SEBARAN SPASIAL LOKASI PEDAGANG KULINER DI KECAMATAN BOGOR TENGAH KOTA BOGOR

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh Siti Rohaya NIM 1113015000046

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

ABSTRAK

Siti Rohaya (NIM: 1113015000046), Sebaran Spasial Lokasi Pedagang Kuliner Di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persebaran lokasi usaha pedagang kuliner, jenis kuliner yang dijual dan kesesuaian penyebaran spasial lokasi pedagang kuliner pada tata ruang Kota Bogor di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Metode penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Variabel penelitian ini meliputi persebaran lokasi usaha pedagang kuliner, jenis kuliner yang dijual, kesesuaian lokasi pedagang kuliner dengan Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara dan dianalisa dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang kuliner yang tersebar di wilayah Kecamatan Bogor Tengah dengan sampel 91 titik lokasi. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa persebaran pedagang kuliner yang berada di Kecamatan Bogor Tengah membentuk pola memanjang mengikuti jalan utama Kota Bogor. Ada tiga lokasi pedagang kuliner yang dizonasikan, untuk zona ke-1 berlokasi berdekatan dengan pasar, sementara untuk zona ke-2 berdekatan dengan taman kota, sedangakan zona ke-3 berdekatan dengan pasar. Jenis kuliner yang dijual di Kecamatan Bogor Tengah bermacam-macam. Kesesuaian lokasi usaha pedagang kuliner dengan peta pola ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor mayoritas sudah sesuai dengan peruntukannya yaitu dari total 91 titik terdapat 62 pedagang (68%) yang sudah sesuai dan sebanyak 29 pedagang (32%) yang tidak sesuai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebaran lokasi pedagang kuliner dengan tata ruang Kota Bogor sudah sesuai yang mayoritas berada pada kawasan perdagangan dan jasa.

Kata Kunci : Sebaran Spasial, Pedagang Kuliner, Lokasi Pedagang Kuliner

i

ABSTRACT

Siti Rohaya (NIM: 1113015000046), Spatial Distribution of Location of Culinary Traders in Bogor Tengah Subdistrict, Bogor City.

This research aims to know the spread of the business location of culinary traders, types of food for sale and the conformity of spatial spread of culinary at the merchant location floorplan Bogor City, with locations in Subdistrict, Bogor Tengah, Bogor City. The method of this research is a descriptive quantitative research types. This research includes the location of the distribution variables, types of cuisine culinary merchants were sold, the merchant location suitability for culinary rules spatial plan area (RTRW) Bogor City. The population in this research is the Central Bogor Subdistrict culinary traders with 91 sample point locations. Purposive sampling method sampling. The results of this study indicate that the distribution of culinary traders in Central Bogor Regency forms a longitudinal pattern following the main road of Bogor City. There are three locations for culinary traders that are categorized, for zone 1 it is located adjacent to the market, while for zone 2 it is adjacent to the city park, while the third zone borders the market. The types of food sold in Bogor Tengah Regency vary. The suitability of the culinary merchant business location with a map of the spatial pattern layout of the Bogor City Spatial Plan (RTRW) is in accordance with its designation, namely from a total of 91 traders (68%) who match and 29 traders (32%) who do not. Thus it can be concluded that the distribution of the location of culinary traders with the spatial layout of the city of Bogor is in accordance with the majority in the area of trade and services.

Keywords: Spatial Distribution, Culinary Traders, Location of Culinary Traders

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi nikmat dan rahmat serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik dan lancar skripsi yang berjudul “Sebaran Spasial Lokasi Pedagang Kuliner di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor”. Shalawat serta salam juga tak lupa penulis curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga-Nya, sahabat-Nya dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar bukan merupakan hasil dari diri pribadi sepenuhnya, namun berkat ridho Allah SWT dan bantuan dari semua pihak yang telah turut berkontribusi dalam memberikan bantuan berupa do’a, motivasi, moral dan materil. Oleh karena itu, dalam kesempatan baik ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu yaitu kepada: 1. Dr. Sururin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd sebagai Ketua Program Studi Tadris IPS yang mengajarkan makna kesabaran serta seluruh dosen yang telah menjadi fasilitator dalam memperoleh ilnu selama belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Syaripulloh, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing Mahasiswa/I Tadris IPS. 4. Didin Syafruddin, M.A, Ph.D selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah mendampingi penulis selama menjalankan proses perkuliahan serta memberikan nasehat-nasehat kepada penulis perihal pencapaian akademik.

iii

5. Dr. Sodikin, S.Pd, M.Si dan Tri Harjawati, S.Pd, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang dengan tulus ikhlas telah meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan, saran dan dorongan yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Naswan dan Ibunda Rumsiah yang telah mencurahkan cintanya serta selalu memberikan kasih sayang, nasihat dan do’a hingga saat ini, serta kakakku Abdul Halim yang telah memberikan motivasi, moril dan materil selama perkuliahan berlangsung. 7. Bapak Agustian Syah selaku Camat Bogor Tengah beserta staff dan Bapak Syamsul Bahri selaku Kepala Seksi Pengawasan PKL Dinas Koperasi dan UKM Kota Bogor beserta staff yang telah mengizinkan dan mempermudah penulis dalam melakukan penelitian. 8. Sahabat Muslimah-Ku (Hiazatul Fauziah, Usriatun Hasanah, Nisrina Malihah dan Nur Ismawati) yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran-saran berharga kepada penulis dalam penulisan skripsi ini serta teman-temanku yang telah membantu dan mengajari dalam hal pembuatan peta yaitu (Nita Inopianti dan Iqbal Maulana) juga teman-teman kelac C konsentrasi Geografi dan Prodi Tadris IPS angkatan 2013. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu- persatu yang telah membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan skrips ini. Penulis berharap semoga Allah SWT memberi balasan pahala kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait khususnya, dan bagi seluruh pembaca pada umumnya. Semoga Allah meridhoi, Amiin.

Jakarta, Penulis

Siti Rohaya

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SIDANG ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR ISI ...... v DAFTAR TABEL ...... ix DAFTAR GAMBAR ...... xi DAFTAR LAMPIRAN ...... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 4 C. Pembatasan Masalah ...... 5 D. Rumusan Masalah ...... 5 E. Tujuan Penelitian ...... 5 F. Manfaat Penelitian ...... 6 1. Manfaat Teoritis ...... 6 2. Manfaat Praktis ...... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori ...... 8 1. Persebaran ...... 8 2. Spasial ...... 9 3. Letak atau Lokasi ...... 11

v

a. Konsep Lokasi ...... 11 b. Klasifikasi Lokasi Berdasarkan Ruang ...... 13 4. Teori Lokasi Industri ...... 16 a. Teori Lokasi Industri Dari August Losch ...... 17 b. Teori Lokasi Industri Dari Alfred Weber ...... 17 c. Teori Tempat yang Sentral Dari Walter Christaller ...... 19 5. Sistem Informasi Geografis ...... 20 a. Pengertian Sistem Informasi Geografis ...... 20 b. Komponen Sistem Informasi Geografis ...... 21 1) Perangkat Keras (Hardware) ...... 21 2) Perangkat Lunak (Software) ...... 21 3) Brainware ...... 21 6. Sektor Informal ...... 22 a. Pengertian Sektor Informal ...... 22 b. Sektor Informal Di ...... 22 7. Pedagang Kuliner ...... 24 a. Pengertian Pedagang ...... 24 b. Kuliner ...... 25 1) Pengertian Kuliner ...... 25 2) Ruang Lingkup Pengembangan Kuliner ...... 27 3) Ruang Lingkup Industri Kuliner ...... 28 4) Kebijakan Pengembangan Kuliner ...... 31 c. Jenis-jenis Kuliner ...... 34 8. Kota ...... 35 a. Pengertian Kota ...... 35 b. Asal-usul Kota dan Perkembangannya ...... 39 B. Penelitian Relevan ...... 40 C. Kerangka Berfikir ...... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ...... 47

vi

1. Lokasi Penelitian ...... 47 2. Waktu Penelitian ...... 48 B. Metode Penelitian ...... 48 C. Populasi dan Sampel Penelitian ...... 49 D. Alat dan Bahan Penelitian ...... 50 E. Variabel Penelitian ...... 51 F. Sumber Data ...... 52 1. Data Primer ...... 52 2. Data Sekunder ...... 52 G. Teknik Pengumpulan Data ...... 52 H. Teknik Analisis Data ...... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kecamatan Bogor Tengah ...... 57 1. Kondisi Geografis ...... 58 a. Ketinggian Wilayah Kelurahan dari Permukaan Laut ...... 58 b. Tingkat Kemiringan Daerah Menurut Kelurahan ...... 59 c. Kedalaman Efektif Lahan Menurut Kelurahan ...... 60 d. Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Menurut Kelurahan ...... 61 e. Tekstur Tanah Menurut Kelurahan ...... 62 f. Kondisi Geologi Menurut Kelurahan ...... 62 g. Kondisi Hidro Geologi Menurut Kelurahan ...... 63 h. Luas Lahan Menurut Kelurahan ...... 64 i. Jumlah Curah Hujan Per Kelurahan ...... 65 2. Kependudukan ...... 66 a. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan ...... 66 b. Penduduk Menurut Kelompok Umur ...... 67 3. Struktur Organisasi Pemerintahan ...... 68 4. Keadaan Sosial ...... 69 B. Hasil Penelitian ...... 70

vii

1. Observasi ...... 70 2. Hasil Wawancara ...... 72 C. Analisis dan Pembahasan ...... 75 1. Persebaran Lokasi Pedagang Kuliner di Kecamatan Bogor Tengah ...... 75 2. Jenis Kuliner yang Dijual ...... 84 3. Kesesuaian Lokasi Pedagang Kuliner dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011-2031 98 D. Keterbatasan Penelitian ...... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...... 105 B. Saran ...... 106

DAFTAR PUSTAKA ...... 107

LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis Kuliner Kota Bogor ...... 34 Tabel 2.2 Penelitian Relevan ...... 43 Tabel 3.1 Rencana Penyusunan Skripsi ...... 48 Tabel 3.2 Alat Penelitian ...... 50 Tabel 3.3 Bahan Penelitian ...... 51 Tabel 3.4 Panduan Observasi ...... 53 Tabel 3.5 Kisi-Kisi Pedoman Wawancara ...... 54 Tabel 3.6 Dokumen yang Diperlukan ...... 55 Tabel 4.1 Ketinggian Wilayah Kelurahan dari Permukaan Laut di Kecamatan Bogor Tengah ...... 58 Tabel 4.2 Tingkat Kemiringan Daerah Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 59 Tabel 4.3 Kedalaman Efektif Lahan Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 60 Tabel 4.4 Kepekaan Tanah Terhadap Erosi Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 61 Tabel 4.5 Tekstur Tanah Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 62 Tabel 4.6 Kondisi Geologi Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 63 Tabel 4.7 Kondisi Hidro Geologi Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah 64 Tabel 4.8 Luas Lahan Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah 64 Tabel 4.9 Jumlah Curah Hujan Per Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 65 Tabel 4.10 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelurahan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 66 Tabel 4.11 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Bogor Tengah ...... 67

ix

Tabel 4.12 Daftar Nama dan Jabatan Pegawai Kecamatan Bogor Tengah 68 Tabel 4.13 Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid Menurut Jenjang Pendidikan di Kecamatan Bogor Tengah ...... 69 Tabel 4.14 Pedagang Kuliner Menurut Ruang Aktivitasnya ...... 71 Tabel 4.15 Jenis Kuliner di Kecamatan Bogor Tengah ...... 85 Tabel 4.16 Usia Pedagang Kuliner ...... 86 Tabel 4.17 Lama Usaha Pedagang Kuliner ...... 87 Tabel 4.18 Lama Waktu Aktivitas Pedagang Kuliner ...... 88 Tabel 4.19 Izin Penggunaan Lokasi Usaha Dari Pemerintah Daerah ...... 89 Tabel 4.20 Pedagang Kuliner Menurut Ruang Aktivitasnya ...... 91 Tabel 4.21 Luas Ruang Aktivitas Pedagang Kuliner ...... 92 Tabel 4.22 Jarak Lokasi Berdagang Dengan Tempat Tinggal Pedagang Kuliner ...... 94 Tabel 4.23 Alasan Pemilihan Lokasi Berdagang ...... 95 Tabel 4.24 Kesesuaian Lokasi Usaha Pedagang Kuliner ...... 101 Tabel 4.25 Ketidaksesuaian Lokasi Usaha Pedagang Kuliner ...... 103

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Continum Nilai Nearest Neighbor Statistic T ...... 9 Gambar 2.2 Segitiga Webber ...... 18 Gambar 2.3 Kerangka Berfikir ...... 46 Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian ...... 47 Gambar 4.1 Peta Administrasi Kecamatan Bogor Tengah ...... 57 Gambar 4.2 Piramida Penduduk Kecamatan Bogor Tengah ...... 68 Gambar 4.3 Peta Sebaran Pedagang Kuliner Kecamatan Bogor Tengah ... 76 Gambar 4.4 Peta Zona Sebaran Pedagang Kuliner Kecamatan Bogor Tengah ...... 78 Gambar 4.5 Peta Zona 1 Sebaran Lokasi Pedagang Kuliner ...... 79 Gambar 4.6 Peta Zona 2 Sebaran Lokasi Pedagang Kuliner ...... 81 Gambar 4.7 Peta Zona 3 Sebaran Lokasi Pedagang Kuliner ...... 82 Gambar 4.8 Zona Pedagang Kuliner Binaan ...... 84 Gambar 4.9 Peta Kesesuaian Lokasi Pedagang Kuliner dengan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011-2031 ...... 99 Gambar 4.10 Peta Kesesuaian Sebaran Lokasi Pedagang Kuliner Kecamatan Bogor Tengah dengan Tata Ruang Kota Bogor ... 100 Gambar 4.11 Peta Ketidaksesuaian Sebaran Lokasi Pedagang Kuliner Kecamatan Bogor Tengah dengan Tata Ruang Kota Bogor ... 102

