NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS KARYA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Syarifah Aliya 1112013000013

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

NASIONALISME DALAM NOVEL MANUSIA BEBAS KARYA SUWARSIH DJOJOPUSPITO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Syarifah Aliya NIM. 1112013000013

Di Bawah Bimbingan

Ahmad Bahtiar, M. Hum NIP. 197601182009121002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

ABSTRAK Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspitodan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum. Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito merupakan novel yang menggambarkan tentang perjuangan kaum intelektual yang setara dengan bangsa Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir bagi kaum pribumi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai nasionalisme dalam novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito serta implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Metode dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan novel Manusia Bebas memiliki unsur intrinsik yang mendukung tema nasionalisme, dimana Sulastri, Sudarmo dan teman-temannya berjuang dalam mendirikan sekolah untuk kaum pribumi yang harus mengalami kesulitan seperti penyitaan dan penangkapan oleh pemerintah Belanda. Kemudian nasionalisme memiliki cita-cita dasar sebagai arah tujuan nasionalisme yang diperjuangkan dalam novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional, serta adanya faktor internal yang mendukung adanya nasionalisme. Novel Manusia Bebas memuat sejarah perjuangan nasionalisme yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam menumbuhkan nilai nasionalisme di sekolah, siswa diharapkan mulai menumbuhkan tanggung jawab, semngat kebangsaan, dan cinta tanah air.

Kata Kunci : Nasionalisme, Novel Manusia Bebas, dan Suwarsih Djojopuspito.

i

ABSTRAK . Syarifah Aliya, 1112013000013, “Nationalism in the Manusia Bebas Novel written by Suwarsih Djojopuspito and the Implications for Learning in Senior High School”. Department of Language Education and Indonesian Literature. Faculty of Tarbiyah and teacher training. Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Supervisor: Professor Ahmad Bahtiar, M. Hum. Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito is the novel which describes the stuggle of intellectuals that par with Netherlands to establish partikelir school for indigenous. This research aims to describe about nationalism in the Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito and its implications in the study of literature in Senior High School. The methode in this research is descriptive qualitative. The results of this study demonstrate a novel free man has intrinsic elements that support the nationalism theme, where Sulastri, Sudarmo and his friends fought in setting up schools for natives who had to experience difficulties such as foreclosures and arrest by the Goverment of Netherlands. Then nationalism have basic ideals as the direction of nationalism that fought in Manusia Bebas novel written by Suwarsih Djojopuspito, i.e. national autonomy, national unit and national identity, as well as the existence of the internal factors that support the existence of nationalism. Manusia Bebas novel contains the struggle of the nationalism hystory that can be utilized in the study of literature in senior high school. In growing the value of nationalism in schools, students are expected to begin to foster responsibility, national spirit and love of the motherland.

Keywords: Nationalism, Manusia Bebas novel, and Suwarsih Djojopuspito.

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. karena telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Salawat serta salam sudah sepatutnya mengiringi kepada Baginda Nabi Muhammad. yang telah membawa kita kepada zaman yang dulu gelap gulita hingga sekarang terang di semesta alam. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, semangat, dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan dosen penasihat yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 3. Toto Edidarmo, M.A selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Ahmad Bahtiar, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran serta waktu luang Bapak selama ini sehingga penulisa dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Orang tua tercinta, Faridah dan Iskandar, yang selalu memberikan doa restu dan dukungan baik motivasi maupun material kepada penulis untuk

iii

selalu bersemangat dalam penyusunan skripsi ini serta selalu memberikan kasih sayang sampai detik ini yang tiada hentinya 6. Ella Nurrizki Amelia dan Syariefah Nazla Farah Dibha, saudara tercinta yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selalu terdorong untuk mengerjakannya. 7. Sahabat-sahabatku, Herni Nopiani, Hanida Sukardi, Renaldi Prawira, dan Randa Al-Fahreza yang memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-temanku Eneng Intan Lestari, Fitri Hera Febriana, Intan Ramadyla Eka Putri, dan Ami Septiani. Mereka adalah teman sejawat dari semester satu sampai sekarang selalu memberikan dukungan dan selalu motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian juga sukses selalu. 9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2012 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya kelas A. Terima kasih pengalaman dan pembelajaran yang berharga yang penulis dapatkan selama ini. 10. Serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah senantiasa membalas kalian semua. Penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, 5 April 2017

Penulis

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

LEMBAR SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1 B. Identifikasi Masalah 6 C. Pembatasan Masalah 6 D. Rumusan Masalah 7 E. Tujuan Penelitian 7 F. Manfaat Penelitian 7 G. Metode Penelitian 8 1. Waktu Penelitian 8 2. Objek Penelitian 8 3. Pendekatan dan Metode Penelitian 8 4. Sumber Data 9 5. Teknik Pengumpulan Data 10 6. Teknik Analisis Data 10

v

BAB II KAJIAN TEORI 13

A. Pengertian Novel 13 B. Unsur Intrinsik Novel 15 C. Pengertian Nasionalisme 24 D. Faktor Internal dan Eksternal 27 E. Sosiologi Sastra 31 F. Pembelajaran Sastra di Sekolah 33 G. Penelitian yang Relevan 35

BAB III PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA 38

A. Biografi Suwarsih Djojopuspito 38 B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito 40 C. Sinopsis Novel Manusia Bebas 43

BAB IV PEMBAHASAN 46

A. Unsur Intrinsik Novel 46 1) Tema 46 2) Alur 48 3) Tokoh 55 4) Latar 67 5) Sudut Pandang 74 6) Gaya Bahasa 75 7) Amanat 77 B. Analisis Nasionalisme dalam Novel Manusia Bebas 77 C. Faktor Nasionalisme 86 D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah 90

BAB V PENUTUP 93

A. Simpulan 93 B. Saran 94

vi

DAFTAR PUSTAKA 95

LAMPIRAN

RIWAYAT PENULIS

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah masyarakat menjadi masyarakat jajahan yang berangsur-angsur kehilangan hak atas keadilan dan kesejahteraan hidup di negerinya sendiri. Lambat laun penjajahan tersebut membangunkan kesadaran masyarakat terjajah untuk bangkit membebaskan diri dari penindasan karena memang tidak ada masyarakat yang rela seterusnya hidup sebagai masyarakat jajahan.1 Namun, kesadaran nasional untuk mewujudkan bangsa yang merdeka baru muncul salah satunya pada awal abad XX. Kesadaran nasional tersebut muncul salah satunya dengan memanfaatkan kebijakan politik etis yang diterapkan kolonial Belanda sebagai bentuk ―utang-budi‖- nya terhadap bangsa Indonesia. Kebijakan yang melalui program irigasi, edukasi, dan emigrasi ini diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia.2 Pendidikan merupakan salah satu kebijakan Belanda terhadap Indonesia yang membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat agar mampu menjadi bangsa yang mandiri dan terlepas dari penjajah. Di bidang pendidikan, Belanda banyak mendirikan sekolah formal bagi bumiputera, terutama dari kaum bangsawan. Pendidikan formal ini banyak membawa perubahan nilai budaya Indonesia yang terutama dipelopori oleh kalangan terpelajar. Perubahan nilai budaya itu sebenarnya merupakan maksud yang memang ingin dicapai oleh penjajah. Sebab dengan masuknya nilai-nilai Barat melalui pendidikan tersebut, Belanda mengharapkan perlawanan bangsa Indonesia dapat dikendorkan. 3

1 Tan Swie Ling, Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia, (Depok: LKSI (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia, 2014), hlm. 17. 2Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, (: Pustaka Pelajar, 1994). Hlm. 15-17 3Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199), hlm. 14-18

1 2

Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah untuk pribumi, seperti ELS (Sekolah Dasar Eropa), HBS (Sekolah Menengah Belanda), HIS (Sekolah Menengah Umum), dan sekolah pendidikan tinggi OSVIA, STOVIA, Rechtschool, dan THS.4 Terbukanya kesempatan mendapatkan pendidikan, dimanfaatkan oleh golongan elit pribumi dari golongan atas atau priyayi yang memperoleh pendidikan Barat lanjutan yang lebih tinggi. Mereka memanfaatkan kesempatan karena tak ingin seperti orang tuanya yang hanya menjadi ambtenar (pegawai) rendahan di Pemerintahan Hindia- Belanda. Mereka tidak menginginkan jabatan seperti juru tulis pemerintah, guru negeri, dokter pemerintah, penerjemah, pengawas dinas irigasi atau dinas pekerjaan umum, melainkan menginginkan kedudukan yang merdeka, seperti swasta, pengacara, dan wartawan.5 Namun, keinginan Belanda tersebut justru bertolak belakang dengan harapan yang mereka bina. Sebab nilai-nilai baru yang diterima melalui pendidikan Barat tersebut justru dipergunakan untuk menghadapi kondisi kolonial, dan membuka mata mereka akan kondisi mereka yang sebenarnya. Para pelajar dan tokoh masyarakat yang sadar serta mengetahui nasib masyarakat mulai berpikir untuk melepaskan diri dari keadaan ini. Kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan masyarakat inilah yang pertama kalinya menumbuhkan benih-benih nasionalisme.6 Pendidikan modern yang diajarkan kepada golongan elit, telah menghasilkan intelektual-intelektual muda yang kelak menjadi tokoh pergerakan nasional Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu, H.O.S Cokroaminoto yang mendapat julukan ― Raja tanpa Mahkota‖ dari orang- orang Belanda karena kegigihannya menuntut kemerdekaan Indonesia

4R. Z. Leirissa, dkk, Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm.105—110 5Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), hlm 3 6Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199), hlm. 14-18 3

melalui organisasi Sarekat Islam yang dipimpinnya.7 Perjuangan pergerakan nasional juga dilakukan oleh Suwardi Soeryaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Tokoh pergerakan yang konsen dengan pendidikan yang sampai saat ini diberi gelar ―Bapak Pendidikan Indonesia‖. Ki Hajar Dewantaralah yang meletakan dasar pendidikan bangsa Indonesia melalui Taman Siswa. Penjajahan Belanda yang dihadapi bangsa Indonesia tidak luput dari perhatian sastrawan yang kemudian diungkapkan melalui karya sastra dengan cara sendiri-sendiri sesuai zamannya. Para sastrawan menjelaskan persoalan kemasyarakatan, kebudayaan dan kebangsaan disampaikan dengan cara estetik tidak untuk menyelesaikan masalah itu sendiri, tetapi untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Kondisi bangsa Indonesia di bawah pemerintahan kolonialisme Belanda telah menginspirasi sastrawan untuk menciptakan karya sastra yang memuat persoalan pada masa kolonialisme Belanda yang menyangkut identitas nasional. Sastrawan yang telah menjadikan karyanya sebagai alat untuk mengobarkan semangat kebangsaan, di antaranya penyair M. Yamin dengan sajak-sajaknya yang bertemakan tanah air (1922). Sutan Takdir Alisyahbana melalui novelnya (1936), Mas Marco Kartadikromo dengan novelnya (1919) yang ditulis saat ia sedang di dalam penjara karena kegigihannya dalam melawan pemerintahan kolonial, Novel Stti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli, Salah Asuhan (1922) karya Abdoel Moeis. Selan itu, terdapat novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda. Novel Manusia Bebas terbit di Negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel. Pada mulanya novel Manusia Bebas ditulis dalam bahasa Sunda. Namun karena ditolak oleh , ia menulis kembali dalam bahasa Belanda lalu ditebitkan di Negeri Belanda. Alasan penolakan itu,

7Firdaus A.N., Syarikat Islam bukan Budi Utomo, (Jakarta:CV. Datayasa 1997), hlm. 4 4

menurut Ajip Rosidi, karena cita-cita kesusastraan yang dibawa novel tersebut dianggap terlampau maju oleh penerbit Balai Pustaka, sehingga dikhawatirkan tidak dapat dimengerti oleh bangsanya.8 Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Akibatnya, tokoh intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai ―sekolah liar‖ sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Hal ini menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan hidup yang sangat berat, mereka harus rela hidup melarat, selalu diawasi oleh aparat pemerintah, dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau keluarga. Namun segala beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan ―gagah‖. Satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk bangsanya sendiri walaupun harus menderita karenanya. Novel Manusia Bebas merupakan dokumen sejarah yang berharga tentang kehidupan pergerakan sebelum perang dunia kedua.9 Pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran dan perenungan tentang moral. Karya sastra yang bernilai tinggi di dalamnya terkandung pesan-pesan moral yang tinggi. Karya ini merekam semangat zaman pada suatu tempat dan waktu tertentu yang disajikan dengan gagasan yang berisi renungan.

8 CH. Kiting, ―Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito‖, (Mimbar Indonesia, XVII). No 5 9Dewan Redaksi, ―Ensiklopedia Sastra Indonesia‖, (: Titisan Ilmu, 2004), hlm. 487. 5

Karya sastra yang berupa novel dapat dijadikan sebagai media untuk menghidupkan kembali gambaran masalalu yang menjadi pokok cerita dan mampu memberikan informasi sejarah. Dalam novel terdapat peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu, namun tidak dijelaskan, hal ini akan membuat siswa seolah-olah mengalami sendiri peristiwa tersebut dengan penggambaran para tokoh dan peristiwa tersebut. Kegiatan menganalisis karya sastra juga bermanfaat bagi dunia pendidikan, karena dapat memberikan sumbangan terhadap keberhasilan pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan konsep Horace tentang dulce dan utile, yakni bahwa sastra itu indah dan berguna. Maka dalam hal ini, sastra dapat berguna untuk mengajarkan sesuatu, yaitu melalui pendidikan sastra khususnya pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Novel Manusia Bebas sangat bermanfaat bagi siswa karena di dalam novel ini mengajarkan siswa untuk serius dan bersungguh-sungguh dalam belajar dengan mengahargai dan memanfaatkan fasilitas dan teknologi yang sudah canggih untuk kegiatan belajar-mengajar. Novel ini menggambarkan bagaimana susahnya mendapat pendidikan dengan baik dan fasilitas yang terbatas namun semangatnya untuk mendapatkan pendidikan tidak pernah padam. Kita sebagai generasi penerus dengan segala fasilitas yang lengkap dan pendidikan yang baik seharusnya mampu memanfaatkannya dengan baik, namun pada kenyataannya sering kita jumpai siswa kurang memahami pentingnya memanfaatkan fasilitas dan pendidikan, bahkan semangat para siswa zaman sekarang pun menurun untuk belajar. Novel Manusia Bebas dapat dimplikasikan pada pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya sastra di sekolah, yaitu pada kegiatan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel. Karya sastra mampu menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Melalui karya sastra, pembaca belajar dari pengalaman orang lain dalam 6

menghadapi masalah dalam kehidupan. Di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang tidak diberikan secara preskriptif. Alasan memilih novel Manusia Bebas sebagai objek penelitian yaitu, pertama novel ini berlatar belakang sejarah, pembaca akan tahu mengenai keadaan Indonesia pada tahun 1930. Kedua, Suwarsih Djojopuspito adalah satu dari sedikit penulis perempuan indonesia pada zamanya selain selasih dan hamidah. Ketiga, adanya penolakan novel Manusia Bebas oleh Balai Pustaka, sehingga novel tersebut diterbitkan di negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisis ―Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA‖,

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut. a. Kurangnya minat siswa terhadap sejarah perjuangan Indonesia b. Siswa kurang memahami mengenai nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito c. Siswa kurang mengetahui sosok Suwarsih Djojopuspito karena karyanya tidak terlalu dikenal. d. Kurangnya semangat belajar siswa terhadap karya sastra khususnya novel e. Kurangnya minat siswa untuk membaca sastra, khususnya novel f. Kurangnya implikasi pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas.

C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah pada novel Manusia Bebas untuk dikaji mengenai unsur intrinsik dan masalah nasionalisme pada masa pergerakan Indonesia yang terdapat 7

pada novel tersebut serta implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana nasionalisme yang digambarkan dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito 2. Bagaimana implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan nasionalisme yang digambarkan dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito 2. Mendeskripsikan implikasi hasil pengkajian novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.

F. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoretis, a. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang struktur dan pembelajaran sastra. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme.

8

2. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami struktur yang membangun novel Manusia Bebas. Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang ditampilkan dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia Bebas ini sebagai bahan acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah, seperti memberikan pemahaman terhadap siswa dalam mempelajari pokok bahasan menentukan dan menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel.

G. Metode Penelitian 1. Waktu Penelitian Waktu penelitiam dalam mengkaji novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito, mulai tanggal 21 Juli 2016 – 10 Maret 2017. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah apa yang menjadi perhatian dari suatu penelitian. Sasaran untuk mendapatkan suatu data sesuai dengan pendapat, objek penelitian menjelaskan tentang apa dan siapa yang menjadi objek penelitian. Dapat disimpulkan bahwa objek penelitian adalah ruang lingkup yang merupakan pokok persoalan dari suatu penelitian. Kali ini objek penelitiannya adalah nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopudpito yang diterbitkan oleh Djambatan, Jakarta tahun 2000 cetakan ke 2, tebal buku 284 halaman, novel ini diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku edisi bahasa Belanda Buiten het Gareel (1940). 3. Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini bersifat deskriptif, 9

artinya data dari hasil analisis yaitu berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau numerik, karena objek dalam penelitian kualitatif adalah data berupa teks. Menurut Ratna, sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.10 Sedangkan menurut Atar Semi, penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.11 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dll., dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.12 Dalam penelitian ini, karya sastra yang dianalisis adalah novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Sementara itu, metode yang digunakan dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode deskriptif. Sebuah deskripsi adalah representasi objektif terhadap fenomena yang ditanggap. Metode deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan data dengan pendeskripsian secara cermat dan rinci untuk menggambarkan suatu hal, keadaan, dan fenomena yang meliputi analisis dan interpretasi terhadap objek yang diteliti. 4. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito diterbitkan oleh Djambatan, Jakarta tahun 2000, tebal 284 halaman cetakan ke 2. Novel ini

10Nyoman Khuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 47.

11M. Atar Semi, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: Angkasa, 2012), hlm. 11. 12Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 6. 10

diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya dari buku edisi bahasa Belanda Buiten het Gareel (1940). Data sekunder merupakan penunjang yang dijadikan alat bantu penelitian, yaitu berupa bahan bacaan kepustakaan seperti buku, artikel, dan esai, serta buku-buku dan penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan objek penelitian. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka, dengan teknik simak dan catat. Teknik pustaka adalah teknik yang menggunakan sumber-sumber data tertulis untuk memperoleh data penelitian. Teknik simak dan catat digunakan sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, dan terarah terhadap sumber data. Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian karya sastra yang diteliti. Peneliti melakukan penyimakan dan pencatatan secara cermat terhadap sumber data primer, yaitu teks novel Manusia Bebas untuk memperoleh data yang diperlukan. Hasil pencatatan tersebut kemudian digunakan sebagai sumber data primer yang akan digunakan dalam penyusunan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.

6. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Metode Analisis Isi (Content Analysis) Metode analisis isi dimaknai sebagai ―teknik yang sistematis untuk menganalisis makna pesan dan cara mengungkapkan pesan‖. Analisis ini juga bisa diartikan sebagai analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap isi karya sastra. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi 11

berdasarkan asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada para pembacanya. b) Metode deskriptif Metode deskriptif merupakan suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang diperoleh. Adapun teknik deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus, masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Dalam penelitian ini teknik analisis data menggunakan teknik yang dikemukakan oleh Milles dan Huberman, analisis data ini terdiri dari tiga kegiatan yaitu, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.13 Dengan analisis kualitatif ini akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria atau pola tertentu. Tujuan yang hendak dicapai adalah menjelaskan pokok-pokok penting dalam sebuah manuskrip atau dokumen.

c) Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada buku pedoman penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan tahun 2012.

13Milles Matthew dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: UI Press, 1992), hlm. 17 12

d) Prosedur Penelitian Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membaca novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito secara keseluruhan, dibaca berulang. 2) Mencermati novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito secara keseluruhan. 3) Menandai kalimat-kalimat yang menunjukkan unsur-unsur yang membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang terdapat dalam novel. 4) Menulis data yang menunjukkan struktur unsur-unsur yang membangun struktur novel Manusia Bebas dan nasionalisme yang terdapat dalam novel dalam bagian pembahasan penelitian 5) Menyimpulkan hasil penelitian.

