Akulturasi Islam Dan Budaya Jawa Pada Ruang Liwan Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Volume 19 Issue 1 April 2021, pages:51-62 Akulturasi Islam dan Budaya Jawa pada Ruang Liwan Masjid Gedhe Mataram Kotagede Islamic And Javanese Culture’s Acculturation in The Liwan Room Of ‘Gedhe Mataram’ Mosque Kotagede Pradianti Lexa Savitri 1, B. Sumardiyanto 2 Mahasiswa Program Studi Magister Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta 1) Coresponding Author: [email protected] Dosen Pembimbing Program Studi Magister Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2) DOI: https://doi.org/10.20961/arst.v19i1.45153 Received: October 23,2020 Revised: February 10,2021 Accepted: February 15,2021 Available online: April 30,2021 Abstract This article aims to demonstrate the acculturation of Islam and Javanese culture in the Liwan Room of “Gedhe Mataram” Mosque, Kotagede. Islamic and Javanese culture’s acculturation in the building, especially mosque, important known to add insight about the tolerance between two cultural elements that can occur in the architecture’s world. Liwan room is part of the space of a mosque which functions as a prayer area. Liwan Room at the “Gedhe Mataram” Mosque, Kotagede has a distinctive design considering this mosque is the first and oldest mosque in Yogyakarta. The development of Islam in Java, especially in Yogyakarta, resulted in the transformation of local civilizations. Islam and Javanese culture itself are two different elements and have their own value. The entry of Islamic culture to Java had an impact on the acculturation of Islam and Javanese culture, where Javanese culture had already lived during the time of the Javanese Hindu kingdoms. The method used is a qualitative research method with a philosophical approach supported by observation and library studies. As a result, there is an acculturation of Islam and Javanese culture in the Liwan Room of “Gedhe Mataram” Mosque, Kotagede in layout, interior elements and ornaments in the Liwan room. Keywords: acculturation, Islam, Javanese Culture, mosque 1. PENDAHULUAN diartikan merupakan sebuah konsep suku bangsa yang tak lepas dari sebuah pola aktivitas Kebudayaan menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat serta dipengaruhi oleh faktor sebuah masyarakat dalam satu wilayah. geografis. Kebudayaan meliputi agama, sistem sosial, ekonomi, politik, seni, arsitektur, dan lain Faktor geografis ini akan menentukan sebagainya. Kebudayaan memiliki nilai penting bagaimana kebudayaan lain dapat masuk dan yang menjelaskan mengenai konsep kehidupan menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang masyarakatnya. Menurut Koentjaraningrat telah dijalani oleh masyarakat setempat. (2009, hlm. 67) kebudayaan daerah bisa Masuknya kebudayaan dari luar tersebut Arsitektura : Jurnal Ilmiah Arsitektur dan Lingkungan Binaan, Vol. 19 (1) April 2021: 51-62 memungkinkan terjadinya suatu akulturasi nilai hierarkis yang sakral yaitu energi Ilahi yang budaya, contohnya seperti pada saat meresapi seluruh kosmos dan bukanlah hasil kebudayaan Islam masuk untuk pertama relasi individu dengan individu lain ataupun kalinya di Jawa. Saat itu masyarakat Jawa kelompok (Kresna, 2013). Masyarakat Jawa sendiri telah memiliki budaya lokal yang juga lekat dengan kepercayaan yang penuh beraneka ragam, sehingga ketika Islam masuk mitologisasi, sakralisasi, dan mistifikasi, tidak serta merta menggeser kebudayaan dimana mitos bagi masyarakat Jawa merupakan tersebut. orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan Tuhan (Fitri, 2012). Transformasi kebudayaan berupa akulturasi Filosofi budaya pada masyarakat Jawa merujuk antara Islam dan budaya Jawa diakibatkan oleh pada adanya jagad gedhe (alam besar) dan muncul dan berkembangnya Islam di Jawa yang jagad cilik (alam kecil) dimana manusia yang memberikan dampak pada peradaban lokal dianggap sebagai bagian dari mikrokosmos yang telah mengakar dan berkembang pada harus dapat hidup berdampingan dengan alam masa kejayaan Kerajaan Hindu-Budha. sebagai makrokosmos. Hubungan yang Akulturasi tersebut terjadi pada segi arsitektur, harmonis secara vertikal ini juga memunculkan seni, dan berbagai tradisi dalam kehidupan pandangan mengenai alam suci sebagai sumber sehari-hari terutama dalam perayaan hari besar pemberi kehidupan (Cahyandari, 2012). agama Islam. Pandangan kosmologi masyarakat Jawa Akulturasi merupakan sebuah proses dimana dianggap sebagai komponen sakral dimana sebuah kelompok individu dengan kelompok akhirnya melahirkan pandangan mengenai individu lain yang memiliki budaya yang sumbu sakral berupa sumbu Utara-Selatan, berbeda saling bersinggungan dan berinteraksi gunung-laut, serta timur-barat dikarenakan secara langsung sehingga terjadi perubahan terpengaruh budaya Majapahit (Santoso, terhadap pola dari budaya yang yang satu ke Setioko, & Pendelaki, 2015). Dalam kosmologi yang lain atau bisa terjadi dalam dua arah. Jawa, kerajaan juga dianggap sebagai pusat Dalam salah satu tulisannya M.M Gordon ‘dunia’ yang dipimpin oleh seorang raja yang terdapat tujuh variabel yang harus dikaji dalam diidentifikasikan sebagai pusat alam semesta proses asimilasi dimana salah satunya adalah (yang harus dijaga) dimana dalam tradisi Asimilasi budaya atau perilaku atau lebih Hindu-Budha raja dianggap perwujudan dewa, dikenal dengan sebutan akulturasi dimana atau secara Islami dianggap memiliki kebajikan terdapat penyesuaian-penyesuaian yang terjadi yang diwakili oleh para dewa tersebut pada pola kebudayaan terhadap kelompok yang (Behrend, 1989). lebih dominan. Proses akulturasi ini membuat Islam datang di Jawa pada masa pemerintahan dua budaya yang bersinggungan tersebut dapat kerajaan Hindu-Budha melalui para pedagang menerima masing-masing nilai yang yang terdiri dari para imigran yang membawa dibawanya. Proses dalam akulturasi dapat Islam melalui proses dialektika (Muqoyyidin, berhasil jika terdapat sebuah penerimaan tanpa 2012). Masa transisi religi dari Hindu-Budha ke rasa terkejut sebagai wujud sebuah Islam terjadi di tandai dengan munculnya persenyawaan (affinity). Persenyawaan ini kerajaan Islam di Indonesia. Kerajaan dapat diibaratkan sebagai sebuah ‘penyerap’ Majapahit sebagai kerajaan Hindu paling besar menurut Gillin atau sebuah penjiwaan menurut digantikan oleh Kerajaan Demak yang muncul Amman. Dari hal tersebut dapat ditarik sekitar pertengahan akhir abad ke-15 dan kesimpulan bahwa akulturasi memiliki ciri utama dimana terdapat penerimaan kebudayaan memiliki corak Islam (Ngationo, 2018). Pada masa transisi tersebut, penggunaan simbol- asing yang diolah ke dalam kebudayaan lokal simbol Hindu pada sebuah karya arsitektur tanpa menghilangkan identitas asal (Roszi, masih digunakan dikarenakan perubahan 2018). dengan masuknya corak Islam tidak terjadi Sistem kekuasaan dalam pandangan Jawa dengan mudah. Gaya arsitektur Islam seperti memiliki konsepsi kesakralan dalam bentuk masjid yang dominan memiliki gaya arsitektur wahyu (dewa/raja) dimana seluruh instrumen Timur Tengah tidak dibawa melainkan pendukungnya tunduk pada suatu sistem bertransformasi menggunakan bentuk-bentuk 52 Pradianti Lexa Savitri, B. Sumardiyanto, Akulturasi Islam dan ... lokal. Karakteristik budaya pada material yang menjadi masjid utama kerajaan dan menjadi dihasilkan seperti bangunan maupun data salah satu elemen pokok dari konsep Catur artefaktual merupakan salah satu aspek yang Gatra Tunggal pada masa Keraton Mataram dapat digunakan untuk meninjau bentuk Islam. Konsep ini juga sering disebut dengan akomodatif Islam dengan budaya lokal Civic Center dimana kota menjadi pusat (Handoko, 2014). Hal inilah yang berbagai kegiatan masyarakat, memiliki 4 menyebabkan bentuk dan corak bangunan bangunan dan poin pokok yang Hindu-Budha masih tampak pada bangunan menggambarkan aspek-aspek pendukung arsitektur masjid dan makam, seperti pada dalam suatu kota yaitu keraton sendiri sebagai bagian atap, gapura, dan ornamen berupa tempat tinggal raja, pasar sebagai pusat simbol-simbol. perekonomian, alun-alun sebagai ruang publik dan masjid sebagai tempat beribadah. Hal Penyebaran Islam oleh Walisongo di Jawa tersebut serupa dengan konsep yang menggunakan pendekatan tasawuf (mistik dikemukakan oleh Selo Soemardjan mengenai Islam) dan dilakukan bertahap tanpa adanya konsep tata ruang negara Jawa Mataram penolakan terhadap kebudayaan lokal. berbentuk suatu sistem lingkaran dengan empat Disinilah Islam menunjukkan adanya toleransi radius berbeda yang disusun hierarkis dimana dan persamaan derajat pada saat pandangan pada radius pertama terdapat pagar-keliling dalam masyarakat Hindu-Budha memiliki (benteng) yang di dalamnya terdiri dari penekanan terhadap perbedaan derajat. Hal ini Keraton, beserta bangunan penunjang seperti kemudian menjadi daya tarik terutama bagi alun-alun dan masjid (Soemardjan, 1962). kalangan pedagang Islam dengan orientasi kosmopolitan yang mendapat panggilan untuk Masjid Gedhe Mataram Kotagede terletak di mengambil kekuasaan politik dari tangan Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan penguasa (Majapahit). Bantul, tepatnya di selatan Pasar Kotagede. Masjid ini diperkirakan berdiri pada 1587-1601 Aspek struktur hingga setting perencanaan oleh Panembahan Senopati Sutowijaya sosial politik pada bangunan masjid di Jawa (Gambar 1). Posisi komplek masjid dan makam didominasi oleh tradisi Jawa. Hal ini merujuk terletak di sebelah barat alun-alun dan dibatasi pada pernyataan seorang peneliti bernama oleh jalan membujur ke utara-selatan. Masjid Wustol Basri (2010) yang menyatakan bahwa dan makam tersebut seluruhnya adalah bagian bangunan masjid di area Keraton lebih dari komplek Pasareyan atau makam bagi menitikberatkan pada kultur Jawa bukan kultur keluarga raja Mataram