BumSubdah makuan belum?

J U N I 2 0 2 0 | V O L I I S S U E 3 Food Notes

Di , perayaan lekat dengan syukuran. Budaya bersyukur ini tak memandang suku dan agama, dan biasanya justru saling berkelindan.

Seperti yang dapat kita rasakan, banyak hal yang dapat disyukuri dalam hidup kita – dan lalu dirayakan. Mulai dari ulang tahun, pergantian tahun, acara-acara hari raya, panen pertama, hingga pencapaian yang mungkin saja menurut orang lain remeh.

Ungkapan rasa syukur biasanya ditunjukkan dengan cara berbagi, melalui makanan. Tak hanya dapat dinikmati bersama-sama, makanan kerap pula mengandung simbol atas doa dan harapan seseorang.

Atau, bisa juga, makanan mengandung makna lain yang menarik untuk diceritakan. Seperti di beberapa daerah, berbagi makanan berarti jalan untuk membuka pintu rejeki. Sementara, menolak makanan yang ditawarkan, berarti menutup pintu rejeki orang yang menawari.

Merayakan berarti berbagi. Jadi, kalau ada yang menraktir kita saat dia berulang tahun, jangan selalu dilihat sebagai sesuatu yang memberatkan. Bisa jadi, berbagi menjadi cara dia untuk bersyukur.

Edisi kali ini, kami ingin mengangkat cerita-cerita tentang perayaan di sekeliling kita. Tentang sajian, memori dan aneka rasa di baliknya. Mari rayakan hari dengan sajian dan cerita!

@ E A T Y M O L O G I S T @ M Y F O O D V E N T U R I S T

1 B U M B U M A G Z daftar isi

Potluck: Merayakan Waktu Luang 19 @eatymologist Menggali Memori dari 22 Sekuali Bunga Kelapa 1 Food Notes @harumanis Quote Ayam Ingkung: 26 3 Rayakan Kebersamaan Cap Go Meh @myfoodventurist 27 @myfoodventurist Rewangan: Mie Ulang Tahun: 6 Bantu-bantu Tetangga Pengharapan & Pengenyang @eatymologist 30 @eatymologist Rasulan: Bubur Lemu: 9 Setelah Pesta Usai Sepotong Kisah dari Masa Lalu @wisnu_ari_tjokro 32 @rachmasafitri Gorengan 16 @myfoodventurist

2 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 O P I N I

Ayam Ingkung - Rayakan Kebersamaan -

Teks: @myfoodventurist Foto: @eatymologist

Biasanya, ayam ingkung ditemui dalam sajian tumpengan sebagai lauk utama pelengkap . Lauk ini menjadi simbol dari kemurnian/kesucian yang belum berdosa sehingga menjadi doa pengharapan. Namun pada perkembangannya, ayam ingkung kini dapat ditemukan di rumah makan dan warung makan sekitar sebagai lauk yang bisa dinikmati setiap saat. Teks dan foto: @eatymologist

3 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 Ini juga menjadikan ingkung tak hanya makanan Ayam yang tersaji utuh mengajarkan kami yang pelengkap tumpeng, namun juga sebagai muda-muda untuk mengontrol diri ketika hidangan kebersamaan. Ini mengacu pada mengambil lauk ayam tersebut. Setelah anggota pengertian bahwa ingkung yang saya angkat di keluarga tertua mengambil bagiannya baru yang sini merupakan sajian satu ekor ayam utuh, lebih muda ikut mengambil. Pengambilan bagian dihidangkan untuk lauk yang diharapkan ayam ingkung ini juga seakan mengajak kami mencukupi banyak orang. untuk memikirkan anggota keluarga lain. Tidak serta merta mengambil banyak-banyak, Kiranya pemikiran seperti itu yang hadir ketika secukupnya semua kebagian. keluarga saya menyajikan ingkung dalam acara makan bersama. Sesuatu yang taken for granted. Tante bungsu saya paling suka bagian kepala. Otomatis para keponakan akan menyisihkan Baru saya sadari, menu makanan yang kerap kali bagian kepala untuk tante bungsu kami itu. hadir dalam acara keluarga saya adalah ingkung. Sementara, ibu saya sudah pasti mengambil Mulai dari digoreng, dibakar hingga dimasak terlebih dulu bagian sayap sebagai kesukaannya. bacem atau tim, ayam ingkung selalu Paha disisihkan untuk anak-anak atau cucunya. hadir menjadi lauk di tengah menu makan Saya sendiri memakan bagian apapun yang ada keluarga besar. Hampir seluruh anggota keluarga atau tersisa – tapi tidak kulitnya. menggemari menu ini dan jarang tersisa di akhir acara - baik ingkung yang dimasak oleh bulik Ayam ingkung juga menjadi pilihan menu yang kami yang terkenal pandai memasak atau mewakili harapan keluarga akan hal-hal baik di ingkung yang dibeli di warung ayam langganan. masa yang akan datang. Membagi bagian-bagian Ini membuat saya berpikir bahwa ayam ingkung ayam dengan seluruh anggota keluarga juga menjadi salah satu elemen perayaan yang menjadi bagian harapan agar semuanya turut esensial, setidaknya di keluarga kami. merasakan dan menularkan hal-hal baik tersebut.

