Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 411 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran

Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. Program Studi Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Jl. Raya Sumedang No. KM 21, Jawa Barat 45363 Email: [email protected]

ABSTRACT

Lately, people are often confused with the definition of kawih, tembang, and cianjuran. Quite often the term kawih is dichotomized by the term tembang, or the term tembang is equated with cianjuran. This mistake even applies to educational institutions, both in high schools and in universities. Likewise with the media. This study aims to describe the meaning of kawih, tembang, and cianjuran. The method used is descriptive qualitative through an epistemological approach, which examines the exposure of the meanings of the three terms from several sources, as well as comparing from other sources who also describe the three terms to obtain meaning that is considered ideal. The results obtained are, kawih is a vocal art owned by the and has been around for a long time, long before the sixteenth century. Kawih is also interpreted as all kinds of songs that exist in Sundanese society. Tembang is a type of kawih or song that uses lyrics from the dangding and only emerged and was known in Sundanese society around the XVIII century as an influence of Mataram; cianjuran is a part of Sundanese kawih originating from .

Keywords: Kawih, Tembang, Tembang Sunda, Cianjuran, Tembang Sunda Cianjuran

ABSTRAK

Akhir-akhir ini masyarakat kerap dikelirukan dengan definisi kawih, tembang, dan cianjuran. Tak jarang istilah kawih didikotomikan dengan istilah tembang, atau istilah tembang disamakan artinya dengan cianjuran. Kekeliruan ini bahkan berlaku pada dunia pendidikan, baik di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi. Demikian pula pada dunia pers. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna dari kawih, tembang, dan cianjuran. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif melalui pendekatan epistimologi, yakni menelaah dari paparan makna ketiga istilah dari beberapa sumber, serta membandingkan dari sumber-sumber lain yang juga memaparkan ketiga istilah tadi untuk memperoleh makna yang dianggap ideal. Hasil yang diperoleh adalah, kedudukan kawih merupakan seni suara atau nyanyian yang dimiliki masyarakat Sunda, serta sudah ada sejak lama, jauh sebelum abad XVI. Kawih dimaknai pula sebagai segala jenis nyanyian yang ada pada masyarakat Sunda. Tembang adalah jenis kawih atau nyanyian yang menggunakan lirik dari dangding dan baru muncul serta dikenal di masyarakat Sunda sekitar abad XVIII sebagai pengaruh dari Mataram; sedangkan cianjuran merupakan bagian dari kawih Sunda yang berasal dari daerah Cianjur.

Kata kunci: Kawih, Tembang, Tembang Sunda, Cianjuran, Tembang Sunda Cianjuran

PENDAHULUAN pengajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Hingga saat ini kerap terjadi kekeliruan Kekeliruan yang dimaksud adalah pengertian penggunaan istilah kawih dan tembang di yang menyebutkan bahwa kawih merupakan kalangan masyarakat luas, terlebih dalam kebalikan dari tembang, juga sebaliknya. Cara

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 412 mengartikannya pun kemudian dinegasikan, istilah-istilah terkait dari pustaka yang bahwa kawih sebagai materi lagu yang memiliki dianggap sebagai babon, atau referensi kahot irama tandak (terikat, memiliki aturan serta yang merupakan sumber klasik yang bersifat memiliki ketukan yang konstan), sedangkan primer. Sumber yang dimaksud adalah istilah tembang diartikan sebagai materi lagu naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang yang memiliki irama merdeka (bebas, tidak Karesian (SSKK) yang dibahas dalam buku memiliki aturan atau tidak memiliki ketukan Siksakandang Karesian: Teks dan Terjemahan yang konstan). (2019) karya Ilham Nurhamsah. Pada naskah Kondisi ini berimbas pada istilah Sunda kuno tersebut dibicarakan tentang cianjuran. Istilah cianjuran, dalam kehidupan istilah Kawih. Istilah ini, ditegaskan oleh sehari-hari di masyarakat, sering diidentikkan Nurhamsah sebagai puisi oktasilabik yang maknanya dengan tembang. Tidak jarang dilagukan atau dinyanyikan (Nurhamsah, pengertian cianjuran pun disamakan dengan 2019, hlm. 89). Naskah Sanghyang Siksakandang tembang Sunda, mamaos, juga dengan tembang Karesian pun dianggap sebagai istilah klasik sunda cianjuran. Padahal masing-masing yang dianggap primer, karena mengandung istilah tersebut; tembang, tembang sunda, sumber pengetahuan yang menjadi sumber mamaos, tembang sunda cianjuran, dan cianjuran referensi utama. Sumber primer pada naskah memiliki makna serta silsilahnya masing- SSKK itu diambil dari Bagian XVI yang masing. Kenyataan seperti ini jelas harus berbunyi: diluruskan dan didudukkan berdasarkan Hayang nyaho di sakweh ning kawih teori yang ada. ma: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, METODE perararane, porod eurih, kawih babahanan, Metode yang dikerjakan pada tulisan kawih bangbarongan, kawih tungtung, kawih ini adalah metode deskripsi kualitatif sasambatan, kawih igel-igelan; sing sawatek dengan pendekatan epistimologi, yakni cara kawih ma, paraguna tanya. menghimpun beberapa pengertian istilah dari kawih, tembang, dan cianjuran dari berbagai (Bila ingin tahu segala macam lagu, sumber untuk kemudian ditelaah isi dari seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, pengertian masing-masing materi. Pengertian kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih dari istilah-istilah yang telah terkumpul sisindiran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, tersebut kemudian dianalisis dan diuraikan perararane, porod eurih, kawih babahanan, berdasarkan referensi yang dianggap kawih bangbarongan, kawih tungtung, kawih mutakhir dan lebih komprehensif. sasambatan, kawih igel-igelan; segala macam Kegiatan penghimpunan pengertian lagu, tanyalah paraguna). dilakukan dengan menelusuri pengertian

