visual, arsitektur

kontemporer, literatur, dll).

40

2. Lingkaran luar mewakili elemen-elemen sekunder pariwisata

budaya yang terbagi ke dalam dua elemen, yaitu cara hidup

(kepercayaan, masakan, tradisi, cerita rakyat, dll) dan industri

kreatif (desain feysen, desain web dan grafis, film, media dan

hiburan, dll.).”

Selain itu terdapat definisi yang diterima secara luas yang dilontarkan oleh Stebbins (1996:948-950) yang mengatakan bahwa

“pariwisata budaya adalah sebuah genre dari wisata minat khusus yang didasari oleh pencarian untuk dan partisipasi dalam pengalaman budaya baru dan mendalam, baik secara estetika, intelektual, emosional, atau psikologis.” Tanpa adanya bantuan dari semua definisi pariwisata budaya di atas, segmen pariwisata akan sulit untuk diklasifikasikan menjadi elemen-elemen pariwisata masal dan pasif.

Daya tarik wisata budaya klasik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (Aubert & Csapó 2002:137-147) :

1. Nilai-nilai material dan terbangun (bangunan, nilai-nilai material

dari bentuk-bentuk seni yang berbeda),

2. Nilai-nilai budaya yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-

hari (waktu luang, leisure, cara hidup, kebiasaan, gastronomi)

3. Events dan festivals.

Berdasarkan pengetahuan terkini dan sebagai sebuah pengetahuan dari definisi-definisi yang disebutkan di atas kita dapat mengasumsikan definisi-definisi kebudayaan dan pariwisata merefleksikan pengertian pariwisata budaya. Dalam kasus ini bagian

41

atau wilayah pariwisata adalah sebuah konsep mengumpulkan yang banyak dan berbeda-beda dari sudut pandang beberapa produk pariwisata dengan daya tarik budaya.

„Pariwisata budaya‟ dan‟ „wisatawan budaya‟ adalah istilah yang digunakan secara luas, tetapi juga tidak dimengerti. Definisi pariwisata budayadan wisatawan budayatetap tidak jelas (Aluza,

O‟Leary and Morrison, 1998:2-13).

Sudah banyak yang menulis mengenai permasalahan tersebut baik pariwisata dan budaya sebagai istilah terpisah. Williams

(1983:21), sebagai contoh, menyebutkan bahwa budaya adalah „satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks dalam bahasa inggris‟.

Ketika budaya dan pariwisata digabungkan dan membentuk

„pariwisatabudaya‟, masalahnya menjadi berlipat ganda.

Seperti yang dikatakan oleh McKercher dan Du Cros (2002:3) mengatakan: ‟tampaknya pertanyaan yang sederhana tetapi sebenarnya sangat sulit untuk dijawab karena terlalu banyak definisi

…… dari pariwisata budaya karena adanya wisatawan budaya‟.

Alasan munculnya situasi yang kompleks tersebut relatif sederhana, definisi budaya itu sendiri yang begitu sulit. ‟Budaya‟ diberi label oleh Williams (1983:21) sebagai kata yang paling rumit dalam

Bahasa Inggris, dan memiliki banyak variasi dalam interpretasinya dibahasa-bahasa lainnya. Ketika diskusi melebar melewati batas- batas Negara atau bahasa, pertanyaannya menjadi lebih rumit.

42

Permasalahan dalam mendefinisikan budaya menjadi pusat perhatian beberapa tahun belakang dengan menambahkan arti dan fungsi-fungsi yang diletakkan pada „budaya‟ sebagai hasil demokratisasi budaya dan meningkatnya kesamaan budaya dan kehidupan sehari-hari. Pertumbuhan budaya adalah salah satu alasan munculnya bermacam-macam istilah yang muncul di literature dan dalam kebijakan dewasa ini. Cultural tourism, heritage tourism, arts tourism, ethnic tourism dan istilah lainnya dapat saling bertukar dalam penggunaannya, tetapi tidak jelas apakah orang-orang membicarakan hal yang sama.

Sifat yang luas dari fenomena pariwisata budaya juga cenderung untuk menjeneralisasi definisi yang berbeda-beda.

Sebagian besar definisi-definisi tersebut dirumuskan untuk tujuan- tujuan tertentu dan oleh karenanya cenderung hanya dialamatkan pada satu aspek utama pariwisata budaya. Dalam review mereka terhadap definisi tersebut, McKercher and Du Cros (2002:3) mengidentifikasi empat jenis definisi pariwisata budaya: tourism derived definitions, motivational definitions, experiential or aspirational definitions and operational definitions.

Dalam pemahaman yang sangat sederhana, pendekatan- pendekatan tersebut dapat ditempatkan pada ujung yang berlawanan dari dua sumbu. Definisi experiential mengatakan sesuatu mengenai sifat dari pengalaman pariwisata budaya, dan pada dasarnya mencoba untuk memahami sifat pariwisata budaya secara konseptual – apa

43

artinya itu? Definisi operasional berkonsentrasi dalam mengidentifikasi wisatawan budaya, biasanya untuk mengukur skala atau ruang lingkup aktivitas pariwisata budaya. Sumbu pendefinisian pertama dapat diistilahkan sebagai measurement-meaning axis.

Definisi awal dari sisi pariwisata pada dasarnya melihat pariwisata budaya dari perspektif industri pariwisata atau sistem pariwisata.

Pariwisata budaya merupakan satu lagi segmen pasar yang menggunakan prasarana industri pariwisata. Perbedaannya, definisi motivasional biasanya dimulai dari wisatawan itu sendiri dan alas an mereka untuk melakukan perjalanan. Definisi-definisi tersebut oleh karenanya berkaitan dengan second 'tourism-tourist', atau supply- demand axis.

Pariwisata mungkin sebuah konsep yang lebih mudah dimengerti daripada budaya, karena kompleksitas yang terdapat didalamnya biasanya dapat diinterpretasikan daripada muatan nilai.

Definisi pariwisata dapat berbentuk konseptual yang mencoba untuk menjelaskan apa itu pariwisata dan berbentuk teknis yang mampu mengukur volume dan nilai pariwisata (Smith, 1988:7). Definisi konseptual bisa sangat luas seperti yang yang didefinisikan oleh The

Tourism Society UK (1990:5) : "pergerakan sementara orang-orang dalam waktu yang singkat ke destinasi di luar tempat tinggal dan kerja dan mereka dan beraktivitas selama mereka tinggal di destinasi tersebut; hal tersebut meliputi pergerakan untuk semua tujuan, seperti day visits dan ekskursi".

44

Terdapat pembahasan yang dapat didebatkan terkait dengadefinisi teknis, karena hal tersebut cenderung berbeda dari satu

Negara dengan Negara lainnya, yang membuat kesulitan dalam membandingkannya secara internasional. Definsi yang ditetapkan oleh

World Tourism Organization (WTO) pada Tahun 1993 yang saat ini diterima secara luas meliputi “aktivitas orang selama perjalanan dan tinggal di sebuah tempat di luar tempat tinggal mereka, untuk jangka waktu kurang dari satu tahun, untuk leisure, bisnis atau tujuan lainnya

" (World Tourism Organization, 1993:5).

Definisi juga memberikan perbedaan antara „wisatawan‟ yang tinggal paling tidak 24 jam, dan‟excursionists‟ yang melakukan perjalanan kurang dari 24 jam.

Budaya merupakan sebuah konsep yang kompleks, yang dibuktikan oleh perdebatan terhadap istilah tersebut yang terus- menerus. Tomlinson (1991:4) mencatat bahwa terdapat ratusan definisi budaya, yang menunjukkan adanya sejumlah kebingungan….. atau bahwa budaya begitu besar dalam merangkul sebuah konsep dan dapat mengakomodasi seluruh definisi tersebut‟. Terdapat sebuah pemahaman dari budaya sebagai sesuatu yang benar-benar kompleks, yang memberikan sebuah konsep yang terorganisir untuk berbagaimacam „cara hidup‟ yang sangat luas. Solusi yang diusulkan oleh adalah untuk tidak mencari definisi yang dapat menampung semuanya, tetapi lebih pada berkonsentrasi pada cara dimana istilah tersebut sebenarnya digunakan.

45

Williams (1983:22) mengidentifikasi tiga kelompok umum dari penggunaan modern istilah tersebut: (1) sebagai proses umum pengembangan intelektual, spiritualdan estetika; (2) sebagai indikasi dari sebuah „cara hidup‟ tertentu; dan (3) sebagai kerjadan praktek dari aktivitas intelektual dan artistik.

Budaya sebagai proses adalah sebuah pendekatan yang berasal dari antropologi and sosiologi, yang melhat budaya sebagai codes of conduct yang melekat dalam suatu kelompok sosial tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Clarke (1990:28) bahwa budaya "menciptakan bidang sosial pemahaman produksi ", atau proses dimana orang-orang memahami diri mereka sendiri atau hidup mereka sendiri. Batasan kelompok-kelompok sosial, dan budaya dapat beraneka ragam dan dapat meliputi suatu bangsa, suku, perusahaan atau mereka yang mencari aktivitas tertentu (Urry, 1990:33). Budaya sebagai sebuah pendekatan produk berasal dari utamanya dari kritik kesusastraan.

Budaya dilihat sebagai produk aktivitas individu atau kelompok dimana pemahaman tertentu disematkan.

Pendekatan produk dan proses untuk budaya sangat jarang tumpang tindih. Tetapi, dalam bidang pariwisata, terdapat tingkatan integrasi tertentu diantara kedua istilah tersebut. Budaya sebagai proses adalah tujuan wisatawan dalam mencari otentisitas dan memahami melalui pengalaman berwisata mereka

(MacCannell,1976:13, Cohen, 1979:1). selanjutnya, kehadiran wisatawan memunculkan kreasi terhadap manifestasi budaya untuk

46

konsumsi wisatawan (Cohen, 1988:371-386). Dengan kata lain budaya sebagai proses adalah transformasi melalui pariwisata (seperti yang terjadi pada mekanisme sosial lainnya) ke dalam budaya sebagai produk. Cohen berargumentasi bahwa beberapa produk budaya yang dikembangkan untuk wisatawan akan mencapai ’emergent authenticity‟ melalui proses waktu, daan diterima sebagai ’authentic’ baik oleh wisatawan maupun produser budaya. Tantangan yang dihadapi dalam mendefinisikan pariwisata budaya adalah untuk mengkonseptualisasi baik produk budaya yang ditampilkan untuk konsumsi wisatawan, dan proses budaya budaya yang menghasilkan motivasi untuk berpartisipasi dalam pariwisata budaya.

Istilah “pariwisata budaya” dapat digunakan secara bergantian dengan “pariwisata pusaka”. Sejumlah peneliti sudah mencoba untuk mendefinisikan pariwisata budaya melalui beberapa pendekatan alternatif. Salah satu definisi konseptual pariwisata budaya yang paling terkenal adalah yang diberikan oleh Richards (1997:24), yang mengatakan bahwa pariwisata budaya adalah “pergerakan orang-orang ke daya tarik wisata budayayang jauh dari tempat tinggal mereka, dengan maksud untuk mendapatkan informasi dan pengalaman- pengalaman baru untuk memuaskan kebutuhan budaya mereka”.

Selanjutnya, Richards (1996:24) juga memberikan definisi teknis pariwisata budaya, yang menyatakan bahwa pariwisata budaya juga meliputi „seluruh pergerakan orang ke daya tarik budaya khusus,

47

seperti heritage sites, manifestasi artistik dan budaya, seni dan drama di luar tempat tinggal mereka.

UNWTO mendefinisikan budaya sebagai perjalanan dengan manfaat mempelajari budaya asing, menampilkan kerja seni seseorang, mengunjungi festival, melihat-lihat budaya, dll. Dengan rasa hormat, seluruh perjalanan wisata dapat dipertimbangkan sebagai pariwisata budaya, karena perjalanan tersebut memuaskan kebutuhan wisatawan untuk belajar mengenai Negara-negara asing dan menumbuhkan tingkatan budaya, pengetahuan dan pengalaman mereka dengan bertemu dengan orang lain (Richards, 2007b).

Pariwisata budaya adalah bagian dari pariwisata yang berkaitan dengan budaya sebuah negara atau wilayah, khususnya seninya.

Pariwisata budaya secara umum fokus pada masyarakat tradisional yang memiliki adat yang berbeda, bentuk seni yang unik dan praktek sosial yang berbeda, yang secara mendasar membedakannya dari jenis/bentuk budaya lainnya. Pariwisata budaya meliputi pariwisata di kawasan perkotaan, terutama di kota-kota besar atau bersejarah dan fasilitas budayanya seperti museum dan teater. Pariwisata budaya juga termasukpariwisata di kawasan pedesaan yang menampilkan tradisi budaya masyarakat asli (misal, festival, ritual), dan nilai-nilai dan gaya hidup mereka (NASAA, 2004:55).

Pariwisata budaya adalah sebuah jenis pariwisata minat khusus yang langsung mencari dan berpartisipati dalam pengalaman budaya yang baru dan mendalam, baik estetika, intelektual, emosional

48

atau psikologis (Stebbins, 1996:948-950). Pariwisata budaya, termasuk pariwisata pusaka sebagai bagiannya, didefinisikan sebagai kunjungan oleh orang-orang dari luar komunitas yang secara utuh atau sebagian dimotivasi oleh ketertarikan dalam sejarah, seni, keilmuan atau gaya hidup dari sebuah masyarakat, wilayah, kelompok atau lembaga (Silberberg, 1995:361-365). Definisi tersebut menemukenali bahwa motivasi pengunjung untuk mendapatkan pengalaman budaya dalam beberapa cara, dan bentuk ini memisahkan pariwisata budaya dari bentuk pariwisata lainnya (duCros, 2001:165-170).

Luasnya variasi definisi pariwisata budaya menunjukkan permasalahan yang coba ditangkap dalam mengartikan pariwisata budaya dalam sebuah kalimat tunggal. Kebenarannya adalah bahwa tidak hanya pariwisata budaya sudah berkembang sebagai sebuah aktivitas, tetapi konsep budaya itu sendiri tumbuh. Pada masa lalu, budaya dipertimbangkan sebagai ‟high culture‟, seperti museum dan concert halls, tetapi saat ini produk pariwisata budaya juga dilihat sebagai‟popular culture‟. Dalam konteks ini pembagian antara high and popular culture mulai kehilangan maknanya.

Istilah pariwisata budaya mulai kehilangan artinya sebagai sebuah definisi dari sebuah aktivitas atau kelompok konsumen yang dapat diidentifikasi secara jelas. Meluasnya konsep budaya menyatukan pariwisata dan budaya menjadi sebuah konsep yang sulit dipahami.

49

Sebuah konsep besar menarik banyak perhatian, dan terdapat tingginya intervensi dalam pariwisata budaya tidak hanya oleh lembaga-lembaga pariwisata tetapi juga oleh lembanga-lembaga budaya, organisasi sejarah, media, taman-taman bertema, hotel, dll.

Rencana-rencana, projek-projek, program-program pengembangan produk, diskusi-diskusi kelompok, jaringan-jaringan dan kebijakan- kebijakan dikembangkan di sekitar pariwisata budaya. Permasalahan utamanya adalah bahwa semua organisasi yang peduli dengan pariwisata budaya tampaknya yakin bahwa pariwisata adalah sebuah pasar yang baru dan bertumbuh. Pada kenyataannya pariwisata budaya sudah berlangsung sejak lama, dan pasar utama wisatawan yang ‟culturally inspired‟ tumbuh tidak secepat projek-projek yang dibangun untuk mereka. Hala tersebut menyebabkan meningkatnya persaingan antara daya tarik budaya yang memburu wisatawan budaya yang sama. Indikasi-indikasinya adalah bahwa pencarian untuk pengalaman-pengalaman yang berbeda dan lebih mengena sebagai bagian dari penikmat budaya berarti bahwa pariwisata budaya tampaknya tumbuh dalam ceruk-ceruk pasar tertentum yang sudah dewasa dan memiliki daya saing tinggi. Masa depan tampaknya terletak pada arts tourism, architectural tourism, festival tourism, opera tourism, gastronomic tourism and creative tourism (D mke

2002:93, Hjalager and Richards 2002:167).

Tampaknya terdapat perbedaan yang aneh antara kebijakan dan prakteknya dalam pariwisata budaya. Di satu sisi, kebijakan menjadi

50

lebih terintegrasi dengan lembaga-lembaga pariwisata menggandeng sektor-sektor pariwisata dan budaya yang berbeda untuk membentuk sebuah produk pariwisata budaya. Di sisi lain konsumen tampaknya tidak suka diberi label umum sebagai ’cultural tourist’, dan lebih suka mencari pengalaman-pengalaman budaya khusus yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan budaya tertentu.

Perubahan trend dari umum menjadi pola-pola konsumsi budaya yang lebih individulis adalah bukti dalam pasar wisata

(post)modern. Orang-orang semakin tinggi melakukan diversitas aktivitas wisata dalam semakin sempitnya waktu luang.

Pengembangan budaya ‟zap‟ merangsang munculnya ’cultural omnivore‟, yang mengkonsumsi baik high culture maupun popular culture dengan kesenangan yang sama, menukar taman bertema dengan museum jika memang dapat ditukarkan.

Argumentasi yang menjadi dasar dari pengembangan- pengembangan tersebut adalah kurangnya pengalaman mendasar yang dicirikan oleh masyarakat (post)modern (de Cauter, 1995:33). Tanpa melihat pengalaman-pengalaman masa lalu yang „authentic‟ dan tampaknya tidak dapat meraih kedalaman pengalaman yang sama, kita membangun identitas-identitas kita tidak begitu banyak pada pilar- pilar masyarakat modern, seperti kerja, pernikahan, atau agama, tetapi lebih pada rangkaian pengalaman individu yang tidak memiliki keterkaitan. Kurangnya hubungan antara pengalaman dan alam, keluarga, spiritualitas atau pengembangan diri adalah sebuah

51

kekurangan yang benar-benar dirasakan diartikan ke dalam sebuah kelaparan yang konstan terhadap pengalaman-pengalaman baru yang menjanjikan untuk memberikan hubungan-hubungan tersebut.

Melalui pola-pola konsumsi baru tersebut, orang-orang terpisahkan dari bentuk pengalaman kumulatif dan semakin percaya dengan pengalaman-pengalaman individual untuk pengembangan hidup (de Cauter, 1995:37). Hal tersebut menyebabkan semakin meningkatnya kebutuhan individual untuk menyatukan potongan- potongan pengalaman yang terpisah tersebut menjadi satu ke dalam sebuah cerita yang saling berkaitan dan memberikan kontribusi terhadap identitas mereka. Pada masa lalu hal tersebut cukup untuk mengetahui apakah seseorang memiliki sebuah perdagangan tertentu, dan memiliki sebuah pelatihan untuk perdagangan tersebut untuk memahami kumpulan pengalaman yang mereka miliki. Di masyarakat postmodern, individualisasi pengalaman membuat hal tersebut mudah untuk melalukan identifikasi sebuah alur kehidupan dan urutan pengalaman yang sudah lama.

Pariwisata budaya didasarkan pada mosaik tempat, bentuk seni, perayaan dan pengalaman-pengalaman yang menggambarkan bangsa tersebut dengan orang-orangnya, menggmbarkan perbedaan dan karakter dari sebuah destinasi. Wisatawan yang terkait dengan aktivitas pariwisata budaya mengunjungi (NASAA, 2004): a. Galeri seni, teater dan museum b. Tempat-tempat bersejarah, masyarakat atau landmarks

52

c. Peristiwa budaya, festival dan pameran d. Masyarakat dan lingkungan etnik e. Arsitektur dan peninggalan arkeologi

Menurut Silberberg (1995:361-365), pariwisata budaya

didefinisikan sebagai “kunjungan oleh orang-orang dari luas

komunitas yang memiliki motivasi secara keseluruhan atau sebagian

terhadap sejarah, seni, ilmiah atau cara hidup sebuah komunitas,

wilayah, kelompok atau lembaga”.

Fridgen (1991:221) juga mendeskripsikan pariwisata budaya

dari perspektif pengunjung, menyatakan bahwa“…bagi orang luar,

budaya sebuah kawasan yang dapat mewakili sebuah daya tarik di

dalam dan luarnya. Hal tersebut kadang-kadang disebut pariwisata

budaya”. Oleh karena itu, wisatawan tertarik dengan budaya untuk

mengetahui perilaku dan tradisi masyarakat lokal, untuk membedakan

cara hidup atau untuk mencari tahu sebuah cara hidup yang sudah

hilang. Selanjutnya, Fridgen (1991:221) juga mengidentifikasi secara

parsial pengalaman wisatawan budaya dan memberikan catatan

bahwa „... umumnya, sebuah kawasan budaya ditampilkan melalui

tampilan panggung dan sering berbayar. Karena wisatawan umumnya

tinggal dalam sebuah kawasan dalam jangka waktu yang pendek, apa

yang sebenarnyawisatawan lihat adalah hanya sedikit gambaran dari

budaya yang sebenarnya‟.

Tighe (1991:387-391) menetapkan tiga komponen pariwisata

budaya: perjalanan, wisatawan dan tapak. Secara khusus, dalam

53

istilah perjalanan dia menyatakan bahwa „pariwisata budaya adalah perjalanan yang dilakukan kesitus-situ bersejarah, museum, visual arts, dan/atau pertunjukan seni sebagai elemen-elemen penting‟(1991:387-391). Dalam kaitannya dengan wisatawan budaya,

Tighe (1990:387-391) berargumentasi bahwa dia adalah „... seseorang yang mencari pengalaman disitus-situs sejarah, monumen, dan bangunan-bangunan; mengunjungi museum dan galeri; menghadiri konser dan pertunjukan seni; dan tertarik dalam pengalaman budaya di destinasi‟.

Hall dan Zeppel (1990:54-55) mendefinisikan pariwisata budaya berdasarkan pendekatan pengalaman yang menyatakan bahwa pariwisata budaya adalah sebuah pengalaman „… berdasarkan pada keterlibatan dan dirangsang oleh pertunjukan seni, visual arts, dan festival‟. Sebagai tambahan, Hall and Zeppel (1990:54-55) mengobservasi sebuah elemen umum penting antara pariwisata budaya dan pariwisata pusaka, yang disebut experential element, dan memberikan catatan bahwa pariwisata pusaka, baik dalam bentuk mengunjungi bentang alam, situs-situs bersejarah, bangunan- bangunan atau monument-monumen yang disukai juga experiential tourism „…dalam pengertian mencari kesesuaian dengan bagian alami atau perasaan sejarah sebuah tempat‟(Hall and Zeppel, 1990:

54-55).

54

World Tourism Organization (1985:131) memberikan sebuah pengertian pariwisata budaya dengan memokuskan pada motivasi perjalanan wisatawan:

„pariwisata budaya meliputi pergerakan orang yang motivasi utamanya adalah budaya seperti study tours, pertunjukan seni dan perjalanan-perjalanan budaya lainnya, perjalanan ke festival dan peristiwa-peristiwa budaya lainnya, mengunjungi situs-situs dan monumen-monumen, perjalanan untuk mempelajari alam, cerita rakyat atau seni atau kunjungan keagamaan‟.

Sedangkan MacCannell (1976:25) mendefinisikan pariwisata budaya dengan merujuk pada ’cultural productions’, sebuah istilah yang tidak hanya merujuk pada proses budaya tetapi juga produk yang dihasilkan dari proses tersebut. MacCannell mengidentifikasi pariwisata sebagai arena ideal dalam meneliti ruang lingkup produksi budaya,dan gagasan pariwisata budaya mungkin mengambil ide tersebut terhadap kesimpulan logisnya. Ruang lingkup produk budaya itu sendiri sangat luas, dan istilah „pariwisata budaya‟ sudah digunakan untuk mendeskripsikan konsumsi seni, pusaka, cerita rakyat dan semua ruang lingkup manifestasi budaya lainnya oleh wisatawan. Tidak semua istilah pariwisata budaya di atas diterima sebagai definisi tunggal. Sebuah tinjauan terhadap keberadaan definisi pariwisata budaya dilakukan oleh Bonink (1992:6) yang mengidentifikasi dua pendekatan dasar. Pertama, pendekatan „situs dan monumen‟, yang memusatkan pada penggambaran jenis daya

55

tarik yang dikunjungi oleh wisatawan budaya, dan secara jelas berkaitan dengan pengertian budaya berbasiskan produk. Pendekatan ini sangat berguna dalam penelitian kuantitatif pada pariwisata budaya, sehingga memudahkan untuk mengidentifikasi, menghitung dan mewawancari pengunjung di daya tarik budaya. Di lain pihak, hal tersebut cenderung menghasilkan sudut pandang yang sempit terhadap aktivitas dan motivasi wisatawan budaya, karena membatasi analisis terhadap situs-situs tertentu.

Daftar khusus jenis-jenis situs atau daya tarik yang dipertimbangkan untuk menarik wisatawan budaya disediakan oleh

ECTARC (1989:12), yang terdiri dari : a. Situs-situs arkeologis dan museum b. Arsitektur (reruntuhan, bangunan terkenal, kota) c. Seni, patung, kerajinan, galeri, festival, event d. Musik dan tarian (klasik, kontemporer, dongeng) e. drama (teater, film, ) f. Studi, wisata, event bahasadan sastra g. Festival keagamaan, ziarah h. Cerita rakyat atau legenda.

Bentuk-bentuk tersebut secara jelas berorientasi terhadap konsep pariwisata budaya sebagai ‟highculture‟, dan terhadap konsumsi produk-produk budaya, daripada keterlibatannya dalam proses budaya. Pendekatan kedua yang secara luas diistilahkan sebagai pendekatan konseptual. Definisi konseptual pariwisata

56

budaya mencoba untuk menggambarkan motif dan arti yang melekat pada aktivitas pariwisata budaya. Sebagai contoh, pariwisata budaya yang didefinisikan oleh McIntosh and Goeldner (1986:36) yang terdiri dari "semua aspek perjalanan, dimana yang melakukan perjalanan belajar mengenai sejarah dan pusaka orang lain atau mengenai cara hidup atau pemikiran kontemporer mereka". Dengan kata lain, wisatawan budaya belajar mengenai produk dan proses budaya lain. Dilain pihak, Wood (1984:44) melihat "peranan budaya secara kontekstual, dimana peranan tersebut untuk membentuk pengalaman wisatawan terhadap situasi umum, tanpa fokus tertentu terhadap keunikan sebuah identitas budaya khusus‟, berlawanan dengan ethnictourism, yang memiliki focus langsung terhadap identitas budaya kehidupan masyarakat dimana keunikan yang dimilikinya dipasarkan kepada wisatawan". Dengan kata lain, Wood berargumentasi bahwa ketika etnisitas merupakan sebuah produk, kita berurusan dengan ethnic tourism daripada pariwisata budaya. Jenis- jenis pendekatan ini mengilustrasikan bahwa definisi konseptual dapat berguna dalam memusatkan perhatian mengenai kenapa dan bagaimana masyarakat terlibat dalam pariwisata budaya, daripada seberapa banyak wisatawan budaya yang ada. Definisi konseptual pariwisata budaya secara jelas berbasiskan pada proses.

Menurut Howard (2002:3), pariwisata budaya terdiri dari beberapa dimensi “historis dan kontemporer (waktu), objek dan pertunjukan (jenis), kontekstual dan non-kontekstual (perjalanan) dan

57

luas atau sempit (ruang lingkup)”. Selanjutnya, dia menyatakan bahwa istilah pariwisata budaya diterapkan pada beberapa atau semuanya perbedaan berarti akan sulit untuk melakukan kunjungan kesemuanya sebagai sebuah kesatuan. Hal tersebut dapat menyebabkan salah menganalisis semuanya dalam kelompok pariwisata budaya yang luas dan paling tidak pada awalnya, lebih parah lagi dalam memisahkan masing-masing sebagai bentuk pariwisata yang berbeda”.

Definisi konseptual dipertimbangkan berdasarkan sifat dari fenomena pariwisata budaya dan pada hal-hal tertentu cenderung fokus pada apa yang memotivasi wisatawan untuk mengunjungi daya tarik budaya. Sebagai contoh, McIntosh and Goeldner (1986:36) mempertimbangkan pariwisata budaya terdiri dari "semua aspek perjalanan, dimana wisatawan belajar mengenai sejarah dan pusaka orang lain atau mengenai cara-cara hidup atau pemikiran kontemporer mereka ". dengan kata lain, wisatawan budaya dimotivasi untuk belajar mengenai produk-produk dan proses-proses budaya-budaya lain.

Pendekatan yang dilakukan oleh ICOMOS (1999:3) dalam

Cultural Tourism Charter, mendefinisikan pariwisata budaya sebagai

’that form of tourism whose object is, among other aims, the discovery of monuments and sites’ by the definition included ’any form of tourism to another place (that) involves the visitor experiencing all of the "cultural" aspects about that place, its

58

contemporary lifestyles, food, topography, environment, towns and villages, just as much as its historic sites and cultural performances’.

Dalam mencoba dan mengklarifikasi arti dari pariwisata budaya, sebuah definisi konseptual diusulkan oleh Richards (1996:3), berdasarkan pada cara wisatawan mengkonsumsi budaya. Menurut

Littrell (1997:107-120), budaya dapat terdiri dari apa yang orang pikirkan (sikap, kepercayaan, ide dan nilai-nilai), apa yang orang lakukan (pola-pola perilaku normatif, atau cara hidup) dan apa yang orang buat (karya seni, artefak, produk-produk budaya). Budaya oleh karena diciptakan oleh proses-proses tersebut (ide-ide dan cara hidup manusia) dan produk-produk dari proses-proses tersebut (bangunan, artefak, seni, adat-istiadat, „atmosphere‟). Melihat budaya dengan cara ini, pariwisata budaya tidak hanya mengenai mengunjungi situs- situs dan monument-monumen yang cenderung melihat pariwisata budaya secara tradisional, tetapi juga bagaimana mengkonsumsi cara hidup di kawasan yang dikunjungi. Kedua aktivitas tersebut terdiri dari mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan baru. Oleh karenanya pariwisata budaya dapat definisikan sebagai: „pergerakan orang-orang ke daya tarik budaya dari tempat tinggal normal mereka, dengan penekanan untuk mengumpulkan informasi dan pengalaman- pengalaman baru untuk memuaskan kebutuhan budaya mereka‟

(Richards, 1996:3). Menurut definisi konseptual tersebut, pariwisata budaya meliputi tidak hanya konsumsi produk-produk budaya masa lalu, tetapi juga budaya kontemporer atau „cara hidup‟ orang-orang di

59

wilayah tersebut. Oleh karenanya pariwisata budaya dapat dilihat

sebagai payung dari „heritage tourism‟ (berkaitan dengan artefak

masa lalu) dan „arts tourism‟ (berkaitan dengan produksi budaya

kontemporer).

Berikutnya terdapat diskusi mengenai penggunaan definisi

tersebut. Sebagai contoh, Alzua (1998:2-13) berargumentasi bahwa

karena „”wujud” adalah sebuah konsep yang rumit untuk diukur

sehingga akan lebih baik untuk menggunakan sebuah skala motivasi

wisatawan, seperti yang terdapat dalam definisi Silberberg‟s

(1995:361-365) „dikunjungi oleh orang-orang dari luar masyarakat

tuan rumah yang secara keseluruhan atau sebagian dimotivasi oleh

ketertarikan artistik sejarah, ilmu pengetahuan atau cara

hidup/peninggalan sejarah yang ditawarkan oleh sebuah masyarakat,

wilayah, kelompok, atau lembaga‟. Tetapi bagaimanapun juga sangat

sulit untuk menemukan seorang wisatawan yang tidak tertarik paling

tidak pada sejumlah aspek budaya destinasi yang mereka kunjungi.

2.3.2. Jenis-Jenis Pariwisata Budaya

Jenis-jenis yang paling penting atau dengan kata lain elemen-elemen

pariwisata budaya dari perspektif kelompok tematik berdasarkan aktivitas.

Menurut standarisasinya pariwisata budaya diklasifikasikan sebagai

berikut:

60

Tabel 2

Klasifikasi Bentuk-Bentuk Utama Pariwisata Budaya

Types of cultural tourism Tourism products, activities Wisata Sejarah  Sejarah alam dan budaya (sangat berkaitan dengan wisata berbasis alam atau ekowisata);  Material: - Built heritage, - Situs-situs arsitektural, - Situs-situs peninggalan dunia, - National and historical memorials  Non material - literatur, - Seni, - Cerita rakyat  Situs-situs peninggalan budaya - museum, Koleksi, - Perpustakaan, - Theater, - Lokasi event, - Memori yang berhubungan dengan sejarah seseorang Rute-Rute Budaya Tematik  Tema dan jenis : - Spiritual, - Industrial, - Artistik, - Gastronomi, - Arsitektural, - Bahasa, - Dialek lokal, - Minoritas Cultural city tourism, cultural tours  Wisata kota “klasik”, Melihat-lihat  “Kota-kota sebagai ruang kreatif bagi wisata budaya” Tradisi, Wisata etnik  Tradisi-tradisi budaya lokal  Keberagaman etnik Event dan festival  Festival dan event budaya  Festival dan event musik (klasik dan pop)  Festival dan event seni Wisata Keagamaan, rute-rute ziarah  Mengunjungi situs-situs dan lokasi keagamaan dengan motivasi keagamaan  Mengunjungi situs-situs dan lokasi keagamaan tanpa motivasi

61

keagamaan (didasari oleh keinginan melihat budaya dan arsitektur)  Rute-rute ziarah Budaya kreatif, wisata kreatif  Budaya tradisional dan aktivitas kesenian - Pertunjukan seni, - Seni visual, - Warisan budaya dan literatur  Industri budaya - Printed works, - Multimedia, - Pers, - Film, - Audiovisual dan phonographic productions, - Kerajinan tangan, - Desain dan pariwisata budaya Sumber : Csapó. J. 2011

2.3.3. Tipologi Wisatawan Budaya

Ketika berbicara mengenai fenomena wisata budaya yang rumit

dibutuhkan juga untuk menentukan siapa wisatawan budaya. Wisatawan budaya

merupakan bagian dari pariwisata budaya. Sebagian besar tipologi dilandasi

oleh tingkatan motivasi budaya wisatawan, biasanya memiliki ruang lingkup dari

yang memiliki ketertarikan secara umum atau dangkal terhadap budaya sampai

mereka yang memiliki ketertarikan sangat khusus/kuat terhadap budaya. Tipologi

awal dikeluarkan oleh Irish Tourist Board yang membagi wisatawan ke dalam

wisatawan budaya „khusus‟ dan „umum‟. Konsep ini kemudian

dioperasionalisasikan oleh penelitian ATLAS, yang membedakan antara kedua

kelompok tersebut berdasarkan selfdesignation mereka sebagai wisatawan budaya

dan tingkat ketertarikan mereka terhadap daya tarik budaya tertentu. Survey data

menunjukkan bahwa sekitar 9% dari semua wisatawan dapat dilihat sebagai

wisatawan budaya 'specific', selanjutnya 10-15% adalah wisatawan budaya

62

'general', tergantung pada destinasi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah wisatawan budaya spesific cenderung konstan setiap tahunnya, sedangkan sebagian besar pertumbuhan pasar pariwisata budaya berasal dari wisatawan budaya general.

Tipologi lainnya coba dibuat lebih rinci oleh Bywater (1993:30-46) yang membedakan antara pengunjung yang tertarik secara budaya (culturally interested), termotivasi secara budaya (culturally motivated) dan terinspirasi secara budaya (culturally inspired). Wisatawan yang tertarik secara budaya adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan budaya secara umum dan akan mengkonsumsi daya tarik budaya secara kasual sebagai bagian dari liburan daripada secara sadar merencanakan untuk melakukannya. Wisatawan yang termotivasi secara budaya adalah orang-orang yang mengkonsumsi budaya sebagai bagian utama dari liburan mereka, tetapi mereka tidak memilih destinasi mereka sebagai basis pengalaman budaya spesifik. Wisatawan yang terinspirasi secara budaya adalah orang-orang yang melihat budaya sebagai tujuan utama liburannya dan akan melakukan perjalanan jarak jauh untuk mengumpulkan pengalaman budaya.

Sebuah tipologi yang lebih rumit diusulkan oleh McKercher and Du Cros

(2002:17), yang mengatakan bahwa dalam mengambil keputusan melakukan perjalanan tidak hanya kepentingan budaya yang harus diperhitungkan dalam membangun sebuah tipologi, tetapi kedalaman pengalaman yang dilihat oleh wisatawan juga penting. Berdasarkan ide tersebut mereka membuat tipologi dua dimensi yang membagi wisatawan ke dalam lima kelompok, yang terdiri dari :

63

a. The sightseeing cultural tourist

Pariwisata budaya yang alasan utamanya adalah mengunjungi sebuah

destinasi, tetapi pengalaman yang didapatkan kurang mendalam; b. The serendipitous cultural tourist

Seorang wisatawan yang tidak melakukan perjalanan untuk alasan budaya,

tetapi setelah berpartisipasi mendapatkan pengalaman pariwisata budaya

yang mendalam; c. The casual cultural tourist

Motivasi perjalanan untuk pariwisata budaya lemah dan menghasilkan

pengalaman yang dangkal; d. The incidental cultural tourist

Wisatawan jenis ini tidak melakukan perjalanan untuk alasan budaya,tetapi

meskipun berpartisipasi dalam beberapa aktivitas mendapatkan pengalaman

yang dangkal. e. The incidental cultural tourist

Wisatawan ini tidak melakukan perjalanan untuk alasan-alasan pariwisata

budaya tetapi paling tidak berpartisipasi dalam beberapa aktivitas dan

memiliki pengalaman yang dangkal.

64

Gambar 2

Typologi of CulturalTourist

Deep

Serendipitous Purposeful Cultural Tourist Cultural Tourist

Experience Sought

Incidental Casual Sightseeing Cultural Tourist Cultural Tourist Cultural Tourist

Shallow

Sumber: MacKercher and duCrois (2002)

Basis dari perbedaan tersebut adalah perkembangan dari keterlibatan wisatawan dalam pariwisata budaya. Tiga kelompok pertama menciptakan sebuah sisi permintaan dimana keputusan untuk melakukan perjalanan budaya dan pariwisata budaya memainkan sebuah peranan penting saat kelompok keempat dan kelima merupakan wisatawan yang hanya secara kasual dan insidental menjadi bagian dari industri perjalanan tersebut. Secara alamiah, wisatawan- wisatawan tersebut memiliki keterlibatan paling besar dalam pariwisata budaya yang sebenarnya dimiliki oleh kelompok pertama.

65

Gambar 3

The place of cultural tourists in the complete tourist flow

The Cultural Tourist

Tourist wholly motivated by culture

Tourist partially motivated by culture

Tourist partaking in cultural activities

Total Tourist

Sumber: Ontario Cultural and Heritage Tourism Product Research Paper, 2009

2.4. Kerajaan sebagai Warisan Budaya

McLean yang dikutip oleh McLean & Cooke (2003:153-162) mengatakan bahwa „heritage menawarkan representasi dari masa lalu sebuah bangsa dimana individu-individu dalam bangsa tersebut dapat teridentifikasi‟.

Pimlott (2001:6) berargumentasi bahwa keluarga kerajaan adalah sebuah artefak budaya popular internasional.

Sebagai lembaga dan individu kerajaan menarik ketertarikan public subjek monarki dan warga non-monarki. Secara umum seiring dengan semakin menurunnya peranan kerajaan dalam politik dan konstitusi yang memiliki kekuasaan besar, kerajaan melanjutkan peranan pentingnya secara simbolik.

Dalam hubungannya dengan pariwisata kerajaan terus ada (atau pernah ada dan sekarang diperlakukan sebagai bagian dari sebuah produk wisata pusaka).

Keluarga kerajaan merefleksikan dan menciptakan sebuah versi identitas nasional bagi konsumsi domestik dan wisata melalui serangkaian pertunjukan- pertunjukan panggung seremonial dan tradisi (yang dibuat). Event-event

66

kerajaan: kunjungan dan tours;peringatan; ulang tahun; dan pemakaman mendapatkan perhatian dari media wisatawan.

Pertunjukan kerajaan secara regular dikemas dan dengan sengaja dipromosikan untuk konsumsi wisatawan. Nilai kerajaan bagi pariwisata dapat diargumentasikan berdasarkan kepemilikan kerajaan yang berkaitan dengan patron tempat, properti dan bentang alam yang menjadi daya tarik, event, narasi- narasi dan mitos-mitos dapat dikatakan unik dalam material-material publisitas destinasi. Peluang-peluang komersial bagi operator-operator sektor privat untuk mengembangkan dan mengemas „royal tours‟ dan barang dagangan didasari oleh hubungan-hubungan tersebut.

Kerajaan menyediakan kekayaan materi terhadap produksi cerita-cerita yang dapat menceritakan diri kita, bangsa kita,wilayah-wilayah dan kota-kota melalui perantara brosur-brosur dan panduan-panduan promosi destinasi dan juga melalui publikasi „masyarakat sejarah‟ yang dengan kelokalannya dapat dibeli dibanyak informasi wisata lokal. event-event kerajaan yang unik seperti jubilee dan pernikahan menjadikan alasan bagi perancangan liburan publik dan sebagai akibat peningkatan pariwisata.

Pertunjukan-pertunjukan kebesaran, pawai dan seremonial yang dikaitkan dengan kerajaan memberikan pengecualian dan keunikan yang dapat diprediksikan dan dijadwalkan untuk menarik perhatian wisatawan. Publisitas media yang berlebihan yang mengantisipasi, melaporkan dan mengomentari terhadap peristiwa-peristiwa tersebut dan citra terhadap keramaian yang menghadiri event kerajaan dapat merangsang keterlibatan orang-orang yang menginginkan untuk menjadi bagian peristiwa yang tampaknya bersejarah.

67

Bagaimanapun juga, kepentingan politik dan sosial-budaya simbolik mereka cenderung jauh dari wisatawan/nilai ekonomis mereka.

Sama seperti pengemasan wisata dan konsumsi seremonial kerajaan, terdapat pemilihan dan komodifikasi citra, situs, memorabilia dan bentukan fisik

(baik sejarah, legenda, hantu atau kontemporer) kerajaan yang membantu merangsang ketertarikan wisatawan. Bagi sejumlah kebiasaan, kesetiaan, dedikasi dan gairah wisatawan kerajaan terdapat kebutuhan psikologis untuk narasi kerajaan dan untuk imaginasi partisipasi dalam kehidupan kerajaan.

Edensor (2001:59-81) mengatakan bahwa seremonial dan pertunjukan kerajaan untuk wisatawan pada event-event yang ada sangat sesuai dengan konsepsi bahwa wisatawan memainkan sebuah bagian yang menonjol dalam keagungan, kematian kebesaran dan kesatuan (atau mungkin tidak punya selera dan kelucuan ironis yang tidak disengaja) terhadap pertunjukan-pertunjukan kerajaan sebagai audien dan partisipan.

Pertunjukan-pertunjukan seremonial kerajaan merupakan artikulasi simbolik utama dari laporan perubahan sosial yang rumit dan memproduksi kembali ide- ide, peranan, posisi dan konvensi sosial. Seperti yang dikatakan oleh Edensor

(2001:59-81) „penyebaran-penyebaran idelogi negara secara khusus dicapai melalui kata-kata muluk dan sungguh-sungguh, pergerakan yang tepat…sesuai dengan perkembangan dan pertunjukan yang berulang-ulang. Hal tersebut dirancang untuk meminimalkan potensi improvisasi, pertanyaan, dilombakan dan dihina. Pertanyaan-pertanyaan ditujukan pada perilaku yang tidak sesuai yang diijinkan pada pertunjukan kerajaan dan bagaimana harapan dikomunikasikan dan diinterpretasikan oleh wisatawan. Banyak pemanggungan dan pertunjukan

68

event kerajaan dilakukan diruang-ruang yang sudah dirancang dan pada waktu- waktu tertentu.

Schama (1986:155-183) mengatakan bahwa „sekali produksi dan distribusi citra tersedia, kesetiaan (atau paling tidak kaitan sentimental yang tercipta antara kerajaan dan subjek) tergantung pada alur yang tetap terhadap tampilan citra‟. Hal tersebut diekspresikan oleh wisatawan yang setia atau wisatawan sentimental dengan membeli dan menampilkan cinderamata kerajaan.

Secara terpisah terdapat daya tarik menarik yang jelas antara ketertarik dalam wisata pusaka popular yang baru dengan penemuan kembali kerajaan sebagai tontonan. Billig (1992:30) mengatakan bahwa: „kerajaan memberikan sebuah dimensi unik bagi negara. Menghapus kerajaan berarti kita menghapus hal-hal yang membedakan kita dengan negara-negara lainnya. Billig (1992:54) berargumentasi bahwa „kerajaan dapat bertahan hidup karena diperhatikan secara terus menerus‟. Ketika kekuasaan nyata keluarga kerajaan menyusut, ritual meningkat, dan peranannya secara bertahap bertransformasi. Dengan perubahan jaman seperti itu, krisis dan perubahan, pelestarian yang salah, kesengajaan, tampilan seremonial sebuah kerajaan yang impoten tetapi terhormat sebagai sebuah simbol pemersatu dan masyarakat menjadi memungkinkan dan dibutuhkan (Cannadine yang dikutip dalam Hobsbawm & Ranger, 1983:10).

Dilihat dari sisi pasar Rowbottom (1998:77-88) mengatakan bagaimana real royalists berharap agar terlihat dan memiliki keinginan untuk menjadi bagiandari sebuah pertunjukan kerajaan: royalists adalah partisipan tidak resmi– mereka kekurangan status resmi dan mereka menghadapi masalah-masalah tertentu dalam memenuhi keinginannya.

69

Cannadine‟s (1992:101) mengatakan bahwa ide-ide seremonial terhadap penemuan tradisi-tradisi menyebabkan keluarga kerajaan sadar secara penuh mengenai kebutuhan untuktampil di depan publik untuk keberlanjutan kekuasaannya.

2.5. Otentisitas

2.5.1. Definisi Otentisitas

Diskusi global terhadap konsep otentisitas memainkan peranan

penting dalam penelitian ilmiah pada warisan budaya, konservasi dan

perencanaan restorasi sebagai prosedur inskripsi konvensi warisan dunia.

The Venice Charter (1964:5) mengidentifikasi konteks historis dan fisik

dari sebuah situs atau sebuah bangunan sebagai penanda otentisitas.

Dokumen Nara mengenai otentisitas mengusulkan definisi yang agak luas,

menekankan pentingnya mengambil otentisitas sebagai sebuah konsep

yang secara budaya memiliki kekhususan, dan penghargaan untuk nilai-

nilai social dan budaya dari masyarakat yang berbeda-beda dalam

menentukan nilai properti budaya. Dokumen Nara mendefinisikan

otentisitas sebagai“ original dan karakterisik-karakteristik lanjutan dari

warisan budaya,”.

Keputusan untuk mempertimbangkan sebuah pengalaman otentik

wisatawan ditentukan oleh otentistias daya tarik wisata (Waller &

Lea,1999:110), dan juga oleh jenis hubugan sosial yang terjadi

disekitarnya. Yang juga penting adalah konteks spasial dimana daya tarik

yang disebutkan ditemukan, sebagai kehadiran elemen-elemen yang dapat

70

mempengaruhi proses persepsi (Pearce & Moscardo, 1986:121). Isu tersebut bahkan lebih rumit jika kita mempertimbangkan kenyataan bahwa budaya adalah sistem terhadap pemahaman melaui perubahanyang konstan.

Aslinya, istilah otentitas berasal dari Bahasa Yunani dan Latin yang berarti “authoritative” dan“original” dan sebagian besar diterapkan dalam bidang etik, bahasa, budaya dan seni. Dalam Webster´s eleventh New

Collegiate Dictionary (2008:3), authenticity berkaitan dengan

“authoritative,” “factor reality,” “trustworthy,” and “original.” Dalam bidang penelitian seni, arkeologi, peninggalan budaya dan hukum, otentisitas mengacu pada “kebenaran asli, penyebab, komitmen, ketulusan, kesetiaan dan pamrih; tidak meniru atau pemalsuan.”

Menurut Trilling (1972:48) kata otentisitas berawal dalam konteks museum dan merujuk pada objek-objek yang diakui otentik. Ashworth dan Tunbridge (1990:23) setuju dengan pemikiran bahwa otentisitas berasal dari objek yang dikonservasi, dan menjelaskan bahwa sebuah objek dapat dianggap otentik karena hakekat estetikanya atau kualitas sejarahnya. Cohen (1988:1) dan Sharpley (1994:46) melihat otentisitas sebagai sebuah konsep yang secara sosial dikontruksi dimana kriteria untuk otentik berbeda bagi setiap individu.

Berbagai macam pandangan orang terhadap otentisitas memberikan perbedaan jenis pengunjung untuk diteliti. Reisinger (1994:65) mengatakan bahwa wisatawan budaya menginginkan untuk menemukan keindahan, otentisitas, keunikan dan sesuatu yang baru dari produk

71

budaya. Oleh karena itu, berdasarkan dari sudut pandang wisatawan masing-masing individu melihat keunikan pada saat mengkonsumsi

(Tunbridge and Ashworth, 1996:39). Hal tesebut yang menyebabkan daya tarik diinterpretasikan secara berbeda oleh wisatawan yang berbeda.

Produk yang ditawarkan tetap sama, tetapi pengalaman individu dinamis.

Hal tersebut dapat dilihat bahwa apa yang diinterpretasikan sebagai otentik oleh seorang wisatawan dapat diinterpretasikan tidak otentik oleh wisatawan yang berbeda.

Ashworth (1994:18) mengatakan bahwa “permasalahan pandangan terhadap otentisitas tidak berasal dari ketidaksesuaian antar produk pusaka yang diinterpretasikan dan kebenaran sejarah…..ketidaksesuaian dan permasalahan yang dihasilkannya, terletak dalam versi otentisitas yang berbeda seperti yang didefinisikan oleh konsumen yang berbeda. Masing- masing wisatawan mengotentikan sumber daya untuk dirinya. Kenyataan tersebut menyatakan bahwa wisatawan tidak mencari pengalaman yang sama, bahkan ketika mereka mengunjungi tempat yang sama.

Selwyn (1996:32) mengatakan bahwa otentisitas terletak pada pengalaman konsumen sebagai objek yang asli atau peristiwa itu sendiri, dan mengelompokkannya sebagai „cool authenticity‟ (asli dan nyata) dan

„hot authenticity‟ (diakui palsu tapi memberikan kesenangan).

Wang (1999:349) dan Jamal dan Hill (2002:77) membedakannya menjadi :

1) „Objective authenticity‟– sebuah kebenaran yang dibuktikan secara

eksternal;

72

2) „Constructive authenticity‟– sebuah bentuk tiba-tiba dari otentisitas;

dan

3) „Existential authenticity‟– sebuah pendekatan keaslian yang berasal

dari pengalaman individu.

Salah satu pendekatan terhadap pertanyaan dampak pariwisata terhadap otentisitas didasarkan pada asumsi bahwa keberadaan produk dan pengalaman wisata yang nyata dan asli dapat diuji, tetapi mungkin tidak mudah untuk menemukannya dalam masyarakat jaman sekarang.

Kepentingan yang disematkan pada objek dibuat dari apa yang kita pertimbangkan sebagai otentik material dan oleh pengrajin pribumi atau pada peristiwa dan ritual yang dipandang sebagai pancaran tradisional budaya asli. Wang (1999:352) mengusulkan bahwa otentisitas objektif merujuk pada tindakan original. Hubungannya, pengalaman otentik dalam pariwisata sama dengan pengalaman epistimologi (contoh kognisi) dari otentisitas original.

Oleh karenanya, pendekatan otentisitas ini berkonsentrasi pada objek- objek original yang memberikan pengalaman berwisata asli bagi mereka yang mengenali tanda-tanda otentisitas.

MacCannell (1976:91) mengatakan bahwa otentisitas adalah sebuah karakteristik dari masyarakat pra-modern dan primitif. Kehidupan saat ini mengasingkan kita dari pengalaman-pengalaman dan hubungan asli dengan nenek moyang kita dan dari hubungan dekat mereka dengan tempat. Malahan terjadi peningkatan mengkonsumsi pengalaman dan produk yang didasarkan pada kehidupan dan waktu lain yang diciptakan

73

oleh industri pariwisata. Sehingga modernisasi dari hubungan kerja, sejarah dan alam melepaskan hal tersebut dari akar tradisional mereka dan merubah bentuk mereka ke dalam produksi dan pengalaman budaya…manusia modern kehilangan keterkaitannya dengan kursi kerja, lingkungan, kota, keluarga, yang dia sebut „miliknya‟ tetapi pada saat yang bersamaan, dia membangun sebuah ketertarikan dalam „kehidupan nyata‟ lainnya‟. Pra-modern dilihat sebagai sumber keaslian, budaya yang tidak tercampuri. MacCannell (1976:91) mengatakan bahwa orang-orang primitif tidak memiliki konsep mengenai otentisitas dan mereka tetap tidak dikunjungi, belum membangun sebuah sistem „front and backstage‟ untuk melindungi privasi mereka. Sekali pengunjung mulai datang, masyarakat membuat panggung pertunjukan untuk memuaskan hasrat tamu-tamu mereka akan otentisitas, pancaran budaya yang penuh warna.

Sementara itu, dibagian belakang kehidupan nyata terus berlangsung tanpa terganggu. Wilayah belakang menjadi tempat suci untuk petualangan bagi wisatawan independen, tetapi MacCannell (1976:106) mengatakan, mereka tidak akan pernah berhenti menjadi wisatawan:„….Sekali wisatawan memasuki ruang wisata tidak ada jalan keluar bagi mereka sepanjang mereka menekankan pencarian akan otentisitas‟. Kebenaran ada di luar sana, tetapi tidak dapat diakses oleh orang luar.

Sedangkan pendekatan objektif terhadap otentisitas mengasumsikan bahwa pengalaman nyata wisatawan ada jika hanya kita dapat melacaknya, paradigm konstruktif memberikan fakta bahwa kenyataan

74

adalah fenomena yang dibangun. Kenyataan tersebut diciptakan oleh pikiran kita sendiri yang dipengaruhi oleh pandangan personal kita dan faktor-faktor sosial, budaya dan politik eksternal. Kemudian gagasan mengenai apa yang disebut otentik tidak statis tetapi muncul setiap saat, relatif dan dapat dinegosiasikan. Menurut Wang (1999:355)„...otentisitas adalah sebuah projeksi terhadap kepercayaan, harapan, preferensi, gambaran tiruan dan kesadaran di atas objek-objek yang dikunjungi‟.

Selanjutnya, gagasan otentisitas tersebut tidak hanya sebuah perspektif individu tetapi diciptakan dan dibagikan dalam masyarakat. Industri pariwisata dan media terkaitnya terlibat dalam usaha membangun otentisitas sebagai bagian dari produk yang dipertunjukan kepada wisatawan. Seperti pengucapan kenyatan yang diterima oleh wisatawan sebagai pengalaman paket liburan dan kekuatan industri, media dan pelaku lainnya dalam menciptakan versi kenyataan yang atraktif dapat diterima. Seperti yang Jamal dan Hill (2002:77) tuliskan,„...otentisitas bukan sebuah kualitas objek itu sendiri, tetapi sesuatu yang berasal dari mereka‟. Wisatawan yang terlibat dalam partisipasi aktif daripada sekedar pengamatan lebih mengalami perasaan otentik.

Ooi (2002:157) mencatat bahwa terdapat banyak kesempatan hal tersebut terjad ijika perantara budaya tidak ada dan membiarkan wisatawan untuk merasakan bahwa mereka bagian dari masyarakat lokal dan mengalami budaya secara hidup. Peristiwa-peristiwa seperti pertunjukan tari Bali seperti yang digambarkan oleh studi kasus Baker dapat berarti jika penonton mengambil bagian dalam tarian. Daniel (1996:

75

780) mengatakan, menciptakan sebuah keberadaan otentisitas didasarkan

pada„sensasi sejahtera, kesenangan, kenikmatan, atau menyenangkan dan

pada saat yang sama juga merasakan frustasi‟.

Bruner (1995:397) mengatakan bahwa otentisitas terkait dengan

otoritas dan distribusi pengetahuan memainkan peranan penting dalam

penciptaan nilai.

2.5.2. Konseptualisasi Otentisitas

Trilling (1972:11) mengatakan bahwa “kata otentisitas‟muncul

begitu saja dewasa ini dan dalam banyak kaitannya kata tersebut sangat

tidak diterima. Bagaimanapun juga konseptualisasi otentisitas dapat dibagi

ke dalam 3 kategori yang sering tumpang tindih. Kategori tersebut adalah

otentik sebagai „primitif‟, otentik sebagai „konstruk sosial‟dan otentik

sebagai sebuah konstruk„negosiasi‟.

1) Otentik sebagai ‘primitif’

Banyak peneliti yang mengikuti aliran analisis bahwa „otentisitas‟

adalah sebuah kondisi primitif (MacCannel,1973;1976; Redfoot,1984

dalam Trilling, 1972:11). Dalam bentuk sederhananya, Trilling

menegaskan bahwa konsep otentisitas awalnya digunakan dalam

konteks museum untuk menggambarkan objek-objek kuno (1972:11),

sebuah pemakaian istilah yang paling diterima dan dipahami,

walaupun tampak sedikit naïf. Selanjutnya Trilling mengatakan bahwa

kata otentisitas di museum, kurator dan etnografis cenderung melihat

otentisitas sebagai sebuah kualitas kehidupan pra-modern dan pra-

76

industrialisasi, dan produk-produk budaya yang dihasilkan sebelum

pengaruh modern barat masuk. Banyak peneliti yang menekankan

bahwa ketiadaan komoditisasi dalam pasar umum merupakan

pertimbangan penting dalam penilaian otentisitas (Cornet, 1975:52).

Cornet juga berargumentasi bahwa agar dapat diterima sebagai

otentik, produk tidak boleh diproduksi secara khusus untuk pasar.

Sama seperti yang dikatakan oleh Trilling (1972:15) bahwa

„mesin…..hanya dapat membuat benda-benda yang tidak otentik,

benda-benda mati. Dalam istilah pariwisata, Cohen (1988:371)

mengatakan bahwa wisatawan modern dalam permintaannya terhadap

otentisitas mencari keaslian, primitif dan alami. Wisatawan modern

mencari segala sesuatu yang masih belum terpengaruh modernisasi

dan kemudian dapat dilihat sebagai primitif. Karakteristik sebuah

masyarakat primitif atau pra-modern terletak pada tidak adanya

industrialisasi, seperti produk masal dan teknologi komunikasi melalui

televisi, radio dan yang paling baru adalah komunikasi satelit. Dalam

pandangan ini primitif dianggap sebagai otentik.

2) Otentik sebagai sebuah ‘konstruk sosial’ dari masyarakat

modern’

Otentisitas dapat dilihat sebagai sebuah keunggulan nilai-nilai modern

(Trilling,1972:15); (Berger, 1973:81), yang kemunculannya terkait

erat dengan dampak modernisasi terhadap kesatuan dari keadaan

sosial. Sebuah objek hanya menjadi otentik jika diciptakan tanpa

bantuan bahan-bahan, mesin atau peralatan modern. Konsep ini dapat

77

dikembangkan yang meliputi tidak hanya objek-objek fisik tetapi juga

masyarakat jika sudah kehilangan otentisitasnya karena sudah

diadaptasi, dipengaruhi, diubah atau terkontaminasi modernisasi dunia

barat. Kemudian otentisitas sering dianggap sebagai sebuah budaya

tradisional , dan budaya tersebut dipandang sebagai yang asli, nyata

atau unik. Sharpley (1994:78) mengobservasi bahwa dalam pariwisata

kata otentitas digunakan secara berulang-ulang untuk menggambarkan

produk-produk atau pekerjaan-pekerjaan seni, makanan, bahasa,

festival, ritual, arsitektur dan segala sesuatunya yang merupakan

budaya sebuah masyarakat. Lebih jauh, dalam pariwisata, istilah

otentisitas juga digunakan untuk menggambarkan beberapa jenis

perjalanan, perjalanan-perjalanan tertentu atau bahkan keseluruhan

liburan dan yang lebih penting istilah tersebut juga seringdigunakan

untuk membedakan antara produk-produk wisata khusus atau ceruk

pasar dan produk-produk pariwisata masal, yang menyatakan bahwa

pariwisata masal bagaimanapun juga tidak otentik (Sharpley,1994:78).

Hal tersebut dapat dihubungkan dengan deskripsi Cornet (1975:49)

mengenai otentisitas yang menekankan ada tidaknya modernisasi.

Maksudnya adalah bahwa pariwisata masal dengan sengaja di

produksi secara khusus di pabrik untuk pasar masal yang memiliki

volume tinggi.

3) Otentik sebagai ‘Konstruk Negosiasi’

Cohen (1998:371) secara jelas mengembangkan diskusi mengenai

otentisitas dengan menyarankan bahwa otentisitas harus dipahami

78

sebagai sesuatu yang dapat dinegosiasikan, konsep yang dikonstruksi secara social daripada sebuah konstruksi yang melulu merujuk pada objek-objek yang dihasilkan menggunakan teknik-teknik primitif, pra-modern. Dia berargumentasi bahwa „pariwisata masal tidak berhasil karena merupakan penipuan besar-besaran, tetapi karena sebagian besar wisatawan terhibur oleh konsep otentisitas yang tidak berarti dibandingkan dengan hiburan yang dilakukan oleh intelektual atau para ahli‟. Selanjutnya Cohen mengatakan mengenai „konstruk sosial‟yang dinegosiasikan atau dinegosiasikan kembali oleh individu- individu yang berbeda-beda, jenis-jenis wisatawan dan oleh para intelektual dan pakar. Getz (1994:319) mendukung argument tersebut ketika mengkonseptualisasi otentisitas sebagai „sebuah ukuran persepsi wisatawan‟, mengatakan bahwa apa yang membuat seorang wisatawan puas dapat menyebabkan wisatawan yang lain tidak puas atau kecewa. Dengan kata lain otentisitas harus dinilai dari sudut pandang pribadi wisatawan dan apa yang unik menurut wisatawan.

Sebuah ide yang menarik ditawarkan oleh Selwyn (1996:32), yang membedakan istilah otentisitas dengan „hot-authenticity‟ dan„cool authenticity‟. „Hot authenticity‟ merujuk pada pariwisata yang berdasarkan fiksi dan mitos. Kategori tersebut dibagi lagi menjadi otentisitas masyarakat mistik yang lebih umum, dimana Selwyn

(1996:32) mengistilahkan „myths of authentic other dan authentically social‟ dan otentisitas yang lebih spesifik dari wisatawan individual dalam masyarakat yang mistikal yang dirujuk sebagai „myths of the

79

authentic self‟ . Menurut Selwyn „myths of authentic other dan authentically social‟ sejalan dengan pemikiran otentik sebagai

„primitif‟ yang didasari oleh pencarian wisatawan terhadap sebuah dunia yang lebih sempurna yang merupakan pra-modern dan pra- komoditisasi. Selwyn menggambarkan hal tersebut sebagai„sebuah dunia yang nyata dan otentik dan selanjutnya menyarankan bahwa

„apa yang membuat sebuah destinasi wisata atraktif jika memiliki karakteristik khusus berasal dari sosiabilitas penduduknya‟.

Kemudian, destinasi yang merupakan secara otentik sosial karena menolak pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar yang anti sosial dan memiliki pandangan umum mengenai hubungan erat masyarakat lokal.

Bentuk kedua dari „hot authenticity‟ adalah „myths of the authentic self’, yang didasari oleh pandangan wisatawan yang lebih spesifik mengenai persepsi personal dimana mereka mendekati dan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal di destinasi wisata. Semakin wisatawan dapat mengidentifikasi masyarakat lokal, termasuk keinginan mereka untuk melihat wisatawan, semakin besar pandangan otentisitas. Selwyn (1996:32) juga membuat istilah „cool authenticity‟ yang merujuk pada aspek-aspek dan produk-produk masyarakat yang dapat dijadikan subjek agar lebih tegas, „scientifically-based investigation‟. Selwyn berargumentasi bahwa konstruksi terhadap

„scientifically-based investigation‟ adalah subjek terhadap sejarah, ekonomi, dan kekuatan politik yang berpengaruh terhadap pengetahuan yang ditawarkan kepada wisatawan. Dalam hal ini, cool

80

authenticity didasari oleh pencarian wisatawan akan pengetahuan dan objek tersebut akan dipandang otentik jika wisatawan yang lapar akan informasi terpuaskan. Cool authenticity kemudian akan tercapai jika informasi yang ditawarkan memenuhi kepercayaan sejarah,ekonomi dan politik wisatawan. Oleh karenanya hal tersebut dapat dilihat baik

„hot authenticity‟ dan „cool authenticity‟ sejalan dengan „negotiated social construct‟nya Cohen (1988:371).

Pemikiran mengenai otentisitas banyak diperdebatkan dalam literatur pariwisata, termasuk pertanyaan yang terkait dengan apakah benar wisatawan benar-benar mencari pengalaman otentik, atau bahkan dapat mengenalinya. Redfoot (1984:291) mencatat bahwa sejumlah ilmuwan percaya bahwa wisatawan modern secara umum tidak tertarik dengan otentisitas, sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa wisatawan memiliki keinginan terhadap otentisitas. Pandangan- pandangan tersebut memiliki pertimbangan yang luas dan diartikan bahwa kritik terhadap pariwisata terdengar benar-benar sama baik datang dari kanan atau kiri spektrum politik. Setiap sisi menyalahkan kemampuan kapitalisme dalam mengkomoditisasi pengalaman menjadi sebuah komoditas yang murah yang dijual untuk pasar masal.

Setiap sisi memandang ketidak otentikan berwisata sebagai hasil dari ketidakotentikan kehidupan modern.

Menurut Taylor (1989:27), otentisitas adalah fondasi dari sebuah identitas modern yang dihasilkan dari sudut pandang moral seseorang.

Taylor (1989:27) mendefinisikan definisi sebagai komitmen dan

81

identifikasi yang memberikan kerangka atau horizon yang ditetapkan dari kasus ke kasus untuk menetapkan mana yang baik atau bernilai, atau apa yang harus dilakukan atau apa yang diputuskan atau ditolak.

Pandangan moral Taylor (1989:63) didasari oleh “hypergoods”, yaitu barang-barang yang tidak hanya lebih penting dari lainnya tetapi juga memberikan sudut pandang darimana barang-barang tersebut diukur, dinilai dan diputuskan.

Hal tersebut diterangkan lebih jelas oleh Varga (2012:160), yang mengembangkan wawasan Taylor mengenai otentisitas. Otentisitas

“menyatakan bahwa keterkaitan keseluruhan diri kita memiliki pegangan pada kita sebagai seseorang melekat dalam pandangan kepentingan yang sebagian dilandasi oleh perbedaan-perbedaan nilai secara kualitatif.

Pandangan mengenai otentisitas tersebut didasari solipsistic dan self- enclosed self, tetapi sebuah “dialogical” self. Seperti yang dikatakan oleh Taylor (1991:49), “dalam otentisitas budaya, hubungan dilihat sebagai kunci dari self-discovery dan self-confirmation. Bagi Varga

(2012:161), “otentisitas adalah mengenai mengeluarkan benda-benda dari sebuah pandangan kolektif menggunakan komitmen yang memerlukan tanggung jawab kurang lebihnya terhadap pengganti barang-barang lokal.

Rebecca Erickson (1995:121) menekankan pentingnya otentisitas dalam membangun konsepsi diri dan peranan diri dalam masyarakat.

Erickson berargumentasi bahwa menjadi otentik saat ini tidak berarti

82

bahwa seseorang benar. Dia mengkonseptualisasi otentisitas sebagai

sebuah komitmen nilai diri dan mengatakan bahwa hal tersebut dapat

dieksplorasi dengan menanyakan setelah mengartikan melalui

perasaan pengalaman subjektif “true to oneself” dimunculkan.

2.5.3. Genre Otentisitas

1) Genre Pertama : Natural authenticity

Orang-orang cenderung memandang otentisitas sebagai sesuatu

yang ada alam atau bumi, tidak tersentuh oleh tangan-tangan

manusia;bukan buatan atau sintetis (Gilmore & Pine, 2000:49).

Kebanyakan literatur pariwisata membatasi otentisitas pada

objek-objek sosio-budaya dan sejarah, dan percaya bahwa “objek-

objek tertentu seperti alam memiliki pandangan yang tidak

relevan dengan otentisitas” (Wang, 1999:349). Studi terbaru yang

dilakukan oleh Cohen (1988:374) menemukan hubungan

otentisitas terhadap alam dengan menyatakan bahwa wisatawan-

wisatawan asing yang mencari alam yang masih otentik atau

pengalaman-pengalaman yang primitif, tidak tersentuh oleh

modernisasi. DeLyser (1999:602); Lau (2010:478), menemukan

bahwa otentisititas diinformasikan dan dipengaruhi oleh elemen-

elemen alam. Dalam konteks sebuah tempat yang disucikan, baik

warisan sejarah dan agama dibentuk oleh bentukan-bentukan fisik

dan kemudian bentang alam alami memberikan sebuah tempat

untuk mempelajari interaksi wisatawan dan peziarah dengan

sumber daya alam.

83

2) Genre Two: Original authenticity

Orang-orang cenderung untuk memandang otentisitas sebagai

sesuatu yang mempengaruhi rancangan originalitas, menjadi yang

pertama yang belum dilihat sebelumnya; bukan kopian atau

imitasi (Gilmore & Pine, 2007:49).

Pariwisata dibentuk oleh pengalaman-pengalaman fisik (Spark,

2002:23), lingkungan terbangun dan artefak yang ditemukan

didalamnya focus terhadap benda-benda tangible (Ryan &

McKenzie, 2003:54). Kemudian sejumlah studi empirik mencoba

untuk mengidentifikasi pandangan otentisitas wisatawan terhadap

pengaturan heritage dan artefak-artefak yang dipamerkan, dan

menyimpulkan bahwa pengunjung ke situs-situs bersejarah

mencari objective authenticity, yang sama dengan pendapat

Gilmore & Pine‟s (2007:49) yang disebut dengan original

authenticity.

Objective authenticity memiliki keterkaitan dengan penggunaan

otentisitas original pada museum yang juga objek wisata yang

dilihat oleh wisatawan. Pengalaman otentik disebabkan oleh

pengenalan terhadap objek wisata sebagai otentik. Walaupun

wisatawan berpikir mereka mendapatkan pengalaman otentik, hal

tersebut dapat dinilai tidak otentik jika objek wisata pada

kenyataan palsu (Wang, 1999:351).

84

3) Genre Ketiga : Exceptional authenticity

Pengalaman wisatawan muncul berdasarkan penawaran yang

dihasilkan oleh kepedulian manusia. Oleh karena itu, proses

interaksi manusia merupakan hal yang fundamental dalam

membuat exceptional authenticity (Gilmore & Pine, 2007:49).

Dalam abad konsumsi masal, dimana setiap item budaya menjadi

sebuah komoditi, perubahan dari pelayanan personal menjadi

pelayanan mandiri meningkatkan popularitas, dan memiliki

dampak terhadap komersialisasi pengalaman budaya. Kemudian,

banyak wisatawan merasa terbebani oleh pelayanan mandiri dan

lebih suka pelayanan yang diberikan oleh manusia yang melayani

mereka berdasarkan secara individu ke individu atau dalam cara

yang luar biasa (Gilmore & Pine, 2008:49).

4) Genre Keempat: Referential authenticity

Beverland (2005:1025) mengidentifikasi penentu utama

referential authenticity, dapat dieksplorasi dari tiga perspektif

utama: penggunaan sebuah tempat dan sejarahnya dan budaya

sebagai referensi; komitmen terhadap proses produksi tradisional;

dan menarik di atas pertimbangan komersial.

Reisinger & Steiner (2006:65) mendukung bahwa “produk-

produk, seperti pekerjaan seni, artefak, makanan, atau ritual

biasanya dideskripsikan sebagai otentik atau tidak otentik

tergantung pada apakah mereka dibuat atau dipertunjukan oleh

masyarakat lokal berdasarkan tradisi mereka”. Wisatawan

85

cenderung untuk membeli cinderamata sebagai pendorong

pengalaman personal dan sebagai bukti tangible dalam

menemukan otentisitas (Littrell, Anderson & Brown, 1993:107).

5) Genre Kelima : Influential authenticity

Bruner (1994:397) mengatakan bahwa orang-orang mencari

influential authenticity didasari oleh perasaan nostalgia masa lalu

yang hilang, sebuah pencarian terhadap akar sejarah mereka dan

membayangkan saat-saat ketika kehidupan lebih alami, lebih

murni dan lebih sederhana.

