Undang-Undang Republik Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dr. Rahman Mulyawan Dr. Rahman Mulyawan

Hak Cipta © Dr. Rahman Mulyawan, 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved

Penyunting: A. Kean B. Hibar

Desain Cover: Endhaven Designroom

Penata Letak: Eri Ambardi A.

Cetakan I, Februari 2015

ISBN: 978-602-0810-05-8

Diterbitkan oleh:

Jl. Raya – Sumedang km 21 Sumedang Bandung 45363, Tlp. (022) 843 88812 Website : lppm.unpad.ac.id Email : lppm.unpad.ac.id

Hak cipta di lindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Daftar Isi

Prakata • vii

Pilahan 1 Konsep Civic Governance • 1

Pilahan 2 Pendidikan Kewarganegaraan sebagai landasan Civic Governance • 9

Pilahan 3 Pembangunan Karakter Bangsa dalam Konsep Civic Governance • 25

Pilahan 4 Peranan Partisipasi Masyarakat dalam Kehidupan Bernegara • 33

Pilahan 5 Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyelenggaraan Pemerintahan • 39

v Pilahan 6 Konsep Otonomi Daerah • 47

Pilahan 7 Budaya Lokal dan Budaya Pemerintahan dalam Otonomi Daerah • 55

Pilahan 8 Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten Bandung • 65

Pilahan 9 Beberapa Catatan Kritis • 177

Daftar Pustaka • 189 Tentang Penulis • 197

vi Prakata

Pasca bergulirnya reformasi, telah banyak elemen-elemen ma­ syarakat, ilmuwan/akademisi maupun praktisi politik dan pe­ me­­rin­tahan yang kecewa terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu penyebab terhadap kekecewaan tersebut adalah bahwa pemerintah pusat terindikasi telah terfragmentasi dan buruk dalam melakukan koordinasi, selain itu pemerintah pusat terkesan tidak konsisten dengan menjalankan kebijakan desentralisasi (otonomi daerah). Kesalahan urus yang parah dan kinerja pemerintah­ pusat yang buruk yang terjadi secara berkesinambungan telah memperpuruk legitimasi politik dan moral pemerintah pusat di hadapan masyarakat daerah. Permasalahan di atas telah memperlihatkan bahwa hubung­ an antara integrasi nasional dengan otonomi daerah terkesan bertolak belakang. Sesungguhnya, dalam konteks integrasi nasi­ onal, otonomi daerah justru merupakan salah satu pilar utama­ nya. Persoalannya adalah bagaimana otonomi daerah dapat diselenggarakan secara proporsional sehingga secara bersamaan dapat dirasakan manfaatnya bagi kemajuan daerah dan kese­

vii jahteraan masyarakat sekaligus memperkuat landasan tetap kokohnya keutuhan bangsa dan negara. Guna mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat ber­ potensi mengganggu hubungan antara pemerintah pusat dan pe­ merintah daerah, serta berindikasi akan memperlemah integrasi nasional, saat ini penyelenggaraan otonomi daerah secara ber­ tahap mulai mengembangkan model pemerintahan yang ber­ basis masyarakat yang bertujuan selain untuk meningkatkan kualitas integrasi nasional juga untuk melibatkan warga negara secara aktif dalam berbagai bentuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan agar mereka mengetahui serta memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam kegiatan pemerin­ tahan sehingga mereka semakin cerdas dan kritis terhadap ber­ bagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Model pe­ merintahan yang melibatkan warga negara ini oleh peneliti disebut dengan civic governance. Berkaitan dengan penyelenggaraan civic governance ini dapat dikatakan belum sepenuhnya menyentuh kepentingan serta melibatkan warga negara secara penuh. Dilibatkannya warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan secara langsung diindikasikan akan semakin meningkatkan kualitas pembangun­ an karakter bangsa yang sangat menjunjung tinggi kepada rasa memiliki terhadap bangsanya. civic governance pun secara langsung berindikasi akan meningkatkan sikap nasional­isme dan patriotisme di kalangan warga negara. Buku ini membahas tentang proses penyelenggaraan peme­ rintahan yang berbasis kepada partisipasi warga negara (civic governance). Hasil penelitian yang menjadi basis buku ini me­ nunjukkan masih belum optimalnya penyelenggaraan pengu­

viii atan civic governance yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak dilaksanakan secara konsisten, kemauan pemerintah yang belum penuh dalam mendukung masyarakat sebagai mitra kerja untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pe­ merintahan, serta tingkat partisipasi masyarakat yang masih rendah untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pemerin­ tahan. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti merekomendasikan agar pembangunan karakter bangsa melalui model civic gover­ nance ini secara berkesinambungan harus optimal dan konsisten dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung de­ngan meli­ batkan partisipasi aktif masyarakat (warga negara).

ix

Pilahan 1 Konsep Civic Governance

Dalam konteks integrasi nasional, otonomi daerah merupakan pilar utama. Namun, pada tataran implementasinya, diindika­ sikan terdapat berbagai masalah didalamnya. Pertanyaannya adalah bagaimana otonomi daerah dapat diselenggarakan secara proporsional, sehingga secara bersamaan dapat dirasakan man­ faatnya bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat seka­ligus memperkuat landasan kokohnya keutuhan bangsa dan negara (integrasi nasional). Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat dan elite-elite politik untuk menjaga integrasi nasional. Calon Kepala Daerah serta para pendukungnya yang kalah dalam kegiatan pilkada senantiasa tidak dapat menerima kemenangan calon yang keluar sebagai pemenang. Kerukunan antar umat beragama sering tercoreng pula dengan berbagai macam konflik yang hanya disebabkan oleh perbedaan penafsiran terhadap suatu ke­ yakinan yang jelas-jelas merupakan hak asasi seseorang individu.

1 Secara langsung maupun tidak langsung, konflik di daerah akan mengganggu stabilitas nasional. Guna mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat berpo­ tensi mengganggu hubungan antara pemerintah pusat dan pe­ me­rintah daerah, serta berindikasi akan memperlemah integrasi nasional, saat ini penyelenggaraan otonomi daerah secara ber­ tahap mulai mengembangkan model pemerintahan yang ber­ basis masyarakat yang bertujuan selain untuk meningkatkan kualitas integrasi nasional juga untuk melibatkan warga negara secara aktif dalam berbagai bentuk penyelenggaraan kegiatan pemerintahan agar mereka mengetahui serta memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam kegiatan pemerin­ tahan sehingga mereka semakin cerdas dan kritis terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Model pemerintahan yang melibatkan warga negara ini oleh peneliti disebut dengan civic governance. Peneliti memberanikan diri untuk mengemukakan serta mencetuskan istilah civic governance ini mengingat sampai saat ini peneliti belum menemukan lite­ ratur atau para ahli yang mengemukakan konsep civic governance tersebut. Melalui disertasi inilah istilah civic governance pertama kali dimunculkan dalam lingkungan pendidikan kewarga negaraan di Indonesia. Di awal penelitian disertasi ini, peneliti berupaya mencari padanan kata yang sesuai dengan istilah civic governance melalui berbagai pustaka, laporan penelitian maupun internet namun pada akhirnya peneliti tidak menemukan satu istilahpun yang memiliki padanan istilah tersebut. Akhirnya peneliti mencoba memadukan beberapa istilah yang dapat dikatakan memiliki keseuaian dalam implementasi aksiologinya seperti istilah

2 Dr. Rahman Mulyawan Masyarakat Kewargaan yang dikemukakan oleh Ryaas Rasyid, Ramlan Surbakti, Franz Magnis-Suseno, dan Daniel Dhakidae, atau istilah Masyarakat Madani yang dikemukakan oleh Maswadi Rauf, Nurcholish Madjid, dan Dawam Rahardjo. Istilah yang mereka gunakan adalah dalam upaya mentafsirkan teori-teori tentang comonitas politica (Cicero), comonitas civilis (Aquinas), civitas etat (Marx), atau burgerliche gesellschaft (Hegel). Berdasarkan eksplorasi peneliti terhadap buku-buku yang dihasilkan oleh para tokoh akademisi/ilmuwan seperti yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya istilah yang mereka kemukakan merupakan wacana yang dapat ditafsirkan dari ber­ bagai sudut pandang. Namun, setidaknya terdapat satu substansi perspektif yang sama di dalam wacana tersebut, yaitu sebuah ruang atau wadah bagi partisipasi masyarakat. Di dalam ruang tersebut, masyarakat berkerjasama membina ikatan-ikatan sosial di luar lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan bersama. Ruang ini berdiri tegak di atas prinsip-prinsip egalitarianisme-inklusif bersifat universal. Parti­ si­pasi masyarakat sebagai jantung ruang tersebut selalu mem­ bangun kreativitas serta berupaya mengatur dan memobilisasi diri sendiri dengan mengurangi ketergantungan kepada pihak penguasa sehubungan mereka berupaya untuk selalu mengkritisi berbagai kebijakan dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Pada hakikatnya istilah masyarakat kewargaan atau masya­ rakat madani menunjuk kepada masyarakat yang memiliki kemandirian atau otonomi. Masyarakat ini pada titik tertentu dapat dilihat sebagai entitas yang memiliki kemampuan mema­ jukan diri sendiri, dapat “menghalangi” intervensi pemerintah dan Negara serta menunjukkan sikap kritis di segala bidang

Civic Governance Cita dan Realita 3 kehidupan (sosial, ekonomi, dan politik). Disertasi ini dalam penjelasan selanjutnya akan selalu merujuk dan menekankan beberapa ciri penting dari masyarakat yang berperan dalam civic governance, yakni kemandirian dan keswadayaan saat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan sangat luasnya permasalahan dalam membahas konsep civic governance, maka dalam penelitian disertasi ini peneliti akan memfokuskan kepada sebuah gerakan (movement) yang memiliki kesamaan karakteristik partisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, gerakan itu merupakan organi­ sasi yang bernama lembaga swadaya masyarakat atau lembaga sejenisnya. Namun, adanya fokus penelitian tersebut bukan berarti peneliti menyamakan civic governance dengan lembaga swadaya masyarakat. Di bawah ini peneliti mengemukakan pola hubungan antara negara dengan civic governance. Hal ini perlu peneliti lakukan mengingat penguatan civic governance tidak terlepas dari peran serta ataupun pola hubungan dengan negara atau pemerintah. Perbedaan pola hubungan antara civic governance dengan negara, peneliti uraikan pada tabel berikut.

Tabel 1.1 Pola Hubungan Civic Governance dengan Negara/Pemerintah

Civic Governance Negara/Pemerintah No Dimensi kepada Negara/ kepada Civic Pemerintah Governance 1. Orientasi Isu Mempengaruhi agenda Menetapkan agenda pembangunan dan dan prioritas pemerintahan, pembangunan dan mengkritik dan memonitor alternatif mengajukan alternatif apa yang dapat kebijaksanaan diterima

4 Dr. Rahman Mulyawan 2. Finansial Dalam batas-batas Membantu sumber tertentu memobilisasi keuangan dalam dukungan dana batas-batas tertentu, sehingga menjadi mengatur dan mandiri dan terlepas menyetujui dari campur tangan penggunaannya dalam dan pengawasan berpartisipasi dalam pemerintah proses penyelenggaraan pemerintahan 3. Organisasional Menjaga kemandirian, Membantu proses menghindari campur administrasi, mengatur tangan pemerintah kegiatan dan dalam urusan memfasilitasi kegiatan administrasi, di lapangan pembuatan keputusan dan pelaksanaan di lapangan 4. Kebijaksanaan Mempengaruhi dialog Membantu dalam pembentukan kebijaksanaan, kebijaksanaan dengan melakukan dialog, melakukan advokasi mengatur akses ke guna meningkatkan pembuatan keputusan kualitas lingkungan dan memelihara pembuatan kontrol atas kebijaksanaan lingkungan pembuatan kebijaksanaan

Sumber : Olahan Peneliti (2012)

Berkaitan dengan uraian pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa kelembagaan civic governance sangat bercirikan keman­ dirian dan keswadayaan. Yang dimaksud dengan kemandirian disini adalah kemampuan individu ataupun kelompok dalam mengembangkan diri tanpa tergantung kepada pihak lain, se­ dangkan yang dimaksud dengan keswadayaan adalah upaya yang didasarkan pada kepercayaan atas kemampuan diri ber­ dasarkan sumber daya (manusia dan finansial) yang dimiliki

Civic Governance Cita dan Realita 5 tanpa harus tergantung pada pihak lain dan memanfaatkan sumber daya dari luar. Berdasarkan prinsip kemandirian dan keswadayaan tersebut, maka perbedaan antara konsep civic governance dengan masyarakat madani atau masyarakat kewar­ gaan yang berlandaskan pada teori-teori yang berasal dari pemikiran Barat (Demokrasi Liberal) tentang comonitas politica (Cicero), comonitas civilis (Aquinas), civitas etat (Marx) atau burgerliche gesellschaft (Hegel) dapat dilihat pada tabel di hala­ man berikut. Tabel 1.2 Perbedaan Teori Demokrasi Liberal (Barat) dengan Konsep Civic Governance

No Teori Demokrasi Liberal (Barat) Civic Governance 1 (Partisipasi) masyarakat Civic Governance merupakan entitas yang berada di merupakan entitas di luar luar Negara dan lahir berdasarkan negara namun terbentuk inisiatif masyarakat sendiri; karena peranan dan dukungan Negara tidak terlibat dalam Negara. Negara/ Pemerintah pembentukan kelembagaan berperan dalam pembentukan (partisipasi) masyarakat civic governance 2 Negara berperan negatif dalam Negara memiliki peran positif konstelasi hubungan dengan dalam konstelasi aktivitas (partisipasi) masyarakat perkembangan aktivitas civic governance

Sumber : Olahan Peneliti (2012)

Berdasarkan uraian dari berbagai tabel di atas, dapat dike­ tahui bahwa sumber kekuatan civic governance ini terutama terletak pada potensinya untuk meningkatkan dan memuliakan publik yang termotivasi oleh adanya perhatian bersama bagi kebaikan bersama. Keberadaan civic governance sebagai suatu entitas utama dalam sistem politik demokratis mengambil peran

6 Dr. Rahman Mulyawan sentral dalam formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Civic Governance tidak hanya menyediakan ruang bagi peng­ akuan atas kedaulatan warga negara, tetapi juga menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk membangun rencana, mengumpulkan dan mengagregasi kepentingan, menentukan prioritas pilihan, hingga penarikan keputusan yang bersifat politis. Kelemahan konsep civic governance terutama bukan terletak pada konsepsi tentang civic governance itu sendiri tetapi lebih berkait dengan tidak memadainya berbagai kemampuan teknis, yaitu : pertama, kegagalan untuk menyadari kompleksitas isu-isu publik; kedua, kebutuhan mendesak akan keahlian yang memadai untuk memahami isu-isu publik dan kepemimpinan yang terpercaya; ketiga, kesulitan untuk memotivasi publik untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan publik. Namun demikian, sekalipun mengandung beberapa kelemahan, per­ spektif ini telah menempatkan warga negara pada tempat yang lebih terhormat dan tepat dibandingkan dengan perspektif- perspektif lainnya. Dengan begitu lebih memberi harapan dari mana harus dimulai jika revitalisasi kepentingan umum harus dilakukan.

Civic Governance Cita dan Realita 7

Pilahan 2

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Landasan Konsep Civic Governance

Pendidikan Kewarganegaraan yang kita kenal sekarang telah mengalami perjalanan panjang dan melalui kajian kritis sejak tahun 1960-an yang dikenal dengan mata pelajaran Civic di Sekolah Dasar dan merupakan embrio dari civic education se­ bagai the body of knowledge. Pendidikan Kewarganegaraan seba­ gai instrumen pengetahuan (the body of knowledge) diarahkan untuk membangun warga negara demokrasi berkeadaban. Secara normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memperoleh dasar lega­ li­tasnya dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan: Pendi­ dikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan mem­ bentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan Nasional sangat memprioritaskan kepada pen­ didikan­ karakter yang berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila

9 berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja­ sama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri atas : dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewar­ ganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Ketentuan di atas harus dipahami sebagai pendidikan yang akan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak bangsa yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, yaitu: “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab”. Dalam ketentuan tersebut di atas dapat dilihat bahwa pen­ didikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari pen­ di­dikan nasional. Secara kontekstual dewasa ini pendidikan kewarganegaraan sangat memerlukan adanya pemahaman ber­ sama tentang perlunya perubahan dan penegasan kembali me­ nge­nai visi, misi, dan strategi psiko-pedagogis dan sosio andragogis pendidikan kewarganegaraan, dimana pendidikan karakter bangsa menjadi bagian substansinya.

10 Dr. Rahman Mulyawan Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang mempunyai obyek telaah kebajikan dan budaya kewarga­ negaraan, menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu po­ litik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan yang secara koheren diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial- kultural, dan kajian ilmiah kewarga negaraan. Demikian pula pendidikan demokrasi merupakan suatu konsep pendidikan yang sistemik dan koheren yang mencakup pemahaman tentang cita-cita, nilai, konsep, dan prinsip demokrasi melalui interaksi sosial kultural dan psiko-pedagogis yang demokratis, dan di­ orientasikan pada upaya sistimatis dan sistemik untuk mem­ bangun kehidupan demokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, rekonseptualisasi pendidikan kewarga negaraan dalam konteks pendidikan demokrasi Indonesia sangatlah diperlukan, karena ternyata proses pendidikan politik, demokrasi, dan Hak Azasi Manusia (HAM) selama ini belum memberikan hasil yang meng­ gembirakan dan prospek yang menjanjikan. Indikator yang kasat mata dapat dilihat pada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang cenderung anarkhis, pelanggaran HAM di mana- mana, komunikasi sosial-politik yang cenderung asal menang sendiri, hukum yang terkalahkan, dan kontrol sosial yang sering lepas dari tata krama, serta terdegradasinya kewibawaan para pejabat negara/pemerintah. Kata “kewarganegaraan” masih sering dipakai untuk merujuk kepada suatu situasi dan konteks tertentu dan terbatas. Ke­ warganegaraan sering dianggap hanya sebatas status legal yang memungkinkan seseorang untuk tinggal dan beraktivitas dalam suatu wilayah tertentu. Oleh karena itu, tidak jarang kita

Civic Governance Cita dan Realita 11 menemukan bahwa orang menganggap warga negara yang baik hanya terbatas pada kewajibannya membayar pajak, mengibarkan bendera nasional dan menyanyikan lagu kebangsaan. Sebaliknya, warga negara memiliki hak untuk mendapat dokumen legal, antara lain akte lahir, kartu tanda penduduk dan paspor yang dikeluarkan instansi pemerintah. Pengertian ini jelas tidak me­ madai. Sesungguhnya, terdapat tiga status yang mendefinisikan ke­ warganegaraan. Yang pertama adalah status legal yang didefi­ nisikan oleh hak sipil, politikal dan sosial. Dalam batasan status legal, seorang warga negara adalah makluk legal yang bertindak menurut hukum dan memiliki hak untuk mendapatkan perlin­ dungan negara. Yang kedua merujuk kepada warga negara se­ bagai agen politikal yang secara aktif berpartisipasi dalam pra­ nata-pranata politikal warga negara. Yang ketiga bertalian dengan keanggotaan warga negara dalam komunitas politikal yang meng­ hadirkan suatu sumber identitas yang jelas (Kalidjernih, 2007). Sistematisasi pengertian kewarganegaraan ini berasal dari T.H. Marshall, seorang sosio-ekonom Inggris. Marshall membuat batasan kewarga negaran sebagai suatu status yang dilimpahkan kepada orang-orang yang merupakan anggota penuh dari sebuah komunitas. Model Kewarga negaraan Universalis yang dikemukakan T.H. Marshall dalam Kalidjernih (2007) adalah sebagai berikut: a. Hak Sipil (civil rights): kebebasan dalam berpendapat, ber­ gagasan dan berkeyakinan dan berhak atas properti, kontrak dan keadilan. b. Hak Politikal (political rights): hak untuk berpartisipasi da­ lam keputusan-keputusan dan pemilihan warga negara.

12 Dr. Rahman Mulyawan c. Hak Sosial (social rights): hak untuk keamanan dan kese­ jahteraan dan untuk berbagi dalam warisan sosial, dan untuk hidup dalam kellidupan yang lebih maju sesuai dengan standar-standar yang berlaku dalam warga negara.

Marshall menekankan bahwa sejarah kewarganegaraan yang ditelurusinya mencakup sebuah bangsa alih-alih bagian lokal dari kota-kota di abad pertengahan. Pada abad pertengahan, tiga jenis dari kewarga negaraan ini dilebur menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Dia menelusuri evolusi dari hak-hak sipil melalui suatu rangkaian legislasi yang ditetapkan antara tahum 1688 dan 1832, mengenai kebebasan individu. Ketika hak asasi politikal ada pada abad kedelapan belas, hal tersebut tidak merujuk kepada hak universal. Hak asasi politikal diperluas ke orang-orang yang menggunakan hak sipil mereka, yang telah membuat keuntungan ekonomi dan membeli properti. Contoh kasus Marshall adalah poor laws dan factory act dimana per­ lindungan negara hanya ketika seseorang melepaskan hak-hak sipil dan politiknya. Marshall berargumentasi bahwa kewarga­ negaraan beroperasi sebagai suatu instrumen dari stratifikasi sosial. Seperti telah kita ketahui bersama, dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendi­ dikan kewarganegaraan yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1998:4) mengartikan civic education sebagai “... the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”. Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam warga negaranya. Citizenship

Civic Governance Cita dan Realita 13 education atau education for citizenship oleh Cogan (1998:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “... both these in-school experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen”. Istilah “pendidikan kewarganegaraan” pada dasarnya digu­ na­kan dalam pengertian yang luas seperti citizenship education atau education for citizenship yang mencakup pendidikan kewar­ ga­negaraan di dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan di luar sekolah, baik yang berupa program penataran maupun program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses pende­ wasaan atau pematangan sebagai warga negara Indonesia yang cerdas dan baik. Di samping itu, juga konsep pendidikan kewarganegaraan digunakan sebagai nama suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran sebagai program pendidikan demokrasi. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan demokrasi, sebagaimana telah menjadi salah satu kesimpulan dari Conference on Civic Education for Civil Society pada tahun 1999 (Winataputra, 2000) Selain istilah civic education dan citizenship education ter­ dapat istilah civics. Istilah civics merupakan istilah yang paling tua sejak digunakan pertama kalinya oleh Chreshore pada tahun 1886 dalam Somantri (1973) untuk menunjukkan the science of citizenship yang isinya antara lain mempelajari hubungan antar

14 Dr. Rahman Mulyawan warga negara dan hubungan antara warga negara dengan negara. Saat ini istilah itu masih dipakai sebagai nama mata pelajaran yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kurikulum sekolah dasar di Perancis dan Singapura; dan dalam kurikulum sekolah lanjutan di Perancis, Italia, Hongaria, Jepang, Netherlands, Singapura, Spanyol, dan Amerika. Di Indonesia istilah civics pernah digunakan dalam kurikulum SMP dan SMA tahun 1962, kurikulum SD tahun 1968, dan kurikulum PPSP IKIP Bandung tahun 1973. Berkaitan dengan istilah civics, Somantri (1973) me­ ngemukakan :

… bahwa untuk pertama kalinya, yakni pada pertengahan tahun 1880-an di Amerika Serikat mulai diperkenalkan mata pelajaran civics sebagai mata pelajaran di sekolah yang berisikan materi mengenai pemerintahan (Allen:1960). Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan civics sebagai the science of citizenship ilmu kewarga negaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antara individu dengan negara. Selan­ jutnya pada tahun 1990-an berkembang mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai struktur peme­ rintahan negara bagian dan federal (Gross Zeleny:1958). Berikutnya, Dunn (1915) mengembangkan gagasan New Civics yang menitikberatkan pada community living; ke­ hidupan warga negara. Dengan demikian, sampai tahun 1921 istilah Civics telah digunakan untuk menunjukkan bidang pengajaran yang lebih khusus, yakni vocational civics, community civics dan economic civics (Gross dan Zeleny:1958) atau kewarganegaraan yang berkenaan de­ ngan mata pencaharian, kewarga negaraan, dan pereko­

Civic Governance Cita dan Realita 15 nomian. Diantara tujuan dari mata pelajaran civics pada tahun 1900-an itu, adalah pengembangan social skill and civic competence (Allen:1960) atau keterampilan sosial kompetensi waganegara, dan ideas of good character (Best: 1960) atau ide-ide tentang karakter atau watak yang baik.

Lebih lanjut Somantri (1973) menjelaskan bahwa selain istilah civics, pada tahun 1886 juga mulai diperkenalkan istilah citizenship education, yang digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk character education atau pendidikan watak, karakter dan teaching personal ethics and virtues atau pendidikan etika dan kebajikan. Lebih jauh Dimond (1953) dalam Somantri (1973) mengelaborasi pandangannya mengenai citizenship, yang menu­ rut pendapatnya, konsep itu merupakan suatu pengertian yang mempu dua makna. Di satu pihak, ide itu berkenaan dengan peran dan fungsi warga negara dalam kegiatan politik, dan di lain pihak, hal itu berkenaan dengan apa yang disebut dengan desirable personal qualities, atau kualitas pribadi yang didam­ bakan dari warga negara sebagaimana dicerminkan dalam kegiatannya sehari-hari. Selanjutnya, Gross dan Zeleny (1958) dalam Somantri (1973), mengaitkan penggunaan istilah civics dan citizenship education sebagai berikut. Civics pada dasarnya berkenaan dengan pembahasan mengenai pemerintahan demo­ krasi dalam teori dan praktek, sedangkan citizenship education berkenaan dengan keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam warga negara. Kedua aspek ini biasanya diajarkan dalam satu mata pelajaran. Di situ, kita melihat penggunaan istilah civics dan citizenship education secara bertukar-pakai (inter­ changeably), untuk menunjukkan suatu studi mengenai peme­ rin­tahan yang diberikan di sekolah.

16 Dr. Rahman Mulyawan Masih pada tahun 1886, muncul istilah civic education istilah baru, yang juga digunakan secara bertukar-pakai dengan citizenship education. Menurut Mahoney (Somantri, 1973:8), civic education merupakan suatu proses pendidikan yang men­ cakup proses pembelajaran semua mata pelajaran, kegiatan siswa, administrasi, dan pembinaan dalam upaya mengembangkan perilaku warga negara yang baik. Di lain pihak, Allen (1960) dalam Somantri (1973) mengemukakan bahwa citizenship edu­ cation bersifat lebih luas lagi, yakni sebagai produk dari kese­ luruhan program pendidikan persekolahan, di mana mata pela­ jaran civics merupakan unsur yang paling utama dalam upaya mengembangkan warga negara yang baik. Dari uraian tersebut tampak bahwa istilah-istilah civics, dan civic education, ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang me­ miliki tujuan utama mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik (Somantri:1973). Adapun citizenship edu­ c a t­ i o n lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas untuk menunjukkan instructional effects dan nurturant effects dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan ka­ rak­ter individu. warga negara yang cerdas dan baik (Somantri: 1973). Mengenai saling keterkaitan antara citizenship education dan civic education dan social studies, pada dasarnya ada dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat citizenship edu­ cation dan civic education sebagai bagian dari social studies, dan pandangan kedua melihat citizenship education dan civic edu­ cation sebagai esensi atau inti dari social studies. Sementara itu secara epistemologis, sesungguhnya social studies juga memiliki

Civic Governance Cita dan Realita 17 kaitan sangat erat dengan social sciences. Oleh karena itu, kedu­ dukannya dan keterkaitannya satu sama lain juga perlu dipahami dengan jelas. Berkaitan dengan uraian di atas, citizenship education me­ miliki visi sosio-pedagogis mendidik warga negara yang demo­ kratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-formal, seperti yang secara konsisten diterapkan di Inggris. Civic education secara umum memiliki visi formal-pedagogis untuk mendidik warga negara yang demokratis dalam konteks pendidikan formal, se­ perti secara adaptif diterapkan di Amerika. Di Indonesia, yakni PPKn memiliki visi formal-pedagogis sebagai mata pelajaran sosial di sekolah dan perguruan tinggi sebagai wahana pendi­ dikan nilai Pancasila. Bertolak dari kajian teoretik dan diskusi reflektif, dirumuskan visi pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan kewarganegaraan agar berperan sebagai: 1. Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal, 2. Program aksi sosial-kultural dalam konteks kewarganega- raan, dan 3. Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial.

Visi sosio-pedagogis ini mengandung dua dimensi, yakni: (1) Dimensi substantif berupa muatan pembelajaran (content and learning experiences) dan obyek telaah serta obyek pengem­ bangan. (2) Dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan aksiologi).

18 Dr. Rahman Mulyawan Peneliti menempatkan pendidikan kewarganegaraan atau sis­tem pendidikan kewarganegaraan sebagai kajian lintas-bidang keilmuan, yang secara substantif ditopang terutama oleh ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial serta humaniora, dan secara peda­ gogis diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan warga negara. Pendidikan kewarga negaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas-bidang keilmuan ini pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar-formal suatu disiplin yakni mempunyai community of scholars, a body of thinking, speaking, and writing; a method of approach to knowledge dan mewadahi tujuan warga negara dan warisan sistem nilai (Somantri:1994). Ia merupakan suatu disiplin terapan yang bersifat deskriptif-analitik, dan kebijakan-pedagogis. Jika dilihat dari pandangan Kuhn (1970) dalam Somantri (1999) secara paradigmatik, pendidikan kewar­ ga­negaraan baru memasuki pre-paradigmatic phase atau proto science. Untuk dapat menggapai statusnya sebagai normal science diperlukan berbagai penelitian dan pengembangan lebih lanjut oleh anggota komunitas ilmiah pendidikan kewarganegaraan sehingga dapat melewati proses artikulasi sosialisasi-pengakuan- falsifikasi-validasi-pengakuan sebagai disiplin ilmu yang kuat. Secara konseptual pendidikan kewarganegaraan atau citi­ zen­ship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat lintas-bidang keilmuan dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling- keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan (Somantri:1994 dan Winataputra: 1999). Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama

Civic Governance Cita dan Realita 19 pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah satu dimensi dari social studies adalah citizenship education (Winataputra, 2000), khu­ susnya­ dalam upaya pengembangan intelligent social actor (Banks: 1977 dalam Somantri, 1999). Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan konsepsi warga negara madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewar­ ganegaraan mengemban missi: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis. Missi sosio-pedagogis bertujuan untuk mengembangkan potensi individu sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Missi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan warga ne­ gara madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggungjawab melalui ber­bagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada tum­ buh dan berkembangnya komitmen moral dan sosial kewarga negaraan. Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengem­ bangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarga negaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebajikan kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarga negaraan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi episte­ mologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio- kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Perwujudan ketiga misi tersebut akan mem­ fasilitasi pengembangan pendidikan kewarga negaraan seba­gai proto science menjadi disiplin baru dan dalam waktu bersamaan

20 Dr. Rahman Mulyawan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan demokrasi dan kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional. Secara konseptual-paradigmatik citizenship education saat ini mengembangkan strategi dasar learning democracy, in demo­ cracy, and for democracy (Winataputra, 2000). Kemudian, strategi dasar ini dikonsepsikan sebagai suatu kontinum education about citizenship education through citizenship education for citizenship yang secara kualitatif bergerak dari titik minimal (education about citizenship) ke titik maksimal (education for citizenship). Pendidikan kewargnegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional (Kerr:1999 dalam Sapriya, 2007) dikategorikan kedalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through citizenship. Untuk itu pendidikan kewarga­ negaraan sebagai suatu academic endeavor (Winataputra, 2000) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disip­lin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture (Quigley:1991 dalam Sapriya, 2007) atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan civic parti­ cipation (Cogan:1998). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler di sekolah atau luar sekolah/di perguruan tinggi di Indonesia, kedudukannya sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri perlu terus dimantapkan di semua jenjang pendidikan, agar proses education about citizenship ter­ wadahi secara sistematik dan berbobot.

Civic Governance Cita dan Realita 21 Pertimbangan tersebut juga dimaksudkan bahwa secara per­ lahan tetapi pasti, melalui pemantapan mata pelajaran/mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dan penciptaan kehidupan sosila-kultural sekolah/ kampus yang demokratis, taat hukum, religius dan berkeadaban, dapat dijalanai koridor sosial-kultural menuju proses education for citizenship (konsep sekolah/kampus sebagai laboratory for democracy. Oleh karena itulah pendidikan kewarganegaraan dapat disikapi dan diterima sebagai suatu wa­ hana sistemik atau integrated knowledge system atau synthetic discipline dalam tataran filosofik dan konseptual pendidikan disiplin ilmu. Pendidikan kewarganegaraan pada dasarnya tidak hanya membimbing warga negara muda untuk pelatihan kader warga negara yang dapat menjadi kreatif, dan partisipatif. Tetapi juga penyajian ide-ide kritis untuk membimbing dan memacu stra­ tegi-strategi yang sesuai untuk meningkatkan kualitas kehidup­ an. Artinya, bahwa para pendidik, orang tua atau pelatih sebaik­ nya dapat menularkan dan menumbuhkan kepercayaan dan nilai, perilaku kognitif dan non kognitif dari murid dalam hal sosial dan politik dan dengan dikembangakan oleh efek dari kurikulum yang nyata maupun tersembunyi. Berdasarkan perkembangan terbaru dari beberapa negara berkembang, pendidikan kewarganegaraan telah dikembangkan secepat mungkin dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan nasional, khususnya perkembangan sumber daya manusia. De­ ngan pendekatan ini, murid dapat berpikir dan mendalami­nya, dan juga agar dapat memecahkan masalah secara logis. Sebagai suatu karakteristik keahlian dan juga dengan menggunakan me­tode religi dan pendekatan-pendekatan kebudayaan. Guna

22 Dr. Rahman Mulyawan mendapatkan dan menganalisa masalah-masalah krusial dengan cara mengimplementasikan teori-teori politik, ideologi, dan sosial. Beberapa negara membuat ideologi, nilai religi, dan kebu­ dayaan sebagai fondasi pendidikan nasional sehingga guru-guru dan pengembang kurikulum berpegangan dan memperkaya semua mata pelajaran dengan semangat ideologi nasional, nilai- nilai religi, dan karakter kebudayaan.

