PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SIMULASI (GOSIP) INFOTAINMENT

DALAM RETORIKA IMAGE (KEAIBAN) SELEBRITIS

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

Anicetus Windarto

106322014

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2013 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SIML'I.ASI'GOSIP)INIOTAINMENT DAI,AM RETORIKAITI4,{C"KEAIBANI SFTFEqJIIS

Ol.h

ANICETUSVINDARTO NlM: 106322014

Dr- Alb. Sudi Sugtd s.J. 4i Ttuggal:22 Agus6 2013

Dr. SL Sulrdi Ta!eg.l:22 AgustE 2013 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

T6is

SIMT'LASI(COSIP) INFOTAINMENT DALAM RETORIKA'N',4G'(KEAIBAT\)SEI,EBRIIIS

ANICET'IJSMNDARTO NIM : 106322014

Telrh diFrtahal@ di depa Dew PengnjiTsig dd dirFirr@ &b!r m.Muni st!ftl

: Dr. G- Budi S$da, SJ,

: t- Di Alb, Budi SlMlo, S.J-

2.Dr. st Sulrdi

l- D.. FX.A8k@ T. wardayaSJ.

. ' sFP2013 Yoe]dkia .t J..:1:;,.,..,.. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAANKEASLIANTESTS

D.ngm i.i st6, nrhrds. Univ.dte, sdnl! Dh,d! Yo6a*nlo ,ag b€tm AriErrs wi orio (NIM.: 106122014),marEral,r blhw Tdis

b€rjldd. SIMLrt"{g (COSIP)INIOTAINMENT DALAM RETORI(A lnzlc,

(KEAIBA|o SEI.EERIT$, naullta hsil lsry! d& po.lilie ets edi.i.

Di dllm teie iii tidrk r.d!p.t k ry! Freliri hin ydg !€da! diajul€n unnrk

mdpeFLh g.la leqi!||m di surlu F4rl@ d.€Ci lain, !.trtr&da&

Fminj@dFreuliFtr d{i ta.F p.leliti lain di rhlm llsis ini s}€ DqguD*s

heF mlut k FdM ilrniahsui deig'n Fdnitu yrDgbdL}l! stajliM dieu 9@ tqh|lis dlhn &n rpNl*a

Yosn*lrr& 23 S.pr@ba201 3

Yeg ddbuat p.nrdie PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

TTMEARPERNIATAAN PERSETUJUAN PUBLIKAIT(ARYA TLMIAEUNTUK KEPENNNGAN AI

Yeg br@d! dg6 di b6s.h ini, sya mrhais, Uni6h6 Sorh Dhalm

: 106322014

D.ai !.ngmb.nga ilrru pdgeralula sy! ndbaiktr t Fih P€rFrsiir@ Unibitis S.&1l Dhha k!ry! ilnian sla yeg bdjudul :

Sinulai (Csip) bforaim.i't .Llm RltxiL i',qsr 6@ih€r) S€lcbrilis

bcsenrp€@glot yeg dipcdut& (bib ad!). Ddsm ddikio sqr nMbsikln k p!d! PsOEbte! Uni6irds Soor! Disma hs* utuk Myinp&L ndg8lihlh dal,n b.nt* media hii, mag.lolant dalr6 b€nbk postcle d.ta, EailistribBiks @ t rb.tE3,d$ ndpublikailrmlE di Inr.r.t.i.u fr.dii Lin utuk k pdtins& doddb ts!6 lqlu neni ! iin dei er! narpu lMb.rite reydti k Fd! sy€ elma te$p n @fi[},! @ st!

D.oitis ldtttad ini ydg sts but d..ge eb@dyr

Ihda hissal : 23 s@eba 2013 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

T A K M E N U N G G U S E M P U R N A

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Penelitian yang merupakan tesis pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini adalah salah satu dari kajian budaya media yang berupaya bukan sekadar mengamati dan mewaspadai dampak ironis dari komodifikasi media komunikasi massal, khususnya televisi, tetapi juga mencermati paradigma budaya seperti apa yang telah membentuk masyarakat dan ingatannya dalam konteks modernisasi dan/atau globalisasi hidup sehari-hari.

Dengan lebih memperhatikan pada produk atau barang budaya dari televisi dalam bentuk infotainment, penelitian ini bermaksud untuk mengungkap dan memaparkan bagaimana tayangan yang berpretensi untuk memberi informasi dan hiburan kepada masyarakat itu hanya mampu melonggarkan ikatan-ikatan moral atau immoral misalnya, tanpa menyediakan celah atau ruang untuk membentuk wacana yang bukan sekadar apelatif, tetapi juga argumentatif, bahkan jika perlu kontradiktif. Dalam konteks ini, wacana yang dibentuk melalui praktik atau teknik retorika yang jelas memungkinkan pembicaraan dan penulisan terhadap realitas yang sebelumnya tidak jelas dapat menjadi tidak membingungkan lagi. Karena itu, penelitian yang bertujuan untuk mengenali dan memahami ketidakjelasan atau kebingungan yang diakibatkan oleh teknologi informasi dan komunikasi modern ini bertendensi untuk menganalisa hal dan masalah berikut ini.

Pertama, retorika seperti apa yang dimainkan dalam infotainment untuk mewacanakan sesuatu yang disebut sebagai keaiban selebritis? Kedua, bagaimana PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

retorika itu disimulasikan dalam model-model realitas yang tidak dapat dibedakan lagi batas-batas antara yang real dan virtual? Ketiga, paradigma macam apa yang terbentuk dari simulasi yang hiperreal seperti itu? Ketiga hal dan masalah itu menjadi titik tolak untuk mengkaji infotainment yang telah membentuk suatu paradigma budaya dalam media komunikasi massal yang bukan sekadar menghasilkan komodifikasi dalam bentuk tontonan yang mengibur dan menguntungkan, melainkan juga simulasi realitas hidup sehari-hari yang tidak lagi memiliki rujukan apa pun, kecuali “realitas” yang telah disimulasi itu sendiri, dan berdampak ironis pada hilangnya fungsi hukum simbolik yang berperan penting dalam pembentukan “etika” dan/atau “moralitas” masyarakat secara “sehat”.

Dalam penulisan tesis, termasuk selama studi di Program Magister Ilmu

Religi & Budaya, Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta, penulis telah mendapat dukungan secara penuh dari Lembaga Studi Realino (LSR),

Yogyakarta. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Budi Susanto,

S.J. sebagai Direktur LSR yang telah memberi kesempatan studi lanjut yang juga merupakan sebuah peluang emas bagi penulis untuk berkarya demi membangun hidup keber(se)samaan. Juga untuk Sophia Wahyu Widiati, yang telah membantu kelancaran selama studi dalam hal penyaluran bantuan finansial berupa

“beasiswa” dari LSR bagi penulis.

Dengan St. Sunardi, dan sesama mahasiswa IRB, terlebih angkatan 2010:

Benny, Mardison, Mando, Alwi, Lysis, Gintani, Zuhdi, Nana, Nelly, Pongkot,

Amsa, penulis telah mendapatkan beragam pengalaman dan pengetahuan tentang kebudayaan dan kemanusiaan yang terbuka dan mendalam. Juga dari sejumlah staf pengajar yang telah berbagi ilmu: G. Budi Subanar, S.J., Baskara T. Wardaya,

viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

S.J., Hary Susanto, S.J., B. Hari Juliawan, S.J., A. Supraktiknya, Ishadi SK,

Katrin Bandel, Y. Devy Ardhiani, penulis menghaturkan terimakasih dan hormat secara tulus. Tak lupa, penulis juga menghaturkan hormat pada A. Sudiarja, S.J. yang telah memberi kepercayaan pada penulis untuk menempuh studi lanjut.

Tesis yang juga merupakan bagian dari proses pendewasaan akademik ini, secara khusus penulis persembahkan pada Rosa, Paras dan Gelar yang telah memberi perhatian selama penulisannya. Juga untuk ibunda tercinta yang telah mendampingi dan memberi kepercayaan pada penulis untuk menjalani hidup secara mandiri dan bertanggungjawab. Maka, semua hasil yang tertulis dalam bentuk tesis ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mewaspadai bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis yang dikonstrukkan sebagai penanda utama dalam infotainment; (2) memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real (real virtuality) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban selebritis dalam infotainment dan; (3) mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari paradigma budaya hasil kaji-ulang yang lebih manusiawi dan adil dari realitas dan/atau virtualitas infotainment yang menginspirasikan gagasan tentang keaiban selebritis. Penelitian ini menjadi penting dan mendesak untuk dilakukan mengingat posisi televisi di sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang sedemikian menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa, tetapi juga berkait dengan komodifikasi bidang ekonomi, politik dan budaya masyarakat pada umumnya seperti dalam Pilpres atau Pemilu DPR. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana infotainment menjadi sebagai salah satu komoditi unggulan dari industri televisi yang mudah mengabaikan atau menopengi demokratisasi demi kebaikan bersama (bonum commune). Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai tayangan infotainment dengan pendekatan simulasinya Baudrillard. Artinya, penelitian ini berusaha memperlihatkan realitas seperti apakah yang telah diciptakan melalui tayangan infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya dan bagaimana dampak ironis yang ditimbulkannya.

x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

This study is intended to: (1) become aware of celebrities rhetorical (im)morality forms which are constructed as a (floating) signifier in infotainment; (2) understand and interpreting the political media minutely based on communication technology of virtual reality and/or real virtuality that is produced by celebrities rhetorical (im)morality forms in infotainment; (3) recontruction and disseminate the understanding and action of cultural paradigms based on the results of re-examine of reality and / or infotainment virtuality which inspired the idea of the (im) morality celebrities. This study is important and urgent to be carried out due to the position of television in Indonesia that since 1998 it is increasingly play such a decisive role hopefully for democratization. It is not only in the context of the development of mass media, but also it is related to the economic, political and cultural society in general, expecially in General Election. Through this study, it is expected to explain why and how infotainment becomes one of the leading commodities in television industry which mask or pervert the democratization for the sake of a common good (bonum commune). The main contribution of this study is to offer a perspective that attempt to understand, interpret and become aware of infotainment show by Baudrillard simulation approach. This study attempts to describe the reality as what had been created through the infotainment show by its celebrity’s rhetorical (im)morality and how ironic impact that is in our society.

xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...... ii

LEMBAR PENGESAHAN TIM PENGUJI...... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS...... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...... v

MOTTO...... vi

KATA PENGANTAR...... ……….....……………………………...... ……. vii

ABSTRAK...... x

ABSTRACT...... xi

DAFTAR ISI...... xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...... 1

1.2 Perumusan Masalah...... 6

1.3 Tujuan penelitian...... 7

1.4 Pentingnya Penelitian...... 7

1.5 Tinjauan Pustaka...... 11

1.6 Kerangka Teoritis...... 18

1.7 Metode Penelitian...... 27

1.8 Pengolahan Data...... 28

1.9 Skema Penulisan...... 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II INFOTAINMENT: KEAIBAN SELEBRITIS

DALAM SIMULASI GOSIP

2.1 “Peta” dan “Wilayah” Infotainment di Indonesia...... 35

2.2 Keaiban Selebritis:

Tabloidisasi yang Menghibur...... 40

2.3 Simulasi Gosip sebagai Retorika Infotainment...... 44

BAB III SIMULASI GOSIP INFOTAINMENT :

MODEL-MODEL “REAL(ITAS)” KEAIBAN SELEBRITIS

3.1 Poligami Aa Gym: Model “Real(itas)” Ujian...... 53

3.2 Resepsi Pernikahan Anang-Ashanty:

Model “Real(itas)” Kemewahan...... 61

3.3 Akhir Hayat Sudomo: “Real(itas)” Tanpa Model...... 67

BAB IV RETORIKA KEAIBAN SELEBRITIS:

HIPERREALITAS IMAGE DALAM INFOTAINMENT

4.1 Retorika Aib Poligami dalam Image “Ujian”...... 74

4.2 Retorika Pesta tanpa Aib

dalam Image Kemewahan...... 90

4.3 Retorika Perkabungan tanpa Aib

dalam Image “Nama Baik”...... 97

4.4 Catatan Refleksif:

Meretorik Ulang Keaiban Selebritis...... 100

BAB V PENUTUP...... 105

DAFTAR PUSTAKA...... 111

LAMPIRAN...... 117

xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

“Pak, gosip!” Teriakan lantang yang keluar dari mulut anak-anak penulis ini bagai dering peringatan kritis ketika melakukan penelitian tentang tayangan infotainment pada bulan Maret-April 2012 lalu. Meski penelitian ini merupakan bentuk “kegalauan” penulis terhadap dampak infotainment di televisi dalam keluarga, namun penulis sendiri seolah merasa tak berdaya tatkala menyaksikan anak-anak penulis tetap berada di sekitar televisi. Itulah mengapa penulis begitu berhasrat melakukan penelitian terhadap budaya televisi, terutama yang berkaitan dengan pembentukan konstruk dari wacana keaiban selebritis dalam infotainment.

Penting untuk dicatat bahwa saat ini ada tak kurang dari 116 tayangan infotainment dalam seminggu.1 Hampir setiap stasiun televisi nasional menayangkan acara itu mulai pagi hari (pukul 05.30), siang hari (pukul 11.00) hingga menjelang petang (pukul 17.00). Dari sepuluh stasiun televisi nasional, tujuh di antaranya, yaitu RCTI, ANTV, Global TV, , SCTV, Trans &

Trans TV, menyajikan dalam sehari rata-rata 15 sampai 20 tayangan infotainment.

RCTI misalnya, menayangkan Go Spot, Intens, Silet, Cek n Ricek. ANTV menayangkan Seleb@seleb, Global TV menyuguhkan Hot Spot, Obsesi, Fokus

1 I. Syahputra (2013), Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 97-101. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selebriti. Indosiar menyiarkan Kiss, SCTV mengudara dengan Was Was, Halo

Selebriti, Hot Shot. Trans 7 menampilkan Selebrita Pagi dan Siang serta Trans

TV dengan Insert Pagi, Insert Siang, dan Insert Investigasi-nya.2

Gencarnya tayangan infotainment ini seakan-akan semakin tak terbendung manakala berita-berita yang disuguhkan berkait dengan keaiban selebritis tertentu.

Menurut J.L. Borges, keaiban bagaikan “permainan sembrono dari seorang pemuda pemalu yang tak berani mengarang cerita sehingga asyik-asyik sendiri dengan memalsukan dan menyelewengkan kisah-kisah karya orang lain.”3

Sementara dari asal katanya, bahasa Arab, aib artinya cacat dan kekurangan.

Bentuk jamaknya adalah ‘uyub. Maka, sesuatu yang memiliki aib disebut dengan ma`ib.4

Dengan demikian, masuk akal jika keaiban selebiritis yang sesungguhnya memuat peristiwa hidup yang biasa-biasa saja secara tiba-tiba dapat menjadi begitu menghebohkan ketika ditayangkan dalam infotainment. Kehebohan ditunjukkan misalnya, lewat berita selingkuh, kawin-cerai, utang-piutang, bahkan warisan atau hak asuh anak, yang diinfotainmentkan secara berulang-ulang.

Dengan kata lain, berita-berita yang bisa dialami oleh siapa saja dan terjadi di mana saja melalui infotainment dikonstruk sebagai larangan yang direpresi sebagai sesuatu yang dalam kebudayaan (masyarakat) Jawa dipandang sebagai

“ora ilok” (dan “kualat”-nya), tetapi dapat ditulis-ulang baik dalam bentuk oral maupun visual. Merujuk pendapat H. M.J. Maier, penulisan atau penarasian

2 Lihat, Lampiran Tabel 1 Daftar Tayangan Infotainment di Stasiun Televisi Indonesia. 3 J.L. Borges (2006), Sejarah Aib, (Yogyakarta: LkiS), x. 4 Administrator (2012), “Aib”, www.Yufidia.com, 3 Februari.

2 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

macam ini menuntut kesekarangan dan/atau kesegeraan.5 Artinya, tanpa peduli pada masa lalu, bahkan masa depan, dari sebuah peristiwa, suatu kisah dapat dibangun untuk dibaca sebagai pengalaman dan/atau teks yang tanpa batas akhir sekaligus tanpa stabilitas dalam ingatan dan berpendapat.6 Dalam infotainment, konstruk ini menjadikan keaiban selebritis sebagai sesuatu yang dominan dan memungkinkan siapapun dapat mengisahkan pengalaman diri manakala berhadapan dengan berbagai peristiwa dan begitu menggoda untuk diungkap.

Pengungkapan inilah yang menimbulkan simulasi kenikmatan yang mampu melampaui apa yang dinilai sebagai larangan khas Jawa atau “ora ilok”.

Tak heran, keaiban selebritis dalam infotainment laksana gosip atau rumor, bahkan tak jarang menjadi ajang interogasi dan intrik, yang melimpah dan merupakan bagian terbesar dari komunikasi dalam masyarakat. Sebagaimana telah diamati oleh Benedict Anderson, hal itu merupakan tipe dari komunikasi yang dikenal sebagai “ucapan langsung” (direct speech).7 Lantaran bersifat cair dan sementara, konstruk yang terbentuk tipe dari komunikasi ini memungkinkan untuk diwacanakan sebagai komoditi. Artinya, tipe komunikasi yang lebih sering berbentuk ngoko dan jarang bermakna “moralistik”, apalagi “optimistik”, itu menjadi cenderung di-krama-kan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.8 Salah satunya melalui infotainment kepentingan media televisi untuk meningkatkan nilai rating dan share menjadi alasan yang paling sah dalam

5 H. M.J. Maier (2005), “In Search of Memories – How Malay Tales Try to Shape History” dalam M. S. Zurbuchen, Beginning to Remember. The Past in The Indonesian Present, (Singapore: Singapore University Press), 109. 6 Ibid., 113. Lihat juga, J. T. Siegel (2001), “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno” dalam Basis, No. 03-04, Tahun ke-50, Maret-April, 19. 7 Selain direct speech, ada juga symbolic speech (ucapan simbolik) yang berbentuk kartun, komik, iklan, film, bahkan monumen dan upacara publik. B. R. O’G Anderson (2000), Kuasa- Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, (Yogyakarta: Mata Bangsa), 327-333. 8 Tentang ngoko dan krama dijelaskan oleh Benedict Anderson sebagai tingkatan “rendah” (akrab, informal) dan “tinggi” (sopan, formal) dalam bahasa Jawa. Ibid., 328.

3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengkomodifikasikan keaiban selebritis, baik secara skandalistik maupun biasa- biasa saja. Komodifikasi inilah yang membuat keaiban selebritis mudah untuk berkelit dari dan/atau diabaikan oleh mata sebagian besar penonton Indonesia.

Masuk akal jika, meski telah difatwa “haram” oleh Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) yang masih percaya dengan paham logosentris9, tontonan ini tetap berlangsung.10 Bahkan, kendati Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI) telah memposisikan-ulang infotainment sebagai tontonan “non-faktual”, keaiban selebritis tetap menjadi wacana yang tak bisa lepas dari praktik-praktik komodifikasi di media.

Wacana keaiban selebritis yang dikomodifikasikan dalam infotainment dapat diamati misalnya, dari kasus poligami Aa Gym (Yan Gymnastiar bin

Engkus Abdullah). Kasus yang menghebohkan ini sempat merusak citra ustadz populer itu, terutama di mata kaum perempuan, karena telah mengakibatkan cerainya Aa Gym dengan Teh Ninih (Ninih Muthmainnah) istri pertamanya pada

21 Juni 2011.11 Namun, kehebohan perceraian yang menempatkan posisi Teh Rini

(Alfarini Eridani) sebagai istri pertama justru dikagetkan dengan rujuknya Aa

Gym dengan Teh Ninih yang memposisikannya sebagai istri kedua. Di sinilah gosip yang beraroma keaiban selebritis diretorikakan dalam infotainment antara

Teh Ninih, Aa Gym dan Teh Rini.

9 “Fatwa MUI: "Infotainment" Haram!”, http://oase.kompas.com/read/2010/07/28/01151141/“Fatwa MUI: Infotainment Haram” dan TB Ardi Januar (2009), “PBNU : Infotainment Haram”, http://news.okezone.com/read/2009/12/25/337/288252/pbnu-infotainment-haram. 10 “Tantowi Yahya: Infotainment Tak Dilarang”, http://log.viva.co.id/news/read/164716- tantowi--80--keluhan-ke-kpi-soal-infotainment. 11 “Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya-Bercerai”, http://www.tempo.co/read/news/2011/06/21/125342287/Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya- Bercerai.

4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Penggosipan ini membuat wacana keaiban selebritis menjadi semakin menggiurkan untuk dipertontonkan12 karena ada sesuatu yang ditutup-tutupi, tetapi menantang untuk dilihat. Hasrat itu memberi simulasi kenikmatan yang membuat subjek mengalami proses “kemenubuhan” dengan segenap pengindraannya. Dengan kata lain, tubuh menjadi “medium simulasi realitas dramatis” yang bukan sekadar menghasilkan hasrat untuk mengintip, melainkan juga hasrat untuk membangun ilusi yang menggiring pada, sebagaimana dinyatakan Jean Baudrillard, sebuah hiperrealitas.13 Di sini batas antara yang real dengan yang virtual terlampau tipis untuk dibedakan. Akibatnya, hanya yang simbolik yang dominan dan berperan dalam membentuk simulacra14 yang disesaki dengan berbagai kode dan mode seperti tampak dalam media televisi.

Tak heran, pengalaman mengintip dan berilusi menjadi bentuk lain dari penetrasi dunia luar ke dalam diri yang berlangsung secara dominan melalui indra penglihatan. Indra inilah yang dianggap sebagai indra yang paling sosial karena membantu untuk mengungkapkan diri kepada yang lain. Tetapi, indra ini jugalah yang seringkali menutup kemungkinan indra-indra yang lain untuk tampil. Inilah tirani visualitas yang menciptakan arena “dominasi yang luar biasa dari melihat atas mendengarkan”15. Masih ditambah lagi, arena ini dibentuk dengan rasa estetik yang populer. Artinya, realitas yang dihadirkan tidak semata-mata bersifat dramatik dan/atau akrobatik, tetapi juga fatalistik. Masuk akal jika ketika menonton tayangan infotainment, orang selalu ingin mencari dan menanti sesuatu

12 N. Postman (1995), Menghibur Diri Sampai Mati (Mewaspadai Media Televisi), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan). 13 J. Baudrillard (1998d), “Simulacra and Simulation” dalam M. Poster (ed. & intro.), Jean Baudrillard. Selected Writting (Stanford: Stanford University Press). 14 Ibid., 164. 15 F. Budi Hardiman (2003), “Tirani Visualitas”, Kompas Bentara, Rabu 5 November, 38.

5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang lain. Seakan-akan ada ketakutan akan kekosongan yang tak pernah tergantikan meski yang disaksikan dalam infotainment adalah sesuatu yang diulang-ulang, bahkan sudah tuntas.

Dalam konteks ini, keaiban selebritis selalu menggoda untuk diarenakan dalam fenomena “ngegosip”. Arena yang sudah lama ada dalam masyarakat ini dihadirkan kembali melalui infotainment untuk membicarakan berbagai pengalaman yang sama dan diretorikkan secara simulatif. Dalam penelitian ini, konstruk dari keaiban selebritis yang dibangun melalui simulasi dan membuatnya tampil lebih menarik dalam infotainment merupakan tema pokok yang diamati sebagai bagian khas dari budaya televisi.

1.2 Rumusan Masalah.

Dengan latar belakang seperti itu, beberapa permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bentuk-bentuk retorik macam apa yang dikonstrukkan secara dominan

sebagai penanda utama dalam infotainment keaiban selebritis?

2. Bagaimana bentuk-bentuk retorik itu ditampilkan secara audio-visual

dalam infotainment keaiban selebritis mengingat tipisnya batas-batas

antara realitas tiruan (virtual reality) dengan tiruan realnya (real

virtuality)?

3. Paradigma budaya seperti apa yang terbentuk dari realitas tiruan

dan/atau tiruan real dalam infotainment keaiban selebritis yang melulu

bersifat mekanis berbasis teknologi informasi dan komunikasi modern?

6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mewaspadai bentuk-bentuk retorik yang dikonstrukkan secara dominan

dalam infotainment keaiban selebritis.

2. Memahami dan memaknai dengan jeli politik media berbasis teknologi

komunikasi dari realitas virtual (virtual reality) dan/atau virtualitas real

(real virtuality) yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk retorik keaiban

selebritis dalam infotainment.

3. Mengungkap dan menyebar-luaskan paham dan aksi dari paradigma

budaya hasil kaji-ulang dari realitas dan/atau virtualitas infotainment

keaiban selebritis.

1.4 Pentingnya Penelitian

Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat posisi televisi di

Indonesia sejak tahun 1998 semakin memainkan peran yang sedemikian menentukan bukan hanya dalam konteks perkembangan media massa, tetapi juga berkait dengan bidang ekonomi, politik dan budaya masyarakat pada umumnya.

Hal ini dapat dilihat dari pengaruh faktor kepemilikan media misalnya, yang selalu tercatat sebagai pemasok belanja iklan terbesar dalam industri media.

Masuk akal jika konglomerat media seperti PT Media Nusantara Citra (MNC) yang mengoperasikan tiga stasiun televisi nasional, yakni: RCTI, Global TV dan

MNC TV dan sejumlah televisi lokal, yaitu: Deli TV, Lampung TV, Minang TV,

UTV (Batam), Indonesia Music TV (Bandung), PRO TV (Semarang), BMS TV

(Banyumas), MHTV (Surabaya), Kapuas Citra Televisi (Pontianak), BMC TV

7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(Denpasar), SUN TV (Makassar), MGTV (Magelang), SKY TV (Palembang),

TAZ TV (Tasikmalaya), menjadi pemimpin utama dalam bisnis media dengan mencetak pendapatannya di tahun 2012 sebesar 6, 09 milyar.16 Dari sejumlah stasiun televisi yang ada,17 konglomerasi media yang dimiliki Hary

Tanoesoedibyo telah menjadi pusat perhatian lantaran langkah-langkah politiknya yang cukup mengejutkan dan serba tak terduga. Sebagaimana telah dikabarkan secara luas, pemilik MNC TV itu telah mengundurkan diri dari Partai Nasional

Demokrat (Nasdem) milik Surya Paloh yang menguasai Media Group dengan

Metro TV-nya dan dengan diam-diam menyelinap ke Partai Hati Nurani Rakyat

(Hanura) milik mantan Jenderal Wiranto.18 Dengan langkah-langkah ini, menjadi jelas bahwa media memiliki kekuatan sebagai perpanjangan tangan manusia (the extension of man) sebagaimana dinubuatkan Marshall McLuhan19, termasuk bagi sejumlah partai politik yang sedang mendandani diri untuk tampil pada pesta demokrasi atau Pemilu (Pemilihan Umum) di tahun 2014.

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijelaskan mengapa dan bagaimana infotainment menjadi salah satu komoditi unggulan atau bentuk komodifikasi utama dari industri televisi. Gencarnya kabar tentang penawaran saham perusahaan media milik Bakrie Group, yaitu PT Viva Media Asia yang menaungi stasiun televisi ANTV dan TV One serta portal berita vivanews.com, dengan harga

USD 1,5 miliar, baik kepada Chairul Tanjung maupun Hary Tanoesoedibjo

16 Raras Cahyafitri (2013), “Strong audience footing boosts MNC’s income ads”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/strong-audience-footing-boosts-mnc-s- income-ads.html. 17 Lihat, Lampiran Tabel 2 Kelompok Kepemilikan Media di Indonesia. 18 “Hary Tanoe quits Nasdem”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/21/hary-tanoe- quits-nasdem.html dan ”Businessman Hary Tanoesoedibjo join Hanura”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/17/businessman-hary-tanoesoedibjo-join- hanura.html. 19 M. McLuhan (1964), Understanding Media: The Extensions of Man, (New York: McGraw- Hill).

8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membuktikan bahwa industri ini masih dianggap amat kompetitif.20 Meski hanya menayangkan berita-berita yang remeh-temeh seperti perselingkuhan, kawin- cerai, atau sekadar rutinitas hidup sehari-hari dari para selebritis, namun sulit untuk dibantah bahwa realitas yang dihadirkan lewat tayangan itu tak kalah sensasionalnya dibanding acara-acara televisi yang lain. Dengan kata lain, infotainment sepertinya mampu mengkonstruk realitas yang seakan-akan lebih real dari realitas yang sebenarnya. Hal ini merupakan hasil dari konstruk atau pembentukan realitas yang mampu menyamarkan, atau bahkan menghilangkan, tanda-tanda yang dijadikan rujukan dari realitas yang sesungguhnya. Penyamaran dan/atau penghilangan inilah yang memungkinkan infotainment tampil sebagai realitas yang hiper tanpa ada hypen (-) yang menghubungkan atau membedakannya sekalipun.21 Dengan konstruk itu, infotainment kerapkali dipandang sebagai sebuah common sense yang mengandaikan apa yang ditayangkan adalah realitas yang secara empiris sudah ada dalam kehidupan sehari-hari lantaran secara bawaan ada dalam pikiran atau gagasan. Itulah mengapa tidak sedikit pihak-pihak yang merasa dirugikan, atau bahkan “diteror” sedemikian rupa oleh tayangan infotainment sehingga mereka merasa seperti berada dalam situasi yang tak berdaya dan terasing. Dalam situasi seperti ini, infotainment agaknya hanya mampu menolong melonggarkan ikatan-ikatan antara yang real dengan yang virtual. Pendek kata, infotainment sekadar menayangkan

20 “Chairul Tanjung Akui Akan Beli TVOne-ANTV dan Vivanews”, http://jogja.tribunnews.com/2013/03/29/chairul-tanjung-akui-akan-beli-tvone-antv-dan- vivanews/; A. Fitriadi (2013), “Hary Tanoesoedibjo Segera Miliki TV One?” http://politik.kompasiana.com/2013/02/20/mnc-akan-beli-tv-one--535440.html; D. Rachmat Kusuma (2013), “TVone Cs Mau Dijual? Anindya Bakrie: Semua Masih Spekulasi”, http://finance.detik.com/read/2013/06/05/125846/2265452/6/tvone-cs-mau-dijual-anindya- bakrie-semua-masih-spekulasi. 21 R. Mrázek (2006), Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), xviii.

9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kisah-kisah dari dunia selebritis yang sublim atau tak berbentuk, apalagi terukur,

dalam retorika keaiban selebritis.

Sumbangan utama dari penelitian ini adalah menawarkan cara pandang yang

berupaya untuk memahami dan menafsir serta mewaspadai infotainment keaiban

selebritis. Artinya, infotainment yang selama ini ditayangkan dalam retorika

keaiban selebritis telah menyebarkan gagasan tentang hiper-realitas yang

mengaburkan batas antara yang real dengan yang virtual sekaligus

menampilkannya secara natural. Apalagi dengan dukungan teknik retorika sebagai

gaya bicara dan tulis yang jelas, infotainment justru mampu menampilkan segala

sesuatunya menjadi tidak jelas atau membingungkan. Di sini tayangan yang

dikonstruk dengan memanfaatkan teknologi kamera22, termasuk teropong,

pesawat, kereta api, yang berperspektif “jelas dan aman (distinct and safe), di

balik kaca,”23 ternyata mampu melonggarkan ikatan-ikatan antara derau (sound) dan suara (voice), antara kata (word) dan perbuatan (deed)24. Itulah mengapa penelitian ini bermaksud untuk mengkaji ulang konstruk dari infotainment yang memungkinkan keaiban selebritis diretorikkan sebagai sebuah realitas yang virtual

22 Keunggulan dari kamera adalah mampu menangkap dan menggambarkan emosi, keadaan, tempat serta waktu secara lebih jelas melalui teknik-teknik yang menjadi penanda dan memberi petanda terhadap segala sesuatu. Close-up misalnya, yang ditandai dengan wajah dari orang tertentu menjadi tanda dari sebuah keintiman. Sementara, medium-shot yang hanya menampilkan bagian setengah badan menunjukkan hubungan yang bersifat personal. Long- shot sebagai setting dan karakter dari sebuah objek memperlihatkan konteks dan jarak yang diobjekkan. Full-shot dengan seluruh badan objek menampilkan hubungan sosial yang ada. Selain itu, sudut pandang kamera juga turut menentukan penampakan dari gambar dan suara yang ditampilkan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Pan-down (kamera mengarah ke bawah) menandakan kekuasaan atau kewenangan. Pan-up (kamera mengarah ke bawah) menunjukkan kelemahan atau pengecilan. Dolly-in (kamera bergerak ke dalam) memperlihatkan observasi atau fokus tertentu. Fade-in (gambar tampak di layar) dan Fade-out (gambar menghilang di layar) mencerminkan permulaan dan penutupan. Cut (perpindahan gambar) menandai kesinambungan atau ketertarikan. Wipe (gambar terhapus dari layar) merupakan sebuah kesimpulan. Lihat, A. Asa Berger (2005), Media Analysis Technique, (California: Sage Publications). 23 Mrázek, (2006), op.cit., 164. 24 Ibid., 261.

10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan menempatkannya sebagai sebuah virtualitas yang real. Melalui kaji ulang ini, diharapkan dapat dideteksi paradigma budaya seperti apa yang terbangun melalui infotainment dengan retorik keaiban selebritisnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian pionir tentang budaya televisi telah dihasilkan oleh

John Fiske25 dan John Hartley26. Keduanya merupakan peletak dasar dari kajian budaya televisi yang telah memberi kerangka pemikiran secara otentik dan sistematis bagaimana dan mengapa budaya televisi begitu kuat membayangi hidup sehari-hari masyarakat. Baik Fiske maupun Hartley, mampu menjelaskan bahwa budaya televisi adalah teks yang dominan dalam masyarakat dan memprasyaratkan kesenangan yang sebelumnya luput dari perhatian banyak orang. Budaya itu sangat masuk akal untuk direproduksi dari masa ke masa meski hanya menghasilkan gaya hidup yang amat banal. Bahkan budaya yang menikmatkan juga sekaligus memuakkan ini menjadi tak terbantahkan meski tak tertanggungkan sebagai ritual dalam hidup sehari-hari.

Melalui penelitian-penelitian itu, dapat dipahami dan disadari lebih dalam mengapa televisi masih bertahan sebagai barang kultural yang layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Meski kenyataannya, tak sedikit kajian dan temuan yang menempatkan televisi sebagai “musuh” bagi masyarakat, namun konstruk atau produksi barang kulturalnya masih tetap dinikmati dengan berbagai cara dan rasa. Di sinilah sumbangan dari penelitian-penelitian ini bahwa budaya televisi bukan semata-mata teknik untuk menciptakan kesenangan, melainkan juga seni

25 J. Fiske (1987), Television Culture: Popular Pleasures and Politics, (London: Methuen & Co. Ltd). 26 J. Hartley (1999), Uses of Television, (New York & London: Routledge).

11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

untuk mengkonstruk realitas melampaui kesenangan yang selama ini dikonsumsi baik secara menyenangkan maupun tidak menyenangkan.

Keunikan dari penelitian Fiske adalah pada kajiannya yang memperlakukan televisi sebagai sebuah “teks”. Artinya, Fiske mengkaji perbedaan lapisan-lapisan makna dan isi dari barang kultural bernama televisi itu. Melalui kajiannya, Fiske ingin menunjukkan bahwa para penonton tidak hanya sekadar mengkonsumsi berbagai produk yang ditawarkan di televisi, tetapi justru membaca dan menafsirnya sebagai teks. Maka, dengan kajiannya yang menggunakan pendekatan semiotik Fiske menolak gagasan umum bahwa “penonton” adalah massa yang tidak kritis karena mereka memiliki latar belakang sosial dan identitas yang khas.

Sedangkan Hartley berupaya merekonseptualisasi televisi sebagai media transmodern dan menciptakannya sebagai media pengajaran kultural yang lintas geografis dan komunikasi budaya. Melalui kajiannya yang bersifat historis,

Hartley memfokuskan penelitiannya pada acara-acara televisi yang disiarkan dalam bentuk dokumenter dengan menganalisis dampak kulturalnya. Terinspirasi dari Richard Hoggart yang melakukan kajian berjudul The Uses of Literacy,

Hartley mengkaji-ulang peranan televisi dalam mempromosikan pengajaran kultural melalui media transmodern yang direpresentasikan melalui

“democratainment” dan “do-it-yourself citizenship”.

Sementara, penelitian yang berkait secara tematik dengan infotainment pernah dilakukan Vissia Ita Yulianto27. Dalam penelitian ini yang berjudul

“Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia”, dipaparkan

27 V. Ita Yulianto (2012), “Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia” dalam A. Heryanto (ed.), Budaya Populer di Indonesia. Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, (Yogyakarta: Jalasutra), 191-211.

12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

bagaimana praktik konsumsi gosip dalam infotainment di televisi telah membentuk ulang wacana domestikasi perempuan di Indonesia. Dengan memberikan gambaran awal tentang infotainment di Indonesia, praktik konsumsi gosip dilihat sebagai bentuk domestikasi baru terhadap politik kebudayaan yang berorientasi pada perempuan. Dengan kata lain, gosip yang terlanjur dijadikan identitas bagi kaum perempuan Indonesia mampu dimanfaatkan oleh media massal, seperti televisi, untuk menjadikannya sebagai komoditi.

Penelitian yang amat komprehensif dan mendalam ini mampu menjelaskan mengapa praktik konsumsi gosip melalui infotainment di televisi begitu dominan dalam hidup sehari-hari masyarakat, khususnya kaum perempuan, di Indonesia.

Bagaimana pula dominasi itu ditanggapi oleh kaum perempuan yang mau tidak mau terdomestifikasi sebagai objek kultural yang dibangun melalui infotainment.

Namun sayangnya, penelitian itu belum sampai pada tataran kekuatan objek kultural yang telah mendomestikasi ulang wacana keperempuanan sebagai subjek yang mengkonsumsi gosip. Artinya, penelitian itu justru memfetiskan wacana keperempuanan karena hanya berhenti pada masalah praktik konsumsinya, bukan pada soal kekuatan yang membuat orang mengkonsumsi barang tertentu, termasuk infotainment. Persoalan ini menjadi penting mengingat barang yang dikonsumsi itu tidaklah netral, atau tidak berdiri di sana sebelum ada konsumsi. Tetapi, barang itu sudah ada dalam ingatan setiap orang, bahkan membayangi seluruh kegiatannya. Dengan demikian, barang itu pada dasarnya memiliki kekuatan seduksi atau menggoda yang mampu menembus ke dalam benak siapapun juga, termasuk infotainment.

13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Maka, untuk dapat memahami dan menafsir seberapa luas dan dalam barang itu membentuk kemanusiaan masing-masing, diperlukan pengukuran yang lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Dengan kata lain, melalui rasa (taste) daripada akal (rational), kekuatan barang itu mampu merasuki kekosongan dalam hidup sehari-hari yang selalu tak pernah mampu merepresentasikan realitas yang ada. Itulah mengapa rasa yang dibangun melalui infotainment di televisi selalu bersifat menggoda dan sekaligus mengedukasi, mereedukasi, mengajari dan melatih setiap orang untuk mempraktikkan gosip. Inilah implikasi metodologis yang lolos dalam penelitian ini, sehingga gagal untuk menerjemahkan komunitas rasa yang membentuk ulang domestikasi terhadap kaum perempuan di Indonesia.

Penelitian lain dengan tema serupa juga pernah dilakukan oleh H. Pudjo

Santosa dengan judul “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di

Televisi”.28 Dalam penelitian ini Santosa menunjukkan bahwa para penonton infotainment tak bisa lepas dari praktik-praktik komodifikasi yang dikerjakan melalui simulasi dan tabloidisasi di televisi. Itulah mengapa apa yang ditayangkan dalam infotainment seakan-akan selalu siap untuk ditonton oleh siapa saja yang membutuhkan sumber informasi agar tetap dapat bergosip. Dengan informasi itulah, mereka yang selama ini menjadi penonton infotainment dianggap dapat memperoleh kejelasan atas segala sesuatu yang tidak jelas melalui televisi.

Padahal dalam kenyataannya justru menunjukkan hal yang sebaliknya dan lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap hal itu seolah-olah membiarkan, bahkan terkesan cuci tangan.

28 H. Pudjo Santosa (2005), “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi”, Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Selain itu, Subkhi Ridho juga pernah meneliti infotainment sebagai imajinasi yang disukai, dibenci dan dikritik oleh kalangan aktivis perempuan di

Yogyakarta dengan judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang

Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan

Perempuan Yogyakarta.”29 Permasalahannya, Ridho yang “mencangkok” metode penelitian dari Ien Ang tentang para penonton opera sabun di Belanda seperti kehilangan kepercayaan diri untuk menunjukkan bahwa hasil penelitiannya adalah otentik. Selain karena berbeda topik kajiannya, Ridho tampak terlalu yakin bahwa aktivis perempuan yang berideologi populis mustahil untuk mengkonsumsi budaya televisi yang remeh-temeh dan tak jarang menyesatkan. Di sinilah tesisnya yang secara tematik relatif menarik justru seperti “dikoloni” oleh kajian Ang yang telah mampu memaparkan bahwa budaya massa yang dibentuk oleh televisi telah mendominasi kehidupan setiap orang yang menontonnya tanpa memandang jenis kelamin, pendidikan, atau kelas sosial tertentu. Alih-alih ingin membuktikan

“kebenaran” dari kajian Ang, tesis ini justru terperangkap dalam femininasi yang oleh Ang disebut sebagai ideologi populis yang dituduh membungkam kekritisan.

Andai tesis ini mampu melangkah lebih jauh melampaui tiga kategorisasi penonton yang dihasilkan Ang, mungkin akan ditemukan “kebenaran” lain yang bukan sekadar membenarkan kedigdayaan budaya massa, tetapi menempatkannya sebagai “wilayah” yang menjadi prasyarat bagi dominannya budaya televisi.

Budaya itulah yang memungkinkan infotainment dijadikan komoditas tontonan yang bukan semata-mata mampu memberi kepuasan, tetapi juga mendramatisir

29 S. Ridho (2010), “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta”, Tesis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

keaiban selebritis yang dijadikan tragedi sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan rasa ingin tahu meski hanya sekilas.

Sedangkan Mulharnetti Syas meneliti infotainment dengan judul “Relasi

Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment”.30 Melalui penelitiannya itu, Syas menemukan bahwa tayangan infotainment dianggap terlalu berlebihan. Hal itu ditunjukkan dalam proses produksi infotainment yang tidak sepenuhnya mengikuti etika jurnalistik dan kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Masuk akal jika dari 49 program yang ditayangkan oleh 11 stasiun televisi, kecuali TVRI, infotainment hanya menayangkan hal-hal yang mempergunjingkan urusan rumah tangga yang sarat perselingkuhan, perceraian, dan perselisihan orangtua serta anak yang selalu mendapatkan rating yang tinggi. Maka bukan kebetulan jika relasi kekuasaan yang terbentuk melalui infotainment lebih dipengaruhi oleh etika kapitalis daripada prinsip kebenaran, klarifikasi, independen, dan proporsional dalam pemberitaan.

C.B. Bambang Kukuh Christono Adi pernah pula mengkaji soal budaya televisi yang dikemas dalam acara hiburan yang menghadirkan Inul sebagai subject matter yang kontroversial berjudul “Siaran Televisi sebagai Produksi

Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh

Stasiun Trans TV”.31 Disebut kontroversial karena kemunculannya di pentas musik Indonesia telah memberi suasana yang menimbulkan dukungan dan

30 M. Syas (2010), “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment”, Disertasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Jakarta. 31 C.B. Bambang Kukuh Christono Adi (2010), “Siaran Televisi sebagai Produksi Budaya : Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh Stasiun Trans TV”, Tesis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penolakan. Pihak yang mendukung terhadap penyanyi dangdut itu berpandangan bahwa penampilan Inul biasa-biasa saja dan sama sekali tidak bertentangan dengan masalah etika dan moral. Sementara pihak yang menolak menilai Inul hanya menjual tubuhnya daripada suaranya dan karena itu tidak layak tampil sebagai penyanyi dangdut yang musiknya terlanjur dimitoskan beraroma keagamaan. Maka dengan acara itu, figur Inul yang kontroversial ingin direproduksi sebagai sosok yang tidak hanya mengekploitasi wacana kebertubuhan lewat goyang “ngebor”-nya, melainkan justru demi membangun wacana lain yang dapat mempopulerkan musiknya.

Dalam penelitiannya, Adi mampu menunjukkan bagaimana acara “Rindu

Inul” dibentuk dan dijadikan komoditi hiburan lewat televisi. Artinya, acara itu bukan semata-mata merupakan bentuk keprihatinan terhadap seni yang dipinggirkan, tetapi justru adalah sebuah konstruksi dan produksi atas seni yang dikomoditikan sebagai hiburan popular. Di sini penelitian Adi mampu menggemakan apa yang dikontruksi dan diproduksi sebagai komoditi hiburan itu dengan paparan data yang lengkap dan memikat. Namun data yang demikian itu gagal untuk dieksekusi karena tidak mampu memperlihatkan nilai guna dari popularisasi seni yang berakibat pada komodifikasi yang menciptakan parodi.

Inilah yang menyebabkan kajian terhadap produksi budaya yang dihasilkan melalui siaran televisi pada acara “Rindu Inul” ini tersesat dalam wacana ekonomi yang hanya berhenti pada soal barang komoditinya, belum sampai pada barang kulturalnya.

17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1.6 Kerangka Teoritis

Dari sejumlah penelitian yang telah dipaparkan di atas, penelitian tentang infotainment ini memakai teori simulasi yang dirumuskan oleh Jean Baudrillard.

Teori ini dipakai karena diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk retorik yang digunakan dalam infotainment dan membantu untuk menganalisa mengapa bentuk-bentuk retorik itu yang dimanfaatkan sebagai model-model bahasanya. Di samping itu juga, melalui teori itu dapat diperoleh pemahaman yang lengkap dan mendalam mengenai paradigma budaya yang terbentuk akibat dari pemakaian bentuk-bentuk retorik tersebut.

Teori simulasi sebagaimana digagas Baudrillard berangkat dari analogi bahwa teritori mendahului peta. Artinya, peta dianggap sebagai representasi atau rujukan utama dari teritori itu sendiri. Namun dalam simulasi yang terjadi adalah sebaliknya, peta mendahului teritori. Hal inilah yang menyebabkan realitas sosial, politik, bahkan budaya, yang membentuk teritori dipandang bukan lagi sebagai cermin atau konsep yang memetakan kenyataan yang ada, melainkan telah digantikan oleh, mengutip Baudrillard, “model-model atas realitas yang tanpa acuan atau realitas, sebuah hiperreal.”32 Melalui model-model ini, keberadaan dan penampakan dari realitas tidak lagi berkaitan dengan apa yang disimulasikan.

Sebab yang disimulasikan bukanlah realitas itu sendiri, akan tetapi tiruan dari realitas yang ditiru dalam bentuk model-model tertentu. Namun, model-model tiruan itu justru menjadi real dalam ruang yang dibuat seolah-olah nyata, tapi sesungguhnya semu. Jadi, antara yang nyata dan yang semu tidak dapat dibedakan lagi dengan jelas mengingat tipisnya batas-batas di antara keduanya. Itulah

32 J. Baudrillard (1988d), “Simulacra and Simulation” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting, (Stanford: Stanford University Press), 166.

18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengapa dalam simulasi sesuatu yang tampak real, atau sebaliknya imaginer, dapat tampil secara bersamaan sebagai realitas yang lebih real daripada realitas itu sendiri.

Dalam konteks ini, simulasi yang berasal dari kata Latin, simulare yang artinya membuat tiruan, bukan semata-mata perkara apa atau siapa yang ditiru, melainkan bahwa ada perbedaan yang tajam antara yang ditiru dengan penampakan aslinya.33 Artinya, simulasi (berpura-pura memiliki) yang berbeda dengan disimulasi (berpura-pura tidak memiliki) mampu menghasilkan sebentuk simulacrum yang merupakan sebuah tiruan tanpa keaslian (a copy without original). Namun dalam simulacrum jenis representasi yang dihasilkan melalui simulasi bukan hanya untuk kepentingan berdalih atau berpura-pura belaka, melainkan menciptakan semacam simptom-simptom yang mengabaikan atau menopengi, bahkan mengancam perbedaan antara yang “asli” dengan yang

“palsu”, “yang real” dengan “yang imaginer”. Dengan kata lain, simulacrum

(bentuk jamak: simulacra) tidak sekadar dipahami sebagai image atau penampakan yang palsu atau menyamarkan kebenaran, tetapi justru menyembunyikan absennya kebenaran. Maka simulacrum menjadi kebenaran itu sendiri.

Penting untuk diketahui bahwa simulacrum yang merupakan hasil dari simulasi adalah (re)produksi penanda-penanda yang memberi efek real atau rujukan sebagai bayangan atau “alibi”. Namun “yang real” bagi Baudrillard hanyalah simulacrum atas “yang simbolik” dan bentuknya telah direduksi dan dipotong oleh berbagai tanda. Maka, dalam tatanan simulacra ada 4 klasifikasi

33 R. G. Smith (2010), The Baudrillard Dictionary, (Edinburgh: Edinburgh University Press).

19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang disusun secara spekulatif oleh Baudrillard.34 Tatanan pertama yang didominasi dari era Renaissance sampai dengan Revolusi Industri didasarkan pada hukum nilai alami dengan karakteristik imitasi (counterfeit). Tatanan kedua yang didominasi selama era industri didasarkan pada hukum nilai pasar dengan karakteristik ilusi (production). Tatanan ketiga yang didominasi masyarakat konsumsi di bawah perintah “hukum nilai struktural” dengan karakteristik simulasi (simulation). Ketiga tatanan itu menjadi alat-alat kontrol sosial sekaligus struktur kekuasaan yang menghasilkan berbagai relasi sosial berdasar disjungsi biner. Karena itu, pada tatanan pertama siklus pertukaran simbolik diputus atau dipotong menjadi gagasan tentang “yang real”. Sementara pada tatanan kedua dan ketiga, gagasan keaslian dihapus melalui serangkaian produksi industri yang tak terbatas dan berbagai makna serta objek tidak sekadar diproduksi, tetapi dibentuk pula oleh kemampuan reproduksinya.

Pada tataran ini, makna atau nilai yang dihasilkan lebih ditentukan oleh keterkaitannya dengan suatu model yang realitasnya telah dipengaruhi oleh simulacrum. Di sinilah implosi makna melalui hiperrealitas terjadi sekaligus menghilangkan “kedaulatan atas perbedaan” dengan terciptanya suatu ilusi yang disebut “realitas”.35 Dengan kata lain, realitas tidak selamanya menjadi real lantaran representasinya sudah tidak sesuai lagi dengan realitasnya. Hal ini merupakan akibat dari tercerabutnya tanda dari makna simboliknya yang membuat ilusi menjadi simulasi yang memikat dengan penampakan yang begitu menggoda. Godaan dalam bentuk simulasi inilah yang memungkinkan seduksi

34 K. Toffoleti (2011), Baudrillard Reframed. Interpreting Key Thinker for the Arts, (London- New York: I.B. Tauris). 35 G. Genosko (1994), Baudrillard and Signs. Signification Ablaze, (London & New York: Routledge).

20 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

terjadi dalam batas-batas yang melampaui representasi antara “yang asli” dan

“yang palsu”, bahkan “yang benar” dan “yang salah” sekalipun. Maka melalui seduksi realitas yang ditiru dalam simulasi menjadi tidak dapat dibedakan lagi dengan realitas yang sesungguhnya karena realitas itu sudah benar-benar menjadi real seperti aslinya, bahkan tak jarang melebihinya.36 Realitas semacam ini dimungkinkan berkat reproduksi mekanis yang dilakukan melalui tranformasi seni dengan media visual. Dengan repoduksi yang melibatkan barang-barang kultural, terutama seni, seperti lukisan, foto, rekaman suara, bahkan film, simulasi itu sudah bukan semata-mata untuk membuat sesuatu menjadi terlihat dan dikenali, tetapi justru untuk membuat realitas menjadi semakin real dengan segenap image yang dibangun melalui 4 tahap berturut-turut berikut ini.37 Pertama, ketika image menjadi refleksi dari suatu realitas. Kedua, ketika image menopengi dan menyelewengkan realitas. Ketiga, ketika image menopengi absennya realitas.

Keempat, ketika image tidak lagi berkaitan dengan realitas.

Berbagai image yang ditampilkan melalui keempat tahap itu memperlihatkan bagaimana realitas dibentuk dalam simulasi yang menciptakan simulacra melalui kekuatan nilai tanda yang merupakan bagian dari sistem simbolik. Nilai tanda yang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan atau bernilai guna dan berfungsi sebagai nilai tukar telah membuat realitas menjadi tampak berlebih-lebihan. Artinya, yang disebut real tidak lagi semata-mata dapat dimaknai dengan hukum nilai yang ada, tetapi sudah dipengaruhi oleh peniadaan atau penghapusan nilai sebagaimana terjadi dalam simulasi. Dalam hal ini, nilai

36 J. Baudrillard (1988c), “On Seduction” in M. Poster, Jean Baudrillard. Selected Writtings, (Stanford: Stanford University). 37 Baudrillard (1988d), op.cit., 170. Lihat juga, R. Appignanesi & Chris Garrat (1996), Introducing Postmodernism, (New York: Totem Books), 54-55.

21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tanda lebih ditentukan oleh kode-kode yang dihasilkan melalui simulacra dan

“yang real” tidak mungkin dicapai kecuali dalam hiperrealitas. Dengan kata lain, penanda yang berfungsi untuk menandai suatu makna tertentu menjadi kosong atau tidak bermakna lagi karena telah digantikan oleh makna lain yang tersembunyi dalam penampakan yang lebih menggoda. Di sinilah seduksi bermain dalam hiperrealitas sebagai penanda kosong yang membuat realitas tidak dapat dikenali dan diketahui lagi lantaran telah menjadi simulacrum yang sesungguhnya. Dalam kondisi itu, ilusi sudah tidak ada relasi lagi dengan realitas sebab “yang imaginer” telah dikuasai oleh tanda-tanda yang tanpa realitas atau rujukan. Itulah mengapa image yang terbentuk dalam simulacrum menjadi sulit untuk dipakai menandai perbedaan antara representasi dan realitas sehingga makna yang dihasilkan selalu absen, bahkan dengan mudah ditopengi atau diselewengkan.

Untuk mengungkap mekanisme pembentukan image itu, teori retorika amat bermanfaat guna menjelaskan dengan bahasa macam apa realitas yang telah disimulasikan disusun dalam tatanan simulacra yang mampu menciptakan suatu hiperrealitas. Dalam konteks ini, teori retorik yang signifikan dan sekaligus relevan untuk membantu pengungkapan image yang dipakai sebagai bahasa dalam tayangan infotainment yang menjadi fokus penelitian ini adalah yang berkaitan dengan metafor dan metonimi sebagai sebuah tropus. Keduanya merupakan aspek penting yang tak terpisahkan dan berperan amat besar dalam mekanisme pembentukan image di media modern, termasuk televisi.

22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tropus yang dalam retorika modern dikenal sebagai bahasa figuratif daripada sekadar bahasa literal38, diklasifikasikan dalam empat tropus utama

(master tropes), yakni metafor, metonimi, synecdoche, dan ironi. Pengelompokan ini dilakukan oleh Petrus Ramus pada tahun 1549 dalam kajiannya terhadap retorika klasik dari Aristoteles, Quintilian, and Cicero melalui Arguments in

Rhetoric Against Quintilian (Rhetoricae distinctiones in Quintilianum)39 dan dikembangkan oleh Giambattista Vico yang pada abad ke tujuh belas menuliskannya dalam The New Science.40 Kajian ini menandai bahwa “rhetoric not just as a method of persuading individuals, but as something deeper that assists individuals in “evaluating inter-relationships between discoveries”.”41

Maka, retorika modern yang menjadi sarana untuk memahami kehidupan sehari- hari melalui beragam tanda atau simbol yang diciptakan oleh media misalnya, lebih dipandang sebagai “elocution or style and delivery or pronunciation” daripada sekadar sebuah seni persuasif yang digunakan dalam retorika klasik.

Roman Jakobson menempatkan metafor dan metonimi sebagai dua jenis tropus utama atau axis yang meski beroposisi secara biner, namun satu sama lain saling terkait dan menjadi mode dasar dari komunikasi makna yang menghasilkan imajinasi atau konotasi yang melampaui makna yang sesungguhnya. Menurut

Jakobson, ““any linguistic sign involves two modes of arrangement”—

“combination” and “selection”.” Kedua mode itu diinspirasikan dari teori

Ferdinand de Saussure tentang “relasi-relasi sintagmatik dan asosiatif” yang

38 T. Hawkes (1972), Metaphor. (London: Methuen), 1. 39 P. Ramus (1986), Arguments in Rhetoric against Quintilian: Translation and Text of Peter Ramus's Rhetoricae distinctiones in Quintilianum (1549), transl. by Carole Newlands; introduction by J. J. Murphy, (DeKalb: IL). 40 G. Vico (1948), The New Science. 3rd Ed. Of 1744. Trans.Thomas Goddard Bergin and Max Harold Fisch. (Ithaca: Cornell UP). 41 C. Franklin (2009), “Peter Ramus: Signification in Rhetoric and Attack to Cicero”, IPDA (International Public Debate Association) vol. 3, no. 1, 46-56.

23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

didefinisikan dalam “in praesentia” dan “in absentia”.42 Dari teori ini, Jakobson mengembangkan teori baru mengenai dua mode relasi dalam dua axis yang dikenal dengan axis paradigmatik dan axis sintagmatik. Axis yang pertama bersifat sinkronik, in absentia, spasial, dan merupakan sebuah pemilihan, kesamaan, metafor. Sedangkan axis yang kedua bersifat diakronik, in praesentia, temporal, dan merupakan sebuah penggabungan, keberlanjutan, metonimi. Dari sinilah konsep tentang metafor dan metonomi dibangun sebagai bagian dari pembentukan wacana yang berlangsung pada tataran semantik dan merupakan kajian terhadap aphasia, yakni “a variety of problems with verbal expression, usually caused by brain damage”43 yang menjadi salah satu masalah penting dalam berbahasa atau berkomunikasi.

Metafor yang menghasilkan kesamaan (similarity) dari pemilihan (selection) atau penggantian (substitution) kata atau nama tertentu merupakan “one signified acting as a signifier referring to a different signified”.44 Dengan kata lain, metafor memberi makna baru terhadap kata atau nama yang menandai, bahkan melampaui, makna sebelumnya yang sudah ada. Itulah mengapa dalam metafor seolah-olah ada tanda atau simbol baru yang berfungsi mengalihkan makna yang sesungguhnya dari kata atau nama yang dimetaforikkan baik secara verbal maupun visual. Tanda atau simbol itulah yang secara paradigmatik menyediakan sejenis penanda (signifier) yang mampu memaknai kata atau nama yang ada dengan rujukan atau realitas yang berbeda. Maka metafor lebih diindikasikan

42 F. de Saussure (1966), Course in General Linguistics. Trans. Wade Baskin. (New York: McGraw-Hill), 123. 43 R. Jakobson (1971), “Two Aspects of Language and Two Types of Aphasic Disturbances” in R.Jakobson and M. Halle, Fundamentals of Language, (The Hague: Mouton). 44 D. Chandler (1995), Semiotics for Beginners. online version, (Wales: Aberystwyth University).

24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai tanda yang bersifat ikonik dan cenderung mengambil bentuk-bentuk yang simbolik seperti sebuah puisi.

Sementara metonimi yang menghasilkan keterhubungan (contiguity) dari penggabungan (combination) atau penggusuran (displacement) kata atau nama tertentu menciptakan suatu konteks yang mengimplikasikan sebuah penggantian

(substitution) sebab untuk akibat (cause for effect)45. Dalam konteks itu, metonimi menciptakan suatu relasi indexical yang merangkai keseluruhan makna dengan sebuah kata atau nama tertentu. Maka metonimi yang tidak memerlukan sesuatu yang bersifat imaginatif karena lebih berdasar pada pengalaman hidup sehari-hari menjadi lebih konkret dan fungsional untuk dipakai memaknai sesuatu secara keseluruhan meski hanya melalui kata atau nama tertentu saja. Itulah mengapa metonimi kerap dijadikan latar dari sebuah prosa yang mampu menghadirkan suatu peristiwa secara langsung dan natural.

Namun, sebagaimana dinyatakan Jakobson, meski metafor dan metonimi merupakan unsur penting dalam pembentukan wacana dalam tataran semantik46, keduanya, yang memiliki hubungan dengan dua tropus lainnya, yaitu synecdoche dan ironi, juga berperan penting dalam konteks semiotik dan psikoanalitik. Dalam arti ini, baik metafor maupun metonimi telah digunakan sebagai sarana retorika modern untuk mengkaji bukan sekadar struktur teks dan maknanya, tetapi juga apa yang disebut Saussure sebagai “the role of signs as part of social life”47 atau yang oleh Jacques Lacan diklaim dengan “the unconscious is structured like a

45 Ibid., 130. 46 Jakobson (1971), op.cit., 110. 47 Chandler (1995), op.cit., 95.

25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

language”.48 Kenyataan inilah yang menempatkan retorika modern dengan empat tropus utamanya, termasuk synecdoche dan ironi, sebagai salah satu teori penting dalam kajian sosial kemasyarakatan modern, terutama berkait dengan pembentukan tanda-tanda dan subjek kemanusiaannya. Maka, synecdoche yang kerap disebut sebagai bentuk khusus dari metonimi berfungsi untuk menggantikan kata atau nama dalam konteks eksternal “sebagian kecil untuk semua” atau “genus untuk spesies”, dan sebaliknya. Dalam media fotografi atau film, synecdoche tampil dalam bentuk close up yang menjadi semacam “slice-of-life” dari apa yang ditampilkan.49 Maka synecdoche seperti menyediakan sebuah celah untuk diisi

(“fill in the gaps”) yang secara langsung mengarahkan suatu penampilan, iklan rokok atau display barang misalnya, pada sesuatu yang ditargetkan tanpa perlu mengungkapkan secara keseluruhan. Sedangkan ironi yang disebut sebagai “the most radical of four main trope”50 mencerminkan sebuah pertentangan di mana penanda (signifier) yang menandai sesuatu secara ironik justru dikenali dari penanda lain yang menandakannya secara berbeda, bahkan bertolak belakang, meski tidak eksplisit. Jadi, dalam ironi seperti ada dissimilarity atau disjunction yang seolah-olah tidak mengetahui sesuatu, tetapi dinyatakan dengan maksud yang sebaliknya. Kendati demikian, ironi tidak dapat disamakan dengan kebohongan.51 Sebab dalam ironi tidak ada intensi untuk menyatakan

“kebenaran”, melainkan hanya untuk menunjukkan sesuatu yang bermakna

48 S. Rahimi (2009), “The Unconscious: Metaphor and Metonymy”, http://somatosphere.net/2009/04/unconscious-metaphor-and-metonymy.html. 49 Ibid., 103. 50 D. Chandler (2007), Semiotics. The Basics, Second Edition, (London & New York: Routledge), 134. 51 Ibid., 135.

26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

refleksif, objektif, atau bahkan skeptis. Maka tak jarang ironi hadir dalam bentuk humor atau sesuatu yang layak untuk ditertawakan.

