Prosiding Seminar Heritage Cirebon 2017 June 21, 2017 by iplbi PROSIDING SEMINAR HERITAGE CIREBON 2017 Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon Universitas Indraprastha Universitas Trisakti Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan ISBN Online: (Sedang Diproses) ISBN Cetak: (Sedang Diproses) http://seminar.iplbi.or.id/prosiding-seminar-heritage-cirebon-2017/

PEMBICARA KUNCI Pemaknaan Tempat dalam Pelestarian Arsitektur Widjaja Martokusumo Halaman 01-10 BANGUNAN WARISAN Hasil Penelitian Adaptasi Gedung Museum Kota Makassar Terhadap Iklim Tropis Lembab Andi Eka Oktawati, Wasilah Sihabuddin Halaman A 001-010 Akulturasi Budaya pada Masjid Gedhe Mataram Jogjakarta Endang Setyowati, Gagoek Hardiman, Titien Woro Murtini Halaman A 011-018 Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar Andi Hildayanti, Wasilah Halaman A 019-026 Konsep Desain Atap Aula Timur dan Aula Bara Institut Teknologi Bandung Yohana Friscila Ezra Sitorus Halaman A 027-032 Penerapan Tradisi “Payango” pada Rumah Tinggal Masyarakat Gorontalo sebagai Upaya Pelestarian Budaya Lokal Ernawati , Heryati , M Muhdi Ataufiq Halaman A 033-040 Penyesuaian Ruang Arsitektur dalam Kehidupan Berbudaya Masyarakat Migran Madura Abraham Mohammad Ridjal Halaman 041-050 Perpaduan Gaya Arsitektur Jawa Kuno, Tiongkok, dan Eropa pada Arsitektur Masjid Agung Mohammad Thareq Defa Halaman A 051-054 Simbolisme Masjid Agung Demak Marwoto 1, Elisya Wulandari Halaman A 055-062 Studi Langgam pada Hotel Toeng Hoa Dengan Observasi Ornamen Bangunan Lucky Lukman Hakim Halaman A 063-066 Tipologi Arsitektural Stasiun Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Nafiah Solikhah Halaman A 067-074 Tipologi Masjid Kagungan Dalem di Imogiri, Bantul Endah Tisnawati, Dita Ayu Rani Natalia Halaman A 075-082 Diskursus Adaptasi Bangunan Cagar Budaya Perspektif Indonesia Adang Sujana Halaman A 083-090 Adaptasi Gaya Eropa pada Kantor Gubernur Jawa Timur Aysha Nurshabira Halaman 091-094 Akulturasi Budaya dalam Makna dan Fungsi di Masjid Agung Sumenep Adisti Yonita Widiatami Halaman A 095-102 Akulturasi Langgam Arsitektur pada Elemen Pintu Gerbang Masjid Agung Firdha Ruqmana Halaman A 103-108 Analisis Tujuh Prinsip Desain pada Bangunan Utama Hogere Burger School Semarang, SMA 1 Semarang Annisa Yulita Pertiwi Halaman A 109-116 Ekspresi Majapahit Dalam Ornamen Bangunan Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon Yanuar Mandiri Halaman A 117-124 Ekspresi Tropis dalam Modernitas Karya A.F. Aalbers. Studi Kasus De Driekleur Andrew Cokro Putra, Bambang Setia Budi Halaman A 125-132 Ekspresi Vernakular Minangkabau pada Masjid Raya Gantiang Ganda Saputra Sinaga Halaman A 133-138 Elemen Fisik Masjid Baiturrahman Banda sebagai Pembentuk Karakter Visual Bangunan Rihan Rizaldy Wibowo Halaman A 139-144 Identifikasi Elemen Arsitektur Khas C.P. Wolff Schoemaker dalam Arsitektur Masjid Raya Cipaganti Raudina Rachmi, Bambang Setia Budi Halaman A 145-152 Keberagaman Ornament pada Fasad Bangunan Bank Indonesia Bandung Afif Muhammad Edi Halaman A 153-160 Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri R.Bambang Gatot Soebroto, Nuffida Halaman A 161-170 Konservasi Gedung Lawang Sewu sebagai Warisan Sejarah Indonesia Jovita Liyonis Halaman A 171-174 Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten Ulama Andika Halaman A 175-180 Masjid Agung Kasepuhan Cirebon sebagai Masjid Kuno di Indonesia dengan Orientasi Kiblat Imega Reski Halaman A 181-186 Memaknai Lukisan Kaca Patri Lawang Sewu, Semarang Jovani Debora Emmanuella Halaman A 187-192 Pencahayaan Menggunakan Atap Kaca pada gedung Ned.- Ind. Gas. Mij., Showroom en kantoor; Becker en Co Khalil Ambiya Halaman A 193-196 Pengantar Tipologi Pintu dan Jendela pada Bangunan Gedung Sate Bandung Desti Sukmamiranti Halaman A 197-202 Pengaruh Hindu pada Atap Masjid Demak Nugraha Pratama Halaman A 203-206 Pengaruh Kebudayaan Cina terhadap Arsitektur Masjid Mantingan Hasna Anindyta Halaman A 207-212 Perpaduan Budaya dan Hindu dalam Masjid Menara Kudus Andanti Puspita Sari Pradisa Halaman A 213-218 Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Timur Tengah pada Bangunan Masjid Istiqlal Fatimatuz Zahra Halaman A 219-226 Perpaduan Unsur Arsitektur Islam dan Gaya Arsitektur Kolonial pada Masjid Cut Meutia Jakarta Indah Mega Ashari Halaman A 227-232 Pertimbangan Penentuan Ketinggian Panggung pada Rumah Melayu Kampar Ratna Amanati Halaman A 233-238 Ragam Ornamen Arsitektur Masjid Sultan Abdurrahman Pontianak Shinta Rizkia Putri Halaman A 239-246 Sayap Timur Gedung Sate Kemegahan Arsitektur, Kekayaan Sejarah, dan Keberlangsungannya dalam Era Milenium Annisa Fadhilah Farid Halaman A 247-250 Sejarah Pembangunan dan Renovasi pada Masjid Agung Bandung Andita Aprilina Nugraheni Halaman A 251-258 Sejarah Terbentuknya Langgam Masjid Jami Angke Putri Isti Karimah Halaman A 259-264 Transformasi Bentuk Arsitektur Masjid Agung Palembang Setyo Nugroho, Husnul Hidayat Halaman A 265-272 Usaha Preservasi pada Masjid Jami Kalipasir, Tangerang, Banten Maretta Arninda Dianty Halaman A 273-278 Kasus Studi Analisis Penulis Mengenai Akulturasi Budaya pada Aula Timur ITB Muhammad Hafiz Asyraf, Bambang Setia Budi Halaman A 279-284 Arsitektur Makam Siti Fatimah binti Maimun Gresik Luqman Arifin Siswanto Halaman A 285-288 Desain Fasad Depan dan Ornamen pada Societeit Voor Officieren dan Stasiun KAI di Kota Cimahi Jeremy Meldika Halaman A 289-294 Elemen-Elemen Arsitektural Post Kantoor di Tanah Deli Lia Veronica Wirjono Halaman A 295-302 Fungsi Makna Bentuk Gereja Katedral Santo Petrus Bandung Hero Renaldi Halaman A 303-310 Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten Alya Nadya Halaman A 311-316 Gedung Pengadilan Landraad, Memori dan Upaya Pelestariannya Muhammad Fajri Arief Mahmuda Halaman A 317-320 Gedung Sate, Keindahan Ornamen Arsitektur Indo-Eropa I Gusti Ayu Ceri Chandrika Meidiria Halaman A 321-326 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Eko Bagus Prasetyo, Bambang Setia Budi Halaman A 327-336 Identifikasi Perubahan Tatanan Spasial Rumah Ketib Anom di Kauman Surakarta Ardhini Zulfa Halaman A 337-344 Jejak Societeit Concordia di Bandung Gusti Reynaldi Cakramurti Halaman A 345-350 Kemiripan Arsitektur Tiang Masjid Ampel Karangasem dengan Masjid Agung Demak Afrizal Fikri Halaman A-351-354 Langkah Awal Konservasi Kediaman Raden Saleh Lady Viona Yacup Halaman A 355-358 Lebih Dekat dengan Masjid Agung Kauman, Semarang Safira Halaman A 359-364 Masjid Agung Banten