Polemik Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Polemik Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar Polemik Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh Editor Satrio Arismunandar Konsep dan Pengembangan Desain Futih Aljihadi Eksekusi Heri Saparirudin (Desain Cover) Sisko Amin Pratama (Lay Out) Cetakan Pertama, April 2015 ISBN XXX-XXX-XXXXX-X-X Penerbit PT Cerah Budaya Indonesia Menara Kuningan lt. 9G Jalan HR. Rasuna Said Kav V Blok X-7, Jakarta Selatan [email protected] | http://inspirasi.co POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar Daftar Isi Pengantar Editor | 9 BAB 1 - Awal Polemik | 13 BAB 2 - Gerakan Kontra Baru | 81 BAB 3 - Tanggapan Peminat dan Pegiat Satra Lain terhadap buku | 219 BAB 4 - Perdebatan di Media Sosial dan Tanggapan Denny JA | 439 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Editor: Satrio Arismunandar PENGANTAR DARI EDITOR Jagat sastra Indonesia, yang biasanya terkesan adem ayem, di sepanjang tahun 2014 jadi “gonjang ganjing.” Para pegiat sastra dari berbagai daerah angkat bicara, bahkan sebagian melibatkan diri dalam aksi-aksi kampanye tertentu, terkait dengan terbitnya sebuah buku yang memancing sikap pro-kontra dan polemik panjang. Polemik ini cukup keras di media sosial. Buku sastra Indonesia yang jadi bahan perdebatan ini adalah buku berjudul 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, 734 halaman). Buku itu disusun oleh Tim 8, yang terdiri atas 8 orang penulis. Mereka adalah: Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah, dan diketuai Jamal D. Rahman. Perdebatan awalnya masih “sehat,” karena baru seputar ketidaksepakatan tentang figur sastra tertentu yang dimasukkan atau tidak dimasukkan ke dalam daftar 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Sayangnya, polemik kemudian menjadi kurang sehat, karena ada upaya untuk mengundang POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 9 intervensi pemerintah agar melarang (walaupun “untuk sementara”) peredaran buku itu. Terlepas dari semua ekses negatif tersebut, polemik tentang buku ini sangat penting dan bernilai bagi kemajuan dunia sastra Indonesia. Polemik ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pegiat, peneliti, pengkaji, peminat, dan penikmat sastra Indonesia. Karena pertimbangan itulah, kami mencoba menerbitkan berbagai tulisan yang terserak dan termuat di media massa dalam kaitan polemik tersebut dalam satu buku utuh. Perdebatan di media sosial yang cukup gencar, yang bernada pro atau kontra terhadap buku itu, juga kami sajikan. Untuk menampilkan nuansa asli perdebatan tersebut, gaya bahasa yang ada di berbagai tulisan di media cetak, media online, dan media sosial, hanya diedit sekadarnya. Bisa dikatakan hampir seluruh tulisan yang termuat di buku ini diambil dari dokumentasi yang sudah ada di situs inspirasi.co. Hanya sedikit proses penyuntingan dari segi bahasa yang dilakukan pada tulisan-tulisan itu. Penyunting tidak mengutak- atik kontennya. Sedangkan khusus untuk Bab 2, ini 10 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH adalah rangkuman yang dilakukan oleh penyunting atas berbagai tulisan lain, yang sudah beredar di media sosial di luar inspirasi.co. Dengan demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa buku ini hanya pemuatan ulang dari berbagai tulisan yang sudah beredar di media massa, terkait dengan polemik tentang buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Penyunting hanya membuat kategorisasi dalam pemuatan ulang tulisan-tulisan tersebut di buku ini, untuk memudahkan membacanya. Penerbitan buku ini juga sama sekali tidak bertujuan komersial, karena seluruh isi buku