PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Siti Nurlaela NIM: 1110045200009

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H / 2016 M

PERSEMBAHAN

Dengan segenap hati, penulis persembahkan skripsi yang sederhana ini sebagai wujud terima kasih yang tak terhingga untuk Ayah dan Ibu penulis tercinta.

Doa Ibu khususnya, senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Untuk mendiang Ayah, semoga para malaikat Tuhan sampaikan akan kabar bahagia ini.

ABSTRAK

Siti Nurlaela. NIM 1110045200009. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1437H / 2016 M.Ix + 83 halaman + 13 halaman lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk ideal hubungan agama dan negara menurut Ahmad Syafii Maarif, posisi hubungan agama dan negara serta aplikasi hubungan agama dan negara di . Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Dimana data dikumpulkan dari buku-buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dan wawancara sebagai penelitian. Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan agama dan negara. Menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan agama dan negara. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diperoleh suatu kesimpulan Pandangan Ahmad Syafii Maarif, dalam kaitannya dengan hubungan agama dan negara, lebih mengutamakan aspek‐aspek substantif dan mengenyampingkan aspek legal‐formal. Pandangan seperti ini karena dipengaruhi oleh corak pemikiran neo‐modernisme yang lebih mengutamakan aplikasi dari ideal moral al‐Quran dari pada ketentuan legal spesifiknya. Karena itu, dalam hal ini ia berpendapat sebagai berikut: ia sangat tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah Din (Agama) dan Daulah (Negara). Menurutnya tidak harus negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam menjadi satu landasan bagaimana kita berbangsa dan bernegara.

Kata kunci :Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara Pembimbing :Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA

Daftar Pustaka : Tahun 1963 s.d Tahun 2015

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para pengikutnya.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun secara kelembagaan.

Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)

dan kepada Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Hukum Tata

Negara (Siyasah) yang telah membantu penulis secara tidak langsung

dalam menyiapkan skripsi ini.

3. Bapak, Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA, Dosen Pembimbing yang telah

meluangkan waktu, memberikan inspirasi, saran, kritikan, serta arahan

kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

ii

4. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, Pembimbing Akademik yang juga senantiasa

mengingatkan penulis semasa mengikuti perkuliahan hingga penulis

menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Nur Habibi, Dosen yang telah membantu penulis saat kesusahan

dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu

pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian

literatur yang diperlukan.

8. Kepada Lembaga Maarif Institute, terutama Buya Ahmad Syafii Maarif,

M. Abdullah Darraz, yang sudah bersedia untuk penulis wawancarai,

terima kasih atas bantuan data-data yang telah diberikan sehingga dapat

mempermudah penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Untuk Ayahanda H. Tamrin (Almarhum) dan Ibunda Hj. Richanah, terima

kasih atas kasih sayang, motivasi dan dukungan yang mereka berikan baik

moril maupun materil, sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan

yang layak untuk masa depan. Semoga Allah SWT. Selalu melindungi dan

memberikan kasih sayang kepada mereka, sebagaimana mereka

mencurahkan semua itu kepada penulis.

iii

10. Kepada adik-adikku Siti Nur Hikmah dan Muhammad Ade yang selalu

memberikan semangat, dan doa kepada penulis.

11. Kepada sahabat-sahabat terbaikku, Ayu Safitri, S.Sy, Royatul Maryam,

Roziqul Mubtadiah, S.Sy, Halimatussa’diah, S.Sy, Luluk Husnawati,

S.Sy, Siti Balqis, yang selalu mengingatkan, selalu sabar mendengarkan

keluhan dan memberikan motivasi kepada penulis.

12. Kepada sahabat seperjuangan SS Angkatan 2010, Ihda Roudhotul

Ihsaniah, Vicky Imelsya Fauzi, S.Sy, Ika Dian Humairoh, S.Sy, Ade

Hikmatul Fauziah, S.Sy, Sholiah, S.Sy, Eli Rinawati, S.Sy, Siti

Nurhilaliyah, S.Sy, Anita Listiani, S.Sy, Rifanny Fathia S.Sy, Rizki

Alvian, S.Sy, M. Hafiz, S.Sy, Arifin Shaleh, S.Sy, Rifai Arif, S.Sy, Daud,

S.Sy, M. Rois, S.Sy, Marzuki, S.Sy, Saefudin, S.Sy, Muhammad Ibnu

Taslim, S.Sy, terima kasih atas kebaikan kalian, yang selalu memberikan

semangat, motivasi, dan doanya kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

13. Kepada sahabat-sahabat KKN Mentari dan sahabat-sahabat IMT (Ikatan

Mahasiswa Tegal) yang selalu memberikan motivasi, arahan, selama

penulis menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh

iv karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 21 Juni 2016

Siti Nurlaela

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

DAFTAR ISI ...... vi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7

D. Tinjauan Pustaka ...... 8

E. Metode Penelitian ...... 10

F. Sistematika Penulisan ...... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AGAMA DAN NEGARA

A. Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara ...... 14

B. Kontroversi Hubungan Agama dan Negara ...... 27

C. Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Negara Muslim ... 32

BAB III BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF

A. Latar Belakang Sosial Kehidupannya ...... 38

B. Pendidikan dan Karirnya ...... 45

C. Buah Karyanya ...... 58

vi

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

A. Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara ...... 62

B. Posisi Agama dan Negara ...... 67

C. Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara

Di Indonesia ...... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...... 81

B. Saran ...... 82

DAFTAR PUSTAKA ...... 83

LAMPIRAN ...... 88

vii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman modern, perdebatan tentang agama dan negara terus menjadi

wacana yang menarik. Pengalaman masyarakat muslim di sejumlah negara

menunjukkan terdapatnya hubungan yang canggung antara Islam dan negara.1

Para pemikir faham modernis, marxisme, dan sekularisme mengatakan

bahwa hubungan antara agama dan politik adalah hubungan yang saling

berlawanan dan bertentangan. Mereka menganggap agama sebagai lawan dari

politik, dan sampai kapan pun keduanya tidak akan pernah bisa bertemu. Sebab

sumber, ciri, dan tujuan keduanya berbeda. Agama berasal dari Allah sementara

politik berasal dari manusia. Agama bersifat sakral, suci dan lurus sementara

politik bersifat kotor dan kejam. Agama bertujuan untuk akhirat sementara politik

untuk kepentingan di dunia. Karena itu, agama harus diserahkan kepada ahli

agama, begitu juga dengan politik yang harus diserahkan kepada politikus.2

Agama dan politik merupakan dua aspek fundamental dalam kehidupan

manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya juga telah menjadi bahan

pemikiran para ilmuwan, filsuf maupun teolog sepanjang sejarah. Salah satu

1Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 76.

2Yusuf al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, (Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme), (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008), h. 63-64.

1

2

karakteristik Islam sebagai agama pada awal-awal perkembangannya adalah

kejayaan di bidang politik. Islam tidak hanya menampilkan dirinya sebagai

perhimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan yang

sama, melainkan juga sebagai masyarakat yang total.3

Agama dan negara adalah dua satuan sejarah yang berbeda hakikatnya.

Agama adalah kabar gembira dan peringatan, sedangkan negara adalah kekuatan

pemaksa (coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama. Sedangkan

negara punya birokrasi, pengadilan, dan tentara. Agama dapat mempengaruhi

jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, negara mempengaruhi sejarah

dengan keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam

dan negara adalah kekuatan dari luar.4

Menurut paradigma sembiotik, hubungan agama dan negara berada pada

posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (sembiosis mutualita).

Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam

melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga

memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga

negaranya.

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas

antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda

3Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 24.

4Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), cet.II, h. 191-192.

3

dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya

harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara

adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-

masing warga negara.5

Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan

yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul

Pergolakan Politik Islam, menuliskan, ketegangan perdebatan

mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak

canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.

Setelah Perang Dunia II, masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya

masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung antara Islam dan

negara atau politik pada umumnya.6

Hal demikian disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam

menerjemahkan agama sebagai bagian dari negara atau negara merupakan bagian

dari dogma agama. Bahkan, menurut Syafii Maarif (1935 M), Harun Nasution

(1919-1998 M), seorang ahli teologi Islam, pernah mengatakan, bahwa persoalan

5A, Ubaedilah dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 96-97.

6Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet.I, h. 1.

4

yang telah memicu konflik intelektual untuk pertama kalinya dalam kehidupan

umat Islam adalah terkait dengan masalah hubungan agama dengan negara.7

Menurut Deliar Noer (1926-2008 M), Islam setidaknya meliputi dua aspek

pokok yaitu agama dan masyarakat (politik).8 Akan tetapi untuk

mengartikulasikan dua aspek tersebut dalam kehidupan nyata merupakan suatu

problem tersendiri. Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistik

Islam. Dalam persepsi mereka, Islam sebagai instrumen Ilahiyah untuk

memahami dunia, seringkali lebih dari sekedar agama. Banyak dari mereka malah

menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai agama dan negara.9

Agama telah menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan sosialnya, selain itu agama juga diyakini tidak hanya

berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang

harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial dan dalam ranah ketatanegaraan,

sehingga muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan

bernegara.10

Sejalan dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama Islam ke

seluruh penjuru dunia, telah terjadi kontak sosial dan budaya dan akan

7Ahmad Syafii Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999), cet.I, h. 9.

8Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), h.1.

9Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES1, 1996), cet.I, h. 15.

10Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar Umat, (Jakarta : Buku Kompas, 2002), h. 34-35.

5

mempengaruhi ajaran Islam itu sendiri. Budaya masyarakat dari waktu ke waktu

akan mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan sebuah

ajaran, paham yang berasal dan diciptakan oleh sekelompok masyarakat atau

perorangan akan hidup dan tumbuh pada waktu yang bersamaan selagi tokoh atau

orang yang menciptakan ajaran itu masih hidup, dan hanya sesuai pada waktu

zaman itu juga.

Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, ketika Islam diaplikasikan dalam

konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah,

terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar

bangsa Indonesia.11

Indonesia bukan negara agama, bukan pula agama yang mengakui adanya

salah satu agama resmi, dan tentu saja bukan negara sekuler. Indonesia adalah

negara Pancasila dimana semua agama dan masing-masing pemeluknya

diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Tidak ada agama ekslusif

yang harus lebih dominan diantara agama-agama lainnya, sekalipun diantaranya

ada agama mayoritas mutlak dianut oleh warganya.

11Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009), cet.I, h. 15.

6

Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal Islam tidak menetapkan

dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan

oleh kaum Muslim.12

Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam

bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu

saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya

yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad

Syafii Maarif tidak lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak

pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara.

Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada

masa ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas

Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus

Maududi dan menjadikannya rujukan primer.

Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola

pemikirannya tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua

dalam pemikiran. Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-

Qur’an adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang

jelas sebagai acuan dalam berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur

12Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, h. 20.

7

Rahman selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara

mendasar.13

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk menulis tentang

“Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis hanya membatasi

penulisan ini mengenai Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan

Agama dan Negara. Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, maka

permasalahan yang akan menjadi objek penelitan, penulis merumuskannya

sebagai berikut :

1. Bagaimana Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara menurut Ahmad

Syafii Maarif?

2. Bagaimana Posisi Agama dan Negara menurut Ahmad Syafii Maarif?

3. Bagaimana Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di

Indonesia menurut Ahmad Syafii Maarif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan sebuah proposal merupakan suatu kewajiban yang harus

dipenuhi oleh seorang mahasiswa sebelum mengajukan skripsi, dalam hal ini

13Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 224.

8

penulis menguraikan tujuannya adalah untuk memberikan gambaran-gambaran

yaitu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara menurut

Ahmad Syafii Maarif.

2. Untuk mengetahui Posisi Agama dan Negara menurut Ahmad Syafii Maarif.

3. Untuk mengetahui Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara

di Indonesia menurut Ahmad Syafii Maarif.

Diharapkan dari hasil penelitian ini berguna:

1. Memperkaya khazanah intelektual Islam dalam bidang politik

2. Memberikan konstribusi bagi para negarawan atau politisi dalam rangka

menata atau memformulasi paradigma dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah dokumen-dokumen

tertulis yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

Langkah ini dimaksud agar dalam proses penulisannya dilakukan kepada

kepustakaan yang sudah ada sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya

melengkapi penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang berhubungan

dengan judul ini adalah sebagai berikut:

Karya Ahmad Rafiq dalam skripsi “Hubungan Islam dan Negara di

Indonesia (Dalam Prespektif Muhammad )”, karya ini adalah karya

9

mahasiswa Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih fokus kepada pemikiran Amien Rais memiliki pemikiran simbiotik tentang hubungan agama (Islam) dan negara, yaitu adanya hubungan timbal balik antara hubungan agama dan negara.

Karya Empan Supandi dalam skripsi “Islam dan Politik: Kajian tentang

Pemikiran Politik Al-Gazali”, karya ini adalah karya mahasiswa Jurusan

Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2006. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih terfokus pada pemikiran al-Gazali yang berpendapat bahwa pemimpin atau kepala negara dalam masyarakat adalah keharusan agama untuk menciptakan keteraturan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, oleh karena itu al-Gazali memandang politik Islam bukan sekedar masalah teknis dengan perhitungan kekuasaan saja, akan tetapi ia menekankan perhatiannya pada hal yang paling mendasar, yakni landasan moral dengan segala aspeknya, baik kepala negara, pejabat negara maupun ulama.

Karya Anita Listiani dalam skripsi “Agama dan Negara dalam Faham

Sekularisme Mustafa Kemal Attaturk di Turki”, karya ini adalah karya mahasiswa

Program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2014. Dalam kajian penelitian ini penulis lebih terfokus pada pemikiran Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan salah satu tokoh terkemuka kaum sekularis Turki modern dan pembela Sekularisme yang paling

10

fanatik dan konsisten untuk melakukan hentakan dan gebrakan politik dengan

memisahkan agama (Islam) dari urusan politik dan negara.