1.7 Metode Penelitian

Dengan kerangka seperti di atas, penelitian ini dilakukan secara kualitatif terhadap isi dari tayangan infotainment yang terkonstruksi dalam wacana keaiban selebritis. Karena menyangkut soal isi, penelitian ini mengambil data-data dari infotainment di televisi dengan cara merekamnya secara langsung. Proses perekaman ini dilakukan selama bulan Maret hingga Mei tahun 2012. Dari berbagai infotainment yang direkam, penelitian ini akan memfokuskan pada kasus-kasus yang diwacanakan sebagai keaiban selebritis. Namun kasus-kasus yang dikaji dalam penelitian ini hanya berpusat pada tiga jenis saja. Pertama, kasus yang merupakan skandal biasa seperti kawin-cerai, selingkuh, rebutan harta waris, tapi ketika diberitakan dalam infotainment, kasus itu menjadi gosip yang menghebohkan dalam masyarakat. Kedua, kasus yang juga adalah skandal biasa, namun tidak menjadi gosip yang menghebohkan lantaran skandal itu seakan-akan telah diselesaikan, bahkan hilang begitu saja, ketika sesuatu yang dianggap mampu merasionalisasikannya sebagai sebuah common sense. Ketiga, kasus yang tidak sempat diberitakan dalam infotainment, meskipun mengandung daya khaos yang luar biasa, sehingga kasus itu tak pernah digosipkan dalam masyarakat kendati benar-benar ada.

Tiga jenis kasus itu menjadi data-data primer dalam penelitian ini. Artinya, melalui tiga jenis kasus itu, penelitian ini bermaksud untuk mengukur kekuatan dari infotainment yang dijadikan barang komoditi di televisi dalam pembentukan

27 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

subjek di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Data-data sekunder berupa berita- berita infotainment di media baik cetak maupun on-line dipakai sebagai pendukung dalam penelitian. Dengan kata lain, data-data itu digunakan untuk melengkapi pengolahan data dalam penelitian ini, sehingga dapat memperkuat kajian analitis terhadap komodifikasi infotainment melalui wacana keaiban selebritis.

1.8 Pengolahan Data

Dari data-data yang dikumpulkan, penelitian ini menggunakan pendekatan simulacra dan simulasi terhadap barang komoditi dalam bentuk infotainment.

Melalui pendekatan ini, infotainment akan dikaji ulang dengan mencermati hiperealitas macam apa yang telah dihasilkan dari barang komoditi yang telah menseduksi kebutuhan orang akan infotainment. Dari pencermatan itu, popularisasi dan/atau vulgarisasi terhadap infotainment akan dapat dikonstruk sebagai barang komoditi yang tumbuh, bahkan menginspirasikan, sebuah paradigma budaya modern yang ampuh.

Sementara, paradigma budaya yang berpusat pada infotainment justru cenderung menyebarluaskan gagasan tentang seni yang bukan semata-mata menghibur, tetapi juga seolah-olah menghadirkan realitas “siap pakai”. Artinya, dalam realitas seperti itu infotainment dijadikan sebagai “harga mati” yang memungkinkan masyarakat memposisikannya sebagai common sense. Meski berimplikasi secara vulgar, bahkan banal, terhadap pembentukan subjek untuk memenuhi kebutuhan akan seni, namun infotainment tetap dianggap sebagai pengalaman akan seni yang manusiawi, bahkan tak jarang dogmatis.

28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Padahal implikasi itu dapat menjadi masalah kemanusiaan yang serius manakala barang kultural yang ditawarkan adalah seni pop dalam bentuk infotainment yang mewacanakan keaiban selebritis. Pasalnya, wacana yang pada mulanya bermakna biasa-biasa saja ini, dalam infotainment justru dibuat begitu menghebohkan, sehingga mempengaruhi pembentukan kemanusiaan yang menjadi kekuatan simbolik dalam masyarakat. Artinya, masyarakat yang membutuhkan media untuk mengabstraksikan realitas guna membangun ilusi yang mampu memanusiakan hidup sehari-hari menjadi mudah tergoda oleh bujuk rayu seni pop sebagai barang kultural. Godaan atau seduksi itulah yang menantang untuk dikaji ulang dalam penelitian ini dengan mengamati pembentukan konstruk wacana keaiban selebritis dalam infotainment.

Maka dalam penelitian ini, data-data tentang sejumlah kasus yang ditayangkan dalam infotainment akan dibagi menjadi tiga jenis dan dikaji secara analitis melalui –langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, data-data dipilih dan dipilah berdasarkan pembagian jenis-jenis infotainment yang diwacanakan sebagai keaiban selebritis. Pemilihan dan pemilahan dilakukan dengan mengamati infotainment yang ditayangkan selama proses perekaman dan dari sana akan ditentukan mana infotainment yang mampu merepresentasikan ketiga jenis infotainment di atas.

Kedua, dari ketiga jenis infotainment itu, masing-masing akan dikaji melalui empat tahap proses pembentukan simulacrum yang terdiri dari menampilkan image sebagai cermin dari realitas keaiban selebritis yang ditayangkan dalam infotainment, mengungkap image yang disembunyikan dan dipandang sebagai realitas yang menandai keaiban selebritis dalam infotainment, menemukan image

29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang absen dari realitas yang ditandakan sebagai keaiban selebritis, dan menunjukkan tipisnya batas antara yang real dan virtual dari image dalam infotainment keaiban selebritis yang menampakkan simulacrum itu sendiri.

Ketiga, simulacrum yang dihasilkan dari kajian di atas akan dimanfaatkan untuk menjelaskan hiperealitas seperti apa yang telah menciptakan tanda-tanda dalam infotainment yang memungkinkan keaiban selebritis dijadikan sebagai seduksi.

Dengan metode dan pengolah data itu, penelitian ini berupaya memahami paradigma budaya seperti apa yang diciptakan dari penanda keaiban selebritis dalam infotainment. Dengan kata lain, konsep budaya macam apa yang tengah diduduki atau diokupasi oleh penanda keaiban selebritis dalam infotainment ingin diungkap secara lebih dalam untuk mengetahui apa yang membuat infotainment laku dijual sebagai barang-barang kultural. Karena hanya dengan demikian, akan dapat dipahami mengapa dan bagaimana kekuatan penanda keaiban selebritis yang sesungguhnya kosong justru mampu menjadi pembentuk subjek yang inderawi, empiris dan sensibel.

1.9 Skema Penulisan

Penulisan dari hasil penelitian ini akan diskemakan dalam lima bagian.

Bagian pertama adalah bab satu yang merupakan pendahuluan dari hasil penelitian ini. Bagian ini memaparkan tentang mengapa dan bagaimana konstruk wacana keaiban selebritis dalam infotainment begitu berpengaruh amat luas dan dalam pembentukan kemanusiaan. Pengaruh yang bukan saja dirasakan oleh orang-orang dewasa, tetapi juga anak-anak ini merupakan bentuk keprihatinan,

30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sekaligus gugatan, atas pembentukan budaya melalui barang-barang yang sudah sedemikian mengakar dan menyebar dalam kehidupan masyarakat selama ini.

Melalui pembentukan budaya itulah, masyarakat menjadi sedemikian mudah tergoda oleh bujuk rayuan barang-barang yang diproduksi semata-mata hanya untuk kepentingan konsumsi. Lebih parahnya, tanpa alasan tradisi dan ideologi yang jelas, konsumsi itu ditempatkan sebagai penanda utama bahwa “saya adalah apa yang saya konsumsi”. Di sinilah letak kepentingan penelitian ini yang berpretensi memperlihatkan sesuatu yang fatalistik dari konstruk wacana keaiban selebritis dalam infotainment terhadap pembangunan lingkungan kemanusiaan yang sudah semakin nihilistik, bahkan cenderung dramatik dan/atau akrobatik.

Bagian selanjutnya adalah bab dua yang memaparkan data-data historis tentang infotainment di Indonesia. Bagian ini menunjukkan bagaimana awal mula infotainment dibentuk dan dihadirkan dengan konstruk wacana keaiban selebritis di Indonesia. Data-data sekunder dipakai untuk mengabstraksikan seberapa luas dan dalam realitas yang telah dibentuk oleh infotainment sejak ditayangkan pada era 1990-an ketika Indonesia sedang mengalami krisis politik dan ekonomi global dan diikuti dengan beragam aksi Reformasi secara menyeluruh.

Berikutnya adalah bab tiga yang menampilkan data-data primer dalam penelitian ini yang mendeskripsikan jenis-jenis infotainment keaiban selebritis.

Dengan deskripsi ini, jenis-jenis infotainment yang didominasi oleh bentuk- bentuk retorik simulasi dapat diketahui dengan lebih jelas. Simulasi yang telah menciptakan simulacra/simulacrum dalam infotainment keaiban selebritis itu menjadi pemaparan mendalam dari hiperrealitas yang memungkinkan seduksi dikerjakan secara efektif dan operatif.

31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Diikuti dengan bab empat yang merupakan kajian analitik terhadap data- data yang telah dipaparkan pada dua bab sebelumnya. Dalam kajian ini, infotainment keaiban selebritis yang adalah sebuah simulacra dapat menjadi tontonan yang menawan dan menggiurkan meski tak jarang dinilai murahan, absurd, bahkan menyesatkan. Kedua rasa yang bersifat biner ini dapat hadir secara bersamaan dalam rangkaian tanda digital secara sintagmatik dalam infotainment, namun ada yang absen atau kosong dari penandaan itu. Kekosongan penanda yang tersembunyi ini merupakan bagian pokok yang penting dalam kajian ini lantaran akan menentukan seperti apakah paradigma budaya yang dihasilkan dalam hiperrealitas infotainment keaiban selebritis.

Bagian terakhir adalah bab penutup yang merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan untuk memahami dan menjelaskan konstruk wacana keaiban selebiritis dalam infotainment. Dalam kesimpulan ini, penanda kosong yang dihadirkan melalui infotainment keaiban selebritis merupakan temuan kunci yang dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana hiperrealitas dapat menjadi model realitas atau dunia baru yang di satu sisi berpenampilan begitu sempurna, tapi di lain sisi justru menyembunyikan sifat fatalis dan nihilisnya.

Bagian yang tak kalah penting dari hasil penelitian ini adalah daftar kepustakaan. Bagian ini memuat bacaan-bacaan literatur yang dipakai untuk melakukan kajian media ini. Bacaan-bacaan itu terdiri buku, jurnal dan majalah, surat kabar, rekaman video, sumber-sumber dari situs-situs di internet serta bacaan-bacaan “pop” yang khas tentang infotainment.

Bagian yang turut mendukung hasil penelitian ini adalah lampiran. Bagian ini memuat data-data pendukung seperti gambar, tabel, atau bagan yang

32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

membantu dalam kajian media ini agar dapat menjadi sumber alternatif untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

INFOTAINMENT:

KEAIBAN SELEBRITIS DALAM SIMULASI GOSIP

Menarik bahwa infotainment telah menjadi wacana penting dalam konteks perkembangan media global, terutama di Indonesia. Meski belum terlalu lama hadir, infotainment justru dinikmati sebagai barang komoditi yang layak dikonsumsi. Itulah mengapa seolah-olah tak ada yang mampu menghalang- halangi, apalagi melarangnya, lantaran infotainment dianggap sebagai tontonan yang sesuai dengan selera masyarakat di Indonesia.

Secara genealogi, infotainment merupakan bagian dari pembentukan awal televisi swasta di Indonesia yang mendapat angin keterbukaan dari era Reformasi

1998. Di era global itu, selain kebebasan politik dihalalkan, kebebasan informasi pun mendapat tempat yang lebih leluasa dan lebih berpihak pada swastanisasi atau privatisasi ruang-ruang publik. Dengan kata lain, kehadiran sejumlah televisi swasta seperti RCTI atau SCTV menjadi media baru untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi secara lebih menghibur. Media-media inilah yang dihadirkan sebagai “mainan baru”1 (a newtoy) bagi masyarakat.

Masuk akal jika RCTI yang menayangkan Cek & Ricek sebagai program infotainment pada tahun 2002 hadir dengan slogan “Jangan percaya gossip

1 Yulianto (2012), op.cit., 198. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebelum menyaksikan Cek & Ricek”. Slogan yang memberi image bahwa apa yang divisualkan lebih dapat dipercaya ketimbang hanya dikatakan menjadi retorik yang selalu disampaikan secara repetitif. Dengan repetisi itu, seolah-olah infotainment adalah media yang mampu memberikan rasa atau selera yang tidak dapat diperoleh dari media lain entah dalam bentuk berita, film, kuis, realty show atau beragam genre yang sudah ada sebelumnya. Singkatnya, hanya melalui infotainment segala informasi, termasuk hiburan, yang dibutuhkan masyarakat dapat dipenuhi tanpa perlu bersusah payah ke luar rumah. Cukup dengan duduk manis di depan televisi, segenap berita baik yang “ringan” maupun “berat” dapat dikonsumsi secara cepat dan berorientasi pada kesegeraan atau kekinian.

2.1 “Peta” dan “Wilayah” Infotainment di Indonesia

Di Indonesia infotainment kerap disebut sebagai generasi kedua pasca sinetron atau opera sabun yang sudah lebih dulu populer di tengah masyarakat.2

Kehadirannya sebagai semacam “berita ringan” yang memadukan unsur

“informasi” dan “hiburan” mampu menyita perhatian masyarakat sekaligus mengarahkan mata dan telinga mereka untuk terus berburu berita-berita di seputar kehidupan kalangan selebriti di Indonesia. Tak heran, infotainment sering dikategorikan sebagai acara paling digemari dengan biaya murah meski tidak termasuk dalam program prime time. Artinya, infotainment yang merupakan program dengan jam tayang siang atau sore hari mampu mendongkrak rating dan share di televisi secara singkat dan terus-menerus, sehingga dipandang memiliki pasar yang potensial untuk dikembangkan secara lebih luas dan berkelanjutan.

2 Ibid., 194.

35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Gagasan awal yang membidani lahirnya infotainment di Indonesia adalah tayangan sinetron yang mulai tumbuh dan berkembang pesat di akhir tahun 1990- an. Lewat Festival Sinetron Indonesia (FSI) yang memberi ruang baru bagi enam stasiun televisi, baik RCTI, SCTV, TPI, ANteve, Indosiar, maupun TVRI, tayangan yang berdurasi sekitar satu hingga satu setengah jam itu telah menjadi fenomen yang diunggulkan. Bahkan tayangan penunjang yang digagas dalam bentuk Buletin Sinetron pun, turut menjadi program acara yang diunggulkan pula.

Buktinya, melalui keputusan yang dibuat oleh panitia pelaksana FSI, stasiun televisi lain diperbolehkan membuat tayangan penunjang serupa asalkan bukan dengan nama Buletin Sinetron.3 Sebab tayangan dengan nama seperti itu telah menjadi program acara di RCTI yang diproduksi oleh PT Bintang Advis

Multimedia milik Ilham Bintang.

Dengan semakin berkembangnya acara-acara itu, pemilik rumah produksi dari Buletin Sinetron pun tergoda untuk membuat genre baru yang tidak hanya memfokuskan pada acara sinetron belaka. Maka, bukan kebetulan jika lewat acara

Cek & Ricek dihadirkan tayangan infotainment yang pertama di Indonesia.4

Infotainment ini ditayangkan melalui stasiun RCTI dengan durasi sekitar tiga puluh menit. Sepanjang durasi itu, paling tidak ada empat atau lima tayangan tentang selebriti selama lebih dari dua atau empat menit. Selebihnya adalah iklan dari berbagai produk yang silih berganti di sela-sela, baik sebelum maupun sesudah, tayangan itu ditampilkan. Biasanya tayangan ini dipandu oleh satu atau dua host yang menyampaikan narasi awal berkaitan dengan apa yang akan ditayangkan. Selama tayangan berlangsung masih ada narasi lain yang tampak

3 ”Stasiun TV Diperbolehkan Acara Penunjang FSI”, Kompas, 19 Oktober 1996. 4 Yulianto (2012), op.cit., 195.

36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dikemas untuk mensimulasikan berbagai “berita” tentang selebritis di Indonesia yang sedang ramai dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Simulasi yang dibuat dalam bentuk tabloid itu memberi wajah baru dalam perkembangan acara-acara televisi di Indonesia.5 Artinya, tabloidisasi berbagai berita selebritis itu telah menjadi fenomen yang merebak dalam industri hiburan di televisi, terutama melalui infotainment. Maka bukan kebetulan jika fenomen itu telah menggiring acara-acara di televisi menjadi lebih berpusat pada isu atau

“gosip panas” yang beredar di seputar kehidupan selebritis. Karena hanya dengan cara demikian, tabloidisasi di televisi dapat terus berlangsung. Jadi, hal itu adalah sebuah konsekuensi logis dari format pemberitaan tabloid yang amat mengandalkan pemasukan dan/atau keuntungan dari iklan-iklan yang ditayangkan. Orientasi keuntungan yang terbentuk seperti itu pun membuat infotainment menjadi lahan bisnis yang amat menentukan bagi setiap stasiun televisi yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, iklan menjadi mesin pencetak dan/atau pemasok berita yang begitu diandalkan dalam infotainment yang sejak semula telah memposisikan dirinya pada model pemberitaan bergaya tabloid.

Dalam infotainment, pada umumnya iklan telah dikapling selama 20 menit untuk durasi 60 menit. Dengan tarif iklan rata-rata Rp 3 – 4 juta per spot (30 detik), pendapatan yang diperoleh sudah mencapai Rp 120 juta. Meski masih dipotong dengan berbagai biaya operasional baik langusng maupun tak langsung seperti untuk peliputan, gaji pekerja, overhead kantor, yang menghabiskan sekitar

Rp 10 – 12 juta, maka dengan modal hanya Rp 12 juta saja keuntungan yang

5 Santoso (2005), op.cit., 154.

37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

diraup sudah 10 kali lipat jumlahnya.6 Masih ditambah lagi dengan iklan-iklan built-in yang sering disebut sebagai “iklan terselubung”. Iklan yang tak memiliki

“pagar api” (firewall) yang jelas sebagaimana dituntut dalam prinsip-prinsip jurnalisme7 menjadi bagian dari tayangan infotainment dengan melibatkan para selebritis sebagai model-model iklannya.

Masuk akal jika belanja iklan untuk infotainment mampu mendominasi program informasi di televisi. Tercatat 47% dari 5,7 trilyun belanja iklan program informasi pada tahun 2011 dikuasai oleh infotainment. Padahal di tahun 2012 belanja iklan secara keseluruhan diperkirakan mencapai 92 trilyun atau meningkat

14,71% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 80,2 triliun. Dari belanja iklan sebesar itu 60% atau Rp 55,5 triliun akan dikuasai oleh media berbasis televisi.8 Penting untuk diketahui pula bahwa Indonesia tercatat dalam peringkat empat pertumbuhan belanja iklan global selama tahun 2012 hingga tahun 2015 setelah Amerika Serikat dengan USD 21,1 juta, disusul Tiongkok

(US$ 13 juta), Argentina (US$ 4,8 juta), Indonesia (US$ 4,1 juta), dan Rusia (US$

3,28 juta).9 Dari data-data tersebut, tampak bahwa iklan telah menjadi “peta” yang penting dalam industri media, televisi khususnya, yang tak bisa menghindar dari tekanan kekuatan dan/atau selera pasar. Dengan kata lain, iklan telah menjadi

6 Penting untuk dicatat bahwa 75% infotainment diproduksi oleh Rumah Produksi (Production House/PH) yang berkedudukan sebagai pemasok dan menjalin kontrak dengan stasiun-stasiun televisi yang bertindak sebagai pembeli yang menentukan layak beli atau tidaknya infotainment. Lihat, Sony Set (tt), “Infotainment”, www.kpiddiy.com/admincp/file/INFOTAINMENT%20by%20Sony.pdf . 7 Kategori dalam jurnalisme membedakan antara infotainment sebagai soft news atau soft journalism dengan berita sebagai hard news atau hard journalism. Lihat, Syahputra (2013), op.cit., 115. 8 “1 Trilyun untuk Media Online dari 92 Trilyun Belanja Iklan di 2012”, http://theglobejournal.com/ekonomi/1-trilyun-untuk-media-online-dari-92-trilyun-belanja- iklan-di-2012/2012/01/28.index.php. 9 Nurmayanti, “Gaya Belanja Orang Indonesia Masih Dipengaruhi Iklan”, http://bisnis.liputan6.com/read/646544/gaya-belanja-orang-indonesia-masih-dipengaruhi-iklan

38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sumber konflik kelas yang membuat media seperti televisi selalu berada dalam dua tekanan yang saling bertolakbelakang, yaitu antara idealisme dan bisnis.

Implikasinya, dalam melihat dan mengkonstruk realitas sosial sebagai “wilayah”- nya, media harus bekerja keras untuk tetap mempertahankan idealisme sembari mengkreasi berbagai acara yang sesuai dengan selera pasar.

Kenyataan seperti itu, sebagaimana pernah dikaji secara mendalam oleh

Ishadi SK, memperlihatkan hadirnya sebuah kekuatan dalam media yang bukan sekadar mampu “berdiskursus di ruang pemberitaan”, tetapi juga merupakan bagian dari tekanan yang dipaksakan oleh para pemilik modal.10 Tekanan inilah yang membuat ruang berita di televisi, termasuk infotainment, tunduk pada selera pasar. Masuk akal jika jumlah siaran infotainment atau kriminal cenderung meningkat dibanding siaran berita yang totalnya mencapai 43 kali dalam sepekan meliputi 25 kali siaran infotainment dan 18 kali kriminal. Data-data inilah yang dengan jelas menunjukkan betapa kuatnya hegenomi di ruang berita televisi yang nyaris tak terbendung oleh kekuatan apapun dalam bentuk gerakan kontra hegemoni sekalipun.11 Itulah mengapa seekstrim apapun gerakan untuk melawan infotainment, seperti melalui Fatwa MUI, siaran berita hiburan atau infotainment tetap menjadi tontonan yang cenderung laku di pasaran.

Selera pasar yang dibentuk melalui sistem rating dan share membuat infotainment menjadi tayangan yang seolah-olah layak untuk dipertontonkan dengan harapan dapat meraup pendapatan yang “sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya” dari iklan. Tak heran, kelayakan ini telah menjadi “sebuah sabda yang harus dituruti dalam sebuah perayaan ritual industri”, khususnya

10 “Jurnalis TV Tunduk pada Selera Pasar”, Kompas, 30 September 2002. 11 Ishadi SK (2002), “Praktik-praktik Diskursus di ruang Pemberitaan RCTI, SCTV dan Indosiar”, Disertasi, Universitas Indonesia.

39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

televisi.12 Sabda yang bertumpu pada pola “kejar tayang” tanpa mengindahkan

kaidah-kaidah jurnalistik menandai era “foolish or perish” sebagaimana

dinyatakan oleh Garin Nugroho.13 Era yang telah membentuk ulang konsepsi media, terutama televisi yang dalam ranah publik termasuk Saluran Siaran Umum

(SSU)14, sejalan dengan kesaksian dari salah seorang mantan pekerja infotainment

di bawah ini yang mengakui bahwa apa yang dikerjakannya selama ini adalah

seperti membuat “peta” yang mampu mendahului “wilayah”. Artinya, hanya demi

memperoleh pemasukan yang tinggi, terutama melalui iklan, berita-berita tentang

selebriti mesti dibuat seheboh mungkin agar “menimbulkan rasa penasaran atau keingintahuan dari penonton.”

Tugas saya sebagai Scriptwriter adalah “menjahit” berita-berita tentang selebriti yang didapat dari Reporter. Selama durasi 24 menit (biasanya program televisi berdurasi 30 setelah dipotong iklan menjadi 22-24 menit-pen), saya harus menyeleksi liputan-liputan selebriti yang saya dan Producer anggap “heboh”. Saya masih ingat sekali, saat berita-berita tidak “heboh”, sayalah yang bertugas “menghebohkan”. Caranya? Membuat script yang bombastis, sehingga menimbulkan rasa penasaran atau keingintahuan dari penonton. Strateginya? Memotong-motong statement si seleb, lalu sisanya adalah opini yang saya masukkan di dalam script untuk dibacakan dalam voice over (VO).15

2.2 Keaiban Selebritis: Tabloidisasi yang Menghibur

Kehebohan infotainment yang meski bersifat remeh-temeh, namun tetap

menarik untuk ditonton. Artinya, infotainment dapat dengan mudah diproduksi

tanpa perlu mengindahkan prinsip-prinsip yang mengatur tentang jurnalisme

media. Dalam hal sensor misalnya, infotainment selalu dapat lolos dari otoritas

lembaga-lembaga yang berwenang lantaran programnya termasuk dalam kejar

12 EL. Panjaitan & TM Dhani Iqbal (2006), Matinya Rating Televisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 22. 13 G. Nugroho (1998), Kekuasaan dan Hiburan, (Yogyakarta: Bentang), 101. 14 Panjaitan & TM Dhani Iqbal (2006), op.cit., 15. 15 A. Jaya (2010), “Menuju infotainment minus gosip dan fitnah”, http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2010/07/31/menuju-infotainment-minus-gosip-dan- fitnah-211707.html.

40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tayang dengan pola kerja 24 jam. Ilustrasinya sebagaimana dipaparkan oleh salah seorang produser infotainment tampak seperti di bawah ini:

“…misalnya syuting pagi: di pengadilan agama (contoh kasus perceraian), syuting jam 12: launching produk atau konferensi pers, syuting sore: berita tentang selebritis yang tengah syuting film, dan syuting malam: pertunjukan artis, talk show artis. Editing dilakukan dari pukul 24.00 hingga 07.00 pagi.”16

Singkatnya, tak ada waktu untuk menyensor segala sesuatu yang sudah

“dibumbui” dalam infotainment. Padahal segenap bumbunya diproduksi demi mendapat rating yang tinggi sekaligus terpenuhinya spot iklan hanya untuk sekali tayang. Hal ini dipicu oleh minimnya penghasilan rata-rata pekerja infotainment yang hanya memperoleh margin keuntungan yang amat kecil dari tayangan yang diproduksinya. Penting untuk diketahui bahwa satu paket tayangan sekitar 30 menit dari infotainment memerlukan biaya sekitar Rp 4 juta. Tayangan itu umumnya laku dijual pada stasiun televisi sekitar Rp 8 juta. Maka guna mengeruk keuntungan yang lebih besar, diperlukan iklan yang dapat dikemas dalam setiap tayangan tersebut. Tak heran tak sedikit produk, termasuk selebritis, yang dimanfaatkan untuk kepentingan iklan-iklan terselubung yang bersifat saling menguntungkan itu.

Selain itu, kehebohan infotainment juga tak lepas dari dukungan penampakan beragam image yang didominasi oleh keaiban selebritis. Hal ini seperti menjadi komoditi yang sengaja diperjual-belikan dalam infotainment untuk mendapatkan jumlah penonton yang dapat dijadikan calon-calon konsumen bagi setiap iklan yang ditayangkan. Karena itu, tayangan infotainment yang bersifat mengungkap segala sesuatu yang berkaitan dengan immoralitas seperti perselingkuhan, kawin-cerai, poligami, atau perebutan warisan selalu mendapat

16 Asti Musman (2010), “Infotainment: Antara Benci dan Rindu”, http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=14&id=45213.

41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tempat kosong yang seakan-akan tak pernah terisi penuh. Bahkan kendati berita- berita di seputar keaiban selebritis tidak selalu dapat menghadirkan suasana yang menghebohkan, maka adalah tugas dari pekerja infotainment untuk membuatnya tak pernah sepi dari pengamatan emosional para penontonnya. Sebagaimana dinyatakan di bawah ini, menjadi jelas bahwa dalam infotainment sesuatu yang menghebohkan sengaja direkayasa demi menampilkan image yang dapat ditabloidisasi dan disimulasikan secara efektif dan operatif.

Selain menseleksi berita, “menghebohkan” berita, sebagai Scriptwriter saya juga membuat script untuk Host. Tentu saya nggak cuma ngasih script ke Host, tetapi juga harus mem-brief. Nah, tiap mem-brief, saya selalu titip pesan pada Host agar “menghebohkan” berita yang akan ditayangkan, juga tentu saja membuat pertanyaan-pertanyaan “nakal” di mana bertujuan (sekali lagi) agar penonton penasaran.17

Masuk akal jika selama ini infotainment dianggap sebagai bagian dari upaya untuk “mengedukasi”, bahkan “mereedukasi”, para penonton televisi di Indonesia yang di tahun 2009 diperkirakan berjumlah sekitar 49, 5 juta orang, termasuk penonton setia infotainment yang ditaksir sekitar 10 juta orang.18 Bahkan di tahun

2011 tercatat peningkatan jumlah penonton setia infotainment secara signifikan yang mencapai 63%19. Para penonton yang kerap dipandang secara biner entah sebagai subjek yang aktif maupun pasif atau subjek yang kritis maupun banal adalah kalangan dari kelas ekonomi menengah ke bawah, sebagian besar perempuan, dan kebanyakan ibu-ibu yang berusia di atas 35 tahun.20 Mereka inilah yang entah sadar ataupun tidak telah menjadikan infotainment sebagai

17 Jaya (2010), op.cit. 18 Eko Priliawito & Syahid Latif (2009), ”Penonton Setia Infotainment 10 juta orang”, http://cangkang.vivanews.com/aff/news/read/116325/2009/12/27- penonton_setia_infotainment_10_juta_orang. 19 Jumlah penonton sinetron mencapai 65%, religi adalah 65% dan anak sebesar 64%. Lihat, “Penonton TV Setia terhadap Program Informasi”, http://www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Feb_2011-Ind.pdf 20 S. Indra Astuti (2006), “NGERUMPI DI TELEVISI: Infotainment Tiada Henti”, Observasi Vol 4, No. 2, 39-55.

42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

tontonan yang mampu mengisi waktu luang (leisure time) atau sekadar membunuh “kebosanan”.21 Maka bukan kebetulan jika dengan durasi penayangan yang tidak terlalu lama antara setengah hingga satu jam infotainment selalu berupaya menampilkan berita-berita yang ringan, bersifat privat dan merupakan sebuah tragedi atau keaiban dalam keluarga atau rumah tangga.22 Berita-berita yang menjadi image dominan dalam simulasi yang ditayangkan melalui infotainment itu mendapatkan saat dan tempat yang tepat meski bukan termasuk dalam jam tayang prime time.

Dalam konteks ini, keaiban selebritis tampak menjadi image yang dirawat bukan semata-mata untuk menaikkan rating dan share, tetapi sekaligus juga mempraktikkan tabloidisasi (tabloid television)23 yang berdampak pada penciptaan berita-berita yang mampu memberi semacam penghiburan yang manusiawi. Hal ini kerap dianalogikan dengan jurnalisme kuning (yellow journalism)24 yang lebih sering menampilkan berita-berita secara bombastis, sehingga tak jarang antara fakta dan berita terdapat perbedaan yang amat berseberangan, bahkan tak berkaitan sama sekali. Namun, pada awalnya tabloidisasi bukan sekadar ingin menayangkan berita-berita yang sensasional, akan tetapi juga mampu memberi hiburan yang menyenangkan. Hanya dalam praktiknya, tabloidisasi justru lebih mementingkan hiburannya daripada beritanya.

Itulah mengapa pemberitaan yang ditampilkan lewat tabloidisasi semata-mata terfokus pada hal dan masalah yang sekadar mempermainkan emosi para

21 T. Hastuti Nur R dan Fajar Junaedi (2010.), “Banalitas Informasi dalam Jurnalisme Infotainment di Media Televisi dan Dampaknya terhadap Penonton Infotainment”, http://www.umy.ac.id/fakultas-ilmu-sosial-ilmu-politik/wp-content/uploads/2010/05/artikel- jurnal-infotainment.pdf 22 Santosa (2005), op.cit., 198. 23 Ibid., 159. 24 Ibid., 160.

43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

penonton. Maka bukan kebetulan jika berita-berita yang ditayangkan, termasuk tentang keaiban selebritis, hanya menampilkan sisi tragisnya belaka misalnya, yang membuat para penonton menjadi sulit untuk mengambil jarak terhadap berbagai peristiwa yang ditayangkan. Hal itulah yang mengakibatkan infotainment seakan-akan menjadi atau dapat dijadikan sumber berita yang terpercaya. Artinya, apa yang ditayangkan dalam infotainment dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya, sehingga dapat diperbincangkan, bahkan dipertentangkan, satu sama lain seperti dinyatakan oleh Ilham Bintang tentang pemberitaan aib yang diharamkan dalam infotainment berikut ini:

Kalau demi kepentingan umum, dalam artian untuk menegakkan hukum atau proses hukum itu tidak masalah. Misalnya, kasusnya Luna dan Ariel, kita memang memberitakan aib mereka, tapi di sisi lain akibat pemberitaan kita, perbuatan mereka diproses secara hukum25

2.3 Simulasi Gosip sebagai Retorika Infotainment

Hadirnya realitas baru yang diciptakan oleh infotainment membuat tayangan itu seperti layaknya kenyataan yang benar-benar terjadi. Padahal realitas yang ditayangkan itu hanyalah sebuah tiruan yang dihasilkan dari kenyataan yang ada.

Tiruan itu dibentuk dari sebuah proses yang mengemas informasi dan hiburan menjadi sebuah berita yang mudah dikonsumsi publik, mementingkan unsur dramatis, cenderung sensional dan melebih-lebihkan.26 Maka, apa yang diberitakan benar-benar mendasarkan pada prinsip dromologi27 yang berupaya menghasilkan produk secara cepat dan instan dan sedapat mungkin memiliki

25 H. Winarno (2010), “Ilham Bintang Infotainment Beritakan Aib Demi Kepentingan Umum”, http://hot.detik.com/read/2010/08/05/183123/1414458/230/ilham-bintang-infotainment- beritakan-aib-demi-kepentingan-umum. 26 Santosa (2005), op.cit., 155. 27 Ibid., 207.

44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

aspek proksimitas28 atau kedekatan secara emosional antara para penonton dengan subjek yang diberitakan. Karena itulah, infotainment tidak hanya menjadi

“tontonan masyarakat” Indonesia29, tetapi sekaligus dipandang sebagai sumber

“informasi” yang mampu “memberikan berita yang menghibur kepada para pemirsa untuk mengendurkan urat syaraf.”30 Itu artinya, infotainment sama sekali tidak berpretensi menayangkan berita yang serius, melainkan hanya berita ringan belaka yang tidak berkaitan dengan urusan dan/atau kepentingan apa pun. Dengan kata lain, infotainment sekadar menampilkan apa yang terjadi dalam kehidupan para selebritis, namun penampilan itu telah dibuat sedemikian rupa sehingga menarik untuk diperbincangkan. Perbincangan yang bergaya khas gosip ini disajikan dalam bentuk retorik yang simulatif agar apa yang ditampilkan seolah- olah ada di depan mata para penontonnya. Hal inilah yang membuat infotainment tampak mirip dengan sinetron karena secara audio-visual mampu menampilkan kenyataan yang seakan-akan sedang dan/atau masih berlangsung meski sesungguhnya sudah berlalu.

Dengan cara seperti itu, infotainment pun menjadi sebuah arena gosip yang alurnya mengambil bentuk serial bersambung selama tiga atau empat menit.31

Dalam bentuk itu, kisah yang ditampilkan pun lebih sering menyajikan sesuatu yang bersifat privat tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam. Dengan kata lain, kisahnya dibuat seringan mungkin, dibiarkan mengambang, sesekali disisipi dengan ketegangan yang dramatis, dan hasil akhirnya pun sulit untuk ditebak.

28 Ibid., 176. 29 Yulianto (2012), op.cit., 200. 30 “Tayangan Infotainment Upaya Pengalihan Isu Politik”, http://www.antaranews.com/print/88772/cargo-aircraft-catching-fire-at-wamena-airport- injures-airport-crew. 31 Yulianto (2012), op.cit., 196.

45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Pola yang sedemikian khas ditampilkan dalam infotainment di Indonesia ini memiliki poros pada kehidupan para selebritis yang ada di Jakarta.32 Maka dengan pola yang seperti itu, masuk akal jika infotainment diproduksi, bahkan direproduksi, bukan semata-mata untuk kepentingan para selebritis. Tetapi hal itu juga amat mempertimbangkan kepentingan rumah produksi yang menggarap infotainment, stasiun televisi yang menjadi produser penayangan, dan juga para pengiklan yang berintensi mempromosikan beragam produknya. Kepentingan yang saling menguntungkan antara berbagai pihak itu merupakan faktor yang menentukan dari setiap tayangan infotainment yang akan disajikan. Dengan demikian, jenis infotainment macam apa yang akan ditayangkan tak bisa lepas dari untuk apa dan siapa infotainment dibuat, dari mana saja dana didapatkan, atau siapa yang akan menayangkannya kepada publik. Hal-hal itulah yang turut mempengaruhi bentuk dan isi dari tayangan infotainment yang akan diretorikkan dengan tipe simulasi gosip seperti apa. Jadi, sesungguhnya tayangan infotainment itu bukanlah produk yang asal jadi, tetapi justru dikerjakan dengan strategi yang bukan ala kadarnya.

Di stasiun televisi sendiri, tayangan infotainment mendapat perlakuan yang setara dengan berbagai tayangan lainnya. Menurut salah seorang praktisi media, stasiun televisi memiliki beberapa divisi yang menangani beragam tayangan yang akan ditampilkan. Meski tujuhpuluh lima persen produk infotainment dikerjakan secara outsourcing, namun ada divisi yang secara khusus mengelola penayangan infotainment. Untuk infotainment yang dibuat sendiri oleh stasiun televisi, ada divisi produksi non-drama, selain divisi produksi drama, yang berfungsi untuk

32 Ibid., 197.

46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

mengatur penayangan infotainment. Sedangkan untuk infotainment yang dibuat oleh rumah produksi, divisi programming-lah yang bertanggungjawab untuk menyeleksi tayangan infotainment dan bernegosiasi dengan pihak luar yang berkepentingan terhadap penayangan infotainment. Namun divisi ini juga memiliki otoritas untuk menentukan tayangan lainnya yang dihasilkan oleh divisi pemberitaan dan divisi produksi baik drama maupun non-drama. Jadi, divisi ini seakan-akan menjadi representasi atau kepanjangan tangan dari stasiun televisi yang berwenang untuk menentukan tayangan macam apa yang layak untuk ditampilkan, termasuk infotainment.33 Itulah mengapa sesimulatif apa tayangan infotainment dapat berpengaruh ditentukan oleh pihak yang memiliki kuasa seperti layaknya “hakim” atau “dewa” dalam sebuah stasiun televisi.

Namun, simulasi yang dihasilkan dari tayangan infotainment juga ditentukan oleh para pekerja infotainment yang “tahan banting, tidak mengenal waktu dan bisa memaksa para selebriti untuk “buka mulut”, kendati mereka sering keberatan.”34 Mereka inilah yang karena tuntutan “kejar tayang” dari penayangan infotainment selalu berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan berita-berita yang bombastis dan/atau sensasional. Maka tidak mengherankan jika cara-cara yang digunakan lebih sering menyulut emosi daripada berdasarkan pada akal sehatnya. Hal inilah yang memungkinkan berbagai kejadian tak menyenangkan dari para selebritis seperti memaki-maki, melempar benda, merusak kamera, hingga benturan fisik dapat terjadi.35 Bahkan tak jarang pula mereka yang menjalankan profesi sebagai wartawan infotainment sebagaimana telah diakui

33 Set (tt), op.cit., 1. 34 Ibid., 3. 35 Ibid., 3.

47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)36 juga melakukan hal serupa dengan cara menghalangi dan menggebrak mobil para selebritis misalnya.37 Cara-cara seperti inilah yang tak jarang menimbulkan sinisme, bahkan antipati, terhadap tayangan infotainment.

Akan tetapi, meski tidak semua tayangan infotainment mendapat tanggapan sekontroversial itu, sulit untuk dielakkan bahwa simulasi gosip yang dikemas dalam infotainment telah menggiring dan membentuk paradigma media yang lebih mendahulukan kepentingan rating dan share ketimbang realitas dan/atau makna yang mau ditampilkan. Karena itu, bukan kebetulan belaka jika ada beberapa ungkapan yang menyatakan “Mengapa masih berkutat di berita pembunuhan Munir? Apa gak ada berita lain?” atau, “Kita senang bila ada program atau berita yang mendapat award atau penghargaan dari pihak lain, tapi bisnis kita tidak bisa hidup dari award.”38 Ungkapan yang seakan-akan memberi

“petunjuk” yang secara struktural bermakna sebagai sebuah perintah untuk lebih memperhatikan masalah ekonomi daripada hanya berkutat pada soal budaya media yang sehat. Hal itulah yang membuat salah satu tayangan infotainment yang awalnya berupaya untuk menyajikan berita-berita tanpa gosip di seputar proses kreatif yang bukan semata-mata menginterogasi privasi menjadi selebritis mesti berbalik haluan hanya karena dinilai tidak mampu meningkatkan rating dan share dari stasiun televisi tertentu. Hasilnya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini, tayangan infotainment itu mampu memperoleh omzet sebesar seratus

36 D. Sari (2010), “PWI: Infotainmen Adalah Karya Jurnalistik”, http://www.tempo.co/read/news/2010/07/15/173263704/PWI-Infotainmen-Adalah--Karya- Jurnalistik. 37 Set (tt), op.cit., 3. 38 Ibid., 4.

48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

duapuluh juta rupiah per hari dan termasuk dalam kategori the big five di jajaran infotainment di Indonesia.

Dari 60 menit durasinya, 20 menit sudah dikapling iklan. Dengan tarif iklan rata- rata Rp 3-4 juta per spot (30 detik), maka setiap pagi program ini bisa menenggak pemasukan hingga Rp 120 juta. Padahal, sebagai program in-house, direct cost-nya (biaya operasional peliputan), hanya sekitar Rp 5-6 juta per hari. Sementara in- direct cost (gaji karyawan, overhead kantor, dll) jika dihitung harian, jumlahnya juga kurang lebih sama. Dus, hanya dengan modal Rp 12 juta, ...bisa mendapatkan untung hingga 10 kali lipat. Setiap pagi!39

Maka, mudah ditebak jika Ilham Bintang yang dijuluki sebagai “raja gosip” mampu menghasilkan “peta” dalam bisnis media di Indonesia dengan Grup

Bintang yang terdiri dari PT Bintang Media Sari Usaha, PT Bintang Advis

Multimedia (C&R, Halo Selebriti dan Buletin Sinetron), PT Bintang Sakti

Mediatama (Tabloid C&R); PT Bintang Sakti Promo Piranti (PR dan event organizer), PT Bintang Mas Mediatama (Kroscek Senin, Kamis dan Jumat), PT

Bintang Media Griya Usaha (Kroscek Selasa, Rabu dan Sabtu), dan PT Bintang

Media Citra Utama (program infotainment GATE, Gebyar Tokoh dan Elit), sebagai “pusatnya” yang salah satu “wilayahnya” adalah infotainment yang menyumbang 60% dari total pendapatan Grup Bintang.40 Sementara wilayah lain yang juga dibentuk dari peta itu memberikan kontribusi masing-masing dari tabloid sekitar 20%, dari event organizer sebesar 15%-20%, dari sejumlah program teve, seperti C&R sekitar 40%, disusul Kroscek 25%, dan sisanya, terbagi merata pada program Halo Selebriti, Buletin Sinetron, Katakan Cinta,

H2C, Rumours dan Great Romances.41 Dengan demikian, menjadi jelas bahwa peta yang diciptakan melalui simulasi gosip dalam tayangan infotainment mampu

39 Ibid., 4-5. 40 “Bintangnya Bisnis Infotainment”, http://swa.co.id/listed-articles/bintangnya-bisnis- infotainment, 22 Desember 2003. 41 Ibid.

49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menghadirkan wilayah yang sedemikian luas bagi perkembangan bisnis media di

Indonesia yang membawa perubahan tak terduga dan mendalam, seperti layaknya gosip, terhadap paradigma budaya masyarakat.

50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

SIMULASI GOSIP INFOTAINMENT:

MODEL-MODEL “REAL(ITAS)” KEAIBAN SELEBRITIS

Simulasi yang berasal dari bahasa Latin simulare berarti “meniru” atau “membuat sama seperti aslinya” merupakan konsep kunci dalam pemikiran Baudrillard.1

Dengan konsep yang berupaya mengoreksi pemikiran Platonian bahwa apa yang ditiru merepresentasikan penampakan yang salah, simulasi lebih dimaknai sebagai penciptaan model-model yang membuat perbedaan antara “yang tiruan” dengan

“yang aslinya” menjadi sedemikian tipis. Hal ini membuat penampakan dari

“yang ditiru” menjadi tak berkaitan atau lepas bebas dari “realitas yang sesungguhnya” (a copy without original). Atau, dalam bahasa Baudrillard, realitas tiruan itu disebut sebagai hiperreal yang menghadirkan suasana “lebih real dari realitas aslinya” (more real than real).

Dalam tayangan-tayangan infotainment yang dipaparkan pada bab ini, simulasi dari realitas yang dianggap sebagai keaiban selebritis akan ditempatkan sebagai data-data yang akan dianalisa pada bab berikutnya. Data-data ini diperoleh melalui proses perekaman dengan perangkat handycam selama bulan

Maret-Mei 2012. Perekaman yang dilakukan sesudah 10 tahun program infotainment ditayangkan ini membawa implikasi logis bahwa telah ada

1 R. G. Smith (2010), The Baudrillard Dictionary, (Edinburg: Edinburg University Press), 199. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

beragam keaiban selebritis yang berkembang dalam infotainment. Apalagi setelah lebih dari 10 tahun era globalisasi informasi merebak ke segala bidang, infotainment telah menjadi media fenomenal yang menciptakan berbagai ketegangan atau kontradiksi, bahkan resistensi, dalam dunia jurnalistik modern.

Namun, rekaman-rekaman yang menjadi data-data penelitian ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Maka, untuk mendukung data-data itu penulis mencari data-data lain berupa rekaman-rekaman keaiban selebritis yang diunggah di Youtube, atau melalui berita-berita baik yang dimuat di media cetak maupun elektronik, berkait dengan keaiban selebritis dalam infotainment yang digosipkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada tiga jenis data yang akan disusun sebagai sub-sub bab dalam bab ini.

Yang pertama adalah data tentang tayangan infotainment yang mensimulasikan realitas tiruan yang menciptakan model-model tiruan real yang begitu menggoda

(enchanted simulation) sehingga mampu menghasilkan realitas yang “lebih salah daripada salah” (more false than false).2 Yang kedua merupakan data tentang tayangan infotainment yang mensimulasikan realitas tiruan yang menciptakan model-model tiruan real yang begitu menggoda (enchanted simulation) sehingga mampu menghasilkan realitas yang alami atau natural (disenchanted simulation) yang “lebih real daripada aslinya” (more real than real).3 Sedangkan yang ketiga berkait dengan data yang bukan merupakan tayangan infotainment, tetapi realitas sesungguhnya memiliki daya kekuatan untuk disimulasikan baik secara menggoda maupun alami.

2 J. Baudrillard (1988c), “On Seduction” in M. Poster, op.cit., 154. 3 Ibid..

52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3.1. Poligami Aa Gym: Model “Real(itas)” Ujian

Poligami Aa Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar) sesungguhnya sudah berlangsung cukup lama. Awalnya kisah itu dimulai ketika Aa Gym berniat menikahi Teh Rini (Elfarini Eridani) pada bulan Desember 2006, padahal statusnya sudah beristri dengan Teh Ninih (Hj. Ninih Muthma'innah) sejak tahun

1988 dan sudah dikarunia tujuh orang anak. Meski awalnya poligami itu berjalan dengan lancar, namun entah mengapa gugatan cerai dilayangkan kepada Teh

Ninih oleh Aa Gym. Kabarnya, Teh Ninih yang meminta cerai setelah lima tahun berpoligami dengan Aa Gym. Sementara dari pernikahannya dengan Teh Rini, Aa

Gym dikarunia seorang anak laki-laki.

Namun, gugatan cerai itu baru diajukan ke pengadilan agama pada bulan

Desember 2010. Proses persidangannya sendiri dimulai pada bulan April 2011.

Tak heran, banyak pemberitaan media, termasuk infotainment di televisi, yang menyoroti proses persidangan itu. Bahkan, beritanya pun sempat dikait-kaitkan dengan peringatan Hari Kartini yang dianggap sebagai representasi bersejarah bagi kaum perempuan Indonesia untuk mampu melepaskan diri dari belenggu mitos-mitos paternalistik seperti masak, macak, manak.

Pada bulan Maret 2012, Teh Ninih menerima tawaran rujuk kembali dari Aa

Gym. Dengan kata lain, Teh Ninih malah rela dipoligami oleh Aa Gym yang sudah menikah dengan Teh Rini. Bahkan dorongan untuk berpoligami itu didukung oleh Teh Rini yang awalnya merupakan pihak yang rela dipoligami oleh

Aa Gym.

53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Salinan tayangan infotainment berikut ini direkam dari acara Hot Shot

SCTV pada hari Rabu tanggal 14 Maret 2012 yang disiarkan pukul 09.00-10.00.4

Jadi, dalam tayangan ini poligami Aa Gym disimulasikan atas dasar proses rujuknya Teh Ninih dengan Aa Gym yang dikabarkan berlangsung dengan mulus baik secara formal maupun informal tanpa banyak hambatan.

00:00 Diringi lagu “Madu Tiga” garapan Ahmad Dhani feat The Swinger, “Aih senangnya dalam hati/Kalau beristri dua/Seperti dunia/Ana yang punya. Kepada istri tua/Kanda sayang padamu/Kepada istri muda/I say I love you. Istri tua merajuk/Balik ke rumah istri muda/Kalau dua dua merajuk/Ana kawin tiga. Mesti pandai pembohong/Mesti pandai temberang/Oh tetapi jangan sampai/Eh pecah tembelang”, tampak teras depan sebuah rumah bernomor 39 Rt 08 Rw 09 Desa Cihanjuang pada petang hari. Masih menggunakan mukena, Teh Ninih didampingi seorang wanita tua tampak baru saja tiba dan melangkah masuk ke dalam rumah.

00:09 Bersamaan dengan suara narator: “Pernyataan yang mencerminkan ketegaran dan keikhlasan hati seorang wanita yang dimadu diungkap Teh Ninih sekitar enam tahun yang lalu”, tampak Teh Ninih yang berjilbab dan berhijab coklat muda sedang keluar dari sebuah rumah yang berbeda dengan di atas pada siang hari sembari menenteng sebuah buku besar. Berikutnya Teh Ninih dengan ditemani seorang ibu tampak duduk berdampingan di kursi/sofa rotan di hadapan sejumlah jemaah pengajian (Lihat, Lampiran Ilustrasi 1). Masih di lokasi serupa, Teh Ninih yang tampak sedang duduk sembari membaca tampil seorang diri.

00:17 Di antara suara narator yang meluncur tanpa jeda “Waktu itu Teh Ninih baru saja menghadapi ujian berat dipoligami Aa Gym. Belum selesai pergumulan batinnya karena dimadu Juni 2011 lalu, ia lagi-lagi harus menerima ujian berat saat pengadilan agama Bandung meluluskan gugatan cerai Aa Gym”, Aa Gym dengan baju semi jas dan celana panjang hitam serta berkaos dalam dan bersorban putih tampak sedang berjajar bersama ibu-ibu muda dan bersiap-siap untuk difoto. Dengan latar serupa, Aa Gym tampak sedang meninggalkan kerumunan ibu-ibu itu seusai foto bersama.

00:20 Suara narator yang semakin lancar dan tanpa salah tampak mengiringi Aa Gym yang berjas hitam tanpa sorban di kepalanya sedang berada di tengah kerumunan orang dan wartawan media massa bersama dengan Teh Rini yang berjilbab dan berhijab serba hitam. Teh Ninih dengan jilbab dan hijab krem tampak berdiri seorang diri di depan pintu dilanjutkan dengan pose sedang berjalan diiringi beberapa wanita dan diakhiri dengan suasana ruang pengadilan yang menampakkan jajaran hakim-hakimnya serta tampak depan dari gedung pengadilan agama di Bandung.

00:34 Teh Ninih dengan jilbab dan hijab serupa di atas sembari mencangklong sebuah tas tampak didampingi beberapa wanita sedang berjalan menyusuri

4 Hot Shot SCTV, rekaman pribadi, 14 Maret 2012.

54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebuah ruangan/lobby menuju ke suatu tempat. Salah seorang wanita yang mendampinginya tampil foto bersama dengannya dan diiikuti wanita lain yang berjilbab kuning dan berhijab hitam dibalut dengan setelan bercorak bunga warna-warni. Gedung dan tembok nama depan pengadilan agama pun ditampilkan kembali dan berujung pada sebuah rumah yang di jalan depannya terdapat dua orang serta seorang yang sedang melintas di sana. Suara narator terdengar seperti hendak menyerap tanpa jejak semua kecemasan yang sempat dialami Teh Ninih tanpa henti: “Sekitar sembilan bulan kemudian, Teh Ninih kembali diuji. Ujian itu datang dalam wujud kebahagian. Entah kenapa Aa Gym yang sudah lama meninggalkan dirinya, tiba-tiba berbalik dan mengajaknya bersatu lagi sebagai suami-istri. Tanpa rasa dendam, Teh Ninih pun menyambut rujukan itu dengan tulus ikhlas.”

00:47 Dari rumah tersebut, berpaling ke teras depan rumah yang di awal sudah ditampilkan, suara narator kembali menyambar dengan cepat sejauh dapat melindungi, atau terutama, menjauhkan Teh Ninih dari “masa lalu” dan waktu yang hilang yang tak pernah benar-benar ada. Teh Ninih yang tampak sedang bertatap muka dan berbincang dengan seorang perempuan berjilbab coklat tua dan mencangklong sebuah tas tampil begitu serius di jalan depan rumah.

00:52 Di depan pintu rumah, Teh Ninih dengan jilbab dan hijab merah muda tampil menyuarakan tawaran rujuk dari Aa Gym yang pernah berniat mempoligami dan menceraikannya. “Insya Allah yakin setiap kejadian pasti banyak hikmah ya. Untuk evaluasi ke masing-masing. Insya Allah, mudah-mudahan kita nanti dituntun Allah ke depan.

01:13 Aa Gym dengan setelan baju koko hitam tanpa sorban di kepalanya sembari berdiri di dekat sebuah mobil putih yang terparkir di depan garasi dalam rumah menuturkan niatnya atas penawaran rujuk ke Teh Ninih. “Semuanya ada takdirnya. Segala sesuatu ada waktunya. Segala sesuatu ada hikmahnya.” Sembari melanjutkan penuturan, ”Kita sering tidak paham rahasia, takdir Allah. Yang paling penting dari waktu ke waktu kita berubah menjadi lebih baik. Menjadi lebih bersih, akidahnya, tauhidnya, jangan sampai menuhankan satu sama lain. Apalagi kalau sering berdakwah, itu sangat saling berusaha bersih.”, seorang lelaki muda yang berkemeja panjang dan duduk di kursi dalam ruangan tampak sedang melaporkan sesuatu dengan membawa sebuah map dan pulpen terselip di antara jemari tangannya. Sementara seorang hakim ketua didampingi dua wakilnya tampak sedang membacakan amar putusan di sebuah ruang pengadilan agama. Aa Gym yang sedang berdakwah dengan balutan sorban putih di kepalanya dan baju koko putih dengan setelan semi jas berwarna hitam tampil di hadapan jemaahnya. Akhirnya kembali ke penampilan Aa Gym tak jauh dari mobil yang tampak terparkir di depan garasi rumah.

01:34 Masih diiringi lagu “Madu Tiga”, Teh Ninih yang berjilbab dan berhijab merah muda sembari berjalan tampak sedang diwawancarai dalam sebuah acara pertemuan. Bersamaan dengan penampilan Aa Gym dan Teh Rini di tengah kerumunan orang seperti sudah ditampilkan sebelumnya, suara narator kembali mengambil alih peran yang sedang dimainkan, ”Teh Ninih benar-benar menerima semua siklus hidupnya bersama Aa Gym dengan ikhlas dan tegar. Ia pasrah ketika pasca berpoligami suaminya harus berbagi waktu.” Kehangatan suasana foto bersama Aa Gym dan Teh Ninih

55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan para penggemarnya ketika mereka tampil sebagai pasangan dakwah yang amat serasi dihadirkan. Juga ketika Aa Gym selalu dikerumuni oleh banyak penggemarnya, termasuk para santri, ditampilkan sebagai pusat perhatian massal. Tetapi manakala suara narator mulai menyinggung nama Teh Rini dengan kata-kata: ” Bahkan di awal berpoligami sempat dikabarkan bahwa Aa Gym justru lebih banyak menghabiskan waktu di BSD (Bumi Serpong Damai) bersama Teh Rini”, penampakan istrinya itu mulai ditampilkan secara personal seperti ketika hendak bepergian bersama salah seorang putrinya. Teh Rini yang berjilbab merah marun tampak sedang keluar rumah diikuti putrinya yang berjilbab merah muda dan menuju ke dalam sebuah taksi. Kebersamaan Aa Gym dengan Teh Rini sepertinya tidak mempengaruhi peran yang telah dimainkan Teh Ninih di masa lalu. Tak heran, suara narator pun terdengar begitu menyanjung Teh Ninih, “Inilah potret ketegaran hati seorang wanita. Hebatnya lagi, Teh Ninih tidak pernah sekalipun menceraikan Aa Gym sampai ia diceraikan. Dan pada saat mantan suaminya itu datang dan merangkul dirinya, ia menerimanya tanpa syarat” diikuti dengan penampilannya yang selalu santun dalam berdakwah, bahkan mengumbar senyum ketika berfoto bersama dengan wanita-wanita muda usia. Aa Gym sendiri seolah selalu ditampilkan tanpa cacat-cela yang ditunjukkan lewat tanggungjawabnya mengantar seorang anak ke sekolah dengan sepeda motor elektrik berplat AA GYM dan hanya mengenakan sarung biru bermotif kotak-kotak putih, setelan baju koko lengan panjang serta sorban yang membalut kepalanya meski ada dua mobil yang terparkir di garasi rumahnya.

02:12 Di teras depan rumahnya, Teh Ninih tampak sedang diwawancarai dan berujar: “Balikin, o gak ada syarat-syarat, hihihihi....” di depan pintu Teh Ninih melanjutkannya dengan: “Kan di situ ada kesempatan untuk evaluasi diri. Istighfar. Alhamdulilah, yang jelas sekarang sudah hidayah, sudah akad nikah. Bisa berdakwah bersama-sama lagi, belajar bersama-sama. Doakan saja ya. Cukup ya.” Di sela-sela ujaran ini, ditampilkan Aa Gym yang sedang mengendarai sepeda elektriknya dengan dikawal seorang pemuda beramput cepak, berbaju koko putih, bertas selempang, disertai seorang kamerawan laki-laki yang mengikuti di belakangnya. Dengan sepeda yang lain lagi, Aa Gym juga ditampilkan sedang berputar-putar di sekitar rumahnya.

02:39 Penampilan Aa Gym yang sedang dikerumuni wartawan dan berdakwah seperti mendapatkan pakaian yang mampu berbicara dengan suara yang lantang dan jelas dalam ungkapan narator yang menegaskan: “Aa Gym patut bersyukur mendapatkan seorang wanita seperti Teh Ninih.” Hal itu ditunjukkan dengan kebersamaan Teh Ninih dan Teh Rini yang tampak duduk berdampingan dalam satu mobil. Bahkan kebersamaan itu segera disunting dengan menekankan keseimbangan atau ketidakseimbangan antara kedua wanita itu dalam kata-kata yang seakan menjaga tatanan tentang hubungan mereka dengan Aa Gym: “Dan kini ujian mengarah pada Teh Rini. Hendak mendominasi hati Aa Gym selama kurang lebih 9 bulan, kini wanita cantik itu harus rela berbagi kembali dengan Teh Ninih.” Di sini Teh Rini dengan jilbab hitamnya tampil dalam sejumlah bagian wawancara baik sendiri maupun bersama dengan anaknya yang masih dalam gendongan. Teh Ninih juga turut tampil saat sedang memberi dakwah dengan jilbab dan hijab katun warna ungu.

56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

02:56 Ketika masuk pada hal yang diharapkan sangat serius, suara narator justru memberi pertanyaan yang tampaknya “tidak mempunyai bobot” seperti boneka yang tubuh dan jiwa-jiwanya terbuat dari kayu dan tanah liat: “Pertanyaannya adalah mampukah wanita cantik itu melakukannya? Siapa sangka ternyata di balik proses yang tidak mudah dipahami ini ada campur tangan Teh Rini. Teh Rinilah yang tak henti-hentinya menurut Aa Gym agar mau merangkul Teh Rini.” Tak heran, papan nama Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukasari Bandung, Teh Rini beserta bayi laki-lakinya yang digendong anak sulung Aa Gym dan Aa Gym sendiri, Teh Ninih dan Teh Rini yang sedang berjalan bersama menapaki jalan tak beraspal di kampung, tampaknya tidak berniat untuk meluruskan atau membelokkan apapun juga tentang poligami Aa Gym. Sebab mereka tampaknya tidak terganggu oleh latar dan adegan apapun yang dirancang bukan untuk semata-mata membuka keaiban berpoligami, melainkan untuk tidak membiarkan ada ruang bagi rasa malu apalagi takut.

03:11 Aa Gym yang sedang diwawancarai di depan rumahnya dengan baju koko semi jas hitamnya tanpa sorban di kepala mengatakan dengan cukup lugas: “Yah…yang sejujurnya Teh Rini ini sangat memotivasi. Hampir setiap hari beliau yang menganjurkan ayolah bang demi kebaikan semua silaturahmi. Dan sesudah istikharah juga memang ini yang terbaik. Yah, saya kira sudah waktunya berdakwah bersama-sama semua pihak.” Penampilan Teh Rini yang keluar dari rumah diikuti seorang anak perempuan dan duduk di dalam taksi membiarkan setiap orang yang menonton Hot Shot dapat mengetahui sejumlah besar tentang dirinya sendiri secara langsung.

03:35 Di antara sejumlah perempuan yang berhijab dan berjilbab, Teh Ninih tampak sedang menapaki jalan tak beraspal di kampung didampingi dua orang perempuan muda usia. Teh Rini tampil dengan penjelasan: “Eee…Ini islah ya. Islah karena menyatukan yang terpisah tu kan Allah suka. Suka banget.” Disambung dengan: “Ya bilang biasa aja. Gak ada yang istimewa cuman bilang bahwa Aa mau rujuk dengan teteh nggak. Silakan, malah bagus. Biasa aja, seneng malah. Seneng alhamdulilah Aa bisa balik lagi sama teteh gitu.”

04:03 Teh Ninih tampak sedang bercengkerama dengan sejumlah perempuan muda dalam suatu acara dakwah. Disusul dengan Teh Ninih yang berjalan menghampiri seseorang di antara lelaki yang mempersiapkan acara dakwah itu. Kemudian Teh Ninih dengan seorang perempuan tampak berjalan membelakangi di area parkir yang dipenuhi dengan beberapa mobil. Sembari suara narator mengudara, Teh Rini dengan bayinya yang digendong perempuan muda tampil bersama Aa Gym dan lelaki muda berkacama dan berkemeja lengan panjang kotak-kotak: “Tidak mudah memahami apa yang terjadi dengan tiga kepala berbeda ini. Tapi keikhlasan Teh Rini demi menerima Teh Ninih adalah bukti bahwa sejak dibangun tahun 2006 rumah tangga poligami Aa Gym berdiri di atas sikap solider yang luar biasa.” Di sela-sela itu, Teh Ninih yang berjalan keluar diiringi beberapa perempuan seusai dakwah tampil. Bahkan ketika diwawancarai, berfoto bersama, mengendarai mobil, dan kedekatan putra- putrinya dengan Teh Rini beserta bayinya ditegaskan oleh narator dengan kata-kata: “Ini juga bukti bahwa kehadiran Teh Ninih di tengah perjalanan Teh Rini dan Aa Gym enam tahun lalu itu bukan sebagai pencuri hati Aa Gym dari Teh Ninih dan ketujuh putra-putri mereka. Maka kerelaan hati

57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Teh Rini saat ini, boleh dibilang balas budi atas keikhlasan Teh Ninih menerima dirinya enam tahun lalu.”

04:42 “Teteh pasti istikharah dulu ya. Karena kita kan kalau mau apa-apa pasti istikharah. Dan akhirnya jawabannya ya itu. Akhirnya jadi rujuk.” Pengakuan Teh Rini dikuatkan oleh suara narator dengan cukup meyakinkan disertai penampilan Aa Gym saat dijemput dengan mobil oleh beberapa laki-laki dan tatkala melangkah di lorong dengan sorban kotak- kotak warna merah, syal hijau muda, dan baju koko lengan panjang coklat dalam kawalan pria berseragam dan berdasi: “Aa Gym sekali lagi layak mensyukuri keikhlasan hati dua wanita yang menjadi bagian paling dekat dalam hidupnya. Dan kini biduk tiga kepala yang sempat retak itu pun terlahir kembali. Hari-hari ke depan jelas tidak mudah. Tapi Aa Gym, Teh Ninih dan Teh Rini sudah bulat hari untuk menyatukan langkah meraih masa depan bertiga.” Teh Ninih yang tampak bermukenah ketika keluar dari rumah serta berpose close-up cukup mesra dengan Aa Gym diselingi dengan pose berdiri berhadapan, saling pandang dan saling rangkul berdua. Tampak pula Aa Gym yang berjalan bersama Teh Rini dan bayinya yang digendong putri sulung serta dikawal putra Teh Ninih keluar dari rumah sakit dan disalami oleh seseorang. Poster Aa Gym dan Teh Ninih yang di belakangnya tampak Teh Rini dengan berjilbab dan berhijab serba putih di sebuah tabloid bertuliskan “Ke Malaysia bersama Teh Ninih” adalah penampilan yang turut membayangi kisah Aa Gym sebagaimana diutarakan narator.

05:11 “Gak ada yang berubah, tetep aja sama. Semua kayak dulu aja. Aa itu jadwalnya hari (berdecap) Senin sampe Rabu di Bal, e di Jakarta. Trus nanti hari Rabu siang balik sampe Senin pagi di Bandung.” Demikian uraian Teh Rini yang diwawancarai dengan latar pepohonan yang rimbun dan menyejukkan. Duduk berdampingan di kursi biru dengan Teh Ninih sewaktu berdakwah bersama, Aa Gym seperti mendapat alat yang sifatnya “menggoreskan jalur untuk memberi nama”.

05:32 “Terimakasih ya, doakan saja semoga jadi kebaikan. Penuturan Aa Gym di depan mobil yang terparkir di garasi rumahnya. Teh Ninih yang masih bermukena saat hendak masuk ke dalam rumahnya menambahinya dengan: ”Insya Allah, semoga barokah ya. Assalamualaikum.” Selanjutnya kembali ke Aa Gym, Teh Ninih dan bayinya bersama putra-putri Teh Ninih di lobi depan rumah sakit yang hendak beranjak pulang ke rumah.

Setelah tayangan berakhir, deretan iklan silih berganti seperti obat jerawat, nutrisari, antangin, kopiko, whitening nivea, dan lain-lain tampil selama kurang lebih lima menit. Ada lebih dari duapuluh jenis iklan yang tampil di depan mata penonton infotainment dan sebagian besar adalah produk-produk minuman dan makanan ringan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Hanya beberapa

58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iklan saja yang berkait dengan perawatan tubuh, kendaraan, dan media komunikasi.

Dari salinan itu tampak bahwa poligami dijadikan sebagai model “real(itas)” dari sebuah ujian. Itu artinya, poligami seolah-olah dibayangkan seperti ujian yang mampu memberi nilai pada seseorang yang sedang dan/atau telah mempelajari sesuatu. Maka melalui ujian itu, nilai yang diberikan seakan-akan menjadi tolok ukur atau “cermin” dari kualitas sesuatu yang dipelajari. Cermin itulah yang dipakai untuk menunjukkan seperti apa sesungguhnya poligami itu yang dianggap sebagai realitas yang bernilai.

Di sini peristiwa rujuknya Teh Ninih dengan Aa Gym yang sempat bercerai ketika Teh Rini masih “hidup bersama” dengan mereka dijadikan tanda yang merepresentasikan ujian itu. Padahal ujian itu sendiri hanya sebuah simulasi yang tidak memiliki rujukan atau berkaitan langsung dengan peristiwa di atas yang dianggap sebagai sesuatu yang layak untuk menilai poligami Aa Gym. Dengan kata lain, poligami Aa Gym yang disimulasikan dengan ujian itu seolah-olah sudah terkoneksi dengan sendirinya oleh realitas rujuknya Teh Ninih dengan Aa

Gym. Koneksi yang dibangun sejak awal dalam salinan tayangan infotainment di atas memperlihatkan bahwa meski berkali-kali Teh Ninih mengalami “ujian berat” dalam hidup bersama Aa Gym, namun ia tetap mampu menjalani hidup sehari- harinya seperti biasa baik di dalam rumah (sholat magrib) maupun di luar rumah

(berdakwah). Hal-hal biasa inilah yang tampak disimulasikan sebagai nilai

“ketegaran dan keikhlasan hati” dari “seorang wanita yang dimadu” seperti Teh

Ninih.

59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan simulasi itu, maka poligami Aa Gym sudah bukan lagi merupakan representasi yang dapat dipalsukan, melainkan telah menjadi “realitas” yang tak ada bandingannya, termasuk dengan realitas poligami yang sesungguhnya. Hal ini sama seperti sebuah peta yang lebih dapat dipercaya ketimbang wilayahnya sendiri yang dapat berubah sewaktu-waktu. Inilah realitas yang telah terkemas dalam representasi yang disebut sebagai simulacrum. Artinya, di situ tanda atau image poligami Aa Gym yang padamulanya ditampilkan dengan baik sebagai sebuah ujian, lambat laun akan tampak kebohongan dan/atau kepura-puraannya, bahkan hingga tak tampak sebagai apa pun juga, termasuk sebagai keaiban, kecuali sebagai simulasi atau model real(itas) dari seorang perempuan yang meski berulangkali dibohongi atau dibiasakan hidup dengan “temberang“ melalui poligami, namun tetap dapat “tulus ikhlas” dan “tanpa dendam” menjadi istri yang selalu “menerima tanpa syarat” akan apa yang dialami agar “ jangan sampai...pecah temberang”.

Jadi, dalam simulasi “realitas” poligami yang tanpa beban amat dimungkinkan untuk tampil asal mampu membuat “senangnya dalam hati”.

Demikianlah lirik awal lagu “Madu Tiga” yang menjadi pengiring dalam tayangan infotainment dari poligami Aa Gym tampak berupaya menghidupkan suasana real yang dihasilkan oleh simulasi dalam bentuk model realitas yang meretorikkan poligami Aa Gym sebagai ujian yang menyenangkan meski harus dengan membuka segala sesuatu yang selama ini dirahasiakan beserta segala keaibannya yang direproduksi melalui (hiper)realitas ujian yang tak menandai atau bermakna apa-apa, selain yang ada pada dirinya sendiri. Inilah poligami yang seakan-akan tiada bandingannya di mana pun juga karena bukan disimulasikan secara

60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menggoda sekadar sebagai “pencuri hati”, melainkan justru sebagai ungkapan hati yang tulus dan ikhlas dari tiga kepala yang berbeda untuk menjalani hidup bersama dalam sebuah biduk yang “semoga jadi kebaikan”, “semoga barokah.”

3.2. Resepsi Pernikahan Anang-Ashanty: Model “Real(itas)” Kemewahan

Tayangan infotainment berikutnya berasal dari acara Insert Investigasi

TRANS TV pada hari Rabu tanggal 23 Mei 2012 yang disiarkan pada pukul

17.00-18.00.5 Tayangan ini menampilkan resepsi pernikahan Anang-Ashanty yang berlangsung pada tanggal 12 Mei 2012 dengan tema “Jodohku” dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi ternama RCTI selama hampir tiga jam lamanya. Penting untuk diketahui bahwa pernikahan Anang-Ashanty dibayang-bayangi oleh masa lalu yang tidak menyenangkan dari Anang

Hermansyah karena pernah bercerai dengan penyanyi kenamaan Krisdayanti.

Akibat dari perceraian itu, Anang sempat menduda dan hidup bersama kedua anaknya, Auriel dan Azriel, sementara Krisdayanti menikah dengan lelaki yang dikabarkan merupakan selingkuhannya bernama Raul Lemos dan telah dikarunia dua orang anak. Selama menduda, Anang juga sempat dikabarkan berhubungan

“cukup dekat” dengan penyanyi fenomenal Syahrini lantaran mereka kerap bernyanyi duet dalam berbagai panggung musik Indonesia.

Transkrip tayangan infotainment di bawah ini menampilkan resepsi pernikahan Anang-Ashanty dari sudut pandang kemewahannya. Kemewahan yang menjadi aroma dominan dari tayangan ini disajikan selama lebih dari lima menit dengan host terkenal Indra Herlambang.

5 Insert Investigasi Trans TV, rekaman pribadi 23 Mei 2012.

61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

00:00 Suara presenter mengawali tayangan dengan menyatakan: “Dengan didominasi oleh bunga impor serta terbanyak rancangan desainer ternama, yang betul sekali bahwa resepsi pernikahan Anang-ashanty terasa begitu istimewa. Dan akan banyak sekali artis papan atas Indonesia yang akan menghadiri pesta pernikahan ini. Dan salah satunya adalah diva pop Indonesia, Krisdayanti, yang sekaligus merupakan mantan istri dari Anang Hermansyah.”

00:23 Anang-Ashanty yang berbusana pengantin serba putih tampak sedang berpose berdampingan di pelaminan (Lihat, Lampiran Ilustrasi 2). Diikuti dengan Anang yang sedang mengecup dahi Ashanty dan pose mereka berdua yang tampak bahagia serta Anang yang mengecup pipi Ashanty. Selanjutnya Anang-Ashanty yang tampak sedang melepas sepasang merpati dan balon-balon di depan tempat akad nikah yang disaksikan oleh para tamu undangan yang bersorak-sorai di belakang mereka berdua.

00:43 Suara narator mengudara dengan rangkaian kata-kata berikut ini: “Hanya tinggal menunggu jam resepsi pernikahan Anang-Ashanty yang bertabur kemewahan pun akan segera digelar.” Seorang perempuan muda berjilbab dan berhijab serba hitam dengan membawa kertas dan tas warna ungu tampak sedang duduk di sofa. Bersama dengan tempat resepsi pernikahan yang sedang dipersiapkan, suara narator berkumandang: “Resepsi pernikahannya yang rencananya akan digelar di salah satu hotel berbintang di Jakarta.” Suara narator yang diselingi dengan rapat persiapan resepsi dan seorang laki-laki yang sedang mendekor tempat pelaminan serta beberapa orang yang tampak sibuk menata meja hidangan dan memasang bunga- bunga warna-warni berkumandang lagi: “Kemewahan yang terlihat pada dekorasi ruangan hotel yang akan menampung empat ribu undangan, namun juga pada bunga-bunga yang didominasi oleh warna-warna hijau, orange, dan pink yang sengaja didatangkan dari luar negeri.

01:08 Seorang pria paruh baya berkaos kerah warna kuning dengan rambut dan jenggot tipis serba putih berbicara sebagai dekorator bunga di tengah persiapan resepsi pernikahan demikian: “Kita beli bunga import itu dari distributor lokal di sini. Jadi mereka penanganannya inding dari...aaa...importnya sendiri langsung ke Jakarta sudah mereka yang nangani. Tapi memang kebanyakan bunga diimpor itu handle with cares ya. Jadi kita lebih, lebih, lebih harus ekstra hati-hati dibanding bunga lokal karena memang membutuhkan suhu yang tepat supaya tetap fresh ya.”

01:32 Diselingi logo Insert Investigasi, Ashanty yang berbaju putih dengan didampingi Anang yang berkaos merah duduk berdua di tempat resepsi pernikahan yang sedang didekorasi turut menjelaskan tentang bunga-bunga itu: “Bunga-bunganya, ada yang Indonesia juga, ada yang dari luar negeri juga. Trus dekornya juga banyak batiknya (Di sini Anang yang sedang menguap dan menutupi wajahnya menimpali: “O ya beda”). Tetep, tetep, glamornya ada.”

01:43 Seorang lelaki berkaos kerah warna merah tampak sedang membereskan rangkaian bunga warna pink yang sudah tertata rapi di salah satu bagian ruang resepsi. Suara narator berseru-seru kembali: “Tidak hanya dihiasi oleh bunga-bunga impor, ruangan resepsi pasangan romantis ini,

62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

rencananya juga menghadirkan tiga but khusus yang berisi coklat, bunga, dan CD lagu mereka. Tak heran, rasa gugup dan ketidaksabaran tumbuh menyelimuti hati Anang dan Ashanty yang kemarin telah berada di hotel tempat resepsi akan digelar. Ashanty juga mengungkapkan kebahagiaannya saat menjadi ratu sehari dengan menggunakan kebaya yang telah didesain khusus oleh desainer ternama tanah air.” Di sela-sela suara narator itu, tulisan emas Anang-Ashanty di atas loyang berisikan bungkusan putih kecil-kecil, beberapa orang yang masih berkumpul dan bercengkerama seusai rapat persiapan resepsi pernikahan, cover CD lagu dengan pose-pose romantis Anang-Ashanty, serta posisi kedekatan Anang-Ashanty sebelum dan saat resepsi pernikahan berlangsung dan desainer yang tengah menjelaskan kebaya Ashanty tampil mengiringinya.

02:09 Seorang wanita berjilbab dan berhijab serba hitam dengan hiasan kalung bulan sabit berwarna ungu dan hiasan emas di jilbabnya sedang duduk di sofa dan berbicara: “Ada tiga but juga. But-butnya itu adalah, khusus untuk coklat, jadi dipersembahkan semuanya untuk para tamu-tamu. Trus but khusus untuk floris, jadi tamu-tamu juga dipersembahkan bunga-bunga. Trus yang satu but lagi adalah CD, eee, pada saat itu rencananya ada pemutaran, eee, atau ada live yang akan dipersembahkan oleh mas Anang dan juga Ashanty untuk, eee, CD atau lagu yang terbarunya mereka.”

02:41 Ashanty yang menggandeng Anang sedang duduk di salah satu bagian di ruang resepsi pernikahan mereka sembari mengungkapkan: “Yang aku seneng, besok soalnya bajunya bagus banget. Ehe, seneng, soalnya mas Ferry, di sepanjang karir dia kita dibuat master piece, eee…baju, dan aku liat emang bagus banget, bagusss banget. Trus yang mas Anang juga, kalau yang laki-laki kurang terliat gini ya, tapi kalau yang aku. Karena bagus itu kan, gak harus selalu detailnya bagus, dan tetap pada batiknya, kan aku tetep mau kebayaan, tapi tetap kayak gaun. Jadi besok aku akan pake mahkota gitu.” Di sela-sela ungkapan itu, Ferry dengan desain baju pengantinnya Ashanty tampil menjelaskan.

03:10 Bersama penampakan ruang resepsi yang masih didekor dan dihiasi dengan berbagai bunga, suara narator berbunyi lagi: “Kemegahan resepsi pernikahan Anang dan Ashanty ini rencananya tidak hanya terlihat pada dekorasi ruangan dan bunga-bunga, namun juga dari suguhan acara yang akan diramaikan oleh para penyanyi fenomenal tanah air.” Sesudah pose Anang-Ashanty yang tampil berdua dengan baju pengantinnya saat akad nikah, suara narator pun kembali terdengar: “Tidak cukup sampai di situ, acara ini akan semakin terasa spesial dengan kedatangan mantan istri Anang Hermansyah, yaitu Krisdayanti. Rencananya Krisdayanti juga akan memberikan kado spesialnya berupa sebuah lagu yang dipersembahkan khusus untuk pasangan bahagia ini.” Yang turut menyertai suara narrator itu adalah penampilan Krisdayanti yang sedang menghadiri suatu acara dengan gaun coklat muda, ketika di depan dan di dalam rumahnya bersama seorang anak perempuan.

03:37 Aurel yang berkaos dan mencangklong tas tampil menginformasikan tentang kedatangan Krisdayanti: “Mimi besok sama uma trus sama rombongannya juga. Sama bunda Yuni, cuma itu aja.” Disusul informasi dari perempuan berjilbab dan berhijab serba hitam yang menerangkan sembari memegang dan membalik-balik kertas: “Adalah sangat banyak sih

63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

di sini. Ada Yani pastinya sebagai seorang sahabat. Trus ada Dewi Persik juga. Ada Mulan Jamela. Ada Vero, trus Pasya, terus Mahadewi, The Virgin, Opick. Trus KD rencananya akan hadir juga. Eee mungkin akan mempersembahkan lagu juga. Udah sempet kami koordinasi dengan Mimi, trus akhirnya mereka akan datang juga nanti.”

04:13 Ashanty yang tetap didampingi Anang memberi keterangan sebagai berikut: “Kalo masalah siapa yang menyumbangkan lagu, kita menyiapkan siapa pun yang mau menyumbang lagu di pernikahan kita. Mau ibu, eee, ibunya anak-anak juga mungkin menyiapkan lagu. Tapi memang satu orang mungkin hanya satu lagu. Bukan karena apa-apa, karena ban...ee, insyallah banyak yang mau ngisi. Karena bukan hanya, kita juga bukan hanya ke pikirannya temen-temen artis, tapi kan ada keluarga yang mau nyanyi, entah sapalah yang mau nyanyi. Jadi kita gak mentingin yang, walaupun nanti itu pasti offair ya atau onair ya, yang penting sesuai dengan tamunya akan ada banyak yang nyanyi.”

04:45 Duet Anang-Ashanty di beberapa acara musik di masa lalu yang kini sudah menjadi sepasang suami istri dan duduk berdampingan sembari Ashanty memamerkan cincin kawin yang tersemat di jarinya tampil mengiringi suara narator berikut: ”Dengan menyatunya dua insan manusia ini, tidak hanya Anang-Ashanty yang merasakan kebahagiaan yang tak terhingga, namun suka duka juga menyelimuti hati Aurel dan Azriel yang telah lama mengidamkan kehadiran sang bunda di rumahnya.” Bersamaan dengan itu, pose Aurel dengan kaos tanpa lengan sembari melipat kedua tanganya tampil di belakang pepohonan talas. Begitu pula pose Aurel yang tampak manja dengan Krisdayanti mengiringi kemudian dan dilanjutkan dengan pose Azriel yang berbaju koko putih di tengah kerumunan orang berbaju serupa serta Azriel yang didampingi Ashanty yang berhijab dan berkerudung warna hijau. Pose Aurel dengan jaket berpenutup kepala yang tampak sedang berada di lokasi syuting juga menyertai suara narator yang berkisah seperti ini: ”Rencananya, Aurel dan Azriel akan mempersembahkan sebuah puisi yang sengaja ditulis sendiri oleh putri Krisdayanti ini.”

05:06 Aurel yang berkaos dan menyandang tas di bahu memaparkan tentang puisi bikinannya itu demikian: ”Iya pengin baca puisi, tapi puisinya belum jadi. Aku juga bingung. Jadi gak tau deh besok gimana.” Ketika ditanya puisinya dari mana, Aurel pun dengan tangkas menjawab: ”Ya buat sendiri. Tapi belum slesai banget sih. Bingung.” dan ketika ditanya lagi seberapa banyaknya, Aurel menjawab: ”Gak paling cuma satu aja.”

05:17 Ashanty yang ditemani Anang yang sesekali menguap sembari meraih tangan Ashanty karena mengantuk turut memaparkan tentang puisi itu: ”Dia bilang mau buat puisi. Tapi dia gak ngasih tau isinya apa. Pokoknya buat bunda deh katanya. Apa isinya, jangan yang alay-alay ya, kubilang gitu, becandain. Tenang Bun, aku tuh bikinnya tiga hari tiga malem, gitu katanya.”

05:31 Presenter mengakhiri tayangan resepsi pernikahan Anang-Ashanty dengan menyimpulkan lewat kata-katanya yang terdengar cukup bijak demikian: ”Kemewahan bukan hanya milik dari Anang-Ashanty. Hotman Paris merayakan ulang tahun putrinya ketujuh belas yang dibalut dengan

64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kemewahan. Seperti apa kemeriahan ulang tahun ketujuh belas putri dari Hotman Paris. Insert Investigasi akan segera kembali.”

Segera sesudah tayangan itu berakhir, deretan iklan berdurasi sekitar lima menit pun tampil berganti-ganti. Mulai dari acara ”Jika Aku Menjadi” milik Trans

TV, obat nyamuk Soffell, vitamin anak-anak Cerebrovot, shampo Head Shoulder, makanan anak-anak Kinder Joy dan seterusnya. Sama seperti tayangan infotainment yang lainnya, iklan yang lalu lalang dalam acara ini hampir melebihi duapuluh jenis banyaknya.

Dari salinan tayangan itu, model real(itas) kemewahan tampak menjadi simulasi yang begitu dominan. Melalui realitas itu, resepsi pernikahan Anang-

Ashanty seperti hendak menampilkan kembali apa yang selama ini hilang dari diri

Anang dan anak-anaknya, Aurel dan Azriel, dengan menghadirkan kemewahan sebagai pengganti atau pembungkusnya, termasuk lewat diri Ashanty yang menjadi bagian penting dari model itu. Maka bukan kebetulan jika “bunga-bunga impor”, “rancangan desainer ternama”, “dekorasi ruangan hotel”, “tamu undangan”, “artis-artis papan atas”, termasuk “Krisdayanti” dan juga “Ashanty” diposisikan sebagai model real(itas) yang mampu merepresentasikan apa yang dianggap sebagai bentuk-bentuk kemewahan tersebut. Hal ini mungkin mirip dengan kondisi para penyembah atau pemuja image yang dapat disebut Tuhan di mana mereka terlampau percaya pada image yang disembah atau dipuja, bukan

Tuhan yang sesungguhnya menjadi sumber atau rujukan utamanya. Kondisi inilah yang membuat resepsi pernikahan itu seakan-akan sudah terwakili melalui image yang disimulasikan dalam bentuk-bentuk kemewahan seperti di atas. Image yang tak lain adalah sebuah simulacrum itu telah menjadi penampakan yang begitu sempurna hingga seolah-olah tak ada satupun yang mampu menggantikannya

65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

kecuali image yang sudah ditandai dengan kemewahan bernuansa “import”,

“glamor”, “master piece”, bahkan “spesial”.

Maka masuk akal jika resepsi pernikahan yang disimulasikan dalam tayangan infotainment itu tampak sebagai kemewahan yang “wilayahnya” seakan- akan tanpa batas seperti “padang gurun”. Tak ada lagi “peta” yang mampu membatasinya karena hanya Anang dan kedua anaknya saja yang menguasai wilayahnya. Sementara Ashanty, bahkan Krisdayanti yang merupakan “mantan istri” atau “mimi”, beserta perangkat resepsi pernikahannya, hanyalah merupakan unit-unit yang telah diminiaturisasikan untuk menghasilkan, bahkan menghasilkan ulang, segala sesuatu yang layak dimodelkan sebagai realitas kemewahan. Dengan kata lain, mereka hanya bermanfaat sejauh mampu menghasilkan realitas kemewahan yang tanpa batas dan menciptakan sendiri realitas yang bagi Anang mampu mendatangkan “kebahagiaan yang tak terhingga” selaras dengan apa yang diidamkan oleh kedua anaknya yang “telah lama mengidamkan kehadiran sang bunda di rumahnya.” Inilah hiperrealitas dari resepsi pernikahan yang di(re)produksi bukan sekadar untuk menyelimuti segala keaibannya dengan imajinasi “Jodohku”, tetapi juga membiarkannya secara alami atau natural dalam realitas kemewahan yang tanpa batas meski masih dalam batas-batas yang dapat disimulasikan secara kekanak-kanakan oleh Auriel dan Azriel misalnya, melalui puisinya yang mampu mengamankan “realitas” sesungguhnya sebagai anak-anak

Krisdayanti. Jadi, mirip seperti Disneyland, resepsi pernikahan itu disimulasikan lebih real dari kemewahan apa pun juga untuk menyatakan bahwa meski

“kemewahan bukan hanya milik dari Anang-Ashanty”, namun tak ada satu pun yang dapat mengubah, apalagi menggugat, kemewahan real yang telah

66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditampilkan mereka berdua hanya melalui gejala-gejala yang mudah ditangkap oleh mata dan telinga para penonton tayangan infotainment resepsi pernikahannya.

3.3 Akhir Hayat Sudomo: Real(itas) Tanpa Model

Salah satu realitas yang menjadi data penting dalam bab ini adalah akhir hayat Sudomo. Sebab realitas itu tampak seperti realitas tanpa model yang seakan- akan lolos dari simulasi infotainment yang mampu menciptakan hiperrealitas atau tiruan real dari realitas yang ada. Padahal Sudomo yang dikenal sebagai mantan pejabat tinggi di era rezim Orde Baru menyimpan banyak realitas yang rahasia. Di antaranya adalah realitas intimnya dengan beberapa perempuan yang menandainya sebagai sosok yang flamboyan. Dengan penanda ini, maka setiap tindakan atau keputusan yang diambil oleh Sudomo dengan mudah akan dikait- kaitkan dengan kepiawaiannya berurusan dengan perempuan. Tak heran, seperti pernah diakuinya, "Perempuan adalah kekuatan dan kelemahan saya"6, Sudomo telah menjadi bagian dari realitas yang akrab dengan berbagai godaan.

”Sisca Datang Sudomo Bertekuk lutut” adalah sebuah realitas yang pernah dihadirkan melalui media massa untuk menunjukkan betapa lekatnya metafor untuk lelaki yang mudah memikat wanita pada diri mantan Pangkopkamtib itu.

Meski sifat atau karakter umum dari metafor itu yang mengisyaratkan bertampang keren/tampan, kaya, lemah lembut, dan pintar merayu amat relatif tampak pada diri Sudomo, namun dengan lantang ia mengakui: ”Bagi saya, hidup dimulai di usia 77 tahun. Dari perut ke atas saya memang Pepabri, tapi dari perut ke bawah

6 “Obituari Sudomo (5): Perempuan cantik di sekitar Sudomo”, http://m.merdeka.com/peristiwa/perempuan-cantik-di-sekitar-sudomo-obituari-sudomo- 5.html.

67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

saya masih Akabri.”7 Maka metafor yang pernah menjadi penanda yang menggoda dari salah satu politisi tua di Indonesia itu sudah cukup termaknai dalam salinan lintasan berita di Liputan 6 Siang pada tanggal 18 April 2012 selama lebih dari satu menit di bawah ini.8

00.01 Dengan baju lengan pendek dan tanpa kerah, berwarna biru dan bermotif kembang-kembang putih, seorang pembawa berita perempuan mengabarkan meninggalnya Sudomo sebagai berikut: “Laksamana TNI Purnawirawan Sudomo mantan Pangkopkamtib dan beberapa jabatan menteri di era Orde Baru meninggal dunia pukul 10 pagi ini di rumah sakit Pondok Indah Jakarta. Almarhum dirawat sejak hari Sabtu 14 April lalu akibat stroke. Sementara banner permanen “SUDOMO MENINGGAL DUNIA” terpasang sejak awal berita disiarkan.

00.16 Sisi samping rumah sakit Pondok Indah yang bertingkat tampak begitu asri dengan pepohonan yang rimbun. Banner permanen berubah menjadi LAKSAMANA PURN SUDOMO TUTUP USIA. Pembawa berita melanjutkan: “Almarhum Laksamana Purnawirawan Sudomo menghembuskan nafas terakhir pukul sepuluh lewat lima menit pagi ini di ruang perawatan intensif rumah sakit Pondok Indah Jakarta.” Bersamaan dengan narasi itu ditampilkan nama Rumah Sakit Pondok Indah dengan logonya berwarna hijau yang terpahat di tembok depan dan diikuti ruang depan dari Emergeny berwarna merah serta disusul seorang dua orang lelaki yang satu berseragam coklat muda milik pegawai pemerintah dan yang lain berkemeja kotak-kotak biru dengan celana panjang hitam, berambut putih, berkacamata dan sedang memakai telepon genggamnya, ditemani seorang perempuan dewasa berkaos putih dengan tas cangklong hitam yang sedang memegang mikrofon berdiri di pelataran depan pintu Emergency.

00.26 Pintu Emergeny tampak tertutup rapat dan sekilas ada seorang perempuan yang terlihat di dalam. Pembawa berita meneruskan: “Almarhum sempat dirawat sejak Sabtu lalu karena mengalami pecah pembuluh darah otak akibat penyakit darah tinggi. Beberapa orang tampak dalam sebuah ruangan. Dua orang perempuan berpelukan sambil menangis dan saling mengusap punggung. Seorang lelaki dan dua orang perempuan duduk di sofa sembari mengamati. Dua orang lagi berjalan menghampiri. Seorang perempuan berbaju biru yang dikelilingi empat perempuan lain tampak sedang berbicara dengan perempuan lain sembari menunjuk ke suatu arah.

00.35 Dua perempuan saling berpelukan, sedang yang lain duduk di sisi kanan dan kirinya. Pembawa berita meneruskan: “Sudomo lahir di Malang, Jawa Timur, 20 September 1926. Almarhum Sudomo sempat memegang

7 Ibid. 8 “Mantan Menkopolkam Sudomo Wafat “, 2012-04-18 12:53:51, http://video.liputan6.com/main/read/3/1081406/0/mantan-menkopolkam-sudomo-wafat, atau dapat dilihat juga pada Go Spot RCTI, http://m.rctinews.okezone.tv/play/27234/prosesi- pemakaman-sudomo?r=60

68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sejumlah jabatan penting, baik saat masih berkarir di militer maupun di pemerintahan. Sudomo sempat menjabat Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib, almarhum juga sempat menjabat menteri Tenaga kerja dan menteri Menkopolhumkam tahun 1983 dan hingga tahun 1996 dan menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Salah satu perempuan yang tadi berpelukan menyambut tangan seorang perempuan yang datang. Perempuan yang berjilbab putih dan berbaju hitam itu menghampiri perempuan lain yang duduk di sisi kanan perempuan yang pertama menyambutnya. Sudomo dengan baju koko putih dan berpeci tampak sedang menyambut tamu rombongan sembari mempersilakan mereka masuk ke ruangan. Foto Sudomo dengan pakaian kemiliterannya ketika masih muda tampak terpasang di ruang tamu dan Sudomo yang masih dengan pakaian serupa duduk ditemani beberapa orang untuk menemani rombongan tamunya. Sudomo dengan jas, celana panjang dan dasi biru sedang duduk di kursi bersama dengan para pejabat tinggi negara yang lain. Sodomo dengan peci, jas dan dasi hitam tampak duduk sendiri, diikuti beberapa orang duduk berhadapan dalam sebuah akad nikah, dan Sudomo tampak sedang berhadapan dengan penghulu.

00.45 Masih di acara akad nikahnya, Sudomo sedang menandatangani surat nikahnya. Pemberita berita pun menyatakan, “Sudomo meninggalkan empat orang anak. Menurut keluarga pemakaman akan dilaksanakan hari Sabtu pagi pukul sembilan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Sudomo dengan jas, celana panjang, dan dasi warna biru, serta berkacamata hitam, tampak hadir dalam sebuah acara kemiliteran dan disambut oleh para perwira tinggi dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat (lihat, Lampiran Ilustrasi 3).

Salinan di atas tampak sebagai sebuah berita dukacita yang merepresentasikan rasa kehilangan yang begitu mendalam terhadap sosok yang pernah berjasa pada bangsa dan negara Indonesia. Representasi itu ditampilkan baik secara verbal maupun visual untuk mendeskripsikan apa yang telah terjadi pada diri mantan pejabat di era Orde Baru di akhir hayatnya. Melalui deskripsi itu, digambarkan bagaimana orang yang termasuk dalam jajaran penting pemerintahan

Suharto tersebut meninggal dengan tenang di sebuah rumah sakit ternama di

Jakarta. Bahkan di akhir hayatnya tak sedikit pula orang yang melepas kepergiannya dengan menjenguknya di ruang emergency rumah sakit termaksud.

Meski sebagian besar penjenguk yang ditampilkan adalah para perempuan atau wanita, namun dalam berita itu tidak dinyatakan dengan jelas, apalagi nyata, tentang masa lalunya yang tak sedikit berurusan dengan masalah perempuan.

69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Itulah mengapa berita ini tampak hanya berupaya mengarahkan jalan pikiran orang yang sedang menyaksikannya pada rasa kehilangan akan seorang tokoh yang pernah berperan dalam sejarah di masa Orde Baru sedang berkuasa dan berjaya di Indonesia. Foto dengan pakaian kebesaran militernya, atau penampilan dengan seragam safari birunya yang tampak khas, menunjukkan betapa menentukannya posisi atau jabatan yang pernah dipegangnya seperti

Pangkopkamtib yang punya pengaruh amat besar dalam perpolitikan Indonesia di era Orde Baru.

Tetapi, ada satu image yang memperlihatkan bahwa salah satu dari sekian banyak orang yang termasuk sebagai kepercayaan , di masa tuanya justru tampak seperti usai mengucapkan ijab kabul dan menandatangi surat-surat di hadapan penghulu. Image itu tampak aneh, atau malah terkesan abnormal, karena tidak ada satu kata pun yang terucap untuk menjelaskannya, apalagi membelanya.

Dengan kata lain, image yang sepintas tampak mengejutkan mata penonton itu karena secara sengaja menampilkan sesuatu yang mengandung kesalahan atau keaiban dari Sudomo ternyata hanya disajikan seolah-olah tak perlu diperbincangkan, apalagi diperdebatkan, lebih jauh. Kalau pun mau dibicarakan, cukup dengan mengetahui bahwa di akhir hayatnya “Sudomo meninggalkan empat orang anak” yang tidak perlu dipersoalkan apakah berasal dari istri kesatu, kedua, atau ketiga sekalipun.

70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

RETORIKA KEAIBAN SELEBRITIS:

HIPERREALITAS IMAGE DALAM INFOTAINMENT

Merujuk pendapat Baudrillard, hiperrealitas adalah realitas yang telah disimulasi dalam sebuah simulacrum berupa image yang dihasilkan dari model-model yang real tanpa keaslian atau realitas.1 Dalam image seperti itu, perbedaan antara representasi dan realitas, atau antara tanda-tanda dan apa yang ditunjuk sebagai yang real, menjadi samar-samar. Artinya, dalam hiperrealitas terjadi penghapusan atau peniadaan (nullification) realitas yang bukan menghilangkan atau melenyapkannya, tetapi hanya menyamarkan dengan tiruan dari realitas yang tanpa rujukan dan bermakna lebih real daripada realitasnya itu sendiri.

Pada bab ini, kajian tentang infotainment akan difokuskan pada pembentukan hiperrealitas dari keaiban selebritis yang terjadi melalui mekanisme pembentukan image. Dalam mekanisme itu, ada empat tahap yang secara historis berlangsung berturut-turut, yaitu2:

1. It is the reflection of a basic reality. 2. It masks and perverts a basic reality. 3. It masks the absence of a basic reality. 4. It bears no relation to any reality whatever; it is its own pure simulacrum.

1 Baudrillard (1988d), op.cit., 166. 2 Ibid., 170. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Terjemahan: 1. Image adalah cermin dari realitas yang sesungguhnya 2. Image menopengi dan menyelewengkan realitas yang sesungguhnya. 3. Image menopengi hilangnya realitas yang sesungguhnya. 4. Image tidak terkait lagi dengan realitas apa pun, image adalah simulacrum yang sesungguhnya.

Lebih lanjut, Baudrillard menjelaskan,

In the first case, the image is a good appearance—the representation is of the order of sacrament. In the second, it is an evil appearance—of the order of malefice. In the third, it plays at being an appearance—it is of the order of sorcery. In the fourth, it is no longer in the order of appearance at all, but of simulation.

Keempat tahap itu berlangsung dalam proses simulacra yang terjadi dalam

tiga tahapan dengan didahului oleh tahapan simbolik (di mana sistem tanda-tanda

yang ditempatkan menurut tingkatan dan kewajibannya masih amat dipatuhi tanpa

syarat) sebagai berikut:3

1. The counterfeit is the dominant scheme of the classical epoch, from the Renaissance to the industrial revolution. 2. Production is the dominant scheme of industrial era. 3. Simulation is the dominant scheme of the present phase of history, governed by the code.

Menurut Baudrillard, simulacra pada tahap pertama memainkan peranan dalam pembentukan image yang ideal berdasar hukum nilai yang alami. Artinya, image yang terbentuk menjadi semacam kompetisi atas makna dari tanda-tanda yang ada. Di sinilah image yang meniru dan menipu hadir dalam bentuk tertentu seperti teater atau fashion meski yang benar-benar asli masih tampak dominan.

Sementara pada tahap kedua simulacra, image mengambil bentuk dalam produksi

massal tiruan atau replika atas prototipe tunggal seperti mobil, pesawat, pakaian,

atau buku. Maka mesin menjadi “pembebasan energi” yang tidak mementingkan

tiruan atau bukan. Sebab sesuatu yang disebut “real” dan bukan tipuan, sejauh

3 J. Baudrillard (1988b), “Symbolic Exchange and Death” in M. Poster (ed. & intro.), Jean Baudrillard. Selected Writting (Stanford: Stanford University Press), 135.

72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dapat direproduksi dan diakui sebagai prototipenya. Simulacra pada tahap ketiga yang didominasi oleh simulasi hadir di masa kini dalam bentuk yang tidak peduli lagi dengan soal asli atau prototipe meski keduanya adalah serupa. Era dari model atau kode seperti komputer, realitas virtual, kloning merupakan penanda atas kematian dari yang real. Tak ada lagi tiruan atau prototipe, yang tinggal hanyalah simulasi atas realitas – hiperrealitas di mana informasi telah menggantikan mesin sebagai mode produksi dengan kode produksi.4

Melalui pembentukan image itu, keaiban selebritis yang diretorikkan dalam infotainment akan diuraikan dengan cara berbahasa, bergaya dan berpenampilan secara hiperreal. Penting untuk dicatat bahwa apa yang ditampilkan melalui infotainment tak jarang berbeda tipis dengan apa terjadi dalam realitas hidup sehari-hari. Artinya, image yang dibentuk secara hiperreal dalam infotainment menjadi tidak mudah lagi dibedakan dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Hal inilah yang mengakibatkan keaiban selebritis tampak begitu longgar untuk dimaknai lantaran cenderung diretorikkan sebagai penanda-penanda kosong baik secara metonimik maupun metaforik. Maka sub-sub bab dalam kajian ini akan disusun dalam tiga bagian berdasar tayangan infotainment yang menjadi data-data kajiannya.

Bagian pertama adalah retorika aib poligami dalam image “ujian”. Di bagian ini image yang akan dianalisa adalah poligami Aa Gym yang secara hiperreal tampil dalam simulasi yang begitu menggoda dengan meretorikkan poligami sebagai sebuah “ujian”. Bagian kedua, retorika pesta tanpa aib dalam image kemewahan. Di sini resepsi pernikahan Anang-Ashanty akan dikaji sebagai image

4 Ibid., 137.

73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

yang secara hiperreal ditampilkan dalam bentuk “kemewahan” yang alami atau natural dengan meretorikkan hal dan masalah yang remeh-temeh seperti bunga, pakaian, tamu undangan, dan acara. Ketiga, retorika perkabungan tanpa aib dalam image “nama baik”. Akhir hayat Sudomo yang merupakan image yang ditampilkan secara lebih “normatif” sebagai berita ringan meski memuat simptom-simptom yang tampak menggoda akan diurai sebagai pembanding dari kedua image sebelumnya.

4.1 Retorika Aib Poligami dalam Image “Ujian”

Dari salinan atas tayangan poligami Aa Gym pada bab tiga, tampak bahwa secara diakronik, temporal, dan kekinian, poligami bukanlah sesuatu yang tiba- tiba “jatuh dari langit”, akan tetapi bersumber pada pengalaman hidup sehari-hari.

Hal itu ditunjukkan melalui image Teh Ninih yang selalu tampil sebagai seorang muslimah yang taat pada ajaran agamanya dan sekaligus menjadi pendakwah yang disukai oleh para jamaahnya. Keseharian dari Teh Ninih yang ditampilkan lurus-lurus saja dan tanpa cela ini hadir sebagai axis sintagmatik dalam kisah hidupnya ketika masih menjadi istri sah dari Aa Gym, bahkan saat mencecap

“madu” poligami bersama Teh Rini, dan manakala digugat cerai melalui pengadilan agama di Bandung, Jawa Barat. Kisah yang disusun secara sintagmatik ini menghasilkan proses yang berdasar pada “keterhubungan” atau “continguity”.

Proses inilah yang pada tataran semantik menghasilkan apa yang dinamai oleh

Jakobson sebagai “metonymic way”.5 Itulah mengapa sejak awal dari tayangan infotainment itu diperdengarkan lagu “Madu Tiga” yang menggambarkan betapa

5 Jakobson (1971), op.cit., 55-82.

74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyenangkannya hidup dalam poligami karena selain dapat beristri lebih dari satu, juga “seperti dunia ana yang punya.”

Kata-kata atau ungkapan di atas secara langung bermakna seolah-olah poligami berfungsi sebagai “referential” untuk menjadi tenar, populer, atau dikenal oleh sebanyak mungkin orang di dunia karena mampu mengatasi hal atau masalah yang bagi sebagian besar orang dianggap remeh-temeh. Dalam hal

“merajuk”, yang arti harafiahnya adalah “menunjukkan rasa tidak senang (dengan mendiamkan, tidak mau bergaul)” atau “bersungut-sungut; mengomel”6 misalnya, masalah itu justru dipandang penting dalam lagu itu karena dapat menunjukkan fungsi “emotive” atau “expresive” dari poligami. Fungsi itu mendapatkan saat dan tempat yang tepat pada seberapa “pandai” seseorang yang mempraktikkan poligami untuk “berbohong” atau “temberang”, yang artinya “cakap yang muluk- muluk, bual”.7 Inilah fungsi “conative” yang membuat poligami layak untuk dibicarakan, bahkan untuk dikerjakan.

Kedua fungsi itu seperti menjadi semacam “a symptom [an index] in relation to the sender, a signal in relation to the receiver, and a symbol in relation to the referent.”8 Demikian pula dengan ungkapan “istri tua” atau “istri muda”, bahkan “beristri dua” atau “kawin tiga”, bukanlah semata-mata menunjukkan korelasi dari kedua fungsi itu, melainkan menjadi semacam “kode” yang merupakan bagian dari “pesan-pesan” non-lingustik dengan fungsi “metalingual”.

Melalui fungsi itulah, poligami yang dilirikkan dan dilantunkan dalam lagu

“Madu Tiga” memperlihatkan fungsi “poetic”-nya yang berperan untuk

6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (1991), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan Balai Pustaka). 7 Ibid. 8 F. Rastier (1997/1989), Meaning and Textuality, trans. Frank Collins and Paul Perron, (Toronto: University of Toronto Press).

75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

memperkuat, atau bahkan melemahkan, makna dari poligami itu sendiri. Namun, fungsi puitik bukan untuk menyatakan suatu ”kebenaran” apa pun terhadap poligami. Karena poligami yang dihadirkan dan diintensikan dalam lagu ”Madu

Tiga” lebih berfungsi sebagai “phatic”. Artinya, lagu itu hanya dipakai sebagai semacam ”konfirmasi” bahwa poligami Aa Gym masih ”in praesentia” untuk dibicarakan. Itulah mengapa ambiguitas menjadi sifat intrinsik atau karakter yang tidak dapat dipisahkan dari poligami. Dengan kata lain, poligami menjadi seperti yang dinyatakan oleh Jakobson sebagai ”the double-sensed message”, yakni pesan yang ”finds correspondence in a split addresser, in a split addressee, and besides in a split reference”. 9

Masuk akal jika di akhir lirik lagu “Madu Tiga” seperti ada semacam peringatan yang berfungsi untuk menjembatani ambiguitas itu dengan pernyataan

“Eh jangan sampai pecah tembelang”, yang artinya jangan kelihatan kebusukannya, kekurangannya atau kejahatannya.10 Peringatan yang memberi semacam kode atau referensi agar poligami tidak menimbulkan aib atau menjadi keaiban itulah yang memungkinkan struktur “metaphoric way” dimainkan.

Struktur yang dibangun berdasar pada “kesamaan” atau “similarity” ini membentuk poligami Aa Gym sebagai suatu kisah yang dimetaforkan sebagai sebuah “ujian”. Melalui kisah itulah, narasi tentang poligami Aa Gym disusun dalam sebuah monolog yang mempararelkan ujian yang satu dengan ujian yang lainnya. Ujian yang pertama adalah “sekitar enam tahun yang lalu, waktu itu Teh

Ninih baru saja menghadapi ujian berat dipoligami Aa Gym.” Ujian yang kedua, yaitu “karena dimadu Juni 2011 lalu, ia lagi-lagi harus menerima ujian berat saat

9 R. Jakobson (1960), "Linguistics and Poetics", in T. Sebeok, ed., Style in Language, (Cambridge, MA: M.I.T. Press), 370-371. 10 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2007), op.cit.

76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengadilan agama Bandung meluluskan gugatan cerai Aa Gym.” Ujian yang ketiga terjadi “Sekitar sembilan bulan kemudian, Teh Ninih kembali diuji. Ujian itu datang dalam wujud kebahagian.”

Paralelisasi ini disusun dalam hirarki fungsi yang didominasi oleh fungsi phatic dan dinarasikan melalui image Teh Ninih yang dinyatakan sebagai seorang wanita yang “tegar” dan “ikhlas” meski harus menjalani beragam ujian. Dengan pernyataan itu seolah-olah segala sesuatu yang dialami Teh Ninih telah terkonfirmasi melalui ujian demi ujian yang dilaluinya. Dengan kata lain, ujian itu menjadi sebentuk pesan auto-refleksif yang mencerminkan ketulusan “hati seorang wanita yang dimadu” dan “tanpa rasa dendam menyambut rujukan” dari orang “yang sudah lama meninggalkan dirinya.” Inilah pesan yang berfungsi puitik untuk membicarakan poligami Aa Gym bukan semata-mata sebagai aib atau keaiban, melainkan justru sebuah ujian yang mampu membuat Teh Ninih tidak mudah merajuk, apalagi menjadikan poligami Aa Gym “pecah tembelang”.

Bahkan dengan kata-katanya sendiri Teh Ninih menyatakan bahwa apa yang dialaminya adalah sebuah hikmah yang ditematisasikan sebagai semacam

“evaluasi” dan/atau “tuntunan dari Allah”. Tematisasi ini mampu menghadirkan

“realitas” yang seolah-olah “in absentia” dari poligami Aa Gym. Dengan pemilihan (selection) “ujian” sebagai sesuatu atau “thing” yang lebih bermakna daripada “Madu Tiga” misalnya, poligami Aa Gym seakan-akan telah menemukan konteks atau referensinya, baik verbal maupun situasional, sebagai realitas yang “without contradiction between language and reality”.11 Artinya, meski realitas itu tampak begitu “real” dan mampu membuat tertegun, namun “the

11 R. Jakobson (1933), “What is Poetry?” dalam D. Olshansky, Roman Jakobson, http://www.isfp.co.uk/russian_thinkers/roman_jakobson.html.

77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

awareness of reality dies out.”12 Inilah realitas yang telah membentuk ulang keaiban poligami Aa Gym dalam proses metonimik dan struktur metaforik yang menjanjikan kembalinya “objek yang hilang” (“the lost object”)13 melalui image

Teh Ninih, Aa Gym dan Teh Rini sebagai chain of signifier dalam sebuah tayangan infotainment.

Dari image “tiga kepala yang berbeda” itu, tampak bahwa Teh Ninih yang ditampilkan cukup dominan dalam tayangan infotainment adalah image yang dijanjikan mampu membentuk ulang keaiban poligami Aa Gym. Dengan image yang menampilkan kesehariannya secara natural, entah dalam menjalani sholat lima waktu atau menjadi pendakwah di berbagai acara pengajian, Teh Ninih tampak menjadi seorang wanita yang jauh dari kesan “dimadu”. Bahkan image yang merupakan imago atau potret pengalaman realitas hidup sehari-hari itu tampak disimulasikan secara tepat karena mampu merepresi secara piawai setiap shot dari realitas keseharian Teh Ninih yang biasa-biasa saja dalam narasi dan lagu yang dipakai sebagai musik latarnya secara proporsional. Dari narasinya, sejak awal tampak sudah dibangun rasa hormat atau respek yang cukup tinggi terhadap “seorang wanita yang dimadu” dan sekaligus kebanggaan terhadapnya karena mampu menjalani setiap “ujian” yang ada di hadapannya. Bahkan “saat pengadilan agama Bandung meluluskan gugatan cerai Aa Gym” pada bulan Juni

2011, Teh Ninih pun menerima dan menjalani kenyataan itu dengan lapang dada.

Namun, narasi yang sedemikian indah ini tampak hanya menjadi semacam eksklamasi belaka. Secara retorik, hal ini menunjukkan bahwa ada kepura-puraan

12 Ibid., 1. 13 S. Rahimi (2012), “Subjectivity at the Intersection of Metaphoric and Metonymic Function”, http://somatosphere.net/2012/12/subjectivity-at-the-intersection-of-metaphoric-and- metonymic-functions.html

78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

atau keseolah-olahan yang ingin dibicarakan secara diam-diam lewat narasi yang menyatakan: “Sekitar sembilan bulan kemudian, Teh Ninih kembali diuji.”

Pernyataan yang menjadi bagian dari narasi awal ini memiliki keterkaitan dengan pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa Teh Ninih baru saja melewati beberapa “ujian berat” manakala digugat cerai oleh Aa Gym dan dipoligami sekitar enam tahun lalu. Jadi, dalam keseluruhan narasi yang diucapkan selama hampir setengah menit itu sedang dibangun sebuah metonimik yang memperlihatkan betapa teganya Aa Gym lantaran seolah-olah telah mempermainkan seorang wanita yang pernah dinikahinya dan menjalani hidup berkeluarga sejak tahun 1987 dengan dikarunia tujuh orang anak. Namun, hal itu memang tak terucapkan, apalagi ternarasikan, meski sempat tervisualisasikan dalam beberapa shot yang menampilkan Aa Gym sedang berfoto bersama ibu-ibu dalam sebuah acara “Pekan ASI Sedunia 2005” dan saat menjemput Teh Rini yang baru saja melahirkan anak lelaki pertamanya dari Aa Gym pada bulan

Oktober 2008. Dengan shot-shot itu, visualisasi Aa Gym sebagai suami, bapak, lelaki yang telah menelantarkan istri, mamah, wanita yang “tegar” dan “tulus ikhlas” dalam menghadapi setiap “ujian” berpoligaminya menjadi tampak meski secara amat tersamar. Di sinilah benih-benih keaiban selebritis mulai disemai melalui simulasi yang mengimitasi realitas dan mengkonstuknya dalam sebuah image yang bertujuan meningkatkan emosi.

Penting untuk diketahui bahwa dalam dimensi retorika dasar, metonimi, termasuk juga metafor, merupakan rantai penandaan yang memungkinkan sesuatu yang bernuansa “benar” atau “sesungguhnya” tampak di depan mata. Meski tidak identik dengan metafor, metonimi menjadi bentuk retorik yang bersifat figuratif

79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dalam menandai sesuatu secara bermakna. Menurut Roman Jakobson, “metaphor and metonymy are the two fundamental modes of communicating meaning.”14

Sementara menurut George Lakoff and Mark Johnson, keduanya adalah “the basis for much of our understanding in everyday life.”15 Jadi, baik metafor maupun metonimi, merupakan bentuk retorik yang menentukan makna apa yang terkandung dalam sebuah tanda yang merepresentasikan suatu realitas.

Namun, makna yang terkandung di sana tidak dapat diidentifikasi dengan mudah karena penanda-penanda yang difigurakan untuk memaknai realitas berkait satu sama lain dan berulang secara terus-menerus. Penanda yang kosong seperti itu dapat berkeliaran tanpa batas hingga memperoleh “jangkar” yang mampu mengkaitkannya dengan tanda atau makna tertentu. Di sinilah peran retorika membantu untuk menemukan pengait antara penanda yang satu dengan penanda lainnya melalui bentuk-bentuk metonimik, atau antara penanda dengan realitas dan/atau maknanya melalui bentuk-bentuk metaforik. Maka, penempatan

“poligami sebagai ujian” merupakan bentuk metaforik yang sedang memfigurakan secara persuasif sosok Aa Gym bukan sekadar bermakna sebagai bentuk ketulusan

Teh Ninih dan/atau kerelaan Teh Rini belaka. Akan tetapi, hal itu juga menjadi bentuk permainan atas penampakan yang secara metonimik mengambil rupa dalam poligami Aa Gym yang ditampilkan seolah-olah tanpa rasa salah, dan bahkan demi sebuah kesenangan belaka.

Dengan metafor yang memungkinkan sosok Aa Gym ditampilkan seperti di atas, penampakan poligami pun menjadi semacam tropus yang sedang mengorkestrakan hubungan antara berbagai penanda (signifiers) dan apa yang

14 Jakobson (1971), op.cit. 76. 15 G. Lakoff & M. Johnson (1980), Metaphors We Live By, (Chicago: University of Chicago Press).

80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditandakan (signifieds) hingga membentuk makna atas realitas. Tropus yang pergeseran makna dari makna yang sebenarnya memberi bentuk atau konstruk pada apa yang hanya ditampilkan secara “literal” atau denotatif. Jadi, metafor membantu untuk memahami bukan hanya pada apa yang dialami, tetapi justru pada bagaimana pengalaman itu ditampilkan dengan tropus atau figura yang mampu menyampaikan apa yang tidak sempat atau tidak mungkin dikatakan secara verbal. Masuk akal jika poligami Aa Gym yang dimetaforkan sebagai ujian ditampilkan lewat beberapa shot yang memperlihatkan Teh Ninih bukan sebagai subjek primer “literal” yang trauma akibat dipoligami, melainkan justru adalah subjek sekunder “figuratif” yang tahan uji.16 Melalui metafor visual seperti itu, poligami Aa Gym mengalami peralihan kualitas (transference) dari satu tanda ke tanda lainnya.17

Peralihan yang dialami Teh Ninih mendapat porsi yang lebih dominan karena dialah yang dianggap lebih representatif untuk dijadikan penanda utama dalam metafor itu. Untuk itulah, Teh Ninih ditampilkan sebagai sosok perempuan yang semakin berkualitas dengan penampakannya yang seakan-akan tak kenal lelah meski tak henti-hentinya hadir di berbagai acara pengajian dan/atau dakwah sebagaimana dilakukan juga oleh Aa Gym. Kualitas sebagai “pendakwah” perempuan inilah yang dianggap mampu melewati beragam ujian yang menghampirinya, termasuk dalam berpoligami. Sementara Teh Rini yang tampak lebih muda usia dan pengalamannya ditampilkan sebagai sosok perempuan yang seakan-akan belum teruji dan terbukti dalam menjalani praktik poligami. Maka dengan menciptakan image seorang perempuan yang rela berbagi, Teh Rini

16 D. Chandler (2007), Semiotics: The Basics, (London, UK: Routledge), 127. 17 Ibid., 128.

81 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditempatkan sebagai penanda yang kualitasnya masih perlu dibuktikan dengan kerelaannya menerima kembali Teh Ninih sebagai istri Aa Gym setelah sembilan bulan lamanya ia yang mendominasi. Kerelaan itulah yang dijadikan semacam

“ujian” bagi Teh Rini dalam menjalani praktik poligami yang tampaknya bertujuan menyenangkan hati Aa Gym. Di sini tampak ada penanda lain yang dihadirkan, yaitu poligami sebagai pratik hidup yang menyenangkan. Dengan penanda seperti itu, poligami Aa Gym pun menjadi tampak siap untuk dimaknai sebagai sesuatu dapat dibicarakan. Sebab yang menjadi tujuan dalam berpoligami lebih ditampilkan dengan penampakan Aa Gym yang selalu menyenangkan di mata para pengikut dan/atau penggemarnya, termasuk di tengah keluarganya.

Inilah image yang tampak tersamar dalam metafor poligami Aa Gym yang sepertinya berupaya menyelewengkan makna poligami yang sesungguhnya dan belum atau tidak sempat terkatakan.

Suasana ini masih ditambah lagi dengan metonimi yang dibentuk dari pengalaman ragawi dan bagian-bagiannya, termasuk dari, sebagaimana dinyatakan Giambattista Vico, “senses and passions”.18 Pengalaman macam inilah yang menempatkan metonomi sebagai pengganti makna dan/atau realitas yang terjadi agar diterima sebagai sesuatu yang seolah-olah terkait satu sama lain.

Karena itulah, makna poligami sebagai ujian ditampilkan tidak dapat berdiri sendiri tanpa makna poligami sebagai kesenangan melalui penampakan Teh Ninih yang begitu tulus dan tegar menjalani praktik poligami secara berulang. Meski harus mengalami pergantian posisi yang cukup radikal, Teh Ninih pun berpoligami kembali tanpa syarat, apalagi rasa dendam. Senses and passion

18 D. Chandler (1995), Semiotics for Beginners, online version (Wales: Aberystwyth University).

82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

seperti inilah yang dimanfaatkan sebagai latar dari metonimi yang dibangun untuk mengaitkan secara terbuka hubungan antara ujian dan kesenangan dalam berpoligami. Meski seakan-akan tampak salah, namun hubungan itu bersifat, seperti dikemukakan Lakoff & Johnson, “grounded in our experience”.19 Itulah mengapa poligami Aa Gym menjadi lebih tampak begitu alami untuk ditampilkan dengan menciptakan metonimi yang berdampak “effect for cause”20 agar hal itu tidak begitu saja disimpulkan sebagai keaiban.

Lihai sekali, memang. Apalagi menurut Baudrillard,

“metonymy...establishes itself on the disillusionment of metaphor”.21 Itu artinya, image yang secara metonimik sudah sedemikian tersimulasi akan dengan mudah terdisimulasi karena memperoleh dukungan dari kekuatan yang mampu menyembunyikan makna poligami secara diam-diam. Intinya, makna poligami yang telah ditandai secara metaforik dalam sebuah “ujian” mampu merepresi keaiban dari poligami yang secara metonimik ditandai dengan sesuatu yang menyenangkan. Represi ini dapat menjadi tidak nampak lantaran mekanisme pembentukan image yang dikerjakan secara simulatif mampu menghadirkan sebuah penanda “kosong”. Penanda macam inilah yang memungkinkan makna poligami ditangkap secara berbeda, namun dibuat seolah-olah tidak perlu untuk diketahui lebih lanjut lantaran hanya sekadar dugaan dan/atau basa-basi belaka.

Lagu “Madu Tiga” yang mengiringi tayangan infotainment sejak awal adalah contoh dari penanda “kosong” yang bertujuan mendisimulasi makna poligami Aa Gym. Lagu yang dinyanyikan Ahmad Dhani dengan kelompok

19 Chandler (2007), op.cit., 132. 20 Ibid., 130. 21 J. Baudrillard (1993), Transparency of Evil. Essays on Extreme Phenomena, J. Benedict (trans.), (London & New York: Verso), 16.

83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

musik The Swinger itu memberikan daya sengat yang luar biasa manakala poligami justru dinyatakan sebagai sesuatu yang menyenangkan lantaran dianggap mampu memberi suatu kelihaian untuk “pandai pembohong” atau “temberang” sebagaimana dilirikkan dalam lagu. Artinya, poligami Aa Gym yang realitasnya disejajarkan dengan semacam keutamaan dalam bentuk “ujian”, dapat menjadi sesuatu yang menyenangkan jika dilakukan dengan penuh kesadaran. Namun sebaliknya, jika dikerjakan secara tidak sengaja, hal itu justru dapat menimbulkan keaiban. Inilah salah satu bentuk retorik yang oleh Jakobson & Halle dikategorikan sebagai tipe khusus dari metonimi.22 Synecdoche adalah tipe khusus itu yang dipakai sejajar dengan metonimi atas dasar keterhubungan (contiguity).

Bentuk retorik ini merupakan suatu tipe substitusi atas bagian tertentu untuk keseluruhan (part for whole) atau genus for species, dan sebaliknya. Melalui substitusi ini, diharapkan terbentuk pandangan umum, serupa, sederhana, dan terpadu mengenai sesuatu yang dianggap sebagai sebuah keutamaan. Dengan kata lain, synecdoche bertendensi untuk meyakinkan bahwa apa yang ditampilkan adalah sebuah “potongan dari kehidupan” (“slice-of-life”).23 Artinya, meski hanya bagian tertentu yang tampak, namun dapat dipakai untuk memaparkan secara keseluruhan dan mengisi kekosongan yang selama ini menciptakan sebuah jarak dan/atau kesenjangan. Maka dalam synecdoche penanda yang kosong sekalipun selalu mencerminkan apa yang ditandakan sebagai maknanya. Makna poligami yang dilirikkan melalui lagu “Madu Tiga” menjadi penanda kosong yang telah menggantikan makna poligami Aa Gym yang bernilai keutamaan sebagai ujian.

Dengan demikian, lagu bergaya Melayu atau berirama gambus ini merupakan

22 Jakobson & Halle (1956), op.cit., 95. 23 Chandler (2007), op.cit., 103.

84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

synecdoche yang memberi saat dan tempat yang tepat untuk semakin meng-“close up” apa yang sesungguhnya dapat mencerminkan realitas poligami Aa Gym dan sekaligus meng-“cover up”-nya sebagai sesuatu yang tak terelakkan.

Masuk akal jika lagu “Madu Tiga” seakan-akan menjadi daya dorong yang merepresi keaiban poligami Aa Gym sebagai keutamaan yang menyenangkan meski harus dilewati melalui sebuah ujian. Daya dorong yang sesungguhnya rawan dan rapuh untuk ditelikung menjadi sebuah kesalahan dan/atau keaiban itu disubstitusikan dalam lirik lagu yang menyatakan bahwa sesungguhnya poligami dapat “menyenangkan hati” asal dilakukan dengan “pandai pembohong” atau

“pandai temberang”. Dengan demikian, melalui lagu itu poligami Aa Gym tengah difigurakan sebagai sebuah kebohongan yang menyenangkan. Artinya, poligami itu sedang ditampilkan layaknya sebuah undangan yang jika ditanggapi akan memenuhi harapan yang mengundang. Dengan kata lain, undangan itu menjadi sebuah penanda kosong yang diharapkan dapat dipenuhi dengan harapan yang sesuai dengan keinginan yang mengundang. Harapan yang terpenuhi itulah yang menjadi tanda yang menyenangkan karena apa yang ditandakan melalui undangan mendapatkan maknanya kehadiran mereka yang diundang. Lagu “Madu Tiga” bermakna memberi harapan yang dapat mengisi kekosongan dari apa yang ditampilkan dalam poligami Aa Gym dengan cara menawarkan undangan untuk mendapatkan kesenangan yang layak diperoleh seusai menempuh “ujian” dalam berpoligami.

Namun, kesenangan yang ditawarkan ini bukanlah tanpa risiko. Sebab kesenangan seperti itu bertendensi dapat menyesatkan atau tidak. Inilah yang disebut Aristoteles sebagai kesalahan bernalar atau fallacy. Dalam lagu “Madu

85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tiga”, “metonymic fallacy” (atau lebih tepatnya “synecdochic fallacy”)24 itu terungkap pada lirik terakhirnya, yaitu: “mesti pandai berbohong/mesti pandai temberang/oh tetapi jangan sampai/eh pecah tembelang”. Lirik yang terdengar logis dan “sakral” dengan memanfaatkan bahasa ibu, yaitu bahasa Melayu, ini sesungguhnya merupakan bentuk dari fallacy yang familiar, bahkan banal, karena di sini yang dipentingkan bukanlah argumen atau alasan yang masuk akal dalam berpoligami, melainkan hanya supaya menjadi jelas saja bahwa poligami bukan sekadar untuk dipersoalkan, apalagi dipersalahkan, tetapi justru perlu diterima dengan tanpa banyak cakap kata.

Itulah mengapa tak banyak kata yang cakap keluar dari mulut Aa Gym ketika dimintai pendapatnya tentang poligami. Ia hanya ditampilkan selama kurang lebih lima detik saja secara close-up untuk menyatakan bahwa “semua ada takdirnya”, “segala sesuatu ada waktunya”, “segala sesuatu ada hikmahnya”.

Dengan pernyatan itu, seakan-akan sudah tidak ada tempat kosong lagi yang dapat diduduki untuk menggantikan kata atau ungkapan dalam lirik awal pada lagu

“Madu Tiga” berikut ini: “aih senangnya dalam hati/kalau beristri dua/seperti dunia/ana yang punya”. Melalui ungkapan itu pula, poligami Aa Gym pun menjadi figura atau model yang tidak lagi semata-mata dapat dihujat, apalagi dihakimi, sebagai “kekeliruan”. Tetapi, hal itu merupakan sosok yang tidak hanya dapat dimaknai dari sudut pandang manusia belaka, tanpa melihat pada dimensi lainnya seperti “rahasia” atau “takdir Allah” sebagaimana dituturkan Aa Gym yang berpretensi memberi lumen atau aspek baru terhadap poligami. Namun tepat pada titik ini image yang ditampilkan justru semakin menggoda untuk diarahkan

24 Ibid., 133.

86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pada normalisasi poligami Aa Gym agar dapat diterima sebagai sebuah keniscayaan. Inilah bentuk penyamaran yang dikerjakan terhadap poligami Aa

Gym dengan menyelewengkan kesenangan yang dibayangkan dapat diperoleh secara cuma-cuma ketika berpoligami melalui praktik atau tindakan berani Teh

Ninih yang dinarasikan “benar-benar menerima semua siklus hidupnya bersama

Aa Gym dengan ikhlas dan tegar.”

Di sini poligami Aa Gym yang telah diimitasi sebagai model “ujian” yang menyenangkan menjadi masuk akal untuk diterima. Namun model itu telah terdisimulasi dalam ironi yang seolah-olah tak mungkin dijelaskan dengan akal sehat belaka. Artinya, di situ diperlukan sesuatu yang berlawanan, atau paling tidak bukan sekadar kata-kata yang mampu menunjukkan kebenaran dalam berpoligami, tetapi justru dengan berpura-pura tidak tahu, bahkan paham betul, apa sesungguhnya makna dari poligami itu. Itulah yang menyebabkan poligami menjadi tampak absurd dan dengan demikian tidak mudah dipahami, apalagi diputuskan, termasuk melalui pengadilan agama. Bahkan jika hanya mengandalkan dakwah, akidah dan tauhid sekali pun, poligami tak lebih daripada acara-acara pengajian yang ramai dikunjungi orang, namun menyisakan tanda tanya besar yang sarat dengan segala kerahasiaannya. Maka ironi dari poligami

Aa Gym adalah realitas yang telah hilang atau absen dalam kerahasiaan yang dihadirkan baik oleh Teh Ninih yang selalu tabah menjalani ujian berpoligami maupun Teh Rini yang tiada hentinya memotivasi Aa Gym untuk rujuk kembali dengan Teh Ninih.

Ironi atas hilang atau absennya realitas seperti itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari kesesatan bernalar (fallacy) tentang apa yang dibayangkan

87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sebagai kerahasiaan dalam poligami Aa Gym. Bayangan yang dihadirkan pada diri Teh Ninih yang menjadi “potret ketegaran hati seorang wanita”, adalah realitas yang dipakai untuk menggantikan kerahasiaan dari poligami Aa Gym yang bisa jadi sesat tapi dianggap menyenangkan untuk dilakukan. Penggantian itu ditandai dengan beberapa shot penampilan dari Teh Ninih dan Aa Gym yang di masa lalunya pernah didaulat menjadi pasangan dakwah yang paling serasi.

Bahkan shot penampilan dari Teh Rini yang bermukim di kawasan elite BSD

(Bumi Serpong Damai) menjadi bagian dari apa yang hilang dari realitas poligami

Aa Gym yang sosoknya selalu ditampilkan menjadi pusat perhatian massal (Aa

Gym dikerumuni para santri), kepala rumah tangga yang bertanggungjawab (Aa

Gym mengantar anak ke sekolah dengan sepeda listrik, dan dekat dengan anak- anak serta para istrinya (Aa Gym selalu ada di tengah-tengah anak dan istrinya).

Dengan mekanisme inilah, tiruan real dari poligami Aa Gym mulai dihadirkan melalui penampilan-penampilan yang menggoda seperti tampak pada pernyataan: “dan kini ujian mengarah pada Teh Rini” yang segera disusul dengan pertanyaan: “mampukah wanita cantik itu melakukannya?” Godaan yang telah menempatkan poligami Aa Gym sebagai bentuk dari keikhlasan Teh Ninih dan kerelaan Teh Rini menjadi semacam “tipuan mata” (trompe-l’oeil)25 yang semakin menguatkan kerahasiaan dari penampakan poligami itu sendiri. Dengan kata lain, poligami itu, seperti ditegaskan dalam narasinya, “bukan sebagai pencuri hati”, tetapi justru merupakan bentuk dari “sikap solider yang luar biasa”. Maka, tak ada yang salah, apalagi patut dipersalahkan, karena segala sesuatunya, sebagaimana dituturkan Aa Gym yang mengaku selalu dimotivasi Teh Rini untuk rujuk dengan

25 Baudrillard (1988b), op.cit., 154.

88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Teh Ninih, adalah “demi kebaikan, semua silahturahmi.” Penuturan yang diucapkan di depan rumahnya dengan mengenakan baju koko semi jas tanpa sorban di kepala itu seakan-akan mempertegas penampakan poligami yang selalu mudah untuk dilonggarkan, bahkan dilepaskan, dari ikatan-ikatan benar atau salah, bahkan asli atau palsu.

Penampakan seperti inilah yang telah membentuk tiruan real yang sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun. Artinya, penampakan yang tidak lagi memperkarakan urusan “moralitas” atau “immoralitas” itu telah menjadi simulacrum yang sempurna. Di sini realitas menjadi tidak penting lagi karena sudah hilang atau dihapus oleh tiruan yang lebih real. Tiruan itulah yang memungkinkan hiperrealitas hadir dalam bentuk yang tidak dapat sesat, meski dapat tampil juga dalam bentuk yang “lebih sesat daripada sesat”. Itulah mengapa poligami Aa Gym yang ditampilkan sebagai upaya untuk menyatukan “tiga kepala yang berbeda” selalu dapat dimaknai secara lepas dan bebas dari realitas yang mengikat dan membentuknya, termasuk dengan segala keaiban selebritisnya.

Dalam konteks ini, poligami Aa Gym yang ditampilkan secara hiperreal sesungguhnya justru bersifat mengabstrakkan realitas-realitas yang telah menempatkan hal itu hanya sebagai sebuah penampakan yang tidak dapat dipersalah atau dibenarkan sekalpun. Dengan kata lain, hiperrealitas dari poligami

Aa Gym telah menjadi penampakan untuk membuat real apa yang dibicarakan dan dipraktikkan sebagai sesuatu yang selama ini dirahasiakan. Atau sebagaimana dibahasakan dalam lirik lagu “Madu Tiga”, hal yang sebelumnya selalu dipersyaratkan dengan tanda atau simbol “mesti pandai berbohong, mesti pandai temberang”, kini tak perlu lagi dicemaskan, apalagi ditakutkan, akan “pecah

89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

temberang” asal mampu ditampilkan “sehiperreal” mungkin. Karena dalam yang hiperreal itu, perbedaan antara “yang real” dengan yang “imaginer”, antara “yang asli” dengan “yang palsu”, bahkan antara “yang benar” dengan “yang salah” menjadi tidak penting lagi. Yang terpenting justru apa yang tampak sebagai hiperrealitas mampu memberi sesuatu yang menyenangkan meski amat rawan dan rapuh untuk selalu ditampilkan secara salah dengan beragam keaibannya.

Poligami Aa Gym telah menjadi realitas yang hiperreal melalui penampakannya yang dapat dianggap sesat tapi menyenangkan. Maka,

“istikharah” seperti menjadi jawaban yang menggoda untuk diperlakukan sebagai keaiban karena menyimpan rahasia yang tak mudah untuk diselami, apalagi dimaknai. Baik Teh Ninih, Teh Rini, maupun Aa Gym, yang “sudah bulat hati untuk menyatukan langkah meraih masa depan bertiga”, boleh jadi memiliki rahasia lain yang belum sempat dikatakan. Tapi segenap rahasia itu sesungguhnya hanya merupakan penanda kosong yang tidak mengatakan apa-apa dalam penampakan real dari tiruan realitas yang selalu ditayangkan infotainment. Maka, poligami Aa Gym pun layak untuk disyukuri, bahkan jika perlu “didoakan saja agar jadi kebaikan”, karena selebihnya adalah hiperrealitas keaiban selebritis yang selalu menggoda untuk ditampilkan meski hanya sekadar lewat seperti puluhan iklan yang ditayangkan sesudah infotainment tuntas disiarkan.

4.2 Retorika Pesta tanpa Aib dalam Image Kemewahan

Resepsi pernikahan Anang-Ashanty yang ditampilkan dengan penampakan

“kemewahan” secara dominan memang menjadi tiruan yang terasa lebih dari sekadar real. Artinya, tiruan itu mampu untuk menampilkan apa yang selama ini

90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dibayangkan sebagai resepsi pernikahan yang berkelas ala artis-artis papan atas.

Maka tak heran jika mulai dari tempat pernikahan yang “akan digelar di salah satu hotel berbintang di Jakarta”, “dekorasi ruangan hotel yang akan menampung empat ribu undangan” dan “didominasi oleh bunga impor serta terbanyak rancangan desainer ternama”, resepsi pernikahan itu direpresentasikan nyaris secara sempurna setara dengan realitas yang dibayangkan sebagai sebuah “royal wedding” (pesta pernikahan keluarga kerajaan) misalnya. Meski dikabarkan bahwa biaya pesta pernikahan itu mencapai milyaran rupiah26, namun bukan soal uang atau mewahnya pesta yang dibicarakan, tetapi adalah tentang “harga diri” yang dalam konteks ini berkait dengan pesta pernikahan sebelumnya seperti pasangan Raul Lemos dan Krisdayanti yang adalah mantan istri Anang.27 Itulah mengapa sejak awal dalam tayangan infotainment telah dinarasikan semewah apakah resepsi pernikahan itu, termasuk siapa atau artis papan atas mana yang akan hadir di sana. Dengan narasi ini, tiruan yang dianggap sebagai cermin dari realitas sedang dibangun melalui tanda atau simbol yang merepresentasikan nilai kemewahan itu sendiri.

Tanda “bunga-bunga impor” misalnya, seakan-akan menjadi semacam

“peta” yang cenderung, bahkan berpretensi, mendahului “wilayah” dari apa yang dibayangkan sebagai sebuah pesta pernikahan papan atas. “Peta” yang oleh

Baudrillard dipakai sebagai analogi dari simulasi ini seperti menandai bahwa dari penampakan bunga-bunga yang ditangani secara “handle with care” itu sudah dapat merepresentasikan realitas yang sesungguhnya dari pesta pernikahan yang

26 “Wow…Pernikahan Anang-Ashanty Miliaran Rupiah”, http://video.kapanlagi.com/event/wow-pernikahan-anang-ashanty-miliaran-rupiah.html. 27 E. Hendrawan Sofyan, “Raul Lemos Serang Anang di Twitter”, http://entertainment.kompas.com/read/2012/07/11/15141879/Raul.Lemos.Serang.Anang.di.T witter.

91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dinarasikan “bertabur kemewahan”. Ada metafor yang sengaja dipakai dalam simulasi pesta pernikahan ini untuk menunjukkan bahwa bunga-bunga yang membutuhkan penanganan “ekstra hati-hati” dibanding bunga-bunga lokal itu setara dengan tamu-tamu undangan yang akan memenuhi ruangan resepsi berdaya tampung empat ribu orang. Atau, bahkan pula bunga-bunga itu setarif, bahkan mungkin lebih tinggi, dengan honor para artis papan atas Indonesia, termasuk

Kridayanti, yang akan mengisi acara dalam pesta pernikahan tersebut.

Metaforisasi ini tampaknya menjadi strategi yang cukup real untuk menciptakan bayang-bayang yang mirip dengan realitas yang dipakai sebagai cerminnya.

Dengan kata lain, metafor itu menolong untuk menghasilkan tiruan yang sulit dibedakan dari aslinya. Bahkan tiruan itu tampak menjadi lebih real dari aslinya.

Masuk akal jika metafor dipandang sebagai tropus yang paling menakjubkan karena selain mampu memberi nama pada sesuatu yang sudah memiliki nama dengan lebih indah, hal itu juga membantu untuk memperjelas dengan kata-kata lain yang lebih bermakna. Bunga-bunga impor adalah pilihan kata yang mampu menggantikan tempat kosong dari kata kemewahan yang terkesan terlampau generik. Bahkan kata itu pun sudah mampu menghasilkan realitas yang seolah- olah telah merepresentasikan apa yang selama ini dibayangkan sebagai suatu kemewahan. Dengan kata lain, melalui metafor seperti itu, kemewahan dari resepsi pernikahan Anang-Ashanty menjadi tidak sia-sia, apalagi terkesan hanya pamer atau unjuk kepemilikan belaka.

Namun, metafor yang sudah tampak terlihat jelas dan indah itu tidak ditopang dengan kokoh oleh metonimi yang mampu membentuk chain of signifier secara lebih meyakinkan. Bahkan synecdoche yang merupakan tropus utama

92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dengan fungsi mengetahui keseluruhan lewat sebagian kecil atau mengetahui sebagian kecil dengan keseluruhan juga tidak tampak menonjol. Hal inilah yang mengakibatkan penampakan dari resepsi pernikahan itu hanya menjadi realitas yang lebih real dari aslinya sejauh ditampilkan melalui permainan metafor- metafornya. Dalam hal ini, penampakan metafor yang terasa berlebihan dalam tayangan resepsi pernikahan itu telah mengaburkan perbedaan antara “yang real” dengan “yang semu”, antara “yang asli” dengan “yang palsu”. Hal yang demikian ini membuat realitas yang sesungguhnya dari resepsi pernikahan itu menjadi lebih mudah untuk diselewengkan. Penyelewengan itu dilakukan dengan cara menopengi realitas yang ada melalui penampakan yang terasa lebih real dari aslinya. Penampakan itu dapat hadir dalam tiruan yang telah mengalami proses simulacrum. Di sinilah tiruan dibuat hampir menyerupai realitas yang asli dan dihadirkan sebagai realitas yang ada pada dirinya sendiri. Artinya, realitas itu dapat mereproduksi apa yang menjadi tanda atau kode sendiri yang lebih real tanpa perlu merujuk pada realitas yang ditiru sebelumnya.

Maka, bunga-bunga yang didatangkan dari luar negeri dengan “warna-warna hijau, orange, dan pink” menjadi model-model yang mampu menghasilkan realitas kemewahan secara real, bahkan lebih real dari aslinya. Inilah yang disebut

Baudrillard sebagai penampakan “jahat” (“evil” appearance) yang merupakan kebalikan dari penampakan awal, penampakan “baik” (“good” appearance) dari peniruan realitas sebagai cermin.28 Jahatnya penampakan itu bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada tatanannya yang menyembunyikan dan menelikung realitas yang ditampilkan sebagai sebuah tiruan. Maka, bunga-bunga impor yang

28 Baudrillard (1988c), op.cit., 170.

93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ditampilkan sebagai representasi dari kemewahan dalam pesta pernikahan itu meski hanya menjadi realitas yang dapat dibayangkan, akan tetapi sudah dianggap yang paling real. Itulah mengapa hadirnya seorang pakar penata bunga menjadi salah satu simptom penting yang menandai bahwa bunga-bunga impor itu adalah simbol dari realitas pesta pernikahan yang mewah, atau dalam istilah Ashanty,

“glamornya ada”. Dengan kata lain, “bunga-bunga impor” yang dimetaforkan dengan “kemewahan” atau “glamor” itu tampak berpretensi untuk membuat realitas pesta pernikahan menjadi tanpa rujukan apapun. Dengan demikian, asal sudah setaraf dan setarif dengan “bunga-bunga impor” itu, maka pesta pernikahan apapun dapat dikategorikan sebagai “mewah” atau “glamor”. Jadi, bukan lagi makna dari pesta pernikahan itu yang penting untuk ditampilkan, bahkan dipersoalkan, melainkan justru realitas pesta pernikahan yang telah dibuat samar- samar dan diselewengkan melalui tanda “bunga-bunga impor” yang seolah-olah mensimbolkan “kemewahan” yang seperti tanpa aib.

Hal serupa juga tampak pada pernak-pernik aksesoris yang dipersiapkan sebagai souvenir dalam pesta pernikahan Anang-Ashanty. Souvenir yang dikemas dalam kotak-kotak berjumlah tiga macam itu masing-masing coklat, floris

(bunga), dan CD lagu terbaru duet Anang-Ashanty. Seluruh pernak-pernik ini ditangani secara khusus oleh seorang event organizer ternama yang juga mengatur siapa tamu-tamu yang diundang dan yang mengisi acara dalam resepsi pernikahan itu. Bahkan pakaian pengantin dalam pesta pernikahan itu pun dirancang secara khusus pula oleh seorang desainer terkemuka. Masuk akal jika selama masa persiapan resepsi pernikahan itu penampakan Anang-Ashanty tampak dibuat begitu “sereal” mungkin seperti ketika sedang berbicara tentang pakaian

94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pengantin mereka. Pakaian, yang menurut pengakuan Ashanty, “dibuat master piece” di sepanjang karir perancangnya itu seakan-akan sudah mampu mengatakan dengan lebih lantang bahwa realitas pesta pernikahan itu tak ubahnya seperti pakaian yang berfungsi untuk “salin” dalam bahasa Jawa. Artinya, pakaian yang sesungguhnya bermakna simbolik untuk menandai suatu realitas sekadar ditampilkan sebagai “salin” yang oleh Ashanty dikatakan “emang bagus banget, bagusss banget.” Kata-kata yang tampak diucapkan dengan begitu tulus itu justru menjadi “salin” yang dipandang setaraf dan setarif dengan realitas kemewahan yang ditampilkan dalam resepsi pernikahan Anang-Ashanty. Itu artinya, pakaian pengantin yang juga didesain layaknya bunga-bunga impor mampu dihadirkan bukan hanya sebagai simptom yang memperlihatkan keseolah-olahan dari sebuah pesta pernikahan, melainkan justru nyata, bahkan lebih nyata dari realitas yang dianggap mewah atau glamor sekalipun. Maka, pakaian yang disimulasikan melalui tayangan infotainment dalam pesta pernikahan itu berdampak penting bukan saja pada realitas kemewahannya, tetapi juga pada beragam tanda lain melalui sejumlah simptom yang dianggap seolah-olah mampu berbicara setulus

“pakaian pengantin” Ashanty.

Para tamu undangan dan artis-artis yang dirancang sebagai pengisi acara pesta pernikahan itu merupakan tanda-tanda yang dipakai secara efektif dan operatif untuk menghadirkan realitas kemewahan yang sereal penampakan bunga, souvenir dan pakaian pengantin Anang-Ashanty. Para tamu undangan yang sebagian besar terdiri dari artis-artis kenamaan dan sekaligus berfungsi sebagai pengisi acara pesta pernikahan ditampilkan sebagai simptom-simptom yang mampu mendeskripsikan apa yang tidak tampak di depan mata. Mereka yang

95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

secara resmi telah tercatat dalam daftar nama undangan itu berarti merupakan bagian dari apa yang dibayangkan dalam realitas pesta pernikahan sebagai penanda kemegahan. Kemegahan yang diukur berdasarkan ramainya jumlah tamu dan suguhan acara yang ditampilkan menunjukkan bahwa pesta pernikahan itu bukan sekadar realitas tanpa rujukan, tetapi sungguh-sungguh nyata sebagai sebuah realitas. Terlebih nama Kridayanti, yang disebut-sebut sebagai “mantan istri Anang Hermansyah” dan “akan memberikan kado spesialnya berupa sebuah lagu yang dipersembahkan khusus untuk pasangan bahagia ini.” Narasi seperti ini bukan semata-mata ingin membangkitkan emosi yang menonton tayangan infotainment itu. Tetapi juga menciptakan ilusi atau imajinasi yang mampu menandai hilangnya realitas yang sesungguhnya dari pesta pernikahan itu.

Ilusi “mantan istri” yang berpretensi menghadirkan keaiban dari Krisdayanti yang bercerai dengan Anang lantaran hubungan dekatnya Raul Lemos merupakan penanda kosong yang berkait dengan nasib atau masa depan anak-anak mereka,

Aurel dan Azriel. Masuk akal jika anak-anak yang dinarasikan sebagai “yang telah lama mengidamkan kehadiran sang bunda di rumahnya” itu menjadi penanda lain yang dapat menantang realitas yang sesungguhnya dihadirkan.

Namun, penanda seperti ini tampaknya tidak dimainkan untuk menghadirkan kerahasiaan yang sesungguhnya sudah bukan merupakan rahasia lagi. Bahkan ilusi “bunda” yang dihadirkan untuk menggantikan “mimi” juga tampak dibiarkan menggantung sebagai tamu undangan dan/atau pengisi acara dalam resepsi pernikahan itu.

Melalui mulut Ashanty dan Anang, segenap ilusi itu dibuat tak berkaitan satu sama lain, bahkan dengan realitasnya sendiri. Dengan kata lain, ilusi-ilusi itu

96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

telah menjadi realitas sendiri yang di dalamnya hanya berisi gugusan image tanpa makna seperti “siapa yang mau menyumbang lagu”, “siapa yang mau menyanyi”,

“off air atau on air”, termasuk “sebuah puisi yang sengaja ditulis sendiri oleh putri

Kridayanti ini” yang tak lain adalah Aurel. Puisi yang “bikinnya tiga hari tiga malem” itu seolah-olah menjadi semacam eksklamasi yang ingin mengatakan atau berpendapat tentang sesuatu padahal tidak. Tetapi dalam puisi yang sesungguhnya memiliki komposisi metonimik sama sekali tidak dijadikan penanda yang mampu menduduki realitas kemewahan untuk menebarkan benih-benih keaiban dalam resepsi pernikahan itu. Padahal sebagai anak dari mantan istri Anang, Aurel yang menulis dan membaca puisi itu bersama adiknya Azriel berpretensi untuk ditempatkan sebagai tempat penebaran benih-benih keaiban itu. Masuk akal jika realitas kemewahan yang disimulasikan dalam tayangan infotainment resepsi pernikahan Anang-Ashanty tampak hanya direproduksi terus-menerus untuk menghadirkan yang hiperreal dari keaiban selebritis dalam tayangan infotainmentnya. Artinya, realitas kemewahan itu menjadi tampak semakin lebih real dari aslinya dengan narasi akhir dari host Insert Investigasi yang meyimpulkan bahwa “kemewahan bukan hanya milik dari Anang-Ashanty.”

Sebuah kesimpulan yang memberi image tentang kemewahan yang hanya ada rujukannya pada realitas yang di-image-kan itu.

4.3 Retorika Perkabungan tanpa Aib dalam Image “Nama Baik”

Dalam pemberitaan tentang perkabungan atau akhir hayat Sudomo, image yang dibentuk tampak ditampilkan tanpa aib. Dengan kata lain, image yang seakan-akan tak bercacat-cela itu tampak sebagai the desert of the real itself.

97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Sebagaimana dinyatakan Baudrillard, "It is the real, and not the map, whose vestiges subsist here and there, in the deserts which are no longer those of the

Empire but our own: The desert of the real itself."29 Dalam konteks retorika, pemberitaan itu tetap dimungkinkan untuk diretorikkan dengan tujuan yang membangun suasana perkabungan yang setara tayangan infotainment. Artinya, pemberitaan itu dapat dijadikan bagian dari keaiban selebritis yang lebih mampu

“mencuri” emosi para penontonnya.

Maka bukan kebetulan jika image yang tampak dalam pemberitaan itu dibentuk seperti album nostalgia atau kenang-kenangan yang seolah-olah bermakna begitu mendalam. Makna yang bukan semata-mata untuk mengingat sosok yang pernah menduduki berbagai jabatan penting di era Orde Baru, tetapi sekaligus mengembangbiakkan mitos dan tanda-tanda akan realitas yang seakan- akan menampakkan objektivitas dan otentisitasnya. Di sini seperti ada penimbunan kebenaran atas pengalaman hidup di masa lalu, atau suatu penebusan atas “dosa-dosa” selama masih hidup yang bertendensi melupakannya. Tampak pula seperti ada penampilan yang menghadirkan kekagetan dan kekecewaan untuk menimbulkan perhatian pada sesuatu yang memiliki dampak ganda secara universal terhadap hal dan masalah yang dianggap legal atau sesuai dengan tatanan yang berlaku. Itulah mengapa pemberitaan yang berkait dengan meninggalnya Sudomo cenderung bersifat amat “normatif” sekali, yaitu kapan meninggalnya, di mana, apa penyebabnya, dan bagaimana kisah hidupnya di masa lalu.

29 Ibid., 166.

98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dengan segenap data itu, terbangunlah suatu model yang sempurna atas realitas yang telah dibayangkan dan diimpikan akan menjadi tanda-tanda dari suasana perkabungan. Ada yang berjaga-jaga di depan pintu Emergency. Ada pula yang tampak melintas di dalam ruangan itu. Bahkan ada yang duduk-duduk sembari menyambut para pelayat yang berkunjung ke rumah sakit dengan pelukan, jabat tangan dan tangisan. Melalui berbagai macam tanda itulah, kematian seorang bekas pejabat sekalipun tak bisa lepas dari objektivitas dan substansinya sebagai fenomen alami atau natural yang ditandai oleh penampakan dari segala sesuatu yang dianggap real dengan memainkan ilusi dan imajinasi terhadap suasana perkabungannya. Maka image yang ditampilkan adalah masa lalu Sudomo yang pernah menjabat beberapa posisi penting dalam pemerintahan di era Orde Baru seperti Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

(Pangkopkamtib), Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Menteri Koordinator Politik

Hukum dan Keamanan (Menkopolhumkam) dan Ketua Dewan Pertimbangan

Agung (DPA). Beberapa posisi ini menjadi penanda utama yang secara samar- samar mau memperlihatkan bahwa Sudomo bukanlah sosok yang “main-main” atau sembarangan karena hadirin atau para penonton adalah saksi-saksi bagi sejumlah jabatan itu.

Masalahnya, kesaksian tidaklah sama saja dengan kepercayaan. Kesaksian merupakan penanda lain yang ditunjukkan lewat penampakan kedekatannya dengan siapa pun yang dapat diajak untuk “duduk bersama” baik dalam rangka silahturahmi, urusan dinas, maupun di hadapan penghulu. Penampakan ini tampaknya bukan sekadar mau menopengi masa lalu yang telah menggoreskan

“nama baik” dengan “meninggalkan empat orang anak”, tetapi juga seperti hendak

99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

menyelewengkan sebuah realitas ketika Sudomo ditampilkan sedang menandatangi sesuatu dalam sebuah akad nikah di depan penghulu. Penopengan dan penyelewengan ini tampaknya menjadi penanda akan hilangnya realitas itu yang di akhir hayatnya hanya boleh tinggal dalam bayang-bayang imajinatif dari para saksi (witness) atas pemberitaan kisahnya yang tidak mengajak hadirin untuk ikut mempercayainya secara “normatif” belaka. Hal inilah yang serupa dengan analogi Baudrillard terhadap skandal Watergate yang dianggap heboh ketika ditampilkan di depan mata para penonton televisi sebagai tanda-tanda runtuhnya moral politik ekonomi masyarakat di Amerika. Dalam konteks ini, Baudrillard menyatakan, “Watergate is not a scandal; this is what must be said at all cost, for this is what everyone is concerned to conceal, this dissimulation masking a strengthening of morality, a moral panic as we approach the primal (mise-en-

)scene of capital”.30 Maka, dalam pemberitaan tutup usianya Sudomo, skandal yang berkait dengan “kawin-cerainya” semasa hidupnya seakan-seakan pura-pura tidak perlu ditampilkan karena hal itu tidak real lagi. Yang justru real adalah jabatan atau posisi pentingnya di era Orde Baru yang telah memberinya tempat yang layak di pemakaman Kalibata sebagai “stasiun terakhir” yang diimpikan oleh kebanyakan para mantan pejabat sebagai titik perhentiannya, dan akan menjadi hiperreal kalau ada “ziarah” dan diberitakan melalui televisi. Inilah dunia hiperreal yang terbentuk dalam pemberitaan Sudomo di akhir hayatnya demi sebuah “nama baik”.

30 Ibid.,173.

100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4.4 Catatan Refleksif: Meretorik Ulang Keaiban Selebritis

Dari ketiga tipe retorika di atas, tampak bahwa keaiban selebritis yang ditayangkan melalui infotainment dibentuk melalui empat tropus utama yang memungkinkan image ditampilkan secara hiperreal. Melalui keempat tropus itu, realitas yang dibahasakan secara digital dapat ditangkap oleh para penontonnya dengan lebih terstruktur, tersistemik, dan terkonsep, sehingga pesan atau makna yang disampaikan dapat diterima dengan efektif dan operatif. Dalam konteks ini, bentuk-bentuk retorik itu mampu menjadi bahasa yang dapat melancarkan dan memuluskan pembentukan masyarakat simulatif yang oleh Baudrillard ditunjuk sebagai bagian dari masyarakat kapitalis yang konsumeris hasil dari pembentukan logika periklanan. Masyarakat yang berlogika seperti inilah yang dibangun dengan sebuah “metonymic, repetitive discourse”31 melalui mekamisme pembentukan image yang berlangsung secara hiperreal.

Maka, keaiban selebritis yang diretorikkan secara simulatif tampak hanya menjadi semacam mobian compulsion yang dihasilkan dari simulasi ketika pemebentukan image berlangsung dan menciptakan sebuah hiperrealitas. Dalam konteks ini, sebagaimana dinyatakan Baudrillard, “All the referential intermingle their discourses in a circular, Moebian compulsion.”32 Dengan kata lain, dua hal yang secara diametris bertentangan satu sama lain sesungguhnya tidak benar- benar berbeda dalam realitasnya. Itulah mengapa keaiban selebritis tidak lagi semata-mata merupakan penampakan dari realitas yang baik atau buruk dalam dunia hiperreal, melainkan keduanya tidak dapat dibedakan lagi satu dengan yang

31 J. Baudrillard (1988a), “The Consumer Society” in M. Poster (ed. & intro.), Jean Baudrillard. Selected Writting (Stanford: Stanford University Press), 26. 32 Baudrillard (1988c), op.cit., 176.

101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

lain, bahkan saling dapat dipertukarkan karena masing-masing bersifat amat esensial seperti “kerja dan sex” misalnya.

Maka dalam tayangan infotainment, keaiban selebritis seolah-olah mendapatkan realitas baru yang dibentuk oleh image yang dihadirkan secara hiperreal, sehingga mampu mengabstrakkan dan/atau melonggarkan keadaan- keadaan sosial yang sebelumnya dapat dikupas-tuntas dengan ikatan-ikatan yang bernilai baik atau buruk. Masuk akal jika keaiban selebritis tidak lagi menantang untuk dijadikan sumber “pengetahuan dan kebenaran” tentang sesuatu yang sebelumnya dipandang “ora ilok” misalnya. Hal ini dikarenakan tak ada lagi yang dapat dijadikan rujukan dalam model-model yang ditawarkan melalui image yang dibentuk secara hiperreal pada setiap tayangan infotainment, termasuk segenap pemberitaannya. Strategi yang oleh Baudrillard disebut sebagai “deterrence” ini telah menciptakan paradigma yang aneh terhadap sejarah. Artinya, sejarah hanya menjadi mesin mekanis yang bukan semata-mata memproduksi masa lalu, tetapi juga mereproduksinya. Reproduksi itulah yang mampu mengkloning realitas serupa dengan aslinya dan menempatkannya sebagai sesuatu yang benar-benar nyata sekaligus ada. Sebagai perbandingan, sejumlah acara di televisi yang menampilkan tayangan serupa dengan infotainment juga selalu di(re)produksi seperti dalam bentuk sinetron, reality show, bahkan kuis sekalipun.

“It is now impossible to isolate the process of the real, or to prove the real.”33 Demikianlah Baudrillard berpendapat tentang suatu kekuatan yang di era digital ini telah mendominasi masyarakat dalam menjalani realitas hidup sosial, politik, bahkan seni sehari-hari. Infotainment adalah sebentuk realitas yang

33 Ibid., 179.

102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dihasilkan dari reproduksi mekanis melalui proses simulasi dan telah menciptakan beragam image yang secara hiperreal berkekuatan mendematerialisasi objek ke dalam kode-kode digital atau dunia virtual. Dengan kekuatan itu, objek menjadi rawan dan juga rapuh untuk kehilangan aura “real”-nya yang mengakibatkan objektivitas, bahkan eksistensinya, terancam dan hanya menjadi sekadar “fiksi ilmiah” yang sudah kehilangan utopia atau impiannya. Di sini analogi Perang

Troya yang dipakai Baudrillard untuk menganalisa Perang Teluk mendapatkan panggung dan “skenario” yang tepat. Sebab melalui simulacrum dari Perang

Troya, kegagalan yang real dalam Perang Teluk menjadi sulit untuk dibayangkan karena segalanya sudah dikodekan secara digital sebagai skenario yang tak mungkin gagal.34

Dalam infotainment, skenario itu dibangun berdasar retorika dari image yang tersusun melalui empat tahap di atas dan berlangsung dalam tatanan simulacra yang merupakan hasil dari simulasi. Skenario itu telah menciptakan hiperrealitas yang memungkinkan keaiban selebritis dimainkan melalui berbagai penampakannya. Dengan kata lain, keaiban selebritis menjadi penampakan yang dirahasiakan tanda-tandanya dan mampu menghilangkan realitas yang menjadi cermin dari kenyataan yang sesungguhnya. Namun kerahasiaan itu tidak lagi bersifat samar-samar, atau tersembunyi, melainkan transparan dan terlihat dengan jelas di depan mata. Maka keaiban selebritis tidak lagi menjadi prinsip moralitas, bahkan immoralitas, yang berkaitan dengan tradisi “ora ilok”. Tetapi, hal itu sudah menjadi penampakan yang sempurna dari yang baik dan yang buruk tanpa ada satu pun realitas yang menopangnya. Inilah hiperrealitas yang pada dirinya

34 J. Baudrillard (1995), the gulf war did not take place, (Bloomington:Indiana University Press).

103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

segala prinsip, objektivitas, dan rujukannya menyatu dalam realitas yang tak terbedakan, bahkan tak perlu dirahasikan lagi. Karena bagi Baudrillard, “reality it self is hyperrealitic”.35 Kini segala sesuatunya oleh hiperrealitas yang dibentuk dan dikembangkbiakkan melalui reproduksi tanda-tanda yang menghasilkan masyarakat simulasi.

Masyarakat simulasi inilah yang menghadirkan realitas yang real dalam tatanan simulacrum yang mengimitasi, berilusi dan sekaligus berstrategi seduksi.

Masuk akal jika realitas selalu ditandai oleh Baudrillard sebagai “threatens the difference between “true” and “false”, between “real” and “imaginary”.”36

Artinya, tak ada lagi batas-batas yang mampu menjadi “hukum” yang mengatur mana yang disebut sebagai representasi dan realitas, atau mana yang dikatakan sebagai tanda dan makna. Semuanya sudah melebur dalam satu pandangan yang bersifat “more real than real”, bahkan “more false than false”. Maka sebagaimana dislogankan Baudrillard “Take your desire in reality”37, infotainment pun tengah memerintahkan “Serahkan keaibanmu pada televisi”, karena di sanalah realitasmu sungguh-sungguh nyata dan ada.

35 Baudrillard (1988b), op.cit., 146. 36 Baudrillard (1988d), op.cit., 168. 37 Ibid., 179.

104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP

Dari hasil meretorik ulang image dalam infotainment, bagi para penonton yang jeli dan waspada dapat diketahui bahwa keaiban selebritis bukanlah realitas yang semata-mata real dalam hidup sehari-hari, tetapi telah menjadi sesuatu yang hiperreal. Itu artinya, realitas tersebut tidak lagi merupakan cermin dari kebenaran, atau bahkan kekeliruan, yang nyata di depan mata, melainkan adalah sebuah image yang dibentuk melalui mekanisme yang dikonsepkan oleh

Baudrillard sebagai simulacra. Di sinilah keaiban selebritis menjadi tanda yang menciptakan realitas tanpa makna dan sekaligus menandai realitas yang tak bisa ditunjukkan nilai real atau imaginernya karena sudah tak bisa dibedakan lagi mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang sungguhan dan mana yang tiruan.

Dengan realitas seperti ini, maka apa yang ditayangkan dalam infotainment sebagai poligami yang berdampak mendatangkan keaiban selebritis bagi Aa Gym misalnya, sesungguhnya hanya merupakan hasil dari simulasi media modern yang cukup piawai meretorikkan kenyataan yang dialami oleh salah satu ustadz seleb di

Indonesia. Retorika yang dimainkan terhadap skandal yang sempat menghebohkan panggung hiburan nasional itu mendayagunakan bentuk-bentuk retorik yang mampu menghadirkan image yang sesat namun menyenangkan terhadap peristiwa yang bermakna biasa-biasa saja paling tidak bagi Teh Ninih PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

dan Teh Rini. Image yang dibangun melalui metafor dan metonimi yang mengundang godaan-godaan berdimensi keaiban selebritis memungkinkan untuk dibahasakan secara seduktif mampu memposisikan poligami Aa Gym sebagai realitas yang bukan sekadar dipandang “ora ilok”, namun bisa tampak lebih dari sebuah ujian, bahkan bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan meski dilakukan dengan keutamaan seorang pembohong. Inilah kekuatan dari bahasa simulatif media yang oleh Baudrillard dipahami dan dimaknai sebagai sebuah momen yang

“perhaps we only wish to uncover truth because it is so difficult to imagine it naked.”1 Dalam momen tersebut, apa yang disebut dengan realitas tidak lagi penting untuk dicurigai asal-usulnya, tetapi cukup diterima selayaknya seperti

“takdir” yang tak mungkin dihindari.

Takdir infotainment yang dianggap mampu meretorikkan keaiban selebritis sebagai realitas yang ditandai oleh image kemewahan sebagaimana diperlihatkan dalam pesta pernikahan Anang-Ashanty misalnya, menjadi penampakan alami atau natural yang tak perlu dipersoalkan. Dengan kata lain, penampakan itu seolah-olah sudah terpenuhi sebagai realitas yang lebih real dari aslinya dan telah cukup lengkap untuk dijadikan model penilaian terhadap kemewahan lain yang belum tentu seaib seperti yang dibayangkan. Bagaimanapun juga kemewahan adalah penanda yang dengan mudah dapat menduduki tempat yang kosong dalam realitas yang sudah dibentuk secara dominan melalui simulacrum. Padahal dalam realitas seperti ini Baudrillard yang mengutip pendapat Ecclesiastes menyatakan:

“it is the truth which conceals that there is none.”2 Artinya, realitas yang ditandai dengan kemewahan itu adalah kebenaran yang menampakkan kekeliruan yang

1 Baudrillard (1988c), op.cit., 165. 2 Ibid., 166.

106

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sesungguhnya. Sebab dalam simulacrum yang sesungguhnya ditampilkan sebagai kemewahan adalah model-model dari realitas masyarakat konsumeris kapitalis yang direproduksi secara terus-menerus melalui mekanisme pembentukan image yang imitatif, ilusif dan bahkan simulatif. Itulah mengapa kemewahan yang diretorikkan dalam resepsi pernikahan Anang-Ashanty amat didominasi oleh metafor-metafor yang meski indah dan jelas, namun tidak terlampau menggoda untuk dijadikan keaiban selebritis, bahkan malah terasa menjemukan dan bahkan membosankan.

Godaan atau seduksi yang menjadi penanda utama dari keaiban selebritis memang amat terkait dengan retorik yang digunakan dalam pembentukan image pada infotainment. Oleh sebab itu, bentuk-bentuk yang dipakai untuk meretorikkan image merupakan bagian penting yang tak bisa diabaikan. Bagian yang termasuk penting di sini adalah tropus yang terdiri dari metafor dan metonimi, termasuk synecdoche, dengan didukung oleh figura yang mampu mensimulasi dan/atau mendisimulasi image. Melalui bentuk-bentuk inilah, image dalam infotaiment dapat menciptakan hiperrealitas keaiban selebritis yang dapat menghasilkan ironi misalnya, atau sekadar realitas yang sereal dengan aslinya seperti tampak dalam pemberitaan akhir hayat Sudomo. Dengan hiperealitas itu, maka infotainment bukan sekadar tayangan yang asal direproduksi, bahkan asal dikonsumsi. Melainkan, hal itu termasuk dalam apa yang dinamai Baudrillard sebagai “strategy of the real.”3 Dalam strategi ini, segala sesuatu yang dipandang real dalam simulasi akan mengatasi dan melampaui objeknya. Bahkan segala aturan dan tatanan yang membentuknya tidak akan bermakna apa-apa melebihi

3 Baudrillard (1988d), op.cit., 177.

107

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

apa yang disimulasikan. Jadi, tidak ada perbedaan yang benar-benar “objektif” karena segala sesuatunya, baik gestur maupun tandanya, tampak sama persis dalam realitas yang disimulasikan. Masuk akal jika sejauh tatanan yang dibangun secara simulatif dipandang real, maka tak ada lagi yang sesunguhnya tampak sebagai simulasi. Dengan kata lain, simulasi yang telah menjadi real itu meniadakan segala perbedaan yang diatur berdasar aturan tertentu.

Namun, yang disebut “real” itu sendiri tidak selamanya bermakna seperti itu, atau paling tidak dapat dibuktikan sebagaimana yang dimaksudkan. Oleh karena itu, apa yang dimaknai sebagai real hanya merupakan realitas yang hipereal dan tidak berisi, apalagi bertujuan, apa pun selain hanya menampakkan yang serba simulatif. Itulah mengapa Baudrillard dengan agak sinis menyatakan:

“It is no longer a question of the ideology of work – of the traditional ethic that obscures the “real” labour process and the objective process of exploitation – but of the scenario of work.”4 Maka, bagi Baudrillard, simulasi tak ubahnya seperti jaringan pendek dari realitas dan direduplikasi lewat tanda-tanda yang ditampakkannya. Itu artinya, dalam simulasi akan selalu ada upaya ideologis untuk menghadirkan yang objektif dan dengan demikian akan selalu ada pula kekeliruan problematik dalam menampilkan kebenaran di bawah kondisi simulacrum.

Dalam infotainment, segala sesuatu yang diwacanakan sebagai keaiban selebritis akan direproduksi menurut apa yang dipandang layak dikonsumsi oleh masyarakat kapitalis. Artinya, wacana yang dominan disimulasikan akan selalu ditujukan untuk menghadirkan yang “real”. Tetapi di situ bukanlah realitas yang

4 Ibid., 182.

108

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

sesungguhnya, melainkan hanyalah model atau tiruan yang diretorikkan melalui image dalam infotainment. Jadi, keaiban selebritis yang ditampilkan sama sekali tidak memiliki rujukan atau representasi yang jelas, selain hanya ditampakkan melalui tanda atau kode digital. Tanda atau kode itulah yang dipakai untuk mempermainkan atau memanipulasi keaiban selebritis melalui simulasi yang selalu mereproduksi makna yang tak lain adalah sebuah penanda kosong. Dengan penanda itulah, keaiban selebritis dapat menjadi kekuatan yang mampu merestorasi infotainment seperti poligami Aa Gym dan resepsi pernikahan Anang-

Ashanty, termasuk berita tentang akhir hayat Sudomo, bukan hanya sebagai fantasi ideologis yang merupakan sarana untuk menandingi apa yang disebut oleh

Baudrillard sebagai "the mortal blows of simulation.”5 Tetapi hal itu juga mampu membentuk wacana yang sebelumnya hanya bertujuan untuk menciptakan perangkat analisis ideologis yang objektif, atau sekadar mengoreksi kekeliruan yang tampak baik, bahkan revolusioner. Wacana itulah yang tak diragukan lagi telah menjadi ancaman yang real karena dianggap dapat menduduki tempat yang selama ini terlanjur dirujuk sebagai tatanan dan aturan yang baku seperti tradisi

“ora ilok” dan/atau keutamaan moral yang lain seperti “kualat” yang juga begitu populer dalam budaya masyarakat Jawa. Bagaimanapun juga kosongnya panggung sosial dalam hidup sehari-hari yang diakibatkan oleh hadirnya kekuatan yang mampu meniadakan bukan hanya prinsip realitas, tetapi juga prinsip hasrat, membuat keaiban selebritis yang semula dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat, lambat laun justru menjadi tantangan untuk mengambilalih hukum simbolik yang mengatur dan menata segala sesuatunya agar tampak menjadi real.

5 Ibid., 182.

109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Reformasi 1998 yang menyediakan peluang dan sarana informasi dan komunikasi demokratis demi bonum commune tampaknya belum maksimal dimanfaatkan secara publik. Penelitian ini menyumbang bahwa tanpa kewaspadaan dan kejelian, budaya media komunikasi massa semacam ini sedang menyelewengkan masyarakat kita dan seluruh ingatannya yang dua tahun lagi akan mengingat- ingat(kan) HUT Kemerdekaannya yang ke-70. Masyarakat macam apa hasilnya?

Perlu penelitian lebih lanjut.

110

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Jurnal, Tesis/Disertasi

Adi, C.B. Bambang Kukuh Christono. 2010. “Siaran Televisi sebagai Produksi Budaya: Sebuah Studi Kasus pada Acara Rindu Inul yang Ditayangkan oleh Stasiun Trans TV”. Tesis. Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Appignanesi, R. & Chris Garrat (eds.). 1996. Introducing Postmodernism. New York: Totem Books.

Anderson, B. R. O’G. 2000. Kuasa-Kata. Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa.

Astuti, S. Indra. 2006. “NGERUMPI DI TELEVISI: Infotainment Tiada Henti”. Observasi Vol 4, No. 2.

Baudrillard, J. 1988a. “The Consumer Society” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting. Stanford: Stanford University Press.

______. 1988b. “Symbolic Exchange and Death” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting. Stanford: Stanford University Press.

______. 1988c. “On Seduction” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting. Stanford: Stanford University Press.

______. 1988d. “Simulacra and Simulation” in M. Poster (ed. & intro.). Jean Baudrillard. Selected Writting. Stanford: Stanford University Press.

______. 1993. Transparency of Evil. Essays on Extreme Phenomena. J. Benedict (trans.). London & New York: Verso.

______. 1995. the gulf war did not take place. Bloomington:Indiana University Press.

Berger, A. Asa. 2005. Media Analysis Technique. California: Sage Publications.

Borges, J.L. 2006. Sejarah Aib. Yogyakarta: LkiS.

Chandler, D. 1995. Semiotics for Beginners. online version. Wales: Aberystwyth University. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

______. 2007. Semiotics. The Basics, Second Edition. London & New York: Routledge.

Fiske, J. 1987. Television Culture: Popular Pleasures and Politics. London: Methuen & Co. Ltd.

Franklin, C. 2009. “Peter Ramus: Signification in Rhetoric and Attack to Cicero”, IPDA (International Public Debate Association) vol. 3, no. 1.

Genosko, G. (1994), Baudrillard and Signs. Signification Ablaze. London & New York: Routledge.

Hartley, J. 1999. Uses of Television. New York & London: Routledge.

Hawkes, T. 1972. Metaphor. London: Methuen.

Jakobson, R. 1971. “Two Aspects of Language and Two Types of Aphasic Disturbances” in R. Jakobson and M. Halle (eds.). Fundamentals of Language. Netherland: Mouton.

______. 1960. "Linguistics and Poetics" in T. Sebeok, ed. Style in Language. Cambridge, MA: M.I.T. Press.

Lakoff, G. & M. Johnson (eds.). 1980. Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press.

Maier, H. M.J. 2005. “In Search of Memories – How Malay Tales Try to Shape History” dalam M. S. Zurbuchen. Beginning to Remember. The Past in The Indonesian Present. Singapore: Singapore University Press.

McLuhan, M. 2001. Understanding Media: The Extensions of Man. Introduced by Lewis Lapham. Cambridge: The MIT Press.

Mrázek, R. 2006. Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nugroho, G. 1998. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Bentang.

Panjaitan, EL. & TM Dhani Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Postman, N. 1995. Menghibur Diri Sampai Mati (Mewaspadai Media Televisi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ramus, P. 1986. Arguments in Rhetoric against Quintilian: Translation and Text of Peter Ramus's Rhetoricae distinctiones in Quintilianum (1549). transl. by Carole Newlands; introduction by J. J. Murphy. DeKalb: IL.

112

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rastier, F. 1997/1989. Meaning and Textuality. trans. Frank Collins and Paul Perron. Toronto: University of Toronto Press.

Ridho, S. 2010. “Infotainment dan Imajinasi Audiens. Studi tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan Infotainment di Kalangan Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta”. Tesis Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Rochimah, T. Hastuti Nur dan Fajar Junaedi. 2010. “Banalitas Informasi dalam Jurnalisme Infotainment di Media Televisi dan Dampaknya terhadap Penonton Infotainment”. Jurnal Infotainment. Yogyakarta: UMY.

Santoso, H. Pudjo. 2005. “Simulasi dan Tabloidisasi Informasi Hiburan di Televisi”. Disertasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Saussure, F. de. 1966. Course in General Linguistics. Trans. Wade Baskin. New York: McGraw-Hill.

SK, Ishadi. 2002. “Praktik-praktik Diskursus di ruang Pemberitaan RCTI, SCTV dan Indosiar”. Disertasi Universitas Indonesia.

Smith, R. G. (ed.) 2010. The Baudrillard Dictionary. Scotland:Edinburgh University Press.

Syahputra, I. 2013. Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syas, M. 2010. “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia : Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment”, Disertasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Tiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Toffoleti, K. (2011), Baudrillard Reframed. Interpreting Key Thinker for the Arts, London-New York: I.B. Tauris.

Vico, G. 1948. The New Science. 3rd Ed. Of 1744. Trans.Thomas Goddard Bergin and Max Harold Fisch. Ithaca: Cornell UP.

Yulianto, V. Ita. 2012. “Mengonsumsi Gosip: Redomestikasi Perempuan Indonesia” dalam A. Heryanto (ed.). Budaya Populer di Indonesia. Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru. Yogyakarta: Jalasutra.

113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

B. Suratkabar, Majalah, Rekaman Audio-Visual, Blog, Newsletter

Administrator (2012), “Aib”, www.Yufidia.com, 3 Februari.

“Bintangnya Bisnis Infotainment”, http://swa.co.id/listed-articles/bintangnya- bisnis-infotainment, 22 Desember 2003.

”Businessman Hary Tanoesoedibjo join Hanura”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/17/businessman-hary- tanoesoedibjo-join-hanura.html.

Cahyafitri, Raras. 2013. “Strong audience footing boosts MNC’s income ads”. http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/strong-audience-footing- boosts-mnc-s-income-ads.html.

“Chairul Tanjung Akui Akan Beli TVOne-ANTV dan Vivanews”, http://jogja.tribunnews.com/2013/03/29/chairul-tanjung-akui-akan-beli-tvone- antv-dan-vivanews/

“Fatwa MUI: "Infotainment" Haram!”. http://oase.kompas.com//read/2010/07/28/01151141/“Fatwa MUI: Infotainment Haram.

Fitriadi, A. 2013. “Hary Tanoesoedibjo Segera Miliki TV One?” http://politik.kompasiana.com/2013/02/20/mnc-akan-beli-tv-one--535440.html

Hardiman, F. Budi 2003. “Tirani Visualitas” dalam Kompas Bentara, Rabu 5 November.

“Hary Tanoe quits Nasdem”, http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/21/hary-tanoe-quits- nasdem.html

Hot Shot, rekaman pribadi 14 Maret 2012.

“Ini-Penyebab-Aa-Gym-Akhirnya-Bercerai”, http://www.tempo.co/read/news/2011/06/21/125342287/Ini-Penyebab-Aa- Gym-Akhirnya-Bercerai.

Insert Investigasi, rekaman pribadi 23 Mei 2012.

Jakobson, R. 1933. “What is Poetry?” dalam D. Olshansky. Roman Jakobson. http://www.isfp.co.uk/russian_thinkers/roman_jakobson.html.

Januar, TB Ardi 2009. “PBNU : Infotainment Haram”. http://news.okezone.com/read/2009/12/25/337/288252/pbnu-infotainment- haram

114

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Jaya, A. 2010. “Menuju infotainment minus gosip dan fitnah”. http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2010/07/31/menuju-infotainment- minus-gosip-dan-fitnah-211707.html

“Jurnalis TV Tunduk pada Selera Pasar”, Kompas, 30 September 2002.

Kusuma, D. Rachmat (2013), “TVone Cs Mau Dijual? Anindya Bakrie: Semua Masih Spekulasi”, http://finance.detik.com/read/2013/06/05/125846/2265452/6/tvone-cs-mau- dijual-anindya-bakrie-semua-masih-spekulasi.

“Mantan Menkopolkam Sudomo Wafat “, 2012-04-18 12:53:51, http://video.liputan6.com/main/read/3/1081406/0/mantan-menkopolkam- sudomo-wafat.

Musman, Asti 2010. “Infotainment: Antara Benci dan Rindu”. http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=1 4&id=45213.

Nurmayanti, “Gaya Belanja Orang Indonesia Masih Dipengaruhi Iklan”, http://bisnis.liputan6.com/read/646544/gaya-belanja-orang-indonesia-masih- dipengaruhi-iklan

“Obituari Sudomo (5): Perempuan cantik di sekitar Sudomo”, http://m.merdeka.com/peristiwa/perempuan-cantik-di-sekitar-sudomo- obituari-sudomo-5.html.

“Penonton TV Setia terhadap Program Informasi”, http://www.agbnielsen.net/Uploads/Indonesia/Nielsen_Newsletter_Feb_2011- Ind.pdf

Priliawito, Eko & Syahid Latif 2009. ”Penonton Setia Infotainment 10 juta orang”. http://cangkang.vivanews.com/aff/news/read/116325/2009/12/27- penonton_setia_infotainment_10_juta_orang

Rahimi, S. (2009). “The Unconscious: Metaphor and Metonymy”. http://somatosphere.net/2009/04/unconscious-metaphor-and-metonymy.html.

Rahimi, S. 2012. “Subjectivity at the Intersection of Metaphoric and Metonymic Function”. http://somatosphere.net/2012/12/subjectivity-at-the-intersection-of- metaphoric-and-metonymic-functions.html

Sari, D. 2010. “PWI: Infotainmen Adalah Karya Jurnalistik”. http://www.tempo.co/read/news/2010/07/15/173263704/PWI-Infotainmen- Adalah--Karya-Jurnalistik.

Said, S. 2012. “Sudomo di Tengah Lautan Jenderal”. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/19/02041777/twitter.com

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Set, Sony t.t. “Infotainment”. www.kpiddiy.com/admincp/file/INFOTAINMENT%20by%20Sony.pdf .

Siegel, J. T. 2001. “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno”. Basis No. 03-04, Th. Ke-50, Maret-April.

Sofyan, E. Hendrawan. 2012. “Raul Lemos Serang Anang di Twitter”. http://entertainment.kompas.com/read/2012/07/11/15141879/Raul.Lemos.Sera ng.Anang.di.Twitter.

”Stasiun TV Diperbolehkan Acara Penunjang FSI”, Kompas, 19 Oktober 1996.

Supriyanto 2012. “RCTI Bingung Pernikahan Anang-Ashanty Diprotes”. http://www.inilah.com/read/detail/1869544/2012/06/7rcti-bingung- pernikahan-anang-ashanty-diprotes.

”Stasiun TV Diperbolehkan Acara Penunjang FSI”, Kompas, 19 Oktober 1996.

“Tantowi Yahya: Infotainment Tak Dilarang”, http://log.viva.co.id/news/read/164716-tantowi--80--keluhan-ke-kpi-soal- infotainment.

“Tayangan Infotainment Upaya Pengalihan Isu Politik”, http://www.antaranews.com/print/88772/cargo-aircraft-catching-fire-at- wamena-airport-injures-airport-crew.

Winarno, H. 2010. “Ilham Bintang Infotainment Beritakan Aib Demi Kepentingan Umum”. http://hot.detik.com/read/2010/08/05/183123/1414458/230/ilham- bintang-infotainment-beritakan-aib-demi-kepentingan-umum.

“Wow…Pernikahan Anang-Ashanty Miliaran Rupiah”. http://video.kapanlagi.com/event/wow-pernikahan-anang-ashanty-miliaran- rupiah.html.

“1 Trilyun untuk Media Online dari 92 Trilyun Belanja Iklan di 2012”. http://theglobejournal.com/ekonomi/1-trilyun-untuk-media-online-dari-92- trilyun-belanja-iklan-di-2012/2012/01/28.index.php.

116

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAMPIRAN

Tabel 1 Daftar Tayangan Infotainment di Stasiun Televisi Indonesia

No. Stasiun TV Nama Jadwal Infotainment Tayang 1 RCTI Go Spot Senin-Minggu 06.00 Intens Senin-Minggu, 11.00 Silet Senin-Jum’at, 14.45 Cek n Ricek Selasa, Rabu & Jum’at – 14.45 2 SCTV Was Was Halo Selebriti Hot Shot 3 Trans TV Insert Pagi Senin-Minggu, 06.30 Insert Siang Senin-Minggu, 11.00 Insert Investigasi Senin-Minggu, 17.15 4 Trans 7 Selebritas Pagi Senin-Minggu, 07.30 Selebritas Siang Senin-Minggu, 12.00 5 Global TV Hot Spot Senin-Rabu, 09.30 Obsesi Senin, Rabu, Kamis, Jum’at, 10.00 Fokus Selebriti Senin-Minggu, 16.00/16.30 6 Indosiar Kiss Pagi Senin-Sabtu, 07.00 Kiss Sore Senin-Minggu, 14.30

7 ANTV Seleb@seleb Senin-Jum’at, 09.00 Sumber: diolah dari I. Syahputra (2013). Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tabel 2 Kelompok Kepemilikan Media di Indonesia

No. Kelompok Pemilik Televisi Radio Media Cetak & Online Nasional Lokal & Suratkabar Majalah, Berbayar tabloid 1 Media Hary RCTI, Indovision, Sindo Seputar High Nusantara Tanoesoe- Global Sky Radio Indonesia End Citra dibjo TV, Vision, (Trijaya (Koran magz, (MNC) MNCTV SINDOtv FM), Sindo) Genie, Group (ex network Radio Okezone.com Mom TPI) Dangdut, SeputarIndone- & ARH sia. Kiddie Global Com, tabloids Radio Sindonews.com 2 Trans Chairul Trans - - Detik - Corpora Tanjung TV, Online (Para Trans Group) 7 3 Elang Eddy SCTV, O’Channel, Elshinta - Elshinta, Mahkota Kusnadi Indosiar ElShinta FM Gaul, Teknologi Sari- TV Story, (EMTEK) atmadja Kort, Group Mamamia 4 Bakrie Anindya ANTV, Channel - VIVAnews - & Bakrie TVOne [V] Brothers (Visi Media Asia) 5 Media Surya Metro Media Group Paloh TV Indonesia, Lampung Post, BorneoNews Media Indonesia Online 6 Kompas Jakob - Kompas Sonora Kompas, Intisari Gramedia Oetama, TV Radio Jakarta + Group Agung network network, Post, 43 Adiprasetyo Otomotion Warta magazines Radio, Kota, & Motion + tabloids, FM, other 5 Eltira 11 book FM local publishers papers Kompas Cyber Media 7 Jawa Dahlan - JPMC Fajar Jawa Mentari, Pos Iskan network FM Pos, Liberty Group (Makassar Indo magazines Pos + Rakyat 11 Merdeka, tabloids Radar + others (total: 151) Jawa Pos Digital Edition

118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

No. Kelompok Pemilik Televisi Radio Media Cetak & Online Nasional Lokal & Suratkabar Majalah, Berbayar tabloid 9 Lippo James First Jakarta Investor, Group Riady Media, Globe, Globe Berita Investor Asia, Satu Daily, & TV Suara Campus Pembaruan Asia Jakarta magazines Globe Online 10 Media Satria Bali Global Bali Tokoh, Bali Narada TV Kini Post, Lintang, Post network, Jani, Bisnis & Group Jogja Genta Bali, Wiyata (KMB) TV, FM. Suluh Mandala Semarang Global Indonesia, tabloids TV, FM, Harian Sriwijaya Lombok Denpost, TV, FM, & + Fajar Suara others FM, NTB Bali (total: Suara Post.co.id, 9) Besakih, Bisnis Singaraja Bali.com FM, Nagara FM 11 Femina Pia U-- FM Femina, Group Alisyah- Jakarta Gadis, bana, & Dewi, Mirta Bandung Ayahbunda Kartohadi- + prodjo others (total: 15) Femina, GitaCinta, Ayahbunda, Gadis, Parenting Online 12 Mugi Dian O’Channel Cosmopolit Cosmopolit Reka Muljani an an, Abadi Soedarjo FM, Cosmogirl, (MRA) Hard Fitness Group Rock + FM, others I-- (total: Radio, 16) Trax FM Sumber: diolah dari M. Lim (2012). “The League of Thirteen Media Concentration in Indonesia”. Research Report. Published jointly by Partisipatory Media Lab Arizona State University and Ford Foundation.

119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ilustrasi 1 Teh Ninih dalam sebuah acara pengajian

Ilustrasi 2 Anang-Ashanty berpose di pelaminan

Ilustrasi 3 Sudomo dalam sebuah acara kemiliteran

120