2.6. Komodifikasi

Komodifikasi mengatakan bahwa secara potensial seluruh aspek

kehidupan dapat menjadi komoditas. Proses tersebut juga dikenal

sebagai„komoditisasi‟ (Kopytoff,1986:2; Hirschman,1991:42) tetapi secara

umum juga memiliki keterkaitan yang erat dengan istilah-istilah seperti

'objectifikasi', 'quantifikasi' dan 'industrialisasi' seperti argumen yang

mengacu pada `McDonaldization' (Ritzer,1993:56) dan 'Coca-

Colonisation' masyarakat (Cinquin, 1987:38). Istilah komodifikasi yang

digunakan adalah untuk mendeskripsikan sebuah proses ekonomi dan

budaya yang peduli terhadap hubungan sosial antara manusia dan budaya

materinya dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Komodifikasi tidak

hanya berimplikasi dalam perekonomian masyarakat tetapi juga meliputi

dimensi ideologi dan politik.

86

Penyebaran bentuk komoditas dipahami sebagai pengaruh yang luas terhadap lingkungan budaya dan persepsi budaya secara lebih umum, dan tidak secara sederhana dipandang sebagai peningkatan jumlah barang- barang konsumen dan pelayanan dalam masyarakat modern.

Weber (1998:729) tertarik dengan banyak aspek kapitalisme yang memberikan dampak pada pengalaman individu, dimana hal ersebut berguna untuk memperjelas kerja Karl Marx dalam memperkenalkan pengetahuan komodifikasi. Menurut Miles (1998:16) Ketertarikan Marx

(1867) berada dalam konteks proses produksi. Peranan utama komoditas, mendefinisikan sebuah produk yang tidak diproduksi untuk konsumsi langsung oleh pembuatnya tetapi untuk dijual di pasar, adalah produk yang memiliki nilai tukar yangberbeda dengan nilai gunanya. Teori Marx mengenai kapitalisme didasari pada kenyataan bahwa nilai-nilai yang ditempelkan pada komoditas tergantung pada hubungan sosial yang konkrit dari produksi sosial, dan selama proseskomodifikasitersebut dibawah system ini seluruh aspek kehidupan sosial menjadi subjek hukum pasar.

Sebuah perspektif menarik mengenai perubahan bentuk komoditi pariwisata dapat digambarkan dari Best‟s (1989:30) analisis mengenai bagaimana masyarakat komoditi ditransformasikan ke dalam masyarakat tontonan dan bahkan citra masyarakat. Dalam masyarakat komoditi, komodifikasi mewakili sebuah pembalikan dari nilai tukar terhadap nilai guna. Objek-objek menjadi komoditas ketika objek-objek tersebut mengambil nilai tukar melalui atau di atas nilai gunanya dan dapat diperdagangkan, meletakkannya dalam bidang kuantitatif.

87

Sebuah transformasi lebih lanjut dalam bentuk komoditi dijelaskan oleh Best (1989:35), yang analisisnya mengenai masyarakat sibernetik post- modern menunjuk pada perubahanyang terdapat di dalam arena pertandaan, citra dan informasi. Dalam masyarakat seperti itu, dia berargumentasi bahwa komodifikasi merupakan peleburan objek menjadi citra, yang membiarkan perubaha terjadi dalam bentuk semiotik.

Banyak diskusi mengenai tontonan dan citra dikaitkandengan pertanyaan-pertanyaan bagaimana komodifikasi mentransformasi masyarakat dan budaya lokal. Cohen (1988:372–3), mencatat tiga dampak, pertama adalah pariwisata dikatakan menyebabkan komoditisasi kehidupan masyarakat lokal. Dalam proses ini kebiasaan dan kostum, ritual dan festival, dongeng dan seni-seni etnik menjadi pelayanan-pelayanan wisata atau komoditas, ketika dipertunjukan atau diproduksi untuk konsumsi wisatawan. Pengertian terhadap produk-produk budaya dan perubahan hubungan manusia, kadang-kadang menjadi tidak berarti dan karena budaya lokal dapat dikomoditisasi oleh setiap orang, tanpa memikirkan partisipan, hal tersebut dapat diambilalih dan masyarakat local dieksploitasi

(Cohen, 1988:372). Kedua, komoditisasi dikatakan menghancurkan otentisitas produk-produk budaya local dan hubungan manusia (Cohen,

1988:372). Hal tersebut digantikan oleh sebuah pengganti yang disembunyikan oleh „staged authenticity‟ yang membuat event-event budaya dijadwalkan untuk wisatawan. Ketiga, “staged authenticity” dikatakan merintangi keinginan asli wisatawan terhadap pengalaman- pengalaman otentik (Cohen, 1988:372). Lengkapnya dalam analisis ini

88

memandang bahwa operator pariwisata menyesatkan wisatawan dalam membuat daya tarik menjadi otentik, kemudian menciptakans sebuah „false touristic consciousness‟ (Cohen, 1988: 373). Dalam menyimpulkan analisisnya, Cohen menunjukkan bagaimana akibat dari asumsi-asumsi tersebut adalah bahwa komoditisasi yang disebabkan oleh pariwisata, merusak tidak hanya pemahaman produk-produk budaya oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh wisatawan dan pariwisata adalah sebuah“penipuan besar-besaran” (Cohen, 1988:373). Perspektif tersebut dan banyak asumsi- asumsi terkait yang digarisbawahi oleh Cohen digunakan dalam menteorisasi komodifikasi dalam pariwisata.

Britton (1991:451) sangat menekankan pada komodifikasi leisure dan pariwisata dalam masyarakat kapitalis. Dalam melakukan hal tersebut dia meminjam istilah “culture industry‟ dari Frankfurt School yang melacak gradual birokratisasi, rationalisasi dan mekanisasi kehidupan sosial dan menulis cara-cara dimana “culture industry”„membuang kesadaran kritikal dan memberikan pemahaman kunci terhadao pengalihan dan pelumpuhan‟

(Best, 1989:35). Lebih lanjut, Britton (1991:460) berargumentasi bahwa komodifikasi adalah sebuah elemen sentral dari banyak pengembangan waktu luang dan pariwisata dan menyarankan bahwa „tempat-tempat tertentu dan tapak- tapak (dengan bentang alamnya, praktek-praktek sosial, bangunan-bangunan, penduduk, simbol-simbol dan pemahaman- pemahaman) mendapatkan status pertunjukan wisatawan karena atribut- atribut fisik, sosial, budaya dan komersial (Britton, 1991:462). Seperti kasus mengenai dampak ekonomi pariwisata, hal tersebut tidak dapat

89

dinilai atau bahkan didiskusikan jelas secara menyeluruh. Pertanyaan-

pertanyaan terkait alam, validitas, otentisitas, komoditisasi atau semiotik

pertunjukan budaya dalam pariwisata hanya dapat didekati secara

situasional dan kemudian hanya dengan meletakkannya secara seksama

dalam sejarah peristiwa, sejalan dengan pemahaman tempatnya dalam

skema hal-hal yang lebih besar dan proses kemunculannya sebagai bagian

dari pengalaman wisatawan (Stymeist, 1996:18).

Gambar 5

DiagramProses Komoditisasi–Transformasi Identitas Budaya Menjadi Profil Budaya

Localization - Innovation +

Cognitive biases - OUTPUT INPUTS Cultural identity Constructed scheme(s) of host Cultural markers Valuation Touristic group(s) Marker Symbols Cultural Symbol attributes + Profile - Authentication Sumber : Johansson (1993)

Johansson et al. (1993:209) mendefinisikan komodifikasi sebuah

proses sebagai “sebuah rangkaian aktivitas yang terkait yang melakukan

sebuah masukan dan mentransformasinya untuk menciptakan sebuah hasil”.

Ketika sektor pariwisata berhasil menggabungkan toeri-teori proses

manajemen dari bidang bisnis dan disiplin ilmu, seperti ekonomi dan

pemasaran, untuk memaksimalkan efisiensi produksi dan keuntungan

ekonomi, pariwisata menjadi lambat untuk mengenali keuntungan-

keuntungan dirinya sendiri melalui pemahaman yang lebih mendalam

90

terhadap komoditisasi sebagai sebuah proses dan dampak-dampak komoditisasi budaya pada identitas budaya dari masyarakat lokal.

Komoditisasi yang terjadi dikonseptualisasi melalui berbagai macam sub-proses yang merubah pandangan aset-aset budaya sebuah destinasi menjadi satu atau lebih produk wisata. Sejak diketahui bahwa dampak terhadap budaya disebabkan oleh perkembangannya yang lambat, kadang- kadang pembukaan sebuah day atarik wisata yang sembarangan kepada orang luar, menyebabkan banyak destinasi yang secara sadar fokus terhadap manipulasi tampilan budaya untuk disesuaikan dengan keinginan dan harapan wisatawan (Erb, 2000:709).

Komodifikasi adalah proses dimana sebuah asset budayaatau alam dibuat agar dapat diakses oleh wisatawan sebagai sebuah produk yangdapat dikonsumsi, dan aset-aset budaya juga memiliki nilai ekonomi. Dalam literatur-literatur komodifikasi sebelumnya komodifikasi dipandang sebagai salah satu ancaman besar terhadap fasilitas budaya; jika pariwisata berhasil, hal tersebut akan menjadi tragedi” (McKercher and duCros, 2002:115). Saat ini sudah umum menghargai pariwisata sebagai mitra dalam pengelolaan warisan budaya (Boniface, 1998:116). Perlu digarisbawahi bahwa budaya saat ini menampilkan peran ganda; satu tangan mendukung pengumpulan memori dan identifikasi masyarakat, dan tangan yang lain menjadi sumber kesejahteraan dan pengembangan ekonomi (Richards, 2007:304).

Komodifikasi membutuhkan keseimbangan dalam kaitannya dengan aspek- aspek aset-aset budaya lainnya seperti pendidikan (Douglas, Douglas and

Derrett, 2001:190) dan otentisitas (McKercher and duCros, 2002:76).

91

Presentasi asset adalah hal utama bagi pengelolaan warisan budaya, bagi sektor pariwisata hal tersebut adalah sebuah pertanyaan bagi pengembangan produk dan keduanya termasuk jenis interpretasi. Pariwisata cenderung fokus terhadap nilai pengguna (user value), seperti hiburan, relevan bagi wisatawan dan mudah diikuti, tetapi outcome pendidikan penting bagi pengelola-pengeloda budaya (Weiler and Ham, 2001:94).

Presentasi warisan budaya sebagai sebuah elemen produk wisata menghadirkan dilema seperti pendidikan versus hiburan dan konservasi versus komoditisasi (McKercher& duCros, 2002:117), dan otentisitas versus keinginan pasar. Komodifikasi warisan budaya disatu sisi dapat memberikan ancaman terhadap lingkungan budaya asli, sedangkan disisi lain dapat membuka kemungkinan bagiperlindungan terhadap situs-situs dan objek- objek yang bernilai, dan presentasi aset-aset budaya yang berkelanjutan (Ryan & Aicken, 2005:56).

92

2.6.1. Kerangka Pemikiran

Gambar 6

Kerangka Pemikiran

PURI ANYAR KERAMBITAN

POTENSI FAKTUAL BUDAYA PURI UNTUK PARIWISATA OTENTISITAS KOMODIFIKASI Indikator :  Diciptakan Indikator :  Diakui sebagai otentik oleh masyarakat  Budaya dijual sebagai seni pertunjukan  Digunakan secara turun-temurun  Budaya sebagai paket wisata  Memiliki catatan sejarah  Penggunaan teknologi  Tidak diproduksi secara massal  Perubahan fungsi  Tidak terkontaminasi oleh modernisasi  Penyederhanaan bentuk budaya  Memiliki karakteristik khusus yang tidak  Penyesuaian waktu dimiliki oleh tempat lain  Penggunaan bahasa bukan bahasa asli  Tradisi yang ada tetap dipertahankan UNSUR OTENTISITAS  Penambahan bentuk budaya  Tidak terpengaruh oleh budaya luar DAN KOMODIFIKASI PADA KERATON

HUBUNGAN OTENTISITAS DAN KOMODIFIKASI UNTUK PARIWISATA

BAB II

METODOLOGI

2.1. Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data primer maupun sekunder, data harus dikumpulkan sendiri dengan menggunakan alat bantu yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu dengan menggunakan observasi atau pengamatan, wawancara atau interview, penyebaran kuesioner dan studi pustaka dengan alat kumpul data berupa daftar periksa, kuesioner, dan pedoman wawancara.

2.1.1. Methode Pengumpulan Data

a. Observasi

Observasi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan data

mengenai kondisi aktual, terutama kondisi permasalahan yang

terdapat di Puri Anyar Kerambitan dilakukan langsung pada lokasi

penelitian dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang

dibutuhkan dengan menggunakan alat kumpul data berupa daftar

periksa atau checklist.

Metode observasi merupakan metode pengumpul data yang

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik

gejala-gejala yang diselidiki (Supardi, 2006:48). Observasi dilakukan

menurut prosedur dan aturan tertentu sehingga dapat diulangi

kembali oleh peneliti dan hasil observasi memberikan kemungkinan

untuk ditafsirkan secara ilmiah.

b. Wawancara

Metode wawancara adalah “proses tanya jawab dalam penelitian

yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih

bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi

atau keterangan-keterangan” (Supardi, 2006:49). Sedangkan pendapat

lain mengatakan bahwa “wawancara adalah percakapan yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih yaitu wawancara yang akan

mengajukan pertanyaan dan orang yang akan diwawancarai yang

akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang akan diajukan”

(Moleong, 2001:36)

c. Studi Pustaka

Kegiatan studi pustaka ini dilakukan untuk mengumpulkan

informasi yang bersifat teoritis yang nantinya akan digunakan sebagai

landasan teori yang menjadi alat bantu dalam menganalisa

permasalahan dengan cara membandingkan kondisi aktual di

lapangan terhadap konsep dan teori untuk menghasilkan analisis

akhir serta rekomendasi.

Menurut Sugiyono (2008:33) studi dokumen merupakan

pelengkap dari penggunaan metode obsevasi dan wawancara dalam

penelitian kualitatif. Bahkan kredibilitas hasil penelitian kualitatif ini

akan semakin tinggi jika melibatkan/menggunakan studi dokumen ini

dalam metode penelitian kualitatifnya hal senada diungkapkan Bogdan (seperti dikutip Sugiyono) “Sebagian besar kebiasaan

penelitian kualitatif, prase dokumen personal digunakan secara luas

yang merujuk pada beberapa narasi orang pertama yang dihasilkan

oleh individu yang menggambarkan tindakan-tindakan, pengalaman

dan kepercayaan dirinya”.

2.1.2. Tahapan Pengumpulan Data

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan pengumpulan data: Tahapa 1

terdiri dari pengumpulan data sekunder, Tahap 2 dan 3 merupakan

pengumpulan data primer, sebuah proses yang sangat penting dalam

penelitian ini karena terbatasnya material-material bacaan yang

dipublikasikan terkait dengan wisata puri. Gambar berikut

menggambarkan urutan struktur dari kerangka kerja penelitian.

2.2. Analisis Data

Dari observasi dan wawancara yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka, hasilnya kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk menetapkan indikator-indikator otentisitas serta proses komodifikasi seperti apa yang cocok untuk dikembangkan di Puri Anyar Kerambitan yang kemudian disimpulkan sebagai sebuah model otentisitas dan komodifikasi wisata keraton.

Analisis data kualitatif digunakan dengan menggunakan data-data empiris yang bersifat kualitatif. Menurut Silalahi (2006:26) kegiatan analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau klarifikasi. Dalam proses reduksi data ini dilakukan proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis yang ada di lapangan. Reduksi data ini merupakan bentuk analisis yang digunakan untuk menajamkan, menggolongkan dan membuang data-data yang tidak diperlukan serta mengorganisasikan data sehingga nantinya kesimpulan dapat ditarik secara tepat dan didiversifikasi.

Selanjutnya adalah menyajikan data sebagai kumpulan informasi yang tersusun untuk memberikan kemungkinan akan penarikan .kesimpulan. Penyajian data dilakukan dalam dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan, sehingga kemudian peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi dan kemudian dapat menentukan apakah penarikan kesimpulan yang dilakukan sudah benar atau harus terus melakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan yang valid. Alur kegiatan berikutnya adalah menarik kesimpulan dan verifikasi yang dilakukan melalui data-data yang terkumpul dan kemudian simpulan tersebut akan diverifikasi atau diuji kebenaran dan validitasnya.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara dan pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca dan dipelajari dan ditelaah maka langkah selanjutnya adalah melakukan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.

Secara umum, data kualitatif yang dikumpulkan melalui interview diterjemahkan, diberi kode dan dikelompokkan untuk kesesuaian analisis kualitatif (Bryman 2008; Gray 2009). This is reported from the themes that emerge from participants‟ discussions with examples of comments made by respondents to facilitate easy interpretation and description of data acquired. Data yang dikumpulkan dari tahap 2 dianalisis secara simultan untuk meningkatkan reliabilitas dan otentisitasnya (Bryman 2008).

Analisis data dimulai dengan pengaturan hasil survey yang menggunakan observasi partisipan dan catatan-catatan lapangan yang dikumpulkan di Puri

Anyar Kerambitan. The field notes constituted a representation of observed events, persons, places as well as written accounts of interactions that were condensed and preserved to offer insights and meanings to the research as and when required (Mason 2002). At the end of each qualitative discussion, the issues raised were summarised for the participants to either make additions or subtractions. After accepting the points as their views, they were given consent forms to sign in agreement that their data could be used for this research. This was also to ensure that the main points and key issues raised had been captured and understood by both parties. Considerable effort was made to integrate observations, field notes and discussions with groups and individuals in order to give order and themes from the emerging data. At the end of the focus group discussion data collection process for each day, the recordings were played and transcribed verbatim immediately to compare with the notes taken to separate the aspects which answered the investigation. It was important for particular consideration to details of the discussions to ensure that the key points were not overlooked.

Content analysis was utilised for the qualitative data collected through observations, the group and individual interviews, to highlight the main themes of the conversations and discussions. It was used because it regards the research questions as a whole and thus corresponds to the philosophy underlying the study

(Bryman 2008). Key words, themes and relationships were identified to order the data into categories. Content analysis examined the artefact of traditional social communication obtained from the recorded verbal communication (Mason 2002).

Since it is a technique for making inferences it enhanced the systematic and objective identification of characteristics of messages that reflected all relevant aspects of the study to retain as much as possible the exact wording used in the statement (Wilkinson 2004). The use of content analysis was appropriate for this study because of its ability to reveal both manifest and latent content which surround the food „terminologies‟ of the research area. This was useful in order to acquire the surface structure as well as the deep structural meaning conveyed in the discussions (Gray 2009). It offered an opportunity to condense and eliminate material (repetitive speech, changing personal names, and identity in order to protect the anonymity of informants) (Wilkinson 2004).

The continuous coding ensured rigor in the use of content analysis and categorization used to reduce the data from a larger perspective to a smaller version; not for individuals‟ views but as a cultural construction of the universal entities (Payne and Payne 2004). This was important to the study to identify particular use of language for foodservice because some of these spoken/unspoken words placed emphasis on points emerging in the discussion and were related accordingly.

2.3. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan di Puri Anyar Kerambitan ini menggunakan pendekatan Penelitian ilmu sosial dan kebudayaan, yaitu penyelidikan tentang suatu gejala sosial maupun hubungan antara dua atau lebih gejala sosial melalui aplikasi sistematis dari metode ilmiah. Melalui penelitian sosial ini peneliti dapat menjawab pertanyaan tentang berbagai aspek perihal fenomena sosial dan masyarakat yang kemudian dapat membantu memahami fenomena sosial dan masyarakat (Silalahi, 2009:3)

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Menentukan masalah yang akan diteliti.

2. Studi pendahuluan mencari informasi agar masalahnya lebih jelas untuk

dijajaki dalam penelitian tersebut.

3. Merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana

harus pergi, dan sarana apa yang harus digunakan.

4. Anggapan dasar adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh

peneliti yang berfungsi sebagai tempat berpijak dalam melaksanakan

penelitiannya.

5. Memilih pendekatan atau metode penelitian.

Qualitative data explores the attitudes, views and behaviour of individuals and therefore used to develop an understanding into reasons underlying various practices and attitudes (Silverman 2005). A qualitative approach is based on interpretive ground and engages the enquirer in a continuous and rigorous experience with individuals (Creswell 2003).

Through this approach, this study sought an understanding in an attempt to interpret the world by the social entities as Mason (2002) suggested. As a naturalistic approach, it emphasises the significance of the subjective experience of individuals as they occur in their natural settings (Creswell 2003). It was thus flexible for the purpose of this study, and allowed extra comments to acquire in- depth knowledge from participants in order to generate theory as indicated by

Bryman (2008). Again, as social properties are the outcomes of the interactions of individuals rather than the phenomena „out there‟ (Bryman 2008 p366), the qualitative approach was found very useful for the study.

Although the in-depth descriptions obtained from qualitative data offers a database, which allows judgements on its transferability (Bryman, 2008), this study was aware that its subjective/intensive nature involves a limited number of participants, which makes it difficult to generalise the results. Additionally, it was time consuming during data gathering and analysis. Furthermore, the approach requires skills on the part of the interviewer to carry the message across and to be able to interpret the statements from the participants (Gubrium and Holstein

(1977). The qualitative approach employs different knowledge claims, methods of investigation and analysis of the phenomenon from that of the quantitative approach (Creswell 2003).

2.4. Rancangan Penelitian

Yin (2002) mendefinisikan rancangan penelitian sebagai urutan logis yang menghubungkan data empiris dengan pertanyaaan-pertanyaan awal penelitian sampai dengan simpulan.

The design utilised an exploratory survey for the initial qualitative stage of participant observations at visitor attractions, group and individual interviews, which informed and guided the subsequent confirmatory survey for the large-scale quantitative stage in which a self-completed questionnaire was distributed to visitors at the selected attractions. Equally, emerging issues from the questionnaire were used to conduct interviews with both foodservice and attractions staff following the questionnaire administered at the visitor attraction.

Surveys have been acknowledged valuable if the objectives are to measure attitudes and to find out about a particular phenomenon (Brink and Wood, 2001).

Moreover, conclusions drawn from a population in a survey were important to inform or serve as tools because Gray (2009) asserts they are used to inform or influence policy changes, and conclusions. As suggested by Fink and Kosecoff

(1998), the use of a survey was appropriate for this study in order to describe the status of things, make comparisons and identify any change in the process of finding suitable ways of developing the attractions and foodservice operations in

Ghana.

Research Setting

This study was conducted in Ghana, which has a well-defined population of cultural, heritage, and natural visitor attractions (Table 1). The country is divided into 10 administrative regions and located on the West coast of Africa, along the

Gulf of Guinea and lies on the Greenwich Meridian. With an estimated 20 million population, Ghana share borders with Togo to the east, Cote D‟Ivoire on the west and Burkina Faso on the north. Table 4.1 below outlines the attractions visited in the Phase 2 study.

Generally, in every research there are two basic sources of data: secondary and primary. While the secondary data inform the research about what is been done in the area of interest, the primary data offer an original source of information to either approve or disapprove the issues in the secondary data and or of a phenomenon. Both secondary and primary data gathering have different methods, which are used to achieve the results. Collection of social data is based upon inductive strategies including observations, focus group discussions and interviews (qualitative) and deductive strategies of questionnaires (quantitative to evaluate the impact on the research process and data produced (Baker 2000).

Secondary Data

Secondary data is the information about a particular phenomenon that is in existence already and can conveniently be accessed from other sources and used for primary research study by those who had not been involved in the study

(Bryman 2008). These data are usually obtained from textbooks, encyclopaedias, journals, electronic journals (e-journals) periodicals, official documents, and newsprints. Searching for relevant secondary data provides an overview of past and present research and identifies key words in the research area. This assists in describing and making comparisons about existing phenomena, which serves as a map and highlight the gaps in the phenomena (Creswell 2009). In this view, the direction of the research is clarified with possible suggestions to address the identified gap(s), through the recommendations for future work. Equally secondary data save time and reduce costs involved in conducting investigations and offer authors the chance to critic the data and highlight conflicting points for new theories to emerge (Bryman 2008).

These data are limited in providing useful information about a research topic in situations where it is not applicable and or not familiar (Bryman 2008). The methodology may not also be appropriate because it may be limited in a component and either geared towards statistical data more than narratives and vice versa.

This study‟s source of secondary data was primarily the Bournemouth University and Cape Coast University‟s libraries; books, journals, inter-library loans, conference papers as well as official documents such as project reports by the

Ghana Tour Operators Federation, brochures, pamphlets and directories from the

Food and Drugs Board, Ghana Visitor Board and visitor attractions. After considerable search, it became apparent that little had been published on the topic and in particular on Ghana.

Primary Data

Primary data are original work, which has neither been undertaken previously nor published elsewhere, regarding the aims and objectives outlined for a particular research. It entails the gathering of new data by means of tools, such as, observations/participant observation, focus group discussions, interviews, and a questionnaire. Results of a phenomenon investigated present the possibility of finding a solution and making the appropriate recommendations. Prior to the data collection in Ghana, visits were made to selected attractions in Dorset, such as the

Purbecks, Bournemouth Beach and Stonehenge , to ascertain the operation of foodservice outlets regarding visitors‟ activities and developments at the attractions. This was important for the study because it was necessary to have a checklist (Appendix 4) for the impending visits to visitor attractions in Ghana.

Two separate study trips were made to Ghana over a two-year period to collect primary data; first a qualitative survey was employed for Phase Two, a data collection exercise, fundamental to this research, because it informed the major quantitatively focussed survey, Phase Three, which took place the following year.

The results of the Phase Two were a „gate opener‟ for the third phase of data collection.

4.4 Methods of Primary Data Collection

Observation Observation is an investigation that an object/subject is watched in its natural settings to collect data about a phenomenon (Burns 2000). It is a direct way of gathering data about beliefs, attitudes and values of the subjects. Observation can be directed i.e. watching and indirect i.e. hearing an account of what took place.

The observer can also be passive or a participant in the activity.

Observations were useful for this research because of the close proximity of the observed attractions and activities at the sites provided first hand, accurate information about the phenomenon under investigation (Burns 2000). In view of this tool not being suitable for historic data, it was particularly useful because it was employed as an additional tool to group and individual interviews. This was done in order to have a general knowledge about Ghanaian visitor attractions. It was also important as an additional tool because there was concern that the resulting data if used exclusively could be too little.

Participant Observation

The difference between observation and participant observation is that the former does not engage in any activity of the observed and only looks at the process, while participant observation involves the observer in the activity of the observed.

In this research, participant observations were useful because they showed a

„contrast between what people do and what they say they do‟ (Gubrium and

Holstein 2003). It provided additional knowledge to the observer through the practicality involved because knowledge was gained through experiences and interactions. By so doing, the observer was able to collect data on visitor arrivals which otherwise might not have been possible because of the „strictly confidential‟ handling of administrative information. This tool was not without limitations; although it was not evident, there was the possibility of the observed not exhibiting the right procedures for the activity or falsifying the entire process when aware of the objective of the observer, for example not giving the correct figures on arrivals and withholding valuable information about the attractions.

Moreover, it was time consuming, because the observer had to travel around the country by public means; in some cases, challenges with poor road networking made the exercise quite expensive.

Interviews

Interviews are a qualitative approach of collecting data to source in-depth information (Mason 2002). They are an appropriate method for exploring subjective opinions and attitudes. They take different forms; face to face, telephone interviews, through the postal mail and computer-assisted (the tool is sent to subjects to respond through the computer and answers are keyed in through the codes). Interviews can be informal, or involve the use of semi-structured or structured questions, which can be audio-recorded.

Interviews are rich in information. This study utilised the face-to-face interviews, which allowed the interviewer to probe for the necessary detail. The interviews were semi-structured (Appendix 5), and were audio-recorded in order to assist in the acquisition of accurate information. The process also included observation which made it a multi-method and offered the opportunity to interact with the personnel, in order to source more information. Although the use of telephones and computers makes it easier and cheaper, because simultaneous answers are obtained, they were not applied in this research because of the difficulty in obtaining information from public officers in Ghana. Additionally, the study found it helpful to employ faceto-face interviews in order to source information from observing the interviewees as they spoke.

The disadvantage in the use of interviews was that they were very subjective; the interviewee had the sole decision to choose to give a true account of the phenomenon or misdirect the interviewer. For this study, the number of participants for the exercise was limited because it was difficult getting the right personnel and the process of collecting data and analysis was expensive and time- consuming (Burns 2000).

BAB III

GAMBARAN UMUM

3.1. Kabupaten Tabanan

3.1.1. Kondisi Geografis, Topografi Dan Geohidrologi

Kabupaten Tabanan, salah satu kabupaten di Provinsi Bali secara geografis terletak diantara 08 -14 ‟ 30 ” - 08 o 30 ‟ 07 ” Lintang Selatan dan 114 o 54‟52”

– 115 o 12 ‟ 57” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Kabupaten Tabanan adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Badung sebelah selatan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Secara detail peta orientasi kabupaten Tabanan dan peta Geografis Tabanan dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan 2.2.

Kabupaten Tabanan terletak pada ketinggian 0 – 2.276 m di atas permukaan laut (dpl), dimana lahan tertinggi berada di puncak Gunung Batukaru.

Topografi wilayah Kabupaten Tabanan memiliki tiga karakteristik yang berbeda.

Bagian selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia merupakan dataran rendah dengan topografi yang relatif datar, di bagian tengah bergelombang, dan di bagian utara merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dimana terdapat beberapa gunung yaitu Gn. Batukaru (2.276 m), Gn. Sangiyang (2.097 m), Gn. Pohen

(2.055 m) dan Gn. Adeng (1.811 m). Sebaran lahan menurut ketinggiannya disajikan pada Gambar 2.3.

Ditinjau dari kemiringan lahan, sebagian besar lahan Kabupaten Tabanan berada pada Kemiringan lereng 15-40% yaitu luasnya 365,67 km 2 (43,57%), tersebar luas terutama di wilayah bagian barat. Lahan dengan kemiringan lereng b2-15% dengan luas 249,61 km 2 (29,74%) tersebar luas terutama di wilayah bagian timur. Lahan dengan kemiringan di atas 40% seluas 136,53 km 2 (16,27

%) terdapat di daerah pegunungan bagian utara dan sebagian di sisi barat perbatasan dengan Kabupaten Jembrana. Sedangkan lahan dengan kemiringan 0-

2% seluas 10,43 km 2 (10,43 %) mendominasi daerah pantai.

Bila dilihat dari penggunaan tanah dari luas wilayah yang ada sekitar

22.562 Km2 (26,88%) merupakan wilayah persawahan dan 61.371 km2 (73,12%) merupakan lahan bukan sawah. Dari 73,12% lahan bukan sawah 99.95% diantaranya merupakan lahan kering yang sebagian besar berupa tegal, kebun dan hutan negara sisanya 0.05% adalah lahan lainnya seperti kolam, tambak, dan rawa-rawa (Gambar 2.4).

Ditinjau dari sudut geologi berdasarkan Peta Geologi Bali (Purbo-

Hadiwidjojo, 1971), wilayah permukaan Kabupaten Tabanan tersusun oleh formasi geologi yang beragam. Batuan tertua yang ditemukan adalah batuan hasil muntahan Gunung Api Jembrana seperti Gunung Klatakan, Gunung Merbuk, dan

Gunung Patas yang terdiri dari lava, breksi dan tufa. Batuan ini menyelimuti daerah sekitar Kaliukir, Munduk, Tiinggading hingga Suraberata. Juga ditemui di dekat Desa Kerambitan. Batuan ini terbentuk pada era kwarter bawah sekitar 6 juta tahun lalu. Batuan yang lebih muda adalah tufa dan endapan lahar Buyan-

Bratan dan Batur yang terbentuk pada era kwarter. Batuan ini menutupi sekitar setengah Kabupaten Tabanan, terutama daerah bagian selatan. Sementara pada daerah pegunungan terdapat dua formasi batuan yaitu batuan hasil ekstrusi Gunung Batukaru dan batuan gunung api dari kerucut- kerucut subresen Gunung Pohen, Gunung Sangiyang dan Gunung Lesong.

Jenis tanah secara umum yang terdapat di Kabupaten Tabanan berdasarkan

Uraian Tanah Tinjau (Bappeda Provinsi Bali, 2004) terdiri dari tanah aluvial, regosol, andosol dan latosol. Tanah alluvial berasal dari bahan induk endapan laut dan endapan sungai dengan fisiografi daratan pantai dan bentuk wilayah datar terdapat di daerah pantai Kecamatan Selemadeg Barat dan Selemadeg. Tanah jenis regosol berasal dari bahan induk abu vulkan dengan fisiografi vulkan, lembah dan kerucut vulkan dan bentuk wilayah melandai sampai bergunung, terdapat di Kecamatan Selemadeg, Pupuan, Penebel dan Baturiti. Tanah jenis andosol berasal dari bahan induk abu dan tufa vulkan dengan fisiografi lungur vulkan kerucut dan lungur dan bentuk wilayah berbukit sampai bergunung, terdapat di Kecamatan Pupuan, Penebel dan Baturiti. Sedangkan jenis tanah latosol yang merupakan sebagian besar dari jenis tanah di Kabupaten Tabanan dan tersebar di seluruh kecamatan berupa tanah berasal dari bahan induk abu dan tufa vulkan intermedier dengan fisografi lungur vulkan kerucut dan lungur vulkan dan bentuk wilayah melandai, berbukit sampai bergunung.

Kabupaten Tabanan mempunyai karakteristik hidrologi yang beragam sehingga secara relatif memiliki sumberdaya air yang kaya dibandingkan wilayah lainnya di Bali. Karakteristik hidrologi tersebut meliputi sungai, danau, mata air dan air tanah.

Tabel

Kondisi Fisik Alam

Indikator Satuan 2012 Luas km2 839.33 Lintang Selatan derajat 8º 14'30" - 8º 30'07" Bujur Timur derajat 114º 54'52" - 115º 12'57" Ketinggian dari Permukaan Laut Meter 0 - 2,276 Sumber: Jawatan Topografi DAM IX / Udayana

3.1.1.1. Sungai

Di wilayah Kabupaten Tabanan terdapat beberapa sungai

yang memiliki aliran sepanjang tahun. Beberapa sungai tersebut

memiliki daerah pengaliran sungai yang cukup luas dan

membentuk suatu daerah aliran sungai (DAS), yaitu: 1. Daerah

aliran sungai Tukad Yeh Empas luasnya 100,82 km 2. Daerah

aliran sungai ini sepenuhnya berada di Kabupaten Tabanan dan

bermuara di perbatasan Desa Sudimara dan Pangkung Tibah. 2.

Daerah Aliran Tukad Yeh Ho luasnya 135,76 km 2. Semua

daerah aliran sungai ini terletak di Kabupaten Tabanan. Muara

sungai ini berada di perbatasan Kecamatan Selemadeg Timur

dan Kerambitan. 3. Daerah aliran sungai Tukad Balian luasnya

152,9 km 2. Semua daerah aliran sungai terletak di Kabupaten

Tabanan. Muara sungai ini berada di Suraberata, Desa

Lalanglinggah Kecamatan Selemadeg Barat.

Dari sekian sungai yang ada di Kabupaten Tabanan baru 3

sungai yang telah diinventarisasi memiliki potensi untuk dikembangkan program penyadapan sungai yaitu Tukad Balian,

Tukad Yeh Empas dan Tukad Sungi. Tukad Balian mempunyai

debit aliran andal sebesar 380 lt/detik, Tukad Yeh Empas 200

lt/detik dan Tukad Sungi 430 lt/detik sehingga total hasil

penyadapan air sungai dari tiga sungai tersebut adalah 1.010

lt/detik atau 31,85 juta m 3/tahun (Rencana Induk Penyediaan

Air Bersih Bali, 2000).

Berdasarkan data curah hujan bulanan yang tercatat melalui alat

pengukur curah hujan yaitu penakar hujan dan pencatat hujan di

seluruh stasiun yang ada di Kabupaten Tabanan (Balai

Meteorologi dan Geofisika Wilayah III) dilakukan simulasi dan

diperoleh curah hujan dalam bentuk peta Isohyet bulanan selama

tahun 2004 Berdasarkan cathment area (CA) masing-masing sub

SWS, maka dapat dihitung potensi air permukaan di Kabupaten

Tabanan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.4 Total

ketersediaan air pemukaan yang masuk ke dalam sistem sungai

di Kabupaten Tabanan mencapai 2.400.501 juta m 3/tahun.

3.1.1.2. Danau

Kabupaten Tabanan memiliki sebuah danau dari empat

buah danau yang ada di Provinsi Bali, yaiu Danau Beratan.

Danau Beratan terletak di kawasan Bedugul pada ketinggian

sekitar 200 m dpl, memiliki luas permukaan air 3,85 km 2 dan

luas daerah tangkapan air 13,4 km 2. Danau ini memiliki kedalaman rata-rata 12,8 m dan kedalaman maksimum 20 m,

serta volume airnya 49,22 juta m3.

3.1.1.3. Mata Air dan Sumur Gali

Berdasarkan data dari laporan Rencana Induk Penyediaan

Air Bersih Bali (2000), sumber mata air yang terdapat di

Kabupaten Tabanan adalah 118 buah dan yang telah

dimanfaatkan airnya oleh masyarakat berjumlah 82 titik mata

air, dengan debit 3,26 m 3/dt atau 102,81 juta m 3/tahun.

Sedangkan jumlah sumur gali sebanyak 22 buah dengan debit

14,3 lt/detik atau 450.965 m 3/tahun.

3.1.1.4. Potensi Air Tanah

Potensi air tanah sangat tergantung dari formasi batuan dan

struktur geologi yang ada di bawah permukaan tanah. Formasi

batuan dan struktur geologi akan mempengaruhi aquifer yang

ada di bawah permukaan tanah. Sebagian besar wilayah

Kabupaten Tabanan struktur hidrologinya tergolong memiliki

akuifer tidak produktif yaitu debit kurang dari 2 lt/dt sehingga

tidak memungkinkan dikembangkan sebagai sumber air bersih.

Daerah yang hidrologinya sebagai akuifer produktif tinggi

dengan debit lebih dari 10 lt/dt, penyebarannya di Kecamatan

Selemadeg Timur, Kerambitan, Tabanan dan Kediri. Di wilayah pesisir potensi air tanah secara kualitas tidak sesuai untuk

kebutuhan air bersih (Gambar 2.5).

3.1.2. Kondisi Administrasi

Luas wilayah Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km 2 atau sekitar 14,89

% dari luas Provinsi Bali. Secara administratif Kabupaten Tabanan terbagi

menjadi 10 (sepuluh) kecamatan dan terdiri atas 131 desa. Adapun

kecamatan dan luas wilayah masing-masing kecamatan disajikan pada

Tabel 2.2.

Tabel

Luas Wilayah Kabupaten Tabanan Menurut Kecamatan Tahun 2012

Kecamatan Luas Wilayah (KM2) % Terhadap Kab. Tabanan Selemadeg 52,05 6,20 Kerambitan 42,49 5,05 Tabanan 51,40 6,12 Kediri 53,60 6,39 Marga 44,79 5,34 Baturiti 99,17 11,82 Penebel 141,98 16,92 Pupuan 179,02 21,33 Selemadeg Barat 120,15 14,31 Selemadeg Timur 54,78 6,53 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

Jarak dari Ibukota Kabupaten Tabanan (Kota Tabanan) ke Ibu kota

Provinsi Bali (Kota Denpasar) sekitar 20 km yang dihubungkan oleh jalan

arteri primer dengan waktu tempuh perjalanan darat sekitar 30-45 menit.

Jarak antara Ibukota Kecamatan ke Ibukota Kabupaten berkisar antara 0- 55 km, dimana Kecamatan Pupuan merupakan daerah yang memiliki

jarak terjauh dari Ibukota Kabupaten.

Tabel

Nama Ibukota Kecamatan Dan Jumlah Desa Tahun 2012

Ibukota Jumlah Jumlah Desa Jumlah Kecamatan Kecamatan Desa Pekraman Banjar Selemadeg Bajera 10 36 57 Kerambitan Kerambitan 15 28 90 Tabanan Tabanan 12 12 82 Kediri Kediri 15 22 98 Marga Marga 16 28 71 Baturiti Baturiti 12 53 64 Penebel Penebel 18 72 130 Pupuan Pupuan 14 24 63 Selemadeg Antosari 11 37 71 Barat Selemadeg Megati 10 32 71 Timur Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

3.1.3. Kondisi Demografis

3.1.3.1. Pertumbuhan Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Tabanan berdasarkan data Tahun

2008 tercatat sebanyak 416.743 jiwa, terdiri dari 206,712 jiwa

penduduk laki-laki dan 210,031 jiwa penduduk perempuan. Dari tahun

ke tahun jumlah penduduk Kabupaten Tabanan relatif terus bertambah.

Jika dibandingkan dengan Tahun 2007, penduduk Kabupaten Tabanan

bertambah 2.523 jiwa atau 0,61%. Dan bila dibandingkan tahun 2004

jumlah penduduk Tabanan tercatat 397.773 jiwa ini berarti ada

kenaikan 4,55% hingga tahun 2008. Tabel

Jumlah Penduduk WNI dan WNA Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2008-2012

Populasi Kecamatan 2008 2009 2010 2011 2012 Laki 10104 10450 10741 10799 10802 Selemadeg Perempuan 10495 10623 11066 11118 11103 Total 20599 21073 21807 21947 21905 Laki 19266 19348 19408 19730 19709 Kerambitan Perempuan 19951 20015 20023 20243 20238 Total 39217 39363 39431 39973 39947 Laki 30416 31308 31485 33163 33419 Tabanan Perempuan 30365 31864 32041 33239 33427 Total 60781 63172 63526 66402 66846 Laki 33681 34182 38002 38669 39219 Kediri Perempuan 33667 33661 37003 38019 38584 Total 67348 67843 75005 76688 77803 Laki 21066 21202 21296 21579 21529 Marga Perempuan 21929 22029 22170 22300 22304 Total 42995 43231 43466 43879 43833 Laki 25153 25636 25761 26037 26156 Baturiti Perempuan 24966 25215 25849 25594 25752 Total 50119 50851 50119 51631 51908 Laki 23933 24077 24270 24502 24553 Penebel Perempuan 25411 25563 25849 25922 25941 Total 49344 49460 50119 50424 50494 Laki 20211 20257 20251 20310 21480 Pupuan Perempuan 20200 20229 20170 20229 21270 Total 40411 40486 40421 40539 42750 Laki 10917 11029 11051 11065 12061 Selemadeg Barat Perempuan 10963 11147 11192 11197 11182 Total 21880 22176 22243 22262 22256 Laki 11965 11945 11999 11925 12061 Selemadeg Timur Perempuan 12084 12063 12056 12039 12097 Total 24049 24008 24055 23964 24158 Populasi Kecamatan 2008 2009 2010 2011 2012 Laki 206712 209434 214264 217779 220002 Kabupaten Tabanan Perempuan 210031 212409 216898 219900 221898 Total 416743 421843 431162 437679 441900 Sumber: Kompilasi Dari Data Registrasi yang Dikumpulkan oleh Kecamatan

3.1.3.2. Persebaran dan Kepadatan

Distribusi penduduk Kabupaten Tabanan dapat dikatakan tidak

tersebar secara merata untuk masing-masing kecamatan. Kecamatan

dengan jumlah penduduk paling banyak adalah Kecamatan Kediri

dengan 67.348 jiwa, sedangkan Kecamatan Selemadeg merupakan

kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu 20.599 jiwa.

Kepadatan penduduk rata-rata di Kabupaten Tabanan pada Tahun

2008 adalah 500 jiwa/km 2. Kepadatan penduduk paling tinggi adalah

di Kecamatan Kediri dengan tingkat kepadatan sebesar 1.256 jiwa/km

2, sedangkan Kecamatan Selemadeg Barat memiliki tingkat kepadatan

terendah dengan 182 jiwa/km 2 (Tabel 2.5).

Tabel

Kepadatan Penduduk, Sex Ratio dan Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2008-2012

Indikator 2008 2009 2010 2011 2012 Kepadatan penduduk per Km2 526.49 521.46 513.70 502.59 496.52 Sex rasio 99.15 99.04 98.79 98.60 98.42 Laju pertumbuhan 0.23 0.29 0.20 0.21 0.19 Sumber: Kompilasi Dari Data Registrasi yang Dikumpulkan oleh Kecamatan

3.1.3.3. Proyeksi Jumlah Penduduk

Berdasarkan perhitungan proyeksi jumlah penduduk Kabupaten

Tabanan yang diperkirakan tumbuh selama kurun waktu perencanaan,

yaitu 20 tahun, maka diperoleh perhitungan jumlah penduduk

Kabupaten Tabanan pada akhir tahun 2030 sebanyak 589.851 jiwa.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan formula yang sama diperoleh

angka jumlah penduduk pada lima tahun pertama (tahun 2015)

sebanyak 461.047 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk pada lima tahun

kedua (tahun 2020) sebanyak 490.317 jiwa. Jumlah penduduk pada

lima tahun ketiga (tahun 2025) sebanyak 540.739 jiwa (Tabel 2.6).

Berdasarkan perhitungan proyeksi yang sama diperoleh angka yang

menunjukkan besarnya jumlah pertambahan penduduk per lima

tahunan. Pada lima tahun pertama (tahun 2015) terdapat tambahan

jumlah penduduk sebanyak 44.304 jiwa. Sedangkan pada lima tahun

kedua (tahun 2020) terdapat tambahan jumlah penduduk sebanyak

22.246 jiwa. Pada lima tahun ketiga terdapat tambahan jumlah

penduduk sebanyak 34.543 jiwa. Sedangkan pada lima tahun keempat

(tahun 2030) terdapat tambahan jumlah penduduk sebanyak 39.847

jiwa. Sehingga total pertambahan jumlah penduduk Kabupaten Tabanan

selama kurun waktu perencanaan, yaitu 20 tahun, sebanyak 173.108

jiwa. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh gambaran bahwa

jumlah pertambahan penduduk Tabanan yang terbanyak terjadi pada

lima tahun pertama (tahun 2008-2015), yaitu sebanyak 44.304 jiwa.

Tabel

Jumlah Penduduk 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Tahun 2008-2012

Jenis Kegiatan 2008 2009 2010 2011 2012 I Angkatan Kerja 261,611 261,534 248,702 259,919 273,502 1. Bekerja 254,276 254,402 246,041 255,248 267,428 2. Pengangguran 7,335 7,132 2,661 4,671 6,074 II Bukan Angkatan Kerja 79,164 82,354 80,030 75,725 67,933 1. Sekolah 16,407 19,249 18,755 19,614 15,058 2. Urus Rumah Tangga 48,311 48,697 50,872 38,705 38,954 3. Lainnya 14,446 14,408 10,403 17,406 13,921 Penduduk Usia Kerja 340,775 343,888 328,732 335,644 341,435 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

3.1.4. Kondisi Sosial Masyarakat

Untuk mengetahui proporsi dan jumlah penduduk miskin, tersedia

dua sumber, yaitu persentase penduduk miskin dari Survei Sosial Ekonomi

Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan setiap tiga tahun, dan jumlah

rumah tangga miskin yang pendataannya dilaksanakan oleh Kantor

Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemerintahan Desa bekerjasama

dengan BPS pada setiap tahun dalam rangka penyaluran bantuan

langsung tunai (BLT) oleh pemerintah pusat. Kedua jenis data tersebut

berbeda dalam beberapa hal. Pertama, data SUSENAS adalah hasil survei,

tanpa nama dan tanpa alamat. Tujuannya untuk memantau persen

penduduk miskin setiap 3 tahun. Alat ukurnya juga berbeda, yaitu pola

komsusi masyarakat, yang kemudian disimpulkan menjadi kilokalori. Bila komsumsi per orang dibawah 2100 kilokalori per hari maka dikategorikan

sebagai penduduk miskin.

Dari 8 Tujuan Milenium Development Goals , komponen pertama

adalah; menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Target secara nasional

pencapaian MDGs poin pertama adalah : menurunkan proporsi penduduk

yang tingkat pendapatannya di bawah US$1 per hari menjadi setengahnya

dalam kurun waktu 1990-2015. Untuk mendukung target tersebut, maka

ditetapkan dua indikator target yaitu :

1. Penurunan persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1

(PPP) per hari.

2. Penurunan persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah

garis kemiskinan nasional.

Nasional menargetkan pencapain MDGs pada tahun 2015. Oleh karena itu, Kabupaten Tabanan wajib menargetkan pada tahun 2015 juga. Hasil pengentasan kemiskinan di Kabupaten Tabanan dapat dilihat pada Tabel

Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam penetapan kampung

kumuh adalah akses terhadap sarana air bersih dan sanitasi. Berdasarkan

data Prasarana dan Sarana dasar Pekerjaan Umum Prov Bali Tahun 2007,

daerah kumuh di Kabupaten tabanan dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Kabupaten Tabanan berpenduduk mayoritas Hindu, namun

penduduk beragama lain juga tergolong cukup banyak. Hal ini

memberikan keragaman pada kehidupan social kemasyarakatan di

Kabupaten Tabanan. Jika dilihat dari fasilitas peribadatan, berdasarkan

data Kabupaten tabanan dalam angka 2009, jumlah rumah ibadah dikabupaten tabanan adalah Pura sejumlah 1.163 buah, Mesjid sejumlah

45 buah, Wihara sejumlah 2 buah, dan Gereja sejumlah 15 buah. Tempat

ibadah tersebut tersebar di seluruh kabupaten.

3.1.5. Kondisi Kesehatan

Pada tahun 2008 secara umum gambaran sarana kesehatan di

Kabupaten Tabanan dapat dilihat pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Jumlah Prasarana Kesehatan Di Kabupaten Tabanan

Sumber: BPS, Tabanan dalam angka 2009

Sementara itu, 5 kejadian penyakit yang paling banyak terjadi pada tahun

2008 berdasarkan Tabanan dalam angka 2009 adalah:

1. Single spontaneous delivery unspecified 12.48%

2. Dongue haermorrhogic fever 11.66%

3. Diare 7.66%

4. Hipertensi 6.79%

5. Typhoid 5.54 %

3.1.6. Kondisi Ekonomi

Kondisi makro ekonomi Kabupaten Tabanan selama kurun waktu

empat tahun terakhir yaitu dari tahun 2005 sampai dengan 2008, bila

dilihat dari indikator angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan

kecenderungan perkembangan yang berfluktuasi.

Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,96% turun

menjadi 5,25 % pada tahun 2006, dan kemudian naik menjadi 5,76% pada tahun 2007. Pada tahun

2008 kembali turun tinggal 5,22%, pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 5,44%. Terjadinya penurunan angka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 dipengaruhi oleh peristiwa tragedi Bom Kuta-Jimbaran yang terjadi pada bulan Oktober 2005.

Dilihat dari kontribusi terhadap PDRB, Sektor yang cukup kuat dan tetap memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB Kabupaten

Tabanan adalah sektor pertanian dalam arti luas. Sektor ini memiliki porsi rata-rata 39,82% (tahun 2005-2007) dari PDRB Kabupaten Tabanan.

Namun, kecendrungan pertumbuhan sub sektor tersebut semakin menurun yang tercermin dari laju pertumbuhannya mengalami penurunan dari

5,51% pada tahun 2005 menjadi 3,70% pada tahun 2006 dan 4,02% pada tahun 2007. Perkembangan sektor pertanian belum diikuti oleh berkembangnya industri pengolahan berbahan baku hasil pertanian yang ditunjukkan oleh masih rendahnya pertumbuhan industri pengolahan yaitu dari 6,55% pada tahun 2005 menjadi 6,66% pada tahun 2007.

Investasi pembangunan, secara umum juga mengalami perkembangan yang berfluktuasi, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta/masyarakat. Pada tahun 2005 investasi pembangunan sebesar $ 3.025.000 pada tahun 2006 meningkat menjadi $ 6.830.000

Tahun 2007 sebesar $ 3.555.000 dan Tahun 2008 sebesar $ 1.550.000.

Tingkat inflasi, menunjukkan angka yang berpluktuasi dari 11,31%

(berdasarkan indek harga konsumen) pada tahun 2005, turun menjadi

4,30% pada tahun 2006. Pada tahun 2007 kembali naik menjadi 5,91% Tahun 2008 turun lagi menjadi 5,36%. Tahun 2009 akhir, inflasi dapat

ditekan lagi menjadi 3,00% merupakan inflasi yang terendah selama lima

tahun terakhir.

Tabel

Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Kabupaten Tabanan Tahun 2008-2012

Jumlah Penerimaan Jumlah Pengeluaran Tahun Anggaran (Rp. 000) (Rp. 000) 2012 1,056,319,327.00 1,119,501,569.00 2011 750,010,164.23 748,130,331.82 2010 784,878,353.91 837,391,244.93 2009 689,934,994.10 758,009,698 2008 540,824,254.88 540,824,254.88 Sumber: Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan

Dampak dari peningkatan ekonomi Kabupaten Tabanan, seperti

pada Tabel 2.11, menyebabkan penerimaan daerah terus meningkat.

Penerimaan Kabupaten Tabanan dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Pada tahun 2007 penerimaan sebesar Rp 532.931.278.383,

tahun 2008 mencapai Rp 616.421.961.907, tahun 2009 mencapai Rp

540,824,254,884,00 tahun 2008 Rp. 579,384,376,920,00 tahun 2009

mencapai Rp. 678.404.282.267,00 dan tahun 2010 sebesar

Rp.774.180.534.187,00. Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2007

mencapai Rp 45,346,533,000 kemudian tahun 2008 naik mencapai

51,063,584,890. Selanjutnya pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi Rp

85,438,908,599,00 dan tahun 2010 PAD Kabupaten Tabanan mencapai Rp

107,836,347,719,00. Perkembangan APBD Kabupaten tabanan secara garis besar

disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel

PDRB Kabupaten Tabanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah)

Lapangan 2008 2009 2010 2011 2012 Usaha Pertanian 1,363,356.49 1,466,199.97 1,591,825.63 1,671,909.01 1,798,548.96 Penggalian 16,299.76 17,852.37 19,749.57 22,108.05 25,699.74 Industri 280,995.64 309,334.14 352,260.34 377,498.21 424,478.09 Listrik dan 42,076.15 51,788.78 60,281.51 68,856.58 78,438.41 Air Minum Bangunan 168,394.16 190,965.18 215,652.62 242,709.15 275,729.29 Perdagangan, Hotel dan 894,732.04 1,043,012.33 1,185,700.97 1,329,649.66 1,501,269.41 Restaurant Pengangkutan dan 232,531.72 265,851.87 294,173.35 318,613.93 355,833.43 Komunikasi Perbankan dan Lembaga 277,370.80 302,516.75 340,522.64 369,555.35 403,062.16 Keuangan Lainnya Jasa-jasa 764,476.13 873,311.99 994,035.17 1,129,900.31 1,242,145.76 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

Tabel

PDRB Kabupaten Tabanan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (Juta Rupiah)

Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011 2012 Pertanian 840,689.07 875,466.81 901,911.41 924,418.96 951,826.77 Penggalian 7,438.39 7,591.21 7,958.62 8,762.05 9,809.74 Industri 149,973.58 156,182.19 164,315.92 168,005.93 181,087.71 Listrik dan Air 20,592.32 21,335.81 23,501.66 25,561.38 27,837.85 Minum Bangunan 81,176.73 88,317.23 93,332.05 99,856.74 108,487.88 Perdagangan, Hotel 462,115.39 502,426.02 536,995.33 577,747.02 622,700.68 dan Restaurant Pengangkutan dan 129,612.35 135,201.66 141,959.42 147,818.31 158,397.53 Komunikasi Perbankan dan Lembaga Keuangan 133,950.63 140,861.16 157,345.58 170,199.44 182,009.93 Lainnya Jasa-jasa 396,211.52 415,329.19 448,395.97 497,317.84 532.235.90 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

Dari kondisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan

bahwa pendapatan daerah Kabupaten Tabanan masih mengandalkan

pendapatan dari dana perimbangan pemerintah pusat, terutama dari Dana

Alokasi Umum Daerah. Namun demikian Pemerintah Kabupaten Tabanan

tetap berupaya untuk semakin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Tabanan,

telah dilakukan melalui upaya pengelolaan intensifikasi dan ekstensifikasi

sumber-sumber pendapatan.

Intensifikasi pengelolaan pendapatan Daerah di Kabupaten

Tabanan dilakukan dengan kegiatan penekanan pada penagihan pajak dan

retrebusi, baik dalam bentuk pemungutan pajak dan retribusi terhutang pada Tahun berjalan, serta tunggakan Tahun yang lalu. Sedangkan dari segi ekstensifikasi, yakni upaya penambahan jenis pajak dan retribusi di

Kabupaten Tabanan belum dapat dilaksanakan, karena potensi untuk itu belum ada. Namun demikian upaya ekstensifikasi pengelolaan pendapatan daerah yang dapat dilakukan adalah mengungkap obyek dan wajib pajak yang belum terdata dan melakukan pembaharuan terhadap data obyek pajak dan wajib pajak secara periodik dan berkelanjutan.

Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Penerimaan pembiayaan daerah dalam 3 tahun terakhir bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya

(SILPA), sedangkan pengeluaran pembiayaan digunakan untuk penyertaan modal pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, dan pembayaran pokok utang.

Porsi pembelanjaan terbesar dua tahun terakhir berada pada belanja tidak langsung dengan rata-rata sebesar 82,3 % dari total belanja daerah.

Apabila terjadi defisit anggaran, maka kebijakan pembiayaan daerah adalah sebagai berikut:

1. Dibiayai dari sisa anggaran tahun lalu

2. melakukan pinjaman daerah

3. Upaya-upaya lain atas dasar kajian yang matang dan peraturan

perundangan yang berlaku.

3.1.7. Visi Dan Misi Kabupaten Tabanan

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Kabupaten Tabanan 2005-2010 visi dan misi Tabanan adalah

sbb :

3.1.7.1. Visi

Visi Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan adalah :

“Terwujudnya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Tabanan

melalui Pembangunan yang Berkelanjutan, Berwawasan Budaya

dan Lingkungan yang menitikberatkan pada Pertanian Dalam

Arti Luas dan Bersinergi dengan Pariwisata”.

3.1.7.2. Misi

Untuk mewujudkan Visi tersebut di atas, ditetapkan 5 (lima)

Misi Pembangunan Daerah, yakni sebagai berikut :

1. Mewujudkan masyarakat Tabanan yang sehat, cerdas dan

religius.

2. Mewujudkan ekonomi kerakyatan yang handal dengan

tetap menjaga keseimbangan sumber daya alam (SDA).

3. Melestarikan dan mengembangkan budaya daerah.

4. Mewujudkan pertanian tangguh, yang memiliki daya saing

komparatif dan kompetitif.

5. Mewujudkan tata pemerintahan yang baik ( Good

Governance ).

3.1.8. Institusi Dan Organisasi Pemerintah Daerah

Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah yang dijabarkan menjadi Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 sebagai perubahan pertama Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,

maka terjadi pemantapan kewenangan daerah.

Kewenangan Pemerintah Kabupaten Tabanan sesuai dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 sebagaimana telah diubah

menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 disebut

dengan istilah urusan. Urusan Daerah Kabupaten meliputi berbagai aspek

seperti: (1) Urusan Wajib dan (2) Urusan Pilihan. Terkait dengan hal

tersebut, untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Kabupaten

Tabanan dibentuk Struktur Organisasi Perangkat derah berdasarkan pada

Perda Nomor 3 Tahun 2008.

3.1.9. Tinjauan Tata Ruang Dan Kebijakan Rtrw Kabupaten Tabanan

3.1.9.1. Tinjauan Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Kabupaten

Tabanan

Sesuai dengan Rancangan RTRW Kabupaten tabanan 2010-2030

yang sedang direncanakan saat ini di Bappeda, RTRW kabupaten

tabanan terbagi atas beberapa rencana pengembangan. a. Rencana Pengembangan Fungsi Wilayah Kabupaten

Rencana pengembangan fungsi wilayah kabupaten bertujuan untuk memberikan arahan umum rencana tata ruang wilayah di Kabupaten

Tabanan. Berikut merupakan rencana pengembangan fungsi wilayah

Kabupaten Tabanan :

1) Sebagai salah satu pusat pelayanan Kawasan Perkotaan Denpasar-

Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) yang berfungsi sebagai

PKN;

2) Sebagai pusat pertumbuhan wilayah propinsi yang mendukung

perkembangan sektor pertanian, perkebunan dan pariwisata;

3) Mengendalikan kawasan lindung dengan tetap mempertahankan

fungsi lindungnya;

4) Mengendalikan konversi kawasan pertanian beririgasi teknis

menjadi kawasan permukiman dan perkotaan;

5) Menetapkan lahan sawah abadi untuk sawah beririgasi teknis yang

memiliki view menarik untuk mempertahankan Tabanan sebagai

ikon ”lumbung beras Provinsi Bali”;

6) Mengendalikan pertumbuhan kota secara ekspansif yang tidak

terkendali ( urban sprawl ) dan pertumbuhan menerus (konurbasi);

7) Meningkatkan aksesibilitas kota kecamatan serta pusat

permukiman di Kabupaten;

8) Meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan prasarana wilayah

(jalan, persampahan, air bersih, drainase) sesuai standar nasional.

b. Rencana Struktur Ruang

1) Keterkaitan Antar Pusat - Pusat Permukiman

Rencana pengembangan hierarki pusat-pusat permukiman

yang sudah terbentuk juga diarahkan untuk peningkatan dan

pemerataan pembangunan perkotaan di seluruh wilayah

Kabupaten Tabanan yang penjabarannya adalah sebagai

berikut :

 Meningkatkan jumlah dan kelengkapan fasilitas

pendukung pada pusat-pusat permukiman, yaitu pusat-

pusat permukiman yang berstatus ibukota Kecamatan.

 Meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan perkotaan

untuk mengurangi tingkat migrasi keluar (outmigration.

2) Kebijakan Pengembangan Pusat - pusat Permukiman

Pola pengembangan pusat-pusat permukiman ini dimaksudkan

bersifat antisipatif terhadap kecenderungan perkembangan

yang diperkirakan akan berlangsung pada pusat-pusat

permukiman yang menonjol. Kecenderungan perkembangan

ini meliputi pusat-pusat permukiman yang pertumbuhan

penduduknya tinggi dan pusat-pusat permukiman yang

pertumbuhan penduduknya tinggi dan pusat-pusat permukiman

yang tidak tumbuh (pertumbuhan negatif). Perincian pusat-

pusat permukiman yang perlu dipersiapkan kebutuhan fasilitas

dan utilitas di masa mendatang dan dipacu perkembangannya

adalah :  Perkembangan tinggi : Tabanan dan Kediri.

 Pertumbuhan rendah : Pusat-pusat pertumbuhan lokal kota

Bajera, Penebel Kerambitan, Marga, Pupuan, Pacung -

Baturiti.

 Implikasi dari pertumbuhan pusat-pusat permukiman

adalah meningkatkan fungsi dan peran kota dalam bentuk

struktur kota.

Rencana pengembangan pusat-pusat diarahkan untuk meningkatkan dan pemerataan pembangunan perkotaan di seluruh wilayah Kabupaten Tabanan. Sehubungan dengan adanya identifikasi potensi dan kendala yang telah dipadukan dengan visi dan misi pembangunan kabupaten Tabanan, maka untuk lebih memantapkan struktur ruang kawasan ditetapkan :

 Pusat Kegiatan Nasional (PKN) : Kota Tabanan dan Kota

Kediri

 Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Kecamatan Tabanan sebagai

Ibukota Kabupaten

 Pusat Pelayanan Kawasan (PPK).Kecamatan Kediri,

Marga, Baturiti, Penebel, Kerambitan, Selemadeg Timur,

Selemadeg, Selemadeg Barat, dan Kecamatan Pupuan.

 Pusat Pelayanan Kawasan Promosi (PPKp) ditetapkan

pada kawasan yang mempunyai potensi untuk terus

berkembang.  Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) merupakan pusat

permukiman yang berfungsi melayani kegiatan skala antar

desa.

3) Rencana Sistem Kawasan Perkotaan dan Pedesaan

Sistem pusat-pusat permukiman yang ada adalah sebagai

akibat dari perkembangan pembangunan baik pembangunan

sosial, ekonomi, budaya, transportasi dan lain-lainnya serta

dapat dikaji dari pembangunan. Arahan pengembangan sistem

pusat pusat permukiman perdesaan dan perkotaan adalah untuk

meningkatkan masyarakat perdesaan dan perkotaan melalui

pembangunan permukiman. Pola sistem permukiman dalam

kajian ini merupakan gambaran pola eksisting akan menjadi

dasar bagi kepentingan pembentukan sistem “pusat

pelayanan”.

c. Rencana Pola Ruang

Pola Ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan

tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendallian pemanfaatan

ruang. Aplikasi dari rencana pola ruang kawasan diterapkan dalam

fungsi-fungsi ruang yang lebih detail, yang secara garis besar

terbagi atas kelompok fungsi kawasan lindung (non budidaya) dan

kelompok fungsi kawasan budidaya.

Kawasan Lindung didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan

dengan fungsi utama melindungi kelestarian hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya

adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk

dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi yang mencakup

sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.

d. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung

1) Pemantapan kawasan lindung adalah penentuan batas-batas

dan luas kawasan yang diidentifikasikan sesuai untuk

direkomendasikan sebagai kawasan lindung. Pengelompokkan

kawasan-kawasan yang termasuk dalam pengelolaan kawasan

lindung diuraikan sebagai berikut :

 Kawasan yang Memberikan Perlindungan Kawasan

Bawahannya, terdiri atas:

 Kawasan Perlindungan Setempat, terdiri atas :

 Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya :

 Kawasan Rawan Bencana, seperti letusan gunung berapi,

gempa bumi, longsor dan lain-lainnya.

Rencana penetapan luas kawasan lindung di Kabupaten

Tabanan adalah seluas 22.212,45 Ha dari total luas Kabupaten

Tabanan, atau setara dengan 26,46% dari total luas Kabupaten

Tabanan.

2) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan

bawahannya :

 Kawasan hutan lindung, meliputi :  Kawasan hutan lindung mutlak, yaitu kawasan yang

ditetapkan untuk menjaga dan melindungi, keseimbangan

dan kelestarian sumber daya alam (tanah dan air) dan

sumber daya buatan yang bersifat mutlak.

 Kawasan hutan lindung terbatas yaitu kawasan yang

ditetapkan untuk menjaga dan melindungi keseimbangan

dan kelestarian sumber daya yang bersifat terbatas.

 Kawasan lindung lainnya yaitu wilayah yang mempunyai

ketinggian diatas permukaan laut 1000 meter atau lebih

wilayah kepulauan yang mempunyai ketinggian di atas 2/3

dari titik tertinggi pulau itu.

 Kawasan resapan air yaitu kawasan yang mempunyai

kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga

merupakan tempat pengisian air (akuifer) yang berguna

bagi sumber air.

Curah hujan dengan insensitas tinggi dan atau Struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air secara besar - besaran.

Berdasarkan analisa yang dilakukan maka ditetapkan luas area bagi kawasan yang memberikan perlindungan bawahnya sebesar 15.791,39 Ha atau setara dengan 18,814 % dari total luas Kabupaten Tabanan. Adapun kebijaksanaan pemanfaatan ruang di kawasan untuk

mencegah terjadinya bencana dan menjaga kelestarian

kawasan meliputi :

 Pemantapan kawasan lindung berdasarkan Keppres 32

tahun 1990.

 Pengendalian kegiatan budidaya yang telah ada secara

ketat dengan tetap memperhatikan kondisi sosial ekonomi.

 Pengembalian fungsi hidro-orologi kawasan hutan yang

telah mengalami kerusakan (rehabiliasi dan konservasi).

 Pencegahan dilakukannya kegiatan budidaya baru, kecuali

kegiatan yang tidak mengganggu fungsi lindung.

3) Kawasan Perlindungan Setempat

Kawasan perlindungan setempat yang terdapat di Kabupaten

Tabanan terdiri dari kawasan radius kesucian pura, Kawasan

suci, Kawasan sekitar mata air yang mempunyai manfaat

penting untuk mempertahankan fungsi mata air, Sempadan

sungai yaitu kawasan sepanjang kiri - kanan sungai / saluran

irigasi yang mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian fungsi sungai, Kawasan sekitar

danau / waduk, Kawasan sekitar rawa, Sempadan pantai

dengan total luas kawasan sempadan pantai ditetapkan seluas

345 Ha atau setara dengan 0,411% dari total luas Kabupaten

Tabanan, dan Sempadan jurang denagn total luas kawasan

sempadan jurag yang ada di kabupaten Tabanan ditetapkan seluas 92,75 Ha atau setara dengan 0,111% dari total luas

Kabupaten Tabanan. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan

maka ditetapkan bahwa luas kawasan perlindungan setempat di

Kabupaten Tabanan seluas 6.371,06 Ha atau setara dengan

7,59% dari total luas kabupaten Tabanan.

4) Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya

• Cagar alam dengan kriteria yaitu kawasan yang

mempunyai keanekaragaman jenis, tumbuhan ,satwa dan

tipe ekosistemnya ;

• Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang

pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang

cukup luas;

• Suaka margasatwa dengan kriteria kawasan yang

merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari

suatu jenis satwa yang dilakukan upaya konservasi;

• Hutan wisata dengan kriteria kawasan berhutan yang

bervegetasi tetap yang memiliki arsitektur bentang alam

yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan

patiwisata.

• Daerah perlindungan plasma nutfah, dengan kriteria areal

yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang

belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah di

tetapkan ; • Daerah pengungsian satwa merupakan wilayah kehidupan

satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut.

• Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya : daerah ini

ditetapkan dengan kriteria perairan laut. Perairan darat,

wilayah pesisir. Muara sungai,.

• Kawasan pantai berhutan bakau, daerah ini ditetapkan

dengan kriteria jarak minimal 130 kali nilai rata - rata

perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan di

ukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

• Taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

ditetapkan dengan kriteria bervegetasi tetap memiliki

tumbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur

bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik

untuk keperluan pariwisata.

• Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan ; ditetapkan

dengan kriteria tempat dan ruang disekitar bangunan yang

bernilai budaya tinggi berumur dan atau mempunyai

langgam sekurang - kurangnya 50 tahun, situs purbakala

dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang

mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu

pengetahuan.

Luas Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar

Budaya adalah seluas 4.895,09 Ha atau setara dengan 5,83% dari total luas Kabupaten Tabanan. 5) Rencana Kawasan Budidaya

Adapun luas kawasan budidaya yang direncanakan di

Kabupaten Tabanan adalah seluas ± 61.720,55 Ha (73,54%

dari luas wilayah perencanaan). Kegiatan budidaya yang akan

dikembangkan dibedakan menurut karakteristiknya dalam

memanfaatkan ruang yaitu :

• Kawasan pertanian dalam arti luas, pertambangan,

perindustrian, permukiman merupakan kegiatan budidaya

intensif dalam memanfaatkan ruang.

• Kawasan pariwisata (yang berorientasi pada obyek dan

daya tarik wisata alam) dapat dipandang sebagai kegiatan

yang fleksibel di dalam memanfaatkan ruang sehinga

kawasannya dapat saja tumpang tindih/terpadu pada

kawasan-kawasan lain.

Perbedaan karakteristik kegiatan budidaya ini perlu

menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan

kebijakan pengembangan atau pemanfaatan ruang pada

tiap kawasan budidaya.

Memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya

secara optimal dan mendukung pembangunan

berkelanjutan.

Memberikan arahan untuk menentukan prioritas

pemanfaatan ruang antar kegiatan budidaya yang berbeda

dalam suatu lokasi. Memberikan arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan

ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu kejenis

kegiatan lainnya sesuai potensi fisik yang dimiliki.

• Kawasan Hutan Rakyat

Luas hutan rakyat di Propinsi Bali saat ini adalah 8.626,36

Ha, tersebar di berbagai wilayah Kabupaten.

Pengembangan hutan rakyat di Bali terutama untuk

mendukung kegiatan industri kerajinan rakyat. Dari segi

kesesuaian lahan, kawasan penyangga yang sesuai bagi

pengembangan hutan produksi adalah lahan dengan

ketinggian diatas 500 m dan lahan dengan kelerengan

antara 15 – 40 %.

Disamping alternatif pengembangan hutan produksi di

areal kawasan budidaya, pengembangan lain adalah

pengembangan kawasan hutan rakyat. Hutan rakyat

sebagai salah satu komponen dari hutan produksi di Bali

luasnya relatif kecil,. Luas kawasan hutan produksi di

kawasan perencanaan adalah ± 3.577,00 Ha (4,26% dari

luas wilayah perencanaan). Lokasi hutan ini tersebar di

kecamatan Penebel, Baturiti, Marga, Pupuan, dan

Selemadeg.