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 413 Data sumber primer tersebut kemudian HASIL DAN PEMBAHASAN dibandingkan dengan pengertian istilah yang Komarudin pernah mencoba mengurai sama dari sumber yang berbeda, baik sumber peristilahan kawih dan tembang melalui tertulis maupun sumber lisan yang tersebar di artikelnya berjudul Menelusuri Pengertian masyarakat. Demikian pula untuk menelusuri Istilah Kawih dan Tembang dalam Karawitan Sunda istilah tembang dan istilah cianjuran. Ada dalam Jurnal Panggung Nomor XVIII April beberapa buku serta artikel hasil dari 2001 (hlm. 49-54). Menurutnya, hingga saat penelitian yang menyodorkan pengertian itu (2001) istilah kawih dan tembang belumlah dari kedua istilah tersebut. Untuk pengertian ajeg, dan sering diterapkan secara keliru istilah tembang, penelitian ini menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Komarudin buah pikiran Satjadibrata mengenai rasiah menyebutkan kedua istilah tersebut harus Tembang Sunda (rahasia tembang Sunda) didudukkan pada lokusnya masing-masing, yang kemudian ditegaskan kembali oleh serta menyarankan diadakannya saresehan Wiratmadja. Menurut Satjadibrata (dalam atau seminar untuk membahas permasalahan- Wiratmadja, 2009, hlm. 131-133), istilah permasalahan tersebut. tembang berkaitan erat dengan urusan Merujuk pada anggapan Komarudin, pupuh, guguritan, dan lagu yang kemudian hingga kini istilah kawih dan tembang kerap disebutnya sebagai trimurti atau telu- didikotomikan; bahwa kawih kebalikan dari teluning atunggal. Istilah tembang itu sendiri tembang, dan sebaliknya. Istilah kawih lebih merupakan kata benda, yang memiliki arti mengarah kepada lagu-lagu yang memiliki lantunan lagu yang menggunakan teks yang irama tandak (teratur) dan konstan seperti lagu ditulis dengan aturan pupuh. Mengenai istilah Dalingding Asih gubahan Ubun R. Kubarsah, pupuh, Wiratmadja menyebutkan sebagai Imut Malati gubahan Mang Koko, atau lagu Es aturan untuk membuat dangding (Wiratmadja, Lilin gubahan Bu Mursih, sebagaimana yang 2009, hlm. 131). Dikemukakan Satjadibrata terdengar pada kawih degung, kawih kacapian, dan kemudian ditegaskan oleh Wiratmadja dan pop Sunda. Sedangkan istilah tembang kemudian dibandingkan dengan beberapa lebih mengarah kepada lagu-lagu yang referensi yang terdapat pada buku-buku lain, memiliki irama rancag, bebas (tidak teratur, artikel, serta pandangan-pandangan yang tidak memiliki ketukan konstan) sebagaimana tersebar di masyarakat. yang terdengar pada lagu-lagu poko cianjuran. Baik pengertian kawih maupun Lagu poko (Ind.: pokok) itu sendiri dalam tembang, atau istilah cianjuran selanjutnya cianjuran dilantunkan sebelum lantunan dibandingkan, ditelaah, dan dianalisis untuk lagu panambih. Lagu pokok bisa berupa memperoleh pengertian yang mendekati ke wanda papantunan, wanda jejemplangan, wanda arah ideal, yang bisa dipertanggungjawabkan dedegungan, wanda rarancagan, serta wanda secara ilmiah. kakawen, di mana kontur lagunya memiliki formula irama bebas, merdeka. Khusus lagu

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 414 wanda dedegungan dan wanda rarancagan tersebut jika disederhanakan maka akan liriknya berupa guguritan. menjadi sebuah pernyataan bahwa kawih Bisa jadi pemahaman dikotomis tersebut memiliki irama tandak (terartur), sedangkan bermuara pada definisi yang pernah dituliskan tembang memiliki irama bebas-merdeka; oleh Atik Sopandi dalam Kamus Istilah dengan kata lain, kawih adalah kebalikan dari Karawitan Sunda di tahun 80-an. Pemahaman tembang. Demikian pula sebaliknya, tembang Atik tersebut kemudian ditegaskan oleh merupakan lawan kata dari kawih. Hal pandangan Rosidi yang menyebutkan bahwa inilah sesungguhnya yang harus ditelusuri, tembang dan kawih dibedakan dari sifat dan dikaji ulang, serta diluruskan. Sejatinya, cara melantunkannya (2013, hlm. 69). Baik Atik istilah kawih dan tembang tidak ditandai maupun Rosidi menganggap bahwa kawih dengan lagu berirama konstan dan berirama memiliki irama konstan dan teratur, sedangkan merdeka, namun ditandai dengan silsilah tembang memiliki irama bebas. Keterangan serta latar belakangnya masing-masing. Kawih Atik dan Rosidi tersebut akan sangat tampak melingkupi lagu berirama merdeka dan pada struktur runtuyan (rangkaian) performa berirama konstan, demikian pula dalam lagu- seni cianjuran yang terdiri atas lagu poko lagu tembang, ada yang berirama merdeka dan dan lagu panambih. Lagu poko memiliki ada yang berirama konstan. pola irama merdeka atau bebas, sedangkan lagu panambih memiliki pola irama terikat Kawih dan teratur. Lagu poko dilantunkan terlebih Setidaknya istilah kawih muncul pada dahulu, dan kemudian disusul dengan lagu naskah Sunda kuno Sanghyang Siksakandang panambih. Seperti halnya rangkaian lagu Karesian (SSKK, 1518 M). Mengutip apa yang Liwung, Bayubud, serta Renggong Gede. Lagu pernah dikemukakan Saleh Danasasmita, Liwung dan Bayubud merupakan lagu poko, Nurhamsah pun mengungkapkan istilah berirama bebas, dan ditempatkan sebelum kawih yang terdapat dalam naskah SSKK lagu panambih; sedangkan lagu Renggong Gede diduga kuat memiliki arti sebagai seni suara adalah judul lagu panambih, berirama konstan, khas Sunda yang di dalamnya terdiri atas dan ditempatkan atau dilantunkan setelah berbagai jenis lagu dan besar kemungkinan lagu poko. materi tersebut dinyanyikan (2019, hlm. 89). Kekeliruan yang kerap terjadi di Terlebih istilah kawih tersebut dihubungkan masyarakat adalah, terhadap lagu poko dalam dengan istilah paraguna yang berarti sebagai cianjuran sering menganggapnya sebagai ahli karawitan (karagunan). Pun demikian tembang. Hal tersebut karena lagu poko tersebut dengan Wibisana dkk., yang menyebutkan memiliki irama merdeka. Sedangkan terhadap bahwa kawih-kawih yang terdapat pada naskah lagu panambih, masyarakat kerap menyebutnya SSKK seperti Kawih Bwatuha, Kawih Sisindiran, sebagai kawih, karena memiliki pola irama Kawih Porod Eurih dan sebagainya merupakan tandak. Anggapan umum di masyarakat luas lagu atau nyanyian (Wibisana, 2000, hlm.

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 415 388). Hanya saja, jenis serta bentuk kawih- dengan istilah kawih. Wibisana (2000, hlm. kawih atau lagu yang tertulis pada naskah 387) menyebutkan kawih atau yang disebut SSKK tersebut tak lagi dikenali. Sebagaimana kakawihan sudah berlaku pada masyarakat pernah diungkapkan Ayatrohaedi dalam Sunda sejak lama dan biasa dilantunkan di sebuah seminar tahun 1998, beberapa kawih kalangan masyarakat kebanyakan, bukan bisa ditelusuri ihwal amsalnya, seperti kawih kaum bangsawan. Sementara itu sastrawan sisindiran yang dicurigai sebagai lagu yang Sunda yang juga sangat mengerti seni bersumber pada sisindiran (puisi pantun karagunan (ilmu musik Sunda), MA Salmun, dalam sastra ), kawih sasambatan dalam Musyawarah Tembang Sunda yang dicurigai sebagai lagu bertemakan 1962 menyebutkan nyanyian yang biasa kepedihan hati hingga harus nyambat (merajuk, dilantunkan pada seni pantun sebagai kawih memohon) sambil terisak dan menghiba. pantun, yakni golongan kawih kolot (lagu orang Hal yang patut digarisbawahi di sini dewasa) di samping kawih dalam dongeng, adalah, melalui naskah SSKK, terdapat kawih untuk menimang, kawih kamonesan, dan keterangan bahwa hingga tahun 1518 M (abad kawih roronggengan. XVI), masyarakat Sunda telah memiliki materi Hal yang sangat menarik adalah apa seni suara atau nyanyian yang dinamakan yang oleh MA Salmun disebut sebagai kawih. Dua naskah Sunda kuno lainnya kawih pantun. Menurut MA Salmun, kawih Kawih Pangeuyeukan (Kropak 407) dan Kawih pantun adalah lagu pada seni pantun Paningkes (Kropak 419) yang oleh para ahli terutama pada bagian rajah pamuka, nataan, diperkirakan ditulis pada kisaran abad XVI, serta rajah pamunah. Baik pada bagian rajah bahkan dalam judulnya telah menyebutkan pamuka, maupun bagian nataan, serta rajah istilah kawih. Bahkan pada naskah Kawih pamunah jika ditransliterasi akan jelas terlihat Pangeuyeukan yang kemudian diterbitkan berbentuk puisi (oktasilabik). Sang juru oleh Perpustakaan Nasional Republik pantun (pemantun, semacam dalang pada seni Indonesia dalam bentuk buku berjudul wayang golek), dalam melantunkan ketiga Kawih pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Sunda bagian tersebut menggunakan lagu berirama dan Teks-teks Lainnya, disebutkan bahwa teks merdeka, terbebas dari ketukan yang konstan. naskah kuno tersebut pada masa lampau Sekali lagi, terhadap lagu pada seni pantun diduga sudah biasa dinyanyikan (2014, hlm. tersebut MA Salmun menyebutnya sebagai 6). Dengan kata lain, istilah kawih dalam kawih pantun, yang memiliki pola musikal naskah Sunda kuno memiliki arti lagu atau berirama merdeka. nyanyian, atau teks puisi untuk dinyanyikan. Selain kawih pantun, kawih-kawih Sejalan dengan uraian di atas, Moriyama peninggalan leluhur masyarakat Sunda yang (2005, hlm. 55) menuliskan bahwa masyarakat berirama merdeka adalah beluk. Beluk sejatinya Sunda zaman dulu (hingga abad XIX) telah merupakan teriakan melengking yang mengenal lagu atau nyanyian yang disebut dilantunkan dan digunakan di saat seseorang

