RESPON NAHDHATUL ULAMA (NU) TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR (HTI)

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Rafli Ali Yafie NIM: 1112045200015

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 2019 M/1440 H RESPON NAHDHATUL ULAMA TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh: Rafli Ali Yafie NIM: 1112045200015

Di bawah Bimbingan:

Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag NIP. 19711212 199503 1 001

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H

ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Respon Nahdhatul Ulama Terhadap Konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia.” telah diujikan dalam sidang munâqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal Juli 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah).

Jakarta, 22 Juli 2019

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua Dr.Hj. Maskufa, M.A (...... ) NIP. 19680703 199403 2 002

Sekretaris Sri Hidayati, M.Ag (...... ) NIP. 19710215 199703 2 002

Pembimbing Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag ( ...... ) NIP. 19711212 199503 1 001

Penguji I (...... ) NIP.

Penguji II (...... ) NIP.

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemuadian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Juli 2019

Rafli Ali Yafie

iv

ABSTRAK

RAFLI ALI YAFIE, NIM: 1112045200015. RESPON NAHDHATUL ULAMA TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA. Skripsi Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini merupakan library research (studi pustaka) yang dilengkapi dengan wawancara Penelitian dengan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan ada dua macam yakni sumber data primer dan sekunder. Data yang diperoleh kemuadian diolah dengan cara menyesuaikan metode yang digunakan, kemudian dianalisis secara logis dan sistematis guna mendapatkan suatu kesimpulan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari dasar hukum dan respon Nahdatul Ulama terkait pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia berdasarkan hukum positif dan hukum Islam. Sebab pada dasarnya berdasarkan undang-undang (hukum positif) yang memiliki wewenang memutuskan perkara kepada orang-orang yang melakukan kejahatan adalah pemerintah, seharusnya masyarakat tidak memperoleh wewenang yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pamerintah tersebut, agar terhindar dari perbuatan zhalim yang sangat tidak disukai oleh Allah dan Rasulnya. Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini, bahwa Konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’. Nahdhatul Ulama menolak konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia, Islam tidak pernah menentukan/mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Indonesia dalam bingkai NKRI sudah merupakan kesepakatan final.

Kata Kunci: Konsep Khilafah, Hizbut Tahrir Idonesia, Nahdhatul Ulama Pembimbing: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag

v

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan seluruh alam raya ini. Berkat nikmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “RESPON NAHDHATUL ULAMA TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA”. Shalawat teriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam, panutan seluruh umat, Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah ke alam yang penuh dengan hidayah islamiyah. Dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terdapat banyak kesulitan dan hambatan yang harus penulis hadapi. Ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan kekurangan pengalaman dalam penulisan skripsi, namun penulisan skripsi ini pada akhirnya dapat penulis tuntaskan. Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya dan penghargaan setinggi-tingginya, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Dr. Hj. Maskufa, M.A, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, ketua dan sekertaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), yang telah memberikan arahan, motivasi dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, M.Ag, dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu, memberikan masukan, petunjuk, dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama masa pendidikan. 5. Pimpinan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mempermudah akses penulis dalam melakukan studi kepustakaan berupa peminjaman buku dan literatur lainnya, sehingga penulis dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Bapak H. Mahbub Ma’afi Ramdhan, SHI, yang telah bersedia meluangkan

vi

waktunya untuk di wawancarakan sehingga dapat memperoleh data yang dibutuhkan dalam skripsi ini. 7. Ayahanda Nur Ali dan Ibunda Nur Aliyah, yang telah mengajarkan arti semangat hidup dan memberikan kasih sayang serta doa tulus yang tiada henti- hentinya kepada penulis. 8. Teman-teman Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Hukum Pidana Islam angkatan 2012, yang telah penulis anggap sebagai keluarga sendiri yang menjadi saksi perjuangan penulis selama di bangku kuliah. Semoga segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a yang telah diberikan kepada penulis, mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini berguna untuk menambah khazanah kepustakaan politik Islam.

Jakarta, 22 Juli 2019

Rafli Ali Yafie

vii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI...... iii LEMBAR PERNYATAAN...... iv ABSTRAK...... v KATA PENGANTAR...... vi DAFTAR ISI...... viii BAB I PENDAHULUAN...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 4 C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian...... 5 D. Review studi terdahulu...... 5 E. Metode Penelitian...... 6 F. Sistematika Penulisan...... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHILAFAH...... 10 A. Pengertian Khilafah...... 10 B. Sejarah Khilafah ...... 12 C. Dasar Hukum Khilafah...... 14 D. Efektivitas Negara dengan Konsep Khilafah ...... 19

BAB III LANDASAN UMUM TENTANG BENTUK

NEGARA MENURUT NAHDHATUL ULAMA DAN

HIZBUT TAHRIR INDONESIA...... 24

A. Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama ...... 24 B. Konsep Negara Menurut Nahdhatul Ulama ...... 31 C. Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir Indonesia ...... 33 D. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (Peraturan Perundang-undangan nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan) ...... 38 E. Konsep Negara Menurut Hizbut Tahrir Indonesia ...... 39

BAB IV RESPON NAHDHATUL ULAMA TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA ...... 43 A. Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir Indonesia ...... 43

ix

B. Alasan Hizbut Tahrir Indonesia Menerapkan Konsep Khilafah di Indonsia...... 46 C. Perspektif Nahdhatul Ulama Tentang Hizbut Tahrir Indonesia mengenai Konsep Khilafah...... 48 D. Respon Nahdhatul Ulama Terhadap Konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia...... 51

BAB V PENUTUP...... 55 A. Kesimpulan...... 55 B. Saran ...... 55

Daftar Pustaka ...... 56 Lampiran

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Keberadaan sebuah sistem pemerintahan dan negara sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu pula bagi umat Islam, diakui atau tidak sangat membutuhkan sebuah sistem negara yang Islami dalam konteks agar ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Sebab, untuk mengamankan suatu kebijakan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Sekadar contoh, untuk menegakkan keadilan, memelihara perdamaian dan ketertiban, mutlak diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.1 Andai kata kebijakan-kebijakan itu mengacu pada tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal yang kurang tepat apabila hendak menegakkan prinsip- prinsip Islam tetapi menggunakan sistem yang non Islami. 2 Realitas sejarah menunjukkan bahwa negara itu dibutuhkan untuk mengembangkan dakwah Islam. Nabi Muhammad sendiri, ketika masih di Makkah tidak bisa berbuat banyak di bidang politik, karena kekuatan politik didominasi oleh kaum aristokrat Quraisy yang memusuhi Nabi. Baru setelah hijrah ke Madinah dan mempunyai dukungan politik dari komunitasnya, dalam waktu beberapa tahun saja berhasil merubah kondisi masyarakat Madinah dari kemusyrikan menuju atmosfir Islam. Kehidupan Nabi dan komunitasnya pada periode Madinah inilah yang dijadikan argumen oleh beberapa pemikir politik Islam bahwa ketika itu telah terwujud sebuah negara (pemerintahan), baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa. Penilaian ini tentunya tidak berlebihan karena ketika itu Nabi bertindak tidak hanya sebagai pemimpin spiritual saja, tapi juga sebagai kepala negara, seperti memutuskan hukum,

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 8-9.

2 Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Abdul Rochim CN, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 16.

1

2

mengirim dan menerima utusan, juga memimpin peperangan.3 Persoalannya Nabi tidak meninggalkan suatu pesan yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana bentuk negaranya, bagaimana sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak menetapkan undang-undang. Karena ketidak jelasan inilah dapat dilihat praktik sistem negara Islam dalam sejarahnya selalu berubah-ubah. Masa empat Khulafa’ al-Rasyidun saja masing-masing menjadi khalifah melalui sistem yang bervariasi. Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan di Saqifah Bani Sa’idah dua hari setelah Nabi wafat melalui majelis musyawarah. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam forum musyawarah terbuka, tetapi melalui wasiat pendahulunya, Abu Bakar. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.4 Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan seterusnya telah lebih jauh lagi dibandingkan dengan praktik di masa Nabi maupun Khulafa’ al- Rasyidun. Pada masa ini dan berikutnya, pemerintahan telah berubah bentuknya menjadi monarkhi, yang dalam rangka suksesi tidak ada lagi bentuk musyawarah. Tradisi suksesi telah berubah; dari pola musyawarah menjadi penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya.5 Menurut Munawir Sjadzali penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan besar pasca kerajaan Abbasiyah seperti Turki Utsmani lebih disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas di masing-masing pemerintah pusat dan munculnya penguasa semi otonom di berbagai daerah dan propinsi negara-negara tersebut, disertai dengan disalokasi sosial, memburuknya situasi ekonomi akibat persaingan dagang dengan negara-negara Eropa, kalah perang, serta merosotnya spiritualitas dan moralitas

3 Taqiyuddin al-Nabhani, Negara Islam, terj. Umar Faruq, dkk, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000), h. 62-63.

4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 21-30.

5 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 42, 45. 3

masyarakat, terutama para penguasa.6 Sejak saat itu pula kaum Muslimin di berbagai Negara di dunia selalu berusaha menemukan kembali serta membangun kembali sistem politik Islam. Paling tidak mempengaruhi pemerintahnya masing-masing untuk member kesempatan kepada umat Islam melaksanakan Islam sebagai jalan hidupnya.7 Seperti ide pembentukan kembali Negara khilafah yang diprakarsai oleh Hasan al-Banna dengan mendirikan gerakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1928. Namun, gerakan-gerakan tersebut dimusuhi dan ditekan oleh penguasa-penguasa, bahkan di negara-negara Islam sendiri.8 Gerakan tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Ada pro dan kontra bermunculan menyikapi isu yang di usung oleh gerakan tersebut. Belakangan, wacana sistem khilafah dijadikan agenda utama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari Hizbut Tahrir yang berskala internasional. Puncaknya diadakan acarana Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 2007. Menurut HTI; ”bahwasanya problematika utama yang menimpa kaum Muslimin saat ini disebabkan tidak diterapkannya hukum-hukum Islam di tengah masyarakat. Satu-satunya wadah yang mampu menjamin penerapan sistem dan hukum- hukum Islam secara total di tengah-tengah masyarakat hanyalah khilafah al Islamiyah.9 Sejak dibubarkannya sistem khilafah di Turki tahun 1924 sebenarnya sudah muncul perbedaan pendapat di kalangan para pemikir maupun aktivis politik Islam saat itu, tentang perlu atau tidak menegakkan kembali sistem khilafah. Sebab, baik ayat- ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi yang dijadikan dasar hukum wajib didirikannya khilafah ternyata hanya berbicara tentang perlunya kepemimpinan. Harus dibedakan antara kepemimpinan seperti yang dikehendaki oleh al-Qur’an maupun hadits dengan khilafah seperti yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok yang mewajibkan ditegakkannya kembali sistem khilafah.

6 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Edisi 5, (Jakarta: PT. UI Press, 1993), h. 111.

7 Mohamed S. El-Wa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Terj. Anshori Thajib, (: PT. Bina Ilmu, 1983), h. 12.

8 Mohamed S. El-Wa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Terj. Anshori Thajib, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), h. 22.

9 Http:// www.Hizbut-Tahrir.or.id., diakses Tanggal 15 November 2016, pukul 20.10 WIB 4

Sedangkan mempunyai pandangan sendiri terhadap khilafah bahwa dalam musyawarahnya ada beberapa point penting sebagaimana disebutkan pada tanggal 1 November 2014 memutuskan bahwa khilafah. Pertama, Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Dan poin kedua, mengatakan bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al- Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia. 10 Berdasarkan kerangka berpikir di atas, penulis merasa termotivasi untuk meneliti lebih lanjut tentang wawasan bernegara Khilafah Islamiyah menurut sudut pandang Ormas Islam yaitu Nahdlatul Ulama dan Hizbut Tahrir Indonesia. Penelitian tersebut penulis kemas dalam bentuk Skripsi dengan judul: “Respon Nahdlatul Ulama terhadap konsep khilafah Hizbut Tahrir Indonesia”

B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas dan dalam rangka mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia ?

10 http://www.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-pandangan-nu, diakses pada tanggal 21 november 2016, pukul 19.55 WIB 5

b. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama mengenai konsep Khilafah dalam Hizbut Tahrir Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia. b. Untuk mengetahui pandanagan Nahdlatul Ulama mengenai konsep Khilafah dalam Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam penelitian ini penulis berupaya memberikan manfaat sebagai berikut: a. Untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan wawasan dan menjadi bahan bacaan yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mahasiswa yang ingin memperdalam studi mengenai ilmu Ketatanegaraan Islam tentang Khilafah. b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk studi-studi mengenai ilmu Ketatanegaraan Islam tentang Khilafah.

D. Review Studi Terdahulu Untuk membuktikan bahwa penulis tidak melakukan duplikasi dan penjiplakan, maka penulis akan menjabarkan review studi terdahulu yang telah penulis temui antara lain: 1. Skripsi yang ditulis oleh Fahmil Rozi, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Civil Society dan Radikalisme (Studi atas Dukungan Nahdlatul ulama Terhadap Pembbaran Hizbut Tahrir di Indonesia”. Skripsi ini membahas tentang organisasi HTI sebagai organisasi yang radikal yang berusaha untuk merubah sistem negara menjadi negara khilafah dan membahas bagaimana peran NU dalam mencegah gerakan radikalime. Sedangkan penelitian saya, membahas tentang konsep khilafah menurut HTI, dan pandangan NU terhadap khilafah menurut HTI. 6

2. Jurnal yang ditulis oleh Masdar Hilmy dengan judul “Akar-akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia” Jurnal ini membahas tentang HTI sebagai organisasi keagamaan yang mengusung ide Islam transnasional, sedangkan penelitian saya membahas tentang sejarah HTI. 3. Jurnal yang ditulis oleh Dian Dwi Jayanto dengan judul “Manifestasi Politik Identitas HTI di Kalangan Nahdliyin: Studi Kasus HTI di Kabupaten Jombang”. Jurnal ini membahas penelitian yang dilakukan di Jombang terhadap warga Nahdliyin dan membahas politik identitas terhadap HTI. Sedangkan penelitian saya menggunakan konsep khilafah menurut HTI.

E. Metode Penelitian Untuk memperoleh data penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian adalah cara meluluskan sesuatu dengan menggunakan pikiran sama untuk mencapai sesuatu tujuan.11 Metode adalah pedoman cara seorang ilmuan mempelajari dan memahami langkah-langkah yang di hadapi.12 Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan suatu sistematika. Metodologi ilmiah dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu yang baru atau asli dalam memecahkan suatu masalah yang setiap saat timbul dimasyarakat.13 Dalam penelitian skripsi ini penulis melakukan dua jenis penelitian, yaitu studi pustaka dan wawancara. 1. Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Bodgan dan Taylor mendefisinikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

11. Cholid Narboko dan Abu Achmad, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Pustaka, 1997), h.1

12. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI press,1986), h. 15

13. Sukandar Rumidi, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 2004), h. 11

7

diamati.14 Karakter khusus penelitian kualitatif berupaya mengungkap keunikan individu, kelompok, masyarakat atau organisasi tertentu dalam kehidupannya sehari- hari.Dilihat dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam metode penelitian yang bersifat deskriptif yaitu metode yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang sedikit dengan menggambarkan /melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.15 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu : a) Data Primer, yaitu sumber data yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah penelitian. Teknik pengumpulan data primer berupa studi literatur atau kepustakaan, dari studi kepustakaan yang berhubungan dengan materi ini. Dalam penelitian ini, penulis melakukan studi kepustakaan merujuk ke berbagai buku untuk mendapatkan informasi.16 b) Data Sekunder, adalah data yang di dapat dari wawancara secara langsung untuk mendapatkan informasi terhadap obyek yang akan dijadikan permasalahan dan pembahasan ini. 3. Teknik Analisa Data. Dalam penelitian ini teknik menganalisa data, penulis menggunakan metode analisis deskriptif, yaitu suatu teknik analisis data dimana penulis menjabarkan data- data yang diperoleh dari hasil studi pustaka dan lapangan atau wawancara. 1. Studi pustaka, yaitu meliputi dari refrensi kepustakaan, baik berupa buku, majalah, surat kabar, jurnal dan mengakses internet. 2. Wawancara, yaitu situasi peran pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-

14 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h. 21.

15 Hadari Nawawi, Metode Penelitian bidang sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 67.

16 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 1992), h.10 8

pertanyaan yang di rancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden.17 Wawancara dilakukan terhadapa narasumber yang dipilih untuk memperoleh beberapa hal yang berkaitan dengan skripsi ini. 4. Teknik penulisan Dalam hal teknis penulisan, penulis mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan Agar penulisan ini lebih sistematik dan lebih terarah. Maka penulis akan menjelaskan sistematika penulisan dalam skripsi ini. Pada dasarnya skripsi ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan, yaitu. Bab I : Pendahuluan, pada pembahasan skripsi ini terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II : menguraikan tentang tinjauan teoritis mengenai khilafah, pada bab ini terdiri dari empat sub bab yaitu Pengertian khilafah, Sejarah khilafah, Dasar hukum khilafah, Efektivitas negara dengan konsep khilafah. Bab III : menguraikan tentang landasan umum mengenai bentuk negara menurut Nahdlatul Ulama dan Hizbut Tahrir Indonesia, pada bab ini terdiri dari lima sub bab yaitu Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama, Konsep negara menurut Nahdlatul Ulama, Sejarah berdirinya Hizbut Tahrir Indonesia, Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (Peraturan Perundang-undangan nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan), Konsep negara menurut Hizbut Tahrir Indonesia. Bab IV : menguraikan tentang Respon Nahdlatul Ulama terhadap konsep khilafah Hizbut Tahrir Indonesia, pada bab ini terdiri dari Empat sub bab yaitu konsep khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia, Alasan Hizbut Tahrir Indonesia menerapkan konsep khilafah di Indonesia, Perspektif Nahdlatul Ulama tentang Hizbut Tahrir

17 Amirudin, Zainal asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Garafindo, 2004), cet.ke-1,h.8 9

Indonesia mengenai konsep khilafah, Respon Nahdlatul Ulama terhadap konsep khilafah Hizbut Tahrir Indonesia. Bab V : merupakan penutup meliputi kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam bab I dan mencakup saran-saran atas permasalahan yang di teliti.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHILAFAH

A. Pengertian Khilafah Secara bahasa, kata khalifah merupakan bentukan dari mashdar takhallafa, artinya mengikuti. Seseorang dikatakan mengikuti (takhallafa) jika ia berada dibelakang orang lain, mengikuti di belakang orang lain dan menggantikan tempatnya. Tidak hanya itu, seseorang disebut menggantikan orang lain apabila ia melaksanakan fungsi yang diberikan orang itu kepadanya, baik bersama-sama orang tersebut maupun sesudahnya.1 Pengertian ini merujuk pada Q.S. al-Zuhruf [43] ayat 60:

ِ ِ ٦ َولَْو نَشَاءُ ََلَعَلْنَا منْكُ ْم مَ ََلئكَةً ِِف ْاْل َْر ِض َيَْلُفُونَ (الزخرف:. ) Artinya: ”Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu dimuka bumi malaikat yang turun-temurun” (Q.S. al-Zuhruf [43]: 60).

Khalifah adalah pengganti orang lain, baik karena absennya orang yang digantikan itu karena meninggal, ketidakmampuan, maupun alasan-alasan lain. Bentuk jamak dari khalifah adalah khalaif, dan khulafa untuk khalif. Adapun pengertian khilafah yang berlaku di kalangan para ulama disinonimkan dengan istilah al-imamah (kepemimpinan), yakni kepemimpinan menyeluruh dalam persolan yang berkenaan dengan masalah keagamaan dan duniawi sebagai pengganti fungsi Rasulullah S.a.w. Menurut al-Baidhawi seperti dikutip Ali Abdul Raziq ”imamah adalah istilah yang berkenaan dengan penggantian fungsi Rasulullah oleh seseorang untuk menjalankan undang-undang syari’ah dan melestarikan ajaran- ajaran agama dalam satu garis yang mesti diikuti oleh umat”.2 Ibn Khaldun mendefinisikan; ”khalifah adalah tanggung jawab umum yang sesuai dengan tujuan syara’ yang bertujuan menciptakan kemaslahatan ukhrawi dan duniawi bagi umat. Hakikatnya khalifah merupakan pengganti fungsi pembuat syara’

1 Ali Abdul Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 3.

2 Ali Abdul Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 4.

10

11

(Rasulullah S.a.w.) dalam upaya memelihara persoalan agama dan politik keduniawian”.3 Al-Maududi menyebutkan bahwa doktrin tentang khilafah yang disebutkan al- Qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi ini hanyalah karunia dari Allah, dan Allah telah menjadikan manusia dapat menggunakan pemberian-pemberian sesuai petunjuk-Nya. Berdasarkan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Allah yang sebenarnya.4 Selanjutnya, al- Maududi menyebutkan bahwa Islam menggunakan istilah kekhalifahan bukannya kedaulatan. Karena dalam Islam kedaulatan hanya milik Tuhan saja, siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan dan siapa pun yang memerintah sesuai dengan hukum Tuhan pastilah merupakan khalifah dari penguasa tertinggi dan tidak akan berwenang mengerahkan kekuasaan apapun kecuali kekuasaan-kekuasaan yang telah didelegasikan kepadanya.5 Sedangkan Taqiyuddin al-Nabhani menyebutkan khilafah merupakan satu- satunya sistem pemerintahan bagi Daulah Islam. Taqiyuddin mendifiniskan khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’. Sistem khilafah sangat berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang lain, seperti monarchi, republik, kekaisaran, maupun federasi, baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar yang diberlakukannya ataupun dari aspek bentuk yang mengambarkan wujud negara. Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Khilafah juga mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad.6

3 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. II, 2000), h. 238.

4 Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terj. M. al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1984), h. 64.

5 Abu al-A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Terj. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 169.

12

Menurut pandangan sebagian ulama, khalifah adalah pengganti fungsi Rasulullah SAW. yang di saat hidupnya menangani masalah-masalah keagamaan yang diterimanya dari Allah SWT, dan bertugas memelihara pelaksanaan ajaran agama dan mengurus persoalan politik keduniaan. Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW. wafat, para khalifah pun menjadi penggantinya dalam memelihara kelestarian ajaran agama dan urusan politik keduniaan. Orang yang melaksanakan fungsi itu pun disebut khalifah atau imam. Disebut dengan imam karena disepadankan dengan kedudukan seorang imam shalat dalam hal kepemimpinan dan mesti diikuti.7 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud khilafah di sini adalah sebuah sistem pemerintah Islam sebagai pengganti Rasulullah S.a.w. dalam fungsinya menerapkan syari’at Islam dan mengurus persoalan politik keduniaan. Sistem khilafah juga berbeda dengan system pemerintahan lainnya dilihat dari dasar, standar, konsep maupun fungsinya.

B. Sejarah Khilafah Sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kondisi kontekstual yang dialami masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke-7 Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberpa sistem pemerintahan khilafah (khilafah yang berdasarkan syura dan khilafah yang berdasarkan monarki), imamah, monarki, dan demokrasi.8 Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga kekhalifahan Islam meliputi berbegai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan Islam adalah Islam sebagai agama. Pada intinya kekahalifahan merupakan kepemimpinann umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari Nabi Saw. Dalam bahasa Ibn Khaldun, kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan

6 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h. 18.

7 Ali Abdul Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 5.

8 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 204. 13

memikul dakwah Islam ke seluruh dunia.9 Di sinilah, agenda Islam transnasional secara perlahan tapi pasti berusaha menggantikan nilai-nilai lokal yang dimiliki oleh Islam di masing-masing kawasan. Islam adalah nilai universal, dan universalitas nilai Islam ini tak terbantahkan. Justru karena Islam merupakan nilai dan ajaran yang universal inilah, maka ia memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi dengan perubahan konteks: baik konteks zaman, masa, maupun situasi kemasyarakatan. Karena itu, setiap upaya penyeragaman penafsiran atas Islam, terlebih yang menyangkut soal-soal keduniaan yang profan, merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai dasar Islam.10 Sejak zaman Al-Khulafaur Al-Rasyidun (573-660 Masehi) hingga Turki Utsmani (1288-1923 Masehi), sistem kekhalifahan yang digadang-gadang sebagai jalan keluar terpuruknya umat Islam hari ini, sejatinya, rapuh dan cenderung sulit diperbarui. Sejarah dunia terus menggeliat. Kekhilafahan yang pernah dipraktikkan jika memang itu yang hendak dituju sarat unsur tribal, tidak kohesif-kooperatif, nepotism akut,dan rentan memancing perang saudara. Dinasti Abbasiyah dan Turki Utsmani adalah contoh konkretnya. Era kekhalifahan Ali r.a. adalah bahan pelajaran terbaik terkait subjek yang hendak kita bahas. Golongan non-khalifah, yang menamai diri mereka Khawarij, adalah momok paling menakutkan bagi kelangsungan pemerintahan Ali. Hingga akhirnya mereka berhasil membunuh sang khalifah pada shubuh buta di Masjid Nabawi, melalui tangan Ibnu Muljam. Sepeninggal Ali, kekhilafahan memang berlanjut, tetapi Mu'awiyyah dan para pelanjutnya menyelenggarakan sistem pemerintahan dengan tangan besi. Seluruh pengikut Ali, yang lazim dikenal sebagai Syiah, tak diberi kesempatan hidup laik. Jika tidak dibantai, mereka pasti terusir dari kampung halamannya. Pada masa Dinasti Fatimiyyah pun kejadiannya tak jauh berbeda. Hasan Sabah (1050-1124 Masehi) yang notabene adalah seorang penganut Syiah Ismailiyyah,

9 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 205.

