HUBUNGAN SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR DALAM PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG DI KLENTENG TANJUNG KAIT DESA TANJUNG ANOM KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Ag)

Disusun oleh:

Haikal Adriansyah (11160321000008)

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

LEMBAR PERSETUJUAN

HUBUNGAN SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR DALAM PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG DI KLENTENG TANJUNG KAIT DESA TANJUNG ANOM KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Haikal Adriansyah

NIM: 11160321000008

Pembimbing,

Prof.Dr.M.Ikhsan Tanggok, M.Si

NIP: 19651129 199403 1 002

PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020

I

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Haikal Adriansyah NIM : 11160321000008 Fakultas : Ushuluddin Jurusan/Prodi : Studi Agama-agama Judul Skripsi : Hubungan Sosial Masyarakat Multikultur Dalam Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong di Kelenteng Tanjung Kait Desa Tanjung Anom Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang diajukan sebagai syarat wajib dalam memperoleh gelar sarjana agama (S.Ag). 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah dicantumkan, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil asli atau jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Ciputat, 23 September 2020

Haikal Adriansyah

II

III

ABSTRAK

“Hubungan Sosial Masyarakat Multikultural Dalam Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong di Kelenteng Tanjung Kait Desa Tanjung Anom Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang”

Haikal Adriansyah

Skripsi ini diawali dari ketertarikan penulis mengenai masyarakat Cina yang telah lama datang ke Tanjung Kait sejak berabad-abad yang lalu yang kemudian membentuk sebuah hubungan sosial yang baik dan mereka juga telah meleburkan dirinya dengan masyarakat lokal sekitar, sehingga membuat mereka sama sekali berbeda dengan masyarakat Cina di negeri leluhurnya. Hasil dari pembauran dan peleburan mereka dengan masyarakat lokal menimbulkan suatu kemitrakerjaan dalam sebuah pesta rakyat yaitu dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang rutin setiap tahun diadakan di Kelenteng Tanjung Kait desa Tanjung Anom.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong diselenggarakan pada masyarakat multikultural desa Tanjung Anom dan melihat latarbelakang terjalinnya hubungan sosial antara masyarakat Cina dan non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berjenis penelitian lapangan (Field research) dengan metode kualitatif. Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah historis, antropologis dan sosiologis. Selain mendapatkan data dari observasi langsung ke lapangan dan melakukan wawancara, penulis juga menggunakan data dari kepustakaan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Hasil dari penelitian ini dapat ditemukan bahwa Perayaan Shejit (Sheng ri) berarti ulang tahun atau hari jadi yaitu sebuah perayaan sebagai balas budi dan tanda terimakasih atas kebaikan Tjo Soe Kong Sang Dewa tuan rumah di Kelenteng Tanjung Kait. masyarakat desa Tanjung Anom juga merupakan masyarakat yang terbuka dan menjadi sebab terjadinya paham multikulturalisme sehingga dalam perayaan Shejit ditampilkan juga beberapa produk kebudayaan yang telah tercampur antara masyarakat Cina dan Non Cina. Sehingga perayaan Shejit ini menjadi sebuah perayaan milik bersama masyarakat desa baik dari kalangan masyarakat Cina maupun dari non Cina. Juga dapat ditemukan bahwa hubungan sosial yang baik dalam terselenggaranya perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong karena adanya beberapa faktor. Di antaranya, faktor kekerabatan, faktor agama, faktor kebudayaan dan faktor ekonomi..

Kata kunci: Hubungan sosial, Masyarakat Cina dan Non Cina, Tanjung Anom

IV

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengampun. Tiada Tuhan selain-Nya. Dialah Sang Pencipta, Yang Tidak Diciptakan. Dia abadi dalam ciptaan-Nya. Tak ada pengetahuan yang melampaui-Nya karena Dia berpengetahuan melebihi segalanya. Tak ada mata yang mampu menampung-Nya; tak ada kata yang dapat melukiskan-Nya; tak ada pujian yang benar-benar tepat bagi-Nya. Dan karena anugerah-Nya lah, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam juga semoga senantiasa tercurahkan atas Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang selalu menjadi tauladan bagi seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan penulis, dan tidak lepas dari peran orang-orang sekitar penulis yang turut membantu dalam setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa doa, dukungan, bantuan, serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Maka dari itu rasa terimakasih yang besar tercurahkan dalam karya tulis ini kepada siapapun yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung. Adapun diantaranya penulis hanturkan terimakasih, kepada:

1. Dr. Lebba S.Ag., M.Si selaku penasehat akademik yang memberikan arahan dan persetujuan dalam penulisan skripsi ini. 2. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Ketua Jurusan Studi Agama-agama baik yang sudah selesai dalam jabatannya maupun yang masih mengampu amanah tersebut, terimakasih telah menjadi orang tua kami semua di jurusan. Kepada bapak Dr. Ahmad Ridho, DESA, bapak Prof. Dr. Media Zainul Bahri, MA, Bapak Syaiful Azmi, MA. 4. Kepada sekretaris jurusan dalam periode yang berbeda, yang telah banyak membantu demi kelancaran perkuliahan para mahasiswanya. Kepada ibu Dra. Halimah, M.Ag dan ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA. 5. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Yusuf Rahman, MA. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin, para staf Akademik fakultas Ushuluddin, serta para staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan perpustakaan umum UIN Jakarta. 6. Kepada Kepala Desa Tanjung Anom, Bapak Abdul Aziz, beserta masyarakat desa Tanjung Anom. 7. Bapak Kasum Triharja (Tjoa Keng Sun), Koh Anci dan seluruh Pengurus Yayasan Kelenteng Tjo Soe Kong Tanjung Kait. Penulis ucapkan terimakasih

V

yang sedalam-dalamnya atas kerelaan waktu, tenaga dan pikiran juga atas kesediaan bapak menjadi informan dalam penulisan skripsi penulis. 8. Keluarga besar, terutama orang tua, ayahanda Syahrudin, dan ibunda Suwanih yang telah membesarkan penulis dan senantiasa mendoakan penulis, karena bagi penulis tidak ada yang lebih keramat selain doa dan ridho orang tua terhadap anak. Semoga penulis dapat selalu membahagiakan dan membuat mereka bangga. 9. Kepada adik penulis, Hilda dan Najwa yang dengan candaan mereka dapat menghibur penulis ketika dalam keadaan jenuh dan membuat penulis tertawa di sela-sela kepenatan saat mengerjakan skripsi. 10. Juga penulis haturkan terimakasih kepada kawan-kawan seperjuangan Prodi Studi Agama-agama angkatan 2016, semoga tali persahabatan ini akan senantiasa terus terjalin. 11. Kepada guru, KH. RF. Ahmad Fauzani, teman-teman komunitas sinergi rasa, Fuad Imanuddin, Didi Tarmidi, Soleh. Yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkontribusi dan belajar yang merupakan upaya untuk pengembangan diri. 12. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada guru-guru baik dari sekolah formal maupun non formal yang telah sabar mendidik penulis hingga pada tahap ini. 13. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada, Fiqih Yandriani, yang telah menemani masa-masa kuliah penulis dan telah bersedia ada untuk menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Kepada sahabat-sahabat, para senior yang tinggal di Ciputat Molek maupun di tempat lainnya. khususnya Angga pratama, M Izul Islam, bang Yoga, bang Zalfa. Penulis sangat berterimakasih karena telah di perilakan untuk singgah dan beristirahat di tempatnya. 15. Senior, Teman-teman organisasi intra dan ekstra kampus, GPPI. 16. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman MAN 2 Kota Tangerang yang hingga kini masih tetap bersedia silaturahmi atau berkumpul bersama. 17. Komunitas bubaran sukma, Ahmad Fahri Syururi, Rizky Agustian, Ivan Al Fauzi, Sururi, Fatur Rizky dan lainnya. 18. Kelompok Kuliah Kerja Nyata Mozaik 182 UIN Syarif Hidayatullah jakarta. Ciputat, 2 September 2020

Haikal Adriansyah

VI

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ...... I LEMBAR PERNYATAAN ...... II LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN...... III ABSTRAK ...... IV KATA PENGANTAR ...... V DAFTAR ISI ...... VII BAB I ...... 1 PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 4 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...... 5 D. Tujuan Penelitian ...... 5 E. Manfaat Penelitian ...... 5 F. Landasan Teori ...... 6 G. Tinjauan Pustaka ...... 11 H. Metodologi Penelitian ...... 13 I. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ...... 15 J. Sistematika Penulisan ...... 17 BAB II ...... 19 GAMBARAN UMUM WILAYAH DESA TANJUNG ANOM ...... 19 A. Desa dan Masyarakat Tanjung Anom ...... 19 B. Masyarakat Cina Tanjung Kait ...... 29 BAB III ...... 39 PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG ...... 39 A. Sejarah dan Perkembangan Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ...... 39 B. Tujuan dan Peran Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ...... 42 C. Prosesi Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ...... 44 BAB IV ...... 48

VII

HUBUNGAN SOSIAL DALAM PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG DI DESA TANJUNG ANOM ...... 48 A. Perayaan Shejit Pada Masyarakat Multikultural Desa Tanjung Anom . 48 B. Hubungan Sosial Pada Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ...... 50 BAB V ...... 61 PENUTUP ...... 61 A. Kesimpulan ...... 61 B. Saran ...... 62 DAFTAR PUSTAKA ...... 63 LAMPIRAN

VIII

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia merupakan realitas historis dan sekaligus realitas sosio-kultural. Indonesia yang merupakan sebuah negara yang terdiri dari beraneka ragam masyarakat, suku bangsa, etnis, kelompok, sosial, kepercayaan, agama dan kebudayaan yang bermacam-macam tetapi tidak bisa di pungkiri bahwa dari keanekaragaman yang ada di Indonesia. Sering pula terjadii konflik.

Manusia dalam kehidupan sehari-hari saling berhubungan atau berinteraksi dengan manusia yang lain ataupun dengan lingkungan di sekitarnya. Hal itu dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Mengenai interaksi sosial sendiri diartikan sebagai hubungan-hubungan timbal balik yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang secara perseorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok-kelompok manusia. Menurut Roucek dan Warren, interaksi adalah suatu proses, melalui tindak balas tiap-tiap kelompok berturut-turut menjadi unsur penggerak bagi tindak balas dari kelompok yang lain. Ia adalah suatu proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi langkah laku reaktif pihak lain dan dengan berbuat demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain.1

Proses interaksi yang dilakukan secara terus menerus akan menghasilkan suatu hubungan sosial. Hubungan sosial juga tidak hanya terjadi dengan suku, ras, agama yang sama. Melainkan dapat juga dengan masyarakat yang berbeda suku, ras, dan agama.

Hubungan sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain, saling memberikan pengaruh dan didasarkan pada kesadaran untuk saling menolong, kemudian hubungan sosial yang sudah terjalin dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola. Pola hubungan ini juga disebut sebagai pola hubungan sosial.

1 Abdul Syani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012) Cet. Keempat h. 153

2

Hubungan sosial dalam masyarakat juga terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu hubungan sosial asosiatif dan hubungan sosial disosiatif. Hubungan sosial asosiatif lebih bersifat positif karena berarti sebuah pertemuan atau kerjasama antar individu atau kelompok yang terjadi dalam beberapa bentuk seperti kerjasama (coorperation), akomodasi (accommodation), asimilasi dan amalgamasi. Sedangkan hubungan disosiatif berarti individu atau kelompok yang saling menjauh, hubungan disosiatif ini dapat dilihat pada tiga hal, yaitu kompetisi, konflik, dan kontravensi.2

Memperbincangkan eksistensi masyarakat keturunan Cina di Indonesia, memang sangat menarik. Salah satunya adalah kajian masyarakat Cina di Banten yang tidak dapat dilepaskan dari kehadiran Agama Konghucu yang di bawa oleh para imigran Cina. Dalam sejarah Banten abad ke-16 masehi ditemukan fakta bahwa saat itu banyak sekali berdatangan para pedagang asing dari luar berkunjung melalui pelabuhan Banten. Bahkan tepatnya pada masa dinasti Maulana Yusuf (1570-1580 M) pernah di bangun pemukiman penduduk asing. Hal ini dianggap perlu dilakukan karena cepatnya arus pendatang dari mancanegara di wilayah ini. Maka diaturlah pemukiman penduduk itu sesuai keahlian da nasal-usul mereka. Sehingga di kawasan ini tumbuh perkampungan masyarakat mancanegara. Seperti perkampungan orang India, Arab, Turki, Persia, orang-orang Melayu, Ternate, Banjar, Bugis Makasar, Bali, dan Cina (Tionghoa) dan sebagainya.

Terakhir yang disebutkan diatas yaitu komunitas Cina (Tionghoa). Mereka adalah komunitas yang sudah membaur dengan masyarakat lain, baik pribumi maupun asing. Pembauran ini di tandai dengan berdagang dan kepercayaan. Terbukti berdiri dengan megah sebuah kelenteng Tjoe Soe Kong Cina yang terletak di desa tanjung Anom Kecamatan Mauk dan dengan segala aktifitasnya.

Adapun dalam pembauran masyarakat Cina sangat dirasakan oleh masyarakat yang lainnya sehingga kerapkali menimbulkan suatu kemitrakerjaan dalam bidang- bidang tertentu baik sosial, ekonomi dan agama. Menurut Budi Setyagraha bahwa masyarakat Cina (keturunan Tionghoa) berdomisili di Indonesia sudah berumur ratusan lamanya. Sebagian besar masyarakat Cina saat ini dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia. Sekitar umur 90 tahun ke bawah boleh dikatakan hampir semuanya lahir dan dibesarkandi Indonesia.3

2 Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial (Jakarta: Kencana, 2015) h. 56-63 3 Sholahuddin Al Ayubi, Dkk, Cina Benteng: Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten (Lampung: Jurnal Kalam Vol. 10 No 2 Desember 2016) h. 320

3

Etnis Cina banyak menghadapi kendala, mereka sangat sulit, yang kemudian menemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh orang-orang Cina. Permasalahan ini juga ditambah berbagai sosial yang inklusif dominan mereka di tandai dengan pribumi-non pribumi, sehingga gerak hidup mereka sangat tergantung dengan kehidupan mereka. Sehingga pembauran dan integritas mereka di pertanyakan. Apalagi tragedi kerusuhan Mei 1998 yang sempat menggemparkan dunia dan mengakibatkan penderitaan sosial yang luar biasa terhdap mereka, tidak saja komunitas Tionghoa, tetapi kaum pribumi di Indonesia.

Fakta-fakta sosiologis berupa konflik-konflik sosial yang terjadi dari masyarakat di berbagai daerah tak kurang merupakan hambatan bagi terbentuknya integrasi sosial dalam sebuah masyarakat besar yang bernama Indonesia. Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menggali model-model kerukunan sosial pada masyarakat multiKultural yang justru telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara nyata. Dalam hal ini, masyarakat Cina benteng Tangerang, baik secara historis maupun secara sosiologs, bisa dianggap sebagai salah satu model yang menarik untuk di teliti. Wilayah Banten, di mana Tangerang menjadi bagiannya telah menjadi melting pot yang mempertemukan berbagai macam etnis, agama dan budaya.4

Tragedi kerusuhan itu nyaris menimpa kota-kota besar di seluruh Indonesia yang aksesnya sangat besar pada etnis Cina, namun tragedi kejadian itu tidak menimpa pada daerah tertentu yaitu masyarakat Cina yang tersebar di pinggiran pantai utara pulau Jawa khususnya di Kabupaten Tangerang. Komunitas yang menempati pinggiran pantai utara di dominasi juga oleh masyarakat dari etnik Cina. Namun, kebanyakan dari mereka keberatan apabila disebut sebagai “pendatang”. Mereka adalah orang-orang asli daerah setempat semenjak dahulu. Secara antropologis, masyarakat Tangerang menyebut mereka sebagai “Cina benteng”.

Beberapa contoh hubungan sosial yang terjadi di antara masyarakat Cina dengan non Cina adalah dalam suatu perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang di adakan di Kelenteng Tanjung Kait Desa Tanjung Anom yang dimana antar masyarakat saling membantu dan berperan dalam menyukseskan perayaan tersebut. mereka hidup damai berdampingan, saling mengisi dan saling melakukan kerjasama antara masyarakat Cina dengan masyarakat non Cina. Meskipun acara Shejit di selenggarakan oleh masyarakat Cina sekitar Tanjung Kait namun masyarakat non Cina di desa Tanjung Anom tetap ikut berperan aktif dalam mensukseskan acara

4 Muhammad Arif, Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis. (Jakarta: Jurnal Sosio Didaktika, Vol 1 No 1 Mei 2014 UIN Jakarta) h. 53

4

tersebut dengan memberikan beberapa bantuan baik tenaga, harta maupun fasilitas lainnya sesuai dengan kesanggupan yang mereka miliki.

Masyarakat Cina Tanjung Kait yang telah berbaur lama dengan masyarakat lokal telah mengalami proses asimilasi sehingga membuat mereka sama sekali berbeda dengan masyarakat Cina di negeri leluhurnya dengan dibuktikan terlalu sedikitnya masyarakat Cina Tanjung Kait yang dapat berbahasa Cina karena telah terbiasa dengan penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Betawi sebagai bahasa komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara fisiologis juga masyarakat Cina Tanjung Anom tampak berkulit hitam dan nyaris tidak tampak kecinaannya kecuali pada unsur religi dan budayanya yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka namun berakulturasi dengan corak lokal. 5 Hal itu juga mempengaruhi perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang dimana terdapat pencampuran kebudayaan dalam berbagai pertunjukan yang di adakan dalam perayaan Shejit. Meskipun demikian masyarakat Cina Tanjung Kait tetap mempertahankan tradisi serta agama leluhur mereka seperti Buddha dan Konghucu.

Pada perayaan Shejit ini juga menunjukkan bahwa pola-pola pembauran di tingkat lokal seringkali mempunyai nilai positif untuk di kembangkan. masyarakat Ciben (Cina benteng) Tanjung Kait yang sudah berbaur lama dengan masyarakat lokal di Kabupaten Tangerang. di kedepankan sebagai contoh pola hubungan yang “berhasil”. Dengan begitu, melalui sebuah perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ini diharapkan dapat menjadi contoh alternatif solusi dalam menangani konflik-konflik etnisitas dengan berbagai dinamikanya. Baik dalam perspektif keagamaan, ekonomi, maupun dimensi sosial-kemasyarakatan secara stimultan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat di identifikasikan masalah sebagai berikut.

a) Masyarakat desa Tanjung Anom adalah masyarakat yang multikultural b) Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong dijadikan sebagai suatu tradisi sakral yang dilakukan oleh masyarakat Cina Tanjung Kait c) Banyaknya rangkaian acara atau prosesi sebelum acara inti dilaksanakan membutuhkan partisipasi yang besar dari masyarakat

5 Muhammad Arif, Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis. (Jakarta: Jurnal Sosio Didaktika, Vol 1 No 1 Mei 2014 UIN Jakarta) h. 60

5

d) Peran serta masyarakat non Cina dengan masyarakat Cina membentuk sebuah hubungan sosial dalam kegiatan perayaan Shejit.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Agar permasalahan tidak terlalu luas dan melebar terlalu jauh, maka penulis membatasi permasalahan pada skripsi ini yaitu hanya melihat hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat Cina dan non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong serta bagaimana perayaan Shejit Kongco Tjo Soe kong terselenggara pada masyarakat desa Tanjung Anom yang multikultural sehingga terjadi sebuah keharmonisan meskipun adanya perbedaan keyakinan serta kebudayaan pada masyarakat Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.

