Empat Koreografer Minangkabau: Dibaca Dalam Teks Matrilineal Dan Patrilineal
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Empat Koreografer Minangkabau: Dibaca dalam Teks Matrilineal dan Patrilineal Surheni Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang E-mail: [email protected]; HP: 081374018743 Volume 2 Nomor 2, Oktober 2015: 63-79 ABSTRAK Artikel ini membahas empat koreografer Minangkabau yaitu Gusmiati Suid, Huriah Adam, Syofyani Bustamam, dan Syahril dari perspektif matrilineal dan patrilineal. Teks matrilineal tidak hanya dipandang dari sisi genealogis, tetapi juga dari sudut pandang budaya. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa partisipasi perempuan di luar wilayah domestiknya terbias dalam seni tari. Perempuan tidak dinantikan hanya untuk menyemarakkan dengan tebaran pesona keindahan ragawi. Ia mampu menjadi sumber ide dan tema, pelaku, pencipta, pengatur, dan penyelenggara, atau sarana mobilitas seni pertunjukan. Keempat koreografer lahir dan dibesarkan di Minangkabau akan tetapi berkiprah di tiga wilayah yang berbeda. Gusmiati Suid di Jakarta, Huriah Adam di Sumatera Barat, Syofyani di Padang, dan Syahril di Padangpanjang. Sebagai koreografer yang lahir dan dibesarkan dalam kultur Minangkabau tentu keempat koreografer ini ikut merasakan betapa dilematis posisi perempuan dalam masyarakat Minangkabau. Kata kunci: koreografer, Minangkabau, matrilineal, patrilineal ABSTRACT The Four Choreographers of Minangkabau: Being Read in Matrilineal and Patrineal Text. This article discusses about four choreographers of Minangkabau, among others are Gusmiati Suid, Huriah Adam, Syoyani Bustamam, and Syahril seen from the perspective of matrilineal and Patrilineal. The matrilineal text cannot only be seen from the genealogical side but it can be viewed from the cultural standpoint. Based on the research result it can be concluded that women participation outside their domestic area is also biased in dance performing arts. Women are not only expected to embellish with their scattering of physical enchanting beauty. They can be the source of ideas and themes, the actress,the creator,the manager, and the event organizer, or the mean of performing arts mobility. These four choreographers were born and grown up in Minangkabau, however, they have actively expanded their career in three different places. Gusmiati Suid’ s career is in Jakarta, Huriah Adam is in West Sumatra , Syoyani is in Padang, and Syahril is in Padangpanjang. As the choreographers born and grown up in Minangkabau’s culture, they definitely feel the dilemmatic sense of women position in Minangkabau society. Keywords: choreographers, Minangkabau, matrilineal, patrilineal Naskah diterima: 10 Juni 2015; Revisi akhir: 15 Juli 2015 63 Surheni, Koreografer Minangkabau Pendahuluan mengetahui pandangan koreografer mengenai perempuan yang direpresentasikan dalam karya- Kajian mengenai koreografer Minangkabau karya mereka, teknik atau proses pengumpulan dibaca dalam teks matrilineal dan patrilineal masih data dilakukan dengan metode triangulasi. jarang dilakukan. Terutama tentang partisipasinya dalam bentuk tari. Hal ini penting untuk Tari sebagai Teks mengetahui sudah berapa banyak koreografer Minangkabau terutama tokoh perempuan dalam Tari sebagai sebuah teks merupakan sesuatu budaya dihadirkan dalam bentuk tari. Kehadiran yang bisa dibaca dan ditafsirkan (Wurystuti, perempuan tidak sekadar pelengkap keindahan 2012). Artinya sebuah tarian yang terlintas di ragawi, namun perempuan dapat hadir juga sebagai atas panggung bukan sekadar bentuk susunan tokoh yang memberi satu ilham kemandirian. gerak dan keterampilan teknik atau virtuosity para Perbincangan mengenai koreografer dibaca dalam penari, tetapi dituntut sebuah pendalaman isi, dan teks matrilineal dan patrilineal memang menarik itu semua harus sampai pada sasaran atau “makna untuk dikaji. Bagaimana pandangan keempat komunikatif” kepada masyarakat penonton (Hadi, koreografer Minang ini terhadap perempuan yang 2012:9). Tari sebagai teks dengan segala peristiwa di kemudian direpresentasikan dalam karya-karya dalamnya merupakan sesuatu yang bisa dibaca dan mereka? Untuk menelusuri pandangan keempat ditafsirkan dengan bebas seperti halnya membaca koroegrafer dalam karyanya, akan dianalisis melalui sebuah teks (Putra, 1998:20). Penafsiran bebas atas karya masing-masing koreografer yang dilihat dari teks harus tetap menggunakan konsep atau sumber teks matrilineal dan patrilineal. acuan yang dapat dipercaya dan bisa memberi tafsir Perempuan Minangkabau mendapat tem- yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi pat unik dari sudut pandang budaya. Budaya untuk mengungkap makna tersembunyi di balik Minangkabau menganut sistem keturunan matri- makna yang langsung terlihat. lineal. Konsep budaya matrilineal ini menawarkan Sebagai sistem