• Kawasan Peruntukan Pertanian

Permasalahan utama dalam pengembangan lahan sektor

pertanian dalam arti luas yang telah dirumuskan oleh pemerintah Kabupaten Tabanan adalah berkurangnya

lahan produktif baik lahan sawah maupun lahan kering

untuk keperluan pembangunan sub sektor lainnya. Di

samping itu berkurangnya kualitas dan kuantitas

sumberdaya tanah, air, dan hutan di Kabupaten Tabanan

ikut memberikan andil dalam pengembangan pertanian

yang dialokasikan untuk pengadaan pangan. Kebijakan

kawasan peruntukan pertanian yang dilakukan meliputi :

 Kawasan Peruntukan Pertanian Tanaman Pangan

Lahan Basah

 Kawasan Peruntukan Pertanian Tanaman Pangan

Lahan Kering

 Kawasan Peruntukan Pertanian Tanaman

Tahunan/Perkebunan

 Kawasan Peruntukan Peternakan

 Kawasan Peruntukan Perikanan

• Kawasan Pariwisata

Konsep pengembangan pariwisata daerah Kabupaten

Tabanan tampaknya masih belum dapat dikembangkan

menjadi suatu bentuk wisata khusus bagi masing-masing

objek wisata yang ada dengan pola pengembangan

ekowisata (ecotourism) murni yang memiliki aturan ketat.

Upaya pengembangan pariwisata di Kabupaten Tabanan dapat dilakukan dengan arah strategi dan kebijakan sebagai berikut :

 Meningkatkan kualitas obyek dan daya tarik wisata

(ODTW) serta meningkatkan mutu pelayanan wisata

pada ODTW dengan memberdayakan masyarakat,

penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana serta

keamanan dan keselamatan pengunjung.

 Meningkatkan pengelolaan ODTW/ODTWK

/Kawasan pariwisata dan aset-aset warisan budaya

menjadi obyek dan daya tarik wisata yang atraktif

dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta,

pemerintah dan masyarakat.

 Berperan aktif dalam menciptakan promosi pariwista

yang efektif dengan pendekatan profesional,

kemitraan antara swasta, pemerintah, dan

masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan

guna tercipta perluasan pasar pariwisata tidak hanya

untuk pasar luar negeri tetapi juga pasar domestik,

melalui perluasan jaringan pariwisata antar daerah di

luar Kabupaten Tabanan.

 Meningkatkan peranan sektor pariwisata sebagai

wahana pelestarian kekayaan budaya daerah dan

pemberdayaan ekonomi masyarakat.

• Kawasan Perindustrian

Kebijaksanaan pemanfaatan ruang untuk kawasan

perindustrian yang dilakukan hingga akhir tahun

perencanaan meliputi :

 Peningkatan sebaran industri kerajinan dan industri

skala rumah tangga di sekita lingkungan

permukiman yang ada.

 Khusus untuk wilayah perkotaan, pengembangan

kawasan industri diarahkan dengan

mempertimbangkan batas wilayah kota, serta acuan

dalam peraturan tata ruang yang ada, seperti

RUTRK/RDTRK/RTRK yang telah ada.

 Dimungkinkan untuk pengembangan industri kecil

dan industri sedang untuk pengolahan hasil

pertanian dan perkebunan di daerah-daerah sentra

pertanian dan perkebunan dengan skala terbatas.

• Kawasan Pertambangan

Arahan kebijakan terkait dengan pengelolaan

pertambangan galian C pada kurun waktu perencanaan

hingga 20 tahun ke depan adalah :

 Membatasi upaya eksploitasi bahan tambang galian

C hingga habisnya cadangan yang tersedia akibat

peristiwa geologi yang terdiri atas pasir dan batu.  Membatasi kegiatan eksploitasi tambang galian C

sampai pada upaya mengembalikan rona awal lahan

di tempat galian C tersebut.

 Eksploitasi bahan tambang di luar material tambang

yang dihasilkan letusan gunung api dapat dilakukan

secara terbatas dengan catatan sesuai dengan potensi

yang ada serta tetap memperhatikan kondisi

kelestarian lingkungan.

 Mengawasi secara ketat alokasi lahan pertambangan

galian C serta kegiatan pengeboran air bawah tanah.

 Membatasi upaya - upaya pengambilan air bawah

tanah, terutama pada daerah pantai yang rawan

intrusi air laut.

• Kawasan Permukiman

Pengembangan kawasan permukiman disesuaikan dengan

hasil analisa sistem kota dan pusat - pusat pertumbuhan di

wilayah Kabupaten Tabanan, dimana pengembangan

permukiman baru mengacu pada wilayah di sekitar pusat -

pusat permukiman yang saat ini diindentifikasikan telah

menjadi pusat pengembangan wilayah.

Rencana kawasan permukiman meliputi rencana kawasan

terbangun yang diperuntukan bagi kegiatan permukiman

penduduk baik di perkotaan maupun di perdesaan seluas ±

7.262,41 Ha (8,653% dari luas wilayah perencanaan) yang tersebar di semua kecamatan. Kebijakan pengelolaan pada kawasan permukiman ditempuh melalui :

 Pengembangan kawasan terbangun pada lahan yang

sesuai dengan kriteria fisik kawasan permukiman,

meliputi : kemiringan lereng, ketersediaan mutu dan

sumber air bersih, bebas dari potensi banjir dan

genangan.

 Pembatasan perkembangan kawasan terbangun yang

berada atau berbatasan dengan kawasan lindung.

 Penetapan sempadan perbatasan antar wilayah

kabupaten sekurang-kurangnya 50 meter di kiri-

kanan garis sempadan perbatasan wilayah, serta

berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

 Penetapan jalur hijau antara kawasan permukiman

dengan kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan

pertambangan, industri dan lain-lainnya.

 Pengembangan kawasan permukiman perkotaan

lebih diarahkan pada kota (pusat permukiman).

 Pengembangan pusat perdesaan diutamakan pada

desa-desa yang jumlah penduduknya belum

mencapai 5.000 jiwa, untuk ditingkatkan menjadi

kategori kota desa.

• Penetapan Daerah Rawan Bencana

Kawasan rawan bencana yaitu kawasan yang sering dan

atau mempunyai potensi bencana alam seperti banjir,

gunung meletus, gempa bumi, angin topan dan

sebagainya. Kriteria yang diperlukan dalam menentukan

kawasan lindung didasarkan pada Keppres No. 57 tahun

1989 tentang pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang

Wilayah.

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan maka ditetapkan

luas kawasan rawan bencana berupa bencana erosi dan

atau abrasi di Kabupaten Tabanan seluas 50 Ha atau setara

dengan 0,060 %. Dengan area sebaran meliputi :

 Kecamatan Kerambitan : 6 Ha

 Kecamatan Tabanan : 3 Ha

 Kecamatan Kediri : 10 Ha

 Kecamatan Selemadeg Barat : 31 Ha

6) Rencana Pengembangan Prasarana Umum

a. Rencana Pengembangan Fasilitas Perdagangan dan Jasa

Pembangunan fasilitas bidang perdagangan dan industri di

Kabupaten Tabanan dilaksanakan dengan arahan sebagai

berikut :

 Hingga akhir tahun perencanaan masih perlu

ditambahkan 1818 unit warung dengan luas 181.800 m 2, 182 unit toko dengan luas 218.400 m 2 dan pusat

perbelanjaan skala lingkungan yang terdiri dari pasar

dan toko sebanyak 14 unit.

 Peningkatan kualitas layanan dan fasilitas

perdagangan yang ada di pusat-pusat ibukota

Kecamatan dan di sekitar jalur transportasi darat.

 Perlu pengembangan fasilitas perdagangan eksisiting

hingga menjangkau daerah-daerah yang lebih jauh

dari jalur tranportasi utama.

Tabel

Panjang Jalan Menurut Jenis Permukaan dan Kondisi Jalan Tahun 2012

Panjang Jalan (KM) Kondisi Jalan Jalan Jalan Total Kabupaten Provinsi Negara I. JENIS PERMUKAAN a. Diaspal 751.85 130.78 65.80 948.43 b. Tidak Dirinci 0 0 0 0 c. Tanah 21.47 0 0 21.47 d. Kerikil 70.35 0 0 70.35 II. KONDISI JALAN

a. Baik 318.54 60.78 60.00 439.32 b. Sedang 184.28 50.00 5.80 240.08 c. Rusak 200.67 20.00 0 220.67 d. Rusak Berat 157.45 0 0 157.45 Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tabanan

b. Rencana Sarana Pendidikan

Sebagai gambaran jumlah fasilitas sekolah Taman Kanak-

kanak (TK) dimana jumlah yang tersedia saat ini hanya

196 unit, masih kurang dibanding kebutuhan yang

mencapai 410 unit pada tahun 2007. Hingga lima tahun

pertama perencanaan (akhir 2012) kebutuhan sekolah TK

mencapai 421 unit, akhir tahun 2017 dibutuhkan 422 unit

sekolahTK, akhir tahun 2022 dibutuhkan 442 unit sekolah

TK, dan pada akhir tahun perencanaan (akhir 2027)

dibutuhkan 455 unit sekolah TK.

Pembangunan bidang pendidikan di Kabupaten Tabanan

dilaksanakan dengan arahan sebagai berikut :

 Pemerataan sebaran fasilitas pendidikan dengan

membangun fasilitas sekolah-sekolah baru di sekitar

area permukiman dengan basis perhitungan jumlah

anak usia sekolah.

 Pengembangan fasilitas pendidikan tingkat lanjut

(pendidikan tinggi, akademi) di Kabupaten Tabanan.

 Pemerataan akses pendidikan hingga ke pelosok

wilayah, bersinergi dengan pengembangan jaingan

jalan dan fasilitas lain seperti kesehatan, perdagangan

jasa, dan sebagainya.

c. Rencana Sarana Kesehatan Jumlah fasilitas balai pengobatan yang tersedia perlu

ditambah hingga mencapai 152 unit pada akhir tahun

2027. Sementara fasilitas Balia Kesehatan Ibu dan Anak

yang harus disediakan hingga akhir tahun perencanaan

mencapai 43 unit, demikian pula dengan apotik yang harus

disediakan sebanyak 43 unit. Sementara untuk fasilitas

puskesmas dan BKIA jumlah yang tersedia telah melebihi

angka kebutuhan minimum yang harus disediakan.

Pembangunan bidang kesehatan di Kabupaten Tabanan

dilaksanakan dengan arahan sebagai berikut :

 Hingga akhir tahun perencanaan masih perlu

ditambahkan 152 unit Balai Pengobatan, 42 unit

BKIA, dan 19 unit apotik.

 Khusus untuk Puskesmas jumlah fasilitas yang

tersedia telah melebihi jumlah kebutuhan akan

fasilitas ini, sehingga tidak perlu penambahan fasilitas

Puskesmas.

 Pemerataan fasilitas kesehatan seperti posyandu dan

puskesmas pembantu hingga ke pelosok-pelosok

wilayah d. Rencana Sarana Pelayanan Umum

Fasilitas pelayanan umum yang tersedia di Kabupaten

Tabanan terdiri dari Pos Hansip, Balai Pertemuan, Parkir

Umum, MCK, kantor Lingkungan, Pos Polisi, kantor Pos Pembantu dan Pos PMK. Hingga saat ini tidak tersedia

data yang menunjukkan fasilitas pelayanan umum yang

tersedia di Kabupaten Tabanan. Permasalahan yang

dihadapi dalam upaya pengembangan fasilitas pelayanan

umum di Kabupaten Tabanan adalah jumlah fasilitas yang

masih kurang, serta tingkat persebaran fasilitas yang

kurang merata di semua wilayah perencanaan.

Pembangunan fasilitas pelayanan umum di Kabupaten

Tabanan dilaksanakan dengan arahan sebagai berikut :

 Hingga akhir tahun perencanaan jumlah fasilitas

pelayanan umum yang tersedia masih perlu ditambah.

 Perlu pemerataan penyebaran fasilitas pelayanan

umum hingga ke tingkat perkotaan di wilayah

kecamatan. e. Rencana Fasilitas Kebudayaan dan Rekreasi

 Pembangunan fasilitas kebudayaan dan rekreasi di

Kabupaten Tabanan dilaksanakan dengan arahan

sebagai berikut :

 Hingga akhir tahun perencanaan jumlah fasilitas

kebudayaan dan rekreasi yang tersedia masih perlu

ditambah, dengan rincian untuk fasilitas balai

pertemuan perlu ditambah 182 unit dengan luas total

54.600 m 2 sedangkan fasilitas gedung serbaguna dan gedung bioskop perlu ditambah 14 unit dengan luas

total 42.000 m 2.

 Keberadaan fasilitas kebudayaan dan rekreasi yang

ada perlu pemerataan penyebaran hingga ke tingkat

perkotaan di wilayah kecamatan hingga desa-desa. f. Rencana Pengembangan Fasilitas Olahraga dan Ruang

Terbuka Pembangunan fasilitas olahraga dan daerah

terbuka di Kabupaten Tabanan dilaksanakan dengan

arahan sebagai berikut :

 Hingga akhir tahun perencanaan jumlah fasilitas

olahaga dan daerah terbuka yang tersedia masih perlu

ditambah, dengan rincian untuk fasilitas taman

bermain perlu ditambah 1818 unit dengan luas total

454.500 m 2 sedangkan fasilitas taman sekaligus

tempat bermain yang harus disediakan perlu ditambah

182 unit dengan luas total 227.500 m 2. Sedangkan

fasilitas taman yang menyatu dengan lapangan

olahraga dan tempat bermain yang dibutuhkan

sebanyak 14 unit dengan luas total 126.000 m 2.

 Keberadaan fasilitas kebudayaan dan rekreasi yang

ada perlu pemerataan penyebaran hingga ke tingkat

ibukota kecamatan hingga desa-desa.  Perlunya meningkatkan kelengkapan fasilitas olahraga

dan daerah terbuka serta menjaga agar tidak terjadi

peralihan fungsi lahan menjadi fungsi terbangun. g. Rencana Pengembangan Perumahan

Pengembangan kawasan permukiman di Kabupaten

Tabanan dilaksanakan dengan arahan pengembangan

sebagai berikut :

 Pengembangan kawasan permukiman dibuat dengan

berlandaskan konsepsi Tri Hita Karana.

 Pengembangan kawasan permukiman diupayakan

dapat berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial,

ekonomi, budaya, jasa dan pusat pemerintahan, untuk

kawasan permukiman dan daerah sekitarnya.

 Pengembangan permukiman dalam suatu sistem

sesuai dengan fungsi dan hierarkinya yang saling

memperkuat dalam kesatuan wilayah Kabupaten.

 Pengembangan kawasan permukiman dengan

pertimbangan optimasi lahan dengan pengembangan

rumah susun.

 Pengembangan permukiman yang didasarkan atas

sistem permukiman, jaringan prasarana dan kawasan

di sekitarnya agar dapat saling memperkuat.

 Menghindari pengunaan lahan produktif dan beririgasi

teknis sebagai lahan pengembangan permukiman, serta pembangunan berskala besar dalam optimasi

peruntukan lahan.

 Menghindari dan membatasi pembangunan

perumahan dan permukiman skala besar.

 Pengembangan permukiman perdesaan dan perkotaan

agar dapat menjadi pusat kegiatan usaha dan kegiatan

pelestarian lingkungan hidup.

 Pengembangan permukiman agar disesuaikan dengan

peraturan tata bangunan agar dapat mewujudkan

pembangunan permukiman yang sesuai dengan daya

dukung, harmonis, dan serasi sehingga membentuk

tata lingkungan yang harmonis.

7) Rencana Pengembangan Prasarana Wilayah

a. Rencana Prasarana Air Bersih

Arahan dan strategi bagi pengembangan sistem air bersih

di Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut :

• Peningkatan kapasitas produksi fasilitas insatalasi

pengolah air minum yang ada saat ini dengan jalan

mengembangkan dan mengoptimalkan sumber-

sumber air minum baru yang potensial di Kabupaten

Tabanan.

• Mengupayakan alternatif teknik pengolahan air

bersih dengan tujuan mengurangi biaya operasional. • Pemerataan jaringan air bersih hingga ke wilayah

desa-desa yang belum terlayani air bersih. b. Rencana Pengelolaan Air Limbah

Sistem drainase kota erat kaitannya dengan sistem

pembuangan dan penyaluran air buangan serta air bekas

pakai. Adapun air buangan yang harus diolah adalah air

bekas yang berasal dari :

• Perumahan 70% dari standar kebutuhan air bersih

• Fasilitas sosial 60% dari standar kebutuhan air

bersih

• Fasilitas industri 60% dari standar kebutuhan air

bersih

• Kebocoran 100 dari standart kebutuhan air bersih

• Cadangan air bersih 60% - nya yang terbuang

Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh jumlah

volume air buangan yang harus ditampung oleh sistem

drainase yang ada di Kabupaten Tabanan pad a tahun

2006 adalah 51.680.412 liter. Sedangkan volume air

buangan yang harus ditampung oleh sistem drainase

Kabupaten Tabanan pada akhir tahun perencanaan (tahun

2027) adalah 57.254.133 liter atau setara dengan 57.254

m3.

3.1.9.2. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Kabupaten

Tabanan

1) Strategi Pembangunan di Bidang Tata Ruang

Menyempurnakan kebijakan tata ruang dengan prinsip

pembangunan berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung dan

daya tampung lingkungan yang serasi, seimbang dan selaras dan

terkoordinasi dalam mengalokasikan pemanfaatan ruang.

2) Strategi Pengembangan Ekonomi Wilayah

Strategi pengembangan ekonomi yang seharusnya dilakukan

adalah:

a. Pembagian wilayah pembangunan tidak hanya berdasarkan

pendekatan fisik dan administratif saja tetapi juga berdasarkan

pendekatan ekonomi kawasan.

b. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru yang memiliki

potensi dan kemungkinan pengembangannya mampu melayani

wilayah.

c. Menyeimbangkan pertumbuhan perekonomian wilayah dengan

menyebarkan lahan investasi sesuai dengan potensi yang.

d. Meningkatkan diversifikasi industri pengolahan khususnya

pada sub sektor industri kayu.

e. Meningkatkan intensifikasi pertanian dan mempercepat

penyediaan kesempatan kerja di luar sektor. f. Meminimalkan alih fungsi lahan subur dari pertanian ke non

pertanian.

g. Mensinergikan pertanian dengan pariwisata dengan

mengembangkan konsep agrowisata.

h. Menciptakan iklim yang kondusif melalui penyediaan berbagai

fasilitas dan kemudahan yang mendukung investor untuk

menanamkan modalnya.

3) Strategi Pembentukan Struktur Ruang

Strategi pembentukan struktur ruang adalah :

a. Pembagian perwilayahan pengembangan yang berorientasi

pada pemanfaatan potensi wilayah belakang/ hinterland ;

b. Menggunakan hasil analisis hirarki fungsi dan jangkauan

pusat-pusat pelayanan untuk mengarahkan fungsi

pengembangan pusat pelayanan;

c. Penilaian terhadap struktur jaringan jalan regional untuk

menentukan fungsi jalan;

d. Memperhatikan daerah aliran sungai yang akan berfungsi

sebagai sistem drainase primer.

4) Strategi Penataan Kawasan Perdesaan dan Perkotaan

a. Kawasan perdesaan diarahkan pengembangannya untuk

mendukung kegiatan ekonomi berbasis pertanian yang dilengkapi dengan sentra produksi pertanian unggulan dan

andalan dan fasilitas pasca produksi;

b. Kawasan perkotaan diarahkan pengembangannya untuk

mendukung kegiatan ekonomi berbasis perdagangan-jasa dan

pelayanan sosial serta mendukung pengembangan kawasan

strategis.

c. Pengendalian pemanfaatan ruang dengan menerapkan

peraturan zonasi di kawasan perkotaan.

5) Strategi Penataan Sistem Permukiman Perdesaan dan

Perkotaan

a. Peningkatan fungsi kota : Tabanan sebagai Pusat Kegiatan

Nasional (PKN) karena bagian dari Kawasan Kota

Metropolitan SARBAGITA,

b. Peningkatan fungsi ibukota kecamatan sebagai Pusat

Pengembangan Kawasan (PPK) dalam konteks sub regional

dan lokal.

6) Strategi Pengembangan Kawasan Lindung

Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan

pemanfaatan sumber daya alam sesuai dengan prinsip

pembangunan berkelanjutan, maka strategi pengembangan

diarahkan pada : a. Pengelolaan kawasan lindung sesuai dengan fungsinya masing-

masing. b. Pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan lindung. c. Tercapainya kelestarian dan keseimbangan lingkungan. d. Penghijauan pada kawasan lindung setempat dan kawasan

hutan rakyat yang mengalami kerusakan untuk memperbaiki

fungsi ekologisnya. e. Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya

Arahan pengembangan bagi kegiatan budidaya. Pengembangan kawasan budidaya akan diarahkan pada pengembangan kawasan budidaya yang diarahkan untuk mengakomodasikan kegiatan produksi, permukiman, industri dan pariwisata.

a. Pertanian

• Pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan lahan

basah diarahkan pada kawasan yang memiliki

potensi/kesesuaian lahan serta dukungan prasarana irigasi.

• Perubahan pengembangan sektor pertanian lahan basah

pada kawasan yang sistem irigasinya sudah mengalami

gangguan.

• Intensifikasi pertanian ini tetap harus didukung oleh

kelengkapan sarana den prasarana. • Peternakan untuk jenis ternak unggas dan ternak kecil

diarahkan di sekitar kawasan pertanian atau pemanfaatan

lahan pekarangan permukiman penduduk.

• Budidaya perikanan dengan memanfaatkan saluran

irigasi maupun pada areal persawahan.

Tabel

Luas Tanam (Ha) dan Rata-rata Produksi (Kw/Ha) Menurut Jenis Komoditas Tahun 2008-2012

Komoditas 2008 2009 2010 2011 2012 Luas Tanam 43,470 41,967 44,628 41,433 40,943 Padi Sawah Rata-rata Produksi 56.91 59.82 56.15 52.07 52.07 Luas Tanam 40 108 73 80 27 Padi Gogo Rata-rata Produksi 21.53 37.00 37.02 41.20 21.82 Luas Tanam 1,477 2,413 1,395 1,624 349 Jagung Rata-rata Produksi 74.25 67.19 56.62 212.70 61.67 Luas Tanam 87 122 81 103 90 Ketela Pohon Rata-rata Produksi 191.92 191.92 188.14 38019 38584 Luas Tanam 179 137 110 47 39 Ubi Jalar Rata-rata Produksi 190.92 190.93 191.80 190.98 188.60 Luas Tanam 131 48 12 7 9 Kacang Tanah Rata-rata Produksi 13.11 14.66 13.85 12.86 12.22 Luas Tanam 620 1,345 341 1,098 1,301 Kedelai Rata-rata Produksi 12.22 14.55 14.91 9.50 10.16 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kab. Tabanan

b. Industri

• Pengembangan industri untuk meningkatkan nilai tambah

yang setinggi-tingginya, memperluas lapangan kerja,

kesempatan berusaha dan meningkatkan volume ekspor. • Jenis-jenis industri yang dikembangkan yang memiliki

keterkaitan kuat dengan sektor-sektor lainnya.

• Pengembangan industri skala kecil dan kerajinan.

• Pengembangan kawasan industri diarahkan pada sentra-

sentra industri kecil.

Tabel

Banyaknya Industri Besar dan Sedang Menurut Gol. Pokok Industri Tahun 2012

Jumlah Klasifikasi Industri Pengolahan Perusahaan Makanan Dan Minuman 5 Tekstil 1 Pakaian Jadi 3 Kulit Dan Barang Dari Kulit 0 Barang Anyaman 5 Penerbitan, Percetakan Reproduksi Media Rekaman 0 Kimia Dan Barang-barang Dari Bahan Kimia 0 Karet Dan Barang Dari Karet 0 Barang Galian Bukan Logam 2 Barang-barang Dari Logam Kecuali Mesin Dan 11 Peralatannya Lainnya 0 Sumber: Dinas Perindag Kabupaten Tabanan

c. Pariwisata

• Pengembangan kawasan pariwisata mengacu kepada

rencana induk pengembangan pariwisata Bali. • Pengembangan kawasan pariwisata dengan

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup dan

pembangunan berkelanjutan.

• Pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Tabanan

yang lebih mengedepankan pariwisata alam dan budaya.

Tabel

Banyaknya Sarana Akomodasi, Jumlah Kamar, Tempat Tidur dan Tenaga Kerja Menurut Kecamatan Tahun 2012

Non Tempat Tenaga Kecamatan Berbintang Kamar Bintang Tidur Kerja Selemadeg 0 7 57 74 45 Kerambitan 1 3 60 130 210 Tabanan 0 25 299 337 125 Kediri 1 4 341 353 1003 Marga 0 4 42 42 58 Baturiti 1 20 261 387 283 Penebel 0 6 43 52 37 Pupuan 0 8 60 68 83 Selemadeg Barat 0 16 121 164 183 Selemadeg 0 0 0 0 0 Timur Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan

d. Pertambangan

Pengembangan kawasan pertambangan galian C diarahkan

pada penggalian dengan tetap mempertimbangkan penyebaran

bahan galian, ketebalan rata-rata lapisan bahan galian dan

prosentase perolehan bahan galian yang potensial untuk

ditambang, sehingga dapat tetap menjaga kelestarian

lingkungan.

e. Permukiman

Strategi pengembangan permukiman dapat dikelompokkan

dalam:

• Pengembangan permukiman diarahkan untuk menunjang

penegasan kembali pola-pola lingkungan tradisional.

• Pengembangan permukiman diarahkan dengan jalan

mengefektifkan lahan-lahan non produktif yang nilai

ekonomisnya rendah.

7) Strategi Pengembangan Kawasan Strategis

a. Penataan dan pengembangan kawasan-kawasan strategis untuk

memacu perkembangan wilayah di sekitarnya;

b. Menyusun rencana induk pengembangan pariwisata kabupaten.

c. Penyusunan masterplan dan detail engineering design (DED)

pusat kawasan agropolitan.

d. Pengembangan kegiatan industri pada kawasan agropolitan.

8) Strategi Penataan Kawasan Pesisir

a. Kawasan pesisir dikembangkan untuk kegiatan perikanan dan

pariwisata.

b. Pengelolaan ruang perairan laut diarahkan menjadi zona

lindung , zona penyangga dan zona pemanfaatan; c. Zona lindung ruang perairan laut diarahkan untuk

pengembangan daerah perlindungan terhadap ekosistem

terumbu karang.

d. Zona pemanfaatan ruang perairan laut diarahkan untuk

optimalisasi kegiatan budidaya perikanan dan penangkapan

ikan.

9) Strategi Penatagunaan Tanah, Air, Udara dan Sumberdaya

Alam Lainnya

a. Penatagunaan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya.

b. Memprioritaskan pemantapan kawasan lindung dan optimalisasi

pemanfaatan kawasan budidaya.

c. Penatagunaan air dilakukan dengan pengaturan, pemanfaatan,

pengusahaan sumberdaya air.

d. Penatagunaan udara dilakukan dengan pengaturan, pemanfataan

udara.

10) Strategi Pengembangan Prasarana Wilayah

Strategi pengembangan prasarana wilayah adalah dengan

mengupayakan pembangunan komponen infrastruktur/prasarana

dasar wilayah sesuai dengan daya dukung kawasan dan kebutuhan

optimal yang dapat dilayani..

Strategi pengembangan bagi masing-masing prasarana adalah : a. Strategi pengembangan prasarana transportasi, diarahkan untuk

meningkatkan aksesibilitas penduduk di dalam wilayah

kabupaten maupun ke luar wilayah kabupaten. b. Strategi pengembangan jaringan irigasi adalah untuk distribusi

air yang memadai kualitas maupun kuantitas untuk

pengembangan pertanian terutama pertanian lahan basah. c. Strategi pengembangan energi listrik dan telekomunikasi

diarahkan untuk memberikan pelayanan yang memadai dan

merata, perencanaan untuk jaringan listrik bagi desa atau

wilayah yang belum terlayani oleh jaringan listrik dan

telekomunikasi. d. Strategi pengembangan air bersih adalah memberikan

pelayanan air yang memadai dari segi kualitas maupun

kuantitas baik bagi domestik maupun non domestik. e. Strategi pengelolaan persampahan adalah memperluas areal

TPA yang ada dan meningkatkan sistem pengelolaan menjadi

modified sanitary landfill . f. Strategi pengelolaan air limbah mengembangkan sistem

sanitasi setempat dilengkapi dengan pengolahan lumpur tinja

serta mengupayakan sistem sanitasi terpusat untuk wilayah

yang mempunyai kepadatan penduduk cukup tinggi serta

wilayah pariwisata dan perdagangan. g. Strategi pengelolaan sistem drainase dan limbah adalah :  Memanfaatkan kali yang ada sebagai saluran

penggelontoran;

 Meningkatkan pelayanan sanitasi di daerah padat

 Mengamankan daerah hulu sungai (bagian utara) dari

ancaman pencemaran air dan membatasi alih fungsi lahan

terbuka menjadi terbangun.

 Membangun instalasi pengolahan tinja

 Mempercepat pembangunan TPA limbah yang berfungsi

menampung limbah tinja, tapi juga limbah dari hotel,

restoran dan industri

 Mengawasi secara ketat sumber-sumber kegiatan atau

usaha penduduk yang berpotensi menimbulkan

pencemaran lingkungan.

11) Arah Kebijakan Umum di Bidang Tata Ruang

a. Menyempurnakan kebijakan tata ruang dengan prinsip

pembangunan berkelanjutan dan sesuai dengan daya dukung

dan daya tampung lingkungan yang serasi, seimbang dan

selaras dan terkoordinasi dalam mengalokasikan pemanfaatan

ruang.

b. Melaksanakan kebijakan tata ruang wilayah secara konsisten

untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan yang

berkelanjutan. c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan

ruang melalui pengintegrasian nilai-nilai lokal.

Tabel

Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Tabanan

No Daya Tarik 1 Taman Pahlawan Margarana 2 Alas Kedaton 3 Museum Subak 4 Areal Pura Batukaru 5 Sanggar Tari Wiratnala 6 Puri Gede Kerambitan 7 Puri Anyar 8 Pura Pucak Sari 9 Desa Wisata Pinge 10 Pura Luhur Gunung Batukau.

3.2. Kecamatan Kerambitan

Kecamatan kerambitan terdiri dari 5 desa yang terdiri dari :

3.2.1. Desa Samsam

3.2.1.1. Sejarah Desa Samsam (Asal-usul/Legenda Desa)

Tersebutlah dalam Lontar “Prasasti Sukahet” dimulai dari Perang

Gelgel sejak Pemerintahan Yang Mulia Dalem Dimadia yang berhasil

dipukul oleh I Gusti Widia alias Arya Batan Jeruk.

Sejak kekalahan Yang Mulia Dalem Dimadia, timbulah kegelisahan

diantara putra-putra raja yang masih hidup. Putra-putra rajia ini lalu

rnenyusun kekuatan kembali yang dipimpin oleh seorang kesatria yang

bernama Putra dengan pengikut-pengikutnya antara lain I

Dewa Sumerta, Ki Pasek Kacang Dawa serta seluruh rakyat Sweca

Pura. Setelah menyusun strategi peperangan, maka mulailah Dewa Agung Puka memukul Gelgel yang telah dikuasai oleh Arya

Batan.Jeruk. Peperangan yang dahsyat ini dimenangkan oleh Dewa

Agung Putra yang kemudian langsung memerintah Gelgel dengan gelar

Dalem Jambe.

Diceritakan sekembalinya dari medan perang dengan hasil kemenangan yang gemilang, maka salah seorang pengikut Dalem yaitu I Dewa

Sumerta sangat kaget melihat putranya dalam keadaan tenang malahan sodang barcumbu dengan kekesihnya serta tidak ikut berperang. Maka murkalah I Dewa Sumerta kepada putranya yang bernama I Dewa Gede

Kesa mau dibunuhnya. Dalarn keadaan sengat kritis tersebut, datanglah

Ki Pasek Kacang Dawa serta segera melaporkan hal tersebut kepada

Raja. Maka Raja meminta kepada I Dewa Sumerta agar anaknya I

Dewa Gede Kesa dipindahkan ke Tabanan dengan iringan 20 (dua puluh) panjak yang terdiri dari panjak Ki Pasek Kacang Dawa.

Perpindahan ini diterima oleh Raja Tabanan di Banjar Tegal (Tabanan).

Setelah lama berdomisili di Banjar Tegal, I Dewa Gede Kesa sudah berkeluarga dan mempunyai putra, pengabdian kepada Raja Tabanan semakin bijaksana karena semakin hari kedewasaan, kecerdasan serta kealiman beliau dalam melaksanakan tugas.

Dalam keadaan seperti itu, ada seorang patih Raja Tabanan yang bernama Arya Telabah merasa iri, lalu segera melapor kepada Raja

Tabanan serta mengusulkan Putra-Putra Kesatrya ini segera dipindahkan. Tanpa pikir panjang lagi Raja Tabanan menyetujui usul Ki

Patih yang mendapat kepercayaan penuh ini. Oleh Raja, Putra Kesatrya ini maunya dipindahkan kedaerah sebelah utara dengan maksud menjadi Tabeng Wijang (benteng) akan tetapi patih yang lain tidak menyetujui, dengan alasan Kesatrya ini akan mudah mencari bantuan ke

Klungkung, maka diputuskanlah untuk dipindahkan ke sebelah barat kota.

Dalam perjalanan para Kesatrya yang diikuti oleh para abdi, ditemuilah sebuah tempat yang mengepulkan asap dari dalam tanah (lokasinya di

Pura Sada) tempat ini dianggap sangat utama, maka ditetapkanlah untuk berdomisili di tempat ini, yang bernama hutan Metya atau hutan Ustra.

Lama-kelamaan terbentuklah sebuah desa yang berlokasi di sebelah barat sungai Yeh Enu. Dikala sedang giat-giatnya para penghuni memperbaiki kebun dan ladangnya di sela dengan megecel ayam pada waktu istirahat sebagai tradisi waktu itu, maka datanglah seorang

Pendeta dari arah barat. Sesampainya di tempat ini (hutan Ustra)

Pendeta tersebut menaburkan bunga (sari) dan beras kuning (Wija).

Wija dan Sari ini tidak lain adalah Samsam, yang disertai dengan Puja

Pangastuti Om Swasti Astu, maka mulai saat Wijasari atau Samsam itu ditaburkan, oleh para leluhur tempat atau desa ini dinamai Desa

Samsam.

Raja Tabanan Cakorda Ngeluwur adalah searang raja yang alim dan bijaksana, beliau sering turun/berkunjung ke kampung serta sambil memeriksa keadaan. Pada saat beiliau berkunjung ke kampung – kampung sebelah barat yang bergunung-gunung dan berlembah curam beliau sering mandeg/beristirahat. Di dataran sebelah barat sungai Yeh Enu beliau mengadakan persalinan/pergantian juru sunggi (pengusung) untuk melanjutkan perjalanan beliau ke kampung lain. Terkenallah tempat ini bernama Pesalinan yang lama kelamaan disebut Penyalin.

Sementara itu dikisahkan panjak –panjak (rakyat) Raja dari Wongaya yang dipimpin oleh I Gede Jagra hendak menghadap Raja Tabanan, tersesat di sebuah hutan Kutuh (Kapuk) disebelah barat Tabanan, setelah lama beristirahat disana sambil rnengingat-ngingat jalan yang menuju Tabanan. Akhirnya jalan yang menuju Kerajaan Tabanan itu ditemukan. Akan tetapi setelah tugas mereka selesai, mereka tidak kembali lagi ke Wongaya namun mereka tertarik untuk menetap di hutan Kutuh (Kapuk) yang sangat subur sekali. Merekapun mendirikan pondok – pondok dibawah naungan pohon kutuh, lama kelamaan pondok-pondok tersebut berkembang menjadi suatu Banjar Kutuh.

Segala kebutuhan masyarakat dibangun antara lain : rumah, sawah, kebun serta tempat persembahyangen sehingga Banjar Kutuh semakin lama semakin maju.

Suatu ketika Banjar Kutuh ditimpa malapetaka, berjuta-juta semut menyerang penduduk, rumah-rumah mereka diserbu, banyak ternak menjadi korban. Segala usaha telah dijalankan akhirnya semua sia-sia.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke sebelah barat agak keselatan (sebelah barat daya). Oleh karena Banjar Kutuh dipisahkan oleh bengang (tanah kosong tiada pondokan) maka disebutlah Banjar

Kutuh Kaja dibagian utara dan Banjar Kutuh Kelod di bagian selatan. Di sebelah barat Samsam terdapat pula beberapa Pondokan yang dihuni tiga keluarga yaitu: a. Keluarga I Dewa Sembung b. Keluarga I Dewa Negara c. Keluarga I Dewa Bakungan

Tempat pondokan ini mereka sebut Pelem Baang, karena mereka ini berasal dari Pelem sebuah Banjaran yang terletak di Barat Laut pondokan ini. Disebut Pelem Bajang lama kelamaan terkenal dengan nama Lumajang.

Pada jaman penjajahan Belanda banjar-banjar ini yaitu : Banjar

Samsam, Penyalin, Kutuh Kelod, Kutuh Kaja dan Lumajang dibentuk menjadi satu Desa yang dikepalai oleh seorang Bendesa yang berkedudukan di Samsam.

Adapun Bendesa yang pernah memimpin Desa Samsam adalah sebagai berikut : a. I Dewa Nyoman Perte menjabat sampai tahun 1925 b. I Dewa Made Tama menjabat dari tahun 1925 sampai dengan tahun

1935 c. I Dewa Kt.Tegeg menjabat dari tahun 1935 sampai dengan tahun

1967. d. I Dewa Md.Sedeng menjabat dari tahun 1967 sampai dengan tahun

1975. e. I Dewa Md.Pegeg menjabat dan tahun 1975 sampai dengan tahun

1983. Dimasa pemerintahan I Dewa Made Pegeg kantor Bendesa Samsam dipindahkan ke Banjar Penyalin. Pada tahun 1983 Kebendesaan

Samsam diganti statusnya menjadi Kelurahan yang dikepalai oleh seorang Lurah. Adapun yang pernah menjabat sebagai Lurah adalah sebagai berikut : a. I Dewa Ny. Setanu menjabat dari tahun 1983 sampai dengan th

1990 b. I Gede Jagrem menjabat dari tahun 1990 sampai dengan 1994. c. I Wayan Suprabawa menjabat dari tahun 1994 sampai 2001.

Dimasa pemerintahan I Wayan Suptahawa status Kelurahan dirubah menjadi Desa pada tanggal 7 Agustus 2001 Perda No.20 Tahun 2001.

Dan I Wayan Suprabawa masih tetap dipercaya sebagai Pejabat

Sementara Desa Samsarn, sampai terpilih Kepala Desa Samsam yang difinitif.

Pada tanggal 4 Agustus 2002 diadakan Pemilihan Kepala Desa Samsam secara langsung untuk petama kalinya dan terpilihlah : DRS. I DEWA

MADE SATRIA WEDANA dengan masa Jabatan 2002-2007.

Pada tanggal 16 September 2007 kembali diadakan Pemilihan Kepala

Desa Samsam karena masa Jabatan Kepala Desa / Perbekel telah habis dan terpilihlah : I DEWA KETAT ARI WIBAWA yang borasal dari

Banjar Dinas Samsam I dan berdasarkan Keputusun Budan Perwakilan

Desa Samsam SK. Nomor 477 Tahun 2007, tentang Penetapan Calon

Kepala Desa Terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa Samsam,

Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan dengan Masa Jabatan 2007 – 2013 dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati Tabanan Nomor

447 Tahun 2007, Tertanggal 10 Oktober 2007.Dan dilantik oleh Bapak

Bupati Tabanan yang bertempat di Kantor Bupati Tabanan pada hari

Kamis, 22 Nopember 2007.

Demografi

3.2.1.2. Kondisi Fisik Alam

Kondisi topografi Desa Samsam, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten

Tabanan merupakan daerah landai dengan ketinggian 250 meter diatas

permukaan air laut, curah hujan relatif sedang dengan batas wilayah

administratif sebagai berikut :

a. Sebelah Utara Desa Batuaji.

b. Sebelah Timur : Sungai Yeh Nu.

c. Sebelah Selatan : Desa Pangkung Karung.

d. Sebelah Barat : Sungai Yeh Abe.

Luas wilayah Desa Samsam seluas 373 Ha. Yang dipilah menjadi :

a. Lahan Pemukiman : 35,00 Ha

b. Kuburan : 2.50 Ha

c. Jalan : 9.00 Ha

d. Lahan Sawah : 126.50 Ha

e. Lahan Tegalan : 192.97 Ha

f. Lahan Perkantoran : 0.08 Ha

g. Lahan lainnya : 5.73 Ha Desa Samsam memiliki jalan sepanjang 11 Km dengan perincian 4 Km

jalan Negara, 4 Km jalan Kabupaten, 3 km jalan Desa. Dengan kondisi

beraspal sepanjang 1 Km, beton sepanjang 1,5 Km dan jalan tanah

sepanjang 1.5 km.

3.2.1.3. Keadaan Sosial

Jumlah penduduk Desa Samsam berdasarkan laporan penduduk pada

tahun 2010, adalah sebanyak 3102 jiwa, terdiri dari 1506 jiwa penduduk

laki-laki dan 1596 jiwa penduduk perempuan, yang terdiri dari 855 KK.

Sedangkan jumlah RTM sebanyak 42 KK RTM.

Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa

sebagian penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor

pertanian (44%), sektor perdagangan (29%) dan sektor lainnya seperti

pegawai negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai

sektor (27%).

Struktur penduduk menurut agama, menunjukkan sebagian besar Desa

Samsam beragama Hindu (3.058 orang), Islam (22 orang), Kristen (16

orang) dan Budha (4 orang).

Kebudayaan daerah Desa Samsam, tidak terlepas dan diwarnai oleh

Agama Hindu dengan konsep Tri Hita Karana yaitu berhubungan

selaras, seimbang dan serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

3.2.1.4. Keadaan Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Samsam, masih lebih cenderung dari hasil

pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah dan lahan kering.

Hal ini didukung oleh penggunanan lahan pertanian masih mempunyai

porsi yang terbesar yaitu sebanyak 64% dari total penggunaan lahan

desa. Persentase mata pencaharian dari penduduk Desa Samsam masih

menggantungkan pada sektor pertanian dalam arti luas yaitu lahan

basah dan lahan kering dengan komoditi padi dan sayuran di lahan

basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh, kopi pada lahan kering

(tegalan).

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong econom base dan menonjol

disamping sektor pertanian adalah ; perdagangan, industri rumah tangga

dan pertukangan. Pada sektor perdagangan hasil bumi masih bersifat

langsung yaitu antara pembeli dan penjual bertemu langsung tanpa

penjualannya melalui pasar. Sedangkan sektor industri rumah tangga

dan pengolahan termasuk didalamnya ; pembuatan jajan upacara,

tukang jahit, dan lainnya.

Pada sektor jasa yang menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi

keuangan mikro berupa ; LPD, Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan

pelaku-pelaku ekonomi kelompok sebagai ekonomi desa. Hal ini

diharapkan akan bisa membawa dampak positif untuk perkembangan

ekonomi desa secara keseluruhan.

3.2.1.5. Kondisi Pemerintahan Desa

a. Pembagian Wilayah Desa

Secara administratif Desa Samsarn terdiri dari 6 (enam) banjar

dinas yang di Kepalai oleh Kelian Banjar sebagai berikut :

1. Banjar Dinas Lumajang

2. Banjar Dinas Samsam II

3. Banjar Dinas Samsam I

4. Banjar Dinas Penyalin

5. Banjar Dinas Kutuh Kelod

6. Banjar Dinas Kutuh Kaja

b. Desa Samsam juga didukung oleh 5 (lima) Desa Adat / Desa

Pekraman yaitu :

1. Desa Pekrarnan Lumajang

2. Desa Pekraman Samsam

3. Desa Pekraman Penyalin

4. Desa Pekraman Kutuh Kelod

5. Desa Pekraman Kutuh Kaja

3.2.2. Desa Pangkungkarung

3.2.2.1. Sejarah Desa Pangkungkarung

Berdasarkan bukti – bukti dari sebuah catatan yang autontik yang

berupa Prasasti Pura Batur, juga berdasarkan ceritra dari para orang tua

kami yang ada di Desa yang kami anggap kompeten dalam hal itu. Pada tahun 1486 tahun masehi Kerajaan Gelgel di Kelungkung pada waktu itu mengalami kekacauan sehingga banyak diantara rakyatnya yang melarikan diri mencari derah yang lebih aman. Terpetiklah kisah diantara pelarian itu sebagai berikut :

Sepuluh orang diantara mereka mengembara secara berkelompok dengan tekad dan tujuan yang sama yaitu mencari daerah yang aman dan daerah pertanian baru sehingga mereka dapat mewariskan hari depan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka itu adalah : a. I Gde Bendesa Batur Rangkan berasal dari Rangkan Ketewel

Gianyar. b. I Gde Bagia Besikalung dari Babahan Penebel. c. I Gde Tangkas Sading dari Desa Sading Mengwi. d. I Gde Kemenuh dari Desa Kemenuh Sukawati Gianyar. e. I GdeArya Bajang dari Desa Cepaka Kediri. f. I gde Kubontubuh dari Desa Menguwi Badung. g. I Gde Gebleh dari Abianbase kapal Badung. h. I Gde Gaing dari Batugaing Beraban Kediri. i. I Gde Sukajati dari Desa Buduk Badung. j. I Gde Serongga dari Serongga – Lebih – – Gianyar.

Semuanya ini berpindah dari daerah asalnya menuju daerah kerajaan

Tabanan dan tidak diceritrakan dalam perjalanan semuanya menuju istana kerajaan, di sana semuanya bertemu dan diangkat menjadi

Mahapatih dan tugas – tugas Kerajaan yang lain di Kerajaan Tabanan. Pada tahun 1490 tahun masehi waktu itu Desa Pangkungkarung masih merupakan sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon kapuk (pohon kutuh), pohon bengkel, pohon cemara, pohon sandat pohon cepaka dan lain-lainnya, yang daerah ini termasuk wilayah kerajaan Tabanan.

Hutan itu sangat angker karena banyak kejadian kejadian yang ajaib yang tak masuk akal terjadi di bengkel dan hutan kapuk itu. Pada suatu hari Raja Tabanan sedang menikmati keindahan alam di seputar istana kerajaan itu, tiba-ttiba dikejutkan dengan kepulan yang terus menerus tiada henti-hentinya yang menjulang tinggi keangkasa seolah-olah tembus ke langit.

Maka dipanggillah mahapatih-mahapatih beliau untuk dibicarakan asap apa itu sebenarnya. Setelah para patih patih itu mendengar penjelasan

Raja Kerajaan Tabanan, maka semua sangat perihatin apakah hutan itu terbakar atau apa itu sebenarnya. Maka Raja Tabanan mengutus beberapa maha patih bersama pasukan lainnya diantaranya : I Gde

Serongga, I Gde Bendesa Batur Rangkan, I Gde Tangkas Sading

Mengwi, I Gde Kemenuh, I Gde Sukajati, Gde Bagia Besikalung, I

GdeKubon Tubuh, I Gde Gebleh, I Gde Gaing sambil bersabda :

“Uduh para paman Patih semuanya, aku menugaskan para paman- paman semuanya untuk menyelidiki asap yang mengepul tinggi ke udara dengan tidak putus-putusnya, apa itu sebenarnya, jangan-jangan ada apa di sana dan kalau benar demikian jangan-jangan hutan itu terbakar. Bila hutan itu terbakar apa jadinya tanah di situ nantinya. Bila paman telah dapati dan ketahui hutan itu dan tempat asap itu mengepul segeralah laporkan kemari agar aku mengetahuinya”.

Demikianlah sabda Raja Tabanan kepada para Patih Beliau semua.

Paman Gde Bendesa Batur Rangkan saudara kuperintahkan dan kupercaya untuk memimpin pasukan ini untuk menyelidiki tempat hutan itu. Demikianlah sabda Raja Tabanan. Setelah selesai beliau bersabda lalu I Gde Bendesa Batur Rangkan menjawab bersama kawan- kawannya : “Ya, Paduka Raja, titah Paduka hamba jalani sekemampuan hamba bersama kawan-kawan kami. Nah paman semuanya berangkatlah segera agar jangan terlambat meneliti tempat itu,dan ini bekal untuk dipakai dalam perjalanan. Baru demikian sabda Raja ,maka semua mahapatih bersama kawan-kawannya yang dititahkan oleh Raja segera berangkat menuju tempat itu.Diwaktu pasukan penyelidik itu berangkat untuk menyelidiki asap yang mengepul tebal itu, langit sebelah utara dan di atas wilayah Kerajaan Tabanan diselimuti mendung yang sangat tebal, tiba-tiba turunlah hujan yang sangat derasnya membasahi persada Ibu Pertiwi di wilayah Kerajaan Tabanan.

Maka akibatnya banjirlah sungai-sungai yang dituruni hujan itu terutama sungai Yeh Empas dan sungai Yeh Nu.

Dengan moto : Wira Dharma Jayate Yang Maksudnya : Dengan semangat yang tinggi mengabdi dengan penuh kesucian untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan tugas menyelidiki kejadian yang aneh di hutan itu dengan tidak mengenal panas dan hujan yang menghadangnya maka pasukan penyelidik itu telah sampai di sebelah timur hutan kapuk dan hutan bengkel itu. Kebetulan pangkung yang yang dilalui oleh air banjir itu sangat dalam dan deras sekali, dengan semangat pantang menyerah pasukan penyelidik asap itu yang terdiri dari sepuluh orang itu seperti yang telah disebutkan di atas dengan susah payah mengarungi pangkung (Tukad) sungai Yeh Nu itu ada yang di bawa arus sungai sampai jauh ke hilir, namun berkat ketangkasan dan ketrampilan beliau-beliau semuanya selamat di pinggiran barat pangkung (sungai) yang diarungi itu yaitu : sungai Yeh Nu itu. Setelah semua pasukan itu telah kumpul di pinggiran sungai, maka meneruskan perjalanan menuju arah barat dari pangkung (sungai Yeh Nu) dan kemudian dilihatnya ada kepulan asap yang datangnya dari celah-celah batu, lalu diberi tanda oleh para pasukan penyelidik.

Kemudian para pasukan penyeklidik asap itu semuanya berkumpul untuk membicarakan hal itu dan sebagai perintah Raja agar kita melaporkan ke istana kerajaan Tabanan bahwa asap yang mengepul itu telah diketemukan di hutan bengkel dan dihutan kapuk. Dengan hasil musyawarah dan mufakat bersama maka diberikanlah kepercayaan saudaranya yang bersama I Gde Bendesa Batur Ranghkan bersama I

Gde Serongga kembali ke Istana Kerajaan Tabanan melaporkan bahwa asap yang menjulang tinggi mengepul ke udara itu telah diketemukan di hutan kapuk ( kutuh ) dan hutan bengkel itu. Maka kedua para utusan itu kembali ke Istana Kerajaan Tabanan mengarah timur laut. Tiada berapa lama dalam perjalanan maka kedua utusan itu telah tiba di Kota

Kerajaan Tabanan dan segera menghadap Paduka Raja Kerajaan Tabanan. Setelah diterima kedua utusan itu di istana Kerajaan Tabanan maka raja Tabanan kembali bersabda : “Paman Patih setelah aku mendengar penjelasan paman itu aku sangat gembira sekali karna kebranian dan semangat pengabdian paman semua aku berikan wilayah hutan itu bersama sama dengan kawan kawan Paman menempatinya untuk tempat tinggal agar anak cucu buyut paman mempunyai tempat tinggal yang tetap.” Maka penugrahan raja Tabanan diterima oleh kedua utusan itu, kemudian setelah mohon permisi untuk kembali kehutan itu maka kedua utusan itu lalu berangkat kembali kehutan kapuk bengkel itu ketempat kawan – kawannya ditempat kawannya dekat asap batu itu.

Tiada berapa lama dalam perjalanan maka kedua kedua utusan itu telah tiba di hutan kapuk dan bengkel dan segera bertemu dengan kawan kawannya dalam pasukan penyelidikkan. Hutan disebelah utara dari pusat kepulan asap itu hutannya sangat lebat penuh dengan kayu kayuan yang ditumbuhi dengan kayu kayuan dengan tumbuh tumbuhan bunga yang sangat harum semerbak seperi pohon sandat, majegawu, cepaka dan lain lainnya , sehingga hutan itu lebih dikenal dengan hutan :

Taman Harum yang diselang selingi oleh kayu kayuan yang besar- besar.

Sedangkan disebelah selatan tempat pusat kejadian kepulan asap itu kurang lebih jauhnya satu setengah kilo meter tanahnya agak mirng keselatan yang juga penuh di tumbuhi hutan – hutan kayu yang besar – besar. Kemudian kesepuluh para pasukan penyelidik asap yang telah disebutkan diatas itu mengadakan perundingan disana untuk mengenang kejadian penyebrangan diwaktu akan menyelidiki tempat kepulan asap itu dari tengah batu lalu hutan ditempat itu diberi nama :

Pangkung aerung yang berarti untuk mencapai hutan itu atau pusat kepulan asap itu dengan susah payah penuh dengan bahaya.

Pangkung berarti sungai kecil, Arung berarti menyebrangi. Jadi

Pangkung arung berarti pangkung (sungai kecil) yang disebrangi. entah berapa masa telah telah berjalan kata pangkung arung itu berubah sebutannya menjadi : Pangkung Karung.

Kemudian kesepuluh pasukan penyelidik asap yang di tugaskan oleh raja Tabanan itu membagi tempat tinggal yaitu :I Gde Bendesa Batur

Rangkan tetap tinggal ditempat kejadian kepulan asap yang menjulang tinggi itu. I Gde Bagia Besikalung pindah tempat menuju hutan disebelah barat daya pusat kepulan asap itu bersama sama I Gde

Tangkas Sading, I Gde Kemenuh, I Gde Arya Bajang, I Gde

Kubontubuh. setelah beberapa masa beliau beliau itu berada disitu sudah pula merabas hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan membangun masing – masing pura untuk memuja para roh leluhurnya.

I Gde Bagia Besikalung membangun puranya dengan disebut pura

Pasek Bendesa Besikalung. I Gde Tangkas Sading membangun puranya dengan disebut puranya : Pura Tangkaskoriagung. I Gde Kemenuh membangun puranya dengan sebutan : pura Bujangga Waisnawa. I Gde

Arya Bajang membangun puranya dengan sebutan : pura Arya

Bajangan. I Gde Kubentubuh membangun puranya dengan sebutan : pura Arya Kubentubuh. Sedangkan I Gde Serongga beralih tempat dari pusat kepulan asap itu menuju arah selatan kurang lebih satu setengah kilometer jauhnya, sedangkan I Gde Gebleh , I Gde Gaing dan I Gde

Sukajati menempati hutan disebelah uara tempat kepulan asap itu yang pada waktu itu hutan itu disebut : taman harum. I Gde Gebleh, I Gde

Gaing dan I Gde Sukajati tidak bersama sama bertempat tinggal yaitu berjauhan tempatnya diselang selingi oleh hutan, kemudian tempat lebih dikenal dengan hutan selang seling.

Entah berapa tahun sudah para penghuni dihutan Taman harum itu bertempat tinggal maka terjadilah suatu prtempuran dihutan pesiatan

(hutan Pesiapan) yang letaknya disebelah timur dari hutan Taman harum (Hutan Selang seling) antara kerajaan Tabanan dengan kerajaan

Penebel membawa masing masing pasukan raja itu. Pertempuran terjadi sangat sengitnya dan banyak pasukan – pasukan itu yang gugur didalam pertempuran, sehingga banyak pula yang lari kehutan Taman harum dan dikejar kejar oleh musuhnya kemudian perang tanding dan disana di hutan taman harum gugurlah banyak pasukan antara kerajaan Tabanan dengan Penebel sehingga banyaklah mayat yang bergelimpangan gugur di medan peperangan . lama mayat itu bergelimpangan tetapi tidak berbau busuk (berbau seling).

Kemudian setelah perkembangan penduduk di htuan itu bertambah banyak lalu hutan itu lebih dikenal dengan hutan selingsing. Kemudian setelah hutan selingsing ini dihuni oleh keturunan I Gde Gebleh, I Gde

Gaing dan I Gde Sukajati beserta keluarga keluarga lainnya yang juga datang kehutan itu, yang bertempat tinggal berjejer memanjang dari utara keselatan membentuklah sebuah Banjar yang disebut Banjaran

Selingsing. Kemudian membangun Tri Khayangan (Khayangan Tiga) yaitu Pura Puseh desa Bale agung menjadi satu lokasi dan Pura Dalem

Perajapati yang merupakan kesatuan agama hindu kemudian disebut

Desa Adat Selingsing yang di pimpin oleh Bendesa Adat dengan dibantu oleh para Penyarikan dan Petengen.

Disamping itu juga keturnan dari I Gde Gebleh membangun sebuah pura untuk memuja roh para roh leluhurnya yang disebut Pura Pasek

Gebleh. Keturunan dari I Gde Gaing membangun pula pura untuk memuja roh para leluhurnya yang disebut : Pura Pasek Dangka

Batugaing. Keturunan dari I Gde Sukajati membangun pula sebuah pura

Paibon untuk memuja para roh leluhurnya yang disebut : Paibon Pasek

Tohjiwa kesahan Buduk.

Ditempat kejadian pertempuran dihutan Pesiapan ( Pesiatan ) di bangun pula sebuah Pura untuk mengenang jasa – jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran antara pasukan Tabanan dengan Penebel maka pura itu di sebut Pura Pesiatan (Pesiapan).

Sampai disini dulu kita ceriterakan mengenai bebanjaran selinsing kini kita beralih ketempat semula yaitu di bekas hutan itu dan tempat batu yang mengeluarkan asap itu yang dihuni oleh I Gde Bendesa Batur

Rangkan, yang bekas itu tempat itu mengeluarkan kepulan asap, oleh keturunan beliau itu lalu di bangun sebuah Pura untuk memuja roh para roh leluhurnya yang disebut Pura Bendesa batur Rangkan. Kini kembali kami muraikan mengenai I Gde Serongga memilih tempat dihutan sebelah selatan wilayah bebanjaran I Gde Bendesa Batur

Rangkan Pangkung arung ( Pangkung Karung ), kemudian setelah merabas hutan disana untuk dijadikan tempat tinggal bersama – sama dengan keluarga lainnya yang juga datang kesitu, kemudian membangun sebuah Pura untuk para roh leluhurnya disebut Pura

Bendesa Serongga.

Kemudian setelah banyak para penghuni hutan itu membangun pula rumah dan kawitannya maka lalu membangun pula sebuah Bebanjaran itu disebut bebanjaran Serongga Gede.

Kemudian I Gde Pasek Bendesa Serongga ( dikenal pula Pura Siwa ) keturunannya bersama – sama dengan keluarga keluarga pasek lainnya membangun Pura khayangan yaitu : Pura Puseh dan Pura Dalem.

Kemudian karma tempat itu telah banyak penghuninya lalu ada pula warga masyarakatnya yang pindah tempat dari situ menuju keutara dari bebanjaran Serongga Pondok.

Demikian perkembangan banjar – banjar yang ada di wilayah Desa

Pangkung Karung . Setelah jaman kerajaan berakhir di Bali lalu diganti dengan pemerintahan Belanda dan Jepang kemudian banjar banjar yang disebut diatas digabungkan menjadi satu Desa Pemerintahan yang disebut : Pangkung Karung yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa.

Setelah Negara Indonesia merdeka kemudian banjar banjar itu terus penduduknya berkembang lalu daerah wilayah Desa Pangkung Karung di bagi mejadi tujuh Banjar yaitu : a. Banjar Selingsing Kaja

b. Banjar Selingsing Kelod.

c. Banjar Pangkung Karung Kanginan.

d. Banjar Pangkung Karung Kawan.

e. Banjar Serongga Pondok.

f. Banjar Serongga Gede.

g. Banjar serongga Kemenuh.

Kemudian sebutan banjar lalu berubah menjadi Dusun.Demikianlah

sepintas kilas perkembangan nama Desa Pangkung Karung dan sampai

disini kami akhiri uraian kami.

3.2.2.2. Kondisi Desa

a. Demografi

Keadaan secara umum Demografi Desa Pangkungkarung adalah

merupakan daerah pertanian ,dimana iklim Desa Pangkungkarung

sebagai mana desa-desa lain di wilayah Indonesia mempunyai

iklim kemarau dan penghujan ,hal tersebut mempuyai pengaruh

langsung terdapat pola tanam yang ada di Desa Pangkungkarung,

Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.

b. Keadaan Sosial

Jumlah Penduduk laki – laki : 1401 Jiwa. Jumlah Penduduk

Perempuan : 1399 Jiwa. Jumlah Penduduk : 2802 Jiwa.

Tingkat Pendidikan : Tidak tamat SD: 8 Orang, SD: 165 Orang,

SMP : 53 Orang, S L T A : 49 Orang, Sarjana : 12 Orang. c. Keadaan Ekonomi

Mata Pencaharian

Petani/buruh tani: 517 Orang. Swasta: 218 Orang. PNS : 63 Orang.

TNI/Polri : 15 Orang. Dokter, Perawat, Bidan: 11 Orang.

Pengrajin: 5 Orang. Pedagang: 56 Orang. Peternak: 550 Orang. d. Batas Wilayah

Sebelah Utara : Desa Sam – sam; Sebelah Timur : Sungai Yeh Nu;

Sebelah Selatan: Sungai Yeh Nu; Sebelah Barat: Sungai Yeh Nusa.

Luas Wilayah: 306 Ha, Tanah Sawah : 206 Ha Tanah Kebun: 25

Ha, Tanah Tegalan: 75 Ha e. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa .

Kelihan Banjar Dinas terdiri dari :

Kelihan Banjar Dinas Selingsing Kaja, Kelihan Banjar Dinas

Selingsing Kelod, Kelihan Banjar Dinas Pangkungkarung Kangin,

Kelihan Banjar Dinas Pangkungkarung Kawan,Kelihan Banjar

Dinas Serongga Pondok, Kelihan Banjar Dinas Serongga Gede,

Kelihan Banjar Dinas Serongga Kemenuh.

Bendesa Pakraman terdiri dari : Bendesa Pakraman Selingsing &

Bendesa Pakraman Serongga.

Kelihan adat terdiri dari: Kelihan Adat Selingsing Kaja, Kelihan

Adat Selingsing Kelod, Kelihan Adat Pangkungkarung, Kelihan

Adat Serongga Pondok, Kelihan Adat Serongga Gede.

Jarak pemerintahan desa pangkung karung berada dalam

lingkungan kecamatan kerambitan. Dari desa pangkung karung dengan jarak 4 Km dan jarak tempuh 0,25 jam. Dan ke kabupaten

juga sama yaitu 4 Km dengan waktu tempuk 0,25 jam.

3.2.2.3. Religi, Budaya dan Kesenian

Dari faktor religi, sebagian besar masyarakaat pangkung karung

menganut agama Hindu, namun dengan kondisi sekarang terdapat

beberapa persen saja penduduk yang beragama Islam. Hal tersebut

dikarenakan adanya penduduk pendatang yang mendiami sementara

wilayah Desa Pangkung Karung yang bekerja disetor buruh.

Dari segi kesenian, beberapa tempat di Desa Pangkung Karung

memiliki kelompok Kesenian, seperti : banjar Dinas Pangkung Karung

Kangin memiliki kesenian Gender, Rindik. Dan banjar Adat Pangkung

Karung memiliki kesenian Bangkung dan Shang Hyang

Memedi yang juga sering tayang di Bali TV.

3.2.2.4. Potensi Wisata

Secara khusus Desa Pangkung Karung tidak memiliki tempat Wisata,

namun sebenarnya ada keyakinan dari sebagian besar masyarakat

bahwa, banjar Adat Selingsing memiliki potensi tersebut. Dikarenakan

wilayah tersebut memilki kerajinan ceniga dari uang kepeng dan

perusahaan mebel dan banjar dinas Pangkung Karung Kangin ada usaha

pembuatan tempat lilin dan di banjar dinas serongga gede ada usaha

kerajinan Ukir. Sehingga tersa pantas daerah ini untuk dikembangkan

menjadi salah satu objek wisata interaktif. 3.2.3. Desa Kukuh

3.2.3.1. Kondisi Desa

Kondisi Desa Kukuh sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia

mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai

pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di Desa Kukuh,

Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.

3.2.3.2. Sejarah Desa

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang mengacu

pada masa lampau oleh karenanya pemaparan dalam hal sejarah

merupakan penyampaian peran tentang apa-apa yang pernah terjadi

pada masa lampau.

Kalau kita soroti dari segi tujuan dalam hal pemaparan sejarah adalah

sebagai bandingan pada masa sekarang dan sebagai cermin terhadap

peristiwa masa yang akan datang. Dalam hal ini kita berbicara sejarah

yang lebih khusus yaitu Sejarah Desa.Nama suatu desa atau wilayah

umumnya mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk

mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain yang dianggap sebagai

inpsirasi nama itu diberikan.Pemberian nama desa atau suatu wilayah

khususnya di Bali berkaitan erat dengan sejarah Raja-Raja di jaman

dahulu seperti yang sering dijumpai dalam Babad, lontar ataupun

Prasasti.

Dalam babad “Kerajaan Kenceng” dinyatakan bahwa sejarah Desa

Kukuh diambil dari usaha Raja Tabanan untuk mendapatkan lokasi baru.Ida Cokorde Nur Pande Ratu Singgasana Tabanan XIII sebagai pengganti ayah baginda yang bergelar Sri Megade Sakti Ratu

Singgasana XII dikenal sebagai raja yang bijaksana. Wilayah kerajaan berbatasan dengan gunung Beratan di sebelah Utara, Tukad/sungai disebelah Timur, laut disebelah Selatan,dan Tukad Pulukan disebelah

Barat. Alamnya sangat subur, keadaan ini membawa Raja Tabanan kealam kejayaan. Akan tetapi dibalik semua kekayaan itu, Baginda belum merasa bahagia walau setelah sekian lama usia perkawinan beliau belum juga memperoleh seorang Putra yang akan menjadi pewaris kerajaan, keadaan ini menjadikan baginda bertekad dan berjanji, bahwa apabila baginda raja berhasil dikaruniai putra maka putra sulung tersebut yang akan dinobatkan sebagai raja penggantinya meskipun lahir dari ibu penawing. berdasarkan tradisi sesana putra mahkota berhak atas mahkota adalah putra yang lahir dari permaisuri.

Tidak berselang beberapa lama istri baginda raja yang bernama Si

Mekel Sekar dari Sekartaji hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Sirarya Ngurah Sekar. Tetapi tak lama kemudian permaisuri yang berasal dari Delod Ruung, bernama Gusti Luh Wayan,

Putri Kiyai Nana dan hamil pula dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Siarya Ngurah Gede. Selanjutnya baginda raja mempunyai putra dan putri.

Setelah lda Cokorde Nur Pemade wafat, Sirarya Ngurah Sekar dinobatkan menjadi raja dengan gelar Cokorde Di Sekar (Ratu

Singgasana XIV), sesuai dengan janji almarhum baginda raja. Sementara itu Siarya Ngurah Gede tetap di Puri Tabanan tanpa mempunyai status yang pasti. Maka pada suatu hari, beliau pergi meninggalkan Puri diam – diam menuju Ki Pasek Gobleg disebelah utara gunung. Dari tempat itu beliau melanjutkan perjalanan ke Desa

Banjar. Ditempat ini beliau menginap di Griya Brahmana Kemenuh dan tinggal untuk waktu yang tidak tentu lamanya.

Sepeninggalan Sirarya Ngurah Gede, keadaan Puri Tabanan menjadi panik. Baginda Raja mengirimkan utusan untuk mencari adiknya. Tiga kali utusan yang dikirim tidak berhasil mengantarkan Sirarya Ngurah

Gede pulang ke Puri Tabanan. Baginda Raja tidak tega membiarkan adiknya bermukim di luar kerajaan. Beliau mengirimkan utusan yang ke empat dipimpin oleh Kiyai Subamia Gadungan dengan mandat penuh asalkan adiknya bersedia kembali ke Puri Tabanan. Tugas utusan dapat dilaksanakan dengan lancar. Sirarya Ngurah Gede bersedia pulang ke

Puri Tabanan setelah dipenuhi permintaannya yaitu; “Separuh Negara dan Rakyat Tabanan diserahkan kepada beliau”. Di buatkan Puri yang sama dengan Puri Agung Tabanan. Sirarya Ngurah Gede dan utusan mohon diri kepada Sang Pendita.

Kepergian Sirarya Ngurah Gede dilepas dengan suka cita oleh Sang

Pendita, dengan pesan, “Yan Sira Rahadian Amangun Graha, Pilihana

Asiti Kang Ametu Kukus, Ikang Wenang make Graha Ire Rahadian”.

(Jika ananda membangun Puri Pilihlah tanah yang mengepulkan asap.

Ditempat itulah patut Puri paduka ananda berdiri). Keberangkatan

Sirarya Ngurah Gede ke Puri Gede Tabanan diiringi oleh utusan dan seorang Brahmana dari Banjar.Kedatangan mereka diterima dan disambut dengan gembira oleh Baginda Raja. Sejak saat itu Sirarya

Ngurah Gede disebut dengan nama Sirarya Ngurah Gede Banjar atau

Cokorda Gede Banjar. Sebagai pelaksana perjanjian, baginda mengirim untuk mencari dan meneliti tempat yang wajar untuk tempat kerajaan adindanya. Pada suatu hari sampailah utusan pada suatu daerah

(pedukuhan) yang dikenal dengan nama Dukuh Pengembungan disebelah selatan Desa Meliling. Tiba – tiba dikejauhan daerah arah selatan dari Desa Pegembungan tempat asap mengepul menjulang tinggi seakan akan menembus langit. Setelah diteliti ternyata asap itu sangat cocok untuk sebuah kraton baik dari segi keamanan mauun dari unsur keindahan. Pembangunan Puri pun dimulai, aturan tata kota diatur rapi. Jalan lurus yang mengelilingi Puri dengan perempatan yang lebar. Pembagian pola pemukiman masing-masing persegi empat panjang, yang lebar dibatasi dengan jalan-jalan dan lorong yang lurus sehingga mudah mengaturnya. Puri ditengah-tengah dengan megahnya berdiri, lengkap dengan pembagiannya seperti yang di janjikannya.

Semuanya serasi sehingga tempat angrawit atau sangat indah. Disebelah

Timur pemukiman ini mengalir sungai Abe dan disebelah barat sungai

Lating yang berfungsi sebagai sarana pertahanan dan aliran kemakmuran. Ini terjadi pada pertengahan abad XVII. Pada waktu Ida

Cokordo Banjar memasuki Puri yang baru ini diiringi oleh kaula yang cukup banyak mengisi daerah pemukiman ini. Semuanya merasa puas dan kagum akan kemegahan dan kehindahan atau “Kerawitan” Puri dan sekitarnya. Puri baru ini diberi nama Puri Agung dan wilayah sekitar

kerawitan yang akhirnya menjadi Kerambitan. Demi pertahanan dan

ketahanan wilayalah kaula warga inipun diatur demikian rupa. Daerah

Barat Daya bermukim pemberani, maka diberi nama Banjar Wan.

Daerah tenggara bermukim para endakan akhimya disebut Banjar

Pekandelan dan Kedampal. Daerah ulu atau Utara didirikan sebuah

pemujaan sebagai ungkapan perana sukseme terhadap Sang Hyang

Widhi Wasa dari pada batu besar sebagai lingga. Batu ini bergerigi dan

bergeriti, sehingga daerah-daerah itu diberi nama Baturiti. Di Daerah

Timur Laut bermukim warga yang telah teguh kukuh, sebagai

pengaman pintu masuk yang akhimya daerah ini diberi nama Banjar

Kukuh yag sekarang menjadi Desa Kukuh.

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat Desa Kukuh tidak bisa

dilepaskan dengan Desa Kerambitan dan Desa Baturiti yang sampai

saat ini menjadi satu Desa Adat Bale Agung.