Jika dibandingkan dengan kajian-kajian diatas, dengan kajian yang akan

dibahas dalam skripsi ini sangat berbeda. Skripsi yang ditulis ini mengkaji

Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hubungan Agama dan Negara, tentang

aplikasi hubungan agama dan negara yang ada di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, maka penulis akan menjelaskan

metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pedoman utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif.14 Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa

kajian ini lebih sinkron dengan pendekatan tersebut, sebab: (1) menyesuaikan

metode kualitatif lebih mudah untuk dihadapkan pada kenyataan, dan (2)

metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan

penajaman-penajaman terhadap nilai-nilai yang diperlukan oleh peneliti.15

Sedangkan jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian

kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara menelusuri sumber-

sumber, karya-karya yang dihasilkan oleh Ahmad Syafii Maarif sendiri,

maupun karya-karya orang lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji.

14Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), h.394.

15Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1966), h. 63.

11

Jenis penelitian ini dijadikan acuan dengan pertimbangan bahwa masalah

yang dikaji adalah persoalan pemikiran, oleh sebab itu, jenis kajian yang tepat

dipergunakan yaitu kepustakaan.

2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada dua sumber data: primer dan sekunder. Data

primer yaitu buku-buku politik karangan Ahmad Syafii Maarif yang berkaitan

langsung dengan bahasan skripsi ini, diantaranya adalah buku Islam dan

Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam

Konstituante, buku Peta Intelektualisme Islam di Indonesia, dan buku Islam

dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin.

Sedangkan sumber data sekunder didapat dari berbagai artikel yang

membahas tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Selain data kepustakaan

peneliti juga akan melakukan wawancara mendalam dengan Ahmad Syafii

Maarif terkait pemikirannya sebagai bahan verifikasi dan validasi dari data

yang peneliti temukan didata kepustakaan.

Sedangkan metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara: Memanfaatkan fasilitas perpustakaan, baik yang ada dalam

lingkungan UIN maupun lainnya, untuk mendapatkan berbagai data yang

terkait dengan penelitian.

3. Metode Analisis Data

Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah

melakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis ini secara

12

kualitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah teknik analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi yaitu penguraian

data melalui kategorisasi perbandingan dan pencarian sebab akibat, baik

menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa

berbagai data untuk diambil kesimpulan).

4. Tehnik Penulisan

Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku

“Pedoman Penulis Skripsi” yang disusun oleh fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Kajian ini terdiri atas lima bab dan setiap bab terdiri dari subbab, yang

sistematika pembahasannya ditempatkan secara kronologis menurut urutan

babnya.

Bab I memuat Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan tentang Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara,

Kontroversi Hubungan Agama dan Negara, dan Aplikasi Hubungan Agama dan

Negara di Negara Muslim.

13

Bab III membahas tentang biografi Ahmad Syafii Maarif yang terdiri dari;

Latar Belakang Sosial Kehidupannya, Pendidikan dan Karirnya, serta Karya- karyanya.

Bab IV membahas tentang pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai

Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara, Posisi Agama dan Negara,

Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia.

Bab V sebagai bab Penutup dari rangkaian Skripsi ini, memuat tentang

Kesimpulan, Saran-saran Penulis.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AGAMA DAN NEGARA

A. Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara

Perdebatan mengenai bentuk negara telah menjadi persoalan yang cukup

usang, jauh sebelum kemerdekaan, perdebatan mengenai dasar negara

menimbulkan polemik yang sangat menegangkan. Pertentangan antara golongan

nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler pada kenyataannya dimenangkan oleh

kaum nasionalis sekuler. Kalangan nasionalis Islam menghendaki Islam menjadi

dasar negara. Sedangkan kalangan nasionalis sekuler menghendaki Pancasila

sebagai dasar negara. Musyawarah dalam Panitia Sembilan yang di dalamnya

terdapat wakil kalangan Kristen menghasilkan kompromi berupa dokumen yang

kita kenal sebagai “Piagam Jakarta” yang mengandung subtansi “dengan

kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi para pemeluknya”. Karena ada yang

keberatan dari kalangan Kristen dan Katolik, maka atas desakan Bung Hatta para

wakil kalangan Islam di dalam Panitia Sembilan setuju untuk mencoret tujuh kata

Piagam Jakarta itu. Tindakan itu sampai waktu puluhan tahun menjadi bahan

diskusi dan bahan kajian yang tetap aktual.

Kesempatan perjuangan Ideologi Islam terbuka kembali pada masa

pemerintahan Soekarno. Kalangan Islam tetap mempunyai keinginan untuk

memperjuangkan Islam untuk dijadikan dasar Negara RI. Upaya itu dilakukan

14

15

melalui Majelis Konstituante (1956-1959). Namun perjuangan yang mencita- citakan Islam dalam bentuk formal pada akhirnya dapat dipatahkan dengan tangan besi sang penguasa.

Di Indonesia, dalam hubungannya dengan agama, negara dikategorikan kepada tiga bentuk atau paradigma, yaitu: integral, sekuler dan sembiotik. Di bawah ini akan dibahas tentang paradigma-paradigma tersebut beserta tokoh- tokoh yang mendukungnya. a. Paradigma Integralistik

Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara, karena Islam telah lengkap mengatur sistem kemasyarakatan. Paradigma ini terdiri dari dua kelompok, yaitu; a) tradisional, yakni mereka tetap mempertahankan tradisi praktik dan pemikiran politik Islam klasik/ abad pertengahan, dan b) fundamentalisme, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia.

Paradigma pertama ini mengajukan konsep bersatunya agama dan negara.

Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan (integrated), wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (devine cofereignty), karena

16

memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. Jadi, pandangan ini

bersifat teokratis.1

Konsekuensi lebih lanjut dari pandangan ini adalah bahwa aturan

kenegaraan harus dijalankan menurut hukum-hukum Tuhan (syari‟ah). Ayat-ayat

al-Qur‟an yang sering dikumandangkan sebagai legitimasi bagi penerapan hukum

Tuhan ini misalnya:

ِ ِ ِ َ آوَم ْن ََل ْ ََْي ُك ْم ب َ اَنْ َزَل اهللُ فَ ُاؤل َئ َك ُه ُم الْ َكفُرْوَن )املا ئدة: ٤٤(

Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. 5: Al- Maidah:44).2

Fundamentalisme Islam memandang bahwa Islam sebagai ajaran lengkap

mencakup bentuk dan sistem kenegaraan. Kaum fundamentalis, menurut

Montgomery Watt, memandang bahwa Islam bukanlah menjadi dirinya yang

sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara Islam yang

diperintah oleh kaum muslimin yang mencakup syari‟ah sebagai hukum.3

Salah seorang tokoh yang menganut paradigma ini adalah Muhammad

Natsir. Faktor yang paling dominan yang melatarbelakangi pemikiran Natsir

tentang negara adalah keyakinannya akan ajaran al-Qur‟an, yang meminjam

1Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet.I, h. 89.

2Departemen Agama RI Al Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2007), h. 215.

3W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas alih bahasa: Taufiq Adnan Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), cet.I, h. 184.

17

bahasa Bahtiar Effendy “hadir di mana-mana” dalam artian semua aspek

kehidupan manusia tidak terlepas dari tuntutan dan tuntutan, baik itu bersifat

kemestian (wajib), anjuran (sunah), kebolehan (mubah), atau sebaliknya, larangan

(haram), dan lain-lain.

Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang “Islam sebagai

Dasar Negara” menyatakan yakni, “kehendak kami, (Saya dan Fraksi Masyumi)

sebagai mana yang sudah diketahui kita semua, supaya Negara Republik

Indonesia kita ini berdasarkan Islam (Negara Demokrasi Berdasarkan Islam)”.4

Dan lebih tegas ketika beliau menyatakan kenyataan sejarah manusia

semenjak dahulu memberikan hasil akhir dari manusia hanya dua alternatif

sebagai dasar negara, yaitu: sekularisme dan agama. Dengan kata lain, dalam

konteks Indonesia pun akan mendasari dirinya dengan salah satu itu.

Baginya kemerdekaan Indonesia tidak lain untuk kemerdekaan Islam, agar

berlaku peraturan dan susunan Islam untuk keselamatan dan keutamaan umat

Islam khususnya, serta segala makhluk Allah pada umumnya. Ia pesimis dengan

kalangan netral agama terhadap Islam.

Argumen Natsir menginginkan Islam sebagai dasar negara antara lain:

seperti banyak umat Islam, Natsir percaya akan watak holistik Islam. Ia, kata

Bahtiar Effendy, percaya bahwa Islam tidak hanya terdiri dari praktik ibadah,

4M. Natsir, Agama dan Negara dalam Prespektif Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 2001), cet.I, h. 200.

18

melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan

antara individu dan masyarakat.5

Lebih lanjut lagi Natsir berpandangan bahwa Islam berbeda dari agama-

agama lain, Islam mengandung peraturan-peraturan atau hukum-hukum perdata

dan pidana dan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut tentu memerlukan

lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin terlaksananya hukum-

hukum itu. Bagi Natsir negara bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai alat untuk

melaksanakan hukum-hukum Ilahi yang tanpa adanya negara mustahil hukum-

hukum itu bisa dilaksanakan. Mengenai bentuk negara atau sistem pemerintahan,

Islam tidak mewajibkan berbentuk ini atau itu. Hal itu merupakan kebebasan

umat Islam untuk memilih mana yang terbaik dan sesuai dengan perkembangan

zaman.6

Natsir juga membenarkan bahwa Islam itu adalah agama yang demokratis.

Demokrasi Islam dalam bentuk musyawarah dan mufakat hanya dibenarkan

dalam hal dimana agama (al-Qur‟an dan Hadits) belum menjelaskan tentang suatu

masalah secara rinci, seperti masalah mu’amalah (interaksi sosial dalam

masyarakat, termasuk di dalamnya bentuk negara). Tapi dalam hal-hal yang sudah

jelas (Qath‟i) nashnya, seperti keharaman judi, haramnya zina, juga masalah-

masalah aqidah dan akhlak adalah masalah-maslah yang sudah dijelaskan secara

5Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), cet.I, h. 79.

6M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), h. 132.

19

rinci oleh Allah. Jadi dalam hal yang sudah jelas nashnya tidak ada tempat lagi

bagi manusia untuk memusyawarahkannya dan membuat kesepakatan kembali

tentang hukum-hukum yang sudah pasti itu. Bagi Natsir, Islam tidak usah

demokrasi 100 persen, bukan pula otokrasi 100 persen. “Islam ya, itu Islam”.7

Natsir menjamin bahwa dalam satu negara yang berdasarkan Islam, umat

dari agama-agama lain akan mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. Islam

sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama

dan negara.

Pada skala politik nasional, Muhammad Natsir melihat adanya keterkaitan

antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan

hukum-hukum yang telah ada, dan fikiran seperti ini nampaknya menguasai

pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam di

masyarakat dengan menekankan pendekatan Legal Formal.

Faham Natsir itu juga hampir sama dengan Deliar Noer memandang

bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak

memisahkan persoalan rohani dan dunia itu, melainkan mencakup dua segi

hukum syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.8

7Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), cet.II, h. 193.

8Firdaus Syam, Amien Rais: Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), h. 120.

20

b. Paradigma Sembiotik

Dalam pandangan ini, konsep hubungan agama dan negara terdapat

interaksi timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama

memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang. Agama akan

berjalan baik dengan melalui institusi negara, sementara pada posisi lain negara

juga tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama, karena keterpisahan agama

dari negara dapat menimbulkan kekacauan dan a-moral. Ibnu Taimiyah (1263-

1328 M), seorang tokoh Sunni salafi, mengatakan: “agama dan negara benar-

benar berkelindan; tanpa kekuasan negara yang bersifat memaksa agama dalam

keadaan bahaya.9

Dan negara tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi

yang tiranik”. Ia juga mengatakan bahwa wilayah organisasi politik bagi

persoalan kehidupan sosial manusia merupakan keperluan agama yang terpenting.

Karena tanpanya, agama tidak akan tegak kokoh. Pendapat Ibnu Taimiyah

tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas

yang berbeda, tetapi saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan.10

Pandangan sembiotik tentang agama dan negara ini juga dapat dipahami

dalam pemikiran al-Mawardi (975-1059 M). Dalam kitabnya Al-Ahkȃm al-

Sulthȃniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, ia menegaskan bahwa kepemimpinan

9M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta: Kompas, 2000), cet.1, h. 8.

10Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), cet.1, h. 180.

21

negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna

memelihara agama dan pengaturan dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan

dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara

sembiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Ia

memposisikan negara sebagai lembaga politik dengan sanksi-sanksi keagamaan.

Menurut al-Mawardi, dalam negara tersebut harus ada satu pemimpin

tunggal sebagai pengganti Nabi untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama

dan memegang kendali politik, serta membuat kebijakan yang berdasarkan

syari‟at agama.11

Pemikir lain yang senada ialah al-Ghazali (1058-1111 M). Ia

mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti dicontohkan

pararelisme Nabi dan raja. Menurut al-Ghazali, Jika Tuhan telah mengirim nabi-

nabi dan memberi wahyu pada mereka, maka Dia juga telah mengirim raja-raja

dan memberi mereka „kekuatan Ilahi‟. Keduanya memiliki tujuan yang sama:

kemaslahatan kehidupan manusia.12

Pararelisme antara Nabi dengan raja menunjukkan adanya hubungan

sembiotik antara keduanya. Seorang raja atau pemimpin negara mempunyai status

yang tinggi dalam hubungannya dengan Nabi. Ini berarti bahwa pemimpin negara

11Al-Mawardi, Al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), cet.I, h. 15.

12M. Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet.I, h. 45-46.

