UNIVERSITAS INDONESIA

RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012)

TESIS

NURSATYO 1006745240

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA JUNI 2012

i Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si)

NURSATYO 1006745240

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA JUNI 2012

ii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM PASCASARJANA

TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS

Nama : NURSATYO NPM : 1006745240 Program Studi : Ilmu Komunikasi Judul Tesis : RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012)

Dosen Pembimbing

(Dr. Ade Armando, M.S)

iii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : NURSATYO NPM : 1006745240

Tanda Tangan : Tanggal : 27 Juni 2012

iv Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

v Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

KATA PENGANTAR

Sistem penyiaran Indonesia mengalami proses yang sangat dinamis pasca lahirnya UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan juga rangkaian Peraturan Pemerintah tentang penyiaran yang kontroversial. Salah satu aspek yang masih menjadi persoalan adalah penataan sistem kepemilikan media penyiaran, terutama televisi swasta. Terbentuknya kelompok-kelompok usaha media (media group) di Indonesia ditengarai memunculkan struktur kepemilikan media yang mengarah pada konsentrasi kepemilikan. Aksi korporasi berupa akuisisi yang dilakukan oleh PT Tbk (EMTEK) terhadap PT Karya Media Tbk (IDKM) pada awal tahun 2011 seperti menjadi pemantik bagi munculnya perdebatan dan aksi gugatan publik terhadap sistem kepemilikan media di Indonesia. Berbagai aksi publik terhadap sistem kepemilikan media, mulai dari gugatan warga negara yang dilakukan oleh Hinca Panjaitan, Pendapat Hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga pengajuan uji materi (Judicial Review) pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP), menjadi catatan sejarah yang turut membentuk sistem kepemilikan media di Indonesia. Penelitian ini mencoba menggambarkan secara komprehensif dan mendalam proses tersebut dengan menggunakan sudut pandang teori strukturasi Anthony Giddens yang diharapkan dapat memberikan penjelasan yang utuh akan dinamika interaksi yang terjadi antara struktur dan agen penyiaran dalam menata sistem kepemilikan media penyiaran terutama televisi swasta di Indonesia. Penulis sangat bersyukur karena tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Hal itu tentu tidak terlepas berkat dukungan banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, ijinkan penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, mendorong dan memberi semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis mohon maaf jika ada nama-nama yang terlewat sehingga tidak disebutkan.

vi Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mendapat kelancaran dalam segala urusan. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Bapak H. Mulyoto dan Ibu Endang Sri Suwarni yang telah memberikan limpahan kasih sayang dan doa agar penulis menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Kepada istriku tercinta Sri Winarsih dan anakku Rafa Zarathustra, yang tanpa henti dan tidak bosan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah yang tertunda cukup lama ini. I really love you so much….. Terima kasih juga kepada adik-adikku Setyorini, Adhitya Nugroho, Mirawati Ulfa dan Iqbal Fadhilah. Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih atas dukungan Ibu Hj. Sriyamah dan Bapak H. Basri sekeluarga, serta Ibu Hj. Bing Rusdi dan Bapak H. Rusdi Ilyas yang memberikan perhatian begitu besar kepada penulis. Juga kepada rekan-rekan dosen di FISIP Universitas Nasional, terutama Program Studi Ilmu Komunikasi, diantaranya; Drs. Adi Prakosa, M.Si. dan Asep Rahmat, SH, MH, yang terus memberikan semangat dan dorongan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Iskandar ZA, M.Sc dan Priyanto “Kirly” Hartono serta rekan-rekan di PN FORMI, Bang Ucok Hasibuan dan rekan-rekan di Q Communication, keluarga besar Special Olympics Indonesia, yang juga telah banyak memberikan dukungan untuk kelancaran studi penulis. Tesis ini adalah hasil akhir dari rangkaian tugas dan proses studi di program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Oleh karenanya, penulis patut menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada: 1. Dr. Ade Armando, M.Sc, pembimbing sejak reading course hingga tesis yang banyak memberikan inspirasi dan perbaikan penulisan tesis ini. 2. Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Pinckey Triputra, M.Sc. 3. Sekretaris program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Drs. Eduard Lukman, MA.

vii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

4. Seluruh staf pengajar program Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. 5. Staf sekretariat dan perpustakaan yang banyak memberikan dukungan dan bantuan. 6. Rekan-rekan Ilkom angkatan 2010 yang begitu hangat dan bersahabat.

Terima kasih pula yang sangat besar kepada sahabatku Lily Agatha yang turut menyumbangkan ide awal penelitian ini serta masukan-masukan untuk perbaikan. Terima kasih pula penulis haturkan kepada kawan seperjuangan Muhammad “Iyan” Royani yang memberikan bantuan akses terhadap beberapa informasi dalam penelitian ini. Kepada para informan penelitian; Bapak Hayono Isman, Bapak M. Riyanto, Mas Bimo Nugroho, dan Bang Umar Idris, penulis haturkan banyak terima kasih. Semoga Allah Subhanahu Wata‟ala membalas budi baik semuanya. Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat bagi perbaikan sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia. Semoga.

Salemba, Jul i 2012

Nursatyo

viii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : NURSATYO NPM : 1006745240 Program Studi : Ilmu Komunikasi Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : 27 Juni 2012

Yang menyatakan,

(Nursatyo)

ix Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

ABSTRAK

Nama : NURSATYO NPM : 1006745240 Program Studi : Ilmu Komunikasi Judul Tesis : RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012)

Tesis ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang mendalam dan menyeluruh tentang dinamika interaksi yang terjadi antara agen dan struktur penyiaran di Indonesia dalam menata sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia, terutama sejak munculnya kasus akuisisi PT IDKM oleh PT EMTEK hingga proses persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi selama tahun 2011-2012. Teori strukturasi Anthony Giddens dikaitkan dengan konsep strukturasi ekonomi politik Vincent Mosco menjadi teori utama penelitian ini. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis yang memandang struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia amat dipengaruhi oleh kekuasaan modal (kapital). Pendekatan penelitian kualitatif deskriptif dengan desain penelitian Studi Kasus (Case Study) digunakan untuk dapat memberikan deskripsi yang komprehensif akan dinamika tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara dan studi dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksi korporasi IDKM oleh EMTEK mencerminkan pemusatan/ konsentrasi kepemilikan media yang merupakan konsekuensi dari sistem kapitalisme global. Struktur kapitalisme inilah yang mendominasi sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia saat ini dimana upaya peningkatan akumulasi modal dilakukan melalui praktik penguasaan saham beberapa media televisi swasta pada level perusahaan induk (holding company). UU Penyiaran no.32 tahun 2002 yang memiliki prinsip diversity of ownership itu sendiri tidak mampu mencegah praktik konsentrasi tersebut karena adanya celah penafsiran terutama pada pasal 18 ayat (1) tentang pembatasan pemusatan kepemilikan dan pasal 34 ayat (4) tentang larangan pemindahtanganan izin penyiaran. Meski demikian, struktur kapitalisme tersebut terus mendapat perlawanan dari beberapa agensi yang menentang pemusatan kepemilikan media televisi di Indonesia.

Kata kunci : konsentrasi kepemilikan media, struktur penyiaran Indonesia

x Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

ABSTRACT

Name : NURSATYO ID Number : 1006745240 Study Program : Communication Science Title : RELATION BETWEEN AGENT AND STRUCTURE IN ORDER TO ORGANIZE COMMERCIAL MEDIA TELEVISION OWNERSHIP IN INDONESIA. (Study of Political Economy Structuration on Acquisition of IDKM by EMTEK and the Judicial Review Process in The Constitutional Court period 2011 – 2012)

This research aims to provide a comprehensive description about the dynamics interaction between agent and structure of Indonesian broadcasting system particularly in order to organize commercial television media ownership. Our observation is since the case of acquisition PT IDKM by PT EMTEK until the Judicial Review proceedings in the Constitutional Court. Giddens‟s Structuration Theory combining with Political Economy Structuration Vincent Mosco is became the main theory. Critical paradigm is used to see the dominance of capital power in media ownership structure in Indonesia, especially commercial television. Descriptive qualitative approach with a case study research design is used to provide a comprehensive description about these dynamics process. The data were collected by means of interview and documents review. The results showed that the acquisition of IDKM by EMTEK reflect the concentration of media ownership as a consequence of the global capitalism system. The structure of capitalism were the dominant system of commercial television ownership in Indonesia effort to increase the accumulation of capital through stock purchase practices at holding company level. Broadcasting Act 2002 which has a principle of diversity of ownership itself cannot prevent the practice of the concentration is due to the multi interpretation of article 18 paragraph (1) about the restrictions of ownership concentration and article 34 paragraph (4) about the prohibition of transfer of broadcasting licenses. However, the structure of capitalism continue to get resistance from some agencies against the television media ownership concentration in Indonesia

Keywords: media ownership concentration, Indonesian broadcasting structure

xi Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

DAFTAR ISI

TANDA PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ...... iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...... iv HALAMAN PENGESAHAN ...... v KATA PENGANTAR ...... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...... ix ABSTRAK ...... x ABSTRACT ...... xi DAFTAR ISI ...... xii DAFTAR TABEL ...... xiv DAFTAR GAMBAR ...... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ...... 1 1.2. Rumusan Masalah ...... 6 1.3. Tujuan Penelitian ...... 6 1.4. Signifikansi Penelitian ...... 7 1.5. Sistematika Penulisan ...... 9

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Teori Strukturasi Ekonomi Politik ...... 11 2.2. Konsep Diversity of Ownership ...... 18 2.3. Konsentrasi Kepemilikan Media Dalam Perspektif Ekonomi Politik ...... 21

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian ...... 30 3.2. Pendekatan Penelitian ...... 30 3.3. Sifat Penelitian ...... 31 3.4. Desain Penelitian ...... 31

xii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

3.5. Teknik Pengumpulan Data ...... 33 3.6. Subjek Penelitian dan Informan ...... 34 3.7. Teknik Analisis Data ...... 34 3.8. Uji Keabsahan Data ...... 35

BAB 4 ANALISIS DATA 4.1. Dinamika Kepemilikan Media Televisi Swasta di Indonesia ...... 36 4.1.1. Masa Orde Baru ...... 36 4.1.2. Masa Awal Reformasi ...... 38 4.2. Struktur Kepemilikan Media Dalam UU Penyiaran 2002 ...... 41 4.2.1. Regulasi Kepemilikan Media Penyiaran di Indonesia ...... 43 4.2.2. Sumber Daya Autoritatif dan Alokatif Dalam Struktur Kepemilikan Media di Indonesia ...... 49 4.3. Proses Akuisisi IDKM oleh EMTEK ...... 57 4.4. Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi ...... 76 4.5. Dinamika Interaksi Agen dan Struktur Dalam Menata Kepemilikan Media di Indonesia ...... 97 4.6. Diskusi dan Pembahasan ...... 101

BAB 5 PENUTUP 5.1. Simpulan ...... 104 5.2. Saran ...... 107

DAFTAR REFERENSI ...... 109 LAMPIRAN 1. Transkrip Wawancara dengan Informan M. Riyanto 2. Transkrip Wawancara dengan Informan Bimo Nugroho 3. Transkrip Wawancara dengan Informan Umar Idris 4. Transkrip Wawancara dengan Informan Hayono Isman

xiii Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Jumlah Televisi Nasional yang Memenuhi Ketentuan SSJ Tahun 2010 ...... 52 Tabel 4.2. Pendapatan Kotor Iklan Televisi 10 LPS Eksisting Periode Januari – April 2012 ...... 54 Tabel 4.3. Daftar Kelompok Usaha Media (Media Group) 10 LPS Televisi Eksisting & Market Share Tahun 2011 ...... 56

xiv Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Hubungan IDKM dengan LPS Indosiar ...... 60 Gambar 4.2. Hubungan IDKM dengan LPS SCTV ...... 62

xv Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah Proses demokratisasi di Indonesia yang terjadi pasca reformasi membawa pengaruh pada ranah penyiaran. Dunia penyiaran yang mengatur media radio dan televisi dihadapkan pada paradigma baru yang muncul dalam Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Yang dimaksud dengan paradigma baru tersebut adalah paradigma “Ruang Publik”. Paradigma “Ruang Publik” merupakan paradigma yang menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Berlawanan dengan paradigma Ruang Publik adalah paradigma “Pasar”. Paradigma pasar memandang bahwa bisnis penyiaran harus didudukkan sama dengan dunia bisnis pada umumnya, dimana semakin minimnya campur tangan pemerintah akan menciptakan efisiensi ekonomi. Paradigma pasar berasumsi bahwa masyarakat akan terlayani dengan cara yang optimal bila segenap pertimbangan bisnis diserahkan kepada dinamika penawaran dan permintaan (hukum pasar). Melalui kompetisi yang fair diantara para pelaku pasar maka akan membuat produsen memberikan produk yang terbaik bagi konsumen dengan harga murah.1 Jika dikaitkan dengan bisnis penyiaran khususnya televisi, paradigma pasar ini akan dipahami bahwa semakin diberikan kebebasan seluas-luasnya bagi lembaga penyiaran televisi untuk mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pasar, maka akan dapat menciptakan program siaran yang bagus sesuai dengan keinginan pasar (masyarakat). Sebaliknya, paradigma “Ruang Publik” menganggap bahwa bisnis penyiaran berbeda dengan bisnis pada umumnya. Armando mengemukakan tiga argumentasi mengapa dunia penyiaran harus diatur untuk kepentingan publik.2 Pertama, media massa –termasuk media penyiaran- memiliki fungsi yang sangat vital yaitu berkenaan dengan informasi. Dengan informasi yang dimiliki, media massa diyakini memiliki kekuasaan yang besar untuk mempengaruhi audiens.

1 Ade Armando, Televisi Jakarta Diatas Indonesia, Yogyakarta:Bentang, 2011, hlm. 2-6 2 Ibid.

1 Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 2

Besarnya kekuasaan media, ia pun disebut sebagai pilar keempat kekuasaan “the fourth estate” disamping tiga kekuasaan politik dalam pandangan trias politika; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apalagi media penyiaran televisi memiliki sifat pervasiveness yang mampu masuk ke ranah domestik tanpa diundang. Kedua, media massa juga berperan sebagai ruang diskusi publik (public sphere) yang menuntut media sebagai wadah menampung informasi dan opini masyarakat yang beragam tanpa khawatir dan takut terhadap kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi. Ketiga, dan ini yang terpenting, bahwa frekuensi yang digunakan oleh media penyiaran sifatnya terbatas dan merupakan milik publik seperti halnya kekayaan alam air, tanah dan udara. Ketiga argumentasi itulah yang digunakan dalam paradigma ruang publik untuk mengatur dunia penyiaran. Kekuasaan media yang besar, keharusan media untuk menjadi ruang diskusi publik dan terbatasnya frekuensi, menyebabkan penataan media penyiaran membutuhkan intervensi pihak non-media. Ketergantungan media yang sangat besar dari iklan dapat menjadikan media lebih berpihak dan melayani pengiklan yang di belakangnya adalah para pemodal besar. Dalam hal ini media bisa saja tidak responsif terhadap kebutuhan publik. UU Penyiaran menegaskan bahwa seluruh praktek penyiaran di Indonesia harus didasarkan demi kepentingan publik. Pasal 6 ayat 2 UU 32/2002 menyatakan “Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”3 Pemanfaatan untuk kepentingan publik artinya publik berhak menerima isi siaran yang sehat dan lembaga penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Munculnya paradigma Ruang Publik dalam UU Penyiaran itulah yang kemudian melahirkan sebuah lembaga negara independen untuk mengatur dunia penyiaran (Independent Regulatory Body). Lembaga ini kemudian diberi nama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

3 Undang-Undang no.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, format .pdf diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011 melalui website www.kpi.go.id

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 3

KPI lahir dengan membawa paradigma Ruang Publik. Maka, KPI diharapkan mampu menjadi representasi publik dalam menghadapi kekuatan pemodal (kekuasaan ekonomi) dan pemerintah (kekuasaan politik). Dalam UU Penyiaran disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara yang bersifat independen sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.4 KPI berasal dari unsur masyarakat madani yang berupaya untuk menciptakan keseimbangan diantara kekuatan negara dan pasar dalam industri penyiaran. Sebagai generasi penerus dan pengawal kepentingan masyarakat, menjadi tugas KPI untuk menjaga amanat UU Penyiaran terutama yang berkaitan dengan prinsip diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), dengan tetap berusaha untuk memperbaiki diri untuk kepentingan bersama. Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Pasal 18 ayat 1 UU 32/2002 menyebutkan “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.”5 Akhir Februari 2011, dunia penyiaran diramaikan dengan rencana penggabungan usaha antara PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) yang merupakan perusahaan pemilik lembaga penyiaran INDOSIAR dengan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) perusahaan induk dari PT Tbk (SCMA) yang menaungi lembaga penyiaran SCTV. Rencana penggabungan

4 Pasal 1 ayat 13 UU 32/2002 tentang Penyiaran 5 Undang-Undang no.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 4

usaha tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama IDKM Handoko dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), di Jakarta, Senin (21/2/2011).6 Sejak itu perdebatan tentang penggabungan SCTV dan INDOSIAR mengemuka di berbagai media massa. Banyak kalangan yang menilai usaha merger tersebut berimplikasi pada konsentrasi/ pemusatan kepemilikan media. Hal ini seketika mendapat kecaman dari kalangan pengamat penyiaran -termasuk KPI- yang menganggap usaha merger tersebut menyalahi Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dengan EMTEK dan IDKM serta pihak pemerintah seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), KPI Pusat pada tanggal 7 Juni 2011 mengeluarkan pandangan hukum (legal opinion) atas kasus tersebut.7 KPI menyatakan bahwa rencana aksi korporasi PT EMTEK sebagai pemilik 86% saham PT SCM yang memegang 99,9% saham PT SCTV, mengambil alih keseluruhan saham milik PT PV di PT IDKM, pemegang 99,9% saham PT IVM, berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU 32/2002 tentang Penyiaran, serta Pasal 32 ayat (1) huruf (a) Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS).8 KPI berpendapat bahwa PT SCTV dan PT IVM adalah lembaga penyiaran swasta yang sama-sama beralokasi di propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian pengambilalihan tersebut mengakibatkan PT EMTEK sebagai 1 (satu) badan hukum memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) jasa penyiaran televisi yang beralokasi di 1 (satu) propinsi. Hal ini menyalahi Pasal 32 ayat (1) huruf (a) PP-LPS yang berbunyi

6 “Indosiar dan SCTV Merger !” situs berita www.okezone.com 21 Februari 2011, 15:01 wib, diunduh melalui alamat http://economy.okezone.com/read/2011/02/21/278/427049/indosiar-- merger 7 “Akuisisi Indosiar Berpotensi Langgar Undang-Undang” situs berita www.okezone.com 7 Juni 2011, 10:45 wib, diunduh melalui alamat http://economy.okezone.com/read/2011/06/07/278/465313/akuisisi-indosiar-berpotensi-langgar- undang-undang 8 Dokumen KPI berjudul “Pandangan Hukum Komisi Penyiaran Indonesia (Pusat) atas Rencana Aksi Korporasi Pengambilahan Saham PT Indosiar Karya Media, Tbk oleh PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk.”

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 5

“Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jada penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh Indonesia dibatasi sebagai berikut: 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang beralokasi di 2 (dua) propinsi yang berbeda.”

Selain itu, KPI melandaskan argumentasi yuridis pada Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang berbunyi : “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain” dengan penjelasan “yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseroan lain.” IPP yang diberikan kepada PT IVM, yang semula 99,9% sahamnya dikuasai PT IDKM, sebagai anak perusahaan PT PV, karena keseluruhan PT PV diambil alih PT EMTEK, dianggap telah dipindahtangankan ke PT EMTEK sebagai badan hukum yang telah memiliki IPP. Kasus akuisisi ini akhirnya berkembang menjadi isu tentang kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia melalui langkah yang diambil oleh Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) dengan mengajukan uji materi (Judicial Review/JR) pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi. Perkembangan kasus inilah yang menimbulkan sebuah ketertarikan bagi penulis untuk mendalami proses akuisisi IDKM oleh EMTEK sehingga dapat mengetahui struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia serta dinamika interaksi yang terjadi antara agen dan struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia, terutama dalam proses persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, sejak awal 2012 DPR RI tengah melakukan pembahasan perubahan UU Penyiaran. Maka, dinamika yang terjadi selama proses

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 6

pembahasan sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia pasti berdampak pada perubahan UU Penyiaran tersebut. Maka, atas dasar latar belakang diatas penelitian ini mengambil judul “RELASI AGEN DAN STRUKTUR DALAM MENATA KEPEMILIKAN MEDIA TELEVISI SWASTA DI INDONESIA” (Kajian Strukturasi Ekonomi Politik atas Dinamika Interaksi dalam Kasus Akuisisi IDKM oleh EMTEK serta Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Tahun 2011-2012)

1.2. Rumusan Masalah Mengacu pada proses dialektis dalam kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK hingga berkembang menjadi perdebatan soal isu penataan sistem kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran struktur kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia yang memungkinkan terjadinya aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK? 2. Bagaimana upaya para agensi di bidang penyiaran menentang konsentrasi kepemilikan media di Indonesia? 3. Bagaimana dinamika interaksi antara agensi dan struktur kepemilikan media penyiaran, baik dalam proses aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK maupun dalam proses persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahmakah Konstitusi?

1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat dengan tujuan: 1. Untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif dan menyeluruh tentang struktur kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia. 2. Untuk memahami dinamika yang terjadi dalam proses penataan sistem kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 7

3. Untuk memahami kekuatan agensi-agensi sosial di bidang penyiaran dalam melakukan perubahan-perubahan menuju perbaikan sistem penyiaran Indonesia.

1.4. Signifikansi Penelitian Penelitian seputar perkembangan isu penyiaran maupun tentang kepemilikan media (media ownership) di Indonesia telah ada sebelumnya: 1. Tesis Bimo Nugroho Sekundatmo, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia tahun 2006 yang berjudul “Kontestasi Negara, Industri dan Masyarakat Sipil Dalam Kontroversi Peraturan Pemerintah Tentang Penyiaran”. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa akar kontestasi masalah PP Penyiaran adalah pertarungan rezim Market Regulation melawan Public Regulation. Bimo juga mengatakan bahwa terdapat bipolarisasi (dua kutub) dalam struktur penyiaran Indonesia yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Perusahaan Penyiaran di satu kutub dan Masyarakat Sipil (termasuk KPI) dan DPR di kutub yang lain. Penelitian itu juga secara jelas menyatakan bahwa pemerintah (Kemkominfo) merupakan kaki tangan para pemilik modal industri penyiaran. 2. Tesis Idy Muzayyad, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia tahun 2007 yang berjudul “Dinamika Interaksi Antara KPI, Depkominfo, dan Industri dalam Regulasi Penyiaran Televisi di Indonesia”. Penelitian tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdapat perubahan strategi dan posisi dalam menjalankan peran dan fungsi KPI dari era “revolusi fisik” ke era “diplomatik”, yang mana KPI saat itu lebih kompromistis berhadapan dengan Depkominfo dan Industri. 3. Penelitian Yanuar Nugroho dkk dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) tahun 2012 yang berjudul “Mapping The Landscape Of The Media Industry In Contemporary Indonesia”. Hasil penelitian diantaranya menyebutkan bahwa perkembangan industri media di Indonesia pasca reformasi 1998 didorong oleh kepentingan modal yang mengarah pada konsentrasi kepemilikan yang bersifat oligopoli. Penelitian

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 8

tersebut juga menyatakan bahwa oligopoli kepemilikan membahayakan hak warga negara atas informasi karena industri media karena lebih mencerminkan kepentingan bisnis semata yang bisa dipengaruhi kepentingan pemilik serta pihak-pihak yang ingin berkuasa. 9

Dari penelitian diatas menggambarkan tentang potret struktur penyiaran di Indonesia yang semuanya mengarah pada struktur kapitalisme dan hubungan antara struktur dengan agensi seperti KPI. Namun demikian, dari penelitian- penelitian di atas belum menyinggung secara spesifik mengenai struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia. Seiring perkembangan waktu dan kasus terbaru tentang kepemilikan media penyiaran di Indonesia yaitu akuisisi IDKM oleh EMTEK dan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi, patut memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu komunikasi yang terkait dengan sistem kepemilikan media televisi swasta di Indonesia. Atas dasar itu penelitian ini memiliki beberapa signifikansi: 1. Signifikansi Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian mengenai teori ekonomi politik yang mencermati tentang peran agen-agen sosial dalam bidang penyiaran yang memberikan kontribusi terhadap perbaikan sistem kepemilikan media (media ownership) penyiaran televisi swasta. 2. Signifikansi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian yang telah ada di Universitas Indonesia sebelumnya tentang sistem penyiaran di Indonesia khususnya sistem kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia serta menumbuhkembangkan minat para mahasiswa untuk terus mengkaji dinamika sistem penyiaran di Indonesia. 3. Signifikansi Praktis Melalui deskripsi tentang potret kekuatan dan kelemahan agen sosial dalam berhadapan dengan struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia dapat menjadi bahan masukan bagi komunitas penyiaran di

9 Yanuar Nugroho, Dinita Andriani Putri, Shita Laksmi, Mapping The Landscape Of The Media Industry In Contemporary Indonesia, kerjasama Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) and HIVOS Regional Office Southeast Asia, Jakarta, 2012, hlm. 4

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 9

Indonesia yang terus berjuang memperbaiki tatanan sistem penyiaran Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan membaca penelitian ini, penulis membagi menjadi lima bab yang memiliki hubungan yang saling terkait, yaitu:

BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini penulis memaparkan mengenai latar belakang masalah penelitian terutama menunjukkan perkembangan dunia penyiaran di Indonesia sejak lahirnya UU Penyiaran hingga munculnya aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK pada awal tahun 2011 dan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Selain itu rumusan masalah penelitian, tujuan, siginifikansi dan sistematika penulisan juga tertulis dalam bab satu ini.

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN Pada bab dua penulis memaparkan tentang kerangka pemikiran yang berasal dari teori dan konsep yang terkait dengan masalah penelitian. Teori pokok yang digunakan adalah Teori Strukturasi Anthony Giddens dipadukan dengan Konsep Strukturasi Ekonomi Politik Vincent Mosco yang dituangkan secara komprehensif dalam melihat peran agensi-agensi sosial dalam interaksinya dengan struktur penyiaran. Sedangkan teori-teori pendukung serta konsep- konsep lainnya yang diulas adalah konsep tentang konsep diversity of ownership dan konsentrasi kepemilikan media.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini penulis memaparkan metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mencakup point of view peneliti yang tercantum dalam paradigma penelitian, kemudian pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus (case study) serta teknik pengumpulan, pengolahan dan analisa data.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 10

BAB 4 ANALISA DATA Pada bab ini penulis memaparkan tentang hasil-hasil temuan data beserta analisis berdasarkan kerangka teori pada bab dua yang dipilah dalam beberapa subbab yaitu dinamika kepemilikan media televisi swasta di Indonesia, struktur kepemilikan media dalam UU Penyiaran 2002 serta proses akuisisi IDKM oleh EMTEK dan proses uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi.

BAB 5 PENUTUP Pada bab ini penulis memaparkan tentang simpulan yang didapat dari hasil analisa data di bab empat disertai dengan saran perbaikan sistem kepemilikan media penyiaran Indonesia.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 11

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Teori Strukturasi Ekonomi Politik Strukturasi merupakan teori yang dicetuskan oleh Anthony Giddens, seorang Sosiolog asal Inggris. Sebagai sebuah teori tentang tindakan sosial (social action), teori strukturasi menegaskan bahwa tindakan manusia merupakan suatu proses produksi dan reproduksi berbagai sistem sosial. Tindakan para komunikator, kalau tindakan sosial itu dilihat dalam perspektif komunikasi, didasarkan pada aturan-aturan untuk mencapai tujuan mereka, dan dengan itu menciptakan struktur yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan-tindakan di masa mendatang. Struktur memberikan individu aturan-aturan yang menuntun tindakan mereka, tetapi tindakan individu tersebut pada gilirannya menciptakan aturan baru dan mereproduksi aturan-aturan lama.10 Dalam telaah kritis itu, Giddens secara khusus menaruh perhatian pada masalah dualisme yang menggejala dalam teori-teori sosial.11 Dualisme itu berupa tegangan antara subyektivisme dan obyektivisme dan antara voluntarisme dan determinisme. Subyektivisme dan voluntarisme merupakan tendensi cara pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan. Adapun objektivisme dan determinisme, merupakan kecenderungan cara pandang yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan dan pengalaman individu. Giddens mencoba mengajukan kaitan teoritis untuk membangun „hubungan‟ yang memadai antara keduanya. Akar dualisme ini, menurut Giddens, terletak pada kerancuan melihat obyek kajian ilmu sosial. Obyek utama ilmu sosial, bukan „peran sosial‟ (social role) seperti dalam fungsionalisme Parsons, bukan „kode tersembunyi‟ (hidden code) seperti dalam strukturalisme Levi- Strauss, bukan pula „keunikan situasional‟ seperti dalam interaksionisme simbolis Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian; bukan struktur juga pelaku

10 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication 7th Edition, Thomson Learning, 2002, hlm. 152 11 Anthony Giddens, New Rules of Sociological Methods. 2nd edition, Cambridge: Polity Press, 1993

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 12

perorangan, melainkan titik temu antara keduanya, yaitu praktek sosial yang berulang serta terpola dalam lintas waktu dan ruang.12 Giddens, membangun teorinya, dalam konteks ketika ilmu-ilmu sosial dikuasai oleh fungsionalisme, marxisme dan strukturalisme. Dalam refleksinya, mazhab-mazhab ini merupakan „imperialisme obyek sosial‟ atas subyek; atau pemikiran yang memberi prioritas pada struktur (structure) dengan merelativir pelaku (actor). Giddens melihat kaitan yang memadai antara keseluruhan dan bagian, hanya bisa dimulai dari kekurangan yang ada, yaitu kurangnya teori „tindakan‟ dalam ilmu sosial. Dengan gagasan tersebut, Giddens mengatasi perdebatan antara mereka yang berpendapat bahwa tindakan manusia disebabkan oleh kekuatan luar (struktur) dan kelompok yang berpegang pada pendirian tentang intensionalitas subyek yang menentukan tindakan manusia (agen). Menurut Giddens dalam Littlejohn, kedua pendirian itu sama-sama benar karena memang kehidupan sosial itu ibarat sebuah koin atau mata uang dengan dua sisi sekaligus. Manusia bertindak dengan sengaja untuk mewujudkan intensinya, dan pada saat yang bersamaan tindakan tersebut memiliki konsekuensi yang tidak disengaja (unintended consequences) yang bisa menghasilkan struktur yang kemudian akan mempengaruhi tindakannya di masa depan.13 Meskipun teori strukturasi Giddens dalam menjelaskan fenomena tindakan sosial mengakomodasi baik agen maupun struktur, namun dalam pandangan sebagian ilmuwan sosial, Giddens dianggap lebih memberi penekanan pada kekuasaan agen daripada struktur. Menurut Ritzer dan Goodman dalam bukunya Teori Sosiologi Modern, Giddens mengakui adanya tekanan atau pembatasan terhadap subyek selaku aktor, namun bukan berarti aktor tidak memiliki pilihan dan peluang untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial. Teori ini bertentangan dengan teori-teori yang terlalu menekankan peran intensi atau tujuan dari aktor (fenomenologi) dan teori yang mengakui besarnya peran struktur

12 Anthony Giddens, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984, hlm.2 13 Littlejohn, Op. Cit.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 13

eksternal dalam menentukan tindakan aktor seperti teori fungsionalisme struktural.14 Namun apapun pendapat dan penafsiran tentang teori strukturasi Giddens, yang pasti Giddens memberi tempat pada peran agen dan struktur dalam tindakan sosial termasuk tindakan komunikasi. Struktur dan agen bukan merupakan dua kumpulan fenomena yang berdiri sendiri (dualisme) tetapi merupakan cerminan dualitas. Struktur tidak akan pernah ada tanpa agen, dan agen tidak dapat berperan tanpa struktur. Tindakan agen berfungsi untuk memproduksi dan mereproduksi struktur sosial, dan struktur sosial secara simultan memungkinkan sekaligus menghambat tindakan agen. Konsep-konsep kunci teori strukturasi Giddens: 1. Agensi (agency) Mengacu pada tindakan atau perilaku agen yang dipandu oleh aturan dan konteks dimana interaksi terjadi. Menurut Ritzer dan Goodman, Giddens berupaya keras memisahkan antara agensi dan tujuan (intention). Tindakan sering berakhir berbeda dari apa yang dimaksudkan semula. Tindakan yang disengaja (dengan tujuan tertentu) sering berakhir berbeda dengan apa yang dimaksudkan semula atau menghasilkan akibat yang tidak diharapkan.15 Meskipun konsep agen (agency) pada umumnya merujuk kepada tingkatan mikro, atau aktor manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas (makro) yang bertindak. Burns dalam Ritzer memandang pengertian agen manusia meliputi “individu maupun kelompok terorganisir, organisasi, dan bangsa”. Touraine dalam Ritzer pula bahkan memandang kelas sosial sebagai aktor.16 Dapat disimpulkan bahwa konsep agen mengacu pada tindakan individu maupun organisasi serta kelas sosial yang disengaja atas dasar kesadaran praksis. 2. Kesadaran (reflexifity)

14 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Edisi Keenam, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 510 15 Ibid, hlm. 509 16 Ibid., hlm. 506

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 14

Merupakan kemampuan agen untuk mengamati dan melihat kembali apa yang sedang ia lakukan sehingga ia dapat mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dari masa lalu untuk menjelaskan tindakan pada saat ini dalam situasi tertentu. Kesadaran tersebut terjadi pada dua level yaitu kesadaran diskursif (mengacu pada kemampuan agen untuk menjelaskan dalam bentuk kata-kata tentang apa yang dia lakukan) dan kesadaran praksis (mengacu pada tindakan atau perasaan agen yang tidak mampu ia jelaskan). Menurut Ritzer dan Goodman, kesadaran praksis inilah yang sangat penting dalam teori strukturasi Giddens. Giddens lebih memperhatikan apa yang dilakukan aktor (praksis) daripada apa yang dikatakannya (diskursus).17 3. Struktur (Structure) Mengacu pada aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang menghambat sekaligus memberi peluang pada tindakan aktor. Aturan merupakan ketentuan atau prosedur yang mengarahkan aktor dalam melakukan sesuatu atau bagaimana mencapai suatu tujuan. Aturan tersebut dapat diungkapkan secara eksplisit atau dipelajari secara implisit dan secara terus menerus menjadi panduan atau justru menghambat perilaku aktor dengan melibatkan regulasi berdasarkan ekspektasi sebelumnya. Sumber daya merujuk pada kekuatan sang aktor untuk mempengaruhi tindakan individu-individu dalam suatu kelompok/institusi atau bahkan membuat suatu perubahan. Terdapat dua jenis sumber daya, yaitu sumber daya alokatif berupa obyek material seperti tanah, uang, dan bahan mentah yang dapat membantu dalam pencapaian tujuan. Sementara sumber daya autoritatif merupakan faktor non material seperti status, pendidikan, atau karakteristik interpersonal yang memungkinkan agen dalam mempengaruhi individu lain. 4. Kekuatan (power) Merupakan kemampuan agen dalam mencapai tujuan. Menurut Giddens, meskipun agen berada pada posisi subordinat dalam sistem

17 Ibid, hlm. 209

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 15

sosial, dia dapat menggunakan atau mengubah sumber daya yang dia miliki menjadi kekuatan untuk mengontrol pihak lain. Giddens dalam Littlejohn mempercayai bahwa strukturasi selalu melibatkan 3 dimensi besar yaitu (1) pemahaman (interpretation), (2) konsep ideal (morality), dan (3) kekuasaan (power). Misalnya saja sebuah aturan yang mengatur kehidupan manusia, dengan kata lain aturan tersebut menyampaikan kepada setiap orang bagaimana aturan itu harus dipahami (pemahaman), apa yang seharusnya dilakukan (konsep ideal) dan bagaimana agar peraturan itu ditaati (kekuasaan).18 Hal itulah yang kemudian dilakukan oleh individu dalam melanggengkan struktur melalui aturan-aturan yang dibuat dalam masyarakat. Teori strukturasi ini kemudian banyak mempengaruhi berbagai ilmu sosial termasuk studi ekonomi politik yaitu aliran konstruktivis. Studi ekonomi politik kritis sendiri memiliki tiga varian: instrumentalis, strukturalis dan konstruktivis.19 Aliran instrumentalis memandang media massa sebagai instrumen dominasi kelas. Kelas pemodal menggunakan kekuasaan ekonomi dalam sistem pasar untuk memastikan bahwa arus informasi publik berjalan sesuai dengan misi dan tujuan mereka. Aliran ini cenderung menonjolkan peran agen sosial dalam masyarakat. Sebaliknya aliran strukturalis cenderung melihat struktur sebagai sesuatu yang monolitik, mapan, statis dan determinan. Karakteristik produksi dan konsumsi media semata-mata dilihat sebagai representasi struktur dominan. Analisis strukturalis mengabaikan potensi dan kapasitas agen sosial untuk merespons kondisi struktur tersebut. Sementara aliran konstruktivis berada di antara perdebatan keduanya. Aliran ini menggunakan cara pandang strukturasi yang memandang bahwa antara struktur dan agen sosial terjadi interaksi yang dinamis (interplay) saling mempengaruhi satu sama lain. Dinamika struktur amat dipengaruhi oleh aksi timbal balik struktur dan agen. Selain itu teori Strukturasi juga diadopsi dalam Teori Ekonomi Politik oleh Vincent Mosco. Mosco menyatakan bahwa proses pembentukan ekonomi politik

18 Littlejohn, Op. Cit. hlm. 153 19 Agus Sudibyo, dkk, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: ISAI & Yogyakarta: LKiS, 2004, hlm. 11-12

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 16

dalam komunikasi didahului oleh tiga tahap: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi.20 Komodifikasi (commodification) merupakan proses perubahan barang dan jasa yang sebelumnya hanya memiliki nilai guna menjadi komoditas yang memiliki nilai tukar dalam pasar. Dalam dunia penyiaran, komodifikasi ini terjadi pada program-program siaran yang banyak diproduksi hanya untuk tujuan mencari laba sebesar-besarnya. Program-program siaran juga banyak diperjualbelikan dengan nilai tukar yang amat tergantung pada hukum permintaan dan penawaran. Semakin tinggi permintaan atas produk siaran tersebut maka akan semakin tinggi pula harga penawarannya. Proses komodifikasi ini amat berpengaruh pada pola produksi, distribusi dan pertukaran komoditas siaran dan turut pula mempengaruhi regulasi yang ada. Bahkan menurut Mosco, komodifikasi tidak hanya terjadi pada sisi produk komunikasi tetapi juga turut mempengaruhi pada sisi audiens dan juga pekerja media. Spasialisasi (spatialization) merupakan perubahan ruang dalam kehidupan sosial. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi membawa masyarakat pada era globalisasi yang menghilangkan jarak ruang dan waktu. Hal ini mempengaruhi struktur industri, perusahaan dan berbagai lembaga. Bagi industri, seperti industri media penyiaran, spasialiasi ini membawa pengaruh pada perubahan pola produksi, distribusi, pemasaran hingga jaringan pelanggan yang tidak lagi memiliki batasan wilayah. Ekonomi politik komunikasi secara khusus mendefinisikan spasialisasi pada proses perluasan bisnis perusahaan media dalam industri komunikasi. Proses-proses konsentrasi, integrasi, baik vertikal maupun horizontal, kerjasama strategis, merger dan akuisisi menjadi perhatian penting dalam proses spasialisasi ini. Sedangkan strukturasi (structuration) merupakan proses dialektika antara struktur dengan agen sosial. Proses strukturasi ini menurut Mosco mengacu pada pandangan Marx yang menyatakan bahwa orang dapat membuat sejarah, tapi bukan dalam kondisi yang sesuai dengan keinginan mereka. Dengan kata lain, tindakan sosial apapun akan sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada. Strukturasi yang digunakan oleh Mosco dalam studi ekonomi politik komunikasi

20 Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, 2nd edition, London: Sage Publication Ltd, 2009, hlm. 11-20

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 17

ini terutama diarahkan pada keterkaitan antara ekonomi politik dan pembentukan konsep kelas sosial, gender dan ras. Menurut Mosco, kelas sosial, gender dan ras mengalami perubahan makna seiring dengan tindakan para agen sosial merubah hal itu yang berinteraksi dengan struktur ekonomi politik industri, seperti munculnya gerakan-gerakan sosial yang mengusung tema liberalisasi trans gender dan homoseksual yang turut membentuk pemaknaan baru tentang gender. Hal itu juga turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik media massa. Tidak heran, Mosco juga mengaitkan strukturasi ekonomi politik dengan gerakan sosial (social movement). Agency dalam pandangan Mosco merujuk pada individu-individu selaku aktor sosial yang mana perilaku mereka dibentuk atas posisi dan relasi sosial mereka yang mencakup kelas sosial, ras dan gender.21 Proses strukturasi ini pada akhirnya menciptakan suatu hegemoni sebagai suatu cara pandang tentang dunia yang diterima begitu saja (taken for granted), menjadi sesuatu yang umum/biasa (commonsense) dan natural. Dapat dipahami bahwa Mosco menggunakan teori Strukturasi ini untuk melihat bagaimana interaksi antara agen dan struktur dalam industri media menciptakan kondisi rutinitas yang dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi, seperti terjadinya komodofikasi dan spasialisasi. Terlepas dari perkembangan teori Strukturasi itu sendiri, Ritzer menyatakan bahwa secara umum Giddens memusatkan perhatian pada proses dialektika dimana praktik sosial, struktur dan kesadaran diciptakan. Maka dalam menjelaskan masalah agen-struktur tersebut harus dilakukan secara historis, processual, dan dinamis.22 Hal ini mencerminkan bahwa teori ini juga berdampak pada metodologi penelitian yang lebih melihat bagaimana pengamatan terhadap struktur ekonomi politik, terutama perusahaan media dan pemerintah, itu berhubungan dengan tindakan-tindakan sosial dari para agen manusia, proses sosial dan praktek sosial.23

21 Mosco, Op.Cit. hlm. 188 22 Ritzer & Goodman, Op. Cit. hlm. 508 23 Mosco, Op.Cit. hlm.16

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 18

2.2. Konsep Diversity of Ownership Konsep Diversity (keberagaman) pada dasarnya sangat terkait dengan konsep freedom (kebebasan) saat berbicara tentang teori media. Diversity merujuk pada perbedaan atau keberagaman yang terkait dengan saluran komunikasi yang tersedia sehingga dapat menyediakan berbagai macam isi kepada khalayak secara lebih baik.24 Diversity di media bertujuan untuk memudahkan khalayak dalam memilih berbagai macam pilihan media yang dikonsumsi sehingga pembentukan opini di masyarakat tidak didominasi oleh opini tunggal yang dibentuk oleh kekuasaan. Konsep media diversity awalnya hanya ditujukan pada aspek isi atau program media. Ronald Cass dalam Mara Einstein mengemukakan diversity of programm merupakan keberagaman jenis program yang berbeda yang dapat dikonsumsi oleh khalayak. Namun Cass juga menyatakan bahwa terlalu banyak pilihan program yang berbeda juga bukan merupakan keinginan publik.25 Cass disini berusaha untuk menjelaskan bahwa konsep diversity merupakan konsep yang berada di titik keseimbangan antara pilihan program yang terlalu sedikit dan terlalu banyak. Konsep media diversity juga dikaitkan dengan media pluralism, terutama menyangkut hak kelompok minoritas. Semangat untuk bertindak secara adil terhadap kelompok minoritas menuntut media untuk menyediakan ruang bagi kelompok minoritas. Hal ini lah yang menjadi tuntutan kepada media untuk mengaplikasikan prinsip diversity. Beberapa hal yang dituntut kepada media untuk mengaplikasikan prinsip diversity: 1. Media harus merefleksikan dalam struktur dan isi mereka beragam realitas sosial, ekonomi dan budaya masyarakat secara proporsional. 2. Media harus menyediakan akses bagi suara kaum minoritas. 3. Media harus mau sebagai wadah untuk melayani kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan.

24 Denis McQuail, Mass Communication Theory, 4th Edition, London: Sage Publications Ltd., 2000, hlm. 170 25 Mara Einstein, Media Diversity: Economics, Ownership and the FCC, Mahwah New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2004, hlm.7-8.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 19

4. Media harus menyediakan beragam pilihan isi atau mata acara sesuai dengan kebutuhan dan minat khalayak.26 Diversity merupakan prinsip yang sebenarnya menjadi kepentingan bagi khalayak. McQuail mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kepentingan khalayak yang mencakup banyak hal:27 1. Pluralisme kepemilikan media 2. Kebebasan berekspresi 3. Keragaman informasi bagi khalayak 4. Keragaman ekspresi dalam berpendapat 5. Luas jangkauan 6. Kualitas informasi dan budaya yang disediakan bagi khalayak 7. Dukungan yang memadai bagi sistem politik yang demokratis. 8. Penghargaan terhadap sistem hukum. 9. Penghargaan terhadap hak asasi individu dan masyarakat umum

Konsep diversity of ownership (keberagaman kepemilikan media) pada dasarnya merupakan konsekuensi dari tuntutan akan diversity of content. Dalam pandangan Cass yang juga diadopsi oleh Greenberg dan Barnett menyatakan bahwa untuk menciptakan diversity dalam isi atau program maka perlu ditingkatkan jumlah media dan produser program. Hal ini juga termasuk pemilik media. Asumsinya adalah dengan semakin banyaknya media dan produser program maka akan menciptakan ide dan sudut pandang yang beragam. Disitulah kepentingan publik akan lebih terlayani dengan baik.28 Pandangan tentang keterkaitan antara isi media dan pemilik media juga dianut dalam hukum kedua jurnalistik (second law of journalism) Altschull (1984) yang dikutip oleh McQuail, yang menyatakan bahwa “isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang mendanai media tersebut”. Pihak yang mendanai media diartikan sebagai pemilik media tersebut.29 Paham ini dapat

26 Denis McQuail, Op.Cit., hlm. 171 27 Ibid. 28 Mara Einstein, Op.Cit., 29 Denis McQuail, Op.Cit., hlm. 198

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 20

diartikan bahwa jika banyak media dikuasai oleh pemilik yang sama, akan membuat isi atau program yang disajikan cenderung seragam. Pemilik media sendiri dapat berupa perusahaan tertutup maupun perusahaan terbuka. Jika suatu media dimiliki oleh perusahaan tertutup dan dimiliki secara pribadi yang memiliki kekuasaan penuh terhadap perusahaan tersebut, secara otomatis corak isi media amat dipengaruhi oleh kepentingan si pemilik perusahaan tersebut. Namun jika suatu media yang dimiliki oleh perusahaan swasta yang go public dimana kepemilikan perusahaan diukur melalui kepemilikan saham, maka pemilik saham yang mayoritas lah yang cenderung menentukan arah dan kebijakan media tersebut. Pengaturan tentang kepemilikan media di berbagai negara, umumnya meliputi tiga hal, yaitu pengaturan tentang kepemilikan asing, pengaturan tentang kepemilikan satu jenis media dan pengaturan tentang kepemilikan beberapa jenis media oleh satu perusahaan.30 Soal kepemilikan asing, banyak negara yang melarang warga negara asing menguasai sebuah perusahaan media. Umumnya negara memberikan porsi dan kesempatan yang sangat besar bagi berkembangnya pengusaha nasional. Negara-negara juga pada umumnya berusaha menciptakan kompetisi bisnis yang adil di dalam negeri sehingga tidak memunculkan sebuah tindakan monopoli. Negara pada umumnya melakukan pembatasan penguasaan suatu jenis media seperti televisi atau surat kabar oleh satu perusahaan. Soal kepemilikan silang (cross ownership) juga menjadi perhatian banyak negara untuk meminimalisir iklim persaingan usaha yang monopolistik. Berbagai negara memiliki ukuran atau indikator masing-masing yang menjadi batasan untuk menilai terjadinya konsentrasi kepemilikan media dan terlanggarnya prinsip keberagaman tersebut. Pada umumnya pengaturan tentang pembatasan kepemilikan media didasarkan pada dua bentuk pembatasan, yaitu pembatasan pada kepemilikan stasiun televisi dan pembatasan pada jangkauan wilayah siaran. Pembatasan pada jangkauan wilayah siaran salah satunya dianut oleh Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, pengaturan kepemilikan dan penguasaan

30 Claire Enders dan Chris Goodall, Media Ownership Rules, 2011, diunduh melalui http://www.ahrc.ac.uk/About/Policy/Documents/EnderspapermediaownershiprulesDec2011.pdf

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 21

stasiun televisi diatur oleh Federal Communication Comission (FCC) berdasarkan UU Komunikasi Amerika Serikat Tahun 1934 (Communication act of 1934) yang kemudian berubah menjadi UU Telekomunikasi Tahun 1996 (Telecommunication Act 1996). Pembatasan kepemilikan media televisi di Amerika Serikat diatur berdasarkan luas jangkauan dari stasiun televisi yang dimiliki oleh suatu badan hukum. Suatu badan hukum dapat memiliki sebanyak-banyaknya stasiun televisi selama total jangkauannya tidak melebihi 39% rumah tangga yang memiliki pesawat televisi (households). FCC juga melarang terjadinya merjer antara stasiun televisi nasional yang berada pada peringkat 1 sampai 4 dilihat secara komersial seperti ABC, CBS, FOX dan NBC. 31 Di Australia, pembatasan kepemilikan media televisi dilakukan dengan aturan bahwa seseorang atau sebuah badan hukum tidak boleh menguasai melalui kombinasi izin televisi yang mengjangkau lebih dari 75% penduduk dan tidak boleh lebih dari satu izin di satu daerah.32 Australian Communications and Media Authority (ACMA) merupakan lembaga regulasi penyiaran independen di Australia yang berwenang mengatur hal ini.

2.3. Konsentrasi Kepemilikan Media Dalam Perspektif Ekonomi Politik Masalah konsentrasi kepemilikan media bukanlah hal yang baru. Masalah ini sudah sejak lama menjadi perhatian ilmuwan-ilmuwan Komunikasi. Bahkan hingga kini, masalah konsentrasi kepemilikan media tetap menjadi perhatian yang tinggi. McQuail pun menyatakan bahwa isu tentang kepemilikan (ownership) merupakan salah satu isu utama dari lima isu saat berbicara tentang media dan masyarakat.33 Pendekatan yang umumnya digunakan untuk membahas masalah konsentrasi kepemilikan media adalah pendekatan ekonomi politik.

31 Amir Effendi Siregar, Menegakkan Demokratisasi Penyiaran: Mencegah Konsentrasi, Membangun Keanekaragaman, Jakarta: Komunitas Pejaten, 2012, hlm.21 32 Ibid., 33 Lima isu tersebut adalah structure and ownership, public order and the security of the state, public sphere expectations, cultural values dan rights of individuals, lihat Denis McQuail, Mass Communication Theory, 4th Edition, London: Sage Publications Ltd., 2000, hlm. 144

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 22

Banyak ilmuwan mendefinisikan kajian ekonomi politik. Mosco menyebutkan dua definisi yang umum digunakan. Pertama adalah studi tentang relasi sosial, utamanya adalah relasi kekuasaan yang mempengaruhi pola produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (the study of the social relations, particulary the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources). Pengertian kedua adalah studi tentang kontrol dan bertahan hidup dalam kehidupan sosial (the study of control and survival in social life).34 Penelitian yang menggunakan pendekatan ekonomi politik umumnya banyak menyoroti tentang pola kepemilikan media, sumber pemasukan, perubahan teknologi, dan faktor ekonomi yang mempengaruhi operasi media dan isi media. Penelitian yang menggunakan pendekatan ekonomi politik media biasanya menaruh perhatian tinggi pada empat hal: 1. Meningkatnya konsentrasi kepemilikan industri media, baik horizontal maupun vertikal. 2. Proses menuju deregulasi dan komersialisasi media penyiaran. 3. Globalisasi produksi dan distribusi media. 4. Ekspansi bentuk media melalui internet dan teknologi digital. Pendekatan ekonomi politik kritis (critical political economy) merupakan varian dari studi ekonomi politik yang terutama fokus pada relasi antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dengan ideologi isi media.35 Pendekatan ekonomi politik kritis lebih melihat bagaimana peran kekuatan modal (pasar) dalam proses produksi media. Studi ekonomi politik kritis sangat kuat dipengaruhi oleh teori Marxis. Marxisme Klasik mengenalkan teori determinisme ekonomi. Paham ini menyatakan bahwa ekonomi merupakan struktur dasar (basic structure) yang mempengaruhi semua struktur kehidupan masyarakat seperti budaya, politik dan ideologi (supra structure). Penguasaan terhadap alat-alat ekonomi (produksi) dapat menguasai informasi yang disebarluaskan kepada khalayak. Paham materialisme amat dominan dalam ajaran klasik Marx.

34 Vincent Mosco, Op.Cit., hlm. 24-25 35 Denis McQuail, Op Cit., hlm. 82-83

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 23

Sementara Neo-Marxist lebih menyoroti tentang ide dibanding struktur material ekonomi. Tokoh seperti Louis Althusser (1971) memperkenalkan cara kerja ideologi media dengan konsep “ideological state apparatuses” yang membuat kaum kapitalis tidak lagi menggunakan kekerasan negara “repressive state apparatuses” untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasi mereka.36 Para penggagas ekonomi politik kritis mengkritik keyakinan kaum neo- klasik bahwa pasar menyediakan kompetisi yang stabil dan sempurna. Kenyataannya, problem-problem struktural menyebabkan pasar cenderung membatasi banyaknya pemain yang bisa bersaing dalam sebuah pasar. Yang lazim terjadi kemudian adalah dominasi dan monopoli. Integrasi ekonomi yang terjadi melalui merger dan akuisisi membuka jalan bagi berkembangnya fenomena konglomerasi.37 Konsentrasi kepemilikan media (juga dikenal dengan istilah konsolidasi media atau konvergensi media) merupakan proses dimana segelintir individu atau organisasi menguasai saham di banyak media massa. Konsentrasi media terjadi akibat adanya penggabungan usaha. Tujuan penggabungan usaha perusahaan media adalah sinergi, dimana perusahaan mendapatkan banyak keuntungan dari integrasi produksi dan distribusi.38 Faktor efisiensi dan efektifitas adalah kuncinya, yakni menekan pengeluaran dan meningkatkan keuntungan. Melalui penggabungan usaha, suatu perusahaan media akan menjadi kuat karena bertambahnya modal, teknologi dan fasilitas yang didapat dari bersatunya dua perusahaan. Namun, penggabungan tersebut juga akan berdampak pada efisiensi tenaga yakni perampingan struktur organisasi serta pengurangan jumlah tenaga karyawan. Golding dan Murdock menyatakan bahwa konsentrasi kepemilikan media merupakan konsekuensi yang tak dapat dihindarkan dari sistem kapitalisme global. Dalam perubahan institusi media, seluruh media memiliki siklus yang sama. Awalnya media berproduksi dalam skala kecil dan bersifat personal. Pada masa ini pola distribusi dan penjualan terpisah. Saat teknologi bertambah maju,

36 Ibid., hlm. 77 37 Agus Sudibyo, Op.Cit., hlm. 7 38 Joseph Straubhaar dan Robert LaRose, Media Now, Understanding Media, Culture, And Technology, Fifth Edition, USA: Thomson Wadsworth, 2008, hlm.231

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 24

pola produksi berubah menjadi industrialisasi dan pola konsumsi bertambah besar dan impersonal. Proses diferensiasi ini digantikan oleh suatu periode dimana pertumbuhan industri mengalami kejenuhan, peningkatan biaya, penurunan pendapatan dan perubahan pola permintaan. Dari diferensiasi inilah proses konsentrasi dimulai.39 Persaingan bisnis antar perusahaan media akan menyebabkan perusahaan media yang kuat modal akan mengalahkan perusahaan media yang lemah modal. Praktek-praktek penggabungan usaha, baik dalam bentuk merger atau akuisisi, akan menjadi realitas dalam bisnis media. Menurut Albarran, upaya merger dan akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan media elektronik merupakan bentuk aliansi strategis (strategic alliances) yang memiliki 4 tujuan:40 1. Untuk meningkatkan kualitas program dan isi siaran. 2. Untuk mengembangkan jangkauan pasar domestik maupun global. 3. Untuk mengembangkan teknologi penyiaran 4. Untuk mengembangkan televisi interaktif. Selain merger dan akuisisi, terdapat bentuk lain dari aliansi strategis perusahaan media yaitu kepemilikan bersama (joint ownership), usaha patungan (joint ventures) dan kerjasama kepemilikan (cooperative ventures) baik formal maupun informal. Menurut McQuail, kecenderungan konsentrasi media pada akhirnya akan memunculkan tiga isu kebijakan publik :41 1. Isu yang terkait dengan harga. Konsentrasi media akan berdampak pada harga produk, apakah semakin tinggi atau rendah. Semakin suatu media bersifat monopoli, semakin besar kekuatannya untuk menentukan harga, yang kemungkinan harga akan tinggi. Sementara kondisi yang kompetitif diyakini akan mampu menjaga agar harga-harga tetap rendah. 2. Isu yang terkait dengan produk.