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Novel Novel adalah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh- tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi yang aneh dari naratif tersebut.1 Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama. Di samping itu, di Indonesia juga dikenal istilah roman. Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman dipergunakan untuk penamaan karya sastra yang terbit pada masa- masa itu.2 Dengan kata lain roman adalah sebutan sebuah karya sastra pada masa zamannya. Sebutan novel dalam bahasa Inggris novel kemudian masuk ke Indonesia yang awalnya berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang baru yang kecil‘ dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novel dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‗novelet‘, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.3 Novel merupakan bentuk

1 Ratih Mihardja, Buku Pintar: Sastra Indonesia, (Jakarta: Laskar Aksara, 2012), hlm. 39. 2Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h. 125. 3Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 11 – 12.

13 14

prosa rekaan yang lebih pendek dari roman. Novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku.4 Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur instrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, tokoh dan penokohan.5 Dari perspektif historis, novel memiliki garis perkembangan yang membentang ke belakang, ke tradisi-tradisi fiksi pendahulunya. Dalam buku Furqonul Aziez, R.J. Rees menjabarkan bahwa hakikat novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang yang tokoh dan perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dan yang digambarkan dalam suatu plot yang cukup kompleks. Sebagaimana kita pahami, novel merupakan suatu karya fiksi yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa rekaan.6 Permasalahan dalam novel biasanya mempersoalkan manusia dengan berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya tercermin masalah- masalah kehidupan yang dihadapi manusia pada suatu waktu dan pemecahannya sesuai dengan pandangan dan cita-cita pengarang.7 Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa novel merupakan karangan panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan sikap-sikap pelaku. Permasalahan yang diungkapkan di dalam novel diantaranya masalah sosiologis, psikologis dan agama. Masalah yang ditampilkan itu seirama dengan perkembangan kehidupan dan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, sastrawan mencoba memilih pokok

4Suprapto, Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra, (: Indah, 1993), hlm. 53. 5Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 141. 6Furqonul Aziez dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 1 – 4. 7Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), hlm. 41. 15

permasalahan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk novel dengan bahasa sebagai medianya.

B. Unsur Intrinsik Novel Unsur-unsur pembangun sebuah novel terbagi menjadi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita membaca, unsur-unsur cerita inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.8 Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel adalah sebagai berikut: 1. Tema Brooks dan Werren dalam Traigan mengatakan bahwa ―tema adalah dasar atau makna suatu cerita tau novel‖. Sementara Boorks, Purser, dan Werren dalam buku lain mengatakan bahwa ―tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai—nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra‖.9 Tema menyajikan cerita yang menggambarkan kondisi emosi atau kejiwaan pengarang seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan, hal ini merupakan wujud dari tema sebagai aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam

8Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), hlm. 29 – 30. 9Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 125. 16

pengalaman manusia.10 Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiantoro menjelaskan tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.11 Makna sebuah cerita dapat lebih dari satu. Oleh sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra. Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan tema pokok atau dapat disebut tema mayor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan utama suatu karya. Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan dan dikandung oleh karya yang bersangkutan. Sedangkan tema minor merupakan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dan dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian, makna tambahan.12 Menentukan tema merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena harus memperhatiakan berbagai aspek, termasuk pemahaman cerita secara keseluruhan dan sudut pandang yang dipilih. Untuk menentukan sebuah tema dapat disimpulkan dari keseluruhan cerita bukan hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita.13 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa tema adalah ide dasar atau gagasan pokok yang secara eksplisit terkandung dalam sebuah novel. serangkaian peristiwa dapat diidentifikasi berdasarkan tema mayor dan tema minor. Secara keseluruhan, untuk mendapatkan tema dalam sebuah novel diperlukan proses kesimpulan dari keseluruhan cerira.

10Robert Staton, Teori Fiksi, terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pealajar, 2007), hlm. 36—37. 11Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit. hlm. 67-68 12 Ibid, hlm. 133 13 Ibid, hlm. 116 17

2. Alur Unsur yang juga sangat penting adalah alur yang membentuk kerangka cerita. Rangkaian peristiwa direka dan dijalin dengan saksama membentuk alur yang menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.14 Untuk menyebut plot, secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita. Stanton dalam Widjojoko mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.15 Plot dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur ialah: perkenalan, pertikaian, klimaks atau puncak masalah, peleraian, dan akhir cerita.16 Untuk menjelaskan tahapan-tahapan alur ini, penulis memakai pendapat Tasrif dalam Burhan Nurgiyantoro, tahapan-tahapan dalam alur dijelaskan menjadi lima bagian, tahapan tersebut sebagai berikut. 1) Tahapan Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain- lain, yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikasihkan pada tahap berikutnya.

14Melani Budianta dkk, Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hlm. 86. 15Nurgiyantoro, Op.Cit., hlm. 165 – 167. 16Widjodjoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI PRESS, 2006), hlm. 20. 18

2) Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik. Konflik itu sendiri yang akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. 3) Tahap Peningkatan Konflik Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa yang dramatik menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan- pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindarkan. 4) Tahap Klimaks Tahap klimaks yaitu tahap di mana konflik dan pertentangan- pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian. 5) Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah mencapai klimaks diberikan penyelesaian. Konflik- konflik yang lain, sub-sub konflik, dan konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut juga sebagai tahap akhir dari sebuah cerita.17

17 Nurgiantoro, op.cit, hlm. 9 – 10 19

Pemaparan alur di atas dapat disimpulkan bahwa alur adlah berbagai peristiwa yang dialami oleh tokoh, diseleksi dan diurutkan berdasarkan sebab akibat.

3. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. 18 Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Penggunaan istilah karakter sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, istilah ―penokohan‖ lebih luas pengertiannya daripada ―tokoh‖ dan ―perwatakan‖ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.19 Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara keseluruhan yang terdiri dari tokoh utama dan tokoh tambahan. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis, dilihat berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan dalam kategori tokoh sederhana dan tokoh bulat, berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam

18Budianta, Op cit., hlm 142 – 143. 19Nurgiantoro, Op cit., hlm. 247 – 248. 20

tokoh statis dan tokoh berkembang, dan berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal dan tokoh netral.20 Penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh. Pertama, secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua, secara dramatik yaitu pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak tokoh- tokoh dalam ceritanya. Misalnya: melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan sebagainnya) melalui percakapan (dialog) melalui perbuatan sang tokoh.21 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah karakter ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa dalam cerita. Dalam penelitian ini tokoh dibagi menjadi tokoh protagonis dan antagonis.

4. Latar Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai metonimia atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok; lingkungan yang dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol individu.22 Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat. Hudson dalam Siswanto membagi setting atas setting sosial dan setting fisik, setting sosial

20Ibid, hlm. 258 – 274. 21Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 26 22 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, Terj. dari, Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta:Gramedia, 1993), hlm. 282. 21

menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Latar fisik mengacu pada wujud fisikal, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya. Tidak semua jenis latar cerita itu ada di dalam sebuah cerita rekaan. Mungkin dalam sebuah cerita rekaaan, latar yang menonjol adalah latar waktu dan tempat. Penggambaran latar ini ada yang terperinci, ada pula yang tidak. Ada latar yang dijelaskan secara persis seperti kenyataannya; ada yang gabungan antara kenyataan dengan khayalan; ada juga latar yang merupakan hasil imajinasi sastrawannya.23 Secara garis besar deskripsi latar fiksi dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. a. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis, menyangkut deskripsi tempat peristiwa terjadi, misalnya yang menunjukan latar pedesaan, perkotaan, atau lainnya. b. Latar waktu berkaitan dengan masalah historis, mengacu pada saat terjadinya peristiwa dalam plot. c. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat, merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau beberapa orang tokoh dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya.24

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa latar adalah keterangan waktu, tempat, dan suasana dalam karya sastra yang digunakan sebagai landasan untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca.

23Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149 – 150. 24Suminto A. Sayuti, Apresiasi Prosa Fiksi, (Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 126—127. 22

5. Titik Pandang atau Sudut Pandang Abrams dalam Nurgiantoro mengemukakan sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pandangan hidup pengarang disalurkan lewat kacamata tokoh cerita.25 Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Titik pandang oleh Aminuddin diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.26 Sudut pandang point of view merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton dan Siswanto digolongkan sebagai sarana cerita. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama, first person, gaya ―aku‖, dan persona ketiga, third person, gaya ―dia‖. Jadi dari sudut pandang ―aku‖ atau ―dia‖, dengan berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan. Kedua sudut pandang tersebut masing-masing menunjuk dan menuntut konsekuensinya sendiri.27 Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang alah cara pengarang menempatkan dirinya dalam cerita sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita.

25Nurgiantoro, op.cit., hlm. 248. 26Wahyudi Siswanto Ibid, hlm. 151 – 152. 27Ibid,hlm. 338 – 339. 23

6. Gaya Bahasa Dalam sastra, gaya adalah gaya pengarang dalam menggunakan bahasa. Meskipun dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, penjeng pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, danbanyaknya imajinasi dan metafora. Campuran dari bberbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan haya.28 Hanry Guntur Tarigan dalam bukunya mengungkapkan bahwa dalam gaya, penggunaan majas ini sedikit banyak tergantung pada usia, pendidikan, pengalaman, tempramen, keterampilan, serta kecakapan para pelaku itu berbicara atau menulis. Dalam hal-hal seperti ini, sang pengarang telah mengemukakan majasnya sendiri yang normal dan harus memberi kesempatan pada pencerita melaksanakan percakapan tersebut. di samping itu juga, aneka penggunaan jenis majas seperti metafora, personifikasi, alerogi, ironi, simbolisme, sinekdok, dan lain-lain, bergantung pada materi, kondisi, dan situasi cerita yang akan di garap.29 Dalam penelitian ini gaya bahasa yang digunakan yaitu gaya bahasa kiasan hiperbola dan personifikasi serta diselipkan bahasa Sunda.

7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.30 Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis

28Robert Staton, Teori Fiksi Robert Staton, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2007), h. 61 29Hanry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 2011), h. 156 30Ibid,hlm. 162. 24

yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya.31

C. Pengertian Nasionalisme Istilah nation atau bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata yang termasuk dalam kelompok kata-kata seperti ras, komunitas, orang, suku bangsa, clan, masyarakat dan negara. Hans Kohn dalam Utomo memberikan pengertian tentang nasionalisme sebagai suatu faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Bahwa kebanyakan bangsa itu memiliki faktor-faktor objektif tertentu yang membuat mereka itu berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Unsur yang terpenting adalah kemauan bersama dan hidup nyata. Kemauan itulah yang dinamakan nasionalisme, yakni suatu faham yang memberi ilham pada sebagian terbesar penduduk yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami segenap anggota-anggotanya.32

Rasa nasionalisme itu telah muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara kebangsaan. Dalam buku Badri Yatim, Renan mengatakan bahwa syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, merasa dirinya satu, dan mau bersatu. Otto Bauer, bangsa adalah satu kesatuan perangai yang timbul karena adanya persatuan nasib. Selain itu, Ki Bagoes Hardikusumo dan Munandar mengatakan bangsa adalah persatuan antara orang dan tempat. Dari tiga pendapat tersebut, kemudian Soekarno menyimpulakan, bahwa nasionalisme terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan antara orang

31E. Kosasih, Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), hlm. 71. 32Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan Indonesia, (: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 17, 19 25

dan tempat.33 Kata ―nasional‖ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri meliputi suatu bangsa. Nasionalisme dari kata nasional dan mendapat imbuhan isme yang bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara.34 Nasionalisme dengan demikian, adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan hingga mereka membentuk suatu bangsa. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan (a sense a belonging together) sebagai suatu bangsa.35

Nasionalisme diartikan sebagai suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, dan identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang potensial. Selain sebagai ideologi, nasionalisme juga sebagai paham yaitu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara.36

Nasionalisme sebagai ideologi memiliki tiga ideal fundamental atau cita-cita yang mendasar yaitu otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional. Penjelasan dari ketiga ideal fundamental adalah sebagai berikut.

1. Otonomi Nasional Otonomi nasional maksudnya adalah mengatur diri sendiri secara nasional yang ditandai dengan kebebasan politik atas kehendak kolektif dan perjuangan untuk mempunyai pemerintahan sendiri. Pengaturan diri nasional bisa secara total dalam bentuk negara

33Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57—60. 34Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 775. 35Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 20 36 Ibid, hlm. 25 26

teritorial berdaulat atau parsial melalui sejumlah bentuk pemerintahan sendiri kemunal atau federal. 2. Kesatuan Nasional Kesatuan nasional bukanlah menyeragamkan yang berbeda-beda ataupun sebuah homogenitas dari berbagai perbedaan, tetapi merupakan penyatuan dari anggota bangsa secara sosial dan kultural. Kesatuan nasional mengupayakan penyatuan dari keinginan-keinginan individu melalui sentimen cinta dan persaudaraan, tidak menuntut anggota-anggota individual harus menjadi serupa namun menjadi satu ikatan solidaritas yang sesuai dengan kepentingan nasional. 3. Identitas Nasional Identitas nasional secara umum menunjukan kesamaan di dalam suatu objek pada suatu waktu dan ketetapan suatu pola khas di dalam periode tertentu. Identitas memiliki dimensi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa secara normatif berbentuk nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis. Implikasinya masing-masing bangsa memiliki kaitan dengan suatu budaya historis yang khas, cara tunggal dalam berpikir, bertindak, dan berkomunikasi yang menjadi milik bersama bagi anggota bangsa dan tidak dimiliki oleh non-anggota.37

Kesadaran manusia, bahwa ia hidup bernegara, ternyata makin tumbuh kuat. Hal itu, biasanya disebut nasionalisme, ternyata bisa melebihi kesadaran seturunan (darah), sesuku, sedesa atau sewilayah, seagama, dan sebagainya.

Nasionalisme itu lambat laun tumbuh dalam sejarah ummat manusia untuk meledak pada abad ke-19 dan terus merupakan

37Anthony D Smith, Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 11. 27

kekuatan utama pada abad ke-20 ini dalam hidup politik. Untuk tegasnya, dikemukakan beberapa unsurnya: 1. Kesadaran dan kemauan tak kunjung padam untuk hidup dalam satu negara sendiri, 2. Pengalaman, penderitaan, perjuangan dan kemenangan- kemenangan bersama di masa lampau, dan kesediaan untuk berkorban lagi di masa sekarang dan yang akan datang, 3. Terpanggil untuk menjalankan peranan di antara bangsa-bangsa 4. Way of life sendiri, hidup menurut tradisi, watak, semangat dan kepribadian sendiri.38

Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni (a) memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan nilai-nilai patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air, cinta kepada tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa, cinta kepada milik budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela tanah airnya, (c) jiwa, semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif, dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak dan budi luhur bangsa.39

D. Faktor-faktor Nasionalisme Secara tipologis munculnya Pergerakan Nasional Indonesia disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor dalam negeri (faktor internal) dan faktor pengaruh luar negeri (faktor eksternal). Munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia telah memiliki akar dalam tubuh masyarakat dan bangsa Indonesia sepanjang penjajahan Barat. Faktor pengaruh luar negeri tampaknya

38M. Hoeta Oeroek S.H, Seluk Beluk Negara: suatu pengantar sederhana, (Djakarta: Erlangga, 1971), hlm.132—133. 39M. Habib Mustopo. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.(Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan,1983) 28

merupakan hal yang mempercepat dan mematangkan tumbuhnya rasa nasionalisme Indonesia. 1. Faktor Internal Politik etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1945. Untuk itu bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk membalas budi kepada bangsa Indonesia dengan cara memikirkan nasib dan kesejahteraan Indonesia. Sesuai dengan anjuran C. Th. Van Deventer untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dapat ditempuh melalui pelaksanaan tiga prinsip dasar, yang terkenal dengan Trilogi Van Deventer, yakni pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan. Dengan bertumpu pada tiga prinsip itu pemikiran para Etikus rakyat Indonesia dapat diangkat dari jurang kemelaratan dan kebodohan.40 Walaupun dari sudut pandang kolonial kebijakan pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan pemerintahan kolonial, dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan Elit baru yang muncul sebagai produk pendidikan Barat. Elit baru inilah yang kemudian menjadi pelopor Pergerakan Nasional. Pelaksanaan politik etis ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat praktik-praktik politik penjajajah.41 Menurut Kahin dalam Utomo faktor-faktor internal yaitu, pertama penjajahan Belanda yang diikuti perluasan administrasi dan birokrasi kolonial di hampir seluruh wilayah Nusantara secara tidak lansung telah menyatupadukan penduduk-penduduk dari berbagai bahasa dan kebudayaan menjadi satu unit politik dan dengan cara demikian telah menimbulkan di kalangan rakyat

40 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40. 41 Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Depertemen dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm 98 29

Nusantara semacam ―kesadaran‖ yang sama bahwa mereka berada di bawah penindasan bangsa asing yang keji. Kedua selain ditentukan oleh batas-batas geografis kekuasaan politik Belanda nasionalisme Indonesia juga didorong oleh suatu kebanggaan zaman keemasan Nusantara sebelum kedatangan bangsa asing ke wilayah ini. Ketiga suatu faktor penting yang menimbulkan nasionalisme yang kental adalah persamaan agama, yakni 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Keempat adalah bahasa melayu menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi putera yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya baik dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Kelima sejalan dengan pergerakan nasional, penyatuan nasionalisme Indonesia diakui dalam bentuknya Volksraad (Dewan Rakyat), yakni lembaga perwakilan tertinggi untuk seluruh Indonesia. keenam pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia sedikit banyak telah dibantu oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang dilakukan oleh surat kabar bumi putera dan radio. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat untuk melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia.

30

2. Faktor Eksternal Timbulnya pergerakan kebangsaan di Indonesia tidak lepas dari peristiwa-peristiwa yang lahir di bagian lain di luar Indonesia. Faktor eksternal adalah munculnya gerakan-gerakan kebangsaan di negara-negara Asia dan Afrika, seperti: (1) gerakan Turki Muda, suatu gerakan untuk mencapai perbaikan nasib yang akhirnya menimbulkan revolusi antikaum kolot pada tahun 1908, (2) munculnya Pergerakan Kebangsaan Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sunyatse, (3) Perjuangan Mahatma Ghandi di India, (4) perjuangan Dr. Joze Rizal di Filipina, dan sebagainya. Semua faktor itu telah mematangkan dan berkembangnya pergerakan kebangsaan Indonesia pada awal abad XX.42 Selain itu, kaum terpelajar bangsa Indonesia sudah banyak mendengar dan membaca gerakan-gerakan kebangsaan, pembaharuan dan modernisasi yang terjadi dibeberapa negeri di Asia, misalnya di Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. Di negeri Cina di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen yang terkenal pula dengan San Min Chu I-nya. Di India di bawah pimpinan Bal Gandahar Tilak dan Mohandas Karamachad Gandhi yang lebih dikenal dengan nama Mahatma Gandhi. Kaum terpelajar Indonesia mendengar serta membaca tentang apa yang terkenal dengan nama ―Restoransi Meiji‖ di Jepang. Demikian pula kemenangan Jepang atas Rusia dalam peperangan tahun 1904—1905. Di dalam peperangan itu angkatan Laut Jepang mengalahkan serta menghancurkan angkatan laut Rusia. Kejadian itu dianggap sebagai suatu peristiwa yang luar biasa. Sebelum kejadian itu sudah menjadi kepercayaan bahwa orang-orang Eropa tidak dapat diungguli atau dikalahkan oleh bangsa-bangsa Asia.

42Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan Indonesia, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), hlm. 40—49. 31

Jadi kemenangan bangsa Jepang itu dianggap oleh negeri- negeri di Asia sebagai kemenangan bangsa Asia atas bangsa Eropa. Hal ini membangkitkan rasa harga diri pada bangsa-bangsa Asia, termasuk bangsa Indonesia. Peristiwa kemenangan bangsa Jepang atas bangsa Rusia besar sekali pengaruhnya di kalangan bangsa- bangsa Asia, juga dikalangan bangsa Indonesia. terutama di kalangan kaum mudanya yang mendengar dan membaca berita itu. Pembangkit utama kesadaran nasional bangsa Indonesia adalah situasi dan kondisi dalam negeri indonesia sendiri serta diperkuat oleh faktor faktor dari luar negeri. Hari kebangkitan nasional indonesia 20 Mei 1908.43

E. Sosiologi Sastra Sosiologi sastra, dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harfiah mesti ditopang oleh dua konsep yang berbeda, yaitu konsep-konsep sosiologi dan konsep- konsep sastra. Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal. Dalam sosiologi sastra seharusnya mendominasi jelas konsep-konsep yang berkaitan dengan sastra, sedangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer.44 Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaiaman masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaiamana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, kegamaan, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu

43Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah, 1988), hlm. 188—190. 44Suwarsih Endraswara, Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2011), h. 34. 32

merupakan struktur sosial kita mendapatkan gambaran tentang cara- cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang lebih besar terhadap aspek documenter sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.45 Karena sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat, dan masyarakat sebagai objek kajian sosiologi menegaskan adanya hubungan antara sastra sebagai disiplin ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu yang lainnya.46 Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa sosiologi sastra objek kajiannya adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis, sastra, maupun pembaca dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang melatarbelakangi karya tersebut. Dalam penelitian ini sosiologi dalan novel Manusia Bebas merupakan cerminan nasionalisme pada zaman itu.

45Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1979), h. 7—10. 46Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 3. 33

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah Proses belajar mengajar di dalam lingkungan formal atau biasanya dikenal dengan istilah ―pengajaran‖, bertujuan mengembangkan potensi individual siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya, dan karsa mengenai dan mempertahannkan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina watak siswa. Artinya, pengajaran sastra menghasilkan manusia- manusia yang dapat bertahan hidup tanpa menyusahkan ataupun merepotkan orang lain.47 Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan- pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian. Pengajaran bahasa dan sastra dapat membangun kemanusiaan dan kebudayaan sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mampu berpikir kritis mandiri, dan sanggup berekspresi dan berapresiasi dengan baik. Sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Sastra dapat membantu pensisikan secara utuh karena sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, menunjang pembentukan watak, menembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.48

47Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia, (Yogyajarta: Graha Ilmu, 2008), hlm. 30 48Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 84—85. 34

Ketika mengajarkan sastra di sekolah, diperlukan beberapa metode untuk mengajarkannya supaya siswa tidak merasa bosan dan terus ingin belajar. Dalam pengajaran novel, tema dalam suatu novel hendaknya tidak langsung diberikan oleh guru. Mereka harus dibiarkan agar tumbuh kesadarannya, sebagai hasil pengalaman- pengalaman mereka sendiri dalam menggauli novel-novel tersebut lewat diskusi-diskusi yang terarah dan cermat.49 Untuk dapat mempelajari pelajaran sastra di SMA diharapkan pendidik dapat menjabarkannya ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dari keempat kompetensi tersebut, jelas bahwa pengajaran sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangatlah bermanfaat untuk membantu siswa dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, pengetahuan-pengetahuan lain dan teknologi.50 Karena pada hakikatnya, pendidik (guru) adalah pendamping siswa dalam usaha mengungkapkan penghayatan, tanggapan, dan penilaian pengarang terhadap kehidupan, khususnya dalam sebuah karya sastra. Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Secara umum pembelajaran sastra yaitu terkait dengan apresiasi terhadap karya sastra. Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra adalah menentukan unsur-unsur intrinsik novel. Dalam menentukan unsur-unsur intrinsik novel, siswa diarahkan untuk membaca dan menganalisa novel, sehingga berdampak pada pengembangan cara berpikir siswa. Serta melalui kegiatan menganalisis novel, akan menambah wawasan sosial dan budaya siswa.

49B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: penerbit KANISIUS, 1996), hlm. 75 50Kinaryanti Djojosuroto, Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm. 85. 35

G. Penelitian yang Relevan Novel Manusia Bebas ini sudah diteliti sebelumnya. Penelitian pertama oleh Dwi Retno Setiarti yang berjudul ‖ Manusia Bebas Analisis Tokoh, Latar dan Tema. Skripsi mahasiswa Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. Skripsi ini memberikan gambaran tentang tema,tokoh dan penokohan, serta latar novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito ini berlatar waktu sekitar tahun 1930-an, di masa kegairahan para pemuda berpikiran tentang kebangsaan, kemerdekaan, dan semangat pembaharuan tatanan masyarakat Indonesia. Kegairahan akan rasa nasionalis dalam novel ini diwakili oleh sepasang suami istri, Sudarmo dan Sulastri, yang memilih bidang pendidikan sebagai lapangan perjuangannya. Mereka (Sudarmo, Sulastri dan kawan-kawannya) memiliki tekad yang ingin memajukan bangsanya sendiri, walaupun harus menderita karenanya.51 Penelitian kedua oleh Bondan Patti Wanggono yang berjudul ―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito‖. Skripsi mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, 2006. Penelitian ini menggambarkan mengenai poskolonial pada aspek politik tubuh antara lain: (a) tubuh terjajah adalah suatu penghinaan dan sumber kebodohan, (b) kreativitas yang dibelenggu, dan (c) pengasingan. Poskolonial pada aspek ruang dan tempat antara lain: (a) persoalan ruang antara kelas atas dan kelas bawah, (b) persoalan ruang dan tempat yang lebih baik, (c) persoalan ruang dan tempat yang berhubungan dengan budaya dan kesopanan, (d) persoalan ruang dan tempat yang harus diatur, dikontrol, disayangi dan dikuasai, (e) persoalan ruang dan tempat antara Hindia dengan Belanda, dan (f) persoalan tempat dan menempatkan diri. 52

51 Dwi Retno Setiarti skripsi yang berjudul ‖ Manusia Bebas Analisis Tokoh, Latar dan Tema‖, Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia 1989. 52 Bondan Patti Wanggono skripsi yang berjudul ―Poskolonial dalam Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito‖. Universitas Negeri Surabaya, 2006. 36

Ketiga, yaitu disertasi oleh Rosliani yang berjudul ―Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme‖. Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2012. Novel yang dijadikan bahan penelitian adalah Max Havelaar karya Multatuli(1839 – 1887), Berpacu Nasib di KebunKaret karya M.H. Székely-Lulofs (1899 – 1958), Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito(1912 – 1977), dan Oeroeg karya Hella S. Haasse (1918 – 2011). Hasil identifikasi terhadap novel tersebut ditemukan masalah yang berkaitan dengan struktur penceritaan, mimikri, ambivalensi, hibriditas dan sinkretisme. Dari kelima masalah, ambivalensi muncul akibat ketidakpastian mimikri dan sinkretisme muncul akibat fleksibelitas hibridisasi Barat dan Timur. Pemunculan benturan peradaban Barat dan Timur dalam novel Hindia Belanda memunculkan masalah mimikri dan hibriditas bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Mimikri dalam gaya hidup yang berterima di Hindia Belanda, misalnya, membentuk ambivalensi kepribadian bangsa yang terjajah (Indonesia) dan bangsa yang menjajah (Belanda). Mimikri dan ambivalensi tersebut menempatkan hibriditas struktural dan kultural yang berpusat pada model dan wujud kepemimpinan. Hibriditas kepemimpinan memunculkan sinkretisme religi di mana Barat yang Kristen bertemu dengan Timur yang memiliki keanekaragaman religi. Persoalan mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda tersebut menjadi fokus penelitian poskolonial ini sehingga memberi gambaran yang jelas terhadap akar persoalan kebangsaan Indonesia yang tetap mengedepankan local geniusnya menghadapi era globalisasi. 53 Berdasarkan beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, peneliti tidak menemukan penelitian yang menganalisis mengenai

53 Rosliani, disertasi yang berjudul ―Mimikri dan Hibriditas Novel Hindia Belanda: Kajian Poskolonialisme‖. Program S3 Linguistik Konsentrasi Kajian Sastra, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2012. 37

tema nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan bagaimana tema nasionalisme yang tergambar dalam novel Manusia Bebas dengan menganalisis secara struktural, serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

BAB III

PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Suwarsih Djojopuspito Suwarsih Djojopuspito dilahirkan di desa Tjibatok (Bogor), tanggal 20 April 1912. Berpendidikan Sekolah , MULO, dan Europee Kweekschool. Ia pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat (1931), Taman Siswa (1932), Pasundan Isteri (1937), dan HIS (1939). Pernah pula menjadi anggota Komite Nasional Pusat (1945—1950), Wakil Kepala Biro Perjuangan Bagian Wanita (1946—1947), serta membantu majalah berbahasa Belanda: Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie. Tahun 1953 ia bermukim di Belanda.1 Ia keturunan Tionghoa yang berkecukupan. Ayah Suwarsih memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dengan mengirim kedua anaknya Suwarsih dan Nining ke sekolah Kartini di Bogor. Jika dibandingkan dengan pendirian orang pada umumnya pada masa itu, langkah yang diambil oleh ayah Suwarsih tersebut jelas merupakan keberanian yang berorientasi modern dengan berani membiarkan anak-anaknya terbang ke mana saja asal mendapatkan ilmu. Ia begitu yakin bahwa kemajuan ada di tangan para wanita, tidak terkecuali anak-anaknya. Oleh karena itu, sungguh beruntung Suwarsih dan kakaknya memiliki ayah seperti itu. Dua tahun sebelum Suwarsih dikirim, Nining sudah lebih dulu berada di Bogor. Bersama kakanya itu dalam beberapa waktu Suwarsih tinggal di asrama sekolah sebelum orang tuanya pindah ke Cicurug. Berkat pengorbanan yang besar dari kedua orang tuanya, yang ketika itu sudah tidak semakmur dulu, akhirnya Suwarsih dan kakaknya dapat menamatkan sekolahnya.

1 Dewan Redaksi, Ensiklopeda Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2004), hlm. 781—782.

38 39

Kesadaran yang berbau politik itu, selain tumbuh karena kepintaran mereka selaku anak ―sekolahan‖, mungkin juga disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka adalah anggota perkumpulan Jong Java, yang secara praktis menumbuhkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme dalam diri para anggotanya. Pada tahun 1928 hingga 1931 Suwarsih masuk Gouvernments Europese Kweekschool (sekolah guru untuk anak-anak Eropa) di Surabaya. Keberhasilannya menjadi ―murid pilihan‖ membuat ia mendapatkan beasiswa dari sekolah Kartini. Pada saat itu, jumlah murid di kelasnya sebanyak 30 orang dan 28 diantaranya adalah anak Belanda. Setamat dari Kweekschool, Suwarsih menjadi guru di Perguruan Rakyat Pasundan di Purwakarta. Setelah menikah dengan Sugondo Djojopuspito, yang ketika itu memimpin Taman Siswa Bandung, Suwarsih mengikuti jejak suaminya, mengajar di sekolah itu. Selama mengajar di Bandung suami-istri, Suwarsih-Sugondo Djojopuspito tinggal di sebuah ruangan yang ada di kompleks sekolah. Namun, karena sekolah itu ditutup oleh Belanda (karena dianggap menjadi sarang anggota pergerakan kebangsaan), mereka pindah ke Surabaya. Di kota Surabaya itu mereka mengajar di HIS selama lebih kurang 13 tahun (1931—1944). Sejak tahun 1945 hingga tahun 1959 Suwarsih tercatat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (KNP). Dalam kurun waktu itu pula, tepatnya tahun 1946 –1947, Suwarsih menjadi wakil Kepala Biro Perjuangan Bagian Wanita. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga membantu beberapa majalah berbahasa Belanda, seperti Critiek en Opbouw, Het Inzicht, dan Orientatie2. Suwarsih yang menulis pada periode 1940—1970an menulis dengan kesadaran untuk menjadi representasi perempuan, dalam catatan kenangannya untuk Eddy du Perron, Suwarsih menggambarkan dirinya sebagai ―seorang penulis karangan-karangan kecil tentang emansipasi wanita‖. Suwarsih Djojopuspito dapat dikatakan sebagai pelopor penulis perempuan Indonesia

2 Anita K. Rustapa, dkk, Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950, (Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm.142—143. 40

karena ia adalah satu dari sedikit penulis perempuan Indonesia, selain Selasih (Kalau Tak Untung, 1933) dan Hamidah (Kehilangan Mistika, 1935) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.3 Ia terkenal sebagai pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda, Sunda dan Indonesia. buku-bukunya ialah: Buiten het Garell (W. De Haan, Utrecht), Tjudjuh Kumpulan Tjerita Pendek (Pusaka Rakyat, Djakarta, 1951), Empat Serangkai (1954), Riwayat Nabi Muhammad (Timun Mas, Djakarta, 1976), Siluman Karangkobar (Pembangunan, Djakarta, 1963), Marjanah (Romannya yang pertama, dalam bahasa Sunda, ditulis tahun 1937, tapi diterbitkan tahun 1959 oleh Balai Pustaka, Djakarta) dan Hati Wanita (Balai Pustaka, Djakarta, 1963).4Sejarah Sofyet Rusia (1954), Beberapa Wanita Terkemuka (1957). Pecahan Ratna (Jakarta: Pustaka Jaya, 1950), Arlina (1975), dan Maryati dan Kawan-Kawan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976).5

B. Pemikiran Suwarsih Djojopuspito Suwarsih dan suaminya tergolong dalam ‗kaum proletariat intelektuil‘ yang tidak tertarik pada pekerjaan yang bergaji bagus pada gupermen, tapi memilih pekerjaan untuk mendidik rakyat yang bodoh dan tidak berpendidikan. Bagaimana kuat cita-cita ini pada Suwarsih, dalam kenangan- kenangan yang ditulisnya beberapa tahun lalu, dimana ia mengenang masa 18 tahun yang pertama dari hidupnya. Kenangan-kenangan ini merupakan suatu dokumen yang unik karena isi dan jalan cerita yang sukar yang harus dijalani seorang gadis desa yang sederhana, sampai saat menjadi wanita muda yang akan mengabdikan diri sebagai guru kepada bangsanya. Suwarsih berpikir dalam hati bahwa hidupnya lain dari hidup mereka. Ia tidak mengalami masa remaja, namun baginya orang Indonesia tidak ada masa remaja. Karena setelah kami meninggalkan bangku sekolah, sudah menunggu tugas yang berat yaitu menjadi pemimpin bangsa kami. Suwarsih

3 Aquarini Priatina, ―Makalah Suwarsih Djojopuspito; Menciptakan Subjek Feminis Nasionalis Melalui Autobiografi‖, Serambi Salihara, selasa 09 April 2013, pukul 19.00 WIB. 4Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra. 5Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.143. 41

mulai giat dalam gerakan wanita, antara lain dengan menulis karangan- karangan. Dalam karangannya, ia menulis tentang nasib wanita ‗kawin pada usia lima belas tahun, beroleh anak tiga orang atau lebih, hidup berkeluarga dengan bekerja keras, mati-matian; menjelang usia tiga puluh tahun, apabila masa berkembang yang pertama telah lewat, diceraikan oleh suaminya, tanpa uang untuk mengurus anaknya. Itulah nasib yang lumrah wanita Indonesia dari kalangan rakyat. Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan, menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu dengan suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan peranan yang penting sekali dalam Buiten het Gareel: Sulastri (salah seorang dari kedua tokoh utama) berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan suaminya Sudarmo. Tapi yang demikian itu hanya mungkin bagi wanita yang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pikirannya, karena itu dalam buku tersebut yang nampak dipentingkan ialah pengajaran sebagai jalan untuk mencapai perkembangan itu.6 Sebagai wanita yang berpikiran maju dan hidup di negeri jajahan. Suwarsih ternyata menyimpan keresahan-keresahan dan obsesi tertentu sehubungan dengan kewanitaan dan kebangsaannya. Keresahan dan obsesinya itu makin menjadi-jadi tatkala ia merasakan sendiri bagaimana perlakuan Belanda terhadap teman-teman sekolah dan bangsanya. Pada mulanya Suwarsih menyalurkan keresahan-keresahannya dengan jalan menjadi guru sekolah pergerakan kebangsaan. Namun, karena dirasa kurang cukup ia kemudian menyalurkannya melalui sastra. Keputusannya untuk menjadikan kesusastraan sebagai wadah penyalur keresahan dan obsesinya diawali dengan menulis sebuah novel berbahasa Sunda. Namun, novel itu tidak mendapat tanggapan yang baik dari penerbit Balai Pustaka sehingga tidak terbit.

6 Gerard Termorshuizen, ―Serba-serbi Negeri Belanda: ‗Mengenang Soewarsih Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‘‖, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37. 42

Penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan. Penolakan atas novelnya itu membuat Suwarsih kecewa. Di tengah kekecewaan itulah datang Eddie du Perron, seorang pengarang keturunan Indo Belanda yang sangat terkenal menyarankan agar Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda. Sebenarnya jauh sebelum berkenalan dengan Eddie du Perron, Suwarsih sudah banyak menulis dalam bahasa Belanda. Namun, tulisan- tulisannya (yang disebutnya sebagai karangan kecil tentang masalah emansipasi wanita) dikirimnya ke majalah-majalah berbahasa Belanda yang pada saat itu. Bahkan, sekali waktu pernah majalah yang memuat Suwarsih mendapat teguran dan peringatan keras dari pemerintah Hindia Belanda karena melalui tulisannya itu Suwarsih meminta agar pemerintah Belanda membebaskan para pemimpin nasionalis Indonesia yang saat itu sedang meringkuk dalam penjara di luar Jawa. Sebagai orang yang kebetulan mengagumi tulisan-tulisan Eddie du Perron, dengan senang hati Suwarsih menerima saran du perron. Mulailah Suwarsih menulis dalam bahasa Belanda kembali. Sebagaimana yang telah kita ketahui, tak lama kemudian lahirlah Buiten het Gareel. Novel ini mendapat sambutan yang baik ketika diterbitkan di negeri Belanda. Sejak saat itulah tumbuh keberanian dan rasa ―percaya diri‖ pada diri Suwarsih bahwa dirinya mampu mengarang. Setelah Buiten het Gareel ia terus menulis bahkan sampai masa tuanya. 7 Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari prasangka, bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi yang mengikat, dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya, seringkali mengalami kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan sendiri dan

7Anita K. Rustapa, op. cit., hlm.142—143. 43

ia sadar bahwa manusia sekalipun berulangkali jatuh dan bangun, namun harus tetap berusaha untuk dapat memikirkan pembangunan masa depan yang lebih baik bagi bangsanya.8 Gaya bercerita Suwarsih memikat dan tajam mengenai kekecewaan pada masa itu, namun selalu diselipkan humor dan pandai menertawakan dirinya sendiri.9 Persoalan yang muncul dalam karya Suwarsih Djojopuspito memiliki persoalan yang sama, seperti pada kumpulan cerpennya yang berjudul Empat Serangkai yang terbit pada tahun 1954. Cerpen yang terkumpul di dalamnya adalah Seruling di Malam Sepi merupakan suatu teriakan emansipasi kaum wanita. Cerpen yang berjudul Artinah menceritakan mengenai kecintaannya pada suaminya dan membuat Artinah menyetujui poligami, cerpen ini memperlihatkan kekuatan moral wanita. Cerpen Baju Merah dan Perempuan Jahat menceritakan mengenai permasalahan ruman tangga.10 Novel Manusia Bebas merupakan dokumen sejarah yang berharga tentang kehidupan pergerakan sebelum perang dunia kedua.11

C. Sinopsis Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito Sudarmo adalah seorang direktur sekolah Perguruan Kebangsaan dan mengajak istrinya untuk mendampinginya di Bandung. Mereka berjuang dan bertahan bersama dengan cita-cita yang sama yaitu mendidik pribumi. Keretakan yang terjadi antara Partai Marhaen dan Partai Kebangsaan menimbulkan persaingan dalam mendirikan masing-masing sekolah, fitnah- memfitnah antar guru, pemogokan murid dan penurunan banyak murid. Penderitaan ini ditanggung bersama dengan beberapa sahabat Sudaromo, yaitu Jamil, Gularso, dan Supardi yang bersama Soekarno mengalami

8Gerard Termorshuizen, op.cit., hlm 34—37. 9 Ibid, hlm. 34 10CH. Kiting, Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito (Diangkat dari naskah buku antologi pengarang wanita Indonesia), (Jakarta: Pusat Dokumentasi HB. Jassin, selasa 05 November 2014). 11Dewan Redaksi, Ensiklopedia Sastra Indonesia, (Bandung: Titisan Ilmu, 2004), hlm. 487. 44

pengasingan. Rumah Sudarmo digeledah oleh serdadu Belanda dan menyitaan surat kabar yang mereka terbitkan sendiri, surat-surat cinta yang terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita karena dianggap menjadi bukti yang memberatkan. Guru-guru yang dianggap penghasut ditangkap oleh serdadu Belanda. Akhirnya, setelah penggeledahan dan penangkapan keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar. Sulastri dan Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Yogja dan tinggal bersama kakak dan iparnya, yang merupakan sesepuh di Perguruan Kebangsaan. Di kota Yogja, Lastri menemukan respek, rasa hormat pada Lurni, iparnya, dengan kegiatan aktivitas pendidikan. Tak lama kemudian mereka pindah ke paviliyun kecil dan Sudarmo menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat tetapi gagal diteruskan karena hanya memperoleh 17 gulden lima puluh sen hasil penerbitannya pertama. Surat dari Jakarta tentang pekerjaan baru pada pemerintah membuat Dar pergi ke Jakarta karena atas anjuran Lastri yang segera menyusul dan mereka berdua terjebak, Dar sebagai Klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan menuduh Lastri sebagai penyebabnya. Lastri tinggal bersama kakanya Marti, yang masih ingin mengatur hidupnya. Kemudia mereka pindah lagi ke Bogor, tak tahan mendengar pertengkaran terus-menerus suami-istri tempat mereka menumpang dan perlakuan ayahnya Lastri yang sangat membeda-bedakan kedua menantunya, suami Marti dan suami Lastri. Pindah ke Bogor mereka mendapatkan masalah baru, Sudarmo segera minta berhenti agar tidak membahayakan jabatan iparnya dan sekolah Lastri pun belum berlangsung baik. Tetapi mereka menemukan suatu kelompok yang bersahabat yaitu, Sutrisno, Muhammad dan Jusuf, yang sedang mendirikan majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka adalah mengajar, mengurus majalah, perpustakaan dan diskusi. Setelah satu tahun, hanya ada 5 siswa yang mendaftarkan sekolah dan akhirnya sebagai proletar intelek mereka pindah lagi ke Semarang. Kali ini Lastri menjadi guru dengan gaji 25 gulden, di Perguruan Kebangsaan juga, meskipun dalam dunia yang sama. Namun, perlakuan menejemen mengecewakan Lastri karena sikapnya 45

yang dingin. Akhirnya Semarang ditinggalkan dan kembali ke Bandung dalam kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa dan menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo, Lastripun mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan menulis lagi. Tanah Priangan, cinta pada kawan hidup dan kreativitas yang menompangnya hingga kini. BAB IV

PEMBAHASAN

A. Struktur Novel Manusia Bebas Karya Suwarsih Djojopuspito 1. Tema Tema merupakan suatu gagasan yang mendasari cerita itu terangkai dengan baik. Ada pengarang yang menyembunyikan tema dalam cerita. Akan tetapi adapula pengarang yang secara terang- terangan menampilkan tema melalui judul ceritanya. Penggolongan tema berdasarkan keutamannya yaitu tema mayor dan tema minor. Tema minor yang terdapat dalam novel Manusia Bebas yaitu mengenai emansipasi wanita artinya peranan seorang istri yang menjadi teman hidup bukan menjadi suatu alat kesenangan suaminya dan bukan hanya menjadi orang yang bertanggungjawab atas masalah rumah tangga, yang sekarang masih dialami oleh sebagian orang menurut adat istiadat. “Sayang, kau tak akan memberatkan bebanku, bukan? Lebih dari apapun juga aku harus dapat pengertian dan pertolongan dari padamu, Tri.” “Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala-galanya....”1

Kutipan di atas, menunjukan bahwa Sudarmo membutuhkan bantuan Sulastri untuk membantunya mengajar di sekolah. Sudarmo memberikan tanggungjawab di sekolah diluar peranan Sulastri sebagai seorang istri, ia pun sangat mendukung istrinya dalam kemajuan intelektualnya. Novel Manusia Bebas berlatar waktu 1930an di mana masa pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa rakyat Indonesia. Semangat akan rasa nasionalis ini yang menjadi tema mayor dalam novel ini. Rasa nasionalis dalam novel ini diwakili oleh tokoh

1 Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), Cet. Ke 2, hlm. 28.

46 47

Sulastri dan Sudarmo sepasang suami istri yang memilih bidang pendidikan sebagai bentuk perjuangannya. Kegiatannya sebagai tokoh pergerakan dalam bidang pendidikan dan keterkaitannya dalam organisasi politik, yang menyebabkan timbulnya kesulitan hidup yang berat dimana mereka harus rela hidup serba kekurangan dan diawasi oleh pemerintahan Belanda. Namun, mereka hadapi segala beban hidup tersebut, satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk bangsanya sendiri walaupun harus menderita. Dalam kata pengantar novel Manusia Bebas, Suwarsih Djojopuspito mengatakan bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya untuk bertabah hati dengan segala resiko yang dialami dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan: “ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan Indonesia.”2

Permasalahan dalam novel ini ialah mengenai perjuangan kaum nasionalis dimana pengarang menggambarkan kesulitan yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini. Ketabahan yang digambarkan oleh tokoh Sulastri dan Sudarmo yang harus berpindah-pindah untuk mendapatkan kebebasan dalam mengajar bangsa Indonesia. Nasionalisme dalam novel diperlihatkan pada saat Sulastri memberikan komando kepada anak-anak untuk menyanyikan sebuah lagu dan diakhiri dengan nada yang gemetar: “ Satu, dua, tiga. Beri salam, pada tanah air kita.” “ Lihatlah bendera kami, Merah, putih, berkibar, Dikibarkan hari ini, Dengan hati yang riang,”3

2Ibid, hlm. V. 3Ibid,hlm. 39. 48

Hal ini menjadi kebanggaan Sulastri bahwa ia bisa berjuang dengan suaminya untuk mengajar anak bangsa. Memberikan salam pada tanah air dan mengibarkan bendera merah putih seolah menjadi simbol kebangaan Indonesia yang ditunjukan dalam novel ini. Selain itu, semangat nasionalisme juga digambarkan pada tokoh Sudarmo ketika menjelaskan keinginannya pada orang tua siswa untuk bekerjasama dalam mewujudkan cita-cita nasional. “ Bagaimanakah seorang Indonesia yang baik menurut cita-cita kita ini? Kita akan mengatakan dengan suara bulat: seorang Indonesia yang baik ialah dia, yang dapat mengembangkan bakat-bakatnya dan menggunakannya untuk keperluan pergerakan nasional.” 4

Kutipan di atas menunjukan bagaimana sebagai rakyat Indonesia harus saling membantu dalam memajukan bangsanya sendiri Indonesia, meski berbeda-beda tapi tetap satu tujuan saling bekerjasama untuk kepentingan bersama. Kesimpulan dari tema dalam novel ini adalah tema minor yang mendukung tema mayor yakni perjuangan kaum nasionalis dalam bidang pendidikan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.

2. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur campuran. Dilihat pada bagian 1, menceritakan kehidupan tokoh utama di masa sekarang, menjelaskah bahwa naskahnya ditolak oleh Balai Pustaka. Dalam novel Manusia Bebas. a. Tahap Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian dalam novel Manusia Bebas terdapat pada bagian 2. Pada bagian 2 digambarkan pengenalan tokoh-tokoh dan latar.

4Ibid,hlm. 63 49

“Dalam tahun 1933 Sulastri memasuki rumah kediamannya yang baru. Beberapa perabot rumah tangga seperti meja, kursi, dan lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari Purwakarta ke Bandung.”5 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa latar yang digunakan dalam cerita tersebut adalah di Bandung pada tahun 1933. Namun pada bagian selanjutnya tokoh-tokoh ini berpindah tempat ke Yogjakarta, Jakarta, dan kembali ke Bandung. Selain deskripsi latar, terdapat pengenalan tokoh-tokoh dalam cerita. Hal ini di gambarkan dalam beberapa kutipan.

“Sudarmo adalah seorang direktur pada Sekolah Perguruan Kebangsaan di Bandung.” 6 “Kamar-kamar di belakang itu kepunyaan tiga orang guru. Kau kenal Jamil, bukan? Nah, dia tidur di situ.”7 Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah Kebangsaan dan aktivis Partai Marhaen. Ia menyadari bahwa pernikahannya dengan seorang aktivis berarti ia senantiasa akan hidup dalam tantangan. Sebagai anggota partai Marhaen pada zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh- musuh, persoalan kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian khusus, misalnya mereka selalu mengalami kekurangan uang. Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan pada tokoh Sulastri. Ia memahami kedudukan suaminya sebagai anggota Partai Marhaen dan kepala Sekolah Kebangsaan yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sudarmo dan Sulastri tinggal bersama tiga orang guru yaitu Jamil, Harjono, dan Waluyo.

b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik yaitu tahap yang memunculkan masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik

5Ibid,hlm. 15 6Ibid,hlm. 17 7Ibid,hlm. 21 50

awal mulai muncul dalam cerita, dan akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pemunculan konflik dalam novel Manusia Bebas terjadi di Bandung yaitu adanya tagihan pembelian buku yang belum dibayarkan dan rendahnya gaji seorang guru, karena pada saat itu pemerintah Belanda tidak memberikan dana untuk sekolah- sekolah partikelir. Akhirnya Sudarmo memutuskan untuk meminta istrinya (Sulastri) untuk membantunya mengajar di sekolah tersebut karena sedang mengalami krisis keuangan.

“Ada lagi kesusahan mereka, ialah utang karena pembelian buku-buku sebanyak F 200. Sudarmo tak mengetahui tentang utang buku itu, waktu ia menerima jabatan sebagai Direktur.”8 Tantangan yang dihadapi Sulastri dan Sudarmo bukan hanya datang dari pemerintah, tetapi dari teman-teman seperjuangannya di Sekolah Kebangsaan, teman sesama guru yang sering kali menuntut gaji yang layak. Sementara sekolah itu didirikan tanpa bantuan dari pemerintah, kebutuhan sekolah sepenuhnya didapat dari murid-murid dan hasil dari penjualan surat kabar dan majalah. Selain itu sering kali Sudarmo mengemukakan ide-ide baru, namun ia mendapatkan cibiran dari teman-temannya.

“Saudara-saudara, di papan tulis kalian dapat lihat usul-usul saya untuk mengatur nafkah kita. Dari sekarang kita mempunyai harapan menerima f 8,50,-. Setiap bulan kita harus mengeluarkan f 370,- untuk membayar sewa rumah, utang-piutang, lampu, air, pelayan sekolah dan lain-lain lagi. Bagi kita akan tinggal kira-kira f 500,-. Saya akan mengaturnya begini: semua orang dapat paling sedikit f 25,- dan jika ada kelebihan yang masih dapat dibagikan, akan dibagi di antara kita seperti terbaca di papan tulis.”9 “Semua orang dapat f 25,-. Setahun belajar sesudah Mulo akan diberi f5,- lebih. Untuk satu anak akan diberikan f 2,50

8 Ibid,hlm. 17 9 Ibid,hlm. 33 51

dan untuk isteri 7,50. Sehingga mas Prawira mendapat f 25+ (7x f 2,50)+f 7,50= f 50,-. Gaji tertinggi adalah f 50.” 10

Persoalan seperti inilah yang menimbulkan pertentangan di antara mereka dan menunjukan perbedaan orientasi. Mereka umumnya terpaku pada persoalan kebutuhan hidup sehari-hari.

“Kemudian ia memperkenalkan diri sebagai seorang kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID. Ia diberi tugas untuk menyita koran-koran, karena ada perkataan-perkataan yang menyinggung.” 11 Selain itu, adanya penyitaan koran-koran di sekolah Sudarmo karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Karena kegiatannya ini Sudarmo selalu diburu oleh Pemerintah Belanda, ia dipandang sebagai orang yang dianggap berbahaya bagi pemerintah.

c. Tahap Peningkatan Konflik Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin meningkat. Permasalahan mengenai pembagian gaji pada guru- guru telah membuat renggang hubungan mereka. Disamping itu, adanya pemogokan murid-murid dan perubahan sikap guru-guru terhadap Sudarmo yang disebabkan oleh adanya surat kaleng ke Pengurus Besar untuk memindahkan Sudarmo. "Belum tahukah ibu ini? Mereka telah mengirim surat kaleng ke Pengurus Besar dari Perguruan Kebangsaan untuk memindahkan Sudarmo.”

Dalam surat kaleng itu Sudarmo difitnah karena banyak sekali masalah yang dialami di sekolah Kebangsaan, setelah ia menjabat sebagai kepala sekolah. Adanya surat kaleng tersebut membuat Sudarmo mengadakan rapat dengan guru-guru untuk

10Ibid,hlm. 34 11Ibid,hlm. 106 52

menentukan sikapnya terhadap anak-anak yang mogok. Akhirnya, mereka bersepakat bahwa yang menghasut dalam pemogokkan ini tidak akan diterima sebagai murid lagi, namun yang ikut-ikutan akan dimaafkan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.

Selain itu, mereka mengalami penyitaan surat kabar yang mereka terbitkan, buku-buku disita karena dianggap bukti-bukti yang memberatkan. Dan para penghasut antara lain adalah guru- guru sekolah itu akhirnya ditangkap. Setelah penggerebekan, penangkapan teman-teman, keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar. Sudarmo, Sulastri dan bayinya tinggal bersama kaka dan iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan Kebangsaan, dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid yang menginap di kota Jogya.

“Sulastri mengangguk mengerti dan ia merasa dadanya berdentum, Sudarmo membuka pintu dan sebelum pintu itu membuka lebar, seorang Belanda yang tinggi badannya mendesak masuk ke dalam dan ia memperkenalkan diri dengan mengejek: “selamat pagi, kedatangan saya ini mengganggu, bukan? Saya dari PID saya harus menggeledah rumah.”12 Karena mendapatkan surat larangan mengajar, Sudarmo mencoba menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat di Yogja, namun gagal diteruskan karena hanya mendapat sedikit uang dari hasil penerbitan pertamanya. Kegagalan yang dialami Sudarmo membuat Sulastri menjadi terombang-ambing antara keinginan hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Disatu sisi ia mendambakan kehidupan yang layak dan di sisi lain keadaan menuntutnya untuk terus setia membantu kesulitan suaminya. Pada saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta mengenai pekerjaan pada pemerintahan membuat Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran Sulastri.

12Ibid,hlm. 127 53

d. Tahap Klimaks Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak menyukai pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun Sudarmo sadar akan kewajibannya kepada istrinya. Mereka berdua terjebak dalam keadaan ini, di mana Sudarmo sebagai klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan menuduh Sulastri sebagai penyebabnya. Tak tahan dengan perlakuan ayahnya Sulastri yang membedakan antara priyayi berjabatan tinggi dan guru yang miskin membuat Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bogor. Di Bogor Sudarmo mendirikan sekolah untuk Sulastri, bersama teman-temannya Muhammad, Sutrisno dan Jusuf. Namun sekolah yang diberi nama Loka Siswa itu hanya mendapat sedikit murid akhirnya sekolah itu tidak berjalan dengan baik. Sulastri dan Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bandung dan memulai hidupnya kembali dengan membuat sebuah karangan yang ditulis oleh Sulastri, namun karanganya itu telah di tolak oleh Balai Pustaka.

“ Sudah nyata baginya sekarang bahwa naskahnya telah dikembalikan. Harapan bahwa naskahnya itu akan diterbitkan dan dengan demikian mempunyai bentuk yang nyata pula, telah menjadi buah pikirannya dan mengekang dirinya selama dua tahun ini. Sekarang harapan itu telah hilang. Aku harus menangis. Kurasakan seperti dipukul. Sekarang janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda dan bahasa Belanda. Mereka telah memberikan aku perasaan berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia- sia. Biar pun begitu, aku tak percaya, bahwa pekerjaanku sejelek itu.”13 Kutipan di atas menceritakan kekecewaan Sulastri terhadap naskahnya yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan dan telah

13Ibid,hlm. 1 54

ditolak oleh Balai Pustaka. Sulastri menceritakan semua rasa kecewanya pada suaminya (Sudarmo), bahwa ia mengingat perjuangannya dalam menuliskan naskahnya itu, dengan menggunakan uang terakhirnya untuk membeli peralatan yang diperlukan untuk menulis, ketika hari sudah larut malam mereka saling bergantian dalam menyalin naskah tersebut dengan rapi. Namun, segala usaha yang telah mereka lakukan dalam penulisan naskah tersebut, Sulastri harus merasakan kekecewaan yang teramat dalam karena naskahnya telah ditolak.

“Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 14

e. Tahap Penyelesaian Ketika Sulastri mengetahui bahwa tulisannya tidak dapat diterbitkan. Ia berusaha untuk memulai menulis kembali karena ia ingin menjadi salah satu perempuan Indonesia yang mampu berjuang.

“Kau bergembira hati,” kata Sudarmo, “Ya. Berhentilah menulis jika kau sedang bergembira.” “Lantas apa dong yang harus aku bikin, kalau aku sedang girang, Dar? Kueh untuk Rustini? Apalah PID dan pergerakan wanita akan mengizinkannya, kalau aku sekarang membuat kueh untuk Rustini?” 15

Sulastri dan Sudarmo kembali ke Bandung dalam kekalahan setelah mengalami kemelaratan yang paling menyiksa dan menemukan kebersamaannya kembali dengan Sudarmo, Lastripun mendapatkan kepercayaannya dalam menulis dan menulis lagi. Tanah Priangan, cinta pada kawan hidup dan kreativitas yang menompangnya hingga kini.