Perpaduan Tiga Budaya dalam Satu Arsitektur Bintang Widya Laksmi Halaman A 365-368 Masjid Cipari, Masjid Tertua dan Unik di Garut Annisa Maharani Halaman A 369-374 Masjid Cipari Garut, Masjid Berasitektur Mirip Gereja Franciska Tjandra Halaman A 375-380 Masjid dan Makam Sendang Duwur, Perwujudan Akulturasi Ayeesha Putri Zarifa Halaman A-381-384 Masjid Pacinan Tinggi, Hancur atau Belum Selesai Rizkia Amalia Halaman A 385-392 Masjid Raya Cipaganti, Heritage Kota Bandung yang Memadukan Gaya Arsitektur Jawa dan Eropa Zulva Fachrina Halaman A 393-398 Masjid Sultan Suriansyah Sebagai Simbol Dimulainya Pergerakan Islam di Selatan Noortieni Khairulisa Halaman A 399-402 Masjid Wapauwe, Saksi Perkembangan Islam di Wilayah Timur Nusantara Dwi Astuti Halaman A 403-408 Masjid Tua Ternate, Warisan Berharga Sultan yang perlu dilestarikan Muhammad Fadhil Fathuddin Halaman A 409-414 Nilai Arsitektur Lokal Masjid Gunung Pujut, Lombok, NTB Yuninda Dian Pamungkas Halaman A 415-418 Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe Cut Azmah Fithri, Sisca Olivia, Nurhaiza Halaman A 419-426 Pelestarian Bangunan dan Obyek Peninggalan Di Kutai Kartanegara Sebagai Pembentuk Identitas Kota Eva Elviana, Diyan Lesmana Halaman A 427-434 Penelusuran Warisan Budaya Jakarta melalui Heritage Bangunan Masjid Al-Alam Marunda Ahmad Darmawan Halaman A 435-440 Pengaruh Belanda dalam Arsitektur Masjid Agung di Priangan 1800 – 1942 Annisha Ayuningdiah Halaman A 441-448 Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta Lilis Yuniati Halaman A 449-454 Penghawaan dan Pengaruh Psikologi pada Aula Barat dan Aula Timur ITB Muhammad Fahry Aziz, Bambang Setia Budi Halaman A 455-462 Perkuatan Struktur Pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya, Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta Augustinus Madyana Putra, Andi Prasetiyo Wibowo Halaman A 463-468 Perpaduan antara Tradisi Islam dan Kebudayaan Eropa pada Arsitektur Istana Maimun Pipin Kurniawati Halaman A 469-472 Perpaduan Elemen Arsitektur Tradisional dan Eropa pada Masjid Agung Manonjaya Maulidinda Nabila Halaman A 473-478 Perubahan Atap Masjid Agung Garut Devinna Febrianni Halaman A 479-484 Perubahan pada Masjid Tuo Kayu Jao Setelah Pemugaran Alisha Dwi Nefertity Halaman A 485-490 Perubahan pada Menara Masjid Tahun 1870-2012 Arif Satya Wirawan, Bambang Setia Budi Halaman A 491-498 Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta Fida Windari Dewi, Bambang Setia Budi Halaman A 499-504 Sejarah Kantor Nederlands-Indische Spoorweg (NIS) di Semarang Faisal Prabowo Halaman A 505-510 Sejarah Stasiun Bandung dari Masa ke Masa Muhammad Aodyra Khaidir Halaman A 511-514 Studi Dokumentasi Area Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon Farhatul Mutiah Halaman A 515-520 Studi Kasus Bangunan Cagar Budaya, Dokumentasi Gedung “Eks Museum Mpu Tantular”Jalan Taman Mayangkara no.6, Surabaya Andy Mappajaya, Josef Prijotomo,Josephine Roosandriantini, Angger Sukma Mahendra,Tanti Satriana Rosary N, Tjahja Tribinuka, Nur Endah Nuffida, M.Dwi Hariadi, V.Totok Noerwasito , Nurfahmi Muchlis, Murtijas Sulistijowati Halaman A 521-524 Tantangan konservasi pada Rumah Bandung Rangki dan Sri Dandan di Desa Bali Aga Pedawa, Buleleng-Bali Tri Anggraini Prajnawrdhi Halaman A 525-532 Transformasi Atap Masjid Raya Bandung Zuhrissa Putrimeidia Aswati Halaman A 533-538 Transformasi Tipologi bentuk Kubah masjid raya Baiturrahman sebagai bangunan bersejarah di Aceh Armelia Dafrina Halaman A 539-546 Unsur-Unsur Budaya pada Arsitektur Masjid Agung Darussalam, Bojonegoro Uswatun Chasanah Halaman A 547-554 KAWASAN WARISAN Hasil Penelitian Aspek Intangible di Balik Jejak Rancang Bangun Arsitektur Kolonial Masa Pengembangan Wilayah Kota Malang 1917-1929 Noviani Suryasari Halaman B 001-008 Commercial Property Development and Heritage Conservation in Ho Chi Minh City’s District One Laras Primasari, Athina Ardhyanto Halaman B 009-016 Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Perwujudan Tata Spasial Kota Peninggalan Kerajaan Karangasem di Bali I Gusti Ngurah Wiras Hardy Halaman B 017-024 Identifikasi Karakter Kawasan Cagar Budaya Pakualaman Yogyakarta Angela Upitya Paramitasari Halaman B 025-032 Identifikasi Tujuan Wisata Reliji Masjid-Masjid Cirebon Dhini Dewiyanti, Dini Rosmalia, Sally Oktaviana Halaman B 033-038 Kajian Facade Rumah Tradisional Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo Dyan Agustin, Wiwik Dwi S Halaman B 039-044 Kajian Model Revitalisasi Kawasan Heritage Kesawan Dwi Lindarto Hadinugroho Halaman B 045-052 Karakteristik Kawasan Tamansari Watercastle sebagai Warisan Budaya Yogyakarta Riana Viciani G, Himasari Hanan Halaman B 053-060 Konsep Penataan Pura Dalem Desa Adat Negari, Desa Singapadu Tengah sebagai Objek Baru Wisata Sejarah I Made Suarya, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Ni Ketut Agusinta Dewi, I Gusti Agung Bagus Suryada Halaman B-061-068 Konstruksi Tipologi Lanskap Budaya Jawa Kuno dari Relief Candi Panataran di Propinsi Jawa Timur Chairul Maulidi, Wara Indira Rukmi Halaman B 069-072 Kosmologi Elemen Lanskap Budaya Cirebon Dini Rosmalia, L. Edhi Prasetya Halaman B 073-082 Pelestarian dan Penataan Bangunan Kota (Urban Heritage) di Kabupaten Magelang Indah Yuliasari Halaman B 083-088 Pelestarian Kawasan Kampung Arab Almunawar Palembang Retno Purwanti Halaman B 089-094 Pelestarian Makna Universal, Kelokalan dan Wujud Arsitektur Bangsal Sitihinggil Di Kraton Yogyakarta Alwin Suryono Halaman B 095-102 Penelusuran Nilai Tangible dan Intangible Heritage dalam Tradisi Ngerebeg di Desa Tegallalang Gianyar Made Prarabda Karma Halaman B 103-110 Pengaruh Adaptasi Arsitektur Tropis pada Bangunan Kolonial di Koridor Jalan Blang Mee Samudera Pase Nova Purnama Lisa, Nurhaiza Halaman B 112-118 Pengaruh Kualitas Bangunan dan Kondisi Lingkungan Bangunan Bersejarah Terhadap Wisata Budaya di Kota Medan Yuanita F.D Sidabutar, Sirojuzilam, Suwardi Lubis, Rujiman Halaman B 119-128 Peran Aspek Lokal Dalam Perancangan Arsitektur Kota Karya Karsten Albertus Sidharta Muljadinata, Antariksa, Purnama Salura Halaman B 129-136 Persepesi Masyarakat terhadap Nilai Sakral dari Alun-alun Bandung Heru Wibowo, Tri Widianti Natalia Halaman B 137-140 Perubahan Ruang Bermukim di Kampung Kapitan Palembang Irma Indriani Halaman B 141-148 Pesanggrahan Ambarukmo, Mengingat yang Terlupakan Yudha Pracastino Heston, Rr. Dyah Kartika Halaman B 149-156 Pola Tata Ruang Kampung Kwarasan Magelang Karya M. Maria Sudarwani, Iwan Priyoga Halaman B 157-160 Prinsip Rancangan Koridor Komersial di Kawasan Kota Tua Kota Gorontalo Elvie F. Mokodongan, Y.P. Erick. Ambarmoko Halaman B-161-170 Revitalisasi Situs Patirtan Watugede Singosari Sebagai Obyek Wisata Spiritual Berkelanjutan Junianto, Rosalia Niniek Sri Lestari, A. Tutut Subadyo Halaman B 171-176 Sejarah dan Perkembangan Kota Denpasar sebagai Kota Budaya Ni Made Yudantini, Kadek Agus Surya Darma, Wayan Wiryawan Halaman B 177-184 Diskursus Analisis VGA Sebuah Pendekatan untuk Membaca Nilai Integrasi Ruang pada Bangunan Ndalem Joyokusuman Yogyakarta Sidhi Pramudito, Gerarda Orbita Ida Cahyandari, Vincentia Reni Vita Surya Halaman B 185-192 Konservasi Nilai-nilai Hunian Bali Aga (Bali Kuno) dalam Wisata Budaya di desa Penglipuran, Bangli Ida Ayu Dyah Maharani, Imam Santosa, Prabu Wardono, Widjaja Martokusumo Halaman B 193-200 Letak Gedung De Vries di Bandung Moch Ginanjar Busiri Halaman B 201-204 Pengaruh Budaya Jawa-Hindu dalam Kompleks Makam Imogiri, Yogyakarta Nindyasti Dilla Himaya Halaman B 205-210 Ragam Ornamentasi Pada Fasad Bangunan Kolonial Di Jalan Groote Postweg, Bandung Nahrul Ulum Halaman B 211-218 Rekomendasi Restorasi Fasade De Drie Locomotiven Teresa Zefanya, Bambang Setia Budi Halaman B 219-226 Sambuangan Taguk Pulih Sebagai Wujud Saujana Arsitektur Suku Bajo Syahriana Syam, Ananto Yudono, Ria Wikantari, Afifah Harisah Halaman B 227-234 Siapa Pemilik Sense of Place? Tinjauan Dimensi Manusia dalam Konservasi Kawasan Pusaka Kota Lama Christin Dameria, Roos Akbar, Petrus Natalivan Halaman B 235-240 Studi Dampak Pembangunan Stasiun Bandung Terhadap Daerah Sekitarnya Febri Nur Fitrianto Halaman B 241-246 Sudut Pandang Baru Terhadap Revitalisasi dan Adaptasi Kompleks Gedung Galeri Nasional Indonesia Jarot Mahendra Halaman B 247-254 Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta Steven Nio, Julia Dewi Halaman B 255-260 Wajah Militair Hospitaal dan ‘Kota Militer’ Cimahi Aileen Kartiana Dewi Halaman B 261-266 Kasus Studi Dualisme Fungsi Sumur Gumuling sebagai Masjid dan Benteng Pertahanan Retno Rosati Rosati Halaman B 267-274 Elemen Tangga Pada 3 Bangunan Kolonial Di Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta Hazimah Ulfah Az Zaky Halaman B 275-282 Identifikasi Perubahan Tatanan Spasial Karang di Desa Taro Kelod Gianyar Bali Annisa Nurul Lazmi, Dita Ayu Rani Natalia Halaman B 283-292 Konsep Rancangan Ruang Terbuka Publik dengan Pendekatan Naratif Kasus Studi: Taman Lapangan Banteng Jakarta Jessica Apriliani, Julia Dewi Halaman B 293-296 Konservasi Puri Smarapura di Klungkung, Bali Ni Ketut Agusintadewi Halaman B 297-304 Penelaahan Wajah Braga Dulu dan Sekarang Yasmin Chairani Ulfhah Halaman B 305-312 Pengantar Arsitektur Bangunan Perumahan Militer Pada Zaman Kolonial Di Kota Cimahi Muhammad Rizky Mulyana Halaman B 313-316 Pengaruh Arsitektur Hindu pada Masjid Tuha Indrapuri Dininta Annisa Halaman B 317-320 Pengelolaan Kawasan Kota Heritage Pesisir Berbasis Pariwisata Kreatif Studi Kasus Kawasan Kota Lama Semarang Mussadun Halaman B 321-326 Perkembangan Pola Tata Ruang Kawasan Destinasi Pariwisata Kepulauan di Pulau Batam Nurul Nadjmi Halaman B 327-336 Studi Deret Pohon Mahoni sebagai Elemen Lanskap Heritage pada Aksis Struktur Ruang Kota Kolonis di Kota Metro Fritz Akhmad Nuzir Halaman B 337-340 Pengabdian Pendampingan dalam Pendataan Bangunan di Kawasan Permukiman Tradisional 3-4 Ulu Palembang Tutur Lussetyowati, Meivirina Hanum, Ari Siswanto Halaman B 341-348 WARISAN SEJARAH Hasil Penelitian Cultural Attachment sebagai Pembentuk Sense of Place Kampung Bugisan, Yogyakarta Emmelia Tricia Herliana, Himasari Hanan, Hanson Endra Kusuma Halaman C 001-008 Identifikasi Geometri sebagai Dasar Bentuk pada Arsitektur Tradisional Nusa Tenggara Barat Erlina Laksmiani Wahjutami Halaman C 009-016 Intangible Cultural Heritage Candi Sumberawan dalam Perspektif Kosmologi Ema Y. Titisari, Antariksa, Lisa Dwi W, Surjono Halaman C 017-022 iTripbudaya Aplikasi Berbasis Android Untuk Pengembangan Heritage Tourism di Kota Gresik Karina Pradinie, Putu Gde Ariastita, Azka Nur Medha Halaman C 023-028 Pariwisata dan Pelestarian Suatu Pendekatan untuk Mencegah Kerusakan Pada Bangunan Candi Masa Sriwijaya Ari Siswanto, Farida, Ardiansyah, Hendi Warlika Sedoputra Halaman C 029-038 Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali I Nyoman Widya Paramadhyaksa Halaman C 039-046 Diskursus Alkuturasi Budaya Hindu Budha Pada Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Fenyta Rizky Rahmadhani Halaman C 047-052 Arsitektur Vernakular, Penelusuran Pengaruh Tradisi atas Lingkung Bina Ami Arfianti, Josef Prijotomo, Purwanita Setijanti Halaman C 053-060 Biro Arsitek AIA ( Algemeen Ingenieur Architectenbureau ) dan karyanya di Batavia Alvin Fauzi Halaman C 061-068 Caruban Sebagai Asal Nama “ Cirebon” Eksplorasi Spirit Arsitektur Sudarmawan Juwono, Dwi Aryanti, Kiki Maria Halaman C 069-076 Gaya Arsitektur Bioskop Majestic di Bandung Adin Baskoro Pratomo Halaman C 077-080 Pandangan Lintas Budaya Terhadap Tempat-Tempat Suci Bersejarah (Historic Sacred Places) di Minahasa, Utara Cynthia E.V Wuisang, Dwight, M. Rondonuwu Halaman C 081-088 Permasalahan Cagar Budaya Living Monument Milik Perorangan di Perkotaan Yuni Rahmawati Halaman C 089-096 Schoemaker dan Jejaknya di Kota Bandung Anisa Chandra Kharimah Halaman C 097-102 Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Menteri PURP Nomor 01 PRTM 2015 Yanto Horas Mangihut Manurung Halaman C 103-110 Valuasi Cagar Budaya, Perspektif Manajemen Sumber Daya Budaya R. Ahmad Ginanjar Purnawibawa Halaman C 111-116 Kasus Studi Adaptasi Karya Arsitektur Wolff Schoemaker terhadap Iklim Tropis di Kota Bandung, Indonesia Dhaifina Mazaya Halaman C 117-124 Bangunan Berarsitektur Tradisional Jawa dengan Pengaruh Arsitektur Eropa Haneke Tiara Halaman C 125-128 Kajian Pemikiran Akulturasi Henry Maclaine Pont Pada Elemen Desain Interior Aula Timur dan Aula Barat ITB Guino Verma Halaman C 129-136 Kota Pusaka dan Pemikiran Kembali tentang Historical Attachment dalam Persepsi Masyarakat Studi Kasus: Parakan, Temanggung Ari Widyati Purwantiasning, Kemas Ridwan Kurniawan Halaman C 137-144 Refleksi Budaya Komunitas Islam Aboge Cikakak Pada Masjid Saka Tunggal Banyumas Awaliyah Mudhaffarah Halaman C 145-150 Savepasarcinde Upaya Penyelamatan Bangunan Cagar Budaya Johannes Adiyanto Halaman C 151-158 Telaah Wujud Kebudayaan Dalam Arsitektur Tradisional Makassar Imriyanti, Shirly Wunas, Mimi Arifin, Idawarni J. Asmal Halaman C 159-164

SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | PENELITIAN

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali

I Nyoman Widya Paramadhyaksa (1) [email protected]

(1)Lab. Budaya, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.

Abstrak

Dalam budaya Bali dikenal adanya tradisi pementasan drama tari Calonarang yang berintikan kisah pertarungan penganut ilmu kebajikan dan ilmu kejahatan. Pementasan ini berlangsung di suatu desa, dari petang hingga dini hari. Ada beberapa area yang lazim dijadikan sebagai seting lokasi pementasan, yaitu pempatan agung di pusat desa, area jaba sisi Pura Dalem, dan kuburan desa. Desa Getakan, Kabupaten Klungkung secara rutin mementaskan ritual pementasan Calonarang di pusat desa setiap tahunnya. Drama tari Calonarang di sini menjadi terkenal ke seluruh pelosok Bali mengingat dalam pementasannya terdapat segmen yang sangat langka, berupa kematian real seorang aktor yang jenazahnya diupacarai dan diperlakukan selayaknya jenazah. Penelitian ini merupakan kajian tentang tata ruang dan seting pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan. Kajian disusun berdasarkan observasi dan wawancara dengan beberapa pihak yang berperan dalam pementasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertunjukan drama tari Calonarang di Desa Getakan merupakan wujud simbolis persembahan dan rasa bakti tertinggi kepada Tuhan.

Kata-kunci : Calonarang, magis, Getakan, intisari, tradisi

Pendahuluan

Dalam budaya tradisional Bali dikenal adanya sebuah tradisi pementasan drama tari sakral Calonarang yang berintikan pada kisah pertarungan antara penganut ajaran ilmu kebajikan (white magic) dan ilmu kejahatan (black magic). Pementasan ini lazimnya berlangsung di suatu area dalam suatu wilayah desa, dari petang hingga melewati dini hari. Ada beberapa area yang lazim dijadikan sebagai seting lokasi beberapa segmen pementasan drama tari ini, yaitu area pempatan agung di pusat desa, area jaba sisi Pura Dalem, dan setra adat (kuburan desa). Drama ini ditarikan oleh sekelompok penari dan pelawak tradisional yang diiringi dengan alunan tabuh gamelan gong tradisional Bali. Cerita yang ditampilkan dipetik dari cerita Calonarang, Balian Basur, atau Ni Rimbit yang semuanya berintikan tentang cerita pertarungan antara para penyihir berilmu hitam (Bali: pangiwa) dan para pendeta beraliran ilmu putih (Bali: panengen) (Dwipayana dan Putra, 2004: 85).

Ada berbagai pola tradisi dalam pementasan drama tari ini di berbagai desa di Bali. Hal ini sangat berkaitan dengan karakter tata ruang desa, kesiapan tim seniman, alokasi waktu, dan tentunya tema cerita yang dipentaskan. Berkenaan dengan topik ini, tersebutlah Desa Getakan di wilayah Kabupaten Klungkung yang secara rutin mementaskan ritual pementasan Calonarang di pusat desa setiap tahunnya. Drama tari Calonarang di desa ini menjadi demikian terkenal ke seluruh pelosok Bali mengingat dalam pementasannya terdapat suatu segmen klimaks yang sangat langka, yaitu berupa kematian real seorang aktor yang jenazahnya kemudian diupacarai dan diperlakukan selayaknya mayat orang mati sesungguhnya. Jenazah tersebut selanjutnya dibawa oleh masyarakat

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 1

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali setempat ke setra adat menjelang tengah malam untuk benar-benar dikuburkan. Tradisi di Getakan ini memang terasa sangat unik jika dibandingkan dengan pola pementasan Calonarang di desa-desa lain di Bali yang pada umumnya tidak dilengkapi dengan segmen kematian real salah satu aktornya. Fenomena ini selanjutnya mendorong adanya keinginan untuk melakukan suatu penelitian tentang aspek keruangan dan budaya tradisi dalam drama tari bercorak magis di Getakan ini. Penelitian yang telah dilakukan adalah berupa kajian tentang muatan makna filosofis dalam tradisi dan seting pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan. Kajian disusun berdasarkan observasi langsung dan wawancara dengan beberapa pihak yang berperan dalam pementasan itu. Penelitian ini diawali dengan adanya studi pustaka berkenaan dengan cerita dan tradisi drama tari Calonarang yang ada di Bali.

Metode Penelitian

Makalah ini merupakan sebuah ringkasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan secara mandiri dalam dua tahun belakangan ini. Penelitian tersebut bertujuan menemukan landasan filosofis dari tradisi, pola aktivitas, dan tata ruang seting drama tari Calonarang yang dipentaskan di Desa Getakan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Kungkung, Propinsi Bali. Metode penelitian yang diterapkan secara garis besar terdiri atas dua macam metode utama, yaitu (1) metode pengumpulan data yang menerapkan metode observasi lapangan dan sebagai penonton partisipan, wawancara terhadap para narasumber terkait, serta studi pustaka tentang tradisi pementasan Calonarang itu sendiri; serta (2) metode analisis hasil yang secara umum menitikberatkan pada teknik analisis yang menerapkan metode hermeneutik atau penafsiran makna suatu wujud fenomena atau properti budaya. Dalam melakukan analisis dalam penelitian ini, ada beberapa macam pendekatan yang diterapkan, yaitu pendekatan filosofis, arsitektural, agama dan kepercayaan, mitos dan tradisi, morfologi, dan seni.

Deskripsi Umum tentang Drama Tari Calonarang di Bali

Drama tari Calonarang merupakan salah satu drama tari tradisional sakral bercorak Hindu yang dikenal dalam budaya Bali. Drama tari ini memuat cerita tentang pertempuran antara dharma (kebaikan) dan adharma (keburukan). Dalam pementasannya, Calonarang lazimnya menampilkan berbagai segmen peristiwa yang unik tetapi menegangkan, mengingat adegan demi adegan itu memang memuat berbagai unsur magis yang menjadikan drama tari ini menjadi demikian menarik dan berkarisma di mata para penontonnya. Kisah Calonarang sesungguhnya dipetik dari sebuah legenda yang berkembang sejak abad IX, ketika Raja Airlangga berkuasa di Kerajaan Kediri, Jawa Timur (Shastri, 1963: 50). Cerita ini demikian terkenal dan telah menjadi ilham berbagai wujud karya seni klasik di Bali.

Calonarang sendiri adalah nama seorang wanita sihir mahasakti yang telah lama menjanda. Dia dikenal juga dengan julukan Walu Nateng Dirah ('janda yang berkuasa di Dirah'). Sang janda memiliki seorang putri cantik yang telah lama melajang. Tidak ada seorang pemuda pun yang berani mempersuntingnya. Kekejaman ilmu hitam sang janda agaknya menjadi pemicu banyak pemuda berpikir ulang untuk melamar putri tunggal Calonarang itu. Kekecewaan yang terus menerus pada akhirnya mengobarkan api kemurkaan di hati Sang Walu Nateng Dirah. Bersama ketujuh murid ilmu hitamnya, dia pun memimpin ritual pemujaan kepada Bhatari Durga, memohon restu untuk dapat menjalankan ilmu hitam pengleakan berupa kematian masal dan wabah penyakit (Bali: grubug) bagi rakyat Kerajaan Kediri. Permohonan tersebut mendapat restu dari Ida Bhatari Durga, dalam sekejap rakyat pun menjadi banyak mati secara mendadak tanpa sebab musabab yang jelas atas ulah Calonarang bersama para pengikutnya. Seluruh pelosok Kerajaan Kediri diliputi perasaan was-was dan mencekam. Rakyat semakin ketakutan melihat wabah mematikan yang terus memakan korban setiap harinya. Kondisi ini selanjutnya mendorong patih kerajaan, Patih Taskara Maguna, menghadap dan melaporkan masalah besar yang sedang dihadapi kerajaan kepada Raja. Atas

2 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Nyoman Widya Paramadhyaksa perintah Prabu Airlangga yang berkuasa kala itu, maka diutuslah Patih Taskara Maguna bersama dua orang punakawannya menuju wilayah Dirah (Bandem dan Murgianto, 1996: 46). Dalam seting cerita di wilayah Dirah ini, sang patih dilukiskan menaik ke rumah menara (trajang) tempat hunian Sang Walu Nateng Dirah. Calonarang berhasil ditarik keluar untuk selanjutnya turun ke medan laga dalam wujud rangda. Pada bagian lain, Patih Taskara Maguna selanjutnya juga bersalin rupa menjadi banaspati raja atau sebagai sosok barong yang dikenal dalam seni pentas tari tradisional Bali saat ini. Keduanya pun terlibat pertempuran sengit yang sama kuat. Rangda sebagai simbolisasi kekuatan negatif (black magic) berhadapan dengan barong yang tidak lain adalah simbolisasi kekuatan positif (white magic). Pertarungan dua sosok dari dia kutub yang bertolak belakang ini adalah suatu gambaran fenomena universal yang berlaku di dunia. Kebaikan dan kejahatan akan selalu saling berdampingan dan saling berseteru sepanjang masa. Keduanya ada berbagai tingkatan alam semesta, di jagat raya, di berbagai lingkungan binaan, lingkungan sosial, hingga dalam diri masing-masing individu manusia juga. Dalam pementasan drama tari Calonarang, akhir cerita lazimnya akan menampilkan segmen pertarungan barong dan rangda yang tidak terselesaikan. Gambaran ini sedikit berbeda dengan cerita asli Walu Nateng Dirah yang berending pada kematian sang janda yang akhirnya diruwat oleh iparnya, seorang pendeta yang beraliran Siwa Buddha bernama Mpu Baradah (Suastika, 1997: 310). Dalam konteks pementasan, segmen akhir cerita memang sengaja agak dimodifikasi sedemikian rupa atas dasar tradisi dan tujuan tertentu yang bermuatan filosofis, agama, dan budaya.

Ditinjau dari aspek tata ruang dan seting pementasan, drama tari Calonarang lazimnya dipentaskan di beberapa area "panggung" pementasan, seperti di pusat desa (pempatan agung); di ruang terbuka di depan pura utama desa (umumnya Pura Dalem); serta di area sekitar pekuburan desa (setra) (Dibia, 1999: 39). Masing-masing area "panggung" ditata sedemikian rupa sesuai segmen cerita yang sedang digambarkan. Ada kalanya masing-masing segmen cerita dipentaskan secara terpisah di beberapa tempat sehingga menyebabkan para penonton pun ikut berpindah-pindah mengikuti alur cerita drama tari magis ini. Stage pentas utama lazimnya mudah dikenal dengan adanya sebentuk menara dari bahan bambu dan kayu yang bernama trajang. Pada area stage juga terdapat beberapa elemen seting populer untuk stage Calonarang seperti beberapa batang pohon pepaya, sanggah cucuk, dan gundukan-gundukan tanah sebagai gambaran tiruan area pekuburan.