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 416 yang tengah bekerja di ladang atau di hutan Nya, memohon safaat kepada rosulullah, (Hendrayana, 2012, hlm. 186). Pelantunan nasihat, serta pengajaran keagamaan. Rosidi beluk dimaksudkan untuk mengetahui apakah (2011, hlm. 90) menyebutkan lagu pupujian seseorang yang tengah berada di ladang banyak berupa syair dan biasa dilantunkan atau di hutan tersebut masih berkawan di mesjid-mesjid dan pesantren; pupujian ini atau sendirian. Beluk bisa disamakan pula merupakan pengaruh Islam yang pada abad fungsinya dengan kode. Jika kebetulan XVII di wilayah Sunda mulai berdiri masjid- seseorang itu masih berkawan, maka sang mesjid dan pesantren. kawan akan menyahutinya dengan teriakan Setelah pupujian, kemudian muncul melengking pula. Teriakan melengking yang pula kawih baru yang disebut dengan tembang memiliki nada-nada serta kontur melodi yang sekitar abad XVIII. Kawih pupujian merupakan khas tersebut kemudian berkembang dan lagu yang teksnya merupakan syair-syair dari dibubuhi nilai estetika berupa kontur melodi bangsa Timur-tengah, sedangkan kawih atau yang lebih sempurna (Hendrayana, 2012, hlm. nyanyian yang berbentuk tembang adalah 188). Maka menjelmalah teriakan melengking lagu yang menggunakan aturan pupuh; lagu tersebut menjadi komposisi melodi yang lebih ini merupakan pengaruh dari Mataram. utuh bernilai musikal. Biasanya dilantunkan dalam pembacaan Contoh lantunan dengan menggunakan naskah wawacan (Rosidi, 2011, hlm. 11). gaya beluk yang lebih tegas akan terdengar Tentang keberadaan wawacan, Wibisana (diterapkan) dalam komposisi melodi (non (2000, hlm. 767), menyebutkan bahwa tradisi verbal) lantunan ngawuluku (membajak menembangkan wawacan sangat populer di sawah); sang pembajak sawah akan akhir abad XIX dan awal XX, bahkan seperti melantunkan melodiv tersebut secara bebas yang disebutkan Rosidi (2013, hlm. 32) bentuk dan penuh improvisasi, memiliki struktur wawacan ini dianggap sebagai puncak cita- melodi berirama merdeka. Gaya lantunan beluk cita kesusastraan Sunda yang paling indah. juga kerap diterapkan pada lantunan kawih Hingga pertengahan abad XIX, pantun dan tembang wawacan (Hendrayana, masyarakat Sunda telah mengenal jenis- 2016, hlm. 24). jenis kawih atau jenis nyanyian seperti kawih Dalam perkembangannya, selain sisindiran, kawih pantun, kawih beluk, kawih terdapat kawih yang ada dan berkembang kaulinan, kawih pupujian, serta kawih tembang. hingga abad XVIII, maka muncullah Jenis-jenis kawih Sunda yang berkembang kemudian seni suara baru, yakni pupujian hingga saat ini sudah begitu banyak. Pembeda dan tembang. Yus Rusyana (dalam Rosidi, dari berbagai jenis tersebut bisa jelas terlihat di 2011, hlm. 89) menyebutkan bahwa kawih antaranya dari alat musik yang mengiringinya. pupujian adalah lagu masyarakat Sunda yang Maka dikenallah kawih degung, kawih berupa puja-puji kepada Allah Swt., do’a dan celempungan, kawih kacapian, kawih calung, permohonan tobat, sholawat kepada rosul- kawih reog, kawih cianjuran, kawih jaipongan,

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 417 hingga kawih pop Sunda. Pada perkembangan Sunda terdiri atas 17 aturan. Masing-masing selanjutnya, sering ditemukan materi kawih aturan memiliki nama tersendiri yang kita degung diadopsi menjadi kawih pop Sunda tahu sebagai Asmarandana, Kinanti, Magatru, seperti yang terjadi pada lagu Cinta gubahan Mijil, Dangdanggula, Sinom, dan sebagainya. Nano S; ada lagu kawih kacapian yang diadopsi Dalam budaya Jawa, pupuh yang biasa menjadi kawih pop Sunda seperti yang terjadi dilantunkan pada tembang macapat hanya pada lagu Dalingding Asih gubahan Ubun terdiri atas 11 (sebelas) jenis saja, sedangkan Kubarsah; ada juga lagu dari kawih kliningan dalam budaya Bali hanya dikenal 10 (sepuluh) yang kemudian diadopsi menjadi kawih pop pupuh saja (Hendrayana, 2015, hlm. 24). Sunda seperti yang terjadi pada lagu Bangbung Kamus Umum Basa Sunda LBSS (1985, Hideung. Ataupun sebaliknya, lagu Ulah Ceurik hlm. 521), menerangkan istilah tembang gubahan Oon B yang kita kenal sebagai lagu sebagai lemesna tina sekar, basa dangdingan pop Sunda kemudian diadopsi menjadi lagu make aturan pupuh; nembang, lemesna mamaos, kliningan (album Ulah Ceurik dengan sinden ngalagukeun tembang. Sementara itu dalam Uun, produksi Jugala Recording). Kamus Sacadibrata (2004, hlm. 489) dituliskan tembang, nembang (mamaos) ngalagu nurutkeun Tembang aturan pupuh (menyanyi berdasarkan lirik Nyaris di setiap media massa, para yang menggunakan aturan pupuh: Sinom, jurnalis kerap keliru mendudukkan istilah Asmarandana, dst). Sedangkan Kamus tembang. Tak jarang para jurnalis menuliskan Danadibrata (2006, hlm. 692) menuliskan tembang untuk seluruh materi lagu Sunda. bahwa tembang, lagu jelema dina pupuh Para jurnalis tersebut boleh jadi mengunduh (nyanyian manusia yang menggunakan teks istilah tembang yang berlaku pada musik dengan aturan pupuh). Dalam khazanah sastra Indonesia, seperti penggunaan istilah Sunda, Ruhaliah (2019, hlm. 69) menyebutkan tembang kenangan untuk lagu-lagu bernuansa guguritan sebagai puisi yang berupa ungkapan nostalgia; atau dalam penggunaan frasa hati seperti rasa gembira, asmara, kenangan, tembang-tembang hit untuk lagu-lagu populer kesedihan, amarah dan ditulis dengan mutakhir (Komarudin, 2001, hlm. 50). Istilah manggunakan aturan pupuh. Guguritan adalah tembang yang dimaksud jelas merujuk pada puisi (dangding) yang ditulis dengan aturan lagu, apapun jenisnya. pupuh untuk mengekspresikan perasaan hati, Merujuk pada apa yang ditulis Ajip sedangkan wawacan adalah puisi dangding Rosidi (2013, hlm. 70-81), materi tembang yang ditulis untuk menceritakan kisahan atau bukanlah asli milik masyarakat Sunda. Materi mendeskripsikan atau menguraikan suatu ini merupakan kiriman dari Mataram saat bahasan (Ruhaliah, 2018, hl. 10). Pupuh, atau invansi ke tatar Sunda pada abad XVII. Materi aturan menulis dangding, yang terdapat dalam ini berbentuk aturan puisi yang disebut pupuh. khazanah sastra Sunda terdapat 17 (tujuh Materi pupuh yang dikenal di masyarakat belas), yakni Kinanti, Sinom, Asmarandana,

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 418 Dangdanggula, Mijil, Pangkur, Durma, Gurisa, Panglejar, Puspawangi, Sungkawa Manah, Lara- Gambuh, Ladrang, Lambang, Maskumambang, lara, Haliwawar, Kasawang, Kumalayang, dll; Balakbak, Magatru, Pucung, Wirangrong, dan Sinom Rénggong Gedé, Puspawana, Gandrung Jurudemung. Gunung, Bulan Pangharepan, Iraha, Karang Pengertian tembang yang diambil dari Gantung, Lalagasan, Pageuh Tekad, Toropongan, ketiga kamus bahasa Sunda tadi, diperoleh Muntang Ngeumbing, Pangrumat, Sangkuriang, gambaran bahwa yang dimaksud tembang dll; Dangdanggula Gunung Putri, Méga Malang, adalah lagu yang menggunakan lirik Déwi Asri, serta Udeg-udeg. Bahkan lirik lagu berbentuk dangding (puisi Sunda yang ditulis kawih kacapian Wengi Enjing Tepang Deui menggunakan aturan pupuh, terdiri atas dua gubahan Mang Koko (lirik karya Tatang jenis yakni wawacan dan guguritan). Artinya Sastrawiria) menggunakan pupuh Kinanti. jika ada lagu yang menggunakan lirik dari wawacan atau guguritan, maka serta-merta Tembang Sunda lagu tersebut disebut tembang. Istilah tembang Sunda merujuk pada Tradisi tembang bagi masyarakat Sunda tembang yang ada pada masyarakat Sunda. baru populer setelah Pajajaran runtuh dan Merujuk pada etnografi atau etnologi, label terkena pengaruh Mataram (Sumardjo, 2011, Sunda yang disematkan di belakang variabel hlm. 108). Budaya membaca terhadap naskah tembang, harus dibaca sebagai pembeda dari wawacan tentu saja merupakan pengaruh tembang Jawa dan tembang Bali (Hendrayana, Mataram, setelah kesultanan Mataram di era Tribun Jabar, 2015). Sebagaimana kita ketahui, Sultan Agung merangsek ke wilayah pulau pada masyarakat Bali dan terutama Jawa, Jawa bagian Barat di pertengahan paruh dikenal pula entitas sastra (lagu, sekar) yang pertama abad XVII. bernama pupuh. Materi tembang ada yang memiliki Sedikitnya, masyarakat Sunda mengenal irama merdeka, ada juga yang memiliki dua materi tembang Sunda; yakni tembang irama tandak. Demikian halnya dengan ciawian, dan tembang cigawiran. Tembang ciawian materi kawih, yang secara kodrati memiliki adalah lagu pasantrenan dari daerah Ciawi komposisi musikal irama tandak dan irama Tasikmalaya, sedangkan tembang cigawiran merdeka. Materi tembang yang berirama tandak adalah lagu pasantrenan dari daerah Limbangan di antaranya seperti yang bisa kita temui pada Garut. Baik tembang ciawian maupun tembang lagu panambih dalam seni cianjuran, yakni cigawiran keduanya merupakan lagu di lagu yang menggunakan pupuh Kinanti adalah lingkungan pesantren dengan bersumber Campaka, Ditilar, Soropongan, Sukingki, Lembur pada pupuh (puisi dangding), baik wawacan Singkur, Padepokan, Padesan, Kapigandrung, maupun guguritan. Keduanya dibedakan oleh Panembrama, Tablo, Panineungan, Gaya Sari, lagam dan gaya. Duh Asih, Ceurik Abdi, dll; Asmarandana Candana, Duda, Lumengis, Midangdam,

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 419 Tembang Sunda Cianjuran Cianjur pada periode 1834-1863 M. Lagu- Istilah tembang sunda cianjuran merujuk lagu kreasi yang dikerjakan Bupati Cianjur pada lagu-lagu tembang yang berada dalam seni tersebut tercipta dan terinspirasi dari kawih cianjuran. Lagu-lagu ini tertuju pada materi atau nyanyian yang terdapat pada seni wanda Rarancagan dan wanda Dedegungan, pantun, yang disebut dengan kawih pantun. karena kedua jenis (wanda) materi lagu Adapun cerita pantun yang dijadikan tersebut sama-sama menggunakan teks yang sumber insprirasi adalah kisah Mundinglaya menggunakan aturan pupuh (Hendrayana, di Kusumah. Pada perkembangannya, 2015, hlm. 30). lagu-lagu kreasi yang tercipta dari kawih Selain wanda Rarancagan dan wanda pantun tersebut kemudian diberikan Dedegungan, lagu poko dalam cianjuran istilah Papantunan, Lagu Pantun, atau Lagu terdiri atas lagu-lagu wanda Papantunan (dan Pajajaran. Dengan kata lain, kawih pantun Jemplang), serta Kakawen. Baik lagu wanda yang terdapat pada seni pantun diadaptasi Papantunan maupun wanda Kakawen, keduanya menjadi kawih-kawih papantunan (atau lagu tidak menggunakan teks berbentuk dangding Pantun, Lagu Pajajaran), serta kawih-kawih (pupuh); wanda Papantunan menggunakan papantunan inilah yang merupakan bagal puisi pantun, sedangkan wanda Kakawen (cikal bakal) seni cianjuran seperti yang menggunakan puisi sekar Kawi. Oleh karena dikenal pada saat ini. itu, baik wanda Papantunan dan wanda Kakawen Sejak terbentuknya lagu papantunan tidak bisa disebut sebagai sebagai tembang di paruh kedua abad XIX tersebut, Sunda Cianjuran, karena keduanya tidak materi seni suara khas daerah Cianjur menggunakan teks berbentuk pupuh. Lagu- ini telah mengalami perkembangan yang lagu panambih pada seni cianjuran pun banyak cukup berarti. Hingga tahun 1930-an, yang menggunakan lirik puisi guguritan. materi seni suara khas Cianjur tersebut Karenanya, terhadap lagu tersebut bisa setidaknya telah memiliki 6 (enam) wanda disebutkan sebagai tembang sunda cianjuran, (jenis) yakni Papantunan, Jejemplangan, yakni materi tembang yang berada dalam Rarancagan, Dedegungan, Kakawen, dan wilayah seni cianjuran. Panambih (Sukanda, Enip, dkk., 2016, hlm. 23). Keenam materi ini, menjadi penanda Cianjuran bahwa seni cianjuran memiliki berbagai Cianjuran adalah seni suara khas Sunda jenis dengan latar belakang serta silsilahnya dari daerah Cianjur yang hidup hingga masing-masing hingga memunculkan sekarang. Seni cianjuran bermula dari lagu- pembedanya secara mandiri di antara jenis- lagu kreasi hasil olah pikir dan kreativitas jenis tersebut. Bupati Cianjur, RAA Kusumaningrat (atau Sebetulnya, penamaan Papantunan yang lebih dikenal dengan nama Dalem baru diberlakukan sekitar tahun 1950, Pancaniti), yang memerintah Kabupaten di saat masyarakat pecinta dan peminat

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 420 cianjuran mulai menggeliat kembali setelah wafat (tahun 1863) terhadap materi kawih masa vacuum akibat zaman pendudukan papantunan ini masih sering dilantunkan di Jepang dan masa revolusi kemerdekaan. lingkungan padaleman hingga akhir abad Adapun yang memberikan nama XIX. Papantunan adalah para pengamat atau para Secara musikal, lagu-lagu papantunan pemikir seni cianjuran. Masyarakat Cianjur yang dikreasikan sang Dalem Cianjur ini sendiri, terutama mereka yang hidup di memiliki ciri khas tersendiri, yakni didominasi dalam Pendopo dan sekitarnya, menyebut dengan nada 2 (mi) dan 5 (la). Lagu-lagu materi yang dikreasikan oleh R.A.A. papantunan yang merupakan hasil kreasi RAA Kusumaningrat ini sebagai kawih pantun, Kusumaningrat tersebut adalah Pangapungan, atau lagu pantun, atau pantun saja, atau Mupu Kembang, Kaléon, Putri Ninun, Layar lagu pajajaran (Sukanda dalam Wiradiredja, Putri, Balagenyat, Manyeuseup, Randegan 2014, hlm. 23). Kendor, Randegan Gancang, Rajamanatri, Pada awal kemunculannya, materi Tatalégongan, Mangu-mangu, serta Nataan kawih papantunan ini biasa dilantunkan Gunung. Dalam perkembangannya, terutama hanya di lingkungan padaleman. Itupun di akhir abad XIX hingga awal abad XX, berlaku di antara sang bupati (Kangjeng muncul lagu kreasi baru (masih) dari para Dalem Pancaniti) bersama para seniman seniman kadaleman dengan memunculkan padaleman (Sukanda dalam Wiradiredja, lagu berdominasi nada 1 (da, barang) dan 4 2014, hlm. 12). Kegiatan tersebut dilakukan (ti). Adapun jika ditransliterasi, lirik dari teks pada malam hari, sebagai upaya penghalusan tersebut bisa berupa sisindiran (paparikan), dan penajaman konsep atas gubahannya atau berupa puisi pantun. Karena secara dari materi kawih pantun tadi. Biasanya, teknik dalam melantunkannya masih seperti sang bupati meminta pertimbangan kepada gaya papantunan, maka para seniman dan para seniman kadaleman atas materi yang masyarakat sekitarnya kerap menyebutnya dikreasikannya itu demi berkembang ke sebagai Pantun Barang (Hendrayana, 2016, arah yang lebih sempurna. Seperti biasa hlm. 10). Istilah ini untuk melabelisasi lagu pula, para seniman kadaleman selalu Papantunan, namun bertumpu pada nada menyetujuinya sebagai hasil olah kreasi barang dan nada ti. Selanjutnya, lagu-lagu yang sangat bagus dan bernilai luhung. pantun barang ini dikenal sebagai wanda Kegiatan melantunkan materi lagu jejemplangan. papantunan seraya dibarengi dengan Baru pada awal abad XX, di saat kegiatan evaluasi dan penajaman konsep Kabupaten Cianjur berada di bawah Bupati tersebut senantiasa dilakukan pada malam R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910), dengan hari, di kala santai setelah siang harinya generasi seniman padaleman yang sudah suntuk melakukan pekerjaannya masing- berganti, terjadi pengembangan atas kreasi masing. Bahkan setelah Kangjeng Dalem yang sudah digagas oleh Kangjeng Dalem

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 421 Pancaniti. Pengembangan tersebut merupakan dari kata mamaca, artinya membaca teks pengayaan materi baru (yang berbeda dengan wawacan yang dilantunkan. Istilah mamaos bagi kawih Papantunan) dan pengayaan lagu-lagu. orang Cianjur sejatinya adalah penyebutan Pengayaan lagu tersebut bukan berdasarkan bagi materi cianjuran wanda Rarancagan, yang seni pantun, melainkan dari tembang rancag, lagunya berdasarkan teks dangding. yakni lantunan lagu sederhana berdasarkan Pada tahun 1912, kedudukan teks dangding, biasa berlaku pada seni mamaca Bupati Cianjur dipegang oleh R.A.A. atau membaca teks wawacan. Tradisi tembang Wiranatakusumah V yang menggantikan R. rancag dengan menggunakan naskah wawacan Demang Natakusumah (1910-1912). R.A.A. di abad XIX berlaku hampir di daerah-daerah Wiranatakusumah ini merupakan menantu yang termasuk wilayah Priangan, termasuk di dari R.A.A. Prawiradiredja II. Pada era Kabupaten Cianjur. Kangjeng Dalem R.A.A. Wiranatakusumah Para seniman padaleman di bawah arahan V inilah muncul lagi kreasi lagu baru. Lagu Bupati Prawiradiredja II inilah yang kemudian hasil kreasi zaman bupati ini tidak bersumber mengkreasikan tembang rancag dengan cara pada materi seni pantun atau juga seni memperhalus dan memperindah dalam mamaca, melainkan bersumber pada seni sisi lantunan. Penghalusan materi tembang degung. Perlu diketahui bahwa hingga saat rancag menjadi materi baru tersebut, menurut itu (tahun 1910-1920-an) seni degung hanya para ahli, hampir sama prosesnya dengan berupa musik instrumentalia. Pada era ini, kreativitas Kangjeng Dalem Pancaniti ketika para seniman kadaleman dengan arahan menggubah materi baru dari materi kawih R.A.A. Wiranatakusumah V melakukan kreasi pantun. Kalau saja Kangjeng Dalem Pancaniti baru dengan melahirkan lagu-lagu bentukan menggubah kawih pantun dan di kemudian baru dengan bersumber pada melodi-melodi hari dikenal sebagai materi Papantunan, maka tabuhan degung instrumentalia. Lagu baru pada zaman Kangjeng Dalem Prawiradiredja ini muncul dengan menggunakan materi II materi hasil dari kreasi tersebut di kemudian dangding, terutama dari materi guguritan; di hari dikenal sebagai Rarancagan (Hendrayana, kemudian hari, lagu gubahan baru tersebut 2015, hlm. 32). dikenal sebagai wanda Dedegungan, atau lebih Secara sederhana yang disebut tepatnya tembang Dedegungan. Rarancagan adalah lantunan kreasi baru di Dalam perkembangan selanjutnya, pada zaman Bupati R.A.A. Prawiradiredja II yang dasawarsa 1920-an, di Cianjur muncul lagi dikreasikan oleh para seniman kadaleman gubahan baru yang dikreasikan bukan dari (dengan arahan sang bupati) dengan seni pantun, tembang rancag, atau seni degung, bersumber dari tembang rancag. Terhadap melainkan dari kawih seni wayang. Lagu kreasi baru yang digubah atas dasar seni gubahan baru tersebut menggunakan lirik mamaca ini orang Cianjur kerap menyebutnya seperti yang berlaku pada kawih pawayangan sebagai mamaos, yakni bentuk bahasa halus (yang banyak menggunakan Bahasa Jawa).

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 422 Materi kreasi baru tersebut di kemudian hari Herdini yang menggunakan istilah tembang dikenal sebagai wanda Kakawen. sunda cianjuran untuk materi cianjuran seperti Masih dalam dasawarsa 1920-an, muncul yang terbaca pada artikelnya berjudul Estetika juga gubahan bentuk baru yang dikreasikan Karawitan Tradisi Sunda yang dimuat pada dari kawih-kawih tandak (berirama konstan) Jurnal Panggung (2012, hlm. 260) yang yang tersebar di masyarakat. Sukanda menyebutkan bahwa tembang sunda cianjuran (1990, hlm. 12) menyebutnya sebagai kawih- sebagai materi hiburan para menak; atau kawih gamelan, atau kawih rakyat yang biasa Apung SW yang kerap menuliskan cianjuran disenandungkan dalam saat-saat tertentu. dengan istilah tembang sunda seperti yang Pada perkembangan selanjutnya, materi terbaca dalam buku-bukunya Sumbangan Asih bentuk baru ini dinamakan sebagai Lagu keur Tembang Sunda, Kuring jeung Tembang Panambih. Sunda: Pamanggih jeung Papanggihan, atau pada Maka hingga tahun 1930, di Cianjur buku Nu Sarimbag & Unak-anik dina Tembang terdapat materi seni suara yang bersandar Sunda. Padahal, sekali lagi, istilah tembang, pada lagu-lagu Papantunan yang digagas tembang Sunda, tembang Sunda cianjuran, dan Kangjeng Dalem Pancaniti, yakni materi cianjuran memiliki pengertiannya masing- Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan, masing, serta satu sama lain memiliki makna Dedegungan, Kakawen, dan Panambih. Keenam yang berbeda. jenis lagu ini di kemudian hari dikenal sebagai kelompok seni suara yang khas yang muncul di daerah Kabupaten Cianjur, dan kemudian PENUTUP oleh masyarakat luar Cianjur disebutnya Pemahaman yang menyatakan tembang sebagai materi Cianjuran. sebagai lagu berirama merdeka adalah keliru. Pengamat seni dari Belanda, Wim Materi tembang memiliki irama merdeka dan van Zanten, lebih cenderung memilih juga irama tandak. Tembang merupakan lagu istilah cianjuran untuk seni suara khas asal dengan bersumber pada dangding (aturan Kabupaten Cianjur ini, seperti yang tampak pupuh), bisa bersumber pada wawacan bisa pada judul bukunya Sundanese Music in The pula bersumber pada guguritan. Demikian Cianjuran Style (1989). Berbeda dengan Yus pula dengan kawih. Materi kawih memiliki Wiradiredja yang masih menggunakan istilah irama merdeka dan irama tandak, secara kodrati tembang Sunda cianjuran seperti yang tertera (materi berstruktur irama bebas dan irama pada judul bukunya Tembang Sunda Cianjuran konstan) berlaku hampir di seluruh daerah. di Priangan (1834-2009). Demikian pula dengan Istilah kawih melingkupi seluruh seni Deni Hermawan yang beranggapan cianjuran suara yang terdapat pada masyarakat Sunda. sama dengan Tembang Sunda Cianjuran seperti Dilihat dari bentuk, kawih melingkupi kawih yang tampak pada judul bukunya Gender kiliningan, kawih degung, kawih kacapian, kawih dalam Tembang Sunda Cianjuran; atau Heri cianjuran, tembang ciawian, tembang cigawiran,

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Pelurusan Istilah Kawih, Tembang, dan Cianjuran 423 pop Sunda, beluk, tembang wawacan, kawih Ambu Press pantun, kawih calung, kawih celempungan, Komarudin. (2002). Menelusuri Pengertian Istilah Kawih dan Tembang dalam kawih roronggéngan, tarling, dermayonan, Karawitan Sunda. Jurnal Panggung dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari sifa Nomor XVIII April 2001 (49-54) iramanya, kawih ada yang berirama merdéka LBSS. (2007). Kamus Umum Basa Sunda (edisi revisi). Bandung: CV Geger Sunten ada pula yang berirama tandak. Materi Moriyama, Mikihiro. (2005). Semangat Baru: kawih yang termasuk irama merdéka (tidak Kolonialisme, Budaya Cetak, dan terikat ketukan) di antaranya lagu poko Kesastraan Sunda Abad ke-19. : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dalam cianjuran, bawa sekar dalam gamelan Nurhamsah, Ilham. (2019). Siksa Kandang (kiliningan), kawih pantun (rajah, serta bagian Karesian: Teks dan Terjemahan. Jakarta: nataan), beluk, tembang rancag, tembang ciawian, Perpustakaan Nasional Republik juga tembang cigawiran. Materi kawih yang Indonesia. Rosidi, Ajip. (2013). Mengenal Kesusastraan berirama tandak (terikat oleh ketukan) di Sunda (Edisi Revisi, cetakan pertama). antaranya lagu panambih dalam cianjuran, Jakarta: Pustaka Jaya lagu jalan dalam kiliningan, sisindiran, kawih -(2011). Sawer jeung Pupujian. Bandung: Kiblat Buku Utama celempungan, kawih degung, kawih kacapian, pop -(2011). Wawacan. Bandung: Kiblat Buku Sunda, kawih calung, dan sebagainya. Utama -(2013). Tembang jeung Kawih. Bandung: Kiblat Buku Utama. Ruhaliah. (2018). Wawacan Sebuah Genre *** sastra Sunda. Bandung: Pustaka Jaya -(2019). Sajarah Sastra Sunda. Bandung: UPI Press Ruhimat, Mamat, dkk. (2012) Kawih Daftar Pustaka pangeuyeukan: Tenun dalam Puisi Danadibrata. (2006). Kamus Basa Sunda. Sunda Kuna dan Teks-teks Lainnya. Bandung: Kiblat Buku Utama. Jakarta: Perpustakaan Nasional Hendrayana, Dian, (2012). Mendudukkan Republik Indonesia. Istilah Kawih dan Tembang. Bandung: Sacadibrata. (2004). Kamus basa Sunda. Jurnal Sundalana (hlm. 185-194). Bandung: Kiblat Buku Utama -(2016). Dina Kawih Aya Tembang. Bandung: Sukanda, Enip. dkk. (2016). Riwayat CV Geger Sunten. Pembentukan dan Perkembangan -(2016). Serat keur Emay. Bandung: Pustaka Cianjuran. Bandung: Disparbud Jawa Jaya Barat bekerjasama Yayasan Pancaniti -(2015). Mengapa Bukan Cianjuran (tulisan Sumardjo, Jakob. (2002). Filsafat Seni. ITB rubrik Opini). Tribun Jabar, edisi 28 Press September 2015 -(2011). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Herdini, Heri. (2012). Estetika Karawitan Bandung: Kelir Tradisi Sunda. Jurnal Seni & Budaya SW, Apung. (2006). Nu sarimbag & Unak- Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - anik dina Tembang Sunda. Bandung: September 2012: 256 - 366 Paguyuban Seniman Tembang Sunda Hermawan, Deni. (2016). Gender dalam bekerja sama dengan Yayasan Pusat Tembang Sunda. Bandung: Sunan Kebudayaan

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020 Dian Hendrayana, Reiza Dienaputra, Teddi Muhtadin, Widyo Nugrahanto. 424 Wibisana, Wahyu, dkk. (2000). Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV Geger Sunten Wiradiredja, Moch. Yusuf. (2014). Tembang Sunda Cianjuran di Priangan (1834- 2009). Bandung: Sunan Ambu Press. Wiratmadja, Apung S. (2009). Salawe Sesesbitan Hariring. Bandung: PT Kiblat Buku Utama

Jurnal Panggung V30/N3/09/2020