Surau Nagari Lubuk Bauk Dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan Dan Makna Ornamen
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan dan Makna Ornamen Ivo Giovanni, Isman Pratama Nasution Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini membahas bangunan surau di Sumatera Barat yaitu Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh adat pada bangunan surau berdasarkan tinjauan arsitektur dan makna ornamennya. Selain itu, dilakukan perbandingan antara surau dengan bangunan tradisional Minangkabau lainnya, yaitu rumah gadang dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Hal ini dilakukan agar unsur-unsur adat yang terlihat pada surau dapat diuraikan dengan jelas, sehingga dapat diketahui makna dari setiap unsur adat tersebut dan peran surau bagi masyarakat Minangkabau pada saat surau tersebut dibangun. Berdasarkan kajian ini dapat diketahui bahwa Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan memiliki bangunan yang berbeda. Surau Nagari Lubuk Bauk memiliki bentuk yang bertingkat, karena hal ini dipengaruhi oleh aliran adat Koto Piliang yang menganut paham aristokrasi, sedangkan Surau Gadang Bintungan tidak bertingkat karena dipengaruhi oleh aliran adat Bodi Caniago, yang menganut paham demokrasi. Selain itu ragam hias ornamen yang terdapat pada surau ini juga memiliki makna yang mengandung pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Kata Kunci: Adat Minangkabau, Bangunan tradisional, Surau Gadang Bintungan, Surau Nagari Lubuk Bauk. Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan of West Sumatra: A study of Architectural Style and the Meaning of the Ornament. Abstract This article discusses about surau (little Mosque) in West Sumatra, namely Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan. The aim of this article is to see the tradition influences in the buildings, based on their architectures and the meaning of ornaments. Besides, this article also compares the suraus with the other traditional Minangkabau buildings – Rumah Gadang, by using descriptive – analytical method. The aim of the method is to see custom or tradition elements in the suraus. Moreover, by using the method, this article also explores the deeper meaning of the elements and the role of the suraus for Minangkabau society at that time. Based on the study, Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan have different architecture. Surau Nagari Lubuk Bauk consists of several floors, because it is influenced by aristocratic Koto Piliang tradition. Meanwhile, Surau Gadang Bintungan is a one-floor building, because it is influenced by democratic tradition of Bodi Caniago. Besides, many decorative ornaments found in the surau also contain moral messages and living guide for Minangkabau people. Keywords: Minangkabau Custom, Surau Nagari Lubuk Bauk, Surau Gadang Bintungan, Traditional Building. 1 Universitas Indonesia Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016 2 Pendahuluan Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan nama Minangkabau merupakan daerah yang mempunyai tatanan adat dan agama yang kuat. Sejak awal abad ke- 16 sampai pada awal abad ke 19, di daerah ini sudah terdapat hubungan yang harmonis antara kaum adat dan kaum agama dalam menjalankan hukum adat dan syariat agama (Poesponegoro, dkk, 2008: 48).Di Minangkabau agama dan adat mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan kepribadian seseorang (Natsir, 2012: 39). Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada orang minangkabau yang prilakunya menyimpang, maka ia dikatakan tidak beradat dan tidak beragama. Oleh karena itu, adat dan agama menentukan kredibilitas seseorang di wilayah Minangkabau. Keselarasan antara adat dan agama ini kemudian juga diterapkan dalam bentuk suatu gaya bangunan. Salah satu bangunan yang memperlihatkan adanya indikasi keselarasan adat dan agama di Minangkabau adalah surau. Surau merupakan penyebutan bagi sejenis masjid berukuran kecil untuk menampung jemaah dalam jumlah yang cukup terbatas (Nasution, 2011:1). Secara sederhana, surau dapat dipahami sebagai tempat bagi orang-orang Islam melakukan ibadah shalat berjamaah kecuali sholat jumat, namun di samping itu surau juga berfungsi sebagai tempat anak laki-laki melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan juga belajar membaca Al-Quran (Kamal, 2009: 23). Di Minangkabau, surau merupakan dasar utama dalam menerapkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Abidin, 2007 : 19) Surau merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai fungsi dan peranan yang cukup penting di Minangkabau. Pada awalnya surau pada masyarakat Minangkabau berfungsi sebagai tempat penyembahan arwah nenek moyang, fungsi ini kemudian berlangsung cukup lama bahkan hingga kedatangan Islam ke Minangkabau. Fungsi