PELESTARIAN ARSITEKTUR KARO (STUDI KASUS DESA BUDAYA LINGGA, KARO, SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

OLEH

FARIDA ULFA 120406113

DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PELESTARIAN ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARO (STUDI KASUS DESA BUDAYA LINGGA, KARO, SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Dalam Departemen Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh FARIDA ULFA 120406113

DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERNYATAAN

PELESTARIAN ARSITEKTUR RUMAH ADAT KARO

(STUDI KASUS DESA BUDAYA LINGGA, KARO, SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2017

Penulis

(Farida Ulfa)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Judul Skripsi : Pelestarian Arsitektur Rumah Adat Karo

(Studi Kasus: Desa Budaya Lingga, Karo, Sumatera Utara)

Nama Mahasiswa : Farida Ulfa

Nomor Pokok : 120406113

Departemen : Arsitektur

Menyetujui

Dosen Pembimbing

(Dr.Wahyu Utami. ST. MT.)

Koordinator Skripsi, Ketua Program Studi,

(Dr.Wahyu Utami. ST. MT.) (Ir.N. Vinky Rahman, MT.)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Tanggal Lulus : 09 Januari 2017 Telah diuji pada Tanggal : 09 Januari 2017

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Dr. Wahyu Utami, S.T., M.T.

Anggota Komisi Penguji : 1. Ir. Rudolf Sitorus, MLA.

2. Imam Faisal Pane, S.T., M.T.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya dimampukan untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Arsitektur di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Wahyu Utami, ST, MT. selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu memberikan petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Rudolf Sitorus, MLA selaku Dosen Penguji I dan Bapak Imam Faisal Pane ST, MT selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Ir. N. Vinky Rahman, M.T, selaku Ketua Departemen Arsitektur dan Bapak Ir. Rudolf Sitorus, MLA, selaku Sekretaris Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak dan Ibu dosen staff pengajar Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

5. Kedua orang tua saya Almarhum Bapak Ramli yang telah berjuang setiap harinya selama tiga tahun menemani masa studi mengantar dan menjemput, dan Ibu Nazariah dan yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan studi dan skripsi penulis di Universitas Sumatera Utara, Medan.

6. Teman spesial saya Al Muharram Hidayatullah Lubis yang selalu ada membantu, menemani, memberikan motivasi, dan dorongan hingga selesainya skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuangan (Ami, Miona, Bang Reza, dan Iqbal), dan rekan- rekan mahasiswa stambuk 2012.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi semua pihak.

Medan, Januari 2017

Penulis,

Farida Ulfa

120406113

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK Budaya lokal atau daerah semakin tergeser eksistensinya seiring berkembangnya zaman. Pergeseran budaya ini tidak hanya terjadi di daerah kota saja namun juga di desa. Fakta bahwa masyarakat pribumi terutama generasi muda lebih memilih untuk tinggal di rumah tinggal tembok dengan dinding plesteran batu bata. Hal ini dapat mengakibatkan lama kelamaan rumah adat tidak dibangun lagi dan hilang seiring berkembangnya generasi dan zaman. Sumatera Utara memiliki cukup banyak peninggalan warisan (heritage) yang tersebar diseluruh wilayah kota dan kabupaten, termasuk Kabupaten Karo. Warisan Karo tersebut berasal dari masa prakolonial berupa perkampungan adat yang cukup unik, salah satunya adalah Desa Budaya Lingga. Sudah sepantasnya bagi generasi muda untuk mengetahui kondisi rumah adat di Desa Budaya Lingga saat ini dan membandingkannya dengan kondisi yang asli. Hal ini disebabkan pentingnya nilai dari warisan tersebut dalam pembentukan karakter dan identitas masyarakat suku Karo. Selain itu, perlu juga diketahui upaya apa saja yang telah dan sudah dilakukan untuk melestarikan Rumah Adat Karo di Desa Budaya Lingga. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bahwa upaya yang bisa dilakukan untuk pelestarian rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga adalah dengan cara rekonstruksi. ABSTRACT

Local or regional culture is gradually shifted its existence as the development of the times. This cultural shift is not only happening in the urban areas but also in the village. The fact that indigenous people especially the younger generation prefer to stay at home staying stucco wall with a brick wall. This can result in the long run custom homes are not built anymore and lost with the development of generation and age. North Sumatera have enough heritage legacy (heritage) that are scattered throughout the districts and cities, including Karo. Karo heritage comes from the pre-colonial indigenous form of settlement that is quite unique, one of which is the Cultural Village Lingga. It is appropriate to determine the condition of the custom house in the village of Lingga culture today and compare it to the original condition. This is because the importance of the value of the heritage in shaping the character and identity of the Karo tribe. The results of this study showed that efforts can be made to the preservation of traditional house Karo in Lingga Cultural Village is by way of reconstruction.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...... i

ABSTRAK...... iii

DAFTAR ISI...... iv

DAFTAR GAMBAR...... vi

DAFTAR TABEL...... ix

BAB 1. PENDAHULUAN...... 1

1.1 Latar Belakang...... 1 1.2 Rumusan Masalah...... 1 1.3 Tujuan Penelitian...... 2 1.4 Manfaat Penelitian...... 2 1.4.1. Secara Teoritis...... 2 1.4.2. Secara Praktis...... 2 1.5 Kerangka Berfikir...... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...... 4

2.1. Definisi Rumah Adat...... 4 2.2. Definisi Heritage...... 4 2.3. Pelestarian Benda Cagar Budaya...... 5 2.3.1. Definisi Pelestarian...... 5 2.3.2. Macam – Macam Pelestarian...... 7 2.3.3. Upaya Pelestarian Benda Cagar Budaya...... 8 2.4. Rumah Adat Karo “Siwaluh Jabu”...... 12 2.5. Studi Kasus Sejenis...... 13

BAB 3. METODE PENELITIAN...... 15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 3.1. Jenis Penelitian...... 15 3.2. Metode Pengumpulan Data...... 15 3.3. Kawasan Penelitian...... 17 3.4. Metode Analisa Data...... 22

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN...... 23

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian...... 23 4.2 Sejarah Kerajaan Desa Lingga...... 26 4.3 Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur Bangunannya...... 29 4.4 Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu...... 33 4.5 Adat Istiadat / Tata Kehidupan...... 35 4.6 Komponen – Komponen Rumah Adat Karo...... 39 4.7 Kondisi Fisik Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga Karo...... 41 4.8 Pelestarian Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga Karo...... 50

4.8.1 Upaya yang Telah Dilakukan Untuk Melestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga...... 51

4.8.2 Upaya yang Bisa Dilakukan Untuk Melestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga...... 58

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN...... 65

5.1. Kesimpulan...... 65

5.2. Saran...... 67

DAFTAR PUSTAKA...... 68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rumah Adat Karo “Siwaluh Jabu”...... 12

Gambar 3.1 Wawancara dengan Bapak Damson Tarigan, salah satu ahli waris rumah Gerga, di dalam rumah Gerga...... 15

Gambar 3.2 Observasi langsung di depan rumah Belang Ayo, Desa Budaya Lingga...... 16

Gambar 3.3 Peta lokasi Desa Budaya Lingga yang berada di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo...... 17

Gambar 3.4 Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu di Lingga, rumah Belang Ayo tahun 2016...... 19

Gambar 3.5 Jambur pada masa dulu...... 20 Gambar 3.6 Sapo ganjang pada masa dulu...... 21 Gambar 3.7 Salah satu contoh Geriten...... 21 Gambar 3.8 Salah satu contoh Lesung...... 22 Gambar 4.1 Peta perletakan rumah adat Siwaluh Jabu, jambur, sapo page/ganjang, dan Gapura pintu masuk Desa Budaya Lingga...... 23

Gambar 4.2 Foto letak rumah adat Siwaluh Jabu, jambur, sapo page/ganjang, dan Gapura pintu masuk Desa Budaya Lingga...... 24

Gambar 4.3 Gambaran kehidupan suku Karo pada zaman dulu...... 25

Gambar 4.4 Desa Budaya Lingga yang masih asli dengan latar belakang Gunung Sinabung tahun 1920-1925...... 25

Gambar 4.5 Desa Budaya Lingga yang masih asli dengan latar belakang Gunung Sinabung tahun 1920-1925...... 26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 4.6 Pembagian tiap jabu dalam Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu...... 34

Gambar 4.7 Pola permukiman desa di Karo pada zaman dulu...... 37

Gambar 4.8 Kondisi fisik eksterior rumah Gerga...... 42

Gambar 4.9 Para (tungku) untuk mengasap rumah agar rumah awet...... 43

Gambar 4.10 Rumah Belang Ayo Desa Budaya Lingga, Karo...... 43

Gambar 4.11 Denah rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 44 Gambar 4.12 Tampak Depan rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 44 Gambar 4.13 Tampak Samping rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 45 Gambar 4.14 Potongan Depan rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 45 Gambar 4.15 Potongan Samping rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 46 Gambar 4.16 Potongan 3 Dimensi rumah adat Karo, Siwaluh Jabu...... 46 Gambar 4.17 Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu Lingga yang sudah roboh dan menimpa rumah warga di sampingnya...... 48 Gambar 4.18 Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu Lingga yang sudah rusak...... 48

Gambar 4.19 Foto letak dua rumah adat Siwaluh Jabu yang telah roboh dan rumah warga yang menyerupai rumah adat...... 49

Gambar 4.20 Rumah Bapak Rio Ginting...... 49

Gambar 4.21 Rumah Bapak Genta Ginting...... 50

Gambar 4.22. Foto- foto kondisi rumah Gerga dan Belang Ayo setelah diperbaiki...... 52

Gambar 4.23 Interior rumah Gerga sekarang dengan sekat pembatas...... 53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 4.24 Pondasi rumah Gerga dewasa ini yang sudah dilapisi semen. Pondasi rumah adat Batak Karo seharusnya hanya dilapisi ijuk...... 54

Gambar 4.25 Pondasi rumah Belang Ayo dewasa ini yang semuanya sudah dilapisi semen (pondasi umpak)...... 54

Gambar 4.26 Sapo ganjang yang sudah direkonstruksi dan beralih fungsi menjadi taman bacaan anak...... 55

Gambar 4.27 Jambur yang masih terlihat baru, terlihat dari material penutup atapnya adalah seng dengan kolom – kolom beton...... 56

Gambar 4.28 Proses rekonstruksi Siti Fatimah di Sumpur, Sumatera Barat...... 59

Gambar 4.29. Desa Wae Rebo setelah beberapa rumah Mbaru Niang direkonstruksi...... 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Studi Kasus Sejenis...... 13

Tabel 4.1 Perubahan jumlah rumah adat Siwaluh Jabu Desa Lingga dati tahun ke tahun...... 47

Tabel 4.2 Perbedaan kondisi Bangunan Adat Desa Budaya Lingga yang asli dengan sekarang...... 58

Tabel 4.3 Upaya Pelestarian yang Sudah dilakukan Untuk Beberapa Rumah Adat di ...... 63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring berkembangnya zaman dan arus globalisasi, budaya lokal atau daerah semakin tergeser eksistensinya. Pergeseran budaya ini tidak hanya terjadi di daerah kota saja namun juga di desa. Adanya fakta masyarakat pribumi terutama generasi muda lebih memilih untuk tinggal di rumah tinggal tembok dengan dinding plesteran batu bata. Akibatnya, rumah adat hanya didiami oleh generasi tua. Lama kelamaan rumah adat tidak dibangun lagi dan hilang seiring berkembangnya generasi dan zaman.

