MUSIK SEBAGAI MEDIA KRITIK SOSIAL (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh: HILFANI SHALIHA 130904080 ADVERTISING

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Hasil skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Hilfani Shaliha NIM : 130904080 Departemen : Ilmu Komunikasi Judul : MUSIK SEBAGAI MEDIA KRITIK SOSIAL (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca)

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra, Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D NIP. 197711062005011001 NIP. 196505241989032001

Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Husni Thamrin,S.Sos,M.SP NIP. 197203082005011001

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Hilfani Shaliha

NIM : 130904080

Departemen : Ilmu Komunikasi

Tanda Tangan :

Tanggal : 08 Juni 2017

ii

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Hilfani Shaliha NIM : 130904080 Departemen : Ilmu Komunikasi Judul : MUSIK SEBAGAI MEDIA KRITIK SOSIAL (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca)

Telah berhasil dipertahankan di hadapaan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poitik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : (………………………)

Penguji : (………………………)

Penguji utama : (………………………)

Ditetapkan di : Medan

Tanggal :

iii

Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Hilfani Shaliha NIM : 130904080 Departemen : Ilmu Komunikasi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalti-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : MUSIK SEBAGAI MEDIA KRITIK SOSIAL (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca) Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai penulis.pencipta dan sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : 08 Juni 2017 Yang menyatakan,

(Hilfani Shaliha)

iv

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul Musik Sebagai Media Kritik Sosial (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan almamater Universitas Sumatera Utara. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dikarenakan dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang terkait. Secara khusus peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga tentunya kepada Ibu Edyani selaku orang tua peneliti yang paling mengenal peneliti, atas segala curahan kasih sayang, nasehat, dukungan moral dan materi, serta selalu mendoakan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak akan pernah cukup rasa terima kasih yang peneliti sampaikan untuk mereka yang telah membantu peneliti selama ini. Maka, dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2. Ketua Departemen, Ibu Dra, Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D dan Sekertaris Departemen, Ibu Emilia Ramadhani, M.A 3. Dosen pembimbing peneliti, Bang Haris Wijaya yang selalu sabar membimbing peneliti hingga selesainya skripsi ini. 4. Seluruh Dosen dan Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU 5. Staf Departemen Kak Maya yang dengan ramah dan sabar membantu peneliti dalam setiap proses permasalahan dan urusan perkuliahan 6. Seluruh musisi yang berani berkarya jujur dan tentunya Efek Rumah Kaca atas karya yang selalu menginspirasi

v

Universitas Sumatera Utara 7. Saudara peneliti, Yovi Ilham Swanda, atas dukungan moral dan bantuan kepada peneliti. 8. Teman-teman seperjuangan peneliti Ayu Azwina, Zulfa Kamila, yang bertahan sampai akhir dalam menjalani suka-duka kehidupan kampus bersama-sama. Semoga setelah ini kita tidak hanya sebatas birthday party saja. 9. Teman-teman ilmu komunikasi, Farra Dirra Putri, Rendy Situmeang, Wiranda Sagala, Taufiq Athwinsa, M. Hanafi Parapat yang selalu menghibur peneliti dengan tingkah-tingkahnya 10. Pengurus HMI FISIP USU, Yusria Aqmarina, Muhammad Imam, Idham Khalid, M. Febridhan Akbar, Abdul Rasyid, Faiz Albar Nasution, Alwi Dahlan Ritonga, Abdul Aziz, dan lainnya yang telah berhasil membentuk karakter peneliti hingga menjadi seperti sekarang. 11. Adik-adik di Ilmu Komunikasi dan HMI FISIP USU yang telah menghibur peneliti, yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. 12. Kakanda-Kakanda SPI SUMUT dan rekan-rekan SYFM yang mulai mewarnai hidup peneliti 13. Orang yang berhasil menjadi orientasi peneliti, tidak ada kata yang tepat untuk mewakili apa yang ingin diucapkan. Teruntuk Andry Anshari, terima kasih banyak.

Demikianlah skripsi ini masih memilki kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kritikan, saran serta masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini kelak menjadi sumber inspirasi dan informasi bagi banyak pihak. Akhir kata, peneliti mohon maaf atas segala kesalahan yang terdapat pada skripsi ini dan terima kasih.

Medan, 8 Juni 2017

Hilfani Shaliha

vi

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Musik Sebagai Media Kritik Sosial (Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” pada Album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca)”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui makna lirik lagu “Biru” secara semiotika, bagaimana bentuk kritik sosial yang terdapat pada lagu tersebut dan mengetahui bagaimana musik bisa dijadikan media kritik sosial. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah musik dan lagu, semiotika Roland Barthes dan kritik sosial serta menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian yang dapat disimpulkan bahwa bentuk kritik sosial pada lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca bisa disimpulkan sebagai bentuk lagu protes. Efek Rumah Kaca menyampaikan kritik terhadap kondisi industri musik Indonesia yang terlalu menyeragamkan karya-karya yang dihasilkan pemusik. Lewat lagu ini pula Efek Rumah Kaca menyerukan kepada semua pemusik Indonesia untuk menghasilkan karya-karya terbaiknya tanpa harus merisaukan desakan pasar musik Indonesia.

Kata kunci : Musik, Semiotika, Kritik Sosial, Efek Rumah Kaca.

vii

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

The title of this research is " Music as a Media of Social Criticism (Analysis of semiotics the lyrics of "Biru" on the Album Sinestesia by Efek Rumah Kaca)". The purpose of this research is to know the meaning lyrics of "Biru" in semiotics, what kind of social criticism contained in the song and find out how music can be used as a media of social criticism. The theory used in this research was the music and the songs, semiotics by Roland Barthes and social criticism as well as using qualitative research methods. The research results can be concluded that social criticism on the song "Biru" by Efek Rumah Kaca can be summed up as a form of protest songs. Efek Rumah Kaca conveys criticism of the condition of the Indonesian music industry that is too uniform for the work of musicians. Through this song Efek Rumah Kaca calls upon all elements of the Indonesia to produce his best works without having to be worried about the insistence of Indonesia music market.

Keywords: Music, Semiotics, Social Criticism, Efek Rumah Kaca.

viii

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN...... i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...... ii HALAMAN PENGESAHAN ...... iii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...... iv KATA PENGANTAR ...... v ABSTRAK ...... vii ABSTRACT ...... viii DAFTAR ISI ...... ix

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 1.1. Konteks Masalah ...... 1 1.2. Tujuan Penelitian ...... 7 1.3. Manfaat Penelitian ...... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 8 2.1. Kerangka Teori...... 8 2.1.1. Musik dan Lagu ...... 8 a. Fungsi Musik ...... 10 b. Lirik Lagu ...... 11 2.1.2. Semiotika ...... 12 a. Semiotika Roland Barthes ...... 13 b. Makna Denotatif dan Konotatif ...... 16 2.1.3. Kritik Sosial ...... 20 a. Sebab Kritik ...... 22 b. Bentuk Kritik ...... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...... 25 3.1. Kerangka Pemikiran ...... 25 3.2. Metode Penelitian ...... 26 3.2.1. Objek Penelitian ...... 26 3.2.2. Unit Analisis ...... 26 3.2.3. Kerangka Analisis ...... 27 3.2.4. Teknik Pengumpulan Data ...... 27 3.2.5. Teknik Analisis Data ...... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 29 4.1. Deskripsi Objek Penelitian ...... 29 4.1.1. Efek Rumah Kaca ...... 29 4.1.2. Lagu Biru ...... 33 4.2. Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” Karya Efek Rumah Kaca ...... 37 4.2.1. Analisis Tataran Denotatif dan Konotatif ...... 37 4.2.2. Analisis Tataran Mitos ...... 52 4.3. Musik Sebagai Media Kritik Sosial ...... 65 4.3.1. Kritik Sosial Pada Lagu “Biru” Karya Efek Rumah Kaca ...... 71

ix

Universitas Sumatera Utara BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...... 80 5.1. Simpulan ...... 80 5.2. Saran ...... 82

DAFTAR PUSTAKA ...... 83 LAMPIRAN

x

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

1.1. Konteks Masalah Apakah yang anda pikirkan bila mendengar kata komunikasi? Jawaban atas pertanyaan ini amat beraneka ragam, mulai dari berdoa (yang merupakan komunikasi dengan Tuhan), bersenda gurau, berpidato, hingga penggunaan alat- alat elektronik yang canggih. Komunikasi adalah topik yang amat sering diperbincangkan, bukan hanya di kalangan ilmuwan komunikasi, melainkan juga di kalangan awam, sehingga kata komunikasi itu sendiri memiliki terlalu banyak arti yang berlainan. Komunikasi merupakan salah satu aspek terpenting dan kompleks bagi kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang tidak dikenal sama sekali. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu kita harus memberikan perhatian yang seksama terhadap komunikasi. Definisi komunikasi menurut Bernard Berelson dan Gary A. Steiner (Mulyana, 2000: 68), komunikasi merupakan transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. Harold Lasswell (Mulyana, 2000: 69) juga mendefinisikan (cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi aalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut) Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa dengan Pengaruh Bagaimana? Dari kedua definisi komunikasi di atas, media atau saluran komunikasi juga merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Bentuknya bisa berupa simbol-simbol seperti kata-kata. Musik juga dapat kita sebut sebgai saluran atau media komunikasi di mana pesan yang disampaikan berbentuk nada dan lirik.

1 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

2

Dewasa ini, musik adalah salah satu hal yang tidak dapat kita lepaskan dari kehidupan sehari-hari. Setiap orang pasti hampir setiap hari mendengarkan musik dan memiliki musik favoritnya masing-masing. Bagi pemusik bentuk penyampaian pesan, salah satu diantaranya adalah mempunyai lagu yang mempunyai daya tarik dan nilai tersendiri serta tidak membosankan penikmatnya. Musik merupakan alat komunikasi yang sangat efektif melalui seluruh aspek yang terdapat di dalam instrumen musik. Musik dapat mempengaruhi orang yang menikmatinya, musik merupakan ekspresi jiwa manusia tentang keindahan nada dan irama. Keindahan musik akan lebih terasa jika lirik dan syairnya dapat menyentuh jiwa penikmatnya. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya aturan dan realita berjalan beriringan, terkadang ada yang perlu diperbaiki. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan cara kritikan. Kritik bisa disampaikan lewat berbagai macam cara, seperti orasi, lewat media, atau dengan spesialisasi masing-masing bidangnya. Contoh: penyair lewat puisinya, musisi lewat karya musiknya, dan lain sebagainya. Kritik itu berguna untuk kembali merapikan tatanan yang kurang baik atau hanya sekedar mengingatkan penikmat akan kondisi yang sedang terjadi. Maka dari itu sudah bukan hal yang asing lagi bahwa sekarang musik dapat menjadi medium dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Sebagai fungsi komunikasi massa, musik dapat merekam realitas dalam melancarkan kritik sosial. Media ini dapat menjadi sarana opini publik tentang kenyataan yang terjadi pada masanya. Hal ini karena lirik dalam lagu tersebut mengisahkan pengalaman sejarah yang memiliki kedekatan secara emosional maupun pengalaman dengan para pendengarnya. Bila diusut lebih besar, sebenarnya banyak sekali musisi di Indonesia yang melakukan kritik sosial lewat musik. Seperti Iwan Fals, Slank, Navicula, dan lainnya. Seperti contoh lainnya misal di ranah musik indie, Efek Rumah Kaca hadir dengan konsep protes sosial. Efek Rumah Kaca atau sering disebut ERK adalah sebuah band yang beranggotakan Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, backing vokal) dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, backng vokal). Perjalanan mereka dimulai sejak tahun 2001, dulu mereka sempat menggunakan nama “Hush” (masih 5 personil), “Super Ego”, kemudian akhirnya berubah nama menjadi “Efek

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

3

Rumah Kaca” hingga sekarang. Nama ini diambil berdasarkan salah satu lagu mereka yang ditulis pada tahun 2003 (www.efekrumahkaca.net).

Sumber: www.google.com

Sejak awal berdirinya hingga sekarang, band ini telah membuat tiga album. Album yang pertama berjudul “Efek Rumah Kaca” dirilis pada tahun 2007 kemudian disusul album kedua “Kamar Gelap” pada tahun 2008 dan yang terakhir album “Sinestesia” pada penghujung tahun 2015. Efek Rumah Kaca merupakan group band yang tidak terlalu dominan mengangkat lagu tentang cinta. Mereka lebih fokus pada realitas sosial tentang sebuah pembelajaran yang ada di masyarakat. Pesan yang ingin disampaikan melalui sebuah lagu dapat tersampaikan secara tepat pada penikmatnya. Ditambah dengan musik yang dengan mudah dapat diterima oleh semua kalangan. Menurut peneliti ini menjadi sebuah fenomena yang menarik ketika sebuah grup band yang gaungnya cukup diperhitungkan di blantika musik Indonesia namun tidak menjadikan unsur cinta sebagai lagu andalan. Mereka berani tampil beda dan dan berusaha ingin merubah paradigma yang ada di masyarakat bahwa telinga orang Indonesia tidak harus selalu dimanjakan dengan lagu sendu, yang hanya akan membuat efek berlebihan ketika menjalani sebuah perasaan. Efek Rumah Kaca disebut-sebut sebagai produk indie terbaik saat ini. Media musik menjulukinya sebagai band yang cerdas, sesuatu yang berkualitas sekaligus

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

4

menjual. Ini pulalah alasan peneliti memilih Band Efek Rumah Kaca untuk diteliti. Pada kesempatan kali ini, peneliti memilih Efek Rumah Kaca untuk diteliti juga karena band ini memiliki segmentasi anak muda. Melihat juga kondisi anak muda Indonesia sekarang yang cenderung apatis terhadap kondisi sosial, serta hanya berkutat pada lagu percintaan terus menerus, maka Efek Rumah Kaca ini juga merupakan suatu solusi atas kondisi yang terjadi saat ini. Karena lewat lagu- lagu nya, mereka bisa menyadarkan dan mempersuasi anak muda yang menjadi penikmatnya untuk peka terhadap kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Ditambah dengan nada yang easy listening sehingga, lagu-lagu mereka akan dengan mudah diterima di masyarakat, terkhususnya di kalangan anak muda. Trio rock alternatif ini memberi kritik-kritik tentang kehidupan sosial manusia yang tertulis dalam beberapa lirik lagunya. Seperti dalam album pertama mereka yang bernama “Efek Rumah Kaca” terdapat lagu Jatuh Cinta Biasa Saja, Belanja Terus Sampai Mati dan Cinta Melulu merupakan contoh lirik yang berisi pandangan atau kritik tentang bagaimana kehidupan manusia jaman sekarang. Lebih detailnya lagi lagu berjudul “Efek Rumah Kaca” bercerita tentang bagaimana perlakuan manusia terhadap bumi yang menyebabkan kerugian untuk manusia sendiri, “Jatuh Cinta Biasa Saja” berisi tentang kritik bagaimana orang sekarang ketika merasa jatuh cinta harus selalu mengirim kabar tiap jamnya, harus selalu berpelukan dan mengekspresikannya secara berlebihan, “Cinta Melulu” yang memberi kritik satir terhadap permusikan Indonesia yang top hits nya selalu diisi dengan lagu-lagu cinta melayu yang selalu itu-itu saja. Ada juga lagu yang sedikit menggelitik tetapi memang terjadi di masyarakat, berjudul “Kenakalan Remaja di Era Informatika”, lagu yang cukup terkenal di tahun 2008 ini bercerita tentang kenakalan remaja di era tersebut yang bukan hanya tawuran saja tetapi juga suka memamerkan hubungan dengan lawan jenis yang tidak sesuai umur mereka. Ada juga lagu dari Efek Rumah Kaca yang menyinggung masalah politik seperti “Mosi Tidak Percaya” yang ditujukan kepada pemerintah yang telah diberi kepercayaan kepada masyarakat. Lagu lainnya yang mengingatkan kita akan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

5

seorang aktivis bernama Munir lewat lagu “Di Udara”, dan masih banyak lagu lainnya. Lagu-lagu yang dibahas di atas adalah beberapa lagu pada album pertama dan kedua mereka, yaitu: album Efek Rumah Kaca dan album Kamar Gelap. Sedangkan Sinestesia baru keluar pada penghujung tahun 2015. Rentang waktu yang cukup jauh dari album sebelumnya, yaitu 7 tahun. Sepintas Sinestesia seperti mini album, karena hanya berisi enam lagu di dalamnya. Namun, jika dilihat lebih jauh, ternyata Sinestesia tidak hanya sesederhana album dengan enam lagu, tetapi lebih dari itu, ada detail tambahan yang bisa kita nikmati.

Sumber: www.google.com

Jika kita mencari arti kata sinestesia dalam KBBI, maka akan ditemukan penjelasan sebagai berikut: “(sinestesia adalah) metafora berupa ungkapan yang bersangkutan dengan indra yang dipakai untuk objek atau konsep tertentu, biasanya disangkutkan dengan indra lain”. Kurang lebih seperti itulah kesan dan pesan yang ingin diantarkan Efek Rumah Kaca lewat album terbarunya, Sinestesia. Bahwasanya Efek Rumah Kaca menggambarkan warna-warna yang notabene merupakan hasil dari indra penglihatan, tetapi warna tersebut dapat dilihat saat mendengarkan lagu-lagu dalam album sinestesia ini. Seperti yang dikatakan sebelumnya, dalam album ini, pendengar diajak untuk “melihat” warna yang disajikan kala mendengar Sinestesia. Orang bisa saja menyebut warna hanya sebagai perwujuan visual semata, tapi Adrian sang bassist, yang dalam hal ini memberi judul lagu-lagu Sinestesia melihat merah, jingga,

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

6

putih, biru, hijau dan kuning kala mendengarkan lagu yang dia ciptakan bersama personel lainnya, Cholil dan Akbar. Sinestesia merupakan format baru, yaitu dari setiap track dalam album ini terdapat gabungan beberapa lagu yang dipadukan dan akhirnya menjadikan setiap track di dalam sinestesia berdurasi lebih panjang daripada lagu kebanyakan. Tiap nomor lagu dalam album ini memiliki panjang antara delapan hingga tiga belas menit. Berikut adalah lagu-lagu yang terdapat dalam album Sinestesia: 1. Merah (Ilmu Politik, Lara di Mana-mana, Ada-ada Saja) 2. Biru (Pasar Bisa Diciptakan, Cipta Bisa Dipasarkan) 3. Jingga (Hilang, Nyala Tak Terperi, Cahaya Ayo Berdansa) 4. Hijau ( Keracunan Omong Kosong, Cara Pengolahan Sampah) 5. Putih (Tiada, Ada) 6. Kuning (Keberagamaan, Keberagaman) Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa Efek Rumah Kaca memiliki tiga buah album. Namun peneliti tertarik membahas album mereka yang terbaru, yaitu Sinestesia. Sinestesia merupakan album terbaru yang belum pernah diteliti sebelumnya, serta merupakan album paling unik karena judul-judul yang terdapat dalam album ini berupa warna-warna dan merupakan gabungan dari beberapa lagu. Hal ini pula yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kritik sosial yang terdapat dalam lirik lagu pada album Sinestesia ini. Hampir dari keseluruhan lagu dalam Album Sinestesia ini bertemakan kritik sosial, kecuali pada lagu Putih yang menggambarkan tentang kematian dan kelahiran. Kritik sosial yang disajikan pada album Sinestesia kali ini mengambil kritik sosial dari berbagai sisi kehidupan. Namun pada kesempatan kali ini, peneliti hanya akan meneliti lagu Biru pada album Sinestesia. Lagu ini merupakan single yang pertama rilis dalam album Sinestesia dan juga menjadi penanda karakter musik Efek Rumah Kaca untuk album ketiganya ini. (www.provoke- online.com, diakses pada 5 Desember 2016) Lagu “Biru” ini juga merupakan bentuk keresahan yang secara nyata telah dialami oleh band Efek Rumah Kaca ini sendiri. Sehingga kritik sosial yang disampaikan oleh Efek Rumah Kaca pada lagu ini tidak menjadi suatu yang

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

7

abstrak, tetapi sesuatu yang konkret dan harapannya dapat menunjukkan bahwasanya musik benar-benar dapat dijadikan media kritik sosial. Setiap lirik dalam lagu “Biru” yang diciptakan oleh Efek Rumah Kaca harapannya dapat diinterpretasikan lebih mendalam agar, semua pesan yang ingin disampaikan oleh Efek Rumah Kaca dapat dimaknai dengan baik dan lebih spesifik. Hal ini pulalah yang menjadi alasan peneliti menggunakan analisis semiotika pada penelitian kali ini.

