PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM PEMBERONTAKAN DI ACEH 1953-1962

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)

Disusun Oleh:

Muhammad Illham NIM: 1111022000012

K O N S E N T R A S I A S I A T E N G G A R A

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2016 M

ABSTRAK

Muhammad Illham

Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh 1953-1962.

Masa awal kemerdekaan di Aceh tahun 1953-1962 menjadi awal meletusnya peristiwa berdarah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam menegakkan Syariat Islam di Aceh. Perjuangan yang dianggap suatu pemberontakan timbul akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat akibat dari janji-janji semu yang di ucapkan oleh Soekarno yang menjabat Presiden saat itu tidak kunjung terwujud. Rakyat Aceh yang sebelumnya berjuang mempertahankan kedaulatan RI dengan seluruh jiwa raganya, sangat geram karena salah satu keinginan untuk mendirikan negara yang berlandaskan Syariat Islam tidak kunjung tercapai, dan berujung pada pemberontakan rakyat Aceh dalam Negara Kesatuan Republik (NKRI). Pasca kemerdekaan, konflik terjadi antar kedua belah pihak yaitu pemerintah pusat dan rakyat aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh bertikai mempertahankan ideologinya untuk dijadikan sebuah landasan suatu negara. Sesuatu hal yang sangat menarik, dan dalam kajian ini penulis ingin mengetahui bagaimana latar belakang pemberontakan serta usaha dan upaya yang dilakukan pihak Daud Beureueh dalam memperjuangkan dan mempertahankan ideologi Islam yang menjadi cita-cita rakyat Aceh.

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi robbi al‟alamin, segala puja dan puji syukur ke hadirat

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada muara ilham, lautan ilmu, yang tidak pernah larut yakni keharibaan baginda nabi Muhammad

SAW, serta keluarga, para sahabat-sahabatnya dan seluruh pengikutnya.

Skripsi yang berjudul “Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam

Pemberontakan Di Aceh 1953-1962” ditulis dalam rangka menyelesaikan studi

Strata satu (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan

Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alhamdulillah telah diselesaikan, hal ini tidak semata-mata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri, namun banyak pihak yang telah berpartisipasi membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik yang bersifat moril maupun materil, baik dalam sumber- sumber kajian atau pun sharing pendapat. Karena itu penulis mengucapkan terima kasih atas kerjasama, dorongan, dan bantuannya. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah memberikan persetujuan atas

persyaratan untuk memenuhi siding skripsi.

2. Bapak H. Nurhasan, M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan

Islam dan Mrs. Shalikatus Sa‟diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah

dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah banyak

membantu dalam memproses berjalannya pembuatan skripsi ini.

ii

3. Drs. H. Azhar Saleh, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan

waktu untuk membantu, dan membimbing dalam proses menyelesaikan

skripsi ini.

4. Ibu Hj. Tati Hartimah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu

memotivasi diri saya dalam meningkatkan kemampuan bekerja keras dalam

menyelesaikan skripsi.

5. Bapak/ Ibu seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang

memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.

6. Seluruh staff dan pegawai Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Arsip Nasional Republik

Indonesia, yang telah menjembatani penulis dengan sumber-sumber primer

dan sekunder terkait penelitian ini.

7. Kedua orangtuaku tersayang, papa Muchdi dan mama Nunung, dan keluarga

di rumah yang telah memberikan perhatian dan curahan kasih sayangnya yang

luar biasa.

8. Eki Renata Anggraini (cicak) yang selalu menemani dan memberikan suntikan

semangat serta doa yang tulus sehingga penulis selalu dapat termotivasi dan

dapat menyelesaikan penelitian ini.

9. Sahabat-sahabatku Paisyal, Ghanis, dan Eko (coker), yang selalu menemani

dalam memberikan inspirasi kepada saya.

10. Seluruh kawan-kawan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Mitra

Zalman (Ucok) yang telah “memperkenalkan” saya dengan sosok Daud

iii

Beureueh. Kepada Egi Zulhansah, Muliadin Iwan, Taki, Humaedi dan kawan

seperjuangan SKI 2011 lainnya yang selalu memberikan dukungannya kepada

penulis.

Akhirnya, hanya kepada Allah jualah penulis menyerahkan segalanya, semoga amal kebaikan yang telah mereka berikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin ya Robbal „alamin.

Ciputat, 16 Mei 2016

Penulis

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………...i

KATA PENGANTAR.…………………………………………………….……..ii

DAFTAR ISI…………………...……………………………………….………...v

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………….………………..1 B. Permasalahan…………………………….………………………………...7 1. Identifikasi Masalah…………………………………………………...7 2. Pembatasan Masalah………………………………………………..…7 3. Perumusan Masalah…………………………………………………...8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………8 D. Kerangka Teori…………………………………….………………………9 E. Metode Penelitian………………………….……………………………..11 F. Tinjauan pustaka…………………………………………………………13 G. Sistematika penulisan…………………………………………………….15

BAB II Biografi Tgk. M. Daud Beureueh

A. Lingkungan Keluarga…………………………………………………….16 B. Riwayat Pendidikan……………………………………………………...18 C. Karya-karyanya…………………………………………………………..23

BAB III Kiprah Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pemberontakan di Aceh

A. Pembentukan /Tentara Islam Indonesia di Aceh………...…..25 B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh…………………………………………………………………...…30

v

C. Respon Rakyat Aceh Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh di Aceh……………………………………………………………………...41

BAB IV Pemberontakan dalam Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di

Aceh

A. Usaha-usaha Menegakkan Syariat Islam di Aceh………………………..47 B. Respon Pemerintah Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...54 C. Upaya penyelesaian Akhir Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...…67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………………78 B. Saran-saran……...………………………………………………………..80

DAFTAR PUSTAKA...... 82

LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………………..86

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran I Gambar Tokoh Muhammad Daud Beureueh…………….86

2. Lampiran II Gambar Keadaan Aceh…………………………………..87

3. Lampiran III Peta wilayah uleebalang tahun1930-an…………………..88

4. Lampiran IV Gambar Muhammad Daud Beureueh dan Ulama Aceh….89

5. Lampiran V Gambar Pidato yang dilakukan oleh Muhammad Daud

dalam Rapat Dewan Pertahanan Daerah…………………90

6. Lampiran VI Gambar Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah

Karo……………………………………………………....91

7. Lampiran VII Surat selebaran sisa-sisa feodal…………………………..92

8. Lampiran VIII Missi Hardi 1959…………………………………………93

9. Lampiran IX Surat Tgk. M. Daud Beureueh Kepada Soekarno………..95

10. Lampiran X MAKLUMAT No. GM-14-M…………………...……….96

11. Lampiran XI Surat Anakanda Kepada Ayahanda Daud Beureueh……..97

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Aceh sebuah kesultanan muslim di Sumatera, Islam secara khas menunjukan nuansa esoterisme pemikiran Ibn ‟Arabi.1 Fenomena Aceh yang berawal dari sebuah kerajaan berdaulat hingga menjadi salah satu bagian dari Indonesia senantiasa berada dalam situasi kritis yang berkesinambungan. Berbagai krisis muncul seperti krisis politik yaitu pertikaian pendapat dan pandangan di antara pemerintah pusat dan Aceh yang berkisar pada permasalahan kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan di Aceh.2 Sejak indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh telah bergelimang dalam berbagai konflik diantarnya persoalan perang saudara seperti perang Cumbok tahun 1946-1947 yang terjadi antara kaum Uleebalang dengan kaum ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).3 Jika dilihat dari berbagai persoalan yang terjadi, untuk kasus di Aceh penulis berpendapat ini merupakan suatu perjuangan yang terjadi dibawah pimpinan Daud Beureueh, karena pada saat itu melalui PUSA Daud Beureueh menginginkan proklamasi dimaknai secara nyata di Aceh. Dimana tujuan perjuangan Daud Beureueh adalah menegakan syariat Islam di tanah rencong dan menanamkan sikap anti penjajahan.4

Perjuangan rakyat Aceh tidak berhenti begitu saja, pasca kemerdekaan Republik Indonesia Belanda melakukan agresi bersenjata untuk kembali

1Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1992), hal.52- 57. 2Abdulah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah pemerintahan di Aceh, (Jakarta, Badan Litbang dan diklat kementrian Agama RI, 2010), hal.1. 3Persatuan ulama seluruh Aceh PUSA terbentuk pada tahun 1939. Didirikan oleh Tgk. M. Daud Beureueh yang bertujuan untuk menghapuskan eksistensi hulu balang dan berfungsi untuk mengatur tonggak pemerintahan di Aceh dengan berlandaskan syariat Islam. Lihat M.Nur El Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta, Gunung Agung, 1982), hal.72-77. 4Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua kaum Uleebalang bersikap sama dengan kaum uleebalang yang terdapat di Pidie sebagai pemicu gerakan PUSA, tetapi banyak kaum uleebalang lainnya di Aceh berasal dari kaum ulama dan intelektual.

1

2

menduduki seluruh kepulauan Indonesia. Dalam usahanya menjajah Indonesia, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar radio bahwa kedatangannya bukan untuk menjajah Indonesia melainkan untuk menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui propaganda, Belanda juga melakukan dua agresi militer bersenjata, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan agresi kedua tahun 1948. Akibat serangan itu hampir seluruh wilayah Indonesia berhasil ditaklukan. Dan daerah yang belum dikuasai satu-satunya adalah Aceh. beberapa kali Belanda berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh selalu digagalkan. Baik darat, udara, atau pun laut percobaan serangan Belanda dapat digagalkan dan Aceh berhasil mempertahankan kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan menjadikan Aceh sebagai daerah modal.5

Aceh dijuluki sebagai daerah modal, selain karena kegigihan dari kekuatan rakyat Aceh mempertahankan Republik Indonesia juga karena terdapat alat komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya alat komunikasi tersebut mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Melalui media ini dapat menyampaikan berita secara praktis dan membangkitkan gelora semangat rakyat Aceh dalam mempertahankan kedaulatan RI hingga titik darah penghabisan.6 Peranan pers dan radio di bidang ekonomi juga terlihat dari siaran tentang kebutuhan para pejuang agar masyarakat dapat membantunya dalam bentuk makanan, pikiran dan persediaan perlengkapan lainnya. Dan bantuan ekonomi lainnya adalah pengumpulan dana sumbangan untuk membeli pesawat yang sangat dibutuhkan untuk kelancaran perjuangan. Pesawat yang dibeli berkat terkumpulnya sumbangan masyarakat Aceh, yang kemudian oleh Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001”. Peran Aceh semakin penting ketika Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo yang berhasil menyatukan pasukan Aceh dari TRI, laskar Aceh, berbagai divisi, dan tentara pelajar. Semakin banyak yang datang ke Medan Area maka

5A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal, (Jakarta, Yayasan Seulawah RI-001, 1992). hal.219. 6S.M. Amin, Kenangan-kenangan di Masa Lampau, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978). hal.103.

3

dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut RIMA (Resimen Istimewa Medan Area).7 Satu-satunya front yang tidak mampu ditaklukan Belanda pada agresi militer kedua adalah sektor barat atau utara front Medan Area yang dipertahankan oleh RIMA pasukan dari Aceh.

Ketika dalam keadaan krisis saat ibukota RI di Yogyakarta diduduki Belanda. Pemerintah pusat dipindahkan ke Bukit Tinggi dan membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan agresi militer Belanda yang kedua dapat dikatakan seluruh Sumatera telah berada dibawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh. Hal ini menjadi faktor utama Aceh sebagai daerah modal mempertahankan kedaulatan RI. Aceh sebagai garis pertahanan RI terakhir mempunyai peran yang sangat amat penting, dimana ketika negara boneka yang didirikan oleh Belanda sudah mengepung RI. Pada saat itu Aceh menjadi penting sebagai alternatif satu-satunya yang menentukan cita-cita bangsa dan negara RI. Dan ketika itu Presiden Soekarno memohon meminta bantuan kepada Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Daud Beureueh untuk bersedia turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang tengah berkobar untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat itu Soekarno memanggil Daud Beureueh dengan sebutan kakak. Selain meminta rakyat Aceh turut serta dalam perjuangan, Soekarno juga meminta bantuan untuk membeli sebuah pesawat dari sumbangan masyarakat Aceh yang secara ikhlas dan tulus memberi sumbangan yang sangat berharga untuk bangsa yang sedang berjuang sebagai tanda kesetiaan rakyat Aceh pada NKRI.

Hampir seluruh wilayah RI telah diduduki oleh Belanda, tetapi Aceh tak sedikit pun mundur menyerahkan daerahnya ke tangan penjajah. Bahkan ketika Indonesia sampai diujung tanduk, melalui lidah manis Soekarno lebih dahulu meminta bantuan kepada Aceh untuk membantu mempertahankan kemerdekaan RI. Tapi sama halnya seperti Belanda, manis di bibir tak sama seperti kenyataan yang ada. Aceh dikhianati dengan digabungkannya provinsi Aceh dibawah provinsi Sumatera Utara. Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh saat itu

7Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh, Depdikbud, 1978). hal.210.

4

terpedaya oleh tangisan Soekarno yang berjanji akan memberikan hak menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, jika Aceh mau bergabung membantu memperjuangkan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia. Pertentangan politik dengan pemerintah pusat yang terjadi setelah Aceh digabungkan kembali menjadi bagian atau „residen‟ Sumatra Utara setelah sebelumnya menjadi provinsi yang terpisah dengan provinsi Sumatra Utara. Hal ini membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat adanya tarik menarik antara Aceh dan pemerintah pusat, atau dengan kata lain pemerintah pusat tidak mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi tumpang- tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan.8 Terkait teori kesadaran sejarah Kuntowijoyo, hal ini dapat memberikan tantangan, kritik, pendapat, serta sikap dalam pertentangan antara rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh dengan pemerintah pusat.

Aceh ketika awal perjuangan kemerdekaan Indonesia secara de facto merupakan bagian dari provinsi Sumatera dengan kebijakan undang-undang sementara tahun 1945 yang membagi wilayah Indonesia dalam 10 provinsi. Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,9 rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beuereuh dan ulama-ulama lainnya bergerak dan berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.10 Daud Beureueh, orang kuat Aceh dan benteng Republik dalam revolusi, menolak untuk menerima suatu pekerjaan di Jakarta dan tetap bermukim di Aceh sambil memperhatikan perkembangan. Pada saat itu revolusi kemerdekaan Indonesia tak luput dari pengamatan Daud Beureueh. Dia mengamati dengan tenang dan hati hati setiap perkembangan yang terjadi. Dan selama tokoh-tokoh Masyumi memegang kedudukan yang penting dalam kabinet dia tidak melakukan tindakan apapun, akan tetapi pada bulan mei 1953 ditemukan bukti bahwa dia telah menjalin hubungan dengan Kartosuwirjo dari Darul Islam. Gerakan Darul Islam bagaimanapun merupakan bagian dari akibat sampingan proses sosial politik yang

8Ibid., hal.177-178. 9 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 Hijriah. 10 A. Hajsimy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, (Jakarta, Bulan Bintang, 1997), hal.109.

5

terjadi pasca kemerdekaan.11 Ketika masa kabinet Ali terbentuk, tersebar desas- desus bahwa pemerintah pusat melalui kabinet bermaksud menangkapi orang- orang terkemuka Aceh. Berita tersebut kemudian sampai di telinga Daud Beureueh bahwa ia dan sejumlah kawan-kawannya akan ditangkap oleh tentara dengan alasan menyimpan senjata gelap.12 Daud Beureueh menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan bila ditangkap dan dibunuh, akan tetapi jangan dengan alasan yang dibuat-buat dan jangan mengelabui mata rakyat. Selanjutnya Daud Beureueh menyatakan dalam suratnya bahwa dalam menghadapi tindakan sewenang- wenang pihak tentara, rakyat akan melalui tiga tahap; tahap sabar, tahap benci dan tahap melawan. Sekarang rakyat sudah sampai kepada tahap kedua. Maka oleh karena itu beliau mengharapkan kebijaksanaan Presiden Soekarno, kiranya hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari.13

Aceh memang pada akhirnya memberontak melalui gerakan DI/TII Aceh. Pada 21 September 1953 di Aceh meletus suatu peristiwa berdarah yang merupakan tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Ini merupakan awal perjuangan dalam menegakan syariat Islam.14 Daud Beureueh mengumumkan bahwa di Aceh, yang kini merupakan bagian dari Darul Islam, tidak ada lagi pemerintahan Pancasila. Selain persoalan ideologi keagamaan pemberontakan Darul Islam adalah bentuk perlawanan terhadap pengaruh pemerintahan pusat yang kian merasuk. Pemerintah merespon cepat tindakan yang dianggap sebagai pemberontakan tersebut. Ali Sastroamidjojo mengirimkan pasukan-pasukan untuk menghalau kaum perjuangan dari kota-kota yang penting.15 Dalam usahanya memulihkan keamanan di Aceh Ali Sastroamidjojo memilih tindakan kekerasan.16 Usahanya tidak langsung berbuahkan hasil, tetapi melalui beberapa proses. Daud Beureueh yang mundur dari Batee ke Lapang kira-kira sebelah utara Sampoi Niet, Lhok Sukon (Aceh Utara) dalam usaha penyelesaian keamanan menemui jalan

11 Ibid., hal.197-198. 12M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi, 2010), hal. 514. 13Lihat lampiran XI. 14Ibid., hal.1 . 15Ibid., hal.514-515. 16 Ibid., hal.162.

6

buntu militer yang berlanjut sampai tahun 1959.17 Pada akhir Mei 1959 dilakukan upaya akhir yaitu musyawarah antara dewan revolusi dan misi Hardi untuk mencapai persetujuan leburlah Negara Bagian Aceh dari Negara Islam Indonesia.18 Misi Hardi dengan Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959, telah berusaha ke arah memenuhi keinginan dan hasrat rakyat Aceh. Keputusan ini telah memberikan hak kepada daerah Aceh untuk memakai sebutan “Daerah Istimewa Aceh”.19

Seperti yang telah dijelaskan diatas, maka tercetuslah pemberontakan DI/TII di Aceh yang dipelopori oleh Tgk. M. Daud Beureueh, pemimpin DI/TII Aceh yang tampil sebagai pemegang kekuasaan melalui „‟revolusi sosial‟‟ dan menjadi gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada 1948-1950, memimpin pemberontakan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 atas dasar dua alasan, yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara dan gagalnya republik melaksanakan hukum Islam.20 Pemberontakan Daud Beureueh bertujuan untuk mendirikan negara Islam Indonesia, bukan untuk mencapai Aceh merdeka, karena ia percaya bahwa itulah yang diperjuangkan oleh orang Aceh sedemikian gigihnya selama revolusi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.21 Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas sepak terjang Tgk. M. Daud Beureueh dalam sebuah proposal berjudul: Peran Tgk. M. Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh 1953-1962.

17M. C. Ricklefs, Op.Cit., hal.515. 18M. Nur. El Ibrahimy, Op.Cit., hal.168-171. 19Perkataan “istimewa” ini menimbulkan associatie-associatie pikiran pada suatu daerah yang memang benar-benar bersifat “istimewa”, suatu daerah yang berhak luas mengatur hal-hal dalam setiap bidang pemerintahan. Akan tetapi hak yang diberikan, isi pada statusistimewa itu pada hakikatnya bukanlah suatu hal yang luar biasa, oleh karena yang diberikan itu hanyalah hak otonomi yang berpokok pangkal pada undang-undang tahun 1957 sehingga perkataan “istimewa itu sebenarnya tidak tepat, antara nama tidak sesuai dengan isi, menurut penafsiran yang lazim daripada perkataan “istimewa”. Lihat M. Nur. El Ibrahimy, Op. Cit., hal.186. 20Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra Antara Sumatra Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta, KITLV & NUS publising, 2010). hal. 388-389. 21Ibid., hal.341.

7

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Pasca kemerdekaan terjadi konflik yang disebabkan perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Dan agresi Belanda juga terjadi setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kembali menggugat serta memporak-porandakan seluruh Indonesia kecuali Aceh. Kenyataan bahwa Belanda telah mampu menduduki kembali Indonesia ditolak. Semangat anti penjajahan dalam diri rakyat Aceh selalu dipertahankan. Pada era Orde Lama krisis legitimasi di Aceh tidak ditunaikan janji pemerintah pusat berupa penerapan syariat Islam yang tak terwujud menjadi akar permasalahan. Krisis melalui ketetapan yang berakibat pengalihan kuasa pemerintah Aceh yang berbentuk provinsi yang terpisah menjadi residen dari provinsi Sumatera Utara. Dalam pengalihan kuasa rakyat masih dapat bersabar, namun ketika ideologi dituntut tidak terpenuhi dan perjuangan tumpah darah rakyat Aceh mempertahankan kedaulatan tak dianggap, akhirnya meletus lah konflik akibat dari kekecewaan dan sebagai ekspresi kebangkitan rakyat aceh yang merasa harga diri masyarakat Aceh terlecehkan oleh janji-janji dan iming-iming pemerintah. Dalam penelitian ini terdapat masalah yang telah diidentifikasi oleh penulis. Dan juga sebagai kajian lebih mendalam mengenai konflik yang terjadi secara vertikal antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat, yaitu: 1. Terjadinya krisis legitimasi yang disebabkan oleh pengalihan kuasa dan ideologi yang tidak direalisasikan. 2. Pemberontakan pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh atas kendali pemerintah pusat akibat diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara.

2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi penulis tentang apa yang dipaparkan diatas, maka penulis membatasi permasalahan yaitu seputar Peran Tgk. M. Daud Beureueh dalam Menegakan Syariat Islam di Aceh mengenai pengalihan kuasa dan ideologi yang tidak direalisasikan. Pada saat itu menjadi tahun pemberontakan dalam

8

menentang sikap pemerintah baik dalam mengatur otonomi daerah maupun menetapkan ideologi suatu negara. Adapun batasan tahunnya dimulai dari perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 sampai kembalinya Tgk. M. Daud Beureueh kepangkuan Republik Indonesia pada tahun 1962. Dan pembatasan subjeknya yaitu: terkait pengaruh Islam dan Barat, mengenai rakyat Aceh dan Pemerintah Pusat. Serta objeknya mengenai perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh dalam menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.

3. Perumusan Masalah Dari pemaparan mengenai pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh dalam menegakan syariat Islam di Aceh, adapun perumusan masalah penelitian ini dapat dibaca dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa motif yang melatarbelakangi pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh di Aceh? 2. Seberapa besar pengaruh Tgk. M. Daud Beureueh dalam pemberontakan di Aceh? 3. Bagaimana hasil dari perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh dalam menegakan syariat Islam di Aceh? 4. Bagaimana respon pemerintah terhadap pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh? 5. Apa solusi pemerintah dalam mengatasi pemberontakan di Aceh?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai adalah:

1. Menjelaskan motif tercetusnya pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap kendali pemerintah. 2. Menjelaskan peran Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di Aceh. 3. Mengetahui bentuk usaha atau upaya yang dilakukan rakyat Aceh dalam menegakan syariat Islam.

9

4. Menjelaskan hasil yang dicapai pada pemberontakan DI/TII dalam memperjuangankan menegakan syariat Islam di Aceh. 5. Menjelaskan respon pemerintah pusat terkait pemberontakan rakyat Aceh.

Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan tentang peran dan kontribusi Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di Aceh. 2. Sebagai bentuk khazanah keilmuaan dan pengembangan sejarah keislaman Nusantara studi kasus: Aceh. 3. Pembelajaran masa lalu untuk kehidupan dimasa yang akan datang dalam bentuk nyata, sebagai kontribusi positif dari penulis dalam rangka sosialisasi sejarah Nusantara. 4. Memberikan informasi dan data kepada pembaca mengenai peristiwa berdarah di Aceh.

D. Kerangka Teori Fenomena yang terjadi pada pristiwa berdarah di Aceh adalah bentuk revolusi sosial suatu kelompok oleh rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh yang menginginkan terwujudnya ideologi keagamaan dalam sebuah Negara. Pada kasus ini penulis melihat konflik terjadi karena adanya hukum sebab-akibat, sebab keinginan rakyat Aceh tidak terpenuhi, berakibat munculnya pemberontakan dalam menegakan syariat Islam. Dalam sudut pandang teori kesadaran sejarah, hal ini memberikan dampak tantangan, kritik, pendapat, dan sikap. Studi kasus tentang pemberontakan DI/TII di Aceh terkait teori kesadaran sejarah memunculkan budaya progresif dalam bidang politik. Seperti pemikiran Marx, mengenai etika humanis yang meyakini bahwa manusia pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang menguntungkan akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina, dan menyesatkan.22 Dan untuk mencapai hal tersebut kekerasan dipandang

22Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal.85.

10

sebagai alat sah yang harus dipakai. Kekerasan dalam kasus peristiwa berdarah ini dipakai oleh pemerintah pusat yang menganggap pemberontakan Daud Beurueh sebagai suatu tindakan yang menentang pemerintahan. Bisa dilihat dimensi sosial dari proses politik itu mencakup status dan peranan elite politik terhadap masyarakat Aceh bagaimana interaksi dalam perjuangan menegakan syariat islam yang menimbulkan suatu konflik. Jadi menurut analisa penulis ini merupakan suatu pemahaman keyakinan tentang Neo Fundamentalisme Islam yang lebih menitik beratkan pada cita-cita ideologi politik yaitu sebagai berikut: 1. Al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber 1/6 paling otoritatif. 2. Skriptualis (tulisan), literalis, tekstualis. 3. Negara Islam sebagai cita-cita politik tentang berdasar pada syariat Islam. 4. Anti modernisme Barat, demokrasi dan ideologi-ideologi lainnya. Pemahaman ini bersifat frontal yang mengarah pada kekerasan yang melahirkan ideologi baru yang bernama Ideologi Negara Islam→Non Parlementer→Tarbiyah.23

Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini ingin menguji teori paradigma perubahan sosial dengan pendekatan konflik seperti yang dikemukakan oleh T. Persons dan N. Smelzer mengatakan bahwa masyarakat dikonsepsikan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi, integrasi, mempertahankan diri, dan member orientasi tujuan. Hal tersebut mencakup ide masyarakat dengan adanya proses adaptasi untuk menghadapi pengaruh faktor eksogen dan endogen, maka tetap ada dinamika sosial. Kerangka teoritis tersebut juga menonjol dalam studi perubahan sosial sebagai bentuk perkembangan. Masalah sosial yang terjadi adalah kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan.

23Tarbiyah, Takfiri adalah dimana mulai mengkafirkan apa-apa yang berasal dari barat. Hal ini menjadi dasar pemikiran gerakan salafi dan jihadi.

11

E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang akan digunakan didalam penyusunan penelitian ini adalah metode historis yang bersifat deskriptif analisis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis sumber data, baik itu sumber primer: Ensiklopedi, Artikel, Jurnal, Majalah, Surat Kabar yang sezaman ataupun sumber sekunder seperti buku-buku.24 Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif. Kemudian poin-poin yang autentik ditulis dan dipaparkan sesuai bentuk, kejadian, suasana dan masanya. Adapun analisa faktor-faktor politik menjadi faktor pendukung.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, oleh karena itu upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti menggunakan metode historis yang bersifat deskriptif analisis. Dengan menggunakan metode ini melalui pemaparan penulis diharapkan dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah mengenai peran Tgk. M. Daud Beureueh dalam pemberontakan di Aceh 1953-1962. Adapun dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode historis25, yaitu:

1. Heuristik, kegiatan untuk mencari data atau pengumpulan bahan-bahan atau sumber sejarah. Hal ini merupakan tahap awal yang harus dilakukan. Adapun dalam pengumpulan data-data dan sumber yang akan digunakan dalam membuat skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan library research. Dalam kaitannya dengan sumber-sumber seperti arsip, jurnal, ensiklopedi, artikel/ majalah, surat kabar, dan buku-buku, penulis mencari sumber dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti; perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, perpustakaan UI, melalui toko buku di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Depok, serta melalui katalog- katalog dan website. Selain itu penulis juga menggunakan buku-buku koleksi pribadi yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.

24Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta, UI Pers, 1975), hal.32. 25Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta, Logos, 1999), hal.54.

12

2. Verifikasi, setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber baik dalam bentuk artefak, hasil-hasil dari persitiwa bersejarah ataupun melalui dokumen-dokumen tertulis yang merupakan rekaman peristiwa, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber.26 Kritik sumber adalah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dan terbukti keaslian sumber Otentiksitas dangan pembahasan sejarah yang ingin disusun sesuai dengan tema kajian. Disini penulis melakukan kritik sumber melalui pengujian data yaitu: tampilan sumber eksternal dan isi sumber internal. Dengan mengidentifikasi keaslian sumber otentik dan keabsahan tentang kesahihan sumber kredibilitas. Baik sumber primer dan sekunder penulis melakukan pengujian data untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 3. Interpretasi atau penafsiran sejarah, seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Dalam sumber terkait peristiwa berdarah di Aceh, penulis menggunakan studi komparatif yaitu menganalisis sebagian besar sumber melalui buku-buku memaparkan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai pemberontak, hal ini bertolak belakang dengan pemikiran penulis bahwa ini adalah peristiwa perjuangan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk penulis. Tujuannya agar data yang ada mampu untuk mengungkap permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya dalam sudut pandang berbeda atau dua sisi.27

4. Historiografi, tahap ini adalah tahap yang terakhir dalam metode historis. Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interpretasi, selanjutnya historiografi. Dengan menulis pemaparan atau laporan hasil penelitian dalam suatu urutan yang sistematik yang telah diatur dalam pedoman penelitian. Dalam hal ini penulis berusaha menyusun penelitian ini berdasarkan kronologi waktu dan tema-tema tertentu yang akhirnya isi inti dari penelitian atau klimaks dari penelitian ini. Tahap ini merupakan rangkaian dari keseluruhan teknik metode pembahasan.

26Ibid., hal. 35-37. 27Louis Gottschalk, Op. Cit., hal. 54.

13

F. Tinjauan Pustaka Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik permasalahan, penulis mencari beberapa literature terkait pemberontakan rakyat Aceh khususnya peran Daud Beureueh dalam menegakan syariat Islam, namun tidak banyak sumber-sumber dalam artikel, majalah dan surat kabar yang memberikan informasi secara detail mengenai peristiwa berdarah tersebut. Dalam kaitannya dengan judul, penelitian ini ingin menyajikan hasil penelitian yang menjadi pembahasan pokok dalam berbagai literature yang ada. Adapun beberapa literature yang dijadikan tinjauan pustaka, sebagai berikut:

Melalui artikel, majalah/surat kabar Kabinet dan Aceh oleh pembantu- CHAS yang dimuat dalam majalah Dalam Negeri, WAKTU” No.41, tanggal 7 November28. Mengurai informasi tentang bagaimana pemerintah pusat seakan menutupi penyebab meletusnya peristiwa berdarah di Aceh, dengan mengesampingkan alasannya yang lebih diungkapkan adalah mengenai pemberontakan yang terjadi pada peristiwa berdarah yang banyak menelan korban di kalangan rakyat Aceh. Dan mengenai Cumbok Affairs pemerintah pusat menganggap kesalahan terjadi pada pertentangan yang terjadi antara PUSA dengan kaum hulu balang. Dalam beberapa pemaparan majalah Dalam Negeri tersebut penulis melihat informasi dan data yang disajikan lebih mengarah pada pembelaan terhadap PUSA dibanding terhadap pemerintah pusat.

Sama halnya dengan artikel, majalah/surat kabar yang berjudul Tentang soal memulihkan keamanan di Atjeh yang terbit WAKTU” No.23, tanggal 25 djuni 1955. Memaparkan tentang bagaimana keamanan di Aceh yang belum terkendali. Hal itu terlihat pada bantuan militer terhadap pamong praja untuk mematahkan pemberontakan Daud Beureueh. Berbeda dengan sebelumnya artikel, majalah/surat kabar yang berjudul Karena keterkaitan Ideologis yang ditulis oleh Taufik Abdullah melalui Panji Masyarakat No.419. Jika dikaitkan dengan

28Dalam artikel, majalah/surat kabar ini untuk tahun penerbitan tidak terlihat, hal itu dikarenakan karena sumber yang ada sangat rentan dan penulis menemukan sebagian teks hilang terjadi akibat pengalihan dari sumber nyata yang di scan dan dipublikasikan via website online. Terlepas dari sisi eksternalnya untuk kritik internalnya artikel, majalah/surat kabar Dalam Negeri ini menggunakan penulis masih terkendala dalam menganalisa karena bahasa yang digunakan bahasa yang berada di jaman sebelum dan pasca kemerdekaan.

14

penelitian penulis, melihat kasus Aceh sebagai perjuangan pengalihan kuasa dan ideologi keagamaan. Pemaparan lebih detail dijelaskan oleh Taufik Abdullah mengenai pilar-pilar kepemimpinan, sikap masyarakat Aceh yang bersifat spontanitas dan enthusiasme.

Dalam literature yang lain penulis menemukan beberapa buku yang mendukung permasalahan dari topik ini, M. Nur El Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureueh perananya dalam pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982. Dalam buku ini membahas peranan Daud Beureueh dalam pemberontakan yang terjadi di Aceh dimulai dari sebabnya, sumbangan rakyat Aceh kepada pendirian Republik serta terkait pristiwa berdarah secara kronologis. Dalam buku ini juga membahas biografi singkat mengenai Daud Beureueh.

Semangat Merdeka: 70 tahun menempuh jalan pergolakan & perjuangan yang ditulis oleh A. Hasjmy, 1985 adalah sebuah buku yang memuat perjalanan A. Hasjmy juga peristiwa sejarah yang terjadi kurun waktu 70 tahun penulis. Banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang tercatat dibuku ini selama perang kolonial melawan Belanda, dan berbagai pergolakan politik di Aceh seperti pertempuran dan pemberontakan juga disajikan lengkap dibuku ini. Komentar komentar dan analisa analisanya terhadap pembahasan juga melengkapi kisah perjalanan hidup penulis dalam kancah pergolakan di Aceh. Adapun kisah pemberontakan terhadap tentara Jepang, Pergerakan PUSA, Gema Proklamasi di Aceh sampai kepada bagaimana tentara Aceh mempertahankan kemerdekaan RI merupakan sebagaian dari banyak kisah sejarah lainnya yang dikemukakan Oleh Hasjmy, Termasuk juga kisah dalam penahanannya dalam penjara oleh pemerintahaan RI yang disebabkan oleh diproklamirkannya Darul Islam (DI) di Aceh oleh Tgk. M. Daud Beureueh.

Penulis juga melakukan perbandingan pada tiap literature yang ada. Seperti dalam buku Memahami Sejarah Konflik Aceh yang ditulis oleh Mr. S. M. Amin yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014. Bertentangan dengan buku Sejarah dan dokumen-dokumen pemberontakan di Atjeh oleh Alibasjah Talsya, Mr. S. M. Amin ingin memberikan informasi kepada pembaca dalam sudut pandang yang berbeda. Peristiwa berdarah di Aceh

15

dilihatnya sebagai suatu perjuangan dalam menegakan ideologi keagamaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan dan memperkaya pembaca mengenai studi kritis dalam sejarah Aceh maupun sejarah Indonesia diawal berdirinya republic ini.

G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman secara keseluruhan, skripsi ini terbagi dalam lima bab. Adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Merupakan pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat mengenai permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.

BAB II Membahas biografi Tgk. M. Daud Beureueh dari mulai lingkungan keluarga, riwayat pendidikan, dan karya-karyanya dalam berbagai bentuk dari masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan.

BAB III Membahas lebih mendalam mengenai peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam pemberontakan untuk menegakan syariat Islam di Aceh. Baik kedudukan, sikap, dan kontribusi nyatanya dalam konflik yang disebut juga sebagai peristiwa berdarah di Aceh.

BAB IV Membahas mengenai pemberontakan yang menjadi peristiwa berdarah di Aceh. Baik melalui upaya-upayanya, dan hasil perjuangan dalam bentuk perubahan sosial dengan menggunakan pendekatan konflik. Serta respon pemerintah pusat melalui kebijakan-kebijakannya terhadap perjuangan masyarakat Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh.

BAB V Berisikan penutup yang terdiri atas kesimpulan mengenai jawaban permasalahan penelitian, dan saran sebagai masukan terhadap penelitian.

BAB II

BIOGRAFI TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH

A. Lingkungan Keluarga Teungku Muhammad Daud Beureueh, aslinya bernama Muhammad Daud.29 Ia dilahirkan pada tanggal 17 September 189930di kampung Beureueh, Beureuneun atau yang sekarang termasuk Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Daerah Istimewa Aceh.31 Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar di Aceh, ia juga merupakan tokoh kontroversial yang populer dikalangan masyarakat Aceh, dalam perjuangannya mengibarkan serta menegakan panji-panji Islam di bumi Aceh akibat rasa ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno.32

Ketika semasa hidupnya dihabiskan di Aceh, dari situlah Daud Beureueh dikatakan sebagai anak Aceh tulen. Seperti dalam sebuah karangan yang ditulis oleh Anggraini dalam majalah Indonesia Merdeka, No.214 yang terbit di Banjarmasin, pada tanggal 1 oktober 1953, berjudul “Siapa Teungku Daud Beureueh, bekas Gubernur Aceh yang memberontak”. Menjelaskan mengenai nama asalnya Muhammad Daud, yang diberikan orang tuanya sejak lahir.33 Gelar Teungku34 berasal dari masyarakat Aceh, merupakan sebutan yang diberikan kepada ulama Aceh atau sebutan kepada setiap orang yang dihormati.35 Sedang tambahan „Beureueh‟ adalah nama tempat kampung kelahirannya. Penamaan ini

29Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal.202-203. 30Menurut A. Hasjmy, dalam buku Ulama Aceh Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa,Tgk. M. Daud Beureueh lahir dalam tahun 1316 Hijriah atau sekitar tahun 1896 Masehi seperti yang dipaparkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Harun Nasution dkk. 31A. Hasjmy, Op. Cit., hal.119-120. 32H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta, Gelar Media Indonesia, 2009), hal.231-323. 33El Ibrahimy, Op. Cit., hal.221-222. 34Sekedar info, berbeda dengan Teungku (tgk.). Sebutan Tengku adalah titel kebangsawanan di Sumatera Timur. Teuku adalah titel kebangsawanan di Aceh, sedangkan Tuanku adalah titel Sultan Aceh dan turunannya atau sebagai sebutan sultan-sultan di Sumatera. 35Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 12-17.

16

17

adalah suatu kebiasaan pada sebagian masyarakat di Sumatera yang menaruhkan nama kampungnya ke dalam namanya.36

Jika dianalisa lebih mendalam mengenai Muhammad Daud nama yang diberikan kedua orang tuanya adalah dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Al Qur‟an dan Zabur. Dari penamaan yang diberikan, penulis berasumsi bahwa keinginan kedua orang tuanya adalah menjadikan Daud Beureueh sebagai ulama sekaligus mujahid37 yang siap membela, menyebarkan, mengibarkan, dan menegakan panji-panji yang berdasar pada syariat Islam. Dilihat dari lingkungan hidupnya Daud Beureueh tumbuh dan besar dilingkungan religius yang sarat dengan nilai-nilai Islam.38 Dan ketika memasuki masa dewasa di bawah bayang- bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat, yang mengilhami jejak hidupnya.

Ayahnya bernama Teungku Ahmad yang pada waktu itu menjadi Keucik (lurah) Kampung Beureueh. Ayahnya merupakan seorang ulama yang berpengaruh dikampungnya, mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan „Imeuem‟ (imam) Beureueh. Ibunya bernama Aminah. Menurut A. Hasjmy dikatakan bahwa kakek Teungku Muhammad Daud Beureueh berasal dari Kerajaan Pattani Darussalam, namanya Haji Muhammad Adami.39 Sementara Daud Beureueh sendiri beristrikan tiga orang. Istri yang pertama bernama Teungku Cut Halimah atau sering dipanggil Mi Usi, darinya dikaruniai tujuh orang putra/putri. Istri yang kedua bernama Teungku Asma dipanggil Mi Paleue, darinya dikaruniai tiga orang putra/putri. Istri yang ketiga bernama Cutnyak Asiyah terkenal dengan panggilan Mi Beureueh, dikaruniai seorang putra yang bernama Hatta, jika diakumulasikan semuanya berjumlah sebelas orang putra/putri.40 Daud Beureueh melalui anak tertuanya Teungku Maryam, mempunyai anak yaitu cucunya yang bernama Nila Inangda Mayang Keumala

36El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222-223. 37Mujahid adalah orang yang berjuang demi membela agama Islam. Sumber melalui http://kbbi.web.id/mujahid di akses pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul 13:37 WIB. 38Nilai-nilai Islam yang dimaksud terlihat dimana ketika Maghrib tiba, Hikayat Perang Sabil selalu dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ibid., hal. 337-338. 39Kerajaan Pattani Darussalam adalah kerajaan Islam Melayu yang terletak di ujung paling utara Semenanjung Tanah Melayu dan setelah dijajah Siam, sekarang menjadi Thailand Selatan. A. Hasjmy melalui bukunya yang berjudul “Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa.” hal.120. 40A. Hasjmy, Op. Cit., hal.120-121.

18

yang bersuamikan Tan Sri Sanusi Junit41 telah mempersembahkan cicit untuk Daud Beureueh. Tidak banyak literature yang dapat penulis gali mengenai keluarga Daud Beureueh, baik mengenai keluarga lingkungan ataupun orang terdekatnya.

Ketenaran tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik42 yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Hal ini terjadi akibat cita-cita yang belum tercapai. Jika dikaitkan dengan tempat tinggalnya Daud Beureueh berasal dari tanah Aceh, tepatnya didaerah Pidie. Orang-orang Pidie terkenal berwatak keras, ulet dan suka merantau. Mungkin sekali bila penulis katakan, karena watak orang Pidie demikian rupa, maka Daud Beureueh tumbuh menjadi manusia yang keras, dan ulet, hal ini terlihat juga setelah ia menjadi pemimpin umat.43 Terlebih lagi Daud Beureueh mendapatkan gelar Teungku adalah karena ia ulama yang berasal dari rakyat jelata. Jelaslah kemauan, keinginan dan pendiriannya yang kuat yang membuat Daud Beureueh sangat disegani oleh masyarakat Aceh.44

B. Riwayat Pendidikan Dalam riwayat pendidikannya Daud Beureueh memperoleh pendidikannya dari lembaga pendidikan tradisional.45 Sebelum membahas hal itu lebih jauh penulis ingin mencoba memaparkan sedikit mengenai sejarah pendidikan Islam di

41Tri Sri Dato‟ Seri Sanusi Junid atau suami dari cucu Daud Beureueh yaitu Nila Inangda Keumala lahir 10 Juli 1943, adalah tokoh politik Malaysia yang menjabat sebagai Menteri Pembangunan Negara dan Luar Bandar pada tahun 1981. Menteri Pertaninan sewatu berumur 38 tahun pada tahun 1986. Dan Tan Sri Sanusi menjadi Menteri Besar Kedah Darul Aman yang ketujuh pada tahun1996-1999. Sumber melalui http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri- sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166 diakses pada tanggal 31 januari 2016, Pukul 15:41 WIB. 42Entitas politik adalah wujud politik. Jika dikaitkan dengan dengan entitas budaya menurut Kuntjaraningrat. Analisa penulis mengenai penelitian ini adalah sebagai bentuk entitas ideal, yaitu merupakan kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dsb. Jelas kaitannya dalam kasus perjuangan ini adalah terkait nilai-nilai keagamaan dalam menegakan syariat Islam di Aceh. Sumber melalui http://kbbi.web.id/entitas di akses pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul 17:30 WIB. 43Bukti dari sifatnya yang keras dan tegas terlihat ketika dalam suatu khotbah Jum‟at di Masjid Raya Kutaraja, dalam mengupas Islam dengan komunis, Daud Beureueh sangat militant, tegas dan enteng dalam menyampaikan vonis haram dan kafir terhadap orang yang tidak disukainya dalam kasus ini disebutkan untuk menjauhkan kaum Muslimin dari PKI. 44El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222. 45Harun Nasution, Op. Cit., hal 202.

19

Aceh. Pendidikan Islam yang berlandaskan ayat-ayat Al Qur‟an adalah rasa kesadaran beriman dan beramal salih yang berdasarkan ilmu pengetahuan, sehingga manusia menjadi makhluk sosial yang menghayati ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya.46 Baik dalam kehidupan politik, ekonomi ataupun dalam kehidupan sosial. Dengan berpedoman ayat-ayat Al Qur‟an, pendidikan Islam bertujuan untuk: a. Membina manuslia Muslim yang beriman dan beramal salih sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Khalifah Allah di atas bumi, yang bertugas memakmurkan dunia raya.47 b. Membina manusia Mukmin yang beramar makruf dan bernahi mungkar, sehingga mereka memiliki syarat-syarat untuk ditampilkan menjadi umat pilihan di depan mata dunia.48 c. Membina Jama‟ah Ansarullah yang bertugas melaksanakan Dakwah Islamiyah dengan hikmah kebijaksanaan dan ajaran-ajaran yang indah sebagai syarat mutlak bagi kaum Muslimin untuk menjadi umat yang beruntung dan mendapat kemenangan.49 d. Membina angkatan Dakwah yang tugasnya bejihad membela rakyat melarat yang tertindas, dengan segala daya, dana dan jiwa, sebagai syarat mutlak untuk mendapat ampunan Allah dan kemenangan di dunia dan di akhirat.50 Pengertian dan tujuan pendidikan Islam ini merupakan hal penting ketika kita mengenyam pendidikan Islam dimanapun.51 Selain itu, mengetahui pengertian dan tujuan bermanfaat untuk mengkaji mengenai suatu penelitian terkait pendidikan, yang dalam kasus ini penulis akan mencoba untuk menjelaskannya. Seperti yang dijelaskan dalam berbagai literature, Daud Beureueh tidak mengalami masa-masa usia sekolah atau tidak masuk sekolah ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment

46Landasan: Q.S. Al Alaq: 1-5 dan At Taubah: 122. 47Landasan: Q.S. An Nur: 55-56. 48Landasan: Q.S. Ali Imran: 110. 49Landasan: Q.S. Ali Imran: 104 dan An Nahl: 125. 50Landasan: Q.S. An Nisa: 74 dan Ash Shaf:10-12. 51 A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 51-53.

20

Indlandsche School, atau HIS.52 Hal tersebut dikarenakan banyak putra/putri Aceh tidak diizinkan orangtuanya untuk memasuki sekolah-sekolah yang didirikan oleh „kaphe‟53, terutama untuk putra/putri ulama. Dan terlebih lagi masih sangat kuatnya anti penjajahan dan gema berkumandangnya Hikayat Perang Sabil.54 Hal ini membuktikan bahwa tidak benar yang dikatakan “pengamat” yang mengatakan bahwa orang Aceh jaman penjajahan anti ilmu pengetahuan, melainkan yang benar bahwa rakyat Aceh saat itu dan bahkan sampai sekarang, anti penjajahan, seperti yang diterangkan oleh A. Hasjmy dalam bukunya Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa.

Walaupun Daud Beureueh dan masyarakat Aceh baik dikalangan ulama maupun rakyat jelata tidak memasuki lembaga pendidikan yang didirikan kaum penjajah, namun mereka tidak “buta huruf” dan juga tidak “buta ilmu” karena mereka mendapat pendidikan di pusat-pusat pendidikan seperti , madrasah seperti, dayah/zawiyah.55 Jika dikaji lebih dalam pendidikan yang bernama dayah/zawiyah berdiri ketika masa Kerajaan Islam Perlak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Hal ini merupakan upaya utama yang dilakukakan dengan mendirikan tempat-tempat pendidikan bagi putra/putri negara, dalam rangka mempunyai pengetahuan yang luas. Ini merupakan perintah Sultan56 untuk memberi pengetahuan yang luas melalui bidang pendidikan. Dan masa itu pendidikan dayah/zawiyah diajarkan oleh ulama-ulama yang juga mempunyai pengetahuan yang luas.

52Volkschool atau yang dikenal sekolah desa selama tiga tahun, muncul sekitar tahun 1915 ketika jaman penjajahan Belanda, diperuntukkan bagi anak-anak peribumi yang tinggal di desa-desa. Motif pembangunan sekolah ini adalah ekonomi. Sumber melalui http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3515/volkschool diakses pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul:19:52 WIB. Goverment Indlandsche School adalah sekolah rakyat lima tahun. A. Hasjmy, Op. Cit., Sedangkan HIS adalah sekolah dasar selama tujuh tahun dengan bahasa Belanda sebagai pengantar, diperuntukkan untuk anak-anak pribumi. Sumber melalui Anthony Reid, Op. Cit., hal. 13. 53Kaphe adalah sebutan kafir oleh masyarakat Aceh untuk Belanda atau penjajah. 54Hikayat Perang Sabil merupakan syair perang sabil yang ditulis dan disebarkan pada waktu perlawanan anti-Belanda. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: KITLV, 2011), hal. 338. 55El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 221-222. 56Hal yang melatarbelakangi pendidikan masa itu adalah ketika itu Ayah Sultan sangat mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk putranya, hal itu terlihat dari pemikiran Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang juga mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan terinspirasi dari ayahnya.

21

Setelah berdiri banyak tempat-tempat pendidikan yang bernama zawiyah dalam Kerjaan Islam Perlak, pada akhir abad ke-3 H atau abad ke-10 M. Berdirilah pendidikan Islam yang bernama “Zawiyah Cot Kala” didirikan oleh pangeran Muhammad Amin yang sekaligus merupakan seorang ulama atau lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Cot Kala. Kata-kata “zawiyah” seiring perkembangan jaman berubah sebutan menjadi “dayah” menjadi “Dayah Cot Kala”.57 Mempunyai akar sejarah dalam bidang pendidikan yang kuat, memunculkan upaya yang dilakukan Kerajaan Aceh Darussalam untuk menyusun lembaga-lembaga pendidikan, yand disesuaikan dengan system dan organisasi pendidikan atau pengajaran yang disusun oleh Perdana Menteri Nizamuddin dari Daulah Abbasiyah sekitar abad ke-16 M. dan seiring perkembangan pendidikan di Aceh membawa ajaran wajib dalam rangka membasmi buta huruf tadan buta ilmu. Adapun tingkatan pendidikan di Aceh sekitar abad ke-17 M adalah sebagai berikut:

a. Meunasah atau madrasah, yaitu sekolah permulaan yang sama dengan sekolah dasar. Didirikan ditiap-tiap kampung atau desa, untuk mengajar murid-murid menulis dan membaca huruf Arab. b. Rangkang, melalui Masjid sebagai pusat segala kegiatan umat, ini merupakan pendidikan tingkat menengah pertama atau yang dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah. Diajar mengenai fiqh atau hukum Islam.58 c. Dayah, dapat disamakan dengan Sekolah Menengah Atas atau Madrasah Aliyah. Dalam tingkatan ini murid-murid diajarkan mengenai kitab-kitab dan kajian fiqh lebih mendalam. d. Dayah Teungku Chik, atau yang disebut Dayah Manyang, disamakan dengan akademik. Teungku Chik artinya guru besar. Diajarkan mengenai pelajaran tentang bahasa, fiqh, hukum Islam, sejarah, ilmu manthiq, tauhid, tasawuf, ilmu falak, tafsir, hadits.

