PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Siti Nurlaela NIM: 1110045200009
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
PERSEMBAHAN
Dengan segenap hati, penulis persembahkan skripsi yang sederhana ini sebagai wujud terima kasih yang tak terhingga untuk Ayah dan Ibu penulis tercinta.
Doa Ibu khususnya, senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Untuk mendiang Ayah, semoga para malaikat Tuhan sampaikan akan kabar bahagia ini.
ABSTRAK
Siti Nurlaela. NIM 1110045200009. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1437H / 2016 M.Ix + 83 halaman + 13 halaman lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ideal hubungan agama dan negara menurut Ahmad Syafii Maarif, posisi hubungan agama dan negara serta aplikasi hubungan agama dan negara di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Dimana data dikumpulkan dari buku-buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan wawancara sebagai penelitian. Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan agama dan negara. Menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan agama dan negara. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diperoleh suatu kesimpulan Pandangan Ahmad Syafii Maarif, dalam kaitannya dengan hubungan agama dan negara, lebih mengutamakan aspek‐aspek substantif dan mengenyampingkan aspek legal‐formal. Pandangan seperti ini karena dipengaruhi oleh corak pemikiran neo‐modernisme yang lebih mengutamakan aplikasi dari ideal moral al‐Quran dari pada ketentuan legal spesifiknya. Karena itu, dalam hal ini ia berpendapat sebagai berikut: ia sangat tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah Din (Agama) dan Daulah (Negara). Menurutnya tidak harus negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam menjadi satu landasan bagaimana kita berbangsa dan bernegara.
Kata kunci :Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara Pembimbing :Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1963 s.d Tahun 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun secara kelembagaan.
Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)
dan kepada Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah) yang telah membantu penulis secara tidak langsung
dalam menyiapkan skripsi ini.
3. Bapak, Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA, Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktu, memberikan inspirasi, saran, kritikan, serta arahan
kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
ii
4. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Pembimbing Akademik yang juga senantiasa
mengingatkan penulis semasa mengikuti perkuliahan hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Nur Habibi, Dosen yang telah membantu penulis saat kesusahan
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.
7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian
literatur yang diperlukan.
8. Kepada Lembaga Maarif Institute, terutama Buya Ahmad Syafii Maarif,
M. Abdullah Darraz, yang sudah bersedia untuk penulis wawancarai,
terima kasih atas bantuan data-data yang telah diberikan sehingga dapat
mempermudah penulis dalam penyusunan skripsi ini.
9. Untuk Ayahanda H. Tamrin (Almarhum) dan Ibunda Hj. Richanah, terima
kasih atas kasih sayang, motivasi dan dukungan yang mereka berikan baik
moril maupun materil, sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan
yang layak untuk masa depan. Semoga Allah SWT. Selalu melindungi dan
memberikan kasih sayang kepada mereka, sebagaimana mereka
mencurahkan semua itu kepada penulis.
iii
10. Kepada adik-adikku Siti Nur Hikmah dan Muhammad Ade yang selalu
memberikan semangat, dan doa kepada penulis.
11. Kepada sahabat-sahabat terbaikku, Ayu Safitri, S.Sy, Royatul Maryam,
Roziqul Mubtadiah, S.Sy, Halimatussa’diah, S.Sy, Luluk Husnawati,
S.Sy, Siti Balqis, yang selalu mengingatkan, selalu sabar mendengarkan
keluhan dan memberikan motivasi kepada penulis.
12. Kepada sahabat seperjuangan SS Angkatan 2010, Ihda Roudhotul
Ihsaniah, Vicky Imelsya Fauzi, S.Sy, Ika Dian Humairoh, S.Sy, Ade
Hikmatul Fauziah, S.Sy, Sholiah, S.Sy, Eli Rinawati, S.Sy, Siti
Nurhilaliyah, S.Sy, Anita Listiani, S.Sy, Rifanny Fathia S.Sy, Rizki
Alvian, S.Sy, M. Hafiz, S.Sy, Arifin Shaleh, S.Sy, Rifai Arif, S.Sy, Daud,
S.Sy, M. Rois, S.Sy, Marzuki, S.Sy, Saefudin, S.Sy, Muhammad Ibnu
Taslim, S.Sy, terima kasih atas kebaikan kalian, yang selalu memberikan
semangat, motivasi, dan doanya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
13. Kepada sahabat-sahabat KKN Mentari dan sahabat-sahabat IMT (Ikatan
Mahasiswa Tegal) yang selalu memberikan motivasi, arahan, selama
penulis menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh
iv karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta, 21 Juni 2016
Siti Nurlaela
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...... i
KATA PENGANTAR ...... ii
DAFTAR ISI ...... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7
D. Tinjauan Pustaka ...... 8
E. Metode Penelitian ...... 10
F. Sistematika Penulisan ...... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AGAMA DAN NEGARA
A. Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara ...... 14
B. Kontroversi Hubungan Agama dan Negara ...... 27
C. Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Negara Muslim ... 32
BAB III BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF
A. Latar Belakang Sosial Kehidupannya ...... 38
B. Pendidikan dan Karirnya ...... 45
C. Buah Karyanya ...... 58
vi
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A. Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara ...... 62
B. Posisi Agama dan Negara ...... 67
C. Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara
Di Indonesia ...... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...... 81
B. Saran ...... 82
DAFTAR PUSTAKA ...... 83
LAMPIRAN ...... 88
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman modern, perdebatan tentang agama dan negara terus menjadi
wacana yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah negara
menunjukkan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan negara.1
Para pemikir faham modernis, marxisme, dan sekularisme mengatakan
bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling
berlawanan dan bertentangan. Mereka menganggap agama sebagai lawan dari
politik, dan sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa bertemu. Sebab
sumber, ciri, dan tujuan keduanya berbeda. Agama berasal dari Allah sementara
politik berasal dari manusia. Agama bersifat sakral, suci dan lurus sementara
politik bersifat kotor dan kejam. Agama bertujuan untuk akhirat sementara politik
untuk kepentingan di dunia. Karena itu, agama harus diserahkan kepada ahli
agama, begitu juga dengan politik yang harus diserahkan kepada politikus.2
Agama dan politik merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan
manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya juga telah menjadi bahan
pemikiran para ilmuwan, filsuf maupun teolog sepanjang sejarah. Salah satu
1Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 76.
2Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, (Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme), (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008), h. 63-64.
1
2
karakteristik Islam sebagai agama pada awal-awal perkembangannya adalah
kejayaan di bidang politik. Islam tidak hanya menampilkan dirinya sebagai
perhimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan yang
sama, melainkan juga sebagai masyarakat yang total.3
Agama dan negara adalah dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya.
Agama adalah kabar gembira dan peringatan, sedangkan negara adalah kekuatan
pemaksa (coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama. Sedangkan
negara punya birokrasi, pengadilan, dan tentara. Agama dapat mempengaruhi
jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, negara mempengaruhi sejarah
dengan keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam
dan negara adalah kekuatan dari luar.4
Menurut paradigma sembiotik, hubungan agama dan negara berada pada
posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (sembiosis mutualita).
Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga
memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga
negaranya.
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas
antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda
3Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 24.
4Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), cet.II, h. 191-192.
3
dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara
adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-
masing warga negara.5
Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan
yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul
Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan
mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak
canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.
Setelah Perang Dunia II, masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya
masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung antara Islam dan
negara atau politik pada umumnya.6
Hal demikian disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam
menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian
dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafii Maarif (1935 M), Harun Nasution
(1919-1998 M), seorang ahli teologi Islam, pernah mengatakan, bahwa persoalan
5A, Ubaedilah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 96-97.
6Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet.I, h. 1.
4
yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan
umat Islam adalah terkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.7
Menurut Deliar Noer (1926-2008 M), Islam setidaknya meliputi dua aspek
pokok yaitu agama dan masyarakat (politik).8 Akan tetapi untuk
mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu
problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik
Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk
memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah
menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.9
Agama telah menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosialnya, selain itu agama juga diyakini tidak hanya
berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang
harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial dan dalam ranah ketatanegaraan,
sehingga muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan
bernegara.10
Sejalan dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama Islam ke
seluruh penjuru dunia, telah terjadi kontak sosial dan budaya dan akan
7Ahmad Syafii Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), cet.I, h. 9.
8Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h.1.
9Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES1, 1996), cet.I, h. 15.
10Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar Umat, (Jakarta : Buku Kompas, 2002), h. 34-35.
5
mempengaruhi ajaran Islam itu sendiri. Budaya masyarakat dari waktu ke waktu
akan mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan sebuah
ajaran, paham yang berasal dan diciptakan oleh sekelompok masyarakat atau
perorangan akan hidup dan tumbuh pada waktu yang bersamaan selagi tokoh atau
orang yang menciptakan ajaran itu masih hidup, dan hanya sesuai pada waktu
zaman itu juga.
Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, ketika Islam diaplikasikan dalam
konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah,
terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar
bangsa Indonesia.11
Indonesia bukan negara agama, bukan pula agama yang mengakui adanya
salah satu agama resmi, dan tentu saja bukan negara sekuler. Indonesia adalah
negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya
diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif
yang harus lebih dominan diantara agama-agama lainnya, sekalipun diantaranya
ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warganya.
11Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009), cet.I, h. 15.
6
Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan
dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan
oleh kaum Muslim.12
Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam
bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu
saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya
yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad
Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak
pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.
Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada
masa ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas
Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus
Maududi dan menjadikannya rujukan primer.
Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola
pemikirannya tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua
dalam pemikiran. Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-
Qur’an adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang
jelas sebagai acuan dalam berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur
12Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, h. 20.
7
Rahman selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara
mendasar.13
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis tentang
“Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis hanya membatasi
penulisan ini mengenai Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan
Agama dan Negara. Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan yang akan menjadi objek penelitan, penulis merumuskannya
sebagai berikut :
1. Bagaimana Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara menurut Ahmad
Syafii Maarif?
2. Bagaimana Posisi Agama dan Negara menurut Ahmad Syafii Maarif?
3. Bagaimana Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia menurut Ahmad Syafii Maarif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan sebuah proposal merupakan suatu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang mahasiswa sebelum mengajukan skripsi, dalam hal ini
13Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 224.
8
penulis menguraikan tujuannya adalah untuk memberikan gambaran-gambaran
yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara menurut
Ahmad Syafii Maarif.
2. Untuk mengetahui Posisi Agama dan Negara menurut Ahmad Syafii Maarif.
3. Untuk mengetahui Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara
di Indonesia menurut Ahmad Syafii Maarif.
Diharapkan dari hasil penelitian ini berguna:
1. Memperkaya khazanah intelektual Islam dalam bidang politik
2. Memberikan konstribusi bagi para negarawan atau politisi dalam rangka
menata atau memformulasi paradigma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah dokumen-dokumen
tertulis yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.
Langkah ini dimaksud agar dalam proses penulisannya dilakukan kepada
kepustakaan yang sudah ada sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya
melengkapi penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan judul ini adalah sebagai berikut:
Karya Ahmad Rafiq dalam skripsi “Hubungan Islam dan Negara di
Indonesia (Dalam Prespektif Muhammad Amien Rais)”, karya ini adalah karya
9
mahasiswa Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih fokus kepada pemikiran Amien Rais memiliki pemikiran simbiotik tentang hubungan agama (Islam) dan negara, yaitu adanya hubungan timbal balik antara hubungan agama dan negara.
Karya Empan Supandi dalam skripsi “Islam dan Politik: Kajian tentang
Pemikiran Politik Al-Gazali”, karya ini adalah karya mahasiswa Jurusan
Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih terfokus pada pemikiran al-Gazali yang berpendapat bahwa pemimpin atau kepala negara dalam masyarakat adalah keharusan agama untuk menciptakan keteraturan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, oleh karena itu al-Gazali memandang politik Islam bukan sekedar masalah teknis dengan perhitungan kekuasaan saja, akan tetapi ia menekankan perhatiannya pada hal yang paling mendasar, yakni landasan moral dengan segala aspeknya, baik kepala negara, pejabat negara maupun ulama.
Karya Anita Listiani dalam skripsi “Agama dan Negara dalam Faham
Sekularisme Mustafa Kemal Attaturk di Turki”, karya ini adalah karya mahasiswa
Program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih terfokus pada pemikiran Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan salah satu tokoh terkemuka kaum sekularis Turki modern dan pembela Sekularisme yang paling
10
fanatik dan konsisten untuk melakukan hentakan dan gebrakan politik dengan
memisahkan agama (Islam) dari urusan politik dan negara.
Jika dibandingkan dengan kajian-kajian diatas, dengan kajian yang akan
dibahas dalam skripsi ini sangat berbeda. Skripsi yang ditulis ini mengkaji
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara, tentang
aplikasi hubungan agama dan negara yang ada di Indonesia.
E. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, maka penulis akan menjelaskan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pedoman utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif.14 Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
kajian ini lebih sinkron dengan pendekatan tersebut, sebab: (1) menyesuaikan
metode kualitatif lebih mudah untuk dihadapkan pada kenyataan, dan (2)
metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
penajaman-penajaman terhadap nilai-nilai yang diperlukan oleh peneliti.15
Sedangkan jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian
kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara menelusuri sumber-
sumber, karya-karya yang dihasilkan oleh Ahmad Syafii Maarif sendiri,
maupun karya-karya orang lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.
14Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), h.394.
15Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1966), h. 63.
11
Jenis penelitian ini dijadikan acuan dengan pertimbangan bahwa masalah
yang dikaji adalah persoalan pemikiran, oleh sebab itu, jenis kajian yang tepat
dipergunakan yaitu kepustakaan.
2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada dua sumber data: primer dan sekunder. Data
primer yaitu buku-buku politik karangan Ahmad Syafii Maarif yang berkaitan
langsung dengan bahasan skripsi ini, diantaranya adalah buku Islam dan
Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam
Konstituante, buku Peta Intelektualisme Islam di Indonesia, dan buku Islam
dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin.
Sedangkan sumber data sekunder didapat dari berbagai artikel yang
membahas tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Selain data kepustakaan
peneliti juga akan melakukan wawancara mendalam dengan Ahmad Syafii
Maarif terkait pemikirannya sebagai bahan verifikasi dan validasi dari data
yang peneliti temukan didata kepustakaan.
Sedangkan metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan cara: Memanfaatkan fasilitas perpustakaan, baik yang ada dalam
lingkungan UIN maupun lainnya, untuk mendapatkan berbagai data yang
terkait dengan penelitian.
3. Metode Analisis Data
Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah
melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis ini secara
12
kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah teknik analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi yaitu penguraian
data melalui kategorisasi perbandingan dan pencarian sebab akibat, baik
menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa
berbagai data untuk diambil kesimpulan).
4. Tehnik Penulisan
Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulis Skripsi” yang disusun oleh fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Kajian ini terdiri atas lima bab dan setiap bab terdiri dari subbab, yang
sistematika pembahasannya ditempatkan secara kronologis menurut urutan
babnya.
Bab I memuat Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II menjelaskan tentang Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara,
Kontroversi Hubungan Agama dan Negara, dan Aplikasi Hubungan Agama dan
Negara di Negara Muslim.
13
Bab III membahas tentang biografi Ahmad Syafii Maarif yang terdiri dari;
Latar Belakang Sosial Kehidupannya, Pendidikan dan Karirnya, serta Karya- karyanya.
Bab IV membahas tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai
Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara, Posisi Agama dan Negara,
Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia.
Bab V sebagai bab Penutup dari rangkaian Skripsi ini, memuat tentang
Kesimpulan, Saran-saran Penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AGAMA DAN NEGARA
A. Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara
Perdebatan mengenai bentuk negara telah menjadi persoalan yang cukup
usang, jauh sebelum kemerdekaan, perdebatan mengenai dasar negara
menimbulkan polemik yang sangat menegangkan. Pertentangan antara golongan
nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler pada kenyataannya dimenangkan oleh
kaum nasionalis sekuler. Kalangan nasionalis Islam menghendaki Islam menjadi
dasar negara. Sedangkan kalangan nasionalis sekuler menghendaki Pancasila
sebagai dasar negara. Musyawarah dalam Panitia Sembilan yang di dalamnya
terdapat wakil kalangan Kristen menghasilkan kompromi berupa dokumen yang
kita kenal sebagai “Piagam Jakarta” yang mengandung subtansi “dengan
kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi para pemeluknya”. Karena ada yang
keberatan dari kalangan Kristen dan Katolik, maka atas desakan Bung Hatta para
wakil kalangan Islam di dalam Panitia Sembilan setuju untuk mencoret tujuh kata
Piagam Jakarta itu. Tindakan itu sampai waktu puluhan tahun menjadi bahan
diskusi dan bahan kajian yang tetap aktual.
Kesempatan perjuangan Ideologi Islam terbuka kembali pada masa
pemerintahan Soekarno. Kalangan Islam tetap mempunyai keinginan untuk
memperjuangkan Islam untuk dijadikan dasar Negara RI. Upaya itu dilakukan
14
15
melalui Majelis Konstituante (1956-1959). Namun perjuangan yang mencita- citakan Islam dalam bentuk formal pada akhirnya dapat dipatahkan dengan tangan besi sang penguasa.
Di Indonesia, dalam hubungannya dengan agama, negara dikategorikan kepada tiga bentuk atau paradigma, yaitu: integral, sekuler dan sembiotik. Di bawah ini akan dibahas tentang paradigma-paradigma tersebut beserta tokoh- tokoh yang mendukungnya. a. Paradigma Integralistik
Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara, karena Islam telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Paradigma ini terdiri dari dua kelompok, yaitu; a) tradisional, yakni mereka tetap mempertahankan tradisi praktik dan pemikiran politik Islam klasik/ abad pertengahan, dan b) fundamentalisme, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia.
Paradigma pertama ini mengajukan konsep bersatunya agama dan negara.
Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan (integrated), wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (devine cofereignty), karena
16
memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. Jadi, pandangan ini
bersifat teokratis.1
Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini adalah bahwa aturan
kenegaraan harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan (syari‟ah). Ayat-ayat
al-Qur‟an yang sering dikumandangkan sebagai legitimasi bagi penerapan hukum
Tuhan ini misalnya:
ِ ِ ِ َ آوَم ْن ََل ْ ََْي ُك ْم ب َ اَنْ َزَل اهللُ فَ ُاؤل َئ َك ُه ُم الْ َكفُرْوَن )املا ئدة: ٤٤(
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. 5: Al- Maidah:44).2
Fundamentalisme Islam memandang bahwa Islam sebagai ajaran lengkap
mencakup bentuk dan sistem kenegaraan. Kaum fundamentalis, menurut
Montgomery Watt, memandang bahwa Islam bukanlah menjadi dirinya yang
sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara Islam yang
diperintah oleh kaum muslimin yang mencakup syari‟ah sebagai hukum.3
Salah seorang tokoh yang menganut paradigma ini adalah Muhammad
Natsir. Faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi pemikiran Natsir
tentang negara adalah keyakinannya akan ajaran al-Qur‟an, yang meminjam
1Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet.I, h. 89.
2Departemen Agama RI Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2007), h. 215.
3W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas alih bahasa: Taufiq Adnan Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet.I, h. 184.
17
bahasa Bahtiar Effendy “hadir di mana-mana” dalam artian semua aspek
kehidupan manusia tidak terlepas dari tuntutan dan tuntutan, baik itu bersifat
kemestian (wajib), anjuran (sunah), kebolehan (mubah), atau sebaliknya, larangan
(haram), dan lain-lain.
Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang “Islam sebagai
Dasar Negara” menyatakan yakni, “kehendak kami, (Saya dan Fraksi Masyumi)
sebagai mana yang sudah diketahui kita semua, supaya Negara Republik
Indonesia kita ini berdasarkan Islam (Negara Demokrasi Berdasarkan Islam)”.4
Dan lebih tegas ketika beliau menyatakan kenyataan sejarah manusia
semenjak dahulu memberikan hasil akhir dari manusia hanya dua alternatif
sebagai dasar negara, yaitu: sekularisme dan agama. Dengan kata lain, dalam
konteks Indonesia pun akan mendasari dirinya dengan salah satu itu.
Baginya kemerdekaan Indonesia tidak lain untuk kemerdekaan Islam, agar
berlaku peraturan dan susunan Islam untuk keselamatan dan keutamaan umat
Islam khususnya, serta segala makhluk Allah pada umumnya. Ia pesimis dengan
kalangan netral agama terhadap Islam.
Argumen Natsir menginginkan Islam sebagai dasar negara antara lain:
seperti banyak umat Islam, Natsir percaya akan watak holistik Islam. Ia, kata
Bahtiar Effendy, percaya bahwa Islam tidak hanya terdiri dari praktik ibadah,
4M. Natsir, Agama dan Negara dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 2001), cet.I, h. 200.
18
melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan
antara individu dan masyarakat.5
Lebih lanjut lagi Natsir berpandangan bahwa Islam berbeda dari agama-
agama lain, Islam mengandung peraturan-peraturan atau hukum-hukum perdata
dan pidana dan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut tentu memerlukan
lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin terlaksananya hukum-
hukum itu. Bagi Natsir negara bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai alat untuk
melaksanakan hukum-hukum Ilahi yang tanpa adanya negara mustahil hukum-
hukum itu bisa dilaksanakan. Mengenai bentuk negara atau sistem pemerintahan,
Islam tidak mewajibkan berbentuk ini atau itu. Hal itu merupakan kebebasan
umat Islam untuk memilih mana yang terbaik dan sesuai dengan perkembangan
zaman.6
Natsir juga membenarkan bahwa Islam itu adalah agama yang demokratis.
Demokrasi Islam dalam bentuk musyawarah dan mufakat hanya dibenarkan
dalam hal dimana agama (al-Qur‟an dan Hadits) belum menjelaskan tentang suatu
masalah secara rinci, seperti masalah mu’amalah (interaksi sosial dalam
masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk negara). Tapi dalam hal-hal yang sudah
jelas (Qath‟i) nashnya, seperti keharaman judi, haramnya zina, juga masalah-
masalah aqidah dan akhlak adalah masalah-maslah yang sudah dijelaskan secara
5Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet.I, h. 79.
6M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 132.
19
rinci oleh Allah. Jadi dalam hal yang sudah jelas nashnya tidak ada tempat lagi
bagi manusia untuk memusyawarahkannya dan membuat kesepakatan kembali
tentang hukum-hukum yang sudah pasti itu. Bagi Natsir, Islam tidak usah
demokrasi 100 persen, bukan pula otokrasi 100 persen. “Islam ya, itu Islam”.7
Natsir menjamin bahwa dalam satu negara yang berdasarkan Islam, umat
dari agama-agama lain akan mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. Islam
sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama
dan negara.
Pada skala politik nasional, Muhammad Natsir melihat adanya keterkaitan
antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan
hukum-hukum yang telah ada, dan fikiran seperti ini nampaknya menguasai
pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam di
masyarakat dengan menekankan pendekatan Legal Formal.
Faham Natsir itu juga hampir sama dengan Deliar Noer memandang
bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak
memisahkan persoalan rohani dan dunia itu, melainkan mencakup dua segi
hukum syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.8
7Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), cet.II, h. 193.
8Firdaus Syam, Amien Rais: Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 120.
20
b. Paradigma Sembiotik
Dalam pandangan ini, konsep hubungan agama dan negara terdapat
interaksi timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama
memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Agama akan
berjalan baik dengan melalui institusi negara, sementara pada posisi lain negara
juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama, karena keterpisahan agama
dari negara dapat menimbulkan kekacauan dan a-moral. Ibnu Taimiyah (1263-
1328 M), seorang tokoh Sunni salafi, mengatakan: “agama dan negara benar-
benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang bersifat memaksa agama dalam
keadaan bahaya.9
Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi
yang tiranik”. Ia juga mengatakan bahwa wilayah organisasi politik bagi
persoalan kehidupan sosial manusia merupakan keperluan agama yang terpenting.
Karena tanpanya, agama tidak akan tegak kokoh. Pendapat Ibnu Taimiyah
tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas
yang berbeda, tetapi saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.10
Pandangan sembiotik tentang agama dan negara ini juga dapat dipahami
dalam pemikiran al-Mawardi (975-1059 M). Dalam kitabnya Al-Ahkȃm al-
Sulthȃniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, ia menegaskan bahwa kepemimpinan
9M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000), cet.1, h. 8.
10Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet.1, h. 180.
21
negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna
memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan
dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara
sembiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Ia
memposisikan negara sebagai lembaga politik dengan sanksi-sanksi keagamaan.
Menurut al-Mawardi, dalam negara tersebut harus ada satu pemimpin
tunggal sebagai pengganti Nabi untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama
dan memegang kendali politik, serta membuat kebijakan yang berdasarkan
syari‟at agama.11
Pemikir lain yang senada ialah al-Ghazali (1058-1111 M). Ia
mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti dicontohkan
pararelisme Nabi dan raja. Menurut al-Ghazali, Jika Tuhan telah mengirim nabi-
nabi dan memberi wahyu pada mereka, maka Dia juga telah mengirim raja-raja
dan memberi mereka „kekuatan Ilahi‟. Keduanya memiliki tujuan yang sama:
kemaslahatan kehidupan manusia.12
Pararelisme antara Nabi dengan raja menunjukkan adanya hubungan
sembiotik antara keduanya. Seorang raja atau pemimpin negara mempunyai status
yang tinggi dalam hubungannya dengan Nabi. Ini berarti bahwa pemimpin negara
11Al-Mawardi, Al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet.I, h. 15.
12M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet.I, h. 45-46.
22
mempunyai kedudukan yang strategis dalam menciptakan nuansa keagamaan
dalam lembaga negara. Pandangan yang dianut oleh sebagian besar kaum Sunni
ini memperlihatkan secara jelas bahwa kekuasaan kepala negara adalah
pemberian dan berasal dari Tuhan. Kekuasaan otoritatif kepala negara ini tidak
hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan agama, melainkan juga urusan
keduniawian yang berdimensi politik.13
Secara sepintas pernyataan ini tidak berbeda dengan konsep negara
integralistik seperti telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, bacaan secara kritis
atas wacana ini akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan. Teori
sembiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang,
tetapi agama kemudian memberikan justifikasinya. Agama tidak harus menjadi
dasar negara. Negara dalam pandangan ini tetap merupakan lembaga politik yang
mandiri. Dengan demikian, paradigma sembiotik di satu pihak bersifat teologis,
tetapi pada sisi lain bersifat pragmatis. Kenyataan ini, misalnya, juga muncul di
dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Menurutnya bahwa agama tidak dapat
ditegakkan dengan tidak ada pemerintah. Dalam upayanya memerintah manusia
adalah sebesar-besarnya kewajiban agama, dan hendaknya dipimpin oleh
seseorang yang bertanggung jawab dan menjalankan hukum-hukum Allah. Dalam
menentukan dan mengangkat kepala negara haruslah berdasarkan pilihan rakyat.
13Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 76.
23
Dalam arti lain, rakyat memiliki kedaulatan yang signifikan untuk menentukan
sistem politik negara.
Jadi, pandangan sembiotik tetap memberi peluang bagi hak-hak
masyarakat, meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Perlu dalam
pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga representasi yang disebut ahl
halli wa al-aqdi, dengan syarat-syarat tertentu yaitu adil, dan memiliki kualifikasi
moral seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi juga harus memenuhi syarat
khusus, misalnya; baik panca indra, tiada cacat anggota tubuhnya, dan
mempunyai buah pikiran yang bagus yang mengembangkan rakyat.
Jelaslah kiranya, bahwa paradigma ini telah menawarkan formalisasi
Islam. Namun di dalamnya terdapat nilai-nilai demokratis. Meskipun syari‟at
agama harus ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi tidak membatasi secara
mutlak kepada masyarakat Muslim untuk ikut andil dalam menentukan kondisi
sosial politik negara.14
c. Paradigma Sekularistik
Sekularisme adalah suatu ideologi atau paham hidup yang
mengajarkan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif
setiap individu yang hanya bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
kejiwaan. Disamping itu, paham hidup ini memandang agama hanya berhubungan
14Ahmad Shalaby, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, (Surbaya: PT. Bina Ilmu, 1988), cet.I, h. 249.
24
dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu,
urusan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pengembangan
ilmu dan teknologi modern, dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak
perlu dikaitkan dengan agama.15
Paradigma ini menolak, baik hubungan integralistik maupun hubungan
sembiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik
mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,
paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau paling tidak
menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Menurut paradigma
ini, Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara pengaturannya
diserahkan sepenuhnya kepada umat manusia. Masing-masing entitas dari
keduanya mempunyai garapan dalam bidangnya sendiri. Sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.16
Begitu juga dalam dunia Islam, paradigma ini ingin memisahkan antara
agama (Islam) dengan negara, karena Islam seperti agama-agama lainnya tidak
mengatur masalah keduniaan, sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di
Barat. Kaum sekuler menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara
keduanya, bagi mereka, Islam dan Politik merupakan dua hal yang berbeda.
15Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan, 1998), h. 75.
16M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, h. 8.
25
Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama, karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik (negara).
Peristiwa sekularisasi yang sangat menghebohkan di duinia Islam adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1880-1938 M), memberlakukan sekularisme di
Turki pada tahun 1924 dan juga ketika Ali „Abd al-Raziq (1888-1966 M), menerbitkan bukunya yang berjudul “al-Islȃm wa Ushûl al-Hukmi” (Islam dan
Dasar-Dasar Pemerintahan) pada tahun1925 yang berisi penolakan tegas terhadap doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah ke dunia dengan membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat. Dalam artian Nabi
Muhammad diutus ke dunia hanya membawa risalah kenabian tanpa ada sangkut pautnya dalam kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisasi juga banyak terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat secara langsung atau secara tidak langsung.17
Dalam konteks Indonesia, Soekarno merupakan salah seorang Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, yang dengan itu banyak orang yang menganggapnya sebagai sekuleris. Soekarno mengungkapkan bahwa agama (Islam) harus dipisahkan oleh negara karena Indonesia dari sudut pandang populasi bukanlah negara yang dihuni 100 persen Muslim. Dengan kenyataan
17M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, h. 136.
26
seperti itu, tentu kalau Islam dijadikan dasar negara, akan terjadi diskriminasi
terhadap pemeluk agama lain.
Selain itu, Soekarno beranggapan dipisahkan Islam dari negara, agama
akan menjadi subur dan merdeka. Dengan mensitir ungkapan Menteri Kehakiman
Turki, Mahmud Essay Bey, ia mengungkapkan, “Agama itu perlu dimerdekakan
dari belenggunya pemerintah, agar menjadi subur”. “Subur” dan “merdeka”
dalam arti Islam tidak akan digunakan sebagai alat legitimasi dan legalisasi oleh
penguasa, apalagi penguasa yang selalu memanfaatkan agama demi kepentingan
politiknya.18
Menurut Soekarno juga, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi.
Sedangkan kehidupan kenegaraan adalah masalah duniawi, temporal, dan
kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran
agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan
masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintahan. Itulah beberapa alasan
Soekarno mengapa Islam harus dipisahkan dari negara.19
Sementara Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Munawir Sjadzali juga
menolak keterkaitan agama dan negara. Mereka berpendapat bahwa integrasi
politik dalam lingkungan agama telah merusak citra agama itu sendiri. Ajaran
Islam seharusnya mengatur politik, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, elit dan
18Soekarno, Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, Di bawah Bendera Revolusi, (Panirya Penerbit Di bawah Benera Revolusi, 1963), h. 404-405.
19A. Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59.
27
penguasa politik mengeksploitasi orang dan konsep Islam untuk kepentingan
meraka. Hasilnya bukanlah politik yang terbimbing oleh moral agama tetapi
agama dimanipulasi untuk digunakan melayani tujuan sesaat partai politik.
Cak Nur menilai bahwa konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah
Islam, tidak didukung nash-nash al-Qur‟an serta sebuah bentuk apologis umat
Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama
berabad-abad. Kelompok pembaharu ini sering disebut juga dengan istilah “Neo
Modernism” yang dipelopori Fazlur Rahman, seorang pelopor pembangkit dan
pemikir Islam kontemporer yang secara Internasional reputasinya diakui dewasa
ini. Salah satu pandangannya pada tahun 1979 ia mengatakan, umat Islam baru
akan memiliki pondasi intelektualisme Islam yang kokoh dalam jangka waktu 20-
30 tahun.20
B. Kontroversi Hubungan Agama dan Negara
Dalam hubungannya agama dengan negara, wacana seputar konsep negara
Islam telah melahirkan kontroversi dan polarisasi intelektual dikalangan pemikir
politik Islam. Agama dan negara seringkali dikesankan sebagai dua wilayah yang
berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau al-dunya wa al-din. Baik al-
20Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra: Di Pentas Politik Indonesia Modern, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 180.
28
Qur‟an maupun hadits banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai
ungkapan al Islam huwa al-din wa al-daulah.21
Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian memunculkan
kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama dan negara.
Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M), ketegangan perbedaan hubungan
agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam
sebagai agama (din) dan negara (daulah).22
Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara.
Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi
bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim, Walaupun Islam
mempunyai konsep „khalifah, daulah, hukumah‟ tetapi al-Qur‟an belum
menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang negara Islam.23
Ada sederet teoretisi politik Muslim yang mewakili Zaman klasik yang
bisa disebutkan, antara lain: Ibn Abi Rabi‟ (833-842 M), hidup pada abad ke-9
dengan karyanya yang bertitel Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik menekankan
pada ketuhanan dan memadukannya dengan teori tentang asal usul negara; Al-
Farabi (257-339 M) dalam karyanya Arȃ’-Ahl al-Madinah al-Fȃdhilah dan Al-
Siyasah al-Madaniyyah mengatakan bahwa yang dapat dan boleh menjadi kepala
21Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, h. 88.
22Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), cet.1, h. 58.
23M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), cet.I, h. 1.
29
negara adalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna (al-Insan al-Kamil); Al-Mawardi (975-1058 M) dengan karyanya Al-Ahkȃm al-
Sulthȃniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Qawanin al-Wizaroh wa Siyasah al-
Muluk, menekankan hubungan yang demikian erat antara Syari‟ah dan Imamah;
Imam al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ’Ulum al-Din, melihat agama sebagai orde sosio-politik dan penguasa sebagai pemeliharanya; Ibnu
Taimiyyah (1263-1328 M) dengan karyanya Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi-Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, ia dipenjarakan karena mempertahankan pendapatnya tentang Siyasah Syar’iyah (politik atas dasar syariat) dan Ibnu Khaldun (1332-
1406 M) dengan karyanya Muqaddimah yang menyatakan bahwa siyasah berdasarkan al-din adalah berguna untuk dunia dan akhirat.
Melihat tulisan para teoretisi di atas dapat dipahami bahwa secara eksplisit maupun implisit menyatakan tujuan dibentuknya suatu negara tidak semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah manusiawi belaka, melainkan untuk kebutuhan ruhaniyyah dan ukhrawiyah. Untuk kepentingan ini agama dijadikan landasan dan dijadikan sebagai fondasi dan kehidupan kenegaraan. Dari sinilah kemudian muncul jargon politik Islam: al-Islam Din wa Daulah (Islam adalah agama dan negara).
Dari konsep ini berarti tidak ada pemisahan antara agama dan negara.
Sementara di sisi lain ada yang bersikap sekuler, yang secara tegas menyatakan pemisahan antara agama dan negara, dan tidak ada kewajiban untuk membangun
30
sebuah negara Islam didunia ini. Bagi yang memegang konsep ini memandang
bahwa agama adalah urusan akhirat, sedangkan negara urusan dunia.24
Dalam Islam, menurut Javid Iqbal, negara didirikan atas dasar prinsip-
prisip tertentu yang ditetapkan al-Qur‟an dan Sunah Nabi Muhammad. Prinsip
pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena
Ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam
ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur‟an dan Sunah Nabi, sedangkan sunah Nabi
merupakan penjelasan otoritatif tentang al-Qur‟an. Ketentuan-ketentuan ini untuk
membimbing umat manusia, diturunkan kepada para Nabi dari waktu dan yang
terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.
Dalam teori, negara Islam adalah negara Allah, dan kaum Muslim
merupakan partai-Nya (hizb Allah). Hal ini, menurut Javid Iqbal, berdasarkan
konsep tentang kebahagiaan (falah), yaitu: (1) harus berusaha untuk keberhasilan
masyarakat Muslim di dunia ini serta mempersiapkannya untuk keberhasilannya
di akhirat; (2) untuk menyadari tujuan-tujuan tersebut, masyarakat Muslim
(ummah) harus berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak, solidaritas dan
kemerdekaan.25
Namun yang menjadi permasalahan bagi umat Islam dari zaman klasik
hingga abad modern ini adalah bahwasannya al-Qur‟an tidak menetapkan cara
24Ahmad Syafii Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, h. 9-10.
25Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Menurut Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah- Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, h. 57-58.
31
hidup tertentu untuk masyarakat Muslim. Begitu pula tentang masalah poitik, khususnya hubungan agama dan negara. Semasa empat Al-Khulafa al-Rosyidin tidak terdapat suatu pola yang baku mengenai cara pengangkatan Khalifah atau kepala negara. Dalam sejarah empat khalifah tersebut, tidak juga terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala negara. Mereka semua mengakhiri masa tugasnya karena wafat.26
Keragaman dalam praktik tersebut mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam. Perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.
Tentang hubungan agama dan negara ada terdapat tiga kelompok pemikiran. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekusaan dan agama. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan negara yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang sama sekali terpisah dari
26Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 30-31.
32
agama. Kepala negara, karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau
penguasa duniawi saja.27
Demikian dalam pemahaman dan penafsiran ajaran Islam kaitannya
dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan. Golongan pertama
menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan, karena
Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua mengatakan didalam Islam
tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara, mengandung ajaran-ajaran dasar tentang
kehidupan masyarakat dan bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat
bahwa Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan. Ajaran
agama hanya berkisar tentang tauhid dan pembinaan akhlaq dan moral manusia
dalam berbagai aspek kehidupan.28
C. Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Negara Muslim
Dalam buku yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy
mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh
fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara Muslim seperti Turki,
Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak
harmonisnya hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya
kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut
27Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 12.
28Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 2.
33
mengalami kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan
(viable) antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah
mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan
politik antara Islam dan negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam.29
Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk monarki absolut yang masih
bertahan sampai saat ini di kawasan Timur Tengah. Bentuk monarki absolut
menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang tidak demokratis atau otoriter. Arab
Saudi diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi oleh Abdul Aziz bin Abdul
Rahman Al-Saud pada tahun 1932. Sejak saat itu, rezim Al-Saud menjadi
penguasa di Arab Saudi sampai sekarang. Raja Saudi merupakan pengambil
keputusan yang utama. Raja mewakili semua kepentingan masyarakatnya, baik
kepentingan di dalam negeri maupun kepentingan keluar. Peranan Raja Saudi
sangat dominan yang diperlihatkan oleh posisinya sebagai Kepala Negara, Kepala
Pemerintahan, Ketua Komisi Perencanaan Pembangunan Nasional, Ketua Majelis
Al-Syura, dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Raja Saudi diganti secara
turun-temurun oleh keturunan al-Saud lainnya. Menurut kebiasaan dan konvensi
politik yang berlaku di lingkungan Monarki Arab Saudi, pergantian kekuasaan
Raja Saudi dilakukan setelah wafat, dan umumnya raja pengganti berdasarkan
senioritas. Putera mahkota dalam hal ini berkedudukan sebagai calon pengganti
29Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 2.
34
raja. Arab Saudi tidak mempunyai konstitusi sebagaimana umumnya sebuah negara. Konstitusi Arab Saudi adalah Al-Qur‟an.
Monarki Arab Saudi yang tidak demokratis mendapatkan tantangan dari berbagai pihak. Arus demokrasi yang menyebar secara luas menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Monarki Arab Saudi. Beberapa ancaman Monarki Arab
Saudi yang pernah bergejolak dari dalam negeri yaitu Committe for the Defense of
Legitimate Right (CDLR) dan Advice and Reformation Committe (ARC). CDLR dipimpin oleh Muhammad Al-Masairi dan ARC dipimpin oleh Osama bin Laden.
Pada tahun 1992, Muhammad Al-Masairi bersama-sama dengan 107 cendekiawan dan beberapa Syaikh mengajukan petisi untuk reformasi yang luas. Petisi tersebut intinya sebagai sebuah politik protes yang menuntut perombakan dan perbaikan terhadap semua tatanan kehidupan Saudi. Sementara itu, ARC dibentuk oleh
Osama bin Laden untuk menggulingkan pemerintahan monarki Arab Saudi yang memperbolehkan pasukan Amerika Serikat datang ke Arab Saudi. Tujuan kedatangan pasukan AS yaitu memberikan perlindungan bagi Arab Saudi apabila pasukan Irak menyerang Arab Saudi setelah invasi Irak ke Kuwait pada Perang
Teluk II.
Pergolakan-pergolakan yang menentang kekuasaan Monarki Arab Saudi sampai saat ini masih dapat diatasi oleh pemerintah Monarki Arab Saudi sehingga pengaruhnya tidak meluas. Pemerintah Monarki Arab Saudi menggunakan cara- cara non-demokratis untuk meraih otoritas dan legitimasi karena mereka tidak yakin bahwa cara-cara demokratis dapat digunakan secara efektif untuk
35
menyelesaikan berbagai masalah politik yang dihadapinya. Amien Rais mencatat,
bahwa sebagaian besar negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi masih harus
berjuang mengatasi masalah-masalah otoritas, identitas, dan ekualitas.30
Islam dan politik adalah dua entitas yang sepanjang sejarah umat Islam
senantiasa terlibat dalam pergumulan. Puncak dari pergumulan keduanya pertama
kali muncul ketika terjadinya gerakan revolusi di Turki yang dilakukan oleh
Mustafa Kemal Ataturk pada perang dunia pertama. Runtuhnya otoritas Khilafah
di Turki setelah kekalahan Islam atas Inggris membawa penderitaan panjang bagi
umat Islam. Keruntuhan tersebut mendapatkan perhatian serius dari seluruh umat
Islam. Terutama di India yang melatarbelakangi pembentukan gerakan Khilafah
di tahun 1919.31
Gerakan ini dari tahun ke tahun semakin melancarkan kampanye anti-
Inggris yang saat itu sedang menjajah India. Gerakan ini pulalah yang pada
akhirnya mengilhami umat Islam India untuk mewujudkan negara sendiri.
Negara tersebut kemudian diberi nama Pakistan.32 Republik Islam Pakistan,
merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim-Sunni di wilayah Asia
Selatan. Pakistan menduduki peringkat keenam negara dengan jumlah penduduk
30Sidik Jatmika, AS Penghambat Demokrasi: Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), h. 77-91.
31A. Mukti Ali, Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), cet.I, h. 41-43.
32Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 197.
36
terbanyak di dunia. Ia juga menduduki peringkat kedua dalam negara
berpenduduk Muslim terbanyak di dunia setelah Indonesia.
Salah satu persoalan politik yang juga mengiringi Pakistan di masa awal
berdirinya adalah persoalan batas wilayah. Sehingga secara geografis Pakistan
dibagi menjadi dua, yaitu Pakistan Barat dan Timur (sekarang Pakistan Timur
telah merdeka menjadi Bangladesh). Kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh
India sejauh 1200 mil.33
Sebagaimana umumnya negara yang berbentuk Republik, pimpinan
eksekutif tertinggi dijabat oleh Presiden yang dipilih berdasarkan partai politik.
Dewan perwakilan rakyat juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara
periodic yang diikuti banyak partai politik.
Negara Islam dewasa ini telah menyimpang. Selain Pakistan, Ahmad
Syafii Maarif mencontohkan Iran. Negara Republik Islam yang awalnya
diperkirakan dapat menjadi model negara Islam ternyata “jauh panggang dari
pada api”. Pola kehidupan di Iran yang sangat elitis dan kekuasaan di Iran
tersentral pada para penguasa politik dengan mengabaikan prinsip syura
(demokrasi) membuat banyak pihak kecewa.34 Ia juga menyesalkan sikap
beberapa negara Muslim dan beberapa ahli hukum Islam yang sampai detik ini
33Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 151.
34Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, h. 194.
37
masih menganggap sistem politik monarki adalah Islam dan karenanya wajib
dipertahankan.35
Iran adalah sebuah negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor
yang integral dalam sebuah negara. Agama diyakini memiliki konsep dan sistem
bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah contoh sebuah upaya penggabungan
unsur-unsur teokrasi yang berbasis pada agama (Syiah) di satu sisi dan unsur-
unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu tidak selamanya berlangsung
damai dan normal, Iran dapat menjadi prototipe dari hubungan agama dan negara
dalam bentuk yang paling efektif meskipun formalisasi dan simbiolisasi agama
terjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran memberikan jaminan konstitusional
terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan Kristen) untuk menjalankan ritus-ritus
keagamaan mereka dan menangani perkara pribadi dan pendidikan mereka
menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu, Iran juga memberikan ruang
yang relatif terbuka pers dan masyarakat untuk berekspresi.
35Ahmad Syafii Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet.I, h. 61.
BAB III
BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF
A. Latar Belakang Sosial Kehidupannya
Ahmad Syafii Maarif sering dipanggil “Buya” oleh orang yang dekat
dengannya. Istilah Buya diucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas
menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-
benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau
cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi. Namun
Ahmad Syafii Maarif sendiri “tidak usahlah disebut dengan buya, cukup dengan
nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang Ahmad Syafii Maarif
suka memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah menetrealisasi atau ingin
membersihkan kandungan “karismatik” atau feodalistik” yang dari sebutan khas
untuk tokoh minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Dihadapannya
apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan
bahkan lugu dan polos.1
Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah
pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”,
Sumatera Barat. Sumpur Kudus “Makkah Darat” adalah ungkapan yang sering
1Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, (Jakarta: Maarif Isntitute, 2005), h. 37.
38
39
diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang, rakyat jelata pun tak lupa
pula menyebutnya.
Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraihnya,
tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa karena memang lingkungan
nagari yang sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok
melebihi orang kampungnya. Semasa kecil Syafii Maarif, pengaruh kota belum
menjalar di kampungnya, karena televisi saat itu belum ada. Wawasan Syafii
Maarif pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari,
Syafii Maarif bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi,
mengadu ayam, mengail, menjala, menembak burung dengan senapan angin milik
abangnya dan mengembala sapi.2
Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang yang
terpandang di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi
Kepala Nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga
terhormat, ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk
Rajo Melayu yang di jabatnya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk
dalam kategori elit dikampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai
masalah, tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan
lembaga tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya oleh
membaca. Bahkan ayahnya cerdas, semua orang mengakui. Maarif sendiri sering
2Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 3. 40
menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang
dengan sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui layak untuk itu.
Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan
Bailam) berjumlah tujuh; Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan,
Bainah, Attudin Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih
kecil, sementara Saidina Hasan wafat pada 1949 di rumah sakit Sawahlunto
dalam usia sekitar 32 tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5
Oktober 1955, dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula
ayahnya sakit di Tanjung Ampalu, ditempat ibu tirinya bernama Mak Maran,
kemudian etek Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo
sampai ayahnya wafat disana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun.3
Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun
1905 dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ahmad Syafii
Maarif tidak bisa membayangkan seperti apa perawakan ibunya, sepaerti apa
senyumannya, dan seperti apa pula ketika dia menggendong anak-anaknya.
Ahmad Syafii Maarif tidak pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit
baginya untuk membayangkan sosok ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937
dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun menyusuinya. Maarif tidak sempat
merasakan betapa manis atau pahit hidup bersama ibunya, orang mengatakan
3Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 66. 41
bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah mengenal wajah ibunya.
Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang sering menunggang kuda untuk menempuh perjalanan jauh. Syafii Maarif pun menceritakannya “selagi sehat kabarnya ibuku kalau bepergian biasa naik kuda dengan selendang sarung bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan yang tidak terlalu lazim dikampungnya. Tetapi sebagai isteri orang terkemuka ditingkat nagari masyarakat dapat memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barang kali berada diatas punggung kuda”.
Budaya perempuan naik kuda, bararti pula bahwa posisi perempuan di kampung Syafii Maarif terhormat, tidak kalah dengan kaum pria dan sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilinial, yakni kaum perempuan secara teori memang mempunyai posisi yang dominan. Apakah ini terkait, yang jelas ibu
Syafii Maarif bukanlah manusia yang kolot pada saat Indonesia berada dibawah sistem penjajahan.
Ibunya telah wafat pada umur yang masih muda, sehingga Ahmad Syafii
Maarif sendiri tidak dapat menelusuri sejarahnya, hanya pusarannya yang ada tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat, Syafii Maarif diberi tahu bahwa ayahnya menggendongnya ke tepi
Batang Sumpur, tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah Barat melalui pematang sawah. Sungai ini tak pernah kering, sumber penghidupan para petani yang merupakan mayoritas penduduk kampungnya, Batang Sumpur ini 42
digambarkan sebagai “airnya jernih, pasirnya putih, tebingnya landai, dan ikannya
jinak”, sekalipun dalam kenyataannya ketika hujan lebat airnya keruh juga, dan
ikannya tidak pernah jinak, kecuali yang sakit atau pingsan.4
Setelah ibunya meninggal, Ahmad Syafii Maarif dititipkan pada bibinya
Bainah (dipanggil etek), yang tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat
kelahirannya. Tampaknya, ayah Maarif sengaja menitipkan anaknya pada adiknya
sendiri, mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi merantau,
selama 16 tahun Maarif hidup bersama bibi dan pamannya. Bibi Bainah
mempunyai anak bernama Saiful Wahid yang lahir tahun 1939. Saiful punya dua
adik kandung bernama Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia
relatif muda, sedangkan etek (bibi) Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum
terlalu tua.
Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965
dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya
(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah
acara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30
tahun.
Ahmad Syafii Maarif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya
bernama Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun
sayangnya, Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan, setelah
4Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 72-73. 43
sakit beberapa lama di Padang. Saat itu Salman di ajak ibunya pulang ke Padang
dalam keadaan kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa.
Akhirnya Salman wafat tidak di depan ayahnya (Syafii Maarif). Kuburan Salman
di pinggir laut, sekarang sudah tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan
ombak. Dengan meninggalnya Salman, Syafii Maarif begitu terpukul batinnya,
sebagaimana diungkapkan, “sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah
sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui.
Hanya iman saja yang dapat menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana
ketidak stabilan jiwa.5
Anak selanjutnya adalah bernama Iwan yang lahir pada November tahun
1968 dan ia wafat pada Oktober tahun 1973. Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif
adalah Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada
25 Maret 1974. Dari ketiga anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang
hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif hidup dengan anak semata wayangnya
bernama Mohammad Hafiz dan isterinya Hj. Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.
Nurkhalifah (isteri) terhadap Ahmad Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak
Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus memanggil suaminya
berdasarkan urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan dalam perjalanan
hidupnya melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata yang
diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa syukur itulah yang merupakan perekat
5Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 185-186. 44
rumah tangga yang beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj. Nurkhalifah,
dan Mohammad Hafiz.6
Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii Maarif), yang telah
memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga
mempunyai suara equal dalam menyampaikan pendapat, dan kadang disertai adu
argumen. Ketika Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii Maarif di
Padang, orang tersebut mengatakan bahwa; “.... ayahmu itu adalah gambaran
pribadi orang Minang yang seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter,
sederhana, adil, tegas, dan jujur...... ” tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi
Hafiz hidup diantara orang Minang selama setahun lebih di Padang. Kesimpulan
yang didapatkan mungkin seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu
segelintir orang yang dari sekian lapis generasi Minang yang bisa
mempertahankan image orang Minang yang semestinya, setelah generasinya yang
melahirkan pribadi seperti H. Agus Salim, Moh. Hatta, Buya Hamka dan lainnya.
Di samping itu, dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif kesan
yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam
fungsi, sebagai seorang ayah dan sebagai individu yang unik. Sebagai seorang
ayah, selama hidup dibawah naungan beliau, pelajaran paling berharga
Mohammad Hafiz adalah tentang tawakkal dan kesederhanaan manusianya,
6Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 73. 45
terutama menghadapi kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz,
bahkan sampai dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.
Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan
pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan
individu-individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif
dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai
dan menghormati. Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap
pandangan/opini Mohammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan
cenderung sarkastik terhadap orang.7
B. Pendidikan dan Karirnya
Dunia awal masa kecil Ahmad Syafii Maarif dilewati di kampung
halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.
Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan di sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus
dari Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan pada tahun
1953. Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi
sebagian dilanjutkan di Yogyakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah
Mu’allimin Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak
semudah yang dibayangkan.
7Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, h. 11. 46
Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad
Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu: pertama, kelas empat sudah penuh,
kedua, dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di
Yogya lebih tinggi dibandingkan dengan Mu’allimin daerah lain. Jadi Ahmad
Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya
Ahmad Syafii Maarif merasa syok, namun Ahmad Syafii Maarif tidak bisa
berbuat apa-apa dan kemudian menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga.
Semua itu dihadapinya dengan tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga
Mu’allimin, sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli 1956.8
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad
Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas
Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) atas
bantuan saudaranya.
Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena
hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan
PRRI/Permesta, akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak
melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di desa
Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.9
8Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 106.
9Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, (Jakarta: Cidesindo, 2000), h. 172. 47
Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah,
karena sering tidak masuk kuliah, karena sering mengajar Ahmad Syafii Maarif
hanya tamat sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah
pernah dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya
ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.10
Gelar Sarjana (Drs) diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP
Yogyakarta pada Agustus 1968, dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di
Vietnam (1930-1954)”, dibawah bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen
sejarah Asia Tenggara. Untuk teman-teman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif
adalah lulusan pertama.11
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke
Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio
State University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama
teman-temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students
Association) yang masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah
diatas 30 tahun. Selama perkembangan pemikiran keislaman Syafii Maarif di
Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung
dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-
tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal Pemikir dan
10Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, h. 45.
11Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, h. 172-173. 48
penyair dari Pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum
singgah secara mantap di otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum
reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim
Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara Islam di
suatu Negeri.12
Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia,
Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan
Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling
menjaga. Tidak ada diantara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala
Barat. Di Athensia adalah salah seorang khatib pada hari Jumat yang
diselenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens,
lingkungan pergaulan Syafii Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh,
tetapi hampir sepi dari pemikiran yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan
intelektual yang sudah beradab diderita dunia Muslim.
Teori-teori ke Islaman yang bertolak dari sikap anti asing ternyata tidak
mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler yang
bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku disini. Para pendukung Maududi, Qutb,
yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di negerinya sendiri,
karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan ulama
12Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 209. 49
konservatif. Justru mereka memilih hidup di Barat yang dijadikan sasaran kritik
itu.13
Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata
hitam. Di antara mahasiswa Muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia,
tidak sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat bahkan
sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu
mereka mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul
kesadaran baru untuk mencapai Muslim yang baik.
Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang bersikap lapang dada saja,
jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur milik Allah. Kearifan tidak
bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bisa saja menemukan kearifan itu
dimana saja asal dicari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang
terbuka semata-mata karena rindu pada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata
Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,
tetapi malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi seuatu yang
asri, adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apapun.
Pada tahun 1978 di usia 43 tahun Syafii Maarif meninggalkan Athens, di
Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen sejarah dengan tesis “Islamic
Politics Under Guided Democracy in Indonesia” (1959-1965) dibawah
13Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 213. 50
bimbingan Prof. William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan Jepang
yang teramat baik terhadapnya.
Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti kemana tapak kaki
melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of
Philosophy), dari negara yang mengklaim dirinya sebagai “Bapak Demokrasi”,
Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983) dalam usia
47 tahun.14
Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas
Chicago, sekalipun ia sudah diterima untuk program Ph.D dalam pemikiran Islam.
Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk
bisa belajar Islam ke kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut
membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation dan USAID
melalui perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan banyak pihak,
beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam
otaknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental sikap intelektualnya
tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam
diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A
14Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 214.
51
Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly
Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.15
Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower,
namun kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa,
misalnya Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah”
terhadap negara-negara Muslim, tak pernah luntur.
Sebelum mencapai “puncak-puncak” diatas, Ahmad Syafii Maarif
melakukan perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain
disertai berbagai interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam
sosok Ahmad Syafii Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus
disertai dengan sikap kritis “Alam terkembang jadi guru”. Proses atau “struktur
pengalaman” inilah yang membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan
merdeka.
Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat Mualimin,
Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii Maarif datang ke
Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21 Agustus 1956. Ia
ditempatkan di kampung Batu yang, dirumah Subki, adik kandung H. Harist yang
juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA Muhammadiyah Pohgading
yang terletak dipinggir sungai.
15Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1995), cet. III, h. 5. 52
Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga
mengajar di kota Solo. Di Madrasah Mu’alimat NDM pimpinan pak Durhadi,
SMA MIS (Modern Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata
pelajaran yang Maarif asuh pada umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-
Baturetno dengan kereta api. Pada saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon
terus melaju ke Baturetno dengan jarak 52km. Kereta api Solo-Baturetno adalah
kendaraan para pedagang kecil (bakul), anak sekolah, dan rakyat umumnya.
Syafii Maarif termasuk dalam kategori yang terakhir. Semua ini Syafii jalani
tanpa ada perasaan yang mengganggu, karena cara inilah satu-satunya jalan bagi
Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo, Universitas Cokroaminoto.
Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi pegawai
negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten Ahmad Syafii
Maarif di beri tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP
Yogyakarta, di samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah
dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia) pada tahun 1966 Ahmad Syafii
Maarif diterima menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM),
pimpinan alm. H.A. Basuni, B.A dan alm. Mohammad Diponegoro. Disamping
sebagai korektor majalah, Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus
iklan majalah.16
16Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 173. 53
Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara
Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Yogyakarta.
Setelah sekian lama menjadi kolektor, posisi redaksi kemudian diberikan kepada
Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972.
Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar pada jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri
Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi keislaman di Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof.
Barnadib, mantan Rektor IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama.
Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota
Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus
Madrasah Mu’allimin, tentu tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini. Sebelum sewaktu bekerja pada majalah SM,
Maarif pun pernah menjadi anggota Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA. Dalam berkiprah dalam Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-daerah. Majelis pimpinan M. Amien Rais ini sangat 54
aktif dalam menjalankan misi da’wahnya, tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan.
Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM
(Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin memberitahukan bahwa pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi Ph.D dalam kajian
Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu. Di UKM Maarif diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib, Islam dan
Perubahan Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di Institute of
Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping terkenal sebagai seorang pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai penulis yang aktif. Tulisannya banyak dimuat diberbagai media masa baik berupa jurnal,
Majalah seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Ishlah dan
Genta, Surat Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat.
Bentuk tulisannya yang lain dituangkan dalam bentuk buku yang juga sudah diterbitkan oleh berbagai badan penerbit.
Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai gerakan da’wah, pendidikan, amal, dan usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif, 55
Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan
perkembangan dunia.
Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada
lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat
beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan
Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia
untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa
terobosan yang sangat terasa signifikasinya.
Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil
jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat oleh politik praktis juga kembali
ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makasar pada Juni 2003 yang tidak
mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh
bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan “kue”
kekuasaan, Syafii Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan
perannya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat
dari keyakinan beliau selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah
gerakan pemikiran, sosial, dan da’wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan
politik yang bisa dijadikan untuk alat merebut kekuasaan.17
Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam menjalankan tugas
sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatannya adalah:
17Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Poltik Islam Inklusif, (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 116-117. 56
1) Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tapi
bila parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an untuk menciptakan
sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah masih juga berada
di awal jalan, suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu untuk bergerak
kesana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan
pemerintah yang juga harus bermoral.18 2) pada sisi lain Syafii Maarif
menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah
sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran, sementara jenis ijtihad di luar itu
belum disentuh banyak oleh Muhammadiyah. Lebih jauh dikatakan bahwa secara
intelektual Muhammadiyah tidak tau betul apa yang harus dikerjakannya.19 3)
Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai
gerakan Islam, gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini
mengisaratkan tanggung jawab yang besar sekali, sementara energi
Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial kemasyarakatan. 4)
dalam berbagai forum Syafii Maarif sering mengatakan bahwa di bidang
pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah sebagai pembantu
pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang. 5) Muhammadiyah belum mampu
menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan maupun dalam
bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan perhatian khusus.
18Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 348.
19M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial, (Jakarta: Uhamka Prees, 2005), h. 72. 57
Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28
Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislatif dan eksekutif serta mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi.
Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurah tujuh tahun dan tidak pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan ataupun bergerak melalui partai politik.
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada diatas menara gading, sebab mereka menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di Indonesia dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan- masukan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.20
20Raja Juli Antono, Laporan Tahunan, (Jakarta: Maarif Institute, 2000-2007), h. 4.
58
C. Karya-karya
Ahmad Syafii Maarif adalah seorang intelektual yang produktif, mulai
belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah
Yogyakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya
diatas setengah abad.21
Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penertbit terkenal. Sampai kini,
Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya. Segudang “produk
pemikirannya”, dan jejak langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil dari
sebuah proses yang panjang, berliku. Kesulitan dan tantangan hidup telah
dibacakan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Puluhan buku telah
lahir dari tangan seorang anak udik yang semula tidak punya cita-cita besar dan
muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang diembannya
selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya ke pusaran perkembangan
politik, sosial, dan budaya secara nasional dan internasional. Periode ini adalah
titik krusial dalam transformasi publik ini, dan Ahmad Syafii Maarif di antara
anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-karya Ahmad Syafii
Maarif adalah:
1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, diterbitkan oleh
Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta (tahun 1975).
2. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam
Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983.
21Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, h.5. 59
3. Dinamika Islam, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
4. Islam, Mengapa Tidak?, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
5. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (bersama M. Diponegoro), diterbitkan oleh
Shalahuddin Press (tahun 1984).
6. Islam dan Masalah Kenegaraan, diterbitkan oleh LP3ES (tahun 1985).
7. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1994).
8. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung: Mizan, 1995)
9. Membumikan Islam, Pustaka Belajar, 1995.
10. Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin(1959-
1965), Jakarta: Gema Insani Press (1996).
11. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani Press,
1996.
12. Keterkeitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogyakarta: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997).
13. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan
Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000).
14. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, (Jakarta:LP3ES, 2006).
15. Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif,
diterbitkan oleh Ombak di Yogyakarta (tahun 2006).
16. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan
2009).
17. Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Jakarta: Serambi, 2015). 60
Di luar tulisan-tulisan diatas masih banyak karya-karya Buya Syafii baik
berupa artikel-artikel dan makalah-makalah yang belum sempat dipublikasikan.
Tetapi secara garis besar pemikiran Buya Syafii telah tercermin dalam buku-buku
dan artikel diatas.
Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif adalah sampai saat ini masih terus
mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika
(bergantian dengan penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak
hannya tentang keislaman, namun juga mencakup tentang ke Indonesiaan dan
kemanusiaan. Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu dari sedikit cendikiawan
Muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui
tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus
mengajak untuk mengatasinya, kepada semua anak bangsa.
Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa, sejauh ini gagasan yang paling
menonjol dari Ahmad Syafii Maarif adalah kegetolannya dalam merelevansikan
realitas obyektif umat Islam yang ada dalam sejarah dengan doktrin-doktrin suci
Islam baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits.22
Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif ingin mengajak
bangsa Indonesia khususnya, dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya
hendaknya berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW seperti dalam
ukhwah Islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari manapun kita berasal, tetapi
22Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 20.
61
terikat sesaudara seagama Islam, bukan dengan masih mementingkan golongan
dan budaya masing-masing.
Kini, di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah, sebagai
sumber inspirasinya dalam “perang dan damai” dan anak semata wayangnya,
Mohammad Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap menikmati hari-harinya. Ahmad
Syafii Maarif berharap di sisi hidupnya, ia mampu menghasilkan karya-karya
besar tentang Islam dan kemanusiaan. Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak
akan memberikan sumbangan besar bagi peradaban.23
23Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 20.
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A. Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara
Dikalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam
bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di
dalamnya berisi beberapa pokok ajaran dapat diterapkan dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan
keyakinan tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara,
dalam hal ini keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan (integrated).
Oleh karena itu, kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara
diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena memang
kedaulatan itu berasal dan berada ditangan Tuhan.
Bagi pemimpin modernis negara adalah alat bagi Islam untuk
melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan manusia. Sebagai alat,
adanya negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela prinsip persatuan
agama dan negara.1
1Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 130.
62
63
Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen Fasis atau
Komunisme. Paham pemisahan Islam dari negara, dan bukan kaitan non formal/legal antara Islam dan negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya Mohammad Natsir. Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan negara.2
Soekarno yang termasuk seorang yang menghendaki pemisahan Islam dan negara, mengemukakan beberapa argumen: Pertama, penyatuan agama (Islam) dan negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan syariat Islam dan negara demokrasi, dan Ketiga, tidak ada consensus ahli agama tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemaslahatan. Seokarno menilai bahwa pelaksanaan ajaran- ajaran agama merupakan tanggung jawab pribadi kaum muslimin dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini, tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi memaksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya.
Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agama (Islam) dan negara, bukan berarti tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua arus regio-politik
2Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 429.
64
ini. Soekarno dengan tegas menentang hubungan formal-legal antara Islam dan negara, khususnya dalam sebuah negara yang tidak semua penduduknya beragama Islam. Model semacam ini, hanya akan menimbulakan perasaan terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.3
Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/paham, antara lain:
a. Paham Teokrasi
Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan.
Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah
Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman
Tuhan.
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Oleh karena itu, yang memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.
3Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452-453.
65
b. Paham Sekuler
Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.
Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.
Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistim dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman- firman Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensi (campur tangan) dalam urusan agama.
c. Paham Komunis
Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara.
Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Karena itu,
66
agama harus ditekan, bahkan dilarang nilai tertinggi dalam negara adalah materi.
Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.4
Hubungan agama dan negara (Islam dan negara) disebutkannya sebagai berikut: negara adalah alat untuk merealisasikan cita-cita Islam yang meliputi seluruh bidang kemanusiaan. Syafii Maarif sampai pada kesimpulan seperti itu setelah melihat peran Nabi Muhammad sendiri, yakni karir Nabi baik di Makkah
(610-622 M) dan di Madinah (622-632 M). Disini dia menyatakan bahwa pada masa Makkah, Nabi tidak memiliki kekuasaan politik untuk menopang misi kenabiannya. Tetapi menurutnya untuk menyimpulkan bahwa masa Makkah Nabi hanya memaparkan ajaran Tauhid (ajaran keesaan Allah) dan cabang-cabang iman yang lain kepada para pengikutnya tanpa diiringi ajaran tentang prinsip- prinsip keadilan sosial-ekonomi, ini jelas menyimpang dari al-Qur‟an. Karena itu posisi Muhammad yang paling pokok adalah sebagai Rasul. Disini Syafii Maarif juga mengutip pendapat Ibn Taimiyah yang didasarkan pada al-Qur‟an, bahwa
“agama yang benar wajib memiliki Petunjuk dan Pedang Penolong”. Syafii
Maarif mengatakan Pedang penolong adalah simbol dari kekuasaan politik atau negara. Tetapi kekuasaan politik atau negara itu bukanlah Islam. Dengan demikian, negara bukanlah persambungan (dengan) agama. Ketegangan yang terjadi, justru ketika para sarjana Islam merumuskan doktrin politik Islam yang menggambarkan seolah-olah Islam menjadi alat negara.
4 http/Tienk Rahman‟s Blog. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014.
67
Dikatakan oleh Syafii Maarif bahwa Islam memang membutuhkan
perangkat politik yang diwakili oleh negara dalam rangka mendarat ajaran-
ajarannya. Sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki
pemisahan Islam dan negara.5
B. Posisi Agama dan Negara
Hubungan antara agama dalam hal ini Islam (din) dengan negara (dawlah)
atau politik (siyasah) kelihatannya menjadi isu perenial di kalangan ulama,
pemikir Muslim bahkan gerakan Islam. Bisa dipastikan perdebatan tentang subjek
ini bakal terus berlanjut di masa depan.
Dalam masa modern-kontemporer, posisi hubungan antara Islam dan
negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan
politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan
agama (religiously unfriendly-secularism) seperti Turki; kedua, pemisahan yang
disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology)
seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara
negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi,
yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.6
5Ahmad Syafii Maarif, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1983), h. 43-45.
6Ahmad Syafii Maarif, Fikih Kebinekaan, (Jakarta: PT Mizan, 2015), h. 115.
68
Berdasarkan pembacaannya atas konteks historis khas Indonesia, Buya
Syafii berupaya melibatkan diri dalam diskusi-diskusi kesarjanaan mutakhir
tentang relasi Islam dan politik: Apakah Islam itu merupakan agama dan sistem
kekuasaan (din wa al-daulah) sekaligus? Buya Syafii menolak adanya gagasan
tentang negara Islam. Menurutnya, di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan tata
politik dan pemerintahan khas Islam. Tetapi al-Qur‟an secara eksplisit
menekankan agar nilai dan pemerintahan etiknya dijunjung tinggi dan bersifat
mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Atas
dasar nilai-nilai etik al-Qur‟an inilah bangunan politik Islam dan bangunan sosio-
kultural wajib ditegakkan.7
Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa al-Khulafa al-
Rasyidin tidak ditemukan sesuatu yang khas islami. Meskipun begitu, ia
berkeyakinan bahwa Islam menyajikan tauhid yang darinya terpancar hukum-
hukum dan ajaran-ajaran agama yang mampu dijadikan sumber inspirasi bagi
umat Islam yang bergairah untuk menaati ajaran-ajaran Tuhan pada situasi dan
kondisi di negara tertentu.8
Karena itu, Buya Syafii menolak slogan al-Islamu huwa al-dinu wa al-
daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) yang tampaknya justru telah
mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari din dan posisi kenabian Muhammad.
7Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 18.
8Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. III, h. 145
69
Nabi Muhammad menurut Buya Syafii tidak pernah menyatakan diri sebagai
seorang penguasa. “Muhammad hanyalah seorang Rasul”. Ayat inilah statemen
bahwa Islam adalah agama dan negara.
Begitu juga dengan makna din, menurut Buya Syafii Maarif, din adalah
sesuatu yang immutable (abadi), sedangkan daulah adalah sesuatu yang mutable
(berubah). Menempatkan daulah setaraf dengan posisi din (Islam), itu sama
artinya dengan mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan din al-Islam.
Apalagi istilah daulah yang berarti negara yang tidak dijumpai dalam al-Qur‟an,
istilah ini hanya dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau
pergantian tangan dari kekayaan.9
C. Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Mengkaji hubungan agama (Islam) dan negara di Indonesia, terutama
pasca kemerdekaan, pada waktu-waktu tertentu dapat dikatakan kurang harmonis.
Secara umum, peristiwa-peristiwa parlementer maupun non parlementer yang
terkait dengan Islam dan negara ikut menciptakan suasana ketidak harmonisan
tersebut. Dalam artian, Islam menjadi faktor dominan dalam rangka membentuk
negara kesatuan Republik Indonesia.10
9Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta: Serambi, 2015), h. 82- 83.
10Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), cet. I, h. 162.
70
Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh
terhadap politik.11 Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara
kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sehingga sepak
terjangnya lebih sering menjadi perhatian masyarakat luas. Kedua, karena adanya
pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa Islam dan politik tidak dapat
dipisahkan. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Islam mempunyai konsep
tentang negara Islam.
Pada satu sisi Islam menghendaki agar negara dan masyarakat Indonesia
diatur berdasarkan agama Islam. Kalaupun tidak demikian, Islam selalu mendesak
agar negara dan masyarakat berdasarkan pada etika dan moral agama yang
diyakini bersifat abadi dan universal karena datang dari Tuhan.
Pada sisi lain, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia diatur
berlandaskan pada kesepakatan bersama. Negara menganggap bahwa Islam
hanyalah satu bagian dari bagian-bagian lain yang ikut membentuk Negara
Indonesia. Karena itu, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia dikelola
berdasarkan ideologi bersama „Pancasila‟.
Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia, dalam
sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara,
batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan
11Andi Wahyudi, Muhammadiyah dan Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan Muhammadiyah Era 1990, Editor: Darmawan, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), cet.I, h. 24-25.
71
pembuatan suatu konstitusi. Untuk bentuk negara misalnya, hampir seluruh
anggota memilih bentuk Republik. Tetapi sekali tentang dasar negara disentuh,
iklim politik dalam sidang menjadi sangat hangat.12
Kemudian benih-benih perdebatan ideologi ini mulai muncul secara
terbuka pada tahun 1940 ketika terjadi polemik antara Soekarno (kelompok kaum
nasionalis) dan Muhammad Natsir (kelompok kaum Islam) di sekitar, hubungan
antara agama dan negara. Dan materi polemik itu sendiri sudah menampilkan
masalah-masalah yang sama dengan materi yang muncul dalam perdebatan di
BPUPKI dan konstituante mengenai dasar negara, antara “nasionalisme sekuler”
dan “nasionalisme Islam”.13
Perdebatan tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI memang tegang
dan panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran
pemisahan negara dan agama. Supomo menjelaskan tentang dua aliran ini sebagai
perbedaan dua paham: Paham pertama di bela oleh ahli-ahli agama yang
bertujuan mendirikan suatu negara Islam di Indonesia; paham kedua, sebagai
mana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan antara urusan negara dan
urusan Islam. Pendeknya bukan negara Islam.
Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada tanggal 31 Mei 1945, yakni
sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar ideologi
12Ahmad Syafii Maarif “Pengantar” dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Sukarno Versus Natsir, (Jakarta: Teraju, 2002), cet.I, h. 8.
13Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,1999), h. 55.
72
negara. Hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan
diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian Soekarno tidak
menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih
dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: 1. Sosio-
nasionalisme, 2. Sosio-demokrasi, 3. Ketuhanan. Bahkan sila yang tiga ini dapat
diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang
terakhir ini, sila Ketuhanan telah menghilang. Teori tipikal ini dipandang tidak
masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran agamanya. Itulah sebabnya
mereka berusaha memodifikasi terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika
memang Pancasila mau dijadikan falsafah negara.14
Isu tentang dasar negara telah memaksa para pendiri Republik Indonesia
untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi
akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22
Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil
dalam BPUPKI yang diketuai Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota
terkemuka, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid
Hasyim, dan Muhammad Yamin.15
14Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, h. 105-106.
15Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), h. 16-18.
73
Piagam Jakarta tersebut sebenarnya adalah sebuah preambule bagi
konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai
dasar negara telah disepakati, tetapi sila pertama, yaitu sila ketuhanan diikuti oleh
anak kalimat: “…dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Anak kalimat yang dinilai strategis ini bagi umat Islam menjadi
sangat penting, sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari‟at Islam secara
konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah satu alasan
mengapa wakil umat Islam dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan kelompok
nasionalis.16
Dan pada akhirnya rumusan konstitusi ini dapat diterima dengan aklamasi
pada tangal 16 Juli 1945 oleh anggota sidang BPUPKI, yaitu sebuah mukadimah
yang memuat Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara dan Batang Tubuh UUD
1945 yang memuat dua ketentuan penting perjuangan golongan Islam, yakni:
pertama, Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan kedua, Presiden adalah orang Indonesia asli
yang beragama Islam.17
Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17
Agustus 1945, besoknya pada 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 yang
sebelumnya masih merupakan rancangan hukum dasar serta dalam
16Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 107-108.
17Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.II, h. 45.
74
pembukaannya memberi nama Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila secara resmi atau secara formal masuk ke dalam bahasa Indonesia, walaupun di dalam pembukaan UUD 1945 itu tidak disebutkan nama Pancasila. Pancasila dalam pembukaan ini sebagai dasar negara, karena itu istilah Pancasila artinya “Lima
Dasar” yang dimaksud ialah satu dasar negara yang terdiri atas lima unsur yang menjadi satu kesatuan dasar falsafah negara Republik Indonesiayang isinya sebagaimana tertera dalam alinia ke empat bagian akhir pembukaan UUD 1945, yaitu; 1). Ketuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.18
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya nama Pancasila bukanlah berakar dari budaya Indonesia asli, tetapi berasal dari budaya
Sansekerta, yang kemudian diadopsi menjadi pembendaharaan bahasa Jawa-kuno dan bahasa Indonesia. Meski istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, namun muatan makna dan nilai-nilainya sangat jauh berbeda dengan muatan makna Pancasila dalam UUD 1945, makna Pancasila dalam UUD 1945 sarat dengan muatan-muatan budaya masyarakat itu sendiri, bukan berasal dari budaya
India atau agama Budha.
Soekarno mengambil konsep ini, dengan memberinya isi dan makna baru.
Soekarno sendiri menyatakan menggali Pancasila dari bumi dan kepribadian
18Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, (Yogyakarta: Liberty, 1994), h. 11-12.
75
mendalam bangsa Indonesia. Menurutnya Pancasila merupakan refleksi konteplatif dari warisan sosio-historis Indonesia kemudian merumuskannya dalam lima prinsip. Ketika menyampaikan usulan konsep dasar negara Indonesia,
Soekarno memberinya nama dengan Panca Sila. Pancasila menurutnya, terdiri dari Panca yang berarti lima dan Sila berarti azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah didirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.19
Konsep Pancasila oleh Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945, sebenarnya sintesa dari berbagai ideologi Barat, terutama Nasionalisme,
Sosialisme, Internasionalisme dan hanya ditambah dengan ide ketuhanan yang berasal dari gerakan keagamaan.
Tetapi ternyata persetujuan tersebut tidaklah benar-benar telah terselesaikan. Hasil kompromi politik tersebut mengalami perubahan setelah proklamasi kemerdekaan. Anak kalimat dalam pembukaan UUD1945; “…dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ternyata masih mengganjal dan dipandang sebagai keputusan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Oleh karena itu, dari golongan Protestan dan Katolik menghendaki penghapusan anak kalimat tersebut serta kalimat islami lainnya dan atau lebih
19Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 144.
76
memilih berdiri di luar Republik Indonesia apabila anak kalimat dalam
pembukaan UUD tersebut masih tetap difungsikan.20
Kelahiran dan perumusan Pancasila mempunyai akar sejarah yang
panjang, dan merupakan refleksi dan puncak konstruksi serta solusi terhadap
perbedaan budaya, agama, dan ideologi. Jadi Pancasila adalah puncak prestasi
kolektif pada cendekiawan (Muslim dan non-Muslim) dalam membangun
identitas dan cita-cita negara Indonesia, yang merdeka. Bisa dikatakan Pancasila
adalah miniatur dari perpaduan antara budaya, agama, dan modernitas. Kini,
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia, dapat diterima oleh
sebagian besar intelektual Muslim Indonesia, mereka berkeyakinan bahwa
Pancasila merupakan ideologi terbuka dan tidak bertentangan dengan Islam,
bahkan Pancasila sejalan dengan Piagam Madinah yang meletakkan dasar-dasar
dan historis toleransi Islam terhadap umat non-Muslim.
Pandangan Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan Pancasila ini layak
untuk dipertimbangkan. Bertolak dari historis umat Islam dan bangsa Indonesia,
khususnya dalam usaha merumuskan dasar negara menjelang kemerdekaan
sampai pada perdebatan di Majelis Konstituante, Syafii Maarif sering mengutip
ungkapan Hatta yang mengatakan; “Gunakanlah Filsafat garam, apa bila
dimasukkan kedalam air tidak terlihat tetapi apabila diminum itu terasa, jangan
gunakan filsafat gincu, apabila dimasukkan ke dalam air terlihat tetapi ketika
20Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet.I, h. 50.
77
diminum tidak terasa”, tidak harus negara Islam tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam menjadi suatu landasan bagaimana kita berbangsa dan bernegara.21
Terkait dengan sinergisitas agama dan negara di Indonesia, kondisinya semakin tidak jelas. Atas nama kebangsaan, atas nama pluralisme, atas nama toleransi dan atas nama HAM, umat Islam Indonesia menjadi rapuh, lembek dan tak berdaya, padahal statistik kependudukan menunjukkan bahwa rakyat
Indonesia mayoritas adalah Muslim.
Meskipun perdebatan tentang konstitusi negara sudah final dan sudah selesai, karena keadilan dan kesejahteraan tidak pernah terwujud bagi rakyat
Indonesia, (kontrak politik bangsa), yang sejahtera hanya segelintir penguasa dan konglomerat (pemilik modal) yang juga kongkalingkong dengan penguasa, maka
“ide gila” mendirikan Khilafah Islamiyah, disintegrasi bangsa menjadi mencuat kembali ke permukaan. Para aktivis politik Muslim idealis, seperti MMI, HTI,
FPI, dan lain sebagainya merespon kecarutmarutan Negara dengan reaksional,
“revolusi”. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya.
HTI masuk di Indonesia pada tahun 1983 M, dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi, salah seorang Hizbut Tahrir dari Yordania. HTI adalah yang paling solid dan memiliki jaringan paling luas (internasional) diantara gerakan-gerakan baru yang getol berjuang menegakkan syariat Islam tersebut. Bahkan HTI juga
21Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.
78
yang paling radikal karena HTI tidak hanya bercita-cita menegakkan syariat Islam
tetapi juga mendirikan Khilafah Islamiyah dan menegakkan hukum berdasarkan
al-Qur‟an dan Hadits. Menurut HTI penegakkan syariat Islam secara kaffah
mustahil akan terwujud jika tidak ada dalam bingkai khilafah Islam.22
Pandangan HTI tentang filosofi hubungan masyarakat lokal dan negara di
era reformasi, jika dikaji tidaklah ada pandangan khusus. Pandangan mereka
masih simpang siur, ada pergeseran, dan saling bertentangan. Dalam seluruh
gagasan HTI, bentuk negara yang diidealkan adalah negara khilafah sebagai
negara Islam, dan ini berimpalikasi pada bentuk dasar filosofi tentang bangsa,
sehingga hal ini berkaitan dengan filosofi Pancasila.
Dengan konsep itu, yang disebut negara Islam adalah khalifah yang
menerapkan sistem Islam. Khilafah (kekhalifahan) atau imâmah (kepemimpinan)
adalah pengaturan tingkah laku secara umum atas kaum Muslim, artinya khilafah
bukan bagian dari akidah, tetapi bagian dari hukum syara’.23
Gagasan HTI di atas, menegaskan bahwa negara dengan filosofi dan dasar
Pancasila bukanlah negara Islam. Oleh karena bukan negara Islam, maka tidak
termasuk dikategorikan sebagai Darul Kuffar.
Pancasila dengan sila-silanya tidak ada yang buruk dan tak salah. Tetapi,
Pancasila tak mencukupi untuk mengatur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu
22 Afadlal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 265.
23Taqiyuddin al-Nabhani, Daulah Islam ,dalam Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin al- Nabhani Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor: Al-Azar Press, 2003), h. 301.
79
tidak heran, meski semua rezim mengakui Pancasila, tapi sistem yang dipakai bermacam-macam. Di masa Soekarno, Pancasila ditafsirkan sebagai sistem sosialistik, di masa kepemimpinan Soeharto, Pancasila diterapkan dalam sistem kapitalistik. Namun di masa sekarang ada kecenderungan membawa Pancasila pada sistem neoliberal. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa letak masalah bukan di Pancasila, tetapi dari sistem di bawahnya. Karena sifatnya hanya gagasan filosofis, maka Pancasila kemudian digunakan untuk melancarkan paham yang dianut penguasa.
Apabila diamati dari gagasan-gagasan dan tulisan HTI, jelas bahwa tanpa mengaitkan dengan filosofi Pancasila, mereka mengritik perjalanan reformasi, dari sudut perlawananya terhadap demokrasi, kapitalisme, korupsi, eksploitasi alam, kemiskinan, dan lain-lainnya. Solusinya, selalu dihubungan dengan penerapan syariat Islam dan khilafah, tetapi pada saat yang sama mereka tidak mau mengaitkan dengan Pancasila, apalagi membahasnya dari sudut sebagai dasar negara yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
Menurut Syafii Maarif, pemerintah ini ragu berurusan dengan kelompok
HTI, karena pemerintah sendiri takut dituduh melanggar HAM.24
Dari pengalaman historis itu Syafii Maarif menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan
“Usaha prematur dan tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan
24 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.
80
yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan”. Erat kaitannya
dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum
memahami betul arti Islam bagi manusia, baik bagi individu maupun kolektif.25
Menurut Syafii Maarif Pancasila itu kalau ditafsirkan sacara islami itu
adalah nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan oleh Islam. Jadi tanpa harus kita
bentuk negara Islam dengan adanya Pancasila ini, negara ini sudah islami. Secara
konsep Pancasila adalah satu dokumen yang secara praktis bisa menerjemahkan
ajaran-ajaran politik dalam Islam, ajaran-ajaran politik dalam al-Qur‟an tinggal
bagaimana kita merealisasikan lima konsep ini.26
25M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.I, h. 201
26Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab terdahulu, maka
selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban dari berbagai pokok-
pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Pandangan Ahmad Syafii Maarif, dalam kaitannya dengan hubungan agama
dan negara, lebih mengutamakan aspek‐aspek substantif dan
mengenyampingkan aspek legal‐formal. Pandangan seperti ini karena
dipengaruhi oleh corak pemikiran neo‐modernisme yang lebih mengutamakan
aplikasi dari ideal moral al‐Quran dari pada ketentuan legal spesifiknya.
Karena itu, dalam hal ini ia berpendapat sebagai berikut: ia sangat tidak setuju
dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama (din) dan
negara (daulah).
2. Menurut Buya Syafii Maarif, posisi agama (din) berada lebih tinggi di atas
posisi negara (daulah), din adalah sesuatu yang immutable (abadi), sedangkan
daulah adalah sesuatu yang mutable (berubah). Karena itu, tidak boleh
menempatkan negara (daulah) setaraf dengan posisi agama (din). Sebab hal
itu sama artinya dengan mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan
din al-Islam.
81
82
3. Hubungan antara agama dan negara di Indonesia menurut Ahmad Syafii
Maarif, sangat erat, buktinya dalam rumusan Pancasila ada sila ketuhanan
yang merupakan simbol keterikatan antara agama dan negara.
B. Saran
Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Ahmad Syafii
Maarif tentang agama dan negara, kiranya penulis perlu mengemukakan saran
sebagai kelanjutan dari kajian penulis tentang hal-hal tersebut di atas, yaitu:
perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang agama dan negara, sehingga
mampu memberikan informasi yang lebih utuh. Dengan penelitian yang lebih
komprehensif, diharapkan dapat melahirkan pemahaman bahwa Indonesia
merupakan negara yang multi cultural, multi agama dan etnis.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’ȃn al-Karîm.
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996, cet. III.
Afadlal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005. Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet.1.
Antono, Raja Juli, Laporan Tahunan, Jakarta: Maarif Institute, 2000-2007. Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, cet.I. Azra, Azyumardi, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. ------Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post- Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, cet.I. ------Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar Umat. Jakarta : Buku Kompas, 2002. Bakry, Noor Ms., Pancasila Yuridis Kenegaraan Yogyakarta: Liberty, 1994. Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002, cet.I. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, cet.I. Ghazali, Abd. Rohim, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, Jakarta: Maarif Isntitute, 2005. ------dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Poltik Islam Inklusif, Jakarta: Maarif Institute, 2005. http/Tienk Rahman’s Blog. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014.
83
84
Iqbal, Hakim Javid, “ Konsep Negara Menurut Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet.III. Jatmika, Sidik, AS Penghambat Demokrasi: Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001.
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, cet.I.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, cet. II.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983. ------Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1995, cet. III. ------Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet.I. ------Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996. ------Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES1, 1996, cet.I. ------Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet.I. ------“Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999, cet.I.
------Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. III.
------Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, Jakarta: Cidesindo, 2000.
------“Pengantar” dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Sukarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju, 2002, cet.I.
------Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Yogyakarta: Ombak, 2006.
------Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009, cet.I. 85
------Fikih Kebinekaan, Jakarta: PT Mizan, 2015.
------Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi, 2015.
Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, Jakarta: Hudaya, 1970. Mawardi, al, Al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet.I. MD, Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999. ------Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, cet.II. Nabhani, al-Taqiyuddin, Daulah Islam ,dalam Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin al- Nabhani Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, Bogor: Al-Azar Press, 2003. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Natsir, Mohammad, Agama dan Negara dalam Prespektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001, cet.1. ------Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, cet.8. Pulungan, Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, cet. II. Qaradhawi, al-Yusuf, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik (Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme), Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008. Rais, Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, 1998. 86
Rosyada, Dede, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, cet.I.
Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, cet.II.
Salim, M. Arskal, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun’im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, cet.I. Shalaby, Ahmad, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, Surbaya: PT. Bina Ilmu, 1988, cet.I. Soekarno, Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, Di bawah Bendera Revolusi, Panirya Penerbit Di bawah Bendera Revolusi, 1963. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1966.
Suaedy, Ahmad (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, cet.I. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2011. Suhelmi, A., Soekarno Versus Natsir, Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999. Syam, Firdaus, Amien Rais: Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003. ------Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra: Di Pentas Politik Indonesia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, 2003. Syamsudin, M. Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, cet.I. ------Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001. Syarif, Mujar Ibnu, dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008. Ubaedilah, A, dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. 87
Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: Lkis, 2000. Wahyudi, Andi, Muhammadiyah dan Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan Muhammadiyah Era 1990, Editor: Darmawan, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, cet.I.
Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas alih bahasa: Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016. Yunus, M. Yunan, TeologiMuhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial Jakarta: Uhamka Prees, 2005.
90
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : Ahmad Syafii Maarif waktu : Minggu, 12 Juni 2016
1. Bagaimana tentang hubungan agama dan negara?
Jawab: Sebetulnya kalau berbicara tentang hubungan agama dan negara itu
akan merujuk pada konsep politik dalam Islam itu seperti apa, teori politik
dalam Islam tersebut. Bahwa negara itu adalah suatu organisasi besar, yaitu alat
bagaimana menciptakan cita-cita ideal, bukannya oleh yang diciptakan Islam
itu, tapi yang diciptakan oleh agama manapun dan manusia pada umumnya.
Ada beberapa teori yang menjelaskan hubungan agama dan negara:
a. Teori formal legalistik, yaitu bagaimana kerangka kenegaraan itu
dibangun diatas landasan agama. Jadi agama yang secara keras, kaku,
dan kasar itu memformat sistem kenegaraan.
Misalnya yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, sistem
kenegaraannya di landaskan pada agama.
b. Teori Substansial, yaitu bagaimana ruh-ruh keagamaan itu menjadi
pedoman dalam menjalankan kehidupan bernegara. Tanpa harus ada
embel-embel agama tertentu, tetapi misalnya kalau disitu ada nilai-nilai 91
keagamaan yang dipegang menjadi pedoman sudah menjadi bentuk
substansial. Negara berjalan diatas nilai-nilai keagamaan hanya nilai-
nilainya saja tidak kerangkanya yang menjadi pedoman dalam
bernegara.
Dikalangan yuris, kalangan ahli politik pada abad pertengahan, ada 2 doktrin:
1) Islam itu mengkaji persoalan-persoalan akidah, syariah, dan ibadah.
Dalam artian tuntunan-tuntunan keagamaan tetapi tidak membahas urusan
pada politik.
2) Islam bukan hanya sekedar mengurus soal-soal keagamaan tetapi juga
mengurus soal negara.
Tokohnya seperti al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah.
Mereka berpandangan bahwa din wa daulah, yaitu wajib dasarnya adalah dalam Islam itu wajib membentuk suatu kepemimpinan, dan kepemimpinan ini sebetulnya bukan menjadi suatu tonggak atau satu rukun dalam Islam. Kepemimpinan yang menjadi alat yang wajib ada, untuk memenuhi suatu cita-cita Islam yang ideal.
Dalilnya itu, Mȃ lȃ yatimmu al-wȃjibu illȃ bihi fa huwwa wȃjibun, yang artinya: “Selama suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”.
Misalnya kita wajib menegakkan keadilan, menciptakan kemakmuran masyarkat, yaitu alatnya organisasi atau negara. Jadi ketika tidak ada negara, 92
kemudian kemakmuran tidak terpenuhi, maka keberadaan negara menjadi wajib
untuk menghadirkan keadilan itu sendiri.
2. Bagaimana Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara itu sendiri?
Jawab: Bentuk itu secara praktis dalam institusi Islam ada yang masuk dalam
kategori monarki absolut. Dimana sistemnya itu menganut pada kerajaan, tetapi
di legitimasi oleh dasar-dasar keagamaan juga.
Misalnya yang terjadi pada kerajaan atau kesultanan yang terjadi setelah
khilafah, itukan sebetulnya bukan sistem khilafah. Tetapi, sistem turun
temurun. Muawiyah menurunkan kekuasaanya pada anaknya. Monarki yang
dibalut dengan agama, karena dia mengatas namakan agama. Padahal untuk
kekuasaan turun-temurun.
Dalam negara Islam ada konsep:
Kafir Dzimmi, yaitu boleh tinggal disitu tetapi membayar pajak.
Kafir Harbi, yaitu diperangi.
Itu suatu bentuk hubungan agama dan negara yang mempunyai konsekuensi
terhadap hubungan sosial yang ada di dalamnya.
Misalnya, soal kesetaraan, keadilan, kesejahteraan bersama.
Sebetulnya terjadi pada zaman Nabi, meskipun Nabi tidak mengatakan
bahwa Nabi itu seorang pemimpin politik, tetapi secara otomatis Nabi itu juga
mengurus persoalan politik. Nabi itukan pemimpin agama, tetapi Nabi 93
mengurus soal politik, sosial, soal ekonomi juga. Tetapi Nabi bukan pemimpin
politik seperti Presiden, atau Wali Kota.
Tetapi misi kenabiannya dalam konteks kehidupan sosialnya itu lebih
substansial dalam kehidupan bernegara di Madinah, dan dalam kehidupan
berpolitik di Madinah.
3. Bagaimana sebaiknya hubungan agama dan negara? Apakah agama menyatu ke
dalam kekuasaan negara, ataukah justru dipisahkan agama dengan negara?
Jawab: Negara ini di dasarkan pada ruh, yaitu nilai-nilai universal keislaman
meskipun tidak harus menjadi negara Islam, Islam menyatu dalam satu negara
tidak perlu, tapi ruhnya itu yang menjadi dasar bagaimana kehidupan berbangsa
dan bernegara itu dijalankan.
Buya itu sering mungutip Hatta, dalam kehidupan agama dan negara itu
sebaiknya memakai filsafat garam, bukan filsafat gincu. Garam itu kalau di
masukkan kedalam air tidak terlihat tetapi ketika diminum itu terasa, sedangkan
kalau gincu ketika dimasukkan kedalam air itu terlihat tetapi ketika diminum
tidak terasa. Buya itu mengkritik pandangan formalistik itu, bahwa kita harus
membentuk negara Islam tetapi isinya tidak ada, Islam hanya jargon, hanya
simbol. Kalau Buya itu lebih ke filsafat garam itu, kita tidak harus negara Islam
tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam yang menjadi satu landasan
bagaimana kita menjalankan berbangsa dan bernegara. 94
Yaitu kesetaraan, keadilan, kemakmuran, toleransi, keterbukaan, itukan
nilai-nilai Islam universal yang bisa menjadi landasan bagaimana kita bisa
berbangsa dan bernegara, jadi lebih ke substansial.
4. Bagaimanakah Hubungan Agama dan Negara Menurut Konsep Pancasila?
Jawab: Jadi Pancasila itu kalau di tafsirkan secara islami itu adalah nilai-nilai
yang selama ini diperjuangkan oleh Islam. Bagaimana Islam itu yang berasal
dari Tuhan untuk manusia. Jadi agama kemanusiaan.
Jadi tanpa kita bentuk negara Islam dengan adanya Pancasila ini, negara
ini sudah islami, sudah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dalam teori,
prakteknya kita belum melihat, kita harus berdebat lagi, apakah itu terelasasikan
atau tidak tetapi teori atau konsep dalam Pancasila itu sudah sesuai dengan
ajaran Islam.
Secara konsep Pancasila adalah satu dokumen yang secara praktis bisa
menerjemahkan ajaran-ajaran politik dalam Islam, ajaran-ajaran politik di
dalam al-Qur’an tinggal bagaimana kita merealisasikan lima konsep ini.
Buya sering mengkritik, orang Indonesia ini dalam hal rumus-
merumuskan sangat jago, tetapi dalam hal praktek tidak bisa. Bahkan Pancasila
itu sendiri, menurut Buya sila-silanya itu sudah yatim piatu, tidak ada yang
mengayomi bahkan sejak Pancasila itu di lahirkan, sejak zaman Soekarno.
Dalam hal praktek sudah dihianati atau tidak dilaksanakan. Misalnya 95
dengandemokrasi terpimpin dia mengikrarkan menjadi Presiden seumur hidup.
Itukan menyalahi Pancasila itu sendiri.
Pancasila ini satu terjemahan konseptual yang subtansial dari cita-cita
atau nilai-nilai universal yang selama ini diperjuangkan dalam Islam.
Keberadaan Pancasila ini sendiri otomatis tidak lagi membutuhkan apa yang
disebut agama dan negara, atau negara Islam. Kerangkanya cukup dengan
negara Pancasila, bahwa nilai-nilai keagamaan sudah masuk disitu.
5. Bagaimana Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di
Indonesia?
Jawab: Di Indonesia itu aplikasinya agak repot, ketika negara ini berjalan tidak
sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan awal para pendiri. Jadi selama ini
dari para beragam latarbelakang agama, suku, dan sebagainya itukan tahun 45
sampai 50-an sudah membuat satu landasan bagaimana kita beragama dan
bernegara. Yang disebut Pancasila sebagai falsafah negara, kemudian ada
konstitusinya UUD 1945. Semua aturan-aturan itu adalah hasil dari kesepakatan
bersama, tetapi pada kenyataannya kesepakatan itu tidak direalisasikan secara
benar.
Saat itu perdebatannya ya Pancasila sebagai dasar negara, atau Islam
sebagai dasar negara. Yang Islam sebagai dasar negara kalah, dengan yang
Pancasila ini. 96
Tetapi ketika Pancasila sudah diterima menjadi dasar negara, pada
kalangan yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, kehidupan negara
kita juga tidak konsisten menjadikan Pancasila sebagai pedomannya.
Seharusnya kalau sudah bersepakat bahwa Pancasila sebagai dasar
negara seharusnya konsisten untuk menjalankan sila-sila yang ada di Pancasila
itu, karena kalau tidak di jalankan secara konsisten itu ada rong-rongan HTI
yang menawarkan sistem Khilafah. Itukan seperti sebuah kritik. Pancasila
kenapa tidak bisa menciptakan keadilan, Pancasila tidak bisa menciptakan
kemakmuran, kesejahteraan, kita harus coba sistem ini, sistem Khilafah, itukan
menjadi kritik. Sebetulnya permasalahannya bukan pada teorinya, atau pada
konsep Pancasilanya. Tetapi bagaimana Pancasila itu tidak mau di jalankan
oleh orang-orang atau elit-elit yang ada di Indonesia. Atau tidak konsisten
untuk di implementasikan untuk berbangsa dan bernegara.
Kalau kita konsisten dalam menjalankan Pancasila sebagai landasan kita
berbangsa dan bernegara rong-rongan seperti HTI tidak akan muncul, karena
memang kita belum bisa memenuhi satu cita-cita ideal Indonesia yang adil dan
makmur itu. Pada akhirnya rong-rongan dari situ masuk, sedangkan orang
awam cenderung menerima.
6. Sejak kapan rong-rongan Hizbut Tahrir Indonesia itu muncul? 97
HTI muncul itu sekitar tahun 1983 M. Sedangkan rong-rongan HTI itu
muncul ketika Pancasila itu tidak dijalankan sesuai oleh para elit politik,
karena keadilan dan kesejahteraan tidak terwujud bagi Masyarakat Indonesia.
7. Bagaimana sikap pemerintah dalam kelompok Hizbut Tahrir Indonesia ini?
Jawab: Pemerintah ragu berurusan dengan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia
ini, karena pemerintah sendiri takut dituduh melanggar Hak Asasi Manusia.
8. Bagaimana Kontroversi yang mengenai Hubungan Agama dan Negara tersebut?
Jawab: Polemik perdebatan konstituante ada 3 golongan:
- Golongan Islam, yang ingin memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Itu di representasikan oleh partai Masyumi, tokoh-tokohnya, ada Natsir,
Syafrudin.
- Golongan Nasionalis, yang menghendaki cukup Pancasila sebagai dasar
negara. Tokoh-tokohnya ada Hatta, Soekarno.
- Golongan Komunis ini, agama tidak penting.
Bahwa dalam prosesnya mereka melakukan debat, terkait apa sih yang
akan menjadi dasar negara Indonesia ini, sampai tahun 1959 perdebatan tidak
menghasilkan apa-apa. Sehingga Presiden Soekarno mengelurkan dekrit yang
salah satu isinya adalah kembali ke UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar
negara. Disitu ada preambule, preambule disitukan isinya Pancasila, artinya kita
kembali ke UUD 1945 dan kembali ke Pancasila sebagai dasar negara. 98
Sebetulnya disitu yang akhirnya Pancasila sebagai dasar negara diterima oleh yang lainnya.
Setelah itu orang-orang Masyumi, terutama yang dari Muhammadiyah, itukan banyak memberikan legitimasi, menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang mengakomodir tentang nilai-nilai keagamaan dalam ini keislaman.
99
TRANSKIP WAWANCARA
Nama : M. Abdullah Darraz
Jabatan : Direktur Program for Justis waktu : Kamis, 12 Mei 2016
1. Bagaimana Posisi Agama dan Negara itu sendiri?
Jawab: Ada teori yang mengkritik negara itu jangan dipisahkan secara yang
diametral bahkan berhadap-hadapan. Itu yang selama ini dimaknai sebagai
sekularisme politik bahwa agama tidak ada sama sekali hubungannya dengan
negara.
2. Bagaimana Bentuk Ideal mengenai Hubungan Agama dan Negara?
Jawab: Idealnya sebaiknya negara di jalankan diatas nilai-nilai moral
keislaman. Katakan Islam, tetapi kalau misalnya konsep agama lain tanpa harus
menyatukan antara agama dan negara, tanpa harus memisahkan agama dan
negara.
100
3. Bagaimana Aplikasi Mengenai Hubungan Agama dan Negara di Negara-negara
Muslim?
Jawab: Selama inikan seperti negara Saudi Arabia, itu sistemnya secara Islami
atau apa, atau bagaimana. Arab Saudi bukan Islami tetapi sistemnya kerajaan.
Dan hampir dimana-mana sistemnya kerajaan.
Di arab saudi murni sistemnya Monarki tetapi di balut oleh jargon-
jargon keagamaan. Disitu tidak ada nilai Islamnya hanya simbol agama saja,
kalau Monarki itu otomatiskan turun-temurun, sedangkan dalam Islam itu
konsep atau doktrinnya adalah kesetaraan untuk semua. Kalau mengikuti sistem
monarki rakyat jelata itu tidak bisa jadi Presiden. Sistem-sistem yang seperti itu
adalah menghianati Islam, merusak Islam. Karena Islamkan yang dilihat bukan
dari stratanya.
Iran itu sistemnya wilayatul faqih, disitu ada Presidennya yang di pilih
masyarakat, tetapi disitu ada satu lembaga diatas Presiden dan akan
melegitimasi Presiden.
Sebelum Revolusi di Iran juga sistemnya Kerajaan, tetapi di revolusi
bahwa Presidennya di pilih oleh rakyat, tapi itu mendapatkan legitimasi dari
kepemimpinan sepiritualnya yang wilayatul faqih itu.
101
Wawancara Bersama Buya Ahmad Syafii Maarif di Kuningan,
Jakarta Selatan, 12 Juni 2016
Wawancara bersama Bapak M. Abdullah Darraz
Direktur Program for Justis Maarif Institute