14Ibid,hlm. 4 15Ibid, hlm. 292 55

3. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan orang yang berperan dalam cerita dan memiliki karakter yang beragam, sehingga cerita menjadi lebih hidup dan berwatna. Sedangkan penokohan adalah karakter yang digambarkan oleh tokoh dalam cerita. 1) Sulastri Tokoh Sulastri dalam novel Manusia Bebas merupakan tokoh utama protagonis, yaitu tokoh yang memiliki intensitas keterlibatan yang menonjol dalam setiap peristiwa pada novel. Sulastri menikah dengan Sudarmo, seorang guru Sekolah Kebangsaan dan aktivitas Partai Marhaen. Sebagai anggota partai di zaman pergerakan mereka harus berhadapan dengan musuh- musuh, baik musuh yang jelas maupun yang tidak jelas, belum lagi persoalam kebutuhan hidup yang memerlukan perhatian khusus karena mereka selalu mengalami kekurangan uang. Keadaan seperti ini menumbuhkan sikap menerima keadaan pada tokoh Sulastri. Ia memahami benar kedudukan suaminya, baik sebagai anggota partai maupun sebagai Kepala Sekolah Kebangsaan yang tidak mendapat subsidi dari pemerintahan. Melihat kesulitan yang dialami suaminya, akhirnya Sulastri mau bekerja sama membantu suaminya, seperti pada kutipan: “Dar, aku berjanji akan menolongmu dalam segala- galanya....” “Dar, aku merasa gembira, kau membutuhkan aku. Tenangkan hatimu, aku akan selalu berada di sampingmu, biarpun musuh datang menyerang. Asalkan kau dengan terus terang mengatakan semuanya kepadaku, ... Kita berdua tak usah berbohong sastu sama lain. Sebab kalau tidak begitu, kita tak usah saling menyintai.” 16

Dari kutipan di atas menggambarkan kecintaan Sulastri pada suaminya yang menumbuhkan semangat untuk mengatasi

16Ibid,hlm. 28 56

beban hidup yang berat dengan menghadapinya secara bersama- sama. Setelah membantu suaminya di bidang pendidikan, ia menjadi seorang yang selalu terombang-ambing antara keinginan hatinya dan keadaan yang dihadapinya. Di satu pihak ia memimpikan kehidupan yang layak, artinya tidak kekurangan materi, hidup tentram tanpa diawasi pemerintah sehubungan dengan aktivitas suaminya. Di lain pihak keadaan menuntutnya terus setia pada janji yang pernah diucapkannya untuk selalu membantu kesulitan suaminya. “ Sulastri tak menjawab, ia tiba-tiba merasa berat kepalanya, sehingga ia tak mempunyai pikiran lagi, hanya dalam hatinya tiap kali ia merasakan ketukan yang berkata: “Kita harus pergi memasuki kehidupan yang baru, meninggalkan ini, kemana, tak kuperdulikan. Ia merasa lesu sekali, seperti ia melihat dengan nyata, apakah artinya, pergi kian kemari dengan tujuan yang tak dikenal.”17

Pada kutipan di atas menunjukan bahwa Suastri ingin keluar dari kehidupannya yang tidak menentu. Konflik batin ini menjadikan Sulastri seorang yang pasrah terhadap kenyataan hidup. Seperti yang telah digambarkan pada bagian pertama saat novelnya ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu, Sulastri memiliki pemikiran yang maju untuk membantu Sudarmo dan membela yang tertindas seperti tampak pada suratnya untuk Marti (Kakaknya Sulastri), yang menjadikan Sulastri seorang yang giat di lingkungannya, baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan Perguruan Kebangsaan. Kutipan surat Sulastri kepada Marti: “Marti, Do‟akanlah aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat bahwa pertalian persaudaraan antara kau dan aku harus mengkekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua; bekerja bagi mereka yang tertindas dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama,”18

17Ibid,hlm. 216 18Ibid,hlm. 18 57

Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan, menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu dengan suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan tanggungjawab yang sama. Hal ini yang digambarkan oleh Suwarsih pada tokoh Sulastri yang membantu suaminya dalam menjalankan cita-cita nasional.

“Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.”19 2) Sudarmo Tokoh Sudarmo dalam novel Manusia Bebas merupakan tokoh utama protagonis seperti Sulastri. Sudarmo adalah seorang aktivis partai Marhaen dan menjabat sebagai Kepala Sekolah Kebangsaan. Akibat kegiatannya ini ia menjadi putus asa karena memiliki musuh dan merasa tidak dihargai karena guru-guru di sekolah tidak menginginnkannya menjadi kepala sekolah. “Kadang-kadang aku ingin meninggalkan semua ini. Banyak musuhku, kau tahu, aku seorang anggota Partai Marhaen dan Perguruan Kebangsaan menginginkan orang lain menjadi kepala sekolah.” 20

Karena kegiatannya inilah ia selalu diburu oleh pemerintah Hindia Belanda, ia dipandang sebagai orang yang berbahaya bagi keamanan pemerintah Belanda. Ia adalah orang yang gigih dan berani untuk menyuarakan pendapatnya melalui koran yang ia terbitkan. “Apakah menurut saudara tak keterlaluan, bahwa saya dapat menghasut anak-anak itu dengan koran saya itu. Anak-anak kecil itu belum dapat membaca betul, sedangkan

19Ibid, hlm. 46 20Ibid,hlm. 27 58

anak-anak besar menggeletakkan koran itu begitu saja. Dan juga tak ada hasutan di dalamnya. Bukankan wajar, jika saya membandingkan sekolah gupernemen dengan sekolah Perguruan Kebangsaan, juga wajar jika gupernemen dalam urusan pendidikan patut dicela.” 21

Sudarmo memiliki sikap tolong-menolong dan peduli pada kesukaran orang lain, seperti pada kutipan: “Dalam hal ini kita tak usah hanya ingat kepada keperluan diri sendiri. Kita masih muda. Bagaimanapun juga, kita dapat memikul kehidupan ini. Akan tetapi kita akan merasa bersalah, jika kita memandang ringan kewajiban untuk mengurus keluarga. Kita harus mencoba meringankan kesukaran orang lain.”22

Gambaran fisik memperkuat sikap dan tindakan Sudarmo sebagai seorang aktivis ia memiliki kesulitan yang dialaminya dan menampilkan sifat keras kepala, seperti pada kutipan: “Parasnya kurus, berkerut, menampilkan sifat keras kepala pada kekukuhan rahang pipinya, akan tetapi bibirnya lemah dan alisnya hampir yak nampak.”23

Sebagai seorang aktivis Partai Marhaen, Sudarmo tidak menyukai hal-hal yang bersifat mewah, baginya manusia harus hidup sederhana sesuai dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya karena keadaan pada saat itu tidak mendukung untuk memakai sesuatu yang mewah. Seperti pada kutipan saat Sudarmo mengajak Sulastri untuk mengunjungi rumah Prawira: “Terlalu bagus,” ia mengecam. “Kau harus belajar berpakaian sederhana. Ini kunjungan biasa.” “Biarlah,” Sulastri berkata, agak tersinggung oleh suaminya yang bengis. “Aku senang berpakaian parlente. Aku tak menganggu siapapun juga.” “Tidak,” jawabanya. “Akan tetapi tak menurut perasaan yang halus, jika kau datang dalam suasana melarat

21Ibid,hlm. 107 22Ibid,hlm. 35 23Ibid,hlm. 7 59

memakai pakaian seindah itu. Jangan dipakai lagi baju itu. Di sini terlalu bagus.”24

Sudarmo berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh menyamai kedudukan laki-laki, seperti pada kutipan: “... karena menurut adat istiadat dan kebudayaan seorang perempuan lebih rendah kedudukannya dari pada seorang lelaki, walaupun dia dalam teorinya mempunyai anggapan modern tentang persamaan dan kemerdekaan kaum wanita.”25

Namun dalam kemajuan intelektual bagi kaum wanita Sudarmo justru menunjukkan dukungannya. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan: “Pada keesokan harinya ia mengambil tiga buku tebal tentang pendidikan dari dalam lemarinya dan meletakannya di atas meja di hadapan Sulastri. Ia berkata dengan pendek: “Kau bulan muka memberikan ceramah yang pertama bersama dengan aku. Ini bacaanmu. Sebagai judul kau mengambil: hukuman. Kau mulai sekarang juga. Aku merasa bangga, jika isteriku memberikan contoh yang baik.” 26

3) Marti Marti merupakan tokoh protagonis. Marti adalah kakak kandung Sulastri. Ia sangat peduli terhadap nasib adiknya, ia selalu mencoba memberikan keberanian untuk memulai kehidupan yang baru. Ia selalu bersikap sebagai pelindung Sulastri, namun sikap seperti ini tidak terlalu disukainya karena ia merasa harus selalu ditolong. “Marti merasakan mempunyai kewajiban untuk memperhatikan nasib Sulastri.”27

Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif dalam organisasi wanita. Ia pernah menjadi sekretaris Kongres

24Ibid,hlm. 29 25Ibid,hlm. 47 26Ibid,hlm. 41 27Ibid,hlm. 183 60

Perempuan Indonesia. keterlibatannya dalam organisasi kewanitaan menunjukan niatnya untuk segera mengubah pandangan masyarakat terhadap wanita pada masa itu. Baginya, segala sesuatu yang dikerjakan kaum wanita harus mengarah pada perbaikan status wanita di masyarakat. Misalnya ia tak setuju dengan pandangan tentang poligami yang dianut oleh rekannya, Saridah. Hal ini digambarkan pada kutipan: “Aku telah membuat Saridah bingung, si pro poligami itu. Ia berkali-kali ngomong; “Ah, bagaimana ya ayat itu? Dulu aku hafal sekali sekarang aku sudah lupa.”28

4) Lurni Lurni merupakan tokoh protagonis. Lurni adalah adik Sudarmo yang tinggal di Yogyakarta, ia memiliki sifat mudah sekali marah dengan hal-hal kecil, berani bersikap kasar terhadap orang lain, sangat sensitif terhadap sikap baik dan buruk dari orang lain, namun ia bukan seorang pendendam. “Lurni sebaliknya acapkali marah karena soal-soal kecil saja; karena badanya kua, ia malahan berani bertindak kasar terhadap orang lain, jika ia merasakan diperlakukan tidak adil. Ia sukar melupakan satu penghinaam terhadap dirinya, akan tetapi ia tak pernah dendam, hanya peka terhadap sikap baik atau buruk dari orang lain kepadanya.”29

Ia mendukung sikap kakaknya dalam dunia pergerakan. Suami Lurni yaitu Ribowo adalah seorang anggota Pengurus Besar Perguruan Kebangsaam di Yogyakarta. Ketika Sulastri dan Sudarmo harus pindah ke Yogyakarta, di tempat ini mereka sama-sama mengajar di sekolah Kebangsaan. Kesamaan aktivitas inilah yang menyatukan mereka. Sudarmo bangga pada Lurni karena keaktifannya dibidang sosial.

28Ibid,hlm. 197 29Ibid,hlm. 159 61

5) Jamil Jamil merupakan tokoh protagonis. Jamil merupakan seorang guru di Perguruan Kebangsaan dan seorang anggota dari partai Marhaen yang sangat aktif diluar sekolah.. Jamil mempunyai kepala yang besar, menyerupai seekor beruang liar, jika ia berbicara kepalanya agak dimiringkan. Segala ucapannya dipertahankan dengan kepalan tangan atau dengan mangangguk-anggukan kepalanya. Ia juga seorang yang pesimis. “Sudarmo harus tertawa akan muka Jamil yang masam itu, karena Jamil adalah seorang pesimis.”30

Jamil sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan, karena telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Ia adalah orang yang pesimis, realis, tidak menyukai orang pemalas, selalu merasa yang paling tahu segalanya. “Jamil sendiri mempertahankan keahliannya dalam soal- soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan. Ia telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan. Sulastri merasa berkawan dengan dia, biar pun ia selalu benci akan sikap jamil yang yang merasa pintar sendiri itu.”31

6) Harjono Harjono merupakan tokoh protagonis. Harjonomerupakan kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia mengajar pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, ia bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di kelas tertinggi. Ia cukup baik dalam hal mengajar. “... ia cukup baik dalam mengajar murid-muridnya. Ia memberikan pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggeris, dan Perancis. Ia bersekolah di A.M.S, bagian Sastra Barat, Tri, dan ia telah duduk dalam kelas tertinggi di situ.”32

30Ibid,hlm. 21 31Ibid,hlm. 22 32Ibid,hlm. 22 62

Selain itu Harjono memiliki sifat pemalu, selalu melamun dan murung hatinya karena ia menganggap segala persoalan itu berat, bahkan ia jarang sekali tertawa hal ini menunjukkan keseriusannya dalam menanggapi sesuatu. “... Ia datang, seorang pemuda dengan wajah kema lu- maluan dan agak ngelamun pikirannya. Bahunya condong ke muka dan sekitar mulutnya nampak tanda kemurungan hati. Alisnya selalu berkerut.” “Ia tak pernah tertawa” ujar Jamil “ Ia menganggap semua persoalan berat....”33

Ia adalah orang yang baik dalam hal mengajar, namun saat mengajar ia hanya fokus pada bukunya saja, tidak menampilkan interaksi dengan murid. Harjono menyukai kesenian.

7) Waluyo Waluyo merupakan tokoh antagonis. Waluyo merupakan kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia memiliki senyum yang lebar, gaya acuh tak acuh dan sombong. Selain itu, ia tidak memiliki pendirian yang kuat karena sering terombang-ambing dalam pendiriannya, namun ia adalah seorang propagandis yang ulung. Sulastri tidak menyukai Waluyo karena ada sifat khianat padanya. “..., tetapi ia malahan menghasut kawan dan lawan untuk mengeluarkan Sudarmo dari pekerjaannya. Sebabnya, karenaSudarmo pada suatu waktu mengecam kemalasan Waluyo. Sudarmo mewajibkan Waluyo untuk ada di sekolah dari jam 8 sampai setengah satu. Ia datang dan pergi semaunya sendiri.” 34

Waluyo adalah seorang pegawai administrasi di Perguruan Kebangsaan karena dilarang mengajar oleh gupernemen. Seharusnya ia berterimakasih kepada Sudarmo karena

33Ibid,hlm. 22 34Ibid,hlm. 24 63

diperbolehkan bekerja di sekolah, akan tetapi ia malah menghasut kawan-kawannya untuk mengeluarkan Sudarmo dari pekerjaannya. Ia aktif sebagai anggota dari Partai Marhaen. Sebagai anggota Partai Marhaen yang sama dengan Sudarmo, membuat Waluyo menjadi semaunya sendiri dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dan tak tepat waktu. “Waluyo tak ingin menurut aturan itu, ia datang dan pergi semaunya sendiri. Sehingga orang harus mencari dia atau menunggu datangnya untuk membayar uang sekolah. Ini menambah kesurutan pembayaran uang sekolah.” 35

8) Prawira Prawira merupakan tokoh protagonis. Prawira merupakan kerabat Sudarmo di Perguruan Kebangsaan. Ia adalah seorang guru pada Sekolah Kebangsaan. Kehidupannya sangat sederhana dengan tujuh orang anak, tiga kemenakan dan seorang paman tua. Gambaran fisik dan Prawira digambarkan memiliki wajah sawo matang dan burik, ia adalah seorang pekerja keras untuk keluarganya. “Wajahnya Prawira sawo matang dan burik, senyumnya selalu samar-samar. Prawira juga bekerja keras dan selalu mempunyai utang untuk memberi makan keluarganya itu. Dan ia takan pernah pergi dari sekolah Perguruan Kebangsaan.”36

Hal ini menunjukan bahwa ia adalah seorang yang tidak terbuka, namun dalam bekerja sebagai guru ia senantiasa berusaha untuk disiplin, walaupun anak-anaknya selalu membuatnya terlambat datang ke sekolah. Selain itu, ia adalah orang yang pekerja keras dan bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya.

35Ibid,hlm. 24 36Ibid,hlm. 31—32 64

9) Gularso Gularso merupakan tokoh protagonis. Gularso adalah teman iparnya Sudarmo, yang semula tinggal di Jawa Tengah. Ia diminta datang oleh Sudarmo untuk menghadapi tindakan- tindakan licik orang-orang Partai Kebangsaan. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam dunia politik Gularso diminta membantu Sudarmo untuk menghadapi orang-orang licik dari Partai Kebangsaan. Ia adalah salah satu propagandis PKI yang sangat berkobar-kobar saat berpiato. “Orang itu harus menghadapi fitnahan dari kiri-kanan, jadi dia harus seorang yang mengerti cara-cara politik. Karena inilah Sudarmo mengundang seorang kawan iparnya. Gularso, begitulah nama kawan iparnya itu, telah dibuanh karena ia salah satu propagandis PKI, yang sangat berkobar-kobar pidatonya” 37

Setelah satu bulan mengajar dan mengurus administrasi, penampilannya pun berubah terlihat menjadi lebih muda dengan parasnya yang tadinya kurus menjadi lebih terisi, rambutnya menjadi ikal berombak, matanya yang dulu cekung dan lesu menjadi hitan mendalam dan bercahaya.

10) Pak Joyokuno Pak Joyokuno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah seorang guru lulusan Hogere Kweekschool voor Inlandse onderwijszers (HKS), yang dengan rajin mempelajari aliran modern dalam pendidikan dari buku-buku pelajaran hoofdakte. Ia belajar dengan sungguh-sungguh dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia memiliki keinginan untuk menguasai tiga bahasa asing diusia yang sudah 35 tahun.

37Ibid,hlm. 98 65

“Begitulah buku-bukunya penuh dengan garis-garis biru dan merah, karena hampir semua kalimat ia anggap penting”38 “Aku belajar rajin sekali. Akan tetapi dapatkah orang yang sudah berumur tiga puluh lima tahun, dengan sekaligus belajar tiga bahasa asing?”39

11) Idih Idih merupakan tokoh antagonis. Ia adalah seorang pribumi yang bekerja sebagai kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran yang ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang menyinggung pemerintah Belanda. “Saya menyesal sekali, tetapi ini pekerjaan saya dan saya harus menyalankan perintah atasan saya. Maafkan saya, saudara?”40

Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang pergerakan nasional seperti Sulastri dan Sudarmo. 12) Sutrisno Sutrisno merupakan tokoh protagonis. Ia adalah teman Sudarmo, ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Ia tak bisa berbohong pada siapapun bahkan polisi sekalipun. “Mereka telah mengangkat aku sebagai redaktur di atas kertas tanpa ikut bekerja. Aku ini orang yang tak dapat bohong juga tidak terhadap polisi.”41

Sudarmo dan Sutrisno merencanakan membuat sekolah di Bogor, bersama sahabatnya yang lain yaitu Muhammad dan Yusuf. Sutrisno memiliki sifat penolong, ia telah menolong Muhammad yang tidak memiliki uang dan tinggal bersama

38Ibid,hlm. 103 39Ibid,hlm. 103 40Ibid,hlm. 107 41Ibid,hlm. 198 66

Sutrisno. Ia pun telah membantu Sudarmo dalam meringankan kesusahannya, karena ia ingin mempertahankan cita-citanya. 13) Muhammad Muhammad merupakan tokoh protagonis. Ia adalah seorang mahasiswa dari Jakarta yang tidak memiliki cukup uang, sehingga ia tinggal bersama Sutrisno. Gambaran fisik Muhammad yaitu memiliki kepala kekar, mulut kuat, mata dan alisnya hitam dan mengesankan seperti mata dan alis orang Arab. Muhammad memiliki sifat setia dan pendiam “Di belakangnya, lebar dan sederhana Muhammad, kepala kekar, mulut kuat, mata dan alisnya hitam dan mengesankan seperti mata dan alis seorang Arab.” 42 “Muhammad dengan kesetiannya dan sifatnya yang diam”43 Dalam menjalankan tugasnya di sekolah ia telah membuat sebuah artikel untuk koran mereka. 14) Jusuf Jusuf merupakan tokoh protagonis. Ia memiliki tubuh yang tinggi, tampan dan wajah yang halus, ia adalah sahabat Sudarmo dan Sutrisno. Wajahnya yang sawo matang dan halus menggambarkan sikap yang ramah. “Jusuf, tinngi perwatakannya, tampan dan dengan wajah sehalus dan seempuk seekor kucing” 44

Dalam menjalankan sekolah yang diberi nama Loka Siswa, Jusuf bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Ia adalah orang dipercaya Sutrisno untuk menjadi biliotekarisl.

42Ibid,hlm. 210 43Ibid,hlm. 273 44Ibid,hlm. 218 67

4. Latar a. Latar waktu Peristiwa-peristiwa dalam novel Manusia Bebas berlatar waktu sekitar tahun 1930-an. “Dalam waktu 1933 Sulastri memasuki rumah kediaman yang baru.”45

Pada masa itu cita-cita berbangsa dan bernegara yang merdeka menjadi pembicaraan yang menarik terutama di kalangan pemuda terpelajar, baik dalam obrolan sehari-hari maupun dalam rapat-rapat organisasi yang kerap kali diadakan. Oleh karena itu tokoh-tokohnya hampir semuanya adalah tokoh-tokoh pergerakan yang aktif dalam berbagai kegiatan partai. Adanya partai Marhaen yang dipimpin oleh Soekarno terjadi pada masa 1930-an.46 Selain itu, adanya Balai Pustaka yang telah menolak novel Sulastri. Balai Pustaka termasuk ke dalam periode sastra 1850—1933 yang bermaksud untuk memerangi “bacaan liar” yang banyak beredar pada awal abad ke-20.47 “Sedih sekalikah kau, bahwa naskahmu telah dikembalikan? Bukankah itu sudah wajar. Balai Pustaka hanya membutuhkan bacaan untuk rakyat.” 48

b. Latar tempat Peristiwa-peristiwa dalam novel ini berlokasi di beberapa kota besar, seperti Bandung, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta. Setiap tempat pada dasarnya menunjukkan domisili tokoh (sulastri dan Sudarmo) dalam usahanya mempertahankan hidup dan cita- citanya. Masa tinggal di kota-kota tersebut tidak dideskripsikan secara jelas. Pada dasarnya mereka lebih lama tinggal di Bandung.

45Ibid,hlm. 15 46Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 155 47Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar, Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 39. 48Ibid,hlm. 4 68

Umumnya kepindahan mereka dari satu kota ke kota lain disebabkan oleh larangan dari pemerintah untuk mendirikan sekolah di kota tersebut. Latar tempat juga memberi informasi kepada kita tentang adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat. 1) Bandung Kota Bandung merupakan kediaman pasangan Sulastri dan Sudarmo yang baru saja menikah tahun 1933. Dimana ia harus memikirkan kehidupan Sulastri yang baru dan harus menyesuaikan diri. Dilihat dalam penggalan cerita pada novel tersebut. “Beberapa perabot rumah tangga seperti meja, kursi, dan lemari, telah dikirimkan lebih dulu dari Purwakarta ke Bandung. Inillah perabot rumah tangga dari kediamannya seorang gadis. Untuk sementara tak ada kemungkinan membeli yang baru. Tak terpikirkan pula olehnya. Bagaimana kehidupannya nanti, ia tak tahu. Ada perasaan yang samar-samar tentang penderitaan dan kekurangan uang yang memberikan peringatan kepadanya, bahwa ia harus secepat mungkin untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru.”49

Di kota Bandung inilah Sulastri dan Sudarmo memulai hidup yang baru. Bandung merupakan awal karir Sulastri menjadi seorang guru di sekolah untuk membantu seuaminya mencari nafkah dan membantu membayar hutang-hutang. “Dan pada suatu pagi hari yang cemerlang ia berdiri di muka sebuah gedung loji di kota Bandung.”50

Perjuangan yang dilakukan Sudarmo dan Sulastri saat itu serta merta dengan pengalaman kemelaratan, dimana sekolah yang Sudarmo kelola sebagai direktur sekolah Perguruan Kebangsaan mengalami kesulitan yaitu sekolah swasta tanpa

49Ibid, hlm. 15 50Ibid,hlm. 18 69

murid dan sasrana yang memadai, gaji guru-guru yang tidak mencukupi, namun mereka menemukan persahabatan dalam perjuangan bersama. Dalam kesulitan hidup solidaritas yang dirobek-robek oleh saling iri dan curiga. Konteks politik berlangsung dalam kerancuan yang dialami partai Marhaen dan partai Kebangsaan hubungan yang retak menyebabkan persaingan untuk mendirikan sekolah masing-masing. Akhirnya terjadi fitnah-memfitnah antarguru, pemogokan murid bahkan penurunan banyak murid. Penderitaan ini ditanggung bersama dengan beberapa sahabat, Jamil, Gularso, dan Supardi yang mengalami pengasingan. Selain itu, mereka mengalami penyitaan surat kabar yang mereka terbitkan. Surat- surat cinta terpaksa dijadikan api unggun, buku-buku disita karena dianggap bukti-bukti yang memberatkan. Dan para penghasut antara lain adalah guru-guru sekolah itu akhirnya ditangkap. Setelah penggerebekan, penangkapan teman-teman, keluarlah Onderwijsverbod, larangan untuk mengajar. Sudarmo, Sulastri dan bayinya ditampung oleh kaka dan iparnya, yang merupakan sesepuh Perguruan Kebangsaan, dengan asrama yang lebih besar dan murid-murid yang menginap di kota Jogya.

2) Yogyakarta Yogyakarta merupakan kota singgah setelah Sulastri dan Sudarmo telah pindah dari rumah lamanya di Bandung. Mereka meninggalkan rumah itu karena Sudarmo mendapatkan surat larangan mengajar dan akhirnya mereka pindah ke Yogyakarta ke rumah iparnya yaitu Lurni dan Ribowo. “Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo akan ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus diurus dulu. Beberapa hari kemudian Sudarmo 70

mengantarkan istri dan anaknya ke stasiun. Mereka akan pergi ke Yogya.”51 Yogyakarta adalah tempat tinggal iparnya yang bernama Lurni dan suaminya Ribowo. Dikota Yogya, kota andong, panas dan berdebu tetapi sejuk dengan adat istiadat, kebudayaan, dan keningratan.

“Waktu kereta api berhenti di stasiun Yogya, ia mencari- cari orang di peron dengan matanya, melihat iparnya Lurni dan Ribowo. Ia melambaikan tangannya kepada mereka, dan sebentar kemudian ia dirangkul oleh dua tangan yang amat ramah. Lurni menggending bayinya dengan hati-hati ....” 52

Lastri menemukan rasa hormat pada Lurni, iparnya dengan kegiatan aktivitas pendidikan, tetapi ia tercekam rasa harga diri dan khawatir hilang keyakinan. Ia membandingkan diri dengan Windarti, teman lama yang hidup sebagai ibu rumah tangga yang mengubur bakat intelektualnya. Tak lama kemudian Sudarmo dan Sulastri pindah dari kediaman Lurni ke paviliyun kecil. Di sana Sudarmo mencoba menerbitkan majalah Penghidupan Rakyat, namun gagal diterusakankarena hanya mendapatkan 17 gulden lima puluh sen dari hasil penerbitan pertamanya. Pada saat itu, surat yang dikirim Marti dari jakarta mengenai pekerjaan baru pada pemerintahan membuat Sudarmo pergi ke Jakarta atas anjuran Sulastri yang segera menyusul. “Pada waktu ini Marti menulis surat kepada Sulastri, bahwa di kantor suaminya ada tempat untuk seorang volunter. Apakah Sudarmo mau? Ia dapat pergi ke Jakarta untuk melihat-lihat dulu.”53

51Ibid,hlm. 154 52Ibid,hlm. 157 53Ibid,hlm. 183 71

3) Jakarta Kegagalan yang dialami Sudarmo di Yogjakarta, membuat ia menerima tawaran dari iparnya Marti. Sudarmo tidak menyukai pekerjaan itu, ia sempat menolaknya. Namun Sudarmo sadar akan kewajibannya kepada istrinya. Sebelum surat ketiga atau Sudarmo datang ke Yogya, Sulastri menulis surat bahwa ia akan datang ke Jakarta. “Sekarang Sulastri pergi dengan Rustini ke Jakarta dan Sudarmo akan menjemput mereka, mungkin marah sekali, mungkin juga dalam hatinya senang melihat mereka kembali.”54 Mereka berdua terjebak dalam keadaan ini, di mana Sudarmo sebagai klerk pemerintah kolonial membenci pekerjaannya dan menuduh Sulastri sebagai penyebabnya. Tak tahan dengan mendengar pertengkaran Marti dan suaminya dan perlakuan ayahnya Sulastri yang membedakan antara priyayi berjabatan tinggi dan guru yang miskin membuat Sudarmo memutuskan untuk pindah ke Bogor.

4) Bogor Di kota Bogor Sudarmo mendapat kesempatan untuk membuat rencana mendirikan sebuah sekolah bagi Sulastri. Rencananya itu selalu dicemooh oleh Marti dan Ayahnya yang tidak menyetujui rencana Sudarmo. Namun hal tersebut tak menghalangi tekad Sudarmo. “Sudarmo membuat rancana untuk pindah ke Bogor untuk mendirikan sekolah bagi Sulastri.” 55 “Sudarmo di Bogor telah mendapatkan sebuah rumah yang murah dan besar dan mempersiapkan kepindahan mereka.” 20156

54Ibid,hlm. 184 55Ibid,hlm. 201 56Ibid,hlm. 201 72

Namun mereka mendapatkan masalah baru, yaitu pekerjaan iparnya yang terancam karena Sudarmo. Ia pun segera meminta berhenti supaya tidak membahayakan jabatan iparnya, dan sekolah yang sedang didirikan pun belum berlangsung baik. Tetapi Sudarmo menemukan sahabat baru di kota ini yaitu Muhammad dan Jusuf, sambil mendirikan majalah Pendidikan Perekonomian Rakyat. Dunia mereka adalah mengajar, mengelola majalah, mengurus perpustakaan dan diskusi. c. Latar Sosial Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Latar sosial dalam novel Manusia Bebas yaitu masyarakat pada tahun 1930-an tengah membangun bangsa dan persamaan haknya. Tampilnya golongan terpelajar pada novel ini menunjukkan semangat nasionalis di kalangan kaum muda. Keterlibatan mereka dengan partai-partai pergerakan, misalnya partai Marhaen dan Kebangsaan merupakan ciri masyarakat Indonesia pada masa itu. Peranan Sulastri sebgai istri seorang aktivis sangat menonjol dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa semangat kebangitan dan kemandirian tengah terjadi di masyarakat. Seperti halnya, tokoh Sulastri, Sudarmo dan kawan- kawannya yang memiliki semangat nasionalisme dan pendidikan menjadi bidang dalam perjuangannya. Selain itu, mereka aktif dalam kegiatan Partai Marhaen seperti Sudarmo, Jamil, Harjono, Waluyo dan Gularso. Keadaan mereka pada saat itu serba kekurangan, misalnya tokoh Prawira, seorang guru pada sekolah Kebangsaan yang hidup dengan tujuh orang anak dan seorang istri. Keadaan sosial ekonomi 73

yang serba kekurangan seperti itu menjadi gambaran umum dalam novel ini. Kehidupan Sulastri dan Sudarmo pun tidak jauh berbeda, meskipun ia adalah seorang Kepala sekolah di sekolah tersebut. Namun menurutnya yang terpenting adalah adanya kerja sama sedangkan materi pada prinsipnya dapat dicari.

“Kekurangan uang dapat dipikul, Tri ... aku akan menyaksikannya sendiri. Biarpun begitu, aku kerja keras dan mencurahkannya seluruh tenagaku.” 57 Keyakinan yang seperti inilah membuat Sudarmo tetap bertahan pada kegiatannya, meskipun ia seringkali mengalami kekurangan.

“Seringkali mereka mengalami berbulan-bulan kekurangan uang untuk membeli makanan. Akan tetapi adakalanya mereka mendapat sokongan yang agak lumayan. Ada lagi kesusahan mereka ialah hutang karena pembelian buku- buku sebanyak f. 200.” 58 Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana Sulastri dan Sudarmo mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal ini menggambarkan bagaimana situasi saat itu ikut mempengaruhi cara hidup tokoh-tokohnya. Novel ini menggambarkan bahwa aktivitas terjadinya pergerakan dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1930-an adalah di kalangan kaum pemuda terpelajar. Pada umumnya mereka mengalami pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah.Selain itu, novel Manusia Bebas menggambarkan mengenai adat-adat tradisional dengan membakar kemenyan.

“Begini Pak, bakarlah kemenyan tiap malam Jumat Kliwon, kemudian gosoklah lidah Paman dengan ali-ali emas seperti mereka kerjakan pada burung beo, tentu paman dapat suara berat dari seorang Belanda mabok.”59 Adanya adat tradisional dalam novel ini, membuat pertentangan antara Sulastri dan Sudarmo mengenai metode kuno dan modern.

57Ibid,hlm. 28 58Ibid,hlm. 17 59Ibid,hlm. 104 74

“Ya, kita ini orang modern. Akan tetapi dalam hati kita, kita masih menyediakan sedikit tempat untuk membakar menyan pada saat-saat kehilangan harapan.” 60 “Dengan kedatangan Ibu Sulastri, mulailah pertentangan- pertentangan antara metode kuno dan modern, ibu ingin menutupi puser bayi dengan daun jarak.” Karena” ujar ibu, “ daun jarak membuat perut bayi kempis, yang paling penting untuk seorang anak perempuan”. Sudarmo tak tahan melihat cara-cara kuno dengan daun-daun, rempah-rempah, dan bunga melati, menggerutu.” 61 Selain itu, adanya pandangan orang sunda bahwa anak harus menghormati kedua orang tuanya, bahwa antara orang sekaum-kerabat harus tolong menolong bila mendapat kesusahan dan saling memberikan maaf bila melakukan kesalahan, hal ini digambarkan pada tokoh Marti yang selau ingin membantu adiknya Sulastri dan tokoh Ibu yang selalu memafkan Bapak yang telah menikah lagi dengan Ratna dan Ipah.

“Ibu cinta pada Bapak dengan kasih sayang yang memaafkan semua perbuatanya, cintanya yang tak meminta apa-apa, malah selalu merasakan kegembiraan telah berbaik budi kepada dia.”62 Dapat disimpulkan bahwa novel ini latar waktu tahun 1930an. Latar sosial yang dialami para tokoh pergerakan seperti Sulastri dan Sudarmo yang berjuang mewujudkan cita-cita kebangsaan melalui pendidikan, kesulitan yang harus dihadapi dan adat istiadat yang masih melekat pada zaman itu. Serta latar tempat yang berpindah- pindah menunjukkan situasi yang dialami oleh tokoh utama.

5. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel adalah sudut pandang orang ketiga, karena pengarang mengetahui dan menceritakan segala hal yang terjadi pada tokoh baik berupa perasaan

60Ibid,hlm. 61 61Ibid,hlm. 140 62Ibid,hlm. 148 75

atau pikiran. Dalam novel Manusia Bebas, pencerita menampilkan tokoh-tokohnya dengan menggunakan nama orang, seperti Sulastri, Sudarmo, Jamil, Harjono, Waluyo, Prawira, Lurni, Marti, dan sebagainya. Seperti dalam kutipan berikut.

„Sulastri akan pergi lebih dulu dengan bayinya, Sudarmo akan ikut kemudian, karena masih banyak hal yang harus diurus dulu.‟ 63 Suwarsih menggunakan nama Sulastri dan Sudarmo pada tokoh utamnya dalam novel Manuisa Bebas. Dibawah ini beberapa pengisahan cerita novel Manusia Bebas yang menggunakan sudut pandang orang ke tiga “dia” mahatahu.

“Dalam hatinya ia merasa tak enak juga seperti Sulastri, sebab ia mengeluh, bahwa ia tak dapat duduk lagi di teras, oleh karena Urip dengan seenaknya menerima tamunya di situ dan menganggapnya seperti biasa saja, jika ia menyuguhkan rokok Sudarmo kepada tamunya.” 64 Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga akan membuat pembaca memahami keseluruhan konteks dari tema yang diangkat dalam novel Manusia Bebas. Selain itu, penggunaan sudut pandang orang ketiga juga memposisikan narator lebih objektif dibanding tokoh di dalam cerita.

6. Gaya Bahasa Gaya bahasa dalam novel Manusia Bebas yaitu menggunakan majas hiperbola dan majas personifikasi, serta diselipkan beberapa bahasa Sunda dan Belanda. a. Majas personifikasi Majas personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.

63Ibid,hlm. 154 64Ibid,hlm. 45 76

Bagaikan bintang-bintang yang tersenyum dari kejauhan dapat meringankan penderitaan batinnya. Ia mempunyai kesan, bahwa mereka dalam ucapanya yang tak terdengar, mengatakan padanya:”Kami mengetahui, bagaimana perasaanmu. Kau merasa terpukul dan selalu ingin dipuji.65

Suwarsih mengumpamakan bintang-bintang yang tersenyum, padahal bintang adalah benda mati, sedangkan tersenyum merupakan kegiatan makhluk hidup seperti manusia. Pengertian di sini adalah keadaan Sulastri yang merasa kecewa akan penolakan atas novelnya. Kekecewaannya membuat Sulastri merasa bahwa bintang-bintang dapat merasakan apa yang ia rasakan dan dapat meringkankan kesedihanya, seperti meminta pertolongan untuk membantunya keluar dari kesedihannya layaknya manusia. b. Majas hiperbola Majas hiperbola diartikan sebagai gaya bahasa yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu. Majas hiperbola yang ditemukan dalam novel yaitu. “Aku harus menangis, kurasakan seperti dipukul. Sekarang janganlah terumbang-ambing antara bahasa Sunda dan bahasa Belanda. Sudah nyata bagi mereka, yang kucintai, telah menendang aku ke luar. Mereka telah memberikan aku perasaan berputus asa, bahwa aku telah bekerja dengan sia-sia.”66

Kutipan di atas termasuk kedalam majas hiperbola karena terdapat kalimat yang berlebihan yaitu saat menggambarkan perasaan Sulastri yang merasa kecewa atas penolakan novelnya. Ia merasa orang yang ia cintai telah menendangnya ke luar, dan apa yang telah kerjakannya sia-sia. Selain itu, terdapat bahasa Sunda, yaitu. Ia menggambil mutu dari meja, memperhatikannya dengan cermat dan memutuskan, bahwa mutu itu telah dipakai membuat rujak.67

65 Ibid,hlm. 8 66 Ibid,hlm. 1 67 Ibid,hlm. 19 77

Kutipan di atas menceritakan saat Sudarmo mengajak Sulastri untuk melihat-lihat rumah di Bandung. Kata mutu berasal dari bahasa Sunda yang memiliki arti ulekan dalam bahasa Indonesia.

7. Amanat Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito yaitu bahwa niat baik tidak selamanya dianggap baik oleh orang lain, terus berusaha untuk memperjuangkan hak rakyat dalam pendidikan dan pantang menyerah, jangan mudah percaya kepada orang lain. “Ia ingin menolong; orang mencacinya dengan sebaliknya. Ia bermaksud memajukan sekolah; orang mengecam dia sebagi seorang diktaktor, waktu dia mendesak empat orang guru yang tak cakap dipindahkan dari sekolah itu ke sekolah dari cabang Perguruan Kebangsaan di pedalaman.”68 “Lebih baik dibenci karena kebajikan daripada diuji-puji karena keburukan.”69

B. Nasionalisme dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

Bangsa Indonesia telah dijajah oleh bangsa Barat sejak abad XVI, namun kesadaran nasional sebagai sebuah bangsa baru muncul pada abad ke XX. Kesadaran itu muncul sebagai akibat dari sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda. Karena melalui pendidikanlah muncul kelompok intelektual yang menjadi penggerak nasionalisme Indonesia.70

Suwarsih sebagai seorang intelektual dan pengarang yang menuliskan sebuah novel yang berjudul Manusia Bebas. Novel ini menggambarkan peristiwa tahun 1933 dimana semangat bangsa Indonesia

68Ibid, hlm. 37 69Ibid, hlm. 81 70Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908— 1945, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 16 78

mulai membangkitkan perlawanan kepada bangsa Belanda. Perlawanan ini digambarkan dengan adanya kaum intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Hal ini menyebabkan tokoh intelektual mengalami kesulitan hidup yang sangat berat, mereka harus hidup melarat dan selalu diawasi oleh aparat pemerintahan Belanda.

Novel Manusia Bebas pada mulanya ditolak oleh Balai Pustaka, penolakan ini menurut Ajip Rosidi karena cita-cita kesusastraan yang dibawanya dianggap terlampau maju oleh penerbit sehingga khawatir tidak dimengerti. Namun, menurut H.B. Jassin penolakan itu karena melukiskan perjuangan kaum pergerakan nasionalis. Cita-cita kesusastraan Suwarsih tidak begitu revolusioner untuk menjadi alasan penolakan.