22

mempunyai kedudukan yang strategis dalam menciptakan nuansa keagamaan

dalam lembaga negara. Pandangan yang dianut oleh sebagian besar kaum Sunni

ini memperlihatkan secara jelas bahwa kekuasaan kepala negara adalah

pemberian dan berasal dari Tuhan. Kekuasaan otoritatif kepala negara ini tidak

hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan agama, melainkan juga urusan

keduniawian yang berdimensi politik.13

Secara sepintas pernyataan ini tidak berbeda dengan konsep negara

integralistik seperti telah dikemukakan di atas. Akan tetapi, bacaan secara kritis

atas wacana ini akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan. Teori

sembiotik membiarkan tuntutan-tuntutan realitas sosial politik yang berkembang,

tetapi agama kemudian memberikan justifikasinya. Agama tidak harus menjadi

dasar negara. Negara dalam pandangan ini tetap merupakan lembaga politik yang

mandiri. Dengan demikian, paradigma sembiotik di satu pihak bersifat teologis,

tetapi pada sisi lain bersifat pragmatis. Kenyataan ini, misalnya, juga muncul di

dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Menurutnya bahwa agama tidak dapat

ditegakkan dengan tidak ada pemerintah. Dalam upayanya memerintah manusia

adalah sebesar-besarnya kewajiban agama, dan hendaknya dipimpin oleh

seseorang yang bertanggung jawab dan menjalankan hukum-hukum Allah. Dalam

menentukan dan mengangkat kepala negara haruslah berdasarkan pilihan rakyat.

13Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 76.

23

Dalam arti lain, rakyat memiliki kedaulatan yang signifikan untuk menentukan

sistem politik negara.

Jadi, pandangan sembiotik tetap memberi peluang bagi hak-hak

masyarakat, meskipun dibatasi dengan norma-norma agama. Perlu dalam

pandangan paradigma ini ditempuh melalui lembaga representasi yang disebut ahl

halli wa al-aqdi, dengan syarat-syarat tertentu yaitu adil, dan memiliki kualifikasi

moral seorang pemimpin. Menurut al-Mawardi juga harus memenuhi syarat

khusus, misalnya; baik panca indra, tiada cacat anggota tubuhnya, dan

mempunyai buah pikiran yang bagus yang mengembangkan rakyat.

Jelaslah kiranya, bahwa paradigma ini telah menawarkan formalisasi

Islam. Namun di dalamnya terdapat nilai-nilai demokratis. Meskipun syari‟at

agama harus ditegakkan dalam sebuah negara, tetapi tidak membatasi secara

mutlak kepada masyarakat Muslim untuk ikut andil dalam menentukan kondisi

sosial politik negara.14

c. Paradigma Sekularistik

Sekularisme adalah suatu ideologi atau paham hidup yang

mengajarkan bahwa agama merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif

setiap individu yang hanya bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan

kejiwaan. Disamping itu, paham hidup ini memandang agama hanya berhubungan

14Ahmad Shalaby, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, (Surbaya: PT. Bina Ilmu, 1988), cet.I, h. 249.

24

dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu,

urusan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pengembangan

ilmu dan teknologi modern, dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak

perlu dikaitkan dengan agama.15

Paradigma ini menolak, baik hubungan integralistik maupun hubungan

sembiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik

mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,

paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau paling tidak

menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Menurut paradigma

ini, Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan hal-hal

yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara pengaturannya

diserahkan sepenuhnya kepada umat manusia. Masing-masing entitas dari

keduanya mempunyai garapan dalam bidangnya sendiri. Sehingga keberadaannya

harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi.16

Begitu juga dalam dunia Islam, paradigma ini ingin memisahkan antara

agama (Islam) dengan negara, karena Islam seperti agama-agama lainnya tidak

mengatur masalah keduniaan, sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di

Barat. Kaum sekuler menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara

keduanya, bagi mereka, Islam dan Politik merupakan dua hal yang berbeda.

15Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, (Bandung: Mizan, 1998), h. 75.

16M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun‟im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, h. 8.

25

Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama, karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik (negara).

Peristiwa sekularisasi yang sangat menghebohkan di duinia Islam adalah ketika Mustafa Kemal Attaturk (1880-1938 M), memberlakukan sekularisme di

Turki pada tahun 1924 dan juga ketika Ali „Abd al-Raziq (1888-1966 M), menerbitkan bukunya yang berjudul “al-Islȃm wa Ushûl al-Hukmi” (Islam dan

Dasar-Dasar Pemerintahan) pada tahun1925 yang berisi penolakan tegas terhadap doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah ke dunia dengan membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat. Dalam artian Nabi

Muhammad diutus ke dunia hanya membawa risalah kenabian tanpa ada sangkut pautnya dalam kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisasi juga banyak terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat secara langsung atau secara tidak langsung.17

Dalam konteks Indonesia, Soekarno merupakan salah seorang Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, yang dengan itu banyak orang yang menganggapnya sebagai sekuleris. Soekarno mengungkapkan bahwa agama (Islam) harus dipisahkan oleh negara karena Indonesia dari sudut pandang populasi bukanlah negara yang dihuni 100 persen Muslim. Dengan kenyataan

17M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, h. 136.

26

seperti itu, tentu kalau Islam dijadikan dasar negara, akan terjadi diskriminasi

terhadap pemeluk agama lain.

Selain itu, Soekarno beranggapan dipisahkan Islam dari negara, agama

akan menjadi subur dan merdeka. Dengan mensitir ungkapan Menteri Kehakiman

Turki, Mahmud Essay Bey, ia mengungkapkan, “Agama itu perlu dimerdekakan

dari belenggunya pemerintah, agar menjadi subur”. “Subur” dan “merdeka”

dalam arti Islam tidak akan digunakan sebagai alat legitimasi dan legalisasi oleh

penguasa, apalagi penguasa yang selalu memanfaatkan agama demi kepentingan

politiknya.18

Menurut Soekarno juga, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi.

Sedangkan kehidupan kenegaraan adalah masalah duniawi, temporal, dan

kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran

agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan

masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintahan. Itulah beberapa alasan

Soekarno mengapa Islam harus dipisahkan dari negara.19

Sementara Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Munawir Sjadzali juga

menolak keterkaitan agama dan negara. Mereka berpendapat bahwa integrasi

politik dalam lingkungan agama telah merusak citra agama itu sendiri. Ajaran

Islam seharusnya mengatur politik, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, elit dan

18Soekarno, Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, Di bawah Bendera Revolusi, (Panirya Penerbit Di bawah Benera Revolusi, 1963), h. 404-405.

19A. Suhelmi, Soekarno Versus Natsir, Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59.

27

penguasa politik mengeksploitasi orang dan konsep Islam untuk kepentingan

meraka. Hasilnya bukanlah politik yang terbimbing oleh moral agama tetapi

agama dimanipulasi untuk digunakan melayani tujuan sesaat partai politik.

Cak Nur menilai bahwa konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah

Islam, tidak didukung nash-nash al-Qur‟an serta sebuah bentuk apologis umat

Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama

berabad-abad. Kelompok pembaharu ini sering disebut juga dengan istilah “Neo

Modernism” yang dipelopori Fazlur Rahman, seorang pelopor pembangkit dan

pemikir Islam kontemporer yang secara Internasional reputasinya diakui dewasa

ini. Salah satu pandangannya pada tahun 1979 ia mengatakan, umat Islam baru

akan memiliki pondasi intelektualisme Islam yang kokoh dalam jangka waktu 20-

30 tahun.20

B. Kontroversi Hubungan Agama dan Negara

Dalam hubungannya agama dengan negara, wacana seputar konsep negara

Islam telah melahirkan kontroversi dan polarisasi intelektual dikalangan pemikir

politik Islam. Agama dan negara seringkali dikesankan sebagai dua wilayah yang

berhadapan. Misalnya, hubungan dunia akhirat atau al-dunya wa al-din. Baik al-

20Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra: Di Pentas Politik Indonesia Modern, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 180.

28

Qur‟an maupun hadits banyak menyebut dua hal tersebut. Bahkan sering dijumpai

ungkapan al Islam huwa al-din wa al-daulah.21

Kesan berhadap-hadapan seperti itulah yang kemudian memunculkan

kontroversi yang tajam dan keras di sekitar konsep hubungan agama dan negara.

Sehingga menurut, Azyumardi Azra (1955 M), ketegangan perbedaan hubungan

agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam

sebagai agama (din) dan negara (daulah).22

Memang dalam Islam, negara bisa diterjemahkan dengan berbagai cara.

Perbedaan ini bukan saja disebabkan oleh faktor sosio-budaya-historis, tetapi

bersumber juga dari aspek teologis-doktrinal. Menurut Karim, Walaupun Islam

mempunyai konsep „khalifah, daulah, hukumah‟ tetapi al-Qur‟an belum

menjelaskan secara rinci tentang bentuk dan konsepsi tentang negara Islam.23

Ada sederet teoretisi politik Muslim yang mewakili Zaman klasik yang

bisa disebutkan, antara lain: Ibn Abi Rabi‟ (833-842 M), hidup pada abad ke-9

dengan karyanya yang bertitel Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik menekankan

pada ketuhanan dan memadukannya dengan teori tentang asal usul negara; Al-

Farabi (257-339 M) dalam karyanya Arȃ’-Ahl al-Madinah al-Fȃdhilah dan Al-

Siyasah al-Madaniyyah mengatakan bahwa yang dapat dan boleh menjadi kepala

21Ahmad Suaedy (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, h. 88.

22Dede Rosyada, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), cet.1, h. 58.

23M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), cet.I, h. 1.

29

negara adalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna (al-Insan al-Kamil); Al-Mawardi (975-1058 M) dengan karyanya Al-Ahkȃm al-

Sulthȃniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Qawanin al-Wizaroh wa Siyasah al-

Muluk, menekankan hubungan yang demikian erat antara Syari‟ah dan Imamah;

Imam al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ’Ulum al-Din, melihat agama sebagai orde sosio-politik dan penguasa sebagai pemeliharanya; Ibnu

Taimiyyah (1263-1328 M) dengan karyanya Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi-Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, ia dipenjarakan karena mempertahankan pendapatnya tentang Siyasah Syar’iyah (politik atas dasar syariat) dan Ibnu Khaldun (1332-

1406 M) dengan karyanya Muqaddimah yang menyatakan bahwa siyasah berdasarkan al-din adalah berguna untuk dunia dan akhirat.

Melihat tulisan para teoretisi di atas dapat dipahami bahwa secara eksplisit maupun implisit menyatakan tujuan dibentuknya suatu negara tidak semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan lahiriyah manusiawi belaka, melainkan untuk kebutuhan ruhaniyyah dan ukhrawiyah. Untuk kepentingan ini agama dijadikan landasan dan dijadikan sebagai fondasi dan kehidupan kenegaraan. Dari sinilah kemudian muncul jargon politik Islam: al-Islam Din wa Daulah (Islam adalah agama dan negara).

Dari konsep ini berarti tidak ada pemisahan antara agama dan negara.

Sementara di sisi lain ada yang bersikap sekuler, yang secara tegas menyatakan pemisahan antara agama dan negara, dan tidak ada kewajiban untuk membangun

30

sebuah negara Islam didunia ini. Bagi yang memegang konsep ini memandang

bahwa agama adalah urusan akhirat, sedangkan negara urusan dunia.24

Dalam Islam, menurut Javid Iqbal, negara didirikan atas dasar prinsip-

prisip tertentu yang ditetapkan al-Qur‟an dan Sunah Nabi Muhammad. Prinsip

pertama adalah bahwa seluruh kekuasaan di alam semesta ada pada Allah karena

Ia yang telah menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa hukum Islam

ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur‟an dan Sunah Nabi, sedangkan sunah Nabi

merupakan penjelasan otoritatif tentang al-Qur‟an. Ketentuan-ketentuan ini untuk

membimbing umat manusia, diturunkan kepada para Nabi dari waktu dan yang

terakhir adalah Nabi Muhammad SAW.

Dalam teori, negara Islam adalah negara Allah, dan kaum Muslim

merupakan partai-Nya (hizb Allah). Hal ini, menurut Javid Iqbal, berdasarkan

konsep tentang kebahagiaan (falah), yaitu: (1) harus berusaha untuk keberhasilan

masyarakat Muslim di dunia ini serta mempersiapkannya untuk keberhasilannya

di akhirat; (2) untuk menyadari tujuan-tujuan tersebut, masyarakat Muslim

(ummah) harus berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak, solidaritas dan

kemerdekaan.25

Namun yang menjadi permasalahan bagi umat Islam dari zaman klasik

hingga abad modern ini adalah bahwasannya al-Qur‟an tidak menetapkan cara

24Ahmad Syafii Maarif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, h. 9-10.

25Hakim Javid Iqbal, “Konsep Negara Menurut Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah- Masalah Teori Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, h. 57-58.

31

hidup tertentu untuk masyarakat Muslim. Begitu pula tentang masalah poitik, khususnya hubungan agama dan negara. Semasa empat Al-Khulafa al-Rosyidin tidak terdapat suatu pola yang baku mengenai cara pengangkatan Khalifah atau kepala negara. Dalam sejarah empat khalifah tersebut, tidak juga terdapat petunjuk atau contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan seorang kepala negara. Mereka semua mengakhiri masa tugasnya karena wafat.26

Keragaman dalam praktik tersebut mencuatkan pula konsep dan pemikiran yang diintrodusir oleh para tokoh pemikir tentang politik Islam. Perbedaan konsep dan pemikiran ini bertolak dari penafsiran dan pemahaman yang tidak sama terhadap hubungan agama dan negara yang dikaitkan dengan kedudukan Nabi dan penafsiran terhadap ajaran Islam dalam kaitannya dengan politik dan pemerintahan.

Tentang hubungan agama dan negara ada terdapat tiga kelompok pemikiran. Kelompok pertama berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan dan sekaligus lembaga politik. Karena itu kepala negara adalah pemegang kekusaan dan agama. Kelompok kedua mengatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tetapi mempunyai fungsi politik. Karena itu kepala negara mempunyai kekuasaan negara yang berdimensi politik. Kelompok ketiga menyatakan bahwa negara adalah lembaga politik yang sama sekali terpisah dari

26Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 30-31.

32

agama. Kepala negara, karenanya, hanya mempunyai kekuasaan politik atau

penguasa duniawi saja.27

Demikian dalam pemahaman dan penafsiran ajaran Islam kaitannya

dengan politik dan pemerintahan juga terdapat tiga golongan. Golongan pertama

menyatakan, di dalam Islam terdapat sistem politik dan pemerintahan, karena

Islam adalah agama yang paripurna. Golongan kedua mengatakan didalam Islam

tidak ada sistem politik dan pemerintahan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai

etika bagi kehidupan bernegara, mengandung ajaran-ajaran dasar tentang

kehidupan masyarakat dan bernegara. Sedangkan golongan ketiga berpendapat

bahwa Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan. Ajaran

agama hanya berkisar tentang tauhid dan pembinaan akhlaq dan moral manusia

dalam berbagai aspek kehidupan.28

C. Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Negara Muslim

Dalam buku yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy

mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh

fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara Muslim seperti Turki,

Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak

harmonisnya hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya

kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut

27Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 12.

28Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 2.

33

mengalami kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan

(viable) antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah

mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan

politik antara Islam dan negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam.29

Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk monarki absolut yang masih

bertahan sampai saat ini di kawasan Timur Tengah. Bentuk monarki absolut

menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang tidak demokratis atau otoriter. Arab

Saudi diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi oleh Abdul Aziz bin Abdul

Rahman Al-Saud pada tahun 1932. Sejak saat itu, rezim Al-Saud menjadi

penguasa di Arab Saudi sampai sekarang. Raja Saudi merupakan pengambil

keputusan yang utama. Raja mewakili semua kepentingan masyarakatnya, baik

kepentingan di dalam negeri maupun kepentingan keluar. Peranan Raja Saudi

sangat dominan yang diperlihatkan oleh posisinya sebagai Kepala Negara, Kepala

Pemerintahan, Ketua Komisi Perencanaan Pembangunan Nasional, Ketua Majelis

Al-Syura, dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Raja Saudi diganti secara

turun-temurun oleh keturunan al-Saud lainnya. Menurut kebiasaan dan konvensi

politik yang berlaku di lingkungan Monarki Arab Saudi, pergantian kekuasaan

Raja Saudi dilakukan setelah wafat, dan umumnya raja pengganti berdasarkan

senioritas. Putera mahkota dalam hal ini berkedudukan sebagai calon pengganti

29Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 2.

34

raja. Arab Saudi tidak mempunyai konstitusi sebagaimana umumnya sebuah negara. Konstitusi Arab Saudi adalah Al-Qur‟an.

Monarki Arab Saudi yang tidak demokratis mendapatkan tantangan dari berbagai pihak. Arus demokrasi yang menyebar secara luas menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Monarki Arab Saudi. Beberapa ancaman Monarki Arab

Saudi yang pernah bergejolak dari dalam negeri yaitu Committe for the Defense of

Legitimate Right (CDLR) dan Advice and Reformation Committe (ARC). CDLR dipimpin oleh Muhammad Al-Masairi dan ARC dipimpin oleh Osama bin Laden.

Pada tahun 1992, Muhammad Al-Masairi bersama-sama dengan 107 cendekiawan dan beberapa Syaikh mengajukan petisi untuk reformasi yang luas. Petisi tersebut intinya sebagai sebuah politik protes yang menuntut perombakan dan perbaikan terhadap semua tatanan kehidupan Saudi. Sementara itu, ARC dibentuk oleh

Osama bin Laden untuk menggulingkan pemerintahan monarki Arab Saudi yang memperbolehkan pasukan Amerika Serikat datang ke Arab Saudi. Tujuan kedatangan pasukan AS yaitu memberikan perlindungan bagi Arab Saudi apabila pasukan Irak menyerang Arab Saudi setelah invasi Irak ke Kuwait pada Perang

Teluk II.

Pergolakan-pergolakan yang menentang kekuasaan Monarki Arab Saudi sampai saat ini masih dapat diatasi oleh pemerintah Monarki Arab Saudi sehingga pengaruhnya tidak meluas. Pemerintah Monarki Arab Saudi menggunakan cara- cara non-demokratis untuk meraih otoritas dan legitimasi karena mereka tidak yakin bahwa cara-cara demokratis dapat digunakan secara efektif untuk

35

menyelesaikan berbagai masalah politik yang dihadapinya. Amien Rais mencatat,

bahwa sebagaian besar negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi masih harus

berjuang mengatasi masalah-masalah otoritas, identitas, dan ekualitas.30

Islam dan politik adalah dua entitas yang sepanjang sejarah umat Islam

senantiasa terlibat dalam pergumulan. Puncak dari pergumulan keduanya pertama

kali muncul ketika terjadinya gerakan revolusi di Turki yang dilakukan oleh

Mustafa Kemal Ataturk pada perang dunia pertama. Runtuhnya otoritas Khilafah

di Turki setelah kekalahan Islam atas Inggris membawa penderitaan panjang bagi

umat Islam. Keruntuhan tersebut mendapatkan perhatian serius dari seluruh umat

Islam. Terutama di India yang melatarbelakangi pembentukan gerakan Khilafah

di tahun 1919.31

Gerakan ini dari tahun ke tahun semakin melancarkan kampanye anti-

Inggris yang saat itu sedang menjajah India. Gerakan ini pulalah yang pada

akhirnya mengilhami umat Islam India untuk mewujudkan negara sendiri.

Negara tersebut kemudian diberi nama Pakistan.32 Republik Islam Pakistan,

merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim-Sunni di wilayah Asia

Selatan. Pakistan menduduki peringkat keenam negara dengan jumlah penduduk

30Sidik Jatmika, AS Penghambat Demokrasi: Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), h. 77-91.

31A. , Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), cet.I, h. 41-43.

32Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 197.

36

terbanyak di dunia. Ia juga menduduki peringkat kedua dalam negara

berpenduduk Muslim terbanyak di dunia setelah Indonesia.

Salah satu persoalan politik yang juga mengiringi Pakistan di masa awal

berdirinya adalah persoalan batas wilayah. Sehingga secara geografis Pakistan

dibagi menjadi dua, yaitu Pakistan Barat dan Timur (sekarang Pakistan Timur

telah merdeka menjadi Bangladesh). Kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh

India sejauh 1200 mil.33

Sebagaimana umumnya negara yang berbentuk Republik, pimpinan

eksekutif tertinggi dijabat oleh Presiden yang dipilih berdasarkan partai politik.

Dewan perwakilan rakyat juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara

periodic yang diikuti banyak partai politik.

Negara Islam dewasa ini telah menyimpang. Selain Pakistan, Ahmad

Syafii Maarif mencontohkan Iran. Negara Republik Islam yang awalnya

diperkirakan dapat menjadi model negara Islam ternyata “jauh panggang dari

pada api”. Pola kehidupan di Iran yang sangat elitis dan kekuasaan di Iran

tersentral pada para penguasa politik dengan mengabaikan prinsip syura

(demokrasi) membuat banyak pihak kecewa.34 Ia juga menyesalkan sikap

beberapa negara Muslim dan beberapa ahli hukum Islam yang sampai detik ini

33Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 151.

34Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, h. 194.

37

masih menganggap sistem politik monarki adalah Islam dan karenanya wajib

dipertahankan.35

Iran adalah sebuah negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor

yang integral dalam sebuah negara. Agama diyakini memiliki konsep dan sistem

bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah contoh sebuah upaya penggabungan

unsur-unsur teokrasi yang berbasis pada agama (Syiah) di satu sisi dan unsur-

unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu tidak selamanya berlangsung

damai dan normal, Iran dapat menjadi prototipe dari hubungan agama dan negara

dalam bentuk yang paling efektif meskipun formalisasi dan simbiolisasi agama

terjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran memberikan jaminan konstitusional

terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan Kristen) untuk menjalankan ritus-ritus

keagamaan mereka dan menangani perkara pribadi dan pendidikan mereka

menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu, Iran juga memberikan ruang

yang relatif terbuka pers dan masyarakat untuk berekspresi.

35Ahmad Syafii Maarif, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet.I, h. 61.

BAB III

BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF

A. Latar Belakang Sosial Kehidupannya

Ahmad Syafii Maarif sering dipanggil “Buya” oleh orang yang dekat

dengannya. Istilah Buya diucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas

menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-

benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau

cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi. Namun

Ahmad Syafii Maarif sendiri “tidak usahlah disebut dengan buya, cukup dengan

nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang Ahmad Syafii Maarif

suka memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah menetrealisasi atau ingin

membersihkan kandungan “karismatik” atau feodalistik” yang dari sebutan khas

untuk tokoh minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Dihadapannya

apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan

bahkan lugu dan polos.1

Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf dan Fathiyah

pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus “Makkah Darat”,

Sumatera Barat. Sumpur Kudus “Makkah Darat” adalah ungkapan yang sering

1Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, (Jakarta: Maarif Isntitute, 2005), h. 37.

38

39

diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang, rakyat jelata pun tak lupa

pula menyebutnya.

Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraihnya,

tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa karena memang lingkungan

nagari yang sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok

melebihi orang kampungnya. Semasa kecil Syafii Maarif, pengaruh kota belum

menjalar di kampungnya, karena televisi saat itu belum ada. Wawasan Syafii

Maarif pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari,

Syafii Maarif bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi,

mengadu ayam, mengail, menjala, menembak burung dengan senapan angin milik

abangnya dan mengembala sapi.2

Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang yang

terpandang di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi

Kepala Nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga

terhormat, ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk

Rajo Melayu yang di jabatnya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk

dalam kategori elit dikampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai

masalah, tidak saja menyangkut masalah ekonomi, juga masalah dan

lembaga tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya oleh

membaca. Bahkan ayahnya cerdas, semua orang mengakui. Maarif sendiri sering

2Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 3. 40

menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang

dengan sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui layak untuk itu.

Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan

Bailam) berjumlah tujuh; Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan,

Bainah, Attudin Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih

kecil, sementara Saidina Hasan wafat pada 1949 di rumah sakit Sawahlunto

dalam usia sekitar 32 tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5

Oktober 1955, dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula

ayahnya sakit di Tanjung Ampalu, ditempat ibu tirinya bernama Mak Maran,

kemudian etek Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo

sampai ayahnya wafat disana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun.3

Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun

1905 dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ahmad Syafii

Maarif tidak bisa membayangkan seperti apa perawakan ibunya, sepaerti apa

senyumannya, dan seperti apa pula ketika dia menggendong anak-anaknya.

Ahmad Syafii Maarif tidak pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit

baginya untuk membayangkan sosok ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937

dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun menyusuinya. Maarif tidak sempat

merasakan betapa manis atau pahit hidup bersama ibunya, orang mengatakan

3Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 66. 41

bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah mengenal wajah ibunya.

Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang sering menunggang kuda untuk menempuh perjalanan jauh. Syafii Maarif pun menceritakannya “selagi sehat kabarnya ibuku kalau bepergian biasa naik kuda dengan selendang sarung bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan yang tidak terlalu lazim dikampungnya. Tetapi sebagai isteri orang terkemuka ditingkat nagari masyarakat dapat memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barang kali berada diatas punggung kuda”.

Budaya perempuan naik kuda, bararti pula bahwa posisi perempuan di kampung Syafii Maarif terhormat, tidak kalah dengan kaum pria dan sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilinial, yakni kaum perempuan secara teori memang mempunyai posisi yang dominan. Apakah ini terkait, yang jelas ibu

Syafii Maarif bukanlah manusia yang kolot pada saat Indonesia berada dibawah sistem penjajahan.

Ibunya telah wafat pada umur yang masih muda, sehingga Ahmad Syafii

Maarif sendiri tidak dapat menelusuri sejarahnya, hanya pusarannya yang ada tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat, Syafii Maarif diberi tahu bahwa ayahnya menggendongnya ke tepi

Batang Sumpur, tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah Barat melalui pematang sawah. Sungai ini tak pernah kering, sumber penghidupan para petani yang merupakan mayoritas penduduk kampungnya, Batang Sumpur ini 42

digambarkan sebagai “airnya jernih, pasirnya putih, tebingnya landai, dan ikannya

jinak”, sekalipun dalam kenyataannya ketika hujan lebat airnya keruh juga, dan

ikannya tidak pernah jinak, kecuali yang sakit atau pingsan.4

Setelah ibunya meninggal, Ahmad Syafii Maarif dititipkan pada bibinya

Bainah (dipanggil etek), yang tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat

kelahirannya. Tampaknya, ayah Maarif sengaja menitipkan anaknya pada adiknya

sendiri, mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi merantau,

selama 16 tahun Maarif hidup bersama bibi dan pamannya. Bibi Bainah

mempunyai anak bernama Saiful Wahid yang lahir tahun 1939. Saiful punya dua

adik kandung bernama Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia

relatif muda, sedangkan etek (bibi) Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum

terlalu tua.

Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965

dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya

(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah

acara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30

tahun.

Ahmad Syafii Maarif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya

bernama Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun

sayangnya, Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan, setelah

4Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 72-73. 43

sakit beberapa lama di Padang. Saat itu Salman di ajak ibunya pulang ke Padang

dalam keadaan kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa.

Akhirnya Salman wafat tidak di depan ayahnya (Syafii Maarif). Kuburan Salman

di pinggir laut, sekarang sudah tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan

ombak. Dengan meninggalnya Salman, Syafii Maarif begitu terpukul batinnya,

sebagaimana diungkapkan, “sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah

sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui.

Hanya iman saja yang dapat menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana

ketidak stabilan jiwa.5

Anak selanjutnya adalah bernama Iwan yang lahir pada November tahun

1968 dan ia wafat pada Oktober tahun 1973. Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif

adalah Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada

25 Maret 1974. Dari ketiga anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang

hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif hidup dengan anak semata wayangnya

bernama Mohammad Hafiz dan isterinya Hj. Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.

