14357 Adan 2020 E.Docx
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Load more
Recommended publications
-
Perjuangan Politik Mohamad Roem
PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM Oleh: LUSIANA NIM: 0033218845 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H PERJUANGAN POLITIK MOHAMAD ROEM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Sosial Oleh: LUSIANA NIM: 0033218845 Di Bawah Bimbingan: Dra. Gefarina Djohan, M.A. Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP: 150 295 488 NIP: 150 299 478 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M / 1428 H LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Perjuangan Politik Mohamad Roem” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah pada tanggal 04 Juni 2007, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 04 Juni 2007 Dewan Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Dra. Hj. Hermawati, M.A. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP. 150 227 408 NIP. 150 270 808 Anggota Penguji I Penguji II A. Bakir Ihsan, M.Si. Zaki Mubarok, M.A. NIP. 150 326 915 NIP. 150 371 093 Pembimbing I Pembimbing II Dra. Gefarina Djohan, M.A. Drs. Agus Nugraha, M.Si. NIP. 150 295 488 NIP. 150 299 478 KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, berkat taufik dan hidayahNya. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya walaupun masih dalam bentuk yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, dan segenap sahabatnya yang telah membawa umatnya kearah kemuliaan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti, serta telah membimbing kita kepada jalan yang diridhai Allah SWT. -
Bab Ii Biografi Dan Pemikiran M. Natsir
19 BAB II BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN M. NATSIR A. Riwayat Hidup M. Natsir Mohammad Natsir dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H. yang bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 M. di kampung Jembatan, Berukir Alahan Panjang yang termasuk wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado sebagai seorang juru tulis kontrolir di Maninjau yang kemudian menjadi sipir atau penjaga tahanan di Bekeru Sulawesi Selatan. Sedangkan Ibunya bernama Khadijah sebagai keturunan Chaniago.1 Mohammad Natsir lahir dari rahim Ibunya seorang muslimah yang taat, begitu pula, Ayahnya seorang muslim yang taat terhadap aturan agama. Sebagaimana masyarakat Minang lainnya, maka wajar. M. Natsir terlihat masa kanak-kanak yang gemar mengaji dan menuntut ilmu agama, baik pada waktu pagi, siang, maupun sore harinya. M. Natsir mempunyai tiga saudara, yaitu Yukiman, Rubiah, dan Yohanusun. Di tempat kelahiranya itu, ia hidup bersama saudaranya dan kedua orang tuanya. Bahkan sebagai sosialisasi keagamaan dan intelektualnya 1 M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, {Bandung: Mizan, 2010}, cet. 1, hlm. 19, lihat juga, Henda Gunawan, M. Natsir dan Darul Islam Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Tahun 1953-1958, {Jakarta: Media Dakwah, 2000}, cet. hlm. 1, lihat juga, Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, {Jakarta: Gema Insani Press, 1999}, cet. 1, hlm. 21-22 20 selama sebelas tahun, sejak tahun 1916 hingga 1927, baik di Alahan Panjang maupun di Padang. Kemudian pada tahun 1927 hijrah ke Bandung untuk mengembangkan keagaman dan keintelektualnya, sehingga pada tahun 1934 bertemu judoh dengan seorang wanita yang bernama Nurnahar yang akhirnya menjadi istrinya sebagai pendamping hidup M. -
National Heroes in Indonesian History Text Book
Paramita:Paramita: Historical Historical Studies Studies Journal, Journal, 29(2) 29(2) 2019: 2019 119 -129 ISSN: 0854-0039, E-ISSN: 2407-5825 DOI: http://dx.doi.org/10.15294/paramita.v29i2.16217 NATIONAL HEROES IN INDONESIAN HISTORY TEXT BOOK Suwito Eko Pramono, Tsabit Azinar Ahmad, Putri Agus Wijayati Department of History, Faculty of Social Sciences, Universitas Negeri Semarang ABSTRACT ABSTRAK History education has an essential role in Pendidikan sejarah memiliki peran penting building the character of society. One of the dalam membangun karakter masyarakat. Sa- advantages of learning history in terms of val- lah satu keuntungan dari belajar sejarah dalam ue inculcation is the existence of a hero who is hal penanaman nilai adalah keberadaan pahla- made a role model. Historical figures become wan yang dijadikan panutan. Tokoh sejarah best practices in the internalization of values. menjadi praktik terbaik dalam internalisasi However, the study of heroism and efforts to nilai. Namun, studi tentang kepahlawanan instill it in history learning has not been done dan upaya menanamkannya dalam pembelaja- much. Therefore, researchers are interested in ran sejarah belum banyak dilakukan. Oleh reviewing the values of bravery and internali- karena itu, peneliti tertarik untuk meninjau zation in education. Through textbook studies nilai-nilai keberanian dan internalisasi dalam and curriculum analysis, researchers can col- pendidikan. Melalui studi buku teks dan ana- lect data about national heroes in the context lisis kurikulum, peneliti dapat mengumpulkan of learning. The results showed that not all data tentang pahlawan nasional dalam national heroes were included in textbooks. konteks pembelajaran. Hasil penelitian Besides, not all the heroes mentioned in the menunjukkan bahwa tidak semua pahlawan book are specifically reviewed. -
Analysis of M. Natsir's Thoughts on Islamic
Integral-Universal Education: Analysis of M. Natsir’s Thoughts on Islamic Education Kasmuri Selamat Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim, Riau, Indonesia [email protected] Abstract. This paper aimed at exploring M. Natsir's thoughts on Islamic education. Using a qualitative study with a historical approach, the writer found that M. Natsir was a rare figure. He was not only a scholar but also a thinker, a politician, and an educator. As an educator, he not only became a teacher, but also gave birth to various educational concepts known as an integral and universal education concept. He was an architect and an anti-dichotomous thinker of Islamic education. According to Natsir, Islam did not separate spiritual matters from worldly affairs. The spiritual aspect would be the basis of worldliness. The foregoing indicated that religious ethics emphasized by Islamic teachings must be the foundation of life. The conceptual basis of "educational modernism" with tauhid as its foundation demonstrated that he was a figure who really cared about Islamic education. Keywords: Integral-Universal Education, M. Natsir, Thought Introduction Minangkabau, West Sumatra, is one of the areas that cannot be underestimated because there are many great figures on the national and international scales in various fields of expertise from this area, such as scholars, politicians, and other strategic fields. Among these figures are Tuanku Imam Bonjol, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Hamka, M. Natsir, and others. Everybody knows these names and their works. These figures lived in the early 20th century when three ideological groups competed with one another to dominate in the struggle for independence. -
The Biography of Mohammad Natsir Yusril Lhza
SINDONESIANT JOURNALUD FOR ISLAMICIA STUDIES IS L Volume 2, Number 1, 1995 INSTITUTIONALIZATION AND THE UNIFICATION OF ISLAMIC COURTS UNDER THE NEW ORDER Nur Ahmad Fadhil Lubis THE MUHAMMADIYAH AND THE THEORY OF MAOASIDAL-SHARl'AH Fathurrahman Jamil COMBINING ACTIVISM AND INTELLECTUALISM the Biography of Mohammad Natsir Yusril lhza ISSN 0215-0492 STUDIA ISLAMIKA Indonesian Journal for Islamic Studies Volume 2, No. 1, 1995 EDITORIAL BOARD : Harun Nasution Mastuhu M. Quraish Shihab A. Aziz Dab/an M. Satria Effendi Nabilah Lubis M. Yunan Yusuf Komaruddin Hidayat Dien Syamsuddin Muslim Nasution Wahib Mu ' thi EDITOR IN CHIEF: Azyumardi Azra EDITORS Saiful Muzani Hendro Prasetyo Johan H. Meuleman Nurul Fajri Badri Yatim AsSISTANTS TO THE EDITOR : Arif Subhan Much/is Ainu" afik ENGLISH LANGUAGE ADVISOR: Judith M. Dent ARABIC LANGUAGE ADVISOR: Salahuddin An Nadwi COVER DESIGNER : S. Pringka STUDIA ISLAMIKA (ISSN 0215-0492) is a journal published quarterly by the Institut Agama Islam Negeri (IAIN, The State Institute for Islamic Studies) Syarif Hidayatullah , Jakarta, (STI DEPPEN No. 129/SK/ DITJEN/PPG/STI/1976) and sponsored by the Department of Religious Affairs of the Republic of Indonesia. It specializes in Indonesian Islamic studies, and is intended to communicate original researches and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. All articles published do not necessarily represent the views of the journal , or other institutions to which it is affiliated. They are solely the views of the authors. The Muhammadiyah and the Theory of Maqasid al-Sharl' ah 53 Fathurrahman Djamil The Muhammadiyah and the Theory of Maqasid al-Sharf 'ah Abstraksi: Muhammadiyah adalah sebuah organisasi dan gerakan sosial- keagamaan di Indonesia yang berhubungan dengan reformasi (tajdid) Isla m pada umumnya dan huk um Isla m k hususnya. -
Buya Hamka Dan Mohammad Natsir Tentang Pendidikan Islam Abdul Nashir*
