PEMIKIRAN K.H ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi sebagian syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Akhmad Aly Royyan ( 1112044100061)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH 1439H/2018M

ABSTRAK Akhmad Aly Royyan, NIM 1112044100061, PEMIKIRAN K.H ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439H/2018M. ix + 80 halaman. Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana metode istinbath hukum dan corak pemikiran Ali Yafie, karena sebagai seorang ulama kontemporer Ali Yafie cukup banyak memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan kepadanya seputar masalah hukum Islam. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif karenanya tehnik pengumpulan datanya menggunakan data kepustakaan (library research) Objek penelitian ini adalah Ali Yafie namun terbatas pada metode istinbath pemikiran hukum Islam khususnya dalam hukum keluarga. Sumber utama (primary resources) penelitian adalah buku-buku karya Ali Yafie adapun sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa Ali Yafie dalam mengistinbathkan hukum Islam menggunakan dalil-dalil al-Qur’an, hadits, ijma, qiyas, istihsan, mashlahat mursalah, maqasid syariah, kaidah-kaidah ushuliyyah, dan kaidah- kaidah fiqhiyah. Adapun pemikiran Ali Yafie yang dibahas dalam penelitian ini antara lain masalah kependudukan dan keluarga berencana, masalah usia menikah, dan masalah mengasuh anak. Dari pemikiran-pemikiran tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa permasalahan hukum keluarga dapat menjadi segala sumber segala permasalahan yang universal. Kedua, bahwa metode yang digunakan adalah pola bayani dan istilahi. Gambaran pola bayani dapat dilihat dari pemikirannya tentang pengasuhan anak yang didasarkan dari al-Qur’an dan Hadits nabi. Sedangkan pola istilahi dan bayani dapat ditemukan dalam masalah keluarga berencana. Adapun masalah usia menikah Ali Yafie menggunakan metode istilahi.

Kata Kunci : Ali Yafie, Pemikiran, Istinbath Hukum.

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA.

Daftar Pustaka: 1972-2015

iv

KATA PENGANTAR

بِ ْس ِ مهللاِ َّالر ْح ِمن َّالر ِح ِيم

Alhamdulillahirrabil’alamin, tiada untaian kata yang pantas diucapkan melainkan ucapan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, tuhan semesta alam. Karena rahmat dan karunianya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemikiran K.H. Ali Yafie Dalam Hukum Keluarga” sholawat serta salam semoga selalu tercurah abadikan kepada junjungan kita Nabi Agung, Nabi Akhiruzzaman Nabi Muhammad SAW. Dan tak lupa pula kepada para Sahabat, Tabiin, dan kita selaku Umatnya.

Berkat rahmat dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT, penulis mendapatkan kemampuan untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungan, dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Wakil Dekan I, II, dan III. 3. Dr. H. Abdul Halim, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Indra Rahmatullah, MH., Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga. 4. Dr. Hj. Azizah, MA. Selaku Dosen pembimbing Skripsi penulis. 5. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk dibangku perkuliahan sampai pada akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

v

6. Segenap pimpinan dan staf Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Perpustakaan Pascasarjana atas pelayanan dan penyediaan buku-bukunya sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Paling istimewa kedua orang tua, Ayahanda Slamet Riyanto dan Ibunda Roheti. Terima kasih atas segala pengorbanan dan do’a kepada penulis, serta dukungan moril dan materil, dan juga tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan adik- adik yang penulis sayangi, Ali Yafie, Sarah Fadilah dan Ali Ramadhani yang tiada lelah dan bosan memberikan cinta, kasih sayangnya serta do’a, begitu juga waktu dan senyumannya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayang kepada mereka semua. 8. Do’a dan harapan penulis panjatkan kepada Nurul Aditya Ayu Kusuma yang senantiasa memberikan semangat, cinta kasihnya, kesabaran, dan kesetiaannya sekaligus menjadi tempat curahan hati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semoga apa yang dicita-citakan kita berdua terlaksana. 9. Untuk kakak-kakak kelas ku, Sardi Hakim,S.H, Edi Sudrajat, S.H, dan Ahmad Firdaus,S.H yang senantiasa memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini semoga kesuksesan menyertai kalian. 10. Sahabat-sahabat kostan Reza Rudiana, Yoga Faisal, Ari Anggara, Muhammad Nur Fajri, Tusroni yang sudah mau membantu penulis dalam segalanya dan menjadi tempat canda tawa penulis semoga kesuksesan selalu menyertai kita. 11. Sahabat-sahabat seperjuangan Muhammad Sulaiman, S.H, Bobby Gustiawan, S.H, Rahmat Abdullah S.H, Aftah Naufal Rizki Lantif, Ilhamsyah yang telah memberikan semangat dan telah membantu penulis dalam segalanya. Semoga kesuksesan selalu menyertai kalian semua.

vi

12. Seluruh teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan warna warni dalam hidup penulis selama di bangku perkuliahan semoga kita semua menjadi orang yang sukses. 13. Teman-teman IMT (Ikatan Mahasiswa Tegal), KKN BERAKSI, KOMBEN (Komunitas Musik Bendungan) yang selalu memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadari bahwa masih begitu banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun begitu mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhir kata tiada yang dapat penulis ucapkan, kecuali rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, arahan, bantuan dan do’a dan bimbingannya atas terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dijadikan ilmu yang bermanfaat dan berkah. Dan semoga kita semua selalu dalam bimbingan, Rahmat, dan Hidayah Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 03 Juli 2018

Hormat Saya

Akhmad Aly Royyan

Penulis

vii

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN...... ii LEMBAR PERNYATAAN...... iii ABSTRAK...... iv KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI...... viii BAB I PENDAHULUAN A . Latar Belakang Masalah ...... 1 B . Identifikasi Masalah...... 6 C . Pembatasan Masalah...... 6 D . Perumusan Masalah...... 7 E . Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 F . Metode Penelitian ...... 8 G . Review Studi Terdahulu...... 10 H . Sistematika Penulisan ...... 11

BAB II BIOGRAFI K.H ALI YAFIE A. Latar Belakang Keluarga...... 13 B. Latar Belakang Pendidikan K.H Ali Yafie...... 14 C. Guru-Guru K.H Ali Yafie...... 15 D. Kiprah dan Aktifitas K.H Ali Yafie...... 16 E. Karya-Karya K.H Ali Yafie...... 23

BAB III METODE ISTINBATH HUKUM K.H ALI YAFIE A. Pengertian Istinbath Hukum Dan Sumber-Sumbernya...... 24 B. Maslahah Sebagai Metode Istinbath Hukum...... 38 C. Penggunaan Metode Maslahah Oleh K.H Ali Yafie...... 41 D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Ali Yafie...... 44

viii

BAB IV PANDANGAN ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA A. Hukum Keluarga Dalam Pandangan Ali Yafie 1. Pengertian Hukum Keluarga...... 45 2. Pandangan K.H Ali Yafie Tentang Hukum Keluarga ...... 48 B. Pemikiran K.H Ali Yafie Tentang Beberapa Masalah Hukum Keluarga 1. Masalah Kependudukan dan Keluarga Berencana...... 52 2. Masalah Usia Nikah...... 60 3. Masalah Mengasuh Anak...... 67 C. Corak Pemikiran Ali Yafie 1. Aliran Traditionalism...... 74 2. Aliran Modernisme ...... 76

BAB V Penutup A. Kesimpulan...... 79 B. Saran...... 80 Daftar Pustaka

ix

BAB I

PENDAHULUAN

A . Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan ini, dimana manusia berada di dalamnya dan merupakan bagian darinya, sudah jelas dan nampak bahwa gerak dan dinamika merupakan cirinya yang sangat nyata. Dari gerak dinamika ini timbullah perubahan dan perkembangan dari suatu tahap ke tahap yang lain dan dari suatu warna ke warna yang lain dalam dimensi ruang dan waktu secara terus-menerus dan tanpa henti- hentinya. Suatu agama dapat berfungsi dan terasa dibutuhkan dalam kehidupan yang demikian keadaannya, jika di dalam agama itu ada ruang bagi gerak dan dinamika kehidupan yang digambarkan di atas.1

Proses modernisasi masyarakat muslim bagi negara yang sibuk dengan pembangunan, telah memaksa masyarakat untuk segera melaksanakan pembangunan di bidang hukum sebagai prasyarat tegak dan berjalannya roda pembangunan itu sendiri2. Modernisasi sendiri diartikan sebagai suatu proses transformasi, yakni suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya sebagai akibat dari modernisasi. Perubahan sosial, pembangunan, dan pembaharuan berhubungan satu sama lain dengan erat, seperti terjadi di dan negara- negara sedang berkembang lainnya. Namun, demikian pembaruan atau modernisasi tidak hanya merupakan suatu perubahan menuju kepada kemajuan dan kematangan.3

Masalah hukum bisa dilihat pula sebagai sesuatu problem sosial, karena itu ia independen dengan problem perubahan sosial. Ini menunjukkan betapa problem

1 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 62. 2 Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: PENAMADANI, 2004, Cet. 1), h. 5. 3 Dr. Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.4

1 sosial itu memberikan tekanan pengaruhnya terhadap hukum, dalam arti bahwa hukum harus senantiasa menanggapi problem tersebut.4

Hukum Islam mulai tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi Muhammad SAW. Kemudian melalui beberapa tahap sejarah, (dalam dunia Islam) muncul istilah fikih sebagai bahasa lain hukum Islam ini. Namun keadaan hukum Islam di masa Nabi belum tersusun secara sistematis. Begitupun ilmu yang secara spesifik membahas tentang fikih dengan segala permasalahannya belum ter kodifikasi dengan teratur.5

Fikih mulai hadir sebagai bidang ilmu secara sistematis pada abad ke II Hijriah di tengah era keemasan Islam. Pada masa ini, lahir beberapa tokoh fuqaha yang kelak pemikirannya sangat mendominasi dunia Islam, bahkan menjadi imam-imam besar dengan mazhab-mazhab mereka yang sangat terkenal.

Empat diantara mereka yang sering kita dengar dan baca bahkan menjadi panutan bagi kita yaitu, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali. Masing-masing menawarkan metodologi tersendiri sebagai landasan penetapan hukum terhadap Nash-Nash Al-Qur‟an dan Al-Hadits.

Dalam literatur hukum Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekontruksi, tarij, islah, dan tajdid. Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi, islah dan tajdid.

Reformasi berasal dari bahasa inggris “reformation” yang berarti membentuk atau menyusun kembali.6 Tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya agar dapat

4 Sutjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni,1983), h. 193-194 5 Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar, (: Risalah Gusti, 1995), h. 9 6 John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), h. 473

2 dipergunakan sebagaimana yang diharapkan.7 Sedangkan kata “islah” diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki.

Berbicara mengenai hukum Islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam benak pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat.8 Secara teologis hukum Islam adalah sistem hukum yang bersifat ilahiah sekaligus bersifat transenden.

Akan tetapi dilihat dari perspektif sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.9 Perubahan- perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat ini mempengaruhi konsep-konsep serta perantara-perantara hukum, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai hukum Islam terutama dalam bidang Hukum Keluarga. Sebagai sebuah fenomena sejarah, mengalami masa-masa perkembangan dan pertumbuhan para ahli sejarah hukum Islam berpendapat pada periode awal (abad VII-X M.) hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini terbukti dengan lahirnya sebuah mazhab yang masing-masing memiliki perubahan.10

Mengenai sejarah berlakunya hukum Islam di Indonesia dapat di lihat dari dua periode, yaitu (1) Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya, (2) Periode penerimaan hukum Islam oleh adat.11

Dari beberapa aspek yang muncul di dunia Islam pada abad ke-20 adanya usaha pembaharuan hukum keluarga di seluruh Negara-Negara yang mayoritas muslim. Dengan mengikuti perkembangan zaman sekaligus membuktikan bahwa

7 Louis Ma‟luf, Al-Munjid al-Abjady, (Bairut, Libanon: Dar al-Masyriq, 1986), h. 229 8 Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 42. 9 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme , (Jakarta: Paramadina, 1996, Cet.1), h. 1 10 Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazrul Rahman tentang Metodelogi Pembaruan Hukum Islam , Cet. II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h.1. 11 Prof. Dr. Said Agil Husin Al-Munawar, MA, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 11. Cet.1

3 hukum Islam bukanlah hukum yang kaku dan beku dan tidak mampu menerima perubahan.

Pembaharuan hukum keluarga pertama kali dilakukan oleh Negara Turki ketika menerbitkan “Otonom Law Of Family Rights” pada tahun 1917, kemudian disusul oleh Lebanon pada tahun 1919, Yordania pada tahun 1951 dan Syria pada tahun 1953. Banyak perbedaan yang signifikan dalam menetapkan hukum keluarga antar masing-masing Negara bahkan ada bertolak belakang Turki dan Tunisia Misalnya.12

Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri.13

Menurut Prof. Subekti hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian.14

Dalam meunifikasikan hukum keluarga pasti memiliki tujuan-tujuan yang semangat dasar nya adalah melindungi hak-hak wanita dan mengangkat derajat wanita. Hasil dari pembaruan hukum keluarga diantaranya adalah pembatasan praktik poligami, pembatasan hak talak sepihak oleh suami, keharusan pencatatan perkawinan, jaminan hak istri, dan jaminan hak anak yang orang tuanya bercerai.15

Salah satu ulama yang intents dalam mengkaji perkembangan hukum Islam yang di dalamnya terdapat kajian-kajian hukum keluarga adalah K.H. Ali Yafie beliau adalah seorang pemikir transformative pada abad milenium yang telah lama

12 Jurnal Kodifikiasia, Volume 7 No.1 Tahun 2013, Heterogeneous Perundang-undangan Hukum Perkawinan Negara-Negara Modern 13 Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), h. 4 14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1991), h. 16 15 Prof. Dr. H. M. Atho‟ Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) cet. 1 h. 11

4 menyorot fenomena tersebut. Beliau lahir dari sebuah keluarga terdidik dan memiliki kebiasaan menulis buku harian dan taat beragama, berasal dari keluarga kiai, memiliki pendidikan pesantren yang cukup, dan cucu dari Syekh Abdul Hafidz Bugis satu dari tiga ulama terkemuka Indonesia yang menjadi guru besar pertama di Masjid Al Haram, Mekah Arab Saudi.16

K.H Ali Yafie dikenal sebagai sosok ahli fikih yang dimana prinsip juang yang dipegangnya adalah melakukan reformulation hukum Islam kedalam bahasa yang dapat dicerna masyarakat masa kini, dengan pendekatan rasional, empiris dan aktual tanpa meninggalkan kaidah fikih dan usul fikih yang tertulis dalam kitab klasik, yang telah dikembangkan ulama terdahulu.17

Ali Yafie yang dilahirkan di Desa Wani Donggala Sulawesi tengah 1 September 1926 ini telah menekuni dunia pendidikan sejak usia 23 tahun, dimulai dengan menjadi guru madrasah dan SMA, lalu menjadi dosen di Universitas Muslim Indonesia di Ujung Pandang pada usia 36 tahun, selain menjadi dosen IAIN Alauddin Ujung pandang. Jabatan terakhir yang diraihnya di dunia pendidikan adalah menjadi Dekan Fakultas Usuludin IAIN Alauddin Ujung pandang (1966-1972).

Dalam kariernya yang dijalaninya sebagai pegawai Departemen Agama mulai dari menjadi Kepala Kantor Urusan Agama di Ujung Pandang, kepala Inspektorat Peradilan agama Indonesia Bagian Timur. Selain duduk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie juga menjadi salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Sebagai politisi, Ali Yafie pernah duduk sebagai anggota DPRD Prepare (1953-1958), menjadi anggota DPRGR tingkat pertama Sulawesi Selatan tahun 1962 mewakili NU.

Tahun 1963-1969 menjadi anggota DPRGRI Sulawesi Selatan. Tampilnya Ali Yafie di pentas politik nasional bermula dari muktamar ke-25 NU di Surabaya (1971) yang memilihnya menjadi Rais Suriah PB NU, seiring dengan itu pada

16 K.H Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1997), h. 20 17 Dokumentasi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta (Jl. Kertamukti No.5, Pisangan, Ciputat), h. 2

5 pemilu 1971 dia terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili NU dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan. Ali Yafie aktif di DPR hingga tahun 1987.

Adapun beberapa dari pemikiran pembaharuan hukum Islam yang dilakukan K.H Ali Yafie tentang Hukum Keluarga yaitu, “Keluarga Berencana, Tentang Usia Menikah, dan Mengasuh Anak”. Dalam pandangan beliau, kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat manusia khususnya bagi bangsa Indonesia, dapat diwujudkan tidak hanya lewat pengaturan ketentuan dan materi hukum keluarga, tetapi di samping itu harus ada rencana membentuk keluarga yang sejahtera dan itu harus dimulai dari dan oleh keluarga itu sendiri. Dalam bukunya beliau mengatakan, “kemaslahatan keluarga haruslah dijadikan patokan bagi pembentukan keluarga dan perencanaannya”.18

Berdasarkan Uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai pemikiran K.H Ali Yafie sebagai karya ilmiah dengan judul: “PEMIKIRAN K.H. ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA”.

B . Identifikasi Masalah

Masalah-Masalah yang menjadi identifikasi peneliti adalah:

1. Bagaimana Pemikiran Ali Yafie tentang masalah-masalah kontemporer di Indonesia? 2. Bagaimana metode Ali Yafie dalam mengistinbathkan hukum Islam? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Ali Yafie? 4. Bagaimana corak pemikiran Ali Yafie Dalam Hukum Keluarga?

C . Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk dapat terciptanya suatu penelitian yang baik diperlukan pembatasan masalah dan perumusan masalah yang tepat agar fokus permasalahan yang akan

18 K.H Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), h. 190

6 dibahas dalam penelitian ini tidak melebar keluar jalur koridor yang telah ditentukan.

Adapun fokus penulisan skripsi ini hanya terbatas yaitu tentang pemikiran dan metode istinbath Ali Yafie dalam masalah hukum Islam khusus nya dalam hal hukum keluarga.

2. Perumusan Masalah

Dari pemaparan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas maka fokus pembahasan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana metode Ali Yafie dalam mengistinbathkan Hukum Islam? 2. Bagaimana corak pemikiran Ali Yafie Dalam Hukum Keluarga?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a. Menjelaskan dan mendeskripsikan pandangan K.H Ali Yafie tentang beberapa permasalahan hukum keluarga. b. Menjelaskan dan mendeskripsikan metode istinbath hukum K.H Ali Yafie dalam menetapkan beberapa permasalahan hukum keluarga. 2. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: a. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan hukum Islam terutama dalam bidang hukum keluarga b. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang hukum keluarga c. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan, menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum Islam dalam bidang hukum keluarga d. Penelitian ini diharapkan menjadi pelengkap penelitian-penelitian sebelumnya

7

e. Memberikan suatu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta secara khusus, dan bagi masyarakat umum.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.19 Karenanya teknik pengumpulan datanya menggunakan data kepustakaan (Library research) yaitu upaya mengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek, dan masalah-masalah penelitian.20

2 . Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat mudah dipahami dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan dan mengklarifikasi dan secara objektif data-data yang dikaji kemudian menganalisisnya.

3 . Objek Penelitian

Objek penelitian penulis adalah K.H Ali Yafie, tetapi yang menjadi fokus penelitian adalah pemikiran pemikiran dan metode istinbath Ali Yafie dalam masalah hukum Islam khususnya dalam hal hukum keluarga.

19 Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: GajahMada University Press, 1996), h. 174. 20 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djainal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010), h. 17-18.

8

4 . Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan menggunakan data kepustakaan atau Library Research maka dari itulah teknik yang digunakan dalam pengumpulan data skripsi ini dilakukan secara literatur baik yang sifatnya primer maupun yang sifatnya sekunder.

a. Sumber data primer digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku karya K.H Ali Yafie (Menggagas Fiqh Sosial, Dari Sosial Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah) kemudian latar belakang kehidupannya serta beberapa sumber lain yang (tentunya) memiliki relevansi yang kuat dan sesuai dengan kajian penulisan ini. b. Sumber data sekunder21 dari studi ini adalah buku-buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini.