Demkianlah secara singkat riwayat terjadinya Desa Kukuh. Dimana

dalam perkembangan pemerintahan Desa Kukuh, wilayahnya meliputi

lima Dusun yaitu Kukuh Kangin, Kukuh Kawan, Kukuh Kelod,

Samsam Kelod, dan Samsaman Alas. Demikian sekilas sejarah

timbulnya Desa Kukuh untuk dijadikan pengetahuan bagi kita sekalian

dan mohon maaf yang sebesar- besarnya jikalau ada kekeliruan.

3.2.3.3. Demografi

Kondisi topografi Desa Kukuh, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan merupakan daerah landai dengan ketinggian 175 meter diatas

permukaan laut curah hujan relatif sedang dengan batas wilayah

administratif sebagai berikut :

 Desa Sembung Gede.

 Sungai Yeh Nusa.

 Desa Kerambitan.

 Desa Baturiti.

Luas wilayah Desa Kukuh seluas 276Ha.

Desa Kukuh memiliki jalan sepanjang 15.500 M dengan perincian 5000

M jalan kabupaten,1.500 M jalan desa. Dengan kondisi beraspal

sepanjang 5.000 M, beton sepanjang 7000 M

3.2.3.4. Keadaan Sosial

Jumlah penduduk Desa kukuh berdasarkan laporan penduduk pada

tahun 2010, adalah sebanyak 2248 iiwq terdiri dari 1162 jiwa penduduk

lakilaki dan 1086 jiwa penduduk perempuan, yang terdiri dari 682 KK.

Struktur penduduk menurut pendidikan menunjukkan kualitas sumber

daya manusia yang ada di Desa Kukuh, yaitu yang pada usia pendidikan

dasar (pendidikan sekolah dasar dan menengah) yang sedang mengikuti

pendidikan sejumlah 580 orang.

Sedangkan yang berusia di atas 16 tahun (di atas usia pendidikan dasar)

yang masih mengikuti pendidikan sejumlah 90 orang. Struktur

penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian

penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian (45%), sektor perdagangan (28%) dan sektor lainnya seperti pegawai

negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai sektor

(27%) . Struktur penduduk menurut agama menunjukkan sebagian

besar Desa Kukuh beragama Hindu (99,8%), Islam ( 0,2%), Kristen

Protestan (0%) dan Budha (0%). Dalam konteks ketenaga kerjaan

ditemukan bahwa 75% penduduk usia kerja yang didalamnya 62%

angkatan kerja dan 13% bukan angkatan kerja. Kebudayaan daerah

Desa Kukuh, tidak terlepas dan diwarnai oleh Agama Hindu dengan

konsep “Tri Hita Karana” yaitu berhubungan selaras, seimbang dan

serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan

manusia dengan lingkungan.

3.2.3.5. Keadaan Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Kukuh, masih lebih cenderung dari hasil

pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah dan lahan kering.

Hal ini didukung oleh penggunanan lahan pertanian masih mempunyai

porsi yang terbesar yaitu sebanyak 64% dari total penggunaan lahan

desa. Persentase mata pencaharian dari penduduk Desa Kukuh masih

menggantungkan pada sector pertanian dalam arti luas yaitu lahan

basah dan lahan kering dengan komoditi padi dan sayuran di lahan

basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh, kopi pada lahan kering

(tegalan).

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong econom base dan menonjol

disamping sektor pertanian adalah ; perdagangan, industri rumah tangga dan peftukangan Pada sektor perdagangan hasil bumi masih bersifat

langsung yaitu antara pembeli dan penjual bertemu langsung tanpa

penjualannya melalui pasar. Sedangkan seklor industri rumah tangga

dan pengolahan termasuk didalamnya ; pengrajin ingka lidi, pembuatan

jajan upacara” tukang jahit, dan lainnya. Pada sektor jasa, yang

menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi keuangan mikro berupa ;

LPD, Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan pelaku-pelaku ekonomi

kelompok sebagai pendukung ekonomi desa. Hal ini diharapkan akan

bisa membawa dampak positip untuk perkembangan ekonomi desa

secara keseluruhan.

3.2.3.6. Kondisi Pemerintahan Desa

Secara administratif Desa Kukuh terbagi atas Lima Banjar Dinas/Dusun

meliputi:

1. Banjar Dinas Kukuh Kangin

2. Banjar Dinas Kukuh Kawan

3. Banjar Dinas Kukuh Kelod

4. Banjar Dinas Samsaman Kelod

5. Banjar Dinas Samsaman Alas

3.2.3.7. Religi Budaya, Kesenian Dan Potensi Wisata

Dari Sektor relegi sebagian besar masyarakat Desa Kukuh menganut

Agama Hindu hanya satu keluarga ber Agama Islam , dengan anggota 4 orang. Dibidang kesenian di desa Kukuh, dimasing – masing banjar

mempunyai kesenian berupa Teltekan dan Okokan.

Di Banjar Kukuh ada Kesenian yaitu : Teketekan dan Okokan Ketuanya

: Pan Suki

Di Banjar Samsaman Ada Juga Kesenian yang sama: Tektekan dan

Okokan Ketuanya: I Made Sukada.

3.2.3.8. Visi dan Misi

a. Visi

Visi Pembanguan Desa Kukuh Tahun 2010 2014, adalah

Terwujudnya masyarakat Kukuh yang mandiri dan sejahtera

melnlui pembangunan yang berlcelanjutan ,berwawasan seni

budaya serta linglrungan ,yang menitik beratlean pada Pefianian

dalam arti luas bersenergi dengan bidang ekonomi.

b. Misi

Misi Pembangunan Desa Kukuh Tahun 2010 – 2014 adalah :

 Memanfaatan Potensi Desa, terutama Sumber Daya Manusia,

sehingga dapat menumbuhkembangkan Kesadaran dan

Kemandirian dalam Pembangunan Desa yang berkelanjutan.

 Meningkatkan Ketahanan Ekonomi Masyarakat dengan

Menggalakan Usaha Ekonomi Kerakyatan, melalui Program

strategis di bidang Produksi Pertanian, Pemasaran, Koperasi,

Usaha Kecil dan Menengah.  Meningkatkan Hasil Pertanian dengan Peningkatan Akses

Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia dalam

Pertanian.

 Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia melalui

Program Pendidikan dan Program Kesehatan Masyarakat.

 Membangunan Infrasruktur Sarana Prasarana Desa dan

Pelestarian Lingkungan.

 Meningkatan Pelayanan Terhadap Masyarakat dan

Meningkatkan Kerjasama antar Lembaga Pemerintahan di

Desa serta Lembaga Adat.

 Menciptakan Suasana Aman dan Tertib di dalam Kehidupan

Bermasyarakat.

3.2.4. Desa Belumbang

3.2.4.1. Sejarah Singkat Desa Belumbang

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang mengacu

pada masa lampau, oleh karenanya pemaparan dalam hal sejarah

merupakan penyampaian tentang apa-apa yang pernah terjadi pada

masa lampau. Kalau kita soroti dari segi tujuan dalam hal pemaparan

sejarah yaitu mempelajari tentang alam masa lampau suatu desa sebagai

bandingan pada masa sekarang dan sebagai cermin terhadap peristiwa

masa yang akan datang.

Dalam hal ini kita berbicara sejarah yang lebih khusus yaitu sejarah

desa Belumbang. Nama suatu desa atau wilayah umumnya mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain yang dianggap penting pada saat nama itu diberikan. Demikian juga dengan asal usul desa Belumbang. Untuk itu kami akan coba uraikan sejarah desa Belumbang.

Pada tahun 1486 masehi kerajaan Gelgel mengalami kekacauan sehingga banyak diantara rakyatnya yang melarikan diri mencari daerah yang lebih aman. Terpetiklah kisah diantara pelarian itu sebagai berikut:

Dua belas orang diantara mereka mengembara secara berkelompok dengan tekad dan tujuan yang sama yaitu mencari daerah yang aman dan daerah pertanian baru sehingga mereka dapat mewariskan hari depan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka itu adalah : Ki Baret,

Ki Kokol, Ki Kawi, Ki Naria, Ki Turun, Ki Trak, Ki Pioi, Ki Kawin, Ki

Sendor, Ki Ngentel, Ki Manggar dan Ki Romeo. Mereka menyusuri arah Barat dari pantai samudra Indonesia. Dalam perjalanan yang melelahkan ini, mereka beristirahat di Pantai Seseh dan akhirnya terlena. Di saat ketiduran inilah konon mereka bermimpi sebagai berikut : “Lanjutkan perjalananmu ke Barat, kelak jika bertemu dengan sebuah muara sungai besar beloklah ke Utara”. Beberapa hari kemudian akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan. Mereka bertemu dengan muara sungai besar yang kedua tepi sisinya masih merupakan rimba belantara, disitu mereka tertegun sesaat dan akhirnya demi tujuan, mereka pun membelok ke Utara menyusuri tepi Timur sungai tersebut.

Dalam menjelajahi hutan yang mengerikan itu akhirnya sampailah mereka di suatu tempat yang merupakan pertemuan tiga buah sungai yaitu : sungai Ho, sungai Lamuk dan sungai Nyampuan. Geografis wilayah itu sangat ideal di dalam kehidupan bertani. Keadaan geografi yang luas mendatar, subur dan penuh kemakmuran itu, dalam bahasa mereka disebut “MELUMBANG”. Dari kata inilah mereka memberi nama “BELUMBANG” untuk daerah yang mereka pilih sebagai tempat tinggal yang abadi.

Selanjutnya dua belas orang inilah yang menjadi perintis (pionir-pionir) menantang maut dalam merombak hutan untuk dijadikan daerah pemukiman dan daerah persawahan. Jadilah desa Belumbang dengan subaknya sebagai apa yang kita saksikan sekarang, yang senantiasa memberi harapan cerah bagi generasi mendatang. Dengan demikian kedua belas orang itulah dianggap sebagai cikal bakal terjadinya desa

Belumbang karena sebelumnya daerah ini belum pernah terjamah manusia. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pewaris dari keturunan kedua belas orang itu sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat sebagai yang paling berhak menjadi pemangku Pura Bedugul yang menandai penyungsungan Subak.

Lambat laun daerah ini dibanjiri oleh pendatang-pendatang yang berasal dari segala penjuru sehingga dalam waktu singkat daerah ini berkembang menjadi 8 banjar, yang mempunyai sejarah nama secara sendiri-sendiri yaitu sebagai berikut : 1. Banjar Langan, Kata langan berasal dari kata “Lang-lang ulangun” yang

berarti tempat yang amat mempesona bagi penemunya dan generasi

penerusnya.

2. Banjar Belumbang Kaja

3. Banjar Belumbang Tengah

4. Banjar Belumbang Kelod

5. Banjar Yeh Malet, berasal dari kata Yeh Let yang artinya air suci serta

langgeng. Kemudian karena perkembangan penduduknya sangat pesat

akhirnya terpisah jadi dua banjar yaitu : Yeh Malet Kaja dan Yeh Malet

Kelod.

6. Banjar Belong, Kata Belong berasal dari kata Lobang yang artinya dataran

rendah yang subur, tak ubahnya sebagai daerah belong yang kita saksikan

saat ini.

7. Banjar Tibupoh

8. Kata Tibupoh berasal dari Tebu dan Poh, yang merupakan daya tarik

karena disana merupakan perkebunan tebu dan poh pada masa itu.

Setelah mengalami perubahan status akhirnya Desa Belumbang yang

mempunyai 7 Banjar diubah menjadi 8 Banjar Dinas, dimana Banjar Dinas

Tibupoh menjadi wilayah Banjar Dinas Yeh Malet Kelod. Adapun mereka

yang pernah menjadi Bandesa (Kepala Desa) di Belumbang adalah sebagai

berikut : Pan Nori, Anak Aping Rai, Pan Renteb, Anak Agung Nengah,

Pan Kuwug, Ajin Bagus Wayan Dabdab, Bagus Wayan Dabdab, I

Nyoman Luluk, I Nengah Ranggen, I Wayan Sukia, I Ketut Sudarsana,

Drh. I Ketut Dyana Putera. Demikianlah sejarah singkat desa Belumbang yang sudah barang tentu tidak selengkap sejarah yang sebenarnya, maka untuk melengkapi selanjutnya adalah merupakan tugas dari pada generasi penerus. Uraian singkat ini semata-mata merupakan perintis untuk menguak sejarah Desa Belumbang yang nantinya diharapkan lebih lengkap dan lebih benar.

3.2.4.2. Gambaran Umum Desa Belumbang

Desa Belumbang merupakan salah satu dari 15 desa yang ada di

wilayah Kecamatan Kerambitan, terletak ± 10 Km ke arah Tenggara

dari pusat kota Tabanan. Desa Belumbang memiliki batas-batas wilayah

sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Desa Tista

b. Sebelah Timur : Tukad Yeh Lating

c. Sebelah Selatan : Desa Tibubiu

d. Sebelah Barat : Tukad Yeh Ho

Dilihat dari kondisi geografis, wilayah Desa Belumbang merupakan

dataran (rendah/sedang/tinggi) dengan ketinggian ± 350 Meter dari

permukaan air laut. Suhu udara berkisar antara 34°C dengan curah

hujan rata-rata 1613 mm/tahun.

Untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, wilayah Desa

Belumbang dibagi menjadi 8 Banjar Dinas, yaitu :

a. Banjar Dinas Langan

b. Banjar Dinas Belumbang Kaja

c. Banjar Dinas Belumbang Tengah d. Banjar Dinas Belumbang Kelod

e. Banjar Dinas Yeh Malet Kaja

f. Banjar Dinas Yeh Malet Kelod

g. Banjar Dinas Belong

h. Banjar Dinas Tibupoh

Dilihat dari beberapa potensi yang dimiliki, Desa Belumbang dapat

digambarkan sebagai berikut:

3.2.4.3. Potensi Lahan

Desa Belumbang memiliki luas 290 Km2, dengan penggunaan sebagai

berikut (keadaan Tahun 2011) :

a. Tanah Sawah:

- Sawah Irigasi Tekhnis luas ……. Ha

- Sawah Irigasi ½ Tekhnis luas 174 Ha

- Sawah Tadah Hujan luas ……. Ha

b. Tanah Kering :

 Tegal/ladang luas 23 Ha

 Pemukiman luas 37 Ha

c. Tanah Perkebunan luas ……. Ha

d. Tanah Peternakan luas ……. Ha

e. Tanah Perikanan luas ……. Ha

f. Tanah Hutan luas ……. Ha

g. Tanah Fasilitas Umum :

 Tanah Kas Desa luas ……. Ha  Lapangan Olah Raga luas 0,40 Ha

 Perkantoran Pemerintah luas 0,50 Ha

 lainnya luas 55,1 Ha

3.2.4.4. Visi Dan Misi Desa Belumbang

a. Visi

Visi adalah gambaran yang menantang tentang keadaan masa

depan yang diinginkan dengan melihat potensi dan kebutuhan desa.

Penyusunan visi Desa Belumbang ini dilakukan dengan pendekatan

fartisipatif, melibatkan pihak-pihak yang berkopeten di Desa

Belumbang seperti Pemerintah Desa, BPD, Tokoh Masyarakat,

Tokoh Agama, Lembaga Pemberdayaan Desa, dan masyarakat

pada umumnya. Pertimbangan kondisi external di Desa Belumbang

seperti satuan kerja wilayah pembangunan di Kecamatan

Kerambitan mempunyai titik berat sektor infrastruktur, berdasarkan

permasalahan, tantangan, potensi, serta keterbatasan yang dihadapi

desa Belumbang tahun 2010-2015 yaitu : “TERWUJUDNYA

MASYARAKAT DESA BELUMBANG YANG CERDAS,

SEJAHTERA DAN BERBUDAYA BERBASIS PERTANIAN

YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN BERSINERGI

DENGAN PARIWISATA”.

b. Misi

Selanjutnya berdasarkan Visi Pembangunan Desa Belumbang

ditetapkan 3 (tiga) MISI Pembangunan Desa Blumbang tahun 2010-2015 dimana misi tersebut memuat suatu pernyataan yang

harus dilaksanakan oleh Desa agar tercapai Visi Desa tersebut.

Pernyataan visi kemudian dijabarkan kedalam misi agar dapat

dioptimalkan/dikerjakan. Sebagaimana menyusun Visi, Misipun

dalam penyusunannya menggunakan pendekatan partisipatif dan

pertimbangan potensi dan kebutuhan Desa Belumbang Yaitu :

 Membangun Desa Belumbang yang cerdas, sehat dan Religius.

 Mewujudkan masyarakat Desa Belumbang yang sejahtera

melalui, pemberdayaan usaha kecil, revitalitas pertanian,

percepatan pembangunan infrastruktur dan perbaikan sumber

daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

 Melestarikan dan mengembangkan budaya lokal.

 Meningkatkan Sumber Daya Aparatur Pemerintahan Desa.

3.2.4.5. Strategi Pembangunan Desa

Melihat hasil rekapitulasi potensi dan masalah yang dihasilkan dari

pendekatan teknik pra yang dikembangkan maka dapat digambarkan

kelemahan dan kekuatan yang ada di desa antara lain:

a. Kekuatan :

 Bidang Pendidikan, Banyaknya anak-anak, masyarakat yang

berpotensi dan berbakat tidak dapat mengenyam pendidikan

yang layak. Banyak anak-anak usia 0 – 5 tahun belum dapat

mengembangkan kemampuan jasmaniah, intelektual,

emosional dan sosial kemasyarakatan.  Bidang Kesehatan, Adanya jadwal pasyandu yang rutin

disetiap banjar untuk melakukan pemeriksaan perkembangan

Balita dan Lansia. Keinginan besar masyarakat untuk

memperoleh penyuluhan tentang hidup sehat.

 Bidang Religius, Tinggi minat masyarakat untuk

meningkatkan spritualnya, Tinggi minat masyarakat untuk

memperbaiki tempat-tempat ibadah.

 Bidang Usaha Kecil, Banyaknya usaha kecil yang potensial

dan produktif

Bidang Pertanian, Mata Pencaharian penduduk 80% petani,

Lahan pertanian cukup potensial

 Bidang Infrastruktur, Wilayah persawahan dan tegalan cukup

luas.

 Bidang Sumber Daya Alam. Lahan cukup potensial. Minat

masyarakat untuk pemakaian bahan-bahan organik tinggi.

 Bidang Pelestarian Lingkungan Hidup, Lahan untuk apotik

hidup, tanaman upakara dan tanaman hias di masing-masing

KK cukup memadai.

 Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Lokal, Tinggi

minat masyarakat untuk mempertahankan dan melestarikan

budaya local.

 Bidang Sumber Daya Aparatur Pemerintahan Desa, Aparat

Pemerintahan Desa lengkap

 Keinginan untuk tahu sangat tinggi. b. Kelemahan

Bidang Pendidikan, Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan

belum mampu memenuhi kopetensi peserta didik. Fasilitas

pelayanan pendidikan PAUD, TK dan SD masih belum sepenuhnya

rnendukung kraativitas anak didik terutama anak PAUD, TK untuk

mengembangkan kemampuan jasmaniah, intelektual, emosional

dan sosial apalagi belum adanya lembaga pendidikan bagi anak-

anak usia dini.

 Bidang Kesehatan, Puskesmas Pembantu yang ada di desa

kondisi bangunannya sudah rusak berat. Belum adanya

prasarana posyandu yang memadai dan pemberian PMT untuk

anak balita dan lansia masih perlu ditingkatkan. Kurangnya

penyuluhan tentang pola hidup sehat bagi masyarakat.

 Bidang Religi, Rusaknya tempat-tempat untuk beribadah,

Kurangnya sarana-prasarana dalam mendukung kegiatan

keagamaan.

 Bidang Usaha Kecil, Rendahnya produktivitas usaha, sulitnya

mengembangkan lapangan pekerjaan terhadap kuantitas usaha

kecil tersebut. Sulitnya untuk memperoleh pinjaman yang

berbunga lunak.

 Bidang Pertanian, Banyaknya lahan pertanian yang terisolir.

Rendahnya pengetahuan petani dalam budidaya. Terbatasnya

bibit – bibit ternak  Bidang Infrastruktur, Kecilnya debit air yang masuk ke areal

persawahan. Banyaknya lahan pertanian yang masih terisolir.

Sarana transportasi/jalan masih belum memadai.

 Bidang Sumber Daya Alam, Terbiasanya petani dalam

pengunaan bahan-bahan kimia.

 Sulitnya bibit tanaman penghijauan.

 Bidang Pelestarian Lingkungan Hidup, Bibit untuk apotik

hidup, tanaman upakara dan tanaman hias sulit diperoleh. Bibit

untuk perlindungan mata air sulit didapat. Sistim pengolahan

limbah rumah tangga yang belum layak.

 Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Lokal,

Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang sastra-sastra bali.

Rendahnya keterampilan masyarakat dalam seni.

 Bidang Sumber Daya Aparatur Pemerintahan Desa, Masih

rendahnya sumber daya aparatur pemerintahan desa. Dari

gambaran kelemahan dan kekuatan hasil rekapitulasi potensi

dan masalah diatas yang dihasilkan dari pendekatan partisipatif

yang dikembangkan maka dapat disusun strategi Desa

Belumbang dalam RPJM-Desa antara lain mencari atau

memanfaatkan peluang-peluang /program/kegiatan yang

ditawarkan ke desa sesuai dengan bidang kegiatan dengan

baik.

3.2.4.6. Arah Kebijaksanaan Umum Desa

Berdasarkan pada Visi, Misi dan strategi pembangunan yang telah

disepakati, disusun kebijaksanaan yang akan menjadi acuan didalam

merumuskan program-program pembangunan Desa Belumbang yang

disebut AGENDA PEMBANGUNAN DESA BELUMBANG TAHUN

2010-2015 Yaitu :

 Membangun masyarakat Desa Belumbang yang cerdas, sehat dan

religious

 Membangun masyarakat Desa Belumbang yang sejahtera

 Melestarikan dan mengembangkan budaya Lokal

 Meningkatkan Sumber Daya Aparatur Pemerintahan Desa

3.2.5. Desa Batuaji

3.2.5.1. Visi dan Misi

a. Visi

Visi Pernbanguan Desa Batuaji Tahun 2010 – 2014, adalah

Terwujudnya Peningkatan Kesejahtraan Masyarakat Desa Batuaji

Melalui Pembangunan di Segala Bidang yang Menitik Beratkan

pada Sektor Pertanian Dalam Arti Luas.

b. Misi

Misi Pembangunan Desa Batuaji Tahun 2010 – 2014 adalah :

 Memanfaatan potensi desa, terutama sumber daya manusia

sehingga dapat menumbuh kembangkan kesadaran dan

kemandirian dalam pembangunan desa yang berkelanjutan.  Meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat dengan

menggalakan usaha ekonomi kerakyatan, melalui program strategis

di bidang produksi pertanian, pemasaran koperasi, usaha kecil dan

menengah.

 Meningkatkan hasil pertanian dengan peningkatan akses sumber

daya alam dan sumber daya manusia dalam pertanian.

 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia rnelalui program

pendidikan dan program kesehatan masyarakat.

 Membangunan infiasruktur sarana prasarana desa dan pelestarian

lingkungan.

 Meningkatan pelayanan terhadap masyarakat dan meningkatkan

kerjasama antar lembaga pemerintahan di desa serta lembaga adat.

 Menciptakan suasana aman dan tertib di dalam kehidupan

bermasyarakat.

3.2.5.2. Pemerintahan Desa

Secara administratif Desa Batuaji terbagi atas enam Banjar Dinas /

Dusun meliputi:

 Banjar Dinas Pelem Gede

 Banjar Dinas Batuaji Kelod

 Banjar Dinas Batuaji Tengah

 Banjar Dinas Batuaji Kaja

 Banjar Dinas Penulisan

 Banjar Dinas Jangkahan Desa Batuaji berada dalam lingkup Kecamatan Kerambitan. Desa

dengan jarak tempuh 20 menit dari kota kecamatan dan kabupaten ini,

atau sekitar 8 km. Saat ini fasilitas yang ada di Desa Batuaji antara lain

1 (satu) Wantilan Desa, dengan fasilitas lapangan Bulu Tangkis, 2 (dua)

Sekolah Taman Kanak-kanak yang bernaung dibawah yayasan PKK

Desa dengan nama Yayasan Tri Dharma Budaya yang berada di Banjar

Dinas Batuaji Kaja dan satunya lagi di Banjar Dinas Penulisan, 1 (satu)

PAUD yang juga bernaung di bawah Yayasan Tri Dharma Budaya dan

2 (dua) Sekolah Dasar Negeri yaitu SDN 1 dan SDN 2 yang berada di

Banjar Dinas Batuaji Kaja (SDN 1) dan yang satunya di Banjar Dinas

Penulisan, yang didukung oleh 3 (tiga) Banjar Dinas di masing-masing

sekolah Dasar tersebut. Untuk tenaga kesehatan, di Desa Batuaji

terdapat Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di masing-masing Banjar

Dinas dengan kegiatan penimbangan Balita setiap bulan dengan jumlah

Balita yang ada 133 balita dengan rincian gisi buruk 1, baik 132 balita.

3.2.5.3. Kondisi Desa

Kondisi Desa Batuaji sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia

mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal tersebut mempunyai

pengaruh langsung terhadap pola tanam yang ada di Desa Batuaji,

Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan.

3.2.5.4. Sejarah Desa

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang mengacu

pada masa lampau oleh karenanya pemaparan dalam hal sejarah

merupakan penyampaian peran tentang apa-apa yang pernah terjadi

pada masa lampau. Kalau kita soroti dari segi tujuan dalam hal

pemaparan sejarah adalah sebagai bandingan pada masa sekarang dan

sebagai cermin terhadap peristiwa masa yang akan datang. Dalam hal

ini kita berbicara sejarah yang lebih khusus yaitu Sejarah Desa.

Nama suatu desa atau wilayah umumnya mempunyai makna tertentu

yang dimaksudkan untuk mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain

yang dianggap sebagai inpsirasi nama itu diberikan.

Pemberian nama desa atau suatu wilayah khususnya di Bali berkaitan

erat dengan sejarah Raja-raja di jaman dahulu seperti yang sering

dijumpai dalam Babad, lontar ataupun Prasasti.

Sejarah Desa Batuaji yang bersumber dari abad Pemerintahan Raja

(ratu) Kerihin Tabanan yang berpusat pada “Singa Sane Ulun Pangkung

Tabanan” dan diperjelas lagi dari beberapa sepuh Desa, maka sejarah

singkat Desa Batuaji dapat kami tulis dengan maksud agar dikenal oleh

genereasi penerus untuk selanjutnya dikembangkan sesuai dengan data

dan fakta yang ada. Secara singkat sejarah Desa Batuaji dapat diikuti

pada uraian berikut ini :

Bahwa Sejarah Desa Batuaji dimulai dari usaha Raja Tabanan sedang

melakukan upacara yadnya di Pura Luhur Batu Karu dengan diiringi oleh para pepatih dan rakyat seluruhnya melaksanakan upacara pada hari : Kamis Umanis Dungulan.

Diceritakan bahwa upacara menginjak satu bulan kurang satu hari, tepatnya pada hari Rabu Kliwon, Paang pada saat menjelang malam

(Nyaluk Samirana) bahwa Sang Prabu (Raja) tiba-tiba melihat asap menjujung seperti tombak diselatan dari Pura Luhur Batu Karu.

Sebetulnya kalau orang menyaksikan asap tersebut sangat menyenangkan lagi pula indah dan mengesankan. Kemudian dengan timbulnya asap tersebut akhimya Raja berpikir tentang timbulnya asap ditengah-tengah hutan tersebut sudah tentu asap itu adalah Ciptaan Ida

Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa, Baginda bergegas memanggil Patihnya dan bersabda ”Paman Pasek Kebayan, Paman sekarang juga saya utus bersama Paman Pasek Bendsesa dan Pasek

Undagi untuk datang membuktikan asap itu dan kalau memang bisa terbukti selanjutnya supaya paman membukukan (Nyuratan)”

Begitu Sang Parabu (Raja) berkata kepada ketiga paman tersebut seketika itu ketiga Paman sujud kehadapan sang prabu : “Kalau memang titah (perintah) Sang Baginda kami bertiga akan melaksanakannya”

Akhirnya berangkatlah ketiga pepatih dengan sujud kehadapan sang prabu, memohon keselamatan sambil membawa Jumpere (tempat tirta) berisi air dan bunga putih yang merupakan milik Sang Prabu menuju timur dan dijumpai pohon-pohon yang rebah yang disebabkan oleh angin ribut. Mengingat yang dijumpai pohon rebah (bah-bahan) maka mereka berpikir dan berkata kalau nanti tempat ini menjadi Desa maka

Desa tersebut diberi nama Desa Babahan.

Setelah selesai memohon kehadapan Sinuhun, maka perjalanan dilanjutkan kearah selatan, kemudian mereka menjumpai hutan yang sangat lebat (tebal) dan dirasakan oleh ketiga Patih tersebut bahwa tidak akan mungkin bisa menebangi hutan tersebut maka memohonlah kehadapan Hyang Prama Kawi (Tuhan Yang Maha Esa) seketika itu pula hutan menjadi lapang yang pada akhirnya kalau nanti menjadi

Desa, Desa tersebut diberi nama Desa Tebel yang sekarang disebut

Desa Penebel.

Perjalanan terus dilanjutkan kearah selatan dan dijumpai perbukitan

(Munduk) Kembar seperti batas mengingat keduanya merupakan batas yang mereka saksikan maka Sang tiga beristirahat melepaskan lelah sambil berpikir, akhirnya I Pasek Kebayan berkata kepada Sang kalih

(temannya berdua) : “Nah adikku berdua mengingat perbukitan

(Munduk) yang kita saksikan ini seperti batas, kalau nanti ada Desa yang menyebelahinya supaya perbukitan (Munduk) ini menjadi batas dari pada Desa.”

Akhimya lama kelamaan disebelah perbukitan tersebut terdapat Desa dan Desa itu diberi Nama Desa Darma, dan batas tersebut namanya batas Darma.

Kemudian setelah selesai permohonan kepada sasuwunan (Ida

Sanghyang Widhi Wasa), Sang Tiga melanjutkan perjalanan yang dilalui adalah perbukitan (Munduk) yang disebalah barat dan belum begitu jauh perjalanan maka tempat tirta tiba-tiba jatuh (Sangku

Pelinggihne Ulung) berserakan seperti merta. Melihat barang bawaannya jatuh, menjadi hilanglah kesabarannya dan berlinang air mata (Nangis) mengingatkan pada dirinya tentang nasibnya yang buruk, ingin rasanya kembali ke Pura Luhur namun baru meraka ingin beranjak akhirnya bersabdalah Si Nuhun kepada Sang Tiga sebagai berikut : “Nah Paman utusan Bulan Jambe bertiga, jangan hendaknya paman menyesal (menangis) mengingat tugas yang dibebankan, kami sudah memakluminya dan tetapkanlah pada pendirianmu”

Setelah mendengarkan Sabda dari Si Nuhun begitu seketika itu pula

Sang Tiga Sujud Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan permohonan segala apa yang menjadi tujuan semula semoga berhasil dan selanjutnya kembali ketempat (Sangkung ulung) sambil memohon kehadapan Sang Si Nuhun supaya tempat jatuhnya Merta tersebut di jadikan sawah dan Nama sawah tersebut adalah : ..Sangku ulung,,

Demikian pula ditempat sang tiga menangis supaya nanti kalau ada

Desa, Desa tersebut namanya Desa “Ngis”. Perjalanan selanjutnya ke selatan dan sampailah diperbatasan lalu berkatalah I Pasek Bayan kepada Sang Kalih : “Nah adikku berdua sekarang satukan pikiran, ternyata apa yang kita cari, sudah ada tanda bahwa atas Asung Wara

Nugraha ada Sanghyang Prama Kawi kepada kita. Nah sebagai batas keharuman Asep selanjutnya kalau ada nanti menjadi Desa, Desa tersebut dinamai Desa Selat (dados batas keharuman Asep). Selanjutnya Sang tiga melanjutkan perjalanan dan sampailah Sang tiga pada tempat Asep tersebut, ternyata dijumpainya Batu yang dijaga oleh

Ular putih (ular Petak) dengan menyemburkan api dan asap. Batu tersebut berisi tulisan (Ma Surat Batu Muda) disebelahnya tumbuh

Pohon Beringin.

Dengan bukti yang mereka saksikan, kemudian berkata-katalah I Pasek

Kebayan dengan I Pasek Kalih sebagai berikut : ”Nah sekarang adik berdua, kakak sudah jelas dengan permasalahan ini, inilah Batu yang utama tempat Ida Sanghyang Widhi Wasa yang patut disungsung seluruh umat manusia, untuk itu kita satukan pikiran, memohon kepada

Tuhan Yang Maha Esa supaya tempat ini cepat menjadi Desa dan Desa tersebut diberi nama Desa Batuaji karena Batu itu berisi tulisan”.

Setelah selesai permohonan sang tiga, maka dibangun Palinggih (Pura) yang diberi nama “Sad Khayangan Buda Batuaji.”

Diceritakan beberapa lama Sang Tiga mendengar Suara Batu makuruwug disebelah timur yang menusuk perasaan ngeri bagi yang menyaksikan temyata timbul sebuah Gunung dan kembali Sang Tiga memohon kehidupan Si Nuhun supaya Gunung itu tidak jadi, lama- kelamaan Gunung tersebut diberi Nama Bukit Buung.

Dengan sudah terkabulnya permohonan Sang Tiga kembali sang tiga mendengar suara air bah (belabar agung). Namun setelah disaksikan timbullah Danau, dan kembali Sang Tiga memohon, supaya Danau tersebut diliadikan sawah dan sawah tersebut diberi nama subak labak serta Palinggih yang timbul seperti Ulun Danu dijadikan Panyungsungan Subak. Pura tersebut adalah Pura Manik Galik.

Beberapa saat sekembali Sang Tiga mendengarkan serta merasakan

Gempa (Linuh), begitu selesai peristiwa tersebut timbulah air yang jernih seketika itu pula air Danau menghilang kemudian air yang timbul menyebabkan terjadinya sungai yang diberi nama Tukad Nusa (Enu berarti Yeh Tukad Se berarti Suci). Kemudian dengan timbulnya tukad itu, Sang Tiga Memohon supaya tempat itu diisi Pancoran yang dijadikan Taman Beji dari Pura Manik Galih.

Mengingat hari sudah sore dan nampaknya tidak ada lagi yang disaksikan, maka beristirahatlah Sang Tiga ditempat tinggi dan berkatalah l Pasek Bayan dengan Sang Kalih. “Nah sekarang, segala permohonan sudah terkabul dan tujuan kita terpenuhi karena titah Sang

Prabu untuk kemudian apa yang kita saksikan supaya ditulis oleh

Paman Pasek Bendesa.”

Kemudian tempat menulis tersebut, dimohonkan kepada Si Nuhun kalau nanti jadi Desa, Desa tersebut diberi nama Nulisan dan dibangun palinggih yang diberi Nama Saraswati Pasandekan.Setelah segala permohonan selesai kepada Si Nuhun, kemudian kembali Sang Tiga ke

Pura Luhur Batu Karu bertemu dengan Sang Prabu (Raja) dan begitu melihat utusan datang lalu Sang Prabu menyapa dan bertanya : “Nah, sudah paman buktikan segeralah ceritakan pada Baginda.”Baru Raja begitu akhirnya I Pasek Bayan menceritakan penemuan dari awal sampai berakhir bahwa tempat-tempat tersebut semuanya baik (utara) kemudian tulisan yang mereka buat diserahkan kepada Raja. Berkatalah Raja kepada sang tiga : “Nah, kalau memang sudah saking

pencipta Tuhan Yang Maha Esa maka paman bertiga yang bisa

bertanggung jawab (Menek Tuun di pelinggih watu Batuaji) dan kalau

sudah paman disana menetap, upacara yadnya (Piodalan) pada hari

Buda Keliwon paang. Dan yang menjadi Mangku Kahyangan Puseh,

paman Pasek Bayan supaya bertempat di ujung Desa (Desa Serat) dan I

Pasek Bendesa supaya menjadi Mangku Dalem serta yang berkewajiban

mengadakan perbaikan pembangunan dia I Pasek Sangging.”

Diceritakan di Desa Batuaji sudah menjadi Desa serta ada pura dan para

penyungsung sudah banyak lalu di buat Kuburan yang di beri nama

Semo Gede, kemudian para penyungsung membuat Pura Dalem yang

diberi nama pura Dalem Agung dan tumbuh pohon bunut besaar yang

diberi nama Bunut pajeng. Pohon yang berada di Pura Puseh dan Pura

Darem lama kelamaan dijadikan ciri pada saat berpergian.

Demikian sekilas sejarah timbulnya Desa Batuaji untuk dijadikan

pengetahuan bagi kita sekalian dan mohon maaf yang sebesar- besarnya

jikalau ada kekeliruan.

3.2.5.5. Demografi dan Geografis

Kondisi topografi Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten

Tabanan merupakan daerah landai dengan ketinggian 175 meter diatas

permukaan laut curah hujan relatif sedang dengan batas wilayah

administratif sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Desa Kesiut.  Sebelah Timur : Sungai Yeh Nusa.

 Sebelah Selatan : Desa Samsam.

 Sebelah Barat : Sungai Yeh Pangkit.

Luas wilayah Desa Batuaji seluas 441Ha. Yang dipilah menjadi :

 Lahan Pemukiman : 18,821 Ha.

 Lahan Sawah : 143,419 Ha.

 Lahan Tegalan : 139,510 Ha.

 Lahan Perkantoran : 3,510 Ha.

 Lahan lainnya : 135,740 Ha.

Desa Batuaji memiliki jalan sepanjang 14 Km dengan perincian 9 jalan

Kabupaten, 5 km jalan desa. Dengan kondisi beraspal sepanjang 10

Km, beton sepanjang 2 Km, geladag sepanjang 2 km.

Dari segi geografis Desa Batuaji merupakan daerah pertanian dengan luas wilayah 441 Ha sebagian besar adalah persawahan yaitu seluas

143,419 Ha yang pada umumnya ditanami padi, selain itu.daerah ini juga menghasilkan tanaman kebun seperti coklat, kelapa, dan lainnya dengan areal tegalan seluas 139,510 Ha. Selain itu, saat ini di masyarakat juga telah terbentuk kelompok – kelompok tani yang pada akhirnya akan bisa meningkatkan pendapatan masyarakat seperti beberapa kelompok ternak, yang semuanya telah tergabung dalam gapoktan (gabungan kelompok tani).

Dari segi kependudukan jenis pekerjaan masyarakat masih didominasi dari sebagai petani dan buruh, dengan mata pencaharian pokok penduduk Batuaji yaitu Petani 751 orang, Buruh 621 orang, PNS 68 orang, pengerajin 3 orang, pedagang 63 orang, montir 3 orang, Penjahit

7 orang, border 4 orang, PDAM 3 orang, veteran 13 orang, Panti Pijat 1

orang. Saat ini di dusun Jangkahan ada kerajinan pembuatan semat dan

di dusun Batuaji Tengah pembuatan ingka lidi serta di dusun Batuaji

Kaja pembuatan jajan kemudian Batuaji Kelod juga terdapat satu usaha

pabrik penceluban kain dengan tenaga kerja kebanyakan dari wilayah

Desa Batuaji.

3.2.5.6. Keadaan Sosial Relegi Budaya dan Kesenian

Jumlah penduduk Desa Batuaji berdasarkan laporan penduduk pada

tahun 2010, adalah sebanyak 2314 jiwa terdiri dari, 1126 jiwa penduduk

laki-laki dan 1189 jiwa penduduk perempuan, yang terdiri dari 709 KK.

Sedangkan jumlah RTM sebanyak 62 KK RTM.

Struktur penduduk menurut pendidikan menunjukkan kualitas sumber

daya manusia yangada di Desa Batuaji, yaitu yang pada usia pendidikan

dasar (pendidikan dasar dan menengah) yang sedang mengikuti

pendidikan sejumlah 580 orang. Sedangkan yang berusia di atas 16

tahun (di atas usia pendidikan dasar) yang masih mengikuti pendidikan

sejumlah 90 orang.

Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa

sebagian penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor

pertanian dalam arti luas seperti ; pangan, perkebunan, peternakan

sejumlah (44%) dengan petani 925 orang basah dan kering, petemak

sambilan 153 orang sektor perdagangan (29%) dengan jumlah warung 27, tengkulak 7 orang dan sektor lainnya seperti pegawai negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai sektor (27%).

Dari faktor religi, sebagian besar masyarakat Batuaji menganut Agama

Hindu (99,5%). Namun dengan kondisi sekarang, terdapat beberapa persen penduduk yang bergama Islam (0,34%) dan Kristen Protestan

(0,16 %) dikarenakan adanya penduduk pendatang yang mendiami sementara wilayah Desa Batuaji yang bekerja pada sektor buruh batako.

Desa Batuaji memiliki 3 Desa Pakraman yaitu (1) Desa Pakraman

Pelem Gede dengan Banjar Adat Pelem Gede, (2) Desa Pekraman

Pacung dengan Banjar Adat Pacung dan Desa Pakraman Batuaji dengan

4 Banjar Adat yaitu (1) Banjar Adat Batuaji Kelod, (2) Banjar Adat

Batuaji Kaja (3) Banjar Adat Penulisan dan (4) Banjar Adat Jangkahan, dan masing – masing Banjar Adat semuanya memiliki pererem tersendiri.

Dari segi budaya di Desa Batuaji terdapat sebuah Pura yang termasuk

Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Puseh Batuaji, dimana semua pelinggih terdapat batu yang menonjol dari bawah, baik dari pelinggih puseh sampai pesimpangan dan juga yang lainnya dan tidak adanya bangunan

Meru seperti pura puseh pada umumnya.

Menurut sejarah desa, asal mula pura tersebut adalah bermura dari Raja

Tabanan mengadakan upacara di Gunung Batukaru, dimana dari kejauhan dilihat asap putih membumbung tinggi, dan diutuslah patihnya untuk mencari dimana asap putih itu berada, dan dijumpainya Batu yang dijaga oleh urar putih (ula petak) dengan menyemburkan api dan asap. Batu tersebut berisi tulisan (Ma Surat Batu Muda) dan

disebelahnya tumbuh pohon beringin. Karena dilihat Batu itu berisi

tulisan maka Desanya nanti diberi nama Desa Batuaji, dan dibangun

sebuah Pelinggih (Pura) yang diberi nama “Sad Kahyangan Buda

Batuaji” dan lama kelamaan menjadi pura puseh.

Dari segi kesenian di Desa Batuaji memiliki kelompok kesenian yang

berada di Banjar Adat Penulisan dan Banjar Adat Jangkahan yang

memiliki Kelompok Kesenian dengan nama Tri Winangun yang

selama ini tampil pada upacara – upacara adat seperti piodalan di Pura

Dalem Penulisan dan piodalan di Pura Puseh atau tampil di upacara

adat warga. Kelompok kesenian arja ini berdiri pada tahun 2008 dengan

jumlah anggota sekaa 45 orang, yang berawal dari ngiringan sesuwunan

Tapakan Ratu Ayu Mas.

Dalam konteks ketenaga kerjaan ditemukan bahwa 75% penduduk usia

kerja yang didalamnya 62% angkatan kerja dan 13% bukan angkatan

kerja.

Kebudayaan daerah Desa Batuaji, tidak terlepas dan diwarnai oleh

Agama Hindu dengan konsep “Tri Hita Karana”, yaitu berhubungan

seraras, seimbang dan serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

3.2.5.7. Keadaan Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Batuaji, masih lebih cenderung dari hasil

pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah dan lahan kering. Hal ini didukung oleh penggunanan lahan pertanian masih mempunyai

porsi yang terbesar yaitu sebanyak 64% dari total penggunaan lahan

desa. persentase mata pencaharian dari penduduk Desa Batuaji masih

menggantungkan pada sektor pertanian dalam arti luas yaitu lahan

basah dan lahan kering dengan komoditi padi dan sayuran di lahan

basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh, kopi pada lahan kering

(tegalan).

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong econom base dan menonjol

disamping sektor pertanian adalah ; perdagangan, industri rumah tangga

dan pertukangan, pada sektor perdagangan hasil bumi masih bersifat

langsung yaitu antara pemberi dan penjual bertemu langsung tanpa

penjualannya melalui pasar.

Sedangkan sektor industri rumah tangga dan pengolahan termasuk

didalamnya pengrajin ingka lidi, pembuatan jajan upacara, tukang jahit

dan lainnya.

Pada sektor jasa, yang menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi

keuangan mikro berupa : LPD, simpan pinjam perempuan (SPP) dan

pelaku-pelaku ekonomi kelompok sebagai pendukung ekonomi desa.

Hal ini diharapkan akan bisa membawa dampak positif untuk

perkembangan ekonomi desa secara keseluruhan.

3.2.5.8. Potensi Wisata

Secara khusus Desa Batuaji tidak memiliki tempat wisata namun kalau

dilihat dari potensi alam yang ada di Desa Batuaji, sebenarnya ada potensi untuk dikembangkan menjadi wisata alam, dengan pemandangan yang indah dan masih alami dengan sawahnya dan sumber air bersih (pancuran), yang berlokasi di Banjar Penulisan dan

Batuaji Kaja ada potensi untuk dijadikan tempat wisata alam mengingat kedua banjar ini memiliki sumber mata air dan pesona alam yang indah, yang dapat dijadikan objek wisata alam, namun pada saat ini berum bisa dikembangkan karena belum ada pengembang untuk mengembangkan wilayah tersebut walaupun sudah ada sinyal – sinyal kearah itu.

Puri Anyar Kerambitan terletak di Desa Baturiti, Kecamatan

Kerambitan, 7 km dari kota Tabanan. Jarak tempuh ke lokasi ini kira- kira 28 km dari kota Denpasar dan lebih kurang 80 menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai Bali bila menggunakan kendaraan bermotor.

Puri Anyar Kerambitan merupakan istana kerajaaan Tabanan yang dibangun pada abad ke 17 dengan bentuk bangunan berciri khas Bali dan masih terawat baik. Saat ini puri tersebut masih didiami oleh generasi kesembilan dari dinasti kerajaan Tabanan. Terdapat peninggalan purbakala dan lukisan-lukisan terkenal yang dibuat pada saat itu. Puri Anyar Kerambitan terbagi kedalam beberapa pelebahan diantaranya; cangkem kodok, bencingah puri, jaba tengah, tandakan puri, saren agung dan pemerajan agung. Areal suci di Puri Anyar

Kerambitan ini adalah merajan agung dengan dekorasi unik berupa piring-piring kuno yang berasal dari Belanda dan Cina.

Keunikan lain dari puri ini adalah adanya kegiatan pagelaran kesenian

Tektekan, Joged Bumbung, Andir dan Leko yang dilengkapi dengan penyambutan dan penyuguhan santap malam ala puri atau kerajaan sesuai dengan pesanan para tamu yang datang.

Banyak orang terkenal yang datang kesini antara lain; King Hussein,

Prince Bartiel of Sweden, Kurt Waldheim, Mick Jagger, David Bowie.

Ini bisa terlihat dari foto-foto yang terpajang pada ruang tamu puri.

Puri ini berada di area seluas satu setengah hektar. Awal mula dibukanya puri ini untuk mendukung kepariwisataan di Kabupaten

Tabanan tahun 1967. Bermula dari ide bapak Agung Ngurah Oka

Silagunadha (generasi kesembilan Raja Tabanan) membuat program penyambutan dan penyuguhan santap malam kepada tamu yang datang ala tamu kerajaan yang di iringin dengan kegiatan kesenian. Beberapa bulan kemudian setelah puri ini dibuka untuk umum banyak wisatawan lokal maupun asing yang datang mengunjungi Puri Anyar Kerambitan.

Di antara tamu yang datang terdapat kru dari radio BBC London, televisi Perancis, televisi Jepang dan beberapa wartawan dari Eropa.

Sejak saat itu Puri Anyar Kerambitan menjadi populer di manca negara untuk kunjungan wisata, acara budaya dan makan malam.

Masyarakat sekitar pada rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, namun sejak puri ini buka untuk umum berdampak fositif terhadap perekonomian. Fasilitas yang terdapat di area puri; tempat parkir dan toilet, sedangkan untuk akomondasi anda bisa menyewa kamar yang berada dilingkungan puri.

3.3. Puri Anyar Kerambitan

3.3.1. Sejarah

Puri Anyar Kerambitan terletak di Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, berjarak 7 km dari Kota Tabanan atau 28 km dari Kota Denpasar dan capai dicapai dengan waktu 80 menit menggunakan kendaraan bermotor.

Puri Anyar Kerambitan adalah Istana Kerajaan Tabanan yang dibangun pada abad ke XVII menggunakan arsitektur bali dan masih memiliki kondisi yang sangat baik. Puri Anyar Kerambitan saat ini masih dihuni oleh generasi kesembilan. Di Puri Anyar Kerambitan terdapat beberapa artefak dan lukisan kuno yang dibuat pada masa itu.

Puri Anyar Kerambitan terbagi menjadi beberapa bagian, seperti cangkem kodok, bencingah puri, jaba tengah, tandakan puri, saren agung dan pemerajan agung. Kawasan paling suci di dalam istana tersebut adalah merajan agung, yang memiliki dekorasi unik yang terbuat dari lempengan-lempengan kuno yang didatangkan dari Belanda dan Cina. Keunikan lainnya dari istana ini adalah pertunjukan seni Tektekan, Joged Bumbung, Andir, dan Leko termasuk tinggal dan jamuan makan malam sesuai dengan permintaan pengunjung.

Istana ini memiliki luas 1,5 hektar dan pertama kali dibuka untuk kunjungan pariwisata pada Tahun 1967. Pembukaan Puri Anyar Kerambitan sebagai destinasi pariwisata pertama kali diinisiasi oleh Agung Ngurah Oka

Silagunadha (generasi ke Sembilan Raja Tabanan) dengan membuat sejumlah program penerimaan tamu kerajaan dan makan malam kerajaan disertai dengan pertunjukan seni. Beberapa bulan setelah istana dibuka untuk umum, terdapat banyak kunjungan wisatawan lokal dan internasional, diantaranya adalah kru radio BBC London, Perancis dan kru televise Jepang, dan beberapa jurnalis dari

Eropa. Puri Anyar Kerambitan menjadi popular di luar negeri sebagai sebuah destinasi wisata, pertunjukan budayanya dan makan malam kerajaannya.

Masyarakat lokal pada umumnya bekerja sebagai petani. Tetapi setelah istana dibuka untuk umum, terdapat beberapa pengaruh positif terhadap perekonomian masyarakat lokal. Pengunjung dapat menyewa kamar di sekitar istana sebagai akomodasi.

Sejarah Puri Anyar Kerambitan dimulai dari menyerahnya Kerajaan Bali

Kuno “Bedulu” kepada Kerajaan Majapahit (Jawa), Pulau Bali kemudian diperinta oleh kerajaan dari Majapahit. Hal tersebut terjadi pada abad ke XIII. Bali dibagi menjadi depalan wilayah yang kemudian menjadi delapan kerajaan dan sekarang menjadi delapan kabupaten di Provinsi Bali. Salah satu dari delapan kerajaan tersebut adalah Tabanan yang terletak di barat daya Pulau Bali.

Selama kekuasaan Raja Tabanan ke XII, bernama Ida Cokorda Mur Pemade Ratu

Singhasana Tabanan, dia tidak memiliki anak dan bahkan ketika raja menjadi tua yang terjadi pada abad ke XVI. Raja begitu sedih dan kemudia raja melakukan sumpah janji sampai dia diberikan anak, dan anak pertama yang lahir akan menjadi raja masa depan.

Pada akhirnya, raja dikarunia seorang anak yang diberi nama Sira Arya

Ngurah Sekar, yang lahir dari seorang ibu berkasta rendah (”pendawing”) bernama Mekel Sekar. Anak laki-laki tersebut kemudia tumbuh sebagai raja ke

XIII Kerajaan Tabanan dengan gelar Ida Cokorda Di Sekar sesuai dengan janji ayahnya. Segera sesudahnya, raja kemudian dikarunia lagi anak laki-laki lainnya yang lahir dari permaisurinya Gusti Ayu Wayan Gede (“Padmi”). Dia dimahkotai sebagai pangeran Kerajaan Tabanan bernama Sira Arya Ngurah Gde. (Kemudian raja meninggal dengan damai).

Karena dia dimahkotai sebagai seorang pangeran tetapi tidak memiliki jabatan resmi dan juga karena berbagai alasan lainya, Sira Arya Ngurah Gde kemudian dikirim keluar oleh saudara laki-lakinya, sang raja, ke lereng gunung

Batukaru sebelah utara dan tibia di desa Banjar (dekat Kota Singaraja saat ini), kemudia tinggal di sebuah rumah pendeta suci selama berbulan-bulan sampai kemudian sekelompok pencari yang dikirim oleh raja menemukannya disana.

Sira Arya Ngurah Gde tidak ingin pulang ke rumah, jika saudara laki-lakinya tidak memberinya sebuah wilayah di wilayah tabanan. Raja merasa bahagia dan kemudian memberiknya setengah dari Kerajaan Tabanan untuk dirinya dan bahkan membangunkannya sebuah istana yang sangat miri dengan istana raja.

Kemudian, Sira Arya Ngurah Gde pergi ke barat daya Bali, sesuai dengan nasehat dari pendeta suci yang mengatakan : Ketika asap muncul dari bumi dia harus berhenti dan menetap disana; Sira Arya Ngurah Gde kemudian menemukan sebuah kawasan “Rawit” (“Rawit” berarti cantik beautiful). Tiba-tiba dia melihat sebuah asap besar muncul dari bumi dan dia memutuskan untuk berhenti dan tinggal di kawasan “Rawit” tersebut (Rawit menjadi KERAWITAN yang kemudian menjadi KERAMBITAN dan menjadi nama desa tradisional

Kerambitan). Kawasan ini tidak terlalu jauh dari Kabupaten Tabanan.

Pada masa kekuasaannya, Sirarya Ngurah Gde diberi gelar: Cokorda

Dibanjar. Di wilayah baru yang disebut Kerambitan, dimana istana tersebut terletak, istananya disebut Puri Gde Kerambitan. Dia memerintah dengan bijaksana dan dicintai oleh masyarakatnya – damai dan aman.

Generasi berikutnya, putera mahkota Prince Sirarya Ngurah Made Dangin, yang disebut dengan nama Cokorda Ngurah Made Dangin, membangun Puri Anyar

Kerambitan (Puri = Istana, Anyar = Baru). Sehingga Puri Anyar Kerambitan lahir sebagai sebuah istana baru di abad ke XVII di Desa Kerambitan.

Puri Anyar Kerambitan membuka Kori Agungnya untuk tamu-tamu kehormatan dan kunjungan wisatawan pada Tanggal 4 Juli 1967.

Sejak Undang-Undang Reformasi Lahan yang baru diterapkan di

Republik Indonesia pada Tahun 1961, Bali merupakan salah satu dari 27 Provinsi yang menerimanya tanpa pengecualian. “Reformasi Lahan” adalah sebuah undang-undang untuk membatasi kepemilikan lahan sebuah keluarga (satu keluarga hanya boleh memiliki hanya 5 hektar). sehingga Puri Anyar Kerambitan yang memiliki lahan seluas ± 300 hektar harus meredistribusikannya ke warga desa.

Sejak Tahun 1961, Puri Anyar Kerambitan dan istana-istana lainnya di

Pulau Bali memiliki sedikit property yang dikelola oleh sedikit orang yang bekerja untuk istana. Oleh karena itu, kepala keluarga sebagai generasi ke IX Puri Anyar

Kerambitan, Anak Agung Ngurah Oka Silagunadha (yang lebih suka dipanggila

Bapak Oka),mengalami kesulitan bagaimana melestarikan dan melindungi istana khususnya dalam mengelola dan mengorganisasi begitu banyaknya bangunan, upacara-upacara tradisional dan kesulitan-kesulitan lainnya yang muncul. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya lahan produktif dan dukungan masyarakat.

This was due to limited productive land and supporting people. Suatu hari pada Bulan Maret 1967, Bapak Oka mendapatkan sebuah inspirasi (atau mimpi), dan kemudian dia merekonstruksi cerita masa lalu nenek moyangnya untuk menerima tamu kerajaan. Dia kemudian menciptakan sebuah orkestra tradisional unik

TEKTEKAN sebagai sebuah pertunjukan kerajaan.

Kemudian dia mulai mengkobinasikan aktivitas-aktiitas tradisional kerajaan dan makan malam dengan drama TEKTEKAN yang unik dalam sebuah program yang disebut “Royal Reception” atau “Cultural Evening”. Pada Bulan

Juli 1967 dia membuka “Kori Agung” Puri untuk menerima pengunjung untuk pertama kalinya (“Kori Agung” berarti gerbang utama istana).

Beberapa bulan kemudian banyak pengunjung dan orang-orang dari luar negeri dating mengunjungi Puri Anyar Kerambitan dengan kamera mereka. (ada tim dari B.B.C. London, televise Perancis television, Televisi Jepang, Jurnalis dari

Eropa dan lainnya).

kemudian, banyak VIPs dari pemerintahan seperti perwakilan King

Hussein dari Yordania, perwakilan Perdana Menteri Fukuda dari Jepang, Menteri dan Duta Besar dari luar negeri, Pangeran Bartil dari Swedia, dan selebriti- selebriti kelas dunia seperti Mick Jagger dan keluarga family, David Bowie, Super

Tramp (grup musik ), Jodi Setiawan, WS Rendra, delegasi walikota-walikota dari

Negara-negara Asean Pasific, delegasi konferensi dari dalam dan luar negeri,dll.

Program tersebut sangat didukung oleh masyarakat desa di sekitar istana sehingga seniman, penari-penari dan orkestra desa untuk bergabung dan berpartisipasi dalam program. Oleh karena itu masyarakat desa kembali ke Puri

Anyar Kerambitan seperti yang diinginkan oleh Kepala Keluarga: Bapak Oka.

Baik masyarakat desa dan keluarga puri menciptakan kolaborasi dan sinergi tanpa batas untuk menjaga dan melestarikan atmosfere, tradisi dan hubungan yang harmonis antara puri dan masyarakat desa.

Sejak Puri Anyar Kerambitan terkenal sebagai tempat kunjungan wisatawan, event budaya seperti makan malam kerajaan dan pernikahan kerajaan, puri tidak memerlukan lagi lahan dan sawah yang besar lagi.

3.3.2. Seni dan Budaya

Tari bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya dan perwatakan dari masyarakatnya tercermin dalam tari. (I Made Bandem, 1983).

Menurut struktur masyarakatnya, seni tari bali dapat dibagi menjadi 3 (Tiga) periode yaitu:

a. Periode Masyarakat Primitif (Pra-Hindu) (20.000 S.M-400 M)

b. Periode Masyarakat Feodal (400 M-1945)

c. Periode Masyarakat modern (sejak tahun 1945)

Daerah Kerambitan terkenal karena kesusastraan klasik mereka, Tari

Legong, lukisan bertemakan , ukiran baik batu maupun kayu dan tektekan

(semacam orkestra tradisional) yang dipercaya mempunyai kekuatan magis. Di tempat ini juga msih terdapat bangunan-bangunan kuno dari abad ke 17. Bagunan tersebut berupa semacam istana yang oleh masyarakat setempat disebut puri, Puri

Gede dan Puri Anya yang bisa menjadi tujuan wisata budaya Anda . Juga terdapat sebuah pura dari jaman neolithicus yaitu Pura Ulun Desa, Anda bisa bertanya jalan pada penduduk di sana.

Salah satu daya tarik Puri Agung Kerambitan adalah Tektekan.

Gamelan tektekan pada khususnya berfungsi untuk mengusir bhuta kala pada saat masyarakat merasakan desa sedang grubug, yang artinya desa sedang dilAnda penyakit non medis dan juga pada hari Pengrupukan, ritual ini menjadi budaya masyarakat kerambitan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Dalam menabuh gamelan tektekan ini siapapun boleh menyuarakannya, dalam arti tidak terikat oleh keanggotaan sekaa.

Tektekan lebih mirip prosesi dari pesta dansa, sekelompok orang yang membawa drum split bambu dan cowbells raksasa di leher mereka bermain untuk menakut-nakuti roh jahat setiap kali kekeringan, epidemi atau wabah hits desa.

Akhirnya seluruh orkestra jatuh ke trance, dan dipersenjatai dengan pisau keris mereka menyerang penyihir Rangda jahat. Waktu terbaik untuk melihat tektekan adalah saat eksorsisme, sehari sebelum Nyepi (tahun baru Bali), acara-acara khusus lain atau pada kedatangan kelompok besar wisatawan. Pada awal dan akhir sebuah tektekan darah seekor ayam atau bebek harus dikorbankan.

Dalam Puri Agung Kerambitan, istana terbesar, Anda dapat menikmati kebun damai dan beberapa bangunan asri dan menarik ditutupi oleh porselen Cina dan Belanda. Ada candi di sini dengan kuburan keluarga, satu untuk setiap generasi, juga dijamin dengan porselen. Beberapa selebriti telah mengunjungi objek wisata budaya ini dan memiliki gambar mereka di dinding, seperti Raja

Hussein, Kurt Waldheim, David Bowie dan Mick Jagger.

Kondisi Geografis

3.3.2.1. Tektekan

Presentasi saya kali ini masih dalam lingkup karawitan Bali, yaitu mengenai musik Bali yang memiliki keunikan dan struktur tersendiri yang merupakan suatu warisan nenek moyang dan orang-orang terdahulu yang mengalami suatu kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah sehingga mempengaruhi kebiasaan dan kebudayaan generasi penerusnya termasuk peninggalan berupa Artefact kebudayaan. salah satu artifact kebudayaan yang dimaksud adalah „tektekan‟. Tektekan dilihat dari etimologi atau asal mula terbentuknya suatu kata, tektekan berasal dari kata „tek‟ yang merupakan bunyi yang dihasilkan oleh instrument sederhana dari bamboo yaitu „kulkul‟ dimainkan dengan cara dipukul dan menghasilkan suara „tekk‟lalu di jadikan kata benda menjadi TEKTEKAN.

Tektekan merupakan salah satu kesenian karawitan khas dari daerah tabanan yaitu tepatnya di daerah/kecamatan kerambitan, kesenian tektekan pada awal mulanya merupakan suatu ritual atau upacara yang bertujuan untuk mengusir dan menetralisir bala dan wabah penyakit di desa kerambitan tabanan karena menurut informasi yang saya peroleh, pada tahun 1920 warga kerambitan tabanan mengalami musibah grubug/penyakit non medis, yang konon disebabkan oleh mahluk halus, banyak menelan korban dan tentu saja masyarakat pada waktu itu merasa hawatir, untuk mengurangi rasa takutnya masyarakat berbondong- bondong keluar rumah dan sengaja untuk membuat kegaduhan dengan membunyikan barang-barang bekas yang tidak terpakai.

Sepuluh tahun setelah peristiwa tersebut tepatnya pada tahun 1930 masyarakat kerambitan kembali mengalami musibah serupa, dan mencoba berbagai cara untuk menghilangkan wabah penyakit itu termasuk melakukan upacara ritual mecaru dan kembali membunyikan alat-alat yang bersuara keras, mulai saat itulah kulkul di buat. Selanjutnya setelah tahun 1965 tektekan akhirnya menggunakan ceritra

Calonarang yang disesuaikan dengan sifat awal terciptanya Tektekan sebagai upaya pengusiran roh jahat yang berhubungan dengan bhuta kala kemudian dengan mengarak Barong dan Rangda mengelilingi desa, kegiatan seperti ini rutin dilakukan terutama pada hari pengerupukan yaitu sehari sebelum hari Nyepi dengan diikuti segenap warga masyarakat Desa Kerambitan. Adapun instrument yang dipergunakan dalam barungan tektekan adalah dua buah kendang, sebuah kecek, suling, kajar,sepasang gong, serta kulkul yang berjumlah banyak(bebas)

Seiring berjalannya waktu Tektekan berkembang menjadi suatu seni pertunjukan yang dipentaskan demi kebutuhan pariwisata budaya di desa kerambitan, disaksikan oleh tourist domestik maupun mancanegara.

Upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus, sudah sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan, khususnya oleh krama subak di wilayah desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan, kabupaten

Tabanan. Mengingat wilayah di desa ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana maupun tidak rutin

(Nabgata Kala) seperti Ngalepeh dan Mreteka Merana.

Upacara Mreteka Merana/Ngaben bikul ini oleh beberapa subak di Bali belum memasyarakat sekali walaupun krama subak di wilayah desa pekraman

Bedha sudah sering melakukannya, sehingga upacara ini dianggap sebagai Loka

Dresta (kebiasaan setempat) apalagi upacara ini dilaksanakan ditempat suci yaitu di penataran Baleagung Pura Puseh Luhur Bedha, namun dilihat dari hasilnya setelah upacara ini dilaksanakan ternyata telah memberikanh bukti nyata bagi kehidupan para petani.

Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata

Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi. Pelaksanaan upacara ini sesuai dengan isi lontar (kitab) seperti lontar Sri

Purana dan lontar Dharma Pemacula yang menyebutkan Kapreteka, sama luirnya mretekaning wong mati bener artinya diupacarai seperti mengupacarai orang mati.

Oleh karena itu, pandangan masyarakat awam pada akhirnya mengkonotasikan upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben

Tikus) karena upacaranya seperti orang ngaben di Bali yang membawa Cuntaka

(tidak suci). Pandangan seperti ini hendaknya perlu diluruskan. Untuk lebih jelasnya, bahwa upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Bhuta

Yadnya (mengupacarai sarwa prani) . Bhuta Yadnya adalah upacara yang tidak membawa cuntaka (tidak suci) . Untuk upacara Bhuta Yadnya ada bermacam- macam seperti memakai layang-layang (kulit binatang) ada yang ditanam ada binatang yang diselamkan di laut atau didanau, yang namanya mulang pekelem termasuk di upacarai seperti orang mati yang namanya mreteka merana.

Menurut Lontar Sri Purana dan Dharma Pemaculan, Preteka ring Bale

Agung, gesengeng ring tepining samudra, “artinya upacarai di pura Bale Agung dan di bakar di tepi laut”, maka untuk di desa Pekraman Bedha upacara mreteka merana ini dilaksanakan dipenataran Bale Agung Pura Luhur Bedha dan pembakarannya dilasngungkan di pantai Yeh Gangga.

Di desa pekraman Bedha upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan. Upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. Itulah sebabnya berdasarkan kesepakatan krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang terdiri dari subak Gubug I, subak Gubug II, subak

Sakeh, subak Tanah Pegat, subak Lanyah Wanasara, subak Bengkel dan

Pangkung Tibah yang luasnya 900 Ha melaksanakan upacara Mreteka Merana.

a. Tata cara Pelaksanaan Upacara Mreteka Merana

Sesuai dengan isi lontar Kerti Cama dan lontar Purwana Yama

Tatwa, tata cara pelaksanaannya sebagai berikut, memakai

perwujudan badan wadan wadag (awak awakan) yang disebut sekah,

terdiri dari belulang (kulit tikus) . Ini yang diupacarai (diringkes)

yang pelaksanaannya seperti mengupacarai orang mati. Oleh karena

dalam upacara ini kita menggunakan kulit tikus, sudah barang tentu

tikus itu, sebelum upacara kita bunuh. Pembunuhan ini dibenarkan

oleh lontar Purwana Yama Tatwa, asal pembunuhan itu tidak

menggunakan senjata tajam (Haywa pinatian dening sanjata

malandep, apan hilang gunaning sanjata ika, lan ngawe tuaken

cuntaka ). Sebab ketajaman senjata itu akan hilang dan menyebabkan cuntaka (tidak suci) Pembunuhan supaya dilaksanakan

dengan cara mengikat , dijepit dengan belatung dan duri duri

kemudian dibuang ditengah laut.

Sesuai dengan isi lontar Usada Sawah , perwujudan badab wadag

(awak awakan) sekah itu terdiri dari 5 buah karena tikus itu adalah

penjelmaan ari-ari, darah , yeh nyom (air ketuban) dan lamad.

Ari0ari, tikus kuning, darah tikus merah, air ketuban tikus hitam

Lamas tikus putih dan ada lagi tikus mancawarna (berwarna lima)

Kulit tikus itu yang dipakai perwujudan badan wadag (pengawak) . b. Waktu Pelaksanaan Mreteka Merana

Sesuai dengan isi lontar Purwana Yama Tatwa, tata cara

mengupacarai tikus itu adalah pada saat bertepatan dengan bulan

tikus (kapreteka nangken rasi tikus). Kalau tidak diupacarai ia akan

manjadi hama memakan tanaman, semua tanaman petani milik

petani, oleh karena tikus dan hama lainnya, lahir dari manusia yang

berprilaku yang tidak baik (wang apakrama). Cara mengupacarai

sama seperti mengupacarai manusia yang sudah mati (Preteka

luirning wong mati bener). Untuk di Desa Pekraman Bedha, upacara

ini dilaksanakan apabila hama tikus dan lainnya sudah tidak bisa

dikendalikan.

3.3.2.2. Okokan

Okokan adalah salah suatu alat musik bunyi-bunyian yang pada

umumnya terbuat dari bahan kayu yang dilobangi hampir menyerupai

kentongan, tetapi didalamnya diisi pemukul yang disebut palit.

Kesenian okokan ini terdiri dari beberapa alat musik tradisi yang diambil

dari alat-alat yang dipakai para petani seperti : Okokan yaitu kalung

keroncongan sapi, Teng-Teng yaitu bekas cangkul petani,

dan Kulkul yaitu alat yang dipakai untuk menghalau burung atau

tetengeran di ladang oleh petani. Okokan ini akan mengeluarkan irama

tertentu jika diayun-ayunkan.

Banjar Belong, Desa Baturiti Kerambitan,Tabanan, 2km kearah utara

dari Pasar Kerambitan. Desa yang masih asri dengan berbagai

tanamannya, jauh dari kesan polusi, disinilah lahir okokan pertama yang

lahir dikecamatan Kerambitan. Berawal dari tradisi agraris secara turun

temurun dari para tetua atau para leluhur, maka alat musik ini sudah

merupakan bagian dari kehidupan petani tradisional di Banjar Belong.

Untuk mengisi waktu saat menunggu musim panen, para tetua terdahulu

membuat alat musik okokan dalam ukuran yang cukup besar.

Okokan ini tidak dipasang pada binatang piaraan, tetapi dikalungkan

langsung pada leher orang dan di ayun-ayunkan, kegiatan ini biasanya

diperagakan untuk upacara tertentu dan menghibur diri sambil menunggu

musim panen tiba. Okokan ini dimainkan untuk mengusir wabah, sesuai

kepercayaan bahwa wabah yang menyerang itu disebabkan oleh mahluk

halus, maka harus diusir dengan membunyikan alat-alat yang menghasilkan bunyi, maka digunakanlah okokan dengan dimainkan oleh beberapa orang untuk mengusir wabah.

Ritual ini disebut Ngerebeg, Untuk menambah sakral ngerebeg, maka okokan ini diiringi dua buah kendang, yang disebut kendang gede.

Kendang gede ini dibuat kira-kira tahun 1917 selanjutnya kendang gede inilah yang dipercaya warga Banjar Belong diyakini memiliki kekuatan magis. Secara religious alat ini juga dipakai untuk mengusir roh-roh jahat, terbukti setiap sehari sebelum Hari Raya Nyepi alat ini dipakai untuk ngerebeg keliling desa. Sehingga sampai sekarang alat ini selalu dipakai untuk sarana pengerebegan baik saat-saat ada upacara mecaru agung seperti mebalik sumpah maupun acara agama lainnya.

Lambat laun okokan bukan hanya digunakan untuk hal yang berkaitan dengan acara ritual, tetapi juga pada kegiatan-kegiatan seperti acara keramaian, lomba desa, 17 agustusan, penyambutan pejabat, pementasan di hotel-hotel untuk menghibur para tamu yang ingin menikmati kesenian tradisi serta event-event di tingkat provinsi maupun kabupaten seperti

Pentas Kesenian Bali, Parade Senja dan sebagainya. Okokan ini pertama kali ditampilkan secara komersial pada bulan Juni 1991, di Hotel Putri

Bali di Nusa Dua, pementasan pertama kalinya ini mendapat sambutan yang sangat meriah dari wisatawan mancanegara.

Jumlah instrument dari barungan okokan yaitu ada 30 buah,1 kendang dan 1 kajar. Personil dari barungan okokan tergantung dari barungan instrument itu sendiri. Repertoar lagu yang sering dimainkan seperti gamelan baleganjur. Gambelan okokan juga dilengkapi alat-alat musik Bali lainnya untuk menambah indah dan uniknya suara okokan, antara

lain gong, kendang, tawa-tawa, dan lain-lainya. Dalam pementasan

kesenian okokan mengambil cerita Cupak, dimana diceritakan di suatu

wilayah terkena bencana gering karena ulahnya Garuda. Okokan dipakai

warga untuk ngerebeg, dan berkat bantuan Cupak, Garuda bisa

dikalahkan sehingga wilayah itu menjadi aman dan tentram. Okokan juga

biasanya dipentaskan di Puri Agung Kerambitan dan Puri Anyar

Kerambitan sebagai hiburan untuk wisatawan mancanegara.