1.1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui makna lirik lagu “Biru” pada album Sinestesia karya Efek Rumah Kaca secara semiotika b. Mengetahui bagaimana bentuk kritik sosial yang terdapat dalam lagu “Biru” album Sinestesia karya Efek Rumah Kaca c. Mengetahui bagaimana musik bisa dijadikan media kritik sosial

1.2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Manfaat Akademis Penilitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk peneliti selanjutnya. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperkaya pengetahuan maupun sebagai referensi dalam bidang ilmu komunikasi. b. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan contoh dan menambah wawasan berkaitan dengan bentuk kritik sosial yang terkandung dalam lirik lagu. c. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi beberapa pihak khususnya kepada masyarakat yang berkarir di bidang industri musik, terkait bagaimana kritik sosial bisa disampaikan lewat media musik, dalam hal ini lewat lirik lagu.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Musik dan Lagu Musik sebagai suatu seni merupakan salah satu kebutuhan batiniah manusia yang universal dan menjadi bagian integral dalam kehidupan manusia. Musik menjadi suatu kebutuhan karena musik mempunyai peranan dan fungsi bagi manusia. Musik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) Ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan; (2) Nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu). Menurut Aristoteles (328-322 SM), musik adalah sesuatu yang dapat dipakai untuk memulihkan keseimbangan jiwa yang sedang goyah, menghibur hati dan merangsang rasa patriotisme dan kepahlawanan. Sedangkan seni musik adalah suatu tiruan seluk beluk hati dengan menggunakan melodi dan irama (Sanjaya, 2013). Kata musik itu sendiri berasal dari sebutan untuk dewi-dewi dalam mitologi Yunani Kuno, Muse, yang bertanggungjawab terhadap perkembangan seni dan ilmu pengetahuan. Kata musik dapat didefinisikan sebagai seni mengorganisasi kumpulan nada-nada menjadi suatu bunyi yang mempunyai arti. Musik sangat dekat dengan kehidupan. Bahkan sejak masih bayi seseorang sudah dikenalkan dengan “seni musik” oleh ibunya dengan lagu atau nyanyian sederhana (misalnya: lagu Nina Bobo, Naik Delman, Pelangi, dan lain-lain) lagu atau nyanyian-nyanyian itu juga menyemarakkan hidup hingga memasuki masa pendidikan prasekolah atau awal-awal sekolah. Musik adalah karya cipta berupa bunyi atau suara yang memiliki nada, irama dan keselarasan. Musik yang dimainkan menjadi komposisi terpadu dan berkesinambungan dapat memberikan pengaruh terhadap emosi dan kognisi. Musik

8 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

9

adalah karya cipta berupa berupa bunyi atau suara (Jamalus dalam Ismanadi, 2008:11), baik suara yang dihasilkan oleh ucapan manusia maupun suara dari alat tertentu (Bonoe dalam Ismanadi, 2008:11). Kamtini (2005:60) mengartikan “Musik adalah bagian dari kehidupan dan perkembangan jiwa manusia”. Definisi lain musik merupakan kekuatan dasar yang sangat efektif untuk menenangkan dan mendatangkan inspirasi bagi banyak orang (Ortiz dalam Baidah, 2010:1). Alunan suara nada-nada yang disusun berdasarkan irama tertentu dapat membantu pembentukan pola belajar, mengatasi kebosanan, dan menangkal kebisingan eksternal (Ortiz dalam Baidah, 2010:1). Musik adalah karya seni bunyi berbentuk lagu dan komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai suatu kesatuan (Jamalus dalam Moh Muttaqin, 2008: 15-16). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa musik merupakan gabungan dari berbagai bunyi dan instrumen alat musik serta suara manusia. Hal ini berhubungan dengan kasus yang penulis teliti dikarenakan di dalam musik atau lagu tersebut merupakan gabungan dari berbagai bunyi instrument alat musik dan suara penyanyi ditambah dengan pengungkapan pemikiran sang pencipta lagu. Sehingga lagu tersebut dapat diekspresikan sebagai satu kesatuan yang saling berkesinambungan, karena setiap alunan musik pasti terkait antara pikiran, perasaan dan juga instrumen alat musik. Pikiran dan perasaan seorang pencipta lagu ini lah yang menjadi pesan yang akan disampaikan oleh para pendengarnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya musik dapat dijadikan media dalam penyampai pesan. Pesan tersebut dapat berbentuk kritik sosial. a. Fungsi Musik Musik tercipta karena ada pesan yang hendak disampaikan oleh pemusik. Pemusik mempunyai ide, gagasan, atau pengalaman yang hendak disampaikan kepada orang lain melalui musik. Sementara itu orang lain bisa menerima musik tersebut bukan semata-mata karena musik tersebut sudah dibuat dan siap dinikmati tetapi lebih jauh lagi, ada kebutuhan yang terpenuhi dengan menikmati musik tertentu.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

10

Ada beberapa fungsi musik (Sanjaya, 2013), yang pertama adalah mengungkapkan pengalaman fisik maupun pengalaman emosional. Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak pemusik yang memasukkan tema cinta dalam liriknya. Meskipun demikian, tidak semua musik berasal dari pengalaman pribadi anggotanya, namun banyak juga yang mengambil dari pengalaman orang lain. Fungsi yang kedua adalah mengungkapkan ide-ide. Pemusik yang bisa mengungkapkan ide-ide, biasanya adalah pemusik yang kritis. Pesan dimunculkan dalam musik karena ada sesuatu yang kurang benar yang perlu diperbaiki. Ide bisa muncul dari keinginan untuk merubah atau memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu yang baru. Seperti yang sudah dijelaskan dalam teori musik sebelumnya, bahwasanya musik dapat dijadikan media penyampai pesan, hal ini diperkuat dengan fungsi musik yang dijelaskan di atas. Pengungkapan ide-ide yang disampaikan lewat musik dapat menjadi suatu perbaikan atau memunculkan suatu yang baru. b. Lirik Lagu Lirik adalah sebuah teks yang dibuat sebagai tema dan alur cerita dalam sebuah lagu. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lirik adalah “karya sastra (puisi) yang berisikan curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian”. Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar maupun dialaminya. Dalam mengekspresikan pengalamannya, penyair atau pencipta lagu melakukan permainan kata-kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik atau syairnya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata dan diperkuat dengan penggunaan melodi dan notasi musik yang disesuaikan dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan pengarangnya (Sanjaya, 2013). Definisi lirik atau syair lagu dapat dianggap sebagai puisi begitu pula sebaliknya. Hal serupa juga dikatakan oleh Jan Van Luxemburg (1989) yaitu definisi mengenai teks-teks puisi tidak hanya mencakup jenis-jenis sastra melainkan juga ungkapan yang bersifat pepatah, pesan iklan, semboyan-semboyan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

11

politik, syair-syair lagu pop dan doa-doa. Jika definisi lirik lagu dianggap sama dengan puisi, maka harus diketahui apa yang dimaksud dengan puisi. Puisi menurut Rachmat Djoko Pradopo (1990) merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting dan digubah dalam wujud yang berkesan. Sedangkan menurut Herman J Waluyo (1987) mengatakan puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa pada struktur fisik dan struktur batinnya (Sanjaya, 2013). Dalam membuat lirik lagu terkait dengan bahasa, dan bahasa terkait dengan sastra, karena kata-kata (lirik lagu) yang dibuat oleh pencipta lagu tidak semua dapat dimengerti oleh khalayak., karena itulah memerlukan suatu penelitian tentang isi lirik tersebut. Pengertian dari sastra ialah struktur tanda- tanda yang bermakna, tanpa memperhatikan sistem tanda-tanda, dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti secara optimal (Sobur, 2003:143). Musik memang merupakan media penyampai pesan. Bentuk konkret dari media itu adalah terletak pada liriknya. Maka dapat disimpulkan lirik lagu merupakan media yang tepat dalam menyampaikan berbagai aspirasi, dalam hal penelitian ini adalah sebagai media kritik sosial.

2.1.2. Semiotika Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu – yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya – dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Indiawan, 2011: 5). Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Indiawan, 2011: 5). Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

12

bersifat paradigmatik dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal- hal yang tersembunyi di balik sebuah teks. Maka, orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna “berita di balik berita” (Indiawan, 2011: 6). Studi bahasa telah dipengaruhi oleh semiotik dan sebaliknya, keduanya saling berinteraksi dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keduanya. Bahasa oleh Saussure dipandang sebagai sistem terstruktur yang mempresentasikan realitas. Ia mengarahkan bahwa kajian-kajian mengenai bentuk, bunyi dan tata bahasa menjadi sangat penting dalam kajian atau studi- studi bahasa. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengakaji tanda. Tanda – tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiology pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek – objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek – objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan dalam Sobur, 2003:15). a. Semiotika Roland Barthes Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980). Barthes merupakan ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Indiawan, 2011: 16). Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). Denotasi (Sobur, 2003: viii) adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan pertanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

13

terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies- nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur, 2003: 68-69). Melanjutkan studi Hjemslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz dalam Barthes, 2004: 69):

1. Signifier 2. Signified (penanda) (petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified

(Penanda Konotatif) Gambar Peta Tanda Roland(Petanda Barthes Konotatif) (Sumber: Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal kata “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2003: 69). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

14

keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem demikian ini dapat, di dalamnya sendiri, menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjemslev, Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian (Kurniawan dalam Sobur, 2004: 70):

1.Konotasi E C E C Metabahasa 2.Denotasi Objek Bahasa E C E C

Gambar Dua Sudut Artikulasi Barthes (Sumber: Kurniawan dalam Sobur, 2003:70)

Pada artikulasi pertama (sebelah kiri), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Di sini sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat denotasi dan sistem 2 dengan tingkat konotasi. Pada artikulasi kedua (sebelah kanan), sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Di sini sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (Kurniawan dalam Sobur, 2003: 70). Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupam makna dan sensor. Sebagian reaksi yang

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

15

paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman dalam Sobur, 2004:70-71) Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2003: 71). Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda- penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Jadi, teori analisis semiotika Roland Barthes ini lah yang nantinya akan digunakan oleh peneliti untuk menganalisis lirik lagu Efek Rumah Kaca. Lirik lagu nantinya akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif interpretatif dengan menggunakan analisis semiologi dengan pendekatan semiotik berdasarkan konsep signifikasi dua tahap Roland Barthes. Sesuai penjelasan di atas, yaitu secara denotatif dan konotatif yang di dalamnya juga terdapat tataran mitos.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

16

b. Makna Denotatif dan Konotatif Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup makna yang lebih besar ini adalah dengan membedakan antara makna denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Makna konotatif ialah makna denotatif yang ditambah dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi tanda” dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata dan bentuk- bentuk lain dari komunikasi. Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. (Pateda dalam Sobur, 2003: 263). Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda (Berger dalam Sobur, 2003:263). Harimurti Kridalaksana (Sobur, 2003: 263) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatknya objektif”. Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)” , dengan kata lain, “makna konotatif merupakan makna leksikal + X” (Pateda dalam Sobur, 2003:263). Misalnya kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop sudah bermakna konotatif, yaitu berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang, dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi kata uang pelancar, uang pelicin, uang semir, uang sogok.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

17

Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya (DeVito dalam Sobur, 2003:263). Ini sejalan dengan pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional (Berger dalam Sobur, 2003:263). Dikatakan objektif sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil. Jadi, sebuah kata disebut mempunyai banyak makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral (Chaer dalam Sobur, 2003:264). Ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat itu. Menurut Tubbs dan Moss (Sobur, 2003: 264), kadang-kadang konotasi suatu kata sama bagi hampir setiap orang, kadang-kadang hanya berkaitan dengan pengalaman satu individu saja, atau lebih sering dengan pengalaman sekelompok kecil individu tertentu. Barthes menggunakan konsep connotation-nya Hjemslev untuk menyingkap makna-makna yang tersembunyi (Dahana dalam Sobur, 2003: 264). Konsep ini menetapkan dua cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif. Pada tingkat denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, di tahap sekunder, muncullah makna yang ideologis. Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti, makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposisional (Keraf dalam Sobur, 2003: 265). Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

18

Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap panca indra (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata. Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu maka itu berarti kata tersebut mau menunjukkan, mengemukakan, dan menunjuk pada hal itu sendiri. Dari pengertian tersebut kita dapat mengatakan bahwa kata “ayam” mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek, dan menghasilkan telur untuk sarapan kita. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan kata-kata dengan arti denotatifnya dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti berbagai kamus karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang kata-kata yang yang terdapat dalam kamus tersebut. Kita harus mengemukakan perbedaan antara makna denotatif yang sudah umum bagi sejumlah orang dan makna yang berbeda- beda bagi setiap orang. Bisa saja bahwa kita semua tahu apa yang dimaksudkan dengan kata “kucing”, namun kita masing-masing mempunyai arti dengan tanggapan yang berbeda-beda terhadap kata tersebut karena pengalaman masa lalu kita. Bila kita mengucapkan kata yang mempunyai konotasi tertentu, maka kita bermaksud bahwa kata itu mempunyai makna tambahan bagi makna denotatifnya. Acapkali makna tambahan ini menimbulkan interpretasi yang menimbulkan interpretasi yang bersifat emosional. Kadang-kadang kita menanggapi kata atau ungkapan tertentu karena pengalaman pribadi kita. Kata “ayam” menunjukkan pada sejenis unggas tertentu. Baik pembicara maupun pendengarnya biasanya mengartikan makna denotatif kata itu sebagai jenis unggas yang sama. Akan tetapi jika pendengar sama sekali tidak suka akan ayam goreng karena pengalaman masa lalunya, maka tanggapan terhadap kata itu bersifat emosional. Mungkin ia tidak hanya menggambarkan ayam dalam pikirannya, tetapi mungkin juga seluruh

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

19

tubuhnya, ia boleh jadi tiba-tiba menggigil manakala mendengar kata itu. Orang lain yang memakai dialek yang sama dan dalam situasi sama pula barangkali merasa hangat dan menyenangkan ketika ia menggambarkan unggas yang sama, karena ayam piaraan yang menyenangkan yang pernah ia miliki ketika masih kanak-kanak. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif (Keraf dalam Sobur, 2003: 266). Makna konotatif seperti sudah disinggung, adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini dalam Sobur, 2003: 266). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Sebagai contoh sederhana dapat dikemukakan pengaruh tekstual kata “kuda” sebagai berikut. Jika kata “kuda” diikuti dengan kata “arab”, maka kata itu memiliki makna konotatif yang lain jika dibandingkan dengan kata yang mengikutinya dalah kata “perunggu”. Misalnya, “Kuda Arab” dan “Kuda perunggu” menjadi dua ungkapan (frase) yang mengandung makna konotatif yang lain, deikian pula kata-kata yang ada di dalamnya. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda. Sebagai contoh, kata “teratai” bagi umumnya masyarakat Indonesia hanya akan mengungkapkan makna konotatif yang berhubungan dengan keindahan belaka. Akan tetapi, di India bunga itu akan memiliki makna konotatif lain, karena baik dalam agama Hindu maupun agama Buddha, bunga teratai memiliki arti perlambang (simbolis) yang dalam yang berhubungan dengan kedua agama tersebut. Pada dasarnya, konotasi timbul disebabkan masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan kita dengan orang lain. Karena itu,

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

20

bahasa manusia tidak sekedar menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya, tetapi dapat mengandung makna yang lain.

2.1.3. Kritik Sosial Kata “kritik” bermakna: “suatu penilaian yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan tentang suatu hal” (Sanjaya, 2013). Sosial adalah: “suatu hal berkenaan dengan prilaku interpersonal, atau berkaitan dengan proses sosial”, (Soekanto, 2006: 464). Kritik sosial dipahami sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, berkenaan dengan masalah interpersonal, serta bertujuan mengontrol jalannya sistem sosial. Kritik sosial adalah penilaian ilmiah ataupun pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat (Astrid dalam Sugihastuti:12). Banyak lagi pengertian kritik sosial menurut para ahli, misalnya menurut Rendra (2001:15),“…kritik sosial adalah sebagai masukan untuk menyegarkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan”. Menurut Jassin (Tjahjono, 1988:171), “Kritik adalah hal-hal berupa tanggapan, komentar yang membicarakan soal-soal manusia dan hidup, yang dijiwai oleh subjektivitas pengarang.” Kritik sosial terdiri dari dua istilah yakni dari kata kritik dan sosial. Kritik, dalam (Sanjaya, 2013) dijelaskan bahwa kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Dilihat dari konsep kritik sosial, kritik berasal dari bahasa Inggris, criticism yang diturunkan dari bahasa Prancis, critique, dan mulai muncul ke publik pada abad ketujuh belas. Kata critique yang berasal dari Bahasa Prancis ini berakar dari bahasa Latin, criticus yaitu hakim, pengambilan keputusan, atau pengkritik. Jika dilihat lebih awal lagi, kata kritik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yang diturunkan dari bahasa Yunani Kuno, yang artinya orang yang memberikan pendapat beralasan atau analisis, pertimbangan nilai, interpretasi, atau pengamatan (Williams,1983:85). Istilah dari kata Yunani Kuno tersebut juga biasa digunakan untuk menggambarkan seorang pengikut pada posisi yang berselisih dengan suatu objek kritikan atau menentang objek kritikan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

21

tersebut. Pengkritik dalam Bahasa Indonesia merupakan sebutan bagi orang yang mengemukakan kritik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik merupakan kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Kritik membuka diri untuk diperdebatkan, mencoba untuk meyakinkan orang lain, dan mengundang kontradiksi. Dengan demikian, kritik menjadi bagian dari tukar pendapat publik. Kritik tidak hanya menyangkut soal “rasa baik”, tetapi harus melibatkan cara-cara analisis dan bentuk-bentuk pengalaman khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain pada umumnya (Eagleton, 2003:70). Curtis menyebutkan kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Pengertian kritik sejak masa awal perkembangannya adalah kecaman terhadap kesalahan yang ditentukan dan juga penilaian terhadap literatur atau kesusasteraan. Pada abad kedua puluh, pengertian kritik berkembang pada konotasi untuk mengemukakan keberatan atau ketidaksetujuan terhadap suatu hal. Sejak tahun 1990-an, pengertian kritik erkembang pada pengekspresian pendapat yang berbeda, keberatan, pernyataan ketidaksetujuan, keinginan untuk memisahkan diri dari suatu hal, maupun dalam hal menolak sesuatu (Williams, 1983: 85-86). Di Eropa pada abad ketujuh belas dan delapan belas dalam perjuangan melawan negara absolut, kaum borjuis yang kemudian disebut “lingkungan publik” borjuis mulai membentuk suatu ruang bicara yang serius dalam kehidpan sosial. Pada zaman pencerahan, konsep kritik sosial tidak dapat dipisahkan dari lembaga lingkup publik, sehingga setiap pertimbangan dirancang untuk diarahkan kepada publik melalui tulisan (Eagleton, 2003: 1-2). Berdasarkan konsep-konsep mengenai kritik dan sejarahnya yang telah disampaikan di atas, maka dapat diartikan bahwa kritik sosial adalah suatu aktifitas sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk menganalisis, menilai, atau mengkaji kondisi suatu masyarakat yang dilakukan secara objektif dengan maksud dan tujuan tertentu. Kritik sosial juga dapat diartikan sebagai kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

22

perubahan sosial dalam suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, kritik sosial dapat menjadi alat kontrol sosial terhadap perjalanan sistem serta proses bermasyarakat sehingga masyarakat dapat menjalankan proses sosial dengan nilai dan norma yang ada. a. Sebab Kritik Masyarakat merupakan kelompok manusia terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan yang sama (Basrowi, 2005:38). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat terbagi atas kelompok-kelompok dari yang kecil sampai yang paling besar. Kelompok ini memiliki kebiasaan yang kemudian menjadi tradisi atau suatu aturan tertentu. Di dalam hubungan antar masyarakat, terdapat reaksi yang timbul akibat hubungan-hubungan yang menyebabkan perilaku seseorang semakin berkembang dan bertambah luas sehingga dapat membuat perubahan dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa nilai dan norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya (Soekanto, 2006:301). Dinamika masyarakat ini terjadi bisa disebabkan krena faktor inheren yang melekat dalam “diri” masyarakat itu sendiri dan bisa juga karena faktor lingkungan eksternal, misalnya adanya penemuan-penemuan baru, terdapat pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, bertambah atau berkurangnya penduduk dan sebagainya. Narwoko dan Suyanto mengemukakan beberapa perspektif yang menjelaskan tentang perubahan sosial, misalnya perspektif sosiohistoris, struktural fungsional, struktural konflik dan psikologi sosial (Narwoko dan Suyanto, 2007: 378). Perspektif sosiohistoris menempatkan unsur latar belakang sejarah dengan penekanan pada proses evolusi sebagai faktor pokok terjadinya perubahan sosial. Sudut pandang struktural fungsionalisme melihat perubahan sosial sebagai dinamika adaptif akibat dari perubahan lingkungan eksternal. Perspektif psikologi sosial memandang perubahan sosial sebagai akibat adanya peran aktor individual untuk berkreasi dan berkembang. Sedangkan, perspektif konflik menjelaskan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

23

fenomena perubahan sosial karena adanya proses sosial dan disosiatif dalam masyarakat (Narwoko dan Suyanto, 2007: 378-379). Perubahan sosial merupakan proses yang wajar dan alamiah karena akan berlangsung terus-menerus, akan tetapi tidak semua perubahan sosial membawa dampak positif bagi perkembangan masyarakat. Perubahan sosial yang membawa dampak negatif inilah yang dapat menjadi penyebab munculnya kritik. b. Bentuk Kritik Sejak masa pencerahan di Eropa, kritik sosial dituangkan dalam bentuk tulisan (sastra). Hal ini disebabkan karena sastra membantu gerakan kelas menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri mereka serta mengungkapkan tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat yang hierarkis (Eagleton, 2003:2). Masyarakat ini berkumpul, bertemu, bertukar pendapat, membentuk kelompok-kelompok, atau menambah jumlah anggota kelompoknya, sehingga pendapat umum mulai berkembang dari mereka kemudian ke masyarakat luas. Bentuk kritik sosial mulai berpindah ke puisi semenjak masa romantik. Puisi dianggap sebagai “kritik atas hidup”, seni yang paling absolut, dan tanggapan mendalam yang dapat dipahami bagi kenyataan sosial tertentu (Eagleton, 2003:37). beberapa terakhir, tanggapan yang dituangkan oleh pengkritik modern biasanya dibuat dalam jurnal ilmiah kemudian dipublikasikan.

Kritik sosial diekspresikan juga dalam bentuk seni dan fiksi, misalnya musik, drama, karikatur dan film. Kritik dapat pula berupa tanda-tanda atau tindakan-tindakan simbolis yang dilakukan sebagai bentuk ketidaksetujuan atau protes terhadap suatu keadaan masyarakat yang terjadi, seperti mogok kerja, mogok makan, yang merupakan unjuk rasa atau demonstrasi yang dikemukakan secara massal. Bentuk-bentuk kritik sosial ini mempunyai pengaruh dan dampak sosial yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk kritik sosial berdasarkan pengekspresiannya dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni kritik yang dilakukan secara terbuka dan kritik yang dilakukan secara tertutup atau terselubung. Kritik sosial secara terbuka merupakan suatu kegiatan penilaian, analisis atau kajian terhadap suatu keadaan masyarakat tertentu yang dilakukan secara langsung. Sedangkan, kritik sosial

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

24

secara tertutup atau terselubung merupakan tindakan-tindakan simbolis yang menyiratkan penilaian maupun kecaman terhadap keadaan sosial suatu masyarakat secara tidak langsung.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka-kerangka pemikiran merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Uma Sekaran dalam Sugiyono (2011: 60) mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting, jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan penelitian yang akan dilakukan. Sedangkan dalam Nawawi (2001: 40) dikemukakan bahwa kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional dan merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan peneliti pada rumusan hipotesis. Berdasarkan teori atau kajian yang telah dijabarkan di atas, maka kerangka pemikiran yang terbentuk adalah sebagai berikut:

Lirik lagu “Biru” pada album Sinestesia karya Efek Rumah

Analisis semiotika Rholand Barthes

Musik sebagai media kritik sosial

1. Lirik Lagu “Biru” pada album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca Subjek dalam penelitian ini adalah lirik lagu “Biru” pada album Sinestesia karya Band Efek Rumah Kaca. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, batasan lirik lagu hanya terletak pada lagu “Biru” di album Sinestesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa lirik lagu “Biru” ini lah yang nantinya akan dianalisis.

25 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

26

2. Analisis Semiotika Roland Barthes Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Adapun bentuk penelitiannya yaitu terletak pada makna denotatif, konotatif dan mitos. Lirik lagu akan dimaknai secara denotatif, konotatif dan mitos. 3. Musik Sebagai Media Kritik Sosial Setelah lirik dianalisis menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, maka akan didapat kesimpulan mengenai makna lirik yang berkaitan dengan kritik sosial. Lirik lagu yang merupakan bagian dari musik dapat dikatakan sebagai media kritik sosial.

3.2. Metode Penelitian Metode penelitian adalah analisis teori atau ilmu yang membahas tentang metode dalam melakukan penelitian. Metode penelitian komunikasi adalah prosedur atau cara ilmiah dalam melakukan penelitian komunikasi untuk menemukan hal-hal baru, membuktikan atau menguji temuan penelitian sebelumnya atau untuk pengembangan ilmu komunikasi (Pujileksono, 2015: 4). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memfokuskan kepada studi dokumen yang bersifat interpretatif. Dengan kata lain, penelitian ini menitikberatkan pada analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya (Sugiarto, 2015: 13).

3.2.1. Objek Penelitian Objek penelitian adalah sesuatu yang merujuk pada masalah atau tema yang sedang diteliti (Idrus, 2009: 91). Adapun objek penelitian dalam penelitian ini adalah musik Efek Rumah Kaca dalam Album Sinestesia sebagai media kritik sosial. Jadi, masalah utama pada penelitian ini adalah mengetahui bagaimana musik ini dapat dijadikan media kritik sosial.

3.2.2. Unit Analisis Unit analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan atau dijelaskan dengan pertanyaan-pertanyaan deskriptif. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah lirik lagu “Biru” pada album Sinestesia karya Band

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

27

Efek Rumah Kaca. Peneliti akan menganalisis dengan memperhatikan makna denotasi dan konotasi dalam lirik lagu tersebut.

3.2.3. Kerangka Analisis Kerangka analisis dipahami sebagai proses mencari dan menyusun secara sistematis keseluruhan data sehingga dapat dengan mudah untuk menganalisisnya. Kerangka analisis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes, dimana pada analisis Barthes menekankan pada denotasi, konotasi dan mitos.

3.2.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang ditempuh peneliti untuk memperoleh data. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Studi kepustakaan, dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur, buku dan sumber bacaan lainnya yang relevan dan mendukung penelitian serta membantu peneliti untuk memperoleh informasi. 2. Observasi, dilakukan dengan cara mendengarkan langsung lagu Efek Rumah Kaca. Setelah proses observasi dengan mendengarkan lagunya, barulah diperoleh lirik lagu Efek Rumah Kaca yang ingin diteliti.

3.2.5. Teknik Analisis Data Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Jadi, dengan kata lain analisis data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Aspek yang diteliti dalam lirik lagu ini menggunakan perangkat analisis Roland Barthes, yaitu signifikasi dua tahap yaitu: 1. Tataran Denotatif Dalam setiap objek penelitian dipaparkan sesuai dengan yang terdapat pada lirik lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca. Lagu Biru yang berdurasi 9 menit 53 detik ini akan dipilah per bait dan selanjutnya

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

28

peneliti akan menganalisis makna denotatif yang terdapat pada tiap bait dalam liriknya. 2. Tataran Konotatif Pada tataran ini akan dideskripsikan bagaimana makna konotatif bekerja pada lirik lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca ini. Dalam tataran konotatif ini, peneliti akan menginterpretasikan setiap bait dalam lirik kedua lagu tersebut secara berurutan. 3. Tataran Mitos Pada tataran ini akan dideskripsikan bagaimana mitos dari makna bait pada lirik lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca ini. Dalam tataran mitos ini, peneliti akan mencari tahu apa mitos yang melatarbelakangi kata konotatif di setiap bait dalam lirik kedua lagu tersebut secara berurutan.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Efek Rumah Kaca Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar) dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar) merupakan personel dari Efek Rumah Kaca. Ketiga orang ini adalah tiga orang yang tersisa dari perjalanan bulan berganti tahun sedari tahun 2001. Mereka terus bersabar, dengan perlahan mengumpulkan lagu. Beberapa kali pergantian nama sudah dilakukan oleh mereka. Diawali dari “Hush” dengan personil yang masih berjumlah lima orang, kemudian dilanjutkan dengan “Superego” dan akhirnya berlabuh pada nama “Efek Rumah Kaca” tepat pada tahun 2005. Nama yang merupakan salah satu judul lagu yang mereka tulis di tahun 2003 (efekrumahkaca.net). Efek Rumah Kaca merupakan salah satu band indie Indonesia. Istilah Indie diambil dari kata Independen yang berarti merdeka, bebas, mandiri dan tidak bergantung. Banyak yang menganggap kalau indie itu sebuah genre musik, seperti halnya rock, jazz atau sebagainya. Anggapan tersebut suatu kesalahan besar. Indie sendiri bukanlah suatu genre musik, melainkan sebuah gerakan musik yang bebas dan mandiri, atau dengan kata lain tidak bergantung pada sebuah label musik atau sebagainya. Band Indie cenderung menciptakan lagu sesuai dengan apa yang mereka sukai dan genre yang mereka inginkan. Tidak jarang lagu-lagu yang mereka ciptakan kebanyakan sangat anti-mainstream dari lagu-lagu di pasaran. Seperti pernyataan di atas, band Indie tidak punya label untuk bernaung. Tidak jarang mereka membuat label sendiri untuk merekam dan memasarkan karya-karyanya. Pemasaran mereka biasanya melalui antar kawan atau media sosial. Tidak jarang mereka sering melakukan konser-konser kecil di kota-kota besar untuk mempromosikan lagu-lagu mereka. Band Indie sama sekali tidak melibatkan major label atau perusahaan rekaman ternama untuk mempopulerkan karya mereka.

29 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

30

Pada era tahun 1980-an, tangga lagu untuk musik indie mulai diperkenalkan. Banyak band indie yang bermunculan, seperti The Smith dan Joy Division. Lanjut ke era 90an, Nirvana dan Radiohead yang juga merupakan band dengan label indie mulai menyebarkan virus indie ke berbagai belahan dunia dengan musik-musik mereka yang unik namun enak didengarkan. Selain itu, Radiohead juga sempat menggegerkan belantika musik dengan merilis album indie dengan sistem pay-what-you-like dimana para pembeli bisa bebas membayar berapapun untuk membeli album mereka. Di Indonesia sendiri, pengaruh indie belum terasa hingga pada pertengahan tahun 1990an. Namun, sebelum mengenal istilah indie, masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah underground. Berbeda dengan indie, musik underground cenderung keras. Pas Band merupakan band yang memulai tradisi merilis album secara Indie. Mereka pun sukses menjual album mereka sebanyak 5.000 kopi. Karena keberhasilan Pas Band, akhirnya banyak band metal dan rock yang mengikuti jejak mereka. Pure Saturday adalah band indie pertama selain metal yang membuat album rekamannya sendiri pada tahun 1995. Disusul oleh Mocca yang berhasil menjual album mereka hingga menembus angka di atas 100.000 copy. Keberhasilan Mocca kemudian membawa dampak pada band-band Indie di Indonesia hingga sekarang, termasuk salah satunya band yang sedang peneliti bahas kali ini, Efek Rumah Kaca (http://www.loop.co.id). Di kalangan musisi independen, Efek Rumah Kaca termasuk band yang sangat punya nama. Kiprahnya bukan hanya di Indonesia, tapi juga sudah keliling beberapa negara. Efek Rumah Kaca menjadi salah satu band yang membuktikan bahwa musisi indie Indonesia pun bisa dibanggakan. Tetapi, memilih bermusik di jalur indie ternyata bukan pilihan Efek Rumah Kaca sejak awal. Cholil Mahmud, sang vokalis, mengungkap bahwa bandnya juga pernah mengalami ditolak label mainstream. Cholil bercerita, ketika Efek Rumah Kaca membuat album pertama, seluruh personelnya tidak memiliki jaringan dengan orang-orang penggerak musik indie. Karennya mereka mencoba mengirimkan demo musik yang dibuat kepada

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

31

label-label mainstream yang sudah ada dan terkenal. Tapi upaya itu selalu berujung penolakan. “Walaupun sudah ada label-label indie, kami masih mengirim (demo musik) ke major label. Mereka jangkauannya lebih luas, biaya produksi untuk rekaman saat itu juga besar. Ya sudah kami masih mengikuti jalur konvensional, dan ternyata ditolak” ujar Cholil bercerita. Saat itu, Cholil mengaku ingin mengikuti jejak beberapa band indie yang sukses setelah bergabung dengan label mainstream, seperti Naif, NTRL, PAS Band, dan lain sebagainya. Cholil menyebut, beberapa label yang pernah dikiriminya demo termasuk Sony Music Indonesia, Warner Music Indonesia, Arka Music Indonesia (sebelumnya EMI Music Indonesia), Musica Studios, Aquarius Musikindo, dan masih banyak lagi. Tapi nasib baik belum bicara. “entah karena musiknya enggak cocok, enggak enak, cover album jelek, enggak lolos screening satpam, atau macam-macam faktor lainnya, akhirnya enggak ada respons” katanya. Efek Rumah Kaca akhirnya berkarir di bidang indie dan namanya pun menjadi besar. Ia masyhur di kalangan pecinta musik Indonesia berkat lagu- lagunya yang dianggap dekat memotret keadaan sosial masyarakat di sekitar mereka pada semua tingkatan. Karya-karya yang terkenal termasuk Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, Cinta Melulu, Di Udara, Desember, Pasar Bisa Diciptakan, dan sebagainya (http://m.cnnindonesia.com). Di setiap lagu yang mereka ciptakan, komposisinya dirancang sesuai dengan tema. Realita pun mereka reka-reka agar musik tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga terdapat refleksi, serta realita juga turut disampaikan di dalamnya. Memotret zaman, begitulah kira-kira gambaran dari lagu-lagu yang diciptakan Efek Rumah Kaca. Lirik mereka tata sedemikian rupa, terkadang puitis yang menyiratkan maksud mereka, terkadang juga tersurat atau langsung diutarakan sesuai dengan kenyataan. Lirik juga dibuat dari berbagai sudut pandang serta kekayaan pilihan kata Bahasa Indonesia. Lagu “Melankolia” dan “Di Udara” merupakan lagu pembuka, atau lebih tepatnya lagu pertama yang mereka ciptakan. Pada tahun 2006, lagu-lagu tersebut seperti dicantumkan di website mereka, merupakan lagu-lagu yang masuk kompilasi Paviliun Do Re Mi (Paviliun Records) dan Todays Of Yesterday (Bad

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

32

Sector Records). Sejak saat itu Efek Rumah Kaca mulai keluar dari zona nya dan mulai memperkenalkan diri mereka dengan dunia luar. Bulan Agustus tahun 2007 Efek Rumah Kaca bersama beberapa teman menggelar tur ke beberapa kota di Jawa. Tur ini yang menjadi sebuah pengantar menuju album debut mereka. Jalan pun terbuka, album debut Efek Rumah Kaca ini akhirnya dapat membut mereka diajak tampil di beberapa panggung di akhir 2007 hingga sepanjang 2008. Tidak hanya itu, album mereka pun telah mampu mengantarkan ERK meraih antara lain “The Best Cutting Edge” – MTV Indonesian Music Award 2008, “Editor‟s Choice 2008” versi Indonesia, “Class Music Heroes 2008” dan Nominator Anugrah Musik Indonesia Award 2008 (Efekrumahkaca.net). Kurang dari setahun berselang, tepat pada 19 Desember 2008, mereka merilis album kedua yang berjudul “Kamar Gelap”. Album ini diproduksi oleh Aksara Records. Efek Rumah Kaca mulai melanjutkan kembali langkahnya. Mereka mulai kembali menciptakan hal-hal baru dengan musik mereka. Hal ini membuat album Kamar Gelap menjadi lebih berwarna dan lebih kaya nuansa. Tidak hanya Efek Rumah Kaca yang turut andil pada pembuatan album ini, teman-teman mereka juga turut diajak main bersama, seperti Mondo, Ade (Sore Band) serta Imam Fattah (Lain, Zeke and The Popo, Raksasa). Nama-nama di atas turut meramaikan rekaman suara dalam album Kamar Gelap. Angki Purbandono, seniman asal Jogja juga ikut meramaikan dalam bentuk karya. Karya fotografinya yang menjadi isi kemasan album kedua ini. Dalam satu kesempatan, Efek Rumah Kaca pernah dipercaya untuk mengisi rubrik khusus seputar pemilu di harian Kompas. Selama satu bulan, rubrik tersebut dimuat setiap hari Sabtu di bulan Januari 2009. Dalam kesempatan lain, Efek Rumah Kaca terus bermain dari panggung ke panggung. Terus menerus bersama khalayak di seluruh penjuru Indonesia, menyanyikan lirik lagu yang peka akan keadaan. Butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk trio rock alternatif asal ini dapat kembali merilis album studio. Meski materi album ketiga sudah dipersiapkan pasca rilisnya album Kamar Gelap (2008), namun akhirnya album yang diberi nama “Sinestesia” tersebut baru dirilis pada penghujung 2015 lalu.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

33

Salah satu faktor utama mundurnya perilisan album Sinestesia adalah sang vokalis dan gitaris, Cholil Mahmud, harus pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi. Cholil mengemban pendidikan di jurusan Arts Politics di New York University, AS. Dampaknya Efek Rumah Kaca rela menjalani masa vakum selama lebih kurang dua tahun. Pada Juli 2015 lagu "Pasar Bisa Diciptakan" dirilis untuk pertama kalinya dan dapat diunduh gratis lewat website free download Rollingstone.co.id. Lewat rilisnya lagu ini, Efek Rumah Kaca resmi kembali aktif di industri musik Indonesia. Hanya berselang dua bulan dari perilisan "Pasar Bisa Diciptakan", Efek Rumah Kaca menggelar konser tunggal "Pasar Bisa Dikonserkan" di Bandung. Memasuki Januari 2016, Efek Rumah Kaca memberi kebebasan untuk mengunduh album Sinestesia dan mengadakan sebuah konser impresif bernama "Konser Sinestesia". Diselenggarakan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Konser ini berhasil menuai banyak pujian dari berbagai kalangan. Namun belakangan, ketika Efek Rumah Kaca sedang aktif dalam pergerakannya di industri musik Indonesia, Cholil, Adrian Yunan Faisal (bass), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum) justru memutuskan untuk kembali ke masa vakum. Seperti dinyatakan dalam website mereka, Efek Rumah Kaca masih menjadi band yang sama seperti sejak terbentuknya. Berusaha terus menulis lagu sebagus dan seindah mungkin, berusaha terus memotret kenyataan dan berharap pesan yang ada di kepala mereka dapat dengan jelas tersampaikan lewat lagu mereka. Sambil sesekali bersorak, bukan pada siapa-siapa, pada diri sendiri saja, agar seruan ini tak jadi lupa fungsinya; “Pasar Bisa Diciptakan!” sorak mereka.

4.1.2. Lagu “Biru” Tahun 2015 adalah tahun kesepuluh Cholil Mahmud, Adrian Yunan Faisal dan Akbar Bagus Sudibyo sebagai unit musik bernama Efek Rumah Kaca. Banyak peristiwa terjadi pada dasawarsa pertama mereka ini. Dua album penuh yang dirilis pada dua tahun berurutan, 2007 (Selftitled) dan 2008 (Kamar Gelap). Tapi di antara semua peristiwa, ada pula getir cerita pada kondisi Adrian yang memaksanya absen pada penampilan live Efek Rumah Kaca. Satu hal yang bisa merangkum perjalanan mereka adalah eksperimentasi yang menjadi inti dari

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

34

setiap karya. Kekayaan Bahasa Indonesia dan pemilihan tema adalah area yang telah mereka jelajahi.

Sumber: www.google.com

Setelah vakum selama hampir satu setengah tahun sehubungan dengan kepergian Cholil ke luar negeri untuk menuntut ilmu, Efek Rumah Kaca menandai kembalinya eksistensinya dengan single “Biru”. Seperti yang biasa mereka lakukan, eksperimentasi menjadi kunci di karya ini. Kali ini, musik menjadi fokus utama eksperimentasi. Aransemen dibuat lebih kaya dengan layer-layer gitar yang lebih membahana, dinamika sekaligus struktur lagu juga menjadi semakin berwarna seiring durasi lagu yang juga menyentuh angka hampir sepuluh menit. Sejatinya, “Biru” bukanlah materi yang sepenuhnya baru. Dasar-dasar lagu ini terbentuk sejak era album pertama. Ide dasarnya adalah elaborasi lebih lanjut dari lagu “Cinta Melulu”, tentang kegelisahan Efek Rumah Kaca terhadap proses berkarya sebuah karya seni dengan posisinya di pasar/industri. Jika “cinta Melulu” menyampaikan pesannya dalam nada yang cenderung sinikal, pada “Biru” Efek Rumah Kaca memilih perspektif yang lebih optimis. Bahwa selalu ada cara untuk berkarya dengan jujur (efekrumahkaca.net). Terkait dengan lagu “Biru”, Cholil mengutarakan pendapatnya pada website Efek Rumah Kaca, “seiring dengan waktu, kita sudah tidak sekeras dulu. Masih ada api itu tapi kami ingin lebih kalem. Kita ingin lebih tenang dalam meneriakkan sesuatu. Banyak lirik yang akhirnya diganti karena kami merasa sudah tidak sesuai lagi. Yang jelas, “Biru” dibuat untuk kami sendiri, tidak ada

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

35

rencana untuk membuat manifesto atau apapun itu. Ini hanya cermin kegelisahan kami”. Ada dua fragmen yang tergabung dalam lagu “Biru”. Fragmen pertama ada pada paruh awal lagu yang juga menjadi versi pendek lagu untuk versi radio edit dengan judul “Pasar Bisa Diciptakan). Fragmen kedua dengan judul “Cipta Bisa Dipasarkan” berada pada sisa durasi lagu. Durasi dari keseluruhan lagu ini tepatnya adalah 9 menit 23 detik. Secara terpisah, fragmen-fragmen tersebut masing-masing mewakili dua angle dalam proses penciptaan karya, yakni secara internal dan eksternal. Keduanya membentuk secara utuh, “Biru” sebagai rangkuman pemikiran Efek Rumah Kaca tentang pentingya eksplorasi dalam proses berkarya. Lagu “Biru” juga menandai arah musikal dari Efek Rumah Kaca untuk album penuh ketiga mereka. Meskipun bukan gambaran yang sepenuhnya akurat, untuk menggambarkan konsep album ke depan secara keseluruhan, elemen- elemen utama seperti durasi lagu yang panjang, instrumentasi yang lebih riuh, juga dinamika lagu yang cenderung lebih kompleks dibanding lagu-lagu dalam diskografi awal bisa menjadi gambaran kasar sekaligus bridging kepada konsep album Efek Rumah Kaca yang akan datang. Dipilihnya judul “Biru” juga menjadi tanda bagi keseluruhan album ketiga berjudul “Sinestesia”. Sesuai dengan definisi sinestesia yang menjelaskan fenomena dimana sistem saraf menghubungkan dua indra yang tak berhubungan secara langsung. Adrian dipilih untuk mendeskripsikan “suasana” dari setiap lagu dari album mendatang dalam warna lagu. Biru adalah warna yang muncul di kepala ketika 9 menit lagu ini selesai diputar. Di lagu ini, seperti pada albumnya, melibatkan beberapa musisi yang terlibat dalam unit alter-ego Efek Rumah Kaca, Pandai Besi, M. Asranur, Agustinus Mahardika dan Irma Hidayana berturutan mengisi piano, instrumen tiup dan vokal.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

36

Lirik Lagu “Biru” pada album Sinestesia Karya Efek Rumah Kaca Biru

Pasar Bisa Diciptakan Kami mau yang lebih indah Bukan hanya remah-remah Sepah, sudahlah Kami hanya akan mencipta Segala apa yang kami cinta, bahagia Kami bawa yang membara Di dasar jiwa, di dasar jiwa Menembus rimba dan belantara sendiri (Pasar bisa diciptakan) Membangun kota dan peradaban sendiri Kami ingin lebih bergizi Bukan hanya yang malnutrisi, substansi Kami bawa yang membara Di dasar jiwa, di dasar jiwa Menembus rimba dan belantara sendiri (Pasar bisa diciptakan) Membangun kota dan peradaban sendiri Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan Pasar bisa diciptakan oooo Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan Pasar bisa diciptakan, pasar bisa diciptakan Pasar bisa diciptakan

Cipta Bisa Dipasarkan Dari kegelisahan dipadatkan dengan cinta Bergemuruh di dada jauh dari mereda Fantasi yang menggila bercampur rasa kecewa

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

37

Pelan-pelan hilangnya jadi sepercik cahaya Oh cahaya, akhirnya kita sampai juga Temukannya, sinarnya pun dibagi rata Berbinar-binar hidup bergelora Oh cahaya la la la lalala Imajinasi rasa takut larut di dalamnya Tak terkira siksanya, hingga capai bahagia Amarah angan-angan berhamburan berkejaran Akan terus mendera hingga titik terangnya Kegelapan masih membayang Menyelimuti, menolak pergi Mencari ruang gerak ditentang Dan menjadi ironi

4.2. Analisis Semiotika Lirik Lagu “Biru” Karya Efek Rumah Kaca 4.2.1. Analisis Tataran Denotatif dan Konotatif Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Dalam teori Barthes yang telah peneliti jelaskan sebelumnya di kerangka teori menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sebagai contoh dari makna denotatif ini misalnya di dalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Analisis seperti ini disebut Barthes sebagai analisis tataran pertama. Pada bagian inilah peneliti akan menganalisis lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca ini sesuai dengan pengertian denotatif yang telah peneliti paparkan di kerangka teori sebelumnya. Selain adanya pemaknaan tataran pertama dalam tanda, Barthes juga menyatakan bahwasanya terdapat pemaknaan tataran kedua dalam sebuah tanda. Tataran kedua tersebut merupakan pemaknaan secara konotatif. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran).

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

38

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Hal ini telah peneliti jelaskan sebelumnya pada kerangka teori. Lagu “Biru” akan dijelaskan secara lebih rinci baik secara tataran denotatif maupun konotatif. Analisis tersebut akan lebih dijelaskan pada tabel di bawah ini. Dimulai dari sub judul lagu pertama, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan” dan dilanjutkan dengan sub judul lagu yang kedua, yaitu “Cipta Bisa Dipasarkan”. Analisis ini akan dilakukan secara bait per bait.

Tabel Analisis Denotatif dan Konotatif Lirik Lagu “Pasar Bisa Diciptakan”

Lirik Lagu Analisis Denotatif Analisis Konotatif Kami mau yang Pada bait ini jelas bahwa Efek Bait ini secara konotatif jelas lebih indah Rumah Kaca menginginkan menceritakan tentang bentuk Bukan hanya sesuatu yang lebih baik, bukan protes dari Efek Rumah Kaca. remah-remah, sesuatu yang sudah menjadi sisa Protes tersebut terkait kondisi sepah, sudahlah seperti yang dikatakan Efek industri musik Indonesia saat Rumah Kaca dalam kata-kata ini. Efek Rumah Kaca seperti “remah-remah” dan menuntut adanya perbaikan. “sepah”. Sedangkan pada kata Dalam hal ini, Efek Rumah “sudahlah”, Efek Rumah Kaca Kaca sendiri merasa menekankan pada keinginannya bahwasanya industri musik untuk mengatakan kepada semua Indonesia terlalu banyak orang untuk berhenti dari semua menyajikan sesuatu yang hal ini. kurang baik untuk dikonsumsi oleh pendengar. Hal-hal yang lebih patut untuk dikatakan sebagai “sisa”. Maka dari itu Efek Rumah Kaca menuntut adanya penghentian atas kondisi ini. Kami hanya Efek Rumah Kaca memberitahu Bait ini memberi penekanan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

39

akan mencipta bahwa mereka tidak akan bahwa Efek Rumah Kaca Segala apa yang mencipta apa yang tidak ingin hanya akan menciptakan karya kami cinta, mereka cipta. Mereka hanya yang memang dari diri mereka. bahagia akan menghasilkan sesuatu yang Tidak hanya memberi mereka sukai. Kata “hanya” penekanan, namun bait ini juga jelas memberikan penegasan. bentuk dari Efek Rumah Kaca Seperti tertera pada bait di atas, yang ingin menyuarakan segala yang dilakukan Efek pentingnya menghasilkan Rumah Kaca ini pada akhirnya karya berdasarkan passion akan melahirkan kebahagiaan yang merupakan karya-karya atau kepuasan untuk mereka yang mereka cintai. Suatu sendiri. karya yang memang lahir dari diri mereka, bukan atas paksaan dari pihak luar, ataupun atas tuntutan dari keinginan pasar yang banyak beredar dewasa ini. Pada bait ini, Efek Rumah Kaca juga menekankan bahwa mereka konsisten berada di jalur ini. Karena kekonsistenan mereka itu pulalah yang terus membuat mereka bahagia dalam berkarya. Kami bawa yang Pada bait ini mereka Pada bait ini Efek Rumah Kaca membara menjelaskan bahwa mereka menyatakan bahwa mereka di dasar jiwa, di membawa sesuatu yang baru mencoba untuk membawa dasar jiwa yang berapi-api. Hal ini muncul semangat baru dalam berkarya. dari dalam diri mereka sendiri. Semangat baru tersebut merupakan perwujudan dari jati diri mereka, terlihat dari penjelasan kalimat “di dasar

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

40

jiwa”, dimana kalimat ini menjelaskan bahwa semangat atau karya tersebut jelas berasal dari mereka sendiri, bukan berasal dari keinginan orang lain. Menembus Membawa sesuatu yang baru Selayaknya orang yang sedang rimba dan tentunya bukan hal yang mudah. melawan arus, Efek Rumah belantara “Menembus rimba dan Kaca juga mengalaminya. sendiri belantara” merupakan kalimat Mereka merasakan sulitnya (Pasar bisa yang menjelaskan akan untuk tetap konsisten pada diciptakan) ketidakmudahan tersebut. jalan yang mereka pilih. Di Mereka berani untuk melewati tengah kebanyakan musisi suatu hal yang gelap, dan yang memilih untuk mengikuti menyeramkan, yang arus pasar, Efek Rumah Kaca digambarkan dengan kata tetap mencoba untuk menjaga “rimba” dan “belantara”, dengan identitas dirinya dan tetap menjadi diri mereka menembus itu semua. Hal ini sendiri. Sembari menanamkan jelas tertuang pada kalimat keyakinan bahwa “pasar bisa “menembus rimba dan diciptakan” atau dengan kata belantara sendiri”. Sembari lain pendengar musik mereka melakukan itu semua, Efek dapat mereka ciptakan. Rumah Kaca juga masih tetap berharap dan menumpukan keyakinan bahwa pasar mereka dapat diciptakan. Pasar di sini dapat diartikan dalam arti sempit sebagai pendengar mereka atau masyarakat. Namun secara luas pasar ini juga melibatkan Efek Rumah Kaca sendiri sebagai pencipta

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

41

lagu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pasar ini merupakan wadah dimana berisi orang- orang/pendengar/masyarakat yang sepemikiran dan juga sependapat dengan Efek Rumah Kaca serta tetap setia mendengarkan lagu-lagu mereka. Jadi mereka percaya bahwa pasar mereka bisa untuk diciptakan. Membangun Tetap dengan membawa Hal ini secara konotatif kota dan keyakinan bahwa Efek Rumah menunjukkan makna bahwa peradaban Kaca dapat dengan perlahan Efek Rumah Kaca berusaha sendiri membangun suatu perkumpulan keras untuk benar-benar yang sejalan dengan mereka dan mewujudkan suatu tempat menjadi pusat dari semua orang dimana musik mereka dapat serta membudaya. Perkumpulan diterima oleh masyarakat luas. di sini dapat didefinisikan dari Semuanya dapat sepaham kata “kota”. “Kota” dalam dengan apa yang mereka Kamus Besar Bahasa Indonesia pikirkan tentang musik. Hal ini sebagai daerah pemusatan semua diharapkan nantinya kan penduduk dengan kepadatan menjadi budaya di kalangan tinggi serta fasilitas modern. masyarakat tersebut. Sedangkan hal “peradaban” Seperti yang kita ketahui diartikan dengan kata bahwa membangun kota dan membudaya. Mereka percaya peradaban bukanlah hal yang dan optimis bahwa semangat mudah. Namun ditengah baru tersebut dapat menemui kesulitan itu juga bukan berarti masa berjayanya hingga menjadi hal ini tidak mungkin untuk kota dan juga peradaban. terwujud. Maka dari itu bait di Walaupun hal tersebut terkesan atas menunjukkan harapan dari

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

42

sulit, tetapi bukan berarti tidak Efek Rumah Kaca untuk dapat mungkin untuk dilakukan. menciptakan “kota” dan “peradaban” mereka sendiri. Dimana hal ini jelas merupakan bentuk dari pemberontakan atas bentuk industri musik yang mainstream saat ini. Kami ingin lebih Kata “bergizi” dan “malnutrisi” Pada lagu “Biru”, bait ini bergizi biasanya digunakan di dunia merupakan pengulangan nada Bukan hanya medis. “bergizi” artinya seperti lirik pertama. Jadi yang malnutrisi, mengandung gizi, yaitu zat selayaknya makna lirik pada substansi makanan yang diperlukan bagi awal lagu, lrik pada bait ini pertumbuhan dan kesehatan juga menggambarkan bentuk badan. Sedangkan “malnutrisi” dari kegelisahan dan protes adalah kebalikannya, yaitu Efek Rumah Kaca terhadap kondisi tubuh dimana tidak kondisi industri musik di mendapatkan asupan gizi yang Indonesia saat ini. Seperti yang cukup, atau biasa disebut dengan kita ketahui bahwasanya gizi buruk. Jika dilihat dari kebanyakan isi dari industri dalam konteks lagu ini, Efek musik Indonesia adalah Rumah Kaca menginginkan bertemakan hal yang seragam, adanya perbaikan bukan hanya yaitu tentang percintaan. sesuatu yang tidak sehat atau Maka dari itu bait ini adalah sesuatu yang tidak baik. bentuk protes Efek Rumah “Substansi” merupakan inti sari Kaca dimana mereka menuntut atau pokok, jadi dalam hal ini agar para musisi Indonesia mereka menginginkan zat-zat menciptakan lagu yang lebih inti yang mendukung perbaikan berbobot dan lebih bervariasi. tersebut. Hal ini dijelaskan dari kata “bergizi” pada bait tersebut. Mereka berharap agar lagu-

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

43

lagu yang diciptakan musisi Indonesia tidak seperti sekarang ini, dimana semua hanya memikirkan keinginan pasar, sehingga terjadilah tema lagu yang seragam tadi. Kondisi industri musik Indonesia yang seperti inilah yang diibaratkan “malnutrisi” oleh Efek Rumah Kaca pada lirik lagunya. Efek Rumah Kaca lebih menginginkan sesuatu yang substansi, yang langsung ke intinya, yang lebih bermakna. Substansi ini bermakna bahwa tuntutan Efek Rumah Kaca agar musisi Indonesia tidak berkarya berdasarkan keinginan dari produser yang hanya menginginkan profit dari pasar saja, tetapi sebaiknya para musisi ini membuat karya yang memang dari diri mereka sendiri yang memang berasal dari kreatifitas mereka. Sehingga hal tersebut akan jauh lebih bermakna daripada kebanyakan lagu yang beredar saat ini. Baik itu dari kualitas lirik maupun dari muatan musiknya sendiri.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

44

Pasar bisa Seperti yang telah dijelaskan Di akhir sub lagu yang pertama diciptakan sebelumnya bahwasanya “Pasar ini, kalimat “pasar bisa Pasar bisa Bisa Diciptakan” ini merupakan diciptakan” diteriakkan diciptakan bentuk keoptimisan dari Efek berulang kali pada akhir lagu. Rumah Kaca bahwa apa yang Maknanya sama seperti yang mereka perjuangkan ini nantinya telah peneliti jelaskan pada akan menciptakan pasarnya lirik yang sebelumnya. sendiri. Keoptimisan ini juga Perbedaannya hanya terletak disertai dengan keyakinan. Hal pada isinya. Dimana pada ini ditunjukkan dari lirik lagu “pasar bisa diciptakan” di awal yang mengulang kalimat ini menunjukkan harapan, sebanyak sepuluh kali di akhir sedangkan pada kalimat yang sub lagu pertama. kali ini menunjukkan keyakinan. Keyakinan itu ditunjukkan dari diletakkannya kalimat ini di akhir lagu secara berulang-ulang agar terngiang di telinga pendengar dan di telinga Efek Rumah Kaca sendiri bahwa itu semua merupakan bentuk keyakinan, bukan lagi sebatas harapan.

Tabel Analisis Denotatif dan Konotatif Lirik Lagu “Cipta Bisa Dipasarkan”

Lirik Lagu Analisis Denotatif Analisis Konotatif Dari Baris pertama dan kedua Lirik ini menceritakan tentang kegelisahan menceritakan tentang bentuk kegelisahan yang dirasakan dipadatkan kegelisahan dari Efek Rumah oleh Efek Rumah Kaca dengan cinta Kaca. Dimana kegelisahan mengenai kondisi industri Bergemuruh di tersebut juga bercampur dengan musik Indonesia. Telah peneliti dada jauh dari rasa cinta mereka. Kegelisahan jelaskan sebelumnya kondisi mereda dan cinta ini terus-menerus yang seperti apa yang

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

45

berada di hati mereka tanpa ada dimaksudkan oleh Efek Rumah sedikitkan kemungkinan untuk Kaca. Namun hal ini tidak berhenti atau mereda. dapat membuat Efek Rumah Kaca untuk berhenti di dunia musik. Hal ini dikarenakan kecintaan dari Efek Rumah Kaca terhadap dunia musik. Kegelisahan dapat timbul dikarenakan ketidaksesuaian antara otak dan hati. Ketidaksesuaian antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dirasakan. Hal ini lah yang dialami oleh Efek Rumah Kaca. Kondisi industri musik Indonesia memang tidak dapat diterima oleh akal Efek Rumah Kaca, karena memang tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun hal ini jelas bertentangan dengan hati mereka yang menuntut diri mereka untuk terus berkarya di bidang musik. Hal ini lah yang membuat kegelisahan di diri mereka. Akhirnya seperti lirik mereka yang berbunyi “dari kegelisahan dipadatkan dengan cinta” , Efek Rumah Kaca menyatakan bahwa kegelisahan adalah kondisi yang mereka

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

46

alami. Namun hal itu menjadi kuat karena dipadatkan dengan rasa cinta mereka. Sehingga mereka tidak memutuskan untuk berhenti dari seluruh kegelisahan ini. Kondisi kegelisahan ini yang terus menerus membuat kondisi Efek Rumah Kaca menjadi tidak tenang. Mereka merasa harus melakukan sesuatu terkait masalah ini. Karena memang hal ini yang terus mengganggu hidup mereka dalam menjalani kecintaan mereka dalam dunia musik. Semua jelas tergambarkan dari lirik mereka yang berbunyi “bergemuruh di dada, jauh dari mereda”. Fantasi yang Kata “Fantasi” dalam KBBI Kehausan dari Efek Rumah menggila berarti gambar (bayangan); Kaca untuk berkarya membuat bercampur rasa angan-angan; khayalan. Jadi pikiran mereka terus melalang kecewa dapat dikatakan bahwa khayalan buana kemana-mana. Haus Pelan-pelan atau angan-angan dari Efek untuk terus menciptakan karya- hilangnya jadi Rumah Kaca telah menjadi gila karya yang baru. Jelas hal ini sepercik cahaya serta bercampur dengan rasa tertuang dari lirik “Fantasi kecewa yang mereka rasakan. yang menggila”. Kemudian keduanya perlahan Namun sayangnya hal ini menghilang berganti menjadi ditabrakkan dengan kondisi suatu titik terang. industri musik yang tidak menerima pembaharuan dari

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

47

mereka. Terbukti dari mereka yang awalnya terus mencoba untuk menjual karya mereka ke major label, namun tidak pernah diterima. Hal ini lah yang akhirnya menimbulkan kekecewaan di hati Efek Rumah Kaca yang jelas tertuang pada lirik “bercampur rasa kecewa”. Selayaknya hasil tidak pernah berkhianat pada prosesnya, kekecewaan ini akhirnya pun menemukan ujungnya. Usaha dari Efek Rumah Kaca untuk tetap konsisten di jalur indie dan tetap menciptakan hal yang mereka cintai juga membuahkan hasil. Dimana kekecewaan itu akhirnya menemukan titik terangnya seperti terlampir dalam lirik yang berbunyi “pelan-pelan hilangnya, jadi sepercik cahaya”. Oh cahaya, Pada bait yang menjadi bagian Usaha yang memang telah akhirnya kita reffrain pada lagu ini membuahkan hasil ini akhirnya sampai juga menjelaskan tentang titik terang dijadikan euforia tepat pada Temukannya, pada bait sebelumnya. reffrain sub lagu kedua dari sinarnya pun Memberitahukan kepada semua judul “Biru” ini. “cahaya” dibagi rata orang bahwasanya titik terang menggambarkan kejayaan dari Berbinar-binar yang sebelumnya terbentuk dari seluruh jerih payah dan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

48

hidup bergelora berbagai kegelisahan itu pun perjuangan dari Efek Rumah Oh cahaya la la akhirnya mencapai tujuannya. Kaca. Dimana pada lirik ini la lalala Hal ini dijelaskan pada kalimat Efek Rumah Kaca menyatakan di baris pertama. Kemudian titik bahwa perjalanan panjang terang tersebut pun dibagi rata mereka telah sampai di tempat kepada semua orang sehingga yang mereka tuju. menciptakan kumpulan cahaya Kejayaan ini pun tidak hanya yang berbinar-binar. sebatas memuaskan hati Efek Rumah Kaca, namun lebih dari itu, Efek Rumah Kaca menginginkan agar kejayaan ini juga dirasakan oleh semua orang yang sepemikiran dengan mereka. Bahkan orang- orang yang sebelumnya berbeda pemikirannya dengan Efek Rumah Kaca, diharapkan dapat mulai sepemikiran terkait bagaimana seharusnya musik berkembang di Indonesia. Hal ini dinyatakan Efek Rumah Kaca lewat liriknya yang bertuliskan “Temukannya, sinarnya pun dibagi rata”. Saat semua orang sudah sepemikiran dengan Efek Rumah kaca, maka disitulah letak kejayaan Efek Rumah Kaca paling maksimal. Karena semua orang dapat bebas mengekspresikan dirinya. Bebas dalam mengungkapkan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

49

kreatifitasnya dalam bentuk karya. Sehingga dengan begitu industri musik tentunya akan menjadi sesuatu yang lebih berkualitas lagi dari sebelumnya. Maka dari itu bentuk kejayaan ini diekspresikan dari lirik yang menggambarkan euforia mereka, yaitu “berbinar-binar hidup bergelora, oh cahaya lalala”. Imajinasi rasa Pada bait ini menceritakan Pada bait ini Efek Rumah Kaca takut larut di tentang bagaimana ketakutan menggambarkan rasa takut dalamnya dan siksaan yang dirasakan Efek serta perasaan yang mereka Tak terkira Rumah Kaca sebelum mencapai alami selama menjalani siksanya, hingga titik terang yang telah dijelaskan perjuangan mereka ini. capai bahagia pada bait-bait sebelumnya. Hal Pencapaian akan sangat terasa Amarah angan- ini dapat dilihat dari lirik “tak dan berarti saat segala angan terkira siksanya, hingga capai sesuatunya didapatkan tidak berhamburan bahagia”. Bahkan antara dengan cuma-cuma, melainkan berkejaran kemarahan dengan keinginan dengan jerih payah. Bertolak Akan terus akan terus saling tumpang dari kondisi inilah maka lagu mendera hingga tindih hingga mencapai fase ini tercipta dengan lirik seperti titik terangnya cahaya tersebut. tertulis di samping. Efek Rumah Kaca menggambarkan betapa sangat tersiksanya selama mereka memperjuangkan musik mereka untuk dapat diterima oleh umum. Penderitaan ini sendiri tidak hanya dalam

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

50

bentuk perlakuan yang mereka peroleh tetapi juga apa yang mereka rasakan dengan kondisi industri musik Indonesia. Seperti yang telah peneliti jelaskan sebelumnya bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kondisi industri musik di Indonesia saat ini dengan harapan mereka tentang bagaimana sebuah industri musik seharusnya berjalan. Jadi dapat dikatakan adanya ketidaksesuaian antara kenyataan yang terjadi dengan harapan yang mereka inginkan. Tidak hanya berupa siksaan yang didapatkan oleh Efek Rumah Kaca, tetapi juga bentuk amarah. Kondisi yang terjadi saat ini juga membuat Efek Rumah Kaca merasa marah. Namun amarah mereka juga selalu diselingi dengan angan-angan mereka akan terciptanya pasar seperti yang mereka gambarkan di kepala mereka. Antara amarah dan angan-angan mereka tentang kondisi musik Indonesia ini terus-menerus berkecamuk di dalam diri mereka, tidak

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

51

berhenti hingga sampai tiba masa berhasil mereka. Seluruh bentuk derita inilah yang dirasakan oleh Efek Rumah Kaca sebelum mencapai tahap yang seperti sekarang, dan itu semua dituangkan mereka dalam lirik yang tertulis pada bait ini. Kegelapan Bait ini merupakan bentuk Namun di tengah euforia yang masih peringatan. Karena walaupun dirasakan oleh Efek Rumah membayang Efek Rumah Kaca telah Kaca yang dinyatakan mereka Menyelimuti, mencapai titik terangnya, tetap lewat sub lagu keduanya ini, menolak pergi saja kegelapan akan terus mereka tetap tidak ingin Mencari ruang mengikuti mereka. Hal ini takabur. Walaupun mereka gerak ditentang dijelaskan pada dua baris telah dapat membuktikan Dan menjadi pertama bait di atas, yaitu harapan mereka yang kini telah ironi “kegelapan masih membayang, jadi nyata, bahwa apa yang menyelimuti, menolak pergi”. mereka ciptakan dapat dengan Kegelapan ini akan terus- jelas diterima oleh masyarakat, menerus mencari celah untuk ia seperti hal nya judul lagu lawan dan akhirnya menjadi mereka ini, cipta bisa ironi. “Ironi” dalam KBBI dipasarkan, namun mereka merupakan kejadian atau situasi tetap memberi peringatan. yang bertentangan dengan yang Peringatan ini tidak hanya diharapkan atau yang seharusnya ditujukan untuk pendengar terjadi. lagu mereka saja, namun juga menekankan pada diri mereka sendiri. ERK juga mengingatkan bahwa “kegelapan” atau kondisi industri musik

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

52

Indonesia yang lebih menekankan profit ini akan terus membayangi siapapun yang nantinya menjadi pelaku musik. Karena seperti yang kita ketahui bahwa kebanyakan manusia sekarang memang mulai menuhankan yang namanya uang, sehingga mereka akan melakukan apa saja demi terwujudnya kondisi ekonomi yang dapat memuaskan hasrat mereka. Kondisi yang seperti ini juga tidak akan terlepas dari para pelaku musik Indonesia. Inilah yang dimaksudkan ERK dengan “kegelapan masih membayang” pada bait ini. Kondisi yang seperti ini yang nantinya akan terus menyelimuti para musisi dan pelaku musik lainnya. Mereka tidak akan berhenti hingga mereka berhasil. Selalu berkeinginan untuk mencari celah dari sisi manapun demi dapat meluncurkan rencana- rencana mereka. Namun yang perlu diketahui bahwa wabah seperti ini akan terus menghantui siapapun dan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

53

dimanapun bahkan dengan kondisi bagaimanapun. Karena bahkan orang-orang yang memang sudah meluruskan niatnya di bidang musik untuk berkarya dengan jujur juga dapat dengan mudah terpengaruh dengan kondisi yang mengedepankan profit ini. Maka dari itu kondisi ini digambarkan dalam lirik pada bait di atas sebagai “menyelimuti, menolak pergi” dan “mencari ruang gerak ditentang”. Karena hal-hal seperti ini adalah hal yang sangat mudah untuk mempengaruhi dan juga terpengaruh. Namun bukan berarti tidak dapat untuk ditentang, karena jelas Efek Rumah Kaca telah membuktikan dengan cara mereka sendiri bahwa hal-hal yang seperti ini dapat ditentang dengan modal kepercayaan, keyakinan dan juga konsisten. Namun jika kegelapan ini ternyata berhasil untuk menguasai para pelaku musik Indonesia, maka yang akan terjadi sudah pasti adalah

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

54

sebuah ironi. Bahwasanya yang akan terjadi adalah kenyataan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka segalanya akan menjadi sangat disayangkan. Dimana akan berujung pada penyesalan.

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa lagu ini secara denotatif menceritakan tentang keluhan Efek Rumah Kaca, selaku penulis lagu. Mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik, bukan sesuatu yang biasa pada umumnya diberikan pada khalayak. Hal ini juga ditunjukkan dari konsistennya Efek Rumah Kaca untuk menciptakan sesuatu yang hanya mereka sukai saja. Namun keluhan- keluhan tersebut bukanlah hanya berbentuk keluhan kosong, karena Efek Rumah Kaca juga menawarkan solusi, yaitu dengan membawa suatu hal baru yang memang asli dari diri mereka sendiri untuk mengatasi ini semua. Konsistensi mereka terus mereka bawa. Mereka percaya bahwa mereka secara perlahan dapat membangun kota dan peradaban mereka sendiri. Sehingga apa yang mereka bawa tersebut akhirnya dapat menemui pasarnya, seperti yang mereka teriakkan berulang kali, “pasar bisa diciptakan”. Sedangkan pada lagu kedua merupakan lanjutan dari kisah Efek Rumah Kaca di lagu pertama. Dimana di lagu kedua Efek Rumah Kaca meceritakan tentang kegelisahan dan kekecewaan yang dialami oleh Efek Rumah Kaca sebelum mereka mencapai pada satu titik terang. Mereka juga menceritakan tentang bagaimana menderitanya mereka selama menjalani proses itu semua. Bahkan seringkali antara amarah dengan angan-angan saling tumpang tindih selama menjalani prosesnya. Namun hal itu akhirnya juga menuai titik terang. Dimana pada bagian reff lagu ini Efek Rumah Kaca menggambarkan kegembiraan mereka. Cayaha yang awalnya hanya berupa percikan akhirnya mereka bagi rata kepada semua orang sehingga menjadi binar-binar yang bergelora.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

55

Tetapi di tengah masa terangnya, Efek Rumah Kaca juga tidak lupa untuk selalu mengingatkan bahwasanya kegelapan di luar sana akan terus mengikuti. Kegelapan akan terus-menerus mencari celah demi menentang titik terang ini, sehingga semua harus tetap berhati-hati, jangan sampai hal tersebut mencapai suatu ironi, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Secara konotatif dapat kita simpulkan bahwa kedua lagu ini merupakan suatu kesatuan dari cerita panjang yang telah dialami oleh Efek Rumah Kaca sendiri. Dimana pada sub lagu pertama yaitu “pasar bisa diciptakan” menceritakan tentang harapan dan keyakinan dari Efek Rumah Kaca dalam menjalani hidupnya dalam dunia musik. Kondisi industri musik Indonesia yang kini kebanyakan hanya mengedepankan profit membuat mereka menuntut dan memprotes untuk adanya perbaikan dalam bidang ini. Namun tidak selamanya segala sesuatu berjalan dengan mudah, karena bentuk protes tersebut pasti tidaklah akan langsung membuahkan hasil. Namun Efek Rumah Kaca menunjukkan kekonsistenannya di dunia musik dengan tetap hanya akan menciptakan suatu karya yang memang dari diri mereka, buah dari kreatifitas mereka sendiri yang sudah tentu merupakan hal yang mereka sukai. Mereka tidak hanya memikirkan tentang diterima atau tidaknya karya mereka di pasar. Karna menurut mereka kebebasan dalam berkarya adalah kunci utama kebahagiaan dalam bemusik. Bentuk protes ini bukanlah hanya bualan semata, Efek Rumah Kaca tidak hanya meneriakkan ketidaksetujuannya terhadap kondisi industri musik Indonesia, namun mereka juga menawarkan solusi. Di tengah kondisi yang seperti ini, mereka juga menyiapkan pilihan lain dalam bermusik. Solusi tersebut berupa pembaharuan dalam bermusik. Mereka membawa semangat baru dan gaya baru dalam bermusik yang berbeda dari musisi Indonesia kebanyakan. Semangat dan gaya baru dalam bermusik ini pun tentunya tidak akan melewati jalan yang mudah. Efek Rumah Kaca menjelaskan bahwa menjadi sesuatu yang berbeda selayaknya seseorang yang sedang melawan arus. Mereka terus mencoba konsisten pada jalan yang mereka ambil. Jalan yang menunjukkan identitas mereka sebenarnya. Sembari dengan perlahan membangun wadah bagi

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

56

orang-orang yang sepemikiran dengan mereka dan membuat jalan seperti ini menjadi membudaya. Semua usaha yang mereka lakukan di atas tentunya tetap diselaraskan dengan harapan mereka tentang “pasar” mereka dapat mereka ciptakan secara perlahan. Dimana karya yang menjadi identitas mereka ini nantinya akan dapat diterima oleh masyarakat luas. Tentunya hal ini semua tidak hanya sebatas harapan namun juga dibarengi dengan usaha sehingga terwujudlah keyakinan dalam diri mereka. Jika pada lagu “pasar bisa diciptakan” merupakan bentuk dari kegelisahan, protes, tuntutan, solusi dan juga harapan-harapan yang memang masih mereka angan-angankan, berbeda dengan tahapan pada sub lagu kedua yang berjudul “cipta bisa dipasarkan”. Pada sub lagu kedua ini Efek Rumah Kaca telah dapat membuktikan bahwa apa yang tadinya menjadi hasil karya mereka atau dengan kata lain sebagai ciptaan mereka ternyata terbukti dapat diterima oleh pasar. Cipta bisa dipasarkan bisa diartikan sebagai pembuktian atas keresahan, komitmen dan keoptimisan yang dimiliki oleh Efek Rumah Kaca. Efek Rumah Kaca yang coba keluar dari kebiasaan memang menemukan banyak tantangan dan rintangan. Akan tetapi melewati itu semua dengan baik dan benar adalah hal yang lebih penting daripada diam pada ketakutan. Berikut adalah kesimpulan sub lagu kedua ini secara tataran konotatif. Diawali dengan cerita sulit yang dialami oleh Efek Rumah Kaca. mereka merasa adanya ketidaksesuaian antara harapan mereka dengan kenyataan yang terjadi di industri musik Indonesia. Namun kecintaan mereka terhadap dunia musik membuat mereka memutuskan untuk tidak berhenti memperjuangkan industri musik yang sesuai dengan harapan mereka. Kesulitan yang mereka alami dari kegelisahan, amarah, hingga angan- angan, mereka sampaikan pada lirik di sub lagu kedua ini. Dimana bentuk kesulitan yang seperti disebutkan pada kalimat sebelumnya terus-menerus membuat Efek Rumah Kaca gelisah dengan kondisi yang tidak sesuai harapan mereka ini. Kegelisahan itu tidak berkeinginan untuk berhenti hingga Efek Rumah Kaca dapat mencapai keinginannya tentang dunia musik seharusnya.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

57

Namun setelah berbagai usaha dan kesulitan yang telah Efek Rumah Kaca lalui, mereka akhirnya pun dapat membuktikan semua yang mereka katakan dan usahakan. Masa kejayaan mereka pun tiba. Namun mereka tidak ingin masa jaya tersebut hanya dirasakan oleh mereka sendiri. Mereka ingin membagi-bagikan kejayaan ini dengan semua orang agar semakin banyak orang yang sadar tentang bagaimana bermusik yang sehat dan seharusnya. Jika semua orang sudah dapat memahami esensi bermusik sesungguhnya, maka di situlah letak kejayaan Efek Rumah Kaca yang sebenarnya. Mereka dapat menciptakan iklim bermusik yang tidak hanya berlandaskan pada profit, tetapi benar-benar dari kreatifitas sang pencipta. Telah mereka buktikan sendiri bahwa cipta pasti bisa dipasarkan, tentunya dengan jerih payah dan juga konsisten pada jalurnya. Namun di tengah kegembiraan Efek Rumah Kaca, mereka tetap memperingatkan bahwa hal-hal yang berbau profit ini akan terus-menerus mengikuti terkhususnya mengikuti para pelaku musik. Efek Rumah Kaca berpesan tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi untuk seluruh pelaku musik di Indonesia bahwasanya jika memang sudah sampai pada tahap keberhasilan, tentunya tidak boleh takabur. Karena yang membayangi Efek Rumah Kaca selama ini dapat dengan mudah kembali mencari celah demi mewujudkan yang diinginkannya.

4.2.2. Analisis Tataran Mitos Sebelumnya lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca telah peneliti analisis secara denotatif dan konotatif. Telah didapatkan pula isi dari lagu “Biru” baik secara denotatif maupun secara konotatif. Pemaknaan dalam teori Roland Barthes tidak hanya sebatas denotatif dan konotatif saja. Namun Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

58

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman dalam Sobur, 2004: 71). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71). Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2004: 71). Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya di dalam S/Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks dan, dengan demikian, ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda- penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan mengenai mitos menrut Roland Barthes di atas, maka peneliti akan menjelaskan mitos dari pemaknaan lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kedua lagu ini merupakan suatu kesatuan cerita perjalanan Efek Rumah Kaca. Dimana lagu pertama, “Pasar Bisa Diciptakan”, mendeskripsikan bentuk kegelisahan dari band ini sendiri akan industri musik Indonesia saat ini. Sedangkan lagu kedua mendeskripsikan tentang pembuktian pada khalayak bahwasanya mereka dapat membuktikan bahwa kegelisahan itu dapat terbantahkan, dan Efek Rumah Kaca telah membuktikan dengan cara mereka sendiri. Hal ini jelas terbukti dari pernyataan yang dinyatakan oleh Efek Rumah Kaca pada video wawancara mereka di youtube terkait setiap cipta bisa dipasarkan. Bahwa mereka pernah mengalami penolakan dari major label. Dimana major label berpendapat bahwa musik dari Efek Rumah Kaca tidak sesuai dengan permintaan pasar saat itu. “Ya itu dulu ya sempatlah. Pengalaman Cholil dulu itu ya. Dia sempat mendatangi beberapa label, sambil membawa materi-materinya yang awal dulu. Ya memang karena saat itu industri arah musiknya lagi seru- seruan yang lagunya cinta melulu” Ucap Akbar sambil tertawa. Kemudian dia menambahkan kembali, “Akhirnya, ya kan materi kita ngomongin banyak hal

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

59

gitu, ya kayaknya kurang sesuai lah gitu sama selera saat itu. Jadi ya disuruh bikin lagi musiknya yang kayak mereka pengen, ya otomatis kita tolak sih untuk itu” (https://www.youtube.com). Akbar juga mengungkapkan pendapatnya terkait alasan lagu “Biru” diciptakan. “Itu sebenarnya sama seperti judulnya. Jadi benar-benar ya kita langsung aja ngomongnya. Itu kan dua lagu ya kalau di album Sinestesia itu nama judulnya biru. Jadi lagu pertama itu pasar bisa diciptakan, lagu kedua ya cipta bisa dipasarkan. Jadi ya kita bisa meng-create sesuatu yang kita yakinin. Terus ya kita yakin bahwa yang kita create ini pasti ada pasarnya” ucapnya (https://www.youtube.com). Kondisi industri musik Indonesia saat ini yang menjadi objek utama pada lagu “Biru”. Dimana perlu kita ketahui bahwasanya industri musik Indonesia telah bekembang sangat dinamis dari masa ke masanya. Dimulai dari era sebelum 70-an misalnya. Pada era ini musik Indonesia lebih banyak bertemakan perjuangan, keberanian, semangat dan kebangsaan. Tema-tema heroik seperti ini tentu saja berkaitan dengan kondisi Indonesia saat itu yang sedang melakukan perjuangan melawan Belanda dan Jepang. Tentunya masyarakat Indonesia masih hapal dengan lagu; Maju Tak Gentar, Bandung Lautan Api, dan lain-lain. Lagu-lagu pada era ini kebanyakan telah dijadikan sebagai lagu nasional. Pengarang lagu yang paling terkenal pada masa itu adalah Ismail Marzuki (1946) (http://www.last.fm). Beranjak ke musik di era 70-an. Pada masa ini Koes Bersaudara menjadi rajanya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lagu mereka yang mencapai Hits dan mereka juga dijuluki sebagai The Beatles-nya Indonesia. Di tengah perjalanan mereka, Toni Koeswoyo memilih bersolo karir dan kemudian digantikan dengan Murry. Dikarenakan Murry bukan bagian dari keluarga Koeswoyo maka “bersaudara” diganti menjadi “plus”. Koes Plus pun pernah beberapa kali dicekal dan masuk penjara dikarenakan mereka menggunakan lirik berbahasa asing, yang menurut pemerintahan Soekarno hal ini tidak mencerminkan watak nasionalisme dan bisa membahayakan (Sen & Hill, 2001:196). Berbeda dengan era 70-an, di era 80-an lagu yang mendominasi adalah lagu pop yang mendayu-dayu, bertempo lambat dan cenderung memiliki kesan cengeng. Nama-nama pencipta lagu yang

