USAHA SULTAN AGENG TIRTAYASA DALAM

MEMBANGUN EKONOMI BANTEN ABAD XVII M

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab Dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Disusun Oleh: KARMA (1110022000009)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2017 M

i

USAHA SULTAN AGENG TIRTAYASA DALAM MEMBANGUN

EKONOMI BANTEN ABAD XVII M

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab Dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Oleh : Karma (1110022000009)

Pembimbing

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA NIP. 19590203 198903 1 003

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/ 2017 M

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul USAHA SULTAN AGENG TIRTAYASA DALAM MEMBANGUN EKONOMI BANTEN ABAD XVII M telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada studi Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Jakarta, 25 April 2017 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Nurhasan, MA Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd NIP. 19690724 199703 1 001 NIP. 19750417 200501 2007 Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Abdul , MA Dr. Parlindungan Siregar, MA NIP. 19560817 198603 1 006 NIP. 19590115 199403 1 002

Pembimbing

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA NIP. 19590203 198903 1 003

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil dari karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 April 2016

Karma

iv

ABSTRAK

Karma

Judul : Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam Membangun Ekonomi Banten Abad XVII M

Studi ini mengkaji tentang Usaha Sultan Ageng Tirayasa dalam membangun ekonomi yang menyangkut perdagangan dan pertanian di Banten melalui metode kualitatif-deskriptif. Adapun data yang digunakan adalah data sekunder berupa kajian pustaka ( buku, jurnal, artikel, dan web site) dengan pendekatan politik dan ekonomi. Metode analisis story research dengan eksplanasi deskriptif.

Studi ini ingin menjelaskan perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun prekonomian Banten. Menurut Penelaahan Penulis, temuan skripsi ini menjelaskan ada dua bidang penting yang menjadi perhatian dalam bidang ekonomi yaitu bidang perdagangan dan pertanian.

Kata Kunci: Pembangunan Ekonomi Bidang Perdagangan, Bidang Pertanian,

Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten.

v

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmanirahim

Alhamdulillah, puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat, hidayah, dan rahmat yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang fana ini.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan kita para pengikutnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam

Membangun Ekonomi Banten Abad XVII M”. Berkat kekuatan yang diberikan oleh Allah yang maha Rahman, Rahim, dan Alim skripsi ini bisa terselesaikan. Usaha yang maksimalpun telah penulis lakukan untuk menyelesaikan tugas akhir di Program Sarjana (S1) Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Dalam menyelesaikan Skripsi ini, tentunya banyak sekali bantuan yang penulis dapatkan dari berbagai pihak, baik itu dukungan materil, maupun non materil. Sebab itu sepantasnya penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada beliau semua atas bantuannya, terutama kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada M.A, selaku Rektor Universitas Negeri Jakarta

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab Dan

Humaniora Universitas Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam,

Fakultas Adab Dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

vi

4. Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah Dan

Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada

mahasiswanya dengan baik.

5. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi, yang

memberikan kontribusi besar dalam membimbing penulisan Skripsi ini,

dengan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam

membimbing, sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini berjalan dengan

baik.

6. Dr. Saidun Derani, M.A. Selaku Dosen Penasihat Akademik yang

memberikan kontribusi dalam penulisan Skripsi yang memberikan

motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan dengan baik. Kemudian

katerlibatannya dalam pemberian rujukan sumber-sumber skripsi, Serta

memberikan arahan dan motivasi yang luar biasa kepada penulis.

7. Seluruh dosen Fakultas Adab Dan Humaniora, yang telah memberikan

ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis.

8. Seluruh Staf Akdemik Fakultas Adab Dan Humaniora.

9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama dan Fakultas Adab Dan

Humaniora yang telah menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan

skripsi ini.

10. Orang tua tercinta; ayahanda Nurhasan dan ibunda Kartini. Terimakasih

yang tulus, rasa ta‟dzim dan hormat penulis haturkan atas kesabaran,

nasihat dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini wujud „bangga‟

vii

untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah selalu memberikan

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien..

11. Tidak lupa, kepada Adik (Egy, Kardi dan Arfin), ponakan. Penulis banyak

mengucapkan terimaksih atas dukungan hingga selesainya penyususnan

skripsi ini.

12. Teman-teman SKI seperjuangan angkatan 2010 yang tidak dapat penulis

sebutkan namanya satu-persatu. Selama ini telah bersama menorehkan

kenangan terindah yang tidak akan terlupakan oleh penulis. Semoga

kebaikan-kebaikan yang telah mereka berikan dapat bermanfaat dan

mendapatkan balasan serta limpahan dari Allah SWT.

Semoga semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Sebagai akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 02 Februari 2017

Karma

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...... iv

ABSTRAK ...... v

KATA PENGANTAR ...... vi

DAFTAR ISI ...... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 4 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 4 1. Pembatasan Masalah ...... 4 2. Rumusan Masalah ...... 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 5 E. Tinjauan Pustaka ...... 6 F. Metode Penelitian ...... 9 G. Sistematika Penulisan ...... 11

BAB II GAMBARAN UMUM KESULTANAN BANTEN A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Banten ...... 13 B. Perkembangan Kesultanan Banten ...... 14

BAB III BIOGRAFI SULTAN AGENG TIRTAYASA A. Biografi Sultan Ageng Tirtayasa ...... 22 B. Masa Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa ...... 25

ix

BAB IV USAHA SULTAN AGENG TIRTAYASA DALAM MEMBANGUN EKONOMI BANTEN ABAD XVII A. Bidang Perdagangan ...... 35 1. Sistem Perdagangan Bebas ...... 37 2. Pengembangan Pelayaran dan Perdagangan ...... 39 3. Penerapan Pajak ...... 42 B. Bidang Pertanian ...... 46 1. Pengembangan Sumber Daya Pengairan/ Sistem Irigasi dan Pertanian ...... 48 2. Pengembangan Tanaman Lada dan Kelapa di Banten dan Daerah Kekuasaannya ...... 52 3. Hasil Pertanian ...... 55 a. Beras ...... 55 b. Lada dan Kelapa ...... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 59 B. Saran ...... 60 Daftar Pustaka Lampiran-lampiran

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada abad ke-16 Banten sudah menjadi tempat perdagangan internasional.

Keberadaannya memiliki letak yang sangat strategis sebagai wilayah maritim,

ditambah Banten memiliki hasil alam yang melimpah, maka tidak hayal jika

banyak para pedagang berdatangan dari berbagai penjuru Nusantara dan luar

Nusantara. Hal ini bisa kita lihat dari para pedagang yang datang dari berbagai

negara ke Banten di antaranya: Persia, Gujarat, Malabar, Keling, Pegu, Melayu,

China, Turki, Arab, Abesinia, dan Portugis.1

Berdasarkan catatan Tome Pires, yang pada tahun 1513 mengunjungi

pelabuhan Banten, Banten adalah pelabuhan kedua terpenting setelah Sunda

Kelapa. Salah satu hasil alamnya adalah pengekspor beras dan lada sehingga kita

bisa mengetahui dari catatan Barbose yang menyebutkan bahwa dari pelabuhan

Banten tiap tahunnya telah diekspor lada sebanyak seribu bahar.2

Peranan Banten sebagai kota niaga mulai maju setelah penguasa Islam

berdiri. Pada awalnya pusat pemerintahan berada di Banten Girang. Setelah

Banten Girang dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka pada tanggal 1 Muharam

933 H atau bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 pusat Kesultanan pun

dipindahkan dari daerah pedalaman ke daerah pesisir yaitu Surosowan3. Ini karena

1 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Perdaban Abad X-XVII, terj, (Jakarta: KPG, 2008), hal. 155. 2 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi : Ekpor-Impor di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Serang, 1989), hal. 7. 3 Halwany Michrob dan Khudhari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 2011), hal. 66.

1 2

perintah Sunan Gunung Jati kepada anaknya yaitu Maulana Hasanudin. Dalam perspektif ekonomi, pelabuhan Banten merupakan urat nadi pelayaran dan perdagangan di bagian selatan dan barat yang lebih mudah dikembangkan sebagai bandar pusat perdagangan.

Dalam perkembangannya Kesultanan Banten semakin maju baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, maupun perdagangan. Pada awal abad ke-17 M, Banten merupakan salah satu tempat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Jalur perdagangan ini tidak hanya dari wilayah Asia, melainkan juga dari belahan Eropa yang terdiri atas Inggris,

Denmark, Prancis, dan Belanda4. Hal ini karena ditunjang dengan tata administrasi modern pemerintahan dan ke Pelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat.

Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang

Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di

Banten dan disusul oleh orang Belanda. Selain itu, orang-orang Prancis dan

Denmark pun pernah datang ke Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten

(1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan

Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda.

Sultan Abufath Abdulfattah atau yang lebih dikenal dengan Sultan Ageng

Tirtayasa (1651-1682), ahli strategi perang, berhasil membina mental para prajurit

Banten dengan cara mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, Makassar,

4 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Perdaban Abad X-XVII, terj, hal. 155. 3

dan daerah lainnya5. Perhatiannya yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam juga mendorong pesatnya kemajuan agama Islam selama pemerintahannya.

Upaya yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun perekonomian Banten yaitu membuka perdagangan bebas6. Hal ini membuat berhasilnya menarik perdagangan bangsa Eropa seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis yang notabenenya merupakan pesaing berat VOC (Vereenigde

Oostindische Compagnie). Strategi ini bukan hanya berhasil memulihkan perdagangan Banten namun sekaligus memecah konflik politik menjadi persaingan perdagangan antar bangsa-bangsa Eropa.

Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa gigih berupaya memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Periangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram yang telah masuk sejak awal abad ke-17. Selain itu, untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini memiliki sisi yang menarik. Hal ini didasarkan pada penulisan sejarah Banten yang kebanyakan mengungkap dari aspek politik, yaitu prestasinya terhadap perluasan wilayah kekuasaan. Sedangkan penulisan tentang sejarah ekonomi belum mendapatkan porsi yang cukup banyak untuk dijadikan bahan pengetahuan. Di samping itu, belum begitu banyak tulisan yang secara spesifik membicarakan tentang perekonomian Banten pada masa

5 Nina H.Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 47. 6 Uka Tjadrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtayasa, (Jakarta: Kebudayaan Nusalarang, 1967), hal. 8.

4

Sultan Ageng Tirtayasa sebagai masa kejayaan Kesultanan Banten. Hal menarik

dan perlu diungkap dalam penelitian ini adalah tentang langkah-langkah dalam

membangun ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah selama kurun waktu

1651 sampai 1682. Langkah-langkah tersebut sangat penting untuk mengatur

perkembangan perekonomian Kesultanan Banten yang pada saat itu dibarengi

dengan banyaknya peperangan yang terjadi karena persaingan politik maupun

ekonomi dengan bangsa Barat, terutama Belanda yang mendirikan VOC di

Batavia.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah di atas, terdapat

sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi di antaranya.

1. Bidang perdagangan

2. Bidang pertanian

3. Bidang politik

4. Kebijakan fiskal

5. Implementasi kebijakan ekonomi

6. Pendorong dan penghambat kebijakan ekonomi

7. Dampak terhadap ekonomi

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya fenomena sebagaimana tersebut pada identifikasi

masalah di atas, maka penulis batasi sesuai dengan judul studi ini diantarnya: 5

1. Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi bidang

perdagangan

2. Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi bidang

pertanian

2. Perumusan Masalah

Sejalan dengan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi

bidang perdagangan?

2. Bagaimana Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi

bidang pertanian?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh jawaban dari permasalahan

yang dipaparkan dalam rumusan masalah di atas. Tujuan dari penelitian ini

adalah:

a. Ingin menjelaskan Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun

ekonomi bidang perdagangan.

b. Ingin menjelaskan Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun

ekonomi bidang pertanian.

6

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan manfaat bagi penulis dan para pecinta sejarah untuk lebih

mengetahui dan memahami sejarah perkembangan kesultanan Banten,

khususnya pada masa Sultan Ageng Tirtayasa di bidang ekonomi.

b. Sebagai bahan kajian kepustakaan (Library Research) di lingkungan

mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

khususnya Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam.

c. Semoga bisa menjadi cerminan bagi masyarakat dan pemerintah Banten

atas perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh terdahulu terutama dalam

membangun prekonomian yang lebih baik.

d. Diharapkan bagi masyarakat Banten untuk lebih mengenal sejarah

kesultanan Banten, khususnya pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.

Sehingga dapat melestarikan peninggalan dan meneruskan perjuangan

kesultanan Banten.

e. Semoga menjadi perhatian bagi pemerintah Banten untuk terus merawat,

melestarikan dan memperkenalkan sejarah kesultanan Banten, khususnya

pada masa Sultan Ageng Tirtayasa di bidang ekonomi.

E. Tinjauan Pustaka

Dari hasil penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa buku yang

membahas tentang Banten. Beberapa buku tersebut menjadi tinjauan pustaka

dalam penulisan ini di antaranya: 7

1. Buku karya Uka Tjandrasasmita,” Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan

Ageng Tirtayasa”7. Buku ini menjelaskan tentang biografi Sultan Ageng

Tirtayasa tetapi hanya sepintas, selain itu juga memuat uraian tentang usaha

Sultan Ageng Tirtayasa dalam mempertahankan kesultanan Banten dari

kehendak Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di Banten terutama

perdagangan rempah-rempah. Usaha tersebut di warnai dengan berbagai

macam konflik yang mengakibatkan adanya peperangan antara pihak Sultan

Ageng Tirtayasa dan pihak Kompeni Belanda. Untuk meredakan peperangan

tersebut sering kali mengadakan perjanjian perdamaian tetapi tidak pernah

menemukan titik temu, ini semua disebabkan karena bertolak belakang antara

kedua belah pihak. Pihak Sultan Ageng Tirtayasa menganut sistem

perdagangan bebas, sedangkan Belanda ingin memonopoli perdagangan

Banten sehingga Belanda menganggap Sultan sebagai musuhnya.

Akhir dari perjuangan tersebut mengalami kegagalan karena kelicikan

kompeni Belanda yang mengadu domba Sultan Ageng Tirtayasa yang diakhiri

dengan peperangan antara anak dan ayah. Peperangan tersebut sebenarnya

dimenangkan oleh pihak Sultan Ageng Tirtayasa. Tetapi karena Sultan Haji

meminta bantuan Kompeni Belanda akhirnya peperangan tersebut

dimenangkan oleh Sultan Haji. Dan sehubungan dengan kemenangan tersebut

mengakhiri kekuasaan Banten.

2. Buku karya Claude Guillot,” Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII”8.

Secara umum, buku ini “membicarakan tiga topik utama, yaitu Banten sebelum

7 Uka Tjadrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtayasa, (Jakarta: Kebudayaan Nusalarang, 1967). 8 Claude Guillot, Banten sejarah dan peradaban abad X-XVII. terj (Jakarta: KPG, 2008).

8

kedatangan Islam, komponen-komponen dari masyarakat Banten zaman Islam melalui tata perkotaan, perjuangan-perjuangan merebut kekuasaan dan terikatnya Banten pada dunia agraris, dan yang terakhir hubungan Banten dengan pihak-pihak asing.

Bagian Pertama dalam artikel ini menguraikan sejarah kuno Banten sebelum kedatangan Islam, yang menyebutkan bahwa pusat ibu kotanya masih di

Banten Girang, sepuluh kilometer dari Laut Jawa di hulu Sungai Cibanten. Hal ini terungkap berdasarkan hasil penggalian arkeologi selama empat tahun

(1988-1992) di situs Banten Girang.

Bagian kedua, bagian ini menguraikan “aspek-aspek sejarah kemasyarakatan dan peradaban Banten pada zaman Islam. Di sini dibahas aspek tata kota, orang Keling, orang Tionghoa penghasil gula, politik produksi pangan, serta perjuangan masyarakat Banten merebut kekuasaan.”

Bagian ketiga menguraikan hubungan Banten dengan pihak asing. Pada bagian ini terdapat kisah Kiyai Ngabehi Cakradana sebagai seorang ”arsitek” pembangunan dari abad ke-17 di Banten, yang namanya kerap disebut oleh para pendatang Eropa yang singgah dan berniaga di Banten pada masa itu. Dari berbagai sumber diketahui jika Kiyai Ngabehi Cakradana mengawali karirnya dari seorang “Touckan Bessi” (Tukang Besi), Syahbandar, dan seorang keturunan China yang beragama Islam. Kemudian ”cerita” dua orang Eropa yang pernah tinggal di Banten, Jean-Baptiste de Guilhen seorang pedagang asal

Prancis dan Scott, warga Inggris yang bertugas untuk kompeni Inggris di

Hindia Timur dan tinggal di Banten selama dua tahun (1603-1605). Bagian ketiga ini ditutup dengan tulisan mengenai citra Banten yang muncul dalam 9

kesusastraan Inggris, Perancis dan Belanda. Misalnya dalam The Alchemist

(1610) karya B Jonson, The Court of the King of Bantam (1689) karya Aphra

Ben, La Princesse de (1739) karya Madeleine de Gomez, lalu Agon,

Sulthan van Bantam (1769) karya Onno Zwier van Haren.

3. Selanjutnya buku karya Halwany Michrob,” Catatan Sejarah dan Arkeologi:

Ekpor-Impor di Zaman Kesultanan Banten”9. Buku ini menjelaskan bahwa

kesultanan Banten mengalami perkembangan dalam berbagi aspek kehidupan

terutama perdagangan. Ini dimulai ketika Banten sudah dikuasai oleh islam dan

pusat pemerintahan sudah di pindahkan ke Surosowan yang sebelumnya di

Banten Girang. Berdasarkan data arkeologi Banten sudah mengimpor barang-

barang industri, seperti alat dapur, kecantikan dan peralatan persenjataan

seperti Meriam, mesiu, industri logam, industri besi dan perunggu.

Pengimporan meriam ini mulai berkembang sekitar abad XVII terutama pada

masa Sultan Ageng Tirtayasa. Sedangkan Banten banyak mengekspor rempah-

rempah, seperti lada, cengkeh, dan pala. Selain yang sudah di sebutkan di

Banten juga menjual beras, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Dari beberapa judul buku yang telah diuraikan di atas, secara keseluruhan

pembahasan mereka mengenai Banten. Akan tetapi, dari semua uraian tersebut

hanya sedikit sekali yang menguraikan tentang perjuangan Sultan Ageng

Tirtayasa dalam membangun ekonomi. Maka dari itu penulis mencoba menulis

skripsi ini dengan judul “Usaha Sultan Ageng Tirayasa dalam Membangun

Ekonomi Banten Abad XVII M”, sehingga hal ini menjadi pembeda antara

skripsi penulis dengan pembahasan buku sebelumnya.

9 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi : Ekpor-Impor di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Serang, 1989).

10

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode diantaranya:

1. Heuristik

Heuristik adalah suatu tahap pengumpulan sumber, baik itu tertulis

maupun lisan untuk kelengkapan penelitian.10 Maka dalam hal ini, peneliti

mengumpulkan data-data sebagai bahan penulisan dan melakukan penelitian

(Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan

dengan tema dalam skripsi penulis. Sumber-sumber ini dapat berbentuk buku,

jurnal, artikel, koran, dan sebagainya. Dalam upaya mendapatkan bahan-bahan

tersebut, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan

Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Adab dan Humaniora, Perpustakaan IAIN Serang Banten, Perpustakaan daerah

Banten dan Lembaga Arkeologi Nasional.

Selain melakukan penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan

search online dengan mengunjungi American Corner di Perpustakaan Utama

Universitas Islam Negeri Jakarta, google cendikia, guna mendapatkan jurnal-

jurnal sebagai sumber rujukan online.

2. Verifikasi

Merupakan tahapan analisis data dengan mengadakan kritik terhadap

sumber-sumber yang ada, baik itu dari sumber primer, sekunder dan bahkan

dari sumber elektronik guna mencari sumber yang valid dan relevan dengan

tema yang dikaji. Untuk menghasilkan sumber yang valid dan relevan maka

diadakan kritik Internal dan Eksternal. Kritik internal memiliki tujuan untuk

10 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, ( Jakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 23. 11

melihat dan meneliti kebenaran isi sumber yang meliputi kritik terhadap isi,

bahasa, situasi, gaya maupun ide. Kritik tersebut dilakukan dengan cara

menelaah dan membandingkan antara data satu dengan data lainnya, supaya

diperoleh data yang kredibel dan akurat. Adapun kritik eksternal bertujuan

untuk mengetahui keaslian sumber yang meliputi penelitian terhadap bentuk

sumber, tanggal, waktu pembuatan dan identitas pembuat sumber.

3. Interpretasi

Penulis akan memberikan penafsiran terhadap sumber yang sudah

didapat dan melihat fakta-fakta yang peneliti dapatkan dari pengumpulan data

dan kritik sumber, sehingga memperoleh pemecahan atas masalah tersebut.

Kemudian menuliskan fakta-fakta tersebut dengan sistematis.

4. Historiografi

Fase terakhir dalam metode ini adalah historiografi merupakan cara

penulisan, pemaparan atau laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan

secara baik dan sistematis. Tahap ini adalah rangkaian dari keseluruhan dari

teknik metode pembahasan. Di mana semua fakta, data dan opini dari segala

sumber dituangkan dalam penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab yang disusun secara

kronologis dan saling berkaitan.

Pertama adalah Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan sistematika penulisan. 12

Kedua, Gambaran umum Kesultanan Banten abad XVII yaitu,

Perkembangan Kesultanan Banten

Ketiga, Biografi Sultan Ageng Tirtayasa, yang meliputi Biografi Sultan

Ageng Tirtayasa dan Masa Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa.

Keempat, Usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi

Banten abad XVII yang terdiri dari : 1. Bidang perdagangan yang meliputi Sistem perdagangan bebas, Perluasan pelayaran dan penerapan pajak 2. Bidang pertanian yang meliputi mengembangkan sumber daya pengairan dan pertanian, mengembangkan tanaman kelapa dan lada, serta hasil pertanian.

Kelima, Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan disertai saran-saran.

BAB II

GAMBARAN UMUM KESULTANAN BANTEN

A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Banten

Berdasarkan beberapa sumber mengatakan bahwa kata “Banten” sering

dikaitkan dengan dua kata, yaitu (1). Wahanten, nama kota lama yang terletak

agak ke pedalaman; (2). Bantahan, berarti suka membantah, memberontak, yang

dikaitkan dengan sejarah daerah ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan

atau memberontak terhadap penjajah (Belanda).1

Sebelum berdiri sebagai pusat kekuasaan islam, Banten adalah pelabuhan

dagang di bawah kekuasaan Pajajaran. Sebagaimana kesaksian dari dari Tome

Pires yang pada tahun 1513 mengunjungi Banten dan mengatakan bahwa Banten

sebagai salah satu pelabuhan yang belum islam dan merupakan salah satu

pelabuhan Kerajaan Sunda.2

Sejarah berdirinya Banten tidak bisa lepas dari peranan Syarif

Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yaitu ketika 1526 M. memerintahkan

menantunya Fadilah Khan (Fatahillah) bersama-sama pangeran Cirebon – kakak

ipar Fatahillah – serta dipati Keling untuk memimpin pasukan gabungan Demak –

Cirebon dalam usaha melakukan pendudukan pelabuhan Banten. Setelah tentara

gabungan Demak – Cirebon berlabuh di pelabuhan Banten, mereka mendapat

sambutan dari pangeran Seba Kingkin beserta pengikut-pengikutnya. Kemudian

mereka menggabungkan diri membantu pasukan Fatahillah berperang melawan

prajurit-prajurit Banten untuk menguasai dan mengislamkan penduduk. Akhirnya

1 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal.25 2 , Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hal. 79

13 14

tentara Banten menyerah, Bupati Banten beserta panglima-panglimanya lari ke

arah timur menuju ibu kota Pakuan Pajajaran, sedang para pembesar yang

tertinggal beserta rakyatnya menyerah dan menyatakan diri masuk islam.3

Setelah Fatahillah menguasai Sunda Kelapa pada tahun 1527, penyebaran

agama islam di Banten dan sekitarnya secara intensif dilakukan oleh pangeran

Seba kingkin yang diangkat sebagai penguasa daerah Banten sebagai wakil

ayahnya (Sunan Gunung Jati) dengan gelar pangeran Hasanuddin. Pada tahun

1552 Hasanuddin diangkat sebagai Sultan di bawah pengawasan ayahnya, dan

pada tahun 1568 M, dinobatkan sebagai sultan yang berdaulat penuh.4

Dalam tradisi Banten sebagaimana tertulis dalam Sadjarah Banten,

Hasanuddin dianggap sebagai pendiri kerajaan Banten. Sunan Gunung Jati lebih

dipandang sebagai ayah yang membimbing puteranya hingga sanggup mendirikan

sebuah kerajaan yang berdiri sendiri. Hal ini terlihat dalam silsilah Sultan Banten

yang selalu di awali dengan nama Maulana Hasanuddin sebagai pendiri

Kesultanan Banten.5

B. Perkembangan Kesultanan Banten

Perkembangan Banten diawali dengan pemindahan pusat pemerintahan

yang semula berada di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan).

Pada tahun 1552 M Maulana Hasanuddin memproklamirkan Banten sebagai

3 Ringkasan Hasil Penelitian Dasar IAIN 1985 (Departemen Agama R.I Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta : 1987), hal. 69 4 Ibid., hal. 70 5 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, hal.28 15

Kesultanan yang independen lepas dari Cirebon6. Karena pada waktu itu pemerintahan Cirebon sedang mengalami kemunduran sehingga Maulana

Hasanuddin menginginkan Banten lepas dari Cirebon. Ia memerintah selama 18 tahun yaitu tahun 1552-1570. Pelabuhan Banten menjadi ramai didatangi saudagar-saudagar dari luar negeri seperti: Tiongkok, Arab, Persia dan Gujarat.

Mereka berdatangan guna melakukan kerja sama dalam perdagangan di Banten.

Komoditi ekspor Banten sendiri adalah lada dan rempah-rempah lainnya. Selain melakukan kerjasama dengan luar negeri, Maulana Hasanuddin juga melakukan kerja sama dengan daerah lain di Nusantara seperti: Jepara, Makasar, Sumbawa,

Karawang, Banjarmasin, Lampung, Indrapura, Solebar, Bengkulu,7 Nusa

Tenggara dan Bali.

Dalam usaha membangun Banten, Maulana Hasanuddin menitikberatkan pada sektor perdagangan lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya sebagai komoditas utamanya. Hasil lada didapatkan dari daerah sendiri dan daerah kekuasaan Banten yaitu Lampung dan Bengkulu. Dengan demikian maka,

Perluasan pengaruh juga menjadi perhatian Maulana Hasanuddin melalui pengiriman ekspedisi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan lainnya. Selain itu

Maulana Hasanuddin membangun Istana Surosowan, alun-alun, pasar, masjid di kawasan Pacinan, Kasunyatan dan Masjid Agung Banten. Setelah 18 tahun memerintah, Maulana Hasanuddin meninggal dunia tahun 1570 M dan ia diberi gelar Marhum Sabakingkin, yang artinya tempat duka cita. Setelah Maulana

6 Hamka, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: MUI, 1991), hal. 80. Lihat pula M. Yahya Harun, Kerajaan Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995) hal. 34. 7 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522- 1681 Kajian Arkeologi Ekonomi (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2007), hal. 31. 16

Hasanuddin mangkat, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yaitu Maulana

Yusuf.8

Di bawah pemerintahan Maulana Yusuf, keraton Surasowan dikembangkan dengan membangun tembok benteng dan pintu gerbang keraton yang terbuat dari bata dan batu karang dan karisma Banten menjadi lebih baik.

Proses Islamisasi menjadi lancar ke seluruh wilayah Banten, baik di pusat kota

Banten Girang maupun di Surasowan sudah banyak yang memeluk agama Islam.

Pesantren Kasunyatan yang dirintis oleh Maulana Hasanuddin mulai dikembangkan secara intensif guna mencetak kader-kader agama yang handal, dan menjadikan Masjid Agung Banten bukan hanya sebagai sarana ibadah saja, tapi digunakan sebagai tempat dakwah dan bahsul masa‟il addien (tempat diskusi problematika agama Islam) bagi para ulama.9

Selain itu Maulana Yusuf mengembangkan sektor pertanian dengan membuat saluran irigasi dan bendungan guna memenuhi kebutuhan air untuk mengairi sawah-sawah. Ia juga membangun sebuah danau buatan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengairan bagi daerah persawahan di daerah perkotaan.10 Sistem penyaringan air dengan metode pengendapan, merupakan bukti adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengolahan air bersih di Banten yang dibangun oleh Maulana Yusuf.

Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf Kesultanan Banten benar-benar sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah kota dari segi arsitektur perkotaan dan menjadi daerah yang strategis. Penghasilan kerajaan bukan hanya dari biaya masuk dan keluar perniagaan saja, juga dari pasar. Struktur sosial masyarakat

8 Ibid.,hal. 31-32 9 M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hal. 35. 10 Ibid., hal. 35. 17

Banten yang sumber utamanya dari perniagaan menjadi faktor dari kemajuan

Banten sehingga hubungan-hubungan politik dengan berbagai bangsa lain terjalin dengan lancar.11 Pada tahun 1580, Maulana Yusuf mangkat dan di makamkan di

Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal sebagai pangeran panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran

Pasarean12

Setelah Maulana Yusuf meninggal dunia kekuasaan Banten digantikan oleh putranya yaitu Maulana Muhammad (1580-1595 M). Ia dikenal sebagai

Sultan yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan.

Untuk sarana ibadat, ia membangun masjid-masjid sampai ke pelosok-pelosok.

Maulana Muhammad juga memperindah dan memperbaiki masjid Agung Banten.

Tembok masjid dilapisi dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana. 13

Akhir hidup Maulana Muhammad cukup tragis, bermula dari keinginan

Pangeran Mas menjadi raja Palembang. Pangeran Mas adalah putra Pangeran pangiri, cucu Sunan Prawoto dari Demak. Ia membujuk Maulana Muhammad untuk membantunya dalam melawan tentara Palembang. Dengan 200 Kapal perang, Maulana Muhammad memimpin sendiri peperangan tersebut dengan di dampingi Mangkubumi dan Pangeran Mas. Maulana Muhammad meninggal dalam medan peperangan melawan Palembang, dalam usia 25 tahun dan dikenal

11 Sri Sutjiatiningsih, Banten Jalur Sutra, (Jakarta: Depdikbud, 1993), hal. 107-108. 12 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal.39 13 Ibid., hal. 40. 18

dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.14 Dan dikuburkan di serambi Masjid Agung Banten.15

Sepeninggal Maulana Muhammad, maka Pangeran Abdul Mufakhir yang baru berusia lima bulan naik tahta. Untuk menjalankan roda pemerintahan, maka ia dibimbing oleh Mangkubumi Jayanegara, seorang pejabat Istana yang lemah lembut dan bijaksana sampai Sultan Abdul Mufakhir dewasa dan siap menjalankan roda pemerintahan sendiri16.

Abdul Mufakhir menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang memakai gelar

"Sultan" pada tahun 1638. Ia memperoleh gelar tersebut dari Zeid ibn Muhsin,

Penguasa Muttasharifat Hejaz yang mewakili Kekhalifahan Islam Turki Usmani.

Pada masa ini Kesultanan Banten juga membuka hubungan diplomasi dengan negeri-negeri Eropa. Hal ini salah satunya diketahui dari surat Sultan Abdul

Mufakhir kepada Raja Inggris & James I pada tahun 1605 dan juga pada putranya,

Charles I di tahun 1629.17

Selain Inggris, Belanda datang pula ke Banten dengan tujuan membeli rempah-rempah dan lada yang menjadi hasil utama Banten. Kedatangan Belanda di Banten yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman sebenarnya tidak dianggap sebagai ancaman oleh pihak Kesultanan Banten karena mereka mengaku datang hanya untuk berdagang. Namun, orang-orang Belanda ini sengaja menetap lama karena mereka menunggu panen lada supaya bisa membeli dengan harga miring.

Mendengar hal itu, Sultan pun menjadi marah. Terlebih ketika pada suatu malam,

14 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, terj (Jakarta: Djambatan, 1983), hal. 169., Nina, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, hal. 45., Lihat pula, Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten, hal. 34. 15 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah,hal.41 16 M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. (Stanford: Stanford University Press, 1994), hal. 47. 17 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 45. 19

orang-orang Belanda ini merampok dua buah Kapal penuh lada yang baru tiba dari Jawa kemudian mereka lari keluar pelabuhan Banten sambil menembaki para pasukan Banten yang mengejar mereka. Satu Divisi pasukan Banten dikirim oleh pihak Kesultanan dan menyerbu kapal Belanda untuk menangkap Cornelis de

Houtman. Cornelis de Houtman akhirnya di tangkap dan di tahan selama hampir satu bulan. Setelah ditahan akhirnya di bebaskan dengan tebusan sebesar 50.000

Gulden, ia diusir dari Banten pada tanggal 2 Oktober 1596.18

Rombongan kedua datang lagi ke Banten pada tanggal 28 November 1598 di bawah pimpinan Jacob Corneliszoon van Neck dan Laksamana Madya

Wybrand van Warwyck. Tercatat ada 22 kapal yang berlayar ke Nusantara, bahkan tahun 1602 tercatat 65 buah kapal. Pada dasarnya VOC berupaya mencari asal sumber komoditas dagang rempah-rempah melalui pelayaran. Upaya selanjutnya ialah menguasai perdagangan daerah sumber bahan baku tersebut dan menjadikan daerah tersebut menjadi koloninya.19

Pada tahun 1611, Kapten Jacques L'Hermite, wakil VOC yang bertindak atas instruksi Gubernur Jendral Pieter Both mendapat izin dari Pangeran

Jayawikarta untuk membangun kantor dagang di Jayakarta. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di tepi bagian Timur Sungai Ciliwung dengan harga 1200 Gulden yang kemudian dijadikan kompleks perkantoran dan tempat tinggal orang Belanda20.

18 Jurrien Van Goor & Foskelien van Goor, Prelude to Colonialism : Dutch in Asia. Hilversum : Uitgeverij Verloren, 2004), hal. 27. 19 Juliandi dkk, Ragam Pusaka Budaya Banten, (Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Cetakan Pertama, 2005), hal. 157. 20 Parakitri Tahi Simbolon, Menjadi Indonesia. (Jakarta : Penerbit Gramedia,2006), hal. 36. 20

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal ia mendirikan lagi bangunan yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun benteng, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa21.

Tindakan Coen ini, membuat Pangeran Jayawikarta naik pitam. Pada bulan

Desember 1618, Pieter van den Broecke, komandan pasukan Belanda pun ditangkap tentara Pangeran Jayawikarta yang dibantu armada Inggris pimpinan Sir

Thomas Dale. Namun pada bulan Februari 1619, Sultan Abdul Mufakhir merasa

Pangeran Jayawikarta telah membuat banyak masalah dengan memperbolehkan orang-orang Barat membangun gedung di Jayakarta tanpa seizin Sultan, sehingga

Pangeran Jayawikarta dipecat dan diasingkan ke Tanara (Citanara)22.

Pada 30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen memanfaatkan kesempatan setelah Pangeran Jayawikarta dipecat dengan membawa armada Kapal Perang dan sejumlah orang Tentara untuk mengepung Jayakarta. Pasukan Belanda membumihanguskan seisi kota dan mengusir penduduk asli keluar dari kota. Jan

Pietetszoon Coen kemudian secara resmi mengganti nama Kota tersebut menjadi

Batavia23.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abdul Ma‟ali Ahmad anak

Abdul Mufakhir. Sultan Abdul Ma‟ali diangkat oleh ayahnya sebagai sultan muda di Banten tahun 1640 M, akan tetapi sepuluh tahun kemudian Abdul Ma‟ali meninggal dunia tahun 1650 M, sehingga jabatan sultan Banten dialihkan kepada putranya yang bernama Pangeran Surya, dari pernikahan Abdul Ma‟ali dengan

21 Mohammad Iskandar, “Nusantara dalam Era Niaga sebelum abad ke-19”. Wacana. Vol.7 no.2 (Oktober 2005), pp.186. 22 Ade Soekirno, Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta Lewat Sejarah Sunda Kelapa. (Jakarta : Penerbit Grasindo, 1995), hal. 46. 23 Peter Fitzsimons. Batavia. (Melbourne : Random House Australia, 2012), hal.18-19 21

Ratu Marta Kusuma. Pangeran Surya diberi julukan Pangeran Dipati. Ia resmi menjadi penguasa di kesultanan Banten setelah kakeknya meninggal dunia tahun

1651 M, dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.24

Di bawah ini nama-nama Raja/Sultan yang pernah memerintah di Banten dari masa Syarif Hidayatullah sampai Sultan Ageng Tirtayasa:

Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati 1525

Maulana Hasanudin Panembahan Surosowan 1552

Maulana Yusuf Panembahan Pekalongan 1570

Maulana Muhammad Pangeran Ratu Banten 1580

Sultan Abdul Mufakhir Mahmud 1596

Sultan Abul Ma‟ali Ahmad Kenari 1647

Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fatah 1651.25

24 Sutrisno Kutoyo, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1995), hal. 39. 25 Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang (Jakarta: Puslitbang dan Khazanah Keagamaan, 2011), Hal. 39”penulis hanya mengutip sampai masa kesultanan yang ke 7 yaitu Sultan Ageng Tirtayasa”

BAB III

BIOGRAFI SULTAN AGENG TIRTAYASA

A. Biografi Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah julukan terkenal yang diberikan kepada

Sultan Abdul Fattah. Ayah Sultan Ageng Tirtayasa adalah Sultan Abdul Ma‟ali

Ahmad bin Sultan Abdul Mufakhir bin Sultan Maulana Muhammad Nashrudin

bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah yang

lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati Cirebon.1

Ayah dari Sultan Ageng Tirtayasa dikenal dengan sebutan Sultan Faqih,

Sultan Kulon, Pangeran Anom, atau Pangeran Ratu. Gelar Sultan Ma‟ali Ahmad

diterima pada tahun 1638 bersama ayahnya Sultan Abdul Fakhir Mahmud Abdul

Khadir yang memerintah Banten sekitar tahun 1596-1651. Dari Sultan Mekah

ketika utusannya datang di Banten dalam rangka kunjungan balasan. Jadi, Sultan

Surya atau Sultan Ageng Tirtayasa adalah cucu dari Sultan Fakhir Mahmud Abdul

Khadir.2

Ibu Sultan Ageng Tirtayasa ialah Ratu Marta Kusuma, salah seorang putri

Pangeran Jayakarta. Saudara-saudara Sultan Ageng Tirtayasa yang seibu kandung

Pangeran Surya ialah Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran

Radja. Sedangkan saudara-saudaranya yang tidak seibu, yaitu dari Ratu Wetan,

antara lain Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten, dan Ratu Tinumpuk.3

1 Media Pusindo, Pahlawan Indonesia,(Depok: Media Pusindo, Anggota IKAPI Cimanggis Depok, 2008), hal. 20. Lihat pula Halwany.Catatan Masa Lalu Banten, hal. 135-136. 2 Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang (Jakarta: Puslitbang dan Khazanah Keagamaan, 2011), hal. 123. 3 Uka, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, (Jakarta: Kebudayaan Nusalarang, 1967) hal. 8., Uka, Banten Abad XV-XXI, hal. 123.

22 23

Sultan Ageng Tirtayasa lahir pada tahun 1637 ketika kecil beliau bernama

Pangeran Surya. Nama tersebut diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya matahari terbit. Disamping mempunyai wajah yang tampan, sejak kecilnya sudah diketahui oleh ayah bundanya seorang anak yang cerdas, lincah pergaulannya, sopan santun budi pekertinya melebihi dari saudara-saudaranya yang lain. Maka satu-satunya tumpuan ayah bundanya tidak lain hanyalah kepada Pangeran Surya yang cocok sebagai calon pemimpin pewaris tahta Kesultanan Banten.4

Menurut hukum waris kesultanan Banten, pengganti Sultan Abdul

Mufakhir adalah anaknya yaitu Sultan Abu Al-Mu‟ali. Akan tetapi karena ia meninggal tahun 1650 (mendahului ayahnya Sultan Abdul Mufakhir) maka secara otomatis pemangku jabatan Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Ia diproklamirkan sebagai pemimpin kesultanan Banten dengan gelar Sultan Abdul

Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau Pangeran Ratu Ing Banten, sebagai

Sultan yang keenam.

Sejak muda Sultan sudah dikenal kalangan masyarakat sebagai salah seorang putra bangsawan yang gemar kepada kebudayaan. Hal itu senantiasa dibuktikan dengan ikut sertanya dalam permainan Raket dan permainan

Dedewaan serta Sasaptonan.5 Permainan ini pada masa itu sangat digemari oleh kalangan bangsawan dan rakyat.6 Dalam cerita sejarah Banten disebutkan bahwa di antara istri-istri Sultan Ageng Tirtayasa ialah Nyai Gede dan Ratu Nengah.

Nyai Ratu Gede adalah seorang putri penggawa yang karena kecantikannya dapat menarik perhatiannya. Sultan jatuh hati padanya pada waktu ada perayaan, di

4 Hafidz Rafiudin, Riwayat Kesultanan Banten (Banten: T.pn., 2006), hal. 63. 5 Permaianan Raket, Dedewaan dan Sasaptonan adalah permaianan sejenis permainan yang bersifat pertandingan dengan menggunakan Kuda. 6 Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten, hal. 40., Uka, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, hal. 10. 24

mana gadis itu adalah salah seorang pembawa alat perhiasan Kerajaan dalam upacara. Sedangkan istrinya yang bernama Ratu Nengah ialah putri Pangeran

Kasunyatan.7

Perkawinan dengan istri keduanya itu dilakukan setelah istri pertamanya meninggal dunia. Di antara putra-putra Sultan Abdul Fattah yang mencapai pada usia dewasa ialah Pangeran Gusti dan Pangeran Purbaya. Pangeran Gusti juga terkenal pula dengan julukan Sultan Haji.

Sultan Abdul Fattah memiliki banyak putra. Dalam buku yang berjudul

Masa Lalu Banten yang dikarang oleh Halwany Michrob disebutkan ada 19 yaitu:

Sultan Haji, Pangeran Arya „Abdul‟ Alim, Pangeran Arya Ingayadadipura,

Pangeran Arya Purbaya, Pangeran Sugiri, Tubagus Raja Suta, Tubagus Raja

Putra, Tubagus Husen, Raden Mandaraka, Raden Saleh, Raden Rum, Raden

Mesir, Raden Muhammad, Raden Muhsin, Tubagus Wetan, Tubagus Muhammad

Athir, Tubagus Abdul, Ratu Raja Mirah, Ratu Ayu, Ratu Kidul, Ratu Marta, Ratu

Adi, Ratu Umu, Ratu Hadijah, Ratu Habibah, Ratu Fatimah, Ratu Asyqoh, Ratu

Nasibah, dan Tubagus Kulon.8 Sultan Ageng Tirtayasa dilahirkan pada masa kakeknya memerintah Banten. Kakeknya merupakan sultan yang arif bijaksana dan senantiasa memelihara kesejahteraan rakyat, pertanian, pembangunan, dan penentang penjajahan serta monopoli perdagangan9 yang menyebabkan Banten mengalami kemajuan dalam bidang pelayaran, perdagangan, hubungan diplomatik, pertanian, dan kebudayaan. Segala peristiwa di masa pemerintahan kakeknya itu sudah tentu merupakan faktor pembentuk jiwa Sultan Ageng

Tirtayasa, di samping lingkungan ayah dan ibunya.

7 Hafidz Rafiudin, Riwayat Kesultanan Banten, hal. 65. 8 Halwany, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 2011), hal. 337. 9 Uka, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, hal. 7. 25

Pendidikan, sepak terjang dan kehidupan kakek serta ayahnya itu yang

memberi kesan serta mendorong semangat dan jiwa besar Sultan Ageng Tirtayasa.

Sehingga Sultan Ageng Tirtayasa gigih menentang Kompeni Belanda dan dikenal

oleh Belanda sebagai musuh bubuyutan.

B. Masa Kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa dilantik menjadi Sultan pada tahun 1651 M.

Menggantikan kakeknya yang meninggal pada tahun itu juga. Seharusnya yang

menjadi penggantinya adalah ayahnya. Tapi karena ayah Sultan Ageng Tirtayasa

lebih dulu meninggal daripada kakeknya, maka secara otomatis kekuasaan

digantikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

Untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah-daerah Banten yang

tersebar luas seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah

Penggawa-penggawa10 dan dalam waktu tertentu diharuskan datang ke Banten

dan berkumpul di Kediaman Mangkubumi di Kemuning di Sebrang sungai untuk

melaporkan keadaan daerah masing-masing. Biasanya setelah itu para Pejabat

Istana dibawa menghadap Sultan di Istana Surosowan untuk menerima petunjuk

dan pesan-pesan untuk disampaikan kepada rakyat daerah masing-masing.11

Demikian pula pengaturan dan pelatihan angkatan perang diserahkan

kepada Mangkubumi dan Pangeran Madura yang diserahi tugas mengatur dan

mengawasi prajurit Banten. Ada pun senjata perang seperti senapan, meriam,

keris, dan tombak sudah ada yang dapat dibuat sendiri, sedangkan senjata jenis

10 Penggawa menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia “adalah kepala dusun, sedangkan yang dimaksud penggawa di sini adalah pejabat menengah golongan bawah dalam birokrasi Kesultanan Banten., lihat Jurnal. Mufliha Wijayanti, Jejak Kesultanan Banten di Lampung Abad XVII Analisis Prasasti Dalung Bojong, Volume XI, Nomor 2,( Desember 2011), hal. 406. 11 Halwany, Catatan Masalalu Banten, hal. 133. 26

lainnya dibeli dari Batavia dan negara lain. Rumah Senopati dan Penggawa ditempatkan sedemikian rupa, supaya mereka dapat lebih cepat mengontrol keadaan prajuritnya. Karena itu letaknya tidak terlalu jauh dari istana untuk mempermudah penyampaian instruksi dari Sultan apabila negara dalam keadaan darurat. Hal ini menunjukkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Ini sudah dibuktikan sewaktu masih menjabat putra mahkota. Beliau yang mengatur gerilya terhadap kedudukan

Belanda di Batavia.12

Seperti juga kakeknya, Sultan Ageng Tirtayasa tidaklah melupakan hubungan diplomatik dengan Muttasharifat Hejaz yang mewakili Kekhalifahan

Islam Turki Usmani. Hubungan diplomatik ini merupakan sebuah keharusan untuk memperkokoh kekuatan umat Islam dalam menentang segala macam ekspansi dunia Barat ke Timur Jauh. Maka diadakanlah musyawarah antara beberapa pembesar kerajaan seperti Pangeran Madura, Pangeran Mangunjaya dan

Mas Dipaningrat untuk menentukan siapa yang akan mewakili Banten untuk pergi ke Timur Tengah. Akhirnya Betot ditunjuk untuk pergi ke Mekkah yang merupakan ibukota Muttasharifat Hejaz, dengan rombongan sebanyak tujuh orang

Delegasi yang akan melaporkan pergantian Sultan di Banten di samping menceritakan mengenai kondisi kepulauan Nusantara seluruhnya, khususnya hubungan antara Kesultanan Banten dengan kekuasaan VOC. Kemudian, untuk memperdalam pengetahuan Rakyat Banten tentang agama Islam, diminta pula

Sharif Mekah agar mengirim Guru Agama ke Banten13.

12 Hafidz Rafiudin, Riwayat Kesultanan Banten, (Banten: tp. 2006), hal. 64. 13 , Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 46-47. 27

Setelah beberapa lama, utusan Sultan Banten itu kembali dari Mekkah dengan membawa sepucuk surat dan tiga orang utusan Sharif Mekah yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Dari Sharif Mekah itu pula

Pangeran Surya mendapat gelar Abdul Fattah. Adapun Santri Betot yang membawa sejumlah besar hadiah dari Mekah kemudian diberi nama Haji Fattah, demikian juga tujuh orang yang mengiringinya.14

Guna lebih memantapkan pemerintahannya, Sultan mengadakan pembaharuan, antara lain dengan mengurangi kekuasaan Dewan Agung, yang merupakan penasihat dari para sultan sebelumnya. Semua keputusan pemerintah dilakukannya sendiri dan dibantu oleh para penasihat dekatnya saja. Di tahun

1674 demi meningkatkan keamanan, beliau memerintahkan agar para anggota

Dewan Agung dipindahkan ke Istana Surasowan yang berada di dekat Pantai di

Teluk Banten.15

Bila dipandang dari sudut politik, upaya tersebut menunjukkan kesiapan serta kematangannya untuk tidak bergantung kepada siapa pun, termasuk kepada para petinggi negara. Tindakannya yang dilaksanakan memperlihatkan pula bahwa kesultanan Banten sudah mampu mandiri, yang tentunya karena ditunjang oleh masalah ekonomi.16

Hubungan erat dengan negeri lain juga dilakukannya, antara lain dengan

Lampung, Selebar, Bengkulu, Cirebon, Karawang, Sumedang, dan Mataram.

Selain untuk mempererat persahabatan juga menggalang pertahanan dan kekuatan

14 Hafidz Rafiudin, Riwayat Kesultanan Banten, hal. 65 15 Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten, hal. 38. 16 Ibid., hal. 38. 28

dalam menghadapi Belanda, setidaknya mempersempit ruang gerak musuh bila terjadi peperangan.17

Usaha lain yang dilaksanakan untuk kemakmuran negerinya adalah membuat saluran antara Pontang dan Tanahara18 agar dapat dilayari kapal, dan dapat mengairi daerah sekitarnya hingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan bagi Banten. Hasil panen berlimpah dan disimpan di dalam rumah maupun gudang-gudang umum sebagai persediaan bahan perbekalan. Pada masa ini Banten bahkan mampu pula mengeluarkan mata uang emas yang mengindikasikan bahwa Banten adalah negara yang makmur. Pembangunan fisik di dalam kota tidak dilupakannya. Istana Surasowan diperkuat dengan menara pengawas di keempat sisinya serta dilengkapi dengan 66 buah meriam yang diarahkan ke segenap penjuru. Selain itu di kawasan perbatasan Banten dan

Jayakarta dibangun perkampungan dan perluasan lahan pertanian. Tujuannya selain untuk pertahanan juga persediaan tenaga tempur bila timbul peperangan dengan Belanda.19

Keadaan Banten semenjak diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa lebih membaik lagi, baik di bidang politik, sosial-budaya, terutama perekonomiannya.

Dalam bidang perdagangan, Banten juga mengalami perkembangan yang pesat, dan cukup mengancam kedudukan VOC yang bermarkas di Batavia.20

Sebagai seorang yang taat beragama ia sangat antipati terhadap Belanda.

Penyerangan secara gerilya beliau lancarkan melalui darat dan laut untuk mematahkan kubu pertahanan Belanda yang bermarkas di Batavia. Aksi

17 Ibid., hal. 39. 18 Daerah di dekat Kota Serang 19 Edi S. Ekadjati, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Di Daerah Jawa Barat, hal. 40 20 Ibid., 64. 29

penyerangan yang diarahkan kepada kapal-kapal dagang kompeni merupakan kendala yang sangat membahayakan bagi Belanda.21

Menjelang masa tuanya, Sultan yang semula berkedudukan di Surasowan mendirikan istana di daerah Pontang dekat Tirtayasa, yang dimaksudkan sebagai tempat peristirahatan serta sebagai benteng pengintaian terhadap kawasan

Tangerang dan Batavia. Semenjak itu, ia dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa.

Sultan juga membangun istana yang terbuat dari bata, bahan baku yang tahan lama dan aman dari resiko kebakaran dan gangguan lainnya. Disebutkan bahwa

Sultan Ageng memiliki banyak barang-barang dari berbagai penjuru dunia, antara lain lemari kaca dari Jepang, cermin dan jam buatan Eropa. Barang mewah ini sudah menjadi bagian dari hidupnya yang dimungkinkan karena pesatnya perdagangan yang berlangsung di Banten saat itu.

Bermacam upaya untuk memajukan Banten ini agaknya tidak sia-sia,

Banyak kapal dagang asing terlibat dalam perdagangan dan tidak sedikit yang mendirikan kantor dagang di Banten. Guna memajukan perdagangan, sultan sangat menentang kehendak Belanda terutama untuk menjalankan perdagangan monopoli. Ia lebih memilih untuk perdagangan bebas dengan berbagai negeri, sehingga tidak sedikit kapal besar dari Eropa dan Asia berdatangan membawa barang-barang yang diperlukan oleh orang dari dalam dan luar Banten, yang umumnya ditukar dengan hasil bumi dan hasil hutan. Guna memajukan negerinya,

Sultan Ageng tidak segan untuk menerima para pekerja asing dalam lingkungan birokrasi pemerintahannya, meski dengan persyaratan tertentu. Keberhasilannya dalam menggalang perdagangan membubuhkan kemakmuran di berbagai bidang,

21 M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII, hal. 40. 30

di samping sikap politiknya terhadap Belanda mampu menjadikan kesultanan ini tetap berdaulat sepenuhnya.

Perkembangan Dakwah Islamiyah di Banten juga mengalami kemajuan yang sangat pesat karena Sultan Ageng Tirtayasa mendatangkan guru-guru

Agama dari Aceh, Arab, dan daerah lainnya. Hal itu bertujuan untuk membina mental para prajurit Banten. Adapun salah seorang guru tersebut adalah seorang ulama yang terkenal dari Makasar yaitu Syekh Yusuf al Makasari, yang kemudian diangkat sebagai Mufti Agung (Mufti al-Akbar) di Kesultanan Banten, yang sekaligus menjadi penasihat serta menantu Sultan Ageng Tirtayasa.22

Sejak itu pelabuhan Banten semakin ramai dan banyak dikunjungi kapal dan pedagang asing, antara lain dari Arab, Cina, Persia, India, Turki, Jepang, dan

Eropa (Inggris, Belanda, Perancis, Denmark, Portugis). Selain itu, terdapat pula pedagang dari daerah Nusantara, yaitu Maluku, Makasar, Sumbawa, Madura,

Gresik, Aceh dan Palembang. Kedatangan golongan pedagang baik untuk tinggal sementara maupun menetap sangat diharapkan oleh golongan ningrat, karena menambah Devisa Negara di kesultanan Banten.23

Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia guna mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram yang telah masuk sejak abad ke 17. Selain itu, untuk mencegah pemaksaan monopoli perdagangan VOC yang tujuan akhirnya adalah penguasaan secara politik terhadap Banten24.