Kemudian rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong diselenggara pada masyarakat multikultural desa Tanjung Anom?

2. Apa latarbelakang terjalinnya hubungan sosial antara masyarakat Cina dan non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang dapat dicapat adalah sebagai berikut:

1. Ingin Mengetahui bagaimana perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong ini diselenggara pada masyarakat multikultural Desa Tanjung Anom.

2. Ingin Mengetahui sebab terjadinya hubungan sosial yang terjalin antara masyarakat Cina dengan Non Cina di dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong.

E. Manfaat Penelitian

a. Sebagai upaya untuk memahami komunitas agama lain secara objektif, adanya perbedaan keyakinan, etnis ataupun kebudayaan yang bermacam- macam tidak semestinya terjadi konflik sosial di masyarakat.

6

b. Memperkaya khazanah pengetahuan pembaca pada umumnya, khususnya mahasiswa sehingga dapat memberikan wawasan baru berupa buah pikiran bahwa adanya hubungan sosial yang tetap terjaga dengan baik sehingga dapat menumbuhkan perasaan solidaritas.

c. Diharapkan dapat menumbuhkan rasa toleransi dan kerukunan beragama di Indonesia.

d. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk memperoleh gelar sarjana agama (S.Ag) di jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

F. Landasan Teori

a. Msyarakat

Istilah masyarakat berasal dari akar kata Arab yaitu Syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah Society yang berasal dari bahasa latin yaitu socius yang bearti kawan. Tidak ada definisi tunggal tentang masyarakat, itu karena sifat manusia selalu berubah-ubah dari waktu-kewaktu. Sehingga para ilmuwan pun memberikan definisi yang berbeda-beda tentang masyarakat. Peter L. Berger seorang ahli sosiologi memberikan definisi masyarakat yaitu suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Koentjaningrat dalam tulisannya menyatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia atau kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama6.

Selo Soemardjan juga mengartikan masyarakat sebagai orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Emile Durkheim mendefinisikan masyarakat sebagai kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Adapun ciri-ciri kehidupan masyarakat adalah7:

6 Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi Untuk Universitas. (Bandung: Refika Aditama, 2013) Cet. 2 h. 173 7 Bambang Tejokusumo, Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. (Jurnal Geoedukasi Volume III Nomor 1, Maret 2014) h. 39

7

1. Manusia yang hidup bersama-sama sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang individu

2. Bercampur atau bergaul dalam waktu yang cukup lama

3. Menyadari kehidupan mereka merupakan satu kesatuan. Merupakan sistem bersama yang menimbulkan kebudayaan sebagai akibat dari perasaan saling terkait antara satu dengan yang lainnya.

Ada tiga jenis masyarakat dilihat dari lingkungan hidupnya8, yaitu:

1. Masyarakat Primitif, yaitu masyarakat yang terisolir atau mengisolisasikan diri dengan dunia atau masyarakat luar, cara hidupnya masih terbelakang, kebutuhannya masih sederhana, kebudayaannya masih rendah serta tempat tinggalnya pun berpindah-pindah (nomaden); 2. Masyarakat desa, yaitu masyarakat yang agraris yang kebutuhan hidupnya banyak bergantung dari hasil bertani dan menangkap ikan, kehidupan mereka sangat bergantung kepada iklim dan pergantian musim. Hubungan antarindividu bersifat primer dan sifat kegotongroyongan yang cukup kuat; 3. Masyarakat kota, yaitu masyarakat yang merupakan tempat berbaurnya segala macam suku bangsa dan bertumpunya hasil-hasil teknologi modern. Setiap individu selalu berlomba memenuhi kebutuhan hidupnya, sifat-sifat individualitas segera tumbuh dan berkembang di masyarakat kota.

b. Multikultural

Secara etimologis, multikultural berasal dari kata multi, yang artinya banyak/beragam dan kultural, yang berarti budaya sehingga Multikultural secara sederhana diartikan keragaman budaya.9 Budaya memiliki pengertian yang sangat banyak berkenaan dengan persoalan abstrak yang terkandung dalam budaya, yaitu pertemuan antara budi yaitu pikiran dengan daya yaitu tenaga yang mengaktualisasikan pikiran yang melahirkan konsep dengan implementasi di dalam kenyataan. Paham atau ideology mengenai multikultural disebut dengan multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian di terjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan

8 Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi Untuk Universitas. h. 173 9 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015) h. 39

8

terhadap realitas keagamaan, pluralitas dan multikulural yang terdapat pada masyarakat.10

Laurence Bloom berpandangan multikulturalisme merupakan sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang serta penghormatan dan keingintahuan terhadap budaya etnis lain. Penilaian bukan berarti menyetujui seluruh aspek-aspek budaya tersebut melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya asli dapat mengekspresikan nilai bagi anggotanya.11

Menurut Dwicipta, multikulturalisme adalah perspektif tentang kehidupan umat manusia. 12 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme adalah pengakuan terhadap kemajemukan budaya, penghormatan serta penghargaan terhadapnya yang menjadi landasan etos kerja bagi setiap kelompok etnis yang diterima secara emosional berdasar identitas kesukuan yang dapat berdampak positif dan negatf.

Multikultural adalah ide yang penting namun sangat sensitive karena akan dapat mendorong terjadinya integrasi atau sebaliknya konflik. Dalam masyarakat multikultural intinya penghargaan, penghormatan, pengakuan, pembebasan terhadap kelompok lain yang hidup dengan budayanya dan bahkan lebih dari itu berupaya ikut menikmati suasana kesyahduan kelompok lain ketika hidup dalam tradisi budayanya.

Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa dan lain-lain yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat yang memiliki satu pemerintahan tetapi dalam masyarakat itu masing-masing terdapat segmen-segmen yang tidak bisa disatukan 13 . Konsep multikulturalisme terdapat kaitan erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.

c. Proses Sosial

Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Proses sosial (social process) menurut Lasswell dan Abraham Kaplan,

10 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia h. 40 11 Ridwan Lubis, Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia (Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama, 2015) h. 67 12 Ridwan Lubis, Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia h. 67 13 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 40

9

merupakan “The totality of value process for all the values important in society”,14 yang berintikan interaksi sosial sehingga masyarakat akan mengalami perubahan yang teratur.

Menurut Adham Nasution, proses sosial adalah proses kelompok-kelompok dan individu-individu saling berhubungan, yang merupakan bentuk antara aksi sosial, ialah bentuk-bentuk yang nampak kalau kelompok-kelompok manusia atau orang perorangan mengadakan hubungan satu sama lain. Kemudian ditegaskan lagi, bahwa proses sosial adalah rangkaian human actions (sikap/tindakan manusia) yang merupakan aksi dan reaksi atau challenge dan respons di dalam hubungannya satu sama lain.15

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas- aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok- kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.16

Proses sosial, merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat. Di mana di dalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya. Proses hubungan tersebut berupa antar aksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terus-menerus. Antar aksi (interaksi) sosial, dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Pada prinsipnya proses sosial tampil dalam dua bentuk yaitu proses asosiatif dan disosiatif. Proses asosiatif adalah suatu proses yang terjadi saling pengertian dan kerja sama timbal balik antara per orang atau kelompok satu dengan lainnya, di mana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan bersama, atau proses yang mengarah pada ditemukannya gerak pendekatan menuju penyatuan masyarakat. Sebaliknya, disebut disosiatif apabila yang muncul yakni tendensi pemisahan atau permusuhan masyarakat.

14 Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial (Jakarta: Kencana, 2015) h. 55 15 Abdul Syani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan h.152 16 Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012) h. 45

10

Proses asosiatif itu tampil dalam empat bentuk, yaitu kejasama (coorperation), akomodasi (accommodation), asimilasi dan amalgamasi. Apabila di masyarakat dijumpai proses sosial yang bersifat asosiatif, maka di masyarakat juga dapat ditemukan proses disosiatif. Proses disosiatif itu dapat dilihat pada tiga hal, yaitu kompetisi, konflik, dan kontravensi.

d. Interaksionisme Simbolik

Menurut Roucek dan Warren, interaksi adalah salah satu masalah pokok karena ia merupakan dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal balik, dengan mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Terjadinya interaksi sosial sebagaimana dimaksud, karena adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak dalam suatu hubungan social17

Mengenai interaksi sosial sendiri diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial timbal balik yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang secara perseorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok-kelompok manusia.

Orang mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung melalui organisme fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran, melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui tulisan atau dengan cara berhubungan dari jauh.

Dalam proses sosial, baru dapat dikatakan terjadi interaksi sosial apabila telah memenuhi syarat sebagai aspek kehidupan bersama yaitu:

1. Kontak sosial Hubungan antara satu orang atau lebih, melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan manusia.

2. Komunikasi sosial Komunikasi sosial mengandung pengertian persamaan pandangan antara orang-orang yang berinteraksi terhadap sesuatu. Menurut Soerjono, komunikasi adalah bahwa sesorang memberikan tafsiran pada perilakuan orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerik badaniyah atau

17 Abdul Syani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan h. 153

11

sikap) perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.18

Dalam proses interaksi sosial, manusia mengkomunikasikan arti-arti kepada orang lain melalui simbol-simbol. Kemudian orang lain menginterpretasi simbol- simbol itu dan mengarahkan tingkah-laku mereka berdasarkan interpretasi mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor-aktor telibat dalam proses saling mempengaruhi. Perhatian utama dari interaksionisme simbolik adalah dampak dari arti-arti dan simbol-simbol dalam aksi dan interaksi manusia.

Interaksionisme simbolik berkembang menjadi satu perspektif dalam sosiologi berkat usaha teoritikus terkenal yakni George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Dalam interaksi sosial orang belajar simbol-simbol dan arti-arti. Kalau orang memberikan reaksi terhadap tanda-tanda tanpa berpikir panjang maka dalam memberikan reaksi kepada simbol-simbol orang harus terlebih dahulu berpikir. Sedangkan simbol adalah obyek sosial yang digunakan untuk mewakili (take place of) apa saja yang disepakati untuk diwakilinya.19

Simbol-simbol mempunyai arti bisa dalam bentuk gerak-gerik (gesture) tetapi juga dalam bentuk bahasa. Guna mempertahankan keberlangsungan suatu kehidupan sosial, maka para aktor harus menghayati simbol-simbol dengan arti yang sama. Hal itu berarti bahwa mereka harus mengerti bahasa yang sama. Proses-proses berpikir, beraksi, dan berinteraksi menjadi mungkin karena simbol-simbol yang penting dalam kelompok sosial itu mempunyai arti yang sama dan membangkitkan reaksi yang sama pada orang yang menggunakan simbol-simbol itu maupun pada orang yang bereaksi terhadap simbol-simbol itu.

G. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa kajian terdahulu yang membahas mengenai topik yang penulis ambil ini, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Di antaranya sebuah Skripsi yang ditulis oleh mahasiswa jurusan Studi Agama-agama fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Muhammad Yusup , yang berjudul “Festival Peh Cun Bentuk Ekspresi Kehidupan Umat Beragama di Kota Tangerang” (2019). Skripsi ini berisi tentang festival Peh Cun yang menjadi wadah dari kebudayaan umat-umat beragama yang tertuang dalam sebuah perayaan di Kota Tangerang.

18 Abdul Syani, Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan h. 155 19 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007) h. 98

12

Karya lain yang memiliki kedekatan objek kajian dengan rumusan masalah adalah Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Arif dengan judul “Model Kerukunan Sosial pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” (2014). Jurnal ini berisi tentang model kerukukan sosial multicultural Cina Benteng Tangerang yang terbentuk secara historis sejak kedatangannya dan dalam perspektif sosiologis yang melihat kerukunan sosial masyarakat Cina benteng semakin terbentuk melalui proses amalgamasi sehingga memberikan kemungkinan yang lebih terbuka bagi proses asimilasi dan akulturasi melalui interaksi damai dalam waktu yang lama20

Jurnal yang di tulis oleh Sholahuddin Al Ayyubi yang berjudul “Cina Benteng: Pembauran dalam Masyarakat Majemuk di Banten” (2016). Jurnal ini berisi tentang pembauran dan integritas etnis Tionghoa di wilayah Benteng (Sebutan untuk Tangerang). Tulisan ini berasal dari asumsi bahwa dalam pola-pola pembaruan di tingkat lokal seringkali ditemukan nilai positif yang bisa di kembangkan.21

Sebuah Tesis yang di tulis oleh Bambang Permadi yang berjudul “Islam dan Etnis Tionghoa, Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang” (2017) yang menjelaskan bahwa penerimaan orang-orang Cina Benteng terhadap budaya pribumi yang notabene Islam rupanya tidak berbanding lurus terhadap Islam sebagai dogma. Sangat sedikit orang Cina benteng yang memeluk agama Islam jika dibandingkan dengan mereka yang memeluk Kristen atau Buddha.22

Skripsi yang mengkaji mengenai relasi sosial masyarakat antara lain: ”Model Relasi Sosial Masyarakat Umat Buddha dan Umat Islam Di Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung” (2016) merupakan judul skripsi yang ditulis Dwi Endarwati dari program studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Semarang. Juga skripsi yang berjudul “Kelenteng Tanjung Kait (Tinjauan Arsitektural dan Ornamentasi)” (2008) merupakan judul skripsi yang ditulis oleh Nandita Erisca dari program studi Arkeologi Universitas Indonesia.

Pembahasan yang berbeda dalam penulisan ini adalah hubungan sosial yang terdapat dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong serta bagaimana perayaan Shejit Kongco Tjo Soe kong terselenggara pada masyarakat desa Tanjung Anom yang multikultural, sehingga masyarakatnya dapat hidup rukun, aman, dan saling

20 Muhammad Arif. Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis dan Sosiologis. h. 63 21Sholahuddin Al Ayubi. Cina Benteng: Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten h. 317 22Bambang, Permadi. Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. (Tesis Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017) h. vii

13

menghargai antara satu dengan lainnya di samping adanya perbedaan yang mendasar dari segi keyakinan.

H. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan mencari data yang lebih maksimal di lokasi Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.

Ide penting penelitian ini adalah bahwa penulis masuk “ke lapangan” untuk mengamati fenomena. Penelitian lapangan berlangsung dalam situasi sosial tempat penulis berpartisipasi. Penulis bertugas mengamati dan merekam kehidupan orang-orang di sekitarnya.23

2. Metode Penelitian

Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis menemukan beberapa data informasi dan menuliskannya dengan metode kualitatif yang pada umumnya menekankan analisis proses berpikir secara deduktif dan induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antarfenomena yang diamati.24

Penelitian kualitatif berupaya menganalisis kehidupan sosial dengan cara menggambarkan dunia sosial dari sudut pandang atau interpretasi individu (informan) dalam latar alamiah. 25 Dengan kata lain, penelitian kualitatif berupaya menjelaskan bagaimana seorang individu melihat, menggambarkan, atau memaknai dunia sosialnya.

Penelitian kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan kata-kata atas kalimat dari individu, buku, dan sumber lain. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan wawancara sebagai pengumpulan data agar penulis mampu menggali informasi lebih dalam mengenai interpretasi individu yang diteliti.26

23 Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) h. 217 24 Nur Arifah, Panduan Lengkap Menyusun dan Menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Yogyakarta: Araska, 2018) h. 82 25 Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial h.212 26 Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial h.212

14

3. Pendekatan

Pada tahap awal suatu pengkajian peneliti perlu menetapkan bagaimana hendak mendekati objek studinya; dengan kata lain ia perlu menentukan pendekatan yang akan di terapkan. Dalam skripsi ini, akan digunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan historis, antropologi dan sosiologi.

Pendekatan Historis adalah salah satu pendekatan dalam studi agama yang sudah di gunakan sejak lama untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama. Pendekatan ini digunakan sebagai usaha untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui urutan periode-periode perkembangan historis tertentu serta menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki sebuah agama etnis tertentu dalam mempertahankan dirinya selama periode-periode tersebut.27

Kemudian pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologi. Pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan- kebudayaan produk-produk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya; sejauh mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap agama28.

Selain pendekatan historis, dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologis yang bertujuan untuk mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Pendekatan sosiologis ini berfokus kepada masyarakat atau sebuah etnis yang memahami dan mempraktikan agamanya kemudian melihat bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama dan bagaimana pengaruh agama terhadap masyarakat.29

Di dalam konteks studi agama, kehidupan sosial dan keagamaan para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat dikaji, diteliti dan di perbandingkan satu sama lain dengan menggunakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial sekaligus untuk melihat bagaimana kaitan atau pengaruh antara keyakinan keagamaan dengan kehidupan sosial.

27 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2015) h. 15 28 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2015) h. 48 29 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi, h. 44

15

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dikumpulkan melalui kearsipan dan kepustakaan. Data tersebut dapat dideskripsikan secara menyeluruh, dianalisa, dan diinterpretasikan. Kemudian data lain yang di peroleh dari hasil terjun ke lapangan melalui teknik wawancara di pergunakan sebagai pembanding dan mencari makna bagi pemeluknya.

I. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber pertama di mana sebuah data dihasilkan yang di ambil dari sumber pertama di lapangan yang terdiri dari tokoh dan buku jurnal/Skripsi yang memiliki kaitan langsung dengan objek penelitian dalam tulisan ini, adapun data sekunder adalah sumber data kedua sesudah sumber data primer yang terdiri dari buku/jurnal yang tidak terkait langsung dengan penelitian tetapi masih relevan dengan pembahasan. Sumber data sekunder dapat membantu memberi keterangan, atau data pelengkap sebagai bahan pembanding.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. 30 Oleh Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya. Teknik ini dilakukan penulis dengan mengamati dan mendatangi langsung objek penelitian yang dapat memberikan gambaran perilaku kewargaan organisasional. Teknik pengamatan ini dilakukan pengamatan sendiri, mencatat dan mengadakan pengamatan pada kegiatan yang sedang berlangsung dalam hal ini penulis melakukan pengamatan dengan cara

30 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. (Jakarta: Kencana, 2013) h. 142

16

nonpartisipan. pedoman observasi diformulasikan secara umum dan pengembangannya disesuaikan dengan kondisi lapangan. Adapun observasi ini di lakukan di Klenteng Tanjung Kait Desa Tanjung Anom Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. b. Wawancara Teknik wawancara juga biasa disebut dengan metode interview atau disebut sebagai metode wawancara. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai.31

Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian atau merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh sebelumnya.

Pada penelitian ini penulis melakukan kombinasi dua teknik wawancara yakni wawancara mendalam dengan cara menggali informasi dan terlibat langsung dengan kehidupan informan serta bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup dan dilakukan berkali-kali. Teknik kedua peneliti melakukan wawancara terarah (guided interview) di mana penulis menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan pada pihak-pihak yang relevan dengan penelitian ini.32 Adapun tokoh yang akan menjadi narasumber penulis antara lain: a) Informan dari Ketua umum pengurus Kelenteng Bapak Kasum Triharja (Tjoa Keng Sun) b) Informan dari pengurus Kelenteng Tanjung Kait Bapak Rudi (Koh Anci) c) Informan dari Pengurus Rumah Tangga Kelenteng Boen San Bio ibu Elis d) Informan dari Kepala Desa Tanjung Anom Bapak Abdul Aziz e) Informan dari Non Cina Jaro I Tanjung Kait Bapak Acim Marsin f) Informan dari Non Cina pedagang Ibu Maryati g) Informan dari Tokoh Agama Bapak Abdul Hamid

31 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. h. 133 32 Sugiono Paulus, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Alfabeta, 2018) h. 214

17

c. Dokumenter

Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri historis. 33 Walau metode ini banyak digunakan pada penelitian ilmu sejarah, penulis menggunakan metode dokumenter sebagai metode pengumpulan data karena sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam tubuh pengetahuan sejarah yang berbentuk dokumentasi.

Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, kenang-kenangan, laporan dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada penulis untuk hal-hal yang telah silam. Kumpulan data bentuk tulisan ini disebut dokumen dalam arti luas termasuk monumen, artefak, foto, tape, microfilm, arsip dan sebagainya.34

J. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi dalam lima bagian, sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan teoretis, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah Desa Tanjung Anom yang meliputi tentang sejarah desa, demografi, kondisi ekonomi masyarakat, kondisi keberagamaan, dan kondisi sosial budaya di desa Tanjung Anom Serta sejarah, agama, pendidikan, pekerjaan masyarakat Cina Desa Tanjung Anom.

BAB III: Pada bab ini pembahasan difokuskan pada bahasan historis dan prosesi perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang meliputi sejarah Klenteng Tanjung Kait, sejarah dan perkembangan perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong, tujuan dan peran perayaan tersebut serta prosesi perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong di Klenteng Tanjung Kait.

33 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. h. 153 34 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. h. 154

18

BAB IV: Pada bab ini akan diisi dengan pembahasan mengenai perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang terselenggara pada masyarakat multikultural desa Tanjung Anom serta faktor-faktor pendorong terjadinya hubungan sosial antara masyarakat Cina dengan Non Cina pada kegiatan perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang terdiri atas faktor kekerabatan, faktor agama, faktor kebudayaan, dan faktor ekonomi.

BAB V: Bab ini merupakan penutup yang berisi uraian tentang kesimpulan dan saran-saran.

19

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH DESA TANJUNG ANOM

A. Desa dan Masyarakat Tanjung Anom

1. Sejarah Desa Tanjung Anom

Desa Tanjung Anom awalnya merupakan desa hasil dari pemekaran dari desa Karang Serang dan desa Pekayon, yang memisahkan diri dan menjadi desa sendiri pada tahun 198235. Pemisahan daerah ini karena desa Karang Serang dan Pekayon di anggap memiliki daerah yang terlalu luas dan desa Tanjung Anom di anggap sudah mampu menjadi desa sendiri karena memiliki potensi yang cukup terutama dari hasil laut dan juga pariwisata Desa Tanjung Anom telah memiliki beberapa pemimpin yang pernah menjabat sebagai kepala desa. Berikut adalah nama dan periode kepemimpinan kepala Desa Tanjung Anom sejak periode 1982 sampai saat sekarang.

Tabel 1 Kepala Desa Yang Pernah Menjabat No Periode Nama Kepala Desa Keterangan 1 1982 s/d 1998 H. M. Ali S Pjs. Pemekaran 2 1988 s/d1999 H. M. Ali S. Definitif 3 1999 s/d 2000 Khaerudin Pjs. 4 2000 s/d 2008 H. M. Ali S Definitif 5 2008 s/d 2014 Asbihani Definitif 6 2014 s/d 2015 H. Ahyadi Pjs. 7 2015 s/d 2015 Khaerudin Pjs. 8 2015 s/d 2021 H. Abdul Azis Definitif Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

Gambar 1

35 SOTK Desa Tanjung Anom, 2019

20

Struktur Perangkat Desa Tanjung Anom36

Kepala Desa

H. Abdul Aziz

Sekretaris Desa

Khaerudin

Kepala Seksi Kepala Seksi Kepala Seksi Kep. Urusan Kep. Urusan Kep. Urusan Pemerintahan Pelayanan Kesejahteraan Perencanaan TU & Umum Keuangan

Arip Gunawan Sanusi Wahab Bagus Priyadi Alwani A. Khaerudin Chozali ST

Jaro I Tanjung Jaro II Kebon Jaro III Buaran Kait Baru Asem SeKesejahteraa Acim Marsin Muntalik Sakarudin

Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

Sejarah panjang desa tanjung anom sebagai desa pesisir terdapat juga sejarah pembangunan yang pernah dilaksanakan oleh desa ini. Desa tanjung anom telah cukup banyak melakukan kegiatan pembangunan desa. Terhitung sejak tahun 2011, desa ini mulai membuat beberapa kegiatan yang mencakup pembangunan

36 Daftar Aparatur Desa Tanjung Anom Periode Tahun 2015-2021

21

infrastruktur yaitu pembangunan jalan paving blok dan saluran pembuangan air limbah, rehab kantor desa, pembuatan gorong-gorong, semenisasi jalan lingkungan, dan pembangunan rumah ibadah yang sedang berlangsung hingga saat ini. Sejarah desa ini tidak dapat di ketahui pasti karena tidak ada bukti tertulis atau berupa peninggalan, meskipun demikian sejarah desa ini dapat diketahui melalui cerita secara turun temurun dari orang tua terdahulu yang telah tinggal di desa ini sejak awal. Di ceritakan bahwa masyarakat desa Tanjung Anom merupakan gabungan dari berbagai suku yang ada di sekitaran Pantura yaitu terdiri dari suku Betawi, Suku Sunda Banten, Suku Jawa Indramayu dan suku Bugis, dan orang Cina, yang berangsur-angsur menempati daerah pesisir pantai utara Jawa yang tadinya merupakan sebuah lahan yang tidak berpenghuni yang sebagiannya merupakan milik TNI angkatan udara dan tanah yang dimiliki pihak swasta yakni PT. Sangrila Indah. Sejarah desa ini juga tidak terlepas dari sebuah Klenteng tua yang bernama klenteng Tjoe Soe Kong yang usianya bahkan sudah ratusan tahun jauh sebelum desa Tanjung Anom tersebut berdiri. Ada cerita unik yang terdapat pada klenteng tersebut bahwa ketika terjadi letusan gunung Krakatau pada tahun 1882 yang terjadi di selat Sunda, dimana banyak bangunan hancur olehnya namun hal tersebut tidak terjadi pada Klenteng ini, sehingga klenteng ini dijadikan tempat pengungsian bagi warga yang hidup pada masa itu.

2. Data Demografi

a. Letak dan Luas Wilayah

Desa Tanjung Anom merupakan salah satu dari 12 desa di wilayah Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang. Desa Tanjung Anom mempunyai luas wilayah KM2.37, dikelilingi dengan pantai dan laut pada utara desa. Adapun batas- batas desa yang ada di wilayah Desa Tanjung Anom yaitu:

Sebelah utara : Laut Jawa

Sebelah Timur : Desa Karang Serang Kecamatan Sukadiri

Sebelah Selatan : Desa Pekayon Kecamatan Sukadiri

Sebelah Barat : Desa Margamulya Kecamatan Mauk

37 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang, Kecamatan Mauk Dalam Angka 2019

22

Desa Tanjung Anom dibagi menjadi beberapa daerah administrasi pemerintahanyaitu terdiri tiga kejaroan atau tiga dusun, 5 RW, dan 24 RT. Tiga kejaroan tersebut yaitu:

1) Kejaroan Tanjung Kait

2) Kejaroan Buaran Asem

3) Kejaroan Kebon Baru

Gambar 2

Peta Wilayah Desa Tanjung Anom

b. Struktur Penduduk

Desa Tanjung Anom memiliki jumlah penduduk sampai bulan desember 2019 terdapat RW 001, RW 002, RW 003, RW 004, dan RW 005. Di RW 001 terdapat 5 RT. RW 002 terdapat 4 RT. RW 003 terdapat 6 RT. RW 004 terdapat 5 RT. RW 005 terdapat 3 RT.

Jumlah penduduk yang memiliki Kartu Keluarga (KK) jika di total dari semua kejaroan terdapat 2457 jiwa. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 4279 jiwa dan perempuan 4140 jiwa. Status rumah pribadi jika

23

dijumlahkan di semua kejaroan terdapat 1955 jiwa, rumahnya numpang dengan orang tua 414 jiwa, rumah kontrak 88 jiwa38. Berikut penjabaran data yang di sebut diatas:

Tabel 2

Jumlah Penduduk Desa Tanjung Anom

No RT/RW JUMLAH JML PENDUDUK JUMLAH KK LK PR 1 001/001 65 128 110 238 2 002/001 74 122 131 253 3 003/001 114 174 174 348 4 004/001 116 201 184 385 5 005/001 109 165 179 344 6 006/002 92 161 153 314 7 007/002 109 166 161 327 8 008/002 125 215 199 414 9 009/002 128 217 217 434 10 001/003 67 113 123 236 11 002/003 118 181 192 373 12 003/003 68 110 107 217 13 004/003 62 122 112 234 14 005/003 50 85 82 167 15 006/003 79 149 155 304 16 001/004 128 243 241 484 17 002/004 94 180 155 335 18 003/004 127 218 216 434 19 004/004 100 174 158 332 20 005/004 147 278 260 538 21 006/005 150 258 243 501 22 007/005 134 257 246 503 23 008/005 120 222 221 443 24 009/005 81 140 121 261 TOTAL 2457 4279 4140 8419

Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

c. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan

Penduduk Desa Tanjung Anom sangat bervariasi ketika di tinjau dari segi tingkat pendidikan, mulai dari lulusan SD sampai dengan lulusan S-1. Akan tetapi, masih

38 Data Penduduk Desa Tanjung Anom 2019

24

banyak pula penduduk Desa Tanjung Anom yang berstatus putus sekolah.39 Berikut jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan:

Tabel 3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikian

No TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH 1 SD 850 orang 2 SMP 616 orang 3 SMA 571 orang 4 D-1 25 orang 5 S-1 27 orang 6 Putus sekolah 450 orang

Kondisi lembaga pendidikan di Desa Tanjung Anom memang sangat terbatas karena untuk desa yang cukup luas dan jumlah warga masyarakat yang cukup banyak namun hanya terdapat dua sekolah tingat dasar negri dan dua yayasan pendidikan untuk tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah akhir dan itupun kondisi lembaga pendidikan yang kurang memadai. Untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas baik dan layak warga harus menempuh jarak yang cukup jauh dari desa Tanjung Anom yang berada dipusat kecamatan Mauk meskipun memang akses transportasi seperti motor dan mobil tersedia untuk mencapai tempat tersebut namun bagi masyarakat yang ekonominya rendah cukup berat untuk ongkos anak-anaknya. Pemerintah setempat tetap berupaya untuk membangun fasilitas dan sarana- prasarana agar terciptanya lingkungan pendidikan yang nyaman dan aman serta menyediakan fasilitas pendidikan yang terjangkau bagi semua kalangan sehingga semua warga masyarakat dapat menikmati pendidikan secara merata.

3. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Tanjung Anom

Menurut data yang disediakan oleh pihak kelurahan berupa data ketenaga kerjaan dan jumlah data masyarakat yang bekerja sesuai bidangnya dan dari sebagian hasil yang telah peneliti amati dapat disampaikan bahwa, sebagian sumber pemasukan ekonomi masyarakat desa Tanjung Anom merupakan hasil dari pertanian, nelayan dan pegawai swasta atau buruh, mereka yang bekerja guna memenuhi kebutuhan

39 Data Penduduk Desa Tanjung Anom 2019

25

hidup sehari-hari, memiliki penghasilan yang berbeda-beda dan cara mendapatkannya yang berbeda-beda pula. Berikut jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian40:

TABEL 4 Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian NO MATA PENCAHARIAN JUMLAH 1 PNS 17 orang 2 TNI 3 Orang 3 Polisi 2 Orang 4 Pensiunan (PNS, TNI, Polisi) 5 orang 5 Pegawai Swasta 1.015 orang 6 Petani 1.513 orang 7 Nelayan 993 orang 8 Buruh 802 orang 9 Pengrajin 237 orang 10 Pedagang 171 orang 11 Pengangguran 812 orang Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

Kondisi ekonomi masyarakat Tanjung Anom memiliki kondisi yang beragam, ada yang hidup pada ekonomi yang cukup, namun tidak jarang pula hidup pada kondisi ekonomi yang rendah, walaupun potensi yang ada terlihat sangat luas namun kendala tingkat sumber daya manusia yang rendah dan sarana prasarana penunjang ekonomi serta biaya untuk modal yang juga masih terbatas menyebabkan masyarakat Tanjung Anom belum mampu secara maksimal dan efektif mendapatkan potensi alam yang ada. Selain itu, melihat dari kondisi ekonomi yang ada di desa Tanjung Anom walaupun desa Tanjung Anom adalah desa pesisir pantai, namun mayoritas mata pencaharian masyarakat Tanjung Anom lebih besar dari sektor pertanian dan sektor pegawai swasta atau buruh, hal ini karena masalah ekosistem dan pencemaran yang mempengaruhi hasil tangkapan di laut yang semakin minim, sehingga banyak para nelayan yang berganti profesi menjadi seorang petani atau buruh guna mencari sumber penghasilan alternatif.

4. Kondisi Keberagamaan di Desa Tanjung Anom Warga di Desa Tanjung Anom terdiri dari berbagai macam agama atau kepercayaan walaupun mayoritas terbesar dari warga Desa Tanjung Anom adalah memeluk agama Islam. Berdasarkan hasil lapangan sering diadakan pengajian rutin yang di bagi seperti ibu-ibu dan bapak-bapak harian maupun mingguan, Hampir di

40 Data Penduduk Desa Tanjung Anom tahun 2019

26

setiap RW memiliki masjid dan mushollah. Adapun tempat masyarakat Cina sendiri dalam beribadah dan menyelenggarakan kegiatan keagamaan berada di kejaroan Tanjung Kait yang berpusat di Klenteng Tjoe Soe Kong. Berikut hasil data penduduk berdasarkan agama: Tabel 5 Jumlah Pemeluk Agama Desa Tanjung Anom

NO Agama Jumlah 1 Islam 7.778 orang 2 Kristen Protestan 514 orang 3 Kristen Katolik - 4 Hindu 84 orang 5 Buddha 41 orang 6 Kepercayaan - Total 8417 Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

Desa Tanjung Anom cukup memperhatikan sarana keagamaan sehingga di Desa Tanjung Anom memiliki beberapa tempat peribadatan sebagai sarana prasarana keagamaan dan sebagai tempat masyarakat untuk menggali dan mendapatkan pengajaran ilmu agama serta meingkatkan nilai religius masyarakat agar masyarakat diharapkan menjadi warga yang taat terhadap aturan agama dan menjadi warga yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berikut tempat ibadah yang ada di Desa Tanjung Anom41:

Tabel 6 Sebaran Tempat Ibadah di Desa Tanjung Anom

NO KEJAROAN NAMA TEMPAT IBADAH ALAMAT Musala Al Hidayah RT.001/RW.001 Musala Nurul Iman RT.002/RW.001 Musala Nurul Rohman RT.004/RW.001 Musala Baitul Amin RT.007/RW.002 Musala Al-Ikhlas RT.007/RW.002 1 Tanjung Kait Musala An-Nur RT.008/RW.002 Musala Al-Hikmah RT.009/RW.002 Masjid Al-Ikrom RT.006/RW.002

41 Data Sarana Keagamaan Desa Tanjung Anom

27

Majlis Ta‟lim Al-Marso NurMainah RT.001/RW.001 Vihara Tjoe Soe Kong RT.007/RW.002 Vihara Cikung RT.007/RW.002 Musala Darul Iman RT.001/RW.003 Musala Darul Muttaqin RT.004/RW.003 Musala Al-Hikmah RT.002/RW.003 2 Kebon Baru Musala Al-Ikhlas RT.006/RW.003 Masjid Daarul Huda RT.005/RW.003 Majlis Ta‟lim Al-Hidayah RT.003/RW.003 Majlis Ta‟lim Al-Istiqomah RT.005/RW.003 Majlis Ta‟lim An-Nur RT.002/RW.003 Musala Baitissalam RT.001/RW.004 Musala Baiturrohman RT.001/RW.004 Musala Al-Salim RT.001/RW.004 Musala Nurul Jannah RT.003/RW.004 Musala Nurul Iman RT.004/RW.004 Musala Al-Istiqomah RT.005/RW.004 3 Buaran Asem Musala Daarul Mukmin RT.005/RW.004 Musala Nurul Huda RT.006/RW.005 Musala Fathul Qorib RT.007/RW.005 Musala Darul Huda RT.008/RW.005 Musala Baitul Jannah RT.008/RW.005 Musala Al-Ikhlas RT.009/RW.005 Masjid Baiturrohim RT.009/RW.005 Majlis ta‟lim Masrinyatil Hasanah RT.003/RW.004 Majlis Ta‟lim Nur Al-Husain RT.004/RW.004 Majlis Ta‟lim Darunnajah RT.009/RW.005 Sumber: Dokumen Desa Tanjung Anom

Agama masyarakat Tanjung Anom adalah Islam, meskipun demikian masyarakat Islam dengan masyarakat Cina yang agamanya berbeda menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajarannya masing-masing tanpa adanya hambatan. Terkait agama masyarakat desa Tanjung Ano dalam masalah keyakinan dengan agamanya masing- masing terhitung kuat42. Di Tanjung Anom ini juga setiap RT memiliki „kobong‟ atau pengajian-pengajian untuk membina masyarakat terutama anak-anak kecil. Para pengajar dalam pengajian tersebut banyak berasal dari lulusan-lulusan psantren dan telah banyak menghafal Al Qur‟an dan bersedia mengabdi disini43.

42 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 43 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020

28

5. Kondisi Sosial Budaya Desa Tanjung Anom Masyarakat desa Tanjung Anom merupakan gabungan dari berbagai suku yaitu terdiri dari suku Betawi, Suku Sunda Banten, Suku Jawa Indramayu dan suku Bugis, dan orang Cina. Sehingga menjadikan kondisi Sosial masyarakat Desa Tanjung Anom merupakan masyarakat yang multikultural yang di mana masyarakatnya bersedia untuk menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnis, bahasa ataupun agama.44 Hal tersebut juga menegaskan bahwa dengan segala perbedaan yang ada di desa Tanjung Anom ini adalah sama di ruang publik. Hal lainnya yang mengenai kondisi sosial di desa Tanjung Anom adalah masyarakat di desa ini merupakan masyarakat yang demokratis, terbuka dan religius serta berkeinginan untuk maju dan mandiri. Masyarakat pesisir yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat nelayan dan petani dengan kebudayaan kampung yang masih cukup erat melekat menjadikan unsur kekeluargaan serta kekerabatan masih sangat erat terjaga. Kerukunan serta kerjasama yang baik terjadi dalam keluarga maupun sesama tetangga hal ini terjadi dalam salah satu kegiatan ketika hendak melaut untuk mencari ikan di butuhkan kerjasama dan gotong royong sesama nelayan untuk mendapatkan hasil yang baik karena tidak mungkin mencari ikan kelaut hanya dengan seorang diri. Masyarakat desa Tanjung Anom sebagai masyarakat yang tinggal di daerah pesisir memang cenderung sedikit agak keras dengan berbagai macam karakter dan sifat yang dimiliki dengan dilatar belakangi oleh adat dan istiadat. Kebiasaan cara hidup yang membentuk kepribadian setiap individu masyarakat di desa Tanjung Anom, ada masyarakat yang religius, ada yang terbuka, ada yang tertutup ada yang tenang, ada yang terkesan emosional dan karakter lainnya. Namun yang sangat terlihat adalah karakter seorang pelaut yang sangat sederhana dan pekerja keras pantang menyerah, dan humoris. Begitupun kehidupan sosial masyarakat pertanian daratan rendah desa Tanjung Anom yang masih menggunakan alat pertanian yang sederhana karena terbatasnya alat pertanian yang modern walaupun masih sederhana namun hal itu tidak menjadi hambatan dan tetap dilakukan dengan senang hati dan di iringi dengan semangat kerja yang tinggi. Kondisi sosial masyarakat keturunan cina di desa Tanjung Anom sendiri ditopang oleh kondisi masyarakat pendukungnya yang bersifat multikultural. Wilayah

44 Muhammad, Arif. Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis. ( Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1 No. 1 Mei 2014 UIN Jakarta) hlm. 55

29

masyarakat Cina yang memiliki keunikan yang secara umum tampak berdiri sebuah rumah ibadah khas Cina yaitu Klenteng Tjoe Soe Kong terletak di Kejaroan Tanjung Kait. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat cina di desa Tanjung Anom tersebut terdapat juga beberapa rumah ibadah yang mencerminkan adanya umat dari beberapa agama yang berbeda seperti sebuah masjid sebagai rumah ibadah bagi penganut Islam. Letak rumah ibadah yang saling berdekatan menunjukan bahwa masyarakat cina benteng di desa Tanjung Anom memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi.

B. Masyarakat Cina Tanjung Kait

1. Sejarah Masyarakat Cina di Tanjung Kait

Kedatangan masyarakat Cina ke desa Tanjung Anom dimulai dengan hubungan Banten dengan Cina. Meskipun belum diketahui secara pasti, namun hubungan Banten dengan Cina telah terjalin sejak zaman dinasti Han (206 SM-220 M) dan dinasti Song (960-1279 M). Hal tersebut di perkuat dengan adanya temuan kramik asal Cina di kawasan Banten Girang45. Kramik-kramik tersebut kebanyakan berasal dari provinsi Guandong dan Hokkian (Fujian).46

Tome Pires dalam tulisannya Suma Oriental mengatakan bahwa kerajaan Sunda (Pajajaran) memiliki enam pelabuhan utama antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tangerang, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Pelabuhan-pelabuhan itu ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing, banyak jung-jung Tiongkok berlabuh di pelabuhan ini.47 Banten merupakan bagian dari salah satu pelabuhan utama kerajaan Sunda, Banten menjadi pusat perniagaan yang penting dan Banten sudah lama di kenal oleh Cina jauh sebelum bangsa barat.

Ketika kesultanan Banten berdiri tahun 1527, Tangerang termasuk dalam wilayah Banten dan Tangerang dalam tulisan Tome Pires sebagai Tamgara

45 Pada masa kerajaan Sunda, Banten Girang merupakan pelabuhan penting dan penghasil rempah-rempah terutama lada hitam. Pada awal abad ke-13 M Zhao Rugua menamakan wilayah ini “Sin-t’o” (Sunda) kota di Jawa Barat serta daerah-daerah sekitarnya tempat lada di tanam. Sejarawan bersepakat mengidentifikasi kota “Sunda” ini sebagai Banten. Sekitar tahun 1500 panduan pelayaran China berjudul Shunfeng Xiaongsong menggunakan sekaligus “Wan-tan” dan “Shun-ta” (Lihat Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (Jakarta: KPG, 2008) h. 19) 46 Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?-1526, (Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, Departemen Pendidikan dan kebudayaan 1996/1997) h. 142 47 Sudemi, Jejak Warisan Sejarah Agama Konghucu Pada Masyarakat Cina Benteng di Tangerang. (Tesis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019) h. 34

30

merupakan jalur dagang yang penting yang berbatasan langsung dengan Sunda Kelapa.

Pintu masuk para pedagang dari Cina adalah Teluk Naga yang berlokasi di kampung Melayu. Ciri khas kapal-kapal dagang asal cina yaitu dimana haluan kapalnya dihiasi ukiran naga, sehingga ketika kapal memasuki teluk yang terlihat pertama kali adalah kepala naga terlebih dahulu. Selain di kampung melayu, tempat lain yang menjadi tempat berkumpulnya para pedagang asal Cina selain di Teluk Naga tadi adalah di Tanjung Kait yang bernama Tua Siah.

Masyarakat Cina awal tersebar dari Teluk Naga menyusuri bantaran sungai Cisadane menuju kota kemudian berbaur dengan orang-orang Tionghoa dari Batavia lalu mulai menyebar ke Karawaci, Legok, lalu ke selatan menuju Cisauk dan Serpong. Sedangkan kearah utara menuju pasar baru, Sangiang, Kedaung, Sepatan, Mauk hingga Tanjung Kait.

Menurut Liang Liji, hubungan yang bersahabat antara Cina dan Nusantara membuat banyak orang Cina merantau ke Nusantara dan menjadi cikal bakal kelompok etnis Cina di Nusantara. Oleh karena itu perantau Cina menyebut dirinya sebagai Teng Lang (orang Tang) dan menyebut negerinya Teng Shua (Tanah air Tang), sampai sekarang mereka masih menggunakan sebutan itu. Jadi sejarah kelompok etnis Cina di Nusantara setidaknya sudah berlangsung lebih dari 1.300 tahun.48

Ma Huan, seorang Cina Muslim yang menjadi juru bahasa Laksamana Chengho mengisahkan bahwa adanya pemukiman orang Cina di Jawa dan pada umumnya mereka sebagai pedagang dan ada juga orang Cina beragama Islam di dalam tulisannya yang terbit pada tahun 1416, Yengya Shenglan (Catatan umum Pantai-pantai Samudra).49

Sehingga pada umumnya para pedagang Cina lebih banyak berasal dari suku Hokkian yang berasal dari provinsi Fukian (Hokkian) dan ada juga yang berasal dari Guandong (Kanton). Para pedagang-pedagang asal Cina tadi melakukan persinggahan dan berkumpul di Teluk Naga dan Tua Siah yang terletak di Tanjung Kait.

48 Sudemi, Jejak Warisan Sejarah Agama Konghucu Pada Masyarakat Cina Benteng di Tangerang. h. 36 49 Sudemi, Jejak Warisan Sejarah Agama Konghucu Pada Masyarakat Cina Benteng di Tangerang. h. 38

31

Para pedagang Cina yang melakukan persinggahan di Tanjung Kait tidak serta merta meninggalkannya secara langsung melainkan mereka harus menunggu angin musim yang baik untuk kembali ke Cina. Mereka mulai menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi sehingga sudah mulai beradabtasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Banyak diantara mereka melakukan pernikahan dengan penduduk asli yang bukan etnis Cina sehingga warna kulitnya lebih gelap dan matanya pun tidak sipit. Di antara mereka pun memilih menetap di wilayah Tanjung Kait sehingga membentuk sebuah komunitas etnis Cina di wilayah Tanjung Kait.

Masyarakat Cina di Tanjung Kait awal pun mulai membangun sebuah Kelenteng sebagai rumah ibadah. Tahun berdirinya Kelenteng Tanjung Kait tidak di ketahui secara pasti, di perkirakan di bangun pada abad ke-18. Konon pembangunan Klenteng Tanjung Kait berkaitan dengan perluasan lahan tebu yang kini sudah tidak ada yang dilakukan oleh para orang Cina.

Andries Teisseire dalam teksnya menyebutkan bahwa Klenteng tersebut berdiri tahun 1792 “ditemukan satu Klenteng Cina yang istimewa terasingkan, tetapi tetap terjaga. Orang Cina berdiam di sana untuk merayakan upacara besar setiap tahunnya di akhir November atau di awal Desember, kemudian para pemuja yang berjumlah 100 mengiringi upacara terebut”50

Kelenteng ini menjadi perhatian masyarakat baik dari kalangan masyarakat Cina maupun masyarakat Non Cina terlebih ketika terjadinya letusan gunung Krakatau pada 23 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dan gelombang tsunami melanda pantai provinsi Banten dan Lampung. Desa Tanjung Kait tempat Klenteng berada kebanjiran gelombang Tsunami yang dahsyat dan menelan korban sebanyak 40.000 orang meninggal dan banyak pula hewan yang mati.

Cerita tersebut di tuangkan dalam lagu Kromong yang berjudul “Kramat Karam”. Suatu keistimewaan terjadi dimana Klenteng Tanjung Kait yang terletak di dekat pantai terbebas dari Tsunami tersebut. penduduk yang berlindung di Klenteng tersebut selamat dari terjangan Tsunami karena air tidak masuk ke dalam Kelenteng.

Selain kisah tersebut, kelenteng Tanjung Kait juga merupakan tempat bersemayamnya Embah Rahman dan Empe Dato serta terdapat juga altar Dewi Neng yang berada di sekitar Kelenteng. Tempat tersebut menjadi salah satu tempat ziarah

50 Nandita, Erisca. Klenteng Tanjung Kait: Tinjauan Arsitektural dan Ornamentasi. Skripsi (Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008) h. 51

32

bagi masyarakat muslim baik dari dalam maupun luar daerah. Mereka biasa datang untuk melakukan ziarah pada Ziarah pada malam jumat atau di bulan-bulan tertentu.51

Kelenteng Tanjung Kait yang merupakan tempat ibadah umat Tridharma memiliki kriteria yaitu mempunyai altar pemujaan kepada Trinabi (Sakyamuni Buddha, Kong Zi, Lao Zi), para Buddha / Bodhisatva (Posat) / Dewa Dewi / Sin Beng / Kongco – Makco / Makhluk Suci lainnya yang ada dalam Tridharma sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci, komentar, tradisi dan kebudayaan baik yang diwujudkan dalam bentuk patung, gambar, tulisan (kaligrafi) atau benda suci (antara lain Relic).

Altar pemujaan yang terdapat di Kelenteng Tanjung Kait antara lain:

1) Thian Thi Kong 2) Kongco Tjo Soe Kong 3) Pek How Pek Cuah 4) Kongco Obat 5) Kongco Hok Tek Ceng Sin 6) Empe Dato 7) Embah Rahman 8) Tee Cong Ong Posat 9) Ching Lung Sen (Dewa naga air/dewa rejeki) 10) Sha Kia Mo Ni Fut 11) Kwan Se Im Pho Sat 12) Tju Se Nio-Nio 13) Toa Pe Kong 14) Ma Co Poh 15) Kongco Kwan Kong

Pemujaan dilakukan dengan menggunakan beberapa peralatan atau perlengkapan minimal dupa, setangi, lilin, pelita, bunga, sesaji, (tambur), genta (bel). Pemujaan atau kebaktian bersifat terbuka untuk umum.

Kelenteng Tanjung Kait dikelola oleh lembaga yang bernafaskan Tridharma yang secara eksplisit tercantum dalam statusnya. Sebagaimana tempat ibadah umat Tridharma lainnya yang pengurusnya beragama Buddha, Konghucu, dan Tao yang dibuktikan oleh KTP dan juga perilaku keagamaannnya, para pengurus Kelenteng Tanjung Kait ini telah tercantum di dalam KTP sebagai penganut agama Buddha dan

51 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020

33

memiliki perilaku keagamaan agama Buddha. Kelenteng Tanjung Kait ini dijamin sepenuhnya oleh Pengurus Majelis Tridharma sehingga dengan demikian pengurus Majelis Tridharma bertanggung jawab penuh kepada pihak ketika atas legitimasi tempat ibadah tersebut.

Saat ini penduduk keturunan etnis Cina lebih banyak berada di Kampung Baru Desa Marga mulya, hal ini karena desa tersebut masih dalam cakupan pantai Tanjung Kait. Sebuah desa tetangga yang tidak terlalu jauh jaraknya dari desa Tanjung Anom.

Masyarakat Cina yang telah berbaur sejak lama di desa Tanjung Anom telah mengalami proses asimilasi dan akulturasi, sehingga menjadikan mereka berbeda dengan masyarakat Cina di negeri leluhurnya. Salah satu buktinya adalah terlalu sedikit warga keturunan cina di desa ini yang dapat berbahasa Cina karena telah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Betawi sebagai bahasa komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara fisiologis juga masyarakat Cina Tanjung Anom tampak berkulit hitam dan nyaris tidak tampak kecinaannya kecuali pada unsur religi dan budayanya yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang.

Bentuk akulturasi dari budaya Cina dengan budaya setempat juga terlihat pada kesenian Lenong yang sering di hadirkan dalam sebuah perayaan. Dengan di meriahkan oleh orkes penggiring gambang kromong yang dilengkapi dengan beberapa instrumen musik yang merupakan perpaduan antara alat-alat kesenian Cina dan alat kesenian lokal. Asimilasi dan akulturasi pada masyarakat Cina di Desa Tanjung Anom tidak hanya terjadi dalam lapangan keseniannya, melainkan juga terjadi pada tradisi perkawinan, sistem religi dan kepercayaan termasuk dalam penggunaan bahasa tadi.

2. Agama Masyarakat Cina Tanjung Kait

Struktur keagamaan orang Cina telah tersistematisasi ke dalam kultur orang Cina itu sendiri. Dengan kata lain, agama dan kebudayaan sudah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. antara tradisi, warisan serta agama sudah sedemikian menyatu dan menjadi sesuatu yang estabilished dalam hidup mereka. Orang Cina secara tradisi sudah memiliki keyakinan akan kepercayaan tertentu sejak lahir.

Orang Cina di sekitaran wilayah Tanjung Kait memiliki kepercayaan yang biasa di sebut dengan istilah Tridarma. Tridharma berasal dari kata Tri (Sam/San)

34

yang berarti tiga dan Dharma (Kauw/Jiao) yang berarti ajaran kebenaran. Sehingga secara harfiah Tridharma berarti Tiga Ajaran Kebenaran. Yang dimaksud dengan Tiga Ajaran Kebenaran di sini adalah ajaran Sakyamuni Buddha (Buddha), Khong Cu / Kong Zi (Konghucu) dan Lao Zi (Tao) 52 . Sisi positif yang bisa dilihat dari keberadaan Tridarma adalah menciptakan persatuan Orang Cina berbasiskan tradisi dan ajaran nenek moyang. Masyarakat Cina Tanjung Kait masih bertahan dalam tradisi kecinaannya, mereka senantiasa menjaga bentuk-bentuk tradisi leluhur, termasuk memuliakan para dewa serta roh para pendahulu mereka.

Tridharma yang merupakan gabungan dari tiga ajaran yaitu Buddha, Konghucu dan Tao mulai ada pada dinasti Ming (1546 M) yang diprakarsai oleh guru Lin Zhao En atau di kenal dengan sebutan San Yi Jiao He Yi. Beliau merupakan seorang pemimpin dan pendiri agama Tridharma (San Jiao) yang memiliki intelektual sangat tinggi. 53 Sedangkan di Indonesia, perkembangan Tridharma dan kemajuan batin Tridharma serta bangkitnya kembali agama Buddha sejak runtuhnya kerajaan Majapahit dirintis oleh Kwee Tek Hoay yang juga dikenal sebagai bapak Tridharma Indonesia. Kwee Tek Hoay lahir di Cicurug Jawa Barat pada 31 juli 1886, beliau mewariskan berbagai macam buku-buku terjemahan, saduran dan karangana yang bernafaskan keagamaan Tridharma (Buddha, Konfusius, Tao), kebatinan, filsafat, drama spiritual, dan lain-lainnya.54

Keimanan Tridharma menjadi the way of life bagi umat Tridharma yang dalam kesehariannya memiliki identitas administratif kependudukan yang saling berbeda di dalam KTP antar umat yang satu dengan yang lainnya (dapat beragama Buddha/Konghuucu/ Tao). 55 Pengurus kelenteng Tanjung Kait pun secara administratif dicatat sebagai seorang yang beragama Buddha. Keimanan Tridharma ini diyakini secara holistic (utuh integral).56

Dasar Keimanan Tridharma terdiri dari57:

1) Keimanan terhadap Thian / Tikong sebagai sumber kehidupan dan Alam semesta.

52 Perkumpulan Tridharma: Sam Kauw / San Jiao (Jakarta: Perkumpulan Tridharma) h. 28 53 Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, ( Jakarta: Perkumpulan Tridharma, 2016) h. 69 54 Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, ( Jakarta: Perkumpulan Tridharma, 2016) h. 78

55 Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, h. 75 56 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020 57 Marga Singgih, Tridharma Selayang Pandang, h. 84

35

2) Keimanan terhadap Sakyamuni Buddha, Khong Hu cu / Kong Zi, Lo Cu / Lao Zi sebagai penyebar Ajaran Kebenaran. 3) Keimanan terhadap para Bodhisatva Mahasatva (Posat Mohosat) / Dewa-Dewi / Sing Beng / Kongco – Makco. 4) Keimanan terhadap Kitab Suci Tripitaka, Su Si (Se Su) – Ngo Keng (Wu Jing) dan To Tek Keng (Dao De Jing). 5) Keimanan terhadap keberkahan – keselamatan (Po Pi Peng An) sebagai hasil dari pengamalan Ajaran Tridharma.

Konghucu merupakan agama yang populer di kalangan orang Cina. agama ini merujuk pada pengamalan ajaran-ajaran seorang tokoh agung Cina bernama Kong Fu Tse atau Konfusius (551-449 SM) atau disebut juga dengan Nabi Kongzi.

Agama Konghucu juga disebut Ru Jiao atau agama bagi umat yang lembut hati (yang terbimbing atau terpelajar) dan Tian Xi, bimbingan hidup karunia Tian yang diturunkan lewat Nabi dan para Suci Purba yang digenapkan dan di sempurnakan dengan ajaran Nabi Kongzi.58

Seorang umat Konghucu wajib beriman, percaya, satya, bertaqwa dan hormat/sujud terhadap Tian (Tuhan). Konghucu mendudukan posisi Tuhan sebagai nasib, alam dan proses alamiah.59 Ajaran iman agama Konghucu membimbing umat mengimani bahwa hidup manusia adalah oleh Firman Tian dan firman itu menjadi watak sejati yang merupakan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Selain terhadap Tian, umat Konghucu juga tetap menghornati beragam jenis roh selain roh manusia dan juga menghormati roh para leluhur.

Orang Tionghoa juga ada yang percaya akan ajaran Taoisme. Tradisi tentang Taoisme yang berkembang saat ini di Cina maupun di luar Cina bersumber dari seorang tokoh yang di kenal dengan nama Lao-tse yang dapat di terjemahkan sebagai “putra tua”, “sahabat tua”, atau “sang guru tua” atau sering diterjemahkan juga sebagai “guru”. Beliau lahir pada tahun 640 SM meskipun versi lain juga menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 604 SM di negeri Cheu atau secara harfiah berarti negara Segala Penjuru. 60Ajaran Tao ini secara tradisi sosial dimulai pada abad ke 6 SM dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu Tao-te Ching (jalan

58 Lim Khung Sen, Hidup Bahagia Dalam Jalan Suci Tian: Pendekatan Hati & Pikiran Agama Ru-Konghucu (Jakarta: Gerbang Kebajikan Ru, 2010) h. 256 59 Bambang, Permadi,. Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. h.42 60 M Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press) h. 73

36

dan kekuatan klasik). Ajaran ini sampai sekarang masih tetap menjadi acuan para pengikut Tao di seluruh dunia.

Selain Konfusianisme dan Taoisme, agama atau kepercayaan yang di anut oleh orang Cina Tanjung Kait lainnya adalah Buddha. Pendiri agama Buddha berasal dari keluarga Gautama, dan dengan nama keluarga inilah ia dikenal sepanjang masa kehidupannya. Nama kecilnya adalah Siddartha. Mereka yang ingin memohon berkat kepada sang Buddha setelah beliau mangkat memanggilnya Sakyamuni, orang suci dari Sakyas. Sakyas adalah suatu suku di kawasan pedesaan di utara sungai Gangga sekitar 500 SM.61 Agama Buddha muncul di Cina dalam ragam yang lebih kaya ketimbang di India. Agama Buddha di Cina memiliki dewa yang tidak dikenal oleh penganut yang ada di bagian selatan. ajaran agama Buddha juga menawarkan jalan keselamatan dan jalan kebajikan untuk semua orang.

Menurut wawancara dengan Anci, pengurus Kelenteng Tjo Soe Kong, menyatakan bahwa selain agama Konghucu dan Buddha, masyarakat Cina Tanjung Kait juga banyak yang memeluk agama Islam.62 Pilihan terhadap Islam biasanya disebabkan oleh keinginan untuk mempersunting wanita pribumi dan pihak wanita pribumi mempersyaratkan harus masuk Islam terlebih dahulu. Sangat sedikit orang Cina beralih ke Islam karena kesadaran berketuhanan atau hidayah.

Sebagian orang Cina meyakini bahwa Islam hanyalah tradisi masyarakat pribumi. Semua agama pada hakikatnya mengajarkan kebaikan. Berbeda agama bukan berarti halangan untuk bermasyarakat. Kedudukan Islam sama dengan ajaran Tao yang di ajarkan oleh leluhur. Islam telah menjadi tradisi orang Tangerang pribumi (non-Cina).63

Penerimaan budaya dan tradisi Islam oleh kalangan orang Cina tidak sebanding lurus dengan Islam sebagai agama dan doktrin. Kewajiban menjalankan rukun Islam bagi setiap pribadi muslim ini dirasa sangat memberatkan mereka. Larangan terhadap aktifitas judi, makan babi, dan minum arak juga dianggap terlalu berat karena kegiatan itu sudah mendarah daging menjadi tradisi turun temurun. Doktrin tentang dosa, siksa kubur, dan siksa neraka dirasa sangat menakutkan.

61 Allan Menzies, History of religion: A Sketch of Primitive Religious Beliefs and Practices, and of the Origin and Character of the Great System, Terj. Dion Yulianto ( Yogyakarta: FORUM, 2017) h. 404 62 Wawancara dengan Koh Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 12 Mei 2020 63 Bambang, Permadi,. Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. h. 128

37

Terlalu banyak hal yang harus dirubah jika seorang sesorang Cina mau masuk ke dalam Islam.

Orang Cina bisa menerima Islam sebagai budaya dan tradisi tapi sebagai agama yang mengajarkan doktrin mereka tidak mau mengikuti, sebagai ajaran agama mereka lebih memilih agama lain yang membolehkan tradisi leluhur mereka dan mereka berdalih bahwa semua agama sama-sama mengajarkan kebaikan.

3. Pendidikan Masyarakat Cina Tanjung Kait

Terkait dengan kondisi pendidikan pada masyarakat Cina Benteng di Tanjung Kait berbeda dengan kondisi pendidikan masyarakat Cina Benteng lainnya yang kesadaran akan pendidikan sudah tinggi. Masyarakat Cina benteng terhadap pendidikan pada masa kini sudah bergerak dan mementingkan pendidikan dibanding sektor lainnya. Sebagai contoh sudah banyak masyarakat Cina yang telah menjadi sarjana.

Kesadaran mengenai pendidikan pada masyarakat Cina memang dapat dikatakan sudah tinggi. Namun berbeda dengan masyarakat Cina di wilayah lainnya, di Tanjung Kait pendidikan akhir masyarakat Cina lebih banyak terhenti di Sekolah Menengah Atas (SMA), lainnya bahkan masih hanya sampai menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)64

Meskipun pemerintah sudah memberlakukan wajib belajar 9 tahun dan membebaskan uang sekolah, dan bahkan pemerintah desa memberi kemudahan kepada masyarakat, peningkatan sudah hampir merata yang meningkatkan pendidikan dalam jalur akademis dengan diwujudkan secara nyata, namun hal ini akan mengalami ketimpangan jika kemiskinan membuat banyak keluarga yang memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Meskipun demikian persepsi masyarakat di desa Tanjung Anom tetap berpandangan terhadap pendidikan sebagai salah satu cara meningkatkan status sosial di masyarakat.65 Dengan melakukan proses pendidikan formal di lembaga pendidikan diyakini akan mampu menciptakan masyarakat yang memiliki kualitas yang tinggi dan kompeten di bidangnya masing-masing yang nantinya akan dapat membawa

64 Wawancara dengan Koh Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 12 Mei 2020 65 Misbahuddin, Persepsi Masyarakat Pesisir Pantai Utara Jawa Terhadap Pentingnya Pendidikan Formal Sebagai Salah Satu Cara Meningkatkan Status Sosial di Masyarakat (Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20017) h. 133

38

perubahan kearah yang lebih baik dan menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan perekonomian warga desa Tanjung Anom

4. Pekerjaan Masyarakat Cina Tanjung Kait

Komunitas Cina Benteng di Tanjung Kait merupakan komunitas Cina Benteng keturunan Cina Hokkian yang datang ke Tangerang secara bergelombang pada abad ke-15 (ada juga yang menyebutkan abad ke-18). Pada gelombang awal yang datang para lelaki yang di Cina berprofesi sebagai petani, buruh, atau pedagang kecil. Mereka membuka lahan pertanian dan sebagian lagi bekerja sebagai buruh serabutan atau berdagang dekat teluk naga, kemudian pelabuhan sunda kelapa.66

Masyarakat Cina Tanjung kait awal mencari nafkah selain sebagai pedagang juga dengan bercocok tanam, baik secara pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh tani. Teknologi pembalikan tanah dengan menggunakan cang-kul yang di bawa oleh orang-orang dari Cina membuat hasil usaha dari bidang ini meningkat tajam. Hal ini di konfirmasi dengan adanya salah satu koleksi dari museum Benteng Heritage yaitu sebuah artefak cangkul yang terbuat dari kayu pada mata cangkulnya dilapisi logam. Alat dengan fungsi serupa untuk membalikkan lapisan tanah yang ditarik oleh binatang yaitu lu-ku juga diperkirakan adalah teknologi yang di bawa dari daratan Cina.67 Pekerjaan lain yang ditekuni masyarakat Cina Tanjung Kait kini justru lebih banyak sebagai pedagang seperti membuka toko barang bangunan, juga kebanyakan sebagai buruh di pabrik-pabrik, dan seperti pada umumnya masyarakat pesisir bermata pencaharian di sektor kelautan seperti nelayan.68

66 Iwan Santosa. Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta: Kompas, 2012) h. 23 67 Bambang, Permadi,. Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. h. 75 68 Wawancara dengan Jaro Acim Marsin di, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 12 Mei 2020

39

BAB III

PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG

A. Sejarah dan Perkembangan Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Perayaan Shejit (Sheng ri) berasal dari bahasa Hokkian yang berarti ulang tahun atau hari jadi. Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong diadakan sebagai balas budi dan sebagai tanda terimakasih atas kebaikan Tjo Soe Kong Sang Dewa tuan rumah di Kelenteng Tanjung Kait69.

Nama lain Tjo Soe Kong adalah Tan Chiauw Eng dan dilahirkan di Kabupaten Eng-Cun, desa Siauw Houw Hiang propinsi Hokkian. Beliau menjadi Shami atau calon pendeta di Bio Tay In I dan setelah bergelar Bhiku Buddhis beliau memperoleh nama sebutan Pouw Ciok. Meskipun sebagai seorang Buddhis, pemujaannya diawali oleh para penganut Taois70.

Beliau gemar beramal dan menolong rakyat miskin dan mendharmabaktikan diri dalam ilmu pengobatan sehingga beliau banyak mengobati mereka yang sedang menderita penyakit. Oleh karena sifat kedermawanan itu maka beliau disukai dan dihormati serta dikenal orang dimana-mana. Beliau wafat pada masa dinasti Song dalam kekuasaan kaisar Sin Cong tahun-kerajaan Goan Hong (1078 M) beliau wafat dalam keadaan sedang bertapa di lembah Ceng Sui Giam di gunung Hong Lay San pada usia lanjut.

Kaisar dinasti Song dan beberapa kaisar berikutnya menganugerahkan gelar Tjo Soe Kong seperti71:

 Qing Shui Yan Zu Shi :Jing Cui Co Su: Leluhur dari cadas air jernih  Xian Ying Zu Shi :Leluhur yang mengabulkan permohonan  San Dai zu Shi :Leluhur dari tiga keturunan  Lou bi zu Shi :Leluhur yang hidungnya lepas  He man zu shi :Leluhur yang berwajah hitam  Zu Shi : Tjo Soe Kong

69 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020 70 Perkumpulan Tridharma: Sam Kauw / San Jiao (Jakarta: Perkumpulan Tridharma) hal. 41 71 Erisca, Nandita. Klenteng Tanjung Kait: Tinjauan Arsitektural dan Ornamentasi. hal. 54

40

Hari ulang tahun beliau jatuh pada bulan Imlek Ciagwee celak (Bulan 3 tanggal 6 dalam kalender lunar), mencapai Tek too atau penerangan yang tertinggi dan sempurna dalam bulan imlek disebut sebagai Cap Yit Gwe Celak (Bulan 11 tanggal 6 kalender lunar) wafat setelah Tek-too dan di makamkan di belakang gunung Hong Lay San pada Go Gwe Celak (bulan 5 tanggal 6).72

ketiga penanggalan tersebut yang umum diketahui orang sebagai hari jadi (Shejit) dan selalu di peringati hingga kini seperti yang di lakukan Kelenteng Tanjung Kait dalam merayakan Shejit yang bertepatan dengan kejadian pada Cap Yit Gwe Celak (Bulan 11 tanggal 6 kalender lunar) yang juga sebagai hari peringatan persemayaman Tjo Soe Kong didesa Tanjung Anom dengan mengadakan upacara- upacara sembahyang besar sambil mengadakan keramaian-keramaian dan pembacaan kitab suci berturut-turut hingga 3 atau 7 hari lamanya73.

Salah satu kejadian yang membuat Tjo Soe Kong dipuja serta dihormati orang hingga kini adalah ketika ibu-suri dari seorang kaisar di zaman dinasti Song menderita kanker payudara hingga para tabib istana yang tergolong pandai dan istimewa sudah tidak sanggup lagi menyembuhkannya. Sehingga Tjo Soe Kong yang telah di kenal kalangan masyarakat di panggil oleh kaisar ke istana untuk mengobati ibunya. Tjo Soe Kong dengan mudah menyembuhkannya sehingga penyakit itu tidak pernah kumat lagi. Oleh sebab itu, ibu-suri yang telah sembuh segera mengeluarkan banyak uang dan hadiah-hadiah sebagai balas jasanya. Tetapi Tjo Soe Kong menolak pemberian hadiah tersebut sambil mengatakan daripada uang itu diberikan kepadanya yang tidak membutuhkan sama sekali lebih baik disumbangkan pada rakyat miskin yang sedang dilanda bencana alam atau disumbangkan untuk pembangunan bio yang di puja masyarakat yang dipergunakan sebagai tempat berlindung para Bhiksu atau tujuan sosial lainnya.

Selain itu, sebagai pembalasan budi atas kebaikan Tjo Soe Kong itu ibu-suri telah memerintahkan para ahli pahat untuk membuat patung Tjo Soe Kong dari kayu cendana yang kemudian di puja dan di pergunakan untuk meminta keselamatan untuk negara beserta rakyat di seluruh negeri. Sementara masyarakat yang mengetahui hal ini mereka pun meneladani ibu-suri sebagai tanda terimakasih kepada Tjo Soe Kong dengan membuat patung-patung Tjo Soe Kong dari berbagai macam bahan seperti

72 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020 73 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020

41

batu, kayu dan lain-lain serta membangun Klenteng-klenteng yang di puja oleh masyarakat setiap hari-jadi (Shejit) dan hari penerangan yang tertinggi (Tek-Too Tjo Soe Kong).

Pada tahun 1609 M salah satu cucu-murid Tjo Soe Kong yang bernama Biauw-in telah mendidik sekitar 70 murid untuk menyebarkan ajaran-ajaran Tjo Soe Kong ke seluruh penjuru negeri. Oleh karena itu, banyak dibangun Bio-bio Tjo Soe Kong banyak di bangun baik di negeri Tiongkok maupun di negara lainnya seperti Indonesia.74

Hubungan yang bersahabat antara Cina dan Nusantara menjadikan banyak orang Cina merantau ke Nusantara yang sebagian besar ingin melakukan perdagangan dan menjadi cikal bakal kelompok etnis Cina di Nusantara. Pada umumnya para pedagang Cina lebih banyak berasal dari suku Hokkian yang berasal dari provinsi Fukian (Hokkian) da nada juga yang berasal dari Guandong (Kanton).

Para pedagang-pedagang asal Cina tadi melakukan persinggahan dan berkumpul di Teluk Naga dan Tua Siah yang terletak di Tanjung Kait. Mereka tidak serta merta meninggalkan tempat tersebut secaralangsung, melainkan mereka harus menunggu angin musim yang baik untuk kembali ke Cina.

Mereka kemudian mulai menetap dan berbaur dengan masyarakat pribumi sehingga mulai beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Banyak dari mereka juga melakukan pernikahan dengan penduduk asli yang bukan berasal dari etnis Cina. Di antara mereka pun memilih menetap di wilayah Tanjung Kait sehingga membentuk sebuah komunitas etnis Cina di wilayah Tanjung Kait.

Tjo Soe Kong di bawa masuk dan di perkenalkan ke Indonesia oleh Lauw Su Cin dan Jiauw Yu Beng pada tahun 1723 dan membuat Klenteng dari bahan kayu dan bambu di desa Tanjung Kait75.

Pembangunan Kelenteng Tanjung Kait berkaitan dengan perluasan lahan tebu yang saat ini sudah tidak ada. Perluasan tersebut dilakukan oleh para orang Cina yang singgah di wilayah pesisir Tanjung Kait pada awal dasawarsa abad ke-18. Berdasakan latar belakang sejarah, tahun berdirinya Klenteng Tanjung Kait tidak diketahui dengan pasti namun di perkirakan Klenteng Tanjung Kait di bangun pada abad ke 18.

Sejak saat itu perayaan Shejit mulai diadakan tiap tahunnya di desa Tanjung Anom pada Cap Yit Gwe Celak (Bulan 11 tanggal 6 kalender lunar) sebagai hari

74 Catatan Kelenteng Tanjung Kait 75 Catatan Kelenteng Tanjung Kait

42

peringatan Tek-Too atau penerangan yang tertinggi dan sempurna Kongco Tjo Soe Kong sekaligus sebagai hari peringatan persemayaman Tjo Soe Kong didesa Tanjung Anom dan menjadi tuan rumah Kelenteng Tanjung Kait.

Kongco Tjo Soe Kong menjadi terkenal di kalangan masyarakat desa Tanjung Anom selain karena kemukjizatannya tetapi juga pada sebuah kejadian dimana masyarakat yang mengungsi di Kelenteng Tjo Soe Kong Tanjung Kait selamat pada kejadian meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Pada tahun 2019, perayaan Shejit di Kelenteng Tanjung Kait sudah masuk pada perayaan yang ke-460 dan perayaan tersebut akan tetap dilaksanakan tiap tahunnya76.

B. Tujuan dan Peran Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Meskipun masyarakat Cina beralkuturasi dan beradaptasi dengan penduduk, masyarakat Cina Benteng Desa Tanjung Kait masih tetap mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Cina benteng merupakan komunitas masyarakat yang masih kuat memegang teguh tradisi leluhurnya.77 Seperti yang terlihat dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong yang telah dirayakan sejak beberapa abad yang lalu.

Shejit yang sudah menjadi salah satu perayaan yang di selenggaraan di kelenteng Tanjung Kait sejak 3 abad yang lalu telah menarik perhatian masyarakat desa Tanjung Anom dan sekitarnya. perayaan ini menjadi bukti kerukunan antar etnis agama masyarakat desa Tanjung Anom karena adanya perayaan ini pola komunikasi berjalan dengan baik. Pada dasarnya interaksi antar umat beragama dapat terjadi karena adanya dialog antar umat beragama yang baik.