Civic Governance Cita dan Realita 23

Pilahan 3 Pembangunan Karakter Bangsa dalam Konsep Civic Governance

Istilah karakter bangsa, dalam literatur Barat identik dengan national character sangat erat terkait dengan masalah psikologi sosial. Para ahli (Morgenthau, 1963) mendefinisikan karakter bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation state) sebagai salah satu unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antarbangsa. DeVos (1968) dalam Sapriya (2007) mendefinisikan karakter bangsa sebagai berikut: the term national character is used to describe the enduring perrsonality characteristics and unique life style found among the populations of particular nati­ onal states. Dengan kata lain bahwa karakter bangsa digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait dengan masalah kepribadian yang meru­ pakan bagian dari aspek kejiwaan maka diakui oleh DeVos bahwa dalam konteks perilaku, karakter bangsa dianggap sebagai isti­ lah yang abstrak yang terikat oleh aspek budaya dan termasuk dalam mekanisrne psikologis yang menjadi karakteristik warga negara tertentu.

25 Lebih lanjut diuraikan bahwa secara historis, munculnya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa. Na­ mun, persepsi tentang perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha sungguh-sungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi perbedaan dalam konfigurasi kepri­ badian, baru muncul pada tahun 1940-an. Sejak saat itu, konfi­ gurasi personality berhasil dirumuskan oleh para antropolog bah­kan dari pandangan budaya di luar Eropa. Perhatian terhadap adanya perbedaan kepribadian antar bangsa yang disebabkan oleh perbedaan budaya seiring dengan munculnya perbedaan pemahaman terhadap konsep karakter bangsa di tengah warga negara Barat. Perbedaan dalam national character pada warga negara Barat menimbulkan pandangan yang mengarah pada ketegangan secara periodik dan kesalah­ pahaman antar anggota aliansi dan kelompok-kelompok nasi­ onal yang bermusuhan. Pada masa perang, penelitian tentang national character terutama pada wilayah pendudukan atau wila­ yah jajahan tidak dapat dilakukan secara langsung sehingga pem­ bangunan karakter dinamakan the study of culture at a distance. Pada dasarnya, kajian tentang national character berbeda- beda tergantung pada pendekatan yang digunakan oleh peneliti. Mead (1953) dalam Sapriya (2007), dalam mengkaji national character membedakan tiga pendekatan, yaitu :

Pertama, pendekatan yang menganalisis hubungan antara kebiasaan, belajar anak-anak dalam suatu bangsa atau budaya dengan karakteristik yang terlihat dalam perilaku orang dewasa pada suatu warga negara yang sama. Dalam pendekatan ini, pengalaman anak yang sedang tumbuh menjadi fokus utama. Kedua, pendekatan dilakukan de­

26 Dr. Rahman Mulyawan ngan cara mengkaji pola dan struktur hubungan antar­ personal dalam warga negara. Ada sanksi budaya dalam warga negara untuk memperkuat pola-pola perilaku dan ada konsistensi yang diharapkan dalam konfigurasi bu­ daya. Pembatas budaya dalam pendekatan ini menjadi aspek kepribadian tertentu. Ketiga, kajian yang meliputi uraian komparatif tentang semua konfigurasi budaya yang membedakan suatu budaya dari budaya lainnya perbedaan gaya hidup dan cara pandang tentang sesuatu ditentukan sebagai bagian dari national character.

Konsep basic personality dikembangkan sebagai upaya untuk mendefinisikan komponen-komponen dari pengintegrasian ke­ pri­badian bersama yang dilakukan oleh sejumlah individu yang memiliki pengalaman budaya yang sama. Pertimbangan penting dalam mengkaji variabel basic personality adalah kedudukan atau keadaan kehidupan orang tua dalam warga negara. Peru­ bahan dalam struktur ekonomi sangat besar mempengaruhi peng­alaman anak-anak dan dapat mengubah keluarga batih sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan dalam basic perso­ nality. Pengkajian yang terkait dengan hubungan peran sentral budaya membesarkan anak umumnya dengan dampak­nya pada perasaan pribadi semasa dewasa. Melalui pendekatan ini dimung­ kinkan adanya pengkajian terhadap perbedaan dalam kelompok etnis dan golongan dalam suatu bangsa. Dalam kaitan ini, ada upaya untuk mendeskripsikan praktik membesarkan anak pada kelompok etnis dan golongan tertentu secara siste­matis. Bentuk kajian selanjutnya dinamakan functional prerequi­ sites : examine the basic personality traits that are necessary for at least a working minority of individuals within a society to keep

Civic Governance Cita dan Realita 27 that society functioning an its own terms. Maksudnya, pendekat­ an ini mengkaji sifat-sifat dasar kepribadian yang diperhatikan paling tidak untuk kelompok pekerja minoritas dalam warga negara untuk mempertahankan bahwa warga negara fungsional sesuai dengan yang disyaratkan. Sifat-sifat ini harus ada dalam warga negara jika warga negara industri yang kompleks itu ingin berfungsi secara efektif. Dilihat dari sudut pandang sosiopolitis, maka salah satu tujuan pokok kajian national character adalah mengkaji gejolak dalam struktur sosial dan politik negara-negara modern. Gejolak sosial ini kerapkali muncul dalam warga negara yang sedang mengalami perubahan cepat. Beberapa kajian tentang national character berupaya membedakan antara pola-pola warga negara. Diantara orang yang mengkaji secara khusus tentang karakter nasional pada suatu negara antara lain adalah Khatchatrian (2003). Khatchatrian (2003) membedakan refleksi pikirnya tentang karakter bangsa dengan menyatakan bahwa each nation is unique and inimitable phenomenon ever marked in nature, which repre­ sents itself unmeasured value for the concrete nation as well as for the whole mankind. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa suatu bangsa terbentuk dari sejumlah orang yang memiliki kesamaan bahasa, musik, tarian, kebiasaan dan tradisi khas yang dinamakan budaya bangsa yang merupakan karakter bangsa sebagai aspek psikologis atau bidang inti manusia. Oleh karena itu, ia mene­ gaskan bahwa:

National character belongs to any society distinguished historically and geographically and it manifests itself through inducement, norms of behaviour, measures, per­ ceptions, the way of thinking, attitude to the surroundings.

28 Dr. Rahman Mulyawan And, I believe this is the real essence of nation. It is some­ thing that differs one nation from the other.

Lain halnya dengan Morgenthau (1963) yang memandang national character dalam konteks politik internasional. National character merupakan salah satu dari tiga faktor kualitatif sumber daya manusia yang menonjol sebagai kekuatan nasional (national power), namun sulit dipahami dilihat dari ramalan secara rasional dan pengaruhnya terhadap bobot sebuah bangsa dalam skala politik intrnasional. Morgenthau yang mengkaji national character sebagai pola budaya secara antropologis menganggap bahwa certain qualities of intellect and character occur more frequently and are more highly valued in one nation than in another (1963:126). Kualitas suatu bangsa ini membedakan dari kualitas bangsa lainnya dan menunjukkan tingkat elastisitas yang tinggi untuk berubah. Keterkaitan yang begitu besar antara national character dan national power dalam konteks politik internasional ditegaskan oleh Morgenthau (1963: 130-131) sebagai berikut:

National character cannot fail to influence national power; for those who act for the nation in peace and war, formu­ late, execute, and support its policies, elect and are elected, mold public opinion, produce and consume-all bear to a greate or lesser degree the imprint of those intellectual and moral qualities which make up the national character.

Lebih jauh Morgenthau (1963) menggambarkan sejumlah bangsa yang memiliki karakter unggul yang membedakannya satu bangsa dari bangsa lain sebagai berikut.

Civic Governance Cita dan Realita 29 The elementary force and persistence of the Russians, the individual initiative and inventiveness of the Americans, the undogmatic common sense of the British, the discipline and thoroughness of the Germans are some of the qualities which will manifest themselves, for better or for worse, in all the individual and collective activities in which the mem­ bers of anation may engage.

Sebagai akibat dari perbedaan dalam national character maka pemerintah Jerman dan Rusia telah mampu membangun kebi­ jakan luar negeri yang tidak mungkin dicapai oleh Amerika Serikat dan Inggris pada waktu itu. Anti militerisme, keenggan­ an membangun tentara dan wajib militer merupakan ciri-ciri permanen dari karakter bangsa Amerika dan Inggris. Dengan demikian, karakter bangsa Jerman dan Rusia telah memberikan keuntungan awal dalam membangun kekuatan karena mereka dapat melakukan transfromasi pada masa damai dari bangsanya menjadi instrumen untuk beperang. Oleh karena itu, Morgenthau menegaskan lagi bahwa pengamat masalah intemasional yang berusaha mengkaji kekuatan bangsa yang berbeda harus mem­ per­timbangkan aspek national character walaupun kemungkin­ annya sulit mengkaji secara benar tentang masalah yang begitu sukar dipahami dan tidak terlihat (intangible). Branson dalam Sapriya (2007) menyatakan bahwa perhatian terhadap pendidikan karakter dan pendidikan kewarganegaraan sudah cukup lama di Amerika Serikat. Tugas mengembangkan pendidikan karakter dan pendidikan kewarganegaraan dilakukan seiring secara bersama-sama yang bertujuan untuk mengem­ bangkan sifat-sifat karakter pribadi dan karakter warga negara. Ciri-ciri karakter pribadi meliputi tanggung jawab moral, disip­

30 Dr. Rahman Mulyawan lin pribadi, dan hormat kepada orang lain dan martabat manusia. Sedangkan ciri-ciri karakter warga negara meliputi public-spirited­ ness, civility, respect for law, critical mindedness, and a willingness to negotiate and compromise. Lebih lanjut Branson memperta­ nyakan bagaimana pendidikan kewarganegaraan dapat memper­ kuat dan melengkapi perkembangan karakter sebagai berikut:

How can civic education, strengthen and complement the development of character? Primary responsibility for the cultivation of ethical behavior and the development of private character, including moral character, lies with families, reli­ gious institutions, work settings, and the other parts of civil society. School, however, can and should play a major role in the overall development of the character of students. Effective civic education programs should provide students with many opportunities for the development of desirable traits of public and private character.

Branson menyatakan hasil penelitiannya telah menunjukkan bahwa mata pelajaran di sekolah seperti pemerintahan, kewar­ ganegaraan, sejarah dan sastra bila diajarkan secara baik mem­ berikan kerangka konseptual yang diperlukan untuk pendidikan karakter. Hal ini berarti bahwa pendidikan karakter dapat dila­ kukan bukan hanya melalui mata pelajaran pendidikan kewarga­ negaraan melainkan dapat pula melalui mata pelajaran lain.

Civic Governance Cita dan Realita 31

Pilahan 4 Peranan Partisipasi Masyarakat dalam Kehidupan Bernegara

Istilah “partisipasi masyarakat”, atau “partisipasi”, telah menjadi salah satu terminologi popular belakangan ini dalam pemba­ ngunan, seiring dengan bergulirnya proses demokrasi yang se­ ma­kin menjunjung kedaulatan rakyat dan juga dengan semakin sadarnya pemerintah dan rakyat sendiri akan pentingnya parti­ sipasi masyakat dalam setiap proses pembangunan. Ada banyak alasan kenapa partisipasi masyarakat diperlukan dalam pemba­ ngunan. Grant (1979:63) mengemukakan tiga diantaranya yang paling pokok yaitu: a. Rakyat merupakan target dari pembangunan. Kesejah­ teraan mereka merupakan tujuan pembangunan. ini berarti bahwa setiap usaha pembangunan itu harus mampu mensejahterakan rakyat. b. Rakyat merupakan instrumen pembangunan. Mereka merupakan sumber daya yang sangat bemanfaat bagi keberhasilan pembangunan.

33 c. Rakyat mempunyai hak untuk menikmati hasil pemba­ ngunan. Ini adalah wajar sebagai imbangan dari sum­ bangan mereka bagi keberhasilan pembangunan.

Pada tahap penerapan program pembangunan di Negara berkembang tidak bias diabaikan pertemuan nilai modern dan tradisi sebagai akibat dari program tersebut. Dalam upaya me­ nyatupadukan unsure kekuatan pembangunan dalam hubungan partisipasi berbagai lapisan masyarakat pada pembangunan diperlukan struktur tradisi dengan nilai dan struktur modern dalam bentuk kerjsama birokrasi pemerintah dan lembaga masyakarat. Pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan terlihat dari pendapat Davis dan Newstrom (1989:10) sebagai berikut:

Partisipasi menunjukkan keterlibatan mental dan emosi dari seseorang dalam pendekatan kelompok yang men­ dorong untuk ikut mengambil bagian terhadap pencapaian tujuan kelompok serta ikut bertanggung jawab atas tercapainya tujuan tersebut.

Corner (1991: 154-155) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa partisispasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan pengembangan wi­ layah. Pertama, partisipasi masyarakat; kedua, kepercayaan ma­ sya­rakat akan lebih meningkat jika diikutsertakan; ketiga, hak demokrasi jika masyarakat diikut sertakan dalam pembangunan.

Fredrickson (1984: 183) menunjukkan kunci keterlibatan warga negara adalah dengan mengembangkan, memelihara dan melindungi pola desentralisasi, yakni pola yang memaksa su­

34 Dr. Rahman Mulyawan paya keputusan diambil sedekat mungkin dengan warga negara secara individu. Pengertian partisipasi yang pada dasarnya sama tetapi dengan rincian yang berbeda seperti diungkapkan oleh Tjokroamidjojo (1992:87) bahwa: Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pem­ bangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam mobilisasi sumber-sumber pembiayaan pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan, dan lain-lain. Selanjutnya, Davis dan Hechman (dalam Ndraha, 1992: 87) mengemukakan bahwa: “Participation is defined as indivi­ dual, mental and emotional involvement in a group situation that encourages him to contribute to group goal and to share respon­ sibility for them”. Partisispasi merupakan suatu kesatuan dari keterlibatan individu, mental dan emosional untuk motivasi kelompok dalam memberi sumbangan. Selain itu, Uphott (1977:6) juga mendefinisikan partisipasi sebagai berikut:

Participation including people involvement in decision making processes about what would be doing and how; their involvement in implementing programs and decisions by contributing various sources or cooperating in specific activities in the benefits of development programs; and or their involvement in efforts to evaluate such program.

Pengertian diatas menyatakan partisipasi mencakup keter­ libatan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan mengenai apa yang akan lakukan dan dengan cara bagaimana; keterlibatan mereka dalam pengimplementasian program-prog­ ram dan keputusan-keputusan dengan menyumbangkan berbagai sumber atau bekerja sama dalam kegiatan-kegiatan khusus untuk kepentingan program pembangunan; dan atau keterlibatan

Civic Governance Cita dan Realita 35 mereka dalam usaha-usaha untuk mengevaluasi program-prog­ ram seperti itu. Berdasarkan pemahaman terhadap uraian di atas, Sulaiman (1992:3) merumuskan bentuk dan jenis partisipasi masyarakat sebagai berikut: a. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara langsung dan tatap muka; b. Partisipasi dalam bentuk iuran uang atau barang; c. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; d. Partisipasi dalam bentuk dukungan.

Selain itu, Davis (dalam Sastropoetro, 1998:16) mengemu­ kakan bentuk dan jenis partisipasi masyarakat sebagai berikut: a. Bentuk partisipasi terdiri dari: (a) konsultasi, jasa; (b) sumbangan spontan dalam bentuk uang, barang dan jasa; (c) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dananya berasal dari sumbangan industri/instansi yang berada di luar lingkungan tertentu; (d) mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat; (e) sumbangan dalam bentuk kerja, biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat; (f) aksi solo; dan (g) melaksanakan pembangunan di kalangan sendiri. b. Jenis-jenis partisipasi terdiri dari: (a) psychological parti­ cipation; (b) physical participation; (c) psychological and physical participation; (d) participation with skill; (e) material participation; and (f) money participation.

36 Dr. Rahman Mulyawan Lain halnya dengan Hamidjojo (1978:18) yang mengemuka­ kan jenis partisipasi masyarakat meliputi : a. Partisipasi buah pikiran: kemampuan menambah pe­ ngetahuan dan pengalaman untuk mencapai mufakat atas berbagai masalah melalui musyawarah, mengawasi perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan; b. Partisipasi keterampilan, yaitu kemampuan masyarakat untuk mengerahkan keterampilan dalam memanfaatkan sumber kekayaan alam dan nilai-nilai social untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; c. Partisipasi tenaga, yaitu kemampuan masyarakat untuk mengembangkan tenaga khususnya tenaga kasar yang bersifat hartawi bagi proyek-proyek pembangunan se­ perti gotong royong, kerja bakti, dan lain sebagainya; d. Partisipasi harta benda, kemampuan masyarakat untuk memberikan atau menyumbangkan harta benda terha­ dap usaha-usaha yang diserahkan oleh masyarakat akan meringankan beban hidup bersama dan sesamanya se­ perti mebuat jalan, jembatan dan lain sebagainya; e. Partisipasi uang, yaitu kemampuan masyarakat untuk memberikan swadaya gotong royong dalam pelaksa­ naan proyek pembangunan.

Dari keseluruhan uraian mengenai partisipasi masyarakat diatas, peneliti berpendapat bahwa kegiatan partisipasi meliputi semua tahap proses berikut : 1) Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan (termasuk perencanaan).

Civic Governance Cita dan Realita 37 Partisipasi ini sangat mendasar karena menyangkut penen­ tuan nasib mereka (masyarakat), seperti yang dikemukakan oleh Moebyarto (1994:45), semakin besar kemampuan un­ tuk menentukan nasib sendiri, semakin besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan. 2) Partisipasi dalam Pelaksanaan (implementasi). Hal ini dapat dilihat dari tingkat konstribusi (sumbangan) masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang telah diputuskan dalam tahap sebelumnya. Partisipasi ini seperti yang dikemukakan oleh Uphott (1977:109), yang dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat dalam memberi konstribusi guna menunjang pelaksanaan pemba­ ngunan yang berwujud tenaga, uang, barang material, atau­ pun informasi yang berguna bagi pelaksanaan pembangunan. 3) Partisipasi dalam pengawasan (controlling). Partisipasi ini merupakan kegiatan untuk menentukan dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan penting terhadap apa yang telah direncanakan (diputuskan). Dalam rangka penyesuaian dengan kepentingan rakyat, maka pengawasan tidak cukup dilakukan oleh lembaga-lembaga formal, tetapi juga oleh organisasi-organisasi masyarakat agar pelaksanaan administrasi lebih sesuai dengan kepentingan rakyat 4) Partisipasi dalam evaluasi (termasuk pengawasan). Partisipasi ini perlu karena melalui evaluasi dapat diketahui sejauhmana manfaat kegiatan pembangunan yang dilaku­ kan bagi kesejahteraan masyarakat.

38 Dr. Rahman Mulyawan Pilahan 5 Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyelenggaraan Pemerintahan

Pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses penyeleng­ garaan pemerintahan di Kabupaten Bandung memiliki beberapa aturan hukum yang melandasinya. Aturan-aturan tersebut se­ makin memperkuat bahwasanya masyarakat memiliki hak dan juga kewajiban untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Aturan inipun sekaligus mewajibkan apa­ratur pemerintah senantiasa memberi peluang kepada ma­ sya­rakat untuk terus mengaktualisasikan peran sertanya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Adanya beberapa lan­ dasan hukum ini disebabkan adanya faktor pemicu yang melatar belakangi, faktor itu diantaranya adalah munculnya tuntutan rakyat yang menghendaki adanya penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna, selain itu masyarakat telah menyaksikan bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang

39 melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Karena adanya tuntutan itulah me­ nyebabkan lahirnya beberapa landasan hukum yang berkaitan dengan pentingnya peran serta masyarakat dalam proses penye­ lenggaraan pemerintahan. Adapun beberapa landasan hukum tersebut adalah sebagaimana dijelaskan di bawah ini. a. TAP MPR No. XI/MPR/1998 Landasan hukum ini mengatur tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada aturan ini dikemukakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan tugas­ nya, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan ter­ percaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (Pasal 2). Aturan ini telah mengajak para aparatur untuk konsisten dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat tanpa melabrak aturan hukum yang ada. Salah satu faktor yang dapat mendukung keberhasilan dari tujuan aturan ini adalah keikutsertaan masyarakat dalam mengawasi kinerja aparat pemerintah. b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Undang-Undang ini mengatur tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sama halnya dengan TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 yang juga mengatur tentang penyelenggara negara yang terbebas dari nuansa koupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip utama yang diatur dalam perundang-undangan ini adalah adanya Pasal 3 yang men­ jelaskan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Asas-asas ter­ sebut diwajibkan untuk selalu menjadi panduan dari para

40 Dr. Rahman Mulyawan penyelenggara negara agar terbebas dari nuansa korupsi, kolusi dan nepotisme. Adapun asas-asas tersebut meliputi: 1) Asas Kepastian Hukum, yaitu mengutamakan landasan per­ aturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan da­ lam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu proses keter­ aturan, keserasian dan keseimbangan dalam penyelengga­ raan negara. 3) Asas Kepentingan Umum, yaitu mendahulukan kesejahte­ raan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 4) Asas Keterbukaan, yaitu membuka diri terhadap hak ma­ syarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. 5) Asas Proporsionalitas, yaitu mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. 6) Asas Profesionalitas, yaitu mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 7) Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa se­ tiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara ha­ rus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Civic Governance Cita dan Realita 41 Selanjutnya, pada Pasal 8 UU ini dikemukakan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih. Hubungan antara penye­ leng­gara negara dengan masyarakat dilaksanakan dengan ber­ pe­gang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dijelaskan di atas. Isi dari Pasal 9 ini sangat ideal dan mendukung semakin tingginya partisipasi masyarakat da­ lam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, hal tersebut dapat diketahui mengingat pada Pasal 9 dijelaskan bahwa peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: 1) hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi ten­ tang penyelenggaraan negara; 2) hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara; 3) hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara; dan 4) hak memperoleh perlindungan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa­ sanya peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara jelas dilindungi oleh hukum, oleh sebab itulah apabila ada pihak-pihak yang menghalangi masyarakat dalam berperan serta, maka pihak-pihak tersebut sesungguhnya telah melanggar hukum. c. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang Tata Cara Pelaksa­ naan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan peran

42 Dr. Rahman Mulyawan serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Peran serta masyarakat ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut dikemukakan dalam Pasal 10 bahwa setiap penyelenggara negara yang menerima permintaan masyarakat untuk memperoleh infor­masi tentang penyelenggaraan negara wajib memberikan jawaban atau keterangan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa transpa­ ransi dan partisipasi merupakan unsur penting dalam memba­ ngun dan mengembangkan sistem pemerintahan yang demo­ kratis dan aspiratif sehingga perlu melibatkan unsur masyarakat dalam menyusun kebijakan publik, pelaksanaan, dan evaluasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, bersih dan berwibawa. Selain itu transparansi dan partisipasi baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan bentuk kemitraan dan keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat untuk secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan penelitian peneliti di lapangan, dapat dikatakan Peraturan Pemerintah ini tidak tersosialisasikan dengan baik oleh pemerintah kepada masyarakat, sehingga landasan hukum ini berjalan dengan stagnan/kurang optimal. d. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004 Peraturan Daerah ini mengatur tentang Transparansi dan Parti­ sipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Ban­ dung. Dalam perda ini dijelaskan beberapa pengertian seperti berikut:

Civic Governance Cita dan Realita 43 1) transparansi adalah keadaan dimana semua pihak dapat mengetahui penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung secara terbuka. 2) partisipasi adalah bentuk keterlibatan masyarakat, baik se­ cara langsung maupun tidak langsung dalam menyumbang­ kan pikiran dan pendapatnya pada setiap proses pengam­ bilan keputusan publik sehingga lebih aspiratif, terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan. 3) partisipasi langsung adalah partisipasi masyarakat yang di­ sampaikan secara aktif dan spontan kepada badan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 4) partisipasi tidak langsung adalah partisipasi masyarakat yang dalam penyampaiannya melalui tulisan/media kepada badan publik dalam menyusun rencana/program kerja.

Peraturan daerah inipun mengamanatkan dalam Pasal 11 yang menjelaskan bahwa pengambilan keputusan yang erat kait­ annya dengan kepentingan masyarakat sedapat mungkin me­ libatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak lang­ sung dan hasilnya dapat diakses oleh masyarakat. Dan pada Pasal 30 disampaikan secara tegas bahwa pejabat badan publik yang tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam perda ini, selain dikenakan sanksi administratif atau dapat dikenakan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya perda tersebut menerangkan bahwa publik dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan publik yang dilakukan oleh Badan Publik. Pasal 28 menyebutkan

44 Dr. Rahman Mulyawan bahwa masyarakat dapat melakukan pengawasan atas penyeleng­ garaan kegiatan publik melalui: 1) pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan Badan Publik; 2) penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, pe­ nyempurnaan baik bersifat preventif maupun represif atas masalah yang disampaikan; 3) melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan kebi­ jakan publik oleh Badan Publik; 4) memantau dan atau mengamati perilaku pejabat badan pub­lik dalam menjalankan tugasnya.

Berkaitan dengan beberapa landasan hukum di atas, aturan- aturan tersebut merupakan peluang untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berperan serta pada proses penyeleng­ garaan pemerintahan. Faktor pendukung lainnya selain aturan- aturan tersebut di atas adalah kondisi ikatan persaudaraan di antara sesama warga Kabupaten Bandung yang sangat kuat. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik budaya yang luhur dari masyarakat Kabupaten Bandung itu sendiri.

Civic Governance Cita dan Realita 45

Pilahan 6 Konsep Otonomi Daerah

Secara etimologis otonomi berasal dari bahasa Yunani “auto­ nomos”. Auto artinya sendiri, nomos = nomoi, artinya aturan atau undang-undang. Dengan demikian otonomi mengandung arti mengatur sendiri (self ruling), wilayah atau bagian negara atau kelompok yang memerintah sendiri. Dalam konteks administrasi warga negara, daerah otonom sering disebut sebagai local self government. Daerah otonom ber­beda dengan “daerah” sebagai wilayah yang merupakan pe­ ne­rapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi warga negara disebut sebagai local state government. Secara etimonologi, otonomi dapat mengandung beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk tidak di­ kontrol oleh pihak lain ataupun kekuatan luar; 2. Otonomi adalah bentuk pemerintahan sendiri (self govern­ ment), yaitu hak untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self government, self determination);

47 3. Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui dan dijamin tidak adanya kontrol oleh pihak lain terhadap fungsi suatu pemerintahan atau terhadap minoritas suatu bangsa; 4. Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun mencapai tujuan hidup secara adil (self deter­ mination, self sufficiency, self reliance); 5. Pemerintahan otonomi memiliki supremasi/dominasi ke­ kua­saan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang kekuasaan. (Kaho, 1997: 1).

Pengertian ini tentunya mengandung pengertian otonomi secara umum yang berlaku untuk suatu wilayah yang merdeka/ negara merdeka, bukan semata-mata untuk pemerintah daerah yang ada dalam suatu negara, dimana Pemerintah Pusat selalu ada kaitan dan hubungan dengan Pemerintah Daerah, baik dalam arti hubungan kewenangan, keuangan maupun pengawasan.

a. Kewenangan dalam Otonomi Daerah Kewenangan itu merupakan substansi dari konsep otonomi. Untuk mengetahui sejauhmana kualias otonomi suatu daerah adalah melalui sejauhmana daerah itu memiliki kewenangan. Kewenangan oleh Mardiasmo (2002) dianalogikan dengan sis­ tem syaraf dalam tubuh manusia, “Tanpa otak dan syaraf tubuh manusia tidak dapat berfungsi. Tanpa suatu sistem wewenang suatu organisasi juga tidak dapat berfungsi”. Oleh sebab itu, kewenangan juga merupakan substansi manajemen untuk me­ lakukan kegiatan-kegiatan guna mempengaruhi akti­vitas para bawahan pada jenjang hierarki organisasi.

48 Dr. Rahman Mulyawan Konsep kewenangan itu merupakan terjemahan dari kon­ sep authority dalam bahasa Inggris. Taliziduhu Ndraha (2003:85) menyebutnya dengan the power or right delegated or given; the power to judge, act or command. Tentunya dalam kewenangan itu mengandung hak kekuasaan seseorang atau suatu organisasi untuk mengambil keputusan tanpa perlu persetujuan dari pem­ beri kewenangan sekaligus hak untuk mendapatkan kepatuhan dari orang lain untuk melaksanakan keputusan tersebut. Autho­ rity adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu (Kaho, 1997:212). Oleh sebab itu, ke­ wenangan itu merupakan bentuk legitimasi kekuasaan yang melekat kepada posisi dan bukan pada pribadi seseorang. Seorang pemimpin (pemerintah) mempunyai hak untuk memberi pe­ rintah dan tugas serta menilai pelaksanaan kerja yang dipim­ pinnya dan tentunya mengharapkan suatu kepatuhan yang di­ pimpin (diperintah) untuk melaksanakan suatu perintah atau keputusan. Wewenang ini biasanya merupakan hasil delegasi atau pelimpahan wewenang dari atasan ke bawahan dalam organisasi Menurut Weber (dalam Malarangeng, 2000), ada tiga ma­ cam tipe ideal wewenang, yaitu: wewenang tradisional, karis­ matik dan legal-rasional: 1) Wewenang Tradisional Wewenang tradisional berdasarkan atas keyakinan suatu kesakralan aturan, nilai yang turun temurun dari gene­ rasi ke generasi yang melekat sejak lama. Kewenangan ini dilaksanakan tanpa pembantu administratif, biasa­ nya dipegang oleh senior-seniornya yang dianggap lebih

Civic Governance Cita dan Realita 49 arif dan bijaksana. Pemerintahan yang berbentuk patri­ monialisme merupakan contoh pemerintahan yang ber­basis kewenangan (otoritas) tradisional; 2) Kewenangan Karismatik Kewenangan didasarkan atas wibawa seseorang yang mempunyai sifatsifat tertentu, yaitu yang mempunyai suatu kepribadian yang luar biasa, yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang khas, mempunyai kesaktian tertentu dan mempunyai kekuatan gaib dan berbeda dengan orang pada umumnya. Dalam kewenangan karismatik ini tidak ada hierarkhi bawahan yang pasti dan tidak ada karir seperti dalam organisasi birokrasi; 3) Kewenangan Legal-Rasional Kewenangan legal rasional didasarkan aturan yang di­ tetapkan bukan karena kepentingan pribadi atau endap­ an tradisi yang telah tertanam sejak lama. Seseorang tunduk kepada otoritas bukan karena norma-norma pribadi, bukan karena kesetiaan yang bersifat pribadi. Seseorang mengikuti perintah atasannya berdasarkan aturan yang telah ditetapkan secara formal dan jelas batas juridiksinya. Jadi kegiatan pemerintahan atau birokrasi itu dilaksanakan secara teratur formal dan jelas batas-batasnya dalam bentuk hierarkhi kantor. Aturan mengenai perilaku para staf, otoritas dan tanggung­ jawabnya dicatat dalam bentuk tertulis.

Jadi, kewenangan itu pada hakikatnya adalah kekuasaan formal yang legal yang dimiliki oleh para pejabat pemerintah. Hal ini sejalan dengan pendapat Syaukani (2003:20) :

50 Dr. Rahman Mulyawan Kewenangan adalah kekuasaan formal yakni kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang- undang atau legislatif, dari kekuasaan eksekutif atau ad­ mi­nistratif. Di dalam kewenangan terdapat wewenang- wewenang (rechtsbevoog), sementara wewenang adalah ke­kuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum warga negara.

Kewenangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu institusi atau pejabat berdasarkan peraturan perundang- undangan. Kewenangan delegatif adalah kewenangan yang berasal dari pendelegasian dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya (Wasistiono, 2001:28). Pandangan klasik menganggap bahwa wewenang itu berasal dari tingkat tertinggi dalam suatu warga negara dan selanjutnya berdasarkan hukum diturunkan dari suatu tingkat yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Pada puncak tingkat tertinggi ini mungkin Tuhan, mungkin juga berupa birokrasi (dalam bentuk raja, diktator atau presiden) atau kemauan kolek­ tif dari rakyat. Menurut pandangan “penerimaan” dasar wewenang itu ter­ letak pada penerimaan pengaruh (orang yang dipengaruhi) dan bukan kepada pemberi pengaruh (orang yang mempengaruhi). Pandangan ini mulai dari pengamatan bahwa tidak semua hukum atau perintah yang sah dipatuhi dalam setiap situasi. Sebagian diterima oleh bawahan atau penerima perintah, se­ bagian lagi tidak. Kuncinya adalah si penerimalah yang menen­ tukan apakah ia mau atau tidak mau mentaatinya. Oleh karena

Civic Governance Cita dan Realita 51 itu, dalam pandangan “penerimaan” ada atau tidaknya wewenang dalam setiap hukum atau perintah tertentu ditentukan oleh penerima bukan oleh si pemberi perintah. Kewenangan tetap melekat pada pejabatnya, sedangkan we­wenang bisa dilimpahkan oleh pejabat yang bersangkutan melalui pendelegasian wewenang. Prinsip utama yang mendasari pendelegasian (penyerahan wewenang) adalah desentralisasi pengambilan keputusan dalam organisasi. Keuntungan dengan adanya desentralisasi pengambilan keputusan, yaitu para peng­ ambil keputusan di tingkat pusat dapat memusatkan waktu dan perhatiannya kepada masalah yang lebih penting. Di samping itu, keputusan yang diambil secara desentralisasi akan lebih baik karena umurnnya pejabat di daerah lebih dekat dengan per­ masalahan, lebih mengerti dan menguasai informasi yang lebih relevan.

b. Tujuan Otonomi Daerah Berdasarkan pada ide yang hakiki dalam konsep otonomi daerah tercermin dalam kesamaan pendapat dan kesepakatan dari pen­ diri negara (the founding fathers) tentang perlunya desentralisasi dan otonomi daerah, ditegaskan bahwa tujuan pemberian oto­ nomi daerah setidak-tidaknya akan meliputi empat aspek seba­ gai berikut: 1) Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, me­ nyalurkan inspirasi dan aspirasi warga negara, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk men­ dukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rang­ ka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah;

52 Dr. Rahman Mulyawan 2) Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk me­ ningkatkan dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap warga negara dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan warga negara; 3) Dari segi kewarga negaraan, untuk meningkatkan par­ tisipasi serta menumbuhkan kemandirian warga negara, dengan melakukan usaha pemberdayaan (empowerment) warga negara, sehingga warga negara makin mandiri, dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya; 4) Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk me­ lancarkan pelaksanaan program pembangunan guna ter­capainya kesejahteraan rakyat yang makin mening­ kat. (Sarundajang, 2000:36).