Nurkhalifah (isteri) terhadap Ahmad Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak

Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus memanggil suaminya

berdasarkan urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan dalam perjalanan

hidupnya melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata yang

diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa syukur itulah yang merupakan perekat

5Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 185-186. 44

rumah tangga yang beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj. Nurkhalifah,

dan Mohammad Hafiz.6

Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii Maarif), yang telah

memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga

mempunyai suara equal dalam menyampaikan pendapat, dan kadang disertai adu

argumen. Ketika Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii Maarif di

Padang, orang tersebut mengatakan bahwa; “.... ayahmu itu adalah gambaran

pribadi orang Minang yang seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter,

sederhana, adil, tegas, dan jujur...... ” tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi

Hafiz hidup diantara orang Minang selama setahun lebih di Padang. Kesimpulan

yang didapatkan mungkin seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu

segelintir orang yang dari sekian lapis generasi Minang yang bisa

mempertahankan image orang Minang yang semestinya, setelah generasinya yang

melahirkan pribadi seperti H. , Moh. Hatta, Buya dan lainnya.

Di samping itu, dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif kesan

yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam

fungsi, sebagai seorang ayah dan sebagai individu yang unik. Sebagai seorang

ayah, selama hidup dibawah naungan beliau, pelajaran paling berharga

Mohammad Hafiz adalah tentang tawakkal dan kesederhanaan manusianya,

6Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 73. 45

terutama menghadapi kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz,

bahkan sampai dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.

Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan

pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan

individu-individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif

dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai

dan menghormati. Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap

pandangan/opini Mohammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan

cenderung sarkastik terhadap orang.7

B. Pendidikan dan Karirnya

Dunia awal masa kecil Ahmad Syafii Maarif dilewati di kampung

halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.

Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan di sekolah Madrasah Ibtidaiyah

Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus

dari Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di

Madrasah Mu’allimin di Balai Tengah, Lintau dan pada tahun

1953. Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi

sebagian dilanjutkan di Yogyakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah

Mu’allimin Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak

semudah yang dibayangkan.

7Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, h. 11. 46

Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad

Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu: pertama, kelas empat sudah penuh,

kedua, dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di

Yogya lebih tinggi dibandingkan dengan Mu’allimin daerah lain. Jadi Ahmad

Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya

Ahmad Syafii Maarif merasa syok, namun Ahmad Syafii Maarif tidak bisa

berbuat apa-apa dan kemudian menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga.

Semua itu dihadapinya dengan tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga

Mu’allimin, sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli 1956.8

Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad

Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas

Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) atas

bantuan saudaranya.

Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena

hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan

PRRI/Permesta, akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak

melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di desa

Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.9

8Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 106.

9Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, (Jakarta: Cidesindo, 2000), h. 172. 47

Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah,

karena sering tidak masuk kuliah, karena sering mengajar Ahmad Syafii Maarif

hanya tamat sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah

pernah dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya

ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.10

Gelar Sarjana (Drs) diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP

Yogyakarta pada Agustus 1968, dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di

Vietnam (1930-1954)”, dibawah bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen

sejarah Asia Tenggara. Untuk teman-teman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif

adalah lulusan pertama.11

Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke

Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio

State University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama

teman-temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students

Association) yang masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah

diatas 30 tahun. Selama perkembangan pemikiran keislaman Syafii Maarif di

Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung

dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-

tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal Pemikir dan

10Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, h. 45.

11Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, h. 172-173. 48

penyair dari Pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum

singgah secara mantap di otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum

reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim

Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara Islam di

suatu Negeri.12

Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia,

Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan

Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling

menjaga. Tidak ada diantara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala

Barat. Di Athensia adalah salah seorang khatib pada hari Jumat yang

diselenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens,

lingkungan pergaulan Syafii Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh,

tetapi hampir sepi dari pemikiran yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan

intelektual yang sudah beradab diderita dunia Muslim.

Teori-teori ke Islaman yang bertolak dari sikap anti asing ternyata tidak

mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler yang

bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku disini. Para pendukung Maududi, Qutb,

yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di negerinya sendiri,

karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan ulama

12Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 209. 49

konservatif. Justru mereka memilih hidup di Barat yang dijadikan sasaran kritik

itu.13

Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata

hitam. Di antara mahasiswa Muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia,

tidak sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat bahkan

sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu

mereka mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul

kesadaran baru untuk mencapai Muslim yang baik.

Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang bersikap lapang dada saja,

jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur milik Allah. Kearifan tidak

bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bisa saja menemukan kearifan itu

dimana saja asal dicari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang

terbuka semata-mata karena rindu pada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata

Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,

tetapi malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi seuatu yang

asri, adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apapun.

Pada tahun 1978 di usia 43 tahun Syafii Maarif meninggalkan Athens, di

Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen sejarah dengan tesis “Islamic

Politics Under Guided Democracy in Indonesia” (1959-1965) dibawah

13Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 213. 50

bimbingan Prof. William H. Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan Jepang

yang teramat baik terhadapnya.

Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti kemana tapak kaki

melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of

Philosophy), dari negara yang mengklaim dirinya sebagai “Bapak Demokrasi”,

Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983) dalam usia

47 tahun.14

Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas

Chicago, sekalipun ia sudah diterima untuk program Ph.D dalam pemikiran Islam.

Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk

bisa belajar Islam ke kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut

membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation dan USAID

melalui perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan banyak pihak,

beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam

otaknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental sikap intelektualnya

tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam

diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A

14Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 214.

51

Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly

Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.15

Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower,

namun kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa,

misalnya Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah”

terhadap negara-negara Muslim, tak pernah luntur.

Sebelum mencapai “puncak-puncak” diatas, Ahmad Syafii Maarif

melakukan perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain

disertai berbagai interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam

sosok Ahmad Syafii Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus

disertai dengan sikap kritis “Alam terkembang jadi guru”. Proses atau “struktur

pengalaman” inilah yang membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan

merdeka.

Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat Mualimin,

Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii Maarif datang ke

Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21 Agustus 1956. Ia

ditempatkan di kampung Batu yang, dirumah Subki, adik kandung H. Harist yang

juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA Muhammadiyah Pohgading

yang terletak dipinggir sungai.

15Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1995), cet. III, h. 5. 52

Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga

mengajar di kota Solo. Di Madrasah Mu’alimat NDM pimpinan pak Durhadi,

SMA MIS (Modern Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata

pelajaran yang Maarif asuh pada umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu

Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-

Baturetno dengan kereta api. Pada saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon

terus melaju ke Baturetno dengan jarak 52km. Kereta api Solo-Baturetno adalah

kendaraan para pedagang kecil (bakul), anak sekolah, dan rakyat umumnya.

Syafii Maarif termasuk dalam kategori yang terakhir. Semua ini Syafii jalani

tanpa ada perasaan yang mengganggu, karena cara inilah satu-satunya jalan bagi

Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo, Universitas Cokroaminoto.

Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi pegawai

negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten Ahmad Syafii

Maarif di beri tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP

Yogyakarta, di samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah

dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia) pada tahun 1966 Ahmad Syafii

Maarif diterima menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM),

pimpinan alm. H.A. Basuni, B.A dan alm. Mohammad Diponegoro. Disamping

sebagai korektor majalah, Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus

iklan majalah.16

16Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 173. 53

Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara

Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Yogyakarta.

Setelah sekian lama menjadi kolektor, posisi redaksi kemudian diberikan kepada

Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972.

Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar pada jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri

Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi keislaman di Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof.

Barnadib, mantan Rektor IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama.

Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota

Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus

Madrasah Mu’allimin, tentu tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini. Sebelum sewaktu bekerja pada majalah SM,

Maarif pun pernah menjadi anggota Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA. Dalam berkiprah dalam Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-daerah. Majelis pimpinan M. Amien Rais ini sangat 54

aktif dalam menjalankan misi da’wahnya, tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan.

Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM

(Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin memberitahukan bahwa pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi Ph.D dalam kajian

Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu. Di UKM Maarif diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib, Islam dan

Perubahan Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di Institute of

Islamic Studies, Universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping terkenal sebagai seorang pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai penulis yang aktif. Tulisannya banyak dimuat diberbagai media masa baik berupa jurnal,

Majalah seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Ishlah dan

Genta, Surat Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat.

Bentuk tulisannya yang lain dituangkan dalam bentuk buku yang juga sudah diterbitkan oleh berbagai badan penerbit.

Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai gerakan da’wah, pendidikan, amal, dan usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif, 55

Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan

perkembangan dunia.

Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada

lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat

beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan

Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia

untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa

terobosan yang sangat terasa signifikasinya.

Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil

jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat oleh politik praktis juga kembali

ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makasar pada Juni 2003 yang tidak

mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh

bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan “kue”

kekuasaan, Syafii Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan

perannya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat

dari keyakinan beliau selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah

gerakan pemikiran, sosial, dan da’wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan

politik yang bisa dijadikan untuk alat merebut kekuasaan.17

Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam menjalankan tugas

sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatannya adalah:

17Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Poltik Islam Inklusif, (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 116-117. 56

1) Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tapi

bila parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an untuk menciptakan

sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah masih juga berada

di awal jalan, suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu untuk bergerak

kesana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan

pemerintah yang juga harus bermoral.18 2) pada sisi lain Syafii Maarif

menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah

sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran, sementara jenis ijtihad di luar itu

belum disentuh banyak oleh Muhammadiyah. Lebih jauh dikatakan bahwa secara

intelektual Muhammadiyah tidak tau betul apa yang harus dikerjakannya.19 3)

Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai

gerakan Islam, gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini

mengisaratkan tanggung jawab yang besar sekali, sementara energi

Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial kemasyarakatan. 4)

dalam berbagai forum Syafii Maarif sering mengatakan bahwa di bidang

pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah sebagai pembantu

pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang. 5) Muhammadiyah belum mampu

menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan maupun dalam

bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan perhatian khusus.

18Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, h. 348.

19M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial, (Jakarta: Uhamka Prees, 2005), h. 72. 57

Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28

Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislatif dan eksekutif serta mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi.

Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurah tujuh tahun dan tidak pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan ataupun bergerak melalui partai politik.

Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada diatas menara gading, sebab mereka menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di Indonesia dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan- masukan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.20

20Raja Juli Antono, Laporan Tahunan, (Jakarta: Maarif Institute, 2000-2007), h. 4.

58

C. Karya-karya

Ahmad Syafii Maarif adalah seorang intelektual yang produktif, mulai

belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah

Yogyakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya

diatas setengah abad.21

Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penertbit terkenal. Sampai kini,

Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya. Segudang “produk

pemikirannya”, dan jejak langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil dari

sebuah proses yang panjang, berliku. Kesulitan dan tantangan hidup telah

dibacakan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Puluhan buku telah

lahir dari tangan seorang anak udik yang semula tidak punya cita-cita besar dan

muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang diembannya

selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya ke pusaran perkembangan

politik, sosial, dan budaya secara nasional dan internasional. Periode ini adalah

titik krusial dalam transformasi publik ini, dan Ahmad Syafii Maarif di antara

anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-karya Ahmad Syafii

Maarif adalah:

1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, diterbitkan oleh

Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta (tahun 1975).

2. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam

Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983.

21Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, h.5. 59

3. Dinamika Islam, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).

4. Islam, Mengapa Tidak?, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).

5. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (bersama M. Diponegoro), diterbitkan oleh

Shalahuddin Press (tahun 1984).

6. Islam dan Masalah Kenegaraan, diterbitkan oleh LP3ES (tahun 1985).

7. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1994).

8. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung: Mizan, 1995)

9. Membumikan Islam, Pustaka Belajar, 1995.

10. Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin(1959-

1965), Jakarta: Gema Insani Press (1996).

11. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani Press,

1996.

12. Keterkeitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogyakarta: Institut

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997).

13. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan

Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000).

14. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, (Jakarta:LP3ES, 2006).

15. Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif,

diterbitkan oleh Ombak di Yogyakarta (tahun 2006).

16. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan

2009).

17. Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Jakarta: Serambi, 2015). 60

Di luar tulisan-tulisan diatas masih banyak karya-karya Buya Syafii baik

berupa artikel-artikel dan makalah-makalah yang belum sempat dipublikasikan.

Tetapi secara garis besar pemikiran Buya Syafii telah tercermin dalam buku-buku

dan artikel diatas.

Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif adalah sampai saat ini masih terus

mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika

(bergantian dengan penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak

hannya tentang keislaman, namun juga mencakup tentang ke Indonesiaan dan

kemanusiaan. Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu dari sedikit cendikiawan

Muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui

tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus

mengajak untuk mengatasinya, kepada semua anak bangsa.

Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa, sejauh ini gagasan yang paling

menonjol dari Ahmad Syafii Maarif adalah kegetolannya dalam merelevansikan

realitas obyektif umat Islam yang ada dalam sejarah dengan doktrin-doktrin suci

Islam baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits.22

Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif ingin mengajak

bangsa Indonesia khususnya, dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya

hendaknya berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW seperti dalam

ukhwah Islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari manapun kita berasal, tetapi

22Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 20.

61

terikat sesaudara seagama Islam, bukan dengan masih mementingkan golongan

dan budaya masing-masing.

Kini, di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah, sebagai

sumber inspirasinya dalam “perang dan damai” dan anak semata wayangnya,

Mohammad Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap menikmati hari-harinya. Ahmad

Syafii Maarif berharap di sisi hidupnya, ia mampu menghasilkan karya-karya

besar tentang Islam dan kemanusiaan. Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak

akan memberikan sumbangan besar bagi peradaban.23

23Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif, h. 20.

BAB IV

ANALISIS PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA

A. Bentuk Ideal Hubungan Agama dan Negara

Dikalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam

bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di

dalamnya berisi beberapa pokok ajaran dapat diterapkan dalam berbagai dimensi

kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan

keyakinan tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara,

dalam hal ini keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan (integrated).

Oleh karena itu, kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara

merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara

diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena memang

kedaulatan itu berasal dan berada ditangan Tuhan.

Bagi pemimpin modernis negara adalah alat bagi Islam untuk

melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan manusia. Sebagai alat,

adanya negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela prinsip persatuan

agama dan negara.1

1Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 130.