“Tapi H.B. Jassin lebih tjoncong untuk mengatakan bahwa; buku itu ditolak karena melukiskan perdjuangan kaum pergerakan nasionalis.”71 Menurut Eddie Du Perron pada kata pengantar dalam novel Manusia Bebas lebih bersifat pembelaan untuk kaum tertindas dari pada pembelaan untuk kebagusan buku itu dari sudut kesusastraan. Sartono melihat novel ini sebagai sumber “sejarah mentalitas” karena di dalam novel ini melukiskan mentalitas sekelompok nasionalis di zaman pergerakan nasional dalam keadaan yang sangat sulit. Politik kolonial yang sangat konservatif dan represif harus mereka hadapi. Sementara itu mereka harus hidup dalam keadaan depresi ekonomi 1930-an. Namun demikian mereka tidak gentar memperjuangkan kemerdekaan, baik bagi diri sendiri maupun bagi bangsa.72Pada novelnya Suwarsih Djojopuspito mengatakan bahwa ia mengajak pemuda pada zamannya untuk bertabah hati dengan segala resiko yang dialami dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan:

71 CH. Kiting, “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”, (Mimbar Indonesia, XVII). No 5. 72P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm. 349 79

“ Dengan demikian, maksud saya dulu itu, yaitu mengajak pemuda seumuran saya supaya bertabah hati dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan Indonesia.”73 Nasionalisme memiliki ideal sebagai arah tujuan nasionalisme yang diperjuangkan yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional. a. Otonomi Nasional Otonomi nasional yaitu nasionalisme sebagai dasar perjuangan menuju kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dengan memiliki pemerintahan sendiri di atas tanah airnya, bebas dari tekanan luar. Menurut Toeti Heraty, novel Manusia Bebas atau Buiten het Gareel yang berarti di luar jalur, khususnya di luar jalur perilaku. Ditulis oleh seorang pribumi perempuan, dalam zaman kolonial Belanda, artinya menjadi suatu gambaran perilaku perjuangan suami istri bercorak patriotik dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia tahun 1930-an, dalam konteks kehadiran Ir. Soekarno di kota Bandung. Selain itu, karena menyangkut seorang perempuan bersuami, dalam perjuangan bersama suami dan dalam kegitan sehari- hari sebagai guru sekolah swasta pribumi, kegiatan inipun terletak di luar jalur kelaziman, sebagai kegiatan di sekolah “liar” dan sebagai istri dengan kegiatan di luar rumah tangga.74 Suwarsih Djojopuspito menterjemahkan bukunya dengan judul Manusia Bebas. Manusia bebas ialah manusia yang bebas dari prasangka, bebas dari ketakutan, dari bentuk-bentuk dan tradisi-tradisi yang mengikat, dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya, seringkali mengalami kegagalan, seringkali mendapatkan perlawanan dari kawan-kawan sendiri dan ia sadar bahwa manusia sekalipun berulangkali jatuh dan bangun, namun harus tetap berusaha untuk

73Suwarsih Djojopuspito, Manusia Bebas, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. V 74Ibid, hlm. XVI 80

dapat memikirkan pembangunan masa depan yang lebih baik bagi bangsanya.75 Kebebasan yang digambarkan oleh Suwarsih yaitu dengan anak-anak yang sedang bermain, menurutnya bahwa kebebasan bukan kebebasan dengan bertindak sesuka hati dan tidak memperhatikan apapun. Artinya kebebasan batin, dengan mendidik anak-anak dengan baik namun tidak membuat jiwa anak-anak tertekan. “Mereka mengira, bahwa „kebebasan‟ itu berarti „bertindak semaunya sendiri dengan tidak mengindahkan apapun juga. Walaupun artinya „kebebasan‟ itu mendidik anak-anak, akan tetapi sedemikian rupa jangan sampai wataknya sendiri menjadi tertekan.”76 Salah satu tugas gerakan kebangsaan seharusnya membebaskan, menyadarkan wanita Indonesia, sehingga dia dapat bahu membahu dengan suaminya melakukan perjuangan nasional dengan hak-hak dan tanggungjawab yang sama. Hubungan suami istri juga memainkan peranan yang penting dalam novel Manusia Bebas yang digambarkan dengan tokoh Sulastri (salah seorang dari kedua tokoh utama) berusaha keras menjadi patner yang setaraf dengan suaminya Sudarmo. Selain itu, Suwarsih menggambarkan tokoh-tokoh perempuan modern dan berpendidikan, yang mampu membantu suaminya untuk menjalankan tugas nasional, tanpa terkurung tradisi bahwa seorang istri hanya menjalakan tugas rumah tangga saja, seperti Sulastri, Lurni, Marti. Meraka adalah perempuan yang modern yang sama-sama berjuang dan ikut dalam sebuah organisasi wanita. Tokoh Sulastri digambarkan sebagai perempuan yang mampu memilih pasangan hidupnya tanpa ada tradisi perjodohan, perempuan yang mampu membantu suaminya dalam menjalankan tugas nasional seperti ikut menjadi guru di sekolah Kebangsaan.

75Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37. 76Suwarsih,Op.Cit, hlm. 44 81

Ia merasa gembira dalam pengorbanan ini dan ketandusan keuangan yang mendesak seperti karunia Tuhan; sebagai suatu kehormatan. Rasa kebahagiaan memenuhi hatinya jika ia teringat, bahwa ia lakukan semua ini untuk tanah airnya, satu perlambang, yang pada waktu itu mempunyai wajah Sudarmo dan sekolah. Ia merasa berbahagia, oleh karena ia bekerja dengan sungguh-sungguh dan mencintai Sudarmo.77 Menurutnya kesulitan ekonomi dan pengorbanan yang ia lakukan sebagai suatu kehormatan untuk bangsanya. Ia sangat mencintai suaminya dan memiliki tanggungjawab untuk berjuang bersama suaminya untuk kepentingan bangsanya. Selain itu, adapula perempuan yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga meskipun ia berpendidikan, karena menurutnya mengurus anak lebih penting dibandingkan harus memberikan kursus-kursus pada anggota-anggota perkumpulan wanita.

Menurut Suwarsih kebebasan yaitu manusia yang bebas dari prasangka, bebas dari ketakutan, dalam usahanya untuk membebaskan pikiranya, seringkali mengalami kegagalan. Hal ini yang digambarkan oleh Suwarsih dalam novelnya. Kebebasan ini digambarkan dengan adanya tokoh Idih sebagai seorang pribumi yang bekerja sebagai kandidat Inlands bestuurambtenar, yang didetasir di PID yang telah menyita koran-koran yang diterbitkan oleh Sudarmo yang dianggap dapat mengasut anak-anak. Penyitaan ini tidak membuat Sudarmo merasa takut, karena menurutnya wajar untuk membandingkan sekolah gupernemen dengan sekolah kebangsaan. Bahkan Ki Hajar Dewantoro yang selama sepuluh tahun telah mendirikan sekolah yang sama tidak memakai modal lain kecuali semangatnya dan keinginannya untuk mengangkat derajat rakyat. Kebebasan yaitu menjalankan tugas bagi bangsanya dalam bidang pendidikan tanpa harus diawasi oleh pangreh praja. Meskipun untuk mendapatkan kebebasan itu harus berhadapan dengan bangsanya sendiri.

77Ibid, hlm. 46 82

“Sudarmo diperingatkan kepada tragik dari masyarakat kolonial, dimana „sawo matang di lepaskan pada „sawo matang‟ untuk mengabdikan pemerintah orang kulit putih.”78 b. Kesatuan Nasional Kesatuan nasional atau persamaan kedudukan yaitu menyatukan anggota bangsa secara sosial dan kultural yang berusaha mengembalikan martabat yang telah dirusak oleh pihak eksternal seperti yang dilakukkan oleh bangsa Belanda. Dengan adanya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa telah menyebabkan rakyat Indonesia mati kelaparan di tanah airnya yang subur dan kaya raya. Sebaliknya sistem tanam paksa ini telah memberikan keuntungan kepada Belanda, rakyatnya menjadi makmur dan sejahtera karena cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, penciptanya yaitu Johannes van den Bosch. Namun rakyat Indonesia sangat menderita dan banyak yang mati kelaparan akibat pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Rakyat Indonesia dengan sengaja dibiarkan hidup dalam kebodohan oleh kaum penjajah. Rakyat Indonesia sangat terbelakang, kedudukan ekonomi semakin merosot dan sangat lemah. Rakyat yang bodoh dan terbelakang tidak akan mengerti dan tidak akan menyadari kepincangan-kepincangan serta ketidakadilan yang berlaku di tanah airnya, mudah diperintah dan dijajah, mudah ditindas dan diperas oleh kaum bangsa asing yang sekolah, sehingga rakyat Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ditindas dan diperas dengan semena- mena oleh kaum penjajah.79 Penderitaan dan kemiskinan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia, digambarkan oleh Suwarsih dengan gaji guru yang rendah. Prawira salah satu guru di Sekolah Kebangsaan harus menghidupi istri dan tujuh orang anaknya dengan gaji yang minim. Kesulitan ekonomi

78 Ibid, hlm. 108 79Sagimun M.D, Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi, (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah, 1988), hlm. 175—178 83

juga dialami oleh Sudarmo dan Sulastri yang harus berpindah-pindah untuk mencari pekerjaan. Namun semangat Sudarmo untuk membuat sekolah kaum pribumi tidak pernah padam dengan segala keterbatasan ekonomi yang mereka alami, ia selalu berusaha untuk mewujudkan cita-citanya bersama dengan teman-temannya yang memiliki cita-cita yang sama. Kesulitan yang dialami Sudarmo dan teman-temanya tidak membuat mereka menyerah, namun saling membantu satu sama lain agar bisa membuat sekolah bagi pribumi. Hal ini menggambarkan bahwa penderitaan yang mereka alami telah membuat mereka bersatu semakin erat untuk tujuan nasional. Ketika Sudarmo mengetahui bahwa penghasilan sekolah semakin surut Sudarmo berusaha untuk memberikan semangat pada guru-guru kebangsaan. Kesulitan ekonomi yang dialami Sudarmo dan Sulastri, membuat Sudarmo mengkritik istrinya yang berpenampilan parlente, karena menurutnya tidak pantas untuk berpenampilan seperti itu dalam keadaan yang sulit seperti ini. “Akan tetapi tak menurut perasaan yang halus jika kau datang dalam suasana melarat memakai pakaian seindah itu. Jangan dipakai lagi baju itu. Di sini terlalu bagus.”80

Selain itu, Ayah Sulastri yang selalu membandingkan antara Kartanegoro dan Sudarmo dalam pekerjaan. Bahwa Kartanegoro memiliki gaji yang tetap karena bekerja pada pemerintahan Belanda sedangkan Sudarmo memiliki gaji yang rendah karena ia bekerja pada pergerakan nasional dalam mendirikan sekolah. Hal ini, membuat Sulastri merasa terombang ambing dalam keinginan hidup berkecukupan, sehingga membuat Sudarmo berkerja sebagai Klerk sama dengan iparnya Kartanegoro. Namun, Sudarmo tetap ingin menjalankan tugasnya yaitu mendirikan sekolah, gaji yang didapatnya digunakan sebagai modal untuk membuat sekolah di Bogor.

80Suwarsih, Op.Cit, hlm. 29 84

Suwarsih dengan jelas menggambarkan bagaimana pengaruh kemiskinan pada rakyat Indonesia, ia menjelaskan bagaimana murid- murid sekolah Kebangsaan menggunakan pakaian yang sobek-sobek dan menambalnya untuk sekolah. Selain itu, rakyat Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang layak, hal ini digambarkan dengan tokoh Juhariah istri Sutrisno, yang akan melahirkan ia lebih memilih melahirkan pada Mak Dukun dengan kuku yang kotor dan kebersihan yang kurang, dibandingkan melahirkan dengan bantuan bidan. c. Identitas Nasional Bahasa juga menjadi salah satu faktor adanya nasionalisme karena bahasa menjadi ciri khas atau identitas masyarakat bumi putera yang membedakannya dari masyarakat atau orang Belanda yang menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya baik dalam kepentingan resmi maupun pergaulan. Bahasa merupakan bagian dari identitas nasional karena tertuang dalam sumpah pemuda 1928 yaitu sumpah pemuda yang ketiga yaitu bahasa persatuan, bahasa Indonesia yaitu Indonesia memiliki keragaman bahasa dari berbagai suku dan budaya. Untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan, pemuda sepakat untuk menggunakan basa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Dalam bidang pendidkan bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam memberikan pelajaran. Akibatnya masyarakat tidak peduli lagi dengan pemakaian bahasa Indonesia dan mereka tidak pernah merasa malu apabila mereka tidak menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Apabila seseorang ingin disegani dan dihormati dalam kehidupan sehari-hari maka ia harus menguasai bahasa Belanda dengan baik. 85

“Joyokuno senang menggunakan kata-kata asing, karena dengan demikian ia dapat meninggikan derajatnya sebagai seorang intelek terhadap orang-orang biasa.”81

Pemakaian bahasa Belanda dapat menentukan status pemakainya, selain itu dengan menggunakan bahasa Belanda dengan baik masyarakat Indonesia merasa lebih terpelajar dan lebih terhormat. Akibatnya tidak banyak masyarakat Indonesia yang mau mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia dengan serius, dan mereka merasa cukup menguasai bahasa Indonesia hanya untuk komunikasi umum saja. Seperti halnya tokoh Pak Joyokuno yang sudah berusia 35 tahun yang ingin mengikuti ujian bahasa Belanda, ia belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat lulus dalam ujian tersebut. Pak Joyokuno senang menggunakan bahasa asing, karena menurutnya dengan menggunakan bahasa asing akan mempu meninggikan derajatnya sebagai seorang yang intelek terhadap orang biasa. Bahasa menjadi salah satu faktor tumbuhnya nasionalisme, karena karangan yang ditulis dalam bahasa sendiri akan mudah dipahami dan mampu menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia. Hal ini tergambar ketika kekecewaan Sulastri akan karangannya yang ditolak. “apakah tidak lebih baik kembali lagi ke bahasa sendiri. Pada akhirnya bahasa Belanda itu tak lain tak bukan banya bahasa asing saja dan apa lagi, semua buah pikiran Indonesia yang ditulis dalam bahasa itu akan mempunyai arti untuk sementara saja, sedangkan jika ditulis dalam bahasa sendiri, karangan itu dapat hidup lebih lama.”82

Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh Sulastri yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia, karena menurutnya suatu pikiran yang ditulis dalam bahasa Indonesia akan memiliki arti yang

81Ibid,hlm. 123 82Ibid,hlm. 5 86

lebih lama dibanding dengan bahasa asing. Karena akan bermanfaat untuk bangsanya sendiri, sedangkan bahasa asing hanya bahasa pengantar dan digunakan untuk kepentingan sendiri, misalya sebagai alat untuk meninggikan derajat seseorang. C. Faktor Nasionalisme Faktor nasionalisme terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu adanya politik etis bagi bangsa Indonesia terutama dibidang pendidikan yang tujuannya untuk mengangkat harkat dan martabat kaum pribumi dari kebodohan, ternyata ditujukan untuk mencetak tenaga pada administrasi dan birokrasi Belanda, serta sebagai buruh dalam perusahaan-perusahaan swasta. Walaupun dari sudut pandang kolonial kebijakan pendidikan Belanda diarahkan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Namun dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat telah melahirkan elit baru. Elit baru inilah yang menjadi pelopor pergerakan nasional.

Pelaksanaan politik etis secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat penjajah. Seperti halnya Ki Hajar Dewantara yang berpendidikan membuat Taman Siswa yang merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya.83 R.A Kartini yang berjuang khusus di bidang pendidikan kaum perempuan, lahirnya Budi Utomo untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia melalui pendidikan.

Pertama, Suwarsih adalah salah satu hasil dari para elit baru, ia mendapatkan pendidikan di sekolah Kartini. Suwarsih tergolong dalam „kaum proletariat intelektuil‟ yang tidak tertarik pada pekerjaan yang bergaji bagus pada gupermen, namun ia lebih memilih untuk mendidik

83 Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Departemen dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989), hlm. 96 87

rakyat yang bodoh dan tidak berpendidikan.84 Ia menuangkan pengalamannya dalam novel Manusia Bebas yaitu dengan adanya politik etis, Suwarsih memunculkan tokoh Kartanegoro ia adalah seorang Sarjana Hukum dan bekerja sebagai Klerk pada pemerintahan Belanda. Hal ini didukung oleh Ayahnya Sulastri bahwa ia lebih menyukai Kartanegoro yang memiliki perkerjaan dan gaji yang tetap sebagai klerk pada pemerintahan Belanda dibandingkan Sudarmo yang bekerja sebagai guru untuk kepentingan bangsanya sendiri.

Tokoh Idih adalah seorang pribumi yang bekerja sebagai kandidat Inlands bestuurambtenar di PID. Ia dibertugas untuk menyita koran-koran yang ada di sekolah Sudarmo karena ada perkataan yang menyinggung.Tokoh Idih muncul untuk mewakili pemerintahan Belanda yang menyita surat kabar yang diterbitkan oleh orang-orang pergerakan nasional seperti Sulastri dan Sudarmo.

Selain itu, timbulnya kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan dan pengajaran. Perluasan dan peningkatan pengajaran dan pendidikan menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat untuk melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia. Hal ini, digambarkan dengan tokoh-tokoh Sudarmo sebagai Sarjana Hukum dan sebagai Kepala Sekolah di sekolah Kebangsaan, Jamil adalah seorang guru di Perguruan Kebangsaan, ia sangat ahli soal tumbuh-tumbuhan dan kekhewanan, karena ia telah duduk di kelas tiga Sekolah Kekhewanan., Harjono mengajar pelajaran bahasa Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, ia bersekolah di A.M.S bagian Sastra Barat dan telah duduk di kelas tertinggi, Waluyo, Prawira, Lurni, Ribowo, Sulastri, Yusuf, Muhammad,

84 Gerard Termorshuizen, “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”, no 32 tahun 1978. Hlm 34—37. 88

Marti, dll yang mendapatkan pendidikan akibat dari adanya politik etis. Sehingga membuat para tokoh tersebut memiliki tanggungjawab untuk mencerdaskan bangsanya sendiri. Tujuan mereka adalah untuk mencerdaskan bangsa pribumi yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh pihak Belanda, karena keterbatasan yang dilakukan oleh Belanda dalam mendapatkan pendidikan.

Kedua, rasa kebangsaan ini telah menjadi faktor yang kuat untuk menggelorakan semangat nasionalisme dikalangan nasionalis. Dalam novelnya, Suwarsih menumbuhkan semangat nasionalisme dengan memunculkan tokoh Soekarno sebagai seorang pemimpin yang mampu menumbuhkan semangat nasional pribumi dalam menjalankan tugasnya.

“Mereka yang meninggalkan pekerjaannya dan dengan demikian mengorbankan upah, sehingga dapat menceburkan dirinya dalam pengabdian kepada perguruan nasional atau kesibukan pergerakan yang memeras keringat dan tenaga mereka, merekalah yang dicap sebagai pendekar. Jiwa menyalakan api dalam sanubari kaum muda.”85 Hal ini menjelaskan bagaimana semangat yang diberikan oleh Sukarno kepada kaum nasionalis dalam pengabdian untuk bangsanya, mereka yang rela bekerja dengan upah minim dan rela meninggalkan pekerjaannya pada pemerintahan Belanda untuk kepentingan bangsanya sendiri.

Ketiga, mayoritas bangsa Indonesia yang beragama Islam menganggap Islam sebagai satu kesatuan yang bisa memupuk rasa kebangsaan. Rasa kebangsaan itulah yang digunakan untuk mengobarkan semangat nasionalisme melawan penindasan dari kekuasaan Belanda. Hal ini terlihat pada percakapan antara Sutrisno dan Sudarmo bahwa untuk menumbuhkan rasa kebangsaan kita harus memberikan semangat di desa bukan hanya menebarkan semangat di kota saja. Hal ini yang menyebabkan Sutrisno memutuskan untuk pergi ke desa untuk

85Ibid, hlm. 16 89

menumbuhkan semangat kebangsaan. Namun, untuk menumbuhkan semangat di Desa ia harus ikut mempelajari agama dan adat istiadat yang mereka anut di desa.

“Jika kita ingin menawan hati mereka dan mendapat kepercayaan mereka, maka kita harus mengalahkan ajengan-ajengan itu dengan senjata mereka. Kita harus semngahyang dan berpuasa dan harus mengenali adat istiadat mereka.”86 Kutipan di atas menjelaskan bahwa perjuangan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme harus mengikuti dan mempelajari adat istiadat serta agama yang ada di desa, agar dapat memperkokoh hubungan antara desa dan kota dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

Keempat, pengaruh sistem pendidikan dan pengajaran modern atau barat banyak melahirkan dan menumbuhkan kaum terpelajar bangsa Indonesia yang berkesimpulam bahwa bangsa Indonesia hanya dapat mencapai kemajuan dan nasib yang lebih baik melalui jalur pendidikan dan pengajaran. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh, kaum terpelajar atau kaum intelektuil bangsa Indonesia mulai mengandung cita- cita dan pemikiran-pemikiran serta gagasan-gagasan untuk memajukan serta meningkatkan taraf hidup bangsanya.