ini bisa di-download secara gratis. Penerbitan buku ini lebih sebagai upaya berkontribusi, lewat pemberian informasi bagi publik tentang polemik yang paling trendy dan hangat di dunia sastra Indonesia di sepanjang 2014. Demikianlah, semoga buku yang sederhana ini bisa memberi sumbangan bagi pemahaman yang lebih baik, dan ikut mendorong kemajuan dunia sastra Indonesia. Satrio Arismunandar Editor POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 11 BAB 1 Awal Polemik 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH Mencari Tokoh bagi Sastra Pengantar Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh Oleh: Tim 8 Negara lahir dari tangan penyair. Jaya dan runtuhnya di tangan para politisi. Mohammad Iqbal Jika kekuasaan membawa orang pada arogansi. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. John F. Kennedy Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama saat sebuah negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Di satu sisi, para penguasa kerap merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 15 beberapa kebijakan politik menyangkut aspek- aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kerja keras pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Di lain sisi, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra cuma berisi lamunan dan kata- kata indah mendayu. Tapi John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengemukakan bahwa jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan manusia akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai pengimbang — bahkan anti toksin— bagi penguasa dan kekuasaan. Dalam pada itu, Mohammad Iqbal, penyair dan filsuf terkenal asal Pakistan itu, mengemukakan bahwa negara lahir justru dari tangan para penyair. Untuk bangsa-bangsa pada umumnya, ungkapan 16 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH tersebut benar secara metaforis. Namun, bagi bangsa- bangsa terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahkan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya negara Indonesia di awal abad ke- 20. Konsep Indonesia sebagai sebuah negara- baru dicanangkan lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Bukankah Sumpah Pemuda — bertanah air dan berbangsa satu, yaitu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia— adalah deklarasi politik dalam bentuk puisi? Bukankah rumusan itu pula yang menggelindingkan kesadaran bersama dalam kesatuan tanah air Indonesia; kesatuan bangsa Indonesia meski terdiri dari berbagai etnis, budaya, dan agama; dan kesadaran untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Ya, Sumpah Pemuda —yang dikonsep oleh Muhammad Yamin— adalah puisi. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara-baru sesungguhnya dideklarasikan lewat puisi. Tentu saja perumusan konsep itu tidak datang seketika. Ada proses pemikiran yang terjadi sebelumnya. Dan proses itu bermula dari POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH 17 sebuah puisi yang berjudul “Tanah Air” (1920) karya Muhammad Yamin, di mana sang penyair mengemukakan konsepnya tentang tanah air yang mula-mula bersifat kedaerahan, hingga akhirnya sampai pada konsep Indonesia sebagai tanah air dalam puisi “Indonesia Tumpah Darahku” (1928), yang ditulis Yamin dua hari sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan. Hal itu menegaskan bahwa kesusastraan lahir dari kecamuk pemikiran, bukan dari bahasa berbunga-bunga, bukan pula dari sebuah khayalan yang tidak berpijak pada realitas. Perjalanan sastra Indonesia beriringan dengan perkembangan pemikiran tentang sebuah bangsa bernama Indonesia. Sekali lagi, Indonesia lahir dari sebuah puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh kaum muda Indonesia, yakni Sumpah Pemuda. Tentu pada waktu itu, semua pernyataan dalam Sumpah Pemuda merupakan metafora, setidaknya masih imajinatif dan bukan kenyataan. Namun, dengan rumusan metaforis dan imajinatif itulah seluruh bangsa diajak untuk bersama-sama mengimajinasikan kemungkinan lahirnya sebuah bangsa dan tanah air baru: Indonesia. Berdasar pada Sumpah Pemuda itulah para sastrawan dari berbagai wilayah Nusantara menulis karya 18 POLEMIK BUKU 33 TOKOH SASTRA INDONESIA PALING BERPENGARUH sastra dalam bahasa Indonesia serta mangacu dan menggemakan satu tanah air dan bangsa yang sama: Indonesia. Lahirlah kemudian negara yang kita tinggali bersama ini. Setelah lahir dari puisi Sumpah Pemuda dan kemudian tumbuh lewat pewacanaan sastra, nasib bangsa Indonesia selanjutnya memang berada di tangan para politisi. Di masa-masa awal nasionalisme Indonesia, hubungan politik dengan sastra sedemikian dekatnya. Saat Indonesia berada di bawah kolonialisme dan —sebagai akibatnya— pengaruh kerajaan dan/atau kesultanan di Indonesia mulai menurun, masyarakat tampak kehilangan acuan nilai. Pada saat itulah para sastrawan memainkan peranan baru, menawarkan nilai-nilai baru bagi kehidupan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, antara lain menimbang ketegangan antara modernitas dan tradisi, menggali dan mendedahkan kegelisahan dan impian manusia Indonesia. Sejurus dengan itu, para sastrawan menarasikan lahirnya bangsa dan tanah air baru yang merdeka
Recommended publications
  • Konsistensi Absurditas Tokoh Orang Tua/Kakek Dalam Tiga Naskah Drama
    Konsistensi Absurditas Tokoh Orang Tua/Kakek dalam Tiga Naskah Drama “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang di Taman”, dan “RT 0-RW 0” Karya Iwan Simatupang : Absurditas Albert Camus. KONSISTENSI ABSURDITAS TOKOH ORANG TUA/KAKEK DALAM TIGA NASKAH DRAMA “BULAN BUJUR SANGKAR”, “PETANG DI TAMAN”, DAN “RT 0 – RW 0” KARYA IWAN SIMATUPANG (ABSURDITAS ALBERT CAMUS) Yusril Ihza Fauzul Azhim S1 Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya [email protected] ABSTRAK KONSISTENSI ABSURDITAS TOKOH ORANG TUA/KAKEK DALAM TIGA NASKAH DRAMA “BULAN BUJUR SANGKAR”, “PETANG DI TAMAN”, DAN “RT 0 – RW 0” KARYA IWAN SIMATUPANG (ABSURDITAS ALBERT CAMUS) Nama Mahasiswa : Yusril Ihza Fauzul Azhim Program Studi : S1 Sastra Indonesia Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Bahasa dan Seni Nama Lembaga : Universitas Negeri Surabaya Tahun : 2019 Kata kunci: konsistensi, absurditas, naskah drama. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konsistensi absurditas tokoh Orang Tua/Kakek dalam tiga naskah drama “Bulan Bujur Sangkar”, “Petang Di Taman”, dan “RT 0 – RW 0” karya Iwan simatupang dengan menggunakan kajian filsafat absurd Albert Camus melalui tiga tahap konsep berpikir absurd yaitu, kesadaran absurd, pemberontakan dan kebebasan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan objektif. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode pustaka dan simak-catat. Metode analisis data menggunakan metode penafsiran terhadap data dengan melakukan beberapa langkah pembacaan, yaitu (1) membaca kritis, (2) membaca kreatif, dan (3) membaca hermeneutika. Hasil penelitian ini menunjukan bentuk absurditas tokoh Orang Tua/Kakek melalui tiga tahap konsep berpikir absurd: kesadaran absurd, pemberontakan dan kebebasan. Pada naskah drama Bulan Bujur Sangkar tokoh Orang Tua melakukan perlawanan terhadap absurditas dengan cara atau bunuh diri di tiang gantungan; naskah drama Petang Di Taman, tokoh Orang Tua tetap kembali menemui absurditas sebagai bentuk pemberontakan demi meraih kebebasannya.
    [Show full text]
  • Pengaturan Calon Independen Pada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Padang Lawas
    Jurnal Ilmu Administrasi Publik 2 (2) (2014): 129-136 Jurnal Administrasi Publik http://ojs.uma.ac.id/index.php/publikauma Pengaturan Calon Independen Pada Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Padang Lawas Afri Azwar Hasan Harahap, Rosmala Dewi * Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Medan Area, Indonesia Diterima Agustus 2014; Disetujui Oktober 2014 Dipublikasikan Desember 2014 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mngetahui pengaturan pencalonan independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan calon independen tidaklah bertentangan dengan undang-undang dasar tahun 1945 pasal 18 ayat(4), yang bukan merupakan perbuatan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, dimana pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar sesuai dengan sistem demokrasi. Dalam tata cara pencalonan independen pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah: surat pencalonan ditanda tangani calon, berkas dukungan yang dilampiri fotocopy KTP dan surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai calon tanpa adanya alasan yang tepat. Apabila sudah mencalonkan sebagai calon independen jabatan sementara sebelum mencalonkan akan dinonaktifkan sampai selesai pemilihan kepala daerah serta jika pencalonan sudah selesai ternyata dinyatakan kalah, maka jabatan yang sebelumnya kembali dijabatnya dengan alasan tidak adanya masalah dalam pemilihan yang telah berlangsung. Kata Kunci : Calon independen; Pemilihan Umum; Pemerintah Daerah Abstract This research aims to know regulation independent candidate.The
    [Show full text]
  • SINTESIS Sampul Muka
    NAMA YANG TAK TERLUPAKAN: TIGA PENULIS AWAL CERITA PENDEK BERBAHASA MELAYU: SELAYANG PANDANG Christopher A. Woodrich Sarjana Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Master of Arts FIB Universitas Gadjah Mada Email:[email protected] ABSTRAK Sejarah cerita pendek (cerpen) di Indonesia masih tidak pasti. Menurut catatan sejarah umum, cerpen baru muncul di wilayah yang kini menjadi Indonesia pada tahun 1920-an, ketika sejumlah karangan diterbitkan dalam majalah Pandji Pustaka; menurut pandangan ini, kumpulan cerpen pertama di Indonesia adalah Teman Doedoek (1936) karya M. Kasim. Namun, sebelum ini sudah banyak cerita pendek berbahasa Melayu yang diterbitkan, termasuk kumpulan cerpen. Nama- nama pengarangnya, bilamana dicantumkan, tidak banyak diketahui oleh pembaca sekarang. Oleh karena itu, tulisan ini menguraikan riwayat hidup tiga orang penulis cerpen yang cukup menonjol pada awal abad kedua puluh, yaitu H. F. R. Kommer, Juvenile Kuo, dan Marco Kartodikromo, sebagai usaha untuk melihat ciri-ciri umum yang mungkin melatarbelakangi usaha orang menggunakan bentuk cerpen yang masih baru pada tahun-tahun itu. Diperlihatkan ragam latar sosio-budaya yang dimiliki penulis-penulis ini, serta pekerjaan pokok mereka sebagai wartawan. Digambarkan pula kedudukan penulis-penulis ini dalam rangka masyarakat kontemporer dan mengapa mereka jarang mendapatkan perhatian dalam pembahasan sejarah sastra Indonesia. Kata kunci: H.F.R. Kommer, Juvenile Kuo, Marco Kartodikromo, Sejarah cerpen 1. PENGANTAR Namun, jika dilacak lebih jauh ternyata pendapat sedemikian rupa tidak benar. Teman Doedoek karya Muhammad Kasim Sebelum Teman Doedoek, dan bahkan kerap diakui sebagai kumpulan cerita pendek sebelum Pandji Poestaka, sudah ada cerpen (cerpen) pertama di Indonesia, dengan cerita- dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa cerita yang dimuat dalam majalah Pandji lain.
    [Show full text]
  • INDO 23 0 1107118712 39 58.Pdf (950.7Kb)
    PERCEPTIONS OF MODERNITY AND THE SENSE OF THE PAST: INDONESIAN POETRY IN THE 1920s Keith Foulcher Nontraditional Malay poetry in Indonesia, the forerunner of "modern Indonesian poetry," is generally said to have begun in the decade be­ tween 1921 and 1931 in the publications of three young Dutch-educated Sumatrans, Muhammad Yamin (born in Sawahlunto, Minangkabau, 1903), Rustam Effendi (born in Padang, 1903), and Sanusi Parid (born in Muara Sipongi, Tapanuli, 1905). Through their writing of Western-influenced poetry in Malay or Bahasa Indonesia, all three saw themselves as con­ tributing to the birth of a modern Sumatran (later Indonesian) culture, the basis of a new Sumatran (later Indonesian) nation. As such, they were among those who laid the foundation of the cultural nationalism which in the repressive conditions of the 1930s came to represent an alternative to the overtly political expression of Indonesian national­ ism . In the following pages, I wish to suggest (1) that through their writing Yamin, Rustam, and Sanusi all articulated a cultural stance which involved both a response to what they knew of European culture and their sense of an indigenous cultural heritage; (2) that there were important differences between the stances of Yamin and Rustam in this regard; and (3) that the poetry of Sanusi Pan6, evolving out of Yarnin's, established an approach to modernity which became the conventional stan­ dard for the burgeoning "Indonesian" poets of the 1930s. * * * CINTA Galiblah aku duduk bermenung Melihatkan langit penuh cahaya Taram-temaram bersuka raya Melenyapkan segala, fikiran nan renung. Apa dikata hendak ditenung Hatiku lemah tiada bergaya Melihatkan bintang berseri mulia Jauh di Sana di puncak gunung.
    [Show full text]
  • SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY in the NEW ORDER a Thesis Presented to the Faculty of the Center for Inte
    SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER A thesis presented to the faculty of the Center for International Studies of Ohio University In partial fulfillment of the requirements for the degree Master of Arts Sony Karsono August 2005 This thesis entitled SETTING HISTORY STRAIGHT? INDONESIAN HISTORIOGRAPHY IN THE NEW ORDER by Sony Karsono has been approved for the Department of Southeast Asian Studies and the Center for International Studies by William H. Frederick Associate Professor of History Josep Rota Director of International Studies KARSONO, SONY. M.A. August 2005. International Studies Setting History Straight? Indonesian Historiography in the New Order (274 pp.) Director of Thesis: William H. Frederick This thesis discusses one central problem: What happened to Indonesian historiography in the New Order (1966-98)? To analyze the problem, the author studies the connections between the major themes in his intellectual autobiography and those in the metahistory of the regime. Proceeding in chronological and thematic manner, the thesis comes in three parts. Part One presents the author’s intellectual autobiography, which illustrates how, as a member of the generation of people who grew up in the New Order, he came into contact with history. Part Two examines the genealogy of and the major issues at stake in the post-New Order controversy over the rectification of history. Part Three ends with several concluding observations. First, the historiographical engineering that the New Order committed was not effective. Second, the regime created the tools for people to criticize itself, which shows that it misunderstood its own society. Third, Indonesian contemporary culture is such that people abhor the idea that there is no single truth.
    [Show full text]
  • Bahasa Dan Susastra Dalam Gunt Ngan
    BAHASA DAN SUSASTRA DALAM GUNT NGAN NOMOR 174 JANUARI 2000 PERPUSTAKAAN PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA Jalan Daksinapati Barat IV Jakarta 13220, Telepon 4896558. 4706287, 4706288 DAP-TAR ISI B.\HASA BAHASA INDONESIA-ULASAN Dewa-Dewa Pusat Bahasa 1 Interkoneksi Pikiran, Bahasa dan Kebudayaan 2 Interkoneksi Pemakaian Bahasa dan Jenis 4 Pelepasan Unsur Klausa dan Masalah Makna Kata .... 7 Morfofonemik, Prefiks, dan Pelepasan 9 Meraosisikan Pendidikan Bahasa 11 Generasi yang "^emberang? 14 Menyoal l^^^akna *Jari-Jemari•, Reruntuhan*, 16 BAHASA MALAYSIA-ULASAN Pemerintah Malaysia Hapus Bahasa Baku 19 POTILIK BAHASA-ULASAH Bahasa Indonesia 20 SASTRA CERPEN INDONESIA-ULASAN Siul Jadi Pemenang ^ayembara Penulis Cerpen ••...• 21 NOVEL INDONESIA-ULASAN Novel Terakhir Romo ITangun 22 Tiap Bulon Hasilkan Satu Novel 23 K Gatnbarkan Dialektika Penguasa dan 25 PUISI-ULASAN Seniman Lontarkan Keprihatinan Lewat • 26 ^ Musikalisasi Puisi Ferlu Ditumbuhkan 27 Fohon Fenggugah Hati 28 ^ Kita Tanam Fohon Persaudaraan 29 Sutardji 'Mutung* dalam Acara Tadarus 30 Baca Puisi Gus Dur Mus di Universitas 3I Kolaborasi Puisi dan Nada dalara Musik 32 Penyair Kaltim Terbitkan Antologi Puisi 34 Mengawinkan Puisi dan Sketsa 35 Baca Sajak Pekanbaru, Air Mata yang 36 SASTRA INDONESIA-ULASAN Perempuan Imigran dalam Sstra Australia 38 SASTRA INDONESIA-ULASAN ^ Desakralisasi Jakarta 39 Reforraasi Sastra 4^ Mgsih "Berjalan di Sepanjang Jalan" 44 Karya Sastra 60 Penulis untuk •Aceh yang 46 Dari Madura ke Pergaulan Dunia 47 Keresahan Seorang Iwan Simatupang 49 Saya Hanya Minta untuk Beli Susu 53 Sastra belum Lekat di Masyarakat 54 Penyair Kirdjomuljo Meninggal 55 Karya Sastra Sastrawan Koraunitas 56 Mursal Esten dan Penomena Datuk 59 A Sastra di Koran Berkembang Pesat 61 Potret Sastra Versi Si Tarau 62 y SASTRA-PENGAJARAN Metode Pengajaran Sastra Harus Dirombak 65 BAKk^A IIvDOKEciA-uLA^AN )-p>.
    [Show full text]
  • View Annual Report
    2014 Annual Report SUSTAINABLE COMPETITIVE GROWTH Through Digital Business SUSTAINABLE COMPETITIVE GROWTH THROUGH DIGITAL BUSINESS Investing in the digital business is a necessity for us to improve our competitiveness while maintaining sustainable growth in the future. In 2014, one of our main programs was to continue developing infrastructure to support growth of the digital business. We have continued to develop our optical fiber-based access network, which at the end of 2014 had 13.2 million homes passed. Subsequently, weplan to deploy optical fiber connections to homes and buildings to revive ourfixed line business. In the cellular business unit, during 2014 we have built 15,556 new BTS, 75% of which are 3G/4G BTS. At the end of 2014, we had 85,420 BTSs, of which 45% were 3G/4GBTSs. Our BTS infrastructure demonstrates our superiority in terms of coverage and capacity and also reflects our commitment to provide the best digital experience. Telkomsel is the first commercial operator in Indonesia to provide 4G services to further enhance the digital experience of our customers. In addition, we have also installed 170,000 Wi-Fi access points to help off-load our mobile customer data traffic. Our fixed line broadband services and Telkomsel's cellular services are supported by a superior backbone network. At the end of 2014, we have built 76,700 kilometers of fiber-optic backbone network. We are continuing to build our backbone network so as to eventually reach all parts of the archipelago. We have also built a 54,800 m2 data center to support cloud computing services (cloud services).
    [Show full text]
  • ASPECTS of INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE in the 1930S
    PUDJANGGA BARU: ASPECTS OF INDONESIAN INTELLECTUAL LIFE IN THE 1930s Heather Sutherland Pudjangga Baru, the "New Writer," was a cultural periodical put out in the colonial capital of Batavia by a group of young Indonesian intellectuals from 1933 until the invasion of the Netherlands Indies by Japan in 1942.1 In Bahasa Indonesia, the term pudjangga means "literary man, man of letters; author, poet; linguist, philologist."2 34 The choice of this term for the title of the monthly was no doubt also influenced by an awareness of its historical connotations, for the word can be traced back through such Old Javanese forms as bhujanga to an original Sanskrit root associated with sacred and priestly learning. It implied nobility and integrity as well as literary ability; and it is therefore no accident that the writings appearing in it claimed high idealism and a sense of mission. The purpose proclaimed by Pudjangga Baru became more fervent as the years passed. In the beginning, it described itself simply as a literary, artistic, and cultural monthly. At the start of its third year it declared itself a "bearer of a new spirit in literature, art, culture, and general social affairs."^ At the beginning of its fifth year it claimed to be the "leader of the new dynamic spirit to create a new culture, the culture of Indonesian unity."1* In 1928, when the second All-Indonesia Youth Congress swore the famous oath to work for "one fatherland, one people, and one language" Pudjangga Baru pledged itself to work for the development of the national language and also to strive for a national culture, adding "one culture" to its 1.