62

63

Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen Fasis atau

Komunisme. Paham pemisahan Islam dari negara, dan bukan kaitan non formal/legal antara Islam dan negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya . Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan negara.2

Soekarno yang termasuk seorang yang menghendaki pemisahan Islam dan negara, mengemukakan beberapa argumen: Pertama, penyatuan agama (Islam) dan negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan syariat Islam dan negara demokrasi, dan Ketiga, tidak ada consensus ahli agama tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemaslahatan. Seokarno menilai bahwa pelaksanaan ajaran- ajaran agama merupakan tanggung jawab pribadi kaum muslimin dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini, tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi memaksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya.

Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agama (Islam) dan negara, bukan berarti tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua arus regio-politik

2Mohammad Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 429.

64

ini. Soekarno dengan tegas menentang hubungan formal-legal antara Islam dan negara, khususnya dalam sebuah negara yang tidak semua penduduknya beragama Islam. Model semacam ini, hanya akan menimbulakan perasaan terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.3

Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/paham, antara lain:

a. Paham Teokrasi

Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan.

Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah

Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman

Tuhan.

Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Oleh karena itu, yang memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung, yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan.

3Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452-453.

65

b. Paham Sekuler

Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.

Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.

Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.

Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistim dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman- firman Tuhan, seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensi (campur tangan) dalam urusan agama.

c. Paham Komunis

Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara.

Agama dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan angan-angan) makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Karena itu,

66

agama harus ditekan, bahkan dilarang nilai tertinggi dalam negara adalah materi.

Karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.4

Hubungan agama dan negara (Islam dan negara) disebutkannya sebagai berikut: negara adalah alat untuk merealisasikan cita-cita Islam yang meliputi seluruh bidang kemanusiaan. Syafii Maarif sampai pada kesimpulan seperti itu setelah melihat peran Nabi Muhammad sendiri, yakni karir Nabi baik di Makkah

(610-622 M) dan di Madinah (622-632 M). Disini dia menyatakan bahwa pada masa Makkah, Nabi tidak memiliki kekuasaan politik untuk menopang misi kenabiannya. Tetapi menurutnya untuk menyimpulkan bahwa masa Makkah Nabi hanya memaparkan ajaran Tauhid (ajaran keesaan Allah) dan cabang-cabang iman yang lain kepada para pengikutnya tanpa diiringi ajaran tentang prinsip- prinsip keadilan sosial-ekonomi, ini jelas menyimpang dari al-Qur‟an. Karena itu posisi Muhammad yang paling pokok adalah sebagai Rasul. Disini Syafii Maarif juga mengutip pendapat Ibn Taimiyah yang didasarkan pada al-Qur‟an, bahwa

“agama yang benar wajib memiliki Petunjuk dan Pedang Penolong”. Syafii

Maarif mengatakan Pedang penolong adalah simbol dari kekuasaan politik atau negara. Tetapi kekuasaan politik atau negara itu bukanlah Islam. Dengan demikian, negara bukanlah persambungan (dengan) agama. Ketegangan yang terjadi, justru ketika para sarjana Islam merumuskan doktrin politik Islam yang menggambarkan seolah-olah Islam menjadi alat negara.

4 http/Tienk Rahman‟s Blog. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014.

67

Dikatakan oleh Syafii Maarif bahwa Islam memang membutuhkan

perangkat politik yang diwakili oleh negara dalam rangka mendarat ajaran-

ajarannya. Sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki

pemisahan Islam dan negara.5

B. Posisi Agama dan Negara

Hubungan antara agama dalam hal ini Islam (din) dengan negara (dawlah)

atau politik (siyasah) kelihatannya menjadi isu perenial di kalangan ulama,

pemikir Muslim bahkan gerakan Islam. Bisa dipastikan perdebatan tentang subjek

ini bakal terus berlanjut di masa depan.

Dalam masa modern-kontemporer, posisi hubungan antara Islam dan

negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan

politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan

agama (religiously unfriendly-secularism) seperti Turki; kedua, pemisahan yang

disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology)

seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara

negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi,

yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.6

5Ahmad Syafii Maarif, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1983), h. 43-45.

6Ahmad Syafii Maarif, Fikih Kebinekaan, (Jakarta: PT Mizan, 2015), h. 115.

68

Berdasarkan pembacaannya atas konteks historis khas Indonesia, Buya

Syafii berupaya melibatkan diri dalam diskusi-diskusi kesarjanaan mutakhir

tentang relasi Islam dan politik: Apakah Islam itu merupakan agama dan sistem

kekuasaan (din wa al-daulah) sekaligus? Buya Syafii menolak adanya gagasan

tentang negara Islam. Menurutnya, di dalam al-Qur‟an tidak ditemukan tata

politik dan pemerintahan khas Islam. Tetapi al-Qur‟an secara eksplisit

menekankan agar nilai dan pemerintahan etiknya dijunjung tinggi dan bersifat

mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Atas

dasar nilai-nilai etik al-Qur‟an inilah bangunan politik Islam dan bangunan sosio-

kultural wajib ditegakkan.7

Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa al-Khulafa al-

Rasyidin tidak ditemukan sesuatu yang khas islami. Meskipun begitu, ia

berkeyakinan bahwa Islam menyajikan tauhid yang darinya terpancar hukum-

hukum dan ajaran-ajaran agama yang mampu dijadikan sumber inspirasi bagi

umat Islam yang bergairah untuk menaati ajaran-ajaran Tuhan pada situasi dan

kondisi di negara tertentu.8

Karena itu, Buya Syafii menolak slogan al-Islamu huwa al-dinu wa al-

daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) yang tampaknya justru telah

mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari din dan posisi kenabian Muhammad.

7Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: Lkis, 2000), h. 18.

8Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. III, h. 145

69

Nabi Muhammad menurut Buya Syafii tidak pernah menyatakan diri sebagai

seorang penguasa. “Muhammad hanyalah seorang Rasul”. Ayat inilah statemen

bahwa Islam adalah agama dan negara.

Begitu juga dengan makna din, menurut Buya Syafii Maarif, din adalah

sesuatu yang immutable (abadi), sedangkan daulah adalah sesuatu yang mutable

(berubah). Menempatkan daulah setaraf dengan posisi din (Islam), itu sama

artinya dengan mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan din al-Islam.

Apalagi istilah daulah yang berarti negara yang tidak dijumpai dalam al-Qur‟an,

istilah ini hanya dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau

pergantian tangan dari kekayaan.9

C. Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Mengkaji hubungan agama (Islam) dan negara di Indonesia, terutama

pasca kemerdekaan, pada waktu-waktu tertentu dapat dikatakan kurang harmonis.

Secara umum, peristiwa-peristiwa parlementer maupun non parlementer yang

terkait dengan Islam dan negara ikut menciptakan suasana ketidak harmonisan

tersebut. Dalam artian, Islam menjadi faktor dominan dalam rangka membentuk

negara kesatuan Republik Indonesia.10

9Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta: Serambi, 2015), h. 82- 83.

10Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), cet. I, h. 162.

70

Sejarah telah membuktikan bahwa Islam merupakan faktor berpengaruh

terhadap politik.11 Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, karena secara

kuantitas umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sehingga sepak

terjangnya lebih sering menjadi perhatian masyarakat luas. Kedua, karena adanya

pemikiran dalam umat Islam sendiri bahwa Islam dan politik tidak dapat

dipisahkan. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Islam mempunyai konsep

tentang negara Islam.

Pada satu sisi Islam menghendaki agar negara dan masyarakat Indonesia

diatur berdasarkan agama Islam. Kalaupun tidak demikian, Islam selalu mendesak

agar negara dan masyarakat berdasarkan pada etika dan moral agama yang

diyakini bersifat abadi dan universal karena datang dari Tuhan.

Pada sisi lain, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia diatur

berlandaskan pada kesepakatan bersama. Negara menganggap bahwa Islam

hanyalah satu bagian dari bagian-bagian lain yang ikut membentuk Negara

Indonesia. Karena itu, negara menghendaki agar masyarakat Indonesia dikelola

berdasarkan ideologi bersama „Pancasila‟.

Secara faktual, pada proses awal pembentukan negara Indonesia, dalam

sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia) permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara,

batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan

11Andi Wahyudi, Muhammadiyah dan Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan Muhammadiyah Era 1990, Editor: Darmawan, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), cet.I, h. 24-25.

71

pembuatan suatu konstitusi. Untuk bentuk negara misalnya, hampir seluruh

anggota memilih bentuk Republik. Tetapi sekali tentang dasar negara disentuh,

iklim politik dalam sidang menjadi sangat hangat.12

Kemudian benih-benih perdebatan ideologi ini mulai muncul secara

terbuka pada tahun 1940 ketika terjadi polemik antara Soekarno (kelompok kaum

nasionalis) dan Muhammad Natsir (kelompok kaum Islam) di sekitar, hubungan

antara agama dan negara. Dan materi polemik itu sendiri sudah menampilkan

masalah-masalah yang sama dengan materi yang muncul dalam perdebatan di

BPUPKI dan konstituante mengenai dasar negara, antara “nasionalisme sekuler”

dan “nasionalisme Islam”.13

Perdebatan tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI memang tegang

dan panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran

pemisahan negara dan agama. Supomo menjelaskan tentang dua aliran ini sebagai

perbedaan dua paham: Paham pertama di bela oleh ahli-ahli agama yang

bertujuan mendirikan suatu negara Islam di Indonesia; paham kedua, sebagai

mana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan antara urusan negara dan

urusan Islam. Pendeknya bukan negara Islam.

Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada tanggal 31 Mei 1945, yakni

sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar ideologi

12Ahmad Syafii Maarif “Pengantar” dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Sukarno Versus Natsir, (Jakarta: Teraju, 2002), cet.I, h. 8.

13Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media,1999), h. 55.

72

negara. Hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila Ketuhanan

diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian Soekarno tidak

menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi sila-sila yang lain. Lebih

dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan menjadi Trisila, yakni: 1. Sosio-

nasionalisme, 2. Sosio-demokrasi, 3. Ketuhanan. Bahkan sila yang tiga ini dapat

diperas menjadi Ekasila dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang

terakhir ini, sila Ketuhanan telah menghilang. Teori tipikal ini dipandang tidak

masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran agamanya. Itulah sebabnya

mereka berusaha memodifikasi terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika

memang Pancasila mau dijadikan falsafah negara.14

Isu tentang dasar negara telah memaksa para pendiri Republik Indonesia

untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern Indonesia. Tetapi

akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22

Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil

dalam BPUPKI yang diketuai Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota

terkemuka, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno

Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid

Hasyim, dan Muhammad Yamin.15

14Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, h. 105-106.

15Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), h. 16-18.

73

Piagam Jakarta tersebut sebenarnya adalah sebuah preambule bagi

konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya, Pancasila sebagai

dasar negara telah disepakati, tetapi sila pertama, yaitu sila ketuhanan diikuti oleh

anak kalimat: “…dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”. Anak kalimat yang dinilai strategis ini bagi umat Islam menjadi

sangat penting, sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari‟at Islam secara

konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah satu alasan

mengapa wakil umat Islam dalam BPUPKI dapat berkompromi dengan kelompok

nasionalis.16

Dan pada akhirnya rumusan konstitusi ini dapat diterima dengan aklamasi

pada tangal 16 Juli 1945 oleh anggota sidang BPUPKI, yaitu sebuah mukadimah

yang memuat Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara dan Batang Tubuh UUD

1945 yang memuat dua ketentuan penting perjuangan golongan Islam, yakni:

pertama, Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan kedua, Presiden adalah orang Indonesia asli

yang beragama Islam.17

Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya tanggal 17

Agustus 1945, besoknya pada 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 yang

sebelumnya masih merupakan rancangan hukum dasar serta dalam

16Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 107-108.

17Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.II, h. 45.

74

pembukaannya memberi nama Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila secara resmi atau secara formal masuk ke dalam bahasa Indonesia, walaupun di dalam pembukaan UUD 1945 itu tidak disebutkan nama Pancasila. Pancasila dalam pembukaan ini sebagai dasar negara, karena itu istilah Pancasila artinya “Lima

Dasar” yang dimaksud ialah satu dasar negara yang terdiri atas lima unsur yang menjadi satu kesatuan dasar falsafah negara Republik Indonesiayang isinya sebagaimana tertera dalam alinia ke empat bagian akhir pembukaan UUD 1945, yaitu; 1). Ketuhanan Yang Maha Esa, 2). Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,

3). Persatuan Indonesia, 4). Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5). Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia.18

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pada dasarnya nama Pancasila bukanlah berakar dari budaya Indonesia asli, tetapi berasal dari budaya

Sansekerta, yang kemudian diadopsi menjadi pembendaharaan bahasa Jawa-kuno dan bahasa Indonesia. Meski istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta, namun muatan makna dan nilai-nilainya sangat jauh berbeda dengan muatan makna Pancasila dalam UUD 1945, makna Pancasila dalam UUD 1945 sarat dengan muatan-muatan budaya masyarakat itu sendiri, bukan berasal dari budaya

India atau agama Budha.

Soekarno mengambil konsep ini, dengan memberinya isi dan makna baru.

Soekarno sendiri menyatakan menggali Pancasila dari bumi dan kepribadian

18Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, (Yogyakarta: Liberty, 1994), h. 11-12.

75

mendalam bangsa Indonesia. Menurutnya Pancasila merupakan refleksi konteplatif dari warisan sosio-historis Indonesia kemudian merumuskannya dalam lima prinsip. Ketika menyampaikan usulan konsep dasar negara Indonesia,

Soekarno memberinya nama dengan Panca Sila. Pancasila menurutnya, terdiri dari Panca yang berarti lima dan Sila berarti azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah didirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.19

Konsep Pancasila oleh Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945, sebenarnya sintesa dari berbagai ideologi Barat, terutama Nasionalisme,

Sosialisme, Internasionalisme dan hanya ditambah dengan ide ketuhanan yang berasal dari gerakan keagamaan.

Tetapi ternyata persetujuan tersebut tidaklah benar-benar telah terselesaikan. Hasil kompromi politik tersebut mengalami perubahan setelah proklamasi kemerdekaan. Anak kalimat dalam pembukaan UUD1945; “…dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, ternyata masih mengganjal dan dipandang sebagai keputusan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Oleh karena itu, dari golongan Protestan dan Katolik menghendaki penghapusan anak kalimat tersebut serta kalimat islami lainnya dan atau lebih

19Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 144.