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

60

cukup produktif di era ini seperti Rinto Harahap, Pance Pondaag, A Rianto, dan Obbie Mesakh. Beberapa nama yang merupakan spesialis lagu sedih adalah Nia Daniaty, Betharia Sonata, Ratih Purwasih, Iis Sugianto. Lagu-lagu balada juga lumayan laku, mungkin ini dikarenakan temponya yang juga lambat. Seperti Ebiet G Ade juga termasuk yang familiar kala itu (http://www.last.fm). Di tengah banyaknya aliran yang cengeng dan mendayu-dayu ini, sebenarnya terdapat beberapa musisi yang tidak terbawa arus dan konsisten dengan aliran mereka. Mereka tidak memainkan musik yang meratap-ratap. Di antaranya ada nama Fariz RM, Vina Panduwinata, Gombloh, dan lain-lain (http://www.last.fm). Musik mereka sering disebut sebagai musik pop kreatif. Bahkan lagu Vina yang berjudul “Burung Camar” jadi hits dimana-mana. Di era ini musik rock juga sempat berjaya meski hanya sebentar, beberapa namanya seperti, Ikang Fauzy, , dan Gito Rollies (http://www.last.fm). Nicky Astria bahkan menjadi ikon Lady Rocker Indonesia. Selain itu, group rock seperti God Bless sempat berkibar yang kemudian berubah menjadi GONG 2000 (http://www.last.fm). Kemudian group musik baru mulai bermunculan di akhir era ini, atau lebih tepatnya di tahun 90-an awal. Group musik tersebut seperti Dewa 19, Slank, Boomerang, Vodoo, dan masih banyak lagi. Seiring surutnya aliran musik cengeng, musik pop Indonesia pun seperti kehilangan arahnya. Hal ini yang terjadi di era 90-an. Namun di tengah itu semua terdapat dampak positif bagi musik dangdut, karena pada era ini musik dangdut menjadi lebih hidup dan meriah. Bahkan tidak sedikit penyanyi yang tadinya beraliran musik pop dan rock mulai beralih ke dangdut sehingga yang tercipta adalah jenis musik baru, yaitu pop dangdut. Lagu seperti “Mobil dan Bensin” ciptaan Obbie Mesakh yang dinyanyikan oleh Santa Hokki kemudian menjadi merajalela. Hal ini terbukti dari lagu Nini Karlina, “Gantengnya Pacarku” yang kemudian menjadi booming. Hal ini semakin memperkuat mulai eksisnya jenis musik ini dan kemudian mulai mengarah ke jenis musik rancak sedikit disko. Jefry Bule adalah contoh pencipta lagu dengan musik jenis ini. Hal ini membuatnya menjadi sangat terkenal. Karya- karyanya banyak yang menjadi Hits. Doel sumbang pun yang biasanya

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

61

menyanyikan lagu daerah dan protes sosial mencoba keberuntungan di jenis musik ini (http://www.last.fm). Di era ini, sesungguhnya banyak group musik yang potensial untuk mencetak hits yang lumayan, namun gaungnya tetap kalah. Seperti lagu “Kangen” dari Dewa 19, “Terlalu Manis” yang dinyanyikan oleh Slank, serta Indra Lesmana dengan lagu “Aku ingin bebas”. Saat musik pop Indonesia sedang kehilangan auranya, Ami Search seorang musisi dari negeri Jiran, Malaysia, menjadi hits dengan lagunya yang berjudul “Isabela”. Lagu ini pulalah yang kemudian memancing lagu-lagu Malaysia lainnya untuk menghiasi musik Indonesia. Salim Iklim, Ella, Nora adalah beberapa nama yang terkenal di Indonesia. Saat itu musik Malaysia berhasil merajai musik Indonesia. Hal ini menjadikan beberapa musisi Indonesia kemudian meniru gaya mereka. Kemudian terciptalah trend musik baru, yaitu “pop rock”. Dedy Dores, Nike Ardilla, Inka Christie, Nafa Urbach dengan seragamnya menyanyikan lagu dengan musik jenis ini. Bahkan Nike Ardilla sampai membuat terobosan terbaru dalam gaya penampilannya yang bernuansa Rock. Kemudian mulai bermunculan lagi nama-nama baru di dunia rekaman Indonesia, seperti Kahitna, Java Jive, Krisdayanti dan Jingga (http://www.last.fm). Pada akhir tahun 90-an, terdapat gebrakan baru yang dibuat oleh Sheila on 7 dengan lagunya yang berjudul “Dan” yang sempat menjadi hits di Indonesia juga Malaysia. Reza Artamevia juga mengusung musiknya yang beraliran R&B, dan dapat dibilang cukup berhasil memukau pecinta musik Indonesia. Sekarang kita telah memasuki era 2000-an. Pada era ini, masyarakat lebih menyukai grup-grup musik dibandingkan dengan penyanyi-penyanyi yang bersolo karir. Para penyanyi solo yang pada era sebelumnya sempat berjaya, perlahan meredup di era ini. Peyanyi solo yang masih bertahan adalah Krisdayanti, Rossa, , Titi DJ, dan Glen Freddly. Selebihnya didominasi oleh grup-grup musik. Peterpan, , Dewa, Gigi, Ten2Five, Maliq & d‟esentials, Samson, dan Radja adalah contoh grup musik yang mendominasi tersebut. Solois yang tampak pada masa ini adalah Tompi, Rio Febrian, Resa Herlambang, Bunga Citra Lestari, Shanty, Dewi Sandra. Namun tetap saja gaungnya tidak dapat mengalahkan grup-

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

62

grup musik. Namun era ini menempatkan Indonesia berjaya bahkan sampai ke negeri tetangga. Sekilas telah kita bahas mengenai perkembangan musik di Indonesia. Pada masa sebelum tahun 2000-an, media massa belum terlalu berperan dalam menghegemoni dunia musik. Namun, sudah terlihat adanya semacam percobaan untuk menyeragamkan setiap era. Di era 2000-an hingga saat ini, musik Indonesia banyak difasilitasi oleh media dengan cara menciptakan program musik seperti Dahsyat, Inbox, Derings, dan lainnya untuk menampilkan musik-musik yang baru. Sayangnya, dilihat dari kemasan atau genre musik yang dihadirkan terdapat keseragaman yang dapat mematikan kreatifitas dan inovasi untuk musisi lainnya dalam bersaing dan berkembang. Semua ini dilakukan untuk memberi keuntungan bagi pemilik media seperti yang disampaikan oleh Adorno dalam teori musik popnya beberapa dekade yang lalu. Dominasi industri budaya yang menjadi kesimpulan pada teori musik Adorno, terlihat jelas dalam sejarah industri musik Indonesia. Musisi-musisi yang dipopulerkan oleh media mempunyai ciri yang tidak jauh berbeda dalam setiap trend-nya. Seperti genre musik pop melayu yang menjamur belakangan ini. Trend ini kemudian melahirkan band-band seperti ST12, Hijau Daun, Wali, Kangen Band, dan lainnya yang dari segi karya cukup seragam. Jauh lagi ke belakang, tentu kita mengingat trend musik ska yang memunculkan band-band seperti Type- X, Shaggy Dog, Souljah, dan lainnya, ke permukaan untuk kemudian digantikan oleh trend berikutnya. Sempat pula musik Indonesia diwarnai oleh tren K-Pop, dimana menghasilkan banyak boyband dan girlband di Indonesia. Pada setiap trend tersebut, terdapat standarisasi yang tak pernah berubah. Kemiripan- kemiripan karya musik pop Indonesia, baik dari tema, lirik, serta nada dari lagu- lagu yang dimainkan bisa dilihat dengan jelas. Hal ini pula lah yang akhirnya membuat kegelisahan dalam diri Efek Rumah Kaca. Major label adalah salah satu jalan untuk memproduksi musik. Major label memungkinkan seniman maupun penyanyi untuk membantu mereka memproduksi lagu untuk dipasarkan. Ranah Major label merupakan pasar mainstream, budaya popular yang menguntungkan bagi perusahaan (Tantagode, 2008:34).

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

63

Di Indonesia, major label telah memiliki koneksi dengan pertelevisian, dikarenakan sistem pembiayaan dan kontrak kerjasama major label yang lebih menguntungkan, serta memiliki sistem distribusi secara nasional. Sedangkan indie lebih bisa menggapai acara-acara off air dan promo off air dan juga on air radio saja. Seperti band beraliran punk, yang termasuk jenis musik underground, hadir bukan untuk kepentingan industri yang komersil, melainkan merupakan jenis musik yang idealis, mempunyai pesan-pesan moral, kritik atas fenomena sosial politik, kebijakan, maupun kekuasaan (Herlambang, 2008:v). Banyak grup band yang sering mengisi acara di televisi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Dahsyat, Inbox, Hip-Hip Hura, dan lain sebagainya. Banyak juga yang mengisi acara-acara televisi dengan panggung besar. Semua acara musik ini merupakan bagian dari budaya pop (pop culture). Mereka hanya menampilkan band-band yang seragam, mengusung lirik tentang percintaan dan musik-musik easy listening yang mudah laku di pasaran. Budaya pop bekerja sama dengan industri hiburan yang mempunyai tujuan untuk memburu laba. Akibatnya budaya pop sering disebut dengan “budaya massa” (Strinati, 2007:21). Acara-acara musik tersebut mengusung tema yang sama, yaitu musik mainstream yang dibawahi oleh major label serta menjual musisi musik mainstream dalam industri perauk keuntungan. Dadan Suwarna (dalam Mack, 1995:119) menjelaskan bahwa: “Kebutuhan dapur ngebul menjadi alasan utama. Artinya, kreatifitas terpola pada kebutuhan yang lain, bukan lagi didasarkan pada sentuhan intuisi dan imajinasi yang memadai. Selera kreatifitas mengikuti selera produser dalam sisi modalitas perdagangan. Namun selera masyarakat terbentuk dengan kuat karena media elektronik semacam TV turut menumbuhkembangkan eksistensi lagu- lagu tersebut. Artinya, TV menekankan frekuensi pengulangan lagu dengan alasan selera masyarakat. ... Seorang manusia mempunyai jiwa, sedangkan massa tidak memilik apa-apa kecuali kebutuhan. Kreatifitas lagu berhubungan dengan bagaimana agar memanjakan dan berkompromi dengan penikmat sebagai massa”.

Persepsi musik pop tidak terlepas dari efek visual budaya massa, sehingga penampilan visual dapat mempengaruhi esensi bunyi sendiri dan didukung oleh media-media audio-visual. Selera masyarakat yang terlihat seragam tidak murni

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

64

muncul dari keinginan masyarakat itu sendiri, melainkan sudah dikondisikan oleh karakter budaya massa (mack, 1995:119). Hal ini diperkuat dengan teori musik Adorno. Dimana menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007:73). Dapat dikatakan bahwa terdapat kemiripan yang mendasar di musik pop dalam berbagai hal yang menjadi kandungannya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri. Hal ini yang mengakibatkan individu maupun masyarakat salah dalam pemujaan mereka atas musik pop. Sementara standarisasi berjalan, individualitas semu dijalankan demi membuat kabur individualitas rasa yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik. Individualitas rasa merupakan hal yang dihasilkan produk budaya dalam mempengaruhi suasana individual (Strinati, 2007:70). Individualitas semu diciptakan demi mengaburkannya. Individualitas semu mengacu pada berbagai perbedaan dalam musik pop yang tercipta melalui pengaburan kemiripan-kemiripan dalam musik pop melalui pemberian variasi. Kaum industri menciptakan individualitas semu demi menonjolkan detail dalam musik pop. Hal ini ditunjukkan dengan cara memberi kebebasan individu dalam memilih musik pop, namun kebebasan tersebut telah distandarisasi oleh para elit industri. Kemunculan musik pop yang seperti ini, menurut Adorno merupakan keinginan dari kaum kapitalis yang memanipulasi selera musik masyarakat. Kaum kapitalis tergiur untuk menciptakan pasar yang menguntungkan setelah melihat adanya potensi pasar yang besar dalam budaya. Masyarakat dijadikan aset hidup sekaligus menekan pesaingnya, yaitu budaya yang berperan sebagai filter masyarakat terhadap dominasi kapitalis. Sama seperti individualitas semu yang diungkapkan oleh Adorno, lagu dan lirik yang bertemakan percintaan merupakan garis besar yang paling dominan di dalam produk industri musik Indonesia. Keragaman semu tersebut ditawarkan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

65

oleh industri musik Indonesia dengan memberikan pilihan genre dan package (penyanyi solo, band, duo, dan lain-lain) yang seakan-akan bermacam jenisnya, padahal sesungguhnya keragaman tersebut memiliki standar-standar yang sama, yaitu tema cinta. Hal ini merupakan akibat dari sudah dikuasainya industri musik Indonesia oleh orang-orang yang mengedepankan profit. Hal ini lantas menjadi landasan yang sangat kuat mengapa Efek Rumah Kaca menunjukkan kegelisahannya lewat lagu “Biru” ini. Apa yang telah disebutkan oleh Efek Rumah Kaca pada analisis konotatif sebelumnya bahwa mereka memprotes dan menuntut kondisi industri musik Indonesia terjadi saat ini, telah peneliti jelaskan bahwa hal tersebut benar-benar terjadi saat ini. Dimana musik telah dianggap pasar yang sangat menggiurkan bagi kaum kapitalis demi memperkaya diri mereka. Hal ini yang lantas menjadikan mereka menuntut para musisi dan pemusik Indonesia untuk selalu menciptakan karya yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Sebelumnya telah dijelaskan mengapa masyarakat Indonesia sekarang dominan menyukai lagu yang bertemakan percintaan dengan genre pop. Hal ini yang kemudian menjadikan banyaknya para musisi dan pemusik Indonesia yang mengharuskan diri untuk berkarya sesuai dengan keinginan pasar tersebut. Hanya agar karya mereka laku di pasaran, sehingga juga mendatangkan keuntungan pada mereka sendiri. Namun hal ini justru dijadikan hal utama dalam bermusik, sehingga menjadikan karya para musisi dan pemusik Indonesia menjadi seragam tanpa mengindahkan kreatifitas mereka sendiri. Hal ini diperkuat dengan pendapat Akbar mengenai kondisi musik Indonesia saat ini, “Ya akhirnya keterusan ya. Sampai sekarang juga fenomena itu juga masih ada. Banyak band yang bermunculan tapi dengan temanya yang sayangnya sama. Padahal sih saya yakin sebenarnya potensinya mereka itu bisa lebih jauh dari sana. Sebenarnya mereka bisa lebih dari itu. Bisa bawain hal yang lain. Tapi gak tau ya, mungkin yang pendananya itu yang memproduksi musiknya Cuma mau musiknya yang aman-aman aja. Atau yang emang dia pikir bahwa tema itu yang memang menjual. Ya akhirnya dari keresahan itu, dan kita juga sering ngobrolin ini ya kenapa ya musik kok lagunya gini-gini terus, akhirnya kita mikir buat bahas ini di lagu aja. Ya akhirnya terciptalah lagu ini” (https://www.youtube.com).

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

66

Perbedaan antara label mayor dan label minor yang mendasar adalah sistem pembiayaan dan promosinya. Label mayor membiayai produksi dan promo dari grup musiknya, memiliki kontrak kerja yang jelas antara label dan group musiknya, sedangkan label minor atau sering disebut label indie membiayai produksi dan promosi mereka sendiri, seperti asal kepanjangan kata indie itu sendiri, yakni independent yang berarti tidak berketergantungan atau berdiri sendiri serta mandiri. Band yang memilih jalur independen disebut band indie, begitu juga dengan band Efek Rumah Kaca. Menurut Efek Rumah Kaca, kebebasan dalam berkarya merupakan kunci utama kebahagiaan dalam bermusik. Hal yang jelas dituangkan dalam liriknya pada lagu “Pasar Bisa Diciptakan” yang berbunyi “Kami hanya akan mencipta, Segala apa yang kami cinta, bahagia”. Pernyataan Efek Rumah Kaca di atas sangat berkaitan dengan jalur indie yang mereka pilih. Munculnya kelompok musik beraliran indie dirasa mampu mengubah pandangan masyarakat tentang situasi pasar industri musik di Indonesia. Di tengah ideologi kapitalisme yang sedang menguasai pasar industri musik pop Indonesia, kemudian muncul aliran yang mengatasnamakan kebebasan. Dimana ide ini sudah tentu terlepas dari campur tangan para kapitalis dalam menyajikan hiburan kepada masyarakat yang seperti kita ketahui kondisiya sedang haus akan hiburan. Musik indie telah dibahas oleh peneliti pada sub bab sebelumnya. Musik indie dan seni independen yang ada di sekitar masyarakat umumnya merupakan wujud dari penolakan dikte pasar. Indie muncul dari hati, di luar mainstream musik pop dan seni pop pada umumnya. Musik indie biasanya berdiri atas dasar komunitas. Para musisi indie satu sama lainnya tidak saling bersaing. Justru sebaliknya, para musisi indie saling bekerja sama dalam memperluas pengaruh mereka di dunia musik. Hal ini pulalah yang menjadi kekuatan dari label indie atau biasa disebut label non-mainstream. Kriteria mainstream pada pada musik indie berkaitan dengan industrinya. Perbedaannya lebih mengacu kepada besarnya nilai investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman. Tetapi dalam hal bakat, grup musik indie cenderung relatif lebih bagus dibandingkan dengan grup musik mainstream. Hal ini jelas

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

67

dikarenakan tidak adanya tekanan dari pihak industri dalam berkarya. Grup musik indie lebih bebas dalam menciptakan karya-karyanya. Jadi, dalam konteks industri, musik indie tidak berorientasi pada keuntungan finansial. Sementara kondisi industri musik pop Indonesia saat ini dominan berbasis kepada profit dari label. Hal ini jelas dikarenakan label menanamkan modal yang besar kepada musisi sehingga musisi dituntut untuk dapat mencari keuntungan yang lebih besar. Musik indie ini kemudian tumbuh secara alami di industri musik Indonesia, walaupun di awal mendapat pertentangan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Dalam prosesnya, industri musik pop Indonesia cenderung mendapatkan inspirasi dari band-band yang berasal dari luar negeri yang memang sudah terbukti populer di pasar industri. Hal ini juga diperkuat dengan landasan yang mengarah pada ideologi kapitalis yang membentuk impian untuk menjadi musisi terkenal kemudian diekspos melalui media dengan diimingi kesuksesan dan kesenangan. Maka musik indie menolak pandangan seperti itu dengan menunjukkan jenis musik yang merupakan wadah penyaluran hobi. Dalam hal ini unsur kreatifitas yang lebih ditonjolkan. Mereka meniadakan keterlibatan dari kaum kapitalis dalam mengontrol karya musik yang diciptakan. Jika pada “pasar bisa diciptakan” menceritakan tentang bentuk protes dan alasan dari kegelisahan Efek Rumah Kaca serta solusi yang mereka tawarkan, “cipta bisa dipasarkan” merupakan bentuk kelanjutan cerita panjang mereka. Pembuktian yang dari apa yang mereka sebutkan di awal cerita mereka pada lagu “Biru” ini. Bahwa segala yang mereka kritisi bukanlah hanya sebatas bentuk ucapan belaka. Tapi mereka dengan nyata telah mampu keluar dari penjara tersebut. Efek Rumah Kaca telah membuktikan bahwa jangan pernah takut untuk berkarya sesuai dengan karakter dan kreatifitas masing-masing, karena menurut mereka setiap karya pasti akan menjumpai pasarnya. Seperti halnya ungkap dari vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil, “Jadi ketika kita membuat sesuatu biasanya kita perlu menajamkan tapi juga ga harus niru orang lain. Jadi kita bisa mengeluarkan karakter kita masing-masing. Jangan khawatir kalau kita buat ini itu, buat sesuatu itu nanti gak ada yang suka, gak ada yang mau beli. Jadi kita yakinin aja bahwa karya kita maksimal, berkarakter. Pasti akan ada yang sesuai, akan ada yang sama lah seleranya,

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

68

beririsan, atau lakulah dijual gitu lah. Masalahnya adalah ceruknya mau yang besar atau yang kecil. Jadi kita menganggap bahwa semua karya pasti punya ceruknya masing-masing.” (https://www.youtube.com).

Ungkapan dari vokalis Efek Rumah Kaca di atas adalah pembuktian mengenai makna dari lagu “cipta bisa dipasarkan”. Dimana Efek Rumah Kaca telah membuktikan usaha mereka di dalam dunia musik Indonesia sehingga mereka dapat menyuarakan apa yang telah mereka raih dari jeri payah mereka yang telah tercantum dalam lirik lagu “Cipta Bisa Dipasarkan”. Jelas pada lagu ini Efek Rumah Kaca telah mencapai pasarnya sendiri. Keberhasilan ini ingin disebarluaskan oleh Efek Rumah Kaca, demi kebebesan semua pemusik dalam berkarya, serta demi mewujudkan industri musik Indonesia yang lebih bernilai lagi. Hal ini jelas tercantum dalam reffrain lagu “Cipta Bisa Dipasarkan” yang berbunyi, “oh cahaya, akhirnya kita sampai juga, temukannya, pijarnya pun dibagi rata, berbinar-binar hidup bergelora”. Kebenaran makna lagu tersebut dapat dibuktikan dari prestasi-prestasi yang telah Efek Rumah Kaca raih. Efek Rumah Kaca sering mewarnai panggung- panggung di berbagai kota besar di Indonesia. Selain itu juga Efek Rumah Kaca meraih antara lain, “The Best Cutting Edge” – MTV Indonesia Music Award 2008 dan nominator Anugrah Musik Indonesia Award 2008 (http://efekrumahkaca.net). Kemudian di awal bulan Maret 2009, Efek Rumah Kaca masuk dalam jajaran musisi Classic Music Heroes oleh salah satu produk rokok. Nama Efek Rumah Kaca disejajarkan dengan nama-nama besar lainnya, seperti Iwan Fals, Slank dan nama-nama besar lainnya. Efek Rumah Kaca juga pernah mendapatkan penghargaan Indonesia Cutting Edge Music Awards 2010. Pada 23 Januari 2013, Efek Rumah Kaca baru saja melaksanakan penampilan mereka di Rolling Stone Cafe, Jakarta. Antusias dari penonton pun sangat tinggi. Hal ini terbukti dari penjualan tiket sebanyak 200 habis terjual. Semuanya juga belum termasuk tamu undangan yang tidak terhitung. Efek Rumah Kaca bermain hampir dua jam tanpa henti. Padahal ini adalah konser panjang perdana mereka (http://m.rollingstone.co.id). Konser bertajuk “Pasar Bisa Dikonserkan” telah mereka adakan 18 September 2015 lalu. Baru-baru ini juga Efek Rumah Kaca mendapatkan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

69

penghargaan Indonesian Choice Awards 2016 pada album Sinestesia di nominasi Album Of The Year. Pujian juga banyak disampaikan pada Efek Rumah Kaca di konser Sinestesia yang diadakan pada 13 Januari 2016 lalu di Taman Ismail Marzuki. Hal ini terbukti dari sanjungan-sanjungan yang diberikan para penonton di timeline salah satu sosial media selama acara tersebut berlangsung. Pada konser ini 1.500 tiket terjual dalam waktu satu minggu. Dikabarkan pula, dari sekian pemegang tiket, masih ada sekitar 1000 nama di daftar tunggu yang bersiap untuk berburu jikalau ada pembeli yang mendadak membatalkan pembeliannya (http://www.whiteboardjournal.com). Jelas bahwa lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca ini secara mitos menceritakan tentang bagaimana bentuk kegelisahan dari Efek Rumah Kaca terkait kondisi industri musik Indonesia yang hanya mengedepankan profit, sehingga berakibat seragamnya karya-karya pemusik Indonesia. Kondisi industri musik ini jelas mengenyampingkan kreatifitas dari si pemusik tersebut. Hal ini dikarenakan para pemilik industri yang mengharuskan para musisi dan pemusik membuat karya yang sesuai dengan keinginan pasar, sehingga dapat menghasilkan banyak keuntungan, tidak hanya untuk musisinya tetapi juga untuk produsernya. Hal ini yang akhirnya membuat indie menjadi alternatif dari para musisi dan pemusik yang tidak sepakat dengan kondisi industri musik yang terus mendikte seperti ini. Sama seperti hal nya yang dilakukan oleh Efek Rumah Kaca yang memilih jalur indie setelah sebelumnya karya mereka ditolak oleh major label. Namun bukan berarti hal ini menjadi hambatan, karena justru dengan berada di pihak indie, Efek Rumah Kaca menemukan kebebasannya dalam berkarya. Kebebasan ini yang lantas membuat mereka bisa menduduki posisi seperti sekarang ini, dimana pasar mereka telah diciptakan. Pada lagu “Biru” ini Efek Rumah Kaca ingin menyampaikan bahwa setiap pasar pasti bisa untuk diciptakan, dan setiap cipta atau karya pasti bisa dipasarkan. Jadi Efek Rumah Kaca lewat liriknya berpesan agar setiap orang pasti memiliki karakter masing-masing dalam berkarya. Jangan pernah takut jika karya mereka tidak diterima pasar pada umumnya. Karena setiap karya pasti akan menemukan pasarnya sendiri nantinya, jika tetap berusaha dan konsisten di karakternya masing-masing. Hal ini dengan sangat jelas telah Efek Rumah Kaca buktikan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

70

lewat konsistennya di dunia musik Indonesia yang terus-menerus membawa karakter mereka dalam bermusik, sehingga akhirnya mereka tiba di pencapaian mereka seperti sekarang ini. Mereka telah membuktikan bahwa setiap pasar bisa diciptakan dan setiap cipta bisa dipasarkan.

4.3. Musik Sebagai Media Kritik Sosial Saat ini dalam melakukan komunikasi sangatlah beragam bentuknya, mulai dari komunikasi satu arah, menggunakan media dalam penyampaiannya, hingga lewat musik yang bisa dinikmati. Musik sendiri bersifat universal sehingga musik dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat dan pendengarnya dimanapun berada. Atas dasar hal tersebut musik dapat dijadikan sebagai media komunikasi (Nurahim, 2009) Pesan merupakan sebuah hal utama dalam sebuah proses komunikasi. Proses komunikasi sendiri merupakan penyampaian sebuah pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Dari sekian banyak media penyampai pesan, musik adalah salah satu bentuk proses penyampai pesan atau komunikasi. Selain berfungsi sebagai media hiburan, saat ini fungsi musik telah berkembang. Di dalam sebuah musik terdapat pesan, ide, gagasan, pendapat sampai kritikan yang berusaha disampaikan oleh si pencipta musik terhadap masyarakat dan pendengar. Lewat setiap bait dan liriknya, musik dapat dijadikan media atau sarana berkomunikasi. Hal itu tertuang melalui alunan nada serta diikuti dengan lirik lagu yang berupa teks. Proses komunikasi terjadi ketika musik atau lagu tersebut didengar oleh pendengarnya, karena dalam setiap musik tersimpan makna atau pesan yang berusaha disampaikan oleh si pencipta lagu tersebut. Selain berfungsi sebagai media berkomunikasi, musik juga memiliki fungsi sebagai respon sosial. Mutaqin mengatakan bahwa tidak sedikit musisi Indonesia yang menggunakan musik untuk menyampaikan aspirasi, pendapat dan kritik. Mereka menciptakan lagu-lagu popular yang menggunakan syair-syair yang menyentuh perhatian publik, dengan tema-tema tentang kondisi sosial, tingkat kesejahteraan, lingkungan dan kegelisahan masyarakat. Pada umumnya

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

71

para pencipta lagu tersebut melakukan kritik sosial dan protes keras terutama ditujukan kepada pemerintah (Muttaqin, 2008:38). Saat ini sudah banyak sekali cara yang digunakan untuk mengekspresikan diri, atau bahkan memberikan kritik-kritik terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah. Hal-hal seperti demonstrasi merupakan cara umum yang sering kita lihat dan dengar dimana ketika sekelompok orang menyampaikan aspirasi serta kritikannya. Dengan cara ini banyak orang beranggapan akan lebih ampuh dan lebih cepat dalam menyampaikan aspirasi atau kritikan yang ingin diutarakan. Seiring berkembangnya zaman, cara yang digunakan untuk menyampaikan sebuah kritik sosial sudah mulai bervariasi. Saat ini kritik sosial juga bisa disampaikan lewat seni dan sastra, yang salah satunya adalah musik. Musik merupakan media yang sulit untuk dikekang dari pihak tertentu. Musik dapat dengan mudahnya tersebar bahkan melewati batas negara. Maka dari itu industri musik mulai bermunculan seiring dengan berkembangnya teknologi. Apalagi setelah munculnya pandangan bahwa musik merupakan bahasa universal, yang berarti dapat dinikmati oleh banyak khalayak walaupun tidak mengerti bahasa yang tertulis dalam liriknya. Namun Burnett berpandangan bahwa musik memperoleh perhatian yang relatif sedikit sebagai media, baik dalam teori maupun riset bila dibandingkan dengan media lain. Hal ini berkemungkinan dikarenakan belum diterangkannya implikasi musik terhadap masyarakat secara jelas. Meskipun demikian, telah banyak kalangan yang mempercayai musik sebagai media yang memiliki kekuatan (Burnett dalam McQuail, 2010:37). Seni musik dalam kaitannya sebagai media kritik sosial seringkali digunakan sebagai bentuk perlawanan akan kondisi-kondisi tertentu. Seperti halnya musik Punk Rock yang menggunakan musik sebagai media perlawanan terhadap ketimpangan sosial yang terjadi. Seperti juga musik reggae sebagai bentuk perlawanan terhadap rasisme yang ada. Sementara itu wacana perlawanan terhadap degradasi lingkungan hadir melalui berbagai macam genre walaupun lebih didominasi oleh musik folk. R. Serge Denisof mengistilahkan protest song (lagu protes) sebagai lagu yang digunakan untuk mengekspresikan ideologi sosial dan politik. Dalam istilah

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

72

protest song tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu magnetic dan rhetorical. Jenis magnetic disampaikan dengan mengutarakan masalah yang terjadi di masyarakat, menyampaikan solusi, dan menyatakan simpati dan dukungan. Lagu berjenis magnetic ini umumnya dihadirkan dalam protes radikal seperti gerakan kemerdekaan dan anti perang. Adapun jenis Rhetorical hanya menunjukkan permasalahan yang ada tanpa memberikan solusi dan dukungan tertentu. Namun demikian, lagu berjenis rhetorical tetap diciptakan dengan usaha untuk membentuk opini publik (Negus, 1996:10). Jenis lagu rhetorical pada umumnya lebih sering digunakan pada musik yang berbau kritik. Lirik lagu dalam musiknya pun diperhalus dengan gaya bahasa tertentu sehingga tidak menyinggung pihak-pihak tertentu yang cukup sensitif. Seperti yang kita ketahui bahwa tidak semua negara memberikan kebebasan penuh dalam berekspresi. Di beberapa negara masih terdapat sensor dan bahkan terancam masuk penjara bila terdapat lagu yang secara tegas menyinggung pihak tertentu, jika di Indonesia seperti pada masa Orde Baru. Maka dapat dikatakan bahwa gaya rhetoric dan dengan bahasa yang bersifat makna ganda dan tidak selalu langsung sering digunakan. Hal ini salah satunya karena dianggap aman. Penting untuk dipertimbangkan bahwa pada tahun 1940 Woody Guthrie menciptakan lagu “This Land is Your Land”. Banyak yang mengatakan bahwa lagu ini adalah lagu kebangsaan kedua Amerika Serikat. Sekarang lagu ini sering dijadikan lagu erakan rakyat dalam setiap aksi protesnya. Seperti juga lagu “Free Nelson Mandela” yang dinyanyikan oleh The Special AKA (1984). Lagu ini merupakan bentuk protes atas penangkapan dan pemenjaraan terhadap aktivis pembebasan Afrika Selatan, Nelson Mandela.lagu ini ternyata berdampak luar biasa, ditandai dengan berdirinya kelompok “Artist Anti Apatheid” di berbagai negara Eropa dan puncaknya adalah dibebaskannya Nelson Mandela pada 1990 yang disambut dengan gembira oleh semua pendukungnya. Lagu “The Times They Are A-Changing” karya Bob Dylan (1964) merupakan salah satu pembakar semangat perlawanan dan protes sosial di tahun 1960-an. Begitu juga dengan lagu “Imagine” karya John Lennon (1971) yang mengimpikan sebuah dunia tanpa negara, tanpa agama, tanpa kepemilikan, tanpa keserakahan dan tanpa kelaparan.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

73

Di Irlandia juga terdapat lagu “Sunday Bloomy Sunday” karya kelompok band Irlandia, U2, untuk mengenang kejadian tragis pada 30 Januari 1972, di Kota Derry, Irlandia Utara, saat militer Ingris menyerang pawai damai kelompok hak sipil. Terdapat juga lagu yang membangkitkan kelas tertindas dan terhisap di seluruh dunia untuk bangkit melawan, karya Eugène Pottier yang merupakan seorang buruh sekaligus sosialis Perancis. Lagu ini berjudul “Internasionale”. Hingga seorang Ki Hajar Dewantara tertarik untuk menerjemahkan lagu ini ke Bahasa Indonesia. Terdapat juga lagu karya Bob Marley yang berjudul “Redemption Song” tahun 1979 yang berisi tentang seruan bagi bangsa Afrika yang baru saja lepas dari perbudakan untuk membebaskan pikiran mereka dari rasa rendah diri dan terperintah. Serta masih banyak lagu-lagu kritik sosial lainnya dari seluruh penjuru dunia. Di Indonesia terdapat beberapa musisi yang pernah menyuarakan protes berkaitan dengan isu sosial. Seperti Iwan Fals yang pada tahun 1987 menyanyikan lagu “Wakil Rakyat”. Pada lagu ini beliau tanpa basa-basi langsung menampar mereka-mereka yang “duduk sambil diskusi” dan “biasa bersafari” di gedung DPR, yang tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya wakil rakyat. Terdapat juga lagu karya Ismail Marzuki yang berjudul “” yang menceritakan tentang gender. Lagu karya Efek Rumah Kaca yang berjudul “Di Udara” yang mengambil tema tentang keinginan mereka untuk menolak lupa kasus aktivis HAM, Munir. Terdapat juga karya dari Slank yang berjudul “Krisis Air” yang menghimbau penduduk Indonesia untuk dapat memanfaatkan air dengan baik, karena faktanya di Indonesia telah terjadi banyak krisis air. Masih banyak lagi karya anak bangsa yang bertemakan kritik sosial. Musik bisa dikatakan cukup efektif untuk digunakan sebagai media atau alat menyampaikan kritik sosial. Melalui setiap kata-kata yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk menjadi sebuah lirik lagu, si pencipta lirik berusaha menyampaikan pesan-pesan dan kegelisahan terhadap kebijakan dan fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Isu yang bisa biasa diangkat menjadi sebuah lagu yang bertemakan kritik sosial adalah isu politik, ekonomi, pencemaran lingkungan dan gender.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

74

Kelebihan seni musik dibandingkan dengan seni yang lainnya sehingga bisa dikatakan cukup efektif untuk dijadikan media kritik sosial (Djohan, 2006: 107) yaitu: a. Musik sebagai media penguat Dengan kita mendengar, belajar memainkan alat musik, pengalaman berkreasi dan aktifitas musik dalam kelompok merupakan stimulus yang dapat memperkuat dan mendorong perubahan perilaku. b. Musik dalam setiap bait liriknya terdapat pesan-pesan moral yang ingin disampaikan. c. Efektifitas musik dapat didengar oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. d. Lirik lagu dalam musik kebanyakan menggunakan bahasa yang simple, ringan dan mudah dimengerti serta dihafal. e. Orang yang mendengarkan musik dapat memperoleh ketenangan dan semangat. f. Musik merupakan bahasa hati dan lirik-lirik dalam setiap lagu cenderung sealur dengan irama kehidupan.

Dalam salah satu wawancara Eksklusif dengan Efek Rumah Kaca, mereka sempat ditanyai mengenai bagaimana pribadi mereka sesungguhnya, apakah memang sesuai dengan yang mereka teriakkan lewat lagu-lagu mereka atau tidak. Karena Efek Rumah Kaca memang cukup konsisten dalam mengangkat isu-isu sosial sebagai bahan dari lagu yang mereka ciptakan. Cholil pada wawancara tersebut mengatakan: “ya gua merasa tertarik terhadap isu-isu sosial-politik. Tapi apakah gua seorang yang aktif buat politik, dalam konteks tertentu mungkin iya, tetapi kalau dalam politik sebagai sebuah gitu ya enggak. Tapi sebagai sebuah tujuan untuk mencapai sesuatu, iya kita berpolitik. Jadi yang pasti kita berusaha untuk terutama, ya kita semua di band, berusaha untuk menjalankan bahwa yang kita teriakkan ya kita berusaha untuk menjalankan itu. Maksudnya ya gak pengen jadi hal- hal tersebut adalah lepas dari kehidupan kita sehari-hari. Misalnya kalau di album yang baru ya, kita merasa banyak banget orang- orang baik yang takut berpolitik. Antara satu dan lain hal berpolitik adalah terlalu kotor. Jadi orang-orang baik banyak yang gak mau berpolitik. Tapi akibatnya adalah akhirnya orang-orang yang ga

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

75

pintar, orang-orang yang culas yang aktif berpolitik dan mengatur kita semua gitu. Jadi akhirnya ya pada level tertentu sebenarnya ada salahnya juga orang-orang baik itu gak bergabung untuk melakukan perubahan. Jadi sebenarnya di kehidupan sehari-hari kita berusaha untuk jadi baik dulu deh. Apakah kita bisa melakukan perubahan, itu di level berikutnya. Tapi apa sekarang kita sudah jadi baik, ya kita berusaha untuk menjalankan itu aja, jadi baik dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam bermasyarakat gitu” (https://www.youtube.com).

Akbar juga mengungkapkan pendapatnya terkait pertanyaan wawancara di atas:

“Versi gue sih, sebenarnya sama juga sama versinya masyarakat pada umumnya, Cuma mungkin bedanya gua punya grup yang bisa menyuarakan lewat musik, lewat lagu. Jadi keresahan yang ada di sekitar kita, yang masyarakat juga alami, otomatis kan gue sebagai masyarakat umum biasa, gue juga ngomongin ini. Obrolan-obrolan ini udah sering banget kita ungkapin, akhirnya ya kita tulis di lagu. Jadi sebenarnya, ini keresahan yang kita rasain yang semua orang juga rasain. Yaudah untungnya kita punya band, kita bisa tulis di dalamnya.” (https://www.youtube.com).

Cholil juga menambahkan beberapa cara masyarakat atau individu yang ingin menyampaikan pandangannya terhadap permasalahan-permasalahan sosial. Seperti yang dia katakan: ”Dalam menyatakan pendapat bisa dilakukan secara ekstrim. Misalnya seperti kita melakukan kritik, kalau kita percaya itu ada dampaknya ya kita lakukan. Seperti ikut demo, kalau kita cocok waktunya ya kita ikut. Dalam titik tertentu munkin itu ekstrim bagi orang yang apolitis, tapi kalau buat kita ya itu memang bagian dari sumbangsih yang bisa kita lakukan. Kita memang mau dan kita juga kesal dengan permasalahannya, yaudah kita jalani. Selain itu, juga bisa dilakukan dengan cara lain. Kalau kita nuangkannya dalam bentuk kesenian, karena ya memang mediumnya kita kesenian. Saya gak jago orasi, jadi gak bisa membakar semangat orang juga. Aduh, ntar daripada lucu, yang mending kita perlu medium yang lain yang mungkin juga bisa mengajak orang untuk peduli.” (https://www.youtube.com).

Wawancara Efek Rumah Kaca di atas membenarkan akan fungsi musik seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya di kerangka teori, yang pertama adalah mengungkapkan pengalaman fisik maupun pengalaman emosional. Fungsi yang kedua adalah mengungkapkan ide-ide. Pemusik yang bisa mengungkapkan ide- ide, biasanya adalah pemusik yang kritis. Pesan dimunculkan dalam musik karena

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

76

ada sesuatu yang kurang benar yang perlu diperbaiki. Ide bisa muncul dari keinginan untuk merubah atau memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu yang baru. Pada hasil wawancara di atas jelas bahwa Efek Rumah Kaca, yang lagunya dijadikan objek pada penelitian ini, menggunakan media musik dalam menyampaikan bentuk kritik mereka terhadap kehidupan sosial yang terjadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa musik, walaupun belum disadari kekuatannya oleh banyak orang ini, ternyata cukup efektif digunakan sebagai media kritik sosial. Bahkan tidak sedikit yang berpengaruh bagi masyarakat luas baik secara langsung maupun tidak. Sejatinya walaupun hanya merupakan buah pikiran dari si pencipta lagu, namun tidak sedikit yang dapat membentuk opini publik. Maka dari itu musik dapat dijadikan salah satu media yang patut untuk dipertimbangkan dalam menyampaikan kritik sosial.

4.3.1. Kritik Sosial Pada Lagu “Biru” Karya Efek Rumah Kaca Pada pembahasan sebelumnya telah disimpulkan bahwasanya musik merupakan salah satu media yang patut untuk dipertimbangkan dalam menyampaikan aspirasi seseorang atau sekelompok orang. Hal ini juga tentu dapat berkaitan dengan kritik sosial. Dewasa ini, bentuk dari kritik sosial beraneka ragam, seperti telah peneliti paparkan pada kerangka teori. Musik merupakan salah satu bentuknya dengan lagu ,atau lebih tepatnya lirik, sebagai media nyatanya. Seperti halnya lagu “Biru” yang terdiri dari dua judul ini, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan” dan “Cipta Bisa Dipasarkan”, yang menjadi salah satu bentuk kritik sosial yang ingin disampaikan oleh Efek Rumah Kaca. Pada lagu “Biru” yang dijadikan peneliti sebagai objek penelitian ini dapat dikatakan sebagai lagu yang berawal dari “kemarahan” si penulis lagu, Cholil Mahmud. Kemarahan Cholil ini tertuju pada homogenisasi industri musik di Indonesia yang seperti kita ketahui bahwa kebanyakan lagunya mengandalkan tema percintaan dengan musik yang jenisnya itu-itu saja, demi kepentingan pasar. Kondisi keseragaman dan dikte dari pasar ini justru jadi mengesampingkan kualitas dan kreativitas dari para musisi dan pemusik.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

77

Hal ini jelas bahwa yang Efek Rumah Kaca lakukan merupakan bentuk dari pengungkapan pikiran dan perasaan Efek Rumah Kaca lewat unsur-unsur musik. Hal ini lantas membenarkan teori yang peneliti bahas pada bab sebelumnya mengenai musik, Jamalus (dalam Muttaqin, 2008:15-16) mengatakan bahwa musik adalah karya seni bunyi berbentuk lagu dan komposisi musik yang menungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai suatu kesatuan. Telah peneliti paparkan pada kerangka teori, bahwasanya penyebab terjadinya kritik adalah perubahan sosial. Lebih tepatnya, perubahan sosial yang membawa dampak negatif. Seperti yang dikatakan oleh Cholil, bahwa industri musik Indonesia yang kini lebih dominan mengangkat tema percintaan dalam liriknya dengan bungkusan musik yang seragam, ternyata telah banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan industi musik Indonesia dulunya. Dahulu di Indonesia tema musik lebih beragam, seperti mengenai sosial, alam, religi, keluarga, politik, pendidikan, budaya dan masih banyak lagi. Hal ini lah yang lantas membuat kejengahan pada diri Cholil dan akhirnya terciptalah lagu “Biru” ini. Di era sekarang, banyak sekali major label yang mengedepankan profit daripada kualitas. Berbeda dengan zaman dulu. Dalam lagu ini, Efek Rumah Kaca mengkritik band-band yang beredar di industri musik Indonesia yang memilih major label yang mengedapankan profit ini. Karena band-band yang seperti ini yang mengikuti keinginan si produser yang hanya menginginkan keuntungan, dan semua akhirnya mengikuti keinginan pasar dan mulai melupakan identitas band itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi saat ini, dimana tema lagu selalu tentang percintaan. Sudah tidak beragam lagi. Jika diibaratkan pergi ke pasar swalayan, kita biasanya dapat membeli berbagai macam barang yang berbeda-beda, namun yang terjadi sekarang justru pasar swalayan tersebut hanya menyediakan barang- barang yang seragam. Hal ini terjadi sama seperti yang telah peneliti jelaskan sebelumnya, yaitu dikarenakan keinginan produser akan profit, sehingga harus menekan si pembuat lagu untuk membuat lagu yang easy listening, yang mudah

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

78

laku di pasaran. Selayaknya masyarakat Indonesia yang memang dominan menyukai lagu yang bertemakan percintaan, maka jadilah pasar industri musik Indonesia menjadi seragam dengan lagu bertemakan percintaan. Cholil Mahmud pada lagu “Biru” ini menyampaikan pesan dengan berbagai analogi. Analogi- analogi ini bermakna konotatif. Cholil menyanyikan dengan intonasi yang lantang layaknya kebanyakan lagu protes. Lagu protes memiliki fungsi, yaitu (1) Lagu protes berusaha mengumpulkan dan membangun dukungan dan simpati terhadap gerakan sosial dan politik; (2) Lagu protes dapat mempengaruhi individu untuk mendukung gerakan sosial atau ideologi; (3) Lagu protes dapat menciptakan dan membangun kohesi, solidaritas, dan moril yang tinggi di dalam organisasi atau kelompok gerakan; (4) Lagu protes dapat menarik individu bergabung ke dalam gerakan sosial yang spesifik; (5) Lagu protes bertujuan untuk menuntut solusi terhadap fenomena sosial; (6) Isi lagu protes adalah gambaran permasalahan di dalam masyarakat yang dibawakan secara emosional (Sumahar, 2014). Jika dikaitkan dengan fungsi lagu protes yang berusaha mengumpulkan dan membangun dukungan dan simpati terhadap gerakan sosial dan politik di atas, maka lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca merupakan lagu yang berusaha mengumpulkan dan membangun dukungan dan simpati terhadap gerakan yang mereka lakukan, yakni gerakan protes dan melawan dikte pasar industri musik Indonesia saat ini. Dimana Efek Rumah Kaca lewat lagu “Biru” nya lebih memilih jalur indie dalam berkarya di dunia musik Indonesia, dikarenakan ketidaksesuaian antara pemikiran Efek Rumah Kaca akan kebebasan berkarya dengan pemikiran dari major label dan para musisi mainstream yang saat itu hanya mengedepankan profit semata. Jadi lewat lagu “Biru” ini Efek Rumah Kaca bertekad untuk mengajak para pendengarnya agar mengikuti yang mereka katakan. Bahwa setiap orang pasti punya karakter dalam berkarya, dan jangan pernah takut konsisten dalam hal ini, karna setiap karya pasti akan menemui pasarnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan fungsi lagu protes yaitu mempengaruhi individu untuk mendukung gerakan sosial atau ideologi dan menarik individu bergabung ke dalam gerakan sosial yang spesifik.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

79

Fungsi dari lagu protes lainnya adalah isi lagu protes merupakan gambaran permasalahan di dalam masyarakat yang dibawakan secara emosional. Jelas hal ini menggambarkan fungsi dari lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca juga. Karena terciptanya lagu ini juga merepakan bentuk keresahan dan kemarahan band Efek Rumah Kaca atas kondisi yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini adalah kondisi orang-orang yang berada dalam industri musik Indonesia. Kata “kritik” bermakna: “suatu penilaian yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan tentang suatu hal” (Sanjaya, 2013). Sosial adalah: “suatu hal berkenaan dengan prilaku interpersonal, atau berkaitan dengan proses sosial”, (Soekanto, 2006: 464). Kritik sosial dipahami sebagai sebuah bentuk komunikasi yang dikemukakan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, berkenaan dengan masalah interpersonal, serta bertujuan mengontrol jalannya sistem sosial. Teori di atas menunjukkan bahwa di dalam lagu “Biru”, Efek Rumah Kaca mengemukakan penilaiannya tentang kondisi industri musik Indonesia. Hal ini jelas berkaitan dengan proses sosial yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Lantas dengan diciptakannya lagu “Biru” ini, Efek Rumah Kaca berharap dapat memperbaiki suatu sistem sosial yang sedang berlangsung. Karena seperti juga ungkap dari Rendra (2001:15),“…kritik sosial adalah sebagai masukan untuk menyegarkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan”.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan 1. Makna lagu “Biru” secara analisis semiotika Rholand Barthes yang didalamnya terdiri dari tiga tataran analisis, yaitu analisis tataran denotatif, analisis tataran konotatif, dan analisis tataran mitos. a. Secara analisis tataran denotatif, lagu “Biru” menceritakan tentang keluhan Efek Rumah kaca. Pada lagu pertama, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan” mereka mengatakan keinginannya akan sesuatu yang lebih baik, bukan sesuatu yang biasa pada umumnya. Pada lagu kedua, yaitu “Cipta Bisa Dipasarkan” secara denotatif mereka bercerita tentang kegelisahan serta kekecewaan yang mereka alami sebelum pada akhirnya mencapai satu titik terang. Efek Rumah Kaca lewat lagu ini menggambarkan kegembiraan mereka. b. Pada analisis tataran konotatif, pada sub lagu pertama, yaitu “Pasar Bisa Diciptakan” bercerita tentang harapan dan keyakinan Efek Rumah Kaca dalam menjalani hidupnya dalam dunia musik. Kondisi industri musik Indonesia yang kini kebanyakan hanya mengedepankan profit, sehingga mengakibatkan keseragaman dalam hal tema dan materi musik, membuat mereka menuntut dan memprotes untuk adanya perbaikan dalam bidang ini. Lagu “Cipta Bisa Dipasarkan” sebagai sub judul kedua lagu “Biru” secara analisis tataran konotatif bercerita tentang karya cipta mereka yang terbukti dapat diterima oleh pasar. Lagu “Cipta bisa dipasarkan” bisa diartikan sebagai pembuktian atas keresahan, komitmen dan keoptimisan yang dimiliki Efek Rumah Kaca. c. Sedangkan pada analisis tataran mitos, lagu “Biru” menyampaikan bahwa setiap pasar pasti bisa untuk diciptakan, dan setiap cipta atau karya pasti bisa dipasarkan. Efek Rumah Kaca lewat liriknya berpesan bahwa setiap orang pasti memiliki karakter masing-masing dalam berkarya. Jangan

80 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

81

pernah takut jika karya tersebut tidak diterima pasar, karena setiap karya pasti akan menemukan pasarnya sendiri jika tetap berusaha dan konsisten di karakternya masing-masing. Hal ini sendiri telah dibuktikan Efek Rumah Kaca lewat kekonsistenannya di dunia musik Indonesia yang tetap membawa karakter mereka dalam bermusik, sehingga akhirnya mereka tiba di pencapaian mereka seperti sekarang. Mereka telah membuktikan bahwa setiap pasar bisa diciptakan dan setiap cipta bisa dipasarkan.

2. Bentuk kritik sosial pada lagu “Biru” karya Efek Rumah Kaca bisa disimpulkan sebagai bentuk lagu protes. Dimana pada lagu ini Efek Rumah Kaca menyampaikan pesan dengan berbagai analogi yang bermakna konotatif. Lagu protes sendiri memiliki enam fungsi. Pertama, berusaha mengumpulkan dan membangun dukungan dan simpati terhadap gerakan sosial dan politik. Kedua, mempengaruhi individu untuk mendukung gerakan sosial atau ideologi. Ketiga, menciptakan dan membangun kohesi, solidaritas, dan moril. Keempat, menarik individu bergabung ke dalam gerakan sosial yang spesifik. Kelima, menuntut solusi terhadap fenomena sosial. Keenam, gambaran atas permasalahan masyarakat yang dibawakan secara emosional. Kesemuanya ini tergambar jelas dari tujuan Efek Rumah Kaca menciptakan lagu “Biru” untuk mengumpulkan dan membangun dukungan dan simpati terhadap gerakan mereka, yakni gerakan protes melawan industri musik Indonesia. 3. Efek Rumah Kaca menyampaikan kritikannya lewat lagu, dan ini membenarkan akan fungsi lagu sebagai ungkapan pengalaman fisik ataupun pengalaman emosional dan pengungkapan ide-ide. Ide bisa muncul dari keinginan untuk merubah atau memperbaiki sesuatu yang sudah ada atau bahkan memunculkan sesuatu yang baru. Efek Rumah Kaca menggunakan media musik untuk menyampaikan bentuk kritik mereka terhadap kehidupan sosial yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa music ternyata cukup efektif digunakan sebagai media kritik sosial.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan tidak sedikit yang berpengaruh bagi masyarakat luas baik secara langsung maupun tidak. Sejatinya walaupun hanya merupakan buah pikiran dari si pencipta lagu, namun tidak sedikit yang dapat membentuk opini publik. Maka dari itu musik dapat dijadikan salah satu media yang patut untuk dipertimbangkan dalam menyampaikan kritik sosial.

5.2. Saran 1. Saran Secara Akademis Dikarenakan masih jarangnya penelitian mengenai musik sebagai media kritik sosial, disarankan kepada peneliti lain, khususnya mahasiswa ilmu komunikasi FISIP USU, agar melakukan penelitian sejenis dengan mengambil objek yang berbeda. Sehingga dapat menambah referensi terkait tema ini. 2. Saran Secara Teoritis Disarankan bagi peneliti lain agar dapat melakukan penelitian lebih mendalam terkait tema musik sebagai media kritik sosial dengan menggunakan teori serta teknik analisa data yang berbeda, sehingga dapat menyimpulkan dari sudut pandang yang lain. 3. Saran Secara Praktis Disarankan kepada para musisi yang berkiprah pada industri musik Indonesia untuk berani berkarya berdasarkan kegemarannya dalam dunia musik, sehingga tidak serta-merta terjebak dalam pasar industri musik. Memaksakan diri untuk mengikuti trend pasar industri musik Indonesia pada akhirnya hanya akan menjadi hambatan dalam menghasilkan karya- karya terbaik. Efek Rumah Kaca telah membuktikan bahwa esensi sebenarnya dari bermusik adalah bagaimana kita dapat berekspresi di ruang yang kita gemari, dan bentuk ekspresi itu adalah cerminan dari pemahaman kita dalam memandang serta memahami dunia.

Universitas Sumatera Utara

83

Daftar Pustaka

Baidah, Siti. 2010. Pemutaran Musik Klasik Sebagai Upaya Membangun Konsentrasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Matematika di SMA N 1 Kedungwaru Tulungagung (Studi Kasus di Kelas X-P dan X-H Tahun Ajaran 2009/2020). Malang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Basrowi M.S. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indah Djohan. 2006. Terapi Musik: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress. Eagleton, Terry. 2003. Fungsi Kritik. Yogyakarta: Kanisius. Herlambang, Sugiarto, Baskara Said Kelana. 2004. Ekonomi Makro: Analisis dan Kebijakan. Jakarta: Gramedia pustaka Utama. Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga. Kamtini dan Husni. 2005. Bermain Melalui Gerak dan Lagu di Taman Kanak- Kanak. Jakarta:Depdiknas Mack, Dieter. 1995. Ilmu Melodi Ditinjau dari Segi Budaya Musik Barat. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. McQuail. 2010. Mcquail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publication. Morrisan, M.A. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muttaqin, Moh, Kustap. 2008. Seni Musik Klasik: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Narwoko, J. Dwi, Bagong Suyanto, eds. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada. University Press. Negus, Keith. 1996. Popular Music in Theory. Middletown: Wesleyan University Press. Pujileksono, Sugeng. 2015. Metode Penelitian Komunikasi: Kualitatif. Jakarta: Intrans Publishing. Rendra, W.S. 2001. Penyair dan Kritik Sosial. Yogyakarta: Kepel Press. Sen, Krishna, David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik Indonesia. Jakarta: ISAL. Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 84

Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Jejak. Sugiarto, Eko. 2015. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan Tesis. Jakarta: Suaka Media. Sugihastuti dan . 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Tantagode, Jube. 2008. Revolusi Indie Label. Yogyakarta: Harmoni. Tjahjono, Libertus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar, Teori dan Apresiasi. Ende-Flores: Nusa Indah. Wibowo, Indiawan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wicana Media. Williams, Ramond. 1983. A Vocabulary of Culture and Society. New York: Express University Press.

Sumber Jurnal: Nurahim. 2009. Kritik dan Realitas Sosial dalam Musik: Suatu Studi atas Lirik Lagu Slank. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Sanjaya, Bima Agung. 2013. Makna Kritik Sosial dalam Lirik Lagu “Bento” Karya Iwan Fals ( Analisis Semiotika Roland Barthes). Universitas Mulawarman. Samarinda. Sumahar, Muarif Pebriansyah. 2014. Analisis Wacana Dominasi Major Label pada Industri Musik Indonesia: Di Dalam Lirik Lagu “Cinta Melulu” dan “Pasar Bisa Diciptakan, Cipta Bisa Dipasarkan (Biru)” dari Band Efek Rumah Kaca. Universitas Airlangga. Surabaya.

Sumber Internet: www.efekrumahkaca.net, diakses pada 3 Desember 2016. www.provoke-online.com/index.php/musicnews/4557-efek-rumah-kaca-rilis- sequel-dari-lagu-pasar-bisa-diciptakan-berjudul-biru, diakses pada 5 Desember 2016. http://www.loop.co.id/articles/mengenal-band-indie-dan-sejarah- perkembangannya, diakses pada 8 Januari 2017. http://m.cnnindonesia.com/hiburan/kisah-efek-rumah-kaca-yang-terjerumus- dunia-musik-indie, diakses pada 8 Januari 2017. www.youtube.com/watch?v=qo8ASrR3aWc, diakses pada 12 Mei 2017 http://www.last.fm/music, diakses pada 17 April 2017. www.youtube.com/watch?v=7j6-LiLoCj8, diakses pada 12 Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 85

http://m.rollingstone.co.id/2013/live-efek-rumah-kaca, diakses pada 13 Mei 2017. http://www.whiteboardjournal.com/pukau-efek-rumah-kaca-melalui-konser- sinestesia, diakses pada 16 Mei 2017 www.youtube.com/watch?v=I4sW770crRc&t=7O4s, diakses pada 16 Mei 2017.

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BIODATA PENELITI

IDENTITAS DIRI

NAMA LENGKAP : Hilfani Shaliha

TEMPAT/ TGL LAHIR : Desa Tangsi Lama, 11 Mei 1995

USIA : 22 Tahun

JENIS KELAMIN : Perempuan

AGAMA : Islam

STATUS : Belum Menikah

ANAK KE- : 2 dari 2 Bersaudara

KEWARGANEGARAAN : Indonesia

ALAMAT : Dusun Rahmat, Desa Alur Manis

KECAMATAN : Rantau, Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam

NO HP : 085277063333

EMAIL : [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL

2001-2007 SD SWASTA DHARMA PATRA RANTAU, ACEH TAMIANG

2007-2010 SMP SWASTA DHARMA PATRA RANTAU, ACEH TAMIANG

2010-2013 SMA SWASTA SUTOMO 2, MEDAN

2013-Sekarang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Universitas Sumatera Utara

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Hilfani Shaliha

NIM : 130904080

PEMBIMBING : Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NO. TGL. PERTEMUAN PEMBAHASAN 1. 3 November 2016 Mengenai judul dan apa yang harus dikerjakan di Bab 1-3 2. 19 Desember 2016 Pemeriksaan Bab 1-3 3. 26 Januari 2017 Apa yang harus dikerjakan pasca seminar proposal 4. 17 April 2017 Mengenai analisis semiotika Roland Barthes 5. 29 Mei 2017 Penyerahan skripsi keseluruhan 6. 6 Juni 2017 Revisi Skripsi 7. 13 Juni 2017 Acc meja hijau

Paraf Pembimbing

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm NIP. 1977111062005011001

Universitas Sumatera Utara