simbol, tari juga dapat dianggap daya tarik bagi posisi perempuan. Konsep inilah sebagai sistem penandaan yang lazim dianalisis yang diduga menjadi lahan subur tumbuhnya melalui pendekatan semiotik. Beberapa aspek yang sikap androginik pada perempuan Minangkabau menjadi bagian dari teks tari seperti gerak, musik (Kuardhani, 2000:101). Disadari atau tidak sedikit iringan, tempat, pola lantai, kostum, rias, dan banyak mempengaruhi koreografer Minangkabau properti dapat dianalisis ke dalam kategori penanda dalam kehidupannya sebagai seniman maupun dan petanda (signifier/signified) yang bersifat arbitrer dalam kehidupan keluarganya. Koreografer yang berarti pemaknaannya akan sangat tergatung dimaksud adalah Gusmiati Suid, Huriah Adam, pada konteks di mana sistem simbol itu disepakati Syofyani Bustamam, dan Syahril (koreografer laki- bersama berdasarkan konvensi. laki). Meskipun Syahril koreografer laki-laki teks tari Sebagai sistem tanda, tari terikat pada yang diusungnya hampir selalu mengetengahkan seperangkat kode yang diananlisis dengan persoalan perempuan dalam sejumlah karyanya. mempertimbangkan konteks yang melatarbelakangi Karya dimaksud seperti Tari Siti Manggopoh, Tari karya-karya tersebut. Tanda seperti yang Sirangkak Batuang, Tari Indang Ramolai, dan Tari diketengahkan Charles Sander Pierce mengandung Itiak Patah. tiga konsep penting tentang tanda, yaitu ikon, Gambaran mereka dalam dunia tari dapat indeks, dan simbol. Hubungan antara tanda dilihat sebagai bagian dari suatu gerakan kaum dan acuannya dapat berupa kemiripan (ikon), perempuan dalam berhadapan dengan tradisi kedekatan eksistensi (index), dan hubungan yang mengekang perempuan di satu sisi dan yang terbentuk secara konvensional (simbol) modernisasi yang menawarkan emansipasi di sisi (Kurniawan, 2002:21). lain. Penelitian ini bersifat kualitatif yang sangat Persoalan tari dapat dianggap sebagai sebuah bergantung pada kedalaman interpretasi. Untuk sistem penandaan (signifying system) di mana pesan- 64 Journal of Urban Society’s Art | Volume 2 No. 2, Oktober 2015 pesan tertentu disampaikan. Oleh karena itu, studi dalam dua dunia, di satu pihak ia adalah bagian untuk mengungkap pesan-pesan ideologis yang dari masyarakat yang masih berpegang pada tradi- dibawanya dapat dianalisis melalui pendekatan si, namun di pihak lain, mereka juga masyarakat semiotik. Tari dengan tubuh dan gerak serta musik perkotaan yang terbentuk karena modernisasi pola dan properti sebagai indeksnya dapat dianggap Barat. Hal ini secara konseptual terlihat kontra- sebagai penanda (signifier) yang kemudian dapat diktif. Modernisasi menurut hakikatnya selalu diuraikan menyimpan suatu petanda (signified) menjauhi hal-hal yang bersifat tradisional yang tertentu. Begitupun sebaliknya, tari dengan aspek- dianggap menghambat. Dengan kata lain, antara aspek yang membentuknya dapat dianalisis dengan modern dan tradisional secara konseptual bersifat mempertimbangkan ketiga aspek tanda yang asimetris (Suwarsono, 1991:24). diketengahkan Pierce yakni ikon, indeks, dan Kaum adat dan cendekiawan misalnya tidak simbol. menunjukkan dukungan secara langsung terhadap Dalam bidang tari dikenal tokoh pembaharuan dirinya. Sikap demikian tampak dari reaksi-reaksi tari Minangkabau: Huriah Adam, Gusmiati Suid, dan komentar-komentar yang tidak membangun dan Syoyani Bustamam. Belakangan muncul terhadap karya-karya yang diciptakannya. Syahril. Huriah Adam dikenal sebagai perempuan Sikap ini membuat Huriah tetap tegar dengan Minangkabau yang beruntung sebab pilihannya pendirian dan menentukan pilihannya. Gejala untuk berprofesi di bidang seni mendapat ini sangat dirasakan. Di satu sisi ada semangat dukungan dari ayahnya yang progresif. Sebagaimana untuk membuat perubahan, tetapi di sisi lain diketahui secara tradisional adat Minangkabau harus mempertimbangkan agar karya yang yang matrilineal mengekang perempuan di satu diciptakan dapat diterima di tengah masyarakat. sisi dan modernisasi yang menawarkan emansipasi Meskipun ada pembaharuan akan tetapi tidak di sisi lain, demikian pula Gusmiati Suid dan meninggalkan aspek keunggulan budaya daerah Syofyani Bustamam. Mereka dikenal sebagai tokoh dan nasional. Dalam konteks ini, Sal Murgianto atau koreografer yang memperlihatkan konsepsi (2005) menyatakan bahwa Huriah Adam adalah kreativitas yang khas dalam berhadapan dengan orang yang menjunjung tinggi kebebasan sebagai konsepsi fundamental atau pandangan dunia wanita yang baginya tidak hanya sebatas sumarak mengenai keterlibatan perempuan dalam dunia rumah gadang, tetapi juga terbuka kesempatan bagi seni pertunjukan. Gusmiati Suid, Huriah Adam, wanita untuk memasuki dunia seni pertunjukan. dan Syoyani Bustamam merupakan tiga tokoh Oleh karena norma kultural pula, Huriah perempuan Minangkabau yang secara monumental Adam tidak direstui oleh keluarganya ketika tercatat