    [Show full text]
  • W. Sykorsky Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature
    W. Sykorsky Some additional remarks on the antecedents of modern Indonesian literature In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 136 (1980), no: 4, Leiden, 498-516 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com09/29/2021 01:51:04PM via free access W. V. SYKORSKY SOME ADDITIONAL REMARKS ON THE ANTECEDENTS OF MODERN INDONESIAN LITERATURE The sociological bias of the last decade, which is manifest in Western European literary criticism, has led philologists to pay attention to many formerly ignored facts and phenomena of the literary process, including a vast body of urban Indonesian literature written around the turn of the century mainly in "Low" Malay. In an article entitled 'Some Preli- minary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian Literature' (BKI 1971/127-4:417-433), C. W. Watson presents a general analysis of this most interesting phenomenon. He refers to some 30 books published between 1875 and 1924. Thirteen of these are introduced by the author from the originals. The rest are drawn from indirect sources, i.e. advertisements, catalogues, 'and the like. Watson is preoccupied with the "language principle", and is not always aware that 'this period falls into two quite distinct phases ideo- logically, i.e. that prior to and that af ter the beginning of the second decade of this century. The body of works of the first phase is extremely amorphous and contradictory fout is, on the whole, saturated with a spirit of democracy. It is the real antecedent of national Indonesian literature. The works of the second phase, reflecting as they do the awakening of a national consciousness and the growth of political activity on the part of Indonesians, no longer constitute an antecedent to but mark the very beginning of Indonesian literature.1 There is, of course, strong continuity between the two phases with respect to style, figurative language and plot.
    [Show full text]
  • ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Abstrak
    ROMANTISISME DI INDONESIA DAN BELANDA PADA AWAL ABAD KE-20 Almas Aprilia Damayanti E-mail: [email protected] Abstrak Keberadaan Romantisisme di Indonesia menjadi sangat istimewa semenjak masuknya aliran romantisisme pada awal abad 20, sedangkan romantisisme di Belanda sendiri sudah ada sejak abad 18 yang terus berkembang hingga awal abad 20. Angkatan Pujangga Baru di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari bacaan dan karya sastra dari Belanda sehingga karya-karya literatur mereka terpengaruh angkatan 80. Sebagaimana diketahui, karya sastra romatisisme telah berlangsung jauh lebih dulu di Belanda, tepatnya pada akhir abad 17 hingga awal 18, jika dibandingkan di Indonesia yang baru masuk pada abad 19. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejarah pengaruh bacaan karya sastra dari Belanda bagi angkatan pujangga baru di Indonesia. Kata kunci: Angkatan Pujangga Baru; Angkatan 80; Romantisisme 1. Pendahuluan Romantisisme adalah sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke18-, tepatnya pada masa Revolusi Industri. Istilah romantik dan romantisisme berasal dari kata romans, yakni bahasa (dialek) rakyat Prancis pada abad Pertengahan (1800‒1851). Istilah tersebut kemudian berkembang dan dimaknai sebagai cerita khayalan yang aneh 59 60 ALMAS APRILIA DAMAYANTI dan menarik, cerita yang penuh petualangan, serta cerita-cerita yang mengandung unsur percintaan (Ratna, 2005, hlm. 48). Romantisisme merupakan aliran dalam sastra yang menekankan pada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudannya. Aliran ini lahir dan berkembang pada abad ke-18 di Eropa sebagai gerakan untuk menentang klasikisme, yaitu aliran yang mengutamakan keteraturan dalam berpikir, bersikap, dan bersifat konvensional. Istilah romantik boleh dikatakan tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berurusan dengan perkembangan tradisi kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut.