3.3.2.3. Tari Rejang

Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara masal,

gerak-gerik tarinya sangat sederhana (polos) yang biasanya ditarikan di

Pura Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara. Tarian ini

dilakukan dengan penuh rasa hidrat, penuh rasa pengabdian kepada

Bhatara Bhatari. Para penarinya mengenakan pakaian upacara, menari

dengan berbaris melingkari halaman Pura atau Pelinggih yang kadang

kala dilakukan dengan berpegangan tangan. Tari Rejang di beberapa

tempat juga disebut dengan Ngeremas atau Sutri.

Jenis-jenis tari Rejang antara lain : Rejang Renteng, Rejang Bengkel,

Rejang Ayodpadi, Rejang Galuh, Rejang Dewa dan lain-lainnya. Di desa

Tenganan terdapat tari-tari Rejang Palak, Rejang Membingin yang

kemudian dilanjutkan dengan Rejang Makitut dan Rejang Dewa. Tari

Rejang di Tenganan diiringi dengan gambelan Selonding yang biasanya

dilakukan dalam suatu upacara yang disebut Aci Kasa. 3.3.2.4. Tari Baris

Tari baris berasal dari kata Babarisan yang dapat diartikan pasukan.

Disamping merupuakan tari kepahlawanan tari baris juga merupakan

tarian upacara yang ditarikan oleh sejumlah penari laki laki, antara 4 (

empat ) sampai 40 ( empat puluh ) penari bahkan lebih. Beberapa jenis

baris yang ada di Bali antara lain:

a. Baris Ketekok jago : Baris yang membawa senjata tombak poleng (

tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih ) biasa

dipertunjukkan untuk upacara Manusa Yadnya ( Ngaben ) dan

diiringi dengan gambelan gong. Baris ini banyak dijumpai di Daerah

Badung dan Singaraja disebut Baris Badung.

Baris Tombak : Baris yang mempergunakan senjata tombak,

ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya dan diiringi dengan Gong.

Baris ini banyak dijumpai di Daerah Badung, Bangli dan Gianyar.

b. Baris Poleng : Semacam Baris Ketekok jago. Baris Dadap Baris

yang membawa senjata dadap ( semacam prisai ) yang biasa

dipentaskan untuk upacara Dewa Yadnya. Di Tabanan ini berfungsi

sebagai sarana upacara Pitra Yadnya. Baris Dadap banyak dijumpai

didaerah Bangli, Singaraja Gianyar dan Tabanan.

Baris Presi : Baris yang senjatanya dinamakan Presi, berfungsi

sebagai upacara Dewa Yadnya. Baris Pendet Baris yang merupakan

sarana upacara tombak yang panjang, terdapat di daerah Bangli,

Gianyar dan Nusa Penida (Klungkung). c. Baris Gayung : Baris yang didalamnya tariannya membawa gayung

atau cantil ( alat untuk membawa Air Suci ).

d. Baris Demang : Baris yang perannya mendapat pengaruh ,

mempergunakan senjata pedang dan lain-lainya. Baris ini terdapat di

daerah Singaraja.

e. Baris Cerekuak : menggambarkan gerak gerik burung Cerekuak

dengan busana yang sangat sederhana (Babuletan), hiasan kepalanya

dibuat dari daun-daunan seperti tarian Dayak di .

3.3.2.5. Tari Kraton

Legong adalah salah satu tari Bali yang terkenal di dunia pariwisata Bali.

Bahkan tarian ini sudah banyak dimainkan di negara – negara lain. Dari

semua tarian klasik Bali, Legong tetap menjadi intisari feminitas dan

keanggunan. Kata Legong berasal dari kata “leg” yang berarti gerak tari

yang luwes atau lentur, “gong” berarti gamelan; “Legong” dapat

diartikan sebagai gerak tari yang terikat oleh gamelan yang

mengiringinya.

Konon ide awal dari Tari Legong berasal dari seorang pangeran dari

Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis

menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika

sang pangeran sembuh dari sakitnya mimpi tersebut dituangkan kedalam

tarian dengan gamelan lengkap. Tari Legong ditarikan oleh 2 orang

penari anak – anak yang belum puber (14 tahun-an), namun pada

beberapa Tari Legong terdapat seorang penari tambahan yang disebut dengan yang tidak dilengkapi dengan kipas; selain itu juga pada beberapa tempat Tari Legong ini ditarikan oleh wanita dewasa.

Terdapat sekitar 18 tari Legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar, Badung, Denpasar dan Tabanan; misalnya Tari Legong

Kraton (Lasem), Tari Legong Jobog, Tari Legong Legod Bawa, Tari

Legong Kuntul, beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa

Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir).

Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.

Salah satu Tari Legong yang paling terkenal adalah Legong Kraton

(Lasem), pada Tari Legong ini seorang penari (condong) akan muncul pertama kali, kemudian menyusul 2 orang penari (legong). Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji(abad ke-12 dan ke-13, masa kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang termasuk kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculik putri tersebut. Sang putri menolak pinangan sang Adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri yang merupakan kakak dari putri Rangkesari menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, sang Adipati Lasem harus berperang menghadapi serangan burung garuda, dan ia berhasil lolos. Namun akhirnya ia meninggal dalam perang melawan raja Daha.

3.3.2.6. Tari Barong

Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah

kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan antara

kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud kebajikan

dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum binatang berkaki

empat, sementara wujud kebatilan dimainkan oleh Rangda, yaitu sosok

yang menyeramkan dengan dua taring runcing di mulutnya.

Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau Bali, di

antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong Macan, Barong

Landung. Namun, di antara jenis-jenis Barong tersebut yang paling

sering menjadi suguhan wisata adalah Barong Ket, atau Barong Keket

yang memiliki kostum dan tarian cukup lengkap.

Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara singa,

harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit,

potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat

daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru

bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala

dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang

memainkan kaki belakang dan ekor Barong.

Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang

biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang

dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara

Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti, Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para pengikut Rangda.

Macam-macam Tari Barong : a. Barong Ket

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling

banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki

pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket

ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma.

Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit,

ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari

perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada

pula dari bulu burung gagak. b. Barong Bangkal :

Bangkal artinya babi besar yang berumur tua, oleh sebab itu Barong

ini menyerupai seekor bangkal atau bangkung, Barong ini biasa juga

disebut Barong Celeng atau Barong Bangkung. Umumnya

dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) oleh dua orang

penari pada hari-hari tertentu yang dianggap keramat atau saat

terjadinya wabah penyakit menyerang desa tanpa membawakan

sebuah lakon dan diiringi dengan gamelan batel / tetamburan. c. Barong Landung

Barong Landung adalah satu wujud susuhunan yg berwujud manusia

tinggi mencapai 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan barong

ket yg sudah dikomersialisasikan. Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan

umat. Barong Landung banyak dijumpai disekitar Bali Selatan, spt

Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan.

d. Barong Macan

Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan

termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali.

Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi

dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan

batel.

3.3.2.7. Oleg Tamulilingan

Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan tambulilingan

berarti kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg Tambulilingan

melukiskan gerak-gerik seekor kumbang, yang sedang bermain-main dan

bermesra-mesraan dengan sekuntum bunga di sebuah taman. Tarian ini

sangat indah.

Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan

Mangisep Sari, merupakan ciptaan I Ketut Mario dari Tabanan pada

tahun 1952 atas permintaan John Coast (dari Amerika).

Tari Oleg Tambulilingan yang diraciknya pada tahun 1951 hingga kini

senantiasa abadi. Remaja putra dan putri selalu bermimpi untuk bisa

menarikannya dengan sempurna. Selain sebagai simbol romantisme laki-

perempuan, gerak tari Oleg juga mengandung karakter keindahan yang

khas Bali. Foto-foto Oleg selalu menghiasi majalah, iklan penerbangan, iklan bank, billboard pinggir jalan dan media lain yang ingin melukiskan

khasnya keindahan Bali. Namun tidak banyak yang tahu awal mula

koreografer I Mario menciptakan tari ini, apalagi mengetahui stil

gerakannya yang asli. Untuk mengenal Mario, Disbudpar Tabanan

menggelar Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar Terompong se-

Bali, 25-27 Maret lalu, di Gedung Mario Tabanan.

3.3.2.8. Sendratari

Sendratari ini termasuk tarian yang sering saya tarikan. Sendratari ini

adalah karya I Wayan Beratha yang diciptakan pada tahun 1965.

Sendratari ini banyak memakai busana pewayangan Bali dengan

pengolahan pada beberapa bagiannya. Cerita yang diambil dalam

sendratari Ramayana ini biasanya bermula dari pengembaraan Rama,

Sita dan Laksmana ditengah hutan Dandaka, munculnya Kijang Emas,

dilarikannya Sita oleh Rahwana, perang Rahwana dengan Jatayu,

Hanoman menghadap Rama, Hanoman diutus ke Alengka dan berakhir

dengan kembalinya Dewi Sita kepada Rama. Selain diiringi dengan Gong

Kebyar sendratari ini juga dilengkapi dengan gerongan dan tandak oleh

dalang.

Ada dua jenis sendratari Ramayana, kecil dan besar, yang pernah ada di

Bali. Sendratari Ramayana kecil biasa disebut

mempunyai durasi pentas sekitar satu jam dan dimainkan oleh antara 11-

20 orang penari. Kisah yang dibawakan merupakan cuplikan dari bagian-

bagian cerita Ramayana yang tersebar didalam 7 kanda, dimulai dari diculiknya Dewi Sita oleh Prabu Dasamuka dan berakhir dengan

gugurnya raja Alangka ini. Yang termasuk sendratari yang sering saya

tarikan bisa di bilang sendratari Ramayana kecil.

Sendratari Ramayana besar yang biasa disebut sebagai sendratari

Ramayana kolosal adalah yang berdurasi sekitar 2-3 jam dengan

pendukung yang berjumlah ratusan orang dengan melibatkan sedikitnya

2 barung gamelan. Sendratari ini biasanya difokuskan pada satu dari ke

tujuh kanda yang ada dalam kisah Ramayana.

3.3.2.9. Tari Janger

Janger barangkali lebih muda dibandingkan Cak. Tetapi, saya tak tahu

persis, belum pernah menemukan buku tentang sejarah Janger. Kalau

drama tari Gambuh, sudah terbit buku dengan editor Maria Cristina

Formaggia. Ini buku tentang Gambuh yang paling lengkap. Gambuh

diperkirakan sudah ada pada abad XIV dan terus mengalami evolusi

sampai abad XVII. Bentuk tarinya kemudian mengalami ”balinisasi” di

abad XIX sampai abad XX. Lalu, ini yang menyedihkan, Gambuh nyaris

mati di abad XXI ini.

Bagaimana dengan Janger? Janger Kedaton berusia 100 tahun. Itu berarti

Janger sudah berusia seabad lebih, dan kita tidak tahu apakah usia

sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada penelitian ke arah itu,

termasuk bagaimana evolusi Janger dari abad ke abad. Bahwa di Banjar

Kedaton telah ada Janger sejak tahun 1906 dan terus dipelihara dari

waktu ke waktu tentu merupakan prestasi tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa di Bali umumnya dikaitkan dengan hal-hal mistis. Janger

Kedaton pun demikian. Masyarakat boleh beralih profesi, tetapi kesenian tetap dipertahankan karena dipayungi oleh hal-hal mistis dan sakral.

Perjalanan Janger ini menjadi sisi menarik yang layak didokumentasikan.

Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami perubahan yang sama dengan Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.

Janger yang ”tradisional”, meski belum ada penelitian tentang itu, bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi.

Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria () menari dan bernyanyi bersahut-sahutan tentang kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan menjurus ke rayuan. Semuanya dilakukan dengan riang gembira.

Mungkin keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari

Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan

perkembangan dari paduan suara wanita.

3.3.2.10. Baris Kurkwak, Baris Basang Gede, Dan Baris Dadap

Pada jaman kerajaan di Bali pada umumnya upacara keagamaan

merupakan suatu upacara yang disakralkan. Salah satunya seperti upacara

Ngaben yang telah tercatat dalam memorandum dunia.

Pada prosesi karya Pitra Yadnya pada tingkatan madyaning utama,

biasanya beberapa acara atau proses sakralisasi merupakan rangkaian

yadnya seperti; mareresik, muspa, dan tarpanasaji. Sehari sebelum layon

(mayat) di kremasi di rudrabhumi(ksetra/makam), biasanya terdapat

prosesi karya muspa/saji dan munggah damar kurung. Baris kurkwak,

baris basang gede, dan baris dapdap merupakan tarian sakral/tari wali

guna untuk mengerenteban proses yadnya tersebut yang tidak terlepas

dari hakekat ketatwaning yadnya (gegitan (nanyian), tetangguran,

sasolahan/tari dan puja pangastawa)

Karena hal tersebut, terketuklah hati para seniman pada jamannya

tersebut antara lain: AA Made Pasek, Pekak Krawa, Pekak Chandra, Pan

Sweca Kader, Pan Subala, Pan Sweta, Pan Rasmin (kesemuanya telah

almarhum). Tentunya atas prakarsa dari tokoh seni ini, kemudian

disambut baik oleh Ida Anglurah Kurambitan ( Ida AA Ngurah Anom

Mayun) selaku jejeneng Adat Bale Agung Kurambitan. Mulailah

Penggarapan Tari kurkuwak, baris basing gede dan baris dapdap, sekitar tahun 1938-an, dimana Bale Gong Banjar Tengah di plaspas wuku pahang 1936, sedangkan piodalannya dilaksanakan Saniscara Krulut.

Ciri-ciri tarian ini antara lain: a. Baris Kurkuwak: berpakaian dari keraras (dedaunan pisang yang

tela kering), pelepah daun jaka (pelapah enau), dan beberapa

dedaunan yang lainnya. b. Burung Garuda (paksi Raja): Berpakaian burung paksi c. Kelek: berpakaian raksasa berwajah seram dengan membawa dua

buah klatkat berisi sate lilit manis membentuk pengideran nawa

sanga d. Baris Basang Gede: Berpakaian tetupengan, perut besar,

berkacamata hitam, udeng kain poleng (dililitkan),dan membawa

tombak. e. Baris Dadap: berpakaian putih, celana putih dengan aksesories

gelang kana, membawa satu buah perahu.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Analisis Potensi Puri Anyar Kerambitan Sebagai Wisata Kerajaan

Puri Anyar Kerambitan terletak di Kabupaten Tabanan, salah satu kabupaten di Provinsi Bali secara geografis terletak diantara 08 -14 ‟ 30 ” - 08 o

30 ‟ 07 ” Lintang Selatan dan 114 o 54‟52” – 115 o 12 ‟ 57” Bujur Timur.

Secara administratif Puri Anyar Kerambitan terletak di Kecamatan kerambitan terdiri dari 5 desa yang terdiri dari Desa Samsam, Desa

Pangkungkarung, Desa Belumbang, Desa Kukuh dan Desa Batuaji. Secara historis kelima desa memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan Puri Anyar

Kerambitan karena masih memiliki hubungan darah dan merupakan pengikut setia

Raja Puri Anyar Kerambitan.

4.1.1.1. Desa Samsam

a. Sejarah Desa Samsam (Asal-usul/Legenda Desa)

Tersebutlah dalam Lontar “Prasasti Sukahet” dimulai dari Perang

Gelgel sejak Pemerintahan Yang Mulia Dalem Dimadia yang berhasil

dipukul oleh I Gusti Widia alias Arya Batan Jeruk.

Sejak kekalahan Yang Mulia Dalem Dimadia, timbulah kegelisahan

diantara putra-putra raja yang masih hidup. Putra-putra rajia ini lalu

rnenyusun kekuatan kembali yang dipimpin oleh seorang kesatria

yang bernama Dewa Agung Putra dengan pengikut-pengikutnya

antara lain I Dewa Sumerta, Ki Pasek Kacang Dawa serta seluruh

rakyat Sweca Pura. Setelah menyusun strategi peperangan, maka mulailah Dewa Agung Puka memukul Gelgel yang telah dikuasai oleh

Arya Batan.Jeruk. Peperangan yang dahsyat ini dimenangkan oleh

Dewa Agung Putra yang kemudian langsung memerintah Gelgel dengan gelar Dalem Jambe.

Diceritakan sekembalinya dari medan perang dengan hasil kemenangan yang gemilang, maka salah seorang pengikut Dalem yaitu I Dewa Sumerta sangat kaget melihat putranya dalam keadaan tenang malahan sodang barcumbu dengan kekesihnya serta tidak ikut berperang. Maka murkalah I Dewa Sumerta kepada putranya yang bernama I Dewa Gede Kesa mau dibunuhnya. Dalarn keadaan sengat kritis tersebut, datanglah Ki Pasek Kacang Dawa serta segera melaporkan hal tersebut kepada Raja. Maka Raja meminta kepada I

Dewa Sumerta agar anaknya I Dewa Gede Kesa dipindahkan ke

Tabanan dengan iringan 20 (dua puluh) panjak yang terdiri dari panjak

Ki Pasek Kacang Dawa. Perpindahan ini diterima oleh Raja Tabanan di Banjar Tegal (Tabanan). Setelah lama berdomisili di Banjar Tegal, I

Dewa Gede Kesa sudah berkeluarga dan mempunyai putra, pengabdian kepada Raja Tabanan semakin bijaksana karena semakin hari kedewasaan, kecerdasan serta kealiman beliau dalam melaksanakan tugas.

Dalam keadaan seperti itu, ada seorang patih Raja Tabanan yang bernama Arya Telabah merasa iri, lalu segera melapor kepada Raja

Tabanan serta mengusulkan Putra-Putra Kesatrya ini segera dipindahkan. Tanpa pikir panjang lagi Raja Tabanan menyetujui usul Ki Patih yang mendapat kepercayaan penuh ini. Oleh Raja, Putra

Kesatrya ini maunya dipindahkan kedaerah sebelah utara dengan maksud menjadi Tabeng Wijang (benteng) akan tetapi patih yang lain tidak menyetujui, dengan alasan Kesatrya ini akan mudah mencari bantuan ke Klungkung, maka diputuskanlah untuk dipindahkan ke sebelah barat kota.

Dalam perjalanan para Kesatrya yang diikuti oleh para abdi, ditemuilah sebuah tempat yang mengepulkan asap dari dalam tanah

(lokasinya di Pura Sada) tempat ini dianggap sangat utama, maka ditetapkanlah untuk berdomisili di tempat ini, yang bernama hutan

Metya atau hutan Ustra. Lama-kelamaan terbentuklah sebuah desa yang berlokasi di sebelah barat sungai Yeh Enu. Dikala sedang giat- giatnya para penghuni memperbaiki kebun dan ladangnya di sela dengan megecel ayam pada waktu istirahat sebagai tradisi waktu itu, maka datanglah seorang Pendeta dari arah barat. Sesampainya di tempat ini (hutan Ustra) Pendeta tersebut menaburkan bunga (sari) dan beras kuning (Wija). Wija dan Sari ini tidak lain adalah Samsam, yang disertai dengan Puja Pangastuti Om Swasti Astu, maka mulai saat Wijasari atau Samsam itu ditaburkan, oleh para leluhur tempat atau desa ini dinamai Desa Samsam.

Raja Tabanan Cakorda Ngeluwur adalah searang raja yang alim dan bijaksana, beliau sering turun/berkunjung ke kampung serta sambil memeriksa keadaan. Pada saat beiliau berkunjung ke kampung – kampung sebelah barat yang bergunung-gunung dan berlembah curam beliau sering mandeg/beristirahat. Di dataran sebelah barat sungai Yeh

Enu beliau mengadakan persalinan/pergantian juru sunggi

(pengusung) untuk melanjutkan perjalanan beliau ke kampung lain.

Terkenallah tempat ini bernama Pesalinan yang lama kelamaan disebut Penyalin.

Sementara itu dikisahkan panjak –panjak (rakyat) Raja dari Wongaya yang dipimpin oleh I Gede Jagra hendak menghadap Raja Tabanan, tersesat di sebuah hutan Kutuh (Kapuk) disebelah barat Tabanan, setelah lama beristirahat disana sambil rnengingat-ngingat jalan yang menuju Tabanan. Akhirnya jalan yang menuju Kerajaan Tabanan itu ditemukan. Akan tetapi setelah tugas mereka selesai, mereka tidak kembali lagi ke Wongaya namun mereka tertarik untuk menetap di hutan Kutuh (Kapuk) yang sangat subur sekali. Merekapun mendirikan pondok – pondok dibawah naungan pohon kutuh, lama kelamaan pondok-pondok tersebut berkembang menjadi suatu Banjar

Kutuh. Segala kebutuhan masyarakat dibangun antara lain : rumah, sawah, kebun serta tempat persembahyangen sehingga Banjar Kutuh semakin lama semakin maju.

Suatu ketika Banjar Kutuh ditimpa malapetaka, berjuta-juta semut menyerang penduduk, rumah-rumah mereka diserbu, banyak ternak menjadi korban. Segala usaha telah dijalankan akhirnya semua sia-sia.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke sebelah barat agak keselatan (sebelah barat daya). Oleh karena Banjar Kutuh dipisahkan oleh bengang (tanah kosong tiada pondokan) maka disebutlah Banjar

Kutuh Kaja dibagian utara dan Banjar Kutuh Kelod di bagian selatan.

Di sebelah barat Samsam terdapat pula beberapa Pondokan yang dihuni tiga keluarga yaitu:

 Keluarga I Dewa Sembung

 Keluarga I Dewa Negara

 Keluarga I Dewa Bakungan

Tempat pondokan ini mereka sebut Pelem Baang, karena mereka ini berasal dari Pelem sebuah Banjaran yang terletak di Barat Laut pondokan ini. Disebut Pelem Bajang lama kelamaan terkenal dengan nama Lumajang.

Pada jaman penjajahan Belanda banjar-banjar ini yaitu : Banjar

Samsam, Penyalin, Kutuh Kelod, Kutuh Kaja dan Lumajang dibentuk menjadi satu Desa yang dikepalai oleh seorang Bendesa yang berkedudukan di Samsam.

Adapun Bendesa yang pernah memimpin Desa Samsam adalah sebagai berikut :

 I Dewa Nyoman Perte menjabat sampai tahun 1925

 I Dewa Made Tama menjabat dari tahun 1925 sampai dengan

tahun 1935

 I Dewa Kt.Tegeg menjabat dari tahun 1935 sampai dengan tahun

1967.

 I Dewa Md.Sedeng menjabat dari tahun 1967 sampai dengan

tahun 1975.  I Dewa Md.Pegeg menjabat dan tahun 1975 sampai dengan tahun

1983.

Dimasa pemerintahan I Dewa Made Pegeg kantor Bendesa Samsam dipindahkan ke Banjar Penyalin. Pada tahun 1983 Kebendesaan

Samsam diganti statusnya menjadi Kelurahan yang dikepalai oleh seorang Lurah. Adapun yang pernah menjabat sebagai Lurah adalah sebagai berikut :

 I Dewa Ny. Setanu menjabat dari tahun 1983 sampai dengan th

1990

 I Gede Jagrem menjabat dari tahun 1990 sampai dengan 1994.

 I Wayan Suprabawa menjabat dari tahun 1994 sampai 2001.

Dimasa pemerintahan I Wayan Suptahawa status Kelurahan dirubah menjadi Desa pada tanggal 7 Agustus 2001 Perda No.20 Tahun 2001.

Dan I Wayan Suprabawa masih tetap dipercaya sebagai Pejabat

Sementara Desa Samsarn, sampai terpilih Kepala Desa Samsam yang difinitif.

Pada tanggal 4 Agustus 2002 diadakan Pemilihan Kepala Desa

Samsam secara langsung untuk petama kalinya dan terpilihlah : DRS.

I DEWA MADE SATRIA WEDANA dengan masa Jabatan 2002-

2007.

Pada tanggal 16 September 2007 kembali diadakan Pemilihan Kepala

Desa Samsam karena masa Jabatan Kepala Desa / Perbekel telah habis dan terpilihlah : I DEWA KETAT ARI WIBAWA yang borasal dari

Banjar Dinas Samsam I dan berdasarkan Keputusun Budan Perwakilan Desa Samsam SK. Nomor 477 Tahun 2007, tentang

Penetapan Calon Kepala Desa Terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa

Samsam, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan dengan Masa

Jabatan 2007 – 2013 dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati

Tabanan Nomor 447 Tahun 2007, Tertanggal 10 Oktober 2007.Dan

dilantik oleh Bapak Bupati Tabanan yang bertempat di Kantor Bupati

Tabanan pada hari Kamis, 22 Nopember 2007.

b. Kondisi Fisik Alam

Kondisi topografi Desa Samsam, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten

Tabanan merupakan daerah landai dengan ketinggian 250 meter diatas

permukaan air laut, curah hujan relatif sedang dengan batas wilayah

administratif sebagai berikut :

 Sebelah Utara Desa Batuaji.

 Sebelah Timur : Sungai Yeh Nu.

 Sebelah Selatan : Desa Pangkung Karung.

 Sebelah Barat : Sungai Yeh Abe.

Desa Samsam memiliki jalan sepanjang 11 Km dengan perincian 4

Km jalan Negara, 4 Km jalan Kabupaten, 3 km jalan Desa. Dengan

kondisi beraspal sepanjang 1 Km, beton sepanjang 1,5 Km dan jalan

tanah sepanjang 1.5 km.

c. Keadaan Sosial

Jumlah penduduk Desa Samsam berdasarkan laporan penduduk pada

tahun 2010, adalah sebanyak 3102 jiwa, terdiri dari 1506 jiwa

penduduk laki-laki dan 1596 jiwa penduduk perempuan, yang terdiri

dari 855 KK. Sedangkan jumlah RTM sebanyak 42 KK RTM.

Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan bahwa

sebagian penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor

pertanian (44%), sektor perdagangan (29%) dan sektor lainnya seperti

pegawai negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai

sektor (27%).

Struktur penduduk menurut agama, menunjukkan sebagian besar Desa

Samsam beragama Hindu (3.058 orang), Islam (22 orang), Kristen (16

orang) dan Budha (4 orang).

Kebudayaan daerah Desa Samsam, tidak terlepas dan diwarnai oleh

Agama Hindu dengan konsep Tri Hita Karana yaitu berhubungan

selaras, seimbang dan serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

d. Keadaan Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Samsam, masih lebih cenderung dari

hasil pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah dan lahan

kering. Hal ini didukung oleh penggunanan lahan pertanian masih

mempunyai porsi yang terbesar yaitu sebanyak 64% dari total

penggunaan lahan desa. Persentase mata pencaharian dari penduduk Desa Samsam masih menggantungkan pada sektor pertanian dalam

arti luas yaitu lahan basah dan lahan kering dengan komoditi padi dan

sayuran di lahan basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh, kopi pada

lahan kering (tegalan).

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong econom base dan menonjol

disamping sektor pertanian adalah ; perdagangan, industri rumah

tangga dan pertukangan. Pada sektor perdagangan hasil bumi masih

bersifat langsung yaitu antara pembeli dan penjual bertemu langsung

tanpa penjualannya melalui pasar. Sedangkan sektor industri rumah

tangga dan pengolahan termasuk didalamnya ; pembuatan jajan

upacara, tukang jahit, dan lainnya.

Pada sektor jasa yang menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi

keuangan mikro berupa ; LPD, Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan

pelaku-pelaku ekonomi kelompok sebagai ekonomi desa. Hal ini

diharapkan akan bisa membawa dampak positif untuk perkembangan

ekonomi desa secara keseluruhan.

4.1.1.2. Desa Pangkungkarung

a. Sejarah Desa Pangkungkarung

Berdasarkan bukti – bukti dari sebuah catatan yang autontik yang

berupa Prasasti Pura Batur, juga berdasarkan ceritra dari para orang

tua kami yang ada di Desa yang kami anggap kompeten dalam hal itu.

Pada tahun 1486 tahun masehi Kerajaan Gelgel di Kelungkung pada

waktu itu mengalami kekacauan sehingga banyak diantara rakyatnya yang melarikan diri mencari derah yang lebih aman. Terpetiklah kisah diantara pelarian itu sebagai berikut :

Sepuluh orang diantara mereka mengembara secara berkelompok dengan tekad dan tujuan yang sama yaitu mencari daerah yang aman dan daerah pertanian baru sehingga mereka dapat mewariskan hari depan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka itu adalah :

 I Gde Bendesa Batur Rangkan berasal dari Rangkan Ketewel

Gianyar.

 I Gde Bagia Besikalung dari Babahan Penebel.

 I Gde Tangkas Sading dari Desa Sading Mengwi.

 I Gde Kemenuh dari Desa Kemenuh Sukawati Gianyar.

 I GdeArya Bajang dari Desa Cepaka Kediri.

 I gde Kubontubuh dari Desa Menguwi Badung.

 I Gde Gebleh dari Abianbase kapal Badung.

 I Gde Gaing dari Batugaing Beraban Kediri.

 I Gde Sukajati dari Desa Buduk Badung.

 I Gde Serongga dari Serongga – Lebih – – Gianyar.

Semuanya ini berpindah dari daerah asalnya menuju daerah kerajaan

Tabanan dan tidak diceritrakan dalam perjalanan semuanya menuju istana kerajaan, di sana semuanya bertemu dan diangkat menjadi

Mahapatih dan tugas – tugas Kerajaan yang lain di Kerajaan Tabanan.

Pada tahun 1490 tahun masehi waktu itu Desa Pangkungkarung masih merupakan sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi pohon kapuk (pohon kutuh), pohon bengkel, pohon cemara, pohon sandat pohon cepaka dan lain-lainnya, yang daerah ini termasuk wilayah kerajaan Tabanan.

Hutan itu sangat angker karena banyak kejadian kejadian yang ajaib yang tak masuk akal terjadi di bengkel dan hutan kapuk itu. Pada suatu hari Raja Tabanan sedang menikmati keindahan alam di seputar istana kerajaan itu, tiba-ttiba dikejutkan dengan kepulan yang terus menerus tiada henti-hentinya yang menjulang tinggi keangkasa seolah-olah tembus ke langit.

Maka dipanggillah mahapatih-mahapatih beliau untuk dibicarakan asap apa itu sebenarnya. Setelah para patih patih itu mendengar penjelasan Raja Kerajaan Tabanan, maka semua sangat perihatin apakah hutan itu terbakar atau apa itu sebenarnya. Maka Raja Tabanan mengutus beberapa maha patih bersama pasukan lainnya diantaranya :

I Gde Serongga, I Gde Bendesa Batur Rangkan, I Gde Tangkas

Sading Mengwi, I Gde Kemenuh, I Gde Sukajati, Gde Bagia

Besikalung, I GdeKubon Tubuh, I Gde Gebleh, I Gde Gaing sambil bersabda :

“Uduh para paman Patih semuanya, aku menugaskan para

paman-paman semuanya untuk menyelidiki asap yang mengepul

tinggi ke udara dengan tidak putus-putusnya, apa itu sebenarnya,

jangan-jangan ada apa di sana dan kalau benar demikian

jangan-jangan hutan itu terbakar. Bila hutan itu terbakar apa

jadinya tanah di situ nantinya. Bila paman telah dapati dan ketahui hutan itu dan tempat asap itu mengepul segeralah

laporkan kemari agar aku mengetahuinya”.

Demikianlah sabda Raja Tabanan kepada para Patih Beliau semua.

Paman Gde Bendesa Batur Rangkan saudara kuperintahkan dan kupercaya untuk memimpin pasukan ini untuk menyelidiki tempat hutan itu. Demikianlah sabda Raja Tabanan. Setelah selesai beliau bersabda lalu I Gde Bendesa Batur Rangkan menjawab bersama kawan-kawannya : “Ya, Paduka Raja, titah Paduka hamba jalani sekemampuan hamba bersama kawan-kawan kami. Nah paman semuanya berangkatlah segera agar jangan terlambat meneliti tempat itu,dan ini bekal untuk dipakai dalam perjalanan. Baru demikian sabda

Raja ,maka semua mahapatih bersama kawan-kawannya yang dititahkan oleh Raja segera berangkat menuju tempat itu.Diwaktu pasukan penyelidik itu berangkat untuk menyelidiki asap yang mengepul tebal itu, langit sebelah utara dan di atas wilayah Kerajaan

Tabanan diselimuti mendung yang sangat tebal, tiba-tiba turunlah hujan yang sangat derasnya membasahi persada Ibu Pertiwi di wilayah

Kerajaan Tabanan. Maka akibatnya banjirlah sungai-sungai yang dituruni hujan itu terutama sungai Yeh Empas dan sungai Yeh Nu.

Dengan moto : Wira Dharma Jayate Yang Maksudnya : Dengan semangat yang tinggi mengabdi dengan penuh kesucian untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan tugas menyelidiki kejadian yang aneh di hutan itu dengan tidak mengenal panas dan hujan yang menghadangnya maka pasukan penyelidik itu telah sampai di sebelah timur hutan kapuk dan hutan bengkel itu. Kebetulan pangkung yang yang dilalui oleh air banjir itu sangat dalam dan deras sekali, dengan semangat pantang menyerah pasukan penyelidik asap itu yang terdiri dari sepuluh orang itu seperti yang telah disebutkan di atas dengan susah payah mengarungi pangkung (Tukad) sungai Yeh Nu itu ada yang di bawa arus sungai sampai jauh ke hilir, namun berkat ketangkasan dan ketrampilan beliau-beliau semuanya selamat di pinggiran barat pangkung (sungai) yang diarungi itu yaitu : sungai

Yeh Nu itu. Setelah semua pasukan itu telah kumpul di pinggiran sungai, maka meneruskan perjalanan menuju arah barat dari pangkung

(sungai Yeh Nu) dan kemudian dilihatnya ada kepulan asap yang datangnya dari celah-celah batu, lalu diberi tanda oleh para pasukan penyelidik.

Kemudian para pasukan penyeklidik asap itu semuanya berkumpul untuk membicarakan hal itu dan sebagai perintah Raja agar kita melaporkan ke istana kerajaan Tabanan bahwa asap yang mengepul itu telah diketemukan di hutan bengkel dan dihutan kapuk. Dengan hasil musyawarah dan mufakat bersama maka diberikanlah kepercayaan saudaranya yang bersama I Gde Bendesa Batur

Ranghkan bersama I Gde Serongga kembali ke Istana Kerajaan

Tabanan melaporkan bahwa asap yang menjulang tinggi mengepul ke udara itu telah diketemukan di hutan kapuk ( kutuh ) dan hutan bengkel itu. Maka kedua para utusan itu kembali ke Istana Kerajaan

Tabanan mengarah timur laut. Tiada berapa lama dalam perjalanan maka kedua utusan itu telah tiba di Kota Kerajaan Tabanan dan segera menghadap Paduka Raja Kerajaan Tabanan. Setelah diterima kedua utusan itu di istana Kerajaan Tabanan maka raja Tabanan kembali bersabda : “Paman Patih setelah aku mendengar penjelasan paman itu aku sangat gembira sekali karna kebranian dan semangat pengabdian paman semua aku berikan wilayah hutan itu bersama sama dengan kawan kawan Paman menempatinya untuk tempat tinggal agar anak cucu buyut paman mempunyai tempat tinggal yang tetap.” Maka penugrahan raja Tabanan diterima oleh kedua utusan itu, kemudian setelah mohon permisi untuk kembali kehutan itu maka kedua utusan itu lalu berangkat kembali kehutan kapuk bengkel itu ketempat kawan

– kawannya ditempat kawannya dekat asap batu itu. Tiada berapa lama dalam perjalanan maka kedua kedua utusan itu telah tiba di hutan kapuk dan bengkel dan segera bertemu dengan kawan kawannya dalam pasukan penyelidikkan. Hutan disebelah utara dari pusat kepulan asap itu hutannya sangat lebat penuh dengan kayu kayuan yang ditumbuhi dengan kayu kayuan dengan tumbuh tumbuhan bunga yang sangat harum semerbak seperi pohon sandat, majegawu, cepaka dan lain lainnya , sehingga hutan itu lebih dikenal dengan hutan : Taman Harum yang diselang selingi oleh kayu kayuan yang besar-besar.

Sedangkan disebelah selatan tempat pusat kejadian kepulan asap itu kurang lebih jauhnya satu setengah kilo meter tanahnya agak mirng keselatan yang juga penuh di tumbuhi hutan – hutan kayu yang besar – besar. Kemudian kesepuluh para pasukan penyelidik asap yang telah disebutkan diatas itu mengadakan perundingan disana untuk mengenang kejadian penyebrangan diwaktu akan menyelidiki tempat kepulan asap itu dari tengah batu lalu hutan ditempat itu diberi nama :

Pangkung aerung yang berarti untuk mencapai hutan itu atau pusat kepulan asap itu dengan susah payah penuh dengan bahaya.

Pangkung berarti sungai kecil, Arung berarti menyebrangi. Jadi

Pangkung arung berarti pangkung (sungai kecil) yang disebrangi. entah berapa masa telah telah berjalan kata pangkung arung itu berubah sebutannya menjadi : Pangkung Karung.

Kemudian kesepuluh pasukan penyelidik asap yang di tugaskan oleh raja Tabanan itu membagi tempat tinggal yaitu :I Gde Bendesa Batur

Rangkan tetap tinggal ditempat kejadian kepulan asap yang menjulang tinggi itu. I Gde Bagia Besikalung pindah tempat menuju hutan disebelah barat daya pusat kepulan asap itu bersama sama I Gde

Tangkas Sading, I Gde Kemenuh, I Gde Arya Bajang, I Gde

Kubontubuh. setelah beberapa masa beliau beliau itu berada disitu sudah pula merabas hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan membangun masing – masing pura untuk memuja para roh leluhurnya.

I Gde Bagia Besikalung membangun puranya dengan disebut pura

Pasek Bendesa Besikalung. I Gde Tangkas Sading membangun puranya dengan disebut puranya : Pura Tangkaskoriagung. I Gde

Kemenuh membangun puranya dengan sebutan : pura Bujangga

Waisnawa. I Gde Arya Bajang membangun puranya dengan sebutan : pura Arya Bajangan. I Gde Kubentubuh membangun puranya dengan sebutan : pura Arya Kubentubuh. Sedangkan I Gde Serongga beralih tempat dari pusat kepulan asap itu menuju arah selatan kurang lebih satu setengah kilometer jauhnya, sedangkan I Gde Gebleh , I Gde

Gaing dan I Gde Sukajati menempati hutan disebelah uara tempat kepulan asap itu yang pada waktu itu hutan itu disebut : taman harum.

I Gde Gebleh, I Gde Gaing dan I Gde Sukajati tidak bersama sama bertempat tinggal yaitu berjauhan tempatnya diselang selingi oleh hutan, kemudian tempat lebih dikenal dengan hutan selang seling.

Entah berapa tahun sudah para penghuni dihutan Taman harum itu bertempat tinggal maka terjadilah suatu prtempuran dihutan pesiatan

(hutan Pesiapan) yang letaknya disebelah timur dari hutan Taman harum (Hutan Selang seling) antara kerajaan Tabanan dengan kerajaan

Penebel membawa masing masing pasukan raja itu. Pertempuran terjadi sangat sengitnya dan banyak pasukan – pasukan itu yang gugur didalam pertempuran, sehingga banyak pula yang lari kehutan Taman harum dan dikejar kejar oleh musuhnya kemudian perang tanding dan disana di hutan taman harum gugurlah banyak pasukan antara kerajaan Tabanan dengan Penebel sehingga banyaklah mayat yang bergelimpangan gugur di medan peperangan . lama mayat itu bergelimpangan tetapi tidak berbau busuk (berbau seling).

Kemudian setelah perkembangan penduduk di htuan itu bertambah banyak lalu hutan itu lebih dikenal dengan hutan selingsing.

Kemudian setelah hutan selingsing ini dihuni oleh keturunan I Gde Gebleh, I Gde Gaing dan I Gde Sukajati beserta keluarga keluarga lainnya yang juga datang kehutan itu, yang bertempat tinggal berjejer memanjang dari utara keselatan membentuklah sebuah Banjar yang disebut Banjaran Selingsing. Kemudian membangun Tri Khayangan

(Khayangan Tiga) yaitu Pura Puseh desa Bale agung menjadi satu lokasi dan Pura Dalem Perajapati yang merupakan kesatuan agama hindu kemudian disebut Desa Adat Selingsing yang di pimpin oleh

Bendesa Adat dengan dibantu oleh para Penyarikan dan Petengen.

Disamping itu juga keturnan dari I Gde Gebleh membangun sebuah pura untuk memuja roh para roh leluhurnya yang disebut Pura Pasek

Gebleh. Keturunan dari I Gde Gaing membangun pula pura untuk memuja roh para leluhurnya yang disebut : Pura Pasek Dangka

Batugaing. Keturunan dari I Gde Sukajati membangun pula sebuah pura Paibon untuk memuja para roh leluhurnya yang disebut : Paibon

Pasek Tohjiwa kesahan Buduk.

Ditempat kejadian pertempuran dihutan Pesiapan ( Pesiatan ) di bangun pula sebuah Pura untuk mengenang jasa – jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran antara pasukan Tabanan dengan

Penebel maka pura itu di sebut Pura Pesiatan (Pesiapan).

Sampai disini dulu kita ceriterakan mengenai bebanjaran selinsing kini kita beralih ketempat semula yaitu di bekas hutan itu dan tempat batu yang mengeluarkan asap itu yang dihuni oleh I Gde Bendesa Batur

Rangkan, yang bekas itu tempat itu mengeluarkan kepulan asap, oleh keturunan beliau itu lalu di bangun sebuah Pura untuk memuja roh para roh leluhurnya yang disebut Pura Bendesa batur Rangkan.

Kini kembali kami muraikan mengenai I Gde Serongga memilih tempat dihutan sebelah selatan wilayah bebanjaran I Gde Bendesa

Batur Rangkan Pangkung arung ( Pangkung Karung ), kemudian setelah merabas hutan disana untuk dijadikan tempat tinggal bersama

– sama dengan keluarga lainnya yang juga datang kesitu, kemudian membangun sebuah Pura untuk para roh leluhurnya disebut Pura

Bendesa Serongga.

Kemudian setelah banyak para penghuni hutan itu membangun pula rumah dan kawitannya maka lalu membangun pula sebuah Bebanjaran itu disebut bebanjaran Serongga Gede.

Kemudian I Gde Pasek Bendesa Serongga ( dikenal pula Pura Siwa ) keturunannya bersama – sama dengan keluarga keluarga pasek lainnya membangun Pura khayangan yaitu : Pura Puseh dan Pura Dalem.

Kemudian karma tempat itu telah banyak penghuninya lalu ada pula warga masyarakatnya yang pindah tempat dari situ menuju keutara dari bebanjaran Serongga Pondok.

Demikian perkembangan banjar – banjar yang ada di wilayah Desa

Pangkung Karung . Setelah jaman kerajaan berakhir di Bali lalu diganti dengan pemerintahan Belanda dan Jepang kemudian banjar banjar yang disebut diatas digabungkan menjadi satu Desa

Pemerintahan yang disebut : Pangkung Karung yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Setelah Negara Indonesia merdeka kemudian banjar banjar itu terus penduduknya berkembang lalu daerah wilayah Desa Pangkung

Karung di bagi mejadi tujuh Banjar yaitu :

 Banjar Selingsing Kaja

 Banjar Selingsing Kelod.

 Banjar Pangkung Karung Kanginan.

 Banjar Pangkung Karung Kawan.

 Banjar Serongga Pondok.

 Banjar Serongga Gede.

 Banjar serongga Kemenuh.

Kemudian sebutan banjar lalu berubah menjadi Dusun.Demikianlah sepintas kilas perkembangan nama Desa Pangkung Karung dan sampai disini kami akhiri uraian kami.

b. Religi, Budaya dan Kesenian

Dari faktor religi, sebagian besar masyarakaat pangkung

karung menganut agama Hindu, namun dengan kondisi

sekarang terdapat beberapa persen saja penduduk yang

beragama Islam. Hal tersebut dikarenakan adanya penduduk

pendatang yang mendiami sementara wilayah Desa Pangkung

Karung yang bekerja disetor buruh.

Dari segi kesenian, beberapa tempat di Desa Pangkung

Karung memiliki kelompok Kesenian, seperti : banjar Dinas Pangkung Karung Kangin memiliki kesenian Gender, Rindik.

Dan banjar Adat Pangkung Karung memiliki kesenian

Barong Bangkung dan Shang Hyang Memedi yang juga

sering tayang di Bali TV.

c. Potensi Wisata

Secara khusus Desa Pangkung Karung tidak memiliki tempat

Wisata, namun sebenarnya ada keyakinan dari sebagian besar

masyarakat bahwa, banjar Adat Selingsing memiliki potensi

tersebut. Dikarenakan wilayah tersebut memilki kerajinan

ceniga dari uang kepeng dan perusahaan mebel dan banjar

dinas Pangkung Karung Kangin ada usaha pembuatan tempat

lilin dan di banjar dinas serongga gede ada usaha kerajinan

Ukir. Sehingga tersa pantas daerah ini untuk dikembangkan

menjadi salah satu objek wisata interaktif.

4.1.1.3. Desa Kukuh

a. Kondisi Desa

Kondisi Desa Kukuh sebagaimana desa-desa lain di wilayah

Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal

tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam

yang ada di Desa Kukuh, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten

Tabanan.

b. Sejarah Desa

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang

mengacu pada masa lampau oleh karenanya pemaparan

dalam hal sejarah merupakan penyampaian peran tentang

apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau.

Kalau kita soroti dari segi tujuan dalam hal pemaparan

sejarah adalah sebagai bandingan pada masa sekarang dan

sebagai cermin terhadap peristiwa masa yang akan datang.

Dalam hal ini kita berbicara sejarah yang lebih khusus yaitu

Sejarah Desa.Nama suatu desa atau wilayah umumnya

mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk

mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain yang dianggap

sebagai inpsirasi nama itu diberikan.Pemberian nama desa

atau suatu wilayah khususnya di Bali berkaitan erat dengan

sejarah Raja-Raja di jaman dahulu seperti yang sering

dijumpai dalam Babad, lontar ataupun Prasasti.

Dalam babad “Kerajaan Kenceng” dinyatakan bahwa sejarah

Desa Kukuh diambil dari usaha Raja Tabanan untuk

mendapatkan lokasi baru.Ida Cokorde Nur Pande Ratu

Singgasana Tabanan XIII sebagai pengganti ayah baginda

yang bergelar Sri Megade Sakti Ratu Singgasana XII dikenal

sebagai raja yang bijaksana. Wilayah kerajaan berbatasan

dengan gunung Beratan di sebelah Utara, Tukad/sungai

disebelah Timur, laut disebelah Selatan,dan Tukad Pulukan disebelah Barat. Alamnya sangat subur, keadaan ini membawa Raja Tabanan kealam kejayaan. Akan tetapi dibalik semua kekayaan itu, Baginda belum merasa bahagia walau setelah sekian lama usia perkawinan beliau belum juga memperoleh seorang Putra yang akan menjadi pewaris kerajaan, keadaan ini menjadikan baginda bertekad dan berjanji, bahwa apabila baginda raja berhasil dikaruniai putra maka putra sulung tersebut yang akan dinobatkan sebagai raja penggantinya meskipun lahir dari ibu penawing. berdasarkan tradisi sesana putra mahkota berhak atas mahkota adalah putra yang lahir dari permaisuri. Tidak berselang beberapa lama istri baginda raja yang bernama Si

Mekel Sekar dari Sekartaji hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Sirarya Ngurah Sekar. Tetapi tak lama kemudian permaisuri yang berasal dari Delod Ruung, bernama Gusti Luh Wayan, Putri Kiyai Nana dan hamil pula dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Siarya

Ngurah Gede. Selanjutnya baginda raja mempunyai putra dan putri.

Setelah lda Cokorde Nur Pemade wafat, Sirarya Ngurah

Sekar dinobatkan menjadi raja dengan gelar Cokorde Di

Sekar (Ratu Singgasana XIV), sesuai dengan janji almarhum baginda raja. Sementara itu Siarya Ngurah Gede tetap di Puri

Tabanan tanpa mempunyai status yang pasti. Maka pada suatu hari, beliau pergi meninggalkan Puri diam – diam menuju Ki Pasek Gobleg disebelah utara gunung. Dari tempat itu beliau melanjutkan perjalanan ke Desa Banjar. Ditempat ini beliau menginap di Griya Brahmana Kemenuh dan tinggal untuk waktu yang tidak tentu lamanya.

Sepeninggalan Sirarya Ngurah Gede, keadaan Puri Tabanan menjadi panik. Baginda Raja mengirimkan utusan untuk mencari adiknya. Tiga kali utusan yang dikirim tidak berhasil mengantarkan Sirarya Ngurah Gede pulang ke Puri Tabanan.

Baginda Raja tidak tega membiarkan adiknya bermukim di luar kerajaan. Beliau mengirimkan utusan yang ke empat dipimpin oleh Kiyai Subamia Gadungan dengan mandat penuh asalkan adiknya bersedia kembali ke Puri Tabanan.

Tugas utusan dapat dilaksanakan dengan lancar. Sirarya

Ngurah Gede bersedia pulang ke Puri Tabanan setelah dipenuhi permintaannya yaitu; “Separuh Negara dan Rakyat

Tabanan diserahkan kepada beliau”. Di buatkan Puri yang sama dengan Puri Agung Tabanan. Sirarya Ngurah Gede dan utusan mohon diri kepada Sang Pendita.

Kepergian Sirarya Ngurah Gede dilepas dengan suka cita oleh Sang Pendita, dengan pesan, “Yan Sira Rahadian

Amangun Graha, Pilihana Asiti Kang Ametu Kukus, Ikang

Wenang make Graha Ire Rahadian”. (Jika ananda membangun Puri Pilihlah tanah yang mengepulkan asap. Ditempat itulah patut Puri paduka ananda berdiri).

Keberangkatan Sirarya Ngurah Gede ke Puri Gede Tabanan diiringi oleh utusan dan seorang Brahmana dari

Banjar.Kedatangan mereka diterima dan disambut dengan gembira oleh Baginda Raja. Sejak saat itu Sirarya Ngurah

Gede disebut dengan nama Sirarya Ngurah Gede Banjar atau

Cokorda Gede Banjar. Sebagai pelaksana perjanjian, baginda mengirim untuk mencari dan meneliti tempat yang wajar untuk tempat kerajaan adindanya. Pada suatu hari sampailah utusan pada suatu daerah (pedukuhan) yang dikenal dengan nama Dukuh Pengembungan disebelah selatan Desa Meliling.

Tiba – tiba dikejauhan daerah arah selatan dari Desa

Pegembungan tempat asap mengepul menjulang tinggi seakan akan menembus langit. Setelah diteliti ternyata asap itu sangat cocok untuk sebuah kraton baik dari segi keamanan mauun dari unsur keindahan. Pembangunan Puri pun dimulai, aturan tata kota diatur rapi. Jalan lurus yang mengelilingi Puri dengan perempatan yang lebar. Pembagian pola pemukiman masing-masing persegi empat panjang, yang lebar dibatasi dengan jalan-jalan dan lorong yang lurus sehingga mudah mengaturnya. Puri ditengah-tengah dengan megahnya berdiri, lengkap dengan pembagiannya seperti yang di janjikannya.

Semuanya serasi sehingga tempat angrawit atau sangat indah.

Disebelah Timur pemukiman ini mengalir sungai Abe dan disebelah barat sungai Lating yang berfungsi sebagai sarana pertahanan dan aliran kemakmuran. Ini terjadi pada pertengahan abad XVII. Pada waktu Ida Cokordo Banjar memasuki Puri yang baru ini diiringi oleh kaula yang cukup banyak mengisi daerah pemukiman ini. Semuanya merasa puas dan kagum akan kemegahan dan kehindahan atau

“Kerawitan” Puri dan sekitarnya. Puri baru ini diberi nama

Puri Agung dan wilayah sekitar kerawitan yang akhirnya menjadi Kerambitan. Demi pertahanan dan ketahanan wilayalah kaula warga inipun diatur demikian rupa. Daerah

Barat Daya bermukim pemberani, maka diberi nama Banjar

Wan. Daerah tenggara bermukim para endakan akhimya disebut Banjar Pekandelan dan Kedampal. Daerah ulu atau

Utara didirikan sebuah pemujaan sebagai ungkapan perana sukseme terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dari pada batu besar sebagai lingga. Batu ini bergerigi dan bergeriti, sehingga daerah-daerah itu diberi nama Baturiti. Di Daerah

Timur Laut bermukim warga yang telah teguh kukuh, sebagai pengaman pintu masuk yang akhimya daerah ini diberi nama

Banjar Kukuh yag sekarang menjadi Desa Kukuh.

Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat Desa Kukuh tidak bisa dilepaskan dengan Desa Kerambitan dan Desa Baturiti yang sampai saat ini menjadi satu Desa Adat Bale Agung. Demkianlah secara singkat riwayat terjadinya Desa Kukuh.

Dimana dalam perkembangan pemerintahan Desa Kukuh,

wilayahnya meliputi lima Dusun yaitu Kukuh Kangin, Kukuh

Kawan, Kukuh Kelod, Samsam Kelod, dan Samsaman Alas.

Demikian sekilas sejarah timbulnya Desa Kukuh untuk

dijadikan pengetahuan bagi kita sekalian dan mohon maaf

yang sebesar- besarnya jikalau ada kekeliruan.

c. Demografi

Kondisi topografi Desa Kukuh, Kecamatan Kerambitan,

Kabupaten Tabanan merupakan daerah landai dengan

ketinggian 175 meter diatas permukaan laut curah hujan

relatif sedang dengan batas wilayah administratif sebagai

berikut :

 Desa Sembung Gede.

 Sungai Yeh Nusa.

 Desa Kerambitan.

 Desa Baturiti.

Luas wilayah Desa Kukuh seluas 276Ha.

Desa Kukuh memiliki jalan sepanjang 15.500 M dengan

perincian 5000 M jalan kabupaten,1.500 M jalan desa.

Dengan kondisi beraspal sepanjang 5.000 M, beton sepanjang

7000 M

d. Keadaan Sosial

Jumlah penduduk Desa kukuh berdasarkan laporan penduduk

pada tahun 2010, adalah sebanyak 2248 iiwq terdiri dari 1162

jiwa penduduk lakilaki dan 1086 jiwa penduduk perempuan,

yang terdiri dari 682 KK. Struktur penduduk menurut

pendidikan menunjukkan kualitas sumber daya manusia yang

ada di Desa Kukuh, yaitu yang pada usia pendidikan dasar

(pendidikan sekolah dasar dan menengah) yang sedang

mengikuti pendidikan sejumlah 580 orang.

Sedangkan yang berusia di atas 16 tahun (di atas usia

pendidikan dasar) yang masih mengikuti pendidikan

sejumlah 90 orang. Struktur penduduk menurut mata

pencaharian menunjukkan bahwa sebagian penduduk

menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian

(45%), sektor perdagangan (28%) dan sektor lainnya seperti

pegawai negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari

berbagai sektor (27%) . Struktur penduduk menurut agama

menunjukkan sebagian besar Desa Kukuh beragama Hindu

(99,8%), Islam ( 0,2%), Kristen Protestan (0%) dan Budha

(0%). Dalam konteks ketenaga kerjaan ditemukan bahwa

75% penduduk usia kerja yang didalamnya 62% angkatan

kerja dan 13% bukan angkatan kerja. Kebudayaan daerah

Desa Kukuh, tidak terlepas dan diwarnai oleh Agama Hindu

dengan konsep “Tri Hita Karana” yaitu berhubungan selaras, seimbang dan serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

e. Keadaan Ekonomi

Struktur perekonomian Desa Kukuh, masih lebih cenderung

dari hasil pertanian dalam arti luas, termasuk dari lahan basah

dan lahan kering. Hal ini didukung oleh penggunanan lahan

pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar yaitu

sebanyak 64% dari total penggunaan lahan desa. Persentase

mata pencaharian dari penduduk Desa Kukuh masih

menggantungkan pada sector pertanian dalam arti luas yaitu

lahan basah dan lahan kering dengan komoditi padi dan

sayuran di lahan basah (sawah) dan kelapa, kakao, cengkeh,

kopi pada lahan kering (tegalan).

Beberapa sektor ekonomi yang tergolong econom base dan

menonjol disamping sektor pertanian adalah ; perdagangan,

industri rumah tangga dan peftukangan Pada sektor

perdagangan hasil bumi masih bersifat langsung yaitu antara

pembeli dan penjual bertemu langsung tanpa penjualannya

melalui pasar. Sedangkan seklor industri rumah tangga dan

pengolahan termasuk didalamnya ; pengrajin ingka lidi,

pembuatan jajan upacara” tukang jahit, dan lainnya. Pada

sektor jasa, yang menonjol adalah tumbuhnya

lembaga/institusi keuangan mikro berupa ; LPD, Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan pelaku-pelaku ekonomi

kelompok sebagai pendukung ekonomi desa. Hal ini

diharapkan akan bisa membawa dampak positip untuk

perkembangan ekonomi desa secara keseluruhan.

f. Religi Budaya, Kesenian Dan Potensi Wisata

Dari Sektor relegi sebagian besar masyarakat Desa Kukuh

menganut Agama Hindu hanya satu keluarga ber Agama

Islam , dengan anggota 4 orang. Dibidang kesenian di desa

Kukuh, dimasing – masing banjar mempunyai kesenian

berupa Teltekan dan Okokan.

 Di Banjar Kukuh ada Kesenian yaitu : Teketekan dan

Okokan.

 Di Banjar Samsaman Ada Juga Kesenian yang sama:

Tektekan dan Okokan.

4.1.1.4. Desa Belumbang

a. Sejarah Singkat Desa Belumbang

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang

mengacu pada masa lampau, oleh karenanya pemaparan

dalam hal sejarah merupakan penyampaian tentang apa-apa

yang pernah terjadi pada masa lampau. Kalau kita soroti dari

segi tujuan dalam hal pemaparan sejarah yaitu mempelajari tentang alam masa lampau suatu desa sebagai bandingan pada masa sekarang dan sebagai cermin terhadap peristiwa masa yang akan datang.

Dalam hal ini kita berbicara sejarah yang lebih khusus yaitu sejarah desa Belumbang.

Nama suatu desa atau wilayah umumnya mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain yang dianggap penting pada saat nama itu diberikan. Demikian juga dengan asal usul desa Belumbang.

Untuk itu kami akan coba uraikan sejarah desa Belumbang.

Pada tahun 1486 masehi kerajaan Gelgel mengalami kekacauan sehingga banyak diantara rakyatnya yang melarikan diri mencari daerah yang lebih aman. Terpetiklah kisah diantara pelarian itu sebagai berikut:

Dua belas orang diantara mereka mengembara secara berkelompok dengan tekad dan tujuan yang sama yaitu mencari daerah yang aman dan daerah pertanian baru sehingga mereka dapat mewariskan hari depan yang lebih baik bagi anak cucunya. Mereka itu adalah : Ki Baret, Ki

Kokol, Ki Kawi, Ki Naria, Ki Turun, Ki Trak, Ki Pioi, Ki

Kawin, Ki Sendor, Ki Ngentel, Ki Manggar dan Ki Romeo.

Mereka menyusuri arah Barat dari pantai samudra Indonesia.

Dalam perjalanan yang melelahkan ini, mereka beristirahat di

Pantai Seseh dan akhirnya terlena. Di saat ketiduran inilah konon mereka bermimpi sebagai berikut : “Lanjutkan perjalananmu ke Barat, kelak jika bertemu dengan sebuah muara sungai besar beloklah ke Utara”. Beberapa hari kemudian akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan. Mereka bertemu dengan muara sungai besar yang kedua tepi sisinya masih merupakan rimba belantara, disitu mereka tertegun sesaat dan akhirnya demi tujuan, mereka pun membelok ke

Utara menyusuri tepi Timur sungai tersebut.

Dalam menjelajahi hutan yang mengerikan itu akhirnya sampailah mereka di suatu tempat yang merupakan pertemuan tiga buah sungai yaitu : sungai Ho, sungai Lamuk dan sungai Nyampuan. Geografis wilayah itu sangat ideal di dalam kehidupan bertani. Keadaan geografi yang luas mendatar, subur dan penuh kemakmuran itu, dalam bahasa mereka disebut “MELUMBANG”. Dari kata inilah mereka memberi nama “BELUMBANG” untuk daerah yang mereka pilih sebagai tempat tinggal yang abadi.

Selanjutnya dua belas orang inilah yang menjadi perintis

(pionir-pionir) menantang maut dalam merombak hutan untuk dijadikan daerah pemukiman dan daerah persawahan.

Jadilah desa Belumbang dengan subaknya sebagai apa yang kita saksikan sekarang, yang senantiasa memberi harapan cerah bagi generasi mendatang. Dengan demikian kedua belas orang itulah dianggap sebagai cikal bakal terjadinya desa Belumbang karena sebelumnya daerah ini belum pernah terjamah manusia. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pewaris dari keturunan kedua belas orang itu sampai sekarang masih diyakini oleh masyarakat sebagai yang paling berhak menjadi pemangku Pura Bedugul yang menandai penyungsungan

Subak.

Lambat laun daerah ini dibanjiri oleh pendatang-pendatang yang berasal dari segala penjuru sehingga dalam waktu singkat daerah ini berkembang menjadi 8 banjar, yang mempunyai sejarah nama secara sendiri-sendiri yaitu sebagai berikut :

1) Banjar Langan, Kata langan berasal dari kata “Lang-lang

ulangun” yang berarti tempat yang amat mempesona

bagi penemunya dan generasi penerusnya.

2) Banjar Belumbang Kaja

3) Banjar Belumbang Tengah

4) Banjar Belumbang Kelod

5) Banjar Yeh Malet, berasal dari kata Yeh Let yang artinya

air suci serta langgeng. Kemudian karena perkembangan

penduduknya sangat pesat akhirnya terpisah jadi dua

banjar yaitu : Yeh Malet Kaja dan Yeh Malet Kelod.

6) Banjar Belong, Kata Belong berasal dari kata Lobang

yang artinya dataran rendah yang subur, tak ubahnya

sebagai daerah belong yang kita saksikan saat ini. 7) Banjar Tibupoh

8) Kata Tibupoh berasal dari Tebu dan Poh, yang

merupakan daya tarik karena disana merupakan

perkebunan tebu dan poh pada masa itu.

Setelah mengalami perubahan status akhirnya Desa

Belumbang yang mempunyai 7 Banjar diubah menjadi 8

Banjar Dinas, dimana Banjar Dinas Tibupoh menjadi wilayah

Banjar Dinas Yeh Malet Kelod. Adapun mereka yang pernah

menjadi Bandesa (Kepala Desa) di Belumbang adalah

sebagai berikut : Pan Nori, Anak Aping Rai, Pan Renteb,

Anak Agung Nengah, Pan Kuwug, Ajin Bagus Wayan

Dabdab, Bagus Wayan Dabdab, I Nyoman Luluk, I Nengah

Ranggen, I Wayan Sukia, I Ketut Sudarsana, Drh. I Ketut

Dyana Putera.

Demikianlah sejarah singkat desa Belumbang yang sudah

barang tentu tidak selengkap sejarah yang sebenarnya, maka

untuk melengkapi selanjutnya adalah merupakan tugas dari

pada generasi penerus. Uraian singkat ini semata-mata

merupakan perintis untuk menguak sejarah Desa Belumbang

yang nantinya diharapkan lebih lengkap dan lebih benar.

b. Gambaran Umum Desa Belumbang

Desa Belumbang merupakan salah satu dari 15 desa yang ada

di wilayah Kecamatan Kerambitan, terletak ± 10 Km ke arah Tenggara dari pusat kota Tabanan. Desa Belumbang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

9) Sebelah Utara : Desa Tista

10) Sebelah Timur : Tukad Yeh Lating

11) Sebelah Selatan : Desa Tibubiu

12) Sebelah Barat : Tukad Yeh Ho

Dilihat dari kondisi geografis, wilayah Desa Belumbang merupakan dataran (rendah/sedang/tinggi) dengan ketinggian

± 350 Meter dari permukaan air laut. Suhu udara berkisar antara 34°C dengan curah hujan rata-rata 1613 mm/tahun.

Untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, wilayah Desa Belumbang dibagi menjadi 8 Banjar Dinas, yaitu :

13) Banjar Dinas Langan

14) Banjar Dinas Belumbang Kaja

15) Banjar Dinas Belumbang Tengah

16) Banjar Dinas Belumbang Kelod

17) Banjar Dinas Yeh Malet Kaja

18) Banjar Dinas Yeh Malet Kelod

19) Banjar Dinas Belong

20) Banjar Dinas Tibupoh

Dilihat dari beberapa potensi yang dimiliki, Desa Belumbang dapat digambarkan sebagai berikut:

4.1.1.5. Desa Batuaji

a. Visi

Visi Pernbanguan Desa Batuaji Tahun 2010 – 2014, adalah

Terwujudnya Peningkatan Kesejahtraan Masyarakat Desa

Batuaji Melalui Pembangunan di Segala Bidang yang

Menitik Beratkan pada Sektor Pertanian Dalam Arti Luas.

b. Misi

Misi Pembangunan Desa Batuaji Tahun 2010 – 2014 adalah :

 Memanfaatan potensi desa, terutama sumber daya

manusia sehingga dapat menumbuh kembangkan

kesadaran dan kemandirian dalam pembangunan desa

yang berkelanjutan.

 Meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat dengan

menggalakan usaha ekonomi kerakyatan, melalui

program strategis di bidang produksi pertanian,

pemasaran koperasi, usaha kecil dan menengah.

 Meningkatkan hasil pertanian dengan peningkatan akses

sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam

pertanian.

 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia rnelalui

program pendidikan dan program kesehatan masyarakat.

 Membangunan infiasruktur sarana prasarana desa dan

pelestarian lingkungan.  Meningkatan pelayanan terhadap masyarakat dan

meningkatkan kerjasama antar lembaga pemerintahan di

desa serta lembaga adat.

 Menciptakan suasana aman dan tertib di dalam

kehidupan bermasyarakat.

c. Pemerintahan Desa

Secara administratif Desa Batuaji terbagi atas enam Banjar

Dinas / Dusun meliputi:

 Banjar Dinas Pelem Gede

 Banjar Dinas Batuaji Kelod

 Banjar Dinas Batuaji Tengah

 Banjar Dinas Batuaji Kaja

 Banjar Dinas Penulisan

 Banjar Dinas Jangkahan

Desa Batuaji berada dalam lingkup Kecamatan Kerambitan.

Desa dengan jarak tempuh 20 menit dari kota kecamatan dan

kabupaten ini, atau sekitar 8 km. Saat ini fasilitas yang ada di

Desa Batuaji antara lain 1 (satu) Wantilan Desa, dengan

fasilitas lapangan Bulu Tangkis, 2 (dua) Sekolah Taman

Kanak-kanak yang bernaung dibawah yayasan PKK Desa

dengan nama Yayasan Tri Dharma Budaya yang berada di

Banjar Dinas Batuaji Kaja dan satunya lagi di Banjar Dinas

Penulisan, 1 (satu) PAUD yang juga bernaung di bawah Yayasan Tri Dharma Budaya dan 2 (dua) Sekolah Dasar

Negeri yaitu SDN 1 dan SDN 2 yang berada di Banjar Dinas

Batuaji Kaja (SDN 1) dan yang satunya di Banjar Dinas

Penulisan, yang didukung oleh 3 (tiga) Banjar Dinas di

masing-masing sekolah Dasar tersebut. Untuk tenaga

kesehatan, di Desa Batuaji terdapat Pos Pelayanan Terpadu

(Posyandu) di masing-masing Banjar Dinas dengan kegiatan

penimbangan Balita setiap bulan dengan jumlah Balita yang

ada 133 balita dengan rincian gisi buruk 1, baik 132 balita.

d. Kondisi Desa

Kondisi Desa Batuaji sebagaimana desa-desa lain di wilayah

Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal

tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam

yang ada di Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten

Tabanan.

e. Sejarah Desa

Berbicara masalah sejarah adalah sesuatu pemikiran yang

mengacu pada masa lampau oleh karenanya pemaparan

dalam hal sejarah merupakan penyampaian peran tentang

apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau. Kalau kita

soroti dari segi tujuan dalam hal pemaparan sejarah adalah

sebagai bandingan pada masa sekarang dan sebagai cermin terhadap peristiwa masa yang akan datang. Dalam hal ini kita berbicara sejarah yang lebih khusus yaitu Sejarah Desa.

Nama suatu desa atau wilayah umumnya mempunyai makna tertentu yang dimaksudkan untuk mengenang suatu kejadian atau hal-hal lain yang dianggap sebagai inpsirasi nama itu diberikan.

Pemberian nama desa atau suatu wilayah khususnya di Bali berkaitan erat dengan sejarah Raja-raja di jaman dahulu seperti yang sering dijumpai dalam Babad, lontar ataupun

Prasasti.

Sejarah Desa Batuaji yang bersumber dari abad Pemerintahan

Raja (ratu) Kerihin Tabanan yang berpusat pada “Singa Sane

Ulun Pangkung Tabanan” dan diperjelas lagi dari beberapa sepuh Desa, maka sejarah singkat Desa Batuaji dapat kami tulis dengan maksud agar dikenal oleh genereasi penerus untuk selanjutnya dikembangkan sesuai dengan data dan fakta yang ada. Secara singkat sejarah Desa Batuaji dapat diikuti pada uraian berikut ini :

Bahwa Sejarah Desa Batuaji dimulai dari usaha Raja

Tabanan sedang melakukan upacara yadnya di Pura Luhur

Batu Karu dengan diiringi oleh para pepatih dan rakyat seluruhnya melaksanakan upacara pada hari : Kamis Umanis

Dungulan. Diceritakan bahwa upacara menginjak satu bulan kurang satu hari, tepatnya pada hari Rabu Kliwon, Paang pada saat menjelang malam (Nyaluk Samirana) bahwa Sang Prabu

(Raja) tiba-tiba melihat asap menjujung seperti tombak diselatan dari Pura Luhur Batu Karu. Sebetulnya kalau orang menyaksikan asap tersebut sangat menyenangkan lagi pula indah dan mengesankan. Kemudian dengan timbulnya asap tersebut akhimya Raja berpikir tentang timbulnya asap ditengah-tengah hutan tersebut sudah tentu asap itu adalah

Ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa,

Baginda bergegas memanggil Patihnya dan bersabda ”Paman

Pasek Kebayan, Paman sekarang juga saya utus bersama

Paman Pasek Bendsesa dan Pasek Undagi untuk datang membuktikan asap itu dan kalau memang bisa terbukti selanjutnya supaya paman membukukan (Nyuratan)”

Begitu Sang Parabu (Raja) berkata kepada ketiga paman tersebut seketika itu ketiga Paman sujud kehadapan sang prabu : “Kalau memang titah (perintah) Sang Baginda kami bertiga akan melaksanakannya”

Akhirnya berangkatlah ketiga pepatih dengan sujud kehadapan sang prabu, memohon keselamatan sambil membawa Jumpere (tempat tirta) berisi air dan bunga putih yang merupakan milik Sang Prabu menuju timur dan dijumpai pohon-pohon yang rebah yang disebabkan oleh angin ribut. Mengingat yang dijumpai pohon rebah (bah- bahan) maka mereka berpikir dan berkata kalau nanti tempat ini menjadi Desa maka Desa tersebut diberi nama Desa

Babahan.

Setelah selesai memohon kehadapan Sinuhun, maka perjalanan dilanjutkan kearah selatan, kemudian mereka menjumpai hutan yang sangat lebat (tebal) dan dirasakan oleh ketiga Patih tersebut bahwa tidak akan mungkin bisa menebangi hutan tersebut maka memohonlah kehadapan

Hyang Prama Kawi (Tuhan Yang Maha Esa) seketika itu pula hutan menjadi lapang yang pada akhirnya kalau nanti menjadi Desa, Desa tersebut diberi nama Desa Tebel yang sekarang disebut Desa Penebel.