4 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 Tidak lepas jauh dari makna awalnya, sajian ayam ingkung yang bermuatan doa dan pengharapan itu kini pun masih sama. Hanya saja, ingkung tak lagi hadir sekedar simbolisasi dalam sebuah ritual, namun sebuah sajian kebersamaan. "Sudahkah

Dengan hadirnya ayam ingkung, akan ada tangan-tangan yang berpadu (atau beradu?) di kita berbagi atas piring, mengambil bagian ayam yang mereka sukai, tanpa melupakan orang lain - sehingga mengambil secukupnya saja. Mungkin kelak lauk hari jika saya mengadakan acara makan, saya akan sajikan ingkung dalam salah satu menunya. Selain menu ayam cenderung disukai semua orang, setidaknya saya tidak perlu terlalu ini?" khawatir jika ada yang tidak kebagian lauk lainnya karena ingkung cukup banyak untuk makan bersama-sama, jika dipadukan dengan lauk lainnya. (*)

5 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 T R A D I S I

R EbaWntu-bAantNu tetGangAga N

Teks: @eatymologist Foto: @myfoodventurist & @eatymologist

Kuliah Kerja Nyata-lah yang mengenalkan saya pada kegiatan rewangan, atau yang di beberapa tempat disebut sambatan. Tinggal di desa selama dua bulan, saya mengikuti (hampir) semua kegiatan sosial ibu-ibu di daerah tempat menginap saya, termasuk salah satunya rewangan selapanan anak ketua RT.

Rewangan sendiri merupakan kegiatan di mana para tetangga membantu menyiapkan acara hajatan seseorang, dari pernikahan, membangun rumah, sampai selapanan bayi tadi. Akarnya dari semangat gotong-royang. Baik laki-laki maupun perempuan membantu sesuai dengan bidangnya masing-masing, biasanya perempuan sibuk menyiapkan makanan di dapur dan laki-laki menata lokasi tempat berlangsungnya kegiatan.

6 B U M B U M A G Z Kegiatan ini awalnya merupakan bentuk bantuan ini yang dibayar karena memiliki keahlian dan dukungan sesama tetangga. Tak hanya tertentu. Salah satunya adalah mereka yang ahli bantuan tenaga, kerap kali rewangan ini juga dalam menanak nasi dalam jumlah besar, kerap memberi dukungan mental bagi si empunya hajat. disebut sebagai divisi adhang sego.

Berlangsung selama beberapa hari, para ibu dan Walau begitu, kegiatan rewangan ini makin hari bapak serta anak muda yang ikut rewangan makin tergerus oleh modernisasi sehingga mulai biasanya melakukannya dengan sukarela dilandasi ditinggalkan. Seperti di kawasan tempat tinggal rasa saling peduli. Meski begitu, tak dipungkiri, saya yang terletak di pinggir kota, sudah tak ada memang ada yang namanya kontrol sosial atau lagi kegiatan rewangan. aturan sosial yang tak tampak – yang membuat seseorang jadi “terpaksa” ikut rewangan. Terakhir kali ibu saya menikahkan anaknya, yang terjadi justru semacam transformasi dari rewangan Mereka yang mengikuti rewangan biasanya diberi ke penggunaan jasa katering. Ibu-ibu PKK di hantaran makanan atau wewehan sebagai sekitar rumah dimintai bantuan untuk memasak pengganti atas makanan yang tidak dapat dengan hitungan biaya profesional, yang besaran disiapkan di rumah. Isi dari hantaran ini bervariasi, nilainya ditetapkan oleh ibu-ibu PKK tersebut. tergantung lauk yang dimasak pada saat itu. Yang Gelas, piring, sendok, garpu dan kebutuhan makan jelas komposisinya selalu ada nasi (biasanya lainnya pun ikut disediakan oleh ibu-ibu PKK, banyak), daging, sayur, buah, dan jajanan. dalam akad sewa-menyewa.

Selain yang sukarela, ada pula peserta rewangan Pergeseran ini dipengaruhi oleh banyak faktor.

7 B U M B U M A G Z Dari faktor yang tampak saja, banyaknya jasa juga menjadi penyebab bergesernya tradisi ini. katering dan persewaan barang sangat Terlebih kini dengan banyaknya perpindahan mendukung bergesernya tradisi rewangan. penduduk. Hampir tak mungkin orang yang baru Perubahan peran perempuan yang kini juga masuk pindah, berani untuk meminta tolong tetangga ke ranah publik, menjadikan waktu sangat barunya rewangan di acara hajatannya, bukan? berharga karena kesibukannya di luar rumah. Kepraktisan menjadi penting. Lalu adakah pengaruhnya pada kegiatan hajatan masa kini? Menurut saya ada. Dengan Dapur yang kecil akibat ukuran rumah yang dialihtugaskan ke jasa katering, kuliner yang menyusut juga menjadi salah satu penyebab. muncul pun lebih standar. Kuliner khas daerah Rewangan membutuhkan lokasi yang luas, seperti tersebut yang biasa disuguhkan saat hajatan akan pawon-pawon tradisional, di mana semua dapat tergantikan dengan masakan khas katering, yang berkumpul dan memasak bersama-sama. Walau biasanya lebih umum. begitu, untuk menyikapi perubahan ini, tetangga desa saya ada rewangan dengan cara dikerjakan Tak hanya berhenti di situ, transfer ilmu antar di rumah masing-masing dan nanti tinggal disetor generasi yang biasanya terjadi di pawon pun akan ke tempat hajatan. Berjalan lancar? Entahlah. turut berhenti. Akibatnya, ilmu kuliner dan per- pawon-an tradisional bisa jadi menghilang – dan Selain itu, rasa pekewuh untuk meminta bantuan keakraban bertetangga pun menurun. (*)

8 B U M B U M A G Z G A L E R I

RASULAN Setelah Pesta Usai

Foto: @wisnu_ari_tjokro Teks: @eatymologist

Sebuah perayaan umumnya diangkat ketika sedang berlangsung ramai. Namun, di balik itu semua, setelah perayaan digelar, hidup tidak lantas berhenti. Setelah kesenangan dan keriaan berlalu, setumpuk kisah lain muncul untuk didengarkan.

