Anthropos: Jurnal AntropologiANTHROPOS: Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157 Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya Available online http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/anthropos

Eksistensi Warisan Budaya (Cultural Heritage) sebagai Objek Wisata Budaya di Desa Lingga Kabupaten Karo

Tumpal Simarmata dan Yuni Widya Bela Sinurat

*

Program Studi Pendidikan Antropologi Diterima AgustusFakultas2015; Ilmu Disetujui Sosial,Oktober Universitas2015; Dipublikasikan Negeri MedanDesember 2015

Abstrak

cultural heritage Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu pertama, untuk mengetahui apa saja warisan budaya yang ada di Desa Lingga. Kedua, untuk mengetahui eksistensi warisan budaya ( ) dan yang ketiga untuk mengetahui peran pemerintah setempat dalam menjaga eksistensi warisan budaya sebagai objek wisata budaya di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, dimana peneliti menghasilkan data berupa hasil wawancara dari para informan dan menuliskannya secara deskriptif apa yang didapat dari penelitian tersebut. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi untuk mengumpulkan data sebanyak- jambur, geriten sapo ganjang/sapo page banyaknya tentang eksistensi warisan budaya Karo. Suku Karo terlebih di Desa Lingga memiliki warisan budaya bangunan Siwaluh Jabu tradisional seperti Karo, dan . Suku Karo masih bersyukur karena rumah adat tradisional karo yaitu masih tersisa 2 buah serta warisan budaya lainnya. Rumah adat karo dan warisan budaya lainnya sudah tidak terjaga lagi eksistensinya, sudah mulai memudar. Sehingga potensi objek wisata budayanya pun sudah mulai berkurang dan berdampak terhadap berkurangnya wisatawan mancanegara yang datang berkunjung. Kata Kunci:

Eksistensi; Warisan Budaya; Objek Wisata Budaya Abstract

This research has a purpose: first, to find out what are the cultural heritage in the village of Linga. Second, to determine the existence of cultural heritage (cultural heritage) and the third to find out the role of local authorities in maintaining the existence of cultural heritage as a cultural attraction in the village of Linga, Simpang Empat, Karo. The method used in this research is descriptive qualitative research method, where researchers generate data in the form of interviews of informants and write descriptively what is gained from the study. The technique of collecting data by interview, observation and documentation to gather as much information about the existence of the cultural heritage of Karo. Karo especially in Desa Lingga has a cultural heritage of traditional buildings such as Karo traditional house, jambur, geriten and sapo Ganjang / sapo page. Karo tribe still grateful for traditional house karo namely Siwaluh Jabu remaining 2 pieces and other cultural heritage. Karo custom house and other cultural heritage is no longer maintained its existence, has begun to fade. So that potential tourist attraction culture had already started to decrease and the impact on the reduction of foreign tourists who come to visit.

Keywords: Existence; Cultural heritage; Cultural Attractions

How to Cite: Simarmata, T dan Yuni W.B.S., Cultural Heritage , Anthropos Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya, (2015), Eksistensi Warisan Budaya ( ) Sebagai Objek Wisata Budaya Di Desa Lingga Kabupaten Karo : 1 (2): 148-157.

*Corresponding author: p-ISSN 2460-4585 E-mail: [email protected] e-ISSN 2460-4593

148 Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157

PENDAHULUAN

lain seperti karena sekedar ingin tahu, merupakan negara kepulauan menambah pengalaman ataupun untuk belajar yang memiliki beranekaragam suku dan adat (Okiana, 2010: 3). istiadat yang berbeda serta memiliki banyak Secara umum pariwisata dipandang sumber daya alam yang berupa keindahan sebagai sektor yang dapat mendorong dan pemandangan alam dan juga warisan budaya meningkatkan kegiatan pembangunan, dari nenek moyang. Pesona keindahan alam dan membuka lapangan usaha baru, membuka warisan budaya kuno dijadikan objek wisata lapangan kerja, dan dapat meningkatkan dan merupakan modal bagi pembangunan dan pendapatan masyarakat serta pendapatan asli kepariwisataan. Objek wisata yang dapat daerah, apabila dikelola dan dikembangkan dijadikan sebagai modal tersebut perlu ditata secara maksimal. dan dipelihara sehingga diharapkan mampu Lingga adalah salah satu desa yang mengundang wisatawan untuk datang menjadi daerah objek wisata budaya di mengunjunginya. Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Indonesia mendapatkan penghasilan Sumatera Utara yang terletak di ketinggian untuk pendapatan negara dari sektor migas dan sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih non migas. Sekarang ini sektor-sektor tersebut kurang 15 km dari dan 5 km dari Kota ditambah dengan sektor pariwisata dapat Kabanjahe, Ibu2 Kota Kabupaten Karo dengan menjadi penopang yang memberi jaminan bagi luas 2.624 Ha . Lokasinya terletak di dataran anggaran pendapatan negara untuk bisa tinggi dekat kaki Gunung Sinabung, Bukit memenuhi kebutuhan masyarakat yang Barisan, Sumatera Utara. Desa Lingga di sebelah semakin banyak. Utara berbatasan dengan Desa Surbakti, Pariwisata merupakan manifestasi gejala sebelah Selatan berbatasan dengan Desa naluri manusia sejak purbakala, yaitu hasrat Kacaribu, sebelah Timur berbatasan dengan untuk mengadakan perjalanan, lebih dari itu Desa Kaban dan sebelah Barat berbatasan pariwisata dengan ragam motivasinya akan dengan Desa Nang Belawan menimbulkan permintaan-permintaan dalam (http://id.wikipedia.org) bentuk jasa-jasa dan persediaan-persediaan Suku Karo terlebih di Desa Lingga sampai lain. Permintaan akan barang dan jasa ini terus saat ini masih memiliki warisan bangunan- meningkat sesuai dengan perkembangan bangunan tradisional seperti Rumah adat, kehidupan manusia. Sebagai akibat Jambur, Geriten dan Sapo Page/Sapo Ganjang. perkembangan-perkembangan tersebut, Bentuk, bahan dan tehnik mendirikan motivasi-motivasi untuk mengadakan bangunan tersebut hampir sama. Letak perjalanaan menjadi lebih kuat, lebih-lebih dindingnya miring ke arah luar, mempunyai setelah ditunjang oleh kemajuan-kemajuan di dua pintu yang menghadap ke arah Barat dan bidang teknologi, hasrat untuk mengadakan Timur. perjalanan lebih mudah terpenuhi. Dan kita Namun keadaannya sekarang berbanding dapat menyaksikan betapa deras arus terbalik dengan keunikan dan kemegahan perjalanan manusia dalam rangka berwisata bangunan rumah adat yang diceritakan selama meski motivasi mereka kadang kala berbeda- ini. Kondisi rumah peninggalan nenek moyang beda. Karo tersebut sangat memprihatinkan. Di Desa Pada hakikatnya berwisata adalah suatu Lingga terdapat sekitar 28 rumah adat. Kini proses kepergian sementara dari seseorang tinggal 2 buah lagi yang layak huni, yakni atau lebih menuju tempat lain di luar tempat rumah Gerga (Raja) dan rumah Belang Ayo. tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah Sekitar 5 rumah adat disana berdiri miring dan karena berbagai kepentingan, baik karena hampir rubuh. Sedangkan rumah adat lainnya kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, telah rubuh. politik, agama, kesehatan maupun kepentingan149 Tumpal Simarmata dan Yuni Widya Bela Sinurat, Cultural Heritage

Eksistensi Warisan Budaya ( ) sebagai METODE PENELITIAN

Studi dokumentasi dilakukan dengan Metode penelitian yang digunakan dalam mengambil data-data sekunder dari pihak yang penulisan ini adalah metode penelitian bersangkutan serta berbagai instansi terkait deskriptif kualitatif. Dimana peneliti serta mendokumentasikan objek penelitian memperoleh data-data yang tertulis maupun dengan gambar. Hal ini dilakukan untuk lisan dari para informan dan juga memperoleh data dari pihak yang terkait untuk menggambarkan secara tepat apa-apa saja yang mendapatkan data tentang eksistensi objek ada pada individu, baik keadaannya maupun pariwisata budaya tersebut. tingkah laku yang bisa diamati. Mengamati dan Teknik analisis data yang digunakan pada menggambarkan keadaan lingkungan objek penelitian ini adalah analisa deskriptif. Yakni penelitian tentang eksistensi warisan budaya menganalisa atau menjelaskan suatu kejadian sebagai objek wisata budaya di Desa Lingga. berdasarkan dari data-data yang diperoleh dari Metode ini dapat memberikan hasil lapangan maupun informan. Setelah penulis berupa data-data kualitatif untuk bisa mengumpulkan dan melihat data-data yang cultural heritage dideskripsikan tentang bagaimana Eksitensi terkumpul selanjutnya penulis mencoba Warisan Budaya ( ) sebagai menganalisis data dengan metode analisis Objek Wisata Budaya Di Desa Lingga, deskripsi yaitu menganalisis dan menyajikan Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. fakta secara sistematik sehingga dapat lebih Penelitian ini dilakukan di Desa Lingga, mudah difahami dan disimpulkan. Analisis Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo deskripsi ini bertujuan untuk menggambarkan Propinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan secara sistematik dan akurat fakta dan lokasi penelitian sesuai dengan permasalahan karakteristik mengenai populasi atau bidang yang diteliti dan dapat membantu peneliti tertentu dan kesimpulan yang diberikan dalam penyelesaian penelitian ini. selalujelas dasar faktualnya sehingga semuanya Wawancara, wawancara merupakan selalu dapat dikembalikan pada data yang percakapan dengan maksud tertentu. diperoleh. HASIL DAN PEMBAHASAN Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara dan informan yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Suku Karo masih bisa berbangga karena Peneliti melakukan wawancara secara rumah tradisional Siwaluh jabu yang dihuni 8 berulang-ulang untuk mendapatkan informasi atau 10 atau 12 kepala keluarga masih bisa yang akurat. Wawancara dilakukan kepada terlihat di Desa Lingga dan desa-desa lainnya tokoh masyarakat, kepala desa, penjaga yang ada di Kabupaten Karo. Namun jumlahnya museum lingga, penduduk yang tinggal di itu tidak sebanyak seperti yang sekarang. rumah adat dan orang-orang yang benar-benar Seperti di Desa Lingga, rumah Adat Karo hanya cultural heritage mengetahui tentang eksistensi warisan budaya tersisa 2 buah saja dan warisan-warisan budaya ( ) yang ada di Desa Lingga. lainnya seperti jambur, geriten, sapo ganjang. Observasi dilakukan oleh peneliti Namun lesung antik yang ada di Desa melakukan pengamatan secara langsung di Lingga sudah tidak ada lagi. Menurut Bapak Desa Lingga yang merupakan objek penelitian. Ginting Manik lesung tersebut sudah diantar ke Observasi ini bertujuan untuk mendapatkan Museum GBKP Jubelium yang ada di Sibolangit. cultural heritage data mengenai Eksistensi Warisan Budaya Itu dikarenakan kurangnya perhatian ( ) sebagai Objek Wisata Budaya masyarakat terhadap lesung tersebut. di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, “Daripada hancur lebih baik diberikan kepada Kabupaten Karo. Teknik observasi ini dilakukan pihak yang mau merawat, kata bapak Ginting agar peneliti memperoleh data yang lebih Manik. Beliau juga menegaskan bahwa mendalam mengenai tema penelitian ini. eksistensi warisan budaya di Desa Lingga ini 150 Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157 Jabu sudah tidak terjaga lagi dan pasti akan menuju . Konon bangunan rumah Tradisional Karo kepunahan. tersebut memiliki dua belas, delapan, enam dan Begitu juga dengan sapo ganjang yang empat keluarga yang hidup berdampingan ada di Desa Lingga fungsinya sudah tidak dalam keadaan damai dan tenteram. Dimana seperti dulu lagi. Bangunannya memang masih rumah tersebut mempertegas bahwa rumah utuh dan terawat namun fungsinya sudah tidak sekedar menonjolkan efisiensi fungsi beralih menjadi taman bacaan anak-anak. ruangnya saja, tapi juga tempat menumbuhkan Karena anak muda zaman sekarang sudah bisa kebersamaan yang merupakan salah satu nilai tidur bersama anggota keluarga lainnya dalam yang kuat dipancangkan di rumah adat Karo satu rumah. Dari sini sudah dilihat bahwa serta Rumah Adat Karo merupakan simbol eksistensi warisan budaya ini juga sudah mulai kebersamaan masyarakat Karo itu sendiri. tidak terjaga lagi. Sungguh miris sekali memang, Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena kata Bapak Ginting Manik. ada dua hal yaitu keunikan teknik bangunan Keunikan arsitektur siwaluh jabu dan nilai sosial budayanya. Dikatakan keunikan membuat wisatawan tertarik, sebab jarang teknik bangunannya2 yaitu rumah berukuran 10 rumah dibangun tanpa paku dan usianya bisa x 30m (300m ) dibangun tanpa paku dan mencapai lebih dari ratusan tahun. Besarnya ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun minat wisatawan mancanegara melihat lebih. Sedangkan keunikan sosial budayanya keunikan warisan budaya tersebut membuat yaitu kehidupan berkelompok dalam rumah Pemda Karo menetapkan beberapa desa di besar yang dihuni delapan (8) Kepala Keluarga Tanah Karo menjadi desa budaya, dan salah (KK). satunya adalah Desa Lingga di Kecamatan Bahan bangunan rumah tradisionil ini Simpang Empat. dari kayu bulat, papan buatan, bambu dan Salah satu contoh hasil cipta, karya dan beratap ijuk tanpa menggunakan paku yang karsa masing-masing suku mempunyai dikerjakan tenaga arsitektur masa lalu. Rumah peninggalan budaya termasuk rumah. Rumah adat karo memiliki dua pintu, yang letaknya di adalah merupakan kebutuhan hidup setelah bagian depan yang disebut dengan Pintu Bena makan dan pakaian. Pada zaman dahulu nenek Kayu dan yang satunya lagi di belakang juga moyang bangsa Indonesia mendirikan rumah di disebut pintu Ujung Kayu. Di atas pintu rumah atas tiang-tiang yang tinggi (berkolong), dibuat tali yang terbuat dari ijuk dianyam maksudnya untuk menghindari gangguan berbentuk cecak tanpa putus dinamakan musuh, banjir atau binatang buas. Pengeretret. Jumlah jendelanya ada sepuluh Penduduk/masyarakat Sumatera Utara bagi rumah yang di tempati delapan keluarga yang mempunyai budaya-budaya yang berbeda, dan empat bagi yang menempati enam keluarga salah satu diantaranya adalah rumah adat suku yang berada di samping kiri dan kanan. Batak Karo. Rumah adat merupakan kesatuan Dan tempat tambahan jendela ada di organisasi, dimana terdapat suatu pembagian bagian depan dan belakang rumah yang berjejer tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai dengan pintu tepatnya di bena kayu dan ujung jabu raja suatu kebahagiaan bersama di bawah pimpinan kayu. Pada beberapa bagian rumah terdapat penghuni jabu bena kayu ( ). Sistem relief yang dicat dengan kapur berwarna merah, penghuni rumah adat mencerminkan struktur putih, kuning, hitam dan biru. Bangunan- simantek sosial dan penerapan manajemen yang tinggi bangunan itu berbentuk khusus yang ginemgem pada masyarakat Karo yaitu kuta melambangkan sifat-sifat khas dari suku Karo. (pendiri kampung) (rakyat yang ada Keunikan dari rumah adat karo derip hubungan keluarga dengan kelompok pertama, dibandingkan dengan rumah adat lainnya yang dan rakyat (rakyat biasa). ada di Sumatera adalah pada atapnya. Atap Si Waluh Salah satu warisan karya kebudayaan rumah adat karo bertingkat dua dan pada Karo yang dikenal adalah Rumah adat 151kedua ujung atap terdapat tanduk kerbau yang Tumpal Simarmata dan Yuni Widya Bela Sinurat, Cultural Heritage

Eksistensi Warisan Budaya ( ) sebagai ironisnya disebut sebagai penangkal para keluarga batih (jabu) yang masih terikat masuknya roh-roh jahat . hubungan kekerabatan. jabu jabu Rumah adat ditempati oleh beberapa Setiap rumah adat yang beranggotakan bena kepala keluarga ( ) yang terdiri dari 4, 8, 10, beberapa mempunyai aturan-aturan dan lima daliken kayu lepar kayu ujung 12, 16. Dimana tiap-tiap dua jabu mempunyai hukum adat tersendiri yang dipimpin oleh kayu satu dapur dengan (tungku). dan dibantu oleh dan anak beru, senina anak beru Penghuni yang menempati rumah tersebut . Dengan kata lain, rumah adat ini dipimpin dan kalimbubu seninanya. terdiri dari sangkep sitelu ( oleh penghuni rumah beserta dan Gerga ). Masing-masing keluarga mengurus ekonominya, memasak sendiri dan Rumah ini terlihat masih utuh hidup secara damai baik suka maupun duka. tetapi tidak ada warga setempat yang tinggal di Dalam mendirikan rumah adat kadang kala dalamnya kecuali bapak Ginting. Rumah adat ini memakan waktu yang lama sehingga sering sebagian telah mengalami pemugaran, yakni dilakukan secara bergotong-royong. Partisipasi rumah adat ini sudah dibuat kamar-kamar. (keikutsertaan) penduduk kampung memegang Sebenarnya yang membuat rumah ini agar tetap peranan yang sangat penting. Setiap penduduk utuh adalah orang yang tinggal di dalamnya. kampung masing-masing terpanggil untuk Karena pengasapan yang dari dalam rumah memberikan andilnya secara sukarela yang adat ini yang membuat kayu-kayu rumah itu lazim disebut adangen (tanggung jawab). tetap kuat. Namun karena warga yang tinggal di Di bagian depan dan belakang rumah sana pun sudah tidak ada yang mau, maka tidak terdapat ture seperti teras dilengkapi redan akan lama rumah adat tersebut pasti akan Ture siwaluh jabu atau tangga. Ture tersebut biasanya terbuat hancur. Gerga dari bambu 20-25 buah dibuat sejajar. Rumah adat ini berada di biasanya menjadi tempat muda-mudi depan rumah . Tapi sayang sekali saat mbayu amak mengawali percintaannya. Gadis Karo dahulu peneliti ke lokasi yang menempati rumah ini kala menganyam tikar atau di atas tidak ada di tempat. Akibatnya peneliti tidak tempat ini sebelum menemukan jodoh. dapat mengambil gambar yang ada di bagian Kerjasama demikian sangat penting dalam rumah ini. mengingat pada waktu dulu sama sekali tidak Struktur bangunan rumah adat Karo ada bahan dan peralatan yang dibeli, melainkan terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai semua keperluan dibuat dan diambil dari hasil dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah alam (hutan). Dengan adanya kerja sama dan kaki sebagai dunia bawah. Pembagian dengan penduduk satu kampung, maka rumah anatomi rumah adat Karo menggambarkan tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah bagus. tempat keduniawian dan dunia bawah tempat Pada saat mendatangi kampung ini, kejahatan sehingga layak untuk tempat Tuhan Banua Koling peneliti bertemu dengan bapak Ginting yang binatang piaraan yang dalam kepercayaan suku menjadi informan peneliti. Dan ternyata beliau Karo dikuasai oleh . adalah salah satu keluarga yang tinggal di Penguasa yang jahat dipuja dan rumah sisepuluh jabu tersebut. Dari beliau dihormati agar tidak mengganggu kehidupan peneliti mendapatkan informasi yang manusia. Dalam pembangunan rumah adat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. Bahwa Karo, hal yang terpenting adalah prosesnya rumah adat yang masih tersisa di desa Lingga yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini Gerga Belang Ayo ini hanya tinggal 2 rumah adat, yakni rumah tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, dan rumah . Satu rumah adat pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk biasanya terdiri dari empat atau delapan pendirian rumah, pemasangan atap sampai keluarga bahkan ada yang sampai enam belas memasuki rumah. Kesemuanya itu dilakukan 152melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157

sebagai korban. Upacara-upacara ini Jabu nomor 4 disebut “jabu lepar ujung menunjukkan kepercayaan yang besar orang kayu”. Tempat ini biasa disebut dengan Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan “simangan minem” (pihak yang makan dan manusia. minum). Pada umumnya yang mendiami jabu Dalam buku Ginting Samaria yang ini adalah “kalimbubu” dari jabu bena kayu. Jika berjudul “ Ragam Hias Rumah Adat Batak Karo jabu bena kayu mengadakan pesta adat maka “, rumah siwaluh jabu merupakan kesenian Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi masyarakat Karo yang unik. Adapun susunan yang terhormat, ia tidak ikut bekerja dan hanya jabu sedapuren jabu dalam rumah siwaluh jabu adalah sebagai hadir untuk makan dan minum. bena kayu berikut : Jabu nomor 5 disebut “ jabu bena kayu Jabu ”. Jabu ini biasa ditempati anak beru jabu peninggel-ninggel menteri dari . ini juga disebut “ ” (pihak yang mendengarkan). Selain sebagai pihak pendengar, jabu ini juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik dilingkup rumah maupun Gambar. 3 jabu sedapuren dilingkup kuta. Arsitektur Rumah Adat Karo ujung kayu Jabu nomor 6 disebut “ ”. Jabu ini disebut juga sebagai “jabu (http://bennisurbakti.com) Diambil tanggal 1 arinteneng” (yang memberi ketenangan). abu bena Agustus 2012 jam 09.35 WIB ) Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah kayu Jabu nomor 1 disebut dengan “j setiap ada permasalahan, memberikan “jabu raja ”. Tempat ini sering juga disebut dengan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh jabu ”. Yang menempati jabu ini adalah di Rumah Adat. Pada umumnya yang anggota bangsa tanah. Dalam rumah ini ia menempati jabu ini adalah anak dari kalimbubu jabu sedapuren mempunyai martabat sebagai penghuni rumah. bena kayu. lepar bena kayu”. Jabu Ia menjadi kepala untuk semua orang yang Jabu nomor 7 disebut “ jabu bicara guru tinggal di rumah tersebut. ini juga disebut dengan“ Jabu Jabu nomor 2 disebut dengan “jabu ujung ” (yang mampu mengobati). kayu”. Tempat ini diperuntukkan bagi anak ini berperan sebagai penasehat spiritual beru dari penghuni rumah. Penghuni rumah ini bagi penghuni jabu bena kayu, mengumpulkan bertindak sebagai penyampai perintah atau pun ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan babah singerana nasihat dari raja. Oleh karena itu, penghuni jabu obat-obatan bagi seisi rumah, menentukan hari ini sering disebut “ ” yaitu orang baik dan buruk, menyiapkan tolak bala bagi jabu lepar bena yang disuruh berbicara. seisi rumah. Selain itu juga berperan dalam kayu Jabu nomor 3 disebut “ pelaksanaan upacara terhadap leluhur dan ”. Nama ini mungkin diakibatkan karena upacara-upacara yang menyangkut dengan jabu ini berada di seberang jabu bena kayu. Jabu kepercayaan pada masyarakat karo jaman jabu sedapuren ini ditempati oleh anak dari penghuni rumah, dahulu. jabu sungkun berita lepar bena kayu”. Jabu yang termasuk juga bangsa tanah. Jabu ini Jabu nomor 8 disebut “ jabu sering disebut “ ”. Hal ini ini dihuni oleh anak dari singkapuri belo” Jabu tidak terlepas dari kewajiban penghuni jabu ini ujung kayu. Jabu ini disebut dengan “ sedapuren lepar bena kayu yaitu mencari dan mendengarkan berita (penyuguh sirih). Jabu ataupun kabar yang berkembang di luar berperan dalam Bena Kayu kemudian memberitahukannya kepada membantu jabu bena kayu dalam menerima . dan menjamu tamunya. Jabu ini secara umum 153berperan sebagai penerima tamu keluarga di Tumpal Simarmata dan Yuni Widya Bela Sinurat, Cultural Heritage

Eksistensi Warisan Budaya ( ) sebagai

sapo ganjang dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas juga merupakan tempat tidur bagi pemuda- menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga pemuda selain . Si Waluh yang menghuni Rumah Adat. Salah satu warisan karya kebudayaan Jabu. Setiap rumah adat yang beranggotakan Karo yang dikenal adalah Rumah adat beberapa jabu mempunyai aturan-aturan dan Konon bangunan rumah Tradisional Karo hukum adat tersendiri yang dipimpin oleh bena tersebut memiliki dua belas, delapan, enam dan kayu dan dibantu oleh lepar bena kayu dan empat keluarga yang hidup berdampingan ujung kayu. Dengan lain perkataan rumah adat dalam keadaan damai dan tenteram. Dimana dipimpin oleh penghuni rumah beserta anak rumah tersebut mempertegas bahwa rumah Sapo ganjang beru dan seninanya. tidak sekedar menonjolkan efisiensi fungsi bentuknya hampir sama ruangnya saja, tapi juga tempat menumbuhkan sapo page dengan kantur-kantur tetapi dalam ukuran kebersamaan yang merupakan salah satu nilai sedikit lebih kecil lagi. Bentuk seperti yang kuat dipancangkan di rumah adat Karo Sapo page rumah adat dan letaknya di halaman depan serta Rumah Adat Karo merupakan simbol rumah adat. ini terdiri dari dua kebersamaan masyarakat Karo itu sendiri. tingkat dan berdiri di atas tiang. Lantai bawah Selain rumah adat masih ada lagi yang Geriten, Sapo Ganjang tidak berdinding. Bagian bawah digunakan merupakan salah satu warisan budaya dan Jambur. untuk menyimpan padi dan bagian atas tempat masyarakat Karo seperti tidur anak-anak lajang. Dahulunya anak lajang sapo page tidak ada yang tidur di rumah adat tapi di Berdasarkan hasil wawancara dengan jambur atau di atas (lumbung padi). salah satu informan bahwa di Desa Lingga ini Jadi sapo page mempunyai dua fungsi yaitu belum ada partisipasi yang diberikan oleh sebagai tempat penyimpanan padi dan juga pemerintah terhadap pelestarian warisan tempat tidur bagi anak lajang. budaya yang ada di Desa Lingga ini guna sapo page Namun di zaman yang semakin maju menjaga eksistensi warisan tersebut khususnya fungsi itu tidak berlaku lagi. Karena terhadap keberadaan rumah adat Karo. sekarang anak lajang sudah bisa tidur satu Partisipasi pemerintah terhadap keberadaan sapo page rumah dengan anggota keluarga lainnya. Dan (eksistensi) rumah adat dan warisan budaya peneliti melihat yang ada di Desa lainnya sangatlah kurang, hanya janji-janji yang Lingga kini sudah berubah fungsi menjadi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Geriten taman bacaan anak seperti. Padahal warisan budaya (rumah adat Karo) ini hampir sama bentuknya dengan sudah didaftarkan kepada PEMKAB Karo. Inilah jambur dan rumah adat. Geriten lebih kecil yang mengakibatkan hanya tinggal 2 rumah geriten ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. adat yang tersisa. Begitu juga dengan Bagian atas berfungsi untuk menyimpan masyarakat tidak terlalu peduli dengan budaya kerangka atau tulang belulang sanak keluarga dan tidak terlalu paham akan sejarah Kalak pemilik geriten yang telah meninggal, Karo (Orang Karo). Menurut beliau juga sedangkan bagian bawah merupakan tempat beberapa tahun yang lalu ada salah satu Rumah duduk atau tempat berkumpul bagi sebagian Adat yang telah diruntuhkan karena memang warga terutama kaum muda. kondisinya yang tidak terselamatkan lagi. jambur Bentuk bangunan ini mirip dengan Jika sampai saat ini pemerintah tidak rumah adat, tetapi bukan merupakan juga memberikan perhatiannya kepada warisan bangunan berpanggung dan tidak berdinding. budaya Karo ini maka sudah pasti 5 (lima) Jambur digunakan sebagai tempat tahun lagi Rumah Adat yang ada di Desa Lingga penyelenggaraan pesta bagi masyarakat Desa pasti akan musnah. Masyarakat Karo khususnya Jambur Lingga dan juga tempat musyawarah Desa Lingga mengharapkan dana rehabilitasi masyarakat yang ada di Desa Lingga. rumah adat Lingga dianggarkan dalam APBD 154Karo, dimana Rumah adat ini adalah warisan Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157

budaya yang sangat berharga. Selain itu , Lingga dibangun dengan kokoh, terbangun tanpa paku merupakan salah satu daerah tujuan wisata, dan kawat, tetapi ditopang oleh tiang-tiang yang juga memiliki Sapo Ganjang, dan Geriten ( penyangga yang kuat tanpa ada bantuan alat- kuta bangunan tempat menyimpan tengkorak sanak alat canggih seperti sekarang ini. Keadaan keluarga yang telah meninggal ) serta Jambur. kampung ( ) yang dihiasi dengan keindahan Warisan-warisan budaya yang ada di budaya dan tari, tutur kata dan sopan santun Desa Lingga yang sebentar lagi pasti akan masyarakat yang beradat dan masyarakat yang punah atau terabaikan seperti rumah adat Karo mempunyai semangat kekeluargaan yang masih Siwaluh Jabu, dan lain-lain saat ini memerlukan kuat dan kental. Kondisinya dapat dilihat perhatian yang khusus baik dari pemerintah seperti gambar yang dapat menjelaskan maupun masyarakat setempat. Maka pada bagaimana kondisi jaman dulu di Lingkungan umumnya responden atau informan menjawab Desa Lingga. bahwa untuk menjaga eksistensi warisan Dahulu wisatawan mancanegara budaya tersebut tidak sepenuhnya dari mereka. banyak yang datang berkunjung melihat Mereka hanyalah rakyat biasa tidak mempunyai warisan budaya ini. Warga Desa Lingga juga biaya untuk merawatnya, maka perlu ada membuat pertunjukan tari-tarian untuk pihak-pihak yang harus menjaga eksistensi menambah ketertarikan wisatawan lainnya warisan budaya tersebut agar tidak hilang dan untuk datang. Tetapi sekarang hal tersebut pihak yang dimaksud adalah pemerintah, sudah tidak pernah lagi diadakan karena karena pemerintah lah yang berhak atas wisatawan pun sudah berkurang jumlahnya warisan budaya tersebut. yang datang berkunjung, sehingga berdampak Karena menurut penuturan dari salah terhadap perekonomian penduduk setempat. satu informan peneliti bahwa pemerintah itu Namun sekarang semua itu seolah tidak ada perhatiannya kepada warisan budaya hilang dan tergilas oleh kemajuan jaman. yang ada di Desa Lingga ini. Sementara jika ada Sekarang yang tersisa di Desa Lingga hanya 2 wisatawan yang ingin masuk ke Desa Lingga buah rumah Adat Karo yang sudah tua dan telah memakai retribusi sebesar Rp. 4000,- per terancam akan punah eksistensinya. Kondisi orang dan ini juga akan disetorkan kembali ke rumah peninggalan nenek moyang Karo pemerintah setempat. Kemudian turis-turis dari tersebut sangat memprihatinkan. Padahal luar maupun dalam negeri pasti memberikan Rumah Adat Karo di Desa Lingga ini termasuk sumbangsih ataupun partisipasinya dalam daerah pariwisata budaya dan sering bentuk materi kepada petugas “ tourism dikunjungi oleh tourist dan pelajar sekalian information “ penelitian termasuk peneliti. Dari jawaban yang disampaikan oleh Hal tersebut merupakan salah satu bukti masyarakat (informan) menunjukkan bahwa bahwa warisan budaya di Desa Lingga akan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap nyaris punah. Ini juga merupakan bedanya warisan-warisan budaya tersebut. Mereka warisan budaya yang dulu dengan sekarang. merasa bahwa yang seharusnya peduli Sudah tidak terawat dan hampir rubuh. Apabila terhadap eksistensi warisan budaya tersebut bangunan sisa yang ada di Desa Lingga tidak adalah pemerintah. Maka perlu diberitahukan segera direnovasi maka akan sama nasibnya bahwa untuk menjaga eksistensi warisan dengan bangunan rumah yang lainnya yang budaya yang ada di Desa Lingga ini merupakan sudah akan rata dengan tanah. Dan untuk bisa tanggung jawab seluruh masyarakat tanpa memancing lebih banyak lagi wisatawan terkecuali. mancanegara maka pihak terkait harus segera Berdasarkan hasil wawancara peneliti turun tangan untuk merenovasi bangunan yang Siwaluh Jabu dengan informan bahwa kondisi Rumah masih berdiri, apalagi Desa Lingga cukup di Desa Lingga sekitar seabad lalu, menarik wisatawan mancanegara datang. masih banyak rumah-rumah Adat Karo yang155 Tumpal Simarmata dan Yuni Widya Bela Sinurat, Cultural Heritage