57Ibid., hal. 51-56. 58Diajar mengenai hukum islam yaitu tentang rubuk ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam dan umum, dan bahasa Arab. Melalui buku-buku berbahasa Melayu dan Arab.

22

e. Jami‟ah Baiturrahman, setara dengan tingkatan universitas mempunyai “Daar” atau fakultas. Di ajar oleh guru-guru besar, ulama atau sarjana, dari Aceh maupun didatangkan dari Arab, Turki, Persia dan India.59 Kembali dalam fokus kajian mengenai pendidikan Daud Beureueh. Dalam pusat-pusat pendidikan yang bernama dayah/zawiyah Daud Beureueh dan ulama sejaman mempelajati baca tulis Arab dan pengetahuan Agama Islam. Dalam riwayat pendidikannya dari beberapa dayah terkemuka di Tanah Aceh, Daud Beureueh menimba ilmu pengetahuan, bahasa Arab, terutama sekali ilmu-ilmu syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu lain yang erat hubungannya dengan pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan pemimpin rakyat.60 Pada mulanya Daud Beureueh belajar di Pesantren Titeue, yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama satu setengah tahun, kemudian pindah ke Pesantren Lie Leumbeue dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun yang terkenal dengan sebutan Teungku di Tenoh Mirah. Setelah empat setengah tahun belajar ia keluar sebagai ulama tulen atau tempaan pesantren sejati. Setelah lulus Daud Beureueh menikah dengan Tgk. Halimah di kampung Usi Meunasah Dayah. Pada tahun 1930, ia membentuk Jami‟ah Diniyah dan kemudian mendirikan Madrasah Sa‟adah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini merupakan pengembangan dari lembaga pesantrennya. Dan sejak itu Daud Beureueh mulai terkenal dengan gelar “Teungku” di kampung Usi Meunasah Dayah.61 62

Setelah Daud Beureueh mendirikan kedua lembaga pendidikannya, kemudian ia menjadi pemimpin dalam mempelajari “huruf latin” sehingga teman ulama sejamannya menjadi pandai membaca dan menulis huruf. Ilmu itu mereka dapat ketika memasuki usia sekolah dalam lembaga pendidikan resmi yang didirikan oleh Belanda yaitu Government Inlandsache School di kota kecil

59A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 63-71. 60A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123. 61Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal. 202. 62Pada mulanya kebanyakan penduduk kampung Usi menganut kepercayaan suluk, yang bersumber kepada ajaran-ajaran Al Hallaj yang terkenal dalam sejarah ilmu Tasawuf. Mereka bertekad, bahwa Allah, Muhammad dan Adam, hakikatnya adalah satu, ibarat kain, benang dan kapas. Dengan petunjuk-petunjuk yang terus menerus dari Tgk. M. Daud Beureueh, kebanyakan mereka telah kembali ke jalan yang benar. Sumber melalui M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya “Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh”. hal. 222.

23

Seulimeum. Dikatakan oleh Anthony Reid Tgk. M. Daud Beureueh tahun 1910- 1946 mendapatkan pendidikannya pada Europese School di Sigli. Dan hal itu yang dianggap Anthony Reid bahwa Daud Beureueh lebih bersifat ke Eropaan dibanding uleebalang lainnya.63

C. Karya-karyanya Dalam hal ini, sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai karya-karya Tgk. M. Daud Beureueh. Disini penulis membagi karya-karyanya menjadi 3 bagian yaitu: pertama pemikiran, merupakan hasil dari manusia, tak jarang manusia yang berfikir menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan jaman, namun dalam menerapkan pemikiran tersebut banyak tantangan yang harus dihadapi. Bukan mengenai tantangan tersebut, tapi bagaimana hal itu menjadi pecutan semangat untuk menghadapi tantangan jaman yang mencoba melawan arus manusia. Dalam kasus ini jelas pemikiran Daud Beureueh merupakan pemikiran politik, yaitu menciptakan konsep Negara Islam Indonesia di Aceh.64 Islam sebagai dasar Negara dan Syariat Islam, sebagaimana diperintahkan Allah SWT. Dan dijalankan oleh Rasulullah SAW. Tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan pemikirannya adalah pemerintah pusat. Pemerintah menganggap pembentukan negara Islam ini adalah suatu tindakan pemberontakan dan menentang terhadap kebijakan pemerintah. Dan hasil dari pemikiran ini maka tercetuslah Republik Islam Aceh (RIA)65 berdiri pada 15 Agustus 1961. Tetapi tidak lama berselang setelah perundingan antara Daud Beureueh dengan pihak pemerintah Indonesia akhirnya tercapailah rumusan yaitu bahwa di Aceh dibentuk sebagai Daerah Istimewa Aceh (DISTA) dengan penerapan syariat Islam dengan batas-batas yang diperbolehkan oleh perundang-undangan republik Indonesia. Sebelum pada akhirnya Aceh kembali kepangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bagian dari NKRI.66

63Ibid., hal. 350. 64 Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 200-205. 65RIA akhirnya berhenti pada bulan juli akibat dari propaganda pemerintah pusat dan perpecahan dalam kubu DI/TII. 66Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 205-208.

24

Kedua adalah bentuk, melalui karyanya Daud Beureueh membentuk Jami‟ah Diniyah dan Madrasah Sa‟adah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini adalah bentuk nyata bagaimana Daud Beureueh ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi penerus dalam bidang pendidikan. Jika dikaji melalui pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam menurut At Tahtawi (1801-1873) kaitannya dengan Daud Beureueh, ini adalah bentuk yang lebih spesifik. Karena Menurut At Tahtawi, untuk menuju kesejahtraan ialah dengan berpegang kepada agama dan budi pekerti yang baik. Dan menganjurkan pendidikan yang universal. Tujuan pendidikan menurut pendapatnya mencakup kecintaan kepada bangsa dan At Tahtawi juga berpendapat ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan zaman modern.67 Hal ini terlihat pada Daud Beureueh yang mempelajari huruf latin untuk menambah pengetahuannya yang lebih luas. Menurut pandangan James Siegel, antropolog Amerika, anggota Departement of Antrophology di Cornel University mengenai Daud Beureueh yang dianggap sebagai ulama yang berani (militant) dan reformis dari sejarah Aceh. James Siegel mengatakan bahwa Daud Beureueh pernah bersedia membantu mengerjakan obyek-obyek yang bermanfaat bagi umum dengan menyediakan diri sebagai alat dalam usaha membangun masjid, perbaikan dan pembuatan jalan-jalan, memperbaiki saluran-saluran Irigasi.68 Ia juga termasuk uleebalang yang kaya dan paling giat dalam membuka perkebunan kopi di Tangse sekitar tahun 1930-an untuk membantu perekonomian masyarakat sekitar.69

67Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 397-398. 68El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 228-235. 69Anthony Reid, Op. Cit., hal. 350.

BAB III

PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM PEMBERONTAKAN DI ACEH

A. Pembentukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia di Aceh Perjuangan Daud Beureueh menegakan syariat Islam di Aceh terjadi pada masa Era Orde Lama 1953-1962 telah menimbulkan peristiwa berdarah, atau yang lebih dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia Aceh (DI/TII Aceh). Meletus pada 20 september 1953,70 perjuangan untuk menciptakan negara Islam di Aceh sebagai suatu negara bagian dari Negara Islam Indonesia. Pembentukan negara Islam yang berlandaskan kepada pelaksanaan syariat Islam adalah cita-cita Daud Beureueh. Pemberontakan ini timbul akibat kekecewaan terhadap Soekarno, serta harga diri yang terlecehkan karena tidak memenuhi janjinya untuk menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara yang berlandaskan kepada Islam.71

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan yang terjadi tahun 1953-1962 oleh Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh adalah rasa sakit hati rakyat Aceh atas perjuangan mempertahankan kedaulatan RI yang dipandang sebelah mata setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, serta kecewa dengan pemerintah karena wilayah Aceh dimasukan kedalam wilayah Sumatera Utara dan janji pemerintah mengenai hak istimewa bagi daerah Aceh tidak kunjung terwujud.72 Sedangkan pendapat lebih kuat menurut Anthony Reid, faktor perjuangan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 didasari dua alasan, yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara, dan gagalnya Republik melaksanakan hukum Islam.73 Pertentangan politik dengan pemerintah pusat membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat

70Dilihat pada beberapa literature peristiwa perjuangan di Aceh oleh Tgk. M. Daud Beureueh dipandang sebagai suatu pemberontakan yang menentang kebijakan pemerintah dalam menerapkan dasar negara Indonesia pasca kemerdekaan dan mengubur alasan kenapa pemberontakan itu terjadi serta perjuangan gigihnya rakyat Aceh mengusir penjajah saat itu. 71Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal.200. 72______, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. 73Anthony Reid, Op. Cit., hal. 338.

25

26

adanya tarik menarik antara Aceh dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat tidak mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi tupmang-tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan pemerintahan di Aceh. Dalam permasalahan ideologi, yaitu penerapan perundang-undangan Islam yang dikehendaki oleh rakyat Aceh gagal diberikan oleh pemerintah pusat. Hal ini menjadi masalah dan membawa pertikaian atau konflik di era Orde Lama, Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh dengan pemerintah pusat, awalnya disebabkan permasalahan kekuasaan dan selanjutnya masalah ideologi. menurut kacamata penulis dalam kasus ini konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakan kembali. Artinya konflik yang terjadi juga dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan, sehingga konflik dapat berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial. Sisi positifnya konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru di antara pihak yang bertentangan. Dan konflik juga berlaku sebagai rangsang untuk menciptakan aturan-aturan dan sistem norma baru, yang mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga keteraturan sosial Republik Indonesia khususnya Aceh dapat terwujud.74 Pada kenyataannya pembentukan Negara Islam yang merupakan cita-cita impian Daud Beureueh terilhami dari perjuangan DI/TII pimpinan Imam Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.75 Kartosuwiryo adalah pemimpin pusat yang pertama kali mencetuskan gerakan ini di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949. Ini merupakan alasan Daud Beureueh merangsang dan ikut berjuang juga dalam melahirkan Negara Islam di Aceh sebagai suatu Negara Bagian dari Negara Islam Indonesia. Selain itu, alasan lain Daud Beureueh untuk tidak meminta bantuan atau bergabung menyatukan kekuatan dengan DI/ TII Kartosuwiryo adalah karena Daud Beureueh melihat ada tekanan hebat yang dilakukan pemerintah pusat terhadap gerakan Kartosuwiryo. Perjuangannya di Jawa direspon dengan sikap

74Ulfah Fajarini, Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan, (Jurnal: Al-Turas Vol. 11, No. 3, September 2005). hal. 289. 75Imam Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962) lahir pada 7 Februari 1905. Adalah pemimpin yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka, antara 1948 dan 1962. Kartosuwiryo dikeluarkan dari sekolah kedokteran pada 1927. Karena nasionalisme radikalnya, dan secara politik aktif berasosiasi erat dengan H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin . Kartosuwiryo terilhami oleh pendirian Tjokroaminoto bahwa sebuah negara Indonesia yang merdeka harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Lihat Ensiklopedi Islam Ringkas, hal. 356.

27

keras oleh pemerintah pusat. Melalui Tentara Nasional Indonesia gerakan yang dianggap sebagai pemberontak ini berhasil ditumpas di berbagai wilayah di Jawa Barat.76 Walaupun mengikuti pola DI/ TII Kartosuwiryo, hakikatnya gerakan DI/ TII Aceh lebih merupakan gerakan peringatan kepada penguasa Jakarta agar tidak sewenang-wenang dan melupakan sumbangan Aceh di masa lalu dengan mengorbankan seluruh jiwa raga dan harta berharga masyarakat Aceh.77 Hubungannya dengan masyarakat Aceh adalah konteks dimensi perilaku kolektif. Dimana suatu gerakan tidak hanya melakukan protes dan demonstrasi, melainkan berakibat pada pengrusakan harta benda dan juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Dari hubungan antar kelompok ini melibatkan suatu gerakan sosial yaitu DI/ TII yang bertujuan menginginkan perubahan dalam kekuasaan ataupun ideologi negara.78 Dalam pembentukannya perjuangan Daud Beureueh terinspirasi dari perjuangan dakwah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Adapun langkah-langkah perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh melalui tiga tahap, yaitu: 1. Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan Pada tahapan ini Daud Beureueh sangat serius dalam menanamkan nilai- nilai dan norma Islam dalam kehidupan masyarakat di Aceh.79 Diketahui Islam di Indonesia sulit berkembang karena ada tiga penyebab. Pertama, jarak Indonesia dengan pusat Islam terlalu jauh. Kedua, Islam sampai ke Indonesia adalah Islam kosmopolitan, dimana hubungan antar pemeluk Islam sedunia begitu dekat lalu berubah menjadi Islam parokial, yang lokal. Ketiga, Islam di Indonesia menjadi Islam pedesaan dan menjadi Islam petani. Ini berbeda dengan Timur Tengah yang memiliki kaum pedagang yang mobil. Sebelum abad ke-15 M mobilitas para pedagang sangat tinggi namun ketika sampai di Indonesia menjadi Islam petani yang mobilitasnya makin menurun. Dan dipengaruhi oleh budaya agraris yang relative statis dan percaya mistik.80

76Cyrill Glasse, Op. Cit., hal. 356. 77Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 78Ibid. hal. 160. 79Pada masa kesultanan Aceh, Islam mengalami proses pelembagaan yang sangat jelas sebagai kekuatan sosial budaya dan politik. pada masa itu kekuatan pengaruh Islam semakin dirasakan di hamper seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. lihat Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, hal. 65. 80Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 28-29.

28

Hal itu merupakan sebuah tantangan untuk Daud Beureueh dalam menanamkan Islam di masyarakat Aceh. Dalam pembinaan nilai dan norma Islam Daud Beureueh dalam bidang pendidikan mendirikan dua lembaga yaitu Jami‟ah Diniyah dan Madrasah Sa‟adah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli sekitar tahun 1930. Dengan tujuan agar nafas Islam selalu ada di dalam masyarakat Aceh dan membebaskan buta huruf dan buta ilmu dikalangan masyarakat Aceh. Terutama mengenai ilmu-ilmu syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan pemimpin rakyat.81 2. Kedua, Tahap Interaksi dan Perjuangan Pada tahap pembinaan aktifitas di bidang pendidikan yang dilakukan Daud Beureueh adalah tandingan dari pendidikan yang di buat oleh kolonial Belanda. Dan secara tidak langsung Islam sudah berinteraksi di kalangan masyarakat Aceh, bagaimana di perkenalkan secara sederhana melalui pendidikan tradisional dan dakwah-dakwah. Rasa keimanan yang kuat sudah tertanam di masyarakat Aceh kemudian menemui pergesekan ideologi. Antara ide-ide yang dianggap benar tentang Islam dengan ide-ide karena pengaruh barat melalui Ideologi Pancasila. Pada periode ini perjuangan Daud Beureueh begitu berat karena memperjuangkan nilai-nilai keIslaman dalam cita-cita nya mendirikan negara yang berlandaskan syariat Islam. Melalui dakwah-dakwahnya Daud Beureueh ingin menciptakan masyarakat Aceh yang mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam substansinya dakwah adalah menyeru kepada mentauhidkan Allah dan seruan ibadah hanya kepada-Nya serta seruan untuk meninggalkan penyembahan kepada berhala dan seruan untuk melepaskan diri dari kehidupan diluar ketentuan Islam seperti zaman jahiliyah. Dan ketika Soekarno mengkhianati cita-cita revolusi itu. Soekarno dianggap sebagai alasan di segala macam maksiat dan kemungkaran. Soekarno menentang Islam, memisahkan Islam dari negara, dan pemerintahan, dan Islam itu sendiri dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pancasila selalu diagung-agungkan dengan

81A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123.

29

penafsiran dan pelaksanaannya itu bukan merupakan wadah untuk Islam.82 Dalam pernyataannya, ini menjadi alasan Daud Beureueh mengangkat senjata dan berjanji ditengah-tengah masyarakat Aceh, atas permintaan rakyat Aceh untuk memimpin dan berjanji, berjuang bersama-sama hingga kemenangan tercapai, melaksanakan hukum Allah di Republik Indonesia.83 3. Ketiga, Tahap Penerimaan Kekuasaan Jika kaitannya dengan dakwah yang ditempuh Rasulullah SAW. Tahapan ini adalah tahapan menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarkan risalah Islam ke penjuru dunia. Berbeda pada perjuangan yang dilakukan Daud Beureueh, Islam sebagai ilmu yang revolusioner. Memiliki kemampuan untuk mengubah, dalam periode ilmu berbagai masalah kemasyarakatan dapat dicarikan jawabannya dalam Islam. Misal mengenai ketimpangan sosial, pemilikan tanah, hubungan kerja, ataupun masalah modal dan penguasaan pasar. Islam memiliki jawaban dari persoalan itu. Tetapi hal itu masih terbatas pada tingkat formulasi normatif, dan belum mengangkat Islam menjadi teori sosial. Keadaan ini yang mungkin dianggap pemerintah saat itu masih tidak percaya bahwa ide Islam bisa menjadi kenyataan. Dan menganggap itu sebagai ide abstrak atau dengan kata lain non progresif.84

Setelah melakukan langkah-langkah mulai dari pembinaan, pengkaderan, interaksi dan perjuangan. Aceh pada awal perjuangan kemerdekaan Indonesia secara de facto85 yang merupakan bagian dari provinsi Sumatera, dengan kebijakan undang-undang sementara tahun 1945 yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi. Pergantian pemerintahan Jepang kepada pemerintahan Indonesia secara otomatis menghapus dan menggantikan undang- undang peradilan, baik dari zaman Belanda maupun Jepang menjadi perundang- undangan Republik Indonesia yang diatur dalam lembaran Negara No. 23/ 1947. Dengan berlakunya undang-undang ini, segala bentuk perundang-undangan dan struktur pemerintahan di Aceh yang berlaku pada era Belanda dan Jepang telah

82Pada Saat Soekarno tidak menepati janjinya, Pancasila dengan penafsiran dan pelaksanaannya dianggap sebagai syirik yang sesat dan menyesatkan yang hanya sesuai dengan agama lain di luar agama Islam. 83Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 84Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 30-31. 85De facto adalah pengakuan secara kenyataan, pada kasus Aceh ini bersifat sementara.

30

berubah. Namun pada kenyataannya walaupun mengalami perubahan, secara prinsipnya perundang-undangan tersebut masih menyerupai kedua era Belanda dan Jepang. Dan perlu ditekankan perubahan yang terjadi bukan berarti merupakan pengembalian kepada bentuk asal perundang-undangan Aceh atau hasil perundingan perundang-undangan yang sesuai dengan kehendak masyarakat Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan rakyat Aceh semakin geram dengan pemerintah pusat dan alasan munculnya gerakan DI/TII Aceh.86

B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh dalam Perjuangan di Aceh Pada masanya perjuangan dengan berlandas pada syariat Islam, Daud Beureueh memiliki rentan waktu yang lama. Mulai dari masa kolonial Belanda, masa kedudukan Jepang, masa pra dan pasca kemerdekaan, dan masa revolusi. Adapun kedudukan Daud Beureueh adalah sebagai berikut:

Ulama, seperti pemaparan penulis diatas dalam riwayat pendidikan, Daud Beureueh dikenal sebagai ulama tulen. Hal itu terlihat dari pendidikan yang Daud Beureueh jalani di Pesantren sekitar 6 tahun sebelum ia dikenal oleh rakyat Aceh sebagai seorang ulama. Pada saat menjadi ulama, Daud beureueh mendirikan lembaga pendidikan dan pemimpin dalam mengawali mempelajari huruf latin. Peran sebagai ulama makin terlihat tatkala ia menyelesaikan persoalaan yang terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1920-1930-an, Daud Beureueh dan para ulama lainnya, baik yang muda maupun yang sebaya dengannya, telah berhasil memberantas gerakan kebatinan saleek buta,87 dimana bagi mereka gerakan itu adalah suatu ancaman karena dapat merusak akidah keIslaman masyarakat Aceh.

Ketua PUSA, Persatuan Ulama Seluruh Aceh adalah organisasi modern pertama dan sebuah gerakan rakyat yang berhasil muncul di Aceh setelah pendudukan militer. Berdiri pada tahun 1939-1942, organisasi ini menghimpun ke

86Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 178-179. 87Saleek buta ialah satu aliran kebatinan yang tumbuh di Aceh sekitar abad ke-19 dan awal ke-20 M, sampai dengan tahun tiga puluhan. Di antara ajaran saleek buta, bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu, atau bersatunya Allah dengan manusia. Dan bagi mereka, syariat Islam seperti yang diamalkan tidak berlaku. Dalam buku A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 105.

31

mayoritas ulama aktif di Aceh dalam program pengembangan sekolah-sekolah agama yang lebih modern dan peningkatan Kekuatan Islam Aceh.88 Organisasi ini lahir dalam konfrensi pada bulan Mei tahun 1939, oleh Teungku Abdul Rahman dari perguruan Al- Islam di Peusangan. Lahir pada masa kolonial organisasi ini muncul sebagai pejuang dalam mengambil kekuasaan dari Belanda di Aceh. Hal itu terlihat dari konflik yang terjadi antara PUSA dengan uleebalang. Suatu hubungan antara uleebalang dengan Belanda menjadi alasan mengapa PUSA ingin memimpin sistem pemerintahan di Aceh.

Meskipun berdiri di saat situasi tegang, tetapi dalam perkembangannya PUSA telah menunjukan dirinya sebagai suatu faktor politik yang sangat penting. Dalam empat tahun terakhir setelah berdirinya PUSA, kekuasaan Belanda di Aceh mengalami kemerosotan. Perubahan sikap dan perilaku antara uleebalang dan rakyat Aceh menjadi bukti nyata makin rapuhnya kekuasaan uleebalang. Perubahan sikap dan perilaku terlihat dari kemarahan dan kebencian masyarakat Aceh akibat penindasan dan skandal beberapa uleebalang yang tergambar di majalah Penjedar yang terbit di Medan pada bulan November 1938.89

Kemerosotan juga terlihat di bidang ekonomi, yaitu dengan munculnya PUSA sebagai kaum tandingan atau atasan baru, sebagai motor penggerak perekonomian rakyat dalam bentuk kaum pedagang yang berkembang didaerah seperti Sigli, Garot, Bireun, dan Idi. Dan dalam dunia pendidikan terlihat pada aliran pembaharuan yang pada dasarnya rakyat Aceh menganggap Belanda sebagai kaphe, dengan munculnya sekolah-sekolah keagamaan dengan berlandaskan Islam menjadi tandingan untuk sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Berbeda dalam bidang politik, perjuangan mendapatkan kekuasaan oleh ulama dianggap Belanda sebagai suatu gerakan perlawanan yang begitu berpengaruh. Tapi aneh ketika sikap politik Belanda membiarkan gerakan yang di pimpin oleh ulama tumbuh dan berkembang.90

88Anthony Reid, Op. Cit., hal. 280. 89Majalah Penjedar awalnya didirikan oleh mantan pemimpin PKI Xarim M. S., tetapi kemudian majalah ini beralih ke tangan seorang wartawan Medan yaitu mantan pemimpin PSII, Mohammad Said, menjadi pemimpin redaksinya pada bulan November dengan tujuannya yaitu menggantikan kedudukan raja-raja uleebalang. 90Anthony Reid, Op. Cit., hal. 58-63.

32

Menurut analisa penulis terhadap sikap politik Belanda melalui golongan pembesar atau petinggi Belanda, melihat perjuangan melalui organisasi yang dipimpin ulama melalui PUSA sebagai sebuah hal yang wajar dan tidak mengkhawatirkan, sebaliknya pada tahun 1930an munculnya sebagai sebuah gerakan non-Aceh yang terbuka dan menerima kebangkitan nasionalisme Indonesia justru menimbulkan kekhawatiran oleh Belanda. Jadi kekhawatiran Belanda timbul melalui ruang lingkup. PUSA gerakan pembaharuan ruang lingkupnya lebih kecil dibanding dengan Muhammadiyah.

Gubernur Militer merangkap panglima divisi X TRI,91 pada masa revolusi demi menciptakan proses pertahanan politik nasional, di wilayah Aceh, melalui keputusan wakil Presiden Muhammad Hatta, Daud Beureueh dilantik menjadi Gubernur Tentara di wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 27 Agustus 1947 di Bukit Tinggi. Melalui Daud Beureueh, kekuatan bersenjata di Aceh dapat dibentuk dan dileburkan dalam wadah Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang sebelumnya terdiri dari berbagai barisan pejuang kekuatan bersenjata Aceh yang tidak terkawal.92

Hal ini didasarkan pertimbangan politis, karena selain Daud Beureueh seorang ulama dan pemimpin rakyat yang sangat berpengaruh, juga karena banyak diantara pemimpin laskar rakyat itu adalah muridnya. Dengan demikian, Daud Beureueh dapat dijadikan figur pemersatu di wilayah Aceh. kemudian atas dasar posisi strategis yang dimilikinya, Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Aceh pertama 1950. Namun tiga tahun kemudian, 21 september 1953, terjadi perselisihan pandangan politik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal itu yang menyebabkan Daud Beureueh bersama rakyat mengangkat senjata, dan terjadilah tragedi berdarah atau lebih dikenal peristiwa berdarah.93

Proklamator Darul Islam, sebelum mengkaji mengenai kedudukan Daud Beureueh dalam gerakan Darul Islam di Aceh, penulis ingin memberikan informasi bagaimana cikal bakal timbulnya Darul Islam di Aceh. Darul Islam adalah nama yang diberikan kepada sebuah gerakan pejuang Islam di Jawa Barat,

91El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 47. 92Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 184-186. 93Harun Nasution, Op. Cit., hal. 202-203.

33

Indonesia, yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka, antara 1948 dan 1962. Dipimpin oleh Sukarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962), kekuatan militer Darul Islam resmi dikenal sebagai Tentara Islam Indonesia (TII) dengan basisnya didataran tinggi Jawa Barat, mencoba memproklamasikan Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 melalui Kartosuwiryo yang dianggap sebagai pemimpin yang kharismatik. Beraliansi dengan pejuang Islam di Aceh pimpinan Daud Beureueh dan di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar, melalui Piagam Jakarta, pemimpin Islam menyetujui sebuah negara pluralitas94 demi kesatuan nasional. Imbalannya adalah adanya pernyataan bahwa umat Islam wajib menjalankan hukum Islam. Hal ini merupakan klaim minimalis atas sistem politik, walaupun secara konstitusional tidak pernah dijadikan undang-undang. Bagi kartosuwiryo dan pengikutnya pada 1945 bergerak dalam sayap radikal politik Islam hal ini merupakan pengkhianatan.95 Ketidak senangan mereka diperkuat oleh munculnya keprihatinan terhadap pengaruh politis sayap kiri didalam barisan kaum nasionalis.96

Tepat tanggal 21 September 1953 (12 Muharam 1373 Hijriah), Daud Beureueh memproklamirkan berdirinya Darul Islam, negara Islam di Aceh. Aceh memberontak dari Republik Indonesia yang berlandasrkan Pancasila dan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang berlandaskan syariat Islam. Berbeda dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, di daerah Aceh sendiri selain lebih lambat munculnya, gerakan ini pun relatif lebih singkat, antara 1953-1957. Dan perjuangan terakhir pada tahun 1962, saat itu Daud Beureueh dianggap sebagai tokoh sparatis dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya.97 Dalam

94Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk, berkaitan dengan sistem sosial dan politik. Melalui kebudayaan muncul berbagai kebudayaan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Dalam kaitannya dengan perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh adalah tentang sebuah prinsip-prinsip Islam sebagai payung ideologi bagi penduduk Indonesia. Sumber melalui http://kbbi.web.id/pluralisme di akses pada tanggal 16 Februari 2016, Pukul 09:50 WIB. 95Pandangan alternatif Kartosuwiryo mengenai Indonesia dan tuntutannya akan sebuah negara yang sepenuhnya Islam dijabarkan dalam risalahideologis 1946 bertajuk Haluan Politik Islam. Dia menulis bahwa hanya dengan beridirinya Darul Islam-lah kesejahtraan dan keselamatan kaum Muslim di Indonesia terjamin dan keselamatan di akhirat pun tercapai. 96Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1999). hal. 356-357. 97A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 113-117.

34

karangan yang dimuat oleh A. Hasjmy mengatakan, menurut para pengamat politik saat itu, jalan sejarah yang mengantar Daud Beureueh ke mimbar proklamasi Darul Islam di Aceh, berkesimpulan bahwa adanya usaha-usaha sistematis dan berencana yang bertujuan mendorong sebagian rakyat Aceh memberontak terhadap Republik Indonesia, yang telah dipelihara dan dibelanya selama tahun-tahun yang amat getir dalam sejarah Republik yang masih muda saat itu. Di tahun Revolusi Fisik, para pengamat politik mendapati kenyataan, bahwa tahun-tahun itu, Aceh mengorbankan segalanya untuk membela dan mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga di angkasa Tanah Aceh terus menerus berkibar Sang Saka Merah Putih.98

Kaitannya dengan sikap Daud Beureueh dalam perjuangannya di Aceh, masa revolusi atau pasca kemerdekaan. Terlihat mulai dari situasi genting Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun lebih pada media Juni 1948, membuat Presiden Soekarno mendatangi Aceh. Dalam kaitannya dengan kolonial, jelas Aceh dengan sebutan tanah rencong inilah satu-satunya wilayah RI yang dianggap masih berdaulat penuh. Pasca Agresi Militer I Belanda dan perjanjian Renville, sejumlah wilayah RI terkepung negara-negara boneka buatan Belanda.99 Misi hidup-mati yang dibawa Soekarno pada 15 Juni 1948 bersama Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, adalah untuk bertemu tokoh masyarakat di Aceh. Seperti dikutip dari buku „Aceh Daerah Modal‟, Soekarno menjalani kunjungan tiga hari untuk berdialog dengan Tgk. M. Daud Beureueh di Markas Divisi X Komandemen Sumatera, Bireuen. Dalam pertemuannya Soekarno meminta bantuan kepada Daud Beureueh demi membangkitkan rasa patriotisme segenap rakyat Aceh, dengan mengungkit kembali perlawanan melawan kolonial Belanda di Aceh.100

98A. Hasjmy, Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985). 99Negara-negara boneka itu seperti Indonesia Timur atau Negara Pasundan. Tak pelak, Aceh pun disebut jadi “saham” atau modal yang sangat penting untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 saat itu. 100Alasan lain kenapa Soekarno datang ke tanah rencong adalah karena rakyat Aceh diketahui sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh berperang melawan kolonialisme Belanda. Dan meminta saat itu mengusir Belanda untuk kedua kalinya dari bumi persada tercinta yaitu Republik Indonesia. Sumber melalui

35

Pada masa awal kemerdekaan sikap nasionalisme101 Daud Beureueh mempunyai kharisma yang sangat kuat di masyarakat Aceh, sehingga Presiden Soekarno datang dan meminta bantuan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman negara boneka yang dilakukan Belanda. Pada saat itu Daud Beureueh mau masuk kedalam pemerintahan dengan di angkat menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, dan berhasil menyatukan gerakan-gerakan rakyat menjadi satu kesatuan dalam bentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dengan tujuan dan cita-cita yang sama menuju keselamatan nasional dari ancaman pihak luar atau penjajah, Daud Beureueh menghidupkan kembali kesadaran sejarah rakyat Aceh102 yang membuat api semangat yang berkobar dalam diri masing-masing baik di kalangan masyarakat Aceh, ulama, dan para pejuang lainnya.103

Perjuangan Daud Beuereueh tidak berhenti pasca kemerdekaan, setelah berhasil menyelamatkan dan mempertahankan kesatuan Republik Indonesia dan berjuang bersama seluruh rakyat Aceh dengan mengorbankan jiwa raga serta harta berharga, tetapi tuntutannya mengenai dasar sebuah negara tidak terpenuhi membuat geram dan kecewa kepada pemerintahan pusat. Respon cepat dilakukan perubahan kedudukan dari koalisi berubah menjadi oposisi,104 kritik keras mengenai pergerakan pemimpin dalam berpolitik, yang tidak mempunyai tanggung jawab dalam mengambil keputusan di pemerintahan. Pemberontakan tidak begitu saja meletus, malainkan melalui 3 tahapan yaitu tahap sabar, tahap benci, dan tahap melawan. Dan ini sudah mencapai tahap ketiga rakyat Aceh khususnya sudah geram dan merasa dipermainkan harga dirinya. Namun Daud http://news.okezone.com/read/2015/06/15/337/1165361/misi-hidup-mati-yang-dibawa-soekarno- ke-tanah-rencong diakses pada tanggal 19 Februari 2016, Pukul 00:07 WIB. 101Sikap nasionalisme, yaitu ajaran atau paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Sifatnya kenasionalan, menjiwai bangsa Indonesia. Sumber melalui http://kbbi.web.id/nasionalisme diakses pada tanggal 19 Februari 2016, Pukul 14:22 WIB. 102Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran dari dalam diri anggota atau para pejuang dalam suatu bangsa yang secara potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa atau semangat kebangsaan. 103Anthony Reid, Op. Cit., hal. 347. 104Koalisi adalah kerja sama yang dilakukan antara sebuah organisasi, partai, gerakan dll. Untuk memperoleh dukungan politik yang besar. Sedangkan oposisi adalah Pertentangan dalam pemerintahan, sikap menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik atau golongan yang berkuasa. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah Daud Beureueh dan Pemerintah Pusat.

36

Beureueh masih bisa menahan dengan mengirimkan secarcik surat kepada Presiden Soekarno. Hal ini menerangkan bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab besar terhadap nasib tanah air, membawa perubahan dalam cara berfikir. Akibat rasa kekecewaanya, sikap revolusioner105 Daud Beureueh muncul. Dalam gerak gerik dan pikiran yang menghendaki perubahan serta merta dalam segala sesuatu yang tidak di anggap sempurna. Kaitannya dengan penetapan dasar negara Pancasila, dirasa kurang berpihak bagi umat Islam yang menginginkan negara berlandas pada Islam.106

Selain itu pemberontakan yang dilakukan DI/TII Aceh digandeng erat dengan menjalin kerja sama dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/ Perjuangan Rakyat Semsta (PERMESTA) terutama dalam bidang militer. NBA/NII (DI/TII Aceh) telah mengadakan operasi bersama dengan pasukan PRRI yang tergabung dalam Operasi Sabang Marauke di daerah-daerah perbatasan Aceh-Sumatera Timur. Ada terhembus isu bahwa PRRI mgnirimkan senjata kepada NBA/NII.107 Dan dikatakan bahwa Menteri pertahanan PRRI pernah memutuskan untuk menemukan Kapten Jusuf Risin Pada Staf Divisi Tgk.Tjhik di Tiro untuk memberikan latihan kepada anggota DI/TII di Aceh. pada akhir tahun 1959, sesuai dengan kesepakatan yang tercapai dalam pertemuan di Genewa pada bulan Desember tahun 1958 antara pemimpin-pemimpin PRRI/PERMESTA, dan dalam pertemuan itu turut hadir Hasan Ali Perdana Menteri NBA/NII dan Hasan Muhammad Tiro (Duta Besar DI untuk Amerika Serikat di PBB) maka diputuskanlah untuk mendirikan suatu negara yang berbentuk federal yang dinamakan Republik Persatuan Indonesia (RPI) guna lebih banyak mendapatkan

105Revolusioner adalah sikap dimana cendrung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. 106Menurut Mr. S. M. Amin, peristiwa yang diawali dengan sifat revolusioner, lambat laun akan berubah menjadi sifat evolutioner. Yaitu melihat peristiwa itu dari sisi positifnya (kebaikan) juga dalam suatu cara membawa perubahan dengan berangsur-angsur. Sifat “reeel” yang tidak dapat melihatkesukaran-kesukaran keadaan, suasana, masa dan waktu, berubah menjadi sifat “reeel” yang menarik dalam perhatian segala kenyataan, baik yang menguntungkan maupun merugikan, sehingga tindakan diambil dengan hati-hati dan penuh perhitungan laba ruginya. 107Disinyalir bahwa isu yang berhembus itu tidak benar. Terbukti dari surat menyurat antara PRRI dan NBA/NII. Secara resmi PRRI tidak pernah mengirimkan senjata kepada NBA/NII. Tentang pengiriman senjata ke Aceh baru hendak dibicarakan dalam cabinet PRRI pada akhir 1959.

37

dukungan dari daerah-daerah dan untuk lebih mengefektifkan perjuangan menghancurkan regime Soekarno yang diktatorial.108

Dalam Undang-Undang Dasar Republik Persatuan Indonesia antara lain disebutkan:

Pasal 1 ayat 1 :Negara RPI berdasarkan Keimanan kepada Tuhan YME.

Pasal 1 ayat 2 : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk atau golongan untuk memeluk agamanya atau kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadah serta hidup bermasyarakat sesuai dengan syariat agamanya atau kepercayaannya.

Pasal 31 ayat 1 : Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 31 ayat 2 : Mengeluarkan pendapat yang mengandung penghinaan terhadap suatu agama, ajakan untuk mendirikan dictator atau ajakan untuk menganut dan melaksanakan paham- paham komunis, atau paham-paham lain yang membahayakan asas-asas dasar negara dilarang.

PRRI dan NBA/NII saat itu diharapkan untuk menjadi inti negara dan keduanya mengambil inisiatif memelopori perjuangan menegakkannya. Serta mengharapkan sebagai proklamator selain tokoh Dewan Perjuangan dan PRRI, dua orang dari NBA/NII yaitu Tgk. Daud Beureueh dan Hasan Ali, yang masing- masing direncanakan menjadi Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri, ditambah dengan Kahar Muzakkar dari Sulawesi yang direncanakan menjadi Menteri Muda Pertahanan. Menurut rencana, Republik Persatuan Indonesia akan diproklamasikan pada tanggal 15 atau 17 agustus 1959. Akan tetapi berhubung dengan adanya usul-usul perubahan dari NBA/NII mengenai beberapa pasal dari UUD RPI diantaranya mengenai soal yang fundamental yaitu mengenai wilayah

108RPI adalah bentuk kelanjutan yang logis dari perjuangan daerah-daerah dan satu- satunya kendaraan politik untuk mencapai tujuan dan cita-cita seperti yang dinyatakan program perjuangan dari Dewan perjuangan dengan memperhatikan bahwa pelaksanaannya haruslah sesuai dengan strategi perjuangan.

38

RPI (pasal 3), maka proklamasi itu baru dapat di cetuskan pada tanggal 8 Februari tahun 1960.109

Meskipun terdapat perbedaan paham antara NBA/NII dengan PRRI, akhirnya Republik Persatuan Indonesia di proklamasikan juga pada tanggal 8 Februari 1960 dengan PRRI dan NBA/NII sebagai intinya. Sejak itu, NBA/NII berubah namanya menjadi Republik Islam Aceh (RIA)sebagai satu negara bagian dari Republik Persatuan Indonesia. Dari masuknya NBA/NII ke dalam RPI tidak berarti hubungan antara NBA/NII telah putus dengan NII pimpinan Kartosuwirjo. Dalam surat Wali NBA/NII kepada Pimpinan tertinggi NII KArtosuwirjo, bertanggal November tahun 1960 dijelaskan sebab-sebab mendorong NBA/NII masuk kedalam RPI sebagai satu negara bagian yang menjadi inti dari RPI. Disamping itu diminta agar bukan saja hubungan NBA/NII dengan RPI disahkan, tetapi meminta juga Kartosuwirjo Pimpinan NII turut ikut berpadu dengan PRRI dalam Republik Islam Indonesia yang berjiwa Islamisme dan Federalisme. Adapun sebab-sebab yang mendorong NBA/NII berpadu dengan RPI, antara lain adalah:

1. RPI adalah suatu bentuk Federasi yang menjiwai ketatanegaraan Islam.

2. Menjamin ketatanegaraan Islam bagi Negara Bagian secara demokratis sehingga negara bagian bebas menjalankan hukum syariat Islam bagi umat dan masyarakat Islam seluruhnya.

3. RPI suatu negara yang mengakui mutlak kedaulatan negara berada di tangan Allah SWT.

4. RPI adalah suatu bentuk negara yang menganut falsafah yang sesuai dengan kehendak umat Indonesia yang umumnya memeluk agama Islam dan Kristen.

109Diperkirakan selain Aceh yang telah menjadi Negara Bagian inti dalam RPI akan diterima juga untuk pertama kali menjadi Negara-negara Bagian: Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku Selatan, dan Maluku Utara. Perbedaan pendapat terjadi antara NBA/NII dan PRRI mengenai fundamental yaitu tentang wilayah negara federal yang baru meliputi Sumatera dengan kata lain mereka menghendaki suatu Republik Persatuan Sumatera. Lihat lebih detail pada buku M. Nur El Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureueh Pergolakannya di Aceh. hal.203-204.

39

5. RPI menentang tegas Ateis/Komunis dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

6. Dengan RPI kita memperlihatkan hanya ada satu organisasi Negara saja di Indonesia yang menentang dan member perlawanan bersenjata terhadap organisasi pemerintah Soekarno.

7. Dengan RPI kita menarik perhatian dunia internasional terhadap kesanggupan kita dalam memegang kekuasaan politik di Indonesia terutama dalam menumpas regime Soekarno, sebagai landasan untuk memperoleh sokongan dan bantuan moril dan materiil dari pihak luar negeri, baik di forum PBB maupun dari pihak negara-negara lain, terutama dari negara blok anti komunis.

8. Dengan RPI kita melenyapkan kesempatan atau peluang bagi usaha, taktik dan tipu muslihat (regime Soekarno) dalam wujud memecah belah sesame kita melakukan perlawanan bersenjata terhadap mereka, baik dalam masyarakat NBA/NII, maupun dalam masyarakat PRRI/Permesta ataupun antara NII/TII dan PRRI/PERMESTA.

9. Pembentukan RPI merupakan usaha untuk merangkul kembali pemimpin- pemimpin dan politisi-politisi Islam dan Pemuda-pemuda Islam yang militant dan revolusioner yang berada diluar organisasi NII/TII untuk sama-sama berjuang bahu-membahu menghancurkan regime Soekarno/Komunis.

10. Adanya berbagai kesulitan dalam berbagai bidang, organisasi, politik, militer, financial, ekonomi dan sebagainya. Dengan terbentuknya RPI diharapkan kesulitan-kesulitan ini sedikit demi sedikit dapat diatasi.110

Pencetus Berdirinya Republik Islam Aceh, berdiri pada saat akhir perjuangan gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia DI/TII Aceh, yaitu setahun sebelum penyerahan Daud Beureueh kepada Republik Indonesia. Pada kemunculannya gerakan ini tidak begitu tersiar karena beriringan dengan DI/TII

110Surat Wali NBA/NII kepada Pemimpin tertinggi NII KArtosuwirjo dalam bulan November 1960.

40

atau dalam rentang waktu yang singkat. Hal yang melatar belakangi berdirinya RIA adalah sebagai penerus perjuangan Daud Beureueh yang bertahan pada keyakinannya semula, yakni melanjutkan revolusi Islam di Aceh. Dengan segala kekuatan persenjataan dan pasukan yang terbatas, maka tercetuslah berdirinya Republik Islam Aceh pada 15 Agustus 1961. Tidak banyak literature yang penulis dapatkan mengenai gerakan RIA, tercatat menurut El Ibrahimy menerangkan kemunculan RIA tidak tepat karena disaat bersamaan pemulihan keamanan dengan Daud Beureueh menyebabkan usaha penyelesaian damai menemui jalan buntu. Hal ini membuat geram Kol. Jasin dan Jendral Nasution yang sudah melaporkan bahwa persoalan Aceh dan diri Tgk. M. Daud Beureueh telah selesai. Tetapi tiba-tiba muncul lagi surat resmi Daud Beureueh atas nama wali Negara Republik Islam Aceh.111 Daud Beureueh adalah bapak orang-orang Aceh, ditinjau dari karakteristiknya, masyarakat Aceh sangat terikat dengan kesadaran dan pengalaman sejarah, dengan pengaruh Islam yang kuat. Hal itu bisa dilihat dari pola tingkah laku politik maupun ideologisnya. Tiga peristiwa sejarah yang menjadi sandaran dan kebanggan orang-orang Aceh yaitu: 1. Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M)112 dan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M).113 2. Perang Aceh114 3. Perjuangan di masa revolusi Kemerdekaan. Ketiga hal itulah yang menimbulkan kebanggaan pada orang Aceh, baik dalam rangka kesadaran keIslaman maupun dalam rangka kesadaran kebangsaan. Dalam konteks Islam, Aceh dijuluki sebagai “Serambi Mekah” hal ini membawa anggapan masyarakat Aceh bahwa di daerah mereka Islam dating. Kerajaan Islam berdiri dan pemikiran Islam berkembang serta perang Sabil yang terjadi cukup

111El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 197-198. 112Lihat sumber melalui http://melayuonline.com/ind/personage/dig/303/sultan-iskandar- muda diakses pada tanggal 18 Februari 2016, Pukul 17:51 WIB. 113Lihat sumber melalui http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/2013/10/31 /sekilas-sejarah-aceh-abad-ke-16-penulis-nurdin-s-sos-staf-pemugaran-bpcb-aceh/ diakses pada tanggal 18 Februari 2016, Pukul 17:58 WIB 114Perang Aceh atau lebih dikenal dengan perang Sabil, dalam bahasa aceh prang sabi adalah perang masyarakat Aceh terhadap kolonial Belanda yang terjadi sekitar akhir abad ke-19 M. dan lebih tepatnya pertama pecah pada tahun 1873. Hal ini adalah bukti perjuangan rakyat Aceh yang anti kolonial atau disebut juga kaum kaphe.

41

lama.115 Pilar-pilar kepemimpinan Aceh terdiri dari ulama,, Sultan, dan uleebalang (uleebalang). Dan kedudukan ulama sangat strategis. Bertolak dari pengakuan masyarakat dan sudah menjadi fitrahnya, ulama dalam konteks kebudayaan Aceh mendampingi penguasa. Sifatnya yang mobile (dominan) dan tidak terikat oleh ikatan politik lokal, memungkinkan para ulama116 berfungsi sebagai perantara komunikasi kultural.117

Dari kebanggaan itulah watak Daud Beureueh sebagai orang Pidie terbentuk menjadi manusia keras dan ulet, juga setelah menjadi pemimpin umat. Kekerasan dan keuletan terlihat dai pendirian yang amat tangguh, sehingga sulit untuk bergeser atau digeser dari sesuatu yang diyakini kebenarannya, dalam hal ini pendirian dan cita-citanya untuk mendirikan negara dengan berdasar pada Islam.118 Daud Beureueh juga dikenal sebagai pemimpin yang kharismatik. Pemimpin dengan jiwa wibawa yang sangat tinggi dan disegani di masa revolusi. Sifatnya itu terlihat ketika pada saat Daud Beureueh mengamati perkembangan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan tenang dan hati-hati.119

C. Respon Rakyat Aceh Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh Dilihat dari letak geografisnya Aceh pada zaman dimana perdagangan dunia berdinamika, berada pada jalur georgrafis yang harmonis. Aceh terletak dua mil dari punggung pantai dan tiga mil dari kaki bukit. Kedudukannya yang tak jauh dari hulu dan hilir, menjadikan Aceh sebagai permata hijau namun juga biru.

115Dalam keputusan mengenai perang Sabil pada oktober 1944, pertemuan yang dilakukan uleebalang dan ulama adalah (1) hukum perang Sabil pada masa kolonial adalah Fardlu‟ain yaitu wajib untuk setiap orang Islam, (2) Belanja peperangan didapat dari Baitalmal, zakat, dan sokongan dari hartawan, (3) Hukumannya pengkhianat sama dengan si kafir. Penjelasan mengenai Fardlu‟ain adalah suatu ajaran tradisional Islam mengenai jihad ialah bahwa hukumannya bukan fardlu‟ain, tetapi hanya fard‟ala kifaya, yaitu diwajibkan atas masyarakat Islam sebagai suatu keseluruhan, tetapi tidak diharuskan pada setiap pemeluknya. Lihat Anthony Reid, Op. Cit., hal 327-352. 116Para ulama bertindak sebagai perumus, pembina, dan penumpuk cita “ke Acehan” sebagai suatu kesatuan kultural dan politik. Pada tiga masa itu ulama lah yang tampil untuk memimpin reformasi sosial dan agama. Tindakan nyata terlihat apabila kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat Aceh telah menjauh dari ajran yang benar dan diyakini. 117Taufik Abdullah, Karena Keterkaitan Ideologi, Artikel surat kabar/ majalah: Panji Masyarakat, No. 419. 118A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 118-120. 119Abdullah Sani Usman, Op.Cit., hal. 182.

42

Kekayaan bahari terlihat dari kebajikan alam lewat hutan dan pertaniannya yang subur. Dan rumah masyarakat Aceh pun begitu dekat dengan alam. Dibanding dengan menggunakan beton sebagai landasannya, para leluhur ini lebih suka memilik bamboo dan batu yang dianyam dengan tangan-tangan terampil menjadi tempat tinggal yang layak huni.120 William Marsden, explorer Inggris, menggambarkan sosok tubuh orang-orang Aceh berbeda dengan orang Sumatera lainnya. Mereka lebih tinggi dan berkulit lebih hitam. Banyak yang menilai orang Aceh adalah pencampuran orang Batak, orang Melayu, dan orang Chulias.121 Ciri lain dari orang Aceh adalah kegemarannya dalam bekerja, lebih cerdik, dan memiliki wawasan luas.mereka juga rajin mengunjungi ulama dan mengakrabi orang asing yang seiman. Dari berbagai sisi di atas dan dari sisi pola dasar bahasa dan sosial, Aceh termasuk masyarakat Sumatera dan Asia Tenggara. Namun ada cukup banyak cirri khusus dalam perkembangan sejarahnya sejak abad ke-16 M yang menyebabkan ideologi separatisme yang dianutnya meyakinkan ketika muncul pada tahun 1970-an. Berbeda dengan tradisi sastra “Melayu klasik” yang menyaksikan peranan Aceh yang sangat besar didalamnya, misalnya, Aceh sepenuhnya berdiri di pinggir sepanjang menyangkut pengembangan langgam bahasa dan kesusasteraan Melayu/ Indonesia modern menjelang akhir abad ke-19 M.122 sampai penaklukan Aceh oleh Belanda pada akhir abad ke-19 M, hubungan ekonomi, politik, dan budaya Acehterjalin dengan Samudra India dan Semenanjung Malaya, tidak dengan dunia Laut Jawa, yang didominasi pada awalnya oleh Jawa dan kemudian oleh Belanda. Aceh merupakan bagian dari dunia Islam Samudera India sejak Pasai dikunjungi dan ditulis oleh Ibn Battuta123 pada abad ke-14 M.124

120M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hal. 86-87. 121Chulias adalah nama bangsa atau sebutan yang disematkan pada penduduk yang berdiam dibagian barat India dan telah menjalin hubungan sosial dengan Aceh sejak masa yang lama. 122Kesusasteraan Melayu/ Indonesia modern adalah budaya-atas “India” perkotaan di India Belanda, yang mengungkap diri dalam bahasa Melayu yang menggunakan huruf romawi (berbeda dengan huruf Arab dalam bahasa Melayu klasik), dan sebagian besar diciptakan pada awalnya oleh orang-orang Indo-Eropa dan peranakan Tionghoa, meski pada akhirnya diserap sebagai bahasa pengantar oleh gerakan nasional. 123Ibn Battuta adalah seorang Arab yang waktu itu menjabat sebagai utusan Delhi. 124Anthony Reid, Op. Cit., hal. 335.

43

Sebelum mengetahui respon rakyat Aceh terhadap perjuangan Daud Beuereueh, penulis ingin memaparkan rakyat Aceh melalui tiap golongan. Pada masa pra kemerdekaan rakyat Aceh yang menanti ini terbagi dalam tiga golongan, yaitu: 1. Pertama, golongan terbesar yang menanti segala sesuatu dengan tenang, dan tidak mengambil perhatian terhadap apa yang mungkin terjadi. Golongan ini adalah golongan yang tidak “politic minded” dan menerima segala sesuatu dengan terbuka. 2. Kedua, golongan yang terdiri dari mereka yang sangat bergembira dan sangat bersuka ria atas kapitalis Jepang. Golongan ini bercita-cita pengembalian kekuasaan Belanda ke tanah air.125 3. Ketiga, golongan terdiri dari mereka yang, sekalipun lahirnya nampak tenang, akan tetapi dalam batinnya berada dalam keadaan gelisah. Mereka khawatir tentang akibat-akibat yang kelak akan timbul, bila Jepang lenyap dan Belanda kembali berkuasa. Pada konteks ini peran golongan ketiga inilah yang mempunyai peranan aktif dan terkemuka, baik sewaktu masa kolonial ataupun masa pendudukan Jepang. Meskipun hanya sebagian kecil dari golongan ini yang mempunyai alasan menakuti kekuasaan penjajah, banyak dari mereka pada hakikatnya bergerak baik kepentingan sendiri atau golongan. Dengan mempertopengkan kepentingan umum pada masanya, mereka memperoleh kedudukan dan pangkat tinggi. Kesempatan yang timbul sebagai akibat kedudukan dan pangkat tinggi ini telah digunakan mereka untuk menguntungkan diri sendiri atau pun golongan. Untuk kasus perjuangan Daud Beureueh inilah alasan yang menjadikan rakyat Aceh terpecah kedalam dua golongan. Golongan uleebalang (raja-raja) dan golongan ulama. Pertentangan diantara kedua golongan ini hubungan antara uleebalang dengan ulama. Pertentangan ini menyerupai pertentangan dan hukum (Islam).

125Dalam golongan ini terdapat sejumlah besar dari mereka yang masih menyimpan peringatan, nimat penghidupan yang dirasakan semasa pemerintahan Belanda dan sebelum Jepang berkuasa. Baik dalam pendudukan Belanda dan Jepang, golongan ini punya kedudukan tinggi yang memberikan mereka hidup dengan diliputi oleh kesenangan, kemegahan, dan kemewahan.

44

Uleebalang mempertahankan kekelan adat, sedangkan ulama berjuang menegakan hukum berdasar syariat Islam dalam pemerintahan.126

Menurut Snouck Hurgronje, pertentangan antara ulama dan uleebalang berdasar atas adanya perbedaan adat dan agama. Keterangan Snouck ini disanggah oleh M. Nur El Ibrahimy yang mengatakan pernyataan Snouck kurang tepat, karena di Aceh tidak terdapat pertentangan yang berarti antara adat dan agama. El Ibrahimy mengatakan pada umumnya keduanya berhubungan baik, yang satu bersandar kepada yang lain, keduanya tunjang-menunjang. Di Aceh dapat dikatakan adat dan resam Qanun bersandar kepada agama. Karena sangat mendalamnya ajaran Islam meresap dalam kehidupan masyarakat dan hukum telah terjadi persesuaian. Oleh karena itu pula Islam sangat diperjuangkan menjadi ideology negara. El Ibrahimy mengatakan terkait pertentangan uleebalang dan ulama bukan karena petinggi adat dan petinggi agama. Memang ada peribahasa Aceh yang mengatakan bahwa “adat bak Poteu Meureuhom, hukom bak Syiah Kuala”, yang artinya adat berada di dalam tangan sultan dan agama berada di dalam tangan ulama. Akan tetapi hal itu sekedar pembagian wewenang saja.127

Kembali pada fokus kajian, mengenai sikap rakyat Aceh. Pada perjuangan dibawah pimpinan Daud Beureueh tentang kesadaran rakyat Aceh, Taufik Abdullah dalam tulisannya terkait sikap rakyat Aceh mengatakan bahwa ada tiga bagian penting, pertama, sikap spontanitas dan enthusiasme rakyat Aceh dalam membantu perjuangan, kedua, pertemuan empat mata Daud Beureueh dengan Soekarno, ketika presiden pertama Republik Indonesia mengunjungi Aceh, ketiga, penolakan Daud Beureueh terhadap T. Mansyur (walinegara Sumatera Timur) untuk bersama-sama mendirikan negara bagian Sumatera. Mengenai sikap spntanitas dan enthusiasme rakyat Aceh dalam membantu perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan RI, terlihat dari kerelaan rakyat Aceh yang pintu rumahnya di gedor malam-malam untuk membagi emas yang mereka miliki ikhlas semata-mata karena Allah, dan demi membantu serta memenuhi harapan Soekarno yang meminta rakyat Aceh membantu perjuangan dengan menyumbangkan sebuah pesawat terbang. Rakyat Aceh sudah merasa puas

126Mr. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 4-7. 127El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 72-73.

45

dengan pernyataan Soekarno yang menyebut Aceh adalah “daerah modal” atau “daerah payung”.128

Selanjutnya, perubahan sikap terjadi di rakyat Aceh. Ketika keinginan cita-cita semangat perjuangan rakyat Aceh yang bernafaskan Islam tidak terpenuhi. Terlebih lagi dengan kebijakan pemerintah yang mementahkan harapan dan kepercayaan dengan mengirimkan pemimpin-pemimpin atau tenaga-tenaga ahli ke pusat daerah yang saat itu masih belum diperlukan, sekalipun mereka dikirim tidak membawa perubahan. Selain itu dalam badan pemerintahan daerah, pemerintah pusat memilih petinggi-petinggi untuk daerah Aceh yang bukan berasal dari Aceh. Kemauan rakyat yang tidak terpenuhi dan kebijakan yang dianggap tanpa pikir panjang ini membuat rakyat Aceh kecewa dan geram. Mengenai kebijakan pemerintah yang memilih orang diluar Aceh, faktanya masyarakat Aceh mempunyai pandangan tersendiri tentang segala seusuatu mengenai penghidupannya, ia mempunyai alam pikiran yang berlainan dengan penduduk daerah lain. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat Aceh dapat dikatakan sebagai masyarakat yang tertutup geisoleerd.129

Solusi dari permasalahan ini sebenarnya kemauan masyarakat Aceh adalah tentang cara pelaksanaan susunan dewan-dewan dengan pemilihan rakyat umum dalam konteks ini rakyat Aceh, juga diselenggarakan dalam setiap bagian pemerintahan, sehingga bukan sedikit tuntutan-tuntutan mengenai penempatan ahli-ahli atau penempatan petinggi didalam pemerintahan daerah. Penempatan menurut tuntutan ini, adalah harus berdasar atas demokrasi, yaitu kemauan rakyat. Menurut Mr. S. M. Amin mengatakan bahwa rakyat Aceh terkenal sebagai rakyat yang mencintai kemerdekaan dan tidak segan-segan mengorbankan jiwanya dalam mencapai kemerdekaan. Sejarah perjuangan melawan penjajah masa kolonial memakan waktu berpuluh-puluh tahun, menunjukan kepahlawanan mereka dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

128Pada masa itu rakyat Aceh membantu perjuangan baik dari dalam dan luar negeri. Seperti kisah Dr. Sudarsono yang datang ke Aceh dan kemudian di biayai oleh rakyat untuk kembali ke luar negeri, selalu diulang-ulang. Ini semua telah menjadi “folklore” (cerita rakyat). Dan ini merupakan sejarah Aceh yang tidak bias diinjak oleh kaki tentara Belanda. 129Mr. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 76.

46

Untuk memperkuat pernyataan Mr. S. M. Amin, dalam menambahkan pemahaman tentang sifat masyarakat Aceh, penulis menambahkan tulisan Prof. Dr. M. Dien Madjid mengenai Hikayat Kerajaan Aceh, mengatakan bahwa masyarakat Aceh dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Hal ini tidak saja dibuktikan secara historis, lewat berbagai teori sejarah yang mengisahkan Aceh sebagai tempat awal bersuanya Islam dengan penduduk Nusantara, melainkan ditinjau dari ruang publik mulai dari masyarakat bawah hingga tataran elite yang taat pada ketentuan Islam. Dan mengenai solusi dalam sistem pemerintahan, menurut Gabriel A. Almond, ciri khas pendekatan perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sisitem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial. Dalam sistem, bagian-bagiannya saling berinteraksi, saling bergantungan, dan semua bagian bekerja sama untuk menunjang terselenggaranya sisitem. Jika mengalami stress (masalah) dari lingkungan, tetap berusaha mengatasinya dengan memelihara keseimbangan. Dengan demikian sistem dapat bertahan.130

130Ibid. hal. 76-77.

BAB IV

PEMBERONTAKAN DALAM PERJUANGAN MENEGAKAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. Usaha-usaha Menegakan Syariat Islam di Aceh Dalam perjuangannya menegakan syariat Islam, rakyat Aceh bersikap spontanitas dan enthusiasme, mulai masa kolonial (penjajahan), dan masa revolusi. Hal itu terlihat ketika era Orde Lama, rakyat Aceh menggugat regim yang berkuasa di Jakarta, hal itu disebabkan karena rakyat Aceh merasa diperlakukan tidak adil dan manusiawi. Pada 20 september 1953 meletus lah peristiwa berdarah atau lebih dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) reaksi spontan dan enthusiasme ditunjukan demi harga diri rakyat Aceh yang terlecehkan pada saat itu.131 Sebelum membahas lebih jauh mengenai perjuangan dan usaha-usaha rakyat Aceh, penulis mencoba menganalisa status rakyat Aceh yang khususnya umat Islam saat itu. Melalui zaman atau periode tahap-tahap mengenai kesadaran sosial umat Islam Aceh dibagi menjadi dua periode, yaitu: 1. Periode pertama, munculnya kelas baru, ketika konflik-konflik antar kelas yang terjadi tahun (1920-1942). Pada periode ini umat Islam melakukan berbagai aksi dalam bentuk demonstrasi, dan juga mendirikan berbagai asosiasi. Selain SI, ada juga Nahdlatul „Ulama (NU), Muhammadiyah, dan dalam kasus Aceh sendiri berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Saat itu PUSA berkonflik dengan kaum uleebalang. merupakan konflik antar kelas atau bisa dikatakan perang saudara dalam memperebutkan peran dalan sistem pemerintahan di Aceh. PUSA tidak mengakui uleebalang karena dibawah kendali kolonial, dan teguh pada pendirian bahwa mereka anti penjajahan. Dan sejak 1942 dan seterusnya, umat Islam dihadapkan pada tugas baru. Pada masa kolonial atau penjajahan para dan tokoh-tokoh umat Islam mulai diikutsertakan dalam kepemimpinan dan kenegaraan.

131Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 200.

47

48

2. Periode kedua, sesudah tahun 1942, dan setelah 1945 umat mendefinisikan diri dalam rumusan baru yaitu sebagai warga negara, sebagai citizen. Dan warga negara sebagai langkah akhir perjalanan historis. Pada saat merumuskan UUD yang didalamnya memuat rumusan Pancasila 1945, dan memutuskan diri sebagai warga negara Indonesia. Persoalannya sekarang adalah persoalan antara negara dan warga negara. Permasalahan ketika ideologi dibentuk, tidak sesuai kesepakatan, rakyat Aceh merasa harga dirinya terlecehkan oleh pemimpin negara. Dan pada periode ini juga terjadikonflik politik yang berkepanjangan sesudah tahun 1945 sampai tahun 1965. Umat Islam yang memasuki babak baru yaitu ikut dalam Pemilihan umum, ikut dalam DPR/MPR, Badan-badan pemerintahan. Karena itu umat Islam benar- benar aktif sebagai warga negara. Sebagai warga negara demokratis, harus menyadari hak dan kewajiban yang mempunyai budaya partisipan.132 Pada tahapan kesadaran sosial tersebut, perkembangan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga zaman: zaman mitos, zaman ideologi, dan zaman pengetahuan atau ilmu. Dalam kaitannya dengan Aceh, usaha-usaha menegakan syariat Islam muncul ketika zaman ideologi. Hal ini terlihat ketika DI/TII Aceh, yang menjadikan pengetahuan Islam sebagai formulasi normatif dalam mengatur sistem pemerintahan di Aceh. Dari situ kemudian berkembang menjadi sebuah ideologi, lalu menjadi action.133 Peran pelopor DI/TII Aceh yaitu organisasi PUSA, terlihat ketika konflik terjadi dengan uleebalang. Dimana PUSA memperjuangkan perannya dalam sistem pemerintahan Aceh yang dikuasai uleebalang.134

132Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985). hal. 18-25. 133Ibid. hal. 26. 134Menurut Van‟t Vern dalam laporan Kern mengatakan bahwa kekuasaan kaum uleebalang diperkuat setelah perang Aceh, ketika menyatakan takluk dengan Belanda. Secara ekonomis uleebalang memperoleh lebih banyak kekuasaan karena bertindak sebagai kepala perusahaan-perusahaan dagang baru atau bekerja sama dengan perkebunan-perkebunan Barat. Kekuasaan pemerintah mereka dijamin aman oleh bantuan Belanda, baik dalam peradilan hukum, perkawinan, dan pemberian bewasiswa. Dan ini penyebab terjadinya pertentangan antara ulama melalui PUSA dengan uleebalang, rasa kebencian dan kemarahan muncul, ketika uleebalang dianggap sebagai pengkhianat oleh masyarakat Aceh, karena masyarakat Aceh sangat anti penjajahan. Terlebih lagi ketika penindasan dan skandal terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh uleebalang.

49

Usaha tidak terhenti begitu saja, pasca ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi negara direspon cepat oleh rakyat Aceh. rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh mengambil sikap menentang dan memberontak atas kendali Jakarta yaitu pemerintah pusat. Jika ditinjau dari permasalahan ideologi tersebut, hal itu menimbulkan sikap antara pemerintah dengan masyarakat Aceh. penulis ingin menguji teori melalui ilmu sosial, hal ini bisa menimbulkan prasangka sebab dugaan. Mengacu pada hubungan vertikal yang terjadi antara masyarakat Aceh dengan pemerintah, prasangka sebab dugaan merupakan sikap bermusuhan yang terjadi antar kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya135 yang didasari pada ciri yang tidak menyenangkan. Pada perjuangan yang terjadi era orde lama di Aceh, Menurut teori Banton mengenai prasangka, ini merupakan teori frustasi- agresi (frustration-aggression theory). Teori ini mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya dalam memperoleh keinginan terhalangi.136 Hal ini terjadi pada keinginan dan cita-cita Daud Beureueh dalam mendirikan negara yang berlandaskan Islam tidak terpenuhi. Mengkaji lebih mendalam mengenai kedudukan Daud Beureueh, dalam pemberontakan di Aceh penulis ingin memaparkan mengenai apa yang diperjuangkan oleh Daud Beureueh. Dalam hal ini jelas perjuangan Daud Beuereuh adalah mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia, yaitu negara yang berlandaskan Islam bukan Pancasila. Visi syariat Islam itu sendiri adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Sedangkan misinya melalui rumusan para ulama adalah kewajiban memelihara agama, kewajiban memelihara jiwa, kewajiban memelihara harta, kewajiban memelihara keturunan, kewajiban memelihara akal, dan kewajiban memelihara kehormatan.137 Jika dilihat dari visi misinya, dapat dikatakan kedudukan Daud Beureueh sangat

135Menurut Kinloch (1979), kata kelompok dalam konsep hubungan antarkelompok mencakup semua. kriteria pertama terdiri atas ciri fisiologis yaitu pengelompokan yang didasarkan pada persamaan jenis kelamin (laki-laki, perempuan), usia (tua, muda), dan ras (antara lain hitam, putih). kriteria kedua ialah persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik di Aceh, minangkabau, Ambon dll. Meskipun Kinloch tidak menyebutkan agama, namun dalam banyak kasus pengelompokkan berdasarkan agama pun dapat dimasukan dalam kategori ini. Kriteria ketiga mengenai ekonomi, dibagi antara mereka yang berekonomi kuat dan ekonomi lemah. Dan criteria keempat ialah prilaku, mengenai fisik, mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat. 136Kamanto Sunarto, Pengantar Ilmu Sosiologi, (Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004). hal. 151-152. 137Danial, Syari‟at Islam dan Pluralitas Sosial, dalam Jurnal Analisis Studi KeIslaman, vol XII, No. 1, 1 Juni 2012. hal. 72-74.

50

penting. Sebab melalui perjuangannya Daud Beureueh ingin nilai-nilai agama dijadikan dasar pengambilan kebijakan di tingkat keluarga, masyarakat, dan pemerintah, menjamin hak hidup rakyat dalam bidang pendidikan, serta membangun generasi yang berkualitas bebas dari ketakutan dan kecemasan dalam konflik dan pertikaian yang terjadi pada kaum minoritas.138

Selanjutnya, perkembangan pemerintahan di Aceh di tahun 1949, menyerupai pemberian otonomi kepada daerah Aceh. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) melalui keputusan Wakil Perdana Menteri pada 17 Desember 1949 No.8/Des/W. K. P. M, membentuk provinsi Aceh. Ketetapannya bertujuan untuk memecah provinsi Sumatera Utara menjadi dua provinsi yaitu provinsi Aceh dan provinsi Tapanuli-Sumatera Timur dalam menyempurnakan dan melancarkan pemerintahan daerah. Dan dalam waktu singkat terbentuklah provinsi Aceh dengan Dewan Perwakilan dan Badan Eksekutifnya. Daud Beureueh saat itu menjabat sebagai gubernur. Pada hakikatnya ini bukan merupakan keinginan umum dan banyak masyarakat mengambil sikap menolak terhadap pembentukan provinsi Aceh. Keberadaan provinsi Aceh diduga menimbulkan reaksi rakyat yang tidak mendapat bagian dalam pemerintahan yang didominasi oleh masyarakat diluar Aceh.139 Selain dari masyarakat umum, kebimbangan terjadi di dalam pemerintahan pusat itu sendiri tentang sah tidaknya pembentukan provinsi Aceh dan mengenai kedudukan dan kekuasaan Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Sumatera. Pembentukan provinsi Aceh oleh Wakil Perdana Menteri menyebabkan dibentuknya „panitia penyelidik‟ yang diketuai oleh Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo pada bulan maret 1950. Dalam pertemuannya di Banda Aceh Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya provinsi Aceh. Tetapi pendirian yang kuat terlihat ketika ketua DPR dan beberapa anggotanya kukuh mempertahankan provinsi Aceh dengan alasan keinginan

138Ibid., hal. 72. 139Dugaan masyarakat timbul karena organisasi PUSA ini memiliki sikap keras, militant, dan enthusiasme, serta teguh dengan apa yang dicita-citakannya. Seperti perjuangan melawan Belanda dan Jepang di tanah rencong mengenai sikap anti penjajahannya. PUSA memiliki peranan yang sangat penting terhadap kemerdekaan yang diraih. Terlebih lagi dalam hal ini untuk mengatur pemerintahannya sendiri, masyarakat umum dari pandangannya mengenai apa-apa yang diluar pemikiran dan cita-cita PUSA dianggap sebagai lawan politik ataupun lawan ideologi. Jelas hal ini dilatarbelakangi pengaruh pandangan Belanda terhadap PUSA.

51

rakyat. Terdapat dua pandangan dalam kasus ini, yaitu disaat Teungku Amir Ali Mujahid mengadakan suatu musyawarah di Alue Jangat, dimana perhimpunan yang dinamakan Pemuda Perjuangan Seluruh Aceh ini, mengambil resolusi untuk tetap mempertahankan provinsi Aceh dan mengatakan bahwa semangat yang menggelora tidak akan terjamin jika provinsi Aceh dibubarkan. Pernyataan ini ditentang oleh Teuku Teongoh hanafiah dalam tulisannya mengatakan bahwa yang mengkehendaki provinsi Aceh adalah sebagian dari kelompok ulama di bawah kendali PUSA. Mereka mempertahankan provinsi Aceh hanyalah karena beranggapan dengan tetap berlangsungnya provinsi Aceh maka mereka dapat memimpin pemerintahan di Aceh dan segala perbuatan keji mereka di masa lampau berupa pembunuhan, perampasan harta, dan lain-lain terhadap kelompok uleebalang dapat ditutupi.140 Melalui tulisan Bachtiar Effendi dan Ali munhanif, dari langkah-langkah Daud Beureueh bukti nyata dalam aksinya adalah ketika negara revolusioner Indonesia terlihat lemah atas perjuangan rakyat Aceh. ketidakmampuan negara menunjukan pengaruh pemerintahannya kepada masyarakat Aceh, terutama pada masa-masa 1945-1949, membuat pemerintah begitu rentan dalam menanggapi tuntutan rakyat Aceh, terutama untuk memperoleh otonomi regional lebih besar dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik. ketika tahun 1949, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berbasis di Sumatera Barat menerima tuntutan Aceh untuk de jure141 menjadi provinsi otonom, daerah istimewa. Pada akhir tahun 1950-an, Aceh diakui sebagai daerah istimewa otonom, dengan Daud Beureueh sebagai Gubernurnya. Terutama dalam masalah keagamaan, perkara adat, dan pendidikan, dengan syarat otonomi tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Perkembangan politik dengan diakuinya Aceh sebagai daerah istimewa itu menunjukkan bahwa pemberontakan memperjuangkan ideologi dibawah bendera Islam di Aceh dapat dipadamkan.142 Pada pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh ini, penulis membagi menjadi dua motif perjuangan yaitu Islam dan Politik. Pertama, Islam berkaitan

140Lihat Koran harian Indonesia Raya, mengapa Aceh minta daerah autonomi, (Jakarta, 4 Agustus 1950). 141De jure adalah pengakuan secara hukum. 142Taufik Abdullah dkk., Op. Cit., hal. 448.

52

dengan Islam yaitu pembahasan mengenai Agama. Mengenai konsep agama sendiri menurut Light, Keller dan Calhoun (1989) yaitu tentang kepercayaan agama, simbol agama, praktik agama, umat agama dan pengalaman agama.143 Dan penganut agama pun mengenal berbagai bentuk pengelompakan umat, seperti dalam komunitas keagamaan Islam yaitu pesantren dan wadah umat muslim lainnya. Pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang juga sebagai pelopor DI/TII Aceh adalah bukti nyata pengelompokan umat Islam di Aceh berjalan baik. Menurut analisa penulis pada kasus agama dan perubahan sosial ini, melalui pandangan Giddens (1989) mengatakan bahwa, suatu proses mengenai perubahan sosial dimana agama kehilangan pengaruhnya terhadap berbagai segi kehidupan manusia, dan oleh Light, Keller, dan Calhoun (1989), didefinisikan sebagai proses melalui perhatian manusia beserta institusinya tercurahkan pada hal duniawi dan perhatian terhadap hal yang bersifat rohaniah terkait agama semakin berkurang. Jelas hal ini yang menjadi kekhawatiran dan latarbelakang mengenai alasan Daud Beureueh dalam menciptakan negara Islam Indonesia, yang apabila ideologi Pancasila terus dijalankan akan berdampak buruk kepada nilai-nilai keIslaman masyarakat Indonesia khususnya Aceh.144 Di Aceh ideologi Islam senantiasa menjadi sumber daya sikap patriotisme rakyat Aceh, dan sejak 1930-an menjadi jalan kepada modernisasi. Saat itu para ulama mengatakan bahwa mempertahankan Republik Indonesia berarti perang Suci dan merupakan kelanjutan dari perjuangan yang adil dari Teungku Chik di Tiro, yang didukung oleh rakyat dengan penuh simpati. Martabat uleebalang telah jatuh ketika mereka bersikap kasar dan mengingkari nurani rakyat. Di daerah Pidie perlawanan anti-uleebalang menimbulkan harapan untuk mendapatkan kembali tanah-tanah yang dulunya pernah disita secara tidak adil dari keluarga- keluarga petani, dengan demikian perjuangan melawan penindasan uleebalang yang dilakukan ulama itu berakhir dengan gemilang. Ulama-ulama pembaru yang

143Kepercayaan agama dalam hal ini adalah Islam tentang keimanan kepada Allah s.w.t. Simbol agama yaitu kerudung, pakaian haji, mukena, dll. Praktik agama berkenaan dengan sholat, dzikir, pergi haji, dll. Umat agama yaitu Aceh yang terdiri dari mayoritas beragama Islam. Dan pengalaman agama merupakan suatu unsure dasar agama yang dialami penganut agama pribadi seperti panggilan umat Islam Allah s.w.t. dll. 144Kamanto Sunarto, Op. Cit., hal. 69.

53

terkenal telah memberikan inspirasi dan pimpinan langsung kepada gerakan rakyat. Dalam perlawanan terhadap tatanan masyarakat kolonial.145 Kedua, motif politik terlihat bagaimana Daud Beureueh melalui gerakan DI/TII Aceh melakukan perlawanan terhadap kendali pemerintah pusat untuk memperoleh peran dalam mengatur sistem pemerintahan di Aceh. Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mengatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan pihak pertama.146 Dalam hal ini Daud Beureueh melalui PUSA menentukan tindakan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat Aceh melalui pemerintahan. Perkembangan politik selanjutnya adalah ketika Aceh tidak menjadi daerah istimewa seperti yang dijanjikan pemerintah pasca kemerdekaan. Dan dalam konteks yang lebih luas melalui gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh Daud Beureueh bercita-cita mendirkan Negara Islam Indonesia. Menurut Max Weber kekuasaan perlu dibedakan dengan dominasi (herrschaft). Kekhasan dominasi ialah bahwa pada dominasi pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa berdasarkan aturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib menaati kehendak penguasa. Berbeda dalam kajian ini, pihak Daud Beureueh menolak mengikuti ketetapan dan kebijakan pemerintah dalam menyatukan Aceh kedalam provinsi Sumatera Utara.147 Pada pemberontakannya dalam perjuangan menegakan syariat di Aceh, termasuk kedalam tipe dominasi kharismatik, yaitu mengenai keabsahannya didasarkan pada kepercayaan rakyat Aceh terhadap kemampuan Daud Beureueh mempunyai kemampuan luar biasa dalam memimpin dan memperjuangkan ideologi Islam. Dalam tipe dominasi ini pemimpin atau figur kharismatik dianggap memiliki sifat kepahlawanan yang luar biasa. Dan mengenai hubungan rakyat dan pemimpin didasarkan pada ukuran kepercayaan dan kesetiaan. Perjuangan Daud Beureueh dalam tipe ini melaksanakan perjuangan meraih

145Anthony Reid, Op. Cit., hal. 406. 146Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 60. 147Rakyat Aceh sangat kecewa dengan penetapan pemerintah pusat melalui kebijakannya menghilangkan Aceh dan Tapanuli dalam membentuk provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan terlihat ketika rakyat Aceh berjuang mendirikan Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh.

54

kekuasaannya bukan atas dasar aturan yang berlaku, melainkan atas aturan yang ditetapkannya sendiri. Dalam proses politiknya148 Daud Beureueh berusaha menggantikan sistem politik yang ada atau yang sudah berjalan dengan sistem politik yang baru.149

B. Respon Pemerintah terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh Konflik yang terjadi antara Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh dengan pemerintah merupakan konflik yang memperebutkan pengaruh dimasyarakat, dimana dalam mencapai tujuannya masing-masing perebutan kekuasaan yang berdasar pada ideologi yang berbeda satu sama lain itu memunculkan berbagai aspek sumber kekuasaan.150 Kasus perjuangan atau lebih dikenal dengan peristiwa berdarah di Aceh merupakan kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan atau agama, artinya ulama mempunyai kekuasaan terhadap umatnya sehingga mereka dianggap sebagai pemimpin informal yang perlu diperhitungkan dalam menentukan ideologi sebagai dasar sebuah negara. Dalam kasus ini pihak pemerintah sebagai pihak pemegang kekuasaan dan gerakan Daud Beureueh sebagai pihak pejuang. Esensi151 dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi, dan cara menyelenggarakannya berbeda-beda. Terdapat empat cara dalam upaya mengenai esensi dari kekuasaan yaitu, melalui kekerasan fisik (force), koersi (coercion) melalui ancaman akan diadakan sanksi, persuasi (persuasion) meyakinkan dengan beragumentasi, dan memberi ganjaran (reward) bisa berupa inisiatif, imbalan atau kompensasi.152 Berbagai cara esensi dari kekuasaan tersebut menjadi tahapan dalam peristiwa berdarah. Seperti pada awal perjuangan yang dilakukan oleh Daud Beureueh, respon cepat pemerintah terlihat ketika pemerintahan Ali Sastroamidjojo dalam usahanya memulihkan keamanan di Aceh telah memilih

148Proses politik, mengenai dasar politik yaitu persaingan untuk memperoleh kekuasaan. Proses politik berupa persaingan untuk memperoleh kekuasaan dapat mengarah dengan mudah ke konflik antar pihak terkait dan dapat mengancam keutuhan masyarakat khususnya Aceh. 149Kamanto Sunarto, Op. Cit., hal. 72-73. 150Sumber kekuasaan berupa kekayaan, dan kepercayaan atau agama. 151Esensi adalah hakikat, inti, ataupun hal yang pokok pertentangan antar kedua belah pihak, pertentangan mengenai ideologi. Sumber melalui http://kbbi.web.id/esensi diakses pada tanggal 3 Maret 2016, Pukul 10:32 WIB. 152Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 61-62.

55

tindakan kekerasan senjata yang berakibat jatuhnya korban jiwa.153 Pertentangan diantara DI/ TII Aceh dengan pemerintah pusat telah menimbulkan ketegangan antara rakyat yang berjuang melalui gerakan DI/ TII Aceh untuk melepaskan diri dari kendali Jakarta. Usaha yang dicapai dengan cara keras terlihat dari tekanan oleh TNI disatu pihak di samping pemberian amnesti dan abolisi kepada anggota DI/ TII di pihak lainnya untuk meredakan konflik yang terjadi.154 Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Dalam UU darurat No. 11 tahun 1954 Lembaran Negara No. 146 tahun 1954 pasal 1 menyebutkan: Presiden atas kepentingan negara dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan sesuatu tindakan pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara. Dalam memberikan amnesti dan abolisi Presiden mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman, penghapusan dengan pemberian abolisi hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka yang melakukan tindak pidana, yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada tahun 1949. Amnesti adalah pengampunan dari Presiden yang menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindakan terkait pemberontakan dalam perjuangan Daud Beureueh melalui DI/TII Aceh. Sementara abolisi yang diberikan kepada anggota DI/TII Aceh merupakan pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku tindak pidana. Jadi, amnesti dapat diberikan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana, baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan. Sedangkan, abolisi hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada putusan pengadilan karena abolisi sifatnya hanya menghapuskan penuntutan.155 Sebelum membahas lebih jauh, penulis ingin memberi gambaran mengenai Aceh sebelum pemberontakan Daud Beureueh meletus. Adapun pemerintahan di Aceh yang berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan pada

153El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 162. 154Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 202. 155Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012). hal. 161-162.

56

tanggal 17 Agustus 1945 sampai penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, dapat dibagi dalam empat bagian menurut pimpinan yang bertanggung jawab, adalah sebagai berikut: 1. Pertama, masa pemerintahan di bawah pimpinan Residen T. Nya‟ Arif, sejak saat Proklamasi Kemerdekaan sampai pertengahan bulan Januari 1946. 2. Kedua, masa pemerintahan di bawah pimpinan Residen Teuku Daudsyah, sejak pertengahan bulan Januari 1946 sampai akhir bulan Mei 1948. 3. Ketiga, masa pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Mr. S. M. Amin, sejak akhir bulan Agustus 1949. 4. Keempat, masa pemerintahan di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Mr. Syarifudin Prawiranegara, sejak akhir bulan Agustus 1949 sampai saat penyerahan kedaulatan. Masa residen Teuku Nya‟ Arif, merupakan kepala pemerintah daerah yang pertama. Pada permulaan maklumat kemerdekaan Indonesia di Sumatera, oleh Gubernur Sumatera Mr. T. M. Hasan mengeluarkan sejumlah penetapan mengenai penunjukan Asisten Residen, Controleurs, dan pegawai-pegawai tinggi lain. Pada awalnya jabatan-jabatan tersebut diduduki oleh para uleebalang dan keluarganya. Konflik yang terjadi antara uleebalang dengan ulama, mengakibatkan jabatan tidak lagi diduduki oleh para uleebalang melainkan para orang yang dianggap berpengaruh dalam menentukan pembesar menduduki tempat jabatan tersebut. Pada penyusunan dalam pemerintahannya T. Nya‟ Arif156 mengalami kendala baik pertentangan dari masyarakat dalam menyelesaikan persoalan ataupun tekanan yang dilakukan oleh Jepang. Hal ini menempatkan T. Nya‟ Arif lebih berperan sebagai pemimpin ketentaraan Tentara Keamanan Rakyat. Ketika timbul

156Teuku Nyak Arif, adalah pendiri Perkumpulan uleebalang-uleebalang Groot Atjeh, pada 8 Oktober 1939. Saat itu Aceh Besar ada dibawah kendali Belanda, sehingga para uleebalang mempunyai sedikit kepentingan untuk di lindungi. Meskipun begitu T. Nya‟ Arif dalam reaksinya adalah bertahan terhadap kritik-kritik yang ditujukan kepada uleebalang, ketika dia mengintrupsi suatu rapat Muhammadiyah dengan menyatakan keberatannya atas sebutan “raja” kepada golongannya, karena mereka pada hakikatnya tidak lagi mempunyai kekuasaan yang sebenarnya. Dia membalik kritik kepada para ulama dengan mengatakan bahwa, “dalam hal ini kita semua bersalah, bukan saja kaum uleebalangyang sekarang menjadi sasaran, tetapi juga para Teungku (ulama) yang tidak berani berkata sepatah kata pun ketika melihat kaum uleebalang berlaku tidak pantas seperti minum brendi, berdansa, dan mengirim anak-anaknya ke sekolah Kristen. Lihat Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera, hal. 75.

57

banyak persoalan yang terjadi, maka ditetapkan sebagai wakil residen, TRP Mohd. Ali, yang tinggal di ibukota, Kotaraja, untuk mengatur pekerjaan-pekerjaan residen. Sedangkan T. Nya‟ Arif, bekerja di luar daerah Kotaraja untuk menyelesaikan persoalan mengenai pertentangan, pertempuran baik dengan Jepang maupun masyarakat sendiri.

Dalam periode ini atau sekitar empat bulan lamanya, berakhir juga kekuasaan uleebalang dan berganti dengan kekuasaan ulama. Susunan Komite Nasional Daerah adalah untuk sebagian besar terdiri dari anggota-anggota Para Ulama; oposisi dalam dewan dapat dikatakan tidak ada. Dan segala urusan mengenai penyelenggaraan pemerintahan, berlangsung menurut kehendak para ulama melalui organisasi PUSA. Pada masa inilah pengeluaran pengumuman dari pemerintah daerah yang mencap kaum uleebalang sebagai pengkhianat bangsa dan agama. Juga dari pihak tentara Jepang yang mengalami kesulitan di beberapa daerah seperti di Meulaboh, Kotaraja, dan Langsa. Peranan ketua Komite Nasional Daerah Tuanku Mahmud sangat penting dalam mengatur kebijakan dengan melakukan perundingan terus-menurus dengan Jepang sehingga pertempuran dapat dibatasi sampai ke kota-kota tersebut dan tidak meluas ke seluruh daerah Aceh. Persatuan pemuda dalam organisasi pemuda Republik Indonesia juga berperan dalam menyelesaikan persoalan dibawah pemerintahan PUSA saat itu.157

Masa residen Teuku Daudsyah, pemerintah daerah, sesudah pertengahan bulan Januari 1946. T. Daudsyah semasa pemerintahan Belanda adalah Zelfbestuutder158 Idi, suatu landschap di bagian Aceh Timur, dan merupakan bagian dari salah satu uleebalang-uleebalang yang tidak banyak jumlahnya, yang terlepas dari akibat-akibat pertentangan ulama-uleebalang. Pada masa pemerintahannya persoalan terjadi akibat yang ditimbulkan oleh gerakan Ali Mujahid. Gerakan ini pada hakikatnya lanjutan dari perang Cumbok, suatu pembersihan terhadap sisa-sisa partai feodal yang masih memegang peranan dalam badan resmi. Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi

157MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 45-46. 158Pemerintahan sendiri masa kolonial Belanda.

58

dibentuklah suatu Badan Eksekutif. Susunan Badan Eksekutif pertama adalah sebagai berikut:

Ketua : Residen Teuku Daudsyah

Wakil Ketua : Mr. S. M. Amin

Sekertaris : Kamarusid

Anggota-anggota : Sutikno, Hasyim, H. M. Zainuddin, Mohd. Hanafiah, R. Insun

Kebijakan awal Badan Eksekutif adalah membuat peraturan-peraturan mengenai harta anggota golongan uleebalang yang mengalami kekalahan di persitiwa Cumbok.159 Peraturan yang dimaksud antara lain:

1. Pembentukan suatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban mengurus harta peninggalan mereka dari golongan uleebalang yang telah tewas dalam peristiwa Cumbok. 2. Memeriksa dan memutuskan tuntutan-tuntutan mengenai harta peninggalan itu. 3. Menetapkan penjualan sebagian dari harta peninggalan itu, guna pengganti kerugian yang diderita oleh pihak ulama sebagai akibat dari pertempuran dalam peristiwa Cumbok. 4. Putusan-putusan badan ini mempunyai kekuatan vonis yang tidak dapat di apel. Dalam masa pemerintahan ini juga, Aceh pertama kali menerima tamu- tamu dari pusat pemerintahan yang berkewajiban mengadakan tinjauan dan mempererat hubungan di antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda memulai suatu gerakan yang bertujuan melenyapkan negara Republik Indonesia. Meskipun sebagian besar di wilayah Jawa, Palembang, dan Sumatera Timur sudah berhasil ditaklukan, rakyat Aceh

159Selanjutnya pemerintahan pimpinan residen T. Daudsyah berjalan dengan baik dan memuaskan. Terlihat dari persoalan kekurangan yang dihadapi, kesulitan-kesulitan dalam hubungan kekurangan keuangan yang menyebabkan sebagian besar pekerjaan untuk kemakmuran raykat. Seperti membuat irigasi, jalan-jalan, jembatan, obat-obat, persekolahan untuk menunjang mutu tentara.

59

menghadapi agresi dengan satu tujuan, yaitu mempertahankan negara sampai titik darah penghabisan. Reorganisasi dalam pemerintahan diwujudkan dalam membentuk pemerintahan yang selaras. Dan penetapan oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta daerah Aceh dinyatakan sebagai daerah militer istimewa dengan ditetapkannya seorang Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer yang bertanggung jawab dalam pertahanan dan keamanan rakyat.160

Kembali pada fokus kajian, Menurut Cornelis van Dijk sejarawan Belanda mengenai “daftar hitam” dalam sengkarut revolusi menimbulkan keresahan di rakyat Aceh yang membakar Tanah Jeumpa pada awal 1950-an, menjadi bahan gunjingan yang hangat. Pengirimnya disebut-sebut adalah pemerintah Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, yang membawanya ke Medan. Tapi ada juga yang menyebutnya warisan kabinet Sukiman. Yang isinya menggambarkan puncak perseteruan pemerintah Jakarta dengan rakyat Aceh. Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh, sumber lain menyebut 190 tokoh-melalui sebuah operasi rahasia. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan kawasan di ujung barat Sumatera akan menggelar pemberontakan melawan pusat. Tapi tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen itu. Sejarawan Belanda lainnya, B.J. Boland, dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. “Desas- desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh,” katanya. Secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung.161

Hal yang sama diungkapkan M. Nur El-Ibrahimy yang mengungkapkan bahwa, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu. Tak penting benar apakah dokumen itu ada atau tidak. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya.

160MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 54. 161Melalui sumber online http://.soalaceh.tumblr.com di akses pada 19 Juli 2016, Pukul 19:12 WIB.

60

Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daud Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. Daftar hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daud Beureueh untuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan. Sembilan tahun Daud Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka perlawanan Aceh pasca-era kolonial-sesuatu yang hingga saat itu belum juga berakhir-dan memunculkan Daud Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah. “Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada.

Masa Gubernur Mr. S. M. Amin, dilantik ketika kunjungan Presiden, gubernur muda Sumatera Utara sebagai akibat perubahan pemerintahan di Sumatera. Dari satu provinsi yang dipimpin oleh gubernur Sumatera, Mr. T. M. Hasan dengan ibu kota Bukit Tinggi, menjadi tiga provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dalam sistem provinsi Sumatera Utara, kerisidenan-keresidenan Tapanuli dan Aceh yang menyerupai keresidenan otonom, dihapuskan. Selanjutnya residen dipimpin oleh Gubernur, dan dijadikan tiap-tiap kabupaten menjadi kesatuan yang memperoleh otonomi dibawah pimpinan Bupati.162 Pada reaksinya terlihat dua macam reaksi di masyarakat Sumatera terhadap perubahan pemerintahan. Sebagian rakyat pro terhadap ketetapan baru, sebagian lagi, yang tidak banyak yang anti, dan sebagian besar tidak menunjukan reaksi. Pelaksanaan undang-undang pembagian Sumatera dalam tiga provinsi, dimulai dengan pembentukan dewan perwakilan Sumatera Utara yang teridiri dari anggota-anggota dewan perwakilan Sumatera yang dihapuskan dan dalam dewan perwakilan ini mewakili Aceh, Tapanuli atau Sumatera Timur. Rapat diadakan pada 13-16 Desember 1948 di Tapa‟ Tuan. Hal ini juga sebagai bukti tentang keinginan rakyat melangkahkan kakinya kearah kesatuan negara.163

162Dalam penentuan ibu kota, penunjukan Sibolaga sebagai ibu kota sementara, dan keinginan rakyat penetapan itu dicabut dan Kota Raja dijadikan sebagai ibu kota, seiring menunggu Medan dapat direbut kembali dari tangan Belanda. 163Dalam pelaksanaannya tentara dan rakyat sangat mentaati segala peraturan dan tindakan-tindakan yang dikeluarkan dan dilakukan guna kepentingan pertahanan, baik melalui

61

Masa wakil perdana menteri Mr. Syarifudin Prawiranegara, beriringan dengan pembubaran pemerintah darurat, penempatan Mr. Syarifudin Prawiranegara di daerah Aceh Sebagai Wakil Perdana Menteri. Kekuasaan dalam mengadakan perbaikan di pulau Sumatera, dengan di bantu oleh suatu badan penasihat yang terdiri dari komisaris pemerintah, Panglima territorial teritorium Sumatera dan beberapa orang yang ditunjukkan. Peraturan-peraturan dibuat mengenai terutama lapangan perekonomian. Diadakan peraturan mengenai panitia-panitia untuk mengurus pembelian barang-barang bagi pemerintah. Dalam mengatur harga pasaran, untuk memperbaiki perekonomian di Sumatera Utara, untuk membantu dan mengawasi Bank Negara. Berbeda mengenai peraturan wakil Perdana Menteri tentang pemerintahan di Sumatera, membawa perubahan dalam struktur pemerintahan. Peraturan yang membawa pembagian daerah Sumatera Utara dari peraturan pemerintah darurat Republik Indonesia, menyerupai satu provinsi yang otonom, menjadi dua provinsi yaitu provinsi Aceh dan Tapanuli Sumatera Timur, kelanjutannya pada masa Syarifudin, ditempatkannya dua daerah provinsi itu dibawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh dan Dr. F- L. Tobing sebagai gubernur.164 Dalam bukunya Memahami Sejarah Konflik Aceh Mr. S. M. Amin, memaparkan tentang pembagian daerah ini belum atau tidak dapat dipastikan kebenarannya. Ada isu yang mengatakan bahwa pembagian ini terkesan tergesa- gesa, dengan tidak memperhatikan keadaan dan dengan tidak mendengan pemandangan dari instasi-instasi. Dan tidak tahunya komisaris dan dewan perwakilan provinsi Sumatera Utara. Serta mengatakan bahwa perubahan yang terjadi akibat desakan dari beberapa orang yang asli dalam daerah Aceh dan Tapanuli dan yang menduduki tempat yang terpenting dalam pemerintahan. Dengan dasar keinginan rakyat ini Syarifudin beranggapan bahwa mereka yang melakukan desakan adalah orang yang terkemuka dan berpengaruh dalam masyarakat dan yang dapat dianggap representatif. Adapun alasan Syarifudin membuat keputusan prinsipil adalah sebagai berikut: 1. Kepentingan penyempurnaan dan usaha melancarkan pemerintahan.

ketetapan kebijakan pemerintah, atau pun terkait pengawalan, maupun instruksi-instruksi dalam hubungan taktik bumi hangus. 164MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 67.

62

2. Keinginan umum akan segera terbentuknya suatu sistem pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1948.165 Sedangkan keinginan umum yang menghendaki pembagian provinsi Sumatera Utara dalam dua provinsi terbagi dalam tiga bagian, yaitu:

1. Sebagian besar yang tidak merasa berkepentingan (interese) dalam soal dua atau satu provinsi, yang tidak mengetahui dan tidak mempunyai pengertian sedikit juga dalam persoalan ini. 2. Sebagian kecil yang tidak menghendaki pembagian ini. 3. Sebagian yang lebih kecil lagi yang menginginkan pembagian ini dan berusaha dengan giat menciptakan keinginan menjadi kenyataan. Pada 17 Desember 1949, penetapan peraturan mengenai pemecahan provinsi Sumatera Utara dalam dua provinsi, Aceh dan Tapanuli Sumatera Timur, adalah suatu saat yang sangat berlainan dengan saat 30 September 1949, penetapan peraturan mengenai penyerahan kekuasaan luas pada wakil perdana menteri. Pada 30 September 1949 negara masih dalam konflik dengan kerajaan Belanda. Serangan yang terjadi oleh Belanda memungkinkan negara jatuh kembali dalam kancah peperangan dan perhubungan Sumatera dan Jawa terputus. Berkaitan dengan Undang-Undang Dasar, dari sejarah ketatanegaraan Indonesia diketahui bahwa UUD yang berlaku telah beberapa kali berganti, yaitu dari UUD 1945, kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti lagi dengan UUD Sementara 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945. Adapun kelima tahapan perkembangannya itu adalah:

1. Tahun 1945, UUD Republik Indonesia yang de facto hanya berlaku di Jawa, Madura, dan Sumatera. 2. Tahun 1949, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat. 3. Tahun 1950, UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlaku diseluruh Indonesia, kecuali Irian Barat. 4. Tahun 1959, UUD Republik Indonesia 1945, UUD ini mulai 1959 berlaku diseluruh Indonesia, termasuk Irian Barat.

165MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 70-71.

63

5. Tahun 1999, UUD 1945 dengan amandemen dalam masa reformasi. Umumnya pergantian UUD mencerminkan anggapan bahwa perubahan konstitusional yang dihadapi begitu fundamental. Di Indonesia wewenang untuk mengubah UUD ada ditangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 anggota MPR, sedangkan usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 anggota yang hadir, dalam ketentuan di pasal 37.166

Berbeda pandangan mengenai dasar dan hukum yang di terapkan Soekarno, Daud Beureueh ingin menciptakan hukum Islam di Indonesia. Dimana hukum Islam sendiri merupakan hasil dialektika167 otoritas yang didukung oleh wahyu dengan konteks sosialnya. Pembentukan hukum Islam berawal dari proses dialektis dimana elemen-elemen tradisi masyarakat diambil, dimodifikasi, dan dihapus sesuai dengan nilai moral yang ingin ditanamkan oleh Islam. Perubahan tradisi tersebut tidak berjalan revolusioner, melainkan melalui proses evolusi.168 Pranata yang didukung oleh Islam adalah sebuah pranata yang lahir dalam sebuah masyarakat tradisional, yaitu masyarakat yang dibimbing oleh nilai-nilai dan kesucian tradisi, bukan oleh hukum positif yang dihasilkan oleh organisasi negara. Dalam konteks ini hukum Islam bersifat arbitratif dan moral.169 Pada perkembangannya dalam penerapan hukum Islam di Aceh, peran ulama sangat berpengaruh, terutama dalam organisasi. Para ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan dalam Islam mempunyai peran penting yang berfungsi sebagai pemberi fatwa ketika muncul persoalan di kalangan umat Islam. Peradilan dalam

166Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal. 182-183. 167Dialektika adalah logika, gerak atau suatu bentuk pemahaman yang sifatnya umum. 168Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya proses transformasi otoritas sehingga perubahan memiliki legitimasi di masyarakat. Perubahan pertama yang dilakukan oleh Al-Qur‟an terhadap tradisi masyarakat pra-Islam, terjadi dalam bidang hukum keluarga, dan merupakan pencapaian terbesar. Seperti pernikahan, bersama dengan waris, membentuk hukum perdata Islam dan menjadi elemen paling jelas dan tegas dalam skema hukum Islam. Khususnya pernikahan, mencerminkan penataan Al-Qur‟an terhadap pranata sosial dasar di masyarakat. 169Arbitrative yaitu suatu proses yang menggunakan cara melalui pihak ketiga sebagai penengah atau menciptakan solusi. Sedangkan moral, sesuatu yang berkaitan dengan velue (nilai) dalam tindakan yang memiliki sesuatu nilai positif. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan porses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.

64

sejarah Islam diisi oleh para ulama dengan referensi hukum hasil dari ijtihad, bukan hukum hasil legalisasi lembaga legislatif.170

Kajian lebih mendalam mengenai hukum Islam, ketika persoalan muncul tatkala hukum keluarga Islam, khususnya yang menyangkut pernikahan, bersentuhan dengan negara modern. Melahirkan sebuah sistem kekuasaan politik baru, dimana legitimasi aparatusnya tidak diperoleh melalui tradisi, melainkan dari aturan hukum formal. Sistem otoritas yang membentuk negara modern tersebut adalah sistem otoritas legal rasional.171 Ini merupakan suatu krisis otoritas hukum Islam terhadap modernisasi zaman. Faktor lain mengenai modernitas dan krisis otoritas ditandai beberapa hal.

1. Munculnya negara bangsa (nation state) yang kemudian menjadi model umum negara di abad ke-20 M. 2. Tumbuhnya rasionalitas dalam sistem sosial yang ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi sosial. 3. Sebagai konsekuensi dari fenomena pertama dan kedua adalah tumbuhnya otoritas legal-rasional yang didasarkan atas sistem keorganisasian. 4. Munculnya tren unifikasi dan kodifikasi hukum sebagai akibat dari semakin berkembangnya otoritas legal-formal, dengan negara sebagai pilarnya. Fenomena modern yang mempengaruhi sistem otoritas, menurut Bernard Weiss menyatakan bahwa meskipun hukum Islam sama dengan hukum Romawi dalam hal bahwa hukum adalah hasil dari para ahli hukum (jurist law). Perbedaannya antara kedua hukum tersebut adalah pertama, kerja para ahli hukum Romawi dibatasi oleh kegiatan legislatif yang dilakukan oleh negara, baik oleh senat maupun kaisar. Sedangkan dalam sistem hukum Islam tradisional negara

170Ahwan Fanani, Otoritas Dalam Hukum Islam, (Artikel dalam Jurnal: Justitia Islamica, Vol. 7/ No. 1/ Jan-Juni 2010). hal. 3. 171Menurut Max Weber, peran dan bentuk otoritas dibagi menjadi tiga, yaitu pertama legal-rasional, otoritas yang bersandar pada legitimasi rasional, yaitu yang berpijak kepada legalitas pola aturan normative dan formal. Kedua tradisional, otoritas yang bersandar kepada legitimasi tradisional, yaitu kepercayaan yang mapan, kesucian tradisi masa lalu, dan legitimasi orang-orang yang melaksanakan otoritas tersebut. Ketiga kharismatis, otoritas yang bersandar pada legitimasi charisma, yaitu yang berpijak pada kesucian tertentu kepahlawanan atau karakter teladan dari seorang individu dan pola normative yang ia tunjukan.

65

tidak memiliki kekuasaan legalisasi. Negara hanya bisa menegakan hukum, tetapi tidak memiliki hak untuk membuat hukum. Kedua, hakim-hakim dalam tradisi hukum Romawi memiliki keleluasaan dalam memutuskan hukum karena keputusan hukum didasarkan atas kekuatan intuisinya.172 Sementara dalam tradisi hukum Islam para ahli hukum diikat oleh sumber formal, yaitu teks. Otoritasnya lebih didasarkan atas keterampilannya menjabarkan teks, dibandingkan oleh kebijaksanaannya.173 Upaya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif menuai pro dan kontra. Hukum Islam yang muncul di Indonesia tidak lepas dari dinamika sejarah negara Indonesia. Jauh sebelum kedatangan penjajah dari Eropa, perkembangan Islam dengan munculnya lembaga pendidikan seperti , langgar, madrasah, dan pesantren telah memberikan kontribusi pengetahuan mengenai kultur agamis yang kuat di masyarakat. Sehingga hukum Islam di Indonesia merupakan hukum yang banyak di bentuk dan terinspirasi oleh kekuatan dari budaya agamis dan relegius. Dari lembaga pendidikan itu sumber-sumber utama informasi dan penyuluhan masyarakat. Mengajarkan berbagai keilmuan, utamanya ilmu agama yang didominasi kajian fikih, kajian yang tidak lepas dari permasalahan hukum Islam. Dari akar sejarah yang kuat inilah, pondasi cita-cita masyarakat Aceh terbentuk, karena Islam memperkenalkan suatu tradisi hukum baru di Indonesia. Dengan menawarkan dasar-dasar perilaku sosial yang rata dan sebanding, juga menyumbangkan konsepsi baru hukum di Indonesia. Dan sifatnya yang elastis,174 mengubah ikatan kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang universal.175 Di kalangan masyarakat Aceh sendiri diketahui memiliki sikap tertutup, dan mempunyai pandangan tersendiri tentang segala sesuatu mengenai penghidupannya. Sebagai akibat dari sikapnya ini masyarakat didaerah dapat dikatakan bersifat “statisch” (tidak berubah-ubah), aliran-aliran baru tidak masuk, sehingga alam pikiran masyarakat tetap sebagai berpuluh tahun kebelakang.176

172Hal itu terjadi karena hakim dipandang sebagai orang yang bijaksana sehingga keputusan hukum dilihat dari kemampuannya menggali nilai keadilan. 173Ibid. hal 19-20. 174Bersifat Elastis dalam konteks ini memperhatikan berbagai segi kehidupan dan tidak memiliki dogma yang kaku, keras, dan memaksa. 175Shohibul Itmam, Transformasi Hukum Islam Menuju Hukum Positif Dalam Konteks KeIndonesiaan, (Artikel dalam Jurnal: Justitia Islamica, Vol. 7/ No. 1/ Jan-Juni 2010). hal. 39-40. 176MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 76.

66

Dalam pengertiannya mengenai hukum Islam di daerah Aceh, adalah segala peraturan yang bersifat hukum kekeluargaan yang berlaku atas anggota masyarakat asli, terkecuali beberapa kebiasaan dalam perkawinan yang tidak bersifat prinsipil. Selain itu rakyat Aceh adalah “Islam minded” dan dalam cara berpikir mereka pada umumnya tidak ada tempat bagi hukum terhadap persoalan sehari-hari yang tidak berasal dari hukum Islam. Ulama-ulama mengetahui bahwa sebenarnya bukanlah seluruh hukum yang berlaku atas rakyat adalah hukum Islam, akan tetapi masih juga ada soal-soal yang diputuskan menurut dasar hukum lain, menganggap bahwa berlakunya peraturan-peraturan yang tidak berdasar Islam, adalah suatu keadaan yang tidak sempurna yang seharusnya mengalami perubahan.177 Dalam penerapannya mengenai hukum, sejarah Aceh menyatakan bahwa diantara kepala adat dan kepala agama terdapat pertentangan paham. Ulama mempunyai kekuasaan kehakiman terbatas, mengenai hal perkawinan frail, yang berusaha dan bertujuan memperluas kekuasaan dan mempertahankan hak-hak yang diserahkan organisasi ketatanegaraan olehnya. Sedangkan adathoofden178 berusaha sebaliknya, yaitu dengan memperkecil hak hakim agama sedapat mungkin. Ini merupakan suatu persoalan kedapatan prinsip (dasar) pembagian kekuasaan diantara hakim agama dan hakim adat. Aliran Islam ini berada di segala kehidupan, menyerupai suatu faktor yang tidak dapat diabaikan, meskipun banyak yang tidak menyetujui golongan Islam yang dianggap fanatic, kolot, dan tidak selaras dengan keadaan. Dan golongan anti Islam ini, terdapat juga didalamnya mereka yang telah memperoleh didikan agama secara modern di luar negeri,179 dan mereka yang telah pernah menerima didikan Barat, mempunyai pandangan yang lebih luas dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sempurna.180

177Keadaan dalam menetapkan peranan hukum Islam di kehidupan sehari hari, disebabkan oleh tindakan sewenang-wenang dari uleebalang yang senantiasa berusaha agar masyarakat beralih dari sifat keIslaman dan menuju kepada adat, dengan maksud agar lebih sempurna dan dapat memerintah rakyatnya. 178Adat hoofd adalah Kepala adat. 179______, Tentang Soal Memulihkan Keamanan di Atjeh, (Artikel: WAKTU, No. 23, Tanggal 25 Juni 1955). 180MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 87-89.

67

Mengenai ideologi dasar sebuah negara Pancasila, Daud Beureueh dianggap anti Pancasila dan dirasa perlu keluar dari Republik Indonesia. Tetapi hal itu di sanggah ketika pada 15 Oktober 1945 Daud Beureueh bersama tiga orang ulama besar mengeluarkan pernyataan politik, yang dimaksudkan bahwa umat Islam mempertahankan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila wajib hukumnya dan gugur dalam perjuangannya dianggap mati syahid. Pernyataan ini ditanda tangani oleh empat orang ulama besar, yaitu Tengku haji Jakfa Siddik Lamjabat, Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Haji Muhammad Hasan Krungkale, dan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Para pengamat politik yang dengan seksama mengikuti perjalanan dan mengantar Daud Beureueh ke mimbar proklamasi Darul Islam di Aceh, mengatakan bahwa ada usaha-usaha yang sistematis dan berencana yang bertujuan mendorong sebagian rakyat Aceh berjuang dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya.181

C. Upaya Penyelesaian Akhir Pemberontakan DI/TII Aceh Kasus yang terjadi di Aceh dalam fase perubahan sistem pemerintahan, bukanlah suatu kemauan rakyat sejati, menjadi pimpinan dalam pemerintahan, melainkan seseorang ahli bicara (demagog). Siapa yang pandai bicara dan tidak mempunyai rasa tanggung jawab yang cukup, sangat mudah mempergunakan rakyat umum sebagai alat untuk memenuhi keinginannya, asalkan ahli bicara mengetahui pokok-pokok keinginan umum dan tidak melampaui batasan- batasannya. Dengan memperhatikan pokok keinginan rakyat umum dan dalam batas-batas pokok, keinginan umum dapat diatur siasat untuk mencapai tujuan. Hal nyata ini yang menjadi alasan bahwa kekuatan Daud Beureueh dalam pemberontakan berjuang menegakan syariat Islam adalah kekuatan lidah karena sebagian besar rakyat Aceh didalam gerakan DI/TII Aceh di rekrut, diajak, dan atas kemauannya sendiri melalui ajakan dakwah-dakwah dan pidato-pidato yang dilakukan oleh Daud Beureueh pada khotbah-khotbahnya. Inti dari situasinya adalah mengikuti kemauan rakyat, dipimpin oleh rakyat, bukan yang memimpin diluar kemauan rakyat, dan walaupun dapat bersiasat sehingga keinginannya sendiri dapat tercapai, tetapi yang utama adalah tentang keinginan rakyat.

181A. Hasjmy. Op. Cit., hal. 115.

68

Selanjutnya Aristoteles menyatakan bahwa pemerintahan yang tersebut pada hakikatnya adalah pemerintahan “massa” (gerombolan) yang mendiktekan keinginannya secara sewenang-wenang. Dan pemimpin dalam pemerintahan ini tidak dapat memandang luas. Pandangannya terbatas pada suasana daerah, tidak dapat meluas keluar daerah. Serta tidak dapat melihat turun naiknya pertumbuhan perjuangan nasional, tidak dapat melihat perubahan dalam pelaksanaan tugas, dan juga tidak dapat melihat perubahan dalam perkembangan politik.182

Pada hasil perjuangan dalam peristiwa berdarah ini dilalui oleh proses untuk mencapai suatu kesepakatan. Adapun langkah-langkah penyelesaian persoalan konfrontasi antara rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh dan pemerintah pusat, diawali dengan munculnya Dewan Revolusi yang diketuai oleh A. Gani Usman. Dengan adanya gencatan senjata, para pejuang dari masyarakat Aceh mulai kembali pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga, serta mengamati perkembangan kota-kota. Alasan perjuangan Daud Beureueh melakukan gencatan senjata adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin pemimpin pejuang menghindari Aceh dari kehancuran, akibat tekanan yang kuat dari pemerintah pusat dalam memberantas perjuangan rakyat Aceh yang dianggap pemerintah sebagai suatu pemberontakan. 2. Sebagian rakyat Aceh dalam kubu Daud Beureueh telah letih berjuang dan bosan hidup didalam hutan selama 6 tahun, rentang tahun 1953- 1959. Munculnya Dewan Revolusi menandai pecahnya kaum pemberontak yang terbagi menjadi dua kubu. Antara kubu Tgk. M. Daud Beureueh, Hasan Ali, Ilyas Leube, dengan Trio Hasan Saleh, Ayah Gani, dan Husin Almujahid. Kemelut politik yang terjadi antar keduanya puncaknya terjadi pada tanggal 15 Maret 1959, melalui seruan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Negara Bagian Aceh (NBA) Tentara Islam Indonesia Hasan Saleh, sebagai menteri urusan perang, telah mengambil alih pimpinan NBA sipil dan militer dari tangan wali negara Daud Beureueh. Dan dalam menggantikan kabinet dibentuk lah Dewan Revolusi

182MR. S. M. Amin, Op. Cit., hal. 115-116.

69

dibawah pimpinan A. Gani Usman. Beriringan dengan dibentuknya kubu tandingan oleh Hasan Saleh, kabinet Hasan Ali dibubarkan. Kemudian selanjutnya diserukan kepada rakyat umum supaya membantu Dewan Revolusi, dengan tujuan membawa rakyat Aceh ketempat yang mulia dan bahagia. Seruan itu ditandatangani oleh Tgk. Amir Husin Almujahid selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat NBA (Majelis Syura).183

Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar komnike No. 2 dari Dewan Revolusi yang dinamakan pernyataan Wali Negara NBA/ NII, dalam pernyataan itu dinyatakan bahwa “Dewan Pertimbangan diubah dengan sebutan Wali Negara.184 Pokok dalam pernyataan ini adalah bahwa Dewan Revolusi NBA/ NII akan meneruskan permusyawaratan dengan pemerintahan Republik Indonesia serta menjadikan musyawarah ini sebagai prinsip bukan taktik.185 Dengan keluarnya pernyataan-pernyataan dari kedua belah pihak, adalah bukti nyata bahwa di Aceh telah terdapat dua Negara Bagian Aceh NII. Yang pertama dibawah pimpinan Daud Beureueh dan yang kedua dibawah pimpinan Hasan Saleh. Selanjutnya musyawarah dilakukan antara Dewan Revolusi dengan Pemerintah RI. Pada tanggal 23 Mei 1959, utusan pemerintah RI melalui Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi atau yang lebih dikenal dengan Misi Hardi yang terdiri dari 29 anggota, antara lain, Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Mayor Gatot Subroto. Pada tanggal 24 Mei 1959 dilakukan pembicaraan-pembicaraan penting di segala bidang dengan KDMA dan Gubernur atau Kepala Daerah Aceh, sebagai persiapan permusyawaratan dengan Dewan Revolusi.

Pada tanggal 25 Mei 1959, musyawarah antara Misi Hardi dengan Dewan Revolusi yang terdiri dari 25 anggota, antara lain A. Gani Usman (Ayah Gani)

183El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 165-166. 184Dalam komunike No. 1 tidak ada Dewan Pertimbangan, dan yang ada Dewan Perwakilan Rakyat NBA (Majelis Syura). 185Pengertian “prinsip bukan taktik” disini adalah bermusyawarah memperbincangkan semua soal melalui diplomasi, dan bukan dalam artian menyerah. Dan dengan musyawarah bukan untuk mencari menang atau kalah, melainkan hasil musyawarah kelak bisa diterima disebagian masyarakat Aceh dan pihak pemerintah RI juga menerima sebagian cita-cita kedua belah pihak. Jadi inilah yang dinamakan perdamaian, adanya persatuan dan kembali bersatu sebagai hasil musyawarah bukan merupakan penyerahan atau menyerah, melainkan kewajiban masyarakat RI untuk melanjutkan cita-cita pada revolusi 17 Agustus 1945, yang sudah menjadi kewajiban suci umat Islam di Aceh dulu dan sampai saat ini.

70

sebagai ketua, Amir Husin Almujahid, Hasan Saleh, Husin Jusuf, T. M. Amin, T. A. Hasan, Ishak Amin, dan A. Gani Mutiara. Musyawarah yang berjalan lancar dan harmonis terlihat dari butir-butir hasil pemikiran. Adapun hasil pemikiran musyawarah antara Dewan Revolusi dan Misi Hardi adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia tanggal 26 Mei 1959 No. 1/Misi/1959 yang pokoknya menyatakan bahwa Daerah Swantantra Tingkat I Aceh dapat disebut “Daerah Istimewa Aceh” dengan catatan bahwa kepada daerah tersebut tetap berlaku ketentuan- ketentuan mengenai Daerah Swantantra Tingkat I seperti termuat dalam undang-undang No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah begitu pula lain-lain peraturan perundangan yang berlaku untuk Daerah Swantantra Tingkat I mengenai otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam keagamaan, peradatan, dan pendidikan.186 2. Segala aparat dari NBA/ NII (Militer/Polisi/Sipil) diterima ke dalam pasukan yang bernama pasukan Tgk. Tjhik di Tiro sebagai bagian dari Komando Daerah Militer Aceh/ Iskandar Muda Sesuai dengan pernyataan Misi Pemerintah Pusat yang bertanggal Kutaraja, 26 Mei 1959. 3. Pemerintah akan membantu sekuat tenaga dalam batas-batas kemampuan negara pembangunan semesta di Aceh, terutama dalam bidang-bidang yang langsung menyentuh kepentingan rakyat, jasmani dan rohani; sebagai langkah pertama untuk merealisir maksud pemerintah tersebut Misi Pemerintah Pusat telah membawa otorisasi sejumlah 88,4 juta rupiah. Dalam rangkaian tujuan-tujuan hasil dari pemikiran pada musyawarah dengan Pemerintah Pusat melalui Misi Hardi, maka Dewan Revolusi NBA/ NII telah:187

186Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959. Yang dibuat dalam menyelesaikan persoalan di Aceh, melalui musyawarah keputusan dari kedua belah pihak. Pernyataan yang diterangkan oleh Panglima KDMA. 187El Ibrahimy, Op. Cit., hal 168-169.

71

1. Menyatukan diri ke dalam Republik Indonesia untuk melanjutkan revolusi nasional 1945, dengan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencapai kebahagiaan, kamakmuran, dan ketinggian agama nusa dan bangsa. 2. Melebur organisasi NBA Sipil dan Militer ke dalam tubuh Pemerintah Republik Indonesia secara wajar.188 Selain dari dalam kubu yang sudah terpecah menjadi dua, pemulihan keamanan Aceh juga dilakukan secara terus-menerus oleh pihak pemerintah pada masa Kol. M. Jasin kepada pihak Daud Beureueh. Melalui Kol. Jasin yang datang ke Aceh sebagai panglima KODAM I/ Iskandar Muda menggantikan Panglima Sjamaun Gaharu, dimana Aceh dalam suasana bergolak. Tujuannya adalah menciptakan ketenangan yang dapat dipelihara dan seruan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi terhadap pihak pejuang dibawah pimpinan Daud Beureueh. Dalam mencapai tujuannya Kol. Jasin menyerukan kampanye pemulihan keamanan Aceh kesetiap daerah-daerah dan kecamatan-kecamatan di Aceh. Pada pidatonya tanggal 2 Maret 1962 Kol. Jasin mengatakan bahwa “ia dari pihak pemerintah pusat mengajak kepada masyarakat ramai-ramai untuk membantunya dalam penyelesaian keamanan di Aceh, yang terjadi sekitar 8 tahun yang membuat banyak masyarakat menderita. Bantuan dari masyarakat mengenai penyelesaian keamanan Aceh merupakan tanggung jawab dari semua pihak baik dari kalangan pemerintah pusat atau pun masyarakat di daerah Aceh. Dan kemudian gerakan kampanye menyerukan penyelesaian keamanan oleh Kol. Jasin di akhiri di Aceh Timur, Langsa, dan mengatakan bahwa seluruh daerah Aceh kembali menjadi daerah yang aman, dari Darulharb menjadi Darussalam.189

Selanjutnya penyelesaian keamanan dilakukan oleh Kol. Jasin dengan Daud Beureueh. Dimulai melaluit surat-menyurat antar keduanya pada tanggal 7 Maret 1961. Dalam surat itu Kol. Jasin menyampaikan bahwa beliau oleh atasannya telah diberi amanat bahwa pemerintah Republik Indonesia masih tetap mengharapkan kembalinya Daud Beureueh dengan cara yang baik demi

188Seperti tercantum dalam surat penyataan Dewan Revolusi, Gerakan Revolusioner Islam Aceh bertanggal 26 Mei 1959. 189Pidato Panglima Jasin dalam musyawarah kerukunann Rakyat Aceh pada bulan Desember 1962.

72

kebahagiaan rakyat dan daerah Aceh. Pada tanggal 4 Agustus 1961, respon dilakukan oleh Daud Beureueh melalui utusan pribadinya A. R Hasjim kepada Panglima Jasin untuk menyampaikan isi hatinya tentang apa cita-citanya kepada beliau. Dan pada tanggal 5 Agustus 1961, Kol. Jasin mengirimkan surat kembali, menyatakan keharuannya atas kesediaan Daud Beureueh mengirimkan utusan pribadinya, dan menjadikan sebuah isyarat bagi penyelesaian keseluruhan persoalan Aceh. Kemudian pada tanggal 2 November 1961 pertemuan antar Kol. Jasin dan Daud Beureueh terlaksana di Langkahan, Simpang Ulim daerah Aceh Timur.190

Pertemuan yang diliputi suasana ramah tamah dan persahabatan itu, Daud Beureueh menyampaikan keinginannya untuk melakukan pertemuan kepada pihak yang lebih tinggi dengan mengutus M. Hasballah Daud191 kepada Menteri Keamanan Nasional, Jendral Nasution di Jakarta. Dalam rangka usaha penyelesaian keamanan lahir dan batin di seluruh Aceh. Keinginan Daud Beureueh di setujui oleh Kol. Jasin dan bersedia membantu pelaksanaannya.192 Pada tanggal 21 November 1961, M. Hasballah Daud yang ditemani oleh Letkol. Nyak Adam Kamil, Kastaf KODAM I/ Iskandar Muda dan Kapten A. Manan, dari Staf I, diterima oleh Jendral Nasution yang didampingi oleh Letkol Barkah. Pada pertemuan antara kedua belah pihak ini menghasilkan pokok tujuan yang sama. Yaitu dengan menyambut Da‟wah Daud Beureueh itu Jendral Nasution, menyatakan bahwa apa yang terkandung dalam Da‟wah itu telah tercakup oleh Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Misi Hardi tahun 1959. Kepada daerah Aceh selain telah dibenarkan dalam penyebutannya menjadi Daerah Istimewa Aceh pun telah diberikan keistimewaan dalam tiga bidang yaitu agama, peradatan, dan pendidikan sebagai wadah. Jendral Nasution telah member kuasa penuh kepada peperda dan pemerintah daerah Aceh untuk mengatur

190El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 181. 191M Hasballah Daud, adalah Anak dari Tgk. M. Daud Beureueh. Didalam Tentara Islam Indonesia menjabat sebagai Kepala Staf. 192Dari surat Tgk. M. Daud Beureueh kepada Menteri Keamanan Nasional, Jendral Nasution yang dibawa oleh M. Hasballah Daud, berisi ketidakpuasan Daud Beureueh terhadap Panglima KODAM I/ Iskandar Muda, Kol. Jasin. Karena beranggapan bahwa Kol. Jasin tidak mempunyai wewenang yang cukup dalam memberikan suatu keputusan mengenai tuntutan yang diajukannya. Daud beureueh ingin mengemukakan langsung keinginannya itu kepada Menteri Keamanan Nasional dengan harapan keinginannya dapat terkabul.

73

pelaksanaannya. Dan menghimbau agar seluruh masyarakat Aceh dan alim ulama mengisi keputusan itu dengan membantu pelaksanaannya.193

Usaha pemulihan Aceh tidak selalu berjalan dengan lancar, terlihat ketika surat Daud Beureueh yang bertanggal 16 Desember dengan segala lampirannya yang disampaikan melalui M. Hasballah Daud dan Baihaqi A. K. kepada Menteri Keamanan Nasional di Jakarta. Terhambat saat Kol. Jasin melihat surat itu dengan segala lampirannya Kol. Jasin tidak mengizinkan mereka berangkat ke Jakarta untuk menyampaikan surat tersebut kepada Jendral Nasution. Dan ada surat tidak resmi bertanggal 16 Desember 1961, yang maksudnya menjelaskan kepada Jendral Nasution tentang hakikat dari pada Islam tidak saja berarti aqidah dan ibadah, akan tetapi mencakup apa yang dinamakan “nizham” yaitu pengaturan hidup dan kehidupan manusia sebagai jawaban atas surat Jendral Nasution tanggal 21 November 1961. Seiring dengan tidak diizinkannya pertemuan ke Jakarta, maka berakhirlah surat-menyurat antara Daud Beureueh dan Jendral Nasution. Selain dengan Kol. Jasin benturan juga terjadi dengan Hasan Ali. Hasan Ali sebagai Perdana Menteri Republik Islam Aceh berangkat keluar negeri untuk bertemu dengan Mr. S. M. Amin mantan Gubernur Sumatera Utara untuk melakukan pertemuan dalam persoalan pemulihan keamanan diseluruh Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya.194

Selanjutnya Hasan Ali menyetujui tuntutan Mr. S. M. Amin, dan isi teks baru yang telah disetujui adalah sebagai berikut:

A. Mengenai umum

193Mengenai keputusan Daerah Istimewa Aceh, Daud Beureueh tidak puas dengan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959 (Misi Hardi). Meskipun sudah dibenarkan daerah Aceh memakai nama “Daerah Istimewa Aceh” akan tetapi keistimewaan yang sebenarnya tidak ada. Keistimewaan Aceh yang dimaksud, keistimewaan yang bersumber dalam jiwa raga yang sangat “fanatic” pada agama Islam. Memobilisasi keadaan dalam masyarakat adalah terutama memelihara perasaan keagamaan ini, menghindarkan segala sesuatu yang sifatnya dapat menyinggung 194Pertemuan antara Hasan Ali dan Mr. S. M. Amin dilakukan di Malaya (Malaysia), sebelum keberangkatan Amin menuju Bangkok dan Hongkong. Adapun pokok-pokok persetujuan yang telah dicapai antara Hasan Ali dan Mr. S. M. Amin, mengenai Aceh adalah sebagai berikut: 1. Menyetujui hal-hal yang telah tercapai dalam persetujuan-persetujuan dengan Dewan Revolusi. 2. Mengembalikan Aceh ke dalam alam demokrasi dan mengadakan pemilihan umum untuk DPRD. DPRD ini kemudian memilih Gubernur. 3. Pemimpin-pemimpin yang memberontak tidak dipindahkan dari daerah Aceh.

74

1. Menyetujui pemulihan keamanan ditempuh secara integral melalui pusat organisasi masing-masing. Dalam hal ini Aceh mengambil inisiatif ke jurusan itu. 2. Mengadakan pemilihan umum secepat-cepatnya untuk Konstituante, Parlemen, Presiden, dan DPR-DPR Daerah atas dasar Undang-Undang Pemilihan Umum No. 7 tahun1953. 3. Golongan-golongan dan perorangan yang bertentangan dengan Pemerintah Republik Indonesia, baik yang mengangkat senjata maupun yang tidak, berhak kembali dalam kegiatan politik. 4. Mengadakan amnesti umum dan rehabilitasi tanpa pengecualian.

B. Mengenai Aceh khususnya 1. Mendukung sepenuhnya persesuaian tersebut dan memikul semua konsekuensinya. 2. Menyetujui berlaku sepenuhnya persetujuan-persetujuan yang telah tercapai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Revolusi Aceh. 3. Menyetujui penggantian kerugian rakyat umumnya sebagai akibat persengketaan bersenjata di Aceh. 4. Pemimpin-pemimpin yang mengadakan perlawanan bersenjata, tidak dipindahkan dari daerah dan kalau mereka menyukai, ditampung oleh Pemerintah kemana saja mereka sukai.195

Rasa kekecewaan terlihat ketika Hasan Ali tidak bijaksana. Terlihat dari pertemuan yang dilakukan diluar negeri, sangat memakan banyak waktu hampir sekitar empat bulan lamanya. Daud Beureueh merasa kesal dengan berlama- lamanya Hasan Ali di luar negeri sedangkan keadaan Aceh kian hari kian memilukan hati. Daud Beureueh menganggap hal ini sebagai bentuk kesengajaan untuk memperlama tinggalnya Hasan Ali di luar negeri sedangkan usaha-usaha menghancurkan Republik Islam Aceh dari dalam terus dijalankan dengan segiat- giatnya. Pertemuan berikutnya dihadiri oleh Tritunggal, yaitu Panglima,

195El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 191-192.

75

Gubernur, dan Kepala Polisi “Daerah Istimewa Aceh, Kepala Staf KODAM I/ Iskandar Muda, Kepala Kehakiman, Kepala Kejaksaan, dan Kepala Mahkamah Syariah. Pokok laporan Daud Beureueh dan stafnya serta pasukan Ilyas Leube akan bersedia ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan syarat bahwa Daerah Istimewa Aceh dilaksanakan unsur-unsur Syari‟at Islam dalam batas-batas yang dimungkinkan perundang-undangan negara. Kemudian setelah mendengar keinginan Daud Beuereueh, Kol. Jasin mengatakan bahwa akan mempertaruhkan jabatannya untuk menyetujui keinginan Daud Beuereueh, dengan mengeluarkan suatu keputusan PEPERDA.

Dan pada tanggal 21 Mei 1962, di Banda Aceh di adakanlah kenduri besar sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan dan sebagai manifestasi kegembiraan atas pulihnya keamanan di seluruh Aceh dan terciptanya perdamaian yang sudah sekian lama dinanti-nantikan baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat. Tercapainya persetujuan mengenai penyelesaian keamanan yang terakhir antara Kol. Jasin dan Daud Beureueh, tidak hanya menimbulkan kelegaan dan kegembiraan di kalangan rakyat, akan tetapi juga berdampak di kalangan staf Daud Beureueh, seperti juga dikalangan staf KODAM I/ Iskandar Muda. Dengan pulihnya keamanan secara menyeluruh, seluruh kekuatan, baik pemerintah maupun rakyat dapat dikerahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah Aceh yang memiliki banyak potensi ekonomi yang sangat bermanfaat, baik untuk kemajuan daerah Aceh, atau pun untuk kemajuan negara.196

Pertentangan diantara kaum republik Daud Beureueh melalui DI/TII dengan pemerintah pusat telah menimbulkan ketegangan antara rakyat yang memperjuangkan DI/TII Aceh dengan Jakarta. Ini membuat usaha damai yang hendak dicapai dan dilaksanakan dengan cara keras berupa tekanan oleh TNI di satu pihak di samping pemberian amnesti dan abolisi197 kepada anggota DI/TII di pihak lainnya. Dengan menggunakan kedua cara ini, secara tidak langsung telah mendorong beberapa tokoh DI/TII Aceh, termasuk Hasal Ali selaku Perdana

196El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 216. 197Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Sedangkan abolisi adalah peniadaan peristiwa pidana, dengan cara menghapuskan, membatalkan atau mengakhiri.

76

Menteri DI/TII Aceh. Mereka mengubah pendapat bahwa tidak ada manfaatnya lagi untuk melanjutkan permusuhan dengan Jakarta, sebaliknya sudah tiba masanya untuk meletakkan senjata dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.198 Hal ini membuktikan bahwa teori mengenai konflik menurut MR. S. M. Amin adalah benar, tentang perubahan sifat pada koflik yang terjadi antara rakyat Aceh dan pemerintah dari awalnya bersifat revolusioner menjadi evolutioner.

Dari pemaparan di atas, jelas sikap Daud Beureueh menentang atau tidak pro feodal. Pada masa perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh, Mr. S. M. Amin menerangkan bahwa terjadi revolusi nasional dan revolusi sosial. Revolusi sosial adalah revolusi terhadap pengkhianat Cumbok. Peristiwa Cumbok199 atau perang saudara adalah konflik antara uleebalang yang bekerjasama mengatur sistem pemerintahan bersama Belanda, dengan ulama yang mempunyai prinsip anti penjajahan. Sedangkan revolusi nasional adalah revolusi untuk menanamkan nilai-nilai keIslaman yang terdapat pada ideologi di seluruh Indonesia khususnya Aceh sebagai usaha mewujudkan cita-cita keinginan bersama.200

Jika dikaji lebih mendalam mengenai konflik yang terjadi, peristiwa berdarah ini merupakan akibat dari konflik vertikal. Konflik itu sendiri adalah pertentangan yang mempunyai hubungan erat dengan proses integrasi. Hubungan ini disebabkan karena proses integrasi adalah sekaligus suatu proses disorganisasi dan disintegrasi. Makin tinggi konflik atau pertentangan intra-kelompok, makin besar gaya sentripentalnya. Artinya saling mempengaruhi satu sama lain, makin besar permusuhan terhadap kelompok luar, makin besar integrasi. Konflik tidak selalu mengandung makna yang disfungsional. Konflik justru dapat menjadi

198Makna kata Ibu Pertiwi adalah sama dengan tanah air, yang berarti Republik Indonesia. 199Berbeda pendapat dengan Mr. S. M. Amin, menurut M. Nur El Ibrahimy revolusi terhadap uleebalang di Aceh dibagi dalam dua tahap. Revolusi tahap pertama yang dilancarkan terhadap uleebalang yang termasuk dalam golongan Cumbok yang oleh pemerintah T. Nyak Arif sampai Panglima Polem Mohd. Ali dianggap pengkhianat dan musuh Negara Republik Indonesia. Dan revolusi tahap kedua yang dilancarkan oleh Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) dibawah pimpinan Tgk. Husin Almujahid pada bulan Maret 1946 terhadap uleebalang yang tidak termasuk golongan Cumbok, sebagai upaya untuk menggantikan sistem pemerintahan feodal dengan sistem pemerintahan yang demokratis adalah revolusi sosial. Dan dikatakan juga revolusi tahap kedua adalah tanggung jawab Daud Beureueh terkait dengan pergerakan organisasinya PUSA. Dan pada akhir pergerakan revolusi tahap kedua, Almujahid lepas dari segala ekses yang terjadi selama gerakan TPR, merupakan salah seorang tokoh yang berjasa meruntuhkan sistem feodal yang telah berurat berakar berabad-abad dalam masyarakat Aceh. 200El Ibrahimy, Op.Cit., hal. 114.

77

sesuatu yang fungsional. Selain itu konflik juga dapat berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial dalam meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertikai.201 Dalam peristiwa berdarah ini tidak berjalan dengan tenang dan damai, melainkan dengan jalan kekerasan dan konflik antara Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia Aceh dibawah pimpinan Daud Beuereueh, dengan pemerintah pusat. Keamanan di Aceh yang belum terkendali, membuat pemerintah mengirimkan bantuan militer terhadap pamong praja untuk mematahkan perjuangan atau pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureueh. Sikap Daud Beureueh dianggap tidak mau mengindahkan pertimbangan politis, yang selaras pada pendirian pemerintah pusat yaitu mengenai dasar negara.202

Dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi antara Darul Islam dan pemerintah pusat, ini merupakan jenis konflik yang bersifat destruktif. Yakni konflik yang dipicu oleh rasa kebencian, kekecewaan yang tumbuh dan tertanam didalam diri mereka masing-masing. Dari kaca mata politik, konflik destruktif ini tumbuh karena fanatisme para pendukung di suatu kelompok, grup, ataupun organisasi. Erat kaitannya dengan kajian ini tentang fanatisme masyarakat Aceh yang mendukung cita-cita dan keinginan bersama yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Akibatnya dari konflik destruktif berupa benturan-benturan fisik yang membawa kerugian jiwa atau harta. Banyak korban yang berjatuhan pada peristiwa berdarah ini. Ada tiga cara untuk mencegah terjadinya konflik:

1. Menggunakan asas “tepo seliro” apabila tidak mau disakiti orang lain jangan pula menyakiti orang lain. 2. Bersikap demokratis, menghargai pluralisme pendapat, paham, dan suku yang beragama dalam masyarakat. 3. Mempunyai sikap toleransi terhadap agama yang berbeda tanpa kita harus keluar dari akidah agama kita masing-masing.

201Ulfah Fajarini, Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan, Artikel surat kabar/ majalah: Al-Turas, Vol. 11, No. 3, September 2006. 202______, Tentang Soal Memulihkan Keamanan di Aceh, artikel surat kabar/ majalah: WAKTU, No.23, tahun 1955.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beuereuh dan ulama-ulama lainnya bergerak dan berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Aceh awal perjuangan kemerdekaan Indonesia secara de facto merupakan bagian dari provinsi Sumatera dengan kebijakan undang-undang sementara tahun 1945 yang membagi wilayah Indonesia dalam 10 provinsi. Perjuangan Daud Beureueh menegakan syariat Islam di Aceh terjadi pada masa Era Orde Lama. Pertentangan politik dengan pemeritah pusat terjadi setelah Aceh digabungkan kembali menjadi bagian atau „residen‟ Sumatra Utara setelah sebelumnya menjadi provinsi yang terpisah dengan provinsi Sumatra Utara. Tidak hanya itu alasan pada 21 September 1953 di Aceh meletus suatu peristiwa berdarah yang merupakan tragedi bagi rakyat Tanah Rencong adalah karena rakyat Aceh merasa sangat kecewa, geram, marah, akibat dari janji-janji pemerintah disaat rakyat Aceh bersatu padu mengeluarkan semangat gelora mempertahankan kedaulatan NKRI dengan seluruh jiwa raga dan harta bendanya sebagai bukti kesetiaannya pada Republik Indonesia. Selain persoalan ideologi keagamaan pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia DI/TII Aceh adalah bentuk perlawanan terhadap pengaruh pemerintahan pusat yang kian merasuk. Dimana isu-isu palsu yang disebarkan pemerintah mengenai pengadaan senjata gelap oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh tidak benar adanya. Hal itu yang menjadi puncak kemarahan dan rakyat Aceh dibawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh menagambil sikap melawan. Pada masanya perjuangan Daud Beureueh memiliki rentan waktu yang lama. Mulai dari masa kolonial Belanda, masa kedudukan Jepang, masa pra dan pasca kemerdekaan, dan masa revolusi. Pembentukan Negara Islam yang merupakan cita-cita impian Daud Beureueh terilhami dari perjuangan DI/ TII pimpinan Imam Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Dan juga menjalin

78

79

kerjasama dengan PRRI/PERMESTA dalam mencapai tujuan bersama untuk menghancurkan regime Soekarno dan mendirikan Negara Islam Indonesia Pada tahapan kesadaran sosial tersebut, perkembangan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga zaman: zaman mitos, zaman ideologi, dan zaman pengetahuan atau ilmu. Dalam kaitannya dengan Aceh, perjuangan menegakan syariat Islam muncul ketika zaman ideologi. Pada perjuangan yang dipimpin Daud Beureueh ini, penulis membagi menjadi dua motif dilakukannya pemberontakan yaitu Islam dan Politik. Dan konflik yang terjadi ini menimbulkan pertentangan antara masyarakat Aceh dengan pemerintah, prasangka sebab dugaan merupakan sikap bermusuhan yang terjadi antar kelompok yang satuterhadap kelompok lainnya yang didasari pada ciri yang tidak menyenangkan. Pada perjuangannya ini, yang terjadi di Era Orde Lama, menurut teori Banton mengenai prasangka, ini merupakan teori frustasi-agresi (frustration-aggression theory). Selanjutnya analisa penulis terkait langkah-langkah Daud Beureueh dalam mewujudkan apa yang di cita-citakannya adalah terinspirasi dari perjuangan dakwah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW, yaitu melalui tahap pembinaan dan pengkaderan, tahap interaksi dan perjuangan, dan tahap penerimaan kekuasaan dalam membentuk DI/TII Aceh. Walaupun pada kenyataannya pemberontakan tidak terjadi begitu saja melainkan melalui 3 tahapan yaitu tahap sabar, tahap benci (djidjik), dan tahap melawan. Sedangkan menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam wawancaranya pada harian KOMPAS, Rabu 10 Desember 2014, Pukul 18:01 WIB. di Jakarta, terkait motif yang terjadi pada konflik di Aceh, mengatakan bahwa “pemberontakan DI/ TII bukan terjadi karena adanya konflik antar agama. Untuk kasus Aceh, ia menilai hal itu terjadi karena hak-hak ekonomi warga tidak terpenuhi. Masalah Aceh itu bukan masalah syariah. Orang berfikir Aceh mau menjalankan syariah Islam, tidak. Siapa bilang kita membicarakan Islam? Kita berbicara kenapa ekonomi Aceh rendah padahal alamnya kaya”. Dalam kacamata penulis konflik yang terjadi antara Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) dengan pemerintah adalah konflik politik, yang memperebutkan pengaruh dimasyarakat dalam mencapai tujuannya masing- masing. Perebutan kekuasaan yang berdasar pada ideologi yang berbeda satu

80

sama lain itu memunculkan berbagai aspek sumber kekuasaan. Sumber kekuasaan berupa kekayaan, dan kepercayaan atau agama. Adapun langkah-langkah penyelesaian persoalan konfrontasi politik antara rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh dan pemerintah pusat, diawali dengan munculnya Dewan Revolusi yang diketuai oleh A. Gani Usman dan dengan dilakukannya gencatan senjata. Dan upaya penyelesaian akhir melalui musyawarah antar kedua belah pihak yang bertikai.

B. Saran-saran Pertama, Dari pemaparan penulis kita bisa melihat bagaimana perjuangan revolusioner seorang tokoh ulama di Aceh dalam memperjuangkan dan mewujudkan cita-cita yang menjadi keinginan terpendam umat Islam demi kemajuan bangsa dan agama. Hal ini diharapkan memberikan kita pelajaran yang sangat berarti sebagai umat Islam, terkait perjuangan bahwa kita sedang mengemban tugas berat dan sedang berjuang mempertahankan identitas keIslaman kita melalui syariat-syariat dan hukum Islam yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ini bukan suatu hal yang mudah, terlebih lagi dengan perkembangan zaman yang maju dan modern serta merasuknya pengaruh dari luar Islam, harus kita lihat sebagai sebuah tantangan zaman. Dan sikap perjuangan Daud Beureueh patut kita contoh dalam menjadikan kita sebagai umat Islam yang kuat, teguh, percaya, dan antusias dalam mengkaji lebih dalam mengenai ilmu yang berlandaskan Islam.

Kedua, Sebagai umat Islam harus menguatkan keimanan kita. Dilihat dari apa yang diperjuangkan, kita juga harus percaya bahwa Islam telah memberikan solusi bagi masalah dikehidupan kita, baik melalui syariat-syariat dan hukumnya. Dengan peraturan-peraturan dan ketentuan yang berdasar pada Islam, diharapkan menjadikan kita sebagai umat Islam yang teguh beriman, cinta damai, serta saling menjaga dan menghormati antar sesame umat beragama lainnya. Dan tidak terpengaruh peraturan atau pun ketentuan di luar nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.

81

Ketiga, Kajian ini ditunjukan kepada para pemimpin, tokoh masyarakat, dan orang-orang berpengaruh lainnya, dengan melihat sosok Daud Beureueh diharapkan bisa lebih menambah rasa antusias, dan memotivasi diri dalam menyebarkan dan melaksanakan nilai-nilai keIslaman di masyarakat. Serta menjadi sosok yang kharismatik seperti yang ditujukan oleh Daud Beureueh, yang mencerahkan hati dan pikiran umat Islam terkait peranannya. Semoga para pemimpin dan orang-orang berpengaruh saat ini menyadari bahwa peran mereka sangat penting dalam menanamkan dasar-dasar Islam di kehidupan masyarakat. Dan kita sebagai umat Islam patut menjaga dan mempertahankan hal tersebut.

Keempat, sebagai sebuah pelajaran yang berharga saat pengkuburan sejarah terjadi pada peristiwa berdarah atau yang lebih dikenal dengan pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh dengan mengesampingkan alasan kenapa bisa terjadi pemberontakan. Merupakan sesuatu yang sangat memilukan apabila kita mengetahui hal ini. Serta membongkar tipu daya pemerintah saat itu yang rela melakukan apa saja demi mewujudkan keinginannya tanpa memikirkan perjuangan, pengorbanan, gelora semangat kemerdekaan, yang berjuang dengan seluruh jiwa raga, dan harta berharga demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Primer

Artikel, Majalah/Surat Kabar

Pembantu-Chas “Waktu” di Djakarta. “Kabinet dan Atjeh.” Waktu No.44.

“Tentang Soal Memulihkan Keamanan di Atjeh.” Tahun 1955.

Buku

Jakobi, A. K.1992. Aceh Daerah Modal, Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001.

El Ibrahimy, M. Nur. 1982. Tgk. M. Daud Beureueh Perananya dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung.

Hasjmy, A. 1997. Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Amin, MR. S. M. 2014. Memahami Sejarah Konflik Aceh, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sumber Sekunder

Artikel, Majalah/Surat Kabar

Abdullah, Taufik.“Karena Keterkaitan Ideologis.” Panji Masyarakat No.419.

Jurnal

Danial, Analisis, Jurnal Studi KeIslaman, Volume XII, Nomor 1, Juni 2012. “Syariat Islam dan Pluralitas Sosial; Studi Tentang Minoritas Non- Muslim dalam Qanun Syariat Islam di Aceh”, Lampung: IAIN Raden Intan Lampung.

Ahwan Fanani, Justitia Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2010. “Otoritas Dalam Hukum Islam: Antara Transformasi

82

83

Ahwan Fanani, Justitia Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2010. “Otoritas Dalam Hukum Islam: Antara Transformasi dan Krisis Dalam Sistem Negara Modern”, Ponorogo: Jurusan Syari‟ah STAIN Ponorogo.

Shohibul Itmam, Justitia Islamica, Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2010. “Transformasi Hukum Islam Menuju Hukum Positif Dalam Konteks KeIndonesiaan”, Ponorogo: Jurusan Syari‟ah STAIN Ponorogo.

Ensiklopedia

Nasution, Harun, dkk., 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Glasse, Cyril. 1999. Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Abdullah, Taufik. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Buku

Ibrahim, Muhammad. 1978. Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Depdikbud.

Talsya, T. A. 1990. Modal Perjuangan Kemerdekaa: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh, Banda Aceh: Lembaga Sejarah Aceh.

Sani Usman, Abdullah. 2010. Krisis Legimitasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan Di Aceh, Jakarta: Kementrian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Lektur Keagamaan.

Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

84

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hasjmy, A. 1985. Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan & Perjuangan, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Madjid, M. Dien. 2014. Catatan Pinggir Sejarah Aceh Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hasjmy, A. 1978. Bunga Rampai Revolusi Dari Tanah Aceh, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Sjamsuddin, Nazaruddin. 1990. Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Abdullah,Taufik, Siddique, Sharon. 1988. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.

Adan, Hasanuddin Yusuf. 2003. Tamaddun & Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh, Yogyakarta: Prismasophie Press.

M. Lapidus, Ira. 1999. Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press.

Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Gottschalk, Louis. 2006. Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press.

Tuwu, Alimuddin. 1993. Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press.

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos.

85

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia.

Emalia, Imas. 2006. Historiografi Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Website http://www.jakarta.go.id http://melayuonline.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id http://kbbi.web.id http://m.kompasiana.com http://news.okezone.com http://soalaceh.tumblr.com

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I

Tokoh Teungku Muhammad Daud Beureueh

86

87

Lampiran II

Gambaran Keadaan Aceh Awal Perkembangan Islam

88

Lampiran III

Wilayah Uleebalang Aceh Pada Tahun 1930-an

89

Lampiran IV

90

Lampiran V

Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo Dalam Rapat Dewan Pertahanan Daerah yang berlangsung tanggal 20 Maret 1949, membicarakan masalah surat undangan Wali Negara Sumatera Timur Dr. Tengku Mansur

91

Lampiran VI

Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo

92

Lampiran VII

Surat selebaran pada Peristiwa Berdarah di Aceh

93

Lampiran VIII

KEPUTUSAN PERDANA MENTERI REPUBLIK INDONESIA No. 1/Missi/1959

PERDANA MENTERI REPUBLIK INDONESIA

Berkehendak :mengambil langkah kebidjaksanaan untuk lebih mendjamin penjempurnaan dan pembangunan dalam daerah swatantra tingkat ke I Atjeh;

Menimbang :bahwa untuk maksud tersebut dipandang perlu membenarkan sebutan “Daerah Istimewa Atjeh” kepada Daerah Swatantra Tingkat ke I Atjeh sebagai stimulans untuk mengadjukan otonomi seluasnja, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 1/1957 tentang pokok- pokok Pemerintahan Daerah;

Memperhatikan :pertimbangan Komandan Komando Daerah Militer Atjeh dan Gubernur/ Kepala Daerah Swatantra Tingkat ke I Atjeh;

Mengingat :kuasa jang telah diberikan oleh Dewan Menteri dalam sidangnja ke-159 pada tanggal 31 Djanuari 1959;

Keputusan Perdana Menteri R.I. No. 196/P.M/1959 tanggal 19 Mei 1959;

MEMUTUSKAN:

Pasal I Daerah Swatantra Tk. Ke I Atjeh dapat disebut “Daerah Istimewa Atjeh” dengan djatatan, bahwa kepada daerah itu tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai daerah swatantra Tk. Ke I seperti termuat dalam Undang-

94

Undang No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, begitu pula lain-lain peraturan perundangan jang berlaku untuk Daerah Swatantra tingkat ke I mengenai otonomi jang seluas-luasnja, terutama dalam lapangan keagamaan, peradatan, dan pendidikan;

Pasal II Keputusan ini mulai berlaku tanggal 26 Mei 1959 sampai ada ketentuan lain;

Pasal III Memberikan instruksi kepada segenap Kementerian, Djawatan dan Dinas jang bersangkutan, agar memberikan bantuan seperlunja kepada Daerah swatantra tingkat ke I Atjeh (Daerah Istimewa Atjeh) dalam pertumbuhan otonomi jang seluasnja.

Wk. Perdana Menteri I/Ketua

Missi Pemerintah ke Atjeh

dto.

= Mr. Hardi =

Turunan dikirimkan kepada:

1. Semua Menteri,

2. K.D.M.A.,

3. Gubernur/ Kepala Daerah Swatantra tk. Ke I Atjeh (Daerah Istimewa Atjeh),

4. Dan lain-lain instansi jang bersangkutan.

95

Lampiran IX

96

Lampiran X

97

Lampiran XI