9 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

Meski menggunakan kata "Rasul", perayaan Rasulan di masa kini tak lagi terkait langsung dengan perayaan keagamaan. Rasulan diingat oleh masyarakat sebagai perayaan yang menitikberatkan pada syukuran dan berbagi - awalnya merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen satu tahun. Perayaan ini banyak diselenggarakan di desa, terutama di daerah Gunung Kidul dan sekitarnya.

Tak banyak yang mengetahui sejarah Rasulan. Namun apabila dirunut, acara ini sebenarnya berakar pada acara Maulid Nabi yang diselenggarakan secara rutin setiap tahun di Kraton Yogyakarta. Kegiatannya pun tak jauh berbeda: mengumpulkan hasil panen/masakan dari masyarakat dan menaruhnya di (semacam) gunungan untuk kemudian dibagikan pada masyarakat umum.

Perayaan Rasulan yang telah "lepas" dari Maulud Nabi pun dilaksanakan tidak secara bersamaan. Di setiap desa, jadwalnya berbeda-beda, tergantung pada kesepakatan masyarakat. Hari, tanggal, hingga bulan ditentukan sendiri oleh masing-masing desa. Titik beratnya tak lagi hanya pada hasil panen, tapi bergeser ke rasa syukur pada hal-hal umumnya.

Dengan jadwal yang berbeda-beda, warga di suatu desa dapat saling berkunjung di perayaan Rasulan desa lain. Tak heran Rasulan dirayakan dengan besar-besaran, hingga mampu menjadi magnet bagi para perantau untuk pulang ke daerahnya demi bisa turut merayakan bersama keluarga di kampung halaman. (*)

1 0 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

1 1 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

1 2 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

1 3 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

1 4 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 G A L E R I

1 5 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 O P I N I GORENGAN Teks dan foto: @myfoodventurist

Pada satu perhelatan acara keluarga, sepiring gorengan tersaji di meja tamu lengkap bersama -kue lainnya. Isinya jelas aneka gorengan, mulai dari , tahu, hingga tempe dan tape goreng. Sesaat setelah disajikan, tumpukan gorengan hangat ini langsung diserbu tamu dan keluarga. Saya pun turut serta memilih gorengan mana yang akan saya lahap kali ini, tak lupa sembari mencari selipan cabai rawit di sela-sela tumpukannya.

1 6 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 Bagi banyak orang, kehadiran gorengan dalam tempe goreng dan tahu isi masih tersisa di piring acara kumpul-kumpul seakan sebuah menu wajib. tersebut. Dan, kesukaan semua orang. Gorengan menjadi sajian favorit dalam meja saji ini tidak lepas dari “Ayo ini dimakan tempe tahu-nya buat nambah pertimbangan akan hidangan yang murah, enak lauknya,” ucap sang empunya rumah kala itu. dan mudah bagi semua orang. Gorengan pun menjadi sangat hybrid di mata Gorengan adalah penyebutan singkat untuk saya. Dia bisa ‘berlari’ dari meja tamu sebagai berbagai sajian dan kudapan yang diolah dengan camilan ke meja makan sebagai lauk. Namun cara digoreng. Jenisnya sendiri begitu beragam. tentu saja gorengan untuk kedua meja sajian ini Namun setidaknya ada dua golongan besar tidak selamanya se-hybrid itu. gorengan: gorengan manis dan gorengan asin. Kemudian, baru dipisahkan ke jenis-jenis Sajian gorengan yang didominasi sajian manis bahan dasarnya. seperti Kemajemukan pisang dalam gorengan goreng, tape ini mungkin juga goreng dan jadi ubi goreng pertimbangan tentu tidak mengapa sajian akan bisa ini begitu hinggap di mudah meja makan menempati sebagai sela-sela meja tambahan dan hidangan lauk. Akan lain. Menyajikan tetapi jika gorengan gorengan sebagai didominasi komponen varian gurih menu makanan seperti adalah salah tempe, tahu, satu pilihan risol, praktis. Sajian hingga ini bisa dipadu- bakwan padankan maka dengan aneka menu lain, dimakan begitu saja kemungkinan besar piring ini akan berpindah ke sebagai camilan, atau bahkan sebagai tambahan meja makan jadi lauk. lauk. Seperti di satu waktu ketika sedang makan bersama di rumah saudara, sang empunya rumah Segi kepraktisan menyajikan gorengan untuk meminta saya untuk mengambil piring gorengan di berbagai kesempatan dan acara juga jadi meja tamu dan dibawa ke meja makan. Beberapa pertimbangan mengapa gorengan seringkali hadir.

1 7 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 Mau bikin sendiri atau beli di penjual sekitar rumah pun bisa. Dan waktunya pun tidak terbatas: penjual gorengan muncul di pagi, siang, dan sore hari. Bahkan, gorengan selalu tersedia di warung-warung burjo terdekat.

Posisi gorengan dalam kehidupan ini mungkin seiring dengan kehadiran kerupuk dalam proses makan kita, bukan yang utama namun akan lebih enak atau menyenangkan jika mereka bisa hadir. Kerap kali dianggap menjadi penyempurna proses makan dalam keseharian, gorengan setidaknya telah menempati banyak hati orang-orang Indonesia sebagai sajian yang digemari seribu umat.