76

memilih berdiri di luar Republik Indonesia apabila anak kalimat dalam

pembukaan UUD tersebut masih tetap difungsikan.20

Kelahiran dan perumusan Pancasila mempunyai akar sejarah yang

panjang, dan merupakan refleksi dan puncak konstruksi serta solusi terhadap

perbedaan budaya, agama, dan ideologi. Jadi Pancasila adalah puncak prestasi

kolektif pada cendekiawan (Muslim dan non-Muslim) dalam membangun

identitas dan cita-cita negara Indonesia, yang merdeka. Bisa dikatakan Pancasila

adalah miniatur dari perpaduan antara budaya, agama, dan modernitas. Kini,

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia, dapat diterima oleh

sebagian besar intelektual Muslim Indonesia, mereka berkeyakinan bahwa

Pancasila merupakan ideologi terbuka dan tidak bertentangan dengan Islam,

bahkan Pancasila sejalan dengan Piagam Madinah yang meletakkan dasar-dasar

dan historis toleransi Islam terhadap umat non-Muslim.

Pandangan Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan Pancasila ini layak

untuk dipertimbangkan. Bertolak dari historis umat Islam dan bangsa Indonesia,

khususnya dalam usaha merumuskan dasar negara menjelang kemerdekaan

sampai pada perdebatan di Majelis Konstituante, Syafii Maarif sering mengutip

ungkapan Hatta yang mengatakan; “Gunakanlah Filsafat garam, apa bila

dimasukkan kedalam air tidak terlihat tetapi apabila diminum itu terasa, jangan

gunakan filsafat gincu, apabila dimasukkan ke dalam air terlihat tetapi ketika

20Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet.I, h. 50.

77

diminum tidak terasa”, tidak harus negara Islam tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam menjadi suatu landasan bagaimana kita berbangsa dan bernegara.21

Terkait dengan sinergisitas agama dan negara di Indonesia, kondisinya semakin tidak jelas. Atas nama kebangsaan, atas nama pluralisme, atas nama toleransi dan atas nama HAM, umat Islam Indonesia menjadi rapuh, lembek dan tak berdaya, padahal statistik kependudukan menunjukkan bahwa rakyat

Indonesia mayoritas adalah Muslim.

Meskipun perdebatan tentang konstitusi negara sudah final dan sudah selesai, karena keadilan dan kesejahteraan tidak pernah terwujud bagi rakyat

Indonesia, (kontrak politik bangsa), yang sejahtera hanya segelintir penguasa dan konglomerat (pemilik modal) yang juga kongkalingkong dengan penguasa, maka

“ide gila” mendirikan Khilafah Islamiyah, disintegrasi bangsa menjadi mencuat kembali ke permukaan. Para aktivis politik Muslim idealis, seperti MMI, HTI,

FPI, dan lain sebagainya merespon kecarutmarutan Negara dengan reaksional,

“revolusi”. Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya.

HTI masuk di Indonesia pada tahun 1983 M, dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi, salah seorang Hizbut Tahrir dari Yordania. HTI adalah yang paling solid dan memiliki jaringan paling luas (internasional) diantara gerakan-gerakan baru yang getol berjuang menegakkan syariat Islam tersebut. Bahkan HTI juga

21Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.

78

yang paling radikal karena HTI tidak hanya bercita-cita menegakkan syariat Islam

tetapi juga mendirikan Khilafah Islamiyah dan menegakkan hukum berdasarkan

al-Qur‟an dan Hadits. Menurut HTI penegakkan syariat Islam secara kaffah

mustahil akan terwujud jika tidak ada dalam bingkai khilafah Islam.22

Pandangan HTI tentang filosofi hubungan masyarakat lokal dan negara di

era reformasi, jika dikaji tidaklah ada pandangan khusus. Pandangan mereka

masih simpang siur, ada pergeseran, dan saling bertentangan. Dalam seluruh

gagasan HTI, bentuk negara yang diidealkan adalah negara khilafah sebagai

negara Islam, dan ini berimpalikasi pada bentuk dasar filosofi tentang bangsa,

sehingga hal ini berkaitan dengan filosofi Pancasila.

Dengan konsep itu, yang disebut negara Islam adalah khalifah yang

menerapkan sistem Islam. Khilafah (kekhalifahan) atau imâmah (kepemimpinan)

adalah pengaturan tingkah laku secara umum atas kaum Muslim, artinya khilafah

bukan bagian dari akidah, tetapi bagian dari hukum syara’.23

Gagasan HTI di atas, menegaskan bahwa negara dengan filosofi dan dasar

Pancasila bukanlah negara Islam. Oleh karena bukan negara Islam, maka tidak

termasuk dikategorikan sebagai Darul Kuffar.

Pancasila dengan sila-silanya tidak ada yang buruk dan tak salah. Tetapi,

Pancasila tak mencukupi untuk mengatur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu

22 Afadlal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 265.

23Taqiyuddin al-Nabhani, Daulah Islam ,dalam Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin al- Nabhani Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, (Bogor: Al-Azar Press, 2003), h. 301.

79

tidak heran, meski semua rezim mengakui Pancasila, tapi sistem yang dipakai bermacam-macam. Di masa Soekarno, Pancasila ditafsirkan sebagai sistem sosialistik, di masa kepemimpinan Soeharto, Pancasila diterapkan dalam sistem kapitalistik. Namun di masa sekarang ada kecenderungan membawa Pancasila pada sistem neoliberal. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa letak masalah bukan di Pancasila, tetapi dari sistem di bawahnya. Karena sifatnya hanya gagasan filosofis, maka Pancasila kemudian digunakan untuk melancarkan paham yang dianut penguasa.

Apabila diamati dari gagasan-gagasan dan tulisan HTI, jelas bahwa tanpa mengaitkan dengan filosofi Pancasila, mereka mengritik perjalanan reformasi, dari sudut perlawananya terhadap demokrasi, kapitalisme, korupsi, eksploitasi alam, kemiskinan, dan lain-lainnya. Solusinya, selalu dihubungan dengan penerapan syariat Islam dan khilafah, tetapi pada saat yang sama mereka tidak mau mengaitkan dengan Pancasila, apalagi membahasnya dari sudut sebagai dasar negara yang dibutuhkan bangsa Indonesia.

Menurut Syafii Maarif, pemerintah ini ragu berurusan dengan kelompok

HTI, karena pemerintah sendiri takut dituduh melanggar HAM.24

Dari pengalaman historis itu Syafii Maarif menegaskan pendiriannya bahwa usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan

“Usaha prematur dan tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan

24 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.

80

yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan”. Erat kaitannya

dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum

memahami betul arti Islam bagi manusia, baik bagi individu maupun kolektif.25

Menurut Syafii Maarif Pancasila itu kalau ditafsirkan sacara islami itu

adalah nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan oleh Islam. Jadi tanpa harus kita

bentuk negara Islam dengan adanya Pancasila ini, negara ini sudah islami. Secara

konsep Pancasila adalah satu dokumen yang secara praktis bisa menerjemahkan

ajaran-ajaran politik dalam Islam, ajaran-ajaran politik dalam al-Qur‟an tinggal

bagaimana kita merealisasikan lima konsep ini.26

25M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.I, h. 201

26Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab terdahulu, maka

selanjutnya penulis akan menyimpulkan sebagai jawaban dari berbagai pokok-

pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Pandangan Ahmad Syafii Maarif, dalam kaitannya dengan hubungan agama

dan negara, lebih mengutamakan aspek‐aspek substantif dan

mengenyampingkan aspek legal‐formal. Pandangan seperti ini karena

dipengaruhi oleh corak pemikiran neo‐modernisme yang lebih mengutamakan

aplikasi dari ideal moral al‐Quran dari pada ketentuan legal spesifiknya.

Karena itu, dalam hal ini ia berpendapat sebagai berikut: ia sangat tidak setuju

dengan pendapat yang menyatakan bahwa Islam adalah agama (din) dan

negara (daulah).

2. Menurut Buya Syafii Maarif, posisi agama (din) berada lebih tinggi di atas

posisi negara (daulah), din adalah sesuatu yang immutable (abadi), sedangkan

daulah adalah sesuatu yang mutable (berubah). Karena itu, tidak boleh

menempatkan negara (daulah) setaraf dengan posisi agama (din). Sebab hal

itu sama artinya dengan mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan

din al-Islam.

81

82

3. Hubungan antara agama dan negara di Indonesia menurut Ahmad Syafii

Maarif, sangat erat, buktinya dalam rumusan Pancasila ada sila ketuhanan

yang merupakan simbol keterikatan antara agama dan negara.

B. Saran

Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Ahmad Syafii

Maarif tentang agama dan negara, kiranya penulis perlu mengemukakan saran

sebagai kelanjutan dari kajian penulis tentang hal-hal tersebut di atas, yaitu:

perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang agama dan negara, sehingga

mampu memberikan informasi yang lebih utuh. Dengan penelitian yang lebih

komprehensif, diharapkan dapat melahirkan pemahaman bahwa Indonesia

merupakan negara yang multi cultural, multi agama dan etnis.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qur’ȃn al-Karîm.

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996, cet. III.

Afadlal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005. Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet.1.

Antono, Raja Juli, Laporan Tahunan, Jakarta: Maarif Institute, 2000-2007. Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, cet.I. Azra, Azyumardi, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. ------Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post- Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, cet.I. ------Reposisi Hubungan Negara dan Agama Merajut Hubungan Antar Umat. Jakarta : Buku Kompas, 2002. Bakry, Noor Ms., Pancasila Yuridis Kenegaraan Yogyakarta: Liberty, 1994. Bustaman-Ahmad, Kamaruzzaman, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002, cet.I. Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, cet.I. Ghazali, Abd. Rohim, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua, Jakarta: Maarif Isntitute, 2005. ------dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Poltik Islam Inklusif, Jakarta: Maarif Institute, 2005. http/Tienk Rahman’s Blog. Diakses pada tanggal 13 Oktober 2014.

83

84

Iqbal, Hakim Javid, “ Konsep Negara Menurut Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet.III. Jatmika, Sidik, AS Penghambat Demokrasi: Membongkar Standar Ganda Amerika Serikat, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001.

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, cet.I.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, cet. II.

Maarif, Ahmad Syafii, Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983. ------Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1995, cet. III. ------Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet.I. ------Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996. ------Islam dan Masalah Kenegaraan Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES1, 1996, cet.I. ------Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet.I. ------“Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1999, cet.I.

------Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. III.

------Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, Jakarta: Cidesindo, 2000.

------“Pengantar” dalam Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam Sukarno Versus Natsir, Jakarta: Teraju, 2002, cet.I.

------Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Yogyakarta: Ombak, 2006.

------Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung : PT Mizan Pustaka, 2009, cet.I. 85

------Fikih Kebinekaan, Jakarta: PT Mizan, 2015.

------Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi, 2015.

Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999.

Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, Jakarta: Hudaya, 1970. Mawardi, al, Al-Ahkȃm al-Sulthȃniyyah, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet.I. MD, Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999. ------Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, cet.II. Nabhani, al-Taqiyuddin, Daulah Islam ,dalam Ihsan Samarah, Syaikh Taqiyuddin al- Nabhani Meneropong Perjalanan Spiritual dan Dakwahnya, Bogor: Al-Azar Press, 2003. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Natsir, Mohammad, Agama dan Negara dalam Prespektif Islam, Jakarta: Media Dakwah, 2001, cet.1. ------Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesi 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, cet.8. Pulungan, Suyuti, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, cet. II. Qaradhawi, al-Yusuf, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik (Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme), Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008. Rais, Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan, 1998. 86

Rosyada, Dede, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000, cet.I.

Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, cet.II.

Salim, M. Arskal, “Islam dan Relasi Agama-Negara di Indonesia” dalam Abdul Mun’im D.Z. (ed.), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, cet.I. Shalaby, Ahmad, Studi Komprehensif Tentang Agama Islam, Surbaya: PT. Bina Ilmu, 1988, cet.I. Soekarno, Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, Di bawah Bendera Revolusi, Panirya Penerbit Di bawah Bendera Revolusi, 1963. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1966.

Suaedy, Ahmad (ed.), Pergulatan Pesantren Demokrasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, cet.I. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung:Penerbit Alfabeta, 2011. Suhelmi, A., Soekarno Versus Natsir, Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999. Syam, Firdaus, Amien Rais: Politisi yang Merakyat dan Intelektual yang Saleh, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003. ------Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra: Di Pentas Politik Indonesia Modern, Jakarta: Khairul Bayan, 2003. Syamsudin, M. Din, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Andito (Abu Zahra) (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, cet.I. ------Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001. Syarif, Mujar Ibnu, dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008. Ubaedilah, A, dan Abdul Razak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. 87

Wahid, Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: Lkis, 2000. Wahyudi, Andi, Muhammadiyah dan Gonjang-Ganjing Politik: Telaah Kepemimpinan Muhammadiyah Era 1990, Editor: Darmawan, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, cet.I.

Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas alih bahasa: Taufiq Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafii Maarif, Kuningan, 12 Juni 2016. Yunus, M. Yunan, TeologiMuhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial Jakarta: Uhamka Prees, 2005.

90

TRANSKIP WAWANCARA

Nama : Ahmad Syafii Maarif waktu : Minggu, 12 Juni 2016

1. Bagaimana tentang hubungan agama dan negara?

Jawab: Sebetulnya kalau berbicara tentang hubungan agama dan negara itu

akan merujuk pada konsep politik dalam Islam itu seperti apa, teori politik

dalam Islam tersebut. Bahwa negara itu adalah suatu organisasi besar, yaitu alat

bagaimana menciptakan cita-cita ideal, bukannya oleh yang diciptakan Islam

itu, tapi yang diciptakan oleh agama manapun dan manusia pada umumnya.

Ada beberapa teori yang menjelaskan hubungan agama dan negara:

a. Teori formal legalistik, yaitu bagaimana kerangka kenegaraan itu

dibangun diatas landasan agama. Jadi agama yang secara keras, kaku,

dan kasar itu memformat sistem kenegaraan.

Misalnya yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, sistem

kenegaraannya di landaskan pada agama.

b. Teori Substansial, yaitu bagaimana ruh-ruh keagamaan itu menjadi

pedoman dalam menjalankan kehidupan bernegara. Tanpa harus ada

embel-embel agama tertentu, tetapi misalnya kalau disitu ada nilai-nilai 91

keagamaan yang dipegang menjadi pedoman sudah menjadi bentuk

substansial. Negara berjalan diatas nilai-nilai keagamaan hanya nilai-

nilainya saja tidak kerangkanya yang menjadi pedoman dalam

bernegara.

Dikalangan yuris, kalangan ahli politik pada abad pertengahan, ada 2 doktrin:

1) Islam itu mengkaji persoalan-persoalan akidah, syariah, dan ibadah.

Dalam artian tuntunan-tuntunan keagamaan tetapi tidak membahas urusan

pada politik.

2) Islam bukan hanya sekedar mengurus soal-soal keagamaan tetapi juga

mengurus soal negara.

Tokohnya seperti al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah.

Mereka berpandangan bahwa din wa daulah, yaitu wajib dasarnya adalah dalam Islam itu wajib membentuk suatu kepemimpinan, dan kepemimpinan ini sebetulnya bukan menjadi suatu tonggak atau satu rukun dalam Islam. Kepemimpinan yang menjadi alat yang wajib ada, untuk memenuhi suatu cita-cita Islam yang ideal.

Dalilnya itu, Mȃ lȃ yatimmu al-wȃjibu illȃ bihi fa huwwa wȃjibun, yang artinya: “Selama suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”.

Misalnya kita wajib menegakkan keadilan, menciptakan kemakmuran masyarkat, yaitu alatnya organisasi atau negara. Jadi ketika tidak ada negara, 92

kemudian kemakmuran tidak terpenuhi, maka keberadaan negara menjadi wajib

untuk menghadirkan keadilan itu sendiri.

2. Bagaimana Bentuk-bentuk Hubungan Agama dan Negara itu sendiri?

Jawab: Bentuk itu secara praktis dalam institusi Islam ada yang masuk dalam

kategori monarki absolut. Dimana sistemnya itu menganut pada kerajaan, tetapi

di legitimasi oleh dasar-dasar keagamaan juga.

Misalnya yang terjadi pada kerajaan atau kesultanan yang terjadi setelah

khilafah, itukan sebetulnya bukan sistem khilafah. Tetapi, sistem turun

temurun. Muawiyah menurunkan kekuasaanya pada anaknya. Monarki yang

dibalut dengan agama, karena dia mengatas namakan agama. Padahal untuk

kekuasaan turun-temurun.

Dalam negara Islam ada konsep:

 Kafir Dzimmi, yaitu boleh tinggal disitu tetapi membayar pajak.

 Kafir Harbi, yaitu diperangi.

Itu suatu bentuk hubungan agama dan negara yang mempunyai konsekuensi

terhadap hubungan sosial yang ada di dalamnya.

Misalnya, soal kesetaraan, keadilan, kesejahteraan bersama.

Sebetulnya terjadi pada zaman Nabi, meskipun Nabi tidak mengatakan

bahwa Nabi itu seorang pemimpin politik, tetapi secara otomatis Nabi itu juga

mengurus persoalan politik. Nabi itukan pemimpin agama, tetapi Nabi 93

mengurus soal politik, sosial, soal ekonomi juga. Tetapi Nabi bukan pemimpin

politik seperti Presiden, atau Wali Kota.

Tetapi misi kenabiannya dalam konteks kehidupan sosialnya itu lebih

substansial dalam kehidupan bernegara di Madinah, dan dalam kehidupan

berpolitik di Madinah.

3. Bagaimana sebaiknya hubungan agama dan negara? Apakah agama menyatu ke

dalam kekuasaan negara, ataukah justru dipisahkan agama dengan negara?

Jawab: Negara ini di dasarkan pada ruh, yaitu nilai-nilai universal keislaman

meskipun tidak harus menjadi negara Islam, Islam menyatu dalam satu negara

tidak perlu, tapi ruhnya itu yang menjadi dasar bagaimana kehidupan berbangsa

dan bernegara itu dijalankan.

Buya itu sering mungutip Hatta, dalam kehidupan agama dan negara itu

sebaiknya memakai filsafat garam, bukan filsafat gincu. Garam itu kalau di

masukkan kedalam air tidak terlihat tetapi ketika diminum itu terasa, sedangkan

kalau gincu ketika dimasukkan kedalam air itu terlihat tetapi ketika diminum

tidak terasa. Buya itu mengkritik pandangan formalistik itu, bahwa kita harus

membentuk negara Islam tetapi isinya tidak ada, Islam hanya jargon, hanya

simbol. Kalau Buya itu lebih ke filsafat garam itu, kita tidak harus negara Islam

tetapi nilai-nilai Islam ada disitu, nilai-nilai Islam yang menjadi satu landasan

bagaimana kita menjalankan berbangsa dan bernegara. 94

Yaitu kesetaraan, keadilan, kemakmuran, toleransi, keterbukaan, itukan

nilai-nilai Islam universal yang bisa menjadi landasan bagaimana kita bisa

berbangsa dan bernegara, jadi lebih ke substansial.

4. Bagaimanakah Hubungan Agama dan Negara Menurut Konsep Pancasila?

Jawab: Jadi Pancasila itu kalau di tafsirkan secara islami itu adalah nilai-nilai

yang selama ini diperjuangkan oleh Islam. Bagaimana Islam itu yang berasal

dari Tuhan untuk manusia. Jadi agama kemanusiaan.

Jadi tanpa kita bentuk negara Islam dengan adanya Pancasila ini, negara

ini sudah islami, sudah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dalam teori,

prakteknya kita belum melihat, kita harus berdebat lagi, apakah itu terelasasikan

atau tidak tetapi teori atau konsep dalam Pancasila itu sudah sesuai dengan

ajaran Islam.

Secara konsep Pancasila adalah satu dokumen yang secara praktis bisa

menerjemahkan ajaran-ajaran politik dalam Islam, ajaran-ajaran politik di

dalam al-Qur’an tinggal bagaimana kita merealisasikan lima konsep ini.

Buya sering mengkritik, orang Indonesia ini dalam hal rumus-

merumuskan sangat jago, tetapi dalam hal praktek tidak bisa. Bahkan Pancasila

itu sendiri, menurut Buya sila-silanya itu sudah yatim piatu, tidak ada yang

mengayomi bahkan sejak Pancasila itu di lahirkan, sejak zaman Soekarno.

Dalam hal praktek sudah dihianati atau tidak dilaksanakan. Misalnya 95

dengandemokrasi terpimpin dia mengikrarkan menjadi Presiden seumur hidup.

Itukan menyalahi Pancasila itu sendiri.

Pancasila ini satu terjemahan konseptual yang subtansial dari cita-cita

atau nilai-nilai universal yang selama ini diperjuangkan dalam Islam.

Keberadaan Pancasila ini sendiri otomatis tidak lagi membutuhkan apa yang

disebut agama dan negara, atau negara Islam. Kerangkanya cukup dengan

negara Pancasila, bahwa nilai-nilai keagamaan sudah masuk disitu.

5. Bagaimana Pandangan tentang Aplikasi Hubungan Agama dan Negara di

Indonesia?

Jawab: Di Indonesia itu aplikasinya agak repot, ketika negara ini berjalan tidak

sesuai dengan apa yang menjadi kesepakatan awal para pendiri. Jadi selama ini

dari para beragam latarbelakang agama, suku, dan sebagainya itukan tahun 45

sampai 50-an sudah membuat satu landasan bagaimana kita beragama dan

bernegara. Yang disebut Pancasila sebagai falsafah negara, kemudian ada

konstitusinya UUD 1945. Semua aturan-aturan itu adalah hasil dari kesepakatan

bersama, tetapi pada kenyataannya kesepakatan itu tidak direalisasikan secara

benar.

Saat itu perdebatannya ya Pancasila sebagai dasar negara, atau Islam

sebagai dasar negara. Yang Islam sebagai dasar negara kalah, dengan yang

Pancasila ini. 96

Tetapi ketika Pancasila sudah diterima menjadi dasar negara, pada

kalangan yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, kehidupan negara

kita juga tidak konsisten menjadikan Pancasila sebagai pedomannya.

Seharusnya kalau sudah bersepakat bahwa Pancasila sebagai dasar

negara seharusnya konsisten untuk menjalankan sila-sila yang ada di Pancasila

itu, karena kalau tidak di jalankan secara konsisten itu ada rong-rongan HTI

yang menawarkan sistem Khilafah. Itukan seperti sebuah kritik. Pancasila

kenapa tidak bisa menciptakan keadilan, Pancasila tidak bisa menciptakan

kemakmuran, kesejahteraan, kita harus coba sistem ini, sistem Khilafah, itukan

menjadi kritik. Sebetulnya permasalahannya bukan pada teorinya, atau pada

konsep Pancasilanya. Tetapi bagaimana Pancasila itu tidak mau di jalankan

oleh orang-orang atau elit-elit yang ada di Indonesia. Atau tidak konsisten

untuk di implementasikan untuk berbangsa dan bernegara.

Kalau kita konsisten dalam menjalankan Pancasila sebagai landasan kita

berbangsa dan bernegara rong-rongan seperti HTI tidak akan muncul, karena

memang kita belum bisa memenuhi satu cita-cita ideal Indonesia yang adil dan

makmur itu. Pada akhirnya rong-rongan dari situ masuk, sedangkan orang

awam cenderung menerima.

6. Sejak kapan rong-rongan Hizbut Tahrir Indonesia itu muncul? 97

HTI muncul itu sekitar tahun 1983 M. Sedangkan rong-rongan HTI itu

muncul ketika Pancasila itu tidak dijalankan sesuai oleh para elit politik,

karena keadilan dan kesejahteraan tidak terwujud bagi Masyarakat Indonesia.

7. Bagaimana sikap pemerintah dalam kelompok Hizbut Tahrir Indonesia ini?

Jawab: Pemerintah ragu berurusan dengan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia

ini, karena pemerintah sendiri takut dituduh melanggar Hak Asasi Manusia.

8. Bagaimana Kontroversi yang mengenai Hubungan Agama dan Negara tersebut?

Jawab: Polemik perdebatan konstituante ada 3 golongan:

- Golongan Islam, yang ingin memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Itu di representasikan oleh partai Masyumi, tokoh-tokohnya, ada Natsir,

Syafrudin.

- Golongan Nasionalis, yang menghendaki cukup Pancasila sebagai dasar

negara. Tokoh-tokohnya ada Hatta, Soekarno.

- Golongan Komunis ini, agama tidak penting.

Bahwa dalam prosesnya mereka melakukan debat, terkait apa sih yang

akan menjadi dasar negara Indonesia ini, sampai tahun 1959 perdebatan tidak

menghasilkan apa-apa. Sehingga Presiden Soekarno mengelurkan dekrit yang

salah satu isinya adalah kembali ke UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar

negara. Disitu ada preambule, preambule disitukan isinya Pancasila, artinya kita

kembali ke UUD 1945 dan kembali ke Pancasila sebagai dasar negara. 98

Sebetulnya disitu yang akhirnya Pancasila sebagai dasar negara diterima oleh yang lainnya.

Setelah itu orang-orang Masyumi, terutama yang dari Muhammadiyah, itukan banyak memberikan legitimasi, menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang mengakomodir tentang nilai-nilai keagamaan dalam ini keislaman.

99

TRANSKIP WAWANCARA

Nama : M. Abdullah Darraz

Jabatan : Direktur Program for Justis waktu : Kamis, 12 Mei 2016

1. Bagaimana Posisi Agama dan Negara itu sendiri?

Jawab: Ada teori yang mengkritik negara itu jangan dipisahkan secara yang

diametral bahkan berhadap-hadapan. Itu yang selama ini dimaknai sebagai

sekularisme politik bahwa agama tidak ada sama sekali hubungannya dengan

negara.

2. Bagaimana Bentuk Ideal mengenai Hubungan Agama dan Negara?

Jawab: Idealnya sebaiknya negara di jalankan diatas nilai-nilai moral

keislaman. Katakan Islam, tetapi kalau misalnya konsep agama lain tanpa harus

menyatukan antara agama dan negara, tanpa harus memisahkan agama dan

negara.

100

3. Bagaimana Aplikasi Mengenai Hubungan Agama dan Negara di Negara-negara

Muslim?

Jawab: Selama inikan seperti negara Saudi Arabia, itu sistemnya secara Islami

atau apa, atau bagaimana. Arab Saudi bukan Islami tetapi sistemnya kerajaan.

Dan hampir dimana-mana sistemnya kerajaan.

Di arab saudi murni sistemnya Monarki tetapi di balut oleh jargon-

jargon keagamaan. Disitu tidak ada nilai Islamnya hanya simbol agama saja,

kalau Monarki itu otomatiskan turun-temurun, sedangkan dalam Islam itu

konsep atau doktrinnya adalah kesetaraan untuk semua. Kalau mengikuti sistem

monarki rakyat jelata itu tidak bisa jadi Presiden. Sistem-sistem yang seperti itu

adalah menghianati Islam, merusak Islam. Karena Islamkan yang dilihat bukan

dari stratanya.

Iran itu sistemnya wilayatul faqih, disitu ada Presidennya yang di pilih

masyarakat, tetapi disitu ada satu lembaga diatas Presiden dan akan

melegitimasi Presiden.

Sebelum Revolusi di Iran juga sistemnya Kerajaan, tetapi di revolusi

bahwa Presidennya di pilih oleh rakyat, tapi itu mendapatkan legitimasi dari

kepemimpinan sepiritualnya yang wilayatul faqih itu.

101

Wawancara Bersama Buya Ahmad Syafii Maarif di Kuningan,

Jakarta Selatan, 12 Juni 2016

Wawancara bersama Bapak M. Abdullah Darraz

Direktur Program for Justis Maarif Institute