10 Pradana Boy Ztf, Fiqih jalan tengah, (Jakarta: PT Grafindo Media Pratama, 2008), h. 174. 14

membelot dari para sultan tiran dinasti, lalu membentuk satuan pembunuh bayaran berdarah dingin: Al-Hashshashin (kata assasination dalam kosakata Inggris berakar dari gerakan ini). Tugas mereka hanya satu: membunuh khalifah yang melenceng dari spirit Islam dan tidak prorakyat. Baik Khawarij maupun Al-Hashshashin sama-sama menjadi simbol kecacatan khilafah Islam yang pernah berlangsung pada masa itu.11

C. Dasar-dasar Hukum Khilafah Dasar hukum yang digunakan ulama yang mewajibkan berdirinya khilafah dalam pengertian imamah (kepemimpinan) adalah al-Qur’an, hadis, ijma’, dan logika. Namun jika diperhatikan secara seksama, tidak terdapat ayat al-Qur’an yang menjelaskannya secara rinci. Misalnya Q.S. al-Nisa’ [4] ayat 59 َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ََي أَي َُّها الذ َين آََمنُوا أَط وا يعُ َّاَّللَ َوأَطيعُوا َّالرُس َول َو أُوِل ْاْلَْمر منْ ُكْم فَإ ْن تَ نَ َازْعتُْ مِف َ ش ْْيء فَ ُرُّوُُ َِ َ َّاَّلل َو َّالرُسول

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٩ ٥) ِ ْن ُكنْ تُْم ت ُْؤمنُ َ ونِب ََّّلل َوالْيَ ْوم اْلَْخر ذَل َك َخيْ ٌر َو ْأَح َس ُن ََتْو ًيَل (النساء: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 59) Selain itu juga Q.S. al-Nisa’ [4] ayat 83: ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ َوِذَا َجاءَ ُهْم ْأَمٌر م َن ْاْلَْم ِن ِأَو ْاْلَْوف أَذَاعُوا به َولَْو َرُّوُُ ََِ َّالرُسول َوََِ ِأُوِل ْاْلَْم ر منْ ُهْم لََعلََهُ الذ َين

ِ ِ ِ َِّ ِ ٣٨) يَ ْستَ نْبطُونَهُ منْ ُهْم َولَْوََل فَ ْض لُ َّاَّلل َعلَيْ ُكْم َوَرْْحَتُه ُ ََلتَّ بَ ْعتُ مُالشَّيْطَ َان َِل قَليًَل (النساء: Artinya: ”Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, k ecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (Q.S. al-Nisa’ [4]: 83) Kandungan kedua ayat di atas adalah tentang perlunya pemimpin untuk dijadikan tempat rujukan bagi persoalan-persoalan yang dihadapi. Tidak terdapat kandungan makna khilafah secara langsung dalam kedua ayat di atas. Hanya saja, kata

11 Reno Muhammad, Isis mengungkap fakta terorisme berlabel Islam, (Jakarta:Pt mizan publika, 2014), h, 68.

15

uli al-amr yang terdapat dalam ayat di atas menurut para mufasir sebagai para pemimpin kaum Muslimin pada masa Rasulullah S.a.w. dan masa sesudahnya termasuk para khulafa’ al-rasyidun, hakim-hakim, para pemuka masyarakat, para ulama atau ahl hal wa al-aqd.12 Menurut Taqiyuddin al-Nabhani, Islam telah memerintahkan umat Islam agar mendirikan sebuah sistem pemerintahan dan mengangkat seorang khilafah yang memerintah berdasarkan hukum-hukum Islam.13 Perintah ini berdasarkan ayat:

ِ ِ ِ ِ ٣ ٤ فَ ْاح ُكْم ب َيْ نَ ُهْم ِبَا أَن َْزَ ل َّاَّللُ َوََل تَ تَّب ْع ْأَهَواءَ ُهْم َعََّا َجاءََك م َن ْاْلَ ق :)املاءُّ ( Artinya: “… Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (Q.S. al-Maidah [5]: 48). Pemerintahan atau al-hukm merupakan kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan. Pemerintahan merupakan aktivitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syara’ atas kaum Muslimin. Aktivitas ini dipergunakan untuk menjaga terjadinya tindak kedzaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan seperti yang disebutkan dalam ayat:

ِ ِ ِ ِ ِ َوأَن ْاح ُكْم ب َيْ نَ ُهْ مِبَا أَن َْزَ ل َّاَّللُ َوََل تَ تَّب ْع ْأَهَواءَ ُهْم َو ْاحَذْرُهْم ْأَن ي َْفتنُ َوك َع ْن ب َْع ِِ َما أَن َْزَل َّاَّللُ ِلَيْ َك )املاءُّ : ٤٩(

Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu …”. (Q.S. al-Maidah [5]: 49). ِ ِ ِ ٤٤ َوَم ْن َ َلْ ََيْ ُكْ مِبَا أَن َْزَل َّاَّللُ فَأُولَئ َك ُهمُ الْ َكافُر َون )املاءُّ : ( Artinya: ”… Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. (Q.S. al-Maidah [5]: 44). Menurut Taqiyuddin, Islam sebagai ideologi bagi negara, telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang integral dengan eksistensinya. Islam telah memerintahkan pemeluknya agar mendirikan negara dan pemerintahan,

12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 2, (Jakarta: Lintera Hati, Cet. VIII, 2007), h. 484.

13 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h.18. 16

yang memerintah berdasarkan hukum-hukum syara’. Sebab para pemimpin itulah yang esensinya melaksanakan pelayanan terhadap urusan-urusan umat secara langsung. Menurutnya, Islam telah menetapakn sekaligus membatasi bentuk pemerintahan dengan sistem khilafah. Sistem khilafah ini satu-satunya sistem bagi Daulah Islam. Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam.14 Sedangkan hadis-hadis yang dijadikan pijakan tentang kewajiban mendirikan khilafah seperti yang diriwatkan Abdullah bin Amr bin Ash: ومن ِبيع اماما فأعطاُ صفقة يدُ ومثر قلبه فليطعه ان استطاع ,فان جاء اخرينازعه فاضربوا عنق اَلخر.

)رواُ مسلم(

Artinya: “Siapa saja yang membai’at (satu) Imam, memberikan uluran tangan (bai’atnya) dan buah hatinya (untuk mengikuti perintahnya), maka hendaknya dia mentaatinya. Apabila datang orang lain yang ingin mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah lehernya”. (H.R. Muslim).15 Hadis yang diriwayatkan oleh Arfajah: من أتكم وامركم مجيع على رجل واحد ,يريد أن يشق عصاكم أو يفرق مجاعتكم, فاقتلوُ. )رواُ مسلم(

Artinya: “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kailian ditangani (diatur) oleh seorang khalifah, kemudian dia hendak memecah belah kesatuan umat (jamah’ah kalian), maka perangilah dia”. (H.R. Muslim).16

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: ومن مات وليس ِف عنقه بيعة مات ميتة جاهلية. )رواُ مسلم(

Artinya: “Dan siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at (kepada khalifah), maka ia mati dalam keadaan seperti mati jahiliyah”. (H.R. Muslim).17

14 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h. 20.

15 Abi Husein Muslim bin al-Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Daar Ibn Hajm, 2002), h.824.

16 Abi Husein Muslim bin al-Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Daar Ibn Hajm, 2002), h.824.

17 Abi Husein Muslim bin al-Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut Libanon: Daar Ibn Hajm, 2002), h. 831. 17

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: ِبيعنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على السَع والطاعة ِف املنشط واملكرُ ,وان َل تنازع اَلمر اهله ,

وان تقوم او نقول ِبْلق حيثَا كنا ,َل خناف ىف هللا لومة َلئم. )رواُ البخاري(

Artinya: “Kami telah membai’at Rasulullah S.a.w. untuk mentaati dan mendengarkan setiap perintahnya, baik waktu senang atau susah dan kami tidak akan mengambil kekuasaan dari yang berhak dan akan mengatakan yang hak di mana pun kami berada. Tidak takut (karena Allah) akan celaan orang-orang yang mencela” (H.R. Bukhari).18 Semua hadis ini menjelaskan tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin. Tidak dibenarkan kaum Muslimin mempunyai lebih dari satu orang pemimpin. Berdasarkan hadis-hadis ini, mengharuskan hanya ada satu pemimpin dalam satu bidang dan tidak membolehkan dalam satu bidang tersebut ada pemimpin lebih dari satu orang. Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan kepemimpinan kolektif (kelompok). Kepemimpinan yang ada dalam Islam adalah tunggal.19 Selain ayat-ayat dan hadis-hadis di atas, umumnya para ulama yang mewajibkan adanya khilafah, mendasarkan pada ijma’, dan logika. Ibn Khaldun menyatakan; hampir tidak dapat ditemukan adanya orang yang berpendapat tentang tidak wajibnya khilafah ini, baik secara logika maupun syar’i. Wajib disini berarti pelaksanaan hukum syara’. Apabila umat secara menyeluruh telah mampu merealisasi keadilan dan melaksanakan syari’at Islam, maka tidak perlu lagi ada seorang imam dan fungsi khilafah.20 Ijma’ yang dijadikan pijakan adalah bahwa begitu Rasulullah SAW. wafat, para sahabat segera memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar r.a. dan menyerahkan persoalan mereka kepadanya. Demikian pula yang terjadi pada masa-masa sesudah itu, dan umat Islam tidak pernah dibiarkan kacau tanpa pemimpin meski hanya sesaat.21

18 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002), h. 1329.

19 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h. 126.

20 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka firdaus, cet. II,2000), h. 238.

21 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka firdaus, cet. II,2000), h. 238. 18

Menurut Taqiyuddin, ijma’ sahabat telah sepakat tentang sistem khilafah, kesatuan khilafah, kesatuan negara serta ketidakbolehan berbai’at selain kepada satu Khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha.22 Sedangkan dasar logika adalah dengan adanya fungsi seorang imam, maka perintah-perintah al-Qur’an yang berkenaan dengan urusan ummat seperti amar ma’ruf nahi munkar, yang wajibnya hukumnya dapat dilaksanakan dengan mudah. Tanpa fungsi seorang imam, kedua kewajiban itu sulit direalisasikan. Apabila tidak seorang imam, rakyat tidak mungkin dapat diorganisir, bahkan akan muncul pertentangan, merajalela kedzaliman, dekadensi, dan sikap permusuhan yang sudah menjadi watak manusia.23 Adapun tentang pengangkatan Khalifah adalah dengan cara bai’at dari kaum Muslimin kepada seseorang (untuk memerintah) atas dasar al-Qur’an dan Hadis. Bai’at ialah sumpah janji setia yang dilakukan oleh seorang Muslim untuk menta’ati seseorang sebagai pemimpin dalam melaksanakan syari’at Islam.24 Kedudukan bai’at sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditegaskan oleh bai’at kaum Muslimin generasi pertama kepada Nabi SAW, dan para Khulafa’ al- Rasyidun. Bai’at umat Islam kepada Rasulullah SAW. maupun Khulafa’ al-Rasyidun, bukanlah bai’at atas kenabian, melainkan bai’at untuk melaksanakan perintah, bukan untuk mempercayai kenabian. Nabi dibai’at dalam kapasitas sebagai kepala negara bukan sebagai Nabi dan Rasul. Sebab pengakuan terhadap kenabian dan kerasulan itu adalah persoalan kaimanan, bukan persoalan bai’at.25 Cara-cara praktis (teknis) operasional sebelum dibai’atnya Khalifah, atau dalam memilih Khalifah sebelum dibai’at, dapat ditempuh berbagai cara misalnya cara yang pernah ditempuh oleh Al-Khulafa’ Al-Rasyidun, ataupun cara lain seperti pemilihan

22 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h.35.

23 Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terj. M. al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1984), h. 111-115.

24 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h, 75.

25 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h, 75. 19

langsung. Sebab, terkait dengan teknis operasional tidak ada satu cara tertentu yang mengikat. Hal ini bisa dilihat dari masing-masing Al-Khulafa’ Al-Rasyidun menggunakan teknis yang berbeda satu sama lain. Setiap pemerintahan maupun kekuasaan yang berdiri atas dasar sistem Khilafah atau yang di dalamnya berlaku pengangkatan khalifah dengan cara bai’at dan menjalankan sistem (hukum) dengan apa yang telah Allah turunkan, maka pemerintahannya itu adalah pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan Islam.26 Sedangkan menurut Ali Abdul Raziq, baik al-Qur’an, hadis, maupun ijma’, yang berbicara tentang bai’at, hukm (pemerintahan), atau perintah untuk menaati uli al-amr, arahnya bukan perintah untuk mendirikan khilafah. Perintah untuk bai’at, atau menaati uli al-amr, sama sekali bukan berbicara tentang teori imamah, dan bukan kewajiban agama. Juga tidak berarti Allah telah menetapkan hukum tertentu bagi masalah-masalah imamah. Sedangkan ijma’ merupakan sesuatu yang sulit dicari sandarannya dan keotentikannya.27 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dasar hukum khilafah adalah al-Qur’an, hadis, ijma’ sahabat, dan alasan logika. Namun demikian, baik ayat-ayat al- Qur’an, hadis, maupun ijma’ di atas masih diperdebatkan oleh para ulama tentang keterkaitannya dengan pembentukan khilafah.

D. Efektivitas Negara dengan Konsep Khilafah Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan negara Islam dan menjaga kesinambungannya. Negara Islam adalah negara yang terdiri atas agama Islam, negara yang melaksanakan syari’at Islam, yang bertugas menjaga tanah-tanah negara Islam, membela penduduk negara Islam, dan menyebarkan misis Islam di dunia. Sebetulnya tidak ada pertentangan sekitar hakikat kekhalifahan bahwa menciptakan sebuah negara atau kepemimpinan umum bagi agama Islam merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin atau merupakan rukun asasi agama Islam. Oleh karena itu, tidak dapat

26 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996), h, 77.

27 Ali Abdul Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), h, 19-30. 20

dipungkiri bahwa umat Islam pada zaman sekarang sejak berakhirnya kekhalifahan di Turki termasuk lengah dan lalai dalam memenuhi kewajiban ini dan umat Islam bertanggung jawab sebagai konsekwensi dari sikap lalainya di hadapan Allah SWT. Itulah kewajiban umat Islam sekarang. Pengembangan sistem politik pada zaman modern merupakan hal yang mungkin bahkan wajib untuk dilaksanakan. Kewajiban yang bersifat fundamental, adalah pertama, persatuan program operasional antara sesama kaum Muslimin untuk bersatu. Kedua, kaum Muslimin diharapkan agar mendirikan negara mereka berdasarkan sistem syura. Ketiga, kaum Muslimin juga diharapkan agar menyelesaikan permasalahan mereka melalui permusyawaratan antar mereka dalam segala hal. Keempat, kaum Muslimin diharapkan agar sdelalu saling membantu dalam kebaktian dan ketaqwaan. Kelima, kaum Muslimin diharapkan agar bangkit bersama-sama menuanaikan kewajiban jihad untuk menghalau musuh-musuh serta melindungi tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Keenam, kaum Muslimin diharapkan berusaha memajukan rakyat kepada kebaikan, melarang kejelekan atau menghilangkan kemungkaran. Dan ketujuh, kaum Muslimin diharapkan mampu mencurahkan seluruh tenaga untuk menyebarkan misi Islam di alam raya ini.28 Untuk mewujudkan seluruh kewajiban itu, perlu diadakan kepemimpinan umum kaum Muslimin dalam bentuk musyawarah kolektif. Dengan kepemimpinan ini, umat Islam telah melaksanakan kewajibannya yang telah diperintahkan oleh agama. Di sini ada pertalian kembali antara Islam dan sejarahnya, Islam akan selalu tetap utuh sebagai kekuatan operasional yang melindungi kekuatan spiritual masyarakat Islam. Islam memiliki orientasi untuk mendorong dunia pada kemajuan manusia atau kemajuan etika, mendorong dunia pada terbitnya era baru persaudaraan, persatuan, dan perdamaian. Keharusan kerja sama dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang berkaitan dengan pola hubungan antar individu dan masyarakat diperlukan kesadaran dan kerja sama yang manifestasinya dituangkan dalam suatu institusi dan lembaga. Keharusan tersebut kemudian melahirkan teori tentang negara yang dapat menata

28 Rais, Cakrawala Islam; antara Cita dan Fakta, (Jakarta: Mizan, 2001), h. 164. 21

masyarakat secara lebih formal dan bersifat kolektif.29 Dalam konteks perumusan teori tentang proses pembentukan negara dan pemerintahan tidak banyak yang berbeda di antara para pemikir politik Islam, bahwa keterbatasan manusialah yang menjadikan keniscayaan untuk saling bekerja sama untuk dapat memenuhi keanekaragaman kebutuhan mereka, yang tidak mungkin dipenuhi oleh individu-individu manusia tanpa kerja sama. Beberapa konsep dan teori tentang kerja sama sosial (bahwa manusia adalah makhluk sosial, bukan makhluk personal) yang dikemukakan oleh al-Farabi, Ibn Rabi’, al-Ghazali, al-Mawardi dan Ibn Taimiyah sesungguhnya merupakan kerangka dasar bagi teori as’abiyah-nya Ibn Khaldun. Urgensi terhadap pembentukan institusi negara ini melahirkan ijtihad bahwa hajat itu bersifat wajib atas dasar syari’at (wajib syar’iy) berdasarkan konsensus (ijma’) umat Islam. Hal ini adalah bukti sejarah dalam politik Islam, sebab pengangkatan khalifah awal dalam Islam merupakan hajat yang mendesak pada waktu itu, sebagai upaya umat Islam untuk menggantikan tugas-tugas kenabian guna mengatur dan menata kehidupan masyarakat Muslim. Dalam praktik sejarah politik umat Islam, sejak zaman Rasulullah Saw hingga al-khulafa al-rasyidun jelas bahwa Islam mempraktikkan di dalam ketatanegaraan sebagai negara kesatuan, di mana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur, panglima diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umawiyah di Damaskus. Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lainnya yaitu Daulah Abbasyiyah di Bagdad, Daulah Uluwiyah di Mesir dan Daulah Umawiyah di Andalusia. Oleh karena itu, walaupun dunia Islam itu terpecah menjadi tiga pemerintahan, akan tetapi kaum Muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada di dalam wilayah darul Islam.30 Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan oleh umat Islam dipraktikkan di beberapa negara. Bentuk negara kesatuan Islam yang berbentuk

29 Hatamar, Pemikiran Politik al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, Laporan Penelitian, (Palembang: Puslit IAIN Raden Fatah, 2000), h. 52. 30 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, (Bandung: Gunung Djati Press, 2000), h. 105. 22

Republik telah dipraktikkan. Republik Iran yang beraliran Syi’ah dan Republik Islam Fakistan, Republik Irak dan Republik Afghanistan yang beraliran Sunni. Beberapa negara ini telah menjadi contoh dari negara kesatuan Islam yang berbentuk Republik. Sedangkan bentuk negara kesatuan Islam yang berbentuk monarki dipraktikkan oleh Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, di mana pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa.31 Jadi pada masa sekarang, umat Islam mempraktikkan negara kesatuan Islam dalam bentuk negara bangsa (nation- state) sebagai respons terhadap konteks negara-negara yang berkembang di masa sekarang. Hal ini tentunya ada perbedaan bentuk negara yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir bahwa sistem negara adalah sistem khilafah yang wilayahnya berskala internasional, seperti pada masa dinasti-dinasti Islam masa lalu. Selain bentuk negara kesatuan, dalam praktik sejarah politik Islam pada zaman khalifah Mansur muncul suatu daerah yang ingin menjadi negara, yaitu nagara Andalusia, yang didirikan oleh Abdurrahman bin Muawiyah dari Bani Umaiyah pada 139 H=756 M. Namun Dinasti Umaiyah di Andalusia masih belum berani melepaskan diri dari wilayah Abbasiyah, yang terbukti dari panggilan dari penguasa negaranya adalah Amir yang berarti kepala negara bagian. Khalifah Harun al-Rasyid (170- 193 H=789-809 M), di mulai rencana pembentukan negara federasi. Pada awalnya peristiwa itu disambut dengan kemarahan, tetapi kemudian pemerintahan sendiri mengadakan rencana pembentukan negara- negara bagian, dengan menyetujui berdirinya negara Aqlabiyah (Agalibah) di Tunis pada 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aqlab. Negara ini berdiri selama satu abad lebih, dari 184- 296 H=800 M-908 M).32 Jadi dalam sejarah politik Islam, muncul dua negara bagian, yaitu imarah ammah tingkat istilah, yaitu negara-negara bagian yang memiliki status negara terbatas. Kepala negara bagian ini dinamakan amir. Dan imarah ammah tingkat istimewa, yang memiliki hak-hak negara yang sangat luas, ke luar dan ke dalam. Kepala negaranya

31 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, (Bandung: Gunung Djati Press, 2000), h. 107.

32 Ahmad, al-Thariq; Dirasat Fikriah fi kaefiah al- Amal Litagver Waqi’ah al-Ummah Wa Inhadhiha, (Libnan Dar al-Bayar, 1956), h. 183. 23

dinamakan sultan. Adapun sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dalam Islam sangat terkait dengan kontektual yang alami oleh masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abad ke VII Masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberapa sistem pemerintahan yang meliputi sistem pemerintahan Khilafah berdasarkan syura, khilafah monorki, imamah,monorki dan demokrasi.33 Sistem pemerintahan khilafah Islamiyah yang berdasarkan syura pernah dipraktikkan pada masa khalifah al-rasyidin yang telah menjalanlkan sistem pemerintahan yang dilandasi oleh semangat musyawarah. Ciri yang menonjol dari sistem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw. Dan sistem inilah yang sedang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir yang dinilai cukup ideal dan riel untuk diterapkan.

33 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, (Bandung: Gunung Djati Press, 2000), h. 109.

BAB III LANDASAN UMUM TENTANG BENTUK NEGARA MENURUT NAHDHATUL ULAMA DAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

A. Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari 1926 sebagai reprensentatif dari ulama tradisionalis, dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah tokoh- tokoh yang ikut berperan diantaranya K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan para ulama pada masa itu pada saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, ulama belum begitu terorganisasi namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun wafatnya seorang kiai, secara berkala mengumpulkan para kiai, masyarakat sekitar ataupun para bekas murid pesantren mereka yang kini tersebar luas diseluruh nusantara.1 Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’ (keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya). Dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita al-Qur’an dan Hadis) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. ada tiga substansi, yaitu (1) dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’I. (2) dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi. (3) dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaidi.2 Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar. Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang

1 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 66.

2 Laode Ida, NU Muda, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 7.

24

25

menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih fasiq. Pemikiran yang dikembangkan oleh Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlusunnah waljama’ah.3 Menurut Muhammad Abu Zahra, perbedaan pendapat dikalangan kaum Muslim pada hakikatnya menampak dalam dua bentu, yaitu Praktis dan Teoritis. Perbedaan secara praktis terwujud dalam kelompok-kelompok seperti kelompok Ali bin Abi Tholib (Syi’ah), Khawarij dan kelompok Muawiyah. Bentuk kedua dari perbedaan pendapat dalam Islam bersifat ilmiah teoritis seperti yang terjadi dalam masalah ‘aqidah dan furu’ (fiqih). Ahlus Sunnah Waljama’ah sebagai salah satu aliran dalam Islam meskipun pada awal kelahirannya sangat kental dengan nuansa politiknya, namun, dalam perkembangannya diskursus yang dikembangkannya juga masuk pada bagian wilayah seperti Aqidah, Fiqih, Tasawuf dan Politik.4 Dengan haluan ideologi ahlus sunnah waljamaah ini lahir dengan alasan yang mendasar, antara lain: Pertama; kekuatan penjajah belanda untuk meruntuhkan potensi Islam telah melahirkan rasa tanggung jawab alim ulama menjaga kemurnian dan keluhuran ajaran Islam. Kedua; rasa tanggung jawab alim ulama sebagai pemimpin umat untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membebaskan dari belenggu penjajah. Ketiga; rasa tanggung jawab alim ulama menjaga ketentraman dan kedamaian bangsa Indonesia.5 Tidak seluruh perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan misalnya, ada tiga kelompok kekuatan yang berkembang secara bersamaan. Munculnya elit baru sebagai sekolah-sekolah belanda, dibarengi pula oleh dua kekuatan pergerakan yang bersumber Islam, yaitu”Islam Moderen” dan “Islam Tradisional”. Dalam fase ini moderenisasi Islam yang tersalur dalam berbagai keagamaan mulai tersebar dan memperoleh sambutan

3 Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 95.

4 Ridwan, Paradigma Politik NU, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 101.

5 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 67. 26

yang cukup luas hampir semua kota besar di Indonesia sampai di desa-desa kecil pelosok negri.6 Sejak permulaan tahun 1910-an. Sebelum didirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. K.H. Hasyim As’ari tidak melarang salah seorang muridnya yang paling cemerlang yaitu K.H. Wahab Hasbullah untuk mengambil bagian dalam aktifitas-aktifitas sosial pendidikan dan keagamaan dari kelompok modernisasi Islam. Kelihatannya sampai meninggalnya pendiri Muhamadiyah, K.H. Ahmad Dahlan, dalam tahun 1923, pikiran-pikiran Islam moderen dari gerakan Muhamadiyah belum meyentuh ideologi yang paling fundamental dari Islam tradisional. Pada tingkat permulaan gerakan Islam moderen tersebut, tekanan diletakkan pada pengaktifan sosial, ekonomi dan politik. Mungkin itulah sebabnya gerakan tersebut belum di rasakan mengancam kedudukan pemimpin- pemimpin Islam tradisional.7 Pada awal abad XX, dalam kurun waktu sepuluh tahun Kyai , mengorganisir Islam tradisional dengan dukungan para kyai dan ulama dan beliau juga aktif di Syarikat Islam (SI) sebuah perkumpulan para saudagar Muslim yang didirikan di Surakarta tahun 1912, dan pada tahun 1916, Kyai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Watam yang berpusat di Surabaya yang pengasuhnya ialah Kyai Wahab Hasbullah dan Kyai H. Masmansur.8 Pertambahan yang luar biasa dalam keanggotaan syarikat Islam menjelang akhir tahun 1920an terutama disebabkan oleh peranan kyai yang memobilisasikan masa pada tingkat masyarakat luas dan ini tidak berarti bahwa pada tubuh syarikat Islam belum ada perbedaan-perbedaan ideologi antara mereka yang cenderung untuk tetap mempertahankan Islam tradisional. Sesudah didirikannya gerakan Muhamadiyah tahun 1912 dan sepeninggalnya K.H. Ahmad Dahlan sering kali terjadi perdebatan antara kyai-kyai. Pemimpin pesantren dan para ulama yang mendukung gerakan Muhammadiyah yang mengenai dalam berbagai aspek dalam praktik Islam. Wadah

6 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 12.

7 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 13.

8 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999), h. 8. 27

perdebatan yang paling utama ialah organisasi Taswirul Afkar di Surabaya yang dipimpin langsung oleh Kyai H. Wahab Hasbullah, Kyai H. Mas mansur dan tokoh- tokoh lainnya seperti Kyai H. Hasyim Asy’ari, Kyai H. Bisri Syamsuri (keduanya dari jombang), Kyai Ridwan (), Kyai Nawawi (Pasuruan), dan Kyai Abdu Aziz (Surabaya). Dalam pertemuan itu diambil keputusan sebagai berikut: 1. Mengirim dilegasi Kekongres dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Ibnu Saud agar hukum-hukum menurut Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya. 2. Membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan para ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syari’at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.9 Namun pada umumnya, kedua kelompok ini mendukung aktifitas Syarikat Islam, karena organisasi ini tidak menyentuh soal-soal yang berhubungan dengan pembauran dalam konsep-konsep keagamaan. Dikarenakan Syarikat Islam lebih tertarik kepada aktifitas politik dan tujuan umumnya mempersatukan kelompok Islam di Indonesia, lebih menekankan agar perbedaan pendapat yang menyangkut detail praktik-praktik keagamaan bisa dihindari. Dalam bulan Februari tahun 1923, persatuan Islam (yang terkenal dengan singkatan Persis) didirikan di Bandung. Dan para anggotanya mulai mengumandangkan pandangan-pandangan yang tidak kompromistis, yang ditunjukkan kepada pikiran keagamaan Islam tradisional. Dan saat itu pula persatuan Islam dapat merebut simpati sejumlah besar kaum intelektual Islam. Buah pikiran Persis (persatuan Islam) memberikan dampak kuat dalam formulasi- formulasi ideologi keagamaan dari Syarikat Islam pada masa-masa sesudah tahun 1923.10 Sewaktu kongres Islam yang ke IV diselenggarakan di Bandung pada bulan Februari tahun 1926 dan kongres tersebut hampir sepenuhnya dikuasai oleh pemimpin

9 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 34.

10 Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 14. 28

organisasi Islam moderen yang mengabaikan usul-usul pemimpin Islam tradisional yang menghendaki terpeliharanya praktik-praktik keagamaan tradisional (antara lain madzhab 4 memelihara, pemeliharaan kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah). Akibatnya para Kyai dan para ulama-ulama yang dipimpin langsung oleh Kyai H. Hasyim Asy’ari melancarkan kritik-kritik yang keras kepada kaum Islam moderen dan sejak permulaan pada tahun 1926 membentuk Jami’yah Nahdlatul Ulama sebagai wadah perjuangan para pemimpin Islam tradisional. Pengaruh Nahdlatul Ulama yang besar dikalangan Kyai dan Ulama di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan kaum awam. Sebagaimana dirumuskan dalan anggaran dasar Nahdlatul Ulama pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan memperkuat kesetiaan kaum Muslimin pada salah satu dari madzhab 4 dan melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan para anggotanya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Adapun kegiatan pokok antara lain 1. Memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia kepada ajaran-ajaran Madzhab; 2. Memberikan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam; 3. Penyebaran-penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan Madzhab empat; 4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasi; 5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren; 6. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.11 Jadi, Nahdlatul Ulama menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab Syafi’i yang dianut oleh kebayakan umat Islam diseluruh nusantara ini. Selain itu, NU memberikan perhatian khusus pada kegiatan ekonomi, bidang yang berkaitan dengan kehidupan para Kyai yang terkadang adalah pemilik tanah dan pedagang.12 Nahdlatul Ulama sebagai satu organisasi sosial yang terbesar di Indonesia, sebenarnya adalah komunitas Islam yang semenjak kelahirannya tujuh puluhan tahun yang lalu senantiasa berusaha menekankan pentingnya pelestarian dan penghargaan terhadap khazanah budaya nusantara. Di ilhami oleh Dakwa khas Wali Songo yang

11Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 15.

12 Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999), h. 13-14. 29

berhasil “mengawinkan” lokalitas budaya dengan universalitas agama Islam , NU berupaya menebar benih-benih Islam dalam wajah yang familiar atau muda dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional, sehingga kondusif bagi dua hal yang sangat dibutuhkan dalam konteks pluralisme, yaitu: Pertama, perekatan identitas kebangsaan. Karena masuk melalui jalur budaya dengan membawa watak pluralis, hampir tidak ada komunitas budaya yang merasa terancam eksistensinya, baik langsung maupun tidak. Mulai dari sinilah kemudian muncul kaidah hukum Islam “al’adah muhakkamah” yang memberi peluang besar pada tradisi apapun untuk dikonfersi menjadi bagian hukum Islam. Selama tidak menyangkut ibadah mahdah seperti shalat, puasa dan semacamnya, aktifitas budaya sangat mugkin dinilai sebagai kegiatan yang bermuatan agama jika memang berperan menegakkan perinsip-prinsip yang diperjuangkan Islam. Dan dalam batas yang minimal, aktifitas budaya tersebut tidak akan dilarang selama tidak merusak kemaslahatan.13 Dengan demikian, meski secara statistik tergolong mayoritas, kehormatan Islam di Indonesia akan selalu dijaga lewat cara-cara yang bisa diterima oleh kelompok lain, bukan ditegakkan dengan sebuah penindsan ataupun pengingkaran terhadap kepentingan dan eksistensi komunitas masayarakat manapun, yang pada gilirannya, cara-cara ini dapat memberi sumbangan besar bagi upaya perekatan identitas bersama sebagai bangsa. Kedua; pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak dapat disangkal bawa penampilan Islam yang akomodatif, secara tidak langsung akan berdampak positif bagi upaya penegakan-penegakan nilai-nilai kemanusiaan dibanding kekakuan sikap dalam beragama yang bisa mereduksi hak-hak asasi masyarakat karena cenderung berpijak pada eklusifisme yang berpotensi memonopoli kebenaran serta gampang menyulut kekerasan berbasis agama sikap akomodatif tentu saja harus dibedakan dari kekeringan komitmen keIslaman yang menunjukkan lemahnya iman. Sebaliknya sikap akomodatif justru muncul sebagai bukti totalitas pemahaman

13 H. A. , Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 60. 30

terhadap agama yang diyakini mampu menjadi rahmat bagi semua orang. Pada akhirnya, sikap akomodatif yang lahir dari adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan prilaku yang lebih sensitive terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang.14 Nahdlatul Ulama dalam merespon problem kebangsaan menjadikan dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan. Tidak seluruh perjalanan sejarah Nahdlatul Ulama pada bangsa Indonesia dalam fase-fase yang telah dikemukakan sejak akhir abad ke-19 sampai sekarang. Merupakan proses tese dan antitese. Dalam fase pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu, terhadap jejak sejarah panjang Nahdlatul Ulama kita membutuhkan tahap pemahaman sebagai berikut: 1. Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan Nahdlatul Ulama (NU) pra kemerdekaan tampil sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembati kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik Indonesia. 2. Nahdlatul Ulama (NU) masa kemerdekaan a. Masa Orde Lama Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan dirinya menjadi partai politik hanya karena menghadapi komunis. Sebab kuatnya komunis sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama dengan suara yang keras akhirnya mampu mempertahankan dasar negara pancasila. b. Masa Orde Baru Dengan kebijakan pemerintah yang kuat, posisi Nahdlatul Ulama dengan kelompok Islam lainnya kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan sepakat mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial

14 H. A. Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 61. 31

tetap menjadi perhatian Nahdlatul Ulama dan secara politik partai tersebut menjadi rode politik Nahdlataul Ulama. c. Masa Reformasi Dimasa reformasi pola politik mengalami perubahan, Nahdlatul Ulama (NU) bersepakat kembali ke khittah. Yakni Nahdlatul Ulama (NU) murni sebagai organisasi sosial keagamaan dan mengambil jarak yang sama terhadap partai politik yang ada. Sehingga Nahdlatul Ulama bukan milik siapa-siapa tetapi merupakan milik potensi bangsa Indonesia.15 Jadi dalam sejarahnya, Nahdlatul Ulama memang berdiri sebagai bentuk reaksi dari luar (gerakan purifikasi). Dan berdirinya organisasi ini tidak lepas dari peran para Kyai dengan komunitas pesantrennya yang merupakan peyanggah utama kelompok Islam tradisionalis. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan, ke-Islaman organisasi ini dirintis para kiai yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah usaha mempersatukan diri dan menyatukan langkah dalam tugas memelihara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk salah satu imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) serta berkidmat kepada bangsa, Negara dan umat Islam.

B. Konsep Negara Menurut Nahdhatul Ulama Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi. Yang dimaksud poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang kehidupan ke dalam tujuan utama pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), yang NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu, NKRI, yang memuat “keadilan sosial” sebagai tujuan konstitusional bernegara, diterima oleh NU, meskipun ia bukan

15 Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 77-78. 32

negara Islam yang formal.16 Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), yang para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syari’at. Dengan cara ini, NU telah membentuk “kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam, wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa Muslim Indonesia. Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kyai Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan NKRI dalam kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego-kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.17 Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.18 Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai aqidah. Antara aqidah beragama dan dasar

16 http://www.santridayah.com/2013/07/konsep-negara-menurut-nu diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 07.00 WIB.

17 Afandi, Arif. Islam Atas Bawah, Polemik Statergi Panjang Umat Model Gusdur dan Amin Rais, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 50.

18 Afandi, Arif. Islam Atas Bawah, Polemik Statergi Panjang Umat Model Gusdur dan Amin Rais, h. 52. 33

bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasilam yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam. Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan NKRI sebagai “bangunan negara-bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan kemodernan.19 Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial- ekonomi.20

C. Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir Indonesia Hizbut Tahrir (HT) atau Liberation Party (Partai Pembebasan) merupakan organisasi politik Islam ideologis berskala internasional yang aktif memperjuangkan agar umat Islam kembali kepada kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah Islamiyah. Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1977 M), yang secara resmi dipublikasikan pada tahun 1953.21 Sejak di dirikan, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Taqiyuddin al-Nabhani hingga wafat, tanggal 20 Juni 1977 M. Taqiyuddin al-Nabhani merupakan salah seorang ulama

19 http://www.santridayah.com/2013/07/konsep-negara-menurut-nu diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 07.00 WIB.

20 Afandi, Arif. Islam Atas Bawah, Polemik Statergi Panjang Umat Model Gusdur dan Amin Rais, h. 54.

21 Ihsan Samarah, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani, (Bogor: Al-Izzah Press, 2002), h, 4. 34

berpengaruh Palestina, doctor lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang sebelumnya adalah seorang hakim agung di Mahkamah Isti’naf, al-Quds, Palestina.22 Sepeninggal Taqiyuddin al-Nabhani, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abdul Qadim Zalum hingga wafat 2003. Saat ini kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Atha’ Abu Rastah secara internasional.23 Hizbut Tahrir telah beberapa kali berupaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, Mesir tahun 1973, dan serentak di Iraq, Sudan, Tunisia, Aljazair pada tahun 1973, namun semuanya gagal. Sejak saat itulah, Hzbut Tahrir mulai merubah strategi perjuangannya dengan lebih banyak melontarkan wacana dan membina masyarakat melalui dakwah.24 Kegiatan dakwah banyak dilakukan oleh Hizbut Tahrir dengan mendidik dan membina masyarakat melalui training pengenalan tsaqafah (kebudayaan) Islam, memahamkan masyarakat tentang akidah Islamiyah yang benar. Dakwah Hizbut Tahrir lebih banyak ditampakkan dalam aspek pergolakan pemikiran (ash shira' al-fikr). Hizbut Tahrir pula yang memperkenalkan istilah ghazw al-fikr (perang pemikiran) sebagai upaya meluruskan pemikiran-pemikiran yang salah serta persepsi-persepsi yang keliru, membebaskannya dari pengaruh ide-ide Barat, dan menjelaskannya sesuatu ketentuan Islam.25 Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam rekrutmen dan membina anggota adalah dengan mengambil thariqah (metode) dakwah Rasulullah SAW. Menurut pemikiran Hizbut Tahrir kondisi kaum Muslimin saat ini hidup di Darul Kufur karena mereka menerapkan hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah SWT maka keadaan mereka serupa dengan Makkah, ketika Rasulullah SAW diutus

22 Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Penerjemah M. Machfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h, 359.

23 Endang Turmudzi dan Riza Sihabudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 265-266.

24 Ihsan Samarah, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani, (Bogor: Al-Izzah Press,2000), h. 5- 6. 25 Hizbut Tahrir, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Muhammad Maghfur, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000), h. 23. 35

(menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah dijadikan tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan mensuriteladani Rasulullah SAW hingga berhasil mendirikan suatu Daulah Islam di Madinah. Dengan mencontoh pola dakwah Rasulullah, Hizbut Tahrir merumuskan tiga tahapan dakwah (marhalah al-da’wah) sebagai strategi beserta cirinya, yaitu: Pertama, tahapan pembinaan dan pengkaderan (marhalah al-tatsqif), melalui halaqah-halaqah. Tahapan ini dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai. Kedua, tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah tafa'ul ma'a al-ummah). Tahapan ini dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam, hingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan utamanya, berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Ketiga, tahapan pengambilalihan kekuasaan (marhalah istilam al-hukm). Tahapan ini dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.26 Hizbut Tahrir berjuang dan bergerak di tengah-tengah masyarakat dengan melontarkan wacana mendirikan kembali Khilafah Islamiyah. Agenda yang diemban oleh Hizbut Tahrir adalah melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum Muslimin kembali hidup secara Islami dalam daulah Islam, dimana seluruh kegiatan kehidupannya oleh aturan Islam.27 Hingga saat ini, Hizbut Tahrir memiliki pengikut puluhan juta yang tersebar luas di 40 negara dengan membentuk cabang-cabang seperti di Suriah, Lebanon, Kuwait, Irak, Arab Saudi, Afrika Utara, Tunisia, Sudan, Turki, Pakistan, Malaysia, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, termasuk Indonesia, meskipun di beberapa negara

26 Hizbut Tahrir, Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Fuad dan Abu Raihan, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000), h. 57-73.

27 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur Khalis, (Bogor: Pustaqa Thariqul Izzah, 2000), h. 20. 36

tidak mendapat pengakuan resmi.28 Sejak diselenggarakannya Konferensi Internasional di Istora Senayan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Internasional maupun Nasional, serta dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi lain, Hizbut Tahrir resmi melakukan aktivitasnya di Indonesia secara terbuka sejak tahun 2000. Hizbut Tahrir dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Para tokoh HTI banyak yang bertempat tinggal di Bogor dan upaya mereka dalam mensosialisasikan gerakannya mendapat sambutan positif dari kalangan sivitas academica IPB, sehingga salah satu pimpinan pusat HTI, Muhammad al-Khattah adalah alumni dan dosen IPB.29 Untuk penanggung jawab kewilayahan nasional disebut Juru Bicara (Jubir) yang saat ini untuk Indonesia dipegang oleh Ismail Yusanto. Sedangkan Ketua Umum Nasional dipegang oleh Hafidz Abdul Rahman.30 HTI dibangun atas dasar kemandirian yang memperoleh dana dari para simpatisan, dan tidak menerima bantuan dari pemerintah bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan penerimaan uang dari pemerintah. Untuk menjaga kemadirian dan independensi inilah maka setiap sumbangan yang diberikan kepada HTI harus melalui penelitian seksama. Hizbut Tahrir maupun HTI sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik. Tetapi berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini. HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilu. HTI menerjemahkan partai politik dalam pengertian yang luas yaitu sebagai suatu organisasi yang aktivitasnya bertujuan mengoreksi kekuasaan dan membangunnya secara benar. Hal ini karena menurut HTI dalam situasi sekarang ini banyak partai Islam justru membingungkan umat Islam sendiri. Oleh karena itu, HTI tidak mengikuti jejak partai-partai lain yang berdasarkan Islam untuk ikut andil dalam

28 John L. Esposito, (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 126.

29 Afdlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 266.

30 Afdlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 280. 37

pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif.31 Sebagai bagian dari Hizbut Tahrir, HTI juga sangat menekankan pentingnya peran negara (dawlah) atau kekhalifahan sebagai sarana penerapan syari’at Islam. Syari’ah dalam pandangan kelompok ini harus ditopang oleh kekuatan negara. Oleh karena ini, kelompok ini mengusung ide perlunya mendirikan kembali Khilafah Islamiyah atau kekhalifahan Islam. Kekhalifahan dalam Islam sendiri berakhir sejak tahun 1924 dengan lenyapnya Khalifah Usmaniyyah, dan diganti oleh sistem Republik oleh Kemmal Atatturk, seorang nasionalis sekuler Turki. Sejak itu negara modern dengan batas-batas teritorialnya menjadi model yang digunakan oleh masyarakat Muslim yang mendiami negara, meskipun mereka berstatus mayoritas mutlak seperti masyarakat Muslim Indonesia. Baik Hizbut Tahrir maupun HTI sendiri memang mengakui bahwa tidak ada teks al-Qur’an yang mewajibkan penganutnya mendirikan kekhalifahan, tetapi kewajiban itu diperoleh dalam perspektif kontekstual pesan al-Qur’an.32 Menurut pandangan Hizbut Tahrir, kehidupan umat Islam sekarang ini berada dalam situasi yang tidak Islami, sebagai akibat dari berlakunya sistem sekuler yang dalam banyak hal memberikan andil besar bagi terciptanya kondisi sosial yang sangat buruk. Berbagai pelanggaran, baik pelanggaran hukum pidana maupun perdata, misalnya, dilakukan oleh banyak orang. Namun sistem yang ada mandul untuk melakukan penegakan hukum. Menurut HTI, Islam mempunyai sistem yang bisa membawa pada kebaikan. Karena itu, apa yang harus dilakukan adalah mengganti sistem yang ada dengan sistem yang disediakan Islam. Islam harus ditampilkan dan menjadi agama ideologis melalui dawlah Islamiyah dengan khalifah sebagai penguasanya. Khalifah ini yang wajib melakukan dakwah dengan mengubah pemikiran atau melakukan pertarungan pemikiran (ghazw al-fikr), melaksanakan syari’at, memimpin jihad dan melindungi umat Islam. Dakwah merupakan satu-satunya untuk meraih keberhasilan mendirikan khilafah ini. Meski demikian, para aktivis HTI tidak

31 Afdlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 285.

32 Afdlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indoensia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 295. 38

menerima cara-cara kekerasan, misalnya mengangkat senjata dalam upaya mendirikan khilafah itu. Dakwah dilakukan sebagai proses penyadaran agar manusia mau mengikuti hukum Allah. Dengan demikian, Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukannya bukan sosial keagamaan. Namun demikian, sampai saat ini Hizbut Tahrir maupun HTI belum pernah mengikuti pemilu sebagaimana umumnya partai politik. Kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan Hizbut Tahrir lebih banyak melontarkan ide/wacana, dan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintahan yang dipandang pro Barat.

D. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan). Pertimbangan tentang Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif, Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang- Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dalam Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kenasyarakatan, ditegaskan bahwa Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut Perppu ini, Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau 39

lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas dan/atau menggunakan nama, lambang, bendera atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik.

Selain itu dalam Perppu ini ditegaskan, bahwa Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia melakukan tindakan kekerasan, mengganggung ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.33

Larangan dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan,

1. Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan; 2. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas;

3. dan/atau menggunakan nama, lambang, bendera atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik. 4. Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan;

5. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;

33https://setkab.go.id/inilah-perppu-no-22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang- organisasi-kemasyarakatan/ diakses pada senin 7 Januari 2019 pukul 14.15 Wib 40

6. melakukan tindakan kekerasan, mengganggung ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;

7. dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Ormas juga dilarang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, dan/atau menganut, mengembangkan, serta

9. menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana ditegaskan dalam Pasal 60 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud, menurut Perppu ini, terdiri atas:

a. Peringatan tertulis; b. Penghentian kegiatan; dan/atau c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.34

E. Konsep Negara Menurut Hizbut Tahrir Indonesia Bentuk negara ideal menurut Hizbut Tahrir adalah bentuk pemerintahan tunggal yang unik dan berbeda dengan setiap bentuk pemerintahan lainnya, baik dilihat dari sisi asas berdirinya, pemikiran, konsepsi, parameter maupun hukum-hukumnya yang dipakai dan diterapkan. Bentuk negara khilafah jelas berbeda dengan sistem pemerintahan monarki, imperium, federasi maupun republik. Karena sistem khilafah tidak mengenal warisan kekuasaan dan putra mahkota sebagaimana biasa berlaku di negara monarki, tetapi berdasarkan pembaiatan dari rakyatnya. Apalagi dalam sistem monarki, raja biasanya tidak tersentuh hukum, tidak bisa diganti karena memiliki hak- hak yang khusus dan istimewa. Sedangkan seorang khalifah adalah pemimpin yang

34https://setkab.go.id/inilah-perppu-no-22017-tentang-perubahan-uu-no-172013-tentang- organisasi-kemasyarakatan/ diakses pada senin 7 Januari 2019 pukul 17.45 Wib 41

bisa salah, bisa diganti dan tidak memiliki hak istimewa tertentu. Sebab prinsipnya, seorang khalifah hanyalah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan.35 Sistem khilafah juga berbeda dengan imperium, sebab sistem imperium biasanya hanya memberikan hak-hak istimewa baik di bidang hukum maupun ekonomi kepada pusat imperiumnya, namun memperlakukan bangsa atau etnis lainnya seperti bangsa kelas dua, terjajah dan dieksploitasi untuk kepentingan pusat kekuasaan. Sistem khilafah memperlakukan sama terhadap siapapun golongan maupun agamanya. Tidak ada satu golongan pun yang kebal hukum dan merasa diistimewakan, karena khalifah harus mampu berlaku adil kepada siapapun. Tugas khalifah adalah menjadikan seluruh negeri kekuasaaanya walaupun saling berjauhan agar menjadi kesatuan bagian tubuh umat Islam.36 Sistem khilafah juga bukan merupakan semacam federasi, dimana tiap-tiap negeri memiliki otonomi khusus, sebagaimana sistem federasi, namun sistem pemerintahan tunggal dimana wilayah kekuasaannya membentang dari Maroko di bagian barat hingga Khurasan di bagian timur. Sistem khilafah berbeda dengan sistem republik, yang kedaulatannya ada di tangan rakyat, atau yang dikenal dengan sistem demokrasi modern. Karena dalam sistem khilafah, semua penetapan hukum hanya milik Allah, dan bukan milik rakyat sebagaimana dikenal dalam sistem demokrasi.37 Dalam konstitusi Hizbut Tahrir, kata khilafah dan negara digunakan secara bergantian. Bangsa dalam konsep "negara-bangsa" adalah "Islam" yang wilayahnya didefinisikan sebagai "wilayah Islam" (dar al-Islam), dan "wilayah kafir" (dar al-kufr). Dalam dar al-Islam,syari’ah diterapkan, sementara di dalam dar al-kufr hukum orang kafir diterapkan. Di bawah kekhilafahan atau negara Islam, syariah diterapkan bagi semua warga negara tanpa mempertimbangkan agama mereka, kecuali dalam urusan peribadatan dimana non-Muslim dibolehkan menjalankan kewajiban agama mereka.38 Konstitusi tersebut menyatakan bahwa, khilafah didirikan di atas empat dasar,

35 Tohir bawazir, Jalan tengah demokrasi, (Jakarta:Pustaka al kautsar, 2015), h. 44.

36 Tohir bawazir, Jalan tengah demokrasi, (Jakarta:Pustaka al kautsar, 2015), h. 44- 45.

37 Tohir bawazir, Jalan tengah demokrasi, (Jakarta:Pustaka al kautsar, 2015), h. 45.

38 Saiful muzani, Muslim demokrat, (Jakarta:Gramedia pustaka utama, 2007), h. 78. 42

yaitu: 1) Kekuasaan adalah milik hukum Allah (syar') dan bukan milik rakyat. 2) Otoritas adalah milik rakyat, yakni umat. 3) Penunjukan khalifah sebagai pejabat adalah kewajiban bagi semua Muslim. 4) Hanya khalifah yang mempunyai hak untuk mengadopsi hukum-hukum syariah dan dengan demikian ia menjalankan undang-undang dasar dan berbagai hukum.39 Di samping itu, konstitusi tersebut juga menyatakan, “Tidak seorang pun dibolehkan menjadi pemimpin kecuali seorang laki-laki yang bebas, yakni bukan budak, ia seorang yang balig, berakal, adil, kompeten; dan ia harus seorang Muslim”. Dalam sistem kekhilafahan, "Umat Islam dibolehkan untuk mendirikan partai-partai, dengan syarat bahwa partai-partai tersebut berdasarkan syariah. Partai apa pun yang didirikan tidak berlandaskan Islam dilarang".40 Khalifah dipilih oleh umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Kaum non- Muslim tidak mempunyai hak ikut serta dalam pemilihan. Prosedur pemilihan seorang khalifah adalah sebagai berikut: warga Muslim memilih anggota Majlis al-Ummah (Dewan Masyarakat Islam). Majlis ini kemudian membuat daftar pendek calon-calon khalifah. Nama-nama ini kemudian diumumkan, dan umat Muslim diminta untuk memilih salah satu dari kandidat tersebut. Orang yang mendapatkan suara terbanyak diumumkan menjadi khalifah. Khalifah identik dengan negara (khilafah) dalam pengertian bahwa tidak ada lembaga yang mengontrol kekuasaannya kecuali syariah.41

39 Saiful muzani, Muslim demokrat, (Jakarta:Gramedia pustaka utama, 2007), h. 78.

40 Saiful muzani, Muslim demokrat, (Jakarta:Gramedia pustaka utama, 2007), h. 78.

41 Saiful muzani, Muslim demokrat, (Jakarta:Gramedia pustaka utama, 2007), h. 78.

BAB IV RESPON NAHDHATUL ULAMA TERHADAP KONSEP KHILAFAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA

A. Konsep Khilafah Menurut Hizbut Tahrir Indonesia Menurut Hizbut Tahrir, Islam telah menetapkan sekaligus membatasi bentuk pemerintahan dengan sistem khilafah. Sistem khilafah ini satu-satunya sistem pemerintahan bagi Daulah Islam. Sistem khilafah berbeda dengan sistem pemerintahan yang lain, seperti disebutkan dalam kitab Nidham al-Hukm fi al-Islam, yang merupakan rujukan utama Hizbut Tahrir dalam memperjuangkan politiknya, bahwa, Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem khilafah Sistem khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia.1 Khilafah merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam. Khilafah juga mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad.2 Khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’. Sistem khilafah sangat berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang lain, baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang- undang dasar yang diberlakukannya ataupun dari aspek bentuk yang mengambarkan wujud negara. Misalnya bentuk pemerintahan monarki, republik, kekaisaran ataupun federasi. Sistem monarchi pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota),

1 Taqiyuddin al-Nabhani, Nidham al-Hukm fi al-Islam, (Beirut Libanon: Daar al-Umah, 1996), h. 35-36.

2 Taqiyuddin al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, terj. Tim Thariqul Izzah, (Bandung: Al-Izzah khasanah Tsaqafah Islam, 2000), h. 18. 43

44

di mana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota, dari orang tuanya, maka pemerintahan Islam tidak mengenal waliyat al-nahd (putra mahkota). Sedangkan Islam telah menentukan cara memperoleh pemerintahan dengan bai’at dari umat kepada khalifah atau imam dengan kebebasan memilih misalnya melalui pemilu. Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa kepada raja, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahkan telah menjadikan raja di atas undang- undang, di mana secara pribadi memiliki kekebalan hukum. Sistem khilafah tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Hak yang dimiliki khalifah sama dengan hak rakyat biasa.3 Begitu halnya dengan sistem republik, baik yang berbentuk sistem republik presidentil seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maupun sistem Republik Parlementer di Jerman. Kedua sistem republik ini berdiri di atas sistem demokrasi yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan berupa undang-undang termasuk berhak menghapus dan menggantinya, menentukan seseorang untuk menjadi penguasa sekaligus berhak untuk memberhentikannya. Sedangkan sistem khilafah berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara’, di mana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan umat. Baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri, karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT semata. Khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan undang-undang dasar serta perundang-undangan.4 Lazimnya jabatan pemerintahan dalam sistem republik (presiden atau perdana menteri), presidensil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sedangkan dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Batasannya adalah apakah khalifah masih menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Selama khalifah masih melaksanakan hokum syara’, maka dia tetap menjadi khalifah,

3 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur Khalis, (Bogor: Pustaqa Thariqul Izzah, 2000), h, 72.

4 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur Khalis, (Bogor: Pustaqa Thariqul Izzah, 2000), h, 73.

45

sekalipun masa jabatannya amat panjang dan apabila telah meninggalkan hukum syara’, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru satu hari, atau harus diberhentikan. Pemberhentiannya dilakukan melalui keputusan Mahkamah Madzalim. Kerena sistem republik dengan sistem khilafah terdapat perbedaan yang jauh baik segi bentuk maupun substansinya, maka tidak layak untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen “Republik Islam”.5 Sistem kekhalifahan juga berbeda dengan sistem kekaisaran. Sistem kekaisaran tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain, dalam pemberlakuan hukum memberikan keistimewaan di wilayah pusat, begitu juga dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi. Sedangkan dalam pemerintahan khilafah menerapksan sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain baik dalam pemberlakuan hukum maupun yang lainnya. Bahkan memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka sama baik mereka Muslim maupun non Muslim. Selain itu, dalam sistem khilafah tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan eksploitasi yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Wilayah- wilayah tersebut tetap dianggap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah yang satu dengan ibu kota. Setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara, baik itu otoritas pejabat pemerintahannya, sistem serta perundang-undangannya.6 Lain halnya dengan sistem federasi yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Sistem khilafah menerapkan satu kesatuan yang mencakup seluruh negeri. Harta kekayaan seluruh wilayah negara Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Jika ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya,

5 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur Khalis, (Bogor: Pustaqa Thariqul Izzah, 2000), h. 74-75.

6 Taqiyuddin al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, terj. Tim Thariqul Izzah, (Bandung: Al-Izzah khasanah Tsaqafah Islam, 2000), h. 34. 46

bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Begitu pula wilayah yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka dalam sistem khilafah tidak akan mempertimbangkannya. Wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya ataupun tidak.7 Dapat ditegaskan lagi sistem khilafah merupakan sistem yang berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah populer saat ini. Perbedaan ini bisa dilihat dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya ataupun yang lain, sekalipun dalam beberapa praktiknya ada yang hampir menyerupai.

B. Alasan Hizbut Tahrir Indonesia Menerapkan Konsep Khilafah di Inndonesia Hizbut Tahrir berjuang dan bergerak di tengah-tengah masyarakat dengan melontarkan wacana mendirikan kembali khilafah Islamiyah. Adapun maksud dan arti didirikannya khilafah oleh Hizbut Tahrir diantaranya adalah: 1. Penegakan hukum-hukum syari'ah ditengah-tengah kaum Muslim, sekaligus pencampakan hukum-hukum kufur yang diterapkan atas mereka saat ini. 2. Penyebaran Islam ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terangbenderang. 3. Penyatuan negeri-negeri kaum Muslim di dalam lindungan satu negara di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Tegaknya khalifah menandakan berakhirnya perpecahan dan ketercerai-beraian yang sengaja diadakan oleh kaum kafir dan kaki tangan mereka di negerinegeri kaum Muslim. 4. Pengembalian ikatan ukhuwah Islamiyah, sebagaimana sabda Nabi "Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain. Karena itu, ikatan ukhuwah adalah satu-satunya ikatan yang menggantikan ikatan-ikatan Jahiliyah seperti ikatan patriotisme, nasionalisme, kesukuan dan yang lainnya, yang telah memecah belah kaum Muslim saat ini.

7 Taqiyuddin al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, terj. Tim Thariqul Izzah, (Bandung: Al-Izzah khasanah Tsaqafah Islam, 2000), h. 35. 47

5. Kembalinya umat mendapatkan kekuasaannya yang telah dirampas. Umat juga memegang kembali kehendak dan keputusan di tangan mereka sendiri. 6. Pembebasan negeri-negeri kaum Muslim yang dikuasai oleh kekuasaan yang zolim, seperti Irak, Afganistan, Kashmir, Timor Timur dan yang lain. 7. Realisasi jaminan pemenuhan makanan pokok bagi kaum Muslim dengan menempuh strategi-strategi yang bertujuan menjamin pencapaian swasembada bahkan lebih baik, baik dari hasil-pertanian, peternakan, perikanan laut maupun darat. 8. Realisasi keamanan industrial melalui strategi politik pembangunan dan pengembangan industri berat untuk memproduksi berbagai peralatan, mesin-mesin pabrik dan persenjataan, sekaligus menghentikan sikap mengekor dan mengemis-ngemis di depan pintu negara-negara barat. 9. Pemberdayaan sumber daya umat yang amat besar melalui politik pendidikan yang bertujuan membuka ruang dan kesempatan bagi semua orang. Dengan demikian mereka menjadi orang-orang yang kreatif dan produktif demi kepentingan agama dan umat mereka. Dengan itu pula dapat mengurangi akumulasi jumlah penganguran meski berijazah tinggi. 10. Pengembalian kekuasaan umat atas kekayaan-kekayaannya sehingga umat menjadi pemilik murni akan kekayaan-kekayaan itu. 11. Penyebarluasan kebaikan, keutamaan, keadilan serta penjagaan atas darah, kekayaan, kehormatan dan kemuliaan kaum Muslim.8 Secara garis besar, Agenda yang di emban oleh Hizbut Tahrir, yakni melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tinjauan ini berarti mengajak kaum Muslim kembali hidup secara Islami dalam daulah Islam, di mana seluruh kegiatan kehidupannya oleh aturan Islam.9 Hingga saat ini, Hizbut Tahrir memiliki pengikut puluhan juta yang tersebar luas di 40 negara dengan membentuk cabang-cabang seperti di Suriah, Libanon,

8 Ismail al-Wahwah, "Dunia Membutuhkan Khilafah", dalam Buletin al-Wa'ie, VII, edisi 1-31 September 2007, h. 13.

9 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur khalis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000), h. 20. 48

Kuwait, Irak, Arab Saudi, Afrika Utara, Tunisia, Sudan, Turki, Pakistan, Malaysia, Inggris, Perancis, Jerman, Australia, dan termasuk Indonesia. Meskipun di beberapa negara tidak mendapat pengakuan resmi.10

C. Perspektif Nahdhatul Ulama Tentang Hizbut Tahrir Indonesia Mengenai Konsep Khilafah Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yaitu rasa persatuan dan kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan. Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham yang disebut nasionalisme kebangsaan atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran yang bersifat nasional, bahwa suatu negara mempunyai ciri khas yaitu rela berkorban demi kepentingan tanah air atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya. Sejak K.H. Hasyim Asy’ari pulang dari Timur Tengah kondisi Indonesia masih dalam keadaan terjajah. Sementara khalifah yang berkedudukan di Istanbul Turki sebagai lambang kekuasaan kaum Muslimin tidak mampu melindungi Negara-negara Islam baik negara-negara Arab, Afrika Utara, Asia Selatan maupun Asia Tenggara dari penjajah negara-negara barat. Puncaknya sistem khilafah yang ketika itu disakralkan oleh kaum Muslimin dihapus oleh Kemal Attaturk (Mustafa Kemal) pada tahun 1924. terhapusnya sistem khalifah meresahkan dan menghawatirkan para tokoh agama dan politik di hampir seluruh dunia Islam. Mereka bermaksud menghidupkan kembali sistem khalifah yang sudah dihapus itu. Para pemimpin-pemimpin negara berkumpul di Kairo yang diprakarsai Raja Fuad I untuk menegakkan kembali sistem khilafah yang dihapus itu sekaligus memilih

10 John L. Esposito, (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 126. 49

khalifah. Akan tetapi khilafah tersebut gagal ditegakkan kembali karena beberapa faktor:11 1. Utusan dari negara-negara Islam sudah tidak tertarik pada sistem khilafah yang dinilai tidak berbeda dengan kediktatoran dan kezaliman. Mereka lebih tertarik menegakkan syariat Islam dalam negara yang menganut ideologi nasionalisme dan demokrasi yang ditawarkan Barat. 2. Mereka menilai sudah lebih dari dua abad sistem khalifah tidak mampu melindungi kaum Muslimin. 3. Raja Fuad I sebagai pemrakarsa kongres berambisi untuk memegang jabatan khalifah, sementara di internal Mesir Raja Fuad I ditentang Partai Dusturiyin yang di antara pemikirnya adalah Syekh Ali Abdurraziq. 4. Rivalitas untuk jabatan khalifah antara Fuad I dari Mesir dan Raja Abdul Aziz dari Saudi Arabia, yang tidak menghasilkan deklarasi politik apapun.

Menurut Wakil Rais 'Am PBNU Tolhah Hasan, jika periode khilafah telah berakhir, maka kewajiban-kewajiban umat Islam adalah berusaha menemukan sistem baru yang merekonstruksi sistem dan mereaktualisasi nilai-nilai fundamental yang dilakukan pada masa khilafah pertama (musyawarah, keadilan, kejujuran, egaliter dan lain-lain). Oleh sebab itu, yang penting bukanlah mempertahankan kata-kata khalifah atau khilafah, tapi yang dipentingkan adalah subtansi dan isinya, yaitu kepemimpinan yang mencerminkan persatuan dan kesejahteraan bersama.12 Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan Nahdliyin adalah "transnasionalisme". Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi serta gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun dalam konteks NU, istilah "transnasionalisme" mengacu dan merujuk pada ideologi serta gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Maka dari itu, beberapa tahun terakhir NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk menghadapi

11 Imam Ghazali Said, Syaikh Hasyim Asy’ari antara khilafah dan nasionalisme, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 38.

12 KH. Tolhah Hasan, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 62. 50

ancaman ideologis dan massal dari kelompok transnasional tersebut.13 Ideologi transnasional dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim, organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Lebih jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai indikator dari gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama, jika agama diformalkan dalam konteks negara Indonesia hanya akan mengacaukan sistem yang telah ada, karena tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masyarakatnya heterogen.14 Warga Nahdliyyin sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah merintis untuk menyadarkan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi. Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang mengharuskan pembentukan Khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dasar hukum negara. Ketiga, apakah strategi integralisasi syariah Islam secara subtantif menyalahi prinsip tathbiq (penerapan) syari'ah menempuh pola tadrij (bertahap). Para ulama NU sepakat bahwa pembentukan Khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan mengubah bentuk dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq

13 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2017 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

14 Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 22. 51

syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.15 Dari sini nampak bahwa gerakan Hizbut Tahrir dengan perjuangannya menjadikan Islam sebagai dasar untuk mengatur tata sosial politik masyarakat serta ide dan pemikiran untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan khilafah dan membentuk Islam dalam Islamic global village. Sistem khilafah dianggap sebagai trade mark politik Islam yang harus ditegakkan dalam sebuah tata dunia yang tidak dibatasi oleh nasionalitas dan kebangsaan mulai terhimpit. Karena, tidak semua penduduk Indonesia khususnya Islam dapat menerima. Hal tersebut disebabkan karena Islam di Indonesia memiliki corak pemikiran yang beranekaragam, termasuk agama Islam. Penyebab perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah Islamiyah adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan yang tinggi, yakni didorong dengan adanya kepedulian untuk mempertahankan Islam yang ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan. Sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara dan bangsa, tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.

D. Respon Nahdhatul Ulama Terhadap Konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia Penolakan NU terhadap sistem negara Islam dan Khilafah Islamiyah sebenarnya telah banyak didiskusikan oleh KH. , atau Gusdur. Pendirian tegas Gusdur terhadap ide formalisasi negara Islam yang menurutnya absurd dan ahistoris. Gusdur lebih menyetujui Islam sebagai bagian dari kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Ketaatan seorang hamba tidak diukur apakah dia menerapkan negara Islam atau bukan tapi ketaatannya secara individual kepada tuhannya. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Abdurrahman Wahid menegaskan, Islam tidak pernah mengajarkan untuk mendirikan negara tertentu, atau sistem negara Islam. Pendirian negara Islam menurutnya hanya akan akan menjadikan warga nonMuslim sebagai warga kelas dua yang akan tersingkirkan. Serta akan

15 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185. 52

berdampak pada warga Muslim yang abangan/nominal yang jelas berbeda derajat keIslamannya dengan kaum santri. Yang dibutuhkan oleh umat Islam yaitu menjadikan Islam menjadi bagian dari pengamalan kehidupan sehari-hari seperti tauhid, pengamalan rukun Islam, menolong sesama manusia, profesional dalam pekerjaan termasuk bersabar dalam setiap musibah dan cobaan yang terjadi. Jika semua nilai diatas sudah terlaksana, menurut Wahid, sistem Islam tidak dibutuhkan lagi, bahkan ketaatan seorang Muslim tidak diukur dari perwujudan sistem atau negara Islam.16 Lagi pula, dalam pandangan Wahid, dalam sejarah Islam tidak ada sistem tunggal yang sifatnya tetap tunggal seperti, teknis pengangkatan pemimpin yang tidak tetap dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab, ke Utsman bin Affan dan ke Ali bin Abi Thalib kemudian penguasa-penguasa setelahnya. Begitu juga, ukuran masyarakat Islam sifatnya yang beragam. Di era Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar, masyarakat Islam berwujud sebagai sebuah komunitas, kemudian berubah menjadi imperium di era Umar, menjadi negara bangsa di era kolonialisme hingga kini. Pemahaman Gus Dur ini juga sama dengan pemimpin-pemimpin NU setelahnya, seperti K.H Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU 1999-2010, dan juga K.H yang juga sama menolak formalisasi syariat Islam dalam bentuk negara khilafah. Muzadi berpendapat, ideologi para pejuang Khilafah secara jelas mengancam NKRI, Pancasila dan UUD karena ide ini tidak berasal dari tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Sementara para pejuang ini ketika berada di sebuah negara hanyalah menjadi mengganggu ketenangan bernegara karena hanya mengajak mendelegitimasi dan mendekonstruksi negara yang sudah mapan dan berdaulat.17 Muzadi menganggap terjadi kesalahan penafsiran bagi kalangan pejuang Khilafah mengenai pemahaman Islam Kaffah. Gerakan pro-khilafah berkeyakinan Islam Kaffah itu bermakna harus mendirikan pemerintahan Islam padahal, menurut Muzadi, Islam kaffah itu memang wajib tapi tidak tidak perlu melalui pemerintahan Islam. “Ber-Islam dengan sungguh-sungguh tak harus dengan Khilafah Islamiyah.

16 Abdurrahman Wahid. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi, Edisi Digital. (Jakarta: Democracy project, 2011), h: 4-5.

17 Pandangan KH. Hasyim Muzadi terhadap Gerakan Khilafah. Diakses pada tanggal 15 September 2017 dari http://www.Muslimedianews.com/2014/03/pandangan-kh-hasyim- muzaditerhadap.html_. 53

Mengakui dan taat pada pemerintahan yang sah dan berdaulat adalah wajib”.18 Dalam pandangan Said Aqil Siradj, ketua PBNU 2010 – sekarang, Negara khilafah bukanlah solusi terhadap persoalan bangsa. Konsep negara Indonesia menurutnya jauh lebih baik dibandingkan negara-negara Islam lain termasuk negara Islam di Timur Tengah. Sebab Indonesia saat ini dengan komitmen amanah keagamaan dan komitmen kebangsaan membuatnya tak mudah untuk dipecah belah oleh pihak lain kebalikan dengan negaranegara Islam Timur Tengah yang akhirnya justru hancur karena tidak memperhatikan komitmen kebangsaan. Bila Indonesia berubah menjadi konsep khilafah, Siradj mengkhawatirkan Indonesia akan hancur.19 Seandainya pun Khilafah itu harus diadopsi maka haruslah khilafah yang bersinergi dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme, dalam istilah Siradj, Khilafah Nasionalisme. Intinya dalam pandangan Siradj, Pancasila dan NKRI adalah harga mati, sehingga tidak boleh ada ide yang bertentangan dengan konsep yang sudah final tersebut. Konsep nasionalisme di Indonesia pun merupakan sebuah konsep yang sudah sempurna untuk sebuah negara atau kekhalifahan yang sangat plural dengan berbagai keragaman agama, suku dan budaya. Siradj menyatakan, karena kepemimpinan nasional Indonesia sudah khilafah, Joko Widodo yang berkuasa saat ini juga sudah layak untuk disebut sebagai khalifah sebagai perwakilan sah umat Islam yang ada di Indonesia. Pendapat Aqil Siradj sejalan dengan Muzadi dan Gusdur yang menganggap ide Khilafah yang bersifat internasional tidak logis dan rasional sebab secara historis nabi tidak pernah mendirikan negara Islam justru, nabi membuat piagam madinah sebagai kesepakatan yang menjadi dasar hukum yang mengatur hubungan antar warga yang berbeda suku, ras dan agamanya supaya bisa hidup rukun dan harmonis. Sepeninggal rasul pun tidak ditemukan model pemerintahan yang sifatnya baku, umat Islam pernah dipimpin dalam sistem khilafah, Imarah bahkan kesultanan yang jumlahnya cukup

18 PBNU: Konsep Khilafah Islamiyah Tidak Pernah Jelas. Diakses pada tanggal 15 September 2017 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9731-lang,id- c,wartat,PBNU++Konsep+Khilafah+Islamiyah+Tidak+Pernah+Jelas-.phpx_,

19 Islaminesia. (2015). KH. Said Aqil: ‘Negara Khilafah’ Bukan Solusi Persoalan Bangsa. Diakses 15 September 2017 dari http://Islaminesia.com/2015/05/kh-said-aqil-negara-khilafah-bukan- solusi-persoalanbangsa/?fb_comment_id=836527473088368_836649116409537_ 54

banyak dan kebanyakan menurut Siradj, dalam pemerintahan Islam yang pernah terjadi banyak pertumpahan darah sesama Muslim sendiri. Sehingga yang lebih penting menurut Siradj adalah adalah pemimpin jujur adil, dan melayani masyarakat dengan baik.20

20 NU Online. (2007). PBNU: Khilafah Islamiyah Celakakan Muslim Minoritas di Negara Lain. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016 dar http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9577- lang,idc,wartat,PBNU++Khilafah+Islamiyah+Celakakan+Muslim+ Minor itas+ di+ Negara+ Lain-.phpx_

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis bahas dari bab-bab terdahulu, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Konsep Khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia merupakan kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’. Sistem khilafah sangat berbeda dengan sistem-sistem pemerintahan yang lain, baik dari aspek asas yang menjadi landasan berdirinya, pemikiran, konsep, standar serta hukum-hukum yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek undang-undang dasar yang diberlakukannya ataupun dari aspek bentuk yang mengambarkan wujud negara. 2. Pandangan NU terhadap sistem negara Islam dan Khilafah Islamiyah, bahwa Islam tidak pernah menentukan/mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Indonesia dalam bingkai NKRI yang sudah merupakan kesepakatan final oleh para pendiri bangsa ini, gerakan yang mengarah untuk merubah/mengganti pancasila maka harus dihindari, karena bisa menimbulkan kerusakan. B. Saran Dalam skripsi ini penulis menambah beberapa saran, yang bertujuan untuk mencoba memberikan wawasan keilmuan mengenai respon Nahdhatul Ulama terhadap konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia, adapun sarannya adalah sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah, agar memperhatikan kembali ormas-ormas yang ada di Indonesia yang sekiranya bertentangan dengan pancasila agar dikaji ulang keberadaannya di Indonesia. 2. Kepada para mahasiswa FSH UIN Syarif Hidayatullah yang mempelajari Hukum Ketatanegaraan Islam (Siyasah), direkomendasikan agar kajian ini bisa dijadikan suatu referensi untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang politik Islam pada umumnya dan khususnya di bidang Respon Nahdhatul Ulama terhadap konsep Khilafah Hizbut Tahrir Indonesia. 55

56

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN KITAB

Afandi, Arif. Islam Atas Bawah, Polemik Statergi Panjang Umat Model Gusdur dan Amin Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Afdlal, Islam dan Radikalisme di Indoensia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Ahmad, Al-Thariq; Dirasat Fikriah fi kaefiah al- Amal Litagver Waqi’ah al-Ummah Wa Inhadhiha, Libnan Dar al-Bayar.

Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Garafindo, 2004.

Bukhari Al, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut Libanon: Daar Ibn Hazm, 2002.

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta,2008.

Bawazir, Tohir, Jalan tengah demokrasi, Jakarta: Pustaka al kautsar, 2015.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Departemen Agama RI, Al Quran dan terjemahan.

Djazuli A, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, Bandung: Gunung Djati Press, 2000.

El-wa, Mohamed S, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, Terj. Anshori Thajib, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983.

Esposito, John L, (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.

Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: L’Harmattan Archipel, 1999. Hajaj Al, Abi Husein Muslim bin, Shahih Muslim, Beirut Libanon: Daar Ibn Hajm, 2002.

Hasan, KH. Tolhah, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV.

Hasyim, Masykur, Merakit Negeri Berserakan, Surabaya: Yayasan 95, 2002.

57

Hatamar, Pemikiran Politik al-Mawardi dan Relevansinya dengan Pemikiran Politik Modern, Laporan Penelitian, Palembang: Puslit IAIN Raden Fatah, 2000.

Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Hussain, Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Abdul Rochim CN., Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Ida, Laode, NU Muda, Jakarta: Erlangga, 2004.

Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. II, 2000.

Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka firdaus, cet. II,2000. Maududi Al, Abu al-A’la, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terj. M. al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984.

Maududi Al, Abu al-A’la, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Terj. M. al-Baqir, Bandung: Mizan, 1984.

Maududi Al, Abu al-A’la, Hukum dan Konstitusi; Sistem Politik Islam, Terj. Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995.

Muhammad, Reno, Isis mengungkap fakta terorisme berlabel Islam, Jakarta:Pt mizan publika, 2014.

Muzadi, H. A. Hasyim, Nahdlatul Ulama di tengah agenda persoaalan, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.

Muzani, Saiful, Muslim demokrat, Jakarta:Gramedia pustaka utama, 2007. Nabhani Al, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Penerjemah M. Machfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Nabhani Al, Taqiyuddin, Negara Islam, terj. Umar Faruq, dkk., Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

Nabhani Al, Taqiyuddin, Nidham al-Hukm fi al-Islam, Beirut Libanon: Dar al-Umah, 1996.

Nabhani Al, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin, Sejarah dan Realitas Empirik, terj. Tim Thariqul Izzah, Bandung: Al-Izzah khasanah Tsaqafah Islam, 2000.

58

Narboko, Cholid dan Abu Achmad, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi Pustaka, 1997.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian bidang sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2007.

Rais, Cakrawala Islam; antara Cita dan Fakta, Jakarta: Mizan, 2001.

Raziq, Ali Abdul, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, Terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985.

Ridwan, Paradigma Politik NU, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Rumidi, Sukandar, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 2004.

Said, Imam Ghazali, Syaikh Hasyim Asy’ari antara khilafah dan nasionalisme, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV.

Samarah, Ihsan, Biografi Singkat Taqiyuddin al-Nabhani, Bogor: Al-Izzah Press, 2002.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Volume 2, Jakarta: Lintera Hati, Cet. VIII, 2007.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.

Sjadzali Munawir, Islam dan Tata Negara, Edisi 5,Jakarta: PT. UI Press, 1993.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI press,1986.

Tahrir, Hizbut, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Islam Ideologis, terj. Abu Afif dan Nur Khalis, Bogor: Pustaqa Thariqul Izzah, 2000.

Tahrir, Hizbut Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Fuad dan Abu Raihan, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

Tahrir, Hizbut, Titik Tolak Perjalanan Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Muhammad Maghfur, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.

Turmudzi, Endang dan Riza Sihabudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2006.

59

Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi, Edisi Digital. Jakarta: Democracy project, 2011. Wahwah Al, Ismail, Dunia Membutuhkan Khilafah, dalam Buletin al-Wa'ie, VII, edisi 1-31 September 2007.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.

Ztf, Pradana boy, Fiqih jalan tengah, Jakarta:pt grafindo media pratama, 2008.

INTERNET

Http://www.Hizbut-Tahrir.or.id.,diakses Tanggal 15 November 2016, pukul 20.10 WIB

Http://www.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-pandangan-nu, di akses pada tanggal 21 november 2016, pukul 19.55 WIB

Http://www.santridayah.com/2013/07/konsep-negara-menurut-nu diakses pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 07.00 WIB. https://setkab.go.id/inilah-perppu-no-22017-tentang-perubahan-uu-no-172013- tentang-organisasi-kemasyarakatan/ diakses pada senin 7 Januari 2019 pukul 14.15 WIB

Islaminesia. (2015). KH. Said Aqil: ‘Negara Khilafah’ Bukan Solusi Persoalan Bangsa. Diakses 15 September 2017 dari http://Islaminesia.com/2015/05/kh-said-aqil- negara-khilafah-bukan-solusi- persoalanbangsa/?fb_comment_id=836527473088368_836649116409537_

Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2017 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

NU Online. (2007). PBNU: Khilafah Islamiyah Celakakan Muslim Minoritas di Negara Lain. Diakses pada tanggal 15 Desember 2016 dar http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9577 lang,idc,wartat,PBNU++Khilafah+Islamiyah+Celakakan+Muslim+ Minor itas+ di+ Negara+ Lain-.phpx_

Pandangan KH. Hasyim Muzadi terhadap Gerakan Khilafah. Diakses pada tanggal 15 September 2017 dari http://www.Muslimedianews.com/2014/03/pandangan- kh-hasyim-muzaditerhadap.html_.

PBNU: Konsep Khilafah Islamiyah Tidak Pernah Jelas. Diakses pada tanggal 15 September 2017 dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1- id,9731-lang,id- c,wartat,PBNU++Konsep+Khilafah+Islamiyah+Tidak+Pernah+Jelas-.phpx_ 60

LAMPIRAN

LAMPIRAN

Narasumber : H. Mahbub Ma’afi Ramdhan, SHI

Jabatan : Wakil Sekertaris PBNU

Tempat Wawancara : Lt.3 Gedung PBNU

Waktu Wawancara : 14 Juni 2017

1. Bagaimana efektifitas Negara dengan konsep khilafah? Nahdhatul Ulama menetapkan semua sistem yang tujuannya baik bias diberlakukan, baik itu khilafah, demokrasi, dan monarki. Karna tujuan yang sebenarnya dari suatu sistem adalah keadilan, kesejahteraan, dan ketentraman bagi penduduknya. Jika khilafah diterapkan di Indonesia, maka hal tersebut tidak relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia yang penduduknya tidak hanya beragama Islam saja, akan tetapi ada beberapa agama yang telah diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu sistem yang diterapkan pula harus bias mewakili fungsi kenabian, artinya Negara harus mampu menjawab semua pertanyaan dan kebutuhan masyarakat. Konsep khilafah yang ditawarkan oleh HTI pada hakikatnya tidak memiliki landasan yang kuat, jika bedasarkan dalil “Inni Jailun fi al-Ardh kholifah”, perintah dalam ayat ini menunjukan keharusan mengangkat pemimpin sebagaimana dijelaskan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, bukan mengenai konsep khilafah. Secara singkat mengankat pemimpin itu hukumnya wajib, sedangkan sistem yang diberlakukan adalah bersifat ijtihadiyah. Maka dengan tegas NU menolak konsep khilafah yang ditawarkan oleh HTI. 2. Bagaimana Nahdhatul Ulama merespon konsep khilafah HTI? Jika kita berbicara tentang konsep khilafah yang diterapkan oleh HTI, tentu NU menolak. Hal ini berdasarkan pada hasil putusan alim ulama tahun 2014 di Jakarta, telah diuraikan bahwa Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan termasuk di dalamnya tenteng konsep dalam kehidupan bernegara. Pada dasarnya agama dan Negara merupakan dua fondasi yang

memliki hubungan yang sangat erat, agama merupakan fondasi dan kekuatan sedangkan Negara merupakan pengawalnya. Dalam konsepnya dijelaskan seperti berikut: حراسة الدين و سياسة الدنيا Artinya: “Melestarikan ajakaran agama dan membuat tata kelola yang baik terhadap dunia.”

Jika kita merujuk pada sistem yang berlaku pada masa khulafa al- Rasyidin, itu adalah sistem khilafah yang cocok diterpakan pada zamannya, karena pada hakikatnya Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan sistem tentang Negara secara utuh, artinya sebagai masyarakat dalam menerapkan system tersebut bersifat ijtihadiyah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tersebut.

3. Apa perbedaan konsep khilafah yang diterapkan HTI dengan Nahdhatul Ulama? Konsep khilafah yang diterapkan oleh HTI adalah khilfah murni, artinya khilafah yang berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW, Sedangkan NU sendiri sistem yang ditawarkan sesuai dengan keadaan zaman dan kondisi masyarakatnya.