Kira-kira mau makan gorengan apa hari ini? (*)

1 8 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 PO P I N I OTLUCK Merayakan Waktu Luang

Teks dan foto: @eatymologist Potluck merupakan kegiatan berkumpul di mana tiap-tiap orang membawa makanannya sendiri- sendiri. Alhasil, pada saat berkumpul, makanan Berkumpul dengan gaya potluck yang terhidang bisa sangat bervariasi. Benar- merupakan salah satu cara benar bervariasi, kecuali sebelumnya telah ditentukan tema tertentu. Ini yang membuatnya ngumpul yang saya suka. Ini seru. karena, bagi saya, keseruan Sejak undangan datang, persiapan potluck potluck datang sejak undangan sudah dimulai. Apa yang akan dibawa, apa disebarkan. yang akan disajikan undangan yang lain, apa

1 9 B U M B U M A G Z yang akan dihidangkan tuan rumah, dan Apabila seseorang suka memasak hal-hal baru, sebagainya. Ini penting dipikirkan agar tidak terjadi biasanya akan menyuguhkan masakan dua orang undangan membawa makanan yang eksperimental. Ini bisa dari yang benar-benar sama. Bahkan, kerap kali jenis makanan ini eksperimental, seperti yang biasa dilakukan adik ditentukan sejak undangan: makanan lauk-pauk, saya dengan menggabungkan segala left-over di snack, dessert, dan makanan yang berdiri sendiri. dalam kulkas. Atau eksperimental yang hanya berarti “mencoba resep baru”, seperti hidangan Secara otomatis, tuan rumah biasanya bertugas bowl ayam kemangi yang berawal dari menyediakan hidangan yang esensial: nasi putih eksperimen resep baru dan berakhir jadi dan minuman teh hangat. Ini semacam wajib. langganan. Namun, perlu diingat, se- Dengan kreativitas tak terbatas pada peserta eksperimental apapun, tetap haruslah masuk potluck, masakan yang biasanya muncul di acara dalam koridor 'masakan aman untuk disuguhkan'.

potluck bisa sangat bervariasi. Tak lagi menjadi Seorang kawan saya, biasanya membawa masalah ketika sayur asam bertemu dengan pizza makanan kekinian ketika ada undangan potluck. topping tuna, diselingi camilan , Umumnya ini snack, seperti nugget pisang hingga kemudian diakhiri dengan kue gluten-free dan kopi donat kentang yang lagi naik daun. Berkah susu kekinian. Tak ada yang (boleh!) protes. bagi saya, karena saya jadi tahu perkembangan kuliner masa kini. Menariknya, dari makanan yang dibawa oleh para undangan, sebenarnya bisa menunjukkan Sementara ada pula kawan saya lainnya yang kebiasaan hariannya loh... Biasanya, ada tiga tipe seorang ibu rumah tangga tulen, yang suka makanan yang sangat mungkin muncul: masakan membawa/menyuguhkan makanan rumahan yang rumahan, makanan kekinian, dan masakan lezat. matahnya hingga kini masih sering eksperimental. terbayang. Juga, kakak saya yang super

2 0 B U M B U M A G Z hidangan ini dapat memenuhi selera dari tamu yang berbeda-beda.

Terlepas dari keseruannya, tentu saja, mengadakan potluck bukanlah kegiatan yang selalu menyenangkan. Energi dan waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari pada kalau kita mengadakan acara kumpul di rumah makan.

Lalu, kenapa saya suka melakukannya? Karena bagi saya, potluck adalah merayakan waktu luang.

Pertama-tama, potluck biasa dilakukan di rumah, atau taman sembari piknik. Dengan begitu, kegiatannya pun lebih santai dan tidak terganggu waktu - tidak seperti kalau kita makan di rumah makan all you can eat yang waktunya hanya dibatasi 90 menit.

Yang kedua, lebih banyak cerita dari makanannya ketika kita mengadakan potluck. Ini menarik, karena biasanya berlanjut pada obrolan yang santai dan berujung pada gosip.

Pun seringnya, potluck dilakukan bersama keluarga atau teman-teman akrab yang jumlahnya sedikit. Karenanya, obrolan bisa lebih intim dan fokus – tanpa ada perasaan sibuk, suka sekali membawa makanan praktis pakewuh (tidak enak hati) saat menghabiskan (beli/masak sendiri) ketika datang ke acara makanan yang tersaji di piring. potluck – seperti aneka dessert atau platter aneka gorengan. Kembali pada konsep merayakan waktu luang, potluck memang membutuhkan energi dan Meski hasilnya tampak berantakan dengan waktu luang yang cukup banyak. Tak hanya berbagai menu yang saling tumpang-tindih, untuk memasak, namun juga untuk menikmati semua makanan tadi sebenarnya memiliki hidangan pelan-pelan sambil mengobrol kian- fungsinya tersendiri. Justru, beragamnya kemari. (*)

2 1 B U M B U M A G Z O P I N I

Menggali Memori dari Sekuali Bunga Kelapa

Teks: @harumanis Foto: @eatymologist

Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, telinga saya tidak pernah absen mendengarkan cerita Ibu tentang gurihnya bunga kelapa berbumbu ulekan ketumbar, merica, bawang merah, bawang putih, kemiri, geprekan lengkuas, sedikit terasi bakar, dan beberapa lembar daun salam.

“Mbah Kakung dulu selalu ngendiko kalau brambang dan tumbarnya harus banyak agar aroma khas gudegnya keluar,” begitu kata Ibu.

2 2 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234

s i n a m u r a h @

a g r a u l e k

i s a t n e m u k o d

: o t o F manggar (bunga kelapa) sudah menjadi Kesukaan Kakek memasak disertai kebiasaan hidangan tradisi turun temurun di keluarga Kakek keluarga untuk bersantap malam bersama serta pada setiap penghujung bulan puasa. Seingat Ibu, menjadikan meja makan sebagai tempat bertukar kini berusia 73 tahun, Kakek pernah bercerita cerita dan sirkulasi pengetahuan. Sebagai bahwa gudeg manggar sudah ia nikmati sejak seorang Jawa totok, kakek tidak pernah ragu masih bersekolah di Sekolah Rakyat. Leluhur untuk turun tangan di dapur – hal yang Kakek berdomisili di Bantul, sehingga diturunkan pula kepada anak-anak hingga ke kemungkinan besar resep berasal dari daerah cucu-cucu lelakinya. yang hingga kini terkenal sebagai sentra gudeg manggar di Yogyakarta. Proses panjang memasak gudeg istimewa ini dimulai sekira seminggu sebelum hari raya Memori tentang gudeg manggar selalu membawa dengan meminta tolong tetangga yang jago Ibu pada kenangan kebersamaan keluarga di hari memanjat untuk memetik manggar. Bunga raya. “Setiap lebaran, kami sowan ke rumah kelapa dipetik dari pohon yang tumbuh berjejer di Simbah di Bangireja dan makan siang bersama sekeliling rumah joglo kakek, yang ditanam dengan menu gudeg manggar,” kata Ibu sambil sebagai pagar pekarangan – begitu pula kelapa mengingat riuhnya suasana lebaran di rumah yang digunakan sebagai santan. Ibu yang saat kakeknya (kakek buyut saya) di sebuah daerah di itu masih kecil hanya memperhatikan dan Kota Yogyakarta. menunggui saat Kakek meracik bumbu-bumbu dan menyiapkan bahan. Sementara kakak- Saat kakek buyut masih hidup pun tradisi kakaknya, laki-laki dan perempuan, bersama menyajikan gudeg manggar ini sudah mulai Nenek bergantian membantu Kakek di dapur dilestarikan oleh kakek saya, yang diingat Ibu berdinding gedheg (anyaman bambu) dan sebagai sosok seorang ayah yang jago memasak. bertungku kayu bakar itu.

2 3 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 Kakek memastikan bahwa manggar yang akan Sambil duduk di bale-bale bambu di samping dimasak masih muda, kuncup, dan warnanya tungku kayu yang hangat, Ibu mengamati putih. Bahan lainnya seperti ayam kampung dan bagaimana Kakek menghaluskan bumbu, telur dibeli dari Pasar Kranggan yang jaraknya meninggalkan kenangan suara cobek batu yang tak terlalu jauh. Kulit manggar yang berbentuk beradu dengan munthu. "Urutannya tidak seperti perahu dibuka kakek dengan sangat pernah berubah. Selalu konsisten menguleg hati-hati agar bunga kelapa tidak lepas-lepas. ketumbar dulu, lalu merica disusul kemiri Lalu kakek membaginya menjadi beberapa sebelum memasukkan brambang, bawang dan bagian untuk diikat dengan kreneng (tali dari terasi ke dalam cowek,” cerita Ibu. bambu yang diserut tipis). Saat seluruh manggar telah terikat, dibukalah sisa kulit Ketika menjelang dewasa dan ikut membumbui penutupnya sebelum dipotong-potong di antara hidangan ini, baru Ibu paham bahwa urutan itu tali pengikatnya. Jadi, satu potong manggar itu dilakukan agar bumbu bisa halus sempurna. Di tetap utuh saat diolah karena terikat erat. tengah kesibukan menyiapkan bumbu, Kakek Manggar direndam dalam air bersih selama 2-3 juga meniriskan rendaman manggar dan jam, menggantikan proses pencucian yang bisa merebusnya hingga mendidih. Setelah airnya membuat ikatan dan butiran manggar lepas. berkurang, air rebusan itu dibuang untuk menghilangkan rasa sepet manggar.

Tiba saat yang paling dinantikan sekeluarga, yaitu bergotong-royong menyusun bahan gudeg ke dalam kuali tanah liat yang berukuran ekstra besar. Maklum, saudara Ibu banyak, ditambah anak-anaknya dan para tamu yang sowan di hari raya. Di dasar kuali diletakkan bathok atau tempurung kelapa yang dipecah separuh dan sudah dibersihkan dari serabutnya. Tempurung kelapa diletakkan terbalik agar dasar kuali tidak gosong dan berkerak ketika mengalami proses pemanasan yang sangat lama. Di atasnya, disusun daun jati yang juga dipetik dari pekarangan rumah. Lalu manggar, telur rebus yang sudah dikupas, dan potongan ayam kampung diletakkan berselang-seling. “Ayamnya bisa dua hingga tiga ekor dan telurnya bisa sampai 50 butir!” kenang Ibu.

Bumbu-bumbu halus, daun salam, lengkuas geprek, gula Jawa dan garam pun masuk ke kuali diakhiri santan encer.

2 4 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 “Kakekmu selalu berpesan agar tidak diaduk Santan kental kembali dikucurkan ke kuali di ketika sudah mendidih dan santannya hari keempat sambil terus dipanasi, dan gudeg berkurang,” kata Ibu. “Tinggal masukkan santan manggar yang telah berproses lama itu pun kental, kecilkan api, dan diamkan saja.” akhirnya bisa dinikmati di hari kelima!

Proses ini berlangsung semalaman dengan api “Lezatnya masih terasa di lidah,” kata Ibu setiap kecil, caranya dengan membiarkan bara tetap kali bercerita. ada dan kayu bakar diganti dengan sabut kelapa yang telah dijemur hingga kering. Pagi Sayang sekali saat ini tradisi gudeg manggar itu harinya, Kakek menambahkan santan lagi dan sudah tidak berlanjut. Terakhir saya membantu tetap dipanaskan hingga hari berikutnya. membuatnya ketika masih remaja. Setelah itu, entah kenapa, tak ada lagi yang memasaknya. Pada hari ketiga biasanya warna mulai berubah kecoklatan tanda gudeg sudah siap dibalik. Namun, saya selalu teringat pesan yang Artinya semua bahan dikeluarkan dari kuali tersimpan dalam cerita Ibu tentang gudeg dengan hati-hati lalu disusun kembali dengan manggar. Selain tentang kenikmatan yang akan urutan terbalik, yang tadinya berada di bawah kita dapatkan setelah bersabar dalam sebuah menjadi urutan paling atas. Sungguh harus proses panjang, tak kalah penting adalah bersabar, apalagi pada tahap ini ayam mulai bagaimana Kakek telah menjadikan pawon lepas dari tulangnya dan telur mengkerut bertungku kayu bakar itu sebagai pusat menjadi kecil. kehangatan keluarga yang selalu terkenang. (*)

2 5 B U M B U M A G Z Issue 27 | 234 the best memories are made around the table.

- A N O N Y M -

2 6 B U M B U M A G Z K U L I N E R lontong CAP GO MEH

Dalam penyajiannya, hidangan Lontong Cap Go Meh memang menggabungkan elemen dan lauk-pauk di dalam satu piring. Lontong yang sudah diiris-iris, disajikan dengan , dan di atasnya diberi aneka lauk yang bisa berbeda antara satu rumah dengan rumah lainnya: telur rebus, sayur labu, Pertama kali saya berkenalan sambal goreng tahu, sambal goreng jerohan, bubuk dengan Lontong Cap Gomeh, kedelai, bubuk koya, hingga tumis rebung. Tak lupa, kerupuk udang. ada pertanyaan sederhana yang muncul di benak saya: Akhirnya, pertanyaan ini terjawab seiring dengan waktu. Lontong Cap Go Meh rupanya bukan ini opor ayam, tapi kenapa sekedar makanan yang mirip opor ayam, namun ada sayur dan aneka lauk kisahnya memang bertalian. lainnya? Apa ada Jika dirunut dari sejarahnya, Lontong Cap Go Meh ini hubungannya dengan opor merupakan hidangan khas kaum Cina-Peranakan di ayam biasanya? Pulau Jawa, terutama di pesisir utara. Meski asal- muasalnya tak dapat dipastikan dengan jelas, namun Teks: @myfoodventurist keberadaan Lontong Cap Go Meh ini disinyalir dimulai dari kawasan dan sekitarnya. Tentunya ini dipengaruhi kedatangan Laksamana Ceng Ho di pesisir utara Jawa kala itu, selain itu salah satunya juga karena banyaknya rumah makan yang menjual menu ini di sana.

2 7 B U M B U M A G Z Lontong Cap Go Meh hadir sebagai upaya saling menghantarkan opor ke menghadirkan sajian khas komunitas kerabat dan tetangganya, masyarakat Tionghoa di masa perayaan Cap Go Meh. Cina-Peranakan pun ikut saling Perayaan yang dirayakan di perantauan menghantarkan opor versi lontong Cap Go tentu akan terpengaruh oleh kebudayaan di Meh ketika perayaan Cap Go Meh – yang sekitarnya. Hidangan ini sendiri muncul dari dalam penyajiannya sudah dilengkapi asimilasi budaya yang terjadi bagi mereka dengan tambahan lauk-pauk kebiasaan yang hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya. masyarakat etnis Jawa, atau bahkan menikah dengan etnis Jawa. Penyajian Lontong Cap Go Meh ini tentunya menyesuaikan dengan kebiasaan, bahan, Kebiasaan masyarakat Jawa yang serta selera lingkungan sekitarnya. Seperti beragama Islam (dan para santri) untuk Lontong Cap Go Meh di Yogyakarta menikmati ketupat opor pada saat hari raya

yang saya temui, memakai sambal krecek Idul Fitri, diadopsi oleh masyarakat Cina- sebagai salah satu isiannya – mungkin Peranakan dalam perayaannya. Hidangan ini juga asimilasi dari sajian gudeg dan Lontong Cap Go Meh pun muncul, tentu kreceknya. Lalu yang saya temui di dengan simbol-simbol baru. Lontong yang , sajian Lontong Cap Go Meh bulat menyimbolkan bulan purnama – menggunakan bubuk koya yang dicampur seperti yang kita tahu, Cap Go Meh sendiri dengan parutan kelapa. Sementara, di dirayakan pada tanggal 15 ketika bulan Semarang, Lontong Cap Go Meh ada yang sedang penuh. Sama seperti ketika dihidangkan bersama tumisan rebung, yang perayaan Idul Fitri dan masyarakat Muslim tampaknya sejenis isian lumpia namun lebih

2 8 B U M B U M A G Z pedas. Dan di , bisa ditemui Lontong makan satu orang. Paling pas memang Cap Go Meh dengan lauk isian lodeh. membeli di rumah makan atau restoran peranakan terdekat yang memiliki menu ini. Dalam sepiring Lontong Cap Go Meh, yang Sayangnya, hidangan ini tidak banyak dijual harus ada hanyalah lontong, opor ayam, apabila kita tidak tinggal dekat kawasan telur, dan kerupuk udang. Bagi saya pribadi, Pecinan, seperti di Semarang. tentu saja rasa Lontong Cap Go Meh lebih kompleks daripada lontong opor berkat Hanya segelintir rumah makan Peranakan hadirnya elemen abon serta bubuk koya yang ada di sekitar tempat tinggal saya, itu yang tidak saya temui di lontong opor pun tidak semua menyediakan menu pada umumnya. Sayur labu, sambal goreng lontong Cap Go Meh ini. Maka, ketika ada tahu, dan lauk-pauk lain sebenarnya rumah makan langganan yang menjual biasanya juga tersaji saat perayaan Idul menu ini dan kini setelah perombakan menu Fitri. Hanya saja, tidak dalam satu piring. Ini mereka tak lagi menyajikan, saya merasa pun menambah kompleksnya rasa lontong patah hati. Cap Go Meh. Begitu sulitnya menemukan menu ini Saking banyaknya elemen yang tersaji membuat saya merasa rindu, dan dalam seporsi lontong Cap Go Meh, saya tampaknya sulit menuntaskan rindu ini membayangkan repotnya jika harus kalau saya tidak berangkat sendiri ke membuat sendiri di rumah – untuk porsi Semarang, ya… (*)