Perjalanan terus dilanjutkan kearah selatan dan dijumpai perbukitan (Munduk) Kembar seperti batas mengingat keduanya merupakan batas yang mereka saksikan maka Sang tiga beristirahat melepaskan lelah sambil berpikir, akhirnya I

Pasek Kebayan berkata kepada Sang kalih (temannya berdua)

: “Nah adikku berdua mengingat perbukitan (Munduk) yang kita saksikan ini seperti batas, kalau nanti ada Desa yang menyebelahinya supaya perbukitan (Munduk) ini menjadi batas dari pada Desa.” Akhimya lama kelamaan disebelah perbukitan tersebut terdapat Desa dan Desa itu diberi Nama Desa Darma, dan batas tersebut namanya batas Darma.

Kemudian setelah selesai permohonan kepada sasuwunan

(Ida Sanghyang Widhi Wasa), Sang Tiga melanjutkan perjalanan yang dilalui adalah perbukitan (Munduk) yang disebalah barat dan belum begitu jauh perjalanan maka tempat tirta tiba-tiba jatuh (Sangku Pelinggihne Ulung) berserakan seperti merta. Melihat barang bawaannya jatuh, menjadi hilanglah kesabarannya dan berlinang air mata

(Nangis) mengingatkan pada dirinya tentang nasibnya yang buruk, ingin rasanya kembali ke Pura Luhur namun baru meraka ingin beranjak akhirnya bersabdalah Si Nuhun kepada Sang Tiga sebagai berikut : “Nah Paman utusan

Bulan Jambe bertiga, jangan hendaknya paman menyesal

(menangis) mengingat tugas yang dibebankan, kami sudah memakluminya dan tetapkanlah pada pendirianmu”

Setelah mendengarkan Sabda dari Si Nuhun begitu seketika itu pula Sang Tiga Sujud Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan permohonan segala apa yang menjadi tujuan semula semoga berhasil dan selanjutnya kembali ketempat

(Sangkung ulung) sambil memohon kehadapan Sang Si

Nuhun supaya tempat jatuhnya Merta tersebut di jadikan sawah dan Nama sawah tersebut adalah : ..Sangku ulung,, Demikian pula ditempat sang tiga menangis supaya nanti kalau ada Desa, Desa tersebut namanya Desa “Ngis”.

Perjalanan selanjutnya ke selatan dan sampailah diperbatasan lalu berkatalah I Pasek Bayan kepada Sang Kalih : “Nah adikku berdua sekarang satukan pikiran, ternyata apa yang kita cari, sudah ada tanda bahwa atas Asung Wara Nugraha ada Sanghyang Prama Kawi kepada kita. Nah sebagai batas keharuman Asep selanjutnya kalau ada nanti menjadi Desa,

Desa tersebut dinamai Desa Selat (dados batas keharuman sep).

Selanjutnya Sang tiga melanjutkan perjalanan dan sampailah

Sang tiga pada tempat Asep tersebut, ternyata dijumpainya

Batu yang dijaga oleh Ular putih (ular Petak) dengan menyemburkan api dan asap. Batu tersebut berisi tulisan (Ma

Surat Batu Muda) disebelahnya tumbuh Pohon Beringin.

Dengan bukti yang mereka saksikan, kemudian berkata- katalah I Pasek Kebayan dengan I Pasek Kalih sebagai berikut : ”Nah sekarang adik berdua, kakak sudah jelas dengan permasalahan ini, inilah Batu yang utama tempat Ida

Sanghyang Widhi Wasa yang patut disungsung seluruh umat manusia, untuk itu kita satukan pikiran, memohon kepada

Tuhan Yang Maha Esa supaya tempat ini cepat menjadi Desa dan Desa tersebut diberi nama Desa Batuaji karena Batu itu berisi tulisan”. Setelah selesai permohonan sang tiga, maka dibangun

Palinggih (Pura) yang diberi nama “Sad Khayangan Buda

Batuaji.”

Diceritakan beberapa lama Sang Tiga mendengar Suara Batu makuruwug disebelah timur yang menusuk perasaan ngeri bagi yang menyaksikan temyata timbul sebuah Gunung dan kembali Sang Tiga memohon kehidupan Si Nuhun supaya

Gunung itu tidak jadi, lama-kelamaan Gunung tersebut diberi

Nama Bukit Buung.

Dengan sudah terkabulnya permohonan Sang Tiga kembali sang tiga mendengar suara air bah (belabar agung). Namun setelah disaksikan timbullah Danau, dan kembali Sang Tiga memohon, supaya Danau tersebut diliadikan sawah dan sawah tersebut diberi nama subak labak serta Palinggih yang timbul seperti Ulun Danu dijadikan Panyungsungan Subak.

Pura tersebut adalah Pura Manik Galik.

Beberapa saat sekembali Sang Tiga mendengarkan serta merasakan Gempa (Linuh), begitu selesai peristiwa tersebut timbulah air yang jernih seketika itu pula air Danau menghilang kemudian air yang timbul menyebabkan terjadinya sungai yang diberi nama Tukad Nusa (Enu berarti

Yeh Tukad Se berarti Suci). Kemudian dengan timbulnya tukad itu, Sang Tiga Memohon supaya tempat itu diisi

Pancoran yang dijadikan Taman Beji dari Pura Manik Galih. Mengingat hari sudah sore dan nampaknya tidak ada lagi yang disaksikan, maka beristirahatlah Sang Tiga ditempat tinggi dan berkatalah l Pasek Bayan dengan Sang Kalih.

“Nah sekarang, segala permohonan sudah terkabul dan tujuan kita terpenuhi karena titah Sang Prabu untuk kemudian apa yang kita saksikan supaya ditulis oleh Paman Pasek

Bendesa.”

Kemudian tempat menulis tersebut, dimohonkan kepada Si

Nuhun kalau nanti jadi Desa, Desa tersebut diberi nama

Nulisan dan dibangun palinggih yang diberi Nama Saraswati

Pasandekan.Setelah segala permohonan selesai kepada Si

Nuhun, kemudian kembali Sang Tiga ke Pura Luhur Batu

Karu bertemu dengan Sang Prabu (Raja) dan begitu melihat utusan datang lalu Sang Prabu menyapa dan bertanya : “Nah, sudah paman buktikan segeralah ceritakan pada

Baginda.”Baru Raja begitu akhirnya I Pasek Bayan menceritakan penemuan dari awal sampai berakhir bahwa tempat-tempat tersebut semuanya baik (utara) kemudian tulisan yang mereka buat diserahkan kepada Raja.

Berkatalah Raja kepada sang tiga : “Nah, kalau memang sudah saking pencipta Tuhan Yang Maha Esa maka paman bertiga yang bisa bertanggung jawab (Menek Tuun di pelinggih watu Batuaji) dan kalau sudah paman disana menetap, upacara yadnya (Piodalan) pada hari Buda Keliwon paang. Dan yang menjadi Mangku Kahyangan Puseh, paman

Pasek Bayan supaya bertempat di ujung Desa (Desa Serat)

dan I Pasek Bendesa supaya menjadi Mangku Dalem serta

yang berkewajiban mengadakan perbaikan pembangunan dia

I Pasek Sangging.”

Diceritakan di Desa Batuaji sudah menjadi Desa serta ada

pura dan para penyungsung sudah banyak lalu di buat

Kuburan yang di beri nama Semo Gede, kemudian para

penyungsung membuat Pura Dalem yang diberi nama pura

Dalem Agung dan tumbuh pohon bunut besaar yang diberi

nama Bunut pajeng. Pohon yang berada di Pura Puseh dan

Pura Darem lama kelamaan dijadikan ciri pada saat

berpergian.

Demikian sekilas sejarah timbulnya Desa Batuaji untuk

dijadikan pengetahuan bagi kita sekalian dan mohon maaf

yang sebesar- besarnya jikalau ada kekeliruan.

f. Demografi dan Geografis

Kondisi topografi Desa Batuaji, Kecamatan Kerambitan,

Kabupaten Tabanan merupakan daerah landai dengan

ketinggian 175 meter diatas permukaan laut curah hujan

relatif sedang dengan batas wilayah administratif sebagai

berikut :

 Sebelah Utara : Desa Kesiut.  Sebelah Timur : Sungai Yeh Nusa.

 Sebelah Selatan : Desa Samsam.

 Sebelah Barat : Sungai Yeh Pangkit.

g. Keadaan Sosial Relegi Budaya dan Kesenian

Jumlah penduduk Desa Batuaji berdasarkan laporan

penduduk pada tahun 2010, adalah sebanyak 2314 jiwa terdiri

dari, 1126 jiwa penduduk laki-laki dan 1189 jiwa penduduk

perempuan, yang terdiri dari 709 KK. Sedangkan jumlah

RTM sebanyak 62 KK RTM.

Struktur penduduk menurut pendidikan menunjukkan kualitas

sumber daya manusia yangada di Desa Batuaji, yaitu yang

pada usia pendidikan dasar (pendidikan dasar dan menengah)

yang sedang mengikuti pendidikan sejumlah 580 orang.

Sedangkan yang berusia di atas 16 tahun (di atas usia

pendidikan dasar) yang masih mengikuti pendidikan

sejumlah 90 orang.

Struktur penduduk menurut mata pencaharian menunjukkan

bahwa sebagian penduduk menggantungkan sumber

kehidupannya di sektor pertanian dalam arti luas seperti ;

pangan, perkebunan, peternakan sejumlah (44%) dengan

petani 925 orang basah dan kering, petemak sambilan 153

orang sektor perdagangan (29%) dengan jumlah warung 27,

tengkulak 7 orang dan sektor lainnya seperti pegawai negeri sipil, buruh bagunan, karyawan swasta dari berbagai sektor

(27%).

Dari faktor religi, sebagian besar masyarakat Batuaji menganut Agama Hindu (99,5%). Namun dengan kondisi sekarang, terdapat beberapa persen penduduk yang bergama

Islam (0,34%) dan Kristen Protestan (0,16 %) dikarenakan adanya penduduk pendatang yang mendiami sementara wilayah Desa Batuaji yang bekerja pada sektor buruh batako.

Desa Batuaji memiliki 3 Desa Pakraman yaitu (1) Desa

Pakraman Pelem Gede dengan Banjar Adat Pelem Gede, (2)

Desa Pekraman Pacung dengan Banjar Adat Pacung dan

Desa Pakraman Batuaji dengan 4 Banjar Adat yaitu (1)

Banjar Adat Batuaji Kelod, (2) Banjar Adat Batuaji Kaja (3)

Banjar Adat Penulisan dan (4) Banjar Adat Jangkahan, dan masing – masing Banjar Adat semuanya memiliki pererem tersendiri.

Dari segi budaya di Desa Batuaji terdapat sebuah Pura yang termasuk Pura Tri Kahyangan, yaitu Pura Puseh Batuaji, dimana semua pelinggih terdapat batu yang menonjol dari bawah, baik dari pelinggih puseh sampai pesimpangan dan juga yang lainnya dan tidak adanya bangunan Meru seperti pura puseh pada umumnya.

Menurut sejarah desa, asal mula pura tersebut adalah bermura dari Raja Tabanan mengadakan upacara di Gunung Batukaru, dimana dari kejauhan dilihat asap putih membumbung tinggi, dan diutuslah patihnya untuk mencari dimana asap putih itu berada, dan dijumpainya Batu yang dijaga oleh urar putih

(ula petak) dengan menyemburkan api dan asap. Batu tersebut berisi tulisan (Ma Surat Batu Muda) dan disebelahnya tumbuh pohon beringin. Karena dilihat Batu itu berisi tulisan maka Desanya nanti diberi nama Desa Batuaji, dan dibangun sebuah Pelinggih (Pura) yang diberi nama “Sad

Kahyangan Buda Batuaji” dan lama kelamaan menjadi pura puseh.

Dari segi kesenian di Desa Batuaji memiliki kelompok kesenian yang berada di Banjar Adat Penulisan dan Banjar

Adat Jangkahan yang memiliki Kelompok Kesenian Arja dengan nama Tri Winangun yang selama ini tampil pada upacara – upacara adat seperti piodalan di Pura Dalem

Penulisan dan piodalan di Pura Puseh atau tampil di upacara adat warga. Kelompok kesenian arja ini berdiri pada tahun

2008 dengan jumlah anggota sekaa 45 orang, yang berawal dari ngiringan sesuwunan Tapakan Ratu Ayu Mas.

Dalam konteks ketenaga kerjaan ditemukan bahwa 75% penduduk usia kerja yang didalamnya 62% angkatan kerja dan 13% bukan angkatan kerja.

Kebudayaan daerah Desa Batuaji, tidak terlepas dan diwarnai oleh Agama Hindu dengan konsep “Tri Hita Karana”, yaitu berhubungan seraras, seimbang dan serasi antara manusia

dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan

lingkungan.

h. Potensi Wisata

Secara khusus Desa Batuaji tidak memiliki tempat wisata

namun kalau dilihat dari potensi alam yang ada di Desa

Batuaji, sebenarnya ada potensi untuk dikembangkan menjadi

wisata alam, dengan pemandangan yang indah dan masih

alami dengan sawahnya dan sumber air bersih (pancuran),

yang berlokasi di Banjar Penulisan dan Batuaji Kaja ada

potensi untuk dijadikan tempat wisata alam mengingat kedua

banjar ini memiliki sumber mata air dan pesona alam yang

indah, yang dapat dijadikan objek wisata alam, namun pada

saat ini berum bisa dikembangkan karena belum ada

pengembang untuk mengembangkan wilayah tersebut

walaupun sudah ada sinyal – sinyal kearah itu.

Puri Anyar Kerambitan terletak di Desa Baturiti, Kecamatan

Kerambitan, 7 km dari kota Tabanan. Jarak tempuh ke lokasi

ini kira-kira 28 km dari kota Denpasar dan lebih kurang 80

menit perjalanan dari Bandara Ngurah Rai Bali bila

menggunakan kendaraan bermotor.

Puri Anyar Kerambitan merupakan istana kerajaaan Tabanan

yang dibangun pada abad ke 17 dengan bentuk bangunan berciri khas Bali dan masih terawat baik. Saat ini puri tersebut masih didiami oleh generasi kesembilan dari dinasti kerajaan Tabanan. Terdapat peninggalan purbakala dan lukisan-lukisan terkenal yang dibuat pada saat itu. Puri Anyar

Kerambitan terbagi kedalam beberapa pelebahan diantaranya; cangkem kodok, bencingah puri, jaba tengah, tandakan puri, saren agung dan pemerajan agung. Areal suci di Puri Anyar

Kerambitan ini adalah merajan agung dengan dekorasi unik berupa piring-piring kuno yang berasal dari Belanda dan

Cina.

Keunikan lain dari puri ini adalah adanya kegiatan pagelaran kesenian Tektekan, Joged Bumbung, Andir dan Leko yang dilengkapi dengan penyambutan dan penyuguhan santap malam ala puri atau kerajaan sesuai dengan pesanan para tamu yang datang.

Banyak orang terkenal yang datang kesini antara lain; King

Hussein, Prince Bartiel of Sweden, Kurt Waldheim, Mick

Jagger, David Bowie. Ini bisa terlihat dari foto-foto yang terpajang pada ruang tamu puri.

Puri ini berada di area seluas satu setengah hektar. Awal mula dibukanya puri ini untuk mendukung kepariwisataan di

Kabupaten Tabanan tahun 1967. Bermula dari ide bapak

Agung Ngurah Oka Silagunadha (generasi kesembilan Raja

Tabanan) membuat program penyambutan dan penyuguhan santap malam kepada tamu yang datang ala tamu kerajaan

yang di iringin dengan kegiatan kesenian. Beberapa bulan

kemudian setelah puri ini dibuka untuk umum banyak

wisatawan lokal maupun asing yang datang mengunjungi

Puri Anyar Kerambitan. Di antara tamu yang datang terdapat

kru dari radio BBC London, televisi Perancis, televisi Jepang

dan beberapa wartawan dari Eropa. Sejak saat itu Puri Anyar

Kerambitan menjadi populer di manca negara untuk

kunjungan wisata, acara budaya dan makan malam.

Masyarakat sekitar pada rata-rata bermata pencaharian

sebagai petani, namun sejak puri ini buka untuk umum

berdampak fositif terhadap perekonomian. Fasilitas yang

terdapat di area puri; tempat parkir dan toilet, sedangkan

untuk akomondasi anda bisa menyewa kamar yang berada

dilingkungan puri.

4.1.2. Puri Anyar Kerambitan

a. Sejarah

Puri Anyar Kerambitan terletak di Desa Baturiti, Kecamatan

Kerambitan, berjarak 7 km dari Kota Tabanan atau 28 km dari Kota

Denpasar dan capai dicapai dengan waktu 80 menit menggunakan

kendaraan bermotor.

Puri Anyar Kerambitan adalah Istana Kerajaan Tabanan yang

dibangun pada abad ke XVII menggunakan arsitektur bali dan masih memiliki kondisi yang sangat baik. Puri Anyar Kerambitan saat ini masih dihuni oleh generasi kesembilan. Di Puri Anyar Kerambitan terdapat beberapa artefak dan lukisan kuno yang dibuat pada masa itu.

Puri Anyar Kerambitan terbagi menjadi beberapa bagian, seperti cangkem kodok, bencingah puri, jaba tengah, tandakan puri, saren agung dan pemerajan agung. Kawasan paling suci di dalam istana tersebut adalah merajan agung, yang memiliki dekorasi unik yang terbuat dari lempengan-lempengan kuno yang didatangkan dari

Belanda dan Cina. Keunikan lainnya dari istana ini adalah pertunjukan seni Tektekan, Joged Bumbung, Andir, dan Leko termasuk tinggal dan jamuan makan malam sesuai dengan permintaan pengunjung.

Istana ini memiliki luas 1,5 hektar dan pertama kali dibuka untuk kunjungan pariwisata pada Tahun 1967. Pembukaan Puri Anyar

Kerambitan sebagai destinasi pariwisata pertama kali diinisiasi oleh

Agung Ngurah Oka Silagunadha (generasi ke Sembilan Raja Tabanan) dengan membuat sejumlah program penerimaan tamu kerajaan dan makan malam kerajaan disertai dengan pertunjukan seni. Beberapa bulan setelah istana dibuka untuk umum, terdapat banyak kunjungan wisatawan lokal dan internasional, diantaranya adalah kru radio BBC

London, Perancis dan kru televise Jepang, dan beberapa jurnalis dari

Eropa. Puri Anyar Kerambitan menjadi popular di luar negeri sebagai sebuah destinasi wisata, pertunjukan budayanya dan makan malam kerajaannya. Masyarakat lokal pada umumnya bekerja sebagai petani. Tetapi setelah istana dibuka untuk umum, terdapat beberapa pengaruh positif terhadap perekonomian masyarakat lokal. Pengunjung dapat menyewa kamar di sekitar istana sebagai akomodasi.

Sejarah Puri Anyar Kerambitan dimulai dari menyerahnya Kerajaan

Bali Kuno “Bedulu” kepada Kerajaan Majapahit (Jawa), Pulau Bali kemudian diperinta oleh Bangsawan kerajaan dari Majapahit. Hal tersebut terjadi pada abad ke XIII. Bali dibagi menjadi depalan wilayah yang kemudian menjadi delapan kerajaan dan sekarang menjadi delapan kabupaten di Provinsi Bali. Salah satu dari delapan kerajaan tersebut adalah Tabanan yang terletak di barat daya Pulau

Bali.

Selama kekuasaan Raja Tabanan ke XII, bernama Ida Cokorda Mur

Pemade Ratu Singhasana Tabanan, dia tidak memiliki anak dan bahkan ketika raja menjadi tua yang terjadi pada abad ke XVI. Raja begitu sedih dan kemudia raja melakukan sumpah janji sampai dia diberikan anak, dan anak pertama yang lahir akan menjadi raja masa depan.

Pada akhirnya, raja dikarunia seorang anak yang diberi nama Sira

Arya Ngurah Sekar, yang lahir dari seorang ibu berkasta rendah

(”pendawing”) bernama Mekel Sekar. Anak laki-laki tersebut kemudia tumbuh sebagai raja ke XIII Kerajaan Tabanan dengan gelar Ida

Cokorda Di Sekar sesuai dengan janji ayahnya. Segera sesudahnya, raja kemudian dikarunia lagi anak laki-laki lainnya yang lahir dari permaisurinya Gusti Ayu Wayan Gede

(“Padmi”). Dia dimahkotai sebagai pangeran Kerajaan Tabanan bernama Sira Arya Ngurah Gde. (Kemudian raja meninggal dengan damai).

Karena dia dimahkotai sebagai seorang pangeran tetapi tidak memiliki jabatan resmi dan juga karena berbagai alasan lainya, Sira Arya

Ngurah Gde kemudian dikirim keluar oleh saudara laki-lakinya, sang raja, ke lereng gunung Batukaru sebelah utara dan tibia di desa Banjar

(dekat Kota Singaraja saat ini), kemudia tinggal di sebuah rumah pendeta suci selama berbulan-bulan sampai kemudian sekelompok pencari yang dikirim oleh raja menemukannya disana.

Sira Arya Ngurah Gde tidak ingin pulang ke rumah, jika saudara laki- lakinya tidak memberinya sebuah wilayah di wilayah tabanan. Raja merasa bahagia dan kemudian memberiknya setengah dari Kerajaan

Tabanan untuk dirinya dan bahkan membangunkannya sebuah istana yang sangat miri dengan istana raja.

Kemudian, Sira Arya Ngurah Gde pergi ke barat daya Bali, sesuai dengan nasehat dari pendeta suci yang mengatakan : Ketika asap muncul dari bumi dia harus berhenti dan menetap disana; Sira Arya

Ngurah Gde kemudian menemukan sebuah kawasan “Rawit”

(“Rawit” berarti cantik beautiful). Tiba-tiba dia melihat sebuah asap besar muncul dari bumi dan dia memutuskan untuk berhenti dan tinggal di kawasan “Rawit” tersebut (Rawit menjadi KERAWITAN yang kemudian menjadi KERAMBITAN dan menjadi nama desa tradisional Kerambitan). Kawasan ini tidak terlalu jauh dari

Kabupaten Tabanan.

Pada masa kekuasaannya, Sirarya Ngurah Gde diberi gelar: Cokorda

Dibanjar. Di wilayah baru yang disebut Kerambitan, dimana istana tersebut terletak, istananya disebut Puri Gde Kerambitan. Dia memerintah dengan bijaksana dan dicintai oleh masyarakatnya – damai dan aman.

Generasi berikutnya, putera mahkota Prince Sirarya Ngurah Made

Dangin, yang disebut dengan nama Cokorda Ngurah Made Dangin, membangun Puri Anyar Kerambitan (Puri = Istana, Anyar = Baru).

Sehingga Puri Anyar Kerambitan lahir sebagai sebuah istana baru di abad ke XVII di Desa Kerambitan.

Puri Anyar Kerambitan membuka Kori Agungnya untuk tamu-tamu kehormatan dan kunjungan wisatawan pada Tanggal 4 Juli 1967.

Sejak Undang-Undang Reformasi Lahan yang baru diterapkan di

Republik Indonesia pada Tahun 1961, Bali merupakan salah satu dari

27 Provinsi yang menerimanya tanpa pengecualian. “Reformasi

Lahan” adalah sebuah undang-undang untuk membatasi kepemilikan lahan sebuah keluarga (satu keluarga hanya boleh memiliki hanya 5 hektar). sehingga Puri Anyar Kerambitan yang memiliki lahan seluas

± 300 hektar harus meredistribusikannya ke warga desa.

Sejak Tahun 1961, Puri Anyar Kerambitan dan istana-istana lainnya di

Pulau Bali memiliki sedikit property yang dikelola oleh sedikit orang yang bekerja untuk istana. Oleh karena itu, kepala keluarga sebagai generasi ke IX Puri Anyar Kerambitan, Anak Agung Ngurah Oka

Silagunadha (yang lebih suka dipanggila Bapak Oka),mengalami kesulitan bagaimana melestarikan dan melindungi istana khususnya dalam mengelola dan mengorganisasi begitu banyaknya bangunan, upacara-upacara tradisional dan kesulitan-kesulitan lainnya yang muncul. Hal tersebut disebabkan oleh terbatasnya lahan produktif dan dukungan masyarakat. This was due to limited productive land and supporting people. Suatu hari pada Bulan Maret 1967, Bapak Oka mendapatkan sebuah inspirasi (atau mimpi), dan kemudian dia merekonstruksi cerita masa lalu nenek moyangnya untuk menerima tamu kerajaan. Dia kemudian menciptakan sebuah orkestra tradisional unik TEKTEKAN sebagai sebuah pertunjukan kerajaan.

Kemudian dia mulai mengkobinasikan aktivitas-aktiitas tradisional kerajaan dan makan malam dengan drama TEKTEKAN yang unik dalam sebuah program yang disebut “Royal Reception” atau

“Cultural Evening”. Pada Bulan Juli 1967 dia membuka “Kori

Agung” Puri untuk menerima pengunjung untuk pertama kalinya

(“Kori Agung” berarti gerbang utama istana).

Beberapa bulan kemudian banyak pengunjung dan orang-orang dari luar negeri dating mengunjungi Puri Anyar Kerambitan dengan kamera mereka. (ada tim dari B.B.C. London, televise Perancis television, Televisi Jepang, Jurnalis dari Eropa dan lainnya). kemudian, banyak VIPs dari pemerintahan seperti perwakilan King

Hussein dari Yordania, perwakilan Perdana Menteri Fukuda dari

Jepang, Menteri dan Duta Besar dari luar negeri, Pangeran Bartil dari

Swedia, dan selebriti-selebriti kelas dunia seperti Mick Jagger dan

keluarga family, David Bowie, Super Tramp (grup musik ), Jodi

Setiawan, WS Rendra, delegasi walikota-walikota dari Negara-negara

Asean Pasific, delegasi konferensi dari dalam dan luar negeri,dll.

Program tersebut sangat didukung oleh masyarakat desa di sekitar

istana sehingga seniman, penari-penari dan orkestra desa untuk

bergabung dan berpartisipasi dalam program. Oleh karena itu

masyarakat desa kembali ke Puri Anyar Kerambitan seperti yang

diinginkan oleh Kepala Keluarga: Bapak Oka. Baik masyarakat desa

dan keluarga puri menciptakan kolaborasi dan sinergi tanpa batas

untuk menjaga dan melestarikan atmosfere, tradisi dan hubungan yang

harmonis antara puri dan masyarakat desa.

Sejak Puri Anyar Kerambitan terkenal sebagai tempat kunjungan

wisatawan, event budaya seperti makan malam kerajaan dan

pernikahan kerajaan, puri tidak memerlukan lagi lahan dan sawah

yang besar lagi.

b. Seni dan Budaya

Tari bali merupakan bagian organik dari masyarakat pendukungnya

dan perwatakan dari masyarakatnya tercermin dalam tari. (I Made Bandem, 1983). Menurut struktur masyarakatnya, seni tari bali dapat dibagi menjadi 3 (Tiga) periode yaitu:

 Periode Masyarakat Primitif (Pra-Hindu) (20.000 S.M-400 M)

 Periode Masyarakat Feodal (400 M-1945)

 Periode Masyarakat modern (sejak tahun 1945)

Daerah Kerambitan terkenal karena kesusastraan klasik mereka, Tari

Legong, lukisan bertemakan wayang, ukiran baik batu maupun kayu dan tektekan (semacam orkestra tradisional) yang dipercaya mempunyai kekuatan magis. Di tempat ini juga msih terdapat bangunan-bangunan kuno dari abad ke 17. Bagunan tersebut berupa semacam istana yang oleh masyarakat setempat disebut puri, Puri

Gede dan Puri Anya yang bisa menjadi tujuan wisata budaya Anda .

Juga terdapat sebuah pura dari jaman neolithicus yaitu Pura Ulun

Desa, Anda bisa bertanya jalan pada penduduk di sana.

Salah satu daya tarik Puri Agung Kerambitan adalah Gamelan

Tektekan. Gamelan tektekan pada khususnya berfungsi untuk mengusir bhuta kala pada saat masyarakat merasakan desa sedang grubug, yang artinya desa sedang dilAnda penyakit non medis dan juga pada hari Pengrupukan, ritual ini menjadi budaya masyarakat kerambitan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Dalam menabuh gamelan tektekan ini siapapun boleh menyuarakannya, dalam arti tidak terikat oleh keanggotaan sekaa.

Tektekan lebih mirip prosesi dari pesta dansa, sekelompok orang yang membawa drum split bambu dan cowbells raksasa di leher mereka bermain untuk menakut-nakuti roh jahat setiap kali kekeringan, epidemi atau wabah hits desa. Akhirnya seluruh orkestra jatuh ke trance, dan dipersenjatai dengan pisau keris mereka menyerang penyihir Rangda jahat. Waktu terbaik untuk melihat tektekan adalah saat eksorsisme, sehari sebelum Nyepi (tahun baru Bali), acara-acara khusus lain atau pada kedatangan kelompok besar wisatawan. Pada awal dan akhir sebuah tektekan darah seekor ayam atau bebek harus dikorbankan.

Dalam Puri Agung Kerambitan, istana terbesar, Anda dapat menikmati kebun damai dan beberapa bangunan asri dan menarik ditutupi oleh porselen Cina dan Belanda. Ada candi di sini dengan kuburan keluarga, satu untuk setiap generasi, juga dijamin dengan porselen. Beberapa selebriti telah mengunjungi objek wisata budaya ini dan memiliki gambar mereka di dinding, seperti Raja Hussein, urt

Waldheim, David Bowie dan Mick Jagger.

Jenis-Jenis seni dan budaya yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan adalah :

1) Tektekan

Dalam lingkup karawitan Bali, yaitu mengenai musik Bali yang

memiliki keunikan dan struktur tersendiri yang merupakan suatu

warisan nenek moyang dan orang-orang terdahulu yang

mengalami suatu kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah

sehingga mempengaruhi kebiasaan dan kebudayaan generasi

penerusnya termasuk peninggalan berupa artefak kebudayaan. salah satu artefak kebudayaan yang dimaksud adalah „tektekan‟.

Tektekan dilihat dari etimologi atau asal mula terbentuknya suatu kata, tektekan berasal dari kata „tek‟ yang merupakan bunyi yang dihasilkan oleh instrument sederhana dari bamboo yaitu „kulkul‟ dimainkan dengan cara dipukul dan menghasilkan suara „tekk‟lalu di jadikan kata benda menjadi TEKTEKAN.

Tektekan merupakan salah satu kesenian karawitan khas dari daerah tabanan yaitu tepatnya di daerah/kecamatan kerambitan, kesenian tektekan pada awal mulanya merupakan suatu ritual atau upacara yang bertujuan untuk mengusir dan menetralisir bala dan wabah penyakit di desa kerambitan tabanan karena menurut informasi yang saya peroleh, pada tahun 1920 warga kerambitan tabanan mengalami musibah grubug/penyakit non medis, yang konon disebabkan oleh mahluk halus, banyak menelan korban dan tentu saja masyarakat pada waktu itu merasa hawatir, untuk mengurangi rasa takutnya masyarakat berbondong-bondong keluar rumah dan sengaja untuk membuat kegaduhan dengan membunyikan barang-barang bekas yang tidak terpakai.

Sepuluh tahun setelah peristiwa tersebut tepatnya pada tahun

1930 masyarakat kerambitan kembali mengalami musibah serupa, dan mencoba berbagai cara untuk menghilangkan wabah penyakit itu termasuk melakukan upacara ritual mecaru dan kembali membunyikan alat-alat yang bersuara keras, mulai saat itulah kulkul di buat. Selanjutnya setelah tahun 1965 tektekan akhirnya menggunakan ceritra Calonarang yang disesuaikan dengan sifat awal terciptanya

Tektekan sebagai upaya pengusiran roh jahat yang berhubungan dengan bhuta kala kemudian dengan mengarak Barong dan

Rangda mengelilingi desa, kegiatan seperti ini rutin dilakukan terutama pada hari pengerupukan yaitu sehari sebelum hari Nyepi dengan diikuti segenap warga masyarakat Desa

Kerambitan. Adapun instrument yang dipergunakan dalam barungan tektekan adalah dua buah kendang, sebuah kecek, suling, kajar,sepasang gong, serta kulkul yang berjumlah banyak(bebas)

Seiring berjalannya waktu Tektekan berkembang menjadi suatu seni pertunjukan yang dipentaskan demi kebutuhan pariwisata budaya di desa kerambitan, disaksikan oleh tourist domestik maupun mancanegara.

Upacara Mreteka Merana/Ngaben Tikus, sudah sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Kabupaten Tabanan, khususnya oleh krama subak di wilayah desa pekraman Bedha, desa Bongan , kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan. Mengingat wilayah di desa ini sebagian besar penduduknya hidup dari bercocok tanam, khususnya padi. Sehingga upacara yang berhubungan dengan keselamatan dan kesuburan tanaman, khususnya padi, sudah sering dilaksanakan baik secara rutin seperti Masembuhan dan Nanggeluk Merana maupun tidak rutin (Nabgata Kala) seperti

Ngalepeh dan Mreteka Merana.

Upacara Mreteka Merana/Ngaben bikul ini oleh beberapa subak di Bali belum memasyarakat sekali walaupun krama subak di wilayah desa pekraman Bedha sudah sering melakukannya, sehingga upacara ini dianggap sebagai Loka Dresta (kebiasaan setempat) apalagi upacara ini dilaksanakan ditempat suci yaitu di penataran Baleagung Pura Puseh Luhur Bedha, namun dilihat dari hasilnya setelah upacara ini dilaksanakan ternyata telah memberikanh bukti nyata bagi kehidupan para petani.

Mreteka Merana terdiri dari dua kata yaitu kata Mreteka dan kata

Merana. Mreteka artinya mengupacarai, Merana artinya hama penyakit. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi. Pelaksanaan upacara ini sesuai dengan isi lontar

(kitab) seperti lontar Sri Purana dan lontar Dharma Pemacula yang menyebutkan Kapreteka, sama luirnya mretekaning wong mati bener artinya diupacarai seperti mengupacarai orang mati.

Oleh karena itu, pandangan masyarakat awam pada akhirnya mengkonotasikan upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben Tikus) karena upacaranya seperti orang ngaben di Bali yang membawa Cuntaka (tidak suci). Pandangan seperti ini hendaknya perlu diluruskan. Untuk lebih jelasnya, bahwa upacara Mreteka Merana ini tergolong dalam upacara Bhuta Yadnya (mengupacarai sarwa prani) . Bhuta

Yadnya adalah upacara yang tidak membawa cuntaka (tidak suci)

. Untuk upacara Bhuta Yadnya ada bermacam-macam seperti memakai layang-layang (kulit binatang) ada yang ditanam ada binatang yang diselamkan di laut atau didanau, yang namanya mulang pekelem termasuk di upacarai seperti orang mati yang namanya mreteka merana.

Menurut Lontar Sri Purana dan Dharma Pemaculan, Preteka ring Bale Agung, gesengeng ring tepining samudra, “artinya upacarai di pura Bale Agung dan di bakar di tepi laut”, maka untuk di desa Pekraman Bedha upacara mreteka merana ini dilaksanakan dipenataran Bale Agung Pura Luhur Bedha dan pembakarannya dilasngungkan di pantai Yeh Gangga.

Di desa pekraman Bedha upacara seperti ini dilaksanakan apabila hama tikus dan hama lainnya telah menyebabkan gangguan yang sudah luar biasa dan tidak bisa dikendalikan.

Upacara mreteka merana ini sudah lebih dari enam kali dilaksanakan. Pada tahun 2000 pernah dilaksanakan, setelah itu tanaman tidak pernah lagi terserang oleh hama penyakit sampai tahun 2008. Akan tetapi sejak tahun 2008 hama penyakit khususnya hama tikus lagi merajalela sampai tidak bisa dikendalikan. Itulah sebabnya berdasarkan kesepakatan krama subak di wilayah desa pekraman Bedha yang terdiri dari subak

Gubug I, subak Gubug II, subak Sakeh, subak Tanah Pegat, subak

Lanyah Wanasara, subak Bengkel dan Pangkung Tibah yang luasnya 900 Ha melaksanakan upacara Mreteka Merana.

Sesuai dengan isi lontar Kerti Cama dan lontar Purwana Yama

Tatwa, tata cara pelaksanaannya sebagai berikut, memakai perwujudan badan wadan wadag (awak awakan) yang disebut sekah, terdiri dari belulang (kulit tikus) . Ini yang diupacarai

(diringkes) yang pelaksanaannya seperti mengupacarai orang mati. Oleh karena dalam upacara ini kita menggunakan kulit tikus, sudah barang tentu tikus itu, sebelum upacara kita bunuh.

Pembunuhan ini dibenarkan oleh lontar Purwana Yama Tatwa, asal pembunuhan itu tidak menggunakan senjata tajam (Haywa pinatian dening sanjata malandep, apan hilang gunaning sanjata ika, lan ngawe tuaken cuntaka ). Sebab ketajaman senjata itu akan hilang dan menyebabkan cuntaka (tidak suci) Pembunuhan supaya dilaksanakan dengan cara mengikat , dijepit dengan belatung dan duri duri kemudian dibuang ditengah laut.

Sesuai dengan isi lontar Usada Sawah , perwujudan badab wadag

(awak awakan) sekah itu terdiri dari 5 buah karena tikus itu adalah penjelmaan ari-ari, darah , yeh nyom (air ketuban) dan lamad. Ari0ari, tikus kuning, darah tikus merah, air ketuban tikus hitam Lamas tikus putih dan ada lagi tikus mancawarna (berwarna lima) Kulit tikus itu yang dipakai perwujudan badan wadag

(pengawak) .

Sesuai dengan isi lontar Purwana Yama Tatwa, tata cara

mengupacarai tikus itu adalah pada saat bertepatan dengan bulan

tikus (kapreteka nangken rasi tikus). Kalau tidak diupacarai ia

akan manjadi hama memakan tanaman, semua tanaman petani

milik petani, oleh karena tikus dan hama lainnya, lahir dari

manusia yang berprilaku yang tidak baik (wang apakrama). Cara

mengupacarai sama seperti mengupacarai manusia yang sudah

mati (Preteka luirning wong mati bener). Untuk di Desa

Pekraman Bedha, upacara ini dilaksanakan apabila hama tikus

dan lainnya sudah tidak bisa dikendalikan.

2) Okokan

Okokan adalah salah suatu alat musik bunyi-bunyian yang pada

umumnya terbuat dari bahan kayu yang dilobangi hampir

menyerupai kentongan, tetapi didalamnya diisi pemukul yang

disebut palit.

Kesenian okokan ini terdiri dari beberapa alat musik tradisi yang

diambil dari alat-alat yang dipakai para petani seperti

: Okokan yaitu kalung keroncongan sapi, Teng-Teng yaitu bekas

cangkul petani, dan Kulkul yaitu alat yang dipakai untuk

menghalau burung atau tetengeran di ladang oleh petani. Okokan

ini akan mengeluarkan irama tertentu jika diayun-ayunkan. Banjar Belong, Desa Baturiti Kerambitan,Tabanan, 2km kearah utara dari Pasar Kerambitan. Desa yang masih asri dengan berbagai tanamannya, jauh dari kesan polusi, disinilah lahir okokan pertama yang lahir dikecamatan Kerambitan. Berawal dari tradisi agraris secara turun temurun dari para tetua atau para leluhur, maka alat musik ini sudah merupakan bagian dari kehidupan petani tradisional di Banjar Belong. Untuk mengisi waktu saat menunggu musim panen, para tetua terdahulu membuat alat musik okokan dalam ukuran yang cukup besar.

Okokan ini tidak dipasang pada binatang piaraan, tetapi dikalungkan langsung pada leher orang dan di ayun-ayunkan, kegiatan ini biasanya diperagakan untuk upacara tertentu dan menghibur diri sambil menunggu musim panen tiba. Okokan ini dimainkan untuk mengusir wabah, sesuai kepercayaan bahwa wabah yang menyerang itu disebabkan oleh mahluk halus, maka harus diusir dengan membunyikan alat-alat yang menghasilkan bunyi, maka digunakanlah okokan dengan dimainkan oleh beberapa orang untuk mengusir wabah.

Ritual ini disebut Ngerebeg, Untuk menambah sakral ngerebeg, maka okokan ini diiringi dua buah kendang, yang disebut kendang gede. Kendang gede ini dibuat kira-kira tahun 1917 selanjutnya kendang gede inilah yang dipercaya warga Banjar

Belong diyakini memiliki kekuatan magis. Secara religious alat ini juga dipakai untuk mengusir roh-roh jahat, terbukti setiap sehari sebelum Hari Raya Nyepi alat ini dipakai untuk ngerebeg keliling desa. Sehingga sampai sekarang alat ini selalu dipakai untuk sarana pengerebegan baik saat-saat ada upacara mecaru agung seperti mebalik sumpah maupun acara agama lainnya.

Lambat laun okokan bukan hanya digunakan untuk hal yang berkaitan dengan acara ritual, tetapi juga pada kegiatan-kegiatan seperti acara keramaian, lomba desa, 17 agustusan, penyambutan pejabat, pementasan di hotel-hotel untuk menghibur para tamu yang ingin menikmati kesenian tradisi serta event-event di tingkat provinsi maupun kabupaten seperti Pentas Kesenian Bali, Parade

Senja dan sebagainya. Okokan ini pertama kali ditampilkan secara komersial pada bulan Juni 1991, di Hotel Putri Bali di Nusa Dua, pementasan pertama kalinya ini mendapat sambutan yang sangat meriah dari wisatawan mancanegara.

Jumlah instrument dari barungan okokan yaitu ada 30 buah,1 kendang dan 1 kajar. Personil dari barungan okokan tergantung dari barungan instrument itu sendiri. Repertoar lagu yang sering dimainkan seperti gamelan baleganjur. Gambelan okokan juga dilengkapi alat-alat musik Bali lainnya untuk menambah indah dan uniknya suara okokan, antara lain gong, kendang, tawa-tawa, dan lain-lainya. Dalam pementasan kesenian okokan mengambil cerita Cupak, dimana diceritakan di suatu wilayah terkena bencana gering karena ulahnya Garuda. Okokan dipakai warga untuk ngerebeg, dan berkat bantuan Cupak, Garuda bisa dikalahkan sehingga wilayah itu menjadi aman dan tentram.

Okokan juga biasanya dipentaskan di Puri Agung

Kerambitan dan Puri Anyar Kerambitan sebagai hiburan untuk

wisatawan mancanegara.

3) Tari Rejang

Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara

masal, gerak-gerik tarinya sangat sederhana (polos) yang biasanya

ditarikan di Pura Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara.

Tarian ini dilakukan dengan penuh rasa hidrat, penuh rasa

pengabdian kepada Bhatara Bhatari. Para penarinya mengenakan

pakaian upacara, menari dengan berbaris melingkari halaman

Pura atau Pelinggih yang kadang kala dilakukan dengan

berpegangan tangan. Tari Rejang di beberapa tempat juga disebut

dengan Ngeremas atau Sutri.

Jenis-jenis tari Rejang antara lain : Rejang Renteng, Rejang

Bengkel, Rejang Ayodpadi, Rejang Galuh, Rejang Dewa dan

lain-lainnya. Di desa Tenganan terdapat tari-tari Rejang Palak,

Rejang Membingin yang kemudian dilanjutkan dengan Rejang

Makitut dan Rejang Dewa. Tari Rejang di Tenganan diiringi

dengan gambelan Selonding yang biasanya dilakukan dalam suatu

upacara yang disebut Aci Kasa.

4) Tari Baris Tari baris berasal dari kata Babarisan yang dapat diartikan pasukan. Disamping merupuakan tari kepahlawanan tari baris juga merupakan tarian upacara yang ditarikan oleh sejumlah penari laki laki, antara 4 ( empat ) sampai 40 ( empat puluh ) penari bahkan lebih. Beberapa jenis baris yang ada di Bali antara lain:

 Baris Ketekok jago :

Baris yang membawa senjata tombak poleng ( tombak yang

tangkainya berwarna hitam dan putih ) biasa dipertunjukkan

untuk upacara Manusa Yadnya ( Ngaben ) dan diiringi dengan

gambelan gong. Baris ini banyak dijumpai di Daerah Badung

dan Singaraja disebut Baris Badung.

Baris Tombak : Baris yang mempergunakan senjata tombak, ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya dan diiringi dengan Gong.

Baris ini banyak dijumpai di Daerah Badung, Bangli dan Gianyar.

 Baris Poleng : Semacam Baris Ketekok jago. Baris Dadap

Baris yang membawa senjata dadap ( semacam prisai ) yang

biasa dipentaskan untuk upacara Dewa Yadnya. Di Tabanan

ini berfungsi sebagai sarana upacara Pitra Yadnya. Baris

Dadap banyak dijumpai didaerah Bangli, Singaraja Gianyar

dan Tabanan.

 Baris Presi : Baris yang senjatanya dinamakan Presi, berfungsi

sebagai upacara Dewa Yadnya. Baris Pendet Baris yang merupakan sarana upacara tombak yang panjang, terdapat di

daerah Bangli, Gianyar dan Nusa Penida (Klungkung).

 Baris Gayung : Baris yang didalamnya tariannya membawa

gayung atau cantil ( alat untuk membawa Air Suci ).

 Baris Demang : Baris yang perannya mendapat pengaruh

gambuh, mempergunakan senjata pedang dan lain-lainya. Baris

ini terdapat di daerah Singaraja.

 Baris Cerekuak : menggambarkan gerak gerik burung

Cerekuak dengan busana yang sangat sederhana (Babuletan),

hiasan kepalanya dibuat dari daun-daunan seperti tarian Dayak

di Kalimantan.

5) Tari Legong Kraton

Legong adalah salah satu tari Bali yang terkenal di dunia

pariwisata Bali. Bahkan tarian ini sudah banyak dimainkan di

negara – negara lain. Dari semua tarian klasik Bali, Legong tetap

menjadi intisari feminitas dan keanggunan. Kata Legong berasal

dari kata “leg” yang berarti gerak tari yang luwes atau lentur,

“gong” berarti gamelan; “Legong” dapat diartikan sebagai

gerak tari yang terikat oleh gamelan yang mengiringinya.

Konon ide awal dari Tari Legong berasal dari seorang

pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras

bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran sembuh dari sakitnya mimpi tersebut dituangkan kedalam tarian dengan gamelan lengkap. Tari Legong ditarikan oleh 2 orang penari anak

– anak yang belum puber (14 tahun-an), namun pada beberapa

Tari Legong terdapat seorang penari tambahan yang disebut dengan condong yang tidak dilengkapi dengan kipas; selain itu juga pada beberapa tempat Tari Legong ini ditarikan oleh wanita dewasa.

Terdapat sekitar 18 tari Legong yang dikembangkan di selatan

Bali, seperti Gianyar, Badung, Denpasar dan Tabanan; misalnya

Tari Legong Kraton (Lasem), Tari Legong Jobog, Tari Legong

Legod Bawa, Tari Legong Kuntul, beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung

(Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.

Salah satu Tari Legong yang paling terkenal adalah Legong

Kraton (Lasem), pada Tari Legong ini seorang penari (condong) akan muncul pertama kali, kemudian menyusul 2 orang penari

(legong). Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji(abad ke-12 dan ke-13, masa kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang termasuk kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculik putri tersebut. Sang putri menolak pinangan sang Adipati karena ia telah terikat oleh Raden

Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri

yang merupakan kakak dari putri Rangkesari menyatakan perang

dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, sang Adipati Lasem

harus berperang menghadapi serangan burung garuda, dan ia

berhasil lolos. Namun akhirnya ia meninggal dalam perang

melawan raja Daha.

6) Tari Barong

Tari Barong adalah tarian khas Bali yang berasal dari khazanah

kebudayaan Pra-Hindu. Tarian ini menggambarkan pertarungan

antara kebajikan (dharma) dan kebatilan (adharma). Wujud

kebajikan dilakonkan oleh Barong, yaitu penari dengan kostum

binatang berkaki empat, sementara wujud kebatilan dimainkan

oleh Rangda, yaitu sosok yang menyeramkan dengan dua taring

runcing di mulutnya.

Ada beberapa jenis Tari Barong yang biasa ditampilkan di Pulau

Bali, di antaranya Barong Ket, Barong Bangkal (babi), Barong

Macan, Barong Landung. Namun, di antara jenis-jenis Barong

tersebut yang paling sering menjadi suguhan wisata adalah

Barong Ket, atau Barong Keket yang memiliki kostum dan tarian

cukup lengkap.

Kostum Barong Ket umumnya menggambarkan perpaduan antara

singa, harimau, dan lembu. Di badannya dihiasi dengan ornamen dari kulit, potongan-potongan kaca cermin, dan juga dilengkapi bulu-bulu dari serat daun pandan. Barong ini dimainkan oleh dua penari (juru saluk/juru bapang): satu penari mengambil posisi di depan memainkan gerak kepala dan kaki depan Barong, sementara penari kedua berada di belakang memainkan kaki belakang dan ekor Barong.

Secara sekilas, Barong Ket tidak jauh berbeda dengan Barongsai yang biasa dipertunjukkan oleh masyarakat Cina. Hanya saja, cerita yang dimainkan dalam pertunjukan ini berbeda, yaitu cerita pertarungan antara Barong dan Rangda yang dilengkapi dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Kera (sahabat Barong), Dewi Kunti,

Sadewa (anak Dewi Kunti), serta para pengikut Rangda.

Macam-macam Tari Barong :

 Barong Ket

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang

paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan

serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari

wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa,

macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan

ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang

berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun

sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu

burung gagak.

 Barong Bangkal : Bangkal artinya babi besar yang berumur tua, oleh sebab itu

Barong ini menyerupai seekor bangkal atau bangkung,

Barong ini biasa juga disebut Barong Celeng atau Barong

Bangkung. Umumnya dipentaskan dengan berkeliling desa

(ngelelawang) oleh dua orang penari pada hari-hari tertentu

yang dianggap keramat atau saat terjadinya wabah penyakit

menyerang desa tanpa membawakan sebuah lakon dan

diiringi dengan gamelan batel / tetamburan.

 Barong Landung

Barong Landung adalah satu wujud susuhunan yg berwujud

manusia tinggi mencapai 3 meter. Barong Landung tidak

sama dengan barong ket yg sudah dikomersialisasikan.

Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya

sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan umat. Barong

Landung banyak dijumpai disekitar Bali Selatan, spt Badung,

Denpasar, Gianyar, Tabanan.

 Barong Macan

Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor

macan dan termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan

masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa

dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam

Arja serta diiringi dengan gamelan batel.

7) Oleg Tamulilingan Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan

tambulilingan berarti kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg

Tambulilingan melukiskan gerak-gerik seekor kumbang, yang

sedang bermain-main dan bermesra-mesraan dengan sekuntum

bunga di sebuah taman. Tarian ini sangat indah.

Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan

Mangisep Sari, merupakan ciptaan I Ketut Mario dari Tabanan

pada tahun 1952 atas permintaan John Coast (dari Amerika).

Tari Oleg Tambulilingan yang diraciknya pada tahun 1951 hingga

kini senantiasa abadi. Remaja putra dan putri selalu bermimpi

untuk bisa menarikannya dengan sempurna. Selain sebagai simbol

romantisme laki-perempuan, gerak tari Oleg juga mengandung

karakter keindahan yang khas Bali. Foto-foto Oleg selalu

menghiasi majalah, iklan penerbangan, iklan bank, billboard

pinggir jalan dan media lain yang ingin melukiskan khasnya

keindahan Bali. Namun tidak banyak yang tahu awal mula

koreografer I Mario menciptakan tari ini, apalagi mengetahui stil

gerakannya yang asli. Untuk mengenal Mario, Disbudpar

Tabanan menggelar Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar

Terompong se-Bali, 25-27 Maret lalu, di Gedung Mario Tabanan.

8) Sendratari Ramayana

Sendratari ini termasuk tarian yang sering saya tarikan.

Sendratari ini adalah karya I Wayan Beratha yang diciptakan pada tahun 1965. Sendratari ini banyak memakai busana pewayangan

Bali dengan pengolahan pada beberapa bagiannya. Cerita yang diambil dalam sendratari Ramayana ini biasanya bermula dari pengembaraan Rama, Sita dan Laksmana ditengah hutan

Dandaka, munculnya Kijang Emas, dilarikannya Sita oleh

Rahwana, perang Rahwana dengan Jatayu, Hanoman menghadap

Rama, Hanoman diutus ke Alengka dan berakhir dengan kembalinya Dewi Sita kepada Rama. Selain diiringi dengan Gong

Kebyar sendratari ini juga dilengkapi dengan gerongan dan tandak oleh dalang.

Ada dua jenis sendratari Ramayana, kecil dan besar, yang pernah ada di Bali. Sendratari Ramayana kecil biasa disebut Ramayana

Ballet mempunyai durasi pentas sekitar satu jam dan dimainkan oleh antara 11-20 orang penari. Kisah yang dibawakan merupakan cuplikan dari bagian-bagian cerita Ramayana yang tersebar didalam 7 kanda, dimulai dari diculiknya Dewi Sita oleh Prabu

Dasamuka dan berakhir dengan gugurnya raja Alangka ini. Yang termasuk sendratari yang sering saya tarikan bisa di bilang sendratari Ramayana kecil.

Sendratari Ramayana besar yang biasa disebut sebagai sendratari

Ramayana kolosal adalah yang berdurasi sekitar 2-3 jam dengan pendukung yang berjumlah ratusan orang dengan melibatkan sedikitnya 2 barung gamelan. Sendratari ini biasanya difokuskan pada satu dari ke tujuh kanda yang ada dalam kisah Ramayana.

9) Tari Janger

Janger barangkali lebih muda dibandingkan Cak. Tetapi, saya tak

tahu persis, belum pernah menemukan buku tentang sejarah

Janger. Kalau drama tari Gambuh, sudah terbit buku dengan

editor Maria Cristina Formaggia. Ini buku tentang Gambuh yang

paling lengkap. Gambuh diperkirakan sudah ada pada abad XIV

dan terus mengalami evolusi sampai abad XVII. Bentuk tarinya

kemudian mengalami ”balinisasi” di abad XIX sampai abad XX.

Lalu, ini yang menyedihkan, Gambuh nyaris mati di abad XXI

ini.

Bagaimana dengan Janger? Janger Kedaton berusia 100 tahun. Itu

berarti Janger sudah berusia seabad lebih, dan kita tidak tahu

apakah usia sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada

penelitian ke arah itu, termasuk bagaimana evolusi Janger dari

abad ke abad. Bahwa di Banjar Kedaton telah ada Janger sejak

tahun 1906 dan terus dipelihara dari waktu ke waktu tentu

merupakan prestasi tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa

di Bali umumnya dikaitkan dengan hal-hal mistis. Janger Kedaton

pun demikian. Masyarakat boleh beralih profesi, tetapi kesenian

tetap dipertahankan karena dipayungi oleh hal-hal mistis dan

sakral. Perjalanan Janger ini menjadi sisi menarik yang layak

didokumentasikan. Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami perubahan yang sama dengan

Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.

Janger yang ”tradisional”, meski belum ada penelitian tentang itu, bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar

10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan tentang kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan menjurus ke rayuan.

Semuanya dilakukan dengan riang gembira. Mungkin keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari

Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke XX, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari

paduan suara wanita.

10) Baris Kurkwak, Baris Basang Gede, Dan Baris Dadap

Pada jaman kerajaan di Bali pada umumnya upacara keagamaan

merupakan suatu upacara yang disakralkan. Salah satunya seperti

upacara Ngaben yang telah tercatat dalam memorandum dunia.

Pada prosesi karya Pitra Yadnya pada tingkatan madyaning

utama, biasanya beberapa acara atau proses sakralisasi merupakan

rangkaian yadnya seperti; mareresik, muspa, dan tarpanasaji.

Sehari sebelum layon (mayat) di kremasi di rudrabhumi

(ksetra/makam), biasanya terdapat prosesi karya muspa/saji dan

munggah damar kurung. Baris kurkwak, baris basang gede, dan

baris dapdap merupakan tarian sakral/tari wali guna untuk

mengerenteban proses yadnya tersebut yang tidak terlepas dari

hakekat ketatwaning yadnya (gegitan (nanyian), tetangguran,

sasolahan/tari dan puja pangastawa)

Karena hal tersebut, terketuklah hati para seniman pada jamannya

tersebut antara lain: AA Made Pasek, Pekak Krawa, Pekak

Chandra, Pan Sweca Kader, Pan Subala, Pan Sweta, Pan Rasmin

(kesemuanya telah almarhum). Tentunya atas prakarsa dari tokoh

seni ini, kemudian disambut baik oleh Ida Anglurah Kurambitan (

Ida AA Ngurah Anom Mayun) selaku jejeneng Adat Bale Agung

Kurambitan. Mulailah Penggarapan Tari kurkuwak, baris basing gede dan baris dapdap, sekitar tahun 1938-an, dimana Bale Gong

Banjar Tengah di plaspas wuku pahang 1936, sedangkan

piodalannya dilaksanakan Saniscara Krulut.

Ciri-ciri tarian ini antara lain:

 Baris Kurkuwak: berpakaian dari keraras (dedaunan pisang

yang tela kering), pelepah daun jaka (pelapah enau), dan

beberapa dedaunan yang lainnya.

 Burung Garuda (paksi Raja): Berpakaian burung paksi

 Kelek: berpakaian raksasa berwajah seram dengan membawa

dua buah klatkat berisi sate lilit manis membentuk pengideran

nawa sanga

 Baris Basang Gede: Berpakaian tetupengan, perut besar,

berkacamata hitam, udeng kain poleng (dililitkan),dan

membawa tombak.

 Baris Dadap: berpakaian putih, celana putih dengan

aksesories gelang kana, membawa satu buah perahu.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Potensi Budaya Puri Anyar Kerambitan Sebagai Aset Wisata

Kerajaan

Perkembangan Puri Anyar Kerambitan sebagai sebuah daya tarik wisata kerajaan sudah dimulai dari Tahun 1962 dimana tujuan awalnya adalah untuk mendanai kehidupan Puri sebagai pusat budaya, agama dan pemerintahan masyarakat yang berada di sekitar Puri Kerambitan yang disebabkan hilangnya kekuasaan yang mereka miliki sejak Indonesia merdeka dan kebijakan reformasi lahan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, daya tarik yang dikembangkan di puri tersebut kemudian berkembang tidak hanya sebagai sebuah usaha untuk menghidupi kebutuhan puri tetapi juga sebagai sebuah tempat untuk melestarikan sumber daya puri tersebut dari kepunahan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh Puri Anyar Kerambitan tersebut memberikan sudut pandang lain dalam pelestarian puri-puri atau keraton-keraton lain yang banyak tersebar di seluruh penjuru nusantara dalam menjaga dan melestarikan sumber daya budaya mereka, karena banyak puri-puri atau keraton- keraton yang ada diibaratkan “hidup segan tapi mati tak mau” dan hanya berfungsi sebagai museum yang bersifat “material culture”, sedangkan “living culture” yang mereka miliki hanya menjadi benda-benda mati yang tersimpan dalam catatan sejarah. Hanya beberapa puri atau keraton saja yang masih memanfaatkan “living culture” mereka sebagai daya tarik wisata dan itupun hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu dan tidak setiap saat ditampilkan di depan khalayak umum. Pada umumnya “living culture” tersebut ditampilkan pada acara- acara festival tahunan yang inisiasinya bukan berasal dari puri atau keraton itu sendiri, tetapi diinisiasi oleh pemerintah lokal. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan Puri Anyar Kerambitan yang menginisiasi sendiri pertunjukan budayanya untuk menarik pengunjung ke tempat mereka. Apa yang dilakukan oleh Puri

Anyar Kerambitan menjadikan mereka sebuah tempat yang disebut sebagai

“living museum” dimana pengunjung yang datang tidak hanya melihat kekayaan budaya yang mereka miliki tetapi juga berinteraksi dengan budaya tersebut dan menjadi bagian dari budaya tersebut. Berbeda dengan puri-puri atau keraton-keraton lain yang menjadikan daya tarik budaya mereka sebagai sebuah museum berdasarkan konsep museum sebenarnya, Puri Anyar Kerambitan menjadikan tempat mereka sebagai sebuah tempat yang “apa adanya” dimana semuanya diletakkan dan berjalan sebagaimana sebuah puri atau keraton tanpa merubah konsep yang sudah berjalan selama ratusan tahun tanpa perubahan yang berarti. Kalaupun terdapat perubahan hanya penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat secara umum yang tidak secara otomotis merubah semua nilai-nilai yang sudah dipertahankan selama ini.

Dalam mengembangkan daya tarik wisata budayanya, Puri Anyar

Kerambitan mengedepankan semua potensi yang dimilikinya berdasarkan wujud- wujud kebudayaan yang ada baik di dalam puri maupun yang berada di sekitar lingkungan puri yang terdiri dari, artefak, idefak, dan sosiofak. Semua potensi tersebut ditampilkan untuk ditampilkan sebagai daya tarik wisata budaya karena pada dasarnya setiap unsur-unsur budaya yang terdapat dalam setiap komunitas budaya memiliki perbedaan, keunikan dan nilai-nilai yang berbeda-beda dan hal tersebut pula yang mendasari Puri Anyar Kerambitan semua potensi budaya berdasarkan unsur-unsur budaya yang mereka miliki.

Potensi budaya yang dimiliki oleh Puri Anyar Kerambitan yang saat ini sudah dikembangkan untuk kegiatan pariwisata budaya terdiri dari tiga komponen, yaitu royal wedding (pernikahan kerajaan), royal dance (tarian kerajaan) dan royal dinner (makan malam kerajaan). Ketiganya merupakan daya tarik utama wisata budaya di puri tersebut karena merupakan identitas budaya yang dimilikinya yang sebelumnya tidak pernah dikonsumsi oleh publik tetapi saat ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang diunggulkan di Bali. Selama puluhan tahun ketiga jenis daya tarik tersebut dijual untuk kepentingan pariwisata walaupun terjadi perubahan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu mempengaruhi bentuknya.

Daya tarik budaya wisata Puri Anyar Kerambitan tersebut tidak tiap saat bisa dinikmati oleh wisatawan karena memang pasar wisata yang dituju adalah pasar wisata berbentuk kelompok (groups) dan sangat tergantung oleh permintaan pasar. Disatu sisi kondisi tersebut menjadikan wisata budaya di Puri Anyar

Kerambitan menjadi sangat khusus dan eksklusif dan memberikan keuntungan berupa rendahnya daya dukung terhadap lingkungan yang berdampak terhadap kelestarian lingkungan. Tetapi disini lainnya, wisatawan-wisatawan yang bersifat individu tidak dapat menikmati daya tarik ini karena jika ingin seperti itu biaya yang akan dikeluarkan menjadi sangat tinggi.

Pengembangan wisata budaya yang mengedepankan living culture di

Puri Anyar Kerambitan menjadikan potensi material culture yang dimilikinya belum terangkat dengan baik. Keberadaan bangunan puri yang merupakan inti dari keberadaan Puri Anyar Kerambitan belum dikelola dengan baik sebagai daya tarik wisata. Karena masih berfungsi sebagai tempat tinggal, puri tersebut tidak dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata dimana wisatawan dapat menikmati dan melihat-lihat seluk-beluk bangunan puri tersebut.

Seperti bangunan-bangunan puri atau kerajaan lainnya ditempat lain, sebuah puri memiliki nilai-nilai sejarah, budaya dan agama yang memiliki keunikan tersendiri yang akan membawa pikiran wisatawan yang melihatnya ke masa lalu. Selain itu perlengkapan-perlengkapan dan peralatan-peralatan yang digunakan di dalam puri juga merupakan daya tarik yang unik yang dapat menceritakan perjalanan puri tersebut dari masa ke masa.

Struktur dan bentuk bangunanpun dapat memberikan sebuah daya tarik karena memiliki filosofi yang berkaitan dengan budaya dan agama yang dianut mereka.

Wisatawan-wisatawan yang datang secara individu yang tidak dapat menikmati paket daya tarik yang ditawarkan oleh Puri Anyar Kerambitan dapat berwisata budaya dengan melihat-lihat nilai-nilai sejarah yang ada disana melalui interpretasi yang baik. Disamping itu sebuah puri/keraton/kerajaan memiliki keterkaitan yang erat dengan lingkungan, budaya dan masyarakat disekelilingnya yang original yang bagi sebagian orang memberikan daya tarik yang kuat.

Pengembangan potensi lainnya yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan tentu saja akan semakin meningkatkan ciri khas pariwisata budaya di puri tersebut dan tidak hanya bersifat musiman atau waktu-waktu tertentu saja. Pengembangan potensi lainnya tersebut juga akan semakin meningkatkan perekonomian lokal dan meninggalkan persepsi bahwa pariwisata budaya di Puri Anyar Kerambitan bersifat eksklusif dan terbatas dan penyediaan pasarnya didominasi oleh biro-biro perjalanan wisata.

4.2.1.1. Potensi Artefak Budaya di Puri Anyar Kerambitan

Artefak merupakan benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat,

1974:15. Wujud artefak yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan terdiri

dari Struktur bangunan puri, Furnitur, lukisan dan benda-benda lainnya yang merupakan kekayaan Puri Anyar Kerambitan yang didapatkan

secara turun-menurun.

Artefak budaya tersebut dapat dijadikan sebagai living museum karena

masih dijadikan tempat tinggal oleh keluarga Puri Anyar Kerambitan.

Berbeda dengan puri-puri atau keraton-keraton lainnya dimana puri atau

keratonnya tidak lagi menjadi tempat tinggal keluarga dan hanya

dijadikan museum. Menjadikan Puri Anyar Kerambitan sebagai sebuah

living museum memberikan gambaran utuh mengenai sejarah dan

budayanya secara lebih mendalam. Sehingga wisatawan yang datang ke

puri tersebut mendapatkan pengalaman berwisata budaya secara utuh.

Hal tersebut juga membuka peluang terhadap pengembangan wisata

pusaka (heritage tourism) yang menjadi bagian dari pengembangan

wisata budaya.

Artefak lainnya yang adalah benda-benda (peralatan dan perlengkapan)

hidup yang terdapat di dalam puri yang sudah berumur sangat tua baik

yang merupakan produk asli Bali ataupun dari tempat lain yang dapat

menggambarkan bagaimana hubungan Puri Anyar Kerambitan dengan

dunia luar. Barang-barang tersebut akan sangat memperkaya potensi

living museum.

4.2.1.2. Potensi Idefak Budaya di Puri Anyar Kerambitan

Puri Anyar Kerambitan merupakan pelopor pengembangan wisata

puri/keraton di Indonesia. Idenya yang menghidupkan kembali budaya

yang mereka miliki memberikan semangat terhadap keberadaan puri/keraton yang setelah kemerdekaan Indonesia tidak memiliki

kekuasaan lagi dan perlahan-lahan kehilangan jati dirinya dimana adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan serta norma-norma yang dulu menjadi

panutan masyarakat tidak dikenali lagi oleh masyarakat modern dan apa

yang dilakukan oleh Puri Anyar Kerambitan membuktikan bahwa semua

kekayaan budaya miliki puri/keraton tidak harus hilang karena dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dan memberikan manfaat

kepada masyarakat sekitarnya.

Walaupun fungsi dan perannya sudah bergeser dari fungsi dan peran

awalnya, pengembangan wisata budaya di puri/keraton dapat

memperkaya khazanah budaya Indonesia sehingga generasi saat ini dapat

masih dapat menyaksikan bagaimana pentingnya peran puri/keraton bagi

kehidupan sosial pada masa lalu.

Ide-ide yang dikembangkan oleh Puri Anyar Kerambitan juga dapat

memberikan ide-ide kepada tempat-tempat lain yang memiliki sumber

daya budaya sejenis. Ide-ide yang dimunculkan tentu saja walaupun

bukan sesuatu yang baru tetapi apa yang dimunculkan memberikan

sebuah identitas dan gambaran baru terhadap puri/keraton yang

bersangkutan dan wisatawan ingin merasakan bagaimana hidup sebagai

keluarga kerajaan.

4.2.1.3. Potensi Sosiofak Budaya di Puri Anyar Kerambitan

Puri/keraton tidak akan ada tanpa adanya kehidupan sosial disekitarnya,

sehingga bagaimanapun juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari puri/keraton tersebut. Demikian juga dengan Puri Anyar Kerambitan

dengan masyarakat yang berada disekitarnya.

Puri dalam kehidupan masyarakat Bali jaman dulu merupakan panutan

bagi masyarakatnya dan berbagaimacam kebiasaan, seni dan budaya

muncul untuk menunjang kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Demikian juga yang terjadi pada masyarakat di seputar Puri Anyar

Kerambitan. Pola kehidupan masyarakat di sebuah tempat merupakan

sebuah bentuk original dan otentik yang menarik untuk dijadikan sebagai

sebuah daya tarik. Kehidupan yang apa adanya dan tidak tercampuri oleh

duplikasi dan sesuatu yang dibuat-buat merupakan sesuatu yang dicari

oleh wisatawan.

Kehidupan masyarakat agraris di seputar Puri Anyar Kerambitan juga

memunculkan kreativitas seni yang berkaitan dengan kehidupan mereka

yang salah satunya adalah seni musik Bung-Bung yang alat-alatnya

terbuat dari bambu. Kesenian ini bukan bagian dari seni yang diciptakan

dalam lingkungan Puri Anyar Kerambitan tetapi dalam keterkaitan erat

antara puri dan masyarakatnya menjadikan seni musik bung-bung ini

mendukung kepariwisataan di Puri Anyar Kerambitan.

4.3. Indikator-indikator otentisitas dan komodifikasi

4.3.1. Indikator-Indikator Otentisitas di Puri Anyar Kerambitan

Pandangan terhadap nilai-nilai otentisitas budaya dalam pariwisata sangat bervariasi tergantung dilihat dari faktor penawaran dan pasar. Dilihat dari faktor penawaran, sebuah budaya dikatakan otentik apabila bentuk-bentuk budaya tersebut diciptakan oleh sebuah masyarakat atau lembaga dari tangan pertama yang dalam pengertian merekalah yang pertama kali menciptakan budaya tersebut dan walaupun dibawa atau dipindahkan ketempat lain pihak luar akan mengakui bahwa budaya tersebut ciptakan oleh mereka. Setiap masyarakat atau lembaga memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya yang membuatnya berbeda dan hal tersebutlah yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah bentuk yang otentik yang dalam hal ini adalah budaya. Kedua, walaupun budaya tersebut merupakan bawaan dari tempat lain tetapi karena sudah disesuaikan dengan karakteristik budaya dan lingkungan setempat maka budaya yang sebenarnya bukan berasal dari tempat tersebut menjadi otentik karena memiliki ciri khas tertentu melalui perpaduan dengan budaya local yang bahkan tidak ditemukan ditempat asalnya. Kondisi tersebut dapat dilihat dari cerita calon arang yang dikembangkan di Puri Anyar Kerambitan yang pada awalnya merupakan sebuah cerita yang berasal dari jaman Kerajaan Medang Kahuripan yang kemudian dibawa ke Puri Anyar Kerambitan. Cerita tersebut kemudian diolah lagi melalui seorang Kurator yang disesuaikan dengan budaya yanga terdapat di Puri Anyar Kerambitan. Cerita tersebut kemudian dianggap sebagai sebuah cerita yang otentik karena dipertunjukan di puri tersebut.

Dilihat dari faktor permintaan, pandangan atau penilaian otentik oleh

Wisatawan sangat dipengaruhi oleh pengalaman berwisata wisatawan itu sendiri.

Sebuah bentuk budaya yang baru pertama kali dilihatnya dapat membentuk persepsi bahwa budaya tersebut otentik. Penilaian otentik lainnya dapat dipengaruhi oleh keunikan yang mereka dapatkan yang berbeda dengan yang pernah mereka lihat walaupun memiliki cerita yang sama. Hal tersebut dapat dicontohkan dari cerita Mahabharata versi Bali, Jawa dan India yang merupakan versi awalnya. Walaupun memiliki kesamaan cerita, tetapi terjadinya proses akulturasi membentuk karakteristik sendiri yang kemudian pada akhirnya dianggap sebagai sebuah budaya yang otentik dari masing-masing budaya tersebut.

4.3.2. Pandangan “Primitive” Terhadap Otentisitas Puri

Pandangan otentisitas “primitive” terhadap puri Anyar Kerambitan dapat

dilihat pada beberapa bagian produk budaya yang ada. Seperti yang

disampaikan oleh Trilling (1972:11) bahwa otentisitas primitive

merupakan budaya yang tidak diproduksi menggunakan mesin dan tidak

diproduksi secara massal. Berdasarkan konsep tersebut, produk budaya

yang diciptakan di Puri Anyar Kerambitan dapat dikategorikan sebagai

primitive, seperti tari-tarian, upacara perkawinan, dan makanan tradisional.

Berkaitan dengan pandangan konsep otentisitas primitive tersebut, semua

karya budaya yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan dalam

dikelompokkan ke dalam budaya yang primitive, karena terciptanya

budaya-budaya tersebut tidak menggunakan mesin tetapi diciptakan secara

tradisional. Disamping itu sebuah budaya dikatakan sebagai primitive

apabila tidak diproduksi secara massal. Walaupun diproduksi untuk

kepentingan pariwisata untuk kepentingan pertunjukan, tetapi sebagai

bentuk karya budaya yang dijual untuk kepentingan pariwisata, seni

budaya yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan tidak ditawarkan ditempat

lain. Walaupun terdapat kemiripan dengan apa yang terdapat di puri atau

keratin lainnya yang terdapat di Bali atau Jawa tetapi ciri khas yang ada tidak akan ditemukan ditempat lain sehingga menjadikannya sebagai

sebuah produk wisata yang otentik, asli dan original Puri Anyar

Kerambitan.

4.3.3. “Objective Authenticity” Terhadap Otentisitas Puri

Konsep mengenai otentisitas objektif dinilai berdasarkan hasil penilaian

eksternal untuk membuktikan apakah sebuah produk budaya yang terdapat

di sebuah tempat merupakan hasil karya asli tempat tersebut atau berasal

dari tempat lain yang merupakan tiruan atau saduran.

Secara kasat mata produk budaya yang berada di Bali secara umum

memiliki akar budaya yang sama yaitu akar budaya Hindu yang dibawa

dari tanah Jawa yang dibawa ke Bali oleh pelarian kerajaan Hindu di Jawa

Timur yang pada saat itu keberadaannya terdesak oleh Kerajaan Islam. Hal

tersebut yang kemudian menyebabkan terjadinya kemiripan antara budaya

yang satu dengan lainnya di Bali sehingga kemudian terjadi perpindahan

budaya dari Jawa ke Bali yang membentuk otentisitas tersendiri, apalagi

kemudian kondisi lingkungan membentuk karakteristik khusus yang

kemudian memperkaya khasanah budaya tersebut.

Sebagai contoh, Tarian Calon Arang yang saat ini menjadi komoditas

pariwisata di Puri Anyar Kerambitan merupakan sebuah tarian yang

disadur dari cerita Calon Arang yang berasal dari kitab Negarakertagama

dari jaman Kerajaan Medang Kahuripan di Jawa Timur. Kaitan sejarah

yang terjadi antara Hindu di Jawa Timur dengan Bali menyebabkan cerita

tersebut juga ada di Bali yang dalam perkembangannya diwujudkan ke dalam bentuk tarian. Aslinya Calon Arang hanya berwujud cerita yang kemudian bertransformasi dalam wujud budaya yang hidup. Jika ditelusuri secara otentisitas objektif cerita tersebut bukan cerita yang berasal atau otentik dari Puri Anyar Kerambitan atau bahkan Bali karena cerita mengenai Calon Arang sendiri dapat ditemukan di seluruh daerah di Bali.

Tetapi perwujudan cerita Calon Arang menjadi Tari Calon Arang hanya terdapat di Puri Anyar Kerambitan. Hal tersebut menjadikannya yang pertama menciptakan tari Calon Arang dan menjadi sebuah karya tarian yang otentik dari Puri Anyar Kerambitan. Walaupun dasar cerita yang dijadikan ide tarian tersebut bukan otentik dari Puri Anyar Kerambitan, tetapi mewujudkan cerita tersebut ke dalam sebuah wujud tarian menjadikan tari Calon Arang dianggap sebagai sebuah karya otentik dari

Puri Anyar Kerambitan.

Pandangan lain terhadap bentuk budaya otentik dari Puri Anyar

Kerambitan adalah terhadap keberadaan Bangunan Puri Anyar itu sendiri.

Walaupun bukan puri yang pertama di Kerambitan, karena sebelum Puri

Anyar Kerambitan sudah ada terlebih puri yang lebih tua yaitu Puri Gede

Kerambitan, sedangkan Puri Anyar Kerambitan merupakan puri yang lebih muda umurnya yang tercipta karena adanya pembagian kekuasaan dari raja

Puri Gede Kerambitan keanaknya. Dilihat dari struktur dan bentuk bangunan, Puri Anyar tidak jauh berbeda dengan Puri Gede Kerambitan karena merupakan tiruan. Tetapi dalam kaitannya dengan perkembangan kepariwisataan di Kerambitan, Puri Anyar Kerambitan jauh lebih dulu mengembangkan purinya sebagai sebuah daya tarik wisata budaya sehingga wisatawan lebih mengenal Puri Anyar dibandingkan dengan Puri

Gede Kerambitan. Wisatawan beranggapan bahwa Puri Anyar Kerambitan

lebih memiliki otentisitas dibandingkan dengan Puri Gede Kerambitan

karena munculnya pandangan Puri Anyar lah yang pertama kali

mengembangkan wisata puri. Walaupun saat Puri Mengembangkan produk

wisata budaya yang sama dengan Puri Anyar Kerambitan, tetapi apa yang

dilakukan oleh Puri Gede Kerambitan dianggap meniru pengembangan

wisata budaya yang dilakukan di Puri Anyar.

Pengujian terhadap nilai-nilai otentisitas Puri Anyar Kerambitan secara

ilmiah dapat buktikan melalui catatan-catatan sejarah yang ada. Jika

berdasarkan catatan sejarah tersebut, maka sebenarnya Puri Anyar

Kerambitan bukan benar-benar asli atau original karena Puri itu sendiri

merupakan perpanjangan dari Puri Gede yang lebih dulu ada, begitu juga

budaya dan kebiasaan yang ada. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang

pengalaman berwisata yang didapatkan oleh wisatawan selama ini

4.3.4. “Constructive Authenticity” Terhadap Otentisitas Puri

“Constructive authenticity” merupakan otentisitas yang dinilai secara

apa adanya tanpa adanya kemasan khusus untuk dijadikan sebagai sebuah

daya tarik wisata. Semua yang terbentuk dari secara alami seperti

kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, keagamaan dan upacara adat

merupakan sesuatu yang otentik. Pengalaman otentik yang didapatkan

merupakan pengalaman yang didapatkan secara langsung dan dirasakan

secara tiba-tiba. Wisatawan yang datang ke Puri Anyar Kerambitan dan sekitarnya akan

mendapatkan sebuah lingkungan yang apa adanya yang seperti apa adanya

tanpa adanya tiket masuk, lapangan parkir dan fasilitas wisata lainnya

memberikan persepsi otentik terhadap bentukan budaya yang ada disana.

Secara konstruktif, wisatawan yang datang akan mendapatkan otentisitas

di Puri Anyar Kerambitan melalui kehidupan sosial masyarakatnya.

Otentisitas tersebut terbangun tanpa adanya perencanaan dan pengemasan,

wisatawan dapat langsung melihatnya secara langsung tidak seperti

otentisitas produk wisata yang sengaja dibuat untuk kepentingan

pariwisata oleh Puri Anyar Kerambitan.

Sangat banyak otentisitas konstruktif yang dapat dimunculkan baik di Puri

Anyar Kerambitan maupun di lingkungan luar puri. Otentisitas konstruktif

yang dapat ditemukan di dalam Puri Anyar Kerambitan adalah keberadaan

puri yang dibiarkan apa adanya karena selama ini memang tidak dikemas

secara khusus untuk pariwisata tetapi hal tersebut justru memberikan

penilaian otentik yang lebih mendalam walaupun tidak semua bagian puri

dinikmati oleh wisatawan karena adanya keterbatas ruang yang disebabkan

fungsi puri yang masih digunakan sebagai tempat tinggal keluarga

kerajaan.

4.3.5. “Existencial Authenticity” Terhadap Otentisitas Puri

Pengalaman individu akan sangat berpengaruh terhadap penilaian apakah

sebuah budaya dianggap otentik atau tidak. Semakin banyak pengalaman

mereka dalam melihat bentukan budaya akan semakin banyak pengetahuan mereka akan keberadaan sebuah budaya sehingga mereka bisa membandingkan antara satu budaya dengan budaya lainnya seperti kesamaan budaya yang mereka lihat saat ini dengan budaya lain ditempat lain. Otentik atau tidaknya budaya yang ditampilkan sangat tergantung pada penilaian wisatawan itu sendiri. Walaupun banyak yang menilai bahwa pengembangan pariwisata budaya sudah menghilangkan keotentikan budaya tersebut tetapi dalam hal wisatawan memiliki pertimbangan tersendiri karena dilihat dari sudut pandang wisatawan, nilai-nilai keotentikan sebuah budaya dilihat dari keunikan-keunikan tertentu yang tidak ditemukan ditempat lain. Wisatawan akan membandingkan apa yang pernah mereka lihat untuk menentukan apakah budaya tersebut otentik atau tidak.

Pandangan tersebut tentu saja akan sangat berbeda dengan pandangan budayawan-budayawan yang murni melihat pondasi budaya secara utuh dimana perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah bentuk budaya akan menjadikannya sebuah budaya yang tidak lagi otentik.

Terkait dengan existential authenticity yang ada di Puri Anyar Kerambitan, sangat tergantung bagaimana puri tersebut menyikapi keinginan-keinginan wisatawan terhadap budaya yang ingin mereka saksikan. Perubahan- perubahan sangat tidak diharamkan dalam sebuah budaya, karena budaya itu sendiri bersifat dinamis mengikuti perubahan zaman. Tetapi untuk budaya-budaya yang sudah tercipta pada masanya dan sebelumnya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu tentu saja perubahan- perubahan yang bisa terjadi tidak merubah secara total budaya tersebut. Wisatawan tidak akan melihat fungsi dan peran dari budaya tersebut sebelumnya tetapi lebih melihat kepada bagaimana budaya tersebut saat ini apakah memiliki keunikan dan ciri khas yang menandainya dan membedakannya dengan budaya lain serta memberikannya kepuasan dalam berwisata. Hal tersebut dapat dicontohkan pada pernikahan kerajaan

(royal wedding) dimana aslinya upacara pernikahan tersebut hanya diperuntukkan bagi keluarga kerajaan, tetapi saat ini upacara pernikahan tersebut dijual untuk kepentingan pariwisata dan siapapun dapat melakukan pernikahan disana dengan tata cara yang berlaku di Puri Anyar

Kerambitan. Disini wisatawan tidak memandang dan menilai bahwa upacara pernikahan tersebut otentiknya adalah hanya untuk keluarga kerajaan tetapi mereka menilai keotentikannya ada pada tata cara yang masih dipertahankan walaupun penerapannya bukan untuk keluarga puri lagi. Kasus yang sangat berbeda terjadi pada saat wisatawan datang dan melihat upacara perkawinan keraton yang terjadi di keraton Kacirebonan yang juga mengemas wisata budaya berupa pernikahan keraton yang idenya diambil dari Puri Anyar Kerambitan. Dalam kasus Keraton

Kacirebonan, wisatawan beranggapan bahwa apa yang ditampilkan oleh mereka tidak otentik karena meniru tempat lain. Ide yang ditampilkan oleh

Keraton Kacirebonan dianggap tidak otentik karena hasil tiruan walaupun tata cara perkawinan yang diterapkan merupakan tata cara asli keraton tersebut. Dalam hal ini wisatawan lebih melihat kepada keotentikan idenya bukan pada tata caranya. Tetapi bagi wisatawan yang datang, melihat dan melakukannya untuk pertama kali dan tidak pernah mengetahui bahwa ide tersebut berasal dari tempat lain menganggap bahwa apa yang ditampilkan

di Keraton Kacirebonan tersebut otentik.

Disini definisi otentik akan sangat tergantung dari wisatawan itu sendiri

dan dengan pengalaman individu wisatawan yang berbeda-beda satu

dengan lainnya, definisi otentikpun akan berbeda-beda pula antara satu

orang dengan yang lainnya.

Menilai sebuah otentisitas dalam pengembangan pariwisata budaya merupakan sesuatu yang sangat sulit dilakukan karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian seseorang terhadap nilai otentisitas tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya indikator-indikator untuk menilai apakah sebuah budaya yang dipasarkan untuk kepentingan pariwisata memiliki batasan otentisitas. Dalam pengertian bahwa perubahan-perubahan budaya yang terjadi akibat kepentingan pariwisata terutama dalam pengembangan wisata puri/keraton memiliki parameter yang jelas agar tetap menjaga nilai-nilai otentisitasnya.

Dalam memunculkan indikator-indikator terhadap wisata puri di Puri

Anyar Kerambitan, peneliti menggunakan keriteria yang digunakan oleh

UNESCO yang termuat dalam “The Operational Guidelines for the

Implementation of the World Heritage“ yang mengatakan bahwa sebuah situs yang dinominasikan yang dipertimbangkan sebagai sebuah warisan budaya akan dipertimbangkan sebagai outstanding universal value.

Permintaan untuk menjadi otentik harus genuine, sebagai contoh sumber daya yang dinominasikan harus benar-benar seperti yang dikatakan. Seperti yang diidentifikasi dalam Nara Document, aspek "genuineness" dapat dijadikan sebagai parameter yang meliputi, "form and design, materials and substance, use and function, traditions and techniques, location and setting, spirit and feeling, and other internal and external factors." Berdasarkan keenam kriteria tersebut di atas test khusus untuk keotentikan meliputi paramater:

1. Kriteria (i) merujuk pada human creative genius; melakukan pengujian

otentisitas berarti berarti sumber daya yang disusulkan memiliki kualitas

kreativitas manusia, contoh, hasil pekerjaannya asli dan digunakan untuk

kepentingan sendiri.

2. Kreteria (iii), (iv) dan (v) merujuk pada testimony atau representasi, contoh;

tes keotentikan akan terdiri dari verifikasi bahwa apa yang diusulkan adalah

representasi sebenarnya dari tradisi budaya yang ditunjukan, atau sebuah

contoh legitimasi jenis bangunan atau tata guna lahan.

3. Kriteria (ii) dan (vi) merujuk pada nilai-nilai pertukaran atau yang berkaitan

dengan ide; tes keotentikan harus memverifikasi bahwa pertukaran dari nilai-

nilai tersebut benar-benar menyatu, atau event atau ide-ide tersebut benar-

benar berkaitan dengan situs.

4. Wawasan mengenai „Outstanding Universal Value‟

5. Komponen-komponen individual dari warisan dunia dikarakteristikan oleh

spesifikasi dan diversitas, menggambarkan nilai-nilai dari masing-masing

budaya dan wilayah. Konsep „universal value‟ merujuk pada contoh-contoh

keaslian (genuine)/otentik warisan budaya yang berbeda-beda sebagai

komponen yang merupakan bagian dari warisan manusia universal. Definisi

„outstanding universal value‟ dari sebuah warisan harus didasari oleh sebuah

kritik, studi perbandingan yang terjadi dalam fenomena budaya. Mempertimbangkan kompleksitas dan diversitas warisan budaya dalam

budaya-budaya yang berbeda, terdapat berbagaimacam sumber-sumber

informasi yang besar. Kemudian definisi otentisitas harus dinilai berdasarkan

pada sbuah evaluasi kritis pada masing-masing situs, berdasarkan pada

kekhususannya dan parameter-parameter yang relevan.

Berdasarkan hal tersebut di atas berikut adalah kriteria-kriteria yang akan digunakan dalam menilai otentisitas di Puri Anyar Kerambitan:

1. Mempresentasikan sebuah sebuah mahakarya kreativitas genius manusia;

2. Menampilkan sebuah pertukaran penting nilai-nilai manusia, dalam sebuah

rentang waktu atau dalam sebuah kawasan budaya dunia, terhadap

pembangunan arsitektur atau teknologi, seni-seni monumental, perencanaan

kota atau desain lansekap;

3. Menghasilkan sebuah testimony unik atau paling tidak pengecualian terhadap

sebuah tradisi budaya atau terhadap sebuah peradaban yang hidup atau yang

sudah hilang;

4. Merupakan sebuah contoh dari sebuah jenis bangunan, arsitektur atau

teknologi yang digunakan atau bentang alam yang menggambarkan (a)

tahapan penting dalam sejarah manusia;

5. Merupakan sebuah contoh yang luar biasa dari sebuah pemukiman tradisional

manusia, tata guna lahan, atau pemanfaatan laut yang merupakan perwakilan

sebuah budaya (atau beberapa budaya), atau interaksi manusia dengan

lingkungan khususnya ketika lingkungan tersebut menjadi rentan terhadap

perubahan yang tidak dapat diperbaiki; [dan/atau] 6. Secara langsung atau secara tangible dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa

atau tradisi hidup, dengan ide-ide, atau kepercayaan-kepercayaan, dengan

pekerjaan-pekerjaan artistic dan sastra dari terhadap kepentingan universal

yang luar biasa, (WHC 2008:77)

Dalam 1994 Nara Document: “sebagai faktor qualifikasi penting berkaitan dengan nilai-nilai”. Klaim yang terkait dengan „intangible cultural heritage‟ disesuaikan berdasarkan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan constantly being recreated oleh karenanya dan dapat dilihat dalam sejarah otentisistas yang pahami sebagai „statik‟. Bukti tersebut memiliki sejumlah perbedaan dalam menilai otentisitas sebuah struktur fisik dibandingkan dengan praktek-praktek tradisional. Tetapi hal tersebut bukan berarti bahwa pemikiran otentisitas didalamnya harus dirubah.

Sangat penting untuk melihat etimologi dari konsep tradisi, yang berasal dari bahasa latin (traditio; tradere, trado), memberikan, menyerahkan, mengirimkan, seperti doktrin keagamaan. Oxford English Dictionary mendefinsikan „tradisi‟ sebagai berikut: “tindakan memindahkan atau menurunkan, dari satu orang ke orang lain atau generasi ke generasi; perpindahan pernyataan, kepercayaan, aturan-aturan, adat istiada, atau seperti contohnya dengan menggunakan word of mouth atau mempraktekannya tanpa menuliskannya. ”kata lain yang memiliki pengertian sama adalah „mengkhianati, merujuk pada memberikan dokumen penting ke tangan musuh melalui pengkhianatan atau ketidaksetiaan. Walaupun tidak diakui bahwa „living tradition‟ berkaitan dengan “pengkhianatan‟, seseorang masih dapat mencatat bahwa untuk bias hidup yang juga berarti berubah. Setiap generasi harus meregenerasi nilai-nilai yang diwarisinya dari masa lalu, dan menginterpretasikan kembali yang merefleksikan keanekaragaman budaya. Kadang-kadang penginterpretasian kembali tersebut dilakukan dalam situasi yang baru yang disebut dengan perubahan.

Sebelum direvisi, yang dipublikasikan pada Tahun 2005 „test of authenticity’ memberikan empat parameter: design, material, workmanship and setting. Pada kenyataannya, hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang mendasar dalam material warisan budaya yang tangibel. Sebagai hasil dari pertemuah para ahli mengenai otentisitas pada Tahun 1994, pertama di Bergen dan kemudian di

Nara, Operational Guidelines yang sudah direvisi memberikan pengertian baru terhadap „conditions of authenticity’: “tergantung dari jenis warisan budaya, dan konteks budayanya, property harus memenuhi conditions of authenticity jika nilai-nilai budayanya (seperti yang dikenali dalam nominasi kriteria yang diusulkan) diekspresikan secara benar dan secara kredibel melalui berbagaimacam atribut, termasuk …” berikutnya ini adalah daftar yang merupakan tambahan untuk parameter-parameter sebelumnya, sekarang juga meliputi: traditions, techniques, language dan bentuk lainnya dari warisan intangible, seperti spirit and feeling atau isu-isu lainnya (par. 82), menunjukkan pengakuan yang lebih luas terhadap aspek-aspek yang berbeda dari budaya.

Kriteria keempat untuk OUV adalah: “suatu jenis bangunan, arsitektur atau teknologi atau lansekap yang menggambarkan (a) tahapan-tahapan penting dalam sejarah manusia”. Kriteria ini merupakan yang paling sering digunakan dan dapat memiliki fungsi yang berbeda. Kriteria ini dapat mewakili suatu jenis konstruksi yang sudah menjadi sebuah prototype, atau mungkin sebuah konstruksi yang dikenali sebagai contoh yang paling mewakili dari sebuah tipologi tertentu.

Contoh-contoh yang disebutkan di atas juga dapat mengacu pada kriteria ini, dan juga dapat digunakan untuk “groups of buildings”, seperti kota-kota bersejarah, dan situs. Oleh karenanya, penekanan dalam pengertian otentisitas secara khusus desain yang luar biasa, dan pengembangan dan penyempurnaan selanjutnya dari sebuah tipologi tertentu. Pada saat dealing dengan suatu jenis situs lokal, otentisitas harus diverifikasi tidak hanya konstruksinya tetapi juga dalam keberlanjutan tradisi, spirit dan perasaann.

Kriteria ketiga dari OUV adalah: “kesaksian terhadap sebuah tradisi budaya atau terhadap sebuah peradaban”, dan kriteria kelima adalah: “sebuah pemukiman manusia, tata guna lahan atau pemukiman tradisional, atau pemanfaatan laut yang mewakili sebuah budaya atau kumpulan budaya , atau interaksi manusia dengan lingkungan”.

Kriteria-kriteria tersebut di atas merupakan „material evidence of the history’ dari sebuah tempat. Test terhadap otentisitas harus dibuat berdasarkan referensi terhadap bukti-bukti tersebut dan apa yang membuatnya penting, sebagai contoh, verifikasi terhadap kebenaran sumber informasi. Sebagai contoh, di

Bamiyan Valley, dimana terdapat dua buah patung Buddha besar yang dihancurkan oleh Taliban adalah sebuah pertemuan peradaban selama beberapa abad. Situs ini terbentang beberapa kilometer sepanjang lembah dengan ratusan gua dan bukti-bukti lainnya yang kaya akan sejarah. Walaupun luar biasa, patung

Buddha tersebut dihancurkan, tetapi lembah tersebut masih bias dipertimbangkan memiliki sisa-sisa arkeologi penting sebagai sebuah tempat yang luar biasa dan exceptional testimony terhadap aktivitas-aktivitas budaya terjadi selama berabad- abad sebagai hasil drai komunikasi antar budaya. Memasukkan situs tersebut pada kriteria keenam, menekankan pentingnya situs tersebut sebagai: “sebuah simbol rekonsiliasi, kerjasama internasional dan berbagaimacam budaya, suku dan masyarakat-masyarakat keagamaan yang hidup berdampingan”. Dengan mempertimbangkan begitu banyaknya jembatan dan bangunan-bangunan asli yang dihancurkan, situs tersebut tentu saja kehilangan sebagian otentisitasnya. Di sisi lain, situs tersebut masih memiliki kepentingan sebagai sebuah kesaksian arkeologi terhadap sejarahnya, dikaitkan dengan sebuah nilai simbolik yang kuat.

Oleh karenya, kriteria yang paling sesuai adalah kriteria keenam untuk nilai simbolik dan tiga untuk nilai sebagai kesaksian pengecualian terhadap interaksi budaya-budaya yang berbeda-beda dalam sebuah tempat yang terbatas. Kriteria tersebut dapat dikonfirmasikan untuk memenuhi test otentisitas.

George Steiner menganalisis bahasa dan kepentingannya terhadap kehidupan manusia. Sangat jelas bahwa bahasa adalah pondasi dalam melestarikan sejarah kita dan pengetahuan kita yang membuatnya tersedia untuk generasi penerus. Steiner mengatakan (p. 56) bahwa:

“Bahasa menciptakan: dengan kebijakan nominasi, seperti penamaan oleh

Adam terhadap semua bentuk dan kehadiran; dengan kebijakan kualifikasi

kata sifat, tanpanya tidak aka nada konseptualisasi baik dan jahat; bahasa

menciptakan predikat, dipilih untuk diingat (semua sejarah dimasukkan ke

dalam in tata bahasa silam). Di atas segalanya, bahasa adalah penghasil

dan pemberi pesan untuk hari esok … Saya percaya bahwa kemampuan

untuk mengatakan dan tidak mengatakan semuanya, untuk membangun dan tidak membangun ruang dan waktu, untuk menurunkan dan

mengatakan kenyataan … membuat seseorang menjadi seseorang.”

Nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan hanya dapat dibangun melalui komunikasi dan dialog dalam masyarakat yang kemudian membentuk identitas- identitas budaya untuk sebuah masyarakat. Hal tersebut terjadi dalam masyarakat tradisional dan dapat dipertimbangkan sebagai sebuah bagian penting dari warisan budaya terutama yang berkaitan dengan pemukiman tradisional dan banyak jenis lansekap budaya. Kita dapat membicarakan social-cultural authenticity tradisional, dimana ketika keberadaannya akan menyesuaikan keberlanjutan bentuk-bentuk kehidupan tradisional dan pemeliharaan tradisional terhadap struktur-struktur terbangun.

Definisi amerika digambarkan dalam definisi kerja otentisitas yang digunakan selama diskusi dokumen Nara: otentisitas adalah sebuah “mengukur derajat dimana nilai-nilai sebuah benda warisan budaya dipahami secara benar, asli dan kredibel, diekspresikan berdasarkan atribut-atribut yang membawa nilai- nilai tersebut” (Stovel, 2004: 3). Ide tersebut terdapat dalam halaman 82

Operational Guidelines yang mengomentari hubungan antara barang-barang,

OUV nya dan mendefinisikan atribut-atribut sebagai:

„Tergantung dari jenis warisan budaya, dan konteks budayanya, barang-barang dapat dipahami untuk memenuhi kondisi otentisitas jika nilai budayanya (seperti yang terdapat dalam kriteria nominasi yang diusulkan) diekspresikan secara benar dan kredibel melalui berbagaimacam atribut yang meliputi:

• Bentuk dan desain;

• Material dan substansi; • Kegunaan dan fungsi;

• Tradisi, teknik dan sistem pengelolaan;

• Lokasi dan setting;

• Bahasa dan bentuka lainnya dari budaya yang intangible;

• Spirit dan feeling; dan

• Faktor-faktor internal dan eksternal lainnya (UNESCO, 2005: 82)

4.3.6. Kerangka Kerja Otentisits

Dalam menilai sebuah otentisitas, diperlukan adanya kerangka kerja yang jelas untuk menilai integritas/analisis otentisitas yang mewakili masing-masing tipologi daya tarik wisata budaya. Kerangka kerja tersebut terdiri dari a. Situs-Situs Arkeologi

 Keseluruhan: Sebuah situs arkeologi seluruhnya merupakan

sumber daya budaya yang berada di bawah tanah (yang sudah

diekskavasi maupun yang belum diekskavasi) yang dikaitkan

dengan alasan-alasan untuk Outstanding Universal Value nya.

Nominasi tidak harus membatasi kawasan-kawasan tyang

diekspos, tetapi meliputi seluruh kawasan yang dapat memberikan

kontribusi terhadap cerita yang sedang diceritakan bahkan jika

kawasan-kawasan tersebut sudah dibangun lagi pada jaman

modern.

 Kelengkapan: Sebuah situs arkeologi harus diperlihara dengan

baik, bahan-bahan dan material pembuatannya dilindungi dari

resiko kerusakan.

 Keaslian material: Nominasi harus mengidentifikasi sumber daya

material yang masih ada yang berkaitan erat dengan OUV.

Menjaga integritas/otentisitas situs tidak secara umum

memerlukan rekonstruksi atau restorasi terhadap sisa-sisa yang

masih ada, tetapi lebih difokuskan pada perlindungan dari sumber

daya yang tampak dan substansinya.

 Keaslian organisasi ruang dan bentuk: Dimana usaha-usaha untuk

mengkomunikasikan OUV muncul untuk meminta restorasi atau

rekonstruksi terhadap elemen-elemen yang ada, maka pekerjaan

seperti itu harus didasari oleh keberadaan bukti dan harus menjadi kebutuhan terakhir agar dapat secara efektif dapat

mengkomunikasikan pesan-pesan penting sebuah situs.

 Keberlanjutan fungsi: Tidak secara normal dapat diterapkan untuk

situs-situs arkeologi.

 Keberlanjutan setting: Nominasi-nominasi harus menunjukkan

keberadaan dimana setting saat ini menjaga kualitas setting yang

dikaitkan dengan OUV. Pengawasan pembangunan dalam sebuah

zona penyangga harus cukup untuk melindkungi karakter dari

setting yang dianggap penting.

b. Historic Towns

 Keseluruhan: Sebuah kota bersejarah meliputi keseluruhan distrik

dan sekitarnya yang secara langsung dikaitkan dengan OUV dari

property yang dinominasikan. Batasan-batasan property yang

dinominasikan harus ditetapkan yang meliputi keseluruhan

kawasan terpilih yang memberikan kontribusi terhadap OUV

properti.

 Kelengkapan: Sebuah kota bersejarah secara umum harus dalam

keadaan fisik yang baik. Kondisi fisik, sosial dan ekonomi harus

mendukung usaha-usaha menjaga OUV.

 Keaslian material: Struktur sejarah yang memberikan kontribusi

terhadap OUV terhadap situs harus dilindungi. Dalam beberapa

kasus hal tersebut dapat berarti usaha-usaha untuk melindungi

material asli atau material dari sebuah tahapan penting tertentu dari pembangunan kota; dalam kasus lain, hal tersebut dapat

berarti usaha-usaha untuk melindungi kesaksian material dari

tahap-tahap kemajuan yang digunakan sepanjang waktu.

 Keaslian organisasi ruang dan bentuk: Pola-pola tertentu dari

organisasi spasial (tata letak jalan dan ruang kota) yang

memberikan kontribusi terhadap OUV harus ada dan dapat

dilihat. Jika sebuah nilai bersejarah sebuah kota terletak dalam

pendudukan yang terus-menerus selama lebih dari 2000 tahun,

keaslian tersebut harus dapat membaca evolusi dan transformasi

dari pengaturan spasial dala mempertahankan kota.

 Keberlanjutan fungsi: Jika fungsi-sungsi sejarah utamanya dari

sebuah kota bersejarah memberikan kontribusi terhadap OUV

nya, maka setiap usaha harus dibuat untuk memastikan

keberlanjutan dari fungsi-fungsi tersebut untuk seterusnya.

Dimana fungsi-fungsi tersebut saat ini mungkin sudah usang,

usaha-usaha harus dilakukan untuk mendorong kesesuaian fungsi-

fungsi tersebut atau minimalnya fungsi-fungsi tersebut tidak

menghilangkan bukti penting dari fungsi-fungsi awalnya. Kota-

kota yang sudah merubah kegunaan sejarahnya dan memiliki

ketergantungan terhadap pariwisata pada umumnya rentan untuk

kehilangan atribut-atribut pentingnya.

 Keberlanjutan setting: Nominasi harus menunjukkan

keberlanjutan dari setting saat ini dari pemukiman yang menjaga

kualitas setting yang dikaitkan dengan OUV. Pengawasan pembangunan dalam sebuah zona penyangga harus cukup untuk

melindungi karakter dari setting yang ada agar sesuai dengan

OUV.

c. Architectural monuments and complexes

 Keseluruhan: sebuah monument atau kompleks harus meliputi

seluruh elemen-elemen, bentuk-bentuk dan struktur-struktur yang

secara langsung dikaitkan dengan OUV yang dinominasikan.

Batasan-batasan property yang dinominasikan harus ditetapkan

untuk memasukkan keseluruhan dari bentuk-bentuk tersebut yang

mendukung OUV. Sebuah kompleks biara sebagai contoh harus

terdiri dari semua bangunan yang ada, tidak hanya yang terbesar,

tertua atau memiliki kelebihan estetika – tetapi meliputi juga

rumah-rumah pertemuan, perpusatakaan dan arsip-arsip, bentuk-

bentuk makanan dan hidangan, bengkel, kebun, dan lain-lain.

Begitu juga dengan rumah-rumah ibadah lainnya.

 Kelengkapan: sebuah monument yang dinominasikan sebagai

daftar warisan dunia secara umum harus dalam kondisi fisik yang

baik. Kondisi fisik, sosial dan ekonomi dibutuhkan untuk menjaga

monument dalam kondisi yang bauik juga ditampilkan.

 Keaslian material: Bahan-bahan bersejarah yang masih ada yang

memberikan kontribusi terhadap OUV monument harus

dilindungi. Dalam beberapa kasus, hal ini berarti usaha-usaha

untuk melindungi material original atau material yang memberikan kontribusi pada “unity of style” yang dianggap

penting; dalam kasus lainnya, hal tersebut dapat berarti usaha-

usaha untuk melindungi bukti-bukti dari tahapan-tahapan

penggunaan yang berhasil sampai saat ini, jika evolusi property

dikaitkan dengan OUV. Bahan-bahan material dalam sebuah

monument yang dianggap tidak memberikan kontribusi terhadap

OUV dapat dipindahkan jika hal tersebut mendorong apresiasi

terhadap aspek-aspek struktur lainnya yang juga memberikan

kontribusi terhadap OUV. Sebagai contoh, pada pertengahan abad

20 penambahan yang tidak jelas pada karakteristik pertengahan

dari sebuah candi dinilai karena keindahan ekspresi artistic abad

pertengahannya dapat dipindahkan secara legitimasi, jika

tindakan ini tidak mengganggu legitimasi penggunaan atau

keberlanjutan pembiayaannya.

 Keaslian organisasi ruang dan bentuk: Aspek-aspek tertentu dari

sebuah desain monument, pengaturan formal atau pola-pola

organisasi spasial (tata letak koridor dan ruang) yang memberikan

kontribusi terhadap harus ada dan dapat dilihat. Jika nilai sejarah

sebuah property terletak dalam organisasi klasik desain

Renaissance, maka mendefinisikan karakteristik pendekatan

desain tersebut (sebagai contoh, simetris, kegunaan klasik dalam

hirarki, dll harus tampak dan diekspresikan secara koheren.

 Keberlanjutan fungsi: Jika fungsi-fungsi utama sejarah dari

sebuah monument memberikan konstribusi terhadap OUV, maka setiap usaha harus dilakukan untuk memastikan keberlanjutan

dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya. Dimana fungsi-fungsi

tersebut mungkin sekarang sudah using, usaha-usaha harus

dilakukan untuk meningkatkan kesesuaian fungsinya atau fungsi

minimal dari fungsi-fungsi tersebutyang tidak menghilangkan

fungsi-fungsi penting awalnya.

 Keberlanjutan setting: Nominasi-nominasi harus menunjukkan

setting pemukiman bersejarah sebelumnya yang menggambarkan

kualitas dari setting tersebut yang diasosiasikan dengan OUV.

Pengawasan pembangunan dalam sebuah zona penyangga harus

cukup untuk melindungi karakter setting yang sudah ada agar

sesuai dengan OUV.

d. Cultural Landscapes

 Keseluruhan: sebuah lansekap budayad harus terdiri dari

keseluruhan bentuk-bentuk, pola-pola dan kegunaan dinamis dan

proses pengelolaan yang secara langsung dikaitkan dengan OUV.

Batasan-batasan property yang dinominasikan harus ditetapkan

meliputi keseluruhan pemilihan kawasan yang mendukung OUV.

 Kelengkapan: Sebuah lansekap budaya secara umum harus dalam

keadaan kondisi fisik yang baik dan berfungsi. Keseluruhan

kondisi fisik, sosial dan ekonomi harus memastikan untuk

menjaga kualitas konservasi lansekapnya yang berada pada

tempatnya.  Keaslian material: Bahan-bahan bersejarah yang masih tersisa

yang berkontribusi terhadap OUV dari lansekap budaya harus

dilindungi. Dalam beberapa kasus hal ini berarti usaha-usaha

untuk melindungi bentuk-bentuk atau pola-pola asli yang

dipandang penting; pada kasus lainnya, hal tersebut berarti usaha-

usaha untuk melindungi bukti-bukti terhadap tahapan-tahapan

penggunaan selama ini, jika evolusi lansekap dikaitkan dengan

OUV.

 Keaslian organisasi ruang dan bentuk: Pola-pola tertentu dari

organisasi spasial – system perpindahan (rel, jalan, air), system

prasarana) yang berkontribusi terhadap OUV harus dihadirkan

dan nyata. Jika sebuah nilai sejarah sebuah lansekap terletak pada

keberlanjutan pendudukannya selama berabad-abad, maka sangat

memungkinkan untuk membaca evolusi dan transformasi bentuk-

bentuk dan pola-pola terbangun dari pengelolaan spasial dalam

lapisan-lapisan lansekap yang masih ada.

 Keberlanjutan fungsi: Jika fungsi sejarah utaman dari sebuah

lansekap berkontribusi terhadap OUV nya, maka setiap usaha

harus dilakukan untuk memastikan fungsi-fungsi tersebut

selamanya. Terutama terhadap nilai lansekap terhadap kualitas

desain atau kualitas terkait lainnya.

 Fungsi-fungsi yang rentan mengalami perubahan; Nilai lansekap

sebagai lansekap yang berkembang (untuk sebagian besar adalah lansekap pertanian) paling baik dengan mengelola karakter-

karakter yang mendefinisikan fungsi.

 Keberlanjutan setting: Nomisasi harus menunjukkan

perkembangan dimana current setting lansekap budaya

sebelumnya menjaga kualitas setting secara langsung yang

dikaitkan dengan OUV. Kontrol pembangunan dalam sebuah

zona penyangga harus cukup untuk melindungi karakter setting

yang ada agar sesuai dengan OUV lansekap budaya tersebut.

Dalam menentukan nilai-nilai otentisitas di Puri Anyar Kerambitan melalui indikator-indikator otentisitasnya. Indikator-indikator tersebut akan dibagi ke dalam beberapa tipologi disesuaikan dengan wujud budaya yang terdapat di sebuah puri/keraton. Pembagian tersebut berdasarkan: artefak, idefak dan Sosiofak.

Indikator-indikator yang terdapat dalam ketiga wujud budaya tersebut kemudian yang ditetapkan akan terbagi menjadi dua kriteria indikator yaitu, indikator umum dan indikator khusus. Indikator-indikator umum otentisitas wisata budaya yang ditetapkan berlaku terhadap semua jenis daya tarik wisata budaya yang merupakan bagian dari artefak, idefak dan sosiofak. Indikator umum otentisitas budaya di

Puri Anyar Kerambitan terdiri dari :

1. Produk wisata budaya yang dijadikan pertunjukan wisata memiliki

catatan sejarah atau asal usul yang jelas yang dapat membuktikan

bahwa produk budaya yang mereka miliki bukan hasil meniru dari tempat lain. Setiap puri/keraton akan memiliki kebiasaan-

kebiasaan tersendiri yang menunjukkan identitasnya masing-

masing dan hal tersebut pada umumnya tercatat dalam catatan-

catatan sejarah puri/keraton. Puri-puri/keraton-keraton di

Indonesia pada umumnya memiliki bukti-bukti sejarah berupa

catatan-catatan terhadap perjalanan puri/keraton itu sendiri atau

hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan dan aset-aset

yang mereka miliki. Keberadaan dari catatan-catatan sejarah

tersebut akan memberikan bukti mengenai keotentikan

2. Budaya yang ada memiliki pengaruh yang besar terhadap

kehidupan manusia yang ada ditempat tersebut. Budaya sebagai

sebuah hasil karya dan karsa manusia akan memberikan pengaruh

yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada masa

lalu sangat memegang teguh kebiasaan-kebiasaan dan budaya-

budaya yang dibentuk dan diturunkan oleh para pendahulu

mereka. Walaupun di zaman modern banyak budaya yang sudah

kehilangan makna aslinya tetapi beberapa masih memiliki

pengaruh dan dihormati sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

kehidupan masyarakat tersebut. Di beberapa daerah yang masih

memiliki puri, sultan atau raja masih dianggap memiliki pengaruh

yang besar dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Demikian juga yang

terjadi di Puri Anyar Kerambitan dimana puri masih memiliki

makna dan pengaruh yang penting dalam kehidupan sehari-hari

masyarakatnya. Bentuk penghormatan masyarakatnya terhadap puri merupakan sebuah bentuk yang terjadi tanpa rekayasa dan

memberikan gambaran kehidupan mereka yang menarik untuk

diamati dan hal tersebut menampilkan sebuah kondisi yang

otentik.

3. Menampilkan adanya pertukaran nilai-nilai antar manusia yang

sudah terjadi sejak dahulu dalam sebuah konteks budaya, baik

dalam hal teknologi, seni maupun kebiasaan-kebiasaannya. Dalam

sebuah interaksi sosial, sebuah kelompok masyarakat tidak hanya

berinteraksi di dalam kelompok masyarakatnya saja tetapi juga

memiliki hubungan dengan masyarakat-masyarakat lainnya yang

menyebabkan terjadinya pertukaran-pertukaran budaya yang

memperkaya budaya sebuah kelompok masyarakat. Begitu juga

yang terjadi dengan Puri Anyar Kerambitan sebagai sebuah

puri/keraton memiliki hubungan dengan dunia luar baik dalam

bidang perdagangan maupun bidang-bidang sosial lainnya.

Kondisi tersebutlah yang kemudian banyak benda-benda

bersejarah, unik dan langka yang terdapat di Puri Anyar

Kerambitan. Walaupun barang-barang tersebut bukan ciptaan atau

hasil karya asli dari puri tersebut tetapi keberadaannya sebagai

sebuah hasil dari hubungan budaya yang saling melengkapi

memberikan suatu nilai otentik yang universal yang memberikan

persepsi kepada pengunjung wisata budaya sebuah nilai-nilai yang

tidak dimiliki oleh tempat lain. 4. Memiliki keunikan, langka dan antik. Sebuah budaya yang jarang

ditemukan ditempat lain atau hanya dapat ditemukan di suatu

tempat tentu saja akan menarik orang untuk melihatnya. Pada

umumnya kondisi tersebut akan memberikan karakteristik khusus

yang tidak dimiliki oleh tempat lain, seperti yang dimiliki oleh

Puri Anyar Kerambitan dengan royal weddingnya. Pernikahan

dengan menggunakan adat Bali bagi sebagian besar orang sudah

merupakan hal yang sangat biasa, tetapi pernikahan yang

menggunakan tata cara kerajaan atau puri hanya dapat ditemukan

di Puri Anyar Kerambitan dimana pengantin merupakan orang luar

puri. Puri/keraton lain seperti seperti Kesultanan

beberapa kali mengadakan royal wedding, tetapi pelakunya adalah

keluarga kerajaan sendiri dan pengunjung hanya merupakan

penonton. Dalam hal ini tentu saja terdapat beberapa perbedaan

nilai otentisitas yang terjadi karena Puri Anyar Kerambitan dengan

sengaja menjual produk budayanya untuk digunakan oleh

pembelinya yang dalam hal ini adalah wisatawan tetapi dengan

tidak mengurangi tata cara yang selama ini digunakan. Nilai-nilai

otentisitas yang dipertahankan oleh Puri Anyar Kerambitan adalah

tata cara pelaksanaan royal wedding nya tanpa merubahnya

sedikitpun. Disini terdapat interaksi yang lebih dalam antara

wisatawan dengan budaya tersebut dan hal tersebutlah yang

memunculkan pandangan otentik dalam benak mereka yang

menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan mereka. 5. Adanya pendapat atau kesaksian yang menyatakan bahwa tradisi

budaya tersebut merupakan bagian dari budaya masyarakat atau

kehidupan lokal, baik yang masih ada maupun yang sudah tidak

ada. Sebuah budaya agar dianggap otentik tentu saja tidak serta

merta melalui pengakuan dari masyarakat tersebut saja tetapi juga

adanya pengakuan, pendapat atau kesaksian dari orang-orang luar

yang menganggap bahwa budaya yang ada di suatu tempat atau

kelompok masyarakat tersebut merupakan asli dari hasil karya

mereka. Pendapat atau kesaksian dari orang-orang luar tempat atau

kelompok masyarakat tersebut akan memperkuat bahwa budaya

tersebut memang hasil karya masyarakat tersebut sehingga

pengakuan otentik yang mereka klaim akan semakin kuat dan akan

semakin memperkuat dan meyakinkan orang-orang yang akan

datang menyaksikan budaya tersebut bahwa budaya tersebut

benar-benar otentik.

6. Masyarakat masih memiliki kebanggaan terhadap budayanya.

Kebanggaan yang dimiliki oleh sebuah kelompok masyarakat

terhadap budaya yang dimilikinya akan memberikan kekuatan

terhadap budaya tersebut dan juga kebanggaan tersebut

menunjukkan bentuk kepemilikan terhadab budaya tersebut.

Kebanggaan yang dimiliki oleh masyarakat di lingkungan Puri

Anyar Kerambitan terhadap budaya yang mereka miliki saat ini

semakin mendorong mereka untuk tetap mempertahankan nilai-

nilai budaya mereka dari ancaman perubahan yang semakin deras mengancam. Kebanggaan tersebut secara tidak langsung akan

mendorong terjaganya nilai-nilai otentisitas.

7. Bentuk: Semua wujud budaya baik artefak, idefak dan sosiofak

pada saat diciptakan akan memiliki bentukan-bentukan tertentu

yang memiliki sifat original dan tidak memiliki duplikasi atau

memiliki perbedaan dengan budaya lainnya. Dalam menilai

otentisitas bentuk awal selalu menjadi rujukan bagi setiap orang

dalam menilai apakah budaya tersebut masih otentik atau tidak.

Perubahan-perubahan ekstrem yang terjadi terhadap bentuk

budaya tersebut akan menjadikannya tidak otentik lagi.

8. Substansi: Budaya diciptakan dengan tujuan-tujuan dan

kepentingan-kepentingan tertentu yang digunakan dalam

kehidupan bermasyarakat dan beragama. Perubahan terhadap

tujuan dan kepentingan tersebut akan merubah makna budaya

tersebut sehingga otentisitasnya menjadi hilang. Semakin

menurunnya pemanfaatan budaya yang diciptakan dalam

kaitannya dengan tujuan atau kepentingan tertentu di zaman

modern saat ini tidak saja menghilangkan otentisitasnya tetapi juga

menghilangkan budaya itu sendiri.

Pemanfaatan budaya untuk kepentingan pariwisata dilihat dari sisi

substansinya tentu saja memiliki dualisme pemahaman karena jika

tidak digunakan untuk pariwisata budaya tersebut akan hilang

karena sudah tidak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari atau

perlahan-lahan mulai sirna karena sudah sangat jarang digunakan tetapi di sisi lain jika dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata

akan menghilangkan otentisitasnya. Oleh karena itu dalam

kaitannya dengan otentisitas budaya yang berkaitan dengan

substansi budaya tidak dapat dijadikan faktor penentu utama

dalam menentukan otentisitas. Bagi sebagian budaya seperti royal

wedding atau royal dinner walaupun terjadi perubahan dari sisi

pengguna tetapi substansinya masih sama, tetapi akan berbeda

kasusnya jika dikaitkan dengan seni bung-bung yang

substansinya sama sekali sudah berubah dari yang awalnya

difungsikan untuk mengusir roh jahat menjadi hiburan semata-

mata. Dalam hal ini substansi yang dimaksud lebih diarahkan

kepada tujuan dan kepentingan yang terdapat di lingkungan

internal puri dimana substansi dari budaya tersebut masih belum

berubah.

9. Fungsi: Budaya dalam kehidupan sehari-hari memiliki fungsi

tertentu yang mendukung kegiatan masyarakat yang menciptakan

budaya tersebut. Sebagai suatu hal yang bersifat sangat dinamis

budaya sangat rentan akan perubahan. Kemajuan zaman

menyebabkan terjadinya perubahan terhadap fungsi-fungsi budaya

tersebut yang salah satunya untuk fungsi hiburan dan pertunjukan

dalam kaitannya dengan perkembangan pariwisata di suatu daerah.

Sama dengan indikator susbtansi, fungsi untuk sosiofak relatif

mengalami perubahan fungsi yang sangat signifikan tetapi untuk

lingkungan puri/keraton budaya memiliki sifat living culture akan memberikan nilai-nilai otentisitas yang tinggi jika dibandingkan

dengan puri/keraton yang hanya menampilkan material culture

yang hanya menampilkan benda-benda mati yang banyak terjadi

pada puri-puri atau keraton-keraton yang ada di nusantara.

10. Tradisi: Tradisi merupakan sebuah kebiasaan yang diturunkan ke

generasi berikutnya dan tetap dilaksanakan sebagai bagian yang

ada tetap dipertahankan dan digunakan secara turun-temurun.

Tradisi yang tetap dipertahankan akan dianggap otentik karena

memberikan gambaran yang asli terhadap suatu kehidupan

masyarakat.

11. Teknik: Dalam penciptaan suatu wujud budaya, baik yang

berkaitan artefak, idefak maupun sosiafak terdapat teknik-teknik

atau pemikiran-pemikiran khusus yang melatarbelakanginya, baik

berupa kepercayaan maupun pengetahuan yang berkembang pada

masa itu. Teknik-teknik tersebut sangat berkaitan erat dengan

pengetahuan yang mereka miliki dan apa yang mereka lakukan

dalam menciptakan sebuah karya budaya akan menunjukkan

identitas mereka. Suatu keahlian dari sekelompok masyarakat

tertentu menunjukkan bahwa mereka memiliki keahlian yang

hanya dimiliki oleh mereka yang dianggap otentik.

12. Lokasi: Perkembangan pariwisata dewasa ini menuntut adanya

kunjungan ke sebuah tempat yang memiliki kekhususan tertentu

yang hanya terdapat ditempat tersebut yang dalam pengertian jika

ingin melihat atau menikmati sesuatu datanglah ke tempat ini bukan ke tempat lain karena ditempat lain wisatawan tidak akan

menemukannya. Oleh karena itu lokasi dimana daya tarik budaya

tersebut berada menjadi sangat penting dalam perkembangan

pariwisata budaya dewasa ini karena wisatawan sudah

mengidentikkan otentisitas dengan lokasi dimana budaya tersebut

berada. Mereka beranggapan bahwa budaya yang tidak berada di

lokasi dimana budaya tersebut diciptakan maka dianggap tidak

otentik lagi terutama yang berkaitan dengan pertunjukan yang

sifatnya khusus dan tidak menjadi konsumsi masal. Bagi sebagian

besar budaya yang „kepemilikannya‟ diakui oleh banyak

kelompok masyarakat dalam sebuah ruang wilayah yang relatif

luas seperti kabupaten atau provinsi lokasi mungkin tidak akan

menjadi masalah karena setiap kelompok masyarakat tersebut

memiliki kesamaan yang tidak dapat dipungkiri sehingga

lokasinya dapat ditemukan dimanapun. Tetapi bagi budaya yang

bersifat khusus yang hanya ditemukan disatu tempat, lokasi

menjadi hal penting.

13. Tidak adanya duplikasi dengan tempat lain: Duplikasi atau

peniruan terhadap sebuah konsep atau ide budaya merupakan

suatu bentuk ketidakotentikan walaupun memiliki perwujudan

yang berbeda. Sebagai contoh bisa dilihat dari ide pengembangan

pariwisata budaya yang dilakukan oleh Kesultanan Kacirebonan

yang menduplikasi konsep royal wedding, royal dance dan royal

dinner untuk pariwisata budayanya, wisatawan yang sudah memiliki pengalamanan mengatakan bahwa ide yang ditawarkan

tidak otentik karena meniru dari tempat lain walaupun sebenarnya

hal tersebut bukan hal utama karena pada dasarnya yang penting

adalah bagaimana budaya asli dari tempat tersebut tidak

memindahkan budaya dari Puri Anyar Kerambitan. Karena

bagaimanapun ide-ide dapat diambil dari tempat lain dan

menyesuaikan dengan karakteristik lokalnya.

14. Tidak diproduksi secara massal: sebuah produk budaya yang

otentik harus memiliki sifat yang ekslusif yang hanya dapat

ditemukan ditempat-tempat tertentu atau khusus. Sebuah produk

yang sudah diproduksi secara masal akan menjadikan budaya

tersebut dapat ditemukan dimana-mana dan wisatawan tidak akan

merasakan sensasinya karena sudah menjadi barang atau jasa yang

sifatnya umum. Produk pariwisata budaya yang terdapat di Puri

Anyar Kerambitan hanya terdapat di puri tersebut dan hal tersebut

yang memberikan nilai lebih dan nilai otentik terhadap produk

budaya tersebut dengan karakter lokalnya.

15. Tidak mencampurkannya dengan budaya luar: Perkembangan

teknologi dan pemikiran manusia dapat saja berkembang dengan

maju, tetapi wisatawan dewasa ini sudah terbiasa dengan

kemajuan modern tersebut dan justru saat ini mereka mencari

sesuatu yang benar-benar original yang diciptakan oleh sebuah

kelompok budaya. Sering terjadi sebuah destinasi wisata budaya

mencampurkan budaya yang mereka miliki dengan budaya lain dengan alasan kreatifitas dan meningkatkan daya tarik wisata

budaya mereka tetapi hal tersebut justru menghilangkan

keotentikan budaya mereka. Walaupun pada masa lalu asimilasi

budaya merupakan hal yang wajar terjadi tetapi hal tersebut

melalui proses yang panjang dan melalui tahapan-tahapan yang

jelas. Sangat berbeda dengan percampuran budaya yang terjadi

pada saat ini yang semuanya terjadi serba instan sehingga

menghilangkan corak atau warna budaya asli atau tradisional

tersebut, sehingga wisatawan akan lebih menganggap bahwa

percampuran budaya yang terjadi pada saat ini akan semakin

menghilangkan otentisitas suatu budaya. Mereka lebih

menginginkan budaya yang tetap mempertahankan tradisi.

Terkait dengan pembentukan indikator-indikator otentisitas di Puri Anyar

Kerambitan, Indikator-indikator tersebut akan dibagi ke dalam beberapa bentuk yang berkaitan dengan wujud budaya beserta komponen-komponen yang terdapat didalamnya yang terdiri dari:

1. Desain dan struktur bangunan, peralatan dan perlengkapan hidup.

Bangunan Puri Anyar Kerambitan merupakan sebuah artefak yang

memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi karena sudah ditinggali

selama beberapa generasi keturunan Raja Kerambitan, sehingga

menjadi saksi bagaimana kerajaan tersebut berkembang mengikuti

perubahan jaman. Selain itu keberadaan peralatan dan perlengkapan

hidup yang masih ada juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan keluarga kerajaan dan bagaimana hubungannya dengan dunia luar. Keaslian yang dijaga akan memberikan daya tarik kepada pengunjung karena mereka menginginkan sesuatu yang nyata dan membawa mereka ke sebuah kondisi dan perasaan dimana mereka berada pada sebuah masa dan terikat dengan lingkungan yang mereka kunjungi. Terkait dengan otentisitas desain dan struktur bangunan serta peralatan dan perlengkapan hidup, indikator-indikator otentisitas yang dikaitkan dengan keberadaan sebuah puri/keraton adalah: a. Bahan/material: Mengacu pada bahan-bahan yang digunakan dalam

mendirikan bangunan puri/keraton. Bahan-bahan atau material-

material tersebut merupakan bahan/material yang sejak dulu

digunakan dalam pembangunan sebuah bangunan atau secara

tradisional sudah dilakukan secara turun-temurun. Bahan/material

tersebut masih dipertahankan sampai sampai saat ini dan tidak

memiliki perubahan yang berarti. Kerusakan-kerusakan yang

terjadi dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian diperbaiki tidak

merubah secara keseluruhan. Untuk bangunan-bangunan yang

sudah rusak jika akan direvilitalisasi harus mendapatkan ijin dari

badan arkeologi sehingga bahan yang digunakan untuk revitalisasi

tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi bangunan. b. Desain: Setiap masyarakat memiliki desain khusus bangunan yang

mencirikan karakter daerahnya. Seperti diketahui bahwa

masyarakat Bali yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu sangat

memiliki kaitan erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dimana kerajaan tersebut merupakan kerajaan Hindu dan kemudian

karena adanya konflik agama dengan kerajaan Islam Demak

kemudian menyingkir ke timur yaitu Pulau Bali budaya tersebut

tetap mereka bawa, sehingga walaupun saat ini terdapat

kemungkinan kesamaan bentuk budaya masih dapat dikatakan

sebagai otentik. Bangunan-bangunan di Pulau Bali pada umumnya

dan Kerambitan pada khususnya memiliki kesamaan dengan

peninggalan-peninggalan Hindu di Jawa Timur yang disebabkan

oleh adanya keterkaitan masa lalu tadi dan bukan berarti budaya

yang tetap dilanjutkan saat ini tidak otentik. Kesamaan budaya

tersebut bahkan kemudian memiliki identitas-identitas baru yang

menyesuaikan dengan perubahan-perubahan lingkungan ditempat

barunya yang menjadikannya memiliki ciri khas khusus. Dengan

kata lain walaupun memiliki kesamaan bentuk tetapi memiliki ciri

khas tersendiri yang membedakannya dengan tempat asalnya. c. Style: Setiap daerah atau sekelompok masyarakat memiliki style

atau model bangunan tersendiri yang merupakan identitasnya yang

membedakannya dengan daerah atau masyarakat lainnya. Style

bangunan tersebut dapat dijadikan sebagai landmark daerah

tersebut. Ciri-ciri khas bangunan tersebut akan memberikan

pandangan atau persepsi dipikiran pengunjung atau orang-orang

luar daerah atau masyarakat tersebut dimana setiap kali melihatnya

akan mengasosiasikan bangunan tersebut dengan daerah atau

masyarakat tersebut. Hal tersebut juga dimiliki oleh masyarakat di Puri Anyar Kerambitan. Penonjolan arsitektur bangunan puri

sebagai salah satu ciri khas akan memberikan sebuah pandangan

otentisitas kepada bangunan Puri Anyar Kerambitan.

2. Upacara Perkawinan, Seni Tari, Seni Musik

a. Terkait dengan ide atau kepercayaan: Perwujudan sebuah seni dan

budaya suatu masyarakat atau budaya tidak terlepas dari ide-ide

yang muncul selama mereka berinteraksi, baik secara internal

masyarakat mereka sendiri maupun secara eksternal dengan

masyarakat luar. Disamping itu kepercayaan terhadap sesuatu

yang mereka percayai terutama yang berkaitan dengan unsur-

unsur keagamaan akan memunculkan ide-ide otentik yang akan

memunculkan sebuah bentuk seni yang menunjang prosesi

keagamaan yang mereka lakukan. Bagi umat Hindu di Bali,

Agama dan seni merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Keduanya saling mendukung dan melengkapi. Hal tersebut dapat

dilihat dari terbentuknya seni musik bung-bung yang terbuat dari

bamboo dimana seni musik tersebut terbentuk karena adanya

kepercayaan dari masyarakat lokal yang pada saat itu desanya

terserang penyakit yang diyakini berasal dari roh jahat dan

melalui bunyi-bunyian yang dihasilkan dari bambu akan mampu

mengusir roh jahat tersebut sekaligus mengusir penyakit yang

menyerang mereka. Walaupun secara fungsi sudah tidak

digunakan lagi sebagai pengusir roh jahat tetapi keberadaan seni musik bung-bung tersebut tetap diakui sebagai hasil karya

masyarakat kerambitan yang otentik karena mereka yang

menciptakan. b. Bukan merupakan duplikasi: Duplikasi merupakan salah satu ciri

ketidakotentikan sebuah budaya. Jika sekelompok masyarakat

memindahkan sebuah budaya dari sebuah tempat yang secara

sejarah bukan hasil karya mereka ke tempat mereka berada

sekarang maka budaya tersebut dianggap tidak otentik. Duplikasi

disini memiliki pengertian bahwa karya budaya yang diciptakan

tidak memiliki keterkaitan sejarah atau keterkaitan budaya, tetapi

akan berbeda penilaiannya jika budaya yang terdapat di lokasi

tersebut masih memiliki keterkaitan yang erat dengan asal-asal

budaya tersebut walaupun secara tempat sudah berpindah jauh

ikatan budaya tersebut tidak akan pernah hilang. Contoh paling

nyata yang dapat ditemukan di Puri Anyar Kerambitan adalah

terkait dengan Tari Calon Arang dimana cerita yang terkandung

didalamnya berasal dari kerajaan-kerajaan hindu di Jawa Timur

yang kemudian dibawa oleh leluhur mereka ke Bali. Walaupun

secara otentik yang berasal dari Jawa Timur Cerita mengenai

Calon Arang hanya merupakan cerita di atas kertas, tetapi oleh

Puri Anyar Kerambitan ditransformasikan ke dalam bentuk hidup

yaitu berupa tarian yang kemudian dipertunjukan kepada

wisatawan. Inti ceritanya tetap berdasarkan cerita calon arang

yang sesuai dengan naskah kuno yang ada dan mereka sama sekali tidak menduplikasi cerita tersebut karena secara sejarah

mereka memiliki keterkaitan sejarah dan nenek moyang sehingga

mereka tetap dianggap menciptakan sebuah karya yang otentik. c. Berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah atau peristiwa-

peristiwa tertentu: setiap artefak budaya pada umumnya memiliki

sejarah-sejarah tertentu apalagi jika berkaitan dengan keberadaan

sebuah puri/keraton yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Keberadaan sebuah puri/keraton juga berkaitan dengan

terbentuknya sebuah masyarakat sehingga keberadaannya

memiliki perjalanan panjang yang dapat diceritakan kepada

pengunjung. Catatan-catatan sejarah yang dimilikinya terutama

yang tercatat dalam daun lontar yang biasa dipergunakan orang-

orang zaman dulu akan menunjukan keotentikan puri tersebut. d. Perubahan hanya bisa terjadi pada hal-hal khusus: Budaya

memiliki sifat yang dinamis yang akan selalu berubah mengikuti

perkembangan zaman, sehingga sangat tidak mungkin menahan

perubahan-perubahan tersebut. Sebagai sebuah budaya yang

dijadikan sebagai pertunjukan komersial penyesuaian menjadi

kebutuhan untuk mempertemukan antara budaya tersebut dengan

kebutuhan wisatawan agar terjadi titik temu yang saling

menguntungkan. Di satu sisi budaya harus tetap mempertahankan

otentisitasnya dan disisi lain wisatawan memiliki keterbatasan

waktu. Seperti banyak kasus yang terjadi pada umumnya budaya

yang mengalah terhadap kepentingan wisatawan. Disamping itu masuknya pemikiran-pemikiran modern ke generasi saat ini

menjadikan budaya-budaya yang ada saat ini tidak lagi menjadi

nilai-nilai wajib dalam kehidupan bermasyarakat. Agar budaya

tersebut tetap hidup tetapi tidak kehilangan otentisitasnya, maka

perubahan-perubahan sangat dimungkinkan sepanjang tidak

menghilangkan makna sesungguhnya dari seni dan budaya

tersebut. Perubahan tersebut dapat meliputi rentang waktu

pertunjukan dan peralatan atau perlengkapan yang mendukung

aksi pertunjukan tersebut, terutama pada saat pertunjukan tersebut

dilakukan disebuah panggung. Perubahan-perubahan yang terjadi

pada waktu pelaksanaan yang bila pada waktu lampau digunakan

untuk ritual-ritual tertentu seperti pada saat hari keagamaan atau

bulan purnama memang tidak dapat dihindari lagi tetapi

sepanjang nilai-nilai dasar dari kesenian yang dipertunjukan

tersebut tidak berubah maka otentisitas dapat dikatakan tetap

terjaga. e. Bahasa: Secara tradisional, bahasa pengantar yang digunakan

dalam sebuah kesenian, baik seni drama atau seni tari adalah

bahasa asli atau lokal daerah tersebut. Penggantian bahasa yang

digunakan menjadi bahasa lain seperti Bahasa Indonesia atau

Bahasa lainnya akan mengurangi nilai otentisitas dari seni

tersebut. Walaupun pengunjung yang menyaksikan pertunjukan

tersebut tidak mengerti bahasa yang digunakan tetapi jiwa dari

kesenian tersebut akan hilang jika menggunakan bahasa lain. Agar pengunjung dapat mengerti bahasa digunakan, pengelola

dapat membuatkan synopsis atau terjemahan di selembar kertas

berdasarkan tahapan-tahapan seni yang dipertunjukan tersebut

sehingga pengunjung dapat memahami cerita yang disampaikan

dan dengan demikian kesenian tersebut tidak akan kehilangan roh

budayanya dan nilai-nilai otentisitasnya tetap terjaga.

3. Kuliner

Hyjalager dan Corigliano (2000) mengatakan bahwa

ketersediaan makanan-makanan tradisional merupakan sesuatu yang

dapat menarik wisatawan. Mengembangkan makanan yang otentik

memiliki dimensi yang positif terhadap sebuah tempat dan

wisatawannya; makanan otentik menggambarkan nilai-nilai budaya

dari masyarakat yang pada umumnya dicari oleh wisatawan (Williams

2002).

Wisatawan yang menyukai perjalanan ketempat-tempat yang

menawarkan pengalaman-pengalaman budaya dan atribut-atribut

lainnya yang khas dan mencari lokasi-lokasi yang tidak mereka

temukan di tempat asal mereka (Patullo 2001). Makanan-makanan

otentik dapat menunjukkan praktek-praktek penduduk mengenai

bagaimana mereka hidup dan berinteraksi yang membentuk aspek

penting dalam pariwisata (Wolf 2006). Dalam pandangan Robinson

dan Picard (2006), ketertarikan wisatawan terhadap makanan yang

otentik sebagai bagian dari pengalamannya dapat memberikan dampak yang positif. Anon (2007) juga mengatakan bahwa pelayanan makanan yang terorganisasi memiliki arti dalam meningkatkan pembelian kembali dan sebuah pertumbuhan yang positif yang dapat melanjutkan dan mendukung perkembangan daya tarik wisata.

Dalam mengembangkan pelayanan makanan yang otentik yang memberikan pengaruh kuat terhadap pola-pola makan wisatawan akan memberikan pengetahuan terhadap wisatawan. Ketertarikan wisatawan untuk mengkonsumsi makanan otentik adalah agar dapat melepaskan perasaan personalnya agar tercipta suasana yang baik

(Wang 1999). Permintaan terhadap makanan yang otentik merupakan salah satu dimensi dari pembangunan yang berkelanjutan daya tarik wisata (Rowe et al 2002).

Sheldon and Fox (1988; Hylager and Corigliano 2000; Steen

Jacobsen and Vidar Haukeland 2002) mengatakan bahwa makanan memiliki potensi untuk menarik wisatawan ke daya tarik wisata dan kemudian berkontribusi untuk meningkatkan keberhasilan daya tarik wisata. Mengembangkan makanan yang otentik oleh karenanya merupakan strategi yang layak untuk diterapkan dalam sektor pariwisata dan memberikan interaksi antara tuan rumah dan wisatawan.

Makanan yang otentik dapat menjadi sebuah agen konsolidasi bagi daya tarik wisata untuk mendukung keinginan wisatawan untuk membangun sebuah identitas terhadap atribut-atribut budaya dan kemudian meningkatkan pengalaman berwisata wisatawan. 4.2.2. Indikator-Indikator Komodifikasi di Puri Anyar Kerambitan

Schiller (1976) menjelaskan bahwa imperialism budaya membangun sebuah sistem ekonomi dunia, dengan istilah dan dan sifat produksi yang ditentukan pada satu lokasi dan berkembang dimana-mana. Orang-orang yang membeli barang-barang dalam sebuah pasar dunia juga membeli ideology perekonomian kapitalis dunia. Pasar secara efektif mempromosikan dan membangun dukun gan terhadap nilai-nilai artefak system-sistem tesebut. The world market effectively promotes and develops support for the values and artifacts of the sistem.

Dari perspektif Marxist, Habermas (Schindler, 1996) menyatakan bahwa isu promosi konsumerisme dimulai dari akumulasi yang terus-menerus terhadap modal tanpa konsumsi barang yang sesuai, seperti penggunaan modal strategis untuk menambahkan nilai terhadap barang-barang yang berlebihan. Manipulasi pasar menyebabkan terjadinya "commodity fetishism," yaitu sebuah arahan kembali kelas antagonism menjadi sebuah keinginan untuk barang-barang material.

Imperialisme budaya digunakan untuk (1) meningkatnya permintaan terhadap barang-barang luar negeri; (2) Rencahnya pertumbuhan industri lokal; dan, (3) Membangkitkan sebuah mentalitas konsumerisme dimana kebutuhan untuk menabung berlebihan berdasarkan keinginan untuk melebihi kekayaan luar negeri. Sekali keinginan tersebut tertanam dalam pasar, perusahaan memperluas dan mengkonsolodasikan pasar mereka dengan berinvestasi dalam fasilitas- fasilitas perdagangan dan promosi penjualan. Tujuan menetapkan preferensi barang-barang tersebut dalam perekonomian lokal berarti bahwa mereka terlibat dalam perpindahan nilai-nilai internasional.

McChesney (2000) mengatakan bahwa konsep sebuah fair market didasari oleh kompetisi, tetapi sebenarnya kunci keberhasilan dalam pasar adalah menghilangkan persaingan. Keberhasilan kapitalis belajar untuk menghindari kompetisi adalah semakin kecil resiko yang dihadapi oleh sebuah perusahaan maka lebih profitable kecenderungannya.

Menurut Schiller (1976), teknologi sudah menjadi sebuah alat imperialism budaya yang sangat berhasil karena dipandang sebagai hardware dan software yang sederhana - netral, bebas nilai, dan dapat dipekerjakan dalam perintah beberapa orang. Sepanjang teknologi menghadirkan konsep aliran informasi bebas, yang menjanjikan manfaat bagi setiap orang dalam aliran tersebut, tetapi dalam kenyataannya terjadi dominasi yang lemah oleh yang kuat.

Webster (2000) mengakui bahwa era informasi tidak memulai masyarakat jenis baru, tetapi keberlanjutan, konsolidasi dan perpanjangan kapitalisme. Semakin dikembangkan, semakin dalam informasi tersebut menyerang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip kapitalisme terdiri dari : (1) status didasari kemampuan untuk membayar; (2) komodifiksi hubungan; (3) produksi untuk keuntungan; dan, (4) kepemilikan privat adlam properti.

Pariwisata sebagai sebuah aktivitas ekonomi selalu disalahkan atas komodifikasi budaya. Objek-objek dan penampilan-penampilan yang yang sekali diciptakan untuk konsumsi lokal menjadi tumbuh terhadap pasar wisata dan secara konsekuen dikatakan dieksploitasi, tidak punya harga diri dan tidak penting

(Cohen, 1988). Komodifikasi tersebut oleh karenanya dipandang menghancurkan otentisitas produk budaya dan hubungan lokal dan memunculkan pementasan atau pengalaman palsu yang diciptakan secara khusus untuk konsumen luar

(MacCannell, 1976). Kehilangan otentisitas seperti itu merusak masyarakat dan pengalaman pengunjung.

Dari perspektif wisatawan, konsumsi produk dan pengalaman budaya asli dapat dilihat sebagai tidak relevan untuk kenikmatan berwisata. Consider a tailormade holiday that takes a discerning traveller „off the beaten track‟ untuk menemukan budaya yang tidak dipalsukan dari sebuah masyarakat terpencil.

Wisatawan seperti itu akan mengalami peristiwa dan ritual nyata, membeli barang-barang kerajinan yang otentik, mengetahui masyarakat lokal dan akan menikmati sebuah pengalaman berdasarkan keramah-tamahan dan persahabatan.

Pengalamanan tersebut tentu saja berbeda dengan liburan yang berbasiskan pada taman bertema yang menghabiskan waktu mengkonsumsi tiruan dalam sebuah lingkungan terbangun yang benar-benar artifisial. Disini wisatawan akan mengkonsumsi peristiwa-peristiwa dan produk-produk yang dibuat secara khusus untuk pasar wisatawan, akan mendapatkan pengalaman dan transaksi yang uang dan tidak akan menghabiskan memiliki waktu dalam kehidupan masyarakat.

Kedua jenis liburan tersebut merupakan produk-produk industri pariwisata global yang popular di wisatawan, kita membayangkan bahwa kedua pengalaman tersebut sama-sama „nyata‟.

Kenyataan menjadi seorang wisatawan yang mengkonsumsi produk- produk dan peristiwa-peristiwa yang dikomodifikasi dan tidak otentik merusak konsep otentisitas mungkin untuk meromantisasi wawasan terhadap pariwisata itu sendiri dan untuk melihat kembali ke masa lalu. Kevin Meethan mengatakan bahwa: ...proses komodifikasi, lebih dari sekedar sebuah isu sampingan, adalah kenyataan penting terhadap keseluruhan pariwisata dan bahwa pariwisata adalah salah satu aspek proses global dari komodifikasi dibandingkan sebuah separate self-contained system. (Meethan,

2002: 5).