22 Bambang Budi Utomo, Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam, (Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2011), hal. 83 23 Hawalawi Microb, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor –impor di zaman kesultanan Banten, Serang: Kadinda (kamar dagang dan industri daerah) 1989, hal. 5 24 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten.(Jakarta : Pustaka Jaya:1984), hal. 113-115 31

Pada tahun 1660-1670 saluran irigasi dibangun dibangun oleh kesultanan

Banten. Di sepanjang kiri kanan Saluran air terdapat persawahan baru untuk mendukung persediaan makanan bagi rakyat Banten. Untuk meningkatkan bidang ekonomi, Sultan melakukan kebijakan dengan cara meningkatkan hasil bumi serta memperkuat armada guna menjamin keamanan para pedagang di perairan Banten.

Adapun Mazhab Ekonomi yang diterapkan Sultan Ageng Tirtayasa di negerinya adalah Ekonomi Pasar Bebas dan Anti Monopoli perdagangan.25

Sebelum Sultan Ageng Tirtayasa memerintah, Banten sudah mengalami kemajuan dalam perdagangan baik dengan negeri-negeri yang ada di Nusantara sendiri maupun dengan negeri-negeri asing di Asia dan Eropa. Faktor yang menyebabkan terjadinya kemajuan dalam bidang perdagangan dan pelayaran itu karena Banten merupakan kota pantai yang benar-benar mempunyai pelabuhan yang sangat baik bagi lalu lintas kapal-kapal besar. Selain itu, faktor yang paling utama ialah karena Banten merupakan penghasil lada dan tempat penjualan hasil pala dan cengkeh yang ditanam di Ternate dan Aceh26.

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pelayaran dan perdagangan Banten lebih dikembangkan bahkan dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kebijakan Pemerintah Banten pada waktu itu. Semua usaha Sultan

Ageng Tirtayasa itu menjadikan Banten sebagai negara yang ditakuti VOC dan disegani bangsa-bangsa asing lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila para Pemegang Saham di VOC sangat berusaha agar pelayaran dan

25 Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 273-274 26 Uka Chandrasasmita, Banten Abad XV-XXI pencapaian gemilang penorehan menjelang, hal. 137 32

perdagangannya tetap dapat dipertahankan dan juga berusaha mencari dan mendapat dukungan dari bangsawan-bangsawan dan sultan Banten.27

Pelabuhan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, mampu berkembang menjadi pelabuhan ekspor internasional. Dari pelabuhan Banten banyak komoditi dagang yang diekspor ke Persia, India, Arab, Tiongkok, dan Jepang. Sultan Ageng

Tirtayasa melakukan hubungan dagang dengan Inggris, Prancis, Denmark, dan

Portugis. Di sektor pertanian, Sultan Ageng Tirtayasa membuka ladang-ladang baru, perluasan sawah, dan perbaikan pengairan. Banten dibawah pimpinan Sultan

Ageng Tirtayasa mengalami banyak kemajuan yang sangat pesat. Sultan Ageng

Tirtayasa kemudian terinspirasi pada bangsa Melayu yang membangun kapal pesiar „Lancang Kuning‟, maka ia juga membuat Kapal yang mirip agar dapat dipakai berlibur bersama bersama keluarga dan kerabat istana28.

Beliau juga membangun bendungan di atas sungai Pontang, agar air

Sungai Ciujung dapat dialirkan ke kanal Tirtayasa. Selama itu pula dibangun pekerjaan irigasi di bagian barat Banten, memperbaiki irigasi sawah di daerah

Anyer. Pada saat yang sama, Sultan Ageng memerintahkan penggalian kanal 3 km panjangnya di daerah Tirtayasa, dekat Tanara di mana sultan mendirikan istana.

Di dekat lokasi proyek Tirtayasa, raja sepuh itu memutuskan untuk menggali lagi kanal baru. Sebanyak 2/3 populasi laki-laki dari ibukota mengikuti operasi dan adanya larangan 1/3 penduduk meninggalkan kota untuk alasan keamanan.

Pekerjaan terbesar terakhir adalah membuat bendungan selama musim kering di

27 Uka Chandrasasmita, Banten Abad XV-XXI pencapaian gemilang penorehan menjelang, hal. 138 28 , dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 193 33

sungai Tanara di mana keluarga raja dan pembesar kerajaan dapat bersenang- senang di air kanal Tirtayasa29.

Hasilnya membawa kemakmuran bagi rakyat serta dapat menambah penyimpanan bahan makanan yang sangat penting sebagai bahan perbekalan, jika terjadi perang. Selain untuk kebutuhan masyarakat hal itu pula merupakan bentuk politik dan strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam membuat saluran air, pembuatan persawahan mempunyai fungsi untuk menghimpun kekuatan dan sifat- sifat gotong royong hingga menjadi kekuatan yang tidak mudah kena hasutan dari pihak-pihak musuh.30

Pembuatan saluran itu sepertinya dimulai sejak tahun 27 Agustus 1660.

Sultan Ageng Tirtayasa dengan rakyatnya membuat saluran air yang lebar dari sungai Cikande hingga ke Pasilian dan selesai pada tahun 1663. Kemudian penggalian dilanjutkan lagi pada 1670 dari Tanara hingga Pontang. Demikian pula pemberitaan tentang kegiatan itu masih ada pada 1676 bahkan sampai 1678.31

Sultan Ageng juga menaruh perhatian pada pengembangan sumber daya pertanian. Kira-kira 30.000 orang petani ditempatkan di lahan-lahan milik negara, sering kali termasuk orang-orang yang oleh Sultan dianggap kurang baik, seperti para pendatang Bugis yang berprofesi sebagai bajak laut. Proyek-proyek ini berguna tidak hanya dalam meningkatkan kekayaan pertanian kerajaan, tetapi juga dalam membawa daerah-daerah pedalaman, khususnya daerah yang berada di sepanjang perbatasan dengan Batavia yang mudah terlepas ke dalam control pusat

29 Edi S. Ekadjati, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Di Daerah Jawa Barat, hal. 45 dan Heriyanti ongkodarma unturo, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1682 Kajian Arkeologi-Ekonomi, hal. 40 30 Edi S. Ekadjati, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Di Daerah Jawa Barat, hal. 45 31 Uka Chandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, (Djakarta: Nusalarang, 1967), hal.27. 34

yang lebih efektif. Sebuah produk baru juga muncul, dengan diperkenalkannya Bit

Gula oleh para pedagang Cina untuk pertama kalinya dari tahun 1620-an kerajaan menjadi makmur32.

Ibukota Surosowan sendiri diperkirakan mengalami pertumbuhan jumlah penduduk dari sekitar 150.000 jiwa pada awal kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi sekitar 200.000 jiwa pada akhir kekuasaannya. Namun, Banten bukannya tak pernah mengalami krisis; sebuah wabah penyakit pada tahun 1625 dilaporkan telah melenyapkan sepertiga populasi Banten, dan musim kemarau panjang telah menimbulkan krisis beras akibat gagal panen pada tahun 1670-an. Akan tetapi, secara keseluruhan, kebijakan Sultan memajukan perdagangan luar negeri maupun pertanian di daerah pedalaman tergolong berhasil.33

32 Trudy Ring. International Dictionary of Historic Places : Asia and Oceania. (Michigan : Braun-Brumfield,1996), hal.101–104 33 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKPI 2008), hal.172.

BAB IV

USAHA SULTAN AGENG TIRTAYASA DALAM MEMBANGUN

EKONOMI BANTEN ABAB XVII

A. Bidang Perdagangan

Sebagai sebuah negara, Kesultanan Banten memiliki potensi geografis dan

potensi alam yang membuat para pedagang Eropa hendak menguasai Banten.

Secara geografis, Banten terletak di ujung Barat pulau Jawa, jalur perdagangan

Nusantara yang merupakan bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain

itu, letaknya yang dekat dengan Selat Sunda menjadikan Banten sebagai

pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara.1 Selain itu juga Banten

merupakan penghasil lada yang menjadikan Banten sebagai pusat perdagangan

alternatif antar benua serta menjadi kota pelabuhan penting yang disinggahi oleh

kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa.2

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten telah mengalami

perkembangan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Kemajuan tersebut

disebabkan oleh kecerdikan dan kerja keras rakyat Banten di bawah pimpinan

rajanya. Sehingga apa yang telah dicapainya itu telah menunjang serta mendorong

Sultan Ageng Tirtayasa untuk lebih meningkatkan kemajuan bagi Banten,

khususnya mengenai sikap, tindakan dan cara kerja pendahulunya dalam

1 Edi S. Ekadjati, Banten Kota Pelabuhalan Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1982/1983), hal. 97. 2 H. J. De Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hal. 137.

35 36

mengelola negara menjadi salah satu faktor yang membentuk pribadi Sultan

Ageng Tirtayasa.3

Adapun Faktor yang mendukung berkembangnya Banten sebagai pusat

Kerajaan Islam dan pusat perdagangan, adalah sebagai berikut:

1. Banten terletak di pelabuhan Banten dan pelabuhan terlindungi oleh pulau

panjang, sehingga baik sekali jadi pelabuhan.

2. Kedudukan Banten yang strategis di tepi Selat Sunda menjadikan daya tarik

tersendiri untuk berlayar dan berdagang dari kalangan pedagang Islam dan

pedagang Asing, selalu diramaikan sejak Portugis berkuasa di Malaka.

3. Banten telah memiliki bahan ekspor yang begitu penting yakni lada, sehingga

menjadi daya tarik yang kuat bagi pedagang-pedagang asing seperti dari

Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Burma atau Myanmar), Keling, Portugis

dan lain-lain.

4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mendorong pedagang-pedagang mencari

jalan baru melalui selat Sunda sehingga kemudian Banten dijadikan sebagai

salah satu pusat perdagangan di Jawa Barat di samping Cirebon.4

3 Edi S. Ekadjati, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Di Daerah Jawa Barat, hal. 4. 4 M.C. Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia, terj (Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, 1995), hal. 56 -57.

37

Adapun usaha Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi Banten dalam bidang perdagangan terdiri dari:

1. Sistem Perdagangan Bebas

Perdagangan bebas adalah suatu sistem di mana barang, arus modal,

dan tenaga kerja secara bebas antara negara-negara, tanpa hambatan yang bisa

menghambat proses perdagangan. Banyak negara memiliki perjanjian

perdagangan bebas, dan beberapa organisasi internasional mendorong

perdagangan bebas antara anggota mereka.5

Berdasarkan letak geografis, Banten merupakan daerah yang sangat

strategis bagi para pedagang dalam dan luar negeri di mana rempah-rempah

yang merupakan hasil daerah tersebut menjadi komoditas penting, terdapat

para pedagang dari daerah Indonesia, yaitu Maluku, Solor, Makasar,

Sumbawa, Jaratan, Gresik, Juwana dan Sumatra. Selain itu, pelabuhan Banten

juga banyak dikunjungi kapal dan pedagang asing, antara lain dari Arab, Cina,

Persia, Suriah, India, Turki, Jepang, Filipina, dan Eropa (Portugis, Inggris,

Belanda, Prancis, Denmark,)6 Kedatangan golongan pedagang baik untuk

tinggal sementara maupun menetap sangat diharapkan oleh golongan ningrat,

karena menambah pemasukan penghasilan di kesultanan Banten.7

Dalam keramaian perdagangan dan pelayaran ini ada sebagian negara

yang ingin memonopoli perdagangan yaitu Kompeni Belanda. Pihak

kesultanan tentu tidak menyetujui perdagangan monopoli tersebut, karena

5 http://www.sridianti.com/pengertian-perdagangan-bebas.html, di akses tanggal 05-02- 2016. 6 Uka Tjandrasasmita. Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtayasa. (Jakarta: Kebudayaan Nusalarang 1967), hal. 29. 7 Halwany Michrob dan A. Mujahid Chudari, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor – impor di zaman kesultanan Banten, hal. 5.

38

akan mengancam kedaulatan kesultanan Banten, meskipun Sultan Ageng

Tirtayasa menerapkan politik bebas aktif8 terhadap dunia luar.9

Kebijakan Sultan Ageng Tirtayasa dalam bidang ekonomi yaitu

memulihkan perniagaan di Banten dengan membuat saluran antara Pontang

dan Tanahara agar dapat dilayari kapal dan dapat mengairi daerah sekitarnya

hingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan bagi Banten.10 Saluran air

dibangun antara tahun 1660-1670 yang dilakukan oleh rakyat Banten. Di

sepanjang kiri kanan saluran air terdapat persawahan baru untuk mendukung

persediaan makanan bagi rakyat Banten. Untuk meningkatkan bidang

ekonomi Sultan melakukan kebijakan dengan cara meningkatkan hasil bumi

serta memperkuat armada guna menjamin keamanan para pedagang di

perairan Banten.11

Sistem perdagangan bebas diyakini sebagai salah satu daya tarik

tersendiri bagi para pedagang asing yang terdiri dari berbagai kelas untuk

melakukan kerjasama dalam aktivitas perdagangan di Banten. Selain itu, di

Banten beredar juga uang Banten, Belanda, dan Inggris. Disamping

menggunakan mata uang, para pedagang juga masih menggunakan sistem

barter (tukar barang) untuk mendapatkan lada dari Banten. Bagi Kerajaan-

kerajaan maritim, pelabuhan merupakan sumber penghasilan yang amat

penting bagi kerajaan, terutama penerapan bea cukai dan pajak yang menjadi

8 Politik Bebas aktif artinya bebas menentukan pandangan dan sikapnya terhadap masalah masalah internasional dan bebas menjalin kerja sama dengan negara manapun tanpa dibatasi oleh perbedaan ideologi. Dan aktif artinya aktif memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan. Lukman Surya Saputra. Pendidikan Kewarganegaraan Menumbuhkan Nasionalisme Dan Patriotisme, (Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009), hal. 64. 9 Baik dari daerah Nusantara maupun dari Eropa. 10 M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara, hal. 39. 11 Sutrisno Kutoyo, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1995), hal. 42.

39

sumber utama devisa kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan di

Banten cukup dinamis, sementara VOC dengan sistem monopolinya harus

berjuang menyaingi Banten yang semakin kuat baik dari aspek perekonomian,

politik, dan angkatan perangnya.

Bermacam upaya untuk memajukan Banten ini agaknya tidak sia-sia,

banyak kapal dagang asing terlibat dalam perdagangan dan tidak sedikit yang

mendirikan kantor dagang di Banten.

2. Mengembangkan Pelayaran dan Perdagangan

Kesultanan Banten pada abad ke- 15-17 adalah sebuah pusat

perdagangan internasional yang sangat penting. Sebagai pusat berdagangan

internasional, Kesultanan Banten sangat dikenal di negeri-negeri atas angin

(India, Arab, Iran, negeri-negeri Eropa, dan Maghribi) dan menjadi salah satu

pelabuhan singgah utama mereka. Penduduk Banten setiap harinya

berinteraksi dengan para pendatang dari Arab, Abesinea, Belanda, Cina,

Denmark, Inggris, India, Jepang, Portugis dan lain sebagainya12.

Perkembangan pelabuhan Banten tidak bisa terlepas dari peristiwa

sejarah yakni ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511.13 Para

pedagang muslim dari Arab, Persia, dan Gujarat setelah peristiwa itu tidak

lagi melalui Selat Malaka dan memilih untuk singgah di Banten. Perlahan-

lahan pedagang-pedagang lain tertarik untuk singgah dan bertransaksi di

Banten. Hal ini ditambah lagi oleh fakta bahwa pada tahun 1527 Banten

12 Darma wijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal. 86. 13 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003), hal. 77.

40

berhasil menduduki Pelabuhan Sunda Kelapa, sebuah pelabuhan yang jauh lebih ramai dari pelabuhan di Banten, yang sebelumnya dikuasai Kerajaan

Pajajaran. Akhirnya pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang asing.

Sebelum Sultan Ageng Tirtayasa memerintah, Banten sudah mengalami kemajuan dalam perdagangan dan pelayaran baik dengan negeri- negeri yang ada di Nusantara sendiri maupun dengan negeri-negeri asing di

Asia dan Eropa. Faktor yang menyebabkan terjadinya kemajuan dalam bidang perdagangan dan pelayaran itu karena Banten merupakan kota pantai yang benar-benar mempunyai pelabuhan yang sangat baik bagi lalu lintas kapal- kapal besar. Selain itu, faktor yang paling utama ialah, karena Banten merupakan penghasil lada dan tempat penimbun hasil pala dan cengkeh yang diambil dari Ternate dan Banda Aceh.14

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pelayaran dan perdagangan Banten lebih dikembangkan. Salah satu usaha terbesar dari

Sultan Ageng Tirtayasa ialah memajukan pelayaran dan perdagangan yang menempatkan Banten sebagai negara yang merdeka lepas dari pengaruh politik dan ekonomi kolonial Belanda dan bangsa-bangsa asing lainnya.

Pelayaran di Banten mengalami kemajuan melebihi masa sebelumnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila orang Eropa berkepentingan untuk menanamkan saham dalam aktivitas ekonomi perdagangan sehingga

14 Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI, hal. 137.

41

pelayaran dan perdagangannya tetap dipertahankan dan juga kekuasaannya mendapat dukungan dari bangsawan-bangsawan dan sultan Banten.15

Upaya lain yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa yaitu melakukan konsolidasi pemerintahannya dengan mengadakan hubungan persahabatan antar lain dengan Lampung, Bengkulu dan Cirebon. Hubungan pelayaran dan perdagangan dengan Kerajaan Goa, dengan sumber rempah-rempah di

Maluku meskipun menurut perjanjian dengan VOC, Banten tidak diperbolehkan untuk melakukan pelayaran dan perdagangan dengan Maluku tapi tetap dilakukannya.16

Berbagai macam upaya untuk memajukan Banten ini bisa dikatakan berhasil, ini bisa dilihat dari banyaknya kapal dagang asing terlibat dalam perdagangan dan tidak sedikit yang mendirikan kantor dagang di Banten. Oleh karena itu puncak kejayaan maritim Kesultanan Banten diraih pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa yang memimpin antara 1651 sampai

1682. Hal ini bisa dilihat berdasarkan jumlah penduduk Banten yang memiliki penduduk 150.000 pada awal pemerintahannya dan 200.000 jiwa pada akhir kepemimpinannya.17 Hal ini menjadikan kota Banten sebesar Amsterdam,

Roma, dan Seoul. Kapal-kapal dari penjuru dunia dan negeri-negeri di

Nusantara banyak yang singgah di pelabuhan Banten. Mereka singgah tidak hanya untuk membongkar muatan, tetapi juga memuat barang. Dengan kata lain, Kesultanan Banten tidak hanya menjadikan pelabuhannya sebagai saluran impor semata, namun juga sebagai saluran ekspor produk-produk

15 Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtayasa, hal. 29. 16 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, hal. 49. 17 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, hal. 176.

42

yang dihasilkan oleh masyarakat lokal seperti produk pertanian dan

pertukangan untuk dijajakan ke berbagai penjuru Nusantara dan dunia.

Sultan Ageng Tirtayasa memiliki dua penasihat asal Tiongkok

bernama Kaytsu setelah masuk islam lebih dikenal dengan sebutan

Ngabehi Kaytsu dan Tantseko yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai

Ngabehi Cakradana. Melalui dua orang penasihatnya itu Kesultanan Banten

membuka jalur perdagangan baru dengan negeri Tiongkok. Cakradana juga

berperan penting dalam membidangi pembangunan-pembangunan jalan,

jembatan, gedung-gedung, rumah-rumah dan pembangunan lainnya yang

bersifat permanen.18 Untuk pengembangan armada-armadanya, sultan dibantu

oleh orang Inggris, Denmark, dan Portugis yang ia pekerjakan dalam

pemerintahan. Para pembantu ini juga berkontribusi dalam pengembangan

teknologi militer maritim Kesultanan Banten.

Berdasarkan gambaran di atas bahwa Banten sudah memiliki peranan

penting terhadap pelayaran dan perdagangan. Di mana peranannya sebagai

distributor rempah-rempah yang banyak dihasilkan dari daerah Timur yaitu

Ambon dan Maluku, tempat pelayaran dan juga sebagai tempat perdagangan.

3. Penerapan Pajak di Banten

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 “.....Pajak

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

18 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Perdaban Abad X-XVII, hal. 74.

43

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat....”.19 Oleh Karena itu, Pajak

merupakan hak prerogatif pemerintah, iuran wajib yang dipungut oleh

pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin

negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara

langsung berdasarkan undang-undang.

Pajak yang wajib dikeluarkan terdiri dari barang impor dan ekspor.

Selain pajak masuk, para pedagang diwajibkan pula membawa berbagai

persembahan baik untuk sultan, Tumenggung dan Syahbandar. Berkaitan

dengan hal tersebut, Groeneveldt menjelaskan bersumber dari berita Cina”

Ketika sebuah kapal Cina berlabuh di Banten maka seorang petugas datang ke kapal itu untuk meminta keterangan. Nakhoda kapal memberikan sekeranjang jeruk dan dua buah payung kecil. Selanjutnya petugas tersebut melaporkan secara tertulis kepada sultan dan ketika berlayar memasuki sungai dihadiahkanlah kepada sultan buah-buahan dan berpotong-potong sutera. Sultan menugasi 4 orang juru tulis Cina dan 2 orang juru tulis pribumi untuk membereskan pembukuan dan di setiap kapal seorang Cina yang menguasai bahasa Jawa ditugasi sebagai juru bahasa. Untuk usaha perdagangan 2 tempat diluar kota ditunjuk oleh raja, dan di tempat-tempat ini dibangun toko-toko”20 Keterangan tersebut di atas menunjukkan bahwa ada berbagai

kewajiban, baik yang berupa uang maupun barang yang harus diberikan

kepada pihak pemerintah kesultanan Banten. Secara umum pajak yang

diterima kesultanan Banten terdiri dari dua macam pajak yaitu Pajak

Langsung yaitu pajak yang resmi yang harus dibayar dan kedua Pajak Tidak

Resmi yaitu berupa hadiah. Besarnya pajak resmi ditentukan oleh pihak

pemerintah sedangkan besar kecilnya pajak tidak resmi sangat tergantung si

19 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ( Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 85, 2007), hal. 2. 20 Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, hal. 241.

44

pemberi. Meskipun demikian terkadang jenis hadiah pun ditentukan oleh

pihak pemerintah, sebagaimana dialami oleh pedagang Cina yang diharuskan

membawa hadiah berupa keramik dari negerinya.21

Pajak perdagangan yang berupa cukai perdagangan ekspor dan impor

wajib dilaksanakan oleh seluruh pedagang, namun jumlahnya tidak sama.

Diduga pedagang asing merupakan pembayar pajak yang terbesar, sehingga

diperkirakan pendapatan dari sektor ini merupakan pemasok terbesar bagi kas

kesultanan. Selain itu juga pemasukan kas berasal dari pajak yang dikenal

pada masa itu yang terdiri dari pajak hasil bumi, pajak atas ternak, rumah,

perahu dan pajak pasar.22

Dalam manajemen pelabuhan, Banten juga mempraktikkan sistem

beacukai. Barang-barang ekspor seperti lada yang bukan merupakan produk

asli Banten, akan dikenai pajak yang besar kecilnya pajak tersebut ditentukan

oleh Syahbandar. Misalnya pajak Kerajaan, pajak untuk juru tulis, pajak

untuk juru timbang dan lain sebaginya. Pada suatu transaksi yang bernilai fl

33.760, Belanda harus membayar beacukai sebesar fl 11.533 atau sekitar 30%

dari nilai dagangan. Pada masa itu, di awal abad-17, pedagang-pedagang

Belanda dikenai pajak yang jauh lebih tinggi dibanding dengan pedagang

Tionghoa yang dikenai pajak hanya 5%.23

21 Heriyanti, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, hal. 242. 22 Ibid., hal. 242. 23 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 78

45

Di bawah ini beberapa pajak dengan rincian sebagai berikut.24

Pajak Kerajaan sebesar 8% menurut harga pembelian yang fl 6346

ditetapkan (4 real per karung)

Ruba-ruba untuk syahbandar (250 real per 6000 karung) fl 828

Ruba-ruba untuk raja 500 real per 6000 karung fl 1.625

Beli-belian, suatu pajak khusus (666 real karung) fl 2.201

Pangroro, pajak khusus yang lain, 11 ½ cash per karung fl 14

Pajak untuk juru tulis, dihitung per 100 karung fl 198

Pajak untuk juru timbang, dihitung per 100 karung fl 198

Biaya untuk mengangkut lada ke Rumah timbangan fl 98

Total fl 11.533

Tabel di atas menunjukkan bahwa pajak yang diterapkan oleh

Syahbandar bervariasi jumlah yang harus dikeluarkan oleh para pedagang,

baik pedagang asing maupun para pedagang lokal. Hal ini tergantung kepada

keharmonisan hubungan para pedagang dengan Syahbandar yang telah

ditugaskan oleh Pemerintah.

Pajak memiliki peranan penting bagi kesultanan Banten karena pajak

merupakan sumber utama pendapatan negara. Pajak yang dipungut digunakan

pemerintah untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan. Pengeluaran

seperti biaya gaji pegawai, pembelian peralatan kegiatan pemerintahan dan

24 Ibid., hal. 78., Lihat pula Halwani Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Serang: Saudara, 2011, hal. 114.

46

sebagainya. Sedangkan pembangunan terdiri dari pembangunan jembatan,

jalan raya, pembangunan keraton dan lain sebagainya.

B. Bidang Pertanian

Banten merupakan daerah agraris, yang sebagian besar rakyatnya bermata

pencaharian pertanian. Pembangunan pertanian sangat perlu dikembangkan

karena mempunyai peran penting dalam pembangunan. Setiap tahapan

pembangunan yang ada, pembangunan pertanian merupakan bagian yang harus

diprioritaskan. Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

mutu produksi serta meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani. Keragaman

hayati merupakan salah satu nilai sentral dari pembangunan pertanian di masa

yang akan datang, maka harus dikembangkan sistem pertanian untuk

menghasilkan produk pertanian yang memiliki nilai dan daya saing.

Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Banten diarahkan untuk

meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri

untuk meningkatkan ekspor, pendapatan petani, dan membuka kesempatan kerja.

Pengertian tentang pertanian dalam arti sempit adalah suatu kegiatan bercocok

tanam25, sedangkan dalam arti luas pertanian adalah segala kegiatan manusia yang

meliputi kegiatan bercocok tanam, perikanan, peternakan, perkebunan dan

kehutanan.

Sumber daya alam yang subur sangat berpotensi untuk mengembangkan

sektor pertanian dan perkebunan. Sultan Ageng Tirtayasa sangat menaruh

perhatian terhadap perdagangan, pertanian dan juga perkebunan. Dalam bidang

pertanian ia melakukan langkah-langkah untuk mengembangkan persawahan

25Dendy sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 1626.

47

dengan sistem irigasi dan membuat kanal-kanal. Begitu pula dalam bidang perkebunan, terutama perkebunan kelapa dan lada, untuk menopang perdagangan.

Sebagai mana tercatat dalam sejarah bahwa Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan mentrinya, Kiyai Arya Mangunjaya, untuk mengerahkan semua kepala wilayah kerajaan dan memerintahkan kepada mereka untuk mengumpulkan pohon kelapa muda sebanyak seratus batang setiap orang di daerah wewenangnya.26 Pohon-pohon kelapa tersebut harus di tanam di dekat

Sungai Ontong (Cisadane) yang berbatasan dengan Batavia.

Untuk melaksanakan kebijakan tersebut maka Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan pemindahan dan pembuatan pemukiman baru di perkebunan baru tersebut. Pemindahan tersebut mencapai lima ribu orang laki-laki yang sehat disertai keluarga mereka. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar sehingga perlu pembuatan pemukiman baru untuk menopangnya. Menurut Claude

Guillot pembangunan tersebut sedikitnya mencapai sepuluh Desa.27

Lokasinya yang strategis membuat Banten berkembang menjadi negara adidaya28. Banten juga merupakan daerah yang sangat strategis bagi para pedagang baik dari dalam maupun luar negeri dan penghasil lada terbesar di Jawa

Barat, serta komoditas lainnya seperti beras dan rempah-rempah29. Banten menduduki tempat penting di bagian Barat dan menjadi bandar setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis yang mengakibatkan perpindahan perdagangan dari Selat

26 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, terj, (Jakarta, KPG, 2008), terj, hal.156. 27 Ibid., hal. 156 28 Ibid., hal. 201. 29 Susanto Zuhdi, VOC di Kepulauan Indonesia:Berdagang dan Menjajah, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal.7

48

Malaka ke Selat Sunda.30 Letak geografis yang sangat strategis ini yang menjadikan kesultanan Banten menjadi kota Kerajaan Islam yang berkembang menjadi kota metropolitan dan sekaligus juga sebagai kota produktif. Selain itu, letaknya yang dekat dengan Selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara.31

Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun prekonomian bidang pertanian sebagai berikut:

1. Pengembangan Sumber Daya Pengairan/ Sistem Irigasi dan Pertanian

Sumber daya air sangat dibutuhkan dalam mengelola pertanian. Bahkan

air menjadi kebutuhan utama untuk menghasilkan tanaman padi yang subur

dan menghasilkan panen yang lebih banyak dan mencukupi bagi kebutuhan

masyarakat, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk di jual. Air harus

di kelola dengan baik jika ingin lebih bermanfaat. Baik untuk pemandian,

mengairi persawahan dan jalur transfortasi.

Pengelolaan air bisa dilakukan dengan cara membuat irigasi dan kanal

kanal yang mana salah satu fungsinya untuk mengairi sawah. Sultan Ageng

Tirtayasa membuat saluran air untuk kemakmuran negerinya. Saluran air ini

dibuat antara Untung Jawa ke Tanara hingga Pontang yang menghubungkan

sungai-sungai di sekitarnya agar mudah dilayari kapal dan perahu-perahu

kecil.32 Selain mudah dilayari perahu-perahu kecil, saluran tersebut juga

30 Tubagus Najib Al-Bantani, Kebangkitan Kembali Banten dari masa kemasa berdasarkan Naskah Kuno dan Tinggalan Arkeologi, (Serang: Yayasan SengPho Banten, 2011), hal. 43. 31 Edi S. Ekadjati, Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra:Kumpulan Makalah Diskusi, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1982/1983), hal. 97. 32 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, (Jakarta: Kebudayaan Nusalarang, 1967), hal. 26.

49

memiliki fungsi untuk kepentingan pengairan, pertanian, dan perikanan serta

dimanfaatkan pula sebagai pertahanan dan keamanan.

Saluran air buatan ini bukan hanya berfungsi sebagai penghubung

perahu-perahu kecil di waktu peperangan, melainkan juga benteng bagi sawah-

sawah yang baru dibuka di kanan kiri sepanjang saluran tersebut yang

menghasilkan padi begitu berlimpah. Pertanian mengalami perkembangan yang

sangat pesat dengan dibukanya sawah-sawah baru beserta saluran air yang

hasilnya membawa kemakmuran bagi rakyat serta dapat menambah

penyimpanan bahan makanan yang sangat penting sebagai bahan perbekalan,

jika terjadi perang. Selain untuk kebutuhan masyarakat, hal itu pula merupakan

bentuk politik dan strategi Sultan Ageng Tirtayasa dalam membuat saluran air,

pembuatan persawahan mempunyai fungsi untuk menghimpun kekuatan dan

sifat-sifat gotong royong hingga menjadi kekuatan yang tidak mudah kena

hasutan dari pihak-pihak musuh.33

Pembuatan saluran itu dimulai sejak tahun 1660 sebagaimana tertera

dalam surat Gubernur Jenderal dan Hindia pada 16 Desember 1660 kepada

Bewindhebber Kompeni Belanda atau Heeren XVII. Pembuatan saluran air

tersebut tidak selesai dalam waktu dua sampai tiga tahun sebagaimana

diungkapkan dalam berita-berita pihak Belanda yang menceritakan bahwa pada

27 Agustus 1663 Sultan Ageng Tirtayasa dengan rakyatnya sedang membuat

saluran air yang lebar dari sungai Cikande hingga ke Pasilian dan selesai pada

tahun 1663. Kemudian penggalian dilanjutkan lagi pada 1670 dari Tanara

33 Ibid., hal. 28. Lihat. Edi S. Ekadjati, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Jawa Barat, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983), hal. 45., Dan Heriyanti Ongkodarma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1682 Kajian Arkeologi-Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2007), hal. 40.

50

hingga Pontang. Demikian pula pemberitaan tentang kegiatan itu masih ada

pada 1676 bahkan sampai 1678.34

Perhatian Sultan pada pengembangan sumber daya pertanian negaranya

yang lebih dominan pada penggarapan sawah. Pada tahun 1663 sampai 1677,

ia memesan pembangunan sistem irigasi yang besar-besaran di Banten. Kanal-

kanal baru sepanjang 30-40 km dibangun, mempekerjakan hingga 16.000

orang dalam suatu kesempatan. Sepanjang kanal-kanal ini dibuka sekitar

30.000-40.000 hektar persawahan baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa.

Kira-kira 30.000 orang petani ditempatkan di lahan-lahan ini, sering kali

termasuk orang-orang yang oleh Sultan dianggap kurang baik seperti para

pendatang Bugis yang berprofesi sebagai Bajak Laut. Sultan memesan kincir

angin yang paling mutakhir dari Batavia untuk digunakan dalam irigasi.35

Proyek-proyek ini berguna tidak hanya dalam meningkatkan kekayaan

pertanian kerajaan, tetapi juga dalam membawa daerah-daerah pedalaman,

khususnya daerah yang berada di sepanjang perbatasan dengan Batavia yang

mudah terlepas ke dalam kontrol pusat yang lebih efektif. Sebuah produk baru

juga muncul, dengan diperkenalkannya Tebu oleh para pedagang Cina untuk

pertama kalinya dari tahun 1620-an kerajaan menjadi makmur. Ibukota Banten

sendiri diperkirakan mengalami pertumbuhan jumlah penduduk dari sekitar

150.000 jiwa pada awal kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa menjadi sekitar

200.000 jiwa pada akhir kekuasaannya.36 Meskipun begitu, Banten juga

mengalami musibah, di antaranya sebuah wabah pada tahun 1625 dilaporkan

34 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, hal. 27. 35 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 172. 36 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa Musuh Besar Kompeni Belanda, hal. 176.

51

telah melenyapkan sepertiga populasinya, dan sebuah musim kemarau telah menimbulkan krisis beras pada tahun 1670-an. Akan tetapi, secara keseluruhan, kebijakan sultan memajukan perdagangan luar negeri maupun pertanian daerah pedalaman tergolong berhasil.37

Di sebelah utara Masjid, terdapat gudang beras milik kota. Telah diketahui oleh umum tentang betapa pentingnya fungsi dan makna beras bagi orang Jawa. Para raja Banten selalu memedulikan pentingnya penyediaan bahan pangan kota ini. Oleh karena itu, mereka berusaha meningkatkan luasnya lahan-lahan yang dapat diolah dan dapat ditanami dengan membangun berbagai sistem pengairan. Apalagi pada zaman itu, perkebunan yang hasilnya diekspor seperti Lada, Gula, Jahe, dan sebagainya. Cenderung dibatasi tanaman bahan pangan. Pembangunan gudang beras ini diperintahkan oleh Sultan

Abdulmafakir, kemungkinan besar pada akhir tahun 1640-an. Dan bangunan tersebut masih belum selesai tahun 1659.38

Pembangunan baru selesai tahun 1668 karena tahun itu Sultan Ageng memerintahkan untuk mengisinya dengan beras. Orang Belanda memperkirakan banyaknya beras yang disimpan itu cukup untuk kebutuhan selama setahun. Kebijakan ini berkaitan dengan suatu rencana perang melawan

Batavia. Sikap Sultan Ageng yang bijaksana ini dipahami ketika tahun 1677 bahkan pada permulaan tahun 1678, persediaan beras menipis. Hal ini disebabkan oleh perang tetapi juga oleh cuaca jelek yang berakibat buruk pada

37 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terj, hal. 172. 38 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, hal. 82.

52

panen padi, tampaknya di sebagian Asia Tenggara sehingga harga beras

melonjak tinggi.39

Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa perekonomian dalam

bidang pertanian memiliki peranan penting bagi pembangunan Kesultanan

Banten. Di mana peranannya sebagai salah satu penopang kebutuhan hidup

sehari-hari dan kebutuhan perdagangan. Perdagangan sangat bergantung

kepada hasil pertanian terutama kebutuhan untuk pangan.

2. Mengembangkan Tanaman Lada dan kelapa di Banten dan Daerah

Kekuasaannya.

Pada abad XVI, tanaman lada di Nusantara mulai diusahakan secara

kecil-kecilan. Tetapi pada abad XVIII, tanaman tersebut telah diusahakan

secara besar-besaran. Lada merupakan produk pertanian yang sudah tidak asing

bagi masyarakat Banten, selain dimanfaatkan untuk bahan bumbu masakan,

lada juga merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Produk utama yang diperoleh dari tanaman lada dan memiliki nilai

komersial adalah lada yang sudah tua dan masak. Buah lada yang dipanen

ketika sudah tua diolah menjadi lada hitam, sedangkan buah lada yang dipanen

saat masak dikelola menjadi lada putih. Produk yang berupa lada hitam dan

lada putih ini dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Secara garis besar,

pemanfaatan lada dibedakan menjadi empat, yaitu sebagai bumbu masakan,

sebagai bahan campuran obat-obatan, sebagai bahan campuran pembuatan

39 Ibid., hal. 82.

53

minuman kesehatan dan penghangatan tubuh, serta sebagai bahan pembuatan

parfum.40

Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan Banten selain dihasilkan dari

kebun-kebun di Banten sendiri, juga diproduksi dari kebun-kebun lada di

wilayah kekuasaan Banten di pulau Sumatra seperti Lampung, Palembang, dan

Bengkulu41.

Gambaran kebijakan budi daya lada di Lampung tercatat dalam suatu

piagam yaitu Piagam Sukan berangka tahun 1104 H(1684 M), berhuruf

Lampung, berbahasa Jawa Banten yang menuliskan bahwa Sultan Banten

berwenang mengangkat dan memecat kepala daerah Lampung, Daerah ini

diwajibkan menanam merica sebanyak 500 pohon setiap orang termasuk

seluruh rakyat Lampung yang telah berusia 16 tahun.42

Begitu pula dalam “Piagam Dalung Bojong ” yang berangka tahun 1102

H (1691 M) memakai bahasa Jawa Banten dan Bahasa Arab Pegon di sebutkan

bahwa Sultan memerintahkan kepada seluruh punggawa Lampung sekaligus

rakyat kecil agar menanam 500 tanaman lada per orang. Di bawah ini kutipan

dari Piagam Dalung tersebut yang berbunyi:43

40 Sarpian, Pedoman Berkebun Lada dan Analisis Usaha Tani, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 16. 41 Ery Soedewo, Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten, Edisi 23/Tahun XI/Tahun 2007, hal. 20. 42 Heriyanti O Untoro , Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, hal. 126. 43 Mufliha Wijayanti, “Jejak Kesultanan Banten Di Lampung Abad XVII”, Jurnal Analisis, Volume XI, Nomor 2 (Desember 2011), hal. 15.

54

Kedua piagam tersebut menunjukkan bahwa rakyat memiliki kewajiban untuk menanam lada sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan di pasaran Banten. Dan wajar bila pada masa itu lada menjadi primadona bagi para pedagang untuk mendapatkan keuntungan setinggi- tingginya.

Selain perkebunan lada Sultan juga mengembangkan perkebunan kelapa seiring dengan pengembangan sawah di Banten. Penanaman pohon kelapa ini dimulai sekitar tahun 1659. Berdasarkan catatan tersebut Kiyai Arya

Mangunjaya, mentri Negara Sultan Ageng Tirtayasa yang sangat giat dan setia, mengerahkan semua kepala wilayah kerajaan dan memerintahkan kepada mereka untuk mengumpulkan pohon kelapa muda sebanyak seratus batang setiap orang di daerah wewenangnya. Pohon-pohon ini harus ditanam di dekat sungai Ontong Jawa (Cisadane), artinya dekat perbatasan dengan Batavia.44

44 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, terj, hal.156.

55

2. Hasil Pertanian

Pengembangan pertanian yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa

dianggap berhasil. Di bawah ini beberapa produk pertaniannya yang terdiri dari

; padi/Beras, lada, dan kelapa.

a. Beras

Pertanian mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan

dibukanya sawah-sawah baru beserta saluran air yang hasilnya membawa

kemakmuran bagi rakyat serta dapat menambah penyimpanan bahan

makanan yang sangat penting sebagai bahan perbekalan. Keterangan yang

menyebutkan tentang padi sebagai mana dalam sejarah Banten Pupuh XLVI

ini di tuliskan bahwa:

‘’Sekali waktu sultan memberitahukan kepada para punggawa tentang keinginan baginda untuk memeriksa persawahan (seserangan), dan untuk membangun lumbung yang besar di alun- alun, tempat dimana Sultan akan seserangan itu adalah di Serang, sebelah timur jalan besar”.45

Menurut Hoesein Djajadiningrat „Serang’ artinya sawah atau ladang

padi pada umumnya, dan Seserangan berarti ke sawah, mengedarinya dan

memeriksanya. Perhatian sultan untuk memeriksa persawahan,

menunjukkan bahwa tanaman padi agaknya bukan hanya dilakukan para

petani, yang semata-mata melakukan budi daya tanaman padi sebagai

sumber mata pencahariannya, melainkan lebih mendekati pada pekerjaan

sebagai buruh tani yaitu bekerja mengolah lahan pertanian yang bukan

miliknya.46

45 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, terj (Jakarta: Djambatan, 1983), hal. 59. 46 Heriyanti O Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, hal. 139.

56

Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa sultan bermaksud untuk

membangun lumbung besar di alun-alun. Berarti hasil, budi daya padi

cukup banyak sehingga membutuhkan tempat simpanan, meski tidak semua

padi yang disimpan di sana berasal dari sawah dan milik kesultanan, namun

juga berasal pula dari upeti serta pajak yang dipersembahkan rakyat.47

b. Lada dan Kelapa

Pusat perdagangan dan perkebunan lada di Pulau Jawa yang terbesar

adalah Banten. Pada abad ke 16 aktivitas perdagangan ladanya telah

menarik banyak pedagang Mancanegara. Pada tahun 1522 Banten

mengekspor 1000 bahar lada setiap tahun ke berbagai penjuru dunia,

terutama ke Cina dan Eropa48 pada masa itu, lada merupakan bahan rempah

yang sangat diminati oleh orang-orang di Benua Eropa, sehingga para

pedagang asing berdatangan ke kawasan penghasil lada di Nusantara.

Menurut J. Bastin yang dikutip oleh Untoro, keperluan lada Eropa pada

abad ke 16 terus meningkat, tercatat sebelum 1506 sebanyak 1,5 juta ton per

tahun, menjelang tahun yang sama naik 2 juta ton, bahkan di tahun 1509

menjadi 6 hingga 7 juta ton49. Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan Banten

selain dihasilkan dari kebun-kebun di Banten sendiri, juga diproduksi di

kebun-kebun lada di wilayah kekuasaan Banten di pulau Sumatra seperti

Lampung, Palembang, dan Bengkulu50.

47 Ibid., hal. 139 48 Heriyanti O Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, ( Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), hal. 167. 49 Ibid., hal. 167. 50 Ery Soedewo, Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten, Edisi No. 23/Tahun XI/Tahun 2007, hal. 20.

57

Gambaran tentang budi daya lada ini disaksikan sendiri oleh Ma Huan

seorang penerjemah muslim Cina ketika tiba di Sumatra beliau melihat

kebun lada di lereng pegunungan. Dan menceritakan soal Budi daya tanaman

itu sebagai berikut, “tumbuhannya menjalar, menghasilkan bunga yang

berwarna putih dan kuning; ladanya sendiri dihasilkan dari buahnya;

berwarna hijau saat muda dan berwarna merah saat sudah tua; para petani

menunggu untuk memanennya hingga buahnya setengah tua. Setelah

dipanen, buahnya dijemur di bawah terik matahari, setelah kering lalu

dijualnya. Setiap 100 chin dihargai 80 keping uang emas, yang senilai 1

Uang perak”.51

Di Banten sendiri, lada dibudidayakan di kawasan pedalaman52.

Meskipun tidak disebutkan secara pasti lokasinya di daerah mana.

Colenbrader menjelaskan, sebagaimana yang dikutip oleh Untoro, bahwa

banyak petani lada datang dengan perahu dari pedalaman ke kota Banten di

pesisir pada waktu musim hujan.53 Kedatangan petani lada ini sangat

diharapkan oleh para saudagar, karena mereka dapat membeli dan

mengumpulkan sebelum dibawa ke negeri masing-masing. Setiap tahun

mereka berusaha mendapatkan lada sebanyak mungkin agar dapat diangkut

sesuai dengan kapasitas kapal.54

Usaha ini tampaknya mendatangkan keuntungan berlipat ganda,

sehingga ada pedagang dari Cina memindahkan pemukimannya ke arah

51 Ibid., hal. 20. 52 Kawasan Pedalaman yang dimaksud diperkirakan berada di sekitar Gunung Karang. Heriyanti O Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, hal. 118. 53 Heriyanti O Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006, hal. 169. 54 Ibid., hal. 169.

58

selatan. Walaupun jumlah lada yang mereka dapatkan terbatas karena sarana

transportasi tidak memadai, jalan darat sulit ditembus dan jalan satu-satunya

adalah melalui sungai, namun kegiatan tersebut tetap berlangsung. Bahkan

tidak jarang para pedagang dari Cina menukarkan barang dagangan yang

dibawa dari negerinya, dengan lada secara langsung.

Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan Banten setiap tahun cukup

banyak. Tercatat di tahun 1603, orang Belanda mengimpor dari pelabuhan

ini sejumlah 259.200 pon lada, sedangkan pada tahun 1608 kapal Belanda

bernama Bantam berhasil mengapalkan 8.440 karung lada. Pada tahun 1618,

tampak 10 kapal dagang Cina dengan kekuatan antara 1000 hingga 1500 ton

datang ke Banten dengan membawa berbagai mata dagangan. Kapal-kapal ini

memuati bahan rempah terutama lada sekembalinya ke Cina.55 Pada Tahun

1774 Belanda mengirim lada 19.000 bahar56 ke negerinya.57

Tidak terlalu banyak sumber yang menceritakan tentang hasil kelapa

meskipun pernah ada kebijakan tentang penanaman kelapa pada masa

Sultan Ageng Tirtayasa di Banten yang wajib ditanam oleh masyarakat

untuk ditanam di pinggiran Sungai Cisadane.

55 Ibid., 170. 56 Bahar memiliki arti bahwa 1 bahar berarti tiga pikul. Nina H Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, hal. 79 57 Nina H.Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 79.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua

usaha penting Sultan Ageng Tirtayasa dalam membangun ekonomi Banten, yaitu:

2. Sektor Perdagangan yang meliputi;

a. Sistem Perdagangan Bebas.

Dengan sistem ini Sultan Ageng Tirtayasa membuka kerja sama dengan

berbagai Kerajaan di Nusantara maupun dengan negara-negara di luar

Nusantara. Adapun beberapa Kerajaan atau negara yang bekerja sama

dengan Kesultanan Banten di antaranya; Kerajaan Cirebon, Kerajaan

Palembang, Kerajaan Trunojoyo, China, India, Inggris, Prancis, Denmark,

Portugis dan lain sebagainya.

b. Pelayaran.

Dengan sistem ini Sultan Ageng Tirtayasa dapat meningkatkan

produktivitas hasil pertanian atau perkebunan yang diperoleh dari berbagai

wilayah di Nusantara, seperti lada, pala, cengkih, beras dan lain

sebagainya.

c. Pajak

Sultan Ageng Tirtayasa menerapkan pajak perdagangan yang berupa cukai

perdagangan ekspor dan impor yang wajib dikeluarkan oleh seluruh

pedagang. Pemasukan kas Kesultanan Banten juga berasal dari pajak yang

59 60

dikenal pada masa itu yang terdiri dari pajak hasil bumi, pajak atas ternak,

rumah, perahu dan pajak pasar.

3. Sektor Pertanian yang meliputi;

a. Pengembangan Sumber Daya Pengairan atau Sistem Irigasi.

Dengan cara membuat irigasi dan saluran air hingga sawah-sawah ini

menjadi subur dan makmur serta jarang mengalami kekeringan dan

melakukan penggalian-penggalian sungai yang dapat dilayari perahu-

perahu sehingga meningkatkan produksi pertanian yang berdampak pada

kesejahteraan rakyat.

b. Pengembangan Tanaman Lada dan Kelapa

Kebijakan ini dilakukan dengan cara mewajibkan penduduk untuk

menanam lada dan kelapa di daerah yang subur untuk tanaman ini. Seperti

daerah Cikarang dan daerah Lampung sedangkan daerah tanaman kelapa

yaitu di daerah sekitar pinggiran Sungai Cisadane.

B. Saran

Mengingat terbatasnya kemampuan penulis, sehingga penulisan skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, baik dari substansi pembahasan maupun teknik

penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan :

1. Kritik dan saran-saran yang membangun, agar dapat dilakukan perbaikan-

perbaikan terhadap kesalahan, kekeliruan dan kekurangan pada penelitian ini.

2. Bagi mahasiswa khususnya bidang sejarah untuk mengembangkan riset

tentang kebijakan atau perkembangan kehidupan ekonomi umat islam.

61

3. Penulis berharap pada peneliti lain, agar melakukan pembahasan yang lebih

komprehensif terkait kesultanan Banten khususnya pada sektor ekonomi.

Tidak hanya terbatas pada satu masa kesultanan saja, namun secara umum

dari keseluruhan kesultanan Banten, dengan demikian pembahasan menjadi

lebih luas dan lengkap serta dapat menjadi informasi bagi masyarakat luas

untuk bisa mengetahui sejarah kesultanan Banten.

4. Perlu untuk secara lebih mendalam diperlukan sumber-sumber sejarah antara

lain arsip, dan dokumen-dokumen resmi.

5. Bagi mahasiswa peneliti sejarah kesultanan Banten disarankan juga untuk

memperkuat kemampuan metodologi analisa yang diperlukan.

6. Bagi para pembaca atau masyarakat umum diharapkan untuk lebih cermat

dan seksama dalam membaca, sehingga dapat lebih mengetahui sejarah

kesultanan Banten.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII . Jakarta: Prenada Media, 2005.

Budi Utomo, Bambang. Atlas Sejarah Indonesia Masa Islam. Jakarta: PT Karisma Ilmu, 2011.

De Graaf H. J, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik abad XV dan XVI. Ter Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003.

Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis Tentang Banten, Jakarta: Djambatan, 1983.

Ekadjati, Edi S. Banten Kota Pelabuhan Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,1982/1983.

Fitzsimons, Peter. Batavia. Melbourne : Random House Australia, 2012.

Guillot, Claude. Banten sejarah dan peradaban abad X-XVII. Terj Jakarta: KPG, 2008.

Hamka. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.

Hamka. Sejarah Umat Islam. Cet. Kedua, Singapura : Pustaka Nasional PT. ELTD,1997.

Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam sejahtera, 1995.

Juliandi dkk. Ragam Pusaka Budaya Banten. Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Lampung: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, Cetakan Pertama, 2005.

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Imporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia Pustaka Kusuma, 1987.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Jakarta: Tiara Wacana, 1994.

Kutoyo, Sutrisno. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud, 1995.

58

Lubis, Nina. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003.

Media Pusindo, Pahlawan Indonesia. Depok: Media Pusindo, Anggota IKAPI Cimanggis Depok, 2008.

Media Pusindo. Pahlawan Indonesia. Depok: Media Pusindo, Anggota IKAPI Cimanggis Depok, 2008.

Michrob, Halwany dan Khudhari. Catatan masa lalu Banten. Serang: Saudara, 2011.

Michrob, Halwany. Catatan Sejarah dan Arkeologi : Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten. Serang: Kamar Dagang dan Industri Serang, 1989.

Najib, Tubagus. Kebangkitan Kembali Banten dari masa ke masa berdasarkan Naskah Kuno dan Tinggalan Arkeologi. Serang: Yayasan SengPho, Banten, 2011.

Pudjiastuti, Titik. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Rafiudin, Tb Hafidz. Riwayat Kesultanan Banten. Banten: T.pn., 2006.

Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press, 1994.

-----. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Saputra, Lukman Surya. Pendidikan Kewarganegaraan Menumbuhkan Nasionalisme Dan Patriotisme, Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

-----.Pendidikan Kewarganegaraan Menumbuhkan Nasionalisme Dan Patriotisme. Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

Sarpian, Pedoman Berkebun Lada dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Simbolon, Parakitri Tahi. Menjadi Indonesia. Jakarta : Penerbit Gramedia, 2006.

Soekirno, Ade. Pangeran Jayakarta: Perintis Jakarta Lewat Sejarah Sunda Kelapa. Jakarta : Penerbit Grasindo, 1995.

Sutjiatiningsih, Sri. Banten Jalur Sutra. Jakarata: Depdikbud, 1993.

59

Tjadrasasmita, Uka. Banten Abad XV-XXI: Pencapaian Gemilang Pencerahan Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011.

----- Musuh Besar Kompeni Belanda Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta: Kebudayaan Nusalarang, 1967.

----- Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia. Kudus: Menara Kudus, 2000.

----- Sultan Ageng Tirtayasa. Jakarta : Dekdikbud, 1981.

Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1681 Kajian Arkeologi Ekonomi, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2007.

Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006.

Wijaya, Darma. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Yahya, M Harun. Kerajaan Islam Nusantara abad XV-XVII M. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtra, 1995.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Zuhdi, Susanto. VOC di Kepulauan Indonesia:Berdagang dan Menjajah, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

Kamus

Sugono, Dendy. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Jurnal dan Artikel

Iskandar, Mohammad. “Nusantara dalam Era Niaga Sebelum Abad ke-19”. Wacana. Vol.7 no.2 (Oktober 2005), pp.186.

Soedewo, Ery. ‘Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten’, Edisi No. 23/Tahun XI/Tahun 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan

60

Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 85, 2007.

Wijayanti, Mufliha. ‟Jejak Kesultanan Banten di Lampung Abad XVII’. Jurnal Analisis, Volume XI, Nomor 2 (Desember 2011).

Artikel Web http://www.sridianti.com/pengertian-perdagangan-bebas.html, di akses tanggal 05 Januari 2017