2 9 B U M B U M A G Z O P I N I

Teks dan foto: @eatymologist N U H g A n a T y

n e g G Di kota kami, ada sebuah restoran keluarga n

e yang cukup besar dan memiliki beberapa N P cabang, dengan speciality yang berbeda-beda

di tiap cabangnya. Salah satu cabang restoran & A itu hanya menjual menu masakan Cina (dan n Jepang). Nah, di restoran itulah pertama kali L a saya menemukan menu "Mie Ulang Tahun". p a U r Sebagai orang Jawa, namanya cukup unik. Karena, mie yang a terhidang adalah mie telur goreng, dengan isian ayam, telur, sosis, h

E dan beberapa jenis sayuran. yang "mewah".

g I

n Mengingatkan pada sesuatu?

e Bagi saya, sajian itu mengingatkan pada (hampir) setiap perayaan P

M yang diadakan di keluarga saya, ataupun acara perayaan teman.

3 0 B U M B U M A G Z Bukan hanya di acara ulang tahun. "Mie Ulang Tahun" hampir selalu terhidang di segala perayaan, bersama nasi dan aneka lauk lain.

Tak pandang bulu, mie goreng bersanding dengan berbagai menu yang bahkan kadang tampak tak cocok: gudeg, , , hingga mangut atau opor. Pada akhirnya sih ada yang peduli, dan mie dicampur dengan segalanya.

Mie yang hadir dalam perayaan ulang tahun atau Imlek memang merupakan tradisi di kebudayaan Cina. Panjangnya mie melambangkan harapan akan umur panjang dan rezeki yang tak putus. Karenanya, mie biasanya disajikan dengan kuah, sehingga dapat diseruput tanpa putus.

Memotong mie dapat dianggap memotong usia atau rezeki.

Kebiasaan ini tampaknya berkembang menjadi "Mie Ulang Tahun" yang dalam perayaan ulang tahun di tradisi Cina-Indonesia saat ini, statusnya hampir sejajar dengan kue ulang tahun. "Mie Ulang Tahun" juga berkembang menembus batas budaya dan diadopsi oleh masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda, termasuk yang bukan ulang tahun) di budaya keluarga dan keluarga saya. lingkungan kami. Mie goreng melambangkan kepraktisan: bisa dimakan sendiri, bisa menjadi Ibu saya terkenang, sejak kecil mie goreng lauk, dan cocok dengan selera kebanyakan mewah ini juga tersaji di meja setiap ada (terutama anak-anak!). perayaan ulang tahun. Saat itu (dan hingga sekarang) Ibu memaknainya sama, yaitu umur Pada generasi saya, mie mewah ini bahkan yang panjang. "Sebelum mie, biasanya pakai dianggap lebih sebagai "lauk pengenyang" saat kacang panjang," kata Ibu. dihidangkan di suatu perayaan. Meski bisa (dan sering) berdiri sendiri, khas kebiasaan kami, mie Saya tahu tentang simbol mie dalam perayaan juga menjadi lauk, dan kami makan bersama nasi ulang tahun di budaya Cina ini. Namun, saya – tentu saja. Tak lagi sejajar dengan kue ulang tak menganggapnya terlalu serius ketika mie tahun ataupun kacang panjang, mie sebagai mewah muncul di berbagai perayaan (termasuk pengharapan pun tak lagi terbahas. (*)

3 1 B U M B U M A G Z T R A D I S I Bubur Lemu Sepotong Kisah dari Masa Lalu

Teks: @rachmasafitri Foto: @eatymologist & @wisnu_ari_tjokro

Bubur Lemu hadir di meja makan saya bulan lalu dimasak oleh Ibu, perempuan berusia 59 tahun asli Yogyakarta. Saat kami menyantapnya, mengalir cerita masa lalu. Bapak menarik mundur ingatan 35 tahun yang lalu saat saya lahir. Bubur Lemu masuk kategori bubur gagrak kental dengan santan dan aroma salam. Bubur ini dilengkapi dengan sayur sambal goreng kuah santan berisi ayam, tahu dan telur. Tidak hanya mengenyangkan, makanan ini menyimpan banyak cerita.

3 2 B U M B U M A G Z “Lho iki nak Bubur Lemu to? Dulu, pas kamu kebiasaan ini sudah jarang ditemui di Kampung pulang dari Bethesda, rumah penuh orang makan Iromejan yang jumlah warga aslinya mulai makanan ini. Simbah Ibuk yang masak,” ujar berkurang. Hanya sebagian kecil warga yang Bapak pada saya. Bapak dan Ibu kemudian masih memegang teguh tradisi, sebagian bercerita soal Jagongan Bubur Lemu, sebuah besarnya lagi lebih luwes dan fleksibel dengan tradisi yang dilakukan di Kampung Iromejan saat menyesuaikan berdasarkan kemampuan diri, bayi yang baru lahir pulang ke rumah. termasuk ketersediaan biaya, tenaga dan waktu.

