BANTEN Dalam RAGAM PERSPEKTIF Bunga Rampai Pemikiran Kritis ICMI Orwil Banten
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BANTEN dalam RAGAM PERSPEKTIF Bunga Rampai Pemikiran Kritis ICMI Orwil Banten Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). ii Prof. Dr. Lili Romli M.Si. dkk BANTEN dalam RAGAM PERSPEKTIF Bunga Rampai Pemikiran Kritis ICMI Orwil Banten Editor : Achmad Rozi El Eroy iii BANTEN DALAM RAGAM PERSPEKTIF (Bunga Rampai Pemikiran Kritis ICMI Orwil Banten) @Copyright, ICMI Orwil Banten, 2020 ISBN: 978-623-7908-12-8 Penulis Prof. Dr. Lili Romli, M.Si. dkk Editor Cover Achmad Rozi El Eroy Aan Anshori Diterbitkan oleh: ICMI ORWIL BANTEN Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak dan menyebarluaskan isi buku ini, baik secara sebagian maupun keseluruhan tanpa izin tertulis dari penerbit. All Right Reserved Cetakan pertama, Mei 2020 Isi diluar tanggungjawab Penerbit iv Catatan Editor PERSPEKTIF CENDEKIAWAN DALAM MEMAHAMI BANTEN Oleh: Achmad Rozi El Eroy Ketua Departemen Pendidikan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia ICMI Orwil Banten pa yang terpikirkan dalam benak Anda, ketika sekumpulan cendekiawan menumpahkan gagasan dan A pemikirannya dalam sebuah buku? Apakah mereka akan anarkis dan desdruktif? Atau mereka akan konstruktif dan solutif? Menjawab pertanyaan diatas, terlebih dahulu kita harus mengeksplorasi dan memahami apa sesungguhnya fungsi dari seorang cendekiawan? Dalam pandangan Antonio Gramsci (1891- 1937), istilah intelektual tidak hanya merujuk pada golongan masyarakat yang berada dalam lingkungan akademis. Tentu saja peneliti, pelajar, dan pekerja seni termasuk dalam golongan intelektual, yang disebutnya sebagai “organizer of culture”, namun pada saat yang sama, orang-orang yang bersifat fungsioner juga masuk dalam golongan intelektual. Masyarakat fungsioner yang dimaksud Gramsci adalah mereka yang bekerja di tingkat birokrasi, politisi, dan manajer industri. Golongan intelektual dibagi menjadi dua, yakni intelektual tradisional dan intelektual organik, yang ditempatkan pada dimensi horizontal dalam masyarakat. v Golongan intelektual organik tersebut, menurut Gramsci, memiliki peran untuk ‘berbicara’ dengan kelas pekerja untuk menumbuhkan kesadaran kelas dan memantik semangat pergerakan revolusioner. Hal tersebut akan lebih mudah dilakukan oleh intelektual organik daripada golongan intelektual di posisi vertikal karena mereka merupakan bagian dari masyarakat sipil yang tidak memiliki kepentingan kuasa atau politis. Gramsci yang dikenal sebagai seorang intelektual Marxis yang banyak memberi landasan pada perkembangan studi-studi Marxisme di bidang sosial dan budaya. Dalam banyak catatan penjaranya ia memberikan banyak ilham bagi para penulis untuk membaca fenomena-fenomena social. Bagi Gramsci, Intelektual organik, adalah intelektual yang dengan sadar dan mampu menghubungkan teori dan realitas sosial yang ada. Ia bergabung dengan kelompok-kelompok revolusioner untuk mendukung dan mengonter hegemoni pada sebuah transformasi yang direncanakan dalam mewujudkan masyarakat sosialis. Pendasaran yang paling progresif dari Antonio Gramsci adalah bahwa orang yang memiliki kesadaran intelektual organik adalah mereka yang mampu menjadi seorang organisator dalam perubahan atau penyadaran. Mereka ada untuk membangun kesadaran bahwa selama ini masyarakat sekitarnya telah terhegemoni dan tertindas. *** Berbeda dengan Gramsci, Edwar W Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian atau malah takut jabatannya akan tercopot demi sebuah tujuan menyatakan kebenaran dan mendukung kebenaran. Seorang cendekiawan, baik itu kalangan mahasiswa, politisi, dosen, bangsawan, atau apa pun namanya itu, menurut Edwar Said, vi tidaklah ia bebas nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak, yaitu kepada kelompok atau kaum lemah yang tertindas. Ia mengingatkan kita bahwa apabila kaum intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas, maka intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa, dan kehormatan. Sebab, ia oposisi terhadap kezaliman Edwar W Said lebih tegas mengatakan, “Intelektual adalah individu dengan pekerjaan menyampaikan secara nyeni. Apakah itu berbicara, menulis, mengajar, atau muncul di televisi. Dan pekerjaan itu penting pada tataran bahwa ia diakui publik dan mencakup sekaligus komitmen dan risiko keberanian dan kerawanan.