5 . Analisis Data

Metode analisis data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Deduktif yaitu metode atau cara berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum menuju kesatu pendapat yang bersifat khusus. Dalam aplikasinya adalah untuk mengungkapkan pemikiran hukum keluarga perspektif K.H Ali Yafie. b. Metode deskriptif analisis yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis dan metode ini digunakan untuk memperoleh data yang jelas dan sistematis berkaitan dengan pemikiran hukum keluarga perspektif K.H Ali Yafie.

21 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 30

9

6 . Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, serta memverifikasi bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh bukti yang kuat.22

7 . Teknik Penulisan

Teknik penulisan studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi, tesis, disertasi dan disertai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah Hukum Jakarta 2012.

F . Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai. Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yang belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.

1. Syah Ul-haq Abdul Fikri, Pemikiran Hukum Islam Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, Ma, Skripsi Program Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Skripsi ini membahas tentang kontribusi Ali terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia dengan fokus kajian kepada studi Hukum Keluarga. Sumber utama penelitian adalah buku-buku yang ditulis oleh Ali. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah tokoh atau ulama yang menjadi objek kajian berbeda dan spesifikasi terhadap hukum keluarga yang dibahas juga berbeda.

22 Sumardi Surayabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014). Cet. XVI, h. 73

10

2. Atip Purnama, Studi Komparatif Antara Pemikiran K.H Ali Yafie dan K.H Tentang Fikih Sosial, Skripsi Program Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Skripsi ini membahas tentang kontribusi pemikiran K.H Ali Yafie dan K.H Sahal Mahfudh dalam fikih sosial serta perbedaan dan persamaan dalam istinbath hukum dalam kajian fikih sosial di Indonesia. Sumber utama penelitian adalah buku-buku yang ditulis oleh kedua tokoh atau ulama tersebut. Perbedaan dengan skripsi penulis adalah penelitian ini membahas tentang pemikiran fiqih sosial K.H Ali Yafie dan K.H Sahal Mahfudh dengan di komparasikan dan topik pembahasan nya hanya fokus terhadap fikih sosial kemudian menganalisis metode istinbath hukum dan corak pemikiran kedua tokoh tersebut dalam menentukan suatu hukum terhadap fikih sosial. 3. Anwar Sadat, Kedudukan Mashlahah Perspektif K.H Ali Yafie (sebuah Annalisa tentang epistemologi hukum Islam), Jurnal Al-„Adl Vol. 6 No. 2 Juli 2013. Jurnal Ini membahas mengenai Konsep Mashlahah Pemikiran K.H Ali Yafie. Perbedaan antara penelitian penulis antara lain pertama kajian serta fokus penelitian yang berbeda, kemudian sumber data yang dipakai adalah buku-buku karya beliau khususnya, Menggagas Fikih Sosial, dan Wacana Baru Fikih Sosial 70 Tahun K.H Ali Yafie.

G . Sistematika Penulisan

BAB 1 Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang biografi K.H Ali Yafie, yang akan menelusuri hidup dan kehidupan serta aktivitas politiknya. Di samping itu juga tentang

11

karakteristik pemikiran dan pengaruhnya dalam wacana pemikiran fikih di Indonesia.

BAB III Dalam bab ini peneliti akan mengungkapkan pemikiran K.H Ali Yafie melalui metode istinbath hukum, faktor- faktor yang mempengaruhi pemikiran dan isu-isu kontemporer antara lain:

BAB IV Bab ini akan membahas tentang bagaimana Annalisa K.H Ali Yafie terhadap beberapa contoh permasalahan hukum keluarga, antara lain keluarga berencana, usia menikah, hak dan kewajiban wanita dalam islam, serta mengasuh anak.

BAB V Penutup, Kesimpulan, dan Saran

Daftar Pustaka

12

BAB II

BIOGRAFI K.H. ALI YAFIE

A. Latar Belakang Keluarga

Kajian-kajian tentang kiai, menunjukkan bahwa seorang kiai merupakan kelompok elite dari masyarakatnya, baik dari segi pemahaman keagamaan, ilmu agama ataupun dari segi sosial-ekonominya.23 Seperti kebanyakan kiai di Jawa yang tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Jawa. Sebab sebagai suatu kelompok, para kiai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa dan kebanyakan mereka memiliki sawah yang luas, namun tidak perlu berlebihan menggarapnya. “Mereka bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar, yang memiliki kedudukan tinggi di masyarakat”.24

Demikian juga Ali Yafie dalam fokus tulisan ini, ia termasuk dalam perspektif di atas. Ia berasal dari elite sosial-ekonomi dan politik atau berasal dari keluarga kiai, memiliki pendidikan Pesantren yang cukup dan cucu dari Syaikh Abdul Hafidz Bugis, satu dari tiga ulama terkemuka Indonesia yang menjadi guru besar pertama di Masjid al-Haram, Mekah-Arab Saudi.25

Juga berasal dari keluarga elite-ekonom. Karena sang kakek adalah seseorang ulama yang mempunyai bakat dagang. Di sela-sela kesibukannya menjadi guru besar di Mekah, dia masih sempat berdagang. Maka tak mengherankan kalau harta yang diwariskan nya amatlah banyak, berupa kolam ikan, sawah dan tanah tegalan serta sebuah pulau. Kalukuang yang dipenuhi ribuan pohon kelapa. Dari harta warisan itulah keluarga Muhammad Yafie (ayah Ali Yafie) hidup berkecukupan.

23 Bisri Efendi, Anuqoyah: Gerak Transformasi Sosial Madura, (Jakarta: PEM, 1985), h.51 24 Zamaksari Dhofier, Tradisi Pesantren Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 56 25 Jamal D. Rahman (et al), Wacana Baru Fiqih Sosial, 70 Tahun K.H Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), h. 20

13

Ali Yafie lahir, 1 September 1926, dari pasangan Muhammad Yafie dan Maccaya, di sebuah desa pantai bernama Wani-Donggala, Sulawesi Tengah, barangkali tempat itu yang turut mengalirkan sifat pribadinya yang berkemauan keras, tekun, dan pantang menyerah. Adapun nama Ali Yafie disandarkan kepada ayahnya, karena nama sebenarnya adalah Muhammad Ali (selanjutnya disebut Ali Yafie).

Pada tahun 1933 yaitu pada usia 7 tahun, Ali Yafie kecil mulai meniti pendidikan pesantren. Pendidikan ini ditekuninya selama10 tahun, yaitu hingga 1945. Hanya inilah pendidikan (semi) formal yang dialaminya. Dengan kata lain, Ali Yafie adalah sosok tokoh yang bentuk dan struktur dasar intelektual nya dirakit di pesantren klasik. Sifat positif pendidikan pesantren adalah sangat menekankan prinsip kesederhanaan penampilan (tawadu‟), kemandirian, disiplin dan penanaman hasrat untuk menjadi musafir pencari ilmu.26 Prinsip ini tampaknya membekas cukup dalam pada diri Ali Yafie.

B. Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan formal yang pertama dilalui adalah Vervolog School (Sekolah Dasar) yang disediakan pemerintah Belanda bagi rakyat biasa (inlader) di Parepare. Tetapi pada akhir sekolah, terjadi Perang Dunia ke II, maka muncul kesulitan belajar masyarakat Parepare. Dalam kondisi demikian sang ayah mengumpulkan anak-anak untuk tetap belajar kitab kuning di pesantrennya, yaitu Pondok Pesantren Nashrul Haq, dengan metode sorogan.

Metode sorogan itu sendiri artinya Muhammad Yafie membacakan lebih dahulu kitab yang diajarkan kemudian menerjemahkannya. Setelah itu para murid menghafal apa yang sudah diajarkan. Lalu dia menyampaikan beberapa pertanyaan untuk mengetahui apakah mereka sekadar menghafal atau juga mengerti kandungannya. Kalau ternyata mereka belum mengerti Muhammad Yafie menerangkannya lagi. Setelah hafal dan mengerti kitab yang diajarkan, dia

26 Muhaimin, “Dari Numerologi Hingga Fiqih Sosial: Menyambut 70 Tahun Prof KH Ali Yafie”, dalam Ibid., h. 73

14 menguji pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menanyakan nahwu-shorof-nya. Mereka dicoba membaca dan mengartikan sendiri kitab kuning yang telah mereka pelajari. Para santri itu dianggap lulus setelah benar-benar memahami atau menguasai apa yang telah diajarkan.

Bagi Ali Yafie, belajar kitab kuning sudah bisa diterimanya sejak usia lima tahun. Itu terjadi karena pendidikan sang kakek. Dan ia juga mendapatkan warisan beberapa kitab terutama mengenai hukum dan fikih. Sebagian besar kitab itu berbahasa Arab dan berbahasa Melayu. Ada pula yang berbahasa daerah yang oleh orang Sulawesi disebut lontar.

Ali Yafie adalah salah seorang santri juga anak yang mampu membaca kitab kuning. Karena itulah lalu Ali Yafie dikirim oleh ayahnya untuk belajar pada beberapa kiai yang terkenal di Sulawesi.

C. Guru-Guru K.H Ali Yafie

Ali Yafie adalah salah seorang santri juga anak yang mampu membaca kitab kuning. Karena itulah lalu Ali Yafie dikirim oleh ayahnya untuk belajar pada beberapa kiai yang terkenal di Sulawesi. Mereka adalah Syaikh Ali Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidraf), Syaikh Mahmu Abdul Jawad (Bone), Syaikh As‟ad Singkang, Syaikh Ahmad Bone (Ujung Pandang) dan Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue Pinrang).

Syaikh Ali Mathar adalah paman dari ahli tafsir Prof. Dr. Quraish Shihab, beliau pimpinan Pesantren Aunur Rafiq. Di sini, antara 1939-1944, Ali Yafie memperdalam ilmu fiqih, tetapi dilakukan pada siang hari dan malam hari, menyempatkan diri belajar pada Syaikh Haji Ibrahim.

Syaikh Mahmud Abdul Jawad adalah ulama Madinah yang hijrah ke Bone dan menetap di sana. Kepindahannya dari Madinah konon karena alasan politis; dia tidak setuju dengan beberapa kebijakan pemerintah Saudi Arabia.

15

Keputusan untuk pindah ke Bone dipastikan nya setelah mengetahui daerah tersebut dari orang-orang Bone yang belajar atau mengajar di Madinah, termasuk Syaikh Abdul Hafidz al-Bugis, kakek Ali Yafie.

Adapun Syaikh Ahmad Bone adalah ulama terkenal di Ujung pandang. Ali Yafie berguru kepada Syaikh Ahmad Bone di saat-saat akhir hayatnya, hingga ia wafat dalam usia 101 tahun. Selama belajar kepada Syaikh Ahmad Bone itu, Ali Yafie juga belajar kepada Syaikh As‟ad Singkang, ulama yang juga terkenal dan berwibawa di Wajo, Sulawesi Selatan.

Selanjutnya Ali Yafie belajar tafsir dan Bahasa Arab kepada Syaikh Abdurrahman Firdaus. Dari ulama itu pula ia memperoleh banyak informasi tentang isu-isu gerakan pembaharuan dalam Islam yang juga sedang marak terutama di Mesir, juga mengenal pemikiran tokoh-tokoh pembaharu lainnya seperti: Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, dan Rasyid Ridlo.

Hasrat untuk berpetualang mencari ilmu itu telah disalurkannya dengan mengunjungi berbagai tempat untuk mencari dan belajar dari guru ke guru. Ali Yafie muda melakukannya dengan berkelana dan belajar dari buku ke buku. Demikianlah maka pendidikan selanjutnya diperoleh di rumah, di masyarakat dan di mana saja ada kesempatan, atau menggunakan segala kesempatan apa saja, untuk belajar secara otodidak. Sejumlah ilmu pengetahuan umum termasuk ilmu hukum, jurnalistik, dan bahasa asing dikuasainya.

D. Kiprah dan Aktivitas K.H Ali Yafie

1. Menjadi Guru, Mubalig Jepang dan Sekretaris Umum DDI

Masa remaja Ali Yafie tidak melalui pendidikan setingkat SMP atau SMA, itu terjadi karena situasi dan kondisi yang kurang mendukung; hidup dalam kekuasaan penjajah (Belanda), sehingga ia juga harus berjuang mempertahankan diri dan bangsa dari kekuasaannya. Namun demikian ia mulai mengabdikan diri (mengajar ilmu agama) pada Madrasah Ibtidaiah (MI) di Amparita, di Sidrap yang didirikan oleh ayahnya, atas permintaan raja setempat, dengan maksud untuk

16 membantu para siswi yang ingin menambah pelajaran agama, dengan sistem klasikal (sistem sekolah modern).

Kemudian di zaman penjajahan Jepang, Ali Yafie diangkat menjadi Mubalig (juru penerang) dalam Jam‟iyyah Islamiah bentukan Jepang. Untuk itu, bersama para juru penerang lainnya, dia mengikuti penataran selama seminggu di Ujung pandang. Selama penataran, setiap pagi seluruh peserta mengikuti taiso (semacam senam) yang bagi kebanyakan peserta dirasakan sebagai sesuatu yang asing, juga harus menyatakan sumpah setia kepada Jepang dan secara bergilir lah mereka menghadap pimpinan dan menyatakan baiat.

Pada tahun 1947, Ali Yafie pindah ke Parepare. Dia diminta mengabdi di DDI (Dar-al-Da‟wah wa al-Irsyad), sebuah lembaga pendidikan yang dipelopori dua ulama, Syaikh Abdurrahman Firdaus dan KH. Abdurrahman Ambodalle. Syaikh Abdurrahman Firdaus adalah seorang pendatang dari Arab Saudi namun menetap di Sulawesi dan Ali Yafie pernah berguru kepadanya. Sedangkan KH. Abdurrahman Ambodalle adalah ulama Parepare dan ketua Umum Pengurus Besar (PB) (DDI).

Ali Yafie sendiri ketika itu dipercayai menjadi sekretaris umum DDI, jabatan yang dipangku nya hingga 1957. Tetapi sejak 1955, ia juga dipercaya menjadi Kepala Bagian Organisasi PB.DDI, yang dijabatnya hingga 1963. Kemudian antara 1963-1966, pria yang pada tahun 1951 diangkat menjadi pegawai Departemen Agama Parepare itu menjadi Ketua Umum PB. DDI dan selanjutnya, ia menjadi ketua Majelis Pembina PB.DDI.

Dari gambaran tersebut di atas, tampaknya Ali Yafie mampu membaca perubahan konstelasi politik Indonesia secara jeli dan cerdik. Jika posisi ulama pada zaman kolonial melakukan „uzlah (menyepi, memisahkan diri) sebagai strategi budaya untuk menyikapi penindasan dan kebijaksanaan politik etis saat itu, maka Ali Yafie sebaliknya berusaha berintegrasi ke dalam negara, sebagai langkah strategis untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

17

2. Memperkuat Barisan Ulama Nahdatul Ulama (NU)

Di sela-sela kesibukannya sebagai Sekretaris Umum PB.DDI, ia juga mulai aktif di Nahdatul Ulama (NU) Cabang Parepare. Jabatan pertama nya adalah ketua Suriah NU Dewan Pimpinan Cabang Parepare. Dan itulah yang mengantarkannya menjadi anggota DPRD Parepare pada tahun 1953. Dan pada tahun 1959, Ali Yafie pindah ke Ujung pandang, dan ia pun menjadi anggota DPRD Tingkat 1 Sulawesi Selatan.

Sebagai tokoh NU, ia telah mengikuti perkembangan Nudari muktamar ke muktamar, pada muktamar Surabaya inilah sudah terdengar gejala dan ke mana arah politik Indonesia akan mengalir. Sehingga menjadi tonggak penting bagi perjalanan karier Ali Yafie. Pada muktamar itu, ia terpilih sebagai Rais Suriah PBNU. Jadi pada saat yang bersamaan, ia menjabat dua suriah sekaligus; Rais Suriah Pengurus NU Wilayah Sulawesi Selatan yang akan berkarier setahun kemudian dan Rais Suriah PBNU sendiri. Maka dengan posisi strategis semacam itu, dia tidak hanya menjadi tokoh Sulawesi Selatan, melainkan juga tokoh Nasional.

Jenjang politik pun segera dimulai, tepatnya pada Pemilu 1971, NU untuk Sulawesi Selatan memperoleh 3 kursi, dari 5 kursi yang tersedia bagi pusat. NU menang dari partai politik yang lain. Wakil NU dari Ujung pandang adalah Ali Yafie dan Chalid Mawardi. Dalam hal ini, Ali Yafie bisa masuk ke pusat karena ia menjadi Rais Suriah NU wilayah Sulawesi Selatan, jabatan tertinggi di tingkat wilayah. Ini sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sedangkan Chalid Mawardi di tunjuk langsung oleh pusat.

Keputusan Ali Yafie untuk ikut serta dalam pemerintahan itu, sangat mudah dipahami. Sebab bagaimanapun, pemerintah dan budaya yang dihadapi dewasa ini, tidak lagi dikategorikan sebagai “kafir”, melainkan pemerintah Indonesia dan budaya modern. Karena itu melakukan konfrontasi terhadap pemerintah dan budaya semacam itu tidak beralasan. Seperti yang diungkapkannya;

18

“Sikap umat Islam, khususnya ulama, yang tepat dewasa ini tidak lagi konfrontasi, melainkan integrated dan fungsional, meskipun budaya kritis dan kemampuan memilih yang baik tetap harus menghiasi format strategi tersebut.27

Adapun salah satu program PBNU adalah mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan sebagai ahli suriah, Ali Yafie ditunjuk untuk menjadi komisaris, namun dia menolak, dengan pertimbangan: Pertama, dia tidak mau terlibat dalam urusan keuangan. Ia sadar bahwa dirinya tidak punya cukup kompetensi untuk menangani langsung masalah ekonomi. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa dia tidak punya kepedulian untuk mengembangkan ekonomi umat. Kedua, karena SDM yang profesional dan ahli belum tersedia.

Hal lain yang menjadi perhatian serius NU adalah program Keluarga Berencana (KB). Inilah yang menginspirasi ulama NU mendirikan Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) sejak tahun 1970-an. Dan saat itu ia dipercaya untuk memimpin lembaga tersebut, selama satu periode.

Perjalanan politik Ali Yafie di NU, ternyata harus berakhir, tepatnya pada tanggal 3 November 1991, Ali Yafie mendapat berita bahwa PBNU menerima bantuan dari pengelola Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), ternyata masalah itu bukan hanya sekedar berita, melainkan kenyataan. Maka pada tanggal 5 November 1991, melalui anaknya, ia mengirimkan surat pengunduran diri.

3. Memperkuat Barisan Kelas Menengah Muslim

Meskipun Ali Yafie tak aktif lagi di NU dan PPP, namun pengabdian kepada umat tidaklah surut. Sebagai guru besar bidang ilmu fikih, yang diberikan Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ), Jakarta, pada 12 Oktober 1991, misalnya, dia tetap mengajar di beberapa perguruan tinggi. Dia aktif pula memberikan ceramah-ceramah agama dalam beberapa kesempatan.28

27 Mastuhu, “Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie Dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia”, dalam Jamal D. Rahman, h. 268 28 Jamal D. Rahman (et al), Wacana Baru Fiqih Sosial, 70 Tahun K.H Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), h. 40

19

Kecuali itu, aktivitas Ali Yafie secara resmi sampai tahun 1996 masih memanggul setidaknya tiga jabatan: Ketua Ulama Majelis Indonesia (MUI), Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), anggota Dewan Pengawas Syari‟ah Bank Mualamah Indonesia (BMI) dan sejak se peninggalan Prof. KH Ibrahim Husein (Rektor IIQ), tanggal 11 November 2001, Ali Yafie menjabat sebagai Rektor Institut Ilmu al-Qur‟an (IIQ), Jakarta sampai sekarang, yang sebelumnya di jabat sementara oleh Dr. Hj. Maria Ulfah, MA (PJS).