Jagongan dilakukan pada malam hari, sekitar jam Bubur Lemu yang dimasak Ibu mengingatkan 9 malam dan dihadiri bapak-bapak. Acaranya saya tentang konsep daur hidup yang dipegang berjalan dalam suasana informal. Tuan rumah, masyarakat Jawa. Pada setiap fase daur hidup, bapak si bayi, mempersilahkan tamu untuk mulai dari kelahiran sampai dengan kematian ada menyantap bubur lemu yang sudah diracik di ritual yang dilakukan dan semuanya melibatkan piring. Selain bubur lemu, juga terhidang makanan. Budaya Jawa juga menjelaskan daur gorengan dan kopi hitam teman untuk jagongan hidup dengan lebih runut melalui 11 tembang macapat: maskumambang, mijil, sinom, kinanti, sampai larut malam. “Ada juga yang main kartu asmarandana, gambuh, dandanggula, durma, sambil begadang,” imbuh Bapak. pangkur, megatruh, dan pucung. Mijil, tembang

kedua macapat, menggambarkan daur hidup Sebagai generasi ketiga, cerita tentang Jagongan kelahiran. Bubur Lemu menarik sekali buat saya karena

3 3 B U M B U M A G Z Sebenarnya, kini pun kita bisa memberikan cerita pada tiap olahan yang dibuat, mengaitkannya dengan perasaan yang ingin dihadirkan saat makanan itu disantap dan disesuaikan dengan konteks waktu saat makanan itu dimasak. Harapan dan doa disematkan tidak semata-mata agar makanan tersebut membuat kenyang. Bedanya, generasi lalu membuatnya dan melakukannya secara terus-menerus serta menghidupinya dengan cerita-cerita.

Bubur Lemu hadir sebagai simbol doa pada daur hidup kelahiran, melengkapi dawet, gula Jawa, kelapa, beras dan telur yang hadir terlebih dulu sesaat bayi lahir. Ritualnya biasa disebut Brokohan: simbol mensyukuri nikmat Tuhan, doa memohon untuk berkah dan keselamatan untuk si bayi serta terima kasih untuk para tetangga. Nah, Bubur Lemu hadir menggenapi doa untuk orang tuanya.

Bubur kental dan lauk berprotein diharapkan dapat memulihkan stamina ibu si bayi dan memberikan kekuatan untuk bapak si bayi yang bertambah tanggung jawabnya. Saya sebut sebagai obat kuat, yang tak hanya berfungsi untuk satu keluarga tapi juga lingkungan sebagai sistem pendukung bayi sebagai anggota masyarakat baru. Melibatkan tetangga, mengundangnya pada ritual juga dapat dilihat sebagai membagi tanggung jawab kolektif pada tumbuh kembang anak.

Khusus pada daur kelahiran, kelapa dan gula jawa adalah dua bahan yang selalu ada, sama halnya dengan selalu adanya bubur dan dawet. pada dawet adalah perlambang kebulatan hati dan kesiapan orangtua.

3 4 B U M B U M A G Z Dawet hadir di ritual perkawinan dan kelahiran. Seteguh apa saya memegangnya tentu saja Bubur pun begitu. Seusai hajatan perkawinan, sangat tergantung bagaimana tradisi itu semua kerabat dan tetangga yang terlibat diceritakan dan dilakukan oleh generasi diundang untuk menyantap bubur sumsum, sebelumnya. Beruntung, Ibu masih mengingat olahan bubur tepung beras dengan kuah gula dan meneruskan kebiasaan Simbah. Paling tidak, Jawa. Bubur diberikan sebagai ucapan terima ada lima daur hidup manusia mulai dari masa bayi kasih dan simbol untuk mengembalikan tenaga di kandungan, kelahiran, masa transisi atau saat setelah melalukan serangkaian adat istiadat remaja, perkawinan dan kematian yang tetap perkawinan yang panjang dan melelahkan. Saat kami lakukan meski tidak seratus persen dan daur kelahiran, bubur dengan bentuk lain hadir. tidak komplit. Bubur Lemu dianggap bergizi karena ada telur di dalamnya. Telur dianggap makanan yang nilai gizinya tinggi.

uba rampe ketika ada ritual daur hidup. Mulai dari kelahiran sampai kematian. Mbah Co adalah jujugan untuk membuat kembar mayang, bubur aneka warna dan komandan untuk membuat rangkaian bunga. “Simbah ki kaya perempuan panggilan je Nok, angger-angger ana sing duwe gawe Simbah mesti diceluk,” begitu kata beliau yang sampai sekarang saya ingat. Ia bercerita jika dia sibuk karena harus membatu banyak warga yang punya hajatan.

Kami beruntung kami sempat memilikinya. Ia adalah aset tidak ternilai yang sulit mencari gantinya. Jika mustahil menghadirnya dalam satu sosok, Seco kecil bisa lahir diam-diam dalam Foto: @rachmasafitri wujud pengetahuan yang diturunkan, berdiam sejenak, dimodifikasi menyesuaikan konteks Bubur Lemu juga mengingatkan saya pada Mbah ruang dan waktu untuk kemudian dipraktekkan Seco di Kampung Iromejan. Sebelum meninggal, generasi sekarang. Saya sudah melakukannya. Mbah Co, begitu simbah ini akrab disebut, adalah Bubur lemu dijadikan hampers sebelum Lebaran rujukan pertama warga yang ingin bertanya soal sebagai penanda obat kuat. Mulai dari kita yuk! (*)

3 5 B U M B U M A G Z Next Issue: Keluarga

Contact us on Instagram: @bumbu.magz

3 6 B U M B U M A G Z