Buya Hamka dan Mohammad Natsir tentang Pendidikan Islam Abdul Nashir* Abstrak Pendidikan Islam dewasa ini ditengarai banyak pihak masih bersifat parsial, karena belum diarahkan kepada pembentukan insan kamil. Perhatian yang kurang terhadap keseimbangan antara aspek spiritual dan intelektual menyebab- kan produk pendidikan saat ini belum bisa dianggap sebagai manusia yang seutuhnya melainkan manusia yang individualis, materialis, dan pragmatis. Di samping itu sistem Pendidikan Islam sering kali berjalan apa adanya, alami, dan tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibatnya, mutu Pendidikan Islam kurang menggembirakan. Artikel ini mencoba untuk memaparkan konsep Pendidik- an Islam menurut dua orang pemikir Pendidikan Islam yaitu Buya Hamka dan Moh. Natsir. Mereka mempunyai latar belakang yang berbeda meskipun hidup di zaman yang sama. Persamaan dan perbedaan konsep pendidikan menurut Buya Hamka dan Moh. Natsir, serta kontribusi pemikirannya bagi dunia Pendidikan Islam di Indonesia saat ini sangat menarik untuk dicermati. Kata Kunci: Konsepsi, dikotomi, intelektualitas, spiritualitas, islamisasi Muqoddimah Pendidikan pada akhir-akhir ini memiliki beberapa permasalahan. Pendidikan kurang menekankan adanya keseimbangan antara aspek spiritual dan intelektual. Sehingga, manusia sebagai produk pendidikan saat ini bukanlah utuh layaknya khalifah di bumi, melainkan manusia yang individualis, materialis, pragmatis. Akibatnya yang kuat menindas yang lemah, yang berwenang sewenang-wenang dan yang berkuasa bertindak tanpa ingat dosa dan siksa.1 * Alumni FT PAI ISID Gontor (2006) 1Drs. Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghozali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustka Pelajar, 1995) p. 3 59 Buya Hamka dan Mohammad Natsir tentang Pendidikan Islam Oleh karena itu perlu diadakan rekonstruksi pendidikan dengan mengadakan perubahan dalam sistem pendidikan guna menghasilkan perubahan pada masyarakat. Sehingga pada akhirnya tercapai tujuan utama yaitu membentuk masyarakat muslim, mu’min, muhsin, kafah yang layak menjadi khalifah di bumi Allah. -
Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945
Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945 R. E. Elson* On the morning of August 18, 1945, three days after the Japanese surrender and just a day after Indonesia's proclamation of independence, Mohammad Hatta, soon to be elected as vice-president of the infant republic, prevailed upon delegates at the first meeting of the Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Committee for the Preparation of Indonesian Independence) to adjust key aspects of the republic's draft constitution, notably its preamble. The changes enjoined by Hatta on members of the Preparation Committee, charged with finalizing and promulgating the constitution, were made quickly and with little dispute. Their effect, however, particularly the removal of seven words stipulating that all Muslims should observe Islamic law, was significantly to reduce the proposed formal role of Islam in Indonesian political and social life. Episodically thereafter, the actions of the PPKI that day came to be castigated by some Muslims as catastrophic for Islam in Indonesia—indeed, as an act of treason* 1—and efforts were put in train to restore the seven words to the constitution.2 In retracing the history of the drafting of the Jakarta Charter in June 1945, * This research was supported under the Australian Research Council's Discovery Projects funding scheme. I am grateful for the helpful comments on and assistance with an earlier draft of this article that I received from John Butcher, Ananda B. Kusuma, Gerry van Klinken, Tomoko Aoyama, Akh Muzakki, and especially an anonymous reviewer. 1 Anonymous, "Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?," Suara Hidayatullah 13,5 (2000): 13-14. -
2. Against Christianisation
2. Against Christianisation Like a snowball, the discourse on Christianisation versus religious freedom discussed in the previous chapter continued to build up in the following decades, and the state became more closely involved. In 1967 Muslims in Meulaboh argued that they could not tolerate a newly built Methodist church because the majority of people living there were Mus- lims; then in 1969, the Government issued a decree in which this religious regionalism was accommodated. Lukman Harun’s Parliamentary Questions in 1967 demanded that the Government control foreign aid for religious institutions; and in the same year, during the Inter-religious Consultation, the Muslims argued for the restriction of religious propagation to those out- side the recognised religions. More than a decade later, in 1978, these two Muslim positions were translated into Government decrees. Finally, in 1967 the Muslims in Makassar opposed the General Assembly of the DGI; then in the early 1970s, the Islamic groups opposed the General Assembly of the World Council of Churches (WCC) that was to be held in Jakarta in 1975. In their reactions to these cases, as in 1967, the Christians consistently argued for religious freedom. Besides these continuing problems, a rather different issue emerged in 1981: the Indonesian Council of Ulama (MUI) produced a fatwa prohibiting Muslims from attending common Christmas celebrations. This fatwa eventually resulted in tensions between the Government, the MUI and the Christians. In this chapter, I shall discuss these cases in some detail. 1. The Restriction on Establishing New Places of Worship In September 1968, the Catholic magazine, Peraba, reported that a Protestant church in Asahan, North Sumatra, and a storage room of a Catho- lic school in Samarinda, East Kalimantan, were burned, probably by Mus- lims. -
Download Article
1st UPI International Conference on Sociology Education (UPI ICSE 2015) Actualization of Nationalism thought in Indonesian Civil Society Development (Phenomenology Study of Moh. Natsir Thought in The Development of The Citizenship Values) Miftahulaliyah Universitas Pendidikan Indonesia Bandung-INDONESIA [email protected] ABSTRACT - This research is motivated by the through character education of subject in the school tendency of nationalism disintegration in some Indonesian especially Citizenship Education (PKn). In independent citizens who feared could fade patriotism and love for age, nationalism is very needed to maintain NKRI Republic of Indonesia. The attitude that is feared the existence, realize high culture, the strong, achieve the big disintegration and dissolution of the Republic of country, and guarding respectability and status of people Indonesia. To prevent this there is need for strengthening ( Budimansyah & Suryadi, 2008 : p. 164). nationalism in education, especially in Citizenship Education. One of the efforts to strengthen nationalism is An attempt to develop sense and Indonesian featuring national figures that nationalism has been nationalism attitude in Citizenship Education namely tested.in this research, which figures subject is Mohammad with representing prominent figure that has moral Natsir. Problem statement in this study is: How the integrity as well as the love to Indonesian people and concept of nationalism Natsir? The specific objective is: nations which can be became as leader. With the leader, a to obtain information about rationale Natsir citizenship does not suffer from figure orientation as an nationalism. This research used a qualitative approach education element. They are nation leader, constitute the with a phenomenological method. Technique data guide for people attitude, leader attitude will be imitated collecting are by the study of literature. -
Penyelesaian Konflik Dalam Organisasi Masyumi Menanggapi Perjanjian Roem-Royen Tahun 1949
Penyelesaian Konflik dalam Organisasi Masyumi Menanggapi Perjanjian Roem-Royen Tahun 1949 PENYELESAIAN KONFLIK DALAM ORGANISASI MASYUMI MENANGGAPI PERJANJIAN ROEM-ROYEN TAHUN 1949 Tommy Juliantara STID Al-Hadid, Surabaya [email protected] Abstrak: Konflik dalam suatu organisasi selalu ada dan tidak dapat dihindari. Konflik bisa mengarah pada perilaku menyimpang dari aturan, prosedur kerja, dan mengganggu pencapaian sasaran organisasi bila diabaikan begitu saja. Sehingga, perlu adanya pengelolaan atau penyelesaian secara baik, agar organisasi tetap produktif mencapai sasaran-sasarannya meskipun dilanda konflik. Salah satu penyelesaian konflik yang dapat dijadikan pelajaran, ada pada organisasi Masyumi. Organisasi berbentuk partai politik Islam pertama dan terbesar di masanya ini, pernah mengalami konflik dan melakukan penyelesaian konfliknya dengan baik. Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh organisasi Masyumi menanggapi perjanjian Roem-Royen. Pendekatan yang digunakan studi ini adalah pendekatan manajemen konflik, spesifiknya yang membahas mengenai penyelesaian konflik. Metode studi ini adalah kualitatif dan studi pustaka. Hasil studi ini menunjukkan bahwa setelah perjanjian Roem-Royen menghasilkan kesepakatan antara pihak Indonesia dan Belanda, terjadilah konflik di internal Masyumi yang bersumber dari perbedaan persepsi antara dua pihak. Konflik ini berjenis konflik antar kelompok, penyelesaiannya dilakukan oleh para pimpinan Masyumi secara integratif melalui metode akomodasi dan kompromi, serta kedua pihak pada akhirnya menerima hasil dari perjanjian Roem-Royen. Kata Kunci: Sumber Konflik, Jenis Konflik, Penyelesaian Konflik, Hasil Konflik, Perjanjian Roem-Royen. Conflict Resolution in Organization of Masyumi Regarding to The Roem- Van Roijen Agreement In 1949. Abstract: A conflict in an organization always exists and cannot be avoided. It can lead to behavior deviating from rules, work procedure and disrupt the achievement of an organization if it is ignored. -
Examining Pancasila's Position in the Public Reason Scheme: a Critical Analysis
Examining Pancasila’s Position in the Public Reason Scheme: A Critical Analysis MUHAMAD ISWARDANI CHANIAGO* Postgraduate Program of Islamic Studies, Postgraduate School of Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN), Jakarta Jl. Kertamukti No. 5, East Ciputat, South Tangerang, Banten 15419 Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Tulisan ini mencoba untuk mengkaji ulang sejumlah gagasan dari beberapa sarjana dan intelektual Indonesia, seperti Yudi Latif, Franz Magnis-Suseno dan Syamsul Ma’arif, yang melihat dan menggambarkan relasi antara Pancasila dengan public reason, salah satu konsep politik yang cukup populer dalam studi politik. Sejumlah sarjana dan in- telektual Indonesia tersebut membingkai Pancasila dengan public reason dalam gam- baran yang bernuansa sekuler sehingga berpotensi melepaskan kontribusi dari yang seharusnya dapat dilakukan oleh agama. Turunan dari public reason yang bermasalah tersebut di antaranya (1) prinsip negasi terhadap mayoritarianisme, (2) prinsip negara netral, dan (3) prinsip substansial dalam agama (universalisme). Dengan penelaahan kualitatif yang merujuk pada sejumlah argumen baik filosofis maupun historis, maka dapat ditunjukkan bahwa argumen yang diberikan ketiga sarjana di atas beserta sejum- lah sarjana lain yang mendukung dan memiliki gagasan serupa, dinilai memiliki sejum- lah masalah. Kemudian dari penelaahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemikiran yang mendukung relasi Pancasila dengan public reason secara sekuler tidak kuat secara argumen dan tidak dipertahankan. Sehingga, relasi Pancasila dengan public reason bisa ditelaah ulang dengan konsep yang lebih ramah terhadap kontribusi agama. Kata kunci: pancasila, public reason, mayoritarianisme, universalisme, negara netral ABSTRACT This research tries to review a number of ideas of some Indonesian scholars such as Yudi Latif, Franz Magnis-Suseno, and Syamsul Ma’arif, who saw and described the re- lationship between Pancasila and public reason, one of the popular political concepts in political studies. -
531 ABSTRACT NII (The Indonesian Islamic State) Called DI (Dar Al-Islam)
Gerakan Nii KW IX GERAKAN NII KARTOSOEWIRJO (KW IX) Asep Zaenal Ausop ABSTRACT NII (The Indonesian Islamic State) called DI (Dar al-Islam) is an Islamic movement organization (Harakah Islámiyyah) is led by Maridjan Sekarmadji Kartosoewirjo (MSK), a prominent of Masyumi from West Java. This organization has its own soldiers called TII or The Islamic Indonesian Soldiers. They proclaimed "The Indonesian Islamic State ± The Blessing State of Allah (NKA- NII) on August 7th 1949. DI / TII had been destroyed by TNI (The National Military) with the various ways. MSK has been caught on June 4th 1962 and executed on September 5th in the same year. Most of Indonesian people believe that NII was dead. But in 1999, Indonesian people were surprised by encouragence of the new NII identified as NII Commandemant Area IX or called NII KW IX, by the Highest Commander named Abu Toto Abdussalam. This research proved that, after the death of MSK, NII had been separated into many factions including the faction of Abu Toto Abdussalam. Refering to David Krech and Zanden's theory about the factors which influence conflict of human groups, is that one of causes of separation, is the different norms and values of the beliefs. This cause also happened in NII. However, as de facto and de jure, NII KW IX was the development of NII MSK. Although the two organizations ( NII) have the same objective to establish the Indonesian Islamic State, they have many differences in doctrines and movement strategies. keywords : NII, KW IX, Bai‘ah, Al-Kahfi. 1. Pendahuluan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (selanjutnya disingkat SM), salah NII adalah singkatan dari Negara seorang tokoh Masyumi Jawa Barat Islam Indonesia yang merupakan nama 1 (Dengel, 1995 dan Chaidar, 2000:vii).