"Nasionalisme Papua" Di Irian Jaya Mempunyai Sejarah Yang Panjang Dan Pahit
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
OPERASI MILITER PAPUA Kondisi Politik Papua Sebelum Menjadi Wilayah Indonesia. Tumbuhnya paham "nasionalisme Papua" di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama Perang Dunia II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan millinerian, mesianic dan "cargo-cultis". Mungkin yang paling terbuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan "koreri" di kepulauan Biak, gerakan "were atau wege" yang terjadi di Enarotali dan gerakan "Simon Tongkat" yang terjadi di Jayapura. Berhadapan dengan kebrutalan Jepang pada waktu itu, gerakan koreri di Biak mencapai titik kulminasinya pada 1942 dengan sebuah proklamasi dan pengibaran bendera.1 Dengan masih didudukinya sebagian besar kepulauan Indonesia oleh Jepang, pemerintah Belanda di Nieuw Guinea dihadapkan kepada kekurangan personil yang. terlatih di berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1944 Resident J.P. van Eechoud yang terkenal dengan nama "vader der Papoea's" (Bapak orang Papua) mendirikan sebuah sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (bestuurscbool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara l944 sampai 1949. Sekolah inilah yang melahirkan elit politik terdidik (borjuis kecil terdidik) di Nieuw Guinea. Residen J.P. van Eechoud mempunyai misi khusus untuk menanamkan nasionalisme Papua dan membuat orang Papua setia kepada pemerintah Belanda. Untuk itu setiap orang yang ternyata pro-Indonesia ditahan atau dipenjarakan dan dibuang ke luar Irian Jaya sebagai suatu tindakan untuk mengakhiri aktivitas pro Indonesia di IrianJaya. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian meniadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumainum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdullah Arfan. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para pemuda terdidik tersebut di atas yaitu antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, dan Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui, Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan organisasi politik pro-Indonesia yang bernama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Di Manokwari pada 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johans Ariks, Albert Karubuy, Lodewijk dan Barent Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, seluruh peserta tersebut di atas harus masuk tahanan Polisi Belanda selama lebih dari tiga bulan. Pemerintah Belanda menghadapi tentangan yang berat dari organisasi PKII sebab mereka mengklaim seluruh Indonesia Timur termasuk West Nieuw Guinea (Irian Barat/Jaya) adalah wilayah Republik Indonesia. Dua nasionalis Papua lainnya yaitu Frans Kaisiepo dan Johan Ariks bergabung dengan Silas Papare. Johan Ariks kemudian menjadi orang yang sangat anti-Indonesia setelah mengetahui bahwa ada usaha dari Indonesia untuk mengintegrasikan Irian Jaya dengan Republik Indonesia dan bukan sebaliknya membantu kemerdekaan Irian Jaya sendiri. Pada 16-24Juli 1946 dilakukan konferensi Malino, hadir pada konferensi tersebut tokoh nasionalis Papua Frans Kaisiepo yang memperkenalkan nama "Irian" bagi West Nieuw 1 Bagian dari penjelasan fakta-fakta ini dikutip dari John RG Djopari, Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1993. Cerita tentang kehidupan pada Abad XIX di kawasan Papua dilukiskan secara lengkap dengan menarik oleh Kal Muler. Lihat Kal Muller, Mengenal Papua, Daisy World Book, Jayapura, 2008. Guinea dan secara tegas menuntut West Nieuw Guinea ke dalam Indonesia Timur. Tuntutan itu disampaikan dalam konferensi yang dipimpin oleh wakil pemerintah Belanda Dr. HJ. van Mook, namun hal ini ditolak oleh van Mook karena Belanda masih berkepentingan dengan Nieuw Guinea. Selain gerakan politik PKII, maka terdapat juga suatu gerakan pro-Indonesia yang disebut gerakan nasionalis dari Soegoro Admoprasodjo yang pada waktu itu menjabat sebagai direktur pendidikan pamongpraja di Kotanica-Hollandia. Soegoro membina dan menghimpun semua orang Jawa, Sumatera, Makassar, Bugis, dan Buton yang ada di Nieuw Guinea sebagai kekuatan yang pro-Indonesia. Kegiatannya itu kemudian diketahui oleh pemerintahan Belanda dan sebagai konsekuensinya, aktivitasnya dilarang. Ia diberhentikan sebagai direktur dan dikirim ke Batavia/Jakarta oleh Resident van Eechoud. Berbeda dengan PKII yang dibina Dr. Sam Ratulangi yang tengah menjalani pembuangan oleh Belanda ke Serui, maka pada 1954 dokter Gerungan mendirikan suatu gerakan politik di Hollandia yang bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM). Gerakan atau organisasi politik itu dipimpin oleh sejumlah pemimpin Papua yaitu Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey. Nicolaas Jouwe kemudian menjadi seorang pemimpin Papua yang anti- Indonesia. Untuk mewujudkan dan menumbuhkan nasionalis Papua sebagai suatu misi dan cita-cita, van Eechoud melarang aktivitas PKII dan KIM, dan juga menangkap para pemimpinnya serta membuang mereka ke Makassar, Jawa,dan Sumatera. Mereka yang dibuang yaitu Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Lukas Rumkorem dan Raja Rumagesang. Namun kegiatan PKII dan KIM terus berlanjut di bawah tanah dengan dipimpin oleh beberapa tokoh seperti Steven Rumbewas, Korinus Krey, Martin Indey, Abraham Koromat, Samuel Damianus Kawab, Elieser Jan Bonay, dan EIi Ujo. Untuk itu, Marten Indey, Kawab, Krey, dan Ujo pernah menikmati penjara untuk beberapa saat, tapi semangat perjuangan itu terus hidup dan dilanjutkan di bawah tanah, yaitu semangat pro-Indonesia atau semangat ingin menggabungkan Nieuw Guinea dengan Indonesia. ElieserJan Bonay kemudian menjadi Gubernur pertama Irian Jaya untuk kurang dari satu tahun (1961-1964) yang kemudian pada 1970 meninggalkan Irian Jaya dan menjadi pendukung dan tokoh OPM serta berdomisili di Belanda. Bonay pada mulanya adalah tokoh yang pro-Indonesia. Pada awal integrasi, ia dijadikan sebagai Gubernur Irian Jaya yang pertama. Namun, pada 1964, ia mendesak agar segera dilakukan Act of Free Choice di Irian Jaya bagi Kemerdekaan Irian Jaya sendiri dan desakan itu disampaikan ke PBB. Ia diberhentikan sebagai Gubernur dan diganti oleh Frans Kaisiepo. Pemberhentian tanpa menduduki posisi lain dalam jajaran pemerintahan apalagi status kepegawaiannya tidak diperhatikan oleh pemerintah dan akhirnya ia mengkoordinir berbagai kegiatan dan rapat "gelap" di Jayapura dan melakukan hubungan "rahasia" dengan para tokoh OPM di luar negeri. Setelah mengetahui bahwa ia akan ditangkap oleh pihak keamanan karena kegiatannya yang membantu OPM, maka ia memutuskan diri lari ke Belanda melalui Papua New Guinea. Untuk menghadapi PKII dan KIM, maka pemerintah Belanda mendirikan Gerakan Persatuan Nieuw Guinea dengan satu-satunya tujuan untuk menentang pengaruh Indonesia. Gerakan ini mempunyai sejumlah tokoh Papua yang terkenal, yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe, dan Herman Womsiwor, di mana mereka itu kemudian menjadi pendukung yang kokoh bagi pemerintah Belanda dan nasionalisme Papua. Pada 1960 dibentuklah suatu "uni perdagangan" yang pertama di Nieuw Guinea yang bernama Christelijk Werkneemers Verbond Nieuw Guinea (Serikat Sekerja Kristen Nieuw Guinea) yang pada mulanya hanya berhubungan dengan pemerintah Belanda dan pekerja- pekerja kontraktor Eurasia, dan dalam waktu yang singkat keanggotaan orang Papua menjadi 3.000 orang. Organisasi ini yang pada gilirannya bersama Gerakan Persatuan Nieuw Guinea membentuk dasar dan pemimpin dari Partai Nasional. Dalam tiga bulan menjelang akhir 1960, pemerintah Belanda membentuk beberapa partai dan organisasi atau gerakan politik sebagai perwujudan dari kebijakan politik dari Kabinet De Quay untuk mempercepat pembentukan Nieuw Guinea Raad melalui pemilihan umum, yaitu realisasi dari politik dekolonisasi untuk Nieuw Guinea yang dilakukan secara bertahap. Adapun berbagai partai dan organisasi atau gerakan politik tersebut adalah:2 (1) Partai Nasional (Parna) (Ketua Umum: Hermanus Wajoi) (2) Democratische Volks Partij (DVP) (Ketua: A. Runtuboy) (3) Kena U Embay (KUD) (Ketua: Essau Itaar) (4) Nasional Partai Papua (Nappa) (Anggota: NMC Tanggahma) (5) Partai Papua Merdeka (PPM) (Ketua: Mozes Rumainum) (6) Committee Nasional Papua (CNP) (Ketua: Willem Inury) (7) Front Nasional Papua (FNP) (Ketua: Lodewijk Ayamiseba) (8) Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) (Ketua: Johan Ariks) (9) Eenheids partij Nieuw Guinea (APANG) (Ketua: L. Mandatjan) (10) Sama-Sama Manusia (SSM) (11) Persatuan Kristen Islam Radja Ampat (Perkisra) (Ketua: M.N. Majalibit) (12) Persatuan Pemuda-Pemudi Papua (PERPEP) (Ketua : AJF Marey). Partai Nasional (Parna) dipimpin oleh orang-orang yang beraliran nasionalis Papua yang menghendaki suatu pemerintahan sendiri dan secara tegas menolak penggabungan dengan Indonesia. Propaganda anti-Indonesia terus ditingkatkan, dimana pada saat itu West Nieuw Guinea akan diberikan pemerintahan sendiri (kemerdekaan) oleh Belanda pada 1970 dimana bentuk dan isi dari pemerintahan itu kemudian akan ditentukan. Janji ini yang menyebabkan sebagian dari pemimpin Papua tidak mengungsi ke negeri Belanda pada saat Belanda harus meninggalkan Irian Jaya, tapi mereka memutuskan untuk tinggal dan ingin memilih dan menerima kenyataan janji itu setelah Irian Jaya digabungkan dengan Indonesia. Beberapa pemimpin Parna yang terkenal adalah Markus Kaisiepo,