Sementara Rasyid (1997: 18) dalam melihat tujuan otonomi ini dikaitkan dengan kepentingan pemerintah pusat dan kepen­ tingan daerah. Dari sudut kepentingan pemerintah pusat ada tiga nilai-nilai desentralisasi yaitu untuk pendidikan politik, la­ tih­an kepemimpinan dan untuk menciptakan stabilitas politik. Pemberian kewenangan yang seharusnya diberikan oleh pe­merintah pusat kepada pemerintah daerah adalah sebagai kon­sekuensi logis untuk tercapainya maksud dan tujuan pem­ berian otonomi kepada daerah, serta untuk imbalan terhadap kewajiban dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam melak­

Civic Governance Cita dan Realita 53 sanakan otonomi daerahnya, karena pusat tidak akan mampu membuat semua masalah menjadi keputusan warga negara.

54 Dr. Rahman Mulyawan Pilahan 7 Budaya Lokal dan Budaya Pemerintahan dalam Otonomi Daerah

Masyarakat memandang organisasi sebagai suatu institusi sosial yang saling berinteraksi dengan institusi sosial lainnya dalam membangun suatu sistem sosial yang lebih besar. Setiap organisasi baik privat maupun publik pasti memiliki budaya atau sistem nilai yang dianut, namun tidak setiap organisasi mempunyai kemampuan untuk membangun dan merancang budaya yang mampu menjadi kesepakatan bersama untuk di­ jadikan nilai-nilai organisasi yang dapat menghadapi perubahan zaman. Budaya organisasi adalah suatu nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal dan cara berfikir yang dipertemukan oleh para anggota organisasi dan diterima oleh para anggota secara utuh. Budaya organisasi dapat pula diartikan sebagai norma-norma perilaku, sosial dan moral yang mendasari setiap tindakan dalam organisasi dan dibentuk oleh kepercayaan, sikap dan prioritas para anggotanya. Pada dasarnya tujuan membangun budaya orga­nisasi adalah melengkapi para anggota dengan rasa identitas organisasi dan menimbulkan komitmen terhadap nilai-nilai yang

55 dianut organisasi. Dengan demikian, budaya organisasi juga dapat menjadi strategi bagi organisasi untuk mempertahankan dan mengembangkan organisasi secara lebih adaptif dalam meng­ hadapi perubahan lingkungan. Untuk membangun budaya pemerintahan sebagai organisasi publik, dapat meminjam teori budaya organisasi privat yang dikemukakan oleh Denison (dalam Suwarto, 2009:26) yang mengemukakan bahwa ada empat tipe budaya organisasi, yaitu: 1) Budaya Adaptasi Budaya adaptasi ditandai oleh lingkungan yang tidak stabil dengan perhatian strategi yang terfokus pada ke­ giatan eksternal. Pada budaya orgnisasi ini orang-orang didalam institusi diarahkan agara dapat mendukung kapasitas organisasi untuk menangkap tanda-tanda dan menafsirkan tidakan-tindakan terhadap lingkungan ke dalam perilaku yang baru. Institusi yang menganut budaya ini memerlukan respon yang segera untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. 2) Budaya Misi Budaya ini ditandai oleh keadaan lingkungan yang re­ latif stabil. Dalam keadaan lingkungan yang stabil, or­ ganisasi mulai memperhatikan perilaku orang-orang diluar organisasi. Tujuannya adalah untuk menyebarkan visi organisasi kepada khalayak ramai. Visi tersebut memberi arti bagi para anggota dengan mendefinisikan secara jelas perannya dalam organisasi. Orang-orang didalam organisasi percaya baha misi organisasi adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

56 Dr. Rahman Mulyawan 3) Budaya Partisipatif Tipe budaya partisipatif memfokuskan perhatiannya pada keterlibatan seluruh orang dalam organisasi ter­ hadap perubahan lingkungan yang cepat. Organisasi membangkitkan inisiatif para anggotanya agar senan­ tiasa terlibat dalam kebersamaan melalui rasa tanggung jawab dan merasa memiliki, serta komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Rasa kepemilikan (sense of belo­ nging) yang dikembangkan melalui kesepakatan ber­ sama dalam bentuk kepemilikan peran dan fungsi masing-masing. 4) Budaya Konsisten Tipe budaya organisasi konsisten ini dikembangkan da­lam keadaan lingkungan yang stabil. Dalam keadaan seperti ini, organisasi memfokuskan strateginya kearah internal organisasi. Simbol-simbol dan tradisi dan nilai- nilai yang dibangun didesain untuk mendukung kerja­ sama dalam mengembangkan organisasi guna mewu­ judkan visi yang telah ditetapkan.

Pemerintah merupakan organisasi formal yang dibentuk oleh Negara dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan. Dengan demikian secara kelembagaan, pemerintah merupakan suatu sistem yang berinteraksi dengan subsistem lainnya dalam suatu sistem sosial tertentu. Interaksi yang dilakukan oleh pe­ merintah sebagai organisasi merupakan implementasi dari fungsi pemerintahan itu sendiri seperti memberikan pelayanan (public service) kepada masyarakat. Dalam memberikan pelayanan ke­ pada masyarakat semestinya pemerintah memegang nilai-nilai yang dianut sebagai budaya.

Civic Governance Cita dan Realita 57 Masyarakat yang berbudaya merupakan impian setiap orang sebagai warga negara, agar kehidupan bersama tertata dengan baik, saling menghormati, saling memperhatikan, saling meno­ long, saling melayani dan masing-masing individu dapat mela­ kukan tugas dan kewajiban dengan baik. Pentingnya budaya pemerintahan dalam membangun sistem pemerintahan yang ideal merupakan panduan moral bagi apa­ ratur penyelenggara pemerintahan yang diakomodir dari elemen- elemen modal sosial yang terdiri atas: tata nilai, kompetensi SDM, manajemen pemerintahan, dan kepemimpinan. Pemerintah se­ bagai lembaga yang dominan dalam kehidupan masyarakat pada hakekatnya merupakan pembawa nilai-nilai dan berfungsi melestarikan nlai-nilai budaya suatu bangsa. Birokrasi pemerintahan yang efektif dan efisien merupakan kebutuhan dan sekaligus sebagai tulang punggung masyarakat masyarakat modern. Organisasi yang sehat dan rasional meru­ pakan keharusan dalam tatanan sosial masyarakat maju. Tum­ buhnya organisasi pemerintahan yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, serta mampu mengatur dan mengkoordinasikan manusia dalam jumlah besar merupakan salah satu dalam proses modernisasi. Seiring dengan tuntutan tersebut, dan mengacu pada definisi Pemerintahan yang dikemukakan oleh Ndraha (2003 :5) yang mengatakan:

Pemerintahan adalah sebuah sistem multiproses yang ber­ tujuan memenuhi dan melindungi kebutuhan dan tun­ tutan yang diperintah akan jasa publik dan layanan civil, dimana pemerintah merupakan institusi yang mempunyai kewenangan untuk mengelola kepentingan publik berupa

58 Dr. Rahman Mulyawan pelayanan kewarga negaraan (civic service) dan dan ber­ ke­wajiban untuk memberikan pelayanan civil (civil service) kepada masyarakat, maka diperlukan tatanan yang meng­ atur hubungan antara pemerintah sebagai institusi yang memerintah dengan masyarakat sebagai yang diperintah. Tatanan yang diatur itu bisa dalam bentuk peraturan ter­ tulis berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan tidak tertulis berupa etika yang menjadi kebisaan ber­ ulang-ulang (budaya).

Kebiasaan yang berulang-ulang dalam tata hubungan antara pemerintah dengan masyarakat merupakan nilai yang senantiasa dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat, agar perilaku aparatur pemerintah terbingkai secara baik dalam melayani masyarakat sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat, maka nlai-nilai ini mesti dilembagakan sebagai bagian dari pemerin­ tahan, dan apabila nilai-nilai ini sudah dilembagakan sebagai pedoman bagi pemerintah dalam melayani masyarakat maka nilai-nilai tersebut menjadi budaya pemerintahan. Secara empirik tampak beberapa bentuk budaya pemerin­ tahan, yaitu budaya pemerintahan untuk melindung rakyat agar tercipta suasana yang tertib dan aman, budaya pemerintahan yang selalu membangun untuk mewujudkan kemajuan bagi rakyat, budaya pemerintahan yang selalu memberdayakan rakyat agar tercipta suatu kondisi kemandirian masyarakat. Budaya pemerintahan tidak berjalan dalam ruang hampa melainkan tam­ pak secara nyata dalam kehidupan berpemerintahan. Penelaahan tentang komponen utama dari budaya peme­ rintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan diuraikan secara komprehensif oleh Ndraha (2003:357) sebagai berikut:

Civic Governance Cita dan Realita 59 Sebagaimana diketahui, budaya pemerintah adalah budaya kekuasaan. Sistem nilainya adalah system nilai kekepalaan. Ke­ku­asaan pemerintah adalah kekuasaan yang sah (legiti­ mate). Budaya pemerintahan terbentuk dari upaya mem­ bangun kekua­saan semudah-mudahnya. Kekuasaan yang sah dapat dibangun dengan mudah melalui janji yang muluk-muluk atau iming-iming yang menggiurkan. Begitu kepercayaan rakyat diperoleh, kendatipun belum ada buktinya, pemerintah menggunakan ke­kuasaan itu se­ efek­tif-efektifnya, kalau perlu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Mengingat budaya pemerintahan terbentuk dan dibentuk dari hubungan pemerintahan antara pemerintah dengan yang diperintah sepanjang sejarah pemerintahan, maka budaya pe­ me­rintahan tampil dalam berbagai tipe. Ndraha (2003:356) me­ ngemukakan empat tipe budaya pemerintahan sebagai berikut: 1) Budaya pemerintahan demokratik, yaitu budaya peme­ rintahan yang terbentuk melalui interaksi antara pe­ merintah dengan yang diperintah di dalam lingkungan dan tujuan yang disepakati bersama, sehingga mun­ cullah nilai keterbukaan dan kebersamaan yang meru­ pakan dua nilai dasar dalam demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 2) Budaya pemerintahan sentralistik, yaitu budaya peme­ rintahan yang terbentuk dibawah tujuan bersama (untuk rakyat), tetapi dengan lingkungan masing-masing. Arti­ nya pemerintah mempunyai lingkungan sendiri dan bersifat ekslusif. Dalam budaya pemerintahan sentra­ listik ini konflik tidak mencuat karena pemerintah bertindak secara represif;

60 Dr. Rahman Mulyawan 3) Budaya pemerintahan opsisional, yaitu budaya peme­ rintahan yang terbentuk dalam suasana penuh konflik karena tujuan masing-masing komponen antara peme­ rintah dengan yang diperintah berbeda dan berlainan arah, kendatipun berada dalam lingkungan yang sama; 4) Budaya pemerintahan federalistik, yaitu budaya peme­ rintahan dimana ketidakpercayaan rakyat kepada pe­ me­rintah memuncak, sementara tujuan yang dinyata­ kan melalui simbol-simbol politik seperti persatuan dan kesatuan, demokrasi, supremasi hukum, keadilan sosial menjadai tidak diindahkan dan berantakan.Ke­ daulatan sentripetal dan koperiferal semakin kuat. Hal ini didukung oleh lingkungan yang tidak homogen.

Berdasarkan uraian teoretis tentang budaya pemerintahan di atas, peneliti mengklasifikasikan bahwa budaya pemerintahan memiliki beberapa dimensi sebagai berikut : 1) Dimensi nilai (value), yaitu prinsip-prinsip yang men­ jadi keyakinan kebenaran untuk menjadi pemandu peri­laku baik bagi pemerintah. maupun bagi pihak yang diperintah. Nilai keyakinan ini merupakan hasil dari penilaian dari pihak yang diperintah terhadap perilaku pemerintah; 2) Dimensi persepsi (perception), yakni orientasi kognitif sebagai hasil dari penilaian pihak yang diperintah terhadap perilaku pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan; 3) Dimensi sikap (attitude), yaitu orientasi afektif yang menjadi sikap yang diyakini dari hasil penilaian pihak

Civic Governance Cita dan Realita 61 yang diperintah terhadap sikap pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan; 4) Dimensi tanggung jawab (accountability) yakni konse­ kuensi dari penggunaan kekuasaan pemerintah yang dilakukan secara formal yang diikuti oleh orientasi eva­luatif sebagai hasil dari penilaian pihak yang dipe­ rintah terhadap penyelenggraan pemerintahan; 5) Dimensi kepercayaan (trust), yakni nilai-nilai yang diperoleh dari hasil penilaian pihak yang diperintah terhadap pemerintah dalam menepati janji-janji yang dikemukakan kepada masyarakat. Janji-janji ini diru­ muskan dalam bentuk keputusan, program kerja, dan perumusan kebijakan yang memenuhi harapan masya­ rakat yang direkam pada saat melakukan sosialisasi untuk memperoleh legitimasi dalam memerintah; 6) Dimensi partisipasi (participation), yakni yang diingin­ kan oleh keduabelah pihak, baik pemerintah maupun masyarakat sebagai pihak yang diperintah untuk turut serta dalam menentukan nilai bersama, sehingga ke­ ingin­an masyarakat dapat tersalurkan dan pemerintah mendapat dukungan. Apabila dimensi pastisipasi ini terpenuhi dalam membangun budaya pemerintahan, maka konflik antara pemerintah dengan masyarakat sebagai pihak yang diperintah akan dapat diminimalisir dan dukungan terhadap pemerintah akan meningkat, sehingga pemerintahan dapat berjalan secara efektif dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.

62 Dr. Rahman Mulyawan Dari keenam aspek yang peneliti kemukakan di atas, aspek partisipasi adalah kajian utama dalam penelitian disertasi ini se­ hingga peneliti melakukan eksplorasi dengan memprioritaskan instrumen penelitian pada aspek partisipasi tersebut di lapangan.

Civic Governance Cita dan Realita 63

Pilahan 8 Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten Bandung

a. Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama dengan hari Sabtu tanggal 20 April tahun 1641 M. Pada waktu ini, Bupati Pertama Kabupaten Bandung dijabat oleh Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). Dari bukti sejarah tersebut maka ditetapkan bahwa tanggal 20 April sebagai tanggal Hari Jadi Kabupaten Bandung. Kemudian Tumenggung Wiraangunangun digantikan oleh salah seorang putranya yang bernama Tumeng­ gung Nyili. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan Bupati dipegang oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timba­ nganten). Selanjutnya kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704, setelah Pemerintah Belanda meng­ adakan pertemuan dengan para Bupati Wilayah Priangan di Cirebon. R. Ardisuta (1704-1747) terkenal dengan nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut

65 Dalem Gordah. Sebagai penggantinya diangkat Putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar Anggadiredja II (1707-1747). Pada masa Pemerintahan Anggadiredja III (1763 -1794), Kabupaten Bandung disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang ke dalam peme­ rintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati Wiranata­ kusumah II (1794-1829) inilah Ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke Pinggir sungai Cikapundung atau Alun-alun Kotamadya Bandung sekarang. Pemindahan Ibukota itu atas dasar perintah dari Gubernur Jendral Hindia Belanda Daendels tanggal 25 Mei 1810, dengan alasan karena daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap perkembangan wilayah ter­ sebut. Setelah kepala pemerintahan dipegang oleh Bupati Wiranata­ kusumah IV (1846 -1874), ibukota Kabupaten Bandung berkem­ bang pesat dan beliau dikenal sebagai Bupati yang progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung dan Mesjid Agung, kemudian dia mem­ prakarsai pembangunan sekolah Raja (pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak (Opleiding School Voor Indische Ambtenaaren). Atas jasa-jasanya dalam membangun Kabupaten Bandung di segala bidang, beliau mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kolonial Belanda berupa Bintang jasa, sehingga masyarakat menjulukinya dengan sebutan Dalem Bintang. Di masa pemerintahan R. Adipati Kusumahdilaga jalan Kereta Api mulai masuk tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan

66 Dr. Rahman Mulyawan masuknya jalan Kereta Api ini ibukota Bandung semakin ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa Eropa dan Cina pun mulai menetap di ibukota. Dampaknya, perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah R. Adipati Kusumahdilaga wafat, penggantinya diangkat RAA. Martanegara. Bupati ini pun terkenal sebagai perencana kota yang jempolan. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpar­ tisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi pemukiman yang nyaman. Pada masa pemerintahan RAA Martanegara (1893-1918) ini atau tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, kota Bandung sebagai Ibukota Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya). Periode selanjutnya Bupati Kabupaten Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakusumah V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1912 -1931 sebagai Bupati yang ke -12 dan berikutnya tahun 1935 -1945 sebagai Bupati yang ke- 14. Pada periode tahun 1931 -1935 R.T. Sumadipradja menjabat sebagai Bupati ke-13. Selanjutnya pejabat Bupati ke -15 adalah R.T.E. Suriaputra (1945 1947) dan penggantinya adalah R.T.M Wiranatakusumah VI alias Aom Male (1948 -1956), kemudian diganti oleh R. Apandi Wiriadipura sebagai Bupati ke -17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956 - 1957). Sebagai Bupati berikutnya adalah Letkol R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Kemudian pada masa transisi kehidupan politik Orde Lama ke Orde Baru adalah Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu rencana pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung yang semula berada di Kotamadya Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung

Civic Governance Cita dan Realita 67 yaitu daerah Baleendah. Peletakan Batu Pertamanya pada tanggal 20 April 1974 yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke-333. Rencana kepindahan Ibukota tersebut berlanjut hingga jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980-1985). Atas pertimbangan secara fisik geo­ grafis daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai Ibukota Kabupaten, maka ketika Jabatan Bupati dipegang oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990), Ibukota Kabu­ paten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Kecamatan Soreang. Dipinggir Jalan Raya Soreang tepatnya di Desa Pamekaran inilah di Bangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 Ha, dengan menampilkan arsitektur khas gaya Priangan sehingga kompleks perkantoran ini disebut-sebut sebagai kom­ pleks perkantoran termegah di Jawa Barat. Pembangunan per­ kantoran yang belum rampung seluruhnya dan dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U. Djatipermana, sehingga pembangunan tersebut dirampungkan dalam kurun waktu 1990-1992. Kabupaten Bandung dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950). 1) Gambaran Umum Daerah a) Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Bandung secara geografis terletak pada 0 0 0 0 koordinat 107 14’-107 56’ Bujur Timur dan 6 49’-7 18’ Lintang Selatan. Terletak pada ketinggian 500 meter sampai 1.800 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah

68 Dr. Rahman Mulyawan 176.238,67 Ha yang terbagi ke dalam 31 kecamatan (267 desa dan 9 kelurahan). Batas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Bandung adalah: ■ sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. ■ sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi. ■ sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut ■ sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur. ■ di bagian tengah terletak Kota Bandung dan Kota Cimahi.

Morfologi Kabupaten Bandung terdiri dari wilayah datar/ landai, kaki bukit dan pegunungan dengan kemiringan lereng beragam antara 0– 8 %, 8% -15 % hingga di atas 45%. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm pertahun. Suhu udara berkisar 0 0 antara 12 C sampai 24 C dengan penyimpangan harian 0 mencapai 50 C dan kelembaban udara beragam antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim kemarau. Potensi sumber daya air di Kabupaten Bandung tersedia cukup melimpah, baik air bawah tanah maupun air per­ mukaan. Air permukaan terdiri dari : 4 danau alam, 3 danau buatan serta 172 buah sungai dan anak sungai. Sumber air

Civic Governance Cita dan Realita 69 permukaan pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian, industri dan sosial lainnya sedangkan air tanah dalam (kedalaman 60-200 meter) pada umumnya dipergunakan untuk keperluan industri, non industri dan sebagian kecil untuk rumah tangga. Sebagian besar masya­ rakat memanfaatkan air tanah bebas (sumur gali) dan air tanah dangkal (kedalaman 24 sampai 60 meter) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga serta sebagian kecil menggunakan fasilitas dari PDAM. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung tahun 2009 + 3.172.860 jiwa terdiri atas : laki-laki 1.590.399 jiwa (50.13%) dan perempuan 1.582.461 jiwa (49.87%). Jika dilihat dari komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur, maka jumlah penduduk kelompok umur produktif (15-64 tahun) mencapai 67.14 %, jumlah penduduk kelompok umur muda (0-14 tahun) mencapai 28.48 % dan jumlah penduduk kelompok umur tua (65 tahun ke atas) mencapai 4.38 %. Dari hal tersebut diatas, dapat diketahui angka beban ketergantungan (dependency ratio) mencapai 48.95 artinya pada setiap 100 penduduk produktif harus menanggung 49 penduduk tidak produktif.

Tabel. 8.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009

Kelompok No Jenis Kelamin Jumlah % Umur (thn) Laki-laki Perempuan 1. Muda ( 0 – 14 ) 453.081 450.675 903.756 28,48

70 Dr. Rahman Mulyawan 2. Produktif 1.063.309 1.006.868 2.130.177 ( 15 – 64 ) 67,14 3. Tua ( 65 + ) 74.009 64.918 138.927 4,38

Jumlah 1.590.399 1.582.461 3.172.860 100.00

Sumber : Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2009

Gambaran keberhasilan pembangunan manusia/kua­ litas sum­ber daya manusia baik fisik maupun non fisik dapat terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM mencakup 3 (tiga) komponen dasar yang digunakan untuk merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga komponen dasar tersebut berkaitan dengan pengetahuan (pendidikan), peluang hidup (kesehatan), dan hidup layak (kemampuan daya beli/purchasing power parity). Kesehatan dan kemampuan daya beli dapat mencerminkan kondisi fisik manusia, sedangkan pendidikan dapat mencerminkan kondisi non fisik manusia. Tahun 2009 IPM Kabupaten Bandung mencapai 73,39 yaitu kontribusi dari indeks pendidikan 85,61; indeks kesehatan 73,23 dan indeks daya beli 61,31. Indikator pendidikan yang digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah Angka Melek Huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS). Persentase penduduk dewasa (usia 15 tahun keatas) yang melek huruf mencapai 98,87 % dengan rata-rata lama sekolah mencapai 8,87 tahun. Jika dilihat dari penduduk usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan (ijazah tertinggi yang dimiliki) dan jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan yang tamat SD dan SLTP lebih baik dibandingkan dengan

Civic Governance Cita dan Realita 71 penduduk laki-laki. Namun tidak demikian pada jenjang pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi. Dari 2.067.246 pen­duduk usia 10 tahun ke atas, sebanyak 35,48 % hanya mempunyai ijazah SD/setara SD: 25,09 %, mempunyai ijazah SLTP/setara SLTP 19,96 %, mempunyai ijazah SLTA/ setara SLTA 4,3 %, mempunyai ijazah perguruan tinggi dan 15,17 % tidak/belum mempunyai ijazah.

Tabel. 8.2 Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Berdasarkan Jenjang Pendidikan yang Ditamatkan (Ijazah Tertinggi yang Dimiliki) di Kabupaten Bandung

Jenis Kelamin No Jenjang Pendidikan Jumlah % Laki-laki Perempuan 1. Tidak/belum punya 182.036 213.487 395.523 15,17 ijazah 2. SD / setara SD 442.875 482.231 925.106 35,48 3. SLTP / setara SLTP 325.026 329.141 654.167 25,09 4. SLTA / setara SLTA 297.655 222.798 520.453 19,96 5. Perguruan Tinggi 61.427 50.570 111.997 4,30

Jumlah 1.309.019 1.298.227 2.607.246 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Bandung Suseda Tahun 2009

Keberhasilan pembangunan bidang kesehatan salah satu­nya dapat dilihat dari indikator : Angka Harapan Hidup saat dilahirkan (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Kasar (AKK) dan status gizi. Saat ini AHH Kabu­ paten Bandung mencapai 68,94 artinya perkiraan lama hidup rata-rata penduduk dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas menurut umur adalah selama lk. 68-69

72 Dr. Rahman Mulyawan tahun. AKB mencapai 36,02 artinya rata-rata dari setiap 1000 kelahiran bayi tercatat 36 bayi diperkirakan meninggal. Kematian bayi tersebut lebih banyak dialami oleh ibu yang mengidap infeksi/penyakit, berat bayi lahir rendah, perto­ longan kelahiran yang kurang aman dan perawatan bayi yang kurang baik. Dalam upaya menemukan sebuah model civic governance pada aspek governance agendas yang diselenggarakan di Kabupaten Bandung, peneliti memulai dengan melakukan tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu. Kegiatan awal ini disebut dengan eksplorasi terbatas sehubungan pelaksanaannya melalui penyebaran dan pengisian angket kepada para responden yang jumlah respondennya hanya terbatas kepada warga satu Kecamatan saja guna mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan dan wawasan responden dalam memahami konsep civic governance pada aspek governance agendas. Setelah dilakukan pengisian angket oleh responden, pene­liti mendapatkan temuan bahwa penyelenggaraan civic governance pada aspek governance agendas di Kabupaten Bandung belum berjalan dengan baik serta kurang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, hal ini disebabkan peme­ rintah daerah yang kurang optimal dalam menampung dan melaksanakan aspirasi masyarakat pada kegiatan penyu­ sunan program kerja pemerintah. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “pemerintah daerah selalu menampung dan melaksanakan aspirasi masyarakat dalam program kerjanya” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,2 (tiga

Civic Governance Cita dan Realita 73 koma dua). Nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,8 (lima koma delapan) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pemerintah daerah telah mampu menysusun rencana dan program kerja dengan melibatkan peran serta masyarakat”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyusun program kerjanya selalu melibatkan keikutsertaan masyarakat, namun kenyataannya keikut­ serta­an atau partisipasi masyarakat tersebut terkesan ber­ sifat formalitas belaka sehubungan aspirasi yang disam­ paikan oleh masyarakat hanya sebatas ditampung dan jarang direalisasikan.

1) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “pemerintah daerah selalu menampung dan melaksanakan aspi­ rasi masyarakat dalam program kerjanya” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,9 (tiga koma sembilan), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “pemerintah daerah selalu menyampaikan maksud dan tujuan program kerjanya kepada masyarakat umum” dengan nilai 5,4 (lima koma empat). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan dari responden bahwa pemerintah daerah lebih meng­utamakan informasi dan sosialisasi informasi pembangun­ an berdasarkan asas “top-down” sehingga hasil kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kurang dirasakan manfaatnya sehubungan tidak sesuai dengan keinginan atau aspirasi ma­ syarakat.

74 Dr. Rahman Mulyawan Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti meng­ hilangkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek governance agendas untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal, sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek governance agendas menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihiliangkan tersebut adalah “pemerintah daerah selalu menam­ pung dan melaksankan aspirasi masyarakat dalam program kerjanya”.

2) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan “pemerintah daerah selalu membuka peluang kepada masyarakat untuk mengkritisi hasil program kerjanya”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum terbuka terhadap program kerja yang telah dilaksanakannya untuk dievaluasi dan dikritisi oleh masyarakat. Ketidak terbukaan untuk dikritisi oleh masyarakat pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh ketidak sesuaian antara perencanaan dengan hasil yang telah dicapai. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan “pemerintah daerah selalu membuka peluang kepada masyarakat untuk meng­ kritisi hasil program kerjanya” mengakibatkan pernyataan tadi tidak diajukan lagi pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek governance agendas.

Civic Governance Cita dan Realita 75 3) Tahap Eksplorasi Akhir Isi angket dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) pernyataan pada aspek governance agendas. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 5,2 (lima koma dua) pada pernyataan “pemerintah daerah selalu menyam­ paikan maksud dan tujuan program kerjanya kepada masyarakat umum”. Perolehan ini cukup mengejutkan mengingat pada tahap eksplorasi terbuka, pernyataan ini memperoleh nilai terbesar. Peneliti berpendapat bahwa terdapat perbedaan perilaku peme­ rintah dalam aspek keterbukaan untuk menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakannya program kerja pemerintah kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Rancaekek dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya. Peneliti beranggapan bahwa hal ini dapat terjadi mengingat kualitas sumber daya masyarakat yang ada di Pangalengan dan Rancaekek pada umumnya lebih mudah memahami program kerja yang sedang direncanakan oleh pemerintah ketimbang kualitas sumber daya manusia di Cileunyi dan Majalaya yang sangat memprioritaskan kepada pekerjaannya sehari-hari sebagai pekerja pabrik, karyawan swasta maupun pedagang serta kurang fokus dalam memperhatikan informasi pembangunan dari pemerintah. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek governance agendas terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) pemerintah daerah menyusun rencana dan program kerja dengan melibatkan peran serta masyarakat, dan (2) peme­

76 Dr. Rahman Mulyawan rintah daerah mencanangkan nilai-nilai pembangunan karakter bangsa dalam program kerjanya.

B. Hak Asasi Manusia (Human Rights)

1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, peneliti mendapatkan temuan bahwa penyeleng­ garaan civic governance pada aspek human rights di Kabupaten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah kurang tegas dalam penegakkan hukum yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “penegakkan hukum telah dilaksanakan tanpa diskriminasi” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 2,8 (dua koma delapan). Nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,8 (lima koma delapan) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pemerintah daerah menyediakan unit khusus yang menampung keluhan masyarakat”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwa­ sanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan dan pemerintahannya memiliki unit ter­ sendiri yang khusus menangani berbagai keluhan atau komplain dari masyarakat, hal ini tentunya sangat mendidik dan memberi pembinaan terhadap moral masyarakat (moral action) untuk selalu memiliki keberanian dalam menyampaikan keluhan kepada pemerintah apabila mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan.

Civic Governance Cita dan Realita 77 2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “penegakan hukum telah dilaksanakan tanpa diskriminasi” me­ raih nilai terkecil dengan nilai 2,8 (dua koma delapan), sedang­ kan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh sama dengan hasil eksplorasi terbatas melalui pernyataan “pemerintah daerah menyediakan unit khusus yang menampung keluhan masyarakat” dengan nilai 5,7 (lima koma tujuh). Hal ini me­ nunjukkan adanya kesamaan pandangan dari masyarakat bahwa pemerintah daerah telah menyediakan unit khusus yang menam­ pung keluhan masyarakat agar masyarakat memiliki keberanian untuk melaporkan ketidakpuasan yang diterima setelah menda­ patkan pelayanan yang kurang memuaskan dari pemerintah daerah sehubungan masih kuatnya nuansa diskriminasi dalam kegiatan pelayanan baik pada kegiatan pembangunan di ber­ bagai aspek bidang maupun pemerintahan kepada masyarakat oleh aparat pemerintah itu sendiri. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti meng­ hilangkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek human rights untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebar­ kan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek human rights men­ jadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “penegakkan hukum telah dilaksanakan tanpa diskri­ minasi”. 3) Tahap Eksplorasi Awal

78 Dr. Rahman Mulyawan Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan “pemerintah daerah telah mampu meminimalisir tingkat pelanggaran yang dilakukan aparatnya karena merugikan masyarakat”. Hasil ini mengindi­ kasikan bahwa pemerintah daerah masih belum mampu mene­ kan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kondisi inipun menunjukkan bahwa pemerintah bertindak diskriminasi sehubungan mudah dalam menindak masyarakat yang melakukan kesalahan tetapi sulit menindak aparat yang melakukan kesalahan kepada masyarakat.. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek human rights.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek human rights dalam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini peneliti mendapatkan hasil yang mengejutkan sehubungan pada tahapan ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan yang dalam eksplorasi terbatas dan eksplorasi terbuka memperoleh nilai tertinggi, pernyataan itu adalah “peme­ rintah daerah menyediakan unit khusus dalam menampung keluhan masyarakat”. Peneliti berpendapat bahwa terdapat

Civic Governance Cita dan Realita 79 perbedaan perilaku pemerintah dalam penyediaan unit khusus yang menampung keluhan masyarakat yang ada di Kecamatan Margahayu, Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Rancaekek dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya. Penelitipun beranggapan bahwa hal ini dapat terjadi mengingat kualitas sumber daya masyarakat yang ada di Margahayu, Pangalengan dan Rancaekek pada umumnya lebih mudah memahami program kerja yang sedang direncana­ kan oleh pemerintah ketimbang kualitas sumber daya manusia di Cileunyi dan Majalaya yang sangat memprioritaskan kepada pekerjaannya sehari-hari sebagai pekerja pabrik, karyawan swasta maupun pedagang serta kurang fokus dalam memper­ hatikan informasi pembangunan dari pemerintah. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek human rights terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat selalu dilindungi haknya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan (2) pemerintah daerah selalu membuat kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat.

C. Penegakan Prinsip Negara Hukum (The Rule of Law)

1) Tahap Eksplorasi Terbatas Tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Marga­hayu dilakukan guna mengetahui sampai sejauh mana pengetahuan dan wawasan responden dalam memahami konsep civic governance pada aspek the rule of law.