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Observasi Lampiran 2 Pedoman Wawancara Lampiran 3 Transkrip Wawancara Pedagang Kuliner Lampiran 4 Hasil Observasi Lampiran 5 Koordinat UTM Lokasi Pedagang Kuliner dan Data Hasil Penelitian Jenis Kuliner, Lokasi Pasar, Lokasi Sekolah dan Lokasi Taman Kota Lampiran 6 Foto Dokumentasi Lampiran 7 Surat Bimbingan Skripsi Lampiran 8 Surat Izin Permohonan Penelitian Lampiran 9 Surat Izin Penelitian dari Kesbangpol

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan kuliner. Kuliner merupakan hasil olahan yang berupa masakan. Masakan tersebut berupa lauk pauk, makanan dan minuman. Sedangkan wisata kuliner sendiri adalah kegiatan yang dilakukan banyak orang dalam bidang kebutuhan makanan, untuk hiburan. Kuliner terbagi menjadi kuliner tradisional dan kuliner modern. Kuliner dapat berupa makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Biasanya kuliner lokal diolah dari resep yang telah dikenal oleh masyarakat setempat dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Dengan demikian yang perlu dipahami disini terkait dengan istilah makanan lokal yaitu pada bahan baku lokal, cara pengolahan, resep, dan citarasa yang sesuai dengan masyarakat setempat serta telah diwariskan secara turun temurun (Departemen Pertanian, 2002). Kuliner bukan hanya dijadikan sebagai tempat membeli makan atau sekedar membeli minum, tetapi juga dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi maupun sebagai tempat mengobrol bersama kerabat atau keluarga. Bogor memiliki beragam aneka kuliner yang enak. Pedagang kuliner pun tersebar hampir di sepanjang jalan kota Bogor. Mulai dari harga yang relatif murah sampai dengan yang harganya relatif cukup mahal. Kehidupan perkotaan membuat masyarakat lebih memilih untuk membeli makan di luar rumah dibandingkan dengan makanan rumah ataupun buatan sendiri. Dengan demikian, masyarakat mengunjungi atau mendatangi tempat-tempat kuliner di sekitarnya. Permintaan masyarakat perkotaan yang

1 2

semakin tinggi terhadap makanan jadi membuat gerai-gerai kuliner tersebar di setiap wilayah kota. Salah satunya di Kota Bogor provinsi Jawa Barat. Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau dan daerah. Dimana setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri salah satunya adalah kota Bogor. Kota Bogor merupakan salah satu kota yang menyediakan kuliner atau yang di sebut dengan surganya kuliner karena memiliki berbagai macam kuliner yang jarang ditemukan di daerah lain. Sebagai kota yang dijuluki dengan surganya kuliner, terdapat tempat-tempat kuliner yang tersebar di seluruh kota Bogor. Berdasarkan penelitian dalam jurnal yang berjudul identifikasi wisata kuliner di Kota Bogor, pola sebaran kuliner di Kota Bogor lebih dominan sebarannya kepusat kota.1 Namun terjadi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kuliner di kota Bogor, yaitu salah satunya menurut informasi dari artikel bahwa trotoar kerap kali dipergunakan bagi pedagang kaki lima untuk berjualan. Yayat Supriatna selaku pakar tata ruang kota mengatakan bahwa penggunaan trotoar sebagai lintasan pengendara motor dan PKL memang sering terjadi di kota-kota besar yang rawan kemacetan. Beliau juga menuturkan bahwa hal tersebut juga sudah menjadi budaya.2 Selain itu diperoleh informasi juga bahwa di kota Bogor terdapat beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam penanganan PKL masih belum beranjak dari kondisi perekonomian yang belum memungkinkan sektor formal optimal menampung angkatan kerja. Kemudian jumlah PKL yang relatif banyak dan keberadaannya masih terkonsentrasi di pusat-pusat keramaian, serta lahan relokasi PKL yang sangat terbatas.3 Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu dari berbagai jenis pedagang. Perdagangan di dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa perdagangan

1 Teddy Gunawan, “Identifikasi Wisata Kuliner Kota Bogor,” Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perencanaan Wilayah & Kota, Vol 1, no. 1 (2016) 2 Felix Nathaniel, Hak Pejalan Kaki di Trotoar yang Sering Terabaikan, dari http://tirto.id/hak-pejalan-kaki-yang-sering-terabaikan-csNh, diakses pada 26 Juli 2017. 3 Pemerintah Kota Bogor, “Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kota Bogor Tahun 2013”, http://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/105/penyelenggaraan-pemerintah- daerah#.WXtW5kGxqc0, diakses pada 22 Juli 2017. 3

atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil. Seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa‟ ayat 29 :

                 

                 Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”4 Dalam melakukan perniagaan, Allah juga telah mengatur adab tentang perniagaan, bahwa manusia tidak boleh berlebihan dalam melakukan perdagangan. Allah berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 24 berikut :

             

            

            

    Artinya : “Katakanlah, “jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara- saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”5

4 Litequran.net, 2019, (https://litequran.net/an-nisa). 5 Litequran.net, 2019, (https://litequran.net/at-taubah). 4

Telah dijelaskan mengenai perdagangan atau perniagaan dalam Al- Qur‟an Surat An-Nisa‟ ayat 29 dan Surat At-Taubah ayat 24. Selain itu dalam hadits pula dijelaskan tentang keutamaan berdagang.

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَّطُ خَيْرًا مِهْ أَنْ يَأْكُلَ مِهْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَ وَبِّىَ الّلَهِ دَاوُدَ – عَّلَيْهِ الّسَالَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِهْ عَمَلِ يَدِهِ يَدِ يَأْكُلُ مِهْ عَمَلِ Artinya :

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari jerih payah tangannya sendiri. Dan sesungguhnya nabi Daud „alaihissalam dahulu senantiasa makan dari jerih payahnya sendiri.”6

Dari penjelasan di atas, maka peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan kaitannya dengan belum maksimalnya penataan ruang kota yang menimbulkan kemacetan yang diakibatkan PKL yang berjualan di lokasi yang tidak semestinya. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh kaitannya dengan pedagang kuliner ini dengan judul “Sebaran Spasial Lokasi Pedagang Kuliner di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor”

B. Identifikasi Masalah Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya pedagang kuliner adalah salah satunya karena Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terkenal kulinernya dan Kota Bogor juga merupakan kota yang memiliki banyak destinasi wisata. Sebagai destinasi wisata, tak dapat di pungkiri dapat memunculkan para pedagang, baik itu pedagang kuliner maupun pedagang lainnya. Maka identifikasi masalah adalah sebagai berikut : 1. Banyaknya para pedagang yang menggunakan bahu jalan (trotoar) sebagai lokasi berjualan.

6 Muhammad Washito Abu Fawaz, “Hadits-Hadits Shohih Tentang Keutamaan Perniagaan dan Pengusaha Muslim”, 2017, (https://abufawaz.wordpress.com/2012/04/10/hadits-hadits-shohih- tentang-keutamaan-perniagaan-dan-pengusaha-muslim/). 5

2. Masih adanya tata ruang PKL yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Terbatasnya lahan untuk relokasi bagi PKL.

C. Pembatasan Masalah Berdasarkan pada permasalahan yang muncul pada identifikasi masalah diatas, maka peneliti membatasi masalah tentang masih adanya tata ruang PKL yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun kuliner yang termasuk dalam penelitian ini adalah jenis kuliner tradisional dan kuliner modern, baik berupa makanan utama maupun jajanan.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persebaran lokasi usaha pedagang kuliner di wilayah Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor ? 2. Apa jenis kuliner yang dijual oleh pedagang kuliner di wilayah Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor ? 3. Bagaimana kesesuaian penyebaran spasial pedagang kuliner pada tata ruang Kota Bogor ?

E. Tujuan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui persebaran lokasi usaha pedagang kuliner di wilayah Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. 2. Mengetahui jenis kuliner yang dijual oleh pedagang kuliner di wilayah Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. 3. Mengetahui kesesuaian penyebaran spasial pedagang kuliner pada tata ruang Kota Bogor. 6

E. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Sebagai salah satu karya ilmiah maka penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan mengenai kuliner di Kota Bogor provinsi Jawa Barat. Adapun dalam bidang pendidikan, dapat dijadikan sebagai bahan atau media pembelajaran pada mata pelajaran Geografi.

2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Bagi Penulis Dapat menambah wawasan serta pengalaman serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang sudah di peroleh selam aberada di bangku perkuliahan serta dapat meningkatkan pengetahuan mengenai kuliner. b. Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai persebaran kuliner bagi pembaca. c. Bagi Masyarakat Umum Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui bagaimana pola persebaran pedagang kuliner di Kota Bogor dan memudahkan masyarakat untuk memilih berkunjung ke tempat kuliner sesuai dengan yang diinginkan. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian diharapkan berguna sebagai bahan bandingan bagi penelitian mengenai persebaran kuliner yang sudah ataupun akan dilakukan, penulis juga berharap bahwa penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dalam penelitian lain yang relevan. e. Pemerintah Setempat Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan dan memperkuat regulasi terkait penempatan pedagang kuliner dalam 7

penyebarannya di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Dengan penelitian ini, sedikit mengevaluasi dan hasilnya diharapkan bagi pemerintah setempat mampu memperkuat informasi dan regulasi terkait penyebaran kuliner di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Persebaran Konsep persebaran adalah keberadaan suatu fenomena di suatu ruang.1 Keberadaan suatu gejala di suatu wilayah dapat memusat di salah satu tempat, misalnya dekat dengan ibu kota kecamatan atau memanjang di pinggir jalan, atau berada di semua desa dari kecamatan itu. Dengan kata lain persebaran suatu gejala dapat memusat, memanjang, tersebar merata atau tidak merata.2 Adapun prinsip persebaran menyatakan bahwa fenomena atau gejala geografis di permukaan bumi ini tidak merata karena perbedaan berbagai unsur geografi.3 Menurut Petter Hagget dalam Saraswati, pola persebaran permukiman ada 3 tipe pola yaitu seragam (uniform), acak (random), mengelompok (clustered).4 Pola persebaran ini dapat diberi ukuran yang bersifat kuantitatif sehingga perbandingan antara pola persebaran dapat dilakukan dengan baik, bukan saja dari segi waktu tetapi juga dapat segi ruang (space). Pendekatan ini disebut analisis tetangga terdekat. Analisis seperti ini memerlukan data tentang jarak antara satu obyek dengan obyek tetangganya yang terdekat. Sehubungan dengan hal ini tiap objek dianggap sebagai sebuah titik dalam ruang. Pada hakekatnya analisis tetangga terdekat ini adalah sesuai untuk hambatan alamiah yang belum dapat teratasi.5 Pola persebaran terdiri dari mengelompok, random dan seragam. Dimana dari tiap pola persebaran tersebut memiliki Kategori Indeks

1 Gunardo R.B, Geografi Transportasi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 10. 2 Ibid., h. 41. 3 Ibid., h. 27. 4 Dian Ayu Saraswati, “Analisis Perubahan Luas dan Pola Persebaran Permukiman (Studi Kasus: Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah)”, Jurnal Geodesi Undip, Vol. 5, 2016, h. 157. 5 Moch. Choirurrozi, “Pola Persebaran Permukiman di Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten Tahun 2008,” Skripsi pada Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2009, h. 6, tidak dipublikasikan.

8

9

Persebaran (T).6 Berikut ini adalah Kategori Indeks Persebaran (T) tersebut, yaitu: I = Nilai T dari 0 – 0,7 adalah pola mengelompok atau bergerombol (Cluster Pattern). II = Nilai T dari 0,8 – 1,4 adalah pola acak atau tersebar tidak merata (Random Pattern). III = Nilai T dari 1,5 – 2,15 adalah pola seragam atau tersebar merata (Uniform /Dispersed Pattern).

Gambar 2. 1 Continum nilai nearest neighbor statistic T (Hagget, 1975 dalam Saraswati)7

2. Spasial Menurut Achmadi dalam Kartika Kirana, istilah spasial dalam perkembangan penggunaannya, selain bermakna ruang maupun waktu, juga bermakna segala macam makhluk hidup maupun benda mati di dalamnya, seperti iklim, suhu, tofografi, cuaca dan kelembaban. Sedangkan menurut Rahardjo, spasial berarti sesuatu yang dibatasi oleh ruang, waktu serta komunikasi atau transportasi.8 Pengertian ruang menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman menyebutkan bahwa, Ruang adalah

6 Maychard Ryantirta Pelambi, dkk., “Identifikasi Pola Sebaran Permukiman Terencana di Kota Manado, Jurnal pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Jurusan Arsitektur Universitas Sam Ratulangi, h. 58. 7 Dian Ayu Saraswati, “Analisis Perubahan Luas dan Pola Persebaran Permukiman (Studi Kasus: Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah)”, h. 157. 8 Kartika Kirana, “Analisis Spasial Faktor Lingkungan Pada Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Genuk,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2016, h. 39, tidak dipublikasikan.