Bagi masyarat Cina Desa Tanjung Kait, perayaan shejit memiliki tujuan untuk memberi penghormatan terhadap Yang Mulia Tjo Soe Kong, serta untuk memohon popi peng an (keberkahan, keselamatan dan kelancaran). Selain tujuan tersebut, perayaan Shejit bagi masyarakat Cina Desa Tanjung Anom juga sebagai momentum untuk saling berkumpulnya warga desa dan masyarakat luar daerah baik dari kalangan masyarakat Cina maupun masyarakat non Cina untuk saling berkolaborasi.78

76 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020 77 Euis Thresnawaty, Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota Tangerang (Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret 2015) hal. 57 78 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020

43

Bagi komunitas Kelenteng Boen San Bio yang merupakan salah satu tamu undangan dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong mengungkapkan bahwa kerjasama antar komunitas Kelenteng juga menjadi salah satu faktor penting dalam mensukseskan acara Shejit karena dalam prosesinya banyak memerlukan dana maupun tenaga. Perayaan shejit ini juga dapat menjadi wadah bagi umat yang ingin berdana atau memberikan sumbangsih dalam kelancaran acara Shejit tersebut.79

Selain itu, perayaan Shejit bagi komunitas masyarakat Cina juga sebagai sarana memuliakan tamu. Memuliakan tamu mereka wujudkan dalam bentuk sambutan hangat, serta senantiasa menampakan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikan. Tamu yang datang harus dilayani dengan sebaik-baiknya seperti memberikan berbagai macam hidangan dan mempersilakan siapapun yang datang untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuan tanpa ada unsur paksaan. segala bentuk fasilitas pun disiapkan seperti lahan parkir yang mudah di akses demi kenyamanan bagi tamu atau masyarakat yang ingin datang memeriahkan acara perayaan Shejit.

Kelenteng Tanjung Kait memang merupakan salah satu simbol pemersatu warga desa Tanjung Anom. Masyarakat keturunan Cina dan suku lain hidup rukun selama berabad-abad di tengah pergolakan politik pasca-Recolusi 17 Agustus 1945 hingga jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998. Umat kelenteng dan warga sekitar berbaur akrab dalam acara Shejit yang sudah berlangsung berabad-abad. 80

Hubungan komunitas Cina Tanjung Kait dengan komunitas lain seperti Betawi, Banten, Sunda, berlangsung akrab dan cair. Semisal acara-acara seni budaya dan perayaan di kelenteng menjadi ajang guyup warga lintas suku. Umat kelenteng dan warga sekitar berbaur akrab dalam acara yang sudah berlangsung berabad-abad itu. Bagi masyarakat non Cina Desa Tanjung Kait, perayaan Shejit di Kelenteng Tanjung Anom sebagai sarana komunikasi dan silaturahmi. 81 Hal ini di buktikan dengan banyaknya waga desa Tanjung Anom yang berbondong-bondong untuk ikut serta meramaikan perayaan Shejit tersebut. Bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja pun ikut serta dan berbaur menjadi satu. Dengan adanya perayaan tradisi Shejit ini bisa menyatukan seluruh element masyarakat desa Tanjung Anom sehingga silaturahim dan komunikasi antar warga tetap terjaga.

79 Wawancara dengan Elis di Kelenteng Boen San Bio, Koang Jaya Kota Tangerang pada 29 Juni 2020 80 Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta: Kompas, 2012) hal. 43 81 Wawancara dengan Jaro Acim Marsin di, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 12 Mei 2020

44

Perayaan Shejit ini mendapatkan perhatian dari masyarakat dalam proses upacara pelaksanaan perayaan tersebut. masyarakat desa saling berkerjasama, gotong royong dan ikut serta ambil bagian dalam proses perayaan. Masyarakat masih menjunjung tinggi tali persaudaraan, terbukti bahwa proses upacara tradisi Shejit warga masyarakat saling membantu satu sama lain agar proses Shejit berjalan lancar.

C. Prosesi Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Di Kelenteng Tanjung Kait, perayaan Shejit di selenggarakan selama seminggu hingga pada puncak perayaan yaitu pada tanggal 6 bulan 12 atau pada Cap Yit Gwe Celak. Persiapan perayaan Shejit ini telah dilakukan sebulan sebelum perayaan dimulai, pengurus kelenteng mulai mengirimkan surat undangan kepada para tamu undangan untuk berkenan hadir dalam perayaan Shejit dan memberikan kesempatan kepada para dermawan untuk „berdana‟ atau pun ikut berkontribusi dalam mensukseskan acara yang akan datang 82 . Beberapa pengurus melakukan bersih-bersih di sekitar komplek kelenteng. Bersih-bersih juga dilakukan terhadap patung altar dewa-dewa dan mengganti beberapa perhiasan yang di letakan di meja sesembahan. Kelenteng pun di warnai kembali agar terlihat cerah, ruangan-ruangan dibersihkan, pernak-pernik kelenteng seperti lampion pun di ganti. berbagai fasilitas pun disiapkan demi kenyamanan tamu yang akan datang83.

Perayaan dimulai dengan persembahan jubah. Jubah yang telah di pesan kemudian di persembahkan kepada altar dewa-dewa yang ada di Kelenteng. Seluruh jubah altar-altar yang ada di kelenteng Tanjung Kait pun diganti. Tradisi penggantian jubah ini dilakukan setahun sekali yaitu hanya pada saat perayaan Shejit ini dilakukan.

Kelenteng Tjo Soe Kong merupakan bagian dari bangunan dari rumah ibadah Tridharma (Sam Kauw), yakni Buddhisme, Taoisme, dan Konghucu. Sehingga dalam perayaan Shejit ini banyak masyarakat Cina dari berbagai latar belakang kerap mencari berkah dengan melakukan sembahyang bersama. Seminggu hingga puncak perayaan masyarakat Cina di Kelenteng Tanjung Kait melakukan kebaktian bersama. Dalam tata pelaksana kebaktian Tridharma tersebut umat melakukan pembacaan Doa/Paritta/Gatha/Mantram/Liam Keng yang beraneka ragam. Kegiatan ini dilakukan bersama dengan pembacaan Paritta bersama komunitas Kelenteng lainnya dan

82 Wawancara dengan Elis di Kelenteng Boen San Bio, Koang Jaya Kota Tangerang pada 29 Juni 2020 83 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020

45

dimulai sejak sore hari hingga selesai. Paritta apabila di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perlindungan atau penjagaan. Pembacaan Paritta yaitu sebuah kegiatan membaca ayat-ayat atau kitab-kitab suci tertentu yang bertujuan untuk menangkal keburukan dan bahaya. Paritta meliputi84:

1. Paritta Vandana, Doa Pujian atau Pengormatan.

Pujian atau penghormatan tersebut bermakna mengucapkan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa atau mengakui Sang Hyang Adi Buddha sebagai Sebab Pertama Yang Tidak Disebabkan Lagi. Esa dalam dzat-Nya, Maha Suci dan Maha Sempurna. Pujian juga dilakukan kepada Samma-Sambuddha yang berarti mengakui Sidharta Gautama telah mencapai Penerangan dan Kebijaksanaan Sempurna, sebagai seorang Buddha di alam manusia yang menurunkan ajaran Dharma kepada Dewa serta manusia, dan juga mengakuinya sebagai titisan Tuhan Yang Maha Esa di alam manusia. Selain itu pujian juga dilakukan terhadap Bodhisatva Mahasattva yang berarti mengakui Makhluk Suci Nan Agung sebagai penolong umat manusia yang menderita untuk dibebaskan. Bodisattva Mahasatva kini disebut sebagai Calon Buddha.

2. Paritta Tisarana, Doa Tiga Pelindungan

Makna Paritta Tisarana yaitu berlindung kepada Buddha, berarti berjanji akan mengikuti jejak kasih saying-Nya, kebajikan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan mengakui Buddha Gautama sebagai penunjuk jalan yang akan diikuti demi kebahagiaan semua makhluk hidup. Kemudian berlindung kepada Dhamma, yaitu menjadikan Dhamma sebagai pedoman hidup. Berjanji dengan segenap daya upaya untuk hidup menurut petunjuk-petunjuk Dhamma dan juga mengakui Dhamma sebagai ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya yaitu berlindung kepada Sangha, berarti mengakui Sangha sebagai suatu wadah untuk melaksanakan jalan pintas mencapai Nibbana, dan juga mengakui Sangha sebagai wakil Buddha Gautama yang Nampak.

3. Paritta Panca-Sila, Doa Lima Pantangan

Makna Paritta Panca-Sila yaitu berjanji dengan segala daya upaya untuk hidup bersusila dengan menghindari, mencegah timbulnya niat untuk membunuh atau menganiaya makhluk hidup, mencuri, melakukan perbuatan zinah, berdusta, fitnah, serta menghindari dari hal-hal yang memabukkan

84 Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma (Jakarta: 1980) hal. 287

46

Selain pembacaan Parrita, masyarakat Cina di Kelenteng Tanjung kait pun juga melakukan puja bakti Liam Keng ( dialek Hokkian), Nien Cing (Mandarin dengan Pin Yin) dalam perayaan Shejit dan dilakukan pada malam hari. Liam keng atau Kao Ong Kuan Shi Im Keng (Gaowang Guanshiyin Jing) adalah salah satu kitab suci agama Buddha aliran Mahayana. Sutra ini tidak termasuk di dalam kanon resmi Mahayana tetapi sangat terkenal dan sudah terbukti kemujaraban serta keampuhannya di negara Cina dan negara-negara berpenduduk Cina. Secara harfiah kata “Gao” bisa berarti “Agung” atau “Maha” dan “Wang” bisa di terjemahkan “Raja”. Raja Agung disini merujuk kepada Guan Yin Pu Sa atau secara umum disebut Guan Yin (Koan Im) dalam bahasa Sanskerta disebut Avalokitesvara Boddhistva.

Avalokitesvara Boddhistva di kenal secara luas sebagai Dewi Welas Asih atau dewi kasih sayang yang di puja tidak hanya terbatas dikalangan Buddhis saja, tetapi juga dikalangan Tao dan semua lapisan masyarakat awam. Di negara Cina tidak sedikit tempat pemujaan agama Tao juga menyediakan altar pemujaan untuk dewi Kuan Im. Ini artinya bahwa umat Tao juga memuja dewi ini. Guan Yin adalah Boddhisatva yang melambangkan hati yang welas asih dan penyayang, yang tertanam dalam-dalam dihati tiap pemujanya. Mereka percaya bahwa Guan Yin dapat mendengarkan keluh-kesah mereka yang menderita dan datang menolong orang yang dalam kesusahan, dalam wujud yang berbeda-beda, baik pria maupun wanita. Semua dapat memohon sesuatu kepadanya. Permohonan kepadanya dapat dilakukan dengan pemujaan di depan altar.85

Di Indonesia kitab Liam keng disebut juga Sutra Raja Agung Avalokitesvara. Raja Agung Avalokitesvara adalah Sutra yang tidak berasal langsung dari ajaran Buddha Sakyamuni. melainkan diturunkan melalui mimpi.86 Sutra ini sudah mulai populer sejak masa Dinasti Wei, Jin , Utara dan Selatan, telah lama ada dalam sejarah, juga telah tersebar sampai Jepang dan Korea, bahkan di Shikoku Hachijuhakkasho ( 88 Vihara Suci ) di Jepang juga terdapat Sutra Raja Agung versi Bahasa Jepang.87

Sutra Raja Agung Avalokitesvara tersiar luas pada masa Dinasti Tang. Pada masa Dinasti Raja Xixia, seluruh rakyatnya menekuni Sutra ini. Saat Sutra Raja Agung tersebar luas di Dinasti Tang, rakyat Dinasti Tang juga melafalkan Sutra Raja

85 M Ikhsan Tanggok, Agama Buddha. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta) h. 138 86 https://id.wikipedia.org/wiki/Sutra_Raja_Agung_Avalokitesvara, di akses pada tanggal 30 Juli 2020 87 http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=38&csid=1&id=3467 di akses pada tanggal 30 Juli 2020

47

Agung. Dinasti Tang merupakan Dinasti Tiongkok yang paling berkembang dan paling gemilang, semua dikarenakan adanya Raja Agung Avalokitesvara.88

Isi Sutra Raja Agung adalah Nama Agung Buddha dan Bodhisattva, seperti di dalamnya terdapat : “Qing-liang Bao-shan Yi-wan Pu-sa” (Kotian Bodhisattva di Gunung Manikam Nan Sejuk) menunjuk pada Kotian Bodhisattva di Gunung Wu-tai, ada juga “Liu-fang Liu-fo (Enam Buddha di Enam Penjuru), “Bai-yi Jin-gang-zang Fo” ( 10 Juta Buddha Vajragarbha ) dan “Duo-bao Fo” (Prabhutaratna Buddha ) ; Dalam Sutra Raja Agung versi lengkap, masih ada pengundangan pada Asta Mahabodhisattva ( 8 Bodhisattva Agung ): Avalokitesvara, Manjusri, Samantabhadra, Ksitigarbha, Maitreya, Akasagarbha, Vajrapani, Sarvanivaranaviskambhin ; Masih ada lagi, Mantra 7 Buddha Penghancur Rintangan Karma, “Menjapa Sutra ini genap 1000 kali, maka karma buruk berat akan sirna, memadamkan duhkha kelahiran dan kematian, menyingkirkan segala racun dan yang mencelakakan.”89

Ketika puncak acara yaitu bertepatan saat Cap Yit Gwe Celak tanggal 6 bulan 12 pada waktu tengah malam, masyarakat Cina dan seluruh pengurus Kelenteng Tanjung Kait merayakan Shejit Kongco Tjo Soe Kong dengan melakukan sembahyang bersama dan memberi berbagai penghormatan serta sajian. Acara di isi dengan sambutan-sambutan ketua pengurus serta beberapa tamu undangan dan acara berlangsung dengan khidmat90.

Lenong dan gambang seni Betawi kerap tampil bersama dengan pertunjukan barongsai hingga wayang Cina di Kelenteng Tanjung Kait. Pertunjukan lintas budaya itu menarik perhatian ribuan penonton warga Betawi, Cina, dan suku lain untuk berkumpul di Kelenteng Tanjung Tanjung Kait. Sepanjang siang hingga malam hari, berbagai pertunjukan seni Betawi dan Tionghoa tampil silih berganti pada beberapa panggung hiburan. Atraksi barongsai dan liong diadakan di belakang bangunan Kelenteng Tanjung Kait. Pertunjukan lenong, gambang kromong, keroncong, dan wayang potehi digelar di halaman depan kelenteng. Warga dengan antusias menonton pertunjukan, sesekali ada penonton yang “menyawer” penyanyi setelah lagu pesanan muncul. Bahkan pada tahun-tahun tertentu seperti pada tahun 2012 perayaan Shejit di meriahkan dengan adanya kirab ritual mengelilingi desa.

88 http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=38&csid=1&id=3467 di akses pada tanggal 30 Juli 2020

89 http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=38&csid=1&id=3467 di akses pada tanggal 30 Juli 2020 90 Wawancara dengan Anci di Kelenteng Tjo Soe Kong, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 2 Juni 2020

48

BAB IV

HUBUNGAN SOSIAL DALAM PERAYAAN SHEJIT KONGCO TJO SOE KONG DI DESA TANJUNG ANOM

A. Perayaan Shejit Pada Masyarakat Multikultural Desa Tanjung Anom

Bangsa Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Kedatangan orang-orang Cina ke Indonesia turut mempengaruhi sejarah kebudayaan Indonesia. Daerah-daerah yang relatif terbuka, khususnya daerah pesisir seperti di Desa Tanjung Anom91, paling cepat mengalami perubahan. Ini karena daerah tersebut memiliki hubungan antar kelompok masyarakat yang intensif dan sering pula melakukan pembauran. Keterbukaan terhadap kebudayaan luar itu menjadi faktor penyebab terjadinya multikulturalisme di desa Tanjung Anom.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individu maupun secara kelompok dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askripsi yaitu suku bangsa (dan ras), gender dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Jadi tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi demikian pula sebaliknya92.

Antara Masyarakat Cina Benteng dengan masyarakat lokal desa di Tanjung Anom telah melalui proses amalgamasi, yaitu proses sosial yang melebur dua kelompok budaya menjadi satu yang akhirnya melahirkan sesuatu yang baru. Dengan demikian, amalgamasi akan melenyapkan pertentangan-pertentangan yang ada dalam kelompok,93 Hal ini menjelma dalam bentuk produk budaya peranakan Cina yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia, budaya ini merambah masuk ke dalam segala hal seperti ritual pernikahan, kuliner, tari-tarian, musik dan lain-lain.

91 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 92 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 27 93Ridwan, Lubis. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial. h. 63

49

Terlebih terjadi juga kawin campuran antara masyarakat Cina dengan non Cina yang membuat proses amalgamasi ini berhasil. Proses amalgamasi ini membuat kemungkinan yang lebih terbuka bagi proses asimilasi dan akulturasi yaitu usaha- usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan- kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. salah satu faktor terjadinya suatu asimilasi adalah toleransi.94 Hal itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang, sehingga dapat mempengaruhi pergelaran yang ada dalam perayaan Shejit95.

Adanya proses asimilasi dan akulturasi membentuk masyarakat Cina Benteng di desa Tanjung Anom yang sama sekali berbeda dengan masyarakat Cina di negeri leluhurnya dan membentuk produk budaya peranakan masyarakat Cina yang tidak lepas dari segi kehidupan masyarakat Indonesia. Budaya ini merambah masuk ke dalam lapangan kesenian seperti musik dan tari-tarian yang menjadi pergelaran dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong.

Dalam perayaan Shejit salah satu pergelaran yang di tampilkan adalah musik gambang kromong.96 Musik gambang kromong menjadi salah satu bentuk akulturasi dari budaya cina dan budaya Betawi. Gambang kromong dilengkapi dengan beberapa instrument musik yang merupakan perpaduan antara alat-alat kesenian Cina dan alat- alat-alat kesenian lokal. Unsur alat-alat music Cina terlihat pada musik gesek Cina, yakni kongahyan, tebyan, dan skong. Unsur alat-alat musik setempat dapat terlihat pada kecrek, gendang, dan gong. Gambang Kromong tercipta ketika orang- orang Cina peranakan di waktu senggangnya memainkan lagu-lagu Cina dengan instrument gesek asal negeri leluhur mereka berupa su-kong, the-hian, dan kong-a- hian yang dipadu dengan bangsing (), kecrek, ningning, dan gambang yang asli Betawi. Pada tahun 1880-an ditambah lagi dengan kromong, , kempul, dan gong. Dari sinilah istilah Gambang Kromong berasal97

Musik gambarng kromong di padukan dalam pergelaran kesenian lenong. Panggung lenong juga memadukan seni campuran Betawi-Cina melalui keberadaan gambang kromong. Para pelaku seni suku Cina dan Betawi pun tampil bersama. Kelompok lenong membawakan lakon Klasik “Tuan Tanah Kedaung” yaitu sebuah

94 Soejono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, h. 73 95 Arif, Muhammad. Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis dan Sosiologis, h. 60 96 Wawancara dengan Bapak Kasum Triharja, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 97 Arif, Muhammad. Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis dan Sosiologis. h. 62

50

kisah tentang tuan tanah di kedaung, Tangerang. Para tuan tanah mewarnai sejarah Jakarta serta Tangerang dan sekitarnya di zaman kolonialis Belanda.98

Selain gambang kromong, wayang potehi juga menjadi sarana lintas budaya. Bahkan, dalang potehi yang tampil di Kelenteng Tjoe Soe Kong adalah seorang warga keturunan Jawa. Saat ini hanya tersisa seni wayang potehi di Semarang, Jawa Tengah, dan Surabaya, Jawa Timur. Lakon yang biasa di bawakan adalah “Sie Djin Kui Tjeng See (Sie Djin Kui Berperang ke Barat)” dengan gerak-gerik piawai dan berbicara dalam aksen melayu pasar awal 1900an ditingkahi ungkapan dalam dialek Hokkian (Fujian).99

Dari berbagai pergelaran yang ada dalam perayaan Shejit ini menjadi membuat perayaan Shejit ini sebuah pesta rakyat yang merupakan simbol yang memberikan kesadaran akan jauhnya problematika dengan dasar keagamaan dan menjadi sebuah ekspresi nyata hubungan sosial serta hubungan antar umat beragama yang baik. Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong juga dapat memiliki peran dalam penanaman terhadap pentingnya menjaga kultur budaya keagamaan yang ada.

B. Hubungan Sosial Pada Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Hubungan sosial merupakan proses dari keserasian sosial, yaitu sebuah keadaan kehidupan bersama manusia yang bersifat mutualis dan berkelanjutan kemudian mencerminkan adanya sikap dan perilaku harmonis yang meliputi; rukun, tepo saliro, akrab, saling menghormati, kesatuan, dan keseimbangan, tanggung jawab, saling kebergantungan fungsional, tidak terjadi dominasi eksploitasi, pertukaran yang saling menguntungkan, saling pengertian, dan adanya kesamaan pandangan.100

Hubungan sosial ini dilandasi oleh saling percaya dan kesepakatan bersama untuk hidup berdampingan secara damai, menjamin terhindarnya masalah baru antara korban bencana sosial dan komunitas, terselesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan memantapkan sistem kerukunan dan perdamaian sosial yang abadi di lingkungan masyaakat.101

Pengertian hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam mana dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku

98 Iwan Santosa. Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta: Kompas, 2012) h. 45 99 Iwan Santosa. Peranakan Tionghoa di Nusantara (Jakarta: Kompas, 2012) h. 45 100Bambang Rustanto. Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 73 101Bambang Rustanto. Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 73

51

tersebut terjadi berdasarkan tingkah-laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan kemungkinan bahwa para pribadi yang terlibat dalamnya akan berprilaku dengan cara yang mengandung arti serta ditetapkan terlebih dahulu. Adanya kemungkinan tersebut sebenarnya tidak penting sepanjang mengenai sebab-sebabnya; yang penting adalah eksistensinya.102

Dengan demikian, maka kriterium menuntut adanya orientasi mutual minimal perilaku masing-masing pihak terhadap pihak yang dihubunginya. Isinya mungkin mencakup konflik, sikap permusuhan, daya tarik seksual, persahabatan, kepercayaan, dan lain sebagainya. Di lain pihak, isinya adalah mungkin menyangkut pemenuhan suatu kebutuhan, pengelakan terhadap kewajiban, ketegasan agar mentaati perjanjian, dan sebagainya.103

Antara masyarakat Cina dan Non Cina dalam perayaan Shejit ini telah membentuk sebuah proses sosial asosiatif, yaitu hubungan sosial yang bersifat positif. Proses ini berbentuk:

1. Kerjasama (Coorperation)

Salah satu bentuk dalam hubungan sosial yaitu adanya proses sosial kerja sama (Coorperation). Kerja sama di sini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama ini timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (in-group) dan kelompok lainnya (out-group)104. Di dalam bentuk kerja sama terdapat suatu aktivitas yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktivitas masing-masing.105

Kerjasama yang dibangun pada perayaan shejit dilakukan dengan sangat baik, seperti dalam hal kegiatan-kegiatan sebelum hingga selesai perayaan shejit tersebut berlangsung. Salah satu contoh kerjasama yang mereka bangun seperti dengan memberikan beberapa bantuan baik berupa tenaga maupun biaya. Ketika perayaan shejit ini berlangsung, lahan parkir di sekitar kelenteng pun telah dipenuhi oleh pengunjung yang datang, warga sekitar kelenteng pun dengan sukarela mempersilakan lahannya digunakan sebagai lahan parkir pengunjung yang datang

102 Soerjono, Soekanto. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011) Cet. 3 h. 45 103 Soerjono, Soekanto. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, h. 45 104 Soejono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, h. 66 105 Abdul Syani. Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan, h. 156

52

dalam perayaan shejit ini. Hal tersebut mereka lakukan agar perayaan ini tidak memiliki hambatan karena memang perayaan ini sebagai sebuah pesta tahunan yang ada di desanya.106

2. Asimilasi

Bentuk lain dalam hubungan sosial adalah proses sosial Asimilasi, yaitu terjadinya peleburan kebudayaan sehingga pihak-pihak yang semula berjarak antara satu sama lain kemudian bersatu dan merasakan adanya kebudayaan tunggal sebagai milik bersama. 107 Proses asimilasi ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kebudayaan kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada suatu waktu dan tempat yang sama di desa Tanjung Anom seperti kelompok masyarakat Cina yang hidup bersama dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok masyarakat Betawi dan lainnya, kelompok masyarakat yang berbeda tersebut nyatanya selalu bergaul secara intensif dalam waktu yang lama sehingga masing-masing kelompok masyarakat tersebut melakukan penyesuaian kebudayaan.

3. Amalgamasi

Masyarakat Cina Benteng di Tanjung Kait memiliki perpaduan yang unik, mulai dari keteguhan mereka dalam memegang adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun, serta kelenturan mereka sehingga memungkinkan mereka untuk melakukan proses kerjasama, asimilasi dan amalgamasi dengan masyarakat dan sekaligus kebudayaan setempat. Berbeda dengan asimilasi yang menyatukan kelompok masyarakat yang semula berjarak menjadi bersatu dan merasakan adanya kebudayaan tunggal sebagai milik bersama, proses amalgamasi ini merupakan suatu proses sosial yang melebur dua kelompok budaya menjadi satu yang akhirnya melahirkan sesuatu yang baru. Sehingga amalgamasi dapat melenyapkan pertentangan-pertentangan yang ada dalam kelompok-kelompok masyarakat. 108 Proses amalgamasi ini dilakukan dengan melakukan perkawinan campur antara masyarakat Cina dengan masyarakat lokal desa setempat.

Hubungan sosial dapat menciptakan kehidupan yang damai, harmonis, rukun dan damai di tengah masyarakat yang memiliki perbedaan suku, budaya atau pun agama. Hubungan sosial akan terjadi jika faktor pendorong terjadinya proses interaksi

106 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 107Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial, h. 62 108 Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial, h. 63

53

berlangsung, salah satunya adalah simpati. Proses simpati sebenarnya merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memiliki peran yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. 109 Berikut adalah faktor-faktor pendorong sehingga terbentuknya hubungan sosial antara masyarakat Cina dengan Non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong:

1. Faktor Kekerabatan

Untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan yang dikehendakinya, manusia akan memerlukan bantuan dari orang lain di sekitarnya. Inilah dasar dan alasan antara individu yang satu dan yang lain melakukan interaksi sosial.110 Sehingga manusia tidak akan bisa hidup seorang diri tanpa adanya hubungan dengan orang lain dan manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dengan sesamanya.

Kekerabatan bisa terjalin jika proses interaksi di aplikasikan. Salah satu proses interaksi ini adalah kerjasama, kerjasama dapat terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari orang atau kelompok lainnya; demikian pula sebaliknya. Kedua belah pihak yang mengadakan hubungan sosial masing-masing menganggap kerja sama merupakan suatu aktivitas yang lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada bekerja sendiri.111 Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia. Kebiasaan- kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.

Hubungan sosial yang sangat erat dan akrab biasanya terjadi karena adanya hubungan darah atau bisa disebut keluarga. Keluarga merupakan lembaga sosial yang sangat fundamental dan utama. Keluarga menjadi pusat kehidupan sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok. Sebagai lembaga sosial, keluarga adalah unit dasar terbentuknya suatu kekerabatan, hubungan darah atau keturunan, hubungan perkawinan, dan adopsi yang di dalamnya ada seperangkat nilai, norma, kesepakatan yang menggambarkan struktur kekerabatan dan hubungan- hubungan.112

109 Soejono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. h. 57 110 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, h.7 111 Abdul Syani. Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan h.156 112 Yusron Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008) h. 74

54

Di Desa Tanjung Anom, masyarakat Cina sudah sedemikian dekat dengan kehidupan masyarakat lokal desa. Mereka sudah berhasil meleburkan dirinya dan menjadi bagian dalam masyarakat desa sehingga perkawinan campur pun terjadi antara masyarakat Cina dengan masyarakat non Cina.113 Perkawinan campur lebih banyak dilakukan oleh laki-laki keturunan Cina dengan perempuan pribumi. Perempuan-perempuan Cina Benteng jarang yang mau melakukan kawin campur dengan laki-laki pribumi karena hal itu akan mengakibatkan terputusnya garis keturunan mereka. Meskipun demikian, beberapa kalangan keluarga masyarakat Cina juga sudah berfikiran lebih moderat. Menurut mereka kebahagiaan adalah kehidupan yang akan dijalani bersama pasangan hidup yang mempunyai visi yang sama dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Garis keturunan, marga keluarga bukan lagi menjadi faktor penentu bagi berlangsungnya sebuah perkawinan114.

Dari perkawinan campur tersebut menjadikan adanya pertalian keluarga antara masyarakat Cina dengan non Cina, di mana hal itu menyebabkan adanya hubungan kekerabatan yang dekat antara masyarakat keturunan Cina dan non Cina Sehingga banyak dari masyarakat Cina dan masyarakat non Cina yang memiliki hubungan kekerabatan serta hidup rukun bersama.115 Alhasil, pertalian keluarga tadi menjadi faktor pendorong terbentuknya kerjasama dalam hubungan sosial pada acara Shejit Kongco Tjo Soe Kong di Kelenteng Tanjung kait.

2. Faktor Agama

Agama berasal dari kata sanskerta, a yang artinya tidak dan gam yang memiliki arti pergi, jadi agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun- temurun. Beragama adalah kecenderungan yang tidak dapat dielakkan manusia. Sekalipun nalar mengalami keterbatasan dalam memahami doktrin-doktrin agama, tetapi manusia “dipaksa” oleh nalarnya untuk mengakui agama.116

Agama adalah tuntunan “hubungan” antara manusia dan Tuhan Maha Pencipta (creator, khalik) serta antara manusia dan sesama ciptaan (same creature), yaitu antara manusia dan alam serta manusia dan sesama manusia. Perlunya tuntunan karena manusia pada hakikatnya tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan dan tidak dikerjakan agar tidak tersesat dalam proses pencarian kebenaran. Pola hubungan

113 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 114Bambang, Permadi . Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. h. 86 115 Wawancara dengan Bapak Kasum Triharja, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 116Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017) h. 1

55

dengan Tuhan didasari memahami secara mendalam tentang Dia dan kemudian berkembang kepada terbentuknya perilaku baik dalam hubungan manusia dengan alam dan Tuhan yang terwujud dalam berbagai bentuk fenomena alam.

Eksistensi agama terbagi kepada empat komponen yaitu doktrin, ritual, etika, dan lembaga. Doktrin adalah ajaran pokok yang menjadi kunci-kunci dalam memahami ajaran agama tersebut. Ritual adalah sejumlah upacara atau ibadat untuk mendekatkan diri kepada hakikat dari doktrin itu. Etika adalah cara aturan agar setiap umat yang beragama selalu konsisten berada di jalur kebaikan. Oleh karena itu, keberadaan etika disusul oleh sejumlah sanksi hukum bagi para pelanggarnya. Terakhir, lembaga merupakan akibat dari keberagamaan itu sekalipun pada hakikatnya ibadat merupakan urusan pribadi dengan Tuhannya, tetapi manusia yang beragama membentuk kesadaran komunitas dalam bentuk berbagai pranata sosial. demikianlah agama kemudian menjadi subsistem sosial yang menjadi pengendali praksis kemanusiaan.117

Emile Durkheim memandang agama sebagai satu sistem yang terintegrasi antara kepercayaan dan praktik suci. Keduanya mempersatukan individu yang memiliki keyakinan yang sama (seiman) ke dalam satu komunitas yang sering dikenal dengan umat beragama. Lebih lanjut Durkheim menjelaskan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut secara umum mengklasifikasikan alam dan seisinya menjadi dua kategori yaitu profan (kotor-tidak suci) dan sacred (kramat, suci, kudus). Agama bertujuan menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan yang ia yakini, dan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan lingkungannya.118

Secara fungsional eksistensi dari lembaga agama, Yayasan Kelenteng Tjo Soe Kong, berperan secara fundamental dalam menggerakan kehidupan manusia secara personal dan kolektif. Agama dipandang oloeh Durkheim sebagai basis moral dari masyarakat, di mana anggota-anggota masyarakat secara bersama berpegang dan berpedoman kepada keyakinan, nilai-nilai dan norma-norma suci. Agama menjalankan fungsinya melalui sistem-sistem simbol, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur berbagai hal. Di samping fungsinya secara umum yang dapat mempersatukan dan mengumpulkan orang-orang dalam satu komunitas seiman, juga dapat menimbulkan konflik karena faktor fanatisme yang

117Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian. h. 121 118Yusron, Razak. Sosiologi Sebuah Pengantar. h. 75

56

berlebihan, atau faktor kepentingan lain yang dikaitkan secara paksa dengan agama, seperti masalah ekonomi dan politik.119

Hubungan sosial yang terjadi antara masyarakat Cina dan non Cina terjadi karena adanya dorongan oleh ajaran agama yang di anut oleh masyarakat Desa Tanjung Anom.120 Ajaran agama sudah menegaskan bahwa kesuksesan dari wujud keberagamaan tidak hanya bersifat ritual, melainkan juga dalam bentuk kepedulian sosial. masyarakat desa Tanjung Anom merupakan masyarakat yang beragama dengan agama Islam sebagai agama yang paling banyak di anut di antara masyarakat desa Tanjung Anom. Islam menegaskan persamaan derajat antara satu golongan dan golongan lainnya, semua memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Selain dari itu, Islam juga mendorong umat manusia untuk hidup rukun saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan mulia dan mengajak mereka untuk saling bahu membahu menumpas kezaliman di muka bumi ini, dengan harapan harapan dapat terwujudnya kehidupan yang damai dan sejahtera. Ayat-ayat Al- Qur‟an telah mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik dan menekankan adanya keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan sesama manusia. Apabila ajaran-ajaran tersebut dapat dilaksanakan menurut semestinya akan membawa konsekuensi terwujudnya kehidupan yang damai bukan hanya antar manusia, tetapi dengan semua makhluk yang terdapat di alam semesta.121

Selain Islam, agama Kristen juga banyak di anut oleh masyarakat desa Tanjung Anom. Dengan merujuk kepada kitab sucinya setiap agama memiliki visi dan misi perdamaian. Termasuk pesan damai dari ajaran Kristiani. Dalam agama Kristen, Yesus yang dipercaya oleh umat Kristen sebagai tokoh sentral yang menjadi juru selamat, senantiasa mengajarkan umatnya untuk cinta dengan kedamaian . bahkan Yesus adalah seorang yang anti terhadap kekerasan. Dalam Bibel dapat juga dilihat bahwa tidak ada satu pun ayat yang mengindikasikan bahwa Yesus pernah mengajak orang untuk membuat kerusakan, kekerasan, apalagi peperangan. Dalam Bibel tidak sedikit ayat yang mengajarkan cita-cita untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi ini.122

119Yusron, Razak. Sosiologi Sebuah Pengantar. h. 75 120 Wawancara dengan Bapak Abdul Hamid, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 121Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian. h. 126 122 Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian. h. 129-130

57

Kemudian masyarakat desa Tanjung Anom juga ada yang memeluk agama Buddha dan Konghucu. 123 Dalam ajaran agama Buddha dapat ditemukan Dasa Paramita yang merupakan perwujudan sifat-sifat luhur yaitu Dana Pramita (kesempurnaan dana), Sila Paramita (kesempurnaan melatih diri), kshanti Paramita (kesempurnaan melatih kesabaran dan rendah hati), Dhyana Paramita (kesempurnaan melatih ketenangan pikiran, Virya Paramita (kesempurnaan melatih keuletan), Prajna Paramita (kesempurnaan melatih kebijaksanaan) Upaya Paramita (kesempurnaan dalam melatih kemahiran pada pemilihan atau penyesuaian dalam arti pengganti, Pranidhana Paramita (kesempurnaan melatih keteguhan cita-cita), Bala Paramita (kesempurnaan melatih kekuatan tenaga) dan Jhana Paramita (kesempurnaan dalam pengetahuan).124

Sedangkan ajaran Konghucu memuat Wu Chang (lima sifat mulia) yaitu Ren/Jin (Cinta kasih, rasa kebenaran, kebajikan) I/Gi (rasa solidaritas, senasib sepenanggungan dan rasa membela kebenaran), Li atau Lee (yaitu sopan santun, tata krama dan budi pekerti), Ce atau Ti (bijaksana atau kebijaksanaan, pengertian dan kearifan), Sin (kepercayaan, rasa untuk dapat memegang janji dan menepati janji

3. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan atau budaya merupakan bagian dari lingkungan hidup yang di ciptakan oleh manusia. Budaya menurut E. B. Taylor adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.125 Kebudayaan juga merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat di mana terjadi interaksi antarindividu/kelompok dengan individu/kelompok lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama baik secara langsung ataupun tidak langsung126.

Antara manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, karena menjadi manusia tidak lain adalah merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan. Kecuali tindakan yang sifatnya naluriah saja (animal instinct) yang bukan merupakan

123 Wawancara dengan Bapak Kasum Triharja, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 124 Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian. h. 131 125 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 25 126 Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultur Indonesia, h. 26

58

kebudayaan. Tindakan yang berupa kebudayaan tersebut dibiasakan dengan cara belajar, seperti melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan akulturasi. Oleh karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis dan kaku, tetapi senantiasa berubah sesuai perubahan sosial yang ada. Van Peuren (1988) menyatakan bahwa budaya semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sebab suatu budaya dalam masyarakat terus menerus berubah, bahkan meskipun itu adalah sebuah tradisi.127

Masyarakat Cina Tanjung Kait telah lama menetap kemudian beradabtasi dengan budaya sekitar sehingga terjadilah proses sosial asimilasi. 128 Asimilasi merupakan peleburan kebudayaan sehingga pihak-pihak yang semula terpisah antara satu sama lain kemudian bersatu dan merasakan adanya kebudayaan tunggal sebagai milik bersama. Proses asimilasi ini terjadi karena terdapat tiga hal: pertama, ada perbedaan kebudayaan kelompok-kelompok manusia yang hidup pada suatu waktu dan tempat yang sama, kedua, adanya warga kelompok yang berbeda-beda itu nyatanya selalu bergaul secara intensif dalam waktu yang lama, ketiga, karena adanya pergaulan yang intensif tersebut masing-masing melakukan penyesuaian kebudayaan sehingga kemudian terjadi proses akulturasi budaya.129

Dari proses asimilasi ini menghasilkan kesatuan budaya antara masyarakat Cina dengan masyarakat lokal setempat dan menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya hubungan sosial dalam perayaan Shejit di Kelenteng Tanjung Kait, sehingga hal tersebut mempengaruhi berbagai pergelaran yang di tampilkan dalam acara Shejit dan itu menyebabkan meningkatnya antusiasisme masyarakat untuk turut serta baik dari kalangan masyarakat cina atau pun masyarakat lokal desa. Maka dapat dikatakan bahwa dalam perayaan shejit ini juga sebagai sebuah ajang perayaan lintas budaya di Desa Tanjung Anom.

4. Faktor Ekonomi

Ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu economy. Sementara kata economy itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu oikonomike yang berarti pengelolaan rumah tangga. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi sebagai pengelolaan rumahtangga adalah suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumber daya rumah

127 Rusmin Tumangor, Kholis Ridho dan Nurrochim, Ilmu Sosial Dan Kebudayaan Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Cet. 2 h. 20 128 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 129 Lubis, Ridwan, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial. h. 62

59

tangga yang terbatas di antara berbagai anggotanya, dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan masing-masing.130 Oleh karena itu, suatu rumah tangga selalu dihadapkan pada banyak keputusan dan pelaksanaannya. Harus di putuskan siapa anggota keluarga yang melakukan pekerjaan apa dengan imbalan apa dan bagaimana melaksanakannya..

Semua orang perlu mengkonsumsi pangan, sandang dan papan untuk bisa bertahan hidup. Agar hal tersebut dapat terpenuhi maka setiap individu perlu bekerja. Individu sendirilah yang lebih mengetahui dibandingkan dengan orang lain dia harus bekerja apa. Individu sebagai makhluk yang rasional tentu akan selalu menghitung dan membuat pilihan yang dapat memperbesar kesenangan pribadi atau keuntungan pribadi dan dapat mengurangi penderitaan atau menekan biaya.131 Oleh karena itu individu lebih mengetahui tentang dirinya sendiri dari sisi kemampuan, pengetahuan, keterampilan, jaringan dan lainnya yang dimilikinya.

Masyarakat adalah lingkaran yang di dalamnya berbagai individu. Masyarakat sebagai suatu entitas utuh yang berbeda dari individu-individu yang berada di dalamnya. Sehingga individu dapat dihubungkan atau dikaitkan dengan individu lainnya, baik individu sebagai perorangan atau dalam kelompok.132 Tidak berbeda halnya dengan rumah tangga, masyarakat juga selalu dihadapkan pada banyak keputusan dan pelaksanannya. Suatu masyarakat harus memutuskan pekerjaan- pekerjaan apa yang harus dikerjakan, siapa, bagaimana dan dimana mengerjakannya. Suatu masyarakat membutuhkan orang-orang untuk menghasilkan pangan, orang yang membuat sandang dan seterusnya.

Dengan demikian, ekonomi adalah suatu peluang usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya masyarakat (rumah tangga dan pebisnis/perusahaan) yang terbatas di antara berbagai anggotanya, dengan mempertimbangkan kemampuan, dan keinginan masing-masing. Kegiatan ekonomi merupakan gejala bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa.133

Rasa minder yang telah terinternalisasikan tampak dalam rendahnya etos kerja serta keterampilan berbisnis yang lemah pada sebagian masyarakat pribumi. Kaum pribumi secara tersirat juga menuntut agar kebajikan, atau sekurang-kurangnya

130 Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi. (Jakarta: Kencana, 2009) h. 9 131 Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi. h. 36 132 Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi. h. 41 133 Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi. h. 11

60

pengorbanan yang telah dilakukan sang “diri” pribumi diimbangi dengan kewajiban ekonomi dari orang Cina yang telah sukses secara ekonomi.

Sebagian besar streotip positif tentang orang Cina di kalangan masyarakat pribumi, atas dasar etos kerja mereka dan kebaikan-kebaikan pribadi yang menunjang kesuksesan ekonomi mereka. Namun hal itu juga berpadanan dengan streotip negatif, di antaranya yang paling lazim adalah mereka dianggap sombong, kasar, tidak sopan, matre, licik, ekslusif. Ciri-ciri ini tidak hanya diidentifiasikan atas dasar kelas, tetapi juga dikaitkan dengan penanda-penanda perbedaan lainnya misalnya seperti ras, budaya, gender dan agama. Streotip negatif ini menyebabkan enggannya masyarakat pribumi untuk melakukan hubungan dengan masyarakat Cina134.

Masyarakat Cina yang berkumpul dalam perayaan Shejit di Kelenteng berasal dari berbagai kalangan, Kelenteng Tanjung Kait yang merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang ada di Kabupaten Tangerang135 dan salah satu destinasi wisata yang ada di Kecamatan Mauk. Banyak para wisatawan yang berkunjung untuk menikmati keunikan bangunan kelenteng. Terlebih ketika perayaan Shejit tiba warga masyarakat dari dalam maupun luar daerah, baik masyarakat Cina maupun non Cina turut berbondong-bondong untuk datang ke Kelenteng Tanjung Kait ini, dari keramaian tersebut membuat sebuah peluang usaha bagi masyarakat sekitar untuk memperoleh pendapatan dengan berdagang di sekitar Kelenteng.136 Meskipun ada streotip negatif yang telah banyak beredar di kalangan masyarakat mengenai masyarakat Cina, hal itu tidak mempengaruhi masyarakat lokal desa untuk tetap melakukan suatu kegiatan ekonomi dengan mereka, masyarakat lokal desa lebih condong kepada adanya dorongan ingin memperoleh pendapatan dengan melakukan suatu kegiatan ekonomi dengan berdagang di sekitar Kelenteng, hal tersebut menyebabkan terbukanya peluang sebuah interaksi antara warga masyarakat Cina dan non Cina di Kelenteng Tanjung Kait.137

134 Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa: Pasca-Suharto Budaya Politik dan Media, (Jakarta: LP3S, 2012) h. 184 135 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten T.A. 2012 136 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020 137 Wawancara dengan ibu Maryati, Tanjung Anom, Kabupaten Tangerang pada 8 September 2020

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Tanjung Anom adalah masyarakat yang terbuka. Keterbukaan tersebut itu menjadi faktor penyebab terjadinya multikulturalisme di desa Tanjung Anom sehingga perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong dapat di adakan di desa. Meskipun perayaan Shejit ini berasal dari negeri Cina tetapi dalam perayaannya di Kelenteng Tanjung Kait berbeda dengan masyarakat Cina di negeri leluhurnya, dalam perayaan Shejit di Tanjung Kait ini telah mengalami pribumisasi sehingga perayaannya tidak hanya menampilkan pergelaran khas masyarakat Cina tapi juga di tampilkan beberapa pergelaran seperti Gambang Kromong yang merupakan salah satu bentuk akulturasi dari budaya Cina dan budaya Betawi.

Dalam penggunaan bahasa untuk komunikasi masyarakat Cina Tanjung Anom telah terbiasa dengan menggunaan bahasa Indonesia atau bahasa Betawi sebagai bahasa komunikasi, hanya sedikit masyarakat Cina Tanjung Kait yang dapat berbahasa Cina. Secara fisiologis juga masyarakat Cina Tanjung Anom tampak berkulit hitam dan nyaris tidak tampak kecinaannya kecuali pada unsur religi dan budayanya yang masih mempertahankan tradisi nenek moyang mereka namun berakulturasi dengan corak lokal hal ini menyebabkan adanya proses amalgamasi yang terjadi antara masyarakat Cina dengan Non Cina sehingga membentuk produk budaya peranakan masyarakat Cina yang tidak lepas dari segi kehidupan masyarakat Indonesia. alhasil, dalam perayaan Shejit ini ditampilkan beberapa produk kebudayaan yang telah tercampur antara masyarakat Cina dan Non Cina seperti ditampilkannya pergelaran musik gambang, lenong, wayang dan beberapa sajian makanan.

Dari hasil penelitian ini juga dapat ditemukan bahwa hubungan sosial antara masyarakat Cina dengan masyarakat non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong terjalin dalam beberapa bentuk proses sosial, yaitu telah terjalinnya kerjasama (Coorperation) dalam memeriahkan perayaan shejit tersebut, kemudian telah terjadi proses asimilasi dan amalgamasi sehingga telah terjadi peleburan antara masyarakat Cina dan Non Cina. Hubungan sosial yang terjadi antara masyarakat Cina dengan masyarakat non Cina dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong dapat dilihat dari adanya beberapa faktor pendorong. Faktor-faktor tersebut di antaranya: Faktor

62

kekerabatan, di mana antara masyarakat Cina dengan Non Cina masih memiliki hubungan kekerabatan sejak masyarakat Cina datang ke Desa Tanjung Anom kemudian menetap dan melaksanakan pernikahan campuran.

Faktor kedua adalah faktor agama di mana masyarakat desa Tanjung Anom adalah masyarakat yang beragama dan di dalam masing-masing agama yang di anut tersebut memiliki ajaran untuk hidup rukun dan damai terhadap sesama. Ketiga adanya faktor kebudayaan faktor kebudayaan, di mana masyarakat Cina Tanjung Kait telah lama menetap kemudian beradabtasi dengan budaya sekitar sehingga terjadilah proses sosial asimilasi. Dari proses asimilasi ini menghasilkan kesatuan budaya antara masyarakat Cina dengan masyarakat lokal setempat sehingga hal tersebut mempengaruhi berbagai pergelaran yang di tampilkan dalam acara Shejit dan itu membuat meningkatnya antusiasisme masyarakat untuk turut serta.

Terakhir adalah faktor ekonomi, Kelenteng Tanjung Anom yang merupakan salah satu destinasi wisata mengundang para wisatawan untuk datang dan hal itu membuat peluang bagi masyarakat sekitar desa untuk memperoleh pendapatan dengan berdagang, terlebih ketika perayaan Shejit tiba yang dimana para pengunjung lebih banyak untuk datang ke Kelenteng Tanjung Kait.

B. Saran

Dengan adanya hubungan sosial yang baik di Desa Tanjung Anom penulis menyarankan agar hubungan tersebut tetap dijaga dengan baik, tetap harmonis meskipun terdapat perbedaan etnis dan agama. Bahkan harus lebih baik dan tetap bersama-sama demi terbentuknya desa yang maju dan makmur dalam berbagai bidang. Terlebih menyarankan agar perayaan Shejit ini menjadi sebuah ajang perayaan pesta rakyat yang harus di lestarikan bagi semua pihak baik warga masyarakat maupun pihak pemerintah, karena perayaan ini dapat menjadi sebuah perayaan lintas budaya dan momentum pemersatu masyarakat Desa Tanjung Anom.

Hubungan sosial yang baik antara masyarakat Cina dengan masyarakat Non Cina di desa Tanjung Anom ini diharapkan dapat menjadi contoh hubungan yang baik dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dan sebagai cerminan untuk lebih menghormati, menghargai, mengenal berbagai perbedaaan yang ada.

63

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arifah, Nur. Panduan Lengkap Menyusun dan Menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi Yogyakarta: Araska, 2018

Anwar, Yesmil dan Adang, Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: Refika Aditama, Cet. 2 2013

Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901- 1940) Hingga Masa Reformasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta: Kencana, Cet. I 2013

Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana, 2009

Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa: Pasca-Suharto Budaya Politik dan Media, Jakarta: LP3S, 2012

Lubis, Ridwan. Agama dan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017

Lubis, Ridwan, Agama Dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama, Cet. I, 2015

Lubis, Ridwan, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama Dalam Interaksi Sosial. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2015

Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma. Jakarta: 1980

Martono, Nanang. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I, 2016

Menzies, Allan. History of religion: A Sketch of Primitive Religious Beliefs and Practices, and of the Origin and Character of the Great System, Terj. Dion Yulianto. Yogyakarta: FORUM, 2017

Paulus, Sugiono. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Alfabeta, 2018

Perkumpulan Tridharma: Sam Kauw / San Jiao. Jakarta: Perkumpulan Tridharma

Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. I, 2007

64

Razak, Yusron, Sosiologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008

Rustanto, Bambang, Masyarakat Multikultur Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015

Santosa, Iwan. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Kompas, 2012

Sen, Lim Khung, Hidup Bahagia Dalam Jalan Suci Tian: Pendekatan Hati & Pikiran Agama Ru-Konghucu. Jakarta: Gerbang Kebajikan Ru, 2010

Singgih, Marga. Tridharma Selayang Pandang, Jakarta: Perkumpulan Tridharma, 2016

Soekanto, Soerjono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011 Cet. 3

Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012

Syani, Abdul. Sosiologi; Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2012

Tanggok, M Ikhsan, Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta

Tanggok,M Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Tao. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dan UIN Jakarta Press

Tumangor, Rusmin, Nurrochim dan Kholis Ridho, Ilmu Sosial Dan Kebudayaan Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012 Cet. 2

Jurnal

Al Ayubi, Sholahuddin. Cina Benteng: Pembauran Dalam Masyarakat Majemuk di Banten Lampung: Jurnal Kalam Vol. 10 No 2 Desember 2016

Arif, Muhammad. Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina Benteng: Kajian Historis dan Sosiologis. Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1 No. 1 Mei 2014 UIN Jakarta

65

Asgar, Sofian Munawar. Komunitas Cina Benteng di Tangerang:Potret Pembauran di Tingkat Lokal. Riset Unggulan Kemitraan dan Kemasyarakatan (RUKK), Kementrian Riset dan Teknologi, 2005-2006

Daftar Aparatur Desa Tanjung Anom Periode Tahun 2015-2021. Dokumen tidak dipublikasikan

Data Penduduk Desa Tanjung Anom tahun 2019. Dokumen tidak dipublikasikan

Data Sarana Keagamaan Desa Tanjung Anom. Dokumen tidak dipublikasikan

Herwiratno, Muhammad. Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia Jurnal Lingua Cultura Vol. 1 No.1 Mei 2007

Profil dan SOTK Desa Tanjung Anom tahun 2019. Dokumen tidak di publikasikan

Setyawati, Lugina. Keberagaman dan Ekslusi Sosial: Simbol Identitas Dalam Ruang Publik. Jurnal Masyarakat dan Budaya Universitas Indonesia, 2010

Tejokusumo Bambang, Dinamika Masyarakat Sebagai Sumber Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Jurnal Geoedukasi Vol. III Nomor 1, Maret 2014

Thresnawaty, Euis, Sejarah Sosial-Budaya Masyarakat Cina Benteng di Kota Tangerang. Jurnal Patanjala Vol. 7 No. 1 Maret 2015

Skripsi dan Tesis

Erisca, Nandita. Klenteng Tanjung Kait: Tinjauan Arsitektural dan Ornamentasi. Skripsi Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008

Gustiana, Nita. Eksistensi dan Peranan Etnis Cina Pada Masa Kesultanan Banten Tahun 1596-1682. Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Karina, Rizka Lilis, Strategi Adaptasi Masyarakat Cina Benteng Dalam Kehidupan Masyarakat Multikultural. Skripsi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia

Misbahuddin, Persepsi Masyarakat Pesisir Pantai Utara Jawa Terhadap Pentingnya Pendidikan Formal Sebagai Salah Satu Cara Meningkatkan Status Sosial

66

di Masyarakat. Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20017

Permadi, Bambang. Islam dan Etnis Tionghoa: Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di Tangerang. Tesis Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017

Ruqoidah. Pengaruh Tradisi Lokal Dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008

Sudemi, Jejak Warisan Sejarah Agama Konghucu Pada Masyarakat Cina Benteng di Tangerang. Tesis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019

Yusuf, Muhammad. Festival Peh Cun Bentuk Ekspresi Kehidupan Umat Beragama di Kota Tangerang. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019

Narasumber

Wawancara dengan Ketua umum pengurus Kelenteng Bapak Kasum Triharja (Tjoa Keng Sun) pada tanggal pada 8 September 2020

Wawancara dengan Kepala Desa Tanjung Anom Bapak Abdul Aziz pada 8 September 2020

Wawancara dengan pengurus Kelenteng Tanjung Kait Bapak Rudi (Koh Anci) pada 2 Juli 2020

Wawancara dengan Pengurus Rumah Tangga Kelenteng Boen San Bio Ibu Elis pada 29 Juni 2020

Wawancara dengan Non Cina Jaro I Tanjung Kait Bapak Acim Marsin pada 12 Mei 2020

Wawancara dengan Non Cina pedagang Ibu Maryati pada 8 September 2020

Wawancara dengan Tokoh Agama Bapak Abdul Hamid pada 8 September 2020

Website

67

https://id.wikipedia.org/wiki/Sutra_Raja_Agung_Avalokitesvara, di akses pada tanggal 30 Juli 2020 http://tbsn.org/indonesia/news.php?cid=38&csid=1&id=3467 di akses pada tanggal 30 Juli 2020

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1:

SURAT KETERANGAN DESA TANJUNG ANOM

LAMPIRAN II

DATA DOKUMENTASI

Dokumentasi 1: Altar Kongco Tjo Soe Kong

Dokumentasi 2: Kelenteng Tjo Soe Kong Sebagai Cagar Budaya

Dokumentasi 3: Baliho Perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong 2019

Dokumentasi 4: Jadwal Perayaan Shejit 2019

Dokumentasi 5: Pembacaan Liam Keng

Dokumentasi 6: Arak-arakan dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Dokumentasi 7: Musik gambang kromong dalam perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong

Dokumentasi 8: Pantai Tanjung Kait

Dokumentasi 9: Foto bersama dengan narasumber Bapak Abdul Aziz (Kepala Desa Tanjung Anom)

Dokumentasi 10: Foto bersama dengan narasumber Bapak Kasum Triharja (Ketua Pengurus Kelenteng Tanjung Kait)

Dokumentasi 11: Foto bersama dengan narasumber Bapak Abdul Hamid (Tokoh Agama Islam)

Dokumentasi 12: Foto bersama dengan narasumber Ibu Muryati (Pedagang di Kelenteng Tanjung Kait)

Dokumentasi 13: Foto bersama dengan narasumber Bapak Acim Marsin (Jaro I Tanjung Kait)

Dokumentasi 14: Foto bersama dengan narasumber Ibu Elis (Pengurus Kelenteng Boen san Bio yang merupakan tamu undangan perayaan Shejit Kongco Tjo Soe Kong)

Dokumentasi 15: wawancara dengan Bapak Anci (Pengurus Kelenteng Tanjung Kait)