    [Show full text]
  • The Poetic Power of Place
    The PoeTic Power of Place comparative perspectives on austronesian ideas of locality The PoeTic Power of Place comparative perspectives on austronesian ideas of locality edited by James J. fox a publication of the department of anthropology as part of the comparative austronesian project, research school of pacific studies the australian national university canberra ACT australia Published by ANU E Press The Australian National University Canberra ACT 0200, Australia Email: [email protected] Web: http://epress.anu.edu.au Previously published in Australia by the Department of Anthropology in association Australian National University, Canberra 1997. National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry The poetic power of place: comparative perspectives on Austronesian ideas of locality. Bibliography. Includes Indeex ISBN 0 7315 2841 7 (print) ISBN 1 920942 86 6 (online) 1. Place (Philosophy). 2. Sacredspace - Madagascar. 3. Sacred space - Indonesia. 4. Sacred space - Papua New Guinea. I. Fox, James J., 1940-. II. Australian National University. Dept. of Anthropology. III. Comparative Austronesian Project. 291.35 All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying or otherwise, without the prior permission of the publisher. Typesetting by Margaret Tyrie/Norma Chin, maps and drawings by Keith Mitchell/Kay Dancey Printed at National Capital Printing, Canberra © The several authors, each in respect of the paper presented, 1997 This edition © 2006 ANU E Press Inside Austronesian Houses Table of Contents Acknowledgements ix Chapter 1. Place and Landscape in Comparative Austronesian Perspective James J. Fox 1 Introduction 1 Current Interest in Place and Landscape 2 Distinguishing and Valorizing Austronesian Spaces 4 Situating Place in a Narrated Landscape 6 Topogeny: Social Knowledge in an Ordering of Places 8 Varieties, Forms and Functions of Topogeny 12 Ambiguities and Indeterminacy of Place 15 References 17 Chapter 2.
    [Show full text]
  • Inherited Vocabulary of Proto-Austronesian in the Banjarese Language
    ISSN: 2186-8492, ISSN: 2186-8484 Print Vol. 2 No. 2 May 2013 ASIAN JOURNAL OF SOCIAL SCIENCES & HUMANITIES INHERITED VOCABULARY OF PROTO-AUSTRONESIAN IN THE BANJARESE LANGUAGE Rustam Effendi Faculty of Teacher Training and Education, Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, INDONESIA. [email protected] ABSTRACT This paper attempts to present a reflection of the Proto-Austronesian language in the Banjarese language (BL). Used in the South, Central Kalimantan and East Kalimantan, it is was a lingua franca of trade in the past. Almost all Dayak speech communities are have knowledge of it. In addition, it is also spoken in certain regions of Sumatra, including Tembilahan (Riau) and Sabak Bernam (Malaysia). As a language covering wide area of users, it has many dialects and sub-dialects. Linguists still have different opinions in terms of the BL dialect. Hapip, Suryadikara and Durasid state that BL consists of two dialects. They are the Hulu or the upper- stream dialect and the Kuala or the down-stream dialect. Meanwhile, Kawi claims that there are three Banjarese dialects namely the Hulu Dialect, Kuala dialect, and Bukit or the mountain-range dialect. BL belongs to the family of the Austronesian language. The question is: How are the elements of the Proto-Austronesian (PA) language reflected in Banjarese? In relation to the question, this research is done to describe the reflection of the PA in BL using comparison method and was done by arranging a set of characteristics of the Banjarese vocabulary that correspond the PA etimon. The research result shows that: (a) generally the PA etimony are represented unimpairedly in the BL, (b) the PA’s phonemes are inherited in the BL without any changes, (c) the reflection forms of some words shows some changes; however these changes seem to be sporadic; (d) the phonetic changes tend to refer to the similarities of the articulatory circumference; and (e) not all of the PA etimony is reflected in the BL.
    [Show full text]