Aktivitas Ali Yafie sebagai pengurus MUI dimulai, sejak periode 1985-1990. Dan 1990-1995, Ali Yafie menjabat sebagai salah satu ketua MUI. Hal tersebut merupakan jenjang karier yang cukup cepat diperolehnya. Kiprah Ali Yafie selain di MUI, adalah menjadi salah seorang Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Jabatan tersebut, menurutnya, diluar dugaan. Dia tidak pernah berharap menduduki posisi tersebut. Tetapi, ketika Habibi memintanya, dia merasa berat untuk menerima, namun tidak ada alasan pula untuk menolak. Sementara itu, kedudukan Ali Yafie sebagai ketua MUI memberi muatan strategis tersendiri bagi posisi beliau sebagai Dewan Penasehat ICMI; beliau bisa menjadi mediator antara kepentingan ICMI dan MUI.29

4. Pendirian BMI: Memperkuat Barisan Ekonomi Umat

Dalam upaya memajukan masyarakat, aspek ekonomi menduduki posisi yang sangat penting. Ekonomi umat pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, sistem ekonomi nasional, di satu sisi, dan kepedulian juga efektivitas gerakan ekonomi yang mandiri dikalangan umat, pada sisi lain. Di dalam sistem ekonomi yang sedang memusat, gerakan ekonomi kerakyatan merupakan paradigma alternatif untuk memberdayakan ekonomi umat. Tetapi untuk mewujudkan obsesi demikian terasa sangat sulit, karena gerakan ekonomi kerakyatan tidak bisa berpacu dengan ekonomi padat modal. Di sinilah diperlukan ketertiban ulama, untuk melakukan

29 Fadel Muhammad, “Kyai di Hadapan Infotronics Age”, dalam Jamal D.Rahman, Ibid, h. 373

20 kritik terhadap sistem ekonomi terpusat itu, dan turut menyosialisasikan gerakan ekonomi kerakyatan kepada masyarakat luas secara intensif.

Di samping itu, tentu saja, peran yang tidak kalah pentingnya adalah kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan secara mendasar. Bahkan, gerakan tersebut harus merumuskan dalam sistem ekonomi Indonesia. Dalam konteks inilah keterlibatan Ali Yafie dalam pendirian Bank Mualamat Indonesia (BMI). Maka tidak mengherankan jika kemudian dia dipilih menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah BMI.30 Dewan Pengawas Syariah merupakan badan khusus yang bertugas mengawasi apakah kebijakan bank sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Badan ini terdapat dalam bank-bak syarah di seluruh dunia.

Adapun pendiriannya terjadi pada 3 November 1991, yang diresmikan langsung oleh presiden Soeharto di Istana Bogor-Jawa Barat. Pendirian bank ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai pihak, terutama masyarakat Muslim Indonesia. Apalagi jika mengingat negara tetangga, seperti Malaysia bahkan Filipina, telah memiliki bank seperti itu.

Dan menurut Ali Yafie, persoalan lain yang mendasar adalah sikap umat Islam terhadap BMI sendiri. Masih banyak umat yang menganggap BMI sebagai lembaga sosial. Mereka meminta bantuan kredit tanpa proposal yang jelas. Padalah BMI adalah badan keuangan yang memiliki konsekuensi untung-rugi. Sikap inilah yang perlu diperbaharui. Di samping itu adalah sikap para direksi yang sering bertindak konservatif. Artinya, mereka sangat berhati-hati namun terkadang berlebihan dalam membuka pintu kredit. Konsekuensi dari sikap ini adalah BMI kurang gencar dan kurang ofensif keluar. Dalam hal ini, Ali Yafie berharap dan terus membangkitkan kesadaran agar umat maju, terutama dalam bidang ekonomi. Salah satu ujung tombaknya adalah BMI. Jika BMI maju, demikian Yafie, maka ekonomi umat akan semakin maju pula.

30 ,“K.H Ali Yafie, Mata Air dan Kader Baru,”, h.323.

21

5. Dalam Bidang Dakwah

Ali Yafie memandang, “wajah Islam perlu ditampilkan secara menarik di tengah-tengah kehidupan dan peradaban dewasa ini”.31 Untuk itu dakwah perlu menggunakan media-media baru seperti surat kabar, majalah, cerpen, piring hitam, kaset, film, radio, televisi, stiker, lukisan, iklan, pementasan di arena perujukan, puisi, nyanyian, musik dan media seni lainnya. Semuanya dapat mendorong dan membantu para pelaku dakwah dalam menjalankan tugasnya. Ali Yafie tidak mempersoalkan boleh tidaknya media baru itu untuk berdakwah, justru ia telah lebih jauh berfikir bagaimana sedapat mungkin pesan-pesan Islam bisa disalurkan melalui media itu.

Pemikiran-pemikiran fikih sosial Ali Yafie itu menurut Hasyim Muzadi bernilai ganda: ia merupakan indikasi ketajaman intelektual nya dalam menjawab segala persoalan sosial-keagamaan masyarakat modern, sekaligus merupakan refleksi dari pikiran dan kalbu yang bernuansa sufistik, baik secara sosial maupun intelektual, harus dipahami sebagai hasil proses dialektis antara dua kerangka tersebut.

Dia adalah figur ulama yang memiliki pandangan yang jauh ke depan, bijak dan kaya akan nuansa-nuansa baru. Dia menghadirkan sebuah pemahaman Islam secara baru, sehingga syariat Islam tidak dipahami dalam bentuk teks normatif belaka, tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks zaman, waktu, dan substansi masalah yang sedang berkembang. Bahkan sebagai ulama yang berangkat dari tradisi dan memiliki banyak khazanah klasik tetapi sekarang justru lebih maju dari pada orang yang dianggap modern. Dia diharapkan menjadi rujukan dalam merespons transformasi sosial sekarang ini. Gagasan-gagasannya, terutama yang menyangkut fikih sosial, tentu akan sangat membantu upaya memajukan umat. Penilaian-penilaian itu tidak seluruhnya objektif. Pengaruh subjektivitas tidak bisa dilepaskan, namun cukup memberi gambaran bahwa dibanding dengan orang

31 Muhaimin, “Dari Numerologi Hingga Fiqih Sosial: Menyambut 70 Tahun Prof KH Ali Yafie”, dalam Ibid., h. 86.

22 yang memiliki latar belakang yang sama, pemikiran Ali Yafie itu jauh lebih menimbulkan perhatian.

E. Karya-Karya Ali Yafie

Ali Yafie tumbuh dalam keluarga yang memiliki kebiasaan menulis buku harian. Tradisi menulis itu menurun kepada Ali Yafie. Berdasarkan spesifikasi keilmuan nya Ali Yafie adalah seorang tokoh ulama kontemporer yang ahli dalam bidang Hukum Fikih. Selain keilmuan nya beliau tuangkan dengan cara berdakwah atau ceramah yang terdokumentasi dalam pita kaset oleh Club Kajian Agama (KKA) Yayasan Paramadina, Ali Yafie juga menuangkan keilmuan nya melalui sebuah tulisan-tulisan yang tersebar dalam bentuk makalah, buku, dan artikel. Berbagai karya-karyanya yang beliau telah tuangkan dalam tulisan antara lain sebagai berikut:

1. Menggagas Fikih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1995), cet, III, Teologi Sosial, Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), cet. 1, 2. Beragama Secara Praktis Agar Hidup Lebih Bermakna, (Jakarta: Hikmah, 2002), cet. 1 buku karya Ali Yafie ini adalah sebuah penafsiran terhadap ajaran agama merupakan salah satu kunci yang menyebabkan agama selalu menemukan hubungan dan kesesuaian nya, buku karya K.H. Ali Yafie ini merupakan salah satu bentuk tanggapan seorang ulama terhadap beragam perkembangan sosial, dan beberapa tulisan beliau di Iqra‟ Media Pencerahan Umat, yang diterbitkan oleh Yayasan Berkat Rahmat Allah, Jakarta. 3. Di samping itu ada sebuah buku yang diluncurkan pada peringatan 70 Tahun KH Ali.Yafie, merupakan kumpulan tulisan dari para ulama, cendekiawan, politisi, pejabat, pengusaha dll, yang diedit oleh Jamal D. Rahman, tahun 1997.

23

BAB III

METODE ISTINBATH HUKUM ALI YAFIE

A . Pengertian Istinbath Hukum dan Sumber-Sumbernya

1. Pengertian Istinbath Hukum

Kata Istinbath adalah bahasa Arab yang akar katanya al-nabth artinya adalah air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seorang menggali sumur, menurut istilah adalah mengeluarkan atau mengambil makna pengertian dari nash dengan menggerakan segala kemampuan atau potensi yang dimiliki, dalam menyusun dan menetapkan dasar-dasar istinbath hukumnya.32 Sedangkan makna hukum adalah: jika dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu pada yang lain”.

Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoretis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan di formulas kan.33

Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum Islam, arti istinbath menjadi upaya mengeluarkan dari sumbernya, fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits-Hadits Nabi S.A.W karena itu pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli, melihat ada dua

32 Hasanuddi. AF, Anatomi Al-Qur‟an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet, 1, h. 181. 33 Ghufron A. Mas‟adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 2.

24 pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah keabsahan dan melalui pengenalan maksud syariat.34

2. Bentuk-Bentuk Istinbath Hukum

Dalil utama Fikih adalah Al-Qur‟an dan Al-Sunah. Untuk memahami teks- teks ini secara tepat, para ulama telah menyusun semantik khusus untuk keperluan istinbath hukum. Dalam kajian usul fikih para ushuliyyin membaginya kepada beberapa bagian, yaitu:

1 . Metode Bayani

Dalam khazanah usul fikih, metode ini sering disebut dengan al-qawaid al- ushulliyyah al-lughawiyyah, atau di lalat al-lafadz. Inilah yang disebut dengan metode bayani, yaitu metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam Nash dan susunan kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa arab.

Para ulama membagi pembahasan tentang makna lafaz kepada empat bagian utama, yaitu:

1. Pembahasan lafaz dari segi cakupan artinya terbagi menjadi tiga, yaitu khas (bermakna satuan-satuan tertentu), amm (lafaz yang mencakup makna seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas), dan musytarak (lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih). 2. Pembahasan lafaz dari segi artinya dalam pemakaian, terbagi menjadi empat bagian, yaitu: hakikat (lafaz yang sesuai/sejati), majas (lafaz perumpamaan/peminjaman), sharih (lafaz yang jelas) dan kinayah (lafaz yang tersembunyi maksudnya). 3. Pembahasan lafaz dari segi kemudahan dan kesulitan memahaminya, terbagi menjadi dalil yang jelas (wadlih al-dialat) yang terbagi menjadi dhahir (menghendaki makna dari lafaz itu sendiri), Nash (maknanya

34 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 110-118.

25

menunjuk kepada yang dikehendaki secara lafdzi, tidak bisa di takwil), mufassar (maknanya menunjuk kepada yang dikehendaki secara lafzi, tidak bisa di takwil) dan muhkam (menunjuk kepada suatu makna secara lafzi, tidak bisa di takwil, di tafsir, dan di naskh pada masa Rasulullah saw) dan dalil yang samar (khafi aldilalat) yang terbagi menjadi khafi (maknanya jelas, akan tetapi terdapat kekaburan dalam penerapan maknanya), muskil (sighat nya tidak menunjukkan kepada suatu makna, akan tetapi harus ada qarinah dari luar), mujmal (sighat nya tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak ada qarinah yang menjelaskannya) dan mutasyabih (sighatnya tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati pula qarinah dari luar). 4. Pembahasan lafaz dari segi cara menemukan makna yang dimaksud oleh teks terbagi menjadi ibarat al Nash (penunjukan lafaz kepada makna yang segera dapat dipahami), isyarat al-Nash (penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tidak segera di pahamkan, atau disebut mafhun al- muwafawat), dilalat al-iqtidha‟ (penunjukan lafaz kepada suatu yang tidak disebut oleh Nash tetapi pengertian Nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat).35

2 . Metode Ta‟lili

Metode ini merupakan metode yang berusaha menemukan ilat (alasan) dari mensyariatkan suatu hukum. Sehingga berdasarkan pada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang diturunkan Allah untuk mengatur perilaku manusia ada alasan logis dan hikmah yang ingin dicapainya. Sebab Allah tidak menurunkan ketentuan atau aturan tersebut secara sia-sia atau tanpa tujuan apa-apa. Secara umum tujuan tersebut adalah kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Tetapi secara lebih khusus, setiap perintah dan larangan mempunyai alasan logis dan tujuan masing-masing sebagian daripadanya disebutkan langsung di dalam

35 Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), h. 179.

26

Al-Qur‟an atau Al-Hadis. Sebagian lagi di syariat kan saja dan ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu.

Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis tersebut selalu ada. Tetapi ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia sampai saat ini. Seperti alasan logis untuk berbagai ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan logis inilah yang digunakan sebagai alat dalam metode ta‟lili. Dalam hal ini, berdasarkan kegunaan dan kedudukannya dalam mensyariatkan hukum illat dibagi menjadi illat tasyri dan illat qiyasi.

Illat tasyri adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah sesuatu keuntungan dapat diteruskan berlaku atau sudah sepantasnya berubah karena illat yang mendasarinya telah bergeser.36

Illat qiyasi adalah illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan yang berlaku terhadap suatu masalah yang dijelaskan oleh suatu dalil Nash dapat diberlakukan pada ketentuan lain yang tidak dapat dijelaskan oleh dalil Nash, karena ada kesamaan illat antara keduanya. Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama ushul adalah menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh Nash, kepada sesuatu yang sudah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh Nash karena keduanya memiliki kesamaan illat hukum.37

Yang dimaksud dengan menghubungkan dalam definisi di atas adalah suatu proses mempersamakan, yakni menyamakan hal-hal baru yang ditemukan mujtahid dan belum terangkat ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam Nash, baik Al-Qur‟an maupun al-Sunah, terhadap hal-hal yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh Nash

36 Muhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1986), h, 550. 37 Wabah al-Azuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), h. 52.

27

3 . Metode Istishlahi

Dan yang dimaksud dengan metode Istishlahi adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Dari ke empat Imam Mazhab, kiranya hanya Imam Malik yang dengan tegas menyebutkan dan menggunakan istishlah sebagai metode penalaran nya. Ulama-ulama sesudah mereka dan peneliti-peneliti zaman modern ini, kebanyakan nya berpendapat bahwa semua imam mazhab menggunakan metode istishlahi ini walaupun tidak pernah menggunakan istilah tersebut secara langsung.

Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: kategori yang pertama, sasaran-sasaran yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syariat melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia. Dalam hal ini ada tiga kategori, yaitu dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.38

Kategori kedua, persyaratan penggunaan metode istishlahi. Seperti telah kita sebutkan, bahwa metode ini digunakan ketika suatu dalil khusus tidak ditemukan. Masalah yang ingin diketahui kedudukan hukumnya, dikembalikan kepada dalil- dalil umum yang biasanya merupakan gabungan makna dari beberapa ayat Al- Qur‟an, Hadis atau keduanya.

Dengan demikian, perbedaan istilah ini tidak membawa konsekuensi perbedaan konotasi. Oleh sebab itu, pada umumnya mereka sependapat bahwa istishlah atau mashlahah al-mursalah adalah menetapkan hukum bagi suatu kejadian yang belum ada nasnya dengan memperhatikan kepentingan mashlahah, yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

38 Abdul Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri‟ al-Islami fi ma la Nashafihi, (Dar al- Qalam, 1970), h. 313

28

B . Sumber-Sumber Istinbath

Secara etimologi (bahasa) sumber berarti asal dari segala sesuatu atau tempat merujuk sesuatu. Adapun secara terminologi (istilah) dalam ilmu usul, sumber diartikan sebagai rujukan yang pokok atau utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu berupa Alquran dan Al-Sunah Sedangkan yang lainnya; Ijma, Qiyas, Ishtishhab, Istihsan, mashlahah mursalah, Saddu zdara'i, Urf, istihsan, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakan dan ada pula yang tidak menggunakan.

Menurut Ali Yafie, sumber pokok hukum Islam adalah wahyu: baik yang tertulis (Al-Qur‟an) maupun yang tidak tertulis (Sunah). Materi-materi hukum terdapat dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu terutama setelah periode tasyrih (zaman setelah nabi Muhammad SAW), dalam penerapannya diperlukan upaya penalaran.39

Menurut Ali Yafie, garis besar hukum Islam ada tiga bidang dengan tiga metode penalaran. Pertama, ahkam Syar‟iyah i‟tiqadiyah, Kedua, ahkam syar‟iyah khuluqiyah, dan yang Ketiga, ahkam syar‟iyah „amaliyah.

1 . Al-Qur‟an

Secara bahasa, lafal Qur‟an sama dengan qira‟at. Ia merupakan bentuk masdar menurut wazn (pola) fu‟lan, seperti hanya lafal ghufran dan syukran. Bentuk kata kerjanya adalah qara‟at yang berarti, yaitu: menghimpun dan mengumpulkan. Dengan demikian, lafal Qur‟an dan qira‟at secara bahasa berarti, menghimpun dan memadukan sebagian huruf-huruf dan kata-kata dengan sebagian lainnya.40

Al-Qur‟an merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya tergolong salah satu rukun iman. Ia adalah kalam Allah yang diturunkan kepada

39 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Ssial, dari Sosial Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhwah, (Bandung: Mizan, 1997), h. 83 40 Manna al-Qaththan, Mabasih fi „Ulum al-Qur‟an (Mesir: Tsa al-Babi al-Halabi), Juz. 1, h. 14.

29

Nabi Muhammad SAW, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai dengan akhir surat Al-Nas.41

Berkaitan dengan wurudnya al-Qur‟an, kaum muslimin sepakat bahwa kitab suci ini sampai kepada umat Islam secara mutawatir. Karena itu, ulama sepakat bahwa dari segi wurudnya al-Qura‟an adalah qat‟iy tanpa diragukan sedikitpun, karena kitab suci ini berasal dari Allah SWT. Umat Islam sepakat, bahwa al- Qur‟an merupakan sumber hukum serta menjadi hujah pertama beristidlal dalam menyelesaikan berbagai masalah. Di dalamnya berisi ketentuan-ketentuan syariat secara umum.42

Di samping itu mereka juga menyatakan, bahwa al-Qur‟an diturunkan oleh Allah SWT sebagai mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW. Pernyataan mereka seperti ini, mau tidak mau berkaitan dengan al-Qur‟an dalam pengertian kalam lafzhi. Dengan demikian, mereka tidak hanya cenderung berpendirian bahwa, al- Qur‟an itu kalam Allah dalam arti kalam nafsi, tetapi juga mengakuinya dalam arti kalam lafzhi.43

Menurut Ali Yafie, kehadiran Al-Qur‟an di tengah-tengah umat manusia, pada prinsipnya adalah untuk memperkenalkan Allah SWT, menyampaikan pesan dan memberikan petunjuk sebagai perwujudan nyata dari rahmat-Nya yang diberikan kepada manusia.44

Pada periode awal, kehadiran Al-Qur‟an mengundang banyak reaksi, terutama bagi masyarakat jahiliah yang pertama kali bersentuhan dengan Al-Qur‟an dengan memberikan reaksi yang begitu tajam. Dalam menyikapi fenomena itu, Ali Yafie

41 Muhammad „Abd al-„Azhim al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi‟Ulum al-Qur‟an, (Mesir: „Isa al-Babi al-Halabi), Juz ke-1, h. 19. 42 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Dar al Kuwaytiyyah, 1986), h. 21. 43 Hasanuddin. AF, Anatomi Al-Qur‟an: Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur‟an, (Jakara: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. 1, h. 21 44 Ali Yafie, “Apakah Al-Qur‟an itu?: Mengapa Dibutuhkan Tafsir Terhadap al- Qur‟an,” makalah disampaikan di Yayasan Paramadina –Fahma, Jakarta, Sabtu 16 Juni 1990 yang kemudian ditulis ulang dalam buku Menggagas Fiqih Ssial, dari Sosial Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhwah, (Bandung: Mizan, 1997), h. 11

30 berpendapat, bahwa “ Sederetan reaksi negatif yang muncul harus dihadapi dan dijawab oleh Al-Qur‟an itu sendiri”.