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa seorang intelektual adalah "pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa." Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran pihak penguasa. Karena itu ia lebih cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa. Hidup seorang intelektual, menurut Said, pada hakikatnya adalah mengenai pengetahuan dan kebebasan. Pertanyaan dasar yang diajukannya adalah: "Bagaimana orang mengatakan kebenaran? Kebenaran apa? Bagi siapa dan di mana?" Intelektual tidak dapat menjadi milik siapa-siapa. Karena itu ia sering dianggap berbahaya. la boleh solider dengan kelompoknya, tetapi selalu dengan kritis. la, karena itu, mudah dicurigai, dicap tidak loyal. la pada hakikatnya berjuang sendirian. Berhadapan dengan khalayaknya ia pertama-tama tidak mampu membuat mereka puas, vii melainkan menantang mereka. Karena terlibat dengan kebenaran, ia justru tidak dapat menjual diri pada pihak mana pun. la harus menantang "ajaran ortodoks dan dogma", baik yang religius maupun yang politik. la harus berpihak pada kebenaran dan keadilan. Dan itu berarti, di antara orang ia tidak berpihak. “Kalau Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya secara selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihak Anda, di budaya Anda, di bangsa Anda.", begitu Edward W Said menegaskan. *** Buku yang ada ditangan pembaca ini, kalau kita merujuk pada pernyataan Edward W Said atau Antonio Gramsci, setidaknya menjadi sebuah instrument strategis dalam menjalankan peran sebagai seorang Intelektual. Terlebih buku ini ditulis oleh sekumpulan orang yang berada dalam sebuah wadah kecendekiawanan. Bagi seorang Intelektual, menyampaikan kebenaran dan kritik terhadap lingkungannya merupakan sebuah kewajiban yang tidak bias ditawar-tawar lagi, karena hal tersebut menjadi sebuah tugas dan peran yang memang harus dijalankan oleh seorang intelektual. Beragam isu dan topik yang diangkat dalam buku ini merupakan refleksi kritis intelektual Banten yang tergabung di ICMI Orwil Banten. Dalam buku ini telah dengan cerdas para penulis memotret dan mengangkat berbagai permasalahan yang terjadi, baik dalam konteks structural maupun kultural. Dan ini menjadi sebuah pemantik bagi diskusi yang sehat ditengah-tengah kelangkaan forum diskusi antar intelektual. Buku ini, secara khusus kalau kita bedah secara anatomi, isinya lebih banyak mengangkat persoalan ekonomi, sosial, viii budaya, dan pendidikan. Kalau kita mau jujur, Isu-isu tersebut memang menjadi isu yang seksi untuk didiskusikan dan diangkat kepermukaan sehingga merangsang terjadinya dialektika yang sehat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, tentang Isu yang menghangat akhir-akhir ini, yaitu tentang Bank Banten. Ada dua penulis yang secara khusus membedah persoalan yang terjadi di Bank Banten, dan secara umum kedua penulis memiliki perspektif yang hampir sama yaitu mempertanyakan komitmen Pemerintah Daerah terkait penyelesaian Bank Banten. Dalam konteks kesejarahan Banten, secara apik telah di potret oleh Fadhulullah dan Mufti Ali melalui tulisan yang sangat renyah untuk dibaca, membawa kita pada suasana kebatinan yang kuat dengan masa lalu Banten dan pergerakan tokoh Banten saat itu. Begitu juga dalam konteks Pendidikan, terhitung ada lima penulis yang secara serius membedah persoalan kependidikan melalui perspektif yang beragam. Dan isu-isu lainnya yang sangat kental dengan semangat keBantenan juga tidak luput dalam bidikan penulis untuk diangkat, yaitu tentang isu Banten dan Kemaritiman, yang ditulis oleh Agung Sudrajat dan Tubagus Najib. Kemudian tulisan tentang Kepemimpinan Banten, Dari sekian penulis yang berkontribusi dalam buku ini, apresiasi tinggi patut diberikan kepada penulis-penulis muda yang dengan gaya “santuy” nya mengupas beberapa isu secara natural. Sebut saja, Syamsul Hidayat, Atih Ardiansyah, Tri Ilma Septiana, Nurdin Sibaweh dan Muhammad Fikri. Dengan latarbelakang keilmuan dan pengalaman yang dimiliki, menambah warna dan menjadi kekuatan buku ini untuk dilahap. Dan buku ini ditutup dengan sebuah tulisan yang “menampar” bagi kita semua, manakala Atih Ardiansyah dengan lugasnya menyentil tentang komitmen kita terhadap Kampung dan Dosa Kaum Cendekia. ix Beberapa artikel lainnya juga tidak kalah menarik untuk dibaca