Eksistensi Warisan Budaya ( ) sebagai cultural heritage

Keberadaan rumah-rumah adat dan ( ) di Desa Lingga sebagai objek warisan budaya lainnya memang seakan simbol wisata budaya sudah tidak eksis seperti dulu dari kebesaran nenek moyang Batak Karo di lagi. Dan menurut pernyataan dari beberapa masa lampau. Namun “sisa” (warisan) informan yang benar-benar mengetahui tentang kebesaran itu tampaknya sudah kurang Desa Lingga itu bahwa warisan budaya di desa diperhatikan lagi. Selain karena sudah ada ini untuk sekarang ini sedang menuju pengaruh yang lebih modern juga karena kepunahan. Yang dalam arti bahwa jika dalam pewaris rumah-rumah adat tersebut sudah jangka waktu 5-10 tahun tidak ada peran atau tidak sanggup lagi untuk memperbaikinya. perhatian pemerintah maupun masyarakat Biaya untuk memperbaiki rumah adat ini maka mereka haru dapat menerima kenyataan sangat mahal. Keturunan pemilik lebih memilih warisan-warisan budaya di Desa Lingga akan untuk membangun rumah sendiri dari tembok benar-benar hilang dan tinggal kenangan. Dan dan beratap seng karena biayanya lebih potensi wisata budaya yang selama ini dikenal murah,“ ujar Darusalam. juga pasti akan hilang dari nama Desa Lingga. KESIMPULAN Maka sekarang tidak heran lagi jika Desa Lingga kini berderet bangunan-bangunan Siwaluh Jabu tembok dan beratapkan seng. Atau bagi Warisan-warisan budaya di Desa Lingga masyarakat yang ekonominya di atas yaitu Rumah Adat Karo . Rumah berkecukupan rumah tembok tersebut Adat ini ada kebanggaannya karena dua hal dibangun dengan model arsitektur masa kini. yaitu keunikan dari teknik bangunan dan nilai Menurut bapak H. Ginting, “sekarang di sosial budayanya. Rumah adat ini sudah kampung/desa Lingga ini sudah masuk listrik. berusia lebih dari 250 tahun dan masih bisa Sapo Ganjang (Sapo Sudah ada lampu, tv, radio dan peralatan berdiri sampai saat ini meski hanya tinggal dua Page) canggih lainnya. Jadi kalau mau menonton tv di (2) buah. Kemudian ada rumah adat itu pasti tidak memungkinkan yang menurut informasi tempat ini dulu karena bisa mengganggu keluarga lainnya. digunakan untuk anak lajang tidur. Tetapi Makanya kami pindah dan membangun rumah sekarang tempat ini sudah beralih fungsi baru”. menjadi taman bacaan anak karena rata-rata geriten Banyaknya biaya perawatan rumah Adat masyarakat di Desa Lingga sudah mempunyai Karo sehingga pemilik maupun warga setempat rumah yang permanen. Kemudian yang tidak mampu untuk merawat rumah warisan berfungsi untuk tempat menyimpan tulang nenek moyang tersebut. Mereka juga belulang orang yang telah meninggal. Lesung beranggapan sudah tidak zamannya lagi hidup yang digunakan untuk menumbuk padi. Namun bersama dengan delapan atau lebih keluarga sangat disayangkan karena lesung sudah tidak dalam satu rumah. Ini sangat disayangkan ada lagi di Desa Lingga. Karena tidak ada yang sekali mengingat bahwa tanggung jawab dalam merawat maka dijual ke Museum GBKP yang menjaga eksistensi warisan budaya tersebut ada di Sibolangit. Dan yang terakhir Jambur tidak sepenuhnya di tangan pemerintah. yaitu sebagai tempat penyelenggaraan pesta Masyarakat/warga sebagai pemilik warisan bagi masyarakat Desa Lingga dan juga tempat budaya tersebut juga harus bersedia musyawarah masyarakat yang ada di Desa mempertahankan keberadaan rumah adat itu. Lingga. Jambur juga merupakan tempat tidur Semakin banyaknya bekas penghuni bagi pemuda-pemuda selain sapo ganjang. rumah Adat Lingga membangun rumah baru, Eksistensi warisan budaya di Desa Lingga maka lama-kelamaan penghuni rumah adat untuk saat ini sudah menuju kepunahan. akan semakin berkurang bahkan mungkin tidak Karena jika dalam jangka waktu 5-10 tahun lagi akan ada sama sekali. Melihat kenyataan benar-benar tidak ada perhatian masyarakat tersebut sewaktu penelitian maka dapat maupun pemerintah maka warisan budaya di disimpulkan eksistensi warisan budaya156Desa Lingga ini akan benar-benar punah dan Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya 1 (2) (2015): 148-157

benar-benar hilang. Sehingga potensi wisata Ginting, S., 1995, Ragam Hias (Ornamen) Rumah Adat budaya di Desa Lingga pun tidak akan ada lagi Batak Karo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan dan hanya tinggal kenangan saja. Museum Negeri Prop. Sumatera Utara, Belum ada partisipasi yang diberikan Ihromi, T.O., 1999, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, oleh pemerintah terhadap pelestarian warisan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta budaya yang ada di Desa Lingga ini guna Koentjaraningrat, 2003, Kamus Istilah Antropologi, menjaga eksistensi warisan tersebut khususnya Progres, Jakarta terhadap keberadaan rumah adat Karo. ______, 1989, Metode-Metode Penelitian Partisipasi pemerintah terhadap keberadaan Masyarakat, Gramedia, Jakarta (eksistensi) rumah adat dan warisan budaya ______, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, lainnya sangatlah kurang, hanya janji-janji yang Rineka Cipta, Jakarta Marbun, J., 2011, Keterlibatan Masyarakat Dalam diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Pelestarian Warisan Budaya Sebagai Living Padahal warisan budaya (rumah adat Karo) ini Monument Dalam Rangka Pembangunan sudah didaftarkan kepada PEMKAB Karo. Inilah Pariwisata Budaya, Availableat: yang mengakibatkan hanya tinggal 2 rumah (http://joemarbun.wordpress.com) 21 adat yang tersisa. Jika sampai saat ini Mei 2012, 8.00 pm pemerintah tidak juga memberikan Meleong, L. J., 2006, Metode Penelitian Kualitatif, perhatiannya kepada warisan budaya Karo ini Edisi Revisi, Rosda Karya, Jakarta. maka sudah pasti 5 (lima) tahun lagi Rumah Okiana, N.I.S. , 2010, Potensi dan Pengembangan Adat Karo ini akan punah. Begitu juga dengan Museum Wayang Indonesia sebagai Objek warisan budaya yang lainnya. Wisata Budaya di Kabupaten Wonogiri, DAFTAR PUSTAKA Surakarta, (Skripsi) Universitas Sebelas Maret Oka, A.Y., 1992, Pengantar Ilmu Pariwisata, Angkasa Causey, A., 2006, Danau Toba (Pertemuan Wisatawan Offset, Bandung dengan Batak Toba di Pasar Suvenir), Bina Anonim, Arsitektur Rumah Adat Karo, Media Perintis, Medan (http://bennisurbakti.com) , 1 Agustus 2012, 09.35 am

157