Pada perjalanan berikutnya beberapa faktor baru bermunculan. Antara lain meluasnya masyarakat. Islam dan semakin meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor bahasa dan budaya yang berbeda, sehingga terjadi pergeseran nilai yang mengakibatkan bagi generasi-generasi berikutnya semakin sulit untuk memahami Al-Qur‟an, dibandingkan generasi sebelumnya.

Untuk menghadapi kenyataan itu, Ali Yafie, berpendapat bahwa: Hendaknya para ulama sebagai pengemban amanat penerus ajaran Al-Qur‟an melakukan berbagai upaya. Antara lain pencatatan autentik interpretasi ayat-ayat Al-Qur‟an, yang hal ini menjadi cikal bakal tumbuhnya tafsir Al-Qur‟an. Sesuai dengan kebutuhan umat ketika itu, cara penafsiran Al-Qur‟an pun masih sangat terbatas, terutama untuk mengatasi perkembangan bahasa yang cenderung merugikan kemurnian bahasa Al-Qur‟an.

Di samping itu, perkembangan ilmu hukum Islam (Fikih) yang sangat pesat mendorong pada pengutamaan ayat-ayat ahkam dalam upaya penafsiran itu. Metode penafsiran Al-Qur‟an mengalami perkembangan dan kemajuan mengikuti irama perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu agama lainnya yang semakin menjurus kepada spesialisasi bidang-bidang keilmuan. Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu tafsir. Tetapi di sisi lain berdampak negatif terhadap keutuhan ajaran al-Qur‟an. Artinya, pemahaman terhadap ilmu tafsir semakin mendalam tetapi untuk mendapatkan keutuhan ajaran Al-Qur‟an tidak mudah didapatkan.

Menurut Ali Yafie, untuk memahami Al-Qur‟an secara utuh, dibutuhkan metode penafsiran secara menyeluruh (tafsir syamil) yakni pengelompokan ayat- ayat Al-Qur‟an yang telah dipandang masuk pada tema-tema yang dimaksud. Upaya ini dapat disebut tafsir maudhu‟i.

Adapun langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode tafsir maudhu‟i adalah sebagai berikut: Pertama, menetapkan masalah

31 yang akan dibahas (topik). Masalah yang akan dibahas adalah persoalan yang menyentuh dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Ini berarti bahwa terlebih dahulu hendaknya mempelajari problem-problem masyarakat atau ganjalan- ganjalan pemikiran-pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban al- Qur‟an. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut, dengan menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul nya. Ketiga, memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing. Keempat, melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkomperomikan antara yang umum dan yang khusus, mutlak dan terikat, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.

Atas dasar pemikiran itulah, Ali Yafie coba mencari tema-tema pokok yang dapat mengantarkan kepada pemahaman al-Qur‟an yang utuh. Tema-tema tersebut adalah sebagai berikut: pertama, penegasan dan penguatan eksistensi wahyu, kedua, pengenalan masalah ketuhanan, ketiga, pandangan terhadap alam, keempat, pengenalan manusia dengan kemanusiaan, dan kelima, pandangan terhadap masalah kehidupan.45

Selain dengan metode tafsir maudhu‟i, dalam rangka menginterpretasikan hukum-hukum yang telah tertera dalam Al-Qur‟an, Ali Yafie tidak menafikan adanya metode nasikh-mansukh. Istilah nasikh-mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologis, kata ini memiliki beberapa pengertian, yaitu pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu Hasyim, pengertian kata hakiki dari kata ini ialah “penghapusan”, dan pengertian majazinya ialah “pemindahan atau pengalihan”. Dengan demikian, nasikh mansukh dapat diramu

45 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 33.

32 untuk dijadikan alat yang mutakhir dalam rangka menemukan esensi hukum yang tertera dalam al-Qur‟an.

Dalam hal ini, Ali Yafie berpendapat bahwa upaya untuk melakukan interpretasi hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an, terlebih dahulu dilihat antara ayat dengan ayat, lalu ayat dengan hadis, jika terjadi pada hadis, pertama kali yang dilakukan adalah antara hadis dengan hadis. Setelah itu baru beranjak menuju ragam interpretasi lain yang dilakukan secara serempak.46

Semua segi yang dapat membantu, memperjelas apa sesungguhnya maksud dari suatu ketentuan hukum. Maka harus disorot dan didalami pula dari segi bahasa, proses terjadinya hubungan dengan ketentuan hukum yang lain yang sudah ada dan sebagainya. Kita masih ditemukan kontradiktif pada ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain, maka harus diupayakan mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (Jami‟) atau memperkuat salah satunya (tarjih).

Jika masih belum teratasi, maka pada tingkat ini kemungkinan adanya nasikh- mansukh antara kedua ketentuan hukum itu. Kuncinya terletak pada soal historis yang menyangkut kedua ketentuan hukum itu. Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi hadis turut berbicara pada tingkat ini. Dengan demikian nyata lah bahwa masalah nasikh-mansukh itu berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi hukum yang ada dalam al-Qur‟an.

2 . Al-Sunah

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa sumber hukum kedua setelah Al-Qur‟an adalah Al-Sunah, yakni segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW selain Al-Qur‟an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara‟.47 Demikian menurut para ulama Usul. Memang sebagaimana dinyatakan Adib Saleh, bahwa istilah al-Sunah sering kali

46 Sofyan A. Kumba dan Muhammadiyah Amin (ed.), KH. Ali Yafie, Jati Diri Tempaan Fiqih, (Jakarta: FKMPASS, 2001), h. 428. 47 Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits Ulumuhu Watathawuruhu, (Dar al-Fikr, 1975), h. 19

33 dipergunakan untuk ketetapan Rasulullah mengenai hukum Islam, bahkan termasuk dari para sahabatnya.

Sunah menurut Ali Yafie, adalah ucapan, perbuatan, perilaku, dan restu Nabi Muhammad SAW, yang kesemuanya mencerminkan keteladanan yang diberikan beliau. Namun, al-sunah tidak hanya terbatas keberadaan dan kehadiran fisik Rasulullah saw, melainkan juga pedoman yang diberikan Rasulullah saw, baik itu Al-Qur‟an maupun pesan beliau sendiri.48

Selanjutnya, sistematika penulisan dan penyampaian al-Sunah nabi mempunyai ciri khas yaitu dengan adanya sanad (saluran dan sumber berita) sangat mempengaruhi terhadap sistematika penulisan ilmu lainnya seperti, fikih dan tarikh. Di sisi lain, tidak dapat dihindari adanya penyusupan dalam upaya registrasi itu dengan munculnya hadis-hadis buatan. Perkembangan itu sangat merepotkan para ulama ahli hadis dalam upaya menyeleksi dan membersihkan al- sunah dari wadh‟ itu.

Dari kenyataan diatas, Ali Yafie memberikan solusi dengan menawarkan dua tokoh yang sangat berperan besar dalam kelestarian al-sunah itu. Yaitu Imam Syafii yang meluruskan pengertian al-sunah yang menyimpang dan meletakan dasar-dasar ilmiah untuk mengukuhkan posisi al-sunah itu. Dan Imam Bukhari yang telah berhasil menetapkan norma-norma seleksi yang membentengi kemurniaan al-sunah nabi.49

Dari ke dua tokoh tersebut oleh Ali Yafie dijadikan sandaran dalam menyikapi al-sunah, akan tetapi dalam memilih hadis Nabi, Ali Yafie sendiri banyak mempergunakan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari. Karena Imam Bukhari dalam memilih hadis adalah yang perawi nya terkenal dan kuat ingatannya. Ia tidak memasukkan kedalam kitabnya kecuali hadis-hadis yang

48 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan dan Kemanusiaan, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 143. 49 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 49.

34 bersambung sanad nya melalui para sahabat sampai kepada Rasul, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan.

3 . Ijma‟

Sumber hukum ketiga setelah al-Sunah adalah ijma‟. Ijma‟ yaitu kesepakatan hukum dari para mujtahid pengikut Muhammad Rasulullah SAW setelah beliau wafat pada suatu waktu tertentu. Melihat definisi ini, ijma‟ itu bisa dikatakan benar kalau semua mujtahid pada waktu itu memberikan pendapatnya, baik dengan perkataan, sikap, maupun perbuatan.50

Menurut Al-Ghazali, ijma‟ adalah kata sepakat (ittifaq) umat Muhammad saw, khusus mengenai suatu persoalan keagamaan. Menurut Al-Syaukani, ijma‟ kata sepakat para mujtahidin dari umat Muhammad saw. Setelah wafatnya, pada masa tertentu tentang suatu persoalan. Menurut Ibnu Hazm, ijma‟ itu ada dua macam: Pertama, semua hal yang tidak diragukan lagi keberadaannya oleh setiap Muslim dan bahwa siapa saja yang tidak berpendapat demikian maka dia tidak tergolong muslim (seperti kesaksian tentang tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya, tentang kewajiban salat lima waktu, tentang melarang memakan bangkai, tentang keberadaan Al-Qur‟an, dan sebagainya). Kesemuanya itu merupakan kesepakatan seluruh umat islam. Kedua, sesuatu (perbuatan Nabi) yang disaksikan oleh seluruh sahabat Nabi, atau diyakini bahwa yang tidak menyaksikan hal itu sudah mengetahuinya demikian.

Dari semua definisi yang telah penulis paparkan memperlihatkan beberapa unsur yang mendasari berbagai definisi tersebut. Di antaranya yang terpenting ialah: (a) kata sepakat (ittifaq), (b) dari siapa saja kata sepakat itu? (c) dalam hal apa terjadinya kata sepakat itu?, (d) kapan terjadinya kata sepakat itu?. 51

50 Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), h. 43. 51 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 69.

35

Menurut Ali Yafie, ada empat unsur kata sepakat itu: unsur pertama adalah kesepakatan atau mufakat yang mencakup kegiatan aktif seperti ucapan dan perbuatan atau kegiatan pasif seperti diam atau restu dan sikap tidak membantah, unsur kedua dari kata siapa kata sepakat itu menurut definisi diatas ialah umat Muhammad saw, unsur ketiga sebagian pendapat menentukan kaitannya hanya dengan persoalan urusan agama, tetapi sebagian lain menentukan kaitan ijma‟ itu dengan semua persoalan, apakah itu urusan agama atau bukan urusan agama, unsur yang ke empat menyangkut soal waktu yakni adanya batas waktu yang diperkirakan, misalnya batas waktu generasi sahabat Nabi atau generasi tabiin dan seterusnya. 52

Ijma‟ sebagai sumber hukum telah disetujui oleh para ulama menduduki urutan ketiga sebagai sumber hukum setelah Al-Qur‟an dan Sunah Nabi SAW. Akan tetapi keberadaan ijma‟ bukanlah merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan bersandar kepada dua sumber sebelumnya. Oleh sebab itu, setiap ijma‟ yang dilahirkan haruslah terlebih dahulu mencari sandarannya kepada Al-Qur‟an dan Sunah. Kaum muslimin mengakui ke hujjahan ijma‟. Dalil yang dipakai sebagai sandaran pendirian tersebut, antara lain Surat Al-Nisa/4: 59.53

Jadi, dengan ijma‟ itu, kesatuan hukum dan kepastian hukum dapat terjamin, dan dengan Sunah dapat terjamin kesinambungan dan kelestarian syar‟iyah. Hukum tertulis dari syar‟iyah, yaitu yang termaktub dalam al-Qur‟an, dapat terjabarkan (diterapkan) dengan Sunah dan Ijtihad, sebagaimana ia akan mengikat umat dalam pemberlakuan nya dengan jalan ijma‟.

4 . Qiyas

Secara etimologi, qiyas berasal dari bahasa Arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Dalam pengertian terminologies menurut ulama ahli usul, qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya dalam Al-Qur‟an dan Al-

52 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: h. 70. 53 Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Kitab, 1978), h. 117

36

Hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya dengan nash.54

Menurut Imam Syafii qiyas adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, bail Al-Qur‟an dan Al-Sunah karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib dicari. Al-Qiyas dapa ditinjau dari dua segi: Pertama bahwa suatu peristiwa baru (far‟) sama betul dengan makna asl, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua bahwa sesuatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada beberapa asl yang paling utama dan lebih banyak kemiripan nya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku al-qiyas.55 Bertolak dari beberapa acuan tersebut penulis jadikan bahan untuk mencoba mendeskripsikan definisi al-qiyas menurut Imam Syafii sebagai berikut: menghubungkan sesuatu yang tak disebutkan Nash kepada sesuatu yang disebutkan hukumnya karena serupa maknanya, makna hukum yang disebutkan Nash.

Al-qiyas terbentuk oleh beberapa unsur yang saling berkaitan. Unsur-unsur al-qiyas di kalangan ulama usul dikenal dengan sebutan arkan al-qiyas yang terdiri dari: (1) Asl, (2) Hukum Asl, (3) Far‟, (4) Illah.

5 . Istihsan

Istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama usul fikih, istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar Dalil syara‟. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A. Hanafi bahwa istihsan adalah meninggalkan hukum suatu hal atau peristiwa yang berdasarkan kepada dalil syara‟ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada hukum syara‟ pula

54 Dede Ahmad Ghzali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: PT. Remaja Rosydikarya, Februari 2015), Cet. 1, h. 146. 55 Dr. H. Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. 1, h. 105.

37 karena ada dalil syara‟ yang mengharuskan peninggalan tersebut. Dalil syara‟ yang terakhir ini yang menjadi sandaran istihsan.56

Imam Syafii dengan tegas menolak istihsan karena di pandangannya sebagai penetapan hukum berdasarkan keinginan mencari yang enak, tanpa rujukan pada Nash atau keluar dari Nash. Penolakan tersebut didasarkan pada 8 argumentasi yang dikemukakannya secara terpisah dalam kitabnya al-Risalah halaman 14, 219, dan 220, dalam al-Umm jilid VI halaman 103, 205, dan 208, dan kemudiaan dalam Al-Umm jilid VII halaman 223, 271, dan 278. Jika ada bentuk istihsan yang bertopang pada dalil maka dalam pandangan Imam Syafii bahwa itu bukan istihsan. 57

C . Maslahah Sebagai Metode Istinbath Hukum

Pada akhir abad ke-20 yang lalu, pembicaraan tentang aktualisasi hukum Islam banyak dibicarakan oleh para ahli hukum Islam, bahkan juga oleh para ahli hukum non-Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para ahli dan cendekiawan hukum Islam bermaksud mengkaji hukum Islam itu dalam konteks kekinian, hingga hukum Islam itu bisa diandalkan pada masa kini sebagaimana perumusan oleh para mujtahid pada waktu itu demi kemaslahatan umat Islam.

Kembali ke topik pembahasan kita tentang maslahah. Kata maslahah berasal dari kata al-salah yang berarti kebaikan atau manfaat. Kata maslahah berbentuk mufrad. Sedangkan jamaknya adalah al-masalih. Kata al-maslahah menunjukkan pengertian tentang sesuatu yang banyak kebaikan dan manfaatnya.58

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “mashlahat” artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, atau guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sedangkan kata

56 Dede Ahmad Ghzali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, (Bandung: PT. Remaja Rosydikarya, Februari 2015), Cet. 1, h. 147. 57 Dr. H. Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. 1, h. 184. 58 Ahmad Mukri Aji, Urugensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Illahi , November 2012), Cet. II, h. 43.

38 manfaat berarti guna atau faedah dan diartikan pula sebagai kebalikan/lawan dari kata mudarat yang artinya rugi atau buruk.59

Menurut Muhammad Musthafa Syalaby, bahwasanya maslahah adalah keadaan sesuatu dalam bentuknya yang sempurna ditinjau dari segi peruntukan sesuatu tersebut. Menurut „Izz ad-Din bin Abdul-Salam maslahah dan mafsadah sering dimaksudkan dengan baik dan buruk, manfaat dan mudarat, bagus dan jelek, bermanfaat dan bagus sebab semua maslahah itu baik, sedangkan mafsadah itu semuanya buruk, membahayakan dan tidak baik untuk manusia.60

Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat atau keuntungan dan menjauhkan kerusakan yang pada hakikatnya adalah memelihara tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum.61

Ditinjau dari segi kekuatannya sebagai hujah maslahah, jumhur ulama membagi maslahah menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Mashlahah Dharuriyyat, kemaslahatan atau kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan dasar (primer) dalam kehidupan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, dia pasti akan menderita dan kehidupannya akan menjadi kacau balau. Kepentingan atau kebutuhan primer ini terdiri dari lima hal, yakni jiwa, akal, keturunan, harta dan agama. 2. Mashlahah Hajiyyah, kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka penjabaran wujud konkret kebutuhan primer (dharuriyyah). Keberadaan kemaslahatan sekunder (hajiyyah) ini dimaksudkan untuk memudahkan dan melancarkan urusan- urusan manusia dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Dan untuk mewujudkan kemaslahatan demikian ini, diberikan beberapa dispensasi untuk menjamin kelonggaran pelaksanaan hal-hal

59 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet. 2, h. 634. 60 Izz ad-Din bin Abdul-Salam, Qawa‟idal Ahkam fiMasalih al Anam, (Cairo: Maktabah al Kulliyat al-Azhariyyah, 1994), Juz 1, h, 5. 61 Al-Ghazali, al Mustafa min „ilm al-Ushul, (Bairut: Dar al Fikr, tt), Juz. 1, h. 286, lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Jilid 2, h.324.

39

tertentu yang sudah diisyaratkan guna menghindari kesulitan-kesulitan yang mengarah kepada kemudaratan (bahaya atau kerugian). Maka kemaslahatan jenis sekunder (hajiyyat) ini sangat erat kaitannya dengan kemaslahatan jenis primer (dharuriyyah) di atas, bahkan sewaktu-waktu ia dapat di sejajaran kan dengan kemaslahatan jenis pertama, sesuai dengan kaidah al-hajat-u tanzilu manzilat-ad-dharurah. 3. Mashlahah Tahsiniyah, kepentingan manusia yang merupakan kebutuhan pelengkap untuk menjamin tegaknya norma-norma moral dan etika sesuai dengan tingkat kebudayaan lingkungannya, sebagai perwujudan kehidupan yang baik, bersih, sehat, tertib, nyaman, sejahtera, dan bahagia lahir dan batin.

Dalam membicarakan mashlahah sebagai dalil hukum, pada umum nya ulama terlebih dahulu meninjau dari segi ada tidaknya kesaksian syarak terhadapnya, baik kesaksian tersebut bersifat mengakuinya sebagai mashlahah ataupun tidak. Ketentuan syarak yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat. Jumhur membagi ketentuan-ketentuan syarak menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan muamalat.

Pembagian ini didasarkan atas tujuan al-syara‟ dalam menetapkan hukum bidang ibadah dan muamalat. Penetapan hukum di bidang ibadah dimaksudkan menjadi hak Allah SWT, sedangkan muamalat merupakan hak manusia. Berkaitan dengan al-mashlahah sebagai dalil hukum syarak, jumhur ulama sepakat mensyaratkan bahwa sebagai dalil hukum, ruang lingkup mashlahah hanya menjangkau hal-hal yang berbeda diluar masalah-masalah ibadah.

Sedang yang menjalani pedoman dalam hal-hal yang berbeda dalam bidang ibadah adalah al-Nash, baik melalui Al-Qur‟an maupun al-Sunah.62

62 Izz ad-Din bin Abdul-Salam, Qawa‟idal Ahkam fiMasalih al Anam, (Cairo: Maktabah al Kulliyat al-Azhariyyah, 1994), Vol. 2, h, 72

40

D . Penggunaan Metode Mashlahah Oleh K.H Ali Yafie

Menurut Ali Yafie, “mashlahah atau kemaslahatan adalah segala sesuatu yang menjadi hajat hidup, dibutuhkan dan menjadi kepentingan berguna dan mendatangkan kebaikan bagi seorang manusia.63 Kemaslahatan dikenal dalam ajaran fikih sebagai pola umum atau prinsip dasar yang menjiwai seluruh kawasan fikih yang dijabarkan dan diterapkan dalam bagian-bagiannya secara terinci. Karena mashlahah pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari sendi dasar rahman (kasih sayang) yang melandasi dan menandai syariat Nabi Muhammad SAW.

Konsep mashlahah yang ditawarkan Ali Yafie adalah seperti yang disimpulkan oleh Imam al-Ghazali, Imam Syatibbi dan Imam Amidi yang menyebutkan bahwa kemaslahatan itu berkisar pada dua hal pokok, yaitu jalb al manfaat (mewujudkan manfaat atau kegunaan), dan daf „al-madhdrah (menghindarkan kemelaratan). Atas dasar rumus tersebut maka kemaslahatan digolongkan dalam tiga garis besar, yaitu:

Pertama, al-dharuriyat, yaitu kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan dasar baginya dalam kehidupan. Jika tidak terpenuhi pasti akan menderita dan melarat, dan kehidupannya akan menjadi kacau balau. Kepentingan atau kebutuhan yang demikian itu, berkisar lima hal, yakni jiwa raga, akal pikiran, nasab keturunan, harta milik dan agama.

Dengan kata lain, kebutuhan dasar itu meliputi keselamatan diri (jiwa, raga dan kehormatan). Keselamatan akal pikiran, keselamatan nasab dan keturunan, keselamatan harta milik dan keselamatan beragama (menganut keyakinan dan melaksanakan ibadah) kelima hal tersebut dikenal dengan istilah al-kulliyat alkhams, yang berupa ketentuan umum sekaligus menjadi standar bagi hak-hak manusia yang bersifat asasi.64

63 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 148 64 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. Ke-3, h. 126

41

Ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan diri (jiwa, raga, dan kehormatan) mengisyaratkan dengan jelas adanya hak hidup, yang berarti bahwa manusia tidak berhak dibunuh, dilukai, dianiaya dinodai nama baiknya dan seterusnya.

Selanjutnya, ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan akal pikiran, mengisyaratkan adanya hak berpikir bebas, hak untuk tahu dan memperoleh ilmu, hak untuk membebaskan diri dari kebodohan (termasuk buta huruf), hak menyatakan pendapat, hak dimintai pendapat (bermusyawarah) yang kesemuanya itu bertitik tolak dari keselamatan kondisi akal pikiran itu sendiri yang tetap harus terpelihara kesehatan akalnya, tidak gila atau mabuk.

Demikian juga ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan nasab keturunan yang mengisyaratkan adanya hak berumah tangga hak kebapakan, hak ke ibu, hak anak, hak nafkah keluarga dan seterusnya. Demikian pula ketentuan disyariatkannya perlindungan keselamatan harta milik. Jelas mengisyaratkan diakuinya hak kepemilikan hak benda, hak kekayaan, hak usaha, hak dagang dan seterusnya. Terakhir sebagai kunci dari segalanya, ialah ketentuan disyariatkannya perlindungan atas keselamatan menganut agama yang diyakini dan beribadah menurut keyakinannya. Mengisyaratkan nya diakuinya hak beragama, hak berdakwah dan hak mempertahankan agamanya.

Perwujudan hak-hak yang disinggung diatas berpangkat pada ketentuan umum yang disebut al-kulliyat al-khamsi sebagaimana dijelaskan di atas. Dan wujud pertimbangan bagi hak-hak tersebut di atas dituangkan dalam bentuk hudud yang dibahas dalam rub„ul jindyat dari ilmu fikih. Dengan kata lain, bagian keempat (keselamatan harta milik) dari al-kulliyat al-khams itu memerinci upaya- upaya untuk menata pengamanan manusia dan masyarakatnya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentraman nya dalam kehidupan.

Kedua, al-hajjiyat yaitu kepentingan manusia yang menjadi kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-harinya dalam rangka penjabaran wujud konkrit kemaslahatan dasar (dharuriyyat) yang telah diuraikan di atas. Adanya

42 kemaslahatan hajjiyat ini demi memudahkan dan melancarkan urusan-urusan manusia dalam hubungannya dengan Khalik-nya dan dengan sesamanya.

Dari pengertian di atas dapat tergambar betapa luasnya kawasan kemaslahatan hajjiyat itu, bila dikaitkan dengan watak peradaban manusia yang terus berkembang dan maju. Dalam hubungan ini, sebagian dari para ahli hukum Islam (Fikih) abad sekarang beranggapan bahwa semua hal yang dikenal dalam kehidupan modern ini, seperti hak-hak asasi manusia (yang dirumuskan oleh PBB) dan lain sebagainya dapat tertampung dan dikembangkan dalam rumus kemaslahatan hajjiyat.

Ketiga, al-tashniyat/al-kamaliyat yaitu kepentingan manusia yang merupakan kebutuhan pelengkap untuk menjamin tegaknya norma-norma moral dan kesopanan sesuai dengan tingkat kebudayaan lingkungannya, dalam rangka mewujudkan kehidupan yang baik, bersih sehat, tertib, nyaman, sejahtera, dan bahagia lahir-batin. Dengan menelusuri ajaran Islam di bidang kemaslahatan di atas menunjukkan betapa manusiawi nya ajaran Islam: bahwa Islam menginginkan agar manusia memiliki martabat yang terhormat dan tetap mendapat jaminan dan perlindungan sesuai dengan asas al karamah al-insaniyah yang diberikan kepadanya. Karena ajaran Islam menginginkan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan dalam kehidupan manusia.

Maka ini berarti ajaran Islam menghendaki supaya manusia mengalami dan menikmati suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia terhindar dari rasa takut dan kalut, baik di alam dunia ini maupun seterusnya di akhirat kelak.65

Dari uraian diatas, jelas bahwa parameter kemaslahatan menurut Ali Yafie adalah terpenuhinya kebutuhan manusia atau masyarakat umum. Jadi kemaslahatan dalam pengertian “sosial-objektif”, Ali Yafie memang tidak menjadikan maslahat sebagai salah satu sumber hukum sebagaimana al-Syathibi, apalagi meletakan mashlahat di atas wahyu seperti yang dikemukakan Najmuddin.

65 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 149-150.

43

Ath-Thufi Ali Yafie hanya menyatakan, bahwa mashlahat merupakan tujuan syariat, yang dianggap sebagai pola umum atau prinsip dasar yang menjiwai seluruh wilayah fikih. Namun seperti bisa kita simpulkan bahwa Ali Yafie hanya ingin berhati-hati dalam merumuskan hukum terutama jika pemikiran tersebut menjadi konsumsi masyarakat awam.

D . Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemikiran Ali Yafie

1 Dalam perkembangan intelektual Ali Yafie, tentu tidak terlepas peran sang kakek yaitu Syaikh Abdul Hafidz Bugis yang telah mewariskan keilmuan nya terhadap sang Ayah (Muhammad Yafie), sehingga Muhammad Yafie mampu mendidik anaknya yaitu Ali Yafie dengan ketat dan dengan segala keilmuan nya di dalam ruang lingkup pesantren. Selain itu ada dua guru yang berperan penting dan berpengaruh dalam hidupnya yaitu: Pertama, Syaikh Ali Mathar, beliau adalah seorang guru Hadis dan Usul Fikih di pesantren Aenur Rafiq. Di sini antara 1939-1944 Ali Yafie memperdalam ilmu Fikih. Kedua, Syaikh Abdurrahman Firdaus, Ali Yafie belajar tafsir dan Bahasa Arab. Dari ulama itu pula ia memperoleh banyak informasi- informasi tentang isu-isu gerakan pembaharuan dalam Islam diantaranya, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, dan Rasyid Ridlo. 2 Selain faktor yang telah penulis sebutkan di atas, faktor yang mempengaruhi pemikiran serta membangkitkan struktur dasar intelektual nya adalah pendidikannya yang dirakit dalam pesantren. Dengan menekankan prinsip kesederhanaan, penampilan (tawadu), kemandirian, disiplin dan penanaman hasrat untuk menjadi musafir pencari ilmu.

44

BAB IV

PANDANGAN K.H ALI YAFIE DALAM HUKUM KELUARGA

A . Hukum Keluarga

1. Pengertian Hukum Keluarga

Islam mempunyai suatu karakter sosial yang mendasar, dan keluarga adalah inti masyarakatnya. Islam cenderung memandang keluarga sebagai sesuatu yang mutlak baik dan mendekati suci. Di samping memberikan ketentraman dan dukungan timbal balik dan saling pengertian antara suami istri, fungsi yang jelas dari keluarga adalah memberikan saluran kultural dan legal yang dapat diterima dalam memuaskan naluri seksual maupun untuk membesarkan anak sebagai generasi yang baru.

Sebelum penulis menjelaskan secara khusus tentang pengertian hukum keluarga, penulis akan menjelaskan pengertian hukum dan keluarga. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan- peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.66

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan “Keluarga” terdiri dari ibu, bapak, dan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang mendasar di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah instansi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tenteram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya. Suatu ikatan

66 Prof. H. Muhammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 43.

45 hidup yang didasarkan karena terjadinya perkawinan, juga bisa disebabkan karena persusuan atau muncul perilaku pengasuhan.67

Menurut Saepudin Jahar, keluarga adalah sanak saudara, kaum kerabat, kaum saudara atau satuan kekerabatan yang mendasar dalam masyarakat. Sementara kekeluargaan adalah perihal yang bersifat atau berciri keluarga/hal keluarga/ berkait dengan keluarga atau hubungan sebagai anggota dalam keluarga.68

Hammudah Abdul „Ati mendefinisikan keluarga sebagai suatu struktur tertentu yang menganut prinsip-prinsip yang berhubungan satu dengan yang lainnya melalui ikatan darah atau hubungan perkawinan. Hubungan ini berjalan sangat alami untuk menciptakan “tujuan bersama” yang diatur oleh negara, hukum dan dihayati oleh individu.

Dengan demikian, keluarga adalah suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan ke orangtuaan dan pemeliharaan anak.

Ulama dan pakar memberikan beberapa pengertian tentang hukum keluarga sebagai berikut:

Menurut Badri Khaeruman, hukum keluarga (ahkam al-ahwal al-syakhsiyah) adalah hukum yang berhubungan dengan masalah keluarga. Bagaimana keluarga itu harus dibentuk, apa hak dan kewajiban suami istri dan bagaimana harus ditunaikan, apa hak dan kewajiban anak terhadap kedua orang tua serta apa hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya dan bagaimana harus ditunaikan, bagaimana keluarga sejahtera bahagia yang penuh mawaddah, dibicarakan dalam bagian ini.69

67 Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 546. 68 Asep Saepudin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, (Jakarta: Kencana, cet. 1, 2013), h. 10. 69 Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 25.

46

Menurut Moh Amin Suma, hukum keluarga (ahkam al-ahwal al-syakhsi yah) yaitu, hukum yang mengatur ihwal hubungan keluarga (suami istri dan orang tua anak) sejak di masa awal pembentukannya (perkawinan).70

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak di masa-masa awal pembentukannya hingga di masa- masa akhir atau berakhirnya keluarga berupa nikah, talak, nasab (keturunan), nafkah, dan ke warisan.71

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum keluarga adalah hukum yang mengatur tentang:

1. Pembentukan suatu keluarga melalui sebuah akad pernikahan yang bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia lahir dan batin (sakinah, mawaddah, wa rahmah). 2. Hak dan kewajiban antara suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya. 3. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya dan anaknya terhadap orang tuanya. 4. Putusnya hubungan perkawinan. 5. Nasab (keturunan). 6. Ke warisan.

Di dalam hukum kekeluargaan Perdata Barat dicakup pula masalah kekuasaan orang tua baik kekuasaan terhadap pribadi seorang anak maupun kekuasaan terhadap harta kekayaan anak. Di samping itu dicakup pula adanya perkawinan (voogdijj) yang merupakan pengurusan terhadap harta kekayaan dan pengawasan terhadap pribadi seorang anak yang belum dewasa sedangkan anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Di samping cakupan tersebut di atas, hukum ke keluargaan mencakup pula masalah pengampuan, keadaan tak hadir. Orang

70 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarta: Rajawali Pers, cet. 2, 2002), h. 54-55. 71 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar ar-Fikr, 1989), h. 19.

47 yang ditaruh di bawah pengampuan pada hakikatnya adalah orang dewasa akan tetapi karena beberapa sebab orang tersebut tidak dapat bertindak secara leluasa.72

Jadi yang dimaksud hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan yang meliputi proses perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, dan keadaan tak hadir.

2 . Pandangan K.H Ali Yafie Tentang Hukum Keluarga

Manusia dalam kehidupan yang beradab dan berbudaya, sepanjang sejarahnya, telah mengenal adanya keluarga sebagai suatu persekutuan (unit) pertama dan utama dalam masyarakatnya. Dari persekutuan inilah berpangkal perkembangbiakan manusia menjadi masyarakat yang besar dalam wujud marga, puak, kabilah dan sebagainya yang seterusnya berkembang lagi menjadi umat dan bangsa-bangsa yang bertebaran menghuni dan menjadi penduduk di permukaan bumi yang luas ini. Semua agama dan kepercayaan yang menjadi sumber terciptanya norma-norma hukum yang mengatur pergaulan dalam kehidupan telah berbicara tentang keluarga betapa pentingnya dan bagaimana baiknya.

Agama Islam yang menjadi panutan sebagian besar rakyat Indonesia memperkenalkan ajaran-ajaran yang cukup terperinci dan sangat bermanfaat tentang keluarga itu. Dalam pembentukan keluarga-keluarga yang ideal yang diharapkan dapat menunjang pertumbuhan pembangunan di Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan umum bagi rakyatnya dan meningkatkan kualitas hidup bagi bangsanya.

Agama Islam mensyariatkan nikah sebagai satu-satunya bentuk pasangan (hubungan antara pria dan wanita) yang dibenarkan, lalu dianjurkan untuk dikembangkan dalam pembentukan keluarga. Dalam hukum pernikahan, sang wanita ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan diperjelas martabat

72 Drs. Sudarsono, S.H, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Pt. RINEKA CIPTA, 1991), Cet. 1, h. 2-3.

48 kemanusiaan nya bahwa ia dan pria bersumber dari satu hakikat atau jenis makhluk yang diciptakan Tuhan sehingga martabatnya tidaklah berbeda.

Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa seperempat dari bagian fikih (hukum Islam) yang dikenal dengan “rubul-munakahat” membicarakan penataan keluarga. Mulai dari persiapan pembentukan keluarga sampai penguraian hak dan kewajiban setiap anggota keluarga, yang menjamin kemaslahatan setiap unsurnya serta berbagai jaminan kesejahteraan hidup masing-masing anggota keluarga itu, telah dirinci sedemikian rupa.

Menurut Ali Yafie kehidupan keluarga merupakan aspek ajaran Islam yang sangat penting. Keluarga adalah pondasi bangunan masyarakat. Dari keluarga yang tertata rapi kehidupannya, akan terbentuk masyarakat yang hidup tertata pula. 73

Yang dimaksud dengan kata “keluarga” adalah pengganti padanan (terjemahan) dari kata usrah atau ahl yang banyak dipakai dalam ajaran Islam. Inti dari keluarga ialah suami-istri dan anak-anaknya. Kadangkala tercakup juga dalam kata “keluarga” adalah ibu-bapak, atau kakak-adik, atau keluarga dekat lainnya yang karena suatu uzur, mereka menjadi beban tanggungan si kepala keluarga.

Ada dua landasan pokok dalam pembentukan keluarga, yaitu landasan maknawiyah (inilah keluarga yang ingin diwujudkan dan dibangun) dan landasan maddiyah (merupakan sasaran yang dituju dalam pembentukan keluarga berupa suasana dan iklim di mana di dalamnya diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir dan batin, sebagaimana perwujudan stabilitas rumah tangga. Selanjutnya, landasan maddiyah, juga merupakan kesanggupan memberi mahar dan berbagai nafkah wajib; seperti belanja harian untuk keperluan makan-minum si istri dan anak-anak, pakaian untuk mereka, dan menyediakan tempat tinggal yang aman dan layak bagi mereka; di samping pelayanan fisik-biologis, khusus untuk istri.

73 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h.258

49

Bila hal-hal tersebut diatas terlaksana dengan baik, maka kelestarian keluarga akan terjamin.

Dengan menghayati nilai dan norma-norma pembentukan keluarga, maka menjadi jelaslah bahwa sekalipun pembentukan keluarga itu demikian rupa pentingnya, namun bukanlah sesuatu yang mutlak tanpa syarat dan batas-batas tertentu.

Setiap manusia dalam menjalani hidupnya di dunia ini mempunyai keperluan yang dia pentingkan untuk menegakkan kehidupannya dan untuk mencapai perkembangan menuju kesempurnaan hidup. Dasar dari segala kepentingan dari setiap manusia adalah, pertama keselamatan dirinya, yakni keselamatan jiwa, raga dan kehormatannya. Kedua adalah keselamatan akal-pikirannya, sedangkan yang ketiga adalah keselamatan harta-bendanya, keempat keselamatan nasab keturunannya, dan kelima keselamatan agamanya. Lima kebutuhan penting tersebut sangat mendasar bagi kebutuhan hidup setiap manusia. Dan inilah yang dikenal dalam ajaran Islam dengan rumus al-kuliyyah al-khams atau al- dharuriyyah al-khams. Inilah yang dijadikan standar bagi kemaslahatan setiap orang yang berhubungan dengan martabat kemanusiaan nya.74

Menurut analisis penulis pandangan Ali Yafie tentang hukum keluarga sama dengan pendapat-pendapat para ahli fikih. Dimana secara umum pengertian hukum keluarga itu suatu aturan atau norma-norma yang mengatur tentang kekeluargaan yang di dalamnya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan ketentraman dalam rumah tangga.

B . Pemikiran Ali Yafie Tentang Beberapa Masalah Hukum Keluarga

Islam bukan hanya agama. Ia juga merupakan sistem sosial, sebuah kultur dan peradaban. Karena itu, ia mempunyai nilai-nilai, ideal-ideal, dan tujuan-tujuan yang dipandangnya sebagai kulminasi dari kesempurnaan manusia dalam seluruh aspek kehidupan.

74 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h.185

50

Legislative Islam sangat komprehensif. Islam tidak hanya berurusan secara eksklusif dengan masalah keimanan dan ibadah. Islam juga mengatur perilaku moral, interaksi sosial, urusan muamalat, termasuk sistem perundang-undangan, perpajakan, pembentukan keluarga, perkembangan komunitas, struktur sosial dan hubungan internasional seringkali meminta jawaban kepastian nya dari sudut hukum.

Bila kita lihat dari sudut sejarah, pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam menghadapi suatu persoalan langsung menanyakan pada Rasulullah dan Rasulullah lah yang langsung memberikan jawaban. Sehingga tidak ada masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat diselesaikan, karena segala sesuatu yang datang dari Rasulullah adalah wahyu yang haqq dari Allah, sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Namun, semuanya berubah setelah Rasulullah meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu, sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan pelajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman.

Demografi mengungkapkan bahwa dinamika kependudukan berbeda secara fundamental antara satu periode dengan periode sejarah lainnya. Islam harus memenuhi tuntutan setiap periode.

Sebagai masyarakat yang berbeda Negara yang berpenduduk pluralistic tentunya ada masalah-masalah yang terdapat di sekitar, yang memerlukan sebuah kajian-kajian yang mendalam. Perlunya pembelajaran yang mendalam di dalam membuat sebuah peraturan. Yang di dalamnya mengatur tentang aturan-aturan keagamaan, yang bersumber utama kitab dan masing-masing agama.

Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks keki nian dan kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif yang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Islam yang sering didengungkan makin dituntut pembuktiannya.

51

1. Masalah Kependudukan dan Keluarga Berencana (KB)

Masalah yang dihadapi beberapa negara berkembang dewasa ini adalah mengurangi jumlah kemiskinan dengan menggunakan berbagai cara baik melalui peningkatan infrastruktur ekonomi seperti membangun jalan, jembatan, pasar, serta sarana lain, maupun membangun derajat dan partisipasi masyarakat melalui peningkatan pendidikan maupun kesehatan. Namun dengan demikian kendala yang utama dihadapi hampir semuanya sama, yang umumnya bersumber pada permasalahan kependudukan. Mulai dari masih tingginya angka kematian bayi, dan ibu melahirkan, rendahnya kesadaran masyarakat tentang hak-hak reproduksi, serta masih cukup tinggi laju pertumbuhan penduduk, yang tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan.

Menurut Ali Yafie, ada dua masalah pokok berkaitan dengan masalah kependudukan tersebut, yaitu adanya per pasangan liar di luar nikah dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang ajaran nikah dari agamanya sendiri. Karena itu solusi yang ditawarkan Ali Yafie adalah memberikan informasi dan pengetahuan tentang ajaran nikah dan undang-undang perkawinan sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran nikah. Di samping itu, peningkatan kegiatan pencegahan terhadap cara per pasangan di luar nikah.

Oleh karena itu, pada tempatnya lah mempertimbangkan pengintergrasian pengembangan penyuluhan dan peningkatan pengetahuan tentang ajaran nikah secara utuh dan bersama-sama dengan penyuluhan tentang undang-undang perkawinan, demi meningkatkan kesadaran nikah pada gilirannya akan meningkatkan suatu kesadaran kependudukan.75

Menurutnya, pembentukan keluarga dengan jalan pernikahan yang sah adalah alternatif terhormat dan terbaik. Namun hal ini rupanya kurang mendapat perhatian kita, sehingga tidak sedikit pembentukan keluarga yang tidak mencapai sasarannya dan tidak menikmati kesejahteraan dalam keluarga, disebabkan

75 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 184

52 kurangnya pengetahuan tentang landasan-landasan yang kuat dan kukuh sesuai dengan ajaran Islam.

Di sini jelas, betapa mendasarnya pemikiran Ali Yafie tentang kependudukan, dimana hal yang harus diperhatikan pertama kali adalah pembentukan keluarga yang merupakan unit terkecil dari masyarakat, dan lebih luas lagi bangsa dan negara. Tentu bisa dibayangkan, jika yang mendominasi pergaulan masyarakat manusia, cara-cara atau bentuk berpasangan bebas dan liar tanpa batas dan persyaratan-persyaratan, makan dapat dipastikan pula pengaruhnya atas perkembangbiakan di muka bumi ini, dan betapa tidak terkendali nya kehadiran anak-anak manusia tanpa ada yang bertanggung jawab. Dan ini akan mengakibatkan masalah kependudukan yang lebih gawat lagi.

Bagi Ali Yafie, masalah kependudukan merupakan realitas bangsa Indonesia dewasa ini. Diantaranya adalah laju pertumbuhan penduduk di Indonesia masih cepat, penyebaran penduduk kurang merata, penduduk desa banyak mengalir ke kota-kota, sedangkan lapangan pekerjaan sangat terbatas, sementara pendidikan dan keterampilan yang dimiliki mereka belum memadai.

Banyak dari penduduk kita masih dalam usia muda berarti masih merupakan beban tanggungan orang lain. Itulah garis besar dalam masalah kependudukan yang kita alami dengan segala akibatnya yang terasa hampir-hampir diseluruh bidang kehidupan masyarakat.

Dari gambaran tersebut di atas merupakan salah satu bentuk keprihatinan Ali Yafie terhadap jumlah penduduk di Indonesia yang banyak dengan berbagai persoalannya. Karena hanya dengan jumlah yang besar saja tidaklah menjadi jaminan bagi kejayaan suatu bangsa. Hal semacam inilah telah diperingatkan oleh Allah, sebagaimana termaktub dalam surat at-Taubah ayat 25 yang berbunyi:

53

نَقَ ۡذ َ َص َش ُك ُى هٱَّللُ فِي َي َٕ ِاغ ٍَ َكثِ َيش ٖة َٔيَ ٕۡ َو ُدَُۡي ٍٍ إِ ۡر أَ ۡع َجبَۡخ ُكىۡ َك ۡث َشحُ ُكىۡ فَهَىۡ حُ ۡغ ٍِ َع ُُكىۡ َش ۡي ب َٔ َظبتَ ۡج َعهَۡي ُك ُ ى ۡٱۡلَ ۡس ُض بِ ًَب َس ُدبَ ۡج ثُ هى َٔنهۡيخُى ُّي ۡذبِ ِش َيٍ ٥٨

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai”.

Peningkatan penduduk yang besar tanpa dibarengi peningkatan kesejahteraan, justru akan menimbulkan kesulitan dan gangguan yang mengarah kepada kemelaratan, seperti masalah pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perhubungan, ketertiban umum, masalah akhlak, dan masalah keluarga/rumah tangga.

Program-program untuk mengatasi jumlah kependudukan yang membengkak dan dengan bertujuan menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat, sudah dan akan terus dilaksanakan oleh pemerintah.

Dalam hal ini Ali Yafie, menawarkan tujuh hal: Pertama, ditemukannya pengendalian secara dini atas perkembangbiakan manusia, dengan mencegah terhadap per pasangan yang liar atau tanpa batas. Kedua, pengekangan nafsu kawin dengan melakukan puasa atau memperpanjang masa perbujangan sampai adanya kemampuan material untuk mewujudkan pernikahan.

Ketiga, pembatasan jenis wanita yang dapat dijadikan pasangan (istri) dengan adanya ketentuan muharammat (yakni wanita yang karena sebab keturunan atau sesusuan atau sedang terikat tali perkawinan dengan orang lain), semuanya itu menjadi terlarang untuk dijadikan pasangan.

Keempat, larangan nikah yang bersifat hurmah bagi yang tidak mampu memenuhi hak-hak dan kewajiban per suami–istri an; dan larangan yang bersifat karahah bagi yang tidak mampu dan tidak butuh. Kelima, dorongan dan pemberian jaminan-jaminan atas per pasangan yang terbatas dan terikat dengan legalitas („aqd) yang mempunyai sifat kesucian dan keluhuran di samping sifatnya

54 yang tetap yakni tidak bersifat sementara saja, dan inilah yang dimaksud dengan nikah.

Keenam, pengendalian lebih jauh atas perkembangbiakan manusia, terdapat dalam lembaga nikah itu sendiri dengan ditentukannya norma-norma persyaratan umum, persetujuan wali, kehadiran saksi, tersedianya mahar, kewajiban memberi nafkah.

Dan Ketujuh, pengendalian yang lebih khusus sifatnya ialah dalam hal jimak yang menjadi terlarang pada waktu-waktu tertentu, di samping adanya kebolehan melakukan „azl yang merupakan upaya menghindari kehamilan pasangannya.

Dari ketujuh hal yang telah diungkapkan Ali Yafie di atas, sesungguhnya merupakan penjabaran jawaban dari dua masalah pokok kependudukan di atas, yaitu masalah perkembangbiakan manusia dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang arti nikah. Setelah mengidentifikasi pokok permasalahan kependudukan, baru kemudian Ali Yafie menjelaskan kemaslahatan keluarga, baik suami, istri, maupun anak-anak.

Adapun kemaslahatan bagi istri dan anak kaitannya dengan pelaksanaan fatwa ulama tentang Keluarga Berencana (KB), pengertian keluarga berencana itu adalah mengatur dan mengendalikan jumlah anak, hanya dua, tiga, dan lainnya. 76

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), KB adalah “Gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran. Menurut WHO (World Health Organization) expert Committee 1970, keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang sangat diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri serta menentukan jumlah anak dalam keluarga.

76 Aminudin Yakub, KB Dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam, (Jakarta: PBB UIN, 2003), Cet. 1, h. 4

55

Berhubungan dengan hal tersebut maka diperlukan pengaturan hukum untuk memperkuat program-program keluarga berencana agar masyarakat tertarik dan yakin terhadap program KB, terutama generasi penerus bangsa bisa menjaga diri agar tidak terjerumus kedalam sex bebas dan narkoba yang dapat menghancurkan jati diri anak bangsa.

Dengan dilandasi peraturan hukum agar masyarakat tidak ragu dengan program keluarga berencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan yang sah dan dibarengi peraturan hukum dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 pasal 1 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas dilakukan upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian, pengarahan mobilitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensi, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.77

Namun apabila kita lihat dari sisi hukum Islam, keluarga berencana menjadi persoalan yang polemik karena ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa keluarga berencana dilarang tetapi ada juga ayat Al-Qur‟an yang mendukung program keluarga berencana. Dalam Al-Qur‟an dicantumkan beberapa ayat yang berkaitan dengan keluarga berencana, diantaranya:

َٔۡنيَ ۡخ َش ٱنه ِز َيٍ نَ ٕۡ حَ َش ُك ْٕا ِي ٍۡ َخۡهفِ ِٓىۡ ُر ِّس يهت ِظ ََٰعفًب َخبفُ ْٕا َعهَۡي ِٓىۡ فَۡهيَخهقُ ْ ٕا هٱَّللَ َٔۡنيَقُٕن ُ ْ ٩ٕا تَ ٕۡ ٗ َع ِذ ًيذا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (Q.S An-Nissa: 9)

77 Undang-Undang No. 52 Tahun 2009, Tentang Perkembangan Kependudukan dan Ketahanan Keluarga.

56

ُ َٔ َٔصه ۡيُبَ ۡ ِٱۡل َََٰغ ٍَ بِ ََٰٕنِ َذ ۡي ِّ َد ًَهَۡخُّ أ ُّيّۥُ َٔ ًُْۡب َعهَ َٰى َٔ ْۡ ٍٖ َٔفِ ََٰصهُّۥُ فِي َع َبي ۡي ٍِ أَ ٌِ ۡٱش ُك ۡش نِي َٔنِ ََٰ ٕنِ َذ ۡي َك إِنَ هي ۡٱن ًَ ِص ُيش ٤٧

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapak mu, hanya kepada-Kulah kembali mu” (Q.S Lukman: 14)

Dari ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup rumah tangga.

Sedangkan menurut pandangan ulama, ada yang membolehkan program KB dan ada juga yang melarang program KB, diantara ulama-ulama tersebut antara lain: 1) Ulama yang memperbolehkan Diantara ulama‟ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al- Hariri, Syaikh Syalthut, Ulama‟ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti program KB dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat al-Mu‟minun ayat: 12, 13, 14.78

2) Ulama yang melarang Selain ulama‟ yang memperbolehkan ada para ulama‟ yang melarang diantaranya ialah Prof. Dr. Madkour, Abu A ‟la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan seperti firman Allah:

78 Prof. Abdurrahman Umran, Islam dan KB (PT Lentera Basritama: jakarta. 1997),h. 99

57

ۡ َٰ َٰ ۡ َٔ َٗ حَقخُهُ ٕٓ ْا أَ ۡٔنَ َذ ُكىۡ َخ ۡشيَتَ إِيۡ هَ ٖٖۖق َه ۡذ ٍُ َ ۡش ُصتُُٓىۡ َٔإِ ُيهبكىۡۚۡ إِ هٌ تَۡخهَُٓىۡ َك َبٌ ِخط ب َكبِ يشا ٦٤

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (Q.S Al-Isra Ayat 31)

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa hukum keluarga berencana menurut Islam jika pelaksanaan KB dengan pertimbangan kemaslahatan, dibolehkan dalam Islam karena pertimbangan (misalnya) ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Artinya, dibolehkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membiayai kehidupan anak, kesehatan dan pendidikannya untuk menjadi aspek tor KB. Bahkan menjadi dosa baginya, jikalau ia melahirkan anak yang tidak terurus masa depannya, yang akhirnya menjadi beban yang berat bagi masyarakat, karena orang tuanya tidak sanggup membiayai kehidupannya.

Menurut Nasruddin Latif menjelaskan bahwa usaha-usaha keluarga berencana di negara-negara demokrasi dijalankan secara sukarela.79Mengenai keluarga berencana yang dijalankan seseorang untuk membatasi jumlah anak dalam rumah tangganya, memang boleh dan tidak mengapa selama ini, khususnya sifatnya bukan menjadi ukuran bagi seluruh umat Islam. Jika mempergunakan suatu cara untuk mencegah kehamilan karena ini merupakan perbuatan khusus antara suami yang bersifat darurat.80

Dalam tujuan Keluarga Berencana tersebut terdapat kemaslahatan, yaitu kesejahteraan materiel dan spiritual. Dalam pengertian ini, keluarga berencana adalah salah satu bentuk usaha menyiapkan generasi yang tangguh. Dengan demikian, selama cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu dapat dikerjakan ajaran Islam.

79 Nasarudin Latif, KB Dipandang dari Sudut Hukum Islam, (Jakarta: BKKBN, 1972), h. 16 80 Muhammad Alwi Al Maliki AlHassani, Etika Dalam Rumah Tangga Islam, (Surabaya: PT Bungkut Indah), h. 154.

58

Ali Yafie berpendapat “Ajaran Islam mendapatkan perhatian kita betapa soal “mengandung” dan “melahirkan” tidak boleh dianggap enteng persoalannya, dan betapa “kehamilan” dan “melahirkan” membawa risiko dan konsekuensi- konsekuensi yang berat bagi kehidupan seseorang istri yang menjadi ibu.

Dengan demikian, kita memperoleh gambaran bahwa fungsi mengandung dan melahirkan adalah sesuatu yang sungguh berat serta menguras kekuatan dan kesehatan wanita, penuh dengan penderitaan dan kesulitan. Oleh karenanya, menjadi kemaslahatan seorang istri/ibu, membantunya membatasi kesulitan dan penderitaannya yang demikian itu, semaksimal mungkin tanpa menghilangkan sama sekali fungsi alamiah yang bertujuan melestarikan keluarga dengan adanya anak.

Sehubungan dengan itu, Ali Yafie mengutip pendapat sebagian ulama: “Terlarang memakai sesuatu yang sama sekali menghentikan kehamilan, akan tetapi apa yang hanya memperlambat kehamilan itu untuk sementara waktu dan tidak menghentikannya, maka tidaklah terlarang.

Bahkan jikalau hal itu dilakukan karena sesuatu uzur, misalnya untuk kepentingan pemeliharaan seorang anak, maka makruh pun tidak dan kalau hal tersebut dilakukan tanpa uzur menjadikan lah makruh (tercela)”.

Hal-hal seperti itulah yang antara lain melandasi fatwa-fatwa para ulama yang tidak menolak adanya KB yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak dan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Maka dalam hal ini Ali Yafie, menyepakati pendapat tentang membatasi/membuat jarak kelahiran dengan jalan ikut serta dalam pelaksanaan Keluarga Berencana (KB) tetapi tidak vasektomi/tubektomi atau menghilangkan sama sekali fungsi alamiah yang bertujuan melestarikan keluarga dengan adanya anak.

Dengan demikian, keputusan hukum KB sebagaimana dikemukakan Ali Yafie di atas tidak lain didasari oleh keyakinannya bahwa syariat Islam itu akan terasa

59 dinikmati umat Islam jika hukum itu sendiri diputuskan dengan mempertimbangkan kemaslahatan umatnya.

Menurut Ali Yafie, tercapainya sasaran pembentukan keluarga dalam suasana tenteram yang diliputi iklim cinta dan kasih yang tumbuh dan berkembang di antara anggota keluarga (sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Rum ayat 21), maka hal itu banyak tergantung pada terpenuhinya kemaslahatan keluarga itu sendiri. Oleh karenanya, kemaslahatan keluarga haruslah dijadikan patokan bagi pembentukan keluarga dan perencanaannya.

Mencermati masalah kependudukan dan keluarga berencana (KB) di atas, menurut analisis penulis terdapat beberapa faktor/sumber yang mempengaruhi masalah kependudukan diantaranya masih maraknya per pasangan liar diluar nikah dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap ajaran nikah dari agamanya sendiri, untuk mengatasinya dengan melakukan penyuluhan tentang undang-undang pernikahan kepada masyarakat dan mengikuti program-program yang telah pemerintah buat untuk mengendalikan jumlah penduduk atau yang kita kenal keluarga berencana (KB).

Dalam keluarga berencana menurut analisis penulis, Ali Yafie setuju dengan program keluarga berencana yang telah dibuat oleh pemerintah, dengan menggunakan metode kemaslahatan terhadap seorang ibu yang melahirkan, dan dengan pola istilahi dan bayani dapat ditemukan dalam masalah keluarga berencana.

2. Masalah Usia Nikah

Pernikahan memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan bermasyarakat. Pernikahan merupakan gerbang awal untuk membentuk sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat.

Pernikahan berasal dari kata dasar nikah, kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut istilah nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

60 yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang di ridhoi oleh Allah SWT. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah mempunyai arti hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri secara resmi.

Di dalam bab 1 pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.81 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata asas perkawinan adalah monogami yang secara autentik diatur di dalam pasal 27.

Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 bahwa: “Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis berbalutkan sakinah, mawaddah, wa rahmah, lahirnya generasi penerus yang saleh dan salihah tentunya ada beberapa hal yang harus diperlihatkan dan dijadikan pertimbangan yang matang, agar perkawinan menjadi mitsaqan ghalidhan salah satunya yaitu menentukan batas minimal usia perkawinan.

Di zaman yang modern ini kita dikejutkan dengan banyaknya pernikahan yang belum dapat dikatakan untuk dilakukan. Batas usia perkawinan adalah fenomena yang cukup menarik menjadi perhatian berbagai kalangan. Pernikahan dibawah umur ini menimbulkan banyak masalah sosial dan di lain sisi juga menimbulkan masalah hukum. Kontroversi pernikahan di bawah umur memang menjadi perdebatan terutama berkenaan dari batas usia minimal bagi seorang anak untuk

81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974

61 menikah. Selama ini yang terjadi adalah persinggungan diantara dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum nasional terutama yang masing-masing mengatur tentang pernikahan dan hak-hak atas anak sebagai pihak yang menjadi subjek dalam pernikahan tersebut.

Dalam ilmu fikih klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan dibawah umur. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Malah Ibnu al- Mundzir menganggap bolehnya pernikahan di bawah umur sebagai ijmak kalau memang sekufu. Dalil yang dipakai oleh mayoritas ulama ini ada banyak, salah satunya adalah nikah nya Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah sewaktu masih berumur 6 tahun.

َٔ َ َك َخ َعبئِ َشتَ َٔ ِْ َي بِ ُْ ُج ِع ِّج ِعُِ َيٍ ثُ هى بََُى بَِٓب َٔ ِْ َي بِ ُْ ُج حِ ْغ ِع ِعُِ َيٍ

“Dari Aisyah R.A, Bahwa Nabi SAW telah menikahi Aisyah R.A sedang Aisyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengan nya pada saat Aisyah berumur 9 tahun,” (H.R Bukhari).

حَ َض هٔ َجُِي انُهبِ ُّي َص ى ه هَّللاُ َعهَ ْي ِّ َٔ َع ه َى َٔأَ َب بِ ُْ ُج ِع ِّج ِعُِ َيٍ َٔبََُى بِي َٔأَ َب بِ ُْ ُج حِ ْغ ِع ِعُ ِ َيٍ “ Nabi Shalawllahu „Alaihi Wa Salam menikahi ku saat itu aku berusia enam tahun, dan Beliau membina rumah tangga denganku saat aku sembilan tahun. (HR. Muslim No. 1422, dengan dua sanad: Pertama, Yahya bin Yahya, Abu Muawiyyah, Hisyam bin „Urwah, sanad kedua, Ibnu Numair, „Abdah bin Sulaiman, Hisyam bin „Urwah, ayahnya, „Aisyah)” Firman Allah SWT dalam surat al-Nisa Ayat 6 yang berbunyi: ۡ َٔ ۡٱبخَهُ ْٕا ۡٱنيَ َٰخَ ًَ َٰى َدخه َٰٓى إِ َرا بَهَ ُغ ْٕا ٱنُِّ َك َبح فَئِ ٌۡ َءاََ ۡغخُى ِّي ُُۡٓىۡ ُس ۡش ذا فَ ۡٱدفَ ُع ٕٓ ْا إِنَۡي ِٓىۡ أ َيۡ ََٰٕنَُٓىٖۡۖ َٔ َٗ حَأ ُكهَُْٕبٓ ۚۡ ٖۖ ۡ إِ ۡع َش افب َٔبِ َذ ًاسا أٌَ يَ ۡكبَ ُش ْٔا َٔ َيٍ َك َبٌ َغُِ يّب فَۡهيَ ۡغخَ ۡعفِ ۡف َٔ َيٍ َك َبٌ فَقِ يشا فَۡهيَأ ُك ۡم بِ ۡٱن ًَ ۡع ُش ۚۡ ِٔف فَئِ َرا َدفَ ۡعخُىۡ إِنَۡي ِٓىۡ أَيۡ ََٰٕنَُٓىۡ فَأَ ۡش ِٓ ُذ ْٔا َعهَۡي ِٓىۡۚۡ َٔ َكفَ َٰى بِ هٱَّللِ َد ِغ يبب ٩

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta

62 anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakan nya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”.

Lafaz balah al-nikah dijadikan sandaran fukaha untuk menentukan batas minimal usia untuk melaksanakan perkawinan. menafsirkan balagh al- nikah dengan dewasa. Kedewasaan itu bukan tergantung pada usia, namun tergantung pada kecerdasan atau kedewasaan pikirannya. (Hamka, 1983; Hal. 301).

Menurut pendapat Imam Syafii menyatakan bahwa usia balig untuk anak laki- laki dan perempuan adalah 15 tahun. Adapun menurut Imam Maliki menetapkan bahwa tanda balig laki-laki adalah dengan mimpi basah, tumbuhnya bulu pada kemaluan atau jika telah mencapai pada usia tertentu yang biasanya disebut dewasa, yaitu sekitar usia 17 tahun dan 18 tahun.

Sementara itu Imam Hanafi menetapkan usia balig untuk anak laki-laki 18 tahun sedangkan bagi perempuan 17 tahun, pendapat Hanafi dalam hal usia balig ini adalah batas maksimal, sedangkan usia minimal nya adalah 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki mimpi mengeluarkan sperma, menghamili dan mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada perempuan dapat haid dan hamil.82

Sementara itu fukaha Hanabillah berpendapat bahwa tanda laki-laki dan perempuan telah balig ada tiga macam yaitu keluarnya air mani dalam keadaan tidur atau sadar, tumbuhnya bulu kemaluan yang kasar dan genap berusia 15 tahun. Dan khusus bagi perempuan yaitu haid dan kehamilan. Adanya perbedaan tersebut disebabkan perbedaan argumentasi yang digunakan, kendati secara

82 Muh. Jawad Mughniyah , Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2003), h. 317.

63 mendasar semuanya memberikan pandangan bahwa menikah pada usia muda adalah sah.

Seperti dijelaskan al-Marwazi dalam Ikhtilaf al‟Ulama‟, Ulama, terutama kalangan Ahl al-„Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah boleh, dan tanpa harus adanya pilihan (khiyar) ketika dewasa.

Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah SAW, menikah dengan Aisyah ketika ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal ini pun dibolehkan oleh para Sahabat, seperti „Umar Ibnu Khatab, „Ali Ibnu Abi Talib, Ibnu „Umar, „Zubayr, Ibnu Qudamah, Ibnu Maz‟un, dan „Ammarah.83

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anak itu sendiri. Dalam beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan menikahkan anak mereka dengan saudaranya sejak masih belia.84

Menurut Imam Malik, Ahl al-Madinah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishak, dan Abi Layla, seperti dikutip al-Marwazi, pemaksaan pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh ayah. Namun, meminta izin darinya adalah lebih baik.

Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fikih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menerapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk laki- laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.

83 Imam Abu Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtiar al-„Ulama‟, (Beirut: „Alim al-Kutub, 1985), h. 125; lihat pula, Musthafa Al-Siba‟i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, h. 80 84Musthafa Al-Siba‟i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, h. 81

64

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis, dan mental.

Menurut Muhammad Atho Mudzhar,85 meskipun ketentuan ini tidak ada dalam kitab-kitab fikih pembatasan perkawinan ini sudah tidak lagi menimbulkan resistensi dari sebagian kelompok Islam, bahkan telah dianggap lumrah dan biasa.

Bila dilihat lebih teliti pertanyaan al-Siba‟i yang mengutip al-Qulyubi dapat diartikan bahwa Islam tidak pernah menetapkan adanya batasan minimal usia bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah, namun pelaksanaan pernikahan tersebut sangat terkait dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan itu sendiri. Hal ini pula yang termaktub dalam penjelasan Undang-Undang Perkawinan ketika menguraikan maksud dari Pasal 7, bahwa untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.

Ketentuan mengenai pembatasan usia nikah ini menjadi penting karena beberapa hal yang me lantari nya, terutama terkait dengan hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Aspek yang lain adalah kehamilan yang memiliki keterkaitan erat dengan kondisi sosio ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Akan tetapi, menurut banyak penelitian, seperti dikutip Erick Eckhlom dan Kathleen Newland, kemungkinan seseorang ibu meninggal atau anaknya meninggal atau menderita penyakit bertambah besar bila ibu melahirkan terlalu awal atau terlalu lambat.

Perempuan yang secara fisik belum matang akan menghadapi bahaya lebih besar ketika melahirkan dan besar kemungkinan akan melahirkan anak yang lemah dibandingkan perempuan yang berumur du puluhan atau relatif dewasa.86

85 Mohammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali, h. 218 86 Erick Eckhlom dan Kathleen Newland, Perempuan, Kesehatan, dan Keluarga Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Soekanto, (Jakarta: YOI dan Sinar Harapan, 1984), h. 15.

65

Agama Islam dalam prinsipnya juga tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan usia muda, namun Islam juga tidak pernah mendorong atau mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, Agama Islam hanya mengatur balig (kedewasaan) dengan beberapa tanda-tanda baik pria dan wanita.

Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dari „Abdullah bin Mas‟ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Muhammad SAW sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

َع ٍْ َع ْب ِذ هَّللا ِ ْب ٍِ َي ْغ ُع ٍٕد تَ َبل : تَ َبل نََُب َس ُع ُٕل هَّللا ِ – صهى َّللا عهئّعهى ْ ْ ْ ْ يَب َي ْع َش َش هانشبَ ِبة، َي ٍِ ْاعخَ َط َبع ِي ُْ ُك ُى انبَ َبءةَ فَهيَخَ َض هٔ ْج، فَئَِهُّ أَ َغطُّ نِهبَ َص ِش َٔأَ ْد َص ٍُ نِهفَ ْش ِج، َٔ َي ٍْ نَ ْى يَ ْغخَ ِط ْع فَ َعهَ ْي ِّ بِ ْبنصهٕ ِو، فَئَِهُّ نَُّ ِٔ َج بء .

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwat nya (sebagai tameng)”

Berdasarkan penjelasan dan pengertian di atas mengenai usia menikah serta perbedaan-perbedaan pandangan para ahli terhadap ke cakupan usia seseorang untuk menikah, Ali Yafie mengkategorikan remaja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para remaja dipandang sebagai bagian mutlak dari generasi muda bangsa dan generasi penerus perjuangan bangsa ini. Mereka harus diantar ke masa depan sebagai generasi muda yang sehat, tangguh, mempunyai rasa harga diri dan rasa tanggung jawab, bertakwa kepada Allah SWT. Namun, di lingkungan kehidupan pedesaan atau di keluarga yang berekonomi lemah di perkotaan, para remaja itu secara dini sudah difungsikan sebagai tenaga kerja atau bekerja di pabrik-pabrik atau mengambil bagian di kaki lima. Kesemuanya itu di dalam rangka membantu orang tua mencari nafkah, atau mencari nafkah untuk dirinya sendiri.

66

Maka, berkaitan dengan soal ini, yang dapat direkam dari lingkungan kehidupan tradisional ialah ihwal banyaknya perkawinan di usia muda. Menurut Ali Yafie yang dimaksud dalam hal usia akil balig (sinnul bulugh) pada usia 9 tahun. Kemungkinan ini dijadikan kepastian standard. Padahal yang dijadikan standar usia memperoleh status “akil balig” adalah minimal 15 tahun. Nikah adalah sunah Nabi, namun Nabi sendiri, dalam kehidupan pribadinya, baru melaksanakan nikah setelah mencapai usia 25 tahun.87

Menurut Ali Yafie, dengan menghayati nilai dan norma-norma pembentukan keluarga, maka menjadi jelaslah bahwa sekalipun pembentukan keluarga itu demikian rupa pentingnya, namun bukanlah suatu yang mutlak tanpa syarat dan batas-batas tertentu. Hal ini tampaknya kurang mendapat perhatian, sehingga tidak sedikit pembentukan keluarga dilakukan dalam keadaan belum siap syarat sehingga tidak mencapai sasarannya dan yang bersangkutan tidak menikmati ketentraman dan kesejahteraan dalam keluarga itu.

Menurut analisis penulis, dalam masalah usia menikah Ali Yafie tetap menggunakan dalil yang telah ditetapkan oleh hukum Islam dan ulama mazhab terutama ulama yang dipakai di Indonesia yaitu Mazhab syafii yang mengategorikan usia dibolehkannya seseorang menikah adalah 15 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan dengan menggunakan standar terjadinya akil balig. Dengan menggunakan pola metode istilahi Ali Yafie dapat memberikan gagasan terhadap usia menikah yang belum ada nasnya, dengan memperhatikan kepentingan maslahah yakni memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

3. Masalah Mengasuh Anak

Setiap anak yang dilahirkan di dunia ini adalah dalam keadaan suci, maka peran orang tua dan lingkungannya lah yang akan membentuk karakter anak tersebut. Apakah karakternya baik atau jelek tergantung bagaimana didikan orang tuanya dan lingkungan mana dia tinggal.

87 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 255.

67

Pemeliharaan anak pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Hal ini meliputi berbagai kebutuhan seperti, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak.

Anak adalah karunia Allah SWT yang harus kita syukuri. Ia merupakan penerus garis keturunan yang dapat melestarikan pahala bagi orang tua sekalipun orang tua sudah meninggal. Ia adalah amanat Allah yang wajib ditangani secara benar.88

Dalam Islam pemeliharaan anak lebih dikenal dengan nama Hadhanah. Secara etimologis hadhanah berasal dari dengan asal kata hadhona yang artinya memeluk, mendekap, mendidik, mengasuh, dan mengerami. Dalam pengertian lain hadhanah berasal dari kata hidhonu yang berarti pangkuan dan dada. Selain itu, kata hadhoonnatu berarti perawatan atau pengasuhan, sementara kata hidhoonatu berarti pendidikan, penguasaan, dan nasihat.

Sedangkan menurut terminologi yang dimaksud dengan hadhanah atau pemeliharaan anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.89

Sedangkan para ulama-ulama mengemukakan beberapa definisi hadhanah dari segi bahasa, diantaranya:

a. Menurut Sayyid Sabiq

Mendefinisikan hadhanah sebagai lambung, seperti kata “hadhanah ath- tha‟iru badhahu” yang artinya burung itu mengempit telur dibawah sayapnya. Sedangkan dalam kalimat “hadhanatal-mar‟atu waladaha” yang artinya seorang perempuan yang menggendong anaknya.

88 M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 361 89 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, : Dina Utama, 1993, hlm. 119

68

b. Menurut Amir Syarifuddin

Dalam bukunya Hukum Perkawinan di Indonesia menyebutkan bahwa kata hadhanah yaitu pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya perceraian atau putusnya suatu perkawinan.

c. Abdul Aziz Dahlan

Mengatakan al-hadhanah adalah di samping atau di bawah ketiak. Merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Berdasarkan kutipan di atas hadhanah secara bahasa merupakan suatu proses, cara atau perbuatan yang berhubungan dengan penjagaan, perawatan, dan pendidikan terhadap anak.

Hadhanah merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu fikih. Hadhanah menurut istilah memiliki banyak definisi, diantaranya:

a. Sayyid Sabiq

Dalam bukunya Fikih Sunah memberikan definisi hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum tamyiz tanpa perintah padanya, menjadikan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya, dari suatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

b. Abdul Azis Dahlan

Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam dikatakan bahwa hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik seorang yang belum mumayiz atau orang dewasa tetapi kehilangan akal (kecerdasan berpikir) nya. Ulama fikih menetapkan bahwa kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki oleh kaum wanita, karena naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan

69 mendidik anak, serta kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibandingkan kesabaran seorang laki-laki.

c. Amir Syarifuddin

Menurut Amir Syarifuddin dalam buku Hukum Perkawinan Di Indonesia menyatakan bahwa istilah hadhanah mencakup beberapa hal, di antaranya perihal siapa yang lebih berhak terhadap pengasuhan anak dan siapa pula yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan anak hingga anak tersebut mampu berdiri sendiri

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah kewajiban mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz untuk menjaga perkembangan jasmani dan rohani sebagai bekal kehidupan di masa yang akan datang.

Pemeliharaan anak atau hadhanah juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pen cukupan nafkah anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang mampu berdiri sendiri.

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib. Lebih lanjut kewajiban hadhanah bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian. Pemeliharaan anak dilakukan oleh orang tua atau kerabat sampai anak tersebut telah mampu berdiri sendiri.

Adapun dasar hukum pemeliharaan anak atau hadhanah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat At-Thamrin ayat 6 yang berbunyi:

ٓ َٰٓ َٰيَأَيَُّٓب ٱنه ِز َيٍ َء َاي ُ ْٕا تُ ٕٓ ْا أََفُ َغ ُكىۡ َٔأَ ْۡهِ ُيكىۡ َ بسا َٔتُ ُٕدَْب ٱنُه ُبط َٔ ۡٱن ِذ َج َبسة ُ َعهَۡيَٓب َيهَئِ َكت ِغ ََل ٞظ ِش َذ ٞاد هٗ يَ ۡع ُص َ ٌٕ هٱَّللَ َيبٓ أَ َي َشُْىۡ َٔيَ ۡف َعهُ ٌَٕ َيب يُ ۡؤ َي ُش ٌَٔ ٩

70

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap manusia mukmin mempunyai beban kewajiban dan tanggung jawab memelihara diri dan keluarga, dalam bentuk apapun dari api neraka karena api neraka mempunyai kekuatan membakar. Api dapat membuat diri dan jiwa manusia menderita atau sengsara, yang bertanggung jawab atas semuanya adalah manusia itu sendiri. Untuk memelihara dirinya dan keluarganya (anak-anak dan istrinya) dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.90.

Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:

ۡ َٰ ۚۡ ۡ َٔٱن ََٰٕنِ ََٰذ ُث يُ ۡش ِظ ۡع ٍَ أَ ۡٔنَ َذُْ هٍ َد ٕۡنَۡي ٍِ َك ِبيهَۡي ٖۖ ٍِ نِ ًَ ٍۡ أَ َس َاد أٌَ يُخِ هى َٱنشهظ َبعتَ َٔ َعهَى ٱن ًَ ٕۡنُ ِٕد نَّۥُ ِس ۡصتُٓ ُ هٍ ُۢ َٔ ِك ۡغ َٕحُُٓ هٍ بِ ۡٱن ًَ ۡع ُش ۚۡ ِٔف َٗ حُ َك ه ُف َ ۡف ظ إِ هٗ ُٔ ۡع َعَٓ ۚۡب َٗ حُ َعبٓسه ََٰٔنِ َذةُ بِ َٕنَ ِذَْب َٔ َٗ َي ٕۡنُ ٕٞد ن هّۥُ بِ َٕنَ ِذۦِۚۡ َٔ َعهَى ۡ ۡ َٰ َۗ َ ۡ َۗ َ َ ٱن َٕ ِاس ِد ِيث ُم َرنِ َك فَئِ ٌۡ أ َس َادا فِ َص ًبٗ َعٍ حَ َش ٖاض ِّيُُٓ ًَب َٔحَ َش ُبٔ ٖس فَ ََل ُجَُ َبح َعهَۡي ِٓ ًَب َٔإِ ٌۡ أ َس ُّدحىۡ أٌ َٰ حَ ۡغخَ ۡش ِظ ُع ٕٓ ْا أَ ۡٔنَ َذ ُكىۡ فَ ََل ُجَُ َبح َعهَۡي ُكىۡ إِ َرا َع هًۡ خُى هيبٓ َءاحَۡيخُى بِ ۡٱن ًَ ۡع ُش َۗ ِٔف َٔٱحهقُ ْٕا هٱَّللَ َٔ ۡٱعهَ ًُ ٕٓ ْا أَ هٌ هٱَّللَ بِ ًَب حَ ۡع ًَهُ ٌَٕ بَ ِصيش

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada

90 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Pranada Media Gruop, 2003), cet. ke-3, h. 177.

71 dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain. Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Baqarah/2: 233)

Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang tua agar memelihara anak-anak mereka yang belum mumayiz. Memerintahkan ibu agar menyusui anaknya selama dua tahun penuh. Sedangkan ayah berkewajiban menanggung nafkah bagi keduanya dengan cara yang baik. Dan membolehkan mengambil wanita lain untuk menyusukan anak-anak mereka, dengan catatan memberikan pembayaran kepadanya dengan cara yang patut. Lebih lanjut, dalam ayat tersebut Allah mengisyaratkan, agar ibu dan ayah tidak menderita karena anaknya. Hal ini dimaksudkan agar orang tua memenuhi kewajiban menurut kemampuannya. Apabila kedua orang tuanya berhalangan, tanggung jawab tersebut dapat dialihkan kepada keluarga yang mampu.

Menurut Ali Yafie, permasalahan mengasuh anak meliputi dua hal pokok, yaitu perawatan anak dan pendidikannya. Namun, kedua hal tersebut harus dibina di atas landasan-landasan yang kokoh. Bagaimana pandangan ajaran Islam terhadap anak itu, merupakan titik awal dari keseluruhan permasalahan mengasuh anak. Ajaran Islam meletakan dua landasan utama bagi permasalahan anak itu. Pertama, tentang kedudukan dan hak-hak si anak, Kedua, tentang penjagaan dan pemeliharaan atas kelangsungan hidup dan pertumbuhan si anak. Dan di atas kedua landasan utama tersebut, perawatan dan pendidikan anak dibina dan dikembangkan untuk mewujudkan konsepsi anak yang ideal yang disebut waladun saleh, yang merupakan dambaan setiap orang tua.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, menurut Ali Yafie mengasuh anak itu ialah suatu kewajiban yang harus dilakukan orang tua untuk melakukan perawatan dan pendidikan terhadap anaknya, perawatan yang dimaksudkan di sini ialah dalam bidang kesehatan untuk sang anak. Sekalipun titik berat pengasuhan anak itu terletak pada pendidikan, namun kesehatan merupakan prasyarat bagi

72 pendidikan, sebagaimana halnya kebersihan (taharah) merupakan prasyarat bagi pelaksanaan ibadah (salat).

Pemeliharaan kesehatan adalah salah satu perwujudan dari pemeliharaan keselamatan diri yang termasuk salah satu dari al-kulliyat al-khams yang merupakan basis kemaslahatan setiap manusia (maslahat dharuriyyah).91

Dan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pengasuhan anak menurut Ali Yafie dalam menanggapi hal tersebut perlu ditopang dengan pemupukan dan pembinaan kesadaran tentang tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap anak. Pendekatan dengan wawasan keagamaan dan peran tokoh-tokoh agama, khususnya para ulama, merupakan faktor yang sangat penting dalam hal ini.

Upaya pemasyarakatan dapat dilakukan dengan cara penyusunan dan penerbitan suatu brosur hak anak, kewajiban seorang ibu terhadap anak, kewajiban seorang ayah terhadap anak, kesehatan anak dan pendidikan anak. Dengan demikian pemasyarakatan konsepsi ri‟ayah al-thufulah dapat disampaikan secara dini kepada orang tua sehingga dari saat-saat awal mereka yang berkepentingan sudah diberi informasi dan petunjuk tentang masalah- masalah yang bersangkutan dengan anak

Menurut analisis penulis terkait masalah mengasuh anak tidak ada perbedaan yang signifikan terkait hukum dan siapa yang berhak mengasuh anak. Dengan menggunakan pola metode bayani dengan dasar al-Qur‟an dan al-hadis Ali Yafie mengatakan bahwa mengasuh anak itu ialah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh kedua orang tua diatas tidak mengatakan bahwa yang wajib mengasuh anak hanyalah seorang wanita saja tetapi kewajiban bagi orang tua (suami dan istri).