80 Dr. Rahman Mulyawan Setelah dilakukan pengisian angket oleh responden, peneliti mendapatkan temuan bahwa penyelenggaraan civic governance pada aspek the rule of law di Kabupaten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah tidak konsisten dalam mentaati peraturan yang berlaku. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernya­ taan responden yang memilih pernyataan “pemerintah daerah secara konsisten mentaati aturan yang berlaku” hanya memper­ oleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,2 (tiga koma dua). Sedang­ kan nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,0 (lima koma nol) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pembinaan sadar hukum oleh pemerintah daerah telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyelenggarakan pembangunan bidang hukum telah melaksanakan pembinaan sadar hukum kepada masyarakat secara rutin dan sesuai dengan harapan masyarakat namun kenyataannya pembinaan sadar hukum ini tidak disertai dengan ketaatan aparat pemerintah daerah dalam mentaati aturan yang berlaku.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “pemerintah daerah secara konsisten mentaati aturan yang ber­ laku” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,5 (tiga koma lima), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “masyarakat secara konsisten telah mentaati peraturan yang berlaku” dengan nilai 4,9 (empat koma sembilan). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan dari masya­

Civic Governance Cita dan Realita 81 rakat bahwa pemerintah daerah cenderung kurang konsisten dalam mentaati aturan yang berlaku ketimbang masyarakat yang secara konsisten mentaati peraturan yang ada. Sudah seharusnya pemerintah daerah untuk member contoh kepada masyarakat dalam mentaati peraturan. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghi­ langkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek the rule of law untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebar­ kan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek the rule of law men­ jadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihiliangkan tersebut adalah “pemerintah daerah secara konsisten mentaati aturan yang berlaku”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 4,4 (empat koma empat) pada pernyataan “pemerintah daerah telah mampu meminimalisir tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah belum mampu dalam menekan dan mengatasi permasa­ lahan pelanggaran hukum yang banyak dilakukan oleh masya­ rakat. Namun bisa jadi kondisi ini merupakan imbas dari belum konsistennya pemerintah daerah memberi contoh kepada masya­ rakat dalam mentaati aturan yang berlaku. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam

82 Dr. Rahman Mulyawan kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek the rule of law.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) pernyataan pada aspek the rule of law dalam angket yang disebar­ kan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernya­taan dengan nilai terkecil yaitu 3,4 (tiga koma empat) pada pernyataan “kebijakan pemerintah daerah selalu memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkannya walaupun pada kenyataannya masyarakat telah secara konsisten mentaati peraturan yang berlaku. Bagi pemerintah daerah, sesungguhnya kondisi ini bisa menjadi bahan untuk dikaji lebih lanjut untuk mengetahui latar belakang atau penyebab kurang disiplinnya aparat pemerintah daerah dalam mentaati aturan yang berlaku. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek the rule of law terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat secara konsisten telah mentaati peraturan yang berlaku, dan (2) pembinaan sadar hukum oleh pemerintah daerah telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Civic Governance Cita dan Realita 83 1. Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat dalam Memperkuat Civic Governance a. Partisipasi (Participation) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Dalam tahapan eksplorasi terbatas yang diselenggarakan di Keca­ matan Margahayu, peneliti mendapatkan temuan bahwa penye­ leng­garaan civic governance pada aspek participation di Kabu­ paten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah kurang op­timal dalam mensosialisasikan dan membina masyarakat untuk mengetahui secara jelas tentang mekanisme untuk ber­ partisipasi dalam perumusan kebijakan daerah. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memi­ lih pernyataan “masyarakat mengetahui dengan jelas mekanisme bagi partisipasi dalam perumusan kebijakan daerah” hanya mem­ peroleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,2 (tiga koma dua). Sedangkan nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 6,0 (enam koma nol) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemu­ kakan “masyarakat menggunakan berbagai media/forum yang ada untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan”. Berdasar­ kan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyusun kebijakannya kurang melibatkan unsur masyarakat sehubungan masyarakat banyak yang tidak mengetahui secara jelas tentang mekanisme untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan daerah, namun masyarakat dibalik ketidaktahuannya ternyata lebih menyukai media atau forum yang ada seperti musrenbang, media massa atau dialog sebagai media untuk menyalurkan aspirasinya sebagai bentuk partisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.

84 Dr. Rahman Mulyawan 2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “masyarakat mengetahui dengan jelas mekanisme bagi partisi­ pasi dalam perumusan kebijakan daerah” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,2 (tiga koma dua), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “masya­ rakat secara aktif menggunakan berbagai media/forum yang ada untuk memonitor jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah” dengan nilai 6,6 (enam koma enam). Hal ini menun­ jukkan adanya perbedaan pandangan dari pemerintah daerah dengan masyarakat tentang mekanisme yang baku untuk membuka peluang bagi partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghi­ langkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek participation untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebar­ kan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek participation menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “masyarakat mengetahui dengan jelas meka­ nisme bagi partisipasi dalam perumusan kebijakan daerah”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu

Civic Governance Cita dan Realita 85 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan “ masyarakat memiliki kebebasan untuk memonitor jalannya penyelenggaraan peme­ rin­tahan daerah”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memonitor berbagai program kerja yang telah dilaksana­ kannya untuk dikritisi oleh masyarakat. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut mengakibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek participation.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nya­taan pada aspek participation dalam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan de­ ngan nilai terkecil yaitu 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan “masyarakat terlibat secara aktif dalam penyiapan dan penyu­ sunan kebijakan daerah”. Perolehan ini cukup mengejutkan mengingat pada tahap eksplorasi terbatas dan terbuka diketahui bahwa masyarakat menggunakan berbagai media atau forum yang ada untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan me­ mi­liki nilai besar. Peneliti berpendapat bahwa kondisi ini dapat terjadi sehubungan kurangnya sosialisasi dari pemerintah ke­ pada masyarakat untuk menjelaskan proses dan mekanisme partisipasi dalam proses perumusan kebijakan daerah sehingga jumlah masyarakat yang memanfaatkan forum atau media yang ada untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan peme­ rintahan hanya memiliki jumlah yang terbatas.

86 Dr. Rahman Mulyawan Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek participation terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat menggunakan berbagai media/forum yang ada untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan, dan (2) masyarakat secara aktif menggunakan berbagai media/forum yang ada un­ tuk memonitor penyelenggaraan pemerintahan daerah. b. Efisiensi Manajemen Publik (Efficient Public Management) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahapan yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu ini, peneliti memperoleh temuan bahwa penyelenggaraan civic gover­ nance pada aspek efficient public management di Kabupaten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah belum mampu menyediakan system pelayanan publik yang terpadu. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “pemerintah daerah telah mampu menye­ diakan sistem pelayanan publik terpadu atau satu atap” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,0 (tiga koma nol). Nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 4,4 (empat koma empat) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pemerintah daerah telah mampu meningkatkan kualitas pela­ yanan kepada masyarakat”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya telah mampu mening­ katkan kualitas pelayanan kapada masyarakat namun belum mampu menyediakan sistem pelayanan publik terpadu.

Civic Governance Cita dan Realita 87 2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “pemerintah daerah telah mampu menyediakan sistem pela­ yanan publik terpadu atau satu atap” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,6 (tiga koma enam), sedangkan pernyataan yang menda­ pat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “pemerintah daerah dan masyarakat saling berkerjasama untuk mencegah terjadinya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)” dengan nilai 5,1 (lima koma satu). Hal ini menunjukkan adanya jalinan kerjasama yang telah terbangun antara peme­ rintah dan masyarakat untuk mencegah defisit APBD namun belum ditunjang oleh tersedianya pelanan melalui sistem pelayanan publik terpadu. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghi­ langkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek efficient public management untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek efficient public managementmenjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “pemerintah daerah telah mampu menyediakan sistem pelayanan publik terpadu atau satu atap”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat)

88 Dr. Rahman Mulyawan buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,2 (tiga koma dua) pada pernyataan “pemerintah daerah telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meng­ gunakan sumber daya keuangan yang terbatas”. Hasil ini meng­ indikasikan bahwa pemerintah daerah masih terbelenggu dan tergantung pada dana yang melimpah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut mengakibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek efficient public management.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nya­taan pada aspek efficient public management dalam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 4,2 (empat koma dua) pada pernyataan “pemerintah daerah dan masyarakat saling be­ kerjasama untuk mencegah terjadinya defisit APBD”. Perolehan ini cukup mengejutkan mengingat pada tahap eksplorasi ter­ buka, pernyataan ini memperoleh nilai terbesar. Peneliti berpen­ dapat bahwa terdapat perbedaan perilaku pemerintah dalam aspek tata kelola pelayanan publik kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Rancaekek dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek efficient public mana­

Civic Governance Cita dan Realita 89 gement terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pe­ merintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) pemerintah daerah telah mampu mening­ katkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan (2) peme­ rintah daerah telah mampu menggunakan sumber-sumber daya daerah secara efisien.

c. Reformasi Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan (Economic Reform and Poverty Allevation) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Dalam kegiatan tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, peneliti menemukan kondisi bahwa penye­lenggaraan civic governance pada aspek economic reform and poverty allevation di Kabupaten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program kerja di bidang pembangunan ekonomi masih memerlukan biaya yang melimpah (high cost) sehingga kurang menghemat anggaran dari APBD. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “program kerja pemerintah di bidang ekonomi selalu menekan biaya tinggi sehingga mampu menghemat APBD” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,8 (tiga koma delapan). Sedangkan nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,4 (lima koma empat) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “kebijakan peme­ rintah selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat”. Berda­ sar­kan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyusun berbagai program kerja di bidang ekonomi masih belum mampu menekan biaya tinggi (high cost) sehingga berakibat dengan borosnya penggunaan

90 Dr. Rahman Mulyawan APBD, namun walaupun memakan biaya tinggi dalam pembangunan ekonomi ternyata pemerintah masih memiliki prioritas pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan visi. misi dan strategi pembangunan yang dimiliki pemerintah Kabupaten Bandung.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “program kerja pemerintah di bidang ekonomi selalu menekan biaya tinggi sehingga mampu menghemat APBD” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,7 (tiga koma tujuh), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “masyarakat selalu diberi peluang oleh pemerintah untuk meng­ kritisi kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi daerah” dengan nilai 6,3 (enam koma tiga). Hal ini menunjukkan adanya keserasian antara pembangunan ekonomi yang mem­ prioritaskan kesejahteraan masyarakat dengan kesediaan peme­ rintah daerah untuk dikritisi berbagai program kerja ekonomi yang telah dilakukannya. Kondisi ideal ini akan sangat mendu­ kung terwujudnya stabilitas ekonomi wilayah yang pada ujungnya memperkokoh integrasi nasional. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghi­ langkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek economic reform and poverty allevation untuk tidak diikut­ sertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek economic reform and poverty allevation menjadi 4 (empat)

Civic Governance Cita dan Realita 91 pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernya­ taan. Adapun pernyataan yang dihiliangkan tersebut adalah “program kerja pemerintah di bidang ekonomi selalu menekan biaya tinggi sehingga mampu menghemat APBD”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 4,0 (empat koma nol) pada pernyataan “masyarakat selalu diberi peluang oleh pemerintah untuk mengkritisi kebijakan yang ber­ kaitan dengan pembangunan ekonomi daerah”. Hasil ini sangat mengejutkan mengingat pernyataan ini pada tahap eksplorasi terbuka memperoleh nilai tertinggi. Peneliti berpendapat telah terjadi perbedaan kualitas pembangunan dan perilaku peme­ rintah terhadap masyarakat dalam kegiatan pembangunan ekonomi. Perbedaan ini terindikasi berbeda dalam perlakuan kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Rancaekek yang berkualitas sangat positif apabila dibandingkan dengan perlakuan pemerintah kepada masyarakat yang ada di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang kualitasnya tidak optimal. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek economic reform and poverty allevation.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­

92 Dr. Rahman Mulyawan nya­taan pada aspek economic reform and poverty allevation da­ lam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 3,6 (tiga koma enam) pada pernyataan “pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk menekan kemiskinan di kalangan masyarakat”. Perolehan ini cukup mengejutkan mengingat pada tahap eksplorasi sebelum­ nya, dapat diketahui bahwa kebijakan pemerintah selalu meng­ utamakan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat terjadi di­ karenakan masyarakat Cileunyi dan Majalaya kurang mengetahui­ adanya berbagai kebijakan seperti peraturan daerah atau­pun per­ aturan Bupati yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek economic reform and poverty allevation terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pembangunan ekonomi di daerahnya, dan (2) kebijakan pemerintah selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

2. Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa guna Memperkokoh Integrasi Nasional a. Akuntabilitas Politik (Political Accountability) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, peneliti mendapatkan temuan bahwa penyeleng­ garaan civic governance pada aspek political accountability belum

Civic Governance Cita dan Realita 93 memberikan rasa nyaman dan tenteram bagi masyarakat sehu­ bungan kondisi stabilitas politik yang penuh dengan benturan kepentingan antar penyelenggara kekuatan politik. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang me­ milih pernyataan “stabilitas politik saat ini telah member rasa nyaman dan tenteram bagi masyarakat” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,0 (tiga koma nol). Sedangkan nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,2 (lima koma dua) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pemerintah daerah telah mampu membangun iklim demokrasi di masyarakat dan kalangan birokrat”. Berdasarkan temuan tersebut dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung telah mampu membangun stabilitas politik melalui iklim demokrasi yang baik namun kondisi ini belum memberi rasa nyaman dan tenteram bagi masyarakat sehubungan sta­ bilitas politik dalam demokrasi yang telah ada masih sering menghasilkan konflik-konflik kepentingan yang sering berujung pada konflik terbuka dan mengganggu kepentingan umum.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang berbeda dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “lembaga DPRD memiliki kekuatan politik yang didukung oleh kekuatan masyarakat (konstituen)” meraih nilai terkecil dengan nilai 3,6 (tiga koma enam), sedangkan pernyataan yang menda­ pat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat” dengan nilai 5,0 (lima koma nol). Hal ini me­ nunjukkan adanya pandangan dari responden bahwa stabilitas

94 Dr. Rahman Mulyawan politik hanya bisa dibangun melalui kebijakan pemerintah yang mampu memberi kenyamanan bagi masyarakatnya, selain itu stabilitas politik harus mampu menjadikan lembaga legislatif daerah (DPRD) memiliki kekuatan politik yang didukung oleh konstituennya. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti meng­ hilangkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek political accountability untuk tidak diajukan dalam ke­ giatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek political accountability menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihiliangkan tersebut adalah “stabilitas politik saat ini telah mem­beri rasa nyaman dan tenteram bagi masyarakat”. Pernya­ taan ini dalam tahapan eksplorasi terbuka hanya memiliki nilai 3,9 (tiga koma sembilan) sehingga dianggap relevan untuk tidak diajukan lagi dalam kegiatan eksplorasi awal.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,0 (tiga koma nol) pada pernyataan “pelaksanaan pemilihan umum selalu mengutamakan prinsip partisipasi ketimbang mobilisasi massa”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah dan elit-elit politik masih dominan menggerakkan massa melalui upaya-upaya mobilisasi ketimbang partisipasi sehingga tingkat keikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan yang bernuansa politis seperti pemilu lebih banyak disebabkan oleh

Civic Governance Cita dan Realita 95 imbalan, ajakan, arahan, atau paksaan oleh penyelenggara ke­ kuasaan politik. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak diajukan pada angket kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan dalam aspek political accountability.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek political accountability dalam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 4,2 (empat koma dua) pada pernyataan “lembaga DPRD memiliki kekuatan politik yang didukung oleh masyarakat”. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek political accountability terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui pendidikan karakter terhadap masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) pemerintah daerah me­ mi­liki kebijakan untuk meningkatkan pemberdayaan masya­ rakat, dan (2) pemerintah daerah telah mampu membangun iklim demokrasi di masyarakat dan kalangan birokrat.

b. Desentralisasi Kekuatan Politik (The Decentralization of Political Power) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahap eksplorasi terbatas yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, setelah dilakukan pengisian angket oleh responden,

96 Dr. Rahman Mulyawan peneliti mendapatkan temuan bahwa penyelenggaraan civic governance pada aspek the decentralization of political power di Kabupaten Bandung dapat dikatakan implementasi otonomi da­ erah belum signifikan dalam meningkatkan kualitas nasionalisme anggota masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “implementasi otonomi daerah telah meningkatkan kualitas nasionalisme ang­ gota masyarakat” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,4 (tiga koma empat). Nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,6 (lima koma enam) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pelaksanaan otonomi daerah telah dira­ sakan manfaatnya oleh masyarakat”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyelenggarakan otonomi daerah belum mampu me­ ningkatkan kualitas nasionalisme masyarakat yang sebetulnya telah merasakan adanya manfaat dari penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “implementasi otonomi daerah telah meningkatkan kualitas nasionalisme anggota masyarakat” meraih nilai terkecil dengan nilai 4,5 (empat koma lima), sedangkan pernyataan yang men­ dapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah daerah Kabupaten Bandung menunjang kualitas integrasi nasional” dengan nilai 5,6 (lima koma enam).

Civic Governance Cita dan Realita 97 Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti meng­ hilangkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek the decentralization of political power untuk tidak diikut­ sertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek the decentralization of political power menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernya­ taan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “implementasi otonomi daerah telah meningkatkan kualitas nasionalisme anggota masyarakat”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,4 (tiga koma empat) pada pernyataan “pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk stabilitas wilayah dan telah dilaksankan secara konsisten”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah belum merasakan pentingnya memiliki sebuah kebijakan yang berkaitan dengan stabilitas wilayah dalam rangka mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut mengakibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek the decen­ tralization of political power.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek the decentralization of political power dalam

98 Dr. Rahman Mulyawan angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan kesamaan dengan hasil pada tahap eksplorasi awal dimana pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 4,6 (lima koma dua) jatuh pada pernyataan “pemerintah daerah memiliki kebijakan untuk stabilitas wilayah dan telah dilaksankan secara konsisten”. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek the decentralization of political power terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) pemerintah daerah telah mampu menekan tingkat konflik yang terjadi dilingkungan masyarakat, dan (2) pelaksanaan otonomi daerah menunjang kualitas integrasi nasional. Hasil ini mencerminkan berhasilnya pendi­ dikan karakter yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap masyarakat. c. Pluralisme dalam bidang Politik (Political Pluralism) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahapan eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, setelah dilakukan pengisian angket oleh responden, peneliti mendapatkan temuan bahwa penyelenggaraan civic gover­nance pada aspek political pluralism di Kabupaten Bandung dapat dikatakan partai politik bertindak diskriminasi terhadap masyarakat sehubungan partai politik lebih mementingkan konstituen atau pendukung partai politiknya ketimbang mem­ perhatikan atau membela kepentingan masyarakat umum yang belum jelas dukungannya terhadap partai politik yang dimin­

Civic Governance Cita dan Realita 99 takan pertolongannya oleh masyarakat tersebut. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memi­ lih pernyataan “partai politik yang ada tidak pernah bertindak diskriminasi terhadap anggota masyarakat” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,4 (tiga koma empat). Sedangkan nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,6 (lima koma enam) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “kebi­ jakan pemerintah daerah selalu menjunjung tinggi terhadap kerukunan antar anggota masyarakat”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya Pemerintah Kabupaten Bandung memiliki kebijakan yang sangat memfokuskan kepada keru­ kunan antar warga/masyarakat, namun kebijakan ini kurang didukung oleh kebijakan partai politik yang masih bersifap diskriminatif kepada masyarakat sehubungan partai politik masih mengutamakan kepentingan anggota konstituennya ke­ tim­bang masyarakat umum. Hal ini tentunya akan melemahkan tingkat kerukunan antar warga dan kondisi inipun sesungguhnya telah mengakibatkan hubungan emosional yang kurang baik antara partai politik dengan masyarakat umum yang bukan pendukung partai politik tertentu. Tidaklah aneh apabila dalam kehidupan politik di Kabupaten Bandung sering terjadi konflik fisik secara terbuka antara pendukung satu partai politik dengan pendukung partai politik lainnya dalam memperjuangkan kepentingan guna mencapai kekuasaan yang diharapkan atau mempertahankan kekuasaan yang telah diraihnya.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan

100 Dr. Rahman Mulyawan “partai politik yang ada tidak pernah bertindak diskriminasi terhadap anggota masyarakat” meraih nilai terkecil dengan nilai 4,1 (empat koma satu), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “kebijakan peme­ rintah daerah selalu menjunjung tinggi terhadap kerukunan antar anggota masyarakat” dengan nilai 6,7 (enam koma tujuh). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan dari pemerintah daerah dengan partai politik dalam memperlakukan masyarakat yang memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitasnya dalam kehidupan politik dan proses penyelenggaraan pemerintahan. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghi­ langkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek political pluralism untuk tidak diikutsertakan kepada ke­ giatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek political pluralism menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihiliangkan tersebut adalah “partai politik yang ada tidak pernah bertindak diskriminasi terhadap anggota masyarakat”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 5,2 (lima koma dua) pada pernyataan “kebebasan berserikat sangat didukung oleh pemerintah daerah”. Hasil ini mengin­ dikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum terbuka ter­ hadap program kerja yang telah dilaksanakannya untuk di­ dukung oleh masyarakat dalam berserikat sebagai bentuk par­tisi­pasinya untuk menjadi mitra kerja pemerintah.

Civic Governance Cita dan Realita 101 Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut mengakibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek political pluralism.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek political pluralism dalam angket yang dise­ bar­kan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernya­ taan dengan nilai terkecil, yaitu 5,2 (lima koma dua) pada per­nyataan “pemerintah daerah memiliki kebijakan (perda) yang bertujuan untuk memelihara heterogenitas bangsa”. Perolehan ini cukup mengejutkan mengingat pada tahap eksplorasi terbatas dan terbuka, diketahui bahwa pemerintah daerah memiliki kebijakan yang sangat menjunjung tinggi kerukunan antar ang­ gota masyarakat. Namun, dengan kenyataan ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut ternyata hanya “setengah hati” meng­ ingat kebijakan tersebut tidak didukung melalui sebuah kebi­ jakan tertulis (peraturan daerah). Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek political pluralism terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui pendidikan karakter terhadap masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance, yaitu (1) masyarakat sangat meng­ hargai dan toleran terhadap heterogenitas bangsa yang ada di lingkungannya, dan (2) kebijakan pemerintah daerah selalu men­ junjung tinggi terhadap kerukunan antar anggota masyarakat.

102 Dr. Rahman Mulyawan 3. Pengembangan Model Konseptual Baru dari Civic Governance di Kabupaten Bandung a. Transparansi dan Akuntabilitas dalam bidang Administrasi Publik (Transparant and Accountable Public Administration) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahapan yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu ini, setelah dilakukan pengisian kuesioner oleh responden, peneliti memperoleh temuan bahwa pemerintah kurang optimal dalam mensosialisasikan metode memperoleh informasi mengenai pe­ nyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memi­ lih pernyataan “mekanisme untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya” hanya memper­ oleh nilai yang paling rendah, yaitu 3,8 (tiga koma delapan). Nilai rata-rata yang tertinggi dengan nilai 5,2 (lima koma dua) dicapai oleh pernyataan responden yang mengemukakan “masya­ rakat menggunakan berbagai media untuk memperoleh infor­- masi publik”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bah­ wasanya pemerintah Kabupaten Bandung dalam kegiatannya kurang ditunjang oleh penyebarluasan atau sosialisasi meka­ nisme untuk memperoleh informasi penyelenggaraan peme­ rintahan ke pada masyarakat sehingga masyarakat lebih banyak menggunakan sarana media massa untuk memperoleh informasi publik.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang

Civic Governance Cita dan Realita 103 hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “masyarakat mengetahui mekanisme untuk memperoleh infor­ masi tentang penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya” me­ raih nilai terkecil dengan nilai 4,9 (empat koma sembilan), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “masyarakat menggunakan berbagai media untuk memperoleh informasi publik” dengan nilai 6,6 (enam koma enam). Hal ini menunjukkan adanya kesamaan pandangan dari masyarakat bahwa pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya kurang mensosialisasikan mekanisme untuk memper­ oleh informasi penyelenggaraan pemerintahan sehingga masya­ rakat sangat mengandalkan media massa untuk mendapatkan informasi publik yang berkaitan dengan penyelenggaran peme­ rintahan di Kabupaten Bandung. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti menghilang­ kan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek transparent and accountable public administration untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga per­ nyataan pada angket yang disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek transparent and accountable public administration menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “masyarakat mengetahui mekanisme untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu

104 Dr. Rahman Mulyawan 3,8 (tiga koma delapan) pada pernyataan “masyarakat dapat mengakses informasi publik dari pemerintah secara mudah, terjangkau, bebas dan tepat waktu”. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih belum terbuka untuk membuka akses informasi kepada masyarakat agar mudah memperoleh informasi publik yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung. Namun, peneliti memiliki keyakinan, selain belum adanya keinginan secara terbuka ke­ pada masyarakat terdapat aspek lain yang menyebabkan hal ter­ sebut yaitu masih minimnya tenaga aparat yang menguasai bidang teknologi informasi sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak dapat diinformasikan kepada masyarakat umum. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) per­ nya­taan di aspek transparent and accountable public adminis­ tration.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek transparent and accountable public adminis­ tration dalam angket yang disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 4,4 (empat koma empat) pada pernyataan “masyarakat mengetahui mekanisme untuk memperoleh informasi tentang penyeleng­ garaan pemerintahan di daerahnya”. Perolehan ini sangat kon­ sisten dengan hasil-hasil pada tahapan sebelumnya. Peneliti ber­

Civic Governance Cita dan Realita 105 pendapat bahwa pemerintah daerah memiliki banyak kelemahan untuk membangun keterbukaan informasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat lebih banyak memantau perkembangan informasi tentang pembangunan dan pemerintahan di Kabu­ paten Bandung melalui berbagai media lainnya yang tidak disediakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek transparent and accoun­ table public administration terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat menggunakan berbagai media untuk memperoleh informasi publik, dan (2) masyarakat selalu mengetahui informasi dalam bidang pelayanan publik.

b. Pencegahan Penyalahgunaan Wewenang (Eradicating Corruption) 1) Tahap Eksplorasi Terbatas Pada tahap ini yang dilaksanakan di Kecamatan Margahayu, peneliti memperoleh temuan bahwa penyelenggaraan civic gover­ nance pada aspek eradicating coruption di Kabupaten Bandung dapat dikatakan pemerintah daerah kurang mampu untuk me­ ne­kan kebocoran dana atau anggaran daerah pada saat menye­ lenggarakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masya­ rakat. Hal ini dapat diketahui dari nilai rata-rata pernyataan responden yang memilih pernyataan “pemerintah daerah telah mampu menekan tingkat kebocoran dana” hanya memperoleh nilai yang paling rendah, yaitu 2,0 (dua koma nol). Nilai rata- rata yang tertinggi dengan nilai 3,8 (tiga koma delapan) dicapai

106 Dr. Rahman Mulyawan oleh pernyataan responden yang mengemukakan “pengawasan oleh masyarakat terhadap pengelolaan anggaran telah berjalan dengan efektif”. Berdasarkan temuan di atas dapat diketahui bahwasanya Pemerintah Kabupaten Bandung dalam mengguna­ kan dana anggaran pembangunan dan pemerintahan kurang sesuai dengan peraturan yang baku sehingga banyak menim­ bulkan kebocoran dan parahnya lagi memiliki ketidakmampuan untuk menekan tingkat kebocoran dana tersebut sehingga peng­ awasan penggunaan anggaran oleh masyarakat semakin aktif.

2) Tahap Eksplorasi Terbuka Pada tahapan eksplorasi terbuka yang dilakukan di Kecamatan Pangalengan dan Rancaekek, peneliti mendapatkan kondisi yang hampir sama dengan hasil eksplorasi terbatas yaitu pernyataan “pemerintah daerah telah mampu menekan tingkat kebocoran dana” meraih nilai terkecil dengan nilai 2,8 (dua koma delapan), sedangkan pernyataan yang mendapat nilai terbesar diperoleh melalui pernyataan “masyarakat dapat mengetahui alokasi ang­ garan sesuai dengan kebutuhan prioritas pembangunan di daerah­nya” dengan nilai 5,0 (lima koma nol). Hal ini menun­ jukkan adanya inisiatif masyarakat yang tinggi untuk mengetahui alokasi anggaran yang ada dalam APBD namun alokasi dana yang digunakan oleh pemerintah ini banyak terjadi kebocoran sehingga aktivitas masyarakat dalam mengawasi penggunaan anggaran oleh pemerintah semakin tinggi. Di akhir tahapan eksplorasi terbuka ini, peneliti meng­ hilangkan pernyataan yang mendapatkan nilai terendah dalam aspek eradicating corruption untuk tidak diikutsertakan kepada kegiatan eksplorasi awal sehingga pernyataan pada angket yang

Civic Governance Cita dan Realita 107 disebarkan di tahapan eksplorasi awal dalam aspek eradicating corruption menjadi 4 (empat) pernyataan yang pada awalnya berjumlah 5 (lima) buah pernyataan. Adapun pernyataan yang dihilangkan tersebut adalah “pemerintah daerah telah mampu menekan tingkat kebocoran dana”.

3) Tahap Eksplorasi Awal Kegiatan tahap eksplorasi awal yang dilaksanakan di Kecamatan Banjaran dan Kecamatan Ciwidey yang menggunakan 4 (empat) buah pernyataan menghasilkan nilai rata-rata terendah yaitu 3,8 (tiga koma delapan) pada pernyataan “masyarakat dapat mengetahui alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan prioritas pembangunan di daerahnya”. Hasil ini sangat mengagetkan sehubungan pada tahap eksplorasi terbuka, pernyataan ini mem­peroleh nilai terbesar. Adanya hasil tersebut mengindi­ kasikan bahwa pemerintah daerah setempat telah memperlaku­ kan masyarakat di Pangalengan dan Rancaekek berbeda dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Banjaran dan Ciwidey sehingga persepsi masyarakat tadi berbeda terhadap keberadaan alokasi anggaran yang berkaitan dengan prioritas kebutuhan pembangunan di daerahnya. Konsekuensi dari rendahnya nilai pernyataan tersebut meng­ akibatkan pernyataan tadi tidak digunakan pada angket dalam kegiatan eksplorasi akhir yang hanya menggunakan 3 (tiga) pernyataan di aspek eradicating coruption.

4) Tahap Eksplorasi Akhir Dalam tahapan eksplorasi akhir yang dilaksanakan di Kecamatan Cileunyi dan Kecamatan Majalaya ini mengajukan 3 (tiga) per­ nyataan pada aspek eradicating coruption dalam angket yang

108 Dr. Rahman Mulyawan disebarkan kepada masyarakat. Pada tahap ini didapatkan pernyataan dengan nilai terkecil yaitu 3,2 (tiga koma dua) pada pernyataan “masyarakat mengetahui informasi tentang penyu­ sunan dan penggunaan dana/anggaran”. Perolehan ini sangat sesuai dengan hasil eksplorasi pada tahapan eksplorasi awal di mana masyarakat pada kenyataannya kurang mengetahui alokasi anggaran pembangunan sehubungan mereka kurang mengetahui informasi tentang kegiatan penyusunan dan penggunaan anggaran. Berdasarkan hasil eksplorasi akhir yang dilakukan peneliti. Peneliti beranggapan bahwa dalam aspek eradicating coruption terdapat dua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat dalam upaya memperkuat civic governance yaitu (1) masyarakat telah mampu menekan tingkat kebocoran anggaran yang dikelola pemerintah daerah, dan (2) pengawasan oleh masyarakat terhadap pengelolaan anggaran telah berjalan dengan efektif.

A. Pembahasan Pada sub bab pembahasan ini, peneliti menganalisis keterkaitan antara teori-teori yang peneliti gunakan dalam penulisan disertasi, seperti teori yang berkenaan dengan civic governance, partisipasi masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan yang memfokuskan pada kegiatan otonomi daerah. Dalam sub bab ini pun, peneliti menganalisis hasil penelitian dengan berlandaskan pada hasil penelitian terdahulu oleh Winataputra (2000) yang meneliti tentang Pendidikan Demo­ krasi sebagai Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan, Sapriya (2007) yang meneliti tentang Pembangunan Karakter Bangsa,

Civic Governance Cita dan Realita 109 Samsuri (2010) yang meneliti tentang Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan pada masyarakat kewargaan dan Suabuana (2010) yang meneliti tentang Pendidikan Nilai Bela Negara. Keempat penelitian tersebut sangat berkaitan dengan penulisan disertasi ini, namun perbedaan penelitian disertasi ini dengan penelitian hasil keempat peneliti terdahulu adalah apabila keempat peneliti terdahulu memfokuskan penelitian kepada aspek sosio pedagogis yang menekankan pada dimensi kurikuler serta substanstif akademis yang menekankan pada pengem­ bangan ilmu, sedangkan penelitian disertasi ini memfokuskan kepada aspek sosio kultural yang menekankan civic governance dalam kehidupan masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu seperti yang telah disebutkan di atas telah menjadi alat utama bagi peneliti untuk menganalisis dan mengeksplorasi penguatan civic governance melalui parti­ sipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu hasil keempat penelitian terdahulu, oleh penulis dija­ dikan alat untuk menjawab rumusan masalah yang penulis ajukan.

1. Belum optimalnya penguatan Civic Governance dalam kerangka Otonomi Daerah a. Filogeni Civic Governance Dalam biologi, filogeni atau filogenesis adalah kajian mengenai hubungan di antara kelompok-kelompok organisme yang di­ kaitkan dengan proses evolusi yang dianggap mendasarinya. Istilah filogeni dipinjam dari bahasa Belanda, fylogenie, yang berasal dari gabungan kata bahasa Yunani Kuno yang berarti “asal-usul suku, ras”. Sedangkan yang dimaksud dengan Evolusi (dalam kajian biologi) berarti perubahan pada sifat-sifat yang

110 Dr. Rahman Mulyawan terwariskan pada suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keterkaitan antara filogeni dengan konsep civic governance diakibatkan adanya suatu fenomena yang melahirkan hubungan diantara keduanya. Salah satu fenomena yang mampu melahir­ kan adanya keterkaitan tersebut adalah fenomena tingginya tuntutan keterlibatan dan peran serta masyarakat dalam mana­ jemen pemerintahan. Fenomena tersebut pada akhirnya telah memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, baik dari sisi peren­ canaan/formulasi, implementasi maupun evaluasi kebijakan pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa hal seluruh warga masyarakat tidak mungkin dilibatkan dalam membuat kebijakan, tetapi bagaimanapun dalam membuat kebijakan yang sifatnya untuk kepentingan publik sudah seharusnya pemerintah melibatkan warga masyarakat. Jika tidak, suatu gejolak sosial akan terjadi terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri. Banyak contoh produk kebijakanyang sangat kontra di masyarakat sebagai akibat pemerintah senantiasa tidak membuka diri untuk melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan. Pemberdayaan partisipasi masyarakat sipil atau civil society merupakan alat ampuh dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan pada masa-masa mendatang, keterlibatan ini akan memberikan dampak yang positif terhadap keputusan dan kebijakan yang diambil atau yang akan di implementasikan, karena dapat membangun sinergi antara pemerintah dan masya­ rakat itu sendiri.

Civic Governance Cita dan Realita 111 Partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan dapat digambarkan dengan ‘tangga partisipasi’ dalam hal ini rakyat di posisikan sebagai anak tangga terbawah yang senantiasa menge­ tahui masalah sosial yang sesungguhnya. Tanpa memberdayakan dan konsultasi di anak tangga terbawah, maka pemerintah tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya yang dibutuhkan oleh rakyat. Apabila komunikasi di tingkat bawah telah diperkuat maka akan terjadi dialog antara pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah akan lebih efektif dan efisien dalam membuat kebijakan. Dalam Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perncanaaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas nomor 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ, dijelas­ kan bahwa proses pembuatan kebijakan pembangunan bersifat elitis, artinya pemerintahlah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat berperan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apabila model ini diadopsi dalam upaya iplementasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, maka yang diperlukan adalah keterbukaan pemerintah untuk menjadi­ kan masukan masyarakat sebagai dasar dalam menyusun kebi­ jak­an publik. Selama ini permasalahan yang ditemukan adalah bukan karena kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat rendah tetapi justru terletak pada praktek-praktek pemerintah yang mengabaikan usulan masyarakat. Berkaitan dengan ini dapat diketahui bahwa permasalahan kita bukan pada rendahnya kualitas dan kuantitas tingkat partisipasi masyarakat, tetapi terletak pada keterbatasan mekanisme politik bagi keterlibatan warga negara dalam menuntut akuntabilitas dan keterbukaan.

112 Dr. Rahman Mulyawan Hambatan utama dalam mengupayakan pemerintah yang ter­ buka dan akuntabel justru terletak pada institusi-institusi yang cenderung memiliki kepentingan sendiri yang berbeda dengan kepentingan publik dan praktek pemerintahan yang tidak peka terhadap desakan kepentingan publik. Kondisi ini dapat mendorong praktek terjadinya korupsi dalam sebuah mekanisme yang saling melindungi dan sampai saat ini tidak dapat disentuh oleh tuntutan keterbukaan dan akuntabilitas. Melalui musyawarah perencanaan pembangunan, apa yang diilustrasikan oleh peneliti tentang “tangga partisipasi” sebenar­ nya sudah dilaksanakan di Indonesia, namun dalam pelaksanaan dilapangan banyak dihadapi berbagai permasalahan. Selain permasalahan yang berasal dari instirusi dan praktek-praktek pemerintah, pemasalahan yang dihadapi pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam kebijakan pembangunan adalah: pertama, meskipun semua perangkat hukum memberikan ruang terhadap partisipasi publik, tetapi semua perangkat hukum tersebut tidak mengatur secara eksplisit bagaimana, dimana dan siapa yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik. Kedua, banyak LSM-LSM dan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di berbagai bidang namun memiliki keterbatasan dalam membawa aspirasi rakyat, sehingga tidak terbentuk sinergi antara rakyat dan pemerintah. Ketiga, banyaknya organisasi kemasyarakatan dan LSM di era reformasi menyulitkan untuk menentukan organisasi kemasyarakatan mana yang dapat dianggap mewakili aspirasi masyarakat. Pengalaman selama ini banyak kebijakan partisipasi yang dilaksanakan oleh pemerintah diprotes oleh masyarakat, karena wakil masyarakat tersebut dianggap tidak mewakili masyarakat.

Civic Governance Cita dan Realita 113 Di era reformasi, organisasi kemasyarakatan dan LSM di Kabupaten Bandung berkembang sangat banyak dan satu dengan lainnya bersifat independen meskipun bergerak dalam bidang yang sama. Misalnya banyak organisasi kemasyarakatan dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tetapi satu dengan lainnya berbeda visi dan misinya, hal seperti ini tidak menguntungkan bagi organisasi kemasyarakatan itu sendiri dalam menyampaikan usulannya kepada pemerintah. Dilain pihak pemerintah sebagai pemegang inisiatif perencanaan sulit untuk memilih organisasi mana yang akan dilibatkan dalam proses perencanaan. Selain itu hal tersebut dapat difahami bila memperhatikan begitu banyaknya lembaga-lembaga yang turut berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di Kabupaten Bandung, misalnya : 1) Forum Diskusi Anggaran 2) Perkumpulan Inisiatif 3) Rakom Pass Katapang 4) Rakom Prima Pangalengan 5) Rakom Kombas Banjaran 6) Poksimas Cicalengka 7) LP3U 8) Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya 9) Generasi Muda Majalaya 10) Forum Pegiat Desa 11) Samsaka Ibun 12) Forum Manglayang 13) Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah (FKGHS)

114 Dr. Rahman Mulyawan 14) Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) 15) Cakram Rancamanyar 16) Paguyuban Becak Majalaya 17) Koperasi Akur Banjaran 18) Wanapasa 19) Masyarakat Peduli Sumber Air 20) Komunitas Gunung Wayang 21) Wanaputri 22) Pusat Sumber Daya Komunitas 23) Sahara, dll

Kelembagaan sebagai saluran partisipasi masyarakat yang dibentuk oleh pemerintahan menurut peneliti masih relevan untuk dijadikan sebagai saluran partisipasi dengan syarat orga­ nisasi tersebut harus bersifat independen bebas dari campur tangan pemerintah. Organisasi kemasyarakan dan LSM yang jumlahnya sangat banyak misalnya organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup, kehutanan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, buruh, kelautan dan lain-lain, hemdaknya membentuk asosiasi sesuai dengan bidangnya. Melalui asosiasi inilah masyarakat dapat menyusun visi dan misi yang nantinya disampaikan kepada pemerintah sebagai masukan dalam me­ nyusun kebijakan pembangunan. Melalui asosiasi yang teror­ ganisir dan independen ini pula, organisasi kemasyarakatan dan LSM mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol terhadap produk kebijakan maupun implementasi kebijakan apakah kebijakan tersebut berpihak kepada kepentingan rakyat atau tidak. Selama kondisi kelembagaan organisasi kemasyarakatan

Civic Governance Cita dan Realita 115 dan LSM masih seperti sekarang, bertindak parsial dan tidak bersatu dapat dipastikan partisipasi masyarakat dalam mem­ pengaruhi kebijakan publik tetap menjadi wacana. Agar tidak berupa wacana belaka, maka pemerintah Kabupaten Bandung mengeluarkan Perda No. 6 tahun 2004 yang mengatur tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerin­ tahan di Kabupaten Bandung.

b. Pola Penguatan Civic Governance Pergeseran yang terjadi dalam pemerintahan dari konsep govern­ ment ke governance telah menuntut perubahan pendekatan dalam aktivitas pemerintahan. Pemerintah dituntut untuk lebih mengembangkan pendekatan partisipatif guna melibatkan lebih banyak stakeholders dan mendorong inisiatif masyarakat dalam proses pembangunan. Inilah ciri pokok dari governance yang melibatkan pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Keterpaduan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah perlu memberdayakan aparat pemerintah agar lebih profesional, akuntabel dan responsif pada kebutuhan dan tuntutan masya­ rakat. Bila tidak dilakukan maka pemerintah tidak bisa meng­ ikuti perkembangan keadaan. Upaya tersebut di atas didukung dengan ketersediaan sarana dan prasaran fisik yang memadai. Pemerintah perlu memperbaiki sarana dan prasarana fisik pemerintah guna menunjang pela­ yanan kepada masyarakat. Kinerja pemerintah merupakan kinerja bagian-bagian yang saling mendukung dan terkait satu sama lain. Dalam meningkatkan kinerja diperlukan upaya meningkatkan koordinasi antara pemerintah desa/kelurahan, kecamatan dan pemerintah daerah. Koordinasi penting untuk meningkatkan kerja sistem pemerintahan. Berkaitan dengan

116 Dr. Rahman Mulyawan aspek kinerja tersebut, Kabupaten Bandung yang memiliki pusat pelayanan pemerintahan yang telah terintegrasi, saat ini memi­ liki berbagai program kegiatan untuk mengoptimalkan kinerja pemerintah daerah agar dapat melayani masyarakat dengan secara maksimal. Dari hasil penelitian dan wawancara dengan berbagai responden1, secara garis besar dapat diketahui beberapa program kegiatan yang bertujuan untuk penguatan civic governance yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bandung diantaranya adalah: (a) Mengembangkan wilayah keca­ matan sebagi pusat pelayanan pemerintahan dengan konsep pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati kepada Camat yang mana harus disertai dengan personil, peralatan dan pembiayaan, (b) Menjadikan Camat sebagai manajer Kecamatan berdasarkan karakteristik wilayah dan memberikan pelimpahan kewenangan secara penuh dalam konteks menghadapi masalah- masalah di kecamatan khususnya dibidang kebersihan, keter­ tiban, dan keamanan yang merupakan kebutuhan utama masya­ rakat, (c) Melakukan evaluasi pelayanan pemerintahan untuk mengetahui tingkat indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, (d) Melakukan evaluasi penataan organisasi di pemerintah Kabupaten Bandung sebagai konsekwensi adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang kewenangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur Penataan Organisasi, (e) Melakukan evaluasi anggaran, evaluasi personil dan mekanisme kerja setiap desa/kelurahan dan Kecamatan dengan penerapan evaluasi

1 Beberapa program kegiatan yang bertujuan untuk penguatan civic governance diperoleh peneliti melalui wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangu- nan yang dilaksanakan di Kantor Bappeda pada tanggal 16 Mei 2011, serta hasil wawancara dengan Staf Badan Kesbang Linmas yang dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2011 di Kantor Badan Kesbang Linmas.

Civic Governance Cita dan Realita 117 beban kerja dan Kepmendagri Nomor 158 tahun 2004 karena dengan adanya pengukuran beban kerja antar daerah maka antara daerah yang memiliki beban kerja yang lebih berat tidak berarti menerima dana yang sama dengan daerah yang memiliki beban kerja yang biasa, (f) Melakukan penataan desa/kelurahan dan kecamatan dengan harapan pemerintah Kabupaten Bandung dapat mewujudkan konsep close to costumer (mendekatkan pela­ yanan kepada pelanggan/masyarakat), (g) Menjadikan desa/ kelurahan sebagai klinik pemerintahan dengan harapan bahwa kinerja pemerintah Kabupaten Bandung akan dibangun dengan baik dan simultan dimulai dari tingkat desa/kelurahan, dengan harapan pemerintah Kabupaten Bandung dapat memilih bebe­ rapa desa/kelurahan yang menjadi desa/kelurahan percontohan, (h) Mengembangkan konsep pembangunan di tingkat komunitas masyarakat terendah (RT) dengan melanjutkan program jejaring asmara dalam rangka mengcover tingkat urgensitas kebutuhan masyarakat, (i) Menata kembali pelayanan pemerintahan di wilayah perbatasan daerah yang pada umumnya merupakan kawa­san tertinggal, (j) Melakukan evaluasi terhadap rencana stra­tegis dari semua satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah Kabupaten Bandung dengan harapan setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memiliki konsep one vision one product, (k) Melakukan uji kompetensi untuk setiap penempatan pejabat struktural di lingkungan Kabupaten Bandung, (l) Mela­ kukan program studi banding bagi eksekutif maupun legislatif dalam meningkat kapasitas pemerintahan, (m) Meningkatnya pelaksanaan penegakan hukum yang berkeadilan, khususnya pem­berantasan KKN di Kabupaten Bandung, dan (n) Mening­ katkan kualitas aparatur pemerintah Kabupaten Bandung dengan memberikan kesempatan kepada seluruh aparat peme­

118 Dr. Rahman Mulyawan rin­tahan dalam melanjutkan pendidikan, dan mengikuti workshop atau pelatihan baik struktural maupun fungsional. Pada sisi lain, karakteristik masyarakat Kabupaten Bandung yang religius, kritis, kreatif, tanggap, dan konstruktif merupakan potensi yang dapat dikembangkan ke arah penguatan civic gover­ nance melalui rasionalisasi dan modernisasi. Semangat kegotong- royongan merupakan potensi dalam pelaksanaan partisipasi dalam pembangunan yang dilestarikan dan ditingkatkan ke arah yang lebih positif menuju penguatan konsep civic governance itu sendiri. Begitu pula dengan kondisi kesadaran bela negara di Kabupaten Bandung yang dapat dikatakan telah berkembang cukup baik, masyarakat Kabupaten Bandung mudah diajak bekerjasama dalam arti positif, semangat gotong royong ter­ cermin dalam ungkapan masyarakat sunda sabanda sariksa, sabobot sapihanean yang artinya memiliki kesadaran yang tinggi dalam upaya menciptakan rasa saling memiliki dan semangat senasib sepenanggungan termasuk dalam bela negara. Walaupun masyarakat Kabupaten Bandung didominasi oleh suku Sunda tetapi tidak menolak adanya heterogenitas sebagai akibat banyaknya pendatang dari luar daerah, sikap ini menunjang kesatuan dan persatuan bangsa. Aspek kehidupan politik di Kabupaten Bandung termasuk kepada salah satu bagian dalam pemerintahan umum, yang pembiayaannya di daerah menjadi beban tugas Bupati, dan hal ini sesuai dengan asas desentralisasi yang secara otomatis pembinaan dalam peningkatan kualitas pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung ini menjadi wewenang dan tanggung jawab Bupati dimana pelaksanaannya harus sesuai dengan kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah Pusat.

Civic Governance Cita dan Realita 119 Melihat kenyataan di atas, dapat diketahui bahwa hal ter­ sebut telah membawa akibat terhadap pembinaan dan perkem­ bangan serta dinamika kehidupan politik yang terus ditumbuh­ kan di Kabupaten Bandung, disamping harus mengacu kepada terwujudnya stabilitas politik yang mantap di Kabupaten Bandung, juga harus mengacu kepada terwujudnya kehidupan politik nasional serta ketahanan nasional dalam lingkup Negara Kesa­ tuan Republik Indonesia yang mantap pula. Terlebih lagi Kabupaten Bandung sebagai daerah penyangga ibu kota Provinsi Jawa Barat dan menjadi tolok ukur atau baro­ meter bagi daerah-daerah lainnya, maka upaya pembinaan dan dinamika kehidupan politiknya senantiasa membawa pengaruh tersendiri terhadap kehidupan politik wilayah provinsi Jawa Barat maupun Nasional. Pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung melalui kegiatan sosialisasi dan pendidikan politik selalu berlandaskan kepada UU bidang Politik dengan tujuan mewujudkan sikap, persepsi dan perilaku politik yang hanya bersumber kepada Pancasila dan UUD NRI 1945. Untuk itu pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung diarahkan kepada dua dimensi pokok, yaitu dimensi budaya atau kultur politik dan dimensi struktur atau lembaga politik2. Selain itu kebijaksanaan pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung juga berpedoman kepada program pembangunan politik di tingkat Provinsi maupun Nasional. Program pembangunan politik di tingkat Provinsi maupun Nasional inilah yang kemudian di turunkan menjadi tujuan, arah dan kebijaksanaan pembangunan politik di Kabu­ paten Bandung yang isinya adalah sebagai berikut : (1) Semakin 2 Hasil wawancara dengan staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

120 Dr. Rahman Mulyawan mantapnya penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai ideologi nasional sehingga Pancasila benar-benar menjadi titik tolak dan tolok ukur dari sikap dan perilaku masyarakat sehari- hari dan lestari sepanjang masa, (2) Semakin mantapnya kesa­ daran masyarakat akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD NRI 1945 sehingga memiliki daya penangkal yang tangguh terhadap setiap ancaman yang tidak sesuai dan atau bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, (3) Meningkatnya kemampuan aparatur Pemerintah agar terwujud aparatur yang bersih, kuat, berdisiplin dan ber­ wibawa sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, (4) Mening­ katnya kemampuan lembaga-lembaga penyalur aspirasi masya­ rakat (infra struktur politik), agar benar-benar peka terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat dan mampu menyalurkannya sesuai dengan prosedur dan mekanisme demokrasi Pancasila, (5) Meningkatnya kehidupan sosial politik yang mantap dan dinamis untuk terlaksananya dan suksesnya setiap kegiatan Pemilihan Umum dan Pilkada serta kontinuitas pembangunan untuk terciptanya kerangka landasan yang kuat dan untuk mencapai tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, (6) Meningkatnya persatuan dan kesatuan bangsa di kalangan umat beragama serta semakin tumbuh dan berkembangnya motivasi dan tang­ gung jawab masyarakat terhadap setiap aspek pembangunan, (7) Meningkatnya fungsi, pemahaman dan kemampuan pers dan mass media lainnya yang bebas dan bertanggung jawab sebagai sarana pendidikan, penerangan dan sosial kontrol yang efektif berdasarkan demokrasi Pancasila, (8) Meningkatnya kesa­daran seluruh lapisan masyarakat dalam memiliki sikap

Civic Governance Cita dan Realita 121 dan kewaspadaan nasional agar peka dan mampu mendeteksi sedini mungkin terhadap usaha-usaha yang bersifat provokasi, intimidasi, subversi dan lain sebagainya yang dapat mengganggu stabilitas dan ketahanan nasional baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri, dan (9) Meningkatnya kesadaran seluruh lapisan masyarakat akan pentingnya mentaati hukum dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warganegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 19453. Berdasarkan kebijakan pembangunan ideologi dan politik seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa konsep civic governance secara bertahap telah dikembangkan di lingkungan pemerintahan daerah Kabupaten Bandung. Kebi­ jakan yang bernuansa kepada konsep civic governance ini telah banyak dilaksanakan walaupun tidak dengan menggunakan istilah civic governance tetapi dengan menggunakan istilah partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan. Selain itu, penguatan dan transformasi dari konsep civic governance dilakukan melalui kegiatan pembangunan karakter bangsa yang berbasis kepada karakteristik kewilayahan. Kegiatan penguatan civic governance ini memang telah dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, namun upaya tersebut dapat dikatakan belum dilaksanakan secara optimal sehubungan masih banyak­ nya aparat pemerintah dan anggota masyarakat yang kurang antusias untuk mendukung konsep civic governance tersebut.

3 Hasil wawancara dengan staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

122 Dr. Rahman Mulyawan 2. Rendahnya Partisipasi Masyarakat dalam memperkuat Civic Governance a. Keterkaitan Budaya Sunda dengan Civic Governance melalui Partisipasi Masyarakat Secara kultural, karakteristik masyarakat Kabupaten Bandung sangat beragam meski secara umum sering disebut sebagai ma­ syarakat Sunda. Seiring dengan perkembangan zaman, keaneka­ ragaman masyarakat Kabupaten Bandung semakin bertambah, tidak hanya dari dimensi kultural namun juga dimensi identitas (ras, etnisitas, agama). Dalam kondisi seperti inilah konsep multi­kulturalisme memperoleh relevansinya. Wacana multikul­ turalisme menjadi relevan manakala berhadapan dengan realitas kehidupan sosial di Kabupaten Bandung yang semakin hari semakin kosmopolis. Kabupaten Bandung tidak sekedar menjadi milik etnik Sunda semata, tetapi juga menjadi tanah tempat bermukim dan berkarya berbagai etnik bahkan bangsa. Sementara secara politik, karakter budaya politik Sunda cenderung menempatkan elit secara dominan dalam pengam­ bilan keputusan, sementara karakter masyarakat Sunda kendati menunjukkan diri sebagai masyarakat yang egaliter (sederajat), namun secara kultural masyarakat Sunda cenderung menun­ jukkan partisipasi politik yang individualistis. Kondisi ini memberikan peluang kepada pemegang otoritas politik untuk tidak memedulikan kepentingan politik mayoritas masyarakat. Dalam batas tertentu, masyarakat Sunda memang memper­ lihatkan ciri egaliter tetapi dalam egaliterisme ini justru mincul sifat-sifat individualistis dalam persoalan yang menyangkut kepentingan pribadi. Dalam kondisi demikian, apatisme atau

Civic Governance Cita dan Realita 123 ketidak acuhan politik kerap tampak kepermukaan. Kondisi ini semakin memperlebar peluang pemegang otoritas politik untuk mengesampingkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Peri­ laku politik mereka akhirnya juga bercirikan individualistis sebab tidak ada pressure signifikan secara kolektif dari masyarakat ketika kepentingan mereka tidak terakomodasi sepenuhnya. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa masyarakat Sunda di Kabupaten Bandung walaupun aktif dan partisipastif dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, namun sangat lambat dalam memahami dan melaksanakan nilai-nilai pembangunan karakter bangsa yang bernuansa persatuan. Mereka lebih me­ nyukai sifat individualistis ketimbang kolektivitas. Tidaklah aneh dalam transformasi dorongan, motif dan spirit otonomi daerah yang bernuansa integrasi bangsa di Kabupaten Bandung akselerasinya tidak secepat seperti daerah lainnya (misalnya daerah yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang sangat kuat ikatan etnisitasnya sehingga cepat pula akselerasi pem­ bangunan di daerahnya. Terjadinya hal tersebut patut diduga adanya permasalahan dalam memahami nilai-nilai persatuan bangsa. Dalam konteks yang berbeda, masyarakat Kabupaten Bandung ditandai juga oleh fragmentasi sosial-ekonomi yang berpotensi memicu konflik horisontal. Setting ekonomi turut menjadi penyebab munculnya kesenjangan sosial yang seringkali berhimpitan dengan identitas etnisitas. Isu-isu mengenai hu­ bung­an antara migran dengan penduduk asli dan isu kepemilikan sumberdaya di daerah oleh etnik tertentu, misalnya menjadi salah satu sumber konfik laten dalam pengelolaan otonomi daerah.

124 Dr. Rahman Mulyawan Dalam kondisi kontemporer inilah, transformasi gagasan multikulturalisme dimunculkan sebagai alternatif dalam menge­ lola keberagaman, sehingga keberagaman dapat menjadi aset yang menunjang pengelolaan otonomi daerah. Secara konkret, pengadopsian multikulturalisme tercermin dalam substansi setiap kebijakan publik yang dibuat oleh DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah. Langkah transformasi pertama yang telah dilakukan untuk menumbuhkan budaya politik multikulturalisme di Kabupaten Bandung adalah menemukan kembali nilai-nilai lokal, kemudian menginventarisasi permasalahan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat Kabupaten Bandung, baik di bidang politik, peme­ rintahan, hukum, sosial, budaya, dsb untuk selanjutnya mencoba menerapkan nilai-nilai budaya tersebut untuk mencari alternatif penanganan masalah tersebut. Menciptakan sebuah tempat bagi beragam manusia dari etnis berbeda-beda namun tetap diikat oleh nilai-nilai ke-Sunda-an sebagai dasar perilakunya. Untuk mengintegrasikan nilai-nilai budaya Sunda tadi, diperlukan suatu strategi budaya yang bukan hanya untuk merevitalisasi nilai- nilai budaya Sunda tetapi juga mengarahkan revitalisasi tersebut untuk mewujudkan Kabupaten Bandung yang multikultural dengan masyarakat yang menjunjung tinggi persatuan dan kesa­ tuan guna kepentingan integrasi bangsa. Komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri masyarakat Kabupaten Bandung dewasa ini tidaklah berarti terjadinya ketercabutan dari akar budaya lokal (Sunda) karena pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehi­ dupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tersebut.

Civic Governance Cita dan Realita 125 Dalam karakter masyarakat yang mengarah pada kosmopo­ litanisme, multikulturalisme menjadikan pola interaksi dan identifikasi diri menjadi bersifat multi sehingga seseorang tidak hanya merasa diri sebagai orang Sunda karena dia dilahirkan dari orang tua beretnis Sunda, tapi lebih dari itu, seseorang yang bukan etnis Sunda tapi lahir di Bandung pun merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat Sunda. Kondisi masyarakat Kabupaten Bandung yang multikul­ turalisme dapat dimanfaatkan sebagai faktor pendorong bagi munculnya kreativitas dan inovasi yang pada gilirannya akan mendukung percepatan pencapaian spirit otonomi daerah yang bertujuan memperkokoh pengelolaan pemerintahan yang par­ tisipatif dalam rangka mewujudkan integrasi nasional. Sesungguhnya pada masa sekarang, terdapat beberapa nilai atau norma yang berkembang di masyarakat Sunda yang mung­ kin dapat dikategorikan sebagai pandangan mereka terhadap masalah politik dan pemerintahan. Nilai-nilai budaya lokal banyak mengandung muatan moralitas meski tidak dinyatakan secara eksplisit. Moralitas tersebut tidak hanya tergambar dari relasi sosial antarmanusia, antarelit dan massa, tapi juga antara manusia dengan lingkungan alamnya. Sistem nilai budaya Sunda mengenal adanya “ramalan” atau uga sebagai salah satu media transfer nilai-nilai budaya antar generasi. Interpretasi simbolik terhadap uga mengungkapkan bahwa perubahan sosial atau politik pada masa yang akan datang terjadi sesuai dengan yang telah diperkirakan oleh para leluhur. Artinya, perubahan zaman berikut tantangannya sesungguhnya telah diperkirakan sebe­ lum­nya, perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Karena itu, sebagai bekal untuk menghadapi tantangan

126 Dr. Rahman Mulyawan perubahan zaman, maka nilai-nilai budaya lokal menjadi acuan moral (moral guidance) dalam sikap hidup sehari-hari. Nilai-nilai yang menjadi acuan moral tersebut dapat ber­ bentuk semboyan, nasehat atau peribahasa yang berkembang dari mulut ke mulut, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung dijadikan semacam pedoman atau ukuran dalam menilai suatu tindakan atau perbuatan masyarakat maupun elit penguasa. Adapun nasehat atau peribahasa yang berdimensi poli­ tik tersebut antara lain cageur, bageur, bener, pinter, siger tengah, leuleus jeujeur liat tali, laukna beunang caina herang, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, tiis ceuli herang panon, landung kandungan laer aisan, pindah cai pindah tampian, kawas kujang dua pangadekna, legok tapak genteng kadek, dll. Keseluruhan nilai-nilai yang sejatinya merupakan bagian dari pembangunan karakter telah berfungsi menjadi acuan moral, mengandung makna strategi dalam menghadapi suatu permasalahan. Misal­ nya dalam menghadapi konflik, situasi kondisi yang harus dilakukan adalah tiis ceuli herang panon (aman tenteram). Salah satu konsep budaya lokal Kabupaten Bandung yang mempunyai nuansa nasional maupun global adalah silih asah, silih asih, silih asuh, suatu konsep yang sarat dengan nilai-nilai demokratis, moralitas yang baik, dan solidaritas sosial. Dikenal pula istilah katumarimaan (menerima kenyataan sambil me­ man­faatkannya dengan maksimal), rangkaian ungkapan cageur, bageur, bener, pinter, singer (sehat, baik, benar, pandai, terampil) dan urutan prak, pek, pok (kerjakan, laksanakan, ucapkan). Konsep-konsep lokal ini sangat sesuai dengan konsep global bahwa pendidikan merupakan sarana untuk membangun keber­ hasilan suatu bangsa. Hidup berkembangnya demokrasi dalam

Civic Governance Cita dan Realita 127 masyarakat bergantung pada taraf kecerdasan dan kualitas pendidikannya. Oleh karena itulah perubahan sosial dalam suatu masyarakat harus dilakukan secara bertahap. Bentuk transformasi spirit otonomi daerah yang bernuansa partisipatif pun terdapat dalam nilai-nilai kepemimpinan budaya Sunda yang di pengaruhi oleh lingkungan geografis tempat tinggalnya. Secara geografis, bumi Sunda dapat dibedakan menjadi 3 macam medan, yakni dataran rendah pesisir utara yang merupakan sumber terbesar sawah-sawah; dataran tinggi pegunungan yang terbentang dari barat ke timur; dan dataran- dataran tinggi luas yang terpusat di kota-kota , Sukabumi, Garut, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya. Kondisi geografis ini menentukan sistem sosial dan sistem mata pencaharian hidup orang-orang Sunda. Ada suatu ungkap­ an dalam masyarakat Sunda yakni ulah sok parasea bisi pajauh huma, yang artinya jangan saling bertengkar agar tidak ber­ jauhan rumah. Huma dalam ungkapan di atas dapat diartikan sebagai rumah atau ladang sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia Sunda adalah manusia peladang. Budaya peladang adalah budaya nomaden sehingga memiliki mobilitas tinggi dan akibatnya tidak terbentuk struktur sosial yang mapan dalam satu wilayah. Dalam interaksi sosialnya, budaya peladang cen­ derung melahirkan sikap individualistis yang tercermin dalam ungkapan hayam diparaban silih acak, silih toker, digiringkeun paburisat; ari bebek mah galeut bae (artinya ayam dipelihara saling mencakar dan jika digiring berhamburan, sedangkan bebek jika digiring akan tetap bersatu). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah masuknya agama Islam ke daerah Sunda melalui Banten dan Cirebon, nilai-nilai

128 Dr. Rahman Mulyawan kepemimpinan Sunda mulai dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Oleh karena itu, muncullah figur ideal pemimpin yang dikenal dengan sebutan Raja Pinandita yang merupakan perpa­ duan antara pejabat negara (umaro) dan ulama (maksudnya memiliki pengetahuan dan penghayatan yang memadai menge­ nai keagamaan). Kesederhanaan konsep kepemimpinan dan figur pemimpin dalam nilai-nilai adat Sunda bersumber dari pandangan hidup orang Sunda yang berusaha mengambil jalan tengah (sineger tengah), yang diartikan sebagai tingkah laku atau tindakan yang seimbang dan berkecukupan, tidak kekurangan atau tidak berlebihan. Pandangan ini bisa mengandung aspek positif seka­ ligus aspek negatif. Positifnya, pandangan hidup ini menyebab­ kan orang Sunda tidak menonjolkan diri, tetapi negatifnya, sikap seperti ini dapat diartikan sebagai orang yang tidak berani mengambil resiko dalam mempertahankan sesuatu. Permasalahan aktual yang menjadi bahan diskusi di ka­ langan tokoh-tokoh masyarakat, baik dari kalangan budayawan, agamawan, akademisi, bahkan politisi adalah munculnya ke­ khawatiran di kalangan masyarakat bahwa orang Sunda suatu ketika mungkin akan kehilangan identitas ke-Sunda-annya, seperti halnya orang Betawi di yang terpinggirkan di tengah pesatnya pembangunan. Kekhawatiran ini timbul karena secara kultural, etnis Sunda berlatar belakang budaya masyarakat peladang sehingga sulit bersatu, tidak memiliki ikatan keke­ luargaan yang kuat, dan memiliki prinsip yang cenderung selalu mengalah (ngelehan). Dan ini semua berlaku pula di masyarakat Kabupaten Bandung. Sementara itu, figur pemimpin formal yang diharapkan dapat menampilkan nilai-nilai Sunda dalam pola kepemimpinan

Civic Governance Cita dan Realita 129 ternyata tidak mampu mempertahankan legitimasinya di mata masyarakat. Menurunnya kepercayaan masyarakat pada figur pemimpin ini tersirat dari sinyalemen bahwa Bandung dirusak bukan hanya oleh pendatang tapi juga oleh kebijakan pemerintah setempat. Beberapa kebijakan pemerintah daerah yang dinilai tidak memperhatikan kelestarian budaya dan lingkungan, antara lain pembangunan kompleks pemerintahan di Soreang yang menyebabkan ditebangnya beratus-ratus pohon berusia tua, pem­ bongkaran gedung-gedung arsitektur Belanda yang mengandung nilai historis, dan kebijakan tata ruang kawasan yang justru menghancurkan sumber air tanah. Hubungan antara masyarakat dengan figur-figur pimpinan formal mengalami perubahan. Sebagai tingkat tertinggi dalam jabatan eksekutif di daerah, kepemimpinan kepala daerah men­ jadi figur yang diharapkan mampu mempersatukan warganya dan meredam timbulnya konflik. Akan tetapi, dalam banyak kasus, kepemimpinan kepala daerah dan juga elit-elit politik lainnya di Parpol atau DPRD justru menerapkan pendekatan konflik dalam melaksanakan sejumlah kebijakannya atau justru memunculkan perilaku yang tidak pantas diteladani dalam kaitannya dengan etika politik. Pola kepemimpinan dari figur pemimpin formal yang berasal dari Sunda ternyata dirasakan tidak mampu menampilkan nilai-nilai kepemimpinan Sunda yang bercirikan perilaku yang someah, boga tata-titi duduga peryoga, hade gogog hade togog (artinya ramah, memakai aturan, baik budi bahasa, sikap mau­ pun tingkah laku). Secara tidak langsung krisis kepemimpinan lokal ini turut mempengaruhi pergeseran figur ideal pemimpin formal yang diharapkan masyarakat. Figur ideal pemimpin

130 Dr. Rahman Mulyawan formal tidak lagi harus putera daerah asli tapi figur yangnyunda, figur yang mempunyai komitmen untuk melestarikan nilai-nilai yang bersumber pada budaya Sunda. Berkaitan dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan peme­ rintahan lebih banyak dilakukan secara kolektivitas, sehingga transformasi spirit otonomi daerah yang partisipatif pun dila­ kukan melalui pembangunan multikultural yang mengadopsi nilai-nilai kepemimpinan sunda. b. Peran Serta Masyarakat dalam Manajemen Pemerintahan Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mulai di­ promosikan sejak pemerintahan Suharto pada tahun 1966. Pada era orde baru itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai dukungan rakyat dengan ukuran kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dengan tujuan untuk mensukseskan pembangunan. Kebijakan ini mendapat dukungan dari berbagai lembaga internasional yang terlibat pada bantuan pendanaan maupun bantuan teknis pembangunan di Indonesia. Kebijakan dan berbagai instrumen hukum yang mengatur partisipasi diberi istilah “peranserta masyarakat”. Tata pemerintahan yang sentralistis di Era Orde Baru ber­ pengaruh pada implementasi partisipasi masyarakat. Tata peme­ rin­tahan yang sentralistik mendorong diterapkannya mekanisme perencanaan yang bersifat top-down, yang ditunjukkan dengan adanya inisiatif perencanaan berasal dari atas (pemegang kekuasaan) tanpa melibatkan masyarakat. Hubungan antara peng­ ambil kebijakan dengan masyarakat sebagai sasaran program

Civic Governance Cita dan Realita 131 relatif tidak terjadi, sehingga desain kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elite. Sementara itu masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat hanya seputar implementasi kebijakan bahkan hanya sebagai tukang. Dalam mengimplementasikan peranserta masyarakat, Peme­ rintahah Orde Baru mempersiapkan instrumen hukum yang mengatur peranserta masyarakat di semua sektor kebijakan dan membentuk lembaga-lembaga sebagai saluran partisipasi warga seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Orga­ nisasi fungsional seperti organisasi petani (HKTI), organisasi buruh (SPSI) dan lain-lain. Setiap individu hanya bisa menya­ lurkan partisipasinya melalui organisasi yang sesuai dengan bidangnya. Kebijakan itu menguntungkan pemerintah karena dapat digunakan untuk memobilisasi sumberdaya baik tenaga, dana, maupun sumberdaya alam untuk menyukseskan program pembangunan, sekaligus lembaga-lembaga yang dibentuk peme­ rintah dapat digunakan untuk mengontrol keberadaan perkem­ bangan organaisasi sosial yang tumbuh dimasyarakat. Disisi lain isu yang berkembang pada era Orde Baru adalah adanya ketidakbebasan individu atau kelompok untuk berorganisasi, berpolitik, memilih ideologi, memperoleh dan memberi infor­ masi, sehingga implementasi partisipasi masyarakat bersifat semu. Peran serta masyarakat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai jastifikasi program-program pembangunan yang dilak­ sanakan pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan partisipasi pada era orde baru lebih tepat jika disebut dengan kebijakan mobilisasi masyarakat, karena keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan tidak dilandasi oleh adanya kesadaran akan tujuan.

132 Dr. Rahman Mulyawan Perubahan paradigma tata pemerintahan di Indoesia sejak tahun 1999 dari sentralistik ke arah desentralistik tidak saja berpengaruh pada perubahan sistem politik, tetapi juga terhadap pemaknaan arti partisipasi dan implementasinya. Di Era Refor­ masi partisipasi diberi makna keterlibatan masyarakat dalam proses politik yang seluasluasnya baik dalam proses pengambilan keputusan dan monitoring kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Berbagai peraturan yang memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat baik nasional maupun sektoral telah disiapkan diantaranya UU 32/2004 tentang pemerintah daerah dan UU 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Semua peraturan tersebut pada intinya mem­ berikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya. Secara substantif UU 32/2004 ini menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen penting dalam sistem pemerin­ tahan daerah yang berguna untuk mewujudkan civic governance dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial. Sedangkan mekanisme penyusunan dukumen perencanaan diatur dalam UU 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Mus­ renbang) yang merupakan forum antarpelaku dalam penyusunan perencanaan pembangunan nasional maupun daerah4. Dalam forum ini pemerintah dan stakeholders secara bersama-sama merumuskan dan menetapkan prioritas pembangunan yang akan dibiayai pemerintah. Pelibatan masyarakat dilakukan secara bertahap melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang diatur dalam Surat edaran bersama Menteri 4 Hasil wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kantor Bappeda pada tanggal 16 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 133 Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 0259/M.PPN/I/2005 dan No. 050/166/SJ5. Tabel 8.3 Proses Musrenbang Berdasarkan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perncanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ.

Kelembagaan Tahap Kegiatan Masyarakat Musyawarah Pemisahan program skala desa (yang Peserta; terbuka untuk ditingkat desa/ didanai oleh DAUD) dan yang akan setiap warga : Pemilihan komunitas diusulkan ketingkat lebih tiggi (didanai delegasi desa untuk APBD) perencanaan ditingkat yang lebih tinggi (3-5 orang) Musyawarah Kompilasi usulan desa ke dalam sektor Peserta; perwakilan dari Ditingkat dengan skala kecamatan : desa, asosiasi di tingkat Kecamatan ■ Daftar program infestasi yang kecamatan : Pemilihan diusulkan untuk skala Kecamatan delegasi kecamatan ■ Pembahasan estimasi alokasi (jumlah 3-5 orang) anggaran untuk kecamatan ■ Penetapan prioritas program infestasi di kecamatan (minimal 5 prioritas) ■ Penetapan prioritas program skala kota Forum-forum Daftar program skala kecamatan dan Peserta: delegasi Sektoral skala kota/kabupaten : kecamatan dan ■ Delegasi dari berbagai kecamatan organisasi sektor yang membahas program investasi dengan bergerak dalam skala sektor kota : Pemilihan delegasi ■ Pembahasan tujuan dan program forum sektoral skala kota sektoral serta estimasi alokasi untuk hadir di forum anggaran sektor musrenbang kota/daerah ■ Penetapan prioritas program investasi (dirinci per kecamatan) ■ Penetapan program yang akan diajukan untuk dana Non-APBD

5 Dokumen (Surat Edaran) tersebut didapatkan peneliti setelah melakukan wawan- cara dengan staf Bappeda yang dilakukan pada tanggal 16 Mei 2011

134 Dr. Rahman Mulyawan Musyawarah Menetapkan tujuan dan indicator Peserta; delegasi ditingkat pencapaian kinerja pemerintah : keca-matan dan delegasi Kabupaten ■ Penetapan estimasi pendapatan foru-forum sektoral daerah ■ Mendaftar prioritas program /proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten ■ Penetapan program /proyek skala kecamatan dan kota/kabupaten ■ Inventarisasi program/proyek yang telah disepakati dalam musrenbang kota/kabupaten ■ Dokumentasi program/proyek dan alokasi anggaran yang telah disepakati Pasca Penyusunan RKPD : Peserta; delegasi Musyawarah ■ Penyusunan kebijakan umum, kecamatan dan forum ditingkat strategi, dan plafon APBD sektoral yang hadir Kabupaten ■ Penyusunan RKA-SKPD dalam musrenbang ■ Pembahasan dan penetapan APBD Ka-bupaten/kota Monitoring dan evaluasi program

Sumber : Bappeda Kabupaten Bandung (2011)

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, Pemerintah Kabu­ paten Bandung secara berkesinambungan telah memberikan Alokasi Perimbangan Desa kepada Pemerintah Desa. Hal ini dimaksudkan agar Desa diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri de­ ngan tujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakatnya. Kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung kepada Pemerintah Desa, bertujuan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan pelayanan secara langsung, maka kepada Pemerintah Desa diberikan kewenangan dan tugas pem­ bantuan disertai dengan pembiayaannya. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Desa di­ harapkan dapat menggali sumber-sumber keuangan/pendapatan Desa untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan

Civic Governance Cita dan Realita 135 dan pembangunan di Desa, mengingat dana yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung tidak akan mencukupi semua kebutuhan yang ada di Desa. Untuk itu maka Pemerintah Desa, diharapkan dengan adanya Alokasi Dana Perimbangan Desa dapat menggali sumber-sumber pendapatan dan dapat mening­ katkan swadaya gotong royong masyarakat. Dengan dialokasikannya dana Alokasi Dana Perimbangan Desa, diharapkan Pemerintah Desa dapat meningkatkan kinerja pembangunan Desa sesuai dengan yang diamanatkan oleh visi dan misi Pemerintah Kabupaten Bandung. Perkembangan prog­ ram pembangunan Desa melalui bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah kepada Desa, bantuan berupa dana Alokasi Dana Perimbangan Desa dari tahun ketahun jumlah dana yang diberikan terus meningkat. Adapun tujuan dari pada program bantuan dana pembangunan tersebut, pada dasarnya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta untuk me­ ning­katkan partisipasi/swadaya gotong royong masyarakat dalam menunjang keberhasilan pembangunan Desa6. Hal ini secara tegas bahwa pembangunan Desa dan partisi­ pasi masyarakat dalam wujud prakarsa dan keswadayaan meru­ pakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan, dari sisi lain terlihat dimensi pembangunan Desa dan partisipasi masya­rakat yang menyatu dalam segenap pendekatan dan perumusan kebijakan tentang pembangunan Desa itu sendiri. Proses perkembangan program-program pembangunan yang didanai oleh pemerintah terus mengalami peningkatan, namun dalam pelaksanaan dari pada program melalui dana

6 Hasil wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kantor Bappeda pada tanggal 16 Mei 2011

136 Dr. Rahman Mulyawan bantuan untuk pembangunan Desa tersebut masih mengalami berbagai hambatan-hambatan. Hambatan tersebut, sebagai dam­ pak dari proses pelaksanaan program yang dibiayai oleh Alokasi Dana Perimbangan Desa khususnya dalam pelaksanaan pemba­ ngunan fisik/infrastruktur Desa. Partisipasi masyarakat yang diharapkan adalah keikutsertaan masyarakat dalam menunjang pelaksanaan pembangunan Desa yang dibiayai oleh dana Alokasi Dana Perimbangan Desa khu­ susnya dalam pelaksanaan pembangunan fisik/infrastruktur desa. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan Desa melalui dana Alokasi Dana Perimbangan Desa merupakan parti­ sipasi secara nyata yang berbentuk materiil, atau keikutsertaan masyarakat dalam dukungan materiil, pikiran maupun tenaga yang disumbangkan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan desa. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah berupa program pembangunan Desa yang dibiayai oleh dana Alokasi Dana Per­ imbangan Desa khususnya dalam pelaksanaan kegiatan pemba­ ngunan fisik/infrastruktur Desa berupa perbaikan jalan desa, pembangunan kamar mandi umum, rehab kantor desa dan pembangunan fisik lainnya yang ada ditingkat Rukun Warga pada umumnya dilaksanakan dengan baik serta memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat, hal ini terlihat nilai swadaya masyarakatnya paling tinggi sekitar 70% dari jumlah/besar bantuan pemerintah yang digunakan untuk pembangunan fisik/ infrastruktur desa, ini terbukti bahwa dengan adanya bantuan Dana Alokasi Perimbangan Desa dapat mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat7. Dengan adanya bantuan 7 Hasil wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kantor Bappeda pada tanggal 16 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 137 Alokasi Dana Perimbangan Desa ternyata belum dapat men­ dorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat ini di­ duga disebabkan dana bantuan tersebut pengalokasiannya dititik beratkan pada pembangunan sarana dan prasarana pemerintah saja, sedangkan proyek pembangunan yang diinginkan oleh masyarakat yang telah diusulkan melalui Musyawarah Perenca­ naan Pembangunan (Musrenbang) tidak terealisasikan, sehingga masyarakat kurang memberikan partisipasinya terhadap pemba­ ngunan desa yang dibiayai oleh dana Alokasi Dana Perimbangan Desa. Beberapa penyebabnya antara lain adalah: Pertama, Realisasi proyek pembangunan fisik/infrastruk­ tur desa yang dibiayai oleh dana Alokasi Dana Perimbangan Desa belum sesuai dengan yang diusulkan masyarakat, sehingga menimbulkan keengganan dari masyarakat untuk berpartisipasi, realisasi proyek pembangunan fisik sebagian terealisasi ada juga yang belum terealisasi mengingat ma­ syarakatnya cukup banyak dan jumlah penduduknya ter­ padat dan realisasi proyek pembangunan fisik sesuai dengan yang diprioritaskan oleh masyarakat sebagaimana yang telah diusulkan melalui Musrenbang kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di desa. Hal ini diduga disebabkan tingkat pengetahuan serta tingkat pendidikan yang dimiliki oleh aparat desa masih rendah. Proyek pembangunan fisik yang diusulkan oleh masya­ rakat tidak terealisasikan, bahkan yang direalisasikan bukan merupakan prioritas usulan masyarakat yang diinginkan. Sebagai contoh ilustrasi, proyek pembangunan fisik yang diusulkan oleh masyarakat sebagian terealisasikan dan ada juga proyek pembangunan fisik yang diusulkan sesuai yang diprioritaskan oleh masyarakat melalui Musrenbang.

138 Dr. Rahman Mulyawan Kedua, Tinggi dan rendahnya nilai swadaya gotong royong masyarakat kemungkinan disebabkan oleh faktor kurangnya penerangan/sosialisasi tentang program pemba­ ngunan yang dilakukan oleh pemerintah desa melalui pe­ nyuluhan secara langsung kepada masyarakat, sehingga masya­rakat tidak tahu kegiatan pembangunan yang dilak­ sanakan didesa. Ketiga, Penerangan atau informasi tentang program pembangunan desa, baik berupa sosialisasi, pembinaan mau­pun penyuluhan secara langsung kepada masyarakat idealnya dilaksanakan secara periodik, sehingga masyarakat paling tidak akan mengetahui kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap peningkatan parti­ sipasi masyarakat/swadaya gotong royong masyarakat. Kabupaten Bandung terus berupaya meningkatkan berbagai program pembangunan dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholders pembangunan8.

Pembangunan desa menuntut adanya suatu perubahan dalam segala bidang untuk mengarah pada suatu yang lebih baik, pembangunan desa dilaksanakan untuk mengurangi ketergan­ tungan serta meningkatkan kehidupan yang mandiri serta me­ nambah lapangan kerja baru bagi masyarakat desa. Agar pem­ bangunan itu dapat efektif dan efisien penyelenggaraan admi­nistrasi pemerintah desa harus ditingkatkan tentunya desa sangat membutuhkan biaya yang cukup memadai, dengan kelancaran administrasi tersebut akan bepengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan desa.

8 Hasil wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kantor Bappeda pada tanggal 17 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 139 Partisipasi masyrakat dalam melaksanakan pembangunan desa merupakan faktor penentu untuk melakukan dan meng­ alokasikan sumber daya termasuk didalamnya pembangunan yang dibiayai oleha Alokasi Dana Perimbangan Desa. Memahami masyarakat secara partisipatif yang dilaksanakan dengan baik akan memberikan kekuatan bagi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan pembangunan, masyarakat akan rela berkorban untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan sepanjang tidak mengganggu kepentingan dan kebutuhan pokok dari masyarakat itu sendiri. Upaya dan cara menumbuhkan par­ tisipatif aktif masyarakat dalam pembangunan dilakukan antara lain: Pertama, memberi stimulasi kepada masyarakat dengan mengharapkan timbulnya respon yang dikehendaki. Kedua, menyesuaikan pogram pemerintah dengan kebutuhan yang di­ inginkan dan dirasakan oleh masyarakat. Ketiga, menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan perlunya pembangunan di dalam masyarakat, sehingga timbul kesediaan berapartisipasi9. Berkenaan dengan uraian diatas, bahwa untuk merangsang swadaya masyarakat dalam melaksanakan pembangunan desa. Pemerintah Kabupaten Bandung memberikan perhatian khusus kepada desa melalui berbagai stimulan untuk melaksanakan berbagai program pembangunan, salah satunya yaitu melalui Kebijakan Pemerintah Daerah berupa program pembangunan desa yang dibiayai oleh Alokasi Dana Perimbangan Desa. Melalui program ini masyarakat sangat diharapkan berperan aktif dalam mensukseskan program pembangunan yang ada di desa. Supriatna menyatakan bahwa pembangunan yang ber­ orientasi pada pembangunan manusia ini, dalam pelaksanaannya

9 Hasil wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di Kantor Bappeda pada tanggal 17 Mei 2011

140 Dr. Rahman Mulyawan sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan akan sesuai dengan aspirasi kebutuhan masyarakat. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa partisipasi merupakan keterlibatan atau keikutserataan secara aktif sese­ orang baik individu maupun secara kelompok masyarakat dalam aktivitas kegiatan dengen menggerakkan semua sumber daya, pengetahuan, keterampilan dan tenaga guna mencapai tujuan pembangunan yang diharapkan. Pembangunan partisipatif yang diprogramkan Pemerintah Kabupaten Bandung merupakan pen­ dekatan yang ditetapkan dalam upaya mencapai tujuan dengan pengertian bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk berperan aktif dalam keseluruhan proses pem­ bangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan sampai dengan menerima dan memelihara hasil- hasil pembangunan. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan, implementasi, pemanfaatan dan eva­ luasi program pembangunan. Dari berbagai pengertian partisipasi, paling tidak ada dua pengertian partisipasi yang dapat dijadikan panduan bagi pe­ neliti, yaitu (1) partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai dukungan rakyat dengan ukuran kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga; (2) partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana

Civic Governance Cita dan Realita 141 dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari pengertian kedua ini tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu secara mandiri. Dari sudut pandang sosiologis, pengertian pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi berarti mendorong proses belajar bersama, berkomonikasi yang seim­ bang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepa­ katan warga sebagai sumber utama dalam pengambilan kepu­ tusan ditingkat politik formal dan memberi ruang bagi masya­rakat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, pengertian partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan dilandasi oleh kesadaran akan tujuan itu. Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada sistem pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan. Partisipasi dapat tumbuh subur pada tata peme­ rintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk meru­ muskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan

142 Dr. Rahman Mulyawan pengetahuan. Oleh karena itu, dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan pemba­ ngunan penting dilakukan, karena pelibatan masyarakat dalam membuat kebijakan merupakan faktor utama dalam good gover­ nance yang memberikan manfaat besar terhadap kepentingan publik, diantaranya meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat dan sebagai sumber bahan masukan terhadap pemerintah sebelum memutuskan kebijakan. Selain kegiatan partisipasi dalam keikutsertaan pada Musya­ warah Perencanaan Pembangunan (musrenbang), beberapa kelembagaan masyarakat banyak pula yang melakukan kegiatan partisipasi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah Kabu­ paten Bandung, salah satu lembaga tersebut adalah perkumpulan “Inisiatif” yang didirikan pada tanggal 9 September 2005. Perkumpulan Inisiatif memiliki visi untuk menjadi lembaga yang dapat meningkatkan derajat kehidupan kelompok marjinal khususnya melalui perbaikan tata pemerintahan dan penguatan inisiatif lokal. Visi tersebut diterjemahkan melalui beberapa misi sebagai berikut: 1) Mendorong reformasi kebijakan publik yang dapat mening­ katkan derajat kehidupan kelompok marjinal. 2) Memperkuat inisiatif lokal agar dapat memperjuangkan upaya peningkatan derajat kehidupan kelompok marjinal. 3) Mendorong terjadinya sinergi antara proses-proses refor­ masi kebijakan publik dengan penguatan inisiatif lokal10.

10 Berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Inisiatif yang didapatkan peneliti setelah melakukan wawancara dengan Humas Inisiatif yang dilaksanakan di Sekretariat Inisiatif pada tanggal 4 Juni 2011

Civic Governance Cita dan Realita 143 Ruang lingkup isu yang dikaji oleh perkumpulan Inisiatif meliputi : (a) kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin, (b) perencanaan dan pembangunan partisipatif, (c) penganggaran partisipatif, (d) penguatan institusi-institusi desa, dan (e) pro­ mosi dan advokasi pemenuhan hak dasar warga11. Kelembagaan yang memiliki kesamaan dengan visi dan misi Inisiatif pada dasarnya terlibat dalam kegiatan partisipasi melalui kegiatan kajian, pengembangan wacana publik, pendam­ pingan dan peningkatan kapasitas pemerintahan dan masya­ rakat, serta advokasi berbagai tema kebijakan publik yang di­ anggap memiliki pengaruh besar bagi demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

3. Simbol Visual, Verbal dan Ritual sebagai Media Transformasi nilai-nilai Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa a. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam mendukung Integrasi Nasional Konsep Otonomi Daerah dalam sistem pemerintahan dimak­ sudkan untuk memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masya­ rakat. Namun, dengan diberikannya keleluasaan kewenangan kepada daerah bukan berarti daerah dapat melakukan kegiatan sesuka hatinya dengan tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya. Kewenangan yang diberikan tetap berlandaskan

11 Hasil wawancara dengan Humas Inisiatif yang dilaksanakan di Sekretariat Inisiatif pada tanggal 4 Juni 2011

144 Dr. Rahman Mulyawan kepada kepentingan daerah yang bersangkutan serta untuk mem­perkokoh integrasi nasional pula. Membangun dan mem­ pertahankan integrasi nasional merupakan komitmen yang harus tetap dipegang teguh agar tetap bersatu. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan serta sekaligus kesabaran. Berkaitan dengan dikembangkannya penguatan integrasi nasional dalam kerangka otonomi daerah seperti yang telah diurakan di atas, peneliti berpendapat bahwa pandangan hidup, asas bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di Kabupaten Bandung sudah tidak dipermasalahkan lagi. Pemasyarakatan Pancasila serta UUD NRI 1945 melalui berbagai kegiatan penataran dan seminar telah sering dilakukan baik di tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan maupun Kabupaten. Kelanjutan dari kegiatan penataran dan non penataran dalam rangka pelak­ sanaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, dilakukan melalui pembinaan dan pembudayaan gerakan hidup Ber-Pancasila (GHBP). Pembinaan politik rakyat dalam arti kesadaran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Demokrasi Pancasila dan UUD NRI 1945 dilakukan melalui pendidikan politik bagi generasi muda, penataran Kewaspadaan Nasional, pemasya­ rakatan UU di bidang politik bagi para tokoh masyarakat dan peranan pembinaan ideologi politik serta pendidikan politik bagi organisasi profesi, fungsional dan tokoh agama. Untuk dapat menjangkau masyarakat secara luas, berbagai media massa dan seluruh perangkat pemerintahan bersama- sama masyarakat telah digiatkan untuk dapat memperluas pengamalan Pancasila.

Civic Governance Cita dan Realita 145 Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masya­ rakat Kabupaten Bandung berperan strategis dalam pembinaan ini dan merupakan pelopor serta penggerak utama pelaksanaan pembangunan karakter bangsa12. Satu kekuatan dari Kabupaten Bandung dalam pemba­ ngunan karakter bangsa adalah adanya kepercayaaan terhadap kebenaran Pancasila sebagai ideologi Negara, yang terbukti de­ ngan tekad masyarakat Kabupaten Bandung dalam upaya terus melestarikan Pancasila dan UUD NRI 1945 secara murni dan konsekuen walaupun dalam kenyataannya masih ada oknum dan kelompok masyarakat yang ingin merongrong ideologi Negara untuk melemahkan stabilitas politik, khususnya dengan cara-cara membandingkan kredibilitas Pancasila dihadapkan dengan ideologi Liberalisme dan ideologi lainnya. Dari penelitian yang dilakukan peneliti dan juga wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa penguatan integrasi nasional dalam kerangka otonomi daerah melalui pembangunan karakter bangsa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung telah berhasil dan terlaksana dengan cukup baik. Secara garis besar keberhasilan ini dapat dilihat melalui aspek-aspek sebagai berikut: 1) Kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama telah menunjukkan hal-hal yang menggembirakan. Demikian pula antara Ulama dan Ummaro yang hubungannya tidak memun­culkan masalah. 2) Kerjasama antara pemerintah dan media massa cetak mau­ pun elektronika dalam pembangunan karakter bangsa telah menunjukkan hasil yang cukup baik. 12 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

146 Dr. Rahman Mulyawan 3) Kondisi Ketahanan Wilayah bidang Ideologi di Kabupaten Bandung dalam kualifikasi cukup baik, namun masih perlu ditingkatkan kualitasnya di masa-masa yang akan datang. 4) Tingkat toleransi atau kerukunan antar umat beragama da­ lam kondisi yang baik serta dapat meminimalisir isu suku, agama dan ras yang pada akhirnya dapat memantapkan stabilitas daerah. 5) Kehidupan sehari-hari yang harmonis merupakan pencer­ minan dari nilai-nilai pembangunan karakter bangsa. 6) Pertentangan ideologi cenderung tidak menonjol13.

Berdasarkan pencapaian aspek-aspek tersebut diatas serta ditinjau dari proses kegiatan dan hasil pembangunan politik lokal, maka pelaksanaan pembinaan politik dan sitem pemerintahan yang diterapkan di Kabupaten Bandung telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai sebuah Kabupaten yang telah cukup mapan untuk dapat menyelenggarakan dan mengendalikan prog­ ram-program pembangunan, termasuk menghadapi berbagai permasalahan politik yang secara dinamis mengalami pasang surut. Aspirasi dan tuntutan secara terbuka maupun terbatas yang berkembang di masyarakat, disalurkan oleh lembaga-lembaga infrastruktur yang mampu menampung dan menyalurkan ke­ pada pihak-pihak pengambil keputusan. Hal ini diperkuat dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi dan lembaga infrastruk­ tur baik profesi, fungsi maupun swadaya masyarakat yang makin subur.

13 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 147 Permasalahan yang sering muncul dan kurang mendapat respon dari aparat Pemerintah Kabupaten Bandung biasanya berkisar kepada rasa tidak puas yang lebih banyak disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara pemerintah dengan kelom­ pok-kelompok tertentu atau masyarakat luas yang menginginkan adanya transparansi dan keterbukaan dalam manajemen peme­ rintahan. Sistem kehidupan politik Kabupaten Bandung sangat di warnai oleh kiprah dan dinamika unsur-unsur kekuatan sosial politik yang ada di Kabupaten Bandung. Kondisi perpolitikan yang baik ini diciptakan di Kabupaten Bandung dengan semangat persatuan dan kesatuan serta kebersamaan, sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan. Peranan aparat pemerintah di Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten banyak membe­ ri­kan pengaruh positif terutama untuk mengembangkan kehi­ dupan politik di Kabupaten Bandung menjadi tenang serta tetap kreatif dan dinamis dalam mengantisipasi kemajuan-kemajuan pembangunan.

Gejolak kadangkala timbul, baik yang berupa isu-isu negatif sampai pada wujud unjuk rasa, selain itu terbukti masih ada yang diindikasikan tidak murni sebagai tuntutan hati nurani masyarakat yang diwakili oleh individu atau kelompok-kelompok tersebut melainkan ada tujuan-tujuan politik tertentu yang didalangi oleh oknum atau lembaga yang tidak puas dengan tata kehidupan politik yang sudah mapan. Aksi-aksi masyarakat yang muncul serta menun­ tut keterbukaan dan hak-hak asasi maupun alasan-alasan lainnya, setelah diteliti ternyata hanya kelompok kecil yang pada umumnya tercatat sebagai anggota masyarakat yang “diperintahkan” oleh pihak-pihak tertentu. Demikian

148 Dr. Rahman Mulyawan pula unjuk rasa oleh buruh, petani, dan pedagang yang kadang-kala muncul, walaupun ada yang murni menuntut hak-hak mereka, tetapi justru lebih banyak yang disusupi oleh LSM yang menamakan dirinya pembela hak rakyat yang lemah atau tertindas dan melawan tirani kekuasaan14.

Kabupaten Bandung sebagai daerah penyangga ibukota Provinsi Jawa Barat, telah menjadi daerah konservasi serta wahana inkubasi bagi kader-kader politik yang berkaliber lokal maupun Nasional. Akibat dari posisi tersebut maka tidak mus­ tahil bahwa Kabupaten Bandung menjad barometer kegiatan politik di Jawa Barat setelah Kota Bandung. Aksi-aksi yang muncul di Kabupaten Bandung secara cepat akan dapat menjalar dan memberi dampak negatif bagi kehidupan politik di wilayah lain. Di dalam upaya mengantisipasi perkembangan kehidupan politik tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Bandung beserta seluruh kekuatan sosial politik yang ada mengembangkan ko­ munikasi politik yang terbuka dan timbal balik yang utamanya dilakukan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat, serta eksekutif sebagai pelaksana pembangunan. Kelemahan yang masih ada terutama penjabaran berbagai produk peraturan dan kebijakan-kebijakan daerah yang belum dapat memasyarakat masih perlu penanganan secara lebih cermat dimasa yang akan datang. Secara mendasar terdapat empat permasalahan pokok da­ lam kehidupan sosial politik yang perlu ditangani oleh Peme­ rintah Kabupaten Bandung dengan lebih initensif guna meng­ hadapi tentangan dimasa yang akan datang.

14 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 149 Masalah pertama adalah mengenai kemandirian. Peme­ rin­tah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan secara ideal hen­daknya dapat mandiri dan dapat menjalankan program- programnya­ secara berencana dan terarah. Tanpa ada keman­ dirian maka organisasi tersebut akan sangat lemah dan tak mungkin dapat melaksanakan proram-programnya. Keter­ gantungan terhadap suatu kekuatan di luar organisasi ter­ sebut, termasuk yang sangat mengandalkan pemerintah pusat akan berakibat pada kelemahan struktural dan seluruh subtansinya. Upaya yang mungkin dapat ditempuh adalah secara bertahap mengkondisikan fungsionaris organisasi dan aparat pemerintah untuk lebih ulet dan memiliki ke­ juangan yang tinggi, agar dapat bersikap realistis dan tidak pragmatis. Masalah yang kedua berkaitan dengan tuntutan keter­ bukaan. Sejalan dengan berbagai isu tentang HAM, demo­ krasi, dan soal-soal lingkungan hidup, pada umumnya terkait kepada masalah-masalah yang bersifat politis. Bila ini tidak diantisipasi secara dini, maka perkembangan isu- isu tersebut dapat merubah opini masyarakat dan kemudian menjurus kepada munculnya berba­gai unjuk rasa serta berbagai gejolak sosial, yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Kemungkinan jalan terbaik untuk saat ini dalam rangka mencegah hal-hal yang tidak di­ inginkan adalah melalui peningkatan kegiatan komunikasi politik yang dapat membuka pengertian dan meredam ke­ inginan-keinginan yang bersifat destruktif. Penyaluran aspi­ rasi yang betul-betul murni untuk kepentingan masyarakat luas perlu terus digalakan tetapi harus selalu diwaspadai

150 Dr. Rahman Mulyawan bahwa setiap ada kegiatan unjuk rasa biasanya ada unsur- unsur yang akan memanfaatkan tujuan negatif. Masalah ketiga berkaitan dengan penetrasi dan campur tangan pihak ketiga. Masih adanya usaha-usaha penetrasi pihak-pihak dari luar Kabupaten Bandung yang ingin mencampuri masalah-masalah yang ditangani oleh Peme­ rintah Daerah Kabupaten Bandung (dalam hal ini kepen­ tingan politik praktis). Yang terakhir sebagai masalah ke­ empat adalah masalah yang berkaitan dengan dampak politik dari kesenjangan sosial.15

Kesenjangan sosial yang dapat berdampak politik, seperti antara kaya dan miskin, rumah mewah dan rumah sangat seder­ hana, lapangan golf dan tanah garapan yang menyempit, gaya hidup elit atau eksklusif serta rakyat yang sulit dan lain-lain. Semua indikator itu bila tidak diwaspadai suatu saat akan me­ nyulut gejolak sosial yang tidak mustahil akan dapat merongrong kewibawaan pemerintah serta stabilitas poiltik akan terganggu. Salah satu upaya penting lainnya untuk dapat menciptakan disiplin nasional adalah dengan dilakukannya penegakan hukum, ketertiban dan disiplin untuk menciptakan aparat yang bersih dan berwibawa, maka pemerintah daerah Kabupaten Bandung telah menempuh upaya melalui berbagai kegiatan penegakkan disiplin aparat pemerintah dengan memberikan sanksi yang tegas dengan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri. Mengenai upaya penegakan hukum dan disiplin dalam rangka tegaknya keadilan serta produktivitas kerja, dapat dikatakan masih perlu penanganan yang lebih serius 15 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

Civic Governance Cita dan Realita 151 dan mungkin memerlukan waktu yang cukup panjang. Upaya- upaya meningkatkan kesadaran hukum telah ditempuh oleh pemerintah, tetapi jangkauan upaya itu belum dapat menyentuh semua lapisan masyarakat, karena itu masih perlu waktu untuk dapat mempercepat proses kesadaran hukum rakyat tersebut. Berkaitan dengan aparat keamanan, khususnya Tentara Nasi­onal Indonesia (TNI), seperti telah diketahui bersama pada dasarnya TNI memikul beban dan tanggung jawab pembangunan nasional untuk menciptakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Di Kabupaten Bandung pelaksanaan fungsi TNI memegang peranan penting dalam rangka menciptakan stabilitas dan dina­ misasi pembangunan pada semua bidang. Secara garis besar hal ini diwujudkan dalam berbagai aspek sebagai berikut: 1) Kerjasama dan kemantapan hubungan TNI dengan lem­ baga-lembaga struktural di Daerah. 2) Penyelesaian masalah-masalah pembangunan, termasuk ekses-ekses yang timbul akibat pembangunan itu sendiri. 3) Upaya menciptakan pelatihan nasional diberbagai bidang, terutama menumbuhkan sikap positif terhadap kesadaran bela negara dan pembinaan potensi wilayah untuk dikem­ bangkan kearah terwujudnya ketahanan daerah dalam meng­hadapi berbagai ancaman16. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa imple­ mentasi kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Bandung turut memperkuat integrasi nasional dan tidak hanya melalui pemba­ ngunan karakter bangsa saja melainkan melalui pembangunan di bidang lainnya. Selain itu pula penguatan dan transformasi

16 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 24 Mei 2011

152 Dr. Rahman Mulyawan tersebut melibatkan banyak fihak aparat serta lembaga dan peran serta masyarakat itu sendiri. b. Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa Aspek-aspek kehidupan masyarakat sangat berkaitan erat antara satu dengan lainnya. Perubahan salah satu aspek kehidupan akan berpengaruh terhadap aspek kehidupan lainnya. Sementara itu, kondisi dan dinamika masyarakat senantiasa mengalami perge­ seran nilai-nilai dalam tatanan kehidupannya sebagai akibat dari pengaruh perubahan global. Fenomena pergeseran nilai akibat pengaruh lingkungan stra­ tegis pada era globalisasi lebih dipercepat lagi dengan kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya informasi, komunikasi dan transportasi yang telah mangaburkan batas antar negara dan jarak antar budaya bangsa-bangsa di dunia. Pengaruh globalisasi terhadap setiap bangsa dan negara semakin besar, bentuk institusi antar bangsa atau multi nasional akan mempengaruhi tata hubungan antar bangsa. Batas-batas negara semakin kabur, hal ini mengandung makna adanya konvergensi sistem nilai yang dianut pada lingkup global semakin kuat, me­ nuntut keunggulan manajemen nasional guna memiliki daya saing dan mampu berbicara pada era persaingan antar bangsa. Dalam era perdagangan dan investasi yang lebih bebas serta kemudahan berkerja sama antar bangsa mengandung implikasi yang luas dan bersifat heterogen akan berpengaruh langsung pada hal-hal yang menyangkut segenap aspek kehidupan ber­ bangsa dan bernegara. Berkembangnya iklim liberalisasi perdagangan antar negara baik di kawasan Asia Pasifik aupun m Asia Tenggara telah

Civic Governance Cita dan Realita 153 mempengaruhi dinamika kehidupan nasional terutama sikap dan perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung menuntut kebebasan yang sebebas-bebasnya. Sikap dan perilaku masya­ rakat ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai nasionalisme dan Pancasila sebagai ideologi nasional yang mengutamakan keke­ luargaan dan kebersamaan serta hidup yang serasi, selaras dan seimbang. Pada era reformasi ini, pembangunan karakter bangsa cen­ derung teralienasi sehingga membahas nilai-nilai nasionalisme dianggap tidak reformis dan seolah alergi, khawatir dituduh statusquo. Suatu tantangan bagi setiap pimpinan nasional dan generasi penerus bangsa yang setia pada negara kesatuan Republik Indonesia untuk kembali meyakini nilai-nilai nasio­ nalisme sebagai jatidiri bangsa. Krisis multidimensional yang berkepanjangan dan masih belum menunjukkan tanda-tanda perubahan kearah perbaikan, bahkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber­ negara terasa semakin tidak menentu. Bahkan digulirkannya reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa dan masyarakat untuk merubah kondisi bangsa dan negara kearah yang lebih baik bercirikan demokrasi, transparansi dan kesadaran bersama atas kebhinekaan bangsa serta penegakkan hukum dan peng­ hormatan atas hak asasi manusia maupun penyelenggaraan oto­ nomi daerah, masih menyisakan berbagai permasalahan men­ dasar baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan per­ta­hanan keamanan. Untuk itulah pembangunan karakter bangsa dan nilai-nilai yang ada di dalamnya harus diperkuat dan ditransformasikan menuju bangkitnya bangsa ini dari keterpurukan.

154 Dr. Rahman Mulyawan Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa yang di­ hadapi saat ini setelah pemberlakuan otonomi daerah adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit. Mun­ culnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunya tingkat pembangunan karakter bangsa dan nasionalisme. Pada­ hal seperti diketahui bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan suatu proses yang utuh dan berkepribadian bangsa Indonesia yang majemuk. Menurunnya rasa nasionalisme atau kualitas pembangunan karakter bangsa telah menghasilkan berbagai masalah seperti munculnya konflik di beberapa daerah, baik konflik horisontal maupun vertikal. Berbagai konflik yang terjadi telah memakan banyak korban jiwa antar sesame warga bangsa, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang sangat mengutamakan kerukunan menjadi hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dari pengalaman beberapa kejadian yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di berbagai daerah, hal ini mencerminkan telah adanya krisis rasa persatuan dan kesatuan di masyarakat Indonesia yang diawali oleh krisis ekonomi dan krisis tentang pemahaman nilai-nilai dari pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan kepada ideologi Pancasila. Kondisi ini telah terjadi sejak awal reformasi hingga saat ini. Agar krisis yang terjadi tidak berkembang menjadi krisis yang lebih buruk lagi, maka perlu diadakan kegiatan penilaian, evaluasi serta tindak lanjut sebagai tindakan penyelamatan terhadap situasi tersebut secara tepat sehingga krisis multi dimensi dapat diatasi.

Selain kegiatan evaluasi dan tindak lanjut sebagai tindakan penyelamatan bangsa, suatu hal lain yang sangat penting untuk dilaksankan adalah memantapkan kualitas jatidiri

Civic Governance Cita dan Realita 155 bangsa yang harus terus diimplementasikan secara kon­ sisten guna menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang diakibatkan oleh merosotnya akhlak dan moralitas masyarakat sehingga rela mengorbankan kepentingan nasional demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Dilaksanakannya pembangunan karakter bangsa di­ ha­­rapkan dapat menjadi pendorong inovasi dan kreativitas untuk mengimplementasikan nilai-nilai nasionalisme dalam menjawab permasalahan dan perubahan yang terus ber­gerak dinamis. Secara sadar diakui, bahwa nasionalisme saat ini mengalami degradasi dalam pandangan bangsa sendiri yang sedang dilanda euphoria kebebasan dalam era globalisasi17.

Transformasi semangat otonomi daerah melalui pemba­ ngunan karakter bangsa guna memperkokoh integrasi nasional, haruslah menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bukan hanya ucapan atau slogan-slogan belaka. Transformasi ini antara lain dapat dilakukan melalui tipe kepemimpinan daerah yang bermoral dan berkeadilan dengan selalu berfihak kepada kepentingan rakyat, sehingga nilai-nilai nasionalisme benar-benar dapat menjadi kenyataan yang lang­ sung dirasakan oleh masyarakat. Di tengah keterpurukan yang sedang melanda bangsa ini, nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan karakter bangsa mutlak dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itu, transformasi motif dan semangat otonomi daerah harus selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dengan berdasar­ 17 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

156 Dr. Rahman Mulyawan kan kepentingan integrasi nasional serta mampu memberikan solusi bagi kepentingan Indonesia ke depan. Dengan memper­ baiki kesalahan dan kekurangan masa lalu, semangat otonomi daerah jangan lagi digunakan sebagai alat legitimasi untuk memisahkan diri dari induknya yaitu Indonesia, karena hal itu akan menyebabkan disintegrasi nasional. Transformasi nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan dalam pembangunan karakter bangsa guna memperkokoh integrasi nasional senantiasa dilaksanakan secara kreatif dan dinamis dengan memperhatikan situasi dan kondisi wilayah tempat transformasi dilaksanakan. Apabila hal tersebut dilaksanakan, maka semangat pendidikan kewarganegaraan sebagai pemersatu bangsa akan menjadi nilai instrinsik yang kemudian dijabarkan menjadi nilai instrumental yang pada saatnya nanti nilai instrumental ini akan menjelma menjadi nilai praksis.

Sebagai tolok ukur keberhasilan dari transformasi nilai- nilai pendidikan kewarganegaraan dalam pembangunan karakter bangsa di Kabupaten Bandung ini adalah sema­ kin meningkatnya kebersamaan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Tolok ukur demikian itu digunakan meng­ ingat penyelenggaraan pembangunan karakter bangsa sejatinya dilandasi oleh adanya dialog, musyawarah dan mufakat serta mengutamakan kepentingan masyarakat18.

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, peneliti berpen­ dapat bahwa transformasi nilai-nilai pendidikan kewarganega­ raan dalam pembangunan karakter bangsa merupakan solusi untuk mengaktualisasikan dan mengimplementasikan tercipta­

18 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

Civic Governance Cita dan Realita 157 nya integrasi bangsa serta diharapkan dapat selalu menyesuaikan terhadap berbagai perubahan dalam sistem penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga mampu menumbuhkan kearifan dalam pola sikap, pola pikir dan pola tindak setiap anggota masyarakat, penyelenggara negara serta segenap komponen bangsa. Transformasi nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan selain melalui pembangunan karakter bangsa untuk diimplementasikan demi utuhnya negara kesatuan Republik Indonesia, juga dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan dengan media pendi­ dikan, sosialisasi, koordinasi, regulasi maupun dialogis yang melibatkan berbagai pihak secara sinergis dan komprehensif. Terwujudnya transformasi nilai-nilai pendidikan kewarga­ negaraan yang kreatif, kritis, dan dinamis menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memiliki karakteristik sebagai landasan untuk kesatuan nasional yang mampu memperkokoh tegak dan utuhnya negara kesatuan Republik Indonesia sehingga mendorong bangkitnya bangsa dari keterpurukan, oleh sebab itu meningkatkan sosialisasi pemahaman dan kesadaran akan pentingnya pendidikan kewarganegaraan sebagai penjaga dan pemelihara kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Selain dilaksanakannya kegiatan yang berkaitan dengan trans­formasi nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan dalam kerangka integrasi nasional, pemerintah Kabupaten Bandung juga telah melaksanakan pula beberapa kegiatan yang berkaitan dengan transformasi nilai-nilai nasionalisme. Transformasi nilai ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi ancaman global yang terindikasi sudah mulai mengikis nilai-nilai nasionalisme

158 Dr. Rahman Mulyawan di kalangan masyarakat. Beberapa kegiatan transformasi nilai nasionalisme yang dimotori oleh Kantor Kesbangpol Linmas Kabupaten Bandung ini diantaranya adalah meliputi kegiatan Program Peningkatan Pemahaman, Pengamalan, dan Kerukunan Hidup Umat Beragama yang dilaksanakan melalui kegiatan Peningkatan Pembauran Bangsa Bagi Tokoh Masyarakat, Peng­ urus Lembaga Keagamaan dan Generasi Muda. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya adalah Prog­ram Peningkatan Pelayanan Kehidupan Beragama yang di­ lak­sanakan melalui kegiatan Penunjang Bantuan Pendidikan, Kebudayaan dan Keagamaan. Kegiatan ini pada dasarnya ber­ tujuan untuk meningkatkan aktivitas kegiatan keagamaan di Kabupaten Bandung19. Program kegiatan lainnya yang dilaksanakan dalam rangka transformasi nilai-nilai nasionalisme adalah Program Peningkat­ an Ketenteraman dan Ketertiban Lingkungan yang dilaksanakan melalui kegiatan : (1) Peningkatan Kemampuan dan Pengetahuan Perlindungan Masyarakat; (2) Penyiapan Pengerahan dan Pengen­ dalian Anggota Linmas Tingkat Desa/Kelurahan; (3) Pengem­ bangan Aspek-aspek Pemberdayaan Masyarakat dengan Lembaga Teknis di Lingkungan Pemerintah Kabupaten; (4) Diseminasi Pengembangan Program Pemberdayaan Masyarakat; (5) Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat; (6) Pendataan Pelanggar Peraturan Daerah; (7) Penyelenggaraan Sidang Yustisi; (8) Penegakkan dan Penertiban Terhadap para Pelanggar Peraturan Daerah; (9) Penertiban Pedagang Kaki Lima; (10) Pembinaan Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan; (11) Lomba Ketertiban

19 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

Civic Governance Cita dan Realita 159 Desa/Kelurahan; (12) Peningkatan Kualitas Sarana Fisik dan Pra Sarana Lingkungan Desa/Kelurahan. Berbagai kegiatan di atas dilaksanakan oleh Kantor Kesbangpol Linmas Kabupaten Bandung dengan tujuan untuk (1) Meningkatnya Kemampuan dan Pengetahuan masyarakat dalam bidang Linmas; (2) Me­ ningkatnya kelancaran peringatan Hari Besar Nasional; (3) Meningkatnya pemahaman aspek pemberdayaan masyarakat di tingkat Desa/Kelurahan; (4) Meningkatnya pemahaman ten­ tang program pemberdayaan masyarakat bagai aparatur; (5) Meningkatnya peran aktif Swadaya Gotong Royong Masyarakat; (6) Meningkatnya akurasi data para pelanggar Perda di Kabu­ paten Bandung; (7) Meningkatnya kepatuhan masyarakat ter­ hadap Peraturan Daerah; (8) Meningkatnya kepatuhan masya­ rakat terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati; (9) Berkurangnya pelanggar Peraturan Daerah di seluruh Desa/ Kelurahan; (10) Meningkatnya ketaatan masyarakat terhadap Peraturan Daerah; (12) Meningkatnya partisipasi masyarakat dan kompetisi bidang ketertiban20. Sedangkan program lainnya yang dilaksanakan dalam trans­ formasi nilai-nilai nasionalisme adalah Program Peningkatan Partisipasi Politik yang dilaksanakan melalui kegiatan: (1) Pela­ yanan Pemberi Ijin dan Rekomendasi Kegiatan Masyarakat; (2) Penguatan Peran dan Fungsi Ormas, LSM dan Yayasan sebagai Mitra Pemerintah; (3) Sosialisasi Undang-undang Politik, Pilkada dan HAM bagi Masyarakat dan Aparatur; (4) Monitoring Kegiatan Masyarakat yang Berpotensi Konflik dalam Mencip­ takan Situasi yang Kondusif; (5) Inventarisasi Daftar Ulang Ormas, LSM dan Yayasan (6) Pengendalian Kegiatan Penduduk

20 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

160 Dr. Rahman Mulyawan Warga Negara Asing (WNA); (7) Sosialisasi Pelaksanaan Tugas Fungsi dan Wewenang Partai Politik; (8) Pembinaan dan Pening­ katan Kesadaran Politik bagi Masyarakat. Program peningkatan partisipasi politik tersebut dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan untuk (1) Meningkatnya ketertiban administrasi kegiatan masyarakat; (2) Meningkatnya pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan keormasan; (3) Meningkatnya pemahaman berpolitik masyarakat dan aparatur; (4) Terkendalinya kegiatan masyarakat yang berpotensi konflik; (5) Meningkatnya kemi­ traan antara Ormas, LSM dan Yayasan dengan Pemerintah Da­ erah dalam pembangunan Kabupaten Bandung; (6) Mening­ katnya akurasi data penduduk WNA di Kabupaten Bandung; (7) Meningkatnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelak­ sanaan tugas, fungsi dan wewenang parpol; (8) Meningkatnya pengetahuan kesadaran berpolitik bagi masyarakat21. Berdasarkan uraian mengenai transformasi nilai-nilai pen­ didikan kewarganegaraan dan nasionalisme yang di lakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung seperti yang telah dijelas­ kan di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya transformasi nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan dan nasionalisme telah diagendakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan, namun dalam implementasinya ternyata belum optimal dilaksanakan sehingga kualitas nilai-nilai nasionalisme yang dihayati dan di­ amalkan oleh masyarakat Kabupaten Bandung masih rendah serta didominasi oleh nilai-nilai individualistis dan pragmatisme.

21 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

Civic Governance Cita dan Realita 161 c. Transformasi Simbol-simbol nilai Integrasi Nasional Penyelenggaraan kegiatan pembangunan karakter bangsa di Kabupaten Bandung pada dasarnya dilaksanakan dengan meng­ gunakan metode doktrin22. Oleh sebab itu tidaklah menghe­ rankan apabila pembangunan karakter bangsa kurang begitu antusias didukung oleh masyarakat. Dengan adanya doktrin telah menyebabkan masyarakat apatis untuk berperanserta dalam mendukung pembangunan karakter bangsa. Pemerintah Kabupaten Bandung melihat adanya gejala seperti yang telah diuraikan di atas sehingga setahap demi setahap melakukan perubahan metode dalam pembangunan karakter bangsa yang pada awalnya penuh dengan nuansa doktrin menjadi nuansa dialogis kritis. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung dalam mentransformasikan nilai-nilai pem­bangunan karakter bangsa adalah dengan memadukan simbol-simbol transformasi dalam optimalisasi pembangunan karakter bangsa yang berbasis kepada otonomi daerah dan integrasi nasional23. Simbol-simbol yang digunakan pemerintah Kabupaten Bandung dalam transformasi nilai-nilai pembangunan karakter bangsa yang bernuansakan integrasi nasional adalah dengan menggunakan simbol visual, verbal, dan ritual. Transformasi nilai-nilai pembangunan karakter bangsa dengan menggunakan simbol visual biasanya dilakukan dalam media spanduk yang tidak pernah lepas dari merah putih seba­ gai warna dasar serta logo pemerintah Kabupaten Bandung.

22 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011 23 Hasil wawancara dengan Staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 12 Juni 2011

162 Dr. Rahman Mulyawan Visual lain yang selalu ada dalam berbagai macam kegiatan penataran ataupun sosialisasi nilai-nilai pembangunan karakter bangsa adalah logo burung Garuda yang dikakinya bertuliskan moto Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ketinggalan pula foto Presiden dan Wakil Presiden. Gambar atau visualisasi dalam berbagai kegiatan pembangunan karakter bangsa selalu meng­ gunakan gambar-gambar yang telah diuraikan di atas. Adanya gambar-gambar tersebut telah mentransformasikan sisi nasio­ nalisme yang terdapat dalam nilai-nilai pembangunan karakter bangsa. Penggunaan visualisasi yang sering ditayangkan lebih berdampak positif untuk diingat dan diketahui oleh warga masyarakat sehingga memaknai secara aplikatif terhadap nilai- nilai nasionalisme dan integrasi nasional. Visualisasi telah meng­ ubah cara pandang masyarakat yang asalnya apatis menjadi kritis terhadap pembangunan karakter bangsa. Model doktrin yang menganggap apa yang disampaikan oleh narasumber sebagai sesuatu yang mutlak benar dan tidak boleh dibantah menjadi lebih bermakna outputnya dengan semakin banyaknya visualisasi yang digunakan dan dipasang di lingkungan masya­ rakat maupun dalam kegiatan penataran, pelatihan, sosialisasi atau apapun nama dari kegiatan yang bernuansa pembangunan karakter bangsa. Simbol kedua yang sering digunakan dalam transformasi nilai-nilai pembangunan karakter bangsa adalah ucapan-ucapan (verbal) yang sering digunakan oleh aparat serta elit-elit atau tokoh politik dan pemerintahan. Pimpinan lembaga peme­ rintahan dalam setiap sambutan pembukanya selalu menyertakan kalimat lain setelah mengucapkan salam (Assalamualaikum), kalimat tersebut adalah salam sejahtera semoga Sang Pencipta

Civic Governance Cita dan Realita 163 selalu melindungi kita semua kepada Bapak/Ibu yang hadir dalam kegiatan tersebut. Untaian kalimat tersebut mencerminkan bahwa kegiatan pembangunan karakter bangsa bukan monopoli atau milik salah satu agama yang ada tetapi milik semua warga negara Indonesia. Selain itu, kalimat salam sejahtera sebagai alat yang ampuh dalam mempersatukan masyarakat Indonesia yang heterogen. Dengan adanya persatuan, lambat-laun akan mene­ kan tingkat konflik yang bernuansa SARA di kalangan masya­ rakat. Kata lain yang selalu digunakan oleh para aparatur dan tokoh masyarakat adalah pekikan kata MERDEKA!!! yang men­ cerminkan bahwa kondisi kita telah terbelenggu dari penjajahan bangsa lain. Simbol ketiga yang digunakan oleh pemerintah Kabupaten Bandung dalam mentransformasikan nilai-nilai pembangunan karakter bangsa adalah kegiatan ritual. Salah satu bentuk ritual yang ada di Kabupaten Bandung yang digunakan untuk mentransformasikan nilai pembangunan karakter adalah kegi­ atan Seren Taun.

Kegiatan seren taun dilaksanakan dalam rangka mensyu­ kuri berkah yang telah diberikan oleh Allah SWT. Kegi­ atan ritual seren taun yang dilaksanakan di Kampung Cikondang Keca­matan Pangalengen merupakan salah satu kegiatan yang men­transformasikan nilai religius se­ ba­gai bagian dari nilai-nilai pembangunan karakter bangsa. Selain kegiatan seren taun ter­dapat kegiatan lain yang merupakan ritual. Kegiatan lain tersebut diantaranya ada­ lah Munjung dan Bongkar Bumi. Kegiatan ini merupakan perpaduan dari budaya Islam dengan budaya Sunda yang dilaksanakan dalam rangka menyambut musim taman dan musim penghujan, selain itu kegiatan ini selalu di­

164 Dr. Rahman Mulyawan sertai dengan adanya slametan dan tasyakuran dan kegi­ atan pembagian nasi bungkus di pemakaman para leluhur agar terus memberkati desa. Kegiatan munjung dan bong­ kar bumi juga selalu menampilkan pementasan wayang dan pengajian di masjid. Salah satu nilai positif dari ke­ giatan munjung dan bongkar bumi adalah mengingatkan masyarakat untuk selalu menjaga harmoni alam24.

Simbol-simbol yang ditransformasikan melalui visual, verbal dan ritual seperti yang telah diuraikan di atas telah meng­ optimalkan transformasi nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan melalui pembangunan karakter bangsa ketimbang kegiatan- kegiatan yang selalu bersifat doktrin yang sulit menggali potensi sikap kritis dari masyarakat.

4. Model Konseptual Civic Governance: Gambaran Proses Penciptaan Good and Smart Citizen Model civic governance yang disusun oleh peneliti pada dasarnya merupakan perpaduan konsep yang dilandasi oleh berbagai teori dengan ditunjang kondisi atau fenomena di lapangan yang berhasil peneliti dapatkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner kepada para responden. Teori-teori yang digunakan untuk membangun model civic governance setidaknya melingkupi teori pendidikan kewarga­ negaraan, pembangunan karakter bangsa, good governance, oto­ nomi daerah, integrasi nasional dan partisipasi masyarakat. Ada­pun model civic governance yang peneliti kemukakan sebagai hasil penelitian dapat dilihat pada gambar di halaman 231.

24 Hasil wawancara dengan Camat Pangalengan pada tanggal 6 Oktober 2011 di Kan- tor Kecamatan Pangalengan.

Civic Governance Cita dan Realita 165 Dari model yang telah dibangun oleh peneliti, selanjutnya model tersebut dikembangkan lebih lanjut menjadi 22 (duapuluh dua) model konseptual yang berkaitan dengan penguatan civic governance. Pengembangan ini perlu dilakukan mengingat model yang dibangun sangat berhubungan dengan aspek-aspek keberhasilan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik serta didukung oleh kegiatan partisipasi masyarakat. Adapun pengembangan model konseptual civic governance tersebut meliputi: a. Model konseptual penguatan civic governance melalui penyusunan rencana dan program kerja pemerintah dengan melibatkan peranserta masyarakat. Model ini diawali dengan kondisi umum Kabupaten Bandung yang memiliki berbagai aspek kehidupan (politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya). Kondisi ini bagi pemerintah Kabupaten Bandung dijadikan pijakan untuk menyusun sebuah visi dan misi yang dapat diterjemahkan melalui ber­ bagai program kerja guna kepentingan bersama. Rancangan program kerja pemerintah daerah sebelum ditetapkan oleh kekuasaan DPRD untuk berkekuatan tetap dalam bentuk kebijakan (peraturan daerah) terlebih dahulu disosialisasikan dan diaktualisasikan untuk diketahui oleh masyarakat. Pada kegiatan sosialisasi dan aktualisasi inilah peranan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan saran, reko­ mendasi maupun tanggapan kepada pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberian saran atau tanggapan kepada pemerintah dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pembangunan warganegara yang ber­ karakter yang dilandasi oleh pendidikan kewarganegaraan

166 Dr. Rahman Mulyawan yang sangat berpegang teguh untuk meningkatkan kualitas civic knowledge, civic skill dan civic responsibility. b. Model konseptual penguatan civic governance melalui pencanangan pembangunan karakter bangsa dalam program kerja pemerintah Model ini dibangun dengan memposisikan pemerintah da­ erah sebagai institusi yang berperan penting dalam menyuk­ seskan berbagai program kerja yang dilaksanakan oleh organisasi perangkat daerah (Dinas, Badan, dan Kantor). Tujuan utama dari dilaksanakannya program kerja tersebut tiada lain untuk memberikan pelayanan publik dan me­ ningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program kerja yang didukung oleh sumber daya aparat dan fasilitas pemerintah tersebut dilaksanakan berdasarkan aturan atau hukum yang berlaku agar tidak menyalahi wewenang atau mengganggu kepentingan umum. Kegiatan program kerja telah diatur melalui aturan agar dilaksanakan dengan menyesuaikan pada standar pelayanan minimal (SPM) kepada masyarakat. Dengan adanya standar pelayanan minimal ini akan mela­ hirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban yang di­ miliki aparat serta masyarakat sebagai warganegara yang pada ujungnya nanti akan berkonstribusi kepada penciptaan good and smart citizen. c. Model konseptual penguatan civic governance melalui penyusunan kebijakan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat Pembentukan model ini diawali oleh aktor-aktor yang men­ dukung penyelenggaraan pembangunan daerah, yaitu peme­

Civic Governance Cita dan Realita 167 rintah, masyarakat dan swasta. Jalannya pembangunan da­ erah biasanya menemui ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang kurang mendukung kelancaran dari pelak­ sanaan program kerja dan kebijakan yang berkenaan dengan pembangunan itu sendiri. Guna mengantisipasi permasa­ lahan yang akan timbul, pemerintah Kabupaten Bandung melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat agar me­ reka mampu mendukung jalannya pembangunan maupun mengantisipasi permasalahan yang akan muncul. Pember­ dayaan masyarakat dilaksanakan agar menghasilkan good and smart citizen.

d. Model konseptual penguatan civic governance melalui penguatan lembaga DPRD secara politis serta didukung oleh masyarakat Model ini diawali dengan melihat kondisi politik wilayah yang secara rutin oleh pemerintah serta diikuti partai politik sebagai peserta pemilu dengan didukung masyarakat sebagai konstituen dari kekuatan-kekuatan politik yang ada yang pada akhirnya menghasilkan anggota legislatif yang menjalankan institusi legislatif (DPRD). Dalam pelaksanaan fungsinya, partai politik melaksanakan fungsi-fungsi komu­ nikasi politik, artikulasi kepentingan, kaderisasi organisasi dan pendidikan politik sehingga keberadaannya dapat di­ ke­tahui atau didukung oleh masyarakat. Keberadaan lem­ baga DPRD yang menjunjung tinggi transparansi serta aspi­ratif kepada tuntutan masyarakat untuk terciptanya kese­jah­teraan dan keamanan akan menghasilkan lembaga DPRD yang memiliki kekuatan politik yang positif serta didukung penuh oleh konstituennya.

168 Dr. Rahman Mulyawan e. Model konseptual penguatan civic governance melalui perlindungan hak Masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat Model ini menggambarkan kondisi masyarakat Kabupaten Bandung yang memiliki berbagai macam kebutuhan dan tuntutan. Untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan ter­ sebut, masyarakat memiliki hak yang dilindungi oleh hukum maupun kebijakan pemerintah. Dengan adanya perlindung­ an hukum dan kebijakan pemerintah terhadap hak masya­ rakat semakin menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Bandung sangat melindungi warganya. f. Model konseptual penguatan civic governance melalui pembuatan kebijakan yang melindungi kepentingan masyarakat. Model ini dilandasi oleh visi, misi dan program kerja pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakatnya. Agar tujuan untuk mensejahterakan masyarakat dapat tercapai, maka pemerintah daerah membuat kebijakan yang partisipatif guna melindungi kepentingan masyarakatnya agar tidak terganggu haknya dalam kehidupan bermasya­ rakat dan bernegara. g. Model konseptual penguatan civic governance melalui perilaku masyarakat secara konsisten mentaati peraturan yang berlaku. Kebijakan pemerintah secara ideal harus disosialisasikan kepada masyarakat untuk diketahui isinya serta tujuan dari kebijakan itu sendiri. Model ini beranjak dari wawasan yang dimiliki masyarakat terhadap suatu kebijakan. Dengan dapat

Civic Governance Cita dan Realita 169 dikritisinya suatu kebijakan oleh masyarakat, akan memu­ puk sikap positif dari masyarakat mengingat sikap kritis dan taat kepada peraturan merupakan pencerminan warga negara yang memiliki moral knowing, moral feeling dan moral action sehingga menjadi seorang warganegara yang baik dan cerdas (good and smart citizen).

h. Model konseptual penguatan civic governance melalui pembinaan sadar hukum masyarakat dan aparat oleh pemerintah daerah. Model ini terlahir sebagai dampak dari besarnya tuntutan masyarakat untuk menjunjung tinggi supremasi hukum mengingat kondisi Indonesia saat ini penuh dengan keti­ dak­pastian hukum. Agar supremasi hukum dapat terlaksana dengan baik di lingkungan Kabupaten Bandung, maka peme­ rintah daerah secara rutin melaksanakan pembinaan sadar hukum kepada anggota masyarakat melalui berbagai macam kegiatan seperti seminar, pelatihan atau dialog terbuka. Pembinaan sadar hokum yang berjalan dengan baik serta berkesinambungan akan banyak menghasilkan warganegara yang baik dan cerdas (good and smart citizen).

i. Model konseptual penguatan civic governance melalui penekanan tingkat konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat. Model ini muncul diawali oleh kondisi konflik yang ada di lingkungan masyarakat dimana bentuk konflik ini bersifat vertikal dan horizontal. Kondisi konflik ini senantiasa harus dituntaskan melalui mediasi atau advokasi. Apabila konflik dapat diselesaikan maka stabilitas wilayah dapat terwujud

170 Dr. Rahman Mulyawan yang selanjutnya mempengaruhi kondisi integrasi nasional yang semakin kuat. j. Model konseptual penguatan civic governance melalui pelaksanaan otonomi daerah yang menunjang kualitas integrasi nasional. Model ini dilandasi oleh kebijakan pemerintah daerah Kabu­ paten Bandung yang menyelenggarakan prinsip-prinsip otonomi daerah. Namun dalam pelaksanaan prinsip oto­ nomi daerah tersebut biasanya ditemui ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang dapat mempengaruhi kelan­ caran pembangunan daerah yang bersifat fisik maupun non fisik. Masalah dalam pembangunan daerah tentunya akan mengurangi kualitas kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat sebagai tujuan dari dilaksanakannya pemba­ ngunan daerah. Pembangunan daerah yang berjalan dengan baik tentunya akan melahirkan stabilitas wilayah yang selanjutnya memperkuat kondisi integrasi nasional. k. Model konseptual penguatan civic governance melalui sikap masyarakat yang menghargai dan toleran terhadap heterogenitas bangsa yang ada di lingkungannya. Model ini pada dasarnya memperhatikan kondisi hetero­ genitas etnis dan budaya yang terdapat di lingkungan masya­ rakat Kabupaten Bandung. Kondisi ini ternyata diperkuat oleh kokohnya nilai-nilai anti konflik yang pada saatnya nanti akan semakin memperkokoh stabilitas wilayah Kabu­ paten Bandung untuk berkonstribusi kepada terciptanya kondisi integrasi nasional yang kokoh pula.

Civic Governance Cita dan Realita 171 l. Model konseptual penguatan civic governance melalui kebijakan pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan antar anggota masyarakat Model inipun sesungguhnya berlandaskan kepada kondisi umum wilayah Kabupaten Bandung yang sangat heterogen dalam etnis dan budayanya. Kondisi ini selanjutnya oleh pihak pemerintah Kabupaten Bandung dikondisikan melalui kampanye pola hidup toleransi (bagi tuan rumah/masya­ rakat sunda) dan adaptasi (bagi pendatang). Kampanye ini pada akhirnya melahirkan kerukunan antar anggota masya­ rakat sehingga mendukung terciptanya stabilitas wilayah yang berkonstribusi pada kondisi integrasi nasional yang kuat.

m. Model konseptual penguatan civic governance melalui perilaku masyarakat dalam menggunakan berbagai media/ forum untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan Model ini terbentuk dilandasi oleh proses pembuatan kebi­ jakan yang dimulai dari formulasi, implementasi dan evaluasi. Tahapan pembuatan kebijakan tersebut sudah selayaknya dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berupa masukan, saran, usulan atau tanggapan terhadap kebijakan yang akan diberlakukan oleh pemerintah. Kebijakan yang partisipatif tentunya akan men­ dukung terciptanya integrasi nasional yang kokoh.

n. Model konseptual penguatan civic governance melalui perilaku masyarakat yang secara aktif menggunakan berbagai media/forum untuk memonitor penyelenggaraan pemerintahan daerah. Model ini berupaya mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pe­

172 Dr. Rahman Mulyawan me­rintahan. Kegiatan pengawasan ini dapat dilakukan me­ lalui berbagai media atau forum untuk memperbaiki atau semakin meningkatkan kualitas pembangunan dan penye­ lenggaraan pemerintahan. o. Model konseptual penguatan civic governance melalui kemampuan masyarakat untuk menekan tingkat kebocoran anggaran yang dikelola pemerintah daerah. Model ini tercipta dikarenakan kondisi penyelenggaraan pe­ merintahan penuh dengan nuansa korupsi, kolusi dan nepo­ tisme. Pembiayaan pembangunan dan pemerintahan yang bersumber dari APBN maupun APBD seringkali disalah­ gunakan untuk kepentingan individu atau kelompoknya. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan masyarakat ter­ hadap penggunaan anggaran untuk kegiatan pembangunan dan pemerintahan akan meminimalisir penyalahgunaan anggaran. p. Model konseptual penguatan civic governance melalui kegiatan pengawasan oleh masyarakat terhadap efektifitas pengelolaan anggaran berjalan Model ini dibangun berdasarkan tugas pokok dan fungsi dari institusi pemerintahan yang selalu terkait dengan ke­ giatan dan anggaran. Dilakukannya pengawasan terhadap kualitas dan kuantitas program kerja pemerintah akan sema­ kin menekan tingkat penyalahgunaan anggaran sehingga penggunaan anggaran dapat tepat sasaran.

Civic Governance Cita dan Realita 173 q. Model konseptual penguatan civic governance melalui perilaku masyarakat dalam menggunakan berbagai media untuk memperoleh informasi publik. Model ini dilandasi oleh perlunya disosialisasikan suatu kebijakan pemerintah kepada masyarakat untuk diketahui dan dipahami. Adanya sosialisasi melalui media massa atau­ pun lembaran daerah telah menjadikan sebuah infor­masi yang sangat penting bagi masyarakat untuk dikritisi. Ma­ syarakat yang mampu mempengaruhi atau bersifat kritis terhadap suatu kebijakan pemerintah merupakan bentuk warganegara yang memiliki kriteria civic knowledge, civic skill dan civic action.

r. Model konseptual penguatan civic governance melalui sikap masyarakat untuk mengetahui informasi dalam bidang pelayanan publik. Model ini berupaya menguatkan persepsi tentang tugas utama pemerintah adalah melakukan pelayanan publik. Proses dan tahapan pelayanan publik ini harus senantiasa diinformasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi penya­ lahgunaan kewenangan oleh aparat kepada masyarakat.

s. Model konseptual penguatan civic governance melalui upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Model ini berupaya memotivasi agar pemerintah senantiasa melakukan perbaikan dan peningkatan dalam berbagai ke­ gi­atan pelayanan kepada masyarakat.

174 Dr. Rahman Mulyawan t. Model konseptual penguatan civic governance melalui upaya pemerintah daerah dalam menggunakan sumber- sumber daya daerah secara efisien. Model ini dibangun dalam rangka efisiensi penggunaan sum­ber daya daerah yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya keuangan oleh peme­ rintah daerah. u. Model konseptual penguatan civic governance melalui kebijakan pemerintah yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Model ini dibangun untuk menegaskan bahwa fungsi utama pemerintah adalah mengutamakan kesejahteraan masya­ rakat melalui pembangunan fisik dan non fisik dengan di­ dukung oleh berbagai kebijakan yang partisipatif serta men­ dukung kepentingan umum. v. Model konseptual penguatan civic governance melalui perilaku masyarakat dalam berpartisipasi pada perumusan kebijakan pembangunan ekonomi daerah Model ini mengupayakan agar setiap bentuk kegiatan da­ lam perumusan kebijakan pembangunan ekonomi harus senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat.

Strategi penguatan civic governance melalui partisipasi ma­ syarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan akan sangat membutuhkan kerjasama berbagai komponen dari jajar­ an aparat pemerintahan maupun masyarakat itu sendiri dengan ditunjang oleh landasan hukum yang mendukung terlaksananya penguatan civic governance.

Civic Governance Cita dan Realita 175 176 Dr. Rahman Mulyawan Pilahan 9 Beberapa Catatan Kritis

Aktualisasi peran serta masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung lebih didominasi melalui kegiatan musyawarah peren­ canaan pembangunan (musrenbang) yang pola dan mekanis­ menya telah ditentukan berdasarkan aturan-aturan atau landas­ an hukum yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Kabupaten Bandung kurang optimal dalam memunculkan inisiatif dan kreativitas kegiatannya yang bernuansa penguatan civic governance. Dam­ pak dari fenomena tersebut adalah masih tingginya tingkat mobilisasi massa oleh pemerintah dalam penguatan kegiatan civic governance. Kenyataan ini kurang sesuai dengan maksud dan tujuan dari penyelenggaraan konsep civic governance itu sendiri yang sangat mengutamakan tingkat partisipasi masya­ rakat yang tidak dimobilisasi atau diintervensi oleh kekuasaan pemerintah. Kebijakan otonomi daerah tentang penguatan civic gover­ nance seharusnya dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen

177 oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Hal ini perlu dila­ kukan mengingat kebijakan yang bersifat normatif dan sentra­ listis hanya akan menjadikan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak opti­mal atau terhambat implementasinya. Sudah seharusnya pemerintah daerah secara berkelanjutan dan berkesinambungan melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada masyarakat tentang pentingnya konsep civic governance serta meminimalisir tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Kon­ disi ini akan berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh kebi­ jakan yang membuka peluang kepada masyarakat untuk berpar­ tisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Aktualisasi peran serta masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Bandung sudah seharusnya tidak lagi terfokus kepada kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang pola dan mekanismenya telah ditentukan berdasarkan aturan- aturan atau landasan hukum yang dibuat oleh pemerintah. Seha­ rusnya pemerintah daerah turut memfasilitasi dan mendukung penuh kegiatan masyarakat yang melakukan pemberdayaan kepada masyarakat lainnya melalui advokasi, pembinaan, pen­ dam­pingan atau kegiatan lainnya sehingga partisipasi masyarakat tidak terjebak pada proses penyelenggaraan pemerintahan yang semu. Di era reformasi, organisasi kemasyarakatan dan LSM di Kabupaten Bandung berkembang sangat banyak dan satu dengan lainnya bersifat independen meskipun bergerak dalam bidang yang sama. Misalnya banyak organisasi kemasyarakatan dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, tetapi satu

178 Dr. Rahman Mulyawan dengan lainnya berbeda visi dan misinya, hal seperti ini tidak menguntungkan bagi organisasi kemasyarakatan itu sendiri da­ lam menyampaikan usulannya kepada pemerintah. Dilain pihak pemerintah sebagai pemegang inisiatif perencanaan sulit untuk memilih organisasi mana yang akan dilibatkan dalam proses perencanaan. Selain itu hal tersebut dapat difahami bila mem­ perhatikan begitu banyaknya lembaga-lembaga yang turut ber­ partisipasi dalam mewujudkan konsep civic governance dengan mempengaruhi kebijakan pemerintah di Kabupaten Bandung, misalnya: 1) Forum Diskusi Anggaran 2) Perkumpulan Inisiatif 3) Rakom Pass Katapang 4) Rakom Prima Pangalengan 5) Rakom Kombas Banjaran 6) Poksimas Cicalengka 7) LP3U 8) Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya 9) Generasi Muda Majalaya 10) Forum Pegiat Desa 11) Samsaka Ibun 12) Forum Manglayang 13) Forum Komunikasi Guru Honorer Sekolah (FKGHS) 14) Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) 15) Cakram Rancamanyar 16) Paguyuban Becak Majalaya

Civic Governance Cita dan Realita 179 17) Koperasi Akur Banjaran 18) Wanapasa 19) Masyarakat Peduli Sumber Air 20) Komunitas Gunung Wayang 21) Wanaputri 22) Pusat Sumber Daya Komunitas 23) Sahara, dll

Organisasi kemasyarakatan dan LSM mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol terhadap produk kebijakan maupun implementasi kebijakan apakah kebijakan tersebut berpihak ke­ pada kepentingan rakyat atau tidak. Selama kondisi kelembagaan organisasi kemasyarakatan dan LSM masih seperti sekarang, bertindak parsial dan tidak bersatu dapat dipastikan partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan publik tetap men­ jadi wacana. Agar tidak berupa wacana belaka, maka pemerintah Kabupaten Bandung mengeluarkan Perda No. 6 tahun 2004 yang mengatur tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bandung. Pergeseran yang terjadi dalam pemerintahan dari konsep government ke governance telah menuntut perubahan pende­ katan dalam aktivitas pemerintahan. Pemerintah dituntut untuk lebih mengembangkan pendekatan partisipatif guna melibatkan lebih banyak stakeholders dan mendorong inisiatif masyarakat dalam proses pembangunan. Inilah ciri pokok dari governance yang melibatkan pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Keterpaduan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah perlu memberdayakan aparat pemerintah agar lebih profesional, akuntabel dan responsif pada kebutuhan dan tuntutan masya­

180 Dr. Rahman Mulyawan rakat. Bila tidak dilakukan maka pemerintah tidak bisa meng­ ikuti perkembangan keadaan. Upaya tersebut di atas didukung dengan ketersediaan sa­ rana dan prasaran fisik yang memadai. Pemerintah perlu mem­ perbaiki sarana dan prasarana fisik pemerintah guna menunjang pelayanan kepada masyarakat. Kinerja pemerintah merupakan kinerja bagian-bagian yang saling mendukung dan terkait satu sama lain. Dalam meningkatkan kinerja diperlukan upaya me­ ningkatkan koordinasi antara pemerintah desa/kelurahan, kecamatan dan pemerintah daerah. Koordinasi penting untuk meningkatkan kerja sistem pemerintahan. Berkaitan dengan aspek kinerja tersebut, Kabupaten Bandung yang memiliki pusat pelayanan pemerintahan yang telah terintegrasi, saat ini memi­ liki berbagai program kegiatan untuk mengoptimalkan kinerja pemerintah daerah agar dapat melayani masyarakat dengan secara maksimal. Dari hasil penelitian dan wawancara dengan berbagai responden25, secara garis besar dapat diketahui bebe­ rapa program kegiatan yang bertujuan untuk penguatan civic governance yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Bandung diantaranya adalah: (a) Mengembangkan wilayah keca­ matan sebagi pusat pelayanan pemerintahan dengan konsep pe­lim­pahan sebagian kewenangan dari Bupati kepada Camat yang mana harus disertai dengan personil, peralatan dan pembiayaan, (b) Menjadikan Camat sebagai manajer Kecamatan berdasarkan karakteristik wilayah dan memberikan pelimpahan kewenangan secara penuh dalam konteks menghadapi masalah- 25 Beberapa program kegiatan yang bertujuan untuk penguatan civic governance diperoleh peneliti melalui wawancara dengan Staf Badan Perencanaan Pembangunan yang dilaksanakan di Kantor Bappeda pada tanggal 16 Mei 2011, serta hasil wawan- cara dengan Staf Badan Kesbang Linmas yang dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2011 di Kantor Badan Kesbang Linmas.

Civic Governance Cita dan Realita 181 masalah di kecamatan khususnya dibidang kebersihan, keter­ tiban, dan keamanan yang merupakan kebutuhan utama masya­ rakat, (c) Melakukan evaluasi pelayanan pemerintahan untuk mengetahui tingkat indeks kepuasan masyarakat terhadap pela­ yanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, (d) Melakukan evaluasi penataan organisasi di pemerintah Kabu­ paten Bandung sebagai konsekwensi adanya Peraturan Pemerin­ tah yang mengatur tentang kewenangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur Penataan Organisasi, (e) Melakukan evaluasi anggaran, evaluasi personil dan mekanisme kerja setiap desa/ kelurahan dan Kecamatan dengan penerapan evaluasi beban kerja dan Kepmendagri Nomor 158 tahun 2004 karena dengan adanya pengukuran beban kerja antar daerah maka antara daerah yang memiliki beban kerja yang lebih berat tidak berarti menerima dana yang sama dengan daerah yang memiliki beban kerja yang biasa, (f) Melakukan penataan desa/kelurahan dan kecamatan dengan harapan pemerintah Kabupaten Bandung dapat mewujudkan konsep close to custumer (mendekatkan pela­ yanan kepada pelanggan/masyarakat) dalam rangka mengcover tingkat urgensitas kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung melalui ke­ giatan sosialisasi dan pendidikan politik selalu berlandaskan kepada UU bidang Politik dengan tujuan mewujudkan sikap, persepsi dan perilaku politik yang hanya bersumber kepada Pancasila dan UUDNRI 1945. Untuk itu pemberdayaan politik di Kabupaten Bandung diarahkan kepada dua dimensi pokok, yaitu dimensi budaya atau kultur politik dan dimensi struktur atau lembaga politik26.

26 Hasil wawancara dengan staf Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat di Kantor Badan Kesbang Linmas pada tanggal 18 Mei 2011

182 Dr. Rahman Mulyawan Berdasarkan kebijakan pembangunan ideologi dan politik seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa konsep civic governance secara bertahap telah dikembangkan di lingkungan pemerintahan daerah Kabupaten Bandung. Kebijak­ an yang bernuansa kepada konsep civic governance ini telah banyak dilaksanakan walaupun tidak dengan menggunakan istilah civic governance tetapi dengan menggunakan istilah par­ ti­sipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan. Selain itu, penguatan dan transformasi dari konsep civic governance dilakukan melalui kegiatan pembangunan karakter bangsa yang berbasis kepada karakteristik kewilayahan. Kegiatan penguatan civic governance ini memang telah dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, namun upaya tersebut dapat dikatakan belum dilaksanakan secara optimal sehubungan masih banyak­ nya aparat pemerintah dan anggota masyarakat yang kurang antusias untuk mendukung konsep civic governance tersebut. Berkaitan dengan penyelenggaraan civic governance ini da­ pat dikatakan belum sepenuhnya menyentuh kepentingan serta melibatkan warga negara secara penuh. Dilibatkannya warga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan secara langsung diindikasikan akan semakin meningkatkan kualitas pembangun­ an karakter bangsa yang sangat menjunjung tinggi kepada rasa memiliki terhadap bangsanya. civic governance pun secara lang­ sung berindikasi akan meningkatkan sikap nasionalisme dan patriotisme di kalangan warga negara. Dikembangkannya model civic governance yang berkaitan dengan konsep pembangunan partisipatif di Indonesia sehu­ bungan saat ini proses pembangunan masih dilakukan secara konvensional dan bersifat sektoral serta terpusat (dari atas),

Civic Governance Cita dan Realita 183 selain itu serta kurang mengikut sertakan atau melibatkan potensi yang dimiliki masyarakat (dari bawah). Dalam model civic governance dan konsep pembangunan partisipatif, dicoba mendayagunakan semua potensi yang ada untuk mengembang­ kan/menumbuhkan pemecahan-pemecahan secara kreatif dalam pengelolaan pembangunan. Konsep ini mencoba untuk mencari keserasian antara pendekatan pengelolaan dari atas dan dari bawah berdasarkan keterlibatan semua pihak. Walaupun pemberdayaan masyarakat merupakan kegiatan yang sangat positif, namun di dalam operasionalisasinya peneliti masih menemui berbagai permasalahan atau kendala di lapang­ an, diantaranya: 1. Pemerintah masih “setengah hati” dalam melaksanakan ke­ bijakan pembangunan partisipatif dan pemberdayaan ma­ sya­rakat. 2. Masih ditemuinya perbedaan persepsi/pendapat mengenai pemberdayaan masyarakat antara aparat pemerintah dengan Lembaga Swadaya Masyarakat/organisasi komunitas. 3. Dalam kegiatan Musrenbang, pada umumnya peserta di­ undang oleh pihak pelaksana/pemerintah. Hal ini dari sisi demokrasi memiliki kelemahan mengingat keabsahan peser­ ta sebagai representasi masyarakat masih diragukan. 4. Forum musrenbang atau sejenisnya seringkali bersifat for­ malitas. 5. Sumber Daya Manusia aparat pemerintah di tingkat Kelu­ rahan, Kecamatan dan Kabupaten pada umumnya masih memiliki kelemahan dalam penyusunan program kerja berbasis partisipatif.

184 Dr. Rahman Mulyawan Secara umum, permasalahan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, ataupun Pusat jauh lebih pelik dan kompleks. Perma­ salahan tersebut dapat dilihat pada aspek-aspek sebagai berikut: 1. Hubungan perencanaan daerah dengan prioritas pemba­ ngun­an di tingkat provinsi maupun pusat/nasional cende­ rung kurang berkaitan satu sama lain. 2. Terdapat dualisme dalam proses perencanaan dan pengang­ garan pembangunan, karena struktur pemerintahan memun­ culkan dua lembaga yang berbeda antara perencanaan (Bapeda) dengan penganggaran (Panggar Eksekutif) yang dikoordinatori oleh Bagian Penyusunan Program atau Bagian Keuangan. 3. Seringkali panitia anggaran eksekutif ataupun legislatif tidak merujuk pada dokumen dan kebijaksanaan peren­ canaan dan penganggaran yang telah diproses sebelumnya melalui perencanaan partisipatif. 4. Banyak sektor tidak berpartisipasi dalam forum-forum pe­ ren­canaan di tingkat daerah. 5. Informasi, monitoring dan evaluasi di tingkat komunitas ti­ dak berjalan (tidak ada instrumen dan kemauan politik untuk menjalankan ini), dll.

Guna mengatasi berbagai permasalahan di atas, saat ini terdapat beberapa pemerintah daerah yang mulai mengembang­ kan konsep civic governance. Salah satu pemerintah daerah yang mulai mengembangkan model civic governance ini adalah Peme­ rintah Kabupaten Bandung.

Civic Governance Cita dan Realita 185 Model ini dikembangkan sehubungan di kalangan masya­ rakat Kabupaten Bandung sudah lama tertanam rasa kebersa­ maan yang sangat tebal, senasib sepenanggungan yang diwujud­ kan dalam gerak operasionalnya, yaitu: “rempug jukung sabi- ­lu­­lungan sauyunan di jiwaan ku sumanget satata jeung sariksa” (melaksanakan kegiatan pembangunan yang didorong kenginan memenuhi kebutuhan bersama dengan cara dikerjakan bersama penuh pengertian dan serasi dijiwai semangat untuk memelihara karena disadari semua itu hasil kerja bersama). Sikap keber­ samaan masyarakat tersebut sungguh sejalan dengan maksud dilaksanakannya civic governance. Untuk menambah rasa kebersamaan “rempug jukung sabilulungan sauyunan” tersebut, perlu dikobarkan lagi dengan semangat satata sariksa dalam pelaksanaannya dengan model pengembangan civic governance. Dengan model ini, pelaksanaan pemerintahan dapat berhasil optimal karena memadukan aspek edukatif, aspek administrasi pembangunan, aspek pembinaan masyarakat (SDM), aspek pembangunan perekonomian daerah dan aspek pengolahan sumber daya alam, dapat tertata dengan lebih baik. Di lain pihak, model civic governance dimaksudkan untuk mengingatkan semua lapisan masyarakat Kabupaten Bandung, bahwa sejak dulu kita memiliki kebersamaan dalam membangun, yang harus dipelihara dan ditingkatkan, baik pada hari ini maupun untuk masa yang akan datang. Manusia dan masyarakat boleh berganti karena adanya regenerasi, tetapi hendaknya tetap mempunyai rasa kebersamaan “rempug jukung sabilulungan sauyunan, satata jeung sariksa”. Dengan demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, yang diawali dengan

186 Dr. Rahman Mulyawan musyawarah, kemudian diwujudkan. Dan setelah terwujud, di­ pelihara dengan semangat kebersamaan yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan kualitas nasionalisme serta mendukung integrasi nasional sebagai bagian dari tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan karakter bangsa. Model pemerintahan yang melibatkan warga negara ini oleh peneliti disebut dengan civic governance. Kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk membentuk dan menguatkan civic governance melalui partisipasi masyarakat dalam proses penye­ lenggaraan pemerintahan diawali dengan penyusunan platform otonomi daerah yang bersifat normatif serta dijadikan pedoman atau panduan penyelenggaraan sistem pemerintahan di lingkung­ an pemerintah Kabupaten Bandung. Platform yang menjiwai visi dan misi pembangunan Kabupaten Bandung ini selain di­ sosialisasikan secara optimal kepada aparatur pemerintah juga turut disosialisasikan kepada masyarakat guna adanya kesinam­ bungan dan sinergitas antara program pemerintah dengan aspi­ rasi masyarakat yang menuntut keterbukaan serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas wilayah. Dalam tahap implementasi, platform otonomi daerah menunjukkan bahwa secara bertahap dan berkesinambungan telah terbangun peme­ rintahan yang bercirikan civic governance. Namun pelaksanaan civic governance belum optimal sehubungan sebagian besar masyarakat Kabupaten Bandung sangat kurang berpartisipasi dalam mendukung berbagai program pemerintah yang ber­ nuansa memperkokoh integrasi nasional maupun memperkuat stabilitas wilayah.

Civic Governance Cita dan Realita 187

Daftar Pustaka

Buku Abdullah, T. (2001). Nasionalisme dan Sejarah. Bandung: Satya Historika. Anderson, Benedict. (1983). Imagined Communities: Reflection on The Origins and Spread of Nationalism. London: Verso Press. Azwar, S. (1995). Sikap Manusia: Sikap dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Benveniste, Guy. (1997). Birokrasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Budimansyah, Dasim (ed). (2006). Pendidikan Nilai Moral dalam Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium PKn UPI. Budimansyah, Dasim, dan Karim Suryadi., 2007. PKn dan Warga Negara Multikultural, Bandung: Program Studi PKn Sekolah Pascasarjana UPI. Borg R. Walker and Gall Meredith. D. (1989). Educational Research: An Introduction, Fifth Edition. Longman. Cogan. JJ. (1998). Citizenship for the 21st Century: An Introduction Perspective of Education. London : Cogan Page. Common, Richard, Norman Flynn and Elizabeth Mellon. (1993). Managing Public Service, Competition and Decentralition. UK: Butterworth-Heimann.

189 Corner. (1991). Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Jakarta: Bumi Aksara. Cresswell, John W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London & New Delhi: Sage Publications. ______(1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing / Among Five Traditions. London & New Delhi: Sage Publications. Davis dan Newstrom. (1989). Pembangunan Masyarakat Berbasis Partisipatif (terjemahan). Jakarta: Salemba Empat. Djahiri, Kosasih. (1982). Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung: LPPMP. Dwiyanto, Agus. (2002). Reformasi Birokrasi Warga negara di Indonesia. Jogjakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. El Mubarok, Zaim. (2009). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabetha. Frederickson. (1984). Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat (ter­ jemahan). Yogyakarta : Akademia. Garna, Yudhistira K. (1999). Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika. Grant. (1979). Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Hamidjojo. (1978). Masyarakat Industrial di Pedesaan. Jakarta: BPFE. Kahin, George McTurnan. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press. Kaho, Riwu Josef. (1997). Prospek Otonomi Daerah di Negara Rewarga negara Indonesia, Identifikasi yang Mempengaruhi Penyelenggara­ annya, Jakarta : Rajawali Kalidjernih, F.K. (2007). Cakrawala Baru Kewarganegaraan: Refleksi Sosiologi Indonesia. Bogor : Regina. Kartodirdjo, . (1972). Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

190 Dr. Rahman Mulyawan Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta Khatchatrian, Gaiane. (2003). My Thoughts about National Character. Kaliningrad. Lickona, T. (1991). Educating for Character: How our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Mallarangeng, Andi, dkk. (2000). Otonomi Daerah, Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Media Grafika. Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Masyhuri dan M. Zainuddin. (2008). Metodologi Penelitian : Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Bandung : Refika Aditama. Miles, Mathew B & Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. alih bahasa Tjetjep Rohendi Effendi, Jakarta : UI Press. Moebiarto. (1994). Masyarakat Pedesaan. Yogyakarta : BPUGM. Morgenthau, Hans. J. (1963). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. (Third Edition). New York: Alfred A Knopf. Muhadjir, Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muhaimin, Yahya dan Mc. Andrew. (1991). Pembangunan Politik. Jakarta: Gramedia. Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nazir, M. (2003). Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia Ndraha, Taliziduhu. (1981). Partisipasi Masyarakat Desa dalam Pem­ ba­­ngunan Desa. Jakarta: Yayasan Dharma IIP. ______(1987). Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta : Rineka Cipta. ______(1996). Budaya Pemerintahan dan Dampaknya terhadap Pelayanan Kepada Masyarakat: Sebuah Studi tentang Manajemen Pemerintahan DKI Jakarta. Jakarta: Jurnal MIPI Edisi Ketiga.

Civic Governance Cita dan Realita 191 ______(1997a). Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. ______(1997b). Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta : Rineka Cipta. ______(1998). Pemerintahan Yang Bertanggung Jawab. Jakarta : Jurnal MIPI Edisi Ketujuh. ______(2001). Ilmu Pemerintahan jilid I s/d V. Jakarta : BKU IIP. ______(2003). Kybernology ( Ilmu Pemerintahan Baru) Jilid 1 dan 2. Jakarta: Rineka Cipta. ______(2005). Kybernologi: Beberapa Konstruksi Utama. Tangerang : Sirao Credentia Centre. ______(2006). Kybernologi: Sebuah Scientific Enterprice. Tangerang : Sirao Credentia Centre. ______(2007). Kybernologi: Sebuah Charta Pembaharuan. Tangerang : Sirao Credentia Centre. O’neil, William F. (1981). Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational Philosophies. CAL, Santamonica: Goodyear Publishing Company. Diterjemahkan Mansour Fakih. (2001). Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Osborne, David and Petter Plastrik. (1997). Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reliventing Government. California: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Osborne, David and Ted Gaebler. (1992). Reinventing Government: How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector. Massachusetts: Addision Wesley Publishing Company Inc. Poespowardojo, S, dan Parera, F.M. (1994). Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cende­ kiawan Indonesia. Jakarta : Grassindo. Print, Murray. (1999). Civic Education for Civil Society. London: ASEAN Academic Press. Purwosantoso. (2002). Masalah Sosial dalam Pembangunan di Pedesaan. Jakarta : Bumi Aksara.

192 Dr. Rahman Mulyawan Rasyid, Muhammad Ryaas. (1997). Makna Pemerintahan di Tinjau dari Segi Etika dan Kepemimpina. Jakarta: Yasir Watampone. Republik Indonesia. (2010). Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Saefullah, A Djaja. (2010). Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik: Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Era Desen­ tralisasi, Bandung : LP3AN FISIP UNPAD Samsuri. (2010). Transformasi Gagasan Masyarakat Kewargaan melalui Reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia (Studi Pe­ ngem­bangan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Reformasi)-Disertasi. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI (Unpublished). Sanusi, Achmad. (1998). Membudayakan Pilar-Pilar Demokrasi Kons­ titusional Indonesia. Bandung: Panitia Seminar PPKn IKIP Bandung. Sapriya. (2007). Perspektif Pemikiran Pakar Tentang Pendidikan Ke­ warganegaraan Dalam Pembangunan Karakter Bangsa (Desertasi). Bandung: UPI (Unpublished). Sarundajang. (2000). Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Sinar Harapan. Sastroputro. (1998). Problematik Sosial Budaya Pembangunan Masya­ rakat. Jakarta : Media Ilmu. Savas. (1987). Pembangunan Masyarakat Desa dan Perkotaan. Jakarta: Bina Ilmu. Sedermayanti. (2003). Good Governance Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju. Smith, B.C. (2007). Good Governance. New York: Palgrave Macmillan. Soedarsono, Soemarno. (2002). Character Building: Membentuk Watak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Soedarsono, Soemarno. (2003). Membangun Kembali Karakter Bangsa. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Soemitro. (1989). Desentralisasi dalam Pelaksanaan Manajemen Pemba­ ngunan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Civic Governance Cita dan Realita 193 Soetrisno, Loekman. (1995). Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogya­ karta : Kanisius. Somantri, Numan. (1973). Metode Pengajaran Civics. Bandung : IKIP Bandung. Somantri, Nu’man. (1991). Jatidiri (Identitas) Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP dan Jurusan Pendidikan IPS FKIP Universitas. Makalah disampaikan pada Forum Komunikasi FPIPS IKIP dan JPIPS-FKIP-Jniversitas se-Indonesia, Yogyakarta. Somantri, Nu’man. (1994). Memantapkan Jatidiri, Batang Tubuh dan Program Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) serta Sum­ bangan PIPS dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia dalam PJP. Makalah disampaikan pada Temukarya Pendidikan Musya­ warah Nasional III ISPI, Sawangan-Bogor. Somantri, Numan and Sumantri, Endang. (1999). Community Civic Education: Vasic Concept and Essential Elements. (Paper) Presented in the Conference on Civic Education for Civil Society, Organized by CICED in collaboration with USIS. Bandung: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999. Sparks, Richard K. JR. (1991). Character Development at Fort Washington Elementary School dalam Benninga, Jacques S. (Ed) Moral, Character, and Civic Education in the Elementary School. New York and London: Teachers College Press. Suabuana, Cik. (2010). Pengembangan Pendidikan Nilai Bela Negara dalam Pendidikan Kewarganegaraan pada Perguruan Tinggi melalui Model Pembelajaran Project Citizen (Studi Analitik tentang Pengembangan Nilai dalam Mata Kuliah Umum Universitas Pendidikan Indonesia)–Desertasi. Bandung: UPI (Unpublished). Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Sulaiman. (1992). Strukur Sosial dan Nilai Budaya Masyarakat Pedesaan. Yogyakarta : APD. Sundari. (2009). Hubungan antara Faktor Guru, Lingkungan dan Siswa dengan Sikap Nasionalisme di Kalangan Pelajar SMA (Suatu Studi tentang Peran Pembelajaran PKn untuk menumbuhkan Sikap Nasionalisme). Bandung : Disertasi SPS UPI (unpublished).

194 Dr. Rahman Mulyawan Suryadi, Karim. (2006). Kedudukan Platform dan Komunikasi Politik Kiai dalam Membentuk Identifikasi Kepartaian (Studi Kasus pada Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004). Bandung : Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpublished). Suseno. (2001). Permasalahan Pembangunan Wilayah. Jakarta : Bina Ilmu. Suwarto. (2009). Menggerakkan Partisipasi Masyarakat. Jakarta : Salemba Empat. Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Raasyid. (2003).Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tjokroamidjojo, Bintoro. (1992). Administrasi Pembangunan, Jakarta : Gramedia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen. Uphoft. (1977). Participation and Self Reliance: Experience in South and South East Asia. New Delhi. Usman, Husaini dan Purnomo S. Akbar. (2008). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi Aksara. Wahab, A. Azis. (2004). Pembangunan Karakter dan Bangsa Sebagai Upaya Bersama. (Makalah). Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional: Revitalisasi Nasionalisme Indonesia Menuju “Character and Nation Building” Kerjasama LEMHANNAS RI dan UNJ, Jakarta: 18 Mei 2004. Wasistiono, Sadu. (2001). Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Sumedang : Aigaprint. Winataputra, Udin S. (1999). Perkembangan Pendidikan Kewarga­ negaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi di Indonesia (Paper), disampaikan dalam Workshop on Civic Education Content Mapping, Oktober, 18-19 1999, Hotel Papandayan. Bandung: CICED. Winataputra, Udin S. (2000). New Indonesian Civic Education: A Nationale Building (A Look-back at the CICED’s National Survey for New Indonesian Civic Education). Bandung: CICED.

Civic Governance Cita dan Realita 195 Winataputra, Udin S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. (Disertasi), Bandung: PPS UPI (Unpublished). Winataputra, U.S. dan Budimansyah, D. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Landasan Hukum / Perundang-Undangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelak­ sanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bandung.

196 Dr. Rahman Mulyawan Tentang Penulis

Rahman Mulyawan lahir di Tasikmalaya pada tanggal 20 Oktober 1967 dari pasangan pendidik/guru (alm) Somali Atoni dan Nani Ratnawati. Pendidikan kesarjanaannya disele­ sai­kan di Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer­ sitas Padjadjaran Bandung tahun 1990. Setelah itu, melanjutkan jenjang Program Magister Pengkajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) Jakarta dan selesai tahun 1996. Selain pendidikan formal yang ditekuni, suami dari Sudarmika Sumiati juga pernah mengikuti serangkaian pendidikan non-formal/informal seperti Pentaloka Pendidikan Kewarganegaraan yang rutin diikuti sejak tahun 1995 hingga saat ini, Penataran P4 Pola 100 Jam (TOT) yang diselenggarakan BP 7 Provinsi Jawa Barat (1995), Pelatihan Metodologi Penelitian (1995), Pelatihan Nasional Pembina Pramuka Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Kwartir Nasional Pramuka (1996), Pelatihan Pengabdian Kepada

197 Masyarakat (1998), Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah (1999), Pelatihan Penulisan Modul Universitas Terbuka (UT) yang di­ selenggarakan oleh Universitas Terbuka (1997), Penataran Dosen Wali/Konselor (2000), Pelatihan Applied Approach (2001), Pela­ tihan Pekerti (2004), Pelatihan Manajemen Pengelolaan Jurusan/ Program Studi Diploma III (2005), Pelatihan Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh Dirjen Dikti (2007 dan 2008). Karirnya dimulai sebagai Assisten Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP-UNPAD pada tahun 1993. Dan pada tahun 1998 hingga 2002 diangkat sebagai Sekretaris Program Studi Administrasi Bisnis Diploma III FISIP-UNPAD. Pada tahun 2003 sampai 2008 dipercaya sebagai Ketua Program Studi Kearsipan Diploma III FISIP-UNPAD. Penugasan sebagai staf Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan (1997-2000) pernah diembannya, dan saat ini masih bertugas sebagai staf Pembantu Dekan Bidang Akademik FISIP-UNPAD. Selain itu, sampai sekarangpun masih menjabat sebagai Sekretaris Kelom­ pok Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Padjadjaran yang telah dijabatnya sejak tahun 2000. Karya tulis yang pernah dibuat diantaranya Modul Universitas Terbuka (1997) untuk Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Indonesia, Administrasi Keuangan serta Organisasi dan Administrasi Internasional. Tulisan yang pernah dibuat, dimuat diberbagai jurnal terbitan Lembaga Penelitian UNPAD dan Badan Kearsipan Daerah Provinsi Jawa Barat. Sampai saat ini penulis aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan baik sebagai peserta maupun pembicara.

198 Dr. Rahman Mulyawan