Perhatian terhadap situs rumah adat di Kabupaten Karo, khususnya Desa Budaya Lingga dewasa ini dinilai masih jauh dari harapan. Beberapa rumah adat di Desa Budaya Lingga kondisinya rusak berat karena ditinggalkan pemiliknya atau tidak ada lagi ahli waris yang mengurusi. Sifat kayu dan bambu sebagai bahan utama pembuatan rumah adat mudah rusak oleh pengaruh cuaca dingin dataran tinggi Karo. Rumah-rumah ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah karena biaya untuk merenovasi rumah adat Karo sangat besar. Kini rumah adat di Desa Budaya Lingga yang tersisa hanya dua unit rumah saja dari 28 rumah adat yang pernah ada. Dua buah dalam kondisi rusak dan 24 lainnya sudah rubuh. Melihat kondisi tersebut, dikhawatirkan warisan budaya yang tak ternilai ini akan terlupakan terutama oleh kalangan generasi muda.

1.2. Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah :

 Bagaimana kondisi fisik rumah adat Desa Budaya Lingga saat ini?

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  Apa saja pergeseran bentuk fisik yang terjadi pada bangunan - bangunan adat di Desa Budaya Lingga jika dibandingkan dengan aslinya dulu?

 Apa saja upaya yang sudah dilakukan dan yang perlu dilakukan untuk melestarikan arsitektur Rumah Adat Karo Desa Budaya Lingga?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi rumah adat Desa Budaya Lingga saat ini, dan mengetahui apa saja pergeseran bentuk fisik yang terjadi pada bangunan - bangunan adat di Desa Budaya Lingga jika dibandingkan dengan aslinya dulu. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pelestarian yang sudah dilakukan serta yang bisa dilakukan untuk Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Secara Teoritis

Sumbangan pemikiran dan pengetahuan bagi masyarakat kalangan maupun masyarakat umum, dan juga mahasiswa-mahasiswi tentang pelestarian arsitektur rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga.

1.4.2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan maupun informasi dan bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian arsitektur rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga.

1.5. Kerangka Berfikir

Berikut ini adalah kerangka berpikir penelitian.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Latar belakang:

- Rumah adat Desa Budaya Lingga sebagai warisan dari nenek moyang perlu dilestarikan

- Hanya tersisa dua rumah yang masih berdiri dari 28 rumah adat Desa Budaya Lingga yang pernah ada

Mengetahui kondisi rumah adat Desa Budaya Lingga saat ini dan mengetahui apa saja pergeseran bentuk fisik yang telah terjadi pada bangunan - bangunan adat di Desa Budaya Lingga jika dibandingkan dengan aslinya dulu

Melihat dan menguraikan studi kasus sejenis mengenai upaya pelestarian rumah adat yang telah dilakukan di Indonesia

Menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pelestarian arsitektur rumah adat Karo di Desa Lingga

Arsitektur rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga dilestarikan

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rumah Adat

Menurut Budihardjo (1997), rumah adat adalah bangunan yang memiliki ciri khas khusus, digunakan untuk tempat hunian oleh suatu suku bangsa tertentu. Rumah adat merupakan salah satu representasi kebudayaan yang paling tinggi dalam sebuah komunitas suku atau masyarakat. Keberadaan rumah adat di Indonesia sangat beragam dan mempunyai arti yang penting dalam perspektif sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah peradaban.

Rumah-rumah adat di Indonesia memiliki bentuk dan arsitektur masing- masing daerah sesuai dengan budaya adat lokal. Rumah adat pada umumnya dihiasi ukiran-ukiran indah. Pada zaman dulu, rumah adat yang tampak paling indah biasa dimiliki para keluarga kerajaan atau ketua adat setempat, menggunakan kayu-kayu pilihan dan pengerjaannya dilakukan secara tradisional melibatkan tenaga ahli dibidangnya. Banyak rumah-rumah adat yang saat ini masih berdiri kokoh dan sengaja dipertahankan dan dilestarikan sebagai simbol budaya Indonesia.

2.2. Definisi Heritage

Heritage yaitu sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa atau negara selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter bangsa tersebut. (Sumber: Kamus Oxford hal: 202). UNESCO memberikan definisi “heritage” sebagai warisan (budaya) masa lalu, yang seharusnya dilestarikan dari generasi ke generasi karena memiliki nilai-nilai luhur. Dalam buku Heritage Management Interpretation Identity, karya Peter Howard (2003) memberikan makna heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya, material maupun alam.

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Heritage dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai cagar budaya, pusaka, ataupun warisan. Pemerintah sendiri mengartikan heritage sebagai cagar budaya.

Cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui, sehingga dalam rangka menjaga cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya. Berdasarkan Undang – Undang No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, yang dimaksud dengan cagar budaya adalah:“Warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan cagar budaya adalah bangunan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta mempunyai kaitannya dengan peristiwa nasional maupun internasional.

2.3. Pelestarian Benda Cagar Budaya

2.3.1. Definisi Pelestarian Pengertian pelestarian secara lebih spesifik dapat diuraikan sebagai berikut : a. Upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas. (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, 2003). b. Kesinambungan yang menerima perubahan merupakan konsep utama

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pelestarian, sebuah pengertian yang berbeda dalam preservasi. Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi. (Adishakti, 1997 dalam Adishakti, 2008). c. Pelestarian dalam konteks perkotaan berarti pula mengawetkan bagian tertentu pusaka, dengan memberikan tidak hanya keberlanjutan keberadaannya, tetapi juga memiliki manfaat untuk masa depan. (Burke, 1976 dalam Asworth, 1991). d. Pelestarian merupakan manajemen perubahan (Asworth, 1991).

Pemahaman pusaka dalam dua dekade terakhir ini tidak hanya bertumpu pada artefak tunggal namun telah meluas pada pemahaman pusaka sebagai suatu saujana (cultural landscape) yang luas bahkan bisa lintas batas dan wilayah dan menyangkut persoalan pusaka alam dan budaya (Adhisakti, 2008).

Pusaka Indonesia 2003 (tema : Merayakan Keanekaragaman), Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) bekerja sama dengan International Councilon Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia dan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia mendeklarasikan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003. Menurut Adhisakti (2008), piagam ini merupakan yang pertama kali dimiliki Indonesia dalam menyepakati etika dan moral pelestarian pusaka. Kesepakatan dalam piagam tersebut di antaranya adalah : a. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam (natural heritage) adalah alam yang istimewa. Pusaka budaya (cultural heritage) adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri - sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana (cultural landscape) adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. b. Pusaka budaya mencakup pusaka tangible (bendawi) dan pusaka

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA intangible (non bendawi).

2.3.2. Macam - Macam Pelestarian Salah satu cara untuk mendukung kegiatan pelestarian bangunan tua adalah dengan pelaksanaan insentif dan disinsentif pelestarian bangunan. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa bentuk insentif dan disinsentif yang telah dicantumkan dalam peraturan pelestarian bangunan (Undang – undang No. 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya). Macam – macam pelestarian yang mungkin dilakukan pada bangunan tua antara lain :

1. Preservasi, adalah tindakan atau proses penerapan langkah – langkah dalam mendukung keberadaan bentuk asli, keutuhan material bangunan/struktur, serta bentuk tanaman yang ada dalam tapak. Tindakan ini dapat disertai dengan menambahkan penguat –penguat pada struktur, disamping pemeliharaan material bangunan bersejarah tersebut. a. Upaya melindungi benda cagar budaya secara tidak langsung (pemugaran, pencagaran) dari faktor lingkungan yang merusak. b. Mempunyai arti yang mirip dengan konservasi, perbedaannya adalah : 1) Secara teknis, preservasi lebih menekankan pada segi pemeliharaan secara sederhana, tanpa memberikan perlakuan secara khusus terhadap benda.

2) Secara strategis/makro, preservasi mempunyai arti yang mirip dengan pelestarian, yang meliputi pekerjaan teknis dan administratif (pembinaan, perlindungan).

2. Rehabilitasi / Renovasi, yaitu membuat bangunan tua berfungsi kembali. Dengan catatan, perubahan – perubahan dapat dilakukan sampai batas – batas tertentu, agar bangunan dapat beradaptasi terhadap lingkungan atau kondisi sekarang maupun yang akan datang. Rehabilitasi adalah sebuah proses mengembalikan objek agar berfungsi kembali, dengan cara memperbaiki agar sesuai dengan kebutuhan sekarang, seraya

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA melestarikan bagian – bagian dan wujud – wujud yang menonjol (penting) dinilai dari aspek sejarah, arsitektur dan budaya. Rehabilitasi adalah salah satu bentuk pemugaran yang sifat pekerjaannya hanya memperbaiki bagian – bagian bangunan yang mengalami kerusakan. Bangunan tersebut tidak dibongkar seluruhnya karena pekerjaan rehabilitasi umumnya melibatkan tingkat presentasi kerusakan yang rendah.

3. Konservasi, yaitu memelihara dan melindungi tempat – tempat yang indah dan berharga, agar tidak hancur atau berubah sampai batas – batas yang wajar. Menekankan pada penggunaan kembali bangunan lama, agar tidak terlantar. Apakah dengan menghidupkan kembali fungsi lama, ataukah dengan mengubah fungsi bangunan lama dengan fungsi baru yang dibutuhkan. Upaya perlindungan terhadap benda – benda cagar budaya yang dilakukan secara langsung dengan cara membersihkan, memelihara, memperbaiki, baik secara fisik maupun secara langsung dari pengaruh berbagai faktor lingkungan yang merusak. Perlindungan benda – benda (dalam hal ini benda – benda peninggalan sejarah dan purbakala) dari kerusakan yang diakibatkan oleh alam, kimiawi, dan mikroorganisme.

4. Rekonstruksi, adalah tindakan suatu proses mereproduksi dengan membangun baru semua bentuk serta detail secara tepat, sebuah bangunan yang telah hancur/hilang, serta tampak pada periode tertentu. Rekonstruksi merupakan kegiatan penyusunan kembali struktur bangunan yang rusak/runtuh, yang pada umumnya bahan –bahan bangunan yang asli sudah banyak yang hilang. Dalam hal ini kita dapat menggunakan bahan – bahan bangunan yang baru seperti cat warna atau bahan lainnya yang bentuknya harus disesuaikan dengan bangunan aslinya.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2.3.3. Upaya Pelestarian Benda Cagar Budaya

Menurut Budihardjo (1994), upaya preservasi mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan asli semula. Upaya pelestarian memerlukan pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areas) dan bahkan kota bersejarah (histories towns). Melalui pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru. Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Masalah semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Berdasarkan Piagam Burra (1979) tentang upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut :

 Perlindungan, merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui : 1. Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan,

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, dan pemasangan papan larangan. 2. Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), dan Penyuluhan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. 3. Perizinan dilakukan melalui pengawasan dan perizinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan izin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan siswa sekolah dan keagamaan.  Pemeliharaan, merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui: 1. Konservasi merupakan kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. 2. Pemugaran merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup : a. Keaslian Bentuk Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis.

b. Keaslian Bahan

 Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali.  Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. c. Keaslian Tata Letak

 Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan.  Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lain-lain harus dikembalikan ke tempat semula. d. Keaslian Teknologi

Keaslian teknologi pengerjaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan keaslian teknologi ini antara:

 Teknologi Pembuatan  Teknologi Konstruksi

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan.

 Dokumentasi atau Publikasi, merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya dokumentasi atau publikasi dilakukan melalui : 1. Perekaman data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, dan survei.

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2. Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter dan website. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaan arsitektur dan kota dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial, sehingga menghasilkan karya berkualitas rendah. Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota hendaknya mempertimbangkan secara matang, karena setiap kota mempunyai budaya dan sejarah yang berbeda-beda dengan kota-kota lainnya.

2.4. Rumah Adat Karo “Siwaluh Jabu” Di masa prakolonial, kebanyakan rumah adat Karo terdiri dari 4 jabu (rumah si empat jabu). Rumah adat yang terdiri dari 8 jabu (rumah si waluh jabu) menjadi lebih disukai di zaman Kolonial. Namun begitu, baik di masa prakolonial maupun di masa kolonial, bisa didapati rumah 4 jabu dan rumah 8 jabu. Di samping itu, ada rumah-rumah 6 jabu dan 12 jabu, contohnya di Batukarang pernah dibangun rumah 16 jabu dan di Seberaya pernah ada rumah 24 jabu (Ginting, 2013).

Gambar 2.1. Rumah Adat Karo “siwaluh Jabu”. (Sumber :Juara R. Ginting, 2013).

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Ginting (2013), apa yang dimaksud dewasa ini dengan rumah adat dulunya hanya disebut rumah oleh orang-orang Karo. Karena memang hanya itu satu-satunya rumah di masa lampau. Bangunan lain yang biasa juga dijadikan tempat tinggal adalah barung, yaitu dangau atau gubuk tempat tinggal satu keluarga di ladang. Sebuah daerah pertanian memiliki status sebagai kuta (desa) bila di sana dibangun paling tidak sebuah rumah adat. Tanpa adanya rumah adat, sebuah wilayah pertanian disebut perjuman (perladangan) atau barung-barung bila sekelompok warga membangun gubuk-gubuk tempat tinggal di sana.

2.5. Studi Kasus Sejenis Berikut adalah beberapa penelitian dengan studi kasus sejenis. Judul, Tahun, Tujuan Metode Teknik Hasil Penelitian Wilayah, Nama Penelitian Penelitian Analisis Peneliti dan Pendekatan Pelestarian Pelestarian Metode Metode Konsep Permukiman permukiman pendekatan analisis data pelestarian dan Tradisional di tradisional Bali deskriptif yang meliputi arahan Desa Adat Aga yang sudah kualitatif, analisis tata pelestarian Desa Sukawana ada sejak jaman metode nilai religi Adat Sukawana Kecamatan sebelum pengumpula Adat Bali dengan Kintamani, datangnya n data primer Aga, analisis menggunakan Kabupanten Majapahit di Desa dan sosial budaya, pelestarian Fisik Bangli, Adat Sukawana. sekunder. analisis pola dan Nonfisik. Provinsi Bali, hunian/tempat Konsep 2016, tinggal, pelestarian Bandung, analisis menggunakan Regga karakteristik pelestarian fisik Nabilia Dewi pola yaitu konsep dan Hilwati permukiman preservasi, Hindersah. rumah konservasi dan tradisional rehabilitasi yaitu dan analisis dengan cara perubahan menjaga permukiman bangunan – rumah bangunan rumah tradisional. tradisional yang masih ada serta menjaga fungsi rumah tradisional tersebut, cara menjaga bangunan rumah tradisional serta

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengembalikan nilai estetika permukiman tradisional yang sudah mulai menurun. Untuk pelestarian nonfisik menyangkut aspek ekonomi yaitu dengan melihat hasil potensi yang ada di Desa Adat Sukawana seperti Pariwisata, Perkebunan serta Peternakan. Upaya Pelestarian Untuk mengetahui Metode Menguraikan Konsep Perkampungan Budaya upaya-upaya apa deskriptif, elemen – pelestarian Betawi di Setu Babakan saja yang akan dengan elemen yang yang dirasa Sebagai Kawasan dilakukan guna memberikan menjadikan dapat mewakili Wisata Budaya, 2013, mengembangkan fakta-fakta kawasan Setu yaitu Depok, Diana kawasan ini di lapangan Babakan ini merupakan Susilowati. bukan hanya berdasarkan bertahan perpaduan tiga sebagai studi dengan cara elemen perkampungan literatur membagikann kegiatan betawi, akan yang telah ya menjadi ekonomi, tetapi lebih ada. tiga aspek, keagamaan, ditingkatkan yaitu dan sosial menjadi sebuah ekonomi, budaya yang kawasan wisata sosial budaya, mendukung budaya tanpa dan Perkampungan meninggalkan ciri keagamaan. Betawi di Setu khas dari Babakan untuk arsitektur dapat tetap tradisionalnya. dilestarikan. Upaya Pelestarian Kota Menentukan Metode Analisis Upaya Pusaka Kawasan upaya –upaya deskriptif kondisi pelestarian yang Klampok, Kecamatan pelestarian yang kuantitatif . eksisting sesuai umtuk Purwerejo Klampok, tepat dalam dilihat dari kota pusaka Kabupaten melestarikan kota sejarah Kawasan Banjarnegara, 2015, pusaka di perkembanga Klampok, yaitu Semarang, Nugroho Adi Kawasan n kawasan, rehabilitasi Kurniawan dan Djoko Klampok. analisis Kawasan. Suwandono. eksistensi kota pusaka Kawasan Klampok baik dikaji secara fisik dan nofisik, dan analisis upaya yang tepat

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dalam melestarikan kota pusaka. Tabel 2.1. Studi Kasus Sejenis. (Sumber : olah data).

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan melihat berbagai sumber penelitian kebudayaan arsitektur rumah adat Karo. Metode penelitian dilakukan dengan cara melakukan observasi, wawancara, dan melihat berbagai sumber pustaka.

3.2. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara sebagai upaya mendekatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan. Tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung. Adapun wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak berstruktur, dimana di dalam metode ini memungkinkan pertanyaan berlangsung luwes, arah pertanyaan lebih terbuka, tetap fokus, sehingga diperoleh informasi yang kaya dan pembicaraan tidak kaku. Adapun dalam pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara bersama antara lain Ketua adat Desa Budaya Lingga ataupun ahli waris dari pemilik rumah adat Desa Budaya Lingga. Hal demikian dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data secara luas dan menyeluruh sesuai dengan kondisi saat ini.

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 3.1. Wawancara dengan Bapak Damson Tarigan, salah satu ahli waris rumah Gerga, di dalam rumah Gerga. (Sumber : Peneliti, 2016).

2. Observasi Langsung

Observasi langsung adalah cara pengumpulan data dengan cara melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis. Observasi harus dilakukan secara teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang bisa diandalkan. Peneliti harus mempunyai latar belakang atau pengetahuan yang lebih luas tentang objek penelitian mempunyai dasar teori dan sikap objektif. Observasi langsung yang dilakukan oleh peneliti bisa direalisasikan dengan cara mencatat berupa informasi yang berhubungan dengan Desa Budaya Lingga. Melalui observasi secara langsung, peneliti dapat memahami konteks data dalam berbagai situasi, maksudnya dapat memperoleh pandangan secara menyeluruh. Untuk itu peneliti dapat melakukan pengamatan secara langsung dalam mendapatkan bukti yang terkait dengan objek penelitian.

Gambar 3.2. Observasi langsung di depan rumah Belang Ayo, Desa Budaya Lingga. (Sumber : peneliti, 2016).

3. Dokumen

Dokumen yaitu proses melihat kembali sumber-sumber data dari dokumen yang ada dan dapat digunakan untuk memperluas data-data yang telah ditemukan.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adapun sumber data dokumen diperoleh dari lapangan berupa buku, arsip, majalah bahkan dokumen resmi yang berhubungan dengan fokus penelitian.

3.3. Kawasan Penelitian

Gambar 3.3. Peta lokasi Desa Budaya Lingga yang berada di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. (Sumber : Google Map).

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Desa Budaya Lingga merupakan perkampungan Batak Karo yang memiliki rumah-rumah adat berumur ratusan tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Sebuah rumah bisa dihuni oleh 6-12 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini hanya memiliki sebuah ruangan yang tidak dipisahkan oleh pembatas apapun. Namun, terdapat garis batas imajinatif sebagai pembatas ruangan (Ginting, 2012). Dulu Desa Budaya Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain. Satu kesain dihuni oleh sekelompok warga dengan marga yang sama. Sehingga nama kesain diambil dari nama marga yang menghuni kesain tersebut. Ada dua belas kesain di Lingga yang terdiri dari sembilan kesain sebagai sub- sub marga Sinulingga yang merupakan bagian dari marga Karokaro dan ada tiga kesain dari Ginting Manik, Ginting Munte, dan Tarigan (Ginting, 2012). Desa Budaya Lingga dulu merupakan bekas kerajaan Lingga yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sibayak Lingga. Istilah raja disini bukan raja yang berdaulat atas sebuah kerajaan tetapi berdaulat hanya untuk sebuah kuta atau kampung. Sebagai sebuah kuta Lingga masih memiliki beberapa bangunan bersejarah seperti rumah adat, jambur, geriten, sapo page (sapo ganjang) dan museum Karo Lingga (Ginting, 2012). Semua bangunan adat di Lingga kecuali jambur berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk. Berikut ini beberapa bangunan adat yang menjadi ciri khas suku Batak Karo.

Rumah Adat Karo (Siwaluh Jabu) Sesuai dengan namanya, bahasa Batak Karo "waluh" yang berarti delapan, dan "jabu" yang berarti keluarga atau ruang utama. Disebut dengan Siwaluh Jabu karena pada umumnya rumah adat ini ditinggali oleh 8 keluarga, walau ada juga yang berisi 6 bahkan sampai 12 keluarga dalam satu rumah. Rumah adat Karo ini unik karena didalamnya hanya terdapat satu ruang yang besar tanpa kamar. Rumah adat berbentuk panggung, terbuat dari kayu, dibangun tanpa paku dan hanya diikat dengan pasak dan tali. Tinggi rumah kira-kira dua meter dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya berjumlah 16 buah dari kayu

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing- masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat (disebut ture). Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, menganyam tikar atau pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat perkenalan para pemuda dan pemudi. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah. Dapur bagi masyarakat Karo juga mempunyai arti mendalam. Tungku (disebut para) tempat menaruh alat memasak, terdiri atas lima buah batu. Kelima batu menandakan adanya lima marga dalam suku Karo, yakni Karokaro, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin(Ginting, 2012).

Gambar 3.4. Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu di Lingga, rumah Belang Ayo tahun 2016. (Sumber : Peneliti, 2016). Jambur Bentuk bangunan ini mirip dengan rumah adat, tetapi jambur bukan merupakan bangunan berpanggung dan tidak berdinding. Digunakan sebagai tempat

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA penyelenggaraan pesta bagi masyarakat juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengadili orang-orang yang melanggar perintah raja dan adat yang berlaku. Jambur juga merupakan tempat tidur bagi pemuda-pemuda selain sapo ganjang. Hampir semua desa di Kabupaten Karo memiliki jambur. Saat Sinabung meletus, banyak warga mengungsi ke jambur-jambur di kota(Ginting, 2012).

Gambar 3.5. Jambur pada masa dulu. (Sumber : Bethel Ginting, 2012). Kantur-kantur Kantur-kantur merupakan kantor raja pada saat itu yang berfungsi sebagai balai pertemuan antara raja dengan pemuka-pemuka masyarakat desa (Ginting, 2012).

Sapo ganjang atau sapo page (padi) Sapo ganjang bentuknya hampir sama dengan kantur-kantur, tapi dalam ukuran sedikit lebih kecil lagi. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi. Sapo ganjang adalah lumbung padi milik bersama yang berbentuk rumah. Lumbung padi milik tiap-tiap keluarga berbentuk silinder besar diletakkan di bawah lantai tiap-tiap rumah (Ginting, 2012).

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 3.6. Sapo ganjang pada masa dulu. (Sumber : Bethel Ginting, 2012). Geriten Geriten berbentuk seperti kantur-kantur. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi sebagian warga, terutama kaum muda. Lantai atas yang berdinding berfungsi untuk menyimpan kerangka anggota keluarga yang telah meninggal (Ginting, 2012).

Gambar 3.7. Salah satu contoh Geriten. (Sumber : Bethel Ginting, 2012).

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Lesung Lesung adalah bangunan yang biasa digunakan oleh penduduk zaman dulu untuk menumbuk padi dan menumbuk beras menjadi tepung (Ginting, 2012).

Gambar 3.8. Salah satu contoh Lesung. (Sumber : Bethel Ginting, 2012). 3.4. Metode Analisa Data

Metode analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar agar dapat memudahkan dalam menentukan tema dan dapat merumuskan hipotesis kerja yang sesuai dengan data.

Pada tahap ini data yang diperoleh dari berbagai sumber, dikumpulkan, diklasifikasikan dan analisis. Pada penelitian ini, analisa data dilakukan dengan cara melihat apa saja pergeseran bentuk fisik yang terjadi pada bangunan - bangunan adat di Desa Budaya Lingga dan dibandingkan dengan kondisi Desa Lingga aslinya dulu. Kemudian dari hal tersebut dilihat selestari apa Desa Budaya Lingga saat ini, dan melihat upaya pelestarian yang telah dilakukan serta yang bisa dilakukan.

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Budaya Lingga adalah salah satu desa yang menjadi daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo, Sumatera Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut. Desa Budaya Lingga berjarak lebih kurang 15 km dari dan 5 km dari Kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo (Perangin-angin, 2006).

Gambar 4.1. Peta perletakan rumah adat Siwaluh Jabu, jambur, sapo page/ganjang, dan Gapura pintu masuk Desa Budaya Lingga. (Sumber : gambar ulang).

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.2. Foto letak rumah adat Siwaluh Jabu, jambur, sapo page/ganjang, dan Gapura pintu masuk Desa Budaya Lingga. (Sumber : analisis).

Luas Desa Lingga mencapai 2624 Ha. Desa Lingga berbatasan dengan Desa Surbakti di sebelah utara, Desa kacaribu di sebelah selatan, Desa Kaban di sebelah timur, dan Desa Nang Belawan di sebelah barat. Pola permukiman masyarakat di desa tersebut adalah pola menyebar mengikuti jalan raya. Penduduk Desa Lingga ± 2.945 jiwa yang terdiri dari 793 kepala keluarga. Di desa tersebut sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen Protestan dan sebagian lagi memeluk agama Islam, akan tetapi masih terdapat beberapa warga yang memeluk suatu aliran kepercayaan yang dalam Bahasa Karo disebut dengan istilah pemena atau parbegu (Perangin-angin, 2006).

Lingga merupakan perkampungan Karo yang unik, memiliki rumah-rumah adat yang diperkirakan berumur 250 tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Rumah tersebut dihuni oleh 6-12 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini tidak memiliki ruangan yang dipisahkan oleh pembatas berupa dinding kayu atau lainnya (gambar 4.6).

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.3. Gambaran kehidupan suku Karo pada zaman dulu. (Sumber : Kitlv Leiden).

Pada zaman dahulu Desa Budaya Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain, kesain merupakan pembagian wilayah desa yang namanya disesuaikan dengan marga yang menempati wilayah tersebut. Nama- nama kesain di desa Lingga adalah : Kesain Rumah Jahe, Kesain Rumah Bangun, Kesain Rumah Berteng, Kesain Rumah Julu, Kesain Rumah Mbelin, Kesain Rumah Buah, Kesain Rumah Gara, Kesain Rumah Kencanen, Kesain Rumah Tualah, kesemuanya merupakan kesain milik marga/ klan Sinulingga. Sedangkan untuk non Sinulingga hanya terdiri dari tiga bagian yaitu: Kesain Rumah Manik, Kesain Rumah Tarigan, Kesain Rumah Munte (Perangin-angin, 2006).

Gambar 4.4. Desa Budaya Lingga yang masih asli dengan latar belakang Gunung Sinabung tahun 1920-1925. (Sumber : Tropen Museum).

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.5. Desa Budaya Lingga yang masih asli dengan latar belakang Gunung Sinabung tahun 1920-1925. (Sumber : Tropen Museum).

Pemakaian nama-nama kesain masih dipakai hingga saat ini oleh sebagian penduduk. Saat ini seiring dengan pertumbuhan penduduk Desa Budaya Lingga telah terbagi dua ditinjau dari segi wilayah dan juga penyebutan oleh penduduk setempat dan penduduk desa sekitar yaitu Lingga Lama dan Lingga Baru. Lingga Lama atau sering juga disebut Desa Budaya Lingga adalah wilayah desa yang awal, sedangkan Lingga Baru merupakan desa bentukan pemerintah untuk merelokasi penduduk dan membentuk suatu bentuk perkampungan yang lebih tertata. Awalnya wilayah ini dibuat untuk merelokasi perumahan penduduk yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian dan ketradisionalan Lingga Lama sebagai sebuah Desa Budaya (Perangin-angin, 2006).

4.2. Sejarah Kerajaan Desa Lingga

Nama Desa Lingga di Kabupaten Karo mulai dikenal sejak kedatangan keturunan Raja Linggaraja dari Dairi. Lingga merupakan daerah peristirahatan yang terakhir dari putera bugsu Raja Linggaraja dalam pengembaraannya ketika putera bungsu itu dibuang dari kerajaan Linggaraja. Beberapa bulan sebelum putera bungsu dari raja itu dibuang, raja tersebut menderita penyakit yang cukup serius. Atas petunjuk dukun Pak-pak Pitu Sidalanen, raja harus membuang putera

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA bungsunya tersebut dari kerajaan Linggaraja, agar penyakit dapat sembuh (Perangin-angin, 2006).

Sebelum putra bungsu diberangkatkan dari kerajaan, dia dibekali dengan segumpal tanah, sekendi air, dan seekor kuda. Raja memberi pesan kepada putera bungsu agar mencari tanah yang keadaannya sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi. Putera bungsu akhirnya sampai di hutan Kutasuah, Tanah Karo. Karena tanah disekitar ini sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi, maka ditempat itulah ia mendirikan tempat tinggal dan disekitar tempat itu telah ada penduduk lain yang tidak diketahui asal keturunannya, tetapi karena melihat pendatang baru (putera bungsu) itu adalah orang baik-baik, maka mereka sepakat untuk menerimanya sebagai warga desa dan putera bungsu dikawinkan dengan gadis Beru Ginting Suka (Perangin-angin, 2006).

Dari perkawinan itu putera bungsu mendapatkan keturunan empat orang anak yaitu tiga laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing diberi nama :

 Lingga (Laki-laki)  Bakti (Laki-laki)  Cibu (Laki-laki)  Jumpa Lingga (Perempuan)

Desa tersebut kemudian diberi nama “Lingga” sesuai dengan asal putera bungsu tersebut. Setelah putera-puteri ini dewasa maka mereka berpisah satu sama lainnya ke daerah-daerah :

 Lingga : Tetap tinggal di desa Lingga  Bakti : Berangkat ke daerah Utara, membuat suatu tempat tinggal baru yang diberi nama Surbakti.  Cibu : Berangkat ke arah Selatan dan disuatu hutan dia juga mendirikan tempat tinggal yang diberi nama Kacaribu.  Jumpa Lingga : Ikut bersama Lingga dan tak lama kemudian dia meninggal.

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Masing-masing putera tadi kawin dan mempunyai keturunan di setiap desa dan sepakat membentuk suatu persatuan yang diberi nama “Urung Telu Kuru”. Lingga mempunyai keturunan lima orang anak laki-laki yang diberi nama :

1. Berlin

2. Kencanen

3. Buah

4. Ulungjadi

5. Gara

Kelompok-kelompok perumahan dari masing-masing putera ini, kemudian diberi nama sesuai nama mereka yaitu :

 Kesain Rumah Mbelin  Kesain Rumah Kencanen  Kesain Rumah Buah  Kesain Rumah Ulungjadi  Kesain Rumah Gara

Kemudian pada suatu saat, putera sulung dari raja Linggaraja berangkat menyusul putera bungsu, dan dalam perjalanan dia sampai di Nadi (perbatasan Karo dengan Alas) kemudian ia kawin di desa tersebut dan mendapat keturunan tiga orang putera.

Setelah putera-putera ini dewasa mereka disuruh orang tuanya meninggalkan desa tersebut, karena menurut firasatnya desa itu akan dilanda banjir. Seorang diantara mereka yang bernama Jahe bersama istrinya Beru Nagasaribu berangkat kearah Timur dan sampai di daerah Perbesi Kabupaten Karo.

Di Perbesi ia mendapat kabar bahwa penghulu di desa Lingga berasal dari keturunan Raja Linggaraja dari Dairi. Mendengar hal tersebut ia segera berangkat menuju Lingga dan sesampainya di Lingga dia kemudian menuturkan kisahnya

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kepada penghulu bahwa mereka masih mempunyai hubungan keluarga, sehingga dia diterima oleh warga desa. Di Lingga, Jahe kemudian kawin lagi dengan gadis Beru Sebayang dari Perbesi dan terakhir dengan gadis Ginting Rumah Page (Perangin-angin, 2006).

Kelompok perumahan keturunan si Jahe ini kemudian diberi nama Kesain Rumah Jahe. Seterusnya akibat perkembangan jumlah penduduk, maka desa Lingga telah terdapat sebelas kesain yaitu :

1. Kesain Rumah Silebe Merdang

2. Kesain Rumah Mbelin

3. Kesain Rumah Ulungjadi

4. Kesain Rumah Gara

5. Kesain Rumah Buah

6. Kesain Rumah Bangun

7. Kesain Rumah Benteng

8. Kesain Rumah Jahe

9. Kesain Rumah Kencanen

10. Kesain Rumah Manik

11. Kesain Rumah Taringan

4.3. Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur Bangunannya

Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Siwaluh Jabu bersumber dari hutan. Pada zaman dahulu, untuk mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu ini dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan pembangunan satu rumah adat memakan waktu sampai satu tahun. Oleh

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA karenanya mendirikan rumah tersebut dilakukan dengan tahap dan selalu dilakukan secara bergotong royong. Model utama di dalam mendirikan Rumah Adat itu adalah gotong royong. Unsur penggerak adalah Rakut Adat (ikatan adat) dan sebagai pembantu ialah golongan masyarakat yang terdapat di suatu desa (Erdansyah, 2011).

4.3.1. Padi-padiken Tapak Rumah

Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat itu mencari dan menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai “padi-padiken Tampak Rumah.” Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak (Erdansyah, 2011).

Biasanya acara Padi-padiken Tapak Rumah diatur pengetua adat dan dukun untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain. Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu mengucapkan meminta firasat kepada roh yang berkuasa melalui mimpinya. Besok harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah itu. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat digunakan (Erdansyah, 2011).

4.3.2. Ngempak

Setelah pertapakan didapat, maka keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu menetapkan hari “Salangsari” (baik) dengan perantara dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut (Erdansyah, 2011).

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pada suatu hari yang telah ditentukan mereka berangkat ke sebuah hutan bersama seorang gadis yang masih mempunyai ayah dan ibu, dengan tujuan mencari kayu untuk ditebang. Pada saat penebangan pertama, dukun memperhatikan bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata ada tanda-tanda yang kurang baik, maka diulang kembali sampai mendapat firasat yang baik. Penebangan kayu pertama ini disebut “Ngempak” (Erdansyah, 2011).

4.3.3. Ngerintak Kayu

Setelah perkayuan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, hal ini bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan tenaga dalam menarik kayu dari hutan. Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Setelah selesai pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri. Semua orang turut menarik kayu itu dan tukang yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan jamuan makan bersama. Biaya kenduri itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga yang mendirikan rumah (Perangin-angin, 2006).

4.3.4. Pebelit-belitken

Sebelum pande (tukang) mulai bekerja pada suatu hari yang telah ditentukan diadakan suatu acara yang disebut “Pebelit-belitken”, yang mana pada acara ini dihadiri oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah beserta anak beru, senina, kalimbubu, Pengetua atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang) rumah yang bakal dibangun.

Acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara pihak pendiri rumah dengan pande disaksikan oleh pihak Senina dan kalimbubu dan disaksikan oleh Anak Berunya masing-masing. Pada acara ini juga diadakan jamuan makan (Erdansyah, 2011).

4.3.5. Mahat

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken, Pande (tukang) telah dapat melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan “Beliung” (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan. Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan petunjuk yang dilanjutkan dengan “Pemahatan pertama” oleh dukun. Selanjutnya baru dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan (Erdansyah, 2011).

4.3.6. Ngapaken Tekang

Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas pondasi, begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar dibahagian bawah rumah itu selesai dipasang, maka sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang) telah dapat dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “Ngapaken Tekang” yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu. Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah tersebut (Erdansyah, 2011).

4.3.7. Ngapaken Ayo

Rumah Adat Karo mempunyai “Ayo”, yaitu bagian atas rumah yang berbentuk segi tiga. Ayo Rumah Adat itu terbuat dari bambu dengan anyaman bercorak khusus diberi ragam warna dengan motif hiasan bidang. Bayu-bayu (anyaman bambu) yang dipergunakan menjadi Ayo rumah itu, dijepit dengan semacam papan yang bagian bawahnya diberi ukiran. Setelah Ayo itu selesai dikerjakan, lalu dipasang menurut Pande (tukang) dengan dibantu beberapa orang (Erdansyah, 2011).

4.3.8. Memasang Tanduk

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Walaupun bagian-bagian dari rumah itu telah dikerjakan dan rumah itu dapat dipergunakan, tapi sebelum dipasang tanduknya berarti belum selesai. Oleh karena itu, dipasang tanduk pada Rumah Adat Karo sudah menjadi keharusan dan tidak dapat diabaikan. Tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang di puncak atap. Pemasangannya harus pada malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatkan tanduk itu dibuat dari tali ijuk dilipat dengan semacam perekat dan diberi warna dengan cat putih. Kemudian selanjutnya pekerjaan adalah mengerjakan bagian “Ture” (serambi) dan tangannya. Demikianlah urutan acara-acara dalam pelaksanaan mendirikan Rumah Adat Karo, menurut kebiasaan yang berlaku pada suku Karo (Erdansyah, 2011).

Rumah Adat Karo dilihat dari segi bangunan atau bentuknya ada dua macam. Satu dinamai “Rumah Adat Biasa” dan satu lagi “Rumah Anjung-anjung”. Rumah Adat Biasa mempunyai dua Ayo, sedangkan Rumah Adat Anjung-anjung mempunyai delapan Ayo. Bila ditinjau dari segi arsitektur, rumah ada ini cukup indah. Selain dari segi keindahannya, Rumah Adat Karo berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan sosial. Disamping itu, Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal pembuatannya. Rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya (Erdansyah, 2011).

4.4. Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu

Susunan jabu-jabu dalam Rumah Adat Karo sesuai dengan setiap jabu mempunyai nama, kedudukan dan fungsi tersendiri Rumah Adat Karo terdiri dari delapan jabu (delapan keluarga). Jabu artinya salah satu dari bagian Rumah Adat Karo sebagai tempat tinggal satu keluarga. Setiap anggota-anggota keluarga yang menempati jabu-jabu itu masih mempunyai hubungan keluarga. Kehidupan di dalam Rumah Adat Karo diatur oleh kebiasaan atau adat serta ketentuan- ketentuan lainnya yang diciptakan penghuninya (Singarimbun, 1989).

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Khusus untuk menjaga keamanan harta benda di rumah itu, pada siang hari diadakan tugas jaga secara bergilir yang disebut “Kerin”, sebab pada siang hari semua keluarga yang tinggal di rumah itu bekerja di ladang. Dengan adanya Kerin tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya atas segala harta benda milik keluarga yang tinggal di rumah itu menjadi tanggung jawab si penjaga (Singarimbun, 1989).

Suatu rumah adat, bukanlah milik perorangan, tapi milik bersama dari keluarga yang menempatinya. Hubungan itulah yang menjadikan setiap jabu dibuat namanya sekaligus kedudukan dan fungsinya dalam rumah adat tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan denah dan keterangan jabu Rumah Adat Karo (Singarimbun, 1989).

Gambar 4.6. Pembagian tiap jabu dalam Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu . (Sumber : Gambar Ulang).

Keterangan :  Redan = tangga  Ture = Teras/serambi

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  Ingan medem = tempat tidur  Jabu = ruang keluarga  Para = tungku 1. Jabu benakayu dinamakan juga jabu raja, ditempati oleh keturunan pendiri kampung menurut garis patrilineal. 2. Jabu ujungkayu, ditempati anakberu dari penghuni No.1, bertugas sebagai juru bicara jabu benakayu. 3. Jabu lebar benakayu (seberang benakayu), dinamakan juga jabu sungkun berita, ditempati sembuyak atau saudara dari No.1, bertugas mendengarkan berita yang terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada yang menempati jabu benakayu. 4. Jabu lepar ujungkayu, dinamakan juga jabu si man minem, ditempati oleh kalimbubu No.1. 5. Jabu sedapuren benakayu (sedapur dengan benakayu, dinamakan juga jabu peninggel – ninggel, ditempati anakberu menteri No.1, yaitu anakberu dari No.2. 6. Jabu sedapuren ujungkayu, dinamakan juga jabu arinteneng, ditempati anak dari kalimbubu No.1, bertugas untuk mengkapuri belo (sirih), menyerahkan belo kinapur kepada tamu jabu benakayu. 7. Jabu sedapuren lepar benakayu (sedapur dengan seberang benakayu), dinamakan juga jabu bicara guru, ditempati oleh dukun, bertugas mengobati anggota rumah yang sakit. 8. Jabu sedapuren lepar ujungkayu, dinamakan juga jabu si ngkapur belo, ditempati anak dari No.2. Pada umumnya komposisi penghuni rumah adat Siwaluh Jabu tidak lagi seperti di atas. Bagian yang tetap dipertahankan adalah yang menempati No.1 merupakan pimpinan dalam hal – hal yang menyangkut rumah, dan No.2 merupakan wakilnya (Singarimbun, 1989). 4.5. Adat Istiadat/Tata Kehidupan

4.5.1. Susunan Masyarakat

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Masyarakat Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima. Masyarakat Karo membagi marga atas 5 bagian, yaitu :

1. Karo-karo

2. Sembiring

3. Ginting

4. Perangin-angin

5. Tarigan

Menurut sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga. Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat yang mempunyai merga tentu dapat dikenal. Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam, binatang buas, mencari tempat yang lebih baik (Singarimbun, 1989).

Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma- norma yang berlaku di lingkungannya. Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu keturunan. Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya tanda kelompok itu diharapkan tidak akan terjadi perselisihan atau perkelahian antara yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah (Perangin-angin, 2006).

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.7. Pola permukiman desa di Karo pada zaman dulu. (Sumber : Singarimbun, 1989).

Ciri khas kampung/desa Karo pada zaman dulu menurut Singarimbun (1989), yaitu :

 Rumah – rumah yang berkumpul dan kompak secara fisik.  Terdiri atas lebih dari 100 keluarga.  Tanah merupakan hak bersama.  Sebuah desa dipagar dengan satu pagar saja. Pembuatan pagar bertujuan agar babi yang mereka pelihara tidak berkeliaran merusak ladang di luar desa. Hal ini berarti bahwa, pada zaman dulu ternak babi mereka dibiarkan terlepas di dalam desa. Kemudian, di dalam desa tidak terdapat tanaman/ kebun (gambar 4.7).  Suasana atap ijuk dimana – mana.  Aktivitas penghuni desa zaman dulu, yaitu : pria melakukan pekerjaan berladang dan menghabiskan waktu di kedai kopi atau jambur. Sedangkan yang wanitanya memasak, menganyam, menumbuk padi di lesung, dan memberi makan babi.

Kehidupan sosial di dalam rumah cukup intensif, karena sering bertemu. Diantaranya yang mulai punah dewasa ini adalah : saling berbagi hasil kebun, saat

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ada yang sakit tidak merasa kesepian karena banyak yang menolong, begitu juga saat terjadi kemalangan sehingga tidak merasa kesepian bagi keluarga yang ditinggal (Singarimbun, 1989).

4.5.2. Kepercayaan

Sejak berdirinya kerajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam, Khatolik, Pantekosta. Benda-benda atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam setiap usaha yang akan dijalankan (Perangin-angin, 2006).

Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahum. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka seluruh penduduk datang ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan. Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burung-burung, maka mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka (Perangin-angin, 2006).

Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk memohon untuk turun hujan. Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengku Lau Bahum itu berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning, tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra, maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik (Perangin-angin, 2006).

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Konon ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak, berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bisa menjadi bagus asalkan mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga. Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga (Perangin-angin, 2006).

Mayat Tengku Lau Bahum dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi. Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahum ini tidak diketahui oleh penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahum karena makamnya terdapat di daerah Tengku Lau Bahum (Perangin-angin, 2006).

4.6. Komponen – Komponen Rumah Adat Karo

Suku Batak Karo mempunyai bangunan yang tradisional. Sebuah kesain (kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah bangunan adat, yaitu jambur, lesung, dan geriten. Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga. Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua bagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh ruangan dibagi atas delapan bagian atau jabu (Singarimbun, 1989).

4.6.1. Patung Kepala Kerbau

Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karo berada dalam posisi tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sebagai tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut (Singarimbun, 1989).

4.6.2. Dinding dan ayo-ayo

Dinding dan ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati daripada masyarakat Karo. Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari dapur dan juga berfungsi untuk membuat rumah tidak terlalu dingin (Singarimbun, 1989).

4.6.3. Talit Ret-ret

Pengikat dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jari- jari tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu, Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama pentingnya. Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan dan dianggap sebagai penangkalan setan (Singarimbun, 1989).

4.6.4. Pinggiran Atap

Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah pada segala arah yang sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan merata atau senasib sepenanggungan (Singarimbun, 1989).

4.6.5. Dapur

Dapur merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu kesatuan (Singarimbun, 1989).

4.6.6. Tungku

Tungku berjumlah 5 buah (tungku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Karo terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu yang sama tingkatannya (Singarimbun, 1989).

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 4.6.7. Jambur

Bangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri dari 3 bagian, yaitu :

 Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding.  Bagian tengah : tempat penyimpanan padi.  Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur pemuda-pemuda.

Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13 tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur (Singarimbun, 1989).

4.6.8. Lesung

Beberapa buah kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari (Singarimbun, 1989).

4.6.9. Geriten

Geriten ini merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat. Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh berbeda dengan peralatan rumah adat (Singarimbun, 1989).

Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna. Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh karenanya yang memakai geriten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja. Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang bersangkutan (Singarimbun, 1989).

4.7. Kondisi Fisik Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga Karo

Rumah adat Siwaluh Jabu di Desa Budaya Lingga yang tersisa hanya dua rumah, yaitu Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo yang keduanya merupakan

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA peninggalan marga Sinulingga. Pada tahun 2006, masih ada dua rumah adat Siwaluh Jabu lain yang tersisa, yaitu Rumah Bangun dari Marga Ginting dan Rumah Manik dari Marga Manik. Namun, pada tahun 2011, kedua rumah tersebut sudah rusak dan roboh (gambar 4.17) dan (gambar 4.18).

Salah satu dari dua rumah adat Karo Siwaluh Jabu yang masih tersisa dan terlihat kokoh adalah rumah Gerga (gambar 4.8). Rumah Gerga yang didirikan pada tahun ±1860 oleh Raja Urung dan anak beruna merupakan rumah panggung yang pernah ditinggali raja dan keturunannya. Sekarang tersisa sepuluh keluarga, dulu ada 12 keluarga yang tinggal di rumah Gerga untuk merawat dan mengasapkan rumah.

Damson Tarigan, salah seorang kepala keluarga yang telah tinggal di rumah Gerga selama 16 tahun mengatakan bahwa rumah adat semakin sering diasapi tungku api (gambar 4.9), maka semakin kokoh rumah adat tersebut. Asap dari tungku dapur membuat rumah awet karena bisa mengurangi kelembaban udara sehingga kayu, material utama pembuatan rumah tidak cepat lapuk. Setiap pukul lima sore Damson Tarigan dan keluarga melakukan rutinitas menghidupkan tungku api agar rayap dan nyamuk pergi dan membuat rumah awet.

Gambar 4.8. Kondisi fisik eksterior rumah Gerga. (Sumber : Peneliti, 2016).

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.9. Para (tungku) untuk mengasap rumah agar rumah awet. (Sumber : Peneliti, 2016).

Gambar 4.10. Rumah Belang Ayo Desa Budaya Lingga, Karo. (Sumber : Peneliti, 2016).

Rumah adat Siwaluh Jabu kedua di Lingga yang masih tersisa adalah rumah Belang Ayo (gambar 4.10). Rumah Belang Ayo didirikan pada tahun ±1862 oleh Jahe dan anak beruna. Rumah Belang Ayo sekarang ditinggali enam keluarga, dulu ada delapan keluarga yang tinggal di rumah ini. Rumah Belang Ayo terletak di seberang kanan rumah Gerga. Jika dilihat sekilas tidak ada perbedaan antara rumah Gerga dan rumah Belang Ayo.

Ukuran rumah adat Siwaluh Jabu pada umumnya 10,5 m x 12 m, jadi luasnya adalah 126 m². Satu jabu atau satu ruang keluarga luasnya ± 16 m² (gambar 4.11).

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.11. Denah rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber : gambar ulang).

Gambar 4.12. Tampak Depan rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber : gambar ulang).

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.13. Tampak Samping rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber : gambar ulang).

Gambar 4.14. Potongan Depan rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber : gambar ulang).

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.15. Potongan Samping rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber : gambar ulang).

Gambar 4.16. Potongan 3 Dimensi rumah adat Karo, Siwaluh Jabu. (Sumber :Sitepu, 2011). Rumah adat yang ada sejak ratusan tahun yang lalu ini, dibangun dengan gotong royong warganya. Dengan ditopangi kayu pancang sekitar 16 buah, sebagai pondasi awal membangun rumah adat. Pemuda suku Karo mengambil kayu-kayu di hutan. Kayu dipilih dengan teliti, demi sebuah rumah yang layak ditinggali. Ada tiga kayu wajib yang harus ada di setiap rumah. Kayu Ndarasi, arti dalam bahasa Karo, sehat. Kayu Ambartuah, artinya keturunan. Kayu Sibarnaek

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA artinya rezeki. Hal ini dimaksud agar dalam satu rumah itu, sehat semua, banyak keturunan, dan mudah rezeki, menurut Hamita Ginting, warga keturunan raja yang pernah tinggal di rumah Gerga. Beliau sendiri mengaku lebih memilih tinggal di rumah sendiri (rumah biasa dengan dinding dari batu bata) daripada tinggal di rumah Gerga karena alasan zaman yang sudah berubah (Sitepu,2011).

Pada tahun 1920 ada sekitar 28 rumah. Semakin lama semakin banyak yang rusak, tersisa 15 buah pada tahun 1990an. Pada tahun 2006, masih ada tersisa empat buah rumah yang kemudian rusak dan roboh pada tahun 2011. Sekarang hanya dua buah rumah adat Desa Budaya Lingga yang tersisa, rumah Gerga dan rumah Belang Ayo.

Tahun Jumlah Rumah Adat Kondisi

1920an – 1940an 28 buah Baik, masih asli

1990an 15 buah Baik

2006 4 buah Baik

2011 4 buah 2 baik, 2 rusak

Baik dan sudah 2016 2 buah mengalami pemugaran

Tabel 4.1. Perubahan jumlah rumah adat Siwaluh Jabu Desa Lingga dati tahun ke tahun. (sumber : Masri Singarimbun, Eranatalia Sitepu, dan Marta Ulina Perangin angin).

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.17. Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu Lingga yang sudah roboh dan menimpa rumah warga di sampingnya. (Sumber : Eranatalia Sitepu, 2011)

Kondisi rumah adat ini roboh dan menimpa rumah warga. Rumah ini roboh akibat tidak di pelihara lagi dan ketidakpedulian terhadap kedaan rumah adat ini. Tidak jauh dari lokasi rumah adat yang roboh ini ada juga sebuah rumah adat yang kondisinya sangat mempihatinkan (gambar 4.18).

Gambar 4.18. Salah satu rumah adat Siwaluh Jabu Lingga yang sudah rusak. (Sumber : Eranatalia Sitepu, 2011)

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.19. Foto letak dua rumah adat Siwaluh Jabu yang telah roboh dan rumah warga yang menyerupai rumah adat. (Sumber : Analisis).

Sejak tahun 2015, kayu – kayu sisa puing rumah adat Desa Budaya Lingga yang sudak rusak dan roboh dibawa ke Balige dan dibangun kembali disana. Hal ini dikarenakan tidak ada biaya perawatan, tidak ada lagi hutan desa untuk persediaan kayu dan ijuk sebagai material pembuatan rumah adat, bahkan pekerja pembuat rumah adatpun tidak ada lagi di Desa Budaya Lingga ini (Sitepu,2011).

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 4.20. Rumah Bapak Rio Ginting. (Sumber : Sitepu, 2011).

Gambar 4.21. Rumah Bapak Genta Ginting. (Sumber : Peneliti, 2016).

Dua rumah di atas adalah rumah warga yang menyerupai rumah adat (gambar 4.20) dan (gambar 4.21). Menurut Tersek Ginting, Ketua Adat Desa Budaya Lingga, rumah Rio Ginting dan Genta Ginting ini adalah rumah adat model baru. Karena dinding rumah ini tidak berbentuk berdiri dan miring (dapat dilihat pada rumah Gerga dan Belang Ayo), tiang rumah dan turenya tidak layak disebut sebagai tiang dan ture Rumah Adat Siwaluh Jabu yang asli. Tetapi di bagian dalam rumah ini masih terdapat tempat memasak dan juga para seperti pada rumah Gerga dan rumah Belang Ayo.

4.8. Pelestarian Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga Karo

Menurut Singarimbun (1989), faktor eksternal yang menyebabkan punahnya Rumah Adat Siwaluh Jabu, yaitu :

 Saat perjuangan melawan Belanda pada tahun 1947, lebih dari 70% rumah adat Siwaluh Jabu yang ada di Kabupaten Karo dibumihanguskan sesuai kebijaksanaan strategi perang pada masa itu.  Sumber daya rumah adat sudah tidak ada lagi, yaitu hutan desa sebagai persediaan kayu dan ijuk untuk membuat rumah adat.  Tukang/pekerja pembuat rumah adat sudah tidak ada lagi.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  Biaya perawatan rumah yang mahal.  Hujan deras, pengaruh suhu rendah dataran tinggi, dan gempa bumi yang berasal dari Gunung Sinabung.