10

wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.9 Pendekatan keruangan menekankan analisisnya pada variasi distribusi dan lokasi dari gejala-gejala atau kelompok gejala-gejala di permukaan bumi. Contoh yang dikemukan oleh Petter Hagget misalnya studi variasi kepadatan penduduk, studi variasi penggunaan lahan, studi variasi tentang kemiskinan di pedesaan. Faktor-faktor yang menyebabkan pola-pola distribusi keruangan yang berbeda-beda dan bagaimana pola- pola keruangan yang ada dapat diubah sedemikian rupa sehingga distribusinya menjadi lebih efektif. Pendekatan keruangan menyangkut pola, proses dan struktur dikaitkan dengan dimensi waktu maka analisisnya bersifat horizontal.10 Selain menekankan analisisnya pada variasi distribusi dan lokasi, pendekatan keruangan juga menekankan eksistensi (keberadaan) ruang sebagai penekanannya. Menurut Hagget dalam Marhadi dijelaskan bahwa, “Analisis keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau serangkaian sifat-sifat penting.” Dalam analisis keruangan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan kedua, penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang dirancang.11 Pendekatan keruangan ini merupakan satu dari tiga pendekatan utama dalam ilmu geografi, yaitu (1) pendekatan keruangan (spatial approach), (2) pendekatan ekologis (ecological approach), dan (3) pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Menurut Yunus dalam Pelambi disebutkan bahwa, pendekatan keruangan dapat di definisikan sebagai suatu metode yang menggunakan variabel ruang dalam setiap analisanya untuk memahami gejala tertentu mempunyai

9 Pelambi dkk., “Identifikasi Pola Sebaran Permukiman Terencana Di Kota Manado”, h. 56. 10 Gunardo R.B, Geografi Politik, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 23. 11 Marhadi S.K, Pengantar Geografi Regional, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 21.

11

pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang.12 Adapun pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.13 Dalam Riva Hidayatur Rokhmah, Subekhan mengemukakan bahwa persebaran adalah posisi lokasi yang terletak di suatu area atau tempat dalam keadaan tertentu.14 Klasifikasi pola persebaran permukiman ada 3 tipe pola yaitu seragam (uniform), acak (random), mengelompok (clustered).15 Adapun pengertian spasial menurut Yunus dalam Rokhmah dijelaskan bahwa spasial berarti keruangan yang dimana istilah ruang (space) dapat diartikan sebagai bagian tertentu dari permukaan bumi yang mampu megakomodasikan berbagai bentuk kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya.16 Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa sebaran spasial adalah persebaran yang menekankan pada keruangan atau ruang.

3. Letak atau Lokasi a. Konsep Lokasi Lokasi menunjukkan tempat atau wilayah gejala itu terjadi dengan batas-batas yang jelas, luas cakupannya dan posisi gejala pada gejala yang lebih besar serta arti pentingnya gejala tersebut di kaji.17 Konsep lokasi atau letak merupakan konsep utama yang sejak awal perkembangan geografi telah menjadi ciri khusus ilmu geografi. Unsur-unsur letak sangat penting dalam geografi terutama berkaitan

12 Pelambi, dkk., “Identifikasi Pola Sebaran Permukiman Terencana di Kota Manado”, h. 56. 13 Ibid., h. 57. 14 Riva Hidayatur Rokhmah, “Distribusi Spasial dan Kontribusi Obyek Wisata Pada Pendapatan Rumah Tangga Di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2013, h. 12, tidak dipublikasikan. 15 Dian Ayu Saraswati, “Analisis Perubahan Luas dan Pola Persebaran Permukiman (Studi Kasus: Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah)”, h. 157. 16 Riva Hidayatur Rokhmah, “Distribusi Spasial dan Kontribusi Obyek Wisata Pada Pendapatan Rumah Tangga Di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang,” h. 12. 17 Gunardo, Geografi Politik, h. 28.

12

dengan telaah regional atau kajian wilayah secara garis besar telah dapat dibedakan menjadi: 1) Letak fisiografis Letak fisiografis adalah letak suatu tempat terhadap alam, artinya letak suatu tempat terhadap tempat-tempat dengan tipe tertentu. Letak fisiografis meliputi: a) Letak astronomis menunjuk letak berdasarkan garis lintang dan garis bujur (misalnya Indonesia terletak di antara 950 Bujur Timur – 1410 Bujur Timur dan 60 Lintang Utara – 110 Lintang Selatan). b) Letak klimatologis berdasarkan tipe iklim tertentu (misalnya Indinesia terletak di tipe iklim tropis dengan ciri curah hujan tinggi, panas sepanjang tahun dan mempunyai 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau). c) Letak maritim adalah letak terhadap lautan (Indonesia berbatasan dengan Lautan Hindia di selatan dan barat serta Lautan Pasifik di timur dan utara). d) Letak kontinental berdasarkan letaknya terhadap benua (Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia). e) Letak geomorfologis berdasarkan letaknya terhadap gejala alam (misalnya Indonesia terletak di daerah tumbukan lempeng Eurasia dengan lempeng Samudera Hindia). Akibatnya Indonesia terletak di daerah cincin api (ring of fire) yang mempunyai gejala tektonik seperti gempa bumi dan gunung api.

2) Letak sosiogeografis Letak sosiogeografis berdasarkan pada kondisi kegiatan manusia di berbagai bidang. Letak sosiogeografis meliputi: a) Letak sosial berdasarkan pada kondisi sosial suatu wilayah (misalnya Indonesia terletak di antara negara yang tingkat kesehatan dan pendidikannya belum maju). b) Letak ekonomis berdasarkan pada kondisi ekonomi suatu wilayah (Indonesia terletak di negara-negara dengan pendapatan menengah). c) Letak politis berdasarkan pada kondisi politik suatu wilayah (Indonesia terletak di antara negara-negara demokratis).

13

d) Letak kultural berdasarkan pada kondisi bidaya suatu wilayah (Indonesia terletak di antara negara-negara tradisional dan negara maju).18

b. Klasifikasi Lokasi Berdasarkan Ruang Secara umum letak suatu tempat dapat memiliki arti strategis. Lokasi yang berkaitan dengan kondisi sekitarnya dapat memberi arti menguntungkan dapat pula merugikan.19 Adapun lokasi ditinjau dari kajian geografi nasional terdiri dari letak absolut atau letak astronomis dan letak relatif atau letak geografis.20 Lokasi dalam ruang, dapat dibedakan antara lokasi absolut dengan lokasi relatif, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: 1) Lokasi absolut Lokasi absolut suatu tempat atau suatu wilayah, yaitu lokasi yang berkenaan dengan posisinya menurut garis lintang dan garis bujur atau berdasarkan jaring-jaring derajat. Lokasi absolut suatu tempat atau suatu wilayah, dapat dibaca pada peta.21 Dengan dinyatakan lokasi absolut suatu tempat atau suatu wilayah, karakteristik tempat yang bersangkutan sudah dapat diabstraksikan lebih jauh. Sekurang-kurangnya, posisi dan iklimnya sudah dapat dihitung.22 Letak absolut atau mutlak juga disebut dengan letak astronomis. Letak astronomis mendasarkan pada kedudukan suatu tempat dimuka bumi yang bulat bagaikan bola menurut garis lintang dan garis bujurnya, yaitu garis-garis khayalan yang melingkari bumi yang pertama kali ditemukan atau direka oleh Eratosthenes untuk dapat menunjukkan letak suatu tempat di bumi yang bulat.

18 Ibid., h. 13-14. 19 Ibid., h. 15. 20 Suharyono, Dasar-dasar Kajian Geografi Regional, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 36. 21 Nursid Sumaatmadja, Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), h. 118. 22 Ibid., h. 119.

14

Letak astronomis disebut dengan letak absolut karena mendasarkan koordinatnya pada garis pangkal atau sumbu yang tetap, yaitu garis ekuator atau katulistiwa yang menjadi pangkal hitungan derajat lintang atau garis lintang nol derajat (kedua kutub bumi sebagai garis lintang 90 derajat utara dan selatan) dan garis meridian nol yang melalui kota Greenwich dekat London yang menjadi pangkal hitungan derajat bujur, meskipun pada masa gencar-gencarnya gerakan pembebasan Amerika dari kekuasaan Eropa orang pernah mengusulkan agar meridian nol (prime meridian) tidak dihitung dari garis (lingkaran) meridian yang melalui London tetapi dari garis lingkaran meridian yang melalui salah satu ibu kota di Amerika Latin.23 Sebutan letak astronomis muncul karena penentuannya didasarkan pada hasil pengamatan (pengukuran) posisinya atau kedudukannya terhadap benda langit (bintang atau matahari). Sebagian orang menyebut juga letak menurut derajat lintang dan bujur sebagai letak geografis karena berpengaruh pada kondisi geografis tempat atau wilayah yang bersangkutan, antara lain berkaitan dengan keadaan iklim, ukuran dan perbedaan waktu (kalau ukuran rentang bujurnya cukup besar).24 Sistem garis lintang yang dikembangkan oleh Ptolomaeus merupakan garis lintang yang berkaitan dengan adanya zona-zona iklim matahari. Hal yang demikian disebabkan oleh kedudukan matahari dalam menyinari bumi yang berputar pada sumbunya yang “miring” terhadap bidang peredarannya dalam gerakan bumi mengelilingi matahari. Hal tersebut menjadi penyebab timbulnya dengan apa yang disebut dengan iklim tropik, sub-tropik, iklim sedang dan seterusnya serta adanya empat musim di wilayah- wilayah di luar daerah tropik. Oleh sebab perputaran bumi pada

23 Suharyono, Dasar-dasar Kajian Geografi Regional, h. 36. 24 Ibid., h. 36-37.

15

sumbunya dan pemanasan atmosfer bumi yang tidak sama, maka timbul pula sistem sirkulasi udara umum di muka bumi yang menghasilkan sistem atau pola aliran udara baik vertikal maupun horisontal. Secara vertikal terdapat zona-zona masa udara naik (tekanan udara rendah, basah) di sekitar ekuator dan lintang sedang, serta zona-zona massa udara turun (tekanan udara tinggi, kering) di sekitar 300 dan kutub utara/selatan. Sedang secara horisontal terdapat pola angin pasat di lintang rendah, angin barat di lintang sedang, dan angin timur di lintang tinggi.25 2) Lokasi relatif Letak relatif yang dapat juga disebut letak geografis merupakan letak atau kedudukan suatu tempat atau wilayah dalam hubungannya dengan keadaan atau kondisi lingkungan di sekitarnya, baik keadaan ekonomi, kehidupan sosial politik dan budaya, wilayah perairan atau daratan yang memberikan arti penting dan sebagainya. Karena itu muncul pula sebutan-sebutan letak sosial, letak ekonomis, letak kultural, letak strategis dan sebagainya. Disebut letak relatif karena keadaannya dapat berubah sejalan dengan berubahnya kondisi lingkungan sekitar.26 Meskipun letak astronomis yang bersifat absolut telah mendasari berbagai kemungkinan kondisi lingkungan alam yang berlainan bagi kehidupan manusia, dalam kajian geografi letak relatif lebih banyak menjadi perhatian para geografiwan dalam telaah dan analisisnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan sekitar yang terus berubah oleh sebab pertumbuhan penduduk, kemajuan perkembangan perekonomian, pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan manusia. Karena itu sejak abad 19 orang telah menghasilkan berbagai teori tentang letak atau lokasi yang diawali dengan munculnya teori zona usaha pertanian Von

25 Ibid., h. 37-38. 26 Ibid., h. 39.

16

Thunen di Jerman dan disusul kemudian dengan munculnya macam-macam teori lokasi yang lain (lokasi industri, lokasi tempat yang sentral, pusat dan pinggiran, ekonomi aglomerasi dan sebagainya).27 Lokasi relatif suatu tempat atau suatu wilayah, yaitu lokasi tempat atau wilayah yang bersangkutan berkenaan dengan hubungan tempat atau wilayah itu dengan faktor alam atau faktor budaya yang ada di sekitarnya. Jadi, lokasi relatif ini ditinjau dari posisi suatu tempat atau suatu wilayah terhadap kondisi wilayah- wilayah yang ada sekitarnya. Lokasi relatif sesuatu tempat, memberikan gambaran tentang keterbelakangan, perkembangan, dan kemajuan wilayah yang bersangkutan bila dibandingkan dengan wilayah lain yang ada di sekitarnya, dan dapat mengungkapkan pula mengapa kondisinya demikian.28 Dari penjelasan diatas, dapat di simpulkan bahwa lokasi absolut merupakan suatu letak yang dimana pengamatan atau pengukurannya dilihat menurut garis lintang dan garis bujur atau berdasarkan jaring-jaring derajat. Sedangkan lokasi relatif atau letak geografis dapat ditinjau dari posisi suatu tempat atau suatu wilayah terhadap kondisi wilayah-wilayah yang ada sekitarnya. 4. Teori Lokasi Industri Pada dasarnya dalam teori lokasi terdapat suatu prinsip yang memberikan masukan bagi penentuan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai teori lokasi industri. 1) Teori lokasi industri optimal (Theory of optimal industrial location) dari August Losch

27 Ibid., h. 40. 28 Sumaatmadja, Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan, h. 119.

17

Pada tahun 1954 Losch melalui bukunya berjudul The Economics of location menghaluskan teori Crishtaller yang disusun pada tahun 1930 di Jerman Selatan. Ia juga menggunakan wilayah pedalaman agraris (hinterland) berbentuk heksagonal, tetapi tidak mengasumsikan tersebarnya penduduk secara merata.29 Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu industri yaitu apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling optimal. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai oleh pusat industri volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Selain itu, teori ini tidak menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah pemasaran milik pabrik lain yang memproduksi barang yang sama, karena dapat mengurangi pendapatannya di daerah itu. Karena itu, pendirian pabrik- pabrik biasanya dilakukan secara merata dan saling bersambungan membentuk heksagonal.30

2) Teori lokasi industri (Theory of industrial location) dari Alfred Weber Teori ini dimaksudkan untuk menentukan lokasi industri dengan mempertimbangkan resiko biaya transportasi termurah atau yang paling minimum, dengan syarat: a) Wilayah yang akan dijadikan tempat atau lokasi industri homogen, baik itu topografinya, iklim cuacanya, serta penduduknya.

29 N. Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 152. 30 Junanto Wibowo, “Pola Persebaran Sentra Industri Batik di Kota Pekalongan Berbasis Sistem Informasi Geografi,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2014, h. 20-21, tidak dipublikasikan.

18

b) Sumber daya alam tersedia cukup memadai. c) Ada upah baku yang ditetapkan di daerah tersebut, seperti upah minimum regional (UMR). d) Terdapat kompetisi antar industri untuk memperoleh pasar maupun keuntungan. e) Manusia di daerah tersebut berpikir rasional.31

Pada prinsipnya unit yang merupakan hubungan fungsional dengan biaya serta jarak yang harus ditempuh dalam pengangkutan itu memiliki biaya yang sama atau tetap. Disini dapat diasumsikan bahwa harga satuan angkutan kemana-mana sama, sehingga perbedaan biaya angkutan hanya disebabkan oleh berat barang dan jarak yang ditempuh. Apabila persyaratan tersebut terpenuhi, Weber menggunakan teori lokasi industri yang biasa disebut dengan Segitiga Weber. Weber menggunakan tiga variabel penentu yaitu, titik material, titik komsumsi, dan titik tenaga kerja.32 Berikut gambar untuk lebih jelasnya.

Gambar 2.2 Segitiga Webber

Keterangan : M : Pasar P : Lokasi biaya terendah R1, R2 : Bahan baku Gambar pertama : apabila biaya angkut berdasarkan pada jarak Gambar kedua : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri

31. Ibid., 18-19. 32 Ibid., h. 19.

19

Gambar ketiga : apabila biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri. 3) Teori tempat yang sentral (theory of cental place) dari Walter Christaller Teori ini didasarkan pada konsep range (jangkauan) dan threshold (ambang). Range (jangkauan) adalah jarak tempuh yang diperlukan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan masyarakat, sedangkan threshold (ambang) adalah jumlah minimal anggota masyarakat yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan suplai barang. Menurut teori ini, tempat yang sentral secara hierarki dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a) Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3), merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang- barang bagi daerah sekitarnya, atau disebut juga kasus pasar optimal. b) Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4), merupakan situasi lalu lintas yang optimum. Artinya, daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien. c) Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7), merupakan situasi administratif yang optimum. Artinya, tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.33 Dalam menggunakan teori ini, ada beberapa persyaratan yaitu sebagai berikut: a) Keadaan topografi relatif sama atau seragam, tidak ada gangguan yang dapat mengganggu jalur transportasi. b) Tingkat ekonomi penduduk relatif homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer yang menghasilkan padi- padian, kayu, dan batubara.34

33 Ibid., h.22-23. 34 Ibid., h. 23.

20

5. Sistem Informasi Geografis a. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Geographic Information System (GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan); atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah basis data.35 Adapun menurut BAKORSURTANAL (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) yang saat ini berubah menjadi BIG (Badan Informasi Geospasial) menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personal yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.36 Menurut Burrough P.A, “Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem perangkat yang dapat melakukan pengumpulan, penyimpanan, pengambilan kembali pengubahan (transformasi), dan penayangan (visualisasi) dari data keruangan (spasial) untuk kebutuhan tertentu.”37

b. Komponen Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis memiliki komponen pendukung. Komponen tersebut terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak untuk keperluan masukan, penyimpanan, pengolahan, analisis, dan terampil informasi.

35 Hadwi Soendjojo dan Akhmad Riqqi, Kartografi, (Bandung: Penerbit ITB, 2012), h, 203. 36 Sodikin, Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh (Teori dan Praktek dengan Er Mapper dan ArcGIS 10), (t.p.: tt.p, 2016), Cet. II, h. 200. 37 Ferad Puturuhu, Mitigasi Bencana dan Penginderaan Jauh, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), Cet. I, h. 10.

21

1) Perangkat Keras (Hardware) Yaitu perangkat fisik yang merupakan bagian dari sistem komputer yang dapat mendukung analisis geografis dan pemetaan. Perangkat keras tersebut antara lain: a) Digitizer, adalah alat yang digunakan untuk mengubah data teristris menjadi data digital. b) Plotter, adalah alat yang digunakan untuk mencetak peta yang lebar (besar). c) Printer, adalah alat yang digunakan untuk mencetak data maupun peta dalam ukuran relatif kecil. d) CPU (Central Processing Unit) adalah pusat pemrosesan data digital. e) VDU (Visual Display) adalah komponen yang digunakan sebagai layar monitor untuk menayangkan hasil pemroresan CPU. f) Disk drive adalah bagian CPU yang mampu menghidupkan suatu program. g) Tape drive adalah bagian CPU yang mampu menyimpan data hasil pemroresan.

2) Perangkat Lunak (Software) Yaitu komponen SIG yang berupa program-program yang mendukung kerja SIG, seperti input data, proses data, dan output data, di samping program kerja seperti Mapinfo, ArcView, ArcGIS, dan sebagainya. 3) Brainware Yaitu pelaksana yang bertanggungjawab dalam proses pengumpulan. proses, analisis, dan publikasi data geografis.38

6. Sektor Informal a. Pengertian Sektor Informal Lahirnya istilah sektor informal adalah hasil penelitian Keith Hart seorang peneliti Inggris di Ghana pada tahun 1971; menulis laporannya yang berjudul Informal income opportunies: an urban employment in Gahan. Sejak itu istilah informal dipakai oleh para

38 Sodikin, Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh (Teori dan Praktek dengan Er Mapper dan ArcGIS 10), h. 200-201.

22

ekonom di mana-mana baik di Negara maju maupun Negara sedang berkembang. Mengenai sektor pada tahun 1972 ILO (International Labour Organization) mengemukakan delapan ciri-ciri, dengan demikian: kegiatan usaha keluarga, bentuknya kecil-kecilan, bersifat inte tepat innsif kerja, menggunakan terutama material pribumi, mudah didapatkan oleh konsumen, menggunakan teknologi tepat guna (appropriate technology), keterampilan dari yang bersangkutan bukan hasil pendidikan sekolah, usaha pasaran yang tak diatur.39 Dalam Daldjoeni, Sethuraman mendefiniskan sektor informal sebagai sektor yang meliputi segala kegiatan komersial yang tak diatur dan kegiatan non-komersial, yang sama-sama tak memiliki struktur organisasi dan operasional. Termasuk di sektor informal juga; pasar gelap, pelacuran, babu, koki sertas srabutan di rumah-rumah. Jika diperluas lagi menurut Kleinpenning sektor informal juga mencakup dagang dagang rombengan serta ekonomi tong sampah (mengumpulkan apa-apa yang telah dibuang untuk dijual).40

b. Sektor Informal di Indonesia Salah satu sektor informal yang merupakan kegiatan ekonomi yang tidak terorganisasikan dan belum terjangkau oleh kebijakan pemerintah adalah perdagangan kaki lima.41 Definisi operasional dari sektor informal sukar diberikan karena ada bermacam-macam, bergantung kepada sudut pandangan ilmu yang dipakai. Adapun dari kacamata ekonomi, sebutan sektor- sektor informal menunjuk kepada aktivitas ekonomi yang berskala kecil, padat karya, tak mementingkan kualifikasi formal, lekat dengan

39 Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, h. 188-189. 40 Ibid., h. 189. 41 Ibid., h. 190.

23

rasa kekeluargaan, fleksibilitas tinggi, tak stabil, dan tak teratur upah rendah dan barangkali bebas proteksi.42 Peranan sektor informal di Indonesia penting sekali. Untuk melacaknya dalam berbagai kegiatan masyarakat, dapat dilihat empat segi, adalah sebagai berikut: 1) Menurut BPS, pada tahun 1978 angka pengangguran terbuka di Indonesia besarnya 2,4% dan ini mencakup kota dan desa. Rendahnya angka ini disebabkan karena sebagian besar angkatan kerja pertanian dan jasa kemasyarakatan tersalur ke sektor informal, yakni 73,2%. Adapun yang formal (industri, perdagangan, dan pertambangan hanya 22,1%). 2) Sektor informal mampu menyumbang sebanyak 64,9% dari nilai PDB (Produk Domestik Bruto), sedang yang formal seperti industri, perdagangan, dan pertambangan hanya 22.1%) 3) Pertumbuhan penduduk Indonesia per tahunnya ada 2,3%, sehingga angkatan kerja setiap tahunnya bertambah dengan 1.4 juta. Padahal sektor industri misalnya baru mampu menampung 4,1% dari pertumbuhan angkatan kerja Indonesia; begitu pula jenis-jenis yang lain masuk sektor informal. Meningkatnya pengangguran terbuka menimbulkan akses seperti penodongan, perampokan, pembunuhan, pelacuran, dan lain-lain. Setidak-tidaknya sehubungan itu sektor informal membantu banyak dalam usaha pemecahan masalah pengangguran di negeri Indonesia. 4) Kehadiran sektor Informal menguntungkan penduduk desa dan kota sekaligus, meskipun nampaknya pelayanan mereka itu berupa penjualan abu gosok, tukang patri, pengeruk kakus, penambal ban, pembersih halaman, pembantu rumah tangga, penjual dan sebagainya.43

Akhir-akhir ini ILO mengembangkan suatu strategi kebutuhan dasar untuk dicobakan di Dunia Ketiga. Dalam waktu satu generasi misalnya kebutuhan kaum miskin di kota harus sudah dapat dipenuhi. Para penguasa diharapkan memperhatikan sektor informal yang ciri-

42 Ibid. 43 Ibid., h. 190-191.

24

cirinya intensitas kerja rendah, produktivitas rendah, dan teknologinya ditepatgunakan. Dalam sektor informal ini masih terdapat banyak perbedaan; di samping pertukangan dan perusahaan di rumah, masih ada penganggur penuh dan setengah penganggur, tenaga terdidik dan tak terdidik. Penanganan sektor informal oleh penguasa atau kaum elit cenderung menguntungkan kepentingan kapitalisme lewat pemanfaatan tenaga murahan.44 Dengan kata lain sektor informal dapat menguntungkan bagi pihak tertentu.

7. Pedagang Kuliner a. Pedagang Istilah dagang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Adapun pedagang memiliki arti orang yang mencari nafkah dengan berdagang.45 Perdagangan juga memiliki arti sebagai kegiatan usaha yang dilakukan secara terus menerus, seperti tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Perizinan dan Pendaftaran di Bidang Perindustrian dan Perdagangan, “perdagangan adalah kegiatan usaha jual beli barang atau jasa yang dilakukan secara terus menerus, dengan tujuan pengalihan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai dengan imbalan atau kompensasi.”46 Sedangkan menurut Pasal 2 (lama) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dijelaskan bahwa, “pedagang adalah orang yang melakukan perbuatan perdagangan sebagai pekerjaan sehari-hari.”47

44 Ibid., h. 192. 45 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. 3, h. 229. 46 Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2009, Tentang Perizinan dan Pendaftaran di Bidang Perindustrian dan Perdagangan, Bogor, 2009. h. 93. 47 Farida Hasyim, Hukum Dagang, ed. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet. 5, h. 3.

25

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. Dalam zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan itu.48 Dijelaskan lebih lanjut mengenai perdagangan atau perniagaan dalam Pasal 3 (lama) KUHD, yaitu “membeli barang untuk dijual kembali, dalam jumlah banyak atau sedikit, masih berupa bahan atau sudah jadi, atau hanya untuk disewakan pemakaiannya.49 Perdagangan juga dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan jual beli yang bertujuan menyampaikan barang atau jasa dari produsen (penghasil) kepada konsumen (pemakai).50 Berdasarkan penjelasan diatas mengenai pengertian pedagang dan perdagangan dapat ditarik kesimpulan bahwa pedagang adalah sebuah pekerjaan yang dimana dalam pekerjaannya ini terdapat aktivitas jual beli, sedangkan perdagangan adalah suatu usaha yang dilakukan secara terus menerus dengan menyampaikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen dan mendapat kompensasi.

b. Kuliner 1) Pengertian Kuliner Istilah kuliner berasal dari bahasa Inggris yaitu culinary yang berarti berhubungan dengan dapur atau masakan.51 Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kuliner memiliki

48 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. 4, h. 15. 49 Farida Hasyim, Hukum Dagang, h. 3. 50 Eva Banowati, Geografi Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 191. 51 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), Cet. 26, h. 159.

26

makna yang berhubungan dengan masak-memasak.52 Istilah kuliner di Indonesia sendiri baru ada sejak tahun 2005. Dimana ada sebuah acara atau tayangan televisi yang meliput tempat-tempat makan unik dan sudah memiliki reputasi yang baik dan tayangan tersebut bernama “Wisata Kuliner”. Sejak saat itu, kata kuliner menjadi semakin popular dan menjadi sesuatu yang identik dengan mencicipi berbagai jenis makanan dan minuman.53 Kuliner berkaitan erat dengan proses dalam menyiapkan makanan atau memasak yang merupakan kegiatan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa antropolog memercayai bahwa kegiatan memasak sudah ada sejak 250 ribu tahun yang lalu pada saat tungku pertama kali ditemukan. Sejak itu, teknik memasak terus mengalami perkembangan dan setiap daerah di penjuru dunia memiliki teknik memasak dan variasi makanan tersendiri. Hal tersebut menjadikan makanan sebagai suatu hal yang memiliki fungsi sebagai produk budaya. Kemudian dengan pemahaman tersebut, kuliner dijadikan sebuah komoditas industri kreatif berbasis budaya.54 Menurut bahasa Melayu dalam Patimah, “kuliner adalah hasil olahan yang berupa masakan, masakan tersebut berupa lauk- pauk, makanan (panganan) dan minuman”.55 Kata kuliner berarti suatu seni mengolah bahan makanan yang dimulai dari memilih bahan makanan dan mempersiapkan bahan makanan dan peralatan yang digunakan, kemudian diteruskan dengan memasak bahan makanan sampai cara

52 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed. 4, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 753. 53 Mandra Lazuardi dan Mochamad Sandy Triady, Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Kuliner Nasional 2015-2019, (tt.p.: PT Republika Solusi, 2015), Cet. I, h. 4. 54 Ibid. 55 Teddy Gunawan, dkk., “Identifikasi Wisata Kuliner Kota Bogor”, Jurnal Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik-Universitas Pakuan, h. 2.

27

menyajikan agar hidangan tampil menarik dan rasa yang lezat sehingga dapat menggugah selera makan.56 Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kuliner merupakan cara penyajian maupun seni dalam mengolah makanan atau minuman yang di olah dari bahan-bahan tertentu dan disajikan secara menarik agar dapat menggugah selera makan.

2) Ruang Lingkup Pengembangan Kuliner Menurut laporan mengenai ekonomi kreatif yang diterbitkan oleh Mississipi Development Authority menyatakan bahwa ruang lingkup kuliner pada ekonomi kreatif merupakan bagian dari industri pertanian dan industry makanan. Secara lebih rinci ruang lingkup ini dibagi ke dalam empat kategori, yaitu: a) Jasa penyedia makanan/restoran/jasa boga (caterers); b) Toko roti (baked goods stores); c) Toko olahan gula/permen/coklat (confectionery and nut stores); d) Toko produk makanan special (all other specialty foods stores).57 Adapun ruang lingkup subsektor kuliner di Indonesia sendiri dibagi ke dalam dua kategori utama, ditinjau dari hasil akhir yang ditawarkan, yaitu jasa kuliner dan barang kuliner. Jasa kuliner (foodservice) yang dimaksud adalah jasa penyediaan makanan dan minuman di luar rumah. Ditinjau dari aspek persiapan dan penyajiannya, hal ini dapat dibagi ke dalam dua kategori umum, yaitu restoran dan jasa boga. Restoran adalah tempat penyedia makanan dan minuman di mana konsumen datang berkunjung, sedangkan jasa boga adalah penyedia makanan dan minuman yang mendatangi lokasi konsumen.58

56 Munifa, dkk. Gizi Kuliner Dasar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), h. 1. 57 Lazuardi dan Triady, Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Kuliner Nasional 2015- 2019, h. 8. 58 Ibid., h. 9.

28

3) Ruang Lingkup Industri Kuliner Kuliner merupakan subsektor baru yang di masukkan pada industri kreatif, yaitu sekitar pada tahun 2011. Sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009, ruang lingkup subsektor kuliner adalah antara lain: a) Restoran Kelompok ini mencakup jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya, baik dilengkapi dengan peralatan/ perlengkapan untuk proses pembuatan dan penyimpanan maupun tidak dan telah mendapatkan surat keputusan sebagai restoran/rumah makan dari instasi yang membinanya. b) Warung Makan Kelompok ini mencakup jenis usaha jasa pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan tetap (tidak berpindah-pindah), yang menyajikan dan menjual makanan dan minuman di tempat usahanya baik dilengkapi maupun tidak dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan maupun penyimpanan dan belum mendapatkan ijin dan surat keputusan dari instalasi yang membinanya. c) Kedai Makanan Kelompok ini mencakup usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan makanan siap dikonsumsi yang melalui proses pembuatan di tempat tetap yang dapat dipindah- pindahkan atau dibongkar pasang, biasanya dengan menggunakan tenda, seperti kedai seafood, ayam dan lain-lain. d) Penyediaan Makanan Keliling atau Tempat Tidak Tetap Kelompok ini mencakup usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan makanan siap dikonsumsi yang

29

didahului dengan proses pembuatan dan biasanya dijual dengan cara berkeliling, seperti tukang bakso keliling, tukang gorengan keliling dan lain-lain. e) Jasa Boga Untuk Suatu Event Tertentu (Event Catering) Kelompok ini mencakup penyediaan jasa makanan atas dasar kontrak perjanjian dengan pelanggan, lokasi ditentukan oleh pelanggan untuk suatu event tertentu. Kelompok ini mencakup usaha penjualan makanan jadi (siap dikonsumsi) yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk kantor, perayaan, pesta, seminar, rapat dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan diantar ke tempat kerja, pesta, seminar, rapat dan sejenisnya berikut pramusaji yang akan melayani tamu-tamu/peserta seminar atau rapat pada saat pesta/seminar berlangsung. f) Penyediaan Makanan Lainnya Kelompok ini mencakup jasa katering yaitu jasa penyediaan makanan atas dasar kontrak perjanjian dengan pelanggan, untuk periode waktu tertentu. Kegiatannya mencakup kontraktor jasa makanan (misalnya untuk perusahaan transportasi), jasa katering berdasarkan perjanjian di fasilitas olahraga dan fasilitas sejenis, kantin atau kafetaria (misalnya untuk pabrik, perkantoran, rumah sakit atau sekolah) atas dasar konsesi, jasa katering yang melayani rumah tangga. Termasuk dalam kelompok ini jasa catering yang melayani tempat pengeboran minyak dan lokasi penggergajian kayu. Misalnya Aerowisata. g) Bar Kelompok ini mencakup usaha yang kegiatannya menghidangkan minuman keras serta makanan kecil untuk umum di tempat usahanya dan telah mendapatkan ijin dari instansi yang membinanya.

30

h) Kelab Malam atau Diskotik Yang Utamanya Menyediakan Minuman Kelompok ini mencakup suatu usaha penyedikan jasa pelayanan minum sebagai kegiatan utama di mana menyediakan juga tempat dan fasilitas untuk menari dengan diiringi musik hidup, atraksi pertunjukan lampu sebagai layanan tambahan secara pramuria. i) Rumah Minum atau Kafe Kelompok ini mencakup jenis usaha jasa pangan yan bertempat di sebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan utamanya minuman untuk umum di tempat usahanya, baik dilengkapi dengan peralatan atau perlengkapan untuk proses pembuatan dan penyimpanan maupun tidak dan baik telah mendapatkan surat keputusan sebagai rumah minum dari instansi yang membinanya maupun belum. j) Kedai Minuman Kelompok ini mencakup usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan utamanya minuman siap dikonsumsi yang melalui proses pembuatan di tempat tetap yang dapat dipindah-pindahkan atau dibongkar pasang, biasanya dengan menggunakan tenda, seperti kedai kopi, kedai jus dan minuman lainnya. k) Rumah atau Kedai Obat Tradisional Kelompok ini mencakup jenis usaha yang bertempat disebagian atau seluruh bangunan permanen yang menjual dan menyajikan minuman atau obat tradisioanal untuk umum di tempat usahanya, baik yang dilengkapi dengan peralatan/perlengkapan untuk proses pembuatan dan penyimpanan maupun tidak dan baik telah mendapatkan surat keputusan sebagai rumah jamu dari instansi yang membinanya

31

maupun belum. Kelompok ini juga mencakup usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan minuman jamu siap dikonsumsi yang melalui proses pembuatan di tempat tetap yang dapat dipindah-pindahkan atau dibongkar pasang, biasanya dengan menggunakan tenda, seperti kedai jamu. l) Penyediaan Minuman Keliling atau Tempat Tidak Tetap Kelompok ini mencakup usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan makanan dan minuman siap dikonsumsi yang didahului dengan proses pembuatan dan biasanya dijual dengan cara berkeliling, seperti tukang , tukang es cincau, tukang jamu gendong dan lain-lain.59

5) Kebijakan Pengembangan Kuliner Beberapa kebijakan yang terkait dengan industri kuliner adalah: 1. Kebijakan izin usaha kuliner  Standardisasi lokasi usaha  Standardisasi operasional usaha  Standardisasi pelayanan usaha Kebijakan izin usaha pada umumnya dikeluarkan oleh institusi pemerintah tingkat daerah. Peraturan atau kebijakan setiap daerah dapat berbeda-beda sesuai keadaan daerah tersebut. Sebelum mendapatkan izin, pada umumnya terdapat beberapa syarat terkait standardisasi sebuah usaha, terutama usaha bidang kuliner, seperti standar pelayanan, kebersihan, operasional, dan sebagainya. Kebijakan izin usaha untuk usaha restoran diatur oleh peraturan tingkat daerah sesuai lokasi usaha tersebut. Contohnya, di DKI Jakarta, izin usaha rumah makan atau restoran berada di bawah Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan, dimana

59 Ibid., h. 39-40.

32

usaha-usaha yang terkait seperti rumah makan, restoran, catering, salon, hotel, usaha hiburan, dan jasa usaha pariwisata harus memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) yang berfungsi sebagai izin operasional usaha. Syarat untuk mendapatkan TDUP diantaranya adalah salinan IMB yang peruntukkannya untuk usaha atau kantor, Surat Keterangan Domisili Usaha, dan beberapa kelengkapan lainnya. Untuk produk kuliner yang berbentuk kemasan dan akan dijual di pasar, maka harus memiliki izin edar, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dinyatakan dalam Pasal 91 bahwa Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kecuali bagi produk pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga. Untuk produk skala rumah tangga, izin edar cukup berupa Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPPIRT) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan tingkat Kabupaten/Kota. Selain izin usaha dan izin edar, terdapat aturan mengenai standardisasi kebersihan rumah makan dan restoran yang diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1098 tahun 2003. Peraturan ini mengatur persyaratan hygiene sanitasi rumah makan dan restoran dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan hygiene sanitasi yang dikelola rumah makan dan restoran agar tidak membahayakan kesehatan. Pelanggaran terhadap peraturan ini adalah sanksi administratif yang dapat berupa teguran lisan, terguran tertulis, sampai dengan pencabutan sertifikat laik hygiene sanitasi rumah makan dan restoran.

33

2. Kebijakan Sertifikasi Kebijakan ini terkait sertifikasi dalam melakukan operasional usaha di pasar. Sertifikasi yang sudah ada adalah seperti sertifikasi halal. Di Indoensia, sertifikat halal dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian dan Pengawasan Obat dan Makanan Majelis Ulama (LPPOM MUI) dan Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU). Pada dasarnya sertifikat ini akan memberikan jaminan halal terhadap produk pangan, obat, dan kosmetika yang beredar dan dikonsumsi masyarakat. Sertifikat halal ini harus diperbaharui setiap tiga tahun sekali.60 Tujuan dari sertifikat ini adalah untuk memberikan jaminan mutu dan kualitas yang ditawarkan kepada konsumen sudah sesuai dengan aturan halal. Sertifikat halal menjadi faktor penting di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Untuk memberikan panduan lengkap mengenai proses sertifikasi halal yang dapat digunakan oleh pelaku usaha maupun konsumen, LPPOM MUI menerbitkan HAS 2300 yang merupakan sebuah buku panduan yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu HAS 23000:1 mengenai Persyaratan Sertifikasi: Kriteria Sistem Jaminan Halal dan HAS 23000:2 mengenai Persyaratan Sertifikasi Halal: Kebijakan dan Prosedur.61 3. Kebijakan Pengembangan Usaha Salah satu media pengembangan usaha pada bidang kuliner dapat menggunakan konsep waralaba. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman telah mengembangkan konsep waralaba agar menciptakan lingkungan usaha dengan sistem

60 Ibid., h. 53. 61 Ibid., h. 54.

34

waralaba yang lebih kondusif, terutama untuk pengembangan usaha kecil dan menengah. Peraturan ini dilatarbelakangi oleh perkembangan dan pertumbuhan waralaba jenis usaha makanan dan minuman yang signifikan. Peraturan ini pun diharapkan mampu mempromosikan produk-produk domestik dengan adanya penetapan kewajiban penggunaan bahan baku dan peralatan dari dalam negeri.62

c. Jenis-jenis Kuliner Bogor dikenal sebagai kota kuliner. Jenis-jenis kuliner seperti disajikan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Jenis Kuliner Kota Bogor63

Kuliner No Jenis Tradisional Jenis Modern 1 Toge Goreng Bu Evon Brownnies Amanda Kukus 2 Kuning Roti Unyil Venus Bakery 3 Doclang Mantarena Lapis Talas Arasari 4 Bogor - 5 Bogor - 6 Lapis Bogor - 7 Desa - 8 Michelle Bakery - 9 Pete Guan Tjo - 10 Sate Gate Empang - 11 Sop Buntut Sapi - 12 Pondok Sate Kiloan - 13 Sidomampir - Sumber: Profil Bogor

62 Ibid. 63 Profil Bogor, Wisata Kuliner Bogor, 2016, (http://direktori.kotabogor.go.id/index.php/situs/wisatakul).

35

Kuliner dalam pandangan Islam bukan hanya sekedar makanan yang enak, lezat atau menggugah selera makan. Islam sendiri memiliki aturan untuk umatnya tentang makanan yang halal (makanan yang boleh dimakan) ataupun makanan yang haram (tidak boleh dimakan). Selain halal, makanan tersebut juga harus baik. Hal ini dijelaskan sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al- Baqarah ayat 168.

          

        Artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”64

Dalam ayat lain dijelaskan perintah untuk memakan makanan yang baik. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt, surat Al Baqarah ayat 172.

           

     Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”65

8. Kota a. Pengertian Kota Arti kota terdiri dari dua aspek besar yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kedua aspek tersebut yang pertama adalah aspek

64 Litequran.net, 2019, (https://litequran.net/al-baqarah). 65 Ibid.

36

fisik (terbangun dengan alam) sebagai wujud ruang dengan elemen elemennya dan yang kedua adalah aspek manusia sebagai subyek pembangunan dan pengguna ruang kota.66 Pengertian kota (city) yang sering dijadikan acuan di Indonesia adalah tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya. Definisi kota menurut Ditjen Cipta Karya yaitu permukiman yang berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat nonagraris, kepadatan penduduk relatif tinggi, tempat sekelompok orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah geografis tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis, dan individualistis.67 Menurut Sriartha, “kota merupakan suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai pula dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis.”68 Adapun 4 ciri-ciri kota menurut Freeman dalam Koester meliputi: penyedia fasilitas untuk seluruh warga; penyedia jasa (tenaga); penyedia jasa profesional (bank, kesahatan, dan lain-lain); serta memiliki pabrik (industri). Kota dianggap sebagai pusat pasar, sehingga perdagang merupakan basis jaringan dalam suatu kota.69 Dari sudut ahli ekologi perkotaan, “perkotaan adalah masalah kependudukan yang terpisah-pisah karena latar kemakmuran dan kebudayaan.” Sedangkan dari sudut ekonomi, “kota merupakan pusat produksi, perdagangan dan distribusi dengan basis kesatuannya ialah

66 Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi; Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 19. 67 Nia K. Pontoh dan Iwan Kustiwan, Pengantar Perencanaan Perkotaan, (Bandung: Penerbit ITB: 2008), h. 5. 68 I Gusti Ayu Adi Rahayuni, “Pola Penyebaran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Singaraja”, Skripsi pada Jurusan Pendidikan Geografi FIS Undiksha, h. 2, tidak dipublikasikan. 69 Raldi Hendro Koestoer, dkk., Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus, (Jakarta: UI Press, 2001), h. 10.

37

organisasi-organisasi ekonomi.” Adapun menurut Max Weber dalam Purnawarman, ia memberikan pengertian bahwa “kota adalah suatu permukiman yang mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari pada pertanian. Dengan kata lain, bidang perdagangan berperan besar di perkotaan yang dimana kota ini merupakan tempat pasar atau sebuah permukiman pasar.70 Pengertian tentang kota juga dikemukan oleh Sirjamaki sebagai berikut: “Kota merupakan pusat-pusat komersial dan industri, kota-kota juga merupakan sekumpulan penduduk dengan tingkat pemerintahan sendiri yang di atur oleh pemerintah-pemerintah kota. Kota juga merupakan pusat-pusat untuk belajar serta tempat kemajuan peradaban. Dilihat dari segi sejarah, kota-kota merupakan tempat kelahiran peradaban dunia, dan di kotalah menjadi tempat bagi pembentukan peradaban yang lebih tinggi.”71 Dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, bahwa “Perkotaan atau kawasan perkotaan merupakan suatu wilayah yang mempunyai kegiatan bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.”72 Kota memiliki fungsi bagi wilayah di sekitarnya. (1) kota sebagai pusat pendidikan, kesehatan, dan budaya; (2) kota memiliki fungsi jasa distribusi (jasa perdagangan/pemasaran, dan jasa pengangkutan) bagi wilayah sekitarnya; dan (3) kota merupakan lokasi industri pengolahan dan jasa. Menurut Adisasmita, keseluruhan fungsi tersebut di atas harus dilihat dalam konteks bagaimana upaya yang

70 Purnawarman Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 15. 71 Ibid., h. 16. 72 Gunawan, dkk., “Identifikasi Wisata Kuliner Kota Bogor”, h.1.

38

harus dilakukan untuk mewujudkan kota-kota tersebut secara efektif dan efisien dalam melaksanakan fungsinya.73 Terdapat lima aspek untuk dapat dikatakan sebagai kota menurut P.J.M. Nas, yaitu 1) suatu lingkungan maerial buatan manusia, 2) suatu pusat produksi, 3) suatu komunitas sosial, 4) suatu komunitas budaya, dan 5) suatu masyarakat terkontrol.74 Menurut Bintarto, “kota itu suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya materialistis”. Ia juga juga mengatakan bahwa, “kota dapat diartikan sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non-alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang sifatnya heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya (hinterland).” Jika di periksa dari udara maka kota nampak berupa aglomerasi bangunan dikelilingi dan dibatasi oleh jalur-jalur jalan atau sungai-sungai yang diselang-seling oleh pepohonan besar-kecil …”75 Hofmeister mencoba mengungkapkan definisi dari kota dalam arti yang luas : “Kota adalah suatu pemusatan keruangan dari tempat tinggal dan tempat kerja manusia yang kegiatannya umum di sektor sekunder dan tersier, dengan pembagian kerja ke dalam dan arus lalu lintas yang beraneka antara bagian-bagiannya dan pusatnya, yang pertumbuhannya sebagian besar disebabkan oleh tambahan kaum pendatang dan mampu melayani kebutuhan barang dan jasa bagi wilayah yang jauh letaknya.76

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kota adalah suatu sistem kehidupan manusia yang padat penduduknya dimana dari penduduk tersebut bekerja di sektor sekunder dan tersier serta dapat memenuhi kebutuhan untuk wilayah yang jauh.

73 Ibid. 74 Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, h. 18. 75 Daldjoeni, Geografi Kota dan Desa, h. 36. 76 Ibid., h. 42.

39

b. Asal-usul Kota dan Perkembangannya Ada pendapat yang mengemukakan bahwa kota muncul sekitar 3500 SM atau 4000 SM. Kota tertua muncul di daerah Irak bagian selatan. Munculnya kota biasanya dikaitkan desa, yaitu bahwa kota merupakan konsekuensi logis dari perkembangan sebuah desa. Pada awalnya kota merupakan desa dan tempat bermukim para petani. Kota dianggap mewakili masyarakat modern.77 Dalam buku Pengantar Sejarah Kota, E.E. Bergel mengemukakan beberapa istilah berkaitan dengan perkembangan suatu wilayah menjadi sebuah kota. Beberapa istilah tersebut antara lain: a) Village (desa), pada umumnya diartikan sebagai setiap tempat peermukiman para petani, terlepas dari besar dan kecilnya daerah tersebut. Ciri utama dari desa adalah bahwa antara desa yang satu dengan desa yang lain tidak saling mendominasi, tidak saling menguasai atau saling mempengaruhi. b) Town, diterjemahkan sebagai kota kecil, dan didefinisikan sebagai suatu permukiman perkotaan yang mendominasi lingkungan pedesaan dalam berbagai segi … c) City, diartikan sebagai kota besar … beberapa ciri antara lain: a) dalam beberapa hal perbedaan anatar city dengan town ganya bersifat gradual, yaitu perbedaan jumlah tingkatan, b) City lebih bersifat kompleks, c) memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi, d) city merupakan cerminan paling lengkap dari konsentrasi manusia dalam suatu ruang. d) Metropolis (metro= hidup, polis= kota). Batasan metropolis semula didasarkan oleh jumlah penduduk, yaitu kota yang penduduknya lebih dari 1.000.000. Kemudian batasan ini menjadi idak berguna lagi karena banyak kota yang memiliki kualitas urban. Batasan yang dipakai kemudian adalah kota yang memiliki arti internasional atau supranasional.”78

77 Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, h. 19. 78 Ibid., h. 20-21.

40

B. Penelitian Relevan Penelitian tentang pedagang kuliner yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu dilihat dari judul penelitian, metode dan hasil penelitian. Mengenai penelitian sebelumnya akan dijabarkan sebagai berikut: Stevira Stani (2012) dalam penelitiannya “Sebaran Pedagang Makanan Kaki Lima di Segitiga Emas Jakarta”. Metode yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan persebaran dan karakteristik PMKL di sekitar gedung perkantoran segitiga emas Jakarta. Berdasarkan hasil observasi pada penelitian ini lama aktivitas berdagang kelompok PMKL yaitu berkisar antara Sembilan sampai dengan sebelas setengah jam. Waktu berdagang dimulai pada pukul 07:00 dan berakhir pada pukul 17:00, namun pada kelompok PMKL 5, 6, 7 waktu mulai berdagang pada pukul 06:30 dan kelompok PMKL 4 dan 5 berakhir pada pukul 16:00 dan 18:00. Rata-rata waktu yang digunakan kelompok PMKL untuk berdagang hampir sama, yaitu 10 jam dalam satu hari. Fenomena persebaran kelompok PMKL yang terjadi pada segitiga emas Jakarta terkonsentrasi pada jalan utama yang dekat dengan persimpangan jalan dimana terdapat gedung perkantoran dengan pola semakin banyak jumlah lantai perkantoran semakin banyak jumlah PMKL. Jam operasional sebagaian PMKL dimulai sebelum jam masuk kantor dan berakhir setelah jam keluar kantor. Radika Indra Utama (2016) dengan judul penelitian “Interaksi Sosial Antara Pedagang Kuliner Lokal dengan Wisatawan Kuliner Lokal dalam Mengembangkan Wisata Kuliner Lokal di Kota Surakarta”. Metode penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian yang diperoleh dari interaksi sosial antara pedagang kuliner lokal dengan wisatawan kuliner lokal dalam mengembangkan wisata kuliner lokal di Kota Surakarta, didapatkan kesimpulan bahwa pedagang kuliner lokal mengkomunikasikan produk kuliner lokalnya dengan menggunakan spanduk, getok tular, dan internet. Pedagang kuliner lokal dalam memberikan pelayanannya dengan cara ramah, bersih, dan cepat. Kerja sama antara

41

pedagang kuliner lokal dengan wisatawan kuliner lokal adalah pertukaran sosial dengan proposisi sukses. Ayu Herlina (2013) dengan judul penelitian “Perilaku Kewirausahaan Pedagang Kuliner di Daerah Kampus Universitas Jember di Jalan Kalimantan dan Jawa Kabupaten Jember”. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan desktiptif kualitatif yang ditujukan untuk mengetahui perilaku kewirausahaan pedagang kuliner kaki lima dengan mendeskripsikan aspek kepercayaan diri, kesediaan menanggung resiko dan bertindak kreatif-inovatif. Hasil dari peneliitian ini dapat disimpulkan bahwa Para pedagang kuliner kaki lima dalam menjalankan usahanya selalu dihadapi yang intinya adalah tidak lakunya dagangan atau dagangan tidak habis sehingga mengalami kerugian atau untungnya berkurang, yang kedua umumnya bersikap optimis, percaya diri dan berperilaku pantang menyerah, “tahan banting” untuk tetap berusaha karena mereka umumnya memandang bahwa usaha yang kini dilakukan telah memberikan peningkatan kesejahteraan dibandingkan sebelum mereka melakukan usaha kuliner kaki lima, yang ketiga untuk dapat bertahan dan berkembang usahanya, para pedagang kuliner kaki lima juga melakukan kreatifitas dan inovasi misalkan seperti dalam meracik bumbu dan produknya. Rivaldi Pragola (2010) dalam penelitiannya “Analisis Mekanisme Harga Terhadap Etika Bisnis Pedagang Kuliner Pada Restourant Taman Resto”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah etika yang berperan penting bagi pelaku usaham, dimana asumsi ini adalah jalan singkat dari konsep marketing produk. Seleksi publik, sebagai penjual dan pembeli harus jadi polisi yang menindak dan menilai hal yang menjadi suatu motivasi bagi pengusaha untuk melihat kembali secara mendetail rangkaian produksinya apakah melaksanakan etika didalamnya. Standar ini yang menjadi ujung tombak dari bisnis yang dibangun. Etika merupakan syarat utama yang sukses dan pemerintah sebagai fungsi negara harus lebih melihat masalah tersebut sebagai masalah yang besar, sehingga fungsi kontrol etik pada dunia usaha bisa kembali dijalankan.

42

Ganjar Utomo (2011) dengan judul “Distribusi Spasial Lokasi Pedagang Kaki Lima Di Kelurahan Sragen Kulon Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen.” Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk dalam penelitian populasi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran lokasi usaha pedagang kaki lima di wilayah Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen, mengetahui jenis dagangan pedagang kaki lima wilayah Kelurahan Sragen Kulon Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen dan mengetahui besarnya sumbangan pedagang kaki lima terhadap pendapatan keluarga di wilayah Kelurahan Sragen Kulon Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) distribusi spasial lokasi pedagang kaki lima di Kelurahan Sragen Kulon membentuk pola memanjang mengikuti jalan utama Kota Sragen. Lokasi pedagang kaki lima sebagian besar berada di Dukuh Beloran sebanyak 30 orang (56.6%) dari total 53 pedagang kaki lima yang ada. (2) Jenis dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima di Kelurahan Sragen Kulon didominasi oleh jenis dagangan makanan yaitu sebanyak 39 orang (73,6%), jenis dagangan non makanan sebanyak 7 orang (13,2%) dan jasa pelayanan sebanyak 7 orang (13,2%). (3) Sumbangan pendapatan pedagang kaki lima terhadap pendapatan keluarga sebesar 68,68 %. Rata-rata pendapatan pedagang kaki lima perbulan adalah Rp 1.166.037,00.

43

Tabel 2.2 Penelitian yang Relevan

Nama No Judul Penelitian Persamaan dan Perbedaan Peneliti 1 Stevira Sebaran Pedagang Persamaan: Stani Makanan Kaki Lima Meneliti mengenai pedagang kuliner atau (2012) di Segitiga Emas makanan Jakarta Perbedaan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan aktivitas perkantoran dengan aktivitas PMKL. 2 Radika Interaksi Sosial Antara Persamaan: Indra Pedagang Kuliner Meneliti mengenai pedagang kuliner Utama Lokal dengan Perbedaan: (2016) Wisatawan Kuliner Meneliti pedagang kuliner dalam Lokal dalam mengembangkan wisata kulinernya Mengembangkan Wisata Kuliner Lokal di Kota Surakarta 3 Ayu Perilaku Persamaan: Herlina Kewirausahaan Meneliti mengenai pedagang kuliner (2013) Pedagang Kuliner di Perbedaan: Daerah Kampus Bertujuan untuk mengetahui perilaku Universitas Jember di kewirausahaan pedagang kuliner kaki lima Jalan Kalimantan dan dengan mendeskripsikan aspek kepercayaan Jawa Kabupaten diri, kesediaan menanggung resiko dan Jember bertindak kreatif-inovatif. 4 Rivaldi Analisis Mekanisme Persamaan: Pragola Harga Terhadap Etika Meneliti tentang pedagang kuliner (2010) Bisnis Pedagang Perbedaan: Kuliner Pada Penelitian ini meneliti pedagang kuliner dari Restourant Taman sudut harga. Resto

44

Tabel 2.2 (Lanjutan)

5 Ganjar Distribusi Spasial Persamaan: Utomo Lokasi Pedagang Kaki Meneliti tentang pedagang kaki lima dan (2011) Lima Di Kelurahan bertujuan untuk mengetahui persebaran Sragen Kulon lokasi pedagang Kecamatan Sragen Perbedaan: Kabupaten Sragen Bertujuan untuk mengetahui mengetahui persebaran lokasi usaha pedagang kaki lima di wilayah Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen, mengetahui jenis dagangan pedagang kaki lima wilayah Kelurahan Sragen Kulon Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen dan mengetahui besarnya sumbangan pedagang kaki lima terhadap pendapatan keluarga di wilayah Kelurahan Sragen Kulon Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen.

C. Kerangka Berfikir Pedagang Kuliner adalah orang yang melakukan perbuatan perdagangan masakan atau olahan sebagai pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Setiap pedagang kuliner menjual makanan yang berbeda-beda jenisnya. Adapun jenis-jenis kuliner diantaranya terdapat kuliner tradisonal dan kuliner modern. Jenis dari kuliner tradisional antara lain, yaitu toge goreng, soto kuning, doclang mantarena, asinan Bogor, laksa Bogor, lapis Bogor, bumbu desa, michelle bakery, nasi goreng pete guan tjo, sate gate empang, sop buntut sapi, pondok sate kiloan dan mie ayam sidomampir. Sedangkan jenis kuliner modern antara lain, yaitu brownies Amanda kukus, roti unyil venus bakery, dan lapis talas arasari. Persebaran lokasi industri merupakan persebaran yang dapat membentuk mengelompok, random (acak), dan seragam yang dimana lokasi ini dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Diharapkan dengan

45

melalui persebaran lokasi industri ini bisa mengetahui bagaimana persebaran pedagang kuliner apakah membentuk mengelompok, random (acak) atau seragam. Kesesuaian penyebaran spasial adalah suatu metode untuk melihat bentuk dari persebaran pedagang kuliner yang dilihat dari kesesuaian atau ketentuan yang berlaku. Dimana penyebaran spasial pedagang kuliner ini dilihat secara keruangan. Industri kuliner yang berada pada lokasi keramaian dan dapat menarik perhatian banyak orang dapat memberi keuntungan dalam aspek ekonomi. Dengan melakukan persebaran industri untuk jenis industri kuliner dan melalui kesesuaian persebaran ini dilakukan dengan melalui tahapan plotting. Dimana plotting dilakukan untuk mem-plott lokasi keberadaan pedagang kuliner di Kecamatan Bogor Tengah melalui pembuatan gambar atau titik, garis dan tanda-tanda tertentu di peta. Dimana hasil dari plotting tadi di analisis secara spasial melalui GIS. Dimana maksud dari analisis spasial adalah menggambarkan tingkatan atau pola dari sebuah fenomena spasial, sehingga dapat dimengerti dengan lebih baik. Dengan melakukan analisis spasial, diharapkan muncul informasi baru yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan di bidang yang dikaji.79 Analisis spasial dilakukan untuk menganalisis lokasi pedagang kuliner secara keruangan yang dilakukan melalui GIS. Dimana GIS itu merupakan sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial. Dalam penelitian ini GIS yang digunakan adalah Quantum GIS sehingga akan diperoleh peta sebaran spasial pedagang kuliner yang ada di Kecamatan Bogor Tengah sehingga dapat diketahui bentuk dari persebaran pedagang kuliner tersebut. Hasil dari peta sebaran pedagang kuliner tersebut di analisis secara deskripsi bagaimana persebarannya. Sedangkan overlay untuk melihat kesesuaian lokasi pedagang kuliner. Analisis deskripsi ini digunakan untuk mendeskripsikan jenis-jenis kuliner yang menjadi penelitian yang berada di Kecamatan Bogor Tengah. Sedangkan overlay digunakan untuk mengetahui

79 Muh. Aris Marfai, Pemodelan Geografi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h. 55.

46

kesesuaian lokasi pedagang kuliner dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Overlay yaitu menganalisis dan mengintegrasikan dua atau lebih data spasial yang berbeda.80

Pedagang Kuliner

Persebaran Lokasi Jenis Kuliner Kesesuaian Penyebaran Industri Spasial

Plotting Keberadaan Pedagang Kuliner

Analisis Spasial Melalui GIS

Peta Sebaran Spasial Pedagang Kuliner

Analisis Deskripsi Overlay dengan RTRW Kota Bogor

Kesesuaian Lokasi Kuliner

Gambar 2.3 Kerangka Berfikir

80 Sodikin, Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh (Teori dan Praktek dengan Er Mapper dan ArcGIS 10), h. 205.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Bogor Tengah terdiri dari 11 kelurahan. Kota Bogor membentang antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS.1 Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

2. Waktu Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember sampai dengan bulan April, dengan perincian kegiatan penelitian berdasarkan Tabel 3.1.

1 Pemerintah Kota Bogor, Letak Geografis Kota Bogor, 2017, (http://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/9/letak-geografis#.WggK0EGxqc0)

47

48

Tabel 3.1 Rencana Penyusunan Skripsi

No Jenis Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr

1 Penyusunan Instrumen 2 Pengambilan Data Lapangan 3 Pengolahan Data 4 Penyusunan Bab IV & V 5 Kelengkapan Lampiran 6 Sidang Munaqosah 7 Revisi Skripsi

B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif adalah salah satu jenis penelitian yang bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi tertentu, atau mencoba menggambarkan fenomena secara detail. Jadi, penelitian deskriptif kuantitatif merupakan usaha sadar dan sistematis untuk memberikan jawaban terhadap suatu masalah dan/atau mendapatkan informasi lebih mendalam dan luas terhadap suatu fenomena dengan menggunakan tahap-tahap penelitian dengan pendekatan kuantitatif.2 Adapun analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan persebaran pedagang kuliner yang bersifat PKL di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Penelitian dilakukan langsung ke sumber data, dalam hal ini proses merupakan hal yang penting dalam mendapatkan data. Data yang terkumpul tidak hanya berupa angka tetapi juga berupa kata-kata.

2 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, kualitatif, dan Gabungan, (Jakarta: Prenamedia Group, 2014), h. 62.

49

C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian peneliti dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang ditentukan. Jadi, populasi berhubungan dengan data, bukan faktor manusianya. Jika setiap manusia memberikan suatu data, maka banyaknya data atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia.3 Populasi dalam penelitian ini adalah pedagang kuliner yang tersebar di wilayah Kecamatan Bogor Tengah. 2. Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.4 Sampel yang akan peneliti ambil dalam penelitian ini adalah pedagang kuliner yang bersifat pedagang kaki lima yang berada di Kecamatan Bogor Tengah. Dalam penelitian ini untuk menentukan banyaknya sampel, peneliti menggunakan rumus Slovin dengan tingkat kepercayaan 90% (tingkat kesalahan 10%) dengan perhitungan rumus sebagai berikut:5

Keterangan: n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi d2 : tingkat kesalahan (presisi) ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%

3 Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori - Aplikasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 116. 4 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), (Bandung: Alfabeta, 2013), Cet. 18, h. 118. 5 Suryani dan Hendryadi, Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Pada Penelitian Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2015), Cet. 1, h. 194.

50

Berdasarkan rumus diatas, untuk menentukan ukuran sampel dengan jumlah populasi 1068 maka cara penghitungannya adalah sebagai berikut:

Dari hasil penghitungan diatas diperoleh hasil 91,05 yang kemudian dibulatkan menjadi 91. Maka sampel dalam penelitian ini sebanyak 91 responden.

D. Alat dan Bahan Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Alat Penelitian

No Alat/Perangkat Lunak Kegunaan

1 Laptop Untuk mengolah data Untuk plotting lokasi pedagang 2 GPS Essentials kuliner yang diteliti. Untuk dokumentasi pedagang 3 Kamera/Handphone kuliner. 4 Software ArcGIS 10.1 Untuk pengolahan data spasial

51

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Bahan Penelitian

No Bahan Sumber Keterangan

Untuk mengetahui batas Peta Administrasi BAPPEDA Kota wilayah administrasi 1 Kota Bogor Bogor Kecamatan Bogor Tengah

Untuk digitasi peta 2 Peta Kota Bogor Peta Kota Bogor shp daerah lokasi penelitian

Peta RTRW Kota Untuk meng-overlay 3 BAPPEDA Kota Bogor Bogor kesesuaian lokasi kuliner

Peta Administrasi Untuk mengetahui lokasi 4 Kecamatan Peta Kecamatan shp penelitian

E. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.6 Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah sebagai berikut: 1. Persebaran lokasi pedagang kuliner. Dalam variabel ini peneliti menggunakan lokasi absolut, yaitu lokasi atau tempat yang terletak berdasarkan pada garis lintang dan garis bujur dan bersifat tetap. Lokasi absolut dapat diukur menggunakan GPS. 2. Jenis kuliner yang dijual oleh pedagang kuliner yang bersifat PKL (Pedagang Kaki Lima). 3. Kesesuaian lokasi pedagang kuliner dilihat dari Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor.

6 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), h. 61.

52

F. Sumber Data Sumber data dalam sebuah penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Data pada umumnya terdiri dati data primer dan data sekunder. Adapun data primer dan data sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh dari masyarakat baik yang dilakukan melalui wawancara, observasi, dan alat lainnya.7 Data primer dalam penelitian ini meliputi data identitas pedagang kuliner, data lokasi pedagang kuliner, dan jenis kuliner yang dijual. 2. Data sekunder Sumber data ini adalah data yang diperoleh dari atau berasal dari bahan kepustakaan.8 Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah data jumlah pedagang kuliner seluruh Kecamatan Bogor Tengah yang diperoleh dari Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor dan data penduduk Kecamatan Bogor Tengah yang dapat diperoleh dari BPS Kecamatan Bogor Tengah.

G. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data pokok yang digunakan berupa data primer, data primer diperoleh langsung di lapangan dengan cara observasi dan wawancara. Adapun yang dimaksud dengan observasi dan wawancara adalah sebagai berikut. 1. Observasi Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan

7 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 87. 8 Ibid, h. 88.

53

orang, maka observasi tidak terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.9 Dari penelitian tersebut dapat diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat.10 Metode observasi ini digunakan untuk melakukan plotting pada pedagang kuliner yang di teliti. Hal-hal yang perlu di observasi antara lain: a. Persebaran pedagang kuliner b. Kondisi lingkungan pedagang kuliner c. Jenis kuliner yang dijual oleh setiap pedagang yang diteliti. d. Jenis ruang aktivitas yang digunakan. Adapun aspek-aspek diatas digambarkan dalam Tabel 3.4 Tabel 3.4 Panduan Observasi

No Aspek yang diamati Deskripsi

1 Persebaran pedagang kuliner

Kondisi lingkungan pedagang 2 kuliner

3 Jenis kuliner yang dijual

4 Jenis ruang aktivitas yang digunakan

2. Wawancara Wawancara atau interview merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif

9 Ibid., h. 203. 10 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), Cet. 15, h. 272.

54

kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Wawacara dilakukan dengan cara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual.11 Wawancara harus dilaksanakan dengan efektif, artinya dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya dapat diperoleh dari sebanyak- banyaknya. Bahasa harus jelas, terarah. Suasana harus tetap rileks agar data yang diperoleh data yang objektif dan dapat dipercaya.12 Wawancara dilakukan kepada pedagang kuliner untuk memperkuat data penelitian. Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur dengan mengacu pada daftar pertanyaan yang disusun dan dianggap sesuai dengan lokasi pedagang kuliner. Adapun kisi-kisi pertanyaan wawancara seperti terlihat pada Tabel 3.5 Tabel 3.5 Kisi-Kisi Pedoman Wawancara

Variabel Nomor Butir Indikator Sub Indikator Penelitian Pertanyaan Jenis Kuliner Karakteristik 1. Jenis kuliner yang 1 aktivitas dijual pedagang 2. Lama berdagang 2, 3 3. Bentuk dan sarana 9, 10 perdagangan 4. Pola pelayanan 11, 12 aktivitas pedagang Kesesuaian Karakteristik 5. Lokasi/tempat 4, 8 Lokasi lokasi aktivitas Pedagang pedagang 6. Jarak lokasi usaha 6 Kuliner dengan tempat tinggal

11 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. II, h. 216. 12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 271.

55

Tabel 3.5 (Lanjutan) 7. Luas ruang yang 5 digunakan 8. Alasan pemilihan 7 lokasi

3. Dokumentasi Panduan dokumentasi berisi hal-hal yang berkaitan dengan berkaitan dengan keadaan dan lokasi pedagang kuliner, seperti deskripsi lokasi penelitian, data profil kecamatan, data jumlah pedagang kaki lima dan arsip-arsip yang yang berkaitan dengan penelitian. Hal-hal yang perlu di dokumentasikan antara lain:  Potret tata letak pedagang kuliner  Jumlah pedagang kaki lima kuliner yang berada di Kecamatan Bogor Tengah  Data profil Kecamatan Bogor Tengah  Peta Tata Ruang Kota Bogor Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.6 Tabel 3.6 Dokumen yang Diperlukan

No. Dokumen yang Diperlukan Sumber Data

Potret/gambar tata letak pedagang 1 Lokasi penelitian kuliner

Jumlah PKL Kuliner di Kecamatan 2 Dinas Koperasi dan UMKM Bogor Tengah

3 Data profil kecamatan Pemerintah Kota Bogor

4 Peta Tata Ruang Kota Bogor BAPPEDA Kota Bogor

56

H. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa cara, yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui persebaran lokasi pedagang kuliner dengan menggunakan peta. Untuk melakukan analisis persebaran persebaran lokasi pedagang kuliner dilakukan dengan cara plotting. Plotting ini dilakukan di lokasi yang dimana pedagang kuliner berjualan. Dengan mengetahui lokasi berdagang pedagang kuliner, maka lokasi pedagang kuliner dapat dipetakan. Data hasil plotting diolah dengan menggunakan software Quantum GIS 2.18. 2. Mengetahui jenis kuliner yang dijual. Untuk mengetahui hasil jawaban resonden dari hasil wawancara dilakukan dengan mengklasifikasikan jawaban responden dari pedagang kuliner. Metode ini digunakan untuk mengkaji data-data yang diperoleh dari hasil jawaban responden dari pertanyaan dalam wawancara. 3. Mengetahui kesesuaian lokasi pedagang kuliner dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Kesesuaian lokasi pedagang kuliner dilihat pada RTRW Kota Bogor yang dimana dalam peraturan tersebut terdapat pembagian beberapa zona menjadi zona permukiman, zona kuliner dan sebagainya dengan cara meng-overlay plot atau lokasi penyebaran pedagang dengan peta RTRW.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa persebaran pedagang kuliner di Kecamatan Bogor Tengah membentuk mengikuti jalan utama dan jalan penghubung ke jalan utama. Dari total 91 titik lokasi, titik terbanyak terdapat di Kelurahan Cibogor sebanyak 23 titik lokasi yang tersebar di Jalan Mayor Oking, Jalan Nyi Raja Permas, Jalan Kapten Muslihat, Jalan Dewi Sartika Depan, Jalan MA Salmun sedangkan di Kelurahan Gudang dan Kelurahan Tegalega merupakan lokasi paling sedikit dengan jumlah masing-masing 1 titik lokasi. Adapun di Kelurahan Gudang tersebar di Jalan Surayakencana dan untuk di Kelurahan Tegalega tersebar di Jalan Ciheuleut. Hal ini sesuai dengan teori dari August Lost yang berasumsi bahwa yang mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumennya. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Dengan kata lain, makin jauh dari pasar, konsumen semakin enggan untuk membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjualan semakin mahal. Jenis kuliner yang dijual oleh pedagang kuliner di wilayah Kecamatan Bogor tengah yaitu antara lain asinan Bogor, dan nasi, ayam , bakpau, bakso, bakso , bakso colok, sempol ayam, bakso goreng, bakso isi telur, , bubur ayam, capucino cincau, cilor gulung, cimol, cungkring, , es doger, , es krim , gemblong ketan, gorengan, kentang krispi, , singkong, basah, , basah, martabak keju, martabak manis, masakan padang, mie ayam, mie rebus, minuman, nasi goreng, , otak-otak, , pisang aroma, pisang keju, , roti cane, roti panggang, rujak ulek, sate ayam madura, , sea food, , , soto

105

106

daging, soto kuning, Bogor, tahu, singkong, telur cilung dan telur gulung. Kesesuaian lokasi pedagang kuliner dengan peta pola ruang dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor tahun 2011-2031 mayoritas sudah sesuai dengan peruntukkannya. Hal ini dapat diketahui dari 91 titik lokasi pedagang kuliner, terdapat 62 lokasi yang sudah sesuai dengan peruntukkannya yaitu berada di zona perdagangan dengan dan jasa dengan persentase sebesar 68% dan 29 lokasi tersebar di zona lainnya dengan persentase sebesar 32%.

B. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, penulis dapat memberi saran sebagai berikut: 1. Pedagang kuliner yang bersifat pedagang kaki lima masih harus diberikan penyuluhan dan pengarahan tentang tempat-tempat yang diperbolehkan untuk berdagang agar tidak mengganggu ketertiban. 2. Perlu adanya penambahan lahan untuk merelokasi pedagang kuliner. 3. Untuk pemerintah diharapkan tetap mempertahankan atau memperkuat aturan lokasi pedagang kuliner. 4. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan meneliti pedagang kuliner yang berdagang di malam hari.

107

DAFTAR PUSTAKA

Buku Banowati, Eva. Geografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014.

Basundoro, Purnawarman. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

Daldjoeni, N. Geografi Kota dan Desa. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014.

Hasyim, Farida. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika, Ed I, Cet. 5, 2014.

Kansil, C.S.T., dan Kansil, Christine S.T. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 4, 2008.

Koestoer, Raldi Hendro., dkk., Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: UI Press, 2001.

Lazuardi, Mandra., dan Triady, Mochamad Sandy. Ekonomi Kreatif: Rencana Pengembangan Kuliner Nasional 2015-2019. tt.p.: PT Republika Solusi, Cet. I, 2015.

M. Echols, John., dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. 26, 2005.

Marfai, Muh. Aris. Pemodelan Geografi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.

Munifa, dkk. Gizi Kuliner Dasar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, ed. 4, 2008.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Ed. 3, Cet. III, 2005.

Pontoh, Nia K., dan Kustiwan, Iwan. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB, 2008.

Puturuhu, Ferad. Mitigasi Bencana dan Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Graha Ilmu, Cet. I, 2015.

R.B, Gunardo. Geografi Transportasi. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014a. ------. Geografi Politik, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014b. S.K, Marhadi. Pengantar Geografi Regional. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014. 108

Sodikin, Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh (Teori dan Praktek dengan Er Mapper dan ArcGIS 10), t.p.: tt.p, Cet. II, 2016.

Soendjojo, Hadwi., dan Riqqi, Akhmad. Kartografi. Bandung: Penerbit ITB, 2012.

Soetomo, Sugiono. Urbanisasi dan Morfologi; Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta, Cet. 18, 2013.

Suharyono. Dasar-dasar Kajian Geografi Regional. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013. Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. II, 2006.

Sumaatmadja, Nursid. Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Bandung: Penerbit Alumni, 1981.

Suryani dan Hendryadi. Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Pada Penelitian Bidang Manajemen dan Ekonomi Islam. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, Cet. 1, 2015.

Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, kualitatif, dan Gabungan. Jakarta: Prenamedia Group, 2014.

Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori – Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Skripsi

Choirurrozi, Moch. “Pola Persebaran Permukiman di Kecamatan Prambanan Kabupaten Klaten Tahun 2008,” Skripsi pada Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009. tidak dipublikasikan. Kirana, Kartika. “Analisis Spasial Faktor Lingkungan Pada Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Genuk,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2016. tidak dipublikasikan. Rokhmah, Riva Hidayatur. “Distribusi Spasial dan Kontribusi Obyek Wisata Pada Pendapatan Rumah Tangga Di Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten 109

Semarang,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2013. tidak dipublikasikan. Wibowo, Junanto. “Pola Persebaran Sentra Industri Batik di Kota Pekalongan Berbasis Sistem Informasi Geografi,” Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2014. tidak dipublikasikan.

Jurnal

Gunawan, Teddy. Identifikasi Wisata Kuliner Kota Bogor. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Perencanaan Wilayah & Kota. 1, 2016.

Pelambi, Maychard Ryantirta., dkk., “Identifikasi Pola Sebaran Permukiman Terencana di Kota Manado, Jurnal pada Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota Jurusan Arsitektur Universitas Sam Ratulangi. t.t. Rahayuni, I Gusti Ayu Adi. “Pola Penyebaran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Singaraja”, Jurnal Jurusan Pendidikan Geografi FIS Undiksha, 2013. Saraswati, Dian Ayu. “Analisis Perubahan Luas dan Pola Persebaran Permukiman (Studi Kasus: Kecamatan Tembalang, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen Kota Semarang Jawa Tengah)”. Jurnal Geodesi Undip. 5, 2016.

Peraturan

Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.

Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 5 Tahun 2009, Tentang Perizinan dan Pendaftaran di Bidang Perindustrian dan Perdagangan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Website

Fawaz, Muhammad Washito Abu. “Hadits-Hadits Shohih Tentang Keutamaan Perniagaan dan Pengusaha Muslim”, http://www.google.co.id/ amp/s/abufawaz.wordpress.com/2012/04/10/hadits-hadits-shohih-tentang- keutamaan-perniagaan-dan-pengusaha-muslim/amp/, 22 Juli 2017.

Litequran.net, https://litequran.net/al-baqarah, 1 Maret 2019.

Litequran.net, https://litequran.net/an-nisa, 1 Maret 2019.

Litequran.net, https://litequran.net/at-taubah, 1 Maret 2019. 110

Nathaniel, Felix. “Hak Pejalan Kaki di Trotoar yang Sering Terabaikan”, http://tirto.id/hak-pejalan-kaki-yang-sering-terabaikan-csNh, 26 Juli 2017.

Pemerintah Kota Bogor. “Letak Geografis Kota Bogor”, http://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/9/letakgeografis#.WggK0EGxq c0, 23 Desember 2017.

Pemerintahan Kota Bogor, “Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Kota Bogor Tahun 2013”, http://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/105/ penyelenggaraan- pemerintah-daerah#.WXtW5kGxqc0. 22 Juli 2017.

Profil Bogor. “Wisata Kuliner Bogor”, http://direktori.kotabogor.go.id/ index.php/situs/wisatakul, 23 Desember 2017. Profil Umum Kecamatan Bogor Tengah, http://kotabogor.go.id/index.php /profilwilayah/detail/6/kecamatan, 8 Februari 2018.

Wawancara

Agus. Wawancara. Bogor, 05 Januari 2018.

Ahmad. Wawancara. Bogor, 05 Januari 2018.

Asep. Wawancara. Bogor, 03 Januari 2018.

Ayu. Wawancara. Bogor, 03 Januari 2018.

Aziz. Wawancara. Bogor, 05 Januari 2018.

Dewi. Wawancara. Bogor, 03 Januari 2018.

Dian. Wawancara. Bogor, 03 Januari 2018

Jamal. Wawancara. Bogor, 05 Januari 2018.

Makmun. Wawancara. Bogor, 05 Januari 2018. BIOGRAFI PENULIS

Siti Rohaya, lahir di Bogor, pada tanggal 10 Juli 1994. Bertempat tinggal di Kelurahan Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Penulis merupakan anak keempat dari Bapak Naswan dan Ibu Rumsiah. Pendidikan formal yang ditempuh ialah mulai dari sekolah dasar di MIS Ar-Rahman Duren Seribu, melanjutkan ke sekolah menengah pertama di MTs Negeri 1 Kota Bogor, melanjutkan ke sekolah menengah atas di MAN 1 Kota Bogor, dan melanjutkan Perhuguruan Tinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial/Konsentrasi Geografi. Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir seperti Praktek Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) pada tahun 2017 di MTs Khazanah Kebajikan Pondok Cabe serta melakukan penelitian untuk penyelesaian tugas akhir di Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Kecamatan Bogor Tengah dengan judul Sebaran Spasial Lokasi Pedagang Kuliner Di Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor.