Bulletin Narasimha 2008
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Pengantar Redaksi Pengantar Redaksi________________________________________3 Catatan Redaksi__________________________________________4 Perkembangan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologis_____________6 Pencagarbudayaan di DIY_________________________________12 Kawasan Imogiri Strategi Pelestarian dan Pemanfaatannya_______23 Candi Prambanan Didirikan Di Atas Bekas Aliran Sungai__________36 Candi Kalasan Pasca Gempa Tektonik 27 Mei 2006_____________43 Rehabilitasi Candi Prambanan Sebagai Atraksi Wisata___________51 Pelaksanaan Emergency dan Rehabilitasi_____________________57 Berita Kegiatan BP3 dan Temuan Benda Cagar Budaya__________ 63 Penghargaan Pelestari Benda Cagar Budaya___________________68 2 Pengantar Redaksi Pengantar Redaksi Buletin Narasimha Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2008 terbit perdana. Media cetak ini didedikasikan sebagai wahana untuk merefleksikan pemikiran tentang berbagai aspek yang inheren dengan permasalahan pelestarian benda cagar budaya, situs, kawasan cagar budaya, dan persoalan-persoalan lain yang terkait. Pada dasarnya persoalan pelestarian sumberdaya arkeologi dapat dilakukan dengan pendekatan multidisipliner dan multidimensional. Berbagai pendekatan itu dapat dikonfigurasikan sebagai gagasan dan pemikiran di dalam media ini. Pada edisi ini berbagai aspek pelestarian benda cagar budaya di presentasikan sebagai urgensi pembahasan utama. Relevan dengan permasalahan tersebut juga dikupas tentang upaya BP3 DIY melakukan penetapan Benda Cagar Budaya berbagai potensi sumberdaya arkeologi, hal itu merupakan amanat Undang-undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Terkait dengan aspek pelestarian juga dibahas mengenai strategi pelestarian dan pemanfaatan kawasan cagar budaya yang dijadikan pembahasan sebagai kasus adalah Kawasan Imagiri, Bantul. Sebagai tulisan pendukung yaitu artikel tentang Candi Prambanan dan kondisi Candi Kalasan pascagempa bumi. Di samping itu, tentang beberapa program kegiatan yaitu sebagai berikut. Pertama, program tangggap darurat (emergency) dan rehabilitasi potensi sumberdaya arkeologi Candi Prambanan, Situs Pesanggrahan Tamansari, Kotagede dan Makam Pajimatan Imagiri. Kedua, pelaksanaan kegiatan atau program-program pemugaran di beberapa situs di DIY, berita temuan Benda Cagar Budaya serta penghargaan kepada pelestari aktif Benda Cagar Budaya dan lembaga atau organisasi yang peduli Benda Cagar Budaya dan kawasannya. (Redaksi) 3 Catatan Redaksi NARASIMHA: Catatan Redaksi Narasimha merupakan awatara Dewa Wisnu dalam bentuk demonis untuk membebaskan dunia dari Hiranyakasipu, seorang daitya yang amat berkuasa. Raja tersebut tidak bisa dimusnahkan dalam kondisi situasi normal. Oleh karena itu, dalam pembebasan itu Dewa Wisnu digambarkan sebagai dewa yang amat “murka” yakni berupa separuh manusia dan separuh singa yang merobek isi perut (dada) asura tersebut. Di samping itu, lokasi murka Wisnu tersebut diambang pintu ruang dan waktu peristiwa pada saat senja. Secara mitologis turunnya awatara Wisnu ini adalah pada masa kali (kaliyuga), yakni suatu masa keruntuhan yang dipenuhi dengan dosa, sehingga dewa pun harus bertindak tegas bahkan berwujud kejam agar dunia tetap berdiri. Sebagai sebuah produk budaya yang dilatarbelakangi konsep kosmogonis, arca merupakan ‘ikon’ pemujaan yang hidup bersama-sama secara kultural para pembuat maupun pemujanya. Jika kita kembali ke masa Mataram Kuna Jawa Tengah, setidaknya kita mendapati adanya anasir-anasir tentang seorang tokoh yang juga mempunyai gelar epiteton sebagai “ pembunuh musuh atau pelindung dunia “. Di dalam parsasti Kelurak (704 Saka) menyebut seorang tokoh bernama Dharanindra Sanggrama Dhananjaya - sebagai keturunan dinasti Sailendra – yang menyandang gelar sebagai ‘wirawairimanthana’ atau pembunuh musuh. Temuan arca Narasimha dari situs Sumur Bandung, Sambirejo, Prambanan, Sleman DIY ini tentunya juga dapat menjadi sebuah representasi manusia pada masanya. Jika Narasimha sering dikaitkan dengan masa kaliyuga dimana merupakan suatu masa penuh kerusakan dan kegoncangan, maka bisa ditarik suatu hipotesa dini bahwa pada suatu waktu di zaman Mataram Kuna (baca : Mataram Kuna periode Prambanan) pernah terjadi suatu kondisi yang tidak stabil. Seringkali ketidakstabilan ini lebih banyak terjadi dalam bidang politik yang tentunya juga berimbas pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Belum dapat dipastikan mengenai kurun waktu yang tepat mengenai hipotesa tersebut. Namun lain halnya dengan catatan dari masa yang lebih muda yakni dari masa Kertanegara. Ia dikenal dengan 4 Catatan Redaksi sebutan Narasimhamurti atau titisan Narasimha. Sebagai Narasimhamurti, Kertanegara banyak melakukan pembasmian penjahat keji, peperangan dengan Malayu serta melakukan penyerangan terhadap Bali dari kurun waktu 1192 Saka hingga 1206 Saka. Tampak jika ia berusaha menghilangkan dengan tangan besi segala rintangan-rintangan untuk membebaskan dunia dari cengkeraman kaliyuga. Adakah korelasi positif antara arca Narasimha dari situs Sumur Bandung dengan dinasti Sailendra yang pada pertengahan abad kedelapan sedang gencar-gencarnya melakukan politik ekspansi perluasan wilayah, tidak hanya di pulau Jawa bahkan hingga seberang lautan. Hal tersebut merupakan interpretasi nilai konteks sosio kultural keberadaan arca Narasimha. Pertanyaan berikut, adakah korelasi antara aspek kosmologis Narasimha dengan nilai filosofis yang mempunyai arti penting yang relevan untuk saat ini. Memperhatikan aspek mitologis Narasimha, maka ada beberapa makna yang perlu dicatat. Narasimha pada dasarnya merefleksikan sebuah tindakan yang didasarkan kepada sikap kritis dalam menyelesaikan permasalahan yaitu membunuh Hiranyakasipu (angkara murka) yang tidak bisa dimusnahkan oleh manusia pada waktu siang atau malam dan diluar maaupun di dalam. Sikap kritis didasarkan kepada alternatif tindakan yang dilakukan, yaitu dengan perwujudan seperti mitologi dan ciri-ciri penggambaran arca tersebut diatas. Alternatif kritis tersebut dikonfigurasikan dengan berbagai cara, yaitu tindakan untuk mengatasi tantangan yang ada dengan pilihan waktu, pilihan lokasi, dan pilihan pendekatan yang tepat dalam memberikan solusi. Pola pikir tersebut masih relevan bagi kondisi sekarang. Upaya-upaya konkrit yang kita lakukan dalam pelestarian sumber daya arkeologi, baik pendekatan aksi bersifat fisik atau material maupun langkah- langkah implementasi presentasinya juga harus mereflleksikan pola pikir alternatif kritis tersebut. Upaya presentasi sumberdaya arkeologi salah satunya dapat menggunakan media publik tercetak. Berkoherensi dengan hal itu visi – misi tulisan dalam buletin ini bukan untuk menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, mencoba memberi kontribusi pemikiran dan wahana media komunikasi untuk pemahaman upaya pelestarian sumber daya arkeologi sebagaimana pendekatan sikap kritis Narasimha dalam mengurai permasalahan dan tantangan zamannya. (Redaksi) 5 Perkembangan Sumber Daya Arkeologis PERKEMBANGAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ARKEOLOGIS Oleh : Drs. Tri Hartono, M.Hum I Sejarah arkeologi sebagai sebuah ilmu telah terhadap upaya pengelolaan sumber daya arkeologis berkembang sejak lama, bahkan embrionya yang ada. Upaya pengelolaan sumber daya muncul sejak manusia menyenangi peninggalan- arkeologis berkembang sesuai dengan peninggalan masa lalu. Berdasarkan catatan yang perkembangan ilmu arkeologi itu sendiri. Hal paling awal, penyelidikan terhadap peninggalan inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan tersebut sudah dilakukan sejak abad ke-6 sebelum ini. Masehi. Namun penyelidikan masa ini tidak Teori Arkeologi adalah suatu konsep- mempunyai kerangka teori yang pasti. konsep dasar yang digunakan arkeologi Penyelidikan tanpa konsep ini berlangsung terus melakukan kajiannya. Sedangkan yang dimaksud sampai dengan pertengahan abad ke-19.( K.R. perkembangan teori arkeologi adalah sebuah Dark,1995:3). usaha untuk mencoba menggambarkan Konsep sejarah budaya mulai diperkenalkan perkembangan dari embrio sampai perkembangan dan berkembang dalam arkeologi setelah tahun arkeologi sebagai ilmu pada akhir-akhir ini. 1850. Konsep ini banyak dipakai banyak arkeolog Pengelolaan sumber daya arkeologis, di beberapa bagian dunia baik di negara-negara merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya Eropa maupun Amerika untuk mengungkap budaya atau yang sering dikenal Cultual Resources kehidupan masa lampau melalui benda arkeologi. Management sering diartikan sebagai upaya untuk Pada masa ini benda arkeologi hanya dapat melestarikan warisan budaya, telah muncul sejak digunakan untuk mengungkap kronologi manusia tertarik terhadap benda peninggalan masa kehidupan masa lalu (Ibid). lampau. Konsep yang dikembangkan ini, didasarkan Sekitar tahun 1960 arkeolog-arkeolog pada kepentingan pemilik atau kolektor benda kuno pembaharuan menyatakan bahwa konsep sejarah maupun peneliti warisan budaya, sehingga kolektor budaya tidak dapat digunakan untuk menjelaskan sebagai pengambil keputusan tunggal. Konsep ini proses kehidupan masa lampau. Untuk itu, merupakan pengertian pengelolaan sumber daya mereka menganggap arkeologi sejarah budaya budaya yang sempit, kuno atau tradisional ( adalah arkeologi tradisional dan mengajukan Tanudirjo, 1998:14). Hal senada diungkapkan pendekatan yang berbeda yaitu berpola pikir pula oleh Edi Sedyawati dalam wawancaranya filsafat positivisme. Pada masa kemudian sekitar dengan artefak (Edi Sedyawati, 1988) tahun 1980, arkeolog pembaharuan dengan Sumber daya arkeologis yang merupakan paradigma prosessual mendapat tantangan dari bagian dari