Drama tari Calonarang dapat dipentaskan oleh masing-masing desa adat di Bali yang setidaknya memiliki properti pemujaan sakral berupa topeng rangda atau barong. Kedua benda yang disucikan warga desa ini lazimnya distanakan di suatu pura sebagai simbolisasi spirit positif penjaga desa yang bersangkutan. Ada berbagai prosesi ritual yang dilakukan masyarakat desa terhadap properti- properti sakral pada saat prapementasan hingga pascapementasan. Pascapementasan properti topeng-topeng sakral yang ditarikan itu pun akan kembali distanakan dalam bilik suci yang ada dalam sebuah pura utama di desa yang bersangkutan.

Pertunjukan drama tari Calonarang ada kalanya dilakukan setiap tahun di suatu wilayah desa. Ada kalanya pun dipentaskan pada hari khusus atas dasar adanya petunjuk dari alam niskala (gaib) yang diterima oleh pemuka agama di desa itu. Pertunjukan melibatkan banyak seniman tabuh, penari, pelawak, serta satu atau beberapa orang yang telah menyatakan bersedia berperan sebagai mayat (Bali: bangke-bangkean atau sawa) pada saat segmen peristiwa banyaknya warga mati terkena wabah di Kediri itu (Dibia, 1999: 38). Segmen ini merupakan segmen yang paling menarik sekaligus mendebarkan. Dalam beberapa pementasan Calonarang di Bali, pernah pula terjadi suatu peristiwa fatal berupa kematian, sakit mendadak yang dialami oleh para penari, utamanya si pemeran jenazah. Para penonton pun ada kalanya ikut mengalami trance pada saat pertunjukan ini berlangsung.

Pada masa sekarang, dikenal adanya dua tipe tema cerita yang dikenal dalam seni pementasan drama tari sakral ini. Tipe pertama dikenal dengan sebutan pementasan drama tari Calonarang, ada pun tipe yang kedua dikenal dengan nama pementasan drama tari Penyalonarangan. Kedua tipe pertunjukkan ini sama-sama bertemakan tentang pertarungan antara ilmu putih (kebajikan) dan ilmu hitam (kebatilan). Letak perbedaannya terdapat pada topik cerita yang diangkat sebagai sentral Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 3

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali cerita. Drama tari Calonarang mengambil topik cerita dari penggalan cerita legenda tokoh Calonarang, sang Walu Nateng Dirah. Adapun Drama tari Penyalonarangan adalah drama tari yang berkembang belakangan. Seni pentas ini mengambil materi utama cerita yang bersumber dari cerita- cerita yang bertema pertarungan ilmu putih dan ilmu hitam lainnya yang berkembang di Bali, seperti cerita Balian Batur, Basur, Dayu Datu, dan Ni Rimbit. Cerita-cerita ini sama sekali tidak berhubungan langsung dengan tokoh Calonarang dari Dirah yang terkenal itu.

Para penonton drama tari ini lazimnya berlatar berbagai usia dan gender. Mereka diwajibkan menonton secara tertib dengan mengenakan busana adat Bali. Para wanita yang sedang datang bulan (menstruasi) tidak diperkenankan untuk hadir dan ikut menonton drama tari sakral ini.

Karakteristik Tata Ruang Desa Getakan

Sebelum memahami gambaran pertunjukan drama tari Calonarang di Desa Getakan, ada baiknya dipaparkan dahulu gambaran ringkas tentang Desa Getakan dan tata ruangnya. Desa Getakan adalah nama sebuah desa tradisional Bali yang berdiri pada tahun 1856. Desa yang berlokasi di dalam wilayah Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung ini dikenal juga dengan nama Desa Pakraman Getakan. Desa pakraman ini merupakan sebuah desa bercorak kultur Hindu Bali yang mayoritas penduduknya adalah penganut agama Hindu yang taat. Dalam tradisi budaya di Getakan dikenal ada banyak macam ritual keagamaan dan adat yang tetap dijalankan secara turun temurun hingga saat ini.

Gambar 1. Lokasi Desa Getakan Gambar 2. Lokasi Stage dan Lima Pohon Beringin

Dalam wilayah Desa Getakan terdapat beberapa elemen keruangan dan bangunan khas milik desa- desa tradisional Bali seperti adanya Pura Kahyangan Tiga yang terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem; Pura Mrajapati; Pura Subak; setra adat; pempatan agung (Cathus Patha); ; dan bale banjar. Selain dari pada itu, di zona utama desa juga masih dapat dijumpai elemen tata ruang langka berupa empat batang pohon beringin besar yang dengan sengaja telah ditanam di utara, timur, selatan, dan tengah-tengah zona inti desa pada masa-masa awal berdirinya desa ini. Berkenaan dengan keberadaan empat pohon beringin ini, sesungguhnya masih ada sebatang lagi pohon beringin yang tumbuh di bagian barat desa sesuai dengan Konsepsi Panca Bingin („lima pohon beringin‟). Akan tetapi akibat termakan usia, pohon beringin di barat desa itu telah lama mati karena tumbang dengan sendirinya. Diperkirakan keempat beringin utama di zona utama desa itu telah berusia sekitar 150 tahun (Susana, 2016) (lihat gambar 2).

Relasi antara Desa Pakraman Getakan dan Kerajaan Klungkung

Berdasarkan data-data awal yang telah terangkum dapat dipaparkan bahwa Desa Pakraman Getakan dipastikan memiliki kaitan sejarah yang kuat dengan Kerajaan Gelgel yang merupakan kerajaan utama di Pulau Bali yang beribu kota di wilayah Kabupaten Klungkung ini. Hal ini setidaknya dapat ditelusuri berkat adanya artifak berupa sebuah topeng rangda sakral yang distanakan di Pura Dalem desa ini. Topeng rangda yang dikenal juga dengan nama Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung ini merupakan salah satu topeng rangda sakral yang dihadiahkan oleh pihak kerajaan kepada salah satu desa pakraman di wilayah Klungkung itu. Desa-desa lain yang juga memperoleh

4 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Nyoman Widya Paramadhyaksa hadiah topeng rangda sakral dari pihak kerajaan itu adalah Desa Gelgel, Desa Kamasan, dan Desa Penasan (Susana, 2017). Topeng rangda sakral ini diyakini telah disemayami oleh suatu kekuatan supranatural yang sangat tinggi. Pada hari-hari tertentu, topeng rangda Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung ini akan diupacarai dengan ritual khusus dalam perannya sebagai spirit protektor Desa Pakraman Getakan ini. Salah satu ritual yang rutin dijalankan berkenaan dengan pemuliaan topeng sakral ini adalah pada saat pementasan drama tari Calonarang yang dilakukan setiap tahun di desa ini.

Drama Tari Calonarang di Desa Getakan

Pementasan Calonarang ini memang dilakukan berdasarkan adanya petunjuk gaib (Bali: pawisik) yang diterima oleh pemuka agama setempat beberapa kali sejak tahun 2005 hingga tahun 2016. Petunjuk gaib tersebut pada intinya menitahkan agar Desa Getakan mengadakan pertunjukkan drama tari Calonarang setiap tahun. Dalam pementasan drama tari ini diwajibkan memuat segmen adegan bangke-bangkean yang berisikan peristiwa kematian real seorang suka relawan yang juga sudah ditetapkan melalui petunjuk gaib. Adegan ini pada dasarnya menggambarkan penggalan peristiwa kematian warga oleh wabah yang disebarkan Calonarang bersama murid-muridnya. Dalam pementasan drama tari Calonarang sebelumnya di Getakan, segmen adegan bangke-bangkean tidak berisikan adegan kematian real. Pemeran bangke-bangkean (jenazah si mati) lazimnya bukan berasal dari desa setempat dan hanya berperan pura-pura menjadi mayat di area sekitar stage pementasan. Setelah keluar dari wilayah stage pemeran mayat yang dibayar khusus itu akan bangun kembali dan turun dari keranda yang diusung warga. Model adegan segmen bangke-bangkean dalam drama tari Calonarang semacam ini sudah lazim berlaku di banyak tempat di Bali. Alasan keamanan dan keselamatan sang pemeran menjadi pertimbangan utama segmen adegan ini sengaja dijalankan tidak realistis. Para pemeran bangke-bangkean pun tentunya juga akan berpikir panjang sebelum menerima tawaran yang penuh resiko seperti ini.

Dalam pewisik yang diterima di Getakan, segmen adegan bangke-bangkean harus dilakoni oleh seorang warga setempat yang dikenal sebagai Dewa Aji Tapakan, yang terpilih sebanyak sebelas kali (2005-2016) (Nusa Bali edisi 16 Oktober 2016). Sang pemeran akan mengalami kematian sesungguhnya pascamelakukan ritual khusus di sebuah tempat suci bernama Pura Puser Sari pada awal pementasan. Jenazah selanjutnya akan diarak warga dan masuk ke dalam area stage. Di tempat ini, jenazah itu akan dimandikan dan diupacarai secara adat Hindu Bali selayaknya jenazah orang mati pada umumnya. Pascadimandikan, jenazah tersebut akan dibungkus dengan tikar pandan tradisional dan diikat erat dengan tali bambu. Jenazah selanjutnya dimasukkan dalam keranda dan diarak oleh warga menuju area pekuburan desa (setra). Di area setra ini, jenazah tersebut selanjutnya ditempatkan di atas tanah dan ditinggalkan hingga mendekati akhir pementasan drama tari itu. Model prosesi adegan bangke-bangkean seperti ini telah dilakukan sebanyak sepuluh kali dari tahun 2005 hingga 2015.

Dalam prapementasan kesebelas, diterima pawisik bahwa bangke-bangkean harus dikubur (Bali; mapendem) di setra selama beberapa lama hingga sesi akhir pementasan. Petunjuk gaib ini tentunya membuat warga semula menjadi was-was, bingung, dan ragu. Akan tetapi berlandaskan pada kepatuhan, keikhlasan, dan keyakinan yang tinggi pada Ida Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Mahaesa maka melalui pertemuan khusus selama berkali-kali akhirnya diputuskanlah bahwa pementasan drama tari Calonarang kesebelas ini tetap akan digelar di sekitar area Cathus Patha Banjar Getakan, sehari setelah pelaksanaan ritual Mamasar dan Mamungel, yaitu pada hari Rahina Buda Kliwon Pahang atau Rabu, tanggal 12 Oktober 2016. Pementasan dilakukan sekitar pukul 19:00-04:30 WITA dini hari. Drama tari Calonarang yang berjudul Geseng Waringin („Membakar Beringin‟) kali ini dipastikan sangat menarik perhatian masyarakat seluruh Bali berkat adanya segmen adegan bangke-bangkean sesungguhnya yang akan dikubur di area setra adat setempat.

Peristiwa langka berupa adegan tubuh pemeran bangke-bangkean yang dalam kondisi meninggal sesungguhnya dikubur selama sekitar empat jam di area setra adat benar-benar menjadi peristiwa yang sangat langka, berani, dan bersejarah. Tidak diragukan lagi, pada hari pementasan yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 5

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali ditunggu-tunggu itu, wilayah Desa Getakan menjadi area yang dipenuhi warga Bali dari berbagai pelosok, termasuk penulis sendiri bersama timnya. Rasa penasaran, takut, dan takjub menjadi alasan kuat kedatangan mereka menonton langsung drama tari Calonarang “edisi spesial” kali ini. Dalam pementasan drama tari Calonarang tahun 2016 ini telah dipersiapkan juga sebuah peti mati yang nantinya akan dipergunakan sebagai peti jenazah bangke-bangkean yang akan dikubur di dalam area setra adat pada tengah malam selama sekitar 4 jam. Peti jenazah itu memiliki ukuran panjang 2 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi 1,2 meter (lihat gambar 4).

Dalam drama tari Calonarang tersebut, bangke-bangkean atau watangan akan diupacarai secara tradisional layaknya orang meninggal sesungguhnya. Jenazah selanjutnya diarak warga dari area stage di depan wantilan Banjar Getakan ke arah selatan, tepatnya ke setra desa Getakan yang berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi stage. Di area setra ini, jenazah akan dikubur dalam peti mati selama 4 jam. Lewat dini hari, tepatnya pada hari Wraspati Umanis Pahang atau hari Kamis, tanggal 13 Oktober 2016. Ida Sesuhunan Tapakan Ratu Mas Klungkung dalam wujud real sebagai sebentuk topeng rangda yang dikenakan seorang pendeta utama akan berangkat ke setra adat untuk menjalankan prosesi menghidupkan kembali bangke-bangkean tersebut.

Secara garis besarnya dapat dipaparkan tentang urutan segmen-segmen adegan yang berlangsung dalam pementasan drama tari Calonarang ini berdasarkan waktu dan lokasinya sejak awal hingga akhir pementasan (19:00-04:30 WITA). Ada empat lokasi utama pementasan, yaitu Pura Puser Sari, bangunan wantilan Banjar Getakan, stage pementasan, dan setra adat Getakan.

Tabel 1. Segmen Peristiwa dalam Drama Tari Pementasan Calonarang di Desa Getakan

No. Waktu Mulai Segmen Lokasi 1. 20:00 Tari Pembukaan oleh tujuh penari wanita Stage 2. 20:30 Dialog humor para punakawan Stage 3. 21:45 Tarian Para pengikut Calonarang Stage 4. 22:00 Calonarang menari dan murka Stage 5. 23:00 Para pengikut Calonarang menyebar wabah di kerajaan Stage 6. 23:15 Pemeran bangke-bangkean “meninggal” Pura Puser Sari 7. 23:45 Jenazah bangke-bangkean dimandikan Stage 8. 00:00 Jenazah diarak ke setra dan dikebumikan Setra adat 9. 00:15 Patih Taskara Maguna menyerang kediaman Calonarang Tragtag dan Stage 10. 02:00 Pertarungan rangda dan barong Stage 11. 02:30 Pertarungan Calonarang dan Mpu Baradah Stage 12. 03:30 Calonarang berhasil dikalahkan oleh Mpu Baradah Setra adat 13. 04:00 Pemeran bangke-bangkean dihidupkan kembali Stage 14. 04:00 Pemeran bangke-bangkean bersama rangda kembali Stage 15. 04:30 Pementasan Drama Tari Calonarang berakhir Stage sumber: observasi, 2016

Gambar 3. Penggalian liang kubur Gambar 4. Persiapan peti mati Gambar 5. Tragtag setinggi 11 meter

Satu wujud elemen seting pementasan Calonarang di Desa Getakan yang juga langka adalah elemen tragtag atau trajang yang merupakan bangunan menara tempat hunian Calonarang. Bangunan menara ini wajib ada dalam setiap pementasan drama tari Calonarang. Dalam menara ini akan ditempatkan artifak topeng rangda sakral yang akan mulai dikenakan oleh penari pada saat 6 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

I Nyoman Widya Paramadhyaksa “kediaman” Sang Walu Nateng Dirah diusik Patih Taskara Maguna. Ada tradisi bahwa tragtag yang dibangun dalam pementasan Calonarang di Desa Getakan merupakan tragtag tertinggi di Bali. Tragtag di Getakan lazimnya dibangun berketinggian sekitar 11 meter (lihat gambar 5). Tragtag di Bali pada umumnya dibangun hanya berketinggian sekitar 3 meteran. Tragtag tertinggi di Bali ini dibangun sedemikian rupa berdasarkan tingkat sakralitas topeng rangda yang akan ditempatkan di dalamnya. Tragtag yang dibangun kurang tinggi, konon pernah menyebabkan masalah pada saat prosesi bangke-bangkean dihidupkan kembali di setra adat oleh Ida Sasuhunan Ratu Mas Klungkung.

Aspek Tangible dan Intangible Drama Tari Calonarang di Desa Getakan

Pada bagian berikut ini dipapartkan tentang gambaran aspek-aspek tangible dan intangible yang termuat dalam seni drama tari Calonarang di Desa Getakan.

1. Lokasi Pementasan di Zona Pusat Desa sebagai Lokasi Sumbu Kosmis Desa

Pementasan drama tari Calonarang dipusatkan di sebuah stage yang berlokasi di pusat desa, yaitu di area pempatan agung Desa Getakan. Di lokasi ini terdapat sebuah perempatan jalan utama desa dan sebatang pohon beringin tua yang disakralkan. Pempatan agung atau Cathus Patha dalam tatanan pengetahuan arsitektur tradisional Bali dimaknai sebagai titik pusat desa yang juga disetarakan dengan titik posisi sumbu kosmik desa, penghubung alam seluruh tingkatan alam semesta, baik itu alam bawah (sapta patala) maupun alam atas (sapta loka) (Bagus, 1986: 26). Dalam tradisi Hindu Bali, zona Pempatan Agung desa lazimnya dijadikan sebagai lokasi berbagai kegiatan ritual penyucian alam tingkat desa seperti pada Hari Raya Pangrupukan yang terjadi sehari sebelum Hari Raya Nyepi.

Dalam pementasan drama tari Calonarang di Desa Getakan juga termuat berbagai prosesi ritual kurban suci untuk penyucian dan keseimbangan alam yang ditujukan kepada bhuta kala („ruang‟ dan „waktu‟). Ritual kurban suci (Bali: pecaruan) ini dilakukan di titik pusat desa yang dikenal dengan nama pempatan agung itu (lihat gambar 8). Ruang-ruang pementasan dan segmen peristiwa cenderung tersebar, dan mudah terlarut sebagai bidang-bidang tidak berwujud pasti. Gambaran area pementasan yang seperti ini sangat sejalan dengan karakter ruang abstrak seperti yang dikemukakan oleh Ronald (2008: 261).

Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Tarian para pengikut Calonarang Tarian Ida Sasuhunan Ritual di pempatan agung

2. Makna tentang Kekuatan Pengorbanan dan Tebalnya Keyakinan Warga

Di samping mengandung muatan hiburan bagi masyarakat, pertunjukan drama tari Calonarang di Desa Getakan dengan segmen khusus berupa adegan pemeran bangke-bangkean yang benar-benar meninggal dan dikebumikan di setra adat desa juga memuat makna tentang pengorbanan suci yang didasarkan pada keyakinan yang tebal pada kemahakuasaan Tuhan Yang Mahaesa. Pengorbanan suci berupa kematian seorang tokoh manusia terpilih adalah bukti kuat bahwa masyarakat Desa Getakan memiliki keyakinan yang tinggi untuk memenuhi “ujian” pada kesetiaan dan keteguhan iman kepada Ida Sasuhunan sebagai spirit utama penjaga desa. Tanpa dasar keyakinan yang tinggi, segmen pengorbanan manusia “sementara” dalam drama tari ini tentunya tidak akan berani dilakukan meski mendapat petunjuk pewisik seperti itu (Aksara, 2016).

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017| 7

Pencarian Intisari Pesan Fundamental dalam Tradisi dan Seting Pementasan Calonarang di Desa Getakan, Klungkung, Bali 3. Makna tentang Upaya Penyeimbangan dan Penyucian Alam

Pementasan drama tari Calonarang juga memuat pesan fundamental yang kompleks, yaitu: a. Hormanisasi hubungan antarumat manusia dalam hal ini antara warga dan penonton umum, melalui pementasan seni hiburan tradisional bagi masyarakat umum. b. Harmonisasi hubungan manusia dan penyucian alam melalui prosesi ritual kurban di zona pusat desa. c. Harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa dalam manifestasiNya sebagai spirit penjaga desa, melalui adanya prosesi pengobanan manusia “sementara” sebagai bukti adanya keyakinan yang tinggi terhadap eksistensi kemahakuasaanNya. Ketiga komponen ini sesungguhnya sangat sejalan ajaran Tri Hita Karana yang merupakan salah satu konsepsi fundamental yang telah terwarisi secara turun temurun di Bali.

Simpulan

Berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan dan telaah makna fundamental yang termuat di dalamnya, maka tradisi pementasan drama tari Calonarang yang memuat segmen langka berupa kematian real tokoh pemeran bangke-bangkean itu memuat makna-makna filosofis sebagai berikut. 1. Makna penyucian dan keseimbangan seluruh tingkat alam semesta melalui ritual di titik sumbu kosmis desa, yaitu Pempatan Agung. 2. Makna tentang tingginya tingkatan pengorbanan dan tebalnya keyakinan warga kepada spirit penjaga wilayah desa sebagai suatu kekuatan manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. 3. Makna tentang adanya upaya penyeimbangan dan penyucian alam melalui penerapan konsepsi fundamental yang telah lama mentradisi dalam budaya Bali, yaitu Tri Hita Karana.

Daftar Pustaka

Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. (1996). Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bagus, I Gusti Ngurah. (1986). Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Bali: aspek arsitektur, cara pengobatan dan makanan ternak.Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirketorat Jenderal Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali. Dibia, Wayan. (1999). Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Dwipayana, A. A. G. N. Ari dan I Nyoman Darma Putra. (2004). Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post. Nusa Bali. (2016). “Bangkit Setelah Dikubur Selama 4 Jam, Dewa Aji Tapakan Akhiri Ngayah” dalam Harian Nusa Bali edisi 16 Oktober 2016. Ronald, Arya. 2008. Kekayaan & Kelenturan Arsitektur. Yogyakarta: Muhammadiyah University Press. Shastri, Narendra Dev Pandit. (1963). Sejarah Bali Dwipa. Jakarta: Bhuvana Saraswati. Suastika, I Made. (1997). Calon Arang dalam Tradisi Bali: suntingan teks, terjemahan, dan analisis proses pem- Bali-an. Jakarta: Duta Wacana University Press.

Narasumber: I Wayan Susana, 47 tahun. Banjar Losan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Diwawancarai tanggal 10 Oktober 2016 dan 27 Pebruari 2017.

I Wayan Aksara, 45 tahun. Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh Diwawancarai tanggal 11 Oktober 2016.

8 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017