Jam'iyyah Nahdlatul Ulama
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
KATA PENGANTAR RAIS SYURIYAH PCNU PONOROGO NU DAN BUDAYA OTOKRITIK Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bismillahirrahmanirrahim Tiada kata yang pantas terucap selain rasa syukur kepada Allah SWT., atas pertolongan-Nya, buku dengan judul Membaca dan Menggagas NU ke Depan: Senarai Pemikiran Orang Muda NU bisa terbit di hadapan sidang pembaca. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Litbang PCNU Ponorogo dan PC ISNU Ponorogo atas prakarsa dan kerja kerasnya menerbitkan buku Senarai Pemikiran ini. Buku ini diharapkan bisa menjadi awal perkembangan dan transformasi tradisi NU di Ponorogo, yakni dari tradisi oral ke tradisi tulis. Sebagaimana NU kaya akan tradisi, akan tetapi pembacaan terhadap tradisi tersebut tidak banyak didokumentasikan dalam bentuk buku. Padahal buku lebih memungkinkan untuk dibaca dan diapresiasi banyak kalangan, bahkan lintas generasi sekalipun. Inilah makna silsilah atau transmisi keilmuan yang tidak asing lagi bagi masyarakat NU. Membaca judul buku ini berikut topik-topik yang ditawarkan, buku ini bisa dinilai sebagai bentuk otokritik terhadap “kemapanan” tradisi NU di Ponorogo. Budaya otokritik sesungguhnya bukan hal yang asing, bahkan menggejala dalam tradisi agama dan keagamaan, serta organisasi keagamaan. Otokritik atau kritik internal dari pemeluk agama, atau penganut organisasi keagamaan mempunyai nilai yang sangat strategis. Otokritik adalah penanda kesadaran untuk bangkit dan maju sesuai dengan dinamika kemajuan zaman. Senyampang kritik tersebut tidak mengarah pada relativisme, atau bahkan nihilisme. Karena “menjadi maju” tidak bermakna meninggalkan v Membaca dan Menggagas NU ke Depan sama sekali tradisi dan nilai-nilai adiluhung, akan tetapi mengawinkan tradisi dengan semangat zaman. Tanpa ada perkawinan antara tradisi dan kemajuan zaman, justru organisasi ini akan ditanggalkan oleh para anggotanya. Bukankah NU mempunyai slogan al-muhafadah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah. Oleh karena itu, masyarakat NU Ponorogo tidak perlu “alergi” dengan otokritik. Ini karena NU, baik secara jam’iyyah maupun jama’ah, tidak boleh stagnan. Stagnasi NU terjadi bila tidak ada kritik yang bersifat internal dari para anggotanya. Perubahan-perubahan yang bersifat praktis biasanya bermula dari wacana, ide dan pemikiran. Bukankah banyak perubahan sosial terjadi karena gagasan besar seorang tokoh? NU sebagai kekuatan civil society juga menuntut peran-peran yang lebih berdaya bagi problematika sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio- politik. Sebagaimana kita tahu, kekuatan civil society mutlak diperlukan dalam konteks demokratisasi keindonesiaan. NU sebagai civil society yang berdaya merupakan sumbangsih bagi bangsa dan negara, yakni bagaimana NU bisa menelorkan aksi-aksi dan gerakan sosial kolektif sebagai refleksi terhadap problematika kekinian masyarakat, bangsa dan negara. Sejak awal, NU tidak lepas dari sejarah keindonesiaan, akan tetapi keterlibatan dan peran NU terhadap kepentingan bangsa dan negara harus selalu dikontekstualisasikan. Karenanya wawasan kritis terhadap peran tersebut mutlak diperlukan untuk menimbang peran-peran kekinian yang seharusnya dilakukan. Antologi tulisan dalan buku ini yang berasal dari para Sarjana NU diharapkan sebagai pengejawantahan dari apa yang disebut sebagai “intelektual organik NU”. Intelektual organik adalah para intelektual yang tidak berada di menara gading dan berbicara/menulis untuk kepentingan science for science, akan tetapi para intelektual NU yang berbicara/menulis untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat dalam bentuknya yang emansipatoris. Inilah yang disebut sebagai peran politik kerakyatan, dan bukan peran politik yang berorientasi pada kekuasaan. NU idealnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol terhadap kuasa negara yang cenderung abai terhadap kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di tangan para intelektual dan Sarjana NU, pada sisi yang lain, harapan bagi tetap berlabuhnya khittah NU. Khittah NU tidak saja bermakna pemisahan NU dan politik praktis, akan tetapi juga bermakna komitmen terhadap kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat lewat upaya-upaya vi Kata Pengantar yang bersifat kultural. Dakwah kultural inilah yang sampai sekarang dinilai masih sangat relevan. NU sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia memang seharusnya bisa memayungi semua kelompok. Sebaliknya keterlibatan secara vulgar dalam dunia politik praktis dikhawatirkan akan mengoyak keutuhan dan soliditas NU sebagai jam’iyyah maupun jama’ah. Buku yang hadir di hadapan pembaca ini, pada dasarnya mempunyai semangat sebagaimana kami sampaikan dalam paragraf-paragrafi di atas. Secara teknis buku ini kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa sub tema, yakni filosofi dan implementasi aswaja, pesantren dan pendidikan, pengembangan SDM dan ekonomi umat, politik, sosial, dan kekuasaan, pengembangan nalar fikih NU, dan terakhir NU dan media massa. Harapan kami kepada Litbang PCNU dan PC ISNU bisa secara istiqamah menerbitkan buku tentang NU sebagai otokritik yang bersifat internal dalam rentang waktu tertentu. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca buku ini. Letupan-letupan pemikiran dari para penulis buku ini tentang NU pantas untuk mendapatkan apresiasi dari sidang pembaca. Al-Hamdulillah Rabb al-‘Alamin, Wallah al-Muwaffiq Ila Aqwam al-Thariq. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Ponorogo, 5 Februari 2015 Drs. K.H. Imam Sayuti Farid, S.H., M.Si. vii KATA PENGANTAR KETUA LITBANG PCNU PONOROGO INSPIRASI UNTUK BERUBAH? ebelum menulis pengantar ini, saya teringat kritik tajam penulis dari Mojokerto, almarhum Hardjono WS, yang pernah berkata, “Ciri Sseorang manusia itu menulis, kalau tidak menulis bukanlah manusia.” Sebuah otokritik yang menarik jika kita renungkan kembali bagaimana hakikat ilmu dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Steven Covey, bahkan pernah berpesan berbau sarkasme begini, “Apa yang akan kau tinggalkan di antara kedua patok nisanmu?” Seorang kawan penyair dari Jombang, Sabrank Suparno bilang, “Penulis tak akan lenyap dari dunia, sebaliknya dunia bisa lenyap dalam diri penulis.” Ketiga tamsil inspiratif ini tentu sangat menarik direnungkan jika kita konsen pada pengembangan kebudayaan dan peradaban di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Warga NU “wajib” menulis karena ia akan menjadi wasilah kebudayaan sehingga akan abadi dalam kehidupan peradaban manusia. Jika seorang Muhammad Syafii Antonio [mulanya mualaf] mampu menuliskan Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW “The Super Leader Super Manager” (2010) berjumlam 8 jilid, maka pertanyaannya, “Bagaimana warga NU yang berpuluh tahun bergulat dengan latar belakang pendidikan Islam yang luar biasa tidak mampu menuliskannya?” Aroma kekaguman kepada Rasulullah Muhammad Saw, tentu mengikat kita untuk melakukan yang terbaik dalam membangun peradaban manusia. Alat bangun peradaban yang paling fundamental tentu terciptanya budaya sadar baca-tulis (budaya Sabtu = “sadar baca-tulis”). Dibandingkan banyak Negara di dunia barangkali Indonesia termasuk yang paling tertinggal. ix Membaca dan Menggagas NU ke Depan Tradisi kelisanan seperti gelombang samudera yang mendatangkan goncangan budaya (tsunami budaya) dalam masyarakat Indonesia mutakhir. Puluhan media televisi misalnya, sebagai representasi budaya lisan, memiliki pengakuan yang luar biasa sehingga rating acara talk show dari hari ke hari terus mengalami peningkatan yang signifikan. Disadari atau tidak, budaya lisan di Indonesia (kecuali pengajian) telah menghancurkan sendi-sendi peradaban. Tanpa adanya budaya tanding dengan lahirnya tradisi Sabtu misalnya, maka semakin hari dapat diperkirakan akibatnya. Buku Membaca dan Menggagas NU ke Depan ini hanyalah sebuah titik kecil dalam memimpikan bunga-bunga Sabtu yang diharapkan akan tumbuh ribuan bebunga indah di taman besar nan memesona bernama taman kehidupan NU. Taman memesona yang potensial dengan ribuan tunas berkualitas tetapi belum tersirami dan terpupuk secara maksimal. Penulis NU di kancah nasional memang tidak terhitung jumlahnya tetapi di kota tercinta [Ponorogo] yang mampu “berbicara”, belumlah memadai. Terlepas berbagai latar belakang, sesungguhnya ia merupakan tunas-tunas peradaban yang wajib dirawat, disirami, dicangkok, dan ditumbuhkan sehingga akan lahirlah pohon-pohon peradaban yang kokoh. Kokohnya pohon peradaban itu akan membangun hutan kepenulisan yang lebat sehingga menjadi paru-paru peradaban dan kebudayaan di Indonesia. Tengoklah kekaguman Muhammad Syafii Antonio dalam memberikan pengantar bukunya. “Mengkaji perjalanan hidup nabi Muhammad Saw bagaikan mengarungi samudera nan luas tak bertepi.” (2010:vii). Sebuah metafora yang indah. “Ibarat seorang penyelam yang mencari mutiara di samudera nan luas maka ia tidak akan pernah benar-benar mengarungi samudera tersebut sampai lengkap ke semua penjurunya. Kita mengira seolah sudah menjelajahi jauh ke berbagai pelosok padahal sesungguhnya kita baru bergerak tidak jauh dari pantai tempat perahu bertambat. Siapa pun yang mengkajinya pasti tidak akan lengkap. Seberapa pun, upaya yang dicurahkan pasti tidak akan sempurna.” Begitulah tambahnya di pengantar buku berseri itu. Pandangan demikian, tentu merupakan inspirasi indah bagi kita untuk terus berada di tepi pantai untuk memandang samudera besar peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Muhammad Saw kemudian mengarunginya dengan mental seorang pelaut ulung [bukankah nenek moyang kita adalah x Kata Pengantar bangsa pelaut? Hem.]. Ketika peradaban Islam dimulai dengan kelahiran beliau, berangsur-angsur Islam mengalami kejayaan, utamanya di zaman Bani Abbasiyah. Konon,