39 Peter Golding dan Graham Murdock (eds), The Political Economy of the Media, Volume 1, Edward Edgar Publishing Limited, 1997, hlm. 5 40 Alan Albarran, Management of Electronic Media, Belmont: Wadsworth Thomson Learning, 2002, hlm.36-37 41 McQuail, Op Cit., hlm. 202

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 25

Hal ini menyangkut pelayanan media dalam hal isi, khususnya soal kualitas dan pilihan, bagi kepentingan konsumen. Minimnya kompetisi dipercaya akan menciptakan produk dengan kualitas yang rendah. Sebaliknya kompetisi yang tinggi akan mendorong produsen berlomba-lomba menghasilkan produk yang bagus dan berkualitas. 3. Isu yang terkait dengan kompetitor. Konsentrasi media juga berdampak pada kompetitor, yaitu dalam situasi monopoli diyakini akan membuat perusahaan besar akan menggusur dan menghapus kompetitor dengan mudah. Golding dan Murdock menyatakan bahwa akibat konsentrasi tersebut menghasilkan 3 aspek yang berbeda namun saling terkait.42 Pertama terjadinya integrasi, baik horizontal maupun vertikal. Integrasi horizontal merupakan penyatuan organisasi media dalam level yang sama, seperti penyatuan beberapa televisi dalam satu perusahaan. Hal ini memungkinkan perusahaan melakukan konsolidasi dan memperluas kontrol dan memaksimalkan jumlah produksi. Sedangkan integrasi vertikal adalah memadukan unit-unit produksi media pada level produksi yang berbeda seperti penguasaan rumah produksi (production house) dan manajemen artis dalam suatu perusahaan media televisi. Aspek kedua adalah diversifikasi. Meski di satu sisi terjadi integrasi dalam unit-unit bisnis media, di sisi lain konsentrasi ini menimbulkan diversifikasi bisnis. Proses diversifikasi dilakukan untuk mengkonsolidasikan posisi perusahaan media dengan melakukan pengembangan perusahaan tidak hanya di satu sektor agar bila terjadi resesi yang terguncang hanya sektor itu dan tidak mempengaruhi bisnis secara keseluruhan. Suatu perusahaan televisi, misalnya juga memiliki perusahaan taman rekreasi studio dan hotel. Aspek ketiga adalah internasionalisasi. Konsentrasi media yang meningkatkan kekuatan modal tersebut pada akhirnya akan melakukan ekspansi pasar ke dunia internasional. Internasionalisasi ini dapat berupa ekspor produk siaran seperti film, musik, dan berita, dan juga dapat berupa pendirian kantor cabang di negara-negara lain serta pembelian saham media di beberapa negara.

42 Ibid., hlm. 11 - 21

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 26

Komersialisasi media dicirikan dua hal. Pertama, media tersebut beroperasi dengan tujuan peningkatan laba (profit oriented) dan kedua media tersebut produksinya sangat tergantung pada iklan. Media komersial akan memandang setiap persoalan dalam kacamata bisnis, termasuk dalam ranah jurnalistik. Seorang jurnalis pasar (market-driven journalist) akan memandang berita adalah produk yang harus memiliki nilai keuntungan yang tinggi baik bagi dirinya maupun perusahaan. Dalam kacamata bisnis tersebut, khalayak media diibaratkan sebagai konsumen (costumer), berita adalah produk (product) dan area sirkulasi adalah pasarnya (market).43 Derajat konsentrasi media umumnya diukur melalui sejauhmana perusahaan memiliki kontrol terhadap produksi, tenaga kerja, distribusi dan khalayak. Picard (1989) dalam McQuail memberikan batasan derajat konsentrasi yakni 4 perusahaan media terbesar mengontrol lebih dari 50% atau 8 perusahaan media terbesar mengontrol lebih dari 70%.44 Konsentrasi kepemilikan media pada akhirnya memiliki dampak negatif bagi dunia penyiaran: 1. Komersialisme Media-media besar yang amat besar ketergantungannya pada iklan dan sponsor cenderung lebih mementingkan kepentingan mereka dan juga pemerintah dibandingkan kepentingan publik dalam memproduksi program-program siaran. 2. Monopoli Frekuensi Media-media besar yang dimiliki oleh segelintir elit masyarakat akan menguasai frekuensi yang seharusnya menjadi milik publik. Disinilah publik menjadi tidak berkuasa (powerless) atas produk-produk isi siaran. 3. Persaingan tidak sehat Konsentrasi media yang sangat tinggi (high concentration) akan menyebabkan terjadinya monopoli harga dimana perusahaan besar

43 John H. McManus, Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware, Thousand Oaks, CA: Sage, 1994, hlm. 1 44 McQuail, Op Cit., hlm. 201

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 27

dapat menentukan harga iklan yang rendah sehingga akan mematikan perusahaan kecil dan lemah. Begitu pula dengan penguasaan sumber- sumber daya manusia akan mudah dikuasai oleh media-media besar. 4. Inovasi yang lambat Konsekuensi dari persaingan yang tidak sehat tersebut akan menyebabkan rendahnya inovasi dan kreatifitas isi siaran yang disebabkan karena hilangnya persaingan. Isi siaran akan cenderung homogen dan monoton. Konsentrasi kepemilikan media cenderung menciptakan hegemoni kekuasaan. Hegemoni merupakan konsep yang ditelurkan oleh Antonio Gramsci, seorang Neo-Marxist. Hegemoni merujuk pada hilangnya saling keterkaitan ide- ide yang menonjol dalam masyarakat dengan kelompok berkuasa, melainkan melalui suatu cara tertentu ide-ide tersebut dapat melanggengkan kekuasaan dan nilai-nilai secara alami, taken for granted dan sudah menjadi kebiasaan umum.45 Dalam pandangan Gramsci, perbedaan kelas, sektor-sektor modal dan kelompok- kelompok sosial bersaing untuk saling mendominasi dan berusaha menanamkan visi, kepentingan dan agenda mereka terhadap masyarakat secara menyeluruh, melalui media. Melalui proses manipulasi ideologis, indoktrinasi dan kontrol, penguasa berusaha menyatukan kelas bawah ke dalam suatu tatanan yang mapan dan ideologi dominan. Media dalam pandangan Gramsci merupakan sarana untuk menyebarluaskan ideologi penguasa atau kelompok dominan. Melalui media, penguasa dapat menentukan apa yang benar dan salah dalam masyarakat dengan cara yang lunak. Setiap informasi yang disajikan oleh media pada dasarnya mengandung nilai-nilai (termasuk kebenaran) kelompok dominan terutama nilai- nilai kapitalisme. Hal itulah yang menyebabkan secara tidak sadar masyarakat sebagai konsumen media ikut serta secara sukarela akan nilai-nilai ideologi tersebut. Meningkatnya konsentrasi media juga turut didukung oleh regulasi- regulasi yang mengakomodasi prinsip-prinsip liberal. Murdock dalam Sudibyo (2004) menggunakan terminologi privatisasi, terutama untuk merespons berbagai

45 Ibid., hlm. 97

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 28

bentuk intervensi yang meningkatkan kapasitas pasar dalam industri komunikasi dan informasi, serta meningkatkan kapasitas pelaku pasar untuk melakukan ekspansi bisnis.46 Menurut Murdock dalam Sudibyo, privatisasi merupakan gerakan multi- dimensi dengan empat komponen: 1. Liberalisasi Adalah gerakan atau kebijakan untuk menerapkan kaidah-kaidah pasar yang didasarkan pada logika permintaan dan penawaran, maksimalisasi produksi dan konsumsi, serta kompetisi yang terbuka dalam sistem ekonomi suatu negara. 2. Denasionalisasi Adalah upaya penjualan saham perusahaan publik terhadap sektor swasta. Proses denasionalisasi banyak dilakukan melalui tender yang tidak transparan, dan yang mengambil keuntungan biasanya adalah perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai akses kuat ke lingkar kekuasaan. 3. Komersialisasi sektor publik Komersialisasi sektor publik seringkali merupakan respons sesaat pemerintah yang merasa kesulitan memberikan subsidi biaya operasional lembaga resmi yang bergerak di sektor-sektor publik kemudian mempersilahkan sektor publik tersebut menggunakan prinsip-prinsip lembaga komersil seperti menerima iklan dan bentuk promosi lain. Pada akhirnya hal ini akan melibatkan unsur-unsur swasta. 4. Deregulasi Deregulasi merupakan kebijakan yang meminimalisir aturan-aturan yang mengekang bekerjanya mekanisme pasar. Deregulasi cenderung memapankan subordinasi dan dominasi. Deregulasi justru memperkuat posisi perusahaan-perusahaan besar dan membuka peluang lebih besar bagi swasta untuk menguasai fasilitas publik.

46 Agus Sudibyo, Op Cit., hlm. 10-11

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 29

Itulah sebabnya dorongan untuk membuat peraturan yang mengatur tentang penyiaran mengemuka. Kebijakan regulasi penyiaran dibuat untuk membatasi kekuasaan industri media. Maka muncullah prinsip diversity of ownership atau keberagaman kepemilikan media disamping diversity of content atau keberagaman isi media.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 30

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian bukan hanya sekedar kumpulan metode atau teknik penelitian, melainkan suatu keseluruhan landasan nilai-nilai, asumsi, etika dan norma yang menjadi aturan-aturan standar yang dipergunakan untuk menafsirkan serta menyimpulkan data penelitian. Dalam metodologi penting untuk dikemukakan sudut pandang (point of view) peneliti dalam paradigma penelitian.

3.1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis (critical) yang memandang realitas sosial dipengaruhi oleh struktur kekuasaan baik ekonomi maupun politik yang menciptakan sebuah kesadaran palsu (false consiusness). Maka tugas dari penelitian yang berparadigma kritis adalah berupaya untuk membongkar ilusi untuk mengungkat struktur kekuasaan yang bekerja dalam sebuah sistem sosial dalam rangka membantu masyarakat merubah kondisi dan membangun dunia yang lebih baik.47 Pilihan posisi penelitian ini pada paradigma kritis dipengaruhi oleh landasan teori ekonomi politik kritis yang digunakan dalam penelitian ini bahwa terdapat kekuasaan modal dan juga politik dalam sistem media penyiaran. Pilihan paradigma ini juga dikarenakan keberpihakan penulis pada kelompok agensi seperti KPI dan KIDP yang berjuang untuk melawan sistem kapitalisme dalam struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia.

3.2. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam- dalamnya melalui pengumpulan data. Bryman mengemukakan tiga ciri penelitian

47 W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, 4th Edition, USA: Allyn and Bacon, 2000, hlm. 76

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 31

kualitatif: induktif, interpretif dan konstruksionis. Induktif adalah cara pandang peneliti terhadap teori dimana teori dibangun berdasarkan generalisasi data yang didapatkan oleh peneliti. Interpretif merupakan posisi epistemologi peneliti dan yang diteliti tidak berjarak sehingga penelitian kualitatif cenderung untuk memahami sudut pandang subyek penelitian. Sedangkan konstruksionis merupakan posisi ontologis penelitian dimana penelitian kualitatif memandang realitas sosial adalah hasil dari interaksi individu.48 Terkait dengan permasalahan penelitian ini yang mencoba untuk mengetahui dinamika interaksi yang terjadi antara agen dan struktur dalam kasus menata sistem kepemilikan media di Indonesia, maka penelitian kualitatif merupakan pilihan yang tepat untuk memberikan pemahaman yang sedalam- dalamnya tentang dinamika interaksi tersebut.

3.3. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan salah satu dimensi penelitian yang memberikan gambaran secara rinci tentang situasi, setting sosial, dan relasi yang terjadi pada subyek penelitian.49 Maka, penelitian ini juga akan memberikan gambaran secara detil dan menyeluruh tentang proses perjalanan kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK serta perkembangan kasusnya hingga sampai pada proses uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini juga menggambarkan tentang struktur kepemilikan media penyiaran televisi swasta di Indonesia.

3.4. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian Studi Kasus (Case Study). Studi Kasus adalah metode penelitian yang mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasilnya. Tujuan dari metode penelitian studi kasus adalah untuk

48 Alan Bryman, Social Research Methods. 3rd Edition. New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 366 49 W. Lawrence Neuman, Op.Cit, hlm. 21-22

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 32

mengumpulkan informasi secara komprehensif, sistematis dan mendalam tentang suatu kasus.50 Robert K Yin mendefinisikan studi kasus sebagai sebuah penyelidikan empiris yang menyelidiki fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, terutama ketika batas-batas antara fenomena dan konteks tidak jelas terlihat (a case study is an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context, especially when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident).51 Studi kasus sebagai sebuah strategi penelitian umumnya digunakan saat terjadi sebuah peristiwa atau kasus yang menarik dan controversial sehingga memerlukan sebuah penyelidikan untuk mendapatkan kebenaran faktual. Metode studi kasus terfokus pada keinginan untuk mengetahui keragaman dan kekhususan obyek studi. Hasil akhir yang ingin diperoleh adalah menjelaskan keunikan kasus yang dikaji, umumnya berkaitan dengan hakikat kasus, latar belakang historis, konteks kasus dan persoalan lain disekitar kasus yang dipelajari. Metode Studi Kasus memiliki empat desain penelitian, yaitu single case (holistic), single case (embedded), multiple case (holistic) dan multiple case (embedded).52 Holistic dapat diartikan sebagai single unit of analysis dan Embedded dapat diartikan sebagai multiple units of analysis. Single case umumnya digunakan saat penelitian ingin menguji secara kritis teori yang ada atau menghadapi suatu kasus yang unik. Peristiwa akuisisi EMTEK terhadap IDKM merupakan sebuah kasus yang menarik untuk diteliti disebabkan hal itu terjadi sembilan tahun sejak UU Penyiaran no.32/2002 diundangkan serta mengandung kontroversi yang tinggi soal pelanggaran terhadap UU Penyiaran itu sendiri. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam dan menyeluruh tentang kasus akuisisi tersebut untuk menyoroti peran agen-agen sosial di dalamnya. Maka, penelitian ini menggunakan desain single case (holistic) atau single unit of analysis.

50 Michael Quinn Patton, Qualitative Research & Evaluation Methods, 3rd Edition, USA: Thousand Oaks Sage Publication, 2002, hlm. 447 51 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods, Third Edition, USA: Thousand Oaks Sage Publication, 2003, hlm. 13. 52 Ibid., hlm.39

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 33

3.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa bentuk pengumpulan data yang digunakan dalam metode studi kasus: 1. Wawancara Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responden. Menurut Robert K. Yin wawancara bisa mengambil beberapa bentuk. Hal yang paling umum, wawancara studi kasus bersifat open- ended, dimana peneliti dapat bertanya kepada infoman tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Tipe yang kedua adalah wawancara terfokus, dimana responden diwawancarai dalam waktu yang pendek.53 Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara bersifat open-ended yaitu menggunakan pedoman wawancara yang disesuaikan dengan kapasitas informan. 2. Studi Dokumentasi Hal ini dilakukan dengan cara memperoleh atau mengumpulkan bahan-bahan tertulis seperti surat keputusan, memo, risalah sidang, pengumuman dan laporan tertulis lainnya. Adapun jenis dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian ini adalah: a. Dokumen peraturan perundang-undangan yang terkait b. Notulensi sidang di Mahkamah Konstitusi c. Laporan tahunan perusahaan d. Laporan penelitian dan jurnal penelitian e. Kliping berita dan opini yang muncul di media massa. Data-data tersebut diperoleh baik secara langsung dalam bentuk barang cetakan maupun diperoleh melalui mesin pencarian di internet dan website resmi organisasi.

53 Ibid., hlm.90

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 34

3.6. Subyek Penelitian dan Informan Subyek penelitian ini adalah dua agen sosial yang berperan merespons kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK serta pengajuan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi, yaitu lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan lembaga Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Data dikumpulkan melalui wawancara kepada informan penelitian dari KPI adalah Ketua KPI Pusat M. Riyanto, dari KIDP adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Umar Idris dan seorang informan dari Anggota DPR RI Hayono Isman yang juga menjabat sebagai ketua Panitia Kerja (Panja) perubahan UU Penyiaran di DPR. Selain itu penulis juga mewawancara Bimo Nugroho Sekundatmo selaku mantan komisioner KPI Pusat.

3.7. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil wawancara (rekaman) dan dokumen tertulis. Pemrosesan hasil penelitian ini dilakukan dalam rangka analisis data. Menurut Miles dan Huberman proses analisis data dilakukan dalam tiga tahap: (1) reduksi data; (2) penyajian data; dan (3) pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Proses ini dilakukan dengan cara memilih dan memilah serta merangkum informasi yang relevan; mentranskrip hasil wawancara secara verbatim, menentukan tema atau kategorinya; mengklasifikasikannya ke dalam beberapa kategori tertentu; membanding-bandingkan kategori yang diperoleh dari berbagai informan; kemudian menganalisis hasil perbandingan tersebut atau mendialogkannya dengan teori yang relevan untuk kemudian dibangun konsep atau tema baru. Analisis data dalam desain penelitian studi kasus menekankan pada dua sifat: holistik dan kontekstual.54 Holistik artinya memberikan gambaran secara utuh dan menyeluruh tentang kasus yang diteliti sementara kontekstual berusaha untuk mengaitkan dengan konstek sosial, ekonomi, dan politik yang ada saat kasus itu terjadi.

54 Ibid.,

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 35

3.8. Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data atau ukuran kualitas penelitian kualitatif umumnya meliputi aspek tingkat Historical Situadness, credibility, confirmability dan dependability. Pengujian pada aspek historical situadness dapat dilihat pada upaya penelitian untuk menyajikan latar historis yang menyebabkan terjadinya aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK serta sejarah kepemilikan media televisi swasta di Indonesia. Melalui penyajian sejarah tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang realitas kepemilikan media televisi swasta di Indonesia saat ini. Pengujian terhadap aspek kredibilitas dapat dilakukan melalui teknik triangulasi, yaitu teknik mengecek kebenaran data dengan cara membandingkannya dengan data yang lain (triangulasi data). Penelitian ini sudah menerapkan triangulasi melalui upaya pencarian data melalui berbagai sumber dan melakukan perbandingan antara data yang didapatkan dari hasil wawancara terhadap informan dengan data berupa dokumen tertulis yang didapatkan dalam bentuk cetak (print-out) maupun dalam bentuk file komputer melalui penelusuran di media internet. Pengujian terhadap aspek confirmability dan dependability dalam penelitian ini dilakukan melalui diskusi terhadap rekan sejawat yaitu dosen ilmu komunikasi di Universitas Nasional dan juga melalui proses bimbingan dengan dosen pembimbing penelitian yaitu Dr. Ade Armando, pakar komunikasi Universitas Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan telah teruji keabsahannya.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 36

BAB 4 ANALISIS DATA

Sebelum penulis memaparkan tentang dinamika interaksi dalam proses akuisisi IDKM oleh EMTEK dan proses persidangan uji materi Undang-Undang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi, akan terlebih dahulu dipaparkan tentang gambaran dinamika struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia, sejak Orde Baru hingga kini.

4.1. Dinamika Kepemilikan Media Televisi Swasta di Indonesia 4.1.1. Masa Orde Baru Sejarah awal munculnya media televisi swasta di Indonesia diawali dengan berdirinya stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tahun 1988 yang diprakarsai oleh Bambang Trihatmodjo, salah seorang anak dari Presiden Soeharto. Melalui PT Bimantara Citra, Bambang saat itu termasuk salah satu konglomerat terbesar di Indonesia yang memiliki 27 anak perusahaan, mulai dari bisnis minyak dan gas sampai hotel, telekomunikasi dan makanan ternak. Ide dasarnya sendiri muncul dari seorang pengusaha bernama Peter Sondakh. melalui Peter Gontha, Sondakh menawarkan kepada Bambang untuk mendirikan RCTI dengan harapan ide ini mendapat persetujuan dari Presiden. Argumen kunci yang ditekankan untuk menjustifikasi kehadiran stasiun televisi komersial adalah sesuatu yang bersifat sangat nasionalistik: melindungi publik Indonesia dari arus gelombang siaran asing. 55 Benar saja, Presiden pun langsung setuju. Munculnya televisi komersial pertama saat itu tidak terlepas dari beberapa situasi dan kondisi nasional yang mendukung. Armando menyatakan bahwa terdapat rangkaian kondisi yang mematangkan kebutuhan akan kelahiran stasiun televisi komersial. Pertama, TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi yang ada, sudah tidak menarik lagi bagi kelas menengah perkotaan setelah terjadi perubahan drastis beberapa program siaran akibat instruksi Presiden Soeharto pada awal 1981 yang melarang TVRI menerima iklan dan mengimpor program asing.56

55 Ade Armando, Op.Cit., hlm.107 – 109 56 Ibid., hlm. 83-103

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 37

Kondisi kedua adalah Indonesia saat itu bergerak ke dalam sistem kapitalisme global yang membutuhkan sarana pemasaran modern semacam iklan melalui televisi. Ketiga, Indonesia juga mengalami pertumbuhan ekonomi meyakinkan yang melahirkan kelas menengah perkotaan yang berpotensi menjadi pembeli potensial. Keempat, media massa cetak dan radio sudah semakin tampak sebagai ladang pencarian keuntungan yang sangat menjanjikan. Satu tahun setelah RCTI, berdirilah stasiun televisi SCTV, awalnya bernama Surabaya Citra Televisi yang berbasis di Surabaya, yang kemudian berubah nama menjadi Surya Citra Televisi. SCTV didirikan oleh konsorsium yang terdiri atas Sudwikatmono (sepupu Presiden sekaligus pemilik grup Subentra), Mohammad Noer (mantan Gubernur Jawa Timur) serta Henry Pribadi (saudara kandung Djuhar Sutanto, seorang mitra bisnis kunci Sudono Salim). Dalam perkembangannya, mulai 1991 Halimah Trihatmodjo (istri Bambang) dan Peter Gontha pun menjadi pemegang saham SCTV. Tahun 1991 juga bersiaran secara resmi stasiun televisi bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang diprakarsai oleh kakak Bambang Trihatmodjo, yaitu Siti Hardiyanti Rukmana atau yang biasa disapa Mbak Tutut. Armando menyatakan bahwa perlakuan istimewa pemerintah terhadap TPI lah yang merusak tatanan penyiaran nasional terutama kebijakan Siaran Saluran Terbatas (SST) yang sebelumnya diberikan pada RCTI dan SCTV. Sejak kehadiran TPI sistem penyiaran televisi di Indonesia bersifat Free To Air (FTA) dan bersiaran secara nasional.57 Setelah itu, berturut-turut berdirilah stasiun-stasiun televisi swasta yang bersiaran nasional di Indonesia, yaitu ANTV (1993) dan INDOSIAR (1995). ANTV didirikan oleh kelompok Bakrie milik Aburizal Bakrie seorang pengusaha pribumi asal Sumatera Selatan. Indosiar dimiliki oleh Sudono Salim, seorang pengusaha yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Presiden Soeharto. Dari gambaran di atas dapat terlihat bahwa struktur kepemilikan media televisi swasta pada awalnya dikuasai oleh keluarga dan kerabat dari Presiden Soeharto. Hubungan kroni kekuasaan inilah yang turut mempengaruhi munculnya berbagai regulasi di bidang penyiaran yang pada waktu itu dikeluarkan oleh

57 Ibid., hlm. 118 – 125

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 38

Departemen Penerangan, yang sekedar menjustifikasi dan memfasilitasi kepentingan para pemilik media televisi tersebut. Namun demikian, sejak awal 1990-an angin demokratisasi berhembus kencang di Indonesia. Hal itu membuat DPR RI mengajukan rancangan Undang-Undang Penyiaran terutama untuk mengatur media televisi di Indonesia. Pada awalnya semangat yang terkandung dalam RUU Penyiaran mengandung muatan yang dapat ditafsirkan sebagai menentang kekuasaan para pemilik stasiun televisi yang adalah keluarga dan kerabat Soeharto, seperti misalnya membatasi masa berlaku izin penyiaran selama 5 tahun dan pembatasan jangkauan siaran maksimum 50% dari jumlah penduduk Indonesia. Namun, melalui kewenangan pemerintah yang dipengaruhi oleh kekuasaan pemilik media televisi pada akhirnya mampu mempengaruhi muatan-muatan dari UU Penyiaran tahun 1997 yang menguntungkan para pemilik modal tersebut.

4.1.2. Masa Awal Reformasi Struktur kapitalisme dalam sistem penyiaran Indonesia terlihat semakin menguat tatkala gelombang Reformasi tahun 1998 memaksa Presiden Soeharto turun dari tampuk kekuasaan dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie. Juni 1998 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan akan merevisi peraturan Menpen tentang pembatasan jumlah televisi swasta hanya lima. Nuansa persaingan bisnis di bidang pertelevisian semakin kuat. Oktober 1999, Menteri Penerangan menetapkan lima perusahaan memperoleh izin prinsip penyelenggaraan lembaga penyiaran televisi swasta yang baru: Trans TV, DVN TV (PT Duta Visual Televisi Indonesia), Global TV, PR TV dan Metro TV (PT Media Televisi Indonesia).58 Berbeda dengan lima stasiun televisi swasta pertama yang dimiliki oleh mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan, hampir semua stasiun televisi baru pasca reformasi dimiliki oleh pengusaha “luar istana”, seperti Chaerul Tanjung (Trans TV), Abdul Latief (Lativi), Surya Paloh (Metro TV), Nasir Tamara (Global TV) dan Sukoyo (DVN TV). Kepemilikan DVN TV dan GLOBAL TV sebelum sempat beroperasi telah berpindah tangan, yaitu GLOBAL TV dibeli oleh Bimantara, sementara 80%

58 Ibid., hlm. 145

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 39

saham DVN TV diambil alih oleh Kompas Gramedia Group (yang kemudian menjadi TV7). Pada masa ini juga terjadi perubahan kepemilikan media akibat krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada RCTI. Awalnya saham RCTI dimiliki oleh Bimantara (70%) dan Rajawali Group (30%). Kemudian Rajawali menjual seluruh sahamnya kepada PT Bukit Cahaya Makmur (BCM) dan dijual lagi kepada PT Media Nusantara Citra (MNC). MNC sendiri 99% sahamnya dikuasai oleh Bimantara. Praktis RCTI sepenuhnya dimiliki oleh Bimantara. Hanya saja kepemilikan saham mayoritas di Bimantara berubah dari Bambang melalui PT Asriland menjadi PT Bhakti Investama yang dimiliki oleh Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo (Hary Tanoe). Bimantara saat itu juga menguasai 25% saham Metro TV dan 70% saham Global TV. Saham di Metro TV kemudian dijual namun di sisi lain Bimantara mengambil alih 75% saham TPI melalui konversi utang. Dengan demikian Bimantara menguasai tiga perusahaan media televisi: RCTI, TPI dan Global TV. Pergeseran kepemilikan juga terjadi di SCTV. Pelaku bisnis baru Eddy Sariatmadja dan Fofo Sariatmadja melalui PT Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) yang membentuk perusahaan PT Abhitama Media bekerja sama dengan PT Mitrasari Persada yang menguasai 52% saham SCTV mendirikan PT Surya Citra Media (SCM) sebagai pemegang saham mayoritas di SCTV. PT Mitrasari Persada merupakan perusahaan yang dimiliki oleh Henry Pribadi dan Sudwikatmono. PT SCM kemudian membeli 45% saham SCTV yang dimiliki oleh PT Datakom Asia. Praktis SCTV dimiliki oleh EMTEK melalui SCM.59 Dengan demikian, pada masa awal reformasi ini terjadi pergeseran kepemilikan media televisi swasta dari keluarga dan kerabat Soeharto kepada kalangan industri yang memiliki semangat bisnis dan motif keuntungan yang tinggi. Kesepuluh stasiun televisi swasta ini pun dapat bersiaran nasional dengan landasan UU Penyiaran tahun 1997. Struktur kepemilikan media televisi swasta baik dari segi aturan dan sumber daya dikuasai oleh 10 stasiun televisi yang semuanya bersiaran secara nasional dan sentralistis dari Jakarta.

59 Ibid., hlm. 147-149

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 40

Dari gambaran dinamika kepemilikan media televisi swasta diatas, terlihat bahwa pada masa Orde Baru, struktur kepemilikan media televisi swasta dikuasai oleh kroni Soeharto yang kemudian banyak membuat regulasi yang menguntungkan mereka. Sedangkan pada masa awal reformasi, kekuasaan kepemilikan media televisi swasta bergeser dari lingkungan kroni Soeharto kepada kalangan industri pengusaha pemilik modal yang berorientasi pada bisnis dan keuntungan (profit oriented). Struktur kapitalisme ini pula yang turut mempengaruhi suasana perumusan RUU Penyiaran pada tahun 2001, sebagaimana yang disampaikan oleh informan Bimo Nugroho, komisioner KPI Pusat periode pertama: “Pada waktu itu sudah mulai ada oligarki. Oligarkinya MNC, Harry Tanu, Chairul Tanjung, Surya Paloh, Abdul Latif waktu itu punya lativi. Kompas menjual TV 7 ke Trans menjadi Trans 7. Keluarga Bakrie punya ANTV. Kemudian Lativi dijual menjadi TV One. Kita melihat itu sesuatu yang tidak baik. Karena kita belajar bahwa pemilik itu pasti lah ingin mempengaruhi isi siaran tv nya. Itu kan sesuatu yang ideologis. Kalau kita belajar sosiologi media. Faktor ideologi ini menjadi faktor paling dalam. Setelah itu ownership, media routine dll. Memang berkaitan dengan ideologinya. Kalau kompas masih ok lah karena non partisan. Sementara yang lain-lain relatif partisan. Ada yang berpartai.”60

Struktur inilah yang hingga saat ini terus berinteraksi dengan agen-agen sosial dalam menata kepemilikan media televisi swasta di Indonesia, baik dalam proses pembahasan UU Penyiaran 2002 maupun proses persidangan uji materi pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran tersebut di Mahkamah Konstitusi. Salah satu dinamika pergulatan antara struktur dan agen terjadi pada pembahasan RUU Penyiaran sejak muncul drafnya tahun 2001.

60 Hasil wawancara dengan informan Bimo Nugroho Sekundatmo tanggal 9 Februari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 41

4.2. Struktur Kepemilikan Media Dalam UU Penyiaran 2002 Pada awal 2001 beredar draf RUU Penyiaran yang bertujuan untuk menggantikan UU Penyiaran 1997. Semangat reformasi yang secara gamblang diartikan sebagai anti Orde Baru mempengaruhi publik untuk mengganti regulasi yang dibuat pada masa Orde Baru, termasuk UU Penyiaran. Pada proses pembahasan RUU Penyiaran ini, kelompok lembaga swadaya masyarakat dengan semangat demokrasi dan kebebasan, secara aktif turut terlibat. Pada awalnya RUU Penyiaran ini dipandang membangkitkan kontrol negara dan pemerintah terhadap kehidupan media penyiaran, seperti soal pembatasan masa berlaku izin penyiaran, munculnya lembaga yang mengatur dunia penyiaran hingga semangat untuk mengurangi kekuasaan televisi nasional dalam sistem stasiun jaringan. Semangat regulasi yang ketat di ranah penyiaran dalam RUU Penyiaran inilah yang ditentang oleh kelompok industri televisi dan sebagian kelompok masyarakat sipil. Industri penyiaran pada masa ini membentuk sebuah organisasi yang menghimpun semua televisi swasta yaitu Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Asosiasi ini menjadi motor utama yang menolak muatan-muatan yang terkandung dalam RUU Penyiaran. Namun, meski kekuasaan industri dan semangat kebebasan sangat besar, UU Penyiaran no.32 tahun 2002 tetap diluncurkan dengan prinsip regulasi ketat (high regulation) terhadap dunia penyiaran, terutama munculnya Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) dan kehadiran lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut informan Bimo Nugroho semangat dasar pembentukan UU Penyiaran yang baru saat itu adalah untuk menghilangkan oligarki kekuasaan pemilik media yang terpusat di Jakarta sehingga terdesentralisasi ke semua wilayah di Indonesia. Sejak mulai diterapkannya SSJ, Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) televisi terrestrial dan free to air sudah tidak lagi diberikan untuk pendirian televisi nasional. IPP hanya diberikan untuk pendirian stasiun televisi lokal. Dalam SSJ juga tidak dikenal lagi istilah televisi nasional. Seluruh televisi komersial yang terbentuk disebut Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dan bersiaran secara terbatas di suatu daerah (lokal). Kalaupun mereka ingin bersiaran secara nasional, mereka harus saling berhubungan sehingga membentuk sebuah jaringan.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 42

Maka istilah yang dikenal dalam SSJ adalah stasiun induk jaringan dan stasiun anggota jaringan. SSJ itulah yang merubah lanskap sistem kepemilikan media televisi komersial di Indonesia terutama bagi kesepuluh stasiun televisi yang sudah terbentuk sebelum lahirnya UU Penyiaran. Sepuluh stasiun televisi nasional itu dituntut untuk merubah stasiun relainya di berbagai daerah menjadi LPS yang selain menyiarkan siaran induk jaringan, juga dapat memproduksi konten lokal. Pada awal penerapan SSJ ini menimbulkan penolakan dari pihak industri penyiaran nasional. Mereka enggan untuk menerapkan SSJ karena dianggap akan memperkecil cakupan siaran menjadi bersifat lokal. Hal itu akan berpengaruh pada pendapatan perusahaan dari iklan. Harga iklan untuk siaran terbatas (lokal) tentu akan lebih murah dibandingkan dengan harga iklan untuk siaran nasional. Tenggat waktu yang diberikan oleh UU Penyiaran kepada 10 stasiun televisi tersebut untuk menerapkan SSJ awalnya adalah 2 tahun sejak UU tersebut diberlakukan secara efektif, terutama pasca munculnya PP-LPS di tahun 2005. Tenggat waktu yang diberikan oleh pemerintah pada tahun 2007, pada akhirnya harus direvisi hingga akhir tahun 2009 melalui Permenkominfo no. 32 tahun 2007 tentang Penyesuaian Penerapan SSJ dan dipertegas dengan Permenkominfo no.43 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran melalui SSJ oleh LPS Jasa Penyiaran Televisi.61 Pada akhirnya 10 LPS Televisi Eksisting mau tidak mau menerapkan SSJ, dengan cara merubah stasiun relai di tingkat provinsi menjadi LPS berbadan hukum yang menjadi anggota jaringan. Hingga tahun 2010, kesepuluh LPS TV Eksisting belum menerapkan sepenuhnya SSJ karena menyangkut persoalan dana dan SDM untuk memecah asetnya. KPI dan pemerintah akhirnya menyesuaikan dengan kondisi yang ada dengan cara memulai penerapan SSJ dari sisi isi siaran. KPI mewajibkan LPS berjaringan untuk menyiarkan 10% materi-materi lokal dari keseluruhan isi siaran. Hal ini bertujuan untuk menjamin penduduk setempat mendapatkan informasi tentang daerahnya sendiri.62

61 Laporan Tahunan KPI tahun 2010, hlm. 74 62 Ibid., hlm. 74

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 43

4.2.1 Regulasi Kepemilikan Media Penyiaran di Indonesia Dalam Teori Strukturasi Anthony Giddens, sebuah struktur dapat dilihat dalam dua hal yakni peraturan (rules) dan sumber daya (resources), yang bisa saja menghambat atau memberi peluang pada tindakan agen. Aturan merupakan ketentuan atau prosedur yang mengarahkan agen dalam melakukan sesuatu atau bagaimana mencapai suatu tujuan. Aturan umumnya mengacu pada regulasi yang ada. Sedangkan sumber daya merujuk pada kekuatan agen untuk mempengaruhi tindakan individu-individu dalam suatu kelompok. Terdapat dua jenis sumber daya, yaitu sumber daya alokatif dan sumber daya autoritatif. Maka, untuk mengetahui struktur kepemilikan media (media ownership) penyiaran, terutama menyangkut televisi swasta di Indonesia, kita dapat mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang televisi swasta yaitu Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) dan Peraturan Pemerintah no.50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS). Pasca disahkannya UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, terjadi perubahan sistem penyiaran di Indonesia dari sistem yang sentralistis menjadi sistem yang desentralistis. Semangat otonomi daerah amat kental dalam UU Penyiaran. Sistem penyiaran yang kemudian diberlakukan di Indonesia adalah Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Pasal 6 ayat (3) UU Penyiaran menyebutkan “Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.” Hal itu diperkuat dengan pasal 31 ayat (3) UU Penyiaran yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.” Dalam UU Penyiaran dikenal empat bentuk lembaga penyiaran, yaitu: 1. Lembaga Penyiaran Publik (LPP), adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Contohnya Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI).

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 44

2. Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Contoh: RCTI, SCTV, ANTV. 3. Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya. Contoh : Gunadharma TV, Untirta TV, Candradimuka TV. 4. Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB), adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran berlangganan. Contoh: Indovision, Aora, Telkomvision. Sistem Stasiun Jaringan merupakan sistem penyiaran yang terdiri dari lembaga-lembaga penyiaran lokal dengan jangkauan siaran terbatas yang saling berhubungan hingga membentuk sebuah kesatuan jaringan. Pada ketentuan umum pasal 1 ayat (3) PP-LPS mendefinisikan Sistem Stasiun Jaringan sebagai tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap antar lembaga penyiaran. 63 SSJ merupakan sebuah terobosan dalam rangka menciptakan demokratisasi penyiaran dengan dua semangat dasar yakni menciptakan keberagaman isi siaran (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan media (diversity of ownership). Pada aspek kelembagaan, sebuah LPS Televisi harus berbentuk badan hukum. Sebuah LPS televisi tidak diperkenankan tidak memiliki badan hukum. Hal itu diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU Penyiaran yang berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.”

63 Pasal 1 ayat (3) UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 45

Pada aspek persyaratan, PP-LPS mengatur secara detil bahwa sebuah LPS diharuskan untuk memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Didirikan oleh warga negara Indonesia 2. Didirikan dengan bentuk badan hukum Indonesia berupa perseroan terbatas 3. Bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi 4. Seluruh modal awal usahanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.64

Pada aspek persyaratan tersebut dapat terlihat bahwa bentuk badan hukum usaha LPS adalah Perseroan Terbatas (PT). Artinya LPS Televisi tidak boleh didirikan dalam bentuk badan usaha Perusahaan Perorangan (UD), Firma (FA), atau Perseroan Komanditer (CV). Syarat tersebut juga menegaskan bahwa LPS adalah perusahaan yang khusus bergerak di bidang jasa penyiaran. Oleh karena itu perusahaan yang bergerak di bidang umum, baik produk maupun jasa, tidak diperbolehkan berusaha di bisnis televisi. Pada aspek kepengurusan, LPS Televisi harus diisi oleh warga negara Indonesia. Pengurus LPS tidak boleh diisi oleh warga negara asing kecuali untuk bidang keuangan dan teknik. Hal itu diatur dalam pasal 16 ayat (2) UU Penyiaran yang berbunyi “Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.” Dapat dikatakan bahwa UU Penyiaran memiliki semangat nasionalisme dengan memberikan keutamaan dan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga negara Indonesia untuk berkiprah dalam bisnis penyiaran. Semangat nasionalisme ini juga tercermin pada aspek permodalan, dimana sebuah LPS harus memiliki modal awal berasal dari warga negara dan/atau badan hukum Indonesia. Modal awal pendirian LPS tidak boleh berasal dari modal asing. Pasal 17 ayat (1) UU Penyiaran mengatur hal ini dengan kalimat “Lembaga

64 Lihat pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah no.50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiara Swasta, hlm. 3-4

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 46

Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.” Namun bukan berarti modal asing tidak diperbolehkan untuk berinvestasi di media penyiaran di Indonesia. Modal asing diperbolehkan untuk menambah dan mengembangkan modal perusahaan terutama dalam bentuk penanaman saham di pasar modal, tapi dibatasi maksimal 20% dari seluruh saham perusahaan. Itupun harus dimiliki minimal oleh 2 pemegang saham. Pasal 17 ayat (2) UU Penyiaran berbunyi “Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.” Namun, LPS ditekankan untuk mengutamakan warga negara Indonesia untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan. Sistem kepemilikan lembaga penyiaran terutama yang terkait dengan aspek bisnis pada dasarnya diarahkan pada ketentuan bisnis secara umum. Perubahan kepemilikan dan komposisi saham melalui pasar modal wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di pasar modal. Hal itu diatur dalam pasal 26 ayat (2) yang berbunyi “Kepemilikan saham pada Lembaga Penyiaran Swasta melalui pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di pasar modal dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Hal inilah yang memberikan peluang bagi KPPU dan Bapepam-LK masuk dalam urusan bisnis penyiaran. Pada aspek pembatasan kepemilikan, sistem penyiaran Indonesia secara jelas melarang monopoli kepemilikan. Pasal 5 huruf g UU Penyiaran menyatakan bahwa penyiaran Indonesia diarahkan untuk mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di industri penyiaran. Namun, UU Penyiaran tidak secara jelas melarang soal pemusatan (konsentrasi) kepemilikan. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran menjadi acuan tentang pemusatan kepemilikan media di Indonesia berbunyi “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 47

siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” UU Penyiaran juga membatasi kepemilikan silang (cross ownership) antara kepemilikan media televisi dengan radio maupun cetak. Undang-Undang Penyiaran memang tidak secara detil mengatur soal pembatasan kepemilikan ini. Penggunaan kata “dibatasi” bukti kegamangan UU dalam mengatur secara tegas tentang pembatasan kepemilikan. Batasan-batasan tentang pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, diserahkan kepada pemerintah melalui PP-LPS. Kepemilikan terhadap LPS dibatasi dengan ketentuan dalam pasal 32 ayat (1) PP-LPS, sebagai berikut: 1. Satu badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda; 2. Paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu); 3. Paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh Sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua); 4. Paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga); 5. Paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4 (keempat) dan seterusnya; 6. Badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Untuk mencegah konsentrasi kepemilikan media penyiaran, Pasal 20 UU Penyiaran secara jelas menyebutkan bahwa sebuah LPS hanya dapat menyelenggarakan satu siaran dengan satu saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran. Hal ini berarti sebuah LPS tidak boleh menyelenggarakan dua saluran siaran pada satu cakupan wilayah siaran. Selain itu pembatasan kepemilikan yang digunakan dalam sistem penyiaran Indonesia adalah pembatasan jangkauan wilayah siaran maksimal 75% dari jumlah provinsi di Indonesia. Pasal 36 huruf e menyatakan bahwa

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 48

“Jangkauan wilayah siaran dari suatu sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah provinsi di Indonesia.” Maka, dari 33 provinsi di Indonesia, sebuah stasiun induk jaringan hanya boleh memiliki maksimal stasiun lokal di 24 provinsi. Untuk mencegah monopoli maupun konsentrasi kepemilikan, UU juga melarang pemindahtanganan IPP. Hal ini diatur dalam pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang berbunyi “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.” Jika kita baca dan cermati aturan tentang kepemilikan media baik dalam UU Penyiaran maupun PP-LPS, pada dasarnya sudah sejalan dengan semangat desentralisasi penyiaran dalam Sistem Stasiun Jaringan. Gambarannya adalah bahwa jika seseorang atau suatu badan hukum mendirikan stasiun televisi swasta (LPS) ia hanya dapat mendirikan satu stasiun yang memiliki jangkauan siaran terbatas di suatu wilayah. Jika ia hendak bersiaran di wilayah yang lain, ada dua cara. Pertama bekerja sama dengan stasiun televisi yang sudah ada di wilayah tersebut atau yang kedua adalah mendirikan stasiun televisi dengan patungan modal pengusaha setempat yang mau menanggung 51% modal/saham. Dengan demikian, akan tercipta sebuah jaringan stasiun televisi di Indonesia. Sayangnya, aturan-aturan yang ideal dalam UU Penyiaran dan PP-LPS hanya diperuntukkan bagi LPS yang baru, bukan bagi 10 LPS nasional yang telah ada. Dalam berbagai peraturan tersebut terdapat unsur pengistimewaan terhadap 10 LPS yang sudah ada yang disebut LPS Eksisting. Pengistimewaan tersebut tertulis dalam pasal-pasal pengecualian terutama soal kepemilikan saham dan jangkauan wilayah siaran. LPS eksisting itu juga mendapatkan keistimewaan dalam penerapan Sistem Stasiun Jaringan yang terus molor dari tenggat waktu yang ditentukan. Beberapa pasal pengecualian tersebut adalah : 1. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat puluh sembilan perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 49

sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. (pasal 32 ayat (3) PP- LPS) 2. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e memungkinkan terjangkaunya wilayah siaran menjadi paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah provinsi di Indonesia, hanya untuk sistem stasiun jaringan yang telah mengoperasikan sejumlah stasiun relai yang dimilikinya sehingga melebihi 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah provinsi sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. (Pasal 36 huruf f PP-LPS)

Dari uraian diatas penulis akan menguraikan poin-poin penting soal pembatasan kepemilikan media penyiaran di Indonesia. 1. Satu perusahaan media penyiaran di Indonesia dilarang memiliki 2 izin penyiaran di satu wilayah siaran yang sama. 2. Jangkauan wilayah siaran maksimal 75% dari jumlah provinsi di Indonesia (24 provinsi). 3. Satu perusahaan media dapat memiliki saham di perusahaan media lain dengan persyaratan 100% saham pada perusahaan pertama, 49% saham pada perusahaan kedua, 20% saham pada perusahaan ketiga, dan 5% saham pada perusahaan keempat dan seterusnya. 4. Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dilarang diperjualbelikan.

4.2.2 Sumber Daya Autoritatif & Alokatif Dalam Struktur Kepemilikan Media di Indonesia Menurut Giddens sumber daya dalam sebuah struktur dapat dibagi ke dalam sumber daya autoritatif dan sumber daya alokatif. Sumber daya autoritatif dalam hal ini adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Kemenkominfo, KPI dan industri televisi. Sedangkan sumber daya alokatif dalam hal ini adalah ketersediaan kanal frekuensi dan pendapatan iklan. Pengecualian terhadap 10 LPS Eksisting dapat diartikan sebagai kekuasaan (power) industri televisi swasta nasional eksisting. Hal itu dapat

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 50

dikategorikan sebagai sumber daya (resources) autoritatif dalam struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Struktur kepemilikan pada aspek sumber daya autoritatif juga menyangkut kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan kebijakan di ranah penyiaran. UU Penyiaran melahirkan sebuah lembaga negara independen yang bertugas untuk mengatur dunia penyiaran (independent regulatory body). Lembaga tersebut bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI awalnya diharapkan mampu menjadi representasi publik dalam menghadapi kekuatan pemodal (kekuasaan ekonomi) dan pemerintah (kekuasaan politik). Dalam UU Penyiaran disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga negara yang bersifat independen sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.65 KPI berasal dari unsur masyarakat madani yang berupaya untuk menciptakan keseimbangan diantara kekuatan negara dan pasar dalam industri penyiaran. Sebagai representasi publik, anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Masa jabatan anggota KPI adalah 3 (tiga) tahun. Pada awalnya, masyarakat penyiaran menaruh harapan yang besar terhadap KPI untuk dapat menata sistem penyiaran Indonesia. Namun harapan itu pupus, saat MK pada Juli 2004 mengeluarkan keputusan atas pengajuan uji materi (Judicial Review) terhadap UU Penyiaran yang dilakukan oleh 6 organisasi mitra industri; Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi) dan sebuah organisasi praktisi penyiaran Kom Teve.

65 Pasal 1 ayat 13 UU 32/2002 tentang Penyiaran

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 51

Meskipun secara umum keputusan MK adalah menolak permintaan para pemohon JR untuk membatalkan UU Penyiaran, namun MK memutuskan bahwa KPI tak lagi memiliki wewenang untuk menjadi pihak yang bersama-sama pemerintah membuat peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU Penyiaran. Ini terkait dengan rangkaian pasal UU yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai sejumlah hal harus ditetapkan oleh “KPI bersama-sama Pemerintah”. Menurut MK, anak kalimat “KPI bersama-sama” harus dihilangkan. Implikasinya yang berhak membuat rangkaian ketentuan lebih lanjut itu adalah hanya pemerintah.66 Keputusan MK itulah yang mereduksi kewenangan KPI dalam mengatur kepemilikan media penyiaran di Indonesia. KPI diposisikan hanya berwenang dalam mengatur dan mengawasi isi siaran media. Sementara lembaga yang berwenang dalam pengaturan kepemilikan media penyiaran adalah Kemenkominfo. Dalam soal perizinan, KPI hanya berperan sebagai perantara antara pemohon dengan menteri.67 Keluarnya PP-LPS tahun 2005 semakin menguatkan peran dan wewenang Kemenkominfo dalam mengatur izin siaran dan kepemilikan media di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sumber daya autoritatif yang ada dalam struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia saat ini dimiliki oleh Kemenkominfo. KPI sendiri pada tahun 2006 telah mengajukan JR ke MK untuk menentang lahirnya rangkaian peraturan pemerintah, termasuk PP-LPS, yang dianggap bertentangan dengan UU Penyiaran. Namun MA memutuskan menolak permohonan KPI karena tidak ada isi PP yang bertentangan dengan UU Penyiaran. Adapun aspek sumber daya alokatif dalam struktur kepemilikan media penyiaran, kita dapat melihatnya pada kanal frekuensi dan belanja iklan. Kedua hal inilah yang menjadi sumber daya yang diperebutkan oleh industri penyiaran. Dalam hal frekuensi, sistem penyiaran televisi swasta di Indonesia menggunakan gelombang frekuensi radio pada pita Ultra High Frequency (UHF) terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (free to air). Sedangkan sumber daya

66 Ade Armando, Op.Cit., hlm. 198 – 199. 67 Ibid.., hlm.218

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 52

frekuensi di masing-masing wilayah sifatnya terbatas. Oleh karena itu kanal frekuensi dikelola dan diatur oleh pemerintah. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan no.KM 76 tahun 2003 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High Frequency (UHF), disebutkan bahwa di sebuah wilayah layanan siaran terutama Ibukota Provinsi jumlah maksimal stasiun televisi adalah 14 kanal. Itupun terdapat 2 kanal yang harus disisakan untuk transisi ke televisi digital. Di beberapa wilayah kabupaten bahkan hanya disediakan 7 kanal frekuensi. 68 Data laporan tahunan KPI tahun 2010 memaparkan tentang kanal frekuensi yang telah dipakai oleh 10 LPS Eksisting di tingkat provinsi di Indonesia. Data KPI tersebut berasal dari 10 LPS Eksisting yang telah menerapkan SSJ melalui perubahan stasiun relai menjadi LPS anggota jaringan. Datanya dapat dilihat dibawah ini:

Tabel 4.1. Jumlah TV Nasional yang Memenuhi Ketentuan SSJ Tahun 2010

NO PROVINSI JUMLAH TV NASIONAL 1. Aceh 4 LPS 2. Sumatera Barat 8 LPS 3. Sumatera Utara 10 LPS 4. Sumatera Selatan 10 LPS 5. Jambi 6 LPS 6. Bengkulu 4 LPS 7. Lampung 9 LPS 8. Riau 9 LPS 9. Kepulauan Riau 5 LPS 10 Jawa Tengah 10 LPS 11. Jawa Barat 10 LPS 12. Jawa Timur 10 LPS 13. Banten 2 LPS 14. D.I. Yogyakarta 10 LPS 15. Bali 10 LPS

68 Lihat pasal 6 ayat (1) & (2) Keputusan Menteri Perhubungan no.KM 76 tahun 2003, hlm. 5

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 53

NO PROVINSI JUMLAH TV NASIONAL 16. Kalimantan Barat 9 LPS 17. Kalimantan Selatan 9 LPS 18. Kalimantan Tengah 3 LPS 19. Kalimantan Timur 9 LPS 20. Sulawesi Selatan 9 LPS 21. Sulawesi Utara 10 LPS 22. Sulawesi Tenggara 3 LPS 23. Sulawesi Tengah 4 LPS 24. Bangka Belitung 3 LPS 25. Gorontalo 1 LPS 26. Nusa Tenggara Timur 4 LPS 27. Nusa Tenggara Barat 4 LPS 28. Maluku 4 LPS 29. Papua 7 LPS Sumber: Laporan Tahunan KPI Tahun 2010, hlm.75

Data KPI di atas tidak menyebutkan 4 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat. Untuk provinsi DKI Jakarta sudah jelas bahwa 10 LPS Eksisting sudah ada disana. Adapun tidak dicantumkannya data TV Nasional pada 3 provinsi lainnya menunjukkan bahwa di provinsi-provinsi tersebut tidak terdapat satupun dari anggota jaringan 10 LPS Eksisting. Data diatas juga menunjukkan bahwa 10 LPS Eksisting telah menguasai kanal frekuensi di provinsi-provinsi tergolong maju seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali dan Sulawesi Utara. Dapat diartikan bahwa peluang usaha bagi LPS baru di provinsi- provinsi tersebut sudah tertutup, apalagi bagi Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Peluang yang masih tersedia bagi LPS baru terdapat di provinsi-provinsi yang relatif kurang maju terutama dari segi ekonomi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber daya alokatif lainnya dalam struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia terkait dengan sumber pendapatannya. Bagi televisi FTA, sumber pendapatannya berasal dari iklan sebagaimana diatur dalam pasal 19 UU Penyiaran. Data pertumbuhan belanja iklan di Indonesia oleh media televisi

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 54

menyerap hampir rata-rata 60% dari total belanja iklan di media. Data berikut memperlihatkan pendapatan kotor iklan televisi yang dikuasai oleh 10 LPS Eksisting.

Tabel 4.2. Pendapatan Kotor Iklan Televisi 10 LPS Eksisting Periode Januari – April 2012

Average No Channels Januari – April 2012 Average By Group 1 RCTI Rp 2,396,880,462 15.75% 2 MNC TV Rp 2,054,468,968 13.50% 37% 3 GLOBAL TV Rp 1,179,417,370 7.75% 4 SCTV Rp 2,130,560,411 14.00% 23,50% 5 INDOSIAR Rp 1,445,737,422 9.50% 6 ANTV Rp 1,255,508,814 8.25% 14,50% 7 TV ONE Rp 951,143,041 6.25% 8 TRANS TV Rp 1,635,966,030 10.75% 21,75% 9 TRANS 7 Rp 1,674,011,752 11.00% 10 METRO TV Rp 494,594,381 3.25% 3,25%

TOTAL Rp 15,218,288,650 100% 100% Sumber: The Nielsen Company

Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia amat terkait dengan peraturan yang memberikan keistimewaan bagi 10 LPS Eksisting, baik dalam UU Penyiaran maupun PP-LPS serta Peraturan Menkominfo. Hal itu turut dipengaruhi oleh sumber daya alokatif yang mereka miliki, terutama sumber daya modal, sarana & prasarana, SDM, dan teknologi yang telah dimiliki oleh 10 LPS Eksisting tersebut. Bahkan ketika ke-10 LPS eksisting itu mengkonsolidasikan diri dalam kelompok-kelompok usaha media (media group), kekuatan mereka bertambah besar dan menjadi sumber daya autoritatif dalam struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia, terutama saat

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 55

mereka mendominasi penguasaan kanal frekuensi dan belanja iklan yang menjadi sumber daya alokatif juga. Pada masa sebelum UU Penyiaran 2002, media televisi swasta di Indonesia dapat bersiaran secara nasional dan yang salurannya dapat ditangkap melalui antena Ultra High Frequency (UHF) atau Very High Frequency (VHF) (terrestrial) dengan model penerimaan tetap tak berbayar (free to air). Sejak RCTI bersiaran pada tahun 1989 sebagai stasiun televisi swasta pertama, hingga saat ini terdapat 10 stasiun televisi swasta yang bersiaran nasional di Indonesia, yaitu RCTI (1989), SCTV (1989), MNC TV(sebelumnya bernama TPI) (1990), ANTV (1993), Indosiar (1995), Metro TV (2000), Trans TV (2001), Global TV (2001), TVOne (sebelumnya bernama Lativi) (2001) dan Trans 7 (sebelumnya bernama TV7) (2001). Semua stasiun televisi diatas berlokasi di Provinsi DKI Jakarta. Stasiun-stasiun televisi tersebut dapat bersiaran secara nasional dengan menggunakan stasiun pemancar (relai) di berbagai daerah yang dapat memancarkan siaran dari Jakarta. Dalam proses persaingan bisnis diantara sepuluh stasiun televisi nasional itu kemudian menyebabkan terjadinya penggabungan beberapa televisi dalam satu perusahaan induk (holding company) yang disebut kelompok usaha media (media group). Hingga tahun 2011 dengan bergabungnya SCTV-Indosiar dalam perusahaan induk EMTEK, terdapat 5 kelompok usaha dari 10 LPS Eksisting yaitu MNC Group, EMTEK Group, Trans Corp, Viva Group dan Media Group. Hanya Media Group yang memiliki satu LPS Televisi yaitu Metro TV. Bahkan kelompok-kelompok usaha media tersebut juga melebarkan jaringan bisnisnya pada LPS lokal maupun Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB).