surau sebagai tempat penyembahan ini, mencerminkan bahwa pada saat itu masyarakat sudah melakukan ibadah ritual, dan menyadari bahwa ada suatu kekuasaan yang mengatur alam semesta, sehingga muncullah suatu bentuk kepercayaan yang kemudian disebut sebagai agama, walaupun yang pada saat itu hanyalah agama tradisional (Azra, 2012: 150). Universitas Indonesia Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016 3 Dampak masuknya Islam ke Minangkabau, tidak mengakibatkan fungsi surau mengalami perubahan, namun fungsi surau bertambah. Namun demikian, penyebutan kata “surau” terhadap bangunan ini tidak mengalami perubahan dan tidak memiliki perbedaan, baik sebelum setelah Islam masuk di Minangkabau. Dalam perkembangannya, surau berfungsi sebagai tempat shalat sehari-hari, tempat mengaji, dan belajar agama Islam. (Azra, 2012: 152). Di samping sebagai tempat ibadah, surau sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau juga digunakan sebagai tempat lembaga pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya seperti tempat musyawarah, tempat mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat bermalam bagi anak laki-laki yang telah remaja ataupun duda. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di daerah Tanjung Medan, Ulakan, Pariaman pada abad ke 17 setelah kembali dari belajar agama dari Syekh Ab’dur Rauf Singkel di Aceh (Boestami, dkk, 1981: 19-22). Surau pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya juga berfungsi sebagai pusat tarekat, yaitu tarekat Syattariyah, yang diterima Syekh Burhanuddin saat belajar pada Syekh Ab’dur Rauf Singkel. Selain itu di surau-surau lain juga dipelajari tarekat yang lain seperti tarekat Naqsabandiyah. Pada masa Syekh Burhanuddin, Surau Ulakan mencapai tingkat otoritas keagamaan tertinggi, sehingga tidak ada ulama yang berani mempertanyakannya (Azra, 2012: 152). Murid yang datang dari berbagai daerah ke surau Burhanuddin, diberikan kebebasan untuk mengembangkan ilmu-ilmu adat yang mereka bawa dari daerah asal, hal ini kemudian ikut mempercepat terjadinya akulturasi budaya Minangkabau dengan Islam (Kamal, 2009: 33) Umar Junus (dalam Koentjaraningrat, 1971: 260) mengatakan bahwa akulturasi antara agama Islam dengan adat Minangkabau pada awalnya yaitu pada abad ke-19 Masehi sempat memunculkan pertentangan antara paham lama dengan paham baru. Paham baru mengatakan bahwa agama Islam yang telah dijalankan di Minangkabau telah menjadi satu dengan adat, sehingga telah kehilangan hal-hal yang utama dari Islam, mereka kemudian berusaha memurnikan agama Islam dengan sebuah reformasi, dan ini kemudian menimbulkan reaksi dari golongan lama yang akhirnya berujung pada Perang Paderi. Selama Perang Paderi banyak surau yang hancur dan juga tidak sedikit ulama yang turut terbunuh, tetapi perlahan surau bangkit kembali, untuk kemudian menghadapi tantangan gelombang kedua pembaruan Islam di Minangkabau yang mulai muncul pada abad ke-20 (Azra, 2012: 154). Universitas Indonesia Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016 4 Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi dan peranan surau ini kemudian perlahan- lahan mengalami kemunduran. Keberadaan surau mulai terancam ketika Belanda mendirikan sekolah nagari (volkschoolen) di berbagai desa sejak tahun 1825 (Azra, 2012: 155). Pada saat itu minat para remaja untuk menuntut ilmu di surau mengalami penyusutan yang begitu drastis. Anak-anak remaja merasa lebih tertarik untuk belajar di sekolah-sekolah nagari yang didirikan oleh Belanda, karena menurut mereka hal-hal yang diajarkan di surau tidak sesuai lagi dengan arus modernisasi yang masuk ke Sumatera Barat. Kemudian semenjak saat itu pamor surau mengalami kemunduran yang begitu hebat. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau yang masih bertahan, dan fungsinya sebagai lembaga sosial dan kebudayaan kemudian menjadi sekedar tempat belajar Al-Quran saja. Adanya perubahan sistem sosial kemasyarakatan pada masyarakat Minangkabau membuat surau mulai mengalami pergeseran fungsi. Kedudukan surau di dalam nagari tidak sama lagi seperti pada awal didirikannya. Adanya perubahan sistem sosial budaya masyarakat Minangkabau seperti perubahan keluarga luas (extended family) ke keluarga inti (nuclear family) turut mempengaruhi fungsi surau dalam masyarakat (Kamal,2009: 38). Fungsi surau sebagai tempat bermalam bagi para remaja laki-laki dan duda mulai hilang seiring dengan terbentuknya keluarga inti. Adanya perubahan-perubahan seperti hal tersebut mengakibatkan fungsi surau seperti pada awal didirikannya turut bergeser. Beberapa surau tua yang masih berdiri di Sumatera Barat hingga saat ini adalah Surau Nagari Lubuk Bauk, di Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, dan Surau Gadang Bintungan di Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten