Mimikri Dan Stereotipe Kolonial Terhadap Budak Dalam Novel-Novel Balai Pustaka

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Mimikri Dan Stereotipe Kolonial Terhadap Budak Dalam Novel-Novel Balai Pustaka ISSN: 2303-2898 Vol. 4, No. 1, April 2015 MIMIKRI DAN STEREOTIPE KOLONIAL TERHADAP BUDAK DALAM NOVEL-NOVEL BALAI PUSTAKA I Gde Artawan1, I Nyoman Yasa2 1,2 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mengungkap 1) mimikri yang dilakukan oleh pribumi dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi diri di tengah gempuran kolonial Belanda. 2) Stereotipe kolonial terhadap terhadap pribumi. Subjek penelitian adalah novel-novel Balai Pustaka seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan dan Pertemuan Jodoh (Abdoel Moeis). Obeknya asdalah mimikri dan stereotife kolonial terhadap budak. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode studi pustaka dalam mengumpulkan data. Analisis data mengunakan metode analisis deskriptif dengan teori postkolonial. Teori postkolonial merupakan sebuah istilah bagi sekumpulan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan (kesusastraan, politik, sejarah, dan seterusnya) dari koloni-koloni negara-negara Eropa dan hubungan mereka dengan negara-negara lainnya di dunia. Kata kunci: mimikri, stereotipe kolonial, novel balai pustaka Abstract This research aims to uncover 1) mimicry performed by natives in an attempt to maintain the existence of the self in the middle of the Dutch colonial onslaught. 2) against the colonial stereotype of the natives. Subjects were novels such as Siti Nurbaya Balai Pustaka (Marah Rusli), One Care and Meeting Houses (Abdul Muis). Obeknya asdalah colonial mimicry and stereotife against slaves. This qualitative study using literature methods in collecting the data. Data analysis using descriptive analysis method with postcolonial theory. Postcolonial theory is a term for a set of theoretical and critical strategies used to examine the culture (literature, politics, history, and so on) of the colonies of European countries and their relations with other countries in the world. Key words: mimicry, colonial stereotype, balai pustaka novel Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |577 ISSN: 2303-2898 Vol. 4, No. 1, April 2015 PENDAHULUAN kolonial menciptakan sebuah pencitraan Balai Pustaka (1908-1942) diri, orientalisme, dan tetap didirikan oleh kolonial Belanda dalam menempatkan pribumi sebagai budak. upaya melakukan kontrol sosial dan Budak pekerja dan budak peniru politik terhadap bacaan-bacaan liar (teks budaya-budaya Barat. Walaupun bacaan yang diterbitkan oleh komunitas demikian, novel-novel Balai Pustaka Tionghoa, Arab, dan Pribumi) di juga menunjukkan perlawanann secara Indonesia. Kontrol sosial dan politik tersembunyi dari para pengarang. tersebut dilakukan dalam upaya Darma (2010, 172) menyatakan bahwa mengeksistensikan dirinya sebagai satu- dalam karya sastra, dikotomi antara satunya penjajah yang menaklukkan penindas dan tertindas tidak selamanya pribumi seuntuhnya. Oleh karena itu, eksplisit. Novel Azab dan Sengsara semua bacaan yang diterbitkan ada misalnya. Azab dann Sengsara dalam pengawasan dan sensor menunjukkan perlawanan dari pribumi kekuasaannya. Herawati (2010: 200) (Mahayana, 1994:18-19). menyatakan bahwa Belanda Pencitraan diri, orientalisme, memanfaatkan karya sastra sebagai perbudakan, dan perlawanan media hegemoni dan dominasi terhadap masyarakat pribumi dalam karya sastra rakyat pribumi. Kolonial Belanda terbitan Balai Pustaka tidak lepas dari merekrut pegawai-pegawai kontrak akumulasi kegelisahan, penderitaan untuk mengurus Balai Pustaka. Abdoel yang dialami masyarakat pribumi Moeis adalah salah satu contohnya. Ia semenjak kedatangan Belanda ke diupah tinggi sebagai tenaga kerja di Indonesia. Peristiwa-peristiwa sosial Balai Pustaka. Begitu pun, Sutan Takdir budaya ataupun peristiwa sejarah yang Alisyahbana (Faruk, 2007: 50). Kontrol terjadi dan berkembang dalam sosial dan politik yang dilakukan, bukan masyarakat direkam berdasarkan saja kepada pribumi sebagai tenaga sensitivitas sastrawan (Yasa, 2010: 51) kerja, tetapi juga pengarang (sastrawan) dan kemudian ditransformasi ke dalam sekaligus karya sastra yang diterbitkan karya sastra, termasuk semenjak ketika itu. kedatangan Belanda ke Indonesia Novel Salah Asuhan, Siti termasuk politik kolonialnya (Ronidin, Nurbaya, dan Belenggu adalah karya 2010: 152). Beberapa karya sastra sastra-karya sastra yang sudah tersebut adalah Siti Nurbaya (1922) mengalami sensor dari tangan kolonial karya Marah Rusli, novel Salah Asuhan sebelum akhirnya teks-teks (novel- (1928), Pertemuan Jodoh (1932) karya novel) itu dibaca masyarakat pribumi. Abdoel Moeis, dan Tjerita Boejoeng Novel-novel itu harus sesuai dengan Bingoeng karya Aman Datoek standar bacaan yang sudah ditetapkan Madjoindo, Azab dan Sengsara (1920) oleh Balai Pustaka berdasarkan karya Merari Siregar, Hulubalang Raja keputusan D.A. Ringkes; salah satunya (1932) Karya Nur Sutan Iskandar, Si adalah karya sastra yang diterbitkan Cebol Rindukan Bulan Karya Tulis tidak bertentangan dengan garis politik Sutan Sakti, Katak Hendak Jadi Lembu pemerintah Belanda (Sarwadi, 2004: karya Nur Sutan Iskandar (1935), Apa 28). Dalam sensor yang dilakukan, Dayaku Karena Aku Perempuan karya Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |578 ISSN: 2303-2898 Vol. 4, No. 1, April 2015 Nur Sutan Iskandar (1922), Tak Putus Ada beberapa alasan pentingnya Dirundung Malang karya Sutan Takdir mimikri dan stereotipe kolonial terhadap Alisyahbana (1929). kaum pribumi dalam novel-novel terbitan Lahirnya karya sastra-karya sastra Balai Pustaka tersebut melalui kajian tersebut, yang sebagaimana dalam poskolonialisme dilakukan. Alasan istilah Jauss (1983: 32) disebut dengan berkenaan dengan posisi dan rangkaian sastra (literary series), pentingnya karya sastra dan pengarang. menandakan jejak-jejak kolonial masih Yang pertama adalah novel Siti dapat dirasakan; dipertanyakan; ditinjau Nurbaya. Novel ini dikatakan sebagai kembali, bahwa wacana kolonial itu puncak-puncak kejayaan Balai Pustaka menampilkan sebuah oposisi biner, (Sarwadi, 2004: 33). Novel ini dikarang yakni antara penguasa dan yang oleh Marah Rusli. Marah Rusli adalah dikuasai; penjajah dan pribumi; pengarang penting dalam Balai Pustaka. hegemoni dan perlawanan; dan antara Pentingnya Marah Rusli karena ia dapat tuan/majikan dengan budak. Ashcroft, mencipatakan karya sastra yang paling dkk (dalam Gandhi, 1998: iv) banyak dibaca oleh masyarakat (ibid). menyampaikan bahwa isu-isu mengenai Novel yang kedua adalah novel dominasi dan subordinasi muncul pada Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis. awalnya ke permukaan berkenaan Novel ini juga dapat dikatakan sebagai dengan kontrol militer kolonial. Budak puncak-puncak kejayaan Balai Pustaka digambarkan mengalami ketertindasan karena novel ini menyampaikan isi dan dari kaum majikan (bangsa penjajah); menggunakan bahasa yang sangat baik mereka disiksa dan dieksploitasi. bagi Balai Pustaka. Akibat nilai sastra Sebagai akibat dari eksploitasi itu, dan bahasa yang tinggi itulah, Abdoel budak digambarkan melakukan Moeis juga tercatat sebagai pengarang perlawanan-perlawanan. Hasil penelitian penting bagi Balai Pustaka ketika itu Sudibyo (2007) pada novel Berpacu (Sarwadi, 2004: 33). Yang ketiga adalah Nasib di Kebun Karet dan Kuli karya novel Pertemuan Jodoh karya Abdoel Madelon Szekely-Lulofs menyampaikan Moeis yang mengungkap kolonialisme bahwa Novel Berpacu Nasib dan Kuli didalamnya. Pengungkapan merepresentasikan kecenderungan kolonialisme dan adanya ideologi praktik eksploitasi imperial Belanda kolonialisme dalam novel Salah Asuhan pada awal abad ke-20 di perkebunan- juga menjadikan pertimbangan novel perkebunan karet di Deli. Kedua novel Pertemuan Jodoh sebagai novel yang itu memposisiNan Nuli sebagai —sang dikarang oleh Abdoel Moeis sebagai liyan“ yang pantas dipinggirNan dan subjek penelitian untuk mengungkap dibinatangkan. Penggambaran ideologi kolonialisme tersebut yang mengenai perlawanan pribumi masih tersembunyi. Faruk (2009: 42) digambarkan dalam karya sastra Siti menyampaikan bahwa Abdoel Moeis Nurbaya karya Marah Rusli, Salah terlibat dalam penulisan buku-buku Balai Asuhan, Pertemuan Jodoh karya Abdoel Pustaka dengan imbalan finansial yang Moeis yang merupakan subjek tinggi. pembahasan artikel ini. Pada tahun 2010, Yasa pernah melakukan penelitian dengan teori Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |579 ISSN: 2303-2898 Vol. 4, No. 1, April 2015 poskolonial, tetapi yang dikaji bukan mempunyai aliran dan metode yang pada mimikri dan stereotipe, melainkan tunggal, teori poskolonial mempunyai orientalisme dan politik pencitraan banyak kesamaaan asumsi: Belanda terhadap pribumi. Selain itu, mempertanyakan efek negatif dari apa pada tahun 2011, Yasa juga pernah yang justru dianggap bermanfaat bagi melakukan penelitian dengan kekuasaan imperial, menyangkut isu-isu menggunakan teori poskolonialisme rasisme dan eksploitasi, dan pada novel-novel Balai Pustaka, tetapi mempersoalkan posisi subjek kolonial objek kajian yang dilakukan bukan pada dan poskolonial. mimikri dan stereotipe, melainkan Konsep dasar poskolonialisme dari orientalisme dan politik pencitraan masing-masing tokoh adalah paham kolonial. Peneliti juga sudah sering yang meyakini bahwa efek-efek kolonial melakukan penelitian sastra, tetapi masih dirasakan oleh masyarakat bekas bukan pada novel Balai Pustaka dengan jajahan, walaupun mereka sudah menggunakan teori poskolonial. merdeka. Selain itu, poskolonialisme Artikel ini mendeskripsikan (1) mimikri juga meyakini bahwa pola-pola pribumi terhadap kolonial Belanda kekuasaan masa kolonial masih tampak dalam novel-novel Balai Pustaka dan dan diterapkan dalam kepemimpinan (2) stereotipe
Recommended publications
  • Perbandingan Karakter Tokoh Utama Novel Salah
    PONI Ernis : PERBANDINGAN KARAKTER TOKOH UTAMA NOVEL SALAH ASUHAN KARYA ABDOEL MOEIS DAN BELENGGU KARYA ARMIN PANE Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/penaliterasiEmail : [email protected] PERBANDINGAN KARAKTER TOKOH UTAMA NOVEL SALAH ASUHAN KARYA ABDOEL MOEIS DAN BELENGGU KARYA ARMIN PANE Poni Ernis1) 1)STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh [email protected] Diterima: DD MM YYYY Direvisi: DD MM YYYY Disetujui: DD MM YYYY ABSTRAK Penulis tertarik meneliti kedua novel ini karena ingin mengetahui bagaimanakah perbandingan karakter tokoh utama dan persamaan maupun perbedaan dari kedua novel tersebut. Alasan membandingkan dua novel dari penerbit yang berbeda karena 1) beda penerbit dan 2) beda karakter, balai pustaka menerbitkan novel yang bertema kawin paksa dan adat, sedangkan pujangga baru bersifat masyarakat modern. Jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Objek penelitian ini novel adalah Salah Asuhan dan Belenggu. Instrumen peneliti sendiri dan istrumen tambahan seperti pena dan buku. Langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut 1) membaca dan memahami isi kedua novel yang akan diteliti 2) menginventarisasi dan mengklasifikasikan data tokoh dan karakter tokoh utama berdasarkan aspek karakter tokoh dengan menggunakan format 3) menganalisis data yang telah diklasifikasikan 4) membahas dan membandingkan karakter tokoh utama yang meliputi sifat, sikap, dan tingkah laku 5) menyimpulkan hasil penelitian. Hasil penelitian tentang perbandingan karakter tokoh utama novel Salah Asuhan dan Belenggu terdapat 106 data, dalam novel Salah Asuhan terdapat 49 data terdiri atas 23 data sifat, 12 data sikap, dan 14 data tingkah laku. Novel Belenggu terdapat 57 data terdiri atas 22 data sifat, 20 data sikap, dan 15 data tingkah laku. Kata kunci: Karakter, tokoh utama, novel PENDAHULUAN biasanya ditonjolkan oleh pengarang adalah karakter baik dan karakter buruk.
    [Show full text]
  • INDO 7 0 1107139648 67 76.Pdf (387.5Kb)
    THE THORNY ROSE: THE AVOIDANCE OF PASSION IN MODERN INDONESIAN LITERATURE1 Harry Aveling One of the important shortcomings of modern Indonesian literature is the failure of its authors, on the whole young, well-educated men of the upper and more modernized strata of society, to deal in a convincing manner with the topic of adult heterosexual passion. This problem includes, and partly arises from, an inadequacy in portraying realistic female char­ acters which verges, at times, on something which might be considered sadism. What is involved here is not merely an inability to come to terms with Western concepts of romantic love, as explicated, for example, by the late C. S. Lewis in his book The Allegory of Love. The failure to depict adult heterosexual passion on the part of modern Indonesian authors also stands in strange contrast to the frankness and gusto with which the writers of the various branches of traditional Indonesian and Malay litera­ ture dealt with this topic. Indeed it stands in almost as great a contrast with the practice of Peninsular Malay literature today. In Javanese literature, as Pigeaud notes in his history, The Literature of Java, "Poems and tales describing erotic situations are very much in evidence . descriptions of this kind are to be found in almost every important mythic, epic, historical and romantic Javanese text."^ In Sundanese literature, there is not only the open violence of Sang Kuriang's incestuous desires towards his mother (who conceived him through inter­ course with a dog), and a further wide range of openly sexual, indeed often heavily Oedipal stories, but also the crude direct­ ness of the trickster Si-Kabajan tales, which so embarrassed one commentator, Dr.
    [Show full text]
  • Biography, History and the Indonesian Novel Reading Salah Asuhan
    keith foulcher Biography, history and the Indonesian novel Reading Salah Asuhan The novel Salah Asuhan (Wrong Upbringing), written by the Indonesian nationalist politician and journalist Abdoel Moeis, has long held an hon- oured place in the modern Indonesian literary canon.1 It was originally pub- lished in 1928 by Balai Poestaka, the Netherlands Indies government printing house, and by 1995 it had been reprinted twenty-three times. In summary form, it has been studied by generations of Indonesian schoolchildren, and in 1972 it was adapted by Asrul Sani as a successful feature film. Critics and historians of modern Indonesian literature have always regarded Salah Asuhan as a literary milestone. It is admired for the maturity of its author’s literary imagination, as well as the modernity of its language and style. In linguistic terms, it is seen as one of the pioneering literary expressions of the language which was designated as Bahasa Indonesia in the very year of the novel’s publication. It exercises an additional fascination for literary critics and historians because of the circumstances of its publication. The form in which it was originally written is now unknown, for the novel was only pub- lished after a lengthy delay and a series of revisions which the author made to the text after seeing his manuscript languish for more than a year under the scrutiny of Balai Poestaka’s editors. As a result, the original conception of Salah Asuhan remains a mystery. Indeed, it is one of the greatest puzzles in a literary history that is so full of documentary lacunae that its serious study remains a source of ongoing challenge and frustration.2 1 I wish to thank Karen Entwistle and Doris Jedamski for giving me access to some of the reference material used in this article.
    [Show full text]
  • Multicultural Values in the Indonesian Novel of Minangkabau's Local
    INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH VOLUME 8, ISSUE 12, DECEMBER 2019 ISSN 2277-8616 Multicultural Values In The Indonesian Novel Of Minangkabau’s Local Culture Pre The War Amar Salahuddin, Hasanuddin, WS, Harris Effendi Thahar, Yasnur Asri Abstract: This research is motivated by the view of the lack of public awareness of multicultural life in the nation and state. Differences in perspective in the community often trigger conflicts that disrupt the life of the nation and state. The novel as a socio-cultural document records how people communicate and interact in multiculturalism. In order to understand and formulate the socio-cultural record of multicultural life in a novel, it needs to be done through a study. Therefore, this research was conducted with the main objective to describe and explain multicultural values in the Indonesian Minangkabau local culture novels before the war. This type of research is qualitative using descriptive analysis method. The data source of this research is the Indonesian Minangkabau local color novels before the war. Pre-war novels are the Sitti Nurbaya by Marah Rusli, Salah Asuhan by Abdul Muis, and Tenggelamnya Kapal Vander Wijck by Hamka. The determination of the novels is based on a purposive technique. Data collection techniques by: (1) reading and understanding Indonesian Minangkabau local colors before the war; (2) determining the main characters and acc ompanying figures in the pre-war Minangkabau Indonesian novels for the use of multicultural data search, and; (3) inventorying, identifying, and classifying data related to multicultural values of learning to live in diversity (tolerance), building mutual trust, maintaining mutual respect, open-minded, appreciation, and interdependence.
    [Show full text]
  • Kebutuhan Informasi Pemustaka Kelas X Dan Xi Di Perpustakaan Ki Hadjar Dewantara Sma Negeri 11 Yogyakarta Program Studi Ilmu
    KEBUTUHAN INFORMASI PEMUSTAKA KELAS X DAN XI DI PERPUSTAKAAN KI HADJAR DEWANTARA SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Perpustakaan Oleh: Tika Kurniawati 10140053 PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014 i HALAMAN MOTTO … Sebaik-baik hari bagi seorang pemuda ialah hari di mana ia mampu memenuhi kebutuhan orang lain* Maka sebaik-baik hari bagi sebuah perpustakaan ialah hari di mana perpustakaan itu mampu memenuhi kebutuhan pemustakanya (Tika Kurniawati) *potongan syair, dikutip dari Imam Ghazali, Rahasia Ketajaman Mata Hati (Surabaya: Terbit Terang, t.t.), hlm. 207. v HALAMAN PERSEMBAHAN Kupersembahkan karya sederhana ini kepada: Keluargaku tercinta: Pak’e, Buk’e, dan Nyimut Almamaterku tercinta: Program Studi Ilmu Perpustakaan Saudara-saudaraku tercinta: UKM JQH al-Mizan vi KATA PENGANTAR اَﻟْﺤَﻤْﺪُ رَبﱢ اﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﯿْﻦَ وَاﻟﺼﱠﻼَةُ وَاﻟﺴﱠﻼَمُ ﻋَﻠﻰَ اَﺷْﺮَفِ اْﻷَﻧْﺒِﯿﺎَءِ وَاﻟْﻤُﺮْﺳَﻠِﯿْﻦَ وَﻋَﻠَﻰ اﻟِﮫِ وَأَﺻْﺤَﺎﺑِﮫِ أَﺟْﻤَﻌِﯿْﻦَ ,أَﻣﱠﺎ ﺑَﻌْﺪُ . Segala puji syukur ke hadirat Allah Swt., kepada-Nya lah bertasbih semua yang berada di langit dan di bumi. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada insan paling mulia yang pernah menjejak sejarah di muka bumi, Rasulullah Muhammad Saw. Skripsi ini tidak akan pernah terwujud jika peneliti ‘berdiri seorang diri’. Oleh sebab itu, dengan segala ketulusan hati, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dra. Hj. Siti Maryam, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya; 2. Hj. Sri Rohyanti Zulaikha, S.Ag, SIP, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan; 3. Siti Rohaya, S.Ag, MT selaku Penasehat Akademik IP B angkatan 2010; 4.
    [Show full text]
  • A Psychological Thriller in Donna Tartt's the Goldfinch Abu Fanani
    A Psychological Thriller in Donna Tartt’s the Goldfinch Abu Fanani (A Lecturer In Faculty of Adab and Humanities UIN Sunan Ampel Surabaya) Abstract In this article, the researcher analyzes a psychological thriller in the form of anxiety in Donna Tartt’s the Goldfinch . The researcher then uses psychological theory. The researcher analyzes the main character that undergoes a psychological worry; anxiety. At last, the researcher draws conclusion that the main character, Theodore Decker undergoes recurrent recollection(s), feeling humiliated, worry, fear, nightmares, and feelings of terror. Key Words : anxiety, feeling humiliated, worry, fear, nightmares, feelings of terror. Introduction Literature and society remain inseparable in that their existence influences each other; on one hand, literature affects society. On the other hand, society affects literature. Levin (Scott, 1962:126) states that literature and society are mutually connected. Both affect each other in that society gets the literature’s effect, on the other hand, literature gets the society’s effect. Similar to this statement, Olsen (1978:203-204) has the idea of the influence of literature to society as well as of society to literature. The researcher may well, as to the influence of literature to society, refer to a work by Harriet Beecher Stowe’s Uncle’s Tom’s Cabin or Life among the Lowly influences the society to be social emancipation, to abolish racial discrimination between black and white people (Hardjana, 1981:70-71). English philosophers and poets are said to have
    [Show full text]
  • Pramoedya Ananta Toer and China: the Transformation of a Cultural Intellectual
    PRAMOEDYA ANANTA TOER AND CHINA: THE TRANSFORMATION OF A CULTURAL INTELLECTUAL Hong Liu As one of the most prominent writers in Indonesia, Pramoedya Ananta Toer has been at the center of a number of valuable studies which carefully document his intellectual journey and his place in modern Indonesian cultural history.* 1 It has been generally agreed that the years between 1956 and 1959 were crucial in the evolution of Pramoedya's cultural and political thinking. In an effort to trace the causes of this change, the existing literature focuses almost exclusively on Indonesia's turbulent domestic political transformation and its impact on Pramoedya; very little attention * This is an expanded version of a chapter from my doctoral dissertation, "'The China Metaphor': Indonesian Intellectuals and the PRC, 1949-1965" (Ohio University, 1995). I am indebted to William H. Frederick for his constructive and thorough comments. Charles Alexander, Donald Jordan, Benedict Anderson, Chen Xiaru, Go Gien Tjwan, Kent Mulliner, Kohar Rony, Yong Mun-Cheong, and Tsing Yuan have been helpful in shaping my understanding of the complex questions relating to China in Indonesia, for which I am grateful. Financial support for my overseas research was provided by a fellowship from the Center for International Studies at Ohio University and a grant from the Southeast Asian Council of the Association for Asian Studies, both funded by the Henry Luce Foundation. I alone, of course, am responsible for the views expressed here and any remaining errors. 1 See for example, Bahrum Rangkuti, Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja (Jakarta: Gunung Agung, 1963); Savitri Scherer, "From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya Ananta Toer" (PhD diss., Australian National University, 1981); Mohamad Zamri bin Shaari, "Sebuah Analisa Kebahasaan terhadap Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer" (PhD diss., Universitas Nasional Indonesia, 1985); and A.
    [Show full text]
  • Literature Literacy As a Medium of Peace and Harmony Between Two Countries Noordin Mohd Noor School of Languages, Literacies & Translations, Universiti Sains Malaysia
    AICLL KnE Social Sciences The 1st Annual International Conference on Language and Literature Volume 2018 Conference Paper Literature Literacy as a Medium of Peace and Harmony between Two Countries Noordin Mohd Noor School of Languages, Literacies & Translations, Universiti Sains Malaysia Abstract Literary tradition in Malaysia middle/high school from the very beginning to the era of Literary Component in Malay language (Komsas) plays a big role in shaping the intellectuality of student’s mindset. It is carried out by introducing novels around the Archipelago that corresponds to time and issues, without leaving the main theme of universal humanity. These themes have not changed. That is the purpose of literature subjects being introduced in school. Since the 70s, students in Malaysia have been exposed to Indonesian ’heavy’ novels such as Di bawah Lindungan Kaabah by HAMKA, Salah Asuhan by Abdul Moeis, followed by Atheis by Achdiat Karta Mihardja and Corresponding Author: Noordin Mohd Noor Keluarga Gerilya by Pramoedya Ananta Toer and poems by Amir Hamzah and Chairil Anwar All the novels, poems and short stories reveal the valuable aspect and their Received: 13 March 2018 Accepted: 10 April 2018 impact in forming the student’s mind. Just take an example of the novel Atheist that Published: 19 April 2018 features the soul of a traditionalist Islamist to face all modern ideologies that arose Publishing services provided by post Second World War. Or take another example of a patriotic struggle by characters Knowledge E like Saaman from Amila’s family in Keluarga Gerilya. These are the serious issues that Noordin Mohd Noor.
    [Show full text]
  • From the Historical Novels Perspective
    Social Changes in Economy and Politic During the National Movement Period in Indonesia (1900-1942) from the Historical Novels Perspective Ayi Budi Santosa and Wildan Insan Fauzi Department of History Education, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia {ayibud, wildaninsanfauzi}@upi.edu Keywords: Imagination, a historical fact, the Indonesian national movement. Abstract: Historical novels help fill some shortages in exploring social facts or mental facts which are not recorded in the document sources. The macro formulation of this study is “How was the narration of national movements in Indonesia (1900-1942) in the field of economic and politic from historical novels perspective?” The researches chose historical method as the research methodology and literature study as the research technique. The finding of the study showed that: First, The described economic setting was about: industrialization, regents’ tyrany, anxiety of China’s arrival, jealousy of indigenous economy, as well as capitalism octopus in the Indies after the enactment of the Agrarian Law 1870. Second, Political setting described in historical novels themed Indonesian national movement, were: the emergence of educated class, the emergence of various national movement organizations, revolutionary awareness, the struggle of educated class towards Indonesian’s political rights, the appearance of volksraad, left ideology, the authority of Netherland queens, indigenous’s conflicts and their invaders, concerns about the yellow’s dangers (China and Japan), the expansion of Japanese Military, stratification in politics, and the bureaucracy of colonial government. The implication of this research is that the historical novel has its own narrative of history that enriches the knowledge of Indonesian history. 1 INTRODUCTION and this is also experienced by the students who face some obstacles in understanding the duality of Stories can give meaning to various experiences in historical fiction (Barone, Oswalt, Barone, 2014).
    [Show full text]
  • Kritik Terhadap Bangsa Kolonial Melalui Tokoh Utama Novel Student Hidjo Karya Marco Kartodikromo Dan Salah Asuhan Karya Abdoel Moeis
    KRITIK TERHADAP BANGSA KOLONIAL MELALUI TOKOH UTAMA NOVEL STUDENT HIDJO KARYA MARCO KARTODIKROMO DAN SALAH ASUHAN KARYA ABDOEL MOEIS Robiatul Aliyaha, Muhamad Yasser Irfanb Tadris Bahasa Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jalan Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, 15412, Indonesia pos-el: [email protected], [email protected] (Diterima: 9 Februari 2021; Direvisi: 27 Maret 2021; Disetujui: 30 April 2021) Abstrak Perkembangan kesusastraan Indonesia pada periode awal ditandai dengan produksi bacaan kaum pergerakan yang sering disebut oleh bangsa kolonial sebagai bacaan liar. Penelitian ini bertujuan melihat pencitraan tokoh dalam upaya menyampaikan kritik terhadap bangsa kolonial dalam kedua novel. Teori yang digunakan yaitu kajian sastra bandingan dan sosiologi sastra sebagai alat analisis. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel Student Hidjo dan Salah Asuhan terdapat kritik yang ditunjukkan kepada bangsa kolonial, seperti kritik untuk memperoleh pendidikan yang sederajat dengan para elite bangsawan, kritik mengenai perbedaan kebudayaan antara bangsa Barat dan Timur, kritik mengenai perlakuan yang dilakukan oleh bangsa kolonial, dan kritik perilaku yang dimiliki bangsa kolonial. Penyampaian kritik pada novel Student Hidjo disampaikan dengan tersurat atau secara terang-terangan karena dengan mudah dipahami oleh para pembacanya. Sementara dalam novel Salah Asuhan, penyampaian kritik terhadap bangsa kolonial disampaikan secara tersirat. Hal tersebut dikarenakan novel itu diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka sehingga menyiasati sensor-sensor yang berlaku dalam Balai Pustaka pada saat itu. Kata kunci: bacaan liar, kritik kolonial, sastra bandingan, sosiologi sastra Feedback of The Colonial Through The Main Character’s in Student Hidjo of Marco Kartodikromo, and Salah Asuhan of Abdoel Moeis Abstract The production of early Indonesian literature was characterized by the reading production of movement groups referred to by colonial as wild reading.
    [Show full text]
  • Orientalisme, Perbudakan, Dan Resistensi Pribumi Terhadap Kolonial Dalam Novel-Novel Terbitan Balai Pustaka
    ISSN: 2303-2898 Vol. 2, No. 2, Oktober 2013 ORIENTALISME, PERBUDAKAN, DAN RESISTENSI PRIBUMI TERHADAP KOLONIAL DALAM NOVEL-NOVEL TERBITAN BALAI PUSTAKA I Nyoman Yasa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Abstrak Penelitian yang dilakukan berdasar pada masalah budak dan perbudakan di Indonesia dalam karya sastra dan dilakukan dengan menggunakan teknik dekonstruksi ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan (1) orientalisme dalam novel-novel Balai Pustaka dan (2) resistensi pribumi terhadap kolonial Belanda novel-novel Balai Pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa relasi antara penjajah dengan terjajah, yakni antara Belanda dengan pribumi di Indonesia (Hindia Belanda) adalah relasi yang tidak setara. Belanda mendominasi pribumi. Pendominasian Belanda terhadap pribumi diperlihatkan stereotip-stereotip kebinatangan oleh pihak Belanda kepada pribumi, dan pendiskriminasian warna kulit oleh kolonial. Belanda memandang dirinya lebih beradab daripada pribumi karena Belanda memiliki warna kulit putih, sedangkan pribumi memiliki kulit hitam, atau bukan kulit putih. Pandangan Belanda itu terkonstruksi dalam pikiran dan perilaku mereka sehingga stereotip-stereotip bahwa pribumi itu terbelakang, lamban atau malas, dan seperti binatang (kera atau beruk), muncul atau berkembang. Hal itu merupakan pandangan orientalisme colonial Belanda terhadap pribumi. Akibat pendominasian (pendiskriminasian, rasisme, dan marjinalisasi) ini membuat masyarakat pribumi melakukan resistensi. Resistensi yang dilakukan oleh budak/pribumi dalam bentuk mimikri dan mockery yang memperolok-olok kolonial Belanda dalam upaya meruntuhkan kekuasaannya. Kata-kata Kunci: Orientalisme, Resistensi, Balai Pustaka, Poskolonial Abstract This research is conducted based on the problem of slavery found in Indonesian literary texts. Using a deconsructive technique, this research intends to show (1) the relations between the colonizer and colonized people found in the Balai Pustaka’s novels (2) the resistance of slaves to his masters.
    [Show full text]
  • A Comparative Study on Indigenous Female Sexuality Body in the Novels at Balai Pustaka and Tionghoa Descent
    International Journal of Linguistics, Literature and Culture Available online at https://ijcujournals.us/journals/index.php/ijllc/ Vol. 2, No. 4, November 2016, pages: 162~171 ISSN: 2455-8028 https://doi.org/10.21744/ijllc.v2i4.318 A Comparative Study on Indigenous Female Sexuality Body in the Novels at Balai Pustaka and Tionghoa Descent a Gde Artawan Article history: Abstract This qualitative study at examining the body conflict on indigenous women Received: 10 September 2016 and sexuality were portrayed by the litterateur published in Balai Pustaka Revised: 5 October 2016 novels and Tionghoa Descent litterateur stories. Some of the literature that Approved: 08 October 2016 was studied included Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan by Abdoel Published: 1 November 2016 Moeis as a work of Balai Pustaka period. Meanwhile, Tjerita Si Jonet, Tjerita Nyai Rossina, and Tjerita Nyai Paina were some literary works of Tionghoa Keywords: Descent. The present study saw that there was similarities colonial perspective against indigenous women. Similarly, indigenous men against Novel; indigenous women. They believed that indigenous women did not have a Native; right and a freedom. In colonial view, indigenous women were thoroughly Sexuality; indigenous powerlessness. In the indigenous men view against indigenous Balai Pustaka; women over the nativist position in their gender context. Orientalism in body Tionghoa Descent; conflict indigenous women and sexuality at Balai Pustaka novels and novels that were written by Tionghoa Descent presented by the authors through their characters. In Balai Pustaka novels, orientalism body conflict on indigenous women and sexuality presented by prominent indigenous men against indigenous women. For instance, the perspective Datuk Maringgih to Siti Nurbaya.
    [Show full text]