Kepedulian juga sudah sering disuarakan terhadap dampak pariwisata terhadap masyarakat lokal, terutama dalam kaitannya dengan hubungan penduduk dengan tamunya dan produk-produk budaya masyarakat tersebut. Meningkatnya hubungan komersial antara tuan rumah dan tamu dipandang merusak kedua kelompok tersebut dengan berkurangnya tradisi keramah-tamahan otentik menjadi transaksi komersial belaka. Produk-produk budaya dari sebuah destinasi adalah pemain kunci dalam industri pariwisata. Peristiwa budaya, produk-produk dan penanda-penanda lainnya secara umum digunakan dalam promosi dan digunakan untuk hiburan wisatawan (seperti yang terjadi dalam Tari Calon Arang) dan cindera mata. Banyak yang sudah dituliskan mengenai peranan pariwisata dalam adaptasi bentuk budaya, sebagai contoh „tourist art‟ (Graburn, 1976), meningkatnya „heritasisasi destinasi‟ (Hewison, 1987; Walsh, 1992) dan komodifikasi dan adaptasi ritual, tarian dan festival untuk konsumsi wisatawan

(Greenwood, 1989).

Sebagai ekspresi sebuah living culture, penampilan tarian dinamis dan terbuka untuk interpretasi dan oleh karenanya berubah sepanjang waktu. Pada saat berbagai macam argument diusulkan yang membahas pariwisata melawan kekuatan modernisasi dan globalisasi lainnya berpengaruh terhadap pertunjukan tarian, kenyataanya adalah bahwa pariwisata merupakan sebuah agen perubahan. Inti dari argument tersebut adalah „jumlah, arahan dan rata-rata perubahan (yang disebabkan oleh pariwisata) dan tingkat kekuatan masyarakat menghadapi perubahan tersebut‟ Carter (2000: 3).

Dalam konteks pariwisata, pertunjukan tarian adalah sebuah bentuk hiburan yang dipergadangkan di pasar. Oleh karenanya dalam pariwisata menambahkan elemen kapitalis pada agama, social dan aktivitas politik sebelumnya (Askovic, 1998). Kekuatan ekonomi yang berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan wisatawan menekan sejumlah tarian untuk menyesuaikan pertunjukan tariannya. Sebagai contoh, Tari Topeng Bali diciptakan berdasarkan konteks dramatic dan agama; versi tarian istana, seperti Legong yang disederhanakan; tarian yang diciptakan secara khusus untuk wisatawan seperti

Panyembrama (Askovic, 1998); dan berbagai macam tarian sudah dipersingkat dan dikemas untuk ditampilkan keapda wisatawan dan perhatiannya bertambah

(Picard, 1995).

Bagaimanapun juga, banyak debat mengenai dampak pariwisata terhadap tarian Bali. Intinya, debat tersebut berpusat pada apakah pariwisata akan menjaga atau menghancurkan objek yang menjadi perhatiannya (Picard, 1995). Beberapa ahli memiliki pendirian yang berbeda terhadap pendapat tersebut dengan mendukung pengaruh positif atau dengan mengakui pengaruh negatif pariwisata

(Francillon, 1990).

Komodifikasi tarian khususnya yang diadaptasi atau diciptakan untuk wisatawan dalam bentuk konteks ritual memicu banyak debat (Picard, 1996a).

Picard (1996a) menuduh orang-orang Bali membingungkan wisatawan dan pertunjukan-pertunjukan keagamaan yang kemudian menghasilkan „budaya turistik‟. Dia melacak kembali sejarah penyambutan segmen paket Tari Legong.

Dalam jawabannya terhadap protes terhadap penggunaan Tari Pendet (yang secara tradisional digunakan untuk menghormati dewa di pura) untuk tujuan menyambut wisatawan, diciptakan. Bagaimanapun juga versi wisatawan akhirnya menggantikan Tari Pendet dalam upacara-upacara di Pura. Hal tersebut dapat diargumentasikan bahwa versi wisatawan dari tarian tersebut lebih relevan dan dapat diterima bagi orang-orang Bali sekarang. Apakah hal tersebut relevan dengan otentisitas, bagaimanapun masih dapat diperdebatkan.

Orang-orang Bali secara aktif mulai menyuarakan kepedulian mereka pada Tahun 1970-an, tetapi pemerintah Provinsi Bali tidak menyediakan peraturan sampai Tahun 1997. Peraturan-peraturan tersebut memuat:

 Tarian-tarian harus didaftarkan dan setiap tarian individual tersebut harus

memiliki standar kualitas tertentu

 Standar minimum gaji ditetapkan Rp. 20.000,- untuk setiap penari dalam

setiap jam penampilannya; dan

 Jenis tarian yang dapat dan tidak dapat ditampilkan untuk wisatawan yang

berada di hotel dan restoran adalah tarian-tarian yang keramat.

Berkaitan dengan akhir sebuah pertunjukan yang panjang, yang umumnya selama tiga jam atau lebih, penari akan kerasukan dan kemudian penari-penari akan menusuk-nusuk diri mereka sendiri menggunakan parang

(Sanger, 1988). Pada kesempatan tertentu, jenis-jenis makanan tertentu seperti ayam dan manggis dibutuhkan untuk membantu mereka kerasukan. Perlu dicatat bahwa wisatawan tidak melihat penari menelan ayam tersebut hidup-hidup seperti yang dilakukan secara tradisional yang sebenarnya diinginkan oleh wisatawan

(Sanger, 1988: 93).

Berdasarkan hal tersebut di atas, I Made Kredek, seorang penari terkenal dari of Singapadu, merancang drama tari barong dalam versi pendek, pertunjukan selama satu jam untuk versi wisatawan bagi desa (Sanger, 1988). Tarian tersebut jelas, terkontrol dengan baik, mensimulasikan bagian kerasukan, dialog minimal dan termasuk humor untuk menjembatani rintangan budaya (Sanger, 1988).

Termasuk penari-penari wanita yang sebelumnya diperankan oleh penari laki-laki.

Sanger mengatakan bahwa format barong dasar tersebut masih digunakan untuk pertunjukan kepada wisatawan sampai saat ini. selanjutnya, perlu dicatat bahwa perubahan-perubahan terhadap estetika, terutama kaitannya dengan kostum dilakukan dengan sengaja mencoba untuk menyesuaikan dengan selera pasar wisata. Perbedaan antara Drama Tari barong yang tradisional dengan versi wisatawan sangat penting. Apakah versi wisatawan yang dipertunjukan memberikan pengalaman yang memuaskan wisatawan masih tidak pasti. Mungkin wisatawan puas dengan pertunjukan tari Bali yang singkat dan sederhana yang mereka lihat sebagai otentik dalam konsteks wisata.

Desa-desa di Bali cenderung memiliki paling tidak satu barong, karena secara tradisional digunakan untuk melindungi desa-desa dari kekuatan jahat

(Sanger, 1988). Pada saat ini barong tidak lagi digunakan untuk the barong may no longer be used to menghindari hal-hal jahat tersebut, tetapi masih digunakan dalam pertunjukan seremonial (Sanger, 1998). Topeng dan kostum barong keramat memiliki roh yang dapat dibangkitkan selama pertunjukan. Tidak ada keraguan bahwa pariwisata memberikan manfaat ekonomi, memberikan sejumlah masyarakt dan kelompok-kelompok tari yang bermunculan di Bali, khususnya di kawasan-kawasan wisata utama

Menggunakan masa lalu sebagai alat pada masa kini, atau memproduksi warisan budaya adalah sebuah “contemporary use of the past” (Ashworth &

Graham, 1997), yang menyebabkan terjadinya komodifikasi budaya.

Komodifikasi budaya umumnya terjadi ketika “pariwisata merubah budaya menjadi sebuah komoditas, dikemas dan dijual kepada wisatawan sehingga menyebabkan hilangnya otentisitas” (Cole, 2007, p.945). ketika masyarakat menyesuaikan dan merubah tradisi untuk memenuhi kebutuhan tamu, hal tersebut dapat, tetapi tidak selalu, menyebabkan hilangnya otentisitas budaya mereka

(McMorran, 2008). Mitchell dan Vanderwerf (in press) mengatakan bahwa masuknya investasi dan komodifikasi budaya dapat menyebabkan berkurangnya otentisitas dalam produk-produk yang ditawarkan kepada pengunjung dan bahkan merusak identitas masyarakat.

Ketika sebuah produk pariwisata dibangun dan diciptakan untuk meniru sebuah peristiwa atau cara hidup masa lalu, When a tourism product is built and created to replicate a past event or way of life, perhatian khusus harus dilakukan untuk menajga tingkat persepsi otentisitas (Medina, 2003; Revilla & Dodd, 2003;

Chhabra, 2005; Cohen, 2008).

Masyarakat lokal dana tamu mengenali bahwa mereka menghasilkan dan mengkonsumsi sebuah tiruan budaya, tetapi hal tersebut masih bernilai.

Komodifikasi dan otentisitas sangat berkaitan erat, kesadaran akan kurangnya otentisitas merupakan kunci untuk memperkecil potensi dampak negatif. Halewood & Hannam (2001, p.579) mendeskripsikan bagaimana kesadaran dapat menjadi sebuah factor dalam memperkecil dampak komodifikasi, “…organizers dan wisatawan sangat menyadari batasan-batasan yang mereka coba untuk raih dan batasannya adalah rasa hormat terhadap otentisitas dan komodifikasi”.

Oleh karenya Komodifikasi budaya dapat mempengaruhi suatu masyarakat. Budaya sangat vital dalam penciptaan sebuah produk pariwisata budaya, sehingga harus ditangani dengan hati-hati untuk melestarikan keberlanjutan masyarakatnya untuk jangka panjang. Tingkatan dampak bervariasi tergantung dari jumlah variabel seperti lama tinggal, keterlibatan dalam pariwisata, usia dan lain-lain.

Secara alami, budaya dipengaruhi oleh perekonomian. Orang-orang setiap harinya semakin tergantung terhadap perekonomian (Sayer, 1999) dan akhirnya menemukan bagaimana cara untuk menggunakan budaya sebagai sebuah sumber ekonomi. Sebagai contoh, produk-produk buatan tangan memberikan peluang untuk mempromosikan budaya dalam sebuah ceruk pasar dalam bidang ekonomi. (Stephen, 1991b; Meethan, 2001). Secara umum, budaya dapat dipandang secara lebih mudah dinegara-negara berkembang daripada didunia industri. Masyarakat mendapatkan manfaat dari peluang-peluang pasar baru saat menghasilkan barang-barang budaya. Hal tersebut memiliki arti penting ketika mereka mendefinsikan kembali budaya dan dengan cara tersebut mereka menjaga identitas masyarakat tetap hidup (Kopytoff, 1986; Meethan 2001; Throsby, 2010).

UNESCO mendefinisikan barang-barang budaya dalam laporan

“Convention on the protection and promotion of the diversity of cultural expressions” sebagai berikut: “barang-barang budaya merujuk pada barang-barang yang dipertimbangkan sebagai sebuah atribut khusus, kegunaan atau tujuan, mengandung atau menyampaikan ekspresi budaya, terlepas dari nilai komersial yang dimilikinya” (2005; p.6). oleh karena itu, barang-barang budaya memiliki tujuan komersial dan juga sebuah nilai komunikatif (Throsby, 2010). Berlawanan dengan sector-sektor tradisional seperti pertanian dan pabrik yang semakin menyusut, sektor budaya saat ini sedang tumbuh (Cano et al. 2000, Throsby,

2010).

Terdapat sebuah hubungan yang kuat antara ekonomi, budaya dan masyarakat yang lazim dalam perekonomian dewasa ini (Ray & Sayer, 1999;

Barnes, 2002; Featherstone, 2007; Throsby, 2010). Kesulitannya adalah untuk menetapkan sebuah keseimbangan antara sisi ekonomi dan sisi budaya. (Barnes,

1999; Fraser, 1999; Throsby, 2010).

UNESCO (2005, p.4) mengakui tantangan ini dan memberikan pertimbangan terhadap aspek bduaya: "keanekaragaman budaya adalah sebuah asset yang kaya bagi individu dan masyarakat. Perlindungan, promosi dan pemeliharaan keanekaragaman budaya merupakan sebuah kebutuhan penting bagi pembangunan yang berkelanjutan untuk manfaat saat ini dan generasi yang akan datang."

Istilah tradisi dapat secara umum didefinisikan sebagai inti dari otentisitas budaya selama ini (Meethan, 2001). Meskipun, kata tersebut hanya dapat diterima pada saat dipasangkan dengan modernisasi sebagai lawannya

(O'Neill, 2005). Saat ini, yang terus bergerak maju, selalu, melayani dalam artian mengukur tradisi (Harvey, 1989; O'Neill, 2005). Sehingga dapat dikatanya bahwa tradisi itu abadi (Meethan, 2001). Bagaimanapun juga, seseorang tidak harus memisahkan kedua istilah tersebut, karena hal tersebut dapat menimbulkan simpulan yang salah dalam mengasumsikan dikotomi tradisionalisme dan modernisasi. Pada kenyataannya, mereka saling berdampingan. (Lewis, 1991;

O‟Neill, 2005).

(Dunn, 2008) Meethan (2001) melihat komodifikasi sebagai kegiatan aktif dari budaya, yang membantu untuk melestarikan dan mengadaptasi aktivitas.

Ketika mempromosikan budaya adalah sebuah isu yang rumit, barang-barang budaya yang dikomersialisasi akan selalu menyesuaikan, yang menyesuaikan kebutuhan konsumsi dan kemudian memberikan komoditas tujuan yang jelas.

Sayer (1999) menyimpilkan kemajuan komodifikasi secara tepat: kita menjual apa yang kita pikir akan menjual daripada kita berpikir apa yang seharusnya kita jual.

Sayer (2003) berargumentasi bahwa komodifikasi bahwa komodifikasi hanya berpengaruh pada saat bekerja atau mengkonsumsi; tidak seperti Simmel (1968), yang mengklaim bahwa proses komodifikasi merubah keseluruhan budaya dan kehidupan sosial.

Dalam seabad terakhir, terjadi perkembangan yang besar terhadap produk-produk yang dijadikan komoditas, yang memunculkan ekspansi indsutri budaya (Benwell & Stokoe, 2006). Semua wujud budaya dapat dikonversikan menjadi komoditas (Featherstone, 1991; Meethan, 2001). Keterkaitan antara otentisitas, manufaktur artistic dan produksi pasar memainkan peranan penting

(Miège, 1987; Hartley, 2005; Tzanelli, 2008). Permintaan terhadap hasil kerajinan artistic dan barang-barang budaya adalah sesuatu yang umum, mereka juga harus diproduksi dan ditempatkan di pasar. Konsekuensinya, budaya-budaya asli ditekan agar tidak kehilangan trek struktur perubahan ekonomi (Nash, 1977; Tzanelli, 2008). Beberapa masyarakat lemah terhadap komoditisasi ekspresi budaya mereka seperti yang dijanjikan untuk memberikan manfaat ekonomi seperti penciptaan profesi-profesi dan pekerjaan-pekerjaan baru. (Greenwood,

1977; Tzanelli, 2008).

Masih terdapat kebingungan terkait dengan komoditas. Banyak orang mengaitkan istilah komoditas secara salah dengan proses produksi masal dan sebuah kehilangan otentisitas yang tidak dapat dihindarkan. Dalam kenyataan, objek-objek individual juga didefinisikan sebagai komoditas.

Kecenderungan umum dari produksi masal dapat dideteksi. Permintaan terhadap produksi besar menurun dan orang-orang cenderung mencari produk- produk otentik. (Frow, 1997; Meethan, 2001) pernyataan tersebut menitikberatkan pada proses komodifikasi ke budaya asli yang dalam hal ini adalah aspek-aspek budaya untuk barang-barang yang dikomodifikasi (Stephen, 1991b; Meethan,

2001). Kesalahpahaman lainnya terjadi ketika berbicara mengenai komodifikasi dan hanya melihatnya dari perspektif produser daripada dari perspektif konsumen.

Sebuah persepsi negative kemudian secara negative tercipta. Saat melakukan hal tersebut, prosedur pengkomodifikasian kembali produk oleh konsumen sering berlebihan. Proses dekomodifikasi adalah salah satu alas an kenapa orang-orang begitu senang dengankapitalisme. Setelah membeli produk, mereka kemudian berhenti berpikir mengenai exchange value tetapi focus pada use value nya. Dapat dikatakan bahwa semakin baik barang dikomodifikasi oleh produser, semakin kuat respon budaya pembeli pada saat mengdekomodifikasi barang. Dapat dikatakan kemudian bahwa tindakan komdofikasi dapat dilihat sebagai sebuah proses. Pertama, aspek-aspek budaya sederhana dan bagian-bagian dari identitas individu-individu dikomodifikasi dan dijual oleh produser. Hal tersebut menyebabkan proses dekomodifikasi yang dilakukan oleh konsumen agar dapat menjadi bagian dari identitasnya. Selanjutnya barang tersebut dapat dikomodifikasi kembali atau tidak tergantung jika barang tersebut dijual kembali atau disimpan. (Kopytoff, 1986; Sayer, 2003)

Istilah komodifikasi sering dipandang sebagai sesuatu yang negative.

Teori awal komodifikasi mengatakan bahwa proses komodifikasi budaya asli merupakan hasil dari proses pengasingan daripada perlindungan (Kirsch, 2001;

Sunder 2001; Sunder, 2005). Hilangnya otentisitas dapat menyebabkan terjadinya sebuah persepsi sejarah yang berbeda (Samuel, 1994; Meethan, 2001). Frank

(1972), mendukung dependency theory, yang menekankan sebuah hubungan yang kuat antara pertumbuhan kapitalisme dan penurunan budaya. Dia mengatakan bahwa kapitalis bekerja menuju puncak sambil sambil mengambil alih dan mengeksploitasi lahan-lahan asli (Frank, 1972; Jorgensen, 1971; O‟Neill, 2005).

Komodifikasi merupakan alat kapitalisme untuk bergerak maju. Kualitas artefak menjadi sangat berkurang, seperti yang umum terjadi pada produksi masal dalam dunia kapitalis dewasa ini. Oleh karenya sangat mudah dikatakan jika pengusaha dapat memproduksi produk otentik jika mereka fokus pada bentuk pendidikan dan tidak fokus pada aspek hiburan. (Samuel, 1994; Meethan, 2001)

Sayer (2003) berargumentasi bahwa kita saat ini hidup dalam sebuah masyarakat yang sangat terkomodifikasi dimana kita mengukur nilai berdasarkan keuntungan tau harga. menurutnya (2003), hal tersebut sebuah ancaman, yang harus mendapatkan perhatian khusus. Berkonsentrasi pada exchange value dibandingkan dengan use value dapat menyebabkan sebuah perubahan besar dalam pandangan masyarakat terhadap barang. Dia mengkhawatirkan karakter

Oscar Wilde‟s yang “knew the price of everything and the value of nothing”

(Wilde, 1892; Sayer, 2003: p. 355). Kurangnya pengetahuan, atau penampilan, kesombongan atau status, lebih penting daripada nilai-nilai tradisional seperti pencapaian dan nilai jual. Komodifikasi yang tidak terkendali dapat dengan mudah mempengaruhi budaya dan hubungan sosial karena fokus terlalu banyak terhadap produksi kapitalis. Oleh karenanya sangat diperlukan untuk membantu mendapatkan penerimaan tulus dan menyebarkan opini moral baru agar tradisi terlindungi dari penurunan. Sayer (2003) mengatakan bahwa komodfikasi tidak harus secara eksklusif dilihat sebagai sebuah pandangan negative tetapi cukup sebaliknya, komodifikasi juga memiliki sifat positif. Secara ekstrem, complete komodifikasi yang lengkap seperti juga non-komodifikasi yang lengkap dapat menyebabkan gangguan yang serius. Non-komodifikasi akan menyebabkan keluarnya hal-hal penting seperti keterlibatan sosial dan partisipasi dalam masyarakat. Harus diputuskan dalam setiap kasus dan diulangi setiap saat apakah sebuah tingkatan komodifikasi tertentu sudah sesuai (Radin, 1987; Sunder, 2005).

Barang-barang budaya diproduksi untuk pembangunan ekonomi lokal dari sebuah masyarakat atau untuk ekspor yang ditentukan oleh ukuran produksi (Novelo,

1976; Novelo, 1981; Berkeley & Haddox, 1987; Stephen, 1991b). Proses produksi dapat memperkuat masyarakat lokal, identitas asli seperti batasan sosial ekonomi dan ijin keberadaan dari sebuah identitas budaya yang berkelanjutan. (Stephen,

1991b).

Pada saat melihat komodifikasi dari perspektif neo-liberal, seseorang dapat mengatakan bahwa komodifikasi mempromosikan individualitas dan investasi privat (Sayer, 2003). Kulturisasi juga mengkonfirmasi kecenderungannya mendukung konsumenrisme dan komodifikasi melalui pemenuhan konsumsi saat ini (Driver & Martell, 1999; Ray & Sayer, 1999

Komodifikasi adalah sebuah hubungan yang abstrak dari sosial, budaya dan bahkan pengaruh-pengaruh temporer. Agar berhasil mempromosikan sebuah komoditas, sebuah konteks social umum antara produser dan pembeli atau pengetahuan yang sesuai dari pembeli diperlukan dalam satu tangan, sedangkan kemampuan untuk bertukar diberikan pada tangan lainnya.

Sebuah masyarakat, baik yang tingkat komodifikasi tinggi atau rendah tergantung pada tingkatan konteks komoditas. Namun, masyarakat kapitalis modern biasanya menunjukkan sebuah tingkatan komodifikasi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang non-kapitalis (Appadurai, 2005).

Proses komodifikasi secara otomatis mengawali pengembangan berikutnya, yang disebut dengan transformasi komodtias menjadi budaya. Teori- teori fungsionalisme antropologi melihat barang sebagai objek-objek untuk digunakan, yang memiliki sebuah alas an fungsional dan dilengkapi dengan menambahkan nilai sosial (Dunn, 2008). Produk dapat dilihat dari dua perspektif; sudut pandang tujuannya atau arti sosialnya (Douglas & Isherwood, 1996; Slater,

1997; Dunn, 2008). Budaya berkontribusi dalam membangun hubungan antar barang-barang yang berbeda.

Pada satu sisi, proses konsumsi hanyalah sebuah pembelian barang- barang yang rutin dilakukan berdasarkan tujuannya. Disisi lain, konsumsi memberikan sebuah komponen penting sebagai ekspresi pemahaman sosial dari barang (Douglas & Isherwood, 1996; Dunn, 2008). Menurut model semiotik, hal tersebut berarti bahwa konsumsi berada diantara aspek nilai guna dan nilai tukar dan memasuki ruang budaya (Dunn,

2008). Bourdieu (1984) mendemonstrasikan bahwa tempat-tempat tersebut dimana barang-barang tersebut sebagian besar diperdagangkan adalah lokasi produksi budaya. Produk-produk ekonomi dikonversikan menjadi barang-barang budaya berdasarkan pemahaman sosial mereka, seperti bentuk komoditas.

Menurut Baudrillard (1981), setiap komoditas adalah bagian dari sebuah sistem sosial objek dan memiliki nilai tanda budaya. Terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi produksi: proses komodifikasi yang direncanakan dan reaksi tetap budaya oleh konsumen itu sendiri, atau yang dikenal sebagai budaya populer

(Featherstone, 2007). Menurut studi-studi budaya, sejumlah komoditas dapat menjadi budaya: “semuan objek di dunia dapat dilihat sebagai budaya sejauh mereka memiliki arti dan menjadi bagian dari subjek „lived experience‟” (Dunn,

2008: p.66).

Interaksi yang konstan antara orang-orang dan sekitarnya menciptakan sebuah kerangka dinamis budaya (Stephen, 1991a; Stephen, 1991b). sebagai hasilnya, semua budaya secara alami berkembang sepanjang waktu dan merupaka subjek yang gampang berubah (Le Mons Walker, 1999; O‟Neill, 2005). Kondisi tersebut yang disebut sebagai cultural syncretism, yang menggabungkan elemen- elemen tradisional dengan atribut-atribut baru dari pengaruh luar (Teague, 1997;

Meethan, 2001). Oleh karena itu, dari percampuran komposisi yang lebih lama dengan lingkungan sosial, ekonomi, politik, dinamisme budaya muncul

(Diamond, 1951; Stephen, 1991b). Namun, komposisi baru tersebut masih asli dan merupakan otentisitas yang muncul secara sendirinya dibandingkan dengan tradisi-tradisi baru yang mengadaptasi jaman modern (Cohen, 1988; Meethan,

2001).

Sahlins (1985) berbicara mengenai sebuah hubungan antara kondisi tradisional dari masa lalu dan konteks kesatuannya dengan saat ini, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya reformasi buday. Dikatakan bahwa budaya merujuk pada sebuah aliran yang dinamis yang diciptakan oleh anggotanya

(Nederveen Pieterse, 1997; Tzanelli, 2008). Produk-produk budaya menerima keasliannya karena diadaptasi dan kemudian secara aktif digunakan (Kopytoff,

1986; Meethan, 2001). Dapat dikatakan bahwa proses komodifikasi menghubungkan aspek-aspek tradisional, otentik dan artistic dengan bentuk- bentuk modern. Proses komodifikasi secara umum dipandang sebagai sesuatu yang positif sepanjang dijaga tingkatan yang sesuai. Harus dipastikan bahwa fokus pada keuntungan ekonomi tidak berlebihan, yang akan menyebabkan hilangnya otentisitas. Secara umum, komodifikasi sangat penting, karena memberikan kontribusi terhadap pembangunan identitas masyarakat dan membantu menjaga budaya tersebut tetap hidup.

Dalam pengembangan pariwisata budaya di Puri Anyar Kerambitan terdapat indikator-indikator yang menunjukkan apakah budaya tersebut dikomodifikasi atau tidak. Indikator-indikator tersebut terdiri dari : a. Budaya dijual sebagai seni pertunjukan

Perkembangan pariwisata tidak dapat dipungkiri merubah fungsi dan

tujuan pertama kali budaya tersebut diciptakan dari yang semula untuk

kepentingan adat, keagamaan dan pranata sosial menjadi sebuah budaya yang

dijual untuk kepentingan pariwisata dengan mentransformasikannya menjadi sebuah seni pertunjukan dimana orang-orang yang ingin menyaksikannya membayar dengan sejumlah uang tertentu. Kondisi tersebut menunjukkan adanya komersialisasi terhadap budaya tersebut. Padahal pada awalnya budaya diciptakan bukan untuk dijual dan menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya tetapi perubahan budaya dan kehidupan masyarakat melalui semakin majunya pengetahuan manusia semakin membuat budaya-budaya tradisional semakin terpinggirkan dan semakin sulit untuk ditemukan dan langka. Di sisi lain keadaan tersebut justru menjadikannya dicari oleh orang- orang yang merasa kehilangan akan budaya-budaya tradisional karena kehidupan modern yang dirasa semakin merusak sendi-sendi kehidupan manusia. Pencarian mereka terhadap budaya-budaya tersebut kemudian memunculkan ide dari pengelola-pengelola pariwisata untuk menjual budaya- budaya tradisional yang semakin kehilangan fungsinya untuk kepentingan pariwisata. Penjualan terhadap budaya-budaya tersebutlah yang kemudian memunculkan perubahan-perubahan yang disebut dengan komodifikasi karena adanya penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan wisatawan dan dari komodifikasi tersebut menghasilkan keuntungan bagi pengelolanya. Puri

Anyar Kerambitan melakukan hal yang sama dengan menjual kekayaan budayanya untuk kepentingan pariwisata, tetapi hal tersebut dilakukan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor selain untuk menjaga agar budaya yang mereka miliki tidak hilang tetapi juga untuk membiayai keberlangsungan hidup puri atau keraton yang memerlukan biaya tinggi. Hal tersebut menjadi sebuah pilihan yang berat karena jika tidak dikelola dengan baik budaya- budaya puri/keraton akan semakin terkikis keotentikannya karena mengikuti keinginan pasar. Selama pertunjukan tersebut tetap mempertahankan nilai-

nilai dasarnya maka budaya-budaya tradisional yang dijadikan seni

pertunjukan yang menghasilkan uang masih dapat disaksikan keotentikannya. b. Budaya sebagai paket wisata

Sebagai produk yang diperjualbelikan, budaya-budaya tradisional

dikemas secara khusus oleh biro-biro perjalanan wisata agar menjadi lebih

menarik dan kemudian dibeli oleh wisatawan. Produk-produk budaya tersebut

dijual dengan harga yang sudah ditentukan dan mereka mendapatkan

keuntungan dari margin harga yang sudah mereka tetapkan. Dalam dunia

pariwisata yang berkembang dengan pesat, ketergantungan daya tarik wisata

terhadap biro-biro perjalanan menjadi sangat besar dan mereka menjadikan

budaya tersebut sebagai komoditas yang dikemas dan dipromosikan dengan

sedemikian rupa agar wisatawan tertarik. Semakin unik budaya tersebut maka

semakin mahal nilai jualnya. c. Penggunaan teknologi

Modernisasi mau tidak mau akan memberikan dukungan terhadap sebuah

budaya pertunjukan karena akan semakin memperkaya dan mendekatkan

wisatawan dengan budaya tersebut. Tetapi penggunaan teknologi yang

berlebihan akan menghilangkan originalitas dari budaya tersebut. Oleh karena

itu penggunaan teknologi harus dibatasi sebisa mungkin agar makna dari

budaya yang dipertunjukkan tersebut tidak hilang. d. Penyederhanaan bentuk budaya

Terbatasnya waktu yang dimiliki oleh wisatawan dalam melakukan

kegiatan wisatanya berdampak terhadap durasi pertunjukan seni dan budaya. Banyak budaya yang memotong durasi dari pertunjukan budaya yang

ditampilkan. Budaya asli pada umumnya memiliki durasi yang panjang

karena digunakan untuk kepentingan keagamaan atau upacara-upacara adat

tertentu. Pemotongan durasi sebuah pertunjukan budaya untuk pariwisata

secara langsung akan menghilangkan makna dari budaya tersebut. Walaupun

budaya yang dipertunjukkan tesebut masih merupakan budaya asli setempat

tetapi maknanya menjadi hilang. Banyak wisatawan yang tidak

memperhatikan masalah tersebut karena mereka beranggapan bahwa yang

mereka saksikan merupakan sebuah pertunjukkan yang utuh. Tetapi bagi

budaya itu sendiri adanya pemotongan durasi yang berarti menghilangkan

sebagian bentuknya akan menghilangkan sebagian dari budaya tersebut dan

berikutnya generasi masa depan penerus budaya tersebut akan kehilangan

sebagian budayanya secara tidak disadari. e. Penyesuaian waktu

Di Bali, budaya dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan dan banyak dari budaya-budaya tersebut yang hanya digunakan

pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat bulan purnama atau upacara-

upacara besar tertentu. Tetapi dengan masuknya pariwisata dalam kehidupan

masyarakat dan semakin modernnya pemikiran manusia, budaya-budaya

tersebut semakin kehilangan fungsinya dalam kehidupan berbudaya

masyarakat lokal dan banyak yang tidak digunakan lagi untuk kepentingan-

kepentingan tersebut di atas. Mengembalikan fungsi budaya-budaya tersebut

kepakemnya akan memberikan nilai-nilai otentisitas dan meningkatkan daya

tarik budaya tersebut bagi wisatawan, karena tidak setiap saat mereka dapat menyaksikannya. Walaupun frekuensi pertunjukkan yang akan dilihat

semakin berkurang dan secara keuntungan akan merugikan sebagian pelaku-

pelaku pariwisata tetapi hal tersebut akan semakin memberikan nilai lebih

terhadap budaya tersebut dan meningkatkan pengakuan dari wisatawan

sebagai sebuah budaya yang otentik. f. Penggunaan bahasa bukan bahasa asli: Bahasa menunjukkan identitas suatu

bangsa atau sebuah kelompok masyarakat sehingga secara tidak langsung

juga menunjukkan otentisitas mereka karena bahasa merupakan salah satu

unsur budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Pemenuhan

kebutuhan wisatawan terhadap wisata budaya sering mengorbankan

penggunaan bahasa asli yang dipergunakan agar wisatawan memahami apa

yang mereka lihat atau saksikan. Pengalihbahasaan merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari sebuah proses komodifikasi dan untuk menyikapi hal

tersebut pengelola dapat membuat sebuah sinopsis terhadap seni pertunjukan

untuk kepentingan pariwisata sehingga wisatawan dapat memahami jalan

cerita yang ada tanpa mengurangi otentisitas budaya tersebut. g. Penambahan bentuk budaya

Untuk kepentingan komersial banyak pelaku-pelaku pariwisata yang

merubah sebuah bentuk budaya baik yang bersifat kecil maupun besar seperti

menambahkan gerakan-gerakan, menambahkan peran serta merubah

kostumnya. Disadari atau tidak tindakan tersebut justru semakin menjauhkan

budaya tersebut dari bentuk otentiknya. Walaupun ada pendapat yang

mengatakan bahwa budaya itu bersifat dinamis tetapi budaya yang dulu

diciptakan mengikuti sistem sosial dan agama yang berlaku dan terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini budaya-budaya tersebut

banyak yang tidak mengikuti hal tersebut dan sudah berhenti prosesnya

sehingga jika menambahkan sesuatu akan merusak otentisitas budaya

tersebut.

4.3. Wujud Otentisitas dan Komodifikasi Budaya di Puri Anyar

Kerambitan

Walaupun Puri Anyar Kerambitan sudah menjadi menjadi destinasi wisata budaya di Bali tetapi dalam mempertahankan otentisitasnya mereka sangat ketat agar jangan sampai budaya-budaya yang mereka miliki tersebut tidak berubah dan merusak bentuk dan nilai yang terkandung didalamnya. Walaupun secara use value sudah tidak berfungsi apa-apa lagi karena adanya perubahan zaman tetapi masih terdapat beberapa hal yang tetap mereka pertahankan agar benar-benar tidak menghilangkan kesucian dari budaya tersebut.

Berdasarkan produk-produk wisata budaya Puri Anyar Kerambitan yang dikemas untuk kepentingan pariwisata yang terdiri dari royal dinner, royal dance dan royal wedding semuanya masih mempertahankan pola-pola yang dianut sebelumnya tanpa merubahnya. Kalaupun terdapat perubahan-perubahan yang terjadi sifatnya sangat minor dan sama sekali tidak merubah makna dan nilai dari budaya tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari royal dinner yang dilaksanakan di

Puri Anyar Kerambitan. Royal dinner dulunya hanya dilaksanakan pada saat menyambut tamu-tamu puri seperti raja, pejabat-pejabat penting atau tamu-tamu khusus. Saat ini wisatawan-wisatawan yang datang dianggap sebagai tamu penting puri sehingga prosesi makan malam yang diadakan pun tidak berubah dan tetap mempertahankan tradisi yang selama ini dilaksanakan. Kalaupun ada perubahan hanya terjadi dimenu dimana pada masa lalu hewan yang dijadikan hidangan adalah babi guling, tetapi karena wisatawan yang datang berasal dari lintas agama, budaya dan kepercayaan, bali guling tersebut sering diganti dengan kambing guling agar semua orang bisa menikmatinya. Secara makna hal tersebut tidak merubah nilai-nilai otentisitas dari royal dinner tersebut. Begitu juga dengan tarian yang menyertai jamuan royal dinner tersebut merupakan tari yang biasa digunakan untuk menyambut tamu-tamu puri.

Perubahan besar yang terjadi adalah pada seni musik yang digunakan pada saat menyambut tamu di halaman puri. Dimana musik yang ditampilkan adalah okokan yang pada awalnya digunakan untuk mengusir roh-roh jahat pada saat masyarakat desa terserang oleh wabah penyakit dimana mereka beranggapan bahwa dengan membunyikan okokan roh-roh jahat tersebut akan pergi sehingga wabah penyakit akan hilang. Tetapi dengan semakin majunya pengetahuan ilmu kesehatan dan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat kesenian tersebut kehilangan fungsinya dan tidak digunakan lagi dalam kehidupan masyarakat.

Kesenian itulah yang kemudian dihidupkan kembali oleh Puri Anyar Kerambitan agar tidak hilang karena budaya tersebut merupakan ciptaan asli dari masyarakat lokal berdasarkan kepercayaan yang pernah mereka anut. Secara fungsi dari kesenian tersebut dapat dikatakan sudah tidak otentik lagi karena sudah berubah untuk fungsi pertunjukan yang dijual untuk kepentingan pariwisata, tetapi bentuk budaya tersebut masih tidak berubah dan dengan adanya kegiatan pariwisata di

Puri Kerambitan, kesenian tersebut dapat terlestarikan keberadaannya. Disini dapat dikatakan bahwa keotentikan budaya yang ada tidak hanya dilihat dari fungsi awalnya apakah masih digunakan sesuai dengan ide awal pembuatannya.

Adanya perubahan pengetahuan menjadikan budaya tersebut menjadi hilang karena tidak digunakan lagi, tetapi selama tidak dirumah bentuk aslinya walaupun peruntukkannya sudah berbeda, budaya tersebut masih dapat dikatakan sebagai otentik.

Royal wedding yang dilaksanakan di Puri Anyar Kerambitan juga tidak mengambil porsi perayaan pernikahan kerajaan yang ada. Bentuk royal wedding yang dilaksanakan di puri Anyar Kerambitan hanya berupa pesta perkawinan atau yang sering disebut dengana cara resepsi, jadi tidak benar-benar menggunakan tradisi pernikahan puri. Mereka yang ingin merayakan pernikahan mereka di tempat ini hanya menggunakan atribut-atribut pernikahan secara adat Bali khususnya Puri Anyar Kerambitan. Wisatawan tidak melakukan akad nikah atau prosesi pernikahan di puri ini. Prosesi pernikahan di Puri Anyar Kerambitan yang otentik adalah prosesi pernikahan yang rumit yang memadukan adat dan agama sehingga tidak semua orang bisa melakukannya dan disamping itu dilakukan secara Hindu. Untuk menghindari penggunaan yang tidak semestinya, pihak puri kemudian menciptakan pesta pernikahan ala puri dan bukan prosesi atau akad nikah ala puri. Disini pihak puri sangat mempertahankan tradisi mereka dalam tradisi pernikahan puri dan tidak dapat digunakan oleh orang lain.

Penciptaan pesta pernikahan ala puri tersebut merupakan sesuatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya baik di Puri Anyar Kerambitan sendiri maupun di puri-puri lainnya yang ada di Bali dan hal tersebut merupakan ide yang otentik yang diciptakan oleh puri. Wujud penciptaan otentik lainnya adalah penciptaan Tari Calon Arang yang dipertunjukan setelah acara royal dinner. Tarian tersebut diciptakan berdasarkan cerita Calon Arang dari kerajaan Daha di Jawa Timur yang kemudian dibawa ke Bali. Walaupun cerita tersebut berasal dari Jawa Timur tetapi secara sejarah masyarakat Bali merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri karena terdesak oleh Agama Islam yang meruntuhkan Majapahit, sedangkan Kerajaan Majapahit sendiri merupakan penerus dari Kerajaan Daha.

Ide untuk menciptakan tarian Calon Arang merupakan sebuah ide yang sangat otentik karena menciptakan sebuah budaya yang tadinya berwujud material culture menjadi living culture.

Terjadinya perubahan-perubahan yang besar dalam dunia politik, sosial dan ekonomi kemudian merubah fungsi dan tujuan dari penciptaan budaya-budaya yang terdapat di Puri Anyar Kerambitan. Adanya desakan untuk pemenuhan kebutuhan untuk melestarikan kehidupan di Puri Anyar Kerambitan karena tidak adanya sumber pendapatan lain dan tidak adanya bantuan dari pemerintah menyebabkan Puri Anyar Kerambitan kemudian memanfaatkan peluang Bali sebagai destinasi wisata dunia untuk menjual budaya mereka sebagai daya tarik wisata. Komersialisasi budaya di Puri Anyar Kerambitan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena hal tersebut merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan keberlanjutan puri sehingga terjadilah komodifikasi budaya terhadap terhadap budaya-budaya di kerambitan baik yang berada di dalam puri maupun yang berada di luar puri. Tetapi dalam melakukan komodifikasi budayanya, Puri Anyar Kerambitan masih memegang teguh warisan leluhur mereka untuk tidak merubah budaya yang sudah mereka panuti selama ratusan tahun dan mendorong terciptanya penciptaan budaya-budaya baru agar nilai-nilai otentisitas yang ada selama ini tetap terjaga.

Untuk menghindari adanya tudingan dari masyarakat luas yang mengatakan Puri Anyar Kerambitan menghilangkan otentisitas budaya mereka, pihak puri sejak awal mengambil kebijakan tidak melakukan kerjasama dengan operator-operator wisata serta tidak menjual dan memasarkan produk mereka secara khusus. Keterkenalan Puri Anyar Kerambitan sebagai destinasi pariwisata budaya banyak dibantu oleh seringnya diadakan jamuan-jamuan khusus bagi para tamu-tamu Negara seperti yang dilakukan pada saat awal Puri Anyar Kerambitan lakukan. Mereka juga tidak membuat brosur-brosur atau materi-materi iklan untuk menarik minat wisatawan tetapi justru dengan keunikan yang mereka miliki banyak orang-orang yang memasarkannya secara Cuma-Cuma baik melalui website atau blog.

4.4. Hubungan otentisitas dan komodifikasi budaya dalam konsep

pariwisata

Wisatawan dalam berwisata ingin mencari dan melihat sesuatu yang baru yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya dan memberikan pengalaman yang asli. Begitu juga dengan wisatawan yang memiliki tujuan untuk melihat budaya- budaya lokal ditempat-tempat yang mereka kunjungi. Tetapi seperti yang sering dibahas oleh para ahli, pariwisata menyebabkan terjadinya komodifikasi terhadap budaya dan dianggap menghilangkan otentisitasnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata menyebabkan terjadinya komersialisasi budaya masyarakat lokal dan begitu juga yang terjadi di Bali pada umumnya dan Puri Anyar Kerambitan pada khususnya. Tetapi disisi lain tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemajuan dan perubahan zaman menyebabkan banyak budaya yang kehilangan fungsi dan tujuan awalnya dalam kehidupan sosial dan perlahan-lahan kemudian menghilang dari kehidupan masyarakat yang menciptakannya.

Pariwisata dalam hal ini dapat dikatakan sebagai dewa penolong karena dapat membangunkan budaya-budaya yang sudah tidak berfungsi sebagai mestinya atau bahkan mulai menghilang dengan menjadikannya sebagai tontonan wisata yang memang pada kenyataannya dicari dan diminati oleh wisatawan.

Disini hanya terdapat dua pilihan apakah budaya tersebut hilang karena sudah kehilangan fungsinya dimasyarakat atau tetap digunakan tetapi mengalami perubahan fungsi dan makna. Apa yang dilakukan oleh Puri Anyar Kerambitan memberikan “jalan tengah” untuk menyikapi kedua pendapat tersebut di atas dengan mempertahankan budaya yang ada dengan sedikit penyesuaian atau menciptakan ide-ide baru yang tidak mengganggu budaya originalnya tetapi masih memiliki hubungan dengan aura puri itu sendiri.

Satu hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya komodifikasi terhadap budaya itu sendiri karena adanya simbiosis mutualisme antara puri sebagai objek daya tarik wisata dan wisatawan sebagai peminatnya. Keduanya saling membutuhkan. Komodifikasi budaya berdasarkan kasus yang terdapat di Puri

Anyar Kerambitan tidak harus menjadikan budaya yang ada di puri tersebut menjadi hilang tetapi justru dapat terus dipertahankan keberadaannya melalui kegiatan pariwisata.

Pariwisata dapat menjadi sebuah agen perubahan terhadap budaya lokal.

Baik buruknya perubahan tersebut akan sangat tergantung dari bagaimana puri atau masyarakat lokal memperlakukan budaya tersebut. Kalau masyarakat masih menghormati budaya-budaya leluhur mereka, maka otentisitasnya akan dapat terus dijaga.

4.4.1. Realitas Artefak Puri/Keraton Di Puri Anyar Kerambitan

Sebagai sebuah destinasi wisata yang menjual budaya untuk kegiatan

pariwisata menjadikan Bali dikenal sebagai destinasi wisata budaya yang

tidak saja dikenal secara nasional tetapi juga internasional. Puri Anyar

Kerambitan sebagai salah satu pionir dalam pengembangan pariwisata

budaya di Bali merupakan puri pertama yang menjadikan puri mereka

sebagai destinasi wisata tidak hanya di Bali tetapi juga di Indonesia.

Bangunan puri/keraton Puri Anyar Kerambitan merupakan wujud

peninggalan artefak yang masih ada sampai saat ini dan tidak pernah

mengalamai perubahan baik secara struktur maupun bentuknya. Walaupun

terdapat penambahan-penambahan infrastruktur seperti jaringan air dan

listrik hal tersebut tidak merusaka artefak yang ada. Keluarga puri sangat

peduli dengan keaslian bangunan puri tersebut sehingga mereka tetap

mempertahankannya.

Sebagai sebuah puri yang masih ditinggali oleh keluarga raja tentu

saja menarik wisatawan untuk dapat tinggal dan menginap di puri tersebut

dan untuk hal tersebut pihak puri mempersilahkan wisatawan untuk tinggal

dan menikmati keaslian puri. Tidak terdapat hal khusus yang disediakan

untuk wisatawan, mereka menikmati semua yang disediakan seperti apa adanya. Satu-satunya penyesuaian hanya terjadi pada WC/toilet yang

menyesuaikan dengan kebutuhan wisatawan sedangkan lainnya tidak.

4.4.2. Realitas Sosiofak Puri/Keraton Di Puri Anyar Kerambitan

Perkembangan pariwisata di Puri Anyar Kerambitan tidak hanya

melibatkan yang terdapat di dalam puri saja, tetapi juga melibatkan

masyarakat sekitarnya karena banyak dari mereka yang memiliki

hubungan kekerabatan dengan keluarga puri melalui perkawinan, sehingga

pelibatan masyarakat tersebut akan semakin memperkuat dukungan

terhadap apa yang dilakukan oleh keluarga puri.

Beberapa bentuk budaya yang dijadikan daya tarik dalam wisata puri

di Puri Anyar Kerambitan bukan diciptakan dari dalam puri tetapi

diciptakan oleh masyarakat sekitar puri sehingga apa yang dilakukan oleh

puri membangunkan kembali budaya yang sebenarnya tidak digunakan

lagi oleh masyarakat. Tindakan tersebut sangat berpengaruh dalam

meningkatkan pendapatan masyarakat yang tadinya hanya mengandalkan

pendapatan dari pertanian. Adanya kegiatan pariwisata juga mendorong

masyarakat untuk membentuk organisasi yang mewadahi berbagaimacam

kegiatan yang mendukung kegiatan pariwisata seperti pelatihan tari dan

kesenian bagi anak-anak muda serta bagaimana agar setiap warga dapat

terlibat dalam setiap pertunjukan yang dilakukan oleh Puri Anyar

Kerambitan.

Keberadaan organisasi-organisasi masyarakat tersebut semakin

mendorong masyarakat lokal untuk tetap melestarikan budaya yang mereka miliki serta menjaga otentisitasnya. Ketergantungan masyarakat

akan adanya kegiatan pariwisata sebagai bagian dari wisata puri menjadi

semakin tinggi karena tingginya permintaan terhadap pertunjukan wisata

di Puri Anyar Kerambitan. Walaupun budaya mereka sudah mengalami

proses komodifikasi, tetapi ketergantungan mereka dengan puri masih

sangat tinggi dan sangat mematuhi apa yang diperintahkan oleh

penglingsir puri. Sehingga dalam hal ini pihak puri sangat berperan besar

dalam menjaga keotentikan budaya tersebut.

4.4.3. Realitas Idefak Puri/Keraton Di Puri Anyar Kerambitan

Banyak yang tidak menyadari bahwa ide pengembangan wisata puri

yang dilakukan oleh Puri Anyar Kerambitan memberikan inspirasi

terhadap puri-puri lainnya dan bahkan meniru apa yang dilakukan oleh

Puri Anyar Kerambitan, tetapi peniruan tersebut ternyata tidak berhasil

diterapkan dipuri-puri lainnya. Hal tersebut terjadi karena ide dan budaya

yang ditawarkan merupakan produk asli puri kerambitan yang sudah

menjadi bagian utuh dari masyarakat kerambitan sehingga akan sangat

sulit untuk dibawa ke tempat lain.

Pengembangan ide-ide tersebut harus berasal dari puri itu sendiri dan

apa yang dilakukan oleh Puri Anyar Kerambitan memberikan harapan

bahwa sebuah puri dapat dihidupkan menjadi sebuah living culture yang

lebih dinamis dan tidak hanya mengandalkan material culture nya saja.

Pengembangan pariwisata budaya dewasa ini menuntut adanya keterlibatan wisatawan dalam beraktivitas wisata budaya, tidak hanya

melihat benda-benda mati.

4.4.4. Perubahan Nilai-Nilai Budaya Dalam Pariwisata Budaya Di Puri

Anyar Kerambitan

Dalam kehidupan sosial dewasa ini keberadaan sebuah puri atau

keraton hanya merupakan simbol-simbol budaya dan merupakan sebuah

etalase kebudayaan sebuah masyarakat. Keberadaannya tidak seperti dulu

lagi yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan pusat kekuasaan. Pada

masa pemerintahan kolonial Belanda, keberadaan puri-puri yang ada di

Bali masih mendapatkan tempat dan memiliki kekuasaan yang dapat

mengatur masyarakat disekitarnya sehingga masih sangat dihormati.

Kekuasaan dan properti yang dimilikinya pada masa itu menjadikan

masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya kepada puri. Tetapi

setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, perlahan-lahan kekuasaan puri

mulai melemah dan kehilangan kekuasaan dan posisinya sebagai tempat

yang dihormati.

Setelah pemerintah memberlakukan kebijakan land reform pada

Tahun 60-an, Puri Anyar Kerambitan semakin kehilangan wibawanya

karena harta mereka berupa lahan seluas 300 hektar yang selama ini

menjadi ujung tombak kehidupan keluarga puri diambil oleh pemerintah

dan dibagikan kepada masyarakat. Hilangnya tanah-tanah tersebut

menjadikan masyarakat yang sebelumnya memiliki ketergantungan

terhadap puri karena mendapatkan bagian dari sawah-sawah yang mereka oleh kemudian memiliki tanah sendiri dan ketergantungan tersebut menghilang dan mulai meninggalkan puri yang selama ini memberikan kehidupan kepada mereka karena mereka beranggapan bahwa Puri Anyar

Kerambitan sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi untuk melindungi dan menyejahterakan mereka.

Kondisi tersebut merupakan malapetaka bagi Puri Anyar Kerambitan karena mereka selain kehilangan kekuasaan juga kehilangan sumber pendapatan yang dapat menghidupi puri dan keluarganya. Ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah sangat tidak sebanding dengan kehilangan yang terjadi yang kemudian berdampak terhadap tidak terpeliharanya puri dan kegiatan-kegiatan puri yang pada awalnya rutin dilakukan menjadi hilang karena ketiadaan biaya. Kondisi tersebut pula yang menyebabkan keluarga puri menjual barang-barang pusaka mereka untuk bertahan hidup. Hal tersebut kemudian memunculkan ide dari Oka Siladhaguna sebagai pewaris tahta Puri Anyar Kerambitan untuk menciptakan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan potensi budaya yang mereka miliki untuk dijual kepada wisatawan. Apalagi pada saat itu Bali sedang tumbuh pesat menjadi destinasi pariwisata dunia yang menarik wisatawan mancanegara untuk berwisata.

Dengan bantuan dari keluarga dan masyarakat di sekitar puri, mereka kemudian menciptakan tarian dan musik dan mengemasnya ke dalam sebuah bentuk pertunjukan. Disinilah kemudian terjadi perubahan- perubahan nilai terhadap budaya-budaya yang mereka miliki. Selama beratus-ratus tahun budaya yang selama ini mereka miliki dan jalankan mengikuti pola yang sudah ditetapkan oleh nenek moyang mereka

kemudian berubah mengikuti tuntutan perubahan zaman. Adat dan

kebiasaan yang tadinya bersifat tertutup yang hanya dapat digunakan di

dalam puri dan pada saat-saat tertentu kemudian menjadi terbuka dan

dapat dinikmati oleh wisatawan setiap saat berdasarkan permintaan.

Perubahan-perubahan nilai yang terjadi adalah berubahnya use value

menjadi exchange value dimana nilai-nilai budaya yang sebelumnya

memiliki fungsi-fungsi sosial dan keagamaan menjadi nilai-nilai yang

dapat ditukar dengan materi berupa uang yang dihasilkan dari menjual

budaya-budaya yang ada untuk kepentingan pariwisata.

4.4.5. Pandangan Pelaku Pariwisata Terhadap Otentisitas dan Komodifikasi

Budaya Di Puri Anyar Kerambitan

a. Pandangan Penglingsir Puri Anyar Kerambitan

Penglingsir puri adalah raja yang memegang tampuk kekuasaan

puri di Bali. Penglingsir Puri Anyar Kerambitan saat ini adalah Anak

Agung Ngurah Oka Silagunadha yang merupakan keturunan ke VII

dinasti Puri Anyar Kerambitan. Beliaulah yang pertama kali

memunculkan ide mengembangan wisata puri pada Bulan April 1967.

Walaupun pengembangan wisata puri yang dilakukannya didorong

oleh adanya kebutuhan puri untuk dapat bertahan hidup secara

ekonomi, tetapi beliau tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai

otentik budaya puri yang selama ini mereka pegang teguh. Untuk

mewadahi keinginan wisatawan diciptakanlah ide-ide baru yang mengacu pada budaya asli mereka sehingga apa yang mereka lakukan

sama sekali tidak mengganggu dan merusak budaya-budaya otentik

yang mereka miliki. Di satu sisi wisatawan terpuaskan dan di sisi lain

budaya tersebut tetap terjaga keotentikannya. Walaupun pada awalnya

penciptaan ide wisata puri berdasarkan kebutuhan mereka untuk

keberlangsungan puri, tetapi mereka tidak ingin terpengaruh oleh

keinginan pasar.

b. Pandangan Masyarakat Lokal

Bagi masyarakat di sekitar Puri Anyar Kerambitan, pariwisata

merupakan berkah yang sangat mereka syukuri karena dengan adanya

pariwisata sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan

kesejahteraan mereka. Sebagai sebuah daerah yang berbasiskan

agraris yang tergantung pada hasil panen, kedatangan wisatawan

memberikan dampak ekonomi yang besar.

Dalam hal otentisitas budaya yang mereka tampilkan mereka

berpandangan bahwa budaya yang mereka tampilkan adalah budaya

yang otentik karena budaya tersebut merupakan ciptaan leluhur

mereka dari kerambitan dan mereka sama sekali tidak berpikiran

bahwa komersialisasi yang terjadi terhadap budaya mereka akan

menghilangkan otentisitas budaya tersebut. Bagi mereka selama

adanya pengakuan bahwa tek-tekan dan okokan yang mereka

tampilkan mendapatkan pengakuan dari orang luar sebagai budaya asli

masyarakat kerambitan berarti budaya tersebut adalah otentik. Disamping itu mereka tidak berani melakukan perubahan

terhadap budaya yang mereka tampilkan tanpa adanya persetujuan

dari penglingsir puri, sehingga peran puri sangat besar terhadap

keputusan yang diambil oleh masyarakt kerambitan.

c. Pandangan Biro-Biro Perjalanan

Biro perjalanan sebagai operator wisata berusaha untuk

memenuhi keinginan wisatawan dalam pencariannya terhadap budaya

yang otentik. Puri Anyar Kerambitan merupakan salah satu destinasi

wisata budaya yang selama ini dijadikan sebagai referensi tujuan

wisata budaya tersebut.

Daya tarik budaya yang langka, unik dan berbeda dibandingkan

dengan puri-puri lainnya menjadikan mereka selalu membawa tamu-

tamu mereka ke puri tersebut dibandingkan dengan puri-puri lainnya.

Tetapi mereka juga tidak memungkiri bahwa sebagian wisatawan

memiliki anggaran yang terbatas sehingga mereka sering membawa

tamu-tamu mereka ke puri lain yang menawarkan harga yang lebih

murah dan menampilkan daya tarik yang berhubungan dengan puri.

Bagi mereka kemurnian otentisitas budaya bukan menjadi

pertimbangan utama. Selama wisatawan menyukai dan tidak

mempermasalahkan budaya yang ditampilkan mereka akan terus

menjualnya.

DAFTAR SUMBER

Aluza, A, O'Leary, J.T and Morrison, A.M. 1998. „Cultural and Heritage Tourism: Identifying Niches for International Travelers‟, Journal of Tourism Studies, Vol. 9, No. 2.

ATLAS (2009). ATLAS Cultural Tourism Research Project http://www.tram- research.com/atlas/presentation.htm

Ashworth, G.J. 1994. From History to Heritage-From Heritage to History: In Search of Concepts and Models. In G.J. Ashworth & P.J. Larkham, Building A New Heritage: Tourism, Culture and Identity in The New Europe. London, UK. Routledge.

Ashworth, G.J. and Tunbridge, J.E. 1990. The Tourist Historic City. London. Elhaven Press.

Aubert, A. & Csapó, J. 2002. Unique Features of the Tourist Attractions in Hungary‟s Historical Small Cities. In: Settlement Dynamics and Its Spatial Impacts Siedlungsdynamik und Ihre Räumliche Wirkungen. Ed.: Aubert, A. & Csapó, J. University of Pécs Department of Tourism, Pécs.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2010.

Berger, P. 1973. “Sincerity” and “Authenticity” in Modern Society. Public Interest, Vol. 31.

Berriane, M. 1999. Tourism, Culture and Development in the Arab Region/Supporting Culture to Develop Tourism, Developing Tourism to Support Culture. Retrieved July 15, 2008, from: unesdoc.unesco.org/images/0011/001183/118316eo.pdf

Best, S. 1989. 'The Commodification of Reality and the Reality of Commodification: Jean Baudrillard and Post-Modernism', Current Perspectives in Social Theory, Vol. 9.

Beverland, michael. 2005. “crafting Brand Authenticity: the case of luxury Wines.” Journal of Management Studies, Vol. 42.

Billig, M. 1992. Talking of the Royal Family. London: Routledge.

Boniface, P. 1995. Managing Quality Cultural Tourism. London: Rouledge.

Bonink, C. and Richards, G. 1992. Cultural Tourism In Europe: A Transnational Research Initiatives of ATLAS Consortium. London: Business School, Centre for Leisure and Tourism Studies.

Britton, S. 1991. Tourism, capital and place: towards a critical geography of tourism. Environment and Planning D: Society and Space 9.

94 95

Bruner, Edward M. 1994. Abraham Lincoln As Authentic Reproduction: A Critique of Postmodernism. American Anthropologist, Vol. 96, No 2.

Bywater, M. 1993. The Market of Cultural Tourism in Europe. Travel and Tourism Analyst. Vol. 6.

Cannadine, D. 1992. The context, performance and meaning of ritual: The British monarchy and the „invention of tradition, c. 1820–1977. In E. Hobsbawm and T. Ranger (eds) The Invention of Tradition. Cambridge: Canto.

Carroll, Glen. 2009. The Organizational Construction of Authenticity: An Examination of Contemporary Food and Dining in The U.S. Standford University Graduate School. Standford. United States of America.

Cauter, L., de. 1995. Archeologie Van de Kick. Van Halewijck, Leuven.

Cinquin, C. 1987. Homo Coca Colens, In J, Umiker-Seebeok (ed). Marketing and Semiotic. Berlin, New York, Mouton de Gruyter.

Clarke, A. 1990. Italia ‟90-Football Grandtour. Unpublished Report for The British Council.

Cohen, E. 1979. Rethinking the Sociology of Tourism. Annals of Tourism Research, Vol. 6, No. 1.

Cohen, E. 1988. Authenticity and Commoditization in Tourism. Annals of Tourism Research, Vol. 15 No. 3.

Cornet, J. 1975. African Art and Authenticity. African Art, Vol.9, No.1.

Daniels, Inge Maria. 2001. The Fame of Miyajima: Spirituality, Commodification and Tourist Trade of Tourist Souvenirs in Japan. University College. London

Daniel, Yvonne Payne. 1996. Tourism Dance Performances: Authenticity and Creativity. Annals of Tourism Research, Vol. 23, No. 4.

Delyser, Didia. 1999. Authenticity on the Ground: engaging the Past in a california Ghost town. Annals of the Association of American Geographers. Vol 89.

Du Cros, H. 2001. A New Model to Assist in Planning for Sustainable Cultural Heritage Tourism. International Journal of Tourism Research, Vol 3 No 2.

e . . Kultur und Tourismus in den neuen Ländern. Culture Concepts. Berlijn.

Douglas, N. Douglas, N. and Derrett, R. (Eds). 2001. Special interest tourism. Wiley.

96

ECTARC. 1989. Contribution to the Drafting of a Charter for Cultural Tourism. Llangollen, Wales.

Edensor, T. 2001. Performing tourism, staging tourism: (re)producing tourist space and practices. Tourist Studies, Vol. 1, No 1.

Erb, M. 2000. Understanding tourists: interpretations from Indonesia, Annals of Tourism Research, Vol. 27, No. 3.

Erickson, Rebecca J. 1995. The Importance of Authenticity for Self and Society. Publication: Symbolic Interaction, Vol. 18, No. 2. University of California Press

European Commission. 2002. Europeans and their holidays. EC, Brussels.

European Travel Commission. 2005. City Tourism & Culture – The European Experience. www.etc-corporate.org

Fitchett, James A. 1997. Consumption and Cultural Commodification: The Case of The Museum as Commodity. University of Stirling. London.

Fridgen, J. 1991. Dimensions of Tourism. East Lansing, MI: Educational Institute.

Gelbman, A. & Ron, A.S.2009. Heritage and Cultural Tourism: The Present and The Future of The Past. Tourism Geographies, Vol. 11, No. 1.

Getz, D. 1994. Event Tourism and the Authenticity Dilemma, in Theobald, W. (ed) Global Tourism. London: Butterworth-Heineman.

Gilmore, J.H. & Pine, B.J., Jr. 2007. Authenticity: What Consumers Really Want? Boston, MA: Harvard Business School Press.

Govers, R. and Go, F.M. 2004. Cultural identities constructed, imagined and experienced: A 3–gap tourism destination image model. Tourism Interdisciplinary Journal, Vol. 52, No. 2.

Hjalager, A-M. and Richards, G. 2002. (eds) Tourism and Gastronomy. Routledge. London.

Hall, M. and Zeppel, H. 1990. History, architecture, environment: cultural heritage and tourism. Journal of Travel Research Vol. 29, No. 2.

Hobsbawm, E. and Ranger, T. 1983. The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.

Hirschman, E.C. 1991. Possession and Commoditization in Fatal Attraction, Blue Velvet, and Nine and ½ Weeks, Semiotica; 1991, Vol. 86, No. 1-2.

Hofstede, G. 1997. Cultures and Organizations: Software of the mind. New York: 97

McGraw Hill; 1 edition.

Howard, P. 2002 In WTO. 2005. City Tourism and Culture: the European Experience, WTO, Madrid.

Gelbman, A. & Ron, A.S. 2009. Heritage and Cultural Tourism: The Present and Future of the Past. Tourism Geographies, Vol. 11, No. 1.

ICOMOS. 1999. Charter for Cultural Tourism. http://www.icomos.org/tourism/

Jamal, T. and Hill, S. 2002. The home and the world: (Post) touristic spaces of (in)authenticity. In G. Dann (ed.). The Tourist as Metaphor of the Social World. Wallingford, CABI Publishing.

Johansson, H.J., McHugh, P., Pendlebury, A.J. and Wheeler, W.A., III. 1993. Business Process Reengineering: Break Point Strategies for Market Dominance, John Wiley and Sons. New York.

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta

Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Gramedia Jakarta

Kluckhohn, Clyde.1961. Anthropology and the Classics, Brown University Press

Kopytoff, I. 1986. The cultural biography of things: Commoditization as process, In A. Appadurai (ed.). The Social Life of Things: Commodities in Cultural Perspective, Cambridge MA, University of Cambridge Press.

Lau, R.W.K. 2010. Revisiting authenticity: A social realist approach. Annals of Tourism Research, Vol. 37, No. 2.

Littrell, M. A. 1997. Shopping experiences and marketing of culture to tourists. In: Robinson, M., Evans, N. and Callaghan, P. (eds) Tourism and Culture: Image, Identity and Marketing. Centre for Travel and Tourism, University of Northumbria.

MacCannell, D. 1976. The Tourist: A New Theory of the Leisure Class. London and Basingstoke: MacMillan.

McIntosh, R.W. & C.R. Goeldner. 1986. Tourism: Principles, Practices, Philoshopies. New York: John Wiley & Son.

McKercher, B., & du Cros, H. 2002. Cultural tourism: The partnership between tourism and cultural heritage management. New York, NY: The Haworth Hospitality Press.

McLean, F. and Cooke, S. 2003. Constructing the identity of a nation: The tourist gaze at the Museum of Scotland. Journal of Tourism, Culture and Communication, Vol. 4, No. 3. 98

Mehmetoglu, M. & Olsen K. 2003. Talking authenticity: what kind of experiences do solitary travelers in the norwegian lofoten islands regard as authentic?. Tourism Culture & Communication, Vol. 4, No. 3. Cognizant communication Corporation

Merriam-Webster‟s Eleventh New ollegiate Dictionary. 2008. New Way to Find The Words You Need Today. Springfield. United States of America.

Michalkó, G. & Rátz, T. 2011. Kulturális turizmus Turisztikai terméktervezés és fejlesztés digitális tankönyv. TÁMOP TÁMOP-4.1.2-08/1/A-2009-0051.

Miles, S. 1998. Consumerism as A Way of Life. London: Sage.

Moleong, L. J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosydakarya

“Nara ocu ent on Authenticity.” In Nara Conference on Authenticity in Relation to the World Heritage Convention. Nara, Japan 1-6 November 1994. Proceedings, edited by Knut Einar Larsen, xxi-xxv. Trondheim: Tapir Publishers, 1995.

NASAA – National Assembly of State Arts Agencies. 2004. Cultural Visitor Profile. Retrieved July 11, 2008, from: http://www.nasaa-arts.org/artworks/culture_profile.shtml

Ontario Cultural and Heritage Tourism Product Research Paper. 2009. Queen‟s Printer for Ontario.

Ooi, C. 2002. Cultural Tourism and Tourism Cultures. Copenhagen: Copenhagen Business School Press.

Parker, Julia. 1991. Reinvention and Continuity in The Making of an Historic Visitor Attraction: Control, Access, and Display at Hampton Court Palace, 1838-1938. University of Kingston. UK.

Pearce, P. and Moscado, G. 1986. The Concept of Authenticity in Tourist Experiences. Australian and New Zealand Journal of Sociology, Vol. 22.

Pimlott, B. 1996. The Queen: A Biography of Elizabeth II. London: Harper Collins.

Poon, A. 2003. A New Tourism Scenario – Key Future Trends, The Berlin Report. Tourism Intelligence International.

Ray, C. 1998. Culture, Intellectual Property and Territorial Rural Development. Sociologia Ruralis, Vol. 38.

Redfoot, D.L. 1984. Touristic Authenticity, Touristic Angst, and Modern Reality. Qualitative Sociology, Vol. 7, No. 4.

Reisinger, Y. & Steiner, C. 2006. Reconceptualizing object authenticity. Annals of Tourism Research, Vol. 33. 99

Richards, G. 1996. Cultural Tourism in Europe. CABI, Wallingford.

Richards, G. 2007. The social context of cultural tourism. In Richards, G. (ed.) Cultural Tourism in Europe. Wallingford: CAB International.

Richards, G. 2002. Tourism attraction systems: Exploring cultural behavior. Annals of Tourism Research, Vol. 29, No. 4.

Ritzer, George. 1993. The McDonaldization of Society, Lexington VA: Pine Press.

Rowbottom, Anne. 1998. “The Real Royalist”: Folk Performance and Civil Religion at Royal Visits. Folklore Enterprises Ltd. London.

Ryan, C. and Aicken, M. 2005 (Eds) Indigenous Tourism. The Commodification and Management of Culture. Elsvier.

Ryan, M.M. & McKenzie, F.H. 2003. A monastic tourist experience: The packaging of a place. Tourism Geographies, Vol. 5, No. 1.

Schama, S. 1986. The domestication of majesty: Royal family portraiture, 1500–1850. Journal of Interdisciplinary History XVII. Vol. 1.

Sharpley, R. 1994. Tourism, Tourists and Society, ELM Publications, Cambridgeshire.

Selwyn, T. 1996. The Tourist Image: Myths and Myth Making in Tourism, T. Selwyn, ed., Chichester: John Wiley & Sons.

Spark, C. 2002. Brambuk living cultural centre: Indigenous culture and the production of place. Tourist Studies, Vol. 2, No. 1.

Stymeist, DH. 1996. Transformation of Vilavilairevo in Tourism. Annals of Tourism Research, Vol. 23 No. 1.

Silalahi, U. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.

Silalahi, U. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Silberberg, T. 1995. Cultural tourism and business opportunities for museums and heritage sites. Tourism Management, Vol. 16, No. 2.

Smith, R.A.R. 1988. A Guide to The Museum of Transport. Glasgow Museum.

Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Rajawali. Jakarta

Soemardjan dan Soemardi. 1964. Setangkai unga sosiologi : Buku atjaan untuk kuliah pengantar sosiologi . Jajasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta 100

Stebbins, R.A. 1996. Cultural Tourism as Serious Leisure. Annals of Tourism Research, Vol. 23, No. 4.

Stymeist, DH. 1996. Transformation of Vilavilairevo in Tourism, Annals of Tourism Research, Vol. 23, No. 1.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: ALFABETA.

Supardi. M.d, 2006. Metodologi Penelitian, Mataram : Yayasan Cerdas Press

Taylor, Charles. 1989. Sources of the Self: The Making of Modern Identity. Cambridge University Press. New York.

Tetley, Sarah. 1998. Visitor Attitudes to Authenticity at a Literary Tourist Destination. Sheffield Hallam University. London.

Tighe, A. 1990. Cultural tourism in 1989. Paper presented at the 4th Annual Travel Review Conference, Washington, DC, 5 February, 1990.

Tighe, A. 1991. Research on cultural tourism in the United States. Travel and Tourism Research Association Proceedings.

Tomlinson, J. 1991. Cultural Imperalism: A Critical Introduction. London: Pinter.

Tourism Society UK. 1990. Cultural Tourism in Europe. CAB International. Wallingford. UK

Trilling, L. 1972. Sincerity and authenticity. London: Oxford University Press.

Tunbridge, J.E. and Ashworth, G.J. 1996. Dissonant heritage: The Management of the Past as a Resource in Conflict. Chichester: Wiley

Tylor, E.B. (1871). Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom. Harvard University. Boston, Estes & Lauriat.

UNWTO. 1985. The Role of Recreation Management in The Development of Active Holidays and Special Interest Tourism and the Consequent Enrichment of The Holiday Experience. Madrid: World Tourism Organization.

UNWTO.1997. Study on Tourism and Intangible Cultural Heritage. Madrid: World Tourism Organization.

UNWTO. 2007. Tourism Trends: Tourism, Culture and Cultural Route. Madrid: World Tourism Organization.

101

UNESCO. 2007. Culture or commerce? A comparative assessment of international interactions and developing countries at UNESCO, WTO, and beyond. International Study Perpective. Wiley. New York.

Urry, J. 1995. Consuming Places. Routledge, London.

Urry, J. 2002. The Tourist Gaze (2nd edn). Sage. London.

Varga, S. 2012. Authenticity as an Ethical Ideal. New York: Routledge.

Waller, Jo and Stephen E. G. Lea. 1998. Seeking the Real Spain? Authenticity in Motivation. Annals of Tourism Research, Vol. 25, No. 4.

Wang, N. 1999. Rethinking authenticity in tourism experience. Annals of Tourism Research, Vol. 26, No. 2.

Weber, Max. 1998. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. International Sociological Association.

Weiler, B. and Ham, S. 2001. Tour guides and interpretation in ecotourism. In D. Weaver (Ed) The Encyclopedia of Ecotourism CABI Publications, London

Williams, R. 1983. Keyword. Fontana, London.

World Tourism Organization. 1985. The Role of Recreation Management in the Development of Active Holidays and Special Interest Tourism and the Consequent Enrichment of the Holiday Experience. Madrid: World Tourism Organization.

Wood, R.E. 1984. Ethnic tourism, the state and cultural change in South-East Asia. In Annals of Tourism Research, Vol. 11, no. 3.

Zeppel, H. and Hall, M. 1992. I OMOS. “International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites (The Venice Charter).” Approved by the Second International Congress of Architects and Technicians of Historic Monuments in Venice from May 25 to 31, 1964, adopted by ICOMOS in 1965. Accessed January 25, 2011, http://www.icomos.org/venice_charter.html.