Dekat pintu di dinding muka selama itu telah digantungkan papan yang lebar panjang, dimana tertulis dengan huruf merah tua dan artistik; REDAKSI DAN ADMINISTRASI PENGHIDUPAN RAKYAT87 Pertumbuhan dan perluasan nasionalisme Indonesia telah dibantu oleh teknik-teknik penyebaran gagasan yang dilakukan oleh surat kabar bumi putera dan radio. Hal ini dilakukan oleh Suwarsih dengan perjuangan Sudarmo dan kawan-kawannya menerbitkan sebuah koran dan disebarkan di sekolah, namun kora yang dibuat oleh Sudarmo disita oleh serdadu Belanda, karena dianggap telah menyinggung pemerintah. Penyitaan ini

86Ibid, hlm. 212 87 Ibid, hlm. 182 90

tak membuat semangat Sudarmo terhenti, ia lalu pindah ke Yogja dan menerbitkan Majalah Penghidupan Rakyat.

Selain faktor-faktor dari dalam faktor-faktor dari luar juga berpengaruh atas kelahiran nasionalisme Indonesia. Namun dalam penelitian ini hanya faktor internal yang terdapat dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Karena pada novel lebih menggambarkan mengenai perjuangan pergerakan dibidang pendidikan, adanya kesadaran nasional dan harga diri sebagai bangsa pada rakyat Indonesia adalah akibat meluasnya dan meningkatnya pendidikan dan pengajaran. Perluasan ini menyebabkan pemuda-pemuda pelajar bangsa indonesia memiliki pikiran-pikiran yang maju. Mereka semakin sadar akan harga dirinya sebagai bangsa. Inilah yang menjadi pendorong yang kuat untuk melahirkan serta menumbuhkan nasionalisme indonesia.

D. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Pembelajaran sastra di sekolah ada dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. sedangkan untuk materi novel sesuai dengan silabus Kurikulum 2013, diajarkan di tingkat SMA kela XI (sebelas) semester genap (dua). Hasil analisis ini dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbahasa dan sastra seperti yang terdapat di RPP, dengan kompetensi dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita fiksi dalam novel baik lisan maupun tulisan dengan cara menentukkan sifat tokoh dan cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Siswa diharapkan mampu menganalisis kedudukan dan sifat tokoh serta mampu menginterpretasi makna yang terkandung di dalam novel. 91

Kaitan sastra dalam pengajaran dapat membantu pengajaran kebahasaan karena sastra dapat meningkatkan keterampilan dalam berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan demikian sastra dapat meningkatkan pengetahuan budaya, memperluas wawasan hidup, pengetahuan-pengetahuan lain, serta mengembangkan kepribadian. Dalam hal pengajaran sastra khususnya novel dapat meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Dalam novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya melalui kegiatan membaca, karena sastra membahas permasalahan kemanusiaan serta kehidupan. Pembelajaran sastra mengenai analisis novel dapat diterapkan oleh guru untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra adalah cukup mudahnya karya sastra tersebut dipahami siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing. Namun karena tingkat kemampuan setiap individu berbeda, maka guru dituntut menggunakan strategi kerja kelompok dengan baik. Penggunaan novel Manusia Bebas sebagai bahan pembelajaran menarik siswa untuk mengetahui keadaan sejarah pada masa sebelum kemerdekaan. Siswa akan lebih menarik untuk mengembangkan daya imajinasinya dengan bahan pembelajaran karya sastra bernuansa sejarah yang belum diketahui sebelumnya. Penggunaan bahasa yang disertai campuran bahasa Sunda akan memperkaya kosakata siswa. Novel Manusia Bebas menceritakan mengenai semangat nasionalisme pada masa pergerakan melawan penjajahan Belanda dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Hal ini tentunya akan memberikan nilai-nilai positif bagi siswa untuk mengembangkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 92

Saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, siswa diharapkan telah membaca novel Manusia Bebas. Dalam pertemuan pertama dengan indikator mampu menentukkan unsur intrinsik novel meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang. Pada pertemuan kedua dengan indikator mampu menginterpretasikan makna yang terkandung pada teks novel, guru mulai pembelajaran dengan meminta siswa untuk menyampaikan pendapatnya mengenai nilai nasionalisme yang terdapat di dalam novel. Hal ini bertujuan untuk memastikan siswa telah siap memasuki pembelajaran. Guru dapat melengkapi pengetahuan siswa dengan memberikan informasi mengenai nilai nasionalisme. Terdapat keterkaitan antara sastra dengan sejarah, seperti dalam novel Manusia Bebas erat kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia, hal ini tentunya erat kaitannya dalam pembelajaran sastra di SMA. Dalam hal ini guru bahasa Indonesia harus melakukan sharing atau bertukar pendapat dengan guru sejarah, agar tidak terjadi kerancuan atau perbedaan mengenai pengetahuan sejarah yang diajarkan oleh siswa, sehingga siswa tidak kebingungan. Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berkarakter yang menggunakan pendekatan tematik dan kontekstual, diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan meninternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak sehingga terwujud dalam prilaku sehari-hari. Selain itu, siswa diharapkan dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan tanggung jawab.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan Dari uraian yang dilakukan oleh penulis, mengenai nasionalisme dalam novel Manusia Bebas dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA, maka dapat disimpulkan. 1. Novel Manusia Bebas menggambarkan adanya nasionalisme yang digunakan untuk menggerakkan bangsa Indonesia bangkit dari penindasan penjajah Belanda. Novel ini menjadi sejarah bangsa Indonesia. karena dalam novel yang berlatar tahun 1930-an di mana masa pergerakan dan semangat kebangsaan mulai membakar jiwa rakyat Indonesia. Semangat nasionalisme diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap, hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda dan dimusuhi oleh kawan seperjuangan atau keluarga. Namun segala beban hidup tersebut, mereka hadapi dengan “gagah”. Satu tekad mereka ialah mereka lebih senang bekerja untuk bangsanya sendiri walaupun harus menderita karenanya. Nasionalisme memiliki ideal fundamental sebagai arah tujuan nasionalisme yang diperjuangkan yaitu mewujudkan otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional, serta adanya faktor internal yang membangkitkan nasionalisme. 2. Penelitian ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, dalam aspek membaca dan memahami

93 94

karya sastra. Dalam pembelajaran sastra ini, kompetensi yang harus dicapai siswa ialah menganalisis teks novel dengan menjelaskan unsur- unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel. Tujuan dari pengajaran novel tersebut adalah agar siswa mampu mengapresiasi novel yang memiliki nilai-nilai nasionalisme dengan menggali hubungan antara karya sastra dengan keadaan sosial yang ada di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, novel Manusia Bebas sebagai karya sastra yang menjadi dokumen sejarah perjuangan nasionalisme dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Selain itu, siswa diharapkan dapat mengamalkan nilai nasionalisme, semangat kebangsaan, cinta tanah air dan tanggung jawab.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra, maka penulis menyarankan. 1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pengajaran bidang bahasa dan sastra, khususnya tentang karya sastra novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penelitian lebih lanjut mengenai nasionalisme. 3. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami struktur yang membangun novel Manusia Bebas. Khususnya keterkaitan antara unsur-unsur cerita seperti tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Kemudian membantu pembaca untuk memahami nasionalisme yang ditampilkan dalam novel. Selain itu, pembahasan novel Manusia Bebas ini sebagai bahan acuan dalam pembelajaran sastra di sekolah, seperti memberikan pemahaman terhadap siswa dalam mempelajari pokok bahasan menentukan dan menganalisis unsur- unsur instrinsik dan ekstrinsik novel.

DAFTAR PUSTAKA

A.N., Firdaus. Syarikat Islam bukan Budi Utomo. Jakarta: CV. Datayasa .1997.

Aziez, Furqonul dan Abdul Hamid, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera. 2003.

Dahm, Bernhard. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES. 1987.

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1979.

Dewan Redaksi. “Ensiklopedia Sastra Indonesia”. Bandung: Titisan Ilmu. 2004.

Djojopuspito, Suwarsih. Manusia Bebas. Cet. Ke 2. Jakarta: Djambatan. 2000.

Djojosuroto, Kinaryanti. Analisis Teks Sastra dan Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka. 2006.

Endraswara, Suwarsih. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2011.

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Kiting, CH. “Seni dan Kebudayaan: Suwarsih Djojopuspito”. Mimbar Indonesia, XVII. No 5

Kosasih,E. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. 2012.

Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

Leirissa, R. Z. Dkk. Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah Pemuda. Jakarta: Depdikbud.1989.

Ling, Tan Swie. Masa Gelap Pancasila: Wajah Nasionalisme Indonesia. Depok: LKSI (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia. 2014.

M.D, Sagimun. Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah. 1988.

Matthew, Milles dan Huberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 1992.

95 96

Miert,Hans Van. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930. Penerjemah: Sudewo Sutiman. Jakarta: Hasta Mitra. 2003.

Mihardja, Ratih. Buku Pintar: Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara. 2012.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011.

Mustopo. M. Habib. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2010.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2013.

Oeroek S.H, M. Hoeta. Seluk Beluk Nrgara: suatu pengantar sederhana. Djakarta: Erlangga.1971.

Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia. Yogyajarta: Graha Ilmu. 2008.

Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi. 3. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.

Pusat Dokumen Sastra H.B. Jassin, Biodata Sastrawan.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: penerbit KANISIUS. 1996.

Ratna, Nyoman Khuta. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2007.

Rustapa, Anita K., Agus Sri Danardana, dan Bambang Trisman, Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920—1950. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977.

Sayuti, Suminto A. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. 1996.

Semi,M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. 2012.

Serba Serbi Negeri Belanda. No. 11, 27 Februari 1968. Pusat Dokumen Sastra.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008. 97

Smith, Anthony D. Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah, Terjemahan dari Nasionalism: Teori, Ideologi, History, ter. Frans Kowa. Jakarta: Erlangga, 2003.

Soeratman, Darsiti. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1989.

Staton, Robert . Teori Fiksi. terj. Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pealajar. 2007.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. 1988.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia: dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994.

Suprapto. Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra. Surabaya: Indah. 1993.

Swantoro, P. Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia. 2002.

Tarigan, Henry Guntur . Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. 1984.

Termorshuizen, Gerard. “Serba-serbi Negeri Belanda: „Mengenang Soewarsih Djojopuspito Pengarang Buiten het Gareel‟”. no 32 tahun 1978.

Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia: Dari Kebangkitan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press. 1995.

Widjodjoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006.

Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Satuan Pendidikan : SMA

Kelas / Semester : XI/2

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1x pertemuan)

A. Kompetensi Inti

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia.

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah keilmuan terkait.

B. Kompetensi Dasar

3.1 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel. 3.2 Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh. 3.3 Memahami struktur dan kaidah teks novel baik melalui lisan maupun tulisan. 3.4 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan.

C. Indikator

1. Menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa. 2. Memiliki sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam mengunakan bahasa Indonesia untuk menganalisis teks novel, baik melalui lisan maupun tulisan dengan kreatif. 3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun tulisan. 4. Menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun tulisan dengan tepat.

D. Tujuan Pembelajaran Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu : 1. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks dalam novel. 2. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita fiksi dalam novel. 3. Siswa mampu menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun tulisan. 3 4. Siswa mampu menyusun hasil analisis struktur novel baik secara lisan maupun tulisan dengan tepat.

E. Materi Pelajaran 1. Penjelasan mengenai struktur novel (unsur intrinsik) a. Tema b. Tokoh dan penokohan c. Alur d. Latar (tempat, waktu, dan sosial) e. Sudut pandang f. Gaya bahasa 2. Menganalisis teks novel a. Membaca teks novel b. Menjelaskan tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa dengan menyertakan kutipannya. c. Menulis hasil analisis teks novel d. Menyampaikan hasil analisis teks novel secara lisan F. Metode Pembelajaran 1) Diskusi. 2) Inkuiri. 3) Ceramah. 4) Penugasan.

G. Kegiatan Pembelajaran Pertemuan I ALOKASI KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN WAKTU

Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari 15 menit peserta didik untuk memimpin doa bersama 2. Guru mengkondisikan dan momotivasi peserta didik dengan memberikan informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3. Guru mengajak peserta didik bertanya jawab untuk menggali pengetahuan awal mengenai novel “Anak-anak, bagaimana novel yang telah kalian baca? Apakah ada tokoh yang kalian kagumi? Pada pembelajaran kali ini kita akan belajar tentang unsur intrinsik atau unsur yang membangun novel”. 4. Siswa menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, dan langkah pembelajaran yang akan dilakasanakan. 5. Guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok Kegiatan Mengamati : 60 Inti 1. Membaca teks tentang struktur dan kaidah menit teks novel. 2. Mencermati uraian yang berkaitan dengan struktur dan kaidah teks novel. Mempertanyakan : 1. Bertanya jawab tentang hal-hal yang berhubungan dengan unsur intrinsik dan nilai nasionalisme dalam novel. Mengeksplorasi : 1. Menentukkan unsur intrinsik dalam yang terdapat pada novel Manusia Bebas Mengasosiasikan : 1. Mendiskusikan tentang unsur intrinsik pada novel 2. Menyimpulkan hal-hal terpenting dalam menentukkan unsur intrinsik novel. Mengomunikasikan : 1. Menuliskan laporan kerja kelompok tentang unsur intrinsik pada novel. 2. Siswa secara bergiliran menyampaikan laporan mengenai unsur intrinsik pada novel Manusia Bebas dan siswa lain memberi tanggapan. Penutup 1. Siswa diminta mengungkapkan 15 menit pengalamannya dalam mengidentifikasi unsur intrinsik pada novel 2. Siswa bersama guru menyimpulkan hasil pembelajaran. 3. Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya secara kelompok, menentukan nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel.

Pertemuan II

ALOKASI KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN WAKTU

Kegiatan Awal 1. Guru mempersilahkan salah satu dari 15 Menit peserta didik untuk memimpin doa bersama 2. Mengkondisikan dan momotivasi peserta didik bahwa mengerti unsur intrinsik penting guna pemahaman novel keseluruhan. 3. Mengajak peserta didik bertanya jawab untuk menggali pengetahuan pelajaran pertemuan sebelumnya.“Anak-anak, bagaimana tugas mengenai nilai nasionalismenya? Pada pembelajaran kali ini kita akan belajar tentang menerangkan nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel Manusia Bebas

Kegiatan Inti Mengamati : 60 menit 1. Mencermati uraian yang berkaitan dengan nilai nasionalisme Mempertanyakan : 1. Bertanya jawab mengenai hal yang berhubungan dengan nilai nasionalisme yang siswa ketahui Mengeksplorasi : 1. Siswa menentukkan dan menampilkan nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel Manusia Bebas Mengasosiasi : 1. Peserta didik mendiskusikan dan menghubungkan nilai nasionalisme dalam novel Manusia Bebas dengan kehidupan sehari-hari Mengomunikasikan : 1. Siswa secara bergiliran menyampaikan laporan mengenai nilai nasionalisme pada novel Manusia Bebas dan siswa lain memberikan tanggapan. Kegiatan Akhir 1. Guru memberikan penilaian 15 meni 2. Peserta didik diminta mengungkapkan t pengalamannya dalam mengidentifikasi nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel Manusia Bebas 3. Guru bersama peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran mengidentifikasi nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel Manusia Bebas 4. Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya secara individu, menulis poster di kertas A4 dengan tema nasionalisme

H. Sumber/ Media Pembelajaran

1. Buku Teks Bahasa Indonesia SMA Kelas XI

2. Novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito

3. Buku referensi lain yang menunjang materi struktur novel

I. Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Indikator Pencapaian Teknik Penilaian Bentuk Instrumen Kompetensi 1. Menggunakan bahasa Penilaian Lembar penilaian Indonesia sesuai dengan Observasi sikap kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa.

2. Memiliki sikap tanggung Penilaian 1. Tes Tertulis jawab, peduli, responsif, dan Observasi kinerja 2. Rubrik santun dalam mengunakan penulisan laporan penilaian bahasa Indonesia untuk kinerja menganalisis teks novel, baik melalui lisan maupun tulisan

dengan kreatif 3. Menganalisis struktur dan kaidah teks novel baik secara lisan maupun tulisan. 4. Menyusun hasil analisis Latihan 1. Lembaran struktur novel baik secara menyusun hasil tugas latihan lisan maupun tulisan dengan analisis 2. Rubrik novel tepat. penilaian latihan

J. Pedoman Penskoran 1. Jelaskan tema dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

2. Jelaskan Tokoh dan Penokohonan dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

3. Jelaskan bagaimana alur dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

4. Jelaskan latar dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

5. Jelaskan sudut pandang dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

6. Jelaskan bagaimana gaya bahasa dalam teks novel dengan menyertakan kutipannya!

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

7. Jelaskan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat dalam novel

No Nama Kelompok Aspek Skor Tepat dan disertai kutipan 5 Tepat dan tidak disertai kutipan 4 Kurang tepat dan disertai kutipan 3 Kurang tepat dan tidak disertai kutipan 2

Perhitungan akhir:

Nilai Perolehan Skor X Skor Ideal : = Akhir Skor Maksimum (100)

Jakarta, 13 Juni 2017

Mengetahui: Kepala Sekolah Guru Bahasa Indonesia

(...... ) (Syarifah Aliya) NIP. 1112013000013

Lembar pengamatan I

LEMBAR PENGAMATAN SIKAP

Mata Pelajaran : Kelas/Semester : Tahun Ajaran : Waktu Pengamatan :

Bubuhkan tanda v pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.

Penggunaan Keefektifan Kesesuaian No Nama Siawa Diksi Kalimat Konteks 1 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 2 3 4

Keterangan: 1 = kurang 2 = sedang 3 = baik 4 = sangat baik

Lembar pengamatan II

LEMBAR PENGAMATAN PERKEMBANGAN

AKHLAK DAN KEPRIBADIAN

Mata Pelajaran : Kelas/Semester : Tahun Ajaran : Waktu Pengamatan :

Karakter yang diintegrasikan dan dikembangkan adalah kerja keras dan tanggung jawab Indikator perkembangan karakter kreatif, komunikatif, dan kerja keras 1. BT (Belum Tampak) jika sama sekali tidak menunjukkan usaha sungguh- sungguh dalam menyelesaikan tugas 2. MT (Mulai Tampak) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas tetapi masih sedikit dan belum konsisten. 3. MB (Mulai Berkembang) jika menunjukkan ada usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugasyang cukup sering dan mulai konsisten. 4. MK (Membudaya) jika menunjukkan adanya usaha sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugas terus-menerus dan konsisten.

Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom hasil pengamatan.

No Nama Siawa Kreatif Komunikatif Kerja Keras

1 BT MT MB MK BT MT MB MK BT MT MB MK

2

3

4 MATERI PEMBELAJARAN

A. Pengertian Unsur Intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri dan dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya tersebut. Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema, alur, tokoh, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

1. Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Aminuddin mengungkapkan dalam bukunya ”tema adalah ide yang mendasari suatu cerita”. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema ada kaitannya dengan hubungan makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya.

2. Tokoh

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan

3. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang yang dapat diamati, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra

4. Alur

Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam satu waktu

5. Sudut Pandang

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita dan dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita yang dikisahkan

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapakan sesuatu yang akan dikemukakan.

B. Nasionalisme Nasionalisme sebagai suatu faham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Nasionalisme mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni (a) memiliki kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan nilai-nilai patriotik, yang berkaitan dengan perasaan cinta tanah air, cinta kepada tanah tumpah darah, cinta kepada negara dan bangsa, cinta kepada milik budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk membela tanah airnya, (c) jiwa, semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif, dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak dan budi luhur bangsa.

BIOGRAFI

Syarifah Aliya, nama panggilan Aya. Lahir di Bogor 4 Agustus 1994 berjenis kelamin peremuan dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan yang ditempuh yaitu TK Tunas karya tahun 1998-1999, SDN Cikopo tahun 2000-2006, SMPN 1 Ciawi tahun 2006- 2009, SMAN 1 Ciawi 2009-2012, dan sekarang sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ungu adalah warna kesukaannya. Selalu bersyukur dan berbuat baik pada siapapun.