Adapun faktor internal yang menyebabkan punahnya Rumah Adat Siwaluh Jabu yaitu, pola kehidupan yang telah berubah, dikarenakan penghuni atau ahli waris rumah adat lebih menginginkan tempat tinggal yang lebih praktis dan bertambahnya keinginan akan privasi. Beberapa contohnya, yaitu :

 Meningkatnya aspirasi menyekolahkan anak karena pendidikan sudah jauh bertambah maju. Rumah adat tidak memenuhi syarat sebagai tempat belajar, hal ini dikarenakan susana di dalam rumah adat yang ribut dan perlengkapan interior rumah yang tidak memungkinkan.  Berkurangnya civil pride orang Karo terhadap rumah adatnya. Pada awal tahun 1960an mulai timbul masalah – masalah ini. Misalnya : sudah tidak ada lagi keinginan untuk menghuni apalagi membangun rumah adat, adanya hubungan – hubungan yang kurang selaras antara sesama penghuni rumah, anak tidak bisa belajar, dan friksi masalah kecurian antara keluarga yang berbeda dalam satu rumah.  Rasa gotong royong sudah menipis, hal ini dikarenakan tuntutan zaman bahwa orang – orang harus lebih menghargai waktu dari sebelumnya.  Orang Karo merasa bahwa hidup dalam rumah adat sebagai lambang keterbelakangan dan merasa tidak betah menghuninya.  Pemeluk agama perbegu sudah merosot jumlahnya, karena transisi kepercayaan masyarakat Karo pada tahun 1960an setelah peristiwa G30SPKI, yang berimplikasi terhadap aspek – aspek ritual dari kehidupan dan renovasi rumah adat.

4.8.1. Upaya yang Telah Dilakukan Untuk Melestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga

Meskipun biaya perawatan rumah adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga cukup mahal, tetap ada pihak – pihak yang peduli akan kondisi rumah adat di desa

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ini. Menurut Damson Tarigan, masyarakat dan wisatawan yang lebih peduli dan memberi sedikit bantuan untuk biaya perawatan rumah.

Pada tahun 2012, atas kerja sama pemerintah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara dengan beberapa pihak swasta seperti : Badan Warisan Sumatera, Universitas Katolik Santo Thomas Medan serta masyarakat, dan masyarakat rumah Gerga dan rumah Belang Ayo diperbaiki. Bagian rumah yang diperbaiki antara lain, pelapisan atap ijuk yang sebagian sudah sompel, penambahan tiang pada bagian dalam rumah, kayu dan papan lantai rumah, bambu pada ture (serambi), dan membuat pondasi umpak dari beton pada rumah Belang Ayo (gambar 4.22).

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.22. Foto- foto kondisi rumah Gerga dan Belang Ayo setelah diperbaiki. (Sumber : Peneliti, 2016).

Setelah dilakukan penelitian terdapat beberapa perubahan fisik dari rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo. Diantaranya, terdapat sekat panjang dari pangkal hingga ujung rumah berbahan triplek di sisi kiri interior rumah (gambar 4.23), baik rumah Gerga maupun rumah Belang Ayo. Sekat ini menjadi pembatas antara ruang bersama dengan kamar. Dengan demikian tercipta kenyamanan privasi bagi pengguna rumah. Namun, hal ini dapat mengurangi salah satu ciri khas rumah adat Batak Karo, yaitu rumah tanpa sekat atau pembatas.

Gambar 4.23. Interior rumah Gerga sekarang dengan sekat pembatas. (Sumber : Peneliti, 2016)

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kedua, terdapat banyak bambu – bambu tambahan untuk penguat struktur rumah, baik kolom maupun baloknya. Ketiga, ada beberapa pondasi dari rumah Gerga (gambar 4.24) yang ditutupi oleh semen, sedangkan rumah Belang Ayo semua pondasinya diganti dengan pondasi umpak dari beton (gambar 4.25). Pondasi umpak memang cukup efektif menahan gempa, namun berisiko terjadi pergeseran posisi bangunan. Pondasi rumah adat Batak Karo seharusnya hanyalah batu gunung yang dilapisi dengan ijuk agar tiang kayu tidak bergeser saat terjadi gempa. Pada rumah Belang Ayo, ture (serambi) dewasa ini dimanfaatkan menjadi tempat mencuci pakaian. Selain itu, sudah terdapat listrik di dalam kedua rumah adat ini.

Gambar 4.24. Pondasi rumah Gerga dewasa ini yang sudah dilapisi semen. Pondasi rumah adat Batak Karo seharusnya hanya dilapisi ijuk seperti foto disebelah kiri. (Sumber : Peneliti, 2016).

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Gambar 4.25. Pondasi rumah Belang Ayo dewasa ini yang semuanya sudah dilapisi semen (pondasi umpak). (Sumber : Peneliti, 2016).

Selain rumah adat Siwaluh Jabu ada bangunan adat lain yang masih tersisa, yaitu sapo ganjang/page dan jambur. Untuk bangunan lesung (tempat menumbuk padi menjadi tepung) sudah benar – benar punah, karena sudah beralih pada penggunaan mesin padi/ huller.

Sayangnya, sapo ganjang/page sudah beralih fungsinya menjadi Taman Bacaan Anak. Sebelum dialih fungsikan, sapo ganjang/page ini telah mengalami proses rekonstruksi dengan material baru terlebih dahulu. Hasil rekonstruksi dapat dilihat dari pintu yang digunakan adalah pintu rumah biasa bukan pintu khas rumah Karo yang kecil dan dinding papan yang terlihat baru (gambar 4.26). Namun hal ini merupakan perubahan fungsi yang bersifat positif.

Sedangkan jambur masih terlihat seperti bangunan baru, menandakan bahwa jambur yang ada dewasa ini bukanlah jambur dulu yang pernah ada. Jambur terlihat baru dari material penutup atapnya adalah seng dengan kolom – kolom beton, hal ini menunjukkan bahwa Jambur Desa Budaya Lingga telah direkonstruksi dengan material yang baru (gambar 4.27).

Gambar 4.26. Sapo ganjang yang sudah direkonstruksi dan beralih fungsi menjadi taman bacaan anak. (Sumber : Peneliti, 2016).

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar 4.27. Jambur yang masih terlihat baru, terlihat dari material penutup atapnya adalah seng dengan kolom – kolom beton. (Sumber : Peneliti, 2016).

Berikut ini adalah tabel pergeseran yang telah terjadi saat ini pada Desa Budaya Lingga jika dibandingkan dengan aslinya dulu.

Elemen yang Dulu Sekarang Keterangan Berubah

Ada beberapa pondasi dari rumah Gerga yang ditutupi oleh semen, sedangkan rumah Belang Ayo semua pondasinya diganti dengan pondasi umpak dari beton. Pondasi Pondasi rumah adat Batak Karo seharusnya hanyalah

batu gunung yang dilapisi dengan ijuk agar tiang kayu tidak bergeser saat terjadi gempa.

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sapo Sapo ganjang/page yang page tersisa di Lingga ini /ganjang dirombak dan sudah beralih fungsinya menjadi Taman Bacaan Anak.

Terdapat sekat panjang dari Dinding pangkal hingga ujung rumah sekat berbahan triplek di sisi kiri pembatas interior rumah, baik rumah interior Gerga maupun rumah rumah Belang Ayo. Sekat ini menjadi pembatas antara ruang bersama dengan kamar. Hal ini dapat mengurangi salah satu ciri khas rumah adat Batak Karo, yaitu rumah tanpa sekat atau pembatas. Jambur sekarang yang ada Jambur masih terlihat seperti bangunan baru, menandakan bahwa jambur yang ada dewasa ini bukanlah jambur

dulu yang pernah ada.

Kerabangen adalah pintu Gapura masuk/ gerbang terbuat dari (Pintu kayu desa Karo zaman dulu. Masuk disebut Kerabangen, Karena satu desa di pagar, Desa) artinya gerbang. maka Kerabangen adalah pintu gerbangnya. Sekarang,

hanya gapura biasa dan berfungsi sebagai Kantor

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kepala Desa.

Tabel 4.2. Perbedaan kondisi Bangunan Adat Desa Budaya Lingga yang asli dengan sekarang. (Sumber : Peneliti, 2016).

Berdasarkan pemaparan beberapa hal tersebut diatas, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat adalah dengan melakukan preservasi dan konservasi. Hal ini dapat kita lihat bahwa usaha yang dilakukan untuk melestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu di Desa Lingga tersebut masih dengan cara pemeliharaan yang sederhana, yaitu dengan membersihkan, memelihara, dan memperbaiki dari faktor – faktor yang dapat merusak rumah adat Siwaluh Jabu.

4.8.2. Upaya yang Bisa Dilakukan Untuk Melestarikan Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya Lingga

Melihat kondisi rumah adat yang tersisa di Desa Budaya Lingga sendiri masih jauh sekali dari harapan untuk melestarikannya. Upaya preservasi dan konservasi saja untuk kasus Desa Budaya Lingga ini mungkin tidak cukup. Tentu kita dan semua masyarakat menginginkan dan merindukan kondisi Desa Lingga yang seperti dulu. Upaya pelestarian yang bisa dilakukan lainnya adalah dengan cara rekonstruksi, yaitu mengembalikan ke keadaan semula baik dengan material lama ataupun baru.

Karena Rumah Adat Siwaluh Jabu yang telah hilang tidak memberikan sisa bangkainya, maka rekonstruksi menggunakan material baru yang tentunya

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA membutuhkan keterlibatan banyak pihak selain warga setempat dan pemerintah, misalnya simpatisan dan sejumlah tokoh pendukung Arsitektur Nusantara.

Seperti yang terjadi pada salah dua Rumah Gadang di Sumpur, Tanah Datar Sumatera Barat yang mengalami kebakaran pada tanggal 26 Mei 2013, menghanguskan lima dari 68 rumah adat yang ada di Sumpur. Proses rekonstruksi yang dipimpin oleh Bapak DR. Eko Alvares, Rumah Gadang Siti Fatimah dan Nuraini diawali oleh inisatif warga setempat yang memimpin “Gerakan Sumpur Memanggil” dengan cara mengumpulkan bantuan serta mencari simpatisan dan pendukung Arsitektur Nusantara yang kemudian melibatkan arsitek terkemuka, Yori Antar dan Ibu LisaTirto Utomo yang terkenal aktif dan senang melestarikan rumah – rumah adat Indonesia. Rekonstruksi Rumah Gadang Siti Fatimah dan Nuraini dikerjakan dengan gotong royong warga setempat, yang akhirnya kedua rumah gadang tersebut berdiri kembali dan disahkan tiga tahun setelah kebakaran itu terjadi (Budianta, 2016).

Gambar 4.28. Proses rekonstruksi Rumah Gadang Siti Fatimah di Sumpur, Sumatera Barat (Sumber : Budianta, 2016).

Kemudian serupa kasusnya dengan Rumah Mbaru Niang di Desa Wae Rebo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Beberapa Rumah Mbaru Niang di desa

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tersebut yang sudah punah di rekonstruksi oleh arsitek terkemuka Yori Antar yang kemudian menginisiasi konservasi kawasan ini lewat “Rumah Asuh”, yaitu gerakan yang ia gagas untuk melindungi kekayaan warisan budaya Indonesia, terutama dalam bidang arsitektur. Gagasan tersebut disambut baik oleh penduduk lokal. Berkat usaha yang dilakukan ini, rumah Mbaru Niang di Wae Rebo berhasil memenangkan Award of Excellence dari UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation. Hal tersebut diumumkan di Bangkok, Thailand (Arifin, 2015).

Gambar 4.29. Desa Wae Rebo setelah beberapa rumah Mbaru Niang direkonstruksi. (Sumber : Arifin, 2015).

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dari tabel di atas dapat diuraian apa saja upaya yang bisa dilakukan untuk pelestarian rumah Adat Karo Siwaluh Jabu, yaitu :

 Rumah adat yang tadinya terkesan kuno dan antik dapat ditata menjadi sebuah rumah multi fungsi, nyaman untuk dijadikan hunian, dan menjadikannya salah satu objek wisata yang cukup populer di Sumatera Utara (upaya rehabilitasi).  Membuat replika rumah adat/ bagian rumah adat lain yang telah hilang/rusak sesuai dengan tapak aslinya (replikasi atau rekonstruksi).  Menata ulang siteplan / pola perkampungan dan membuatnya semenarik mungkin dengan tujuan menambah daya tarik wisatawan yang ingin berkunjung serta mengembalikan ciri khas perkampungan Karo pada masa lalu (preservasi dan konservasi).

Berdasarkan penjelasan panjang uraian di atas, dapat kita ambil konsep dan arahan pelestarian Rumah Siwaluh Jabu Desa Lingga yaitu dengan menggunakan pelestarian fisik dengan cara :

 Menjaga jumlah rumah yang masih ada.  Menjaga fungsi rumah.  Menjaga dan mengembalikan nilai estetika desa adat yang sudah jauh menurun.  Mempertahankan nilai budaya.  Mewadahi kegiatan yang sama dengan aslinya seperti dulu.  Menjaga lingkungan binaan tetap pada kondisi asli.  Mencegah terjadi kerusakan.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

 Di Desa Budaya Lingga masih terdapat beberapa bangunan adat peninggalan nenek moyang suku Karo yang merupakan suatu bukti sejarah dari sekian banyak rentetan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa silam.  Tersisa dua buah Rumah Adat Siwaluh Jabu dari 28 rumah yang pernah ada, yaitu Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo yang masih dapat kita lihat keberadaannya dan dapat kita wariskan kepada generasi selanjutnya sebagai bukti sejarah di Kabupaten Karo, khususnya Desa Budaya Lingga.  Atas kerja sama antara pemerintah dan beberapa pihak swasta, Rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo masih terlihat kelestariannya sesuai dengan peraturan pelestarian bangunan (Undang – undang No. 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya).  Bagian rumah Siwaluh Jabu yang diperbaiki antara lain, pelapisan atap ijuk yang sebagian sudah sompel, penambahan tiang pada bagian dalam rumah, kayu dan papan lantai rumah, bambu pada ture (serambi), dan membuat pondasi umpak dari beton pada rumah Belang Ayo.  Selain kedua rumah Siwaluh Jabu, bangunan-bangunan adat bersejarah yang masih dapat kita lihat dan kunjungi di Desa Budaya Lingga antara lain adalah bekas Sapo ganjang/page dan jambur.  Pergeseran bentuk fisik yang terjadi pada bangunan - bangunan adat di Desa Budaya Lingga diantaranya, yaitu :  Beberapa pondasi diganti dengan semen pada rumah Gerga, sedangkan pada rumah Belang Ayo semuanya diganti dengan pondasi dari semen (umpak beton).  Terdapat dinding sekat pembatas di dalam rumah.

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA  Sapo ganjang/page yang direkonstruksi dan sudah beralih fungsi.  Jambur yang sudah direkonstruksi, menggunakan kolom – kolom beton dan penutup atap dari seng.  Upaya yang sudah dilakukan untuk melestarikan Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu di Desa Budaya Lingga diantaranya, yaitu : upaya konservasi dan preservasi dengan cara melakukan perawatan setiap hari dan perbaikan pada beberapa elemen rumah adat yang telah rusak. Selain itu, masyarakat yang peduli juga banyak yang telah melakukan publikasi dan dokumentasi tentang rumah adat Karo Desa Budaya Lingga ini.  Upaya yang bisa dilakukan untuk melestarikan Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu di Desa Budaya Lingga diantaranya, yaitu : dengan cara rekonstruksi, yaitu mengembalikan ke keadaan semula baik dengan material lama ataupun baru.

Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil dari bangunan adat Karo di Desa Budaya Lingga yang tersisa dan masih dipertahankan sebagaimana bentuk dan fungsi aslinya. Sangat disayangkan bahwa rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga hanya tersisa dua buah rumah saja dari 28 rumah adat yang pernah ada. Untuk bangunan adat lainnya, seperti sapo ganjang, jambur, geriten, lesung, dan lain – lain kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Tidak satupun dari bangunan – bangunan tersebut yang dilestarikan sebagaimana aslinya, bahkan mungkin sudah benar – benar punah.

Terlihat kurangnya kepedulian dan civil pride dari masyarakat Karo baik pemilik dan pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan peninggalan bersejarah yang mana merupakan warisan dari nenek moyang yang tak ternilai harganya. Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Singarimbun (1989) mengenai perubahan sosial rumah adat Karo dalam makalahnya, bahwa terlihat jelas pelestarian rumah adat Karo menghadapi masalah yang cukup berat.

5.2. Saran

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Desa Budaya Lingga dalam beberapa dasawarsa kedepan mungkin akan berubah menjadi desa yang tidak akan dikenali lagi di masa depan sebagai desa budaya jika masyarakat Karo dan pemerintah sendiri tidak lagi mau memperhatikan nilai historis yang ada di Desa Budaya Lingga ini. Anak cucu kita hanya akan mengetahui bagaimana bentuknya dari media tanpa bisa melihat sendiri secara langsung. Padahal peninggalan – peninggalan tersebut merupakan bukti sejarah tentang perkembangan peradaban sebuah masyarakat di masa lampau.

Merupakan kewajiban kita semua untuk mempertahankan bangunan heritage yang harus dilestarikan agar eksistensinya tetap terjaga. Semoga dengan berkembangnya gerakan pecinta heritage memungkinkan bangunan yang bernilai historis dapat dilestarikan dan dijaga terus keasliannya.

66

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Adhisakti. (2008). Kepekaan, Selera dan Kreasi dalam Kelola Kota Pusaka. Makalah disampaikan dalam Temu Pusaka 2008 “Pelestarian Pusaka versus Pengembangan Ekonomi” yang diselenggarakan Badan Pelestarian 30 Pusaka Indonesia, 23 Agustus 2008 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Afflack Janice dan Thomas Kvan. (2008). A Virtual Community as the Context for Discursive Interpretation : A Role in Cultural Heritage Engagement. International Journal of Heritage Studies.

Antariksa. (2010). Tipologi Wajah Bangunan dan Riasan dalam Arsitektur Kolonial Belanda. (http://antariksaarticle.blogspot.com/2010/05/tipologi- wajah-bangunan-dan- riasan.html, diakses 27 Februari 2016).

Arifin, Helmayati. (2015). Rumah Adat Wae Rebo Mbaru Niang yang Raih Penghargaan UNESCO. (http://trevelsia.com/ini-dia-rumah-adat-wae-rebo- mbaru-niang-yang-raih-penghargaan-unesco, diakses 05 Desember 2016).

Artiningrum, Primi. (2012). Arsitektur Vernakular Indonesia. (http://raftorigin.com/architecture-article/arsitektur-vernakular-indonesia, diakses 18 Februari 2016).

Ashworth, GJ. (1991). Heritage Planning : Conservation as management of change. Geo Press, the Netherlands, Holland. Badan Pelestarian Pusaka Indonesia. (2003). Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. (http://www.indonesianheritage.org/produk-hukum/74-piagam- pelestarian-pusaka- indonesia.html, diakses 18 Februari 2016).

Bidang Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. (2014). Inventarisasi Kabupaten Karo Tahun 2014. Medan.

67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Budianta, Eka. (2016). Ibu Lisa dan Rumah Gadang Sumpur. (http://www.tirtoutomo.org/tag/rumah-gadang, diakses 05 Desember 2016).

Budihardjo, Eko. (1994). Preservation and Conservation of Cultural Heritage in Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Budihardjo, Eko. (1997). Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Djambatan.

Burra Charter. (1979). Piagam ICOMOS Australia untuk Tempat – tempat Bersignifikansi Budaya. Burra, Australia Selatan.

Dewi, Regga Nabilia, dan Hilwati Hindersah. (2016). Pelestarian Permukiman Tradisional di Desa Adat Sukawana Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Jurnal dalam Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota, Volume 2 No. 1 Tahun 2016.

Erdansyah, Fuad. (2011). Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara. Medan.

Erder, Cevat. (1986). Our Architectural Heritage : From Consciousness to Conservation. Unesco.

Ginting, Bethel. (2012). Potensi Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu Desa Lingga. Medan.

Ginting, Juara R. (2013). Rumah Adat Karo dan Kekaroan. Medan.

Hematang, Yashinta, Erni Setyowati, dan Gagoek Hardiman. (2013). Kearifan lokal ibeiya dan konservasi arsitektur vernakular Papua Barat. Howard, Peter. (2003). Heritage Management Interpretation Identity. Leicester University Press.

68

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Perangin – angin, Marta Ulina. (2006). Rumah Adat Siwaluh Jabu : Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo di Desa Lingga, Kab. Karo. Jurnal Kerabat Volume I Nomor 1 Maret 2006.

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 19. (2009). Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya. Bandung.

Sahroni, Ade. (2011). Arsitektur Vernakular Indonesia: Peran, Fungsi, dan Pelestarian di dalam masyarakat (https://iaaipusat.wordpress.com/2012/03/19/arsitektur-vernakular- indonesia-peran-fungsi-dan-pelestarian-di-dalam-masyarakat, diakses 18 Februari 2016).

Singarimbun, Masri. (1989). Rumah Adat Karo dan Perubahan Sosial. Revisi Makalah untuk Seminar Pelestarian Rumah Adat Karo. Medan, 24 Oktober 1989.

Sitepu, Eranatalia. (2011). Keadaan Rumah Adat Karo Desa Lingga. Medan.

Sumijati As, dan Inajati Adrisijanti. (2011). Pelestarian Antara Kenyataan dan Harapan : Studi Kasus Tongkonan Situs Kande Api. Makalah Pia 2011.

Undang – undang No. 11 (2010). tentang Benda Cagar Budaya.

69

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA