Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Nama
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Nama: Dea (191370018) Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin dan Adab Universitas Islam Negri Sultan Maulana Hasanuddin Banten Tahun 2020 Email: [email protected] ABSTRAK Terlebih dulu akan kita ikuti lebih lanjut cerita-cerita Portugis sebelum membandingkannya dengan cerita anak negeri untuk melihat atau menarik kesimpulancdari perbandingan-perbandingan. Tentang kerajaan Sunda yang kecil, tetapi sedang berkembang itu, yang banyak mengeluarkan lada di mana rajanya mencari persahabatan dengan orang Portugis, telah dapat diceritakan oleh Barbosa (1516).1 Barros pun mengatakan, bahwa setelah direbutnya Malaka oleh Alfonso d’Alboquerque pada tahun 1511, maka Sangiang Sunda sebagaimana juga raja-raja Indonesia lainnya, mengadakan hubungan dengan orang Portugis. Dalam uraian umumnya tentang Sunda ia menceritakan kekhususan-kekhususan yang berikut. Pendalamannya lebih bergunung-gunung daripada pendalaman Jawa. Pelabuhan- pelabuhan yang terutama enam jumlahnya, yaitu Chiamo, Xacatra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam, dengan pelabuhan-pelabuhan mana orang Portugis mempunyai lalu lintas perdagangan.2 Ibu kotanya disebut Daio dan terletak sedikit ke pedalaman. Ketika Henrique Leme mengunjungi pulau itu, kota itu mempunyai, menurut kepastian orang, 50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai 100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena peperangan dengan orag Mor, jumlah tersebut sangat berkurang. Negeri itu sangat kaya dengan bermacam-macam makanan. Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya ditekankan kepada penyembahan dewa-dewa mereka. Mereka banyak mepunyai kuil-kuil untuk menyembah dewa-dewa itu. Mereka itu mush-musuh besar orang-orang Mor, lebih-lebih setelah mereka ditaklukan oleh seorang Sangue de Pate de Dama. 1 Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368 2 Yang terbanyak nama-nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi oleh Veth (Jaya I, halaman 278). BAB I PENDAHULUAN Dalam disertasi ini akan dicoba memberikan suatu sumbangan baru kepada pengetahuan tentang penulisan sejarah Jawa, yaitu dengan jalan menganalisa sebuah kitab sejarah, Sajarah Banten atau Babad Banten.3 Karena dua sebab kronik ini di pandang dari sudut historis dan historiografis menarik perhatian. Memang kronik ini merupakan kronik Jawa yang tertua yang kita kenal, dan sekalipun tentu saja untuk sebagian besar menguraikan sejarah Banten, kronik ini pun berisikan tradisi-tradisi tentang sejarah yang lebih tua dan tentang kurun zaman di Islamkannya tanah Jawa, yang kadang-kadang menyimpang dari apa yang dijumpai tentang itu dalam kronik-kronik lain. Memang tentang ini telah ditunjukkan oleh Dr. Brandes dalam karangannya “Yogyakarta” di dalam TBG, XXXVII, halaman 426. catatan, dan didalam Pararaton, halaman 112, catatan. Arti Sejarah Banten ini kita harapkan sekarang menonjolkannya dengan cara yang berikut ini. Mula-mula kita akan menguraikan secara luas tentang isi kronik ini. Uraian yang singkat tentang isi kronik ini telah diberikan oleh Prof. Vreede dalam karyanya “Catalogus van de Javaansche en Madoereesche handaschriften der Leidsche Universiteitsbibliotheek” halaman 112-119, sedangkan beberapa ikhtisar isi telah diumumkan oleh Dr. Brandes, yaitu dalam Pararaton, halaman 113-116 dan dalam TBG, XLII dengan judul “Een hofreis naar Mataram omen bij 1648 A.D.” Bab kedua akan berisi suatu tinjauan historis atas keterangan-keterangan kronik tentang sejarah Banten, sedangkan bab terakhir tradisi-tradisi yang secara historis tidak dapat diuji akan diperbandingkan dengan tradisi-tradisi yang bersamaan dari kronik-kronik lain. Di samping itu, perbandingan itu akan memberikan juga kesempatan kepada kita untuk mengetahui satu dan lainnya tentang penulisan sejarah Jawa. Tetapi sebelum kita mulai melaksanakan rencana tersebut, patutlah terlebih dahulu kita menetapkan waktu ditulisnya serta memberikan ciri kepada bentuk kronik itu. 3 Dengan “Jawa” dimaksud di sini dan selanjutnya adalah Jawa Baru dengan tidak memasukkan Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan Dari naskah-naskah Sejarah Banten yag saya ketahui adanya, dapatlah kita teliti naskah- naskah yang di bawah ini: A. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon (tulisan Arab tanpa harakah); bentuk tulisannya kuno; sebagian besar permulaannya dan penghabisannya hilang; ternyata dari catatan Prof. Snouck Hurgronje, diterima pada tahun 1892 dari Bupati Serang pada waktu itu. B. Naskah koleksi Brandes no.86, pada Bataviaasch Genootschap; dalam pegon; salinan suatu naskah yang dipinjamkan pada akhir tahun 1890 dari Banten; isi teksnya sama benar dengan teks pada A. C. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon; dengan teks yang boleh dikatakan cacat yang sejalan dengan teks naskah-naskah tersebut di atas; apa yang tidak ada di situ, untuk sebagian besar ada disini; tetapi naskah ini mempunyai kekurangan- kekurangan lain; menurut catatan Prof. Snouck Hurgronje diterima pada tahun 189 dari Bupati Serang pada waktu itu. D. Naskah kepunyaan saya sendiri; diterima dari Banten dalam pegon; redaksinya juga berlainan; ternyata dari bait penutupnya, sebuah salinan, dimulai hari Senin 26 Sja’ban tahun Ehe, menurut sebuah naskah asli dalam tulisan Jawa yang diselesaikan pada hari Rabu 9 Ruwah tahun Be, 1144 H, yaitu 6 Februari 1732. E. Naskah kepunyaan Prof. Snouck Hurgronje; dalam pegon; menurut catatan Prof. Snouck Hurgronje sebuah salinan, dibuat pada tahun 1892, menurut sebuah naskah tua dalam tulisan Jawa; berisi redaksi sama dengan D; tetapi bait penutuf D dengan penanggalan Senin 26 Sja’ban tahun Ehe tidak terdapat di sini, namun ada penanggalan penyelesaian kronik itu. Sebuah naskah tua Sejarah Banten dalam tulisan Jawa yang dipandang sebagai keramat, dengan menyesal tak dapat saya teliti. Untunglah, berkat sebuah foto sehalaman naskah itu yang dimiliki Prof. Snouck Hurgronje, redaksi naskah itu dapat ditetapkan. Menurut halaman itu naskah tersebut mempunyai redaksi yang sama dengan E. boleh jadi E sendiri merupakan salinan dari naskah itu, yang tentu adalah naskah asal yang telah diselesaikan pada tanggal 6 Februari 1732.4 4 Naskah Add 12300 British Museum oleh Mr. S. Keyzer disebut “ Geschiedenis van Bantam”, menurut judul Inggris yang ada di situ, menurut penyelidikan BAB II PEMBAHASAN A. Isi Sejarah Banten Diceritakanlah sekarang tentang seorang yang keramat, yang Bapaknya berasal dari Yamani dan ibunya dari Bani Israil. Dari Mandarsah ia datang di Jawa, yaitu Pakungwati, untuk mengIslamkan daerah ini. Ia mempunyai dua orang anak; seorang perempuan (yang tua), dan seorang laki-laki bernama Molana Hasanuddin. Dengan anaknya yang laki-laki ia berangkat ke arah Barat, tiba di Banten Girang, lalu terus ke selatan, ke Gunung Pulosari. Di situ ada perkampungan yang penghuninya persis 800 ajar. Mereka itu dikepalai oleh Pucuk Umun, perkataan mana berarti Panembahan. Pucuk Umum mengetahui, bahwa ia harus memberikan kedudukannya kepada orang lain, dan bahwa di Pakuwan tidak ada lagi raja-raja, hanya bupati-bupati saja. Karena itu menghilanglah ia. Molana Hasanuddin berkelanalah di hutan-hutan dan di atas Gunung Pulosari, dan ia pun tibalah di sebuah pertapaan yang ditinggalkan. Ketika bapaknya datang kepadanya, dikatakan kepadanya, bahwa pertapaan itu adalah pertapaan Brahmana Kadali. Sesudah memberikan pelajaran kepada anaknya dalam berbagai cabang pengetahuan Islam dan mempercayakan dia kepada 2 orang jin, Santri namanya, yang tak dapat dilihat oleh orang lain, kembalilah ia ke Pakungwati. Ke 800 ajar yang karena lenyapnya pemimpin mereka berada dalam kecemasan, menghadap Molana Hasanuddin dan mengakui dia sebagai Pucuk Umun mereka, tuan mereka. Molana Hasanuddin tetap berkeliling, sekali melakukan tapa di Gunung Pulosari, dan sekali di Gunung Karang dan Gunung Lor. Sekali ia menyebrang ke Panahitan, dan ditemukannya di laut sebuah gong yang dibawanya serta. Sesudah 7 tahun ia hidup begitu, ia mendapat kunjungan Bapaknya dari Carebon. Dengan Bapaknya, dibungkus dan dibawa dalam pakaiannya, ia naik haji ke Mekah. Setelah mereka itu melakukan apa yang perlu, kembalilah mereka, dan dalam perjalanan mereka singgah di Malangkabo. Dari raja negeri itu Sunan Gunung Jati mendapat sebilah keris, yang disebut Mundarang, dan diberikannya keris itu kepada anaknya. Sudah itu ia melanjutkan perjalanannya ke Carebon, sedangkan anaknya tinggal di Banten. Sandisastra bertanya, dengan cara bagaimana Sunan Gunung Jati pergi ke Mekah itu. Sandimaya menjawab, bahwa ia tak seharusnya menanyakan itu tidak ada diceritakan, bahwa sunan itu melakukan perjalanan hajinya dengan perahu atau sesuatu yang lain, berkat rahmat Allah setiap perjalanan wali berlalu dengan selamat. Setelah nasihat terhadap keinginan tahunya ini, menanyakan saja tentang peristiwa-peristiwa seterusnya. Hasanuddin memerintahkan para ajar untuk mencari tempat yang baik untuk menyabung ayam. Sebuah tempat di Gunung Lancar dipilihlah dan dipersiapkan. Banyak orang datang melihat ke situ, dan begitu juga 2 orang ponggawa dari Pakuwan, bernama, Ki Jongjo.5 Mereka menganut agama Islam dan bekerja pada Hasanuddin. Waktu itu Hasanuddin berusia 20 tahun. Kemudian ia menaklukan Banten Girang, yang untuk kejadian itu diberikan 2 buah sangkala, yaitu brasta gempung warna tunggal dan ilang kari warna lan nagri. Kemudian disuruhnya para ajar itu kembali ke Gunung Pulosari, karena jika gunung itu tetap tidak berpenduduk, maka hal itu merupakan tanda bagi keruntuhan Tanah Jawa. Sebagai pemimpin diangkatnya ajar Panandahan Mepek. Ia sendiri menetap di Banten Girang, dan memberi