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 56

Tabel 4.3. Daftar Kelompok Usaha Media (Media Group) 10 LPS Televisi Eksisting dan Market Share Tahun 2011

N Tahun Market Grup Media Pemilik Stasiun Televisi O Siaran Share (%) RCTI 1989 19 MNC Group (Global Hari Global TV 2001 5,1 1. 36,7 Mediacomm) Tanoesoedibjo MNC TV 1990 12,6 (sebelumnya TPI) Elang Mahkota SCTV 1989 17,3 Eddy Kusnadi 2. Teknologi (EMTEK) 31,5 Sariaatmadja Indosiar 1995 14,2 Group Trans TV 2001 12,1 Trans Corp (CT Chairul Trans 7 3. 18,5 Corp) Tanjung (sebelumnya TV 2001 6,4 7) ANTV 1993 4,2 Viva Group (Bakrie Anindya TV One 4. 8,7 & Brothers) Bakrie (sebelumnya 2001 4,5 Lativi) 5. Media Group Surya Paloh Metro TV 2000 1,9 1,9 Sumber: Diolah dari data riset Merlyna Lim, @crossroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia, Participatory Media Lab at Arizona State University & Ford Foundation, 2011, hlm. 12

Kemapanan ekonomi dan sumber daya yang besar yang telah dimiliki oleh 5 kelompok usaha media itulah yang turut mempengaruhi pola pikir sebagian kelompok masyarakat untuk memahami pengistimewaan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh informan Hayono Isman bahwa hampir seluruh anggota komisi I DPR RI sepakat untuk tidak membuat industri yang sudah besar itu menjadi kecil. Sebagaimana yang disampaikannya: “Tapi intinya semua sepakat harus ada diversity of ownership. Kita di komisi 1 ada satu ungkapan “yang besar jangan dipenggal kepalanya, yang kecil jangan dihalangi jadi besar”. Atau dengan kata lain “Yang besar jangan dikecilkan, yang kecil jangan dihalangi untuk menjadi besar”. Begitu lah. Karena bagaimanapun juga industri yang ada

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 57

sekarang ini memberikan manfaat yang besar kepada rakyat, dalam bentuk hiburan.”69

Dalam rangka menghadapi struktur kepemilikan media penyiaran seperti inilah, beberapa agen sosial seperti KPI dan KIDP berinteraksi secara dinamis dengan agen sosial lain seperti ATVSI dan Kemenkominfo sejak proses aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK hingga proses persidangan uji materi pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi. Dinamika interaksi inilah yang akan coba digambarkan oleh penulis untuk melihat dialektika penataan sistem kepemilikan media penyiaran di Indonesia.

4.3. Proses Akuisisi IDKM oleh EMTEK Wacana tentang aksi korporasi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) terhadap PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) mulai mencuat ke publik saat Direktur Utama IDKM Handoko menyampaikan rencana penggabungan usaha tersebut pada tanggal 21 Februari 2011 dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), di Jakarta.70 Sejak itu dunia penyiaran di Indonesia dihebohkan dengan wacana tentang pemusatan kepemilikan media dengan bergabungnya Indosiar dengan SCTV. Wacana ini kemudian juga berkembang hingga pada isu tentang sistem kepemilikan media di Indonesia yang dikuasai oleh segelintir orang. Diskusi juga berkembang tidak saja membahas kasus penggabungan Indosiar-SCTV namun juga menyangkut keberadaan grup- grup media televisi yang sudah ada di Indonesia selama ini. Semua wacana tersebut pada akhirnya bermuara pada evaluasi prinsip keberagaman kepemilikan media (diversity of ownership) yang menjadi salah satu filosofi Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran selain keberagaman isi siaran (diversity of content). Sebenarnya rencana aksi korporasi IDKM oleh EMTEK muncul jauh sebelum tahun 2011. Menurut keterangan informan M. Riyanto Ketua Komisioner KPI Pusat periode 2010 - 2013, rencana aksi korporasi EMTEK terhadap IDKM

69 Hasil wawancara dengan informan Hayono Isman tanggal 13 Maret 2012 70 http://economy.okezone.com/read/2011/02/21/278/427049/indosiar-sctv-merger diakses pada tanggal 7 Mei 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 58

itu telah ia terima sekitar tahun 2008/2009. Saat itu EMTEK sudah melaporkan kepada KPI mengenai rencana aksi korporasi tersebut. “Sebenarnya proses aksi korporasi ini sudah lama sejak 2008 atau 2009. Rencana aksi ini sudah terjadi. Saya lupa tanggalnya kesini dulu waktu melaporkan dan menyampaikan rencana itu. Baru menyampaikan rencana. Dari pihak SCTV, EMTEK. Itu menyampaikan kesini. Pada waktu itu terus kami respons bahwa mungkin soal aksi korporasi bisa dilakukan dalam konteks “bisnis penyiaran”, tapi kalau yang mengarah pada penguasaan izin siaran dan lain-lain itu berpotensi ada pelanggaran terhadap Undang-Undang. Advokasi kami demikian pada waktu pertemuan.”71

Bahkan lebih lama lagi, pada tahun 2006 majalah Tempo telah melansir isu penjualan saham Indosiar kepada Trans TV dan SCTV. Dalam judul berita “Lebih Baik Tak Sendirian” Edisi. 39/XXXV/20 - 26 November 2006, Tempo mendapatkan kabar bahwa PT Indosiar Karya Media Tbk., akan melakukan rights issue alias menawarkan saham baru kepada para investor. Dana hasil penjualan saham itu akan dipakai melunasi utang obligasi Rp 696 miliar, yang jatuh tempo pada Agustus 2008. Kondisi media penyiaran televisi saat itu memang hanya menyisakan tiga stasiun televisi yang belum bergabung dalam grup media; Indosiar, SCTV dan Metro TV. Menurut analis Danareksa Mulya Chandra yang menjadi narasumber Tempo, SCTV dan Indosiar merupakan target akuisisi yang potensial.72 Dalam beberapa pemberitaan di media massa, sejumlah pihak dari dalam maupun luar negeri juga pernah dikabarkan berencana untuk membeli Indosiar. Nama-nama konglomerat media seperti Erick Thohir pemilik PT Mahaka Media Tbk dan Chairul Tanjung pemilik grup media Trans Corp kabarnya sangat berminat untuk membeli Indosiar. ABC Development Corp yang menjalankan TV5 Filipina juga diberitakan berencana untuk membeli Indosiar.

71 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto tanggal 24 Januari 2012 72 Lebih Baik Tak Sendirian, Majalah Tempo Edisi. 39/XXXV/20 - 26 November 2006

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 59

Rencana pelepasan saham IDKM tentu saja tidak dapat dilepaskan dari penurunan kinerja anak perusahaan IDKM yakni PT Indosiar Visual Mandiri (IVM) yang mengurus langsung kegiatan penyiaran stasiun televisi Indosiar. Peringkat Indosiar sejak semester kedua tahun 2004 terus merosot. Fenomena itu terjadi ketika Indosiar memilih tidak ikut-ikutan menyajikan tayangan hantu- hantuan, yang ternyata diminati penonton di Indonesia. Persoalan lain datang dari tayangan Indosiar yang tak prima di seluruh wilayah Jakarta, akibat keterbatasan menara transmisinya. Dilihat dari programnya pun, tayangan Indosiar ketika itu masih mengandalkan program impor. Hal itu membuat kinerja keuangannya terus merosot. Laba bersihnya sejak 2005 sudah minus. Hingga kuartal ketiga tahun 2006, rugi bersihnya mencapai Rp 183,2 miliar. Pendapatan iklannya menurun 29 persen dibanding tahun 2005.73 Selama tahun 2005 hingga 2007 Indosiar terus mencatatkan kerugian. Dalam kurun waktu itu, IDKM berturut-turut menderita rugi Rp 141,2 miliar, Rp 297,6 miliar, dan Rp 129,3 miliar. Baru pada tahun 2008 Indosiar mencatat laba bersih Rp 19,6 miliar.74 Pada tahun 2009 hingga 2010 IDKM mencatat penurunan laba bersih menjadi Rp 8,5 miliar dan Rp 8,3 miliar.75 Penurunan kinerja keuangan perusahaan, pada akhirnya berdampak pada persoalan tenaga kerja. Pada awal tahun 2010, terjadi konflik antara manajemen dengan karyawan Indosiar. Kasus itu bermula ketika sejumlah karyawan yang tergabung dalam Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar menuntut kesejahteraan dan kenaikan gaji yang tidak diberikan selama enam tahun. Manajemen Indosiar justru menjawab tuntutan pekerja dengan memecat anggota dan seluruh pengurus Sekar Indosiar. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat hampir 217 karyawan Indosiar yang dipecat saat itu.76 Sebagai sebuah badan hukum, Indosiar didirikan pada tanggal 19 Juli 1991 dengan nama perseroan PT Indovisual Citra Persada. Pada tahun 1995 Indosiar

73 Lebih Baik Tak Sendirian, Majalah Tempo Edisi. 39/XXXV/20 - 26 November 2006 74 http://investasi.kontan.co.id/news/persaingan-ketat-indosiar-merugi-rp-20-miliar diakses pada tanggal 7 Mei 2012 75 Laporan Tahunan PT Indosiar Karya Media Tbk Tahun 2010, hlm. 1 76 Ancaman itu Datang Dari Dalam, Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tahun 2010, hlm. 9

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 60

pertama kali bersiaran secara nasional. Hingga perubahan nama menjadi PT Indosiar Karya Media (IDKM) tahun 2003, perusahaan ini belum memiliki perusahaan induk (holding company). Barulah pada tanggal 4 Oktober 2004, IDKM menjadi perusahaan induk yang mendirikan anak perusahaan dengan nama PT Indosiar Visual Mandiri (IVM) yang mengurus kegiatan penyiaran stasiun televisi Indosiar. Kepemilikan saham IDKM di IVM sebesar 99,99%. Saat ini komposisi pemegang saham IDKM dimiliki oleh PT Prima Visualindo sebesar 27,24% dan sisanya dimiliki pihak lain secara bersama-sama.77 Keterkaitan IDKM dengan Indosiar dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.1. Hubungan IDKM dengan LPS Indosiar

1. PT Prima Visualindo (27,24%) PT INDOSIAR KARYA MEDIA Tbk 2. Other (72,76%) (IDKM)

PT INDOSIAR VISUAL MANDIRI IDKM (99,99%) (IVM)/ LPS INDOSIAR

Sumber : diolah dari Laporan Tahunan PT Indosiar Karya Media Tbk Tahun

2010

Pasca pengumuman rencana aksi korporasi oleh Direktur Utama IDKM, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tanggal 24 Februari 2011 memanggil direksi Indosiar dan SCTV terkait rencana aksi korporasi itu. Pertemuan yang berlangsung tertutup di kantor KPI Pusat ini dihadiri oleh Direktur Utama SCTV Fofo Sariaatmadja dan Direktur Program Indosiar Triandy Suyatman. Pertemuan antara direksi SCTV dengan Indosiar digelar secara terpisah. Ternyata dari hasil pertemuan tersebut diketahui bahwa penggabungan usaha antara EMTEK dan IDKM baru sebatas wacana alias belum terjadi. Ketua KPI Pusat Dadang Rahmat

77 Laporan Tahunan PT Indosiar Karya Media Tbk Tahun 2010, hlm. 20-22

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 61

Hidayat pada pertemuan itu mengingatkan agar rencana aksi korporasi itu jangan sampai melanggar Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah terkait.78 Setelah didorong oleh Bursa Efek Indonesia dan Bapepam-LK untuk memperjelas bentuk aksi korporasi yang akan dilakukan, EMTEK akhirnya melakukan aksi korporasi dengan cara mengambil alih 27,24% saham IDKM milik PT Prima Visualindo pada tanggal 1 Maret 2011 melalui penandatanganan perjanjian jual beli bersyarat. Harga transaksi saham IDKM yang disepakati sebesar Rp 900 per saham, lebih murah dari harga pasar sebesar Rp 1.010 per saham. Biaya yang dikeluarkan EMTEK untuk membeli 551.708.684 saham sebesar Rp 496,54 miliar.79 Pasca akuisisi saham Prima Visualindo, EMTEK juga mengeluarkan biaya lagi sebesar Rp 1,17 triliun untuk penawaran tender (tender offer) sisa saham IDKM diluar PV sebanyak 1.473.905.135 lembar saham sehingga total saham IDKM yang diakuisisi oleh EMTEK berjumlah 84,77%. PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) pada awal berdirinya tahun 1983 merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa personal komputer. Hingga tahun 2011 EMTEK memiliki tiga divisi bisnis utama; divisi media, divisi solusi dan divisi konektivitas. Pada divisi Media, EMTEK memiliki 2 saluran televisi free to air yaitu SCTV dan . EMTEK juga mendirikan PT Screenplay Produksi, sebuah rumah produksi. Sedangkan pada divisi Solusi, EMTEK menyediakan serangkaian infrastruktur dan jasa informasi, layanan komunikasi dan solusi teknologi untuk industri telekomunikasi, perbankan dan pembayaran ritel, seperti jasa untuk VSAT terintegrasi dan Smart Card. Adapun divisi Konektivitas terdiri dari dua inisiatif pengembangan untuk televisi dan layanan internet, termasuk layanan wireless digital pay TV dan layanan internet wireless broadband.80 Komposisi pemegang saham di EMTEK adalah Eddy K. Sariaatmadja (20,8%), Susanto Suwarto (13,8%), Piet Yaury (11,6%), Fofo Sariaatmadja (5,8%) dan sisanya 48% dimiliki oleh publik baik perorangan maupun

78 http://lifestyle.okezone.com/read/2011/02/24/278/428405/ketua-kpi-merger-indosiar-sctv-tak- boleh-langgar-undang-undang diakses pada tanggal 7 Mei 2012 79 http://economy.okezone.com/read/2011/03/03/278/430888/akhirnya-sctv-akuisisi-indosiar- rp496-54-miliar diakses pada tanggal 7 Mei 2012 80 Laporan Tahunan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk Tahun 2010, hlm. 3

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 62

perusahaan. Kepemilikan EMTEK di SCTV merupakan kepemilikan langsung (direct ownership) melalui saham sebesar 85,78% di PT Surya Citra Media Tbk (SCMA). SCMA inilah yang memiliki 99,99% saham di PT Surya Citra Televisi (SCTV). Keterkaitan EMTEK dengan SCTV dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.2. Hubungan EMTEK dengan LPS SCTV

1. Eddy K. Sariaatmadja (20,8%) PT ELANG MAHKOTA TEKNOLOGI 2. Susanto Suwarto (13,8%) Tbk (EMTEK GROUP) 3. Piet Yaury (11,6%) 4. Fofo Sariaatmadja (5,8%) 5. Other (48%)

PT SURYA CITRA MEDIA Tbk 1. EMTEK (85,78%) (SCMA) 2. Other (14,2%)

PT SURYA CITRA TELEVISI SCMA (99,99%) (SCTV)/ LPS SCTV

Sumber : diolah dari Laporan Tahunan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk Tahun

2010

Tindakan akuisisi yang dilakukan oleh EMTEK pun kemudian menuai beragam tanggapan dari publik. Pendapat yang menentang aksi akuisisi tersebut menyatakan bahwa tindakan aksi korporasi EMTEK terhadap IDKM adalah tidak sah karena melanggar Undang-Undang Penyiaran serta mengarah pada pemusatan kepemilikan media. Kalangan yang menolak aksi korporasi ini berasal dari anggota komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, kalangan akademisi, Lembawa Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Akuisisi Indosiar oleh EMTK itu bertentangan dengan UU Penyiaran dan harus dibatalkan,” ujar anggota Komisi I DPR RI Effendy Choirie. Pengamat

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 63

politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, juga menyatakan akuisisi Indosiar dengan EMTEK harus dibatalkan. Menurut Gazali, kalau pun dari sudut UU Persaingan Usaha atau UU lainnya tidak ada potensi monopoli, akuisisi ini pun tetap tidak boleh dilanjutkan karena yang bergabung adalah dua perusahaan penyiaran di bawah satu atap bernama PT EMTEK.81 Bahkan salah satu reaksi masyarakat terhadap aksi korporasi tersebut dilakukan dengan mengajukan gugatan hukum ke pengadilan. Hal itu dilakukan oleh seorang advokat Hinca Pandjaitan yang mengajukan gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Menkominfo, Bapepam-LK dan KPI dengan tuduhan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu pembiaran atas pengendalian, penguasaan ekonomi, informasi dan politik dalam industri penyiaran yang mempergunakan spectrum frekuensi radio sebagai public domain, oleh satu orang dan atau oleh satu badan hukum, serta kepemilikan modal asing dalam industri penyiaran. Gugatan tersebut didaftarkan di PN Jakarta Pusat dengan register perkara no.102/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst pada tanggal 11 Maret 2011.82 Dalam tuntutannya (petitum), Menkominfo, KPI dan Bapepam-LK diminta menghentikan segera proses peleburan Indosiar kepada SCTV di bawah naungan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK). Dalam proses mediasi di PN Jakarta Pusat yang berlangsung tertutup, hanya KPI yang menyatakan dapat memahami gugatan yang diajukan dan setuju dengan proposal perdamaian yang diajukan Hinca yaitu mengambil tindakan sesuai wewenangnya atas aksi akuisisi Indosiar. Komisioner KPI Pusat M. Riyanto bahkan mengapresiasi gugatan hukum tersebut. “Kita apresiasi positif gugatan tersebut…. Kami juga dalam posisi tidak melanggar hukum. Kami juga komit, kalau monopoli, enggak sepakat… Jika ada kesimpulan monopoli, KPI tidak diam saja,” katanya saat diwawancara media.83

81 http://investasi.kontan.co.id/news/akuisisi-indosiar-oleh-emtk-dianggap-tidak-sah-1 diakses pada tanggal 7 Mei 2012 82 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d7a28a4cf6ee/advokat-gugat-menkominfo-kpi-dan- bapepam-lk diakses pada tanggal 7 Mei 2012 83 http://finance.detik.com/read/2011/03/14/163915/1591300/6/kpi-apresiasi-gugatan-atas-akuisisi- sctv-indosiar diakses pada tanggal 7 Mei 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 64

Tanggal 14 Maret 2011, KPI Pusat melakukan pertemuan dengan pihak Kemenkominfo dan Bapepam-LK di kantor Kemenkominfo untuk menyamakan persepsi mengenai aksi akuisisi EMTEK terhadap IDKM dan juga mempertegas kewenangan masing-masing lembara agar tidak terjadi tumpang tindih wewenang. Selain itu, pertemuan dengan Bapepam-LK bertujuan untuk mensinkronkan antara UU Penyiaran dengan aturan-aturan pasar modal. Namun, pertemuan tersebut tidak mencapai kesepakatan bersama lantaran pihak Kemenkominfo dan Bapepam-LK tetap berpandangan bahwa aksi korporasi itu tidak terdapat unsur monopoli.84 Setelah pertemuan tersebut KPI juga mengklarifikasi tentang isu fatwa Mahkamah Agung mengenai akuisisi Indosiar. KPI memastikan bahwa yang disebut sebagai fatwa Mahkamah Agung sebenarnya hanya berupa surat menyurat (korespondensi) antara Kemenkominfo dengan MA untuk meminta pendapat hukum terkait dengan masalah akuisisi tersebut. Hingga bulan Mei 2011, Kemenkominfo belum bisa memberikan keputusan soal akuisisi Indosiar. Namun dalam wawancara dengan media massa, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring menyatakan bahwa pihaknya mengacu pada UU no.32 tahun 2002 yang menyatakan hanya mengizinkan satu stasiun televisi di setiap provinsi untuk satu perusahaan. Namuan Tifatul tidak memberikan keputusan yang tegas malah menyarankan agar EMTEK berkonsultasi ke KPPU dan Bapepam-LK agar tidak terjadi pemusatan kepemilikan dan monopoli. "Rekomendasi saya persis sama dengan rekomendasi Pak Nuh waktu jadi Menkominfo. Karena diusulkannya sejak zaman itu selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan aturan yang berlaku," jelasnya pada media.85 Ketidaktegasan Menkominfo dalam akuisisi ini membuat anggota komisi I DPR RI Effendy Choirie menyatakan bahwa pemerintah telah melanggar UU. “Apa yang dilakukan pemerintah terlihat bahwa lebih memihak ke pengusaha daripada menghormati Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang punya wewenang

84 http://www.mediaindonesia.com/read/2011/05/05/223759/21/2/Kemenkominfo-belum-Setujui- Sikap-KPI diakses pada tanggal 7 Mei 2012 85 http://economy.okezone.com/read/2011/05/13/278/456612/kemenkominfo-belum-putuskan- soal-akuisisi-indosiar diakses pada tanggal 7 Mei 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 65

soal itu. Sikap itu mencerminkan pemerintah membiarkan terjadinya pelanggaran atas kasus itu. Itu berbahaya," kata Effendy Choirie kepada media massa.86 Sementara KPI sendiri, sudah mengambil sikap tegas sejak awal yaitu menolak aksi akuisisi Indosiar. Sikap tegas tersebut tercermin dalam berbagai wawancara di media massa sebelum KPI mengeluarkan sikap resmi KPI dalam bentuk pendapat hukum (Legal Opinion). Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat menyatakan secara tegas bahwa rencana akuisisi IDKM dapat mengakibatkan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran. "Tidak boleh terjadinya pemusatan kepemilikan. Kalau akuisisi atau merger Indosiar dan SCTV itu terjadi berpeluang terjadinya pemusatan lembaga penyiaran," kata Dadang Rahmat Hidayat, saat berbicara kepada media, Senin 28 Maret 2011.87 KPI nampaknya merasa yakin dengan sikapnya menolak aksi korporasi tersebut, meskipun tidak mendapat dukungan dari Kemenkominfo dan Bapepam- LK. KPI lantas menyusun sikap resmi KPI sebagai lembaga dalam bentuk pendapat hukum (legal opinion). Pendapat hukum itu disampaikan oleh KPI dalam acara konferensi pers di Jakarta 7 Juni 2011.88 Menurut informan M. Riyanto pendapat hukum ini dibuat secara internal, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh para komisioner dan tenaga ahli hukum yang dimiliki KPI. “Karena ini memang sangat urgent dan sangat cepat direspons, maka kami lakukan dengan tafsiran kami sebagai suatu institusi. Dan kami juga ada tenaga ahli hukum yang expert untuk itu. Jadi kami konsultasikan juga dan kami juga pernah melakukan pertemuan dengan beberapa stakeholder yang lain minimal dengan Kominfo dan Bapepam untuk meminta penjelasan dalam hal ini. Obyek hukumnya memang kami tangani sendiri karena kami punya kapasitas sebagai regulator.”89

86 http://kampus.okezone.com/read/2011/05/24/278/460230/dpr-nilai-pemerintah-langgar-uu diakses pada tanggal 7 Mei 2012 87 http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/11/03/28/lirlzq-kpi-akuisisi-indosiar-oleh- sctv-akibatkan-pemusatan-kepemilikan-lembaga-penyiaran diakses pada tanggal 7 Mei 2012 88 http://www.investor.co.id/home/kpi-sampaikan-pandangan-hukum-akuisisi-indosiar/13435 diakses pada tanggal 7 Mei 2012 89 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto, Op. Cit.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 66

Pendapat hukum KPI tersebut juga dikirimkan kepada lembaga-lembaga terkait seperti Kemenkominfo, Bapepam-LK, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi I DPR RI serta kelompok-kelompok masyarakat penyiaran. Sebagaimana diutarakan oleh informan M. Riyanto tentang upaya KPI mensosialisasikan pendapat hukumnya soal akuisisi Indosiar: “(kami sampaikan) melalui web dan kepada kantor yang bersangkutan yang berkaitan dengan kewenangan mereka, kominfo dan bapepam. Termasuk teman-teman koalisi mendapatkan materi ini. Itu salah satu bentuk dukungan dan kepedulian bersama di hadapan publik. Ini yang riil kami lakukan dalam kapasitas kami.”90

Atas ketegasan sikap KPI itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 22 Juli 2011 mengapresiasi tindakan KPI karena dinilai telah mengawal UU Penyiaran dan mengelola dengan baik aduan masyarakat. Hal itu disampaikan Presiden saat menerima kedatangan komisioner KPI Pusat di Kantor Presiden.91 Pada saat itu Presiden didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi, Menkominfo Tifatul Sembiring, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam, Juru Bicara Presiden Juliah A Pasha, Staf Khusus Bidang Informasi Heru Lelono, dan Staf Khusus Bidang Hukum Denny Indrayana. Presiden memerintahkan kepada Kemenkominfo, KPI, Lembaga-Lembaga Penyiaran, Bapepam-LK dan seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga amanah UU Penyiaran guna menjamin dan memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang layak dan benar. Presiden juga menginstruksikan agar tidak terjadi pemusatan kepemilikan frekuensi pada satu orang atau satu badan hukum, karena frekuensi pada hakikatnya adalah domain publik. “Amanah UU dan ini sebetulnya the essence of dunia media massa. Perlu dijaga yang disebut diversity of ownership and diversity of content. Dan kalau boleh saya garis bawahi the integrity of content harus benar, harus berintegritas, tidak boleh sesuatu meracuni kehidupan kita semua", tegas Presiden.

90 Ibid. 91 http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2011/07/22/7052.html diakses pada tanggal 7 Mei 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 67

Dalam pendapat hukum KPI soal akuisisi Indosiar oleh EMTEK, KPI berpandangan bahwa tindakan akuisisi itu berpotensi melanggar Undang-Undang no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran terutama pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4).92 Penggunaan kata-kata “berpotensi” dalam pendapat hukum nampaknya mencerminkan kehati-hatian KPI dalam menyikapi kasus akuisisi ini. Dalam pendapat hukum tersebut KPI menjabarkan argumentasi potensi pelanggaran pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran menyatakan bahwa “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” Ketentuan yang dimaksud dalam UU tersebut kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah no.50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP-LPS) pasal 32 ayat (1) yang tertulis “…dibatasi sebagai berikut: 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda.” Dari aturan di atas, menurut KPI suatu badan hukum pemilik Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) hanya dapat memiliki maksimal 2 IPP di 2 provinsi yang berbeda. Dengan kata lain, satu badan hukum hanya diperkenankan memiliki 1 IPP di 1 provinsi. Menurut KPI, aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK akan menjadikan EMTEK menguasai 2 perseroan LPS yakni PT SCTV dan PT IVM. Padahal baik PT SCTV maupun PT IVM berlokasi di propinsi yang sama yakni provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian aksi korporasi tersebut mengakibatkan EMTEK sebagai satu badan hukum memiliki di bawahnya 2 IPP yang berlokasi di 1 provinsi. Jelas, hal itu melanggar pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran jo pasal 32 ayat (1) PP-LPS. Sedangkan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran menyatakan bahwa “izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”. Penjelasan pasal 34 ayat (4) itu berbunyi : “Yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dipindahtangankan kepada pihak lain, misalnya izin

92 Dokumen Pandangan Hukum Komisi Penyiaran Indonesia (Pusat) atas Rencana Aksi Korporasi Pengambilalihan Saham PT Indosiar Karya Media Tbk oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 68

penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual, atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain.” Dalam pandangan KPI, IPP yang diberikan kepada PT IVM yang semula sahamnya dikuasai IDKM, sebagai anak perusahaan PT PV, karena keseluruhan saham PT PV diambil alih EMTEK, maka IPP yang diberikan kepada PT IVM berpindah tangan menjadi di bawah EMTEK. Dalam hal ini KPI berpendapat bahwa pemindahtanganan IPP yang terjadi pada level perusahaan induk (holding company) telah melanggar UU Penyiaran. Pendapat hukum yang dikeluarkan KPI didasarkan atas tugas dan kewajiban KPI yang diatur dalam pasal 8 ayat (3) UU Penyiaran dimana salah satu tugasnya adalah “ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar- lembaga penyiaran dan industri terkait”. Menurut informan M. Riyanto, pilihan KPI untuk menggunakan pendapat hukum dalam menyikapi kasus akuisisi ini adalah disebabkan karena keterbatasan wewenang yang dimiliki oleh KPI sejak keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 yang memposisikan KPI hanya mengurus soal isi siaran, sementara soal izin menjadi wewenang Kemenkominfo. M. Riyanto menyatakan: “Kami tidak punya kewenangan hal lain kecuali memberikan pendapat. Karena yang memberikan izin dan mengeluarkan izin soal akuisisi bukan kita, ada di Bapepam dan kemkominfo. … Karena kami kan regulator, dimana segala tindakan dan perbuatannya termasuk pandangannya didasarkan pada legal standing. Legal standing inilah yang kami miliki hanya soal pendapat hukum.”93

Oleh karena itu dalam pendapat hukum KPI juga dinyatakan bahwa KPI meminta kepada Menteri Komunikasi dan Informatika untuk merespon dan melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU Penyiaran dan PP-LPS. Pendapat hukum KPI juga merupakan masukan bagi Bapepam-LK dalam melaksanakan kewenangannya. Dampak dari aksi akuisisi ini terus berkembang tidak saja berkutat pada kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK semata, melainkan juga meluas tentang sistem

93 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto, Op. Cit.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 69

kepemilikan media di Indonesia. Perkembangan kasus akuisisi ini dapat dilihat dari tindakan yang diambil oleh Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang mengajukan gugatan permohonan uji materi (Judicial Review/JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas tafsir pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran terhadap pasal 28D ayat (1), pasal 28F dan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. KIDP merupakan koalisi dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki keterkaitan dengan ranah penyiaran, seperti AJI Indonesia, AJI Jakarta, Media Link, Yayasan 28, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), LBH Pers Jakarta dan Yayasan Tifa. Koalisi ini dibentuk mulai bulan Agustus hingga September 2011. Langkah KIDP mengajukan JR ke MK menurut informan Umar Idris sebenarnya merupakan langkah kedua setelah upaya mereka mengawal revisi UU Penyiaran di DPR mengalami kemandekan. Sebagaimana disampaikan oleh informan Umar Idris: “Langkah yang kita siapkan sebetulnya adalah mengantisipasi revisi UU Penyiaran. Tapi pada bulan September itu tidak jalan revisinya. Jadi kita melihat senapan ini harus kita arahkan ke MK, karena di DPR macet tidak jalan. Tapi begitu kita mulai jalan di MK awal tahun ini DPR juga jalan. Jadi konsentrasi kita dua, MK dan revisi.”94

Informan Umar Idris juga mengatakan bahwa sebetulnya KIDP tidak hanya fokus pada soal kepemilikan media melainkan pada isu-isu penyiaran secara umum. Sebagaimana disampaikan oleh informan Umar Idris: “Sebetulnya KIDP tidak hanya fokus pada soal kepemilikan. Itu satu isu di dalam KIDP yang menurut kita banyak persoalan baik di bisnis maupun regulasi penyiaran. Kita sebut kondisinya carut marut lah. Dalam soal kepemilikan ada soal akuisisi, kepemilikan saham mayoritas, banyak isu yang diperhatikan KIDP seperti isu jaringan, penyiaran lokal, isu lembaga penyiaran publik, kemudian isu konten siaran sendiri yang masih

94 Hasil wawancara dengan informan Umar Idris tanggal 29 Februari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 70

banyak bermasalah, perizinan, jual beli perizinan, baik di tingkat pusat maupun di daerah.”95

Langkah KIDP mengajukan Judicial Review ke MK adalah untuk meminta tafsir konstitusional atas pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran. Perkara di MK ini tercatat dengan no.78/PUU-IX/2011. Tidak semua lembaga anggota KIDP mengajukan JR ke MK. Hal itu terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) para pemohon yang diatur dalam pasal 51 ayat (1) UU no.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Adapun lembaga yang mewakili KIDP dalam pengajuan JR ke MK yang berposisi sebagai pemohon adalah: 1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, yang dalam hal ini diwakili oleh Wahyu Dhyatmika sebagai Ketua, beralamat di Jalan Kalibata Timur IV G no.10, Kalibata, Pancoran, Jakarta 12740. 2. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dalam hal ini diwakili oleh Hendrayana SH, sebagai Direktur Eksekutif, beralamat di Jalan Kalibata Timur IV G no.10, Kalibata, Pancoran, Jakarta 12740. 3. Media Link, dalam hal ini diwakili oleh Ahmad Faisol sebagai Direktur Eksekutif, beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam VIII no.3 Jakarta Selatan. 4. Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dalam hal ini diwakili oleh Masduki sebagai Wakil Ketua, beralamat di Jalan Solo km.8, Nayan no.108A Maguwoharjo, 55282 Sleman, Yogyakarta. 5. Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28), dalam hal ini diwakili oleh Christina Chelsia Chan, SH, LL.M. sebagai Direktur Eksekutif, beralamat di Jalan Ridwan II no.28 Patal Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta 12210. Dalam Surat Judicial Review UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi tertanggal 29 November 2011 perihal Perbaikan Perkara no.78/PUU-IX/2011, KIDP pada pokok permohonan berpendapat bahwa kondisi kepemilikan media di Indonesia saat ini telah terjadi pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran. Sebuah badan hukum atau perseorangan dapat menguasai lebih dari

95 Ibid.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 71

satu lembaga penyiaran di satu wilayah siaran. Seseorang atau satu badan hukum juga dengan mudah membeli lembaga penyiaran sekaligus Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Menurut KIDP hal itu disebabkan akibat penafsiran yang salah terhadap pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran.96 Hal ini diperkuat oleh informan Umar Idris yang menyatakan bahwa kondisi keberagaman kepemilikan media (diversity of ownership) di Indonesia saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagaimana yang dikatakan oleh informan Umar Idris: “Diversity of ownership ini sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Makanya kita membentuk KIDP. Kalau Diversity of Ownership masih dalam tahap yang wajar tentu kita tidak mempersoalkan.”97 Langkah JR yang diajukan oleh KIDP amat terkait dengan pendapat hukum (legal opinion) yang dikeluarkan oleh KPI, sebab pasal yang diajukan untuk diuji serta argumentasi yang mendasarinya sama persis dengan argumentasi pasal yang dijadikan sebagai acuan oleh KPI dalam pendapat hukumnya yaitu pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran. Dapat dikatakan bahwa langkah KPI mengeluarkan pendapat hukum atas kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK turut mempengaruhi perkembangan wacana tentang sistem kepemilikan media sebagaimana yang dilakukan oleh KIDP yang mengajukan JR ke MK. Menurut informan Umar Idris, langkah JR yang dilakukan oleh KIDP pada dasarnya bukan bertujuan untuk melawan industri media televisi bersiaran nasional yang sudah ada, melainkan untuk membenahi sistem tata kelola penyiaran di Indonesia. Meski juga tidak ditampik oleh informan Umar Idris jika langkah JR ke MK ini akan membawa dampak kepada grup-grup media yang sudah ada. “Kita memposisikan bukan untuk melawan mereka. Kita bukan dalam posisi ingin mendeligitimasi mereka. Kita sebetulnya ingin menata tata kelola penyiaran ini. Bukan kita anti MNC, anti Indosiar-SCTV. Kita ingin

96 Dokumen Surat Judicial Review UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi tanggal 29 November 2011. 97 Hasil wawancara dengan informan Umar Idris, Op. Cit.,

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 72

industri tetap berkembang tapi dalam penataan yang seperti apa. Dalam tata kelola yang baik kan.”98

KIDP bisa saja berkilah bahwa tindakannya tidak bertujuan untuk mengecilkan industri media yang sudah besar, namun konsekuensi dari tindakan agen ini dapat mengurangi kekuasaan industri, seperti misalnya harus kehilangan beberapa stasiun televisi dan terutama penurunan pendapatan iklan. Pembatasan terhadap jangkauan siaran dan penguasaan pada beberapa stasiun televisi, sebenarnya sudah terjadi sejak munculnya UU Penyiaran tahun 2002. Meskipun menurut informan Bimo Nugroho, semangat itu juga tidak bertujuan untuk mematikan industri besar: “Ini tidak bermaksud untuk mematikan yang besar ya. Artinya mereka tetap bisa hidup. Yang kita inginkan supaya industri penyiaran itu tidak hanya tumbuh di Jakarta tok, sementara daerah hanya merelai saja. Bangun dong dengan keuntungan besar yang kalian miliki, studio di daerah dan bersiaran di daerah supaya ada perputaran uang untuk memulai industri penyiaran di tingkat lokal. Itu semangatnya diversity of content dan diversity of ownership. Jadi kita tidak ada niatan untuk menghancurkan yang ada. Cuma dipersepsikan oleh industri besar bahwa mereka akan dihancurkan akan dipecah-pecah.”99

Meski banyak pihak menentang aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK, beberapa lembaga negara malah mendukung aksi akuisisi tersebut dengan menyatakan bahwa aksi korporasi itu tidak melanggar UU. Pandangan ini umumnya dianut oleh Kemenkominfo, Bapepam-LK dan KPPU. Mereka yang mendukung aksi korporasi ini mengacu pada Undang-Undang no.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), Undang-Undang no.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas) dan Undang-Undang no.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal).

98 Ibid. 99 Hasil wawancara dengan informan Bimo Nugroho, Op. Cit.,

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 73

Bahkan KPPU pada bulan Desember 2011 secara jelas menyatakan sikapnya melalui Pendapat KPPU tentang aksi korporasi IDKM oleh EMTEK. Pendapat KPPU no. A11911 yang ditandatangani oleh Ketua KPPU Nawir Messi ini disampaikan dalam siaran pers tanggal 21 Desember 2011. KPPU berpendapat bahwa pengambilaliham saham atau akuisisi IDKM oleh EMTEK tidak melanggar UU Anti Monopoli.100 Pandangan tersebut didasari atas perhitungan KPPU terhadap nilai HHI baik untuk masing-masing LPS maupun Grup Media. HHI (Hirschman Herfindahl Index) merupakan alat untuk mengukur konsentrasi dalam suatu pasar. Dalam perhitungan KPPU, nilai HHI secara individual masing-masing LPS berada di bawah angka 1.800 yaitu pra akuisisi sebesar 1.110,98 dan post akuisisi sebesar 1.326,99 dengan delta HHI 216,01.101 Nilai HHI dibawah 1.800 diartikan bahwa konsentrasi dalam pasar media televisi masih dalam taraf wajar. Dalam hal ini, KPPU mengukur HHI melalui pendapatan kotor iklan di 10 LPS bersiaran nasional di Indonesia yaitu RCTI, GLOBAL TV, MNC TV, TRANS TV, TRANS 7, ANTV, TVONE, INDOSIAR, SCTV dan METRO TV. Namun demikian, jika nilai HHI dihitung berdasarkan grup usaha, nilainya berada di atas angka 1.800 yaitu pra akuisisi sebesar 2.355,26 dan post akuisisi sebesar 2.571,27 dengan delta HHI 216,01. Dalam hal ini KPPU mengukur HHI melalui nilai total pendapatan kotor iklan 6 grup LPS di Indonesia yaitu MNC Group (RCTI, GLOBAL TV, MNC TV), PARA Group (TRANS TV & TRANS 7), BAKRIE Group (ANTV & TVONE), EMTEK Group (SCTV), SALIM Group (INDOSIAR) dan MEDIA Grup (METRO TV). Berdasarkan Peraturan KPPU (Perkom) No.10 Tahun 2011, jika nilai HHI berada pada spektrum II (diatas 1800) dan perubahan HHI tersebut melebihi 150, maka akan dilakukan penilaian aspek-aspek lain yang menentukan apakah pengambilalihan mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Penilaian aspek lainnya mencakup hambatan masuk pasar, potensi perilaku

100 http://industri.kontan.co.id/news/kppu-akuisisi-indosiar-oleh-elang-mahkota-tidak-melanggar- uu diakses pada tanggal 8 Mei 2012 101 Dokumen Pendapat KPPU Nomor A11911 Tentang Pengambilan Saham Perusahaan PT Indosiar Karya Media Tbk oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk, hlm. 13 – 21

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 74

anti persaingan, efisiensi dan kepailitan. Dari penilaian terhadap aspek tersebut, KPPU mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Untuk ke depannya, tidak adanya hambatan masuk pasar yang signifikan terkait industri penyiaran dikarenakan segera diberlakukannya sistem televisi berjaringan oleh Pemerintah dalam waktu dekat. 2. Potensi unilateral conduct dan atau potensi perilaku anti persaingan lainnya minimal karena di pasar penyiaran tersedia jumlah program yang bervariasi dengan segmen pemirsa yang juga luas serta beragam. Konsumen (Perusahaan iklan dan Perusahaan pengiklan) memiliki alternatif substitusi yang cukup terkait dengan pasar bersangkutan penayangan program televisi. 3. Industri pasar penyiaran free to air merupakan industri kreatif yang menawarkan program acara se-kreatif mungkin sehingga dapat diterima oleh pemirsa yang berkorelasi positif dengan pendapatan dari iklan. 4. Stasiun televisi free to air tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol pemirsa untuk memperoleh rating yang tinggi, dikarenakan pemirsa bebas untuk memilih program mana yang disukai dan yang tidak disukai. 5. Pengambilalihan IDKM oleh EMTEK akan menciptakan efisiensi yang menguntungkan kedua perusahaan, terlebih IDKM yang memiliki neraca keuangan yang turun dari tahun ke tahun. 6. Pengambilalihan juga merupakan tindakan EMTEK untuk dapat bersaing dengan grup televisi lainnya untuk menawarkan program acara yang berkualitas untuk pemirsa. Selain itu pendapat KPPU juga didasari atas prosedur yang telah ditempuh oleh EMTEK dalam proses akuisisi yang tidak menyalahi UU Anti Monopoli yaitu saat EMTEK membuat pemberitahuan (notifikasi) kepada KPPU. Pemberitahuan yang dilakukan EMTEK kepada KPPU dibuat pada tanggal 20 Juni 2011 dan dinyatakan lengkap pada tanggal 20 Juli 2011. Dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah no. 57 tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 75

Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP 57/2010), suatu perusahaan wajib memberitahukan aksi korporasi jika transaksi dalam aksi korporasi itu melebihi 2,5 triliun rupiah dan atau omset gabungan melebihi 5 triliun rupiah. Dalam praktiknya nilai transaksi penjualan gabungan hasil Pengambilalihan Saham Perusahaan IDKM oleh EMTEK adalah sebesar Rp 4.102.547.754.000,- (Empat Triliun Seratus Dua Miliar Lima Ratus Empat Puluh Tujuh Juta Tujuh Ratus Lima Puluh Empat Ribu Rupiah). Sedangkan nilai aset gabungan hasil Pengambilalihan Saham Perusahaan IDKM oleh EMTEK adalah sebesar Rp 5.276.059.997.000,- (Lima Triliun Dua Ratus Tujuh Puluh Enam Miliar Lima Puluh Sembilan Juta Sembilan Ratus Sembilan Puluh Tujuh Ribu Rupiah).102 Oleh karenanya KPPU menilai EMTEK telah melakukan prosedur yang benar. Atas dasar pemberitahuan tersebut, barulah kemudian KPPU melakukan penilaian terhadap transaksi tersebut yang berlangsung sejak tanggal 20 Juli – 24 November 2011 yang menghasilkan kesimpulan di atas yakni proses akuisisi IDKM oleh EMTEK tidak menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pendapat KPPU itupun menuai reaksi. KIDP menilai putusan KPPU hanya didasarkan oleh UU Anti Monopoli dan tidak menggunakan UU Penyiaran sehingga pendapat tersebut tidak dapat digunakan untuk menilai akuisisi IDKM oleh EMTEK. KPPU sendiri berargumen bahwa batas kewenangan lembaganya hanya seputar persaingan usaha dan bukan penyiaran.103 Dalam proses persidangan di MK, terjadi pergulatan wacana tentang sistem kepemilikan media di Indonesia yang bermuara pada tafsir atas pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses persidangan itu adalah pemohon yang dalam hal ini adalah KIDP, Pemerintah, DPR serta pihak terkait yang dalam hal ini terdiri dari LPS Televisi Nasional, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Dewan Pers dan KPI.

102 Ibid., hlm. 3 103 http://nasional.kontan.co.id/news/kppu-tak-mau-disalahkan-dalam-putusan-akuisisi-indosiar diakses pada tanggal 8 Mei 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 76

selain itu, dari pihak pemohon dan pihak terkait mengajukan ahli untuk memberikan pendapat dan pandangannya. MK sendiri juga mengajukan ahli. Pergulatan wacana di MK inilah yang akan dibahas dalam dinamika interaksi agen dan struktur dalam mewujudkan prinsip keberagaman kepemilikan media (diversity of ownership) di Indonesia. Namun sebelum pembahasan tersebut, akan dipaparkan terlebih dahulu struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia.

4.4. Proses Uji Materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi Pada awal-awal persidangan, para pihak terkait yang berada pada posisi menentang JR KIDP, semua mempertanyakan atau bahkan menegasikan kedudukan hukum (legal standing) dan kerugian dari para pemohon. Struktur hukum tata negara tentang MK digunakan oleh pihak terkait terutama dari kalangan industri sebagai alat untuk menggugurkan gugatan para pemohon. Terdapat dua serangan pihak industri yang berkolaborasi dengan pemerintah dan DPR RI dengan menggunakan argumentasi UU MK. Pertama adalah serangan terhadap kedudukan hukum (legal standing) dan kerugian para pemohon. Dalam surat tuntutannya, KIDP berargumentasi bahwa akibat dari penafsiran yang salah terhadap pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) menyebabkan pemusatan kepemilikan media, dan hal itu menimbulkan potensi kerugian konstitusional bagi para pemohon, yaitu : 1. Terancamnya kemerdekaan berpendapat, berbicara, berekspresi dan kemerdekaan pers. 2. Terciptanya dominasi dalam pembentukan opini publik yang tidak sehat kepada masyarakat. 3. Terbatasnya pilihan para pemohon untuk mendapatkan informasi yang beragam melalui penyiaran. 4. Ketidakadilan dalam pengalokasian frekuensi oleh negara. 5. Kerugian akibat pemberitaan yang tidak jujur dan transparan akibat campur tangan para pemilik lembaga penyiaran. 6. Tidak terdapatnya kesempatan berusaha yang sama.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 77

Pendapat dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Sukri Batubara Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo menyatakan bahwa kerugian yang didalilkan oleh pemohon lebih mengarah pada ketidakpuasan pemohon terhadap isi siaran. Kerugian itu juga dianggap bersifat subjektif tanpa alat ukur yang jelas. Dalam hal ini pemerintah berpandangan bahwa upaya pemohon mengajukan JR ke MK adalah tidak tepat karena seharusnya pemohon mengajukan keberatan terhadap isi siaran ke KPI.104 Pihak DPR RI yang diwakili oleh Martin Hutabarat juga mempertanyakan kedudukan hukum serta kerugian yang didapatkan para pemohon yang tidak kuat untuk mengajukan JR ke MK. Sebagaimana yang disampaikan oleh Martin Hutabarat dalam persidangan: “DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan atau tidak atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.”105

Serangan pada kedudukan hukum para pemohon juga disampaikan oleh pihak PT MNC Tbk (MNC Group) yang diwakili oleh kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra. Menurut MNC Group kedudukan hukum para pemohon tidak jelas karena tidak memiliki legalitas badan hukum dari Kemenkumham. MNC Group menunjukkan bukti surat Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham bahwa AJI, LBH Pers, Media Link dan PR2Media tidak terdaftar sebagai badan hukum perkumpulan di Dirjen AHU Kemenkumham. Hanya Yayasan 28 yang telah mendapatkan keabsahan sebagai yayasan berbadan hukum. Karena hanya Yayasan 28 yang berbadan hukum, dan mengingat permohonan diajukan secara bersama-sama, maka menurut MNC Group permohonan JR oleh

104 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pemerintah, DPR dan pihak terkait, 10 Januari 2012, hlm. 6-11 105 Ibid., hlm. 12-14

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 78

KIDP dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan.106 Pendapat yang diajukan oleh PT Visi Media Asia (Viva Group) juga tidak jauh berbeda dengan MNC Group. Sebagaimana yang disampaikan oleh perwakilan Viva Group Yanuar P. Wasesa bahwa para pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagai pihak yang menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Penyiaran.107 Serangan yang kedua adalah pada argumentasi bahwa pasal yang telah diuji materi di MK tidak dapat diuji kembali. Viva Group berpendapat bahwa pasal 18 ayat (1) telah diuji materi di MK pada tahun 2003, sehingga berdasarkan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.108 Argumentasi ini juga digunakan oleh SCMA. Soal kedudukan hukumnya, KIDP mendapat dukungan dari ahli yang dihadirkan yaitu dari Effendi Gazali, P.Hd dan Prof. Dr. M. Alwi Dahlan. Keduanya merupakan dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia namun kehadiran mereka berdua berbeda kapasitasnya. Effendi Gazali hadir dalam kapasitas sebagai ahli dari MK, menyatakan : “Berdasarkan teori akuntabilitas media, saya ingin mengatakan bahwa legal standing Pemohon dalam hal ini, teman-teman ini adalah sah, bahkan wajib melakukannya secara konsisten. Di sini dengan jelas ada tiga bagian yang saya kaitkan, dimana disebutkan bahwa ada rights dan duties, jadi adalah hak dan kewajiban dari seluruh warga negara untuk menjadi pengumpul dan memproseskan informasi. Dan itulah yang terkait dengan Pasal 28D dan Pasal 28F dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”109

106 Ibid., hlm. 15-23 107 Ibid., hlm. 23-28 108 Ibid., 109 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 31-37

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 79

Sedangkan Prof. Dr. M. Alwi Dahlan yang hadir dalam kapasitas sebagai ahli dari pihak pemohon, menyatakan bahwa perspektif pemohon dalam memandang frekuensi adalah bahwa frekuensi merupakan sumber alam millik bersama yang terbatas, yang harus dikelola dan diatur untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan konstitusi. Hal ini berbeda dengan perspektif pihak terkait khususnya industri penyiaran, yang memandang bahwa frekuensi adalah sumber daya usaha, modal atau sumber kekayaan yang perlu dikuasai, diperluas, dikembangkan serta dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk memperoleh keuntungan. Perdebatan pada substansi perkara yang diajukan dalam JR oleh KIDP menyangkut beberapa persoalan. Persoalan pertama adalah perdebatan apakah pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran merupakan pasal yang multitafsir atau tidak? Pihak pemohon jelas dalam posisi yang menyatakan bahwa kedua pasal itu multitafsir. Hal itu yang menyebabkan terjadinya pemusatan kepemilikan media penyiaran di Indonesia pada segelintir orang. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran berbunyi: “pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” Sedangkan pasal 34 ayat (4) berbunyi: “Izin Penyelenggaraan Penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”. Pihak yang menentang JR berargumen bahwa pasal 18 ayat (1) tidak multitafsir karena penafsiran tentang frase “dibatasi” telah dituangkan dalam PP- LPS sebagai ketentuan perundang-undangan di bawah UU. Pandangan ini disampaikan oleh pihak DPR yang dikemukakan oleh Martin Hutabarat. Dalam pandangan DPR pasal-pasal yang diajukan oleh pemohon tidak bersifat multitafsir, sehingga tidak memerlukan penafsiran MK. Seperti yang dikemukakan oleh Martin Hutabarat dalam persidangan di MK: “Bahwa menurut DPR, pasal-pasal tersebut mempertegas mengatur mengenai pembatasan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran, serta larangan

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 80

pemindahtanganan izin penyelenggaraan penyiaran terhadap pihak lain. Ketentuan tersebut berlaku kepada seluruh lembaga penyiaran. Oleh karena itu, anggapan Pemohon bahwa Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (4) bersifat multitafsir, dan menimbulkan tidak adanya jaminan dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Tahun 1945 adalah tidak tepat.”110

Pandangan ini juga diadopsi oleh pihak pemerintah yaitu Kemenkominfo yang berpendapat bahwa pasal 18 ayat (1) tidak memberikan ruang untuk penafsiran lain karena dalam pasal 18 ayat (4) telah dikemukakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembatasan kepemilikan disusun oleh pemerintah dalam PP-LPS. Sementara PP-LPS sendiri telah dinyatakan dalam putusan JR di MA tahun 2006 tidak bertentangan dengan UU Penyiaran. Sedangkan frase “pihak lain” dalam pasal 34 ayat (4) menurut pemerintah tidak memerlukan penafsiran lagi karena sudah jelas mencakup pihak manapun juga termasuk perseorangan atau badan hukum. MNC Group juga berpendapat bahwa tafsir atas pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran sudah terdapat di PP-LPS, sehingga jika para pemohon ingin mengajukan permohonan pengujian tentang PP-LPS dapat mengajukan ke MA, bukan ke MK. Soal pasal 34 ayat (4) menurut MNC Group itu adalah persoalan penerapan hukum bukan penafsiran hukum sehingga tidak bisa diajukan ke MK. Pandangan ini juga dimiliki oleh Trans Corp. Penggunaan kata-kata “dibatasi” menurut penulis mencerminkan keragu- raguan dan ketidategasan UU dalam mengatur pemusatan kepemilikan media. Bambang Kesowo, mantan Menteri Sekretaris Negara pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang dihadirkan oleh sebagai saksi dari MK, menceritakan sejarah lahirnya UU Penyiaran yang berlaku tanpa tanda tangan presiden Megawati Soekarnoputri saat itu. Bambang menyatakan bahwa keengganan presiden Megawati untuk menandatangani UU Penyiaran karena ada ketidakkonsistenan baik dari aspek hukum, politis maupun filosofis terutama menyangkut isu monopoli. Ketidakkonsistenan itu salah satunya muncul dalam

110 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi 10 Januari 2012, Op.Cit., hlm. 12-14

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 81

pasal 18 ayat (1) yang menyatakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta itu dibatasi. Padahal dalam UU Penyiaran sebelumnya tahun 1997 pemusatan kepemilikan jelas dilarang.111 Effendy Choirie mantan anggota DPR RI yang terlibat dalam penyusunan UU Penyiaran hadir sebagai ahli yang diajukan oleh KPI. Effendy menceritakan semangat penyusunan UU ini adalah desentralisasi dan pemerataan kepemilikan. Isu tentang kepemilikan ini pada saat itu menurut Effendy memang terjadi perdebatan luar biasa karena pada saat yang sama terjadi proses pemusatan kepemilikan. “Dalam konteks pemusatan kepemilikan ini kita batasi artinya betul tidak boleh ada monopoli,” ujar Effendy.112 Kepemilikan lebih dari satu stasiun sudah disebut pemusatan. Dalam praktiknya ada semacam ketidakkonsistenan atau semacam pengabaian terhadap UU Penyiaran dengan cara apapun fakta menunjukkan bahwa ada orang yang memiliki lebih dari satu media. Ketidakkonsistenan ini pula yang dipahami oleh informan M. Riyanto dalam menilai kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK. “Yang pertama soal konsistensi terhadap regulasi yang mengatur soal kepemilikan dibatasi secara substansi,” ujarnya.113 Persoalan kedua yang dibahas dalam persidangan JR di MK, adalah perdebatan tentang apakah kondisi kepemilikan media penyiaran televisi di Indonesia saat ini sudah menunjukkan pemusatan kepemilikan dan monopoli penyiaran? Pihak pemohon menyatakan bahwa kondisi kepemilikan media di Indonesia saat ini telah terjadi pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran. Sebuah badan hukum atau perseorangan dapat menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran di satu wilayah siaran. Pendapat tersebut didukung oleh LSPP yang hadir sebagai pihak terkait. Pihak terkait yang menentang JR menyatakan bahwa kondisi kepemilikan media penyiaran televisi saat ini tidak mengandung unsur monopoli. Prof. Erman Rajagukguk seorang ahli hukum yang dihadirkan oleh pihak terkait menyatakan

111 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 23 Februari 2012, hlm. 5-10 112 Ibid., hlm. 21-23 113 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto tanggal 24 Januari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 82

bahwa dari segi UU Anti Monopoli, kepemilikan 2-3 LPS Televisi di Indonesia belum dapat dikategorikan sebagai menguasai siaran televisi di Indonesia atau melakukan monopoli atas siaran televisi di Indonesia.114 Batasan tentang monopoli dalam UU adalah jika satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Sedangkan batasan tentang oligopoli adalah jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.115 Atas dasar aturan tersebut, menurut Erman, jika satu badan hukum menguasai 3 stasiun televisi dari 10 LPS Eksisting itu artinya tidak mengandung unsur monopoli karena hanya menguasai 33,3%. Argumentasi yang sama juga dikemukakan oleh KPPU yang sebelumnya juga sudah memberikan pendapat komisi tentang kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK. Hal senada juga disampaikan oleh Trans Corp. Viva Group juga membantah bahwa terjadi pemusatan kepemilikan dan penguasaan LPS di Indonesia pada segelintir orang karena faktanya di Indonesia terdapat satu TV Publik, 10 TV Nasional, 70 TV Swasta lokal, 2 TV kabel, 1 TV satelit dan 1.800 stasiun radio. Menurut Viva Group fenomena pemusatan korporasi media juga lumrah terjadi di Amerika Serikat yang hanya dikuasai oleh 3 stasiun televisi nasional, yakni American Broadcasting Company (ABC), National Broadcasting Company (NBC) dan Columbia Broadcasting System (CBS), ditambah jaringan Fox. Viva Group berpendapat bahwa pembentukan kelompok usaha media (media group) yang saat ini ada di Indonesia dilakukan dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat dan tetap berada pada koridor kepentingan nasional serta berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik. KPPU dalam persidangan di MK yang disampaikan oleh Ahmad Junaidi, tetap pada pendapatnya bahwa khusus untuk kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK tidak ada dugaan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, karena penggabungan usaha itu tidak menimbulkan hambatan persaingan dan potensi

114 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 19-22 115 Lihat pasal 4 dan pasal 17 UU Anti Monopoli

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 83

perilaku kolektif. Penggabungan usaha itu malah untuk meningkatkan efisiensi. Namun, KPPU berkilah bahwa pendapatnya itu hanya untuk menguji aspek persaingan dari suatu monopoli atau konsentrasi pasar yang terbentuk, bukan pada permasalahan pemusatan kepemilikan, lisensi penyiaran dan isi siaran.116 Bambang Subijantoro menyatakan bahwa dengan perkembangan teknologi digital, LPS televisi akan terus berkembang. Berdasarkan Permenkominfo nomor 12 tahun 2012, wilayah di Indonesia akan dibagi menjadi 15 zona siaran dengan 216 wilayah siaran. Dengan perhitungan di setiap wilayah siar terdapat 5 operator yang menggunakan teknologi operasi MP4 dan teknologi broadcast sistem DBV2, maka setiap wilayah siaran akan terdapat antara 40 – 70 LPS televisi. Artinya di wilayah Indonesia akan terdapat antara 8.000 – 10.000 LPS baru. Jumlah LPS yang banyak itu akan sulit terjadinya monopoli informasi. Apalagi perkembangan televisi berbasis internet protokol (IP TV) dan televisi bergerak (Mobile TV) yang tidak dapat dijangkau oleh UU Penyiaran membuat penyelenggaraan penyiaran televisi menjadi tidak terbatas.117 Beberapa pakar yang hadir dalam persidangan malah menyatakan bahwa kondisi kepemilikan media penyiaran televisi saat ini dalam proses menuju kondisi ideal penyiaran yang sehat. Morissan ahli dari pihak terkait menunjukkan bukti-bukti penelitian yang mengerucut pada kesimpulan bahwa keberagaman program televisi hanya akan terjadi jika level persaingan dikendalikan pada tingkat moderat, bukan pada tingkat tinggi. Dengan kata lain, persaingan dalam tingkat sedang akan mampu meningkatkan keberagaman program televisi. Fenomena akuisisi konsolidasi antar LPS di Indonesia akhir-akhir ini dapat dipandang sebagai proses pembentukan struktur industri penyiaran baru akibat persaingan. Kondisi saat ini masih jauh dari munculnya potensi monopoli. Akuisisi dapat dipandang sebagai upaya untuk menghasilkan stasiun penyiaran televisi yang lebih produktif dan efisien.118

116 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 19 Januari 2012, hlm. 7-10 117 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli/saksi, 15 Februari 2012, hlm. 24-27 118 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 22-28

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 84

Sabam Leo Batubara ahli dari MK menyatakan bahwa pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) tidak bertentangan dengan pasal 28D ayat (1), pasal 28F dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pemusatan kepemilikan tidak dilarang tapi dibatasi. Kalaupun terjadi pemusatan kepemilikan media seharusnya diajukan ke jalur hukum bukan ke MK. Jumlah LPS Televisi bersiaran nasional saat ini terlalu banyak dibanding dengan daya dukung ekonomi nasional. Idealnya Indonesia hanya dapat menyelenggarakan 3 stasiun televisi swasta segmen nasional yang sehat.119 Edward Depari menyatakan bahwa industri televisi merupakan industri padat modal dan teknologi sehingga tidak banyak pengusaha yang mampu mempertahankan kelangsungan hidup bisnis ini tanpa keberanian melakukan investasi jangka panjang. Untuk bisa mempertahankan kelangsungan bisnisnya, maka mereka melakukan konsolidasi usaha, akuisisi saham maupun bermitra dengan stasiun televisi lainnya yang lebih mapan. Maka, pemusatan kepemilikan media penyiaran sejauh di luar ideologi dan primordialisme harus tetap dibenarkan. Isu terpenting adalah soal kualitas isi siaran dan ini menjadi tanggung jawab KPI. “Dalam konteks ini, pengawasan dari berbagai pihak terhadap konteks tayangan menjadi jauh lebih relevan ketimbang mempersoalkan siapa pemilik dan pengendali stasiun televisi swasta,” ujarnya.120 Sementara pihak yang mendukung langkah JR KIDP mengemukakan beragam argumentasi bahwa telah terjadi pemusatan kepemilikan di Indonesia. Seperti yang diutarakan oleh Hanif Suranto dari LSPP bahwa kondisi kepemilikan media penyiaran di Indonesia sudah mencerminkan terjadinya konsentrasi kepemilikan. Konsentrasi itu tidak hanya terjadi pada kepemilikan LPS Televisi namun juga berkembang dengan kepemilikan silang media radio dan cetak, bahkan pada kepemilikan mulai industri hulu hingga hilir di bidang penyiaran. Hadirnya televisi-televisi lokal yang diharapkan membangun sebuah jaringan, ternyata malah bergabung dengan grup-grup media besar yang ada. Implikasinya adalah terjadinya konsolidasi di sisi manajemen terutama penyatuan ruang redaksi

119 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli/saksi, 15 Februari 2012, hlm. 28-31 120 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 12-19

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 85

berita. Apalagi konsentrasi kepemilikan media saat ini berhimpitan dengan aktifitas politik pemilik media sehingga berpotensi pada upaya penunggalan opini publik.121 Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta yang bertindak sebagai pihak terkait menyampaikan pandangannya bahwa realitasnya 10 LPS Eksisting itu hanya dimiliki oleh 5 orang yang menguasai dana iklan sebesar 60% dari total belanja iklan nasional. Akibatnya pemerintah dan masyarakat daerah tidak mendapatkan keuntungan ekonomi apapun dari penyelenggaraan stasiun televisi swasta. Hal yang sama diungkapkan oleh Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ATVKI) yang menilai bahwa keberagaman kepemilikan belum terwujud karena hanya dikuasai oleh sekelompok orang. Kepemilikan media penyiaran didominasi kelompok yang terpusat di Jakarta.122 Dr. Amir Effendi Siregar yang bertindak sebagai ahli dari pemohon menyatakan bahwa kondisi kepemilikan media penyiaran di Indonesia saat ini sudah mencerminkan pemusatan dan sentralisasi kepemilikan. Hal itu dilihat dari sebuah badan hukum atau perseorangan yang memiliki 2 – 3 stasiun televisi. Jika dilihat dalam SSJ, satu stasiun televisi tersebut memiliki stasiun anggota jaringan 20-40 stasiun relai. Hal itu menyebabkan penguasaan terhadap 2 stasiun televisi sebenarnya menguasai 40 – 80 stasiun di seluruh Indonesia.123 Menurut Amir pembatasan kepemilikan diatur secara jelas dalam pasal 20 UU Penyiaran bahwa satu badan hukum televisi hanya dapat memiliki satu stasiun di satu wilayah siaran. Bahkan PP-LPS juga menguatkan ketentuan tersebut. Namun faktanya sebuah badan hukum dapat memiliki 2-3 stasiun televisi di satu wilayah siaran. Dalam pandangan Amir kehidupan dan sistem penyiaran di Indonesia telah terjadi perpindahan dari dominasi negara ke dalam dominasi segelintir pemodal yang belum bekerja sama dan memberdayakan masyarakat lokal. Para pemodal tersebut juga menghilangkan kesempatan munculnya pemain baru dengan menguasai banyak lembaga penyiaran di satu daerah. Industri

121 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pemerintah, DPR dan pihak terkait, 10 Januari 2012, hlm. 29-31 122 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli/saksi, 15 Februari 2012, hlm. 4-10 123 Ibid., hlm. 17-21

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 86

penyiaran berjalan berdasarkan ideologi neoliberal. Hal itu semua terjadi karena adanya penafsiran yang keliru terhadap UU Penyiaran. Penguasaan frekuensi pada 10 LPS Eksisting pada akhirnya berdampak pada munculnya pemain-pemain baru di suatu wilayah siaran. Santoso hadir sebagai saksi dari pemohon. Sebagai direktur Tempo TV ia menceritakan tentang pengalamannya susah mendapatkan kanal frekuensi di Jakarta. Permohonan pengajuan izin siaran sudah dilayangkan kepada KPI tahun 2010. Namun saat itu pihak KPI mengatakan sudah tidak ada frekuensi lagi, dan Tempo TV diharapkan menunggu sampai dilaksanakannya sistem siaran digital. Pengalaman itu menurutnya menunjukkan bahwa dinamika di lapangan lebih memihak pada mereka yang kuat modal. Menurut Santoso, jika ada LPS yang tidak mampu untuk bersiaran lagi, izin siarannya harus dikembalikan ke negara dan dilelang kepada pemain baru, bukan dialihkan kepada pihak lain dalam bentuk jual-beli saham seperti saat ini.124 Menentukan apakah telah terjadi pemusatan kepemilikan media di Indonesia memang sulit. Hal itu menurut Iwan Piliang yang bertindak sebagai ahli dari MK karena tidak ada alat ukur yang jelas. Iwan juga menyampaikan bahwa ada kecenderungan perusahaan yang telah mapan membajak LPS lokal ketimbang membuat stasiun baru. Media lokal cenderung menjadi wahana untuk membuat program kadaluarsa dari media induk. Media induk juga cenderung mengabaikan SDM lokal dalam produksi program siaran. Media cenderung terkooptasi oleh politik, kekuasaan dan uang.125 Prof. Dr. M. Alwi Dahlan juga menguraikan sejarah kemerdekaan Indonesia yang terkait dengan penguasaan spektrum frekuensi penyiaran. “Semua perkembangan dan kecenderungan sejarah tersebut menyimpulkan kearifan bahwa pemusatan penguasaan kepemilikan sumber alam frekuensi pada orang atau lembaga manapun juga tidak boleh diperkenankan,” ujarnya. Alwi menyatakan bahwa konsentrasi pemilik capital sangat kuat dalam industri komunikasi ini sehingga masalah konsentrasi kepemilikan televisi sebetulnya bukan hanya

124 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 23 Februari 2012, hlm. 11-13 125 Ibid., hlm. 23-24

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 87

persoalan kesalahan atau kekeliruan pelaksana birokrasi dalam mengalokasikan spektrum frekuensi, tapi jauh lebih besar, makin menggurita dan meluas ke berbagai bidang dan aspek.126 Persoalan ketiga yang menjadi isu dalam persidangan di MK adalah soal penafsiran apakah frasa “badan hukum” dalam pasal 18 ayat (1) dan “pihak lain” dalam pasal 34 ayat (4) terbatas pada badan hukum pemilik IPP yaitu LPS atau badan hukum yang memiliki LPS di tingkat manapun. Pertanyaan lain yang muncul adalah apakah sebuah perusahaan induk (holding company) media juga tunduk pada UU Penyiaran atau tidak? Bagi pihak pemohon, frase “satu badan hukum” dalam pasal 18 ayat (1) dan “pihak lain” dalam pasal 34 ayat (4) harus ditafsirkan sebagai badan hukum di tingkat manapun yang menguasai dan memiliki LPS. Oleh karena itu sebuah perusahaan induk harus tunduk dan mengikuti UU Penyiaran. Sementara pendapat dari pihak penentang JR adalah bahwa harus dibedakan antara badan hukum LPS pemilik IPP dan badan hukum yang memiliki saham di LPS. Badan hukum LPS tunduk pada UU Penyiaran. Sementara badan hukum pemilik saham di LPS tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal. Hal itu tergambar dari argumentasi EMTEK dalam persidangan di MK. EMTEK menyatakan bahwa baik EMTEK, IDKM maupun SCMA bukanlah merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha penyiaran televisi, melainkan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa dan berbentuk PT Terbuka. Oleh karenanya masyarakat siapapun bebas membeli saham PT Terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia setiap saat. Sebagai PT Terbuka, baik EMTEK, SCMA dan IDKM tunduk pada UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas dan peraturan Bapepam-LK. Mereka tidak tunduk pada UU Penyiaran. Penyertaan modal EMTEK pada SCMA dan IDKM didasarkan pada pertimbangan ekonomis komersial dengan mempertimbangkan pengembalian

126 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 5 April 2012, hlm. 5-15

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 88

investasi (return of investment), bukan untuk turut serta dalam kegiatan operasional, terutama menentukan materi isi siaran PT SCTV dan IVM.127 Hal senada juga diutarakan oleh ATVSI yang berpendapat bahwa hukum penyiaran tidak berdiri sendiri tapi terkait dengan hukum yang lain. Bentuk badan hukum LPS Perseroan Terbatas mengakibatkan kegiatan kepemilikannya melalui saham, tunduk pada hukum PT, hukum penanaman modal dan hukum pasal modal. Pembatasan tentang kepemilikan LPS telah diatur dalam PP-LPS. UU Penyiaran maupun PP-LPS membolehkan LPS untuk melakukan jual-beli saham untuk keberlangsungan kegiatan usahanya, tetapi tidak boleh jual-beli IPP. LPS juga diperbolehkan melakukan perubahan nama, domisili, susunan pengurus dan anggaran dasar LPS asal melaporkan terlebih dahulu kepada menteri sebelum mendapat pengesahan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).128 ATVSI berpendapat kalaupun benar telah terjadi pemusatan dan penguasaan frekuensi yang berujung pada adanya praktik monopoli dan terjadi persaingan usaha tidak sehat, maka itu menjadi kewenangan KPPU untuk menyelesaikannya. Pemusatan kepemilikan tidak berbanding lurus dengan isi siaran yang merugikan masyarakat. Ini bukan persoalan norma hukum tapi merupakan problem di penerapan hukum. Mudzakir berpendapat bahwa IPP diberikan kepada LPS yang berbadan hukum, bukan diberikan kepada perseorangan atau individu dalam LPS atau juga bukan kepada badan hukum yang bukan LPS. LPS yang berbadan hukum itu tunduk pada ketentuan UU Penyiaran dan PP-LPS. Sedangkan badan hukum yang memiliki saham di LPS tunduk pada hukum perseroan dan pasar modal. Tentang pasal 34 ayat (4) Mudzakir berpendapat bahwa IPP yang telah diperoleh LPS tidak boleh dijual atau dialihkan kepada perorangan atau badan hukum lain. IPP itu hanya berlaku untuk badan hukum tersebut.129 Artinya, apabila ada badan hukum perseroan terbuka yang memiliki saham di LPS dan kemudian sahamnya

127 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012, hlm. 6-12 128 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012, hlm. 22-29 129 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 6-12

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 89

beralih kepada badan hukum lain, tidak termasuk yang dimaksud ketentuan pasal 34 ayat (4). Beralihnya saham tidak identik dengan dialihkannya IPP. Kalau praktik itu dilarang seharusnya secara jelas disebutkan dalam UU bahwa perseorangan maupun badan hukum dilarang untuk menjual sahamnya di LPS sampai IPP habis masa izinnya. Erman Rajagukguk menyatakan bahwa perusahaan penyiaran televisi yang berbentuk perseroan terbatas adalah merupakan suatu badan hukum, suatu badan hukum sebagai subjek hukum mempunyai harta kekayaan sendiri, terlepas dari harta kekayaan pengurus dan pemegang sahamnya. Pemegang sahamnya suatu perseroaan terbatas boleh berganti-ganti tetapi aset suatu perseroaan terbatas tetap menjadi aset perseroaan terbatas itu sebagai badan hukum. Dalam hal ini penggantian pemegang saham tidak berarti penggantian kepemilikan aset termasuk izin siaran dari perseroan terbatas tersebut. Pemilik izin siaran adalah perseroan terbatas sebagai badan hukum yang terlepas dari aset pemegang sahamnya. Dalam persidangan di MK, penafsiran KPI atas pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) menguatkan argumentasi KIDP. Pendapat KPI tersebut dibacakan oleh Komisioner KPI Judhariksawan. KPI berpandangan bahwa frase “satu orang” atau “satu badan hukum” meliputi badan hukum pemegang IPP maupun badan hukum umum di luar kegiatan usaha penyiaran di tingkat manapun yang menguasai dan memiliki LPS.130 Dengan kata lain, KPI menyatakan bahwa perusahaan induk yang menguasai saham di LPS juga harus tunduk pada UU Penyiaran. KPI pun menyodorkan pengertian pasal 18 ayat (1) secara lengkap sebagai berikut : “Pemusatan kepemilikan dan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum meliputi orang perorangan badan secara umum, baik dalam bentuk badan hukum maupun nonbadan hukum, badan hukum pemegang IPP yakni lembaga penyiaran swasta, badan hukum anak perusahaan lembaga penyiaran swasta, atau badan hukum yang memiliki anak perusahaan lembaga penyiaran swasta holding company, baik di

130 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 19 Januari 2012, hlm. 15-22

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 90

satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran dibatasi dengan memiliki atau menguasai satu IPP dalam satu wilayah siaran atau satu provinsi.”

Sedangkan penafsiran pasal 34 ayat (4) menurut KPI frase “dipindahtangankan” harus diartikan sebagai proses pemindahtangan dengan cara apapun dimana kepemilikan atau penguasaan IPP menjadi berpindah tangan, antara lain diberikan, dijual, atau diperalihkan melalui sewa, gadai, dll. Sedangkan frase “pihak lain” diartikan sesuai acuan pasal 18 ayat (1) yang tidak terbatas pada LPS pemilik IPP tapi juga pada perusahaan pemilik LPS di tingkat manapun. Maka, jika pasal 34 ayat (4) dibaca secara utuh, akan berbunyi : “izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan, dalam arti diberikan, dijual, atau dialihkan dalam bentuk lain, misalnya sewa, gadai, dan lain-lain kepada pihak lain, meliputi orang perorangan, badan secara umum, baik dalam bentuk badan hukum maupun non-badan hukum, badan hukum pemegang IPP, badan hukum anak perusahaan LPS, atau badan hukum yang memiliki anak perusahaan LPS.”

Pendapat KPI di persidangan MK memang disadari oleh KIDP memiliki persamaan sudut pandang dan semangat dalam persoalan kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Hal ini diutarakan oleh informan Umar Idris: “Dan dalam posisi di MK kita banyak jadi satu sama KPI dari sisi perspektif. KPI senang lah dengan KIDP. Dengan sendirinya dia disupport oleh KIDP.”131

Kesamaan semangat dengan KIDP itu juga diakui oleh KPI sendiri, meskipun KPI tetap menjaga posisinya sebagai lembaga negara. Seperti disampaikan oleh informan M. Riyanto: “……kebetulan kami punya sense of belonging, sense simpathyc yang sama, sensitivitas sosial yang sama sebagai lembaga negara independen. Kami menjalankan tugas-tugas ini sesuai dengan porsi kami sebagai

131 Hasil wawancara dengan informan Umar Idris tanggal 29 Februari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 91

lembaga negara independen, sebagai regulator dan pengawasan di regulasi ini. ……Tapi dipisahkan antara tugas kami dengan kepentingan kami bersama. Ini supaya menjaga independensi. Walaupun kami tetap, dalam konteks sosiologis kami tetap berpihak pada kepentingan masyarakat karena memang kami representasi dari kepentingan masyarakat. Jadi kami apreciate sekali dan memberikan support dalam konteks sosiologis tadi.”132

Effendi Gazali ahli dari MK berpendapat bahwa dalam politics of communication siapa yang menguasai kanal frekuensi lebih berperan dalam menyebarkan pesan kepada khalayak. Oleh karenanya hal itu harus diatur oleh sebuah badan regulasi penyiaran independen yaitu KPI. Menurut Effendi pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran harus ditafsirkan sebagai satu badan hukum, baik badan hukum pemegang IPP maupun badan hukum apapun dan di tingkat manapun yang menguasai dan memiliki LPS. Pengertian ini juga digunakan untuk penafsiran “pihak lain” dalam pasal 34 ayat (4). Efendi menyatakan ada jenis kepemilikan terselubung dimana beberapa lembaga yang dimiliki atas nama orang lain sebenarnya dimiliki oleh satu orang yang sama. “Jiwa dari Undang-Undang Penyiaran itu adalah diversity of ownership dalam konteks memperhatikan politics of commucation tadi dengan aturan-aturan yang jelas dan bukan semata-mata dianggap kita ini ingin melarang orang tidak boleh memiliki satu stasiun di satu kota, bukan itu intinya. Tetapi bagaimana kita menumbuhkan stasiun-stasiun televisi kita secara cerdas,” ujar Effendi.133 Hal yang terkait dengan penafsiran “badan hukum” sebagai LPS atau juga mencakup perusahaan induk (holding company) pada akhirnya menyangkut tafsir atas pasal 34 ayat (4) yang melarang pengalihan IPP. Inilah persoalan keempat yang menjadi perdebatan di MK apakah praktik pengalihan saham dapat diartikan sebagai pengalihan IPP? Dalam hal ini MNC Group berargumen bahwa aksi akuisisi saham dari perusahaan induk terhadap perusahaan penyiaran lain tidak bisa diartikan sebagai

132 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto tanggal 24 Januari 2012 133 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 31-37

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 92

transaksi penjualan IPP karena perusahaan yang sahamnya dibeli tetap tegak berdiri sendiri sebagai LPS. Trans Corp juga berargumen bahwa pengalihan saham di holding company tidak mengakibatkan pengalihan IPP. Dalam satu akuisisi saham, yang beralih adalah kepemilikan saham di holding company, sedangkan IPP tetap dimiliki oleh lembaga penyiaran televisi yang bersangkutan dan tidak beralih kepada pihak yang mengakuisisi. Menurut Trans Corp hal itu tidak menyebabkan terjadinya transaksi penjualan IPP dari lembaga penyiaran televisi yang saham holding company-nya diakuisisi oleh suatu badan hukum.134 EMTEK juga menegaskan bahwa perseroan tidak pernah melakukan pembelian atau menerima pengalihan IPP dari pihak lain. IPP tetap melekat pada PT IVM (Indosiar) dan PT SCTV. Pendapat EMTEK juga di perkuat oleh SCMA dalam persidangan di MK yang menyatakan bahwa UU Perseroan Terbatas secara tegas memisahkan antara kekayaan badan hukum dengan kekayaan pemegang sahamnya. IPP yang dimiliki oleh LPS merupakan kekayaan atau aset dari badan hukum LPS dan tidak melekat pada pemegang saham. Artinya, meskipun terjadi perubahan pemegang saham, kepemilikan atas IPP tidak berubah dan beralih kepada badan hukum yang lain.135 SCMA juga menyatakan bahwa pasal 11 PP- LPS memperbolehkan LPS untuk melakukan perubahan nama, domisili, susunan pengurus dan anggaran dasar LPS asal melaporkan terlebih dahulu kepada menteri sebelum mendapat pengesahan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bambang Subijantoro ahli dari pihak terkait berpendapat bahwa pemindahan kepemilikan saham tidak dapat diartikan sebagai pengalihan atau penjualan IPP, mengingat sesuai dengan hukum, badan hukum merupakan subjek hukum yang dapat memiliki kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan pemegang saham. Effendi Choirie melihat adanya pengalihan IPP yang sebetulnya bertentangan dengan semangat dan roh UU. Dalam praktiknya suatu perusahaan

134 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012, hlm. 1-6 135 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012, hlm. 13-18

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 93

yang telah memperoleh IPP dapat langsung mengalihkan ke perusahaan lain saat ia tidak sanggup mengelola. Seharusnya IPP itu dikembalikan lagi ke negara.136 Penulis dalam hal ini setuju dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Yanuar Rizky. Yanuar Rizky yang hadir sebagai ahli dari pemohon merupakan ahli di bidang pasar modal. Ia memandang bahwa substansi pasal 18 ayat (1) menganut filosofi bahwa usaha LPS tergolong industri yang terproteksi secara ketat oleh regulasi (highly regulated industry). Jenis usaha seperti ini cirinya adalah : 1. Rezim perizinan yang sangat ketat. Ada halangan untuk masuk (entry barriers) ke industri ini. 2. Ketika seseorang dan/atau badan usaha telah memiliki IPP akan sulit juga keluar dari bisnisnya, dalam arti mengalihkan kepemilikan maupun menjualnya. Ini disebut exit barriers. Dari sisi kepemilikan saham cukup jelas bahwa usaha penyiaran tidak memperkenankan model konglomerasi horizontal, yaitu pengendalian oleh seseorang dan/atau badan usaha entitas, ekuitas tertentu atas beberapa unit usaha penyiaran. Dalam teori akuntansi dikenal teori entitas, dimana hubungan para pihak itu digambarkan sebagai hubungan hak dan kewajiban para pihak. Interpretasi praktisnya adalah satu entitas, ekuitas atau kelompok pemegang saham itu hanya berhak memiliki satu badan usaha penyiaran. Fakta yang dilihat adalah ada sebuah perubahan dimana unit usaha penyiaran kemudian membentuk satu induk yang mereka namakan investment holding dan bersifat terbuka sahamnya di BEI. Karena sifatnya yang terbuka, sahamnya dapat dipindahtangankan setiap saat di lantai bursa tanpa proses verifikasi kepemilikan. Maka, rezim industri yang mengatur tidak boleh terjadi kepemilikan silang oleh suatu kelompok entitas ekuitas di beberapa lembaga penyiaran akan sulit dijaga efektifitasnya.137 Investment holding adalah badan usaha yang tidak melakukan kegiatan operasional produksi, namun menguasai dan mengendalikan kepemilikan saham di unit-unit usaha yang melakukan kegiatan

136 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 23 Februari 2012, hlm. 21-23 137 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 5 April 2012, hlm. 16-24

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 94

operasional produksi. Ciri-ciri perusahaan investment holding adalah pendapatan diperoleh investment holding dari anak usaha produksinya dalam bentuk dividen saham, pembayaran bunga hutang, dan/atau capital gain dari jual-beli saham di anak usahanya. Idenya secara praktis sebenarnya sederhana, pemilik saham pada dasarnya menginginkan keuntungan dari usahanya (dividen), tapi untuk mengharapkan sahamnya tercatat di bursa agar mendapatkan likuiditas dan kemudahan untuk menjualnya ke pihak lain dalam rezim undang-undang penyiaran, sebetulnya tidak mudah. Maka, dibentuklah investment holding. Jika dalam laporan keuangannya, juga menikmati konsolidasi laporan keuangan anak usaha yang melakukan operasional, maka sebetulnya dia bukan perusahaan investasi murni. Penekanannya terletak pada laporan keuangannya. Jika dalam laporan keuangan investment holding memiliki hubungan langsung atau konsolidasi dengan laporan keuangan perusahaan media yang menjadi anak perusahaannya, maka terdapat unsur pengendalian. Unsur pengendalian menunjukkan bahwa investment holding media yang dibentuk harus taat asas kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dari paparan diatas, dapat diartikan bahwa meskipun pergerakan saham berada di perusahaan holding, namun karena laporan keuangan perusahaan itu terkonsolidasi dengan anak perusahaan media, maka pengalihan saham menyebabkan pengalihan IPP. Persoalan kelima dalam perdebatan di MK adalah apakah pemusatan kepemilikan media penyiaran mempengaruhi keberagaman isi siaran atau program siaran? Trans Corp membantah argumentasi para pemohon yang menyatakan bahwa pemusatan kepemilikan media menyebabkan pelanggaran prinsip diversity of content. Alasannya adalah karena masing-masing lembaga penyiaran televisi berlomba-lomba membuat programnya sendiri-sendiri yang berbeda dengan lembaga penyiaran lainnya sebagai strategi dalam berkompetisi untuk menarik minat pemasang iklan. Persaingan itu pun terjadi dalam dua lembaga televisi yang sama-sama dimiliki oleh satu holding company. Karena jika dua lembaga televisi

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 95

itu mempunyai program yang sama, maka salah satunya akan tidak memperoleh pendapatan iklan. Menurut Viva Group, saat ini penonton televisi di Indonesia sudah cerdas dan memiliki kekuasaan untuk memindah channel televisi yang disukai melalui remote control. Hal itu menyebabkan sebuah stasiun televisi tidak mungkin menghadirkan isi siaran yang manipulatif dan seragam. Media Group berargumentasi bahwa proses mekanisme pemberitaan didasarkan atas Standard Operational Procedur (SOP) yang baku dijalankan di redaksi mulai dari rapat redaksi, penugasan, peliputan, editing hingga tayang, sehingga tidak ada campur tangan pemilik atau pemegang saham.138 Namun betulkah seorang pemilik tidak dapat mengintervensi redaksi? Dhandy Dwi Laksono, mantan Kepala Peliputan RCTI tahun 2006 – 2009 yang menjadi saksi dari pihak pemohon, membeberkan kasus-kasus yang memperlihatkan intervensi pemilik perusahaan kepada redaksi.139 Kasus yang sudah dikenal secara umum adalah Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Departemen Hukum dan HAM pada tahun 2008 yang dikelola oleh PT Sarana Rekatama Dinamika yang terafiliasi dengan PT Bhakti Investama dan menyeret nama Hary Tanoesoedibjo CEO RCTI dan pemilik saham di MNC Group. Saat itu Dhandy mendengar informasi bahwa ada pejabat Depkumham yang ditahan oleh Kejaksaan Agung. Saat ia akan memproses berita tersebut, ternyata materi itu tidak pernah diliput. Saat Dhandy bertanya kepada reporter, reporter mengatakan bahwa ia mendapat perintah dari pemimpin redaksi untuk tidak meliput kasus Sisminbakum dan semua perkembangan yang terjadi di Kejaksaan Agung. Padahal kasus ini memiliki nilai berita (news value) yang sangat tinggi, baik dari sisi magnitude, melibatkan keuangan negara ratusan miliar rupiah, dari sisi kepentingan publik juga sangat kuat, dan melibatkan pejabat tinggi di Depkumham. Dandhy pun mengajukan keberatan tapi tidak dihiraukan.

138 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012, hlm. 18-21 139 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli/saksi, 15 Februari 2012, hlm. 11-16

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 96

Kasus lainnya terjadi pada awal tahun 2006 saat banyak rumor di media bahwa pemilik RCTI Hary Tanoesoedibjo membagi-bagikan mobil Jaguar di lingkungan istana, termasuk kepada para juru bicara dan pejabat di lingkungan istana. Pelontarnya pertama kali adalah pengacara Eggi Sudjana. Dandhy saat itu menjadi produser program Nuansa Pagi melihat setiap hari ada reporter yang ditugaskan untuk meliput peristiwa tersebut, tapi anehnya tidak pernah ada berita yang disetorkan kepada para produser. Ternyata menurut pengakuan para reporter, mereka hanya ditugaskan meliput dan merekan semua pernyataan pihak-pihak yang menuduh, yang dituduh, yang terkait dengan kasus mobil Jaguar. Semua rekaman itu diserahkan kepada pengacara Hary Tanoesoedibjo untuk dibahas di kantornya. Ketika kasus ini mulai masuk ke pengadilan, semua kaset-kaset rekaman yang digunakan untuk liputan malah digunakan oleh pengacara perusahaan untuk memberatkan Eggi Sudjana. Disitu Dhandy melihat bahwa profesionalisme jurnalistik telah disalahgunakan. Kasus lainnya adalah tentang pemberitaan tujuh yayasan Soeharto pada tahun 2006 yang ramai diperbincangkan kembali. Dhandy saat itu hampir 2 bulan melakukan investigasi hampir semua yayasan. Saat materi sudah terkumpul dan siap ditayangkan, tiba-tiba ada perintah untuk menunda penayangan tersebut karena MNC-RCTI sedang dalam proses menyelesaikan akuisisi bisnis TPI. Hal itu disebabkan karena Hary Tanoe sedang berunding dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Kalau tayangan ini dipublikasikan dikhawatirkan akan mengganggu psikologis keluarga Cendana terhadap RCTI. Pada akhirnya program sekitar 5 episode itu tidak jadi ditayangkan. Menurut ATVSI pemilik media bukan satu-satunya pihak yang mempengaruhi isi media, ada penguasa, masyarakat, kelompok penekan, pemasang iklan, audiens dan bahkan lembaga pemeringkat seperti AC Nielsen. Keinginan pemilik untuk menggunakan medianya sebagai alat propaganda akan menunjukkan ketidakprofesionalan dan beresiko kehilangan kredibilitas dan juga audiensnya. Dalam produksi program, media sangat sadar bahwa respons audiens atau pasar adalah faktor penentu untuk mengambil kebijakan atau keputusan terkait dengan isi siaran dan keberlangsungan program itu sendiri.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 97

Edward Depari ahli dari pihak terkait menyatakan bahwa persaingan antar televisi mengharuskan mereka menyajikan program tayangan yang berbeda dan menarik sehingga mereka memiliki tingkat penonton atau rating yang tinggi dan menarik minat para pengiklan. Ketergantungan televisi lebih pada penonton dan iklan dibanding pemilik. Media yang partisan akan kehilangan kredibilitas dan dijauhi oleh penonton dan akibatnya dijauhi oleh pengiklan. Akibatnya akan mati pelan-pelan. Santi Indra Astuti ahli dari pihak terkait menyatakan bahwa diversity of content saat ini belum terwujud di Indonesia dan penyebabnya dapat dicurigai berujung pada pola-pola kepemilikan yang monopolistik, yang menyeragamkan selera setiap stasiun televisi. Hal itu terlihat dari program-program televisi swasta yang menonjol hanya beberapa saja; sinetron, infotainment, komedi, reality show yang semuanya tidak mencerdaskan dan meningkatkan martabat manusia. Sayangnya hal itu mendapat rating tinggi dan akhirnya ditiru oleh stasiun televisi lain. Tanpa adanya keberagaman kepemilikan media, dunia penyiaran Indonesia selamanya akan berada di bawah tekanan kapitalis dan para pemodal besar yang hanya menginginkan perlindungan bagi investasi yang sudah ditanamkan.140

4.5. Dinamika Interaksi Agen dan Struktur Dalam Menata Kepemilikan Media di Indonesia Dinamika interaksi agen dan struktur dalam menata kepemilikan media televisi swasta di Indonesia sebenarnya sudah terlihat dalam proses aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK. Seperti telah dijelaskan di atas, wacana akuisisi IDKM oleh EMTEK ini sebenarnya telah muncul sejak tahun 2006. Artinya hampir 4 tahun lamanya EMTEK harus menahan diri untuk tidak langsung melakukan akuisisi terhadap IDKM. Hal itu tentu saja dipengaruhi oleh aturan perundang-undangan terutama UU Penyiaran dan keberadaan lembaga KPI yang hadir sebagai regulator bidang penyiaran. Apalagi saat pihak EMTEK melaporkan rencana aksi tersebut kepada KPI tahun 2008-2009, KPI saat itu telah memposisikan sebagai pihak yang menentang aksi akuisisi itu dengan memberi peringatan akan potensi

140 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012, hlm. 28-31

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 98

pelanggaran UU Penyiaran. Kegamangan itulah yang membuat EMTEK harus berpikir panjang untuk mengakuisisi IDKM. Dalam hal ini EMTEK sebagai agen turut dipengaruhi oleh struktur penyiaran Indonesia yang diciptakan oleh UU Penyiaran tahun 2002. Dinamika agen dan struktur yang kedua dapat dilihat pada langkah yang diambil oleh KPI dalam menyikapi aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK. Seperti yang disampaikan oleh informan M. Riyanto bahwa langkah KPI mengeluarkan pendapat hukum (legal opinion) dalam kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK ini disebabkan karena keterbatasan wewenang dan posisi hukum (legal standing) KPI pasca keputusan MK tahun 2004. Keputusan MK itu mereduksi peran KPI hanya mengurus isi siaran, sementara urusan izin siaran menjadi wewenang Kemenkominfo. Keterbatasan kewenangan itulah menjadi hambatan yang utama bagi KPI dalam mengawal kasus ini. Sebagaimana disampaikan oleh informan M. Riyanto: “Hambatannya yang jelas dalam keterbatasan kewenangan didasarkan pada kewajiban regulasi. Itu hambatan yang paling utama. Kalau itu tidak direduksi dengan PP yang diambil kewenangan pemerintah, saya pikir KPI bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk mengawal ini. Maksudnya untuk menjaga agar tidak terjadi monopoli. Tapi karena sudah diambil dengan ketentuan peraturan pemerintah, kewenangan ada disana, kita tidak bisa berbuat banyak.”141

Dapat dikatakan bahwa struktur penyiaran yang saat ini berlaku, telah membatasi gerak KPI dalam bertindak lebih tegas dalam aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK maupun mengatur sistem kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Namun KPI masih melihat celah dalam putusan MK tersebut tidak mereduksi tugas dan kewajiban KPI dalam UU Penyiaran untuk ikut membangun iklim persaingan yang sehat antara lembaga penyiaran dan industri terkait sesuai pasal 8 ayat (3) UU Penyiaran. Celah itulah yang digunakan oleh KPI sebagai dasar untuk bertindak dan mengambil sikap untuk kasus kepemilikan media yang sebenarnya sudah bukan menjadi ranah KPI lagi.

141 Hasil wawancara dengan informan M. Riyanto tanggal 24 Januari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 99

Langkah pendapat hukum yang dikeluarkan KPI juga tidak terlepas dari desakan publik melalui gugatan warganegara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh Hinca Panjaitan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Langkah Hinca dapat dimaknai sebagai tindakan agen yang kemudian memaksa agen lain untuk bertindak. Ketidakberpihakan Kemenkominfo kepada publik dengan membiarkan kondisi pemusatan kepemilikan media membuat masyarakat penyiaran menaruh harapan yang besar kepada KPI untuk membenahi sistem kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Hal itu tercermin dari keinginan publik termasuk KIDP, agar peran KPI dapat diperluas dan diperkuat. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan Umar Idris: “KIDP memang menginginkan wewenang KPI diperluas, diperkuat. Bukan hanya memberi referensi atas perizinan. Kita ingin KPI menjadi lembaga pemberi izin dan pemberi sanksi pula. Makanya mereka senang dan ya memang seperti ini sebetulnya governance yang mau kita bangun.”142

Soal penguatan KPI ini pula yang menjadi salah satu isu dalam pembahasan revisi UU Penyiaran. Menurut informan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Hayono Isman, Komisi I dalam posisi mencermati perbedaan pemikiran yang berkembang dalam diskusi tujuh orang pakar yang diminta oleh DPR RI. Ketujuh pakar tersebut adalah Sasa Djuarsa Sendjaja, Ade Armando, Parni Hadi, Amir Effendi Siregar, Ishadi SK, Soekarno Abdulrachman dan Paulus Widianto. Sebagaimana disampaikan oleh informan Hayono Isman: “Tokoh-tokoh itupun terbagi didalam dua atau tiga pemikiran. Ada perbedaan di (soal) kepemilikan, SSJ, dan di penguatan KPI, kemudian pemisahan LPP dari UU penyiaran dengan UU tersendiri. Ini yang akan menjadi sesuatu yang menarik. Komisi I sepakat kita tidak mungkin menghalangi terjadinya perbedaan pemikiran. Nanti tinggal komisi I

142 Hasil wawancara dengan informan Umar Idris tanggal 29 Februari 2012

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 100

memberikan keputusan politiknya mana yang tepat bagi kepentingan rakyat Indonesia.”143

Dalam pandangan KIDP, upaya untuk merubah struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia hanya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu perubahan UU Penyiaran di DPR dan tafsir konstitusional MK yang putusannya bersifat final. Sebagaimana yang diutarakan oleh informan Umar Idris: “Kita ingin ada penataan penyiaran yang itu diawali dengan tafsir yang tunggal, tafsir yang konstitusional dari MK. Kita ingin ada tafsir yang jadi pegangan semua pihak. Kita minta penyalahgunaan pasal tersebut berakhir. Sehingga kita berpegang pada tafsir konstitusional yang baru dari MK. Itu harapan kita dari JR.”144

Dalam hal ini KIDP melihat ada peluang yang terdapat dalam struktur hukum tatanegara di Indonesia yang menempatkan MK sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan untuk memberikan penafsiran tunggal terhadap perbedaan penafsiran atas undang-undang. MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang lahir setelah perubahan UUD 1945 yang bertujuan untuk menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum yang menempatkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.145 Salah satu wewenang MK adalah pengujian undang- undang terhadap UUD 1945. Putusan MK yang bersifat final dianggap dapat menjadi kekuatan untuk merubah struktur kepemilikan media yang ada di Indonesia. Hal itu diatur dalam pasal 10 ayat (1) UU no.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Bagi KIDP jika MK mengabulkan gugatan mereka, hal itu akan mempengaruhi struktur dalam sistem kepemilikan media penyiaran di Indonesia.

143 Hasil wawancara dengan informan Hayono Isman tanggal 13 Maret 2012 144 Hasil wawancara dengan informan Umar Idris tanggal 29 Februari 2012 145 Lihat konsideran menimbang poin a UU no 8 tahun 2011 tentang perubahan atas UU no.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 101

4.6. Diskusi dan Pembahasan Dari paparan data di atas, terlihat bahwa struktur kepemilikan media televisi swasta pasca munculnya UU Penyiaran no.32 tahun 2002, tidak berubah dari kondisi pada awal reformasi, dimana kepemilikan media televisi swasta dikuasai oleh pengusaha yang berorientasi pada bisnis dan keuntungan (profit oriented). Semangat kebebasan (liberalisasi) yang digaungkan oleh reformasi 1998 membawa kekuasaan modal ke dalam setiap sistem sosial di Indonesia, termasuk sistem kepemilikan media televisi swasta. Sistem kapitalisme inilah yang mendominasi struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia hingga saat ini. Maka, aksi korporasi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) terhadap PT Indosiar Karya Media (IDKM) yang berimplikasi pada penggabungan media televisi Indosiar dan SCTV dalam satu grup media, merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sistem kapitalisme global. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Golding dan Murdock bahwa dalam perubahan institusi media, seluruh media memiliki siklus yang sama. Awalnya media berproduksi dalam skala kecil dan bersifat personal. Pada masa ini pola distribusi dan penjualan terpisah. Saat teknologi bertambah maju, pola produksi berubah menjadi industrialisasi dan pola konsumsi bertambah besar dan impersonal. Proses diferensiasi ini digantikan oleh suatu periode dimana pertumbuhan industri mengalami kejenuhan, peningkatan biaya, penurunan pendapatan dan perubahan pola permintaan. Dari diferensiasi inilah proses konsentrasi dimulai.146 Kompetisi yang terjadi terutama dalam 10 LPS Eksisting yang lahir sebelum UU Penyiaran 2002 pada kenyataannya memunculkan grup-grup media televisi. Bahkan grup media tersebut juga menguasai jenis media lainnya seperti cetak, radio dan online. Maka, untuk dapat bisa bersaing dengan grup media yang ada, praktik penggabungan usaha menjadi hal yang tak terelakkan bagi perusahaan media yang ingin tetap bertahan hidup. Gejala ini oleh Mosco disebut tahap Spasialisasi. Bagi industri, seperti industri media penyiaran, spasialiasi ini membawa pengaruh pada perubahan pola produksi, distribusi, pemasaran hingga jaringan pelanggan yang tidak lagi

146 Peter Golding dan Graham Murdock (eds), Op.Cit, hlm. 5

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 102

memiliki batasan wilayah. Ekonomi politik komunikasi secara khusus mendefinisikan spasialisasi pada proses perluasan bisnis perusahaan media dalam industri komunikasi. Proses-proses konsentrasi, integrasi, baik vertikal maupun horizontal, kerjasama strategis, merger dan akuisisi menjadi perhatian penting dalam proses spasialisasi ini. Praktik aksi korporasi IDKM oleh EMTEK juga mencerminkan upaya pemusatan/ konsentrasi kepemilikan media yang mengarah pada konglomerasi media. Sebagaimana dinyatakan oleh Sudibyo bahwa integrasi ekonomi yang terjadi melalui merger dan akuisisi membuka jalan bagi berkembangnya fenomena konglomerasi.147 Dapat dikatakan bahwa aksi korporasi tersebut murni berlatar belakang bisnis dimana EMTEK mengakuisisi IDKM bertujuan untuk memperkuat bisnis media sehingga dapat bersaing dengan grup media yang lain. Faktor efisiensi dan efektifitas merupakan landasan terjadinya aksi akuisisi tersebut, yakni menekan pengeluaran dan meningkatkan keuntungan. Melalui penggabungan usaha, suatu perusahaan media akan menjadi kuat karena bertambahnya modal, teknologi dan fasilitas yang didapat dari bersatunya dua perusahaan. Namun, penggabungan tersebut juga akan berdampak pada efisiensi tenaga yakni perampingan struktur organisasi serta pengurangan jumlah tenaga karyawan. Kekuatan kapitalisme dalam struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia turut didukung oleh lemahnya regulasi di bidang penyiaran. Hal itu terbukti dari tidak mampunya UU Penyiaran no.32/2002 mencegah terjadinya aksi korporasi IDKM oleh EMTEK. Praktik jual-beli saham pada level perusahaan induk (holding company) pemilik perusahaan media penyiaran, tidak dapat dijangkau oleh pasal-pasal yang ada dalam UU Penyiaran. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran yang mengatur pembatasan pemusatan kepemilikan media tidak secara tegas melarang praktik konsentrasi tersebut. Frasa “dibatasi” dalam pasal 18 ayat (1) kemudian dapat ditafsirkan bukan sebagai pelarangan bagi industri untuk melakukan aksi penggabungan usaha. Begitu pula dengan pasal 34 ayat (4) yang mengatur tentang larangan pemindahtanganan izin penyiaran, juga dapat ditafsirkan hanya berlaku pada perusahaan media pemilik izin penyiaran.

147 Agus Sudibyo, Op.Cit., hlm. 7

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 103

Argumentasi itulah yang digunakan oleh pihak EMTEK bahwa izin penyiaran tetap berada pada PT Indosiar Visual Mandiri (IVM), anak perusahaan IDKM. Lemahnya regulasi inilah yang menjadi celah bagi perusahaan media untuk melakukan praktik penggabungan usaha dengan cara menguasai saham perusahaan induk. Besarnya kekuasaan kapitalisme dalam struktur kepemilikan media televisi swasta itu lantas tidak membuat surut perjuangan kelompok masyarakat sipil di bidang penyiaran yang menginginkan tata kepemilikan media yang adil dan tidak terkonsentrasi pada segelintir orang. Bahkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para agensi itu memiliki implikasi yang serius bagi kalangan industri ke depan, terutama langkah pengajuan uji materi pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP). Selain itu KIDP juga melakukan advokasi terhadap proses pembahasan revisi UU Penyiaran di DPR RI. Langkah-langkah strategis tersebut, meski belum terlihat hasilnya, namun dipastikan turut mempengaruhi tata kelola kepemilikan media televisi swasta yang lebih baik di masa yang akan datang.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 104

BAB 5 PENUTUP

5.1. Simpulan Dari paparan yang dijelaskan dalam bab empat diatas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai dinamika agen dan struktur dalam menata kepemilikan media penyiaran di Indonesia, sebagai berikut: 1. Sejak reformasi 1998, struktur yang terdapat dalam ranah penyiaran di Indonesia, termasuk sistem kepemilikan media, lebih mencerminkan kekuasaan modal (kapitalisme) yang terus berupaya meningkatkan keuntungan setinggi-tingginya melalui penguasaan beberapa stasiun televisi dan juga media lain (cross ownership). Aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK pada tahun 2011 merupakan suatu bentuk pencaplokan perusahaan yang lemah (IDKM) yang dilakukan oleh perusahaan yang kuat (EMTEK) dengan harapan mendapatkan keuntungan dari integrasi produksi dan distribusi. Hal ini membuktikan bahwa struktur kapitalisme lah, dalam bentuk persaingan usaha berlandaskan hukum pasar, yang mendorong terjadinya aksi korporasi tersebut agar kedua perusahaan dapat bertahan hidup di dalam persaingan bisnis media penyiaran di Indonesia. 2. Meski aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan monopoli, namun aksi korporasi tersebut mencerminkan kondisi pemusatan (konsentrasi) kepemilikan media penyiaran di Indonesia, dimana satu perusahaan dapat menguasai saham beberapa perusahaan media, meski hal itu terjadi pada level perusahaan induk (holding company). Konsentrasi kepemilikan media penyiaran di Indonesia dapat dilihat pada penguasaan 10 LPS Eksisting bersiaran nasional yang bergabung ke dalam 5 kelompok usaha media (media group) besar yang menguasai jangkauan siaran dan juga pendapatan iklan. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa struktur kepemilikan media televisi swasta di Indonesia merupakan bentuk oligopoli.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 105

3. Terbentuknya struktur kepemilikan ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan baik UU Penyiaran maupun Peraturan Pemerintah yang mengatur televisi swasta (PP-LPS) memberikan peluang dan pengistimewaan terhadap 10 LPS Eksisting. Hal itu turut dipengaruhi oleh sumber daya alokatif yang telah dimiliki oleh LPS Eksisting mencakup sumber daya kanal frekuensi, sumber daya modal, SDM, infrastruktur dan teknologi, serta sumber daya autoritatif dimana terjadi pergeseran wewenang dalam mengatur izin siaran dari KPI kepada Kemenkominfo. Semangat kebangsaan (nasionalisme) terutama dalam rangka menumbuhkan industri penyiaran televisi nasional juga berkontribusi pada pembentukan struktur kepemilikan media penyiaran yang terkonsentrasi tersebut. Hal ini pula yang menimbulkan kesepakatan pemikiran di komisi I DPR RI dengan istilah “Yang besar jangan dikecilkan, yang kecil jangan dihambat untuk menjadi besar.” 4. UU Penyiaran pada dasarnya memiliki semangat melarang konsentrasi kepemilikan apalagi monopoli kepemilikan media penyiaran. Namun celah-celah dalam peraturan yang ragu seperti frase “dibatasi” dan “badan hukum” dalam pasal 18 ayat (1) dan “pihak lain” dalam pasal 34 ayat (4) memberikan peluang bagi kalangan industri televisi besar untuk menguasai beberapa stasiun televisi dengan cara membeli saham pada level perusahaan induk. Padahal jika dilihat dari laporan keuangan yang terkonsolidasi, perusahaan induk media memiliki sifat pengendali anak perusahaan media. Artinya, perubahan saham di perusahaan induk akan menyebabkan perubahan manajemen dan kebijakan operasional anak perusahaan media. 5. Celah dalam regulasi itulah yang menjadi strategi bisnis industri media di Indonesia untuk menguasai lebih dari satu stasiun televisi, yaitu dengan cara menguasai saham perusahaan induk (holding company) yang memiliki perusahaan media televisi. Hal ini terjadi dalam aksi akuisisi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK) terhadap PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) yang merupakan perusahaan induk dari PT Indosiar Visual Mandiri (Indosiar). Strategi ini digunakan untuk mensiasati aturan

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 106

tentang kepemilikan dan pelarangan pemindahan izin penyiaran sesuai pasal 18 ayat (1) dan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang tidak secara jelas memberi batasan soal kepemilikan apakah hanya pada level perusahaan pemilik IPP atau juga pada level perusahaan induk. 6. Hinca Panjaitan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) merupakan agensi- agensi sosial yang berperan besar dan signifikan dalam membuat kasus akuisisi IDKM oleh EMTEK berkembang lebih besar pada isu tentang sistem kepemilikan media penyiaran di Indonesia. Melalui gugatan warga negara (citizen lawsuit) Hinca, dilanjutkan dengan pendapat hukum (legal opinion) KPI dan kemudian ditindaklanjuti oleh uji materi (judicial review) yang dilakukan KIDP ke MK, dipastikan akan merubah struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia ke depan, meskipun struktur kepemilikan media yang digambarkan diatas akan mempengaruhi kebijakan MK dan pada akhirnya tidak akan memenuhi ekspektasi para pemohon. 7. KPI sendiri, meski telah diposisikan hanya mengatur isi siaran, namun dalam peristiwa aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK dan proses persidangan di MK, berupaya untuk memperkuat kewenangannya kembali untuk mengatur izin penyiaran industri media melalui sikap politiknya dalam pendapat hukum (legal opinion) yang menentang aksi akuisisi IDKM oleh EMTEK. 8. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan dalam merubah struktur apapun yang ada di Indonesia. Kekuasaan MK yang terletak pada putusan yang bersifat final dan absolut, membuat banyak agen sosial mengarahkan gerakan untuk merubah sebuah struktur ke MK. Maka, dapat dikatakan bahwa langkah KIDP untuk membenahi struktur kepemilikan media penyiaran di Indonesia melalui jalur uji materi ke MK adalah langkah yang strategis.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 107

Dari kesimpulan penelitian ini, penulis berpendapat bahwa agensi-agensi sosial di bidang penyiaran, terutama mereka yang memperjuangkan keseimbangan antara kekuatan negara, pasar dan kepentingan publik, memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi struktur penyiaran yang ada. Bukan tidak mungkin jika kemudian langkah dan gerakan para agensi ini diarahkan pada revisi UU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR, akan memiliki kekuatan besar untuk menata sistem penyiaran Indonesia menjadi lebih baik. Termasuk di dalamnya adalah mengenai penguatan peran dan wewenang KPI sebagai badan regulasi independen, wakil dari publik.

5.2. Saran Mencermati dinamika yang terjadi dalam penataan sistem kepemilikan media penyiaran televisi di Indonesia, penulis menyarankan agar pembatasan pemusatan kepemilikan media terutama bagi 10 LPS Eksisting adalah sebagai berikut: 1. Semua kelompok usaha media (media group) menyatakan secara terbuka bahwa stasiun-stasiun televisi yang ada di dalam kelompoknya merupakan milik satu badan hukum yang sama. Artinya EMTEK mengakui bahwa semua stasiun anggota jaringan SCTV maupun Indosiar adalah satu kepemilikan. Begitu juga dengan kelompok MNC Group, Trans Corp, dan Viva Group. 2. Kelompok usaha media selanjutnya menghapus atau menutup stasiun anggota jaringan yang berada di wilayah yang sama. Misalnya jika EMTEK memiliki stasiun SCTV dan Indosiar di DKI Jakarta, maka salah satu stasiun tersebut harus dihapuskan. Hal ini guna memenuhi ketentuan pasal 20 UU Penyiaran yang menyatakan bahwa satu badan hukum hanya boleh bersiaran di satu wilayah siaran. 3. Pembatasan kepemilikan media yang digunakan di Indonesia adalah melalui pembatasan jangkauan siaran paling banyak 75% dari seluruh provinsi yang ada. Dengan demikian, pembatasan dari segi stasiun televisi tidak diberlakukan lagi. Artinya suatu badan hukum, terutama perusahaan induk, boleh menguasai sebanyak-banyaknya LPS selama

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 108

tidak menguasai dua stasiun televisi di satu wilayah yang sama dan tidak lebih dari 24 provinsi. 4. Agar KPI dan Kemenkominfo bersama-sama membuat cetak biru (blue print) peluang usaha media televisi di Indonesia yang menggambarkan tatanan jenis dan ragam stasiun televisi yang hendak dikembangkan, agar menjadi pedoman bagi para investor yang tertarik untuk berusaha di bisnis pertelevisian.

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 109

DAFTAR REFERENSI

Buku

Albarran, Alan. (2002). Management of Electronic Media, Belmont: Wadsworth Thomson Learning

Armando, Ade. (2011). Televisi Jakarta Diatas Indonesia, Yogyakarta:Bentang

Bryman, Alan. (2008). Social Research Methods. 3rd Edition. New York: Oxford University Press

Einstein, Mara. (2004). Media Diversity: Economics, Ownership and the FCC, Mahwah New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates

Giddens, Anthony. (1984). The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press,

Giddens, Anthony. (1993). New Rules of Sociological Methods. 2nd edition, Cambridge: Polity Press

Golding, Peter dan Graham Murdock (eds). (1997). The Political Economy of the Media, Volume 1, Edward Edgar Publishing Limited

Littlejohn, Stephen W. (2002). Theories of Human Communication 7th Edition, Thomson Learning

McManus, John H. (1994). Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware, Thousand Oaks, CA: Sage

McQuail, Denis. (2000). Mass Communication Theory, 4th Edition, London: Sage Publications Ltd.

Mosco, Vincent. (2009). The Political Economy of Communication, 2nd edition, London: Sage Publication Ltd

Neuman, W. Lawrence. (2000). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, 4th Edition, USA: Allyn and Bacon

Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods, 3rd Edition, USA: Thousand Oaks Sage Publication

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Edisi Keenam, Jakarta: Kencana

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 110

Siregar, Amir Effendi. (2012). Menegakkan Demokratisasi Penyiaran: Mencegah Konsentrasi, Membangun Keanekaragaman, Jakarta: Komunitas Pejaten

Straubhaar, Joseph dan Robert LaRose. (2008). Media Now, Understanding Media, Culture, And Technology, Fifth Edition, USA: Thomson Wadsworth

Sudibyo, Agus, dkk. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran, Jakarta: ISAI & Yogyakarta: LKiS

Yin, Robert K. (2003). Case Study Research: Design and Methods, Third Edition, USA: Thousand Oaks Sage Publication

Artikel

Enders, Claire dan Chris Goodall. (2011). Media Ownership Rules, http://www.ahrc.ac.uk/About/Policy/Documents/Enderspapermediaowners hiprulesDec2011.pdf

Lim, Merlyna. (2011). @crossroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia, Participatory Media Lab at Arizona State University & Ford Foundation

Nugroho, Yanuar, Dinita Andriani Putri, dan Shita Laksmi. (2012). Mapping The Landscape Of The Media Industry In Contemporary Indonesia, kerjasama Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) and HIVOS Regional Office Southeast Asia, Jakarta

Dokumen

Keputusan Menteri Perhubungan no.KM 76 tahun 2003

Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Tahun 2010

Laporan Tahunan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2010

Laporan Tahunan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk Tahun 2010

Laporan Tahunan PT Indosiar Karya Media Tbk Tahun 2010

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 111

Pandangan Hukum Komisi Penyiaran Indonesia (Pusat) atas Rencana Aksi Korporasi Pengambilahan Saham PT Indosiar Karya Media, Tbk oleh PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk.

Pendapat KPPU Nomor A11911 Tentang Pengambilan Saham Perusahaan PT Indosiar Karya Media Tbk oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk

Peraturan Pemerintah no.50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pemerintah, DPR dan pihak terkait, 10 Januari 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 19 Januari 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait, 2 Februari 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli/saksi, 15 Februari 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 23 Februari 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 13 Maret 2012

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Perkara nomor 78/PUU-IX/2011, Acara mendengarkan keterangan ahli dan saksi, 5 April 2012

Undang-Undang no 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang no.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi

Undang-Undang no.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Undang-Undang no.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012 112

Berita

Majalah Tempo Edisi. 39/XXXV/20 - 26 November 2006 www.detik.com www.hukumonline.com www.investor.co.id www.kontan.co.id www.mediaindonesia.com www.okezone.com www.presidensby.info www.republika.co.id

Universitas Indonesia

Relasi agen..., Nursatyo, FISIP UI, 2012