91 Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukwah, (Bandung: Mizan, 1994), h. 270-274

73

C . Corak Pemikiran Ali Yafie

Dalam melihat corak pemikiran Ali Yafie terkait hukum keluarga di Indonesia, maka perlu kiranya kita memperhatikan pembaharuan Hukum Islam yang timbul pada penghujung abad ke-19. Dalam hal ini apabila kita merujuk pada kerangka konseptual lama atas Clifford Geertz terdapat indikasi dua aliran pemikiran pembaharuan hukum Islam yakni, aliran traditionalism dan modernism. Untuk lebih jelasnya penulis akan menjelaskan kedua macam aliran tersebut.

1 . Aliran Traditionalism

Kata traditionalist berasal dari asal kata bahas Inggris tradition dalam bahasa Indonesia berarti tradisi. Tradisi dalam KBBI adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan masyarakat. Kemudian, dalam Bahasa Arab kata tradisi di idetikan dengan sunah yang secara etimologi berarti jalan. Kata sunah ini menjadi istilah yang mengacu pada segala sesuatu yang berasal dari Nabi S.A.W, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan.

Dalam pemikiran traditionalism, peran akal tidak begitu menentukan dalam memahami ajaran Al-Qur‟an dan hadis. Di samping itu, pemikiran traditionalist terikat pada lafzhi dari teks ayat Al-Qur‟an dan hadits, karena itu kaum traditionalist sulit sekali untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan modern sebagai hasil dari filsafat, sains dan teknologi.92

Maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan aliran traditionalist adalah kelompok orang yang menganut suatu paham yang bersifat konservatif (jumud) dan mereka berusaha mempertahankan yang lama tanpa pembaharuan. Kaum traditionalist ini hanya mengakui empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafii, Hambali). Kemudian, kaum traditionalist ini melarang setiap usaha pembaharuan dan menentang keras adaptasi dan mengadopsi ide-ide, ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat meskipun dalam semua itu terdapat hal-hal positif.

92 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,(Bandung: Mizan, November 1998), Cet.V, h. 9.

74

Karena sikap statis dan jumud ini, kaum traditionalist tidak bisa mengikuti proses pembaharuan dalam zaman modern. Di samping itu, kelompok-kelompok ini terlibat dalam praktik-praktik keagamaan yang dianggap bid ‟ah, khurafat dan takhayul oleh kelompok lain terutama kelompok fundalisme seperti gerakan Wahhabi. Aliran tradisionalisme di Indonesia berawal dari pengaruh kehidupan keagamaan yang didominasi oleh mazhab-mazhab fikih, terutama bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlusunah wall Jamaah.

Kondisi masyarakat yang terdiri dari petani, yang hidup di pedesaan, sulit memungkinkan Islam untuk berkembang secara lebih rasional dan modern. Sedangkan paham Syafiiiyah lebih menekankan aspek loyalitas terhadap para pemuka agama (kiai, ulama) dari pada subtansi ajaran Islam yang bersifat rasional. Sehingga menimbulkan sikap taklid terhadap para ulama tanpa syarat. Sementara ajaran yang disampaikan oleh para ulama lebih banyak terpusat pada bidang-bidang ritual dan disesuaikan dengan tradisi masyarakat. Hal ini dapat berjalan dengan lancar, mengingat paham Ahlusunah wall Jamaah mempunyai sikap-sikap toleran pada kelompok-kelompok lain. Karenanya, mempertahankan tradisi menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka.93

Meskipun demikian, kalangan traditionalist tetap beranggapan bahwa ijtihad merupakan unsur yang penting dalam pemahaman hukum Islam. Namun hal itu hanya dapat dilakukan oleh ulama yang ahli dan mengajak umat Islam agar berpegang teguh pada Al-Qur‟an dan hadis. Aliran ini juga berpendapat bahwa syari‟ah normatif sangat terbatas jumlahnya, sementara persoalan hukum dan kemanusiaan tidak akan pernah berakhir dan tidak ada batasnya. Karena itu, syari‟ah yang merupakan hukum Tuhan harus dijaga supaya tetap berada pada posisi ilahiyat nya, dengan cara melaksanakan secara harfiyah apa yang tertulis dalam teks suci ini, sementara perkembangan masyarakat dapat diselesaikan melalui jalur pe mahaman terhadap teks suci, sesuai dengan tradisi muslim.

93 Azyumardi Azra, Reanisains Islam Di Asia Tenggara: Sejarah, Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosda Karya, 1999), h. 98-102.

75

Dengan demikian, kalangan traditionalist adalah kelompok ulama yang masih berusaha mempertahankan tradisi dan amalan yang oleh kalangan pembaharu dianggap bid „ah. Kelompok tradisional sangat mengapresiasi khazanah dan tradisi yang telah berlangsung berabad-abad dalam sejarah Islam.

Di sinilah perbedaan antara kelompok traditionalist dengan kelompok modernis yang cenderung kurang apresiatif terhadap tradisi Islam karena menilai hal itu telah ketinggalan zaman. 94

2 . Aliran Modernisme

Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan cepat pada permulaan abad ke-20 dengan tumbuhnya gerakan modernism. Perubahan dari taklid ke ijtihad, merupakan bagian dari modernisme atau perubahan pemikiran Islam. Modernisme adalah sebuah pergerakan pembaharuan, kata modernisme di sini yang dimaksud merupakan terminologi khusus, yaitu sebuah sudut pandang religius yang didasari oleh keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan budaya modern membawa konsekuensi reaktualisasi berbagai ajaran keagamaan tradisional mengikuti disiplin pemahaman filsafat ilmiah yang tinggi.95

Modernisme dalam agama adalah sebuah sudut pemikiran yang dibangun diatas keyakinan bahwa kemajuan ilmiah dan wawasan modern mengharuskan reinterpretasi atau pemahaman ulang terhadap berbagai doktrin ajaran agama tradisional berdasarkan sistematika ajaran filsafat ilmiah yang diagung-agungkan. Modernisme atau pembaharuan berarti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya, agar semua itu disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern.96

94 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadin, Mei 1999), Cet. I, h. 31-33. 95 Muhammad Hamid an-Nashir, Menjawab Moderenisasi Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), Cet. 1, h. 2 96 Harun Nasution, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Pers, jilid-2, 1978), h. 93

76

Menurut Mukti Ali, modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunah dan mendorong kebebasan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks Al-Qur‟an dan Al-hadis.97 Kaum modernis berpendapat bahwa Islam sejalan dengan semangat perkembangan zaman modern karena agama Islam bersifat rasional dan logis. Oleh karena itu, Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bagi mereka, pembaharuan diukur dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Barat. Kaum modernis berpendapat bahwa belum cukup kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang murni, tetapi ajaran-ajaran itu harus dipahami dalam konteks baru pada zaman modern yang setara dengan Barat. Kalau kehidupan beragama diliputi tradisionalisme yang kuat sehingga pelaku agama tidak memungkinkan berfikir maka akan terjadi pertentangan antara modernitas dan kehidupan beragama. Sikap seperti ini menurut Harun Nasution tidak sejalan dengan ajaran Islam sebagai agama yang rasional yang mendorong umatnya untuk berfikir rasional.

Kaum modernis membedakan doktrin dalam dua bidang, yaitu Ibadah dan Muamalat (kemasyarakatan). Dalam ibadah semua peraturan telah terperinci oleh syar ‟ah, sehingga tidak ada lagi kreativitas dalam bidang ini, sedangkan dalam bidang muamalat, syari‟ah hanya memberikan prinsip-prinsip umum, di samping menetapkan hudud (batas-batas) yang tidak boleh dilampaui, mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan relevansi nya dengan zaman. 98

Dari pemaparan tentang modernisme ini maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat modern senantiasa diwarnai dengan perubahan, mereka sangat maju dan kreatif. Menurut Jalaluddin Rahman, untuk melanggengkan agama agar

97 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadin, Mei 1999), Cet. I, h. 13 98 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadin, Mei 1999), Cet. I, h. 14-15, Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, Oktober 2014), Cet. 14, h. 65.

77 ajarannya tetap diterima baik masyarakat modern, maka diadakan pembaharuan atau modernisme usaha ini dapat diwujudkan jika umat Islam mampu memberikan potensi yang besar kepada akal. 99

Oleh karena itu, dari apa yang telah penulis paparkan di atas tentang aliran tradisionalisme dan Modernisme.

1 Penulis berkesimpulan bahwa Ali Yafie adalah seorang ulama modernisme. Hal demikian penulis simpul kan berdasarkan data-data yang sudah penulis sampaikan di atas, mulai dari pengertian apa yang dimaksud modernis, awal perkembangan pemikiran modernis Islam di Indonesia, sampai pada paham bahwa dalam masalah ibadah kaum modernis tidak membolehkan ber ijtihad, sedangkan dalam bidang muamalah lapangan ijtihad terbuka luas dan bahkan ijtihad merupakan keharusan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perubahan zaman.100 2 Dia adalah figur ulama yang memiliki pandangan jauh ke depan, bijak dan kaya akan nuansa-nuansa baru. Dia menghadirkan pemahaman Islam secara baru, sehingga syariat Islam tidak dipahami dalam bentuk teks normatif belaka, tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks zaman, waktu, dan substansi masalah yang sedang berkembang. Gagasan-gagasannya, terutama yang menyangkut dalam fikih sosial menjadi bukti bahwa Ali Yafie adalah seorang tokoh modernis.

99 Nurhidayat Muh. Said, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet. 1, h. 53 100 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 64

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan beberapa bab dan pembahasan dalam penelitian ini, maka pertama-tama dapat penulis tarik kesimpulan bahwa Ali Yafie adalah salah satu ulama besar dari sekian banyak ulama di Indonesia dan cucu dari seorang Syeikh Abdul Hafidz Bugis satu dari tiga ulama terkemuka Indonesia yang menjadi guru besar pertama di Mesjid al-Haram, Mekkah-Arab Saudi, ia juga memiliki tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang luar biasa, bukan hanya di bidang kitab-kitab klasik yang memang sudah menjadi spesialisasinya namun juga ilmu-ilmu lain seperti fiqh, tafsir, aqidah, dakwah, dan lain-lain.

Terlepas dari hal itu semua, hal yang dapat disimpulkan bahwa:

1 Dalam pandangan Ali Yafie, permasalahan hukum keluarga dapat menjadi sumber segala permasalahan yang bersifat universal. Permasalahan hukum keluarga merupakan pangkal permasalahan bangsa. Contoh nya dalam masalah kependudukan yang menjadi salah satu permasalahan negara, bahkan permasalahan dunia sekalipun ternyata berpangkal dari kesejahteraan keluarga sebagai unit terkecil suatu bangsa. Itulah sebabnya program Keluarga Berencana dalam arti menjaga/mengatur jarak kelahiran dapat dibenarkan, lalu masalah usia menikah Ali Yafie tetap dengan yang telah dijalankan oleh Islam dan Mazhab Syafi‟i dengan membolehkan seorang menikah itu pada usia 15 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan dan mempertimbangkan kesiapan mental dan material. 2 Adapun metode yang digunakan adalah pola bayani dan istilahi. Sedangkan metode qiyasi penyusun tidak menemukan indikasi penggunaannya. Gambaran pola bayani dapat dilihat dari pemikirannya tentang pengasuhan anak yang didasarkan dari al-Qur‟an dan hadits nabi. Sedangkan pola istilahi dan bayani dapat ditemukan dalam masalah keluarga berencana. Adapun masalah usia menikah Ali Yafie juga

79

menggunakan metode istilahi. Tiga permasalahan di atas menggunakan pendekatan sosiologis. 3 Bagaimana corak pemikiran Ali Yafie, menurut penulis corak pemikiran Ali Yafie masuk dalam kategori modernis. Semua itu berdasarkan data- data yang telah penulis kumpulkan dan penulis sampaikan. Dia adalah figur ulama yang memiliki pandangan jauh kedepan, bijak dan kaya akan nuansa-nuansa baru. Dia menghadirkan pemahafaman Islam secara baru, sehingga syariat Islam tidak difahami dalam bentuk teks normatif belaka, tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks zaman, waktu, dan substansi masalah yang sedang berkembang. Gagasan-gagasannya, terutama yang menyangkut dalam fiqih sosial menjadi bukti bahwa Ali Yafie adalah seorang tokoh modernis. B. Saran-Saran

Memahami konteks (pesan zaman) dalam merumuskan diktum fiqh ternyata lebih bisa mendekatkan kepada pencapaian tujuan disyari‟atkannya hukum Islam yaitu kemashlahatan. Karena itu kemampuan menangkap “pesan zaman” bagi ulama fiqh, disamping memahami khazanah ilmu-ilmu keislaman lainnya dalam hal menjawab persoalan-persoalan kontemporer merupakan kemestian terutama bagi para sarjana hukum Islam.

Kemudian secara khusus penulis memiliki beberapa saran yang kiranya dapat bermanfaat bagi kelanjutan kajian sejenis ini pada masa mendatang. Terutama terkait dengan pemikiran hukum Islam seorang tokoh, sasaran-sasaran tersebut antara lain untuk melakukan pembaharuan hukum Islam, para pakar hukum Islam Indonesia mesti berani melakukan pembaharuan lewat ijtihad. Kalaulah ijtihad itu tidak dapat dilakukan secara perorangan, sebaiknya hal ini dilakukan secara kolektif. Dan bagi tokoh-tokoh atau ulama yang bertujuan membina dan memberi fatwa-fatwa kepada orang-orang yang memintanya, ada baiknya memberikan rujukan atas fatwanya.

80

81

DAFTAR PUSTAKA

A. Sirry, Mun‟im, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet.1. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004 Azuhaili, Wahbah, Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Kitab,1978. Azuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar ar-Fikr, 1989 Aji, Ahmad Mukri, Urugensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, Bogor: Pustaka Pena Illahi , November 2012, Cet. II. Azra, Azyumardi, Reanisains Islam Di Asia Tenggara: Sejarah, Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Rosda Karya, 1999. Atho Mudzhar, Mohammad, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali. Abdul Halim, M. Nipan, Membahagiakan Suami Sejak Malam Pertama, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005. Abdullah, Sulaiman, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, Cet. 1. Dokumentasi Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat IAIN Jakarta Jl. Kertamukti No.5, Pisangan, Ciputat. Dhofier, Zamaksari, Tradisi Pesantren Pesantren Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Dede Ahmad Ghzali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, Bandung: PT. Remaja Rosydikarya, Februari 2015, Cet. 1. Dede Ahmad Ghzali dan Heri Gunawan, Studi Islam Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, Bandung: PT. Remaja Rosydikarya, Februari 2015, Cet. 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, Cet. 2. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1999), cet. Ke-3. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Daud, Ali Muhammad, S.H, Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2009. Erick Eckhlom dan Kathleen Newland, Perempuan, Kesehatan, dan Keluarga Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Soekanto, Jakarta: YOI dan Sinar Harapan, 1984. Efendi, Bisri, Anuqoyah: Gerak Transformasi Sosial Madura, Jakarta: PEM, 1985. Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djainal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Pranada Media Gruop, 2003, cet.ke-3. Ghazali, al Mustafa min „ilm al-Ushul, (Bairut: Dar al Fikr, tt), Juz. 1, lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, Jilid 2. Hasan, Mustafa, Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: GajahMada University Press, 1996. Hasanuddi. AF, Anatomi Al-Qur‟an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur‟an, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, Cet, 1. Izz ad-Din bin Abdul-Salam, Qawa‟idal Ahkam fiMasalih al Anam, Cairo: Maktabah al Kulliyat al-Azhariyyah, 1994, Juz 1. Imam Abu Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtiar al- „Ulama‟, (Beirut:„Alim al-Kutub, 1985), h. 125; lihat pula, Musthafa Al-Siba‟i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-Undangan. Jahar, Asep Saepudin, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis, Jakarta: Kencana, cet. 1, 2013. John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1992. Jurnal Kodifikasi, Volume 7 No.1 Tahun 2013, Heterogeneous Perundang-undangan Hukum Perkawinan Negara-Negara Modern. Khaeruman, Badri, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2010 Khathib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits Ulumuhu Watathawuruhu, Dar al Fikr, 1975. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Dar al Kuwaytiyyah, 1986. Latif, Nasarudin, KB Dipandang dari Sudut Hukum Islam, Jakarta: BKKBN, 1972. Muh. Said, Nurhidayat, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia “Studi Pemikiran Harun Nasution”, Cet. 1. Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadin, Mei 1999, Cet. I. Muhammad Hamid an-Nashir, Menjawab Moderenisasi Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004, Cet. 1. Mughniyah, Muh. Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2003. Muhammad Alwi Al Maliki AlHassani, Etika Dalam Rumah Tanggal Islam, Surabaya: PT Bungkut Indah. Muhammad „Abd al-„Azhim al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi‟Ulum al- Qur‟an, Mesir:„Isa al-Babi al-Halabi, Juz ke-1. Muhaimin, “Dari Numerologi Hingga Fiqih Sosial: Menyambut 70 Tahun Prof KH Ali Yafie”. Mastuhu, “Kyai Tanpa Pesantren: KH. Ali Yafie Dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia”, dalam Jamal D. Rahman. Muhammad, Fadel, “Kyai di Hadapan Infotronics Age”, dalam Jamal D.Rahman. Muzadi, Hasyim,“K.H Ali Yafie, Mata Air dan Kader Baru,”. Muzdhar, M. Atho‟, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003 cet. 1. Ma‟luf, Louis, Al-Munjid al-Abjady, Bairut, Libanon: Dar al-Masyriq, 1986. Mas‟adi, A Ghufron, Pemikiran Fazrul Rahman tentang Metodelogi Pembaruan Hukum Islam , Cet. II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993. Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, November 1998, Cet.V. Nasution, Harun, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI- Pers, jilid-2, 1978. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Qaththan, Manna, Mabasih fi „Ulum al-Qur‟an Mesir: Tsa al-Babi al- Halabi, Juz.1. Rahman, D Jamal .(et al), Wacana Baru Fiqih Sosial, 70 Tahun K.H Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997. Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Said Agil Husin Al-Munawar , MA, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004, Cet. 1. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 1991. Surayabrata, Sumardi, Metodelogi Penelitian, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014. Cet. XVI. Sofyan A. Kumba dan Muhammadiyah Amin (ed.), KH. Ali Yafie, Jati Diri Tempaan Fiqih, Jakarta: FKMPASS, 2001. Suma, Moh. Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 2, 2002 Sudarsono, S.H, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Pt. RINEKA CIPTA, 1991, Cet. 1. Siba‟i, Musthafa, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang- Undangan. Tholabi, Ahmad, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Rahardjo Sutjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni,1983. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009, Tentang Perkembangan Kependudukan dan Ketahanan Keluarga. Umran, Abdurrahman, Islam dan KB PT Lentera Basritama: jakarta. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Yahya, Muhtar, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung: Al-Ma‟arif, 1986. Yafie, Ali, “Apakah Al-Qur‟an itu?: Mengapa Dibutuhkan Tafsir Terhadap al Qur‟an,” makalah disampaikan di Yayasan Paramadina –Fahma, Jakarta, Sabtu 16 Juni 1990 yang kemudian ditulis ulang dalam buku Menggagas Fiqih Sosial, dari Sosial Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhwah, Bandung: Mizan, 1997 Yafie, Ali, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan dan Kemanusiaan, Yogyakarta: LKPSM, 1997. Yakub, Aminudin, KB Dalam Polemik: Melacak Pesan Subtantif Islam, Jakarta: PBB UIN, 2003, Cet. 1. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadin, Mei 1999, Cet. I, Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, Oktober 2014, Cet. 14.